Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012
 9789791219112

Table of contents :
Eric Sasono

Citation preview

Seri Wacana Sinema

EDITOR

EKKY IMANJAYA & HIKMAT DARMAWAN

Tilas Kritik

Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012

Tilas Kritik

Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012

Seri Wacana Sinema

EDITOR

EKKY IMANJAYA & HIKMAT DARMAWAN

Tilas Kritik

Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012

Seri Wacana Sinema Komite Film Dewan Kesenian Jakarta Direktur Penerbitan: Hikmat Darmawan Editor Seri: Ekky Imanjaya Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012 Penyunting: © Ekky Imanjaya & Hikmat Darmawan Rumah Film: © Asmayani Kusrini, Ekky Imanjaya, Eric Sasono, Hikmat Darmawan, Ifan Adriansyah Ismail, Krisnadi Yuliawan Kontributor: © Ade Irwansyah, Bobby Batara, Donny Anggoro, Hassan Abdul Muthalib, Intan Paramaditha, Veronika Kusumaryati, Grace Samboh, Homer Harianja, Windu Jusuf Penyelaras Bahasa: Ignatius Haryanto Desain dan Tata Letak: Ardi Yunanto & Andang Kelana, dan Zulfikar Arief Sampul: still photo film Teak Leaves on the Temple / Garin Workshop Cetakan pertama, Desember 2019 i – liv + 1616 hlm, 15 x 22 cm ISBN: 978-979-1219-11-2 Dicetak oleh GAJAH HIDUP Isi di luar tanggung jawab percetakan Diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta Jalan Cikini Raya No. 73 Jakarta Pusat 10330 www.dkj.or.id

Pengantar Komite Film Dewan Kesenian Jakarta xxi Pengantar oleh Asmayani Kusrini xxvii Pengantar oleh Ekky Imanjaya xxxi Pengantar oleh Eric Sasono xxxv Pengantar oleh Ifan Adriansyah Ismail xxxviii Pengantar oleh Hikmat Darmawan xxli Pengantar oleh Krisnadi Yuliawan Saptadi xlv Pengantar oleh Cholil Mahmud xlix

“Yang Nyata”, 1 Mencari dan Lain-Lain ULASAN DAN KRITIK RUMAH FILM

Dinamit yang Disemai Diam-Diam 3 oleh Asmayani Kusrini 2. Mr. Rakowsky: Balada Dua Rakowsky 10 oleh Ekky Imanjaya 3. Stranded: Neraka yang Amat Dingin 15 oleh Ekky Imanjaya 4. Eva, Kenapa Rumahmu Jauh?: Keroncong Eva Menuju Film Panjang 21 oleh Hikmat Darmawan 5. Trophy Buffalo, Jalan Sepanjang Kenangan, dan Anarchist Cook Book for Beginners: Kerbau, Punk, Istri Ngidam 24 oleh Hikmat Darmawan 6. Ling Yi Ban a.k.a. The Other Half: Paradoks Jarak dalam Kamera Digital 32 oleh Hikmat Darmawan 7. Lila Says: Lila Bilang Cinta 36 oleh Eric Sasono 8. Gegen Die-Wand (Head On): Kisah Cahit dan Sibel 40 oleh Eric Sasono 1.

9.

10.

11. 12. 13.

14. 15. 16.

17. 18.

19. 20.

21.

The Wall (Misteri di Balik Tembok): Misteri di Balik Horor TV 43 oleh Hikmat Darmawan Film Sebagai Percakapan Gagasan: Tentang Dua Film Garin Nugroho 49 oleh Hikmat Darmawan Cintapuccino: Lampu Merah Buat Rudy 59 oleh Hikmat Darmawan Muallaf: Brian dan Dua Gadis Ronin 64 oleh Ekky Imanjaya 4 Luna, 3 Saptamani si 2 Zile (4 Months, 3 Weeks, 2 Days): Thriller Tenang Otilia 67 oleh Asmayani Kusrini Jelangkung 3: Dari Penonton, untuk Penonton 71 oleh Eric Sasono Get Married: Komik Cinderella Kota Jakarta 74 oleh Eric Sasono This is England: Inggris Tahun 1983, dan Seterusnya 78 oleh Eric Sasono Quickie Express: Mengkhianati “Warkop” 82 oleh Hikmat Darmawan Las Vidas Posibles (Possible Lives): Suami Istri dalam Misteri Mini-Kata 91 oleh Hikmat Darmawan A Mighty Heart: Melunakkan Kekerasan 95 oleh Hikmat Darmawan Persepolis: Ketika Tuhan dan Karl Marx Tidak Berkonflik 101 oleh Asmayani Kusrini Eastern Promises: Film Gangster yang Perlu Ada 106 oleh Homer (Mual Harianja)

22. Le Scaphandre et Le Papillon (The Diving Bell and The Butterfly): Ketika Kamera Menjadi Mata 109 oleh Asmayani Kusrini 23. Summer Palace: Sebuah Catatan untuk Lou Ye 113 oleh Asmayani Kusrini 24. Mereka Bilang Saya Monyet! Siapa Bilang Djenar Monyet? 121 oleh Eric Sasono 25. Perempuan Punya Cerita: Para Perempuan Malang 127 oleh Eric Sasono 26. Kawin Kontrak: Komedi Amoral 136 oleh Hikmat Darmawan 27. Radit dan Jani: Mimpi Itu Tak Di Sana 140 oleh Eric Sasono 28. Flower in The Pocket: Momen Emas Mempertanyakan Negara 144 oleh Hikmat Darmawan 29. Otomatis Romantis: Mimpi Basah Wong Ndeso 149 oleh Eric Sasono 30. Katalog Keluarga Milik Edwin 153 oleh Eric Sasono 31. Juno: Mengapa Kita Tak Bisa Membuat Film Remaja Seperti Ini? 163 oleh Hikmat Darmawan 32. The Tarix Jabrix: Konvensi dan Kucing di Tengah Jalan 176 oleh Eric Sasono 33. Iron Man: Pahlawan dan Warisan Bagi Dunia 180 oleh Eric Sasono 34. May: Berani Karena Takut 185 oleh Hikmat Darmawan 35. Fiksi.: Jalan Sulit Alisha dan Mouly 193 oleh Eric Sasono

36. Hancock: Cerita yang Hanya Bisa Terjadi di Amerika 198 oleh Eric Sasono 37. Wanted: Bullets and A Woman 202 oleh Hikmat Darmawan 38. Ploy: Maka Pada Suatu Pagi Hari…. 206 oleh Eric Sasono 39. Kado Hari Jadi: Ketika Pelaku dan Korban Setara 210 oleh Windu Yusuf 40. Tribu: Bukan Rumah Kaca 216 oleh Eric Sasono 41. Laskar Pelangi: A Hesitant Warrior Among “Laskar Pelangi” 220 oleh Ifan Adriansyah Ismail 42. Laskar Pelangi: Fiksi dan Alkemi 228 oleh Hikmat Darmawan 43. Kantata Takwa: A Little Boy Watching….. 236 oleh Ifan Adriansyah Ismail 44. Kantata Takwa: Ketika Iwan Fals Masih Mirip Che Guevara 242 oleh Eric Sasono 45. Haiku Mengulas Film 251 oleh Ekky Imanjaya & Hikmat Darmawan 46. Doa yang Mengancam: Beban yang Mengancam 264 oleh Eric Sasono 47. 98.08: Yang Muda Yang Melawan Lupa 268 oleh Eric Sasono 48. JIFFest 2008: Mencari Osama, Sampai Susuk 284 oleh Eric Sasono, Ekky Imanjaya, Hikmat Darmawan 49. JIFFest 2008: Mata Turistik Sutradara, dan Lain-Lain 288 oleh Eric Sasono, Ekky Imanjaya, Hikmat Darmawan 50. Drupadi: Ada Apa dengan Drupadi? 293 oleh Eric Sasono

51. Drupadi: Tragedi Tanpa Poin 302 oleh Ifan Adriansyah Ismail 52. Tokyo Sonata: Puisi Berbisik dari Bangsa Jaim 306 oleh Ifan Adriansyah Ismail 53. 3 Doa 3 Cinta: Menonton Islam yang Akrab 310 oleh Eric Sasono 54. 3 Doa 3 Cinta: Nonton Film, Nonton (Islam) Indonesia 316 oleh Ade Irwansyah 55. Babi Buta Yang Ingin Terbang: Babi-Babi Buta yang Membabi Buta Ingin Dicintai 324 oleh Ekky Imanjaya 56. Babi Buta Yang Ingin Terbang: Mencari Babi Cemas Dalam Diri 329 oleh Eric Sasono 57. Takut: Faces of Fear: Makan Malam Bersama Takut 335 oleh Ifan Adriansyah Ismail 58. Pintu Terlarang: Kamera Sebagai Jarak Mutlak 341 oleh Hikmat Darmawan 59. Perempuan Berkalung Sorban: Posisi Ideologis dan Representasi: Membela atau Merusak Nama Islam? 353 oleh Ekky Imanjaya 60. Generasi Biru: Generasi dalam Bingkai Keliru 362 oleh Eric Sasono 61. Saia: Musik Kamar yang Berani 367 oleh Hikmat Darmawan 62. Alangkah Lucunya (Negeri Ini): Tanah Airku, Film Ini Tak Lari Meninggalkanmu 380 oleh Hikmat Darmawan 63. 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta: Matematika Cinta Beda Agama 392 oleh Eric Sasono

64. ? (Tanda Tanya): Pertanyaan Retoris Hanung 403 oleh Eric Sasono 65. Melancholia 416 oleh Asmayani Kusrini 66. 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita: Mereka yang Menolak Untuk Menjadi Korban: Perihal Dr. Kartini SPoK dan Percakapan di Ruang Melati 423 oleh Ekky Imanjaya 67. Shame: Seks, New York, dan Keluarga yang Asing 431 oleh Asmayani Kusrini 68. Kebun Binatang (Postcards from The Zoo): Identitas Tanpa Wilayah 436 oleh Eric Sasono 69. Mata Rabun, Tapi Hati Celik (Clouded Eyes, Clear Heart): An Apreciation of Yasmin Ahmad’s Rabun 441 oleh Hassan Abdul Muthalib 70. 100 Film Terbaik, dan Kenapa Avatar atau Trilogi Lords of The Ring Tidak Kami Pilih 449 oleh Hikmat Darmawan 71. 100 Film Terbaik Dunia Dekade 2000-2009 461 oleh Tim Rumah Film 72. Pengantar 33 Film Indonesia Terpenting Dekade 2000-2009: Penting Tak Berarti Harus “Serius”, Tapi Yang Jelas Harus Asyik 511 oleh Ekky Imanjaya 73. 33 Film Indonesia Terpenting Dekade 2000-2009 518 oleh Tim Rumah Film 74. Catatan Penutup 33 Film Indonesia Terpenting 2000-2009 Pilihan Rumah Film: Membaca Dekade, Menyusun Peta 559 oleh Hikmat Darmawan

2 Hantu dan Uang di Venesia LAPORAN DARI FESTIVAL-FESTIVAL

37th International Film Festival Rotterdam 2008

oleh Asmayani Kusrini 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Hari Pertama: Diary dari Rotterdam 577 Hari Kedua: Asian Story 584 Hari Ketiga: Para Bintang: Sutradara 590 Hari Keempat: Nicholas Saputra 598 Hari Kelima: Festival: Saat Rutinitas dan Pesta Bertemu 604 Hari Keenam: Bertemu Para Juri Muda 610 Hari Ketujuh: I Have No Illusions Anymore 617 Hari Kedelapan: Ilusi Bela Tarr 622 Hari Kesembilan: Penutup: Memahami Hidup dan Berbagi Cerita Lewat Film 625

oleh Ekky Imanjaya 1. Sineas Indonesia di Kandang Macan 632 2. Malaysia Hatrik! 637 Dari Cinemasia 2008

oleh Ekky Imanjaya Dua Film Indonesia Menutup Festival Cinemasia 642 2. Banjir Film Asia di Rialto 645 1.

Festival De Cannes 2008

oleh Asmayani Kusrini 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Mereka yang Akan Berlaga di Cannes 2008 651 Bienvenue à Cannes ! 657 Film Dadakan di Seksi Kompetisi 663 Saat The Bunker Dibuka 669 Warung Indonesia dan Ayat-Ayat Cinta 677 Moviegoers Kesurupan, Tanda-tangan dan Film Favorit 686

Dominasi Hollywood dan Film Kecil di Panas Terik 694 8. Pagar Betis dan Penduduk Cannes 701 9. Bertemu Jennifer Lynch dan Che Guevara 708 10. Akankah Kita Dijajah Lagi? 714 11. Madonna Datang Atas Nama Kemanusiaan 721 12. Cannes, Pagi Tadi... 728 7.

34th International Independent Film Festival Brussel

oleh Asmayani Kusrini 1.

Selamat untuk Nia Dinata! 740

The International Documentary Film Festival Amsterdam 2007

oleh Ekky Imanjaya 1. Festival Film Dokumenter Terbesar Dimulai 744 2. 35 Tahun Kemudian 748 65th Mostra Internazionale d'Arte Cinematografica

oleh Asmayani Kusrini 1. Buon Giorno! Antara Venesia dan Film Festival 753 2. Menonton Hantu Gentayangan ala Questi Fantasmi 765 3. Kembalikan Uang Kami! 775 4. Yang Terkenang dari Venesia 782 Amsterdam Fantastic Film Festival

oleh Ekky Imanjaya 1.

“Tet! Tet! Autobus!!!” 788

Festival De Cannes 2009

oleh Asmayani Kusrini Dari Pesta Demokrasi di Indonesia hingga Pesta Film di Perancis 794 2. Kembalinya si Anak Bandel dari China 798 3. Boneka Seks dan Vampir Bersalib 802 1.

Puisi, Film Rumahan, dan Woodstock 809 Scorsese Menyelamatkan Film, Won Bin, dan Penjara Prancis 815 6. Film…Film…Film Lagi dan Complete Full 820 7. Day 6: Antichrist, Kembalinya Sang Agen Provokator, dan Eric Cantona 826 8. Day 8: Filipina, Malaysia, Thailand, dan seterusnya 832 9. Ibu Hamil dan Mandi Darah di Cannes 838 10. Catatan Penutup Cannes 2009: Cannes, Krisis, Kisah Tentang Raoul dan Pemenangnya adalah… 842 4. 5.

Festival De Cannes 2011

oleh Asmayani Kusrini 1. Revolusi dan Dedikasi Jafar Panahi 850 2. Sutradara Perempuan, dari Mesir Hingga ke Cannes 853 3. Apa Kabar Film Indonesia Di Cannes? 859 4. “Kita Yang Harus Mendidik Pemerintah.” 863 5. Gong Perang Dingin Rasoulof-Panahi versus Pemerintah Iran 869 6. Kontroversi, Revolusi dan Masa Depan Anak-Anak 875 Festival De Cannes 2012

oleh Asmayani Kusrini Scene From Tgv Carriage No 5 Direction Cannes 882 2. Dari Moonrise Kingdom hingga Mesir 885 3. Lewat Djam Malam dan Kabar Gembira Film Indonesia 890 4. Hujan dan Film Kompetisi 895 5. Tentang Cinta, Misteri, dan Seorang Pelajar Miskin 899 6. Ini Tentang Nick Cave 903 1.

Un Certain Regard Menghadirkan Cronenberg Junior 906 8. Thomas Vinterberg dan Hong Sang-Soo 912 9. From Kiarostami, Resnais, Dominik, Loach to Carax 916 10. On The Road To Cosmopolis 922 11. Don’t Judge A Movie By Its Crowds 927 7.

Film, Tentang Penonton, 3 Tentang Tentang Dunia Kita PERCAKAPAN RUMAH FILM DENGAN TOKOH-TOKOH PERFILMAN

“Kurdi Lebih Berbudaya dari Amerika.” 935 Wawancara Asmayani Kusrini dengan Bahman Ghobadi 2. “Audiens Bukan Ukuran Sukses.” 945 Wawancara Krisnadi Yuliawan dangan Philip Cheah 3. “Kami Cuma Bekerja dan Berbuat.” 951 Wawancara Krisnadi Yuliawan dan Ekky Imanjaya dengan Ho Yuhang 4. “Saya Manusia Internasional.” 965 Wawancara Asmayani Kusrini dengan Marjane Satrapi (+ Vincent Paronnaud) 5. “Saya Membuat Film Karena Ingin Lebih Memahami Tuhan.” 972 Wawancara Ekky Imanjaya dengan Yasmin Ahmad 6. “Saya Tidak Ingin Uang Mereka....” 980 Wawancara Asmayani Kusrini dengan Manu Rewal 7. Kabar Visual dari Jafar 993 Wawancara Asmayani Kusrini dengan Mojtaba Mirtahmasb 8. Dongeng Naif dari Dunia Nadine Labaki 1001 Wawancara Asmayani Kusrini dengan Nadine Labaki 1.

9.

“Penonton Lebih Pintar Daripada Kreatornya, Kok!” 1013 Wawancara Hikmat Darmawan dengan Djenar Maesa Ayu

10. Percakapan Joko Anwar, Edwin dan Eric Sasono Bagian 1: “Lewat Film Saya Bisa Bikin Puzzle.” 1024 b. Bagian 2: “Apa Bener-Bener Dapat Duit Suster Ngesot itu?” 1030 c. Bagian 3: “Wawasan Penonton dan Wawasan Filmmaker Timpang.” 1035 d. Bagian 4: “Mereka Menonton Cenderung Untuk Mencari-cari Kesalahan.” 1041 e. Bagian 5: “Investor Sudah Bertanya ‘Kok Si Ini Bisa...’” 1048 f. Bagian 6: “Saya masih Mencoba Memfilmkan Bau.” 1054 g. Bagian 7: “Filmmaker Indonesia: Gontok-Gontokan sih Nggak, Tusuk-Tusukan Iya!” 1061 h. Bagian 8: “Kritik Film di Indonesia Bukan Cuma Jelek, Tapi Parah!” 1068 a.

11. “Filmmaker di Area Nyaman” 1075 Wawancara Wawancara Asmayani Kusrini dengan Gertjan Zuilhof 12. “Filmmaker Sekarang Lebih Banyak Mengeluh.” 1083 Wawancara Asmayani Kusrini dengan Werner Herzog 13. “Hanya Sutradara Film Iklan Saja yang Memikirkan Penontonnya.” 1097 Wawancara Asmayani Kusrini dengan Béla Tarr

4

Film dan Kita SISIK MELIK DUNIA FILM DALAM ESAI DAN ARTIKEL RUMAH FILM

1. 2.

3. 4. 5.

6.

7. 8. 9. 10. 11. 12.

13. 14.

Bioskop Tertua di Dunia? 1113 oleh Eric Sasono Film Indonesia Suatu Ketika: Bagian Pertama: Sebuah Sosiologi yang Hilang 1118 oleh Hikmat Darmawan Burung Pipit yang Tak Pernah Menyesal 1126 oleh Eric Sasono Jangan Tinggalkan Aku, Orked 1131 oleh Ekky Imanjaya Hiroshima Mon Amour: Pada Mulanya Sebuah Buku 1136 oleh Asmayani Kusrini Like a Rolling Stone: Imagining America in Contemporary Indonesian Films 1143 oleh Intan Paramaditha Musik dan Film: Bukan Sekadar Latar 1153 oleh Hikmat Darmawan Dosa Film Kita 1160 oleh Hikmat Darmawan Bergman, Oh, Bergman 1167 oleh Asmayani Kusrini Asrul Sani, Sebuah Fragmen Keadaan 1180 oleh Veronika Kusuma Tentang Mengulas Film 1188 oleh Hikmat Darmawan Kritikus dan Pembuat Film: Kawan atau Lawan? 1205 oleh Ade Irwansyah Gie: Representasi Berwajah Ganda 1214 oleh Veronika Kusuma Yang Tergeser Ke Luar Layar 1235 oleh Asmayani Kusrini

15. Trend (Tak Terlalu) Baru: Menggemblok Monyet 1241 oleh Eric Sasono 16. Mengapa Film Horor (1) 1249 oleh Hikmat Darmawan 17. Mengapa Film Horor (2) 1260 oleh Hikmat Darmawan 18. The Glare is Back! 1269 oleh Eric Sasono 19. Joker: Return of The Devil 1273 oleh Asmayani Kusrini 20. Menyambut Hari Anak Nasional, 23 Juli 2008: Anak-Anak sebagai Penonton 1279 oleh Ekky Imanjaya 21. Indonesia Nun Di Sana: Nagabonar (Jadi) 2 dan Kala 1285 oleh Eric Sasono 22. Hegemoni yang tak Mati-Mati 1294 oleh Ifan Adriansyah Ismail 23. Membaca Globalisasi dalam Kacamata Perang Budaya* 1299 oleh Krisnadi Yuliawan 24. Laa Ilaha Ilaallah, Sambil Telanjang Dada 1312 oleh Eric Sasono 25. Perjuangan: Satu Monolog 1319 oleh Hassan Abdul Muthalib 26. Belitong According to Laskar Pelangi 1325 oleh Ekky Imanjaya 27. Balibo, atau Indonesia Sebagai Monster Sempurna 1333 oleh Ifan Adriansyah Ismail 28. Balibo dan Kita 1342 oleh Hikmat Darmawan 29. Sketsa Jakarta dalam Film Indonesia 1344 oleh Eric Sasono

30. Antara Banal, Binal, dan ’Ndeso: Sketsa Eksotisme Yogyakarta Dalam Film Indonesia 1356 oleh Grace Samboh 31. Menunggu Ayat-Ayat Cinta: Menunggu Keberhasilan Adaptasi? 1368 oleh Homer (Mual Harianja) 32. Mengapa Kita Tak Lagi Membuat Film Superhero? 1377 oleh Ade Irwansyah 33. Idealism Vs. Commercialism In Indonesian Cinema: A Never Ending Battle? 1389 oleh Ekky Imanjaya 34. Sinema Filipina 2009 1434 oleh Eric Sasono 35. Keluargaku, Bangsaku 1442 oleh Eric Sasono 36. Mengenang Yasmin Ahmad: Kenyataan yang Tak Bisa Ditampik 1453 oleh Hikmat Darmawan 37. Sejarah adalah Sekarang 4: Body of Works: Soekarno M. Noor 1456 oleh Tim Redaksi Rumah Film 38. Sepuluh Film Terbaik Nja’ Abbas Akup 1462 oleh Donny Anggoro 39. The Last Decades of Indonesian Films: is it Voiceless? or is it Being Lost in Voicing Indonesia? 1477 oleh Krisnadi Yuliawan 40. Mencatat Film Tahun 2011 1486 oleh Eric Sasono 41. Refleksi Akhir Tahun (2011): Membaca (Sinema) Indonesia dari Banda Aceh 1498 oleh Eric Sasono 42. Catatan Film Indonesia 2011: Pada Mulanya, dan Pada Akhirnya, Proses 1510 oleh Eric Sasono

5 Berburu Shu Qi, Madonna Lari FILMSIANA, DAN LAIN-LAIN

1.

2.

3. 4. 5.

6.

7. 8.

9. 10.

11. 12. 13.

Pilih Siapa Gubernur DKI: Sophan atau Asmuni? 1527 oleh Ekky Imanjaya Film Fantasi dan Fiksi Ilmiah Indonesia: Adakah? 1530 oleh Donny Anggoro Istirahat = 3 Film 1536 oleh Asmayani Kusrini Mengaji Dunia Film 1538 oleh Ekky Imanjaya “Porno Had A Real Naked Truth!”: The Minnesota Declaration 1544 oleh Asmayani Kusrini My 2008 Movies Check List: American/ Hollywood Edition 1547 oleh Hikmat Darmawan "Berburu Shu Qi, Madonna Lari" 1551 oleh Ekky Imanjaya IMHO: 10 Film Komik Non-Superhero Terbaik 1556 oleh Hikmat Darmawan IMHO: Film-Film Apokaliptik Terbaik 1564 oleh Hikmat Darmawan IMHO: Psikopat Paling Menakutkan Dalam Sejarah Sinema 1567 oleh Hikmat Darmawan Sosok Ngeri itu Bernama Freddy 1571 oleh Donny Anggoro IMHO: 10 Film Warkop Terbaik 1589 oleh Hikmat Darmawan Ketika Ringgo Tak Lagi Menjerit 1593 oleh Ifan Adriansyah Ismail

14. Candil Seuriues: Komedi Itu Sulit! 1596 oleh Ekky Imanjaya 15. Modernity and Nationality in Vietnamese Cinema: Menampik Stereotipe Menjadi Cermin 1598 oleh Bobby Batara 16. Memulai Tradisi Arsip Visual 1602 oleh Ekky Imanjaya

Tentang Redaktur Rumah Film dan Penyusun 1609 Tentang Kontributor Rumah Film 1613

SINEMA DAN PENGETAHUAN PENGANTAR KOMITE FILM DEWAN KESENIAN JAKARTA

LIMA tahun setelah Lumiére bersaudara memutar Arrivee d’un train en gare a La Ciotat (Arrival of a Train at La Ciotat) di ruang Salon Inden dalam Grand Café, Paris pada 28 Desember 1895, bioskop tiba di Batavia. Tepatnya, di Tanah Abang, dibawa oleh seorang pengusaha bernama Talbot. Sejarah sinema kita rupanya tak terlalu jauh awalnya dari pemutaran berkarcis pertama di dunia medium baru ini. Pada pemutaran di Grand Café itu, orang-orang berlompatan, terguncang, melihat gambar kereta api tiba, bergerak, seolah ke arah mereka. Reaksi ini adalah gambaran betapa pikiran manusia guncang ketika mengalami sesuatu yang belum pernah ada dalam sejarah manusia sebelum penemuan kamera dan proyektor untuk menembakkan gambar bergerak: “gambar hidup”. Tak ada makhluk semacam itu sebelumnya, pikiran manusia saat itu tak bisa memahami segera bahwa yang bergerak di layar itu adalah “imaji”, atau “realitas kedua”. Sedang di Tanah Abang, lima tahun setelah itu, di sebuah bangsal berdinding gedek dan beratap seng yang dipancang di tanah lapang, warga kelas satu (orang Belanda) hingga warga kelas kambing (kaum pribumi) sama-sama terpana oleh sihir gambar

xxii

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

hidup serupa. Film yang diputar adalah dokumenter bisu, bertajuk (jika diterjemah): “Sri Baginda Maharatu Belanda bersama Pangeran Hertog Hendrick memasuki Ibu Kota Belanda, Den Haag”. Adegan yang biasa-biasa saja, jadi terasa luar biasa saat itu. Warga Hindia Belanda melihat Ratu mereka secara “hidup”, di hadapan mereka. Dalam lima tahun antara peristiwa di Grand Café, Paris dengan pemutaran di Tanah Abang, alam pikir manusia sedang belajar konsep “film” atau “sinema”. Para seniman visual pun, bersama para aktor teater dan musisi (selama beberapa dekade pertama sejarah film dunia, medium ini hanya gambar bergerak, dan musik latar mengiringi secara live) harus mencerna lagi bagaimana keahlian mereka tampil berkelindan dengan film. Jika kita melompat lagi ke seputar masa pendudukan Jepang dan masamasa Revolusi hingga tahun-tahun dinamis 1950-an, kita pun ikut nongkrong di daerah Pasar Senen, mengikuti percakapan penuh semangat antara para “seniman Pasar Senen”, antara lain, tentang neorealisme dalam film-film Italia. Percakapan-percakapan malam di Pasar Senen itu, sebagaimana sebagian tercatat dalam buku Keajaiban Pasar Senen karya Misbach Yusa Biran, adalah salah satu bentuk lalulintas percakapan yang membentuk serta menyusun pengetahuan bersama di Indonesia tentang film. Tentu saja, bentuk lain dari lalulintas percakapan atau diskursus tentang film kita adalah berbagai tulisan di media massa tentang film. Usmar Ismail dan Asrul Sani adalah dua pemikir film yang awal, yang kemudian diikuti oleh para pemikir film kemudian seperti D.A. Peransi, D. Djajakusuma, Salim Said, JB. Kristanto, Gotot Prakosa, Marselli, Seno Gumira Ajidarma, dan Garin Nugroho. Tentu ada banyak sekali percakapan tentang film di luar produksi gagasan dari para pemikir film yang tersebut itu—apalagi di zaman blog dan vlog kini.

SINEMA DAN PENGETAHUAN

Percakapan gagasan-gagasan, diskursus, apalagi yang terstruktur dan sistematis, yang bersifat kritis, adalah bagian penting dalam membangun pengetahuan yang semakin maju tentang film dan perfilman. Komite Film DKJ menganggap perlu ada upaya melajukan pengetahuan tentang film dan perfilman di Indonesia. Itulah yang mendasari penyusunan program-program regular Kineforum selama ini. Para pengelola Kineforum percaya bahwa film adalah wahana membangun pengetahuan tentang film dan tentang masyarakat. Program Kineforum pun dirancang untuk mencakup kegiatan pemutaran film yang terkurasi, terbingkai secara tematik, diskusi, dan sebagainya. Film ditonton, dan dibicarakan. Dalam percakapan, ada perjumpaan perspektif, di samping perjumpaan informasi. Baik film-film terpilih yang diputar maupun percakapan tentang film itu bisa jadi wahana pengetahuan tentang estetika, teknik, gaya, konstruksi isi, sistem simbol, juga sistem kepercayaan yang mendasari baik penciptaan maupun pembacaan sebuah karya sinematik. Dalam semangat itulah, kami mencanang program penerbitan enam buku dalam naungan seri penerbitan Wacana Sinema. Keenam buku ini terdiri dari dua buah kumpulan tulisan bersifat ulasan dan esai tentang film, dua buah penelitian tentang komunitas film dan perilaku penonton film Indonesia, sebuah direktori festival film di Indonesia dan di dunia (sebuah edisi revisi), dan sebuah disertasi bersifat teoritik-akademik yang dipertanggungjawabkan di Belanda tentang perfilman Indonesia. Buku Tilas Kritik, Kumpulan Tulisan Rumah Film (20072012) adalah sebuah upaya menanggapi kebutuhan akan kritik dan jurnalisme film yang progresif di Indonesia. Sebagai buku, ia berfungsi sebagai dokumentasi kultural baik tentang film Indonesia dan dunia pada periode itu maupun, terutama, tentang kritik dan jurnalisme film mutakhir. Tanpa dana, atau tepatnya

xxiii

xxiv

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

secara swadana, para redaktur di situs Rumahfilm.org menjelajah khasanah film dunia, festival-festival lokal maupun internasional, maupun menjelajahi bentuk-bentuk serta berbagai pendekatan yang mungkin dalam mengapresiasi film. Situs tersebut telah almarhum, walau saat masih tayang cukup sering jadi rujukan para penyuka, peneliti, atau pembuat film di Indonesia. Menulis tentang film sebagai sebuah kegiatan kultural berbuah kumpulan tulisan yang masih bisa jadi bahan berdialektika tentang film saat ini. Semoga buku ini bisa menciptakan percakapan-percakapan baru, bergairah, dan menyumbang keping-keping pengetahuan lebih maju tentang perfilman Indonesia.

Jakarta, 17 Oktober 2019

Hikmat Darmawan, Ketua Lulu Ratna, Sekretaris Agni Ariatama, Anggota Prima Rusdi, Anggota

Tilas Kritik

Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012

PENGANTAR Asmayani Kusrini

“I’ve seen things you people wouldn’t believe. All those moments will be lost in time.” — Blade Runner, 1982

INTERNATIONAL Film Festival Rotterdam (IFFR) 2007 bagi saya adalah Bahman Ghobadi dan Jafar Panahi. Di festival film pertama yang saya kunjungi itu, saya lupa membawa charger baterai komputer dan terpaksa meminjam dari Bahman Ghobadi. Di festival yang sama, Jafar Panahi mengutak-atik setting kamera yang baru saya beli, dan memberikan kursus kilat bagaimana menggunakan kamera itu tanpa setting otomatis. Pengalaman itu membuat saya mengasosiasikan IFFR 2007 dengan dua sutradara Iran tersebut. Begitu juga dengan sejumlah festival film lainnya. International Documentary Film Festival IDFA 2007 adalah Werner Herzog. IFFR 2008 adalah Bela Tarr, dan Alexandre Sokourov. Cannes 2008 adalah Wim Wenders, dan Charlie Kaufman. Locarno Film Festival 2012 adalah Yosep Anggi Noen. Venice 2008 selalu saya asosiasikan dengan Rodateci I Soldi (“Kembalikan uang kami Award”). Cannes 2009 tidak pernah lepas dari kenangan perut saya yang membengkak karena sedang hamil 7 bulan. Cannes 2012 adalah restorasi film Lewat Djam Malam. Dan seterusnya. Sebagian besar kontribusi saya selama aktif di Rumah Film adalah laporan dari berbagai festival film internasional. Sebagai wartawan, saya menulis laporan dalam bentuk catatan harian layaknya seperti menulis di blog, format yang kala itu cukup populer sebagai wadah menulis seiring dengan jurnalisme warga yang sedang marak di dunia maya. Format ini cukup meringankan

xxviii

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

beban saya sebagai anggota termuda di Rumah Film, berdasarkan umur maupun pengalaman. Kala itu, bekal pengalaman yang saya bawa masuk ke Rumah Film hanyalah berupa sejumlah review film box-office di Majalah Mingguan Gatra. Ketika saya mulai meliput festival film yang mempertontonkan berbagai jenis film di luar zona nyaman film-film box-office yang biasa saya tonton, saya seperti terjun bebas. Dan saya sempat terkena sindrom film-buff baru. Menurut Joko Anwar, sindrom film-buff baru adalah mereka yang merasa diri mereka paling pintar, tapi sebenarnya tidak. Sindrom film-buff ini bisa terlacak dalam beberapa catatan film festival yang terangkum dalam buku ini. Seperti juga kutipan Joko Anwar tentang film-buff baru ini bisa dibaca dalam buku kumpulan tulisan ini. Tapi saya adalah salah satu film-buff baru yang beruntung terjaring dalam lingkaran Rumah Film. Bergaul dengan kritikus film Indonesia dan berada di antara ratusan bahkan ribuan cinephilia setiap tahunnya bukan perkara gampang. Sekaligus menyenangkan. Ada beban untuk mengikuti standar kritikus film yang tergabung dalam Rumah Film, sekaligus juga keinginan untuk menceritakan hal-hal personal berdasarkan referensi pribadi. Maka, satu dekade lalu, catatan-catatan ini pun ditulis di antara keinginan untuk serius sekaligus keinginan bersenangsenang mengamati hal-hal unik dan inspiratif. Ketika ide untuk merangkum tulisan-tulisan ini dalam sebuah buku, pikiran pertama yang terlintas adalah, untuk apa? Apa pentingnya diterbitkan? Dan siapa yang mau membaca? Lalu, saya teringat Christian Nemescu. Festival de Cannes 2007 adalah kunjungan pertama saya ke Cannes. Dan film California Dreamin’ karya Christian Nemescu adalah film Romania pertama yang pernah saya tonton. Film itu sempat dianggap tidak layak seleksi karena belum sepenuhnya rampung. Film tersebut masih dalam proses post-production ketika Nemescu tewas dalam sebuah kecelakaan tragis. Christian Nemescu masih sangat muda.

SINEMA DAN PENGETAHUAN PENGANTAR ASMAYANI KUSRINI

Umurnya baru menginjak 27 tahun ketika itu. Bisa jadi Nemescu juga keberatan film itu dipertontonkan di depan publik sebelum rampung. Tapi film itu akhirnya diputar dan kemudian mendapatkan penghargaan Un Certain Regards di Cannes tahun 2007. Film California Dreamin’ membuat Christian Nemescu tidak akan dilupakan, meski Nemescu tidak pernah hadir. Walaupun nasib Rumah Film tidak setragis Christian Nemescu, situs ini juga mati muda. Karena satu dan lain hal, Rumah Film berhenti aktif 2012, tahun yang sama ketika Festival Film Cannes memberikan kartu merah muda kepada situs RF. Tahun itu, Rumah Film satu dari sedikit situs film online yang naik pangkat masuk dalam level kartu merah muda, setara dengan situs RogerEbert.com tanpa Roger Ebert. Ebert pribadi selalu mendapat kartu putih, pertanda kelas kritikus tingkat dewa di Festival film Cannes. Lalu, saat membuka kembali arsip-arsip foto Rumah Film, saya juga menyadari, banyak perubahan yang terjadi sejak tahun 2007. Sudah banyak film Indonesia yang hilir mudik di lingkaran festival film internasional. Yosep Anggi Noen sudah dua kali diundang ke Locarno Film Festival. Mouly Surya yang pada tahun 2012 masih mencari dana di Cannes untuk film panjangnya, sudah kembali ke kota itu untuk mempertontonkan Marlina The Murderer in Four Acts. Sejumlah film Indonesia masuk seleksi di festival-festival film internasional lainnya. Hal yang saat itu masih sangat jarang terjadi ketika Rumah Film pertama kali aktif di dunia maya. Selain itu, yang paling terasa adalah orang-orang film yang saya jumpai dan kemudian pergi di periode 2007 – 2012. Agnes Varda, Dennis Hopper, Alain Resnais, Philip Seymour Hoffman, Alexis Tioseco, Nika Bohinc, Pierre Rissient, Ukus Kuswara. Akhirnya pertanyaan saya, untuk apa? Apa pentingnya diterbitkan? Dan siapa yang mau membaca? Tidak lagi relevan. Kumpulan catatan, tulisan, review dan essay dari anggota Rumah

xxix

xxx

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

Film ini adalah sebuah masa dalam lini waktu. Setiap masa yang mewujud, selalu bisa melengkapi apa yang mungkin dilupakan. Buku kumpulan tulisan Rumah Film ini bisa jadi semacam California Dreamin’-nya Christian Nemescu. Rumah Film mungkin sudah tidak ada, dan buku ini adalah warisan yang ditinggalkannya.

Asmayani Kusrini adalah wartawan dan redaktur Rumah Film.

PENGANTAR Ekky Imanjaya

Dua Warisan Rumah Film

BISA dibilang, Rumah Film (RF) adalah rumah yang nyaman dan menyenangkan bagi saya. Khususnya bagi ide-ide saya, keterampilan menulis, dan akses. Di sanalah segala kegelisahan dan segala bentuk pemikiran hingga lamunan banyak tertumpahkan, di sela-sela gelak tawa dan obrolan gayeng ringan yang acap sama pentingnya dengan rapat redaksi atau rapat resmi lainnya. Secara intelektual, dan juga spiritual, saya tumbuh dan dimatangkan oleh lingkaran Rumah Film. Diskusi internal RF adalah salah satu yang paling saya kangeni. Kebanyakan sampirannya: trivia, remeh temeh, gak penting tapi penting, dan bergizi! Tak jarang, justru dari hal-hal yang terkesan sepele ini terlontar banyak ide-ide bagus, yang kemudian diasah bersama-sama. Tidak hanya ide, tapi kemahiran menulis pun ditempa oleh para redaktur yang semuanya adalah sama-sama pencinta film kelas berat: Eric Sasono, Hikmat Darmawan, Krisnadi Yuliawan, saya, Asmayani Kusrini di Belgia, dan kemudian Ifan Ismail bergabung pula. (Oh iya, Coky selaku webmaster juga patut disebut). Tak jarang, obrolan yang biasanya ngalor ngidul dan hingga larut malam atau malah hingga menjelang subuh itu—sebagian masa di rumah Eric—dimulai dengan melempar pertanyaan: “mengapa film ini penting”, atau berlomba membuat daftar trivia tertentu. Rumah Film membawa saya ke hal-hal yang tak saya bayangkan sebelumnya, dan memberikan banyak privilege bagi

xxxii

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

saya, yang mesti dikembalikan kepada stakeholder film Indonesia, yaitu seluruh lapisan masyarakat. Pertama tentu adalah, sekali lagi, pengalaman intelektual dan spiritual, saling berbagi dengan para redaktur yang sepertinya tak pernah kehabisan ide dan energi. Ilmu dan kemahiran menulis saya bertambah. Kualitas menulis pun akhirnya menjadi standar tersendiri: standar RF. Standar ini begitu tinggi hingga saya pun kadang perlu bekerja lebih keras untuk mencapai batas minimumnya. Tapi semua dilakukan dengan penuh cinta, karena subyek yang dicintai dan para sahabat yang gayeng. Namun, seiring dengan matinya situs RF, saya kesulitan mengakses tulisan-tulisan di RF untuk kebutuhan sitasi atau sekadar menapaktilasi tulisan di RF demi memperkaya tulisan dan wawasan. Belakangan muncul Wayback Machine, tapi tidak terlalu praktis. Keluhan serupa dilontarkan juga oleh beberapa akademisi, jurnalis, dan kritikus film. Karena itulah, kehadiran buku ini begitu penting. Dalam konteks ini, RF mengisi kelangkaan kritik film di Indonesia, dan bagi saya sekarang menjadi makin penting karena kritik dan kajian/penelitian film, termasuk lintas disiplin ilmu, kian marak belakangan ini. Apalagi kontennya tidak sekadar ulasan dan esai, tapi merambah ke laporan festival film, trivia, dan daftar film penting, serta wawancara penting sutradara kelas A (yang sebagian besar diwawancarai oleh rekan saya Rini). Kedua, sebagai redaktur RF, saya (serta para redaktur RF lainnya, tentunya) punya keistimewaan untuk mendapatkan akses ke ajang bergengsi ke berbagai festival film dan bertemu dengan banyak sineas dalam dan luar negeri. Pengalaman wawancara pertama saya selaku anak RF adalah di Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2007, bersama Krisnadi Yuliawan, beberapa saat sebelum saya berangkat ke Amsterdam untuk Studi Kajian Film. Tepatnya: Krisnadi yang lebih banyak bertanya kepada

DUA WARISAN RUMAH FILM PENGANTAR EKKY IMANJAYA

narasumber saat itu, sutradara Malaysia Ho Yuhang. Saya, yang baru saja menonton Gubra di Kuala Lumpur, tak sempat bertemu dengan Yasmin Ahmad sang sutradarinya, yang di ajang itu menyabet Silver Hanoman. Sesaat sebelum saya berangkat ke Belanda, saya kontak Kak Yasmin, karena berniat akan transit beberapa hari di Kuala Lumpur untuk menengok si jantung hati. Eh ndilalah, Kak Min membalas, dan jadilah saya bertemu dengan sineas favorit saya itu, bahkan menjadi penonton pertama pemutaran terbatas film Mualaf, yang baru akan diputar untuk publik beberapa tahun kemudian. Dari sini, saya menjadi teman Yasmin, ketemu di Berlinalie 2008, dan sempat kontak-kontakan saat saya transit di Malaysia lagi, 2008. Bayangkan: saya berteman dengan sutradara kesayangan saya. Dan mungkin saya yang pertama kali dari Indonesia yang berhasil mewawancarainya. Dan tentu saja, perjalanan saya ke luar negeri ini membuat saya bertemu dengan banyak orang, yang kebanyakan membuat saya terdiam alias starstruck. Dengan sineas dalam negeri juga tak berbeda. Kenal dengan Mas Garin membuat saya bisa nongkrong di tempat khusus juri dan sineas yang terseleksi di kategori Forum di Berlinale 2008, mengingat Mas Garin adalah ketua jurinya. Maka saya bertemu banyak orang di sana secara personal, termasuk sineas Asia Tenggara (dari Tan Pin Pin dan Lew Seng Tat, hingga Majid Majidi dari Iran). Dan saya menjadi saksi yang bangga saat mas Garin diwawancara oleh majalah sekelas Cahiers du Cinema di sana. Dalam konteks ini, saya merasakan betapa posisi kritikus film, yang selama ini acap dianggap sebelah mata, bisa juga menjadi terhormat dan cukup diperhitungkan. Saya melihat posisi para redaktur RF boleh dibilang menjadi sparring partner bagi para sineas dalam negeri dan membuka akses bagi percakapan

xxxiii

xxxiv

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

dengan para sineas luar negeri yang bahkan saya sendiri pun baru mengenal sebagian dari mereka lewat RF. Tak hanya lingkar perfilman saja, tapi juga merambah ke bidang lain. Saat saya kembali ke tanah air, setelah setahun studi di Belanda, saya yang saat itu baru mengulik Efek Rumah Kaca setelah Hikmat mengutip liriknya untuk salah satu tulisannya di RF, bersemangat ingin hadir ke peluncuran album kedua ERK, di Toko Buku Aksara di Kemang. Dan saya pun memberanikan diri untuk berkenalan dengan mereka. Tak disangka, Cholil Mahmud, sang penyanyi dan gitaris band ini, membalas dengan sapaan: “Ekky? Ekky Rumah Film, ya?”. Rupanya dia salah satu pembaca RF. Sebuah kejutan yang menyenangkan. Dengan dua privilege ini, dua warisan RF—yaitu (1) segudang produk tertulis para redakturnya yang lahir karena ruang guyub untuk mengasah ide dan menyemir tulisan serta (2) posisi dan akses yang tak semua kritikus dan jurnalis miliki, khususnya kala itu—tak selayaknya terkubur hanya karena situs RF sudah tidak ada lagi (walau masih ada jejak-jejak digitalnya di internet). Dan sebuah berita gembira jika warisan ini diterbitkan dalam bentuk buku.

Ekky Imanjaya adalah redaktur Rumah Film.

PENGANTAR Eric Sasono

Artefak dan Nostalgia

USIA tulisan-tulisan ini belum terlalu lama, sekitar 10 tahun atau kurang. Namun saya melihatnya kini seperti artefak. Sebagaimana artefak, tulisan-tulisan ini punya nilai historis, yang jika dibaca sekarang terasa bahwa ide yang ada di baliknya sudah usang dan perlu ditinjau ulang. Namun artefak biasanya juga punya nilai budaya, ia lahir dari sebuah lingkungan, lahir sebagai tanggapan dari apa yang sedang terjadi pada waktu itu. Saya ingin mengantarkan tulisan-tulisan saya di kumpulan ini lewat salah satu artefak yang paling berkesan bagi saya pribadi. Artefak itu adalah percakapan saya dengan Joko Anwar dan Edwin. Diterbitkan dalam delapan bagian, percakapan itu membahas banyak sekali hal, mulai dari pilihan estetika, keadaan industri, soal penonton hingga ke posisi-posisi kami sebagai pembuat film dan kritikus. Ketika percakapan itu terjadi—di kedai kopi Tornado di Kemang, Jakarta tahun 2008—Joko Anwar baru menyelesaikan dua film ketika itu: Janji Joni (2005) dan Kala (2007). Ia juga menulis skenario Arisan (2003) yang disutradarai Nia Dinata. Edwin baru menyelesaikan film panjang pertamanya, Babibuta Yang Ingin Terbang (2008), sesudah terlebih dahulu membuat film-film pendek yang mengesankan bagi banyak orang, khususnya saya, seperti A Very Slow Breakfast (2003), Dajang Soembi, Perempoean jang Dikawini Andjing (2004), dan Kara Anak Sebatang Pohon (2005).

xxxvi

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

Saat itu keduanya seperti mewakili dua kutub berbeda. Joko Anwar—seperti dalam pernyataannya di percakapan itu—ingin membuat penonton Indonesia going gaga, tergila-gila pada film Indonesia, tepatnya pada film yang ia buat. Edwin sendiri saat itu membuat film karena merasakan adanya dorongan yang amat kuat dari dalam dirinya, terkait identitas bahkan keberadaannya di dunia—sebuah dorongan eksistensialis. Keduanya beredar dalam lingkaran yang relatif berbeda. Joko Anwar di bioskop-bioskop utama dan film-film genre, sementara Edwin di jaringan bioskop independen (yang saat itu tidak banyak), jaringan komunitas film dan festival film internasional. Percakapan itu begitu mencerahkan bagi saya saat itu. Kami seperti sedang menghadapi interogasi tentang peran-peran yang seharusnya kami lakukan di tengah industri film Indonesia yang baru merangkak. Saat itu jumlah layar bioskop kita sekitar 600-an, dengan jumlah produksi di bawah 100 film dan didominasi oleh judul film yang mengandung kata pocong, hantu dan kuntilanak (saya sempat melakukan penghitungan di tahun 2009). Saat itu Edwin ragu apakah ia akan pernah bisa membuat film keduanya, sementara Joko Anwar yakin sekali satu saat ia bisa membuat orang Indonesia tergila-gila pada film yang ia buat. Percakapan tiga arah ini dipenuhi oleh rasa ingin tahu sebuah generasi yang baru, yang ketika itu sedang mencoba untuk mendefinisikan lingkungan yang sedang kami hadapi. Setelah mengalami jumlah produksi terendah tahun 1998 (lima film), film Indonesia baru lagi bermunculan dan mendominasi bioskop secara sporadis. Para pembuat film masih berjuang mendapatkan layar, harus membuktikan diri terus menerus kepada penonton yang umumnya berada di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Lebih dari sepuluh tahun kemudian, apakah situasi sudah berubah? Kini keadaan berbeda. Setidaknya ada 3 lembaga pemerintah (atau semi pemerintah) yang mengurusi film: Badan

ARTEFAK DAN NOSTALGIA PENGANTAR ERIC SASONO

Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Pusbang Film Kemendikbud, dan Badan Perfilman Indonesia (yang diamanatkan UU Film 2009). Layar bioskop juga sudah nyaris 2000 jumlahnya, tersebar hingga ke kota-kota kabupaten, sekalipun masih sekitar 69% berada di kota. Penonton film Indonesia sudah tembus angka 6 jutaan, dengan jumlah produksi sudah di atas 150 judul per tahun. Produser dan sutradara sudah teriak-teriak kekurangan tenaga trampil di bidang kreatif seperti penulis skenario, editor, dan penata suara. Kami bertiga juga sudah berubah. Joko Anwar sudah berhasil membuat Pengabdi Setan, yang menjadi film terlaris tahun 2017. Ia juga mengadaptasi kisah komik Gundala, yang sempat saya pikir membuat penonton Indonesia going gaga. Edwin dengan amat trampil membuat Posesif (2017) dan Aruna dan Lidahnya (2019) yang tak lagi berurusan dengan eksistensinya sebagai pembuat film, apalagi sebagai manusia. Saya sendiri sudah menyelesaikan pendidikan doktoral saya di King’s College London di bidang kajian film. Sempat tercetus rencana mengulang percakapan ini di tahun 2018 ketika saya sedang di Indonesia. Meninjau kembali apa yang kami perbincangkan sepuluh tahun lalu dan melihat apa yang kami anggap masih sama dan sudah berubah. Sayang rencana itu tidak terlaksana—mungkin di lain kesempatan—sehingga kami tak bisa meninjau lagi pokok-pokok pikiran kami tahun 2008 itu. Tapi kesempatan meninjau ulang semacam itu selalu ada, dan ini bukan sekadar nostalgia. Untuk itulah maka tulisan-tulisan yang pernah terbit di Rumah Film itu terasa penting untuk diterbitkan kini. Eric Sasono seorang kritikus film, memperoleh gelar PhD dalam film studies di King’s College London, salah satu pendiri Indonesian Film yang berbasis di London, Inggris. Ia salah seorang redaktur Rumah Film.

xxxvii

PENGANTAR Ifan Adriansyah Ismail

SEJARAH perjumpaan saya dengan Rumah Film barangkali bisa jadi sebuah bukti keras, bahwa penentu jalan hidup saya yang utama bukanlah kemampuan, keahlian, kebisaan atau apalah lainnya, yang mungkin biasa disombongkan. Tapi keberuntungan. Saya beruntung bisa tercebur dalam lingkaran pertemanan kecil ini—yang semuanya yang berdomisili di Jakarta adalah teman satu almamater kecuali saya, dan semuanya tim Jakarta itu ada dalam satu range usia tertentu, kecuali saya (ampun, Bang!)— dan belajar banyak hal sekaligus tentang film. Tanpa institusi kritik dan kajian atasnya, skena kreatif selalu dalam bahaya terbenam dalam energinya sendiri, lalu mabuk olehnya, dan kehilangan arah. Di negeri ini, di mana kritik masih sering dianggap sebagai “menyerang”, tidak mudah untuk mengusulkan peran kritik seperti yang sepatutnya. Atmosfer “baper” (bawa perasaan) dan tersinggung masih kental terasa setiap kali ada kritik yang diajukan. Masih jamak orang terperangkap dalam persepsi bahwa “kritik tanpa solusi” itu pantas diabaikan, atau kalau perlu, lebih baik dipadamkan. Dengan logika itu, lewat sebuah analogi usang, maka saya tak akan boleh protes jika nasi goreng yang saya pesan ternyata rasanya berantakan. Saya harus bisa bikin nasi goreng sendiri. Pelajaran kedua, masih sangat terkait dengan yang pertama, adalah bagaimana memberikan kritik dengan sehat. Sama-sama

DAN NOSTALGIA PENGANTAR ARTEFAK IFAN ADRIANSYAH ISMAIL

terjebak dalam pola pikir “kritik sebagai serangan” tadi, terlalu mudah juga kritikus terperangkap waham “merasa lebih pintar” ketika mengkritik. Ketika racun pikiran macam itu sudah tumbuh, sangat umum kritikus jadinya hanya mencari-cari kesalahan karya kreatif. Kalau sudah begitu, sama saja buruknya dengan kreator yang mudah panas telinga dan baper ketika dikritik. Di Rumah Film, saya belajar mengkonstruksi dasar teori, menguatkan logika, menyusun irama tulisan dan sebagainya demi menyajikan gambaran yang komprehensif dalam kritik film. Mengutip tokoh Anton Ego dalam film Ratatouille—sebuah gambaran jitu profesi kritikus—yaitu bahwa peran kritikus adalah “menyajikan perspektif”. Pelajaran ketiga, saya—anehnya—justru merasa makin mantap berdiri di dua skena, yaitu kreatif dan kritik. Ya, posisi saya mungkin memang “pengkhianat” di kedua skena ini. Sebelum mengenal Rumah Film, saya sudah tergabung dalam produksi acara komedi di televisi. Jujur saja, saya merasa klop dengan ilmu yang saya pelajari di Rumah Film justru karena posisi itu. Kegelisahan saya bermula dari melihat betapa terbenamnya para pelaku kreatif dalam arus produksi, dalam energi yang mungkin tak sepenuhnya kreatif, serta tuntutan ini itu. Tak pernah ada yang sempat bertanya, akan dibawa ke mana karya ini? Akan jadi apa? Apa dampaknya? Mungkin sebagai bagian dari gejala kelelahan dalam industri kreatif yang tak sudi bertanya, lebih mudah bagi sementara pelakunya untuk menampik begitu saja kritik yang dialamatkan ke karya mereka. Mungkin juga sebagai bagian dari kemalasan, saya ketemu saja waktu dan momen untuk bertanya-tanya seperti itu. Apakah itu kemalasan yang berujung manfaat, wallahu’alam, deh. Dengan risiko terdengar sombong, saya percaya bahwa Rumah Film telah berusaha menyumbangkan, meskipun hanya sekian tetes, bahan lain dalam adonan resep skena perfilman kita. Sebuah upaya untuk—kalau tidak mau dianggap sekadar

xxxix

xl

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

mengkritik—menemani dan memetakan jalannya skena perfilman. Barangkali sebagai evolusi lebih lanjut dari perjumpaan saya dengan Rumah Film, hingga kini pun saya masih berdiri di dua kaki yang berbeda itu. Selain menulis untuk film layar lebar, saya masih terus menjajagi profesi programmer film untuk pemutaran alternatif. Kini setelah Rumah Film menjadi sunyi semenjak para anggotanya punya kesibukan dan cita-cita masing-masing, menjadi penting untuk mengarsipkan tulisan-tulisan di dalamnya—mulai dari kritik, kajian, wawancara hingga yang suka-suka—sebagai rekaman semasa. Bahwa pernah ada film A yang dianggap penting di masa itu, dengan alasan ini itu. Bahwa pernah ada polemik seputar film, yang mungkin bisa menyumbang kronika sejarah berikut pemikiran yang menyertainya. Bahwa, meskipun—atau mungkin justru karena— semangat bersenang-senang dan cinta film, kami pernah menyuarakan sekelumit harapan dan doa bagi film kita. Bicara soal keberuntungan, tampaknya yang namanya harapan tetap harus dihidupkan. Rumah Film mungkin saja hiatus, mungkin bahkan mati suri. Tapi yang jelas, jangan dikubur dulu. Jika ternyata masih hidup, ‘kan bisa berabe nanti. Cibinong, 10 November 2019

NB: seandainya saya lebih rajin sekian hari menuliskan pengantar ini, ‘kan bisa dengan sombongnya mencantumkan “Sydney” di penutup di atas. Nasib pemalas, memang.

Ifan Adriansyah Ismail adalah seorang penulis skenario dan salah seorang redaktur Rumah Film.

PENGANTAR Hikmat Darmawan

MEMBACA ulang tulisan-tulisan di situs yang telah mati, almarhum Rumahfilm.org, saya merasakan bukan hanya sebuah nostalgia yang menggigit, tapi sebuah perasaan takjub betapa bisa enam orang nyaris tanpa dana melahirkan sebuah media untuk mengulas, dan mengkaji dunia film internasional secara amat serius dan dedikatif. Percaya atau tidak, ini bukan semata ungkapan sentimentil. Rumahfilm.org pertama kali tayang pada 2007, bermula dari kegelisahan kami (Ekky, Eric, Rini, Kris, dan saya) atas betapa terbatasnya ruang bagi tulisan-tulisan serius atau jurnalisme mendalam tentang film di Indonesia. Rini yang saat itu tinggal di Brussels, dan banyak mengunjungi festival film terkemuka di Eropa punya banyak sekali bahan hasil wawancara dan menonton film-film “aneh” di festival-festival itu. Eric, satu dua kali dimuat di suplemen seni & budaya Kompas, esai panjangnya mengulas film Indonesia. Tapi, redaksi media nasional kita umumnya memandang film sebagai jatah rubrik hiburan, bukan produk kultural yang perlu diulas mendalam dari segi gagasan maupun nilai seninya. Akibatnya, tulisan-tulisan Eric itu jadi semacam perkecualian, tapi tak banyak ruang tersedia bagi tulisan “serius” seperti itu di koran atau majalah. Sementara, Eric sedang banyak ide, dan eksplorasi, tentang medium film ini.  Ekky lebih terlatih dalam kerja jurnalistik dan mampu menyesuaikan tulisan-tulisan filmnya dengan ruang yang tersedia

xlii

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

di media massa cetak maupun daring. Tapi, hasratnya menggebu, apalagi dia sedang mulai proses dan akhirnya pergi ke Belanda, untuk mendalami studi film. Jadi, sama saja, ruang-ruang di media massa tak terasa cukup. Saya sendiri cukup sering menulis tentang film sebagai masalah kultural untuk media massa pada 1990-an. Pada awal 2000-an, saya agak jemu dengan topik film, dan mulai (lebih) bergairah meneliti komik.  Ketika akhirnya kami berkumpul (Rini dari jauh) dan bersepakat untuk bikin wahana sendiri, situs tempat kami bisa “bermain” dengan bebas mengulas dan memproduksi gagasan seputar film, kami memutuskan untuk memulai semua dengan modal dengkul. Jaman sekarang sih, istilahnya: kerelawanan. Kris segera mengajak Coky untuk membantu segi desain website, dan Coky membantu karena percaya media serius untuk film memang perlu di Indonesia.  MEMBACA ulang arsip tulisan-tulisan di Rumahfilm.org, saya menemukan liputan-liputan serta berbagai wawancara yang terasa mewah. Pertama, kami (khususnya Rini, Ekky, dan Eric) mampu mengakses festival-festival seperti Cannes, Berlinale, Rotterdam, Venesia, Junjon, dsb. Ada wawancara dengan sineas dunia dan nasional seperti Werner Herzog, Bela Tarr, dan sebagainya. Kedua, berbagai liputan dan wawancara tersebut kami lakukan secara mendalam, dan ditampilkan di media kami tanpa kerisauan akan terbatasnya ruang atau kepentingan komersial apapun. Eric mengadakan dialog yang “ngalor ngidul tapi terstruktur” tiga pihak dengan Joko Anwar dan Edwin yang ia anggap representasi sineas cemerlang dari generasi muda sineas garda depan Indonesia. Wawancara terbit di Rumahfilm.org dalam delapan bagian. Ada yang menarik juga. Rini mewawancara Marjane Satrapi, penulis dan penggambar novel grafis Persepolis yang saat itu baru saja membuat dan meluncurkan versi animasi Persepolis. Wawancara itu dimuat Rumah Film—kami semua, redaksi di

ARTEFAK DANDARMAWAN NOSTALGIA PENGANTAR HIKMAT

Rumah Film, girang atas wawancara itu. Sebetulnya, itu adalah salah satu dari banyak materi yang dibuat Rini sebagai koresponden Tempo. Tapi, Tempo mulanya tidak ngeh apa pentingnya Satraapi. Kami di Rumahfilm.org rata-rata tahu, makanya kami girang atas wawancara itu. Barulah setelah pers dunia menyambut Persepolis dan Satraapi dengan gempita, Tempo ingin memuat wawancara Rini itu. Kami lantas mensyaratkan agar Tempo menyebut bahwa wawancara itu pertama kali dimuat di situs Rumahfilm.org. Saya kira, itu pertama kalinya dalam sejarah media di Indonesia, media cetak nasional yang terhormat memuat ulang konten lengkap sebuah situs independen. “INDEPENDEN” memang kata yang tepat bagi Rumah Film. Di samping swadana, kami juga menerapkan etos dan etika menulis yang tak mau terikat pada kepentingan-kepentingan komersial dalam perfilman Indonesia dan dunia. Kami juga sangat berminat pada gagasan-gagasan sinematik yang serba menjelajah, walau tak keberatan menulis film-film komersial yang buruk sekalipun – asalkan tunduk pada asas mengulas gagasan secara kritis dan bukan jadi alat promosi sang film.  Mengapa film buruk kami ulas juga? Salah satu sebabnya, sebagai wahana menerapkan penalaran kritis. Ada pameo di antara kami: “film buruk, kritiknya tetap bisa jadi kritik bagus”. Lagipula, kritik film bagi kami bukan soal film “bagus” atau “jelek”. Kami berupaya tidak berangkat dari selera, tapi dari pemahaman bahwa film adalah produk budaya. Walau toh kami pasti menempatkan selera kami sebagai salah satu picu bagi lahirnya tulisan-tulisan kritik kami, kami menulis untuk membaca secara—katakanlah (ini memang kata problematik) “objektif”. Karena asas itu pula, yang salah satu konsekuensinya adalah kami sangat menganggap penting seni menulis, kami mengajak Ifan Adriansyah Ismail, penulis muda yang saya kenal di dunia

xliii

xliv

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

komik (dia saat itu tertarik menulis cerita dan menggambar komik) jadi salah satu redaktur. Redaktur pendiri, semua kepincut kenakalan eksploratif Ifan dalam mengulas film di akun multiply. com-nya.  KETIKA dikumpulkan sebagai buku, perlu ada penstrukturan. Saya membagi tulisan-tulisan di Rumah Film menjadi lima bab: bab kumpulan ulasan/kritik film, bab kumpulan laporan jurnalistik festival-festival, bab kumpulan wawancara, bab kumpulan esai/artikel film, dan bab serba-serbi dunia film yang dulu antara lain kami namai sebagai rubrik “Filmsiana”.  Saat terkumpul semua, termasuk tulisan-tulisan para kontributor luar yang kami anggap istimewa (sebutkan), baru terlihat: tebal sekali! Jadinya, kumpulan ini terasa sebagai sebuah monumen.  Saya tak keberatan dengan rasa “monumen” dari buku ini. Agaknya monumen seperti ini terasa perlu, di tengah meruaknya kembali komentar tentang perlunya kritik film yang kuat bagi perfilman Indonesia saat ini.

11 November 2019, Jakarta-Hongkong

Hikmat Darmawan adalah seorang penulis dan redaktur Rumah Film.

PENGANTAR Krisnadi Yuliawan Saptadi

Menulis dan menonton, dua kata yang lalu menjelma Rumah MUNGKIN itu bisa menggambarkan dengan sederhana, bagaimana pengalaman membangun dan menekuni Rumahfilm.org, situs kritik film yang jejaknya dicatat dalam buku ini, tercatat dalam diri saya. Menulis adalah energi yang begitu kuat dimiliki temanteman yang bergabung dalam Rumahfilm.org. Eric Sasono dan Hikmat Darmawan, dua teman yang sudah saya kenal sejak berkuliah di Universitas Indonesia, adalah penulis yang asyik. Sejak muda mereka terlihat menekuni ‘jalan pedang’ menulis ini. Saya melihat jelas upaya tak putus untuk menyempurnakan kemampuan dan ketrampilan menulis mereka. Ekky Imanjaya yang sedikit lebih muda dari Hikmat dan Eric, juga menyimpan energi menulis serupa. Ekky menulis dengan sangat produktif, dalam segala medium dan jenis tulisan. Energi menulisnya, bahkan kerap mengalahkan semangat bermusik dan melawak, yang barangkali sebenarnya lebih kuat ada dalam DNA-nya. Dua rekan lain di Rumahfilm.org, yang secara usia lebih muda lagi: Asmayani Kusrini dan Ifan Adriansyah Ismail juga sosok yang mencintai kegiatan tulis menulis dengan sangat. Rini, saya kenal sejak ia menjadi reporter magang di majalah mingguan berita tempat saya bekerja sebagai redaktur. Bahkan sejak masih menjadi reporter magang itu, energinya terlihat menonjol. Saat beberapa calon reporter melihat penugasan tambahan sebagai beban ketika lelah menerjang, Rini justru seperti melihat

xlvi

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

penugasan sebagai infus vitamin. Ia juga penulis yang belajar dengan cepat. Tak mengherankan jika liputan-liputan festivalnya, menjadi tulisan yang ditunggu-tunggu pembaca situs Rumahfilm. org. Ifan, yang paling akhir bergabung dalam Rumahfilm.org, juga penulis dengan suara personal yang unik. Saya ingat, saat membicarakan kemungkinan mengajak Ifan bergabung, salah satu guyonan yang muncul di antara kami adalah, “Enakan Ifan ada di sini, daripada dia jadi saingan di tempat lain.” Hahaha.. Tapi, menonton film barangkali mengikat kami lebih dari menulis. Semua kawan Rumahfilm.org adalah pencinta medium ini (film). Film jelas menyihir kami semua. Kalau sempat melihat dan hadir di tengah rapat-rapat Rumahfilm.org barangkali siapapun tak akan habis pikir bagaimana bisa sekumpulan manusia ini tak berhenti menemukan tema-tema percakapan, yang lalu dibahas dengan energi tak putus, melulu mengenai film. Kami tak sekadar ingin menulis film, kami ini penggila. Kegemaran menonton juga membawa Coky Ali Fauzi (nama yang tak boleh lupa disebut jika melihat sejarah berdirinya Rumahfilm.org) bersedia membantu membangun website ini dari nol. Coky, yang juga menggemari film sepakat bahwa film Indonesia, tak hanya membutuhkan filmmaker yang bagus, tapi juga membutuhkan percakapan dan kritik yang tak kalah bagus. Maka Coky, yang saat itu mengajar di Jurusan Komunikasi FISIPUniversitas Indonesia pun bersedia membangun web Rumahfilm. org, dengan segala permintaan dan kecerewetan yang menyertainya. Saat Rumahfilm.org sudah berjalan, Coky juga menjadi salah satu pembaca situs yang sangat kritis, yang dengan cepat menemukan kesalahan dan rajin menyampaikannya secara personal. Pada awalnya, Rumahfilm.org lahir dari obrolan risau karena banyak media tak menulis dengan serius soal-soal film. Yang ada hanya panduan menonton, itupun sering ditulis dengan

MENULIS DAN MENONTON,PENGANTAR DUA KATA YANG LALUYULIAWAN MENJELMA RUMAH KRISNADI PENGANTAR SAPTADI

ceroboh. Di masa Rumahfilm.org lahir, film Indonesia juga sedang mengalami pertumbuhan baru, namun juga menghadapi fakta tak tersedianya kritik yang ditulis dengan serius, yang bisa menjadi sparring-partner bagi para filmmaker-nya.  Saya yang baru kembali dari perjalanan riset film ke Jepang, juga iri melihat bagaimana database dan percakapan film di negeri itu terbangun, dan memimpikan Rumahfilm.org bisa menyumbangkan hal yang sama di negeri ini. Tapi, itu tadi adalah versi serius dari berdirinya Rumahfilm. org. Versi yang mungkin lebih benar adalah, saat itu kami semua ingin punya rumah yang bisa mewadahi kesenangan menulis dan menonton kami. Sesuatu yang bisa asyik-asyik kami atur sendiri. Dan ternyata, saat di permukaan yang terlihat adalah lahirnya sebuah situs web yang rajin menelurkan tulisan review, dan kritik soal perfilman, di dalamnya yang sebenarnya berlangsung adalah bertumbuhnya sebuah rumah yang mewadahi kegilaan dan ketidaksempurnaan mereka yang memilih bergabung di dalamnya. Proses menulis dan menerbitkan artikel di Rumahfilm.org memang jadi agenda yang membungkus perjalanan kegiatan Rumahfilm.org, tapi proses percakapan dan diskusi yang berlangsung bahkan sebelum ide masing-masing artikel itu lahir, adalah fondasi yang juga menjadi tulangpunggung situs web ini. Percakapan intens, sedikit gila ini juga tak selalu berlangsung dalam pertemuan tatap muka, tapi juga bisa berbalas dalam pertukaran ratusan email diantara kami semua. Proses intens ini menyebabkan saya, yang tak banyak menulis di Rumahfilm.org, bisa merasa terlibat dalam setiap artikel, ulasan, laporan festival maupun wawancara yang kemudian muncul di situs. Pergaulan ide dan guyonan yang intens ini juga menyebabkan hampir semua tulisan dalam Rumahfilm.org saya percaya lahir dari cinta yang keras kepala terhadap film dan segala

xlvii

xlviii

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

masalahnya. Besar harapan saya, buku ini, yang mendokumentasikan hampir semua tulisan yang muncul di situs Rumahfilm.org, bisa menangkap kecintaan itu.

Krisnadi Yuliawan Saptadi adalah seorang penulis dan redaktur Rumah Film.

PENGANTAR Cholil Mahmud

SIAPAKAH yang dirugikan dengan matinya Rumah Film (RF)? Saya. Mungkin kita. Pepatah bilang, “kita tidak menyadari apa yang kita miliki sampai saat kita kehilangannya. Atau lebih tepatnya, kita tahu yang kita punya namun tidak pernah berpikir bahwa kita akan kehilangannya.” Seingat saya, sejak tahun 2007-an hingga 2012, kegiatan membaca tulisan-tulisan di Rumah Film adalah rutinitas pemutakhiran skena budaya pop bersamaan dengan kegiatan membalas surat elektronik, membaca berita musik di laman digital dan aktivitas media sosial lainnya, sambil secara perlahan mengikis tumpukan pekerjaan. Saya cenderung taken for granted bahwa seluruh aktivitas yang saya lakukan dan nikmati tersebut, termasuk membaca tulisan di Rumah Film, memang sudah bagian dari kehidupan sehari-hari saya yang mesti terpenuhi, sampai ketika ia menghilang dari kehidupan saya. Saat itulah pepatah di atas melayangkan upper cut ke saya. Telak, tanpa bisa mengelak. Seperti layaknya orang yang kecopetan atau kehilangan dompet, kita akan segera mengurus semua barang yang hilang seperti kartu identitas, serta sesegera mungkin memblokir buku tabungan dan kartu kredit , agar semua yang kita miliki kembali seperti semula. Namun, kalau sedang tidak beruntung, ada saja

l

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

hal-hal yang tidak bisa kembali, entah uang di dalamnya lenyap lah, atau kartu kredit yang terlanjur dibobol lah. Apes. Konsistensi Rumah Film, bersama Cinema Poetica dan filmindonesia.or.id, dalam melakukan kritik dan memaparkan pencapaian-pencapaian dan kegagalan-kegagagalan dari sebuah karya film, membuat saya, dan mungkin juga banyak orang lainnya, belajar banyak dan bergantung padanya. Sehingga, ketika Rumah Film menghilang, saya berusaha mencari pengganti yang sepadan. Setelah mengais-ais ke berbagai situs dan tidak menemukan penggantinya, saya biarkan saja lobang itu menganga. Tumpukan deadline meninabobokan saya. Permasalahannya, kejadian hilangnya rujukan-rujukan budaya pop dalam tingkat lokal dan nasional selalu saja terjadi. Sesekali memang ada rujukan baru yang memuaskan hati, namun tak banyak, rata-rata medioker. Saya khawatir dengan apa yang dikatakan oleh salah satu editor Rumah Film, Hikmat Darmawan, bahwa “tulisan-tulisan tentang film di Indonesia juga tak berkembang jauh secara estetis. Malah, tampak gejala kemunduran.” Bahaya sekali, jika pikiran yang sudah medioker ini, diperparah dengan menelan asupan yang juga medioker. Stagnan jadinya. Sempat terpikir, apakah memang sudah takdirnya, hal-hal yang bergizi dan berkualitas tinggi, karena metode kerjanya yang mesti hati-hati dan dalam sehingga dalam pengerjaannya cenderung membutuhkan waktu yang lama dan mahal, akan berumur pendek? Kedalaman menjadi tidak kompatibel dengan kebutuhan zaman yang serba cepat dan ringan. Sehingga, yang tersisa hanya kedangkalan dan kebanalan. Jika memang begitu polanya, mulai sekarang kita mesti mensyukuri dan merayakan segala kemewahan (walau sebenarnya adalah kebutuhan primer) yang masih bisa kita nikmati hingga saat ini. Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, kita masih punya majalah Tempo, Tirto.id, Remotivi, Cinema

MENULIS DAN MENONTON, DUA KATA YANG LALU MENJELMA RUMAH PENGANTAR CHOLIL PENGANTAR MAHMUD

Poetica, filmindonesia.id dan berbagai media progresif lainnya yang selalu berupaya menjadi suluh dalam kegelapan pun terhimpit berbagai kendala dan tekanan. Kembali ke hilangnya rujukan budaya pop, kepergian pertama yang membekas adalah hilangnya JIFFEST, festival yang mengajarkan bahwa film bagus tidaklah harus seperti Hollywood, berbiaya mahal, serba cepat dan klimaks. Kepergian berikutnya, seperti yang sudah diceritakan di atas, adalah Rumah Film. Dalam ranah musik, kepergian wartawan Denny Sakrie dan tutupnya majalah Rolling Stone Indonesia menjadi titik sentral tercerai berainya upaya untuk mencari bacaan musik yang bernutrisi. Biasanya, cukup dengan mengandalkan tulisan-tulisan mereka, paling tidak, kita tak akan “ketinggalan-ketinggalan amat lah” akan riuhnya permusikan di Indonesia. Sekarang, saya benarbenar dipaksa surfing ke berbagai kanal untuk terus termutakhirkan dengan berbagai perkembangan musik yang ada. Terakhir, secara tiba-tiba, Jurnal Ruang, webzine lezat tentang sastra dan budaya pop lainnya yang sedang saya gandrungi, yang dikelola oleh penulis-penulis muda berbakat, mandek. Situsnya bahkan sulit diakses dan berpotensi mencuri data-data pribadi kita. Saya merasa kecopetan lagi. Lalu saya teringat pidato Philip Pullman ketika menerima Astrid Lindgren Memorial Award, pada tahun 2005, yang jika disederhanakan mengatakan bahwa kita membutuhkan seni, sastra, puisi dan musik, sama seperti kita membutuhkan cinta, makanan dan udara. Ketika kita tidak mendapat asupan cinta, makanan dan udara, kerusakannya akan langsung kita rasakan. Kita sesak napas, kelaparan dan tak bergairah. Namun, ketika kita tidak mendapat asupan seni, sastra, puisi dan musik, badan kita akan terlihat biasa-biasa saja, walau luka dan kekosongan jiwanya terus menetap hingga lama. Diam-diam, jiwa saya kelaparan.

li

lii

TILAS KRITIK: KUMPULAN TULISAN RUMAH FILM 2007-2012

Rumah Film sempat meluncurkan buku pertama mereka, Menjegal Film Indonesia di tahun 2011, yang dengan komprehensif berhasil menjabarkan bagaimana industri film dan kebijakan perfilman di Indonesia berjalan. Lalu, setelah itu tidur pulas. Bertahun-tahun setelah terbengkalai, dan menghilang di jagat maya, akhirnya tulisan-tulisan di Rumah Film menemukan takdir berikutnya, dibukukan, dengan tajuk Tilas Kritik. Membaca Tilas Kritik, tidak bisa tidak, secara alamiah membuat saya mengaitkannya dengan pembahasan hal serupa yang terjadi di ranah musik, bidang seni yang saya geluti. Karakter antara industri film dan musik maupun proses pencarian falsafah dalam berkarya bagi sutradara dan musisi sepertinya berada di belantara yang serupa. Salah satunya ketika Bela Tarr mengatakan kepada Asmayani Kusrini bahwa hanya sutradara film iklan sajalah yang memikirkan penonton, atau ketika Eric Sasono bertanya kepada Edwin dan Joko Anwar tentang peran penonton buat mereka. Saya merasa deja vu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sering dilontarkan wartawan musik kepada saya, yang masih saya cari jawabaannya, hingga saat ini, tentang seberapa pentingnyakah peran fans bagi band saya. Atau yang lebih filosofikal lagi, apakah musik yang saya tulis ditujukan untuk membidik pasar tertentu, menyenangkan fans atau hanya pengejewantahan jiwa yang meronta-ronta. Satu hal menarik lainnya adalah ketika Joko Anwar mengatakan bahwa ada dua tipe sutradara di Indonesia, sutradara pesanan, dan sutradara yang memang membuat film karena dorongan dari dalam dirinya. Sedikit berbeda dengan yang terjadi di ranah film, saya langsung teringat dengan apa yang dikatakan almarhum Denny Sakrie, bahwa dalam industri rekaman di Indonesia, kedua perbedaan itu diberikan ruangnya oleh para cukong label rekaman. Banyak musisi diberikan kesempatan untuk membikin

MENULIS DAN MENONTON, DUA KATA YANG LALU MENJELMA RUMAH PENGANTAR CHOLIL MAHMUD

album yang memang benar-benar menyuarakan isi hatinya, bukan isi hati produser, setelah membuat 2-3 album yang mengikuti selera pasar. Akhir kata, lalu siapa yang diuntungkan dengan dihidupkannya lagi tulisan-tulisan di Rumah Film? Sudah pasti saya. Mungkin kita. Mungkin kita semua. Jiwa yang dulu lapar, sekarang kenyang.

Lebak Bulus, 12 November 2019

Cholil Mahmud dulunya sempat bekerja kantoran sebagai akuntan sekaligus merintis karir sebagai musisi dalam band Efek Rumah kaca (ERK). Kini, selain manggung bersama bandnya dan mengantar jemput anaknya sekolah, waktunya banyak dihabiskan menjadi sukarelawan Kios Ojo Keos, sebuah ruang alternatif sekaligus toko buku, yang diinisiasi oleh ERK.

liii

1

Mencari “Yang Nyata”, dan Lain-Lain ULASAN DAN KRITIK RUMAH FILM

Asmayani Kusrini

Dinamit yang Disemai Diam-Diam

L

ampu-lampu baru saja dipadamkan. Pertunjukan akan segera dimulai. Tapi seorang pria tiba-tiba muncul tepat di depan layar putih. Pria berambut keriting itu mulai dengan mengucapkan kata maaf. “Maaf, film ini baru saja selesai editing dan baru diprint kemarin. Jadi masih ada beberapa kesalahan teknis yang harus saya jelaskan lebih dulu,” kata pria itu, Andrey Nekrasov. Film yang dimaksud, tak lain adalah film dokumenter terbarunya bekerjasama dengan Olga Konskaia, Rebellion: The Litivinenko Case. Sebetulnya, kesalahan teknis yang dimaksud Nekrasov bukanlah masalah besar, hanya masalah perbedaan bahasa. Terjadi sebuah kesalahan translasi, yang harusnya hanya ‘bombardé’ (mengebom) menjadi ‘bombardement’ (membombardir—biasanya dilakukan dari atas pesawat tempur). Mungkin bagi sebagian penonton, itu hanya kesalahan kecil, tapi bagi Nekrasov, translasi itu bisa jadi teramat fatal—

4

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

cenderung melebih-lebihkan—kalau menyangkut akurasi peristiwa yang akan disaksikan dalam Rebellion. Rebellion memang memaparkan sebuah kasus penting dalam sejarah Rusia yang hingga saat inipun masih jadi bahan spekulasi. Pada september 1999, terjadi rangkaian aksi pengeboman di berbagai wilayah Rusia—Moscow, Buynaksk, Volgodonsk, dan Ryazan—dan membunuh hampir 300 korban hingga melegitimasi keputusan Vladimir Putin—kala itu masih menjadi Perdana Menteri Rusia—untuk mengobarkan Perang Chechen kedua. Dalam salah satu sekuan di Rebellion, peristiwa itu diceritakan oleh Alexander Litvinenko—eks agen rahasia Rusia, KGB—yang mengatakan ‘pengeboman’ di berbagai wilayah yang kemudian ditranslasi menjadi ‘bombardement’ yang harusnya hanya ‘bombardé’. Bagi Nekrasov, itu fatal karena bisa jadi kesalahan kecil itu bisa jadi justru yang akan digunakan oleh pihak ‘tertuduh’ menyerangnya di kemudian hari. Maklum, Rebellion: The Litvinenko Case memang dokumenter ‘panas’. Ada sejumlah tokoh yang sudah tewas memberikan kesaksian di film ini. Termasuk wartawan wanita Anna Politskovskaya. Begitu hati-hatinya sutradara kelahiran Leningrad pada 1958 itu ketika memutar film ini pertama kali di Cannes. “Di Cannes, atau di luar Rusia, film ini mungkin hanya akan diposisikan sama dengan film-film lain, ditonton, dinikmati, kemudian diperbincangkan jika bagus, dan dilupakan jika jelek. Tapi di Rusia, film ini adalah ladang bom”, kata Nekrasov kepada wartawan di Terasse Du Suquet, usai pemutaran Rebellion. Di Cannes, selain hadir bersama kolaboratornya, Olga Konskaia, Nekrasov juga membawa janda mendiang Litvinenko, Marina. Marina terlihat tegar meski tak kuasa menahan haru ketika selesai menonton film itu. “Saya juga baru pertama kali ini menontonnya,” kata Marina yang juga muncul di Rebellion.

DINAMIT YANG DISEMAI DIAM-DIAM

Meski lega Rebellion akhirnya selesai, Nekrasov patut waspada. Faktanya sejumlah orang yang memberikan kesaksian di Rebellion, tewas tak berbekas alias tanpa penjelasan apalagi pertanggung jawaban. Rebellion: The Litvinenko Case memang sebuah dinamit yang disemai diam-diam. Seperti sebuah firasat, pengambilan stok gambar Alexander Litvinenko, sang tokoh utama, sudah dimulai sejak tahun 2004. Film dokumenter ini adalah kisah Litvinenko, eks agen KGB yang diracun dengan radioaktif Polonium 210, dan menjadi berita paling panas akhir tahun lalu. Kasusnya bahkan hingga saat ini masih berjalan dimana mulai banyak tertuduh yang diajukan. Rebellion dibuka dengan sebuah adegan dari balik jendela. Alexander Litvinenko nampak berbicara dengan seseorang—yang tak lain adalah Andrey Nekrasov, sutradara Rebellion. Adegan ini dipersiapkan sejak lama dan memang direncanakan untuk jadi pembuka kalau-kalau film ini harus dibuat. Film ini akhirnya harus diciptakan dan itu terbukti dengan pesan yang menyertai adegan pembuka dari balik jendela itu; “Jika terjadi sesuatu padaku, tunjukkan video ini ke seluruh dunia”. Setelah adegan pembuka itu, Rebellion mulai berkisah dari tutur personal Nekrasov. Mengapa ia sampai dekat dengan Nekrasov, dan bahkan menyimpan sejumlah video-video yang masuk kategori ‘high confidential’. Lalu setelah itu, Rebellion dilengkapi dengan sejumlah wawancara antara Andrey Nekrasov, dan mendiang Litvinenko kala masih segar bugar hingga wafatnya pada 23 November tahun lalu. Dari Rebellion, penonton bisa memahami mengapa Nekrasov jadi begitu gusar dengan kematian Litvinenko. “Saya menemuinya dari saat ia masih segar bugar hingga ia jadi seperti tengkorak,” kata Nekrasov. Nekrasov bertemu Litvinenko ketika sedang mengumpulkan bahan untuk film dokumenternya

5

6

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Disbelief—tentang pengeboman di sejumlah apartemen di Moscow tahun 1999—yang dirilis tahun 2004 lalu. Sejak saat itu, Nekrasov mulai merekam setiap wawancara, dan sejumlah pertemuan dengan Litvinenko di London. Mereka menjadi sangat akrab karena proyek Disbelief. Saking akrabnya, hingga Litvinenko kemudian mulai menceritakan sejumlah rahasia penting kepada Nekrasov. Tentu saja yang paling sensitif dari Rebellion adalah tudingan Litvinenko bahwa Presiden Putin lah yang memerintahkan untuk membunuhnya. Tudingan itu diikuti dengan berbagai kesaksian yang mulai mengungkap satu persatu kebusukan pemerintahan Putin, termasuk akal bulusnya untuk kembali mengobarkan Perang Chechnya kedua. Menurut Litvinenko, rangkaian pengeboman September 1999 diberbagai wilayah Rusia itu hanyalah bagian dari akal bulus Putin. “Dia dan agen rahasia FSB lah yang mendalangi,” tuduh Litvinenko. Ini juga salah satu alasan mengapa Litvinenko kemudian meminta suaka ke Inggris. Dokumenter ini juga terdiri dari banyak interview, dan arsiparsip visual yang masuk kategori rahasia tingkat tinggi dan belum pernah dimunculkan sebelumnya. Terdapat video pengakuan empat eks agen KGB termasuk Litvinenko terhadap korupsi dan manipulasi dalam badan KGB. Juga sebuah video yang terangterangan berisi obrolan tentang cara badan intelijen itu bekerja menghilangkan orang. Termasuk melenyapkan wartawan Anna Politkovskaya yang sempat beberapakali tampil dalam wawancara dengan Nekrasov. Nekrasov juga banyak menyodorkan sejumlah stok gambar tentang Politskovskaya, saat mendiang wartawan wanita itu masih sibuk melakukan investigasi terhadap sejumlah kasus di Rusia. Politskovskaya kemudian ditembak mati di depan apartemennya pada 7 Oktober 2006 lalu.

DINAMIT YANG DISEMAI DIAM-DIAM

Toh Rebellion tidak melulu berisi kisah suram tentang permainan kotor politik. Ada sedikit sisipan humor juga dihadirkan. Antara lain sebuah video bagaimana Presiden Perancis, Jacques Chirac, pernah memberikan sebuah medali khusus kepada Vladimir Putin pada acara seremoni rahasia. Video ini jadi bahan ‘bercanda’ oleh TV perancis. Soalnya, seremoni itu harusnya tertutup untuk pers. Presiden Chirac mewanti-wanti atase persnya untuk tidak mendokumentasikan seremoni itu. Tidak boleh ada kamera, tidak boleh ada fotografer. Tapi ternyata, Presiden Putin sendiri ingin seremoni itu direkam untuk ‘kenang-kenangan’. Bagaimana video itu akhirnya bocor ke televisi, tidak ada yang tahu. Yang pasti, Nekrasov berhasil mendapatkan rekaman peristiwa itu berikut berita yang ditayangkan di TV. Berkali-kali Putin juga tampil di Rebellion. Nekrasov seperti ingin bilang, Putin ‘sang tertuduh’ pun punya ruang untuk pembelaan. “Sungguh disayangkan jika kematiannya yang tragis dijadikan provokasi politik,” kata Putin di Rebellion. Meski sejak awal Nekrasov sudah punya firasat akan membuat film ini suatu hari nanti, toh Nekrasov butuh waktu sekitar 6 bulan – dari kematian Litvinenko pada 23 November 2006, hingga Mei 2007- menyatukan semua dokumen, arsip arsip gambar, dan merekonstruksinya jadi cerita utuh dalam Rebellion. Nekrasov memang berniat agar film ini bisa diputar di festival Film Cannes yang ke 60 untuk pertama kali. “Sesuai pesan Sasha – panggilan akrab Litvinenko – saya ingin agar film ini bisa disaksikan oleh seluruh dunia, dan Cannes adalah awal yang sangat strategis,” kata Nekrasov. Meski Nekrasov sudah siap, toh didetik terakhir ia masih keteteran juga. Sampai Festival Film Cannes dimulai, ia masih sibuk di studio editing. Bermalam-malam ia tak tidur. Tapi tekadnya bulat, “Pokoknya film ini harus diputar di Cannes,” kata

7

8

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Nekrasov yang terlihat lega pada saat menemui jurnalis di Terrase du Suquet, Palais Du Cinema. Rebellion selesai editing di Jerman pada Jumat 25 Mei—dua hari sebelum penutupan festival itu. Nekrasov sendiri yang menenteng kaleng film itu di pesawat menuju Cannes. Esok paginya, jam 9 pagi, Rebellion diputar juga. Saking tergesa dan juga gelisah takut salah, Andrey Nekrasov merasa perlu untuk datang ke gedung teater, dan mengumumkan sejumlah kesalahan teknis. Rebellion—yang merupakan dokumenter kedua Nekrasov setelah Disbelief—tidak kalah meyakinkannya dengan Sicko dalam mengungkap fakta. Arsip-arsip yang dikumpulkan oleh Nekrasov serta upayanya untuk memburu narasumbernarasumber penting, juga bisa menyamai kegigihan Michael Moore dalam membuat Sicko. Nekrasov juga bertindak sebagai narator, tampil di depan kamera sesuai yang diucapkannya di lima menit pertama Rebellion, “Film ini adalah testimoni saya”. Meski sama-sama melakukan pendekatan personal terhadap film-film dokumenter, Nekrasov tidak segegap gempita Michael Moore dalam membuat Rebellion. Nekrasov tidak sengaja menyimpan kejutan-kejutan, atau sensasi seperti yang dilakukan Moore, atau berakting seperti Moore yang kadang terlihat blo’on agar terlihat lucu. Kurangnya humor juga yang membuat Rebellion sempat renggang dipertengahan. Begitu banyak fakta suram, testimoni menyedihkan dan gambar-gambar tak mengenakkan, sehingga membuat Rebellion menjadi dokumenter yang sedih, sarat, dan berat karena nyaris tanpa humor. Tapi itulah Nekrasov yang lahir dan besar di Rusia, negeri yang sejak dulu punya sejarah suram itu. Tentu saja, Nekrasov berbeda dengan Michael Moore yang lahir dan besar di Amerika, negeri impian banyak orang itu. Jika Michael Moore banyak bermain-main dan menertawakan ketidakadilan, Nekrasov memilih untuk banyak

DINAMIT YANG DISEMAI DIAM-DIAM

merenung. Sampai ketika Litvinenko dimandikan di Mesjid London Central—Litvinenko memilih masuk Islam sejak mendekam di rumah sakit—hingga pada upacara pembacaan AlQuran di pekuburan Highgate Cemetary, bagian utara London. Nekrasov banyak menunduk, seperti sedang mengumpulkan tekad, Litvinenko tidak akan mati sia-sia. “Membuat film ini adalah personal katarsis buat saya, cara saya menghadapi kematian seorang teman, yang tewas mengenaskan didepan mata saya,” kata Nekrasov.

Tulisan ini juga dimuat di majalah Tempo edisi 28, 03 – 09 September 2007 — Rebellion: The Litvinenko Case (a.k.a. Poisoned by Polonium) Sutradara & Produser: Andrei Nekrasowv, Olga Konskaya / Produksi: Dreamscanner Production / Durasi: 105 menit / Tayang: Polandia, 31 Agustus 2007.

9

Ekky Imanjaya

Mr. Rakowsky

Balada Dua Rakowsky

B

agi sebagian orang, masa lalu tak pernah pergi. Ia selalu menghantui. Dan memang, sesungguhnya memori tak berurusan dengan masa lalu, tapi dengan masa kini, dan masa depan. Para intelektual yang menggeluti studi tentang memori tahu benar hal ini. “Masa lalu tidak begitu saja ada dalam memori, tapi ia harus diartikulasikan untuk menjadi memori,” ujar Andrean Husseyn. Dalam Twilight Memories: Making Time in a Culture of Amnesia, ia  menyatakan terjadinya “Memory Boom” di Barat  setelah 1989—masa ketika banyak peristiwa mengubah masa depan dunia. Barat  begitu terobsesi dengan ingatan, dan karenanya, berbagai museum dan tugu memorial dibangun. Mereka ingin melawan amnesia, dan juga ingin melawan hantu trauma yang gentayangan dalam ingatan. Bahkan Jacques Derrida, dalam seminar berjudul Archive Fever, dengan tegas menyatakan bahwa arsip yang menyimpan

BALADA DUA RAKOWSKY

memori berhubungan dengan masa depan. Derrida menamakannya, “messianicity”, “yang berhubungan dengan masa depan, ekspetasi dari apa yang akan terjadi”, “openness”. Mr Rakowsky garapan Jan Diederen (Belanda, 2007) ini menegaskan teori-teori di atas. Ia  masuk dalam program “Highlights of the Lowlands” dalam IDFA 2007. Kelebihan film ini: ia tidak bicara tentang hal-hal besar, tapi justru mengangkat cerita orang biasa. Film ini berbicara tentang memori personal, bahkan memori otobiografikal seorang yang sama sekali tak terkenal: Sam Rakowsky, seorang Yahudi-Polandia yang kini sudah berusia 91 tahun. Juga hubungannya dengan anaknya, Richie yang kini 55 tahun, dan menjadi pengusaha sukses dan juga menghadapi pengalaman traumatisnya sendiri. Dokumenter berdurasi 75 menit ini membuat penonton larut di dalamnya, sebab tema yang mungkin bisa dialami oleh siapa saja: bagaimana kita, di masa sekarang,  berhadapan dengan  trauma, dari masa silam,  yang menetap di kepala. Tidak, film ini tidak berbicara hal-hal besar, seperti dalam Shoah (Claude Lanzmann, 1985) yang berdurasi 9,5 jam itu.  Tak ada pretensi menjadi ideologis atau politis, dengan membuat ingatan itu menjadi suci, menjadi  sacralized memory dalam terminologi Barbara Misztal. Film ini juga tak mencoba menciptakan memori prostetis (seperti diulas Alison Landsberg dalam Prosthetic Memory: the Transformation of American Remembrance in the Age of Mass Culture). Singkat cerita, Prosthetic memory adalah sebuah “ingatan buatan”. Bagaikan kita tak punya kaki—karena diamputasi, misalnya—dan memakai kaki palsu. Dalam film, sang sutradara akan mereka-ulang adegan, atau mencipta adegan berdasarkan kejadian sebenarnya, dari keterangan atau info yang ia dapatkan, karena tak ada terlibat secara langsung dengan  peristiwa itu. Atau, bisa juga, sang sutradara mencipta sedemikian rupa sehingga memberi penonton sebuah efek “memori buatan” setelah

11

12

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

menontonnya. Contoh penciptaan memori prostetis ini adalah  The Pianist  (Roman Polanski, 2002) atau  Schinder List (Steven Spielberg, 1993). Mr Rakowsky tak dibuat dengan niatan itu. Memang, Sam bicara tentang bagaimana ia mengalami penderitaan merasakan hinaan antisemitisme, atau tentang bagaimana ia selamat dari kamp konsentrasi Nazi di AuschwitzBirkenau (dan enam kali menyelamatkan gadis yang kemudian menjadi istrinya). Tapi bukan itu intinya. Diederan sadar betul akan hal itu, dan karenanya ia sama sekali tak menyediakan satu detik pun  footage  atau apa pun, yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu yang kelam itu. Yang kemudian diselami oleh sang sutradara, dan kemudian dirasakan oleh penonton, adalah bagaimana seorang Sam menghadapi ingatan traumatisnya itu di masa kini (juga sesudah ia hijrah ke Amerika Serikat) dan, terutama, bagaimana hubungannya dengan anaknya. Bagi Richie, ia ayah yang buruk. Richie, saat di wawancara, selalu menyatakan bahwa Sam bukan ayah yang baik, dan ia memberi contoh-contoh yang mendetail untuk pernyataan itu. Memang, Rakowsky senior selalu bilang bahwa terkadang ia memperlakukan anaknya dengan begitu buruk, bahkan dengan kekerasan, karena dibentuk oleh  perang. Tapi bagi Richie, itu bukan alasan. “Ibu saya juga lolos dari kamp konsentrasi, tapi kelakukannya tidak begitu. Dan banyak orang selamat dari holocaust, namun masih bisa bersikap manis,” ungkap Richie. “Bukan perang yang menyebabkannya begitu. Tapi, bagaimana ia memandang hidup. Ayah selalu merasa dirinya sebagai korban, dan bukan sebagai subyek penikmat kehidupan,” ungkap sang anak. Dan, kemudian disadari menjelang akhir, Richie juga ternyata berpandangan sama. Film ini, mulanya tanpa disadari oleh pembuatnya, telah menjadi semacam terapi bagi kedua ayah-anak itu. Terapi terasa

BALADA DUA RAKOWSKY

lebih dalam dari film dokumenter Metallica: Monsters of Rock (Joe Berlinger  &  Bruce Sinofsky, 2004), yang memang punya kesadaran untuk menjadi terapi sejak semula. Pelan, tapi pasti, film ini membagi dirinya menjadi dua. Setengah perjalanan awal bercerita tentang sosok Sam, dan Richie hanya tampil seperlunya. Separuh terakhir, giliran Richie yang membuka diri. Sungguh menarik menyaksikan bagaimana kedua Rakowsky itu bercerita tentang, dan menghadapi, memori traumatik mereka yang sangat personal. Juga menarik menyaksikan bagaimana akhirnya mereka membangun “museum” dan “tugu peringatan” mereka sendiri. Lebih menarik lagi, melihat bagaimana sang sutradara menyajikannya, sehingga membuat film yang “world premiere”-nya dalam festival  film dokumenter internasional di Amsterdam ini tidak sekadar menjadi drama “kegagalan komunikasi antara ayah dan anak” semata, tapi juga menjadi hikmah universal. Diederan banyak mewawancarai keduanya, memang. Tapi  itu  tak membuat kita menjadi bosan. Dia tahu betul apa yang yang mau ditampilkan di layar, sehingga tak ada dialog atau jawaban yang sia-sia. Kedua nara sumber menggiring kita pada aliran cerita yang mengasyikkan, namun serba personal. Hasil rekaman itu diracik Diederan, lalu dipilah-pilah untuk membangun suasana. Diederan terlibat langsung secara emosional.   Film   ini menjadi semacam jembatan untuk saling curhat—tanpa saling tatap muka—dan akhirnya mencairkan kebekuan hati keduanya. Walau sudah ada  storyline, tapi dibutuhkan kreativitas supertinggi untuk improvisasi dalam pembuatan film semacam ini. Sebab, di lapangan, sang pembuat film akan selalu menemukan fakta dan data tak terduga. Inilah, justru, kekuatan dan keasyikan membuat dokumenter. Dan Dierean adalah seorang improvisator yang ulung (dan sabar), sehingga banyak

13

14

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

menangkap cerita-cerita mengejutkan, dan bahkan menghasilkan sebuah penutup yang manis sekaligus tak terduga. Pada akhirnya, masa lalu boleh saja tinggal di kepala. Tapi harus dipastikan, bahwa ia duduk tenang di sebuah sudut di otak kita: berdamai dengan masa kini dan masa depan.

— Mr. Rakowsky Sutradara: Jan Diederan / Dokumenter / 75 menit / Produksi: Belanda, 2007.

Ekky Imanjaya

Stranded

Neraka yang Amat Dingin

D

alam mimpiku, neraka bukanlah api yang panas, tapi dingin yang menyengat”. Kalimat ini diucapkan sahabat saya,  Agung Pribadi, pada suatu ketika. Menonton  Stranded, saya merasakannya. Film itu menuntun penonton, semenit demi semenit, untuk merasakan sebuah jahanam yang membuat manusia menggigil kedinginan, dan senantiasa dirundung kecemasan tanpa akhir.  Belum lagi desahan suara angin yang menciutkan nyali dan membekukan kulit. Gonzalo Arijon, sang sutradara, berhasil membawa penontonnya untuk merasakan pengalaman berada di sebuah gurun salju yang mencekam. Selama 130 menit, kita diajak untuk ikut cemas—bahkan depresi—karena kejadian demi kejadian yang menimpa korban, terus menerus.

16

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Film yang masuk dalam program Kompetisi Joris Ivens di IDFA 2007 ini berkisah tentang sebuah kecelakaan pesawat pada Jumat, 13 Oktober 1972.  Kapal terbang naas itu—membawa tim rugby Old Christians dari Stella Maris College, Montevideo, Uruguay ke Santiago, Chile—kandas di tengah-tengah padang salju di Pegunungan Andes, empat ribu meter di atas permukaan laut. Dari 45 penumpang, pada akhirnya, hanya tinggal 16 pria yang selamat, setelah melewati lebih dari 10 pekan dalam harihari yang mengerikan. Dan 35 tahun kemudian, bersama anakanak mereka, para korban yang selamat mengadakan reuni di TKP, yang kini bernama Lembah Air Mata. Dengan gaya merekonstruksi-ulang kejadian (seperti Garuda’s Deadly Upgrade dari David O’Shea, tentang terbunuhnya pejuang HAM Munir di pesawat Garuda) dan hasil wawancara para survivor (plus foto-foto yang mereka hasilkan di tengah peristiwa horor itu), film ini berhasil membuat sekitar 300 penonton di bioskop Tuschinsky yang legendaris itu, bertepuk tangan panjang, bahkan berdiri. Stranded adalah tipe film yang  sangat mendetail dalam bercerita. Para narasumber—di antara para survivor, ada Roberto Canessa, Alfredo “Pancho” Delgado, Roberto “Bobby” François, José Luis “Coche” Inciarte, Javier Methol, Carlos “Carlitos” Páez, Nando Parrado, Ramon “Moncho” Sabella, Adolfo “Fito” Strauch, Antonio “Tintin” Vizíntin—masih bisa dengan jelas dan lancar menceritakan, bahkan hingga hal-hal kecil: kejadian demi kejadian, hari demi hari, peristiwa demi peristiwa. Penonton pun merasakan deraan keputusasaan dan perasaaan, “kapan semua penderitaan ini akan berakhir?”; dan, “Hal naas apa lagi yang akan menimpa mereka?” Peristiwa ini menjadi perbincangan dunia kala itu. Media berfokus pada  angle  “Mengapa Anda tega menjadi kanibal?“ Pemerintah Uruguay membuat perangko khusus.  Beberapa buku diterbitkan, dan kini bahkan ada situs resminya di internet.

NERAKA YANG AMAT DINGIN

Sebelum Stranded, ada film Alive: The Miracle of the Andes (Frank Marshall, 1993, dibintangi Ethan Hawke, narasi oleh John Malkovich), dokumenter Alive: 20 Years Later (Jill FullertonSmith, 1993, pemainnya Martin Sheen), dan Supervivientes de los Andes (Rene Cardona jr, 1976).

TETAPI, ditimpa oleh dinginnya salju abadi Pegunungan Andes, dan kejamnya angin dingin yang menusuk ke tulang sumsum dan merusak kulit, bukanlah satu-satunya neraka bagi mereka. Neraka adalah ketika kita sudah mengira telah menerima kejadian paling mengerikan, tapi ternyata ada lagi hal yang lebih menyeramkan—dan lagi, dan lagi. Neraka adalah ketika kita meyakin-yakinkan diri kita bahwa masih ada harapan, tetapi sebenarnya kita sudah kehabisan akal untuk mencari jalan keluar. Neraka adalah melihat teman dan kerabat kita satu demi satu mati, tanpa kita bisa berbuat apa-apa. Sedangkan nasib diri  sendiri pun belum jelas, karena bola salju raksasa bisa longsor kapan saja. Neraka adalah saat kita mendengarkan informasi dari radio rakitan, bahwa regu penyelamat sudah menghentikan pencariannya. Dan perasaan ditinggalkan oleh keluarga pun, mau tak mau, menyeruak. Kita menjadi benar-benar terasing, terbuang,  dan tak ada yang peduli lagi. Neraka adalah ketika persediaan makanan sudah makin menipis, dan keadaan masih saja tidak ada kemajuan, bahkan setelah dua bulan. Dan alam tak menyediakan apa pun yang layak untuk disantap. Neraka adalah ketika kita dengan terpaksa memakan daging mayat orang-orang yang kita kenal, hanya sekadar untuk bertahan hidup—entah sampai kapan.

17

18

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Neraka adalah ketika sama sekali tidak ada kepastian tentang apa pun: Apakah kita akan selamat? Siapa yang akan menyelamatkan kita? Kapan? Neraka adalah ketika kita sudah berpikir lebih baik mati dari pada hidup tanpa kejelasan, bak pergi tanpa ujung. Tak ada perubahan dari hari ke hari, walau segala akal dikerahkan, hingga yang terbaik adalah menemukan cara agar tetap waras. Neraka adalah saat kita sudah mencari-cari pertolongan, naik ke puncak bukit, dan menemukan fakta tak ada sesuatu pun di sana kecuali gundukan salju yang putih—hingga sepanjang mata kita memandang. Neraka adalah ketika akal sehat, kebudayaan, dan peradaban sudah tidak berguna lagi, dan diganti hukum primitif. Aturan kuno berlaku, mereka bersatu padu karena insting belaka. Dalam Stranded, neraka itu nyata—dan penonton dipaksa untuk ikut merasakannya. Apakah ia percaya Tuhan atau tidak, neraka itu mendatangi mereka. Orang-orang yang selamat sebagian besar menyatakan bahwa inilah tanda kebesaran Tuhan, dan di padang salju mereka merasa sangat kecil. Mereka pun memuji Tuhan dengan butir-butir rosario, dan menggemakan doa. Tapi ada  juga yang menjadi tak percaya agama. Bagi yang beriman, mereka mempunyai alasan untuk memakan jenazah korban lainnya. “Seperti saat The Last Supper, Yesus memberikan daging dan tubuhnya untuk keselamatan umatnya. Maka kami pun melakukan hal yang sama, sebuah communion yang akrab,” ungkap mereka. Tapi, ada juga alasan praktis, misalnya ingin menemui anak atau ayahnya. Ada hal unik yang diungkapkan salah satu survivor. “Saat itu, saya merasa amat dekat dengan Tuhan. Tapi saat ini sudah tidak lagi”. Ia berkata pada anaknya yang ikut berziarah ke Valley of Tears, lokasi kejadian. “Mengapa sekarang tidak dekat lagi? Bukankah ayah ada di tempat yang sama?” tanya putrinya.

NERAKA YANG AMAT DINGIN

“Karena semuanya sekarang sudah pasti. Saya ada di sini sekarang, tadi saya dari sana, dan nanti saya akan pergi ke situ. Saya tidak butuh Tuhan lagi,” ungkap sang bapak. Kelak, saat mereka selamat dan diperiksa, tim medis menyatakan bahwa tidak ada hal serius yang mereka derita. “Saya tidak punya jawaban untuk hal ini. Kalau saya bukan dokter, saya akan bilang ini sebuah keajaiban dari Tuhan.” Sebagian besar dari mereka mengalami sakratul maut, agak mirip dengan yang digambarkan dalam pelatihan ESQ atau banyak laporan tentang pengalaman nyaris mati di berbagai tempat di dunia (termasuk dalam film-film Hollywood), dengan menyatakan bahwa tiba-tiba kilasan gambaran dari masa lalu muncul satu persatu. “Saat itu terasa damai,” ungkap salah satu narasumber. Dan, dar! Tiba-tiba dirimu menjadi sadar kembali, dan ada mayat berserakan menimpa tubuh, tangan, dan kaki mereka. Kekuatan harapan juga membuat mereka seakan mempunyai kekuatan super untuk terus mendaki dan mencari jalan kembali “..melihat dataran hijau”. “Saat itu, di tengah pendakian,   saya sudah kehabisan akal. Kalau saya tak meneruskan perjalanan karena letih luar biasa, saya akan mati. Tapi lebih baik mati saat berusaha. Toh nothing to lose, mengapa tidak dicoba?” Tapi, baik yang spiritualis atau materialis, kala itu keduanya sepakat sedang berhadapan dengan fakta yang satu: Neraka! Neraka yang amat dingin dan mencekam jiwa.

JIKA kita merefleksikan berbagai anasir neraka di film ini ke dalam keseharian—di rumah, di jalan, di kantor, di pasar, kehidupan bernegara—bukankah ia dekat dan nyata?

19

20

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Mampukah kita menyimpan harapan yang membuat bertahan hidup dan mempunyai tenaga ekstra untuk mengubah takdir, seperti ke-16 korban yang selamat dari Andes setelah melewati 10 minggu lebih itu?

— Stranded Sutradara & Penulis: Gonzalo Arijón / Distribusi: Zeitgeist Film / Bahasa: Spanyol / Prancis, 2007 / 126 menit.

Hikmat Darmawan

Eva, Kenapa Rumahmu Jauh?

Keroncong Eva Menuju Film Panjang

F

ilm pendek ini tak mengandung utopia, juga dialektika. Ia hanya ingin tertawa. Ia hanya mengapung-apung di permukaan, tak mau menukik ke kedalaman. Tapi, demikianlah semangat zaman. Keempat sutradara tampak punya ambisi khas anak zaman kini—bahkan jika mereka tak menyadarinya. Mereka lebih menginginkan mix & mash, intertekstualitas, merangkum serbaneka referensi. Jika karya tak mencari kedalaman, ia bisa mencari keluasan. Memang, tampak sekali film ini menyimpan keluasan referensi, dan kosa-gambar para pembuatnya. Misalnya, saat para pemain musik latar – grup keroncong anak muda Yogya, Kronchonxkhaos —muncul di tempat-tempat “aneh” dalam frame, secara tiba-tiba, dan secara “anarkis” sengaja tak masuk akal di sepanjang film. Kita pernah menyaksikan jurus itu dalam There’s Something About Marry. Lalu, ketika Eva pertama kali muncul dan beberapa kali sesudahnya: latar hitam, dan satu-satunya warna dalam frame

22

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

adalah merah baju Eva. Schindler’s List, tentu (dan, sebelumnya, tanpa latar hitam-putih namun memunculkan aksentuasi warna merah juga: Don’t Look Now). Dan, dalam semangat zaman itu, musik pun dicomot dari sana-sini. Ada yang begitu saja, seperti lagu  Kidung  dicomot mentah-mentah dengan segala cengkoknya dari versi Pancaran Sinar Patromak (PSP). Ada juga yang diolah, terutama lagu dari grup Padi, Kasih Tak Sampai—yang muncul dengan kocaknya mengiringi cameo penyanyi utama Padi, Fadly, yang jadi tukang becak (dan mengayuh lumayan jauh juga). Salah satu yang mungkin tak segera terasa, tapi sesungguhnya jelas belaka dari film ini: hakikatnya, ini adalah sebuah road movie. Kisahnya sederhana saja: Zul (Samsul Hadi, di sini mentah sekali pemeranannya)  naksir  Eva (Irma Mayati, cantik sekali), dan setelah beberapa pendekatan malu-malu dan komikal, Eva mengundangnya ke ulang tahun Eva. Ternyata rumah Eva jauh sekali. Jadilah Zul, dan pendampingnya, Bagong (Ahmad Sofyan, juga mentah), mengorupsi mobil angkutan untuk mengantar ayam seorang juragan, menjadi kendaraan menuju cintanya yang jauh itu. Jenis film macam  road movie  ini adalah pilihan paling mudah untuk menyusun plot. Kisah perjalanan adalah bentuk tertua seni naratif dalam sejarah manusia: sejak  Gilgamesh, lalu Odyssey, sampai Tiga Hari Untuk Selamanya. Subgenre road movie  lahir dari tradisi panjang itu, dengan tonggak-tonggak seperti Easy Rider (Dennis Hopper), Bad Land (Terrence Malick), atau Paris, Texas (Wim Wenders). Secara khusus, subgenre road movie, jika kita taat definisi, mestinya adalah “film yang menutur kisah perjalanan yang menyertakan kendaraan”. Subgenre ini sering dijadikan alasan bagi para pembuat cerita untuk melempar sebanyak mungkin kejadian, makin aneh tak apa-apa, untuk menciptakan plot. Subgenre ini bisa menghindari kompleksitas plot, tapi tetap bisa terkesan ”banyak

KERONCONG EVA MENUJU FILM PANJANG

kejadian” atau, katakanlah, ”maksimalis”. Tapi untuk sebuah film pendek, road movie yang sederhana itu bisa sangat menjebak. Subgenre ini sebetulnya lebih cocok untuk sebuah film panjang. Khasanah film pendek dunia mengajarkan bahwa film-film pendek terbaik cenderung pada pemadatan ide, impresi, dan waktu film. Soal waktu film di sini jangan dikacaukan dengan “durasi”. Soal durasi, ada perdebatan dalam hal definisi film pendek. Ada yang bilang tak lebih dari 30 menit, ada yang bilang pokoknya film yang selama, atau kurang dari sejam adalah film pendek (ini yang dianut oleh panitia Oscar). Tapi galibnya, sebuah film pendek enggan untuk memperlaratkan waktu film – waktu yang membingkai rangkaian kejadian dalam sebuah film. Apakah ambisi ini memberi efek bagus pada Eva…? Ya dan tidak. Ambisi artistik, bagaimana pun, akan mendorong (minimal mengasumsikan) sebuah pergumulan ide untuk mengedepankan yang dianggap unggul atau layak. Tapi ujian terakhir ambisi itu adalah pada eksekusi, pada hasil akhir yang terhidang pada khalayak. Di beberapa bagian, bayangan film panjang dalam film berdurasi kurang lebih 23 menit ini malah agak mengganggu. Misalnya, bagian awal (pada bagian yang menurut teori skenario klasik adalah bagian ”pengenalan tokoh dan masalah”), terlalu panjang. Tak pelak, Eva… barulah sebuah upaya. Film ini masih tenggelam dalam keasyikan memamerkan keluasan. Cerdas, belum cerkas.

— Eva, Kenapa Rumahmu Jauh? Sutradara: Fredy Predi, Wahyu Aditya, Sugeng Wahyudi, Edwin / Pemeran: Samsul Hadi, Irma Mayati, Ahmad Sofyan / Durasi: 23:33 menit / Produksi: Koperasi Film Demi Kamu, Jogja, 2002.

23

Hikmat Darmawan

Trophy Buffalo, Jalan Sepanjang Kenangan, dan Anarchist Cook Book for Beginners

Kerbau, Punk, Istri Ngidam

D

ari tiga film pendek yang diputar pada malam pembukaan Festival Film Pendek Konfiden 2007, Sabtu malam, 17 November 2007, dua adalah fiksi dengan warna kedaerahan kental, dan satu adalah dokumenter bersifat sketsa dunia urban. Ketiganya berhasil meletupkan tawa renyah para penonton acara pembukaan. Film fiksi pertama, Trophy Buffalo dari sutradara Vanni Jamin, mengambil setting di Padang, dan bahkan sepenuhnya berbahasa Padang (dengan subtitel Inggris). Adegan dibuka dengan perjalanan orang-orang menuju sebuah lapangan. Fokus pada seorang ayah (bertampang mirip sekali Larry Guzman), dan seorang anak usia SD, Pandi, yang sedang membawa kerbau. Rupanya, ini adalah jelang sebuah tarung kerbau tahunan. Established shot yang lancar: kita segera tahu, para tokoh utama film ini. Pencahayaan terang, walau tak istimewa tapi cukuplah rapi. Dan, hanya beberapa detik film dibuka, tiba-tiba

KERBAU, PUNK, ISTRI NGIDAM

kamera ‘melayang’ ke atas, dari shot punggung-punggung orang menuju suatu tempat langsung mengambil pandangan dari atas pohon untuk menampakkan sebuah lapangan ramai nun di depan sana. Wah, saya pikir, film ini jelas punya semangat “profesional” dan bukan “gerilya”. Semangat ini terasa terus, sepanjang film berdurasi 18:22 menit itu. Pandi yang tampak segan ke pertandingan itu, mengkhawatirkan si Borgol, kerbau ayahnya. Pandi melihat lawan si Borgol, dan pemiliknya: seorang ayah, dan seorang anak sebaya Pandi, si Ida yang manis. Pemeran ayah Ida sungguh menarik: wajahnya mampu merangkum rentang emosi yang luas, bahkan tanpa harus ia berkata apa-apa. Tapi, sayangnya, ia bukan pemeran utama film ini. Dengan lancar, film ini membangun plot. Editing juga terasa cerkas. Bukan hanya Pandi, tapi kakek Pandi (yang dengan trick  penyuntingan sederhana, bisa tampak sakti karena bisa hilang, dan muncul di luar kontinuitas ruang-waktu “rasional”) pun keberatan. Sang kakek berpesan, ikuti kata hatimu, Pandi. Masalahnya: ayah Pandi, yang 9 tahun berturut-turut selalu menang atas keluarga Ida dalam tarung kerbau itu, merasa bahwa inilah jalan satu-satunya menjaga kehormatan keluarga. Pandi, mengikuti kata hatinya: mengajak Ida mengakali agar tak ada lagi darah (kerbau) yang tumpah. Cerita yang manis, dan berhasil disampaikan dengan manis. Lebih manis, bahkan gombal, adalah karya Eddie Cahyono, Jalan Sepanjang Kenangan. Ketika beberapa kali sisipan dua tokoh utama film ini, Slamet dan Susi, berbicara kepada kamera di atas becak, mengungkapkan pikiran mereka seiring perkembangan cerita, Arief Ash Shiddiq (redaktur  Visual Art) nyeletuk pada saya: “Wah, Harry Met Sally banget, ya.” Ini pujian. Sekaligus sebuah gambaran yang tepat, apa aspirasi film berdurasi 30 menit ini. Tak lain, film ini ingin menjadi komedi romantik ala Yogya.

25

26

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Eddie terhitung sutradara muda yang sudah matang di film pendek. Ia adalah bagian dari komunitas Fourcolors Film, yang kini termasuk papan atas dalam ranah film pendek kita saat ini. Ciri mereka: perhatian penuh pada capaian teknis cerita, mau pun teknis pengambilan gambar dan fotografi. Seperti mereka ungkapkan pada beberapa forum diskusi, mereka ingin membuat film yang “enak ditonton”. Capaian teknis yang jadi obsesi mereka itu dikerahkan untuk mencapai ideal sebuah film yang “enak ditonton” tersebut. Jalan Sepanjang Kenangan tersaji sebagai komedi romantik yang asyik. Sejak adegan pembukaan, yang sebetulnya “adegan ranjang”, suasana sudah kocak. Barangkali tampang si Slamet yang ndeso tapi juga dead pan (lempang), barangkali kekenesan Susi yang berlebihan tapi terasa tulus, dialog sederhana yang jitu terasa sampai dengan tepat, menohok syaraf lucu di benak penonton. Slamet diperankan oleh Adi Marsono (yang juga menyanyikan lagu-lagu keroncong-dangdut yang jadi soundtrack film ini; Susi diperankan Kotty Kityakara. Dari scene awal, terasa sudah, kedua pemeran ini tepat belaka casting mereka, dan ada kimia yang baik di antara mereka. Mereka hanya agak tak meyakinkan di adegan mengharukan pada akhir cerita. Begitulah, cerita bergulir. Slamet yang dulu tukang becak dan kini PNS (Pegawai Negeri Sipil), seharian harus memenuhi kerewelan Susi yang selalu memakai alasan sedang ngidam. Ini jelas Indonesiawi sekali—karena  ngidam  itu tak ada dalam literatur ilmiah, tapi hanya ada dalam ilmu rumah tangga Nusantara. Susi  ngidam  berjalan-jalan keliling Yogya (dan membuka peluang film ini jadi film resmi Pemda Yogya yang menarik sekali) dan harus naik becak yang dikayuh Slamet dengan pakaian PNS-nya. Seharian, Slamet harus ngopeni (mengurusi) kerewelan Susi.

KERBAU, PUNK, ISTRI NGIDAM

Dari premis sederhana ini, berkembang sebuah upaya merenungi, dengan humor, pasang dan surut hubungan suamiistri. Dari pertanyaan awal yang rupanya tak akan hilang sampai bertahun-tahun pernikahan, “mengapa  dia  memilih  saya?” (“Mengapa Susi memilih saya daripada si superviser es teler di mal itu?”); atau, “apakah dia membohongiku? Mengapa?”; sampai pertanyaan genting, “mengapa dia kini berubah?” dan “apakah kita sanggup bertahan?” Dipandang dari kacamata feminisme atau kepekaan gender, film ini tampak terlalu doyong pada sudut pandang lelaki. Bisa jadi, bias gender, apa boleh buat, belum dapat diatasi sungguhsungguh dalam kebanyakan film kita.  Jalan Sepanjang Kenangan masih memandang perempuan sebagai pihak yang harus di-emong, di-among, dihadapi dengan sabar karena merepotkan. Apalagi,  toh, itu semua demi si jabang bayi. Perempuan adalah istri yang diasuh, dan adalah ibu yang harus dimuliakan. Tapi ini sekadar komedi-romantik. Tanpa hendak mengabaikan masalah bias gender itu, saya pikir kita tak bisa melupakan bahwa memang poin film ini tak lain dari hendak mengajak tertawa. Eddie tampak telah menguasai berbagai siasat naratif dan siap untuk tujuan itu. Sisipan monolog, pembabakan cerita jadi empat bagian dengan judul-judul menggelitik, latar nyanyian yang memberi aksen kelucuan, dialog-dialog yang bernas, lokal, dan sesekali sketsa sosial yang aktual. Dalam sebuah adegan, Slamet ragu masuk ke mal yang dulunya jadi tempat pacaran mereka. Lalu, shot Slamet dan Susi duduk di becak yang menghadap mal itu, bengong karena seperti kata Slamet, “Wah, kalau diperhatikan, mal ini ternyata besar sekali, ya.” Sebagaimana seharusnya sebuah komedi-romantik, sketsa itu tiba-tiba membelok pada pertengkaran domestik tentang  supervisor  es teler dan, akhirnya, apa makna mereka menikah.

27

28

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Tak pelak, ini film hiburan. Seperti juga Trophy Buffalo yang manis itu. Dan itulah mengapa saya merasa ada sesuatu yang patut disayangkan: tak ada satu pun produser film hiburan ternama yang datang ke acara ini. Kedua film ini mestinya berada dalam sphere film hiburan mainstream (arus utama). Keragaman tema yang sesungguhnya bisa sangat menarik, siasat naratif aneka rupa yang masih bisa digali terus, hingga penggarapan teknis dalam skenario, pengadeganan, dan seni pemeranan seperti yang ditampakkan oleh Trophy Buffalo dan Jalan Sepanjang Kenangan, bisa memberi variasi menyegarkan buat film arus utama kita. Pembuat film pendek macam Vanni dan Eddie, perlu diberi peluang untuk melanjutkan fase kreatif mereka di aras film panjang arus utama, sebelum mereka membusuk dalam dunia film pendek. Seandainya para konglomerat film hiburan kita melihat bahwa bahkan film dokumenter berambisi seni macam Anarchist Cookbook for Beginners  karya Dimas Jayasrana  pun bisa memancing tawa lepas yang gemuruh. Tentu saja dokumenter bergaya verité ini berambisi seni. Dari judul yang agak terlalu mengintimidasi itu saja, ambisi ini sudah tegas. Dan dengan sedikit menyelami, terbaca pula subteks utama film: sebuah mosaik kehidupan urban—dan pluralisme (bahwa “Punk juga manusia”). Film ini dimulai dengan asyik. Seseorang membuka “mata” sebuah kamera digital dalam KRL Bogor-Jakarta. Suara-suara tumpang tindih, sesekali ada suara orang mengamen (dan, bersama suara ngamen lain nantinya, dicatat sebagai latar musik oleh “anonimus”). “Mata” kamera itu jelalatan dalam gerbong. Sepertinya, niat awal “mata” kamera itu dibuka hanyalah iseng yang tak berlebih, karena jelajatan kamera itu agaknya masih sebatas dalam tas, dan tak terlalu leluasa menyapukan pandangan ke dalam seluruh gerbong.

KERBAU, PUNK, ISTRI NGIDAM

Tiba-tiba, di tengah tumpang tindih suara itu, ada suara off screen yang menegur. Nadanya tajam, suara lelaki, dan suara itu bertanya: lu lagi ngapain? Pertanyaan yang mendesak, dan ada suara off screen juga, menjawab bahwa ia sedang “mengambil suara” untuk digunakan kemudian. Lalu, pertanyaan-pertanyaan seperti mengancam itu berubah menjadi kesepakatan untuk merekam si empunya suara. Dan kamera pun menatapnya: dua orang pemuda Punk, dengan dandanan Punk dan gaya bicara Punk. Terjadilah percakapan setengah candid dengan salah satu pemuda Punk itu, Mario, dengan sesekali temannya yang lebih banyak  mesem  menimpali. “Gue  Rio dari Shaolin Temple!” Melihat gaya mohawk bertengger di kepala Rio, jawaban itu tentu terasa lucu. Tapi rupanya Shaolin Temple adalah nama band-nya. Dan memang, dalam Punk, sebermula adalah musik. Rio meminta direkam pendapatnya, “gue cuma mau bilang, nih… musik pop itu …anjing! Tahu nggak?” Lalu, Rio dari Shaolin Temple bermonolog dengan patahpatah, penuh percaya diri sekaligus sedikit canggung (dua kali, Rio merasa tak puas dengan wawancaranya, dan meminta, “eh, edit…edit bagian itu….!”), tentang musik, cinta, dan negara. “Kalau gue jadi presiden nih…gue akan …akan…bikin pabrik tahu!” Dengan segala ke-sangar-an itu, toh Rio masih memanggil presiden atau pejabat tinggi dengan sapaan “pak” ketika diminta memberi pesan pada para petinggi negara ini. Pak, begitu kurang lebih pesan Rio, gue cuma mau mengingatkan …masih banyak orang miskin di negara kita ini, Pak! Kalau kita membaca ulasan memikat dari Profesor Saya Siraishi dalam  Pahlawan Belia (terbitan Kepustakaan Populer Gramedia), tampak bahwa “bapak” adalah sebuah konstruksi ideologi yang diciptakan penguasa untuk mengukuhkan hirarki kekuasaan secara kultural dalam masyarakat Orde Baru. Sungguh mengharukan, melihat

29

30

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

sang Punk KRL Bogor-Jakarta ini, dalam segala tampilan pemberontaknya, masih menggunakan kata “Pak” untuk menyapa pejabat. Atau, mungkin, ini adalah kesadaran parodi dari Rio? Entahlah, kita tak akan pernah tahu. Film ini memang memilih menjaga jarak dari Rio. Walau kameranya nyaris selalu dengan intim menatap secara close up wajah Rio, tapi kamera tak ingin tahu lebih dari yang ia dapatkan kebetulan dalam gerbong itu. Saya sejak awal memang bertanya-tanya, apakah si pemegang kamera akan turun sesuai tujuan atau meneruskan perjalanan kemana pun Rio pergi? Kamera (yang, dalam keterangan film, ternyata dipegang oleh Dimas sendiri) ternyata memilih turun di stasiun Cikini, membiarkan Rio dan kawannya melanjutkan perjalanan ke entah stasiun mana. Gejala tak ingin mendalami, membatasi hanya pada temuan yang ada saja, pernah saya lihat pula dalam beberapa karya dokumenter bertema urban dari Forum Lenteng pada 2006 lalu. Saya bertanya soal ini, dan jawaban teman-teman Forum Lenteng ketika itu, kami tak ingin membuat film dokumenter “bergaya  National Geographic”. Walau jawaban ini tak memuaskan, saya jadi paham betapa tegasnya pilihan untuk tak mau mendalami objek pengamatan ini. Dengan kata lain, ini adalah pilihan estetis. Di baliknya, mungkin ada sebuah wacana dan diskusi panjang (mungkin juga tidak). Yang jelas, kamera/Dimas merasa cukup dengan Rio ketika sang kamera harus turun seperti rencana semula. Memang, temuan di perjalanan itu adalah sebuah keberuntungan. Tapi cukuplah. Ah, kapankah sebuah laku seni dianggap selesai dan purna? Ini pertanyaan yang menghantui Goenawan Mohamad ketika ia merancang komposisi pertunjukan tari dan musik dari syair-syairnya, bersama musisi  avant garde  Toni Prabowo. Kapankah sebuah objek dirasa cukup, selesai, dalam sebuah dokumenter? Bagaimana menetapkan kecukupan itu?

KERBAU, PUNK, ISTRI NGIDAM

Kamera di stasiun Cikini mengambil waktu sejenak melihat kereta berjalan lagi, membawa Rio pergi entah ke mana. Barangkali untuk selamanya tak akan ada lagi pertemuan dengan Rio (dan temannya). Dan Rio, yang tumbuh jadi karakter lucumenggemaskan selama 18 menit waktu nyaris  real time dokumenter ini, dengan serius (dan karenanya jadi lucu) memberi tanda cium jarak jauh dari pintu kereta. Penonton tertawa. Festival telah dimulai. Selamat berfestival!

31

Hikmat Darmawan

Ling Yi Ban a.k.a. The Other Half

Paradoks Jarak dalam Kamera Digital

F

ilm macam The Other Half  karya Yin Liang ini mengingatkan saya kembali akan makna kata

“independent”. Independen bermakna jarak. Seorang pengamat mengambil jarak dari amatannya, justru agar ia bisa mengamati lebih seksama objek amatannya. Paradoksal, memang – tapi masih sering terbukti benar. Yin Liang membuat film ini hanya berbekal kamera DV (bahkan bukan yang jenis High Definition) dan mengeditnya di PC. Segala siasat low budget diterapkan, termasuk shooting pada pukul 4 pagi demi mendapat gambar jalan kosong. Itu tak menghalanginya mengisahkan sebuah cerita tentang perubahan besar yang melanda Cina masa kini. Yin Liang meletakkan jarak yang cukup pada persoalan besar itu. Ia tak langsung masuk ke dalam dunia pabrik dan risiko industrial di dalamnya, seperti  Erin Brockovich  (Steven

PARADOKS JARAK DALAM KAMERA DIGITAL

Soderbergh), misalnya. Latar industrialisasi itu diletakkan Liang agak jauh di belakang. Bahkan, ketika di bagian akhir film terjadi katastropi industrial, ia tetap menjaga jarak itu dan tak nyinyir membahasnya. Cina yang berubah diwujudkan dalam amatan yang seksama pada kehidupan sehari-hari salah seorang warganya, gadis 22 tahun bernama Zeng Xiaofen (dimainkan oleh Zeng Xiaofei). Kisah dibangun dalam struktur dua pengisahan dunia: dunia kerja Zeng, firma hukum kecil dengan Zeng sebagai jurucatat semua pengaduan yang masuk; dan dunia pribadi Zeng. Dalam kedua dunia itu, Zeng lebih banyak diam, menarik diri dari gerak-gerik dunia sekitar. Ia bicara ketika diwawancara kerja, dan berangkat kerja dalam diam setiap pagi—kecuali sesekali ia batuk-batuk berat. Di tempat kerja, ia diam-diam mencatat pengaduan para calon klien (mereka semua bercerita dengan menghadap kamera, dengan pengacara pewawancara nyaris tak pernah terlihat dan hanya suara mereka terdengar off screen). Zeng lebih banyak diam, termasuk saat menerima pacarnya, Deng Gang, yang penjudi dan pecundang sejati, pulang pagi dan muntah-muntah karena mabuk. Ketika ibunya, salah satu dari kelompok penari beranggotakan para nenek berbaju merah, yang menari untuk perayaan ultah komunisme Cina, mendesaknya untuk dijodohkan. Ia pun hanya diam ketika ayahnya yang telah hilang 10 tahunan tiba-tiba muncul lagi. Dari diam ke diam, terhampar pernik-pernik kehidupan sehari-hari yang membangun sebuah dunia utuh: kota Zigong—tepatnya, kota Zigong-nya Zeng (atau, Zigong-nya Liang?). Jalan-jalan sunyi pagi dan malam hari. Penari striptease  setengah hati. Zhang Ziyi sebagai ikon kecantikan popular (Zeng bolak-balik dipuji “manis”, mirip Zhang Ziyi). Sebuah kios penjahit di pojok jalan yang berubah menjadi tempat judi mah jong. Orang-orang yang bisa menghilang begitu saja. Para

33

34

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

perempuan yang menginginkan perceraian dengan motif yang unik. Pengusaha muda yang mencari istri seperti mencari sapi atau gelang emas. Lalu tiba-tiba, dalam malam yang biasanya sunyi, sebuah suara ledakan mendentum di jauhan. Kamera Liang merekam itu semua dengan kalem, stoic, sama sekali tidak cerewet. Kamera itu hanya merekam, tak berkomentar apa pun. Kita sedang memang dibawa Liang jauh-jauh dari Hollywood, langsung masuk ke jantung Cina yang sedang berubah. Ini adalah film kedua Liang. Film yang dalam diamnya sebetulnya amat menohok. Film ini diedarkan lebih banyak lewat DVD. Pemerintah Cina, kata Liang, tak tertarik pada film-film berbujet rendah macam ini. Liang adalah bagian dari sebuah generasi baru pembuat film yang dientaskan oleh revolusi digital. Revolusi ini bermata dua. Di satu sisi, piranti digital bisa membawa kita ke dunia yang amat artifisial, dibuat-buat. Di sisi lain, piranti digital justru bisa merekam dunia nyata sementah-mentahnya. Lihatlah kegandrungan menyiarkan video bikinan sendiri di youtube.com. Juga bangkitnya pendekatan cinema verite seperti dalam film-film generasi baru Malaysia (yang diwakili oleh, antara lain: Yuhang, Yasmin Ahmad, James Lee, dan lain-lain), Thailand, termasuk Yin Liang dari Cina ini. Yang amat menentukan dalam surga kemudahan membuat film di era digital ini adalah ide. Pergumulan gagasan tentang bagaimana seorang pembuat film memahami dunia, bagaimana ia merenungi seluk-beluk medium film, bagaimana ia mengolah berbagai ide tentang manusia untuk sampai pada idenya sendiri tentang manusia yang akan ia tampilkan di layar. Tanpa olah ide itu, tak mungkin Liang mampu memberi jarak pada kenyataan yang ia tatap. Tanpa jarak yang cukup, komentar sosial dalam The Other Half akan tumpul belaka—dan

PARADOKS JARAK DALAM KAMERA DIGITAL

adegan liris di akhir film hanya akan jadi kegenitan gambar biasa, yang sering kita temui dalam film-film Arya Kusumadewa, atau Nan T. Achnas.

— Ling yi Ban a.k.a. The Other Half Sutradara: Ying Liang / Pemain: Zeng Xiaofei, Huibin Liu, Deng Gang, Xigui Chen / Skenario: Ying Liang, Peng Shan / Produser: Peng Shan / 111 menit / Produksi: Cina, 2006.

35

Eric Sasono

Lila Says

Lila Bilang Cinta

K

isah ini terjadi di Marseille. Menara kembar di New York sudah runtuh dan di Marseille sekelompok polisi merazia orang-orang bergamis dan berpeci putih. Namun bukan itu yang jadi soal dalam film ini. Para tokoh dalam film ini adalah anak-anak muda belasan tahun yang tak berurusan dengan politik. Mereka adalah Chimo dan gerombolannya. Setiap hari mereka berkeliaran di kawasan pemukiman Muslim semi-ghetto bagi kaum pendatang dari daerah Maghrib, Afrika Barat Laut. Di sana, harapan tampak tipis. Chimo sedikit di antara yang punya harapan itu. Tak besar peluang seorang keturunan Arab di Perancis, kecuali jika ia berbakat seperti Zidane. Meski bukan pada sepakbola, Chimo punya semacam bakat itu. Guru Bahasa Prancisnya menjanjikan akan menuliskan surat rekomendasi agar Chimo mendapat beasiswa. Syaratnya, Chimo harus membuat 30 halaman sebuah cerita.

LILA BILANG CINTA

Tak masuk akal bagi Chimo yang belum pernah membaca satu pun buku sampai selesai. Pergaulannya dengan teman-teman satu gengnya tak memberi peluang besar ia memperlihatkan bakatnya. Belajar adalah sesuatu yang payah, dan menggoda perempuan yang lewat adalah gagah. Lewatlah perempuan itu. Namanya Lila. Umurnya belasan tahun berambut pirang. Lila melihat pada Chimo dengan pandangan yang mudah dikenali oleh laki-laki muda seperti Chimo: Lila menaruh hati padanya. Benarkah? Apa itu menaruh hati? Lila tak terlihat seperti itu. Ia terlihat bercakap dengan Chimo di taman sambil menawarkan sesuatu: maukah kamu melihat vaginaku? Jika mau melihatnya sebentar, aku bisa menyingkap rokku, tapi jika mau lama, bisa kau lihat aku di ayunan. Kemudian Chimo berjalan mengikuti Lila ke ayunan. Itu baru permulaan. Selanjutnya Lila memenuhi hari-hari Chimo dengan segala macam ucapan atau ajakan seperti itu. Lila bercerita ia bercinta dengan lelaki Amerika di sebuah gudang berwarna biru. Atau pertanyaan seperti maukah kau merekamku dengan kamera ketika aku melakukannya dengan lelaki lain? Mereka juga bersepeda bersama ke pelabuhan, dan Lila memberi handjob kepada Chimo di atas sepeda. Perempuan seperti apakah Lila ini? Lila seorang anak Prancis yang tinggal bersama bibinya di ghetto Muslim Marsellie itu. Ia baru saja dua minggu berada di sana. Bibinya punya kebiasaan aneh: memandangi vagina Lila; bahkan menyanyi untuknya. Baginya, Lila adalah bidadari dengan rambut dan jembut keemasan. Vaginanya patut dipandangi, dan dipuja sedemikian rupa. Informasi ini menjelaskan bahwa Lila adalah korban dari sesuatu yang berurusan dengan seks. Itukah yang membuatnya menjadi setan penggoda yang menyamar jadi bidadari berambut emas berwajah kekanakan bagi Chimo?

37

38

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Namun Lila memang tak tinggal di tabung udara vakum. Komunitas semi-ghetto  Muslim Marseille ini bagai sebuah panggung yang menyediakan stok drama bagi tokoh-tokoh seperti Lila. Lila, yang seksualitasnya mencorong kemana-mana, segera memancing perhatian, terutama bagi Mouloud, teman nongkrong Chimo yang paling dekat. Penjelasan bagi corongan seksualitas seperti itu adalah: Lila perempuan murahan. Dan ini membuat Mouloud terobsesi pada Lila. Chimo sadar akan obsesi sahabatnya yang berperangai kasar itu dan pelan-pelan ia menarik jarak. Sampai akhirnya tragedi itu terjadi. Moloud memperkosa Lila dan di situlah, seperti Chimo, kita juga terkejut akan sebuah kenyataan tentang Lila. Ia bukan setan yang turun ke bumi, atau tidak juga memberi oral seks pada setan seperti yang diceritakannya kepada sang bibi. Ia hanya seorang perempuan dengan seksualitasnya yang eksplisit. Dan ia memilih Chimo untuk mengungkapkan seksualitasnya itu itu. Ia cinta pada Chimo dan ia punya cara sendiri untuk mengatakannya. Segala macam fantasi petualangan seksual itulah caranya menyatakan cinta pada Chimo. Sah saja orang dengan pilihannya, bukan? Maka film ini tiba pada sebuah perbincangan penting: perempuan belasan tahun dan seksualitasnya. Topik ini bisa jadi bahan eksploitasi yang menyenangkan bagi para penikmat pornografi, terutama para pedofil. Lila yang berwajah tak berdosa, dan pernyataan-pernyataan seksnya yang eksplisit, sama dengan taktik yang dipakai Vladimir Nabokov untuk Lolita (nama Lila dan adegan berjemur di halaman belakang pun bisa dilihat sebagai homage bagi Lolita). Namun, seperti halnya Lolita, Lila Says tak berhenti pada stimulus seksual seperti film porno. Film ini mau tak mau jadi membincang mengenai independensi ekspresi seksual seorang gadis remaja, di sebuah semi-ghetto komunitas Muslim di Prancis. Mungkin di mana saja.

LILA BILANG CINTA

Lila Says sebagai film punya kecenderungan untuk menjadi lebih cerdas ketimbang penonton. Beberapa petunjuk sengaja ditanam oleh sutradara Ziad Doueiry untuk menyesatkan kita yang tak akan siap dengan sebuah kecohan di ujung film. Lihat saja, misalnya, mobil Mercedes besar yang kerap menjemput Lila. Namun kecohan semacam itu memang perlu untuk membuktikan bahwa, perbincangan tentang seksualitas perempuan muda seperti Lila memang mengganggu bagi penonton, bagi sistem nilai masyarakat apapun dan dimanapun. Kemapanan gagasan mengenai perlunya sikap sopan perempuan dalam mendekati laki-laki yang dicintainya, diganggu dengan serius oleh film ini. Apa salahnya perempuan bilang cinta lebih dulu? Lebih jauh: apa salahnya bilang cinta dengan cara memperlihatkan vagina? Siapa yang siap dengan pertanyaan seperti itu? Ziad Doueiry sang sutradara keturunan Lebanon, pernah bekerja pada departemen kamera di berbagai film Quentin Tarantino. Ia kerap kesal ditanya soal pengalaman kerja bersama salah satu ikon terpenting industri film Amerika itu. Karena karyanya, antara lain Lila Says ini, punya kualitas sendiri yang patut ditonton dengan nikmat dan diperbincangkan.

— Lila Dit Ça / Lila Says Sutradara: Ziad Doueiry / Produser: Marina Gefter / Penulis: “Chimo”, Ziad Douery / Pemain: Vahina Giocante (Lila), Mohammed Khouas (Chimo), Karim Ben Haddou (Mouloud), Lotfi Chakri (Bakary) / Produksi: Prancis, 2004.

39

Eric Sasono

Gegen Die-Wand (Head On)

Kisah Cahit dan Sibel

C

ahit Tomruk tinggal di Hamburg. Ia lahir tahun 1960 dan memasang poster Siouxsie and The Banshees di kamarnya. Punk belum mati bagi Cahit; sekalipun hidupnya sendiri tampak sudah. Sebagai seorang imigran Turki di Jerman, Cahit bukan orang kaya. Ia bekerja sebagai pemungut botol kosong di sebuah bar. Tak ada yang istimewa malam itu kecuali sebuah rutin bagi seorang yang self-destructive seperti Cahit. Pulang kerja, minum di bar, menolak undangan Maren, kencan regulernya, dan menendangi pelanggan bar lain yang meledeknya. Lalu ia menabrakkan mobilnya ke dinding. Berikutnya: rumah sakit. Di sanalah ia bertemu Sibel, perempuan 23 tahun yang punya semacam  suicidal-tendency. Kalimat pertama yang diucapkan Sibel kepada Cahit adalah: will you marry me?

KISAH CAHIT DAN SIBEL

Sibel seperti seorang tahanan di keluarganya. Padahal keluarganya bukan kelompok manusia kolot yang menyebalkan. Bahkan keluarga Yunani dalam My Big Fat Greek Wedding saja terasa lebih mengesalkan. Namun justru lewat Sibel inilah kita dikenalkan pada karakter manusia yang mungkin juara dalam soal kontradiksi personal. Suicidal-tendency mungkin bukan padanan yang tepat bagi keriangan dan petualangan seksual pada Sibel. Namun justru Fatih Akin lewat filmnya ini membuat kita percaya bahwa manusia bisa berada pada titik kontradiksi sejauh itu. Maka Sibel ingin lari dari keluarganya dan ia melihat Cahit sebagai jalan keluar. Cahit tak merasa dirinya pintu, maka ia menolak. Sampai akhirnya Sibel menyayat nadinya di depan Cahit dan merekapun menjalankan formalitas yang paling kerap dilakukan manusia: pernikahan. Pernikahan; bukan seks. Tak ada seks bagi mereka—pada malam pertama sekalipun, Cahit mengusir Sibel keluar rumah karena bertanya tentang bekas istri Cahit. Pernikahan, dan bukan komitmen. Mereka toh bisa berhubungan seks dengan siapa pun yang mereka mau. Cahit masih meniduri Maren, kencan regulernya, seorang penata rambut. Sibel boleh tidur dengan siapa saja yang ditemui di bar mana saja. Tak perlu ada sakit hati karena pernikahan memang sebuah formalitas, yang sudah selesai kegunaannya ketika Sibel keluar dari rumah keluarganya. Potret yang dibuat Fatih Akin ini memang jauh dari segala macam klise. Persoalan imigran Turki di Jerman bisa jadi datang dari soal semisal alkohol di dalam coklat, diusir turun dari bus pada tengah malam, kekuatiran soal pekerjaan, dan berbagai macam latar semacam itu. Fatih Akin memang sedang bicara soal manusia pada aras mendasarnya. Selain kontradiksi akut pada karakter Sibel, kita seakan dibuat tak peduli pada Cahit. Hidup Cahit seperti tak berubah ketika Sibel masuk ke dalam hidupnya, kecuali bahwa ia

41

42

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

sedikit merapikan rambut, bercukur, dan kamarnya jadi rapi oleh Sibel. Peristiwa kecil dalam keseharian Cahit bersama Sibel terlalu kecil untuk jadi tanda bahwa hidup Cahit sedang mengalami sebuah transformasi. Namun kita dikejutkan dengan perkembangan berikutnya. Cahit ternyata merasa dirinya bisa terus hidup berkat Sibel. Selintas, Fatih Akin seperti sedang lupa pada penanaman motivasi dan penjelasan perkembangan karakter. Namun dengan menyerap karakter Cahit baik-baik, kita tahu bahwa ada sebuah luka mendalam yang pelan-pelan disembuhkan dalam diri Cahit. Penyembuh itu bernama Sibel; itulah pengakuan Cahit. Sampai ternyata Hamburg terlihat seperti tak siap dengan apa yang mereka jalani. Hamburg yang “Barat” terasa sama saja tertegunnya menyaksikan konsep pernikahan Cahit dan Sibel. Konsep “open marriage” memang jadi terasa seperti mainan anakanak bagi pasangan ini. Namun mereka tetap harus menerima semacam konsekuensi di Hamburg. Kematian dan penjara. Dan satu konsekuensi terpenting yang dipilihkan oleh Fatih Akin: diri mereka sendiri. Ada sesuatu yang tercabut dari keduanya bahkan ketika pernikahan sekadar formalitas. Karena memang semacam kebersamaan itu yang penting betul. Maka bukan soal “Barat” atau “Timur”; “Eropa” atau “Asia” yang penting bagi Fatih Akin. Ia memang menggunakan nyanyian tradisional Turki dengan latar belakang Selat Bosphorus dan Hagia Sophia di kejauhan, seakan trubadur yang mengantar cerita Cahit dan Sibel. Namun kita tahu bahwa ia sedang bercerita tentang sesuatu yang universal.

— Gegen Die-Wand (Head-On) Sutradara & Penulis: Fatih Akin / Pemain: Birol Ünel (Cahit Tomruk), Sibel Kekilli (Sibel Guner), Catrin Striebeck (Maren), Meltem Cumbul (Selma) / Durasi: 121 menit / Produksi: Arte, Bavaria Film International, Jerman & Turki, 2004.

Hikmat Darmawan

The Wall (Misteri di Balik Tembok)

Misteri Di Balik Horor TV

S

alah satu misteri terbesar sains yang kini ramai diulik adalah bagaimana pikiran bekerja. Saya pikir, bahkan Steven Pinker, ahli sains pikiran paling pe-de saat ini untuk merasa tahu jawaban misteri itu, pun akan ternganganganga melihat cara kerja pikiran para pembuat film horor Indonesia macam The Wall. Pikiran antara lain mewujud dalam wicara. Banyak wicara dan ”wacana” gagah dalam konferensi pers film ini di restoran Planet Hollywood, Jakarta, 11 September 2007 malam. Eka D. Sitorus,  acting coach, banyak bicara kenapa ia akhirnya mau ”membantu” dan ”merestui” muridnya, Nessa Sadin (bersama Hilman ”Lupus” Hariwijaya), untuk membuat film ini. Film horor ini beda daripada film-film horor Nayato, misalnya—begitu kata ”Bang” Eka. Kalau film-film Nayato—maksudnya, Nayato Fio Nuala yang memang banyak bikin film horor baik sebagai Nayato mau

44

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pun sebagai Koya Pagayo—dan film-film horor kita yang lain, kata Eka, lebih banyak ngaget-ngagetin saja. The Wall ini beda, katanya. Film horor ini lebih mementingkan cerita, memakai struktur penceritaan tiga babak yang benar. Lebih dari itu, katanya lagi, film horor ini punya ”arus bawah yang mendasari” berupa kisah cinta segitiga. Oke. Ada lagi faktor lain yang membuat ”bang” Eka mau ”membantu” muridnya membuat film ini. Sang sutradara, diimpor dari India, Mr. Kumar Parek yang malam itu tak ada karena “suatu urusan di India”, bilang kepada Eka, bahwa film ini akan menguras acting pemain karena lebih mementingkan segi “inner action”. (Soal sutradara, ini pun misteri lain: siapakah ia, apakah film-film yang ia buat sebelumnya, prestasi apakah yang pernah ia raih sehingga musti diimpor untuk film ini? Sampai-sampai wartawan film kawakan, sang “ensiklopedi hidup film Indonesia”, Pak Yan Wijaya, harus bertanya-tanya soal itu.) Omongan Kumar membuat Eka tertantang. Ini jelas film horor yang “lain”, kata Eka. Oke. Lalu, bagaimana hasilnya? Nah, ini bagian yang mungkin akan membuat Steven Pinker ternganga.  The Wall  mungkin adalah film horor yang tanpa sengaja, paling banyak membuat wartawan tertawa dalam previewnya. Betul, ada bagian-bagian yang memang sengaja dibuat lucu. Tapi jika ketawa gemuruh terjadi pada saat adegan yang dimaksudkan mengharukan atau seram, tentu ada sesuatu yang salah. Saya teringat film  Unfaithfully Yours  (Preston Sturges, 1948). Dalam film komedi ini, seorang konduktor musik membayangkan beberapa skenario untuk membunuh istrinya. Ketika ia merasa skenario sempurna telah ia temukan, ia melaksanakannya. Ternyata, “kejadian sebenarnya” tak berjalan sesuai skenario, ada-ada saja hal yang tak ia perhitungkan muncul. Di situlah sumber komedi film Struges yang kemudian ditiru

MISTERI DI BALIK HOROR TV

dalam banyak film lain. Komedi “kenyataan tak sesuai skenario” memang jurus yang amat populer, sesudah jurus komedi “salah paham”. The Wall ibarat komedi beberapa orang yang membayangkan sedang membuat film horor yang hebat, barangkali sekelas Rosemary’s Baby (Roman Polanski, 1968), dan ternyata hasilnya hanyalah sebuah lelucon tanggung. Lebih menyedihkan jika ternyata komedi ini terjadi karena adanya salah paham para pembuatnya, tentang apa itu “film horor yang bagus” atau apa itu “film bagus”. Dengan  imut, Nessa Sadin sebagai salah satu produser film ini bercerita tentang betapa ia melakukan riset dan studi banding ke Jepang, Thailand, dan Amerika. “Terutama Jepang, ya,” katanya. Nessa ingin tahu, mengapa film-film horor Jepang bisa begitu mendunia. (Saya jadi malu, mengapa saya mencari tahu soal yang sama kok hanya mencukupkan diri pada DVD, internet, dan buku-buku saja; mestinya saya juga studi banding ke tiga negara itu, bukan?) Keseriusan ini, ditambah pengalaman Hilman yang sudah berkecimpung di dunia film kita sejak 1980-an, dan gagahnya wacana yang tampak dipunyai Eka D. Sitorus, menandakan bahwa ada sebuah angan-angan dan gagasan tentang film horor yang baik. Apa boleh buat, hasilnya ternyata jauh panggang dari api. Premis The Wall sebetulnya lumayan bagus. Film horor tentang film horor. Seorang penulis skenario hebat, Sabrina (Nessa Sadin), datang ke produser (Ray Sahetapy yang bermain sangat dibuat-buat—apakah karena arahan Eka juga, atau memang Ray tak bisa “diarahkan”?) dan ingin membuat skenario film horor paling hebat. Untuk membuatnya, ia akan menulis sendirian di villa Kubang, yang konon adalah villa paling angker di Jawa Barat. Di villa itu, tentu saja, Sabrina bertemu setan. Tapi 10 hari kemudian skenario jadi, dan film siap dibuat. Sutradaranya, Mr. D (Defry), setuju pada keinginan Sabrina agar film itu dibuat di villa angker itu. Bintangnya, Fathan (Rifky

45

46

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Balweel), Mischa pacar Fathan (Deriell Jaqueline), dan Olla (Savira Crith), yang kebetulan mantan pacar Fathan. Kebetulan pula, villa angker itu adalah milik kakek Fathan (Donny Damara). Tentu saja, satu demi satu para awak film mati. Masalah terbesar film ini adalah para pembuatnya tak mampu keluar dari modus pembuatan sinetron nasional saat ini. Bukan hanya kualitas imaji digitalnya di layar lebar yang sangat “sinetronwi”. Kamera digital tak perlu jadi kekurangan. Sejak Puisi Tak Terkuburkan (Garin Nugroho, 1999) hingga beberapa film Hanung Bramantyo (Brownies dan Catatan Akhir Sekolah), sineas kita membuktikan kamera digital bisa menghasilkan gambargambar ciamik. Jika The Wall masih tampak sebagai sinetron, berarti tata cahaya dan serba-serbi fotografi digitalnya memang tak terlalu dijelajah. Sudahlah. Tapi, modus yang lebih mendasar dari pembuatan sinetron rupanya tak mampu ditaklukkan film ini. Seni peran yang hanya bertumpu di wajah, misalnya. Eka, dengan segala pemujaan padanya (“Banyak murid saya yang main di film ini,” katanya), tak tampak berhasil menanamkan apa itu seni peran pada para bintang di sini. Gestur tak tergarap, para tokoh yang mestinya ketakutan tak menampakkan tubuh yang ketakutan. Donny Damara, yang kehadirannya sebagai kakek sekarat di rumah sakit memancing tawa gemuruh para wartawan yang menonton (karena wajahnya terlalu ganteng sebagai kakek sekarat), hanya bergetar suaranya dan kuyu wajahnya tapi tangannya tampak tak gemetar. Wajah, ya, wajah—sebuah unsur utama dalam sinetron yang mementingkan close up, dan verbalisme hampa makna. Wajah pula unsur penting dalam sistem kebintangan sinetron. Wajah para bintang muda. Sebuah adegan di film ini sungguh menakjubkan saya. Fathan yang jadi bintang utama di film horor “Kain Kafan” (“Sebuah judul yang bagus!” kata tokoh produser), dimarahi Mr. D sang sutradara, karena memakai

MISTERI DI BALIK HOROR TV

kalung yang tak sesuai adegan. Dengan gagah, Fathan melawan: “Ini kalung, kalung gue ...terserah kalau gue mau memakainya!” Mr. D ciut nyalinya. Adegan ini dimaksudkan sebagai gurauan tentang kekonyolan karakter Mr. D, dengan Fathan sebagai pahlawannya. Ini sebuah komentar menyedihkan tentang film nasional kita. Bukankah memang hak sutradara untuk mengatur pakaian para pemain filmnya? Ini menggambarkan betapa kukuhnya posisi bintang, betapa rapuhnya posisi sutradara dalam modus pembuatan film macam begini. Di adegan lain, digambarkan sutradara juga takluk, atas desakan produser, pada keinginan sang penulis skenario yang bergaya seleb itu. Betapa tak pentingnya peran sutradara—janganlah bicara konsep auteur di sini. Tak pentingnya posisi sutradara—ia tak lebih hanya tukang—agaknya yang mendasari penggunaan Kumar Parek sebagai sutradara. Kumar terlibat film ini setelah berkenalan dengan Hilman di dunia sinetron. Pilihan ini disetujui Nessa, yang selama ini adalah bintang sinetron. Sebagaimana tak penting benar sang sutradara hadir di peluncuran film ini, tak penting benar pula siapa sutradara The Wall. Seperti dalam sinetron, ia hanya tukang yang tunduk pada kemauan produser, penulis cerita dari kalangan seleb yang dekat dengan produser, dan tak mampu mengatur-atur para bintang pemeran di filmnya. Ia bisa diganti oleh siapa saja. Dan dalam The Wall, agaknya peran pengarahan pemeran lebih banyak dilakukan oleh Eka D. Sitorus. Tanpa paham konteks ini, absurd rasanya melihat seorang  acting coach mendapat tempat khusus dan aksara besar dalam credit title film ini. Dan seperti adegan-adegan film ini yang terasa kekanakan dari segi ide, saya merasa seluruh kehadiran  The Wall  terasa kekanakan juga. Inilah misteri terbesar film ini bagi saya: bagaimana bisa angan-angan dan gagasan kekanakan tentang apa

47

48

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

itu “film horor yang baik” dan apa itu “film yang baik” mewujud menjadi film sungguhan, dengan biaya mungkin 1-2 milyar rupiah, dan saya tonton dengan setengah ketawa setengah menangis begini?

— The Wall, Misteri di Balik Tembok Sutradara: Kumar Parek / Produksi: Production House Lupus Entertainment / Produser: Nessa Sadin, Hilman Hariwijaya / Pengarah Peran: Eka D. Sitorus / Pemeran: Rifky Balweel, Deriell Jaqueline, Nessa Sadin, Savira Crith, Catherine.

Hikmat Darmawan

Film Sebagai Percakapan Gagasan TENTANG DUA FILM GARIN NUGROHO

Y

ang paling menggelikan dalam pemutaran kembali Opera Jawa September 2007 ini adalah jenis penghargaan Festival Film Indonesia 2006 kepada film ini: ”Skenario Terbaik”. (Kita tahu, pada tahun tersebut FFI memberi anugerah film terbaik pada  Ekskul  yang kemudian membuat heboh itu.) Opera Jawa  sama sekali bukan film yang bertumpu pada skenario. Ceritanya sederhana—garis besar kisah Ramayana dengan plesetan (atau, lebih gagah, ”kontekstualisasi”) di sana-sini. Dialog-dialognya lebih sederhana lagi—pernyataanpernyataan keadaan atau gagasan yang lempang, langsung, tak halus, atau dibungkus-bungkus. Hanya, ungkapan-ungkapan teramat verbal itu diucapkan dalam Bahasa Jawa dan 99% secara nembang, karena hakikatnya ini opera (ergo judul ”Opera Jawa”). Film ini sepenuhnya bertumpu pada permainan bentuk, bukan pada naskah atau cerita.

50

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Anekdot FFI barangkali mencerminkan kegagapan dunia film kita dalam menghadapi anaknya sendiri yang asyik bermainmain di ”luar sana”. Opera Jawa memenangi dua penghargaan di Festival Film Nanthes, juga menang di Festival Film Venesia 2006, dan Festival Film Toronto 2006. Sejak lahirnya, sebuah bagian dari seri New Crowned Hope sebagai bagian dari perayaan 250 tahun Mozart, ia membayangkan diri sebagai anak ”sinema dunia”. Ia dengan lugas terlibat dalam pusaran ide dunia, tapi tak terlalu diterima di negeri sendiri. Toh Garin Nugroho, sang sutradara, seakan telah punya tempat yang tetap dalam pusaran ide dunia. Setelah Opera Jawa, ia membuat lagi film yang lebih jelas lagi diperuntukkan untuk para pemirsa sinema dunia (bahkan, orang boleh curiga, hanya bagi penonton tertentu di Barat). Kali ini dokumenter, tentang kolaborasi free Jazz, dan seni lokal para penduduk/seniman sekitar Prambanan, Merapi, dan Jogja. Apakah kita, di negeri ini, tak bisa menikmatinya?

Film sebagai wacana, sebagai permainan Memang sukar menikmati  Opera Jawa. Seni opera tidak lah mengakar di sini. Jangankan opera dalam panggung-panggung Eropa mereka yang megah, saya selalu mengalami kesulitan tertentu dalam menikmati film-film berakar opera, seperti Evita (Alan Parker), Moulin Rouge (Buzz Luhrman), Jesus Christ Superstar  (Norman Jewison). Walau film-film itu tak ”opera” benar, tapi tetap saja: pasti ada masa sejenak dalam menonton film-film itu, saya harus ”menyetel” ulang ekspektasi saya agar lebih sesuai dengan ekspektasi film itu terhadap penonton. Namun itu hanya salah satu saja hambatan dalam menikmati Opera Jawa. Hambatan yang lebih besar, hemat saya,

FILM SEBAGAI PERCAKAPAN GAGASAN

adalah posisi film ini sebagai wahana urun suara dalam pusaran ide dunia kontemporer. Film ini memang menempatkan diri sebagai wacana. Bukan sekadar wacana tentang keadilan atau pertempuran nafsu dan kesetiaan, godaan dan ketertiban, seperti yang diverbalkan dalam tembang-tembang di film ini. Jika hanya itu ”pesan” film ini, Garin tak perlu repot-repot melibatkan sekian banyak musik dan tarian ”kontempo-tradisional”, plus sekian banyak seni instalasi. Soal-soal yang diverbalkan dalam film ini hanyalah sebuah permukaan, sebuah pernyataan, tetapi ada lebih dari itu di bawah permukaan tersebut. Salah satu kunci menikmati Opera Jawa adalah ungkapan Garin sendiri, ketika memimpikan generasi baru pembuat film Indonesia. Dalam sebuah tulisan di Kompas (yang kemudian diulas Seno Gumira dalam Bangkit Tak Bangkit Sinema Indonesia), Garin menyatakan bahwa sineas masa depan adalah ”anak kandung budaya multimedia”. Saya kuat menduga bahwa Garin membayangkan diri demikian, sebagai ”anak kandung budaya multimedia”, pada saat membuat Opera Jawa. Artinya, film ini diletakkan dalam naungan pertukaran wacana tentang (hakikat) film sendiri. Dengan menyertakan seni instalasi dan berbagai hibridasi seni tari dan musik yang berkembang di Jawa masa kini sebagai bagian dari  mise en scene yang padat dalam Opera Jawa, Garin sedang bermain-main di taman budaya multimedia. Di dalam budaya multimedia, hibridasi adalah sebuah keharusan alamiah. Dalam budaya multimedia, colongan dan selonongan antarwilayah budaya secara seenak perut dan kurang ajar bukan hanya dimaklumi, bahkan terpuji. Seni tinggi dan seni rendah, seni tradisional dan seni modern, yang lokal dan yang global, duduk bersama di taman budaya multimedia dan bercakap-cakap dengan asyik. Inilah kunci lain untuk menikmati Opera Jawa. Saya ajak Anda lebih dulu melihat sebuah iklan kuliah umum sejarah filsafat dari Profesor Daniel N. Robinson dalam The Economist 31 Maret-

51

52

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

6 April 2007. Iklan ini menyatakan: ”Perhaps more so than in any other discipline, philosophy is best understood as a ”great conversation” held across hundred of years.” Saya kira, gambaran ini tak hanya berlaku pada filsafat. Seni pun bisa kita pandang sebagai sebuah “percakapan besar” yang telah berlangsung ratusan tahun. Film, walau baru kurang lebih seabad menjadi medium seni dan ekspresi, telah menerbitkan sebuah “percakapan besar” pula. Dengan Opera Jawa, Garin menantang kenyamanan kita dalam memahami film (fiksi). Ia sendiri berangkat dari sebuah tantangan yang tersedia dalam sejarah seabad film: bagaimana film bisa menangkap tari? Dan Garin tak hanya berhenti pada pertanyaan ini. Dalam film selanjutnya, sebuah dokumenter (setelah lama Garin tak membuat dokumenter) yang ganjil, Garin mempertanyakan pengertian ”film dokumenter” sendiri. Film itu, Teak Leaves On The Temple, adalah sebuah capaian lebih baik dari  Opera Jawa, tapi sampai saat ini tak terlalu banyak dipercakapkan.

Menghidupkan tubuh: Opera Jawa Kita nikmati dulu Opera Jawa, mumpung sedang diputar lagi di empat kota besar Indonesia: Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang. Lebih dulu, sebuah catatan. Satu hal yang sangat fatal mengganggu penikmatan Opera Jawa adalah teks terjemahan. Kehadiran teks ini sungguh membuyarkan ritme film. Seluruh dialog film yang ditembangkan berbahasa Jawa sesungguhnya berjalan dalam ritme yang lamban: kata demi kata jatuh perlahan, sesuai ritme tembang yang sedang dinyanyikan. Lha, teksnya jatuh langsung sebaris kalimat. Mata kita akan membaca baris kalimat, menemukan pengertian akan kata yang sedang diucapkan, hanya dalam beberapa detik. Belum sampai tembang

FILM SEBAGAI PERCAKAPAN GAGASAN

ke ujung kalimat, penonton sudah paham belaka kalimat itu sampai ke ujung. Saya membayangkan, lebih asyik jika jatuhnya teks diatur ritmis pula. Dan ini dimungkinkan jika pemberian teks dilakukan secara digital, menjadi bagian rupa dalam film ini. Hal ini pernah dilakukan dengan baik sekali dalam klip video Right Now (Van Hallen) dan klip lagu George Michael yang saya lupa. Dilemanya, memang, setidaknya harus ada dua pemberian teks: terjemahan bahasa Indonesia, dan terjemahan bahasa Inggris. Nah, filmnya. Sebuah opera, dengan memberdayakan latar dan lagu Jawa. Tentang Rama, Sinta, Rahwana, dan cerita dasar dari epik Ramayana. Dikontemporerkan menjadi perlambang, mewujud dalam sosok-sosok manusia Jawa (/Indonesia?) kontemporer. Apakah ”opera”? Apakah ”Jawa”? Apakah “Ramayana”? Apakah “Indonesia”? Apakah “modern” dan “kontemporer”? Dan bagaimana film berdialog dengan semua itu? Banyak bahan percakapan bisa digali dari sini. Tapi saya tertarik mempercakapkan apa yang mendominasi layar Opera Jawa: tari. Apakah “tari”? Bunda Ludiro, Sukesi (Retno Maruti), menyatakan bahwa “tari adalah tubuh yang hidup”. Seluruh adegan film ini adalah pembuktian tesis itu. Eko Supriyanto, yang di sini terkenal sebagai satu-satunya penari Indonesia yang pernah jadi penari latar Madonna, sangat menonjol dalam perannya sebagai Ludiro, atawa Sang Rahwana. Eko menari dengan seluruh tubuhnya, bahkan wajah, dan ujung jempol kaki. Adegan tari di dapur saat menanak nasi, ketika Ludiro menggoda Siti, atawa Sita (Atika Sari), sungguh nakal-gembira— dan air muka Eko, juga gerak bahu dan lengannya, sangat penting menghidupkan suasana nakal-menggoda itu. Eko yang sama juga, menarikan sebuah ide tentang kekerasan di rumah jagal: begitu brutal, begitu menumpulkan akal. Dan Eko bisa ngeblues juga, dalam sebuah adegan tipikal blues yang penuh asap rokok dan remang, dengan petilan gitar serta nyanyian menyayat dari Slamet

53

54

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Gundono dalam bahasa Jawa kasar. Adalah tari pula yang menghidupkan tubuh Atika Sari yang bukan penari profesional. Tubuh Atika melengkung dan meliuk, sebagai Siti/Sita yang dibakar gairah. Siti adalah Sita, dengan pembengkokan: sang ”Sita” ternyata bukanlah korban murni, ia juga cenderung tertarik pada berbagai ragam godaan sang ”Rahwana”. Mengapa? Karena Siti dulunya adalah penari, seorang yang terbiasa tubuhnya hidup, tapi lantas harus takluk pada keselarasan dan kepantasan seorang istri. Siti yang menyimpan bara, harus anteng, harus setia pada Setyo (Martinus Miroto), sang ”Rama”. Juga ada pembengkokan sang ”Rama” dalam film ini: ia bukan raja, kecuali dalam rumah tangganya saja; ia hanya pengrajin gerabah yang tergusur krisis ekonomi. Justru Ludiro yang raja di kampung itu. Ia menggusur, tapi juga sekadar anak Mama yang urakan karena mengumbar hasrat, dan karena itu sangat menarik bagi Siti. Hadirnya hasrat, mulanya sebagai ancaman tapi lantas jadi godaan, muncul dalam bentuk kukusan yang kadang jadi topeng menyembunyikan malu dan hasrat merona, kadang meradang bak naga, kadang lucu dan riang. Ketika Setyo yang terluka dan dimiskinkan membangkitkan perlawanan sosial, tema yang ia angkat adalah ”kesetiaan akan mengalahkan keserakahan”. Motif pribadi bercampur-baur dengan tuntutan keadilan sosial kepada Ludiro. Garin mencoba memecahkan soal menangkap tari dalam kamera. Tak seperti pilihan Buzz Luhrman dalam  Moulin Rouge yang membuat kamera tak bisa diam menari lincah, dan memanfaatkan suntingan gambar yang serba cepat untuk mencipta ritme dinamis, Garin memilih memberdayakan komposisi gambar dan mise en scene. Kamera yang ditangani Teoh Gay-Hian (juga jurukamera karya Ho Yuhang dari Malaysia, Sanctuary dan Rain Dogs) lebih banyak statis, bahkan untuk gerakgerik tari yang panas dinamis. Walau tak bergerak, kamera

FILM SEBAGAI PERCAKAPAN GAGASAN

sebetulnya cukup aktif. Dengan posisi anteng, kamera cukup sadar potensi close up, long shot, long take, dan sebagainya, dalam merekam tari. Ibarat teknologi mikrofon memungkinkan Frank Sinatra mendesah merayu tanpa harus berteriak dalam mengalahkan musik orkestrasi  big band, sehingga memicu revolusi dunia hiburan dengan lahirnya album pop pertama, The Voice of Frank Sinatra pada 1946. Garin dan Teoh memberdayakan kamera untuk merekam ”opera” tanpa harus bermegah-megah dan berteriak-teriak. Musik dan komposisi tembang karya Rahayu Supanggah dimungkinkan oleh pendekatan sinematis GarinTeoh, untuk tetap mendominasi layar bahkan di saat-saat intim seperti ratapan, dan keluhan Sukesi tentang nasib Ludiro anaknya. Lebih menarik lagi, saat-saat musik tiada (ketika gemerisik langkah pemain di atas lantai berdebu terdengar jelas, misalnya) bisa jadi momen jeda yang agak menyesakkan. Betapa dekat sebetulnya jarak antara ada dan tiada musik: apakah ketiadaan musik adalah musik sendiri?

Menghidupkan ruang: Teak Leaves OnThe Temple Dan apakah musik? Film dokumenter  Teak Leaves On The Temple  mencoba menjawab itu. Seperti  Opera Jawa, film ini melibatkan banyak komunitas seni kontempo-tradisional Jawa, terutama di sekitar Jogjakarta, Prambanan, dan Gunung Merapi. Lagi-lagi terjadi percakapan seni yang asyik: apakah ”Barat” dan ”Timur”? Apakah ”seni”? Apakah ”seni kontemporer” dan ”seni tradisional”? Apakah “Tuhan”? Tapi, lagi-lagi, saya tertarik untuk bercakap-cakap tentang pertanyaan tentang medium film yang dipicu oleh film Garin terbaru ini: apakah ”film dokumenter”? Seperti Five Obstructions (Lars von Trier) yang menantang

55

56

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

kenyamanan definisi saya tentang ”film dokumenter”, Teak Leaves On The Temple kembali menggoyah kenyamanan itu. Banyak unsur film dokumenter konvesional bertahan, seperti rekaman wawancara dan rekaman peristiwa apa adanya. Tapi secara keseluruhan, film dokumenter ini dengan sadar menjadi artifisial. Atau, dengan sadar film ini bermain-main dengan yang artifisial. Teak Leaves merekam trio Guerino Mazzola, Heinz Geisser (keduanya, dari Swiss—negeri yang ”aneh” untuk Jazz), dan pemain bass asal Amerika Norris Jones yang lebih dikenal sebagai Sirone, saat mereka berkolaborasi dengan komunitas seni lokal di tiga candi Jawa pada 2006. Geisser di awal film menyebut kolaborasi-kolaborasi itu sebagai sebuah perjalanan. Geisser, pianis beraliran free jazz yang sebetulnya berpendidikan di bidang matematika murni, mengurai ketakjubannya pada berbagai metafor yang ia temukan dalam candi. Salah satu tema yang ia tangkap dalam candi, perjalanan manusia dari ruang satu ke ruang lebih tinggi, hingga mencapai ruang tertinggi. Musik adalah dialog bunyi dan ruang. Apa yang terjadi dalam ruang yang terpilih oleh trio ini direspon oleh piano, drum, dan bass, dalam sebuah bentuk permainan jazz bebas. Relasi antara bunyi dan ruang itulah yang menghidupkan ruang. Maka penting sekali untuk bentuk kolaborasi ini lokasilokasi nyeleneh untuk sebuah pertunjukan jazz: candi, pesawahan, kampung, lokasi bencana gempa. Dalam merekam perjalanan menghidupkan ruang demi ruang itu, Garin juga merekam sebuah lanskap seni yang menarik di sekitar Prambanan, Borobudur, Gunung Merapi, dan Jogja. Ada unsur-unsur festival kampung Nitiprayan-Jomegatan, Sutanto Mendut, komunitas rupa The Daging Tumbuh (khususnya, gambar-gambar Eko Nugroho yang khas, dan salah satunya menjadi poster publikasi film ini), kelompok musik bambu Plaosan, dan sebagainya.

FILM SEBAGAI PERCAKAPAN GAGASAN

Yang jadi bintang dalam lanskap ini tentu saja Ismanto: pematung batu berperut buncit dan rambut ikal panjang, periang, ”sok tahu”, tulus bak kanak, berbaju kaos Superman. Dengan gaya dosen, Ismanto berceramah tentang ”Superman”—setiap manusia yang mampu melampaui keterbatasannya. Paling asyik saat menyimak omongannya tentang batu (betapa ia sering curhat pada batu, ingin jadi batu), dan tentang keasyikannya 5-6 jam melamun di sungai desanya setiap hari. Ketika muka Ismanto dengan gembira menceritakan bagaimana lamunan di sungai bisa memberi ilham, saya merasa terharu: itulah ”seniman”! Ia gembira oleh ilham berkarya, ia gembira ketika harus berkarya. Sampai separuh film, saya diasyikkan dengan segala yang terjadi di layar, segala percakapan antarmusik, antartari, antargagasan tentang seni dan hidup dari orang-orang yang terlibat dalam perjalanan kolaborasi ini. Sampai tiba-tiba saya tersadar, yang bercakap-cakap bukan hanya yang terpampang di layar saja. Ada yang turut berdialog, tapi surut ke belakang: kamera. Garin dan, lagi-lagi, Teoh Gay-Hian sebagai cameraman menggunakan kamera digital dan tak menonjol-nonjolkan diri. Dalam pertunjukan musik trio Mezzola-Geisser-Jones bersama ensambel Senoseni di Prambanan, misalnya, kamera hanya beroperasi secara dasariah (basic) belaka, seperti kamera TVRI merekam pertunjukan panggung. Baru di tengah-tengah, kehadiran kamera semakin terasa. Semakin terasa di bagian akhir, ketika dengan tiba-tiba kamera berfungsi sebagai alat foto, yang merekam wajah-wajah para seniman kampung itu dalam still life tanpa suara. Padahal, dari awal sebetulnya medium film telah ikut bercakap-cakap dengan trio jazz dan perjalanan mereka di Jawa. Film dibuka dengan seorang penari merespon sehelai daun jati, di candi, ditingkah gasing yang mendengung sampai gambar menggelap dan bunyi sayup. Di bagian akhir, sang penari berjalan

57

58

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

menari dalam senja di sebuah lapangan rumput. Berjalan pula beberapa seniman, termasuk Ismanto dengan kaos Superman dan jubah merah, berlari seolah anak kecil membayangkan terbang sebagai Superman. Ketika adegan-adegan terakhir itu terpampang, pertanyaan tentang ”apakah film dokumenter?” menderas dalam diri saya. Garin dalam film ini bukan hanya hendak mendokumentasi kenyataan. Ia berambisi merekam kebenaran seni. Menurut saya, ia berhasil. Selepas menonton, dalam acara 2nd Jogja Asian Film Festival (JAFF) Netpac, beberapa rekan seperti tak bisa menerima saya menyukai film ini. Mereka mencari-cari penjelasan mengapa saya bisa menyukai film yang ”menjemukan, berat, terlalu ’nge-art’, bikin ngantuk” ini. Sampeyan memang penggemar Garin, ya, tanya seseorang. Wah, salah besar, saya bilang. Saya pencela film-film Garin (dan pencela Garin juga). Oh, atau sampeyan memang senang jazz, ya? Lho, salah lagi, kata saya. Wong saya penggemar musik cadas, kok. Saya sampai nyaris merasa bersalah menyukai film ini—apa saya sedang elitis, sok nyeni? Tapi saya tak bisa mengusir senyum saya sepanjang menonton film ini. Barangkali karena saya tidak merasa sedang menonton ”film seni”, tapi sedang menonton kebermainan para seniman kampung—termasuk si Garin itu.

— Opera Jawa Sutradara: Garin Nugroho / Pemain: Artika Sari Dewi, Martinus Miroto, Eko Supriyanto, Retno Maruti, Slamet Gundono / Kamera: Teoh Gay-Hian. Musik: Rahayu Supanggah / Durasi: 119 menit. Teak Leaves On The Temple (dokumenter) Sutradara: Garin Nugroho / Kamera: Teoh Gay-Hian / Produksi: Trimax Enterprises Film / Produser: Toni Hauswirth, Winston Marsh / Kolaborator: The Geisser-Mazzola-Jones Trio, Sonoseni Ensemble, Sutanto Mendut, Ismanto, Eko Prawoto, Tri Ikhtiar, The Daging Tumbuh (Eko Nugroho), Kelompok Musik Bambu Plaosan, Kampung Nitiprayan.

Hikmat Darmawan

Cintapuccino

Lampu Merah Buat Rudy

D

alam film remaja tapi bertokoh “dewasa” ini, bertebar dialog macam begini: ”Siapa sih elo?” ”Apa sih mau elo?” Saya gatal sekali ingin menambahi kata ”Rud” pada dua macam kalimat itu. Jadi, begini: ”Siapa sih, elo, Rud?”; atau, ”Apa sih mau elo, Rud?” Menonton Cintapuccino, saya memang gatal sekali ingin bertanya demikian kepada sang sutradara, Rudi Soedjarwo. Saya heran, sutradara yang dengan gagah pernah berteriak di mimbar FFI, “Selama saya masih berdiri, film Indonesia tak akan mati!” ini kok bisa-bisanya menghasilkan film luar biasa malas begini. (Atau mungkin saya heran, kok bisabisanya Rudi berteriak begitu?) Jika film Indonesia tak mati, tapi hasilnya macam begini saja, ya, saya pikir lebih baik mati dulu saja lah film Indonesia. Siapa tahu bisa reinkarnasi, mungkin jadi cacing dulu untuk

60

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

menebus “dosa”, sebelum jadi makhluk lebih tinggi dan akhirnya masuk nirvana. Rudi sang pemenang Citra—apa artinya? Demikian juga Jujur Prananto, cerpenis handal, dan pemenang Citra untuk penulis skenario, yang mendampingi Icha Rahmanti sang penulis novel yang difilmkan Rudi ini. Apa artinya para pemenang Citra yang seharusnya jadi tolok ukur keunggulan film nasional itu? Saya merasa gatal bertanya-tanya begitu karena saya merasa telah dikhianati Rudi lewat film ini. Saya suka sekali Ada Apa Dengan Cinta?—sebuah film hiburan yang segar, menyenangkan, dan dengan caranya sendiri telah cukup tepat menyuarakan suasana zaman. Keterampilan teknis pembuatan film yang menjadi kebanggaan tersendiri para pembuat film generasi Rudi, sangat tampak. Ciri lain, keasyikan membuat film, tampak nyata dalam  Ada Apa Dengan Cinta?—sejenis keasyikan yang memancar dari layar, menular kepada penonton. Film-film Rudi sesudah itu rata-rata tak kehilangan ciri keasyikan tersebut. Tentu, banyak sekali masalah dalam film-film Rudi macam  Tentang Dia, Mengejar Matahari, Mendadak Dangdut—umumnya, berhubungan dengan karakterisasi, “logika dalaman” film, dan ketakbermaknaan pesan-pesan dalam filmfilmnya, yang sering bersifat pseudo-filsafat itu. Tapi paling tidak, saya mendapatkan sebuah sajian yang dihidangkan dengan keterampilan teknis pembuatan film yang beres. Berbagai kelemahan film-film Rudi, adalah juga kelemahan umum pembuat film generasinya. Dalam konteks kelemahan umum itu, Rudi termasuk di atas rata-rata lah. Setelah meletakkan dulu akal saya di tangan penyobek karcis bioskop, paling tidak saya bisa berharap mendapat hiburan alakadarnya dari film-film Rudi. Harapan itulah yang dengan spektakuler diruntuhkan Cintapuccino, persis setelah adegan main “kartu monyet” di saat credit title permulaan film.

LAMPU MERAH BUAT RUDY

Fotografi yang tampak kurang profesional, misalnya. Tak apalah jika memang semangatnya adalah dalam rangka sinema gerilya. Tapi keseluruhan dialog, cerita, setting, pengarahan seni peran dalam  Cintapuccino  sama sekali tak menampakkan semangat itu: yang tampil hanyalah sebuah upaya mensimulasi gaya hidup remaja konsumtif tanpa refleksi sama sekali. Apa perlunya kamera, tata cahaya, dan penataan adegan harus bernuansa gerilya-non-profesional itu? Ada, memang, upaya  philosophizing  (memfilsafatfilsafatkan) cerita, di awal dan akhir film—soal “metafor” kopi untuk beberapa tipe cinta itu (saya ragu, adegan Ida Kusumah membisiki Sissy Priscillia tentang perlunya menikah dengan orang yang dicintai itu sebuah upaya berfilsafat juga, karena alangkah dangkalnya adegan itu!). Yang terasa hanyalah “filsafat” kelas horoskop, dan tips cinta majalah ABG. Dengan kata lain,  Cintapuccino  sama sekali tak punya hal berharga untuk diucapkan. Masalah film ini mungkin telah ada sejak kelahiran novel Cintapuccino sendiri. Novel yang tergolong chic lit lokal ini adalah salah satu sukses pertama lini penerbitan populer penerbit GagasMedia. Hampir berbarengan dengan novel ini, terbit juga Jomblo yang telah difilmkan juga, oleh Hanung Bramantyo. Kedua novel ini agaknya menjadi cetak biru sukses GagasMedia: keduanya ditulis oleh penulis muda debutan, yang sama sekali tak terdidik sebelumnya dalam profesi atau seni menulis, dan keduanya punya jaringan pergaulan anak muda yang oke. Boleh dicurigai, pertimbangan ke-“tokoh ”-an para penulis baru itulah yang jadi pertimbangan penerbit, sebuah potensi laris yang kuat. Demi potensi itu, GagasMedia menerapkan kebijakan redaksional yang radikal: sama sekali tak melakukan editing, naskah dibiarkan apa adanya. Soal (peniadaan) penyuntingan ini memberi pesan bahwa memang buku-buku jenis ini semata barang dagangan. Sebagai barang dagangan, kemasan lebih utama

61

62

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

daripada ambisi artistik apa pun. Rupanya, sikap ini cocok benar dengan cara Rudi membuat film Cintapuccino—paling tidak, kesan yang saya tangkap dari film itu: bahwa film adalah barang dagangan, tak lebih dan tak kurang. Karena pertimbangan daganglah, dipasang Miler (sebagai Nimo) yang lebih tampak idiot, ketimbang ganteng dan pantas jadi obsesi Rahmi (Sissy Priscillia) selama, ceritanya, 11 tahun. Miler agaknya adalah bintang Malaysia, paling-paling disertakan semata untuk membuka pasar di negeri jiran dan bukan karena talenta. Karena pertimbangan daganglah, tak ada upaya pencerdasan lebih lanjut dari sang sineas dalam adaptasinya terhadap buku populer itu. Karena menganggap film hanyalah barang dagangan lah, maka Rudi tampak sekali malas menafsir dan memberdayakan berbagai unsur film untuk menghidupkan cerita yang mati ini. Rudi sekadar memajang saja tiga pemain senior: Nani Wijaya, Ida Kusumah, dan Nani Somanegara dalam film ini. Terutama Nani Wijaya, dan Nani Somanegara yang aktris watak kuat, sama sekali tak termanfaatkan. Rudi juga mencoba bermainmain dengan pendekatan “kamera goyah”, dengan (digital)  handheld camera, seperti pada bagian awal saat permainan “kartu monyet” keluarga. Buat apa? Efek realisme? Tapi realisme apa sih yang ditawarkan oleh komedi romantik ini? Dan jika film ini menawarkan fantasi eskapis, “komedi” dan “romantik”-nya pun tak tergarap. Satu-satunya pilihan Rudi yang benar dalam film ini, hanyalah Sissy Priscillia. Aktris ini tak cantik tipikal, tubuhnya montok cenderung gemuk. Pemeran Milly yang blo’on tapi jagoan menyetir dalam Ada Apa Dengan Cinta? Ini, menampakkan bakat besar untuk jadi bintang romcom yang alamiah. Ada satu adegan klise dari segi filmis, saat Rahmi seolah berbicara dengan pujaan hatinya, tapi ketika kamera perlahan zoom out ternyata ia hanya bicara dengan bonekanya. Monolog ini direkam dalam

LAMPU MERAH BUAT RUDY

satu take panjang, dan satu-satunya yang membuat adegan ini berjalan hanyalah renyahnya pemeranan Sissy. Selebihnya, film ini hanya jadi kesia-siaan pameran gaya hidup kelas menengah yang dungu, yang hanya disibukkan oleh rasa cinta remeh. Cinta, tentu, bukan soal remeh—tapi film ini membuatnya remeh. Film ini adalah “lampu merah” bagi Rudi, untuk berhenti dulu membuat film. Bukan karena “paket-hematbikin-film-tujuh-hari-selesai”-nya yang banyak dikritik itu. Bikin film cepat tak mesti berarti asal-asalan, kok. Rudi mesti berhenti dulu membuat film karena tampak ia sedang tak asyik membuat film. Ia hanya kejar setoran, seperti supir metro mini S 75 yang kesetanan ngebut di jalan sempit Mampang. (Bahwa ada saja penonton yang merasa terwakili oleh film cinta remeh ini, membuat saya berpikir: jangan-jangan, budaya kita pun sedang di jelang lampu merah?)

— Cintapuccino Sutradara: Rudi Soedjarwo / Pemain: Sissy Priscillia, Aditya Herpavi, Nadia Saphira / Produksi: SinemArt Pictures, 2007.

63

Ekky Imanjaya

Muallaf

Brian dan Dua Gadis Ronin

H

us! Hati-hati bicara! Banyak pengikut Wahabi di sekitar sini,” ungkap Ana (Sharifah Amani) kepada adiknya, Ani (Sharifah Aleysha), dan guru sang adik, Brian (Brian Yap), saat berdiskusi bebas tentang penafsiran kitab suci. Itu adalah salah satu adegan dari film terbaru Yasmin Ahmad, Muallaf. Adegan lain tak kalah nakal. Miss Siva memukuli Ani di depan kelas. Guru sekolah Katolik itu tak tahan karena muridnya acap mengucapkan kutipan, dan nomor-nomor tak jelas. Puncaknya, saat ia menyuruh seluruh kelasnya menggambar gajah, Rohani (nama panjang gadis Melayu itu), malah menggambar bunga. Dan saat dirotan, Ani malah meneriakkan berulang-kali sebuah nomor: 105:1. Tak banyak yang paham tentang Ani, yang ikut kakaknya, Ana atau Rohana, kabur karena protes terhadap kelakuan ayah mereka. Alhasil, Ani membuat orang di sekitarnya takut dengan

BRIAN DAN DUA GADIS RONIN

tingkah anehnya. Misalnya, nomor di atas adalah penafsirannya atas perintah sang guru, yaitu nomor surat Al-Fiil (”Gajah”) ayat pertama dalam Al Quran. Sedang kalimat-kalimat yang dianggap igauan dari mulut Ani adalah ucapan terkenal para agamawan, mulai dari Tao The Ching hingga Santo Augustinus. Hanya Brian yang memahami Ani. Brian, seorang Cina pendiam, juga sedang melakukan pendekatan pada Ana. Ana dan Ani adalah sebuah proses pencarian ke-Tuhan-an. Keduanya belajar agama, mulai dari sosiologi agama hingga perbandingan agama, selayak para ronin: bebas dari madzhab. “Ronin” adalah istilah dalam bahasa Jepang untuk para “samurai tak bertuan”. Diterjemah secara bebas,  ronin  bisa juga menggambarkan para intelektual bebas, yang mandiri dan tak ikut golongan apa pun dalam mengembangkan pikiran mereka. Walau Ana dan Ani sadar bahwa mereka butuh guru, dan ilmu mereka tidak memadai untuk menafsirkan ajaran-ajaran agama, tetapi mereka tetap mencari Tuhan secara independen. “Setiap orang sedang mencari Tuhan dalam caranya sendiri,” tegas sang kepala sekolah, seorang India. Demikianlah pula keadaan Brian, seorang Cina yang bermasalah dengan ibunya dan karenanya tak lagi ke Gereja. “Biasanya, orang yang jauh dari tuhannya adalah orang yang sedang bermasalah dengan sesuatu,” tegur Ana, halus. Tapi Brian adalah sesama musafir, sesungguhnya, seperti Ana dan Ani—dalam perjalanan mencari Tuhan. Muallaf adalah film yang sensitif, sedikit ofensif, dan agak nakal. Film ini melakukan kritik sosial secara subversif. Tapi justru itulah kekuatan film ini: keberanian. Tengoklah gambaran sang Datuk, ayah Ana dan Ani, yang menganggap najis ludah anjing tapi tak merasa bersalah jika mabuk dan bermaksiat. Tipikal masyarakat Melayu (termasuk Indonesia)? Atau indahnya sebuah adegan two shots saat seorang kyai Melayu dengan baju koko putih, dengan pendeta India

65

66

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dengan baju putih bersih juga bersatu padu. Atau, lihat saja pembukaan film ini, tulisan Basmalah (seperti ciri khas pada semua film Yasmin)—kali ini, dalam aksara Cina. Semua menyuratkan keberanian Yasmin menyatakan sikapnya dalam film ini. Tapi, hemat saya, Yasmin tak keluar batas. Ia hanya menunjukkan fenomena pluralitas agama yang sebenarnya. Kita bisa bergaul dengan penganut agama lain, bahkan memelajari agama mereka, tanpa meninggalkan hakikat agama sendiri, apalagi mencampuradukkan dengan ajaran agama lain. Pesan pluralisme ini bisa bersembunyi, misalnya, dalam permainan kata dan nama “Siva” dan “Rohani”. Logika dalaman film ini kuat. Alasan masa lalu yang menghantui tokoh utama sungguh tajam. Ani yang digunduli dan Brian kecil yang ditelanjangi di depan umum, menunjukkan sebuah rasa malu dan, akhirnya, dendam kepada orang tua mereka. Dalam konteks ini, isu memaafkan mencuat lagi, seperti pada Gubra. (Kesediaan Sharifah Amani untuk digunduli habis kepalanya demi film ini, kini sedang jadi kontroversi di sebagian kalangan konservatif Malaysia. Ada fatwa bahwa haram bagi perempuan menggunduli rambutnya.) Tapi, harus diakui, inilah film Yasmin yang paling sarat dengan pesan, penuh dialog, dan lebih berat daripada trilogi Orked (Sepet, Gubra, dan Mukhsin; “Orked” adalah nama tokoh utama trilogi itu, yang juga diperani oleh Sharifah Amani). Mungkin karena “beban misi” film ini juga lebih berat dan sensitif. Setelah isu pembaruan etnis dalam film-film terdahulunya, untuk pertama kalinya Yasmin mengangkat tema agama. Tepatnya: Agama yang yang membawa damai, cinta, dan cahaya. — Muallaf Sutradara/Skenario: Yasmin Ahmad / Pemain: Sharifah Amani, Sharifah Aleysha, Brian Yap, Ning Baizura.

Asmayani Kusrini

4 Luna, 3 Saptamani si 2 Zile (4 Months, 3 Weeks, 2 Days)

Thriller Tenang Otilia

I

nilah penerima Palem Emas itu. Dibuka dengan sebuah adegan 3 detik. Sebatang rokok dengan asap mengepul tenang, berlatar belakang ikan hias yang berenang gelisah dalam akuarium kecil. Detik berikutnya, kamera seperti melangkah mundur. Seseorang—yang kemudian kita kenal sebagai Gabita—mengambil rokok sebatang itu, mengisapnya dengan sedikit gemetar. Detik selanjutnya, kamera makin mundur, dan sebuah ruang makin jelas terlihat. Lalu terdengar sebuah kata menyatakan kesanggupan, “OK”. Dan terlihatlah Otilia, yang akan jadi pengantar kita mengalami seluruh peristiwa dalam 4 Months, 3 Weeks, 2 Days. 4 Months  mengangkat sebuah subjek yang “terlupakan dalam sejarah,” menurut Traian Basescu, Presiden Romania saat ini. “Saya lupa bahwa Romania pernah mengalami era suram, hingga saya menonton film ini,” kata Basescu seperti yang dilansir

68

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

sebuah media lokal. 4 Months memang mengangkat sebuah subjek sensitif di era komunis: aborsi. Ketika komunis berjaya di periode 1947 hingga 1989, di Rumania, puluhan ribu ibu muda tewas karena aborsi ilegal. Christian Mungiu, sutradara sekaligus penulis skenario juga tumbuh di masa itu, ketika banyak remaja perempuan sebayanya mengalami trauma karena upaya aborsi. 4 Months juga banyak merekam detail-detail spesifik tentang situasi Rumania di era Nicolae Ceausescu itu. Pasar gelap, barang selundupan, aksi sogok, hingga kehidupan pelajar-pelajar yang terwakili oleh karakter Otilia, Gabita, serta remaja-remaja yang tinggal di asrama mahasiswa. 4 Months juga memotret kondisi psikologis dan mental masyarakat Rumania masa itu lewat karakter-karakter di film ini. Tanpa bermaksud mengotakkan film ini dalam kelas-kelas kategori, 4 months adalah sebuah thriller. Bukan thriller dengan adegan-adegan seperti pada umumnya film-film  macho  yang membuat Anda seperti ingin lompat dari kursi. Juga bukan film menegangkan macam film-film horor dengan efek suara yang menghebohkan. Tak ada yang menghebohkan dalam adeganadegan film ini. Thriller yang ditawarkan oleh 4 Months menyusup pelan-pelan, meneror dengan halus tanpa disadari. Dimulai dari kesibukan Otilia mencari hotel, menemui pacarnya, meminjam uang hingga menunggu lelaki misterius yang disebut Mister Bebe. Aktivitas Otilia itu memang bukan bahan yang empuk untuk sebuah ramuan thriller. Tapi Otilia—lewat aktivitasnya sepanjang film, gerak tubuh dan sikapnya— menampakkan keresahan dan kegalauan yang nyata, berkat seni pemeranan yang mengagumkan dari Anamaria Marinca. Tak ada musik atau suara yang menggelegar—ramuan basi film-film thriller konvensional. Otilia adalah thriller itu sendiri. Dan Gabita adalah pemicunya. Laku mereka berdua saja sudah cukup membuat saya ikut gelisah tak tenang duduk.

THRILLER TENANG OTILIA

Dan Mungiu bisa mengatur alur cerita, menjaga keseimbangan tempo, hingga ketegangan itu terus terasa, mantap, dan pasti. Ketegangan itu sampai pada puncaknya: adegan di kamar hotel itu, ketika Gabita, Otilia, dan lelaki misterius yang dipanggil Mister Bebe berkumpul. Segala bahaya aborsi di paparkan Mister Bebe. Dari bahaya fisik untuk sang ibu muda hingga hukuman penjara bagi mereka. Dan segalanya kemudian menjadi jelas. Bahwa bukanlah aborsi yang menjadi masalah bagi Mister Bebe ketika berulangkali ia berteriak kesal, “memangnya saya menyebut-nyebut soal uang dalam pembicaraan kita?” Setelah itu, 4 Months kembali mengalir. Tak ada dramatisasi. Apa yang terjadi selanjutnya memang sudah seharusnya terjadi. Semua begitu nyata. Adegan berlangsung tenang, dan karena itu pulalah adegan di kamar hotel ini begitu mencengangkan. Atau lebih tepatnya, adegan ini menampilkan ‘shocking image’ yang efektif. Begitu realistisnya, hingga seorang penonton ambruk dari kursinya. Pingsan! Dan seorang teman saya, laki-laki, mengaku ikut mual. 4 Months tak berhenti sampai di situ. 4 Months tidak juga menawarkan sesuatu yang menenangkan. Mungiu seperti ingin mengajak kita untuk ikut merasakan ‘thriller’ Otilia berikutnya. Ritme yang terjaga hingga akhir inilah yang membuat  4 Months menjadi film dengan sruktur yang sangat kuat. Dari segi penyutradaraan, seni peran para pemain, hingga kinerja sinematografernya, Oleg Mutu, semua terjaga tetap kuat. Sekilas dalam 4 Months, Mutu seperti sedang ikut-ikutan tren minimalis. Di awal, kamera Mutu memang lebih banyak diam mengamati, dan berjarak. Tapi kemudian ia seperti ikut arus ‘gelisah’ yang dihadapi Otilia. Metodenya berubah. Kamera handheld, cahaya alamiah, dan warna minimal. Teknik ini—ditambah dengan skenario—yang realis membuat  4

69

70

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Months berbeda tipis dengan dokumenter. Dan metode ini pas dan berhasil menjadi satu jiwa dengan alur dan ritme 4 Months. Sebelum 4 Months, film Mungiu yang lain, Occident, pernah terpilih di Director’s Fortnight pada Cannes 2002. Film itu membuat Mungiu bisa meyakinkan sejumlah pendonor untuk membiayai filmnya yang berikut.  4 Months, 3 Weeks and 2 Days tercatat sebagai film Romania pertama yang mendapatkan Palem Emas di Cannes Film Festival 2007, sekaligus juga mendapat FIPRESCI Award di ajang yang sama.

— 4 luni, 3 saptamani si 2 zile aka 4 Months, 3 Weeks, and 2 Days Sutradara & skenario: Cristian Mungiu / DOP & Produser: Oleg Mutu / Pemain: Anamaria Marinca, Laura Vasiliu, Vlad Ivanov.

Eric Sasono

Jelangkung 3

Dari Penonton, untuk Penonton

Y

odi (Andrew Roxbrough) ditinggalkan di tepi jalan oleh dua sahabatnya, Patra (Reza Pahlevi) dan Kris (Mita Griselda). Ia bagai anak domba berteriak kepada kawanannya ‘ada srigala!’ dan ketika srigala benar-benar datang, tak satupun percaya padanya. Si anak domba itu ditinggalkan oleh kawanannya. Malang bagi Yodi. Srigala benar-benar datang kepadanya. Peristiwanya terjadi sesudah ia dan dua sahabatnya menonton film Jelangkung, film keluaran tahun 2001 yang disutradarai Jose Purnomo dan Rizal Mantovani. Yodi tak percaya takhyul. Ia keturunan bule, dan memuja pikiran yang logis. Maka ia tak percaya bahwa deretan bangku kosong di bioskop adalah tumbal untuk film itu. Yodi pun memaksa duduk di deretan bangku yang kosong itu. Dan lalu ia bernasib sial. Berbeda dengan nasib Angga Dwimas Sasongko dan Ginatri S. Noer. Pada 2001, dua sahabat ini juga menonton film Jelangkung.

72

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Tujuh tahun kemudian mereka berkesempatan membuat sekuel salah satu film paling monumental dalam soal perolehan penonton dalam sejarah perfilman Indonesia itu. Ginatri menulis naskahnya, dan Angga menyutradarai. Dan mereka memilih membuat film tentang Film Jelangkung yang mereka tonton itu. Maka  Jelangkung 3  ini adalah sebuah dongeng tentang hubungan penonton film dengan filmnya. Baik cerita maupun subteks film ini sama-sama adalah soal hubungan penonton dengan filmnya. Sebetulnya ketika Ginatri dan Erwin Arnada (produser) membuat cerita dari legenda urban baru ini, mereka sudah mengambil risiko. Legenda urban yang dimaksud adalah bangku bioskop kosong pada saat pemutaran film horor yang dikosongkan untuk tumbal, atau untuk diduduki hantu yang disyuting. Mitos ini masih seumur jagung, dan lahir di lingkungan yang kecil: lingkungan penonton film horor, mungkin tepatnya lingkungan penonton Jelangkung pertama. Risiko sudah sangat besar dengan pilihan terhadap inside-mythos (atau inside-joke) ini. Nah, apakah dongeng dari para penonton film Jelangkung ini berhasil? Dengan syarat seketat tadi, mudah diduga: tak semua orang mau percaya mitos seperti ini. Namun bisa jadi mitos seperti ini masih laku untuk penonton film Jelangkung, termasuk pemunculan si anak kecil botak yang sama sekali tak menyeramkan bagi penonton yang belum menonton Jelangkung sebelumnya. Mungkin sutradara film ini benar-benar percaya pada film Jelangkung, sehingga ia bertaruh begini. Atau ia tak terlalu mengerti film horor. Angga Dwimas (film panjang pertamanya berjudul Foto, Kotak dan Jendela) tampak luput terhadap banyak hal. Pertama, ia tak menggali lebih jauh karakter Yodi yang sombong dan termakan paranoidnya sendiri. Padahal karakter ini bisa jadi kecohan yang sangat kuat di ujung film. Penjelasan

DARI PENONTON, UNTUK PENONTON

dengan dialog tak cukup mengantar informasi karakter seperti itu. Lihatlah betapa membingungkan adegan ketika Yodi memutuskan untuk membanting jelangkung itu sesudah dapat petunjuk dari Tuan Rius (Jose Rizal Manua). Kedua, petunjuk yang selalu diberikan oleh Angga pada saat hantu bakal muncul. Alih-alih memberi atmosfer, ia malah menghilangkan aspek kejutan film itu. Film horor memang bukan semata-mata bermodal ngagetin penonton. Tapi ketika penonton diminta bersiap sebelum dikagetkan, tak ada poin lagi dalam mengagetkan mereka, bukan? Lagipula jangan lupa bahwa film horor yang seram justru adalah ketika ia berhasil menakut-nakuti pada saat paling tak terduga. Lihat saja miniseri TV It yang menjadi film horor sangat seram dengan menggunakan rumus ini. Bayangkan bahwa unsur seram dalam film It dibangun oleh tokoh badut di siang hari! Pujian patut diberikan pada penata musik. Pada bagianbagian transisi antar adegan, musik yang mengiringi punya selera tinggi. Sayangnya, musik karya debutan Bagus Pratama ini sama sekali tak pas dengan cerita dan penceritaan kedodoran ini. Seharusnya musik ini dibuat untuk mengiringi cerita dengan kompleksitas karakter semisal film Talented Mr. Ripley. Sekalipun demikian, hasil kerja para anak muda berusia awal 20-an ini jauh dari memalukan. Keberanian produser untuk berinvestasi pada mereka patut dihargai. Sekalipun para pekerja kunci di film ini sudah mengerjakan film panjang sebelumnya, mereka jelas masih terhitung pemula dalam membuat film panjang untuk penonton luas macam begini. Jelangkung 3 seolah memberi pelajaran: para penonton yang kini sedang membuat film favorit mereka sendiri akan berkembang, dan belajar banyak. — Jelangkung 3 Sutradara: Angga Dwimas Sasongko / Penulis Skenario: Ginatri S. Noer / Pemain: Andrew Roxbrough, Mita Grisela, Reza Pahlevi.

73

Eric Sasono

Get Married

Komik Cinderella Kota Jakarta

I

ni adalah kisah Cinderella di sebuah kampung besar bernama Jakarta. Sebagaimana sebuah kota besar di dunia ketiga, lanskap Jakarta adalah pemisahan sosial yang tegas. Di balik dinding kompleks perumahan mewah, terletaklah pemukiman kumuh dengan atap-atap yang bertemu dan suara tetangga yang menyerobot masuk tanpa diminta. Lebih penting lagi, penghuninya: para pengangguran frustrasi. Film berjudul aneh ini adalah tentang mereka. Mae (Nirina Zubir) bagai upik abu yang menanti pangeran. Tak ada ibu tiri dan saudara tiri kejam baginya. Yang ada adalah nasib sial. Ketiga sahabatnya sejak kecil yang sayang padanya tak bisa menikah dengannya. Entah karena malu, merasa miskin, tak berdaya atau gabungan dari faktor-faktor semacam itu. Padahal Mae cantik. Ia disebut tomboy, tapi apalah makna kata itu sesungguhnya kecuali buat para orangtua yang masih melihat bahwa perempuan dan laki-laki punya peran, dan tugas

KOMIK CINDERELLA KOTA JAKARTA

yang sangat berbeda masing-masingnya.  Toh, di kota seperti Jakarta, atau di mana pun di dunia, pandangan kasip itu memang masih berlaku. Juga pandangan seperti menjodohkan anak perempuan mereka agar meringankan beban orangtua. Aneh juga jika film ini masih percaya pandangan semacam itu. Maka Mae dipaksa menikah oleh kedua orangtuanya. Ini jadi pangkal perkara karena tak ada pemuda di kampung itu yang dianggap layak oleh Mae. Tiga pemuda sahabat Mae, Benny (Ringgo Agus Rahman), Guntoro (Desta) dan Eman (Aming) tak rela pujaan hati mereka diambil diambil orang luar. Tapi mereka juga tak mampu bersaing. Dengan alasan membantu Mae, mereka mencegati calon jodoh yang datang satu demi satu dan memaksa mereka tak kembali. Kecuali apabila lelaki yang datang itu benar-benar anak raja atau anak sultan. Dan datanglah anak raja itu. Mungkin bukan anak raja, tapi kualifikasinya mirip pangeran dalam kisah Cinderella: tampan, kaya, baik hati, pintar, dan rendah hati. Kemungkinan semacam ini agak ajaib terjadi di dunia nyata, tapi Musfar Yasin memang sedang mengarang sebuah cerita komik (dalam artinya dari kata bahasa Inggris, “comic”, yakni “sifat lucu-lucuan”). Karakter dan peristiwa dilebih-lebihkan untuk mengundang tawa. Atau dipangkas habis seperti sosok sang pangeran ini. Sang pangeran itu bernama Randy (Richard Kevin). Ia bersekolah di Amerika dan mengendarai Porsche Cabriolet di Jakarta. Ia sedang berlibur dan terus dicereweti ibunya (Ira Wibowo) agar tak menikah dengan bule. Sebagaimana pangeran dalam dongeng, Randy berhati terlalu mulia untuk mendapat pacar sembarang anak mal, atau sembarang model cantik sekelas VJ MTV. Ia harus mendapat kecantikan yang “orisinal”. Dengan kata lain, apakah ia menginginkan “harta karun”, “berlian yang belum diasah”? Mungkin Mae adalah orang yang tepat. Sayang, Kevin Richards yang memerankan Randy tak pernah belajar

75

76

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

akting dengan baik untuk mengantarkan rayuan semacam itu kepada orangtua Mae. Namun bukan orangtua Mae yang tak terima, melainkan tiga pemuda pengangguran pelindung Mae yang tak suka padanya. Tiga lelaki pengangguran di kampong, dan anak orang kaya ber-Porsche sudah tepat untuk sesuatu bernama konflik kelas. Sebuah topik yang sejak  Langitku Rumahku  (Slamet Rahardjo, 1990), absen dalam film Indonesia. Alih-alih menghindarinya, Musfar Yasin justru menjadikannya sebagai sebuah bahan olok-olok. Olok-olok Musfar ini mungkin terasa naif, tapi nama lain untuk kenaifan Musfar ini adalah tulus. Akibatnya, Get Married menjadi sebuah film dengan cerita yang sangat enak diikuti. Memang, skenario Get Married ini masih kalah kelas kalau dibandingkan dengan skenario Musfar pada Ketika. Tapi kedua skenario ini punya karakter sama: dengan semakin tak berniat macam-macam, menjadi semakin kuat pula mereka. Sampai di sini, saya sedang mencoba memercayai sesuatu: Musfar Yasin adalah penulis skenario terbaik yang sedang dimiliki oleh negeri kita saat ini. Dialog-dialog dalam film ini sedang menyediakan bukti-bukti untuk itu, sekalipun saya akan lebih sabar menunggu untuk sampai pada kesimpulan akhir. Untunglah ambisi artistik Hanung tak terlalu tinggi terhadap skenario ini. Aliran cerita yang terasa lancar dan komik itu tetap sampai dengan baik. Ambisi Hanung terasa pada visualisasi, tapi itu tak sampai mengganggu cerita. Sedikit lagi saja Hanung bermain-main dengan kamera, maka ia mengkhianati cerita komik yang dimaksudkan untuk sederhana ini. Nyaris hal itu terjadi pada adegan perkelahian massal. Terlihat sekali ambisi Hanung untuk memperlihatkan bahwa kekerasan di negeri bernama Indonesia itu adalah sesuatu yang nyata dan menyeramkan. Mungkin gambar-gambar perkelahian ini bisa diacu pada film  City of God. Padahal, dalam komik

KOMIK CINDERELLA KOTA JAKARTA

semacam  Get Married  ini, orang kerap memaklumi tipisnya realisme dan pelebih-lebihan guyonan. Dengan durasi sepanjang itu, adegan perkelahian massal di film ini membuat sifat karikatural secara keseluruhan tercecer, bahkan ada akibat yang lumayan mengganggu. Tiba-tiba pokok soal dalam karikatur ini berubah serius: ada implikasi yang menyeramkan dari kebercandaan kita (baca: Hanung dan penonton filmnya ini) di sepanjang film. Memang, kenyataan bernama konf lik kelas dan sebagainya ini menyeramkan, dan kita sudah tahu. Lagi pula, bukankah film ini sejak awal sedang mencoba menertawakan soal ini bersama? Komik selalu bersifat satu dimensi dan ke-satudimensian film ini memakan korban-korbannya. Pertama, adalah karakter pangeran tampan bernama Randy. Relakah kita percaya bahwa orang kaya raya tak ketulungan ini begitu kepayangnya hingga rela mati untuk perempuan yang pertamakali ditemuinya? Kedua, tentu adalah situasi yang harus dihadapi Mae. Boleh saja ia digambarkan punya cita-cita menjadi polisi di awal film. Anehnya, sepanjang film, Mae pasrah saja jadi objek rebutan tiga sahabatnya dengan cara gambreng atau suit atau berkelahi di jalanan. Catatan-catatan itu tak membuat film ini tak jadi menghibur. Dialog yang mengejutkan dan diantarkan pada momen yang tepat, membuat seluruh film akan dipenuhi tawa menyegarkan. Saya tak tahu apakah penonton rela untuk meninggalkan perspektif-perspektif mereka ketika menonton film ini.

— Get Married Sutradara: Hanung Bramantyo / Skenario: Musfar Yasin / Pemain: Nirina Zubir, Aming, Desta, Ringo Agus Rahman, Richard Kevin, Jaja Miharja, Meriam Bellina.

77

Eric Sasono

This is England

Inggris Tahun 1983, dan Seterusnya

S

haun bangun dari duduknya dan menghantam Combo. Ia tak suka orang membicarakan mengenai Perang Falkland. Combo, seorang dewasa berbadan kekar yang baru saja keluar dari penjara tak menduga anak 12 tahun itu bakal menghantamnya. Ia kaget, tapi cepat menguasai diri. “Aku tak suka orang membicarakan Perang Falkland!” teriak Shaun. Ayahnya pergi ke sana sebagai tentara dan tak pernah kembali. Maka ketika Combo berpidato bahwa ayahnya mati siasia, Shaun merasa Combo sedang melecehkan ayahnya. Padahal tak ada serangan pribadi terhadap Shaun pada pidato Combo. Ia baru saja keluar dari penjara dan sedang membentuk pasukannya. Shaun, yang biasa nongkrong dengan anak-anak tanggung yang dipimpin Woody, menjadi sasaran pidato Combo. Inilah Inggris, kata Combo setengah berteriak. Ia sedang membakar semangat anak-anak muda itu bukan sekadar membela

INGGRIS TAHUN 1983, DAN SETERUSNYA

tanah airnya, melainkan juga membersihkannya dari orang-orang kulit berwarna. Termasuk Milk yang berkulit coklat, seorang keturunan Jamaika. Combo berteriak bahwa 3,5 juta orang kulit putih Inggris menjadi penganggur sementara pekerjaan yang layak dipegang oleh para “Pakis”, sebutan merendahkan untuk imigran Pakistan. Lantas Perdana Menteri Inggris saat itu, Margaret Tatcher, alih-alih mencarikan pemecahan malah mengirim orang Inggris ke Atlantik untuk berebut kepulauan Falkland (atau Malvinas?) dengan orang-orang Argentina. Sampailah Combo pada pidato yang menyebabkan ia mendapat pukulan dari Shaun. Tapi pukulan itu menandakan Shaun seorang yang istimewa bagi gerakan yang sedang dibangun Combo. Di akhir pidato, Combo meludah, dan membuat garis dari ludahnya itu. Lewati garis ini dan jangan kembali, pinta Combo kepada gerombolan yang mengingatkan kita pada Alex DeLarge dan kawan-kawan di A Clockwork Orange  (Stanley Kubrick). Woody sang pemimpin gerombolan dan beberapa lagi (tentu di antaranya adalah Milk) meninggalkan ruangan itu. Namun Shaun, sebagaimana diperkirakan, tidak keluar. Ia terbakar oleh pidato Combo tadi. Ia memang memukul Combo, tapi itu menjadi semacam jalan pencerahan baginya. Pukulan Shaun menandai bahwa ia memang seorang anak yang istimewa. Shaun cepat besar, lebih dari usianya. Komentar salah seorang cewek anggota geng, Smell, “Ciumanmu seperti ciuman lelaki umur 40”. Shaun marah akan nasib ayahnya, mungkin ia dendam pula menjadi objek bully. Ia pun bergabung dengan pasukan skinhead Combo. Tapi memang bukan hanya Shaun yang punya masalah. Inggris memang punya masalah, kata sutradara film ini, Shane Meadows. Inggris yang digambarkan dalam film This is England ini adalah Inggris tahun 1983. Perang Falkland memang sedang terjadi dan Inggris sedang dilanda oleh krisis. Krisis ini mendorong ultranasionalisme dan pembentukan kelompok-

79

80

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

kelompok  skinhead. Mereka melakukan  bashing  kepada para penduduk kulit berwarna, terutama para keturunan Pakistan. Bahkan film ini menggambarkan adanya sebuah kekuatan politik formal yang diam-diam memayungi kelompok-kelompok skinhead itu. Tapi, oi!, para skinhead juga manusia. Lingkungan dalam film ini memang penting. Namun, sebagaimana Ratcatcher (Lynn Ramsay), ini memang bukan film politik atau film tentang ideologi. Ini adalah kisah kecil tentang orang-orang yang sedang berjuang dengan dirinya, bahkan ketika orang itu masih berumur 12 tahun. Shane Meadows menghadirkan perjuangan ini dengan cara yang faktual. Karena disajikan cenderung sebagai fakta kering, aksi para tokoh dalam film ini tak mengarah pada dramatisasi. Ketegangan justru terbangun pada perubahan suasana. Dengan demikian, perilaku karakter terbebaskan dari penghakiman. Tinggallah penonton menjawab semacam pertanyaan-pertanyaan moral dalam film ini. This is England adalah sebuah contoh finesse filmmaking. Shane Meadows tahu benar caranya mempekerjakan elemenelemen filmnya untuk mendapatkan bahasa yang halus. Ia tak sekadar membangun drama, tapi juga mengantarkan rasa dalam film ini. Dengan sinematografi, editing, dan pemilihan warna, film berubah suasana nyaris tanpa terasa. Suasana riang di awal film pelan-pelan menjadi semakin tegang. Udara seakan menjadi mampat di sana. Bayangkan bahwa kehadiran Combo saja sudah berhasil membuat napas jadi sesak, dan kita terus menanti apa yang akan meledak. Tentu hasil ini juga lahir dari akting yang sangat natural yang mengingatkan pada gaya akting para pemain film Iran yang kebanyakan bukan aktor profesional. Akhirnya memang ada sesuatu yang meledak pada This is England! Arah datangnya lumayan bisa diduga. Sama halnya dengan masa depan pokok soal yang dibahas di film ini, yakni

INGGRIS TAHUN 1983, DAN SETERUSNYA

rasisme, ultranasionalisme, dan segala tetek bengek yang menghasilkannya. Lewat film ini, Shane Meadows mengunjungi tahun 1983, dan mengantar  period drama  kontemporer yang sedang banyak dibuat di Eropa. Seakan mereka sedang mengajukan hipotesa tentang masa kini dan masa depan dari sana. Jika tokoh Shaun benar-benar ada, di tahun 2007 ia berumur 36 tahun, umur yang pantas untuk membentuk pasukannya sendiri. Mungkin Shaun dan orang semacamnya, sebagaimana ia merasa dihina oleh pidato Combo, bisa jadi juga terkejut sekali dengan runtuhnya tembok Berlin. “Shaun” pada 2007 mungkin bangun pula dari duduk atau siuman panjangnya dan berdiri setelah keterkejutan itu, dan siap melayangkan pukulan. Dan Shane Meadows melalui film ini sedang bertanya kepada Inggris atau mungkin kepada Eropa: siapakah yang akan dipukul oleh orang seperti Shaun saat ini?

— This is England Sutradara & skenario: Shane Meadows / Pemain: Thomas Turgoose (Shaun), Stephen Graham (Combo), Joseph Gilgun (Woody), Andrew Shim (Milky), Vicky McClure (Lol).

81

Hikmat Darmawan

Quickie Express

Mengkhianati “Warkop” Jojo: “Anjing!” Om Mudakir: “Masya Allah!” Dan apakah “Warkop”?

D

imas Djayadiningrat, sutradara QuickieExpress, mengaku dalam konferensi pers bahwa film ini adalah sebuah tribute (pengenangan-penghormatan) terhadap film-film komedi Warkop (Warung Kopi) Dono Kasino Indro. Dimas segera menyebutkan contoh, betapa ia mempermainkan sinematografi agar tampak seperti film-film Warkop zaman dulu. Memang, terutama di bagian awal, fotografi tampak agak buram kecoklatan, selayak film tua. Tata cahaya sengaja dibuat terlalu terang, seperti biasa film-film kita saat itu. Malah, judul dan title nama-nama tokoh pun dibuat merapat ke kanan-kiri layar, seolah hampir terpotong. Memang, jika kita melihat filmfilm Warkop di video atau televisi, rasio gambar tak disesuaikan, sehingga (1) gambar jadi lonjong, atau (2) bagian kanan dan kiri gambar terpotong, dan yang terlihat di layar TV adalah “(Do)noKasino-In(dro)”.

MENGKHIANATI “WARKOP”

Apakah itu hakikat film “warkop”? Tentu tidak. “Penampakan” film Warkop yang demikian itu kan sama saja untuk film-film Indonesia lain di era Trio Video Tara, bukan? (Bagi yang, ehm, terlalu muda untuk ingat: pada 1980-an, marak  rental  video berformat Betamax. Nah, perusahaan pengganda film yang memonopoli peredaran film nasional dalam bentuk video Beta adalah Trio Video Tara. Logonya selalu tampak di pojok kanan atas layar.)  Sebagai pelahap rakus film yang dibesarkan antara lain oleh film-film Warkop, saya punya “standar” sendiri jika ada pembuat film yang “berani-beraninya” mengaku akan bikin tribute buat film-film Warkop. Saya sempat skeptis sewaktu mendengar bahwa cerita Quickie Express adalah kisah Jojo (Tora Sudiro), Marley (Amink), dan Piktor (Lukman Sardi) yang menjadi gigolo. Ini sebuah high concept untuk film Indonesia. Apakah film-film Warkop pernah punya high concept? Hm. Mereka pernah jadi detektif partikelir dalam  Pintar-pintar Bodoh (Arizal, 1980), dan jadi “polisi swasta” dalam CHIPS-Cara Hebat Ikut Penanggulanan Masalah Sosial (Iksan Lahardi, 1982). Atau jadi organisasi rahasia yang menjadikan Dono sebagai manusia bionik setelah ditabrak bemo, dalam Manusia 6.000.000 Dollar (Ali Shahab, 1981). Di awal karir dan di akhir karir, mereka memang lebih sering melontarkan premis cerita sederhana: kehidupan sehari-hari mahasiswa/anak kos, biasanya ditambah persoalan mencari perhatian cewek cakep. Seperti dalam film-film awal mereka,  Mana Tahan  (Nawi Ismail, 1979), atau  Gengsi Dong! (Nawi Ismail, 1980). Tapi, oke lah, premis cerita tentang gigolo lulus masuk daftar “layak Warkop”. Apa lagi? “Menarik perhatian cewek”—oke. Tepatnya, “melakukan hal-hal konyol untuk menarik perhatian cewek”. Sebagai gigolo, banyak polah konyol dilakukan (atau menimpa) Jojo, Marley, Piktor ketika menghadapi para klien yang (rata-rata) perempuan. Khususnya, adegan ketiganya menghadapi para klien

83

84

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pertama mereka. Film-film Warkop, khususnya pada periode akhir kejayaan mereka, ketika dalam setahun mereka rutin mengeluarkan dua film (yakni, waktu lebaran, dan waktu tahun baru), selalu agak  horny. Dengan premis dunia gigolo, tentu saja Quickie Express punya dosis horny lebih besar lagi.  Lalu, nah, ini penting, lawakan slapstick (komedi fisik)? Ada. Tepatnya, dalam film-film Warkop, lawakan slapstik lekat pula dengan komedi situasi. Dalam  Quickie Express, lawakan slapstick dan komedi situasi cukup terjaga. Lihat adegan pelatihan jadi gigolo di Quickie Express Training Centre. Khususnya, adegan latihan “body language”. Si instruktur sangat berhasil jadi scene stealer, karena dengan cemerlang menampilkan parodi gerakan mesum yang luar biasa tak tahu malu—dengan serius!   Tapi, saya tetap merasa bahwa Quickie Express, jika benar diniatkan jadi tribute untuk Warkop, sama sekali tak terasa “keWarkop-warkop-an”.  Quickie Express, dalam banyak hal, mengkhianati Warkop. Tak cukup Dimas berkelit bahwa karena zaman sekarang sudah beda, lantas humornya pun beda dari zaman Warkop. Film ini terlalu banyak mengada-adakan yang tak ada di film-film Warkop, sehingga sang “Warkop” tak tertangkap nyaris sepenuhnya. Cobalah kita buat daftar. Yang tak ada di film-film Warkop (tapi ada dalam Quickie Express): 1. Tak ada retorika kamera. 2. Tak ada aktor watak berperan melawak dalam trio itu – semuanya pelawak. 3. Bukan plot driven. 4. Tak ada narasi off screen. 5. Tak ada music score yang rapi atau canggih. 6. Tak ada sound track lagu-lagu latar yang keren (warkop sering membuat lagu-lagu sendiri, biasanya parodi). 7. Tak ada tema besar.

MENGKHIANATI “WARKOP”

Quickie Express  memang tampak tak hendak menyampaikan wacana. Ia hanya menggambarkan individu yang ingin mencari tempat yang tepat, bukan dalam dan untuk masyarakat, tapi untuk mendapat kesenangan dan kenyamanan hidup pribadi. Dan terasa ada keinginan untuk menampik pesan (“tendens”, jika kita pinjam istilah dalam polemis sastra lama). Pada saat Jojo merenungi pekerjaannya, dan berniat berhenti, ia lantas memikirkan—dalam sebuah narasi off screen yang saya sukai— berbagai pikiran ala pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) melintas. “Aku harus punya pekerjaan bermartabat...aku harus bermanfaat bagi masyarakat...” Sampai tiba-tiba pikiran itu dijedot-kan pada sebuah moralitas yang lebih jujur: “Ah, tai lah!” Justru kecenderungan antiwacana dan antisosial itulah yang jadi wacana dan moral film ini. Keinginan mencari tempat terbaik dan ternyaman untuk bersenang-senang—individualisme/ pragmatisme/hedonism—sesungguhnya adalah sebuah tema besar. Sesuatu yang tak ada dalam film-film Warkop. Film-film Warkop juga tentang keinginan untuk bersenang-senang. Tapi film-film itu lebih mampu tak hirau pada pesan, karena lebih asyik menciptakan anekdot-anekdot belaka. Film-film Warkop lebih berani mengorbankan segala hal—pesan, logika, koherensi cerita, karakterisasi—demi anekdot-anekdot sesaat. Dalam Quickie Express, aura pesan lebih terasa karena film dinarasikan oleh sebuah suara luar kamera—suara Jojo, renunganrenungan dan segala komentarnya terhadap segala yang terjadi dalam film. Ini jelas tak pernah ada dalam film-film Warkop. Kalau dipikir-pikir, narasi  off screen  memang hampir tak ada dalam film-film Indonesia pada umumnya di masa jaya film nasional, 1970-an hingga 1980-an. Angkatan mutakhir film kita lah, yang berkiprah sejak 1997-8, yang cukup gandrung pada narasi  off screen. Sejak  Kul De Sak, saya kira. Dan untuk komedi, Janji Joni (Joko Anwar, 2005) terhitung jadi pelopor dalam mengandalkan diri pada narasi off screen ini.

85

86

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Malah, dalam banyak hal,  Quickie Express  lebih mengingatkan saya pada Janji Joni. Tentu saja, faktor Joko Anwar yang menulis skenario kedua film itu sangat berperan penting untuk persamaan itu. Selalu ada adegan kejar-kejaran dengan berlari dalam film-film (yang ditulis) Joko. (Ingat juga Jakarta Undercover  dan  Kala). Seperti  Janji Joni, adegan kejarkejaran Quickie Express juga dalam gang-gang sempit dan jalan kumuh dengan deretan bangunan tua di kanan kiri. Seperti Janji Joni, juga  Arisan  (Nia Dinata, 2003)  dan  Jakarta Undercover (Lance, 2006), Quickie Express dimeriahkan cameo orang-orang film kita. Seperti Janji Joni, di bagian awal ada narasi kocak yang mempersiapkan penonton bukan hanya pada sosok Jojo sang narator, tapi juga pada apologia Jojo untuk profesi “unik” yang ia pilih. Seperti Janji Joni, film ini sangat didera maju oleh plot (plot driven). Ini memang gaya Joko, sebagai salah satu penulis skenario terbaik kita saat ini bersama Musfar Yasin (masing-masing dengan kelemahannya sendiri). Joko gandrung dengan kelokan alur yang tiba-tiba dan tak terduga. Banyak  twist  dalam cerita  Quickie Express (dan lebih baik Anda menikmatinya sendiri, daripada minta saya menceritakannya!). Sifat penceritaan macam begini bergantung setidaknya pada dua hal: (1) struktur keseluruhan yang tepat, yang mampu memaksa penonton ke arah ekspektasi kejadian tertentu, dan dengan begitu ekspektasi itu bisa dihancurkan dengan spektakuler; dan (2) penyampaian para aktor yang harus piawai. Soal struktur, Joko Anwar sungguh beres. Sayang, penyutradaraan dari Jay kadang agak kendor, seperti adegan Om Mudakir (Tino Saroengallo), dan Jojo berjalan pertama kali ke pusat pelatihan gigolo Quickie Express. Tapi, secara umum, cukup lancarlah  Quickie Express  bertutur. Nah, tinggal soal aktor. Dalam Quickie Express, Ira Maya Sopha, Rudy Wowor, dan Tio Pakusadewo (sudah saya bilang dia salah satu aktor terkuat kita

MENGKHIANATI “WARKOP”

saat ini? Nah, dia salah satu aktor terkuat kita saat ini!) berhasil lolos dari ujian ini. Lihatlah perubahan yang terjadi pada Rudy Wowor saat ia, sebagai seorang penjahat kakap, menyelinap ke rumah Jojo. Perhatikan juga perubahan Tio Pakusadewo dari beringas menjadi patah hati, sambil tetap mempertahankan karikatur begundal minim akal. Yang jelas, semua gaya penuturan yang terhitung rumit ini, sangat “tidak Warkop”. Dan, lagi-lagi seperti Janji Joni, film ini mengerahkan siasat visual dan retorika kamera yang cukup beragam, plus  music score dan soundtrack yang keren. Yang terbaik adalah dalam adegan di kincir pasar malam, saat Jojo dikejar seorang begundal (yang bicara tak jelas—sesuatu yang ada dalam beberapa film Warkop, khususnya Jack John dalam  Manusia Enam Juta Dollar) asal Ambon, yang psikopat dan sedang patah hati (dimainkan dengan komikal dan cukup cerdas—Tio Pakusadewo memang salah satu aktor terbaik kita!). Dalam adegan itu, kamera berganti-ganti posisi, dan editing dengan cekatan mengikuti pengejaran memanjat tiang-tiang besi sang kincir yang semakin tinggi dari tanah itu, dan dengan pas pula mengikuti ritme music score yang semakin menanjak dalam komposisi orkestral yang mengingatkan pada music score untuk film Hawai Five-O. Beberapa saat setelah itu, kerja sama yang baik antara gerakan kamera-musik-editing juga terjadi dalam adegan Jojo sendirian memandang tempat pelatihan Quickie Express yang telah porak-poranda karena tawuran. (Walau, saya akui, kecekatan kerjasama antarunsur film ini lebih sering tak optimal di sepanjang film.) Nah, mana pernah segi-segi teknik ini begitu diperhatikan dalam film-film Warkop? Demikian juga sound track dari sederet musisi pop/rockprogresif yang sebagian besar bergaya retro macam grup Berandals, The Adams, Tika, Goodnight Electric, Sore, atau White Shoes & The Couples Company yang bersemangat alternatif dan, dari sudut pandang antargolongan (yang tak boleh

87

88

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dimasalahkan di zaman Orba), “borjuis”? Jelas tak pernah ada yang macam begini dalam film-film Warkop. Lagu-lagu dalam film-film Warkop lazimnya parodi. Kadang, Warkop memarodikan lagu Barat, seperti yang dibawakan kelompok “Wah Gede Banget” (sebetulnya, DonoKasino-Indro juga) yang memarodikan  Black Dog  dari Led Zeppelin jadi sebuah lagu Cina. Lebih sering, Warkop membawakan lagu bermusik “orkes”, dengan syair-syair parodi penuh ledekan sosial. Untuk urusan musik, tampak Kasino jeniusnya. Yang lebih penting, semangat lagu-lagu Warkop adalah “merakyat”, “kampungan”, tapi berhibridasi dengan kecerdasan kritis mahasiswa yang tampil santai. Lagu-lagu dalam Quickie Express terlalu menonjol “kecerdasan musikal” mereka. Tapi, pengkhianatan terbesar Quickie Express terhadap filmfilm Warkop adalah hilangnya  ensamble  peran trio pemeran utama. Di awal, di tengah, di akhir, hanya ada cerita Jojo. Di sebagian bagian awal dan sebagian bagian tengah, Marley dan Piktor kebagian cerita juga. Memang, terutama di masa akhir kejayaan mereka, Warkop sendiri lebih banyak menjadikan Dono sebagai “primadono”. Tapi, Indro dan Kasino tak pernah sampai kehilangan cerita. Lebih-lebih, trio yang ada dalam Quickie Express, memang agak timpang. Lukman Sardi, yang sebetulnya aktor watak cukup berbakat, agak salah peran (miscast) di sini. Tora (lepas dari Citra yang ia dapat sebagai “aktor terbaik”) dan Amink memang bukan aktor watak. Keduanya bahkan adalah sesama pelawak dalam acara Extravaganza di Trans-TV. Mereka memiliki  screen persona yang kuat, tapi tak pernah bisa keluar-masuk watak selain menjadi diri sendiri di dalam layar. Persis seperti Dono-KasinoIndro. Kenapa tak sekalian memasang Indra Birawa saja dalam trio Quickie Express ini? Saya hanya menemukan satu-dua tribute yang nyata: adegan Jojo dikerubuti adik Lila (Sandra Dewi, yang manis sekali seperti

MENGKHIANATI “WARKOP”

donat Dunkin isi srikaya), dua anak lelaki yang badung bukan main, dan Jojo lantas nyeletuk, kurang lebih, badung banget sih ini anak. Satu lagi, tentu, adegan menari dalam pentas disko seperti Dono dalam Pintar-pintar Bodoh yang sebetulnya merupakan parodi dari disko ala John Travolta dalam Stayin’ Alive. Yang jelas, jika Quickie Express seluruhnya dianggap sebuah tribute bagi filmfilm Warkop, tentu ini berlebihan. Lagipula, tak perlu. Mestinya, saya memang tak terpengaruh ucapan Dimas itu, sehingga ekspektasi saya terbentuk: mencaricari yang “Warkop” dalam  Quickie Express. Ini bukan film Warkop. Ini adalah komedi di “zaman baru” film nasional— zaman yang dikuasai kaum muda yang lebih rileks untuk menjadi amoral, lebih pragmatis dan hedon; zaman yang gandrung pada aspek-aspek teknis, siasat visual, dan aneka retorika kamera dalam pembuatan film; zaman DVD yang dibebani limpahan informasi dan referensi film dunia. Dalam zaman inilah, komedi seks ala Quickie Express mungkin muncul dalam film kita. Wartawan senior Yan Wijaya, dalam wawancara yang ditayangkan pada acara Behind The Scene: Quickie Express di salah satu TV swasta kita, menyebut ini adalah “komedi seks pertama di Indonesia”. Dulu, kata Yan, memang banyak film-film seks, tapi tidak komedi seks. Tapi, dulu kita pernah punya  Permainan Cinta (Pitrajaya Burnama, 1983, dibintangi oleh Richie Ricardo) atau Montir-Montir Cantik (BZ Kadaryono, 1984) yang dimaksud sebagai komedi seks juga—komedi yang menjadikan seks sebagai subjek. Bedanya, komedi seks kita zaman dulu malu-malu, Quickie Express lebih serba tahu dan jelas tak malu-malu. Tagline-nya saja, “Di mana ada kemaluan, di situ ada jalan!” (dan selamanya merusak pepatah klasik itu dalam kenangan saya!) Yang dikomedikan oleh Quickie Express bukan hanya perilaku seks, tapi juga preferensi seks. Mungkin saya akan menonton lagi film ini, kali ini dengan ekspekstasi yang benar: menonton komedi seks kiwari. Jadi, saya

89

90

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

bisa menikmati lagi rangkaian adegan Marley dan piranha; adegan seks piano antara Jojo dan Tante Mona yang diperani oleh “tante” Ira Maya Sopha nan anggun (dan mengingatkan saya pada adegan seks oral di mimbar dalam Police Academy); atau adegan yang bakal klasik di layartancap.com, yakni tarian mesum sang pelatih body language di pusat pelatihan gigolo Quickie Express. Saya hanya terganggu melihat boneka seks berulangkali dibawa keliling ruangan dalam sebuah adegan di bagian awal—mestinya Dimas, atau Joko, bisa mengeksplorasi mainan seks lain yang “eksotis” dan menggelikan. Oh, dan saya akan menikmati lagi adegan yang buat saya bakal klasik, narasi “Ah, tai lah!” Hei, itu kalimat yang sangat catchy. Dan konsisten dengan awal dan akhir film. Juga, menikmati lagi  footage  adegan-adegan gagal di bagian  credit title, seperti film-film Jacky Chan, yang lucu juga. Dengan segala kekurangannya, inilah bagian suara zaman baru itu. Bagian dari bibit industri film kita di masa depan. Bagian dari  creative industry  yang harus kita majukan di negeri ini. Bagian dari gerakan.... Ah, tai lah!

— Quickie Express Sutradara: Dimas Djayadiningrat / Skenario: Joko Anwar / Musik: Aghi Nakkotama, Bemby Gusti, Ramondo Gascaro / Pemeran: Tora Sudiro, Amink, Lukman Sardi, Sandra Dewi, Tino Saroengallo, Ira Maya Sopha, Rudy Wowor, Tio Pakusadewo / Produksi: Kalyana Shira Film, 2007.

Hikmat Darmawan

Las Vidas Posibles (Possible Lives)

Suami Istri dalam Misteri Mini-Kata

F

ilm sempurna (perfect movies) tak harus berupa film agung (great movies). Sebagaimana film agung tak harus film sempurna.  The Birth of Nation  (D.W. Griffith), misalnya, adalah film agung yang jauh dari sempurna. Begitu juga Metropolis (Fritz Lang). Sedangkan, taruh saja,  Hard Candy  (David Slade), Matchpoint (Woody Allen), atau Enchanted April (Mike Newell), bukanlah film-film agung, tapi sempurna. Keagungan film lebih berhubungan dengan skala: ide besar, tema besar, inovasi besar (berpengaruh luas), lanskap besar, dan sebagainya. Sedangkan film sempurna lebih berhubungan dengan kematangan dan perhitungan: ide dan tema juga cerita yang telah dimasak matang; struktur (cerita), komposisi, fotografi, kekisahan (naratif), seni pemeranan, yang penuh perhitungan, sehingga segalanya dalam sebuah film terasa jatuh pada tempat yang tepat.

92

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Setelah usai film Possible Lives (Las Vidas Posibles), saya tercekat. Pertama, karena akhir yang lirih tapi ‘menonjok’. Kedua, karena tiba-tiba saya sadar bahwa semua unsur film ini ternyata telah jatuh pada tempat yang tepat. Film mini-kata karya Sandra Gugliotta ini bergerak lembutmenusuk. Di bagian awal, film ini memberi rasa gamang (apa yang sedang terjadi?) dan ada di tubir membosankan. Seorang lelaki brewok bermata sayu, melakukan sesuatu, lalu kita dibawa pada sebuah adegan yang berada di jelang haru: lelaki brewok itu masuk ke sebuah kamar, menyalakan lampu, dan ternyata ada seorang perempuan di ranjang, matanya terbuka menatap dan basah; mereka diam, saling tatap, dan ketika si lelaki pergi, perempuan itu tetap menatap dengan mata yang basah ke satu arah – entah apa yang mereka pikirkan, entah apa yang terjadi, dan ada tragedi apakah di balik adegan ganjil ini. Ah, benarkah itu adegan ganjil? Bukankah kita pernah mengalami hal demikian—kata-kata tak terucapkan, tangis yang ditahan. Jika saja ada orang asing yang melihat kita sedang di tengah adegan serupa, tentu ia pikir kita sedang melakukan sesuatu yang ganjil juga. Demikianlah, seni diciptakan—kata Albert Camus. Sastrawan Prancis keturunan Aljazair ini pernah menulis bahwa seni adalah sebuah pemberontakan atas kenyataan; seni adalah untuk menyempurnakan kenyataan. Dalam novel, misal Camus, kata-kata yang dalam kehidupan nyata tak selesai diucapkan, akan disempurnakan. Dalam perspektif ini, Possible Lives justru memberontak pada alur seni itu: ia malah hendak merekam begitu saja segala percakapan yang tak sempurna, hasrat yang tak bisa diungkapkan, kisah yang tak dijelaskan dalam sebuah narasi atau dialog yang gamblang. Bukan berarti para tokoh di sini bicara hal-hal yang enigmatik. Mereka bicara hal-hal yang logis, gamblang. Tapi  Possible Lives  membiarkan yang tak sempurna dan tak terucapkan hadir juga di layar. Maka, wajarlah jika di bagian awal

SUAMI ISTRI DALAM MISTERI MINI-KATA

film kita bisa merasa bosan. Harap sabar. Film ini sedang menciptakan bahasanya sendiri, dunianya sendiri. Setelah adegan si brewok dan perempuan bermata basah itu, yang diselang-seling  credit title,  film dimulai  dengan adegan pasangan urban berpesta. Kita tahu kemudian mereka bernama Carla dan Luciano. Ulang tahun Luciano, rupanya. Lalu mereka berduaan. Carla merayu. Mereka senggama. Sepanjang waktu, Luciano yang berkumis dan berjanggut tapi tak sampai brewok lebih banyak diam, tersenyum lembut, menatap dengan mata sayu. Dan esoknya, Luciano pergi. Dan ternyata, ia hilang. Carla mencari suaminya, ke bagian Selatan Argentina yang rural dan diselimuti sunyi. Ia menginap di hotel yang dulu dipesan suaminya dalam perjalanan penelitiannya, tapi tak sampai didatangi Luciano. Ia di kota kecil yang dituju suaminya, berharap mendapat terang mengapa suaminya tak tiba di kota itu. Dan tibatiba ia melihat lelaki itu, si brewok. Lelaki itu sangat mirip suaminya, tapi Carla bimbang. Lelaki itu tampak tak mengenali Carla. Lelaki brewok itu adalah Luis. Ia bekerja di perusahaan real estate di kota itu. Ia telah menikah, dengan perempuan bermata basah di awal film. Ia telah tinggal di kota itu selama enam tahun —kecuali, kata pemilik hotel, untuk beberapa saat ia sempat menghilang. Carla semakin yakin, tapi tak bisa mengalahkan bimbangnya, bahwa Luis adalah Luciano, suaminya. Perlahan, misteri ini melebar sekaligus konsekuensikonsekuensinya mengetat. Jika Luis adalah Luciano, mengapakah ia menghilang dari Carla dan mengapakah ia (pura-pura?) tak mengenali Carla? Jika Luis bukan Luciano, lalu di manakah Luciano? Dan mengapa ia menghilang dari Carla? (Kabur? Mati? Kecelakaan?) Possible Lives (Las Vidas Posibles) adalah salah satu film hasil kerjasama internasional untuk menghasilkan khasanah film dunia —dalam hal ini, kerjasama antara Argentina dan Jerman. Sandra

93

94

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Gugliotta, yang memenangi Caligari Film Award untuk film pertamanya, A Lucky Day (2002), tampak menyutradarai Possible Lives dengan penuh percaya diri. Tak ada adegan yang percuma. Adegan-adegan kecil dan lepas-lepas mirip vinyet di bagian awal film, ternyata membangun keseluruhan yang utuh—setelah usai film lah, saya merasakan bahwa tak ada adegan percuma sejak awal. Sinematografi juga berhasil menguarkan lanskap sunyi di Argentina Selatan dan, asyiknya, juga gurat-gurat sunyi di wajahwajah Carla, Luciano/Luis (diperankan oleh aktor yang sama), dan istri Luis. Dialog yang minim, musik minimalis, juga suara yang jarang, seluruhnya “sesuai-nada” dengan misteri keganjilan Carla dan Luciano. Ya, bukan hanya hilangnya Luciano yang jadi misteri. Sikap Carla yang berkembang sepanjang film pun jadi misteri tersendiri. Ketika akhirnya terjadi hubungan seks antara Carla dan Luis, yang simetris belaka (karena rasa adegannya yang sama) dengan adegan seks di bagian awal, kita pun bertemu misteri lain: apa makna hubungan seks antara suami-istri, sesungguhnya? Ketika melakukan senggama itu, Carla belum juga bertanya tegas pada Luis: apakah Luis adalah Luciano? Carla bersenggama intens dengan Luis untuk makna apa? Meraih yang mungkin telah hilang? Mencicipi hidup lain yang mungkin? Ketika misteri yang sebermula lirih ini semakin pekat, tibatiba kita tiba pada usai. Barangsiapa yang telah membaca novel  Disgrace  karya JM. Coetzee mungkin mengenali cekat perasaan seperti yang saya rasakan saat film ini usai. Possible Lives memilih untuk tak menyempurnakan misteri itu, dan justru karena itulah, bagi saya, film kecil ini jadi sempurna.

— Possible Lives (Las Vidas Posibles) Sutradara: Sandra Gugliotta / 80 menit. Color. 35 mm / Bahasa Spanyol (subtitel Inggris) / Produksi: Argentina/Jerman, 2006.

Hikmat Darmawan

A Mighty Heart

Melunakkan Kekerasan

Mengapa Angelina Jolie?

M

au tak mau, pertanyaan ini terbetik sebelum dan selama saya menonton film ini. Angelina Jolie adalah salah satu makhluk paling seksi saat ini. Di Festival Film Cannes 2007, tempat A Mighty Heart diluncurkan pertama kali ke publik dunia, Jolie dipuja sebagai perempuan paling banyak difoto saat ini (jika klaim ini benar, Jolie telah menggusur Lady Di). Menurut J. Hoberman di situs Village Voice, Google mewadahi lalulintas 358.000 (masih bertambah) gambar Jolie. Saya tambahkan, kebanyakan adalah foto telanjang atau setengah telanjang Jolie. Dan kini ia hadir dalam sebuah film tentang salah satu tragedi nyata paling mengguncang Barat pasca 9/11 2001, yang disutradarai Michael Winterbottom. Banyak yang menganggap bahwa Winterbottom adalah sutradara terpenting dari Inggris saat ini. Ia jelas sedang di jalan menuju kebesaran. Rentang minatnya luas, dan selalu provokatif. Mulai drama periode klasik Jude The Obscure; penelanjangan

96

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

kenyataan perang Balkan pada  Welcome To Sarajevo; kisah futuristik tentang kloning dalam  Code 46; kisah seorang impresario rock dalam 24 Hours Party People; seks-seks-musikseks-seks dalam 9 Songs; adaptasi novel ganjil (dianggap sebagian kritikus sebagai pelopor novel postmodern) dengan cara ganjil dalam  Tristram Shandy: A Cock & Bull Story; serta dua film tentang perang antiterorisme: In This World dan The Road To Guantanamo. Saat ini, ia sedang menyiapkan sebuah film horor di Italia, Genova. Di sela-sela, ia meneruskan pengambilan gambar untuk drama seorang terhukum lima tahun penjara yang filmnya diproyeksikan akan selesai pada 2012. Singkatnya, Winterbottom adalah sosok purna seorang man of this world—seorang yang serba sadar dan serba terlibat dengan segala gerak-gerik dunia apa adanya saat ini. Kebanyakan orang hanya memandang atau mengalami satu-dua ceruk dunia. Bush hanya tahu sudut pandang neo-konservatisme. Paris Hilton hanya tahu pesta. Michael Moore hanya tahu Amerika brengsek. Harun Yahya dan para pengikutnya hanya “tahu” evolusi adalah konspirasi zionis Yahudi. Richard Dawkins hanya tahu bahwa sains itu atheis dan “baik”, dan agama selalu “dungu” dan “jahat”. Winterbottom, dengan kameranya, menatap dan merekam pesta dan penjara, perang dan billboard, kenyataan dan mitos, sastra dan propaganda, jihad, dan pengumbaran seks. Dan kini ia mengangkat memoar Mariane Pearl, A Mighty Heart, yang menutur masa-masa penculikan suaminya, Daniel Pearl, kepala biro Asia  Wall Street  yang tinggal di Karachi, Pakistan. Sejak perpisahan biasa di suatu siang—Daniel akan melakukan wawancara, dan Mariane yang sedang hamil lima bulan akan belanja; hingga lima minggu kemudian—setelah penantian dan pencarian suaminya yang ternyata diculik— Mariane mendapat kabar bahwa suaminya telah dipenggal, dan pemenggalannya direkam dalam video.

MELUNAKKAN KEKERASAN

Ini adalah kisah nyata yang bukan hanya masih dekat waktu kejadiannya, tapi juga sangat kuat “aura” kenyataannya. Dan kita mendapati Angelina—“Tomb Rider”—Jolie di pusat film. Ada beberapa kemungkinan kenapa Winterbottom membahayakan integritas kenyataan film ini dengan memasang Jolie. Kemungkinan pertama, paling gamblang, ini adalah proyek Brad Pitt—suami Jolie. Pitt memegang hak memfilmkan buku Mariane Pearl, dan Mariane yang kenal pribadi Brangelina ingin Jolie memerankan dirinya. Tapi kenapa Winterbottom mau juga? Kemungkinan kedua, Winterbottom ingin berkomunikasi dengan publik luas. Jolie adalah sebuah kompromi agar pesan tentang kenyataan dunia pasca-9/11 adalah sebuah dunia yang kompleks dan keras bisa meruah ke penonton film “umum”. Kemungkinan ketiga, Winterbottom ingin melunakkan kenyataan tragedi Pearl. Pemenggalan Pearl yang disiarkan lewat internet ke seluruh dunia adalah sebuah pencacatan ruang visual kita. Kejadian ini menciptakan sebuah realitas “baru” (sebetulnya, Pearl hanyalah sebuah tahap dalam sekian lama proses kelahiran realitas baru itu)—realitas di mana setiap saat bisa terjadi kekerasan disajikan dalam kamera candid, dan jadi tontonan khalayak lonely-virtualcrowd. Zaman dulu, hukuman mati secara publik hanya ditonton oleh kerumunan yang berada satu tempat dengan penghukuman mati itu. Ada euforia bersama, ada penebusan dan persembunyian, dalam kerumunan demikian. Tapi cobalah bayangkan siapa yang bisa menonton pemenggalan Daniel Pearl? Seorang remaja, di sebuah pelosok kota entah, bisa menontonnya sendirian di dalam kamarnya. Winterbottom menolak menampilkan adegan pemenggalan itu, bukan hanya karena  tepa selira  atau rasa kepantasan. Ia, sengaja atau tidak, menampilkan sebuah poin: inilah bahasa filmis

97

98

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

untuk “memalingkan tatapan” terhadap kekerasan yang memaksakan kenyataannya di ruang visual kita. Apa gunanya? Ah, atau lebih tepat, apa maknanya? Nah, ingat-ingatlah bahwa salah satu bahasa tubuh paling dasariah untuk mengucilkan (memberi sangsi sosial) pada seseorang adalah dengan memalingkan wajah kita dari orang pelaku salah itu. A Mighty Heart  tak memalingkan diri dari kenyataankenyataan lain. Winterbottom, lepas dari modal cukup besar bagi film ini karena tuah nama Brangelina, mempertahankan modus kerjanya dengan kamera digital yang dipegang-tangan, awak kecil, dan pengaturan setting minimal atau malah tak ada sama sekali. Ini memungkinkan pendekatan kamera yang selalu bergerak, menangkap rasa tempat yang otentik dari Karachi—juga tempattempat lain di Pakistan, dan lain-lain—yang pada awal kisah disebut sebagai salah satu kota “paling besar dan padat di dunia”. Hanya beberapa kali kamera terdiam, saat menyorot Jolie. Dengan pendekatan kamera tak mau diam ini, dengan meraup sebanyak mungkin  footage  ruang dan adegan dalam kamera digital tanpa tatacahaya ini, Winterbottom meletakkan cuil-cuil kenyataan banyak sisi. Kapten polisi yang memimpin operasi pencarian Pearl, dimainkan dengan wajar oleh Irrfan Khan, adalah contoh sisi banyak itu. Ia kalem, mampu menyimpan kemarahan dan frustasinya, tapi mampu menampar seorang saksi  ngeyel  dan menanyai dengan tenang seorang tersangka yang digantung tangannya, telanjang, dan berkali-kali merintih karena genitalnya disetrum. Apakah penyiksaan ini sebuah contoh kebiadaban? Anehnya, dalam film ini, tidak juga. Sang kapten adalah Pakistan itu sendiri: selamanya dalam ketegangan politik global, terjebak di garis depan benturan (ideologi, psikis, hingga fisik) antarperadaban, dan terpaksa hidup dalam lingkaran kekerasan. Lalu tengoklah dunia yang direkam Winterbottom sebagai latar tragedi Pearl ini. Collin Powel yang mewakili imperium Amerika,

MELUNAKKAN KEKERASAN

Syeikh Omar yang kharismatis dan penuh keyakinan atas jalan kekerasan yang ia pilih, menteri Pakistan yang moronik, petugas FBI yang sama moronik-nya, tak lupa pembantu yang hanya mengepel, mencuci piring, dan punya seorang anak balita yang lucu di rumah Mariane, semua ada. Semua ditempatkan sebagai kenyataan yang setara. Film ini tak ingin mendramatisasi dunia kompleks yang keras ini. Seperti Mariane/Jolie sekeras mungkin menyimpan segala amuk kecamuk perasaan di tengah tragedi ini. Suatu ketika, karena frustasi menggerumuk di dada, Mariane ke pekarangan belakang rumah sewaannya, dan menangis. Tubuhnya berguncang sejenak. Tapi segera ia berbalik, dan melihat si balita putra pembantu sedang bermain dan bengong melihat Mariane. Mariane menelan tangisnya, tersenyum wagu, bicara pada si anak. “Sorry, it’s silly.” Seluruh personil yang terlibat pun ditekan pada posisi yang sama. Masing-masing punya cara tanggap yang berbeda pada perkembangan situasi, tapi tak ada teriakan dramatis. Sampai kabar itu tiba, itulah sekali-kalinya yang dramatis pecah di film ini. Suaminya dipastikan telah mati. Mariane/Jolie meneriakkan kesedihannya, begitu mentah, begitu putus asa— lolongan sukma, jika kita ingin “ke-Rendra-Rendra-an”. Mulanya, saya sempat mengalami kesukaran menelan adegan ini. Tapi kemudian saya mengapresiasinya: Jolie, kita lupa, adalah aktor watak yang mumpuni. Bukan hanya pada saat dramatis itu, tapi juga pada cara bicaranya sejak awal sebagai Mariane. Cara ia memancarkan kasih pada Daniel (Dan Futerman, yang juga penulis naskah film Capote) dalam bahasa tubuh yang kecil-kecil. Memang yang kecil-kecil itulah yang menguatkan tekstur film ini: bagaimana si balita putra pembantu memoncongkan bibirnya minta dicium Mariane; bagaimana Mariane punya problem kencing; bagaimana banjir di Karachi kok mirip banjir di Jakarta....

99

100

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Saya kemudian mengapresiasi pemasangan Jolie sebagai Mariane. Film ini memusatkan diri pada Mariane. Sebagaimana pesan bukunya, film ini ingin mengidealkan harapan. Idealisasi itu rupanya bekerja begini: di tengah segala kenyataan kekerasan itu, ada sebuah sosok hampir-tak-nyata, seorang bintang film— Angelina Jolie. Dengan begini, harapan bukan hanya jadi sesuatu yang nyaris tak nyata tapi layak diinginkan. Harapan pun lantas jadi sexy.

— A Mighty Heart Sutradara: Michael Winterbottom / Pemeran: Angelina Jolie, Dan Futerman, Irrfan Khan, Will Paton / 108 menit / Color / 35 mm / USA/UK, 2007.

Asmayani Kusrini

Persepolis

Ketika Tuhan dan Karl Marx Tidak Berkonflik

H

idup paling menyedihkan adalah lahir sebagai sapi dan mati sebagai keledai. Kalimat dari neneknya itu tertanam di bawah sadar Marjane Satrapi sejak kecil. Menurut nenek yang bijak itu, sapi adalah binatang penakut, tidak berani mengambil risiko. Karena itu, sapi selalu rela dicucuk hidungnya. Dan keledai adalah binatang yang tidak kalah pengecutnya dari sapi. Sepanjang hidupnya, Marjane jelas tidak pernah jadi penakut, apalagi pengecut. Bahkan ketika ia sadar sudah salah langkah. Marjane sempat terjatuh, tapi kemudian bangkit lagi. Ia mengambil risiko, kembali maju ke medan kehidupan, berjuang mencari jati diri dan menancapkan eksistensinya di dunia yang memang jadi pilihannya sendiri. Karena itulah, ia akhirnya berhasil menerbitkan novel grafisnya, Persepolis, yang sering di sejajarkan dengan Maus, novel grafis karya Art Speigelman yang memenangi Pulitzer. Karena itu

102

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pulalah, tanpa disadari oleh Marjane,  Persepolis  berkembang menjadi lebih besar dari yang bisa dimimpikan seorang gadis kecil yang selalu berkhayal  ngobrol  dengan Tuhan. “Dan seperti mendapat tiupan arwah, tiba-tiba saja saya menyaksikan Persepolis hidup, terpampang di layar lebar,”  kata Marjane. Persepolis memang penuh gairah hidup meski visualnya berwarna hitam putih, kecuali adegan pembuka dan beberapa sisipan yang dibuat berwarna. Pilihan ini, menurut Satrapi adalah ide dari koleganya, Vincent Paronnaud yang juga menyutradarai Persepolis. “Persepolis  diceritakan dengan struktur  flashback, karena itu kami perlu membedakan antara apa yang terjadi sekarang dan kilas balik itu,” kata Paronnaud. Saya bersyukur, duet Satrapi-Paronnaud ngotot mengadaptasi film ini sesetia mungkin pada bukunya, bahkan gaya minimalis ciri khas Satrapi. Setiap karakter digambar dengan datar dan garis hitam tebal. Saya tidak bisa membayangkan jika Persepolis diadaptasi sesuai pinangan Hollywood, dengan Brad Pitt berperan sebagai bapak dan Jennifer Lopez berperan sebagai ibu Marjane. Pilihan untuk menggunakan voice-over adalah yang paling tepat. Sulih suara untuk Marjane kecil dilakoni oleh Gabrielle Lopes, dan Marjane remaja oleh Chiara Mastroianni. Sedang pengisi suara sang ibu adalah artis legendaris Prancis, Catherine Deneuve—dan juga ibu Chiara. Suara sang bapak dilakoni oleh Simon Abkarian dan, suara sang nenek bijak diisi oleh artis senior Prancis, Danielle Darrieux. Kolaborasi mereka makin menghidupkan karakter-karakter minimalis di Persepolis. Animasi yang orisinil dan cerita personal yang universal inilah yang membuat Persepolis pantas mendapat Jury Prize Award di Festival Film Cannes 2007. Film ini adalah film animasi kedua yang pernah memenangi penghargaan bergengsi di festival tersebut setelah The Fantastic Planet karya René Laloux pada 1973.

KETIKA TUHAN DAN KARL MARX TIDAK BERKONFLIK

Persepolis bercerita tentang seorang gadis kecil yang tumbuh di tengah keluarga modern yang berpikiran sangat terbuka. Si kecil Marjane terbiasa berpikiran kritis berkat asahan orang tua dan neneknya yang melek politik dan berhaluan sosialis. Sampai suatu masa, keharmonisan keluarga itu tergoncang oleh kekuatan tak terduga di luar rumah mereka: Revolusi Islam! Revolusi ini mengubah Iran dari sistem pemerintahan monarki ke sistem republik Islam. Tiba-tiba, normalitas dijungkirbalikkan. Segalanya berubah ke arah yang berlawanan. Dan Persepolis kemudian memaparkan kisah pararel tentang gadis kecil yang tumbuh remaja di sebuah negeri yang juga sedang tumbuh ke arah yang dianggap lebih baik. Dan tentang sebuah negeri yang berevolusi sehingga memengaruhi pertumbuhan seorang gadis kecil. Bagian awal Persepolis bertutur dari sudut pandang Marjane kecil. Bagian ini diceritakan oleh Satrapi dengan innocent, tanpa pretensi. Pada masa ini, seperti juga pada umumnya anak-anak, Marjane memandang perubahan itu dengan naif. Marjane kecil misalnya menganggap bahwa pahlawan adalah mereka yang menghabiskan banyak waktu di penjara. Ia juga tidak bisa mengontrol prasangka-prasangka buruk yang menghinggapi dirinya. Dalam salah satu sekuen di  Persepolis, si kecil Marjane bersama teman satu geng menguber-uber seorang anak lelaki yang ayahnya kebetulan seorang penjaga penjara. Anak-anak kecil itu mendengar, bahwa ayah teman mereka inilah yang bertanggung jawab atas penyiksaan dan kematian sejumlah pahlawan mereka di penjara. Salahkah Marjane? Salahkah anak-anak itu? Dari sini,  Persepolis  berkembang searah dengan perkembangan Marjane kecil yang mulai remaja. Marjane adalah gadis puber yang gelisah. Tidak mudah untuk tumbuh remaja di tengah revolusi yang berkobar dan rezim yang mengikat kebebasan warganya. Bagaimana rasanya tumbuh remaja di era

103

104

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

’80-an tanpa mendengar musik rock? Tanyalah Marjane. Ia merasa hampir tak bisa bernafas. Untuk itulah Marjane akhirnya dikirim ke Vienna, Austria, ketika berumur 14 tahun. Agar ia bisa bernafas lega, menikmati kebebasan berpikir dan berkarya. Tapi mungkin karena ia masih terlalu muda, jauh dari orang tua dan bergaul dengan anak-anak sekolah menengah di Vienna yang sudah terbiasa berurusan dengan kebebasan, Marjane malah kebablasan. Ia tidak bisa mengatasi euforia kebebasannya. Dan Marjane menyadari, ada yang salah. Film Persepolis kemudian menunjukkan, bahwa Marjane bukan sapi, apalagi keledai. Marjane remaja bangkit, mengambil risiko, kembali terjatuh dan bangkit lagi. “Apa menariknya hidup jika kita selalu takut? Saya belajar bahwa kebebasan juga berarti harus berani mengambil risiko. Semua saling tergantung. Saya lebih memilih untuk menghadapi risiko dan sesekali akan merasakan sakit. Itulah hidup yang ada dibenak saya,” kata Satrapi, sang sutradara. Karakter Marjane jelas menunjukkan prinsip tersebut. Toh seperti yang dikatakan Satrapi, tidak mudah memang. Persepolis membuat kita ikut merasakan kesepian yang dialami Marjane. Seorang manusia yang merasa tidak memiliki tempat di mana pun karena benaknya yang terus gelisah mencari identitas. Marjane mencoba untuk diterima dan menerima apa yang dianggap normal di setiap komunitas persinggahannya. Itupun sering gagal. Untungnya, Marjane punya teman setia, Tuhan dan Karl Marx. Dan untungnya lagi, Tuhan dan Karl Marx-nya Marjane ini tidak pernah berkonflik. Kepada mereka Marjane curhat dan bertanya tentang apakah Tuhan benar-benar menginginkan Revolusi Islam. Atau apakah Om Marx mendefinisikan revolusi seperti yang terjadi di Iran. Di dalam dunia Marjane, Tuhan dan Karl Marx rupanya saling mendukung. Karl Marx sempat bilang,

KETIKA TUHAN DAN KARL MARX TIDAK BERKONFLIK

“keep up the fight!” dan Tuhan pun ikutan bilang, “yes, keep up the fight!” (Di dalam komiknya, Marjane kecil sempat mengusir Tuhan khayalinya, dan berkata tak akan percaya Tuhan lagi.) Meski terdengar sangat serius dan berlatar belakang revolusi yang juga keras,  Persepolis  jauh dari kesan film yang berat. Penonton bisa tertawa melihat kenaifan Marjane kecil atau gelenggeleng kepala menyaksikan kebandelan Marjane yang sedang puber. Persepolis juga tidak lantas menggaristebalkan nuansa politik yang melatarbelakangi kisah ini. Toh ini adalah kisah hidup Marjane Satrapi yang kebetulan saja menjadi saksi disebuah peristiwa sejarah terbesar dunia setelah revolusi Prancis dan Bolshevik. Untungnya, sebagai sutradara dan pemilik cerita, Satrapi tidak keceplosan. Ia mampu menjaga karakter Marjane dalam  frame dengan komposisi yang pas. Karakter Marjane tidak terlihat jadi seperti pahlawan kesiangan yang butuh tepuk tangan. Persepolis adalah sebuah kisah hidup yang memang perlu diceritakan atau didongengkan kepada generasi muda yang tumbuh dalam era globalisasi yang makin membengkak ini. Dan kisah personal Marjane ini, tanpa disadari, memuat pesan yang universal. Bahwa di mana pun dan bagaimana pun situasi dan kondisi tempat kita berada, perlu untuk tetap saling menghargai, memercayai pilihan hidup kita, dan menjadi diri sendiri.

— Persepolis Sutradara: Vincent Paronnaud dan Marjane Satrapi / Penulis skenario: Marjane Satrapi dan Vincent Paronnaud / Pengisi suara: Chiara Mastroianni, Catherine Deneuve, Danielle Darrieux, Gabrielle Lopes / Produksi: 2.4.7 Films.

105

Homer (Mual Harianja)

Eastern Promises

Film Gangster yang Perlu Ada

D

i penjara Rusia, tato adalah sebuah story telling. Mereka merajah tubuh untuk merekam masa dan ingatan. Ketika sebuah mayat ditemukan tanpa sidik jari dan gigi, tato mengidentifikasi dirinya. Polisi London tak mafhum. Bagi mereka, mungkin tato hanya lukisan yang biasa ada di tubuh seorang bajingan. Untungnya, seorang Rusia ada di sana, bekerja sama dengan polisi London. Mayat itu berhasil dikenali, seorang anggota Vory V Zakone, sebuah organisasi mafia Rusia. Tato adalah sebagian cerita. Lain dengan Tatiana yang bercerita lewat buku harian. Dia perempuan berusia 14 tahun. Dia hanya ingin hidup yang lebih baik seperti harapan imigran kebanyakan. Bapaknya sudah mati. Terkubur oleh tanah. Bukan di kuburan, tapi di sebuah pertambangan. Seperti Rusia yang sudah terkubur, begitu tulisnya. London, Amsterdam, Paris menjadi harapan bagi imigran Rusia. Seperti layaknya harapan, dia tidak melulu menjadi

FILM GANGSTER YANG PERLU ADA

kenyataan. Hidup Tatiana berakhir naas. Dia mati meninggalkan bayi dan sebuah diary—keduanya menjadi kunci motif untuk film ini. Eastern Promises adalah karya terbaru David Cronenberg (History of Violence, Videodrome), menyajikan realitas imigran Rusia di London dalam sosok Samyon sebagai bos mafia, Nikolai sebagai supir Kirell anak Samyon, Tatiana sebagai imigran baru, dan Anna seorang keturunan Rusia. Anna, seorang pekerja rumah sakit, bertemu Tatiana yang dalam keadaan sekarat. Tatiana dalam keadaan hamil besar dan mengalami pendarahan. Jiwanya tidak tertolong. Namun bayi dalam rahimnya selamat. Karena tidak diketahui siapa keluarga Tatiana, Anna yang tidak bisa berbahasa Rusia mencoba mencari tahu siapa keluarga Tatiana lewat sebuah kartu dan buku harian yang ia temukan. Anna yang tinggal bersama bibi dan pamannya yang mengaku eks KGB, meminta pamannya untuk menerjemahkan buku harian tersebut. Pamannya menolak. Sementara itu, alamat di kartu yang ditemukan Anna ditas Tatiana membawanya bertemu dengan Samyon, bos Mafia yang jago masak dan sayang keluarga. Samyon pun menawarkan bantuan untuk menerjemahkan buku harian itu. Anna sepakat, tanpa mengetahui bahwa pamannya juga diam-diam menerjemahkan buku harian tersebut. Mudah ditebak. Buku harian itu adalah sebuah awal konflik yang membawa cerita. Mempertemukan tokoh-tokohnya dalam nuansa suspense dan dramatis. Pembunuhan dimulai. Intrik berjalan. Darah bermuncratan khas Cronenberg, memenuhi frame. Kekerasan menjadi begitu dekat. Kamera pun bergerak mengikuti kisah para imigran ini. Menakjubkan bahwa pemain-pemainnya, seperti Naomi watts, Vincent Cassel, Viggo Mortensen, Armin Mueller, bukanlah orang Rusia. Cronenberg bilang, ia punya dua pilihan dalam menggunakan aktor. Aktor bukan Rusia tapi mampu

107

108

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

beraksen ala Rusia, atau aktor Rusia sungguhan. Cronenberg memilih yang pertama dan hasilnya memang mengaggumkan. Mortensen bermain luar biasa. Mulai dari isyarat tubuh sampai aksen sangat meyakinkan sebagai seorang Rusia. Nuansa Rusia menjadi begitu kental. Elemen-elemen yang dimunculkan dalam staging hingga scoring memperkuat tonalitas film ini. Film ini juga kuat dalam naratif. Penyajian informasi dikelola dengan baik. Bagaimana informasi dibuka bertahap dan perlahan menjadikan  suspense-nya kuat. Kontinuitas cerita bergerak seiring detak nadi penonton. Hal-hal di atas menjadikan Eastern Promises sebagai film mafia yang berbeda dan memang perlu ada. Di film ini, korban yang bisu diberikan suara. Suara korban yang biasanya dalam film Mafia tak terdengar tenggelam dalam hiruk-pikuk perebutan kekuasaan diberikan alat pengeras. Inilah film mafia yang bercerita tentang lemahnya posisi imigran perempuan, tentang woman trafickking, dan hasrat manusia untuk bertahan hidup. Lewat buku harian di akhir film, Tatiana kembali berujar, “Aku hanya ingin hidup lebih baik.”

— Eastern Promises Sutradara: David Cronenberg / Pemain: Vigo Mortesen, Naomi Watts, Vincent Casel / Skenario: Steven Knight / Color / 100 menit / Produksi: Serendipity Point Films.

Asmayani Kusrini

Le Scaphandre et Le Papillon (The Diving Bell and The Butterfly)

Ketika Kamera Menjadi Mata

S

uatu hari, dia terbangun. Ada suara-suara di sekitarnya. Ada kesibukan di sekeliling. Dia berusaha bangkit, tapi tidak sanggup. Dia berusaha memanggil, tapi suaranya tertelan sendiri. Dia tidak mengerti apa yang terjadi. Lalu seseorang yang tak dikenalnya menyorongkan wajah dekatdekat. “Ada apa?” katanya dalam hati. Inilah biopik tentang hari-hari terakhir Jean-Do, wartawan dan editor majalah mode Elle cabang Prancis. Jean Do mengalami stroke yang membuatnya lumpuh total. Satu-satunya aktivitas yang bisa dilakukan pria yang terkenal sebagai  playboy  ini hanyalah berkedip. Hanya dengan berkedip itulah, Jean Do berhasil menyelesaikan sebuah buku dengan judul yang sama. Jean-Do mempublikasikan buku tersebut tiga hari sebelum kematiannya pada 9 Maret 1997. Adalah Julian Schnabel yang gemar bikin film biografi— Basquiat, tentang pelukis Jean Michel Basquiat; dan Before Night

110

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Falls, tentang penulis Reinaldo Arenas—yang membuat film ini. Dan Schnabel, pelukis yang kemudian beralih jadi sutradara itu, mencoba memvisualisasikan Le Scaphandre dari sudut pandang dan kenangan Jean-Do. Hampir sebagian besar film ini dishot dari angle sudut mata kiri Jean-Do—satu-satunya organ tubuh yang masih berfungsi utuh. Le Scaphandre dibuka dengan adegan dari sudut mata JeanDo (yang diperankan dengan sangat baik oleh aktor Prancis, Mathieu Amalric) yang baru saja tersadar dari  stroke  yang membuatnya lumpuh total (locked in syndrome). Schnabel, bekerja sama dengan penulis skenario Ron Harwood (The Pianist), dan Janusz Kaminski sebagai sinematografer, kemudian memperkenalkan Jean-Do seperti sedang menyatukan sebuah puzzle. Sepotong-sepotong, tergantung kenangan sang empunya cerita. Sebagai seorang editor majalah mode, Jean-Do jelas punya kelas tersendiri. Jean-Do yang sedang berada di puncak karir, menjalani hidup glamor di antara pelbagai wanita dan komunitas kelas atas masyarakat Paris, tiba-tiba harus terkurung dalam tubuhnya sendiri dan terpaksa diasingkan ke kota kecil di pinggiran Prancis. Kinerja Kaminskisebagai DOP memegang peranan sangat besar di film ini. Ketika ingatan tentang masa lalu itu tenggelam dalam kenyataan yang harus dihadapi Jean-Do, maka kamera tibatiba berfungsi sebagai ‘mata’, yang kadang kabur karena pusing, atau karena menahan tangis, atau karena sedang ngiler melihat cewek cakep. Bahkan dengan berani, Schnabel memperlihatkan bagaimana salah satu mata itu kemudian dijahit, dari sudut pandang si mata! Maka kita pun diajak ikut meringis dan sakit ketika sedikit demi sedikit mata kanan itu tertutup, dan yang tertinggal hanyalah mata kiri dengan area pandang terbatas.

KETIKA KAMERA MENJADI MATA

Setelah dijahit, maka jadilah kamera berubah menjadi ‘mata satu’. Selain itu, ‘mata satu’ ini juga ditemani oleh suara hati— maklum, Jean-DO tidak bisa ngomong—yang setidaknya bisa menjadi jembatan antara Jean-Do dan penonton.Teknik yang digunakan Kaminski – yang juga sinematografer favorit Spielberg —ini berhasil membuat saya ikut merasakan bagaimana jadi JeanDo saat itu. Dari sudut pandang yang sangat terbatas inilah, JeanDo menyadari banyak hal. Tapi penonton tidak usah khawatir. Schnabel—mungkin juga atas saran Kaminski – rupanya sadar, sungguh tidak nyaman menjadi Jean-Do, maka kamera kadang berbaik hati tidak lagi menjadi sang mata, tapi keluar sejenak dan melebarkan pandang, menjadi pengamat yang berjarak. Dan  puzzle-puzzle  yang berserakan sejak awal mulai tersusun. Ada adegan ketika ayah Jean-Do yang juga sudah susah bergerak karena tua menangis di telepon, mengetahui anaknya yang baru berusia 45 tahun itu tak mampu lagi berbicara. Dan penonton diajak untuk tahu kedekatan antara ayah dan anak ini. Ketika kamera keluar dari fungsinya sebagai sang ‘mata satu’, penonton dibawa untuk melihat bagaimana hubungan Jean-Do selama ini di antara kolega, keluarga, dan pacar-pacarnya. Schnabel mengerahkan segala kemampuan dan pengalamannya sebagai pelukis untuk memvisualkan  Le Schapandre di atas layar lebar. Meski Le Schapandre adalah kisah penderitaan seorang manusia yang berjuang untuk menghasilkan sesuatu, tapi sekuen-sekuan yang dipilih Schnabelbegitupuitis. Indah namun pilu. Seperti ketika Schnabel membuat Basquiat dan Before Night Falls, Schnabel tidak bisa menghilangkan jejaknya sebagai pelukis yang peduli dengan komposisi, warna, cahaya. Schnabel juga makin matang meresapi kegalauan karakter Jean-Do dibandingkan dengan Basquiat atau Arenas di film sebelumnya.

111

112

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Meski tak berhasil menjadi film terbaik di Cannes 2007— akhirnya dimenangkan oleh  4 months, 3 Weeks, 2 Days-nya Christian Mungiu—toh, Schnabel dinobatkan sebagai sutradara terbaik di ajang festival paling bergengsi tersebut. Pantaslah.

— Le Scaphandre et Le Papillon (The Diving Bell and The Butterfly) Sutradara: Julian Schnabel (Basquiat, Before The Night Falls) / Skenario: Ron Harwood (The Pianist) / Pemain: Mathieu Amalric, Emmanuelle Seigner, Marie-Josee Croze / Produksi: Pathé Renn Productions / 112 Menit.

Asmayani Kusrini

Summer Palace

Sebuah Catatan untuk Lou Ye

M

engapa Lou Ye harus dihukum gara-gara film ini? Pertanyaan itu terus mengusik saya sepanjang menonton  Summer Palace. Hukumannya tidak tanggung-tanggung pula: Lima tahun tidak boleh bikin film! Bagi Lou Ye yang sedang  ‘horny’  bikin film, hukuman ini jelas menyiksa. “Mungkin saya akan jadi pedagang saja,” katanya terkekeh waktu kami sempat ngobrol di Rotterdam, awal tahun lalu. Dia tentu saja bercanda. Ia mengaku sudah tidak bisa mencari pekerjaan lain di luar dunia film. Lou Ye sudah dua kali menerima hukuman seperti ini. Pertama gara-gara filmnya  Weekend Lover  dan  Suzhou River  (akhirnya dirilis tahun 2000).  Weekend Lover  dilarang beredar. Suzhou River membuat Lou Ye tidak boleh membuat film selama 2 tahun. Meski  Suzhou River  mendapat penghargaan diberbagai festival international, termasuk Tiger Awards di

114

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Rotterdam Film Festival 1999, butuh waktu satu tahun untuk membuat film ini akhirnya bisa diputar secara resmi di sinema. Karena larangan membuat film selama 2 tahun itulah maka Lou Ye baru boleh membuat film, dan menyelesaikan Summer Palace pada 2006 lalu. Summer Palace kemudian masuk nominasi untuk memperebutkan  Palme D’or  di festival Film Cannes 2006. Summer adalah satu-satunya film Asia di tahun itu yang masuk nominasi. Belakangan ketahuan, saat di putar perdana di Cannes, Summer Palace ternyata belum lolos sensor, dan belum mendapat ijin untuk dipertontonkan di luar negeri. Jadilah film itu langsung hilang dari peredaran usai festival film itu berakhir. Lou Ye hanya bisa garuk-garuk kepala. “Yah mau bagaimana? Saya bikin film toh bukan untuk disimpan di kantor sensor,” kata Lou Ye dengan wajahnya yang jahil. “Menurut badan sensor, film ini tidak lolos sensor, dan tidak mendapat ijin ke luar negeri karena kualitas gambar, dan suaranya yang tidak memenuhi standar bioskop,” kata Lou Ye. Kita bisa ketawa geli, dan mungkin maklum kenapa sampai Lou Ye nekat memutarnya di Cannes. Harus diakui, Lou Ye, memang ‘anak bandel’ di dunia perfilman China. Ye adalah salah satu dari generasi keenam sineas China. Karya mereka (Lou Ye, Zhang Yuan, Wang Xiaoshuai, dan lain-lain) jelas melabrak apa yang pernah dibangun oleh para generasi kelima (di antaranya Zhang Yimou dan Chen Kaige) yang cenderung manis, dan masih menggunakan metode konvensional dalam segi teknis maupun gaya penceritaan. Generasi keenam ini jelas jauh berbeda. Mereka adalah generasi ‘badung’ yang anti-romantisasi, antikapitalis, anti bermanis-manis, dan memilih film sebagai alat presentasi mereka terhadap perubahan yang terjadi di Cina. Kehidupan urban kontemporer disorot ‘telanjang’ dan apa adanya.

SEBUAH CATATAN UNTUK LOU YE

Dan inilah yang membuat otoritas yang berkuasa di Cina tidak main-main galaknya. Selain menghukum Lou Ye untuk tidak bikin film selama 5 tahun, Summer Palace juga ‘ditahan’ peredarannya. Master copy disita dan Lou Ye akan kena denda 5 sampai 10 kali lipat dari hasil penjualan film tersebut. Beberapa distributor international termasuk Wild Bunch— yang suka mengambil resiko membeli film-film kontroversial dan provokatif seperti 9 Songs—bersatu padu agar film ini bisa segera diedarkan. Dan akhirnya, Desember 2007, Summer Palace pun dirilis, walau akan sulit masuk jaringan bioskop-bioskop besar. Di Belgia, misalnya, film ini langsung diputar di Actor Studio, sinema khusus memutar film-film independen yang tidak tembus dan sulit ditonton di bioskop mainstream (arus utama). Ketika film ini muncul di Actor Studio, saya tidak ragu-ragu menontonnya dengan rasa penasaran yang buncah. Lou Ye pernah berpesan, “Jika kamu suatu saat punya kesempatan menontonnya di layar lebar, tolong perhatikan apa yang membuat film ini tidak bisa diterima.” Mandat itulah yang terus terngiang dari menit pertama menonton Summer Palace. Dan setelah menontonnya, tetap saja saya tidak mengerti kenapa Lou Ye harus dihukum selama itu. Lou Ye memang melanggar ketentuan karena tidak menunggu sampai mendapat persetujuan, tapi alasan yang diberikan padanya juga tidak kalah keterlaluan. Alasan teknis karena kualitas gambar dan suara yang buruk? Secara teknis, Summer dibuat dengan nuansa dokumenter, banyak menggunakan kamera hand-held (kamera pegang) yang gelisah, dan tata suara yang bergaung. Karya Lou Ye ini jelas tidak bisa dibandingkan dengan karya-karya Zhang Yimou yang rapi, bersih, dan teratur. Summer jauh dari rapi apalagi bersih. Ada kesan sembrono dan bagian yang  continuity-nya  tidak

115

116

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

diperhatikan. Namun, kita bisa segera melihat jejak-jejak neorealis Italia, dan  cinema vérité  dalam pendekatan sinematis ini. Pendekatan semacam ini belakangan banyak sekali digunakan para sineas dunia. Rasanya, kok, ya tidak genah untuk menyita karya ini karena tidak rapi. Kita bisa curiga, ada alasan lain di balik itu.  Summer Palace memang tipikal film yang akan membuat Anda sangat suka atau sangat tidak suka. Sederhananya, Summer Palace adalah kisah cinta. Film ini setidaknya akan membuat sebagian penonton teringat akan ‘cinta pertama’. Bagi yang pernah mengalaminya, Summer Palace pasti bisa dipahami dengan mudah. Mengikuti dorongan hati yang menggebu, selalu ingin bertemu, tidak bisa lepas dari pasangannya, dan semua bumbu kecil-kecil lainnya. Yu Hong (diperankan Lei Hao), seperti juga gadis remaja yang jatuh cinta pada umumnya, dipenuhi rasa cemburu yang berlebihan, dan membuat pacarnya, Zhou Wei (Xiaodong Guo) kegerahan. Kita bisa mangkel melihat kelakuan Yu Hong, atau sebal dengan Zhou Wei, atau ingin menonjok orang ketiga yang mengintervensi. Bukankah banyak perempuan yang selalu minta ketegasan soal cinta? Bukankah banyak laki-laki yang selalu muak dimintai ketegasan? Semua ramuan madu dan racun cinta ada di film ini, tapi anehnya, tidak klise. Hubungan mereka bergelombang naik turun. Sampai keduanya kelelahan dan kehabisan tenaga untuk bertahan.  First love never dies  mungkin berlaku bagi mereka. Sampai di situ, badan sensor tidak punya alasan untuk menggerakkan guntingnya. Seks? Okelah, Summer Palace mungkin agak berlebihan. Summer tercatat sebagai film Cina pertama yang terang-terangan memperlihatkan tubuh telanjang pria dan wanita. Tapi, adegan seks di film ini memang jauh lebih realis dibandingkan adegan seks Hollywood yang terlihat seru doang, tapi sering lupa buka celana—jika Anda tahu maksud saya....

SEBUAH CATATAN UNTUK LOU YE

Adegan seks yang berani ini jika dipotong sedikit, juga tidak akan mengganggu jalannya seluruh cerita tapi pasti akan berpengaruh pada penilaian kita terhadap karakter-karakternya yang impulsif. Aborsi? Film karya Christian Mungiu, 4 Months 3 Weeks 2 Days yang jelas ada adegan aborsinya lolos masuk ke Cina, dan akan diputar resmi awal tahun 2008. Bunuh diri? Gaya hidup bebas tanpa aturan? Ataukah pelarangan itu karena  Summer Palace berlatarbelakang tragedi Tiananmen? Mungkin juga. Kisah cinta Yu Hong-Zhou Wei mengambil setting di era reformasi Cina di bawah pemerintahan Deng Xiao Ping pada 1980-an. Demokrasi didengung-dengungkan akan membawa perubahan. Kelompok paling bersemangat mendukung demokrasi tentu saja generasi muda berstatus mahasiswa. Lou Ye akrab dengan peristiwa ini. Kita bisa maklum, Lou Ye yang lahir pada 1965 ini masih berstatus mahasiswa di Beijing Film Academy pada 1989. Lou Ye adalah salah satu diantara ribuan mahasiswa yang turun ke jalan menuntut demokrasi yang utuh, dan meminta ruang gerak yang lebih luas untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat. Karena itulah reka ulang peristiwa Tiananmen di Summer Palace terlihat sangat nyata. Apalagi Lou Ye memasukkan footage asli peristiwa itu ke dalam film ini. Saya sempat senyum-senyum sendiri ketika seorang rekan saya mempertanyakan adegan saat demonstrasi makin memuncak. Sebuah mobil dibakar dan mahasiswa-mahasiswa melemparinya dengan batu. Lalu datang segerombolan tentara yang menembak dan orang-orang itu pun bubar dan jalan-jalan sepi seperti kota mati. Betapa adegan ini seperti membawa saya kembali di sepanjang pertengahan tahun 90an, nun di Indonesia sana. Rekan saya bilang, adegan itu tidak masuk akal. “Buat apa orang-orang itu melempari batu ke arah mobil yang terbakar? Dan tiba-tiba jalan-jalan sunyi,” katanya. Saya hanya manggut-

117

118

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

manggut. Menurutnya, gara-gara adegan itu, film ini jadi kehilangan nuansa realisnya. “Lou Ye mau sok romantis,” tuduh rekan saya. Saya pun tak bisa menahan tawa. Untuk pertama kalinya saya bangga pernah menjadi bagian dari demonstrasi nasional ketika Soeharto terpaksa turun tahta. Betapa berbedanya kami memandang adegan yang tak lebih dari 3 menit itu. Peristiwa penembakan oleh tentara ke arah kerumunan mahasiswa yang berkumpul di Tiananmen itu adalah topik terlarang di Cina hingga saat ini. Seperti jalan-jalan yang tiba-tiba sepi setelah tembakan dilepas, gaung Tiananmen langsung teredam di Cina. Summer Palace adalah film pertama yang berani memunculkan kembali peristiwa yang ingin dilupakan itu. Ada kritik yang mengklaim, Lou Ye hanya ingin sekadar cari sensasi dengan memunculkan peristiwa bersejarah—ia juga menggunakan footage saat runtuhnya tembok Berlin di Jerman, dan mundurnya Gorbachev di Rusia. Tapi saya ingin berprasangka baik. Justru Tiananmen dan tergoyangnya komunisme adalah latar yang paling pas untuk Summer. Pada masa itu, Cina mulai membuka diri terhadap dunia internasional meski masih malu-malu. Pengaruh Barat sedikit demi sedikit menyusup sampai ke gaya hidup generasi muda di Cina. Tukar informasi tentang gaya hidup Barat menjadi topik hangat. Reformasi dan modernisasi berdengung di setiap obrolan santai. Kata freedom atau kebebasan seperti mewabah di mulutmulut pemuda-pemudi Cina. Kebebasan ini diperlakukan bukan sekadar cuap-cuap, tapi juga dipraktikkan. Di dalam asrama-asrama mahasiswa yang sumpek dan bising itu, mereka bereksperimen tentang berbagai hal, termasuk soal seks. Mahasiswa pria menyusup masuk ke asrama putri, demikian juga sebaliknya. Karakter-karakter di  Summer Palace adalah produk di masa yang gegap gempita itu. Peristiwa sejarah dalam film ini bisa dianalogikan seperti

SEBUAH CATATAN UNTUK LOU YE

engsel pintu. Ia bertindak sebagai penguat meski tidak lantas jadi bagian dari keseluruhan cerita. Peristiwa sejarah dan kisah cinta Yu Hong-Zhou Wei ini berdampingan dan terkait di titik-titik tertentu. Banyak memang kisah cinta berlatar sejarah (saya ambil contoh  Pearl Harbour  yang  ‘cheesy’  itu). Pencapaian  Summer Palace  jelas jauh di atas  Pearl Harbour. Saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut. Bagi mereka yang lebih suka bermimpi, silahkan menonton Pearl Harbour. Bagi yang suka menghadapi kenyataan apa adanya, Summer Palace adalah film yang pas. Dari cara penyuguhan ala dokumenter yang nyaris mendekati kenyataan ini, mungkin kita bisa mengerti mengapa Cina sampai malu mempertontonkan Summer Palace. Sebuah negeri yang sedang memupuk kedigdayaannya tentu tidak mau memperlihatkan ketelanjangan yang terekam dalam Summer. Film ini adalah potret yang selalu ingin disembunyikan dari brosurbrosur wisata tentang Cina. Tapi sampai menghukum sutradaranya selama 5 tahun? Ini yang tidak akan saya mengerti. Adapun peristiwa sejarah di film ini yang banyak dikritik justru membuat saya jadi teringat sesuatu. Pada akhirnya, peristiwa sejarah memang berbeda dengan sejarah pribadi. Yang membedakan adalah kenangan. Sejarah menyimpan kenangan kolektif, seperti saat orang-orang mengenang tragedi Tiananmen setiap 4 Juni. Bagaimana dengan Yu Hong? Bagaimana dengan Zhou Wei? Mereka adalah pribadi-pribadi yang ikut berdemo ketika peristiwa sejarah memanggil. Tapi mereka punya kenangan tersendiri yang tidak mungkin bisa dibagi secara kolektif. Ketika peristiwa sejarah itu lewat, mereka masih tetap berurusan dengan kenangan—yang kebetulan buruk—sambil terus berusaha untuk melanjutkan hidup. Tidak adil rasanya kalau menuduh peristiwa sejarah di film

119

120

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

ini sekadar cari sensasi. Tentu saja ini pandangan saya pribadi. Ada yang berkomentar pedas terhadap karakter-karakter yang cuma sibuk dengan urusan hati. Tapi saya kemudian teringat dengan revolusi 1998 saat masyarakat Indonesia menuntut reformasi. Seberapa banyak dari kita yang mengerti duduk perkara? Saya waktu itu masih mahasiswa. Saya tahu Indonesia sedang guncang. Sejarah sedang bersiap mencatat. Waktu itu menjelang ujian, tugas sedang banyak-banyaknya. Tapi profesor saya pun turun ke jalan. Saya ikut, tentu saja. Ikut berdemo. Ikut naik truk menuju lapangan. Ikut teriak-teriak biar makin heboh. Teman saya yang sedang naksir anak kedokteran juga ikut. Berharap kecengan-nya itu ada di kerumunan. Teman saya yang lain malah bertemu pacar yang kemudian dinikahinya beberapa tahun kemudian. Pokoknya, kami semua ikut, apapun itu artinya. Motivasi kami jelas, atas nama solidaritas. Tapi setelah peristiwa itu lewat, saya harus berhadapan dengan profesor saya yang menagih tugas kuliah. Teman-teman saya juga panik menghadapi tagihan tugas dari profesor masingmasing. Untuk ini tidak ada solidaritas. Ketika setiap orang Indonesia memperingati peristiwa bersejarah yang berpuncak pada Mei 1998 itu, saya selalu teringat pula dengan nilai D gendut di atas kertas ujian saya. Tentu saja setiap orang punya kenangannya masing-masing. Saya dengan nilai D gendut setelah tragedi Mei 1998, Yu Hong dengan pengkhianatan Zhou Wei saat peristiwa Tiananmen meletus, atau Zhou Wei, dan urusannya yang belum selesai dengan Yu Hong saat meninggalkan Cina ketika tembok Berlin runtuh. ‘Life goes on and on and on… !’ — Summer Palace Sutradara: Lou Ye / Pemeran: Hao Lei, Guo Xiao Dong, Hu Ling, Zhang Xian Min / Bahasa: Mandarin, Jerman, Korea / Color / 140 menit / Distributor internasional: Wild Bunch, Paris.

Eric Sasono

Mereka Bilang Saya Monyet!

Siapa Bilang Djenar Monyet?

S

iapa yang bilang Djenar Maesa Ayu adalah seekor monyet? Mungkin tak ada, dan itulah soalnya. Bisa jadi pernah ada yang mengatai Djenar monyet, dan ia sedang melawannya dengan karya. Saya merasa begitu ketika menonton film  Mereka Bilang Saya Monyet  (MBSM), yang naskahnya ditulis Djenar bersama Indra Herlambang dan disutradarai Djenar sendiri. Cerita film ini berasal dari cerita pendek Djenar yang berjudul “Lintah” dan “Mereka Bilang Saya Monyet”. Kisahnya adalah tentang seorang anak bernama Adjeng (Banyu Bening) yang mengalami banyak hal dalam hidupnya. Orangtuanya berpisah dan mereka saling menyalahkan. Sang ibu, yang dipanggil Adjeng Mommy (Henidar Amroe),  boroboro menyayangi. Ia bahkan menganggap anak kecil yang masih sekolah di SD itu tak pantas diperlakukan sebagai manusia. “Sama

122

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

saja dengan ayahnya,” kata sang ibu, yang kemudian menjuluki sang anak sebagai monyet. Kebencian Mommy bahkan terasa tak masuk akal. Lihat adegan ini: suatu hari Adjeng memuntahkan sayur yang sudah dimakannya ke dalam toilet duduk. Mommy memergoki. Ia lantas marah pada Adjeng dan meminta anak kecil itu menjelaskan perilakunya. Tentu Adjeng tak bisa menjelaskan. Maka Adjeng pun harus menerima paksa kebenaran Mommy bahwa sayur itu sehat baginya. Tak cukup hanya itu, Adjeng pun dipaksa menelan sayur yang sudah berada di dalam toilet itu. Benci memang lawan kata dari cinta. Mungkin itu sebabnya keduanya bisa sama tak masuk akalnya. Dan kebencian itulah yang tampak sedang dibagikan oleh Djenar kepada penonton dengan cerita ini.

Penistaan seksual Tapi kebencian macam itu saja tak cukup. Karena Mommy punya pacar (diperankan oleh Bucek) dan kita tahu sejak awal untuk apa ia ada dalam film semacam ini. Ketika Bucek berada satu frame dengan Adjeng kecil, tak sulit menduga apa yang akan terjadi pada perempuan kecil itu. Bukan hanya komedi, dan ilusi kebahagiaan yang mudah ditebak dan cenderung membosankan, tapi juga tragedi dan dunia yang muram seperti ini. Jika ada yang selamat dari konstruksi yang dibangun oleh Djenar, itu adalah metafor lintah yang masuk ke bak mandi yang serta-merta mengubah warna air di dalamnya menjadi merah darah. Tragedi semacam penistaan seksual seperti yang dialami oleh Adjeng mungkin bukan hal baru. Dalam kehidupan nyata, banyak perempuan-seniman yang mengalami dan mampu mengubah nistaan itu menjadi energi kreatif mereka. Penyair dan prosais Amerika, Maya Angelou, adalah salah satu yang mampu

SIAPA BILANG DJENAR MONYET?

mengubah nistaan seksual itu menjadi kisah yang insipiratif. Bukunya, I Know Why the Caged Bird Sings, dipuji oleh banyak penulis lain dan dianggap menjadi inspirasi bagi orang banyak. Maka jika Adjeng dewasa (Titi Sjuman) kemudian merasa perlu berhenti dari menulis buku anak-anak, dan mulai mencoba menulis fiksi bagi orang dewasa, ia mungkin bukan sekadar berkeinginan untuk jujur dengan pengalamannya sendiri. Bisa jadi ini adalah sebuah langkah penyembuhan diri yang memang dia perlukan. Apa langkah penyembuhan itu? Tiba-tiba saya teringat pada  Baise Moi  (2001), sebuah film Perancis yang arti harfiahnya Fuck Me tapi judul Bahasa Inggrisnya adalah Rape Me—karena tak mungkin arti harfiahnya itu akan diperbolehkan untuk judul sebuah film di negara-negara pengguna Bahasa Inggris. Film itu mengisahkan dua korban tindakan kekerasan seksual yang kemudian berubah menjadi pembenci laki-laki. Mereka menjebak laki-laki dengan seksualitas mereka, dan kemudian membunuhi laki-laki yang berhasil mereka jebak karena alasan-alasan kecil. Film ini dibuat oleh Virginie Despentes dan Coralie. Despentes menulis novel ini dan Coralie, seorang produser film porno Prancis, merasa mendapatkan bahan yang sangat baik buat sebuah cerita dengan pernyataan yang kuat tentang persoalan dominasi seksual laki-laki terhadap perempuan. Namun film ini punya satu kekurangan besar: penceritaan. Film ini lemah sekali dalam penceritaan sehingga tampak seperti perayaan tak sengaja terhadap kebodohan-kebodohan seksual para tokoh di dalamnya.

Tiada ruang bagi karakter Djenar dalam Mereka Bilang lebih baik ketimbang Baise Moi. Ia lebih lancar dalam bercerita. Kecohan-kecohan kecil juga

123

124

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

diselipkan di sana-sini, cukup bisa membuat alur drama terasakan. Namun Mereka Bilang sama-sama punya ketidakmatangan seperti halnya Baise Moi. Penyutradaraan Djenar terasa sangat datar untuk sebuah topik pembicaraan yang sangat membutuhkan sensitivitas. Ia tampak tak peduli pada perasaan penonton dan tak memberi ruang bagi karakternya untuk menikmati kesendirian tanpa harus terserang oleh orang-orang di sekitarnya. Mommy dan sang pacar memberi nistaan perasaan dan fisik yang tak ada habisnya. Teman di sekolah mengejeknya karena ia menggambar perempuan cantik. Ayahnya mengajak perempuan muda dengan pakaian terbuka yang menyebut dirinya sendiri ‘kakak’ kepada Adjeng. Bahkan Bik Inah (Jajang C. Noer), pembantu ayahnya yang sayang pada Adjeng, selalu mencandai Adjeng di waktu yang salah. Akibatnya, menonton Mereka Bilang bagaikan menonton sebuah film pendek yang dibuat oleh anak berumur 20-an tahun yang merasa bisa menjelaskan kepada siapa pun bahwa dunia ini tak lebih wangi ketimbang ketiak setan. Pergerakan kamera yang tak macam-macam, editing yang sekadarnya, dan tata cahaya yang sederhana dan production value yang ngepas, memang berhasil mengantarkan kementahan ungkapan, dan fokus pada cerita. Namun kementahan untuk tema sensitif seperti ini nama lainnya adalah ketidakmatangan. Dalam ketidakmatangan demikian, kreator biasanya merasa punya jawaban kenapa dunia harus busuk begitu: tak ada yang mengerti saya. Itulah kata-kata Adjeng kepada Asmoro (Ray Sahetapi), seorang penulis yang mementori Adjeng. Asmoro yang digambarkan sabar itu bahkan hanya seorang laki-laki brengsek yang pengen ngewe gratis dengan perempuan secantik Adjeng. Siapakah kiranya yang bisa memahami persoalan orang seperti Adjeng?

SIAPA BILANG DJENAR MONYET?

Memahami Mungkin Djenar bisa. Seperti kata Adjeng dewasa, kenyataan memang bisa seburuk itu dan bahkan lebih brengsek lagi. Apa perlunya menutup-nutupi? Memang, dan mungkin Adjeng beruntung. Ia bisa keluar dari persoalannya, dan kemudian menyembuhkan dirinya dengan memilih laki-laki yang ingin ia tiduri. Selain Asmoro, Adjeng juga secara rutin ditiduri oleh seorang bos (Joko Anwar) yang membayarinya sewa apartemennya itu. Bagaimana cara memahami pemilihan Adjeng terhadap “korban-korban”nya ini? Keduanya tampak punya sumber daya yang cukup untuk dikerjai, tanpa perlu ada soal luka masa kecil yang perlu disembuhkan. Asmoro tidak ngewe gratis, karena ia memberi mentoring kepada Adjeng dalam soal tulisannya sampai akhirnya tulisan Adjeng dimuat di koran. Pertukaran yang mungkin seimbang. Begitu juga dengan si Bos; tak usah ditanya. Ketika seorang playboy ganteng (Mario Lawalatta) mendekati Adjeng di sebuah klub, Adjeng cuma tahan sebentar, dan kemudian muntah di kamar mandi. Lantas apa perlunya Djenar membuat latar belakang penistaan seksual masa kecil untuk sebuah pertukaran seksual yang seharusnya berjalan seimbang, dan biasa-biasa saja? Apakah Djenar sedang mencari legitimasi? Legitimasi luka masa kecil sebenarnya tak diperlukan bagi sebuah pertukaran yang seimbang macam itu. Bukankah sumber daya seks adalah salah alat tukar paling berharga, dan tak akan berubah mungkin sampai akhir jaman? Tak sulit mengakui hal ini, karena dua soal. Pertama, soal moralitas sudah sejak awal memang diletakkan jauh-jauh dalam cerita ini dan tak terlalu sulit juga menerima soal semacam ini. Kedua, di Mereka Bilang, Djenar bahkan sudah membecandai para

125

126

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

penyindir, dan pengejek “Sastra Wangi” justru dengan menampilkan nyaris seluruh inti omongan mereka. Cerita Adjeng kecil memang sebuah tragedi yang bisa jadi pelajaran bagi banyak orang. Sayang sekali apabila kisah tragedi semacam ini kemudian hanya jadi pembelaan bagi posisi Djenar sebagai penulis. Alih-alih memberi inspirasi seperti yang dilakukan Maya Angelou, kisah ini malahan seperti mengabaikan bahwa luka itu pernah ada, dan kemudian bermain-main dengannya. Bisa jadi film ini sepenuhnya adalah otobiografi, tanpa ada bumbu fiksi sedikit pun. Jika demikian halnya, maka seperti kata Adjeng dewasa, kenyataan memang bisa lebih buruk daripada itu. Namun seorang penulis, seorang kreator, tetap bisa memilih apa yang ingin disampaikannya kepada khalayak. Apa sesungguhnya pelajaran yang diambil oleh Djenar dan hal yang ingin dikatakannya. Mungkin monyetlah soalnya. Mungkin ada yang pernah berkata pada Djenar bahwa ia monyet dan itu memang sangat menyakitkan. Kini ia sedang membalas saja. Adakah demikian? Apapun, yang jelas Djenar perlu memulai dengan tudingan bahwa dunia memang sedang mengatainya monyet. Berbekal inilah maka ia jadi punya hak untuk mengatai balik.

— Mereka Bilang, Saya Monyet! Sutradara: Djenar Maesa Ayu / Produser: Djenar Maesa Ayu dan Riyadh Assegaf / Pemain:Titi Sjuman, Henidar Amroe, Ray Sahetapy, Bucek Dep, Agust Melasz, Jajang C. Noer, Arswendo Atmowiloto, Indra Herlambang, Joko Anwar, Ayu Dewi, Fairuz Faisal, Mario Lawalatta, Nadya Rompies, Banyu Bening / PH: Intimasi Production / Durasi: 90 menit / Theatrical Release: 2007.

Eric Sasono

Perempuan Punya Cerita

Para Perempuan Malang

K

rishna Sen, akademisi film asal Australia, dalam jurnal  Inside Indonesia edisi 29  menyebutkan fenomena perempuan di belakang kamera adalah bagian dari perubahan perfilman Indonesia pascareformasi. Sejak 1926 hingga sebelum reformasi, dalam catatan Sen, hanya 3 orang perempuan yang pernah menjadi sutradara. Itu pun tanpa mendapat respon terlalu menggembirakan, baik secara populer maupun artistik. Sen juga benar untuk satu hal: persoalan perempuan kontemporer yang dipandang dari kacamata “perempuan” (jika tak ingin menyebutnya feminis) memang relatif baru karena pandangan semacam itu juga baru berkembang belakangan. Para sutradara dan produser yang berkarya di masa Orde Baru (baik lelaki maupun perempuan) tunduk pada pandangan patriarkis yang memang merupakan pandangan dominan masa itu (dan mungkin sampai sekarang).

128

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Perempuan Punya Cerita yang merupakan kumpulan 4 film pendek tentang perempuan, memperpanjang daftar film Indonesia pascareformasi yang dibuat dengan mendekati subyek mereka dengan memakai perspektif perempuan. Sebelumnya, kita sudah melihat Pasir Berbisik (Nan T. Achnas), Eliana-Eliana (Riri Riza), dan Berbagi Suami (Nia Dinata). Juga, dalam skala lebih luas dan longgar, Marsinah (Slamet Rahardjo). Dengan pernyataan tegas di berbagai  materi publikasi film ini, maka  Perempuan Punya Cerita menjadi film dengan sebuah pernyataan politik: perempuan sedang mendaku posisi mereka dalam ranah film di Indonesia. Film ini dibagi dalam segmen-segmen:  Cerita Pulau (sutradara Faitmah T. Rony dan skenario Vivian Idris), Cerita Yogyakarta (Upi dan Vivian Idris), Cerita Cibinong (Nia Dinata dan Melissa Karim), dan Cerita Jakarta (Lasja F. Sutanto dan Melissa Karim).

2 Cerita Pulau  menceritakan tentang seorang bidan bernama Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka) di sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Ia menjadi pusat kehidupan banyak orang, termasuk bagi perempuan yang disayanginya, Wulan (Rachel Maryam), seorang perempuan terbelakang mental. Hidup Sumantri sendiri tak mudah. Ia sakit kanker yang sudah rada gawat. Sumantri juga sedang diperiksa polisi akibat sebuah kasus aborsi yang dilakukannya. Padahal menurut Sumantri ia melakukan aborsi itu demi keselamatan pasiennya (sebuah premis yang mengingatkan kita pada Vera Drake karya Mike Leigh). Tak cukup deraan-deraan itu, Sumantri harus menemukan Wulan diperkosa oleh segerombolan anak muda yang seolah datang khusus dari Jakarta untuk keperluan itu—memerkosa. Pengaduan Sumantri ke polisi tak dianggap karena statusnya yang

PARA PEREMPUAN MALANG

masih menjadi tersangka atas kasus aborsinya itu. Bahkan nenek Wulan yang seharusnya membela, malahan mengambil keuntungan pribadi karena keluguannya. Ditimpa kesulitan seperti itu, Sumantri harus berhadapan pula dengan keputusan sang suami yang menambah ketidakberdayaannya. Sang bidan pahlawan itu pun harus mundur terpaksa dari perjuangannya, dan hidup berlanjut tanpa ia bisa campur tangani lagi. Para perempuan dalam kisah ini benar-benar tersudut. Tepatnya disudutkan, bahkan sejak kalimat pertama dalam kisah ini. Dokter yang memeriksa Sumantri, tanpa perasaan dan etika memberitahu Sumantri bahwa ia menderita kanker yang sudah gawat. Padahal pemeriksaan belum lagi tuntas. Dalam posisi domestik, Sumantri juga tak bisa menentukan nasibnya sendiri. Ia tahu posisinya yang penting di pulau itu sebagai tumpuan hidup banyak perempuan, sehingga penting baginya untuk tetap tinggal di sana. Namun ia tak berdaya ketika suaminya memutuskan menjual rumah mereka. Lebih malang lagi nasib Wulan. Ia tak hanya diperkosa, tapi bahkan pemerkosaannya pun direncanakan, kemudian pemerkosaan itu dijadikan olok-olok. Belum cukup lagi, para pemerkosanya juga bisa kabur dari tanggungjawab tindak pidana, karena gabungan dari kemiskinan dan kelemahan sistem hukum yang menyulitkan pembuktian, sedangkan kesaksian Sumantri ditolak. Cerita Pulau menggambarkan tekanan lingkungan dan tak memberi ruang sedikitpun kepada perempuan. Tak ada pilihan bagi perempuan kecuali pilihan yang tambah menyudutkannya. Mulai dari lembaga medis, lembaga penegakkan hukum, kekuatan finansial (baca: kelas menengah), hingga kehidupan domestik, semuanya menyudutkan perempuan. Segmen ini berhenti pada keinginan untuk memotret. Ketidakberdayaan perempuan dipotret untuk menjadi semacam representasi bahwa perempuan di negeri ini memang tak berdaya,

129

130

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dan perlu ditolong. Perempuan hanya menjadi semacam layanglayang yang pasrah diterbangkan angina, dan tak punya kuasa sendiri mengendalikan arah. Apakah hal semacam ini baru dalam film Indonesia? Tidak sama sekali. Bahkan sinetron TV swasta di Indonesia sudah cukup berhamburan gambaran semacam ini, yang dibuat tanpa kesadaran perspektif perempuan di dalamnya. Pada  Cerita Yogya, para perempuan juga sama tak berdayanya. Jika cerita pertama sumber ketidakberdayaan itu adalah lingkungan, maka pada cerita ini, sumbernya adalah kenaifan dan gullibility-nya anak-anak perempuan usia SMA itu. Kisah dibuka dengan seorang anak perempuan berseragam putih abu-abu yang hamil, dan meminta pacarnya bertanggungjawab. Sang pacar mengelak enteng karena menurutnya si perempuan itu “digilir” (maaf untuk istilah yang tak simpatik ini) berempat, bersama teman-teman satu geng si pacar. Anak perempuan ini marah, tapi ia tak bisa apa-apa. Ia mencari jalan lain, aborsi, tapi ternyata tak semudah itu. Aborsi demikian menakutkan. Mau tak mau salah satu dari empat laki-laki yang gemar membuka situs porno di warnet itu harus menikahi si hamil. Sementara itu persoalan mereka diamati oleh seorang wartawan yang mengaku turis lokal, Jay Anwar (Fauzi Baadila), yang sedang mengunjungi kota itu. Jay terlibat dalam hubungan pertemanan dengan empat laki-laki yang menggilir si hamil. Ia juga menjalin hubungan dengan salah satu teman si hamil, Safina (Kirana Larasati). Jay menjadi semacam role model bagi gang anak SMA ini dan Safina tampak jatuh hati pada laki-laki tampan dan simpatik itu. Film ini memang sebuah subversi dari Ada Apa dengan Cinta?  Persahabatan anak berseragam putih abu-abu sama naifnya, sekalipun topik perbincangan mereka jauh berbeda. Bukan majalah dinding atau puisi dari lelaki bermata tajam yang

PARA PEREMPUAN MALANG

bahan obrolan, tapi soal aborsi dan kepada siapa keperawanan akan dipersembahkan. Inilah sebuah potret yang hadir telanjang, termasuk perempuan berseragam putih abu-abu berjilbab yang asik saja merokok tanpa beban. Perempuan juga tersudut tanpa ruang gerak dalam kisah ini. Mereka sedemikian naïf dan  gullible. Bahkan ketika sudah dihamili, sang perempuan terlihat tanpa beban masih nongkrong bersama orang-orang yang menghamilinya. Penulis cerita film ini tak merasa perlu memberikan semacam redemption  bagi korban: perempuan. Bahkan yang paling tidak gullible dalam film ini, Safina, ternyata juga menjadi korban dengan sangat mudah untuk diduga. Lagi-lagi penulis cerita ini tak memberikan redemption apa-apa. Pernyataan Safina di akhir cerita malahan menegaskan dan mengakui posisinya yang memang gullible. Pada  Cerita Yogya  ini, kenaifan dan  gullibility  itu telah mengorbankan karakterisasi. Karakter-karakter yang ada dalam cerita ini menjadi bersifat satu dimensi. Mereka adalah tokohtokoh dalam stok cerita tak berdarah tak berdaging yang dihadirkan demi kebutuhan mengungkapkan maksud kreator. Mereka dikorbankan demi pernyataan. Celakanya, pernyataan itu tidak sepenuhnya demi membela perempuan. Cerita Yogya terlihat berambisi sekadar untuk mensubversi kehidupan anak SMA dengan seragam putih abu-abu mereka. Para perempuan pada kedua segmen cerita ini berada pada puncak ketakberdayaan, baik karena sebab dari luar maupun dari diri mereka sendiri. Sedikitnya ada dua masalah dalam strategi penceritaan semacam ini. Pertama, potret semacam ini seakan mengekalkan posisi perempuan yang lemah, tak berdaya, perlu ditolong dan sial; sama sekali tak beda dengan sinetron-sinetron di TV. Maka pembelaan perempuan di sini masih berhenti pada pernyataan tentang nasib perempuan, belum membelanya.

131

132

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Kedua, para perempuan dalam film ini menjadi korban dari pernyataan para pembuat film. Demi melakukan representasi potret perempuan, mereka menyudutkan dan menghajar perempuan baik dari luar (Cerita Pulau) maupun dari diri perempuan sendiri (Cerita Yogya). Tak terlihat ada simpati terhadap nasib perempuan, apalagi empati. Akibatnya, pernyataan pembuat cerita, dan film jadi lebih penting ketimbang subjek yang mereka bela.

3 Cerita Cibinong  tidak seambisius dua cerita pertama dalam memilihkan kenyataan bagi para perempuan. Kenyataan dalam  Cerita Cibinong  adalah rangkaian kemungkinan yang dipilih oleh kaum perempuan. Kenyataan memang masih menyudutkan, tetapi tokoh-tokoh dalam cerita ini adalah orangorang yang lebih mampu memilih. Lagi pula, penonton terlebih dulu diajak mengerti para tokoh ini sebagai manusia yang berdarah, berdaging dan punya mimpi. Akhirnya, ketika mereka tersudut, kita mengerti bahwa itu adalah buah dari pilihan mereka sendiri, tak semata-mata dipilihkan oleh para kreator. Kita diajak mengenal Esi (Shanty) dan ambisinya yang sederhana. Sebagai seorang petugas cleaning service di bar tepi jalan di Cibinong, ia hanya berharap anaknya bersekolah dengan baik dan tak mengulangi nasib menyapu di bar murahan macam itu. Mungkin Esi ingin jadi penyanyi, tapi ia tahu diri. Maka dari jauh saja ia mengagumi Cicih (Sarah Sechan), primadona yang sudah mulai memudar, tapi dengan gravitasi yang masih besar. Salut untuk Sarah Sechan untuk ini. Dan ketika godaan itu datang, Esi dengan mudah mengelak. Ia sadar bahwa mimpi yang dijual para lelaki yang datang ke bar itu adalah tipuan. Apalagi kalau soalnya sudah melibatkan

PARA PEREMPUAN MALANG

Maesaroh, masa depan Esi. Namun Cicih yang seharusnya lebih paham soal macam ini, ternyata tertipu—dan kita paham kenapa ia tertipu. Maka ketika akhirnya Cicih mengajak Maisaroh (Ken Nala Amyrtha) ikut serta bersamanya, kita merasa sedang bersama-sama Cicih mengejar mimpi. Tapi sayangnya sejak awal kita tahu kemana arah cerita. Kita hanya menantikan apa jalan keluar yang akan ditawarkan oleh pembuat film ini. Di sinilah pertaruhan kreator terjadi. Kita tahu bahwa kenyataan terhadap perempuan macam Cicih atau Maesaroh memang keras, dan film ini tak berani menghadirkannya karena mungkin terlalu pahit. Maka film ini pun membuatkan jalan pintas yang tak terlalu meyakinkan. Tapi, sudahlah. Kita pun mungkin tak cukup tega membuat Cicih dan Maesaroh menjadi bulan-bulanan kenyataan. Toh kita paham bahwa masalah bernama trafficking yang mereka hadapi mungkin jauh lebih pahit dari yang bisa digambarkan dalam film ini. Segmen keempat, Cerita Jakarta, memperlihatkan porsi lebih besar lagi terhadap pilihan, dan mimpi. Laksmi (Susan Bachtiar) seorang ibu rumah tangga, dan ia dihadapkan pada masalah terbesar yang mungkin ditemuinya. Ketika ia dituduh menularkan AIDS kepada suaminya yang baru saja meninggal akibat penyakit itu, dunianya tiba-tiba runtuh. Dan runtuhnya dunia Laksmi tidak berjalan sedikit demi sedikit. Ia terancam kehilangan Belinda, anak semata wayangnya. Ibu mertua Laksmi (Ratna Riantiarno) tak percaya lagi padanya, dan menekan Laksmi hingga ke posisi yang sangat menyulitkannya. Tak ada jalan bagi Laksmi kecuali pergi dari rumah dengan membawa Belinda. Tanpa pekerjaan jelas dan tanpa uang yang memadai untuk memulai hidup baru, Laksmi kabur dan mencoba mempertahankan kebersamaannya dengan Belinda. Inilah cerita yang berhasil mengantarkan perjuangan perempuan dalam arti terkerasnya, justru dengan cara yang halus.

133

134

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Karakter Laksmi dan pemilihan Susan Bachtiar untuk bermain di segmen ini, membuat cerita ini terlupakan sebagai sebuah kampanye tentang sikap antidiskriminasi terhadap penderita AIDS. Yang sampai adalah sebuah kisah universal tentang seorang perempuan, yang berjuang dengan segala penderitaannya akibat penyakit, dan yang ia tahu hanyalah menyayangi anaknya sepenuh hati. Maka kita paham bahwa dalam situasi semacam ini memang kaum perempuanlah yang selalu dirugikan oleh keadaan. Perempuan memang tersudut, ternyata, bukan sekadar karena keadaan yang terus menekan atau karena  gullibility-nya. Perempuan tersudut bahkan ketika ia sedang mencoba meraih kebebasannya. Pada segmen inilah perspektif perempuan baru hadir dengan baik. Karakter utama diberi kebebasan serta pilihan; dan empati selalu terbangun pada tokoh-tokoh yang memilih. Maka pada cerita ini saya merasa bahwa saya perlu membela perempuan bernama Laksmi itu, apapun penyakit yang dideritanya. Kedua cerita terakhir yang skenarionya ditulis oleh Melissa Karim lebih taktis dalam menyampaikan muatannya. Ketimbang memilihkan kenyataan yang hitam putih dan karakter yang tipis, ia mengajak penonton memahami dulu mimpi, harapan dan pilihan-pilihan yang dihadapi oleh tokoh-tokohnya. Maka empati sudah terbangun sejak semula, dan ketika mereka tersudutkan, kita merasa perlu mengeluarkan mereka dari sana. Inilah sebuah bentuk komunikasi yang lebih persuasif dalam mengajak penonton memahami masalah. Perempuan Punya Cerita memang berani mengambil sebuah risiko besar dengan mengumumkan diri sebagai film dari perempuan tentang perempuan. Pengakuan terbuka seperti ini tampaknya belum pernah dibuat sekeras ini dalam film Indonesia pascareformasi. Film seperti  Pasir Berbisik  atau  Elianaeliana membawa tema itu tanpa menyatakan bahwa film-film itu adalah film tentang perempuan.

PARA PEREMPUAN MALANG

Hasil keberanian itu adalah gambaran para perempuan malang dan tersudut. Kita mengerti betul bahwa kenyataan memang lebih hebat lagi dalam menyudutkan perempuan. Hanya, bukankah film dengan kepentingan bicara tentang perempuan lazimnya justru hendak mengeluarkan mereka dari sana atau mengajak penonton bersimpati, dan kemudian berpikiran untuk membawa mereka keluar dari sana? Ketika pernyataan tentang perempuan lebih penting ketimbang membawa perempuan keluar dari posisinya yang tersudut, maka inilah jebakan para ideolog dan aktivis yang mendahulukan egotisme mereka ketimbang persoalan yang mereka bawa. Untunglah bahwa film ini disusun dengan urut-urutan seperti ini. Dengan Cerita Jakarta, sebagai penutup, penonton masih bisa merasa simpati terhadap perempuan di akhir film. Maka jika Perempuan Punya Cerita dilihat sebagai satu film utuh, mungkin Lasja Fauzia  has saved the day. Tapi ketika film ini memang berniat sebagai film ‘dari perempuan tentang perempuan’ maka sesungguhnya risiko yang sedang ditempuh fim ini memang terlalu besar. Saya merasa para pembuat film ini lebih banyak kalah dalam pertaruhan itu.

— Perempuan Punya Cerita Sutradara: Nia Dinata, Lasja F. Susatyo, Upi Avianto, Fatimah Tobing Roni / Produser: Nia Dinata / Skenario: Melissa Karim, Vivian Idris / Distributor: Kalyana Shira Film / Indonesia / 2008 / 105 menit.

135

Hikmat Darmawan

Kawin Kontrak

Komedi Amoral

F

ilm ini amoral. Saya tidak sedang memberi penghakiman moral, tapi semata menggambarkan keadaan.  Kawin Kontrak, karya Ody C. Harahap (Bangsal 13, Selamanya) produksi MVP Pictures ini memang, sengaja atau tidak, menciptakan sebuah dunia dengan moral vacuum, atau kekosongan moral. Film ini terlihat sangat ingin mengadaptasi American Pie, dengan latar tempat di sebuah desa di kawasan Puncak, Jawa Barat.  American Pie  memang sangat eksplisit. Tapi jebulnya, komedi seks yang sangat populer di Amerika itu toh menyimpan kehangatan moralistik yang menarik. Tak seperti film ini. Kemungkinan besar, ini tak disengaja. Kekosongan moral dalam Kawin Kontrak bukan karena memang ditiadakan atau dihancurkan, seperti misalnya dalam film-film John Waters (Pink Flamingo, atau  Cecil B. DeMented). Tampak ada upaya membingkai komedi seks ini dengan semacam moral. Premis

KOMEDI AMORAL

dasar cerita ini adalah, tiga orang lulusan SMU yang terobsesi pada seks ingin menyalurkan keinginan mereka tanpa melanggar aturan agama (Islam) yang melarang seks di luar nikah. Solusinya? Gampang, kata film ini. Kawin kontrak saja. Apalagi, kawin kontrak sudah jadi industri di Puncak, Bogor, sana. Tapi ini secara tak sengaja—mungkin karena para pembuat film ini agak abai terhadap persoalan hukum Islam—premis ini justru menihilkan bingkai moral itu. Lembaga pernikahan direduksi menjadi lembaga senggama. Lebih dari itu, “alasan moral” ini hanya jadi properti, jadi alasan (mengada-ada) agar film ini ada, agar komedi seks itu terjadi. Kenapa “alasan” ini terasa mengada-ada? Karena alasan ini dihadirkan nyaris tanpa problemasi. Satu-satunya problem dari industri “kawin kontrak” ini sekadar bahwa tak selamanya lembaga kawin kontrak memberikan penyaluran seks yang dihasratkan. Gampangnya, tak selamanya kawin kontrak memuaskan secara seksual. Oh, tentu ada “pelajaran moral” juga ketika ternyata si Tuan Arab yang hendak mengawini Isa (Dinda Kanyadewi) adalah seorang Arab palsu (aslinya, orang Tanah Abang), penjahat (ia menjual istri-istri yang ia kawini ke negeri-negeri Arab)—dan selayaknya film pop bin pop, maka penjahat harus kalah dan jagoan harus menang. Oke, itu semacam moral juga. Tapi dalam konteks kawin kontrak, “moralitas” ini sama sekali tak menyentuh atau menyalahkan lembaga itu. Malah, ketika di akhir cerita “sang jagoan” menemukan cintanya, seolah film ini berkata: mungkin saja menemukan cinta sejati dalam kawin kontrak. Betul, Rama (Dimas Aditya—pemain yang mestinya jadi bintang dengan on screen personality yang kuat, dan agak tersia-sia di film ini) dan Isa agaknya mengidealkan kawin “betulan” seperti Pak Kepala Desa (Unang—menunjukkan komedian matang di film ini) dan istrinya (Mieke Amalia—pemain yang berbakat untuk bermain watak yang, juga, tersia-sia dalam film ini).

137

138

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Oke, tak apa jika memang sikap yang dipilih adalah demikian. Tapi moral-moral simplistik yang serbatabrakan itu mengakibatkan tak ada satu pun nilai moral yang bisa tegas dipegang dalam film ini. Sebuah moral vacuum yang tak disengaja, tanpa perhitungan dan penalaran mendalam. Sebuah pendangkalan. Tapi, film ini punya sisi amoral lain yang, menurut saya, lebih serius. Terus terang, hati ini serasa teriris-iris ketika melihat betapa dunia desa didesak ke belakang, sekadar jadi latar bagi orang-orang kota melakukan permainan mereka. Ah, di sini saya jadi melakukan penghakiman moral terhadap film ini. Apa boleh buat. Film ini penuh stereotipe tentang “desa” dan “orang desa”. Stereotipe yang dipelihara untuk melayani kebutuhan hiburan penonton bioskop dan DVD. Pemandangan indah desa ala mooi indie (Indonesia permai, sebuah citra visual kaum penjajah londo tentang Indonesia), selalu dihadirkan dengan soundtrack mendayu, dan biasanya mengawali adegan romantis Rama dan Isa. Para petani, penambak ikan lele, hanya jadi properti untuk latar bagi cerita. Mereka tak diberi suara. Yang diberi suara hanyalah mereka yang telah dikartunkan: Kepala Desa dan istri, Kang Sono (Lukman Sardi) sang makelar, serta janda-janda seksi yang jadi komoditi desa Suka Sararean (dari bahasa Sunda, artinya: “suka tidur-tiduran”). Kawin kontrak tidak dihadirkan sebagai sebuah masalah sosial, tapi jadi premis sangat diperlukan untuk komedi seks ini. Selain Isa (itu pun tidak meyakinkan) yang menegaskan ada masalah ekonomi yang melatari kesediaannya kawin kontrak, nyaris seluruh penduduk desa digambarkan memang punya kecenderungan mengumbar seks. Desa Suka Sararean ini sungguh istimewa, karena cukup kaya referensi dalam hal seks (ada lesbian, ada janda sekal yang terbiasa dengan permainan seks seperti di film-film blue, ada Mak Epot dan istri kepala desa yang tampak leluasa melakukan oral seks).

KOMEDI AMORAL

Tapi ini  kan  komedi? Ini sekadar “hiburan”, apa mesti dipandang serius begitu? Ya, tapi ini komedi at the expand of dunia desa. Ini komedi yang menertawakan orang-orang desa. Ya, memang dua tokoh pendamping yang datang dari kota—Dika (Herichan) dan Jodi (Ricky Harun)—juga ditertawakan? Ya, tapi mereka juga digambarkan sebagai “korban” orang desa itu. Dua perempuan yang mereka kawini menipu atau mengerjai mereka. Stereotipe macam begini, pengabaian kenyataan bahwa wong deso adalah manusia juga, sekaligus penghindaran dari pembahasan isu sosial seputar kawin kontrak, buat saya, adalah sebuah dosa tersendiri. Tapi, Anda mungkin bertanya: bagaimana nilai film itu sendiri, di luar segala aspek di luar film tersebut? Pilihan yang ada, saya kira, adalah menilai capaian film ini sebagai komedi seks. Penilaian saya: film ini tak terlalu lucu.

— Kawin Kontrak Sutradara: Ody C. Harahap / Produksi: MVP Pictures / Skenario: Ody C. Harahap & Joko Nugroho / Pemeran: Dimas Aditya, Ricky Harun, Herichan, Dinda Kanyadewi, Lukman Sardi, Unang, Mieke Amalia.

139

Eric Sasono

Radit dan Jani

Mimpi Itu Tak Di Sana

B

elakangan, agak jarang muncul film Indonesia yang memang diniatkan sebagai melodrama; film yang diniatkan sebagai tearjerker yang tak punya beban selain untuk bercerita tentang sesuatu untuk membuat para perempuan bercucuran air mata. Rasanya, sudah beberapa saat ini film  genre  Indonesia menyerah, kecuali horor dan  teen flick. Kedatangan film genre—film yang biasanya niat utamanya adalah bercerita—patut disambut gembira. Maka, saya suka pada Radit dan Jani. Maksud saya, seharusnya saya suka. Saya ceritakan dulu kenapa; sebelum akhirnya kata ‘seharusnya’ itu muncul. Radit dan Jani adalah sebuah post-romance melodrama yang memang dibuat untuk menceritakan bahwa tak mudah meraih mimpi. Kedua anak yang menikah muda ini merasa punya sikap dan pendirian; mungkin ego. Apapun namanya, mereka berhak.

MIMPI ITU TAK DI SANA

Namun semua orang tahu bahwa hak memang perlu diperjuangkan, bahkan kadang hingga tak masuk akal. Dan apalah akal di tengah romantisme sepasang anak awal duapuluhan yang saling memanggil ‘bodoh’ satu sama lain? Maka ketika mereka menahan lapar dan main tebak-tebakan remeh sampai muncul nama Dedi Dores sebagai gitaris top, maka itulah sebuah pilihan. Juga ketika mereka memutuskan untuk tak menjual sepatu bot bermotif jaguar yang harganya mahal itu, atau kalung yang sangat bagus itu, dan tetap menahan lapar, mungkin ada sesuatu yang mereka bela di situ. Kebebasankah, atau semacam itu, yang sedang mereka bela? Bisa jadi. Namun di sinilah akhirnya ‘seharusnya’ itu muncul. Saya pun batal begitu saja menyukai film ini. Saya membayangkan Radit diganti namanya jadi Dedi, dan profesinya adalah seorang sarjana menganggur yang akhirnya kerja serabutan termasuk jadi badut di TMII, atau Taman Impian Jaya Ancol. Saya membayangkan Jani diganti Menul, seorang perempuan yang kebetulan pintar masak, dan akhirnya memutuskan membuka warung pinggir jalan dengan menjual perhiasan yang dimilikinya. Oh, maaf, tak adil saya membandingkan Radit dan Jani dengan Badut-badut Kota (Ucik Supra, 1993). Namun ada alasan kecil untuk itu. Keduanya sama-sama drama urban. Tapi memang situasi sudah berubah jauh. 1993 adalah tahun ketika Jakarta ada dalam fase tak lagi dilihat sebagai dewa Janus pemakan identitas yang kejam yang membuat penduduknya jadi sengsara seperti Jakarta 1980-an. Jakarta adalah sebuah lokus tempat terjadinya negosiasi identitas itu, dan para penduduk di dalamnya sudah mampu untuk menang bahkan ketika bermain dengan aturan yang ditetapkan oleh kota itu sendiri. Coba lihat bagaimana saya membahas mengenai kota Jakarta dalam film Indonesia di tulisan saya di jurnal Karbon.

141

142

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Sesudah pertengahan 2000-an, seperti tampak pada Radit dan Jani, Jakarta mengabur. Ia tak lagi dipermasalahkan. Dalam film ini, bahkan bahasa ikonik kota tak muncul, dan segala sesuatu dalam film ini serba tergantikan. Rumah susun pasangan ini bisa berganti dengan rumah kontrakan atau tumpangan di 1990-an. Toko serba ada kecil semacam Indomaret bisa diganti KUD atau warung apapun. Identitas memang bukan pertanyaan sekarang ini, kalau dikaitkan dengan tempat para tokoh ini hidup. Mungkin mereka tak pernah benar-benar mengalami kotanya sebagai sebuah ruang tempat hidup sehari-hari. Bahkan sesungguhnya, pakaian anak kedua ini juga tergantikan. Inilah yang jadi catatan saya pertama. Saya merasa ada musang berbulu domba, atau melodrama berbaju punk di film ini. Kedua anak ini serasa hanya berandalan di baju karena jika baju mereka diganti, tak banyak perubahan yang terjadi pada cerita. Sama seperti aspek pembentuk plausibility seperti lokasi, pakaian mereka tergantikan dan tak muncul ungkapan yang spesifik yang bisa membuat saya peduli pada nasib mereka. Maka  tagline  yang tercantum di poster film,  brutally romantic, jadi membuat saya berkerut kening. Apakah romantisme mereka yang brutal, ataukah orang-orang brutal ini yang romantis? Tadinya saya membayangkan film semacam  Jeux D’enfants (Love Me if You Dare, Yann Samuel 2003) atau Gegen Die Wand  (Head On, Fatih Akin, 2004) yang benar-benar mempertaruhkan plausibility karakter-karakter dalam romansa yang benar-benar edgy dan liar. Atau Bonnie and Clyde (Arthur Penn, 1967) atau Natural Born Killers (Oliver Stone, 1994) yang memang kisah percintaan para pemberontak. Namun Radit dan Jani hanya memamerkan paha untuk mengutil dan berkredo “saya minta bantuan, bukan minta khotbah”, menunjukkan perlawanan para pemberontak itu hanya di situ. Jangan-jangan kedua anak ini sebenarnya lebih banyak

MIMPI ITU TAK DI SANA

melawan diri mereka sendiri ketimbang lingkungan. Benarkah itu adalah pemberontakan yang dimaksud? Catatan kedua, durasi film ini terlalu panjang di bagian awal sampai tengah film. Di bagian itu, Upi dengan penuh semangat dan kecintaan menggambarkan kehidupan karakter-karakternya. Bisa jadi Upi lupa mengedit naskahnya, tapi saya sih berpendapat pilihan berpanjang-panjang ini karena Upi memang sedang merayakan rock ‘n’ roll; sekali lagi seperti pada Realita, Cinta dan Rock ‘n’ Roll (2003). Sayang sekali, karena ia bisa bercerita saja tanpa harus merasa membuat score lagi dengan film ini. Maka melodrama ini jadi begitu menuntut banyak; sekalipun cerita saja sebenarnya sudah cukup, asal skenario itu diedit sedikit. Lagipula sebenarnya  score  yang ingin dibuatnya sebenarnya sebatas permukaan saja. Sayang sekali bahwa Upi sudah membuang peluangnya untuk menang di departemen cerita. Padahal kemenangan di cerita bisa membuatnya menang dengan film ini. Karena ia punya modal baik dengan memberikan kepercayaan kepada Faharani yang bermain sebagai Jani. Faharani bukan sekadar membuat yakin akan adanya reaksi kimiawi antara Jani dengan Radit, tapi juga selalu berhasil membuat kita percaya ia sedang membela sesuatu dalam hubungan kedua orang ini. Vino G. Bastian sebagai Radit tidak beranjak jauh dari karakternya di film yang sudahsudah, dan Upi sedang membantu membangun stereotype Vino. Entah apakah Vino menganggapnya keberuntungan atau sebaliknya, sekalipun jelas bahwa  stereotype  nyaris selalu membosankan.

— Radit & Jani Sutradara & Skenario: Upi / Produksi: IFI (Investasi Film Indonesia) / Pemeran: Faharani, Vino G. Bastian / Sinematografi: J. Ical T.

143

Hikmat Darmawan

Flower in The Pocket

Momen Emas Mempertanyakan Negara

D

alam kamus orang film, khususnya yang terbiasa syuting untuk iklan TV, ada istilah “momen emas” (golden moment). Biasanya, momen emas itu ditujukan pada adegan-adegan yang memiliki efek maksimal, dalam situasi yang lazimnya spontan atau tak bisa direkayasa. Biasanya juga, momen emas ini menyangkut syuting yang menokohkan dua makhluk paling sukar diatur untuk syuting: anak-anak, dan hewan. Flower in The Pocket , karya panjang pertama Liew Seng Tat, memberdayakan keduanya: anak-anak, dan, pada beberapa bagian, anak anjing yang imut. Para pembuat film iklan patut iri pada Liew di film ini: ia berhasil mendapatkan momen emas banyak sekali. “Mendapatkan” adalah kata yang tepat, jika kita menangkap modus pembuatan film ini. Liew menuliskan naskah film ini dengan lentur. Ia sadar sepenuhnya bahwa kamera akan memusatkan perhatian pada anak-anak. Ia juga sejak awal

MOMEN EMAS MEMPERTANYAKAN NEGARA

memang ingin memotret kenyataan, mendekati kenyataan seakurat mungkin. Ini berhubungan dengan gaya yang sedang berkembang di Sinema Kecil Malaysia. Sinema Kecil Malaysia adalah sebuah kelompok, semacam gerakan estetis yang memberi alternatif terhadap film arus utama di Malaysia, yang menghimpun para sineas muda Malaysia dengan tokoh-tokoh seperti Yasmin Ahmad, James Lee, Ho Yuhang, Tan Chui Mui, dan Amir Muhamad. Salah satu ciri gerakan ini, keinginan memotret kenyataan seakurat mungkin— yang dirancang menyesuaikan diri dengan modus pembuatan film berbasis kamera digital. Nah, dengan latar itu, Liew lebih banyak menuliskan buat anak-anak itu bukan  script  dialog yang ketat, tapi  suasana. Misalnya, ketika dua kanak yang jadi tokoh utama, Mah Li Ohm (Wong Zi Jiang) dan Mah Li Ahh (Lim Ming Wei), sedang terburu-buru ke sekolah, dan di tengah jalan menyadari bahwa baju mereka tertukar. Dengan bijak, kamera sengaja berlama-lama menonton kedua anak yang panik ini bertukar baju di pinggir jalan raya yang ramai. Atau ketika keduanya makan saus sambal dalam saset yang merupakan sisa dari junk food yang mereka temukan. Wajah kanak yang meringis karena rasa asam saus itu sungguh spontan, tulus, dan lucu. Atau saat mereka mem-bully seorang anak kaya yang lebih kecil dari mereka. Anak TK korban mereka itu sungguh lucu. Badannya gempal, putih, kepalanya botak. Ketika kepalanya dibentur-bentur ke dinding, bukannya menampakkan tampang kesakitan, ia malah  nyengir  ketawa-tawa. Ketika ia disuruh mencuri es krim, ia melakukannya dengan tulus. Ketika dua “kakak” itu asyik makan es krim, tampangnya bengong dan mupeng (“muka pengen”—istilah slang anak muda kota). Baru satu rangkai adegan dengan anak TK itu saja, sudah ada beberapa momen emas. Apalagi saat Li Ohm dan Li Ah bersahabat dengan Atan/Ayu, anak tomboy turunan Melayu yang dimainkan oleh

145

146

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Amira Nasuha dengan menawan. Juga, saat-saat mereka berdua saja. Seperti saat mereka menyiapkan makan malam mereka sendiri dan ayah mereka, dengan resep rekaan mereka yang menyalahi dasar-dasar ilmu masak universal. Dan memang, kedua anak itu lebih sering berdua saja. Saat di sekolah, mereka di kelas terpisah. Berangkat sekolah mereka berdua, tak diantar-jemput seperti korban bully mereka. Pulang sekolah, berdua, mereka iseng main ke mana saja kaki membawa. Di malam hari, mereka berdua saja. Ayah mereka, Sui, pulang jauh malam saat kedua anak itu sudah tidur. Ketika pagi, ia masih lelap ketika anak-anaknya pergi ke sekolah. Praktis, ia nyaris tak pernah berjumpa anak-anaknya dalam keadaan jaga. Sui, diperani oleh James Lee, sutradara pembaharu Malaysia, salah satu tokoh penting Sinema Kecil Malaysia. Ini memang lazim di kalangan Sinema Kecil Malaysia, mereka saling membantu, termasuk menjadi pemain (biasanya gratisan) bagi film temannya. Flower in The Pocket juga diproduseri Tan Chui Mui (sutradara Love Conquers All). Salah satu pemeran pembantu, nenek Atan/Ayu, diperani ibunda Yasmin Ahmad. Liew sendiri pernah jadi figuran di, misalnya, film Yasmin Ahmad, Gubra.) Li Ohm dan Li Ah adalah dua anak telantar. Ibu mereka telah meninggal. Ayah mereka tenggelam dalam kesedihan, tidak dalam bentuk menangis. Ayah mereka hanya tenggelam dalam diam. Ia bekerja tekun sebagai pembuat manekin, tapi tanpa arah. Hanya bekerja, seolah lari dari sesuatu. Keadaan yang tak normal ini disorot kamera tanpa sikap menghakimi. Namun film ini membangun dua buah kesejajaran, sebuah kontras. Atan/Ayu yang Melayu, dan keluarganya, menjadi sebuah cermin kontras bagi Li Ohm dan Li Ah. Ibu Atan, yang dimainkan dengan luwes oleh Mislina Mustapha, jadi sosok penyangga keluarga yang gayeng dan tenteram, serta cukup sejahtera walau tak sampai kaya raya. (Sebagai penekanan fungsi kontras itu, sosok ayah sama sekali tak ada di keluarga Atan/Ayu.) Sementara

MOMEN EMAS MEMPERTANYAKAN NEGARA

asisten Sui di bengkel pembuat manekin itu, Mamat, juga berfungsi sebagai cermin kontras bagi Sui yang murung: si Mamat cerewet, periang, dan dari ‘bual-bual’-nya tampak ia juga sexually active sebagai pengantin baru. Kontras rumah tangga (atau tepatnya, ketiadaan rumah tangga) Li Ohm dan Li Ah terasa benar dalam adegan hangat makan siang di meja makan keluarga Atan/Ayu. Ibu Atan/Ayu yang ceriwis dengan penuh asih menghidangkan makan buat dua teman anaknya itu, menyuruh cuci tangan dulu dan membagi makanan dengan aneka lauk di meja makan. Li Ohm dan Li Ah yang malu-malu tampak menawan dalam kewaguan mereka (lagilagi momen emas!). Dan di sini, tampak sketsa yang tak menghakimi tapi memberi pertanyaan pada kontras ekonomi-sosial antara sebuah keluarga Melayu dan sebuah keluarga Cina di Malaysia. Keluarga Atan/Ayu jelas bukan keluarga kaya, hanya keluarga biasa saja. Mengapa mereka bisa punya sebuah rumah tangga teratur? Mungkin soalnya adalah, si pembuat film percaya bahwa sosok ibu sangat penting untuk menjaga kerapihan sebuah keluarga. Namun, kontras ini pun terlihat di tempat lain dalam film ini. Misalnya, “nasib sial” yang selalu menimpa Li Ohm dan Li Ah. Di awal film, Li Ohm mengalami kesulitan dengan gurunya, seorang perempuan berjilbab yang gampang sekali jengkel terhadap Li Ohm. Gara-garanya, Li Ohm yang (seperti bapaknya) tak bisa menjelaskan nama anak lelaki di kertas tugasnya. Seorang anak lain, gadis Cina, dengan bersemangat membacakan “MaRi-A”, dan gurunya mengoreksi bahwa tak pernah ada anak lelaki memakai nama “Maria”. Jebul-nya, Li Ohm tak keliru, tapi salah dimaknai. Namun, pengungkapan ini tak didramatisasi, apa lagi jadi melodrama. Li Ohm dan Li Ah, sepanjang film, hanya menjalani saja kekerasan hidup yang melingkupi mereka. Di bengkel, Sui menemukan kontras lain saat ngobrol dengan Mamat yang bersemangat bikin anak. Istri Mamat hamil lagi. Sui

147

148

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dengan sederhana bertanya, apa tak kuatir soal biaya rumah tangga jika tambah anak ke-4. Jawaban Mamat yang kocak menggambarkan kontras ekonomi seorang Melayu dengan seorang Cina. Sedikit saja pemahaman akan adanya pengistimewaan Melayu dibanding ras lain di Malaysia, akan mengantarkan kita pada ironi kontras sosial-ekonomi Sui dan Mamat. Film ini, dengan demikian, mengandung sebuah pertanyaan menohok tapi disampaikan sangat halus mengenai kebijakan Malaysia untuk menganak-emaskan ras Melayu. Dan akhir film yang terbuka, menyajikan sebuah harapan—tapi bukan atas masalah kebangsaan itu. Bagaimana pun, film ini lebih peduli pada nasib tokoh-tokohnya di ruang privat. Sedikit tentang akhir film. Adegan penutup, sebuah long take Sui berkendara membawa kedua anaknya, diam-diam, dan perlahan Li Ohm mengantuk dan tertidur (sebuah momen emas lagi!), sungguh mirip dengan adegan akhir dalam Rain Dogs karya Ho Yuhang, dan Love Conquers All karya Tan Chui Mui (yang diedit oleh Ho Yuhang). Seolah, adegan akhir yang demikian (kamera berlarat-larat pada sebuah adegan statis dan sunyi) menjadi gaya sendiri. Harapan disampaikan dengan sayup, dan mungkin kita akan luput menangkapnya. Yang menarik adalah: seakan kamera statis itu sebuah pernyataan sendiri bahwa film adalah film. Ia tak memerlukan jurus-jurus literer apa pun untuk menutupnya. Seakan dinyatakan, apa pun yang tertangkap oleh kamera tak memerlukan tambahan apa pun. Sikap kamera demikian seakan sebuah keimanan yang teguh pada prinsip pure cinema.

— Flower in The Pocket Sutradara & skenario: Liew Seng Tat / Produser: Michelle Lo, Yen San / Pemain: Wong Zi Jiang, Ling Ming Wei, James Lee / Malaysia, 2007 / 97 menit.

Eric Sasono

Otomatis Romantis

Mimpi Basah Wong Ndeso

I

ni adalah sebuah film dengan premis terlaksananya mimpi basah lelaki ndeso seperti Tukul Arwana: andai orang desa macam Tukul akhirnya bisa beristri perempuan secantik Wulan Guritno atau Marsha Timoty. Tentu saja karena film, sebagaimana kata Carl Gustav Jung, adalah perwujudan dari segala mimpi yang tak bisa terjadi di dunia nyata, maka jika kita bisa bikin film, berikan saja mimpi semacam itu. Seperti lewat drama TV  Ujang Pantry, penulis skenario Monty Tiwa punya bahan bagus sekali ketika Tukul Arwana mau main film. Tukul dalam kehidupan nyata adalah semacam mimpi basah yang terwujud itu. Apatah lagi yang diharapkan oleh orang seperti Tukul yang sekarang ini merupakan penampil TV dengan bayaran paling tinggi di Indonesia. Maka Otomatis Romantis bagaikan sebuah rekonstruksi atas semacam mimpi basah itu, untuk soal berbeda. Jika Tukul di kehidupan nyata adalah lambang dari

150

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

keberhasilan jadi kaya mendadak, maka film ini adalah soal keberhasilan meraih cinta sejati. Berkisah tentang Bambang Setiadi (Tora Sudiro) yang bekerja sebagai pesuruh di sebuah majalah gaya hidup wanita mirip majalah  Cosmopolitan  dalam kehidupan nyata. Dalam majalah seperti itu, jauh sekali jarak antara pesuruh dengan pemimpin redaksi. Namun Sang pemimpin redaksi Nadia (Marsha Timothy) adalah “perawan tua” yang sudah dikejar-kejar oleh ayahnya (Tarzan) supaya cepat kawin. Kebetulan pula Bambang adalah seorang lelaki tampan, berhati mulia, jujur dan sesungguhnya intelek (dia sempat kerja jadi wartawan di majalah pertanian, lho...). Semacam tokoh Si Boy pada 1980-an, minus kekayaan. Maka lengkaplah jalan untuk mimpi basah itu terwujud. Sisanya adalah hiruk pikuk yang diperlukan oleh sebuah fim. Subplot, istilahnya, yang sebenarnya tidak terlalu penting, tapi perlu ada untuk mendorong cerita supaya bisa laju. Nadia punya kakak Nabila (Wulan Guritno) yang sedang bermasalah dengan suaminya, Dave (Tukul Arwana). Dave yang buruk rupa tapi kaya itu rupanya memang tak tahu diuntung, tak merawat rasa cinta sang istri yang bagai bidadari. Maka dalam keluarga yang dikutuk itu (semua perempuan di keluarga itu berpasangan dengan lelaki mirip hewan, seperti lele dumbo, atau beruk) muncullah huruhara. Huru hara ini bukan yang pertama, karena sebelumnya di kantor Nadia juga terjadi huru-hara akibat soal berbeda. Singkat cerita, Bambang muncul sebagai penyelamat, berkali-kali. Bambang memang semacam idealisasi bagi situasi komedi semacam ini. Ia juga jadi pahlawan untuk kakaknya, Trisno (Dwi Sasono), pengangguran sialan yang kerjanya menghamili anak orang, dan main judi di pinggir kali. Bahkan ketika sudah babak belur dikibuli sang kakak, ia mau saja menanggung getah untuk nangka yang dimakan si kakak.

MIMPI BASAH WONG NDESO

Ya, kepahlawanan jaman kini mungkin bisa berarti dua: pertama, kepahlawanan adalah candaan di tengah situasi tak lucu; atau yang kedua, kepahlawanan bisa datang dari seorang total underdog macam Bambang Setiadi ini. Maka film ini memang perayaan para underdog yang dalam kehidupan nyata memang diwakili oleh Tukul. Dan dalam situasi serba pengap seperti sekarang ini, mimpi basah seorang  ndeso  bagai Tukul Arwana (atau Bambang Setiadi) memang bisa jadi semacam penyiram kesuburan harapan banyak orang. Di sanalah orang seperti Bambang atau Tukul jadi pahlawan. Otomatis Romantis  memang sepenuhnya mengantar harapan semacam mimpi basah sekalipun terjadi idealisasi si pemimpi dalam film ini. Bisa jadi ini hanya ada dalam film. Tak apalah, ini memang hanya film – sekalipun saya sedikit bertanya apakah si Bambang ini bakal membuka meletakkan “muka baik budi di depan umum”-nya, dan memasukkannya ke dalam laci jika tak ada yang melihatnya sama sekali. Karakter Bambang memang terlalu karikatural dan jadi ancaman terhadap plausibility film ini. Tapi karena ini film komedi, karikatur selalu dimaafkan. Peristiwa kebetulan berkali-kali juga masih asik membuat tertawa, sekalipun Monty tak seberani  Maaf, Saya Menghamili Istri Anda,  yang sungguh-sungguh mementaskan karakternya di tengah situasi gawat terus menerus dan penuh ular berbisa. Untungnya Tora Sudiro tampil meyakinkan. Meskipun kita masih melihat Tora Sudiro, tapi kita tahu bahwa ia memang bisa ada seorang pecundang berhati emas seperti Bambang Setiadi. Ensamble acting para pemain juga bagus. Mereka bemain santai sekali, seperti tak ada kamera di depan mereka. Maka jika sukses penyutradaraan diukur dari keberhasilan mengarahkan pemain, Guntur Soeharjanto sudah mencatat satu sukses penting. Mimpi juga perlu diantar dengan meyakinkan, dan para pemain dalam film ini menjalankan tugas mereka dengan baik. Bahkan

151

152

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Tukul pun demikian, justru ketika cerita ini tidak kelewat mengeksploitasinya sehingga kumis lele dumbo itu cukup jadi properti yang sesekali saja muncul. Sisanya adalah kelemahan di sana sini yang mengganggu. Production value film ini rada mengganggu dengan pewarnaan di pasca produksi yang berkesan murahan. Toh film ini dibuat tak murah-murah amat, jadi tak apalah memberi tontonan yang lebih segar kepada penonton yang sudah membayar tiket bioskop. Selain itu tentu teknik Monty dalam mengulur ending cerita terasa klise dan agak memaksa. Mungkin sejak pertemuan pertama antara Nadia dan Bambang Setiadi kita sudah tahu ending cerita ini. Maka ketika cerita ini terus saja bergulir dan bergulir, mungkin sebagian kita sudah menguap bosan. Tak sulit, bukan, menebak akhiran dari sebuah mimpi basah yang diwujudkan dalam film?

— Otomatis Romantis Sutradara: Guntur Soeharjanto / Produser: Monica Hariyanto, Monty Tiwa / Skenario: Monty Tiwa / Pemeran: Tora Sudiro, Marsha Timothy, Tukul Arwana, Wulan Guritno, Tarzan, Chintami Atmanegara, Dwi Sasono / Produksi: ISI Production, 2007.

Eric Sasono

Katalog Keluarga Milik Edwin

A

nak perempuan itu bernama Kara. Mungkin sepuluh tahun umurnya. Ia masuk ke restoran McDonald dengan membawa parang dan dendam. Ia pandangi sejenak patung Ronald McDonald yang sedang duduk, sebelum ia bacokkan parang majal di tangannya. Seorang petugas yang sedang mengawal ulang tahun anak-anak melihat polah Kara. Petugas itu tak menghentikan. Kara yang kelelahan malah diberi segelas minuman. Ia terkulai lesu di sisi patung yang selalu tersenyum lebar mirip dengan tokoh Joker yang diperankan Jack Nicholson di film Batman garapan Tim Burton itu. Potongan adegan itu berasal dari film pendek Edwin yang terkenal, Kara, Anak Sebatang Pohon. Film berdurasi 9 menit ini berhasil lolos seleksi untuk diputar di seksi Director’s Forthnight di Festival Film Cannes, Perancis. Keberhasilan Edwin ini membawa namanya diperhitungkan sebagai salah satu pembuat film berbakat di negeri ini. John Badalu, direktur Q Film Festival

154

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dan programmer film, memasukkan Edwin sebagai salah satu sutradara muda berbakat Asia Tenggara dalam tulisannya di buku  Kandang dan Gelanggang, Sinema Asia Tenggara Kontemporer (Jakarta, 2007). Dari keempat film pendek yang sudah dibuatnya, nama Edwin sudah banyak disebut, paling tidak di kawasan Asia Tenggara dan beberapa festival terkemuka di Asia. Edwin lahir pada tahun 1978 di Surabaya. Ia seorang keturunan Cina, dan itu menjadi soal besar baginya. Dalam film panjang pertamanya, Babi Buta yang Ingin Terbang (selanjutnya akan disebut Babi Buta saja), ia mengambil tema sensitif itu. “Ini soal identitas,” kata Edwin dalam sebuah percakapan dengan saya pada akhir bulan Agustus 2007. Padahal Edwin membuat film itu dengan bayangan di kepala bahwa mungkin saja  Babi Buta merupakan satu-satunya film panjang yang bisa ia buat. Keterbatasan modal membuat ia belum membayangkan apakah ia akan mampu membuat film panjang lagi nanti. Betapa pentingnya tema itu baginya, sehingga kemungkinan kesempatan tunggal itu ia gunakan untuk mengungkapkan mengenai soal identitas ini. Babi Buta dibuat oleh Edwin dengan bergerilya. Dengan modal seadanya, ia berhasil menyelesaikan film itu. Kini Babi Buta  sudah diputar sesekali di sana sini dalam pertunjukan khusus. Film ini menjadi salah satu film yang paling ditunggu di tahun 2008 oleh para programmer festival film di berbagai negara Asia. Mungkin kita akan bisa menyaksikannya di pertunjukanpertunjukan khusus dan bukan di bioskop komersial. Sementara itu, Edwin sudah menyelesaikan empat film pendek. Film-film ini sudah beredar di berbagai festival dan jadi bahan pembicaraan di festival-festival tersebut. Keempat film itu adalah: A Very Slow Breakfast (2003), Dajang Soembi Perempoean Jang Dikawini Andjing (2004), Kara, Anak Sebatang Pohon (2005) dan A Very Boring Conversation (2006). Sambil menantikan Babi Buta, mari kita lihat keempat film pendek Edwin.

KATALOG KELUARGA MILIK EDWIN

Keluarga Keempat film pendek Edwin mengambil tema atau terjadi pada lokus sentral: keluarga. Keluarga dalam film Edwin tak pernah sempurna. Keluarga sama sekali jauh dari konsep yang diasumsikan ideal yang kita pikirkan selama ini. Pertama, keluarga ideal identik dengan bentuk tertentu. Bicara keluarga di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sosialisasi intensif di masa Orde Baru tentang keluarga ideal: ayah-ibu dan dua anak (laki-laki dan perempuan sama saja, yang penting kasih sayang. Ingat kampanye ini?). Hal ini berada dalam kepala banyak orang Indonesia dan relatif belakangan saja orang tua tunggal lebih banyak muncul dalam film Indonesia (lihat tulisan saya, “Single Parent dalam Sinema Indonesia” di harian Kompas, 29 Mei 2005). Kedua, keluarga ideal diasumsikan menjalankan komunikasi yang baik dan penuh saling pemahaman. Keluarga selalu berkumpul di momen-momen tertentu seperti sarapan atau makan malam dan di kegiatan bersama itu mereka berbincang dari hati ke hati, bercengkerama dan bersenda gurau untuk membangun saling paham sesama mereka. Faktor kegagalan komunikasi dan membangun harmoni inilah yang menjadi pusat perhatian Edwin dalam film-filmnya. Bentuk keluarga tak ideal ada pada Kara, Anak Sebatang Pohon. Kara adalah anak sebatang kara yang ibunya mati (dibunuh?) tertimpa patung Ronald McDonald. Demikian pula pada A Very Boring Conversation, keluarga hanya terdiri dari ibu dan anak perempuan yang tinggal berjauhan. Ketika keluarga tampil dalam bentuk utuh: ayah+ibu+anak, pastilah keluarga itu bermasalah. Pada  Dajang Soembi, Perempoean Jang Dikawini Andjing, sang ayah adalah seekor anjing, dan hal itu menjadi pangkal tragedi dalam film. sedangkan pada A Very Slow Breakfast, keluarga memang utuh dalam bentuk, tapi komunikasi mereka adalah semacam mimpi buruk.

155

156

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Dunia yang penuh tekanan Pada A Very Slow Breakfast (selanjutnya disebut Breakfast saja). Keluarga memang terdiri dari ayah-ibu dan anak, tetapi komunikasi mereka bagai mimpi buruk. Masing-masing mereka bagai memakai selubung gelap yang tak mungkin dimasuki oleh yang lain. Mekanisme rutin seperti sarapan menjadi siksaaan satu sama lain karena terasa sangat menghimpit dada. Edwin tampak seperti ingin membagikan pengalaman yang menyakitkan tentang keluarga dalam film pendek pertamanya ini. Pada pagi hari seperti itu, tak tampak cahaya matahari. Ruangan temaram karena terhalangi oleh bidang miring seperti tangga yang memakan porsi besar dari layar film. Apapun bidang miring itu, ia memberi tekanan sangat besar pada keluarga dalam Breakfast. Tekanan ini demikian besarnya hingga membuat anggota keluarga sarapan dengan posisi badan membungkuk. Kecerahan pagi hari di waktu sarapan adalah nonsens besar! Juga suara. Suara sebagai wakil komunikasi verbal dalam keluarga tak pernah ada. Karena ruangan diisi oleh suara sayupsayup dari TV yang menyiarkan acara kebugaran. Suara itu begitu asing dan seakan berasal dari dunia lain. Namun sang ibu mengikutinya dengan patuh dan hikmat bagai sedang melakukan sebuah ritual suci. Dan suara pagi adalah dominasi sebuah dunia lain yang masuk tanpa ijin dan memisahkan anggota keluarga dalam selubungnya masing-masing. Dengan cerdas Edwin menggunakan suara sebagai pemisah antara dua dunia yang sama sekali berbeda: dunia perempuan (menjaga tubuh dan berolah raga), dan dunia laki-laki (jorok dan tak sehat: merokok di pagi hari). Di film ini, Edwin seperti sedang berada di sebuah sudut yang diam dan menangis. Ia seakan sedang membagi luka yang dalam yang tak bisa ia katakan dan hanya bisa dibagikan. Tak ada dialog dalam Breakfast, seakan film ini memendam rasa marah,

KATALOG KELUARGA MILIK EDWIN

dendam, dan tangisan diam-diam. Sekalipun dalam sebuah bentuk keluarga yang utuh (ayah+ibu+anak), komunikasi di dalam keluarga terasa menyakitkan. Dunia mereka saling terpisah dan saling tak peduli. Jika ada interaksi antar mereka, maka itu menyangkut soal uang. Maka itulah tampaknya dunia dalam Breakfast menjadi sangat menyakitkan.

Keluarga adalah kesalahan Keluarga sebetulnya tampil lebih kelam pada film pendek kedua Edwin,  Dajang Soembi: Perempoean yang Dikawini Andjing (selanjutnya disebut Dajang Soembi saja). Film yang skenarionya ditulis oleh Daud Sumolang ini dibuat dengan format film bisu hitam putih. Film disyut dengan kecepatan rendah sehingga gerakan dalam film itu terpatah-patah, mirip film seperti era film bisu. Inter-title atau teks di sela-sela gambar, mengantarkan cerita dengan musik di seluruh tubuh film. Pada Jiffest 2005, film ini diputar dengan pertunjukan musik live sebagaimana pertunjukan film pada masa film bisu. Cerita legenda Sangkuriang pada Dajang Soembi sendiri sudah menyediakan stok untuk mempertanyakan konsep keluarga. Bayangkan bahwa sebuah keluarga dibentuk oleh ibu dan anak manusia tapi dengan ayah seekor anjing. Maka film ini memang memungkinkan Edwin untuk menghadirkan sebuah logika keluarga yang bukan sekadar tak konvensional tapi menimbulkan pertanyaan subversif. Ia bertanya tentang asal-usul pembentukan keluarga dan tentu saja kemudian konsekuensinya. Bayangkan bahwa keluarga ini adalah sebuah keluarga hasil bestiality. Maka hubungan di dalamnya menjadi demikian aneh. Anak lelaki bernama Sangkoeriang itu jatuh cinta dan suka secara seksual pada ibunya. Sang ayah, anjing itu, mencoba mengantar anak lelakinya pada sebuah ritus pasasi. Tapi di tengah

157

158

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

jalan, sang anak melihat perselingkuhan. Anjing itu tertarik pada seekor babi betina. Maka ketika pembunuhan terjadi, itu adalah turunan dari asal-usul pembentukan keluarga: bestiality tadi. Alangkah celakanya keluarga dalam film ini, dan Edwin menghadirkan teror yang tak tanggung-tanggung. Pernyataannya demikian kerasnya sehingga ia menjadi seperti sedang berteriak. Keluarga bukan sekadar nonsens tapi malahan salah sama sekali. Ia sudah keliru sejak pembentukannya. Tanpa kejijikan, ia menyajikan semacam kanibalisme yang menakutkan di akhir cerita. Kehalusan perasaan dan ketersudutan Edwin akibat luka yang ia tampilkan pada Breakfast hilang di Dajang Soembi; dan yang tampil adalah kemarahan yang naif dan agak buas. Nasib keluarga masih sama: celaka. Dengan mengikuti logika cerita Dajang Soembi, maka  ignorance  tokoh Dajang Soembi yang sembarangan mengucapkan sumpahlah yang berbuah pada konsekuensi semacam ini.

Kapitalisme? Pada Kara, Anak Sebatang Pohon (selanjutnya disebut Kara saja), keluarga pun secelaka itu, dalam bentuk yang berbeda sama sekali. Keluarga adalah semacam impian tentang dua orang memadu kasih di tepi sebuah danau. Pemandangan begitu indah dan tawa di mana-mana. Langit cerah, rumput hijau dan senyum sepasang manusia di dalamnya bagai menggambarkan bahwa ada kualitas imortal pada keindahan yang terkandung pada keluarga. Sampai tragedi itu terjadi. Kelahiran sang anak adalah kematian bagi ibu. Ada campur tangan sesuatu yang ilahiah—dari atas—yang bernama Ronald McDonald. Salah satu ikon terbesar kapitalisme itu hadir dalam keluarga itu dengan demikian memaksa. Bahkan di taman surgawi demikian, senyum palsu

KATALOG KELUARGA MILIK EDWIN

Ronald McDonald yang khas mendatangkan kematian bagi keluarga. Tepatnya bagi pemberi kehidupan; bagi ibu. Edwin menjadi sangat pahit di sini. Ia tak menangis diamdiam di sudut sambil mengalami seperti pada Breakfast, ia tak berteriak marah-marah seperti pada Dajang Soembi, ia berubah faktual pada Kara. Kara dalam  Kara  digambarkan terisolasi dari interaksi sosial. Ia hidup dalam sebuah dunia fidausi yang tenang. Namun interaksi sosial Kara bagai tak memberi pilihan. Kamera (media?) yang menempatkan Kara sebagai fokus adalah sebuah gangguan bagi kubah kenyamanan Kara. Gangguan kubah kenyamanan itu membuatnya mempertanyakan kehidupan: sebab keberadaannya di bumi sekaligus pada saat yang sama kematian ibunya. Dan karena ia lahir bersamaan dengan “pembunuhan” ibunya, maka sebuah pembalasan dendam jadi niscaya. Terhadap apa? Kapitalisme? Edwin memang terlihat marah pada kapitalisme, bahkan ia juga marah pada exposure terhadap sebuah kenangan buruk. Dengan penggambarannya yang demikian faktual, Kara tampak naif bersikap terhadap—katakan namanya adalah—kapitalisme Apakah kisah hidup Edwin, kebahagiaan masa kecilnya, diinterupsi oleh kapitalisme itu, dan ia mendendam serta sadar bahwa dendamnya sia-sia? Apapun itu, dengan antaranya yang naif dan faktual, kesia-siaan pada Kara menjadi istimewa karena keberanian (atau kenaifan?) Edwin bersikap. Tapi apa yang Edwin bisalakukan di depan kapitalisme? Bagai Kara, ia pun harus lunglai karena tak ada yang berubah. Bagai filsafat eksistensialisme, Kara menawarkan nihilisme pada tingkat subteks-nya. Buat apa cerita macam mitos Sisifus dibuat jika cerita itu sendiri bagai batu berguling lagi ke kaki gunung? Atau pada kasus Kara, yaitu ketika keluarga firdausi abadi itu merupakan bagian sebuah siklus kehidupan yang akan berulang?

159

160

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Dunia yang bekerjap Edwin tampak melonggarkan sikapnya pada  AVery Boring Conversation (selanjutnya disebut Conversation saja). Ia masih bermain dalam sebuah keluarga. Kali ini, keluarga dalam bentuk orang tua tunggal. Kisahnya adalah Eva, seorang ibu paruh baya, dan anaknya yang berada di luar negeri. Pacar sang anak membantu Eva untuk membuka alamat email di www.yahoo. com, agar Eva lebih mudah berkomunikasi dengan anaknya. Terjadilah percakapan yang sangat membosankan. Percakapan itu adalah tentang identitas. Sebagaimana lazimnya membuka sebuah alamat email baru, Eva diminta mengisi data pribadi. Alangkah membosankannya memenuhi keharusan seperti itu, karena sesungguhnya siapa yang membutuhkan data pribadi dalam sebuah dunia maya? Atau, siapa yang sebenarnya gembira melakukannya? Edwin sedang bicara tentang sebuah dunia baru, dunia yang tak mudah dikenali oleh sebuah generasi seperti Eva. Memudahkan? Tampaknya bukan itu soalnya karena Edwin membawa Eva dan penonton memasuki sebuah dimensi baru. Perempuan paruh baya dan laki-laki muda itu asik mengisi formulir data pribadi si perempuan sampai akhirnya lampu ruang tempat mereka bekerja tiba-tiba berulah. Lampu itu mengerjapngerjap. Terus demikian sampai tiba-tiba percakapan itu berubah. Percakapan mereka terasa jauh seakan mereka sedang berada di sebuah ruang yang lain, dunia yang lain, dunia entah apa. Percakapan itu kehilangan aspek riilnya. Lalu hubungan Eva dan calon menantunya bertransformasi. Jadi apa? Entahlah. Edwin menyiratkan adanya semacam keintiman di sana. Ajakan Eva agar si lelaki kembali lagi membantunya dengan email terlalu tendensius untuk ditafsirkan sebagai fakta kering. Apakah Edwin sedang berbicara tentang semacam penabrakan tabu seksual?

KATALOG KELUARGA MILIK EDWIN

Conversation terkesan main-main dengan keluarga. Edwin tampak nakal memandang hal-hal yang menjadi konstituen keluarga. Bentuk keluarga memang tak sempurna, dan komunikasi di dalamnya terasa aneh dan berjarak dengan kenyataan. Namun Edwin bercanda dengan itu semua, dan melepaskan kemarahan atau luka yang mendalam atau nihilisme pada film pendek keempatnya ini. Apakah ada tekanan yang diangkat pada  Conversation? Apakah karena Conversation terjadi dalam sebuah realitas yang bekerjap-kerjap antara nyata dan tidak? Inilah sebuah dunia dengan kemungkinan bermain-main, karena dalam Conversation, indetitas adalah semacam isian di formulir pendaftaran ketika membuka alamat email. Adakah dunia virtual membebaskan? Bisa jadi Edwin sedang melihat sebuah kemungkinan yang lain sama sekali dari karya-karyanya sebelumnya.

Apakah keluarga masih relevan? Dengan keempat film pendeknya ini sesungguhnya Edwin sedang membuat daftar pertanyaan tentang relevansi keluarga dalam konteks memberi kebahagiaan bagi para anggotanya. Ia memang tampak tak menjadikan kebahagiaan itu sebagai imperatif dalam keempat film pendeknya ini, tetapi itulah implikasi dari gambaran yang ia hadirkan. Keluarga dalam film-film Edwin memang terlalu besar perannya dalam memberikan kepahitan hidup; atau seluruh kepahitan hidup berangkat dari sebuah lokus yang bernama keluarga. Edwin memang tak menarik persoalan ini lebih jauh ke konteks sosial atau konteks politik secara sengaja, kecuali pada Kara yang pernyataannya sangat keras terhadap sebuah ikon ekonomi-politik tertentu. Namun sesungguhnya dengan meletakkan katalog yang diberikan Edwin dalam konteks

161

162

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

kehidupan bersama, bisa saja kita bertanya: apakah keluarga relevan bagi kehidupan bersama ketika ia sudah gagal menghasilkan individu-individu yang baik? Jika kita meminjam pertanyaan-pertanyaan Edwin ini untuk keluarga Indonesia kontemporer, maka sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan sebuah pembalikan keluarga dari ilusi akan konsep keluarga yang harmonis. Jika selama Orde Baru keluarga selalu digambarkan sebagai sebuah lokus ideal penghasil manusiamanusia “Indonesia seutuhnya”, maka dalam film-film Edwin, ilusi itu sedang dibongkar habis-habisan, karenanya ia dipandang sinis atau ditertawai. Rutinitas keluarga yang membentuk suasana harmoni itu malahan jadi sumber persoalan dalam Breakfast. Dalam Dajang Soembi, pembentukan keluarga sudah keliru sejak semula dan pastilah implikasinya akan mengerikan. Dalam Kara, kapitalisme bahkan bisa menjangkau kehidupan surgawi keluarga dan menghasilkan bencana bernama nihilisme. Sedangkan dalam Conversation, keluarga adalah semacam olok-olok di depan sebuah realitas baru: kehidupan virtual. Maka “manusia Indonesia seutuhnya” sebaiknya dilupakan saja jauh-jauh; bahkan istilah itu jika masih digunakan adalah sebuah anakronisme besar-besaran. Dengan daftar pertanyaan ini, Edwin sedang menyusun sebuah katalog keluarga Indonesia kontemporer. Tentu dari sebuah sudut pandang yang sangat personal. Meskipun demikian, pertanyaan-pertanyaan Edwin ini menjadi relevan terhadap konsep keluarga dan segala persoalan yang melingkupinya. Ia seperti sedang membuka sebuah kotak Pandora bagi sebuah institusi dasar yang masih terus dipercaya oleh bangsa Indonesia saat ini. Inilah sebuah  personal filmmaking  yang mengejutkan. Keberanian Edwin dalam membuka kotak Pandora dirinya sendiri sesungguhnya telah turut juga membawa pertanyaan besar bagi bersama.

Hikmat Darmawan

Juno

Mengapa Kita Tak Bisa Membuat Film Remaja Seperti Ini? Lagu cinta melulu Kita memang benar-benar Melayu ...Suka mendayu-dayu — “Lagu Cinta Melulu,” Efek Rumah Kaca

D

emikianlah juga keadaannya dalam dunia film kita saat ini, bukan? Lagu yang sekaligus sebuah esai lugas tentang industri musik pop Indonesia dari grup indie Efek Rumah Kaca itu mengena juga pada industri film kita: tema mendayu-dayu yang itu-itu juga, khayalan cinta (atau, belakangan, seks) yang melambung-lambung selayaknya khayalan kekanakan ABG, dan pertimbangan pasar yang memelihara selera banal itu. Mengenai apakah itu karena kita “Melayu” tentu perlu ada penelitian lebih jauh. Mungkin memang ada karakter budaya yang membentuk mentalitas Melayu pada masyarakat kita, mungkin juga tidak ada. Namun, stereotipe mendayu-dayu itu jelas tampak jika kita menderetkan judul-judul film cinta yang diproduksi sejak keberhasilan  Ada Apa Dengan Cinta  pada 2001, hingga keberhasilan Ayat-ayat Cinta tahun ini. Bahkan, film-film yang seolah penuh pemberontakan macam Cinta, Realita & Rock ‘n

164

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Roll  dan  Radit & Jani  (keduanya karya Upi) pun  jebul-nya melankolis juga.

1. Lanturan tentang film remaja kita Menyebut film-film cinta kiwari buatan dalam negeri sebagai “film remaja” sebetulnya problematis juga. Setelah keberhasilan Ada Apa Dengan Cinta  yang laris manis, dan jadi film ikonik/ generasional hingga saat ini, film-film cinta (drama cinta, kek; komedi cinta, kek) kita tampak benar diarahkan pada penonton remaja. Kaum ABG dan remaja memang konsumen mal—tempat bioskop-bioskop 21 umumnya—terbesar. Dan memang, bersama film-film horor kiwari kita sejak  Jelangkung, film-film cinta mutakhir dikemas sebagai teen flick atau tontonan remaja. Tapi, walau banyak yang dikemas sebagai film remaja, nyatanya sedikit saja yang murni film remaja –dalam arti, film yang menokohkan para remaja (kelompok usia 12-17 tahun) dan mengungkapkan masalah yang menghinggapi para remaja. Dari segi penokohan saja, banyak film-film cinta kita yang tak lagi menokohkan remaja. Kebanyakan bertokoh utama mahasiswa, bahkan banyak juga kaum profesional muda. Misalnya, Radit & Jani, bertokohkan suami istri (keduanya pengangguran). Mereka memang pasangan muda, dan pakaian serta gaya bicara mereka sangat “anak muda”, yang saya perhatikan memang cukup nyambung dengan para penonton ABG di Studio 21 Blok M. (Waktu saya ke WC bioskop, usai film, sekelompok ABG asyik meniru-niru gaya Vino Bastian sebagai Radit saat fly.) Tapi persoalan-persoalan mereka (cari uang buat bayar kontrakan, menghadapi mertua yang membenci menantu, cari uang buat ke dokter untuk periksa kehamilan) bukanlah persoalan khas remaja. Ambil saja lagi contoh acak lain, Virgin. Tampang dan rasa film ini adalah film remaja, tapi tokoh-tokohnya jelas bukan.

MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT FILM REMAJA SEPERTI INI?

Begitu juga Love is Cinta, Cintapuccino, dan Heart. Film-film ini digemari para ABG, walau tokoh-tokohnya bukanlah remaja sekolahan. Tapi, satu hal tampak jelas: tokoh-tokoh dalam filmfilm “bukan remaja” itu berpolah dan berpikir selayak para remaja setengah matang dan belum dewasa. Masalah paling penting buat mereka adalah cinta romantis, pencarian afeksi (seringkali fisik) yang langsung dan gamblang, dan bahasa cinta yang serba verbal dan, yah, mendayu-dayu. Buat yang tak percaya kesimpulan ini, silakan diselidiki berdasarkan tolok ukur sebagai berikut: (1) dialog-dialognya, terutama dalam mengungkapkan perasaan cinta—formulaik atau tidak, serbaverbal atau tidak; (2) solusi-solusi yang disediakan untuk masalah cinta itu formulaik atau tidak, disederhanakan atau tidak (atau dirumit-rumitkan padahal sederhana saja?); (3) masalah cinta yang diangkat itu sendiri, apakah hanya berkutat pada masalah “dapat” atau “tak dapat” saja? Sekadar iseng lebih jauh, bagaimana jika film-film yang saya sebut acak tadi kita bandingkan dengan film-film cinta berikut (saya sebut secara acak juga):  Di Balik Kelambu  (Teguh Karya), Kejar Daku Kau Kutangkap (Chaerul Umam), Si Doel Anak Kota (Syumanjaya), atau Cinta Dalam Sepotong Roti (Garin Nugroho).

2. Lho, film Juno juga bukan film remaja... Benar, Juno bukan film yang khusus ditujukan untuk remaja. Karya kedua sutradara Jason Reitman (setelah menuai pujian dengan film pertamanya,  Thank You For Smoking) ini terasa dewasa, dan memang disukai orang-orang dewasa. Juno adalah salah satu dari sedikit film yang mendapat pujian tinggi secara hampir merata oleh para kritikus film di Amerika, sekaligus benar-benar menyenangkan para penontonnya. Film ini jadi film

165

166

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pertama produksi Fox Searchlight (divisi film indie Studio Fox) yang menembus angka box office $ 100 juta saat beredar, dan jadi film paling laris di antara daftar 5 film terbaik Oscar. Dari serbapuji para kritikus itu, orang boleh curiga bahwa ini “film festival”—betapa pun ‘aneh’-nya kategori ini sebetulnya. Tapi jelas pula, film ini bercerita tentang tokoh remaja, dan masalah remaja yang mungkin agak nyeleneh (seorang pelajar 16 tahun memutuskan meneruskan kehamilannya, sambil tetap sekolah). Sudut pandang yang didalami adalah sudut pandang remaja Amerika kiwari. Bahasa yang digunakan adalah bahasa remaja Amerika kiwari juga, walau terhitung mengandung kecanggihan juga. Juno, khususnya, terampil sekali melontarkan celetukanceletukan yang cerkas (witty) dan ironis. Misalnya, komentarnya terhadap kesulitan pengalaman adopsi pasangan Mark dan Vanessa Loring: “You should’ve gone to China, you know, ‘cause I hear they give away babies like free iPods. You know, they pretty much just put them in those t-shirt guns and shoot them out at sporting events.” Nah, di sini poin saya:  Juno  adalah film dengan tokoh remaja, tapi mengandung pikiran dan emosi yang dewasa. Sedang film-film cinta kita belakangan ini, kebanyakan, bertokoh orang dewasa tapi mengandung pikiran dan emosi remaja. Celakanya, “remaja” di sini adalah dari jenis yang kekanak-kanakan dan agak bodoh, bukannya jenis remaja cerdas dan dewasa yang sebetulnya cukup banyak di sekeliling kita.

3. Tapi, Juno punya Ellen Page... Oke lah, saya tak perlu berpanjang mengomeli film-film buatan dalam negeri yang kata Bimbo harus kita cintai itu. Barangkali Juno memang beruntung: film ini punya Ellen Page.

MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT FILM REMAJA SEPERTI INI?

Sejak Hard Candy (Sutradara: David Slade, 2005), orang melirik aktor watak yang masih belia ini (ia kelahiran 1987). Dalam film  thriller  kecil tapi paripurna itu, seorang pedofil dijungkir perannya dari predator menjadi korban. Sang gadis 14 tahun, justru adalah predatornya. Dan kita tak bisa melepaskan diri dari Ellen Page, yang memerani gadis cilik sang predator itu dengan sangat meyakinkan. Cara bicara, tatapan mata, tarikantarikan kecil di wajah imut-nya—Page berhasil menampilkan rentang kepribadian yang rumit: dari calon korban cerdas tapi lugu dan sedikit menggoda, hingga seorang gadis sadis dan telengas tapi tak pernah membuat kita kehilangan simpati. Rentang kepribadian yang rumit itu pula yang jadi ciri karakter Juno. Dari cara Page mengolah ekspresi wajahnya, gesturnya, hingga cara mengucapkan dialog-dialognya, ia berhasil menyatakan banyak hal yang tak terucapkan. Rasa tempatanwaktu (timing) Page juga sungguh jitu, sehingga suasana komikal bisa muncul dengan optimal. Misalnya, waktu Page bertengkar dengan ibu tirinya, Bren. Ketika Bren bilang, ia sangat senang anjing tapi tak bisa punya karena Juno alergi pada bulu anjing, lalu Bren dengan kesal bilang ia akan punya anjing, cara Page melontar komentar “WHOA! DREAM BIG!” terasa begitu jitu dan kocak. Atau, saat Juno berteriak memanggil ayahnya karena ketubannya telah pecah. Juno adalah gadis 16 tahun yang suatu saat memutuskan akan bereksperimen dengan seks. Ia memercayakan tubuhnya pada sahabat lelakinya, Paulie Bleeker. Ndilalah, senggama yang cuma sekali-kalinya itu membuahkan kehamilan. Ini persoalan yang sangat relevan bagi dunia remaja, tapi sekaligus sangat membutuhkan kedewasaan. Ada jalan keluar, memang, bagi seorang remaja yang menginginkan kehamilannya tapi tak menginginkan bayinya: menyerahkan bayinya untuk diadopsi. Juno, ditemani sahabat cewek-nya, Leah, menyikapi seluruh soal ini dengan lagak cuek. Tapi Page berhasil menampilkan yang

167

168

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

tersirat: rasa cemas, kesepian, tapi juga ketakjuban diam-diam Juno atas seluruh proses kehamilannya. Juga, Page berhasil memunculkan kebingungankebingungan Juno di balik segala gaya serba yakin dan pasti yang ia tampilkan. Misalnya, kebingungannya atas apa yang ia rasakan terhadap Bleeker. Perhatikan juga Bleeker, diperani Michael Cera, yang pemalu dan agak geek itu. Diamnya, pasifnya, menyimpan lautan emosi yang dalam juga. Sedari awal film, Juno tampak memegang kendali. Namun sungguh menarik ketika film berkembang, kita pun melihat siapa menaklukkan siapa. Departemen seni peran di film ini bekerja dengan baik. Pasangan Mark dan Vanessa diperani Jason Bateman dan Jennifer Gray. Perhatikan close up wajah Mark saat pertama kali mereka bertemu dengan Juno membicarakan adopsi dan ia ditanya kesiapannya menjadi ayah. Mark bilang, ia siap—tapi wajahnya, sepertinya, menyiratkan hal lain. Dan memang, ketika film berkembang, yang tersirat dari Mark semakin mencuat. Vanessa, yang sejak awal dipotret sebagai “wanita naga”, malah tumbuh jadi pribadi yang membuat kita bersimpati. Adegan Vanessa berpapasan dengan Juno yang sudah hamil besar di mal sungguh mengesankan. Mengutip penilaian Roger Ebert, “Jennifer Grey bersinar di situ.”

4. Juga, faktor Diablo Cody Juno adalah skenario pertama Diablo Cody. Langsung difilmkan. Langsung dapat Oscar 2008 pula, untuk kategori skenario original. Jason Reitman bilang, ia tak banyak melakukan perubahan (treatment) dalam memfilmkan skenario ini. Konon pula, skenario jadi yang difilmkan tak beda jauh dari draft awalnya.

MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT FILM REMAJA SEPERTI INI?

Diablo Cody kelahiran 1978, dengan nama asli Brook Busey. Artinya, ia tidak muda tidak juga tua. Tapi, jelas ia punya pengalaman hidup yang kaya: ia pernah jadi penari striptease. Jangan bayangkan sebuah cerita romantis, di mana Diablo jadi penari telanjang karena keterpaksaan ekonomis, sebagai seorang penulis pemula yang masih berjuang meraih kesempatan. Memang ada sedikit pertimbangan ekonomis, tapi yang terbanyak adalah pertimbangan “ingin coba-coba”. Dan, kemudian, ia keenakan. Cody pernah sekolah di sebuah sekolah Katolik Roman di Lisle, Illinois. Ia lulus dari kuliah di bidang studi media, di Universitas Iowa (ini universitas dan kota yang sangat memerhatikan bidang penulisan—selama beberapa tahun pada 1970-an hingga 1980-an, banyak penulis Indonesia yang mendapat beasiswa penulisan selama setahun di Iowa; di antaranya, Arswendo Atmowiloto). Selama mahasiswa, Cody sempat jadi DJ di sebuah radio, dan setelah lulus bekerja sebagai sekretaris di sebuah firma hukum. Kemudian, ia bekerja sebagai proof-reader untuk iklan-iklan di sebuah radio. Suatu malam, Cody iseng mendaftar jadi penari telanjang amatir di sebuah klub malam. Ia menikmati pengalaman itu, dan lantas keluar dari pekerjaan tetapnya untuk jadi penari telanjang profesional. Ia sempat beralih ke bidang telepon seks, tapi kemudian balik jadi penari telanjang lagi. Selama jadi penari telanjang, Cody juga jadi jurnalis di sebuah koran alternatif mingguan, City Weeks. Berhenti dari City Weeks, ia lantas jadi penulis untuk majalah perempuan, Jane. Pada usia 24, ia menulis buku memoar pengalamannya sebagai stripper, berjudul Candy Girl: A Year in The Life of an Unlikely Stripper. Ia juga kemudian terkenal dengan blognya,  Pussy Ranch—sebuah nama yang ‘rawan’, dan bisa jadi diblokir oleh Menkofindo kita. Seperti Juno, Cody sangat cerkas dalam memelintir kata. Ia menulis skenario  Juno  dalam sebulan. Dalam  Juno, Cody

169

170

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

menghidangkan pada kita sebuah cerita yang bukan hanya punya cerita menarik, menggelitik, tapi juga unggul dalam hal dialog, karakterisasi, dan kekisahan. Salah satu kualitas asyik dari  Juno  adalah bagaimana ia menerapkan teknik “kupas bawang”, yakni mengupas lapis demi lapis persoalan, perasaan, serta gagasan.  Unfolding  adalah kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana cerita tumbuh dalam film ini. Ambil contoh bagaimana karakter Mark Loring tumbuh. Dari seorang yuppies yang agak ja-im, yang menyimpan keberatan samar atas prospeknya jadi ayah tapi agaknya ia harus menuruti istrinya yang serba mengatur; lalu ternyata ia seorang yang ‘keren’ bagi anak muda macam Juno, dan menampakkan minat yang mungkin tak sehat pada Juno (walau semua hanya ada di udara, tersirat belaka); hingga saat ia menghempas keluarganya ke dalam sebuah persoalan mengejutkan. Cody juga mengembangkan karakter-karakter unik dalam Juno. Segera saja di awal kita sudah menangkap keunikan sifat Juno, ketika Juno secara sambil lalu menceritakan ibu kandungnya yang meninggalkan ayahnya, Juno, sehingga mereka harus membangun keluarga baru ketika sang ayah kawin lagi dengan Bren dan melahirkan adik yang kini balita, Liberty Bell. Ibu Juno selalu mengirim Juno kaktus setiap hari Valentine, dan Juno melamun, “Oh, and she inexplicably mails me a cactus every Valentine’s Day. And I’m like, ‘Thanks a heap coyote ugly. This cactusgram stings even worse than your abandonment.’” Bagaimana ayah Juno menamai anak-anaknya pun menggambarkan kenyentrikan sang ayah. Adik Juno dinamai Liberty Bell? Dan nama Juno diambil dari nama istri Zeus? (Bagaimana Juno menceritakan asal-usul nama ini, dan bagaimana ia berbelok ke Diana Ross, lagi-lagi menunjukkan ketajaman dan humor cerkas Cody.) Dari kenyentrikan ini, kita merasa masuk akal dengan pilihannya atas Bren sebagai istri kedua yang menyimpan kenyentrikan juga (khususnya, waktu ia

MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT FILM REMAJA SEPERTI INI?

menggambarkan para dokter di rumah sakit). Dan, kemudian kita pun mungkin takjub tapi tak heran ketika melihat reaksi keduanya saat diberitahu Juno bahwa ia hamil, dan akan menyerahkan anaknya untuk adopsi. Kalau dipikir-pikir, pantas saja mereka bereaksi seperti itu. Dialog-dialog dan terutama semua celetukan dalam film ini, pilihan-pilihan etis para tokoh cerita, tingkah laku para tokoh ini, juga benda-benda yang mengisi hidup para tokoh ini (iklan tawaran orang tua adopsi di koran, minuman, koleksi musik dan DVD, permen, dan sebagainya) membentuk sebuah dunia anak muda Amerika zaman kiwari yang hidup. Bagaimana Leah, yang tampak agak dungu dibanding Juno, mengucapkan “Phuket, Thailand” seperti mengucap “Fuck!”. Bagaimana ia juga mengucap “Honest to blog?” untuk menyatakan, “sungguhan, nih?” Bagaimana Juno dengan sok tahu mengajari Mark, tentang hari terbaik musik  rock  adalah dalam konser musik Sex Pistol, pada 1977. Mark dengan geli berkomentar, “tapi kamu kan belum lahir, saat itu?” Bagaimana gambaran klinik aborsi yang depresif secara komikal (penerima tamunya seorang gadis berdandan Punk, asyik mencat kuku, dan menawari Juno kondom rasa buah). Dan yang protes di depan klinik adalah teman sekelas Juno, Su Chin yang pemalu, dan yakin betul bayi dalam kandungan beberapa minggu Juno sudah punya kuku. Semua itu membentuk sebuah dunia Juno yang utuh dan hidup. Dunia yang, seperti kata salah sebuah artikel di Guardian, menganggap aborsi secara taken for granted. (Jadi, pilihan Juno untuk meneruskan kehamilannya bukanlah sebuah produk budaya antiaborsi yang konservatif.) Dunia remaja yang persoalan cintanya lebih bernuansa dari apa yang kita saksikan di film-film cinta kita. Dunia yang jauh lebih fasih dari film-film cinta kita dalam mengucapkan ketakpahaman mereka akan cinta, dan akibatnya juga menjadi jauh lebih fasih saat cinta akhirnya

171

172

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

diucapkan. Fasih secara kata, tapi lebih-lebih lagi fasih secara visual. Dalam kefasihan itulah, Juno mengangkat persoalan cinta yang bukan sekadar “apakah dia suka pada saya?” atau “apakah kita akan bersatu (baca: akan pacaran, atau akan kawin akhirnya)”. Persoalan cinta yang kemudian terungkit dalam film ini adalah: bagaimanakah orang bisa bersama selamanya, atau paling tidak, beberapa tahun sajalah? Ini adalah pertanyaan Juno kepada ayahnya. Saya tak akan memberitahu Anda jawabannya, silakan tonton sendiri. Tapi, saya berani bilang bahwa pertanyaan dan jawabannya menempatkan Juno sebagai sebuah film generasional, film yang menjadi salah satu tanda anak zaman. Persis seperti, misalnya, The Breakfast Club  (untuk remaja Amerika 1980-an),  Reality Bites (untuk kawula muda Amerika 1990-an), Donie Darko (untuk kawula muda 2000-an, sama seperti Juno ini), Gita Cinta Dari SMA (untuk remaja Indonesia 1980-an), atau Ada Apa Dengan Cinta (untuk remaja Indonesia 2000-an).

5. Jangan lupakan lagu-lagunya Salah satu tanda penting dari sifat Juno sebagai “film generasinya”, adalah lagu-lagunya. Juno dipenuhi lagu-lagu balada karya musisi muda yang berciri indie. Sekujur film dipenuhi lagu-lagu dari Kimya Dawson. Lagu temanya sendiri, balada imut berjudul Anyone Else But You, adalah dari The Moldy Peaches. Dalam daftar soundtrack, kita membaca judul-judul lagu dari Belle & Sebastian, David Bowie (All The Young Dudes, versi Mott The Hoople). Yang mengejutkan, lagu pembuka film adalah A Well Respected Man dari The Kinks. Dari lagu pembuka itu, kita segera merasa bahwa ini film indie tenan. Yang menarik, ketika Juno (wakil dari generasi

MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT FILM REMAJA SEPERTI INI?

2000-an) beradu pendapat dengan Mark Loring (wakil generasi 1990-an) tentang pilihan musik dan film mereka. Mark mengenalkan pada Juno cover lagu Superstar dari The Carpenters (grup 1970-an) oleh Sonic Youth. Juno menganggapnya asyik, tapi dalam sebuah letupan marah kemudian, Juno ngenyek album selanjutnya dari Sonic Youth sebagai “it’s all noise!”. Dan inilah sebuah tanda kuat generasi Juno. Generasi Juno (walau, tentu tak bisa terlalu digeneralisir) tampak cenderung pada kesederhanaan, lebih dari generasi 1990an. Generasi 1990-an, kita tahu, semangat mereka terutama dibentuk oleh musik rock dari Nirvana, aliran grunge dan garage music dari kota Seattle, Radiohead, R.E.M., dan, yah, Oasis. Tentu, pada saat itu marak pula rave culture dan dance music; musik hip hop gaya blink blink merajai billboard; dan boys band serta Spice Girl pun merajai pasaran musik  mainstream. Tapi, semangat pemberontakan kaum muda, yang lazim dianggap sebagai “semangat (anak) zaman”, diwakili oleh Kurt Cobain dan sejenisnya. Cobain adalah seorang penyair. Kemampuan teknisnya sederhana, tapi ia berhasil menjadi mencipta berisik yang efektif dengan kesederhanaan tekniknya. Tampilannya adalah antitesa dari grup-grup  rock  serbakostum dan teatrikal dari 1970-an hingga 1980-an. Ia dan kawan-kawannya di Nirvana mau pun grup rock sejenis tampil apa adanya, casual, malah agak sedikit “manis”. Noise masih jadi obsesi. Tapi, tidak bagi kaum youth culture bergaya urban angkatan 2000-an. Mereka kembali pada balada akustik. Mereka mencipta sejarah tonggak-tonggak rock mereka sendiri—dengan mengambil semangat spontanitas dari musisi Punk sejak Ramones dan Sex Pistols. Mereka masih melanjutkan penerimaan terhadap kesederhanaan melodi, struktur lagu, serta keterampilan musikal seperti pada generasi 1990-an. Tapi mereka mampu mendedahkan kesantaian, yang berkawin dengan kemelimpahan informasi yang

173

174

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

mereka punya (kemelimpahan informasi yang memungkinkan Juno bisa sok tahu tentang Punk pada 1977), menjadi sebuah bahasa syair yang khas. Sifat lebih santai, lebih casual generasi ini, membuahkan pemberontakan yang tak bercorak eksistensialis atau “serius” macam Nirvana; corak pemborantakan santai ini lebih condong pada kebermain-mainan. Simak saja beberapa bait lirik lagu tema Juno. (Adalah Ellen Page yang mengusulkan agar karakter Juno digambarkan menggemari musik-musik dari Kimya Dawson dan The Moldy Peaches). You’re a part time lover and a full time friend The monkey on your back is the latest trend Here is the church and here is the steeple We sure are cute for two ugly people I will find my niche in your car With my MP3, DVD, rumble pack guitar

Seolah bisa disimpulkan (walau, tentu, perlu penelitian lebih jauh) bahwa generasi Juno lebih praktis ketimbang nihilistik seperti ciri angkatan 1990-an. Juno memilih melanjutkan kehamilannya, karena tersedia jalan untuk sang bayi berupa mekanisme adopsi yang semakin kerap dan biasa di Amerika; tapi, ia memilih tak mau melihat bayinya, karena sang bayi, praktis, adalah ‘anak orang lain’.

6. Dan moral cerita ini, saat ini, adalah... “Suatu hari nanti,” kata sang ayah membelai lembut kepala Juno yang kelelahan sehabis melahirkan, “kau akan kembali ke sini, tapi on your terms.”

MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT FILM REMAJA SEPERTI INI?

Sebuah moralitas yang rusak? Tidak. Ini adalah sebuah moralitas lembut, yang bangkit dari puing-puing kehancuran ikatan sosial dalam masyarakat kiwari. Bisakah film remaja kita bicara hal seperti ini?

— Juno Sutradara: Jason Reitman / Produser: Lianne Halfon, John Malkovich, Mason Novick, Russel Smith / Skenario: Diablo Cody / Pemain: Ellen Page, Michael Cera, Jennifer Garner, Jason Bateman, Alison Janney, JK Simmons / US, 2007 / 96 menit.

175

Eric Sasono

The Tarix Jabrix

Konvensi dan Kucing di Tengah Jalan

S

eekor kucing di tengah jalan bisa berarti banyak buat hidup seseorang. Ia menyebabkan Valdin yang sedang balapan mendadak mengerem motor sportnya. Valdin pun terlempar ke rerumputan di tepi jalan. Ia kalah. Menanglah pemuda kerempeng berjuluk Cacing pada balapan jalanan itu. Selain kehilangan harga diri, Valdin tak boleh lagi mendekati Callista, perempuan cantik kebule-bulean yang jadi rebutan. Agak basi memang, cerita semacam ini sehingga saya tak merasa sedang melakukan pembocoran jalan cerita ketika memberitahu Anda, para pembaca. Sejak premis, film ini sudah basi, sekalipun penilaian macam itu masih bisa ditunda sampai film selesai. Premis basi masih bisa mengelak dari klise kalau proses menonton dihargai. Penghargaan terhadap proses itu lah yang tak ada dalam film ini. Sekujur naskah dipenuhi pemecahan pintas yang rasanya tak bertanya

KONVENSI DAN KUCING DI TENGAH JALAN

kontemplatif: kira-kira penonton bisa terima nggak ya kebetulankebetulan sebanyak dan sekonyol ini? Soal kucing tadi adalah salah satunya. Banyak lagi contoh yang melelahkan jika disebut satu-satu. Kita buat saja daftar sekenanya: Mulder yang tiba-tiba membawa motor sport untuk balapan, anak buah Max yang tibatiba nyedot heroinnya dari tangan sambil berdiri sehingga bisa dilihat oleh gerombolan The Tarix Jabrix dan sebagainya. Banyaknya bolong-bolong ini membuat saya tak berselera meringkaskan cerita jalan film ini. Belum lagi rumusan yang memang sudah baku yang kelewat jadi sandaran bagi plot. Film genre, baik berdasarkan mood seperti komedi, maupun berdasarkan  setting  seperti “film motor”, memang dipenuhi berbagai rumus baku. Rumus dalam film genre ini mirip dengan rumus lawakan Srimulat. Semakin dikenal, semakin ampuh ia bekerja. Penonton sudah mengantisipasinya dan masih saja tertawa melihat ulangan-ulangan macam itu. Namun bolong-bolong naskah film ini membuat rumusrumus baku itu jadi terkupas, telanjang bulat. Usaha tambal sulam para pembuat film ini jadi terlalu terlihat. Akhirnya, konvensi film genre jadi andalan ketimbang mendahulukan proses memanjakan penonton dengan cerita dan bangunan plot yang terjaga. Misalnya, ketidakjelasan motivasi menjadi anggota geng motor dikompensasi dengan konvensi bahwa demikianlah adanya sebuah film motor. Begitu juga dengan pemecahan konflik berupa balapan antara Valdin melawan Cacing. Maka apa yang seharusnya sejak awal film diantisipasi penonton untuk menjadi punch-line malahan berubah menjadi klise demi klise yang mudah sekali diterka. Tak ada kenikmatan mengikuti proses bagaimana klise itu disampaikan. Padahal The Tarix Jabrix bisa menghindar dari klise-klise ini untuk beberapa alasan. Pertama, tentu saja alasan teknis. Sang sutradara Iqbal Rais yang berumur 24 tahun ini punya

177

178

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

keterampilan teknis yang tak buruk. Ia mampu mempertahankan ritme filmnya dan lumayan dalam soal  timing. Komedi tersampaikan, padahal itu merupakan hal yang tergolong sulit. Dengan syarat memaklumi penyutradaraan yang merupakan copycat gaya Get Married dan menerima konvensi tanpa banyak tanya,  The Tarix Jabrix  masih bisa bercerita lancar dengan pengadeganan yang lumayan terjaga. Alasan teknis lain adalah akting gerombolan The Changchuters yang terlihat tak berusaha kelewat keras. Mungkin karena mereka menjadi diri mereka sendiri. Mereka terasa lepas dan tak terlalu repot dengan peran mereka. Catatan untuk Tria Changcut yang menjadi Cacing. Dengan mengambil model Jim Carrey, terlihat usahanya untuk menjadi lokomotif film ini. Sebenarnya ia cukup berhasil. Namun pergerakan kamera dan editing film ini lebih dekat dengan Spion 025-nya Benyamin S. ketimbang  Ace Ventura  (coba lihat adegan mengintai dan kemudian gerombolan The Tarix Jabrix melepaskan Ciko di gudang). Dengan penggarapan seperti ini, peniruan Jim Carrey oleh Tria membuatnya seperti cacing kepanasan sendirian. Mungkin karena Ace Ventura lebih mudah dicari videonya dan kemudian dirujuk ketimbang Spion 025, apalagi oleh para pekerja film berusia 20-an tahun macam mereka. Namun biasanya para pekerja seni mencoba memelajari sejarah kesenian yang mereka geluti demi menghindar klise yang pernah dibuat oleh pendahulu mereka. Atau jangan-jangan memang film sudah lama tak dianggap seni lagi di negeri ini? Kita tunda pertanyaan terakhir tadi entah sampai kapan, untuk membicarakan alasan kedua potensi film ini untuk menghindar dari klise. Materi film ini berpeluang untuk melakukan semacam  homage  terhadap film motor Indonesia dekade 1970-an. Homage biasanya dibuat berdasarkan selera canggih dengan mengacu elemen-elemen klise dan basi justru untuk merayakannya.  Homage  terkadang bisa menjadi

KONVENSI DAN KUCING DI TENGAH JALAN

begitu campy (norak, berlebihan, dengan sadar) seperti misalnya ketika Uma Thurman, dalam Kill Bill, memakai jaket kulit ala Bruce Lee dan melepaskan jaket itu, dan di dalamnya ia memakai pakaian training dengan warna yang sama persis. Namun butuh kesadaran terhadap medium untuk sengaja menjadi campy. Kesadaran itu tak ada pada The Tarix Jabrix. Berbagai klise dalam film motor, ditiru karena dipercaya bahwa hal itu masih bekerja ampuh. Termasuk perempuan yang diperebutkan lewat perkelahian dan balapan motor (catatan iseng yang mungkin “OOT” (Out of Topic): kerjasama Hanung Bramantyo dan Starvision selalu menghasilkan perempuan yang dijadikan bahan rebutan). Tapi menjadi campy memang sebuah estetika yang canggih. Kemungkinan besar penonton lebih suka dengan konvensi sederhana dan menerima saja bolong-bolong naskah demikian rupa. Penonton disodori saja konvensi-konvensi itu dan selamat tinggal lah usaha-usaha pencarian cara tutur baru atau sodoran tema baru. Konvensi itu mungkin bekerja, tetapi  plausibility  dan kerapihan skenario terkorbankan. Maka untuk mencari jalan keluar supaya Cacing tetap menang balapan, diletakkanlah kucing di tengah jalan.

— The Tarix Jabrix Sutradara: Iqbal Rais / Produser: Chand Parwez Sevia / Skenario: Hilman Mutasi, Reza Keling, Sofyan Jambul / Pemain: The Changcuters, Carissa Putri, Ario Bayu, Iga Mawarni, Bimbo, Edi Brokoli / Produksi: Star Vision Plus, Dapur Film / Indonesia, 2008.

179

Eric Sasono

Iron Man

Pahlawan dan Warisan Bagi Dunia

M

ajalah  Lexean  terbitan Singapura pada edisi bulan Juli 2007 membuat sebuah laporan utama, yang bagi saya, rada iseng: superhero. Selain melihat siapa saja manusia sekarang ini yang patut disebut sebagai “pahlawan” (mereka menyebut antara lain Oprah Winfrey dan Vladimir Putin sebagai superhero dunia nyata), mereka juga bermain-main dengan pengandaian. Seandainya superhero yang dikenal dalam dunia komik benar-benar hidup, siapa kiranya yang sungguh-sungguh akan berguna bagi keadaan dunia saat ini? Superman jelas ya, karena dengan kekuatannya, ia bisa membantu mewujudkan ‘perdamaian dunia’. Batman juga berguna, karena kemampuan detektifnya mungkin bisa digunakan untuk melacak uang para koruptor kelas dunia. Hulk bukanlah  superhero  yang berguna karena ketidakstabilan emosinya; dan seterusnya.

PAHLAWAN DAN WARISAN BAGI DUNIA

Rasanya Lexean tidak memasukkan Iron Man dalam daftar mereka itu, saya lupa. Pengandaian yang dilakukan oleh Lexean itu dilakukan oleh film Iron Man, superhero dari perusahaan komik Marvel itu. Jika Iron Man sungguhan hidup di jaman sekarang, seperti inilah kepahlawanannya; demikian kiranya semangat Hollywood bicara mengenai idealisasi dan relevansi khayalan mereka. Ceritanya mirip lagu lirik dangdut lama “kau yang mulai, kau yang mengakhiri”. Tentang seorang milyarder bernama Tony Stark (Robert Downey Jr.) yang kekayaannya berasal dari pabrik senjata warisan ayahnya. Ia seorang playboy yang pada morning after lupa nama perempuan yang diajaknya tidur malam tadi. Namun ia punya uang banyak, kuasa besar dan otak pintar. Menjadi seenaknya sama sekali bukan masalah baginya. Sampai tiba saat ketika ia diculik di Afghanistan sesudah memamerkan senjata terbarunya. Sekelompok orang bersenjata menahannya dan memintanya membuat senjata pamungkas: rudal Jericho. Alih-alih, Tony membuat baju besi yang menjadi purwarupa (prototype) bagi Iron Man. Dibantu seorang insinyur Afghanistan bernama Yinsen, Tony bisa menyelesaikan misinya dan kabur dari tahanan itu. Untuk menemukan kenyataan bahwa ia harus mengubah dunia. Pertemuannya dengan Yinsen membuatnya sadar bahwa ia tak boleh menyia-nyiakan hidupnya. Jadilah ia kemudian seorang pahlawan super dengan baju besi (bukan besi, tepatnya, tapi logam hibrida yang digunakan satelit militer, dan disepuh warna emas dan merah yang seksi), beterbangan kesana-kemari menghancurkan apa yang pernah ia bangun dengan bangga. Hollywood seperti menangkap semangat orang-orang partai Demokrat Amerika sekarang ini. Perang yang mereka mulai harus diakhiri dengan segera agar mereka bisa berkata bahwa ‘inilah legasi Amerika buat dunia’ (dan bukan yang itu—yang sekarang

181

182

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

tampak di Irak dan Afghanistan). Tampaknya memang film selalu bisa jadi jalan buat menggambarkan apa yang tak terjadi di kehidupan nyata—atau mungkin yang belum terjadi. Karena di Amerika, sampai orang Demokrat menjadi presiden, tentara Amerika di Timur Tengah masih di sana, dan perlawanan dari dalam negeri masih ada. Dalam kisah Iron Man, masih ada war mongering dan war profiteering yang mengambil keuntungan dari berjualan senjata dan ilusi kekuasaan yang lahir darinya. Nama yang disebut dalam film Iron Man adalah Obadiah Stane (Jeff Bridges), mitra dari ayah Tony Stark yang ikut mendirikan Stark Industries. Obbie yang botak dan berbadan besar itu tak rela keuntungan yang didapat dari perang, musnah begitu saja. Bahkan ia yang memang sejak awal berencana menghabisi Stark dan mengambil alih singgasananya. Obbie lantas bisa mendapat purwarupa baju besi yang pernah dibuat oleh Stark dan membuat baju perangnya sendiri. Bertempurlah Iron Man yang seksi dengan baju buatan Obbie yang monstrous dalam sebuah pertempuran terakhir. Tak sulit sama sekali mengira siapa yang menang. Bahkan mungkin tak sulit-sulit amat menerka pertempuran itu akan berjalan seperti apa dan apa peran yang bakal dimainkan Pepper Potts (Gwyneth Paltrow) dalam pertarungan dua senjata dahsyat itu. Amerika memang sedang mengulang-ulang cerita lama. Tak ada yang baru sama sekali dalam dongeng ilusif mereka ini, kecuali mungkin pada sensasi-sensasi fisikal yang disebut oleh ahli film asal Australia, Geoff King, sebagai  spectacular narrative. Sandaran film-film Hollywood sekarang ini bukan sekadar pada elemen naratifnya, tapi pada elemen naratif yang spektakuler. Jika tidak spektakuler, lupakan saja dan berharaplah pada keuntungan perjudian yang mirip main  jackpot  (sesekali film macam Juno menang jackpot macam ini). Elemen naratif spektakuler itu mungkin tepat didapatkan dari daftar film seperti: The Day After Tomorrow, Spiderman,

PAHLAWAN DAN WARISAN BAGI DUNIA

Transformer, dan kini, Iron Man. Ledakan bola api setinggi bukit, sensasi terbang di antara dua pesawat jet Hornet F-22 dan pandangan mata yang bisa menganalisis obyek yang kita lihat, semuanya adalah sensasi yang spektakuler buat penonton. Soal tema, rasanya film Hollywood sedang mengalami apa yang sedang dialami Indonesia: mengulang-ulang apa yang pernah dibuat dengan formula yang sudah sangat ketebak. Bisa jadi sedang ada kejenuhan, dan  Iron Man  bukan sekadar menyelamatkan dunia dalam fiksi tapi sedang memperpanjang napas industri dalam fakta. Maka superhero macam Iron Man mungkin akan bertahan beberapa tahun ke depan di layar lebar bersama fantasi, sekuel, dan remake film-film Asia. Hollywood, dan Amerika masih merasa bahwa menonton bioskop adalah sensasi fisik yang heboh-hebohan macam itu. Bersama dengan pengulangan-pengulangan itu, kita juga bisa melihat bagaimana method acting para aktor Hollywood mencapai puncak kematangannya dalam film ini. Bahkan untuk film superhero yang tak membutuhkan akting terlalu hebat, kita bisa melihat bagaimana Robert Downey Jr. benar-benar menjadi Tony Stark dan Jeff Bridges benar-benar menjadi Obadiah. Keduanya terasa seakan tak berusaha sama sekali untuk masuk ke dalam peran mereka, sama wajarnya dengan mengedipkan mata. (Catatan: Jeff Bridges disebut oleh mendiang kritikus Pauline Kael sebagai the most effortless actor on screen.) Sebagai pengingat saja, bahwa kata kunci method acting adalah: menjadi karakter yang mereka perankan seakan mereka wadah kosong yang siap diisi. Semakin bening mereka sebagai wadah, semakin berhasil akting mereka. Apalagi ketika karakter yang mengisi itu begitu sulitnya seperti misalnya kasus Charlize Theron di Monster (2003) atau Hilary Swank di Boys Don’t Cry (1999). Film Iron Man ini menegaskan bahwa Hollywood ternyata menjadi tempat menuai panen method acting yang mungkin tak pernah diperkirakan sebelumnya oleh para pencetusnya seperti

183

184

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Stanislavski. Menyaksikan akting kedua pemain laki-laki itu, ditambah imbangan dari Gwyneth Paltrow atau rintisan jalan dari Terrence Howard (kita tunggu peran besar bagi aktor ini untuk menjadi Denzel Washington baru), kita seperti diingatkan bahwa departemen yang satu itu sedang masuk ke puncaknya (dan, apakah selanjutnya akan turun seperti nasib elemen naratif filmfilm Hollywood?). Iron Man bisa jadi merupakan titik balik positif bagi Robert Downey Jr. dan Jeff Bridges (bandingkan misalnya dengan peran Bridges sebagai The Dude di The Big Lebowsky) Maka bicara soal warisan atau legacy sebagaimana yang disebut-sebut terus dalam film ini, kita punya peribahasa lama yang bisa dimodifikasi. Harimau mati meninggalkan belang, Tony Stark mati meninggalkan senjata pamungkas hebat, Amerika mati meninggalkan dongeng ilusif tentang rasa bersalah yang selalu ingin bisa mereka tebus.

— Iron Man Sutradara: Jon Favreau / Produser: Avi Arad, Kevin Feige / Pemain: Robert Downey Jr. (Tony Stark), Jeff Bridges (Obadiah Stane), Gwyneth Paltrow (Pepper Potts), Terrence Howard (Jim Rhodes), Yinsen (Shaun Toub) / US, 2008 / 126 menit.

Hikmat Darmawan

May

Berani Karena Takut

Keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut.

P

epatah itu saya dengar lagi dari Irshad Manji, seorang aktivis Islam dari Kanada (sekarang tinggal di New York) yang kontroversial karena banyak menggugat status quo dunia Islam, dalam wawancara ketika dia datang ke Jakarta. Waktu itu, saya teringat kapan saya pertama kali mendengar pepatah itu: sebuah komik berjudul Asterix dan Orang-orang Normandia. Mungkin itu pepatah terkenal di Barat. Lengkapnya, ia berbunyi: keberanian bukanlah ketiadaan rasa takut, tapi kemampuan kita mengatasi rasa takut itu (oleh Manji, ditambahi ...”untuk melakukan hal yang benar”). Dan saya teringat lagi ungkapan itu ketika menghadiri press conference film May karya Viva Westi (Suster N). Acara jumpa pers diadakan setelah pemutaran film May untuk wartawan. Sewaktu menonton, saya dalam hati memuji keberanian Viva dalam film ini. Ada banyak keberanian itu: dari segi kekisahan, Viva berani

186

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

melawan arus utama film Indonesia (di tempat lain juga, seperti Hollywood), yakni menggunakan alur bolak-balik atau alur waktu maju-mundur yang mencampur begitu saja masa lalu dan masa kini. Ini seperti menentang ‘kebijakan’ umum film kita yang agak mengharamkan alur macam ini, karena dianggap terlalu rumit bagi penonton umum. Tapi lebih dari itu, saya mengagumi keberanian Viva memotret sudut gelap sejarah kita dengan cukup terus terang: kerusuhan Mei 1998, dengan fokus seorang gadis Cina korban perkosaan pada kerusuhan itu. Nama perempuan itu May (Jenny Chang). Bukan hanya hidupnya seorang yang hancur pada hari itu: ibunya (Tuti Kirana, bermain matang di film ini) harus mengungsi dan kehilangan rumah dan kehilangan May dalam kerusuhan itu, mengungsi ke Kuala Lumpur, dan jadi pembantu setengah linglung di sebuah restoran Cina di sana. Film ini juga menggambarkan hubungan cinta antar etnik yang dirundung tragedi gara-gara hari jahanam itu; juga, menariknya, gambaran orang-orang yang mencari untung dari suasana kerusuhan itu. Saya kira, ini adalah satu dari sedikit film kita yang berani menatap lama-lama hari gelap itu, tragedi Mei 1998 itu, dan segala sesudah tragedi itu (lungsurnya Soeharto, berbagai kekacauan sosial-politis sesudahnya, sebelum tiba pada masa pilkada yang riuh-rendah saat ini). Dan sedikitnya film kita yang mengangkat tema ini mengherankan, agak menggemaskan juga. Hanya ada beberapa film yang mencatat peristiwa besar itu (yang, sebetulnya “besar” dalam ukuran dunia juga—kejatuhan salah seorang diktator terkuat di dunia dengan segala peristiwa traumatik seputar kejatuhan itu), padahal saat ini nyaris orang bisa bicara dan berkata apa saja. Ada dokumenter karya Tino Saroenggalo, Student Movement 1998 (2004); dan ada film cinta berlatar Tragedi Semanggi November 1998 karya Lukmantoro DS, Kutunggu di Sudut Semanggi. Baru-baru ini ada juga sebuah

BERANI KARENA TAKUT

kumpulan film pendek bertema 10 tahun Reformasi 1998 antara lain dari sutradara Ariani Darmawan dan Edwin, 98.08. Alangkah berani Viva dengan  May  ini, hingga ia mau memfilmkan tragedi Mei 1998 tidak dari jarak yang aman, pikir saya. Dan ketika saya mengikuti jumpa pers itu, saya menemukan kenyataan lain. Ternyata film ini dibuat dengan diliputi berbagai ketakutan juga. Viva, misalnya, merasa perlu mewanti-wanti bahwa May adalah film fiksi, “bukan film politik.” Lho, saya pikir, jadi “film politik” juga tak mengapa, bukan—memang kenapa? Hari gini.... Dalam jumpa pers itu pula, Viva bolak-balik bilang bahwa ia dan kawan-kawan membuat film ini dengan sangat hati-hati, melalui riset, dan berusaha keras agar jangan sampai menyinggung siapa pun. Ah, saya pikir, itukah mengapa adegan perkosaan yang jadi inti cerita itu sendiri sama sekali tak digambarkan dan hanya disiratkan? Terasa sekali dalam tanya jawab dengan pers itu, bahwa bagi Viva dan kawan-kawan membuat film ini seperti melanggar tabu. Saya jadi berpikir-pikir, apakah mungkin ini warisan paling nyata Orde Baru? Sebuah kecemasan yang hampir otomatis dalam mengungkapkan kenyataan, keengganan untuk konfrontantif? Demikianlah Jalaluddin Rakhmat pernah menulis, masa Orba melahirkan “Homo Orbaikus”—yakni manusia-manusia yang seluruh mekanisme  survival-nya telah ditetapkan oleh keadaan-keadaan Orba. Kita ingat, misalnya, pengawasan ketat rezim Orba terhadap ekspresi pikiran, media massa, seni, juga sampai titik tertentu, terhadap pemikiran-pemikiran yang dihasilkan dalam lembaga-lembaga keilmuan. Kita ingat ada berapa media dibredel, berapa buku dilarang, dan berapa cendekiawan serta seniman dicekal semasa Orba? Mekanisme survival yang muncul dalam “Homo Orbaikus” terhadap situasi itu, antara lain, adalah kecenderungan kuat pada self-censorship. Atau, paling tidak, selalu munculnya perasaan

187

188

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

was-was ketika hendak menyampaikan kenyataan secara apa adanya—apabila “kenyataan” yang dimaksud bertentangan dengan opini kebanyakan orang, atau bertentangan (ini yang terutama) opini Negara. Untungnya, walau masih diliputi kecemasan-kecemasan dan kecenderungan self-censorship, Viva tetap berhasil melahirkan May. Saking senangnya saya terhadap keberanian Viva dengan film ini, saya memaafkan beberapa kekurangan, bahkan kesalahan fatal, dalam film ini. Kesalahan pertama, pada saat-saat genting cerita, May digambarkan menelepon telepon seluler pacarnya, Antares (Yama Carlos), dari telepon koin di jalan. Telepon umum koin di Indonesia tak bisa menghubungi telepon seluler saat itu. Yang bisa, telepon umum dengan kartu. Kesalahan kedua, pada hari H kerusuhan dalam film ini, Mama May menyebut bahwa berita di televisi masih sama: mahasiswa masih menduduki gedung MPR. Siangnya, film ini menggambarkan kerusuhan pecah. Jadi, digambarkan di sini, kerusuhan Mei 1998 terjadi setelah mahasiswa menduduki gedung MPR. Jika kita mengecek kronologi peristiwa Mei 1998, maka alur yang sesungguhnya terjadi adalah: pada 12 Mei 1998, terjadi penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. Pada 13-14 Mei 1998, kerusuhan terjadi, dengan puncak kerusuhan pada 14 Mei 1998. Baru pada 18 Mei 1998, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi mendatangi gedung MPR, dan jumlah mereka terus bertambah ribuan orang, menduduki gedung MPR sampai Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Kesalahan ketiga, saya dapati sewaktu press screening, yakni adanya beberapa kesalahan ketik dalam teks subtitel. Kesalahan ini cukup mengganggu, karena cukup banyak. Semoga versi bioskopnya tak lagi mengandung kesalahan demikian.

BERANI KARENA TAKUT

Tapi, sekali lagi, saya memaafkan itu semua. Karena, dari segi jalan cerita, dramatisasi, dan pesan yang hendak disampaikan, film ini cukup enak diikuti, cukup mengharukan. Mungkin karena film ini cukup personal bagi Viva. Film ini seolah sebuah versi panjang dari film pendeknya untuk tugas akhir sebagai mahasiswa IKJ pada 1999, Melihat Dia Tersenyum. Film pendek itu, kata Viva, juga bercerita tentang gadis Cina korban perkosaan pada kerusuhan Mei 1998. Menurut Viva, salah satu dasar dia membuat film tentang perkosaan pada kerusuhan Mei 1998 ini adalah sebuah surat di rubrik Konsultasi Psikologi Kompas, yang diasuh oleh Leila Ch. Budiman. Surat itu dari seorang dokter, yang bertanya tentang bagaimana menangani seorang korban perkosaan dalam kerusuhan itu, yang sampai hamil setelah perkosaan itu. May menggali lebih jauh apa yang terjadi dalam sebuah peristiwa yang mungkin terjadi itu. Maka, kisah May tak hanya berkutat (walau tetap berpusat) pada perkosaan itu. May juga menutur, mencoba merenungi, berbagai perasaan bersalah yang ada di sekitar tragedi itu. Film ini mengedepankan May dan ibunya sebagai korban. May diperkosa, dan kemudian ia hamil—kemungkinan karena perkosaan itu, tapi mungkin juga akibat hubungan intimnya dengan Antares (ketakpastian itu sendiri telah mengguncang May yang sangat mencintai dan meyakini kewajiban setianya pada Antares). Tapi, siapa bilang keadaan itu hanya makan korban May dan ibunya saja? Antares, yang saat May membutuhkannya sedang sibuk mengurusi seorang tokoh politik yang memperjuangkan reformasi, Hariandja (Tio Pakusadewo, seperti biasa bermain matang), juga didera kehilangan dan rasa bersalah. Ia, yang sangat mencintai May, justru menyumbang pada penistaan tubuh May yang memorak-porandakan hidup May dan ibunya. Dan, yang sangat menarik, film ini menampilkan sosok Gandang (Lukman

189

190

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Sardi) yang mengambil untung dari derita ibu May. Sepuluh tahun setelah Kerusuhan Mei 1998, Gandang telah jadi seorang kaya. Ia, bersama istrinya (Ria Irawan), sedang plesir ke Malaysia, ketika tak sengaja Gandang melihat ibu May, Cik Bing, yang tampak linglung. Dalam kilas balik, ternyata Gandang jadi kaya karena membeli sertifikat rumah Cik Bing dan May di Jakarta dengan harga sangat murah—seharga tiket sekali jalan pesawat ke Malaysia. Dengan sertifikat itu, ia memupuk modal membuka usaha laundry yang sukses. Yang menarik, cara Viva menggambarkan karakterisasi Gandang dan istrinya. Latar Islam yang khas cukup tampak di sini: istri Gandang ingin sekali mereka naik haji, dan membuat sebuah selamatan mewah untuk persiapan kepergian mereka ke Mekkah. Walau tergambar betapa niat naik haji itu bercampur pula dengan kehendak untuk terlihat mapan, Viva tak menghakimi. Viva bahkan memotret Gandang yang mengambil keuntungan di atas penderitaan ibu May (etnik Cina) itu sebagai korban keadaan juga. Itulah mengapa ia risau benar ketika diingatkan kembali bahwa kekayaannya berpijak pada penderitaan orang lain; dan mengapa istrinya bisa memahami upaya penebusan dosa Gandang. Banyak jenis korban 1998 dalam film ini. Antares ikut Hariandja, yang setelah Reformasi 1998 mendapat banyak proyek sumir dengan uang besar. (Bukankah ini sosok yang sangat tak asing bagi kita, pasca 1998?) Dan toh, ia tak bahagia. Ia merasa berdosa. Keadaan telah memaksanya memilih sesuatu yang tampaknya kecil: tak menjemput May, karena sibuk “mengurusi negara”, di hari genting itu. Para aktivis 1998 mungkin ingat, betapa saat itu keputusan-keputusan kecil bisa berarti banyak. Perubahan terjadi dalam hitungan menit. Dalam keadaan itu, seorang aktivis akan sukar memerhatikan hal-hal kecil, seperti menjemput pacar. Dan dunia Antares runtuh, hanya karena ia mengabaikan hal kecil itu.

BERANI KARENA TAKUT

Apakah semua korban ini kemudian bergerak menuju sebuah penebusan? Gandang jelas ingin menebus dosanya pada ibu May. Tapi lihatlah, betapa ia menangis tersedu ketika ibu May memanggil-manggil May yang tak ada. Antares berhasil menemui May, meminta maaf, tapi ada kalanya maaf tak menyelesaikan masalah. Dan May, ia menemui anaknya yang lahir setelah perkosaan itu: sebuah masa lalu yang ditampik. Bisakah kita membenci masa lalu kita? Dan, mengapung di udara para korban Mei 1998 itu, ada sebuah pertanyaan lirih tentang apa makna keindonesiaan saat ini, sepuluh tahun sesudah tragedi itu? Apa makna “Indonesia”, ketika sebagian warganya yang telah puluhan tahun hidup dalam Indonesia tiba-tiba harus mencari keselamatan dan ketenangan di negeri lain? Apa makna “Indonesia”, ketika jarang sekali film kita mengangkat suara para korban seperti ini? Ah, ya, memang pernah ada film-film macam Perawan Desa (1978, dari kisah nyata pemerkosaan Sum Kuning, karya Frank Rorimpandey), Marsinah  (karya Slamet Rahardjo, tentang pembunuhan Marsinah dan juga mereka yang dituduh membunuhnya sehingga mengalami penyiksaan oleh aparat), atau Puisi Tak Terkuburkan (karya Garin Nugroho tentang korban negara di Aceh). Begitu banyak korban jatuh demi sebuah “Indonesia” yang kita miliki saat ini – dan begitu sedikit film tentang para korban itu? Dan kita tahu, salah satu sebab amat sedikitnya cerita tentang korban dalam film kita, adalah pendidikan yang menanamkan rasa takut untuk menyampaikan kenyataan pahit semasa rezim Orba. Rasa takut yang masih menyeruak, meliputi Viva Westi saat membuat film ini. Tapi, kadang rasa takut melahirkan perlawanan juga. Dan adalah menarik bahwa dalam melawan rasa takut mengangkat suara korban dan mereka yang terusir itu, Viva juga melakukan semacam perlawanan estetik terhadap pakem dalam industri film kita.

191

192

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Viva menutup  May  dengan sebuah pertanyaan terbuka tentang “akhir bahagia” bagi sebuah film. Seperti saya duga saat menonton (dibenarkan oleh keterangan Viva sendiri dalam konperensi pers, karena banyak wartawan film kebingungan), musik bernada menekan dan menggelisahkan dari Dwiki Dharmawan (yang menata latar musik film ini dengan piawai) yang mengiringi sebuah adegan bahagia para tokoh film ini membuat kita curiga: benarkah akhir bahagia ini yang “terjadi”? Apalagi kamera memang melakukan penyimpangan angle dan tak stabil, seperti nervous (gugup, gelisah), untuk adegan ini. Adegan yang “aneh” dan tiba-tiba itu sangat pendek, sangat tidak memadai bagi sebuah “akhir bahagia”. Sampai-sampai seorang wartawan film masih muda bertanya pada Viva, kalau ending-nya begitu, apa berarti Viva berpikir akan ada sekuel bagi film  May  ini? Setelah sedikit tercekat, Viva menjawab diplomatis, “Nggak. Sekuelnya biarkan ada di hati para penonton saja.” Tidak, wartawanku sayang, bukan sekuel yang kita butuhkan. Yang kita butuhkan adalah ada lebih banyak lagi keberanian para pembuat film kita untuk menatap diri kita sendiri, menatap Indonesia, apa adanya, dan memfilmkannya secara jujur. Juga, kita butuh lebih banyak lagi orang yang berani mencoba-coba mempermainkan pakem film komersial di Indonesia ini, terus membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi film nasional kita.

— May Sutradara: Viva Westi / Skenario: Dirmawan Hatta / Pemain: Jenny Chang, Yama Carlos, Tuti Kirana, Lukman Sardi, Ria Irawan, Ninik L. Karim, Tio Pakusadewo / Musik: Dwiki Dharmawan / Produksi: Fix Picture, 2008.

Eric Sasono

Fiksi.

Jalan Sulit Alisha dan Mouly

A

lisha (Ladya Cheryl) punya banyak patung kelinci putih di dalam laci di rumahnya. Salah satu kelinci putih itu ia pajang di lemari kaca—siapa tahu ada orang yang mengambilnya. Bari (Donny Alamsyah) adalah orang itu. Bari cukup iseng untuk mengambil patung kelinci putih itu ketika ia bekerja membersihkan kolam renang di rumah Alisha. Bari tak tahu apa akibat keisengannya itu. Ia tak tahu bahwa sutradara dan pencetus cerita film ini, Mouly Surya, sudah merencanakan sejak semula bahwa Alisha adalah kebalikan dari tokoh Alice, dalam Alice in Wonderland karya legendaris dari Lewis Carol. Maka Alisha, bagai Alice, mengikuti kelinci putih yang dibawa Bari dan masuk ke dalam sebuah lubang—sebuah dunia lain yang bernama dunia nyata. Bari, yang ternyata seorang penulis yang sedang berjuang menyelesaikan tulisannya sembari bekerja serabutan, harus bersiap untuk menerima kenyataan bahwa kehidupannya tak akan lagi sama.

194

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Selama ini Alisha hidup di dunia tidak nyata. Tepatnya, kenyataan tempat Alisha hidup terlalu mirip dengan dunia mimpi, mimpi buruk. Ayahnya seorang jenderal superkaya yang bisa menggaji bekas intel untuk menjadi supir, sekalipun tugasnya lebih mirip tugas sipir. Ibu Alisha hanya datang kepadanya sebagai mimpi buruk, atau sebagai sosok mirip hantu yang mengambil pistol dari tempat rahasia, dan membicarakan mengenai adanya perempuan lain, dan rencana pembunuhan dirinya oleh sang ayah, lantas menembakkan pistol itu ke kepalanya sendiri. Bagai kebalikan Alice, Alisha pergi dari dunianya sendiri— dunia dongeng—dan masuk ke sebuah lubang—dunia nyata. Lubang itu adalah rumah susun tempat Bari tinggal. Di sana, berbagai orang tinggal dengan segala keunikan (keanehan?) mereka, bagai sebuah sirkus besar yang tak pernah membuka tapi juga tak pernah menutup pertunjukannya. Bari yang tak sadar bahwa Alisha mengikutinya, kemudian memperkenalkan rumah susun itu: inilah sebuah karikatur kehidupan urban. Namun dari karikatur itu, Alisha masih punya pertanyaan: benarkah dunia yang sedang dilihatnya itu adalah dunia yang nyata? Ini disebabkan Alisha bertemu dengan kisah-kisah fiksi yang sangat nyata yang dikenalkan oleh Bari. Dari sana, dimensi yang lebih dalam muncul dari karikatur urban itu. Mereka adalah orang-orang yang mencari suaka karena melanggar tabu, orang yang kalah sampai akhir, dan orang yang mengalami kesepian hingga tulang sumsum. Alisha yang juga punya kegetiran serupa dengan mereka, memaksakan aspirasi dirinya kepada orang-orang kalah dan tersingkir itu. Ia sadar bahwa untuk itulah ia ada, dan kenapa sejak semula ia mengikuti kelinci putih yang dicuri oleh Bari dari rumahnya. Fiksi. (sic—judul film ini menggunakan titik di akhir kata) kemudian menjadi sebuah pameran jabbariyyah (fatalisme) yang mengganggu cara berpikir yang mapan. Mouly, lewat Alisha, memaksakan sebuah akhiran (ending) pada kenyataan—padahal

JALAN SULIT ALISHA DAN MOULY

konvensi kehidupan (lewat kata-kata Bari sang wakil pencatat dunia nyata) menyadari bahwa dalam kenyataan, akhiran nyaris tak pernah ada. Pemaksaan Mouly itu bahkan tampak hingga penggunaan titik untuk judul film ini, sebuah pelanggaran terhadap konvensi bahwa judul cerita (dalam bahasa apapun) tidak memerlukan tanda baca titik. Fiksi. kemudian menjadi sebuah karya yang tidak biasa bagi film Indonesia; sekalipun cerita dengan tokoh psikopatik macam ini mudah ditemukan dalam film ber-genre thriller karya banyak sutradara Jepang semisal Sion Sono dan Takashi Miike. Film-film mereka dipenuhi oleh tokoh yang bertindak ekstrem dan miskin motivasi untuk menegaskan memang ada yang kekeliruan serius dengan jiwa tokoh-tokoh tersebut. Namun Jepang memang punya alasan untuk membuat film yang menggambarkan 50-an orang remaja perempuan bunuh diri massal tanpa alasan seperti dalam Suicide Club, ketika dalam kenyataan, seorang lelaki dengan alasan bosan hidup menenteng pisau menikami 22 orang di sebuah pom bensin, serta menewaskan 7 orang di antara mereka. Bagi negeri macam Indonesia, karakterisasi bagi psikopat seperti Alisha perlu dukungan penjelasan lebih kuat agar ia lebih bisa diterima. Mouly, dibantu penulis skenario Joko Anwar, bersandar pada imaji tentang dua hal yang relatif sudah dikenal dengan baik: orang-orang dengan kekuasaannya nyaris tanpa batas yang berasal dari uang dan senjata; serta keluarga sebagai lokus pembentukan karakter manusia. Maka Fiksi. berhasil mengatasi problem utamanya dalam plausibilitas (penerimaan terhadap kemasukakalan cerita). Usaha untuk membangun plausibilitas bahkan berbuah pada sebuah penggambaran pedalaman (psyche) manusia Indonesia yang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan yang nyaris tak terbatas dan negasi terhadap luasnya kampanye mengenai keluarga ideal di masa lalu. Anda boleh saja tak suka pilihan

195

196

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Mouly untuk mengajukan fatalisme dalam film ini, tapi ia punya landasan. Sikap seperti itu bukan hanya terjadi pada orang-orang miskin yang bunuh diri bersama anak-anaknya karena tak sanggup menahan lagi kemiskinan, tapi juga terjadi pada anakanak orang superkaya yang hidupnya demikian berat, dan absurdnya sehingga tak bisa membedakan mana fiksi dan kenyataan. Mouly, sebagaimana Alisha, telah menempuh jalan yang tak mudah untuk mengungkapkan itu semua; dan sebenarnya ia nyaris tak selamat membawa cerita ini. Dari segi teknis, film ini dipenuhi oleh banyak kelemahan yang mempersulit plausibilitas. Pembangunan adegan yang seharusnya mencekam oleh pencahayaan yang punya kedalaman (depth), malah tampak datar dan terkesan amatiran. Dalam beberapa poin (lihat misalnya adegan pembuka di meja makan antara Alisha dan ayahnya), kemencekaman itu malah membuat Mouly kelihatan kelewat berusaha. Namun hal itu biasanya terjadi di bagian awal, karena ketika film sudah berjalan, penonton sudah cukup terpapar ungkapan sinematis, dan menyesuaikan standar ekspektasi mereka terhadap film yang mereka tonton. Akibatnya,  Fiksi.  terasa sekali kekurangan daya cekam dan berjalan datar. Padahal para pemainnya tampak berusaha keras mengejar keinginan cerita. Ladya Cheryl terlihat mampu mewakili karakter dualisme kawaii  yang  imut  sekaligus bernuansa psikopatik bahkan mematikan (masih ingat, Tarantino mencuri juga imaji dualisme ini pada karakter Gogo Yubari di Kill Bill volume 1?). Namun selain warna yang pucat mengubah warna-warni baju permennya jadi tipuan murahan (cheap trick), Ladya tampak kehilangan panduan untuk membawa perubahan gradual karakter sejak dari dunia dongeng ke dunia nyata. Pertolongan eksternal seperti tata busana, potongan rambut dan  make-up  lah yang akhirnya digunakan. Sandaran macam ini berbahaya sekali untuk

JALAN SULIT ALISHA DAN MOULY

kredibilitas karakter, karena tak memberi kedalaman dimensi mereka. Donny Alamsyah juga kehilangan peta aktingnya. Peningkatan kecemasannya terhadap keberadaan Alisha tak terlalu kentara. Padahal ia mewakili keterhubungan antara dunia fiksi Alisha dengan dunia nyata yang ia tinggali dan ia catat. Masuknya Alisha ke dunia nyata itu menyebabkan guncangan, dan Bari adalah satu-satunya orang yang punya petunjuk apa yang sedang terjadi. Ketika Bari tak terlihat terlalu gelisah akan peristiwa-peristiwa aneh itu, dunia nyata juga tak tampak terlalu gelisah dengan perkembangan yang terjadi, dan semua seakan berjalan normal. Penonton jadi tak bisa menentukan di mana seharusnya kecemasan mereka terhadap perkembangan karakter Alisha harus mereka letakkan. Lagi-lagi kemencekaman absen di sini. Maka ketika Alisha menempuh jalan fatalis seperti yang tampak di akhir film, ia tampak seperti dikorbankan begitu saja oleh Mouly yang seakan sedang bermain tuhan-tuhanan. Padahal “semua sudah ada tujuannya” kata Alisha memberi petunjuk kepada Bari dan penonton. Tujuan itu dicapai Alisha dengan jalan tak mudah, dan Fiksi. berpeluang besar untuk gagal mencapai tujuan itu. Pilihan jalan semacam itu memang tak mudah, dan kebanyakan pembuat film kita memang berada di area nyaman, seperti kata programmer festival film Rotterdam, Gertjan Zuilhof. Maka ketika seorang pendatang baru seperi Mouly Surya bersedia menempuh jalan susah untuk film pertamanya, kita patut menunggu ia membuat film keduanya, ketiganya, dan seterusnya. — fiksi. (2008) Sutradara dan cerita: Mouly Surya / Skenario: Mouly Surya dan Joko Anwar / Pemain: Ladya Cheryl (Alisha), Donny Alamsyah (Bari), Kinaryosih (Renta), Ibu Tuti (Rina Hasyim).

197

Eric Sasono

Hancock

Cerita yang Hanya Bisa Terjadi di Amerika

A

da beberapa alasan yang saya karang-karang. Pertama, John Hancock adalah perusahaan asuransi Amerika, yang didirikan oleh seorang  founding fathers dunia bisnis di sana. Hancock, jagoan yang amnesia itu, dapat nama itu ketika ia ditanya “Berapa nomer John Hancockmu?” Mungkin kalau di Indonesia mungkin yang ditanya adalah nomer Bumiputera-mu, dan julukan “Hancock” menjadi “Boemipoetera” yang musuhnya adalah penjajah Belanda. Kalau ia hidup di masa sekarang dan nyeleneh, mungkin nama asli jagoan itu adalah Abdurrahman Wahid. Kedua, di Amerika yang namanya opini publik itu esensial, terutama sejak Walter Lippman menulis buku Public Opinion. Tak peduli Hancock menyelamatkan nyawa orang atau menangkap penjahat, kalau opini publik memusuhinya, ia pun harus dapat konsultan PR, supaya tak harus bayar collateral damage akibat aksinya yang sembarangan.

CERITA YANG HANYA BISA TERJADI DI AMERIKA

Ketiga, Amerika adalah bangsa yang percaya pada anonymous group untuk mengatasi masalah psikologi. Mulai dari hiu vegetarian di Finding Nemo sampai superhero di film ini harus ikutan kelompok yang menyebut-nyebut kelemahan diri sendiri supaya bisa mengatasi masalah. Padahal, seperti sindiran sinis Chuck Palahniuk dalam Fight Club, anonymous group malah bikin ketagihan ketimbang jadi pengobat. Tak apa, mungkin di Amerika, orang lebih percaya pencapaian artifisial yang diomongomong ke orang lain ketimbang perubahan jiwa yang tenang dan lebih mendalam. Keempat, Amerika—seperti kata Umberto Eco—adalah kampung halaman superhero. Superman yang merupakan migran trans-planet saja memilih untuk hidup dan membangun keluarga di Amerika. Cerita tentang superhero pemabuk, pengangguran, dan serampangan hanya bisa diterima dalam masyarakat yang memang sangat akrab dengan cerita superhero berperilaku pramuka macam Superman, atau yang percaya bahwa “with great power comes great responsibility” macam Spider-Man. Penyimpangan terhadap nilai standar para superhero tentu hanya bisa dilakukan apabila nilai standar itu diterima. Tak heran kalau kritikus ulung Roger Ebert lumayan suka film ini karena ia selalu dihantui pertanyaan tentang aksi gagahgagahan seorang superhero: bagaimana dengan kerusakan yang mereka sebabkan? Sepadankah dengan jasa mereka? Siapa yang harus menanggung ganti rugi gedung yang runtuh atau jembatan yang patah akibat terjangan makhluk-makhluk superkuat itu? Pertanyaan Ebert seperti terjawab oleh Hancock, dan senanglah ia. Amerika memang kesengsem dengan realisme, kata Umberto Eco ketika menjelaskan soal hologram. Maka dongengdongeng modern mereka pun perlu dibenturkan dengan kenyataan sehari-hari. Hasilnya tentu semacam logika mismatch yang sudah didahului oleh The Incredibles (superhero menghadapi krisis usia paruh baya), Spider-Man 2 (superhero di

199

200

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

masa puber) dan  Spider-Man 3  (superhero yang tak pandai memilih model rambut). Padahal cerita Hancock ini tak seberapa ketimbang Top Ten atau Watchmen-nya Allan Moore, atau serial Astro City-nya Kurt Busiek. Kalau saja Ebert membaca komik-komik itu tentu ia akan segera tahu bahwa realisme di Hancock hanya bumbu-bumbu penyedap tak sehat saja buat cerita. Karena dari bumbu ini, sutradara Peter Berg seperti tak bisa menentukan apakah ia akan melucu atau mau membuat perenungan tentang kesepian sejati dan kemanusiaan? Maka bertahanlah pada aksi yang keren dan ber-attitude cool, attitude yang tak akan lapuk dimakan jaman dan sudah jadi suasana hati publik sejak para jagoan jazz di New Orleans memamerkannya di tahun 1940-an. Soal pahlawan yang pemabukan tak perlu dikuatirkan, toh Hancock tak akan merokok di layar lebar, karena rokok sudah lama tak tampil di layar bioskop Amerika—tak seperti di India.  Alcoholic anonymous  akan menyembuhkannya, dan ia masih punya konsultan PR yang akan jadi pahlawan pribadinya—tipikal Jerry Maguire. Hancock masih tokoh pahlawan ideal Amerika seperti Rudy Guillani yang menyapa “good job!” sambil menepuk punggung para petugas pemadam kebakaran, sesudah mereka bekerja keras membersihkan reruntuhan gedung menara kembar. Ia bukan Michael Moore dalam Sicko yang mendadarkan kenyataan bahwa para pahlawan 11 September itu membayar harga obat gila-gilaan. Dan masih ada Charlize Theron di film itu, yang sepadan untuk dipasangkan dengan Will Smith sebagai pasangan dewa-dewi (kita tahu ia tentu tak akan dipasangan dengan Jason Bateman yang lebih cocok jadi penonton di dunia nyata). Ini memang film 4 Juli yang tak jauh beda dari film-film 4 Juli belakangan—selalu ada Will Smith di situ. Sejak Independence Day, Will Smith (bukan lagi Tom Cruise atau Tom Hanks atau Bruce Willis) sudah jadi jaminan buat bisnis yang bagus setiap

CERITA YANG HANYA BISA TERJADI DI AMERIKA

liburan perayaan kemerdekaan mereka. Ini film kelimanya yang dirilis tanggal 4 Juli. Maka pendapatan kotor 107,3 juta dolar opening weekend menandakan bahwa kepahlawanan Amerika sudah pelan-pelan tak lagi terlalu awas terhadap warna kulit. Apalagi sekarang ada Obama. Maka seperti Titanic, tiba-tiba film ini membangkitkan sesuatu di luar soal-soal film dalam diri saya ketika menontonnya. Saya tetap bisa menikmati setiap aksi dalam film ini. Tapi menerima begitu saja cara bercerita dan segala asumsi-asumsi di dalamnya, kayaknya nanti dulu ya..

— Hancock Sutradara: Peter Berg / Produser: Akiva Goldman, James Lassiter, Michael Mann, Will Smith / Pemain: Will Smith, Charlize Teron, Jason Bateman / US, 2008 / 92 menit.

201

Hikmat Darmawan

Wanted

Bullets and A Woman

T

his movie rest itself heavily on Angelina Jolie’s lips. Well, Angelina Jolie herself rest heavily on her lips. Being an, er, aficionados of Jolie—the whole package, mind you—I don’t mind. I understand. I understand why the cameras in Wanted wanted to make love to her presence every time they had a chance. I understand why the whole movie wanted to immersed itself in the moment when Jolie gave McAvoy a wet one. I even understand why Jolie’s character must do what she did in the end of this movie: the movie wanted to immortalize her, much like the way of Marilyn Monroe was immortalize—albeit with considerably more spectacular bang. What I don’t understand is this: why screw a good screw? The publications and credit titles said that this movie based on a comic book miniseries with the same name, created by Mark Millar (writer) and JG Jones (artist). Well, to me, it’s not—except

BULLETS AND A WOMAN

for very few elements, like names, the early plot, and its archetypal bastard-hero: the loser who became an ultimate s.o.b. Oh, and the shooting of the wings of the flies too. Wanted the comics is about a world where superheroes were defeated by, you could say, the united nations of super villains. At one moment, where it showed a drooling and senile someone who looked just like that iconic Superman, this comic feels perversely nostalgic about those days when bright colored costumed hero felt so right. But it’s a Millarworld, where even stories as sacred as The Second Coming of Jesus Christ and our cherished fables fantasy of Disney-like funny comics were defiled. So, the main character in the comics, Wesley Gibson, is living a shitty life in the bottom of post-industrial society, and wham, the secret society of super villains recruits him. Why him? Because, lo, he is the son of the greatest assassin in the world (modeled, believe it or not, after Spiderman) who was murdered after enjoying a night with two male prostitutes. The big man said, “I just like to do this  gay  thing every other year to  whet my appetite for the pleasure of the fairer sex.” I’m not condoning pornographic text. I’m just trying to draw you a picture here. Wanted  the comics have no positive moral whatsoever. Excessive violence, excessive sex, mindless anarchism, is the only true god in this universe. Asked how is his feeling after his first kill, Wesley answered, “Like I just fed Marilyn Monroe without a condom.” He then started out his new career as an assassin with shooting random people in the street. His code of honor? To say “fk you” to everything that hinted a sense of values. I don’t like the comics very much, but I granted the comics had given me a good and fun catharsis. Wanted the movie wants to make some moral ground. “Kill one and, maybe, we save thousands,” said Jolie/Fox. I nearly laugh hard if it wasn’t for Jolie irresistible lips. It’s a very shaky ground. But director Timur Bekmambetov got to do his thing: the

203

204

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

shooters who—borrowing a critic’s phrase—“couldn’t shoot straight …on purpose”; sharp shooting from a moving train; sharp shooting from an insanely flying car; rewinds of miles away a traveling bullet trough, among other things, a doughnut. The bullet rewinds is a strong challenge in coolness competition to “bullet times” innovation from Wachowsky brothers (who bombed in this summer’s Speed Racer) for summer-action movies aesthetic. Timur is a creature of post-Matrix Hollywood. He shook Russian movie industry with his relatively low-budget but ultracool flicks: Night Watch and Day Watch. With these manically epic-fantasy, Timur was showing his skill in visual acrobats that defying laws of physics. In Timur’s world, gone is the sacred socialrealism that was such an inspiration for Sjumandjaja (Si Mamad, Kerikil-kerikil Tajam), replaced by the hyper-fantastic escapism with its vampires and “chalk of destiny” (literally, in the movies, the chalk is defining or manipulating destiny –good bye Potemkin!). So of course, Timur feels right at home in the world of Wesley Gibson with its “fraternity of assassins” brouhaha. A note about James McAvoy, who previously seduced us in Atonement and played Wesley Gibson with fury. In Atonement, McAvoy showed us a study of restraint. In Wanted, he showed us a study of a transformation from a perennial loser into a fully explosive and no-hold-barred guy. He was the only one in this movie that actually did all the hard work. Well, there was also Konstantin Khabensky. Konstantin was Timur’s main star in Night Watch and Day Watch, and here he played The Exterminator skillfully. But his part was so short. (I couldn’t help sighing and thought about Donnie Yuen in Blade II: a cult-favorite actor that was criminally underused.) The benevolent Morgan Freeman was placed in Wanted as nothing more than a gimmick. He was a credible actor supposed to give

BULLETS AND A WOMAN

the movie its gravity, but the script botched this and Timurs’ camera didn’t have interest in the old man. But what do you expect from Timur? I too was expecting nothing less than over the top mindless spectacular entertainment from Timur Bekmambetov. With Pang Brothers (Bangkok Dangerous), Timur is the next wave of the gang of CGI-oriented directors who couldn’t tell a story straight. We might as well call them “The Cult of George Lucas”. In Star Wars franchise, all the human characters are archetypal in the blandest way –what an irony that the only humane portrait in Star Wars franchise is the relationship between C3PO and R2D2, the androids. In Wanted, the only humane thing is Timur’s (and mine) fascination with Angelina Jolie’s lips. Oh, and do you notice the eyes too?

— Wanted Sutradara: Timur Bekmambetov / Basis cerita: Wanted, komik miniseri karya Mark Millar dan JG. Jones / Pemain: James McAvoy, Morgan Freeman, Angelina Jolie / US, 2008 / 110 menit.

205

Eric Sasono

Ploy

Maka Pada Suatu Pagi Hari…. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya: kenapa? — Sapardi Djoko Damono, Maka Pada Suatu Pagi Hari

P

ukul 5.30 pagi, Wit tiba di Bangkok. Penerbangan 22 jam dari Amerika melelahkannya, tapi ia butuh rokok. Di bar hotel dini hari itu tak banyak orang. Selain Wit dan bartender, ada seorang perempuan muda berambut kribo bercanda mesra dengan seorang lelaki di sebuah sudut. Wit merokok tenangsendirian; sampai kemudian sang perempuan menghampiri. Nama perempuan itu Ploy. Ia menunggu ibunya yang akan datang dari Stockholm untuk menjemputnya jam 10 pagi. Ploy meminta rokok kepada Wit , selanjutnya mereka berbincang akrab. Ploy memperdengarkan Wit musik dari i-Pod-nya. Musik yang tak dikenal oleh Wit. Masih ada waktu 4 jam sampai ibu Ploy datang, dan Wit mengajak Ploy ke kamarnya. “Kamu bisa menyegarkan diri dan ada waktu buat tidur sejenak,” kata Wit. Lalu Ploy mengambil tasnya. “Ajak pacarmu,” kata Wit menunjuk ke lelaki muda tadi

MAKA PADA SUATU PAGI HARI….

yang kini sudah tertidur dengan kepala tergolek di meja. “Kenapa kaupikir ia pacarku?” jawab Ploy. Dan mereka pun berjalan berdua ke kamar Wit. Di dalam kamar, Daeng, istri Wit sedang resah. Ia curiga pada suaminya setelah menemukan selembar kertas lusuh bertuliskan nama seorang perempuan dan nomer telepon di saku jas sang suami. Maka kedatangan Ploy ke kamar mereka sama sekali bukan saat yang tepat. Belum pukul 6 pagi begini dan sang suami kembali sambil membawa perempuan muda dan langsing? Daeng tak bisa mengerti. Ia ingin protes, tapi Ploy sudah di situ. Daeng memaksa Wit untuk mengusir Ploy , tapi Wit tak mau. Ia malah lekas berbaring di tempat tidurnya sementara Ploy masuk kamar mandi untuk menyegarkan diri. Daeng bagai cacing kepanasan. Bagaimana dengan kecurigaan, kekuatiran, ketidaknyamanan, dan segala perasaan negatif Daeng lainnya terhadap Wit? Ia sedang butuh jawaban dari suaminya, ketika tiba-tiba suaminya membuat perasaannya berada di luar bingkai, padahal ia tetap harus menjadi bagian dari gambar yang ada di dalam bingkai itu. Ploy  karya Pan-Ek Rattanaruang menampilkan sebuah drama dengan latar panjang. Ia berhasil menggambarkan bahwa every relationship is unique pada sebuah situasi di pagi hari yang singkat. Peristiwa dalam film ini memang berlangsung singkat, tapi kita tahu bahwa fragmen—sekecil apapun—lahir dari rangkaian sebab akibat yang terakumulasi dan punya sejarah panjang. Dan Pan Ek seperti punya waktu segudang untuk berasik-asik dengan situasi itu. Inilah sebuah pilihan estetik yang meletakkan sebab akibat di luar layar. Fragmen sebuah situasi diungkapkan secara mendetail, bukan pada sebab akibatnya. Motivasi karakter jadi semacam latar belakang yang kemudian menjelaskan dorongan impuls bagi tindakan-tindakan atau bahkan khayalan tokoh dalam fragmen situasi itu. Seperti sajak Sapardi Djoko Damono

207

208

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

yang judulnya menjadi judul resensi ini dan saya kutipkan di atas. Kenapa “ia” dalam sajak Sapardi itu ingin menangis sambil berjalan tunduk dan seterusnya di pagi hari itu? Kita tak tahu, dan bukan itu perhatian utama Sapardi. Setiap fragmen situasi yang dihadapi manusia punya latar belakang dan tak semua kita punya kesempatan mengetahuinya dengan baik. Fragmen situasi tetap merupakan fragmen situasi: tak lengkap dan terasa menyimpan hal-hal yang tak terjelaskan. Namun Pan-Ek merusak sendiri fragmen situasi itu. Ia memberi sebuah penjelasan dalam dialog yang mungkin unik, tapi membingkai cerita ini jadi sempit. Pan-Ek berspekulasi bahwa pernikahan punya expiry date, dan jangan-jangan hal itu sedang terjadi pada pasangan Wit dan Daeng. Padahal kita sudah diberi bahan spekulasi tentang motif Wit mengundang Ploy ke kamar sementara istrinya sedang berada di sana. Apakah Wit sedang mencoba main gila dan melihat seorang Lolita pada Ploy, ataukah ia memang seorang paman baik hati semata? Apa sesungguhnya yang ia pikirkan tentang istrinya ketika mengajak Ploy ke kamar? Dan Ploy? Ia adalah generasi i-Pod Thailand yang tak takut masuk ke dalam kamar seorang yang baru dikenalnya kurang dari satu jam. “Ploy” di luar layar adalah gangguan bagi kemapanan berpikir di Thailand karena perempuan muda—kecuali pelacur— tak mungkin mau bertindak seperti Ploy. Dan hubungan antar manusia telah melahirkan sebuah situasi-situasi unik ketika orang-orang mengambil resiko; atau ketika mereka terlambat bertanya “Kenapa saya berada di sini?” Semisal Daeng yang akhirnya memutuskan keluar kamar hotel, dan menerima ajakan seorang asing yang mengenalinya sebagai bekas bintang film terkenal. Daeng yang cantik ini pun ikut tanpa tahu resiko apa yang menunggunya di sana. Celakalah Daeng karena Pan-Ek tidak berbelas kasihan padanya, dan memperlihatkan bahwa sebuah situasi macam ini tidak selalu tanpa resiko semisal pada sajak Sapardi. Daeng menjadi korban

MAKA PADA SUATU PAGI HARI….

dua kali: korban suaminya dan korban Pan-Ek. Bisa jadi kita tak rela. Pertama, menjadikan Daeng sebagai korban adalah sebuah permainan yang agak tak lucu. Pan-Ek sudah membangun simpati kita sepenuhnya pada Daeng dan kekuatirannya—bahkan imajinasi liarnya ketika ia menyorongkan bantal kepada Ploy dengan niatan bukan sebagai alat bantu tidur. Kita tak rela Daeng harus jadi korban, sekalipun ada tebusan baginya. Kedua, sebenarnya kita tak perlu fakta keras dalam sebuah fragmen situasi seperti ini dan mungkin lebih bisa menikmati saat ketika kenyataan dan suasana hati yang tak bisa dibedakan. Seperti ketika Ploy membayangkan petugas pembersih hotel janjian untuk making love dengan bartender di sebuah kamar hotel yang kosong. Adegan kedua orang ini bercinta menjadi irama dan mood yang menganyam situasi yang dihadapi oleh WitDaeng-Ploy. Khayalan dan kenyataan bertumpuk dalam ruang tontonan kita; alangkah nyamannya. Fakta yang disajikan oleh Pan-Ek telah menarik paksa Daeng ke dalam sebuah frame hubungan segitiga yang tiba-tiba tercipta oleh kehadiran Ploy. Seakan Pan-Ek ingin berkata: inilah akibatnya ketika kau menempuh risiko, bahkan sekadar untuk mencari udara segar di luar kamar ketika kau kesal pada suamimu. Perlukah kita dihadapkan pada tragedi macam itu? Ketika kita sedang berhadapan dengan sebuah fragmen situasi yang sumir biasanya kita tak siap, tapi Pan-Ek tampaknya tak peduli. Ini sebuah pernyataan yang tegas dari Pan-Ek, dan marilah kita menerimanya bersama-sama. Tapi, siapa yang bisa menerimanya? Terus terang, saya termasuk yang menarik napas panjang sesudah selesai menonton film ini. — Ploy  Sutradara: Pan-Ek Rattanaruang. / Pemain: Pornwut Sarasin (Wit), Lalita Panyopas (Daeng), Apinya Sakuljaroensuk (Ploy). / Thailand, 2007. /105 menit.

209

Windu Yusuf

Kado Hari Jadi

Ketika Pelaku dan Korban Setara

S

ebaik apapun film horor, mistis atau  slasher, dalam soal karakterisasi ia akan selalu formulaik. Jika itu film tentang arwah penasaran dan mencari korban, pasti si hantu akan mencari korban yang memiliki ciri spesifik yang mirip dengan orang yang dulu membunuh atau memperkosanya—atau memang langsung mencari pelakunya sendiri. Jika film itu tentang sekelompok anak yang nekat memasuki rumah kosong tempat sang hantu bersemayam, pasti mereka akan mati satu-satu dengan cara yang nyeleneh, dan rekaman perjalanan mereka nantinya akan dinikmati oleh kita yang masih hidup di tempat lain. Si korban, atau si anak-anak ingusan petualang itu agaknya tidak pernah bersalah—toh, ini hanya soal kesamaan dan kebetulan saja mereka sedang sial. Andaikata mereka bersalah di masa lalu pun, pembalasan dendam si demit terasa lebih kejam dari yang semestinya. Pendeknya, personifikasi si pembunuh— atau penyiksa—dengan gaun putih yang melayang-layang, wajah

KETIKA PELAKU DAN KORBAN SETARA

dingin, lumuran darah atau gergaji mesin tidak pernah membuat kita, sebagai penonton, simpatik. Saat ia muncul sebagai pembunuh yang haus darah, kita kehilangan kesempatan untuk mengetahui motif mengapa ia membunuh. Terkadang pula, sang korban tidak tahu mengapa ia pantas diburu. Hanya penonton yang tahu, namun sayangnya, si monster tetap tampil impersonal dan melampai manusia sehingga kita tetap bersimpati pada si korban. Tapi tidak ada hantu di Kado Hari Jadi. Balas dendam itu tidak pula dilakukan oleh seorang psikopatik yang aksi pembunuhannya merupakan kompensasi atas cara ia dibesarkan atau atas trauma masa lalu. Memang ada penyiksaan luar biasa yang juga bisa didapat dalam film-film kriminal. Namun, jika penyiksaan di film itu niatnya adalah ancaman belaka atau eksekusi, di film ini cara, dan objek (baca: bagian tubuh) yang disiksa sangat personal, dan setimpal dengan apa yang terjadi pada orang terdekat si pelaku. Seiring film berjalan, masa lalu pun terungkap dan kita semakin berempati dengan para karakternya. Cerita dibuka dengan deskripsi ruang penyiksaan. Seorang laki-laki bernama Yoga (Rifnu Wikana) terduduk di kursi besi. Tangannya terikat di belakang sementara di depan matanya terdapat sebuah pensil tajam dan silet di atas kepalanya. Seluruh proses penyiksaan tersebut terlihat direncanakan dengan matang; rumah kosong, kursi besi berborgol, dinding kayu yang bisa dibor, sampai video yang merekam seluruh proses penyiksaan itu. Hingga kira-kira seperempat film kita masih menebak-nebak apa alasan ia diseret dari kamar kosnya, dan menjadi bulan-bulanan Tika (Kartika Jahja), karakter perempuan haus darah di film ini. Cerita pun beralih pada pesta ulang tahun pernikahan yang pertama. Pesta itu berjalan sampai Adam (Jeffrey Sirie), suami Tika, dan Luki (Yoggie Richard) mengalami kecelakaan dalam perjalanan membeli minuman. Keduanya masing-masing lumpuh dan meninggal, sementara Yoga, si pelaku tabrak lari, kabur. Suatu

211

212

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

ketika Adam yang tiba-tiba bangun dari koma, menuliskan nomor mobil yang menabraknya, dan perburuan pun dimulai. Ketika film dimulai dan berjalan beberapa lama, kesan pertama yang saya dapatkan adalah bahwa Kado adalah film eksploitasi biasa. Ruang penyiksaan, ekspresi korban yang duduk di kursi pesakitan yang disiksa dengan cara yang melampaui nalar, darah dan alat penyiksaan disorot secara detail, dan wajah dingin si penyiksa memberi petunjuk yang mengarah ke sana. Aspek yang paling penting bagi praduga ini adalah bagaimana adeganadegan awal itu membentuk persepsi atas penyiksaan yang seakan-akan tanpa motif. Namun, setelah film berkembang sampai sekian menit, saya kehilangan praduga tersebut. Ruangan itu berubah menjadi ruang yang amat personal dan traumatik; televisi diseret ke situ dan menampilkan rekaman video pesta ulang tahun pertama pernikahan Tika dan Adam. Seketika itu pula, Yoga, si korban, mengetahui alasan di balik seluruh peristiwa ini, dan tangis Tika pun pecah, mengingat apa yang ia lakukan pada Yoga tidak akan bisa membuat suaminya kembali normal. Toh, walaupun tak tampak, Tika agaknya melakukan kompromi dengan Elly yang betul-betul kehilangan Luki: Yoga harus dibuat betul-betul tak berdaya, dibuang ke hutan, dan memutuskan nasibnya (baca: diberi pilihan) sendiri dengan silet yang sudah mereka sediakan. Saat Irma menemukan tempat itu dan hanya mendapati darah yang masih menetes, rasa kehilangannya sama dengan Tika dan Elly. Struktur narasi film ini pun tidak menampilkan peristiwa langsung berdasarkan kausalitas secara telanjang—misalnya melalui skema pesta-kecelakaan-kematian-balas dendam— melainkan lewat plot non-linear di mana urutan peristiwa ditempatkan secara kronologis berdasarkan perkembangan emosi para karakternya. Pada titik ini pula kita bisa membaca motif penyiksaan itu. Kita pun tahu akhirnya bahwa seluruh kekerasan dalam film ini tidak berdasarkan kesenangan psikotis belaka.

KETIKA PELAKU DAN KORBAN SETARA

Departemen kamera film ini bekerja dengan baik. Seluruh gambar dalam ruang pesakitan yang diambil dengan gaya dokumenter memberi kesan riil dan efek tidak nyaman bagi penonton. Pesta ulang tahun pernikahan Tika juga disorot dengan cara yang kurang lebih mirip dengan home video. Begitu pula dengan beberapa pengadeganan yang menceritakan pencarian Irma terhadap Yoga, meskipun dengan kualitas gambar yang lebih halus. Penyejajaran dua peristiwa pertama dalam rangkaian cerita itu berefek ironis karena di situ keriangan pesta berdampingan dengan momentum yang menyedihkan, yaitu kematian. Tatkala Tika menyeret TV yang menampilkan rekaman video pesta tersebut ke hadapan Yoga yang muncul adalah perasaan bersalah yang dalam bagi Yoga. Penyiksaan itu tidak hanya sangat nyata bagi Yoga, tapi juga bagi Tika dan temantemannya. Yoga pun lantas menyadari jika ia akan bernasib sama dengan suami Tika—lumpuh tak berdaya dan sekadar menunggu mati saja—dan Irma, kekasihnya, akan mengalami kehilangan yang serupa dengan Tika. Seluruh urutan gambar dalam film ini bermuara pada satu kesimpulan bahwa kegembiraan hari jadi, penyiksaan, dan kehilangan berdiri sendiri-sendiri tanpa bisa saling menggantikan karena semuanya sama-sama riil. Ketidaknyamanan penonton yang dipicu oleh gaya kamera itu pun serta-merta beralih pada satu hal lain yang (seharusnya) sama riilnya dengan eksploitasi darah dan kekerasan di film horor pada umumnya: kedalaman karakter itu sendiri. Kesan riil dalam film horor bukanlah hal baru. Tantangan bagi horor untuk mengelabui penontonnya sebetulnya sudah dimulai saat penonton tahu bahwa segala macam demit, pembunuhan, penyiksaan, dan kematian adalah semata akalakalan efek gore, permainan canggih kamera, dan teror suara. Tantangan itu dijawab dengan melampaui batas-batas antara film dan kehidupan nyata, misalnya dengan pendekatan dokumenter. Film  snuff, atau film-film seperti  Cannibal Holocaust  (1980)

213

214

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dan  Blair Witch Project  (1999) selalu menempatkan karakter utamanya sebagai dalam posisi diburu, disiksa, dan akhirnya dibunuh dengan kejam, berharap seakan-akan penonton akan mengalami teror yang sama. Namun, pemberian kesan riil itu tidak pernah menyentuh riwayat karakter antagonisnya. Yang direproduksi melalui kesan riil itu adalah imaji mistisnya, kekejamannya, pendek kata, mitos ketidaktersentuhannya. Imaji inilah yang terus diolah sebagai spectacle yang seru dan selalu memberikan kejutan sepanjang film. Sebaliknya, Kado justru mengambil posisi yang sebenarnya sangat tidak aman dengan menghancurkan mitos subjek antagonis itu (atau adakah antagonis yang tetap dalam film ini?), karena ceritanya beresiko menjadi drama tearjerker biasa tentang cinta dan kehilangan. Saat sang penyiksa digambarkan sebagai subjek yang rapuh (misalnya dengan menangis di hadapan korban), sementara pihak yang disiksa menyadari hal itu dan tetap diberi pilihan untuk menghabisi dirinya sendiri, film ini berhasil membawa penonton pada kesakitan dan (potensi) kehilangan yang ditanggung oleh para karakternya. Kekerasan terhadap tubuh, pada akhirnya hanya menjadi katarsis bagi diri mereka sendiri, termasuk Yoga, sejak kekerasan itu adalah hal yang paling logis untuk melepaskan penderitaan, walaupun tidak akan pernah menggantikan kehilangan. Yoga pun memilih mati karena sudah sangat tak berdaya, namun jika seandainya pun ia bisa keluar dari pembuangannya di hutan, sepertinya ia tidak mau membuat Irma menanggung penderitaan seperti Tika, dengan kembali sebagai orang lumpuh dan cacat. Walaupun dengan resiko yang telah saya sebut seperti di atas, pemahaman mendalam antar karakter inilah yang dimunculkan oleh  Kado  dan sayangnya tidak ada (atau dikorbankan demi spectacle?) dalam film horor lainnya, termasuk horor Indonesia. Dikotomi pelaku-korban pun semakin kabur.

KETIKA PELAKU DAN KORBAN SETARA

Dengan akhir yang dramatis seperti itu,  Kado  ingin mengajak penontonnya berempati dengan karakter-karakter di dalamnya, terutama para karakter perempuannya. Seluruh peristiwa di dalamnya digerakkan oleh insting manusia normal ketika berhadapan dengan kehilangan orang terdekat, jika bukan insting yang destruktif dan nihilistik. Ketika penyiksaan itu usai, dendam dan kesakitan itu mungkin masih ada di sana, bersama kehilangan itu. Pesta ulang tahun pernikahan, kematian orang terdekat, dan penyiksaan dan darah yang bermuncratan di sanasini menjadi metafor bagi kehilangan tapi tak bisa menebus kehilangan itu sendiri.

— Kado Hari Jadi Sutradara: Paul Agusta / Naskah: Dalih Sembiring / Pemain: Kartika Jahja, Rifnu Wikana, Jeffrey Sirie, Hukla Turangan / Indonesia, 2007.

215

Eric Sasono

Tribu

Bukan Rumah Kaca

E

bet umurnya mungkin kurang dari 10 tahun. Siang itu, ia menunggu di luar pintu, sementara mamanya berada di dalam rumah-satu-kamarnya. Seorang lakilaki bersama mamanya, dan pasangan itu bersenggama dengan berisik. Sang lelaki memaki-maki dan mengata-ngatai Mama Ebet, sementara penisnya sibuk bekerja. Ia cemburu karena Mama Ebet tidur dengan lelaki lain. Tentu saja Mama Ebet yang pelacur itu mengatai balik si lelaki. Ebet mendengar semua kata-kata kotor itu dari luar. Selamat datang di kultur kekerasan dan seks yang bercampur jadi satu di kawasan Tondo, Manila, Filipina. Kemiskinan dan – kemudian akan kita lihat – akses terhadap senjata adalah paduan yang kita bisa duga kemana arahnya. Juga tak sulit menduga langkah macam apa yang akan diambil anak macam Ebet.

BUKAN RUMAH KACA

Di kampung itu ada banyak geng bersenjata. Anggotanya muda-muda, tak terlalu jauh beda usia dengan Ebet. Thugz Angels adalah yang terdekat, dan Ebet melamar masuk ke sana . Tak mudah memang, tapi bukan tak bisa. Rangkaian pemukulan adalah inisiasi yang wajar buat calon anggota lelaki. Buat calon anggota perempuan ada pilihan: jalan yang menyakitkan atau “ menyenangkan”. Jalan “ menyenangkan” itu nyaris selalu berarti kehilangan keperawanan. Dan di tempat dimana kekerasan dipuja dan dijadikan tiket masuk untuk capaian identitas komunal seperti itu, maka takdir Ebet seperti sudah terbaca sejak semula. Namun sutradara Jim Librian tak ingin membuat prosesnya mudah terduga. Dalam tradisi serupa dengan  Goodfellas dan City of God , film Filipina Tribu mengenalkan kehidupan sehari-hari tokoh-tokohnya dalam menjalani dan memasuki kultur kekerasan itu. Dan kita pun terkejut, karena para tokoh itu hidup dalam paradoks. Di satu sisi, mereka adalah anak baik hati yang bersedia repot mengambilkan air untuk orangtuanya. Mereka bergurau dan menggoda orang mereka tua dengan sok berbahasa Inggris (“hi lovers” atau “merry Christmas in this summer!”) seakan mereka para social climber di pembukaanWar and Peace Leo Tolstoy yang sok berbahasa Perancis untuk menegaskan status sosial mereka. Tapi kita tahu ini sebuah candaan untuk menegaskan anak-anak muda gemar kekerasan itu cuma manusia biasa; sebagaimana tetangga kita atau malah kita sendiri. Di sisi lain dari paradoks itu, mereka sedang bersiap perang malam untuk sebuah balas dendam. Senjata dikumpulkan dan lagu-lagu rap yang bercerita tentang acara memenggal kepala dinyanyikan bagai tarian perang. Jim Librian dengan menakjubkan membuat kultur itu begitu dekat, bahkan intim. Lalu perang berdarah-darah itu pun terjadi dan kita tak siap dengan apa yang kita lihat. Lupakan  beautificaion  of violence atau kekerasaan yang diindah-indahkan, karena kekerasan

217

218

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

sesungguhnya tidak indah dan nyata. Dengan kamera bergoyanggoyang bagai video amatir, dan komposisi yang serba dadakan, kita merasa sedang mengikuti tokoh-tokoh nyata yang sudah kita kenal baik sepanjang siang tadi. Jika mereka di siang tadi tertawatawa bergurau dan menggoda tetangga mereka yang cantik, sekarang mereka membawa parang siap menyembelih lawan. Kekerasan jadi nyata, sangat nyata, justru tidak dengan pendekatan carnal. Kekerasan memang berurusan dengan tubuh tapi film tidak harus selalu memperlihatkan hal itu dengan bergaya. Film adalah imaji dan Librian tahu betul bagaimana cara membangun imaji itu. Ia biarkan para tokohnya menjalani kehidupan mereka. Ia biarkan lingkungan mereka hidup sebagaimana adanya. Lihat adegan tukang listrik yang diomeli serombongan ibu berdaster akibat penagihan yang kacau. Semua ini membuat manusia-manusia di Tribu dan di kampung Tondo jauh dari kesan palsu. Sesudah kesan palsu itu hilang sama sekali, maka barulah Librian membiarkan kekerasan itu muncul. Dengan teknik semacam ini,  Tribu  sudah membuat City of God  yang diagulkan banyak orang bagai audisi American Idol. Inilah sebuah filmmaking yang tak sekadar bersaksi, tapi terlibat. Librian mengajak penduduk asli di kawasan Tondo untuk bermain dan para pemain amatir itu berakting luar biasa memerankan diri mereka sendiri. Syuting juga dilakukan di jalanjalan di tempat peristiwa terjadi. Dengan begitu, kenyataan didekati dengan bersahaja, dan ini membuat istilah neo-realisme untuk melabel Tribu terasa seperti taksonomi palsu yang hanya berlaku buat orang-orang yang kelewat kesengsem pada teori. Karena hidup anak seperti Ebet dan tokoh-tokoh dalam Tribu adalah hidup yang nyata di tengah kemiskinan dan kekerasan. Hidup mereka terdefinisikan oleh itu, dan Jim Librian membuat film tentang mereka sebagai kesaksian terlibat, yang bukan sekadar sebuah kunjungan sambil lalu, dan segera pergi seakan-akan mereka adalah obyek dalam rumah kaca. Maka tak

BUKAN RUMAH KACA

mengherankan jika film ini berakhir dengan kepedihan. Bukan karena air mata, tapi karena nasib memang selalu punya jalan yang kejam dan begitu nyata. Maka kekerasan di Tribu bisa jadi terlalu berat buat sebagian penonton yang tak siap melihat kenyataan.

— Tribu Sutradara: Jim Librian / Pemain: Havy Bagatsing, Karl Eigger, Honey Concepcion, Mhalouh Crisologo, Gilbert Lozano / Filipina, 2007.

219

Ifan Adriansyah Ismail

Laskar Pelangi

A Hesitant Warrior Among “Laskar Pelangi”

I

n Indonesian media aware middle-class, if you don’t know what Laskar Pelangi is, then you must have came from an uncool planet far far away. It’s okay. Then, for you who came from another planet (although from another country would suffice for you to not know), I will tell the overview.

It All Began in Belitong The story deals with a group of 10 poor children who attended a dying private school, Muhammadiyah Elementary School, at the island of Belitong, east south of Sumatra. In fact those ten were the only student the school had. It is The ironic y is that the povertystricken island is actually rich in tin, clay, and silica sands . b But the natives rarely benefited from it, since all the resources were exploited by the giant state-run tin mining company, PT Timah.

A HESITANT WARRIOR AMONG “LASKAR PELANGI”

Not only that, the company also segregated the community by creating fenced housing, unequal opportunities and criminalizing the local miners. But among these hardships, in a tradition akin to Majid Majidi’s Children of Heaven (1997), those children refused to surrender. They chose to see life as a great opportunity to explore, no matter what. Accompanied by their idealist teachers, Mrs. Muslimah (Cut Mini) and the principal Mr. Harfan (Ikranagara), they had to go through life with its bitterness, but without hate or prejudice. And with a deep sense of hope and perception on beauty, they called themselves ‘ L laskar P pelangi’ (literally. R rainbow W warriors).

Riri Riza’s Creative Choices Sounds motivational? Well, it should be. The film was adapted from a the same-titled book of the same name with, penned by probably the most spirited writer in Indonesia in this time, Andrea Hirata. The book  Laskar Pelangi  is actually a somewhatfictionalized-and-dramatized autobiography of its author (His alter ego, the boy named Ikal, is one of those children). I put the word “somewhat” because the story’s structure and style is quite odd. Maybe it is because Andrea is so highly spirited, that he chose not to meddle himself with literary theory. And that’s why this book, while brimmed with positive aura, has so many anomaly and inconsistencies. It was filled with illogical dialogues and misplaced metaphors, not to mention his hyperbolic hyperboles. Believing a boy so genius that he could explain principles of optical phenomenon, Newton’s rings and Descartes in his preteen age is hard enough, let alone believing an elementary student contest would pose problem about that! Despite the flaws, Indonesians love the book, for it has brought them a story so allegedly enlivening, so praised and so popular

221

222

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

that it has been reprinted more than 20 times. Only a matter of time before a film adaptation takes place. And this is where Riri Riza stepped in. In adapting process, Riri Riza seemed to be aware exactly where the strength and the flaws lie in the book. For capturing the Belitong-ness effectively, he shot the film on location, and casts natives Belitong kids as the warriors. Books with so many different characters were always a monster for adaptation process, and Riri Riza successfully dodging the trap. He chose to focus his story on 3 boys only: the perceptive Ikal, the genius Lintang and the eccentric-artistry Mahar. He also put more light upon the teacher character, Mrs. Muslimah, to bring up her truthfulness and dedication, and also created new characters not found in the book. Riza’s creative choices proved to be successful. The story is watered down, but lacking the book’s flaws, retained its beautiful spirit, and the amateur kid-actors were amazingly natural and talented. Since Petualangan Sherina (Sherina’s Adventure, 2000) and Untuk Rena (For Rena, 2005), Riri Riza has been known to be excellent at directing children. In general, he managed to retained Laskar Pelangi’s positive aura, and in the same time, repressed its flaws. Unfortunately, Riri he cannot avoid his own flaws. What flaws? We will come back at that. It felt inappropriate to discuss flaws while highlighting its positive aspects. After all, it’s a story with a strong inspirational tone, right?

A Story Oprah Would Love But it’s a story a Marxist would hate. Why is that? Because in  Laskar Pelangi, poverty is basically portrayed as a mere nostalgic moment. Andrea Hirata, a.k.a Ikal is already a successful social climber, who can see his hardship-ridden childhood days as good old days gone past. I can’t say the same for the rest of the

A HESITANT WARRIOR AMONG “LASKAR PELANGI”

warriors, especially Lintang, whose cleverness could not get him out of poverty circle. Once again, my memory flew back to  Children of Heaven. Yes, they both put a Zen-like look at poverty, and yes, they did not resent to anger and suffering about it. And yes, both are using amateur children as the star. But there’s a difference: Children of Heaven avoid romanticize the poverty, unlike the case with Laskar Pelangi. Casting amateur talents sometimes is believed to be able to bring a sense of realism and authentic-ness, but by romanticizing, it could not help. Because romanticizing anything has a danger putting the audience in some distance. Instead of an involved filmmaking, this method is known for creating the notorious effect of a house of glass. It’s like observing another world from a safe distance. Hence, the audience cannot actually feel true empathy other than just feeling sorry. Riri Riza had been guilty of making a film with a house of glass attitude in 3 Hari Untuk Selamanya (3 Days to Forever, 2007). True, in Laskar Pelangi, the attitude has improved a little, if not to say ‘not at all’. And then there’s another distancing aspect: the humor. While Children of Heaven portrayed poverty as is, humbly living side by side with the rich, sometimes the situation evolved into small comedic moments, but we cannot laugh without any feeling of uneasiness. You must feel guilty for laughing at them. On the other hand, Laskar Pelangi consciously adds the humor parts and stripped down any uneasiness. Instead, it separated humor and tragedy in a stark contrast: on some scenes the children were seen doing funny things, and on another time, the film was tear-jerking the audience by killing one of its main casts. It felt like an old mixture reminiscence of any old melodrama. Humor has always been used as magic-pills in Indonesian films. Add some humor, and your film may be saved from boxoffice nightmare. Allegedly, Riri Riza was using humor like some magic potion too here. Sure, it attracted millions of viewers and

223

224

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

sparked some warm laughter among families. But humor is a double-edge knife. As amusing as it can be, it can also be an alienating effect. How can it be so? Take a glance on history. Indonesians, especially Javanese, are used to revert to humor when facing hardships. Since the ancient times, the lower class had genially created humor out of their sorrow in folks’ show such as ludruk or dagelan Mataram (Mataram i an gags). But their exposure upon the upper class with the coming of media boom in the 20th century had caused an unanticipated effect: the upper class actually liked it. But one can question whether they actually laugh with them or at them. Let’s not forget that those “millions of viewers” and “families” are mainly urban middle and upper-class. The contemporary social gap is still so wide that its urban middle and upper class are—so to speak—alienated from the reality of their society and the younger they are, more severe the alienation is . The contemporary social gap is still so wide that its urban middle and upper class are—so to speak—alienated from the reality of their society. And it is more severe in its youth. For them, the story of poor boys from a far away island, even though is part of their country, echoed like a fairy tale. By putting those Belitong kids’ hardships in a context of humor, the already alienated audiences are in danger of being mislead to view them as a distant other. For the urban youth, scenes where Lintang is forced to wait for a crocodile to cross before passing the rugged road may seem funny, but one has to wonder whether there’s an honest empathy somewhere in there. The nostalgic struggle could lost its meaning when exposed carelessly to the audience already comforted by gadgets, air-conditioned rooms, malls, virtual hot spots and Starbucks. There is a danger that this supposedly inspiring story then be disregarded upon as just another tale in the movies. Of course, I’m not saying that Laskar Pelangi then would have to bear

A HESITANT WARRIOR AMONG “LASKAR PELANGI”

an unrealistic burden to soften the already stiff hearts, but their take on humor—this double-edged knife—could have been handled more carefully. Especially among our urban-saturated folks. Nevertheless, the humor aspect served its main purpose: to grab the audience. And Riri Riza has succeeded in that. He made a film about a lot of things: poverty, struggling, dreams, voice of the marginalized, wisdom of life, social injustice, love, idealism, tragedy, flawed system…, wait. Wait. Is it that many? People said that a great works of art could hold a lot of meaning. But a work that is so indecisive could also hold a lot of meaning solely because it wants to say many things in a cluttered fashion. Which one of this does Laskar Pelangi belongs to?

Riri Riza’s Creative Doubt-ness Riri Riza may have his creative choices. He may choose to put more highlight upon social injustices in Belitong, in a dosage more than those in the book. In the opening sequence, he injected a historical context on why such injustices happened. But, like so many other sub-themes in Laskar Pelangi, it’s just that. There were so many pieces of stories, failed to form a sense of coherence. One can defend this style as a mosaic-like work, where the theme don’t have to tell the narrative linearly, but as a stream of pieces. But how can you defend the story about a missing rich girl, found, inexplicably attracted to Mahar, and then no more we hear from them? Maybe the rich girl was too interesting to be left out, initially. How can you defend a piece about the boys’ adventure to a remote island to meet a shaman, without any significant link to the whole story? Maybe he felt the boys’ absurd journey was too interesting to be left out, too. Even the most serious theme, its

225

226

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

socio-political undertone, fell short. Maybe the director didn’t want to include too much to avoid the film become too political. Or maybe he was just plainly indecisive. With this too many ‘maybes’, one has to wonder where Riri Riza actually headed. He could play with one sub-theme more, but then he left it. Then there’s another potential sub-theme, he took a piece of it, and then left it. The trace of his indecisiveness, sadly, is scattered around the film, and hurting the whole narrative.

Resurrecting an Old Tradition But thankfully, just like the book, the positive messages were overshadowing its flaws in an entertaining way. Once again, we saw a phenomenon that has been lost for decades: whole families flocked to theaters, hopefully returning Indonesian cinema back into its heyday. There was a time where Indonesians routinely watching film, collectively with the whole family in Lebaran Holidays (Eid-al-Fitr Days), akin to westerners watching Christmas movies. In those times, the movies screened consisted only with comedies, especially from Warkop group, sometimes purposely released at Lebaran times. Untuk Rena was Riri Riza’s experiment with creating a film specially released at Lebaran. It was a decent, small-budget movie with no pretension for a box office. But this time, with  Laskar Pelangi  he hit it big, and succeeded in resurrecting an old tradition among Indonesian cine-philes. Riri Riza’s geniality in directing and marketing overshadowed his hesitation concerning stories, and that alone would suffice to forgive and congratulate him. With this achievement, hopefully Indonesian mainstream cinema will retain its energy and spirit. There’s a light at the end of the tunnel, and think positive. Besides, that’s what Laskar Pelangi had taught us.

A HESITANT WARRIOR AMONG “LASKAR PELANGI”

A Skeptical Rant as a Post-Scriptum: And, the last problem lies with me. Once again I forgave a film’s so many flaws only because there’s no other film like it. When the industry is blooming and the competition becomes fierce, and quality is harshly measured, these flaws will be unforgivable. I only pray that in the future, Indonesian cinema landscape would flourish and we don’t have to make unnecessary apologies. Seeing that  Laskar Pelangi  may have launched the industry into its blooming state, I forgive it even more. Oh, my.

— Laskar Pelangi Sutradara: Riri Riza / Produser: Mira Lesmana / Skenario: Salman Aristo, Riri Riza, Mira Lesmana / Pemain: Cut Mini, Ikranegara, Slamet Rahardjo Djarot, Mathias Muccus / Musik: Aksan dan Titi Sjuman / Distribusi: Mirles Films, Mizan Production, SinemArt / 125 menit.

227

Hikmat Darmawan

Laskar Pelangi

Fiksi dan Alkemi

1. Pengarang tak mati-mati?

S

eusai menonton Laskar Pelangi khusus untuk produser dan beberapa wartawan, Yos Rizal dari Tempo bertanya pada Riri Riza, “Kenapa di film, tokoh Pak Harfan dimatikan? Di bukunya, kan tak jelas, ya, dia mati atau apa.” Riri menjawab, “Supaya ada dramatic point. Soalnya, kalau tidak begitu, kurang dramatis.” Pada saat itulah, saya menyadari satu hal: film ini mengembalikan status fiksi cerita Laskar Pelangi. Novelnya, kita tahu, laris manis. Menurut pengakuan Putut Widjanarko di TV-One pada Lebaran lalu, bukunya telah mencapai 700 ribu eksemplar. Kalau dibandingkan dengan angka rata-rata penjualan buku kita yang paling di kisaran 2.000-3.000 eksemplar, tentu saja ini luar biasa. Orang boleh menunjuk promosi dan upaya pemasaran yang gencar menyumbang kelarisan itu, di samping tentu unsur isi. Nah, dalam berbagai kegiatan promosi itu, sang pengarang, Andrea Hirata, sungguh menonjol ke hadapan publik. Kehadiran

FIKSI DAN ALKEMI

Andrea ini punya efek yang jarang disadari: status fiksi novel ini menjadi kabur. Tokoh utama dalam novel ini adalah Ikal, Lintang, dan Mahar. Dan dalam berbagai event, jelas belaka bahwa Ikal = Andrea. Sang pengarang sendiri, selalu mengaburkan status fiksi novelnya itu dengan mengakui banyak hal dalam novel itu sebagai pengalaman nyatanya waktu kecil. Apalagi kemudian muncul sosok Ibu Muslimah di televisi dan berbagai mimbar. Segala tanggapan dan pujian muncul. Ibu Mus telah menerapkan prinsip multiple intelligence lah. Ibu Mus adalah lambang semangat pendidikan Muhammadiyah lah. Bagus-bagus sih, semua. Tapi, sebagai novel, kita semakin ragu apakah Laskar Pelangi adalah benar “novel” (yang, dalam makna generik, berarti sebuah prosa fiksi yang panjang). Lantas, apakah Laskar Pelangi adalah memoar? Ini pun tak mudah. Andrea jelas menerapkan banyak jurus melebih-lebihkan. Ia pun tidak mengikuti kaidah-kaidah penulisan memoar secara ketat, dalam arti ada juga ia memanfaatkan hak prerogatif penulis fiksi dalam  Layar Pelangi. Penerbit dan berbagai lembaga perbukuan, seperti rubrik resensi di koran atau majalah, juga tetap mengategorikan Laskar Pelangi ini sebagai “novel” dan “fiksi”. Nyatanya, Andrea sendiri tak keberatan banyak perubahan dilakukan, diada-adakan, terhadap  Laskar Pelangi  untuk kepentingan filmnya. Di samping “mematikan” Pak Harfan, perubahan itu juga mencakup adanya tokoh-tokoh baru yang tak ada di buku, yakni tokoh Pak Bakri (Rifnu Wikana), Pak Zulkarnaen (Slamet Rahardjo), dan Pak Mahmud (Tora Sudiro). Termasuk, yang paling gamblang, pilihan pemeran Ikal dewasa pada Lukman Sardi. Seorang penonton mengeluh di TV-One, betapa filmnya “di bawah ekspektasinya”. Kenapa? Terutama karena melihat Ikal kok dimainkan Lukman Sardi. “Barangkali karena saya sudah mengenal Andrea sih, ya….” Maka, demikianlah, status fiksi Laskar Pelangi dikembalikan dengan gigih dan kukuh oleh filmnya. Demikian pula tampak

229

230

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

betapa para pembaca bukunya kesulitan untuk menerima status fiksi yang dikuatkan Riri dan Salman Aristo (penulis skenario) plus Mira Lesmana (produser).

2. Semacam alkemi, dan keberuntungan Riri Mengapa saya “kurang  kerjaan” menyoal status fiksi  Laskar Pelangi? Karena bukunya memesona banyak orang justru karena kehadiran yang bukan-fiksi dalam pergerakan buku ini. Andrea yang ramah, yang bisa bicara memikat, yang menjadi model poster sebuah kisah sukses (anak kampung di pelosok Indonesia yang berhasil kuliah di Prancis!). Semakin sukses penjualan buku ini, semakin memesona sosok sukses Andrea. Semakin memesona sosok sukses Andrea, semakin memesona lah bukunya. Kehadiran sang pengarang sebagai sosok sukses ini menjadi esensial bagi kesuksesan buku ini. Status fiksional yang kabur dari Laskar Pelangi jadi esensial bagi sesuatu yang sangat penting dalam buku ini: harapan. Buku ini, lebih dari apa pun, adalah cerita tentang sebuah semangat untuk tak menyerah. Tak menyerah dalam kekalahan, dalam menghadapi kemiskinan akut. Penting bagi pelestarian semangat ini, setidaknya kalau dilihat dari respon kebanyakan pembaca, bahwa keberhasilan Ikal  bukanlah  fiksi. Dengan demikian, harapan menjadi lebih kuat. Namun, buku ini tiba di tangan Riri Riza dan Mira Lesmana. Dynamic Duo generasi pembuat film Indonesia pascaReformasi ini punya ciri atau sifat khas: selalu mencemaskan realisme. Kita tunda dulu perdebatan tentang apa itu “realisme” dalam film. Kita fokus dulu pada sebuah keberuntungan ini: Riri Riza cenderung bermenung dalam film-filmnya, menghindari ledakan-ledakan, dan suka pada yang personal—dan ia kepincut novel Andrea.

FIKSI DAN ALKEMI

Ini adalah sebuah keberuntungan, karena pertemuan Riri (dan Mira) yang serba-menahan diri dan Andrea yang gemar berbahasa melambung ternyata menghasilkan sebuah film yang pas. Di antara keduanya, ada Salman Aristo, penulis skenario, yang merupakan campuran antara ledakan-ledakan semangat dan kesukaan pada perenungan-perenungan. Ini adalah sebuah keberuntungan, karena dengan segala paduan itu, Riri Riza berhasil menelurkan sebuah karya yang mengandung semacam alkemi. Terasalah alkemi itu jika kita memandang polah anak-anak SD Muhammadiyah Gantong itu: mereka begitu alamiah, begitu jitu sebagai karakter masingmasing. Alkemi itu terasa juga dalam setiap scene yang melibatkan Slamet Rahardjo, seolah aktor senior ini selalu meruapkan pancingan agar aktor lainnya optimal berseni-peran. Ada alkemi dalam adegan Slamet Rahardjo dan Ikranegara berjumpa pada satu scene. Ada alkemi dalam hubungan antara gambar dan musik yang ditata ciamik pasangan Titi Sjuman dan Wong Aksan. Ada alkemi antara film itu dan theme song oleh Nidji. Ada alkemi antara kamera, matahari, dan segala  mise-enscéne dalam film ini. Ada banyak bagian mengandung alkemi yang membuat film ini bisa bicara kepada banyak orang (update terakhir yang penulis tahu, 19 Oktober 2008, sekitar 2,5 juta penonton—dan di mana-mana masih terjadi antrean dan kehabisan tiket untuk menonton film ini). Ada alkemi antara film ini dan penontonnya. Dari berbagai laporan yang saya terima, baik ketika mempersiapkan laporan tentang film ini untuk Madina no. 11, penonton sangat terlibat dengan apa yang terjadi di layar— tertawa, tercekat haru bahkan tak sedikit yang menangis, dan lantas bertepuk tangan saat film ini selesai. Ayat-ayat Cinta yang sampai tulisan ini dibuat masih memegang rekor fenomenal perolehan penonton itu pun tak sampai membuat banyak penontonnya bertepuk tangan. Dalam percakapan sehari-hari

231

232

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

yang saya temui, ada cukup banyak orang yang menonton lebih dari sekali. Sedikit catatan soal kaitan dengan  Ayat-ayat Cinta:  Laskar Pelangi, di satu sisi, sebetulnya adalah juga sebuah film Islam—Islam yang pelangi, yang lebih mewakili orang kebanyakan ketimbang Ayat-ayat Cinta. Ada alkemi yang menyebabkan terbit rasa memiliki yang tinggi dari para penonton terhadap film ini. Riri beruntung karena telah melahirkan sebuah “film Indonesia”, dalam arti didaku sebagai milik bersama para penonton Indonesia.

3. Ikranegara memuji Riri. Tentu saja, kata “beruntung” bisa segera ditampik. Riri telah bekerja bukan hanya keras, tapi juga penuh perhitungan. “Saya tak bisa lagi membuat film semacam Gie, yang panjangnya 2,5 jam sehingga dalam sehari hanya bisa diputar tiga kali,” kata Riri dalam wawancara dengan Madina. Ia juga bercerita, betapa versi jadi Laskar Pelangi ini mulanya memang 3 jam, tapi dengan hatihati harus disisir lagi agar bisa sampai versi 2 jam yang ditayangkan itu, tanpa mengorbankan banyak hal. “Penuh perhitungan” dalam gaya kerja Riri dan Mira Lesmana bukan berarti ada perencanaan rapi dan ketat, dan tak bisa diubah-ubah sejak semula. Justru sebaliknya, Riri (dan Mira, sambil terus didampingi Salman) berubah-ubah menghaluskan cerita, adegan, dan struktur kekisahan saat diedit. Gaya kerja begini yang dipuji tinggi-tinggi oleh Ikranegara, pemeran Pak Harfan—suara nurani dan kearifan dalam film ini. Ketika saya tanya soal persiapan adegan bareng Ikranegara dan Slamet Rahardjo, yang saya ibaratkan Robert DeNiro dan Al Pacino dalam Heat, Ikra tertawa. “Memang sejak di TIM (Taman Ismail Marzuki) dulu, kami sudah bersaing. Kami kan datang dari dua mazhab akting yang

FIKSI DAN ALKEMI

beda. Slamet bermazhab Teater Populer-nya Teguh Karya. Saya,” kata Ikra, “dari mazhab Teater Kecil-nya Arifin C. Noor. Jadi, waktu akan syuting, saya juga bersiap-siap, dan ingin tahu akan jadi apa adegan itu. Tapi, di sini saya memuji Riri.” Ikranegara, yang sambil tersenyum mengaku tak akan mau main film kalau naskahnya jelek, menceritakan betapa Riri mengulang-ulang adegannya bareng Slamet itu. Bukan karena adegan itu gagal. Pertama, mereka menyelesaikan  master shot adegan itu. Lalu Riri meminta mengulangi, karena ingin menangkap detail nuansa ekspresi dari kedua pemain. Begitu, sampai tertangkap semua dan lengkap detail yang diinginkan Riri.

4. Riri dan jarak itu. Laskar Pelangi  adalah sebuah film tentang kemiskinan akut, masalah besar bangsa ini hingga kini. Tapi, film ini tidak lahir dari sebuah perlawanan. Ifan mengatakan, film ini lahir dari sebuah nostalgia—nostalgia akan kemiskinan yang telah berhasil ditinggalkan. Kalau dirunut dari bukunya, cerita ini lahir bahkan dari sebuah waham sukses. Waham sukses (dan obsesi ingin sukses) macam begini sangat laris di Indonesia, selama beberapa dekade belakangan. Kita belum berjalan terlalu jauh dari Orde Baru, rupanya. Dalam konsep pembangunan trickle down effect (cucuran ke bawah) seperti yang diterapkan Orba, kepemilikan atau keberlimpahan uang adalah esensial dalam hidup warga. Dalam konsep ini, obat kemiskinan adalah kekayaan – bukan pemerataan, atau keadilan. Pemerataan dipaksa jadi persoalan sederhana “tunggu giliran, dan pada saatnya, tadahlah cucuran dari atas”. Keadilan dipaksa jadi kata yang abstrak.

233

234

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Kemakmuran, keberlimpahan sumber daya, jadi tujuan, nilai utama, dan akan menyelesaikan segala. Bahkan jika keberlimpahan itu hanya berpusat dan berputar pada segelintir orang di negeri ini saja. Yang penting, kemakmuran/ keberlimpahan itu ada, dan segala yang lain akan diselesaikan dengan sendirinya. Ideologi semacam ini, yang sering tersesap diam-diam ke dalam definisi-definisi “sukses individu” kaum kelas menengah kita, seringkali mengganggu cerapan kelas menengah kita dalam memahami masalah kemiskinan. Kemiskinan kadang jadi eksotis, atau jadi sesuatu yang steril dari pemahaman struktural. Kemiskinan seringkali tampak tak berdaging dan tak bernyawa, semacam kotoran yang bisa dengan mudah disapu ke bawah karpet. Atau, bagi beberapa yang mencoba tetap menjaga integritas mereka, kemiskinan yang tak dipahami secara langsung atau intim akan dicukupkan sebagai latar atau diletakkan di alam bawah sadar. Ada kecemasan bahwa lebih dari itu akan jatuh jadi propaganda atau berkhutbah. Dan memang demikianlah juga Riri. Ia tak ingin berkhutbah, atau berpropaganda. Ia juga bukan tipe berfilsafat terlalu dalam, jika kita melihat film-filmnya. Ia, bagaimana pun, hanya ingin membuat film yang bersifat personal. Itulah mengapa ia tampak wagu dalam Gie, ragu memilih antara yang epik atau yang personal dalam biopik itu. Itulah mengapa ia tampak selalu berjarak dari masalah Indonesia kiwari yang sedang dihajar bencana, korupsi, kebangkrutan sistem ekonomi, lumpur Lapindo, krisis lingkungan hidup di seluruh kepulauan; jarak yang membuat film-filmnya bisa dipandang “steril” seperti tampak dalam Untuk Rena dan Tiga Hari Untuk Selamanya. Agak sukar membayangkan Riri membuat film macam Langitku Rumahku (Slamet Rahardjo, 1989) yang punya kesadaran kelas cukup tinggi itu (dulu, dalam gurau pada

FIKSI DAN ALKEMI

teman, saya memberi subjudul buat film itu “Kecil-kecil jadi Marxis”). Itulah juga mengapa saya merasa patut merayakan film ini. Di sini, Riri menyusup langsung ke masalah kemiskinan. Ia mendekam berlama-lama di masalah mengerikan itu. Ia tak melawan, karena bukan begitu sifatnya. Ia merenungi, mencaricari pelangi dari pelosok miskin itu. Ia memilih untuk tak melawan, tapi mengajak bertahan sampai nasib memberi peluang (atau tidak).  Jangan menyerah, begitu pesan Andrea dalam bukunya. Dan pesan itu diwujudkan dengan baik sekali, lebih baik dari novelnya, lewat sosok Lintang.  Jangan menyerah, walau kaukalah –begitulah seolah sosok Lintang berkata. Lintang yang kalah, tak bisa lanjut bersekolah dan tetap miskin hingga dewasa, ternyata tak pernah menyerah. Semangatnya ia wariskan: anaknya ia minta bersekolah, bagaimana pun keadaannya. Ini adalah pesan yang tepat-masa. Pesan yang jadi kuat karena konteks Indonesia senyatanya memang sedang kalah dalam banyak hal. Tapi, (mestinya) jelas pula, pesan ini bukanlah akhir masalah. Pendekatan Riri (juga Andrea) dalam memandang kemiskinan di Indonesia jelaslah masih bisa disoal. Tapi, pandangan itu cocok untuk saat ini.

5. Akhirul Kalam. Laskar Pelangi bukanlah film terbaik Riri Riza. (Film terbaik Riri, sampai saat ini, adalah Eliana, Eliana.) Tapi, sejauh ini, Laskar Pelangi adalah film Riri yang paling istimewa. Sebuah film yang membuat kita merasa enak, a feel good movie.

235

Ifan Adriansyah Ismail

Kantata Takwa

A Little Boy Watching…..

F

or some people, watching Kantata Takwa may evoke a nostalgic feeling. But for our 21st century generation, Kantata Takwa could be more than that: it’s a spirit reawakening. For some technical or political reasons, Kantata Takwa may be one of the most time-consuming films in the making process. Its raw celluloid lies idly for almost 18 years since its production took place in 1990. Watching it now, one could never imagine that a film like this could be shown to public, due to its political content. Even when it could, the impact would be so different, and the film itself may have been tampered with unmercifully. Now it is being shown to 2008 audiences, a generation so amnesiac it can’t (or won’t) remember its own history. Are the filmmakers trying to impose their memory on us? Are they becoming so old

A LITTLE BOY WATCHING…..

that they have to go to their days gone by? What do they expect anyway? Kantata Takwa recorded a history stroked down by the rebelling legendary music group with the same name, manned by the rebellious musicians of its times, such the legendary Iwan Fals. Together they collaborated with poet W.S. Rendra to make a semidocumentary film. The film is also a musical, and frankly, cannot be easily categorized. It was not documenting the backstage processes; it was not trying to visualize a concept-album like Pink Floyd did with their The Wall (Alan Parker, 1982). Rather, Kantata Takwa may be wilder in its own fashion. It’s an effort to capture the artists’ inner thoughts, reflections and struggles. It’s a theatrical performance; it’s a poetry reading; it’s a political statement and it’s a concert. There is almost no recognizable plot here, neither a story with a defining structure. What we can instantly feel is its consistent mood and aura: a thick atmosphere of people who dare to say ‘NO’. Thankfully, Kantata Takwa is truly more than sum of its parts. Rendra delivered his oration-poems, his theatre pack performed surreally, the musicians created high-energy songs, and of course, the filmmakers managed to capture the energy in its peak. That alone would justify the film’s sometimes ‘too theatrical’ moments. True, Rendra and the musicians were a pack of eccentric artists with hard-to-find meanings. But they resonated with Indonesians’ inner frustration and anger. The time was the 90s, the backdrop was a dictatorial regime, and the director was a kinglike president, unwilling to be denied by any means. The Indonesians were mainly fed, but social injustices were virtually everywhere and, while it was blatantly there, would not be acknowledged. So anger and inner resentment were the only driving force for resistance. And Kantata Takwa was one of the few who shouted.

237

238

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Some of the most moving scenes were documentary parts from their actual concert in Senayan National Stadium at June 23 rd, 1990. It was a triggering moment to the point of cultural movement when they sang: Sabar sabar sabar dan tunggu Itu jawaban yang kami terima Ternyata kita harus ke jalan Robohkan setan yang berdiri mengangkang Oh oh ya oh ya oh ya bongkar! Oh oh ya oh ya oh ya bongkar! (Be patient and wait That’s the response we always get We must take it to the streets To topple down that towering Devil ahead Oh yes, oh yes, tear it down! Oh yes, oh yes, tear it down!)

Directors and screenwriters Eros Djarot and Gotot Prakosa didn’t forget to include another resistance icon which was a hip at those times:  jilbab, or Moslem women’s headscarf. In the 90s, the paranoid government felt that any identity symbol associated with Islam would pose a threat against the state doctrine. Thus, headscarves were banned, and Islam-as-a-movement was prohibited. In the film, a motherly figure wearing a headscarf was portrayed as a bearing witness to the events depicted: a village mob protesting their chief’s villainy to the final elimination of the artists—Rendra and friends—in the hands of the shadowy militaristic figures. The filmmakers seemed to put a great hope upon the women. After the climaxing ultimate annihilation, a symbolic final scene depicted the women with headscarves

A LITTLE BOY WATCHING…..

marching forward, warriors-like, under the watchful and blessing eyes of the ‘late’ artists. One may accuse that Islam was ‘used’ as a mere resistance icon, only to make this piece popular among Indonesians. Allegedly, there were some truth in that accusation, but one cannot deny the inner-struggling the artists had when it dealt with spirituality and religion. When they sang: Malam khusuk menelan tahajjudku Lidah halilintar menjilat batinku Mentari dan cakrawala kenyataan hidup Hanya padaMulah kekuasaan kekal […] Lindungilah dari ganas dan serakah Lindungilah aku dari setan kehidupan Berikan mentariMu sinar takwa Ya ampunilah dosa (The silent night swallowed my prayer The lightning touched my soul The sun and the horizon of life The eternal mightiness lies on You only […] Protect us from violence and greed Protect us from devilish life Shine us Your light of piety Forgive ours sins)

…we can see that religion and spirituality, like everywhere else, can be a powerful force that is truly liberating. On matters concerning liberation and freedom, Kantata Takwa never hesitated. In an almost vulgar way, the repressing parties were so obvious: from a theatrically hypocrite judge with

239

240

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

his ever changing mask to faceless thugs with rifles and militarystyle boots. So Eric’s observation may be right: that Kantata Takwa was indeed intended to blatantly voicing anger against government repression on its times. But times changed. There is no longer a single ever-powerful and omnipresent dictator in Indonesia. There is no more  “a towering Devil” (“Setan yang berdiri mengangkang”). Instead, we got little devils now, ghosting around in a fragmented Indonesia, without any direction or a celebrated cause. The irony of Soeharto’s fall is that while many things changed, frustration and anger among the people stood still. Headscarf is still a matter of identity, but in turning events, it has been hijacked into a culture war with fascistic tendencies. In addition to that, we can see globally that the spirit of revolution is over. There is no more Che Guevara, no more revolutionist causes and no more roaring Iwan Fals in his full-energy mode. So what’s the significance of this film? Indonesia has changed rapidly, although whether to a better direction or not is debatable. That makes Kantata Takwa’s stubborn theme seemed outdated. Well, if you are a cynical pessimist, then yes, Kantata Takwa was no more than a nostalgic effort by some aged artists and filmmakers. If you are an optimist, then you may agree with me that this film is truly an important piece of work, a fuel for another cultural movement, even now. I feel blessed being a member of a generation that’s slightly younger from Kantata Takwa generation. When Erros and Gotot pointed their cameras to these artists, I was a little boy wearing school uniform with short pants, reciting and memorizing from school lessons with state-approved curricula. And I was too little and too far away from Jakarta to be involved in that ‘small revolution’ evolved from Senayan National Stadium. But I am not completely isolated, thank God. From my brother’s and father’s magazines, I remember reading about

A LITTLE BOY WATCHING…..

Kantata Takwa concert that was deemed ‘disturbing the peace’. I remember my heart been moved by Iwan Fals’ songs that were voicing the marginalised, and I remember reading news of Moslem girl students expelled from school because of their headscarves. But that was just that. Hence, with that kind of limited memory, watching Kantata Takwa gave a new meaning to me. It was obviously not a nostalgic moment for me, but it was a spiritual enlivening, rooted in the past. It drew a bigger context to my memories. Now I can see again that glare. Iwan Fals, standing like a towering rock with his bare chest and his guitar above the stage was a scene that I will never forget. When I saw him, I saw a culture movement in the work, and I saw a people’s power in the making. Kantata Takwa is not a mere historical record. It captured the spirit of a wounded nation, while in these contemporary times we seldom forget why we were wounded. With its powerful spirit, Kantata Takwa should have been given chance to reach out from their time, and passing the force to a younger generation that in dire need for it.

— Kantata Takwa Sutradara & Penulis: Eros Djarot, Gotot Prakosa / Produser: Ekapraya Tata Cipta Film, Sedco Indonesia / Pemain: WS. Rendra, Iwan Fals, Sawung Djabo, Setiawan Djodi, Jockie Surjoprajogo, Clarasinta Rendra, Bengkel Teater / Indonesia, 2008 / 72 menit.

241

Eric Sasono

Kantata Takwa

Ketika Iwan Fals Masih Mirip Che Guevara

B

ukan hanya mirip dalam soal rambut gondrong dan kumis lebat, tapi juga dalam sikap yang ’revolusioner’. Mereka sama-sama ikonik di zaman dan tempat berbeda. Che sudah lama mati, dan Iwan sudah tak segalak ketika ia berteriak ”Bongkar!” atau ”Bento!”. O ya, Iwan pun sudah tak memelihara kumis sekarang dan tak gondrong macam dulu. Masih ada yang sama antara mereka: masa revolusioner Iwan dan Che sudah lewat. Film Kantata Takwa memang lewat 18 tahun dari waktu rilis yang seharusnya. Film yang pasti memecahkan rekor dalam rentang waktu antara syuting hari pertama (Agustus 1990) dan pemutaran publik perdananya (April 2008), akhirnya bisa bersentuhan juga dengan publik. Setelah tertunda sekian lama sampai terendam banjir segala, Singapore International Film Festival tahun ini mendapat kehormatan menjadi tempat world premiere film dengan banyak nama seniman besar Indonesia itu.

KETIKA IWAN FALS MASIH MIRIP CHE GUEVARA

Film ini sempat muncul di daftar film penting yang tak selesai; seakan sebuah janji bahwa sebuah gagasan luar biasa dicatat di dalamnya. Nama-nama besar (ketika itu dan mungkin sampai kini) ada di sana. Kredit penyutradaraan jatuh pada dua nama: Eros Djarot yang legendaris dengan Tjoet Njak Dhien dan musik  Badai Pasti Berlalu, dan Gotot Prakosa sang pelopor animasi eksperimental negeri ini. Supervisi ada pada Slamet Rahardjo. Pendukungnya juga tak tanggung-tanggung. Cast-nya diisi dengan nama besar seperti Penyair Burung Merak Rendra, Sawung Jabo, pengusaha-cum-musisi Setiawan Djodi; dan tentu Iwan Fals sendiri. Scoring  musik dipegang oleh Jockie Suryprayogo dan penata kamera ditangani oleh orang senior dalam film kita, seperti mendiang Soetomo Gandasubrata yang bisa dibilang melahirkan nyaris seluruh juru kamera yang aktif di perfilman Indonesia saat ini.

Koherensi tema Film yang judulnya diambil dari nama kelompok musik yang terdiri dari Iwan Fals, Sawung Jabo, Donny Fatah, Inisisri, dan Setiawan Djodi serta WS Rendra bisa dianggap sebagai sebuah bentuk dokumenter yang eksperimental. Dasar dokumenter itu adalah konser kelompok musik ini di Stadion Utama Senayan (sebutan Gelora Bung Karno waktu itu) yang direkam dengan 30 kamera film! (Rasanya ini rekor lain lagi buat film Indonesia). Rekaman konser yang megah itu ditambah dengan dokumentasi seputar konser itu dan berbagai dokumentasi lain. Selain itu, ada juga konstruksi fiktif penuh simbol dan rekaman pembacaan puisi yang didramatisasi. Jadilah ini sebuah campur aduk antara  footage  dokumenter, adegan-adegan fiksi, dan footage  rekaman deklamasi sajak-sajak yang dilakukan di setting yang dirancang khusus.

243

244

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Bisa dibilang tak ada ”cerita” dalam pengertian yang konvensional dalam film ini. Kekisahan film ini bercampur antara dokumenter dan fiksi, antara rekaman spontan dengan pembacaan puisi di lokasi yang ditata seakan sebuah ruang pengadilan. Beberapa footage dokumenter itu bahkan demikian mentahnya, seperti adegan rekaman workshop kelompok musik Kantata Takwa ketika para anggotanya sedang berdikusi tentang mengapa kelompok ini perlu ada, dan apa yang sesungguhnya akan mereka tampilkan; hingga ke dokumentasi percakapan Iwan Fals dengan anak-anak kecil yang tampak dipersiapkan dengan baik (staging). Kosa gambar itu berjalan sendiri-sendiri bagai tak membentuk pola apapun. Tak terlihat adanya pembabakan dan progresi plot, sekalipun berdasarkan topik ataupun bahkan mood. Bahkan benang merah berupa perempuan berjilbab yang menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa fiksi dalam film ini juga tampil tak berpola sekalipun secara konstan menampilkan mood yang tak bergeser kelewat jauh dari cemas-gelisah-kuatir – seakan sedang menatap masa depan yang tak pasti. Sekalipun bentuk film ini demikian inkoheren, tapi karya ini tetap terasa mengejar koherensi dalam tema. Hal itu tampak pada dua hal: sandaran figur-figur dalam film itu dan simbolisme yang mereka gunakan. Manusia-manusia dalam film ini lebih tepat disebut sebagai figur ketimbang karakter. Karakter biasanya berangkat dari keberadaan latar belakang kehidupan dan aspirasi yang kemudian mendorong terciptanya semacam motivasi yang mendorong kisah. Pada Kantata, para tokoh ini tampil sangat figuratif. Karakter mereka memang sengaja dibuat tak bermotivasi. Yang tampil adalah posisi kultural-politis mereka yang menonjol saat itu. Penonton diharapkan kenal dengan mereka lewat berbagai referensi nonsinematis. Sedangkan simbolisme pada Kantata mengacu pada dekade 1990-an (dan sebelumnya) yang kerap menjadi agenda

KETIKA IWAN FALS MASIH MIRIP CHE GUEVARA

perlawanan para figur yang ada dalam film itu. Adegan-adegan seperti penembakan di hutan-hutan oleh orang bertopeng, pencabutan gigi oleh tentara, pengadilan oleh hakim berwajah palsu terhadap penulis puisi dan deklamator, merupakan agenda kritik terhadap negara dekade 1980-1990-an. Apa yang diungkapkan Kantata adalah semacam pasemon kritik tersebut; yang juga sempat dilakukan oleh penulis cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam bentuk yang lebih terus terang. Ungkapan lewat simbol perempuan berjilbab dalam Kantata juga milik dekade 1990-an. Dalam konteks awal 1990-an, perempuan berjilbab adalah semacam perlawanan yang jelas sekali terhadap otoritas negara. Pengusiran pelajar berjilbab di sekolah-sekolah merupakan persoalan besar hingga akhir dekade 1980-an, sehingga kemudian jilbab menjadi semacam perlawanan terhadap represi negara lewat rangkaian demonstrasi (bersamaan dengan demonstrasi anti-SDSB) dan kegiatan budaya macam pembacaan puisi ”Lautan Jilbab” di beberapa panggung oleh penyair-kolumnis Emha Ainun Najib. Figur dan ungkapan simbolis yang tampil dalam film ini membentuk sebuah mayapada dengan acuan koheren dan jelas. Film ini bicara nyaring dalam konteks tertentu. Acuan pada konteks dan kelindannya dengan seluruh elemen kekisahan film ini menghasilkan koherensi yang tak terhindarkan pada tema. Maka menonton film ini bagai masuk ke kapsul waktu yang melontarkan saya ke dekade 1990-an.

Masihkah relevan? Asumsi yang digunakan sebagai landasan untuk membangun tema Kantata adalah model perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru dekade 1990-an. Pada dekade itu, konsolidasi ideologi Orde Baru sudah rampung dan kekuasaan negara dioperasikan hingga

245

246

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

ke mana-mana. Operasi itu berasal dari sumber tunggal yang bernama Soeharto. Orientasi kekuasaan adalah Soeharto, karena sudah tak ada lagi lawan politik yang relatif sejajar dengannya dengan kekalahan penentang-penentang seangkatannya (atau yang sedikit di bawahnya) dan semua yang berhasil mendekati pusat kekuasaan adalah yang paling dekat secara ideologis dengannya. Mesin penggerak birokrasi dan kemasyarakatan juga berpusar pada orientasi serupa, sesudah negara mengalami korporatisasi seperti yang biasa terjadi pada negara-negara fasis. Maka kekuasaan Soeharto menjadi pemegang kekuasaan yang omnipresent karena seluruh operasi kekuasaan berorientasi kepadanya. Kantata Takwa bicara dengan sebuah asumsi semacam itu. Mesin operasi kekuasaan menjangkau bahkan hingga ke tempattempat yang musykil seperti mimpi manusia. Maka mencatat mimpi pun menjadi sangat penting demi melawan kekuasaan yang semengerikan itu (sebelum bermimpi dilarang, ungkapan yang akrab pada dekade itu). Lihat misalnya bayangan manusia bertopeng gas yang menembaki orang di hutan-hutan atau pun ketika ketika Iwan Fals bermimpi giginya dicabuti oleh tentara agar ia tak bisa bernyanyi lagi. Apatah lagi pengadilan politik terhadap estetika seperti yang dialami oleh Si Burung Merak, Rendra. Pengadilan sebagai lembaga yang seharusnya suci dipenuhi oleh kemunafikan. Tampak sekali film ini menunjukkan gesture jijik terhadap lembaga pengadilan. Tapi masihkah kekuasaan serba maha yang tunggal macam Tuhan itu beroperasi dengan cara seperti yang dialami dan dibaca oleh seniman dekade lalu ini? Inilah pertanyaan yang mengguyahkan gagasan dasar film ini ketika ia lahir sebagai produk tahun 2008. Indonesia pascareformasi justru ditandai dengan fragmentasi luar biasa dalam berbagai usaha meraih dan mempertahankan kekuasaan. Operasinya dalam kehidupan sosial

KETIKA IWAN FALS MASIH MIRIP CHE GUEVARA

budaya juga demikian beragam dengan agenda yang tak tampak beraturan. Perlawanan ideologi dan politik dalam arena kekuasaan yang pernah menjadi begitu penting, mungkin kini kalah penting dibandingkan dengan perjuangan untuk menampilkan sebuah ideologi pinggiran dalam sebuah film mainstream—yang kemudian menghasilkan pembicaraan publik mengenai substansinya. Agenda politik dalam kesenian mungkin kini lebih cair dan tak semata melawan atau tunduk pada penyelewengan kekuasaan. Perjuangan politik mungkin kini agak tak disadari oleh para seniman—sekalipun aneh rasanya, ada seniman yang tak sadar akan implikasi politis karya mereka sendiri. Artikulasi juga sudah berubah seiring agenda untuk mengelak dari jebakan-jebakan pengulangan bentuk. Arena pertarungan juga sudah tak lagi pada tingkat pembentukan wacana dan narasi besar yang akan menghela seluruh gerbong bernama negara bangsa, tetapi menghadirkan cerita-cerita kecil guna melakukan semacam gerilya budaya yang secara tiba-tiba bisa menyeruak dalam pembicaraan publik yang serius, atau malah jadi kebijakan. Maka ketika Kantata Takwa meletakkan asumsi adanya satu despot yang omnipresent dan beroperasi dari sumber yang tunggal, ia terasa menjadi sebuah artefak sejarah politik. Ia hanya mudah dikenali sebagai sebuah perlawanan terhadap model kekuasaan Soeharto dan sulit diacu pada model persoalan kekuasaan sekarang ini. Soalnya sesederhana bahwa panggung sudah berubah dan pentas yang dimainkan adalah lakon lama. Demikian pula halnya dengan ungkapan jilbab sebagai bentuk perlawanan. Jilbab saat ini sudah bertransformasi, tak lagi mewakili identitas ketakwaan seperti yang ingin disampaikan oleh film ini. Jilbab, bahkan di beberapa tempat, kini menjadi representasi dari represi ketika sekolah-sekolah mewajibkan para pelajar perempuan berjilbab, bahkan termasuk mereka yang

247

248

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

beragama non-Islam. Maka ungkapan-ungkapan perlawanan simbolis yang diajukan oleh  Kantata Takwa  sesungguhnya memang tertinggal di dekade 1990-an, Indonesia sebelum reformasi.

Ungkapan Apakah strategi estetika  Kantata  masih bisa bekerja dalam panggung yang sudah berubah ini? Sebagai sebuah karya eksperimental, Kantata cukup menjanjikan. Seperti dikatakan di atas, film ini justru menghadirkan inkoherensi dalam kosa gambar dan cara ungkap. Dalam film model ini, sebenarnya penonton diminta untuk membuat rambu-rambu personalnya sendiri. Dengan demikian ia akan bisa mengacu kepada pengalaman-pengalaman subjektif penonton. Maka terciptalah sebuah pemaknaan arbitrer pada karya ini. Dengan model pembacaan subjektif seperti ini, diharapkan penonton memberi makna baru sama sekali yang bahkan berlainan dengan niatan para kreator. Namun sayangnya Kantata Takwa tidak diniatkan untuk menjadi karya seperti itu (sekalipun mungkin seharusnya dibaca begitu). Seperti sudah dikatakan di atas, tema film ini koheren sekali. Acuan simbol Kantata Takwa kelewat jelas, bahkan vulgar. Film ini menggunakan estetika puisi pamflet Rendra dan teriakan lagu jalanan Iwan Fals yang terasa ”marah” di awal dekade 1990an, bukan Iwan Fals yang penuh canda seperti di awal masa karirnya. Kemarahan dan munculnya gesture jijik sesekali dalam film ini serasa tak memberi ruang cukup buat penonton. Namun untunglah sutradara film ini cukup jeli menangkap figur Iwan Fals. Ruang lebih luas diberikan sesekali oleh figur ini. Perhatikan adegan diskusi mengenai rencana pembentukan grup musik Kantata Takwa. Dalam footage diskusi yang singkat itu,

KETIKA IWAN FALS MASIH MIRIP CHE GUEVARA

Iwan menyatakan keengganannya jika kelompok ini ”berdakwah” dalam pengertian yang sempit. Iwan mungkin marah pada keadaan, tapi ia tak ingin menyatakan bahwa kemarahannya itulah satu-satunya yang sah dengan mendakwahkannya; berbeda sekali dengan sikap Rendra (dan film ini secara keseluruhan) yang bahkan menghakimi balik penghakiman terhadapnya. Demikian pula percakapan Iwan dengan anak-anak di tepi kali kecil. Iwan memperlihatkan sikap seorang seniman rendah hati yang berposisi sederajat dengan anak-anak yang mandi telanjang di kali itu. Ia bernyanyi bersama dan melawan kesewenang-wenangan (masa itu) dengan riang dan tetap bersuara tegas. Maka transformasi teriakan ”Bento!” dari anakanak itu menjadi teriakan massa di Stadion Utama Senayan bagaikan melihat transformasi kekecewaan yang tulus para mahasiswa di tahun 1998 yang berubah menjadi kekuatan massa untuk menjatuhkan Soeharto. Pada titik inilah inkoherensi cara ungkap film ini jadi cukup memberi keragaman dan ruang. Jika tidak, simbolisme yang vulgar, tema yang  so last decade  dan kemarahan dan  gesture kejijikan akan membuat film ini jadi semacam rejim estetika yang memaksa penonton dengan klaim kebenarannya. Padahal secara umum saja,  Kantata Takwa  dengan segala ketidakakraban kekisahannya sudah melakukan seleksi awal yang ketat terhadap publik.

Klise Sudah pasti KantataTakwa bukan produk populer. Namun secara sinematis, ia akan memberikan pertanyaan terhadap ungkapan estetika para pembuat film Indonesia masa kini. Kapankah sineas Indonesia bisa mengungkapkan apa saja yang diinginkannya, hingga bahkan nyaris mencapai taraf nonsens (Gotot mengakatan

249

250

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

hal ini langsung pada saya: film ini sempat terendam banjir tapi gak papa, jadinya gambarnya malah asyik...) tanpa adanya halangan sama sekali? Baiklah, di balik film ini ada uang taipan minyak yang nyaris tak terbatas ketika itu (bayangkan: 30 kamera!) tapi bukankah sumber dana untuk karya yang bebas tak pernah dibatas-batasi harus berasal dari kantong sendiri? Yang justru menarik ditanyakan adalah: akan seperti apa jadinya film ini seandainya Setiawan Djody ikut serta dalam penyelesaiannya. Mungkin film ini tak akan banyak ditonton kecuali di lingkaran festival. Tak sepadan antara investasi yang pernah dibuatnya dengan capaian artistik, apalagi komersialnya; bahkan tak sepadan pula dengan pembicaraan tentangnya yang rasanya sepi-sepi saja. Para wartawan film pun bahkan tak tahu bahwa film ini akhirnya selesai dan ditayangkan perdana di Singapura. Namun Kantata tetap mengingatkan bahwa seniman seperti Iwan Fals pernah nyaris se-revolusioner Che Guevara. ”Kepahlawanan” mereka sekarang ini mungkin lebih menarik jadi  gimmick  untuk menjual majalah atau menjadi komoditi sodoran ironi dan lelucon political-incorrect-ness. Kantata kini tetap mengajukan semacam perayaan kecil, bernama kebebasan seniman menyampaikan estetika yang mereka percaya. Klise memang. Tapi ketika para sineas sedang kasip berombongan untuk menjadi konformis dan konformitas sedang dipuja-puji, klise semacam ini, toh, rasanya relevan. Sebuah klise, karena terlalu pahamnya kita akan hal itu, memang kerap kita lupakan.

— Kantata Takwa Sutradara & Penulis: Eros Djarot, Gotot Prakosa / Produser: Ekapraya Tata Cipta Film, Sedco Indonesia / Pemain: WS. Rendra, Iwan Fals, Sawung Djabo, Setiawan Djodi, Jockie Surjoprajogo, Clarasinta Rendra, Bengkel Teater / Indonesia, 2008 / 72 menit.

Ekky Imanjaya & Hikmat Darmawan

Haiku Mengulas Film Berapa banyak film ada di dunia? Berapa banyak cara menuliskannya? Snack culture, hiburan instan, resensi haiku Bukan berarti dangkal atau asal 4 kontributor, 57 film 2 kategori, aneka genre Rumahfilm.org mencoba Berbagai bentuk tulisan Silakan menikmati

E

ra keberlimpahan informasi adalah juga era short attention span. Majalah Wired edisi Maret 2007, menurunkan cerita sampul tentang “Snack Culture”, ketika mencuat trend bagi “Bite-size entertainment” dalam budaya kita. Dalam situasi kultural itu, banyak hal, termasuk film dan (mengapa tidak?) resensi-resensinya cenderung pada segala cepatsaji dan cepat-cerna. Tentu, biaya yang harus dibayar adalah ancaman kedangkalan informasi. Bukan berarti kita tak bisa bersiasat, atau pasrah bahwa berarti kini adalah zaman kebodohan. Yang ringkas, padat, pendek, sesaat, atau cepat, bisa juga jadi cerdas, bermakna, atau paling tidak, hasil pemikiran bukan asal-asalan. Haiku  menawarkan persis hal itu: kedalaman dalam kesingkatan. Redaktur Rumahfilm.org, Ekky Imanjaya dan Hikmat Darmawan, mencoba bentuk haiku—pakem puisi ringkas dari Jepang, diilhami estetika Zen yang memuliakan asas “kosong

252

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

adalah isi”—untuk menyampaikan resensi sebagian film yang telah mereka tonton. Tentu, tak ada pretensi bahwa ini haiku “sesungguhnya”. Pertama, aturan tiga baris dengan jumlah suku kata 5-7-5 jelas dilanggar. “Haiku” di sini, lebih merupakan sebutan bagi sebentuk teks dengan gaya penulisan yang dipecah jadi bait-bait pendek. Tentu saja, diukur dari tolok sastrawi yang ketat, ini haiku yang sangat tak nyastra. Mereka hanya meminjam bentuk haiku untuk wahana saripati kesan-opini terhadap filmfilm yang diulas. Cara mengulas begini juga bukan yang pertama, cukup banyak situs di internet yang telah memakai bentuk ini. (Tapi jarang yang dalam Bahasa Indonesia.) Di samping mereka, terselip juga haiku mengulas film dari dua kontributor, Ifan Ardiansyah dan Prasajadi. Rumahfilm.org menyediakan ruang bagi bentuk ulasan begini untuk Anda juga, silakan mencoba dan mengirimkannya ke kami. Paket  haiku  kali ini hanya yang pertama. Selamat menikmati. (HD)

Film-Film Kiwari Kantata Takwa (Eros Djarot & Gotot Prakoso, 2008) Avantgarde -isme “Islami”, dimatangkan 18 tahun. –HD Kolaborasi para mujahid seni –EI

HAIKU MENGULAS FILM

May (Viva Westi, 2008) Duka etnik Cina, duka kita semua. -HD

Mereka Bilang Saya Monyet! (Djenar Mahesa Ayu, 2008) Seks, sastra, trauma, eksperimen naratif juga. -HD

98.08 (Prima Rusdi dkk., 2008) 10 sineas muda, sebuah harapan. –HD

Sang Murabbi (Zul Ardhia, 2008) Terharu karena ustad,  nelangsa karena filmnya. -HD Shobron ‘ala shobron!  Sabar di atas sabar. -EI

Tri Mas Getir (Rako Priyanto, 2008) Tanpa yang jorok pun lucu Teknik setengah matang. -HD

253

254

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

XL (Monty Tiwa, 2008) Sudah jorok, tak lucu pula Segerombol klise dialog & adegan –HD

Doa Yang Mengancam (Hanung Bramantyo, 2008) Get Married + Ayat Ayat Cinta -HD

Leak (Tjut Jalil, 1980—diterbitkan ulang setelah ‘dipoles’ oleh Moncomacabro DVD) The holy grail of Asian cult cinema, kata Mondomacabro DVD. -EI

Kawin Kontrak (Ody Harahap, 2008) Aksi terbaik Lukman Sardi -EI

Cinta Setaman (Harry Dagoe Suharyadi, 2008) Antologi ide dan kisah yang bagus. Tapi, film bukan hanya ide dan cerita, ‘kan? -EI

HAIKU MENGULAS FILM

Impian Kemarau  (Ravi Bharwani, 2004) Salah satu film terbaik kita sepanjang masa -EI

Laskar Pelangi  (Riri Riza, 2008) Melawan kemiskinan tanpa amarah. Indonesiawi. -HD Ikal, Lintang, Mahar Andrea, Salman, Miles What a dynamic trio(s)! -EI

Wall-E  (Andrew Stanton, 2008) Robot imut  mengajar cinta. -HD

Atonement (Joe Wright, 2007) Epik cinta yang menjadi, tapi tak pernah terjadi. -HD

Rescue Dawn  (Werner Herzog, 2006) Obsesi realisme ketubuhan. Bale memang edan! -HD

255

256

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Wanted  (Timur Bekmambetov, 2008) Bibir Jolie,  guilty pleasure . -HD

George Romero’s Diary of the Dead  (George Romero, 2007) The cult legend continues (with media and information technology issues) -EI

Rec (Jaume Balagueró, Paco Plaza, 2007) Suka Cloverfield? Ini lebih mencekam -EI

Across the Universe  (Julie Taymor 2007) Beatles ambience with wild imaginations -EI Visualisasi penuh gaya dari evolusi artistik musik The Beatles Love it, or hate it. (I love it!) -HD

Inside  (Alexandre Bustillo, Julien Maury, 2007) Ibu hamil dilarang nonton! -EI

HAIKU MENGULAS FILM

Control  (Anton Corbijn, 2007) Selamat datang generasi baru sineas Belanda! -EI

Budha Collapsed out of Shame  (Hana Makhmalbaf, 2007) Awas! Hana sudah besar! Dan dia cadas! -EI

Songs of Sparrow  (Majid Majidi, 2007) Dan burung unta liar membuatnya menjadi tukang ojek dadakan –EI

Glory to the Filmmaker!  (Takeshi Kitano, 2007) On how Takeshi fabulously mock himself -EI

Getting Home  (Zhang Yang, 2007) Mayat dan sahabatnya punya cerita -EI

257

258

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Indonesian Cinema  (Maurizio Borriello, 2006) Referensi wajib sinema Indonesia -EI

Crazy Love  (Dan Klores, Fisher Stevens. 2007) I love to hate you, I hate to love you –EI

Blood Brothers (Alexi Tan, 2007) Goodfellas versi Cina –EI

No Country for Old Man  (Coen bersaudara, 2007) Dahsyat. Lebih lanjut, lihat: There Will be Blood –EI

There Will Be Blood  (Paul Thomas Anderson, 2007) Luar biasa. Lebih lanjut, lihat: No Country for Old Man-EI

The Host /Gwoemul  (Joon-ho Bong, 2006)

HAIKU MENGULAS FILM

Sekejap menangis, sebentar terbahak. Gila, film monster macam apa ini? -EI

3-Iron  (Kim Ki-Duk, 2004) Obsesi urban untuk tak tampak. Cinta & kekerasan di dunia senyap. -HD

Mithya  (Rajat Kapoor, 2007) India rasa mafia (harap jangan dibalik!) -EI

Chaos  (Youssef Chahine dan Khaled Youssef, 2007) Orang-orang Mesir memang gila! –EI

Finishing The Game: The search for a new Bruce Lee  (Justin Lin, 2007). Nggilani version of The Game of Death documentary -EI

Dark Matter  (Chen Shi-zheng, USA/China, 2007) Wahai aktor-aktor Indonesia, coba lihat film ini! -EI

259

260

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Wonderful Town (Aditya Assarat, 2007) Mengapa kita tak bisa membuat “film tsunami” seperti ini? -EI

United Red Army  (Wakamatsu Koji, 2007) Garin pun langsung jatuh hati. Tiga jam tak terasa! -EI

Megane  (Naoko Ogigami, 2007) Tenang, menghanyutkan, via realisme magis. -EI

Katyn  (Andre Wajda, 2008) Film politis yang sangat personal (atau, film personal yang sangat politis?) -EI

Happy-Go-Lucky  (Mike Leigh, 2008) “Sebenarnya, lu humoris apa nyebelin, sih?” -EI

HAIKU MENGULAS FILM

Shine A Light  (Martin Scorsese, 2008) Sekadar nonton konser Rolling Stones. Tak lebih. -EI

Be Kind Rewind  (Michael Gondry, 2008) Beware! Or be sweded! Jack Black rocks! -EI

Caos Calmo/Quiet Chaos  (Antonello Grimaldi, 2008) Nanni Moretti. Detail-detail minor. Dan suasana yang membangun emosi. -EI

3 zan/3 Women  (Manijeh Hekmat, 2007) Karpet sebagai pintu arkeologis -EI

Empire of Evil/ Reich des Bösen  (Mohammad Farokhmanesh, 2007) Hanya lima warga Iran apa adanya. Tanpa nuklir dan Ahmadinejad. Tapi justru karena itulah! -EI

261

262

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Film-Film Masterpiece Pulp Fiction (Quentin Tarrantino, 1994) Ketika nonlinear jadi keren. –HD

Psycho (Alfred Hitchcock, 1960) Belati. Jeritan. Sugesti. Abadi. –HD

Crying Game (Neil Jordan, 1992) Menekuk genre, menekuk gender. –HD

Rashomon  (Akira Kurosawa, 1950) Satu mayat empat kisah. Menelikung naratif, menyoal kebenaran. –HD

Ikiru  (Akira Kurosawa, 1952) Seorang kerani tua bertanya tentang yang fana dan makna. Jepang modern yang gelisah. –HD

HAIKU MENGULAS FILM

The Seventh Seal  (Ingmar Bergman, 1957) Bermain catur dengan Malaikat Maut. Metafora jiwa kelam Eropa. –HD

Al Kautsar  (Chaerul Umam, 1977) Santri “kiri”. Masih relevan. –HD

Kejar Daku Kau Kutangkap  (Chaerul Umam, 1985) Komedi manusia luar biasa. Meledek perempuan, lelaki, lembaga pernikahan. -HD

Titian Serambut Dibelah Tujuh  (Chaerul Umam, 1982) Bahkan untuk masa kini, film ini sangat maju. –Adriansyah Ismail

263

Eric Sasono

Doa yang Mengancam

Beban yang Mengancam What would you ask Him if you have just one question? — Melissa Etheridge, “One of Us”

T

ersebutlah sebuah kota. Mungkin namanya Jakarta. Di pasarnya yang kumuh bisa dijumpai Madrim (Aming) seorang pekerja keras yang putus asa. Bekerja menjadi kuli angkut bukan pekerjaan berupah baik, tapi jelas berkeringat deras. Madrim yang kurus ini mampu mengatasi beban karung-karung dan sebagainya, tapi tak bisa menggendong harga dirinya yang runtuh karena kemiskinan. Malam itu adalah malam sialan bagi Madrim. Istrinya yang cantik bak permata, Leha, (Titi Kamal) kabur dari rumah. Ia pun diusir dari kontrakan mirip kandang sapi lantaran sudah menunggak berbulan-bulan. Di warung makan pun utangnya menumpuk. Apalagi yang bisa jadi harapan kecuali doa? Maka atas saran Kadir (Ramzi), Madrim pun berdoa dan berdoa dan berdoa sampai bosan. Kebosanan dan belajar dari sebuah peristiwa yang dilihatnya di Musholla, Madrim mengubah doanya menjadi

BEBAN YANG MENGANCAM

ancaman kepada Tuhan: seandainya tak dijadikan kaya, maka aku akan menyembah Setan, kata Madrim. Tapi ia tak tahu bahwa model penyanderaan macam itu tak mempan bagi Tuhan (atau Setan?). Maka Sang Kuasa itu pun balik mempermainkan Madrim. Diberinya Madrim kekuatan. Namun karena isu film ini adalah (entah kenapa) soal kaya-miskin, maka kekuatan itu tentu harus bisa untuk cari uang. Singkat cerita, Madrim pun bisa dapat uang sepuluh juta per bulan untuk ongkang-ongkang kaki saja. Dan uang memang hebat karena Madrim kemudian seperti lahir kembali. Sebuah parodi bagi epifani? Bisa jadi, karena uang buat beberapa orang mirip dengan semacam pencerahan. Tapi baiknya kita ikuti dulu lanjutan ceritanya. Madrim yang pernah berada di dasar kemiskinan tentu ingin balas dendam dan sutradara Hanung Bramantyo memberi jalan. Maka uang pun disebar Madrim di jalanan, mobil limusin berpintu banyak pun masuk kampung kumuh dan anak-anak menyoraki Madrim bak melihat ondel-ondel nyasar. Ia bergelimang uang dan Hanung seakan tak yakin dengan penggambaran kekayaan yang dibuatnya, merasa perlu memberi arti harfiah frasa ‘bergelimang uang’ itu dalam film Doa Yang Mengancam ini. Namun uang tak bisa membeli kebahagiaan. Frasa klise itu tentu saja terbaca dalam film ini. Kekuatan Madrim malah membuka masa lalu yang tak ingin ia akui. Kekuatan itu mendatangkan kutuk: Madrim mengetahui latar belakang keluarganya yang tak bisa ia terima. Maka sekali lagi, Madrim mengancam Setan (atau Tuhan?). Madrim pun mencari Setan di diskotik (benar, diskotik wahai clubbers!) dan mengutuki-Nya di sana sampai ia kesetrum. Maka lengkapkah karikatur tak lucu ini. Dan karena Setan, Tuhan, dan Penulis Cerita film ini sama berkuasanya terhadap Madrim, mereka sekali lagi mempermainkan Madrim. Kekuatan Madrim malah bertambah

265

266

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dan demikian pula dengan ketidakbahagiaannya. Kemudian tragedi demi tragedi menimpa Madrim. Madrim yang sejak awal digambarkan sebagai seorang pencemas lewat akting Aming benar-benar sengsara tanpa nikmat. Puncak kesengsaraan itu adalah adegan kuasi-surealis—mirip film-film Faozan Rizal, kepala departemen kamera di film ini—ketika satu demi satu tokoh itu muncul dan menuntut rasa bersalah Madrim. Namun segala itu hanyalah sebuah pembuka bagi sebuah akhir cerita yang bahagia bagi Madrim. Sang Pembuat Film sudah menyediakan lengkap segala pintu jalan keluar bagi kemiskinan dan asmara Madrim. Sejak awal komedi macam ini memang sudah bisa diduga ujungnya, sekalipun kecemasan yang ditampilkan Aming sepanjang film membuat film ini tak tampak sebagai sebuah komedi. Aming berusaha keluar dari typecastingnya di Extravaganza tapi ia malahan seperti sedang menanggung beban terlalu berat. Beban itu datang dari niatan Hanung menjadikan film sebagai komentar sosial politik yang kental. Kisah ini sejatinya bicara tentang suatu soal mendasar yang membentuk kemanusiaan. Baik bagi yang percaya kepada Tuhan maupun yang tidak, manusia selalu perlu berinteraksi dengan Kekuasaan Yang Tak Dipahaminya. Itulah karakter dasar manusia disoal oleh Jujur Prananto dalam cerita pendeknya. Namun Hanung terlalu gatal tangan dengan tema itu dan memasukkan kemiskinan sebagai backdrop yang membuat film ini jadi harus menanggung beban dua tema berat itu sekaligus. Tak apa jika ia bisa, tapi dengan segala penggambaran karikatural yang dibuatnya, film ini malah gagal sebagai sebuah satire. Dan penonton bukan menertawakan pahit diri mereka sendiri sebagaimana dimaksud oleh satire, melainkan tertawa karena ke-wagu-an Aming dan lelucon Kadir sebagaimana mendengar ceramah lucu seorang kyai. Kadir digunakan Hanung untuk menjadi kekuatan

BEBAN YANG MENGANCAM

sentrifugal buat tema ini. Selain membuat cerita jadi aman dari tuduhan blasphemy alias penistaan agama, Kadir—sebagaimana fungsi sidekick pada umumnya—adalah pantulan kesadaran lain yang ingin ditanamkan pembuat film kepada penontonnya. Strategi ini mirip padanan l’Ingenu dan Gordon dalam L’Ingenu karya Voltaire. Hanya saja, jika Voltaire membuat tokoh lugu untuk menyatakan sikap anti-klerikal, tokoh Kadir dibuat mirip Abu Nawas, atau Nasruddin Hoja, atau Mat Angin-nya Dedi Mizwar. Namun alih-alih ditempatkan sebagai seorang komentator rendah hati, Kadir di film ini ditempatkan sebagai seorang penceramah yang kebetulan saja lucu. Sementara itu di sisi lain Hanung tampak sibuk dengan backdrop. Ia tampak sekali ingin memperlihatkan bahwa dengan ide agama (baca: Islam), ia bisa menyoal kemiskinan, bandit kerah putih tak tersentuh (Dedi Soetomo), sekaligus memberi sebuah komentar pedas pada manusia yang tamak, serakah dan tak tahu diri. Ia memoles karikaturnya sedemikian rupa menggunakan pencahayaan dengan tone warna kuning yang mungkin maksudnya agar bisa mendapat sebuah gambaran tentang dunia kemiskinan yang keras dan tak kompromi. Namun kamera Faozan Rizal terasa seperti menekankan lebih kuat kecemasan dan rasa tak nyaman yang tampak pada akting Aming hingga akhir film. Sekali lagi sesudah Get Married, Hanung perlu waspada terhadap beban yang ia buat sendiri macam ini. Materi yang seharusnya jika ditangani dengan santai bisa menjadi satire yang menarik, malahan jadi karikatur yang entah berniat menertawakan siapa. Dengan film-film semacam  Perempuan Berkalung Sorban, atau biopik Ahmad Dahlan di depan, beban ini bisa terlalu besar dan akhirnya memakan dirinya sendiri. — Doa Yang Mengancam  Sutradara: Hanung Bramantyo / Pemain: Aming, Ramzi, Titi Kamal, Dedi Soetomo, Jojon / Penulis Skenario: Jujur Prananto.

267

Eric Sasono

98.08

Yang Muda Yang Melawan Lupa

M

ungkin rekan saya Hikmat Darmawan benar ketika ia menulis bahwa dibutuhkan waktu 10 tahun agar sebuah trauma bisa diceritakan kembali dengan cukup tenang. Hikmat menyatakan ini untuk resensi film May (Viva Westi), film yang menceritakan kembali peristiwa Mei 1998 dan akibatnya bagi bangsa ini dan juga bagi sepasang kekasih beda etnis. Ketika melihat peristiwa itu secara berjarak—dari segi waktu—May mampu menatap lama-lama sebuah luka bangsa ini yang belum sepenuhnya sembuh. 98.08, Antologi 10 Tahun Reformasi , membicarakan hal serupa dengan May. Mungkin bukan kebetulan pula ia terbit di tahun yang sama dengan May. Sepuluh orang pembuat film muda mengumpulkan film-film pendek mereka membicarakan peristiwa penting yang membuat bangsa ini melakukan belokan politik besar.

YANG MUDA YANG MELAWAN LUPA

Mei 1998 merupakan peristiwa yang baru lewat, dan belum punya versi “resmi”. Banyak orang masih bisa memberi kesaksian apa yang sesungguhnya terjadi. Orang-orang seperti Wiranto, BJ Habibie, Prabowo dan Harmoko berombongan membuat catatan versi mereka untuk menempatkan diri mereka sebagai pahlawan (setidaknya bukan penjahat) saat itu, seraya mendapuk kemungkinan berkuasa lagi kini. Jika mereka berkuasa, salah satu versi mereka mungkin bakal jadi versi resmi atas peristiwa penting itu. Seperti kiranya ketika Soeharto berkuasa dan versinya menjadi versi resmi tentang peristiwa yang terjadi sekitar 1965. Anak-anak muda yang membuat film dalam antologi ini punya versi sendiri yang mungkin tak masuk dalam catatancatatan yang diterbitkan oleh orang-orang itu. Dalam konteks seperti ini, apa yang dilakukan oleh kelompok yang tergabung dalam Proyek Payung ini adalah sebuah pencatatan kecil yang persepsional tapi penting sebagai versi alternatif atau bahkan subversi dari apa yang dicatat oleh para tokoh ”resmi” itu. Seluruh film pendek di dalam antologi ini merupakan film yang memiliki kekisahan yang (seharusnya) utuh dan tak tergantung pada kerangka tema untuk menunjang narasinya. Namun penyatuan karya-karya ini dalam antologi 98.08 menimbulkan perspektif berbeda dari kekisahan semula film-film pendek ini. Sengaja atau pun tidak, 98.08 hingga saat ini menjadi salah satu persepsi paling utuh tentang Mei 1998 yang tampil ke publik dari generasi yang bukan hanya mengalami, mungkin juga menggerakkannya. Persepsi ini tampil dalam dimensi beragam. Beberapa cara pandang terasa amat sangat permukaan, bahkan sketsais, dalam memandang peristiwa itu. Beberapa karya mencoba mendekati Peristiwa Mei 1998 sebagai sesuatu yang pesonal dengan cara pandang yang jujur. Satu dua karya membicarakan satu aspek latar belakang, dan akibat peristiwa ini sehingga membuka sebuah

269

270

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dimensi yang dalam tentang proses pembentukan bangsa ini, proses yang hingga kini masih jadi pertanyaan besar yang menggantung. Masa depan juga dibahas oleh antologi ini untuk memberi semacam tutupan (closure) yang menegaskan sikap optimis antologi ini secara keseluruhan.

Sketsa Jika film ini secara linear dianggap sebagai sebuah buku yang dibaca dari sampul muka, maka sampul muka itu adalah sebuah sketsa. Anggun Priambodo memulai antologi ini dengan bertanya ke lingkungan teman-temannya sebuah pertanyaan: di mana Anda berada pada 13 Mei 1998? Anggun sedang menampilkan sebuah kenangan kolektif. Siapa yang tidak ingat hari-hari ketika barang-barang di pasar swalayan bisa diambil begitu saja (‘gue pengen ke sana cari kaset Hanson yang baru atau Boyzone’). Siapa yang tak ingat sepeda motor melenggang masuk ke jalan tol dalam kota, atau jalan MH Thamrin yang lengang (di situ banyak tentara, mari berfoto di depan panser). Bahkan, di kota yang jauh seperti Seattle atau Amsterdam, pengalaman kolektif itu sampai juga. Namun apa yang disampaikan Agung mirip dengan sebuah sketsa untuk teaser TV yang menemani talk show tentang Mei 1998, ketimbang sebuah karya yang utuh. Rentang narasumbernya tergolong sempit dan jawaban mereka relatif berasal dari orang-orang yang berada “di luar toko” saat penjarahan terjadi. Sebuah representasi yang tidak lengkap— kalau tak ingin dikatakan malas. Hanya saja, Anggun beruntung karena pengalaman kolektif itu masih bisa dikenali dengan baik oleh penonton. Sehingga, kutipan wawancara itu mau tak mau menggema juga dalam pengalaman personal penonton.

YANG MUDA YANG MELAWAN LUPA

Anggun membuat karya dokumenternya ini dengan menampilkan foto demi foto untuk menjadi wakil bagi kisah yang ingin disampaikannya. Tak ada ‘gambar bergerak’ sebagaimana definisi paling sederhana dari ‘moving pictures’. Agung beruntung karena karyanya dikumpulkan dalam Antologi 98.08 ini. Jika berdiri sendiri, karyanya ini tak mampu menghasilkan kekisahan yang utuh dan hanya menjadi kumpulan fragmen. Selanjutnya adalah Yang Belum Usai karya Ucu Agustin. Karya dokumenter ini menampilkan perjuangan Sumarsih yang sedang mencari tahu siapa orang yang menembak anaknya, Wawan, dalam peristiwa Semanggi (November 1999). Kisah sang ibu dimulai dari perayaan paskah (yang kesepuluh tanpa Wawan) hingga ke doa sang ibu di makam anaknya. Kekerasan hati dan sikap pantang menyerah disajikan oleh Ucu sebagai fakta yang diharapkan bicara sendiri—dan karenanya memberi drama sendiri bagi penonton. Karya Ucu ini merupakan pencatatan yang lemah dalam mengajukan perspektif maupun kedalaman. Nyaris tak ada nilai lebih apa pun dari proses Ucu merekam apa yang dialami Ibu Sumarsih. Bahkan nyaris seluruh gambar Ibu Sumarsih adalah gambar yang seakan sedang berpose, bukan gambar wajar. Ucu seakan menghadirkan gambar etalase tentang figur ‘pahlawan’ ketimbang menyajikan manusia apa adanya dengan perjuangannya. Ucu berharap terbantu oleh subjek yang direkamnya. Perjuangan seorang ibu dalam mencari kejelasan tentang kematian anaknya pastilah mengandung luapan emosi yang besar —dinyatakan maupun tidak oleh sang subjek. Bertolak dari sini, penonton tentu akan turut terbawa emosi cukup dengan melihat semua ini sebagai fakta kering saja. Namun, seorang pembuat film yang baik tidaklah akan menyandarkan pada asumsi semacam itu. Perspektif yang lebih kaya atau pendalaman dari apa yang tampak di permukaan akan selalu dikejar untuk mendapatkan sesuatu

271

272

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

yang lebih ketimbang sekadar dorongan terhadap impuls yang instan.

Dimensi yang terbuka Ifa Isfansyah adalah contoh pembuat film yang masuk jauh ke pedalaman. Dalam karya yang sulit dikenali sebagai film Indonesia ini, Ifa menghubungkan samar-samar antara pengalaman seorang anak perempuan berbahasa Cina di Korea, dengan Indonesia—tepatnya dengan peristiwa Mei 1998. Ifa menghubungkan perempuan di Seoul ini dengan voice over siaran berita tentang Indonesia dan percakapan di awal film antara tokoh utama film ini (Huan Guang) dengan petugas imigrasi yang menanyakan asal-usul perempuan muda itu. Itulah satu-satunya informasi bahwa perempuan muda itu adalah salah satu pelarian dari Indonesia yang ingin melupakan masa lalunya. Anak itu ingin ke Korea, padahal ia tak kenal seorangpun di Korea. Lalu di tokoh swalayan, seorang perempuan yang bisa bahasa Cina menolongnya. Jadilah mereka berteman. Terbukalah jalan mimpi bagi Huan Guang. Karya ini memang tak bicara langsung soal Mei 1998, tapi jelas sekali bahwa Ifa menginsinuasi momen penting itu. Peristiwa Mei 1998 adalah hilangnya salah satu elemen penting kehidupan: rasa aman. Dan mengaca dari sejarah, hilangnya hal ini sejak dulu menjadi salah satu alasan bagi terjadinya diaspora. Ifa menggambarkan sebuah diaspora-in-the-making. Sebuah masa lalu sedang dilupakan, dan sebuah mimpi (atau eskapisme) sedang dibangun. Ifa tak bicara tentang kenyataan yang akan segera ditemui oleh Guang karena, seperti judul filmnya, Ifa bicara tentang saat matahari terbit, tentang sebuah harapan yang baru saja lahir.

YANG MUDA YANG MELAWAN LUPA

Diaspora Guang ini adalah diaspora aras sekunder, karena ia adalah generasi yang sudah menetap dari sebuah diaspora sebelumnya. Maka konsep Indonesia menjadi sangat cair dalam tingkat-tingkatan diaspora itu dan pelan-pelan mengabur. Ifa mencatat persoalan salah satu ras Asia yang berada pada keadaan transisi yang konstan, dan Indonesia menjadi wilayah persemaian transisi itu. Maka film ini menjadi sebuah pintu masuk bagi pembicaraan mengenai etnis Cina, sebuah agenda yang menyeruak sangat kuat ke permukaan jadi pembicaraan publik sesudah peristiwa Mei 1998 itu terjadi. Ifa berhasil memperlihatkan dengan sangat sensitif bahwa sebuah peristiwa domestik ini mengimplikasikan sebuah identitas kawasan yang lebih luas. Mimpi Guang beralih ke sebuah fragmen personal lewat karya Otty Widasari, Kemarin. Otty bersama dua sahabatnya, sepasang suami istri Bambang dan Bonita alias Bonet, mengenang apa yang sesungguhnya terjadi pada Mei 1998. Mereka termasuk di antara mahasiswa yang berada di Gedung DPR MPR. Untuk menjatuhkan Soeharto? Menurut Bonet, bukan. Ia ke sana karena urusan asmara. Dan karena Otty pergi ke mamapun Bonet pergi, Otty pun berada di sana; secara tak langsung karena urusan asmara. Dalam percakapan ini (kamera dengan nakal tak menyembunyikan Bambang yang sedang memegang kamera kedua), Otty tampil jujur dengan memperlihatkan catatan pengeluaran hariannya yang menggambarkan bahwa hidup harus berjalan dengan remeh temeh macam itu. Padahal ia sedang bercerita tentang suatu fase yang dianggap “heroik” oleh narasinarasi besar dan penjelasan formal tentang gerakan mahasiswa 1998. Hidup memang siklus semacam itu dan percakapan di meja itu adalah sebuah kunjungan ke masa lalu yang akrab dan tak perlu basa-basi.

273

274

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Teknik perendengan (juxtaposisi) percakapan ketiga orang ini dengan jurnal pengeluaran harian keluarga Otty membuat sebuah pengakuan akan siklus kehidupan yang sejujur-jujurnya itu. Apapun penyebab yang membuat para pelaku peristiwa Mei 1998 berada “di sana pada waktu itu”,  toh  mereka harus berhadapan dengan kenyataan berupa lajur-lajur catatan pembelian rokok atau ongkos atau belanja ke Hero dan lain-lain “di sini dan saat ini”. Otty berhasil membuat kedua fakta ini saling mengacu dengan dingin dan kuat pada saat yang sama. Namun kemudian Otty tiba pada sebuah episode yang mengherankan, yaitu ketika ia mengaku bahwa sesungguhnya ia punya perasaan khusus pada Bonet. Otty seperti sedang menawarkan sebuah rahasia terdalamnya kepada penonton yang tak mengenalnya dengan cukup baik. Masihkah ia tulus di sini? Jika ya, untuk apa ketulusan semacam itu dipampang dalam sebuah cerita berdurasi pendek ini dan penonton tak punya waktu dan kesempatan cukup untuk memahami Otty dan persoalannya? Otty terdengar seperti bercanda, tapi kalimat itu diucapkan menjelang akhir film dan tak lama muncul suami Otty, Hafiz, sambil menggendong anak mereka. Perendengan ini membuat Otty seakan ingin bercerita tentang tragedi pernikahannya, karena Hafiz hingga kini hanyalah bayang-bayang Bonet. Apa hubungan tragedi personal itu dengan peristiwa Mei 1998? Perlukah penonton tahu dalam “pertemuan” pertama mereka dengan Otty dalam durasi yang relatif singkat ini? Otty mengajukan sebuah risiko besar di mana ia tak bisa menang. Jika ia jujur dengan pengakuan itu, penonton (atau saya) merasa tak siap dan tak membutuhkan informasi tentang tragedi personal sebuah rumah tangga (yang entah sebabnya apa) dalam tontonan singkat tentang peristiwa Mei 1998. Jika Otty tidak jujur, ia menggunakan teknik serupa dengan yang digunakan Tukul Arwana, menyajikan semacam tragedi pribadi sebagai

YANG MUDA YANG MELAWAN LUPA

bahan lelucon. Perlukah Otty melakukan hal itu? Bagi saya, rahasia terdalamnya ini bisa dibagikan kepada penonton dalam sebuah karya yang lebih memberi ruang bagi penonton untuk memahami dirinya. Saya yakin Otty masih punya kesempatan lain untuk bicara topik ini. Dari dimensi personal mengenai peristiwa Mei 1998, film kembali ke sketsa mengenai persoalan identitas—kembali pada etnis Cina. Lewat  Sugiharti Halim, Ariani Darmawan membicarakan problem identitas paling permukaan: nama. Ariani bercerita mengenai efektivitas mesin birokrasi masa lalu dalam membatasi kewajaran perkembangan identitas dan upaya asimilasi yang dipaksakan. Yang terjadi adalah semacam dislokasi sosial orang-orang Cina, bahkan dari soal paling luar dari identitas mereka sekalipun. Untuk itu, Ariani membuat tokoh Sugiharti Halim dalam film ini bicara langsung ke kamera seperti sedang mengajak penonton untuk langsung bicara terus terang tentang subjek ini. Padahal sesungguhnya Sugiharti sedang bicara kepada para lelaki yang sedang diajaknya kencan. Strategi ini membuat film ini seperti sengaja meledek penonton yang sesungguhnya menghindar dari pembicaraan mengenai topik ini, dan Ariani memasabodohi penghindaran itu serta tetap bicara langsung kepada penonton. Inilah film yang bicara tentang penghadap-hadapan antara negara dengan masyarakat melalui tema yang sederhana. Bisa jadi hal semacam ini bukan milik etnis Cina sendirian. Banyak kelompok etnis dan kepercayaan lain yang mungkin mengalami persoalan serupa. Tapi Peristiwa Mei ‘98 memang seharusnya membuka momentum bagi pembicaraan semacam ini, mengingat etnis Cina tertimpa persoalan yang berkaitan dengan identitas mereka itu. Maka Proyek Payung macam ini memang sudah waktunya.

275

276

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Pengalaman kolektif yang lain Lalu kisah mengenai pengalaman kolektif Mei 1998 diulangi lagi oleh Hafiz dalam  Bertemu Jen. Namun Hafiz melakukannya dengan sangat berbeda dari apa yang dimulai oleh sketsa Anggun. Ia mengganggu kenyamanan penonton dengan menghadirkan Jen Marais, seorang pelaku teater. Jen bukan seorang sutradara, pemain, atau produser teater. Ia tampak seperti “bukan siapasiapa” di bidang teater, tapi mengaku “orang teater”. Hafiz mewawancara Jen sambil membawa foto-foto seputar Peristiwa Mei 1998 dan menunjukkan satu demi satu foto itu sambil terus meminta komentar Jen. Hafiz membuat filmnya dengan mengajukan strategi pemaknaan terhadap peristiwa Mei 1998. Ia seperti ingin memperlihatkan bahwa pemaknaan terhadap peristiwa Mei 1998 adalah sebuah kata kerja yang pendefinisiannya bisa sebanyak orang yang berusaha memaknakannya. Hafiz menggunakan fotografi, teater dan keakraban dengan media audio visual untuk keperluan itu. Hafiz memulai pertanyaannya dengan permainan peran yang sangat akrab dengan dunia teater. Lalu ia berlanjut ke foto-foto yang sebenarnya  self-explanatory; dan keluarlah pemaknaan dari mulut Jen: ini peristiwa teater. Sampai kemudian ketika pertanyaan Hafiz mencapai tingkat abstraksi yang lebih tinggi (“lo  ada nggak di gambar itu, sebagai manusia?”), pemaknaan menjadi lebih sulit. Karya Hafiz ini menawarkan sebuah sub-versi terhadap versi resmi (yang belum ada) tentang peristiwa Mei 1998. Ketimbang memberi sebuah alternatif pandangan, Hafiz mengajukan preposisi bahwa peristiwa besar itu seharusnya dilihat sebagai sebuah proses negosiasi antar subjek dalam mendefinisikan apa yang sesungguhnya terjadi. Jangan lupa bahwa ada medium yang mengantarai (yang beberapa diantaranya mendominasi karena massifnya paparan

YANG MUDA YANG MELAWAN LUPA

medium itu) yang membuat pendefinisian itu menjadi tak mungkin. Maka Hafiz seakan mengusulkan agar peristiwa kolektif itu tetap tinggal di benak individu sebagai pengalaman personal yang tak membutuhkan adanya otorisasi apa pun dari siapa pun. Sebuah pembacaan sejarah sebagai subjek yang sangat cair dan tak pernah tetap. Dunia posmodernisme Hafiz ini ditantang dengan sangat baik oleh Lucky Kuswandi lewat A Letter to Unprotected Memories. Ia memperlihatkan bahwa persoalan identitas dan pemaknaan terhadapnya adalah sesuatu yang kongkret. Orang-orang yang terpisah dari masa lalu, sejarah, dan bahasanya adalah orangorang yang merana karena seakan tak pernah bisa punya tempat di tanah tempat ia berpijak. Memang Lucky tidak mengacu pada peristiwa khusus pada bulan Mei 1998, tapi paparannya tentang pemaknaan peristiwa bukan sekadar permainan subjektif. Ada sesuatu yang hilang dari genggaman, bagi Lucky. Lucky mendadarkan masalah ini lewat aksara Cina dan kekisahan dengan model surat seakan sedang berkomunikasi satu arah. Dengan strategi ini, Lucky seperti memperlihatkan bahwa ia tak yakin komunikasi itu bisa sampai, sehingga ia memilih bicara satu arah—seakan sebuah solilokui yang bisa membuat orangorang yang tak merasa punya kepedulian pada masalah ini akan mengantuk dengan pesannya. Orang-orang Cina di Indonesia telah menumbuhkan akar di bawah telapak kaki mereka di tanah bernama Indonesia dan mereka seakan berada di luar catatan sejarah resmi. Dengan film ini, Lucky memang masih mengandaikan adanya sejarah resmi, karena ia merasa bahwa strategi yang berada di luar itu akan mengakibatkan mereka kehilangan semangat hidup mereka, seperti tarian naga barongsai yang kehilangan entakan dan berubah menjadi gerakan slow-motion yang berpeluang pelanpelan hilang.

277

278

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Dengan agenda pembicaraan seperti ini, Lucky juga mengantarkan strategi visual yang amat baik. Ia menampilkan aksara Cina berselang-seling dengan berbagai gambar ikonik budaya Cina di Indonesia untuk meyakinkan bahwa apa yang dianggap sebagai strategi pemaknaan inter-subjektif oleh Hafiz, bermakna hilangnya kenangan yang tak pernah terlindungi. Lucky justru bercerita bahwa sejarah dibentuk dengan cara yang keras dalam penyingkiran, pembungkaman, dan proses pelupaan. Pada bagian ini, film sudah masuk ke dimensi yang lebih dalam ketimbang persoalan Peristiwa Mei 1998. Pada bagian ini, antologi ini masuk ke pembicaraan mengenai sebuah penafsiran tentang tata panggung sosial yang secara langsung ataupun tidak berkaitan dengan peristiwa sepuluh tahun lalu. Sebuah penafsiran personal yang luar biasa dari Lucky.

Luka Kisah berlanjut ke dimensi yang lebih dalam lagi dari persoalan akar identitas seperti yang digambarkan Lucky. Identitas sebagai elemen terpenting penyusun tata panggung yang digambarkan Lucky itu berbuah sebuah tragedi bagi pemiliknya dan mengakibatkan luka yang dalam. Film berikutnya dari Edwin membuka kotak Pandora tentang etnis Cina, sekalipun Edwin bicara dalam bentuk gumaman yang sama sekali jauh dari tegas. Penyusun antologi ini melakukan spekulasi yang berani dengan memasukkan karya Edwin, A Trip to The Wound. Film yang pernah diputar sebagai film pendek sendirian ini, sebenarnya bercerita tentang sebuah luka personal dan khas (setiap luka pasti ada ceritanya). Namun dalam antologi ini, luka itu berubah menjadi luka kolektif. Trip  bekerja serupa dengan  Huan  karya Ifa, yaitu menginsinuasi salah satu dimensi paling kontroversial dari

YANG MUDA YANG MELAWAN LUPA

Peristiwa Mei 1998, yaitu dampak peristiwa kerusuhan Mei pada etnis Cina. Bahkan Trip lebih misterius karena tak ada cantolan fakta yang nyata-nyata diacu oleh Edwin sebagai peristiwa Mei 1998. Luka itu akhirnya harus diasosiasikan dengan luka akibat dari pemerkosaan masal pada Mei 1998, melalui pemilihan Ladya Cheryl sebagai pemain yang sedikit banyak mewakili etnis Cina dan rabaan ke balik roknya di dalam bus itu. Jika tokoh pada film Ifa takut membincangkan mengenai apa yang terjadi dan langsung bicara tentang eskapisme sebagai dasar diaspora-in-the-making, Edwin justru membahas soal paling sensitif: intrusi terhadap wilayah paling privat para perempuan etnis Cina pada saat kerusuhan—sebutlah: pemerkosaan. Trip  mengindikasikan adanya dua sisi dari “peristiwa pemerkosaan” itu. Sisi pertama adalah luka yang terus dibawa berlari—seperti kata sebuah sajak Chairil Anwar—tapi bukan dengan cara berteriak, melainkan dengan keheningan yang cenderung senyap dan getir. Luka itu berubah menjadi semacam obsesi untuk mencari sejarah luka, karena luka sang korban sendiri tak tampak (karena berada di wilayah paling privat?), tak teraba, tak terbuktikan. Apakah itu berarti luka itu tak ada? Etnis Cina yang kerap dijadikan kambing hitam bagi segala keterbelakangan ekonomi Indonesia (termasuk penyebab krisis ekonomi) berbuah pada pencarian massal terhadap kambing hitam persoalan. Ujungnya adalah perusakan toko-toko dan pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina pada 13-15 Mei 1998. Namun benarkan perkosaan itu terjadi? Inilah sisi kedua dari luka yang digambarkan oleh Trip. Dan dengan tepat Edwin menginsinuasinya. Adakah luka itu, dan bisakah dilihat tanpa— sekali lagi—mengintrusi wilayah privat para korban? Ketika Trip diletakkan dalam kerangka 98.08, itulah yang terbaca. Sebuah dimensi yang sangat dalam terhadap salah satu persoalan bangsa ini yang belum selesai.

279

280

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Masa depan Luka yang digambarkan oleh Edwin itu bagai sebuah klimaks dari Antologi 98.08. Untuk menurunkan tensi, film berlanjut dengan menatap masa depan reformasi. Dari kacamata personal, tatapan itu hadir dalam film Wisnu SP yang biasa disapa Wisnu Kucing lewat Wisnu Kucing 9808, Catatan Seorang Demonstran. Wisnu adalah bekas seorang jendral lapangan dalam demonstrasi mahasiswa 1998. Ia berdiri di atas panggung, berpidato, dan berteriak retoris,   “siap melawan tentara!?” Sekalipun sama personalnya, tetapi posisi Wisnu berbeda sama sekali dengan Otty Widasari. Jika Otty melihat sejarah dibentuk oleh remeh temeh dan hal yang personal (bahkan kelewat personal), Wisnu berangkat dari sebuah cita-cita perubahan politik dan kemudian bicara tentang sesuatu yang lebih personal. Jika dalam Kemarin, Otty tampak seperti orang duduk di masa kini dan melamunkan masa lalu, maka Wisnu masa kini merupakan gambaran dari masa depan Wisnu 10 tahun lalu. Wisnu pada Mei 1998 digambarkan berpeluh dan menarik urat leher bersiap menghadapi tentara, sementara Wisnu di bulan yang sama sepuluh tahun kemudian mengganti popok bayinya di dalam mobil Volvo tuanya yang sedang menuju lokasi syuting tempat ia bekerja sebagai produser freelance media audio visual. Istrinya seorang anggota DPRD yang baru saja melahirkan dan Wisnu merasa bahwa ia masih memelihara semangat untuk membuat negeri ini menjadi tempat yang lebih baik bagi semua, terutama bagi anaknya yang masih bayi itu. Alangkah menariknya ketika Wisnu menemukan serombongan mahasiswa berdemonstrasi. Sambil menggendong anaknya, ia berbincang dengan polisi yang mengawasi demonstrasi itu, bagaikan sedang berkata ‘sepuluh tahun lagi kalian akan seperti saya’. Wisnu dengan sikap been there done that, melihat mahasiswa-mahasiswa itu dan berkomentar agar mereka

YANG MUDA YANG MELAWAN LUPA

sebaiknya terus kuliah dan belajar saja. Toh, akhirnya mereka harus berhadapan dengan masalah kongkret seperti yang dihadapi dirinya: uang. Karena anak dan istri perlu makan, uang sekolah mahal, dan sebagainya. Wisnu Kucing  jadi gambaran sempurna siklus ‘revolusi berhenti di usia 30’ yang klise. Namun Wisnu adalah seorang yang jujur dalam memandang dirinya seperti itu. Karenanya, karya ini menjadi sebuah catatan yang kecil dan sederhana. Catatan kecil itu bukan merupakan pameran kekalahan, tapi semacam pengakuan yang rendah hati dan apa adanya. Jika Wisnu kini adalah sebuah “masa depan” dari apa yang terjadi pada 10 tahun yang lalu, maka ada peluang untuk dikatakan bahwa reformasi tak menghasilkan apa-apa. Benarkah? Antologi ini nyaris saja membenarkan pernyataan itu, sampai muncullah karya terakhir dari Steve Pillar Setiabudi. Pillar merekam sebuah proses demokrasi ketika sedang mencari bentuknya dalam Our School, Our Life. Sebuah sekolah di Solo, Jawa Tengah, merancang demonstrasi untuk menggulingkan kepala sekolah yang mereka anggap korup. Siswa SMU ini tampak bersemangat dengan data-data yang mereka punya. Tiba-tiba reformasi dan perubahan politik – di mana Wisnu adalah salah satu tokohnya—seakan mendapat bentuk lewat penggambaran Pillar ini. Dengan penuturan sederhana, Pillar setia dengan muatan yang ingin disampaikan. Ia seakan menjadi seorang jurnalis TV yang sedang melakukan investigasi dan sedang melaporkan fakta kering tanpa niatan dramatisasi. Namun alih-alih menemukan fakta-fakta kering semata tentang korupsi di tingkat rendah, Pillar menemukan dimensi lain dari apa yang dicapai reformasi: penegakan cita-cita politik dan demokrasi yang penuh semangat dan determinasi. Pillar beruntung dengan pencatatan yang dilakukannya. Kalaupun ada kekurangan dari pencatatan Pillar adalah ia tidak merekam kesaksian dari pihak-pihak yang dituduhkan.

281

282

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Namun kekurangan standar kerja jurnalistik itu tak membuat karyanya berkurang kekuatannya dalam membuat semacam refleksi persoalan tentang Peristiwa Mei 1998. Terutama implikasinya, yaitu bahwa kehidupan bersama yang lebih baik adalah sebuah proses yang sedang dibentuk bersama. Maka menyatakan bahwa gerakan reformasi 1998 tak berbuah apapun harus ditinjau lagi. Karena dari apa yang dimulai sepuluh tahun lalu, sudah tampak tunas yang akan tumbuh menjadi panen suatu saat kelak. Tidak ada sesuatu yang baku dan bisa diterima begitu saja; proses itu adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. 98.08 sudah memulai perjuangan itu secara kecil-kecilan. Inilah muatan terkuat yang muncul dari dokumentasi Pillar ini.

Penutup Sebagai sebuah pencatatan yang tidak ensiklopedis, Antologi 98.08 mungkin akan terasa dalam di satu dimensi tertentu tapi cetek dalam dimensi yang lain. Justru itulah kekuatan antologi ini. Dengan pencatatan-pencatatan yang personal dan terbatas macam ini, maka bermunculanlah hal-hal yang mungkin tak terbayangkan muncul apabila karya ini berkeinginan untuk mencapai pencatatan ensikolpedis. Risiko menjadi kelewat personal, sketchy dan sebagainya, mungkin tak terhindarkan, tetapi itulah biaya yang memang perlu untuk menjadi jujur dan menyajikan persoalan dari kacamata yang memang terjangkau oleh para pembuat film dan produser dalam proyek ini. Jika kemudian film ini lebih banyak menampilkan persoalan etnis Cina di dalamnya, hal ini bisa jadi karena banyaknya pembuat film yang berasal dari etnis tersebut. Tapi bukan alasan karena Ifa yang anak Jogja juga membuat film tentang etnis Cina dan diaspora mereka. Dengan melihat pada topik yang diangkat

YANG MUDA YANG MELAWAN LUPA

dalam film ini, sejarah dan identitas etnis Cina dan kaitannya dengan pembentukan bangsa dan kepolitikan negeri ini merupakan sebuah agenda besar yang jauh dari selesai. Maka seharusnya representasi dari etnis Cina dalam antologi ini dipandang sebagai pembicaraan terhadap agenda-agenda yang mengonstitusi bangsa ini. Maka pencatatan yang dilakukan oleh generasi pelaku dalam  98.08, Antologi 10 Tahun Reformasi  ini  seharusnya dipandang sebagai sebuah jalan untuk memulai kembali perbincangan tentang bangsa ini: identitas, sejarah, dan peristiwaperistiwa pembentuknya.

— 98.08, Antologi 10 Tahun Reformasi  Sutradara: Di Mana Saya? (Anggun Priambodo), Yang Belum Usai (Ucu Agustin),  Huan Chen Guang (Ifa Ifansyah), Kemarin (Otty Widasari), Sugiharti Halim  (Ariani Darmawan), Bertemu Jen (Hafiz), A Letter of Unprotected Memories  (Lucky Kuswandi), A Trip to The Wound (Edwin), Kucing 9808, Catatan Seorang Demonstran (Wisnu SP), Our School, Our Life (Steve Pillar Setiabudi) / Produser: Prima Rusdi, Edwin, Hafiz / Indonesia, 2008.

283

Eric Sasono, Ekky Imanjaya, Hikmat Darmawan

JIFFest 2008

Mencari Osama, Sampai Susuk

Where in The World is Osama bin Laden? Sutradara: Morgan Spurlock

Morgan adalah penganut Michael Moore dalam dokumenter: sutradara adalah  pembuat film, jadi tak apa jika ia mencipta peristiwa untuk dokumenternya. Maka film jadi pernyataan paling gamblang, propaganda, esai. Tapi, Morgan lebih rileks, lebih rendah hati dari Moore. Dengan  cengiran-nya, Morgan memutuskan akan memburu Osama, demi anaknya yang akan   lahir mendapat dunia yang aman. Tentu saja ini misi main-main. Tapi Morgan serius keliling dunia. Yang ia jumpai adalah sebuah dunia yang kaya: dunia Islam yang penuh manusia, dan Barat yang sedang kesulitan oleh prasangka-prasangka mereka sendiri. Dengan berbagai siasat visual yang lumayan kreatif, film dengan pesan serius ini sungguh jenaka. (Hikmat Darmawan)

MENCARI OSAMA, SAMPAI SUSUK

Worlds Apart (To Verdener) Sutradara: Niels Arden Oplev

Bagaimana jika seorang remaja SMA nan lugu penganut madzhab agama radikal jatuh cinta dengan pemuda atheis? Tradisi Kristen-Barat punya Saksi Jehovah. Jemaat madzhab ini begitu kaku: haram tranfusi darah, haram memakai HP, dll.   Termasuk haram berpacaran dengan non-jamaah. Hukuman   akan diterapkan dengan keras bagi pendosa. Sara, si gadis, harus menghadapi pergumulan iman melawan perasaan dan realitas kota Denmark. Konflik demi konflik disuguhkan dengan tajam. Pantaslah film ini mewakili Denmark untuk film asing terbaik Academy Award 2009. Di Indonesia, fenomena serupa acap menyeruak, tapi apa boleh buat, kita cuma bisa membuat sekelas Mengaku Rasul: Sesat. (Ekky Imanjaya)

Captain Abu Raed Sutradara: Amin Matalqa

Abu Raed yang berjenggot putih ini bekerja sebagai janitor di bandara. Suatu hari ia pulang dengan memakai topi pilot, dan jadilah ia Kapten Abu Raed bagi anak-anak di lingkungan sekitar rumahnya. Ia tak perlu waktu lama untuk jadi pusat perhatian anak-anak itu. Abu Raed yang kesepian dan anak-anak yang haus cerita adalah magnet yang saling tarik menarik dengan erat. Cerita Abu Raed ini ternyata tak bisa membuat seluruh anak itu keluar dari persoalan hidup mereka. Dalam film yang bisa saja dijadikan sebagai propaganda anti domestic-violence ini, sutradara Amin Matalqa membawa kisah Yordania modern. Posisi sentral laki-laki dan harga dirinya, kemiskinan dan alkohol, adalah paduan tepat bagi kisah yang bakal menjadi sebuah film drama klasik kontemporer ini. (Eric Sasono)

285

286

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Susuk Sutradara: Naieim Ghalkil & Amir Muhammad

Suzanna bangkit lagi. Dengan kekuatan ilmu hitam, ia berkelebat, terbang memangsa manusia, memuaskan dahaganya. Darah muncrat, kepala terpotong, usus terburai, dan daging korbannya dimakan mentah-mentah dengan pisau dan garpu-seperti memakan beef steak. Ini agar ia tetap menjadi diva.   Ini adalah Suzanna asal Malaysia (walau, kata Amir Muhammad, memang mengacu ke Suzanna kita itu), salah satu karakter utama Susuk. Efek spesial menonjol di sini. Tapi yang paling utama adalah cara bertutur yang sangat kuat dan menimbulkan dampak kejutan dahsyat di ujung kisah. Tak hanya bertujuan untuk menakuti semata, film ini juga memaparkan fenomena ritual perdukunan kuna Nusantara (mantranya berbahasa Jawa!) di kalangan selebriti, dan kekerasan dalam rumah tangga. (Ekky Imanjaya)

Happy-Go-Lucky Sutradara: Mike Leigh

Poppy (Sally Hawkis) adalah seorang yang humoris dan ingin memandang positif segala masalah hidup dan ingin menghibur banyak orang khususnya yang terlibat kesulitan. Namun bagi orang-orang di sekitarnya, ia terkesan menyebalkan karena ia menganggap enteng masalah dan meremehkan orang lain. Adegan yang sulit dilupakan adalah saat-saat ia belajar mengemudi privat bersama Scott (Eddie Marsan) Keduanya beradu akting dengan alami dan mengesankan. Saya tak bisa melupakan ajaran Scott yang membentak-bentakkan satu teori orisinalnya: “Enrahah!” Akting Sally Hawkins tidak hanya memukau penonton, tapi juga

MENCARI OSAMA, SAMPAI SUSUK

para juri di Festival Film Berlinale 2008, sehingga menobatkannya jadi aktris terbaik. Sekali lagi, Mike Leigh berhasil menyelami sifat-sifat manusia. “Enrahah!” (Ekky Imanjaya).

287

Eric Sasono, Ekky Imanjaya, Hikmat Darmawan

JIFFest 2008

Mata Turistik Sutradara, dan Lain-Lain

Heaven in Insanity Sutradara: Dria Soetomo, 2008

Subjek ini menarik, kata sutradara Dria Soetomo, dengan mata berbinar, ketika ia ditanya kenapa membuat film ini. Katakanlah memang menarik, melihat manusia dirantai atau tidur di samping kotoran mereka sendiri yang dikerubungi ribuan lalat; atau melihat orang bertelanjang bulat dimandikan dengan air semprotan selang. Tapi, apakah Dria juga peduli pada manusia di tempat penampungan orang-orang bermasalah mental ini? Ia sempat mengikuti Watmo ditangkap di rumahnya, dirantai, dan dimasukkan ke dalam tempat yang mirip kandang sapi itu. Namun ia tak mengabarkan bagaimana Watmo sesudah keluar lagi dari penampungan itu. Seakan semua selesai dalam sebuah perjalanan pendek yang superfisial ini, sekalipun kita tahu hidup selalu punya kompleksitas yang lebih rumit daripada yang

MATA TURISTIK SUTRADARA, DAN LAIN-LAIN

digambarkan Dria, seorang jurnalis TV. Presentasi Dria berhasil membawa humor di sana sini, tapi pendekatannya kelewat turistik —kamera dibawa untuk sebuah pengalaman baru penonton— ketimbang mengajak penonton mengikuti kehidupan yang punya denyutnya sendiri. Padahal, Dria punya kameraman yang luar biasa sensitif dalam menangkap kisah. Gerak kamera bisa begitu mengejutkan dan tampak berempati. Struktur film ini juga sangat rapi, karena editing yang patuh pada ritme. Persoalan film dokumenter berdurasi 25 menit ini adalah sikap Dria yang masih seperti kebanyakan jurnalis TV: datang, rekam, dan pergi. Mirip seperti anak-anak SMU Al-Azhar yang sangat jitu ditangkapnya mengunjungi penampungan itu seakan sedang mengunjungi kebun binatang. Jika Dria ingin berhasil lebih jauh sebagai pembuat film, ia harus mulai dari kepedulian, bukan ketertarikan, apalagi jika sekadar penugasan. (Eric Sasono)

Wonderful Town Sutradara: Aditya Assarat

Banyak orang bilang, dunia begitu indah di mata orang yang sedang jatuh cinta. Hal itu berlaku juga di Takua Pa, kota kecil yang sedang pemulihan akibat tsunami. Seorang arsitek dari Bangkok hadir untuk membangun kembali wilayah itu dan saling jatuh cinta dengan gadis lokal yang menjaga hotel tempat ia menginap. Masalahnya, ia berhadapan dengan masyarakat yang frustrasi dan belum pulih dari trauma tsunami, dan kebanyakan pengangguran. Gangguan demi gangguan terjadi, dan dituturkan dengan birama yang pelan namun syahdu. Visual, seperti jemuran tertiup angin bahkan lanskap sekali pun, berbicara kuat. Begitu puitis dan kontemplatif. Ini adalah, memakai istilah Yasmin Ahmad, a feeling movie. Jadi, lebih asyik jika film yang cukup

289

290

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

personal dan minim dialog ini ditonton dengan rasa, bukan dengan dengan pikiran. (Ekky Imanjaya)

The Elite Squad (Tropa de Elite) Sutradara: Jose Padilha

Jangan pandang enteng sutradara debutan dan/atau dokumenter. Jose Padilha, yang baru membesut satu dokumenter, membuat film fitur pertamanya dan langsung mendapatkan Beruang Emas di Berlinale 2008, serta 8 penghargaan lainnya, mengalahkan film sekelas There Will be Blood, Katyn (Andreza Wajda), Happy-Go Lucky, atau Song of Sparrows. Mungkin karena produsernya adalah Fernando Meirelles (City of God). Bercerita tentang kacaunya kota Rio de Janeiro pada 1997, yang dikuasai oleh bandar narkoba dan aparat korup. Sri Paus akan mengunjungi tempat itu, dan Kapten Nacimento harus membersihkan tempat-tempat yang akan dilaluinya dari benda haram itu. Intrik demi intrik dan pertempuran kopassus-gangster terjadi, sementara para karakternya juga punya masalah pribadi masing-masing. Intinya: Kopassus juga manusia. Pendekatan realis membuat penonton menjelajahi kawasan perumahan kumuh bertingkat (ingat Incredible Hulk?) hingga praktik jual beli narkotika dan perjanjian rahasia polisi dengan para kriminal. (Ekky Imanjaya)

The Convert Sutradara: Panu Aree & Kong Rithdee

June dan Ake adalah sebuah kisah cinta, dan lebih. June adalah gadis budha yang beralih ke Islam karena akan menikah. June

MATA TURISTIK SUTRADARA, DAN LAIN-LAIN

kenal Ake 4 hari. Ake mengenal telah June 4 tahun. Kalau sekadar menyimak omongan Ake, ini kisah cinta gombal. Hari gini, masih ada yang bungah karena cinta? Tapi lihatlah Ake, anak band di Bangkok yang mendadak sangat Islami, dan meyakini bahwa menikahi June adalah panggilan Tuhan. Lihat June, tertatih melafal syahadat. Mereka miskin, “bisnis” mereka mentok. Boleh jadi, banyak hal yang mereka jalani masih sumir dari segi fiqh dan teologi, atau dari segi akal sehat biasa. Tapi, ini adalah kisah keikhlasan. Sebuah dokumenter Thailand yang tak gemerlap sama sekali. Ketika June dan Ake  sowan  ke kedua keluarga besar, kok adat Thailand mirip Betawi, ya? Jadinya, keikhlasan mereka yang mengharukan itu terasa dekat dengan kita. (Hikmat Darmawan)

Teakleaves on The Temple Sutradara: Garin Nugroho

Jika Anda suka Opera Jawa, Anda akan suka bahwa dokumenter terbaru Garin ini punya kebermainan yang lebih. Jika Anda tak suka Opera Jawa, Anda setidaknya akan mendapat kemewahan menyelami bagaimana komunitas kampung di lereng Merapi bercakap-cakap dengan Jazz kelas dunia. Garin menelusuri pertanyaan-pertanyaan tentang apakah seni, apakah hidup demi seni, dan apakah musik—jantung dari film ini. Lebih dari itu, Garin menekuri: bagaimanakah mendokumentasi penelusuran bunyi. Musik bukan sekadar bunyi, tapi bunyi yang tersusun. Penyusunan itu jelas mengan-dung ide tertentu. Itulah yang ditelusuri Garin. Dan ia berhasil. Film ini. lebih dari sekadar sebuah rutin merekam perjalanan kreatif para seniman di lereng Gunung Merapi bekerjasama dengan Trio Mazzola, Geisser, Jones yang penganut free jazz. Film ini adalah meditasi hubungan bunyi-

291

292

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

ruang-kita. Dan kita pun berjumpa sebuah Indonesia yang kaya warna. Misalnya, si Ismanto, pematung gempal berkaos Superman,  cengar-cengir  bicara seni dan kehidupan. (Hikmat Darmawan)

Eric Sasono

Drupadi

Ada Apa dengan Drupadi?

P

erempuan super cantik titisan Dewi Api ini adalah istri dari 5 orang Pandawa, tokoh protagonis dalam kisah  Mahabharata. Dalam versi India penggalan kisah Mahabharata, Ibunda Pandawa, Dewi Kunti, bersabda bahwa apa pun yang dimiliki oleh salah seorang dari Pandawa menjadi milik mereka berlima, termasuk istri. (Dalam versi Jawa—karena pengaruh Islam—Drupadi menjadi monogamis dan bersuami hanya Yudhistira seorang). Karena kelima Pandawa itu adalah anak-anak yang patuh pada ibu mereka, maka Drupadi harus dibagi di antara anak raja yang tampan dan gagah itu. Kisahnya berawal ketika Drupadi dijadikan objek sayembara oleh ayahnya, Drupada. Dalam lomba ketangkasan memanah, nyaris saja ia dipersunting oleh Karna, seorang lelaki gagah anak sais kereta. Namun Drupadi, sang putri raja, tak rela beristri orang dari kelas bawah, sekalipun sebenarnya Karna yang

294

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

tampan itu adalah anak Dewi Kunti yang lain yang disembunyikan lantaran merupakan hasil dari hubungan gelap. Drupadi yang tak mau menjadi istri orang miskin ini, menghalangi Karna meneruskan lomba panah. Kemudian majulah Arjuna yang berhasil memenangkan perlombaan. Jadilah Drupadi harus bersuami 5 laki-laki tampan Putra Pandu itu. Sampai sini, maka ”malang” mungkin bukan kata sifat yang tepat untuk menggambarkan nasib Drupadi. Ia hidup berpoliandri bersama lima lekaki tampan dan kaya. Kelima suaminya rela berbagi dan punya pengertian luar biasa terhadapnya. Ia boleh pilih kasih tanpa menyinggung perasaan suaminya yang lain. Sebuah dunia poliandri ideal yang bahkan lebih  idyllic  ketimbang dunia bigini  Ayat-ayat Cinta. Apakah film Drupadi ini sedang mengajukan sebuah perayaan terhadap poliandri sekaligus meledek gagasan poligini? Lantas, sedihkah Drupadi menjadi objek (mungkin tepatnya subjek) poliandri? Ia tak melonjak-lonjak kegirangan sekalipun kelima suaminya yang tampan itu ia absen satu demi satu sambil menyebutkan kelebihan-kelebihan mereka. Bahkan ia tak punya dilema internal semisal Fahri dalam Ayat-ayat Cinta. Inikah ide pembelaan perempuan yang dinyatakan oleh Dian Sastro— produser sekaligus pemeran Drupadi—agar “jangan sampai perempuan mengalami seperti ini” yang ia nyatakan dalam behind the scene film ini? Tentu imbauan semacam ini tak akan laku karena perempuan mana yang tak ingin menjadi suami dari lelaki macam Dwi Sasono, Ario Bayu, dan Nicolas Saputra sekaligus dengan bonus dua orang kembar tampan Aditya Bagus Sambada, dan Aditya Bagus Santosa? Yang dimaksudkan oleh Dian Sastro agar “jangan sampai perempuan mengalami hal seperti ini” adalah menjadi seperti barang yang dipertaruhkan di permainan dadu. Tunggu sebentar. Bukankah Pandawa lainnya juga dipertaruhkan dalam permainan dadu itu? Jadi, nasib Drupadi sebagai perempuan dalam soal jadi

ADA APA DENGAN DRUPADI?

taruhan permainan dadu tak istimewa. Lagipula, jangan lupa bahwa Drupadi juga sempat menjadi semacam objek pertaruhan dalam sayembara mencari calon suami yang diselenggarakan ayahnya. Maka menjadi objek taruhan bukan hal yang istimewa bagi perempuan Drupadi ini. Yang istimewa bagi perempuan bernama Drupadi adalah bahwa ia kemudian diseret dari tempat nyamannya, dijambak rambutnya hingga sanggulnya terlepas, dan kemudian dibawa ke balairung tempat judi itu berlangsung dan akan ditelanjangi ketika orang yang mempertaruhkannya kalah. Kemarahan Drupadi bukanlah karena ia “menjadi komoditas” seperti yang dikatakan oleh Dian Sastro, melainkan karena perlakuan kasar yang menimpanya. Ia protes terhadap perlakuan kasar itu, bukan pada suaminya yang sudah berbuat bodoh. Bisa jadi memang ada semacam pijakan bagi kemarahan Drupadi terhadap kekasaran yang menimpanya ini, tetapi moral dasar yang sedang diajarkan oleh penggalan kisah Mahabharata itu bukanlah tentang ‘menjadi komoditi’ atau ‘perlakuan kasar terhadap perempuan’. Pelajaran dasar penggalan kisah permainan dadu ini adalah tentang seorang, namanya Yudhistira, yang tak mampu menghadapi kelemahan dirinya yang paling mendasar— sekalipun ia adalah titisan Brahma, sang maha bijaksana. Maka segala penghinaan terhadap dirinya, saudara-saudaranya, istrinya, hilangnya seluruh harta, kehormatan dan akhirnya mereka hidup menggelandang 12 tahun di hutan adalah harga yang harus dibayar untuk semacam kebodohan itu. Celakanya, Drupadi versi film pendek ini mempertahankan cerita itu beserta pelajaran moralnya dan tak melakukan perubahan signifikan terhadapnya, kecuali absensi terhadap para suami tadi. Kisah selanjutnya tetap merupakan eksplorasi terhadap kebodohan dan hawa nafsu Yudhistira dalam bermain dadu yang mengambil sebagian besar porsi film.

295

296

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Maka ‘pembelaan perempuan’ dalam Drupadi menjadi wagu. Perspektif perempuan yang muncul dalam film ini tidak memperlihatkan posisi perempuan yang sulit, sekaligus tak punya arah pembelaan yang absah. Pertama, perempuan di sini menjalani impian hidup berpoliandri bersama lima orang tampan sekaligus. Kalau pun hal ini ingin dikeluhkan, bentuknya akan mirip-mirip saja dengan keluhan tokoh Fahri dalam Ayat-ayat Cinta  yang bingung harus lebih mencintai yang mana dari pasangan yang cantik dan kaya itu. Apakah film  Drupadi  memang sedang merayakan ide poliandri? Rasanya bukan ide itu karena toh Drupadi menolak menjadi milik 100 orang Kurawa karena mereka kasar dan angkara murka. Bukan ide poliandri semata yang dirayakan Drupadi, tapi ide poliandri yang ideal. Kedua, film ini menyajikan tokoh Drupadi yang bisa menjalani kehidupan ideal sebagai buah dari sikap tidak fair tanpa ingin disalahkan secara moral. Ia tak fair dengan menghalangi kesempatan Karna karena Karna miskin, tapi narator film ini sama sekali tak memberi komentar. Bandingkan dengan komentar berkali-kali terhadap kecurangan Sengkuni (yang tak disajikan buktinya di layar). Bahkan ketika Karna membalas sakit hatinya atas sikap diskrminatif Drupadi (sebuah sakit hati yang rasanya wajar) itu dengan kata-kata, film ini tetap memperlihatkan Karna sebagai tokoh jahat. Sedangkan Bima yang merobek mulut Sengkuni dan Drupadi yang mencuci rambutnya dengan darah Dursasana, tetap menjadi pahlawan setelah membalaskan sakit hati yang mirip dengan sakit hati Karna. Sebuah pameran besar-besaran untuk sikap standar ganda. Memang standar ganda ini sudah sejak awal ada dalam Mahabharata, tapi apakah ini yang memang sedang ingin digambarkan oleh film pendek Drupadi ini? Ketiga, meletakkan persoalan perempuan (perlakuan kasar terhadap perempuan) sebagai persoalan terpisah dari persoalan

ADA APA DENGAN DRUPADI?

kemanusiaan (perbudakan) yang lebih luas. Tentu saja sebagai perempuan, Drupai mendapat perlakuan kasar dan semena-mena, dan siapa mau diperlakukan seperti itu? Namun, Drupadi tak pernah mempertanyakan perilaku suaminya secara umum. Ia hanya mempersoalkan perilaku suaminya yang berdampak padanya. Ingat protesnya kepada tiga tetua, Destarata, Bisma dan Dorna, yang hadir di balairung pada saat perjudian, “kenapa orang yang sudah tak bebas boleh mempertaruhkan orang bebas?” Protes ini hanya tertuju pada tindakan Yudhistira yang berimplikasi padanya, bukan pada tindakan Yudhistira secara keseluruhan. Ia mengeluh karena nasib buruk menimpa padanya, bukan sedang mempersoalkan hilangnya kehormatan suamisuaminya. Ia mengeluh, bukan melawan. Lagi-lagi: inikah yang memang ingin dinyatakan oleh film Drupadi? Kesetiaan tak perlu terhadap cerita asli penggalan kisah Mahabharata ini sebenarnya sama sekali bukan persoalan ketika tak diaku sebagai alat pembela perjuangan perempuan. Namun para pembuat film ini seakan tak waspada terhadap berbagai pesan moral lain yang turut terbaca bersama plot film ini. Kematangan dalam mengadaptasi naskah besar ini tampaknya memang absen. Kritikus film Leila S. Chudori yang menulis naskahnya masih berkutat dengan menceritakan ulang kisah aslinya, dan tak berani menafsir ulang untuk membawa gagasannya sendiri. Padahal, apa yang menghalanginya? Maka sejak skenario, Drupadi sudah bermasalah. Materi cerita yang dibawa film ini sama sekali tak cocok sebagai materi film pendek. “Pendek” dalam film pendek Drupadi ini hanya berarti durasi, dan sama sekali bukan sebuah format tersendiri, lantaran seluruh gagasan Mahabharata coba dipadatkan oleh film ini. Lantas, “ajaran moral” yang dibawa kisah ini tidak digeser. Lihat misalnya pada karakterisasi Kurawa dan Pandawa yang menegaskan pendekatan yang dipenuhi stereotype yang memang dibutuhkan dalam epik sekaligus kitab suci seperti Mahabharata

297

298

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

yang mengajarkan moral dasar kebaikan dan kejahatan, tapi terasa ganjil untuk mengomentari keadaan kontemporer. Film ini tak keberatan sama sekali dengan segala stereotype dan nyaman sekali menempatkan poetic justice sebagai nilai yang diusungnya. Riri Riza masih menempatkan moralitas hitam putih yang biasanya digunakan untuk cerita anak-anak (yang bahkan oleh penulis macam Maurice Sendak, atau Dr. Seuss saja sudah tak dipakai). Perhatikan bahwa para tokoh Pandawa itu begitu tampan dengan tutur kata terjaga dan bahasa tubuh minimum dan terkendali, sementara tokoh Kurawa dicirikan dengan buruk rupa (dengan segenap maaf kepada Mas Whani Darmawan, dan Mas Djarot dan kawan-kawan), tertawa-tawa dan berteriak serta menari dengan gerakan lebar dan ekspresif. Mau tak mau, karakterisasi macam ini akhirnya terbandingkan dengan adaptasi tokoh Rahwana menjadi Ludiro pada Opera Jawa-nya Garin Nugroho. Rahwana yang dalam epik Ramayana adalah tokoh super jahat berkepala sepuluh, dan mencungkil sisa makanan dengan keris pusaka, dalam adaptasi itu berubah menjadi Ludiro, sesosok manusia yang lemah dan sambil menangis, ingin kembali ke rahim sang ibu ketika kain merah lambang kejayaannya dikoyak-koyak oleh Rama/Seta. Mau tak mau—dengan sangat menyesal—memandang karakterisasi Drupadi dan Opera Jawa akhirnya terpampang juga perbandingan antara sebuah proses adaptasi yang tak memahami esensi dengan adaptasi yang dewasa dan penuh perhitungan. Stereotype yang hadir dalam Drupadi ini memang cocok sebagai adonan pembuat  poetic justice  di ujung cerita. Padahal  poetic justice, seperti kata penulis Orhan Pamuk, berpeluang besar membuat buruk sebuah cerita. Bahkan, kata Orhan sambil bercanda,  poetic justice  membuat ia diserang sekelompok anjing yang mungkin pernah membaca bukunya dan dendam karena karakterisasi mereka di bukunya itu.  Poetic

ADA APA DENGAN DRUPADI?

justice bukan cuma berakibat buruk terhadap narasi, mungkin bahkan terhadap hidup kita, kata Pamuk lagi. Ia hanya baik bagi sebuah ajaran moral dasar yang tak memberi dimensi persoalan. Maaf untuk mengulang-ulang pertanyaan ini: apakah ini yang memang sedang dipromosikan oleh Drupadi? Pertanyaan berulang-ulang soal “niat” Drupadi harus terjadi, lantaran saratnya film ini sebagai sebuah film dengan tiga dimensi pernyataan. Pertama, ia adalah penyataan politik pembelaan terhadap perempuan. Kedua, film ini bisa dibilang sebuah sikap estetik dari pembuatnya, termasuk sutradara Riri Riza, yang tampak ingin mengeksplorasi bentuk yang belum pernah ia tangani sebelumnya dengan risiko karya ini akan dibandingkan dengan karya Garin Nugroho,  Opera Jawa, yang sama-sama menggunakan unsur tari dan lagu Jawa yang masif sepanjang film. Ketiga, dengan format film pendek yang tak punya jalur distribusi di Indonesia,  Drupadi  tampak menyasar festival internasional dan berniat menjadi “lokomotif bagi industri kreatif ” terutama jadi etalase bagi musik hibrida milik Djaduk Ferianto dan rancangan busana Chitra Subiyakto. Film ini terlihat seperti ingin menjadi “duta besar” tak resmi bagi karya adiluhung yang dimuat dalam sinema Indonesia karena tak ada hitunghitungan komersial apapun yang masuk akal yang bisa menjelaskan bagaimana ongkos produksi yang besar itu bakal bisa balik modal. Niatan sinematik dan nonsinematik itu terbaca jelas dan akhirnya membentuk penilaian terhadap film ini secara keseluruhan. Pernyataan politik pembelaan perempuan yang dibawa Drupadi, alih-alih tepat sasaran, malahan memperlihatkan sebuah sikap ketidakmatangan dalam berkarya dan luputnya kemampuan menangkap esensi sebuah karya besar. Adakah sikap estetik yang pantas dipajang oleh Drupadi? Sayang sekali bahwa Opera Jawa sudah menetapkan semacam

299

300

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

benchmark yang bagi saya pribadi bahkan berpeluang memberi sumbangan bagi sejarah sinema dunia. Maka melihat Drupadi dengan estetika semacam ini seakan seperti melihat pengikut Garin Nugroho yang berhasil mendapat dana produksi lebih besar, tapi gagal mengikuti ajaran paling esensial dari sang guru. Semangat untuk mengeksplorasi bentuk sinema dan bermain-main mencari cara ucap yang  genuine  pada  Opera Jawa  berubah jadi seni menata etalase pada  Drupadi. Segala keindahan yang ditampilkan dalam film ini seperti sebuah pajangan indah berkilauan tapi tak punya daya tarik asali. Terlihat sekali bahwa sang pengarah film ini tak punya gambaran film ini seharusnya dibuat seperti apa. Hal itu juga tampak sekali pada departemen akting yang tercerai berai. Ada akting yang mendekati gaya wayang orang dari Dwi Sasono, ada gaya Dian Sastro yang tetap terkesan sebagai anak urban, ada yang kebingungan harus bergaya apa seperti Ario Bayu, ada akting yang sangat terukur dari Whani Darmawan, dan ada pengulangan akting gaya monolog dengan wajah yang dirancang untuk dapat close-up dari Butet Kertaredjasa. Seni peran yang berjalan ke arah berlain-lainan ini adalah buah dari ketidakmengertian sutradara dari apa esensi film ini. Jika ada keberhasilan, maka sebagai etalase, film ini berhasil dengan baik mengantar pameran busana Chitra Subiyakto. Rancangan busana adiluhung Chitra, terutama yang dipakai oleh Dian, memang menjadi sebuah pameran tersendiri. Komposisi gambar dan detil tata artistik sangat menarik, tapi rasanya framing  film ini secara keseluruhan lebih mirip dengan framing untuk TV ketimbang layar lebar, terutama dengan penekanan pada syut middle to close yang tak berisiko. Maka pertanyaan besar buat Riri Riza dan Mira Lesmana: mengapa membuat film seperti ini? Percayakah mereka pada subjek film mereka ini? Sayang sekali bahwa pertanyaan-

ADA APA DENGAN DRUPADI?

pertanyaan macam ini harus diajukan kepada Riri dan Mira, pasangan yang telah menghasilkan Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta?, Eliana-Eliana, dan tentu saja, Laskar Pelangi.

301

Ifan Adriansyah Ismail

Drupadi

Tragedi Tanpa Poin

K

isah Drupadi, kita tahu, adalah sebuah tragedi. Betapa memilukannya memang, ketika nasib seorang wanita dipermainkan lewat sekeping dadu, dan oleh ulah orang-orang yang semestinya mencintainya. Tapi jika film tentang Drupadi juga sebuah tragedi, saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Drupadi adalah buah kerja kanca-kanca lawas Riri RizaDian Sastro-Nicholas Saputra. Film yang diproduseri dan dibintangi Dian Sastro ini berdurasi pendek, hanya 45 menit, dan mungkin hendak ikut meramaikan kembali ajang film pendek Indonesia. Tapi, sebetulnya apa yang bisa didapat dari film ini? Kisahnya, tentu saja telah menjadi klasik. Drupadi adalah istri para Pandawa yang dinistakan oleh Kurawa (dan juga Pandawa sebetulnya) lewat sebuah permainan judi dadu. Sulung Pandawa, Yudhistira, dikenal jujur tapi mudah silau oleh gemerlap dunia

TRAGEDI TANPA POIN

judi. Kelak, penderitaan Drupadi membuahkan sebuah sumpah yang ikut menumpahkan ribuan liter darah di padang Kurusetra. Tapi jangan-jangan layaknya Yudhistira, Riri dan kawankawan pun silau oleh gemerlap dunia film berbiaya tinggi. Drupadi  digadang-gadang sebagai sudut pandang baru atas penderitaan Drupadi, yaitu sudut pandang sang wanita. Maka kita lihat adegan demi adegan yang gambarnya indah mencoba bertutur: Drupadi dipinang, Drupadi bercinta (dan condong ke Arjuna), Drupadi dijadikan taruhan, Drupadi menderita dan membuat sumpah maut, perang terjadi, dan Drupadi memenuhi sumpahnya. Megah nian. Tapi begitu lampu bioskop menyala, yang saya pikirkan adalah, “and the point is…?” Baiklah, baiklah. Saya perlu menjelaskan dulu, bahwa yang saya maksud dengan poin cerita tentu tidak harus hadir dari dramatisasi, plot yang jelas, atau aspek-aspek drama ala Aristoteles lainnya. Poin cerita bahkan bisa hadir dari serangkaian imaji yang tampak tidak berkaitan, tapi menyelam dalam laksana puisi. Lalu, apa problem Drupadi? Antara lain: bahwa meskipun dia mengklaim mengambil sudut pandang wanita, Drupadi gagal mengambil sikap. Yang dilakukannya hanyalah mencomot teks mentah Mahabharata yang ada “baris dialog Drupadi”-nya, lalu menyajikannya setelah dihias-hias. Tidak ada pendalaman atau sesuatu yang baru. Akibatnya, poin cerita gagal disampaikan, atau malahan tidak ada. Ini jauh lebih fatal daripada kasus 3 Hari Untuk Selamanya. Di 3 Hari…, Riri kedodoran dalam menyusun intensitas cerita. Film itu berakhir seperti seorang pecinta yang ditinggal begitu saja setelah foreplay lama-lama. Tapi, setidaknya, 3 Hari… mampu menelisik dalam ke permasalahan karakter-karakternya, dan membuat film ini jadi sangat personal. Gawatnya, Drupadi malah menggenapkan kekurangan itu. Selain memiliki kekurangan yang sama (samasama foreplay yang nanggung), dia malah gagal pula menyelami

303

304

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

karakter-karakternya. Jadi, ketika Dian Sastro mengatakan bahwa film ini mampu membuat perempuan lebih berdaya, saya hanya terlongo. Di mananya, ya, dayanya? Atau mungkin kekuatan film ini terletak di production valuenya yang dahsyat? Ya, ya, saya lihat departemen visual dan properti telah bekerja keras. Setnya megah, pemandangannya indah, dan pemainnya cakep-cakep. Tapi, astaga, hal ini justru membuat Drupadi semakin terpuruk sebagai tragedi (filmnya, lho, ya). Bagaimana mungkin semua upaya, kerja keras, keringat dan uang itu habis untuk sebuah …apa ya? Sesuatu yang tidak memiliki sikap, mungkin? Seolah belum cukup jadi tragedi, situasi dan kondisi membuat  Drupadi  tidak terhindarkan dari pembandingan terhadap pendahulunya. Sebutlah Opera Jawa-nya Garin Nugroho yang jejaknya terlihat jelas di sini. Tapi,  Opera Jawa  adalah sebentuk permainan yang didasarkan pada dialog antar gagasan dan antar medium. Sebuah upaya yang tidak mudah dan tidak selamanya berhasil. Sebaliknya,  Drupadi  menghindar dari pergulatan itu dan malah mengambil penampakan kulit terluarnya, lalu mengira itu sudah cukup. Belum lagi jika kita ingat bahwa film ini kecil kemungkinannya dirilis untuk khalayak umum. Sudah pemirsanya terbatas, tidak memberikan apa-apa pula. Kekurangan nan fatal ini membuat Drupadi tidak bisa lagi dinilai dari segi kekaryaannya belaka. Kita harus bertanya-tanya, konteks apa yang membuat film ini dibuat, di luar pernyataan verbal para pembuatnya. Percobaan kolaborasi? Pembuktian diri? Parade kegemerlapan? Pada akhirnya, saya hanya bisa menerima Drupadi sebagai tamasya mata yang mengasyikkan. Tidak lebih. Selebihnya hanyalah rentetan peristiwa yang berlalu begitu saja tanpa bekas. Fakta bahwa ulah Pandawa tidak pernah dipermasalahkan mungkin sedikit mengganggu; tapi

TRAGEDI TANPA POIN

pendangkalan sosok Karna menjadi bajingan yang diracun kesumat hampir tak termaafkan. Terakhir, marilah kita bersyukur bahwa sosok Drupadi sudah tidak ada lagi (atau tidak pernah ada), karena sumpah mautnya untuk mencuci rambut dengan darah bisa gawat kalau diucapkan gara-gara menonton film ini. Oh, tapi saya bukan penonton yang tidak tahu terima kasih, kok. Terima kasih untuk gula-gula visualnya ya.

PS: Doppelganger saya mengingatkan, “Fan, liat nggak? Dian Sastro kok mainnya tipikal banget ya? Trus apa kamu merasa bahwa Butet mulai typecast…” “Ssst,” potong saya. “Jangan. Ingat nasehat Russell Edwards, kritikus film untuk majalah Variety di semiloka master class JIFFest kemarin. Jangan mengritik bintang filmnya. Kasihan.”

— Drupadi Sutradara: Riri Riza / Skenario: Leila Chudori / 2008, Color, 45 min., 35 mm.

305

Ifan Adriansyah Ismail

Tokyo Sonata

Puisi Berbisik dari Bangsa Jaim

M

arilah kita tidak saling mengorek luka masingmasing,” ujar sang guru dengan masygul kepada Kenji Sasaki (Inowaki Kai), “Kauacuhkan saja aku, dan aku juga akan mengacuhkanmu.” Demikianlah, dengan kalimat getir itu kita dihantarkan pada sebentuk perilaku yang barangkali telah menyemen sendisendi sosial tapi juga menanam benih keretakan sendi-sendi itu sendiri. Berbicara perihal runtuhnya tata nilai dalam keluarga dan masyarakat bukanlah barang baru lagi. Bahkan tidak pula yang membicarakan kemungkinan kesalahan tata itu sendiri dalam keruntuhannya. Tapi, Tokyo Sonata berhasil dengan gemilang. Film besutan Kiyoshi Kurosawa ini adalah sebuah esai yang puitis, bertutur dengan liris tapi juga gatal untuk sesekali menohok, bahkan melawak. Racikan puitis inilah yang menjadikan Tokyo Sonata berhasil menyajikan tema lama menjadi tetap mampu menggugah, dan mengaduk-aduk batin kita.

PUISI BERBISIK DARI BANGSA JAIM

Alkisah, seorang karyawan kantoran bernama Ryuhei Sasaki (Teruyuki Kagawa) dipecat begitu saja dari pekerjaannya. Rasa malu, gengsi, marah, dan tak berdaya mencegahnya dari berkata jujur terhadap keluarga. Di sisi lain anak istrinya sendiri menyimpan permasalahan lain yang tak terucap. Megumi, sang istri (Kyoko Koizumi), tetap menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga yang mangkus dan sangkil, laksana mesin yang mampu tersenyum; Takashi (Yuu Koyanagi), anak sulungnya, tidak jelas mau jadi apa; Kenji, si bungsu yang masih bocah, juga menyimpan hasrat berkesenian yang tidak mendapat restu. Perlahan-lahan, semua masalah ini akan menggunung dan meledak dalam luapan frustrasi yang bisa berarti maut. Ada apa dengan masyarakat yang seperti ini? Kiyoshi Kurosawa sebelumnya dikenal kerap menyisipkan kritik sosial yang mendalam di karya-karya horornya. Kali ini, dia mengentalkan kadar kritik itu dalam puisi yang kadang humoristis, tapi tidak kalah menegangkannya dari horor. Dan yang dikritiknya adalah sesuatu di dalam masyarakat Jepang yang sepenuhnya saya sepakati. Sebutlah saya sok tahu. Jadi, meskipun saya tidak pernah ke Jepang, tapi dari puluhan komik, film dan animasi yang menyimpan berjuta narasi tentang Jepang, saya menyimpulkan bahwa Jepang adalah bangsa paling  jaim  (“ jaga imej” – bahasa slang kalangan anak muda Jakarta) sedunia. Rasa malu dan gengsi sanggup membuat mereka melakukan apa saja, termasuk tentu saja yang paling terkenal: bunuh diri. Pemendaman masalah semacam itu pulalah yang perlahanlahan menggerogoti keluarga Sasaki, atau masyarakat Jepang, atau bahkan jangan-jangan masyarakat kita juga. Kita saksikan di Tokyo Sonata, betapa praktik-praktik jaga gengsi itu bisa sangat jenaka, kocak, tapi juga menyedihkan. Pada hakikatnya, semua itu adalah praktik menipu diri yang berujung pada jurang gelap.

307

308

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Maka, seiring waktu, keretakan tatanan di keluarga Sasaki semakin melebar. Ryuhei kehilangan statusnya sebagai pengayom dan pusat keluarga. Hubungan meregang, ditingkahi kemarahan, frustrasi dan bahkan kekerasan. Dari situ pula, muncul masalah yang sebelumnya tak tampak: rasa frustrasi Megumi yang telah lama kehilangan gairah dan keterpinggiran yang kronis. Dari titik terendah ini akan kita lihat bagaimana keluaga Sasaki melewatinya, sekaligus turut merasakan empati. Menjelang klimaks film, kepiawaian Kurosawa semakin terasa. Bagaikan koki handal, di sinilah dia meracik resepnya dalam ramuan yang semakin pekat dan semakin menggigit. Dicampuradukkannya unsur-unsur surealis, humor, tragedi dan bahkan mungkin realime magis dalam kadar yang pekat tapi pas. Dan setelahnya, dia menyajikan kisah keluarga Sasaki sesudah krisis dengan cara yang mungkin mengagetkan, tapi juga lucu dan menggugah. Yang patut saya garisbawahi di sini adalah absennya sosok otoritatif yang biasanya menyelubungi film-film kita seperti awan belalang. Tanpa adanya sosok penasehat nan bijak, atau pemberi jalan keluar nan bersifat ruhani, Tokyo Sonata justru menunjukkan rasa percayanya bahwa manusia yang lemah ini sanggup belajar sendiri dari kesalahannya. Ini jelas sebuah catatan yang berharga bagi kita masyarakat modern yang terabaikan dari era wahyu, yang kering dari sosoksosok panutan. Entah diniatkan atau tidak, bagi saya yang orang Indonesia, Tokyo Sonata memberi harapan bagi kita yang terlanjur muak tapi juga bingung dengan absennya panutan. Dengan cara itu, Tokyo Sonata menyisakan harapan yang besar, juga bagi manusia-manusia Tokyo di semesta film ini. Satusatunya keluhan adalah bahwa saya bisa menebak bagaimana kirakira adegan penutupnya sejak awal film. Tapi toh untungnya keisengan saya menebak tidak mengurangi nilai adegan itu.

PUISI BERBISIK DARI BANGSA JAIM

Dalam sebuah ode yang menyentuh, adegan penutup Tokyo Sonata  bagaikan—meminjam istilah guru PMP—menjiwai seluruh aura film berpuluh-puluh menit sebelumnya. Jika pelupuk mata Anda tidak menghangat di adegan ini, saya tidak tahu lagi, terbuat dari apa hati Anda. Nikmatilah Tokyo Sonata seperti puisi yang berbisik liris ke telinga Anda. Anda bisa tertawa geli karenanya, tapi juga selamanya tersentak oleh renungan isinya.

PS: Doppelganger saya tiba-tiba punya ide: bagaimana jika orang-orang Jepang itu kita carikan sosok panutan saja, supaya bisa seperti kita yang “banyak” tokoh panutan? Langsung saja saya membungkam dan menyekapnya di gudang. Apa sih yang dipikirkannya? Tokyo Sonata Director: Kiyoshi Kurosawa / 2008 / Color, 119 min., 35 mm.

309

Eric Sasono

3 Doa 3 Cinta

Menonton Islam yang Akrab

P

esantren adalah subkultur? Bisa jadi pernyataan Abdurrahman Wahid beberapa dekade lalu itu ada benarnya. Namun Nurman Hakim tak repot dengan itu. Film 3 Doa 3 Cinta yang disutradarainya ini terasa dibuat tanpa ambisi berlebih dan seakan berkata: ‘ini adalah pesantren yang saya kenal, dan saya tak terlalu peduli pada definisi dan segala anggapan tentangnya’. Namun dengan bicara itu, ternyata Nurman Hakim bicara tentang sesuatu yang lebih besar: Islam di Indonesia. Islam di Indonesia tak pernah monolitik, dan itu jelas. Maka film Islam juga seharusnya tidak menggambarkan Islam secara monolitik. Sampai di sana juga jelas dan Nurman bukan yang pertama. Asrul Sani dan Chaerul Umam sudah membuat film dengan muatan Islam yang beragam dalam  Titian Serambut DibelahTujuh, Al Kautsar dan Nada dan Dakwah. Namun ada

MENONTON ISLAM YANG AKRAB

perbedaan besar antara ide Islam yang dibawa kedua orang legenda film Indonesia ini dengan ide Nurman. Pada 3 Doa, Nurman mengantar sebuah kronika, sebuah kumpulan pernak-pernik kehidupan sehari-hari yang dialami oleh 3 orang tokohnya. Mereka bukanlah bagian dari orang-orang dengan aspirasi besar untuk mengubah keadaan masyarakat yang jahiliyah atau sesat, dan bukan pula sedang menghadapi situasi penuh konflik yang sedang menentukan hidup mati mereka. Drama dalam film ini adalah sebuah drama biasa, sebuah coming of age, yang bisa menimpa sesiapa saja dengan agama apa saja. Maka sebuah dimensi baru dalam soal Islam terpapar dalam film ini: Islam adalah bagian dari kehidupan sehari-hari manusia Indonesia yang tak perlu lagi pendefinisian mencari-cari identitas dan tempat dalam sejarah. Ia sudah menjadi bagian dari sejarah. Ia tak perlu jadi tenaga penghela perubahan dunia. Ia memang ada, beragam, dan dipercaya sebagai bagian dari perilaku sehari-hari. Dan ragam Islam itu akhirnya juga mempengaruhi jalan hidup ketiga tokoh dalam film ini. Islam menjadi sesuatu yang familiar dan menjadi bagian hidup sehari-hari. Familiarisasi Islam ini menjadi kekuatan utama 3 Doa. Saya berani mengatakan bahwa inilah salah satu model terbaik “film Islam” dalam pengertian yang sama sekali tak mengandalkan semata-mata pada ungkapan simbolis. Islam sudah menjadi kultur yang akrab. Lewat ketiga tokoh utama, peristiwa-peristiwa keseharian tidak perlu lagi dilabeli “Islami” atau “tidak Islami” karena Islam sudah terterima sebagai bagian hidup dan masalah yang mereka alami serupa belaka dengan masalah manusia Indonesia lainnya. Kisah film ini adalah 3 orang sahabat di sebuah pesantren kecil di Jawa Tengah. Cerita paling menonjol adalah tentang Huda (Nicolas Saputra), santri tampan yang ingin sekali mengetahui

311

312

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

keberadaan ibunya. Diam-diam ia menemukan semacam sosok ibu pada seorang penyanyi dangdut keliling, Donna Satelit (Dian Sastro), yang selalu nyekar ke makam dekat pesantrennya selagi pertunjukan dangdutnya ada di kota itu. Hubungan terbangun antara mereka, tapi bukan sebuah roman yang panjang. Nurman hanya ingin menggambarkan sesuatu yang sederhana yang jadi persoalan semua anak seusia Huda: perkenalan dengan seks. Bayangkanlah bahwa film ini berkata: pelajaran seks— sebuah ciuman di bibir—dari Donna Satelit yang, ketika di panggung, roknya tak menutupi celana dalamnya, telah membentuk seorang calon kyai pengasuh pesantren. Dengan cara semacam inilah Islam di Indonesia tumbuh: oleh manusiamanusia yang hidup dengan segala apa yang ada pada dirinya, bukan dengan seakan-akan hidupnya sesempurna malaikat kemudian melabel orang tak sepandangan dengannya sebagai ‘kafir’, ‘antek Amerika’ lantas merasa berhak untuk mementungi mereka dengan bambu. Sebuah dramatic irony yang halus terjadi ketika di ujung film, Huda akhirnya menjadi (minor spoiler alert!) suami dari anak Kyai pemilik pesantren dan meneruskan ayah mertuanya menafsir kitab kuning untuk murid-muridnya. Wajah Kyai muda simpatik dengan kumis tipis itu terlihat masih menyisakan semacam jejak ‘petualangan’ dengan Donna Satelit, sekalipun tentu ia akan menjadi seorang kyai bijaksana, dan sayang pada istrinya yang juga cantik. Tokoh kedua, adalah Rian (Yoga Pratama), santri dari kelas menengah yang mendapat hadiah kamera video dari ayahnya. Ia menjadi bagian dari keseharian kehidupan pesantren itu sekaligus merekamnya, sebuah tradisi pencatatan  diary  kontemporer. Seperti halnya  Catatan Akhir Sekolah,  3 Doa  menegaskan penguatan kecenderungan tradisi menulis diary berubah menjadi merekam dengan video. Rian inilah yang bisa jadi lantas tampil

MENONTON ISLAM YANG AKRAB

sebagai Nurman yang mengantar kronika ini kepada Indonesia kini. Kecintaan Rian pada film membuatnya terhubung dengan sebuah pertunjukan layar tancap keliling. Sebuah dunia “Cinema Paradiso” mini yang khas milik Asia (lihat juga misalnya pada The Sun Also Rises  karya sutradara Jiang Wen, 2007) yang menggambarkan bahwa tradisi dan kecintaan terhadap sinema tidak hanya menjadi milik kaum urban, tetapi merupakan sesuatu yang universal, termasuk juga milik kaum muslim Indonesia. Tokoh ketiga adalah Sahid (Yoga Bagus) yang mencoba menjalankan Islam sebaik-baiknya. Sahid yang di setiap waktu luang selalu mengaji dengan menggunakan Quran kecil kemudian bertemu dengan seorang ustad di luar pesantren. Ustad ini sempat membuatnya merasa lebih beriman dengan mengobarkan semacam kebencian. Keinginan sederhana Sahid lantas tiba pada sebuah gambaran persoalan kontemporer, yang menghubungkan kepolitikan global kontemporer dengan dunia santri yang kecil, di kota pedalaman yang tak penting di sebuah negara berkembang. Kisah Sahid ini merupakan sebuah komentar terhadap keberagaman Islam yang bisa jadi agak khas Indonesia. Fragmen ini membuat persoalan Islam kontemporer dan tuduhan Islam sebagai biang terorisme tidak sekadar sebagai latar belakang untuk kisah lain. Bayangkanlah bahwa niat keber-Islam-an yang tulus dan sungguh-sungguh bagi seorang Muslim di Indonesia begitu dekat dengan tindakan yang diberi label terorisme oleh kesepakatan global. Kemiskinan yang menjadi latar belakang kehidupan Sahid menjadi semacam catatan kaki bagi persoalan Islam di Indonesia ini. Dengan jitu Nurman memberi komentar bahwa keterlibatan orang Islam pada hal yang digolongkan sebagai terorisme tidak bisa dinisbahkan pada kemiskinan begitu saja. Sebuah pendekatan yang simpatik dalam melihat Islam, bisa jadi karena

313

314

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

keakraban Nurman dengan pokok soal (subject matter) yang dikerjakannya. Menarik sekali membandingkan fragmen tentang Sahid ini dengan film In The Name of God (Khuda Khay Liye, diputar di Jiffest 2008) dari sutradara Pakistan, Shooaib Manshoor, yang menceritakan soal niatan keberislaman serupa, dari seorang penyanyi yang membuatnya akhirnya menjadi tentara Taliban berperang melawan Amerika, padahal ia seorang pecinta damai. Di Pakistan, latar belakang politik negeri itu memungkinkan orang tulus itu menjadi tentara Taliban. Di Indonesia, ia adalah bahan baku penting bagi bom bunuh diri. Baik 3 Doa dan Khuda Khay Liye sama-sama membicarakan keberislaman yang tulus di tengah kepolitikan global yang membuat orang-orang biasa dan saudara-saudara kita tak bisa innocent saja ketika mereka diubah menjadi semacam mesin pembunuh atas nama Islam atau Tuhan. Semua kehidupan anak-anak muslim muda ini ditampilkan oleh Nurman Hakim dalam penggambaran yang sederhana dan sama sekali tak berambisi. Penyutradaraannya demikian polos sehingga ia seakan lupa membangun tensi dramatik filmnya. Kegagalan bangunan dramatik itu terjadi karena: Pertama, ia begitu akrabnya dengan pesantren sehingga tak merasa perlu mengenalkan pesantren lebih jauh. Bandingkan dengan Fiksi. (Mouly Surya) yang memperkenalkan rumah susun bagai sebuah sirkus dunia nyata bagi latar belakang tokoh-tokohnya. Tanpa perlu memandang kelewat eksotik terhadap dunia pesantren, Nurman tetap bisa menyajikan pesona terhadap dunia itu. Kedua, penyutradaraan yang polos dan rendah hati ini, celakanya, diiringi oleh editing yang sama sekali tak kreatif. Editor senior Sastha Sunu seperti sedang mengikuti shooting list saja yang diberi sutradara dan tak berusaha memberi tekanan apapun pada cerita. Plot menjadi tidak dinamis dan film ini seakan kehabisan energi di tengah-tengah. Bisa jadi Sastha kehabisan syut untuk

MENONTON ISLAM YANG AKRAB

memberi aksentuasi seperti syut  cover  pada benda-benda atau established shoot untuk memperlihatkan lokasi, tapi editor paling senior yang masih aktif ini tak menolong kepolosan penyutradaraan Nurman agar bisa menjadi lebih hidup. Namun, bagaimanapun,  3 Doa 3 Cinta  merupakan sebuah karya yang lahir dari sebuah dunia yang intim dan diketahui dengan baik. Nurman telah berhasil mengantar sebuah dunia yang sangat khas, tapi pada saat yang sama juga akrab. Nurman berhasil menghindar dari hanya asyik dengan dunianya sendiri, justru ketika ia dengan tulus dan rendah hati tampak ingin bercerita saja. Maka, alih-alih membawa sebuah subkultur yang asing dan abai terhadap penonton, pesantren sebagai latar belakang 3 Doa 3 Cinta berhasil membawa gambaran sebuah dunia Islam yang akrab dan universal milik Indonesia.

— 3 Doa 3 Cinta Sutradara-Skenario: Nurman Hakim / Produser :Nan T. Achnas, Adiyanto Sumarjono, Nurman Hakim / Pemain: Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Yoga Pratama, Yoga Bagus / Produksi: Ifi Dan Triximages / Durasi :114 Min.

315

Ade Irwansyah

3 Doa 3 Cinta

Nonton Film, Nonton (Islam) Indonesia

I

A

da beberapa hal yang menarik perhatian dari film ini, 3 Doa 3 Cinta (Nurman Hakim, 2008). Bagi dunia infotainment, mungkin lebih menarik bagian Dian Sastrowardoyo, salah satu pemeran di film ini, jadi penyanyi dangdut kampung nan seksi. Ini akan langsung mengingatkan mereka dengan akting Titi Kamal di film  Mendadak Dangdut  (Rudi Sudjarwo, 2006).Di situ, Titi jadi penyanyi dangdut kampung juga. Awak infotainment mungkin lebih tertarik dengan  angle  berita seperti ini: “Apa Dian akan serius jadi penyanyi dangdut?” atau “Apa Dian yang tampil jadi penyanyi dangdut seksi tak takut diprotes, oleh FPI misalnya?” (Duh, please, deh… Apa nggak ada pertanyaan lain?) Atau ada yang lebih tertarik menyorotnya dari sudut reuni Dian dan Nicholas Saputra di layar lebar. Keduanya bikin fenomena saat bertemu di film Ada Apa dengan Cinta? (Rudi Sudjarwo, 2001). Filmnya ditonton lebih dari 2 juta orang dan

NONTON FILM, NONTON (ISLAM) INDONESIA

membikin tren film/sinetron bertema remaja. Dian dan Nico digadang-gadang jadi pasangan Rano Karno dan Yessi Gusman versi 2000-an. Namun, keduanya tak pernah tampil bareng dalam film sejenis. Dian dan Nico meniti karier masing-masing, melakoni peran-peran yang berbeda. Meski, patut diakui, kenangan pada Cinta dan Rangga tetap melekat. Keinginan agar mereka mengulangi peran itu sudah mirip wishful thinking. Nah , ketika keduanya benar tampil bareng, pastilah menarik perhatian. Tapi saya lebih tertarik menyimak film ini dari latar yang diusungnya: kehidupan pesantren.  Duh, kapan ya pesantren diangkat ke layar lebar terakhir kalinya? Beberapa bulan lalu, ada film roman-religi (ini sebutan untuk sub-genre bagi film yang mempertautkan kisah cinta dengan nuansa religi macam Ayatayat Cinta [2008]) berjudul Syahadat Cinta. Tapi film itu tak masuk hitungan film penting. Selain sekadar film ikutan setelah sukses Ayat-ayat Cinta, film ini jeblok di pasaran sekaligus gagal jadi film baik. Tahun ini, ada pula  Mengaku Rasul. Filmnya memang berlatar pesantren, tapi pengasuh pesantrennya keblinger lantaran mengaku jadi rasul. Meski temanya up-to-date, film ini juga tak dicatat sebagai film bermutu. Oh, ya, dulu sekali pernah ada Nada dan Dakwah (Chaerul Umam, 1991). Ini murni film religi karena muatan pesan agamanya lebih kental. Kisahnya tentang warga desa yang resah karena tanahnya akan dibeli konglomerat. Pesantren di desa itu lantas menengahi dan juga jadi penjaga moral menentang berdirinya tempat bilyar dan minum-minum di desa itu. Selain dibintangi Rhoma Irama, pedangdut yang sering menelurkan syair-syair dakwah, film ini dibintangi kyai betulan, KH Zainuddin MZ, yang saat itu diidolai umat Islam hingga dijuluki “da’i sejuta umat”. Sang Kyai bahkan dinominasikan meraih Citra di FFI 1992—tapi kemudian Sang Kyai meminta namanya

317

318

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dicabut karena banyak protes dari “umat” melihat ada kyai main film. Konon, Garin Nugroho pernah berniat memfilmkan pesantren sebagai latar. Judul dan kisahnya sudah ada. Garin memberi judul filmnya, Izinkan Aku Menciummu Sekali Saja. Tapi film ini keburu diprotes sebelum dibuat (tuh, Lastri bukan yang pertama!). Pasalnya, tokohnya seorang pemuda pesantren yang digambarkan ingin mencium seorang gadis. Garin lantas merombak kisahnya. Latar pesantren diganti tanah Papua. Judulnya pun diganti. Kita kemudian melihat hasilnya sebagai film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002). Hm, 3 Doa 3 Cinta mestinya—jika mengacu pada sensor jalanan [untuk membedakannya dari sensor resmi LSF] dari sekelompok masyarakat terhadap film Garin tadi, Buruan Cium Gue, atau Lastri tempo hari—juga mengundang kontroversi atau bahkan seharusnya tidak jadi dibuat. Tapi entah kenapa, film ini bebas-bebas saja diputar di bioskop hingga hari ini. Apa ini tandanya kita sudah dewasa? Atau, para penyensor jalanan itu lagi nggak ngeh saja? 3 Doa 3 Cinta  pantas mengundang kontroversi karena sutradaranya merekam kehidupan pesantren tanpa diselubungi tirai. Blak-blakan. Sisi baik dan buruk muncul bersamaan. Artinya, yang dicoba dihadirkan adalah sebuah realitas. Tentu, yang namanya realitas bukanlah “yang seharusnya”. Latar pesantren di film ini coba ditampilkan apa adanya. Maka kita melihat santri-santri yang tertidur saat shalat, ereksi di pagi hari, praktek poligami dari kyai, hingga fenomena homoseksualitas di pesantren. Kejujuran sedemikian rupa rasanya hanya bisa dihasilkan sineas yang mengerti betul kehidupan pesantren. Dan memang demikian adanya. Nurman Hakim, sutradara sekaligus penulis skenarionya, pernah tinggal di pesantren. Di ujung film, Nurman

NONTON FILM, NONTON (ISLAM) INDONESIA

bahkan mendedikasikan filmnya bagi “teman-teman saya di pesantren”. Ah, film personal. Apa yang personal ini lantas ditarik Nurman menjadi sebuah mikrokosmos untuk menjelaskan sebuah makrokosmos: dikotomi masyarakat Islam, fundamentalisme, hingga terorisme seputar peristwa 9/11 (nine/eleven) dan Tragedi Bom Bali I dan II.

II Umat Islam di Indonesia sudah sering dikotak-kotakkan kaum cerdik pandai. Seorang Indonesianis (orang asing yang mengkhususkan diri memelajari Indonesia), Clifford Geertz mengklasifikasikan masyarakat Islam (tepatnya Jawa) ke dalam kelompok santri, priyayi, dan abangan. Cendikiawan negeri sendiri juga tak mau kalah. Deliar Noer (Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, 1982) mengelompokkan umat Islam ke dalam 2 golongan: “Islam modern” dan “Islam Tradisional”. Menurut Deliar Noer. Golongan tradisional lebih mengutamakan soal-soal agama dalam arti ibadah belaka. Islam sama dengan fikih. Taklid diharuskan, ijtihad dilarang. Sementara itu golongan modernis disebutnya kaum pembaharu. Mereka memberi perhatian pada Islam tidak dalam pengertian sempit, sekadar ibadah alias fikih. Ibadah pun, bagi mereka, hanya yang disuruh sesuai Qur’an dan hadist. Di luar itu namanya bid’ah—praktek yang ditengarai sering dilakukan kaum tradisinoalis. Apa yang dikonstruksikan Deliar Noer ini dicoba dipatahkan Nur Kholik Ridwan (Islam Borjuis dan Islam Proletar, Galang Press, 2001). Ridwan meminjam terminologi “borjuis” dan “proletar” yang lebih akrab bagi kaum Marxian untuk

319

320

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

mengelompokkan Islam. Menurutnya, Islam borjuis adalah kaum Muslim kota yang makmur, cenderung puritan, dan memandang Islam tak dikotak-kotakkan aturan mazhab. Kaum muslim borjuis juga tak berkehendak membela kaum tertindas. Kalaupun ada sebatas wacana dan klangenan, tanpa tindakan nyata. Kaum ini idak memberi ruang gerak sosial bagi kaum tertindas. Sementara itu, kaum muslim proletar maksudnya umat Islam pedesaan. Meski miskin secara ekonomi (karena ruang gerak sosialnya ditutup), mereka ini justru berpikiran liberal, kritis, dan menghargai pluralisme. Mereka lebih luwes berinteraksi dengan golongan agama lain. Dalam memahami teks agama, mereka tidak tekstual. Karenanya dari golongan ini muncul praktek yang tidak muncul dalam Qur’an dan hadist seperti, Tahlilan, Yasinan, dll. Tentu kita kemudian dapat mencirikan umat Islam ke dalam beragam bentuk lainnya: Islam moderat dengan Islam garis keras; membolehkan tafsir atas teks atau skripturalis.

III Film ini, dengan sederhana namun mengena, mengkritik pendikotomian Islam oleh kaum intelektual di atas. Dalam praktiknya, apa yang dipisah-pisahkan kaum cerdik pandai bisa membaur, campur aduk. Di bagian awal film ini, para tokoh kita mengikuti pengajian di pesantren. Sang kyai membahas ayat yang berbunyi “Tidak akan ridho kaum Nasrani dan Yahudi hingga umat Islam mengikuti mereka” (Al-Baqarah:120). Menurut sang kyai, ayat itu bukan berarti setiap umat Nasrani dan Yahudi boleh diperangi. Hanya mereka yang dzalim terhadap umat Islam yang pantas dimusuhi. Sisanya, boleh diajak hidup rukun bersama. Kemudian, para tokoh kita ikut pengajian lain lagi. Kali ini penutur (baca: penafsir)-nya seorang beraliran garis keras.

NONTON FILM, NONTON (ISLAM) INDONESIA

Puritan—dandanannya saja mirip orang Arab. Ayat yang dibahas sama. Tapi penafsirannya beda. Kali ini, sang ustadz mengatakan bahwa setiap umat Nasrani dan Yahudi wajib diperangi berdasar ayat itu. Para tokoh kita manggut-manggut di kedua pengajian berbeda itu. Usai dari pengajian “garis keras”, mereka kembali ke pesantren. Sampai di sini, saya tertegun, tidakkah para tokoh kita tengah melakukan mobilitas sosial? Dari tradisional ke modern? Dari pluralis ke skripturalis? Dari moderat ke radikal? Kita kemudian diperlihatkan, tak semua dari 3 tokoh kita mengikuti arus “gerakan sosial” dari Islam A ke Islam B. Salah seorang tokoh berkata, “Saya tak mau ikutan pengajian tadi malam (yang dimaksudnya pengajian garis keras, puritan, skripturalis), beda sama Pak Kyai (pengajian tradisional, moderat, pluralis).” Tapi ada juga yang memilih tetap ikutan pengajian model itu. Tokoh kita yang satu ini, tidak datang dari kaum borjuis. Ia justru miskin (ciri Islam tradisional) hingga bingung membiayai pengobatan ayahnya yang tengah sakit parah. Versi Islam yang memberi tempat untuk memerangi kaum kafir—golongan yang dianggapnya berkontribusi pada penderitaan umat muslim di seluruh dunia (termasuk dirinya)—memikatnya. Si tokoh kita ini bahkan tergerak untuk berjihad. “Saya ingin mati syahid, seperti nama saya, Syahid.” Sudah mafhum diketahui, banyak radikalisme Islam (meski tidak bisa digeneralisir) yang berwujud dengan aksi bom bunuh diri atau lainnya justru muncul di masyarakat miskin secara ekonomi. Masyarakat yang frustasi ini (karena tekanan ekonomi atau ketiadaan masa depan) jadi ladang subur bagi ektrimisme agama. Tuhan (baca: agama) yang menjanjikan surga dan 72 bidadari perawan bagi yang mati syahid tentulah amat menarik. Artinya, radikalisme, puritanisme dan sebangsanya tak bisa digeneralisasi hanya akan memikat umat Islam kota. Ketika ia

321

322

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dianggap sebagai ”solusi” persoalan duniawi, orang miskin pun akan tertarik.

IV Kemudian, mari tengok tokoh kedua, tokoh kita yang terangterangan menolak pandangan radikal tadi. Ia memilih jadi ”Islam Tradisionalis”. Padahal latar belakangnya dari kota. Ia dititipkan ibunya, seorang wanita kota, sejak berumur 11 tahun. Menjelang lulus pesantren, ia bertekad mencari ibunya. Di sini, meski hidup bertahun-tahun dengan lingkungan Islam ”desa”, tapi ia belum bisa melupakan ”kota” yang menjadi darimana darah-dagingnya berasal. Meski, dalam cerita si tokoh kita pergi ke kota untuk mencari ibunya. Di bagian lain film, kita diperlihatkan kalau si tokoh kita yang jadi santri kesayangan kyai, ditawarkan menikahi anak sang kyai. Hal ini punya arti tak sekadar sebatas lembaga perkawinan antara suami-istri. Menikahi anak perempuan pengasuh pesantren berarti pula sekaligus jadi penerus pesantren. Jadi kyai masa depan. Hal ini sempat membuat si tokoh kita gamang. Sebab, ia diharuskan menghabiskan hidupnya jadi “Islam Tradisionalis”. Sementara itu, bagian sisi ”kota/modern” dirinya juga masih menyita perhatian.

V Terakhir si tokoh ketiga. Ia mencirikan umat Islam kebanyakan. Sebuah mayoritas yang tak tersuarakan. Si tokoh kita yang satu ini tak berniat jadi kaum puritan/radikal atau menghabiskan hidupnya jadi kaum muslim tradisionalis/desa. Ia lebih pragmatis.

NONTON FILM, NONTON (ISLAM) INDONESIA

Lulus pesantren ingin membuka usaha  video shooting  acara perkawinan. Bahkan, kemudian ia ingin ikutan rombongan layar tancap. Ia tak ikut serta dalam arus besar wacana Islam radikal vis a vis Islam moderat, atau tradisional vs modern, atau lagi Islam borjuis dengan Islam proletar. Kebanyakan umat Islam (Indonesia) memang seperti tokoh kita yang ini. Mereka tak cocok bila digolongkan ke dalam dikotomi yang dibuat kaum cerdik pandai. Mereka juga tak cocok disebut Islam sekuler. Bagi mereka, Islam tetap dianggap sebagai pedoman hidup, entah buat urusan duniawi maupun akhirat. Namun, bagian radikal dari Islam mereka singkirkan. Kebanyakan umat Islam tetaplah cinta damai.

VI Apa yang hendak saya katakan, pada titik praksis (kehidupan nyata), dikotomi yang (pernah) dibuat para intelektual atas masyarakat Islam belum menggambarkan apa yang sebenarnya ada. Umat Islam telah demikian kompleks. Memasukkannya ke dalam kotak-kotak lalu melabelinya tidak hanya pekerjaan sia-sia, tapi juga menyesatkan. Film ini membuktikannya. Ini mungkin kontribusi terbesar film ini. 3 Doa 3 Cinta pantas jadi juru bicara muslim Indonesia. Lalu, bagaimana dengan Dian yang jadi penyanyi dangdut kampung yang seksi? Ah, biar itu jadi porsi infotainment saja…

— 3 Doa 3 Cinta Sutradara-Skenario: Nurman Hakim / Produser :Nan T. Achnas, Adiyanto Sumarjono, Nurman Hakim / Pemain: Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Yoga Pratama, Yoga Bagus / Produksi: Ifi Dan Triximages / Durasi :114 Min.

323

Ekky Imanjaya

Babi Buta Yang Ingin Terbang

Babi-Babi Buta yang Membabi Buta Ingin Dicintai No New Year’s Day to celebrate No chocolate covered candy hearts to give away No first of spring No song to sing In fact here’s just another ordinary day No April rain No flowers bloom No wedding Saturday within the month of June But what it is, is something true Made up of these three words that I must say to you I just called to say I love you — (I just called to say I love you, Stevie Wonder, dinyanyikan ulang oleh Ramondo Gascaro)

S

uatu hari, Linda kecil (Clarine Baharrizki) bertanya pada Cahyono cilik (Darren Baharrizki): ”Kalau sudah besar mau jadi apa?” Cahyono menjawab: ”Apa aja, asal jangan Cina”. Kedua anak ini memang mendapatkan banyak pengalaman buruk hanya karena mereka Cina. Padahal, Cahyono bukan Cina, tapi Jepang. Suatu saat, keduanya diganggu anak-anak nakal

BABI-BABI BUTA YANG MEMBABI BUTA INGIN DICINTAI

teman sekolah mereka, dan Linda menemukan obat mujarab untuk mengusir ketidaknyamanan itu: petasan. Linda, generasi keempat keturunan Cina di Indonesia, meyakini bahwa petasan bisa mengusir hantu-hantu, termasuk hantu sumber alergi dan kebencian terhadap Cina sepertinya dirinya. Sejak itu, Linda selalu ditemani petasan. Bahkan, ia didatangi oleh seorang wartawan hiburan (diperankan Cesa David) karena mengukir rekor baru: gadis yang berani makan petasan! Linda memasukkan petasan itu ke dalam roti hotdog seperti layaknya sosis, mulai menyulut sumbu, dan…dor! Linda (saat dewasa diperankan oleh Ladya Cherryl) berbuat apa saja untuk mengatasi masalah-masalah akibat identitas kecinaannya. Tujuannya satu: agar ia bisa dinyanyikan lagu I just called to say I love you, agar ia dicintai. Itulah sebabnya, ia dan orang-orang di sekitarnya selalu menyanyikan lagu dari Stevie Wonder itu, dengan harapan agar orang lain ikut menyanyi. Mereka cukup senang mendengarkan orang lain menyatakan cinta kepada mereka apa adanya, tanpa syarat kecuali mereka manusia dan layak dimanusiakan, walau hanya dalam bentuk syair belaka. Linda melakukan segala hal agar ia diterima di lingkungannya. Dalam kasusnya, paling tidak agar tak ada lagi yang menganggunya hanya karena mata sipit dan kulit putihnya. Juga orang-orang di sekitarnya. Misalnya Verawati (Fajrin?), ibunya (Elizabeth Maria), yang mewakili Indonesia sebagai pebulutangkis, dan acap memenangi banyak piala, namun tidak mendapatkan penghargaan selayaknya. Ia tetap dipandang Cina, yang (seolah) adalah bukan warga Negara Indonesia yang utuh. (“Mana yang Indonesia, mana yang Cina,” celetuk salah satu penonton). Kecewa dengan celetukan itu, ia berhenti bermain. Namun, bahkan di rumah pun, ia memakai kaos seragam bertuliskan

325

326

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Indonesia itu. Ia bergumul dengan persoalan identitas. Komentar penonton itu, seorang anak kecil, begitu menganggu batinnya, rupanya. Yang paling fenomenal adalah Halim (Pong Harjatmo), sang ayah. Ia malu dengan fisiknya, khususnya matanya yang sipit. Maka, sang dokter gigi itu pun selalu memakai kacamata hitam, menutupi matanya—bahkan menyiletnya. Belakangan, dari keterangan di situs film ini, saya baru tahu kalau Halim buta. Ia juga mengganti nama Cinanya menjadi nama Melayu, masuk Islam, menikah lagi dengan seorang muslimah Jawa (Andhara Early) yang saat ikut Planet Idol memakai jilbab. Dan, demi cintanya pada istrinya yang ingin menjadi selebriti dan menang kontes itu, dan juga agar ia bisa hijrah ke sebuah tempat yang menerimanya apa adanya, ia melakukan pengorbanan apa pun. Dan lihatlah, bagaimana ia dikerjai oleh sepasang homoseksual yang gemar atribut militer (pasangan mantan pejabat bernama Helmy dan Yahya …ah, Edwin sedang bercanda nih …atau geram?), supaya sang istri manggung dan ia mendapatkan green card ke Amerika. Dari belakang, analnya disodomi. Dari depan, ia harus melakukan oral seks. Adegan itu berlangsung cukup lama, dan Linda menyaksikannya diam-diam. Terlalu lama, malah. Mungkin saya terlalu kolot atau konservatif, tapi pertanyaan menyeruak tak terbendung di benak: apakah perlu adegan tersebut selama itu? Atau, apakah perlu adegan sedetail dan sevulgar itu? Atau, apakah perlu adegan itu? Bukan hanya karakter-karakter di film Babi Buta yang Ingin Terbang melakukan apa pun agar ia diterima dan dicintai apa adanya. Agaknya, sang sutradara, Edwin, juga. Edwin sepertinya sadar bahwa ia sedang mengusung sebuah tema yang sensitif: identitas minoritas Cina di Indonesia. Dan, agaknya, agar temanya terterima, ia menggandeng isu sensitif seputar minoritas lainnya: kaum homoseksual.

BABI-BABI BUTA YANG MEMBABI BUTA INGIN DICINTAI

Masalahnya, isu identitas Cina telah menemukan momentumnya, saat Mei 1998, dan pada 2008 sudah mulai banyak film yang merepresentasikaan mereka. Dari May, 9808, hingga film pendek seperti Papaku Hua, dan Pacarku Lina yang diputar di Psychocinema 2008, di Atmajaya. Sementara, gerakan gay belum sepopuler itu, dan sepertinya masyarakat belum bisa menerima isu-isu mereka. Apalagi dalam menerima perilaku seksual, yang masuk wilayah privat, dipaparkan dengan gamblang dalam film yang ditonton ramai-ramai di ruang publik. Saya bisa merasakan dan memahami kegeraman Edwin terhadap isu keterterimaan ras Cina di negeri ini. Tak hanya simbolis, ia juga menyelipkan pesan persaudaraan (bagaimana menghormati tetangga, misalnya) secara verbal dan eksplisit lewat khotbah agama Kristen di televisi yang selalu hadir di ruang tamu berulang-ulang. Film ini terasa sangat personal—diawali dengan lokasi di Surabaya, tempat Edwin dibesarkan (tengok Jembatan Merah dan plat kendaraannya), hingga pengalaman hidupnya yang terungkap dalam wawancara dengan RumahFilm. Bayangkan, Cahyono (Carlo Genta) yang bekerja sebagai editor program kriminal di televisi itu menyunting gambargambar kerusuhan Mei 1998 untuk peringatan 10 tahun Reformasi dengan latar lagu I Just Called To Say I Love You. Lagu tema ini memang selalu diulang-ulang di sekujur film, yang bagi sebagian penonton begitu mengganggu (mungkin saja itu reaksi yang diinginkan!). Satu lagi, tidak cukup dengan karakter-karakter manusia sebagai penyampai pesan, Edwin juga merekam seekor babi di Gunung Bromo. Tentu saja ini metafor yang pas. Tidak hanya sebagai makanan khas kaum Tionghoa, babi, di masyarakat mayoritas Muslim di negeri ini, adalah sesuatu yang haram. Seperti itu pula saudara-saudara Cina kita (pernah dan mungkin

327

328

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

hingga sekarang masih) diperlakukan oleh sebagian rakyat Indonesia. Semuanya dikemas dengan sangat personal. Tidak masalah, memang, mengangkat tema dan gaya personal. Beberapa film mengangkat hal yang sama, seperti Years I was a Child-nya John Torres. Namun film sebaiknya juga memerhatikan penontonnya, paling tidak berupaya bagaimana agar film-filmnya dipahami oleh setidaknya kelompok tertentu. Apa lagi kalau ada pesan penting yang ingin disampaikan. Dalam hal ini, respon yang diinginkan adalah dinyanyikan dan dibisikkan kata-kata cinta serta perhatian: “I just called to say I love you”. Dalam konteks ini, berpanjang-panjang dalam scene gay, misalnya, adalah sebuah tindakan kontraproduktif. Karena, sebagian penonton boleh jadi akan lebih mempersoalkan adegan sekitar lima menit itu dari pada keseluruhan pesan “identitas Cina-Indonesia” yang sudah digelontorkan sejak awal. Kecuali kalau sang sutradara tidak peduli dan jalan terus (dan asyik sendiri) dengan ide-idenya. …Oke, semuanya: I just called to say I love you, I just called to say how much I care, I just called to say I love you, and I mean it from the bottom of my heart.

— Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) Sutradara & penulis: Edwin / Pemain: Ladya Cherryl, Carlo Genta, Pong Harjatmo.

Eric Sasono

Babi Buta Yang Ingin Terbang

Mencari Babi Cemas Dalam Diri Bukankah setiap orang punya seorang “ayah Pakistan” yang gagal mencapai cita-citanya untuk menjadi penulis? — Hanif Kureishi, penulis Inggris keturunan Pakistan

1: Keluarga

J

ika ada orang yang beranggapan bahwa keluarga adalah sumber kebahagiaan, maka bagi Edwin keluarga adalah sumber kutukan. Hingga kini ia relatif konsisten dengan mind-map bahwa asosiasi bagi istilah keluarga adalah kesedihan, keputusasaan, pengabaian, kesendirian, perasaan ditinggalkan, atau ketidakberdayaan yang kronis. Sebagaimana dalam film-film pendeknya yang pernah saya bahas di situs Rumah Film, Edwin tak percaya bahwa dalam keluarga bisa berlangsung komunikasi yang wajar. Film panjang pertama Edwin, Babi Buta Yang Ingin Terbang, kembali berpusat pada keluarga disfungsional. Tak ada komunikasi antara ayah dan ibu, yang ada adalah pernyataan sepihak dari sang ayah, Halim (Pong Hardjatmo) kepada sang ibu, Verawati (Elisabeth Maria Christina) tentang keputusankeputusan yang diambilnya (masuk Islam dan menikah lagi).

330

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Dalam pandangan Edwin mereka menjadi seperti itu karena mereka adalah pribadi-pribadi yang tercabik-cabik. Jika pada filmfilm pendeknya, Edwin relatif mengabaikan penjelasan soal penyebabnya, pada Babi Buta, Edwin memperlihatkan bahwa persoalan identitas menjadi sumber yang menggerakkan persoalan para anggota keluarga itu. Halim malu pada identitas dirinya sebagai seorang Cina dan berusaha mengoperasi matanya sendiri agar tak sipit lagi. Karena operasi itu gagal, ia pun memakai kacamata hitam terus menerus. Apakah ia buta? Entah, tapi yang jelas ia adalah wakil dari orang yang tak mau ditatap dan menatap mata lawan bicara. Sebuah wakil dari ketidaknyamanan yang akut dan perasaan ingin lari dari sesuatu. Sedangkan Verawati adalah sebuah wakil dari sikap melankolis—atau rapuh dalam istilah Edwin. Verawati— pebulutangkis nasional—tak bisa menerima celetukan “Yang Cina yang mana sih?” dalam sebuah pertandingan internasional melawan pebulutangkis asal Republik Rakyat Cina. Padahal mungkin itu adalah celetukan anak kecil yang polos. Tapi justru itu: tak ada yang polos ketika soalnya menyangkut identitas. Dan Verawati pun berhenti bermain bulutangkis sambil tetap memelihara simbol nasionalismenya dengan cara terus memakai seragam yang dipakainya bertanding, seraya melarikan diri dengan membuat somay tiap saat, dan menonton khotbah Kristen di TV yang terus bicara mengenai persaudaraan dan kesetaraan. Kakek dalam keluarga itu sama saja. Tik Gwan adalah wakil dari ketidakbersikapan dan keterombang-ambingan. Ia berkalikali mengganti nama dan merasa bahwa ia sudah menjalani hidup yang semestinya. Padahal itu hanya berguna bagi pencarian identitas diri yang panjang; semacam pubertas yang tak kunjung selesai, yang tak menolong bagi siapapun. Juga bagi dirinya sendiri. Hal paling berguna yang bisa ia lakukan mungkin adalah ketika ia memberi nasehat kepada cucunya, Linda kecil (Clarine

MENCARI BABI CEMAS DALAM DIRI

Baharizki), bahwa petasan bisa mengusir setan. Berdasar keyakinan itu, Linda pun kemudian menjadi seorang pemakan petasan.

2: Peta Identitas Kemampuan Linda (ketika besar diperankan Ladya Cheryl) makan petasan ini kemudian mempertemukannya kembali dengan Cahyono, teman masa kecilnya. Cahyono bermata sipit sekalipun bukan Cina, bukan pula Jepang, melainkan seorang Menado. Nama yang aneh untuk seorang Menado, sebenarnya. Karena sesungguhnya Edwin sedang bicara tentang dislokasi sosial yang luas di negara bernama Indonesia ini, yaitu ketika orang-orang dengan nama yang tak sesuai akar budayanya berkeinginan menjadi orang-orang dari negara lain—atau etnis lain – entah untuk alasan apa. Padahal Cahyono tak perlu menolak identitas Cina karena ia memang bukan Cina. Inilah wakil dari penolakan liyan imajinatif Cahyono sendiri lantaran ia memiliki ciri fisik seorang Cina. Liyan selalu berposisi tersingkirkan dan terabaikan. Cahyono bukan seorang liyan, tapi ia mengklaim posisi liyan itu. Inilah peta bagaimana identitas beroperasi dalam pandangan Edwin. Identitas sebenarnya digunakan untuk menggambarkan tarik menarik antara ikatan-ikatan tribal primordial dalam sejarah nasional, yang kerap berakibat pada individu-individu di dalamnya. Akibat pada individu bernama Cahyono itu merupakan sesuatu yang kongkret. Ia ditimpuki atau dipukuli ketika berjalan bersama Linda sepulang sekolah semata-mata karena dianggap Cina. Perlakuan itu menyakiti hatinya. Maka keluarlah pernyataan bahwa tak masalah baginya untuk menjadi apa saja, ‘asal bukan Cina’. Di sini Edwin sedang menyampaikan

331

332

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

refleksi akan empati ‘orang luar’ melalui tokoh Cahyono. Namun apakah hal itu harus dilakukan melalui absurditas penolakan identitas seperti yang dilakukan Cahyono itu? Tak perlu sebenarnya, tapi Edwin tampaknya cemas, karena sepanjang hidupnya ia merasa tak bisa berbagi pertanyaan besar tentang identitasnya sebagai etnis Cina. Kecemasan itu berbuah pada permainan persepsi seperti ini: Edwin sedang mempersepsi persepsi orang lain. Apakah ini membantu saling pemahaman? Bukan itu tujuan Edwin, karena ia hanya ingin menyalurkan kecemasannya saja.

3: Mengganggu Maka Edwin pun mengganggu penonton, ketimbang bercerita. Ia mengubah elemen-elemen pembentuk cerita dan plot menjadi gangguan. Motif yang muncul dari penggunaan elemen secara berulang—seperti babi, kacamata hitam, khotbah di TV dan lagu  I Just Called to Say I Love You—bukan ditujukan guna mendukung plot, melainkan menyampaikan perasaan bahwa ia sangat terganggu oleh fakta-fakta yang disajikannya dalam bentuk serpihan-serpihan ini. Lagu Stevie Wonder ini digunakan sama sekali berbeda dengan penggunaan ilustrasi musik dan lagu sebagaimana umumnya. Sebagai source music, lagu biasanya menjelaskan narasi yang menjadi bagian dari dunia diegetic (semesta yang ada dalam plot film). Namun sekalipun lagu itu dinyanyikan oleh Halim (dan Linda) ataupun dimainkan di radio, dalam beberapa adegan, tidak ada kaitan lagu itu dengan plot yang sedang berjalan. Penggunaan lagu itu sebagai ilustrasi juga tidak bersifat menegaskan mood yang mendukung ataupun bertentangan (contrapuntal) terhadap suasana cerita. Lagu dalam film ini—dan

MENCARI BABI CEMAS DALAM DIRI

musik dalam film ini secara keseluruhan—adalah elemen pengganggu itu sendiri. Plot yang ada dalam film ini juga disusun Edwin sebagai gangguan. Progresi plot tetap terjadi tetapi tidak untuk mengungkapkan drama karena struktur diabaikan. Edwin tetap menyusun adegan sehingga membentuk kesatuan spatio-temporal pada adegan-adegan tertentu, tetapi tidak untuk keseluruhan film. Secara keseluruhan, film ini seperti mengungkapkan gumpalan demi gumpalan pikiran yang terlontar keluar secara tiba-tiba dan cepat tanpa introduksi. Mirip racauan seorang gagap. Tampak Edwin gagap karena terganggu. Oleh apa? Edwin tampak sekali terganggu oleh figur ayah dalam keluarganya. Sang ayah dalam film ini adalah simbol dari sikap tak mau tahu dan berusaha lari dari kenyataan yang dihadapi alih-alih menghadapi kenyataan—apalagi memimpin keluarga. Ayah adalah semacam sumber malapetaka: sang babi yang buta, tapi berkeras ingin bisa terbang. Sang ayah yang tak realistis itulah yang menjadi sumber persoalan keluarga. Dan sebagaimana kutipan Hanif Kureishi di atas: bukankah di setiap keluarga ada seorang ayah yang tak realistis semacam itu—terutama bagi anak laki-lakinya? Jika mau melihat soal ini lewat psikoanalisa, maka kita bisa menyatakan: persoalan pribadi Edwin ini pun menjadi cermin persoalan kolektif kita. Berangkat dari keluarga, kita pun bertanya: kecemasan apa yang sedang kita pelihara, terutama berkaitan dengan identitas kita? Mungkin tak semua kita berbagi kecemasan serupa, mungkin sebagian kita punya kecemasan sejenis sekalipun berbeda sama sekali bentuknya. Tapi kecemasan Edwin itu tetap kecemasan yang lamat-lamat bisa kita rasakan (atau kita tolak) juga. Cobalah tanyakan: sampai di mana kita bisa bertanya tentang perbedaan ras, etnis, agama, pendirian politik atau orientasi seks dalam keluarga? Sampai di mana

333

334

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

ketidakmampuan bertanya itu menyebabkan kecemasan yang berpuluh tahun kita pelihara? Sebagai bangsa kita pernah menolak kecemasan macam itu dan akhirnya meledak menghasilkan reformasi di tahun 1998. Inilah signifikansi Edwin: apa yang tampak secara kolektif itu sesungguhnya selalu bertolak dari sesuatu yang personal. Dan itu terjadi di lokus yang tak terhindarkan oleh setiap individu, yaitu keluarga. Maka menonton Babi Buta bagai sebuah ajakan: mari kita cari babi cemas dalam diri kita masing-masing.

Ifan Adriansyah Ismail

Takut: Faces of Fear

Makan Malam Bersama Takut

Int. Ruang Makan – Malam Delapan orang duduk mengelilingi meja makan di sebuah ruangan yang telalu besar dengan lilin berpendar-pendar. Penerangan tidak begitu baik sehingga kita tidak dapat melihat wajah mereka dengan jelas. Hanya satu orang, yang duduk di paling ujung, wajahnya terlihat. Bayang-bayang lekuk mukanya menari liar, seiring lilin di dekatnya yang selalu gelisah. Dia angkat bicara.

S

elamat datang, kawan-kawanku tercinta. Senang sekali rasanya bisa menjamu tujuh orang sutradara muda Indonesia yang sedang naik daun. Apakah semua sudah hadir? Sebentar saya absen…, Rako Prijanto, Riri Riza, Ray Nayoan, Robby Ertanto, Raditya Sidharta…, astaga, kok namanya berawal  “R” semua, ya? Oh ya, dan Anda berdua, Kimo Stambul dan Timothy Tjahjanto, alias The Mo Brothers. Pertama-tama, saya mohon maaf sudah berbohong. Anda semua memang ternyata bukan diundang oleh Brian Yuzna dan San Fu Maltha, yang memproduseri film ini. Anda diundang oleh… saya. Tapi bergembiralah. Saya sangat menghormati kedua orang itu, dan pasti Anda semua juga begitu  kan? Harus

336

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

begitu dong, karena bagaimanapun mereka telah menjadi mentor Anda, guru Anda. Sekali lagi, kawan-kawan sutradara mempersembahkan sebuah karya berbentuk antologi. Di Indonesia format ini sedang laku sekali ya? Saya mengerti, format ini enak sekali untuk belajar dan bereksperimen. Anda semua tentu ingin kelak tampil sendirisendiri dengan mahakarya masing-masing, bukan? Baiklah. Dan saya senang sekali, Anda semua tampak antusias mengeksplorasi bentuk film horor. Kenapa saya senang? Karena film horor jarang dianggap sebagai film serius. Selalu masuk ke dalam diskusi wilayah pinggiran, subkultur, budaya rendah. Mungkin karena horor mengutak-atik rasa takut, salah satu insting manusia yang paling purba, sehingga ia tidak pantas untuk masuk ke wilayah senitinggi dengan segala pretensi budayanya. Sudah begitu, horor Indonesia belakangan ini selalu tampil menggelikan dan menyedihkan. Menakutkan tidak, lucu pun tidak, kecuali lucu yang tidak sengaja. Duh , prihatinnya saya. Tapi…, ah, Anda semua ternyata masih peduli pada horor Indonesia! Saya senang, senang sekali! Uhuk-uhuk. Ahem. Maaf. Juga, saya salut karena Anda berinisiatif mengeksplorasi rasa takut, termasuk yang tidak hanya datang dari hantu-hantuan. Ada yang mencoba bentuk thriller, meskipun bagi saya rasa horor dan thriller itu berbeda. Lalu ada yang mencoba horor-apokaliptik, ada malahan yang black-comedy. Tapi ide dan realisasi adalah dua hal yang berbeda, kawan-kawan. Makanya saya tidak bisa terusmenerus memuji. Sayang sekali. Ijinkan saya mengapresiasinya satu persatu. Mas Rako, Anda  kan  yang membuat  Show Unit? Yang tentang seorang calon pengantin tidak sengaja membunuh dan harus menyembunyikan mayat. Ya, ya.  Nah, ini yang saya masukkan ke golongan thriller, bukan horor. Karena rasa tegang

MAKAN MALAM BERSAMA TAKUT

dan cemas berbeda dengan rasa takut  per se. Ketegangan karena thriller sifatnya antisipatif dan dekat dengan misteri. Di sana, orang berdebar karena menanti sesuatu yang mengejutkan. Sedangkan rasa takut akibat horor adalah perasaan tak berdaya karena sudah terekspos kepada hal yang mengerikan atau mengejutkan tadi. Tapi tak mengapa. Toh film ini judulnya Takut, bukannya ‘Horor’ kan? Lagipula, film horor sudah jamak mengkombinasikan unsur-unsur thriller, horor dan misteri. Ahem, maaf. Saya melantur lagi. Show Unit , saya bilang, hmm…Sin City sekali ya, dengan trik separasi warna tertentu itu, dan mendesaturasi warna-warna lain. Lukman Sardi, seperti biasa, okelah. Menegangkan di paruh pertama, tapi ketika masuk ke plot hilangnya mayat, malah agak kendor. Masuknya tokoh yang diperankan Dendy Subangil agak keterlaluan unsur kebetulannya. Jujur saja, menjelang akhir, ketegangannya menurun, meskipun ending-nya cukup proper. Nah , Mas Riri, astaga, saya tidak menyangka Mas mau menggarap film horor. Judulnya, apa nih…, oh, ya, Titisan Naya, tentang seorang anak muda yang meremehkan ritual klenik di keluarga besarnya. Sudah begitu, bertindak sompral pula, dengan menggoda sepupunya sendiri. Seperti biasa, kekuatan Mas Riri ada di level personal para tokohnya, ya. Dan juga detailnya itu…, wah, salut saya. Proses menuju klimaksnya berhasil, meskipun ada trik lama yang agak kampungan, yaitu kotak rokok yang bergeser sendiri. Tapi secara keseluruhannya berhasil. Rasa takut tidak datang dari hal-hal yang mengejutkan saja, tapi dibagi rata sepanjang ¾ akhir durasi. Konon bagian ending-nya memang menggambarkan kondisi seseorang yang sedang dalam keadaan…, ehm, ‘itu’. Saya tidak mau membocorkan akhir ceritanya. Angkat gelas untuk Mas Riri! Saya bersulang! Oh, maaf. Mas tidak bisa mengangkat gelas ya. Anda semua sedang terikat.

337

338

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Mari ke film berikutnya. Peeper , karya Ray Nayoan. Ah, Mas Ray, saya harus bilang apa ya? Menarik sih. Ceritanya tentang seorang pengintip cabul. Tapi saya harus jujur, di saat Riri Riza berhasil berkelit dari klise bahwa yang-tradisional-itu-seram, Anda masih agak terjerat perangkap itu. Selain itu, dengan karakterisasi si pengintip yang begitu tidak simpatik, penonton sudah tahu bagaimana akhir nasibnya sejak semula. Tertebaknya cerita semestinya bisa diselamatkan dengan penggarapan adegan untuk menimbulkan rasa takut. Tapi, sekali lagi sayang, masih agak nanggung. Hanya, saya tersenyum kecil oleh permainan kata di sinopsisnya, “cinta itu membutakan”. Ha ha. Ehem. Tapi kalimat cerdas itu tetap bukan filmnya, Mas Ray. Berikutnya, The List, karya Robby Ertanto. Aha. Siasat yang bagus, Mas Robby. Kalau tidak bisa menakuti, bikin tertawa saja. Ceritanya tentang perempuan sakit hati yang mengguna-guna mantan pacarnya dengan bantuan dukun. Ha ha. Salut, mas Robby. Ceritanya Indonesia sekali, meskipun saya mengucapkannya dengan sedih. Sakit hati, iri, kesal, larinya ke dukun, dan klenik. Anda berhasil mencampurkan komedi dan rasa ngeri campur jijik, menghasilkan  black comedy  yang berhasil.  Special effects-nya meyakinkan untuk ukuran film Indonesia. Angkat gelas…. Maaf. Saya lupa. Lalu ada…, hmm, apa ini?  The Rescue, karya Raditya Sidharta. Wah, wah, horor bergenre apokaliptik di Indonesia? Zombie berkeliaran di Jakarta yang jadi kota mati? Anda sungguh berani. Saya salut. Menonton film Anda bagaikan menonton 28 Days Later, lengkap dengan gaya kamera dan gambar-gambarnya, asal suaranya saya matikan. Oh, tak usah melotot, dong. Akan saya jelaskan kenapa. Karena saya tidak tahan dengan dialog film Anda, Mas Sidharta. Apa Anda menyuruh salah satu zombie itu yang mengetiknya? Apa Anda lalu memaksa para aktor untuk ikut jadi zombie, dengan mengikuti begitu saja dialog yang tertulis?

MAKAN MALAM BERSAMA TAKUT

Oh, maaf. Anda tidak bisa menjawab ya. Anda semua disumbat. Nah , mari kita ke film terakhir. Dara, karya Anda berdua, The Mo Brothers. Hoho, rupanya antologi ini menganut resep “save the best for last”, ya. Kisahnya tentang Dara, seorang chef cantik yang misterius dan teman-teman kencannya. Luar biasa. Ini film favorit saya di antologi ini. Seni peran, black comedy, segala jenis horor, dari yang menggiriskan sampai menjijikkan, berpadu baik di sini. Padahal sebetulnya kalau saya lihat, kesuksesan Dara hanya karena Anda berdua bisa meramu resep-resep dasar film slasher dengan apik. Ibarat koki, Anda bisa mengikuti resep, tapi masih belum bisa menciptakan resep sendiri. Anda harus menempuh jalan lagi untuk bisa tampil unik kelak, dan saya optimis kok. Oh ya, haha. Sebelum lupa. Tampilan makanan di film ini mengingatkan saya waktu menonton 301/302. Terlihat eksotis tapi membunuh selera. Padahal itu sebelum ketahuan sebabnya kenapa. Dan karena itu saya belum menyajikan makanan di hadapan Anda semua. Maaf. Begitulah, kawan-kawan. Secara keseluruhan, saya puas. Format antologi ini ternyata jadi ajang belajar yang mengasyikkan ya? Asal Anda benar-benar belajar saja lho. Oh, hampir lupa, saya ingin bilang juga, bahwa di film ini terlihat: sudut pandang kelas menengah urban tidak dapat dilepaskan begitu saja, ternyata. Bukan sesuatu yang buruk lho, itu. Malah bisa jadi kekuatan. Seperti terlihat di hampir semua film, Anda terlihat kaya referensi, hafal khazanah film dunia, meminjam kosavisual dari luar, dan mencampurkannya dengan hasil yang berbeda. Misalnya di filmnya Mas Riri. Dengan sadar dia mengambil sudut pandang orang muda, kelas menengah urban, dan begitu terasingkan dari akar budayanya sendiri sehingga dia

339

340

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

menganggapnya remeh. Akibatnya, budaya nenek moyang jadi terlihat sebagai yang  liyan  (the other): begitu asing sehingga ketidakmengertian sang tokoh terhadapnya berubah jadi rasa takut. Terlihat di situ, dalam tiga generasi, apresiasi terhadap budaya semakin meluntur. Sang nenek masih melakukan ritual, sang ibu menganggap tidak penting tapi masih mau menghormati, sementara sang cucu—si tokoh kita ini—mencemooh begitu saja. Sudut pandang itu bisa juga mengganggu. Misalnya di Peeper, di mana orang-orang kelas buruh ditampilkan dengan gaya bahasa yang harus terlihat lugu sekaligus bombastis, seperti terlihat di gaya bicara para karyawati di awal film. Nah, yang paling mengganggu adalah penggambaran di  Show Unit. Bagaimana mungkin Anda bisa begitu stereotipikal bahkan dalam menggambarkan supir taksi, dengan handuk tersampir di leher? Memangnya di taksi tidak ada AC-nya ya? Juga dengan kepala goyang yang alangkah noraknya sambil mendengarkan dangdut, memangnya orang kelas bawah harus seperti itu ya? Ahem. Sudahlah. Saya tidak ingin Anda kesal. Saya puas kok, menonton film-film Anda. Maka ijinkan saya benar-benar menjamu dengan sajian…, kenapa? Kenapa pada melotot dan meronta-ronta? Ada siapa memangnya? Ooh. Dia. Perkenalkan, ini juru masak saya, yang akan memasakkan makanan untuk Anda semua. Namanya Dara. Mungkin ada yang mau membantunya di dapur?

Hikmat Darmawan

Pintu Terlarang

Kamera Sebagai Jarak Mutlak Hanya karena dia memandang kamera, bukan berarti dia sedang bicara padamu! — Dandung, Pintu Terlarang

1.

M

embaca film ini harus dimulai dari membaca Joko Anwar, sang sutradara dan penulis film ini. Dari keseluruhan karya Joko sejauh ini, termasuk karya-karya skenarionya yang disutradarai oleh orang lain (seperti  fiksi., Quickie Express, dan Jakarta Undercover), segera tampak sebuah paradoks jarak. Joko adalah seorang yang punya pengamatan tajam terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Ia, misalnya, bisa membedah tipologi dan perilaku penonton bioskop kita dalam Janji Joni. Atau, tipologi lantai-lantai sebuah rumah susun dan polah unik sebagian penghuninya dalam fiksi. yang disutradarai Mouly Surya. Atau, ia mampu menggambarkan betapa sebelum jadi gigolo, tokoh Jojo dalam Quickie Express adalah tukang tambal ban. Perhatikan juga kegemarannya untuk membuat adegan kejar-kejaran di dalam gang atau ruang kota yang sempit: Joko

342

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

punya kesadaran ruang yang tinggi terhadap kotanya, Jakarta. Perhatikan bagaimana tokoh Alisha dalam fiksi. menguntit tokoh Bari, dan kita pun dibawa (oleh Joko, juga Mouly) mengalami sebuah transisi ruang kota yang cukup mengesankan dari ruang steril seorang putri aparatus Orba ke ruang riuh rumah susun murah di tengah kota Jakarta. Tapi, Joko adalah juga seorang sutradara muda kita yang mampu sepenuhnya mempersetankan “realitas”, penuh sadar membuat karya-karya eskapis, berjihad memperjuangkan style di atas segalanya. Demikianlah Kala diciptakan. Dalam film yang tak banyak ditonton (tapi banyak dibicarakan) itu, Joko menciptakan sebuah dunia yang keluar dari dunia keseharian penonton. Sebuah dunia dongeng murni, dunia eskapisme murni, dunia yang memutlakkan Joko sebagai Sang Pencipta, sehingga Joko bisa leluasa menekuk-nekuk plot dan nasib para tokohnya. Dunia yang matang secara teknik-visual, dunia rekaan yang menyatakan dengan gamblang dambaannya pada gagasan-gagasan teknik-artistik nun di Hollywood sana (noir lah, genre-bending lah). Dengan kata lain, Joko menciptakan jarak dengan dunia para penontonnya. (Dan, jangan salah: Joko sudah punya penontonnya sendiri—mereka yang fanatik terhadap film-film Joko. Artinya? Ada saja yang rela dibetot Joko dari dunia keseharian mereka, dari “realitas”, dan dibawa serta dalam fun ride di “rumah hantu” ciptaan Joko.) Dan itu semakin kuat dinyatakan Joko lewat permainan gagasannya tentang “kamera”, “penonton”, “menonton”, dan “kenyataan”, dalam Pintu Terlarang ini. Dalam film ini, jarak sungguh mutlak dalam relasi dunia penonton dengan dunia rekaan Joko.

KAMERA SEBAGAI JARAK MUTLAK

2. Pintu Terlarang adalah sebuah film thriller/slasher berdasarkan cerita dari novel Sekar Ayu Asmara. Sensasi terbesar film ini adalah adegan-adegan sadisnya. Ada enam orang disembelih dalam film ini, disorot kamera secara frontal, sehingga jelas belaka darah yang meleleh dan menyembur keluar. Sebuah adegan menggambarkan pecahan otak di atas meja. Sebuah adegan memperlihatkan mata yang dibenamkan dalam pecahan gelas. Juga: beberapa adegan yang melibatkan janin bayi yang berlumur darah aborsi. Ada misteri. Ada cerita berbau teori konspirasi. Ada nuansa cerita hantu pula. Pada akhirnya, ini adalah sebuah cerita dramapsikologis. Dan, Fachry Albar boleh lah aktingnya, memerani sebuah rentang emosi dan persimpangan-persimpangan psikologis yang sukar. Ketakjelasan artikulasinya termaafkan oleh pembawaan tubuhnya yang cukup “bermain”—terutama di adegan klimaks yang wah itu. Saya tak ingin menulis tentang itu semua. Saya ingin menekuri sebuah hal saja dari film ini: gagasan Joko tentang (retorika) kamera dalam film ini. Dan memang, di awal film kita disuguhi sebuah adegan yang terekam dalam kamera berderau (ber-noise), seperti kamera CCTV atau kamera pengawas yang diblow up ke ukuran layar bioskop. Adegan yang direkam kamera pengawas itu adalah adegan sebuah keluarga batih yang terdiri dari ibu, ayah, dan seorang anak lelaki, yang melakukan kekerasan domestik. Sang ibu tampak stress, mudah marah, dan cenderung melampiaskan emosinya pada si anak. Sang ayah hanya diam, tapi biasanya “membantu” si ibu melakukan kekerasan pada si anak. Mengapa kita secara segera “mengetahui” bahwa itu adalah kamera pengawas? Di samping karena distorsi derau yang menyebabkan gambar kurang sempurna atau kurang tajam, yang

343

344

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

biasanya mengindikasikan kamera beresolusi rendah yang biasa digunakan untuk kebutuhan pengawasan/pengintaian itu, sudutsudut kamera juga tampak berada di pojok-pojok khas tempat kamera pengintai dipasang. Adegan-adegan dalam kamera pengintai itu merekam liyan (the other) bagi tokoh utama kisah film ini, seorang pematung sukses bernama Gambir (Fachry Albar). Keluarga “gila” itu adalah (ini tampak dalam penataan ruang dan kostum mereka) keluarga “biasa” dalam masyarakat kita. Tidak miskin-miskin amat, tapi jelas jauh dari kaya. Ketika dunia si anak itu mampir ke pintu rumah Gambir, Gambir yang merasa dijahili memaki, “Anak kampung!” Gambir, dan istrinya, Talyda (Marsha Timothy), serta dunia mereka, sebetulnya adalah liyan bagi kebanyakan penonton film Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh molek di sebuah dunia jet set  Indonesia, yang mampu menjual-beli patung seharga 3-5 milyar rupiah. Tapi, bagi Gambir dan dunianya, Joko menyediakan kamera tajam dan bersih untuk menjadikan dunia itu poros “kenyataan” film ini. Dengan kata lain, dunia Gambir dan dunia si anak yang disiksa berada dalam jarak amat jauh, sebetulnya. Jarak itu terjembatani oleh peristiwa-peristiwa berbau supranatural dan oleh kamera pengawas/pengintai itu. Terutama kamera. Kamera lah yang memungkinkan Gambir melihat apa yang terjadi pada si ”anak kampung” dan keluarganya. Kamera lah yang memastikan bahwa si ”anak kampung” dan keluarga kejamnya memang ada. Kamera pula yang menghalangi Gambir menemui si ”anak kampung”. Karena, kamera tak menyajikan keterangan apa-apa. Ia hanya merekam yang di hadapan, dan ketika kamera ditempatkan statis macam kamera pengawas atau pengintai itu, maka ia tak ingin tahu lebih jauh. Ia tak mencari alamat si ”anak kampung”. Ia hanya merekam ”kenyataan” sekeping sekeping. Ia menampakkan semua yang tertangkap matanya, tapi juga tak menyajikan apa-apa

KAMERA SEBAGAI JARAK MUTLAK

yang penting (atau, apakah ”penting” bagi kamera dalam Pintu Terlarang?). Kamera hanya merekam, dan televisi menyampaikan. Dan jarak pun menjadi mutlak: Gambir hanya bisa menonton penyiksaan itu. Ia hendam, tak berdaya. Kenapa? Kenapa pula ia terdesak merasa harus menonton lagi adegan-adegan penyiksaan yang perih itu? Di sini, Joko mulai masuk ke wilayah permainan makna ”menonton” dan “penonton”.

3. Menonton adalah sebuah perilaku amoral—dalam arti, tak bisa dinilai secara moral. Atau kurang lebih begitu. “Kita cuma menonton!” kata Dandung (Ario Bowo), sahabat Gambir, ketika Gambir marah karena Dandung mengajaknya menonton beberapa perilaku menyimpang hasil intaian beberapa kamera di entah di mana, di klub Herosase. Mempertanyakan moralitas aktivitas menonton—inilah persoalan yang dengan kuat dimunculkan oleh Peeping Tom, sebuah film karya Michael Powel pada 1960. Film itu, yang menuai cercaan pada saat beredar tapi dianggap mahakarya setelah lama kemudian hingga sekarang, mengisahkan seorang pembunuh serial, Mark Lewis (Carl Boehm), yang menggunakan tripod kameranya yang dilengkapi senjata tajam untuk membunuh gadis-gadis muda. Tujuan kamera sebagai alat pembunuh itu adalah untuk sekalian merekam ekspresi penuh teror para korban. Peeping Tom diedarkan sebulan sebelum karya sutradara Inggris lain menuai sensasi, Psycho (Alfred Hitchcock). Kenapa Psycho disambut, dan Peeping Tom disalib? Beberapa pengamat menunjuk salah satu sebabnya adalah pengambilan sudut pandang

345

346

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

kamera pembunuh beberapa kali, yang memaksa para penonton film ini menjadi voyeur (pengintip) juga, seperti si pembunuh di layar lebar itu. Penonton dibetot untuk mengalami sudut pandang sang pembunuh. Penonton ditempatkan “menikmati” kamera yang membunuh itu. (Kamera yang membunuh. Hm. Walau secara harfiah, itu yang memang kurang lebih terjadi dalam  Peeping Tom, tapi perhatikan betapa metaforis gambaran itu! Betapa banyak kemungkinan makna dari pilihan Powel menjadikan kamera sebagai pembunuh!) Persis kenikmatan mengintip, menonton, semacam itu yang digambarkan sebagai perilaku dekaden golongan superkaya di  Pintu Terlarang. Orang-orang “atas angin” ini diam-diam berkumpul di klub rahasia dalam gedung Herosase, dan membayar mahal untuk hiburan eksklusif yang tersedia di daftar menu di kamar tertutup: seorang nenek merajut yang menjahitkan tangannya ke rajutannya, dan seorang anak yang disiksa. Lalu, seolah sedang bicara daftar makanan yang baru dicicipi di sebuah restoran baru, sekelompok orang kaya bicara tentang berbagai perilaku menyimpang itu di galeri. Mereka membahasnya, menganalisanya, sambil tampak pula keasyikan mereka mencicipi buah terlarang nan eksklusif itu. Kalau kita perhatikan, mengapa mereka bisa dengan asyik menganalisa berbagai perilaku kekerasan dan menyimpang itu – tak lain karena semua itu mereka saksikan di televisi. Kamera dan alat video memberi mereka jarak yang aman untuk bisa melihat tanpa jadi “kotor” karena terlibat. Mereka bisa menganalisa moralitas para pelaku perilaku menyimpang itu, tapi mereka tak merasa perlu mempertanyakan moralitas mereka sendiri yang menonton perilaku menyimpang tersebut (bahkan membayar untuk itu!). Kalau saya sih, paling tak tahan pada keluarga yang menyiksa anak itu , kata salah seorang di galeri. Saya rasa, kata orang itu, dia

KAMERA SEBAGAI JARAK MUTLAK

tak akan bertahan lebih lama, sebentar lagi akan mati anak itu. Lalu semua manggut-manggut, memegang gelas  wine  mereka, para beautiful people.... Pertanyaan apakah yang mereka saksikan itu “nyata” atau “tak nyata” (yang mengandung konsekuensi: kalau “nyata”, lantas apa?) dikembangkan lebih jauh: apakah para pelaku kekerasan dan penyimpangan itu tahu bahwa mereka direkam kamera atau tidak? Apakah mereka sadar kamera, atau tidak? Artinya, apakah mereka tak sadar, sukarela, ataukah memang dibayar? Kalau sampai dibayar, kekerasan yang “nyata” itu jadi intensional, dan, dalam sudut pandang tertentu, tak lagi “nyata” –tapi sekadar pengembangan lebih jauh dari perilaku manggung. Benarkah demikian? Benarkah kekerasan yang nyata, kongkret, menjadi tak nyata hanya karena ia dipanggungkan, ditelevisikan? Kita hanya menonton  , kata Dandung kepada Gambir. Gambir yang mencoba ikut campur ingin menolong, mencoba menyeberang dari dunia penonton ke sang liyan, hancur jiwanya. Ia tak berdaya menembus jarak mutlak yang disediakan kamera dan monitor televisi. Dandung memberi solusi pragmatis: Gambir harus terus menonton, sampai kamera menangkap petunjuk kongkret, di mana sebenarnya keluarga dan anak tersiksa itu berada dan Gambir bisa menolong. Joko memilih jarak itu tetap mutlak tak terseberangi. Anak di dalam televisi itu menatap Gambir untuk terakhir kali, dan Gambir tetap tak mampu memasuki dunia sang liyan.

4. Joko, sebetulnya, juga mengganggu jarak itu di beberapa tempat. Misalnya, di tengah-tengah film, saat kita sudah paham benar bahwa yang terjadi pada si anak di monitor kamera pengintai itu

347

348

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

adalah nun “di sana”, tiba-tiba kamera yang merekam dunia Gambir menampilkan si anak yang diikat tangan dan kakinya. Persis scene sebelumnya, seorang perempuan menggambar dengan pensil wajah si anak. Tentu saja, jarak itu sudah terganggu—dan itulah sebab mengapa Gambir begitu terganggu. Entah bagaimana, sang liyan masuk ke dunianya. Ada coretan “tolong saya” di manamana, di tempat-tempat dan keadaan-keadaan musykil, ditujukan pada Gambir. Ada kelebat-kelebat seorang anak berlari. Ada sesuatu yang supernatural dalam intrusi sang  liyan  ke dunia Gambir. Paling tidak, sesuatu di ambang batas “nyata” dan “tak nyata”. Hantu? Delusi? Ah, Joko sedang menggoda. Seolah ada sesuatu di situ. Padahal, Joko hanya sedang bermain-main. Ia mempermainkan pakem–pakem film horor, pakem film thriller atau misteri. Joko—dan Sekar Ayu sebagai sumber cerita—menabur banyak misteri bagi kita: misteri patung-patung milyaran rupiah Gambir, misteri si anak yang tersiksa, misteri pelanggan klinik aborsi, misteri pintu terlarang. Tapi, tiba-tiba saja, cerita ditikungkan ke sebuah jawaban dari bukan misteri-misteri itu. Soal terbesar dalam hidup Gambir, baru di bagian akhir Gambir sadar, adalah apa yang dilakukan istrinya, ibunya, para sahabatnya, bosnya, di belakang punggung Gambir. Itu, kalau Anda merasa penting untuk mendapat cerita dari film ini. Dengan segala kecanggihan teknis Joko dalam bertutur audio-visual, cerita dan tuturan  Pintu Terlarang  hampir tak mengejutkan. Pilihan Joko benar ketika akhirnya ia menekankan sensasi slasher dalam film ini. Kapan terakhir kali Anda melihat kepala dibenamkan melalui lubang matanya ke pecahan gelas wine dalam suasana ruang dan etiket penuh citarasa kelas tinggi? Atau, tepatnya, kapan terakhir kali Anda melihat adegan itu di film Indonesia?

KAMERA SEBAGAI JARAK MUTLAK

Pada akhirnya, cerita adalah kendaraan belaka bagi Joko untuk membenamkan diri dalam keasyikan menjelajah retorika kamera.

5. Dan di akhir film, Gambir menatap kita. Ah, maaf, Gambir menatap kamera. Sejenak. Tapi, seperti penuh arti. Aktor menatap kamera, bicara kepada penonton, adalah teknik yang biasa disebut “meruntuhkan dinding keempat”. Istilah “dinding keempat” diambil dari dunia teater. Untuk  setting  sebuah panggung, biasa dibangun dinding di belakang, kiri, dan kanan panggung. Ruang untuk dinding keempat dibiarkan kosong, yakni agar penonton bisa melihat ke panggung. Tapi, dinding keempat itu diasumsikan ada, memisahkan antara penonton dan pemain, penonton dan cerita, penonton dengan cerita. Teknik berbicara dengan penonton di panggung telah berjalan ribuan tahun, sejak drama-drama komedi dan tragedi Yunani Kuno. Shakespeare pun menerapkan teknik ini pada beberapa dramanya. Misalnya, dalam Midsummer Night’s Dream, Puck bicara pada penonton bahwa jika para penonton tak berkenan pada cerita yang mereka tonton, anggap saja itu semua adalah mimpi. Metode ini (sebetulnya, ada beberapa metode peruntuhan dinding keempat selain bicara pada penonton) diterapkan pula dalam teater tradisional, seperti lenong atau ludruk. Sudah biasa bahwa dalam pertunjukan lenong atau ludruk, para pelawak berbicara pada penonton. Yang menarik adalah pertunjukan TVRI pada 1980-an, Teater Mama, dengan bintang mereka, Mat Solar yang masih muda dan lumayan kurus.

349

350

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Dalam pertunjukan televisi itu, panggung ditata ala kadarnya, dan ada penonton yang sebetulnya adalah para pemain teater juga. Para aktor utama, yang memerani tokoh-tokoh cerita, sering menyapa dan bertanya pada para penonton: “Hey, penonton....!”. Semua lakon mereka direkam kamera televisi, untuk kita menontonnya di rumah. Dalam pertunjukan TVRI tersebut, teknik peruntuhan dinding keempat digunakan, tapi dinding keempat dipertahankan lewat kamera. Satu lagi hal menarik. Di tangan Bertolt Brecht, seorang dramawan besar Jerman beraliran politik kiri, teknik peruntuhan dinding keempat itu dinamai  Verfremdungseffekt  atau efek alienasi/pengasingan. Brecht meminjam teori defamiliarisasi dalam sastra menurut teori formalisme Rusia. Gagasan di balik praktik ini menurut Brecht adalah menciptakan jarak dengan cerita yang dipanggungkan, agar penonton tidak terbenam pada emosi para tokoh-tokohnya, namun tetap mampu bersikap objektif dan rasional dalam menilai cerita dan para tokohnya itu. Singkatnya, bagi Brecht, pertunjukan teater bukanlah wahana eskapisme bagi para penontonnya. Mereka tidak diminta untuk terlena oleh cerita. Mereka diminta tetap sadar bahwa cerita hanyalah cerita, dan yang lebih penting adalah pemaknaan rasional terhadap cerita yang dipertunjukkan. Dalam film, efek pengasingan seperti yang diharapkan Brecht dalam peruntuhan dinding keempat itu agaknya tak selamanya disadari. Tujuan kebanyakan film yang menerapkan teknik ini, khususnya di Hollywood, justru lebih condong pada upaya mendekatkan sang film dengan penonton. Dengan kata lain, tujuannya agar dapat berkomunikasi lebih intensif. Paling tidak, agar ada ilusi ”pertunjukan panggung”, ilusi bahwa kamera bukanlah dinding keempat yang lebih mutlak daripada dinding keempat yang ada dalam pertunjukan panggung yang dihadiri penonton dalam ruang sama dengan para pemain.

KAMERA SEBAGAI JARAK MUTLAK

Peruntuhan dinding keempat banyak dilakukan dalam filmfilm Marx Bersaudara pada 1930-an. Pada 1950-an, pelawak Bob Hope sering bicara pada penonton dalam film-film serial Road To… (ada enam dalam serial ini). Salah satu yang paling terkenal, dalam Road to Bali, Bing Crosby akan menyanyi, dan Bob Hope menatap penonton (ah, maaf, kamera) dan bicara, “Oke, sekarang Bing mau menyanyi, saatnya Anda keluar dan beli popcorn!” Salah satu contoh mutakhir eksploitasi peruntuhan dinding keempat ini adalah  Alfie  (Charles Shyer, 2004). Dalam film remake ini, karakter Alfie (Jude Law) tampak sangat cerewet bicara dengan penonton. Ketika film itu mencoba untuk masuk ke “bawah kulit”, mencoba menggambarkan perasaan terdalam, upaya itu gagal. Seorang tokoh cerita yang gemar sekali bicara pada penonton tak lah (terasa) mungkin untuk memiliki cerita yang “nyata”. Pastilah ia tokoh main-main dari sebuah cerita mainmain. Alfie, karenanya, (kita anggap) tak mungkin punya perasaan “nyata”, yang mampu membuat penonton simpati, terlibat secara emosional, atau mengidentifikasi diri. Alfie adalah sebuah upaya gagal untuk menjadi nyata dalam ketaknyataan. Barangkali, justru ambisi menjadi nyata itulah yang menggagalkan Alfie. Joko agaknya sutradara yang sangat keberatan dengan pernyataan bahwa film harus bicara tentang “kenyataan (hidup)”, dan lebih mengimani bahwa film adalah “make-believe” atau “rekapercaya”. Padahal, seperti tampak pada dialog-dialog dalam adegan-adegan di galeri, jelaslah bahwa Joko punya pemahaman yang tajam tentang realitas di sekeliling Joko sendiri. Tapi, ia memilih menaruh hal-hal semacam itu, hal-hal yang mengandung “relevansi sosial” itu, di belakang film. Joko lebih masyuk dalam soal gerak-gerik dan penempatan kamera, kostum, dan twist (tikungan) cerita serta soal-soal menyangkut genre dan (istilah favorit Joko) “genre bending”, atau credit title (bagian credit title di awal film Pintu Terlarang sungguh ciamik!).

351

352

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Bagi Joko—setidaknya, jika kita menonton karya-karyanya, film adalah dunia yang mandiri dari dunia kenyataan penontonnya. Film adalah dunia rekaan murni, tempat para tokohnya bisa jadi Ratu Adil, superhero, atau jagal bergaya keren.

6. Joko menutup Pintu Terlarang dengan tatapan mata Gambir pada kamera. Tapi, kita ingat, sebelumnya, tokoh Dandung menegaskan bahwa hanya karena dia memandang kamera, bukan berarti dia bicara dengan kamu! Maka, apa makna tatapan itu? Barangkali tak ada. Gambir hanya menatap kamera, tak kurang dan tak lebih, untuk kemudian melengos dari kamera, melanjutkan hidup fiksionalnya, meninggalkan penonton kembali ke dunia ”nyata”, setelah lampu bioskop menyala.

— Pintu Terlarang (2008) Produksi: Lifelike Pictures / Sutradara & penulis: Joko Anwar / Pemain: Fahry Albar, Marsha Timothy, Tio Pakusadewo, Henidar Amroe.

Ekky Imanjaya

Perempuan Berkalung Sorban

Posisi Ideologis dan Representasi: Membela atau Merusak Nama Islam? “Maaf jika ada yang tidak berkenan. Peringatan keras bagi yang punya pemikiran antikebebasan, silakan jauhi film ini daripada nanti anda sakit hati.” — Hanung Bramantyo

F

ilm terbaru Hanung Bramantyo,  Perempuan Berkalung Sorban (PBS) memicu kontroversi. Dua kelompok saling menjadi oposisi. Kelompok anti-PBS, sebut saja begitu, menyatakan bahwa film ini sesat menyesatkan, menjelekjelekkan pesantren dan Islam secara umum, bagian dari propaganda Islam Liberal, menyatakan agar film ini jangan ditonton, dan bahkan ada yang berniat untuk memboikotnya secara jama’i. Sebagian ulama dan tokoh Islam menyerukan hal itu tanpa menontonnya terlebih dulu, sebuah pengulangan kesalahan yang pernah dilakukan KH. Abdullah Gymnastiar saat “mengharamkan” Buruan Cium Gue. Tapi ada juga yang sudah menontonnya dan bersuara, di antaranya emosional.

354

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Sineas senior yang akrab dengan representasi keislaman dalam sinema, Chaerul Umam (Al-Kautsar, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Nada dan Dakwah), dan Deddy Mizwar (Kiamat Sudah Dekat, serial TV Para Pencari Tuhan) ada di kubu ini, walau pun bukan dalam bandul terekstrimnya. Dalam beberapa media, Deddy Mizwar menyatakan, bahwa cerita yang disajikan dalam film itu sangat menyudutkan Islam: fikih-fikih Islam yang dihadirkan dalam PBS cenderung tidak jelas serta memiliki penafsiran sepihak saja. Senafas dengan itu, Chaerul menyatakan adanya ketidakseimbangan (unbalance) dalam film tersebut. Bagaimana kisah buruk kiyai dan pesantren yang di-blow up secara sepihak, sedangkan pesantren dan kiyai yang bagus tidak disentuh (Tribun Batam, 14/2). Kelompok pro-PBS tak habis-habisnya heran. “Apa yang salah dengan film ini?”; “Mengapa tokoh agama semacam MUI harus ikut campur dan bahkan melarang-larang film ini?”; “Mengapa kita tak boleh mengkritisi ajaran agama?”, kira-kira begitu komentar mereka. Di antara mereka menyatakan bahwa film ini bagus karena mengkritik praktik-praktik yang menyalahi ajaran Islam yang sebenarnya. “Apakah salah kalau menggambarkan Islam dengan buruk dalam sebuah film?”, demikian salah seorang facebooker bertanya pada saya. Justru, bagi mereka, film ini berani membongkar kasus-kasus penindasan perempuan, dan kebejatan moral oknum orang pesantren khususnya kyai, dan anak kyai, yang selama ini kenyataannya memang terjadi. Tulisan ini berusaha membaca PBS tanpa harus mengikuti polarisasi pemikiran dua kubu yang semakin berjarak sejak jaman FPI versus Ahmadiyah atau pro-kontra RUU Pornografi. Dari awal saya sudah menyatakan, misalnya dalam artikel “Ayat-Ayat Misoginis” di majalah Azzikra edisi Februari 2009 bahwa film ini gagal dalam menyampaikan pesan awalnya dan malah menjadi efek bumerang. Tapi saya merasa harus menulis lagi hal ini dengan

POSISI IDEOLOGIS DAN REPRESENTASI: MEMBELA ATAU MERUSAK NAMA ISLAM?

sedikit lebih dalam. Kali ini dengan dua pendekatan: status ideologis, dan representasi. Status ideologis adalah posisi sutradara dalam memandang film ini. Saya percaya Hanung sahabat saya itu mempunyai niat yang mulia saat membuat film ini dan itu jauh dari semangat merusak nama Islam. Sedangkan representasi membahas tentang apa-apa yang terlihat dan terdengar di layar perak. Status ideologis berkutat pada masalah “Apa maunya sang sutradara”, sedangkan representasi pada “Apa maunya film ini?”. Yang pertama mengkaji permasalahan epistomologis (yang mencakup filsafat ilmu dan logika), “bagaimana pengetahuan itu bisa dicapai”, sedangkan yang kedua adalah persoalan ontologis seputar film, dan (keterwakilan) realitas pada media film.

Status ideologis Saya berkhayal, kalau bukan Hanung Bramantyo—yang sudah menelurkan film berlatar masyarakat Muslim semacam Ayat-Ayat Cinta (AAC) dan Doa yang Mengancam—apakah film ini menuai polemik sebesar ini? Saya percaya Hanung punya idealisme tertentu—baik isu Islam atau pun gender—saat mengerjakan film ini. Tidak ada niat untuk menjelek-jelekkan citra Islam, saya berprasangka baik padanya. Saya menjadi saksi mata saat syukuran AAC, Hanung dengan suara bergetar menahan haru menyatakan bahwa sudah lama ia ingin memenuhi wasiat ibunya yang mengharapkannya membuat film tentang agama (Ayat-Ayat Cinta, Perwujudan Mimpi Hanung Bramantyo). Kepada pers, ia menyatakan, “Saya ini seorang Muslim. Di film itu, saya sama sekali tak mengkritik Islam, Al-Quran, ataupun hadis.” Baginya, PBS adalah otokritik terhadap umat Islam, terutama keluarga yang kerap menggunakan Al-Quran dan hadis

355

356

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

secara salah untuk memaksakan kehendaknya kepada anak-anak mereka. Di PBS, menurutnya, menggarisbawahi bahwa Islam, kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah setara. “Pesan itu ditampilkan oleh sosok Khudori,” tutur Hanung yang menilai bahwa kekhawatiran sebagian kalangan bahwa film PBS akan merusak pikiran umat Islam sangat tak beralasan. “Umat Islam kan sudah pada cerdas,” tambahnya. Namun, justru itulah permasalahannya. Jika ia adalah sosok yang antipati terhadap Islam atau pesantren, tentu film ini bisa “dimaklumi” mengandung banyak sekali pencitraan yang buruk terhadap pesantren tanpa ada upaya untuk membelanya atau menawarkan Islam alternatif yang dianggapnya ideal. Tapi ini Hanung yang membuat, seorang sutradara so-called “film Islam”, yang juga berkeinginan “membela” Islam. Walhasil, film ini berefek bumerang: awalnya diniatkan untuk “memperjuangkan hak-hak Muslimah” malah terkesan menjadi film yang menggambarkan Islam kejam dan benci terhadap perempuan. Dan memang, film ini kental dengan ayat dan fatwa misoginis. Hanung menyatakan bahwa ia mengangkat pesantren yang sudah hadir ditafsirkan Abidah El-Khaliqy pada novelnya. Kepada pers, ia mengungkapkan bahwa PBS ibaratnya membayar utang pada masyarakat khususnya kaum perempuan yang kecewa pada film AAC. “Film ini adalah hutang saya pada kaum perempuan yang sebelumnya kecewa dengan film AAC yang dianggap sangat berpihak pada poligami,” ujarnya dalam konferensi pers usai menonton PBS bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta dan para aktivis perempuan (10/2/2009). Kantor berita Antara menyatakan bahwa: Hanung mengatakan banyak protes yang ditujukan padanya dibalik kesuksesan film AAC di mana ia bertindak sebagai sutradara. Sebagian besar yang memrotes adaah perempuan yang menganggap Hanung pro pada poligami dan AAC

POSISI IDEOLOGIS DAN REPRESENTASI: MEMBELA ATAU MERUSAK NAMA ISLAM?

mencerminkan budaya patriarki yang merugikan kaum perempuan.

“Oleh karena itu saya membuat film ini untuk meletakkan kembali bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sejajar, manusia hanya dibedakan dari tingkat keimanannya dan bukan dari jenis kelaminnya,” ujar ayah satu anak ini. Jadi, niatnya adalah menyeimbangkan, atau tepatnya, “meralat” AAC. Juga mengikuti penafsiran Abidah sang penulis novel. Jadi, di mana sebenarnya letak status ideologis Hanung? Apa pandangan dan posisinya terhadap, di antaranya, budaya patriarkal, poligami, dan pesantren? Yang di AAC atau PBS? AAC dan PBS dalam konteks ini seperti adalah dua kubu yang berlawanan. Yang satu berwajah malaikat, yang satu berkelakuan Iblis. Dan seakan-akan ada relasi nasikh-mansukh, penafsiran AAC dihapus oleh PBS. Mungkin, sekilas keduanya menjadi seimbang, ada Islam sejuk, ada Islam “ganas”, tapi nyatanya persoalan tidak sesederhana itu. Persoalan keterwakilan dua realitas ini akan dibahas di bagian lain, tentu saja. Tapi, bagi saya, ada problematika ideologis: pada PBS, Hanung ada di posisi yang mana? Yang memandang Islam sebagai wajah damai atau wajah penindas? Kalau ternyata yang pertama, mengapa tidak ada satu pun tanda-tanda Islam yang membebaskan di film itu? Mengapa menawarkan solusi non-Islam seperti “Bumi Manusia” atau karya sastra dan pemikiran lain, tanpa ada satu pun penafsiran ayat atau Islam yang mengkritisi karakter-karakter antagonis, katakan saja “The Tao of Islam”-nya Sachiko Murata atau feminis berlatar Islami macam Fatimah Mernissi dan Asghar Ali Engineer? Jika niatnya menyatakan Islam yang ramah perempuan, mengapa tidak ada penafsiran gender dan perlawanan signifikan dari Islam yang “sebenarnya”? Mengutip Emha Ainun Nadjib, untuk nahi munkar (mencegah kemungkaran) tentu harus tahu munkar-nya

357

358

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

baru kemudian di-nahi. Nah, dalam konteks PBS, mana bagian nahi-nya? Apakah ini bisa ditafsirkan bahwa Hanung gagap (bahkan gagal) dalam menuturkan gagasannya? Atau ini adalah sebuah ayat bagaimana Hanung memahami agamanya? Untuk yang terakhir, agaknya saya terlalu lancang dan keterlaluan jika menghakiminya. Tapi saya membaca majalah  Madina  edisi Anniversary (Januari-Februari 2009) soal Palestina, dan di sana Hanung berkomentar bahwa sejak kiblat umat Islam dipindahkan dari Masjidil Aqsa di Palestina ke Masjidil Haram di Mekkah, maka sejak itu ia bukan menjadi Tanah Suci lagi. Bagi saya, ini pernyataan yang keterlaluan, mengingat banyak sekali data sejarah atau ayat suci dan hadis yang menyatakan sebaliknya. Bahkan, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Yerusalam adalah kota suci bagi tiga agama samawi, termasuk kota suci ketiga umat Muslim sedunia setelah Mekkah dan Madinah.

Representasi Madzhab realisme, menurut Roy Armes, mengandung tiga tujuan: memaparkan realitas apa adanya, imitasi realitas, dan mempertanyakan realitas. Agaknya, yang terakhir ini adalah pilihan PBS. Tentu saja, dalam film, realitas ini adalah “realitas” karena terkonstruksi, dipilih, dipilah, diracik dengan gaya dan formula tertentu, baru disajikan. Belum lagi status fiksi yang melekat padanya. Realitas apa, yang mana, menurut siapa? Jawabannya adalah “realitas” yang terepresentasi dalam film. Yang menarik, setelah menonton bersama, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menyatakan bahwa orang yang mengkritik kurang paham persoalan. “Mereka sebenarnya membela Islam, jika Islam tidak seperti itu

POSISI IDEOLOGIS DAN REPRESENTASI: MEMBELA ATAU MERUSAK NAMA ISLAM?

sebenarnya. Perempuan sering ditindas. Tapi padahal Islam tidak menindas perempuan,” ujarnya (10/2/2009). Menurut Ibu Menteri, dalam film itu digambarkan ketika ajaran Islam tidak dijalankan dengan baik dan dipahami secara keliru. “Ada yang keliru dalam memahami ajaran Islam, nilai-nilai Islam. Kalau saya menganggap ajaran saya mengajarkan kedamaian, kebaikan, keharmonisan ya itulah yang seharusnya. Dan film itu tidak menggambarkan apa yang diajarkan oleh agama Islam,” tandas putri proklamator Bung Hatta ini. Pernyataan ini menarik, berhubungan dengan teori representasi. “Dan film itu tidak menggambarkan apa yang diajarkan oleh agama Islam”. Lantas apa yang digambarkan film itu? Tepatnya: apa yang direpresentasikan film itu? Pesantren yang menindas perempuan, Islam yang menekan dan mengekang kaum wanita. Adakah di sana Islam yang membela dan membebaskan perempuan? Tidak ada. Dalam pernyataanya yang disitir pers, dan dinyatakan di atas, Hanung menyatakan bahwa PBS justru menekankan bahwa pada Islam, kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah setara, dan pesan itu ditampilkan oleh karakter Khudori. Pertanyaannya, ayat dan dalil Islam yang mana yang menyatakan kesetaraan gender itu? Tokoh Khudori, yang berpotensi menjadi pahlawan, tidak melakukan pembelaan yang kuat dan proporsional. Ia lemah, lebih lemah dari tokoh Fahri di AAC. Film itu benar-benar menggambarkan pesantren dan kyai yang, dalam istilah Meutia (dan Hanung pula) “keliru dalam memahami ajaran Islam”. Tentu saja, kita mengetahui bahwa itu Islam yang keliru. Tapi, di film itu, adakah yang “meluruskan” kekeliruan dan kesalahan itu? Adalah representasi di film itu yang, katakanlah menyatakan bahwa itu keliru dan meluruskannya? Tidak ada. Kebebasan wanita diperoleh dengan direbut, lewat ilmu pengetahuan, sastra, buku, wawasan, dari luar Islam. Mau tak

359

360

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

mau, kita harus menyatakan bahwa itulah representasi Islam dan pesantren di PBS: Islam yang tak hanya zalim kepada perempuan, tetapi juga anti-intelektual. “Lho tapi itu kan kasus yang salah?” Atau dalam istilah Bu Menteri, “mereka sebenarnya membela Islam, jika Islam tidak seperti itu sebenarnya”. Betul. Tapi, apakah dialog seperti itu ada dalam PBS? Di  scene  atau dialog yang mana letak pembelaannya?Adakah penggambaran “Islam yang benar”? Ada, memang, tapi lemah dan tak signifikan, serta tak bisa membendung (generalisasi) pencitraan buruk pesantren. Secara gampangannya begini: seandainya film ini diputar di Berlin atau New York, bagaimana kira-kira pandangan orangorang bule itu terhadap Islam? Sebuah pesantren yang ramahkah? Islam yang membebaskankah? Islam yang “benar”-kah? Kalau kita putar di lingkungan pesantren, apakah film ini dekat dengan kehidupan mereka, atau dengan kata lain: apakah PBS merepresentasikan mereka? Kalau selon, silakan saja tur keliling pesantren, di Jombang atau Jawa Timur. (Oh ya, di Jombang saya rasa tidak ada pantai, tapi ini soal lain). Bahkan, silahkan ke Ngruki sekalian, jika mau nakal.

Pamungkas Singkat kata, film ini secara ideologis, epistemologis dan ontologis bermasalah. Hanung (bagaimana pun, dia adalah aset bangsa yang telah menelurkan Catatan Akhir Sekolah dan Get Married!) yang sebenarnya pro-Islam (yang membebaskan dan ramah perempuan) malah ditafsirkan sama sekali berlawanan darinya. Dan nyaris tak ada representasi Islam yang membebaskan dan ramah perempuan dalam film ini. Sederhananya, pesan dari pak sutradara (pendekatan posisi ideologis) tidak tersampaikan sebagaimana mestinya, dan filmnya sendiri (pendekatan

POSISI IDEOLOGIS DAN REPRESENTASI: MEMBELA ATAU MERUSAK NAMA ISLAM?

representasi) tidak membuka banyak ruang untuk keterwakilan Islam yang, mengutip Meutia, “sebenarnya”. Dan, pernyataan Hanung dalam blognya justru kontraproduktif dan menegaskan ambiguitas posisi ideologisnya yang terepresentasi dalam PBS: dari “Islam adalah wacana dan wahana pembebasan” menjadi “pilih kebebasan, atau pilih Islam? Karena tidak ada pilihan kebebasan dalam Islam, apalagi kaum perempuan”. Karena justru kaum yang protes itu adalah kaum yang percaya bahwa Islam adalah jalan pembebasan, sama persis seperti niat Hanung semula. Ternyata, dalam kasus ini, hadis “sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya” tidak terejawantah. Wallahua’lam.

361

Eric Sasono

Generasi Biru

Generasi dalam Bingkai Keliru

C

epat atau lambat, film tentang kelompok musik Slank pasti dibuat. Mereka adalah wakil sebuah generasi yang memang terlalu sayang untuk tak dicatat dalam sejarah musik populer di Indonesia. Ternyata, orang yang mendapat kehormatan itu adalah nama yang tak kalah besar: Garin Nugroho. Namun kredit penyutradaraan ia bagi bersama dua orang lagi: John De Rantau dan Dossy Omar. Bertiga, mereka memotret Slank sebagai kelompok pemberontak, dan ini menjadi sumber masalah dalam film ini. Slank sebagai pemberontak diletakkan dalam dua aras eksekusi film ini. Aras pertama adalah aras artistik. Slank digambarkan sebagai pendobrak tabu, dan mempersetankan tradisi sehingga penyampaian kisah tentang mereka juga harus melalui cara seperti itu. Slank dianggap sebagai sekelompok anak nakal yang tak mau turut konvensi dan selalu mencari terobosan

GENERASI DALAM BINGKAI KELIRU

bagi cara ucap mereka, maka film tentang Slank juga harus dibuat dengan menabrak konvensi kekisahan sinematis apa pun. Maka Generasi Biru dipenuhi oleh dobrakan, terobosan dan pen-taik kucing-an terhadap tradisi dan konvensi sinematis yang pernah ada dalam film Indonesia. Hasilnya adalah serangkaian kekacauan dalam kekisahan yang tampak berputar-putar di tempat, dan tak punya progresi yang penting sepanjang film berlangsung. Sayangnya semua itu bukan dalam pengertian yang baik. Film ini sangat tidak nyaman untuk diikuti, dan tak memberi imbalan apa pun bagi penonton, kecuali mungkin mendengarkan saja lagu-lagu Slank yang memang dahsyat itu. Yang terjadi dengan Generasi Biru adalah penyia-nyiaan beberapa elemen yang sangat menarik apabila berdiri sendiri. Lihat misalnya beberapa bagian footage dokumenter dalam film ini yang berhasil dengan sangat baik dalam mendokumentasikan Slank sebagai bagian dari pencarian identitas sebuah generasi. Footage-footage itu mampu bicara banyak tentang orangorang yang turut mendefinsikan diri bersama Slank dan ikut mem-bunda-kan Bunda Ifet, ibu dari Bimbim, salah seorang personil Slank. Lihat juga footage Bimbim bernyanyi di atas panggung – dengan suara tak seberapa merdu – sambil menggandeng anaknya, Una, dan bertanya tentang masa depan. Atau lihat para Slankers yang datang jauh-jauh dari Pekalongan dengan kaos benar-benar lusuh, atau lihat para Slanker di Flores yang bermain sasando menyanyikan lagu Slank. Mereka adalah sebuah generasi yang hidup, dan  footage-footage  dokumenter itu telah berhasil memotretnya dengan baik. Namun sayang potret itu dijadikan bagian dari kolase yang mengabaikan segala konvensi tanpa tujuan apapun selain pengabaian konvensi itu sendiri. Beberapa elemen pendukung kolase itu dibuat dengan sangat tidak kredibel dan berakibat lebih

363

364

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

jauh terhadap krebilitas film ini sendiri. Silakan perhatikan segmen Jendral Nambe yang dibuat sebagai sebuah parodi yang tak jelas asosiasinya: kebodohan atau kekuasaan atau paduan keduanya? Parodi ini memang nakal dan berpeluang untuk mengganggu, tapi eksekusi yang buruk membuat bagian ini mengganggu bukan dalam pengertian yang baik. Eksekusi yang buruk juga terjadi pada koreografi tarian Jacko Siompo. Jacko dan timnya yang pandai dalam mentransformasi gerakan sehari-hari menjadi pertunjukan tari yang menarik, tampak seperti sedang dijajah oleh  frame. Kegagalan Garin dalam menangkap gerak penari yang terjadi juga di (sebagian)  Opera Jawa  dan (tarian Bulan Trisna Jelantik dalam) Under the Tree, terulang lagi di sini. Padahal segmen Kupukupu Biru yang dibawakan oleh Nadine Chandrawinata cukup baik dalam mewakili sikap bermain-main tentang kisah cinta yang platonis. Elemen animasi dalam film ini juga terkorbankan. Dalam beberapa kesempatan, animasi dalam film ini mampu menghadirkan asosiasi yang kuat tentang fragmen-fragmen protes dan perlawanan melalui seni yang lebih besar ketimbang politik dan aktivisme. Adegan yang dibentuk dengan clay-motion juga cukup kuat untuk membawa multiinterpretasi terhadap kekerasan kekuasaan. Sayangnya, ambisi untuk menjadi “nakal” dan “memberontak” telah membuat elemen artistik film ini menjadi sebuah kekacauan yang dibuat demi kekacauan itu sendiri. Padahal, jika menilik elemen artistik Slank sebagai kelompok musik, sesungguhnya tak perlu ada penabrakan tradisi bercerita dalam elemen artistik film ini. Musik rock ‘n’ roll yang dibawa oleh Slank memang pernah menjadi sebuah bentuk perlawanan, tetapi kini rock ‘n’ roll telah menjadi sebuah establishment baru. Maka sikap yang santai saja dan tidak heroik terhadap  rock ‘n’

GENERASI DALAM BINGKAI KELIRU

roll mungkin akan lebih mampu menangkap semangat protes yang dibawa oleh kelompok seperti Slank. Karena dalam aras muatan, asumsi bahwa Slank adalah pemberontak membawa bencana lain lagi. Tiba-tiba heroisme Slank menjadi sejajar dengan almarhum Munir. Sekalipun Slank memprotes, mengkritik dan memaki, mereka tidak melawan. Tentu saja ada pihak yang tak suka terhadap protes dan kritik, tapi sikap Slank sebagai seniman tidak berangkat dari aktivisme, melainkan berangkat dari sebuah curhat, sebuah keluhan yang jangan-jangan tak perlu pemecahan kongkret. Slank memang mampu bertransformasi dari sekadar anak muda nongkrong gemar bermusik menjadi sebuah gerakan moral yang luas. Dari gerakan moral ini, banyak orang (terutama anak muda) yang ikut terbantu dalam pendefinisian diri mereka. Slank juga diam-diam melakukan advokasi moral terhadap orang-orang yang kalah dan tersisih dari lingkungan mereka (ingat pembelaan terhadap sikap ‘kampungan’?). Slank adalah sebuah gerakan moral yang lahir tanpa diniatkan menjadi pembenar bagi sebuah sikap moral, apalagi menjadi penentang kekuasaan. Maka ketika Slank dipotret sebagai penentang kekuasaan— bahkan digambarkan punya andil ikut menjatuhkan Soeharto— bingkai yang dibuat untuk Slank menjadi terlalu ketat. Penggambaran terhadap Slank jadi terasa mirip dengan penggambaran terhadap kelompok musik Kantata Takwa yang filmnya beredar tahun lalu. Beberapa segmen dalam film ini punya kesejajaran dalam tema perlawanan. Padahal, Kantata Takwa dilahirkan oleh para seniman yang memang berniat mendefinisikan ulang kepolitikan nasional, sedangkan Slank tidak. Seniman seperti Rendra dan Setiawan Djodi—juga Sawung Jabo dalam skala lebih kecil—punya ambisi politik dan ikut menentukan merah biru kebudayaan negeri ini. Wajar jika agenda politik kebudayaan mereka demikian fasih

365

366

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

terbaca dan tergambar sempurna dalam Kantata Takwa karya sutradara yang juga punya agenda politik besar, Eros Djarot. Tidak dengan Slank. Sekelompok pemrotes bermarkas di Potlot ini lebih tampak sebagai wakil dari kekuatiran akan masa depan anak-anak mereka. Mereka bukan penggugur gunung dan perintis jalan yang siap dengan risiko penjara. Mereka—mirip Iwan Fals dalam Kantata Takwa—adalah orang-orang yang cemas akan diri mereka sendiri dan orang-orang yang mereka cintai. Jika mereka tampak seperti melawan kekuasaan, hal itu tak terhindarkan pada masanya ketika kekuasaan begitu omnipresen mewujud di mana-mana. Maka Slank sebagai sebuah generasi telah dicatat secara keliru oleh film ini. Bingkai yang dikenakan oleh tiga sutradara ini telah menghadirkan Slank dalam persepsi mereka sendiri. Hal semacam ini memang kerap terjadi dalam usaha mencatat kehidupan para seniman. Namun sayangnya, seniman yang sedang dicatat ini adalah Slank, wakil dari sebuah generasi yang tumbuh dan berkembang beriring matangnya keberhasilan deidelogisasi dan depolitisasi Orde Baru. Dengan pencatatan berbingkai asumsi keliru ini, generasi ini telah tercatat dengan tidak sempurna. Sebuah potensi kehilangan yang besar apabila di masa mendatang orang meninjau lagi sejarah Slank dalam khazanah musik populer dan kepolitikan Indonesia.

Hikmat Darmawan

Saia

Musik Kamar yang Berani Film kedua Djenar Maesa Ayu, Saia, sungguh berani. Tapi, keberanian film ini bukan pada sikapnya yang (sangat) terbuka pada seks.

Prawacana: Mereka Bilang Saya Monyet!

D

jenar mampu meluluhkan medium film. Dalam film pertamanya, Mereka Bilang Saya Monyet!, dia telah menampakkan intuisi yang tajam dalam memperlakukan kamera. Bekerja dengan kamera digital dan sebagian besar dalam ruang-ruang tertutup, Djenar berhasil membangun dialog yang menarik antara kamera, ruang, dan waktu. Dengan dialog itu, bolak-balik ia melipat-lipat waktu: masa kini, masa lalu, masa entah, mengalir tak sekadar lewat alur kilas balik (flash back). Hal ini terasa, misalnya, ketika di penghujung film, Djenar menampilkan semua pemain yang memerani tokoh-tokoh cerita dalam film ini, dalam satu adegan. Semuanya tampil, para pemeran itu, dalam ruang dan waktu yang sama, sebagai tokohtokoh lain bagi si tokoh utama yang diperani oleh Titi Sjuman, adik ipar Djenar. Kamera mempermainkan sebuah unsur visual yang seringkali kita remehkan atau kita anggap biasa (taken for granted): wajah.

368

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Wajah dalam film adalah tanda banyak hal. Yang paling dasar, wajah adalah tanda tokoh tertentu dalam naratif film. Demikianlah, antara lain, sistem bintang tercipta: untuk film-film hiburan arus utama, para pembuat film menjaga agar penonton dengan mudah menandai tokoh tertentu (biasanya, tokoh utama) sehingga dipilihlah para aktor dengan wajah paling ganteng atau cantik di layar, punya karakter fisik dan nonfisik yang menonjol, punya “kharisma visual”. Dengan demikian, penonton dengan mudah memandang A = A’, dan menempatkannya dalam ruang serta waktu cerita yang spesifik. Wajah menjadi tanda penting, tapi sering terlupakan, sebuah tokoh berada di sebuah lokasi fix dalam cerita. Dalam film-film yang tak hendak sekadar jadi hiburan ringan, wajah diangkat jadi wadah tanda-tanda lain yang lebih sublim: emosi, pikiran-pikiran yang tak terungkap dalam kata, atau guratan pengalaman yang membekas sangat dalam. Sutradara menggarap tanda-tanda itu, mengolah wajah-wajah dan tubuh-tubuh dalam filmnya, antara lain lewat teknik-teknik seni peran yang diperuntukkan bagi kamera. Dalam Mereka Bilang Saya Monyet!, Djenar cukup telaten mengolah karakter-karakter rekaannya. Ia mencipta gaya bicara individual yang khas pada masing-masing tokoh, juga ia memerhatikan bahasa tubuh nyaris semua tokohnya. Setelah membangun karakter yang kuat (walau agak karikatural) dari para tokoh itu di sekujur film, Djenar lantas memelintir persepsi kita yang telah hanyut tentang para tokoh itu. Di ujung cerita, lokasi para tokoh dalam cerita digoyah, karena wajah-wajah itu tampil dalam sebuah dunia yang tampaknya beda sekali dari dunia yang telah dibangun perlahan sebelumnya. Dengan itu, tampak kecenderungan Djenar untuk sadar-diri (self conscious) saat memilih bentuk. Atau, dengan kata lain, film Mereka Bilang Saya Monyet! menampakkan kesadaran bentuk (form) yang kuat pada Djenar.

MUSIK KAMAR YANG BERANI

Dalam filmnya itu pula, Djenar menampakkan kesadaran penuh dalam penggunaan kamera. Kapan kamera diam, kapan kamera bergerak, kapan kamera di dekat objek, kapan kamera berjauhan dari objek. Lihat saja adegan-adegan di pasar malam yang bagai mimpi. Walau belum cemerlang, tapi kesadaran penuh akan kamera itu menunjukkan bakat besar Djenar dalam menaklukkan medium audio-visual. Semua kelebihan dan kekurangan  Mereka Bilang Saya Monyet!  patut kita nisbatkan kepada Djenar sang sutradara pemula, karena Djenar memilih jadi sutradara-penulis, yakni sutradara yang memfilmkan cerita yang ia tulis sendiri (dalam film itu, skenario ditulis bersama Indra Herlambang). Posisi ini menampakkan kecenderungan auteur pada Djenar. Ia membuat film karena ingin menyatakan sesuatu. Posisi ini tampak makin kukuh dalam film kedua Djenar, Saia. Film ini ditulis, disutradarai, dan diproduseri oleh Djenar. Malah, Djenar juga memainkan tokoh utama, salah satu dari hanya dua tokoh utama yang hadir mendominasi layar di sepanjang film. Tapi, dalam Saia, kecenderungan Djenar terhadap permainan bentuk menjadi “meledak”. Film keduanya ini sepenuhnya mempersoalkan bentuk, memproblemasi kamera, bermain-main, dan memilin-milin berbagai konvensi tentang kamera, naratif visual, hingga konvensi Penonton-Yang Ditonton. Satu hal yang menonjol: film ini sama sekali tanpa dialog, nir-kata. Bukannya film ini tanpa suara. Ada desah, rintih, jerit, bunyi kamera dimatikan atau dinyalakan, musik di jeda antarbabak. Bahwa “isi” cerita adalah tentang seks, dengan tampilan seks yang cukup eksplisit, tak melunturkan sifat film Saia sebagai “film kamera”. Tapi, mungkin sekali, muatan seks ini yang akan “menyilaukan” perhatian para penonton.

369

370

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

1. Seks? Tentu. Tapi…. Dalam seks, yang diikat belum tentu seorang korban. Tapi, mengapakah harus ada kata “korban” dalam seks? Karena seks adalah sebuah arena politik dalam pengertiannya yang paling kasar. Di dalam seks bisa terkandung kekuasaan, kekerasan, kezaliman. Kesan-kesan itu hinggap di benak saya saat memandang adegan demi adegan seks yang serba-panjang dalam Saia. Film dibuka dengan sebuah long take (perekaman sekali ambil yang lama) adegan oral seks. Di sebuah jendela kayu terbuka, agaknya di sebuah paviliun komersial yang sepi, tampak seorang lelaki telanjang (Harry Dagoe) duduk di ranjang dan menghadap kamera. Bagian selangkang dan kelaminnya tertutup kepala berambut panjang. Perempuan. Dari suara dan posisi tubuh yang berkembang, kita tahu belaka: sang perempuan sedang mengoral si lelaki. Tapi, dari bahasa tubuh mereka pula, segera tergambar sebuah hubungan lelaki-perempuan yang mengandung kekerasan. Cara si lelaki memegang kepala si perempuan. Cara si lelaki mengubah sedikit posisi duduknya. Cara si perempuan menarik kepalanya. Ketika setelah agak lama, si lelaki mencapai klimaksnya, si perempuan membuang mukanya ke jendela, muntah. Lalu ia terkulai, perempuan (Djenar Maesa Ayu) yang tersubordinasi. Sekitar 95 % film terdiri dari adegan seks antara kedua tokoh tanpa-nama-tanpa-kata itu. Perlahan, bukan hanya posisi tubuh yang berubah, tapi juga posisi politis keduanya. Jika sang perempuan adalah korban, kenapa ia kemudian jadi menikmati hubungan itu? Dalam satu babak yang menggambarkan si lelaki mengikat si perempuan di ranjang, menutup matanya dengan kain, lalu merangsangnya dengan dildo, si perempuan membuat tubuhnya pasif, seperti tidur atau mati. Pasrah? Perlawanan diam?

MUSIK KAMAR YANG BERANI

Sebelumnya, si lelaki melakukan kekerasan fisik pada si perempuan. Ia menampar, mendorong, menindih dengan paksa, dan sebagainya. Masih tak ada kata. Tapi kita tahu apa yang terjadi. Begitulah seterusnya. Perlahan, dinamika hubungan mereka lalui dalam kamar jahanam itu. Selalu tanpa kata. Selalu dengan kejadian berulang: seks, seks, dan seks. Tapi, dalam kungkungan “minimalisme: hubungan itu, banyak yang terjadi. Seperti saat si lelaki mengikat perempuan tadi. Ketika tiba-tiba si lelaki berhenti merangsang si perempuan dan pergi dari ranjang/kamar (mungkin dengan kesal), si perempuan melakukan sesuatu yang mulai membuat kita bertanya-tanya apakah ia sepenuhnya korban? Apalagi pada suatu titik ketika si perempuan membalik posisi, berada di atas si lelaki. Yang mengesankan saya, dengan tanpa kata dan hanya melalui adegan seks, Djenar berhasil membuat saya terikat, bertanya-tanya “apa selanjutnya”, dan cerita terkupas satu-satu. Ini seperti saya menyaksikan sebuah cerita “biasa”, dengan perkakas cerita yang lengkap. Yang lebih menarik lagi, perlahan tapi pasti, kita dibuat sadar bahwa ada pemain ketiga dalam film beraktor dua orang ini: kamera. Sejak awal, di saat kita tak nyaman menyaksikan adegan oral di jendela itu, kamera statis itu menyatakan keberadaannya seolah tanpa sengaja mulanya. Pertama kali, ada fokus yang berubah sedikit pada kamera. Bisa jadi, mulanya, sebagian besar penonton akan mengira itu adalah karena amatirnya si juru kamera. Wah, ini film kok tidak “profesional”, kameranya masih dikira-kira begitu…dasar film independen! Begitu mungkin kesan sebagian. Tapi, kehadiran kamera itu lama-lama semakin menyorongkan diri. Fokus yang menjauh, yang memberi info bahwa kamera diletakkan di kamar sebelah dari kamar pasangan itu. Kamera yang kadang bersembunyi di balik dinding, menghindari dari ketahuan oleh pasangan yang sedang nge-seks itu.

371

372

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Puncaknya, ketika batere kamera itu habis, dan Djenar menyodorkan layar hitam dengan ikon batere sedang mengisi di pojok kiri atas layar. Kamera mati yang sedang mengisi batere, disajikan dari sudut pandang sang kamera. Sebuah adegan tanpa adegan. Cukup lama. Terlalu lama, mungkin, bagi generasi “rapid cutting” yang terbiasa dengan editan film serbacepat pasca-Moulin Rouge, JFK, atau Bourne Identity. Di titik itulah kita tahu: ini adalah “film kamera”. Ini membuka banyak hal dalam membaca film ini.

2. Yang menonton, yang ditonton Pada saat credit title muncul, perhatian saya segera terusik pada nama Eko Suprianto. Ia adalah penari kontemporer yang sudah punya pamor internasional—pernah jadi penari latar Madonna. Di situ tercantum, ia adalah “body coach”. Tentu saja, saya menduga bahwa Eko melatih koreografi seks Harry dan Djenar. Tapi, saat saya tanyakan langsung pada Djenar, jawabannya lebih menarik lagi. Kata Djenar, Eko sengaja diundang untuk melatih penyatuan tubuh antara para pemain dan juru kamera. (Seolah baru teringat, Djenar menambahkan bahwa koreografi seks disusun oleh Djenar.) Djenar bilang bahwa sinkronisasi gerak si juru kamera, dan kedua tokoh yang sedang beradegan seks adalah hal yang sangat merisaukannya selama beberapa waktu. Djenar bilang, memang, si juru kamera menyanggupi permintaan Djenar. Tapi, Djenar takut pada saat praktik, sinkronisasi itu buyar, karena ada kekagetan atau kegamangan mengikuti polah dan gerak tubuh para tokoh yang sedang direkam. Sampai ada yang mengusulkan pada Djenar untuk memanggil Eko, dan Djenar merasa itulah jalan keluarnya:

MUSIK KAMAR YANG BERANI

melatih tubuh para pemain dan sang juru kamera agar menjadi satu. Latihan berlangsung dua hari penuh, dan mencakup pergulatan tubuh antara pemain dan sang juru kamera, agar tak lagi saling canggung pada tubuh masing-masing, menyatu, sinkron. Dalam satu adegan, ketika kehadiran si (pemegang) kamera semakin nyata, kamera menjadi sangat terlibat dengan adegan seks yang ia rekam, sehingga ia pun berayun selayak ayunan dalam gerakan seksual. Ada suara nafas memberat, yang jadi desah, dan teriakan orgasmik. Kamera bergoyang makin gila. Dan kita bertanya-tanya, ada apa dengan (si pemegang) kamera, siapa dia? Ketika babak demi babak adegan seks antara kedua tokoh tiba pada puncak, kita pun memasuki sebuah babak baru: kamera yang tiba-tiba tak punya objek lagi, kecuali ruang kosong. Apa yang terjadi? Di sini, saya, sebagai penulis, punya dilema: agak musykil membahas dalam-dalam poin tentang kamera dalam film ini tanpa mengungkap twist (pelintiran) plot film ini; tapi, saya tak ingin merebut hak Anda untuk merasakan pelintiran plot itu. Kalau-kalau Anda akan menonton film ini, suatu saat nanti. Saya memang bisa mencantumkan kalimat “spoiler alert” untuk memperingatkan Anda, tapi itu tak terlalu menolong, bukan? Oke. Saya coba saja mengulas tanpa mengungkap twist itu. Mungkin jadinya agak abstrak, tapi tolong beri saya kesempatan. Di bagian akhir film Saia, Djenar lagi-lagi melipat waktu, kali ini jauh lebih kuat dari Mereka Bilang Saya Monyet!. Kita dibawa serta ke dalam sebuah kemustahilan. Kita dibetot ke dalam ruang kemungkinan yang cukup mengasyikkan. Djenar berhasil menjungkir dan mempermainkan peran tradisional kamera. Dalam bagian akhir Saia, kamera bukan lagi jadi  hijab  atau tabir yang memisahkan Penonton dan Yang

373

374

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Ditonton. Kamera justru menjadi alat untuk mengupayakan lebih jauh keterlibatan penonton. Kamera yang sama merekam adeganadegan sebelumnya, tiba-tiba menjadi sesuatu yang membuat kita mempertanyakan semua yang telah kita tonton itu. Ketika kamera tak bisa lagi memercayai apa yang telah ia lihat, kita pun berada di ruang yang sama dengan si kamera. Paling tidak, kita diingatkan tiba-tiba bahwa sebelumnya kita berada dalam posisi yang sama dengan sang kamera: menonton. Dan lalu, kamera menjadi pemain aktif. Ia mengusut apa yang telah terjadi sebelumnya. Dan kemudian, ia membalik, menengok yang di belakang kamera. Maka, kita pun menonton Sang Penonton. Maka kita pun ditolak ke belakang lagi, sambil, anehnya, diajak terlibat. Semua ulasan saya dalam beberapa paragraf terakhir tak akan sepenuhnya masuk akal kalau Anda tak menontonnya sendiri. Film  Saia  jenis film yang menciptakan sebuah pengalaman sinematik yang khas dan penuh. Menonton adalah mengalami, bagi film-film jenis ini—film-film yang masyuk dalam permainan bentuk. Paling tidak, film dari jenis ini dianggap berhasil jika memberikan pengalaman sinematik yang unik bagi para penontonnya. Walau, perlu dikatakannya juga, “pengalaman sinematik”, seperti padanannya dalam teori “resepsi sastra”, akan bertalian erat dengan wilayah pengalaman dan pengetahuan Sang Penonton sendiri. Setiap penonton akan memiliki pengalaman sinematik yang bersifat individual. Jika kode-kode audio-visual yang ditanamkan dalam sebuah film yang bermain-main dengan bentuk ini gagal dibaca, atau berbeda dari kode-kode yang dimiliki penonton, maka akan terjadi kegagalan komunikasi. Sang Penonton akan menolak, atau kembali kepada prasangkaprasangkanya semula tentang “apakah film”, “apakah keindahan/ yang bagus”, atau “apakah yang menyenangkan”.

MUSIK KAMAR YANG BERANI

Kegagalan komunikasi itu bisa jadi akibat kelemahankelemahan para pembuat filmnya sendiri. Namun, sebuah film yang bermain-main dengan bentuk—ah, atau untuk mudahnya, mari kita sebut “film-film eksperimental”—yang kuat akan mampu memaksakan pengalaman sinematik yang unik bagi para penontonnya. Bahkan jika ia sebatas mengganggu, menggoyahkan, tatanan pemahaman dan konvensi yang telah mapan dalam film. Daya ganggu, daya goyah, daya gebrak sebuah film eksperimental, hemat saya, berbeda-beda kadar pada masingmasing film. Dengan kata lain, saya masih percaya bahwa ada film eksperimental yang baik dan ada yang jelek. Ada film eksperimental yang berhasil, dan ada yang gagal. Tapi, apakah “berhasil” dan apakah “gagal” bagi film eksperimental? Seperti anggur, salah satu unsur penting dalam mengukur keberhasilan sebuah film eksperimental adalah waktu: sebuah film eksperimental yang berhasil, akan teruji waktu—bahkan, semakin tua semakin jadi. Tolok ukur lain yang saya gunakan, adalah kemampuan sebuah film eksperimental menciptakan sebuah dunia yang menjadi, sebuah dunia yang membuat penonton hanyut ke dalamnya, karena totalitas dunia rekaan yang spesifik itu. Bukan sekadar sebuah kumpulan pemandangan yang asal jadi atau asal beda. Bukan sebuah dunia yang asal meng-awur-awur kode-kode. Dunia yang menjadi dalam sebuah film eksperimental akan mampu membuat Sang Penonton menjadi subjek yang aktif berpikir, tenggelam dalam keasyikan memecahkan kode-kode yang tertanam dalam film yang ia tonton. Djenar cukup berhasil mencipta sebuah dunia yang menjadi dalam Saia. Sebuah dunia yang sepenuhnya dalam ruang tertutup. Sebuah dunia yang terbangun oleh dialog antara sebuah kamera dan objeknya. Sebuah dunia yang intim, dengan keintiman yang barangkali membuat tak nyaman sebagian orang.

375

376

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

3. Intim, bukan intimidasi Ada godaan besar seusai menonton Saia untuk membaca film ini dengan kacamata filosofis yang rumit. Sebab, kemungkinan besar, film ini akan dianggap suatu keganjilan dalam ranah Film Indonesia. Film ini dengan berani menabrak begitu banyak konvensi film Indonesia yang sudah ada. Terhadap yang ganjil, kita tergoda untuk melabelnya buru-buru, dan memasukkannya ke dalam kotak-kotak yang telah tersedia. Jika kita tak melakukannya, ada kecemasan menyelinap, sebuah intimidasi, dari kehadiran Sang Liyan (The Other), yang beda, yang asing, yang tak terpahami. Kita selalu dicemaskan oleh hal-hal yang tak bisa kita pahami, bukan? Kita ingin menertibkannya, memahaminya, mengategorikannya, agar kita bisa terus tidur dengan nyaman, tanpa pertanyaan-pertanyaan. Yang berdiri di sisi moral-moral mapan, akan segera memasukkan film ini ke dalam kotak “film amoral”, “bejat”, bahkan “porno”, lalu memasukkan film ini ke dalam kotak filmfilm “buruk” dan “dilarang”. Yang berdiri di sisi lain, bisa jadi segera memasukkan film ini ke dalam kategori “film seni” yang berarti sesuatu yang “sulit”, “aneh” (mungkin “sok aneh”, bagi yang tak suka), dan “bukan untuk orang kebanyakan”. Saya setuju, film ini memang bukan untuk ditonton orang banyak. Bukan karena isinya kontroversial, tapi karena karakternya yang kuat sebagai sebuah film yang intim. Ibaratnya, film ini bukan musik orkestra, tapi sebuah musik kamar. Ketika film ini hadir tanpa dialog, dan nyaris tanpa musik (musik, yang minimalis berupa denting piano, hanya hadir di saatsaat jeda antar babak), maka film ini seperti sedang berbisik, menceritakan sebuah rahasia yang mengerikan dan mungkin sedikit memalukan, ketika malam bertambah malam. Keintiman macam begini bukanlah milik orang banyak. Dan bagi penonton

MUSIK KAMAR YANG BERANI

film Indonesia umumnya, bisa jadi keintiman macam begini agak mengintimidasi. Ketika Djenar menangis, mencurahkan beban jiwanya, dan juga akhirnya bercanda dengan Sang Kamera, dalam sebuah shoot panjang yang boleh jadi menggelisahkan, Djenar sedang melanggar jarak sosial yang lazim. Wajahnya dia dekatkan pada kamera, seolah pada kita. Kita melihat Djenar, atau entah siapa dia dalam film ini, membuka diri, menatap kita. Seakan film itu lah yang menatap kita. Maka, Sang Penonton pun menjadi subjek. Sang Penonton tak lagi sendirian. Sang Penonton berduaan dengan Sang Film, saling tatap. Saling mendekatkan diri. Melupakan barang sejenak sebuah jarak mutlak bernama kamera. Untuk sejenak, kamera bukanlah jarak, tapi sebuah jembatan.

4. Sebuah keberanian Barangkali persoalan film ini adalah film ini lahir dari sebuah rahim sistem kode yang menyempal dari dunia kode Film Indonesia yang dominan. Dengan kata lain, dunia yang melahirkan film ini bukanlah dunia para penonton film Indonesia pada umumnya. Ia lahir dari sebuah lingkaran kebudayaan yang kecil, alit, dan bisa jadi elitis. Bahkan di lingkaran kebudayaannya sendiri, film Djenar ini agaknya sulit diterima. Setidaknya, jika kita membaca  surat panjang Totot Indrarto  yang dipajang jadi nota di halaman Facebook Djenar. Nota itu mencatat kebingungan-kebingungan, ketaknyamanan, ketaksukaan, kesukaran memberi pendapat secara spontan, yang timbul pada penonton film Djenar dalam sebuah acara bagi undangan terbatas di Oktroi, Kemang, Jakarta. Bagi saya, ini menunjukkan bahwa walau dari lingkaran budaya tertentu—lingkaran yang lazim mengutip Deleuze, Alan

377

378

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Badiou, atau posmodernisme di kafe-kafe—karya Djenar ini tetap tak tipikal. Maka, ia menyongsong sebuah risiko menjadi terkucil. Djenar sendiri memilih tegas bahwa filmnya memang tak akan diputar bagi publik umum di Indonesia. Djenar memilih takdir film itu dengan berani. Saia bukanlah sebuah film besar, atau film terbaik sepanjang masa. Juga bukan film Indonesia paling hebat. Segala terobosan Saia atas dinding kelaziman film Indonesia yang ada bukanlah sama sekali sesuatu yang murni-baharu. Anda bisa menonton beberapa film Abbas Kierostami, seperti A Taste of Cherry, untuk contoh bagaimana sang sutradara di akhir film meruntuhkan dunia fiksi yang telah ia bangun, dan menggoyahkan definisi penonton tentang yang ditonton. Capaian Saia bukanlah yang tertinggi apabila kita jajarkan ia di pelataran film Asia Tenggara mutakhir dari Malaysia, Filipina atau beberapa sineas Thailand selama lima tahun belakangan. Film-film terbaik Asia Tenggara belakangan ini terasa menggetarkan karena kemampuan mereka meluluhkan medium audio-visual, sekaligus keterlibatan aktif mereka dalam pertarungan gagasan-gagasan yang melampaui dunia film belaka. Film-film terbaik Asia Tenggara menjadi pernyataan dan medan percakapan bagi sebuah persoalan penting: apakah Manusia Asia, apakah Manusia dari sudut pandang Asia mutakhir? Ini adalah sebuah zeitgeist (semangat zaman) yang pernah juga diolah oleh sutradara-sutradara Indonesia seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, Sjumandjaja, Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Garin Nugroho, dan lain-lain. Tapi, Saia adalah sebuah capaian penting dalam fase terkini sejarah film Indonesia. Film ini dengan keras kepala ingin menjadi diri sendiri di hadapan Sang Pasar. Selama 80 menit film ini, kita dibawa pada sebuah alternatif yang menarik terhadap pasar: Sang Pasar bukan dilawan dengan kepalan atau adu-kepala, tapi sekadar tak dipikirkan.

MUSIK KAMAR YANG BERANI

Djenar/ film ini hanya asyik menciptakan dunianya sendiri, dan membuka diri pada siapa pun yang mau terbuka juga. Dan dalam keasyikan itu, ia menunjukkan bahwa potensi kamera, dan karenanya naratif-visual, masihlah banyak sekali, masih sebuah rimba yang bisa dijelajah oleh para sineas Indonesia lain. Setidaknya Djenar, tampak masih bisa berasyik demikian. (Habis film ini, ia ingin membuat film komedi. Menarik.) Barangkali dengan demikian, film ini adalah bagian dari sebuah penciptaan-ulang Sang Pasar. Barangkali lewat film seperti Saia, Babi Buta Yang Ingin Terbang, Jermal, May, sebuah sosok lain dari Penonton Film Indonesia sedang direka-reka, dibangun, dilahirkan. Barangkali juga tidak. Barangkali takdir terkucil itulah yang akan menyelimuti hidup film  Saia. Atau malah dicaci, atas berbagai alasan. Risiko telah diambil. Bagaimanapun, film ini menunjukkan bahwa Djenar adalah Djenar. Dan ia benar, ketika memilih tetap jadi Djenar.

379

Hikmat Darmawan

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Tanah Airku, Film Ini Tak Lari Meninggalkanmu “Jadi, kamu menyarankan agar kita pasif dalam perang ini?” “Tidak. Saya menyarankan agar kita aktif lari dari perang ini!” — Woody Allen, Love and Death (1975)

P

endidikan bisa jadi alat untuk mengentaskan kemiskinan. Pendidikan juga bisa jadi  imingiming untuk meraih kemakmuran. Namun sebagai iming-iming, pendidikan bisa kebablasan menjadi alat untuk lari dari kenyataan. “Pendidikan adalah alat untuk melompat,” kata Syamsul, tokoh dalam Alangkah Lucunya (Negeri Ini), film terbaru Deddy Mizwar, kepada sekumpulan anak jalanan pencopet profesional. Syamsul (Syahrul Dahlan) adalah sarjana pendidikan, tapi jadi pengangguran dan kerjanya tiap hari cuma sibuk main gaple. Ia sudah kehilangan kepercayaan pada ilmunya, pada apa yang akan ia bicarakan. Tapi teman sekampungnya, Muluk (Reza Rahardian) yang juga sarjana (manajemen) dan juga pengangguran, memaksanya meyakinkan para pencopet itu pentingnya pendidikan. Syamsul tak meyakini apa yang ia sampaikan. Pertama, ia menyampaikan makna pendidikan sesuai “buku”, bla-bla-bla

TANAH AIRKU, FILM INI TAK LARI MENINGGALKANMU

tentang makna pendidikan sebagai alat untuk memuliakan manusia. Wajah bengong para pencopet cilik segera membuat Syamsul tak nyaman. “Terangkan pakai bahasa yang mereka mengerti,” kata Muluk. Syamsul—sambil menggerutu bahwa ia merasa dijebak, bahwa ia tak lagi meyakini apa yang ia omongkan —pun lalu bilang bahwa pendidikan adalah alat untuk melompat. Melompat untuk apa? Intinya, melompati kemiskinan dan keterbatasan finansial, menjadi lebih kaya. Iming-iming. Dengan logika yang menurut Muluk lebih “masuk” ke benak para pencopet itu, Syamsul dan Muluk menjanjikan jika tanpa pendidikan para pencopet hanya bisa dapat duit sekian juta per tahun, maka dengan berpendidikan penghasilan para pencopet bisa jauh lebih banyak dari itu. Apa dengan mencopet juga? “Kalau orang berpendidikan, bukan mencopet namanya, tapi korupsi!” Nah, maka para pencopet pun bersemangat ingin jadi koruptor. “Hidup koruptor! Hidup koruptor!” kata mereka. Adegan semacam ini jelas bisa menjerumuskan sebuah film jadi menggurui. Nyatanya, film  Alangkah Lucunya (Negeri Ini) adalah sebuah film verbalistis, seperti juga kecenderungan film-film Deddy Mizwar lainnya. Tapi Alangkah lahir dari sebuah keprihatinan mendalam Deddy Mizwar akan korupsi. Kecenderungan Deddy pada verbalisme, ia salurkan menjadi sebuah film yang berteriak lugas tentang keadaan negeri ini. Lebih mengejutkan lagi, kejutan yang menyenangkan, Deddy Mizwar tak menawarkan solusi. Ia tak menggurui ternyata. Ia hanya menyajikan masalah demi masalah, untuk kita renungi.

Antara Laskar Pelangi, Jermal, dan film ini Film ini punya materi yang sama dengan film terlaris Indonesia sepanjang masa, Laskar Pelangi karya Riri Riza. Ada anak-anak marginal, ada kemiskinan yang akut, dan ada percakapan tentang

381

382

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pendidikan. Dan, jangan lupa, ada juga nilai religius Islam yang diungkapkan secara verbal. Laskar Pelangi menyikapi kemiskinan sebagai sesuatu yang bisa diatasi oleh kegigihan individual. Dalam kisah kegigihan itulah diletakkan keharuan, kegembiraan, dan petuah. Kegigihan untuk apa? Untuk menyelesaikan sekolah, melanjutkan sekolah hingga ke luar negeri (“ke Paris!”), sehingga kemiskinan itu pada akhirnya takluk oleh sukses individual. Memang, ada yang gagal dan ditangisi oleh Laskar Pelangi (Lintang yang “jenius”—dalam arti jenius matematika—malah tak bisa melanjutkan sekolah). Perlukah ditegaskan bahwa “sukses” dalam Laskar Pelangi, mengacu pada pandangan novelnya (yang ditulis Andrea Hirata) adalah berarti “kemakmuran pribadi” atau “kekayaan pribadi”? Dambaan kekayaan seperti dalam Laskar Pelangi rupanya memikat banyak orang di negeri ini. Di tengah maraknya “bisnis motivasi” semenjak Krisis Moneter 1997, film Laskar Pelangi menyentuh kecenderungan pasar tersebut. Dambaan itu tak hadir dalam bentuk yang kasar, tapi diberi corak moral keagamaan, dan terbungkus dalam sebuah pesan tentang pentingnya bersekolah, yang pada gilirannya kemudian dikemas lagi dalam sebuah cerita yang girang, ajaib, lucu di sana-sini, tentang kehidupan sekelompok anak-anak miskin di pelosok. Dengan kata lain, dambaan akan kekayaan itu dibungkus lagi oleh sebuah cerita eksotik tentang kemiskinan. Cerita yang eksotik, pesan yang menyenangkan, dan toh sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, seperti tercantum dalam bagian akhir film itu. Tapi, iming-iming sukses demikian bisa sangat melenakan. Lebih dari itu, iming-iming tersebut jelas mengabaikan sebab struktural dari kemiskinan. Bahwa ada persoalan-persoalan besar bersifat sistemik dalam kemiskinan akut yang melanda kebanyakan warga sebuah negara kaya seperti Indonesia. Persoalan seperti ketimpangan pembangunan, pemusatan modal

TANAH AIRKU, FILM INI TAK LARI MENINGGALKANMU

pada segelintir golongan, persekongkolan modal dan kekuasaan, korupsi, korupsi, dan, ya, lagi lagi korupsi…. Korupsi yang dilakukan begitu sering, oleh begitu banyak orang, sehingga menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Korupsi sistemik, yang menghasilkan kemiskinan yang sistemik. Tapi, sebelum kita ke sana, kita kembali pada soal iming-iming itu. Jadi, dalam  Laskar Pelangi, sekolah adalah alat atau jembatan untuk meraih sukses (Mirip bukan, dengan cara Syamsul menjelaskan manfaat pendidikan dalam Alangkah?). Pesan ini, terbukti telah mencapai fungsinya: memberi harapan (atau membuai?)—kemungkinan—sebagian besar dari sekitar empat juta penonton  Laskar Pelangi. Tapi, seusai keriaan “inspiratif” itu, muncul sesuatu yang merupakan antitesa Laskar Pelangi: film Jermal, karya Ravi Bharwani, Raya Makarim, dan Utawa Tresno. Dalam Jermal, sekolah adalah sesuatu yang musykil, tak masuk akal, tak berguna di dalam sebuah kemiskinan akut yang menyelimut. Film ini berkisah tentang manusia-manusia di sebuah jermal—tempat penangkapan ikan yang terletak di tengah laut, di selat Malaka. Jermal menjadi sebuah isolasi sempurna, dan karenanya menjadi sebuah dunia tersendiri. Berita-berita yang ada, dan menjadi ilham bagi film ini, menyebut terjadi perbudakan anak di jermal-jermal itu. Tapi, dalam dunia dalaman jermal sendiri, apa makna perbudakan? Jermal menangkap puisi dalam dunia terasing mutlak itu. Lebih dari itu, ia memasuki kompleksitas persoalan, menukik jauh ke dalam.  Jermal  tak lagi membutuhkan adanya antagonis, sehingga bahkan si centeng jermal, Johar (Didi Petet, dalam salah satu peran terbaiknya), bukanlah orang jahat. Ia hanyalah seorang yang melakukan kesalahan, lari, lalu memilih bermukim dalam keasingan laut. Dalam keasingan laut itu, waktu seakan berhenti, atau sekadar mengayun perlahan. Kadang ada hujan badai, kadang ada

383

384

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

paus di jauh malam, kadang ada polisi dan entah apa lagi. Tapi, semua datang dan pergi, sementara yang menetap adalah rasa terasing yang mutlak itu. Dalam keadaan itulah, datang Jaya (Iqbal S. Manurung), anak 12 tahun, yang ibunya baru saja meninggal. Jaya dibawa dari kota untuk menemui Johar yang konon adalah ayahnya. Johar menolak mengakui. Baginya, Jaya hanyalah tambahan anak dari sebaris anak yang selama ini ia pekerjakan. Anak-anak yang tak lagi mengenali dunia “normal” yang mewajibkan mereka, antara lain, bersekolah. Maka, begitulah: seragam Jaya compang-camping, buku pelajarannya disobek-sobek jadi mainan, dan ia harus bekerja keras. Sekolah tak bisa jadi iming-iming, bahkan ia bukanlah impian manis. Sekolah hanyalah sebuah atribut pada dunia yang telah ditinggalkan. Jaya harus hidup dalam normalitas baru itu. Tapi, apakah Jermal menjadi antipendidikan? Sama sekali tidak. Setelah dilucuti dari semua atribut sekolahnya, dari semua normalitas lamanya, Jaya perlahan muncul menjadi seseorang yang bisa memberikan sesuatu yang mewah bagi anak-anak lain: ilmu. Dalam hal Jaya di jermal itu: ilmu membaca dan menulis. Begitulah: sebagian besar anak-anak itu mengantre, minta dituliskan surat atau apapun, oleh Jaya. Termasuk seorang anak yang berbakat mengarang (membual) cerita fantastis, dan seorang anak yang berbakat menyair. Anak-anak itu tak bisa menulis, tapi tak pernah kehilangan bahasa. Sekolah adalah sesuatu yang mustahil di jermal, tapi ilmu tidak. Dengan demikian, dari sudut pesan tentang pendidikan dan kemiskinan,  Jermal  mencapai pemaknaan yang lebih hakiki tentang pendidikan daripada Laskar Pelangi. Semakin terasa kontras lagi jika kita membandingkannya dengan sekuel Laskar Pelangi, yakni Sang Pemimpi (Riri Riza, 2009). Dalam film kedua dari rencana trilogi Laskar Pelangi, sekolah berkembang menjadi

TANAH AIRKU, FILM INI TAK LARI MENINGGALKANMU

sebuah atribut sosial yang didambakan, sambil semakin kehilangan konteks. “Sorbonne”, perguruan tinggi terkemuka di Paris, yang disebut berulang-ulang, terasa sekadar menjadi semacam merk idaman seperti “Louis Vitton” atau “Versace”. Persoalan terbesar Jermal adalah: gagasan dan pendekatan sinematiknya, rupanya tak bisa diterima sebagian besar penonton kita sekarang. Termasuk pula para kritikus film kita. Film ini ditonton hanya sedikit orang, dan sama sekali tak dibesarkan oleh media. Dan kali ini, tema pendidikan dan anak miskin hadir dalam  Alangkah  dengan pendekatan sinematik yang lebih popular ala Deddy Mizwar. Sejak awal, Alangkah menyodorkan masalah pendidikan dengan kompleksitas yang diungkap secara lugas. Mulai dari perdebatan dua orang tua, Makbul (Deddy Mizwar) dan Haji Sarbini (Jaja Miharja) tentang apakah pendidikan itu penting (menurut Makbul) atau tak penting (Haji Sarbini); lalu upaya Haji Rahmat (Slamet Raharjo) sang imam mushalla menengahi debat itu; hingga pilihan anak-anak mereka—Muluk, Pipit (Tika Bravani), dan Syamsul—untuk mendidik anak jalanan yang tergabung dalam geng copet pimpinan Jarot (Tio Pakusadewo). Lebih dari itu, Alangkah menempatkan tema pendidikan itu sebagai salah satu sisi dari masalah. Masalah kemiskinan menjadi perhatian utama: bagaimana kita mengatasi kemiskinan? Jawaban Alangkah, dengan naskah dari Musfar Yasin, sudah jauh melampaui penyederhanaan masalah dalam  Laskar Pelangi, bahwa kemiskinan dapat diatasi dengan sukses pribadi melalui sekolah. (Bukankah terbukti, dalam Laskar Pelangi, Lintang yang pintar pun tetap miskin ketika ia tak bisa melanjutkan sekolah?) Jawaban Alangkah terhadap masalah kemiskinan adalah sebuah pertanyaan: bagaimana jika ada masalah lain yang lebih dalam?

385

386

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Halal Haram yang Dewasa Sebetulnya, Alangkah menjawab pertanyaan tadi secara lugas pula. Ya, memang ada masalah yang lebih dalam. Tapi, sebelum itu, mari kita sentuh sisi lain masalah yang disajikan dalam  Alangkah  yang juga menarik dan boleh jadi penting. Masalah peliknya menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam situasi nyata. Representasi masalah ini sangatlah langsung: masalah halal dan haram. Artinya, ini masalah khas mayoritas warga beragama Islam di negeri ini. Deddy dan Musfar melakukan pendekatan yang berani, tapi juga alamiah jika melihat karya-karya mereka selama ini, dalam mengangkat persoalan ini: bukannya menghaluskan, bukannya mengidealkan, dan jelas tak ingin menghindar, mereka malah menggamblangkan persoalan ini, sambil tak menutup mata pada kompleksitas kenyataan yang ada. Mereka menempatkan persoalan halal-haram ini tidak di ruang kosong, tapi dalam sebuah konteks. Sebelum itu, bagi yang masih meragukan bahwa persoalan halal-haram—yang sudah lama sering diledek (“cari yang haram saja susah, apalagi cari yang halal”)—adalah absah, kita timbang dulu beberapa hal. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Persoalan halal dan haram adalah sesuatu yang lekat dalam agama ini, seperti juga masalah kosher bagi umat Yahudi. Walau kenyataannya belum tentu seluruh umat Islam di Indonesia melaksanakan asas halal-haram itu dengan taat, bukan berarti persoalan ini remeh belaka. Kedua, seiring kemajuan teknologi informasi belakangan ini, masalah halal-haram bagi semakin banyak orang Islam tumbuh menjadi sebuah persoalan gaya hidup yang genting. Misalnya, tumbuhnya industri halal yang semakin menarik perhatian dunia. Baca misalnya laporan majalah Time, 25 Mei 2009, tentang globalisasi “industri halal”. Dan persoalan halal-

TANAH AIRKU, FILM INI TAK LARI MENINGGALKANMU

haram ini jelas tak sebatas apakah makanan mengandung babi atau minuman mengandung khamr yang memabukkan. Tapi mencakup pula masalah “kebersihan” penghasilan, lembaga keuangan, dan pola konsumsi. Itulah mengapa, pasti ada sebuah gerit yang mengilukan hati penonton Muslim yang menganggap serius soal ini, ketika menyaksikan dalam Alangkah Muluk menyetor uang hasil copet anak-anak yang ia kelola ke Bank Muamalat. Dan itulah mengapa, di samping pertimbangan  product placement, film ini seperti menekan-nekankan adegan ketiga para ayah memakan sosis bawaan Muluk sebagai hasil dari mengelola uang copet itu (tanpa sepengetahuan para haji ayah mereka). Bukannya Muluk lugu. Ia hanya mengambil kesimpulan yang ia anggap baik, ketika di awal film Haji Rahmat memberi fatwa tak mengapa beternak cacing, sampai tiba pekerjaan yang lebih halal. Kerangka pikir Muluk jelas: sampai tiba pekerjaan yang lebih baik, tak apa ia melakukan pekerjaan “kotor”— apalagi, toh ia mengupayakan perbaikan agar anak-anak jalanan itu beralih dari pekerjaan haram mereka menuju pekerjaan halal, mengasong. Lalu Muluk pun mengajak Syamsul, sarjana pendidikan yang setiap hari hanya main gaple di pos kamling gang kampungnya, dan Pipit, anak Haji Rahmat. Syamsul diminta mengajar pelajaran umum, terutama membaca dan menulis. Pipit, yang sebelumnya hanya sibuk berharap dapat undian atau hadiah kuis, mengajar pendidikan agama. Perlahan, ketiga anak muda ini pun menemui makna atas hidup mereka. Makna yang ternyata harus berbentur pada nilai-nilai para ayah. Di sepertiga akhir, film yang nyaris menuju utopia ini (peresmian enam perangkat asongan) berbelok tiba-tiba. Ketiga orang tua itu datang ke tempat anak-anak mereka bekerja di bidang “Pengembangan Sumber Daya Manusia”. Jebulnya, itu tempat copet—mereka baru tahu itu (gestur Jaja Miharja ketika

387

388

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

karakternya baru sadar itu tempat copet sungguh piawai, begitu alamiah). Tadinya, mereka terbawa suasana. Mereka sudah siap mengangkat tangan, berdoa bagi para anak copet itu. Sampai tibatiba mereka melihat sosok Jarot yang picek, dalam gelap. Sosok gelap dari dunia gelap. Mereka pun tersadar, selama ini mereka dan anak-anak mereka memakan rezeki haram. (Perlu dicatat: Tio Pakusadewo sebagai Jarot si bos copet dengan istri berjilbab di film ini bermain sungguh luar biasa. Ia betul-betul masuk ke karakter, sampai-sampai—kata Deddy Mizwar kepada Rumahfilm.org—ketika adegan Jarot mengamuk, marah pada keadaan yang menyebabkan Muluk tak lagi membantu para copet, Tio harus dihentikan karena ia mengamuk sungguhan bak preman, dan bisa menyakiti anak-anak itu.) Wajarkah kesedihan Makbul dan Rahmat? Wajar dan logis. Di titik ini, saya sangat menyukai pilihan untuk mewakilkan argumen di seberang para Ayah itu pada Pipit, seorang perempuan. Pipit memberi perspektif lain: ia, Muluk, dan Syamsul tidak salah. Mereka memperbaiki keadaan, dan mau berkotor-kotor untuk itu. Dan, jika itu tak memenuhi standar “kebersihan” ayahnya yang kyai, itu tanggung jawab Pipit yang sudah dewasa. Dan kemudian, Syamsul berteriak di gang itu. Ketika melihat gelagat Muluk dan Pipit ingin menghormati keinginan ayah mereka, Syamsul berteriak putus asa, “Apa lu mau lihat gue jadi bangke lagi?!” Akting Asrul di sini sungguh berhasil. Di sini, kita merasakan, ada sesuatu yang menerkam: ada sesuatu yang lebih besar, yang menyebabkan bahkan perhitungan benar dan salah, halal dan haram, menjadi musykil. Bagi yang meyakini, tentu saja pandangan para ayah itu benar. Tapi, kita bisa melihat, pandangan para anak itu pun tak keliru. Menjaga kemurnian tak salah, beraksi dengan mau kotor pun tak salah. Lalu, kenapa mereka jadi serba salah?

TANAH AIRKU, FILM INI TAK LARI MENINGGALKANMU

Ada sesuatu di luar pilihan-pilihan individual mereka yang lebih menentukan.

Film dengan “Gambaran Besar” Maka jelaslah, Alangkah lebih tertarik memasalahkan sebuah gambaran besar. Ia bicara tentang bangsa, tentang sebuah negara yang sedang menyakiti warganya. Betapa getir hidup di sebuah negara, ketika korupsi jadi harapan, bukan? Karena kesadaran ingin mencipta dengan sebuah gambaran besar itulah, film ini terasa riuh rendah dengan sketsa lugas kehidupan kiwari bangsa ini. Ada caleg yang serba gombal. Ada dukun-dukun yang memberi janji-janji kemakmuran serba klenik. Ada televisi yang menyajikan angan-angan. Ada polisi yang menerima suap. Ada Satpol PP yang tak mau pusing, dan memutuskan memenjara orang agar mereka tak pusing lagi. Tapi, ada juga orang-orang yang ingin keluar dari kubangan gelap itu. “Ini negara bebas…. Yang mau nyopet, nyopet! Yang mau ngasong, ngasong!”

Latar dunia gelap itu, geng para pencopet itu, tampil begitu hidup, sehidup kekumuhan Jakarta yang berulangkali didatangi kamera film ini. Untuk soal itu, Deddy Mizwar memuji setinggi langit Aria Kusumadewa (sutradara  Beth) ketika mengomentari gambaran daerah kumuh dan anak jalanan yang realistis dalam film ini, di samping memuji Musfar Yasin sang penulis skenario yang bertahun-tahun hidup dengan anak jalanan dan para copet betulan. “Wah, itu Aria ahlinya deh. Saya Alhamdulillah ketika dia bilang mau bantuin di film ini….” Kata Deddy kepada Rumahfilm. org.

389

390

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Aria juga membantu Deddy mencari anak jalanan sungguhan untuk casting Alangkah. “Kalau lagi bikin film, bagian yang paling membuat saya  nggak  bisa tidur adalah waktu pencarian casting,” kata Deddy. Ini mencerminkan gagasan sinematik Deddy, yang mementingkan karakterisasi tokoh serta seni peran ketimbang kepiawaian fotografis (atau “estetika gambar”). Ia menceritakan si pemeran Glenn yang memang sangat “seram” waktu pertama jumpa—dan tak kenal sama sekali pada Deddy Mizwar. “Kalau kamu lihat tadi, ada adegan mandi si Glenn itu gemetar kedinginan, memang dia gemetar betulan, biasanya kagak pernah mandi,” kata Deddy tertawa. Realisme itu menjadi sebuah pengimbang dari naskah yang bersifat parodi, serba mengarikaturkan. Kelemahan terbesar naskah ini adalah keluguan Muluk, bahwa “kalau lu nyari duit dengan halal, maka nggak ada alasan mereka menangkap lu.” Tapi, jelas, di sini Deddy dan Musfar sedang menerapkan semacam litentia poetica—ketika pakem ataupun keharusan bisa dibengkokkan demi sampainya maksud cerita. “Mungkin saya sudah tua, ya. Buat orang seusia saya, masalah cinta-cintaan antara lawan jenis itu sudah nggak penting lagi,” kata Deddy Mizwar ketika Rumahfilm.org bertanya kenapa dalam film-filmnya nyaris selalu ada lagu kebangsaan. “Buat saya, sekarang, yang penting adalah kecintaan pada bangsa ini,” lanjut Deddy. Klise? Khutbah? Tapi, jika dijajarkan dengan para sineas kita yang lain, yang kini aktif, bisa jadi mengucap klise demikian adalah keberanian tersendiri. Memang, bukankah sedikit sekali sineas kita sesudah era Reformasi yang secara konsisten bicara tentang korupsi dan bangsa? Dan dengan berani film ini ditutup oleh pertanyaan. Dengan berani, akhir film bukanlah kesimpulan yang menyenangkan atau membuai. Dengan berani film ini tidak berhenti pada harapan kosong.

TANAH AIRKU, FILM INI TAK LARI MENINGGALKANMU

Dalam ending film yang boleh jadi salah satu yang terbaik dalam sejarah film nasional—setidaknya sesudah reformasi ini— film ini seolah “berteriak”.  Ending  itu melibatkan 400 orang pemain, dikoreografi dalam rangkaian adegan yang bersambungan antara serangkai adegan yang diiringi lagu Balada Sejuta Wajah  (Achmad Albar & Ian Antono), disambung rangkaian adegan yang diiringi lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Sud. Banyak yang terjadi di situ. Harapan-harapan terbanting. Orang baik tak selamanya mendapat ganjaran baik. Agama belum terlihat mampu memberi jawaban jitu. Amanat Undang-Undang Dasar belum terlaksana. Dan justru dengan menyajikan kenyataan-kenyataan getir itu, film ini tak melarikan diri dari kenyataan. Ia tidak pasif, tidak pula “aktif lari” seperti ungkapan Woody Allen di atas. Ia mencari jalan lain: ia aktif bertanya, dan aktif menjebloskan kita pada pertanyaan-pertanyaan itu. Film ini bertanya, berteriak, mengkritik, tanpa bungkus pikiran-pikiran njelimet atau fashionable, dan justru karena itu film ini mengajukan sikap: ia tak mau meninggalkan Indonesia.

391

Eric Sasono

3 Hati 2 Dunia 1 Cinta

Matematika Cinta Beda Agama

1

N

asehat saya tentang film ini: tak perlu menghubung-hubungkan judul dengan jalan cerita karena kita akan dibuat bingung: 3 hati itu milik siapa, buat apa ada 2 dunia dan kenapa hanya satu cinta. Entah kenapa para pembuatnya mengubah judul awal Komidi Puter menjadi 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Mungkin lantaran judul terakhir ini dianggap lebih mengundang penonton, lebih komersial. Tapi buat saya judul dengan angka-angka itu cenderung terlihat canggih ketimbang Komidi Puter yang sederhana dan mudah diucapkan dalam percakapan sehari-hari (soal ini penting kalau mau mengandalkan pemasaran ‘dari mulut ke mulut’ yang selama ini dianggap ampuh dalam mendongkrak angka penonton). Mungkin angka-angka itu ada kaitannya dengan tema film ini yaitu kisah cinta beda agama dengan latar belakang etnis dan budaya. Plot film ini mungkin memang berkisah tentang cinta segitiga (3 hati) dalam 2 agama / budaya berbeda (2 dunia), dan

MATEMATIKA CINTA BEDA AGAMA

akhirnya kembali pada cinta yang satu (hmm, ada bau monoteisme di sini). Tapi siapa yang mau membuat hitunghitungan begitu sebelum menonton? Mungkin ada, tapi pentingkah? Namun kalau saya coba memahami, saya bayangkan tentu sulit membuat judul film yang menggambarkan adanya problem keberagaman budaya agama dan etnis dalam jalan ceritanya. Dan karena kisah cinta beda agama dan keragaman itu jadi andalan, maka muncullah matematika pada judul film ini.

2 Sejak lama latar belakang etnis, budaya dan agama yang beragam menjadi bahan baku bagi kisah fiksi, termasuk film cerita di Indonesia. Dahulu, setahu saya paling sedikit ada dua pendekatan utama para pembuat film dalam menceritakan keragaman di Indonesia ini. Pendekatan pertama adalah dengan memberi saluran (katarsis) keragaman dan perbedaan-perbedaan yang merupakan potensi konflik itu (lihat bagaimana konflik macam ini begitu banyak terjadi belakangan ini?). Pendekatan ini dilakukan, misalnya, oleh Nyak Abbas Akup. Caranya adalah dengan bercerita tentang tokoh-tokoh komikal dan stereotip dari berbagai latar belakang budaya sebagai bahan lawakan dan ejekan. Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengajak penonton menertawakan diri mereka sendiri. Pendekatan ini bagai morbid humor atau humor yang mencoba mendamaikan diri dengan bencana semisal kematian, justru untuk menjadi sarana pelepasan yang melegakan. Morbid humor dipercaya jadi sarana mangkus untuk menerima kenyataan ketimbang dipendam dan dibiarkan hingga jadi bisul kronis. Dengan pendekatan ini, penonton (terutama kelas pekerja) diajak saling mengejek diri sendiri guna menyalurkan potensi konflik dari keragaman etnis, budaya dan agama (oh, agama di

393

394

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Indonesia jarang dijadikan bahan olok-olok ketimbang soal etnis. Beda dengan Inggris yang punya seri Monty Phyton yang puas sekali mengolok-olok agama Kristen). Nyak Abbas bukan yang pertama melakukan olok-olok etnis dan suku ini. Di tangannya, film justru menjadi perluasan dari apa yang sudah dilakukan oleh para pelawak panggung dan televisi era 1980-an seperti Jayakarta Group atau D’Bodors yang jelas-jelas menggunakan stereotip dan olok-olok etnis dan suku sebagai bahan lawakan mereka. Pendekatan kedua adalah pendekatan yang menceritakan keragaman itu sebagai bagian komentar—atau kritik sosial dan budaya. Pendekatan ini melihat bahwa keragaman itu merupakan sebuah hal kompleks yang harus dijalani oleh manusia Indonesia. Pendekatan kedua ini menceritakan orang-orang yang harus bersiasat dengan beragam identitas yang berkumpul dalam diri mereka. Orang-orang itu harus tawar-menawar demi mempertahankan kelangsungan hidup bersama. Situasi ini dijadikan bahan humor pahit alias ironi serta kritik oleh sutradara seperti Sjumandjaja yang terkenal dengan film-film berlatar budaya Betawi (lihat filmnya Si Doel Anak Modern dan Pinangan).

3 Keragaman sosial budaya relatif tak tampak pada film Indonesia pasca Soeharto. Para pembuat film Indonesia kini tak terlalu memperhitungkan keragaman latar belakang etnis dan budaya sebagaimana beberapa nama yang disebut di atas. Beberapa film bahkan menanggalkan latar belakang sosial apapun untuk membentuk drama yang bersandar pada aspirasi individual semata. Keadaan sekitar tak kelewat dipedulikan, dan film Indonesia sekarang lebih senang membuat cerita yang berpusat pada aspirasi (baca: capaian psikologis dan material) orang per orang yang khas milik kelas menengah.

MATEMATIKA CINTA BEDA AGAMA

Capaian psikologis individu biasanya digambarkan sebagai hasil dari pertentangan antara keinginan dan kebutuhan dari tokoh utama dalam film. Sang tokoh biasanya mengejar keinginan tetapi di tengah jalan sadar bahwa sebenarnya yang harus ia ikuti adalah kebutuhan, yang sifatnya alamiah. Contoh terbaik dari hal ini adalah film Nagabonar (jadi) 2. Di film ini, Nagabonar, ingin membuat anaknya jadi seperti dirinya; tapi ternyata ia terbentur pada kenyataan bahwa yang ia butuhkan adalah mengubah pandangannya sendiri agar tak tergilas oleh jaman yang sudah berubah (sekalipun penggambaran tak sadar film ini tetap menggambarkan anak Nagabonar, Bonaga, adalah tiruan dari Nagabonar sendiri). Yang terpenting dari capaian psikologis ini adalah pentingnya perubahan cara pandang tokoh utama film seiring jalannya cerita. Capaian kemajuan ekonomi (baca : hidup makmur) jarang tampil apa adanya. Aspirasi macam itu, biasanya dilapisi oleh motivasi yang di permukaan tampak mulia. Salah satu perkembangan yang jelas belakangan ini adalah penggabungan antara keinginan hidup makmur dengan pencapaian kesalehan agama. Ini bisa dibilang merupakan hal yang khas pada film-film Indonesia pasca Soeharto (lihat penjelasan mengenai hal ini dalam tulisan saya, “Film Islam Indonesia Dewasa Ini: Jualan Agama atau Islamisasi?” dalam buku yang diedit oleh Ekky Imanjaya, Mau Dibawa Kemana Sinema Kita? [Jakarta: Salemba 4, 2010]). Lihat film  Ketika Cinta Bertasbih  (Sutradara: Chaerul Umam) sebagai contoh. Film ini menggabungkan kesalehan dengan keinginan hidup makmur (plus soal perjodohan) sebagai perjuangan utama tokoh film ini. Bahkan film  Kun Fayaakun (sutradara: Guntur Novaris) jelas sekali menyarankan sang tokoh utama menjalani kesalehan agar berhasil meraih kekayaan dalam kehidupan di dunia.

395

396

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Maka kembalinya keragaman latar belakang sosial budaya (dan agama) pada 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta ini adalah sebuah usaha yang tergolong istimewa. Film ini hadir beriring dengan beberapa film lain yang tak lagi menghindar dari situasi keragaman sosialpolitik-budaya negeri bernama Indonesia dan menghadapinya, lalu menjadikan latar belakang yang kompleks itu menjadi sumber drama dan konflik.

4 Diadaptasi dari dua novel cerkas karya Ben Sohib,  Da Peci Code (jelas mencandai novel Davinci Code yang terkenal itu) dan  Rosid dan Delia, film ini menggambarkan kompleksitas keberagaman negeri bernama Indonesia. Penggambaran kompleksitas, yang menjadi keunggulan film ini, tampak pada halhal berikut: Pertama, film ini berangkat dari pemahaman yang kadung diterima umum bahwa bangsa Indonesia sebagai “bangsa yang relijius”. Gagasan ini tak jelas-jelas amat, dan jika dilihat baik-baik (sebagaimana dilakukan oleh akademisi Krishna Sen dalam melihat salah satu sifat penting manusia dalam film Indonesia) gagasan “bangsa yang relijius” ini merupakan sebuah gagasan yang sebenarnya lebih banyak berkembang pada masa Orde Baru. Relijiusitas yang dimaksud bersifat terbatas, yaitu pada kesalehan individu (ibadah mahdloh atau ibadah murni) dan praktek filantropi (bersedekah). Kedua hal ini dianggap sebagai sebuah bagian dari pembentukan pribadi ideal. Gagasan “bangsa yang relijius” seperti ini perlahan kini melemah lantaran dua hal. Hal pertama, ada perluasan makna relijiusitas itu ke dalam bentuk-bentuk gerakan sosial dan politik yang berusaha mewujudkan moralitas agama menjadi kebijakan politik di tingkat lokal, katakanlah “syariatisasi”. Tanda hal ini

MATEMATIKA CINTA BEDA AGAMA

adalah banyaknya peraturan daerah yang berbau-bau syariah sepanjang tahun 2003-2008 (mungkin hingga kini). Hal kedua, belakangan banyak gerakan radikal yang menggunakan kekerasan untuk menerapkan satu versi ajaran agama. Ini menyebabkan gagasan Indonesia sebagai “bangsa yang relijius” dalam pengertian keberagamaan yang moderat tampak menghilang dalam representasi berbagai media, termasuk dan terutama media film. Film 3 Hati ini memperlihatkan bahwa pemahaman Indonesia sebagai “bangsa yang relijius” dalam pengertian yang moderat masih bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya, masih ada dasar sosiologis kuat untuk penggambaran hal itu. Orang-orang dalam film ini menjalankan agama yang relatif moderat, tak berusaha mengubah ajaran agama menjadi kebijakan politik dan tak pula memaksakan penafsirannya sendiri. Memang ada pemaksaan kehendak, tapi hal ini terjadi antara ayah dengan anak, sesuatu yang pada dasarnya merupakan sebuah bentuk inisiasi lembaga keluarga berbasis tradisi. Konflik ayahanak dalam hal ini terjadi, dugaan saya, karena adanya pelemahan terhadap tradisi tersebut dan ritus pasasi (rites of passage) yang tak berjalan baik. Ini kerap terjadi akibat modernisasi dan perubahan sosial yang lebih luas. Maka pemaksaan kehendak sang ayah terhadap Rosid jangan dikelirukan seperti pemaksaan FPI untuk membubarkan Q Film Festival, misalnya. Kedua, film 3 Hati memperlihatkan sikap kritis terhadap pemaksaan penafsiran terhadap agama, sekalipun sikap kritis itu terarah pada percampuran antara tradisi dengan agama, dan bukan terhadap kecenderungan syariatisasi tadi. Namun sikap kritis ini tetap penting mengingat secara keseluruhan sikap kritis terhadap otoritas (termasuk otoritas keluarga) menghilang pada film-film Indonesia era pasca Soeharto. Dan alih-alih sekadar sok kritis, 3 Hati menyajikan hal ini sebagai proses tawar menawar budaya yang harus dijalani oleh orang per orang di Indonesia.

397

398

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Film ini, dengan menggunakan pendekatan karikatural sebagaimana yang dipakai Sjumandjaja, mempersoalkan urusan memakai peci sebagai bentuk tawar menawar budaya (dan agama) guna menetapkan identitas seseorang, karena identitas seseorang sejak semula memang tak pernah tunggal. Pendekatan ini berhasil dengan tepat menertawai pandangan kolot dan tak toleran yang dimiliki oleh generasi tua dan pewarisan (apa yang dianggap sebagai) ajaran agama yang sering dilakukan secara taklid buta alias tak kritis. Ketiga, percampuran etnis, budaya dengan agama dalam film 3 Hati ini memperlihatkan sebuah sifat kosmopolit masyarakat Indonesia dalam berbagai kelas sosial. Kita bisa lihat bahwa keluarga Rosid (Reza Rahadian) jelas sekali merupakan keluarga keturunan Arab yang sudah berakulturasi dan menggunakan dialek Betawi sebagai bahasa sehari-hari. Sementara itu Delia (Laura Basuki) digambarkan berlatarbelakang Sulawesi Utara dan bercakap dengan bahasa Indonesia yang bercampur Bahasa Inggris untuk ungkapanungkapan sederhana. Mereka berasal dari kelas sosial berbeda, dimana keluarga Rosid adalah pedagang kecil di sebuah pasar tradisional, sedangkan keluarga Delia digambarkan berlatar kelas menengah atas dengan rumah berpagar besi dan berhalaman luas serta dengan mudah mengirim anak mereka bersekolah di Amerika. Film ini menggambarkan bahwa kedua kelas sosial berbeda itu dan menjalani hidup yang sama kosmopolitannya. Hal ini menggambarkan sebuah latar belakang Indonesia sebagai hasil dari kosmoplitanisme yang pada masa kini tampak berusaha diingkari, dengan pandangan bahwa ada sesuatu yang “asli’ dan “murni” Indonesia (atau Islam) serta mengabaikan kenyataan bahwa pembentuk Indonesia itu sejak semula sudah bersifat multi faset. Keempat, seiring dengan kecilnya ambisi untuk menggambarkan pencapaian individu, film ini tidak menjadikan

MATEMATIKA CINTA BEDA AGAMA

sekolah—tepatnya perguruan tinggi—sebagai sebuah prasyarat bagi ukuran keberhasilan pencapaian hidup. Tokoh Rosid berpendidikan SMA dan memiliki pandangan luas terhadap keadaan sekitarnya, bersikap kritis dan terlibat secara sosial dengan berbagai persoalan di sekitarnya. Bandingkan dengan film seperti Sang Pemimpi dan Ketika Cinta Bertasbih yang menekankan pendidikan tinggi sebagai sarana untuk mencapai keberhasilan hidup. Film 3 Hati berbeda dengan dua film itu dalam dua hal. Pertama, seperti dibilang di atas, pendidikan tinggi bukan hal terpenting bagi tokoh utama film ini. Rosid malahan mendapatkan kemajuan dari aktivisme (ia aktif di sebuah organisasi non-pemerintah) dan berkesenian (ia pembaca deklamasi dan pengagum Rendra). Kedua, ketimbang hidup makmur dan naik kelas sosial, 3 Hati mengusulkan bentuk kemajuan lain manusia Indonesia yaitu penyadaran politik dan pendidikan kewargaan. Yang menarik dari perbedaan pendidikan, status sosial dan kehidupan ekonomi Rosid dan Delia adalah kembalinya kisah cinta beda kelas sosial, sejak film-film Rhoma Irama—Ricca Rahim. Inilah kembalinya kisah cinta beda kelas sosial dan beda tingkat pendidikan yang dijadikan persoalan tanpa tokoh laki-laki (selalu kelas lebih rendah) perlu menjalani pendidikan tinggi agar bisa sejajar dengan perempuan cantik dan kaya yang cinta padanya, seperti digambarkan pada novel dan film Ketika Cinta Bertasbih. Maka kisah cinta Rosid dan Delia tak semata sebuah komedi romantik, sebuah genre yang mengawinkan antara roman—kisah cinta yang tak sampai—dengan komedi. Unsur komedi, sejak cerita ini berbentuk novel, diijadikan sebuah strategi untuk melakukan sublimasi terhadap sebuah tema yang penting: kisah cinta beda agama.

399

400

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

5 Pada era pasca Soeharto, 3 Hati merupakan film kedua yang bercerita tentang kisah cinta beda agama sesudah film Cin(T)a karya Sammaria Simanjuntak yang beredar pada tahun 2009. Bukan kebetulan bahwa kedua film hadir pada waktu yang berdekatan. Kisah cinta beda agama merupakan sesuatu yang mudah ditemui pada kehidupan sehari-hari, tapi sangat sedikit diangkat menjadi topik dalam film. Ini terjadi karena kisah cinta beda agama merupakan salah satu tabu yang diketahui secara luas, tapi jarang sekali dibicarakan secara terbuka di media. Maka bersama dengan Cin(T)a, film 3 Hati sudah membuka tabu itu dan membicarakan cinta beda agama dan konflik yang diakibatkannya sebagai sesuatu yang sudah seharusnya dibicarakan secara terbuka. Sebenarnya film  Ayat-ayat Cinta  (sutrarada Hanung Bramantyo) juga bicara soal cinta beda agama, yaitu cinta antara Maria Girgis (Carissa Putri) kepada tokoh utama film, Fahri (Fedi Nuril). Namun AAC tidak mempersoalkan perbedaan agama tersebut, karena film ini justru menggunakan perbedaan itu untuk menekankan keunggulan salah satu agama dibanding yang lainnya. Dalam film itu Maria Girgis, penganut Kristen Koptik, akhirnya masuk Islam, dan kisah cinta beda agama itu tak menjadi persoalan sama sekali. Film berakhir dengan baik, dan akhiran film menutup segala macam perdebatan mengenai perbedaan agama ini tanpa menyisakan pertanyaan sedikitpun. Dalam hal ini, posisi 3 Hati jadi bertolak belakang dengan AAC dalam soal memecahkan masalah kisah cinta beda agama itu. Film 3 Hati menghadirkan sosok Nabila yang dengan mudah menjadi pemecahan bagi tokoh Rosid. Latar belakang Nabila (etnis Arab dan Muslim) sangat cocok bagi Rosid. Nabila juga sangat cantik (diperankan dengan sangat baik oleh Arumi Bachsin yang bertransformasi dari perannya di Putih Abu-abu dan Sepatu

MATEMATIKA CINTA BEDA AGAMA

Kets) dan menyukai deklamasi Rosid sehingga ia bisa menjadi peluang bagi Rosid menghindari konflik dengan orangtuanya, dan film akan berakhir baik bagi semua (oh, kecuali bagi Delia yang sudah berkorban menolak rencana orangtuanya sekolah ke Amerika). Namun alih-alih memilih jalan mudah itu, film 3 Hati justru menantang gagasan mememangkan harmoni sebagai pemecahan kisah cinta beda agama ini. Dengan jitu film ini menggambarkan bahwa keluarga adalah faktor terpenting dalam struktur konflik cinta beda agama ini, dan film ini melawan tradisi memenangkan keluarga dengan mudah. Sayang sekali bahwa resolusi yang berani ini harus dicemari oleh caption di penghujung film yang menyajikan pemecahan yang instan terhadap persoalan yang sudah susah payah dibangun. Tampaknya masih ada kilasan ketidakpercayaan para pembuat film ini bahwa para penonton mampu menyikapi persoalan ini dengan dewasa. Saya percaya para pembuat film ini punya hitunghitungannya sendiri dalam membuat film mereka. Sejauh ini, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta telah berhasil meraih Piala Citra sebagai film Indonesia terbaik tahun 2010. Predikat ini bisa jadi dipertanyakan mengingat film Sang Pencerah (sutradara Hanung Bramantyo) disingkirkan oleh komite seleksi FFI dengan alasan “akurasi sejarah” yang lemah. Sekalipun demikian, jelas film ini merupakan salah satu film terpenting tahun 2010 karena keberaniannya menabrak tabu, sekaligus tetap sublim atau halus pada saat yang sama. Strategi komedi film ini memang mampu membawa tema yang tergolong berat dan sensitif dengan sukses tanpa menjadikannya melodramatis. Sebuah melodrama mungkin akan menguras emosi dan bisa jadi lebih laris. Namun pendekatan komedi telah membuat drama menjadi proporsional dan tidak ada penghitam-putihan yang mengorbankan karakter sehingga menjadi jahat dan mudah dibenci. Alih-alih, elemen penghalang

401

402

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

(adversaries) dalam plot film ini dikenakan berbagai stereotip (typecasting) untuk menimbulkan efek karikatural yang berguna sebagai bahan lelucon, terutama pada tokoh ayah Rosid. Pilihan komedi ini akhirnya memang berhasil melakukan sublimasi atau menghaluskan konflik. Dengan pilihan komedi begitu, entah kenapa judul film ini harus menghadirkan matematika yang cenderung rumit itu? Sekali lagi tercium bau ketidakpercayaan diri para produser untuk menjadi lebih sederhana, karena materi film ini cukup menjual bagi berbagai kalangan. Dengan pemasangan bintang yang tepat (saya suka sekali akting Laura Basuki di film ini yang tampak begitu alamiah, seakan tak ada kamera di hadapannya) dan jalan cerita mengalir seperti ini seharusnya pembuat film ini berani memasang judul yang lebih sederhana. Mungkin tepatnya: lebih apa adanya.

Tulisan ini untuk suplemen DVD film 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta yang diterbitkan oleh Jive Collection. Versi yang terbit di sini adalah versi yang sudah diedit dari versi suplemen tersebut.

— 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta. (2010). Sutradara: Benny Setiawan. / Produser: Pemain: Reza Rahadian, Laura Basuki, Arumi Bachsin. Mizan Production.

Eric Sasono

? (Tanda Tanya)

Pertanyaan Retoris Hanung

A

nda pikir Anda sanggup menghadapi fakta? Tunggu sampai Anda menonton  ?  (Tanda Tanya), sebuah film yang mencoba menghadirkan fakta sementahmentahnya tanpa prasangka. Seperti kata tagline film itu, “Masih pentingkah kita berbeda?”, film ini mencoba untuk mengubah fakta itu menjadi sebuah pertanyaan penting bagi kehidupan bersama kita sebagai bangsa. Terlalu banyak hal yang sudah kita alami bersama yang memperlihatkan bahwa keragaman negeri bernama Indonesia ini sedang diguyah dan sebuah gagasan baru tentang Indonesia yang monolitik tanpa wilayah abu-abu sedang dipromosikan besar-besaran. Ini sebuah pertanyaan serius. Tapi, tunggu dulu. Saya ingin menilik kalimat saya sendiri, terutama pada frasa “fakta sementah-mentahnya tanpa prasangka”. Benarkah film mampu bertindak seperti itu? Rasanya tidak. Bahkan film dokumenter yang mengaku diri sebagai hasil rekaman dari kehidupan nyata, tidak pernah mampu menjalankan

404

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

peran seperti itu. Penempatan kamera, sudut pandang, editing, dan sebagainya, merupakan pilihan-pilihan bebas hasil konstruksi dan rekonstruksi. Apatah lagi sebuah karya fiksi, seperti sebuah film cerita yang sedang kita bicarakan ini. Maka sebelum sampai pada pembahasan lebih lanjut, marilah kita bersepakat dulu bahwa film cerita tidak dan tak akan pernah mampu menghadirkan fakta apa adanya. Ia merupakan sebuah hasil dari rangkaian pilihan yang tersedia. Maka film cerita dianggap sebagai representasi, yaitu cara pembuat film menyajikan gambaran tentang kenyataan. Representasi ini, mudahnya, adalah hasil dari rangkaian pilihan yang diambil oleh pembuat film guna menyatakan sesuatu. Dan pilihan itu tentu sangat tergantung pada orang yang memilih. Maka ketika sang pembuat film berkata: “ini seperti kenyataan yang saya lihat”, terkandung di dalamnya keterbatasan pandangan, pengalaman, dan sebagainya. Jangan lupa bahwa penonton juga bisa menjawab “Ah, kenyataan yang saya lihat tidak begitu.”  Nah, jika demikian—inti dari racauan panjang soal representasi ini—adalah baik penonton maupun pembuat film jangan sama-sama mengaku paling sah memiliki kenyataan. Karena ketahuilah, wahai manusia, bahwa kenyataan yang kita alami itu sudah pasti terbatas. Kita kembali pada film yang judulnya disayembarakan senilai seratus juta rupiah ini. Sebagai rangkaian pilihan yang dibuat oleh Hanung Bramantyo dalam film keempatbelasnya ini (selama delapan tahun membuat film layar lebar) saya takjub pada keterampilan teknis Hanung pada film ini. Saya bisa melihat bagaimana kemampuannya dalam mengarahkan penempatan kamera, mengatur ritme editing, menempatkan musik, merendengkan simbol, memutuskan penataan set, hingga mengarahkan pemain sudah mencapai tingkat di atas mahir. Dalam sebuah workshop penyutradaran yang saya moderatori, Hanung menyatakan bahwa seorang sutradara harus

PERTANYAAN RETORIS HANUNG

mampu menempatkan kamera yang membuat pemain filmnya jadi tampak menarik di layar. Lihat bagaimana keterampilan Hanung ini diwujudkan dalam membuat Revalina S. Temat di film ini jauh lebih cantik ketimbang film-filmnya sebelumnya. Hanung sudah mampu menggunakan elemen-elemen teknis untuk mencapai efek penceritaan seperti yang ia inginkan secara optimal. Nah, apa yang sesungguhnya diinginkan oleh Hanung Bramantyo? Sudah jelas dari judul film maupun tagline, ia ingin bertanya. Benarkah? Bagi saya, pertanyaan Hanung itu retoris, alias pertanyaan yang tak perlu jawaban. Coba jawab tagline film “masih perlukah kita berbeda?”. Cuma ada 2 jawaban: 1. perlu bagi yang politically correct dan merasa Indonesia memang masih harus berbeda, dan; 2. tidak, bagi yang menginginkan di Indonesia hanya ada satu jenis suku, satu jenis agama, satu jenis orientasi seksual, ataupun satu jenis satu jenis yang lain, atau pandangan monolitik. Perlukah saya bertanya Anda termasuk yang mana? Saya tak merasa perlu, tapi Hanung merasa perlu karena ia terganggu pada fakta yang ia lihat, yaitu pada orang-orang golongan dua: orang yang sedang berusaha menjadikan Indonesia menjadi negeri yang monolitik, negeri yang hanya terdapat satu jenis kategori bagi berbagai jenis manusia yang hidup di dalamnya. Dan dalam hal ini, monolitisasi yang sedang digugat Hanung itu adalah monolitisasi dalam hal agama. Jelas hal ini memprihatinkan, dan rasanya memang menjadi bahan helaan napas serta urutan dada banyak orang. Saya tidak akan tak bersetuju pada fakta yang dipandang Hanung itu, tapi bagi saya, pertanyaan seperti itu memang

405

406

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pertanyaan yang menyulitkan banyak orang. Ketaknyamanan itu bukan semata karena mereka tak setuju pada fakta yang disajikan oleh Hanung. Ini dia sebab-sebabnya, menurut saya.

Pertama: Soal Dualism Tidak semua orang rela ditempatkan dalam situasi pertanyaan dualistis seperti itu. Saya bukan termasuk yang tak rela. Tapi, kalau saya mencoba menempatkan kaki saya di sepatu orangorang yang dianggap monolitik itu, bisa jadi yang mereka inginkan bukanlah menghilangkan keragaman. Bisa jadi yang mereka inginkan adalah semata menjalankan agama yang mereka percayai. Bagaimana bisa? Mari kita bandingkan dengan satu film lain, yaitu 3 Doa 3 Cinta karya Nurman Hakim. Film Nurman itu bercerita tentang seorang anak pesantren yang terbujuk untuk menjadi pengebom bunuh diri. Mengerikan! Teroris! Tentu saja, kita bisa mengategorikan anak muda belasan tahun itu sebagai teroris. Namun alih-alih menghakimi macam itu, Nurman mencoba mencari tahu: apa sebabnya tokoh dalam filmnya memilih hidup yang bodoh seperti itu. Nurman menjelaskan latar belakang ekonomi dan keputusasaan serta dorongan untuk menjadi orang lebih saleh yang membuat anak muda itu nyaris mengambil keputusan bodoh itu. Terus terang saja, bagi saya, penjelasan Nurman ini klise sekali. Tapi, setidaknya, Nurman berusaha menjelaskan adanya satu motivasi tertentu. Apakah dalam film Hanung tak ada usaha untuk menjelaskan? Oh, Hanung memang berusaha menjelaskan motivasi Soleh (Reza Rahadian) kenapa akhirnya menyerbu restoran Cina tempat istrinya bekerja. Namun perhatikan: Hanung tak menjelaskan dari mana asal usul kemarahan massa yang ikut dengan Soleh. Juga perhatikan adegan di awal ketika tiga orang berpeci mengata-ngatai “Cino” kepada Ping Hen tanpa

PERTANYAAN RETORIS HANUNG

alasan. Satu hal yang tampak: massa (bahasa lainnya adalah “umat Islam”) bertindak secara otomatis—tanpa komando, tanpa penjelasan motivasi—melakukan kekerasan. Apakah umat dalam film Hanung ini “tak pantas” untuk dipahami? Rasanya kok kejam, ya. Nurman saja bersedia mencoba memahami pengebom bunuh diri terkutuk itu, kenapa Hanung tak mau memahami umat yang jangan-jangan hanya ikut-ikutan? Ah, tiap sutradara memang punya sikap dan pandangan berbeda, tapi ini yang penting: kalau memang Hanung bertanya, pertanyaannya bagi saya belum menukik dalam, ke pertanyaan “mengapa”. Padahal dalam prinsip jurnalistik, hipotesa penelitian, dan kerja seniman, pertanyaan “mengapa” justru adalah pertanyaan yang paling sulit dijawab. Pertanyaan Hanung memang retoris, bukan sebenar-benarnya pertanyaan. Kembali ke umat yang bertindak otomatis ini, saya ingin bandingkan soal ini dengan film yang menggambarkan umat melakukan kekerasan pada dua film Indonesia lain:  Titian Serambut Dibelah Tujuh dan Al Kautsar, keduanya ditulis Asrul Sani dan disutradarai Chaerul Umam. Pada kedua film lawas ini, umat juga melakukan serangan fisik terhadap tokoh utama film, tapi kedua film menggambarkan adanya satu atau sekelompok kecil orang yang mengarahkan, memprovokasi, dan mengambil keuntungan dari kekerasan itu. Umat tak otomatis mengambil jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Dengan perbandingan ini, bisakah saya simpulkan bahwa Hanung ingin menyatakan “sekarang umat tak perlu ada provokator lagi untuk melakukan kekerasan”? Saya, sebagai seorang yang ingin optimis terhadap bangsa Indonesia dan umat Islam di Indonesia, tak akan menyatakan hal sedemikian. Bagi saya, segala kekerasan yang dilakukan umat itu karena adanya pengorganisasian oleh orang-orang yang mengambil keuntungan, baik secara politik, sosial, maupun

407

408

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

ekonomis. Tak heran kalau Buya Syafii Maarif, dalam wawancara di majalah Madina, berkomentar bahwa “kekerasan kini dijadikan mata pencarian.” Menurut saya, inilah yang dimaksudkan oleh Buya, dan bukannya umat yang ngebet dengan kekerasan, atau mau saja disuruh merobohkan rumah ibadah orang lain lantaran imbalan nasi bungkus dan ongkos metro mini.

Kedua: Strategi Visual Hanung Penyebab kedua ketidaknyamanaan terhadap pertanyaan retoris Hanung itu terletak pada strategi visual film ini. Ketika bertanya retoris, tentu Hanung sudah punya jawabannya, karena memang demikianlah karakter pertanyaan retoris. Fungsi utamanya adalah menggugah (atau menggugat?) dan bukan karena tidak tahu. Kita pastikan dulu satu hal: pertanyaan Hanung yang berbunyi “masih perlukah kita berbeda” itu tentu dalam soal agama, karena di sepanjang film, hadir gambar-gambar perbedaan agama itu. Perbedaan itu hadir lewat simbol-simbol yang ditampilkan dengan gaya Hanung: dramatis, bahkan cenderung melodramatis. Melodramatis yang saya maksudkan adalah adanya aksentuasi atau penekanan makna penting gambar lewat sudut pengambilan gambar, efek slow motion atau time-laps, tata cahaya, jukstaposisi atau perendengan simbol secara mencolok (gereja, mesjid, kepala babi di latar depan restoran, dan sebagainya), bahkan insinuasi atau pengaitan fakta secara tak langsung dari simbol yang disajikan. Untuk yang terakhir ini, muncul dalam adegan penusukan terhadap pendeta di depan gereja yang sedang mengawasi umatnya untuk masuk ke rumah ibadah. Hanung menggambarkan dua orang bersepeda motor melaju dan tiba-tiba menusuk sang pendeta. Sekalipun kisah film ini digambarkan

PERTANYAAN RETORIS HANUNG

terjadi di Semarang, tak urung orang akan mengaitkan penusukan ini dengan peristiwa penusukan terhadap panitua gereja di Ciketing, Bekasi yang ramai sekali dibincangkan di media, terutama di media-sosial seperti Twitter. Strategi visual Hanung ini sudah sejak semula membuat pertanyaan yang diajukannya jadi sangat dramatis. Mungkin tak kelewat berlebihan jika saya katakan vulgar dalam pengertiannya yang luas. Saya cukup sadar bahwa film ini memang dibuat untuk orang banyak sehingga harus bicara dalam bahasa vulgar dan bukan bahasa halus atau subtle. Saya bukan sedang mempromosikan elitisme (yang gemar pada subtlety) ketimbang popularisme medium film, melainkan sedang mencoba melihat akibat dari vulgarisme itu pada penyajian cerita film. Vulgarisme ungkapan itu tentu diperlukan Hanung untuk penyajian drama yang penuh pergolakan yang keras, penuh  point-of-no-return  bagi tokoh-tokohnya, termasuk di dalamnya pergolakan keras antara tokoh protagonis dengan tokoh antagonis. Tujuannya jelas: poetic justice, di mana keadilan akhirnya ditegakkan sesudah rangkaian drama mengharu biru, dan kita terhanyut juga menontonnya bukan? Namun yang terpenting adalah: vulgarisme Hanung ini membuat filmnya menjadi seperti etalase yang dihias cantik dan amat sangat menarik, tetapi konflik di dalamnya—hitam putih tokohya—jadi dramatis. Drama ini— sebagaimana gambaran peruntuhan sokoguru mesjid si film Sang Pencerah—membuat film ini berhasil mengharu biru dan menghanyutkan penonton. Tapi dari strategi visual semacam itu terbentuk sebuah hal penting: kerangka visual yang tegas tentang posisi hitam putih para tokoh. Dualisme yang saya bicarakan pada poin sebelumnya menjadi tegas.

409

410

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Ketiga: Usulan Hanung Soal ketiga kenapa pertanyaan retoris Hanung ini menyebabkan ketidaknyamanan adalah karena Hanung memang tak sedang berusaha memahami, tapi sedang menyatakan pemahamannya seperti yang ia katakan dalam wawancara dengan Lisabona Rahman dan Iwan Setiawan di situs Film Indonesia. Dalam wawancara itu, jelas Hanung menyatakan (dan ini menjadi judul tulisan): “Inilah Islam yang saya pahami”. Sampai di sini, saya ingin ingatkan tentang representasi di depan tadi dan di sinilah poin terpenting kenapa saya bicara tentang representasi. Film ini, oleh Hanung, dibuat sedang menampilkan: inilah Islam. Ia menggambarkan para pemenang dalam film itu adalah Suryo (Agus Kuncoro), seorang Muslim yang berperan sebagai Sinterklas, Soleh yang akhirnya bisa memahami sikap dan pilihan istrinya bekerja pada orang beragama lain, Ping Hen (Rio Dewanto) yang akhirnya masuk Islam dan sebagainya. Satu inti yang jelas dari para tokoh ini: para pemenangnya adalah orang-orang beragama yang memandang bahwa “semua agama itu baik dan sama-sama menuju Tuhan” sebagaimana disampaikan dalam solilokui tokoh yang diperankan Rika (Endita) di awal film. Menurut saya, jika Hanung ingin merepresentasikan bahwa Islam memang beranggapan bahwa “semua agama itu baik dan sama-sama menuju Tuhan”, maka wajar jika representasi yang dilakukannya dimusuhi oleh sebagian umat Islam. Lagipula, ingat bahwa sisi lain representasi ini (para antagonis yang “kalah”) adalah orang-orang yang berpandangan monolitik (lihat tokoh Glen Fredly) atau bodoh (umat Islam yang merusak properti orang lain semata karena orang itu membuka toko di hari kedua lebaran). Menurut saya, ada hal penting berkaitan dengan representasi yang dilakukan oleh Hanung ini. Begini.

PERTANYAAN RETORIS HANUNG

Tentu saja Hanung bersandar pada fakta (yang dilihat, dialami, atau dibacanya, atau diyakininya) bahwa Islam memang seperti itu adanya. Namun, bukankah kita tak sedang adu fakta? Karena tentu ada orang yang menafsirkan Islam (atau Katolik atau Buddha atau agama apapun) sebagai pemegang lisensi tunggal atas Kebenaran, dan ini adalah fakta juga. Ada fakta yang beradu, tapi ada yang lebih penting lagi sehubungan dengan cara Hanung dalam membaca dan menampilkan masalah. Apa yang dibaca Hanung sebagai penyebab persoalan kekerasan atas dasar agama di Indonesia adalah cara beragama yang keliru. Seandainya mereka beragama dengan cara yang digambarkan oleh Hanung melalui tokoh-tokoh dalam filmnya (beranggapan semua agama menuju kebenaran) tentu kekerasan atas nama agama itu tak perlu timbul. Inilah gagasan yang ditampilkan oleh Hanung. Keunggulan utama agama, yaitu monopoli Kebenaran, oleh Hanung digambarkan sebagai masalah, karena hal itu digambarkan bermuara pada kebencian. Padahal monopoli Kebenaran itulah yang jadi “selling point” agama sehingga ia bisa mendapat jutaan atau milyaran penganut. Dan monopoli Kebenaran dan kebencian itu dua hal yang terpisah. Monopoli Kebenaran itu sifat alamiah agama sejak semula dan itu membuat orang yakin terhadap agama yang dianutnya. Manusia memang tak bisa mencapai kebenaran sejati dan mungkin mereka tahu itu, tapi orang tetap bisa yakin, kan?  Nah, Hanung sedang menggambarkan bahwa pemenang dalam film-filmnya adalah yang melepaskan keyakinan bahwa agamanya adalah satu-satunya Kebenaran. Dengan demikian, pemecahan Hanung terhadap soal ini adalah pemecahan yang sifatnya relijius, bukan sosial atau politik. Saya membayangkan hal ini akan sangat sulit tercapai, karena akan bertentangan dengan hubungan paling dasar antara agama dengan pemeluknya. Bagi saya, soal ini seharusnya dipecahkan

411

412

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

secara sosial dan politis, yaitu pada pembangunan institusi yang mampu menyalurkan dan menyelesaikan konf lik yang ditimbulkan oleh perbedaan tanpa melalui jalan kekerasan. Keragaman, atau—duh, kata ini—pluralisme sebagai fakta sosial memang seharusnya diatur oleh lembaga sosial dan politik. Saya ingin mengutip Kyai Haji Mustofa Bisri yang dalam tweet-nya (ya, ini kyai ber-Twitter di akun @gusmugusmu) bahwa ada pluralisme yang sebaiknya tak dikembangkan yaitu pluralisme relijius. Pluralisme relijius ini adalah menyatakan bahwa semua agama itu benar, padahal seharusnya yang dibutuhkan buat negeri ini adalah pluralisme sosiologis. Pluralisme sosiologis ini (ini katakata dari saya, bukan dari @gusmugusmu) menyatakan: tak peduli jika kau mengaku diri paling benar dunia akhirat, yang penting kau bisa berdampingan hidup dengan orang lain yang berbeda pandangan denganmu secara sopan dan bertatakrama. Jika kau melanggarnya, ada negara yang akan menghukummu. Inilah inti kehidupan bernegara yang saya bayangkan akan direpresentasikan oleh Hanung guna menjawab pertanyaannya, ketimbang soal “Islam yang saya kenal”. Saya berharap orang tak perlu mengubah keyakinannya untuk bisa sepakat bahwa di negeri bernama Indonesia ini orang berbeda agama bisa hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Jika Hanung memang memenangkan tokoh-tokoh yang menganggap semua agama benar, ada soal yang lumayan besar dalam ending filmnya. (Buat yang belum menonton, saya akan membocorkan akhiran film ini. Baca at your own risk!)

Masuk Islam Tokoh antagonis di film ini, Ping Hen, akhirnya masuk Islam sesudah perjuangan “berdarah-darah” membela kepercayaannya sendiri; termasuk menentang sikap dan kebijakan ayahnya. Ayah

PERTANYAAN RETORIS HANUNG

Ping Hen, Tat Sun (Hengky Soelaiman) ini seorang pengusaha restoran Cina yang bijak sekali: ia taat beragama, menghormati dan mengingatkan karyawannya yang Muslim agar sholat dulu pada waktunya, memisahkan alat masak bagi Muslim dan nonMuslim serta lain-lain. Dari mana kebijaksanaan Ayah Ping Hen didapat? Ayah Ping Hen sudah tua, sehingga kita bisa menyimpulkan: ia belajar dari pengalaman. Pengalaman macam apa? Kita tak tahu sampai ketika sang ayah itu sakit dan restoran tetap buka pada hari kedua lebaran, serta Ping Hen tak lagi memisahkan alat masak “halal” dan “haram”. Pada saat itulah restoran diserbu oleh umat Islam (yang otomatis marah tadi) dan Ping Hen akhirnya tahu rasa: restorannya rusak, dan nyawanya terancam. Persis sesudah huru hara itu, Ping Hen mengambil buku Asmaul Husna yang tergeletak di lantai. Ia membuka-buka buku itu lantas wajahnya berubah seperti tersadar akan sesuatu. Apa yang ia sadari ketika itu? Kebenaran Islam? Ping Hen dapat hidayah? Tentu bisa dibaca demikian, sekalipun, dalam pandangan saya, sulit rasanya buat orang yang nyawanya baru saja terancam oleh sekelompok orang tertentu, tiba-tiba berubah sikap langsung menganut kepercayaan kelompok orang yang hampir saja membuatnya mati itu. Saya membayangkan seorang anggota Viking (para fanatikus klub sepakbola Bandung, Persib) tiba-tiba berubah menjadi anggota Jakmania (para fanatikus klub sepakbola Jakarta, Persija) sesudah lolos dari keroyokan mereka. Uh, maaf untuk analogi tak pantas ini karena agama berbeda dengan sepakbola (sekalipun buat beberapa orang keduanya tidak berbeda). Dalam agama tentu ada hidayah yang bekerja di luar akal manusia untuk bisa menjelaskan. Ya, saya juga percaya hidayah karena pernah mengalaminya secara langsung. Ketika itu saya di SMA… —oh, maaf ngelantur….

413

414

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Baiklah, dalam agama memang ada hidayah; tapi ini kan film. Artinya, ia bisa dibaca dengan cara berbeda seperti diniatkan oleh pembuatnya. Katakanlah film ini ber-subtitle dan ditonton di Vanuatu, di mana orang sama sekali tak tahu konsep hidayah (contoh bisa apa saja, dan Anda bebas membuat contoh). Apa yang terbaca? Menurut saya, yang terbaca adalah ini: Orang Islam yang gemar kekerasan itu menyerbu, sementara Ping Hen sudah diingatkan oleh ayahnya (yang sudah berpengalaman). Sesudah bencana itu terjadi, Ping Hen menemukan buku milik orang Islam dan tersadar: kenapa saya tak mengikuti kata-kata ayah? Ia tentu berpengalaman dengan orang Islam ini. Maka Ping Hen pun mengambil langkah lebih cerdas ketimbang ayahnya: ia masuk Islam. Ini langkah hebat, karena dari langkah ini ia bisa mendapat banyak keuntungan: pertama, restorannya tak akan lagi diserang karena sudah ia alihkan ke restoran halal. Pasar bagi restorannya akan semakin jelas, sehingga ia bisa mempertahankan captive market-nya maupun meluaskannya. Ini langkah dagang yang hebat. Kedua, bekas pacarnya yang cantik itu kini menjanda, dan perempuan itu hanya mungkin menikah dengan seorang Muslim.  Nah, dengan masuk Islam, peluang Ping Hen jadi terbuka, kan? Saya tahu, pembacaan seperti ini jahil sekali, tapi bukan sama sekali tak mungkin. Apalagi di sekujur film Hanung menyarankan bahwa semua agama sama-sama menuju kebenaran, lantas kenapa tidak memeluk agama yang paling menguntungkan secara sosial, politik, dan ekonomi? Toh, agama tak menjanjikan Kebenaran tunggal? Saya rasa Hanung tidak sedang memandang Islam dengan cara pandang seperti itu. Ia sedang menggambarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta). Islam, bagi orang yang sungguh-sungguh mencari keyakinan,

PERTANYAAN RETORIS HANUNG

akan membawa kebaikan akhirat, dan tentu juga dunia. Ping Hen adalah “bukti”-nya, menurut Hanung dalam film ini. Apapun, satu hal yang jelas bagi saya, akhiran Hanung untuk Ping Hen ini senada belaka dengan akhiran bagi tokoh lain. Soleh mungkin gugur dalam tugas, tapi ia gugur dalam kebanggaan (ketimbang gugur sebagai penganggur) dan namanya diabadikan sebagai nama pasar. Suryo mulai dikenal namaya sesudah berhasil memerankan tokoh Yesus dan akhirnya mulai menjadi aktor terkenal. Rika juga berbahagia dengan pilihannya pindah agama dan kemungkinan berjodoh dengan calon aktor terkenal. Maka ber-Islamnya Ping Hen adalah bagian dari happy ending  tadi, menegaskan bahwa pertanyaan retoris Hanung “masih pentingkah kita berbeda” harus dijawab dengan: “masih”. Karena hanya dengan itu hidup bisa berbahagia. Inilah representasi fungsi agama dalam pandangan Hanung dalam Tanda Tanya. Bisa juga akhiran bahagia ini dipandang dengan cara lain semisal ini:  jangan lupa bahwa semua ini hanya film, hanya rekonstruksi yang saya lakukan demi menceritakan sesuatu kepada Anda. Film ini memang semacam hiburan saja, dengan latar belakang sosial yang kuat dan pandangan yang jelas, Anda tak keberatan bukan? Anda tak keberatan?

415

Asmayani Kusrini

Melancholia

I

’ve been waiting too long to write this note about Lars Von Trier’s Melancholia. When I first saw it, I remember I really, really, really liked it without knowing why, yet. I had as mixed feelings as Melancholia’s reception in Cannes that year. Lars Von Trier made it even worse by making a scandal, – ended up being kicked out from the festival–, which had grown bigger than the movie itself. So I waited. I thought, maybe I will change my mind after a few days, or months, or even years. Many refer to Melancholia as an absurd film. Some refers to it as a feminist film. Some think it’s the worst film Lars Von Trier ever made. Of course, everyone has the right to criticize. Obviously, for me, Melancholia is far from absurd. Whether or not Melancholia is a feminist film, I will let others judge since I am not really interested in that angle. At some point I agree with some writers, specially the one who making reference to Shakespeare’s

MELANCHOLIA

Ophelia. But I have little objections since some of them are simplifying and reducing the complex relationships between each characters into just ”a depression and the complex relationship between a mentally ill woman and her sister’. So I think it’s time for me to write mine. Ophelia falls in love with Hamlet but in the same time struggles to please her father and her brother.  She lives for their consent. When Hamlet repulses her for her total submission, Ophelia is torn apart and loses herself.  Being in a great sorrow,  she dresses herself with heavy-elegant-gown and drowns herself in a river full of flowers. This scene inspired John Everett Millais to paint ‘Ophelia’ and then Lars Von Trier implicitly picked up the idea for the official poster of Melancholia. Von Trier’s contemporary Ophelia is Justine. But if we really insist on finding similarities between Justine and Ophelia it would be anything except broken-heartedness. Melancholia suggests that Justine suffers from depression but nobody is trying to understand why. Not even her loving sister, Claire, who accepts Justine’s mental instability as something that has deep roots, and who thinks her duty is to take care of her. As suspected, the only moment where we could see the true Justine, who likes to have fun as an easy-going girl, is in the beginning scene of Justine in  Melancholia. Justine and  her husband, Michael drive with a limousine towards the castle where their guests have been waiting for two hours to celebrate their marriage. The limousine is stuck in a curve of a small road and Justine—in her wedding dress—obviously enjoys the scene and is trying to drive the car under the limousine’s driver and Michael’s worried gaze. Justine seems at ease and laughs freely. Until they arrive in the castle and Justine’s happy face is gradually taking darker accents.

417

418

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

The Wedding Party as an Empty Ritual Von Trier chooses a wedding party not just as a background and a passive character to reveal the cause of Justine’s melancholia but elusively criticizes the wedding ceremony itself.  The wedding party is perfectly prepared by Claire and her scientific and wealthy husband, John. They hired the most expensive  wedding planner, to organize an unforgettable and spectacular wedding for Justine. They asked the best chef to prepare the meals. They invited families, friends, colleagues, and vip to make as merriest marriage as possible. But is that what Justine really wants? In many cultures, a wedding party is not out of personal aspiration but mostly out of social pressure. The groom and the bride are just a pair of puppets to be put in the best decorated stage, among an unknown crowds,  dressed like dolls. The newly couple sometimes have to resign to what people expect them to be. There are very few wedding exactly true to what the couple wants. Our cultural prescriptions oblige the newly wed couple to play their best performance. The wedding become an empty ritual where the groom and the bride  sometimes have to perform a false image to please others. Some survive till the party is over, but some don’t. ‘I smile, and I smile, and I smile,” says Justine bitterly. As a bride in her own wedding party, she’s supposed to have everything that she wants. But she can’t even have the simplest quest she could ask for: talking heart to heart with her father and her mother.  When she is desperately needing attention from her parents, who left the party earlier, she also has to bear the heavy burden that is impossible to fulfil, “You better be goddamn happy,” said John. How could she be happy while struggling with countless pressure from her family and her peers?  And people are wondering why she is depressed.

MELANCHOLIA

Betty Friedan once wrote about “the problem with no name”: she pointed out that many women were miserable but couldn’t articulate the source of that misery. They know that something is very wrong, but they tend to look for the source within themselves. Justine may have another problem which causes her melancholy. But by what happened in her wedding party, one could imagine, if she has to deal with this peer pressure everyday, we can sense that it is enough to make her life miserable. Her divorced parents were arguing and fighting in front of the guest. Her mother, Gaby, criticized Justine’s decision to wed. Her father, Dexter, was busy with his younger lovers —yes, lovers, he has two lovers. Her brother-in-law keeps on reminding her about the cost of the wedding. Her boss—and also her father-inlaw– is driving her crazy by keeping on asking for a ‘tag-line’ for their new campaign in advertisement.  And her husband, is just as ignorant as anybody else about her mental state. ‘I am trudging in through this…It’s clinging to my legs. It’s really heavy to drag along,’ confesses Justine to Claire. By all means, Justine is an independent girl. She is a brilliant advertising executive. She has a bright future. Why she even bothers to get married to the man that she is not in love with? Her confession implies that it’s not the wedding that she needs. She thought, by being married, that everybody around her would be happy.  At least in her wedding party. This indication shows how strong social pressure can affect one’s life. She is trying to reach an ideal. It makes me think of Alain Ehrenberg’s  The Fatigue of Being Oneself -Depression and Society. In short, Ehrenberg’s pointed out that today’s society puts a great pressure to be the author of one’s own life while plugging the rules about what is ideal. If one can not make it, then it’s their own fault. Hence, it is become the source of depressions.

419

420

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

The Characters Over and above criticizing the excesses of our society spent on the wedding party, Lars Von Trier is putting the mirror in front of our high class community today. The characters in Melancholia are carefully chosen. Justine—played by Kristen Dunst, thank God not by Penelope Cruz—is the typical woman who still puts her society above everything else. She is outraged by the abandonment of her divorced parent, but still, she is trying to be a conformist, to follow an ideal social convention, that is, growing up, having a career, getting married, having kids, and all the rest. She just doesn’t want to accept the fact that she is different, and that she is just not fit. That’s slowly becoming an impossible compromise. On the other hand,  Justine’s sister, Claire –perfectly played by Charlotte Gainsbourg—is the ideal product of our society.  She is married to a wealthy scientist, has a little boy, and acts as a provider of care to her family, sister and her parents. Unlike Justine, she was not shattered by her parent’s divorce.   Instead, she has been growing fine among all the pressures while still holding on her sanity. But, living with all her ideals, Claire is easily worried and very fragile to threaten. She has too much to lose. The divorced parents, Gaby (Charlotte Rampling) and Dexter (John Hurt) are a typical couple who couldn’t survive from the marriage turbulence from the previous generation. They don’t have energy left to give to their children. When Justine asked them to stay so they could have breakfast the next day, Dexter left with an apology note, and Gaby thought that was the most silly idea. In the party, also present is Jack (Stellan Skarsgård), the father of Michael (Justine’s husband); Jack is a despicable, powerhungry man. He wants his employees toiled to their last sweat (could it be refer to Von Trier’s producers who keep on asking him

MELANCHOLIA

to finish his movie while he was in a deep depression?). Justine knows about this. “I hate you and your firm so deeply,” said Justine to Jack when he keeps on talking about her finding a tagline for a new campaign.  It’s no coincidence that the new campaign in advertisement that needs ‘tagline’ is based on a painting The Land of Cockaigne  by Pieter Bruegel, a sharp critique to spiritual emptiness believed to derive from gluttony and sloth. Meanwhile Michael (Alexander Skarsgård)  is a typical richspoiled kid who wants to buy Justine’s heart with wealth. And there is Tim (Brady Corbet), a new employee in advertisement firm where Justine works. Tim is an opportunist who will lick everybody’s ass in order to get accepted. And then there is John (Kiefer Sutherland) , a typical wealthy man who always counts his money to the last digit. He is also a scientist who is super confident to the arithmetic calculations. John is trying to convince Claire: ‘Sweetheart, you have to trust a scientist. Melancholy is just gonna pass right in front of us,” “What if your scientist have miscalculated and…”, protest Claire. “They haven’t”. But, when we realize that it is miscalculated, we can guess who’s the first  to disappear like a coward.

Planet Melancholia The title Melancholia is a smart choice. Melancholia is one of the four basic temperament in human personality and behaviour. Melancholia in a common sense is a sad thoughtful state of mind and considered as a light depression. The strange feeling that is hardly define. But in psychiatric terms, melancholia describes a severe depression. Depression it self has it long history since forever. It has always been there in our society, among us, though it came with different names or different shapes depending on the

421

422

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

era. It deprives the sufferer from everything. People who got into a deep depression wouldn’t care at all about what happened around them. But people around them is easily calling them crazy. Literary and literally, melancholia has rarely been taken seriously by our society. Individuals who are hit by melancholy, mostly have to deal with it themselves, which make it even worse and dangerous. I don’t have to say that Von Trier’s Melancholia is a metaphor. After watching this film, one must ask one self if he considers it as a fantastic film or a down to earth drama.   If you think it’s just a fantastic film, then a bit of melancholy might help you see things another way. Certainly,  Melancholia  is not as absurd as it seems. Melancholia might offer you a happy ending if not a solution. If one day, planet Melancholia really hits the earth, I just hope that you have hands to hold on to and beloved ones to be with.

— Melancholia Director / Writer: Lars Von Trier / Kirsten Dunst, Charlotte Gainsbourg, Kiefer Shuterland.

Ekky Imanjaya

7 Hati 7 Cinta 7 Wanita

Mereka yang Menolak Untuk Menjadi Korban: Perihal Dr. Kartini SPoK dan Percakapan di Ruang Melati

S

alah satu tugas film adalah menjadi alat untuk bercerita. Dan sumber cerita sesungguhnya ada di mana-mana: di jalan, di rumah, di sekolah, di kantor, dan… di rumah sakit. Masalahnya, berapa banyak film Indonesia yang merepresentasikan kisah kaum wanita dengan berbagai seluk beluknya? Lebih fokus lagi: berapa banyak yang bercerita pasal problematika para perempuan yang sedang menanti kelahiran anak pertama mereka? Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita bercerita tentang dr Kartini SpOk (Jajang C. Noer) dan keenam pasiennya. Dari namanya saja, Kartini, kita sudah dihantarkan pada atmosfir perjuangan sang dokter spesialis kandungan ini untuk membela dan memperjuangkan perempuan yang disebutnya dengan istilah “kaumku”.  Walau pun masih ingin berjarak, tapi sang ginekolog itu dengan setia selalu mendengarkan keluh kesah para pasiennya, kadang seputar kehamilan, kadang di luar itu. Lewat narasinya

424

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pula, yang puitis dan kontemplatif, penonton diajak untuk menyelami berbagai permasalahan khas perempuan, sesuatu yang sulit dipahami pria karena “tidak mempunyai rahim”. Tapi  sang sutradara yang lelaki, Robby Ertanto Soediskam, cukup dalam menyelami dan memahami perkara setiap karakternya, mengingat ini film panjang pertamanya, setelah sebelumnya menggarap segmen The List dalam proyek omnibus Takut: Faces of Fear. Film fitur ini pun kabarnya adalah pengembangan dari film pendeknya, Aku Perempuan. Keenam pasien itu dari awal sudah dipertemukan di ruang tunggu, di Ruang Melati, Rumah Sakit Fatmawati. Keenamnya mewakili berbagai etnis, agama, profesi, dan usia; serta mereprentasikan beragam permasalahan seputar kehamilan dan gender pada umumnya. Pertama, Ningsih (Patty Sandya)—seorang wanita karir yang mandiri—mengharapkan kehadiran seorang anak laki-laki yang kuat dan berpendirian, tidak seperti suaminya  selama ini yang dianggapnya lemah dan tak bisa diandalkan. Dengan dingin, ia menyatakan akan menggugurkan janinnya jika diketahui perempuan. Kedua,  Yanti (Happy Salma), pelacur yang ditemani anjelo (“antar jemput lonte”), Bambang (Rangga Djoned) yang diam-diam mencintainya dengan tulus. Yanti didiagnosa mengidap kanker rahim, dan pemasukannya sebagai penjaja seks tentu tak mampu membayar pengobatan. Rara (Tamara Tyasmara) adalah siswa lugu kelas 2 SMP yang hamil karena “kecelakaan” dengan Acin (Albert Halim, yang bermain berbeda dengan karakter di Catatan Harian Si Boy), keturunan Tionghoa yang masih SMA. Rara yang masih polos ini acap mengulum lollipop, simbol kekanak-kanakannya yang sekaligus berfungsi sebagai penawar rasa mual akibat hamil muda.   Berikutnya adalah  Lastri (Tizza Radia) yang sampai saat ini belum hamil karena terlalu gemuk dan susah turun berat badan karena “… suami saya suka dengan masakan saya”. Ia adalah sosok yang ceria,

MEREKA MEREKAYANG YANGMENOLAK MENOLAKUNTUK UNTUKMENJADI MENJADIKORBAN: KORBAN

dan suaminya,  Hadi (Verdi Solaiman), begitu mendukung dan tampak setia. Wanita kelima adalah Lili (Olga Lidya)—seorang keturunan Cina—yang mendapat perlakuan kasar dari suaminya yang mempunyai kecenderungan kelainan seksual yang aneh. Tapi Lili selalu melindungi suaminya dari pasal KDRT. Terakhir, Ratna (Intan Kieflie), wanita berjilbab yang bekerja keras untuk menabung demi kelahiran anaknya, yang dinantinya selama 5 tahun.  Suaminya,  Marwan (Achmad Zaki), tampak religius, namun ternyata memperlakukannya seperti sapi perah, hanya mau dilayani, dan jarang ada di rumah. Di pertengahan cerita, diketahui, Marwan mempunyai istri muda dan anak berusia 3 tahun. Maka inilah kisah multiplot tentang beragam masalah khas perempuan:  dikhianati,  menjadi korban, dan terpojokkan.  Sisisisi kelam perempuan diselami satu demi satu: KDRT, dihamili, kanker rahim, diselingkuhi, dimadu diam-diam. Keenam pasien itu mempunyai persamaan: hamil anak pertama, dan ditangani dr. Kartini. Sang dokter bukannya tidak punya masalah. Ia punya problematikanya sendiri, yang perlahan tapi pasti akan terkuak. Di usianya yang ke-45, ia masih belum menikah, walau ada dokter senior, Anton (Henky Solaeman) yang tertarik padanya. Kehadiran dr. Rohana (Marcella Zalianty) yang ceplas-ceplos dan hantam kromo, dengan menanyakan hal-hal personal, juga menjadi persoalan tersendiri. Rohana adalah salah satu pemicu konflik juga. Sifatnya yang ambisius dan kadang melawan risiko itu—ia yang dokter baru itu bersedia mengoperasi cesar seorang bapak yang ingin cucunya lahir di jam dan tanggal cantik, walau risikonya bayinya bisa cacat permanen—dengan terang-terangan juga bertanya hal-hal sensitif. Dan di sini, akting aktris senior Jajang C Noer tampil ciamik, ia bisa lemah lembut dan sopan kepada semua pasiennya, tapi bisa juga nyinyir (namun juga berupaya sopan) pada kolega barunya itu. Tapi sebenarnya, pada

425

426

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dasarnya, berbedaan antara Kartini dan Rohana adalah pada pandangan-dunia-nya seputar menilai permasalahan gender. Rohana, dengan berbagai dalih, tetap memandang wanita sebagai korban laki-laki, sedangkan Kartini menolak sebagai korban dan secara perlahan berupaya agar para pasiennya harus melepaskan diri dari stigma korban dan mengasihani diri sendiri yang mengarah pada ketergantungan (ekonomi, cinta, sosial) dari lelaki yang menjadi pasangannya. Walau pun ada benarnya yang diusili Rohana: Kartini memang (nyaris) tak punya kehidupan pribadi, dan tenggelam dalam urusan-urusan pasiennya. Keberanian dan keterusterangan sang sutradara untuk menyelami sisi gelap sekaligus karakter perempuan yang kuat  dan, di saat yang sama, para karakter pria yang lemah, (seperti Hadi atau Acin) adalah bagian dari fenomena dobrakan baru di perfilman Indonesia pasca-Suharto. Sebelumnya, perempuan kebanyakan direpresentasikan sebagai sosok yang diam, pasif, tak berdaya, dan negatif. Krishna Sen, akademisi film, menyatakan bahwa film-film  Orde Baru umumnya adalah tentang “melihat perempuan”, dan bukannya “perempuan yang melihat atau berbicara”  (Sen 1994: 134). Karakter perempuan dalam film sangat kecil dan tak penting. Di beberapa genre seperti film sejarah, silat, komedi, atau gangster, semuanya tentang pria dan perempuan hanyalah sebagai obyek penyerta atau penderita— yang memuaskan pria dalam arti yang luas. Di layar, para perempuan terlihat dalam latar domestik (ibu rumah tangga), sangat tergantung pada pria, dan didefinisikan pria. Sita Aripurnami, mengutip feminis Myra Diarsi, menyatakan bahwa “karakter perempuan yang diterima adalah sosok yang sudah menikah dan tinggal di dalam lindungan pria, sedangkan wanita mandiri dikutuk dan dipresentasikan sebagai contoh kegagalan hidup”  (Jufri (eds.) 1992: 33). Aripurnami menyatakan bahwa pernikahan adalah institusi yang bertujuan untuk pria mengontrol wanita, dan wanita bersedia dikontrol pria (Jufri (eds.) 1992: 34).

MEREKA MEREKAYANG YANGMENOLAK MENOLAKUNTUK UNTUKMENJADI MENJADIKORBAN: KORBAN

Dan, bicara stereotipe, wanita di masa Orde Baru menderita satu problem dan hanya satu problem saja: cinta.  (Jufri (eds.) 1992: 42). Hal lain, karakter wanita di sinema masa itu juga acap digebyah uyah sebagai simbol seks, jahat, dan wanita penggoda— seperti yang terlihat pada sebagian film horor. Di lain pihak karakter laki-laki protagonis haruslah kuat dan mengayomi, tak boleh tampak tak berdaya. Tentu saja ada film-film Orde Baru anomali seperti Tjoet Nja’ Dhien  (Eros Djarot, 1986),  Ibunda  (Teguh Karya, 1986), Ayahku (Agus Ellyas, 1989),  Pacar Ketinggalan Kereta (Teguh Karya, 1988),  Suci Sang Prima Dona (Arifin C. Noer, 1977) dan Doea Tanda Mata (Teguh Karya, 1984) (Oey-Gardiner & Bianpoen 2000, 56). Karakter wanita lemah yang harus mengikuti kodratnya sebagai istri dan ibu yang baik—atau ia akan bermasalah—tentu sesuai dengan tujuan dan misi ideologi “State Ibuism” yang dicanangkan Pemerintah Orde Baru, di antaranya lewat PKK dan Dharma Wanita. State Ibuism ini bertujuan untuk domestikasi perempuan, atau dalam istilah Maria Mies sebagai housewifisation: proses  ketika perempuan secara sosial didefinisikan sebagai ibu rumah tangga, bergantung pada pemasukan suami yang berperan sebagai kepala rumah tangga. Julia Suryakusuma menyebutnya sebagai State Ibuisme: domestikasi perempuan untuk “menerima peran kodrati mereka sebagai istri dan ibu, dan bertanggung jawab penuh pada perkembangan sosial anak-anak mereka, sehingga tak ada pengakuan wanita sebagai individual  (OeyGardiner & Bianpoen 2000: 17). Kebijakan politik Orde Baru di bidang gender ini diperkuat  dengan  sistem politik patriarkal bernama Bapakisme, ketika sosok “Bapak” adalah pusat dan kodrat perempuan adalah hanya berkutat di bidang reproduksi, “ikut suami”, dan “ratu rumah tangga”. Hal ini dijabarkan, antara lain, dengan ideologi “azas kekeluargaan” dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga

427

428

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

(PKK).   Akibatnya, wanita terpojok, tak berdaya, dan selalu menjadi subordinat pria. Saat Reformasi, semua hal itu didobrak. Kita bisa melihat sosok protagonist pria yang lemah dan bahkan negatif, sebagaimana dipaparkan Clark Marshall, di film seperti Kuldesak  (Rizal Mantovani, Riri Riza, Mira Lesmana, Nan Achnas, 1998), Pasir Berbisik (Nan Achnas, 2000), Daun di Atas Bantal (Garin Nugroho, 1997), Telegram (Slamet Djarot, 1997) dan  Beth  (Aria Kusuma Dewa, 2001) (Marshall 2004, 124). Misalnya, ada karakter yang melakukan pelecehan seksual dan suami tak bertanggung jawab (Pasir Berbisik), KDRT (Ada Apa dengan Cinta, Rudi Soedjarwo, 2001), dan rasa tak punya tujuan dan terasing  (Jelangkung,  Rizal Mantovani & Jose Purnowo, 2001) (Marshall 2004: 124). Saya telah membahas fenomena ini dengan membedah Eliana-Eliana dan Rindu Kami Padamu di tesis saya, yang diterbitkan dengan judul “The Backdoors of Jakarta: Representation of Jakarta and its Social Issues in Post-Reform Indonesian Cinema”. Bagaimana dengan film ini? Film 777 ini dengan berani menaruh karakter-karakternya di sebuah titik kodrati mereka: mereka hamil, mereka menjalankan fungsi istri dan calon ibu, mereka berada dalam zona reproduksi dan dalam naungan perkawinan (kecuali Rara dan Yuli). Tapi, di saat yang bersamaan, para karakternya mendobrak State Ibuism dan Bapakisme. Lihatlah bagaimana Ratna  yang menjadi tulang punggung keluarga dan mandiri, walau pun disakiti—dan tengoklah Marwan sang suami yang lemah dan bersifat benalu dan egois yang berlindung atas nama ajaran agama yang mengagungkan suami (Tapi, suami yang seperti apa?) lengkap dengan atribut relijiusitasnya. Simaklah Yuli sang PSK yang berjuang membanting-tulang mencari nafkah, dan pria terdekatnya “hanyalah” asisten dan supir ojeknya saja. Di masa Orde Baru, kita akan kesulitan

MEREKA MEREKAYANG YANGMENOLAK MENOLAKUNTUK UNTUKMENJADI MENJADIKORBAN: KORBAN

mendapati karakter pelacur sebagai tokoh utama, kecuali ada isu lain di belakangnya (urbanisasi, transmigrasi, perbaikan moral). Di film berdurasi 94 menit ini, dengan tegas, Yuli menuding priapria di sekelilingnya yang membuatnya bekerja di jalanan. “Tubuh gue ini kutukan, semua bos gue ingin tidur dengan gue”. Lihatlah Rara, anak SMP yang dengan tegar duduk di ruang tunggu sendirian, tanpa ditemani Acin, cowoknya yang ababil galau kelas berat—yang ia komentari: “Makanya, kalau lagi horny, manual aja!”.  Dan lihatlah Lastri. Ketika banyak film menggambarkan cewek gendut sebagai pelengkap penderita dan mendapat peran naas dan konyol, di film ini, Lastri mendapatkan salah satu peran pentingnya. Ia dimanusiakan, tak melihat gender, tak memandang bentuk fisik, tak menjadi bahan tertawaan. Dan, di atas itu semua, lihatlah Kartini, yang tegar (walau mungkin terlalu idealis) dan mendengarkan mereka, dan tak segan menolong mereka. Kartini ini juga tidak menghakimi atau bahkan mengusir pasien (atau dokter lain) yang membuatnya tak nyaman dan berbeda dengan pandangan-dunia-nya yang intelektual. Lebih dari itu, ia adalah wanita modern sukses yang mandiri dan tidak di bawah naungan perkawinan, dan tentu menerima pengakuan individual—sebuah hal yang langka  terjadi pada sinema Orde Baru. Pendeknya: semua karakter wanita utama di atas mempunyai suara dan pernyataan. Mereka ingin didengar, dan mereka menolak untuk menjadi korban. Tentu saja, film yang menjadi pembuka Indonesian Film Festival di Melbourne 2010 itu  tidak sekadar mengidealisasikan hebatnya perempuan dan bajingannya pria. Film ini, setidaknya, berupaya untuk seimbang, androgini, memandang pria dan wanita sebagai sosok mitra yang (seharusnya) sebanding dan bahu membahu. Kita juga melihat sosok Anton yang baik, dan sosok Ningsih yang egois dan hanya mau bayi lelaki. Atau Lili yang, masih saja atas nama cinta, melindungi suaminya yang sado-

429

430

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

machochis dan sakit jiwa. Tengok saja dialog ini: “Apa iya, lakilaki yang dipersalahkan. Tidak semua perempuan adalah korban”. Atau narasi Kartini yang mengingatkan untuk “…bisa menilai tanpa menghakimi satu gender”. Mengenai akting, semua bermain apik dan natural, khususnya Jajang, Intan, dan Happy.  Percampuran antara aktor yang sudah mumpuni dengan pendatang baru mampu melahirkan ensembel akting yang bagus dan tak berlebihan. Happy pun diganjar Piala Citra. Sementara itu, di Indonesia Movie Award 2011, film ini meraih dua piala  untuk kategori Pendatang Baru Pria Terbaik (Rangga Djoned )dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Happy Salma). Dari sisi skenario, juga lancar.  Konflik berjalan baik dan karakter-karakternya pun berkembang. Hubungan antar karakternya pun tak terkesan dipaksakan.

Sebelumnya dimuat di katalog DVD 7 Hati 7 Cinta 7 Perempuan yang dirilis Jive Collection

Bibliografi Clark, Marshall. “Men, Masculinities and Symbolic Violence in Recent Indonesian Cinema” pada Journal of Southeast Asian Studies, 35 (1), pp 113-131 February 2004. Singapore: The National University of Singapore, 2004. Jufri, Moch et al (ed). Indonesian Film Panorama. Jakarta: Permanent Committee of the Indonesian Film Festival, 1992. Oey-Gardiner, Mayling and Carla Bianpoen (eds). Indonesian Women, The Journey Continues. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies Publishing The Australian National University: 2000. Sen, Krishna. Indonesian Cinema, Framing the New Order. London & New Jersey: Zed Books Ltd, 1994. Suryakusuma, Julia. Sex, Power, and Nation (an anthology of writings, 1979-2003). Jakarta: Metafor Publishing, 2004.

Asmayani Kusrini

Shame

Seks, New York, dan Keluarga yang Asing “Access to sexual content is everywhere an that access has an influence on us every day, whether we’re aware of it or not. Sex is being sold to you with your soda, even with your breakfast cereal.” — Steve McQueen

S

iapa bisa menyangkal, bahwa seks jadi jualan yang makin lama makin murah dan makin mudah didapatkan. Untuk menguatkan pernyataan itu, dimenitmenit pertama film Shame, tak segan-segan, Steve McQueen menyorot tubuh telanjang yang berjalan mondar-mandir seperti tak sadar akan kehadiran kamera. Tepat seperti yang dikatakan McQueen dalam sebuah wawancara, akses terhadap seksual konten toh bisa dilihat dan didapatkan dengan sangat mudah, dan kadang gratis. Ironisnya, ditengah melimpah ruahnya seksual konten itu, masyarakat masih saja mengerutkan kening dan terkejut ketika menghadapi kenyataan bahwa banyak diantara mereka beraktivitas seks abnormal. Dan bagaimanakah seks yang normal itu? Siapa yang bisa dan berhak menentukan standar seks yang baik dan normal? Atau mungkin lebih gampang, bagaimanakah seks yang baik yang

432

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

sesuai dengan standar moral yang ditetapkan masyarakat? Begitu kotornyakah seks sehingga orang yang memiliki kebutuhan seks diatas rata-rata harus malu dengan kebutuhan dasarnya itu? Seandainya kita sepakat bahwa seks adalah soal personal, maka setiap orang (seharusnya) punya standarnya sendiri tentang seks yang normal itu. Begitu pula dengan Brandon Sullivan (Michael Fassbinder). Ia galau dengan kebutuhan seks yang terus mendesak. McQueen tepat sekali memilih Fassbinder yang sebelumnya sudah pernah bekerja sama dengan McQueen dalam film Hunger. Fassbinder berhasil menampilkan kegalauan Brandon hanya dari bahasa tubuh, gerak-gerik dan tingkah lakunya. Terlihat jelas, dia tersiksa dengan kebutuhannya sendiri. Dan mengapakah Brandon harus terlihat merana ketika sadar akan tingkah lakunya itu? Padahal, dia bujangan, dia punya penghasilan dan mampu membayar untuk memenuhi kebutuhan seksnya. Dan yang paling penting, dia tidak menyakiti siapa-siapa secara emosional dengan segala aktivitasnya itu. Seandainya, hal-hal menyangkut seks bisa sesederhana itu. Sayangnya tidak. Dalam standar masyarakat beradab, seks tidak (akan) pernah bisa lepas dari label ‘tabu’. Singkatnya, adalah dosa bagi seorang pria berhubungan seks dengan pelacur, atau pria yang sudah menikah pegi ke klub penari telanjang. Ini juga berlaku bahkan ditengah masyarakat yang menghalalkan perdagangan seks bebas. Dan inilah yang membuat Brandon malu ketika ketahuan (oleh teman dan adiknya) bahwa komputernya penuh dengan gambar-gambar porno. Saya rasa, tidak hanya Brandon, semua orang juga akan malu jika ketahun menyimpan ribuan gambar dan film porno. Rasa malu yang dialami Brandon, diakui atau tidak, adalah rasa malu kolektif ketika menyangkut soal seks. Tapi mengapakah Brandon punya kebutuhan konstan untuk terus berhubungan seks baik dengan pelacur, wanita-wanita yang nyaris

SEKS, NEW YORK, DAN KELUARGA YANG ASING

tidak dikenal bahkan dengan dirinya sendiri? Sejumlah penelitian juga mengungkapkan, Brandon bukan satu-satunya. Walaupun kita kembali lagi pada hakikatnya hasrat seksual adalah soal ‘interior’, soal seks dalam Shame karya film panjang kedua Steve McQueen ini tidak hanya mengungkap konflik interior Brandon yang berperang dengan dirinya sendiri. Shame adalah juga sebuah hipotesis bahwa seksualitas adalah sesuatu yang dibentuk oleh pengaruh budaya, sosialisasi, dan situasi. Seperti yang tercantum dalam buku Social psychology and human sexuality: essential readings oleh Roy F Baumeister menuliskan bahwa apa yang orang lakukan secara seksual, dan bahkan apa yang mereka hasratkan sangat tergantung juga pada konteks sosial. Kedatangan adik perempuan Brandon, Sissy (Carey Mulligan) menjadi petunjuk bagaimana posisi Brandon dalam konteks ini. Menggelandang tidak punya tempat tujuan, Sissy mendatangi apartemen Brandon, dan memutuskan untuk tinggal sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Atas nama ‘keluarga’, Sissy menerobos masuk, tanpa sadar bahwa hubungan keluarga adalah kata yang asing di kota semegah New York. Ketika Sissy berkali-kali mengingatkan bahwa Brandon adalah kakaknya dan sebagai keluarga mereka harus saling menjaga dan menolong, Brandon melolong. Kata ‘keluarga’ seperti bumerang bagi hubungan mereka berdua. Hal ini juga menunjukkan bahwa mereka berdua kering emosi, kering rasa kasih antar sesama keluarga yang layaknya ada antara kakak-beradik. Setelah kedatangan Sissy, segala kebiasaan personal yang rutin dilakukan Brandon pun terpaksa terinterupsi. Ruang personal dan segala aktivitas didalamnya terpaksa harus pindah ke ruang yang lebih luas, New York. Tapi New York tidak terkenal sebagai kota yang menjanjikan kedamaian. Shame berlokasi di New York, Amerika. Kota yang dikenal sebagai kota dunia, segala

433

434

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

yang pusat dan segala yang global. Kota yang berdenyut bersinambung siang malam. Orang-orang yang tinggal di New York seakan selalu dicambuk untuk mengikuti ritme dan energi kota yang tak pernah terlihat lelah ini. New York adalah kota yang harus ditundukkan. Seperti lirik lagi yang dinyanyikan Sissy—If I can make it there, I’ll make it anywhere, I’ts up to you, New York— yang membuat Brandon terpaksa menitikkan air mata. New york adalah salah satu kota dimana mendapatkan sedikit perhatian dari seorang pelacur kadang jauh lebih murah daripada membayar jasa terapis untuk mendengarkan keluhan psikologis—belum termasuk rasa malu yang harus ditanggung sebagai pecandu seks. Dengan kondisinya itu, maka kegalauan Brandon makin bertambah ketika dia harus terperangkap di dunia malam kota New York yang serba menggoda itu. Setelah kelelahan menkonsumsi apa yang disediakan New York, Brandon sadar, ia tersesat. Ia tidak tahu bagaimana mengatasi masalah. Maka, kota New York pun menjadi signifikan dalam Shame. New York memang mudah menyesatkan terutama bagi mereka yang tidak tahu tujuan pasti. Kedatangan Sissy juga mengungkapkan sedikit demi sedikit karakter Brandon. Dari percakapan serba sedikit antara mereka, kita tahu ada sesuatu yang terjadi di masa lalu mereka, rahasia keluarga yang mungkin terlalu menyakitkan untuk dibicarakan. Mereka hidup di waktu yang sekarang, tapi terus dibebani kehidupan mereka di waktu lalu. Dengan segala persepsi kita tentang seks dan tabu yang dijalani Brandon, dengan semua kesembronoan Sissy, kita diajak berempati terhadap kedua karakter yang ‘rusak’ secara psikologis itu hanya dengan beberapa kalimat. Walaupun dengan dialog yang serba minim, Shame sangat mengandalkan kepiawaian akting Michael Fassbinder dan Carry Mulligan. Raut wajah mereka seakan sudah bercerita sangat banyak sehingga McQueen tak perlu bersusah payah membedah

SEKS, NEW YORK, DAN KELUARGA YANG ASING

masa lalu Brandon dan Sissy. Shame jelas bukan film seks. Dalam Shame, McQueen mengamati rasa kesepian yang akut di tengah kecenderungan individualistis manusia-manusia modern. Hal yang tidak hanya dirasakan oleh Brandon tapi juga banyak manusia-manusia kontemporer lainnya. Pada akhirnya, setiap orang butuh tempat pelarian dari beban hidup. Apapun itu, seks hanya salah satu pilihan.

435

Eric Sasono

Kebun Binatang (Postcards from The Zoo)

Identitas Tanpa Wilayah

S

ejak usia 3 tahun Lana ditinggal oleh ayahnya di kebun binatang Ragunan. Ia hidup di sana bersama binatang dan manusia-manusia yang relatif tak punya kehidupan sosial. Seluruh hidupnya dihabiskan di kebun binatang sehingga ia tak punya kenangan kolektif. Lana adalah wakil sempurna dari ketercerabutan manusia dari kenangan kolektif, salah satu landasan terpenting bagi pembentukan badan politik bernama negara bangsa. Apalagi ia bergaul dengan sejenisnya: binatang dan manusia yang tercerabut dari lingkungan asal mereka. Lana adalah contoh sempurna ketercerabutan manusia. Lana (Ladya Cheryl) adalah tokoh dalam film terbaru Edwin, Kebun Binatang, yang lebih populer dengan judul bahasa Inggrisnya, Postcards from the Zoo. Film ini bisa jadi merupakan salah satu film terpenting di Indonesia tahun 2012, bukan hanya lantaran berhasil diputar di seksi kompetisi festival film bergengsi Berlinale, tetapi juga karena tema yang dibawanya. Film ini

IDENTITAS TANPA WILAYAH

merupakan film pertama yang bicara dengan tegas mengenai pemisahan antara identitas manusia Indonesia dari kenangan kolektif yang membentuknya. Padahal kita tahu kenangan kolektif adalah basis pembentuk nasionalisme. Dalam berbagai studi dan diskusi mengenai nasionalisme, kenangan kolektif selalu memainkan peran penting, karena dari gagasan inilah dibangun monumen, kepahlawanan dan segala macam milik bersama (commonalities) sebuah bangsa. Kenangan kolektif ini juga punya pasangan yang berjalan beriring yaitu amnesia kolektif: pengingkaran, penyingkiran dan pelupaan berbagai kenangan yang dianggap tidak cocok bagi kehidupan kebangsaan. Maka kenangan kolektif bukan tanpa dosa (innocent) melainkan selalu dipenuhi oleh pergulatan pengetahuan, yang jika berjalan dengan kekuasaan (dan selalu beriring dengan kekuasaan) berarti penyingkiran yang penuh darah dan kekerasan. Dunia sinema Indonesia (selain museum dan buku sejarah) pada masa lalu menjadi salah satu wahana penting bagi pergulatan itu (McGregor, 2007). Sinema dijadikan salah satu alat untuk mewariskan “nilai-nilai 45” yang sebenarnya merupakan sebuah upaya militerisasi nasionalisme Indonesia. Dalam pandangan ini, perayaan nasionalisme seakan baru absah apabila dikaitkan dengan perjuangan bersenjata tahun 1945-1950,  dengan embelembel pelaku utama kolonel Soeharto. Kemudian ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi, gagasan itu diperluas dengan pembangkitan musuh bersama berupa komunisme dalam sebuah gambaran yang dimaksudkan sebagai “banality of evil” alias kejahatan kemanusiaan yang paling dangkal, lagi-lagi dengan tokoh utama Soeharto. Eksploitasi sinema sedemikian rupa seharusnya membuat sinema berada pada titik jenuh dalam merayakan kenangan kolektif yang bertujuan untuk memobilisasi identitas nasional semacam ini. Maka dalam kerangka seperti ini, film seperti

437

438

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

trilogi  Merah Putih  bagi saya adalah film yang salah waktu. Gagasan bahwa nasionalisme jadi bersuara amat lantang ketika berendeng dengan militerisme adalah sebuah gagasan negara semi militeristik Orde Baru, atau model patriotisme dangkal Amerika. Nasionalisme seharusnya juga bisa dirumuskan ulang, seperti misalnya sebagai buah dari pembentukan masyarakat sipil dalam pembentukan organisasi kebangsaan (lihat film Para Perintis Kemerdekaan, 1983, karya Asrul Sani), atau kronika kehidupan sehari-hari manusia Indonesia di seputar ketakwaan beragama (lihat Soegija, 2012, karya Garin Nugroho). Atau bahkan seperti yang digambarkan lebih jauh oleh Edwin: bebaskan identitas kita dari kenangan kolektif pembentuk nasionalisme. Dengan identitas tanpa kaitan dengan kenangan kolektif seperti ini, Edwin sedang bermain dengan deteritorialisasi atau pembebasan wilayah dari identitas. Deteritorialisasi pada film Kebun Binatang tidak hanya terjadi pada metode produksi (nyaris seluruh dana filmnya berasal dari lembaga asing) dan distribusi (film ini tidak didistribusikan di Indonesia) tetapi juga —dan justru—pada narasinya. Berbeda dengan Garin Nugroho yang memotret Indonesia secara eksotis sebagai negeri transisional abadi, Edwin memperlihatkan bahwa teritori tidak lagi menjadi landasan penting pembentukan kenangan individu. Maka kenangan kolektif juga menjadi tidak relevan, dan nasionalisme menjadi usang serta perlu digantikan. Gagasan ini tidak sama sekali baru terjadi pada  Kebun Binatang. Setidaknya sutradara seperti Joko Anwar sudah membuat film-film (Janji Joni, Kala dan Pintu Terlarang) dengan lokasi yang pada dasarnya tidak perlu repot-repot diacu kepada lokasi tertentu di dunia nyata. Bahkan pada film terakhirnya, Modus Anomali, lokasi peristiwa sama sekali tak punya jejak dalam dunia nyata kecuali bahwa lokasi itu adalah semata-mata lokasi bagi narasi genre film yang dipilihnya. Genre, dalam kasus Joko Anwar, sudah menggantikan identifikasi teritori. Jika diteruskan,

IDENTITAS TANPA WILAYAH

maka isu dalam film Joko Anwar bukan lagi isu terkait teritori tertentu (seperti yang terwujud dalam relevansi sosial sebuah karya) melainkan isu berupa bentuk dan gaya tertentu. Jika ingin berspekulasi lebih jauh lagi, eksplorasi isu seputar bentuk dan gaya ini telah memunculkan sebuah prioritas baru sutradara Indoensia yaitu kesadaran akan kamera yang merekam telah menggantikan relevansi sosial, tapi ini soal lain yang menarik untuk dibahas terpisah. Kembali kepada soal deteritorialisasi, Joko Anwar telah memperlihatkan bahwa gaya dan bentuk adalah sebuah modus pencarian identitas (lihat bagaimana—menurut saya—ia gagal dalam  Modus Anomali). Edwin tampak tak terlalu terbebani dengan kebutuhan mengisi ulang wilayah kosong itu (reteritorialisasi). Ia sekadar ingin dan merasa perlu memperlihatkan bahwa interaksi sosial manusia dengan identitas seperti Lana pada dasarnya adalah semacam interaksi primal dimana interaksi dibangun lewat sentuhan dan kedekatan fisik, sekalipun hal itu tak berjalan simetris. Maka bagi seorang yang mengalami sebuah dunia yang telah terantarai oleh medium dan nyaris seluruh kekaryaannya lebih mendapat apresiasi di dunia internasional, Edwin terasa amat romantis dalam memandang kemanusiaan dalam Kebun Binatang ini. Terakhir, jika memang deteritorialisasi ini terjadi dan manusia Indonesia dicabut dari landasan pembentuk nasionalismenya, dengan apa wilayah kosong itu harus diisi? Sampai sejauh ini saya merasa jika reteritorialisasi harus dilakukan dengan bentuk dan gaya, hal itu masih terasa terlalu mewah. Mediatized world atau dunia yang hadir dalam bentuk presentasi media (bukan pengalaman fisik langsung) memang sudah merupakan tantangan besar dan kesadaran bentuk dan gaya adalah sebuah upaya menghadapi tantangan itu secara langsung. Jika harus mengambil hal itu sebagai salah satu agenda, maka saya akan mengusulkan untuk meletakkannya dalam

439

440

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

konteks kewarganegaraan alias keanggotaan masing-masing individu sebagai bagian dari warga negara dengan hak dan kewajiban sipil mereka. Kesadaran media adalah salah satu bentuknya, tetapi tidak sepenuhnya. Kita masih berhadapan dengan diskriminasi kewarganegaraan berdasarkan agama dan problem sektarianisme. Kewarganegaraan kita masih berurusan dengan hak dasar warga negara semisal pengusiran paksa dan pelarangan beribadah. Dalam situasi seperti ini, rasanya nasionalisme memang sudah harus digantikan sebagai aras perjuangan karena loyalitas kebangsaan tidak mampu dioperasionalisasi untuk melakukan perlindungan hukum. Maka sudah waktunya politik kewarganegaraan mengisi teritori ini dalam narasi dan kekisahan fiksi di Indonesia.

Hassan Abdul Muthalib

Mata Rabun, Tapi Hati Celik (Clouded Eyes, Clear Heart): An Apreciation of Yasmin Ahmad’s Rabun

INTRODUCTION “Entertainment and enlightenment are ideally (if often deviously) interconnected.”  — Jonathan Rosenbaum1

W

ith the emergence of the novel in the 16th century, storytelling took a new turn. Those unhappy with the world began to express themselves with the written word. Gulliver’s Travels by Jonathan Swift was in reality, a veiled attack on certain people at the time who felt that they were above others intellectually. Putera Gunung Tahan by 1

Movies as Politics, p. 77

442

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Pak Sako, made fun of the British colonialists via a fantasy tale. Nevertheless, both these stories have been entertaining, and for discerning readers—enlightening. As Rosenbaum has remarked, entertainment and enlightenment can actually be bedfellows. That is what art needs to be if it is intended to reach the masses. Cinema has been around for a little over a hundred years. Though quite a number of Hollywood’s prodigious output is mindless entertainment, a few gems, nevertheless, have emerged. Among the Oscar award winners are films whose stories were adapted from novels that were strong on character and landscape. What have we learned about these two elements through the art of cinema over the hundred odd years of filmmaking? Closer to home, have Malaysian films and filmmakers moved forward in the art of storytelling? Does Yasmin Ahmad’s  Rabun  fulfill Rosenbaum’s criteria? Is Yasmin also enlightening us about relevant issues affecting us in our country while giving us an entertaining film? If so, in what ways has she gone about it?

YASMIN AHMAD’S RABUN Self knowledge is the key—life plus deep reflection on our reactions to life. 2 

I do not for a moment believe that Rabun is only a story about Yasmin’s parents as she has always contended. Take Zhang Yimou’s  Hero. His explanation of the use of colours in his film Hero (2002), was in reality, a red herring that camouflaged his real intentions in the story. 3 2 3

Robert McKee: Story, p.15 I contend that the myriad colours of Hero have no real meaning. The real meaning lies in the calligraphy scroll that enlightens the Emperor about the waging of war. I

MATA RABUN, TAPI HATI CELIK (CLOUDED EYES, CLEAR HEART): AN APRECIATION OF YASMIN AHMAD’S RABUN

I consider Yasmin’s statement also a red herring—one that disguises her real subject (but I would not call her devious, however. All filmmakers use subtext by disguising it as text). Like P. Ramlee, Yasmin is critical about her race. Like P. Ramlee, she is showing them for what they really are. And like P. Ramlee, she is lemah dan lembut in her criticism. This approach is what makes Rabun interesting. And the character of her parents, as observed by Yasmin, is indeed interesting. Their world view is exemplary. They have discovered the secret to living a life that is profound. For them, life is too short to be little. Therefore, their reactions to what happens to them is what determines their character. True character can only be expressed through choice in dilemma. How the person chooses to act under pressure is who he is—the greater the pressure, the truer and deeper the choice to character.4

Yasmin’s story, based on her parents, enlightens us about how, in the words of Aristotle, a human being should lead his life. Mak Inom and Pak Atan have already made their choice of how to live their lives and they go on to live it as simply as possible. The lotus is a Buddhist symbol of purity—to be in the world but not of the world. One has to maintain calmness amidst chaos and turbulence. This perfectly epitomizes the character and attitude of Mak Inom and Pak Atan. Their daughter, Orkid and her boyfriend, Yasin will carry the baton (as the markers in the film show). At the end of the film, all the characters gather to play, forgetting their trials and tribulations. With this scene, Yasmin is

4

see Hero as an anti-war film, commenting on the current state of affairs in the World – that the culprit is never the leader but the faceless men who surround and advise the leader. As quoted in Robert McKee’s Story, p. 11

443

444

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

in effect saying that this world will become a better place to live in if we react positively towards the things that happen to us. Life is, indeed, too short to be little. Yasmin’s characters are very ‘P. Ramlee’—easy to identify and understand. It is perhaps this element that makes P. Ramlee’s films a hit with everybody. Like his films, Rabun is deceptively simple but in reality, very complex. Yasmin uses binary opposites5 throughout but very subtly. Consider this: Yasmin shows Yem and his stepmother who are about to perform the dawn prayer, visually establishing them as (good) Muslims. Strangely, we never see Mak Inom or Pak Atan ever doing the same. Yasmin’s contention, therefore, is: being religious does not necessarily mean that one is spiritual, but being spiritual (living an exemplary life), makes one religious.6 Isn’t that what religion desires us to be? Such people will be those on the right path and will be of those who are being rightly-guided. Was there spiritual help, then, for Mak Inom when she flung her stick and managed to hit her target (Yem), even with her eyes closed?7  In Yasmin’s eyes, Mak Inom and Pak Atan are like Forrest Gump. Yasmin is saying that good-nature and childlike innocence will enable us to survive and prevail in a cruel world. Yasmin begins her film with the voices of children playing—and ends with visuals of adults playing. Film hermeneutics guides us as to Yasmin’s intentions: if only the grown-ups’ hearts could be like children, wouldn’t they be among those who will ‘enter the Kingdom of God?’8  (such cinematic representations run throughout P. Ramlees’s early films). I may not share Yasmin’s 5 6

7 8

Claude Levi-Strauss There are no scenes of either Pak Atan or Mak Inom performing the obligatory prayers but there is one of Yem and his mother in prayer attire. Yasmin is subtle in her questioning of the real intentions of those who perform the prayers but do not live their lives accordingly. At the beginning of the film, Mak Inom helps her daughter to win at a game. Even with her eyes closed, she was able to hit the target. The words of Jesus Christ in the Bible.

MATA RABUN, TAPI HATI CELIK (CLOUDED EYES, CLEAR HEART): AN APRECIATION OF YASMIN AHMAD’S RABUN

total optimism but I give her the right to dream of a world where good people live—inspiring us in the process (as Akira Kurosawa did in the final episode of Dreams9). Likewise, Yasmin has created a world that corresponds to her desires—or, rather—one that she hopes for.

RABUN’S TREATMENT If you want to know what a filmmaker is saying, look at how he is saying it.10 

Yasmin employs a formalist approach. As such, one needs to pay careful attention to the patterns that Yasmin creates—what the characters do and say (including what they do not do and say); their reactions; their mannerisms; the production design; the cinematography; the editing; the use of sound and music and miseen-scene. Only then may one appreciate the film’s gestalt. Her story is multilayered, details start to accumulate and form patterns— and in those patterns you can discern meaning. To find the story, observe the characters, their portrayal and the landscape that they inhabit. The story is found not just in the narrative but also in the use of technique and style. Rabun is a radical break from the typical Malay drama or film. Yasmin has declared it to be an experiment in producing a Malay drama. Voice-overs actually allow audience involvement and are more effective than the usual approach of diegetic sound as found in local television dramas. Distanciation provokes objectivity—and in turn,

a contemplation of the subject.11 This method is a mark of Yasmin’s 9

Kurosawa imagined a world as it was in the old days – peaceful, with clean water and greenery, where old men were wise and life was easy. 10 Ingmar Bergman 11 Bertholt Brecht

445

446

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

approach to storytelling in Rabun. The film begins with a very long take of a tin which contain rubber bands. Over it, we hear the voices of children playing ‘hit the tin.’ We never see the children at all. This non-diegetic technique allows the audience to be involved in the storytelling and in visualising the characters and what they look like through the quality and tone of their voices. The same style occurs later with other scenes where we only hear the voices of the characters over shots taken from a distance. At the end where the adults of different races are seen playing together, their voices gradually fade away to be replaced by music (indicating that they are, after all, of the one Reality that unites them).

CONCLUSION Christian Metz didn’t have it quite right when he said, ‘Cinema and narrativity is a great fact…but it was never predestined.’12 I find more acceptable U-Wei’s contention that ‘cinema is spiritual.’ I would go on to support this by drawing attention to the description of Adam’s creation in the Qur’an. When Adam was created, his first act was to sneeze and he exclaimed, Alhamdulillah (Praise be to God). Christians would exclaim: (God) bless you, when someone sneezed. The Creator is invoked in both religions. The first shot ever taken in the world was, coincidentally, that of a man sneezing. Film is without doubt, one of the most momentous developments in the history of Man. If for everything there is a reason,13 I contend that cinema is a grace from God—for us to learn from the foibles of man as personified in the film’s characters and their trials and tribulations— 12 Andre Bazin 13 In true P. Ramlee fashion, Yasmin makes this scene funny while having a serious undertone.

MATA RABUN, TAPI HATI CELIK (CLOUDED EYES, CLEAR HEART): AN APRECIATION OF YASMIN AHMAD’S RABUN

characters that man’s art has ‘created,’ with the ultimate objective of giving us a better understanding of our world. Andre Bazin has said that the cinema screen is akin to a window through which we see the lives of others and in turn, we see our own lives reflected in them. Verily, God continues his creation through Man—and helping us to see ourselves through the art that we create. “The mind is like a bright mirror standing. Take care to wipe it all the time, And allow no dust to cling.” – Shen-hsiu (Buddhist monk)14

A mind that is constantly ‘being wiped clean’ is one that can achieve depths of understanding—to go beyond what is shown. Yasmin has early on grasped this. There are many scenes in Rabun that cause us to contemplate the lot of man. This is poignantly depicted in the scene where Mak Inom is applying liniment to the body of Pak Atan who has fallen down in the midnight chase of Yem (this scene is contrasted with an earlier scene of Yem and his step-mother. She calls out to him but gets hit by Yem in anger). As Mak Inom applies liniment, Pak Atan plaintively sings a P. Ramlee song, Tanjong Katong. Overcome, Mak Inom puts her head on his chest and cries silently, her grief articulated through the song’s lyrics: sama sekampung, hai lagi dirindu…. Yem, Nor, Inom and Atan are all of the same kampong (and are related). Why then is there so much discontent and disharmony? Aren’t we all of Adam—whether we be Malay, Chinese, Indian or Thai? Shouldn’t living in peace and harmony be our ultimate aim? In another scene, Pak Atan mistakenly speaks to Mrs. Yap, thinking that she was Mr. Yap. He can be forgiven for he is rabun (short-sighted) but can we forgive Yem, 14 Quoted in Alan Watts’s The Way of Zen, p. 91

447

448

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

who is not? Pak Atan finds Elvis (played by Ho Yuhang) more trustworthy than his own relative, Yem. Pak Atan kills a bloodsucking mosquito on his arm, exclaiming, Adios, amigo. But what can he do to a ‘human blood-sucker’ in the form of Yem? Yasmin had many more stories to tell but her themes would still be the same—love, family, compassion, non-discrimination, about the simple things in life and the acceptance of imperfectness in people. Yasmin’s humanity shone in her films as well as in her character. She has used cinema as a substitute to create a world that corresponds to her desires—a world in which there is no discord, enmity or discontent. As a Muslim, she has done her duty—that of calling others to do good. She has entertained us by having us participate in her storytelling. But have we been truly enlightened in the way she wishes us to be? Can we go on to make her dream world a reality?

This is an edited version of a paper that was presented at a film appreciation session at CENFAD on 19 February, 2004 organized by ASPECT: RATIO, Centre for Advanced Design (CENFAD), in collaboration with THE FILM FORUM OF KUALA LUMPUR. The paper also appeared in the JURNAL SKRIN MALAYSIA, published by UiTM in 2005. Republished here by permission of author.

Hikmat Darmawan

100 Film Terbaik, dan Kenapa Avatar atau Trilogi Lords of The Ring Tidak Kami Pilih

Pengantar

B

arangkali para redaksi Rumah Film memang tak gemar film fantasi. Tapi, jika demikian, mengapakah kami juga memasukkan  Big Fish  dan  Pan’s Labyrinth ke dalam daftar ini? Membuat daftar semacam ini memang akan selalu mengandung risiko itu: ketakpuasan, subjektivitas, keterbatasan, ketaklengkapan, keluputan. Tapi, kami menganggap daftar ini perlu kami susun, karena di sisi lain, daftar semacam ini adalah juga sebuah sudut pandang. Karena daftar ini mencakup sebuah dekade, tepatnya dekade pertama milenium ketiga (apa pun maknanya itu), maka daftar ini pun adalah sebuah sudut pandang dalam membaca sebuah era. Sejak pertama kali ide untuk menyusun daftar ini terbetik— agak terlambat, sebetulnya, yakni pertengahan Desember tahun lalu—kami pun menggali-gali kembali kenangan-kenangan akan berbagai pengalaman sinematik kami di era itu. Kami memeriksa

450

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

ulang kesan-kesan dan kenangan-kenangan itu, mencari lebih jauh dari sekadar kesan-kesan spontan, mendiskusikan, dan merenungi ulang banyak kenangan, kesan, dan pengetahuan itu. Kami juga, mau tak mau, mengaitkan semua pengalaman sinematik kami dengan pengalaman-pengalaman lain. Cerapan akan dunia sosial-politik-ekonomi, dan terutama dunia budaya, pada dekade itu jelas memengaruhi penilaian-penilaian kami. Dari dialog antara pengalaman sinematik dan pengalaman kultural tersebut, kami membaca dekade dunia sinema 2000-2009 memiliki ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan dari dekadedekade sebelumnya. Beberapa ciri menonjol itu adalah: menonjolnya pembuatan film secara digital, yang membuka pintu sangat lebar bagi demokratisasi seni dan industri film dunia; menguatnya pencandraan dan penggambaran sebuah dunia global dengan segala pelik dan perniknya; juga ada semacam kegandrungan atau obsesi terhadap “the real”, atau Sang Nyata; dan meluasnya pemahaman akan kompleksitas.

Digital Movie-making: demokratisasi film Indikasi paling kuat dari demokratisasi film adalah munculnya industri film Nigeria, biasa disebut Nollywood, sebagai industri dengan tingkat produksi film terbanyak kedua setelah India (biasa disebut Bollywood). Pada 2006, saat Nollywood mulai menarik perhatian dunia, ada 872 film diproduksi di Nigeria. Sementara di Amerika, produksi film pada tahun yang sama sejumlah 485. Hal ini dimungkinkan karena produksi film Nigeria sepenuhnya mengandalkan kamera digital yang murah (bukan yang high definition). Satu orang sutradara bisa membuat film sampai lebih dari 80 dalam setahun, dengan waktu pembuatan

100 FILM TERBAIK, DAN KENAPA AVATAR ATAU TRILOGI LORDS OF THE RING TIDAK KAMI PILIH

sebuah film bisa tiga hari saja. 99% film buatan mereka diputar di tempat-tempat informal seperti rumah-rumah yang diubah fungsi menjadi bioskop kecil. Hal ini dimungkinkan pula karena filmfilm digital bisa diputar dengan alat-alat digital yang murah. Moda produksi demikian tentu memengaruhi moda estetika film yang dibuat. Dan moda estetika film digital-murah juga tampak dengan kuat pada film-film Cina dari para pembuat film “angkatan keenam” (angkatan sesudah Zhang Yimou) dan filmfilm Asia Tenggara (Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina), yang seolah mendapat kebebasan tematik karena kemudahan yang diberikan oleh pembuatan film digital. Dengan bekal kamera digital yang tak mahal, Urupong Rhaksasad dari Thailand mampu membuat puisi visual tentang dunia tani yang sangat menggetarkan dalam Stories From the North (lebih sempurna lagi dalam Agrarian Utopia). Atau Brillante Mendoza dan Jim Libiran dari Filipina, mampu membawa masuk kamera ke celah-celah gang dan rumah kumuh di Manila dalam Slingshot, Lola, dan Tribu. Dengan kamera digital, dan moda pembuatan film yang semakin mudah dan murah, menguatlah diversifikasi dan pluralisme sudut pandang dalam film dunia. Dengan kamera digital pula, yang Pinggiran bisa menyatakan diri, menjadi Pusat baru, sehingga saat ini terdapat banyak Pusat dalam Film Dunia. Hal ini sangat dimungkinkan karena kamera digital lebih leluasa dibawa ke pojok-pojok dan berbagai pelosok dunia kontemporer yang sebelumnya tak tersentuh moda produksi film yang sangat mahal dan sulit. Dengan pencandraan dunia global yang lebih beragam ini, globalisasi jadi salah satu tema tersendiri dalam dunia sinema dekade lalu—termasuk di wilayah industri film “tradisional” seperti Hollywood.

451

452

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Penggambaran Dunia Global Dalam film, globalisasi bukanlah abstraksi teoritis. Film membuat simulasi, mengajak penonton “mengalami” secara virtual sebuah dunia global. Film In This World (Michael Winterbottom) adalah salah satu contoh penting bagaimana kamera bisa menghadirkan sebuah dunia global dengan hampir-langsung. Film ini menggambarkan perjalanan seorang pengungsi Afghanistan yang menyelundup ke Inggris, melintasi banyak negara dalam sebuah rangkaian jalur ilegal. Kamera merekam, dan menghadirkan pada kita, lokal-lokal yang selama ini tak terpandang dan tak terpikirkan dalam dunia sinema. Di sisi lain, Hollywood mengadaptasi pencandraan global ini dengan menjadikan dunia global sebagai sebuah “halaman belakang” atau ruang bermain baru yang memikat. Demikianlah trilogi  Bourne Identity  (khususnya pada  Bourne Ultimatum dan  Bourne Supremacy, yang disutradarai Paul Greengrass) melanglang ke pelosok-pelosok dunia dengan lenturnya. Aksi laga yang melanglang dunia dalam trilogi Bourne, juga dalam dua film terbaru serial James Bond (Casino Royale dan Quantum of Solstice) terasa lebih otentik dari serial James Bond versi lama yang menjadikan belahan bumi non-Barat sebagai sebuah panggung eksotik. Bahkan dalam film seperti  Babel  (Alejandro González Iñárritu),  Syriana  (Stephen Gaghan), dan  Mammoth  (Lukas Moodyson), konstruksi globalisasi itu menjadi subjek cerita. Manusia-manusia dari penjuru-penjuru dunia yang berjauhan bisa saling berdampak, adalah gagasan yang seksi, rupanya, untuk difilmkan. Namun, dalam cerita-cerita yang sangat mengangkat lokalitas pun, konstruksi globalisasi digambarkan bekerja. Misalnya, dalam In the Valley of Elah (Paul Hagis), sebuah kasus pembunuhan di kota kecil Amerika ternyata terkait langsung dengan kebijakan AS di Irak.

100 FILM TERBAIK, DAN KENAPA AVATAR ATAU TRILOGI LORDS OF THE RING TIDAK KAMI PILIH

Dalam  Slumdog Millionaire, acara televisi yang sudah diwaralabakan di berbagai negara, Who Wants to Be a Millionaire, menjadi wahana untuk menarasikan sejarah kontemporer India.  Slumdog Millionaire  juga menunjukkan sebuah gejala menarik bagaimana globalisasi juga hadir dalam moda produksi film. Film dengan subjek India dengan tokoh-tokoh sepenuhnya India itu dibuat oleh Danny Boyle, seorang pembuat film dari Inggris. Pembuat film sebuah negara (Barat) membuat film dengan subjek lokal negara lain: inilah borderless film-making (pembuatan film tanpa tapal batas). Itulah yang sempat dikatakan dalam kasus  Letters from Iwo Jima, ketika sutradara Amerika Clint Eastwood membuat film ini sepenuhnya sebagai sebuah sudut pandang terhadap peristiwa Perang Dunia kedua yang sangat penting bagi Amerika, dan sepenuhnya dalam bahasa Jepang! Lebih menarik lagi, seperti dicatat Krisnadi Yuliawan di Rumahfilm.org, banyak orang Jepang sendiri menganggap film itu “sangat Jepang”. Eastwood sendiri, di akhir 2009, membuat lagi sebuah film tentang Afrika Selatan, Invictus, yang juga menuai pujian karena dianggap berhasil menggambarkan konflik bangsa nun di benua Afrika itu.

Obsesi The Real (Sang Nyata) Seperti dalam sastra, aliran realisme banyak digugat dan dipermasalahkan dalam film. Demikianlah aliran-aliran seperti neo-realisme dan surealisme, lalu gerakan new wave di Prancis, juga realisme magis (jika disepakati bahwa aliran ini muncul pula dalam film, dan tak hanya dalam sastra). Pada dekade 2000-an awal ini, permasalahan ini mengalami sedikit mutasi—persoalan kini bukan terutama pada aliran dalam film (realisme atau

453

454

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

bukan), tapi pada hakikat kenyataan itu sendiri, pada Sang Nyata (The Real). Dengan terjadinya demokratisasi pembuatan film, tampak meluas pula gejala kegandrungan terhadap The Real atau Sang Nyata. Istilah ini diambil dari sebuah pembacaan sejarah seni rupa kontemporer oleh Hal Foster, dalam bukunya, Return of The Real. Pembacaan ini berangkat dari permasalahan seni rupa avant garde. Hakikatnya, pembacaan ini adalah mengenai gejala meluasnya obsesi untuk menemukan cara-cara baru untuk mendekati kenyataan. Tak seperti Realisme yang berhasrat untuk meniru kenyataan (hasrat mimesis), kaum avant gardist paham belaka bahwa kenyataan adalah konstruksi, dan mengarahkan seni mereka menciptakan konstruksi yang paling mendekati konstruksi kenyataan di dunia sekeliling mereka. Dalam proses ini, bahkan definisi kenyataan pun bisa jadi dibongkar dan disusun ulang. Dalam film, salah satu titik penting kembalinya Sang Nyata adalah gerakan Dogme 95, yang dicanangkan oleh dua sutradara Denmark, Lars von Trier dan Thomas Vintenberg. Pada mulanya, Dogme 95 (yang kemudian jadi manifesto artistik yang mereka sebut sendiri sebagai Sumpah Berpantang/Vow of Chastity) adalah gerakan film avant garde yang hendak melawan bujet raksasa dan keberfoyaan Hollywood. Perlawanan itu adalah dengan mencipta ekstrem baru dalam cara pembuatan film. Dalam Sumpah mereka, para pembuat film gerakan ini mendaftar 10 pantangan, antara lain: pembuatan film harus on location, tak boleh menggunakan tata cahaya artifisial, harus menggunakan hand-held camera, tak boleh menggunakan tata suara dan soundtrack (kecuali jika musik berada di dalam dan merupakan bagian dari adegan), dan sebagainya. Gerakan itu dianggap gagal oleh banyak pengamat, dan Lars von Trier sendiri kemudian mencipta banyak film yang melanggar

100 FILM TERBAIK, DAN KENAPA AVATAR ATAU TRILOGI LORDS OF THE RING TIDAK KAMI PILIH

Sumpah Pantang Dogme 95, seperti lewat filmnya, Dancers in the Dark. Namun, modus ekstrem Dogme 95 kemudian muncul keping-kepingnya di seluruh belahan bumi, sengaja atau tidak, dalam berbagai variasi. Dalam bentuk (form), obsesi pada Sang Nyata itu tampak dalam penggunaan trend kamera-goyah, modus pembuatan film secara gerilya (bahkan untuk film berbujet besar dari Hollywood seperti Bourne Ultimatum dan Bourne Supremacy yang mengambil gambar di lokasi keramaian secara nyaris  candid), dan penggunaan cahaya natural atau cahaya yang ada dalam lokasi syuting. Ciri-ciri pembuatan film yang terkait dengan bentuk itu lantas mengalami variasi. Misalnya, kelahiran film-film genre yang menggunakan pendekatan  faux-documentary, dengan ketakjuban dan tekanan yang khas pada kamera, khususnya kamera digital. Anda bisa lihat variasi ini dalam film-film seperti Quarantine, Rec., Redacted, hingga District 9. Salah satu variasi menarik dari obsesi pada Sang Nyata ini adalah The Dark Knight. Sebagian besar moda produksi film ini tipikal film berbujet besar Hollywood yang tumbuh sejak 1980an: peralatan kamera yang mahal (paling mahal saat ini, karena menggunakan kamera IMAX), cerita yang mokal atau musykil  (bagaimana lagi, ini kan kisah superhero?), dan naratif spektakular. Tapi, film ini juga terobsesi pada Sang Nyata dalam penolakannya pada teknologi CGI (Computer Generated Imagery), karakterisasi yang otentik, dan penggunaan stunt manusia yang eksesif, termasuk oleh sang bintang utama, Christian Bale. Variasi lain dari kegandrungan pada Sang Nyata ini adalah naiknya popularitas sekaligus keragaman film dokumenter. Film semacam  Fahrenheit 9/11  karya Michael Moore menarik perhatian banyak orang pada film dokumenter, dan melahirkan banyak epigon: seperti Super Size Me dan Where in The World is Osama Ben Laden? karya Morgan Spurlock. Film-film semacam ini juga menimbulkan pertanyaan serta definisi ulang tentang apa

455

456

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

sesungguhnya “film dokumenter”. Di samping itu, bermunculan pula film-film dokumenter dengan naratif yang bisa lebih menawan dari fiksi. Tapi, patut dicatat pula, obsesi terhadap Sang Nyata bukan melenggang tanpa lawan. Film-film seperti Big Fish (Tim Burton) atau  Pan’s Labyrinth  (Guillermo Del Toro) seperti dengan ngotot memilih dunia fantasi. Namun, perlawanan pada Sang Nyata pada kedua film ini dilakukan dengan metode juxtaposisi/penjajaran antara konstruksi dunia nyata dan konstruksi dunia dongeng. Dan memang, menguatnya kegandrungan pada Sang Nyata tak membuat “industri fantasi” runtuh. Apalagi, jelas pula, revolusi pembuatan film digital juga punya arah lain: menjauh dari dunia kenyataan, mengukuhkan dunia eskapisme yang menjadi salah satu ciri utama pada dunia film dekade 1980-1989. Teknologi CGI dan animasi 3-D telah jadi kelaziman yang tak menakjubkan lagi. Ujung terjauh alur ini bisa kita lihat dalam film seperti 300 dan Sin City. Toh asas eskapisme Hollywood (yang pada dekade ini juga berkembang pesat di Korea Selatan dan Hong Kong) hanyalah menambah dialektika menarik antara Sang Nyata dan antitesanya.

Kompleksitas Semua ciri di atas boleh dibilang berpadu menjadi sebuah ciri lain: menguatnya kompleksitas (kerumitan) dalam Film Dunia dekade 2000-2009. Secara sederhana, kompleksitas yang dimaksud adalah penghadiran banyak variabel. Contoh termudah, misalnya, adalah penerapan logika fuzzy dalam lampu bohlam. Teknologi lama hanya menyediakan saklar on dan off, yang merupakan penerapan

100 FILM TERBAIK, DAN KENAPA AVATAR ATAU TRILOGI LORDS OF THE RING TIDAK KAMI PILIH

dari logika either/or. Logika either/or adalah logika Aristotelian yang berdasarkan asas penghilangan yang ada di antara, atau penghilangan tengah (the principle that excluding the middle). Sementara logika fuzzy justru menghadirkan kembali yang di antara kedua ujung itu. Maka, bukannya saklar untuk menyalakan sebuah lampu fuzzy, tapi sebuah pemutar yang bisa menyalakan lampu dalam kontinum terang-gelap, sehingga kita bisa mengatur lampu agar jadi redup atau agak terang sesuai selera kita. Dalam film, kompleksitas tersebut dimunculkan dalam tema, cerita, karakter, dan juga permainan bentuk. Misalnya, kehadiran trend multiplot dalam film-film dekade 2000-2009, seperti dalam film-film Syriana, Crash, dan bahkan film hiburan keluarga seperti trilogy Pirates of Caribbean. Kompleksitas juga bisa hadir dalam penghancuran karakter-karakter tipikal, dan keterbukaan terhadap karakter-karakter berlatar rumit. Misalnya, karakter-karakter dalam film P.T. Anderson,  Punch Drunk Love dan There Will Be Blood, mengandung kompleksitas dalaman yang tak sepenuhnya bisa kita pahami. Begitu juga berbagai karakter dalam film-film Wes Anderson, seperti pada The Royal Tanenbaum, mengandung identitas-identitas goyah yang tak sepenuhnya bisa kita “pegang”. Perhatikan, misalnya, bahkan dalam film sederhana Hard Candy, yang praktis hanya menampilkan dua orang, kompleksitas karakter itu terjadi. Dengan tokoh seorang pedofil dan seorang anak remaja, film ini menjungkir oposisi itu: sang pedofil jadi korban, dan sang gadis jadi predator telengas, yang hendak menghukum sang pedofil. Lalu, apakah kita musti kasihan pada sang pedofil yang disiksa? Haruskah kita tak kasihan? Pertanyaanpertanyaan semacam ini jadi indikator kehadiran kompleksitas. Kerumitan karakterisasi ini hadir dalam bentuk lain dalam film-film dari Dunia Ketiga pada dekade ini. Misalnya, tokohtokoh dalam trilogi Orked karya Yasmin Ahmad dari Malaysia,

457

458

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

yang menanggung beban persoalan identitas Melayu dan BukanMelayu. Atau para tokoh dalam City of God (Fernando Meirelles & Kátia Lund), yang menanggung beban persoalan kemiskinan dan kekerasan struktural yang mengenaskan. Film-film dalam dekade 2000-2009 juga menampakkan keterbukaan luar biasa pada berbagai persoalan abstrak justru di negeri-negeri yang tak mewarisi langsung peradaban Reinessance (Eropa dan Amerika). Film-film Eropa mampu menikmati kemewahan berfilsafat, karena itu sebuah suasana serta perkembangan alamiah dalam peradaban mereka. Tapi, bagaimana dengan Asia, Afrika, dan Amerika Latin? Di sinilah salah satu ciri menonjol Film Dunia dekade 20082009: menyeruaknya Pinggiran ke tengah pusaran gagasan abstrak dunia. Film-film seperti Opera Jawa dan Teak Leaves on The Temple karya Garin Nugroho dengan percaya diri masuk ke dalam pusaran itu. Begitu pula dengan film-film Apichatpong Weerasethakul, khususnya  Tropical Malady  dan  Syndrome of Century. Di beberapa tempat, pusaran gagasan abstrak itu terkait erat dengan persoalan-persoalan politik yang sangat konkret. Misalnya, persoalan politik kenegaraan yang dengan jelas menghidupkan metafor-metafor dalam Kantata Takwa. Walau, jelas pula bahwa persoalan-persoalan politik itu hadir juga dalam film-film yang kurang metaforis dan lebih “realistik” seperti karya-karya Michael Winterbottom, beberapa film perang Amerika tentang dunia paska-9/11, hingga film-film dokumenter seperti West of The Track atau Check Point Rock. Film-film politis itu bukan sekadar wahana pernyataan keyakinan-keyakinan politik saja, tapi ikut mengkonstruksikan dilema-dilema politik mutakhir di sebuah dunia yang semakin saling terikat seperti yang kita alami sekarang.

100 FILM TERBAIK, DAN KENAPA AVATAR ATAU TRILOGI LORDS OF THE RING TIDAK KAMI PILIH

Ciri-ciri Lain Tentu saja, ada beberapa gejala menarik lain ketika kita membaca khasanah film dunia yang diproduksi pada dekade 2000-2009. Misalnya, salah seorang redaktur kami, Ifan Adriansyah, mengamati adanya kecenderungan dalam film-film genre sci-fi pergeseran manusia sebagai monster dan bukan lagi korban monster. Lihat saja, misalnya, District 9 dan Avatar: betapa penonton bersorak ketika (tentara) manusia terbunuh. Dalam gejala itu, terkandung sebuah pandangan lingkungan hidup yang menganggap manusia, dengan segala keserakahan dan teknologinya, adalah agen perusak utama planet bumi yang kita tinggali ini. Lihat contoh paling menariknya pada film animasi semua umur Wall-e. Kita juga melihat gejala penting bangkitnya Afrika, Asia, dan Amerika Latin, di samping negara-negara Eropa yang selama ini tak dikenal sebagai “negeri film” (seperti Turki, atau negaranegara Eropa Tengah) mulai muncul  ke permukaan. Pusat Lama sedang runtuh, karena munculnya pusat-pusat baru. Namun, konstruksi “Film Dunia” yang mulai kukuh ini juga mulai menciptakan kritik-kritiknya sendiri. Kebangkitan Asia Tenggara dan Amerika Latin di ajang festival-festival film Eropa, misalnya, dianggap mengandung semacam permainan politik baru, “neokolonialisme”, ketika Eropa memandang secara eksotik capaian-capaian sinematis Asia dan Dunia Ketiga pada umumnya. Sederhananya, film-film Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang dimenangkan dalam festival-festival film Eropa adalah film-film yang sesuai belaka dengan selera dan bias-bias politik para kritikus Eropa. Memang, masalah “Yang Memandang” dan “Yang Dipandang” tak akan pupus dalam relasi Pusat dan Liyan (The Other). Namun, kritik-kritik tersebut seperti mengabaikan konteks sosial-ekonomi- politik-budaya yang terjadi di negara-

459

460

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

negara pinggiran itu sendiri. Pengabaian ini akan membawa pada kegagalan memahami pergeseran-pergeseran dalam konstelasi Pusat-Pinggiran dalam Film Dunia. Untuk sekadar mengayakan diskusi soal konstelasi PusatPinggiran semacam itu, kami membandingkan cara pandang kami dengan melihat rating film-film pilihan kami dengan nilai yang mereka dapat di tiga situs besar Amerika:  Metacritic. com, Rottentomatoes.com dan imdb.com. Ketiga situs itu punya kebijakan berbeda dalam memberi peringkat dan tentu saja Anda bisa membaca lebih jauh kebijakan itu di situs masing-masing. Barangkali perbandingan dengan ketiga situs itu main-main, barangkali serius.  Rumahfilm.org  adalah sebuah situs yang berpusat di Indonesia, sebuah negara pinggiran dalam konstelasi sinema dunia (Indonesia nyaris tak tercatat dalam “peta sinema dunia” yang dikeluarkan majalah Cahiers Du Cinema edisi 2008). Perbandingan dengan tiga situs yang berada di “pusat” sinema dunia adalah sebuah wishful thinking bahwa pencatatan kami bisa jadi sepenting—atau jangan-jangan lebih penting—ketimbang ketiga situs tersebut, justru karena sifatnya yang di Pinggir itu. Dalam konteks ciri-ciri itulah, kami harus memberi tempat pada film-film yang kami pilih ini dan mengorbankan film-film Hollywood macam Avatar atau trilogi Lords of the Ring. Tapi, kami percaya bahwa daftar yang telah kami susun telah cukup untuk menggambarkan lanskap Film Dunia dalam dekade 2000-2009, sebagaimana yang kami pandang di Rumah Film. Silakan.

Tim Rumah Film

100 Film Terbaik Dunia Dekade 2000-2009

1. 4 luni, 3 saptamâni si 2 zil / 4 Months, 3 Weeks and 2 Days (2007, Christian Mungiu)

Butuh waktu belasan tahun sejak Revolusi Romania 1989 hingga akhirnya para sutradara muda negeri itu muncul satu-satu dengan misi yang sama: menyembuhkan trauma. Negeri yang paling terbelakang tradisi sinemanya di kawasan Eropa Timur itu ternyata menyimpan bakat-bakat yang disembunyikan dibalik tirai besinya. Maka ketika 4 Months, 3 Weeks and 2 Days meraih Palem Emas ditahun 2007, dunia sinema seperti diingatkan bahwa ada komunitas film di negara bernama Romania. Inilah cara Cristian Mungiu untuk menyumbang sesuatu dalam upaya untuk bangkit dari trauma: dengan berani, film ini menatap kembali lekat-lekat periode hitam dalam sejarah negeri itu, ketika kerapuhan ekonomi dan krisis spiritual serta moral menjangkiti setiap individu. (Asmayani Kusrini, AK) Metacritic: 97, Rottentomatoes: 95, IMDB: 79

462

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

2. 28 Days Later… (2002, Danny Boyle)

Salah satu tonggak penting pembuatan film digital. Bukan hanya film ini membuktikan sebuah film feature panjang bisa (hampir) seluruhnya disyut dengan kamera digital, dan bisa membuat bujet total jadi lebih murah, film ini juga menunjukkan bahwa teknologi digital video mampu membuat adegan-adegan tertentu lebih intens. Salah satu teknik yang sangat khas dari pembuatan film digital ini adalah syut pendek, yang memungkinkan lanskap London yang kosong terbengkalai tercipta melalui serangkaian syut-syut pendek lalu dijahit kemudian. Oh, ya, film horor tiga lapis ini (di London yang kosong, di perjalanan antarkota, di markas militer) juga “mengesalkan” karena membuat zombie yang sudah menakutkan itu jadi gemar berlari! (Hikmat Darmawan, HD) Metacritic: 73, Rottentomatoes: 88, IMDB: 76

3. Achilles to Kame / Achilles and Tortoise (2008, Takeshi Kitano)

Tema manusia Sisifus ini pernah diangkat oleh Kitano dalam  Minna Yatteruka!  atau judul Inggrisnya  Getting Any?, dengan sebuah sikap main-main yang tak tertandingi. Namun Kitano dalam film Achilles and Tortoise ini menyentuh salah satu hal penting bagi puncak peradaban manusia: seni rupa. Seni rupa sebagai salah satu seni tinggi jangan-jangan adalah semacam kerja Sisifus manusia yang terus mendorong batu ke puncak bukit untuk sekadar menemukan kenyataan batu itu akan menggelinding lagi ke bawah sesudah mencapai puncak. Dengan mengambil tamsil dongeng lomba lari Achilles melawan kurakura, Kitano memperlihatkan kelebihannya yang membuatnya patut dicatat: rasanya belum pernah nihilisme hadir dengan hangat, begitu hangat. (Eric Sasono, ES) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 75

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

4. Adaptation (2002, Spike Jonze)

Sebetulnya salah siapa jika seorang kreator terbentur jalan buntu karena terbenam dalam prasangka dan harapannya sendiri? Problem artistik yang sekilas tampak tak perlu ini disulap oleh Charlie Kaufman menjadi kritik diri manusia modern dalam bentuk kisah tentang kisah, yang terus saling bertumpuk, berlapis-lapis. Kunci kejeniusan Kaufman adalah pada fakta bahwa, alih-alih dibuat bingung, kita justru seakan diajak ke wahana rumah kaca yang sesaat membingungkan tapi lalu menyenangkan. Dan seorang arsitek naratif bernama Charlie Kaufman dengan piawai menempatkan cermin-cermin itu pada sudut yang tepat. Suka tidak suka, kita akan kerap memekik tertahan sambil menggumam, “Sialan, benar juga”, tentang banyak hal di film ini. (Ifan Adriansyah Ismail, IA) Metacritic: 83, Rottentomatoes: 91, IMDB: 78

5. Ai No Yokan / The Rebirth (2007, Masahiro Kobayashi)

Sutradara Masahiro Kobayashi bukannya ingin menguji batas kesabaran menonton dengan mengulang sekuen yang nyaris sama sepanjang film ini. Ia berani—dengan risiko ditinggalkan penonton—mengajak untuk benar-benar menonton  The Rebirth agar bisa melihat detail-detail kecil dari rutinitas yang berulang ulang itu.  Ia percaya bahwa perubahan-perubahan kecil dari aktivitas yang monoton itulah cara paling efektif untuk berkontemplasi dengan subjek tragis film ini. Ternyata dengan merayakan rasa bosan inilah, The Rebirth merenungkan banyak hal: ilustrasi rasa putus asa karena kehilangan, gejala-gejala penyakit masyarakat modern, penyesalan orang tua yang gagal mendidik anak, dan bahkan cinta. (AK) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 65

6. Artificial Intelligence: AI (2001, Steven Spielberg)

Bagai sebuah mainan yang awet sepanjang musim panas, kita

463

464

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

menikmati film ini dengan riang hati. Tapi kita sadar bahwa tak ada yang abadi. Waktu berlalu, entah kita menua atau sang robot kecil itu kehilangan makna. Dengan model kekisahan yang sudah disediakan oleh karya klasik Pinokio, inilah film yang menguji dua nama dengan visi besar yang sedang jadi monumen sinema abad keduapuluh: Stanley Kubrick (pemilik ide awal untuk mengadaptasi cerita pendek Brian Aldiss  Super Toy Last All Summer Long) dan Steven Spielberg (yang dianggap Kubrick mampu mewujudkan ide tersebut). Seperti apakah monumen itu akan diperingati di abad keduapuluh satu? Apakah membuat manusia merayakan keberhasilan capaian tertinggi teknologi, ataukah sebagai simbol kegagalan manusia memahami kontradiksi paling dasar dirinya sendiri? (ES) Metacritic: 65, Rottentomatoes: 73, IMDB: 79

7. Almost Famous (2000, Cameron Crowe)

Rock & Roll sedang sekarat, pesta telah usai. “Setidaknya, saya akan menyaksikan itu.” Begitu ujar bocah remaja yang tak pernah kehilangan rasa takjub, William Miller (Patrick Fugit), kepada Lester Bang (Phillip Seymour Hoffman), sang legenda, jurnalis musik nan sinis dan pengiman tradisi truth-telling dalam musik rock. Sebuah semi-otobiografi dari sutradaranya, Cameron Crowe yang sewaktu remaja pernah jadi penulis termuda bagi The Rolling Stone, film ini mengikuti kisah Miller remaja mengikuti perjalanan tur band (fiktif) Still Water, dan kita pun menelusuri sebuah keping Amerika yang penuh pesta, patah hati, rapuh, sekaligus manis. Sebuah nostalgia, di awal milenia. Tak ada efek spesial, sebuah pembuatan film mazhab lama (Crowe taat pada diktum mentornya, sutradara gaek Billy Wilder, Just tell the story), film ini tak kurang mengandung sihir sinema bagi generasi milenia baru. (HD) Metacritic: 90, Rottentomatoes: 87, IMDB: 80

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

8. American Splendor (2003, Shari Springer Bergman, Robert Pulcini)

Film adaptasi komik Amerika terbaik.  American Splendor sebermula adalah seri komik independen karya Harvey Pekar dan segerombol seniman gambar pilihan Pekar. Terbit sejak 1976, Harvey membeberkan kehidupannya sehari-hari, tanpa belas kasihan. Ia tampil sebagai seorang neurotik, antisosial, tanpa sedikitpun kebanggaan intelektual atas segala neurosis itu. Era 2000-an rupanya paling tepat bagi filmisasi seri komik ini (bayangkan, pada 1990-an, sempat dibincang versi film dengan Rob Schneider sebagai Harvey: “hiih!”). Fakta dan fiksi dicampuraduk, dokumenter dan animasi  nyelonong  di sana-sini, Paul Giamatti (cemerlang di sini) yang berperan sebagai Harvey Pekar sering bertukar tempat dengan Pekar “asli“. Singkatnya, ini sebuah cerita dengan kesadaran metafiksi yang tinggi. Dan toh film ini tetap gamblang, lucu, bahkan mengharukan. (HD) Metacritic: 90, Rottentomatoes: 94, IMDB: 76

9. Amores Perros / Love’s A Bitch (2003, Alejandro Gonzales Innaritu)

Struktur bolak-balik film ini membuat Innaritu mudah dicemooh sebagai epigon Quentin Tarantino. Maklum saja, bayangbayang Pulp Fiction memang terasa. Tetapi perhatikan baik-baik bahwa bagi dunia kontemporer yang amat peduli bentuk dan pengemasan, Innaritu adalah seorang anak emas. Ia sadar bahwa kompleksitas bukan hanya soal isi, tapi juga soal bungkus dan ia tak bisa menang jika hanya menaklukan salah satunya. Berbekal ketrampilan dan teknik tinggi yang didapat sebagai sutradara iklan televisi, Innaritu bercerita dengan energi mentah meluapluap tentang kompleksitas kehidupan urban di sebuah kota dunia ketiga yang denyutnya dipenuhi lamat-lamat bau darah dan

465

466

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

kekerasan. Oh, jangan lupa satu nama dalam film ini: Gael Garcia Bernal. (ES) Metacritic: 83, Rottentomatoes: 92, IMDB: 8.2

10. Bashing (2005, Masahiro Kobayashi)

Seorang perempuan muda Jepang menjadi sukarelawan melakukan kerja sosial untuk pasukan sekutu di perang Iraq. Bagi sebuah bangsa anti perang seperti Jepang, itu bukan kerja mulia. Itu perbuatan tercela. Maka sanksi sosial pun jatuh kepadanya. Rekan kerja tak membalas salamnya, tetangga membanting belanjaannya ke tanah, bosnya memecat lantaran protes berhamburan di internet. Memang ini kisah nyata, tapi, hey, apa menariknya cerita dengan konflik minimal begitu? Sepintas: drama queen banget sih?!  Inilah uniknya sinema Kobayashi. Dengan caranya sendiri, tanpa kompromi ia menutut penonton untuk melihat tak hanya yang ada di layar, tapi juga di luar layar. Terlacak jejak master sinema Jepang Ozu Yashuhiro di sini. Namun jika Ozu bicara tentang peristiwa yang tak mampu tertangkap kamera, Kobayashi mengembangkannya menjadi: tradisi, kebudayaan, kebiasaan yang bekerja secara misterius dalam mengatur hidup manusia. Bukti terbaik bahwa sinema bisa sangat menghargai hidup manusia. (ES) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 7.1

11. Batoru Rowaiaru/Battle Royale (2000, Kinji Fukasaku)

Sebuah film adaptasi dari novel yang kontroversial dan subversif, inilah sebuah gambaran alternatif Jepang saat pengangguran meraja, dan orang tua takut kepada generasi muda. Pemerintah melalui institusi pendidikan dan para gurunya—sebuah profesi agung—berusaha mengembalikan kewibawaan mereka justru dengan memerintahkan para anak muda untuk saling membunuh hingga tinggal satu juaranya yang bertahan hidup. Tagline film ini menjelaskan sisi terkelam sistem gelap itu: “Pernahkah kau

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

membunuh sahabat terbaikmu?” Film ini adalah sebuah tahap lanjut dari apokalipsme (waham kehancuran dunia) dalam budaya Pop Jepang, ketika soalnya bukan lagi teknologi yang menghancurkan manusia, tapi pengukuhan struktur otoritatif oleh teknologi-lah yang menjebak para siswa itu agar saling bunuh. Film ini mungkin juga dirasa nihilistik, tapi sebetulnya bisa jadi semacam shock therapy melalui sebuah khayalan ekstrem, tentang apa makna hidup, dan kebersamaan, bagi generasi 2000an. (Ekky Imanjaya, EI) Metacritic: NA, Rottentomatoes: 82, IMDB: 79

12. Be Kind Rewind (2008, Michael Gondry)

Di sini Gondry sangat serius dalam kebermainan. Film ini merangkum banyak hal: sebuah surat cinta pada seni sinema— bahkan sinema genre Hollywood yang sering dilecehkan itu, sebuah diskusi tentang pelik-pelik copyright dan copyleft di era mix and mash kini, hingga rekonstruksi sejarah jazz yang ternyata berkaitan erat dengan identitas kultural sebuah kota kecil. Lebih menarik lagi, ketika ternyata “rekonstruksi sejarah” itu fiktif belaka. Film ini lantas menjadi sebuah percakapan menarik tentang betapa dusta bisa jadi sebuah kebenaran yang fungsional, sebuah manfaat. Maka, diam-diam, film ini adalah sebuah surat cinta juga pada fiksi seluruhnya. (EI/HD) Metacritic: 52, Rottentomatoes: 65, IMDB: 66

13. Big Fish (2003, Tim Burton)

Fantasi memang indah dan Tim Burton adalah sutradara yang selalu bergairah mengajarkan kita akan hal itu. Maka ketika ia menjadi seorang “realis” dalam Big Fish ini, kita pun ditantang untuk menerima usulnya bahwa kenyataan itu basi dan dingin. Lagipula apa salahnya menganggap ayahmu ikan dan melepasnya di danau jika fantasi identik dengan husnul khatimah? Ah, Burton ini sadar sekali bahwa amat segan rasanya bangkit dari bangku

467

468

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

ketika ruang gelap itu tiba-tiba berubah terang dan kotak sisa popcorn menyadarkan bahwa rasa yang baru lepas kita nikmati itu fana belaka. (ES) Metacritic: 57, Rottentomatoes:76, IMDB: 81

14. Bloody Sunday (2002, Paul Greengrass)

Ketika Paul Greengrass menerapkan handheld camera pada Bourne Supremacy, dunia terkejut pada kemungkinan bahwa tokoh agen rahasia antar negara yang jago kelahi bisa saja punya pedalaman batin yang guyah. Namun perhatikan bahwa di  Bloody Sunday  yang mendahului kisah  Bourne  ini, Greengrass menyatakan bahwa kenyataan sosial dan politik patut dipandang seguyah itu juga. Greengrass dengan kamera  handheld-nya mengajak penontonnya menjadi bagian dari chaos konflik Irlandia Utara dan seakan langsung berada di tengah-tengah lingkungan yang sedang konflik dan rusuh, bukan sekadar lewat manipulasi teknologi yang superficial (ya, ini sindiran terhadap Avatar), tapi lewat spontanitas kamera dan kepandaian menangkap elan sejarah. (ES) Metacritic: 90, Rottentomatoes:92, IMDB: 78

15. Borat: Cultural Learning of America for Benefit Glorious Nation of Kazakhstan (2006, Larry Charles)

Film yang mungkin paling banyak menuai tuntutan hukum, protes, caci maki, dan banyak orang yang terlibat di dalamnya sakit hati atau merasa tertipu. Film ini dilarang di semua negara Arab, kecuali Lebanon. Rusia pun menghambat peredarannya di sana. Pemerintah Kazakhstan yang asli pun geram. Para penonton selebihnya? Menertawakan para tokoh (kebanyakan karakter nyata dan asli di Amerika) yang tampak dungu di layar: cupat, rasis, penuh prasangka. Menariknya, mereka semua terjebak oleh polah dungu tokoh fiktif Borat (Sacha Baron Cohen). Cohen

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

menulis cerita dan tokoh Borat dan menemui para subjeknya di sepanjang perjalanan menelusuri Amerika (mulanya atas amanat “menteri penerangan Kazakhstan”, tapi kemudian untuk mengawini Pamela Anderson sesuai adat “Kazakhstan” versi Borat) dalam sebuah faux documentary. Setelah tertawa, kita pun membatin: Oh, manusia! (HD) Metacritic: 89, Rottentomatoes:91, IMDB: 75

16. Caché / Hidden (2005, Michael Haneke)

Ada latar belakang multikulturalisme dan film ini bisa jadi mencandra kegagalan konsep itu di Prancis. Di tingkat individu, konsep itu berurusan dengan hal-hal kecil semisal penyembelihan ayam yang membuat seorang anak kecil trauma sepanjang hidupnya. Namun bukan Michael Haneke namanya jika ia hanya semata bercerita soal sejarah. Ini film yang dimulai dengan pertanyaan “siapa” tanpa pertanyaan itu pernah dijawab. Maka sepanjang film kita menerka dan akhirnya menjawab sendiri gagasan tentang sebab asali (prima causa) penyebab berbagai peristiwa dalam film ini. Haneke jadi membuka kemungkinan bagi kita menjadi penentu bagi realitas orang lain. (ES) Metacritic: 83, Rottentomatoes:88, IMDB: 73

17. Children of Men (2006, Alfonso Cuaron)

Alfonso Cuaron, berdasarkan novel P.D. James, bicara tentang dunia kita yang semakin letih, dan membenturkannya dengan pengandaian yang muram: bagaimana jika Tuhan telah “berbaik hati” memberitahu kita kapan kira-kira kiamat tiba, dengan menyisakan satu generasi terakhir? Dalam dunia seperti ini, untuk apa lagi berharap? Untungnya, masih ada pilihan lagi: kenapa tidak berharap? Lewat sepak terjang yang tanpa tedeng alingaling, tanpa terjebak kegenitan sang mata kamera, (contoh bagus obsesi mendekati realisme) kita diberikan sajian mengerikan

469

470

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

tentang laku lajak manusia, sembari menyisipkan harapan dalam bentuk tangisan yang menghantui. (IA) Metacritic: 84, Rottentomatoes: 93, IMDB: 81

18. Cidade de Deus / City of God (2002, Fernando Meirelles, Kátia Lund)

“City of God sangat jauh dan tergusur dari foto-foto indah kartu pos Rio de Janeiro” kata Rocket.  Maka, sejak awal, penonton disuguhi anak-anak dan remaja yang memegang senjata, merampok secara massal, dan berbuat menuruti  hawa nasfunya. Kekerasan, kemiskinan, gangster, berkelindan di sini. Tetapi, gambar yang disajikan begitu ciamik. Simak saja langit yang keemasan yang memang disyut saat “golden moment”. Cara bertuturnya juga unik, ia berpindah masa dan kisah ke karakter lainnya, begitu indah. Misalnya, cukup dengan kamera berputar 360 derajat, warna berubah, dan kita tahu bahwa penonton diajak ke tahun 1990an. Judul film ini adalah sebuah proyek perumahan yang pada 1980an menjadi kawasan paling berbahaya di ibu kota Brazil itu. Sutradara Fernanto Meirelles memakai aktor amatir yang belum pernah berakting, serta aktor professional yang belum terkenal, demi menjaga mood film dan penonton dan mendekati realitas. (EI) Metacritic: 79, Rottentomatoes: 92, IMDB: 88

19. Control (2007, Anton Corbijn)

Anton Corbijn, salah satu sutradara Belanda paling berbakat dewasa ini, mendekati kehidupan band post-punk Joy Division berikut atmosfer kota Manchester pada akhir 1970-an dengan senyata mungkin. Tentu saja Corbijn menukik lebih dalam. Ia juga menganalisa budaya dan masyarakat muda Inggris 1970-an. Keberhasilan ini tentu buah ketekunan dan hasrat besar Corbijn kepada musik rock—ia menulis beberapa biografi rocker dunia seperti Bono, dan membuat video musik band terkemuka

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

termasuk klip alternatif La Vida-nya Coldplay. Jejak hasrat besar itu mewujud dalam sebuah pendekatan visual yang sepenuhnya dirasuki “hantu” musik rock periode sesudah pesta Rock ‘n Roll usai dan sebelum scene budaya rave serta brit-pop tiba. Tapi justru dalam tengokan ke belakang (yang tak terlalu jauh itu), Corbijn mendedahkan cara-ucap visual yang relevan bagi era i-Pod. (EI) Metacritic: 78, Rottentomatoes: 87, IMDB: 78

20. Dare mo shiranai / Nobody Knows (2004, Hirokazu Kore-eda)

Keluarga yang lengkap mungkin akan menjadi salah satu kemewahan yang bisa dinikmati oleh anak-anak dijaman ketika uang adalah segala-galanya. Single parent pun patut disyukuri. Tapi bagaimana jika tidak keduanya? Ada kalanya keluarga harus didefinisikan kembali ketika tuntutan hidup kapitalisme demikian kuatnya menelan rasa tanggung jawab seorang ibu sekalipun. Keluarga toh bisa juga terdiri dari kakak, adik, dan saudara-saudara yang lain. Memprihatinkan. Tapi jika tidak ada pilihan lain, kenapa tidak? Hirokazu Kore-Eda menawarkan optimisme yang sendu dengan gaya khasnya yang sederhana. Lebih dari itu, ia menyentuh sesuatu yang agaknya sedang problematik dalam masyarakat Jepang, juga (kalau diperhatikan) Sino-Asia plus Korea: kecemasan akan hilangnya “ibu”. (AK) Metacritic: 88, Rottentomatoes: 93, IMDB: 81

21. Das Leben der Anderen / The Live of Others (2006, Florian Henckel von Donnersmarck)

Ada periode ketika barbarisme dan peradaban saling bersisian tapi tak saling mengenali. Apa yang bisa dilakukan ketika seseorang menyadari bahwa ia terperangkap di antara keduanya? The Lives of Others karya pertama Florian Henckel von Donnesmarck bukan sedang ingin melahirkan pahlawan tanpa tanda jasa dibawah rezim komunis Jerman Timur. Donnesmarck ingin menunjukkan

471

472

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

bahwa bagaimanapun manusia punya dua sisi; sisi mana yang mendominasi bisa sangat tergantung pada hal-hal tak terduga. Seperti seorang petugas keamanan negara yang terlatih untuk tak mengenal rasa kasihan lalu perlahan luluh karena membaca Brecht dan mendengarkan Beethoven. Kita bisa melihat di sini, saling kelindan antara Negara, tindakan voyeuristic (pengintipan), dan gagasan humanisme Renaissance. Bagi Eropa di era informasi mutakhir kini, relevansi kelindan itu langsung menusuk ke jantung soal. (AK) Metacritic: 89, Rottentomatoes: 93, IMDB: 85

22. Das weiße Band – Eine deutsche Kindergeschichte/ The White Ribbon (2009, Michael Haneke)

Begitu kuatnya film ini menyampaikan pesan: bibit-bibit fundamentalisme, terorisme—bahkan fasisme— bisa tumbuh kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja. Maka, inilah film yang akan selalu relevan dan faktual. The White Ribbon juga adalah film Michael Hanneke yang paling bijaksana. Sutradara asal Austria ini tidak lagi merasa perlu bermain-main dengan alat-alat modern untuk membuat penontonnya waspada. Ia juga tidak lagi menakut-nakuti kita dengan adegan-adegan sadis kegemarannya. Tapi Hanneke memang ahli meneror, bahkan cukup dengan doktrin dan wajah tanpa dosa anak-anak. Di era kebangkitan fundamentalisme di seluruh dunia belakangan ini, film ini semakin jitu. (AK) Metacritic: 82, Rottentomatoes: 86, IMDB: 79

23. De fem benspænd / Five Obstructions (2003, Jørgen Leth, Lars von Trier)

Setelah menulis manifesto Dogme 95, Lars berulangkali bikin film yang melanggar manifestonya sendiri. Lars memang seorang seniman yang selalu berdialektika: setiap karya dan pernyataannya jadi tesa, yang nantinya akan ia benturkan dengan

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

antitesa yang ia ciptakan sendiri. Dalam hal ini, Lars sepenuhnya “Eropa”. Film ini pun, sepenuhnya Eropa. Lars yang memuja Leth, bertekad “merusak” Leth secara estetis, dengan titik berangkat dari film pendek Leth “Manusia Sempurna”. Demikianlah, film ini  adalah perwujudan artistik ketika ide “Insan Kamil” dipandang sebagai masalah estetik. Hasilnya? Sebuah (kumpulan) film entah: bukan fiksi, bukan pula non-fiksi. Juga: bukan dokumenter, tapi bukan juga bukan-dokumenter. (HD) Metacritic: 79, Rottentomatoes: 88, IMDB: 74

24. Der Untergang / Downfall (2004, Oliver Hierschbigel)

Downfall karya Oliver Hirschbiegel bukan film yang berangkat dari pertanyaan ‘mengapa’. Film ini adalah sebuah pernyataan dan pembenaran bahwa Hitler adalah monster paling ditakuti sekaligus figur paling dikagumi dalam sejarah peradaban manusia. Pengaruh Hitler yang luar biasa ditegaskan dalam sebuah adegan paling suram yang pernah ada dalam film: seorang ibu dan anak-anaknya serta kapsul sianida. Meski hampir sebagian besar film ini terjadi dalam bunker, inilah film terbaik sekaligus paling mencekam, yang merekam hari-hari terakhir berakhirnya Perang dunia kedua. Pameran akting Bruno Ganz pun mungkin akan menjadi Hitler terbaik sepanjang masa. (AK) Metacritic: 82, Rottentomatoes: 91, IMDB: 84

25. Dogville (2003, Lars von Trier)

Ingatkah Anda nasihat lawas bahwa manusia itu berpotensi lebih hina daripada hewan? Lars Von Trier menyajikan kita tahapantahapannya. Inilah sebuah dongeng bernada peringatan yang diceritakan dengan dingin (angkat topi buat Bertold Brecht, dramawan Eropa yang jadi sasaran homage film ini), dan tanpa belas kasihan. Perlahan-lahan, bagai seorang koki yang menyembelih ayam hidup sesenti demi sesenti, penonton dipaksa sadar bahwa kita bisa lebih hina dari anjing, tapi lihai mencari

473

474

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pembenaran. Pemilihan lokasinya membuat banyak orang meradang dan lupa bahwa dongeng kelam ini bisa terjadi di mana saja. (IA) Metacritic: 59, Rottentomatoes: 70, IMDB: 79

26. Donnie Darko (2001, Richard Kelly)

Salah satu film tersukar untuk disinopsiskan. Sukar juga dipatok sebagai satu genre: horor, drama remaja, sci-fi, semua bisa. Semua ada. Yang jelas, inilah film generasional yang tampangnya layak untuk milenium ke-3. Sebenarnya, film ini bercerita tentang sebuah Amerika pada 1988 (saat Dukakis sebagai calon presiden). Tapi angst yang disuntikkan sutradaranya pada film ini adalah milik kawula muda 2000-an: realitas yang terfragmentasi, kebingungan antara alam sadar dan tak sadar, kesadaran waktu yang teraduk-aduk. Film ini merepresentasikan bahwa itu semua bukanlah surealisme atau halusinasi, tapi sebuah kemungkinan fisika yang realistik termasuk kehadiran kelinci bicara bernama Frank. Tapi, apakah “realistik”? (HD) Metacritic: 88, Rottentomatoes: 84, IMDB: 83

27. El laberinto del fauno / Pan’s Labyrinth (2006, Guillermo Del Toro)

Boleh dibilang, del Toro adalah salah satu sutradara paling visioner dalam dekade ini. Kelihatan sekali dia asyik menciptakan semestanya sendiri, dengan berbagai perabot visual fantastis seperti monster mengerikan yang memasang matanya di kedua telapak tangannya. Dan di balik genre fantasi yang membuat kita menyelami dunia dongeng—dari nama karakter utamanya, Ofelia, kita sudah bisa merasakan nuansa dunia mitos itu—kita juga dipaksa untuk melihat representasi sejarah kelam Spanyol yang maujud dalam karakter Kapten Vidal. Pertanyaan pun menyeruak setelah menonton: mana yang lebih buas, monster atau sang diktator? Mana yang realitas, mana yang mimpi? Dan

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

silakan menikmati adegan sang Kapten yang menjahit mulutnya sendiri akibat disayat oleh musuh dalam selimutnya. Kita pun tertohok, ini “mimpi buruk” yang “nyata”. (EI) Metacritic: 98, Rottentomatoes: 95, IMDB: 84

28. Elephant (2003, Gus Van Sant)

Kenapa gajah jadi judul film ini? Mungkin Gus Van San paham cerita tentang tiga orang buta dan gajah, bahwa perabaan yang tak sempurna hanya akan menghasilkan kesimpulan menyesatkan. Maka ia meletakkan kamera yang nyaris tak berusaha berartistika untuk jadi saksi dan ikut berada dalam kamar ketika peristiwa besar yang mengguncang dunia ini sedang disusun. Terungkaplah sebuah fakta tentang dunia kita saat ini: narasi begitu besar yang mendefinisikan kehidupan umat manusia kontemporer ternyata disusun oleh peristiwa-peristiwa amat tak penting dari dua remaja belasan tahun. Moral cerita: jangan remehkan kebiasaan bermain console game penuh kekerasan sambil mendengarkan Fur Elise-nya Beethoven. (ES) Metacritic: 70, Rottentomatoes: 70, IMDB: 73

29. Eleven Minutes, Nine Seconds, One Image: September 11 (2002, Youssef Chahine, Amos Gitai, Alejandro González Iñárritu, Shôhei Imamura, Claude Lelouch, Ken Loach, Samira Makhmalbaf, Mira Nair, Idrissa Ouedraogo, Sean Penn, Danis Tanovic)

Bagaimana mengubah peristiwa nyata yang begitu spektakuler yaitu ditabraknya menara kembar di New York menjadi sebuah fiksi? Apalagi peristiwa itu masih segar dan orang-orang di Amerika masih berduka. Perhatikan bahwa bukan duka itu yang soal betul bagi para pembuat film di kumpulan ini. Samira Makhmalbaff dan Idrissa Oudraougu bermain-main dengan membawa tokoh anak-anak. Lihat bagaimana Sean Penn malahan menghadirkan ironi kehidupan yang muncul justru dari runtuhnya menara kembar itu. Yang paling ajaib malah dari

475

476

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Jepang ketika Shohei Imamura berkisah tentang manusia yang pelan-pelan berubah jadi ular! Peristiwa 11 September itu memang menghadirkan teror, tapi jangan lupa juga bahwa peristiwa itu menghadirkan tantangan besar terhadap fiksi. Tak heran jika penutup film adalah layar yang gelap, suara-suara tak jelas (belakangan kita sadar itu rekaman pembicaraan telepon para korban) dan kilatan-kilatan. Karya Alejandro Gonzalez Innaritu yang mirip sketsa itu justru berhasil mereproduksi teror itu di kepala kita. Bukti bahwa para pencerita audiovisual— sebagaimana kebanyakan kita—tak menyerah begitu saja. (EI/ES) Metacritic: 61, Rottentomatoes: 78, IMDB: 70

30. Entre Les Murs / The Class (2008, Laurent Cantet)

Kehidupan multirasial lengkap dengan segala masalah yang terkandung di dalamnya adalah hal yang tidak bisa lagi dihindari. The Class hadir dengan subjek ini tanpa merasa perlu mengucapkan teori, tanpa khotbah. Laurent Cantet meramunya dengan sangat ringan dalam suasana kelas yang santai. Film ini hanya menawarkan semacam hipotesis, bahwa mungkin yang bisa kita lakukan selain mawas diri adalah belajar dari generasi yang sejak lahir sudah berada persis di tengah pusaran globalisasi. Kita harus percaya, bahwa mugkin generasi baru ini justru jauh lebih bijaksana daripada yang kita sadari. (AK) Metacritic: 92, Rottentomatoes: 97, IMDB: 77

31. Eternal Sunshine of The Spotless Mind (2004, Michael Gondry)

Charlie Kaufman kembali melakukan ‘kebiasaan buruk’-nya: membawa pemirsa berputar-putar (sungguh pun nikmat) untuk membantingnya dalam sebuah kesimpulan yang sederhana tapi menjadi sangat berharga: melupa tidak sama dengan memaafkan. Ditambah sebuah afirmasi rendah hati tentang lemahnya kita sang manusia, tanpa harus menunduk kalah. Senada dengan

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

Adaptation dan mungkin Memento, film ini menyajikan betapa sihir sinematis sanggup mengejawantahkan impuls-impuls dari benak terdalam, yang nyaris tak terkatakan. Dengan indah pula. Juga, yang banyak orang lupa, ini adalah sebuah science fiction. Lahir di era 2000-an yang sekitar 50 tahun lalu dibayangkan sebagai kegemilangan “masa depan” dengan mobil terbang dan perjalanan angkasa, film ini menyodorkan alternatif lain bagi khasanah sci-fi: fantasi sains bernada rendah, dan mengedepankan yang manusia di panggung utama. (IA) Metacritic: 89, Rottentomatoes: 93, IMDB: 85

32. Fa yeung nin wa / In The Mood of Love (2000, Wong Kar Wai)

Jika selama ini orang mengenal pembedaan skenario yang plotdriven dan character-driven, maka film ini mengusulkan sesuatu yang baru: mood-driven. Maka “realitas” dalam film ini turut terbentuk dari mood alias suasana hati para tokoh di dalamnya. Tengok saja bagaimana Maggie Cheung dan Tony Leung menciptakan berbagai alternatif “realitas” bagi diri mereka sendiri lewat simulasi yang mereka lakukan di dalam kamar. Dengan sebuah latar belakang belantara lampu neon Hongkong (adakah yang lebih pandai menangkap suasana ngungun kota ketimbang WKW?), kisah cinta manusia kontemporer dibawa ke sebuah panggung baru dimana yang tak terkatakan justru jauh lebih penting dalam mendefinisikan perasaan yang dialami. (ES) Metacritic: 85, Rottentomatoes: 88, IMDB: 81

33. Fahrenheit 9/11 (2004, Michael Moore)

“Si Bocah Tua Nakal” dari Amerika Serikat, Michael Moore, membuat dokumenter yang mengkritik pedas kebijakan luar negeri George Bush yang mengimpor perang ke Timur Tengah. Dengan bukti-bukti serta berbagai kesaksian yang provokatif dan subversif, ia membongkar hubungan antara dinasti Bush dan

477

478

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dinasti Bin Laden, serta menguliti hal-hal yang sebelumnya jarang bahkan tak pernah diberitakan media massa. Aroma politis yang berani ini, barangkali, yang membuat film ini disambut hangat bahkan menang di Festival Cannes kala itu. Tapi, di samping mencipta trend film dokumenter sebagai film box office, film ini pun –sebagaimana seluruh  ouvre  Michael Moore– mencipta diskusi tentang sifat dan makna film dokumenter: karena banyak bukti juga kemudian yang menunjukkan muslihat dan manipulasi Moore sendiri atas fakta, demi pandangan politiknya sampai. (EI) Metacritic: 67, Rottentomatoes: 83, IMDB: 76

34. Gegen Die-Wand / Head-On (2004, Fatih Akin)

Dengan karakter Cahit dan Sibel yang mungkin sulit ditelaah oleh buku psikologi paling kompleks sekalipun, film karya sutradara Jerman keturunan Turki ini mampu membuat kita melihat manusia dengan sedikit jeri di hati. Apakah ketidaksiapan masyarakat Hamburg untuk menerima mereka punya dasar; ataukah kepahitan pasangan ini dalam menghadapi kenyataan tak ada presedennya dalam kehidupan komunal mana pun? Janganjangan Eropa sebenarnya tak siap dan tak akan pernah siap terhadap multikulturalisme atau apapun istilah untuk campur aduk ras, agama dan etnis ini. Apapun kesimpulannya, kenyataan selalu lebih perih ketimbang nyanyian kisah cinta para trubadur di tepi selat Bosphorus. (ES) Metacritic: 79, Rottentomatoes: 90, IMDB: 80

35. Gomgashtei dar Aragh / Marooned in Iraq (2002, Bahman Ghobadi)

Sebuah keluarga penyanyi, dan sang ibu –yang juga penyanyi– pergi meninggalkan mereka. Tak ada yang istimewa dari kisah ini kecuali bahwa ini terjadi di lingkungan yang mengharamkan suara perempuan bernyanyi. Satu lagi yang penting: kisah ini terjadi pada sebuah keluarga bangsa Kurdi, sebuah bangsa tanpa

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

negara. Maka perjalanan ayah dan dua anak dewasanya itu mencari ibu mereka bagai perjalanan melacak hubungan antara manusia, keluarga, bangsa, negara, agama, dan estetika. Dari film ini, kita dengar nyanyian tentang betapa guyahnya hal-hal besar itu yang kerap kita terima begitu saja. (ES) Metacritic: 86, Rottentomatoes: 93, IMDB: 71

36. Good Bye, Lenin! (2003, Wolfgang Becker)

Bakti seorang anak membuatnya mampu mencipta-ulang sebuah era bagi sang bunda. Seorang anak berusaha agar ibunya tidak syok menemukan Jerman Timur sudah tak ada lagi ketika sang bunda bangun dari koma. Roger Ebert menganggap kenangan sang ibu semacam nostalgia yang tak sepantasnya. Tapi, Ebert keliru. Film ini bukan sebuah nostalgia pada seorang diktator. Film ini adalah sebuah humor halus tentang realitas yang berubah, tentang betapa rapuhnya sebuah “komunitas yang dibayangkan” (istilah Benedict Anderson), dan tentang ilusi yang perlu bagi sebuah cinta. (HD) Metacritic: 68, Rottentomatoes: 90, IMDB: 78

37. Grizzly Man (2005, Werner Herzog)

Subjek film dokumenter ini demikian kuatnya; sehingga siapapun yang memfilmkannya akan menghasilkan film luar biasa. Begitukah? Tidak juga. Bagi saya, materi ini milik eksklusif Werner Herzog. Siapa lagi yang paling tepat bicara tentang orangorang super  ngotot  yang mengaburkan batas kewarasan dan kegilaan selain sutradara yang pernah membuat film seperti Fitzcarraldo atau Aguire: The Wrath of God ini? Namun untuk tema “rutin” baginya sekalipun, sutradara Jerman ini tetap berhasil mengajak penontonnya menikmati perjalanan bersama menemukan misteri tentang batas kegilaan dan kewarasan itu. (ES) Metacritic: 87, Rottentomatoes: 93, IMDB: 79

479

480

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

38. Gwoemul / The Host (2006, Bong Joon-Ho)

Salah satu film terlaris sepanjang masa di Korea ini juga melanglang di berbagai festival: tertabraklah berbagai dikotomi tak perlu yang dibentuk oleh industri film. Dengan menggunakan monster mutan di Sungai Han, Bong Joon-Ho membuat cerita yang memenuhi syarat untuk jadi sempurna. Yaitu meneror jiwa penontonnya yang merasakan emosi bak rollercoaster. Dan yang membuat film ini penting adalah lingkungan kompleks bagi cerita itu: soal-soal lingkungan hidup, kritik politik, imigran dari negeri jiran, hingga representasi  perjuangan  keluarga morat-marit (disfungsional) yang bernuansa pecundang. Sebuah film genre yang berpotensi dicibir, tapi ini sebuah komentar yang mungkin paling utuh tentang Korea Selatan sebagai sebuah bangsa. (EI) Metacritic: 85, Rottentomatoes: 92, IMDB: 71

39. Hable con Ella / Talk To Her (2002, Pedro Almodovar)

Sang lelaki adalah seorang penulis yang menangis ketika menonton pertunjukan opera. Sang perempuan adalah seorang matador yang meliuk tenang ketika membunuh banteng. Inilah penabrakan kriteria feminin dan maskulin yang tak ada duanya dari Pedro Almodovar. Peran jender juga berubah, maka penyelewengan tanggungjawab jadi demikian halus dan simpatik, nyaris tak masuk akal, setidakmasukakal seorang lelaki yang masuk ke vagina kekasihnya dan hidup di sana selamanya. Kompleksitas tak terperi, ternyata (atau justru?), bisa terjadi pula dalam soal paling disembunyikan—seperti seks—sekalipun. (ES) Metacritic: 86, Rottentomatoes: 92, IMDB: 80

40. Hedwig and The Angry Inch (2001, John Cameron Mitchel)

Membetot konsekuensi terjauh glam rock, yakni pertanyaan keras atas gender dan seksualitas. Sebuah film musikal yang lebih kuat secara emosional dan intelektual daripada Moulin Rouge, film ini berkisah tentang Hedwig (dimainkan sendiri oleh sutradara dan

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

penulis, John Cameron Mitchel), rocker punk transeksual asal Jerman Timur (terlahir sebagai Hansel) dan sejak kecil terpajan musik-musik Amerika di radio. Untuk film pertamanya ini, dengan bujet $ 6 juta dan diangkat dari drama panggungnya, Mitchel memutuskan semua lagu disajikan  live. Dilengkapi berbagai teknik visualisai (termasuk animasi, dalam sekuen lagu cemerlang The Origin of Love), film ini setia pada “kenyataan perasaan”. Tommy, can you hear me? From this milkless tit you have sucked the very business we call show, gugat Hedwig. Brutal. (HD) Metacritic: 85, Rottentomatoes: 92, IMDB: 76

41. Hunger (2008, Steve McQueen)

Baiklah. Cerita selalu terdiri dari tiga babak –awal, tengah, akhir. Namun adagium ini beda sekali di tangan Steve McQueen, visual artist asal Inggris yang kini jadi sutradara (dan bukan bintang laga Amerika gaek itu). Dengan kekriyaan bak seorang master yang sudah membuat puluhan film, ia menyajikan babak kedua Hunger dalam bentuk dialog panjang yang menjelaskan seluruh premis film. Ini pertaruhan yang berani, dan ia menang besar. Karena ia tak lupa pada cerita yang kuat, elemen visual yang menggetarkan, dan akting yang meruntuhkan batas kenormalan dari Michael Fassbender yang patut dicatat sebagai salah satu penampilan terpenting dekade ini. (ES) Metacritic: 82, Rottentomatoes: 90, IMDB: 76

42. Il Divo (2008, Paolo Sorrentino)

Bagai mesin waktu, film ini membawa kita mengalami sejarah politik Italia sepanjang 60 tahun melalui tokoh Mario Andreotti –salah satu tokoh politik terpenting dalam sejarah Italia kontemporer. Dengan gambaran kepribadian yang begitu unik dan detail, sutradara Paolo Sorrentino seolah menguliti tokoh itu sekaligus membuat penontonnya terasa memasuki kepala Andreotti yang senantiasa dilanda migren setiap saat. Melalui

481

482

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

semiotika kamera, eksplorasi sinematografi juga telah melampaui  dan merangkum berbagai gaya dan genre dalam sejarah sinema Italia, termasuk spaghetti western yang terkenal itu. (EI) Metacritic: 81, Rottentomatoes: 92, IMDB: 72

43. In This World (2002, Michael Winterbottom)

Dua orang Pashtun, Afghanistan, Jamal (Jamal Udin Torabi) yang masih remaja dan Enayat (Enayatullah), berangkat dari kamp pengungsi Peshawar melintasi Asia Tengah dan Eropa lewat jalur gelap, menjadi imigran gelap di London. Winterbottom, sutradara Inggris paling prolifik, eklektik, dan paling sadar-politik saat ini, memfilmkan perjalanan itu sebagai rekonstruksi semidokumenter. Kecuali rute-rute yang sepenuhnya ilegal dan berbahaya, Winterbottom dengan kamera digitalnya, serta sedikit awak dan para pengungsi asli, menjalani jalur otentik Jamal dan Enayat yang dulu pernah mereka lalui. Inilah dunia kita: keras, berdebu, indah. Inilah wajah kita: dalam keadaan sekeras apapun, kita masih punya kapasitas untuk berbuat ramah pada sesama. Film ini perlu dilihat dan jadi reality check bagi siapapun yang sedang mengangankan kekhalifahan Islam: benarkah kita sanggup menguasai dunia ini dalam sebuah jalan pikiran tunggal? (HD) Metacritic: 75, Rottentomatoes: 89, IMDB: 75

44. Jisatsu sâkuru / Suicide Club (2002, Sion Sono)

Lima menit pembukaan film ini adalah 54 gadis ABG berseragam sekolah Jepang melompat ke rel stasiun Shinjuku, Tokyo. Darah, dan pertanyaan: kenapa? Selamat datang di mimpi buruk ciptaan Sion Sono. Ini harfiah: Sion Sono merancang film ini agar terasa sebagai mimpi mengerikan bagi siapapun yang memasukinya (: menontonnya). Strategi visual Sono memastikan itu: imaji-imaji yang seperti karib dan sehari-hari, tapi dipiuh –kadang secara

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

halus, kadang secara kasar– sehingga terasa sureal. Keseluruhan alur naratif sengaja tak koheren, persis seperti struktur alam mimpi yang bisa belok tanpa permisi ke situasi yang tak terpahami. Surealisme itu bukan sebuah kegenitan artistik. Sono sedang memasuki alam bawah sadar Jepang masa kini. Kita pun diajak, dibetot, Sono untuk menatap lekat-lekat kekerasan yang bergerak di alam bawah sadar masyarakat konsumsi tahap lanjut: bunuh diri pun bisa jadi trend, semua produk budaya Pop (di sini: lagu-lagu J-Pop grup vokalis gadis ABG) bisa jadi mengandung pesan subliminal, dan semua ekses konsumtivisme ini adalah sebuah proses bunuh diri perlahan. Ini bukan film horor, ini esai. (HD) Metacritic: NA, Rottentomatoes: 50, IMDB: 67

45. Kagadanan sa banwaan ning mga Engkanto / Death in the Land of Encantos (2007, Lav Diaz)

Bencana alam dan bencana buatan manusia bertemu secara sempurna dan manusia-manusia dunia ketiga dalam film ini sedang merespons keduanya dengan membajak tanah bekas bencana itu serta menyemai bibit baru bagi tumbuhnya soal besar seperti kemanusiaan dan kebangsaan. Serta sebuah pertanyaan: bisakah manusia terbebas dari kekerasan? Renungan panjang – sembilan jam– dari Lav Diaz ini menjawab tegas: tidak. Namun lebih dari itu, Diaz menyatakan bahwa efek kekerasan tetap punya makna indah jika kita memandangnya berlama-lama. Inilah estetika yang diusung oleh Diaz. Sebuah usulan yang melelahkan, tapi mungkin begitulah cara sembuh dari luka yang begitu dalam. (ES) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 83

46. Kandahar (2001, Mohsen Makhmalbaf)

Mohsen Makhmalbaf seperti berteriak, “Saya bisa lebih kejam daripada perang!” Maka penonton pun disuguhi adegan “pasukan

483

484

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

terjun payung” berupa kaki-kaki palsu untuk para korban perang. Bak ketiban rezeki, dengan langkah tertatih karena hanya punya satu kaki, para penduduk Afghanistan pun berlomba-lomba mengejar dan memungutnya. Film ini adalah bagian dari istiqomah-nya keluarga besar Makhmalbaf dalam memotret Afghanistan paska-9/11, khususnya yang berbatasan dengan Iran. Sekali lagi, Mohsen menyuguhkan “realitas” dari sisi lain ketimbang apa yang melulu tersaji di media. (EI) Metacritic: 76, Rottentomatoes: 89, IMDB: 67

47. Kantata Takwa (2008, Eros Djarot, Gotot Prakosa, Slamet Rahardjo)

Bayangkanlah para seniman yang sedang melawan salah satu despot terbesar yang hidup di penghujung abad keduapuluh. Kekuasaan despot itu begitu omnipresen sehingga mimpi pun tak aman dari jangkauan kekuasaannya. Apalagi yang masih tersisa? Film ini menunjukkan bahwa di tengah kengerian tak terperi sekalipun, para seniman punya daya hidup yang mampu membuat mereka terus melawan kekuasaan yang meraksasa itu. Sebuah perayaan besar-besaran terhadap kehidupan yang bebas dari rasa takut, salah satu perjuangan kemanusiaan yang abadi. (ES) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: NA

48. Khuda Kay Liye / In The Name of God (2007, Shooaib Mansoor)

Inilah contoh terbaik bagaimana kepolitikan global memengaruhi kehidupan manusia-manusia hingga ke pelosok yang jauh. Pelosok itu bernama Pakistan, sebuah negeri tempat keinginan untuk menjadi seorang yang saleh bisa bermakna subversi bagi kekuasaan politik global. Kita sudah paham bahwa sebagaimana ide, prasangka juga punya kaki dan bisa berjalan jauh. Perlawanan Shooaib Mansoor, seorang sutradara Pakistan, terhadap prasangka melalui film ini adalah perayaan terhadap kebebasan

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

manusia dari politik yang dalam film ini digambarkan bisa demikian keji. Penuh kekurangan teknis, film ini bisa jadi bukti bahwa keterbatasan biaya, teknologi, dan keterampilan, tak seberapa artinya dibanding kekuatan ide dan, ya, ketulusan membuat film. (ES) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 79

49. Kill Bill Vol. 1 & 2 (2003, 2004, Quentin Tarantino)

Sekali lagi, Quentin Tarantino menggebrak dalam hal cara bertutur dan bahasa audiovisual—dan meneguhkan posisinya di antara para penirunya. Seperti biasa, film Tarantino adalah film ensiklopedis. Kali ini, “ensiklopedi visual”-nya memberikan penghargaan bagi film kung fu Hong Kong, film Chanbara/ Yakuza/ Samurai Jepang, film eksploitasi atau film B termasuk blaxploitation, Spaghetti Western Italia. Film ini dibagi dua bagian, yang masing-masing mempunyai lima “bab” yang non-linear, dengan cara bertutur dan pendekatan yang berbeda-beda. Film ini membuktikan dengan kuat bahwa film yang sepenuhnya tentang penuturan, dan bukan tentang cerita itu sendiri berhak pula dikategorikan sebagai “seni”. Bahwa keasyikan, lebih penting dari isi. Bahwa posmodernisme, setidaknya dalam film, bukanlah teori, tapi sebuah hiburan. (EI) Kill Bill Vol. 1– Metacritic: 69, Rottentomatoes: 85, IMDB: 82 Kill Bill Vol. 2– Metacritic: 83, Rottentomatoes: 85, IMDB: 80

50. Kung Fu / Kung Fu Hustle (2004, Stephen Chow)

Sebuah perayaan besar-besaran terhadap genre Wu Xia atau (film) Kungfu Hongkong yang sudah punya tradisi panjang. Berangkat dari situ, film ini tampak sedang memunculkan sebuah tradisi baru pada seorang bernama Stephen Chow. Penerjemah terbaik Buster Keaton-Charlie Chaplin di Asia ini mengawinkan tradisi panjang sinema dengan seayik-asyiknya. Formula demi formula yang seharusnya menjadi konstruksi utama film, digagahi dan

485

486

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dijungkir balik ketika penonton dalam keadaan paling tak waspada. Dan hasilnya: sebuah hiburan yang nyaris sempurna— oh, tepatnya sebuah hiburan yang nyaris sempurna. (ES) Metacritic: 78, Rottentomatoes: 90, IMDB: 78

51. La meglio gioventù / The Best of Youth (2003, Marco Tullio Giordana)

Inilah karya yang lahir dari tangan generasi baru pascaneorealisme yang diwarisi sejumlah krisis: ekonomi, politik, dan tentu saja sosial budaya. Film ini dibuat untuk televisi (satu dari sedikit sumber yang masih punya dana). Artinya harus sesuai dengan selera penonton televisi, dan para pemasang iklan. Sutradaranya, Marco Tullio Giordana berhasil menjalankan tugas itu dengan sempurna. Ia membuat Best of Youth sebagai film arus utama, tapi tanpa sungkan memoles filmnya dengan politik, ideologi, dan kritik sosial yang kental, di masa ketika rating acara TV lebih memihak pada tontonan eskapisme. Film ini  kemudian jadi gong peringatan, yang dengungnya terdengar melampaui batas-batas teritori, hingga memenangi Un Certain Regards, Cannes tahun 2003. Film ini mencatat krisis demi krisis yang pernah dihadapi oleh Italia dan dampaknya terhadap kehidupan banyak individu. Ada yang memilih lari, ada yang tinggal, dan ada juga yang pergi tapi kembali lagi. Optimisme yang ditawarkan Best of Youth sungguh lantang dan tegas: jaman kejayaan generasi tua itu tidak seharusnya jadi beban, karena generasi muda punya tantangan sendiri. Menciptakan harapan dan sejarah mereka sendiri. (AK) Metacritic: 89, Rottentomatoes: 95, IMDB: 81

52. Låt den rätte komma in / Let The Right One In (2008, Tomas Alfredson)

Salju dan darah. Sebuah meditasi tentang kesepian dan cinta, teramat dekat dengan dua versi  Nosferatu  (karya maha dari

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

Murnau dan Herzog). Di sebuah kota kecil Swedia, dalam lanskap puitis yang pastoral, kekerasan pun semakin akrab bagi Oskar. Bocah ABG ini ditekan oleh sekelompok teman sekolahnya. Lalu, hadirlah Eli. Selalu keluar malam. Bertelanjang kaki di salju. Berbau agak aneh. Vampir, tentu saja. Film ini tak mau tergesa, selayaknya sebuah prosa liris. Bahkan ketika banjir darah itu tiba, sihir sinema film ini menampilkannya dengan anggun, hipnotik, sebuah horor halus yang mengerikan karena kita bisa bersimpati padanya. Lupakan serial Twilight! Sepuluh tahun lagi Anda akan malu jika memilih franchise itu tinimbang film ini. (HD) Metacritic: 82, Rottentomatoes: 97, IMDB: 81

53. Le scaphandre et le papillon / The Diving Bell and The Butterfly (2007, Julian Schnabel)

Sifat magis sinema bisa datang tak sekadar dari hal spektakuler, tapi justru dari fakta paling sederhana bahwa dalam mengunyah sinema, penglihatan itu menjadi wakil utama seluruh indra manusia. Lewat mata (dan kemudian telinga) sinema membangun realitasnya dan Julian Schnabel, seorang pelukis/sutradara, tetap bercerita tentang hasrat dasar dan kekuatan luar biasa manusia bahkan ketika kehidupan hanya tinggal ada di satu kelopak mata. Maka perayaan yang diajukan oleh film ini jauh dari sekadar sebuah “kisah inspirasional” yang superfisial. Inilah perayaan terhadap daya hidup manusia dan sinema yang dilakukan pada saat bersamaan. Betapa berhasilnya perayaan itu, justru ketika dilakukan dengan cara begitu sederhana. (ES) Metacritic: 92, Rottentomatoes: 93, IMDB: 81

54. Le Fabuleux destin d’Amélie Poulain / Amelie (2001, Jean-Piere Jeunet)

Kata orang, dunia ini terlalu rumit untuk dipahami. Tapi Amelie Poulain membuka diri sepenuhnya terhadap kerumitan itu, merengkuhnya, dan malah menjadikannya permainan yang

487

488

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

mengasyikkan. Dengan obsesi yang kekanak-kanakan, penonton dihangatkan hatinya menyaksikan bagaimana Amelie meliuk-liuk di dalam labirin, menjahit benang berwarna-warni di antara kerumitan dunia sekitarnya seraya menemukan kenikmatan terbesar yang tidak terjelaskan: menolong orang, dan juga menolong diri sendiri. (IA) Metacritic: 69, Rottentomatoes: 90, IMDB: 86

55. Le Grand Voyage (2004, Ismaël Ferroukhi)

“Air laut baru akan kehilangan rasa pahitnya sesudah menguap ke langit,” kata sang ayah yang sedang mencoba menjalani hidup dengan kemurnian. Ia pun meminta anaknya yang sekuler dan terEropakan bermobil ke Mekkah, berangkat dari Paris. Maka hubungan ayah-anak dan dialog spiritualitas pun meruyak dalam film ini. Sutradara Ismail Ferroukhi tak hanya sedang bicara tentang hubungan ayah dan anak, tapi juga sedang berbincang tentang Eropa sebagai sebuah ladang bagi persemaian bagi orang seperti dirinya: berakar Islam dan Arab tapi tumbuh di Eropa. Eropa baru memang sedang terdefinisikan, anehnya, justru melalui sebuah peristiwa spiritual bernama haji. Pada saat yang sama, sebuah pencandraan dunia Islam yang “lain” pun terhampar. Dan sesudah itu, kita paham: dunia memang tak sedaun kelor. (EI) Metacritic: NA, Rottentomatoes: 83, IMDB: 72

56. Les plages d’Agnès / The Beaches of Agnès (2008, Agnès Varda)

Apakah arti seni? Agnès Varda hidup tepat di jantung seni kontemporer Prancis. Ia tak pernah bisa diam: fotografi, film, seni instalasi, seni pertunjukan (performance art), jadi nafasnya. Tapi, mengalami film ini, kita tak lagi bisa mempertahankan prasangka bahwa “seni” adalah sesuatu yang “tinggi”, “jauh”, “aneh”, dan “elitis”. Seluruh lakon seni Agnès dipetik dari kenyataan hidupnya

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

sehari-hari, dan berdampak pula dalam keseharian orang yang disentuh oleh seni dari Agnès. Bagaimana ia memfilmkan gang belakang rumahnya, dan membatasi jangkauan kameranya sebatas jangkauan kabel bagi kameranya. Bagaimana rumahnya, sejak berupa reruntuhan hingga dilintasi hidup keluarganya, jadi subjek seni  avant garde  yang intim. Bagaimana momen perjumpaan, dan momen wafat suaminya, Jaqcues Demy. Dengan kerendahan hatinya, Agnès, dengan film ini, melahirkan sebuah surat cinta, barangkali salah satu yang terindah dalam sejarah sinema, kepada Sang Hidup. (HD) Metacritic: 86, Rottentomatoes: 97, IMDB: 79

57. Letters From Iwo Jima (2006, Clint Eastwood)

Katakanlah bahwa ada sentimen kolektif sebuah bangsa; tapi mengapa orang dari bangsa lain yang bisa menangkap soal sensitif seperti itu dan menyajikannya seakan miliknya sendiri? Inilah bukti bahwa fimmaking adalah sesuatu yang kelewat kompleks untuk diukur dalam satuan-satuan negara-bangsa, bukan hanya dari aspek produksi, tapi justru dari gagasan mengenai elan sebuah bangsa, sesuatu yang mustahil untuk bisa dipahami secara sepintas lalu. Sekali lagi Clint Eastwood membuktikan keunggulan sinema ketimbang medium lain dalam mendedah, menggugat dan menegaskan mitos—sesuatu yang kompleksitasnya tak terperikan lagi di jaman kontemporer ini.  (ES) Metacritic: 89, Rottentomatoes: 91, IMDB: 80

58. Lola / Grandmother (2009, Brillante Mendoza)

Kemiskinan mungkin menarik untuk dieksploitasi dan disajikan di piring indah bagi para programmer festival film di Eropa. Tapi Brillante Mendoza, bagai menuntaskan apa yang pernah dimulai oleh neo-realisme di Italia: non-aktor, kemiskinan, lokasi nonstudio, dan dialog alamiah sebagai perlawanan bagi kenyamanan hidup kelas menengah atau eskapisme kelas pekerja yang kasip

489

490

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dirayakan di layar lebar. Sebuah fim yang tegas menjadi sikap anti terhadap eskapisme. Maka apa yang kini dijuluki “slum pornography” ini punya kemuliaannya sendiri: sebuah kritik sosial. Bisa jadi para programmer festival di Eropa merasa terangsang olehnya, tapi sesungguhnya kisah dua nenek tua mengumpulkan uang demi cucu mereka di tengah badai di Manila ini adalah tantangan terhadap persepsi nyaman kita tentang sinema. Sinema sebagai kritik? Kenapa tidak. (ES) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 73

59. Lost in Translation (2003, Sofia Coppola)

Jika kita cukup sinis, tokoh-tokoh yang tertindih sepi dalam Lost in Translation ini bisa dicibir dengan mudah: “salah sendiri”. Tetapi justru di situ kelebihan film ini: tanpa sikap menghakimi, Sofia Coppola menghadirkan sebuah puisi yang indah tentang tragedi keterasingan. Dibantu penata kamera Lance Acord, Tokyo menjadi simbol sempurna posisi limbo itu, di antara kemeriahan dan kesepian. Belum pernah rasa sepi bisa senikmat ini, bagaikan menyusun sebuah nostalgia perih yang bagaimana pun, menjadikan kita seperti adanya sekarang. (IA) Metacritic: 89, Rottentomatoes: 94, IMDB: 79

60. Memento (2000, Christopher Nolan)

Sebuah thriller sederhana yang diramu dalam bentuk penceritaan yang nyaris mustahil. Tapi toh Christopher Nolan berhasil menaklukkan kemustahilan itu, dengan menjungkirkan sebuah ajaran lama tentang dongeng dengan hasil yang sama efektifnya. Jika kita terpikat oleh sebuah cerita dengan pertanyaan, “what’s next?”,  Memento  dengan ‘sialan’-nya menjerat kita dengan pertanyaan, “what’s before?” Sembari tetap dengan bernas berbicara perihal ingatan, atau tepatnya: kenangan, dan identitas diri yang ternyata sangat rapuh. (HD) Metacritic: 80, Rottentomatoes: 93, IMDB: 87

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

61. Monsoon Wedding (2001, Mira Nair)

Inilah potret ketika diaspora berkumpul di negeri asal. India adalah aneka warna dan bahasa, tari dan musik, dan tradisi sebuah peradaban tua yang kini harus hidup dalam modernisme tanpa ampun. Kerumun orang yang selalu terlalu banyak, agaknya mudah menyimpan tragedi. Sungguh otentik, ketika nada film tiba-tiba menggelap, saat tragedi itu terungkap. Apa yang bisa dilakukan? Tak ada cara lain: bersukacita sajalah. Dalam keluarga besar yang mewarisi sebuah peradaban tua, seperti keluarga Lalit yang berlatar sosial kelas atas di Delhi, pernikahan selalu soal besar.  Chaos  adalah kemestian. Dengan mulus, Mira Nair menelusuri banyak karakter itu, berenang di antara bahasa India dan Inggris dalam kolam keluarga yang datang dari Australia dan Amerika, dan menawarkan kearifan: adat tak selamanya kasip. (HD) Metacritic: 77, Rottentomatoes: 95, IMDB: 72

62. Moulin Rouge! (2001, Baz Luhrmann)

Sebagaimana syarat film musikal yang baik, lirik dan musikalitas jadi bagian tak terpisahkan dari filmnya. Dan Baz Luhrmann, seorang pendongeng yang bergairah, tak membatasi filmnya di situ. Ia mengekplorasi seluruh aspek teknis sinema dan musik pop guna mengubah kisah cinta macam roman picisan menjadi sebuah dongeng postmodern. Dan sesudah film ini, mendengarkan Like A Virgin atau Smell Like Teen Spirit tiba-tiba menjadi begitu berbeda. Film ini juga patut dicatat sebagai salah satu penerap  rapid cut yang paling berhasil di awal dekade ini. Sebagian pengamat mencatatnya, setelah JFK (Oliver Stone) di dekade sebelumnya, sebagai salah satu pengukuh trend editing-cepat di Hollywood selama dekade ini. (EI) Metacritic: 66, Rottentomatoes: 78, IMDB: 77

491

492

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

63. Ni na bian ji dian / What Time Is It There? (2001, Tsai Ming-Liang)

Terhubung oleh apakah manusia di dua tempat dan waktu berbeda? Begitu berartikah sebuah pertemuan selintas di tepi jalan? Ataukah ada kerja mesin besar bernama Takdir? Tsai Ming Liang mengajak kita pada sebuah perenungan panjang tanpa kata tentang kehidupan, kematian dan dimensi-dimensi yang menghubungkan hal itu. Hei, betapa absurdnya usaha manusia— bahkan untuk sekadar memahaminya; alih-alih melawannya. Tapi, tema yang lazimnya terasa “Eropa” ini jadi sebuah palet impresionistik Tsai Ming Liang melukis sebuah pemandangan Asia kiwari. (ES) Metacritic: 79, Rottentomatoes: 84, IMDB: 72

64. No Country For Old Men (2007, Ethan and Joel Coen)

Apa artinya puncak pencapaian auteur-ship ketika nyaris seluruh film penting dekade ini berasal dari para auteur? Ada: auteur film ini adalah Coen Bersaudara. Mereka bukan hanya terbiasa menghasilkan perbincangan paling dasar tentang manusia dengan komedi yang amat rumit dari segi plot, tetapi mereka tak pernah lupa bahwa yang membuat penonton bertahan di bioskop adalah cerita. Maka puncak yang dicapai oleh film ini bisa jadi adalah puncak dalam capaian sinema Amerika, yaitu ketika kerumitan demi kerumitan bertemu dengan suspens yang demikian memesona. (ES) Metacritic: 91, Rottentomatoes: 95, IMDB: 83

65. No Quarto de Vanda / In Vanda’s Room (2000, Pedro Costa)

Film ini berangkat dari keprihatinan sang sutradara. Buat apa saya syuting dengan serombongan awak dan segerobak peralatan yang menghalangi saya mendapat gambar terbaik untuk direkam di kamera? Mahal, pula. Lalu Pedro Costa memutuskan membawa kamera sendiri, seorang perekam suara dan (secara harfiah)

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

tinggal selama 2 tahun di kawasan Fontainhas, tempatnya membuat film ini. Fontainhas yang kumuh, penuh obat bius, kemiskinan dan kekerasan itu sedang digusur dan Pedro mendokumentasikan penggusuran itu dengan cara yang teramat unik. Ia merekam keseharian tokoh utama film ini, Vanda Duarte, sebagai dirinya sendiri serta lingkungan terdekatnya dan meminta mereka mengulangi adegan dan dialog demi mendapatkan efek sinematis yang optimal. Hasilnya adalah sebuah sinema yang tak hanya menabrak taksonomi fiksi dan dokumenter, tetapi juga membuka kemungkinan baru: hapuskan subyek dan obyek dalam kisah. Lalu setialah pada peristiwa, maka hidup (nyaris) terekam sempurna! (ES) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 77

66. Offside (2006, Jafar Panahi)

Rasanya tidak banyak film yang sanggup bicara dengan nada seringan sekaligus semarah ini tentang melesetnya nilai-nilai dalam hiruk pikuk dunia modern. Termasuk di dalamnya, hiruk pikuk pertandingan bola. Lewat dialog dan pertengkaran para tokohnya di dalam ruang yang terbatas (ironisnya, ruang terbatas bak penjara itu ada di sebuah stadion bola), tampak bahwa konflik dan sepak terjang orang-orang kecil sebagai cerminan masalah yang lebih agung bukan lagi omong kosong filosofis belaka. Hal kecil seperti bagaimana caranya perempuan Iran menonton bola, jadi sebuah persoalan peradaban yang penting. Banyak hal “meleset” yang dibicarakan (seperti: apa alasan perempuan tak boleh menonton bola di stadion), tetapi jelas sudut pandang kamera Jafar Panahi bukanlah salah satu dari yang meleset itu. (IA) Metacritic: 85, Rottentomatoes: 95, IMDB: 71

67. Oldeuboi / Old Boy (2003, Park Chan-Wook)

Dendam adalah lahan subur bagi moralitas abu-abu yang

493

494

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

mengaburkan nilai intrinsik sebuah perbuatan kriminal. Maka sinema terus menerus menggunakan tema ini untuk bertanya tentang moralitas—sesuatu yang dianggap kukuh—dan menggubahnya menjadi semacam permainan berbahaya antar manusia. Namun permainan itu tak pernah semengerikan gambaran di film yang menjadi bagian dari trilogi balas dendam yang dibuat oleh Park Chan-Wook ini. Mungkin karena pemeo “penantian panjang akan berbuah sesuatu yang manis” direndeng dengan inses adalah perpaduan yang “keterlaluan” sekalipun dalam imajinasi liar kebanyakan kita. Film ini adalah salah satu contoh terbaik sublimasi genre, bahkan ketika ia berkubang dalam kedegilan kisah kriminal dan film laga. (ES) Metacritic: 74, Rottentomatoes: NA, IMDB: 83

68. Opera Jawa / Requiem for Java (2006, Garin Nugroho)

Garin Nugroho bagai sedang membuka galeri bagi para seniman musik, tari, dan instalasi untuk berpameran. Maka energi gabungan mereka semualah yang disalurkan oleh film ini. Dengan mengambil cerita adaptasi longgar  Ramayana, energi itu membentuk kisah benturan ekonomi politik yang keras dalam lingkungan domestik ketika laki-laki dan perempuan terlibat dalam pertarungan sampai mati mempersoal seksualitas dan peran masing-masing. Film ini terbukti berfungsi sebagai sebuah sumbangan sebuah kampung Jawa, dalam sebuah Indonesia modern, terhadap khasanah sinema dunia yang berpusat di Eropa. Sebuah suara Pinggir yang dengan percaya diri bicara dalam posisi setara di Pusat. (ES) Metacritic: NA, Rottentomatoes: 100, IMDB: 68

69. Paraguayan Hammock / Hamaca Paraguay (2006, Paz Encina)

Puluhan tahun lamanya di negeri miskin bernama Paraguay, tak lahir satu pun film yang dibuat dengan bahan baku seluloid 35

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

mm. Ketika kesempatan itu ada, ternyata yang lahir adalah sebuah paradoks: film yang begitu lembut tapi berani pada saat yang sama. Tak hanya itu, film ini juga sangat dalam menarasikan bangsa Paraguay sebagai hasil penaklukan dan penindasan negerinegeri tetangganya. Bagaimana film bisa mengisahkan luka begitu dalam? Film ini bisa dan kita melihat: hukuman terberat bagi sebuah bangsa adalah rasa bosan. Film ini dengan amat puitis menggambarkannya sekaligus menunjukkan betapa film bisa menaklukkan kebosanan itu. Saya selalu kangen film sepuitis ini. (Krisnadi Yuliawan) Metacritic: NA, Rottentomatoes: 56, IMDB: 66

70. Peur(s) du Noir / Fears of The Dark  (2007, Charles Burns, Marie Caillou & Romain Slocombe, Richard McGuire & Michel Pirus, Blutch, Lorenzo Mattotti & Jerry Kramsky, Pierre Di Sciullo, and Etienne Robial)

Diputar sendiri-sendiri, enam film animasi ini cukup istimewa. Tapi, cara antologi ini menyunting film dengan struktur mosaik, cukup “mengganggu”. Mencakup karya dari 10 seniman novel grafis (komik) dari beberapa negara, kumpulan ini mencoba sebuah area yang jarang dicoba: animasi-horor. Jepang, lewat anime-nya, cukup terbiasa dengan genre ini. Tapi, Amerika dan Eropa agak ting ting di sini. Seperti bisa diduga, horor yang diangkat lebih bersifat eksistensial. Apalagi film bingkai yang dinarasikan Nicole Garcia, lebih merupakan esai atau curhat tentang berbagai ketakutan dan kecemasan manusia “borjuis tak terampunkan” yang dinarasikan Nicole Garcia. Walau, tetap ada yang mencoba mencapai “horor murni” yang efektif, seperti karya Charles Burn dan Richard McGuire. (HD) Metacritic: 69, Rottentomatoes: 73, IMDB: 66

495

496

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

71. Punch Drunk Love (2002, Paul Thomas Anderson)

Film ini mengandung bibit bagi  There Will Be Blood  yang mencekam itu. P.T. Anderson memasuki kegilaan dengan mempermainkan konvensi skenario, seperti dialog-dialog tak mulus, adegan-adegan yang tak jelas maknanya (piano-organ kecil jatuh di tengah jalan untuk disimpan dengan rasa bersalah oleh Barry?). Kegilaan itu juga hadir dalam musik. Dan tindakan kekerasan yang tak sepenuhnya bisa dipahami. Membaca film ini, terasa bahwa peradaban konsumtif-modern sedang di jalan buntu, sehingga bahkan untuk mendapat cinta murni pun dalam peradaban ini, seseorang harus gila dulu. (HD) Metacritic: 78, Rottentomatoes: 79, IMDB: 74

72. Redacted (2007, Brian DePalma)

Film ini adalah amarah. Terasa sebagai amarah. Terlihat sebagai amarah. Hantaman rangsang visual bersicepat, dunia kita adalah dunia video, dan kenyataan biadabnya perang pun menjadi lebih nyata melalui pendekatan serba-video dalam film ini: inilah dunia kita—internet dan 9/11 telah membentuknya. Sepanjang karir Brian DePalma, ia selalu memakai modus menggunakan jurusjurus visual para sineas besar sebelumnya. Mirip Martin Scorcesse sebetulnya, dan mendahului Quentin Tarantino. Di film ini, Brian mengaduk dan meramu unsur-unsur visual bukan dari para sineas besar tapi yang beredar di sekujur dunia kita saat ini: youtube, blog, handy-cam, dsb. Premis film ini mirip sekali dengan film lamanya, Casualties of War (tentang ketakbermaknaan perang Vietnam dan perkosaan gadis Vietnam oleh tentara AS), kecuali bahwa ini berdasar insiden nyata di Irak tak berapa lama setelah George W. Bush menitahkan serbuan ke Irak. Brian mem-”fiksi”kan kejadian itu, agar tak dituntut hukum. Tapi, film ini memancing kemarahan banyak orang: Brian dianggap sebagian pendukung Bush sebagai “pengkhianat”, dan filmnya dianggap

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

berbahaya bagi AS. Bukti bahwa medium film mampu mendedah kenyataan secara brutal, menampar dunia brutal yang kita jalani saat ini. (HD) Metacritic: 52, Rottentomatoes: 44, IMDB: 61

73. Requiem for a Dream (2000, Darren Aronofsky)

Untuk apa shot mikroskopis urat darah yang dialiri narkoba atau gabungan  fast-motion  dan  slow-motion  dalam  frame  sebegitu berdekatan? Mungkin Arronofsky ingin mencoba-coba gaya dan menyatakan sinema punya kemungkinan lain. Tapi mungkin tidak juga: ia sekadar sedang bicara tentang neurotic breakdown, tentang kekacauan fisik dari otak yang menggagalkan kerja akal sehat sederhana untuk memahami perilaku manusia. Adakah cara lain —selain mimpi—untuk menyatakan soal ini sekuat apa yang disampaikan oleh Arronofksy di sini? Inilah pembuktian dari Arronofsky bahwa sinema bisa sekuat mimpi. (ES) Metacritic: 68, Rottentomatoes: 78, IMDB: 85

74. Russkiy kovcheg / Russian Ark (2002, Alexandr Sokurov)

Dipersiapkan selama 15 tahun, disyut dalam 33 ruangan dengan 2000 orang pemain, film ini adalah  satu  syut panjang yang direkam dalam sekali ambil (setelah percobaan keempat) oleh kamera Steadycam Sequence Shot selama 96 menit! Kamera menjadi mata narator, yang menyusuri ruang demi ruang sejarah non-kronologis 300 tahun kota di Rusia, didampingi seorang pemandu yang bernama “Eropa”. Menikmati film ini sebaiknya dengan meletakkan lebih dulu segala prasangka terhadap “seni”, dan santai saja mengikuti segala yang terhidang di depan mata. Aneka sensasi visual, teatrikal, dan metaforik, bisa perlahan meresap, menuju titik akhir: “Aku” akan terus berjalan, dengan atau tanpa “Eropa”.  (HD) Metacritic: 86, Rottentomatoes: 88, IMDB: 72

497

498

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

75. Salinui chueok / Memories of Murder (2003, Bong Joon-Ho)

Pembunuhan berantai, di pedesaan dengan persawahan luas. Sebuah setting sempurna bagi sebuah kisah detektif standar yang sudah habis dieksplorasi oleh Alfred Hitchcock. “Sudah habis”? Kesimpulan itu terlalu cepat. Coba perhatikan baik-baik bahwa film ini tak berusaha mengejar efisiensi dalam bercerita dan itulah kekuatan utamanya. Kita senang sekali merasakan bahwa karakter dalam film punya hidupnya sendiri, dan ini membuat kita lupa bahwa kita sedang mengikuti sebuah cerita. Tak terasa obsesi terhadap realisme pada film ini. Tetapi justru tanpa obsesi itu, ilusi film ini sedemikian sempurna dan menghanyutkan penontonnya. (ES) Metacritic: 82, Rottentomatoes: 88, IMDB: 81

76. Sawan Baan Na / Agrarian Utopia (2009, Uropong Raksasad)

Intensitas kamera Uropong Raksasad, sutradara asal Thailand Utara ini, menghasilkan kesan penting tentang subyek film ini, bahwa pekerjaan manusia—petani—adalah sesuatu yang suci. Maka melihat mereka terlepas dari pekerjaannya adalah melihat pelan-pelan proses terjadinya alienasi manusia, persis seperti yang digadang Karl Marx muda dalam tulisan-tulisannya. Belum pernah persoalan struktural yang keras di wilayah Asia-Agraris dihadirkan sepuitis ini. Fakta pentingnya: Uropong bahkan seperti tak mungkin membuat film lain kecuali tentang subjek ini dan dengan cara seperti ini. Artinya: inilah sebuah film paripurna tentang Manusia-Tani, dan puisi penting tentang Manusia di pelataran yang jauh sejauhnya dari Pusat. (ES) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 75

77. Sen to Chihiro no kamikakushi / Spirited Away (2001, Hayao Miyazaki)

Jika Lewis Carrol lewat bukunya  Alice in Wonderland  telah

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

memulai tradisi jabberwocky pada literatur Barat, maka inilah karya yang meng-elevasi kebermainan semacam itu karena ada nilai spiritual yang dipertaruhkan oleh Miyazaki, sang master animasi yang tiada tara. Kebermainan bentuk tak pernah semata bermakna absurditas atau penting demi kebermainannya sendiri, tapi mengacu pada sebuah pandangan dunia yang tak pernah ajeg karena ketidamautahuan orang dewasa terhadap anasir pembentuk kenyataan. Hidup Asia! Atau: hidup anak-anak! Dan akhirnya (inilah kehebatan Miyazaki): hidup sinema! (ES) Metacritic: 94, Rottentomatoes: 97, IMDB: 85

78. Singapore Gaga (2005, Tan Pin Pin)

Menarasikan bangsa lewat bebunyian. Tan Pin Pin adalah seorang pembuat film dokumenter sekaligus pemikir yang alamiah. Subjek-subjeknya selalu unik, dan di film ini ia merenungi negeri alit Singapura lewat bunyi-bunyi yang ia cari di seantero Singapura. Tukang  ngamen. Penjaja tisu di kursi roda yang mencipta jingle lucu. Orang-orang tua yang masih terkenang lagu patriotik Cina lama. Margaret Leng Tan membawakan karya John Cage, 4’33”, (sebuah “musik” tanpa bunyi selama 4 menit 33 detik) di lapangan parkir. Sebuah negeri di persilangan tradisi dan budaya masa kini. (HD) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 59

79. 79. Slumdog Milionaire (2008, Danny Boyle)

Dan apakah “film nasional” itu? Danny Boyle, si orang Inggris, bisa menangkap, tentu dengan penafsirannya sendiri, identitas kultural dan berbagai permasalahan khas penduduk dan kota Mumbai, India, dengan kamera yang begitu riang. Jadilah sebuah dongeng kontemporer dimana cara bertuturnya sudah menyatu dengan ikon budaya populer global semisal kuis  waralaba global Who Wants to be Millionaire. Sang tokoh utama menjawab satu demi satu pertanyaaan dari pembawa acara, seraya mengajak

499

500

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

penonton menelusuri daerah-daerah India yang jarang terlihat di film-film Bollywood: kemiskinan, pelacuran, dunia kriminal, dan hal-hal yang disembunyikan di bawah karpet lainnya. Kekayaan rujukan visual Boyle (di samping modus produksi) dalam film ini menjadi sebuah simulasi mumpuni tentang bagaimana Globalisasi bekerja di sebuah lokal, kebetulan saja itu terjadi di Mumbai, India. (EI) Metacritic: 86, Rottentomatoes: 94, IMDB: 83

80. Solntse / The Sun (2005, Alexandr Sokurov)

Sebagai orang luar, Aleksandr Sokurov tanpa beban memotret sisi manusiawi—dengan sentuhan humor pula—Kaisar Hirohito dalam lingkungan kekaisannya yang kaku dan misterius. Tanpa segan, Sokurov mengkritisi sekaligus mengagumi Kaisar cerdas dengan pengetahuan luas, yang pandangannya terhadap negerinya dipersempit oleh statusnya sebagai “manusia dewa”. Sokurov menciptakan latar belakang yang unik ala surealis bagi Kaisar Hirohito di hari-hari terakhir kekalahan Jepang pada perang dunia kedua. Toh kekuatan imajinasi yang diterjemahkan secara visual dengan detail-detail shot yang sangat mengagumkan tidak lantas mengaburkan nilai sejarah yang terkandung dalam The Sun. (AK) Metacritic: 85, Rottentomatoes: 91, IMDB: 74

81. Sud pralad / Tropical Malady (2004, Apichatpong Weerasathakul)

Mungkin perlu banyak dekade agar film bernarasi ‘abstrak’ mendapat perhatian dunia. Bukan kebetulan jika karya yang berhasil melakukannya adalah karya sutradara Thailand ini. Sepintas Apichatpong seperti sedang “mengurai lagi benang yang sudah dipilinnya” ketika kedua tokoh dalam filmnya ini ia biarkan masuk ke dalam hutan dan narasi film jadi tak berarti lagi. Ia

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

bermain-main dalam batas antara sinema dan non-sinema atau mungkin tepatnya narasi dan non-narasi. Maka pertanyaan yang diajukan terhadap film bukan “film apakah ini?”, tapi “apakah ini film?”. Jika sinema diibaratkan agama yang sudah mapan dengan estetika dan cara tutur yang ada selama ini, maka Apichatpong seperti bersiap menyusun sebuah agama baru melalui film ini. Anda merasakan hasilnya ketika menonton Uncle Boonmee Who Can Recal His Past Lives? (ES) Metacritic: 78, Rottentomatoes: 76, IMDB: 70

82. Syriana (2005, Stephen Gaghan)

Roger Ebert menyebut struktur cerita multiplot film ini sebagai cerita hyperlink. Dekade 2000-2009 menyaksikan banyak film yang menggunakan teknik ini yang menurut Ebert juga sering diterapkan oleh Robert Altman. Intinya, sejumlah karakter punya cerita yang saling terkait, membangun suasana film keseluruhan. Suasana total film ini adalah kecemasan khas pasca-9/11, ketika jelas bagi sebagian orang Amerika sendiri bahwa Amerika bukan hanya korban tapi juga masalah dalam Tatanan Dunia saat ini. Minyak dan politik, itulah subjek ambisius Syriana. Dengan kata lain: sebuah korupsi berskala global, yang menelan korban orangorang baik di semua sisi. Dan film ini berhasil memberi wajah pada kekacauan tak terbayangkan itu. (HD) Metacritic: 76, Rottentomatoes: 72, IMDB: 71

83. Takhté siah / The Blackboard (2000, Samira Makhmalbaf)

Samira Makhmalbaf, si anak ajaib itu, menempatkan papan tulis sebagai pusat peradaban. Alas untuk menulis itu bisa dipakai seorang guru untuk menjajakan ilmunya secara  ngeteng  di berbagai bukit dan dusun—dan para murid yang tidak fokus belajar— sebagai alat kamuflase agar terhindar dari militer, bisa juga untuk menikah. Samira yang kala itu baru 18 tahun

501

502

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

berkolaborasi dengan sang ayah, Mohsen, menghasilkan tidak hanya cerita yang kuat, tetapi juga bahasa audiovisual yang merepresentasikan kenyataan lain dari suku Kurdi/pengungsi di perbatasan Irak—yang kala itu sedang digempur pasukan sekutu. (EI) Metacritic: 64, Rottentomatoes: 74, IMDB: 69

84. Teak Leaves at the Temple (2008, Garin Nugroho)

Sebaiknya ditonton bersanding dengan Opera Jawa. Dalam ulasan tentang keduanya di  Rumah Film, saya memandang film ini sebagai sebuah upaya memahami bagaimana musik/bunyi yang tertata mampu menghidupkan ruang. Film ini mendokumentasi kerjasama musikal (dan filosofis) trio free jazz Mozzola-GeisserJones, dengan lima komunitas seni di kaki Gunung Merapi. Garin tak membuat dokumenter kegiatan, tapi dokumenter gagasan. Sejak tari dan gasing di permulaan, hingga pertunjukan spontan seusai gempa Jogja, kita diajak naik ke langit nirwana, seperti tingkatan-tingkatan candi yang diterangkan oleh Mozzola. Sebuah karya puncak yang agaknya oleh Garin sendiri tak terlalu dianggap penting. (HD) Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 81

85. Ten (2002, Abbas Kiarostami)

Sebuah pelucutan habis-habisan unsur-unsur film yang lazim. Dengan kamera digital “alakadarnya”, yang statis hanya merekam satu wajah setiap babak, film ini berhasil merekam sebuah keseharian yang emosional. Kamera hanya ditaruh di dashboard mobil, merekam percakapan seorang ibu muda Iran dengan penumpang mobilnya yang berganti-ganti (termasuk, seorang pelacur). Dalam keterbatasan kamera itu, Kiorestami menunjukkan bahwa sesuatu bisa bergerak: misalnya, simpati penonton, yang perlahan bergeser, dari tertuju pada sang anak kemudian menjadi kepada sang ibu. Juga, film ini membeber

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

sebuah dunia perempuan yang khas Iran, tapi sekaligus bisa kita jumpai di kota mana pun di dunia ini. (HD) Metacritic: 86, Rottentomatoes: 86, IMDB: 72

86. The Dark Knight (2008, Christopher Nolan)

Batman bukan sebagai superhero, tapi sebagai kisah kriminal (crime story)? Maka semua elemen dalam mitologi Batman pun jadi masuk akal, realistis, dan relevan. Penjahat-penjahat yang melampaui definisi sakit jiwa yang ada. Kebengisan yang selalu mengintip. Kemusykilan bersikukuh pada moral dan etika. Pertempuran abadi antara “bukan kejahatan vs. kebaikan, tapi “ kebermainan vs. keseriusan”. Antara  chaos  vs. tata. Dan penampilan abadi sang nabi kekacauan, Joker (Heath Ledger marhum) sebagai wajah buruk yang selalu mungkin jadi wajah kita. Keberhasilan utama Nolan adalah menjadikan film sebagai risalah didaktik filsafat, tanpa kehilangan cerita dan keasyikan penuturan. Sesuatu yang dengan sukses diolahnya lagi dalam Inception, di dekade sesudahnya. (HD) Metacritic: 82, Rottentomatoes: 93, IMDB: 89

87. The Royal Tenenbaums (2001, Wes Anderson)

“Keluarga disfungsi” adalah istilah yang kelewat mainstream untuk mendefinisikan keluarga Tenenbaum ini. Jika keluarga diukur dari hubungan-hubungan para anggotanya, maka keluarga “bangsawan” Tenenbaum adalah sebuah gambaran hasil proses saling adaptasi yang membuat kegilaan diterima menjadi sebuah kenormalan baru. Maka menikmati apa yang biasa dan tidak biasa dari mereka mirip perjalanan kontemplasi tentang keberadaan diri sendiri di tengah lingkungan terdekat kita. Hanya saja, kontemplasi biasanya dilakukan dengan hening. Tapi film ini melakukannya dengan riuh rendah bagai sebuah pesta kacau balau. (ES) Metacritic: 75, Rottentomatoes: 79, IMDB: 76

503

504

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

88. The Squid and The Whale (2005, Noah Baumbach)

Film ini memperlihatkan bahwa Amerika, sebuah bangsa dengan lapis kelas menengah yang tebal, disusun oleh kerapuhankerapuhan para individu yang berkumpul di bawah satu atap dalam waktu lama – atau sebut saja keluarga.  Tapi ada apa dengan judul paus dan cumi-cumi? Keduanya bertarung di laut dalam yang jauh dan gelap, bagai tak peduli bahwa dari pertarungan itu ada korban yang memandangi dengan rasa takut dan rindu pada saat yang sama. Maka bukan sekadar Mimpi Amerika yang guyah digambarkan di sini, tapi yang katanya kelas menengah itu sesungguhnya adalah sebuah pengasuhan dalam suasana mimpi buruk terus menerus. (ES) Metacritic: 82, Rottentomatoes: 93, IMDB: 76

89. Time Code (2000, Mike Figgis)

Seluruh film disyut oleh kamera digital, secara real time (durasi = waktu adegan). Terdiri empat adegan yang ditampilkan di layar serentak secara split screen, masing-masing direkam dalam single take  (sekali ambil) selama 98 menit. Kadang, tokoh di satu frame masuk dan berhubungan dengan tokoh di frame lain. Mike Figgis, sang sutradara gila ini, adalah “nabi” bagi pembuatan film secara digital. Kita mengenalnya sebagai sutradara film pemenang Oscar, Leaving Las Vegas (1995) yang disyut dalam kamera 16 mm, karena murah dan leluasa. Figgis selalu bereksperimen di tiap filmnya, mencipta sendiri musik untuk film-filmnya, dan mencipta alat bantu kamera digital agar ajeg. Ia tak mementingkan cerita dalam film ini (walau cerita itu ada, dan cukup menarik). Ia hanya menunjukkan bahwa film semacam ini bisa dibikin. Ia menegaskan, moda digital adalah juga sebuah estetika. Selamat datang di masa depan film. (HD) Metacritic: 67, Rottentomatoes: 68, IMDB: 61

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

90. Tokyo Sonata (2008, Kiyoshi Kurosawa)

Jepang sedang berubah. Film ini memberi gambaran yang kuat tentang itu. Kekacauan dimulai saat Ryuhei dipecat. Di permukaan, ini hanya masalah krisis ekonomi. Tapi, ada arus bawah yang lebih mencemaskan. Ryuhei adalah kepala keluarga. Ia adalah Jepang lama. Perlahan, ia tak bisa menggenggam keluarganya. Posisi-posisi sosial yang lazim perlahan membuyar. Anak sulungnya jadi tentara Amerika dan ikut dalam Perang Teluk di Irak. Istrinya menemukan pembebasan seksual yang eksistensial dari tempat yang sama sekali tak terduga. Anaknya yang bungsu tak ia pahami. Sampai seakan tiba-tiba, kita tiba di akhir film: si bungsu memainkan Claire de Lune karya Claude Debussy secara lengkap, dan kita terpana pada si jenius piano, pada sang musik, pada film ini, pada hidup itu sendiri. (HD) Metacritic: 80, Rottentomatoes: 94, IMDB: 76

91. Trilogi Orked: Sepet / Chinese Eyes, Gubra, Mukhsin (2004, 2006, Yasmin Ahmad)

Yasmin Ahmad adalah harta karun sinema dunia dari Malaysia. Dengan memakai karakter Orked dan keluarganya, ia mengungkap sisi lain dari negerinya sembari melakukan kritik sosial. Keluarga Pak Atam dan Mak Inom—nama asli kedua orang tua Yasmin—adalah tipe yang dianggap keluarga “gila”, kebarat-baratan, jauh dari akar Melayu, tapi penonton bisa melihat pancaran ketulusan dan kebahagiaan di sana. Sejak Sepet, ia sudah menyentil wacana multikulturalisme dengan menjodohkan Orked dengan Jason, ras Cina yang penjual VCD bajakan. Di Gubra, Orked bilang kalau di negerinya hanya ada lagu dengan lirik melayu, itu akan membosankan dan membuatnya hijrah ke tempat lain. Pada Mukhsin, ia menyoroti juga bagaimana perilaku warga “Melayu” yang senang bergunjing namun yang bergosip tak lebih baik dari yang dibincangkan.  Baik

505

506

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

ditonton terpisah atau bersamaan, ketiga film ini mendapatkan tempat yang istimewa di banyak penonton. Rumusnya sederhana: ketulusan dan keinginan yang kuat untuk menyebarkan cinta dan semangat saling memahami. (EI) Sepet – Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 74 Gubra – Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 74 Mukhsin – Metacritic: NA, Rottentomatoes: NA, IMDB: 75

92. Un Prophète / A Prophet (2009, Jacques Audiard)

Eropa, terutama Prancis, sedang menyaksikan tumbuhnya komunitas imigran yang selama ini tak mampu mencapai puncak tertinggi dalam struktur sosial-multikultural mereka. Maka perhatikan bagaimana di institusi informal semisal organized crime, komunitas itu mendapat jalan keluar dari saluran mampat itu. Komunitas imigran—dalam hal Prancis adalah komunitas Arab Muslim—selama ini menempati tempat pinggiran, padahal sudah ada komunitas Korsika di sana. Maka perebutan kekuasaan kedua kelompok ini untuk menguasai penjara seperti sedang menyaksikan Eropa yang sedang cemas memandang masa depan mereka di sebuah dunia sesudah 11 September 2011. (ES) Metacritic: 90, Rottentomatoes: 97, IMDB: 80

93. Wall-E (2008, Andrew Stanton)

Apa yang pada dekade lalu oleh sutradara Stanley Kubrick jadi pertanyaan ultrafilosofis tentang hubungan asal usul manusia dan teknologi (2001: A Space Odyssey, anyone?), di tangan studio animasi Pixar tema ini berubah jadi tontonan semua umur. Berangkat dari premis tentang sifat dasar manusia yang malas, kemaruk serta sebuah worst-case scenario terhadap pemanfaatan teknologi, kisah robot kecil ini menjadi gambaran bahwa manusia masih punya masa depan cerah dan tak berubah jadi monster justru oleh kenaifan mereka yang paling dasar. Hebatnya lagi film ini, semua hadir dalam sebuah kisah amat romantis yang seakan

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

menafsir ulang kisah Adam dan Hawa tanpa perlu adanya pendosa. Film ini juga menandai sebuah capaian penting di nyaris separuh awal film: dunia nyaris tanpa kata sang Robot, yang sunyi dan dipenuhi rongsokan sisa peradaban manusia, ternyata sangat penuh dan kaya emosi. Kualitas Zen yang menyegarkan bagi sebuah film A di Hollywood. (ES) Metacritic: 94, Rottentomatoes: 96, IMDB: 85

94. Vals Im Bashir / Waltz With Bashir (2008, Ari Folman)

Dokumenter dalam bentuk animasi. Dengan sendirinya, ini adalah problem estetika yang menarik. Tapi, Folman menariknya lebih jauh. Animasi ini hendak merekam pencarian Folman terhadap kenangannya yang hilang tentang Perang Lebanon 1982. Subjeknya adalah sebuah tabu sejarah: peran Israel dalam pembantaian Sabra-Shatila. Dilarang di Arab, dicaci juga oleh sebagian orang Israel sendiri terutama, adegan salah seorang karakternya membandingkan Tentara Pertahanan Israel dengan perilaku Nazi. Folman, yang mengaku ilham kekaryaannya terutama dari novel grafis karya-karya Joe Sacco (Palestine), menjadikan film ini sebuah suara penting dalam anyir darah konflik Palestina yang semakin tak kelihatan ujung-pangkalnya itu. (HD) Metacritic: 91, Rottentomatoes: 96, IMDB: 80

95. Waking Life (2001, Richard Linklater)

Di samping pembaharuan dalam teknik pembuatan film (Richard Linklater merekam adegan nyata, lalu dilukis dalam beberapa gaya animasi secara digital), film ini merupakan sebuah esai panjang tentang, antara lain, alam sadar dan tak sadar. Capaian animasi dalam film ini membuka pintu bagi keleluasaan gaya visual animasi komputer 2-D yang cair dan eklektik. Linklater dalam film ini agaknya tak berkehendak membuat sebuah cerita yang koheren, tapi membuat sebuah lukisan yang bergerak dan

507

508

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

bersuara. Lebih penting dari dialog-dialog filosofisnya, adalah tafsir visual atas benda-benda keseharian dunia kawula muda Amerika masa kini. (HD) Metacritic: 82, Rottentomatoes: 80, IMDB: 75

96. Watchmen (2009, Zack Snyder)

Oke, tak usah dibandingkan dengan komiknya yang sering dianggap contoh terbaik komik superhero berbobot sastra. Sebagai film fantasi/superhero/sci-fi, film ini boleh jadi ekuivalen drama tragedi di masa Yunani Kuno: mitologi sebagai arena diskusi moral, dengan nilai plus tour de force visualisasi dunia para superhero yang degil. Dari segi visual, film ini adalah jalur lain pembuatan film digital: dunia yang dilukis di layar hijau, dunia yang menjadi di tahap paskaproduksi, yang dibentuk oleh para pemrogram komputer dan pelukis 3-D. Dan dengan “nekad”, film artifisial murni ini bicara tentang kehidupan manusia kontemporer yang sedang kita jalani ini. (HD) Metacritic: 56, Rottentomatoes: 64, IMDB: 78

97. Werckmeister harmóniák / Werckmeister Harmonies (2000, Bela Tarr)

Bagi Bela Tarr, long shots, tatapan kamera yang tertegun lama mengamati dan editing yang melabrak standar film normal adalah pilihan estetis. Tidak banyak sutradara yang punya kesabaran seperti ini. Dan hanya Bela Tarr yang konsisten menerapkan pilihan estetis ini di semua filmnya. Maka  Werckmeister Harmonies seperti sudah ditakdirkan untuk sutradara Hungaria ini.  Film ini adalah sebuah alegori dari teori yang ditelurkan oleh Andreas Werckmeister, teoritikus musik asal Jerman di jaman Barok.  Werckmeister percaya bahwa kondisi manusia dalam masyarakat erat kaitannya dengan kosmos, astrologi, dan harmonisasi  musik. Dan jika sebuah nada asing tak dikenal masuk dalam tatanan nada (juga kosmos) yang sudah ada, maka

100 FILM TERBAIK DUNIA DEKADE 2000-2009

niscaya harmoni itu akan runtuh. Bela Tarr dengan penuh kesabaran membiarkan kameranya mengamati dengan cermat seperti tatanan nada yang diagungkan oleh Werckmeister. Bahkan ketika rumor beredar bahwa sesuatu yang asing dan menakutkan akan melanda, kameranya enggan beranjak dan enggan menoleh dari objek yang diamatinya. Ia seperti ingin membuktikan dan menjadi saksi keruntuhan harmoni itu. Di tangan Bela Tarr, teori Werckmeister Harmonies menjadi bangunan visual yang kokoh dan luar biasa indah. (AK) Metacritic: 92, Rottentomatoes: 96, IMDB: 81

98. Wo Hu Chang Long / Crouching Tiger, Hidden Dragon  (2000, Ang Lee)

Film bergenre  wu xia  (cerita silat Cina) sudah panjang usia. Sejak Red Heroine (1929) dan The Swordswoman of Huangjiang (1930), cerita silat Cina dengan latar dunia klasik (seringkali, antah berantah), berkembang menjadi genre yang mengandung paradoks: pasifisme Budhisme sebagai doktrin dasar, aktivisme kekerasan sebagai aksi; keindahan gerak, sadisme laga; kerumitan plot, kesederhanaan karakter. Ang Lee, yang terkenal sebelumnya lewat film-film dramanya, mempertegas sisi subtil wu xia segala yang tak diucapkan, yang disembunyikan, sama penting dengan yang diungkapkan. Film ini bagai sebuah kitab tentang nilai-nilai klasik Cina. Bisa dipahami jika film ini diproduksi tiga pihak yang tak selalu akur: Cina, Taiwan, dan Hong Kong. Dan Barat pun menerimanya. Film ini memenangi lebih 40 penghargaan, dan jadi salah satu film berbahasa asing terlaris di Amerika, dan dengan demikian menjadi jembatan gemilang “meresmikan” hubungan film Barat dan film Cina yang selama ini sering dicuri oleh Amerika. (HD) Metacritic: 93, Rottentomatoes: 97, IMDB: 80

509

510

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

99. Y tu mamá también (2001, Alfonso Cuaron)

Sebuah road movie dan perjalanan seksual. Dan di belakang hirukpikuk seks itu, diam-diam tapi menghantui, terpapar gambaran sebuah negeri yang sedang koyak-moyak oleh politik dan pertentangan kelas. Bahkan ketika dua pemuda horny atau penuh syahwat seks membenamkan diri mereka sepenuhnya pada petualangan seks di bawah “didikan” Luisa (Maribel Verdú), pada akhirnya mereka tak bisa lari dari situasi politik Meksiko yang keras dan tragis. Latar waktu film ini adalah 1999, saat rezim Partai Revolusi Institusional yang telah berkuasa 71 tahun mendapat tantangan serius dari oposisi. (HD) Metacritic: 88, Rottentomatoes: 91, IMDB: 78

100. Yi Yi / Yi yi: A One and A Two (2000, Edward Yang)

Film karya Edward Yang ini mengingatkan bahwa orang Asia adalah orang-orang yang lebih pandai menahan diri ketimbang mengungkapkan ekspresi apa adanya. Maka drama bisa jadi terbentuk bukan dari sesuatu yang meledak, melainkan justru karena apa yang ditahan itu bisa terasakan begitu dalam. Maka dalam kisah kehidupan keluarga urban Taiwan ini, foto belakang kepala pun seakan menyimpan drama: sebuah konflik terpendam yang selalu terasa tapi tak bisa dilihat—apatah lagi dikata. (ES) Metacritic: 92, Rottentomatoes: 96, IMDB: 78

— Penulis: Asmayani Kusrini, Ekky Imanjaya, Eric Sasono, Hikmat Darmawan, Ifan Adriansyah Ismail, Krisnadi Yuliawan / Editor: Hikmat Darmawan, Eric Sasono.

Ekky Imanjaya

Pengantar 33 Film Indonesia Terpenting Dekade 2000-2009

Penting Tak Berarti Harus “Serius”, Tapi Yang Jelas Harus Asyik

M

embuat daftar film terbaik—atau, dalam konteks daftar kami: film-film terpenting—di negeri ini sepertinya langka. Padahal, di luar negeri, tradisi membuat daftar seperti “100 Film Terbaik Tahun ini” atau “100 Film Komedi Romantis Terbagus Abad Ini” adalah hal biasa. Di bidang musik, majalah seperti Rolling Stone Indonesia membuat daftar “album terbaik”, atau “gitaris terbesar sepanjang masa”. Tapi di film, hal ini sungguh langka. Apalagi jika yang membuatnya berani membuat urutan berdasarkan peringkat—sesuatu yang membuka peluang untuk didebat dan mungkin pula dihujat. Tentu saja akan ada banyak pertanyaan seperti “Mengapa tidak ada sama sekali film Nan Achnas?” atau “Mengapa  Kambing Jantan ada di daftar ini?”, atau “Mengapa Laskar Pelangi ada di urutan ke-23?”. Ini adalah risiko yang siap kami ambil. Namun, sekaligus, inilah pilihan, sikap dan sudut pandang kami.

512

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Tentu saja, ini adalah 33 film terpenting  versi Rumah Film. Artinya, kami punya kriteria dan pertimbangan tersendiri, yang tentu saja bisa jadi berbeda dengan orang lain. Harapan saya adalah, Anda sendiri, pembaca, akan terpancing untuk membincangkannya dan bermuara untuk membuat sendiri daftar terbaik, terkeren, terasyik, tergalau, dan sebagainya. Atau, bisa juga menginspirasi untuk membuat daftar trivia semacam:  “10 Film Barry Prima Paling Esensial”, atau “50 Adegan/Dialog Tak Terlupakan”, atau “25 Film yang Paling Bikin Saya Mewek”. Tolok   ukur utama kami, pertama-tama, adalah pengalaman sinematis masing-masing redaktur Rumah Film dan keasyikannya. Tentu ini sangat subyektif. Sebuah daftar peringkat yang melalui berbagai proses penilaian dan pertimbangan, memang harus subyektif, bukan? Yang mengasyikkan adalah, para editor ini saling mendiskusikan keasyikan personal kami, dan ini berlangsung lama, karena masing-masing punya jagoannya dan perspektifnya sendiri-sendiri. Tentu   saja perdebatan sengit namun hangat tak terhindarkan (kecuali 10 film peringkat pertama, yang mencapai kata sepakat cenderung lebih mudah). Dan kami juga merancang peringkat berdasarkan, di antaranya: r Terobosan (breakthrough), eksplorasi dan pencapaian  dalam estetika, termasuk  cara bertutur. r Tema-tema penting (dan berani) yang merepresentasikan isu-isu terpenting yang dipandang mewakili jiwa zamannya. Dan kami pun bermusyawarah, mengambil kesimpulan, dan jadilah daftar ini. Untuk setiap film yang terpilih, akan dirangkai dengan penjelasannya, mengapa film itu termasuk yang “terpenting” dan layak masuk dalam daftar kami. Ada hal penting dalam daftar ini, yang sudah kami lakukan sejak menulis  “100 Film Terbaik Dekade 2000-2009”: kami

PENTING TAK BERARTI HARUS “SERIUS”, TAPI YANG JELAS HARUS ASYIK

berupaya tidak melakukan “diskriminasi” dan melakukan dikotomi alias  pengkotak-kotakan. Misalnya, dikotomi “film komersil” vs “film idealis”, “generasi tua vs generasi muda”, dan semacamnya. Bagi saya, perbedaan “film seni vs film laku”, atau istilah “film festival” itu makin tipis dan tidak punya pijakannya lagi. Dalam hal ini saya bersetuju dengan Mira Lesmana yang menyatakan “tidak ada film komersial dan film idealis, yang ada adalah film bagus dan film jelek”, seraya menyatakan bahwa filmfilm yang asal jadi bukanlah dibuat oleh produser film tapi oleh pedagang. Mira juga membuktikan sinergi niatan komersil dan idealitas dalam memproduksi film, yaitu  Laskar Pelangi yang hingga kini rekor jumlah penontonnya belum terpecahkan—di samping film laris lainnya seperti Ada Apa dengan Cinta? dan Petualangan Sherina. Seperti yang kami tulis dalam buku Menjegal Film Indonesia, semua film, dalam level tertentu, adalah juga sebuah usaha bisnis: bahkan sebuah film yang mengepankan gaya seni dengan pendekatan personal pun mempunyai cara untuk memasarkan atau mendapatkan dana, misalnya dengan melihat festival film internasional dan lembaga donor sebagai pasar. Bedanya, jalur ini memakai dana hibah yang tidak membutuhkan  return-ofinvestment, tapi punya logika dan aturan mainnya sendiri. Di satu sisi, kami memberi ruang bagi film-film yang berupaya melakukan terobosan atau eksplorasi (dan akhirnya: pencapaian) bahasa visual baru, atau cara bertutur baru, atau menyajikan tema yang merepresentasikan persoalan bangsa yang sudah akut kudu dibincangkan namun  selama ini kurang diangkat—sebagian dengan gaya dan cara yang berbeda dari arustutama dalam hal moda produksi, distribusi, dan eksibisi.  Contohnya:  berapa banyak film yang membahas soal korupsi, fundamentalisme agama dan terorisme, pelanggaran

513

514

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

HAM seperti pembunuhan Marsinah, atau tragedi Mei 1998?  Misalnya, Marsinah, 3 Doa 3 Cinta, dan 9808. Di sisi lain, istilah “film festival” juga makin sulit dipertahankan, karena setiap genre, gaya, dan format punya festivalnya sendiri (mulai dari festival film horror, fantasi, GLBT, HAM, anak, Islam, dokumenter, sampai eksperimental).  Sinema dunia menyaksikan film seperti The Eye atau The Host beredar di berbagai festival film bergengsi. Saya sendiri menonton George Romero’s Diary of The Dead di Festival Film Rotterdam 2008. Untuk film Indonesia, dalam lima tahun belakangan ini kita melihat film bergenre fantasi—misalnya Kala, Pintu Terlarang, Rumah Dara—beredar di berbagai festival film kelas dunia. Kala, misalnya, menang Berlin Asia Hot Shots Film Festival  dan juga  mendapat  Jury Prize at New York Asian Film Festival  (yang artinya  Joko Anwar mengalahkan sutradara sekelas Takeshi Miike). Pintu Terlarang masung dalam 100 film decade 2000-2008 versi majalah Sight and Sound—di samping menang di Puchon International Fantastic Film Festival Saya kira, dikotomi ini menjadi semakin kabur ketika The Raid masuk dalam festival film kelas dunia seperti Festival Film Toronto dan Sundance. Film bergenre fantasi, atau komedi, atau apapun, sekomersial apapun, bukan berarti menutup diri dari (atau tidak tidak bisa ditelaah lewat pendekatan), misalnya, eksplorasi cara bertutur atau upaya melakukan pencapaian estetika tertentu atau memasukkan pernyataan-pernyataan sutradaranya tentang jamannya. Karena itu, kami tak ragu untuk memasukkan film-film bergenre horor   dan fantasi terpenting dalam dekade lalu seperti  Pocong 2, Keramat,  dan  Legenda Sundel Bolong—di samping Pintu Terlarang dan fiksi. Selain pertimbangan kaburnya dikotomi seperti diurai di atas, kami juga percaya bahwa tidak relevan menganaktirikan sebuah genre, karena begitu banyak film

PENTING TAK BERARTI HARUS “SERIUS”, TAPI YANG JELAS HARUS ASYIK

horror yang bermutu, dan sejarah membuktikan banyak sutradara menghasilkan film horror (atau genre fantasi lainnya) kelas A (sebut saja  Nosferatu, Interview with Vampire, Bram Stoker’s Dracula, hingga Let The Right One in). Kami juga memberi ruang bagi film yang kami anggap layak masuk, namun punya masalah dengan distribusi dan eksibisi. Apakah film itu diputar di bioskop dalam jangka waktu lama, atau cuma beberapa hari, atau “cuma” beredar  di Blitz Megaplex,  atau hanya diputar di kalangan tertentu, tidak begitu penting bagi kami. Justru sebaliknya, kami hendak mengingatkan bahwa ada film-film yang dianggap sepintas lalu  atau bahkan tidak diketahui keberadaannya  oleh banyak orang (karena kurangnya akses eksibisi, atau hanya ditayangkan beberapa hari saja di jaringan bioskop besar), tapi kami anggap penting:  Panchinko and Everyone’s Happy dan 6:30 adalah contohnya. Bahkan, Saia, Teak Leaves at the Temple,  atau  Lukas Moment  belum beredar di jaringan bioskop umum. Karena berbagai pertimbangan di atas itulah, di daftar ini ada Babi Buta yang Ingin Terbang, Kantata Takwa, Opera Jawa, dan di saat yang sama juga punya Ada Apa dengan Cinta, Catatan Akhir Sekolah, dan Janji Joni. Satu lagi yang tidak kami anggap signifikan adalah pengkotakan Sutradara senior vs generasi baru. Yang perlu dicermati, dari daftar kami, ada 11 sutradara yang karya pertamanya masuk (Ravi Bharwani, Hari Dagoe, Edwin, Nurman Hakim, Andibachtiar Yusuf, Ari Sihasale, Rinaldi Puspoyo, Mouly Surya, Joko Anwar, Monty Tiwa, dan DJenar Mahesa Ayu). Artinya, boleh jadi jam terbang menentukan kualitas cara bertutur, estetika, dan kematangan, namun tidak berarti pendatang baru tidak bisa memberikan gebrakannya.  Generasi baru perfilman kita tampaknya mendominasi daftar ini, walau ada juga para senior semisal  Eros Djarot, Gotot Prakosa, dan Slamet

515

516

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Djarot. Dan ternyata, Garin Nugroho dan Rudi Soedjarwo adalah sutradara yang filmnya paling banyak di daftar kami, masingmasing 3 buah. Sayangnya, keterwakilan terhadap beberapa hal dirasa kurang. Misalnya dokumenter (hanya 2 buah), film anak dan remaja (hanya sekitar 3), dan sutradara perempuan (5 dari sekitar 20an). Ketiadaan animasi adalah catatan  tersendiri. Juga dengan gaya omnibus, yang belakang makin marak,  yang hanya satu (9808). Angka 33, langsung atau tak langsung, mengingatkan kita pada tradisi sufi. Yaitu zikir yang berarti “mengingat”. Daftar kami ini, sedikit banyak,   juga semacam upaya pencatatan demi menyegarkan ingatan kita, untuk sejenak merenung: sudah sampai mana jalan kita? Apa yang harus diperbaiki atau malah didekonstruksi? Apa yang mesti ditingkatkan? Dalam berbagai kajian film, banyak akademisi yang memakai istilah “Sinema Post1998”, “Sinema Pos-Orde Baru”, atau “Sinema Pasca-Suharto”. Tetapi, sepertinya belum banyak pembahasan seputar film periode ini yang diterbitkan untuk publik yang lebih umum dan ngepop— bukan hanya untuk kalangan terbatas, seperti akademisi, peneliti, atau kritikus dan kurator seni saja. Ada beberapa, tapi belum banyak. Salah satu tujuan dari daftar ini adalah   untuk memperkaya dunia telaah film nasional, khususnya yang beredar dalam kurun 2000-2009. Semoga menyegarkan ingatan tentang film-film terpenting dekade silam, khususnya yang nyaris terlupakan oleh memori kolektif kita. Tapi, kembali ke pertanyaaan di atas: mengapa film Nan Achnas tak ada dalam daftar ini, sedangkan  Kambing Jantan ada? Well, ini adalah daftar versi kami. Mari kita diskusikan. Dan, alternatifnya, bila tak puas dengan peringkat ini, silahkan buat sendiri daftar versi masing-masing, tentu upaya ini akan memperkaya khazanah kajian dan telaah film Indonesia.

PENTING TAK BERARTI HARUS “SERIUS”, TAPI YANG JELAS HARUS ASYIK

Inilah daftar 33 film Indonesia terpenting dekade 20002009. Dalam daftar ini, film yang masuk tidak harus selalu yang serius dan membuat penonton mengernyitkan kening, tapi harus asyik (dalam pengertian luas): memberikan pengalaman sinematis yang memberikan sensasi dan diskusi asyik selepas menontonnya. Selamat membaca, dan selamat berdiskusi (dan…mungkin, membuat daftar versi sendiri).

517

Tim Rumah Film

33 Film Indonesia Terpenting 2000-2009

1. Opera Jawa (2006, Garin Nugroho)

Dengan mengadaptasi kisah Ramayana secara longgar, Garin menggambarkan Indonesia sebagai hasil dari benturan ekonomi politik yang keras dalam lingkungan domestik, tempat laki-laki dan perempuan terlibat pertarungan sampai mati mempersoal seksualitas dan peran masing-masing. Bukan kebetulan jika perempuan—dan ibu—memainkan peran penting dalam kisah ini karena tampak ada keyakinan Garin tentang ibu sebagai sebuah perwujudan ilahi, mirip kisah Dewi Sri dalam kepercayaan Jawa. Tambahan lagi di film ini Garin juga memperlihatkan bahwa film tak cuma perpanjangan dari fotografi atau seni pertunjukan modern, tapi film juga bisa merupakan perpanjangan dari sendratari, sebuah kesenian rakyat yang begitu dikenal di negeri bernama Indonesia. Garin juga cukup  pede  untuk membawa komposisi gamelan, seni instalasi, tari tradisional Jawa

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

dan kesenian hibrida  nyetrik  Eko Sulistianto dan Ki Slamet Gundono ke dalam campur sari kontemporer ini. Hasilnya adalah sebuah kemungkinan baru bagi kesenian bernama sinema.  (Eric Sasono, ES)

Keberhasilan Garin dalam film ini adalah mencapai puncak dari perjalanan estetikanya sendiri sejak mula ia membuat film dokumenter dan cerita pada awal 1990-an: film-filmnya selalu sebuah percakapan antara yang Jawa, yang Indonesia, dan yang dunia; antara yang modern dan yang tradisional.  Opera Jawa adalah puncak percakapan itu. Sekilas tonton, ia adalah makhluk ganjil –opera dalam rupa film, dan dalam ucap seni khas Jawa berbaur dengan seni kontemporer. Karena ganjil, mudah bagi banyak orang untuk mengibasnya, menganggapnya sebagai “sok aneh” dan elitis. Fakta bahwa ia dapat ditonton dengan asyik oleh baik penonton Eropa maupun para pedagang angkringan dan tukang becak di alun-alun Jogjakarta memberi kerangka lain: film ini, dalam keganjilannya, telah membongkar batas-batas dan prasangka-prasangka awal kita tentang tontonan, penonton, serta tindakan menafsir sebuah film. Mungkin saja ia tak memberi nyaman bagi kelompok tertentu penontonnya, kelompok yang dengan kukuh mempertahankan kotak “bagaimana seharusnya film itu”. Film ini memang hadir tanpa apologi: ia hanya hendak ada, mungkin mengganggu, dan justru karena itulah ia membuka banyak pintu pembacaan. Di tengah kebebasan berekspresi sesudah Reformasi 1998, aneh sekali bahwa kebebasan dan kelenturan macam begini justru terasa amat jarang.  (Hikmat Darmawan, HD)

“Ini tidak seperti semua yang pernah saya lihat sebelumnya,” seorang teman, programmer Yamagata International Documentary Film Festival, berkomentar tentang Opera Jawa. Dia menceritakannya dengan berbinar. Tapi, tak lama sesudahnya

519

520

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

saya berjumpa seorang kritikus film pengelola jurnal film internasional. Ia, sebaliknya mengeluhkan Opera Jawa. “Garin terlambat. Apa yang dilakukannya sudah dilakukan orang seperti Peter Brooks di tahun 1980-an.” Dengan bekal dua pendapat itulah saya kemudian menonton Opera Jawa untuk pertamakalinya. Mungkin fakta bahwa saya menyaksikan Opera Jawa di negeri asing punya peran dalam pembentukan pendapat saya tentang film yang sangat Indonesia ini. Tapi, sungguh, sangat jarang saya menonton sambil tersenyum sepanjang film. Di film ini, terasa sekali Garin sepenuhnya bermain-main, dan ia berhasil menulari saya. Jika puncak keseriusan ada pada kebermainan, Opera Jawa berhasil mencapainya. Hanya tentu bukan itu yang membuat saya tanpa ragu menempatkan  Opera Jawa  dalam puncak daftar ini. Tapi, melihat  seluruh film Indonesia dalam daftar, sangat jelaslah hanya Opera Jawa yang aktif turut serta dalam “diskusi” intens tentang eksplorasi naratif, ekperimen alternatif form maupun pertanyaan mendasar tentang hakikat sinema yang kini tengah berlangsung di sinema dunia.  (Krisnadi Yuliawan, KY)

2. Kantata Takwa (2008, Gotot Prakosa dan Eros Djarot)

Agenda yang dibawanya bisa jadi milik dekade sebelumnya, yakni 1990-an. Tapi, perlawanan seniman terhadap kekuasaan agak sulit dikerangkakan sesempit itu. Sepintas, apa yang dibawa Kantata Takwa seperti tak relevan lagi pada dekade 2000an. Perlukah seorang seniman berteriak “bongkar!” sambil mengepalkan tinju kepada ketidakadilan ketika penguasa lalim bernama Soeharto sudah turun dari tahtanya? Jawabnya: perlu! Karena film ini justru mengingatkan bahwa film masihlah kesenian, dan kesenian, masihlah punya relevansi sosial politik

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

yang tinggi. Karena perlawanan kini bisa berbentuk berbeda, tapi semangat seperti Iwan Fals bernyanyi di tepi kali bersama “anakanak singkong” adalah wakil sebuah sikap yang harus terus ada. Serupa ketika salah satu pahlawan Asia ini menyenandungkan Laa Ilaaha Ilallah sambil telanjang dada. Inilah dia: sesungguhnya selalu ada yang namanya kompromi dan kemapanan; dan film ini mengingatkan bahwa jalan hidup seorang seniman adalah tidak menerima hal-hal itu begitu saja. (ES) Kantata Takwa adalah sebuah kesetiaan pada proses: 18 tahun dari konsep, syuting, hingga menjadi film, adalah sebuah capaian tersendiri. Sengaja atau tidak, proses panjang itu bagai waktu yang menyempurnakan anggur terbaik. Dan film ini adalah campuran terbaik dari rock aliran progresif, teater dan sastra, serta sinema. Film ini, anehnya, juga adalah salah satu film yang paling terlibat dalam persoalan masyarakat Indonesia dalam dekade awal 2000an. Film ini jelas berpolitik, dan politiknya jelas: anti rezim represif, anti-kemandegan. (HD) Apakah ini film musikal? Semi-dokumenter? Eksperimental? Puitis? Label dan cap tak bisa mengurung dan membatasi film ini. Ia menunjukkan jati dirinya sendiri dan meneriakkan protes kritis mereka terhadap kekuasaan. Inilah kombinasi sempurna dari orang-orang terhebat di bidangnya, di antaranya: Iwan Fals, Rendra, Erros Djarot, dan Gotot Prakosa. Nilai lebih bagi pencinta band Kantata Takwa: mereka akan dibawa bernostalgia dan bahkan berkaraoke saat menonton! Walau dibuat awal 1990an, namun pernyataannya masih relevan hingga saat ini. Dan ketika ide sebuah karya bisa terus bergema tanpa bisa diusangkan waktu, inilah salah satu ciri sebuah mahakarya (Ekky Imanjaya, EI). Gamblangnya, mungkin orang mudah untuk mengklaim Kantata Takwa hanya bisa lebih berbicara pada zamannya,

521

522

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

yaitu ketika Sisyphus Orde Baru mulai terpeleset kakinya setelah berhasil membawa “batu pencapaian”-nya ke puncak. Bagi saya pribadi, yang masih mengenakan seragam merah putih dan asyik main bentengan dan gobag sodor di sekolah (itupun jika diajak) ketika film ini dibuat. Namun rilisnya pada tahun 2008 mengejutkan. Kantata Takwa masih mampu menyuntikkan energi dan ilhamnya ke generasi yang sedang kebingungan sekarang ini, jika saja mereka memilih untuk mengapresiasinya. Dengan gabungan narasi teatrikal, sureal dan dokumenter, Kantata Takwa meneriakkan rasa frustrasi sebuah bangsa yang sedang terluka oleh kemajuan dan kebesaran yang dipaksakan pemimpinnya. Bukan tak mungkin jika diedarkan pada masa pembuatannya,  Kantata Takwa mampu menjadi katalis gerakan budaya dan people power yang masif, tentu dengan risiko bedil yang masih teramat galak. Mendadak seniman seindonesia (semestinya) teringat lagi peran mereka ke masyarakat: mengamati, memetakan, merenungkan dan menuangkannya –sembari menggugat jika perlu, dan seringkali perlu– dalam bentuk karya. Memang Kantata Takwa adalah sebuah karya yang sangat beruntung. Sokongan visi, dana, dan jaringan pengaruhnya langka didapat calon-calon karya yang lain. Apakah kita harus selalu menunggu seseorang yang memiliki itu semua sebelum menciptakan karya yang memberikan sumbangsih? Inilah PR besar bagi generasi saya dan sesudahnya, yang tak dapat mengelak dari energi Kantata Takwa, sekali lagi, jika kita memilih untuk tidak abai terhadap masalah sekitar kita. (Ifan Adriansyah Ismail, IA)

3. Teak Leaves at the Temple (2008, Garin Nugroho)

Pun memakai baju Superman dan “terbang” di sela pucuk-pucuk jagung. Itu belum semua. Tunggu sampai ia berargumen tentang

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

teologinya yang canggih-canggih bodoh (atau bodoh-bodoh canggih?). Juga ketika musisi jazz asal Selandia Baru itu mengibaratkan musiknya seperti struktur Borobudur. Kita bertanya: mana yang main-main dan mana yang serius? Apalagi ketika Garin memperlihatkan suara lesung sehari-hari saja bisa sama ritmisnya dengan musik yang teorinya hebat-hebat itu. Film dokumenter Garin Nugroho ini bahkan tak tercantum dalam filmografi yang ia terbitkan dalam bukunya bebera waktu lalu. Namun sesungguhnya menonton film ini merupakan salah satu pengalaman sinematik paling otentik ketika dari chaos kita berusaha keras menyusun ketertiban dan akhirnya tiba pada rasionalisasi yang sia-sia atas kegagalan usaha itu. Maka kembali pada yang terpenting: bermainlah! (ES) Film ini dengan sangat percaya diri menyoal kembali pengertian “dokumenter”, dan menjadi wahana percakapan antara seni (musik) Barat dan Timur yang ternyata belum jadi persoalan basi. Gagasan-gagasan besar berjalin dengan kenyataan keseharian kampung-kampung sekitar Merapi. Film ini, lebih jelas atau lebih langsung dari Opera Jawa, membuktikan bahwa seni dan budaya Indonesia memang selayaknya bercakap bahkan berlaga di arena seni-budaya dunia. (HD)

4. Impian Kemarau (2004, Ravi Bharwani)

Di tengah padang gersang Gunung Kidul, jalinan cinta yang rumit antara peneliti cuaca dari Jakarta dengan seorang sinden pujaan desa menjadi cermin bahwa ilusi dan harapan adalah sisi dari keping mata uang yang sama. Ini tema biasa. Hanya saja pembuat film ini menginginkan kita untuk jadi bijaksana dan tak tertipu pengkutuban yang terbit tergesa dari olah pikir dan rasa manusia semacam itu Tibalah kita pada cara kerja puisi yang mahir sekali

523

524

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

menangkap nuansa. Jika ada puitika dalam cara bercerita film Indonesia, maka Impian Kemarau adalah bentuk sempurnanya.  Film ini mengandalkan ritme dan perumpamaan (bukan plot dan kesatuan ruang dan waktu) untuk bercerita tentang kaitan antara seksualitas dan struktur kekuasaan serta keputusasaan manusia yang dibawa mati. Bukan hanya bahwa ungkapan puitis film ini berhasil dengan sempurna, tapi juga ia bercerita dengan pahit tentang sebuah ironi yang keras, sekeras kehidupan politik yang tak punya kompromi dan culas. Bahkan film Indonesia kontemporer dengan kekisahan “prosaik” saja tak ada yang bicara sekeras ini. (ES) Ravi Bharwani sadar betul bahwa film adalah sebuah bahasa dan tanda. Dan ia pun mengeksplorasi bahasa audio visual dan jadilah sebuah film yang puitis—bahkan dianggap JB Kristanto sebagai film puitis Indonesia yang paling berhasil, mengalahkan Cinta dalam Sepotong Roti. Film ini sensual tapi tak terjebak murahan;juga politis, karena juga menyinggung trik-trik pemilu dan kampanye. Tembang-tembang yang disenandungkan Asih sang sinden adalah salah satu cara bertutur di film ini, mengingat sedikit sekali dialog. Impian Kemarau adalah bukti sinerginya cerita yang kuat dan sinematografi yang indah, serta cara bertutur yang segar. Sebuah puisi yang menawan. Dan ide-ide yang disampaikan di film ini jelas adalah reaksi terhadap perubahan politik tahun 1998. Satu lagi: berapa banyak profesi meteorolog dipresentasikan di layar perak? (EI) Bagaimana menyuarakan diri di tengah masyarakat yang mengagungkan diam? Tampaknya Ravi Bharwani percaya: lewat puisi visual. Tanpa dialog, dan hanya ada rentetan visual yang jelas tautannya, dan selalu menggetarkan. Jikapun ada dialog, fungsinya hanya sebatas ambience atau sekadar “kutipan dalam esai”, minus teks esainya sendiri.

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

Berlatar dataran Gunung Kidul yang kering kerontang dan seorang ahli cuaca terasingkan yang berniat baik,  Impian Kemarau menyajikan tiga jenis konstruksi penjara bagi segala niat manusianya: budaya, alam dan sikap abai penguasa yang menjelma sikap jahat. Dalam penjara serupa itu, kerapkali hasrat terpendam yang beraroma seks menjadi saluran yang tersisa, sekaligus yang paling mendasar, seolah ingin menjerit, “Yang ini tak dapat kau kuasai.” Maka dengan logika berpuisi,  Impian Kemarau—meskipun masih naratif—lebih kuat dalam memberikan impresi, menanamkan bibit ide, sekaligus berteriak menggugat. Selemah apapun teriakan itu. (IA)

5. Eliana-Eliana (2002, Riri Riza)

Ibu yang cemas dan anak perempuan yang berkeras. Keduanya bertemu dalam satu malam tergesa di Jakarta. Tenggat jatuh esok hari, dan kau nak, harus pulang bersamaku untuk mengejar mimpimu. Tidak bunda, mimpiku di sini. Kota gila ini bukan apaapa, bunda cukup percaya saja padaku. Dan kita di bangku penonton tahu, keduanya tak begitu yakin dengan kata-kata mereka. Film ini bisa menjadi banyak jembatan yang mewakili kehidupan kita. Kerasnya Jakarta yang pada film-film Indonesia banyak dekade terdahulu dipandang sebagai monster kejam, pada film ini tiba-tiba menjadi sesuatu yang akrab. Jakarta bagai seorang tua yang mengamati dua generasi mencoba saling memahami diri. Tiba-tiba kita tersadar bahwa kota ini bisa jadi diam-diam memberi banyak pada penduduknya. Hal penting lain tentang  Eliana-Eliana: inilah sebuah film dengan topik pembicaraan mengenai kemandirian perempuan sedemikian intensif tanpa ada jargon sepatahkatapun tentang hal itu. (ES)

525

526

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Menukik ke dalam jantung kota, tapi juga lebih-lebih lagi, menukik ke dunia batin perempuan Indonesia masa kini. Malah, boleh jadi kita bisa mengabaikan saja keperempuanan itu: ini film yang menjadi teladan capaian film personal di Indonesia mutakhir. Di tengah kesulitan menguatkan individu, di tengah belantara identitas-identitas plastik dalam televisi, bilbor, serta ideologi “sukses” dan industri motivasi, film ini lantang menjadikan kegalauan personal sebagai bagian sah Indonesia. Film terbaik Riri Riza. (HD) Dengan semangat idealisme I-Sinema (kemana ya gerakan estetika itu ketlingsut?) dan pendekatan Neorealisme, Riri Riza (dibantu Prima Rusdi) membongkar mitos-mitos masa Orde Baru di balik isu gender seperti Bapakisme dan State Ibuism.  Kedua isme ini menamsilkan negara sebagai sebuah keluarga, dan  menekankan hakikat seorang wanita adalah istri yang “ikut suami” dan “ratu rumah tangga” dengan fungsi reproduksi dan mengurusi anak-anak—lengkap dengan organisasi seperti Dharma Wanita, PKK, dan asas kekeluargaan–sementara kuasa tertinggi di tangan “bapak”. Karenanyalah, representasi wanita karir dalam film-film Orba kebanyakan negatif. Tapi Eliana menolak untuk menikah dengan diplomat muda pilihan ibunya— otomatis menolak pengiburumahtanggaan dan domestifikasi–dan lari ke Jakarta. Sedangkan Bunda adalah sosok pengganti peran ayah yang memastikan ideology gender itu tetap berlaku. Di sini, pria selalu negatif. Jika di  dua ideologi itu tiada tempat bagi perempuan sebagai individu, di sini Eliana (dan Bunda) adalah individu-individu yang tegar. Dialog ibu dan anak sepanjang malam ini menguak persoalan institusi perkawinan, peran perempuan sebagai anak dan istri, dan jurang dua generasi. Film  road movie  ini juga menyusuri sisi lain Jakarta, wajah yang kumuh dan muram. (EI)

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

6. Pachinko and Everyone’s Happy  (2000, Harry ‘Dagoe” Suharyadi)

Dalam film panjang pertamanya ini, Harry Suharyadi, akrabnya dipanggil Harry Dagoe, berhasil mengatasi sekat budaya dan lokasi untuk bicara soal mendasar manusia. Dagoe bercerita bahwa membangun saling pemahaman itu bukan hanya sulit, tetapi juga nyaris mustahil. Dengan elemen artistik yang membuat kita sulit membedakan apakah film ini berasal dari Jepang atau Indonesia, film ini menandai salah satu era pasca Soeharto, yaitu ketika cara ucap sudah menjadi tak berbatas, hibrid dan mudah didaku. Yang membedakan karya ini dari sekadar epigon adalah: bukan sekadar pada keberanian tema, tapi keberhasilan berceritanya mengantar pembuat film ini mendaku cara ucap universal film dan sebagai miliknya sendiri, sesuatu yang, pada awal 2000-an, jarang ditemukan pada filmmaker semasanya. (ES) Film Indonesia dekade awal 2000-an yang penting, justru karena kekaburannya akan “yang Indonesia”. Film ini terjun bebas ke pusaran persoalan kota dunia, menelusuri mosaik manusia dan kota, dan seks. Kosmopolitanisme bukan lagi sesuatu yang asing atau masih ajaib dan memancing takjub dalam film ini. Justru, film ini bekerja sepenuhnya dalam kenyataan kosmopolitan itu. Dari segi ini, nyatalah bahwa film ini pun sesungguhnya generasional: suara sebuah generasi, sebuah Indonesia masa kini. (HD)

Harry Dagoe agaknya berhasil menangkap jiwa zaman warga Jepang kala itu lewat tiga generasi perempuan: industri film biru yang marak, fetishisme, judi pachinko, dan peran Geisha di masa modern. Di sini, Harry juga mengeksplorasi pendekatan Yasujiro Ozu, yaitu meletakkan kamera di posisi  duduk di atas tatami, alas

527

528

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

lantai yang khas Jepang. Inilah film terbaik Harry  Dagoe. Di sini, Harry berperan sebagai warga dunia global yang bergaul secara kosmopolit.  Thus,  film ini mempertanyakan definisi “film nasional” yang ketat, seraya meretas jalan bagi istilah “film global”, “film diaspora”, “film transnasional” atau apapun namanya bagi perfilman Indonesia. (EI)

7. Jermal  (2009, Ravi Bharwani, Rayya Makarim, Utawa Tresna)

Usmar Ismail dan Teguh Karya sudah membangun tradisi film Indonesia yang bercerita tentang manusia yang berada dalam dunia antara atau limbo. Jermal meneruskannya dengan mendadar bahwa penyebab kegamangan itu bukan gagasan besar, bukan birokrasi, bukan pula lingkungan, melainkan pedalaman batin diri sendiri. Manusia limbo itu harus berhadapan fakta yang mungkin membuat Chairil Anwar kecewa: jauh luka dibawa berlari, tak juga hilang pedih-perih. Ternyata, luka yang sempat dirasa bukan perkara itu, hanya disembunyikan di bawah karpet saja, sampai tiba saatnya karpet itu harus dibuka. Maka Jermal adalah sebuah kisah yang menelisik jauh ke dalam pedalaman batin manusia Indonesia yang berada dalam dua dunia yang terpisah tapi saling berhubungan: pendidikan dan kemiskinan. (ES) Film ini juga penting untuk melengkapi perspektif sinema kiwari Indonesia tentang sekolah, bersama Laskar Pelangi. Jika Laskar Pelangi memandang sekolah sebagai sarana untuk menjadi sukses, dalam melawan kemiskinan, Jermal sebaliknya: baju seragam sekolah dan buku-buku pelajaran tak bermakna dalam sebuah bentuk kemiskinan absolut di tengah laut itu. Tapi, ternyata kemudian, ilmu tetap jadi jalan keluar. Bukan dengan membuat si

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

pelajar jadi sukses dan kaya, tapi dengan menciptakan pilihan dunia “lain” (surat, puisi, dongeng) tempat hidup yang begitu keras jadi lebih tertahankan. Dan ketika dunia “lain” itu tercipta, maka dunia yang sebelumnya mandeg pun mulai bergerak –entah ke mana. Perspektif tentang sekolah yang berbeda antara kedua film itu mencerminkan akar ideologis dalam modus memahami salah satu persoalan terbesar Indonesia saat ini: masalah kemiskinan. Walau, jelas pula, film ini bukanlah film yang secara langsung bicara tentang kemiskinan, apalagi berpretensi menyodorkan solusi. Jermal adalah potret manusia-manusia dalam keterkucilan yang ekstrem, kemiskinan jiwa-raga yang terlalu. (HD)

Seperti inilah film Indonesia yang ingin saya tonton. Jermal membawa saya berkenalan dengan bagian Indonesia yang tidak pernah saya amati betul wajahnya. Saya lahir di pulau, dan sering melewati jermal-jermal sepanjang perjalanan antar pulau untuk berwisata. Tapi apa yang saya tahu tentang kehidupan di Jermal itu? Nyaris tidak ada. Jermal tidak hanya mencomot lokasi eksotis (dilaut, benar benar ditengah laut) untuk sekadar memberi latar pada kisah bapak-anak di film ini. Di Jermal, lokasi itu ikut menjadi tokoh sendiri, berperan sangat penting dalam membentuk karakter tokoh-tokohnya.   Jermal bisa terlihat sangat garang ketika menjadi tempat bernaung seorang pelarian, sekelompok anak-anak miskin, dan seorang bisu. Tapi Jermal juga bisa terlihat sangat rapuh, ketika aparat-aparat hukum datang memeriksa. Kita sadar, hal seperti ini hanya ada di Indonesia. Dan rasanya, baru film inilah yang bisa memotret Indonesia di lautnya sendiri. (Asmayani Kusrini, AKU) Tokoh Pak Bei dalam novel  Canting  mengomel, “Kamu tersinggung, tapi diam saja. Itu Indonesia.” Dari segi cara, mungkin ‘diam’ itu lebih pas ke yang “Jawa”. Namun tak dapat

529

530

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

ditampik, di luar gaya berbudaya per lokalnya, manusia dalam masyarakat Indonesia bermasalah dalam menghadapi lukanya. Sebuah problem Indonesia modern? Yang jelas, Jermal memberikan satu contohnya. Johar yang menghadapi luka dahsyat dalam hidupnya memilih untuk lari dan memencilkan diri di sebuah tempat yang tampak sureal namun sayangnya nyata. Sebuah jermal, anjungan pemancingan ikan yang memperkerjakan anak-anak di bawah umur, mengisolasi mereka selama berbulan-bulan. Lewat tokoh Jaya, bocah SMP yang terpaksa berurusan dengan Johar, Jermal memperlihatkan akibat dari luka yang dibiarkan tak terurus itu. Sebelumnya, sebuah adegan lucu yang membuat sedikit lega memberikan gambaran betapa dunia anak-anak yang masih belum terlampau banyak dosa itu sedemikian luas dan magis. Ketika busuknya luka mulai meranggas dan meracuni dunia yang tak berdosa itu, barulah (semestinya) orang sadar bahwa luka memang harus dihadapi.  Jermal, dalam semestanya yang mungil dan tragis, berkata bahwa penyembuhan itu mungkin. (IA)

8. Babi Buta yang Ingin Terbang (2008, Edwin)

Tak ada kartografer semahir Edwin dalam membuat peta hubungan antara anggota keluarga dan problem identitas mereka. Edwin berangkat dari pengalaman masa kecil dan pertanyaan berumur beberapa dekade yang tak pernah ia tanyakan. Maka ketika pertanyaan itu bisa diajukan, jawaban tak penting lagi bukan? Inilah film yang lebih banyak berisi pertanyaan ketimbang jawaban. Pertanyaan-pertanyaan itu dirancang sedemikian rupa oleh Edwin untuk mengganggu penontonnya karena ia tahu hanya dengan cara itu ia bisa sungguh-sungguh bertanya. Jadi, tak usahlah heran dengan adegan  trios-a-manage  yang kelewat panjang, atau I Just Called to Say l Love You yang selalu terasa salah

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

tempat, atau kacamata hitam yang menyebalkan itu. Itu semua adalah bagian dari pertanyaan yang maha penting bagi seorang Edwin. Tapi saya setuju pada semangat “bertanya atau mati” pada diri Edwin ini. Pertanyaan Edwin, saya rasa, adalah pertanyaan saya juga. (ES) Karya-karya Edwin selalu tumbuh dari premis visual, bukan premis cerita. Seluruh film pendek fiksinya lebih jauh menunjukkan: Edwin berpikir secara audiovisual dalam mendekati dunia di sekitarnya—ia adalah manusia filmis totok. Tapi, ia seorang filmis yang berjiwa, karena cara berpikir visualnya adalah sebuah tanggapan personal atas banyak hal yang sedang terjadi di Indonesia. Ketika modus operandi ini diterapkan dalam sebuah film panjang, Babi Buta Yang Ingin Terbang ini, kita pun mendapati sebuah defamiliarisasi total terhadap Indonesia. Sederhananya, lewat film ini, Edwin berhasil mencipta sebuah dunia yang khas dan menjadi—seperti selayaknya sebuah puisi  yang baik menurut Chairil Anwar. Tapi, Babi Buta adalah sebuah puisi visual generasi baru: generasi yang ditandai oleh menjadinya puisi-puisi Afrizal Malna di dunia sastra. Dunia benda, rupa, media, pop, dan cenderung nihilistik, tapi juga keras kepala mencari-cari makna—sekabur atau seganjil apa pun. (HD)

9. Rindu Kami Pada-Mu (2005, Garin Nugroho)

Bayangkan privilese orang-orang tertentu untuk menjadi subjek sinema. Salah satu pakem Hollywood, mengenal  zero to hero, ketika seorang dokter atau ilmuwan biasa-biasa saja bisa menjadi penyelamat dunia. Film Garin Nugroho ini mengabaikan tokoh dan karakter yang sedemikian. Alih-alih, ia berangkat dan tiba pada kehidupan sehari-hari dengan segala tetek bengeknya – yang ternyata punya heroismenya sendiri. Heroisme yang

531

532

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

sederhana ini seharusnya menjadi usulan bagi religiusitas kolektif kita. Film ini berangkat dari kepercayaan kemampuan manusia untuk menjadi dan berbuat baik, tak peduli kerangka agama yang dianutnya. Rasanya kita diingatkan kata-kata almarhum Nurcholis Madjid: “ada agama saja, begitu banyak kerusakan di dunia, apalagi jika tak ada.” Garin seperti memperlihatkan optimisme (minus kenaifan) semacam itu dalam memandang agama dan manusia: pada dasarnya manusia itu baik dan agama adalah semacam kerangka menuju kebaikan itu. (ES)

10. Lukas’ Moment (2006, Aryo Danusiri)

Lukas’ Moment adalah salah satu film yang menegaskan betapa masalah kemiskinan dan pendidikan di Indonesia begitu berkarat hingga pada tahap yang sudah sangat memprihatinkan. Tunggu. Jangan salah sangka. Film ini bukan film yang suram, juga bukan film yang memohon belas kasih.  Lukas’  Moment  adalah film dokumenter yang manis, tentang Lukas yang naif. Dengan kameranya, Aryo Danusiri membawa kita berkelana ke sudut Papua, berkenalan dengan salah satu anak yang sedang berjuang membuka usaha sendiri.  Kita diajak ikut tertawa dengan tindakan Lukas, ikut gemas dengan kenaifannya, urut dada dengan kemiskinannya.  Lukas’  Moment  juga membuat kita ikut bersimpati, betapa mereka-mereka yang terpinggirkan, sadar bahwa mereka berada di pinggiran, toh tetap punya semangat untuk terus berusaha dipinggiran.  Tapi film ini lantas membuat kita sadar, kita sebagai bangsa Indonesia, punya banyak sekali pekerjaan yang harus segera diselesaikan. (AKU)

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

11. Marsinah (2000, Slamet Rahardjo)

Marsinah adalah nyata: buruh yang terbunuh, diduga akibat kegiatannya yang gencar melakukan demonstrasi dan protes terhadap para tuan pabrik tempatnya bekerja. Siapa pembunuhnya? Film ini justru berangkat dari pelebaran “ajaib” tragedi itu: pengambinghitaman brutal beberapa pegawai pabrik atas pembunuhan Marsinah. Film ini nyaris tak berkedip memandang kebrutalan itu: militer dan polisi yang main culik, interogasi yang biadab, masyarakat yang sebagian besar mudah dimanipulasi, penanganan politik tipikal rezim Soeharto, dan hukum yang malah menjadi alat kekuasaan yang bengis. Di film ini, Slamet Rahardjo mendepak kecenderungan stilistikanya, dan mendekati isu ini dengan kronologis selayak dokumenter. Slamet rupanya paham benar, film ini tak perlu hiasan karena tragedi Marsinah adalah nyata—dan masih jadi luka kita yang belum sembuh juga. (HD) Dengan berani, Slamet Djarot menggunakan dan menampilkan nama-nama dan jabatan asli para oknum yang bermasalah pada kasus Marsinah. Pun dengan memakai sudut pandang yang menurut banyak orang terkesan tidak menonjolkan sosok Marsinah. Malah, ia menekankan betapa kejamnya petugas yang memeriksa tersangka, yang menyebabkannya keguguran, Tapi, itulah pernyataan bahwa ketidakadilan dan penyiksaan bisa dilakukan dan menimpa siapa saja. Sebuah terobosan yang berani. Sejak menonton film ini, lagu Mau Marah, Silahkan dari The Favourite menjadi berbeda. (EI) Akhir tahun 2001, hukum di Indonesia sedang jadi bahan olokolokan dalam lakon dagelan ‘Tertangkapnya Tommy  Suharto”.  Para penegak hukum sedang ingin unjuk kebolehan kepada rakyat, bahwa ternyata, mereka bekerja juga. Keras pula. Satu-satu

533

534

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

kasus-kasus hukum kelas teri ditindak lanjuti. Tapi apakah mereka ingat Marsinah?. Film  Marsinah  karya Slamet Rahardjo ini  seperti jawaban lirih terhadap pertanyaan itu. Film ini jadi sangat penting secara politis dan sinematografis. Secara politis, tidak hanya karena kehadiran film ini mengingatkan kacau balaunya dunia hukum Indonesia. Marsinah hadir ketika euforia reformasi mulai redup redap tertiup kenangan masa lalu tentang ‘lebih enaknya hidup’ di era Soeharto. Benarkah lebih enak? Coba tonton  Marsinah. Dengan teknik sinematografis yang sangat efektif, Slamet Rahardjo membingkai film ini begitu sempit, secara psikologis memenjarakan penonton hingga merasa seperti terus-terusan berada dalam ruang-ruang sempit suram dengan aktivitas atau percakapan misterius yang berlangsung diruangruang sebelah. Kita tahu, ada sesuatu yang terjadi, tanpa tahu harus berbuat apa. (AKU)

12. 3 Doa 3 Cinta (2008, Nurman Hakim)

Film yang otentik tentang dunia pesantren. Dengan pendekatan yang nyaris nir-drama, film ini merangsek masuk ke dunia dalam pesantren, yang sebetulnya bagian amat penting dunia Islam di Indonesia. Menjadi semakin menohok lagi, ketika perlahan tapi pasti kita tahu bahwa dunia pesantren ini harus hidup dalam dunia pasca-9/11. Yang sangat bernilai dari film ini adalah kekukuhannya untuk menolak jadi cerita besar, spektakular, minimal melodramatis dan penuh teriakan. Film ini berhasil dengan “keras kepala” bertutur tentang pribadi-pribadi biasa, dalam alur peristiwa biasa, jelas bertentangan dengan pakempakem sinetron yang menguasai perioda akhir dekade ini. Karena itu, film ini justru menjadi pernyataan luar biasa tentang kompleksitas dunia pesantren di alam modern Indonesia. (HD)

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

Sebuah amatan orang dalam. Film tentang Islam dan pesantren banyak dibuat, tapi tidak dibikin oleh pembuat film yang benarbenar santri dan paham seluk beluk wahana dan wacana di dalamnya. Posisi Nurman Hakim,sang sutradara, yang mengalami hidup di pesantren, adalah nilai tambah. Apalagi topiknya, terorisme dan kondisi pasca 9/11, jarang diangkat di sinema kita. Inilah film tentang pesantren yang didominasi oleh semangat toleransi dan kasih sayang. Inilah kisah para santri yang menghadapi berbagai problematika hidup yang berbeda-beda. Yang menarik, kamera handy cam dan perusahaan layar tancap turut berperan dalam dramatisasi cerita. (EI) Film ini sebuah film kecil, tentang hal sehari-hari. Namun karena jujur, ia berhasil sekaligus mencatat banyak isu-isu besar, perdebatan-perdebatan besar. Yang kemudian juga harus diakui, Tiga Doa Tiga Cinta merupakan satu dari sedikit film Indonesia belakangan yang sutradaranya benar-benar memahami subyek filmnya.  Tiga Doa  berhasil berhenti menjadi sinema pengunjung, yang seolah bertekun tentang satu subyek namun enggan berkotor-kotor menggali. Dunia pesantren, muncul nyata, lengkap dengan manusia-manusianya yang berhenti dari sekadar stereotype. Persoalan terorisme, radikalisme dan fundamentalisme yang biasanya menjadi wacana keras muncul sebagai persoalan yang dekat, sehari-hari, dan tak mesti terkait dengan teori ini-itu. Dalam Tiga Doa misalnya, siapapun digambarkan bisa menjadi terjebak menjadi teroris, dan ini dengan tepat kemudian menunjukkan bahwa mereka yang jauh dari pusat perdebatan, paling rentan menjadi korban. Ditambah kesediaan melihat para kiai, santri dan calon kiai sebagai manusia biasa yang juga ‘mendengar’ berbagai godaan,  Tiga Doa  berhasil  “ berbisik” tentang hakikat manusia. Tiga Doa, menunjukkan lagi betapa keindahan bisa ada pada hal-hal yang sederhana. Dan ketika cinta

535

536

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pada sinema muncul dalam  Tiga Doa  sebagai milik kaum marginal, lengkaplah sudah “pemihakan”  Tiga Doa. Ia ingin kembali pada publik (sinema) yang sebenarnya, bukan sekadar memuaskan yang seolah-olah publik. (KY) Di balik dinding-dinding pesantren, di balik lembaran ajaran yang tertib, tersimpan impian, hasrat dan cinta. Namun bukan berarti dosa. 3 Doa 3 Cinta mendapatkan kekuatannya dari intimnya memori Nurman Hakim tentang dunia pesantren, sekaligus memberikan gambaran jaringan yang mengikat kita semua. Di balik alasan ideologis, kadang yang meruah adalah alasan sosial ekonomi yang pribadi, yang tak dapat kita hakimi sebagai kurang penting. Sebaliknya, perang ideologis yang global bisa merusak hidup pribadi-pribadi yang seolah-olah jauh dari pergulatan besar itu, terutama ketika penyikapan terhadapnya reaksioner dan inkompeten. Sementara itu, hidup terus berjalan, dan pesantren harus meneruskan tugasnya sebagai wadah tempaan. Dan manusia-manusia yang ditempa di sana, terus hidup dengan bekal dari pesantren yang telah menjadi bagian hidup mereka, betapapun berbedanya bekal-bekal itu. (IA)

13. May (2008, Viva Westi)

Nama bulan di tahun 1998 itu menyiratkan kita bahwa film ini akan bercerita tentang tragedi. Benar, tepatnya tragedi  yang itu: pemerkosaan massal terhadap etnis Cina menjelang turunnya Soeharto. Astaga, bahkan hingga kini kita tak bisa memastikan, apa yang sesungguhnya terjadi waktu itu. Dan kisah cinta ini berubah seketika jadi politis, terutama ketika banyak pembuat film lain menghindar dari menatap soal-soal besar semacam itu, alih-alih membicarakannya. Posisi politis memang lahir dari sikap atau ketidakbersikapan. Maka May adalah sebuah pernyataan

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

politik lantang di tengah penghindaran terhadap soal kenegaraan, kebangsaan dan kehidupan kolektif yang sepatutnya diurusi juga oleh pembuat film, sebagaimana juga oleh orang dengan profesi lain.  Inikah batas atas sikap politik yang bisa ditampilkan oleh pembuat film generasi baru kita? (HD) Tak henti-henti saya menggugat: salah satu film Indonesia yang paling lantang—sekaligus secara indah—berbicara tentang luka bangsa yang paling segar, ternyata lewat begitu saja di pasaran. Dan hingga kini, tak ada indikasi ada upaya untuk meneruskan denyut hidup film ini, misalnya lewat DVD. Tetap saja, May patut dicatat sebagai satu dari sedikit film Indonesia yang mau bicara tentang permasalahan yang jika dibiarkan akan membuat masyarakat ini semakin neurotik. Koda penutupnya begitu menggetarkan: adegan yang hangat dan akrab, namun diiringi score musik yang merindingkan bulu kuduk, sembari pandangan kita menjauh dan melihat “gambaran besar”. Di titik itu kita tahu: ada luka yang memang masih terpendam, bersembunyi di balik kenormalan dan wajah ramah yang dipaksakan. (IA)

14. Romeo Juliet (2009, Andibachtiar Yusuf)

Dengan mengganti latar konflik keluarga di Verona itu menjadi pendukung klub sepakbola Persib dan Persija, maka jadilah Romeo & Juliet sebagai salah satu komentar paling penting tentang dunia sepakbola, kaum muda urban, dan budaya kekerasan di negeri bernama Indonesia. Bisa jadi banyak sekali kelemahan teknis dalam film ini, tetapi sang sutradara amat mengerti tentang subjek yang sedang diceritakannya, dan mengabaikan subjek itu sama seperti mengabaikan pentingnya sepakbola dalam peradaban manusia Indonesia. Dan mengabaikan sepakbola di negeri ini,

537

538

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

sama saja seperti mengabaikan bagaimana Indonesia tumbuh dan belajar bersama sebagai bangsa. Film ini memang masih sebatas pencatatan ketimbang fiksi yang mencerahkan, tetapi inilah film yang mau repot mengunjungi apa yang oleh banyak orang dihakimi sebagai soal pinggiran milik para perusuh dan tukang ribut. Film ini keluar dari stereotip dan penghakiman semacam itu. (ES) Dalam sebuah adegan di film ini, tawuran meletup tiba-tiba dalam ruang teramat sempit sebuah mobil angkot di Bandung. Jelas belaka dari adegan itu bahwa film ini menatap kekerasan dari dalam. Kekerasan, seks, tribalisme, adalah tiga hal yang jarang dibongkar secara apa adanya dalam film-film Indonesia pasca-Soeharto. Bedakanlah dengan film-film punk wannabe ala Upi (Radit dan Jani), yang hanya penuh teriak di permukaan, semacam “Punk-look” dalam foto iklan pakaian.  Romeo  Juliet paham benar makna kekerasan, kenapa ada orang-orang yang seperti tak bisa tidak melakukannya, dan memaksa Anda menatapnya dan bertanya-tanya: apa artinya kata “cinta” dalam dunia “ngensbrai” dan botol dikepruk ke kepala dalam terminal kumuh? (HD) Kedekatannya dengan sepak bola dan kecintaannya pada medium sinema membuat sang sutradara membuat film fiksi panjang pertamanya mendekati realitas. Tema yang diangkat pun sangat jarang dibahas, padahal begitu sering terlihat: fenomena fanatisme para hooligan lokal dan kekerasan antar mereka. Keberpihakan jelas dinyatakan: cinta dan perdamaian mengalahkan dendam dan permusuhan. Film ini juga memulai lagi tema di film Indonesia, yang lalu diikuti beberapa epigon: olahraga, tepatnya: sepakbola! (EI)

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

15. 9808 (2008,Anggun Priambodo, Ariani Darmawan, Edwin, Hafiz, Ifa Isfansyah, Lucky Kuswandi, Otty Widasari, Ucu Agustin, Steve Pillar Setiabudi, Wisnu Suryapratama)

Sepuluh film pendek yang bisa berdiri sendiri menjadi lain sama sekali artinya ketika diberi payung bertajuk 10 Tahun Reformasi. Tiba-tiba saja, nama ketinggalan jaman seperti Sugiharti Halim jadi terhubung dengan sebuah Indonesia baru ketika perjuangan berkarat tentang menggapai identitas bisa dibicarakan terbuka – tak peduli kita siap atau tidak. Juga kisah tentang luka yang diraba dibalik rok, menjadi cerita pedih sebuah bangsa yang tak ingin diungkap agar tak mengorek luka lebih dalam. Bahkan pandangan Wisnu Kucing kepada para demonstran menjadi gambaran sebuah siklus panjang sejarah bangsa. 98:08 adalah salah satu proyek paling nyata “menolak lupa”, sebuah adagium yang lahir dari kutipan Milan Kundera bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawaan lupa. Maka payung kecil yang dibawa Prima Rusdi dan kawan-kawan ini berhasil melindungi bukan hanya proyek-proyek pribadi sepuluh pembuat film di proyek ini, tapi juga para pekerja film kita, dari “badai amnesia” yang kerap melanda kita sebagai bangsa. Mungkin payung ini tak cukup, ia merupakan usaha paling nyata generasi ini untuk menolak lupa. (ES) Penafsiran kepada sebuah peristiwa bersejarah seharusnya tidak tunggal. Masing-masing orang mempunyai persepsi dan amatannya. Inilah yang digarisbawahi oleh 9808. Para sutradara muda berkumpul membuat omnibus yang mengangkat salah satu isu paling krusial dalam sejarah Indonesia: Mei 1998. Ada yang kocak dan segar macam Sugiharti Halim. Ada yang bercerita tentang orang-orang yang saat itu sedang tidak di TKP. Bahkan Wisnu Kucing mengangkat kisah hidupnya sendiri. Saya tidak bisa

539

540

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

membayangkan film ini dibuat ketika Orde Baru berkuasa. Tidak hanya film ini menonjok langsung kekuasaan, tetapi dimungkinkannya sebuah sejarah dari kacamata individu, dengan cara dan gaya  yang personal, tidak dari satu sisi dan dimensi. (EI)

16. King (2009, Ari Sihasale)

Film ini tak hanya menjadikan bulu tangkis sebagai sentral cerita, tetapi juga menempatkan lapangan bulu tangkis sebagai pusat kehidupan (sekaligus pusat geografis) sebuah kampung. Sebuah vantage point yang cerdas dari sang sutradara untuk mengingatkan bahwa sukses pribadi bisa jadi tak bermakna ketika berada di luar perjuangan komunal. Maka kedegilan anak bernama Guntur itu menjadi gambar dari kedegilan sebuah komunitas untuk mengaktualisasi diri. Bukan kebetulan pula ketika ternyata prestasi internasional muncul dari kedegilan macam itu. Film ini mengingatkan bahwa bangsa ini jadi besar karena sifat degil orang-orangnya. Juga ketika negara absen dan komunalisme serta perusahaan partikelir akhirnya lebih banyak berperan dalam menentukan kehidupan kolektif kita. (ES) Jika Denias terjebak pada paradigma “pendidikan sebagai pil ajaib”, King jauh lebih jujur. Lewat film keduanya dari serentetean film yang sengaja mengeksplorasi yang non-Jakarta, Ari Sihasale memberikan gambaran tentang kecintaan terhadap bangsa yang bersahaja, dengan cara masing-masing, dan sangat berbasis komunitas. Dalam kasus ini, sebuah desa di kaki gunung Ijen yang menggilai bulutangkis. Mungkin sebagai sarana eskapisme, mungkin juga sebagai sarana kebanggaan. Masalah yang timbul dari ketegangan antara kehendak pribadi versus keluarga dan komunitas menjadikan King terasa “sangat Indonesia”. Dan toh,

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

dari interaksi seperti itulah muncul prestasi-prestasi Indonesia. Sekaligus, dengan penggambaran yang pragmatis dan bahkan mungkin sambil lalu, tergambar kekuatan kedua King dibanding  Denias: sebuah pengakuan bahwa negara ini tak memadai dalam mengapresiasi kecintaan masyarakatnya sendiri. (IA)

17. Saia (2009, Djenar Maesa Ayu)

Seperti kata sutradara John Waters, “I wonder what voyeurs do before cinema”, film ini  mengembalikan esensi sinema sebagai kegiatan seorang pengintip. Maka jangan tertipu oleh isi film yang adegan seks melulu. Karena Jenar sedang mengganggu kita saja dengan esensi medium film, medium yang sudah terlalu banyak diterima tanpa pertanyaan lagi. Dengan begitu, posisi kita sebagai penonton, seharusnya turut terganggu. Inilah film yang bercerita tentang logika tubuh minus erotika. Dengan menyaksikan tubuh yang berontak dan punya logikanya sendiri terhadap kekerasan dan seks, kita menyaksikan semacam cerita tanpa plot dan semacam struktur tanpa pembabakan dengan menahan atau menghela napas juga, selayaknya sedang menonton film drama atau laga. Tapi janganlah tertipu pada orgasme-orgasme palsu macam itu. Karena kamera, dan hanya kamera, yang menentukan siapa saya dan siapa ia yang sedang kita tonton itu. Ternyata, lewat film panjang kedua Jenar ini, kita diberi senyum di ujung film: betapa rapuhnya kenyataan. Sialan! (ES) Bisa dimaklumi jika penonton (yang sangat terbatas, sayangnya) cenderung menganggap film ini sebagai “film tubuh”. Saya pernah menulis panjang lebar, bahwa ini “film kamera”. Oh, tentu seks hadir sangat eksesif, dan itu sendiri pastilah mengandung

541

542

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pemaknaan tertentu. Tapi perlu dicatat: seks di sini tak dipandang dengan ketakjuban anak remaja yang masih cekikikan bereksperimen dengan tubuh karena merasa sedang melanggar sebuah tabu—seks bukan poin, tapi sekadar pintu masuk. Di titik ini,  Saia  (dan Djenar) melesat jauh meninggalkan masalahmasalah moral (dan moralisasi) seks: ada soal lain yang lebih penting—kita hidup dalam sebuah dunia visual yang tak terperi. Di titik ini, Saia jadi pernyataan: dunia sedang berubah, dan definisi kenyataan semakin tak mudah. (HD)

18. Pintu Terlarang (2009, Joko Anwar)

Joko Anwar memperlihatkan bahwa film Indonesia bersaing di arena yang sama dengan film-film populer dunia. Joko sangat trampil menekuk dan melipat seenaknya cerita yang ia buat untuk efek yang memang ia harapkan sejak semula. Ia bagai bisa mengkriya dunia yang lain sama sekali. Film ini memang showcase Joko, bahwa ia bisa seperti Brillante Mendoza yang bisa jadi sutradara terbaik bahkan ketika bersaing dengan Quentin Tarantino, Ang Lee dan Pedro Almodovar. Atau ia akan dapat kesempatan seperti Guillermo DelToro yang memberi tawaran pada pusat film dunia. Namun saya memang masih menunggu Joko berevolusi, makanya saya tidak senang dulu. Joko, bagi saya, belum punya materi yang bikin deg-degan seperti nonton slum pornography-nya Mendoza. Belum juga punya materi se-nyamleng  Pan’s Labyrinth-nya DelToro.  Lagian, seleranya masih kelewat canggih untuk bisa membuat penonton Indonesia —seperti kata-katanya—“going gaga“. Saya masih menunggu, tapi rasanya penantian saya tak akan lama. (ES) Film ini hanya bisa lahir dari sebuah generasi yang sepenuhnya (audio-)visual, dan hanya hendak bicara pada generasi itu pula.

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

Tak bisa tidak, ia (atau seluruh kekaryaan Joko Anwar— kebetulan ini yang terbaiknya) jadi sebuah tanda dalam sejarah sinema Indonesia: bahwa telah tumbuh dewasa generasi yang memandang bahwa realitas adalah realitas kamera. (HD)

19. Mereka Bilang Saya Monyet (2007, Djenar Maesa Ayu)

Manusia Indonesia dalam film ini lahir dari sebuah kenyataan pahit yang dikunyah perlahan tanpa sungguh-sungguh akan ditelan. Dan celakanya yang pahit itu belum tentu obat. Apa mau dikata? Terlalu banyak tragedi dipelihara dan menentukan siapa diri kita, baik sebagai pribadi atau pun dalam kehidupan bersama. Maka dengan semacam kecengengan remaja yang menyalahkan dunia akan nasib malang diri sendiri, film ini membuat kita bergidik akan kemungkinan baru kompleksitas manusia Indonesia. Dan beda dengan jaman Sjumandjaja ketika kompleksitas itu dibentuk oleh modernisasi, ideologi negara atau borok birokrasi, kompleksitas jaman kini sumbernya dari sejarah diri sendiri: dari lintah yang dimasukkan ke dalam bak mandi atau paksaan menjilati muntah sendiri. Kompleksitas itu juga dari berasal kamera, dari semacam kesadaran bahwa narasi fiksi tak selalu membangun ilusi. Djenar Maesa Ayu—serupa dengan Joko Anwar– menunjukkan  dengan teramat jitu, bahwa “pesan moral film” tak penting sama sekali bagi penonton ketimbang menyodori mereka kesadaran akan kehadiran kamera. (ES) Film debut Djenar Maesa Ayu, penuh kekurangan, tapi jadi salah satu tanda penting  masa depan sinema kita. Karakter-karakter dalam film ini bergerak seperti boneka konsep, film ini dingin dan nyaris klinis—tak ada emosi “nyata” dalam tragedi pribadi-pribadi di sini. Tapi, yang sangat berharga dari film ini: asyik-masyuknya meluaskan kemungkinan penciptaan dunia oleh kamera—bahwa

543

544

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

dengan kamera, kau bisa menciptakan realitas apa pun. Bukan sekadar realitas fantastik yang dicipta dengan teknologi CGI (yang kini  pasaran  itu), tapi realitas-fiksional yang mampu menekuk-nekuk waktu. Ini komentar yang hanya jelas sehubungan dengan adegan penutup film ini. Yang segera patut dicatat dari pemaknaan ini: Djenar menekuk-nekuk waktu dan “realitas”, dengan modus film digital yang tak berbujet mahal. Satu lagi bukti bahwa gagasan lebih penting daripada alat. (HD) Mereka Bilang Saya Monyet  mungkin film personal. Tapi keberhasilan utama Djenar Maesa Ayu dalam membuat film ini terletak pada pemahamannya terhadap pokok masalah. Hubungan benci-cinta seorang perempuan dengan ibunya ini tidak diramu dengan asal-asalan. Hubungan psikologis ibu-anak bukan hal yang mudah untuk didalami. Salah sedikit, film seperti ini bisa terjerumus jadi film melodramatik yang berlebihan. Tapi, Djenar tahu betul apa yang ingin disampaikan. Berangkat dari pemahaman itu, terlihat jelas, Djenar tidak canggung mengarahkan karakter-karakter dalam filmnya dan terlihat tidak terbata-bata mengeksplorasi hubungan tokoh utamanya dengan orang-orang disekelilingnya, dan terutama dengan ibunya. Film ini bukannya tanpa cacat. Tapi dengan visi yang jelas itu, tidak heran, Djenar bisa dengan mulus merangkai sekuen-sekuennya hingga penonton percaya –setidaknya saya percaya– pada apa yang dihadirkan diatas layar. Dengan cara yang subtil pula, Djenar dengan entengnya bermain dengan persepsi penonton –yang sudah percaya– sambil disisi lain membiarkan penonton mengalami ‘blackout’ sejenak. Adanya visi dan pemahamannya yang mendalam terhadap masalah inilah yang saya rasa sulit ditemukan dalam film-film Indonesia yang ada sekarang. (AKU)

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

20. Ada apa dengan Cinta? (2002, Rudi Soedjarwo)

Film, sering kali, adalah perayaan terhadap  youth culture dan  youth culture  membutuhkan film yang membantu mendefinisikan diri mereka. Keduanya punya saling ketergantungan abadi yang mungkin tumbuh sejak awal sejarah medium ini. Dan pada setiap jaman, ada film-film yang menjadi penanda bagi sebuah youth culture yang sedang tumbuh. Bagi Indonesia millennium kini, penanda itu adalah film ini. Lihat bagaimana ciuman di bandara jadi penting bagi koran yang terbit di Amerika seperti New York Times. Atau lihat bagaimana buku skenario biografi penyair Chairil Anwar jadi barang tentengan tapi tak pernah dibaca dan puisi dalam buku ini jadi gaya hidup baru—sekalipun artifisial. Semua disaksikan oleh para penonton usia muda di multiplex di mal-mal mewah. Kisah cinta dalam film ini mungkin biasa-biasa saja, tapi film ini dan penontonnya sedang sama-sama menandakan sebuah generasi yang baru, sebuah Indonesia yang baru. (ES) “Saya tidak percaya dikotomi film art dan komersial. Yang ada hanyalah film bagus dan film jelek,” ungkap Mira Lesmana, sang produser. Dan AADC, selain Petualangan Sherina, adalah bukti awal pernyataan itu. Sebuah film genre seputar cinta remaja yang tidak berat, mudah dinikmati, tapi tak kehilangan bobotnya dan tidak lebai. Tak lupa mereka menyisipkan nilai dan pesan, seperti “korban Reformasi” dan KDRT. Inilah film yang menjadi prototipe drama romantis anak sekolahan yang melahirkan banyak epigon, tapi tak banyak yang mengandung idealisme. (EI)

21. Janji Joni (2005, Joko Anwar)

Film berkait erat dengan kota, dan Janji Joni adalah film Indonesia

545

546

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

paling jelas dalam soal ini. Film—dan penontonnya—dirayakan dengan demikian tulus dan meriah oleh film ini, dan kota dijelajahi hingga ke ketiaknya tanpa penghakiman sama sekali. Maka bisa jadi inilah film yang menandai sinema Indonesia baru, sebagai sebuah bentuk kesadaran penuh kaum urban terhadap medium milik mereka sekaligus bersikap sebodo teuing terhadap segala pandangan mapan tentang film dan sinema—dan juga otoritas sosial budaya yang sejak lama ada. Tidak kebetulan jika bentuk cerita yang disajikan adalah petualangan. Dengan irama cepat (fast-pace), film ini telah membawa  cara tutur kontemporer film kita—yang dekat dengan Hollywood  sejak Petualangan Sherina—merambah wilayah-wilayah genre yang universal. Dengan pendekatan “film kejar-kejaran” alias  car-chase sebagaimana film-film Amerika, Janji Joni menandai sebuah cara tutur baru generasi yang sadar genre ini sekaligus meletakkan semacam platform baru bagi cara bersikap sineas Indonesia terhadap warisan sejarah film dunia. (ES) Kecintaan Joko Anwar pada medium sinema terlihat kental di film ini. Dengan ringan, Joko mengungkapkan bagaimana pengaruh film terhadap “realitas” (dan bukan sebaliknya), filmmaking dan distribusi, pemetaan sosiologis jenis-jenis penonton, hingga profesi si Joni sang pengantar film. Janji Joni juga menambah jumlah film yang “enak untuk dinikmati,menghibur , tapi tidak asal dibuatnya”. (EI)

22. Ketika (2004, Dedi Mizwar)

Dengan logika terbalik, yaitu ketika kehidupan bersama sudah sempurna, film ini jadi sebuah parodi terbaik mengenai Indonesia baru, Indonesia yang dipandang dari kacamata pembaharuan hukum dan politik yang melandasi perubahan besar di tahun

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

1998. Dengan mengedepankan utopia sebagai latar belakang cerita, Dedi Mizwar dan penulis skenario Musfar Yasin berhasil berteriak lantang tentang agenda besar politik dan hukum di negeri ini tanpa kenyinyiran sama sekali. Alih-alih, ia berhasil mengajarkan political-correctness dengan cara santai bak Abu Nawas, keunggulan utama Dedi Mizwar yang tak tertandingi pembuat film Indonesia lainnya pada segala jaman. Sejauh ini, Ketika-lah yang paling berhasil dalam hal ini. (ES) Sebuah komedi hitam yang satir bahkan tajam dan nyinyir tentang korupsi. Lepas dari mutu sinematografi yang pas-pasan, film ini tampaknya akan selalu bergaung  dengan kondisi negeri ini. Lihat saja, KKN ada di mana-mana, dari Bank Century hingga Gayus Tambunan. Karenanya, merenungkan dunia fantasi yang mengandaikan ketegasan aparat dalam menumpas para tikus kantor itu begitu penting. Dan, ah ya, reuni penting Deddy Mizwar dan Lidya Kandow! Film ini, selain film-film lainnya, tentu adalah bukti betapa pentingnya Musfar Yasin di kancah penulisan skenario negeri ini (EI)

23. Laskar Pelangi (2008, Riri Riza)

Film ini dipenuhi oleh berbagai strategi artistik yang berada di atas rata-rata film Indonesia semasa. Pertama, adaptasinya jenial mengingat buku yang menjadi sumber film ini berisi bualan tak berplot yang maunya banyak sekali. Kedua, penggunaan anakanak dengan logat lokal mereka menghasilkan semacam otentisitas pengalaman. Kita pun terpesona dibuatnya. Namun otentisitas semacam itu seperti juga oleh-oleh yang khas dari satu daerah: ia eksotik, mewakili sesuatu yang jauh. Tentu oleh-oleh itu penting, karena selalu bisa menjadi sarana pengungkap rasa sayang dan perhatian yang cepat dan mudah kelihatan. Dari situ,

547

548

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

kita diingatkan akan kehangatan rasa: sesuatu yang sudah lama tak ada dalam film Indonesia. Dan memang nikmat berada di sana menikmati semacam “pesan moral” tentang kemiskinan dan pendidikan yang bisa jadi tetap penting untuk dipelihara. Namun —sebagaimana oleh-oleh—kemanisan macam ini akan lapuk jika ketika kita berharap terlalu besar darinya. (ES) Problem terbesar film ini: menyodorkan iming-iming bahwa lawan dari kemiskinan adalah sukses pribadi dan seolah abai bahwa kemiskinan di negeri kita lebih bersifat struktural, akibat kezaliman sistem/Negara: lawannya adalah keadilan. Kelebihan utama film ini: ia hadir tepat waktu, saat masyarakat butuh pelipur, harapan –bahkan jika ia hakikatnya hanya iming-iming– agar bisa membayangkan bahwa keadaan bisa diubah. Dan faktanya, ini jadi film Indonesia terlaris sepanjang masa, sejauh ini. Ini fakta yang tak bisa tidak telah membuat film ini penting, sebuah penutup dekade yang manis dari Mirles Production dan awal bagi Mizan Production. (HD)

24. Legenda Sundel Bolong (2008, Hanung Bramantyo)

Tak banyak film horor Indonesia yang diproduksi sebagai film dengan “kelas A” alias bermutu teknik dan cerita yang tinggi. Di antara yang sedikit itu, Legenda Sundel Bolong ini jadi menonjol lantaran pencapaian tekniknya di atas rata-rata. Selain cerita yang solid dan penyutradaraan yang matang, patut dicatat eksperimen kecil-kecilan pada departemen kamera yang membuat gambar dalam film ini seperti mengajak kita ke dimensi yang lain, yang tak kita kenali. Segar rasanya menyaksikan inovasi semacam ini dalam film Indonesia. Dan ini yang penting: film ini bukan sekadar menakut-nakuti, tapi memang seram! (ES)

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

25. 6:30 (2006, Rinaldi Puspoyo)

Film ini sepenuhnya ber-setting  luar negeri, yaitu kota San Fransisco, tapi Indonesia justru terasa sekali di sini. Itu lantaran “pulang” bagi karakter utama film ini, Alit, adalah sesuatu yang amat penting. Juga ketika ultima itu tak tercapai dan kematian memaksa Alit melupakan cita-citanya makan gudeg tiap hari. Akankah ia menanamkan akar di negeri jauh, Amerika Serikat, seperti sahabatnya Bima, yang membaca kamus untuk mengisi waktu ketika sedang di kakus? Jika tidak, kenapa ia membakar skuternya di tepi pantai dalam sebuah perpisahan seakan siap untuk sebuah langkah yang sama sekali baru? Inilah suara dari generasi baru Indonesia. Luar negeri, bagi generasi di film ini, bukanlah sarana naik kelas sosial atau tempat pelarian diri, tetapi semacam lokasi lain saja dari kehidupan tanpa batas. Dengan penceritaan yang jernih dan apa adanya, film ini bukan saja berhasil mewakili sebuah generasi di millennia yang baru, tetapi menegaskan bahwa Indonesia—negeri mereka—begitu menentukan bagi hidup mereka tanpa perlu ditanya. (ES) Apakah arti “dalam” dan “luar”? Film ini tentang beberapa anak muda Indonesia yang sedang di luar negeri, berkutat dengan persoalan-persoalan di  dalam  diri mereka sendiri. Film ini merekam kaburnya batas-batas –bahwa lokasi kultural, masalah identitas, adalah persoalan nyata di sebuah dunia individualistik: persoalan yang tak harus mewujud dalam bentuk wacana-wacana gagah, tapi (lebih sering) dalam bentuk kesulitan menjawab pertanyaan sederhana, “Siapa saya? Mau apa, saya?” Tidakkah kaudengar sebuah tanya berbisik di balik galau itu: Apa makna saya?  Film ini adalah sebuah bisik semacam itu, di dalam generasinya. (HD)

549

550

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Sangat mudah mengabaikan film ini. Menganggapnya sebuah karya yang mentah, belum matang dan dangkal. Tapi, jika bersedia lebih membuka kemungkinan, film ini benar-benar menemukan sebuah wilayah baru yang terus menunggu untuk dijelajahi. Film ini memang tentang anak muda, tapi ia juga tentang Indonesia, yang di  6:30  berhenti sebagai sekadar locus geografis, ide lama maupun balutan tradisi. Indonesia yang ini tiba-tiba menjadi sesuatu yang ‘kuat’ ada di wilayah yang tak terduga: pada ruang pencarian identitas anak-anak muda yang jauh dari Indonesia geografis; pada kerinduan tentang sesuatu (bernama Indonesia) yang menunggu didefinisikan ulang. Kemungkinan, para pembuatnya tak sadar, tapi di 6:30, Indonesia sebagai ide menjadi relevan dengan cara yang tak biasa. (KY) Suatu kali saya ikutan setuju, bahwa ini film konyol yang dibuat oleh anak-anak Indonesia kelebihan duit tapi tak cukup banyak untuk sekadar menyewa beberapa lokasi di San Fransisco. Atau pemain lokal.  Suatu kali, setelah 5 tahun hidup di perantauan, jauh dari Indonesia, tiba-tiba saya sadar, film ini jauh dari konyol.  6:30  tepat sekali memaparkan secuil gelisah yang mungkin ada di benak setiap perantau. Mereka bisa merasa menjadi bagian dari lingkungan yang baru, ikut tumbuh dalam cangkok budaya asing, tapi seperti Alit, Tasya dan Bima, secara tak sadar mereka tidak akan pernah bisa melupakan diri mereka sendiri, sebagai anak-anak Indonesia.  6.30  menggambarkan bahwa Indonesia tidak hanya sekadar identitas di atas kertas, tapi Indonesia juga adalah jangkar eksistensi. (AKU)

26. Catatan Akhir Sekolah (2004, Hanung Bramantyo)

Sepintas, film ini seperti hendak menampilkan gambaran manis sekolah dan anak-anak di dalamnya, tapi ternyata apa yang dicatat

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

duet Hanung Bramantyo-Salman Aristo ini adalah sesuatu yang jujur dan nyaris belum ber-preseden dalam sejarah film Indonesia. Sekolah dan guru sebagai institusi yang disakralkan, di film ini ditelanjangi dari kedok moralitas mereka, dan kemenangan sesungguhnya adalah milik para murid belaka. Perhatikan bahwa film ini memulai penggambaran video diary bagai menyambut era Youtube sekaligus menandai perubahan besar-besaran dalam dunia audio visual kita jaman kiwari. Tak banyak yang ngeh bahwa film ini sedang mencatat banyak persoalan besar sekaligus. Salah satu film yang terlupakan. (ES) “Gue melihat betapa banyak teman-teman gue yang banyak potensi dan keinginan, tapi ternyata tidak ada satu pun yang terealisasi, dan sekarang mereka tidak ada kabarnya. Sayang sekali”, ungkap penulis skenario Salman Aristo. Dan film  ini menangkap semangat  itu. Tak tanggung-tanggung, Hanung Bramantyo mengangkat satu gang (A3) yang cupu dan acap dicibirkan lingkungkannya—sebuah kisah yang agaknya juga dimiliki banyak pelajar dari jaman mana pun.  Tentu saja kisah from zero to hero, ada di banyak film Indonesia, tapi film ini tidak terjebak dalam klise dan masih menyenangkan untuk ditonton sebagai film remaja—romansa cinta monyet, pensi, kantin, dan aneka dinamika kehidupan di sekolah yang memungkinkan  penontonnya teringat masa-masa itu. Duet Hanung-Salman ini juga kental dengan kecintaan pada medium sinema—si Agni yang membuat film eksperimental di klub film sekolahnya, proyek film dokumenter mereka—yang mengantarkan para bintang film muda di sini untuk ke jenjang berikutnya. Dan, jangan lupakan adegan pembuka one shot 8 menit. (EI)

551

552

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

27. Fiksi. (2008, Mouly Surya)

Keistimewaan film ini adalah keberaniannya mengambil resiko. Sebagai seorang sutradara yang baru pertamakali membuat film,  Mouly tak mengambil jalan mudah. Ia menggunakan referensi film-film Jepang yang menghadirkan kompleksitas karakter manusia yang berada di perbatasan antara dunia mimpi dan dunia nyata. Karena itulah ia menjuduli filmnya fiksi. (dengan tanda titik) sebuah penanda bagi dunia fiksi audio visual Indonesia agar mau bergelut dengan kompleksitas dan tak bermain di wilayah aman saja. Hasilnya tak sempurna, tapi keberanian mengambil jalan sulit itu membutnya patut dihargai. Siapa lagi yang berani? (ES)

28. Kambing Jantan (2009, Rudi Soedjarwo)

Raditya Dika, yang menulis cerita dan memerankan dirinya sendiri di film ini, sebuah keputusan estetik jauh dari arusutama. Inilah penegasan sifat  geek  dari karakter film ini. Tak heran mengingat orangtua tokoh utama film ini berkaraoke lagu Batak, Rambadia, pagi-pagi sekali sebelum mandi dan berganti pakaian. Maka film ini menegaskan tiga kategori keluarga: broken home, single parent dan model keluarga dalam Kambing Jantan: kaya, semaunya dan tampak baik-baik saja. Itulah latar sosial sebuah borjuasi baru Indonesia yang terdadar sempurna di sini. Kelas sosial dan status elit terbentuk bukan oleh sociability dan/atau kelimpahan ekonomi, tetapi oleh kemampuan membuat kategori dan mendefinsikan kenyataan diri sendiri. Indonesia 2.0? Bukan siap atau tidak, tapi pertanyaannya: sadarkah Anda sedang menjadi bagian darinya? (ES)

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

Bagaimana bisa film tentang kekonyolan hidup seorang remaja tanggung masuk dalam daftar film penting satu dekade?  Mungkin mereka yang sempat menonton film ini bertanya-tanya. Sebab, adalah juga fakta beberapa penikmat film sahabat saya memutuskan  walk out,  tak tahan menyaksikan  Kambing Jantan  hingga akhir.  Tapi, bagaimana kalau kita ubah dulu pertanyaannya. Mengapa kisah kekonyolan hidup seorang remaja tanggung harus diabaikan dari daftar penting satu dekade? Bukankah dalam sinema (dan juga dalam hidup) kekonyolan juga bisa penting? Dan  Kambing Jantan,  dengan tak terduga selain memperlihatkan hal “konyol” juga berhasil menempatkan diri sebagai pencatat perubahan yang tekun. Memperlihatkan dua orang tua yang berkaraoke dengan gaya super seenaknya di depan sang anak remaja, film ini memang seakan cuma memunculkan kelucuan. Tapi, dia sebenarnya tengah mencatat, dan memberi tanda. Stereotype orangtua (benar, berwibawa, lebih dewasa, lebih mengerti) dan anak (muda, tak mengerti, kurang ajar, harus dinasehati) tak laku di Kambing Jantan. Bukankah stereotype ini juga sudah tak laku di dunia nyata kita? Diam-diam, Kambing Jantan betekun mencatat perubahanperubahan semacam ini. Yang paling penting dan belum dilakukan film lain, Kambing Jantan mencatat invasi dunia digital dalam hidup kita. Dan  Kambing Jantan  mencatatnya dengan gaya. Bagi saya, ini tafsir skenario Salman Aristo paling berhasil sejauh ini. Pengaruh dunia digital yang memang kerap terasa absurd, dimunculkan sebagai “dunia riil” yang (meski boleh jadi tak mudah ditelan) mengalir dan diterima tanpa disoal. Berkah (sekaligus kutuk) dunia digital telah cukup dalam menusuk ke hidup kita, dan dari seluruh film Indonesia dekade lalu, film mana selain  Kambing Jantan  yang berani mencatat sekaligus merangkulnya sebagai bagian dari helaan nafas hidup sehari-hari. (KY)

553

554

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

29. Identitas (2009, Aria Kusumadewa)

Sebuah dunia yang jadi, walau ganjil mulanya terasa: dunia mimpi buruk Indonesia, dipotret dari sebuah pojok di Jakarta. Rumah sakit adalah horor kemiskinan Indonesia, begitu juga gang  dengan perumahan padat serta para pedagang sektor informal (kakilima) yang berdesakan. Arya Kusumadewa yang cenderung absurd-sureal membawa kepekaan hidup jalanan yang ia geluti sekian lama, dipadu dengan kecenderungan “tonjok-langsung” dari Deddy Mizwar, sang produser (ini kerjasama yang tak terduga), membuat film ini menyempal dari baik kecenderungan estetis kelas menengah yang mendominasi lanskap film nasional “bermutu”  dekade 2000-an di satu sisi dan kecenderungan komersial-tanpa-gagasan yang mendominasi bioskop kita di sisi lain. Hasilnya: film kasar, mengganggu, absurd sekaligus dekat dengan kenyataan korup di lingkungan kelas bawah Indonesia. Dan, ya: salah satu puncak seniperan film Indonesia disajikan oleh Tio Pakusadewo di sini. (HD) Sudah sejak lama saya kehilangan kepercayaan terhadap program-program televisi di Indonesia yang seringkali dimanipulasi, dengan cara yang berlebihan. Mungkin saya sok tahu, tapi saya pernah bekerja di televisi dan menyaksikan sendiri manipulasi itu. Mulai dari program reality show hingga program berita. Sebagai orang yang berjarak dengan televisi – sudah sejak lama saya tidak memiliki/tidak menonton televisi– saya selalu mengharapkan sebuah film yang bisa merangkum keadaan seharihari Indonesia dan segala masalah yang dihadapi warganya. Daripada menonton siaran televisi yang sok menyajikan realita, tapi sangat jelas dimanipulasi, lebih baik menonton film yang saya tahu memang dimanipulasi untuk menampilkan realita. Maka film Identitas karya Aria Kusumadewa ini seperti menjawab harapan saya. Karya seni manipulatif yang memaparkan realita

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

yang terasa lebih nyata dari tayangan-tayangan televisi kita. Film ini riuh dengan para hipokrit dan oportunis, berseliweran dengan latar belakang kesemrawutan. Jelas, para pembuat film ini sedang memproyeksikan kecemasan yang mulai akut dalam masyarakat Indonesia tentang nasib Indonesia. (AKU)

30. Arisan! (2003, Nia Dinata)

Memang bukan yang pertama mengangkat tema homoseksualitas di dalam film Indonesia (sudah didahului, terutama, oleh Istana Kecantikan). Pergeseran sudut pandang menjadi sisi-dalam preferensi seksual yang masih dianggap terlarang di Indonesia itu memang menandai sebuah pergeseran dalam ekspresi gaya hidup kelas menengah Indonesia saat ini, tapi tak sampai “revolusioner” sebetulnya. Yang penting dari film ini adalah: menandai kehadiran ciri tematik Nia Dinata, politik seks di ruang privat. Kemulusan tuturan membuat tema rawan ini diterima dengan mulus juga di kalangan penonton bioskop kita— dan dilanjutkan jadi sinetron, dan tetap luput dari incaran ormas garis keras macam FPI. (HD)

31. Keramat (2009, Monty Tiwa)

Baiklah: ini pendekatan verite yang berhasil—sebuah kejutan menyenangkan dari Monty Tiwa—dengan letupan emosi yang terasa nyata sejak awal adegan si sutradara marah-marah itu. Oke, bolehlah dileceh sebagai hanya meniru-niru pendekatan visual Blairwitch Project, tapi harus dihargai tingkat kesulitan memfilmkan horor lokal yang sudah karib di kalangan penduduk Indonesia (Ratu Pantai Selatan, Nyi Blorong, Pocong juga ada) dan menjaganya agar tak jatuh jadi parodi tak sengaja, dengan

555

556

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

pendekatan minimalis begini. Singkatnya, ini salah satu dari sedikit film horor Indonesia dekade 2000-an yang paling berhasil mewujudkan kata “seram”—sembari, seakan khas generasi pembuat film kita dekade ini, memberi komentar tentang duniakamera. (HD) Menyenangkan sekali ada film horor yang benar-benar seram tapi membuat kita betah dan terus di tempat duduk, macam Keramat. Dengan demikian, bersama sedikit sekali film horor kita, film ini menyanggah anggapan bahwa semua film horor Indonesia buruk dan berseru: bukan genrenya yang jelek, tapi sineasnya. Gaya  hand-held, sepertinya hampir tidak pernah dipakai sebelumnya, dengan pendekatan dokumenter-seolaholah, lengkap dengan memakai nama sebenarnya membuat kesan dekat dengan realitas, dan karenanya memperkuat elemen yang meneror penonton. Dan tak lupa selipan pesan ramah lingkungan: “Manusia wis jahat, alam sing arep bales…”. (EI)

32. Maaf Saya Menghamili Istri Anda (2007, Monty Tiwa)

Negeri ini akrab sekali dengan pendekatan stereotip untuk cerita berlatar etnis. Pada masa Orde Baru, kita melihat bahwa hal itu menjadi sebuah katarsis, sarana pelampiasan, bagi apa yang tak bisa dinyatakan dengan baik-baik. Coba lihat kelompok lawak yang mengambil ledekan suku bangsa dan ras sebagai bahan olokolok. Bagai sebuah morbid humor, katarsis semacam ini adalah sarana untuk melampiaskan apa yang terpendam, agar hidup sehari-hari tetap bisa berjalan wajar. Maka ketika film ini diprotes oleh suku yang digambarkannya, kita sebetulnya sedang diperingatkan akan menipisnya kemampuan kita menertawakan diri sendiri. Pada soal apa yang dulu dijuluki sebagai SARA (suku,

33 FILM INDONESIA TERPENTING 2000-2009

agama, ras dan antar golongan), jangan-jangan kita sebetulnya sedang mendekati tragedi. Masuknya film ini ke dalam daftar ini adalah sebuah ajakan, bahwa bangsa ini seharusnya tetap mempertahankan selera humornya ketimbang marah-marah ketika melihat kelemahan diri sendiri. (ES) Sekilas, komedi ini lebih pantas dianggap sebagai “film minggu ini” belaka. Modus produksinya bagian dari eksperimen syuting ekspres, dan production value-nya sendiri? Jangan-jangan lebih pantas untuk FTV. Tapi film ini sangat berhasil setidaknya di dua wilayah. Sebagai komedi, ia berhasil (meski tentu tidak mungkin 100 % penonton setuju) berkat comedic timing yang pas—sesuatu yang jarang—dan selera konten yang berada di batas nyaris konyol. Sebagai film bagi dan dari orang Indonesia, ternyata film ini justru berhasil bicara dan memetakan—tentu dengan nada komedi tadi—akar kekerasan horisontal di masyarakat kita: lahan perut dan etnisitas. Fenomena yang pernah diakui dan ditertawakan, bukan ditanggapi dengan mata membeliak marah. (IA)

33. Pocong 2 (2006, Rudi Soedjarwo)

Sebelum terjadi inflasi kisah pocong di layar bioskop, kisah mayat meloncat-loncat hidup a la Indonesia ini bisa dipakai untuk bercerita tentang masa lalu yang ingin dilupakan. Sebagaimana Dendam Pocong  yang dilarang beredar oleh LSF itu,  Pocong 2 menyimpan kerusuhan politik 1998 sebagai latar jauh cerita. Jika keseluruhan film dianggap sebagai metafor, maka film ini adalah sebuah gambaran tentang generasi baru urban Indonesia yang dihantui oleh sesuatu yang sudah ingin dikubur dalamdalam. Cara bercerita yang minimalis, yang berangkat dari

557

558

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

penghematan anggaran, jadi satu kelebihan. Tanpa banyak musik dan teknik tanam-tuai (setup dan pay-off) sebagaimana formula yang semakin klise, horor tetap berhasil dibangun dengan sempurna. (ES)

Hikmat Darmawan

Catatan Penutup 33 Film Indonesia Terpenting 2000-2009 Pilihan Rumah Film

Membaca Dekade, Menyusun Peta

S

udah tak lagi masanya kita masih ada dalam suasana perasaan “bangkitnya film Indonesia pasca-Reformasi”. Suasana yang penuh harapan, juga pemakluman. Suasana euforia takjub terhadap capaian-capaian teknis “anak negeri” atau perolehan penonton terbanyak. Bahkan sangat tak perlu kita merayakan sebuah film “hanya” karena ia dibuat dengan biaya termahal. Itu norak. Mari kembali kepada sinema itu sendiri. Mari mengukur film Indonesia dalam sepuluh tahun pertama 2000-an dengan kerangka pengalaman sinematik, capaian estetik, inovasi artistik, dan letak mereka dalam kebudayaan Indonesia. Bicara soal letak, kita tak bisa lagi pasang kaca mata kuda, menganggap film Indonesia hanya layak kita ukur dalam letaknya di Indonesia belaka, dibandingkan hanya dengan film-film Indonesia saja. Kita juga harus mawas akan letak Indonesia dalam

560

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

kebudayaan dunia. Maka, mau tak mau, kita musti mawas akan capaian-capaian sinematik di seluruh bumi, sebisa kita. Dan, kebetulan, dalam pengamatan kami di Rumah Film, dekade 2000-2009 ditandai, antara lain, menguatnya sinema Asia (Korea Selatan, Cina angkatan ke-6) dan Asia Tenggara. Filipina, Thailand, Malaysia, tumbuh menjadi kekuatan-kekuatan artistik baru dalam pelataran Sinema Dunia. Jelas, ini bukan sekadar soal geografi. Para sineas di ketiga negeri ASEAN itu, plus beberapa sineas Singapura, menampakkan pendekatan khas dan segar terhadap film dan tema-tema serta subjek-subjek yang mereka filmkan. Bagaimana Indonesia? Apa boleh buat, dalam sepuluh tahun kemarin, kita tak menampakkan “taring artistik” kita di antara sesama negara Asia Tenggara. Tentu, ada film-film kita yang berprestasi internasional. Kami juga menganggap bukannya tak ada sama sekali pencapaian menarik “kelas dunia” di dalam khasanah film kita dekade lalu itu. (Perhatikan bahwa kami membedakan “prestasi internasional” dengan “pencapaian kelas dunia”.) Tapi, para film jawara kita itu beberapa masih dihasilkan oleh para sineas senior kita. Satu, yang kami anggap tempatnya tinggi dalam daftar kami, yakni Kantata Takwa, malah sebetulnya film yang disyut 18 tahun sebelumnya. Lebih dari itu, jelas pula bahwa masih terlalu sedikit film Indonesia yang memang layak bersaing dalam arena Sinema Dunia. Entah dari segi ide (terutama dari segi ide), maupun dari segi pendekatan artistik mereka. Kebanyakan, apa boleh buat, masihlah jago kandang. Sudah sedikit, kebanyakan dari yang ada memang tak terlalu diterima dalam masyarakat, bahkan dalam masyarakat kesenian kita sendiri (baik para praktisi film, maupun para seniman dan penggemar seni pada umumnya). Karena itulah, apresiasi harus dilakukan. Penilaian ulang. Perenungan. Pemetaan. Dan kami menganggap, salah satu format paling gampang dibaca untuk kepentingan-kepentingan apresiasi,

MEMBACA DEKADE, MENYUSUN PETA

refleksi, dan pemetaan film Indonesia dekade 2000-2009 adalah dengan menyusun Daftar Film Indonesia Terbaik 2000-2009 versi Rumah Film. Bukan hanya paling mudah untuk dibaca, modus membuat daftar ini ternyata erat benar berkelindan dengan modus manusia berbudaya. Setidaknya, itu kata Umberto Eco dalam wawancaranya dengan  Spiegel online. “Kita membuat daftar, karena kita tak mau mati,” kata filsuf dan novelis itu. Daftar, menurut Eco, adalah salah satu kegiatan kebudayaan manusia yang paling mula. Malah, menurutnya, “daftar” adalah “asal muasal kebudayaan”. Manusia membuat daftar, menyusun benda-benda, atau lebih persis lagi, menyusun gagasan-gagasan, untuk mencipta keteraturan, tatanan, di hadapan Sang Kekacauan (Chaos). Lebih dari itu, manusia membuat daftar (apa pun) agar dapat memahami Keabadian (Infinity) Yang Tak Terpahami. Maka demikianlah, manusia mencipta daftar, katalog, koleksi, kamus, dan ensiklopedia. Dengan mencoba memahami Yang Tak Terpahami, manusia bisa menjamah Yang Tak Terpahami. Walau mustahil belaka mencipta Tata dalam  Chaos, mustahil pula memahami Yang Tak Terpahami, tapi upaya-upaya itu tak sia-sia: dengan berupaya mencipta Tata, maka manusia seakan menjamah Yang Tak Berbatas (The Unlimited).  Dengan demikian, manusia bisa (merasa) melampaui batas mutlak dirinya sendiri: kematian. Kami hendak merentang tafsir atas ungkapan Eco soal pembuatan daftar itu menuju sebuah pemahaman: dengan mencipta daftar film Indonesia terbaik dekade 2000-2009, kami sedang menolak kematian film Indonesia dan para penontonnya. Kami ingin cinta kami pada film Indonesia tak mati begitu saja. Karena itulah kami berpayah-payah menyusun daftar ini. Kami menyusun kriteria, mendata, berdiskusi, berdebat, untuk tiba pada susunan ini: 33 Film Terbaik Indonesia 2000-

561

562

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

2009, dari yang terbaik hingga terbaik ke-33. Pertama, kami memaksudkan film dalam daftar ini adalah film-film feature panjang (sama dengan atau lebih dari 60 menit) yang dibuat oleh sineas Indonesia selama periode 2000-2009. Kami tak merasa perlu membatasi hanya pada film-film yang beredar di jaringan bioskop 21, dan juga tak mendiskriminasi film dokumenter. Sandaran kami adalah pengalaman sinematis apa yang ditawarkan film-film yang kami nilai. Juga, inovasi artistik (bukan sekadar inovasi teknik). Juga, keberhasilan sang film mendekati subjek mereka. Dan terutama: ide, gagasan. Entah gagasan itu mengejawantah dalam tema dan pesan, subjek film yang dipilih, ataukah permainan bentuk yang diolah dalam sebuah film. Kami tak menganggap daftar kami sebagai daftar film terbaik yang terbaik, apalagi bersifat dogmatis. Ini hanyalah daftar menurut kami, tidak kurang dan tidak lebih. Inilah renungan kami. Inilah pemetaan kami. Inilah buah dari keyakinan kami, bahwa setelah pesta, maka mestinya kita siap untuk serius. Ah, jangan salah sangka. “Serius”, bagi kami, bukan berarti “tanpa kebermainan” dan “tanpa kegembiraan”. Salah satu tolok ukur kami dalam soal “pengalaman sinematik” adalah kegembiraan kami menonton film-film tertentu; dan atau pancaran kegembiraan bersinema dalam film-film tertentu. Kegembiraan bersinema adalah hal serius buat kami. Lebih jauh lagi, maksud kami dengan kata “serius” adalah: menyadari bahwa kita sedang tertinggal, tapi juga percaya bahwa kita masih punya potensi dan daya untuk menyumbang pada Sinema Dunia.  (2009)

MEMBACA DEKADE, MENYUSUN PETA

Post Scriptum Setelah tiga tahun, ada banyak perkembangan dari daftar ini. Tadinya, ini daftar film terbaik satu dekade, dan jumlahnya 25. Hasil akhirnya, 33 Film Indonesia Terpenting 2000-2009. Kami sempat pula melontarkan daftar ini ke publik, walau belum dengan argumen. Ternyata, banyak masukan berharga. Tapi, salah satu yang menguat adalah pertanyaan: untuk apa daftar ini, bagi publik? Kami pun perlu menguatkan poin ini: sesungguhnya, membuat daftar ini adalah salah satu cara paling komunikatif untuk membaca sebuah dekade. Tapi, pertanyaan selanjutnya adalah: lantas, apa yang terbaca dari dekade 2000-2009 tersebut. Sebetulnya, ulasan pada masing-masing film bisa mendorong pada kesimpulan apa saja yang menjadi peta perfilman nasional di dekade tersebut. Tapi, memang, perlu ada semacam penyimpulan juga. Maka, inilah kesimpulan yang bisa saya susun, tentang apa saja yang terbaca dan terpetakan dari perfilman nasional dekade 2000-2009, berdasarkan daftar kami ini. Pertama,  dekade 2000-2009 adalah dekade yang paling langsung hadir sesudah runtuhnya rezim Soeharto, sehingga jelas bahwa perfilman nasional dekade ini salah satu penikmat pertama “era reformasi”. Ini fakta penting. Setelah lebih dari tiga puluh tahun tekanan politik terhadap kebebasan berekspresi, para pembuat film menjadi salah satu bagian penting pengampu kebebasan itu. Represi rezim Soeharto mengambil bentuk banyak hal, antara lain: (1) Kendali Negara atas proses produksi dalam bentuk aturan ketat siapa saja yang boleh jadi sutradara, yang telah ditampik sejak Garin Nugroho

563

564

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

membuat Cinta Dalam Sepotong Roti. Lewat film itu, Garin mempraktikkan bahwa ia bisa jadi sutradara tanpa melalui proses magang apa pun seperti yang ditetapkan Negara saat itu. (2) Kendali Negara atas isi film, terutama melalui mekanisme sensor dan tekanan lainnya. Bukan hanya sensor terhadap muatan seksual dan kekerasan, tapi terutama justru terhadap muatan yang bisa dianggap mengancam “kestabilan sosial” (dan kestabilan kekuasaan, tentunya). Kritik keras pada Negara, isu “keras” macam korupsi para pejabat, isu-isu SARA (Suku-Agama-Ras-Antargolongan –dengan perhatian pada “Antargolongan”, yang sebetulnya terjemahan Orde Baru untuk masalah-masalah pertentangan kelas) praktis dibungkam. Negara juga menetapkan bahwa, misalnya, tak boleh ada penggambaran negatif atas polisi/militer dan film horor wajib menyertakan tokoh agama sebagai penyelesai masalah.

Kendali Negara semasa rezim Soeharto ini tiba-tiba terangkat dari dunia film, walau tak seluruhnya secara resmi. Tapi, apa lantas dunia film kita segera mendedah apa yang dulunya selalu dibungkam? Tidak juga, ternyata. Praktis, setelah Reformasi 1998, hanya beberapa sineas kita yang segera menjemput peluang ini. Aryo Danusiri, di 1999, segera mengangkat subjek Aceh dan pendudukan militer Orde Baru di sana lewat dokumenternya, Kambing Kampung Kena Pukul. Sepanjang karirnya, Aryo mengangkat subjek-subjek Yang Terpinggir oleh Negara era Soeharto. Isu-isu politik yang “keras” malah diambil oleh para sineas senior: Deddy Mizwar yang konsisten dengan tema korupsinya,

MEMBACA DEKADE, MENYUSUN PETA

dan Slamet Rahardjo dengan film Marsinah-nya. Juga, tentu saja, Garin Nugroho, yang di awal 2000 sudah melontar Puisi Tak Terkubur yang mengangkat tema Aceh juga. Sineas muda angkatan 2000-an yang punya kepekaan dan kesadaran sosial-politik yang tinggi seperti perlu waktu untuk memanfaatkan secara penuh kebebasan politik sesudah rezim Soeharto runtuh: Ravi Bharwani, Viva Westy (dengan May), Edwin, dan kemudian, segerombol sutradara muda dalam omnibus 98.08. Kebanyakan sutradara angkatan 2000-an lebih sering menghindar dari isu-isu politik “keras” atau langsung, berkubang dalam produksi hiburan-hiburan eskapis atau membuat pernyataan tentang hidup mereka sendiri dengan menempatkan isu-isu politik itu jauh di belakang. Nayato Fio Nuala, Joko Anwar, Riri Riza, Rudi Sujarwo, Nan T. Achnas, Upi, dan lain-lain, punya penghindaran demikian dalam kadar yang berbeda-beda. Nia Dinata, sejak Arisan! mendedah variasi tema politik pasca-Orba: ia tak risau dengan isu korupsi atau militerisme, tapi lantang bicara tentang politik seks di ruang privat. Lebih mengerucut lagi, sejak Berbagi Suami, ke politik seks dan isu feminisme. Sementara Hanung Bramantyo yang mulanya hanya samar belaka mengangkat isu politik PKI/G 30 S (dalam Legenda Sundel Bolong dan Lentera Merah), menemukan suara lantangnya dalam isu keberagamaan. Joko Anwar, yang secara umum (sengaja atau tidak) lebih memilih perjuangan gaya hidup sebagai politiknya, sempat pula mengangkat isu politik dalam Kala. Tapi, isu itu ditampilkan secara metaforik, yang membuat saya bertanya-tanya: mengapa masih perlu memakai modus metaforik demikian, di saat semua orang kini praktis boleh ngomong apa saja tanpa perlu terlalu risau akan ditahan rezim? Bahasa metaforik untuk kritik politik adalah siasat khas era penindasan sebuah rezim totaliter. Jadi, sekali lagi, apa alasan bagi pilihan bahasa metaforik tersebut?

565

566

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Riri Riza, berulang kali mengatakan bahwa ia tak ingin membuat propaganda. Ia, bisa disimpulkan, lebih mengedepankan estetisasi, stilisasi, bagi isu-isu sosial-politik. Kesan saya dari berbagai wawancaranya, Riri Riza seperti merasa itu sesuatu yang “kotor”: mengedepankan isu-isu sosial politik secara gamblang, terus terang, lantang. Bolehlah itu sebuah pilihan estetik. Tapi, saat ia kemudian memasuki isu politik dalam Gie, kita lihat sebuah karya wagu dan patut dicurigai sangat tak paham akan isu yang ditangani. Dalam Gie, Riri seperti bimbang mau mendekati sisi epik sejarah era Gie ataukah sisi personalnya –dan akhirnya, jelajahnya tanggung di kedua sisi itu. Dan kemudian, kesalahan fatal itu: menggambarkan bahwa peran aktor perorangan, peran Soe Hok Gie, dalam kelahiran Orde Baru sedemikian menentukan. Sebatas itukah pemahaman generasi baru sineas kita terhadap sejarah negerinya sendiri –senaif itukah? Untungnya, generasi baru itu masih terus melahirkan sineas baru. Kedua, era 2000-2009 menampakkan peningkatan intensitas teknologi digital dalam pembuatan film, yang merasuk jauh sampai ke estetika dan gagasan sinematik film Indonesia mutakhir. Gejala tersebut sejalan belaka dengan gejala yang terjadi dalam Sinema Dunia. Teknologi digital telah melahirkan revolusi merangkak tapi semakin kuat dalam hal moda produksi dan moda estetika film dunia. Kamera digital mewujudkan demokratisasi seni dalam dunia film, termasuk di Indonesia—dan itu tampak menonjol sepanjang dekade awal 2000-an. “Demokratisasi seni” yang dimaksud adalah, antara lain: peluang bagi lebih banyak orang untuk membuat film, dengan lebih banyak kemungkinan tema, subjek, dan pendekatan serta penggarapan masalah. Peluang yang berhubungan dengan perubahan moda dan pola produksi film

MEMBACA DEKADE, MENYUSUN PETA

dengan teknologi digital, antara lain peluang produksi yang lebih murah dan bersahaja. Kamera digital yang secara fisik bisa lebih ringkas dari kamera film (seluloid) menjadikan lebih banyak peluang memasuki ruang-ruang yang sulit dicapai sebelumnya: ruangruang sempit rumah dan gang kumuh, misalnya. Tak perlu tata cahaya yang rumit, tak perlu pula manipulasi sinematik yang terlalu banyak. Biaya produksi pun bisa ditekan sedemikian rupa. Memang, seringkali, modus digital yang murah ini jadi jalan keluar para pembuat film amatir, dan nilai produksi yang alakadarnya. Tapi, segala kesederhanaan, kesahajaan, dan rendahnya biaya produksi itu, bisa memberikan kemerdekaan juga. Para pembuat film dengan moda digital bisa bergerilya, mencipta karya yang tak harus menghitung-hitung “uang kembali” dan laba yang besar. Tak perlu terlalu terpaku pada “selera pasar” yang ilusif itu (karena seringkali, dalam praktik, “selera pasar” tak lain selera produser atau pemodal). Namun, dalam dekade 2000-2009, modalitas revolusi digital dalam pembuatan film Indonesia lebih menonjol pada filmfilm pendek. Khasanah film pendek kita dalam periode ini menampakkan munculnya gairah membuat film di daerah-daerah non-Jakarta. Yogyakarta, Bandung, dan Banyumas tampak menonjol dalam soal ini. Juga semaraknya film-film dokumenter, membuka peluang suara-suara Pinggir yang selama ini tak tersuarakan dalam film nasional. Dalam pembuatan film panjang, ada dua nama yang menonjol dalam hal meretas moda produksi digital ini. Pertama, apa boleh buat, Garin Nugroho, yang lewat  Puisi Tak Terkuburkan menggunakan moda produksi digital tahap awal— yang terus berkembang hingga  Generasi Biru  dan  Mata Tertutup (2011). Kedua, Nayato Fio Nuala (yang punya kebiasaan memakai nama samaran untuk beberapa filmnya), yang

567

568

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

mengeksploitasi moda produksi digital untuk mencipta standar industri film Indonesia arusbesar sepanjang 2000-an: produksi cepat, murah, dan genre eksploitasi (kebanyakan, horor). Model kekaryaan Nayato penting dicatat. Tapi, kami di RumahFilm, juga kadung menempatkan kenikmatan dan pengalaman sinematik penonton dalam diri kami sebagai titik berangkat tolok ukur kami. Bukan terutama segi teknik yang kami junjung, tapi segi-segi estetik dan tematik. Maka, kami lebih memilih film-film Monty Tiwa, misalnya, ketimbang film-film Nayato. Monty, lewat  Maaf Saya Menghamili Istri Anda dan Keramat, menampakkan moda produksi digital yang murah itu bisa punya daya jelajah tematik yang menarik, ketimbang sekadar eksploitatif. Dua film Djenar dalam daftar ini juga boleh dibilang salah satu wakil terdepan generasi digital ini. Kemerdekaan dan jelajah kemungkinan sinematik (visual) maupun tematik tampak dimanfaatkan benar oleh Djenar. Tapi, ada hal lain yang menarik, jika kita melihat karya-karya Djenar tersebut.  Kedua film Djenar itu juga menampakkan betapa dalam persetubuhan (sebagian) generasi pembuat film baru ini dengan “dunia visual yang tak terperi”. Ketiga, dan inilah bacaan ketiga kami atas dekade tersebut: Telah lahir sebuah generasi (pembuat film mereka) yang sepenuhnya visual, baik dalam hal melahirkan gagasan maupun mengolah ekspresi mereka, juga dalam membayangkan para penonton mereka. Ketika di tengah-tengah engah dan desah seksual dalam Saia tiba-tiba layar gelap dan ada tanda batere habis dan sedang mengisi (charging), sadarlah kita bahwa ini film yang betulbetul menyelusup ke relung-relung dunia kamera hingga jauh. Penonton dipaksa sadar akan kehadiran kamera ini, penonton seolah dijebak untuk merasakan bahwa kamera adalah bagian organik dari kehidupan kita saat ini.

MEMBACA DEKADE, MENYUSUN PETA

Pembuat film lain, terutama Joko Anwar dan Edwin, menampakkan dengan jelas dunia visual tak terperi tersebut. Mereka telah berjalan selangkah lebih jauh daripada Garin Nugroho yang pada awal 1990-an, lewat Cinta Dalam Sepotong Roti, mencanang bahwa film-filmnya bertumpu pada estetika gambar. Garin saat itu adalah sebuah antitesa dari (sebut saja) estetika teater yang masih mendominasi film-film Indonesia saat itu. Djenar, Joko, Edwin, dan sekian pembuat film angkatan 2000-an itu tampak bicara di dalam, tentang, dan kepada generasi visual itu, mencipta premis-premis visual, dan melahirkan karyakarya yang nyaris sepenuhnya bertumpu pada problematika (dunia) visual. Ketika Monty membuat film horor yang tuntas mengangkat khasanah film horor Indonesia hingga ke Nyi Blorong dalam Keramat  lewat pendekatan  found footage—mungkin saja itu sebuah bagian dari trend film dunia yang di tempat lain sudah agak basi. Tapi, fakta bahwa pendekatan found footage itu adalah sebuah trend, menegaskan bahwa begitu banyak aspek dunia visual merembes dalam struktur kesadaran para pembuat film itu. Footage, misalnya, dalam trend penuturan film masa kini, tak lagi sekadar sebuah unit kecil pembangun film. Footage menjadi sebuah makhluk sendiri, mandiri, dan bisa jadi sebuah gaya yang kukuh, bahkan menjadi cerita itu sendiri. Ia jadi semacam jembatan untuk mendekati kenyataan agar lebih dekat. Setidaknya, secara ilusif. Ilusi lebih dekat dengan kenyataan itu justru dibangun dari semacam kesadaran yang lebih dalam tentang unsur-unsur visual dalam film. Dengan kata lain, justru dengan menjadi semakin sadar-diri akan kehadiran Sang Kamera, maka film diharap lebih mampu bersiasat mendekati kenyataan. Dan kemudian, definisi kenyataan pun jadi problematik. Ada kenyataan di luar film, dan ada “kenyataan” film. Ada kepercayaan bahwa kenyataan bisa semakin didekati dan

569

570

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

diwujudkan dalam film, ada juga kepercayaan bahwa tak ada yang namanya kenyataan dalam film. Ada yang malah percaya bahwa bahkan kenyataan di luar film pun tak ada, yang ada hanyalah rekonstruksi, hanyalah “kenyataan”. Barangkali juga, ada yang sekadar bingung saja membedakan mana “kenyataan” dan mana yang bukan. Konon pula, schizophrenia (yang antara lain berciri ketakmampuan membedakan mana kenyataan dan mana yang bukan) adalah sebuah ciri dari kebudayaan posmodernisme (atau modernisme tahap lanjut). Jangan-jangan, kebingungan tersebut yang menyebabkan generasi pembuat film angkatan baru kita seringkali wagu dalam memahami sejarah dalam film-film mereka. Tapi, itu persoalan lain. Sementara, keadaan visual tak terperi itu justru bisa membawa ke arah lain dari kenyataan—melahirkan karya-karya yang merasa tak nyaman dari kenyataan. Bukan sekadar eskapisme sederhana (bukankah “eskapisme” selalu adalah lari dari kenyataan?)—walau, kita tahu, jenis begini pun banyak diproduksi selama 2000-2009. Dalam bentuk terbaiknya, ketaknyamanan terhadap kenyataan itu bisa kita baca dalam karya seperti  Pintu Terlarang dari Joko Anwar. Memasuki dunia Joko dalam film ini seperti memasuki dunia entah yang ganjil dan asing dari keseharian penonton. Tapi, keasingan itu, di tangan Joko, menjadi sebuah keasyikan tersendiri. Keempat, di tengah segala keasingan dan ketaknyamanan atas kenyataan itu, meruak pula ciri lain: Generasi pembuat film dekade 2000-2009 agaknya memang dibesarkan dengan berbagai pertanyaan ulang, problemasi, atas identitas. Menjadi “orang Indonesia”, misalnya, tak lagi sederhana. Setelah sekian lama hidup dalam kubah pemaknaan Orde Baru yang bergaya “menyembunyikan segala kotoran ke bawah karpet”, tiba-tiba saja kita hidup dalam keadaan ketika semua kotoran

MEMBACA DEKADE, MENYUSUN PETA

praktis keluar belaka, tak terlampau bisa ditutup-tutupi atau disembunyikan. Dalam keadaan itu, banyak pertanyaan menderas. Keadaan tak seperti yang kita yakini dengan ajeg dulu: “apakah Indonesia?“; “siapakah orang Indonesia?“; “siapakah aku?” Misalkan dalam 6:30, mungkin tanpa sengaja, terpampang betapa bagi anak-anak muda yang berada di San Fransisco itu, kata “pulang” berkelindan dengan kata “Indonesia”. Mereka juga berada dalam situasi unik. Walau mereka di negeri asing, mereka bicara satu sama lain dalam bahasa Indonesia, dan selalu berada di ruang-ruang dalam kota San Fransisco yang selalu (dipotret) memungkinkan mereka berkutat dengan galau balau pribadi mereka tanpa perlu terlibat dengan penduduk lokal atau sesama warga asing dari negeri lain. Masalah ruang ini, lagi-lagi mungkin tanpa sengaja, jadi sebuah pernyataan: betapa “Indonesia” bisa jadi adalah keping ruang yang lentur, ruang abstrak, bisa dibawa-bawa ke ruang nyata sejauh apa pun, dan tetap nyata sebagai “Indonesia”. Beberapa pengamat menganggap ketiadaan San Fransisco dalam dunia 6:30 sebagai kelemahan. Tapi, ketakhadiran akut itu justru sebuah poin: Indonesia, ternyata, adalah sebuah ruang dalam alam gagasan. Dan di simpang siur arus informasi, barang, dan orang ke seluruh penjuru dunia kini, alam gagasan itu tak bisa lagi disempitkan jadi model-model ruang ala patriotisme pertengahan abad ke-20. Ternyata, menjadi “Indonesia”, menjadi “Orang Indonesia”, kini tak lagi bisa dimampatkan dalam satu model tunggal: model Jawa, atau Jakarta belaka, misalnya. Menjadi “Indonesia” bisa terjadi karena deraan rindu, rasa ingin pulang, misalnya. Bisa juga dengan menjadi eksil, dan berhadapan kesunyian mutlak lautan di tengah Jermal, dan menemukan diri di situ. Bisa juga dengan berkhalwat bersama musik rock progresif seperti dalam Kantata Takwa.

571

572

1. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

Menjadi Indonesia, tak lagi hak istimewa pusat. Lukas di Papua pun berhak bertanya, lewat hidup kesehariannya yang diamati Aryo Danusiri dan kameranya dalam Lukas’ Moment, apa makna menjadi Indonesia? Begitu pula, pasar dalam Rindu Kami Pada-Mu  pun menjadi sketsa bagaimana menjadi Indonesia mewujud tanpa pretensi gagasan apa-apa, hanya ada, apa adanya. Begitu pula, para pemuda pesantren yang kemudian diperangkap dalam skema global perang antiterorisme pasca-9/11 di 3 Doa 3 Cinta, jadi urun pertanyaan apa makna menjadi Indonesia kini? Dan tidakkah adegan seorang anggota Jakmania bercinta dengan Bobotoh Persib di tengah lagu Padamu Negeri adalah sebuah pertanyaan lagi bagi apa itu “Indonesia”? Seolah, dengan membaca film-film dalam daftar ini, kita sedang hidup dalam alam yang digambarkan oleh Yeats ini: Things fall apart; the centre cannot hold; Mere anarchy is loosed upon the world. — - WB. Yeats, dalam The Second Coming

Dalam berai yang mudah mencemaskan ini, para sineas muda kita merayakan—barangkali sebagian secara tertatih, atau wagu— yang Pinggir tinimbang yang Pusat; yang pribadi, tinimbang yang Normatif; yang Jalanan tinimbang yang Negara. Problemasi terhadap masalah-masalah identitas ini sebetulnya semakin menguat pada 2010-2011. Dekade pertama 2000-an yang kita (kami? saya?) baca di sini seakan memberi pondasi bagi problemasi tersebut.

I Just Call to Say I Love You Salah satu pengalaman sinematik terbaik saya adalah saat menonton Babi Buta Yang Ingin Terbang. Di layar, imaji-imaji

MEMBACA DEKADE, MENYUSUN PETA

visual yang mengganggu tentang Indonesia di mata Edwin, datang dan pergi. Beberapa kali, imaji-imaji itu bertumpuk dengan lagu über-kitsch dari Stevie Wonder, I Just Call to Say I Love You. Di sebelah saya, Jajang C. Noer. Setelah beberapa kali lagu Stevie Wonder itu mengganggu, akhirnya, saat lagu itu ditumpuk dengan semangat kebermainan salah satu tokoh di film tersebut pada footage kerusuhan 1998, Jajang ikut menyanyi I Just Call to Say I Love You, sambil bertepuk tangan. Dan dalam gelap itu, beberapa penonton pun menyanyi bersama. Dekade 2000-2009 memberi kesan itu bagi saya: film Indonesia memanggil-manggil kita dari dalam gelap, dengan lagu yang mungkin saja  kitsch, tapi dengan mudah dinyanyikan bersama, memanggil-manggil kita karena ingin berkata bahwa ia mencintai kita. Apakah kita akan ikut bernyanyi? Apakah kita akan menyanyi bersama?

573

2

Hantu dan Uang di Venesia LAPORAN DARI FESTIVAL-FESTIVAL

576

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

37th International Film Festival Rotterdam 2008 LAPORAN OLEH ASMAYANI KUSRINI DAN EKKY IMANJAYA

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

Diary dari Rotterdam

Hari Pertama, Kamis, 24 Januari 2008

Ucapan Selamat Datang

M

usim dingin di bulan Januari tidak pernah jadi masalah di Rotterdam. Khususnya bagi saya dan filmgoers yang setiap tahun kembali dan kembali lagi ke Rotterdam Film festival. Apalah artinya cuaca minus jika dibandingkan dengan semangat dan kehangatan para penyelenggara festival saat menyambut tamu-tamunya? Dengung dari berbagai sudut venue festival terdengar seperti dengung lebah menikmati madu. Dan saya, mewakili Rumah Film, sekali lagi beruntung mendapat kesempatan menjadi bagian dari festival itu. Dalam perjalanan menuju Rotterdam dari Brussel, saya merasa sudah langsung disambut oleh festival ini sejak dari perbatasan Belanda-Belgia. Poster-poster festival ini sudah tersebar di setiap pemberhentian kereta sejak memasuki negeri Belanda. Poster hitam putih dengan siluet macan mengaum itu seperti berteriak mengundang: datang dan saksikanlah Festival Film Rotterdam.

578

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Dan ketika akhirnya saya tiba di Rotterdam, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, saya sudah berada di depan penerima tamu. Dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya pula, saya sudah punya akreditasi yang membuat saya punya akses ke setiap pemutaran film, setiap pesta tengah malam, setiap acara jumpa sutradara, dan berbagai macam acara lainnya. Dan ketika si penerima tamu yang ramah itu bilang ”Selamat menikmati festival ini dan selamat menonton film”, dengan senyum selebar-lebarnya, saya jawab: Pasti dong !!!. Beberapa kali mengunjungi berbagai festival film, saya bisa mengambil kesimpulan, festival ini adalah festival yang paling efisien dalam menata program-programnya. Panitia, khususnya yang mengurusi ’kecerewetan jurnalis’, masih bisa dipercaya. Tidak ada upaya untuk merentang jarak antara tamu-tamu khususnya dengan publik. Segala upaya interaksi dan komunikasi —entah itu antara filmmaker dengan jurnalis, atau dengan industri di Cinemart, atau dengan para programmer—semua dimediasi dengan baik. Cukup datang ke meja tamu, daftarkan nama dan siapa-siapa saja yang ingin Anda temui. Hasilnya sejak detik itu juga saya langsung tahu: Aleksandr Sokurov tidak punya kesempatan untuk wawancara ’ face to face’. Ulrich Seidl hanya datang sehari untuk presentasi filmnya, Masahiro Kobayashi bisa diwawancara dan informasi lainnya. Dengan efisiensi seperti ini, berarti saya juga sudah bisa mengatur jadwal menonton saya sejak hari pertama tanpa ada sedikitpun waktu terbuang untuk menunggu sesuatu yang tidak jelas.

Aturan Mengatur Peringatan keras: be focus! Itu yang tertanam di kepala saya dan sudah sering diperingatkan oleh teman-teman saya setiap kali

ATAS: Antrian panjang tiap pagi. BAWAH: Pusat pemasangan poster dan promosi film. Foto oleh Asmayani Kusrini.

580

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

mengunjungi Rotterdam Film Festival. Masalahnya adalah ada banyak seksi film di Rotterdam. Yang paling utama tentu saja program VPRO Tiger Awards Competition di mana masing-masing film akan berlaga untuk memenangkan penghargaan utama dan uang tunai yang cukup untuk membuat film lagi. Lalu ada Sturm Und Drang (ini adalah program tempat bagi para sutradara yang berani bereksperimen dengan bentuk dan berusaha menciptakan bahasa sinematik baru), Time & Tide (program khusus perubahan global yang berpengaruh pada kisah personal para pembuat filmnya), Kings & Aces (dari para sutradara-sutradara yang sudah punya nama dan sudah punya cukup karya), Short: As Long As It Takes (seperti judulnya, di sinilah tempat dan ruang khusus untuk film film pendek dari berbagai belahan dunia), Cinema Regained (film-film klasik dari jaman baheula), Rotterdammerung (film-film fantasy, horor, dan hal-hal tak menyenangkan lainnya), In Focus (film-film dari sutradara pilihan) dan Exploding Cinema (yang menggabungkan medium video, instalasi, presentasi dan performa yang muncul sebagai atau dampak dari sinema). Berdasarkan pengalaman tahun lalu, karena kalap mata, saya akhirnya kebingungan sendiri untuk menyimpulkan pengalaman menonton saya. Semua film ingin ditonton sementara waktu tak cukup panjang untuk ratusan film yang diputar itu. Tahun ini, saya sadar diri, mencoba menekan ambisi untuk menonton semua. Saya memutuskan untuk fokus pada film-film di program kompetisi, beberapa film di seksi Kings & Aces, satu atau dua film di Time & Tide dan satu program di Short: As Long As It Takes. Selain program kompetisi. saya mewajibkan diri saya sendiri untuk menonton semua, dengan membuat aturan main yang ketat untuk menonton film-film di program lain. Aturan mainnya: hindari menonton film mainstream kecuali kalau terpaksa, karena film-film ini relatif lebih mudah ditonton di luar arena festival. Walaupun aturan itu sebetulnya kurang kuat juga, karena film-

ATAS: Area publik di gedung De Doelen. BAWAH: Pathé salah satu venue utama IFFR. Foto oleh Asmayani Kusrini.

582

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

film yang diputar di festival ini jelas bukan mainstream. Tapi saya tidak akan membahas ini lebih jauh karena saya sadar betul, aturan main dibuat untuk dilanggar. Meski waktu sudah menjelang sore, saya beruntung masih bisa menonton dengan santai satu film dari seksi kompetisi dan satu film dari program Kings & Aces. Film pertama yang saya tonton adalah film dari negeri tetangga Malaysia, Flower in The Pocket karya Liew Seng Tat. (Ikuti wawancaranya hanya di Rumah Film). Saya sungguh tidak menyangka, James Lee bisa berakting bagus di film ini. Yang menyenangkan dari menonton Flower In The Pocket adalah cara bertahan hidup kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Kelompok laki-laki terdiri dari ayah dan dua anak lelakinya. Kehadiran perempuan di antara mereka hanya dalam bentuk manekin. Butuh waktu bagi mereka untuk bisa menjalin rasa kekeluargaan. Sementara kelompok perempuan yang terdiri dari Nenek, Ibu dan anak perempuannya yang tomboy dan selalu mengaku bernama Atan, punya cara mereka sendiri untuk menjalani hari-hari tanpa kehadiran sosok laki-laki. Bukannya tanpa masalah. Film ini menunjukkan bahwa keluarga dalam bentuk apapun, akan selalu jadi pondasi setiap individu yang saling membutuhkan. Selanjutnya saya harus berlari-lari untuk mengejar film berikutnya, Avant Que J’oublie (Before I Forget). Film ini jauh berbeda dari Flower tentu saja. Avant Que J’oublie adalah film tentang kehidupan para gigolo gay dan fantasi seksual mereka yang membuat saya bergidik. Saya tidak tahu apakah harus berempati, bersimpati atau jijik. Mungkin karena film itu begitu vulgarnya bermain-main dengan fantasi seksual yang nyeleneh. Jujur saja, saya bergidik, tapi fantasi adalah hak manusiawi setiap orang, sevulgar apapun itu. Setelah menonton Avant Que J’oublie, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Saya memilih pulang karena

DIARY DARI ROTTERDAM

besok masih panjang. Masih banyak film yang harus saya tonton. Rotterdam menawarkan begitu banyak pilihan.

583

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

Asian Story

Hari Kedua, Jumat, 25 Januari 2008

W

ajah-wajah Asia mulai muncul. Pagi hari sambil menikmati kopi di lantai 3 De Doelen, saya sempat ngobrol dengan Tan Chui Mui yang baru saja mengakhiri masa ‘homestay’ nya di Paris. Dari kemenangannya di Rotterdam Film Festival tahun 2007 lalu, Mui mendapat semacam sponsorship untuk bisa belajar berbagai hal tentang film di Perancis. Sponsorship yang sama juga didapatkan oleh sutradara muda asal Philipina, Raya Martin. Mui bercerita selama di Perancis, ia tidak bisa menyelesaikan skenarionya karena lebih banyak menikmati pengalaman baru. Akhirnya tahun ini ia hanya bisa membawa sebuah film pendek, Nobody’s Girlfriend yang diputar di program Short: As Long As It Takes. Tapi ia akan segera kembali ke Malaysia dan mengembangkan film itu menjadi film panjang. Seperti tahun lalu, Mui masih juga sibuk menyebarkan kartu pos dan pamflet film. Kali ini bukan filmnya, tapi film karya Liew

ASIAN STORY

Seng Tat, Flower In The Pocket. Di film itu, Mui bertindak sebagai produser eksekutif. Sebagian uang tunai hasil kemenangan Mui tahun lalu di Rotterdam diinvestasikan di film panjang pertama Liew Seng Tat ini. Seng Tat yang muncul kemudian di tengah percakapan, terlihat sibuk. Kali ini ia tidak lagi bisa terlalu santai dengan jadwal tanya jawab, sesi foto dan wawancara yang ketat. “Tahun lalu saya masih bisa santai, sekarang saya harus punya agenda,” katanya sambil berlalu lagi karena koordinator wawancara sudah memberi kode. Pagi ini, saya mulai dengan menonton Go With Peace, Jamil karya Omar Shargawi. Saya agak terlambat sehingga tidak sempat melihat generik di awal film. Sebuah film yang mengangkat tema perseteruan yang mengakar antara islam Syiah dan Sunni. Yang membuat saya agak mengerutkan kening karena film ini disyut di Denmark—nama kota persisnya tidak disebutkan—, negeri yang konon, terkenal rasis dan tidak suka dengan keberadaan masyarakat muslim. Go With Peace, Jamil jelas menghindari masalah rasis dalam masyarakat Denmark. Ia memilih fokus pada lingkaran setan seteru Syiah-Sunni. Film panjang pertama Omar Shargawi ini punya potensi untuk jadi film realisme sosial yang kuat. Hal lain yang paling menonjol dari film ini adalah gaya shot-nya yang akan mengingatkan kita pada film-film Lars Von Trier khususnya trilogi Europa. Di akhir film, saya baru sadar ternyata film ini diproduksi oleh Zentropa, perusahaan film milik Von Trier. Selain film-film Lars Von Trier, baru kali ini saya menyaksikan film produksi Zentropa non Von Trier. Tapi apakah gaya shot ini ada hubungannya dengan Von Trier? Omar Shargawi yang baru saja datang hari ini menyatakan kesediaannya untuk ngobrol banyak dengan RF. (Akan ada wawancara dengannya di Rumah Film). Usai menonton Go With Peace, Jamil, saya langsung ‘terbang’ ke lantai tiga untuk screening film karya Kobayashi Masahiro

585

586

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

(filmnya Bashing, masuk nominasi Cannes 2005). Film terbaru Masahiro, The Rebirth membuat saya terpaku beberapa saat hingga filmnya selesai. The Rebirth sebetulnya tidak masuk program kompetisi tapi masuk program Filmmaker in Focus. Tapi saya tidak tahan godaan untuk menonton film karya Masahiro. Dari 1 hingga 10, saya memberi film ini 10. Sebuah film yang menguji kesabaran Anda hingga ke titiknya yang terakhir. Begitu banyak adegan berulang yang serupa tapi tak sama, seperti mengajak Anda untuk terus menatap layar sehingga paham apa yang berubah dan apa yang sedang terjadi. Pada akhirnya, kita kemudian paham, film tentang cinta platonis ini romantis dengan caranya sendiri. I love this film, very much! Setelah The Rebirth, saya istirahat sejenak karena harus mengurusi hal-hal kecil yang ternyata cukup menghabiskan waktu. Setelah itu saya langsung menuju Venster, salah satu sinema yang tersembunyi di sebuah jalan kecil. Malam ini, jam 8 – 10 malam akan ada pemutaran program khusus Shorts From Malaysia and Indonesia: Neighbours.

Kenapa dengan Edwin? Di Venster, saya kemudian bergabung dengan rekan saya, Ekky Imanjaya, yang baru saja tiba dari Amsterdam. Kami kemudian menemui seorang sutradara Indonesia yang sedang kebingungan di antara keramaian, Edwin. Namanya yang hanya satu kata selalu jadi bahan awal pembicaraan orang-orang bule di Amsterdam. Dan saya lihat, Edwin pun kelelahan menjawab pertanyaan: kenapa hanya Edwin? Edwin yang datang dengan banyak stok rokok Jisamsoe lantas jadi favorit cowok-cowok perokok. Kami kemudian ngobrol ngalor ngidul sampai pemutaran film dimulai di Venster I yang

ASIAN STORY

ATAS: Edwin memberi kata sambutan sebelum pemutaran Shorts From Malaysia and Indonesia Neighbours. BAWAH: Kobayashi Masahiro. Foto oleh Asmayani Kusrini.

587

ATAS: Liew Seng Tat sutradara Flower In The Pocket. BAWAH: Tan Chui Mui kali ini hadir sebagai produser film Flower In The Pocket,.Foto oleh Asmayani Kusrini.

ASIAN STORY

dipenuhi berbagai macam kursi, dari sofa empuk ala tempat tidur hingga kursi beludru ala kursi raja. Sebagai satu-satunya sutradara film pendek yang hadir malam itu, Edwin pun didaulat untuk memberi kata sambutan. Dengan gaya salting dan senyum malu-malu (atau cengar-cengir), Edwin bilang: Silahkan menonton filmnya tapi sebelumnya saya ingin minta izin untuk memotret kalian semua untuk saya kirim ke teman-teman saya di Indonesia. Para penonton pun langsung ngakak dan pasang senyum manis. Cheeerrrrsss! Sesuai pengaturan tugas antara kami, rekan saya Ekky Imanjaya akan menuliskan kesan-kesannya terhadap film-film pendek Indonesia-Malaysia ini. Bagi saya film-film ini adalah pengobat rindu pada kampung halaman. Ada film-film karya Forum Lenteng (Home karya Otty Widasari, Bilal karya Bagasworo Aryaningtyas, When I Back Home No Mother in Front Of The Door karya Gelar Agryano Soemantri). Lalu berturut-turut film Trip To The Wound karya Edwin, Thou Shalt Not Wait karya Riri Riza, dan Half Teaspoon karya Ifa Isfansyah (setidaknya saya sudah memenuhi janji kepada Ifa untuk menonton film Half Teaspoon). Di Rotterdam, saya jadi rindu Indonesia.

589

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

Para Bintang: Sutradara

Hari Ketiga, Sabtu, 26 Januari 2008

D

e Doelen makin ramai. Tamu-tamu sudah berdatangan. Pagi itu saya bertemu lagi dengan Edwin, Tan Chui Mui dan Gertjan Zuilhof, salah satu programmer yang khusus mencari film-film di wilayah Asia. Lagilagi, nama Edwin yang cuma satu suku kata itu jadi bahan awal pembicaraan. Mui misalnya, setiap kali memperkenalkan Edwin, pasti akan mulai dengan pernyataan: This is the man with the weird name...oh not weird but it only has one word. Edwin. Kami duduk satu meja untuk saling tukar informasi. Edwin ngobrol dengan Mui yang rupanya masih sibuk membicarakan soal nama ‘satu suku kata’nya. Saya dengan Gertjan soal kecenderungan pendanaan di Cinemart dari tahun ke tahun. Menurut Gertjan belakangan ini, para produser dan pemilik dana sedang banyak melirik proyek-proyek film dari Romania. Tapi tak perlu berkecil hati, selalu terbuka kemungkinan yang besar untuk film-film lainnya; “Semua sangat tergantung dari

PARA BINTANG: SUTRADARA

faktor keberuntungan. Kami sebagai programmer tidak bisa memprediksi sama sekali,” kata Geertjan. Sementara Mui asyik mengutak-atik kamera dan menjadikan Edwin sebagai objeknya. Terlihat sutradara muda John Torres dan Khavn asal Philipina datang mendekat. Tahun ini, mereka datang tanpa Raya Martin yang sedang menyelesaikan film panjangnya di Filipina. Setelah saling menyapa, saya mohon diri karena harus mengejar pemutaran film pertama pagi itu. Sebelum saya ’kabur’, Gertjan berjanji untuk menyediakan waktu khusus ngobrol soal film-film Indonesia. (tunggu wawancaranya di Rumah Film). Pagi ini dibuka dengan film dari seksi kompetisi utama, Mange, Ceci Est Mon Corps (Eat, For This Is My Body) karya sutradara asal Haiti, Michelange Quay. Sebuah film surealis yang banyak menggunakan metafora. Film ini menyuguhkan awal yang cukup ’catchy’: travel shot dari udara menyusuri laut biru, kelompok perumahan kumuh, anak-anak kurus yang bermain tanah, dan seterusnya. Setelah itu sebuah monolog dingin, rintihan seorang ibu yang merasa sudah dimanfaatkan oleh anak-anaknya hingga tak ada lagi yang tersisa kecuali tubuh renta. Monolog ini seperti sebuah perumpaan terhadap hubungan Haiti –bekas jajahan Perancis yang kaya sumber alam—dengan Perancis, sekaligus juga sebuah metafora kulit putih dan kulit hitam. Hingga di sini, Mange masih menyimpan daya magis itu, masih menarik untuk terus ditonton hingga kemudian arahnya makin tidak jelas dan saya tersesat. Nilai positifnya adalah, shot dan sekuen di film ini mengingatkan saya dengan karya-karya maestro surealis, Salvador Dali. Selanjutnya saya harus berjalan kaki 10 menit dari De Doelen ke Cinerama. Kali ini saya menonton film program kompetisi utama karya sutradara asal Filipina, John Torres, Years When I Was A Child Outside. Setiap filmgoers yang datang di festival ini sudah paham, film-film di kompetisi utama Rotterdam

591

592

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

pada umumnya adalah film yang tidak menggunakan ‘cetakan’ yang sudah ada. Dan saya harus angkat topi pada John Torres yang sungguh-sungguh memperlihatkan tiadanya ‘cetakan’ baku dalam membuat film. Years When I Was A Child Outside adalah film cerita dengan gayanya yang radikal. Saya akan menggambarkan film ini begini: Anda pasti pernah mengalami bercakap dengan seseorang tapi pikiran Anda bergentayangan ke mana-mana. Kadang Anda bercerita sambil membayangkan peristiwa yang sedang Anda bicarakan itu, tapi kadang juga Anda bercerita tapi membayangkan sesuatu yang sama sekali berbeda. Years When I Was A Child Outside adalah Torres sendiri yang sedang bercerita tentang kekecewaan terhadap ayah yang selama ini diidolakannya. Ia marah kepada ayahnya yang ternyata punya wanita simpanan, bahkan punya anak lain. Lalu terjadi perubahan yang besar dalam ekonomi keluarga sehingga mereka harus pindah dari rumah besar bertingkat ke rumah kumuh yang pengap. Torres menceritakan ini dengan sedih. Apalagi saat mengunjungi rumah lama mereka di mana Torres menunjukkan tempat-tempat kenangan di dalam rumah itu dengan nada pahit. Belum juga bisa berdamai dengan setiap peristiwa itu, Torres memilih ’kabur’. Ia berkelana dengan kamera. Bertemu dengan banyak orang, mendengar banyak kisah dan merenungi hidupnya sebagai ’anak hilang’. Bahwa film ini terlihat kacau balau dengan berbagai macam orang dan berbagai macam cerita, karena memang begitulah adanya ketika Torres menjadi ’anak di luar rumah’; Ia bukannya tersesat, ia sedang mencoba berdamai dengan kekecewaan. Saya pribadi tidak mengenal Torres, saya hanya tahu bahwa ia adalah satu dari tiga sutradara muda Philipina—dua lainnya adalah Khavn dan Raya Martin—yang diramalkan akan mengikuti New Wave-nya Malaysia. Setelah menonton film ini, saya langsung menghubungi staff bagian Pers untuk meminta

Gertjan Zuilhof, Edwin, Paolo Bertolin, dan Asmayani Kusrini. Foto oleh Ekky Imanjaya.

594

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

waktu wawancara dengan Torres. Saya berharap bisa membagikan percakapan saya dengan Torres kepada Anda. Selanjutnya, saya kembali lagi ke Willem Burger Zaal di De Doelen untuk menonton Juno yang ada di program Sturm Und Drang. Juno disebut-sebut sebagai ‘saingan Little Miss Sunshine’ bahkan ada yang menyatakan film ini lebih bagus. Jujur saja, menurut saya, Little Miss Sunshine adalah film yang baik dan cukup menghibur tapi tidak istimewa. Biasa aja. Nah, kalau Juno diklaim lebih bagus, mungkin memang selera film saya yang masih perlu diasah. Juno adalah cerita tentang gadis belia usia 16 yang hamil karena sekadar ingin mencoba bermain seks. Kalau Anda berpikir film ini akan mempermasalahkan kehamilan remaja itu, Anda salah. Film ini seperti ingin bilang, wong sudah hamil, mau diapakan lagi? Lebih baik berpikir bagaimana menghadapinya. Pilihan bagi Juno, nama gadis belia itu, adalah aborsi atau mencari orang tua yang baik untuk mengadopsi anaknya itu. “I’m not ready to be a parent”, kata Juno dengan gaya cool. Dibantu dengan orang tua dan temannya Leah—seorang Britney Spears wannabe—, Juno pun menemukan orang tua impian untuk anaknya itu. Masalah memang ada, tapi tidak dianggap perlu. Film inipun berakhir dengan cool, seperti gaya Juno yang mirip Avril Lavigne, dengan gaya bicara yang nyaris sama dengan semua karakter-karakter remaja di film: cool. Singkat kata: everything is cool! Entah kenapa film ini masuk kategori Sturm Und Drang (SD). Padahal program SD ini punya komitmen untuk menemukan sutradara-sutradara muda yang inovatif, yang sedang mengembangkan gaya baru dalam cara bertutur di atas layar. Sementara Juno adalah film yang mengikuti seluruh poin-poin yang ada di buku-buku teks membuat film. Aneh. Juno jadi seperti mahluk steril di tengah laboratorium yang sedang melakukan

PARA BINTANG: SUTRADARA

eksperimen menciptakan mahluk dan bahasa sinematik baru. Usai menonton Juno, saya kemudian hilir mudik di De Doelen dan lalu bergabung dengan Ekky. Tak sengaja, kami bertemu dengan Mira Lesmana dan Riri Riza yang baru saja tiba. Setelah ngobrol sebentar, saya pamit dan berjalan menuju Cinerama untuk menonton The Man from London karya terbaru sutradara asal Hungary, Bela Tarr. Sebetulnya, saya sudah menonton film ini beberapa waktu lalu, tapi karena Bela Tarr rencananya akan datang ke Rotterdam, rasanya saya perlu mengamati film ini lagi. The Man From London (masuk kategori Kings & Aces) dibuat dengan warna hitam putih dan menggunakan long take sebagai narasi visual. Saya ingat, seorang wartawan asal India pernah mengeluh, ‘It takes forever to watch them eating their soup’. Itulah Bela Tarr. Seperti juga Satantango (durasinya sekitar 7 jam), atau Werckmeister Harmonies, Tarr berusaha meminimalisasi sentuhan editing di The Man. Di Werckmeister Harmonies misalnya, hanya ada 39 takes, itupun terpotong karena batas maksimal film Kodak adalah 300 meter (sekitar 11 menit). The Man from London seperti rasa gelisah yang tersembunyi saat seorang pria menjadi saksi sebuah pembunuhan dan kemudian menemukan sebuah kopor penuh uang. The Man pun masih setia pada komitmen Bela Tarr untuk membuat film sebagai sebuah perjalanan psikologis (dan mungkin juga spiritual) di mana setiap bahasa tubuh karakter-karakternya diamati dengan teliti. Usai menonton The Man, saya ‘terbang’ lagi ke Pathé untuk menonton salah satu film di program kompetisi Waltz in Starlight. Film ini adalah film pertama karya salah satu fotografer ternama Jepang, Shingo Wakagi. Seperti Years When I Was A Child Outside, Waltz in Starlight pun adalah cerita personal tentang kakek Wakagi. Sejak memulai karir sebagai fotografer, kakek Wakagi ini

595

596

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

adalah objek favorit kamera fotonya. Waltz adalah cerita yang menyentuh tentang kenangan Wakagi terhadap sang kakek. Meski matang sebagai fotografer, Wakagi tidak mengekseskusi filmnya seperti ketika ia memotret objek. Kamera film tidak diperlakukannya seperti kamera foto. Wakagi seperti sengaja menghindari komposisi-komposisi fotografis dan memilih fokus terhadap ceritanya. Untuk ini, Wakagi rupanya masih tertatih untuk bertutur menggabungkan dua bahasa, lisan dan visual. Di beberapa bagian, Waltz tidak mengalir mulus. Misalnya saat tiba-tiba Wakagi memasukkan footage tentang kehidupan dua sahabat karibnya sejak kecil—salah satunya autis. Buat saya, bagian ini terasa dipaksakan. Alasannya, dia memang ingin memberikan peran kepada dua sobat karibnya ini. “Kami tumbuh bersama, setiap kali saya pulang, saya pasti bergaul dengan mereka, tapi sampai saat itu, saya tidak pernah tahu seperti apa kehidupan mereka, bagaimana mereka di tempat kerja. Dan film ini adalah satu-satunya cara,” kata Wakagi di sesi tanya jawab setelah pemutaran film. Dalam sesi tanya jawab itu, Wakagi yang terlihat gugup dan mengaku tidak menyangka akan ’dimintai pertanggungjawaban’ atas film itu. “Saya membuat film ini untuk kakek saya yang meninggal beberapa waktu lalu. Di Jepang juga hanya diputar di sinema-sinema kecil. Terus terang saja, saya kaget film saya diputar di sinema sebesar ini, di layar yang sangat besar pula,” kata Wakagi. Karena itu, mendapat pertanyaan-pertanyaan detail tentang sekuen-sekuen di filmnya, Wakagi banyak menjawab: saya tidak berpikir sampai kesitu. Rupanya ia belum siap mendapat perhatian yang begitu rupa. Malam itu saat waktu sudah menjelang tengah malam, saya bersama Ekky, Nuriani Juliastuti—pendiri Kunci Cultural Studies, Yogyakarta—dan Gan Siong King (Art Director film Flower In The Pocket) bersantai sejenak di Leziz, kedai kebab persis

PARA BINTANG: SUTRADARA

di seberang De Doelen. Kami ngobrol soal kecenderungan festival Rotterdam yang lebih menganggap sutradara adalah bintang. Gan bercerita: “Seng Tat pun pusing menerima perhatian seperti layaknya bintang. Pening kepalanya !. Artis atau aktor yang mau jadi selebritis di sini, sepertinya harus mencari tempat lain.”

597

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

Nicholas Saputra

Hari Keempat, Minggu, 27 Januari 2008

D

i festival Rotterdam, Edwin akan banyak belajar cara ‘jualan’ proyek film. Ceritanya, hari ini ajang Cinemart akan dimulai. Cinemart adalah tempat paling pas bagi Edwin yang sedang berusaha mencari dana untuk melanjutkan pembuatan film panjang pertamanya Babi Buta Yang Ingin Terbang. Di Cinemart, para sutradara dan produser akan dipertemukan dengan para calon investor. Garin Nugroho atau Riri Riza pernah mendapat dana hasil negosiasi di ajang Cinemart. Para investor di ajang ini paham betul film macam apapun yang mereka akan dapatkan sehingga para filmmaker tak usah khawatir. Kuncinya adalah berusaha meyakinkan mereka bahwa film anda punya ‘sesuatu’. Sejauh ini Edwin sudah punya poin lebih. Film pendeknya, Trip to the Wound sudah dipajang di jejeran program Short: As Long As It Takes. Lalu film pendeknya yang lain Hulahoop Soundings: A Tribute to Films Of Coen Brothers dibuat atas

NICHOLAS SAPUTRA

rekomendasi dan dana dari Rotterdam Film Festival. Bisa dipastikan, tahun-tahun ke depan, kita bisa menantikan film Edwin di sini seperti juga film-film Garin Nugroho atau Riri Riza yang sudah langganan IFFR. Saya membuka hari keempat ini dengan menonton film dari program kompetisi The King of Ping Pong karya Jens Jonsson asal Swedia, negeri Ingmar Bergman. Sutradara-sutradara asal Swedia memang harus berjuang keras untuk keluar dari bayang-bayang kebesaran nama Ingmar Bergman di dunia Internasional. Jonsson pun memilih tema dan sudut pandang yang jarang disentuh oleh Bergman, tentang kanak-kanak. Rickard—dipanggil Rille—, seorang remaja tanggung yang tambun, percaya bahwa ping-pong adalah ‘the most egalitarian sport in the world’. Tapi saya salah prediksi, ‘lead’ soal olah raga ping-pong ini karena film berbelok ke hubungan Rille dan adik laki-lakinya, Erik. Rille curiga, karena Erik punya segala hal yang tidak dimilikinya: cakep, gaul dan --paling utama-- langsing. Kecurigaan inilah yang menjadi inti cerita, membawa Rille menemukan fakta-fakta baru dalam keluarganya. Yang menyenangkan dari The King of Ping-Pong adalah karena diceritakan dari sudut pandang Rille, sudut pandang kanak-kanak yang naif dan lugu. Film ini jadi terlihat seperti anakanak yang menggemaskan. Tapi, Jonsson terlalu banyak menjejali filmnya dengan statemen-statemen yang tidak perlu, dan mengganggu keluguan film yang seharusnya bisa terus menggemaskan ini. Seperti pernyataannya soal Amerika saat Rille bilang: ‘tidak penting apa yang kamu lakukan, karena bukankah orang Amerika bisa melakukan apa saja?’ Pernyataan ini seperti tompel di wajah mulus The King of Ping-Pong. Usai menonton The King, saya tidak perlu berjalan jauh. Di gedung yang sama diputar film kompetisi Wonderful Town karya Aditya Assarat asal Thailand. Film ini berlatar belakang sebuah kota kecil di daerah pantai selatan Thailand, Takua Pa, sebuah

599

600

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

daerah yang elok. Kota tenang ini diapit oleh daerah pantai dan pegunungan batu di belakangnya. Seperti yang digambarkan oleh Na, gadis pemilik hotel, “Takua Pa terjepit”. Di Takua Pa inilah datang seorang arsitek asal Bangkok, Ton yang punya proyek rehabilitasi perumahan mewah di tepi pantai yang rusak akibat tsunami tiga tahun lalu. Seperti sudah bisa diduga, Ton dan Na saling jatuh cinta, tapi Takua Pa bukanlah tempat yang tepat untuk mengembangkan hubungan itu. Takua Pa seperti punya daya magis yang tidak selalu baik. Seperti cerita Na, Takua Pa sudah melewati banyak bencana, gempa bumi, bumi terbelah, dan terakhir kali adalah tsunami. Banyak sudah yang dihancurkan, tapi Takua Pa tetap bertahan, seakan bencana itu tak pernah datang. Demikian pula nasib hubungan Na dan Ton. Kehadiran Ton pada akhirnya sama seperti badai tsunami, yang datang merusak tatanan hidup Na. Lepas menyusuri Takua Pa di Wonderful Land, handphone saya tiba-tiba berbunyi. Petugas yang bertanggung jawab untuk mengatur permintaan wawancara mengabarkan, Aleksandr Sokurov sudah datang. Tapi karena waktu terbatas, permintaan wawancara khusus saya tidak bisa dilakukan. “Sokurov tidak punya waktu untuk wawancara tatap muka. Karena itu ia hanya akan mengadakan satu sesi konferensi pers. Jika anda masih tertarik silahkan datang sekarang,” katanya. Tanpa pikir panjang, saya langsung ‘terbang’ ke Van Capellen Zaal di lantai dasar De Doelen. Tak lupa saya menghubungi Ekky yang sangat ingin berfoto sekaligus minta tanda tangan Sokurov. Konferensi yang dimaksud sebetulnya bukan murni konferensi pers. Lebih tepatnya disebut diskusi antara dua sutradara: Sokurov dan Jos Stelling sutradara ternama asal Belanda. Mereka berdiskusi (atau lebih tepatnya berdebat) soal hubungan antara literatur dan film. Sokurov berkeras bahwa film hanyalah salah satu cabang literatur. “Literatur adalah sumber dari segala sumber seni”.

NICHOLAS SAPUTRA

Jos Stelling tidak begitu setuju, menurutnya, film sudah mampu berdiri sendiri dan bukan hanya bagian dari literatur. Dan begitulah dua sutradara ini saling lontar pendapat sementara saya hanya melongo, dan penonton lain mendengarkan dengan tertib. Sampai tinggal sedikit waktu untuk mengajukan pertanyaan, dengan muka tebal saya bertanya: “Pak Sokurov, saya suka sekali dengan film-film anda, khususnya Russian Ark dan tentu saja Alexandra. Jadi saya mengartikan pernyataan Anda dengan banal. Dalam bentuk apa literatur yang Anda maksud itu Anda terapkan dalam Alexandra? Sokurov yang ditemani penerjemah pun menjawab dengan sabar. Sayangnya, moderator acara yang mengingatkan saya kepada Rosiana Silalahi itu, memotong dengan sangat tidak sopan. Padahal Sokurov terlihat masih ingin menjelaskan banyak hal. Mungkin Sokurov paham, saya masih anak bawang yang perlu dididik lebih jauh. Tapi moderator itu sudah beralih ke penanya lain. Tak lama kemudian, acara itupun bubar. Dan Ekky sudah siap sedia untuk dipotret bareng sang maestro. Setelah acara Sokurov, saya dan Ekky memutuskan untuk mencari makan siang. Saat akan keluar dari pintu utama De Doelen, di depan saya tiba-tiba berdiri seseorang dengan wajah yang sangat familiar. Nicholas Saputra! Setelah menyapanya dengan sok akrab, meskipun tahu Nicholas Saputra pasti tidak ingat saya, kami berpisah. Saya sudah siap dengan jadwal wawancara lainnya. Kali ini dengan Kobayashi Masahiro. Saya diberi waktu untuk ngobrol dengan Kobayashi selama 30 menit. (Tunggu wawancaranya di RF). Meski terlihat sangat pendiam, Kobayashi ternyata orang yang sangat menyenangkan diajak ngobrol. Sayangnya, ia sulit untuk diarahkan untuk berfoto. Kobayashi tiba-tiba terlihat kaku ketika dipotret. Ekspresinya pun datar. Usai memotret Kobayashi kami masih sempat ngobrol basabasi. Ternyata Kobayashi pernah tinggal beberapa waktu lamanya

601

602

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

di Paris, sehingga ia bisa sedikit berbahasa Perancis. Kami pun saling mempraktekkan bahasa Perancis kami yang amburadul dan tak tentu arah. Salah satu petugas pers di ruangan wawancara— yang kebetulan orang Perancis—hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar bahasanya diaduk-aduk dengan aksen Jepang dan Indonesia. Karena sudah malam, saya menuju Jurriaanse Zaal, salah satu dari dua sinema besar dalam gedung De Doelen untuk menonton 3 Hari Untuk Selamanya. Film Indonesia pertama yang saya tonton di tahun 2008 ini. 3 Hari masuk dalam program Time & Tide—dan sebetulnya tidak masuk dalam program disiplin saya. Tapi ini adalah film Indonesia dan saya harus menontonnya, sekaligus menunjukkan penghargaan kepada karya anak negeri. Saya tidak akan memberi komentar banyak untuk 3 Hari karena saya termasuk terlambat menonton film ini. Semua orang tentu sudah punya pendapatnya masing-masing. Saya hanya ingin bilang bahwa 3 Hari adalah film yang enak dan ringan untuk ditonton. Orang-orang Indonesia di Belanda banyak yang ikut menonton. Merekalah yang paling riuh terbahak-bahak melihat adegan-adegan di kampung dengan berbagai dialek. Yang mengejutkan adalah reaksi penonton-penonton bule. Humor-humor lokal yang disajikan dalam 3 Hari rupanya tertangkap juga oleh mereka. Ruang sinema pun ramai dengan suara tawa dan Riri Riza mendapat applaus meriah. Acara tanya jawab berlangsung singkat dan diakhiri dengan sebuah permintaan dari masyarakat Indonesia dan Malaysia untuk Nicholas. Apalagi kalo bukan foto bareng. Sayangnya, karena segan, saya tidak sempat memotret Nicholas. Teori saya dan Gan yang saya tulis di diary kemarin tentang sutradara bintang rupanya tidak benar 100%. Ekky meledek teori itu, “Buktinya Nico tetap jadi bintang,” katanya. Hmmm...ya, malam itu Nicholas memang jadi bintang dan akan tetap jadi bintangnya Indonesia.

ATAS: Mira Lesmana, Riri Riza, Meiske Taurisia, Edwin, dan Ekky Imanjaya di De Doelen. BAWAH KIRI: Alexandr Sokurov. BAWAH KANAN: Alexandr Sokurov menandantangi poster untuk Ekky Imanjaya. Foto oleh Asmayani Kusrini.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

Festival: Saat Rutinitas dan Pesta Bertemu

Hari Kelima, Senin, 28 Januari 2008

F

ilm Tale 52 adalah film thriller psychology karya sutradara asal Yunani, Alexis Alexiou. Ia mencoba untuk memvisualkan gejala-gejala schizoprenia, halusinasi, paranoia, dan teman-temannya. Pengidap gejala-gejala ini memang suka membayangkan hal-hal yang tidak masuk akal manusia normal. Dalam hubungannya dengan film, gejala-gejala schizoprenia dan halusinasi memang bahan empuk untuk eksplorasi visual. Gejala-gejala ini bisa terlihat sangat rumit dan akan membuat penonton bertanya-tanya. Luasnya kesempatan untuk eksplorasi visual yang mengangkat tema-tema gejala psikologi ini membuat banyak sutradara kadang keasyikan sendiri bermain-main dengan gambar. Tale 52 yang masuk program kompetisi ini sebetulnya cerita thriller psychology biasa. Dari menit pertama, sudah bisa diduga (atau sudah bisa didiagnosis) sehingga terlihat sang sutradara sebetulnya hanya bermain di level puzzle visual.

FESTIVAL: SAAT RUTINITAS DAN PESTA BERTEMU

Setelah Tale 52, di ruang yang sama kemudian diputar film kompetisi Shanghai Trance karya sutradara Belanda, David Verbeek. Natascha Devillers, pendiri Jiffest, menjadi produser film ini. Saya menghargai upaya Verbeek untuk mengamati kehidupan urban di Shanghai dari ’dalam’. Selain sutradara dan jajaran produser, praktis film ini didominasi oleh aktor artis dan para kru dari China. Verbeek ingin memotret gaya hidup masyarakat megapolitan yang sangat kontras itu. Diwakili oleh karakterkarakter dengan tuntutan kehidupan mereka masing-masing. Dengan mudah kita bisa mengidentifikasi kehidupan mereka dengan situasi sehari-hari di sekeliling. Ada seorang DJ yang pencemburu, ada bar girl yang selalu ingin tampil glamour, ada pemuda lulus kuliah yang dituntut untuk segera bekerja, ada wanita yang ambisius, dan sebagainya. Pertanyaannya kemudian adalah, lantas kenapa? Tak ada yang meragukan dalam kualitas visual Shanghai Trance. Gerakan kamera dan sudut shot-nya mampu merepresentasikan sebuah kontras urban—antara gedung-gedung tinggi dan perumahan kumuh. Tapi tak ada sesuatu yang lebih dari itu. Shanghai Trance jadinya terlihat seperti fragmen-fragmen video klip tanpa benang merah yang kuat. Maraton saya berlanjut di gedung yang sama. Kali ini di program kompetisi Cordero De Dios atau Lamb Of God yang beberapa hari lalu jadi film pembuka IFFR 2008. Film panjang pertama karya Lucia Cedron ini diawali dengan penculikan Arturo. Lalu penculiknya kemudian meminta tebusan kepada cucu Arturo, Guillermina, yang kemudian terpaksa memanggil ibunya, Teresa—seorang pelarian politik—untuk kembali ke Buenos Aires dan membantu mengumpulkan uang tebusan tersebut. Kepulangan Teresa rupanya mengungkit banyak luka lama yang jadi penyebab tegangnya hubungan Teresa dan Guillermina.

605

606

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Lamb of God berusaha menghubungkan kisah yang sangat personal—kisah konflik keluarga Arturo yang berdampak pada cucunya Guillermina—dengan sejarah Argentina. Lamb of God adalah film yang sangat tertib: alur cerita, penyajian gambar, warna dan musik diramu dengan pas. Sayangnya, ketertiban itu tidak cukup berhasil membangun ketegangan yang jadi bumbu film ini. Alur kilas balik yang digunakan untuk terus membuat penonton bertanya-tanya tidak berhasil meningkatkan emosi karena bisa ditebak di tengah film. Kelelahan menonton film maraton tanpa jeda—biasanya ada jeda setengah jam antar film—, saya memutuskan untuk istirahat sejenak di ruang pers yang menyediakan kotak surat, fasilitas fotokopi, fax, dan lain-lain. Sejak hari pertama datang, saya belum sempat mengunjungi ruangan yang biasanya selalu menyediakan makanan kecil ini. Di ruang pers, saya bertemu kembali dengan relawanrelawan yang sama dengan tahun lalu. Dari obrolan kami, saya kemudian mendapat cerita, bahwa IFFR punya relawan tetap yang terus bertambah dari tahun ke tahun. Di hotel tempat saya menginap misalnya, ada Marieke, teknisi projektor yang sudah jadi relawan IFFR selama 15 tahun. Ia juga menjadi relawan di IDFA hampir setiap tahun. Relawan seperti Marieke jumlahnya bisa ratusan. Alasan utama mereka karena suasana kerja yang asyik, fasilitas yang terjamin dan tentu saja nonton film gratis. Menurutnya, para relawan ini biasanya meminta libur khusus dari pekerjaan utama mereka. Salah satu wajah yang familiar adalah seorang bodyguard yang juga pernah saya temui di IDFA. Menurut Marieke, bodyguard ini sudah jadi relawan festival bertahun-tahun dan karena itu pula hampir setiap relawan saling mengenal satu sama lain. Saya hanya berpikir, betapa penuh dedikasinya orang-orang ini.

ATAS: Area Pers. BAWAH: Area pertemuan antara jurnalis dan tamu. Foto oleh Asmayani Kusrini.

608

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Setelah itu, saya hilir mudik lagi di De Doelen menunggu screening berikutnya. Lalu ada Liew Seng Tat dan Gan Siong King bergabung dengan saya di cafe De Doelen. Kami kemudian ber’say hello’ dengan Jafar Panahi yang kebagian tugas jadi juri tahun ini. Tak lama kemudian sekelompok remaja datang mendekat, seorang di antaranya menyapa Liew Seng Tat dengan volume suara kencang. ’Ohhhh I loooovee your movie !!!. Baru kali ini saya menonton film asia yang membuat saya tertawa sekaligus menangis bersamaan, katanya. Liew Seng Tat pun tersipu-sipu. Lalu salah satu dari remaja itu kemudian beralih ke saya. “Kamu tidak mengenal kami? kita tinggal satu hotel loh,” katanya bersemangat. Eh, saya baru ingat mereka. Setiap pagi mereka ribut di ruang sarapan membicarakan film dengan semangat banteng menyeruduk. Mereka berlima, dua orang perempuan dan 3 orang laki-laki. Usia mereka tidak lebih dari 20 tahun. Yang paling tua berumur 19 tahun, dan paling muda berumur 16 tahun. Tanpa sungkan-sungkan, mereka mengajak saya ikut pesta tengah malam yang memang selalu diadakan di Filmcafe Schouwburg yang letaknya persis di depan Pathe. “Kita kan tinggal sehotel, jadi nggak usah takut pulang malam, bisa bareng kami.” Saya tidak suka pesta dan suka pusing dengan lampu berkilat-kilat. Tapî saya terpaksa tidak bisa menolak. “Kunjungan ke IFFR kurang lengkap tanpa menghadiri pesta ini,” bujuk mereka rame-rame. Dan malam itu, untuk pertama kalinya saya menghadiri pesta tengah malam yang dipenuhi para staff festival, sutradara dan programmer. Bahkan, mantan direktur IFFR, Sandra Den Hammer pun terlihat di keramaian. Pesta yang berakhir sekitar jam 2 pagi itupun membuat saya terkapar dan bangun terlambat keesokan harinya.

ATAS: Ruang pers yang juga menyediakan koran harian gratis. BAWAH: Wartawan di ruang pers. Foto oleh Asmayani Kusrini.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

Bertemu Para Juri Muda

Hari Keenam, Selasa, 29 Januari 2008

S

aya sering melihat mereka. Berkelompok dan rajin menyapa sutradara-sutradara yang hilir mudik di lantai tiga De Doelen. Saya kemudian melihat mereka lagi saat mereka menyapa Liew Seng Tat kemarin. Saya pikir, mereka hanyalah sekelompok remaja tanggung yang sedang jatuh cinta terhadap film, seperti saya. (walaupun saya sudah bukan remaja tanggung). Dan pagi ini, saat sarapan di hotel, saya bergabung di meja mereka. Ternyata mereka adalah juri-juri muda dari program MovieSquad, sebuah program pendidikan film bagi anak-anak dan remaja yang disponsori oleh IFFR, Filmeducatie, dan Dutch Institute of Film Education, Belanda. Program ini sudah berlangsung selama 10 tahun, dan bertujuan untuk mendidik remaja-remaja mengenal lebih luas berbagai jenis film dari berbagai benua. “Maklum, seperti juga di

BERTEMU PARA JURI MUDA

Indonesia, film-film Hollywood dan opera sabun mengakar kuat dibenak remaja-remaja karena mendominasi program televisi di Belanda. Program pendidikan film ini diharapkan bisa membuat remaja lebih kritis terhadap film dengan berbagai dimensinya,” kata Merel Gilsing, koordinator Moviesquad. Selain itu, mereka juga menyediakan dana serta fasilitas pendidikan untuk anak-anak atau remaja yang ingin membuat film. Setiap tahun, program ini akan memilih 5 remaja dibawah umur 20 tahun untuk menilai film-film khusus pilihan IFFR. Mereka diberi tanggung jawab untuk memilih dan kemudian mempresentasikan pilihan mereka di acara penyerahan MovieSquad Award. Tahun ini, mereka adalah Sander Kersten (16 tahun, pelajar sekolah menengah atas), Katia Truijen (17 tahun, juga pelajar sekolah menengah atas), Giulia Bijvoet (17 tahun, sedang belajar editing dan teknis membuat film di sekolah film), Glenn Vergoossen (17 tahun, pelajar di akademi teater ) and Wouter Booij (19 tahun, sutradara film pendek yang baru baru saja lulus sekolah menengah). Mereka semua punya satu kesamaan, sedang dalam proses pembuatan film pendek mereka. Mereka semua memang berasal dari Belanda. Menurut Merel, di masa datang, MovieSquad berencana untuk mengembangkan sayap dengan mencari bakat-bakat dari luar Belanda. “Sekarang ini masih sulit karena pertimbangan biaya,” kata Merel. Dan beginilah jadinya ketika remaja diberi tanggung jawab untuk menentukan film terbaik. Pagi itu, suara mereka bergaung hingga sudut-sudut ruang makan hotel. Mereka membicarakan film seperti anak-anak yang rebutan mainan baru. Seperti ketika mereka membicarakan Girl Sparks karya Ishii Yuya asal Jepang. Mereka berebutan untuk menjelaskan mengapa mereka ada yang suka dan ada yang tidak suka dengan film itu. “Saya akan mencoba

611

612

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

menjelaskannya tapi saya peringatkan film ini akan membuat Anda keluar dengan mata spiral,” kata mereka beramai-ramai. Hmmm.... Dan begitu seterusnya. Kata-kata keluar dari mulut mereka seperti berondongan peluru sehingga menarik hampir sebagian penghuni hotel yang juga sedang makan pagi. Yang kebetulan juga datang untuk festival langsung bergabung di meja kami. Anakanak ini lancar bercerita, berargumen, mengapa sebuah film bagus atau jelek menurut mereka. “Oh tapi kamu harus mengingatkan saya untuk tidak menyebutkan pemenang pilihan kami sebelum pengumuman, ok?” kata Wouter Booji, anak yang paling cerewet di antara mereka. Semangat mereka sungguh membuat saya kagum. Hari itu kami kemudian berangkat bersama-sama ke De Doelen dan kemudian berpisah untuk menonton film pilihan masing-masing. Pagi itu saya menonton film kompetisi asal Chile, El Cielo, LaTierra y la Lluvia (The Sky, The Earth and The Rain). Jika Anda ingin tahu bagaimana rasanya kesepian dan tak punya daya untuk keluar dari kesepian itu, tontonlah film panjang pertama karya José Luis Torres Leiva ini. El Cielo adalah sebuah monolog visual tentang hidup yang begitu-begitu saja di sebuah pulau kecil yang seperti penjara tak terlihat. El Cielo fokus pada kehidupan 4 karakter yang bergelut dengan kehidupan mereka sehari-hari. Mereka saling membutuhkan untuk bisa punya aktivitas lain selain kegiatan mereka yang monoton. Menonton film ini, saya langsung merasa bersyukur punya banyak pilihan dalam hidup. Lalu saya lanjut menonton film kompetisi Fujian Blue karya pertama Weng Shou-Ming asal China. Fujian dibagi dalam dua bagian, bagian awal bercerita tentang sekelompok anak berandal yang menggunakan kamera film dan kamera foto untuk memeras korban-korbannya. Mereka memotret hubungan affair calon korban, merekam dengan video lalu mengirim surat ancaman.

BERTEMU PARA JURI MUDA

Bagian ini memperlihatkan bagaimana kamera video jaman sekarang punya kekuatan untuk mengganggu kehidupan pribadi kita atau sekeliling kita. Lalu film ini mengalir dengan manis ke bagian kedua tentang ilusi yang terbangun di masyarakat China bahwa negara-negara barat menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Mereka mengirim anak lelaki dalam keluarganya ke Amerika atau Inggris dengan harapan mendapat kiriman uang tiap bulannya. Kita semua tahu, cerita ini bukan isapan jempol. China terkenal sebagai salah satu negara pengekspor manusia terbanyak di dunia. Di China, banyak makelar-makelar tenaga kerja ilegal yang mengeruk keuntungan dari situasi ini. Wheng Shou berusaha menerapkan gaya realisme sejak awal film. Sayangnya, ada yang membuat saya tidak mengerti. Menjelang akhir, film ini berubah jadi hitam putih. Apakah karena ia ingin menunjukkan bahwa ada batas antara harapan dan ketidak mampuan manusia mengatasi hal-hal yang diluar kuasanya? Entahlah. Usai menonton Fujian, saya menuju Cinerama untuk menonton film kompetisi lainnya, Wellness karya Jake Mahaffy, sutradara asal Pennsylvania, Amerika. Untuk membuat film ini, Mahaffy mengerahkan hampir semua masyarakat di kota kecil Warren, Pennsylvania, dari pemeran utama hingga seluruh aktor pendukung. Wellness mengikuti perjalanan Thomas Lindsey, seorang sales paket kesejahteraan sosial perusahaan bernama Wellness. Seperti pada umumnya kepala keluarga, Lindsey adalah suami dan ayah yang baik, yang berusaha mencari kehidupan lebih baik dengan menjadi sales. Pernahkah Anda berpikir bagaimana perasaan seorang salesman yang ditolak dan dihindari di manamana? padahal salesman pun hanya manusia biasa yang sedang bekerja untuk membiayai keluarganya. Masalahnya adalah, Wellness, tempat Lindsey menaruh kepercayaan penuh ternyata tidak lebih dari perusahaan

613

614

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

multinasional palsu. Meski tahu bahwa perusahaannya tidak cukup bonafide dan tidak cukup meyakinkan, Lindsey bekerja dengan semangat dan sepenuh hati. Kamera mengikuti Lindsey dan menjadi saksi bagaimana Lindsey dengan pakaian rapi berjalan dari rumah ke rumah, ditolak di sana-sini, hingga ia kelelahan dan duduk menangis. Tapi ia tidak menyerah. Bagian dari film inilah yang sungguh menyentuh. Apalagi, aktor non-professional yang jadi pemeran Lindsey, Jeff Clark bermain sangat baik dan meyakinkan. Setelah Wellness, saya berpindah ke film kompetisi yang lain, Strizh karya sutradara Kazakhstan, Abai Kulbai. Bercerita tentang kehidupan gadis kecil, Ainur di daerah miskin di Almaty. Ainur adalah gadis yang gelisah dan tidak nyaman dengan lingkungannya. Ia tidak suka suasana sekolah yang penuh aturan. Belum lagi teman-temanya yang selalu menganggap Ainur gadis aneh. Ainur selalu merasa jadi ‘orang luar’. Bahkan di rumahnya sendiri. Jadilah ia sering bermain di jalanan, berlaku layaknya anak terlantar. Untuk ukuran Kazakhstan, negeri pecahan Rusia yang jarang terdengar, Strizh menjadi film yang istimewa. Lewat Ainur, penonton diajak untuk mengenal lebih dekat Kazakh dan masyarakat kota kecil di Almaty tapi sekaligus juga memotret masalah sosial yang universal. Pencarian jati diri seorang remaja yang tumbuh di lingkungan yang keras. Walaupun kita tidak akan pernah tahu bagaimana Ainur tumbuh dewasa nantinya, yang jelas terlihat bahwa gadis kecil itu jauh lebih tabah menghadapi kenyataan daripada rata-rata gadis seumurannya. Setelah Strizh saya berniat untuk menonton No Country For Old Man yang tiketnya selalu sold out. Saya berharap bisa menguji keberuntungan dengan berdiri di depan sinema yang memutar No Country. Ternyata, tetap saja saya belum bisa menonton film itu. Lain kali saya pasti akan menontonnya.

MovieSquad dan Merel. Foto oleh Asmayani Kusrini.

616

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Jadilah malam itu saya kembali bergabung dengan kelompok juri muda yang masih saja sibuk beradu pendapat tentang filmfilm favorit mereka. Kami menghabiskan waktu ngobrol di depan Pathé sambil berfoto-foto. Sambil berjalan menuju hotel, sekali lagi tanpa basa-basi mereka bilang kepada saya: “Kami tidak akan memberitahumu pemenang MovieSquad sebelum penyerahan hadiah. Jadi jangan bujuk kami, karena mulut kami akan terkunci rapat.” Hahahaha....Saya tidak bisa berkata-kata. Beginilah jadinya kalau anak-anak diberi kuasa. Keesokan paginya, saya terbangun dengan suara ribut-ribut di depan kamar. Mereka sedang berbicara ramai-ramai dengan koordinatornya. Saya mengenal suara dengan volume tinggi itu. Suara itu menyebut film pemenang pilihan mereka.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

I Have No Illusions Anymore

Hari Ketujuh, Rabu, 30 Januari 2008

B

erada di De Doelen pagi hari memang selalu membawa berkah. Semua orang (sutradara, produser, professional lainnya) selalu mengawali pagi di lantai tiga. Pagi-pagi, Ho Yuhang yang baru saja menang Tiger Award untuk film pendeknya, As I Lay Dying sudah beredar. Saya langsung memperkenalkan diri dengan tak lupa menyebut Rumah Film. Karena lantai tiga belum lagi banyak orang, saya pun mendaulat Yuhang untuk berfoto dengan latar belakang ruang besar itu. Yuhang pun sibuk bergaya, tapi tidak membiarkan saya memotret begitu saja. Setiap kali habis ’klik’ dia akan mengecek. Usai sesi foto kecil-kecilan kami, ia pun memilah-milah. Usai bermain-main dengan Yuhang, muncul Garin Nugroho yang juga baru tiba malam sebelumnya. Seperti biasa, Garin selalu jadi favorit ‘anak-anak’ Malaysia dan Philipina. Yuhang langsung mengajak, “Karaoke ya nanti malam.” Garin langsung senyum-

618

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

senyum mengiyakan. Tahun lalu, mereka mengajak main futsal, tahun ini karaoke rupanya jadi pilihan. Karena itu, di Rotterdam, Garin selalu merasa jadi muda kembali. Baru saja ngobrol sejenak dengan Garin, tiba-tiba Lorna Tee, salah satu produser mumpuni dari Asia Tenggara datang menegur. Garin membujuk-bujuk Lorna. “Ayolah Lorna, carikan dana untuk film saya.” “Wah, kamu sih sudah kaya. Sudah terkenal. Kamu tidak butuh saya lagi,” kata Lorna. Garin langsung pasang wajah memelas. “Kaya dari mana?”. Setelah itu percakapan berkembang jauh. Lorna sedang menangani proyek Ho Yuhang yang akan mulai syuting tahun ini. Lorna juga berencana untuk menangani sutradara Indonesia kelak. Menurut Garin, Lorna adalah salah satu produser yang punya jaringan luas di dunia festival, karena itu ia bisa diandalkan. Kemudian muncul Alain Jalladeau, direktur Festival des 3 Continents Nantes yang langsung memberi selamat kepada Garin karena Opera Jawa akan segera rilis di Perancis dan Belgia. Seperti Lorna, Alain juga mencandai Garin. “Kamu ini tetap awet muda, tetap seperti ketika saya bertemu pertama kali sekitar 10 tahun lalu. Ini pasti karena sekarang kamu banyak duit,” kata Alain. Garin pun terbahak-bahak. “Bukan begitu, tapi saya memeriksa keuangan setahun sekali, jadi stressnya paling setahun sekali,” kata Garin. Kami masih ngobrol dengan Jalladeau yang menganggap Opera Jawa adalah masterpiece-nya Garin Nugroho ketika Simon Field datang di meja kami. Field adalah produser eksekutif Opera Jawa dan film-film Garin selanjutnya. Saat Field (mantan direktur IFFR dan sekarang jadi konsultan di berbagai festival) bergabung, pembicaraan meluas lagi ke soal distribusi film-film dan bagaimana menembus berbagai festival dunia khususnya Venice, Berlin dan Cannes. Sayangnya, Field dan Garin harus menuju

ATAS: Ho Yuhang. BAWAH: Garin Nugroho dan Alain Jalladeau. Foto oleh Asmayani Kusrini.

620

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

arena Cinemart di ruang lain, sehingga pembicaraan yang mulai menarik itu terpaksa terhenti. Hari ini adalah hari saya bebas memilih film. Kecuali Las Meninas (karena tidak menemukan waktu yang pas), saya sudah menonton seluruh film di program kompetisi. Setelah melihat semua, jagoan saya adalah Flower In The Pocket (Malaysia), Years When I Was A Child Outside (Philipina), dan Wonderful Town (Thailand). Karena Las Meninas sudah tidak diputar lagi, siang itu saya memilih Redacted karya Brian De Palma di program Time & Tide. Terus terang saja, film ini membuat saya syok. Saya ingat pembantaian Daniel Pearl—dalam A Mighty Heart, Winterbottom sengaja tidak memunculkan footage-nya. Saya menyaksikan pembantaian itu di salah satu situs video online. Butuh waktu cukup lama hingga saya bisa tidur normal sejak menyaksikannya. Dalam Redacted, adegan itu diulang dan kali ini korbannya adalah salah seorang tentara Amerika, yang rajin membawa kamera video ke mana-mana. Kamera itu jadi saksi banyak hal, termasuk pemerkosaan, pembantaian sebuah keluarga dan juga jadi saksi penculikan pemiliknya. Dan kamera yang sama juga digunakan oleh rekan-rekannya untuk menjadikan peristiwa itu sebuah guyonan yang sungguh tak lucu. Selain fenomena kamera video, Redacted juga menunjukkan fenomena situs video online di mana saya sudah jadi korbannya. Terus terang saja, film ini membuat saya pusing. Banyak hal yang membuat saya harus memalingkan wajah dari layar karena tidak sanggup menyaksikan ‘kebenaran’ yang disodorkan oleh film itu. Setelah menonton Redacted, saya kemudian meminta pendapat dari beberapa orang untuk merekomendasikan film komedi. Sebagian dari mereka menyarankan saya menonton You, The Living karya Roy Andersson di program Kings & Aces. Banyak yang bilang film ini lumayan ringan dan lucu. Jadilah saya menuju Venster untuk menyaksikan film itu.

I HAVE NO ILLUSIONS ANYMORE

Tapi You, The Living tidak juga membuat suasana hati saya membaik. Film ini lucu dengan cara yang aneh. Sebuah black comedy sinis, lucu tapi menyakitkan. Kepala saya makin pusing. Atau mungkin karena kepala saya sudah penuh, kekenyangan menonton film. Setelah menonton You The Living, saya kembali ke De Doelen dan berniat berhenti untuk menonton. Tapi melihat waktu yang masih terlalu sore, saya memutuskan untuk menonton satu film lagi karya Aoyama Shinji, Sad Vacation di program Kings & Aces. Saat sedang mencari tempat yang nyaman di dalam ruang bioskop, saya kembali bertemu dengan para juri muda itu. Seperti biasa mereka tetap berisik. Dari jauh, mereka sudah berteriak kearah saya, “Kamu tahu, kami sudah menentukan 3 nominasi. Kamu boleh tahu nominasi kami, tapi belum boleh tahu pemenangnya. OK?. Nominasinya adalah Tricks, Paranoid Park, dan Persepolis. Kamu bisa menebak yang mana pemenangnya?”. Saya langsung senyum senyum. “Persepolis!” kata saya mantap. Mereka melongo sejenak. “Hmmm...mungkin juga. Nanti malam kamu akan tahu,” kata mereka sok misterius. Pemenangnya memang Persepolis.

621

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

Ilusi Bela Tarr

Hari Kedelapan, Kamis, 31 Januari 2008

H

ari ini, saya mengosongkan jadwal menonton film. Jadwal saya penuh dengan jadwal wawancara. Sedari pagi, saya sudah siap sedia di De Doelen, menyiapkan meja, laptop, dan kamera, lalu duduk menunggu seperti dokter gigi menunggu pasien. Tak lama petugas pressdesk mengabarkan bahwa Omar Shargawi, sutradara Go With Peace Jamil terpaksa membatalkan wawancara hari itu karena harus berada di tempat lain. Satu pasien saya hilang pagi itu. Saat sedang duduk sendiri menikmati kopi tidak sengaja saya bertegur sapa dengan pria berkulit hitam yang sedang mencari tempat duduk. Jadilah kami berkenalan. “Nama saya Michelange Quay,” sapanya ramah. Ia adalah sutradara Mange, Ceci Mon Corps, film surealis yang pernah saya ceritakan di diary sebelumnya. Jadilah kami terlibat percakapan panjang tentang filmnya itu yang mungkin nanti akan saya bagikan kepada pembaca Rumah Film;

ILUSI BELA TARR

Di sela-sela percakapan tiba-tiba Garin Nugroho muncul menyapa. Mereka saling berkenalan. Lalu dengan bercanda, Quay bilang, “Oh, kamu datang memotong wawancara saya, sekarang saya harus pamit,” katanya sambil berlalu. Kemudian dari jauh, saya melihat pria berkucir yang berjalan dengan mata seperti menerawang. Saya segera berdiri menyambutnya. “Halo, bukankah Anda Bela Tarr? Saya yang meminta waktu Anda untuk ngobrol,”. Bela Tarr yang saya tegur seperti baru tersadar dari lamunan yang nyaman. “Oh ya...sekarang ya? Di mana kita bisa ngobrol?”. Lalu saya membawanya ke meja saya di mana Garin sedang duduk menunggu seorang wartawan yang akan mewawancarainya juga. Jadilah Garin dan Bela Tarr saling bertegur sapa. “Kita pernah bertemu di Berlin sekitar tahun 90-an,” kata Garin. Mereka ngobrol sejenak, sementara saya memesan kopi untuk Bela Tarr. “Weihhh...kamu mau wawancara sama dia? Filmfilmnya gila tuh...dia salah satu sutradara hebat,” bisik Garin. Meski sudah siap sedia dan juga menyiapkan sejumlah pertanyaan sehari sebelumnya, kata-kata Garin lantas membuat saya gugup. Bela Tarr adalah refleksi dari film-filmnya sendiri. Seorang pria muram, dan humble. “I’m drying, I have no illusions anymore,” katanya muram (percakapan selengkapnya tunggu hanya di Rumah Film). Bela Tarr adalah salah satu sutradara yang dibesarkan di festival film Rotterdam. Ia datang ke IFFR pertama kali 28 tahun yang lalu dan karena itu setiap kali punya film baru, sebisa mungkin filmnya akan diputar di festival yang sudah berlangsung selama 37 tahun ini. Usai ngobrol dan mendengar curhat Bela Tarr, ‘pasien’ saya selanjutnya adalah Liew Seng Tat sutradara Flower In the Pocket. Jauh berbeda dengan Tarr yang cenderung muram, pembicaraan dengan Seng Tat penuh keceriaan. Di satu sisi ia banyak bercanda, di sisi lain, ia bisa menjelaskan dengan serius prinsip-prinsipnya membuat film. Ia banyak bercerita tentang proses kerjanya di Da

623

624

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Huang dan mengapa ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan tetapnya sebagai animator. Setelah Seng Tat, selanjutnya yang muncul di meja saya adalah Gertjan Zuilhof, programmer IFFR yang khusus menangani dan mengumpulkan film-film dari Asia. Zuilhof mengaku terlambat tahu tentang perkembangan film-film di Asia. Sebelumnya, ia tidak pernah tertarik untuk mendalami Asia karena persoalan bahasa dan budaya. Dan sekarang Zuilhof mengaku menyesal pernah menolak tawaran untuk mengkuratori film-film di wilayah Asia. Tapi tak ada kata terlambat, sekarang, Zuilhof mulai paham peta perkembangan industri film di Asia dan berbagi pengetahuan dengan Rumah Film. Menjelang sore, ‘pasien’ saya berikutnya adalah John Torres, sutradara Years When I Was A ChildOutside, salah satu film favorit saya di IFFR. Torres juga adalah representasi filmnya sendiri. Seorang anak yang sedang mencoba menata hidupnya kembali. Meski berusaha nampak ceria, banyak nada pesimis dan tidak percaya diri dalam kata-katanya. Acara saya selanjutnya adalah makan malam undangan dari para programmer festival di mana para konsultan-konsultan, programmer-programmer dari berbagai festival dunia berkumpul membicarakan film-film pilihan mereka di IFFR dan kemungkinan film-film itu akan diputar atau tidak di festival mereka. Di sebuah meja bundar besar yang seakan berubah fungsi jadi forum, banyak film dibicarakan dan dianalisa dengan berbagai pertimbangan sesuai dengan karakter masing-masing festival. Dari makan malam ini, setidaknya sedikit demi sedikit saya punya gambaran seperti apa dunia festival itu. Malam ini, saya langsung berniat untuk belajar lebih banyak lagi tentang film, festival dan industrinya.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

Penutup: Memahami Hidup dan Berbagi Cerita Lewat Film Hari Kesembilan, Jumat, 1 Februari 2008

Pagi Itu...

M

alam ini adalah acara pengumuman pemenang. Meski IFFR 2008 ditutup pada 3 Februari, tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, pengumuman pemenang dilakukan dua hari sebelum penutupan. Siapa 3 orang sutradara yang berhak mendapatkan Tiger Award plus uang tunai 15.000 Euro? Sejak pagi semua orang sudah sibuk menebak-nebak. Tapi sudah banyak yang menduga, film-film Asia akan berjaya lagi tahun ini. Diakui atau tidak, film-film dari Asia punya ciri khas yang dianggap eksotis bagi penonton barat. Seperti yang pernah dikatakan oleh Wouter Booji (salah seorang juri muda di MovieSquad), “film-film asia seperti memperkenalkan kami pada dunia baru, pada cara hidup, pada cara menghadapi masalah sosial yang sama sekali berbeda dari yang kami pahami,” kata Booji. Semakin banyak film-film Asia dari para sutradara muda yang belakangan makin banyak muncul, makin membuka lebar

626

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

mata dunia internasional tentang kehidupan sosial di Asia. Filmfilm Asia lebih mampu ‘berkomunikasi’ dengan audiens internasional, berarti juga makin mudah jalan bagi pembuat film lain untuk tampil. Dan festival film internasional seperti Rotterdam juga makin membuka kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk unjuk karya. Menyaksikan film-film dari sutradara-sutradara baru ini seperti menyaksikan kelahiran bayi yang langsung menjerit keraskeras mengabarkan kehadiran mereka pada dunia. Banyak ‘bayi’ yang sudah lahir di IFFR dan kemudian tumbuh di dunia yang lebih luas. Sebut saja, Bela Tarr, Aleksandr Sokurov, Christian Mungiu, Tsai Ming Liang, Garin Nugroho, Jim Jarmusch, Kobayashi Masahiro dan banyak lagi. Yang pasti, IFFR masih akan terus menyaksikan banyak lagi sutradara lainnya. Sejak pagi, kesibukan mempersiapkan acara malam penghargaan sudah terasa. Ruang besar tempat ngumpul di lantai 3 sudah ditata untuk acara cocktail party. William Burger Zaal pun ditata apik, dengan membentangkan poster-poster IFFR 2008 di dua sisi layar. Panggung diatur, sound system disiapkan. Para sutradara yang filmnya diputar di program kompetisi utama terlihat gelisah. Sambil menunggu malam, saya masih menyempatkan diri untuk menonton 3 film lagi: Hidden Faces karya Handan Ipekci (sutradara Turki-Jerman yang bakal mengikuti sukses Fatih Akin), Glory To The Filmmaker karya Takeshi Kitano, dan (lagilagi) The Man From London, karena Bela Tarr akan mengadakan sesi tanya jawab dengan penonton. Setelah itu saya kembali ke De Doelen dan kemudian bertemu dengan Gertjan Zuilhof yang sangat suka dengan film Waltz in Starlight. Lalu kemudian saya bertegur sapa dengan John Badalu. Kami ngobrol tentang film favorit kami masing-masing. John Badalu memegang Wonderful Town. Saya menjagokan 3 film: Flower in the Pocket, Years When I Was A Child Outside dan

PENUTUP: MEMAHAMI HIDUP DAN BERBAGI CERITA LEWAT FILM

Wonderful Town. John bilang tidak mungkin 3 pemenang semuanya dari Asia. Tapi toh tak ada salahnya berharap.

Malam Itu... Dulu sekali, saya pernah punya serial Taiwan favorit. Bukan Meteor Garden yang digila-gilai cewek seumuran saya waktu itu. Judulnya memang tidak menarik dan terdengar ‘cheesy’: Toast Boys Kiss. Ceritanya pun biasa, tidak seperti Meteor Garden yang mengharu biru itu. Tapi saya sangat tertarik dengan karakter utamanya, Sun. Ia seorang gadis biasa, tidak pintar, tidak cantik, tidak populer, tidak punya banyak teman, dan sering diejek tidak berguna oleh kakak perempuannya, seorang polisi. Karena itulah, ia banyak menghabiskan waktu dengan kamera video hadiah ulang tahun dari ayahnya. Apalagi ketika semua teman-teman sebayanya lolos masuk universitas, sementara Sun harus mengulang lagi tahun depan. Jadilah hari-harinya ia habiskan dengan kamera yang berfungsi jadi diary hariannya itu. Saya lantas menemukan banyak kesamaan dengan Sun. Dan kebetulan juga waktu itu saya punya kamera Sony Hi 8 yang selalu saya tenteng ke mana-mana hingga saya mulai bekerja di sebuah majalah. Sun, meski tidak berniat jadi filmmaker, dikisahkan kemudian berhasil membuat film dari kamera jurnalnya itu. Tapi saya, seperti semua orang di sekitar saya tahu, akhirnya menyerah dan menjual kamera HI 8 itu sementara ratusan tape yang saya gunakan beberapa tahun itu hanya tersimpan di lemari, berdebu dan jamuran. Tapi dunia ternyata memang kecil. Penulis skenario Toast Boys Kiss yang juga bermain sebagai salah satu aktor di serial adalah Niu Chen-Zer. Malam itu, di acara cocktail party sebelum pengumuman pemenang Tiger Award, saya melihat Chen-Zer.

627

Pemenang Tiger Award 2008: Omar Shargawi, Aditya Assarat, dan Liew Seng Tat. Foto oleh Asmayani Kusrini.

PENUTUP: MEMAHAMI HIDUP DAN BERBAGI CERITA LEWAT FILM

Meski terlihat berbeda di Toast Boys Kiss, wajahnya sangat akrab. Saat saya menegur Chen-Zer, ia terlihat kaget. “Toast Boys Kiss? Serial itu kan sudah lama sekali, 7 atau 8 tahun yang lalu bukan? Kamu menontonnya? Tapi kan serial itu tidak begitu popular?” kata Chen-Zer bertubi-tubi. Kami kemudian terlibat pembicaraan panjang. Ternyata Chen-Zer hadir di IFFR 2008 untuk memutar film panjang pertamanya, What On Earth Have I Done Wrong?! yang masuk program Sturm und Drang. Meski berbeda dengan karakter Sun ciptaannya, film What On Earth lagi-lagi bercerita tentang orang yang selalu menenteng kamera. What On Earth bercerita tentang seorang filmmaker (yang diperankan sendiri oleh Chen-Zer) yang sangat ingin membuat film pertamanya. Ia kemudian pergi menghiba-hiba kepada banyak pihak, dari politisi hingga mafia demi menciptakan film impiannya itu. Meski What On Earth masuk kategori mockumentary (fake documentary) tapi ceritanya yang sangat personal membuat semua orang yang menontonnya langsung paham bahwa What On Earth adalah pengalaman pribadi ChenZer. Dan malam ini, saat semua pembuat film berkumpul di ruang Willem Burger Zaal De Doelen, saya melihat wajah-wajah mereka yang sudah mewujudkan impian untuk bercerita di atas layar perak. Ada Chen-Zer, John Torres, Shingo Wakagi, Tan Chui Mui, Liew Seng Tat dan banyak lagi sutradara muda lainnya. Meski tak semua mendapat penghargaan, tapi seperti kata Shingo Wakagi, “Film saya ditonton banyak orang saja sudah jadi penghargaan yang sangat tinggi bagi saya”. Malam itu, Chen-Zer kemudian mendapatkan penghargaan NETPAC Award untuk filmnya What On Earth Have I Done Wrong ?!.Lalu berturut-turut pemenang diumumkan. Pemenang Tiger Award masing-masing akan mendapat 15.000 euro dan hak tayang eksklusif di VPRO TV mulai dibacakan satu-satu.

629

630

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Pertama adalah, Go with Peace Jamil karya Omar Shargawi asal Denmark. Banyak yang mengerutkan kening ketika film ini disebut sebagai pemenang. Bisik-bisik di antara para jurnalis, film ini menang karena ketua jurinya adalah Jafar Panahi yang akrab dengan isu Syiah-Sunni di film itu. Kemudian Wonderful Town karya Aditya Assarat. Saya langsung melambai ke arah John Badalu yang duduk menyimak dengan kalem. Ia langsung angkat jempol. Terakhir Flower in the Pocket karya Liew Seng Tat, dan kami semua yang menjagokan film itu pun bersorak riuh. Dan saya bersyukur, sudah jadi saksi bagi mereka yang sudah dan sedang akan mewujudkan mimpi untuk berbagi cerita dalam bentuk film. Selamat untuk semua filmmaker. Sampai jumpa di tahun-tahun mendatang.

630

Suasana malam usai pesta penghargaan IFFR 2008. Foto oleh Asmayani Kusrini.

Ekky Imanjaya

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

Sineas Indonesia di Kandang Macan

J

ika menonton trailer promosi IFFR, tentu Anda akan ingat Ted Okum, sutradara yang menjadi bintang iklannya. Dalam iklan itu, dia menyatakan bahwa dirinya diperlakukan dan dihargai seperti sutradara besar. Begitu pula lah yang terjadi dengan para sineas Indonesia di sana. Sekadar ilustrasi: Edwin dan filmnya, Hulahoop Sounding, yang menjadi pembuka film No Country for Old Man-nya Coen Bersaudara, dianalisa harian Volkskrantdag lebih dari setengah halaman. Riri Riza diwawancara televisi Cheko. Setiap bertemu saya John Torres, sutradara asal Filipina, ia selalu bertanya “Edwin di mana?” atau sekadar kasih info, “Tadi saya ketemu Riri.” Garin Nugroho, yang hadir sebagai juri Prince Claus Fund Grand Award, juga acap dimintai wawancara. Senang sekali melihat para sineas dan karya mereka mendapat tempat di festival besar seperti IFFR. Riri Riza, Mira Lesmana, Edwin, Garin Lesmana, Shanty Harmayn (menjadi juri

SINEAS INDONESIA DI KANDANG MACAN

Netpac), Meiske Taurisia (produser Babibuta Films), Nicholas Saputra, hingga Ladya Cherryl dan John Badalu diapresiasi dengan baik di sana, baik oleh panitia, sesama sineas, penonton dan wartawan. Edwin adalah sineas pertama yang saya temui di sana, tepatnya di Vernster. Dia peserta Cinemart, program pendanaan film, bersama produsernya untuk Babi Buta yang Ingin Terbang. Edwin membawa beberapa film, Trip to the Wound yang diputar di ajang Neighbours, juga Hulahoop Sounding yang merupakan daur ulang dari film ujiannya Joel Coen di New York University, Sounding—dan masuk program Meet the Masters. Edwin hadir Jumat malam (25/1) untuk membuka dan diskusi tentang filmnya, Trip to the Wound bersama film-film pendek asal Indonesia lainnya. Para penonton yang berjubel di ruangan itu tertawa mendengar pidato pembukaan Edwin: “Izinkan saya memotret Anda semua, sebagai bukti untuk temanteman saya bahwa film saya ditonton banyak orang!” Trip to the Wound sebenarnya adalah kisah personal. “Setiap luka punya ceritanya sendiri-sendiri,” ujar Edwin saat sesi tanya jawab. Dalam film itu ada satu adegan yang bisa ditafsirkan “subversif” dan pastinya sulit untuk lulus sensor di dalam negeri. Di program Neighbour itu terdapat dua film pendek yang berlaga memperebutkan Tiger Awards. Selain As I Lay Dying dari Ho Yuhang yang menjadi pemenang, ada Setengah Sendok Teh dari Ifa Ifansyah. Setengah Sendok Teh agaknya menjadi film dengan tata suara yang paling bagus dan matang. Misalnya, saat adegan di dalam bis yang sedang berjalan, efek suaranya begitu menggelegar dan tanpa sadar membuat kita ikut bergetar dan seolah berada di dalam bis. Film-film pendek dari Indonesia (walau ada beberapa catatan) begitu membuat saya bangga. Bagi saya, banyak yang kualitas estetika dan cara bertuturnya di atas sebagian film

633

634

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Malaysia yang diputar malam itu. Sebut saja film Malaysia Shaking the Gods (Tey Kok Hau) yang tidak komunikatif, karena selama 11 menit hanya menampilkan cuplikan orang-orang mendorong pemandu tempat bersemayamnya patung, tanpa ada keterangan sedikit pun. Atau Retrace (Margaret Bong) yang eksperimentalis, menampilkan berbagai foto-foto masa lalu yang sangat personal dan kurang lancar dalam bercerita. Forum Lenteng yang diwakili oleh Rumah karya Otty Widasari dan Ketika Aku Pulang Tidak Ada Mamah di Depan Pintu oleh Gelar Agryano Soemantri, sebenarnya juga bermainmain dengan bentuk, tapi tetap mampu menjelaskan sebuah ide. Rumah, misalnya, melakukan eksperimen dengan dua kamera yang berseberangan, dan ditampilkan secara split screen, mengangkat suasana (mood) santai di sebuah perumahan murah. Sedangkan Mamah malah lebih ekstrem, gambar yang ditampilkan sengaja dibalik. Film pendek terbaru Riri Riza, Tak kau Kunanti, cukup berhasil meyakinkan penonton tentang betapa bosan dan menyebalkannya sebuah penantian, lewat lirik lagu-lagu lama di radio. Jam terbang Riri yang tinggi membuat cerita di film itu berjalan lancar, tanpa perlu “dieja”. Film-film itu cukup membuat saya kangen tanah air. Misalnya nasi padang dan suasana Mangarai dan Busway di filmnya Riri. Atau suara adzan yang tak pernah terdengar di ruang publik Belanda, bisa saya nikmati di Bilal (Bagaskoro Aryaningtyas, Forum Lenteng). Sayang sekali, ada masalah dengan subtitle pada beberapa film negeri kita. Pertama, ini kesalahan panitia dalam soal format rasio layar, terjemahan tidak terbaca karena keluar frame. Kedua, ini masukan dari Nuraini Juliani—teman seperjalanan saya, direktur Kunci Cultural Studies yang sedang menempuh program master Kajian Asia Kontemporer di Universiteit van Amsterdam–

SINEAS INDONESIA DI KANDANG MACAN

banyak terjemahan yang salah, dan bahkan tidak diterjemahkan. “Masak ‘pikiran’ diterjemah jadi ‘mine’. Sayang sekali, kan, sudah jauh-jauh sampai di Rotterdam,” curhatnya. Riri dan Mira Lesmana—Nicholas Saputra menyusul kemudian—datang karena Tiga Hari untuk Selamanya diputar di sana. “Sudah sejak 2002 gue kemari, tapi foto di ID tidak gantiganti, nih,” seloroh Mira. Sambutan atas film Tiga Hari begitu meriah, terlihat lewat antusiasme penonton di sesi tanya jawab Minggu (27/1) pukul 21.45, Riri dan Nicholas langsung memberikan kata sambutan dan tanya jawab pada pemutaran Tiga Hari untuk Selamanya. Bioskopnya penuh, dan penonton antusias bertanya soal banyak hal. “Apakah ganja legal di Indonesia?”, “Bagaimana dengan badan sensor di sana?”, “Bagaimana reaksi kaum agamawan di sana?”. Nicholas Saputra disambut sama hangatnya dengan Riri atau Mira. Saat pesta bersama para sineas malam itu, ia tertahan di sana karena banyak yang ingin mengobrol, dan karenanya ia sedikit terlambat hadir di Q&A malam itu. Saat ia berlari mengejar momen diskusi, Nico berpapasan dengan bubaran penonton. “Wah, film yang bagus! Aktingnya asyik!” ujar para bule itu. Dan selepas tanya jawab, tidak sedikit yang antre ingin berfoto dengannya, kebanyakan memang warga negara Indonesia. Nico di sana juga dalam rangka kerja untuk Channel V. sebelumnya, dan selepas IFFR, ia pergi ke Goteborg International Film Festival untuk meliput acara itu, di samping Tiga Hari juga diputar di sana. Kali ini, di Rotterdam, Nico bekerja sama dengan Edwin sebagai juru kameranya. Garin Nugroho hadir sebagai juri Prince Claus award, di samping datang untuk menghadiri pemutaran Teak Leaves at the Temple (2007). Selasa (29/1), Garin yang baru mendarat bandara Schiphol dan masih kliyengan harus berpidato membuka filmnya, pada pukul 13.15, dan juga sesi tanya jawabnya. Penonton

635

636

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

bersemangat bertanya banyak hal dan sebagian kaget juga mendengar cara kerja Garin yang penuh dengan eksplorasi, kolaborasi, dan improvisasi. Saat ditanya apa film terbarunya, Garin bercerita sedikit tentang, Under the Tree, yang beredar Maret 2008. Film ini tentang maestro penari dari Bali yang pernah pentas di depan tokoh semacam Mao Ze Dong dan Walt Disney. “Bumi Manusia akan syuting Maret tahun depan,” ungkapnya kepada RF. “Garin adalah salah satu sutradara terpenting dalam festival kita,” ujar Gertjan Zuilhof, salah satu programmer yang menjadi moderator. Selepas itu, Garin akan ke Amsterdam, Cannes, dan lanjut ke Berlinale Film Festival sebagai juri Netpac. Sineas yang acap saya jumpai adalah Shanty Harmayn, yang sibuk dengan penjurian Netpac dan menulis sebuah sinopsis film terbarunya yang masih dirahasiakan. Ia kini bermukim di Manila. Dengan John Badalu, karena kesibukan masing-masing, saya tak banyak ngobrol—dia hadir sebagai orang Q Film Festival. Sedangkan dengan Ladya Cherryl, saya malah tak sempat bertemu. Seperti sudah disinggung sebelumnya, IFFR adalah satu dari sedikit festival kelas dunia yang memberi tempat tersendiri bagi film Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Untuk film pendek saja, misalnya, sudah ada program A Very Indonesian Conversation (2006), Flags of Indonesia (2005), dan Indonesia on the Move (2005). Garin Nugroho sudah dari 1995 (sejak Surat untuk Bidadari) memutar film-filmnya di sana. Kuldesak juga diputar di sana, pada 1999. Tidak sedikit juga film Indonesia yang mendapatkan bantuan dana dari Cinemart. Semangat IFFR untuk “menemukan sutradara sebelum mereka terkenal” harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh sineas Indonesia. Semoga makin banyak film Indonesia yang tampil di Rotterdam dan festival film kelas dunia lainnya.

Ekky Imanjaya

16 Juni 2008, 17:13

37th International Film Festival Rotterdam 2008

Malaysia Hatrik!

S

enin siang itu (28/1), Ho Yuhang muncul di De Doelen, pusat dari International Film Festival Rotterdam (IFFR), dengan gaya kesehariannya yang penuh senyum, rendah hati, dan seléngé’an. Rupanya dia masih mengenal Rumah Film, karena pernah mewawancarainya di Jogja-Netpac Asia Film Festival pertengahan 2007. Tapi, bukankan banyak orang yang menyatakan, termasuk desainer produksi Flower in the Pocket Gan Siong King, bahwa Yuhang tidak bakal datang ke Rotterdam? Rupanya ia hadir diundang panitia IFFR. Selain karena bertugas menjadi juri Dioraphte Award, film Yuhang, As I Lay Dying, menjadi salah satu juara Tiger Awards Competition kategori film pendek, bersama Ah, Liberty! ( Ben Rivers, Inggris, 2007), dan Observando el Cielo (Jeanne Liotta, AS, 2007). Sutradara Rain Dogs itu dianggap menang dengan penilaian “For its picture perfect framings, its smooth and sure handed embrace.”

638

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Hari berikutnya, dua kemenangan besar diraih oleh sutradara muda Liew Seng Tat, juga dari Malaysia. Bersama dengan Wonderful Town (Aditya Assarat, Thailand, 2007) dan Go with Peace Jamal (Ma Salama Jamil, Omar Shargawi, Denmark, 2008), filmnya Flower in the Pocket meraih penghargaan tertinggi Tiger Award. Seng Tat dan dua rekannya itu berhak mendapatkan 15 ribu Euro dan hak tayang di televisi publik Belanda. Dalam penilaian juri, Flower menang karena “...penuh pertimbangan dan penuh pandangan kepedulian pada dunia anak-anak. Aktor-aktornya terpilih secara tepat serta dipandu dan diarahkan dengan selayaknya. Film ini punya ekspresi visual yang menakjubkan.” Tidak hanya itu, Seng Tat juga mendapatkan 15 ribu Euro dari Prince Claus Fund Film Grant untuk proyek film barunya, In What City Does it Live? ”Kelebihannya ada pada proposalnya yang dengan gamblang menjelaskan cerita dan bisa dibayangkan secara visual nanti filmnya akan jadi seperti apa,” ujar Garin Nugroho, salah satu jurinya. ”Proposal yang deskriptif, tidak berlebihan dalam menjelaskan, tapi juga tidak terlalu kering,” ungkapnya. Film-film pendek Malaysia yang diputar cukup banyak. Ada satu program, Neighbors, yang merupakan kompilasi dari Malaysia dan Indonesia. Selain Yuhang, ada film Retrace (Margaret Bong) yang eksperimental, Blue Roof (Woo Ming Jin) yang kuat dalam mood cerita, dan Shaking the Gods (Tey Kok Hau) yang mengangkat tradisi ritual Konghucu tanpa menyatakan keterangan apa pun seputar itu. Sedangkan film Tan Chui Mui, Nobody’s Girl Friend, diputar di program Real Dreams bersama dua film Asia Tenggara lainnya, Flat Dreams (Eva Tang, Singapura) dan Like. Real. Love (Duj jit jai, Anocha Suwichakornpong, Thailand). Gerakan estetika baru Malaysia tak bisa dibendung lagi. Mereka hadir di berbagai festival. Setengah berseloroh, Gan yang adalah teman nongkrong saya di Rotterdam menyatakan bahwa

MALAYSIA HATRIK!

para sutradara sekarang sudah berani memilih dan mengirimkan filmnya festival film di tempat-tempat yang mereka juga ingin kunjungi. “Misalnya ke Argentina, atau Mesir,” ujar Gan. Di Malaysia, mereka tak dianggap “produk dalam negeri”. “Karena kami memakai dialog berbahasa China, pemerintah tidak menganggapnya sebagai film Malaysia. Karena itu pajak tontonan tidak dikembalikan, dan pemutarannya di bawah program international screening,” ungkapnya. “Kami kan warga negara Malaysia juga,” imbuhnya. Bahkan, saat di Festival Film Internasional Pusan hendak membuat program fokus Malaysia, pejabat negaranya seolah enggan membantu. “Padahal kami mewakili citra Malaysia,” ujar Gan, setengah mengeluh. Memang, gelombang baru itu didominasi ras China—kecuali Yasmin Ahmad, Amir Muhammad, serta sedikit sineas Melayu (dan India) lainnya—dan rupanya isu ras dan identitas masih kuat di sana. Tapi, mungkin, justru, tekanan dan tantangan itulah yang membuat mereka terus bereksplorasi dan meneriakkan eksistensi diri mereka.

Asia Tenggara IFFR adalah satu dari sedikit festival film kelas dunia yang memberi ruang bagi filmmaker Asia Tenggara. Bahkan mereka membuat program-program tertentu khusus untuk wilayah ini. Maka hadirlah film-film fitur, pendek, bahkan instalasi dari Thailand, Singapura, Filipina, tak terkecuali Indonesia. Thailand sukses lewat Wonderful Town yang meraih Tiger Award. film panjang lainnya adalah film erotis Ploy (Pen-ek Ratanaruang), dokumenter The Truth Be Told: The Cases Against Supinya Klangnarong (Pimpaka Towira) dan film horor The Unseeable (Pen choo kub pee, Wisit Sasanatieng).

639

640

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Para sineas negeri Gajah Putih ini juga meramaikan program seni instalasi bertajuk New Dragon Inn. Apichatpong Weerasethekul menjadi penasihat bagi Pimpaka Towira, Jakrawal Nilthamrong, Akrichalerm Kalayanamitr, dan Koichi Shimizu untuk instalasi interaktif, Black Air. Ada Krasob (Nitipong Thinthupthai), Middle-Earth (Mutchim Lok, Thunska Pansittivorakul), Nimit (Meteor, Apichatpong Weerasethakul), The Planet (Uruphong Raksasad), dan The Rocket (Uruphong Raksasad). Sedangkan film pendek mereka diwakili oleh Hero (Thaweesak Srithongdee) dan A Voyage of Foreteller (Jakrawal Nilthamrong). Ada 5 film panjang dari Filipina. Yang paling menonjol tentu saja John Torres dengan Years When I Was a Child Outside (Taon noong ako’y anak sa labas) yang berlaga di kompetisi utama. Film panjang lainnya, Drumbeat (Tambolista, Adolfo Alix, jr), Philippine Bliss (Khavn), dan Standing Up (Waise Azimi).Yang menarik, Death in the Land of Encantos (Kagadanan sa banwaan ning mga engkanto) dari Lav Diaz berdurasi 540 menit! Singapura punya 881 (Royston Tan, ia juga menjadi juri Tiger Awards), dan Lucky 7 (Qi ying pian) karya keroyokan Sun Koh, K Rajagopal, Boo Junfeng, Brian Gothong Tan, Chew Tze Chuan, Ho Tzu Nyen, Tania Sng. Untuk film pendek, ada Allen Ginsberg Gives Great Head, (X Ho), Grand Ma (Ah Ma, Anthony Chen), Fast Dream, dan Sin Sai Hong (Royston Tan). Bagaimana dengan Indonesia? Dalam keadaan itu, film-film Indonesia bagai berada di sarang macan, seperti pernah saya tulis di situs ini.

MALAYSIA HATRIK!

Dari Cinemasia 2008 LAPORAN OLEH EKKY IMANJAYA

641

Ekky Imanjaya

16 Juni 2008, 18:05

Dari Cinemasia 2008

Dua Film Indonesia Menutup Festival Cinemasia

M

aaf, tiket untuk Quickie Express sudah habis dipesan. Silahkan datang saat hari H, 10 menit sebelum pemutaran” tutur penjaga loket di Rialto Cinema, Amsterdam kepada Rumah Film. Memang, untuk wartawan, hanya diperbolehkan mengambil tiket sehari sebelumnya. Dan Quickie Express (QE), sang film penutup Cinemasia Film Festival sudah laris manis, padahal tiketnya lumayan mahal. Dan di hari pemutaran, nasib serupa masih menimpa saya. Tapi saya tidak sendiri. Beberapa teman mengirim psan pendek kepada saya dan kecewa karena kehabisan tiket QE. Untunglah Joko Anwar, penulis skenario Quickie Express dan sutradara Kala yang hadir sebagai tamu, berbaik hati menolong, demikian pula dengan direktur festival Cinemasia Doris Yeong. Dari dua pertunjukan hari terakhir itu, baik saat Kala (yang diputar pukul 18.00) atau QE, tempat duduk penuh, dan penonton

DUA FILM INDONESIA MENUTUP FESTIVAL CINEMASIA

larut ke dalam cerita. Misalnya, saat adegan kecelakaan yang melindas korban di Kala, sontak sebagian penonton menjerit. Atau, saat ikan piranha bergerak-gerak seraya menggigit alat vital Aming di QE, penonton ikut tergelak. Setelah QE tuntas diputar, walau sudah lewat jam 10 malam, penonton tak juga beranjak. Ada diskusi dengan Joko Anwar. Banyak hal terlontar, mulai dari soal sensor hingga keluhan terjemahan yang memang susah karena humor lokal (misalnya, penyakit tak bisa membedakan antara P dan F yang diidap Piktor). Setelah sesi tanya jawab, penonton pun mendatangi Joko. Ada yang sekadar menyapa dan memuji kedua film itu, bertanya lebih lanjut, hingga minta foto dan tanda tangan. Beberapa pun wartawan mewawancarinya. “Kala adalah film posmodernisme. Saya senang dan puas sekali bisa menontonnya,” ungkap Pamela Pattynama, Professor bidang Dutch East-Indies Literature and Culture dari Universitas Amsterdam yang menjadi pembimbing saya. “Sayang saya kehabisan tiket QE,” sambung dosen kajian film yang pakar representasi gender dan poskolonial itu. “Film QE sangat lucu dan menyegarkan. Harusnya Belanda belajar dari film seperti ini” ujar Felicitas Speth von Schulzburg, produser dan General Marketing International Performing Arts. “Biasanya film di sini temanya serius dan membosankan” imbuhnya. Aaron Wan, aktor Belanda asal Cina juga tak menutupi rasa puasnya. “Tone-nya terjaga.Tiap angle dipikirkan, “ ungkap pemeran Ayah Winky dalam Waar is het paard van Sinterklaas? Setelah acara ini, QE diputar di Far East Film Festival di Udine, Italia, dan Joko pun terbang ke sana. Dua film panjang Indonesia diapresiasi dengan baik oleh penonton Amsterdam. Kini, kedua film itu sedang tur keliling Belanda. Dan harapan saya agar ada festival khusus film Indonesia rupanya diamini oleh Djauhari Oratmangun, Wakil Kepala Perwakilan Kedutaan Besar RI di Belanda, yang bercengkrama

643

644

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

dengan RF sesaat setelah semua acara berakhir. “Kami berencana akan membuat festival film Indonesia di Belanda. Mungkin kita akan kerjasama dengan art-house cinema seperti Rialto ini,” ungkap Djauhari yang malam itu juga menyumbang makan kecil jajanan Indonesia dalam pesta penutup. Kita tunggu saja.

Ekky Imanjaya

16 Juni 2008, 18:05

Dari Cinemasia 2008

Banjir Film Asia di Rialto

S

uasana di bioskop Rialto, bilangan Ceintuurbaan, Amsterdam, agak lain dari biasanya. Sejak 2 April lalu, orang-orang bule berkerubung di sinema alternatif itu, bercampur dengan wajah-wajah oriental. Mereka sedang menikmati dan mengapresiasi ajang festival dua tahunan Cinemasia. Festival ini terpusat di Rialto. Tema utama kali ini adalah Booming Asia, di antaranya seputar diaspora. “Kami ingin mengangkat tema tentang representasi komunitas orang Asia di benua lain seperti Eropa, “ ujar Doris Yeung, sang direktur festival kepada Rumah Film. “Banyak sekali cerita tentang kelompok minoritas Asia, misalnya di Belanda, yang tentunya berbeda dengan di negeri asal,” ungkapnya. Doris juga menyatakan bahwa batasan definisi film Asia juga sudah pada tahap lintas-budaya dan lintas batasan dari definisi “film Asia” yang sudah baku.

646

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Karena itu, tidak heran, banyak film seputar melintas batas ini, yang mengingatkan kita pada Pachinko and Everyone’s Happy dari Harry Dagoe Soeharyadi, atau 6.30 dan Bunian. Misalnya saja film pembuka Finishing The Game: The search for a new Bruce Lee (Justin Lin, USA). Film itu adalah mockumentary yang cerdas, kocak, dan kental dengan musik yang penuh dengan efek wah (“cekuek cekuek”) dan gaya visual 1970an tentang pencarian pemeran pengganti Bruce Lee yang wafat sebelum menuntaskan The Game of Death. “Dan begitulah stereotipe bintang film Asia di Hollywood zaman itu,” kata Doris. Atau di Dark Matter (Chen Shi-zheng, USA / China), sebuah film tentang mahasiswa S3 bidang Fisika yang genius namun hidup penuh prihatin. Kita juga akan disuguhi bagaimana kehidupan orang rantau lengkap dengan keseharian (misalnya memasak seadanya, bergaul sesama anak kos, atau pendekatan dengan gadis bule) dan benturan budaya (“Mengapa bintang filmnya selalu bilang ‘I am coming’, memangnya mau pergi ke mana?” tanya Liu Xing saat melihat film porno di teve kabel, contohnya). Film yang semakin mendekati akhir semakin depresif ini dan dibintangi Meryl Streep ini memenangi Alfred P. Sloan Feature Film Prize di Festival Sundance tahun lalu. Contoh lainnya adalah Daisy (Andrew Lau, Korea) yang dibuat oleh sutradara Hongkong dengan bintang film Korea (si imut Jeon Ji-Hyung) dan disyut sepenuhnya di Belanda. Atau Le voyage du ballon rouge dari sutradara Taiwan Hou Hsiao Hsien dibintangi oleh Juliette Binoche dan aktor Prancis lainnya. Kegiatan kongkret lainnya adalah Cinemasia Filmlab yang dimulai sejak 2006. Para sutradara muda blasteran Asia-Eropa diminta untuk mengajukan ide film pendek, dan lantas tim dari Cinemasia (Yan Ting Yuen, Djie Han Thung, dan Doris Yeung -akan membimbing mereka untuk membuatnya. “Program ini untuk merangsang produksi film tentang orang Asia di Eropa atau dari sutradara keturunan Asia di sini,” ujar Doris.

BANJIR FILM ASIA DI RIALTO

Salah satunya adalah Tati Wirahadiraksa yang menjadi finalis lewat Images from Another World. Wanita berdarah BelandaBandung ini mengangkat tema tentang pencarian identitas warga Cina dengan cara mentransformasikan kaligrafi lima elemen Cina ke dalam tarian Hiphop. Dengan satu gulung kaligrafi Cina dan 3 penari selama 2 hari Tati bersama krunya mencoba bereskperimen tanpa skrip dan hasilnya adalah sebuah budaya hybrid. “Saya lama bergaul secara Eropa di sini. Tapi begitu berkaca, saya melihat sesuatu yang bukan Asia, tapi bukan pula Eropa, sesuatu yang berbeda”, ungkap Nita Lim, sang kaligrafer, yang menjadi naratornya. Dengan latar belakang teater multikultural, Tati membuat improvisasi. “Kendalanya adalah, teater, tarian, dan kaligrafi adalah medium yang sama sekali berbeda” ungkap Tati kepada RF. Film-film lainnya yang dipilih oleh tim kurator juga kelas dunia. Sebut saja Flower in the Pocket (Liew Seng Tat, Malaysia) yang berjaya di International Film Festival Rotterdam dan Megane (Naoko Ogigami, Jepang) yang sukses di Berlinale International Film Festival tahun ini. Juga The Most Distant Course (Lin Jin Jie, Taiwan) yang puitis dan pemenang Special Jury Award di Taipe Film Festival, serta Getting Home, road movie surealis karya Zhang Yang (Cina) yang menjadi film terkuat di festival ini. “Saya memulai festival ini dari awal, kecil-kecilan dulu, pada 2004. Saat itu baru sekitar 5 film,” tutur Doris. “Sekarang masih dua tahunan, tapi nanti bertahap akan menjadi tahunan” imbuhnya. “Awalnya adalah ingin mendukung komunitas AsiaEropa di Belanda dan memberi ruang bagi kisah-kisah kami di sini”. Dari pengamatan RF, Cinemasia berjalan dengan sederhana, dengan pengunjung yang yang tersegmentasi namun penuh antusias menonton dan mengapresiasi. “Dari tahun ke

647

648

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

tahun makin banyak yang berminat pada film Asia dan festival ini,” jelas Doris. Film yang ditampilkan berasal dari Jepang, India, Taiwan, Korea, Philiphina, Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Bagaimana dengan Asia Barat? “Kalau Negara-negara Arab dan Iran kami tidak anggap Asia, tapi Timur Tengah” Doris menjelaskan. Sayang sekali, banyak film (beberapa tidak diinfokan di buku acara) yang diputar dengan terjemahan bahasa Belanda, sehingga penonton non-Belanda kesulitan mengikuti jalan cerita—kecuali pada filmfilm yang secara audio visual kuat seperti Blood Brothers (Alexi Tan) dan Getting Home,. Dalam pesta kali ini, ada dua film Indonesia yang diputar di hari terakhir, Kala (Joko Anwar) dan Quickie Express (Dimas Djayadiningrat). Untuk film pendek, ada The Matchmaker dari Cinzia Puspita Rini. John Badalu menjadi kurator tamu sejak 2004. “Saya berkawan dengan John sejak 4 tahun lalu, dan beberapa kali saya ke Jakarta, jadi sedikit banyak tahu tentang sinema Indonesia,” kata Doris. Dijadwalkan Joko Anwar selaku sutradara Kala dan penulis skenario Quicky Express akan hadir dan berdiskusi dengan penonton. Mengapa Joko? “Karena saya penggemar berat Joko sejak Janji Joni,” terang Doris. Dukungan dari KBRI juga hadir, dengan menyediakan tiket pesawat dan wisma KBRI di Wassenar sebagai akomodasi. Sebelumnya, pernah diputar Arisan! pada 2004 yang mengundang sutradara Nia Dinata. Sedangkan Petualangan Sherina (Riri Riza), Virgin ( Hanny R. Saputra) dan Detik Terakhir (Nanang Istiabudi) hadir pada 2006, bersama film-film pendek seperti Still (Lucky Kuswandi), Lens (Djie Han Thung, Indonesia/Belanda), dan G embos (Vanni Jamin). “Bagi yang ingin berpartisipasi untuk festival mendatang, bisa kontak saya” pesan Doris sebelum menutup wawancara. Setelah ini, Kala akan diputar di Lantaren Rotterdam dan Plaza Futura Eindhoven, sedangkan Quicky Express di Louis

BANJIR FILM ASIA DI RIALTO

Hartlooper Complex Utrecht bersama film-film penting lainnya. Bagaimana reaksi penonton Amsterdam dan sekitar terhadap film-film dari tanah air? Tunggu laporan berikutnya. Sebelum film diputar, di Rialto selalu diputar tentang program New Malaysian Cinema yang akan digelar 29 Oktober hingga 2 November. Sebuah iklan yang bikin iri sineas Indonesia, mengingat di Belanda banyak sekali warga Indonesia yang bermukim dan bersekolah, dan sudah layak untuk membuat festival (kecil-kecilan) sendiri. Kalau Festival Film Negara Balkan atau Himalaya saja ada, mengapa kita tidak?

649

650

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Festival De Cannes 2008 LAPORAN OLEH ASMAYANI KUSRINI

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Mereka yang Akan Berlaga di Cannes 2008

I

ni sebuah tradisi tahunan: menunggu pengumuman seleksi Festival Film Cannes. Setiap menjelang akhir April, semua wartawan dari media khusus film di Eropa akan berkumpul di Paris, menunggu Thierry Fremaux didampingi Gilles Jacob datang dengan daftar di tangan. Akhirnya daftar itupun sampai ke wartawan pada 23 April lalu yang diawali dengan sebuah konferensi Pers di Grand Hotel Paris. Festival Film Cannes memang sebuah ajang penting. ‘The Temple of Cinema’, kata orang. Dan untuk mulai mengikuti tradisi itu, tahun ini Rumah Film pun akan ikut rombongan arus moviegoers menuju bibir laut mediterania di Cote D’Azur, Perancis pada Mei 2008. Karena itu, daftar film yang akan berlaga di Cannes juga patut mulai diamati. Mengutip seorang rekan wartawan: “Daftar seleksi ini penting, untuk menentukan target buruan”. Dan target ‘buruan’ bagi para wartawan tahun ini memang sungguh berharga. Dalam

652

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

daftar panjang seleksinya, tak ketinggalan sejumlah ‘anak emas’ dari Festival Cannes sendiri: r Dardenne bersaudara: asal Belgia dan satu dari sedikit yang pernah memenangkan dua kali Palem Emas untuk film Rosetta (1999) dan L’enfant (2005) r Wim Wenders sutradara Jerman, pemenang Palem Emas 1984 untuk film Paris, Texas. Selain itu, Wenders juga adalah salah satu sutradara yang film-filmnya rajin jadi nominator untuk Palme D’or. Ini daftarnya: Im Lauf Der Zeit, (1976), Der Amerikanische Freund (1977), Hammett (1982), Der Himmel Umer Berlin (1987) yang juga menobatkan Wenders sebagai sutradara terbaik, In Weiter Ferne, So Nah! (1993), The End Of Violence (1997), dan Don’t Come Knocking (2005). r Oh…dan ada Steven Soderbergh pemenang Palem Emas untuk Sex, Lies and Videotape (1989) serta dinominasikan untuk Palem Emas di tahun 1993 untuk filmnya King of The Hill. Selain para anak emas itu juga akan ikut berlaga di seksi kompetisi para calon ‘anak emas’ yang film-filmnya sudah pernah dinominasikan di Festival Cannes: r Siapa yang tak kenal Clint Eastwood, baik di Amerika maupun di Cannes ia adalah ‘anak emas’. Film-filmnya mulai bolak-balik ke Cannes sejak Pale Rider (1985), Bird (1988), White Hunter Black Heart (1990), dan Mystic River (2003). r Atom Egoyan, sutradara keturunan Armenia asal Canada ini sudah mulai masuk seleksi Cannes sejak Exotica (1994), The Sweet Hereafter (1997) , Felicia’s Journey (1999) dan Where The Truth Lies (2005)

MEREKA YANG AKAN BERLAGA DI CANNES 2008

r Paolo Sorrentino sutradara asal Italia yang disebutsebut akan mengikuti jejak para pendahulunya dari gerakan neorealisme untuk membuat sinema Italia kembali berjaya. Walaupun Palem Emas belum pernah jatuh ketangannya, tapi Sorrentino sudah pernah berhasil menembus seleksi pada 2004 untuk film Le Consequenze Dell’amore, dan L’Amico Di Famiglia di tahun 2006 r Arnaud Desplechin, sutradara Perancis yang filmfilmnya juga sering muncul didaftar seleksi Cannes yaitu La Sentinelle (1992), Comment Je Me Suis Dispute (1996) dan Esther Kahn (2000) r Nuri Bilge Ceylan asal Turki yang juga tiga kali masuk seleksi memperebutkan Palem Emas Koza (1995), Uzak (2003), Iklimler (2006) r Walter Salles asal Brazil yang pernah mencatat namanya dalam daftar nominasi Palme D’Or untuk film Motorcycle Diary (2004) r Sutradara asal China, Jia Zhangke yang juga pernah muncul dalam daftar nominasi untuk film Ren Xiao Yao (2002) r Lalu ada Lucrecia Martel asal Argentina yang pernah ikut berlaga di Cannes tahun 2004 dengan filmnya La Nina Santa. Nah, dan tentu saja ada ‘New Kids on the Block’ yang segera akan bergabung dalam daftar calon sutradara-sutradara kelas dunia yang dilahirkan di Cannes. Dua di antaranya berasal dari Asia Tenggara yaitu Eric Khoo (Singapura) dan Brillante Mendoza (Philipina). Para moviegoers pemerhati film-film Asia Tenggara tentu masih ingat film ‘manis’ Be With Me karya Eric Khoo dan Foster Child karya Mendoza yang sangat menyentuh itu.

653

654

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Selebihnya ada Matteo Garrone (Italia), Kornel Mundruczo (Hungaria), Phillipe Garrel (sutradara gaek Perancis yang pernah menerima Perspective Du Cinema Award pada 1983 untuk film Liberte, La Nuit), Pablo Trapero (Argentina ), Charlie Kaufman (yang sebelumnya lebih dikenal sebagai penulis scenario antara lain Eternal Sunshine Of The Spotless Mind, Being john Malkovich dan Adaptation) dan Ari Folman (Israel) yang sebelumnya lebih dikenal sebagai animator. Selain mereka yang akan ikut berlaga memperebutkan Palem Emas di pantai Croisette, sejumlah nama-nama tenar di dunia sinema juga akan ikut berpartisipasi dalam berbagai seksi antara lain Emir Kusturica, Woody Allen, Steven Spielberg, Wong Kar Wai, dan sebagainya. Ikut pula dalam rombongan Jennifer Lynch, putri sutradara David Lynch, yang mungkin akan mengikuti jejak ayahnya kelak sering datang ke festival ini. Ini dia daftar selengkapnya: Competition: r Le Silence de Lorna - Luc et Jean-Pierre Dardenne (BE) r Gomorra - Matteo Garrone (IT) r Il d ivo - Paolo Sorrentino (IT) r The Palermo Shooting - Wim Wenders (DE) r Delta - Kornél Mundruczó (HU) r Conte de Noël - Arnaud Desplechin (FR) r La frontière de l’aube - Philippe Garrel (FR) r Leonera - Pablo Trapero (AR) r Synecdoche, New York - Charlie Kaufman (US) r Changeling - Clint Eastwood (US) r Adoration - Atom Egoyan (CA) r Three Monkeys - Nuri Bilge Ceylan (TR) r My Magic - Eric Khoo (ID) r Linha de Passe - Walter Salles (BR) r Che - Steven Soderbergh (US)

MEREKA YANG AKAN BERLAGA DI CANNES 2008

r r r r

24 City - Jia Zhangke (CN) Serbis - Brillante Mendoza (PH) Waltz With Bashir - Ari Folman (doc - IL) La mujer sin cabeza - - Lucrecia Martel (AR)

Out of Competition: r Vicky Cristina Barcelona - Woody Allen(US -ES) r Indiana Jones et le Royaume du Crâne de Cristal Steven Spielberg(US) r The Good, the Bad, the Weird - Jee-woon (KR) r Kung Fu Panda - Mark Osborne & John Stevenson (US) Special Screenings: r Sangue pazzo - Marco Tullio Giordana (IT) r The Ashes of Time Redux - Wong Kar Wai (CN) r Roman Polanski: Wanted and Desired - Marina Zenovich (US) r C’est dur d’être aimé par des cons - Daniel Leconte (FR) r Chelsea Hotel - Abel Ferrara r Of Time and the City - Terence Davies (UK) Midnight Screenings: r Maradona - Emir Kusturica r Surveillance - Jennifer Lynch The Chaser - Hong-Jin Na Special Jury President’s Screening: r The Third Wave - Alison Thompson Siapa yang akan memboyong Palem Emas tahun ini? Kita lihat saja nanti.

655

Gedung Padat poster. Foto oleh Asmayani Kusrini.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Bienvenue à Cannes !

Sore, 13 Mei 2008.

T

empat: Kereta TGV, gerbong 6, kursi nomor 74 di sebelah jendela. Teriakan kencang melengking “bienvenue...bienvenue...bienvenue” tak henti-henti itu membangunkan saya dari tidur singkat. Perjalanan ini sebetulnya tidak melelahkan, tapi duduk di tempat yang sama dengan kereta langsung dari Brussel ke Cannes sepanjang kurang lebih 6 jam membuat saya tidak bisa menahan kantuk. Suara ribut-ribut dari dua bocah kecil yang duduk di belakang saya terpaksa membuat saya tegak kembali di tempat duduk. Pemandangan di luar sudah berganti. Dari daerah dengan tanah yang cenderung rata, ke daerah Mediterania yang berkontur dan berbukit-bukit terjal. Nun jauh, di antara bukit-bukit terlihat rumah-rumah warna tanah menyembul di antara rimbun belukar. Kadang terlihat jejeran ladang-ladang anggur yang berbaris rapi, lalu berganti dengan daerah berbatu-batu. Tak lama kemudian, setelah melewati stasiun kereta St. Raphael, nun di

658

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

kejauhan sana, cahaya matahari terpantul-pantul, berkerlap kerlip di atas air. Di beberapa tepinya terlihat jajaran yacht mewah, sementara agak jauh ke tengah, kapal-kapal pesiar yang lebih besar tertambat menyebar dan seperti titik-titik putih di batas horison. Cannes sudah di depan mata. Rasanya tidak percaya, Rumah Film terdaftar di festival bergengsi ini. Tahun lalu, saya ingat, Rumah Film masih dalam kandungan. Ide untuk membuat sebuah situs khusus yang serius membahas segala hal tentang film, masih sebatas diobrolkan via pesan singkat alias sms. Waktu itu masih ada keraguan, situs di dunia maya masih dianggap media kelas dua dan cenderung terlihat gampangan dibanding media cetak yang pastinya diolah lebih serius. Tapi di Festival Film Cannes tahun lalu saya membuktikan, bahwa situs dunia maya pun bisa dianggap serius dan—apalagi jaman sekarang—jauh lebih efektif. Tahun lalu, pihak penyelenggara Festival Film Cannes memberikan kurang lebih 30% akreditasinya kepada media-media online. Bahwa media online pun bisa dianggap sebagai media kelas satu, juga bisa terlihat di Cannes. Dan seperti ibu hamil pecah ketuban, Festival Film Cannes adalah peristiwa ’pecah ketuban’ untuk Rumah Film. Mungkin tidak hanya Rumah Film tapi juga banyak media lain yang lahir dipicu oleh fakta bahwa Cannes—yang bisa jadi tolok ukur trend perkembangan media—ternyata membuka ruang lebih lebar lagi bagi situs-situs film serius. Dan menjawab pertanyaan Direktur Jakarta International Film Festival, Lalu Rosiari, “Rumah Film sudah bisa terakreditasi di Cannes?”. Jawabannya, Bisa, dengan B kapital. BISA. Bocah kecil yang tadi membangunkan saya terus saja berteriak-teriak “Bienvenue... bienvenue... !”. Saya berbalik kearahnya, sambil mencubit pipi tembemnya, saya bilang, “Merci beaucoup !”.

BIENVENUE À CANNES !

Putih, Merah Muda, Biru, Kuning Berada dalam antrian pre-akreditasi Cannes juga adalah pengalaman yang menegangkan. Dalam hati setiap wartawan yang ada dalam antrian pasti punya pertanyaan sama, “Warna kartu apa yang akan diterima tahun ini?”. Bukan rahasia lagi kalau Festival Film Cannes menentukan posisi setiap wartawan (dan juga media) seperti strata dalam masyarakat Hindu: golongan Brahmana, Ksatria, Waisa atau Sudra. Masuk dalam golongan Brahmana ditandai dengan kartu putih. Mereka adalah para kritikus kelas satu yang sudah punya nama, macam Roger Ebert. Selain itu, para penerima kartu ini juga berasal dari media-media hiburan dan film bernama besar seperti Variety, The Hollywood Reporter, Cahiers Du Cinema, atau Positif. Sementara masuk dalam golongan Ksatria adalah para penerima kartu merah muda (atau lebih tepatnya merah ”jambon” —daging babi masak yang diiris tipis yang memang berwarna merah muda). Dalam golongan ini antara lain para wartawan dari media harian dengan oplah besar (pada umumnya koran harian). Wartawan masuk dalam kelas ini sangat ditentukan dengan jumlah oplah medianya dan seberapa produktif mereka menulis. Arya Gunawan dari Indonesia yang sudah lima belas kali ke festival ini untuk berbagai media seperti Harian Kompas dan BBC biasanya mendapat kartu ini. Lalu golongan Waisa alias masyarakat biasa tapi diperlukan kehadirannya diberi kartu berwarna biru. Kartu ini diberikan pada umumnya kepada media-media mingguan, bulanan, atau situs online. Penentuan ini ditentukan juga dari oplah dan jumlah hit, plus seberapa produktif wartawannya menulis tentang Cannes. Dan tentu saja ada kelompok Sudra yang ditandai dengan kartu kuning. Setiap wartawan dalam antrian juga pasti punya doa

659

ATAS: Persiapan di program Un Certain Regard. BAWAH: Nordisk Film yang menyewa seluruh lantai akhir sebuah gedung apartemen persis di depan gedung utama Festival Film Cannes. Foto oleh Asmayani Kusrini.

BIENVENUE À CANNES !

yang sama, “Tuhan, jangan sampai saya mendapat kartu kuning”. Kartu kuning tidak jelek juga sebetulnya. Kartu ini diberikan kepada teknisi-teknisi televisi, wartawan-wartawan dari mediamedia kecil atau media gosip dengan oplah kecil dan produktifitas kecil. Kartu kuning juga diberikan kepada media-media baru yang masih dalam penjajakan seberapa efektif mereka memperkenalkan festival ini kepada pembacanya. Seperti juga dalam strata masyarakat Hindu, makin tinggi golongan, maka makin tinggi juga prioritas dan kesempatan untuk selalu bertemu para ’dewa’ dan ’raja’, yang dalam hal ini para sutradara dan bintang-bintangnya. Karena itu warna kartu menjadi sangat penting. Kartu putih berarti para dewa dan para raja biasanya justru mengharapkan kehadiran Anda di meja makannya. Kartu jambon dan biru berarti Anda harus melewati sejumlah proses dan kadang butuh waktu, tergantung situasi dan suasana hati para dewa dan raja serta penasehat-penasehatnya (para penghubung media dari masing-masing rumah produksi), dan tidak lupa keberuntungan juga berperan. Kartu kuning bisa berarti jangan mimpi untuk mendapat waktu bertemu. Dan bisa juga berarti mendapat kesempatan paling belakang dan paling lama menunggu dalam setiap acara press screening, press conference, pesta, dan acara-acara khusus lainnya. Yang paling apes adalah mereka yang ’diturunkan derajatnya’. Di Festival Cannes, naik turunnya derajat adalah hal biasa. Seorang wartawan asal India mengomel tak habis-habisnya karena ’turun derajat’, dari warna jambon ke warna biru. ’Penurunan derajat ini bisa diartikan sebagai peringatan, “menulislah lebih banyak lagi”. atau juga bisa berarti para ahli media di Cannes menganggap media Anda tidak cukup produktif memuat artikel tentang Cannes yang dicek lewat artikel-artikel yang wajib Anda kirimkan saat mendaftarkan diri.

661

662

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Ada lagi bentuk kartu dan warna yang lain tapi tidak masuk dalam strata ‘masyarakat film’ ala Cannes. Seperti kartu oranye untuk fotografer, kartu biru terang untuk industri, dan kartu abuabu untuk filmgoers dari sekolah-sekolah film, atau institusi khusus. Untuk fotografer dengan kartu oranye bisa berarti Anda tidak punya akses untuk menonton film (kecuali sesi khusus yang jarang terjadi). Sementara kartu lain, biasanya mereka diberi jadwal sendiri dengan daftar film-film yang juga terbatas dan tidak tergabung dalam strata utama. Dan ketika giliran saya hampir tiba, kartu kuning terbayangbayang di kepala mengingat Rumah Film masih merupakan media baru dengan jumlah hit yang tentu tidak bisa menyamai jumlah hit Variety Online, misalnya. Kartu jambon apalagi putih tentu jauh dari jangkauan. Tapi saya berusaha menghibur diri, menghitung-hitung berapa banyak artikel yang saya tulis tahun lalu. Dan saudara-saudara sekalian.... Rumah Film mendapat kartu BIRU! Sama dengan Thaicinema.org olahan kritikus Thailand yang terkenal di Negara-negara Asia Tenggara, Anchalee Chaiworaporn. Saya akhirnya bisa bernafas lega dan pasang senyum di mana-mana. Bayangan antri di bawah terik matahari setiap kali menghadiri sebuah acara, langsung hilang. Sehari sebelum acara pembukaan resmi, kota Cannes belumlah terlalu padat. Poster-poster raksasa masih dipasang, kios-kios sementara masih dibenahi, area Marché Du Cinema alias pasar film juga masih berantakan. Sejumlah apartemen yang persis menghadap Grand Palais juga masih dihias. Spandukspanduk baru mulai dibentangkan dari setiap teras. Kamerakamera televisi sedang diatur dari berbagai sudut-sudut diketinggian. Cannes sedang siap bersolek untuk acara pembukaan besok malam.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Film Dadakan di Seksi Kompetisi

S

aya tidak tahu kalau Blindness karya Fernando Meirelles masuk dalam daftar seksi kompetisi. Berulang-ulang saya memelototi daftar awal film dalam seksi kompetisi yang diumumkan dan saya terima pada 23 April lalu. Hasilnya, nihil. Hal seperti ini memang bukan masalah besar, tapi saya harus minta maaf dan memperbaiki berita saya beberapa waktu lalu. Film dadakan di program kompetisi seperti ini bisa berarti dua hal, filmnya terlambat memenuhi tenggat atau ada alasan politis. Film kompetisi yang terlambat memenuhi tenggat karena alasan teknis adalah hal yang biasa di Festival Film Cannes. Tahun lalu misalnya, The Man From London karya Bela Tarr, baru selesai edit 3 hari setelah dimulainya festival. Bedanya, The Man From London memang sudah diminta jauh-jauh hari dan sudah dicantumkan dalam daftar sejak awal.

664

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Ataukah alasan politis? Nah, ini yang seru. Biasanya, para produser atau distributor yang tahu betul cara memanfaatkan ‘celah-celah’ suka memanas-manasi pihak Cannes dengan bilang “Ini sudah diminta Venice loh (Venice Film Festival – red.)” Venice memang selalu jadi nama yang menyakitkan telinga para programmer di Cannes. Dari cerita para wartawan senior, saya dengar bahwa Thierry Fremaux, Direktur Program Cannes pernah dikritik karena menolak Vera Drake karya Mike Leigh, sutradara independen asal Inggris. Fremaux rupanya emoh kena bujukan dan tak mempan dengan ’ancaman’ bahwa film itu sudah dilirik Venice. Hasilnya, Vera Drake memenangkan Piala Singa Emas, piala tertinggi di Venice Film Festival tahun 2004, dan Cannes terpaksa gigit jari. Apapun alasannya sebuah film dipilih, kualitas film-film yang masuk kompetisi Cannes tetap tidak bisa diragukan. Toh, intrik-intrik ini hanya dimainkan di ’khayangan’ sana. Kita-kita ini hanya menikmati saja apa yang disuguhkan. Blindness—yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Jose Saramago— tetaplah film yang layak ditunggu. Belum lagi kehadiran bintangbintang berkelas seperti Julianne Moore, Mark Ruffalo, Danny Glover dan Gael Garcia Bernal. Meski ada beberapa hal yang agak menganggu saya, tapi Fernando Meirelles—sutradara City Of God, The Constant Gardener—sudah berhasil memvisualkan novel itu dengan sangat baik.

Berharap Sean Penn, Dapat Nathalie Portman Saya sudah bertekad bulat: saya harus ngobrol dengan Sean Penn! Bagi saya, Penn adalah salah satu cowok paling cool. Apapun akan saya lakukan untuk ngobrol 5 menit saja. Karena itu, acara bertemu para juri—yang dikepalai Sean Penn—sudah tercatat dalam agenda sejak kemarin. Usai menonton Blindness, saya sudah

FILM DADAKAN DI SEKSI KOMPETISI

tidak bergerak dari ruang pers. Sayangnya, ketika Sean Penn ’mampir’ di ruang pers, saya kelamaan terpesona dan terpaku. Akhirnya saya keduluan beberapa wartawan radio, yang langsung dengan sigap memagari Penn seakan milik sendiri. Tak diduga, justru Nathalie Portman yang tersenyum manis di depan saya. Sayangnya cewek manis ini tidak mau buka rahasia tentang rahasia penjurian. Pertanyaan saya soal kuota dan ‘bagi-bagi’ penghargaan agar ‘merata’ hanya dijawab dengan balik bertanya, “Oh, really ?”. Entah Nona Portman sedang mempraktekkan akting ‘innocent’-nya yang terkenal itu atau memang belum tahu. Wajah innocent-nya toh tak mempan buat saya. Bukan rahasia lagi kalau sebelum menjalankan tugas, para juri akan diwanti-wanti agar tidak ’menumpuk’ hadiah di satu film. Sangat jarang terjadi sebuah film mendapat dua penghargaan. Tentu saja ada pengecualian, tapi saya tidak akan membukanya sekarang. Toh, festival ini baru saja dimulai dan masih banyak yang akan terjadi. Yang terlihat agak kesal adalah Anchalee Chaiwarporn. Dalam komposisi juri ada Apichatpong Weerasethakul, sutradara kebanggaan Thailand. Weerasethakul adalah sineas Asia Tenggara kedua setelah Christine Hakim yang diminta untuk duduk di kursi kehormatan sebagai juri. Lagi-lagi karena ketatnya sistem kasta, Anchalee tak sempat mengikuti konferensi pers, dan hanya menonton dari luar. “Tak ada satupun yang bertanya kepada Apichatpong,” kata Anchalee kesal. Rupanya rasa solidaritasnya bangkit. Saya juga tentu akan merasakan hal yang sama jika ada sutradara Indonesia ‘dicuekin’. Kekesalan Anchalee bertambah ketika kami berdua akan menonton film di program kompetisi lainnya, Waltz With Bazir karya Ari Folman asal Israel. Seperti biasa, prosesi panjang dimulai sejak antri hingga akhirnya pintu dibuka. Dari segi sistem keamanan, Festival Film Cannes sebetulnya agak kampungan dan ketinggalan jaman. Bayangkan, tas setiap jurnalis harus digeledah,

665

ATAS: Natahlie Portman di depan mata. BAWAH: Apichatpong Weerasethakul usai konferensi pers dengan dewan juri. Foto oleh Asmayani Kusrini.

FILM DADAKAN DI SEKSI KOMPETISI

dibuka satu-satu, oleh dua orang secara manual. Kalau tak ada antrian panjang, mungkin pemeriksaan model ini tidak masalah. Tapi dengan antrian meliuk-liuk dan proses pemeriksaan yang membutuhkan waktu 2 – 3 menit untuk setiap wartawan, jelas mengesalkan. Belum lagi proses menyerahkan kamera di anjungan khusus. Anchalee yang harus mengeluarkan kamera dan memasukkannya lagi tentu butuh waktu, sementara penjaga seperti dikejar setan – mungkin juga karena panik melihat antrian. Akhirnya pertengkaran kecil terjadi. “Memangnya siapa yang akan memotret di dalam dengan kamera sebesar ini? Yang perlu kalian perhatikan justru kamera-kamera saku,” kata Anchalee kepada penjaga yang juga tidak bisa berbahasa Inggris itu. Kelakuan tak sopan para penjaga pintu ini memang bukan sekali dua kali terjadi. Dan menurut Anchalee, hal-hal inilah yang menjadi salah satu alasan Philip Cheah berhenti mengunjungi Cannes. “Kita diperlakukan seperti kriminal,” kata Anchalee pedas; Beginilah Cannes! Dengan segala kemewahannya, Cannes dipagari benteng-benteng dalam berbagai bentuk. Mulai dari aturan main hingga penjaga pintu. “Saya akan menulis surat keluhan kepada Christine Aimé,” kata Anchalee lagi. Aimé adalah kepala bagian pers dan komunikasi Cannes. Kita lihat hasilnya nanti. Di luar sana, karpet merah sudah digelar, dan peristiwa ’la monteé des marches’ (berjalan di atas karpet merah) yang melegenda itu sedang berlangsung. Cathedral Of Cinema sudah mulai dibuka, dan ritual tahunan itupun dimulai.

667

Menjelang malam pembukaan karpet merah sudah siap dilalui. Foto oleh Asmayani Kusrini.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Saat The Bunker Dibuka

S

emalam, Cathedral Of Cinema itu gemerlap dan riuh bergemuruh. Mobil-mobil mewah lalu lalang mengantar para tamu dengan pakaian resmi dan gaun-gaun malam karya desainer-desainer kondang. Segala bentuk permata, berlian, dan batu-batu berharga lainnya bertaburan melengkapi gaun para bintang. Dan Katedral itu pun terlihat megah, mewah dan gemilang. Padahal aslinya, gedung ini dijuluki The Bunker karena bentuknya yang memang mirip benteng pertahanan dan tempat persembunyian di jaman perang. Seorang rekan saya lebih kejam lagi menjulukinya ‘buntelan beton’. Secara estetis, gedung baru yang dibuka pada 1983 ini tidaklah fotogenik, jauh dari indah apalagi anggun. Meski mendapat julukan yang serba jelek, tapi harus diakui, bunker karya arsitek Bennet and Druet ini memang memenuhi

670

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

fungsinya dengan efektif. Selain beberapa gedung teater (Grand Theater Lumiere, Salle Debussy, Salle Bazin, Salle Bunuel dan yang terbaru Salle du Soixantième), The Bunker juga lengkap dengan fasilitas sirkulasi yang komplit seperti lift, eskalator, toilet dan beberapa pintu masuk. Selain gedung teater, hampir sebagian besar bagian dalam buntelan ini bisa dibongkar pasang sesuai kebutuhan. Praktis, ’masyarakat film’ Cannes tidak pernah meninggalkan gedung sepanjang hari kecuali jika mereka harus berganti ruang teater. Untuk pindah dari Grand Theater Lumiere ke Salle Debussy misalnya, harus keluar pintu, masuk pintu sebelah. Padahal di dalam The Bunker, jarak antara Grand Theater dan Debussy hanya beberapa langkah. Tapi begitulah aturannya. Lantai bawah tanahnya digunakan sebagai area utama Marché du Cinema alias Pasar Film yang merupakan salah satu pasar film terbesar di dunia. Wajah ‘bangunan suci’ dunia film ini persis betul merepresentasikan dunia showbiz yang sesungguhnya. Penuh polesan. Pada malam ketika lampu-lampu blitz terlontar di udara seperti kembang api, ketika Gilles Jacob (Presiden Direktur Festival Film Cannes) serta Thierry Fremaux menyambut para tamu yang tampil seglamour mungkin, hanya dibatasi dinding, ribuan wartawan di belakang panggung sibuk mengirim berita ke berbagai belahan bumi. Sebagian duduk berleha-leha usai melewati hari yang panjang, sebagian ada yang menikmati makan malam melantai, sebagian lagi sibuk mengedit gambar, dan berbagai aktivitas lainnya. Tak ada yang terganggu dengan keriuhan di luar sana. Toh film yang mereka tonton sudah kami tonton pagi harinya. Segala informasi tentang film itu juga sudah atau sedang di proses di laptop-laptop. Namanya juga ritual tahunan, selalu ada prosesi. Karena prosesi itu sudah dimulai resmi semalam, maka pagi ini,

SAAT THE BUNKER DIBUKA

masyarakat dari berbagai kasta sudah mulai melakukan ’kewajiban’nya masing-masing. Setiap hari akan dibuka dengan screening film kompetisi jam 8.30 pagi di Grand Theater Lumiere. Sebetulnya setiap film di Official Program akan diputar setidaknya 3 atau 4 kali sepanjang festival ini berlangsung. Pemutaran pagi, siang, sore dan malam. Setiap pemegang kartu bisa memilih tapi tentu saja harus sadar diri. Ingat warna kartu. Selain itu, kita juga harus ingat yang namanya festival, menonton satu film bisa berarti mengorbankan 2 atau 3 film lainnya. Bayangkan berapa film yang akan terlewat jika screening pagi tak dimanfaatkan. Prinsip utama yang harus dipegang teguh dalam setiap film festival, tontonlah film sebanyak-banyaknya yang Anda bisa. Untuk bisa menjalankan prinsip itu, tentu saja setiap orang harus bisa mengatur jadwal sebaik-baiknya dan seefisien mungkin. Dengan warna kartu, setidaknya setiap pemegang kartu itu sadar betul berapa lama harus menunggu dalam antrian khususnya untuk film-film dengan nama-nama besar. Karena itu tidak heran jika terlihat ada wartawan tetap bekerja di laptopnya ketika sedang mengantri atau menunggu film dimulai.

Karpet Merah dan Angelina Jolie Pagi ini saya berjalan di atas karpet merah. Membayangkan bagaimana rasanya berada di bawah lautan kilatan blitz saat malam menjelang. Enak juga rupanya. Di televisi nampaknya butuh waktu lama untuk melewati karpet yang tidak lebih dari 50 meter panjangnya. Karpetnya merah kinclong dan lumayan empuk. Saya injak-injak tak juga menyisakan bekas. Setiap pagi karpet merah ini dibersihkan. Kalau mau sombong sedikit, sebetulnya para bintang yang akan lewat karpet merah ini hanya menapaki sisa-sisa jejak kami, para wartawan.

671

ATAS: Angelina Jolie yang datang untuk menghadiri konferensi pers Kungfu Panda. BAWAH: Jack Black sedang menuju ruang pers. Foto oleh Asmayani Kusrini.

SAAT THE BUNKER DIBUKA

Film pertama yang saya tonton pagi ini adalah film kompetisi Leonora karya Pablo Trapero asal Argentina. Premis film ini sebetulnya cukup menjanjikan, tentang hubungan ibu dan anak yang lahir di penjara. Tapi Trapero terlalu bersemangat ingin menampilkan banyak sisi sehingga akhirnya premis filmnya meleleh ke mana-mana. Setelah itu, pindah ke ruangan sebelah di Salle Debussy untuk menonton Tokyo! gabungan tiga film pendek dari 3 sutradara Bong Joon-Ho (ingat The Host?), Michel Gondry (ingat Eternal Sunshine of The Spotless Mind?), dan Leos Carax (ingat Les Amants du Pont Neuf?). Film ini masuk dalam seleksi Un Certain Regard. Sebetulnya, dalam agenda saya ada film Hunger karya Steve McQueen di Un Certain Regard juga yang berjarak hanya 30 menit setelah Tokyo! Menonton film itu akhirnya batal karena ada ... Angelina Jolie ! Saya hanya sekadar mampir di warung wi-fi lantai tiga untuk mengirim foto ke Rumah Film ketika tidak sengaja saya melihat jadwal di layar TV (yang tersebar di mana-mana dan berfungsi sebagai pengingat jadwal harian untuk para wartawan). Angelina Jolie datang bersama Jack Black dan Dustin Hoffman untuk mempromosikan film terbarunya Kung-fu Panda yang terdaftar di Hors Competition (Out of Competition). Saya bukan penggemar Jolie, tapi saya ingat rekan saya yang pengagum berat cewek berbibir seksi itu. Tanpa sadar, saya sudah berhimpithimpitan dengan para fotografer berbadan bodyguard untuk bisa memotret Jolie. Akhirnya, Hunger pun lewat sudah. Setelah itu saya menonton Three Monkeys karya sutradara Turki, Nuri Bilge Ceylan. Saya hanya suka ending film ini. Usai menonton Three Monkeys, seperti biasa saat waktu menjelang malam, suara-suara histeris mulai terdengar. Itu berarti, di ruang sebelah, karpet merah sudah digelar kembali dan bintang-bintang mulai berdatangan. Kali ini kelompok Kung-Fu Panda mendapat kehormatan untuk melakukan ritual la monteé des marches.

673

ATAS DAN BAWAH: Berita tentang festival film Cannes berasal di ruangan ini. Foto oleh Asmayani Kusrini.

ATAS: Suasana di dalam gedung utama Festival Film Cannes. BAWAH: Suasana malam di depan The Bunker. Foto oleh Asmayani Kusrini.

676

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Setelah mengintip sejenak dari atas balkon, rupanya Angelina Jolie menggandeng Brad Pitt. Pantas saja histeria itu tak terbendung.

Aturan Mengatur Jadwal “Mengapa kamu tidak menonton Kung-fu Panda ?” tanya JeanPierre Tadros, wartawan senior asal Canada yang sudah meliput Cannes sejak tahun 1971. Ia salah satu kawan dadakan saya di Cannes. Hmmm...mengapa saya tidak menonton Kung-fu Panda? Karena sebelum berangkat ke Cannes, saya sudah melihat poster Kung-Fu Panda yang akan segera dirilis di Belgia, negara tempat saya tinggal. Alasan yang sama kenapa saya tidak akan menonton Indiana Jones and The Kingdom Of The Crystal Skull di Cannes. Ngapain nonton film yang sudah pasti jadwal rilisnya?. Setiap malam, empat screening guide yang berisi jadwal pemutaran film, saya gelar di atas meja. Keempatnya berasal dari program yang berbeda: Kompetisi Utama, Un Certain Regard, Director’s Fortnight, dan Critic’s Week. Tabrakan jadwal sering tak terelakkan. Kalau sudah begini, berarti ada bunga yang jadi korban. Helai-helai bunga sering jadi andalan, nonton A, nonton B, nonton A, nonton B... dan seterusnya. Atau kalau mau lebih logis, saya biasa bertanya ke roommate saya, Anchalee. Sejauh ini, tentu saja, film program kompetisi masih jadi prioritas utama. Mungkin saja ini bisa berubah.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Warung Indonesia dan Ayat-Ayat Cinta

S

aya tidak pernah segembira ini melihat poster film. Seperti orang lapar dapat makanan, begitulah perasaan saya saat melihat poster film Ayat-Ayat Cinta. Bayangkan, di antara ribuan poster asing yang tergantung hampir di setiap sudut Cannes, tiba-tiba ada nama dan bahasa yang saya kenal. Ayat-Ayat Cinta. Otak saya tidak perlu repot-repot menerjemahkan. Iklan film Ayat-Ayat Cinta juga muncul di majalah Variety, Screen, dan mungkin juga majalah lain yang tidak sempat saya lihat. Posternya ditemani kalimat yang cukup catchy: A Beautifully Portrayed Islamic Love Story, Highest Grossing Film In Indonesian Cinema History danThe No.1 Hit Movie That Broke All Time Records. Gara-gara poster ini, saya dengan berat hati hanya bisa menonton dua film hari ini dan mengorbankan dua film lainnya untuk berkeliling Marché Du Film sambil menjenguk ‘ warung’ Indonesia.

678

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Marché Du Film dibagi menjadi dua kawasan . Satu bagian di lantai bawah Palais Du Cinema (biasanya disewa oleh rumahrumah produksi atau distributor), dan satu bagian di area terbuka di mana tersedia tenda-tenda putih yang disebut paviliun. Walaupun namanya terdengar keren, Marché Du Film di lantai bawah Palais tidak jauh beda dengan Glodok atau Mangga Dua, pasar yang selalu bikin saya tersesat tak tahu jalan keluar. Kalau Anda sering ke Mangga Dua, pasti tahu maksud saya. Kios-kios berjejer, ditata semenarik mungkin dan posterposter dipajang seterang mungkin dengan arus sirkulasi mirip labirin. Berkelok-kelok. Sementara paviliun diatur lebih mirip desa kecil dengan jalan utama . Paviliun biasanya disewa oleh pemerintah dan menjadi ’rumah’ khusus yang tidak hanya memperkenalkan film masing-masing negara tapi juga lokasilokasi khas sebagai lokasi syuting—saat ini beberapa lokasi di Thailand paling banyak dilirik oleh produksi asing untuk membuat film horor . Sayangnya, berbeda dengan negeri lain, pemerintah Indonesia rupanya belum merasa perlu untuk menyewa paviliun. Jadilah yang ada cuma kios Indonesia di lantai bawah. Kios Indonesia ini terletak di salah satu sudut pasar dan tidak jauh dari jalan masuk sehingga mudah ditemukan. Untuk terlihat menarik dipasang wayang golek sebagai penyambut tamu. “Orang-orang singgah tuh ya mikir wayang ini yang dijual,” kata Christina Windiyani, staff kedutaan yang sedang bertugas disitu. Tentu saja ia bercanda. Tapi wayang-wayang itu memang menarik , bahkan dari jauh. Dan firasat saya benar , hampir semua orang Indonesia yang berada di Cannes hari itu berkumpul di booth yang luasnya tidak seberapa itu. Selain seorang mahasiswa Indonesia, ada Lalu Roisamri dan Shanty Harmayn dari Jiffest yang saya jumpai sedang mendengarkan dengan hikmat Ukus Kuswara, Direktur Perfilman Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Ukus hadir

WARUNG INDONESIA DAN AYAT-AYAT CINTA

untuk melihat situasi kios itu. Di sampingnya, nampak raja sinetron Indonesia, Raam Punjabi. Pojok Indonesia ini sehari-harinya dijaga oleh Gope T. Samtani, yang mewakili Persatuan Produser Film Indonesia dibantu oleh beberapa staf dari kedutaan Indonesia di Perancis. Tak lama ikut bergabung Arya Gunawan yang baru tiba malam sebelumnya. Setelah itu bergabung saudara Raam, Damoo Punjabi. Keluarga Punjabi datang mengawal booth MD Pictures yang letaknya tak jauh dari pojok Indonesia. Menurut Shanty, sutradara wanita Nan Achnas juga sedang berada di Cannes dan kemungkinan Nia Dinata akan menyusul. Tahun ini, hanya dua booth itulah yang mewakili Indonesia . Pojok Indonesia yang dibiayai pemerintah itu berjualan 21 film, sedangkan di booth- nya MD datang memboyong 8 film produksinya. Jadi secara keseluruhan ada 28 film Indonesia dijajakan di pasar film Cannes. Film-film ini antara lain Ayat-Ayat Cinta, Nagabonar Jadi 2, Mereka Bilang Saya Monyet, Love is Cinta, Lost in Love, Get Married, Kala, dan tentu saja film-film horor. Selain itu ada juga film yang dibawa produser independen seperti Shanty Harmayn yang membawa sendiri filmnya The Photograph . Perkembangan produksi film dalam negeri dan seberapa besar apresiasi pemerintah sebuah negara terhadap film sebetulnya bisa diukur dari booth—saya lebih suka menyebutnya warung atau kios karena memang besar ruangnya sangat terbatas—yang ada di pasar film. Sebagai perbandingan, negeri tetangga kita Thailand, punya 5 booth di pasar dan 1 paviliun yang disewa oleh pemerintah Thailand di Village International. Di paviliun inilah biasanya diadakan pesta-pesta kecil dengan mengundang berbagai kalangan industri dan seniman untuk saling mengenal perkembangan dunia film di negaranya. Dari Asia tahun ini yang paling giat adalah Singapura. Apalagi ada film karya Eric Khoo

679

ATAS: Poster film Ayat-ayat Cinta di Pasar Film Cannes. BAWAH: Ukus Kuswara, Lalu Roisamri, dan Shanty Harmayn sedang bercakap di booth Indonesia. Foto oleh Asmayani Kusrini.

WARUNG INDONESIA DAN AYAT-AYAT CINTA

muncul di program kompetisi utama. Makin giatlah mereka mengundang . Biaya membuat kios memang lumayan mahal untuk mata uang rupiah. Harga sewa satu kios berkisar antara 10.000 hingga 20.000 Euro tergantung besaran dan desainnya ( ini hampir sama dengan biaya pasang iklan Ayat-Ayat Cinta di tiga majalah entertainment terbesar di dunia seperti yang saya sebutkan di atas). Tapi kalau ingat penghasilan Ayat-Ayat Cinta sebagai the highest grossing film in Indonesian cinema history , jumlah itu bukanlah angka yang seberapa bukan? Toh , kita patut bersyukur, karena kios Indonesia sudah berdiri sejak dua tahun terakhir ini. Pemerintah sudah berjanji akan membiayai kios ini sampai 3 tahun. Janji ini diucapkan oleh Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang 2 tahun lalu berkunjung ke Cannes dan menyaksikan negara-negara Asia Tenggara -- termasuk Vietnam -- punya ruang untuk menjual film. Sementara Indonesia belum punya kios kecuali rumah-rumah produksi yang berinisiatif sendiri. Sejak krisis moneter, industri film Indonesia berhenti jualan film di pasar Cannes mengingat harga sewa kiosnya yang tidak murah. Dengan kunjungan Jero Wacik kala itu, akhirnya Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) berhasil membuat pemerintah mengucurkan dana agar setidaknya Indonesia punya kios. Uniknya , menurut pengakuan Gope T. Samtani, setelah berdiri, kios ini belum berhasil menjual satu film pun. “ Tapi peminat banyak,” kata Samtani. Tahun lalu misalnya selama pasar berlangsung, pengunjung kios ini sekitar 70 orang walaupun belum ada film yang terjual. Tahun ini, hingga hari kedua setidaknya tercatat ada 8 orang pengunjung menyerahkan kartu nama. “ Tapi tahun ini jualan memang sepi, bukan hanya di booth kita, di booth lain juga,” keluh Samtani.

681

ATAS: Pasar Film di lantai bawah gedung Festival Film Cannes. BAWAH: Ruang kantin di Pasar Film. Foto oleh Asmayani Kusrini.

WARUNG INDONESIA DAN AYAT-AYAT CINTA

Hanya berselang satu kios di seberangnya, kios MD Pictures yang lebih kecil dari kios Indonesia digawangi oleh Mita Nurani sebagai sales representatif. Senada dengan Samtani, Mita berujar peminat film-film MD lumayan banyak. Sudah ada yang terjual? “Peminat sudah ada, tapi kan kita tidak pernah deal di sini. Biasanya di sini mereka hanya nonton dulu, setelah itu kami email-emailan lagi, negosiasi lagi,” kata Mita sambil menawarkan permen rasa kopi buatan Indonesia . Sambil bercanda, pak Damoo menambahkan bahwa AyatAyat Cinta akan mendapat penghargaan dari Muri sebagai film terlaris sepanjang masa sekaligus film terbanyak yang dibajak. Saya hanya senyum-senyum tapi mikir juga. Aneh juga ya Pojok Indonesia yang dibangun atas nama PPFI berdiri bersamaan dengan kiosnya MD Picture.

Animasi dan Film Lainnya Maaf, rasanya saya belum bercerita tentang film kompetisi Waltz With Bashir karya Ari Folman. Saya menonton film itu sebelum pembukaan hingga saya lupa menyebutnya lebih jauh. Agak mengejutkan bahwa film ini adalah film animasi dokumenter tentang perang. Pernahkah ada film dokumenter animasi? Rasanya belum. Jika dugaan saya benar, maka Waltz With Bashir mungkin film pertama dalam kategori ini. Waltz sendiri mengingatkan saya dengan komik atau novel grafis karya Joe Sacco, Palestine dan teknik animasi rotoscope ala Waking Life-nya Richard Linklater. Waltz adalah pengalaman personal tentang perang yang digambar sendiri oleh si pemilik cerita. Untuk Folman, Waltz adalah rekonstruksi kenangan buruk tentang perang Israel-Lebanon pada 1982. Struktur cerita Waltz disusun seperti permainan puzzle. Seperti pada umumnya documenter, Waltz juga terdiri dari

683

684

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

sejumlah wawancara dengan orang-orang yang pernah satu tim dengan Folman dalam perang itu terutama peristiwa pembantaian oleh tentara Israel di kamp penampungan Sabra dan Shatila. Semua orang yang diwawancarai digambar oleh Folman sendiri tapi muncul di layar dengan suara asli orang tersebut. Folman jelas tidak ragu-ragu mengemukakan statemen anti-perangnya yang blak-blakan. Menurut Arya Gunawan, kemungkinan besar film ini akan menang salah satu penghargaan utama mengingat pernyataan tegasnya soal perang dan Sean Penn sebagai presiden juri yang anti-Bush. Yang jelas, Waltz akan tercatat sebagai salah satu dokumenter perang yang tidak biasa dan biasanya prediksi Arya jarang meleset. Film lainnya yang sudah saya tonton adalah Un Conte De Noel karya Arnaud Desplechin di kompetisi. Film yang bertabur bintang-bintang tenar Perancis antara lain Catherine Deneuve dan putrinya Chiara Mastroianni, Jean-Paul Roussillon, dan Mathieu Amalric (yang tahun lalu juga berakting gemilang di Le Scaphandre et le Papillon). Cerita kompleks tentang konflik antara keluarga besar yang ceritanya mengingatkan saya akan film Festen (The Celebration) karya Thomas Vinterberg. Un Conte De Noel bercerita tentang sebuah keluarga besar berkumpul untuk merayakan natal dan menemani ibu mereka yang sedang sekarat karena kanker. Hubungan tak akur antara orang tua dan anak-anak mereka menjadi inti cerita. Dialog-dialog lucu dan pedas serta permainan gemilang aktor dan artisnya yang menjadi nilai positif film ini. Sayangnya saya tidak bisa begitu menikmati film ini karena beberapa hal yang tidak saya mengerti. Kebencian Elizabeth terhadap saudaranya Henri, atau subplot cinta segitiga Sylvia, Simon dan Ivan yang terasa terlalu mengadaada. Dan lagi-lagi saya ‘melanggar’ aturan dengan menonton Vicky Cristina Barcelona karya Woody Allen di program Out Of

WARUNG INDONESIA DAN AYAT-AYAT CINTA

Competition. Lagi-lagi, Woody Allen membuktikan diri sebagai ’master’ dalam menguliti hubungan rumit antara pria dan wanita. Dibintangi oleh artis aktor ternama Hollywood seperti Scarlett Johansson, Rebecca Hall, Penelope Cruz dan Javier Bardem. Dan, masya Allah, Anda tidak akan pernah menyangka betapa Javier Bardem (yang berperan sebagai psikopat bengis di No Country For Old Man itu) bisa juga berperan sebagai playboy.

685

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Moviegoers Kesurupan, Tanda-tangan dan Film Favorit

T

entu saja setiap orang punya selera film yang berbeda. Setiap kali usai menonton film, ratusan filmgoers (entah berstatus wartawan, kritikus film, atau cinephile) keluar dari teater seperti semut, bertemu sejenak, saling pandang, atau melambai tangan bagi yang kenal, lalu bertukar kode, kemudian berjalan ke arah berlawanan, ke teater tujuan masingmasing. Kodenya macam-macam. Untuk film yang tidak sesuai selera, kode yang digunakan bisa bibir mencibir, jempol terbalik, kepala digelengkan, atau sekadar angkat bahu. Untuk film yang sesuai selera, kodenya bisa jempol tegak berdiri, jempol dan jari telunjuk membentuk huruf ‘O’ sambil mata merem melek, atau sekadar bertukar kata, ‘excelent’, ‘perfect’ atau ‘I loved it’! Kode-kode ini dibuat karena sepanjang festival film Cannes moviegoers jadi mahluk paling sibuk sejagat, pindah dari satu teater ke teater lainnya, dari satu screening ke screening

MOVIEGOERS KESURUPAN, TANDA-TANGAN DAN FILM FAVORIT

lainnya hanya dalam jarak hitungan menit hingga tak ada waktu untuk ngobrol lama. Para moviegoers ini terlihat sudah nyaris seperti orang kesurupan. Bahkan hujan deras yang mengguyur Cannes beberapa hari ini, tak menghalangi ritual harian mereka: mengantri, menonton, mengantri lagi, menonton lagi, sampai sudah tak ada lagi yang bisa ditonton hingga keesokan harinya. Dan kesurupan ini menular. Saya jadi ikut-ikutan juga. Kembali ke soal kode, beberapa hari ini saya banyak mengumbar kode angkat bahu. Lelah juga sebetulnya. Namun, setelah beberapa hari lewat tanpa ada film yang benar-benar menggugah hati, akhirnya film dambaan itu muncul juga. Judulnya Linha De Passe karya Walter Salles dan Daniela Thomas. Salles adalah sutradara Brazil yang pernah mengecewakan saya lewat The Motorcycle Diaries. Tapi dengan Linha De Passe Salles membuktikan diri bisa ’bermain-main’ dengan gaya realis. Linha De Passe berlatar area miskin di kota megapolitan Sao Paulo. Bercerita tentang empat karakter bersaudara (semuanya laki-laki) yang masing-masing punya cita-cita tapi terpenjara oleh batasan-batasan sosial. Mereka miskin. Ibu mereka hanya pembantu rumah tangga yang tengah hamil anak ke 5 dari ayah yang tak ketahuan siapa. Impian empat orang ini sederhana. Dario ingin jadi pemain bola profesional tapi sudah ketuaan. Denis, si playboy, sebetulnya ingin punya pekerjaan tetap tapi tidak punya kesempatan. Dinho ingin berada di jalur agama yang menurutnya merupakan jalan keluar dari segala masalah tapi tidak punya cukup keyakinan (ditambah kondisi hidup yang menuntutnya lebih realistis), dan Reginaldo, anak paling kecil, berkulit hitam sendiri, yang selalu gelisah ingin menemukan ayahnya. Mereka adalah warga marginal di kawasan terbengkalai di Sao Paulo. Mereka—plus kota Sao Paulo—adalah karakter yang menarik untuk dikembangkan tanpa perlu masuk ke analisis

687

ATAS DAN BAWAH: Antrian di antara hujan dan payung. Foto oleh Asmayani Kusrini.

MOVIEGOERS KESURUPAN, TANDA-TANGAN DAN FILM FAVORIT

psikologis yang rumit. Satu momen efektif yang menjadi highlight dari film ini adalah ketika Denis berkata: “Just look at me. Did you look at me. Really look at me?” kepada seorang pria kaya yang mengira Denis akan menembaknya. Adegan ini membuat saya sadar, bukankah kita lebih cenderung memalingkan muka terhadap masyarakat pinggiran seperti mereka?. Kolaborasi Salles dan Thomas berhasil mengatasi resiko dramatisasi yang tak perlu sehingga Linha terus berada di jalur realis dan konsisten hingga akhir. Dan inilah yang mendorong saya untuk akhirnya menemui Salles dan... minta tanda-tangan! Seumur hidup, baru kali inilah saya minta tanda tangan dari orang lain selain tanda tangan orang tua saya. Sebetulnya Linha De Passe bukanlah film extraordinare yang membuat saya harus memburu-buru Salles untuk minta tandatangan. Maksud saya, kalau memang disuruh memilih, saya lebih memilih tidak minta tanda tangan siapa-siapa. Hanya saja, Salles ternyata sutradara yang benar-benar berbicara dan melihat Anda dengan tulus bukan sekadar basa-basi. Di Cannes—kecuali Anda masuk dalam jajaran bintang dan sutradara besar—, nasib Anda hanyalah seperti karakter-karakter dalam Linha, marginal. Jadi ketika Salles tersenyum, berbicara dan benar-benar melihat ke mata saya seperti seorang teman lama, tak sadar, tangan saya merogoh buku dan pulpen. Norak? ya begitulah. Setelah menemui tim Linha De Passe, saya kemudian ke acara screening sore film 24 City karya Jia Zhangke yang juga dihadiri sang sutradara. 24 City adalah film dengan gaya ala dokumenter. Saya bilang ala dokumenter karena Zhangke mendokumentasikan sebuah pabrik raksasa yang kemudian dihancurkan untuk membangun sebuah kawasan mewah bernama 24 City; Zhangke mewawancarai sejumlah orang yang ada hubungannya dengan pabrik tersebut sambil meminta mereka berpose seperti layaknya akan dipotret. Ada beberapa ekspresi

689

Jia Zhangke sutradara film 24 City. Foto oleh Asmayani Kusrini.

MOVIEGOERS KESURUPAN, TANDA-TANGAN DAN FILM FAVORIT

spontan yang menarik dan Zhangke berhasil merangkai cerita mereka dengan meyakinkan sampai kemudian muncul artis tenar China, Joan Chen dan Tao Zhao—artis yang sering muncul di film-film Jia Zhangke. Saya suka film dokumenter. Bagi saya—lepas dari kontroversi defenisinya—dokumenter adalah model yang pas untuk memotret realitas. Hingga saat Joan Chen dan Tao Zhao muncul di layar, 24 City menjadi dokumenter yang menarik dengan menyisipi sejumlah puisi dan berbagai lagu tradisional China. Semuanya dirusak dengan kehadiran dua orang ini. Apalagi ketika Joan Chen yang dalam film itu ’berperan’ sebagai mantan pekerja pabrik bilang: “Banyak orang bilang saya mirip Joan Chen.” Oh....please! Alasan kreatif apapun yang diajukan Zhangke tetap tidak bisa membuat saya menyukai film ini. Saya merasa tertipu. Untunglah ada film Serbis karya Brillante Mendoza asal Philipina yang hingga hari ini menjadi film terfavorit saya. (Posisi kedua diisi Linha De Passe). Serbis menjadi film yang sempurna dengan segala ’kekurangan’nya. Hampir semua elemen di film ini (aktor, artis, gedung, suara bising, keramaian, dll) menjadi karakter-karakter hidup. Gaya yang digunakan Mendoza hampir sama dengan film sebelumnya Foster Child (atau John John yang tahun lalu terseleksi di program Director’s Fortnight). Saya akan membahas Serbis lebih lanjut nanti dilengkapi dengan wawancara Brillante Mendoza. Lucu juga karena film Philipina ini justru mengingatkan saya pada Jakarta dan bioskop-bioskop yang terbengkalai. Saya jadi ingat kala meliput bioskop-bioskop ece-ece lusuh dan nyaris tutup di kawasan Senen dan Pasar Minggu beberapa tahun lalu . Kondisinya mengenaskan dan—maaf—bikin mau muntah. Di Serbis, saya menemukan itu semua. Hampir 99% film ini disyut di dalam bioskop nyaris bangkrut yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal seluruh keluarga pemilik bioskop. Setting di

691

ATAS: Brillante Mendoza di tengah para artis dan aktor pendukung film Serbis. BAWAH: Walter Salles Daniela Thomas dan aktor aktor pendukung di Linha de Passe. Foto oleh Asmayani Kusrini.

MOVIEGOERS KESURUPAN, TANDA-TANGAN DAN FILM FAVORIT

bioskop kumuh ini memperkokoh bangunan cerita Serbis yang pada dasarnya sudah kuat. Serbis memotret setiap detail-detail kecil yang sering ditutupi di film-film lain. Belum lagi detail-detail ‘ciptaan’ seperti bisul di pantat, kambing masuk bioskop, dan banyak lagi lainnya yang menyatu utuh dengan seluruh cerita. Semuanya disempurnakan dengan permainan aktor artisnya yang melebur ke dalam karakter masing-masing. Tidak ada upaya ber-acting, mereka menjadi karakter itu sendiri. Realismenya yang total (yang sudah tidak pernah saya temukan lagi dalam film-film Indonesia era reformasi) membuat saya merinding usai menonton. Menurut saya, inilah ’pure cinema’ yang sesungguhnya. Masih ada belasan film yang akan saya tonton hingga akhir festival, tapi saya yakin, film ini akan menjadi favorit saya tahun ini.

693

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Dominasi Hollywood dan Film Kecil di Panas Terik

S

aya benci festival film ini, saya benci orangorangnya,” kata seorang wartawan. Namanya tidak akan saya sebut, tapi ia orang Perancis. Kami bertemu di acara konferensi pers film Serbis, karya Brillante Mendoza. Jumpa pers itu sepi dari wartawan karena bersamaan dengan pemutaran film Indiana Jones and The Kingdom Of The Crystal Skull. Padahal, Serbis adalah film yang banyak diperdebatkan. Hampir semua media tenar seperti Screen, Variety, The Hollywood Reporter memberi Serbis satu bintang atau malah nol. Tapi hampir semua media independen dari Perancis (seperti Metro, LeSoir) maupun dari luar Perancis sepakat memberi 4 bintang. Tapi soal pilihan, orang-orang tampaknya lebih memilih mengelu-elukan Harrison Ford daripada aktor dan artis di film Brillante Mendoza ini. Pagi berikutnya, saat menunggu screening film Le Silence De Lorna karya Luc dan Jean-Pierre Dardenne, sejumlah wartawan

DOMINASI HOLLYWOOD DAN FILM KECIL DI PANAS TERIK

masih juga membicarakan Serbis. Para pembela Serbis—yang entah kebetulan atau tidak—berasal dari negara-negara ‘minor’ seperti Romania, atau Chekoslovakia dengan pedas berkomentar menuduh media-media besar sebagai ‘mereka yang tak tahu pergeseran dalam dunia cinema’ atau ‘orang bayaran industri’. Sementara penentang Serbis dengan sinis bilang ’film macam apa itu? tak punya nilai estetis sama sekali’. Walau menggunakan gaya yang sebetulnya tidak lagi baru (ala Dogma 95), Serbis memang bikin shock karena segi tata suara, pengambilan gambar dan akting plus editingnya yang kasar. Tapi justru di situlah—menurut saya—kekuatan film ini. Entah kebetulan atau tidak, nyaris semua pendukung Serbis rata-rata berasal dari golongan muda sedangkan penentangnya berasal dari golongan tua. Perbedaan pendapat soal film memang lumrah. Bahkan kami di Rumah Film pun tidak selalu seragam selera soal film. Setiap orang punya selera film masing-masing. Tapi yang membuat saya lumayan setuju dengan wartawan Perancis yang kutipannya muncul di awal artikel ini adalah ’ketidakadilan’ penyelenggara festival film Cannes dalam memperlakukan filmfilm kompetisi yang masuk kategori ’kecil’ dari negeri-negeri ’minor’ (negeri-negeri dengan kondisi industri film yang loyo). Padahal kalau mau adil, harusnya semua film kompetisi diperlakukan sama, diputar dengan komposisi yang sama dan waktu yang sama. Contoh paling jelas adalah susunan jadwal ritual ‘la montée des marches’ di Grand Theater Lumiere. Semua film-film ‘kecil’ ditempatkan di sore hari saat para bintang sedang siap bersolek untuk ritual di ‘prime time’ yaitu pada screening antara jam 18.30 (untuk film panjang), 19.30, 21.00 hingga 22.00. Sementara filmfilm ‘kecil’ ini (pada umumnya independen dengan kru yang tak dikenal) selalu ditempatkan di jam 16.00, yang merupakan waktu

695

696

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

paling panas di mana orang lebih suka berlindung sambil makan es krim. Saya ingat tahun lalu tim SecretSunshine yang terdiri dari sutradara Chang Dong Lee, aktor Ho- Song Kang dan artis Jeon Do Yeon harus berdiri menunggu lama di ujung karpet merah karena tak ada seorang fotografer pun yang berada di tempat. Sesuai ritual, setiap momen, setiap tamu harus difoto di depan tangga. Kala itu, Secret Sunshine menjadi dayang-dayang untuk film Ocean’s Thirteen. Wajah Jeon Do Yeon terbakar merah karena panas. Nyaris tidak ada bintang di jam ini yang menyebabkan tak ada antusiasme dan hanya satu dua fotografer yang berada di tempat. Tahun ini, Serbis, 24City nyaZia Jangke, Delta karya Kornel Mundruczo (Hungaria), My Magic karya Eric Khoo (Singapura) menambah banyak contoh ketidak adilan itu. Konferensi Pers Serbis diadakan bersamaan dengan pemutaran Indiana Jones and The Kingdom of The Crystal Skull. Konferensi pers Delta diadakan bersamaan dengan pemutaran film karya Clint Eastwood, Changeling yang memasang Angelina Jolie sebagai bintang utama. Tentu hampir semua wartawan lebih memilih menonton Indiana Jones dan Angelina Jolie di film karya Eastwood. Di acara karpet merah, film-film kecil ditempatkan pada saat matahari sedang terik-teriknya dan sering disandingkan (seperti dayang-dayang) dengan film ‘besar’ di waktu prime time. Delta karya Kornel Mundruczo dipasang sebelum pemutaran Changeling karya Clint Eastwood. La Mujer Sin Cabeza karya Lucrecia Martel dipasang sebelum pemutaran Che karya Steven Soderbergh. Dan kebiasaan ini berlangsung dari tahun ke tahun. Yang paling menyakitkan hati adalah slot prime time di grand theater yang justru diberikan kepada film-film Out Of Competition (Kung-Fu Panda, Indiana Jones, Vicky Cristina Barcelona). Kenapa harus menempatkan film-film itu di prime time

DOMINASI HOLLYWOOD DAN FILM KECIL DI PANAS TERIK

sementara film-film program kompetisi harus mengalah ditempatkan di siang yang terik? Atau kalau mau lebih seru, kenapa tidak menempatkan Kung-Fu Panda dan Indiana Jones di slot yang sama sehingga ketahuan, tenar mana Harrison Ford atau Angelina Jolie? Atau kalau mau lebih berani, kenapa tidak menempatkan film Perancis Un Conte De Noel (yang penuh bintang-bintang Perancis papan atas) dengan Changeling nya Clint Eastwood yang memasang Angelina Jolie? Dan kita bisa melihat penonton lebih memilih siapa, Angelina Jolie atau Catherine Deneuve? Bukankah nama-nama mereka adalah jaminan massa?. Tapi Cannes tidak berani melakukan itu; Meski sangat bangga dengan auteur theory-nya, toh Cannes tetap tidak bisa menghindar dari ‘ketagihan’nya akan bintang. Dan untuk ini, hanya Hollywood lah yang bisa menyediakan. Tanpa bintang, tak akan ada teriakan histeris. Tanpa bintang tak akan ada yang namanya ’ festival fever’. Tapi konsekuensinya, Hollywood pun minta jatah. Sejarah memang selalu akan berulang. Sejak awal ketika Cannes masih berupa festival kecil di era perang dunia kedua, Amerika memang sudah memegang ’ekor’ Perancis dengan membuat perjanjian ekonomi yang kemudian juga berdampak pada industri film. Salah satu isi perjanjian itu adalah jika Perancis ingin tetap mendapat dukungan ekonomi dari Paman Sam, maka Perancis harus menaikkan jumlah kuota untuk distribusi film-film Hollywood. Dalam buku berjudul Cannes: Inside The World’s Premier Film Festival yang ditulis oleh Kieron Corless dan Chris Darke, disebutkan bahwa selama masa pendudukan Jerman, film-film Amerika dilarang beredar di Perancis hingga masa pendudukan berakhir (sekitar 4 tahun). Dan ketika kesempatan akhirnya datang, Amerika tidak segan-segan mengancam tidak akan menandatangani perjanjian bantuan ekonomi jika Perancis tidak

697

ATAS DAN BAWAH: Poster film Hollywood mendominasi kota Cannes. Foto oleh Asmayani Kusrini.

DOMINASI HOLLYWOOD DAN FILM KECIL DI PANAS TERIK

memenuhi permintaan itu. Tidak heran jika di awal-awal terselenggaranya festival ini, Cannes dijejali film-film Hollywood. Dan itu berlanjut bahkan hingga sekarang. Walaupun Perancis sering bangga karena punya Festival Cannes yang ‘katanya’ lebih mengutamakan art for art’s sake, dan sering mengejek Amerika sebagai ‘budak industri film’, toh mereka tidak bisa menghapus dominasi Hollywood. Cerita ini bisa jadi pengalaman jika tahun depan, atau suatu hari nanti ada film Indonesia di kompetisi utama. OK, mari ngobrol soal film lagi. Pagi ini lagi-lagi Jean-Pierre dan Luc Dardenne membuat saya kagum. Mereka masih konsisten dengan gaya dan tema yang sering mereka angkat dalam filmfilmnya. Salah satu dari sedikit yang punya koleksi Palem Emas ini hadir di Cannes dengan film terbarunya Le Silence De Lorna (The Silence Of Lorna). Saya selalu menyukai kesederhanaan filmfilm Dardenne bersaudara ini. Premis filmnya sendiri sangat menarik tentang ‘white marriage’. Seorang imigran Albania yang menikah dengan seorang junkie demi mendapatkan status warga negara Belgia. White marriage memang sedang menjadi masalah yang cukup bikin pusing pemerintah Belgia belakangan ini. Jean Pierre dan Luc punya bakat untuk mengolah cerita ini tanpa letupan-letupan tapi pelan-pelan mengundang simpati dan emosi untuk karakterkarakternya. Dan yang paling penting, mereka berdua tidak mempersulit masalah demi memanjangkan durasi film. Beberapa orang memprediksi, The Silence Of Lorna punya potensi mencatat nama Dardenne brothers sebagai penerima 3 Palem Emas. Lalu hari ini ada Tokyo Sonata di Un Certain Regard karya Kurosawa Kiyoshi yang biasanya bikin film horor. Kiyoshi tampaknya tidak hanya ahli menakut-nakuti orang lewat horornya tapi juga bisa menyentuh lewat drama keluarga. Saya pasti akan menonton film ini lagi untuk memperhatikan hal-hal detail.

699

700

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Menonton banyak film secara maraton sungguh tidak semudah yang dibayangkan. Perasaan bercampur aduk, film sebelumnya masih dalam pencernaan otak ketika film selanjutnya sudah menyodorkan informasi baru lagi. Setelah Tokyo Sonata, lanjut menonton Two Lovers karya James Gray di kompetisi utama. Sutradara muda ini tahun lalu juga masuk seksi kompetisi lewat film We Own The Night. Sayang, Two Lovers tidak menunjukkan peningkatan berarti dari segi penyutradaraan. Ceritanya pun klise. James Gray rupanya sedang ingin mengolah resep lama Hollywood yang sudah ditinggalkan beberapa tahun belakangan ini. Cinta segitiga, antara cowok ’aneh’ dengan gadis populer yang bermasalah dan gadis baik-baik yang siap dikawini. Film ini jelas bukan favorit saya. Hmm...film memang soal selera.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Pagar Betis dan Penduduk Cannes

M

aradona kembali bikin sensasi. Bukan di lapangan bola, tapi di ajang Festival Film Cannes. Meski lama tak muncul di publik, nama Maradona masih punya daya magis. Apalagi jika digabung dengan nama Emir Kusturica (anggota kelompok eksklusif pengoleksi 2 palem emas penghargaan Cannes). Maka lengkaplah rasa penasaran orang. Saya sendiri punya kenangan pribadi dan masih sering deg-degan jika mendengar atau melihat nama Kusturica. Ia adalah sutradara asing pertama yang saya wawancarai. Jadi wajar kalau film Kusturica tidak pernah saya lewatkan. Nah di Cannes tahun ini, Kusturica datang membawa film dokumenter berjudul Maradona sekaligus memboyong si Diego Armando Maradona. Maradona ini sendiri adalah proyek lama yang dimulai sejak 2006. Karena kesulitan memperoleh hak menggunakan footage permainan bola Maradona, film ini terlambat diselesaikan. Kusturica malah sempat menyelesaikan

702

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

sebuah film (Promise Me This yang tahun lalu terpilih di program kompetisi utama) di tengah-tengah proses membuat Maradona. Karena itu pula Maradona menjadi salah satu film yang ditunggu-tunggu kehadirannya di Cannes dan saya menjadi salah seorang yang mengantri untuk bisa menonton pemutaran perdana film ini. Dan seperti biasa, sistem kasta jadi masalah. Kapasitas teater ternyata tidak mampu menampung semua antrian yang dimulai sejak 2 jam sebelum pemutaran itu; Merasa diperlakukan tak adil, ada juga yang tidak tahan dan kemudian protes. Perkelahian pun tak terelakkan. Moviegoers berang, bodyguard tak kalah garang. Sayang saya tidak menenteng kamera, karena momen ini sangat seru untuk diabadikan. Ributribut yang seru itu mengalihkan perhatian antrian yang tak juga bubar meski tanda ’Complete Full’ sudah dipasang. Saya pun jadi malah asyik menonton adegan seru itu. Kejadian ini sering terjadi di Cannes, saat para moviegoers yang sudah lama mengantri mengamuk karena tak kebagian tempat. Jadi maaf bagi penggemar Maradona, saya tidak menonton film ini tapi justru asyik mengamati peristiwa amuk kecil di tengah-tengah massa itu. Kalau sudah begini, akan ada satu orang yang akan turun dari tangga, dikelilingi bodyguard, berdiri di depan para ’protestan’ dan berkacak pinggang dengan kalem, kemudian berkata dengan galak: “Anda tidak tahu artinya complete full? artinya tidak ada tempat lagi. Silahkan menonton film lain atau mencoba screening berikutnya”. Perkenalkan: namanya Christine Aimé. Wanita manis yang jangkung ini adalah kepala Departemen Pers di Festival Film Cannes. Sesuai jabatannya, Aimé (dalam bahasa Inggris bisa juga berarti lovely) bertugas mengurusi sekitar 4000 jurnalis yang terdaftar di Cannes. Aimé dan timnya juga bertindak sebagai mediator antara ’masyarakat film Cannes—pemegang akreditasi—dengan para tamu agungnya. Selain itu, Aimé juga bertugas mengurusi hal-hal kecil dari mendengarkan keluhan ’masyarakatnya’ hingga

PAGAR BETIS DAN PENDUDUK CANNES

menjadwalkan waktu wawancara. Sebagai kepala bagian pers, harusnya tugas Aime membantu kemudahan akses bagi para wartawan. Tapi di Cannes, Aimé lebih berfungsi sebagai ‘pagar betis’ agar para tamu agung terhindar dari kejahilan para wartawan bandel yang tak kenal menyerah. Untuk menanggapi permintaan wawancara misalnya, Aimé akan memperingati layaknya seorang ibu menetapkan disiplin untuk anak bandelnya. Ketika saya meminta petunjuk untuk mewawancarai Thierry Fremaux, direktur artistik Cannes, misalnya, Aimé bilang: “Saya tidak tahu jadwal Fremaux, tapi kalau dia tidak punya waktu mohon jangan diganggu. Dan jangan asal serobot,” kata Aimé tegas. Itu berarti untuk urusan wawancara, setiap wartawan harus mencari tahu sendiri. Semua jurnalis tentu saja kenal dengan Aimé yang mulai bergabung dengan Festival Film Cannes sejak 1989 ini. Kantornya bersebelahan dengan warung wi-fi khusus untuk wartawan. Tiap pagi dia selalu mondar mandir melihat ‘warganya’ sedang bekerja atau menyambut tamu-tamu agung di depan pintu ruang pers. Tidak mudah memang mengurusi para wartawan berdedikasi tinggi yang tahu betul cara mendapatkan berita. Setiap tahun, begitu banyak wartawan yang harus diladeni, jumlahnya rata-rata diatas 3500 hingga 4000 orang. “Wartawan melakukan tugasnya dengan baik, tapi saya juga harus melakukan tugas saya dengan baik, dan tugas saya adalah mengatur agar aktivitas kalian terkendali,” katanya kalem. Aimé tak menyangkal bahwa Festival Film Cannes membutuhkan kehadiran wartawan sama dengan membutuhkan kehadiran para bintang dan sutradara papan atas. Tanpa dua kelompok ini, Cannes bukanlah apa-apa. Wartawan hadir karena ada bintang. Bintang hadir karena ada wartawan. Dan Aimé harus berdiri di antara dua kelompok yang sama-sama terkenal sulit diatur ini.

703

704

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Tapi rupanya, Aimé sudah paham bagaimana mengatasi ‘keliaran’ warganya; Buktinya, setiap kali ada ribut-ribut, pasti Aimé keluar kantor, turun tangga dan berbicara, setiap kali itu pula situasi tenang kembali. Para wartawan pun terbiasa. Setiap kali melihat Aimé di ujung tangga, itu berarti ada wartawan yang membandel. Ia seperti guru taman kanak-kanak yang menyeret murid-muridnya setiap kali melangkah keluar pagar. Sudahkah saya bercerita bahwa Festival Film Cannes tidak memutar film untuk publik kecuali penduduk dengan kartu identitas Cannes?. Seorang kawan pernah berniat untuk berkunjung ke Cannes dan berharap bisa menonton film seperti layaknya festival lain. Segala persiapan dilakukan termasuk memikirkan gaun malam dan sepatu hak tinggi untuk mengikuti prosesi la montée des marches . Belakangan, baru lah ia sadar bahwa ternyata Cannes tidak terbuka untuk umum kecuali mereka yang terakreditasi (entah itu wartawan atau mahasiswa sekolah-sekolah film dan institusi khusus atau para pekerja industri film yang juga punya kartu khusus). Satu-satunya kelompok publik yang boleh menonton film adalah penduduk Cannes sendiri yang bisa mengambil tiket gratis dengan menunjukkan KTP Cannes. Tapi ada juga moviegoers nekat. Tanpa akreditasi , tanpa KTP Cannes mereka turun ke jalan, membuat poster kecil dengan tulisan: INVITATION S.V.P (invitation please) memohon ada yang berbaik hati mau memberikan tiket untuk mereka. Kecuali pemegang kartu warna-warni yang sudah pernah saya ceritakan (untuk menonton mereka hanya perlu menyodorkan kartu mereka untuk di scan), penduduk Cannes harus punya tiket masuk yang dibagikan secara gratis di kantor pariwisata. Tentu saja tiket ini sangat terbatas mengingat jumlah mereka yang terakreditasi jauh melampaui kapasitas teater-teater di Cannes. Jadi soal perkembangan film-film terbaru, mungkin penduduk Cannes lah kelompok paling beruntung. Dan Cannes

PAGAR BETIS DAN PENDUDUK CANNES

beruntung punya masyarakat yang juga gemar menonton film. Tanpa antusias yang mereka tunjukkan, mungkin Cannes hanya jadi festival yang hambar.

Eastwood Kembali, Murid Bela Tarr dan Boooooo Everybody loves Clint Eastwood. Dan semua orang makin cinta kepada sutradara kelahiran San Fransisco setelah menonton film terbarunya Changeling yang masuk dalam kompetisi Cannes tahun ini. Seperti film-film terdahulunya (Million Dollar Baby, Flags Of Our Father, Letters From Iwojima), Changeling diceritakan dengan rapi, dan dikemas dengan sinematografi apik. Diangkat dari kisah nyata tentang seorang ibu yang kehilangan anak lelakinya. Saat anak itu ditemukan kembali, sang ibu menyadari ternyata anak yang ditemukan itu adalah anak yang berbeda. Untuk ini, saya harus mengakui Angelina Jolie yang berperan sebagai ibu adalah artis sejati. Totalitas nyonya Pitt di film ini melebihi aktingnya di A Mighty Heart. Mungkin juga karena status Jolie sebagai ibu dari 4 anak yang sedang menunggu kelahiran anak kandung keduanya; Jolie jadi terlihat sangat menghayati bahkan lebur ke dalam karakter ibu yang terus berharap anaknya masih hidup. Setelah Changeling yang mengawali pagi itu, saya menapaki karpet merah untuk menonton film kompetisi Delta karya sutradara muda Hungaria, Kornel Mundruczo. Seorang rekan wartawan Perancis, Jerome Vermelin tak sadar bergumam, ’Oh Tuhan, tidak!’, ketika layar dibuka dengan ucapan terima kasih kepada Bela Tarr, sutradara Hungaria yang sekarang jadi role model bagi para sutradara muda asal Hungaria. Bela Tarr tahun lalu memang sempat membuat penonton ‘trauma’ karena long take- nya yang seperti siput di film The Man From London. Jadi setiap kali ada nama Bela Tarr, setiap kali itu

705

ATAS DAN BAWAH: Siapa tahu ada yang berbaik hati memberi undangan. Foto oleh Asmayani Kusrini.

PAGAR BETIS DAN PENDUDUK CANNES

pula orang bersiap untuk menonton film super lambat. Tapi Delta ternyata lain walaupun jejak Tarr terlihat; Delta berkisah tentang hubungan terlarang antara dua bersaudara yang tentu saja ditentang oleh komunitas masyarakat sekitar. Lokasi syuting di atas delta sungai di sebuah wilayah tak bernama membuat film ini terlihat lebih eksotis daripada film-film Bela Tarr yang cenderung suram. Tapi seperti film Tarr, Delta juga mengalir kalem dengan dialog minim. Film ini jauh berbeda dari film Mundruczo sebelumnya Johanna (versi unik legenda Joan Of Arc), sebuah film musikal noir yang menurut saya versi Joan Of Arc terbaik dan terunik sepanjang menekuni hobby saya sebagai penonton film. Delta tentu tidak bisa menyamai kekaguman saya terhadap Johanna, tapi yang pasti saya akan terus menonton dan mengikuti perkembangan karya-karya Kornel Mundruczo selanjutnya. Setelah Delta, saya ikut arus antrian film kompetisi lainnya La Mujer Sin Cabeza karya sutradara wanita Lucrecia Martel. Film yang bercerita tentang kegelisahan seorang wanita yang terus dihantui perasaan bersalah karena merasa sudah menabrak mati seorang tak dikenal. Masalah yang tidak jelas, akting yang tak asyik, dan alur cerita yang sangat lambat membuat film ini memecahkan rekor film pertama yang membuat saya tertidur nyenyak di dalam bioskop. Saya terbangun ketika mendengar ‘boooooooo’ panjang saat film berakhir. Artinya saya bukan satusatunya.

707

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Bertemu Jennifer Lynch dan Che Guevara

T

erima kasih untuk Apichatpong Weerashetakul. Atas undangannya saya bisa masuk ke ruangruang mewah Hotel Majestic, salah satu hotel paling mahal sepanjang pantai Croisette, Cannes. Ruang-ruang berkarpet mahal dan wangi itu dipenuhi foto-foto artis aktor ternama, saya tiba-tiba gelisah tak tahan ingin segera keluar. Maklum, saya merasa berada di dunia yang lain. Ujung-ujung jempol saya terasa berdenyut-denyut protes karena kaki saya hanya beralaskan sendal. Ruang-ruang hotel dengan pintu bergagang emas itu memang membuat saya merasa terintimidasi. Tapi sekali lagi saya mengucapkan terima kasih untuk Weerashetakul karena atas desakannya untuk ngobrol di salah satu teras cafe di Majestic itulah saya tak sengaja bertemu dengan Jennifer Lynch, putri David Lynch. Sayangnya, saya tidak kebagian menonton film Lynch, Surveillance di Out Of Competition. Jadinya kami ngobrol tentang hal-hal lain, tentang

BERTEMU JENNIFER LYNCH DAN CHE GUEVARA

bagaimana rasanya jadi putri David Lynch, proses kreatifnya, tekanan yang dirasakan tumbuh di lingkungan film, tentang Cannes , dan lain-lain. Untungnya, Jennifer wanita menyenangkan. Tipikal anak gaul Amerika yang bisa ramah terhadap siapa saja. Ia rupanya tak tahu soal aturan di Cannes. Dan saya dengan semangat bergosip tinggi karena sakit hati, bercerita bagaimana Cannes memberlakukan sistem kasta dan diskriminasi terhadap film-film kecil. Asyiknya lagi, Jennifer terlihat antusias mendengarkan sehingga bolak-balik bilang ‘Oh really?’ atau ‘I can’t believe that’ atau ‘you gotta be kidding me’ atau ‘no, you’re joking’. Dan terima kasih untuk Brillante Mendoza. Atas undangannya untuk bertemu dan melakukan wawancara di La Diva, sebuah dock kecil bagian dari cafe tepi pantai Noga Beach; Dock atau dermaga kecil ini adalah tempat berlabuhnya kapalkapal motor yang mengantar para tamu-tamu dari yacht mereka yang ditambat agak ke tengah laut di tepi pantai Croisette. Untungnya para anak milyader yang lalu lalang di tempat itu juga pada umumnya bersandal dan berdandan ala remaja jalanan. Jadi di tempat ini saya bisa lumayan santai. Di tempat ini juga pesta diadakan setiap malam. Para paparazzi dan wartawanwartawan majalah hiburan sering menjadikan tempat ini sebagai lokasi photo session. Dan di sini pula para agen-agen model dan artis yang belum punya nama berkeliaran mencari perhatian. Sore itu misalnya, saat beberapa photografer sedang bersantai dan membuat tes foto, tiba-tiba seorang pria ganteng dengan dandanan mentereng yang baru saja turun dari kapal boat datang menghampiri. “Anda tahu gadis yang baru saja lewat itu adalah ... (saya tidak ingat namanya), supermodel yang pernah main di film ... (saya juga tidak ingat judulnya). Kalau Anda tertarik jangan lewatkan kesempatan ini untuk memotretnya, mumpung dia belum sibuk,” kata si cowok mentereng seperti layaknya salesman.

709

ATAS: Apichatpong Weerashetakul dan Anchalee di hotel Majestic. BAWAH: Jennifer Lynch putri David Lynch. Foto oleh Asmayani Kusrini.

BERTEMU JENNIFER LYNCH DAN CHE GUEVARA

Rupanya para fotografer ini sudah terbiasa dengan agenagen tersebut jadi dengan kalem salah seorang dari mereka menjawab, “OK, Sekarang kami ada sesi pemotretan. Nanti kalau masih ada waktu pasti kami potret;”. Fotografer asal Belanda ini lalu bercerita bahwa sepanjang festival, Cannes tidak hanya bertaburan bintang-bintang tenar tapi juga artis artis amatir yang pengen tenar. Tidak heran, sepanjang malam ada saja gadis-gadis belia— pada umumnya anak-anak miliader yang punya akses ke pestapesta glamour—yang berdandan semenarik mungkin dan bertingkah segila mungkin untuk menarik perhatian hanya sekadar untuk tampil di halaman salah satu tabloid. “Apalagi di pesta-pesta tengah malam, mereka berjamuran datang bersama agen mereka, berebutan menarik perhatian dan berharap nongol di halaman koran atau majalah walaupun hanya jadi latar belakang,” kata Phillip Van DeRock, fotografer senior yang bekerja untuk sebuah agensi foto itu. Well... kekayaan ternyata tak cukup bagi sebagian orang. Untungnya saya tidak perlu berlama-lama melihat tingkah para elit itu karena harus mengejar screening Che karya Steven Soderbergh. Che adalah film kompetisi yang paling banyak ditunggu seperti juga No Country For Old Men tahun lalu. Antrian sudah sangat panjang ketika saya tiba di teater Salle Debussy padahal waktu screening masih 2 jam lagi. Kadang saya tidak mengerti kenapa orang-orang ini mau bersusah payah mengantri. Memperlakukan film seperti memperlakukan resolusi hidup mereka. Harus diburu dan diperjuangkan. Kadang saya berdoa agar mereka menyerah saja dan melakukan hal lain. Tapi hampir setiap hari saya menemukan pemandangan yang sama dan antrian yang sama. Karena itu saya sering sebal dengan para pink dan putih yang datang terlambat dan masih bisa lenggang kangkung, tak merasa bahwa keterlambatan mereka berarti waktu menunggu makin panjang

711

ATAS: Pemandangan dari ruang tamu khusus Juri di gedung Festival Film Cannes. BAWAH: Tempat sesi foto yang biasanya khusus disewa oleh rumah produksi. Foto oleh Asmayani Kusrini.

BERTEMU JENNIFER LYNCH DAN CHE GUEVARA

bagi para biru dan kuning. Ingin rasanya membuldozer mereka... huh; Tapi menonton film Che memang pantas untuk diperjuangkan. Seperti Kill Bill, Che juga terdiri dari dua film yang akan dirilis terpisah. Hanya di Cannes film ini diputar seluruhnya sehingga menjadi film panjang berdurasi 4 jam 28 menit. Bagian pertama film ini adalah periode revolusi Cuba. Kisahnya dikonstruksi berdasarkan wawancara Che Guevara oleh seorang jurnalis ketika berkunjung ke Amerika. Bagian pertama ini lebih beragam dari segi teknis dan struktur cerita (warna, shot, lokasi, peristiwa, alur kilas balik). Sementara bagian kedua adalah periode revolusi Bolivia yang cenderung monoton karena fokus pada perjuangan dan pertempuran kelompok Che di hutan-hutan Bolivia. Tapi sebagai film yang utuh, Che jelas adalah salah satu film terbaik Soderbergh sebagai sutradara. Benicio Del Toro berperan sebagai Che dengan sangat meyakinkan apalagi dengan wajahnya yang mendukung hingga saya nyaris percaya bahwa Che Guevara hidup kembali.

713

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Akankah Kita Dijajah Lagi?

T

iba-tiba saya merindukan nama-nama Indonesia. Tiba-tiba saya ingin melihat nama Eric Sasono, Arya Gunawan, atau Hikmat Darmawan, atau Krisnadi Yuliawan atau Ekky Imanjaya atau Veronica Kusuma, atau siapa saja yang saya tahu cukup paham tentang film-film Indonesia. Tadi pagi, saya iseng mengamati katalog 47 Semaine International De La Critique Cannes 2008 (International Critics Weeks ke 47). Tak sengaja saya melihat diantara foreign advisor (fungsinya mirip dengan koresponden internasional) ada wakil Indonesia tapi ia berasal dari Italia. Namanya: Paolo Bertolin. Saya kenal Paolo. Kami pernah bertemu di beberapa festival film. Saya mengenalnya sebagai salah seorang programmer dan konsultan beberapa festival film termasuk Berlin, Venice dan Udine. Saya juga tahu bahwa Paolo pernah dua kali bertandang ke Indonesia. Tapi bahwa di dunia international ia lalu diklaim atau mengklaim diri sebagai penasehat ahli film Indonesia, rasanya

AKANKAH KITA DIJAJAH LAGI?

agak berlebihan. Setahu saya, yang namanya koresponden adalah orang lokal atau mereka yang tinggal di wilayah tertentu dan diminta membantu institusi tertentu di luar wilayah tempat tinggalnya itu. Untuk Thailand misalnya, ada nama Anchalee, yang memang kritikus dan wartawan Thailand dan tinggal di Bangkok. Paulo jelas sudah tidak masuk kategori. Ia adalah orang Italia yang tinggal di Italia. Lantas kenapa Paulo? Saya tidak sedang menuding atau menyalahkan Paulo. Tentu saja, ia beruntung karena punya akses dan punya banyak informasi tentang seluk beluk festival film international. Ajang yang sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan oleh filmmaker kita untuk berkembang. Saya menulis ini sebagai semacam peringatan bagi para filmmaker, intelektual, pemerhati film, atau siapa saja yang peduli. Saya tahu pasti betapa banyak kritikus dan intelektual kita yang namanya lebih pantas untuk disebut sebagai ahli film Indonesia. Selama ini saya sudah cukup muak mendengar bahwa orang asing lebih paham tentang budaya atau perkembangan yang terjadi di Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Sekali lagi, saya tidak sedang menyalahkan Paulo. Ini hanyalah satu kasus di antara banyak lainnya. Bagi sebagian orang, ini mungkin bukan masalah besar, tapi bagi saya, ada rasa tidak rela ketika membaca bahwa konsultan film Indonesia bagi dunia internasional adalah orang Italia, yang datang beberapa bulan, belajar instan tentang situasi dan kondisi wilayah kita, kemudian lantas terkenal sebagai ahli film Indonesia. Pertanyaan kenapa harus orang Italia yang jadi koresponden untuk Indonesia inilah yang mengantar saya ke kantor International Critics Weeks di lantai 4 Palais Du Cinema Cannes. Jawaban dari pertanyaan itu ternyata begitu sederhana. Karena mereka tidak tahu. Lazimnya, para koresponden di Critics Weeks adalah kritikus film dari negeri setempat dan direkrut melalui berbagai cara. Entah itu karena pertemanan, informasi

715

Paolo Sorrentino diapit oleh para aktor film Il Divo. Foto oleh Asmayani Kusrini.

AKANKAH KITA DIJAJAH LAGI?

dari mulut ke mulut, kredibilitas yang dibuktikan dari keaktifan mereka di berbagai media, dll. “Biasanya kami kesulitan karena kurangnya informasi. Seperti China misalnya, karena persoalan bahasa, persoalan infomasi karena sulit mendapatkan kritikus yang menulis dalam bahasa Inggris, akhirnya kami hanya mengandalkan orang yang tahu meskipun mereka tidak berasal dari China,” kata Jean-Christophe Berjon, direktur artistik di Critics Weeks. (Wawancara lengkapnya tunggu hanya di RumahFilm.org) Masalah yang sama juga terjadi ketika mereka ingin mencari film-film dari Asia Tenggara termasuk Indonesia. Bahasa menjadi kendala. Ketika mereka membutuhkan kritikus Indonesia misalnya, hal pertama yang dilakukan adalah mencari via internet. Dan hampir tak ada kritikus kita yang menulis dalam bahasa Inggris. Rupanya ini disadari oleh banyak kritikus asing dan melihat kesempatan untuk menetapkan wilayah keahlian masing-masing dan mulai mendalami sinema dari negeri-negeri jauh secara instan, untuk kemudian diakui di sirkuit festival. Itu fakta. Tentu saja, fakta ini bisa digunakan secara bebas, dan terserah masyarakat film kita menyikapinya. Kita tentu tidak ingin ’dijajah’ lagi kan? Mengutip kata kritikus film Thailand Anchalee Chaiworaporn, “Tak ada yang lebih mengenal budaya kita selain kita sendiri”.

Film Kebanggaan Perancis Mungkin kita harus belajar dari Perancis. Betapa mereka bangga akan film sendiri. Film kompetisi La Frontière De L’aube adalah karya Philippe Garrel yang merupakan salah satu sutradara kebanggaan Perancis yang filmnya baru kali ini terseleksi. La

717

718

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Frontière diputar di teater utama, Grand Theater Lumiere, sebanyak tiga kali di prime time. Ini rekor tentu saja. Biasanya sebuah film diputar di teater utama paling banyak dua kali, selebihnya di tayangkan di teater yang lebih kecil. Kita bisa mengerti, La Frontière toh film karya anak negeri mereka. Tapi tentu tak ada yang menduga film ini adalah film terburuk yang pernah masuk seleksi. Ini bukan hanya kata saya. Sepanjang film, banyak seruan ’booo’ berterbangan. ’Booooo’ ini diikuti dengan tawa mengejek, karena film ini memang patut untuk menjadi bahan tertawaan. Saya tidak percaya menonton film ini di festival film sekelas Cannes. Satu-satunya yang menyelamatkan film ini adalah pilihan menggunakan gaya klasik hitam putih hingga terlihat nyeni. Selebihnya....boooffff (istilah orang Perancis untuk sesuatu yang tidak layak). La Frontière bercerita tentang affair seorang fotografer muda dengan seorang artis yang sudah menikah. Karena putus cinta akhirnya si artis bunuh diri . Si fotografer terus melanjutkan hidup, tapi hantu si kekasih selalu datang mengganggu. Bahkan adegan hantu yang mendatangi pun terlihat menggelikan ditambah suara ghrrrfffhhhh setiap kali si hantu mau muncul. La Frontière jelas jadi bahan tertawaan tapi Perancis toh tetap bangga meski film ini ’ disikat’ habis para kritikus. Saking bangganya mereka ngotot memutar film ini di Grand Theater Lumiere sampai tiga kali. Untunglah setelah La Frontière ada Adoration karya terbaru Atom Egoyan (Where The Truth Lies, Family Viewing, The Sweet Hereafter ). Drama keluarga yang disisipi kekhawatiran sekaligus kekaguman Egoyan terhadap internet. Adoration berisi banyak pesan yang dengan lihai diolah Egoyan. Sayang, Egoyan mengakhiri film ini dengan setumpuk jawaban (yang tidak perlu) sehingga Adoration berakhir klise. Jadi, hingga kini Family Viewing dan The Sweet Hereafter tetaplah jadi favorit saya di antara deretan film-film Egoyan.

ATAS: Atom Egoyan. BAWAH: Rachel Blanchard di konferensi Pers untuk film Adoration. Foto oleh Asmayani Kusrini.

720

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Sebetulnya hari ini juga ada La Leçon De Cinema, ajang bagi-bagi ilmu oleh filmmaker pilihan, yang kali ini diisi oleh Quentin Tarantino. Sayangnya, program ini diprioritaskan untuk para pelajar dan mahasiswa bidang perfilman yang jumlahnya tak terbayangkan di Cannes . Jadilah saya memilih untuk menunggu saja film kompetisi selanjutnya, IL Divo karya Paolo Sorrentino asal Italia. Il Divo adalah film karikatural tentang Giulio Andreotti, yang tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri Italia (19721973, 1976-1979, dan 1989-1992) dan beberapa kali menjabat sebagai menteri di berbagai departemen serta terpilih menjadi senator seumur hidup sejak 1991. Dalam Il Divo, Paolo Sorrentino mengkritisi kekuasaan Andreotti serta menyorot keterlibatan Andreotti di jaringan mafia. Andreotti yang hingga saat ini masih hidup kabarnya sangat berang dengan film yang baru akan dirilis di Italia bulan depan ini. Saya tidak mengerti betul situasi politik di Italia, tapi film ini membuat banyak orang terbahak-bahak. Saya menduga, film ini banyak disisipi guyon-guyon yang hanya dipahami orang Italia. Saya sendiri hanya bisa tertawa geli melihat gambaran sosok Andreotti dan ekspresinya yang dingin tapi lucu.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Madonna Datang Atas Nama Kemanusiaan

B

ukannya saya tidak tertarik dengan kehadiran Madonna di Cannes. Tapi belakangan, saya punya kecurigaan terhadap aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukan para bintang tenar. Di Cannes, Madonna hadir untuk mempromosikan film dokumenter terbarunya I Am because We Are, tentang anak-anak penderita AIDS di Malawi—kebetulan Madonna mengadopsi seorang anak Malawi, maka boleh jadi ia merasa punya kepentingan. Dalam film ini, Madonna menjadi eksekutif produser, penulis skenario sekaligus pengisi suara. Nathan Rissman, sutradaranya, adalah tukang kebun Madonna. Saya bukannya ingin merendahkan status tukang kebun yang kemudian menjadi sutradara. Tapi saya miris mendengar Madonna menempatkan Rissman sebagai sutradara tapi toh yang berkeliling ke manamana adalah Madonna. Yang berbicara di mana-mana adalah Madonna.

722

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Maksud saya, kenapa tidak sekalian saja Madonna yang jadi sutradara? tak perlu ’sok mau mengangkat status’ tukang kebun segala. Belum lagi klaim bahwa niat membuat dokumenter ini adalah untuk membuat orang peduli tentang penderita AIDS di Malawi sekaligus mengumpulkan dana untuk membangun sekolah-sekolah di negeri bagian tenggara Afrika itu. Hellowwww... kita bicara tentang Madonna yang kekayaannya sanggup membeli Malawi. Yang membuat saya makin skeptis adalah di malam yang sama, sebuah mega pesta diselenggarakan di salah satu hotel termahal di Croisette yang sewa tempatnya saja 40.000 hingga 150.000 dollar Amerika per-meja. Disitu, Madonna ngumpul dengan teman se-geng nya seperti Sharon Stone, Christian Slater, Diane Kruger, Dennis Hopper dan banyak lagi selebriti dunia lainnya. Mega pesta berjudul Cinema Against Aids gala itu juga mengundang hampir 60% wartawan yang hadir di Cannes, menghabiskan ratusan botol champagne dan banyak makanan yang harga keseluruhannya bisa membangun 2 atau 3 sekolah keren di negara miskin. Di Cannes, ‘aksi kemanusiaan’ dan acara pengumpulan dana selalu jadi salah satu agenda utama. Tapi, sepertinya para bintang menunggu festival film Cannes untuk berbuat mulia. George Clooney misalnya pernah melelang ciuman seharga 350.000 dollar—lagi-lagi—untuk membantu masyarakat miskin di Afrika. Dengan honor jutaan dollar, tuan Clooney rupanya masih merasa perlu ‘melacur’ atas nama kemanusiaan. Saya tidak menentang pengumpulan dana atas nama kemanusiaan. Itu adalah aksi mulia. Tapi perlukah gegap-gempitagemerlap ini dilakukan? Kalau ingin berbuat baik, ya berbuat baik aja. Tidak perlu menunggu Cannes. Tidak perlu pasang gaya untuk di foto lalu mendapat judul setengah halaman. Karena itu

MADONNA DATANG ATAS NAMA KEMANUSIAAN

ketika mendapat undangan untuk hadir di pesta Cinema Against Aids, saya tidak sanggup pergi meski dengan embel-embel bisa bertemu Madonna langsung.

Perdana Kaufman, Kebanggaan Singapura, dan Kembalinya Wenders Tahukah Anda mengapa Charlie Kaufman memilih judul Synecdoche, New York untuk debut pertamanya sebagai sutradara? “Karena nyebutnya asyik,” kata Kaufman sambil menarik-narik rambut ikalnya. Synecdoche, New York seperti Ethernal Sunshine Of The Spotless Mind adalah salah satu dari sedikit film dengan alur cerita rumit yang saya sukai. Sebetulnya, Synecdoche tidak rumitrumit amat. Kalau harus menyimpulkannya dengan singkat, film ini tentang kegelisahan hidup, dan tentang kesepian yang sangat. Karakter utama Caden Cotard, diperankan oleh Phillip Seymour Hoffman, adalah seorang sutradara teater yang kebingungan dengan hidupnya. Istrinya membawa lari putri mereka satu-satunya. Ia menderita alergi yang aneh. Kehidupan cintanya tak berjalan mulus sehingga ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyiapkan sebuah pertunjukan teater spektakuler yang membutuhkan waktu seumur hidup untuk diselesaikan; Di titik inilah—seperti umumnya skenario-skenario Kaufman sebelumnya—Kaufman bermain-main dengan struktur dan bentuk. Antara realita dan panggung teater. Jangan tanya Kaufman tentang hal-hal filosofis dalam filmnya. Karena jawabannya selalu ’tidak tahu’. Kaufman adalah tipikal pemikir yang menuliskan apa saja yang terlintas dipikirannya kemudian menyusunnya menjadi sebuah cerita tanpa mau terbebani masalah logika.

723

ATAS: Charlie Kaufman saat menghadiri konferensi pers di Festival Film Cannes 2008. BAWAH: Phillip Seymour Hoffman dalam acara konferensi pers Synecdoche New York. Foto oleh Asmayani Kusrini.

MADONNA DATANG ATAS NAMA KEMANUSIAAN

Oh... dan ada film Singapura My Magic karya Eric Khoo tentang pesulap yang harus berjuang mendapatkan kepercayaan anaknya kembali. Dibandingkan Synecdoche, My Magic jauh lebih ringan dan mudah dicerna. Seperti juga Be With Me film Eric Khoo sebelumnya , My Magic adalah film manis yang menyentuh. Dan akhirnya ada film terbaru Wim Wenders, The Palermo Shooting yang didedikasikan untuk Ingmar Bergman dan Michaelangelo Antonioni; Gabungan antara Seventh Seal (Bergman) tentang kematian dan Blow Up (Antonioni) tentang fotografer dipadu dengan kegilaan Wenders menggunakan elemen-elemen kontemporer plus musik rock ‘n roll sepanjang film. Satu kata saja dari saya untuk film ini : wooooowww ! Eh, ternyata ada juga film Perancis yang tidak tipikal Perancis (yang suka sok nyeni dan sok intelek) di program kompetisi; Judulnya Entre Les Murs (Between Walls atau The Class) karya sutradara Perancis Laurent Cantet. Film ini tidak pretensius dengan subjek yang jarang disentuh sutradara Perancis lain , yaitu pendidikan di sebuah sekolah di pinggiran Paris dengan murid beragam ras, agama dan warna kulit.

Siapa Yang Menang? Semua film kompetisi sudah dipertontonkan. Dan tibalah saatnya menebak-nebak. Ini adalah kebiasaan menjelang festival berakhir. Spekulasi mulai beredar, Palem Emas akan diberikan kepada siapa? “Film favorit saya tidak punya kesempatan menang.” atau “Film favorit saya tidak akan menang”. Atau “Saya rasa film A akan menang karena blah...blah...blah...”. Begitu percakapan yang mewarnai hari terakhir sebelum acara penutupan besok malam. Sebetulnya saya tidak punya kapasitas untuk menebaknebak. Sejauh ini, sebagian film-film favorit saya terjungkal di ujung pena para kritikus. Mulai dari Linha De Passe, Delta hingga

725

726

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Serbis yang dibantai habis (kecuali Jean-Michel Frodon dari Cahiers Du Cinema yang secara mengejutkan memprediksi Serbis akan mendapat Palem Emas). Sepertinya saya tidak punya intuisi untuk hal-hal seperti ini. Jadi saya hanya akan bercerita soal fakta sejarah dalam hal penjurian. Mengingat Sean Penn sebagai presiden juri, banyak yang memprediksi bahwa film-film berlatar politik bakal diuntungkan . Sejauh ini Waltz With Bashir karya Ari Folman yang kental dengan seruan anti perangnya adalah kandidat utama. Prediksi ini wajar dan terasa mudah ditebak karena sikap politik Sean Penn. Tidak mudah hilang dari ingatan ketika Quentin Tarantino menjadi presiden juri ditahun 2004 dan ia menyerahkan Palem Emas kepada Michael Moore untuk dokumenternya Fahrenheit 9/11. Kala itu ’ejekan’ sinis beredar di Perancis, tak perlu Tarantino yang jadi juri, siapapun yang mendukung kampanye John Kerry tahun itu tentu akan memberikan Palem Emas kepada Michael Moore yang jelas-jelas mengancungkan telunjuknya ke hidung George W. Bush. Nah tahun ini, mungkin saja hal semacam berlaku lagi mengingat karisma Sean Penn sangat menonjol di deretan juri. Selain Palem Emas, selebihnya penghargaan akan dibagi merata. Sejak peristiwa Roman Polanski menganugerahkan 3 penghargaan untuk Barton Fink karya Coen bersaudara pada 1991 —yang membuat Lars Von Trier ngambek berat—festival film Cannes menetapkan aturan baru: Sebuah film hanya boleh mendapat paling banyak 2 penghargaan. Dua penghargaan inipun tidak boleh dibagi sembarangan. Jika film A mendapat Palem Emas maka penghargaan kedua hanya boleh diberikan untuk Artis atau Aktor Terbaik di film yang sama. Toh, aturan ini pernah dilanggar oleh Patrice Chereau (sutradara film dan teater) yang memberikan Palem Emas sekaligus Sutradara Terbaik bagi Gus Van Sant untuk film Elephant pada 2003. Konon, itu karena Chereau mengancam akan

MADONNA DATANG ATAS NAMA KEMANUSIAAN

mengundurkan diri sebagai presiden juri kalau keputusannya untuk memberikan dua penghargaan utama kepada film favoritnya itu dibatalkan. Para juri juga bisa memutuskan dua pemenang untuk satu penghargaan jika mereka tidak bisa mendapatkan kata sepakat untuk dua film yang sama kuat. Ah, tapi FIPRESCI sudah menetapkan pemenang yang diumumkan tadi sore: Delta karya Kornel Mundruczo ditetapkan sebagai pemenang di kompetisi utama. Untuk program Un Certain Regard, pemenangnya diberikan kepada Hunger karya Steve McQueen sementara di program Quinzaine Des Realisateurs (Director’s Fortnight), FIPRESCI award diberikan kepada Bouli Lanners untuk filmnya Eldorado.

727

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:03

Festival De Cannes 2008

Cannes, Pagi Tadi...

M

alam nanti Palem Emas akan diberikan kepada film yang beruntung. Sejak pagi, ibu kos kami di Cannes, Madame Prise sudah sibuk bersiap-siap mengantri tiket di kantor pariwisata. Seperti penduduk Cannes yang lain, Madame Prise tak mau ketinggalan menonton pemenang Palem Emas. Meski gerimis mengguyur Cannes pagi ini, di jalan-jalan banyak terlihat moviegoers mengancungkan kertas atau karton, memohon tiket untuk menyaksikan film-film di seksi kompetisi yang hari ini diputar serempak di berbagai venue. Koran-koran pagi sudah beredar dengan versi Palem Emas nya masing-masing. Media-media Italia memberikan Palem Emas kepada Il Divo. Koran-koran Belgia memberikan Palem Emasnya kepada The Silence Of Lorna. Media Perancis memberikan Palem Emas kepada Entre Les Murs.

CANNES, PAGI TADI...

Min Liu, wartawan dari Movie World Perancis menjagokan The Silence of Lorna, Three Monkeys dan Waltz With Bazir. Tan Chui Mui, sutradara perempuan Malaysia yang juga hadir di Cannes menjagokan Three Monkeys dan The Silence Of Lorna. Gertjan Zuilhof, programmer di festival film Rotterdam, menjagokan Three Monkeys, My Magic, dan Serbis. Alicia Garcia, pemegang kartu putih dari News Agency EFE Spanyol menjagokan Changeling, Leonera dan Adoration. Sementara para kritikus dari Cahiers Du Cinema tak punya suara bulat. Masingmasing punya jagoannya sendiri. Setiap orang menunggu. Rumor-rumor beredar. Kabarnya pihak festival menelpon Dardenne bersaudara yang sudah pulang ke kampung halamannya untuk kembali ke Cannes. Ini berarti mereka akan mendapatkan sesuatu. Sementara berita dari mulut ke mulut yang paling seru adalah permintaan Sean Penn untuk memutar kembali Serbis khusus untuk para juri. Berita yang dilansir oleh AP itu makin membuat suasana menegangkan.

POJOK INDONESIA: Sekadar Gengsi? Mengapa tidak membuat laporan khusus film Indonesia dari Cannes? Pertanyaan sederhana ini diajukan oleh seorang rekan yang membagi dua laporannya dari Cannes. Laporan Festival Film Cannes secara umum, dan laporan dari negerinya secara khusus. Saya ingin sekali membuat laporan khusus tentang Indonesia yang makin saya cintai setelah saya tinggalkan. Masalahnya apa yang harus saya tulis? Saya beri contoh Singapura. Negeri singa itu memboyong sutradara-sutradara muda berbakatnya ke Cannes, diharuskan hadir setidaknya 2 atau 3 jam di booth rumah produksi masingmasing atau di pavilliun Negara mereka untuk menerima tamu.

729

730

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Tiap hari selalu ada kegiatan. Humas masing-masing juga rajin mengirim email ke semua wartawan yang hadir di Cannes, mengundang mereka untuk datang. Undangannya macam-macam, kadang terdengar lucu: Anda tahu Eric Khoo? Filmnya masuk kompetisi tahun ini. Ingin tahu lebih banyak tentang sutradara paling berbakat dari Singapura ini? Silahkan datang ke booth kami. Atau simak email dari booth Jepang: Anda ingin menikmati sake gratis sambil bertemu dengan sutradara-sutradara berbakat kami? Silahkan datang pada jam sekian…dan begitu seterusnya. Email setiap wartawan yang hadir di Cannes masuk dalam daftar para peserta Marché Du Cinema hingga setiap humas cukup hanya membuat satu email dan langsung mengirimkannya ke setiap orang tanpa perlu membuat undangan formal yang tentunya lebih mahal. Dari Thailand pun demikian. Lepas dari perseteruan antara pemerintah dan para filmmaker independen mereka (ikuti wawancara RF dengan Apicatphong Weerashetakul), toh pemerintah Thailand sadar betul akan pentingnya membangun citra di dunia internasional. Sutradara-sutradara plus kritikus asal Thailand diboyong oleh pemerintah, disewakan sebuah apartemen di mana mereka menginap bertumpuk tapi selalu siap berada di lingkungan Palais. Pertimbangannya adalah, hanya mereka yang bisa menjelaskan proyek-proyek film mereka untuk para investor potensial. Daripada mengirim delegasi pemerintah yang hanya tahu soal aturan dan pasal-pasal undang-undang, lebih baik filmmaker nya sendiri yang didatangkan dan disebar untuk mencari dana atau membangun network. Hampir setiap hari rekan saya dari Thailand menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh negaranya. Sutradarasutradara asal Thailand digiring kesana kemari untuk bergaul, entah itu di acara-acara yang diselenggarakan oleh festival-festival

CANNES, PAGI TADI...

Internasional atau di acara-acara Masterclass tentang bagaimana mendapatkan dana untuk film-film mereka. Sementara yang datang dari Indonesia? Well… Saya terus terang iri sekali dengan rekan saya itu. Kadang saya menunggu menerima email atau undangan dari pojok Indonesia. Tapi undangan itu tak pernah mampir. Kadang saya pikir, saya kurang gaul karena itu tidak mendapat undangan dari mereka. Setelah tanya sana sini, ternyata memang tak ada kegiatan apa-apa kecuali pemutaran Ayat-Ayat Cinta di Arcades untuk para calon pembeli. Selebihnya, yang ada hanya booth yang berdiri dan terlihat lesu. Sesekali saya lewat dan hanya melihat penjaga booth yang duduk termenung. Mungkin karena booth ini baru berdiri dua tahun, jadi memang belum paham situasi. Tapi kalau melihat nama yang mewakili booth ini: Persatuan Produser Film Indonesia rasanya aneh juga jika mereka tak tahu cara ‘berjualan’. Saya tidak meragukan niat mulia pemerintah kita untuk memperkenalkan budaya Indonesia . Tapi mbok ya yang serius gitu loh! Sudah datang jauh-jauh, mendirikan booth yang harga sewanya tidak murah, tapi kerjanya –maaf-- setengah-setengah. Suatu kali saya datang berkunjung. Saya disodori sebuah majalah, Cinema Belge yang memasang iklan Independent International Film Festival Brussels dengan tema Indonesian New Cinema plus bendera Indonesia di tengah-tengah iklan tersebut. Dengan bangga mereka bilang, “Ini atas upaya kita nih; Kita kan bangga, film Indonesia akan dijadikan fokus di festival ini”. ‘Upaya kita?’. Kepala saya langsung pening. Seingat saya, panitia festival tersebut berani memasang iklan itu berdasarkan sebuah daftar yang pernah dikirim oleh Hikmat Darmawan dan Ekky Imanjaya dari Rumah Film. Dengan daftar itu (yang terdiri dari sekian film feature dan film pendek), plus kredibilitas nama dua orang yang saya sebutkan tadi, penyelenggara festival ini yakin bahwa film-film Indonesia

731

732

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

bermutu itu ADA dan bisa diperoleh. Apalagi dengan pengalaman mendatangkan film Berbagi Suami ke Belgia tahun lalu. Maka iklan pun berani mereka dipasang sebelum festival film Cannes agar majalah itu bisa tersebar di Pasar film, dengan harapan bisa mendapatkan semua materi, negosiasi dan berbagai hal-hal detail lainnya di booth Indonesia . Lalu suatu hari, tiba-tiba salah seorang panitia dari Independent International Film Festival Brussels itu menelpon saya dan mengeluhkan bahasa Inggrisnya yang buruk. Karena itu ia minta ditemani untuk berkunjung ke booth Indonesia . Dia panik dan curiga jangan-jangan daftar yang dipegangnya salah tulis judul karena hampir semua film-film itu tak tersedia di booth. Maka kami pun berjanji untuk bertemu di pojok Indonesia itu. Dan tentunya bisa diduga, tak ada salah judul. Daftar yang dipegangnya benar seratus persen. Bayangkan, bahkan film Mereka Bilang Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu yang posternya lumayan besar dipampang juga tak dilengkapi dengan informasi. Tak ada flyer. Tak ada pamphlet. Tak ada informasi tentang sutradara. Tak ada apa-apa. Bahkan tak ada upaya promosi, setidaknya semangat menjelaskan tentang film ini. Hanya poster itu saja dan sebuah trailer yang digabung dengan semua trailer film film hantu keluaran rumah produksi MD; “Bagaimana dengan film-film pendek?” kata panitia festival itu lugu. Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semua orang pun pasti berpikir, booth Indonesia berarti menampung semua filmfilm yang diproduksi Indonesia dan bukan hanya perwakilan dari kelompok tertentu. Saya hanya berusaha menenangkan dan menghibur rekan saya itu dengan bilang bahasa Inggrisnya tidaklah buruk. Hasilnya, dari sekitar 13 daftar film yang ada di tangan panitia tersebut, dia hanya pulang membawa satu buah press kit film The Photograph karya Nan T Achnas. Itupun diberikan oleh Shanty Harmayn sehari sebelumnya.

CANNES, PAGI TADI...

RUANG PUTIH BEBAS KASTA Palais Du Cinema mungkin sebuah dunia kecil yang beroperasi menurut kasta. Tapi, di dalamnya, ada sebuah ruang putih yang steril tak mengenal strata. Ruang favorit saya di Festival Film Cannes ini saya juluki warung putih, sebagian orang menyebutnya the white room atau ada juga yang menjulukinya warung wifi tapi lebih populer disebut Press Room. Ruang ini dijaga ketat hingga hanya pemegang kartu warna warni masyarakat Cannes lah yang boleh masuk, alias para jurnalis (dari berbagai media dan medium). Di ruang ini, tidak ada istilah prioritas. Hukum rimba berlaku, siapa cepat dia dapat. Ruang ini dianggap sebagai ‘rumah kami bersama’ tempat pulang ketika segala tugas selesai, atau tempat beristirahat sejenak ketika sedang menanti tugas berikutnya. Ruang besar ini punya banyak bagian. Bagian utama ditata seperti kantor dengan meja-meja diatur berbagai rupa membentuk huruf L, U, atau I . Lalu ada bagian khusus, di tempat yang agak lebih tinggi, sofa-sofa empuk dikumpulkan. Di bagian lain yang jendelanya menghadap ke laut, mejanya diatur seperti bar sehingga setiap orang bekerja menghadap laut lepas. Di dekat bar ini ada mejameja bundar mirip meja makan. Lalu di salah satu sisi bagian utama terdapat bagian khusus tempat para fotografer menyerahkan foto mereka untuk diproses dan dicetak . Setiap orang bisa memilih tempat dengan bebas. Jika tak kebagian kursi atau meja, melantai tak masalah. Kalau sedang lelah dan ingin rebah, sofa-sofa empuk juga bisa digunakan. Motto tak tertulis untuk ruangan ini adalah: silahkan pilih, anggap rumah sendiri. The White Room ini juga dilengkapi dengan mesin fotokopi dan sudut kecil tempat para penghuni warung ini bisa memesan kopi gratis. Tahun ini ada sekitar 4000 wartawan yang datang dari

733

734

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

berbagai penjuru angin. Entah itu berstatus penulis, fotografer, kameramen, presenter TV atau Radio. Entah itu jurnalis muda yang baru pertama kali datang ke Cannes hingga wartawan tua yang sudah puluhan tahun bertandang dan jadi pengunjung tetap Cannes . Mereka datang dengan membawa ‘kantor’ masing-masing; Kadang-kadang saya takjub dengan teknologi dan perlengkapan yang mereka bawa. Para fotografer dengan lensa sebesar bazooka tapi dengan isi liputan yang tertumpuk di sebuah chip kecil. Atau para jurnalis TV yang mengedit langsung laporan mereka di laptop mungil, lalu mengirim via satelit hanya dengan mendekatkan telepon genggam mereka ke hidung laptop masingmasing. Bisa Anda bayangkan ada 4000 orang berkumpul di satu tempat, ’ngobrol’ dengan laptop dan perlengkapan masingmasing, kadang mata saling memandang walau tak fokus, atau mata menerawang ke berbagai arah. Mereka ini sekelompok manusia aneh yang hidup dalam gelembung masing-masing ketika sudah duduk menulis laporan. Menatap layar laptop masingmasing seperti menatap seorang lawan bicara dengan takzim, dan seperti tak terganggu dengan apapun yang terjadi di sekitar. Di saat-saat tertentu, kala laporan sedang dikirim, atau saat foto para fotografer sedang di proses, mereka akan terlihat santai sejenak, berkeliling, saling bertegus sapa, menikmati kopi, atau bergosip. Di ruang ini jugalah tempat saling berbagi ilmu, bertukar informasi, berbagi rahasia liputan antar para penghuninya. Dari ruang inilah saya tahu di mana spot yang aman mengambil foto para bintang. Bagi fotografer amatir seperti saya yang tak punya kartu fotografer, nyaris tak ada celah untuk bisa menembus birokrasi. Tapi di ruang putih ini, tips tersebar atas nama solidaritas. Pertemanan dadakan sudah jadi hal lazim.

CANNES, PAGI TADI...

Cerita-cerita lucu dari para fotografer juga menjadi hiburan di waktu senggang saat mereka baru selesai melakukan sesi foto. Mulai dari cerita Michelle Williams butuh peniti saat sesi foto, hingga soal para juri yang ngumpet entah ke mana meski sudah dibuntuti sejak subuh. Nasehat dari para sesepuh juga bisa didengarkan di sini. Kritikus film favorit saya, Jan Timmerman dari De Morgen misalnya memberi nasehat agar saya tak perlu menguber-uber Jean-Pierre dan Luc Dardenne. “Kita bisa ngobrol santai sambil minum kopi di studio mereka di Liège,” kata Timmerman. Masuk akal juga. Dardenne bersaudara ini memang sangat mudah ditemui di Liège, kota kelahiran sekaligus tempat tinggal mereka sekarang. Menurut Timmerman, para sutradara-sutradara favorit di Cannes ini biasanya memang sengaja dilindungi berlapis-lapis untuk menambah prestisi. Bagi wartawan senior seperti Timmerman, hal-hal seperti ini sudah dilewatinya bertahun-tahun. Pengalaman mengajarkannya, lebih baik bikin janji di luar Cannes daripada sepanjang festival film berlangsung. “Bisa-bisa waktu kita habis hanya untuk menunggu,” katanya. Lebih baik nikmati pesta ini sepuas-puasnya. Di ruang putih inilah sebetulnya pusat dari energi positif festival film Cannes –setidaknya menurut saya--. Meski rasa kesal mewarnai suasana hati sepanjang hari, di ruang putih ini semua bisa reda. Semangat yang ditunjukkan oleh para senior yang sudah uzur jelas mempengaruhi semangat juang yang lebih muda. Walaupun setiap orang terlihat hidup di dunia masing-masing tapi rasa solidaritas tumbuh kuat tanpa disadari. Dan energi inilah yang membuat festival film Cannes bisa tetap segar diusianya yang ke 61. Solidaritas yang menjadikan halhal mengesalkan tak lagi berarti dan membuat sebagian besar mereka terus kembali setiap tahun.

735

736

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

And The Winner is... Detik-detik menunggu pengumuman itu menegangkan. Ruang putih yang tadinya tenang tiba-tiba seperti diserbu suara tawon. Wartawan-wartawan yang tadinya tenang mengetik atau mengirim foto, tiba-tiba serentak riuh saat layar televisi menayangkan langsung apa yang terjadi di ruang seberang. Para jurnalis lantas terlihat siap dengan blocknote di tangan, laptop yang sudah siap sedia menerima ketikan, para presenter TV yang gelisah mengoreksi make-up atau dandanan. Semua orang terlihat gelisah, tegang dan sibuk. Semua mata sepertinya tertuju ke layar televisi yang ada di ruang putih layaknya penggemar bola menanti tendangan penalty. Di luar sana , angin kencang bertiup tapi tak mempengaruhi suasana meriah. Thierry Fremaux terlihat sibuk menerima tamunya. Di belakang, kami berdebar-debar. Satu-satu wajah para sutradara yang filmnya masuk nominasi tampil di layar, mengikuti prosesi la montée des marches dengan wajah tegang. Dan pemenangnya adalah : Palme D’or

Entre Les Murs oleh Laurent Cantet. Film Perancis yang diputar di hari terakhir festival. Ketika film ini disebutkan, sejumlah wartawan Italia ngedumel : politik ! apapun itu maksudnya. Entah ada hubungannya atau tidak, saat ini di Perancis memang sedang melakukan perombakan terhadap system pendidikan bagi imigran-imigran dan Entre Les Murs adalah sebuah gambaran bagaimana system pendidikan itu diterapkan dan apa dampaknya bagi siswa maupun bagi guru mereka. Grand Prix

Gomorra oleh Matteo Garrone. Film Italia yang tak banyak

CANNES, PAGI TADI...

disebut selama festival berlangsung tapi lantas membuat para wartawan Italia di ruang putih bersorak kegirangan seperti ketika kesebelasan sepak bola mereka memenangkan pertandingan. Special Prize of the 61 th Cannes diberikan kepada

Catherine Deneuve (Un Conte De Noel) dan Clint Eastwood (Changeling) atas dedikasi mereka terhadap dunia perfilman. Hadirin terdiam maklum. Best Director diberikan kepada Nuri Bilge Ceylan untuk

film Three Monkeys ; Para wartawan saling berpandangan lalu angkat bahu sambil bergumam: ‘keputusan yang aneh’. Jury Prize

Il Divo oleh Paolo Sorrentino. Lagi-lagi wartawan Italia bersorak girang. Best Actor diberikan kepada Benicio Del Toro dalam film

Che. Akhirnya seluruh wartawan serempak bertepuk tangan. Rupanya, untuk yang satu ini, semua sepakat. Best Actress diberikan kepada Sandra Corveloni untuk

aktingnya dalam Linha De Passe (salah satu film favorit saya). Saya bersorak girang sendiri, yang lain tak menanggapi. Best Screenplay diberikan kepada teman sekampung dari

Belgia, Jean-Pierre and Luc Dardenne untuk film The Silence Of Lorna; Selain itu juga diumumkan penghargaan lain yang sayangnya tidak semua saya tonton.

737

738

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Un Certain Regard

Best Film untuk Tulpan oleh Sergey Dvortsevoy. Jury Prize untuk Tokyo Sonata oleh Kurosawa Kiyoshi. Heart Throb Jury Prize untuk Wolke 9 oleh Andreas Dresen. The Knockout Of Un Certain Regard untuk dokuementer berjudul Tyson oleh James Toback. The Prize of Hope untuk Johny Mad Dog oleh JeanStephane Sauvaire. Camera D’or diberikan kepada Steve McQueen untuk

filmnya Hunger. Camera D’or Mention Speciale diberikan kepada Valeria

Gai Guermanika untuk filmnya Vse Umrut A Ja Ostanus Sean Penn nampak terlepas dari beban berat. Ia sendiri mengaku kesulitan menonton film secara marathon lalu harus memilih yang terbaik. . “I’m not a cinephile,” katanya usai acara penutupan malam itu. Secara pribadi, tuan Penn mengaku baru kali ini menonton film sebanyak itu. Dan ia tak bisa menerima ide tentang ”film pemenang” yang dianggapnya aneh. Jadi juri memang tak selamanya enak.

PESTA itu usai sudah. Satu per satu masyarakat film meninggalkan Cannes . Karpet merah menuju katedral itu kotor tapi pasti akan segera digulung dan dibersihkan. Ruang putih mulai hening. Penghuni tetapnya selama dua minggu ini saling berpelukan, beberapa meneteskan airmata, mengucapkan terima kasih, selamat tinggal dan sampai ketemu tahun depan.

CANNES, PAGI TADI...

34th International Independent Film Festival Brussel LAPORAN OLEH ASMAYANI KUSRINI

739

Asmayani Kusrini

34th International Independent Film Festival Brussel

Selamat untuk Nia Dinata!

K

etika nama Nia Dinata disebut sebagai sutradara terbaik pada International Independent Film Festival Brussel yang ke 34, semua yang hadir pada malam itu tertegun sejenak. Festival yang berlangsung sejak 6 – 11 November 2007, di Grand Salle Centre Culturel Jacques Franck, Brussel, itu memang dipenuhi wajah-wajah Asia, tapi bukan Indonesia. Pada umumnya mereka berasal dari Thailand, Philipina, Burma, dan Kamboja. Selebihnya berasal dari India, Belgia, Maroko, dan Turki. Banyak yang bingung. Siapa Nia Dinata? Barulah ketika filmnya disebut, L’amour en Partage (terjemahan Prancis untuk Berbagi Suami) asal Indonesia, penonton kemudian memberikan aplaus meriah. Maklum, film itu memang salah satu film favorit yang banyak dibicarakan oleh penonton di festival ini. Salah seorang juri bahkan mengaku menjagokan Berbagi Suami sebagai

SELAMAT UNTUK NIA DINATA!

film terbaik. Tapi gelar itu jatuh pada Bangkok Love Story, karya Poj Arnon asal Thailand. Berbagi Suami memang istimewa. Menurut Ketua Dewan Juri, Dan Cukier, Nia dianggap berhasil memperkenalkan sebuah isu yang sebetulnya sangat lokal tapi sekaligus universal (yang selalu jadi favorit di festival ini). Masuknya film Berbagi Suami juga termasuk istimewa. Film karya Nia Dinata ini ditemukan di saat-saat terakhir. Ketika itu, Direktur Program IIFB, Robert Malengreau sedang kebingungan mencari film Indonesia. “Saya ingin film yang menyorot masalah aktual, yang bisa memperkenalkan audiens Eropa pada Indonesia,” kata Malengreau kala itu. Ada sejumlah judul film yang ditawarkan Rumahfilm.org pada waktu itu. Tapi seperti yang sering dikeluhkan oleh Malengreau, akses ke film Indonesia termasuk sulit. Pertama karena memang dia belum punya network dengan para pembuat film independen Indonesia. Malengreau hanya mengenal Garin Nugroho. Tapi Garin sudah masuk sutradara kelas A di Eropa. Dari segi biaya, Malengreau mengaku belum sanggup memutar film-film Garin. Persoalan kedua, menurut Malengreau adalah karena pembuat film Indonesia tidak banyak yang tertarik untuk mengirimkan filmnya ke festival ini. Kalaupun ada, juga bukan dengan kualitas yang diinginkan. Tak seperti Thailand, Philipina, dan Kamboja yang selalu jadi pengunjung tetap. Raja Kamboja Norodom Sihamoni, misalnya, sudah 10 tahun belakangan ini mengirim film-film dokumenter terbarunya di festival yang mulai diadakan pertama kali pada 1974 ini. Meski kecil, festival ini menawarkan sesuatu yang cukup unik. Setiap tahun, penyelenggaranya akan memilih Pays-Vedette atau negara yang akan menjadi fokus festival. Tahun ini misalnya, Pays-Vedette adalah India dengan tema Revelation: The New Passions of Auteur in Indian Cinema. Tema ini ingin menunjukkan bahwa film-film India tidak hanya terdiri dari adegan sepasang

741

742

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

kekasih di taman, main umpet-umpetan sambil bernyanyi dengan suara yang mendayu-dayu. Sinema di India punya wajahnya yang lain, yaitu para pembuat film independen di luar kemewahan Bollywood. Selain memutar film-film independen dari India, festival ini juga dibuka dengan memperkenalkan kebudayaan India yang lain, mulai dari tari-tarian hingga ke makanan khas tradisional. Beberapa pengunjung, misalnya, baru kali itu mencicipi makanan khas India. Nah, menurut Malengreau, sudah beberapa tahun belakangan ini, ia berusaha mencari film Indonesia dan beberapa kali berniat menjadikan Indonesia sebagai Pays-Vedette. Secara tak sengaja, Malengreau melihat cuplikan film Berbagi Suami dan akhirnya mendapatkan copy film itu. Ternyata memang Berbagi Suami mampu menggelitik keingintahuan penonton. Beberapa mengaku baru pertama kali itu menonton film Indonesia. Banyak yang tak menyangka bahwa ada praktek poligami di Indonesia. Penonton dari Asia juga langsung merasa sangat akrab dengan apa yang mereka lihat di Berbagi Suami. Malam itu, usai mengumumkan Nia Dinata yang mendapatkan Prix De La Meillure Realisation (Award For Best Direction), Malengreau langsung mengumumkan, bahwa tahun depan Pays-Vedette untuk International Independent Film Festival Brussel yang ke 35 adalah Indonesia! Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut silahkan buka link berikut.

SELAMAT UNTUK NIA DINATA!

The International Documentary Film Festival Amsterdam 2007 LAPORAN OLEH EKKY IMANJAYA

743

Ekky Imanjaya

16 Juni 2008, 18:12

The International Documentary Film Festival Amsterdam 2007

Festival Film Dokumenter Terbesar Dimulai

U

ntuk keduapuluh kalinya, festival film dokumenter internasional Amsterdam (IDFA) dimulai. Di awali dengan pemutaran film Operation Homecoming: Writing the Wartime Experience (Richard Robbins, Amerika, 2007), festival film terbesar di dunia untuk genre  dokumenter ini berlangsung hingga November 2007. IDFA telah menyeleksi ribuan film untuk masuk dalam kompetisi dan non-kompetisi dari berbagai program. Sejak 1988, mereka berupaya membuut budaya dokumenter secara nasional dan internasional. Yang dinilai adalah inovasi, orisinalitas, kemampuan profesional, ekspresi, dan nilai sejarah/budaya. Festival ini telah mempertontonkan karya, di antaranya, Werner Herzog, Kazuo Hara, Robert Kramer, Michael Moore dan Ulrich Seidl. Di  samping itu, beberapa pembuat film muda yang inovatif--termasuk Victor Kossakovksy, Sergei Dvortsevoy dan Yoav Shamir—lahir dari sini.

FESTIVAL FILM DOKUMENTER TERBESAR DIMULAI

Akan ada masterclass dan presentasi dari sutradara terkenal, seperti Maziar Bahari (Iran), Paul Fierlinger (USA) dan Werner Herzog (Jerman/USA). Program utama kompetisi  bertujuan mencari film-film  dokumenter baru terbaik tahun untuk dianugerahi lima penghargaaan berbeda. Pertama. Joris Ivens Competitions yang berhadiah €12.500. akan ada juga Special Jury Award. Film-film yang berlaga, di antaranya, All White in Barking (Marc Isaacs, Inggris), Bajo Juárez, the City Devouring Its Daughters (José Antonio Cordero, Alejandra Sánchez, Mexico), Encounters at the End of the World (Werner Herzog , USA) dan Hold Me Tight, Let Me Go (Kim Longinotto, Inggris). Kedua,  Silver Wolf Competition yang memperlombakan 15 film berdurasi tak lebih dari 60 menit. Penerima The Silver Wolf Award akan mendapatkan €10.000. program yang disponsori oleh  NPS (broadcaster Belanda) ini akan membeli dan menyiarkan sang pemenang. Ketiga, Silver Cub Competition  yang menilai 17 film yang kurang dari 30 menit dan berhadiah  €5.000.  Keempat, First Appearance, yang berhadiah  € 2.500. Terakhir, dengan jumlah hadiah sama, adalah IDFA Student Competition Di samping kompetisi, program non-kompetisi juga tak kalah menarik. Akan ada  IDFA Top 20, yang merupakan perayaan 20 tahun festival ini. Selama 7 tahun, panitia meminta para penonton untuk memilih 20 film terbaik yang akan dipertontonkan pada ajang kali ini,. Sebagai favorit,   terpilih Darwin’s Nightmare (Hubert Sauper, 2004), yang akan ditayangkan bersama, di antaranya O amor natura ( Heddy Honigmann, 1996), Checkpoint (Yoav Shamir, 2003),  Bowling for Columbine (Michael Moore, 2002), dan Grizzly Man, (Werner Herzog, 2005). Reflecting Images adalah program di luar kompetisi yang terbesar, dan terbagi menjadi tiga: Best of Fests, Masters dan

745

746

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Panorama. Best of the Fests mengetengahkan film-film yang membuat imbas yang kuat dalam berbagai festival dalam beberapa waktu ini. Panorama  menawarkan 30 film yang provokatif dalam format dan pilihan tema.Masters mempersembahkan 12 karya baru dari para sutradara terkenal seperti Peter Raymont, Jay Rosenblatt, Bill Couturié, Jan Sverák, Peter Entell, Frederik Wiseman dan Antonio Ferrera. Ada juga  IDFA Animation Programme yang bergulat dengan wacana hubungan animasi dan dokumenter yang sekilas paradoks. Ajang ini dimotori oleh Erik van Drunen dan Gerben Schermer, direktur Holland Animation Film Festival (HAFF). Debat soal hal ini akan menghadirkan Paul Wells. Program lainnya adalah Jan Vrijman Fund Film Programme, Highlights of the Lowlands, ParaDocs, Kids & Docs, juga  Documentary Workshop. Di samping itu, ada Maziar Bahari Retrospective, Film School in Focus: the Dutch Film and Television Academy, Film-film tentang Indonesia juga pernah ditayangkan di sini. Di antaranya  Indonesia Calling (Joris Ivens Australia, 1946),  Indonesia Merdeka! (Roelof Kiers, Belanda, 1976),  Shadow Play - Indonesia’s Years of Living Dangerously (Chris Hilton, Australia, 2001), Werken van Barmhartigheid (Mannus Franken, pembuat film Pareh, Belanda, 1947), dan  Kawah Ijen (Philip Mulroy England, 2003). Karya-karya Leonard Retel Helmrich, sutradara berdarah setengah Indonesia, juga pernah ditayangkan di sini, yaitu Promised Paradise (2006) yang dicekal pada Jakarta International Film Festival 2006 lalu, dan de stand van de zon  (the Eye of the Day, 2001). Bahkan stand van de maan (Shape of the Moon, 2004) menjadi pemenang utama pada 2004. Bagaimana dengan film dokumenter karya anak Indonesia? Sejauh RF telusuri, belum ada, termasuk dalam proyek Jan Vrieman Fund.  Kecuali The Asmat (Indonesia, 1981 Yasuko

FESTIVAL FILM DOKUMENTER TERBESAR DIMULAI

Ichioka, Dea Sudarman, Indonesia, 1981). Ibu Dea ini pula—tak lain tak bukan adalah penggagas, pemilik gedung,  perawatkoleksi Gedung Dua8 Kemang Jakarta) yang menjadi juri Joris Ivens pada 1993 bersama   Karl Gass (Germany), Heddy Honigmann (Belanda), Stephen Peet (Inggris), dan  William Uricchio (USA/Belanda) dan  memenangkan Belovy / The Belovs (Rusia, 1993) dari  Victor Kossakovsky.

747

Ekky Imanjaya

16 Juni 2008, 18:12

The International Documentary Film Festival Amsterdam 2007

35 Tahun Kemudian

B

aru seminggu FTA (Free the Army, 1972) garapan perdana Francine Parker diputar, tiba-tiba film itu hilang secara misterius. Dalam sebuah wawancara Parker menyatakan bahwa Rezim Nixon yang melenyapkannya. Dan ndilalah, film bernilai sejarah ini muncul kembali di malam pembukaan International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2007, Kamis (22/11). Agaknya wajar dokumenter ini dianggap membahayakan pemerintah AS. Film berdurasi 90 menit  ini bercerita tentang sebuah gerakan subversif dari sekelompok seniman Amerika Serikat—termasuk Jane Fonda dan Donald Sutherland. Mereka bergerak di awal 1970, menggelar aksi anti perang (khususnya Vietnam) langsung di barak-barak militer AS, di antaranya  di Jepang dan Philiphina. Tidak hanya anti perang di Asia, mereka juga mengibarkan isu gender dan ras dalam tubuh tentara.

35 TAHUN KEMUDIAN

Kelompok yang menamakan diri Free the Army (FTA) ini  menyajikan humor satir, nyanyian (di antaranya oleh penyanyi aktivis HAM, Len Chandler, juga Aminadav Aloni, Rita Martinson, dan Holly Near), puisi, dan banyak lagi.   Dan secara legal, mereka membagi-bagikan undangan. Dan, ribuan tentara, yang satu misi dan visi dengan mereka, bergabung, menyuarakan anti perang. “Ribuan G.I. datang ke tempat pertunjukkan. Tak ada seorang pun para petinggi di sana yang mampu menahan mereka”, kenang Len Chander, yang hadir saat pemutaran. Tidak hanya itu, mereka juga ikut dalam berbagai demonstrasi dan aksi seni gerakan yang sama di Philiphina dan Jepang. Bahkan, FTA menjadi semacam gerakan penghubung komunikasi antara AS dengan penduduk setempat. Dan tepat di saat Jane Fonda—kala itu sudah mengantongi Piala Oscar untuk Klute (1971)—mengadakan perjalanan kontroversialnya ke Hanoi, film itu diputar untuk publik di AS. Dan tak sampai seminggu di bioskop, rekamannya lenyap bak ditelan bumi. Hingga malam itu, 35 tahun kemudian, ia masuk dalam program Reflecting Images: Panorama di IDFA 2007. Sayang sekali, pada 8 November, 14 hari sebelum Hari H, sang sutradari wafat karena gagal jantung. Padahal anggota perempuan ke-11 dari Director’s Guild of America ini direncanakan hadir di IDFA. “Francine adalah seorang yang paling menyebalkan dan perfeksionis sekaligus idealis dan mengasyikkan yang pernah saya kenal,” ungkap Chandler pada pidato pembukaannya. Parker, kelahiran New York 18 Desember 1925, adalah wanita yang selalu mengampanyekan perbanyakan pertisipasi wanita dalam industri film Amerika. Sebagai presiden Women for Equality in Media, ia memimpin demosntrasi anti American Film Institute pada 1971 yang memprotes ketidakhadiran wanita di institusi itu. hasilnya, ada 7 wanita di Center for Advanced Film

749

ATAS: Diskusi dengan Werner Herzog di IDFA 2007. BAWAH: Redaktur Rumah Film Ekky Imanjaya (kanan) dan Werner Herzog (kedua dari kanan). Foto oleh Asmayani Kusrini.

35 TAHUN KEMUDIAN

Studies, padahal sejak 1969 tak ada seorang pun perempuan yang berkiprah di sana. Dan kehadiran kembali film kontroversial ini begitu berarti. Saat itu, tidak banyak selebriti Hollywood yang ikut serta dalam demonstrasi anti perang Vietnam. Juga kondisi saat ini tidak banyak berubah dari 1972, sebagaimana yang diutarakan Chandler. “Saya kecewa dengan keadaan sekarang, amerika belum juga berubah,” tuturnya. „Semoga film ini tidak hanya menggugah perang di masa lalu, tapi juga di masa kini“. Semoga.

— FTA Sutradara: Francine Parker / Produksi: AS, 1972 / Durasi: 90 menit.

751

752

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

65th Mostra Internazionale d'Arte Cinematografica LAPORAN OLEH ASMAYANI KUSRINI

Asmayani Kusrini

4 September 2008, 14:22

65th Mostra Internazionale d'Arte Cinematografica

Buon Giorno! Antara Venesia dan Film Festival

R

ibuan kilometer jalan yang sudah saya tempuh, melewati berbagai rintangan demi sebuah festival film. Dan inilah saya: kotor dan berdebu setelah menyetir selama 3 hari 3 malam melintasi 3 negara, demi untuk berdiri di depan perkampungan film Mostra Internazionale d’Arte Cinematografica di Venesia-Lido, Italia. Mmm...saya memang agak mendramatisir. Sebetulnya, saya girang setengah mati tapi tak sanggup untuk melompat ke udara. Kalau bisa, saya ingin teriak: Rumah Film terdaftar di festival film tertua di dunia ! Film Festival Venesia yang ke-65! Saya bahkan tidak keberatan dengan pengurus akreditasi yang selalu salah menyebut Rumah Film dengan ‘Rrrrroouhmah Film’ atau ‘RyuhmahFilm’ dengan R yang super kencang. Seperti saya yang juga salah mengucapkan ‘terima kasih dan selamat tinggal’ dengan ‘Gracias, Buon Giorno’. (Gracias: terima kasih dalam bahasa Spanyol dan buon giorno berarti Selamat siang).

754

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Satu-satunya kata Italia yang sering saya praktekkan memang hanya ‘buon giorno’ (baca: bonjorno) karena selalu terkenang-kenang dengan Anna Magnani di film Mamma Romanya Pasolini. Di film itu, Magnani dengan suara cempreng lantang sering berteriak buon giorno! Jadi selama ini, buon giorno bagi saya adalah kata untuk segala sapaan: selamat pagi, siang, malam, selamat tinggal, dan selamat-selamat lainnya. Setelah menerima akreditasi pers, saya menyapa setiap orang dengan buon giorno bagi mereka yang baru tiba. Buon giorno. Buon giorno. Buon giorno!

Sehari sebelumnya… Berada di Film Festival Venesia berarti harus berhadapan dengan pilihan sulit: memilih Venesia atau festival film? Tidak seperti kota Cannes yang membosankan—kecuali festival filmnya— Venesia seperti kota impian yang nyata. Menakjubkan mungkin satu-satunya kata yang pas. “A Romantic city frozen in time” ini adalah kota antik yang dibangun di atas air, dikelilingi oleh air, dan mungkin salah satu kota terunik di dunia. Venesia berbeda dengan kota-kota yang dikelilingi air seperti Amsterdam, atau Brugge. Kota yang dibangun sekitar abad ke-6 ini benar-benar memanfaatkan air di sekelilingnya sebagai sarana transportasi dan sirkulasi. Boleh percaya boleh tidak, tidak ada mobil di Venesia. Semua mobil harus di parkir di luar kota Venesia dan setiap orang masuk ke kota kelahiran musisi Antonio Vivaldi ini dengan naik kereta atau kapal. Maka pilihan transportasi di dalam kota Venesia hanya sedikit: naik kapal, naik sepeda atau jalan kaki. Ambulans pun ambulans kapal. Polisi juga dilengkapi dengan kapal. Angkutan bagasi dari stasiun kereta ke dalam kota juga dengan

ATAS: Antrian masuk ke wilayah Mostra di pagi hari. BAWAH: Hotel The Westin Excelsior asal mula festival film Venesia pertama kali diselenggarakan tahun 1932. Foto oleh Asmayani Kusrini.

756

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

kapal. Karena itu, sejak dibangun di abad ke-6, nyaris tidak ada perubahan berarti di kota ini. Dengan kondisi bebas kendaraan bermotor, ditambah dengan tata kotanya yang cantik, elegan sekaligus misterius dan mirip labirin, membuat godaan untuk menyusuri kota ini sungguh-sungguh kuat. Sama menggiurkan dengan godaan untuk menonton film-film keluaran baru dari sutradara-sutradara kelas A. Tapi apa daya tugas menanti. Satu-satunya cara untuk menahan godaan adalah mencoba untuk tidak peduli dengan tawa riang gadis-gadis remaja dengan rok pendek dan tank top, atau mencoba cuek dengan para ‘young lovers’ yang seperti sedang ikut lomba reality show ‘the most romantic couple’ atau mencoba tidak iri dengan pasangan kakek nenek yang bergenggam tangan mesra. Toh, saya punya masalah sendiri: beradaptasi dengan air. Kesalahan pertama saya mengunjungi festival film di Venesia ini adalah soal tempat. Awalnya saya pikir, sesuai namanya Film Festival Venesia pasti akan berlangsung di dalam kota Venesia dan saya bisa berjalan kaki ke pusat festivalnya. Ternyata: “Festival itu di Lido,” kata pengurus hotel tempat saya menginap. Mmm...Lido itu apa dan di mana? “Lido itu di pulau lain, tuh di sana,” katanya sambil menunjuk jejeran kerlap kerlip lampu nun jauh di tengah kepungan air. Saya langsung lemas dan jadi teringat pulau Khayangan di kota Makassar. Walaupun saya bisa dibilang sebagai ’anak pulau’, saya paling takut air. Dalam hal berenang, saya hanya bisa gaya lompat botol, alias asal nyemplung dan jarang bisa mengapung. Padahal satu-satunya cara murah untuk sampai ke Lido adalah dengan naik bus air yang disebut Vaporetto. Atau kalau saya anak orang kaya, saya bisa menyewa helikopter yang tentu saja tidak mungkin karena nama bapak saya bukan Hilton atau Al Fayed. Kesalahan kedua adalah mengira bahwa Vaporetto seperti bus jurusan Pasar Minggu – Blok M. Asal nomernya benar, pasti

ATAS: Palazzo Del Casino. BAWAH: Menunggu artis lewat. Foto oleh Asmayani Kusrini.

758

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

tiba di tempat tujuan. Hari pertama yang saya niatkan khusus untuk mengurus hal-hal administrasi dan bertemu dengan beberapa delegasi festival jadinya kandas karena hal sepele, salah naik jurusan Vaporetto. Akhirnya saya seperti bola pingpong, naik turun pemberhetian Vaporetto tapi tidak pernah sampai di Lido yang katanya hanya 45 menit dari tempat saya. Akhirnya, saya kembali ke tempat awal saya naik Vaporetto dan hingga sekarang merasa dunia seperti oleng ke kiri dan ke kanan. Maka, akibat kesalahan ini, film pembuka festival film Venesia yang namanya resminya adalah 65th Mostra Internazionale d’Arte Cinematografica, Burn After Reading karya Coen bersaudara pun lewat sudah. Tapi masih banyak film yang bakal diputar di sini. Di akhir tulisan ini, saya tuliskan daftar film yang akan diputar di program kompetisi di Festival Film Venesia ini.

Menyusuri Mostra di Lido Orang pertama yang saya temui dan terlihat akrab di festival Venesia ini tak lain adalah Gertjan Zuilhof. Programmer festival film Rotterdam ini berdiri sendirian di ruang akreditasi yang masih kosong. Ia mengeluh karena proses akreditasinya tak kunjung beres, dan itu berarti dia belum bisa mulai menonton film. Tapi dengan bersemangat, Gertjan bercerita tentang kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu ke berbagai tempat di Indonesia antara lain ke Belitung, Pelabuhan Ratu dan Jogjakarta. Setelah selesai bertukar cerita, saya mulai mengeksplorasi area Mostra—yang bisa juga berarti eksebisi—yang baru pertama kali ini saya kunjungi. Wilayah Mostra Del Cinema terletak di tengah-tengah pulau Lido. Suasana yang penuh turis dan cuaca panas terik yang menyengat membuat saya teringat dengan pulau

ATAS: Poster foto-foto Anna Magnani di aula venue utama Venice Film Festival. BAWAH: Ruang Pers di Palazzio del Casino di Lido. Foto oleh Asmayani Kusrini.

760

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Bali. Satu hal yang bisa dipelajari adalah soal strategi penyelenggaraan festival di pulau yang terpencil ini. Selain bus air yang lalu lalang setiap 15 menit dari Venesia – Lido, tersedia juga bus khusus dari stasiun bus air ke area festival yang berhenti persis di depan gerbang Mostra. Selebihnya, sejak dari gerbang Mostra, nyaris tidak ada kendaraan bermotor lagi kecuali mobil-mobil mewah dari sponsor yang mengantar para bintang dan tamu ke karpet merah. Walaupun Venesia adalah area bebas kendaraan bermotor, di Lido peraturan ini tidak berlaku meskipun kendaraan bermotor di pulau ini bisa dihitung dengan jari. Saya membayangkan, kalau saja kita bisa memanfaatkan salah satu pulau di Kepulauan Seribu khusus untuk festival film internasional, pastinya akan asyik sekali. Aduh... hari ini, saya nyaris tertabrak sepeda karena keasyikan menghayal. Di dalam wilayah Mostra ada beberapa gedung utama dan sejumlah area khusus. Dari gerbang, area pertama dinamai movie village di mana beberapa tenda dibangun dan digunakan sebagai tempat penjualan tiket untuk publik, cafe dan restoran serta kegiatan-kegiatan informal lainnya bagi para moviegoers. Sejumlah sponsor juga membangun tenda di tempat ini. Setelah melewati movie village yang lebih merupakan wilayah ‘bongkar pasang’, di sampingnya ada gedung kotak besar bergaya 30-an yang dinamai Palazzo del Casino. Di gedung inilah pusat kegiatan non-menonton-film berlangsung, seperti pengurusan akreditasi, Press room dan segala hal yang berhubungan dengan media, gedung pertemuan, press conference, kantor komisi film, ruang industri, dan sebagainya. Karena luas ruang yang mencengangkan dan skala yang melebihi ukuran normal, Palazzo del Casino terasa kosong dan lapang meski disekat-sekat dan dibagi menjadi banyak ruangruang kecil. Di lantai satu bahkan bisa dimodifikasi menjadi sebuah sinema kecil, Sala Perla—berkapasitas 450 kursi—

ATAS: Salah satu area Mostra di depan Excelsior. BAWAH: Seberang Hotel The Westin Excelsior berjejer poster film yang akan diputar sepanjang festival. Foto oleh Asmayani Kusrini.

762

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

berdampingan dengan ruang pertemuan dan area sirkusi utama gedung. Setelah Palazzo del Casino yang terlihat menjulang, di sampingnya adalah gedung Palazzo Del Cinema yang didesain seperti kotak jangkrik memanjang dengan sebuah ‘lubang’ yang berfungsi sebagai jalan masuk. Disinilah pusat menonton film di Mostra. Gedung kotak jangkrik ini terdiri dari 4 teater: Sala Grande sebagai teater utama—kapasitas 1078 kursi—dan 3 teater yang lebih kecil: Sala Volpi, Sala Zorzi, dan Sala Pasinetti dengan kapasitas masing masing kurang lebih 150-an kursi. Di Palazzo del Cinema ini juga berkantor para petinggi festival, mulai dari Presiden Mostra, Direktur, dan programmer festival. Di belakang Palazzo del Cinema ada PalaLido yang kapasitasnya jauh lebih besar dari Sala Grande—kurang lebih 1300 kursi. Kapasitasnya yang jauh lebih besar dari Sala Grande membuat PalaLido sering dijadikan sebagai tempat pemutaran film untuk pers dan dan publik sekaligus. Agak jauh terpisah dari dua gedung utama ini adalah Hotel The Westin Excelsior, tempat awal diselenggarakannya festival film pertama kali di tahun 1932 yang kala itu diberi titel Esposizione d’Arte Cinematografica. Film pertama yang diputar ketika itu adalah Dr. Jekyll and Mr. Hyde karya Rouben Mamoulian. Hari ini, Excelsior—panggilan akrab hotel klasik ini —digunakan sebagai tempat menginap para tamu terhormat, tempat berkumpul para jetster dan eksekutif dari perusahaan film multinasional, dan sejenisnya. Nun jauh agak terpencil dari keramaian itu adalah PalaBiennale—1700 kursi—yang merupakan teater dengan kapasitas paling besar di antara semua teater di Mostra. PalaBiennale yang dibangun dengan menggunakan struktur tenda ini sebetulnya adalah gedung teater sementara sampai Palazzo del Cinema—yang akan segera dirombak dengan menggunakan

BUON GIORNO! ANTARA VENESIA DAN FILM FESTIVAL

desain arsitek perancis Rudy Ricciotti—selesai dimodifikasi dan diperbesar dengan kapasitas kursi lebih dari 2100. Keluhan soal lokasi dan gedung Palazzo del Cinema— dibangun tahun 1938—yang dianggap tidak lagi bisa mengakomodasi festival film ini bukan hal baru. Karena itu, pihak festival memutuskan untuk merombak Palazzo ini dengan desain yang lebih kontemporer dan kabarnya akan menyaingi desain gedung Festival Film Roma yang dikerjakan oleh arsitek ternama Renzo Piano. Rencananya, Palazzo del Cinema dengan wajah yang telah dipermak ini akan diresmikan pada tahun 2011 mendatang. Konon, permak wajah Palazzo del Cinema ini bukan melulu karena efektifitas, tapi soal gengsi. Maklum, Italia tidak mau kalah dengan Perancis. Gedung Palais du Cinema Cannes mungkin memang jelek dari segi wajah tapi sangat efisien dan efektif dari segi fungsi. Nah, Palazzo del Cinema Venice diniatkan akan mengungguli sepupu jauhnya itu dari berbagai sisi. Film yang diputar di seksi kompetisi di Festival Film Venesia yang ke-65 ini adalah sebagai berikut: Darren Aronofsky The Wrestler (USA) Guillermo Arriaga The Burning Plain (USA) Pupi Avati Il papà di Giovanna (Italy) Marco Bechis BirdWatchers (Italy / Brazil) Patrick Mario Bernard, Pierre Trividic L’Autre (France) Kathryn Bigelow The Hurt Locker (USA) Pappi Corsicato Il seme della discordia (Italy) Jonathan Demme Rachel Getting Married (USA) Haile Gerima Teza (Ethiopia / Germany / France) Aleksey German Jr. Bumažnyj soldat (Paper Soldier) (Russia) r Semih Kaplanoglu Süt (Turkey / France / Germany) r Takeshi Kitano Akires to kame (Achilles and the r r r r r r r r r r

763

764

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Tortoise) (Japan) r Hayao Miyazaki Gake no ue no Ponyo (Ponyo on Cliff by the Sea) (Japan) r Amir Naderi Vegas: Based on a True Story (USA) r Mamoru Oshii The Sky Crawlers (Japan) r Ferzan Özpetek Un giorno perfetto (Italy) r Christian Petzold Jerichow (Germany) r Barbet Schroeder Inju, la Bête dans l’ombre (France) r Werner Schroeter Nuit de chien (France / Germany / Portugal) r Tariq Teguia Gabbla (Inland) (Algeria / France) r YU Lik-wai Dangkou (Plastic City) (Brazil / China / Hong Kong/China / Japan)

Asmayani Kusrini

5 September 2008, 15:08

65th Mostra Internazionale d'Arte Cinematografica

Menonton Hantu Gentayangan ala Questi Fantasmi

R

oberto Rossellini pernah bikin film fantastik horor? Saya langsung mengkerutkan kening dan merasa rendah diri karena merasa kurangnya pengetahuan saya tentang film. Di antara semua film-film Rossellini yang pernah saya tonton—mulai dari Roma Open City , Paisa , Germany Year Zero hingga Il Mesia—tidak ada satupun yang menunjukkan indikasi genre fantastik horor. Maka dengan semangat seorang arkeolog yang sedang menggali situs kuno, saya menyempatkan diri untuk antri menonton La Forza e La Ragione karya Rossellini yang ada dalam jadwal. Sampai akhir film pendek 37 menit itu, saya hanya bisa bingung kenapa film itu masuk kategori fantastik film. La Forza e La Ragione ternyata adalah film dokumenter tentang mantan Presiden Chili, Salvador Allende. Akhirnya dengan sedikit segan saya bertanya, ”Bukankah program Questi Fantasmi ini untuk film fantastik? kok bisa filmnya Rossellini masuk kategori ini?”. Orang

766

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

yang saya tanyai terlihat tak sanggup menahan tawa tapi cukup maklum. Questi Fantasmi ternyata jauh melenceng dari dugaan saya. Program ini adalah program khusus retrospeksi film-film dari sutradara Italia yang selama ini ’disembunyikan’ dari publik karena persoalan politik. Film-film ini dianggap sebagai hantuhantu gentayangan—Fantasmi atau Phantom—ditumpukan arsip Cineteca Nazionale (macam Sinematek). Film-film yang dibuat periode tahun1946 hingga 1975ini pada umumnya film-film yang ’penuh amarah’ terhadap fasisme, sangat kritis terhadap masalah sosial, lantang menyerukan sikap politis para pembuatnya hingga batas yang sangat radikal dan membuat pemerintah Italia terpaksa menahannya bertahun-tahun di arsip mereka. Usai menonton La Forza yang ternyata rekaman orisinil percakapan antara Rossellini dan Allende itu, saya malah tidak sanggup menahan godaan untuk mengabaikan saja film-film kompetisi dan memilih menonton ’hantu-hantu’ ini. Ooooh, jangan salahkan saya! Siapa bisa menolak untuk menonton Una Vita Violenta yang diadaptasi dari novel karya Piere Paolo Pasolini —dan satu-satunya yang diangkat ke layar lebar—oleh sutradara Paolo Heusch bekerja sama dengan Brunello Rondi. Atau film pendek Pasolini—pendek karena film ini tidak pernah diselesaikan—Il Padre Selvaggio yang disyut di perkampungan gipsi di pinggiran kota Roma. Ada lagi film-film yang tidak pernah diedarkan karya para maestro seperti Luigi Zampa, Franco Rossi, Fellini, Vittorio de Sica, Gian Vittorio Baldi, dan banyak lagi. Maka hingga hari ini, saya adalah pengantri setia di SalaVolpi, salah satu teater kecil di Palazzo Del Cinema tempat reguler untuk pemutaran film-film dalam program Questi Fantasmi. Berdasarkan pengalaman’hantu’ ini, saya kemudian menyadari bahwa persoalan bahasa bisa jadi masalah. Kecuali nama program seperti Venezia 65 (yang berarti program

Para penonton program Questi Fantasmi. Foto oleh Asmayani Kusrini.

768

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

kompetisi utama), dan Settimana Della Critica yang mudah ditebak karena mirip bahasa Perancis Semaine de la Critique yang artinya Critics’ Week, nama program yang lain nyaris tak bisa ditebak. . Yang lainnya ada Fuori Concorso, Orrizonti, dan Corto Cortissimo. Setelah bertanya ke sana ke mari barulah saya paham arti masing-masing program. Kompetisi utama di Mostra adalah Venezia 65—daftarnya ada di tulisan bagian pertama—dengan penghargaan utama Golden Lion (Leone D’oro per il miglior film) untuk film terbaik, Silver Lion(Leone D’argento per la migliore regia)untuk sutradara terbaik, Special Jury Price (Premio Speciale della Giuria), Coppa Volpi (per la migliore interpretazione femminile / maschile)untuk aktor dan artis terbaik, Marcello Mastroianni Award (Premio Marcello Mastroianni a un giovane attore o attrice emergente) untuk aktor dan artis pendatang baru terbaik, dan Osella(per il miglior contributo tecnico) untuk kontribusi teknik terbaik dan Osella (per la migliore sceneggiatura) untuk screenplay terbaik. Sementara official program lainnya terdiri dari Fuori Concorsa adalah kategori Out Of Competition, Orrizonti bisa juga berarti horizon dan Corto Cortissimo berarti Short Film. Nah, siapapun yang berkesempatan untuk berkunjung ke Mostra, semoga tidak lagi salah mengartikan program-programnya. Dan berikut adalah daftar-daftar film yang masuk di masing-masing seksi itu Out of Competition

r Paolo Benvenuti Puccini e la fanciulla – Italy, 84’ (Riccardo Moretti, Tania Squillarlo, Giovanna Daddi, Debora Mattiello, Federica Chezzi) r Joel Coen, Ethan Coen Burn After Reading – USA, 95’ (George Clooney, Brad Pitt, Frances McDormand, John Malkovich, Tilda Swinton) r Claire Denis 35 Rhums – France / Spain, 100‘ (Alex

MENONTON HANTU GENTAYANGAN ALA QUESTI FANTASMI

Descas, Grégoire Colin, Nicole Dogue, Mati Diop) r JIA Zhangke Heshang aiqing (Cry me a river ) (short film) – China / Spain / France, 19’ (Tao Zhao / Hongmei Wang) r Minoru Kawasaki Girara no gyakushu / Samitto kiki ippatsu! (Monster X Strikes Back: Attack the G8 Summit!) – Japan, 98’ (Natsuki Kato, Kazuki Kato, Hirohisa Nakata, Susumu Kurobe) r Abbas Kiarostami Shirin – Iran, 92’ ( Juliette Binoche, Mahnaz Afshar, Niki Karimi) r José Mojica Marins Encarnação do demônio – Brazil, 90’ (José Mojica Marins, Débora Muniz, Raymond Castile) r Mario Monicelli Vicino al Colosseo c’è Monti (short film) – Italy, 22’ (documentary) r Nonzee Nimibutr Puen yai jom sa lad (Queens of Langkasuka ) – Thailand, 147’ (Ananda Everingham, Jarunee Suksawat, Sorapong Chatri) r Manoel de Oliveira Do Visível ao Invisível (short film) – Brazil / Portugal, 7‘ (Leon Cakoff, Ricardo Trepa) r Agnés Varda Les Plages d’Agnès – France, 100’ (documentary) r Fabrice du Welz Vinyan – France / UK / Belgium, 95’ (Emmanuelle Béart, Rufus Sewell) Orizzonti

r Ramin Bahrani Goodbye Solo – USA, 91‘ (Souleymane Sy Savane, Red West, Diana Franco Galindo) r Julio Bressane, Rosa Dias A Erva do Rato – Brazil, 80’ (Alessandra Negrini, Selton Mello) r Lav Diaz Melancholia – Philippines, 450‘ (Roeder Camanag, Angeli Bayani, Perry Dizon) r Jean-Pierre Duret, Andréa Santana Puisque nous

769

770

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

sommes nés - France / Brazil, 90’ (documentary) r Philippe Grandrieux Un lac – France, 90’ (Dmitry Kubasov, Natalie Rehorova, Alexei Solonchev) r HUANG Wenhai Women - China / Switzerland, 102’(documentary) r Mikhail Kalatozishvili Dikoe Pole (Wild Field) – Russia, 104‘ (Oleg Dolin) r Mirko Locatelli Il primo giorno d’inverno – Italy, 88’ (Michela Cova, Mattia De Gasperis, Andrea Semeghini) r Ross McElwee In Paraguay – USA, 78’(documentary) r Avi Mograbi Z32 – Israel / France, 81’(documentary) Bahman Motamedian Khastegi (Tedium ) – Iran, 76’ (Asghar Nejad, Ghavi Bal, Moghaddam, Sayanpoor) r Gerardo Naranjo Voy a explotar – Mexico, 106’ (Maria Deschamps, Juan Pablo De Santiago, Daniel Giménez Cacho) r Arnaud des Pallières Parc – France, 149‘ (Sergi Lopez, Jean-Marc Barr, Nathalie Richard, Laurent Delbecque, Delphine Chuillot) r Francis Xavier Pasion Jay – Philippines, 96‘ (Baron Geisler, Flor Salanga, Coco Martin) r Eugenio Polgovsky Los Herederos – Mexico, 90‘ (documentary) r Marco Pontecorvo PA-RA-DA – Italy / France / Romania, 100‘ (Jalil Lespert, Evita Ciri, Daniele Formica) r Gianfranco Rosi Below Sea Level – Italy / USA, 110‘ (documentary) r Andreï Schtakleff, Jonathan Le Fourn L’Exil et le royaume – France, 165‘ (documentary) r Emily Tang, Wanmei Shenhuo (Perfect Life) – China / Hong Kong, 97’ (Yao Qianyu, Cheng Taishen)

MENONTON HANTU GENTAYANGAN ALA QUESTI FANTASMI

r Tariq Tapa Zero Bridge – India / USA, 96’ (Emran Tapa, Ali Muhammed, Taniya Bhat) Questi Fantasmi

r Un uomo ritorna (Revenge) by Max Neufeld (1946) – version digitally restored by the Cineteca Nazionale and Ripley’s Film r Anni difficili (Difficult Years) by Luigi Zampa (1948) – version restored by the Cineteca Italiana di Milano, Cineteca di Bologna, and Museo Nazionale del Cinema di Torino r Una lettera all’alba (A Letter at Dawn) by Giorgio Bianchi (1948) – reprinted by the Cineteca Nazionale r Il grido della terra (The Earth Cries Out) by Duilio Coletti (1949) – version restored by the Cineteca Nazionale r La città dolente (City of Pain) by Mario Bonnard (1949) – version restored by the Istituto Luce, Cineteca Nazionale and Cineteca del Friuli r Il cielo è rosso (The Sky is Red) by Claudio Gora (1950) – version restored by the Cineteca Nazionale r Processo alla città (The City Stands Trial) by Luigi Zampa (1952) – reprinted by the Cineteca Nazionale r La donna del giorno (The Doll That Took the Town) by Francesco Maselli (1957) – reprinted by the Cineteca Nazionale r Leoni al sole (Lions lying in the sun) by Vittorio Caprioli (1961) – reprinted by the Cineteca Nazionale r Una vita violenta (Violent Life) by Paolo Heusch e Brunello Rondi (1962) – copy from the Cineteca Nazionale r Tests for Padre selvaggio (The Wild Father) by Pier Paolo Pasolini (1962)

771

772

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

r Agostino (Agostino) by Mauro Bolognini (1962) – reprinted by the Cineteca Nazionale r Parigi o cara (Paris, My Love) by Vittorio Caprioli (1961) reprinted by the Cineteca Nazionale r La cuccagna (A Girl... and a Million) by Luciano Salce (1962) – version restored by the Cineteca Nazionale r I misteri di Roma (Mysteries of Rome) (film collettivo) (1963) – copy from the Cineteca Nazionale r La bella di Lodi (Beauty from Lodi) by Mario Missiroli (1963) – copy from the Cineteca Nazionale r Italia proibita (Forbidden Italy) by Enzo Biagi (1963) – copy from the Cineteca Nazionale r I basilischi (The Basilisks) by Lina Wertmüller (1963) – reprinted by the Cineteca Nazionale r Smog by Franco Rossi (1962) – copy from the Cineteca Nazionale r Pelle viva (Scorched Skin) by Giuseppe Fina (1962) – copy from the Cineteca Nazionale r Un mondo nuovo (A New World) by Vittorio De Sica (1966) – integral version from the Cineteca Nazionale including censored scenes r I mostri (15 from Rome) (1963) by Dino Risi – version restored by Cineteca Nazionale and Sky including two previously unreleased episodes starring Ugo Tognazzi: Il cerbero domestico and L’attore r Lo sceicco bianco (The White Sheik) (1952) by Federico Fellini – version restored by Mediaset Cinema Forever, including 40 new minutes found by the Cineteca Nazionale: Lo sceicco ritrovato r E il Casanova di Fellini? (What About Fellini’s Casanova?) (1975) by Gianfranco Angelucci and Liliane Betti – reprinted by the Cineteca Nazionale with the collaboration of RAI Teche

MENONTON HANTU GENTAYANGAN ALA QUESTI FANTASMI

r Three advertisements for Banca di Roma (1992) by Federico Fellini with Fellini’s voice– copy from the Cineteca Nazionale r La forza e la ragione (Power and Reason) (1971) by Roberto Rossellini (interview with Salvador Allende) – previously unreleased version with the original soundtrack restored by the Cineteca Nazionale r Arcana (1972) by Giulio Questi – previously unreleased integral version reprinted by the Cineteca Nazionale r Nostra Signora dei Turchi (Our Lady of the Turks) (1968) by Carmelo Bene – integral version restored by the Cineteca Nazionale r Fuoco! (Fire!) (1968) by Gian Vittorio Baldi – version restored by the Cineteca di Bologna r Flashback (1969) by Raffaele Andreassi – reprinted by the Cineteca Nazionale r Toh è morta la nonna (Oh, Grandmother’s Dead) (1969) by Mario Monicelli – copy from the Cineteca Nazionale r L’italiana in Algeri (1968) animation short film by Emanuele Luzzati – copy from the Cineteca Nazionale Corto Cortissimo In Competition

r Carlos Armella Tierra y Pan (Land and Bread) – Mexico, 8’ r Bif Dix (Ten) – France / UK, 7’ (Ian Faure, Lucien Momy, Alain Choquet) r Koen Dejaegher De onbaatzuchtigen (The Altruists) – Belgium, 14’ r Pierre Eden Simon Noces de cendre (Ashes Engagement) – Belgium, 13’ r Giacomo Gatti, Francesco Carrozzini 1937 – USA /

773

774

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Italy / France, 24’ (Olek Krupa, Anne O’Sullivan) r Philip Haas The Butcher’s Shop – USA 7’ (Adam Buton, Tam Mutu, Ivan Putrov, Aaron Hunt, Lydia Bewley) r Ivana Lalovic Ich träume nicht auf Deutsch – Switzerland / Bosnia and Herzegovina 15’ (Luna Mijovic, Zenit Djozic, Lana Stanisic) r LIU Hui Wode (Mine) – China, 29’ r Christophe Loizillon Corpus/corpus – France, 26’ r Catriona MacInnes I’m In Away From Here – UK, 22’ (Garry Collins, Robert Softley) r Jonas Odell Lögner (Lies) – Sweden, 13’ r Karchi Perlmann Vacsora (The Dinner) – Hungary, 26’ (Piroska Molnár, Olga Koós, Lázló Klementisz) r Dang Di Phan Khi toi 20 (When I’m 20) – Vietnam, 20’ r Igor Šterk Every Breath You Take – Slovenia, 10’ (Igor Samobor, Enya Belak, Zan Perko, Jan Slunecko) r Martin de Thurah Vi der blev tilbage – Denmark, 25’ r Peter Thwaites The Stars Don’t Twinkle In Outer Space – UK, 10’ r Tanel Toom Teine tulemine (The Second Coming) – Estonia, 27’ r Joost Van Ginkel Zand (Sand) – Netherlands, 20

Asmayani Kusrini

5 September 2008, 15:08

65th Mostra Internazionale d'Arte Cinematografica

Kembalikan Uang Kami!

S

etiap kali melewati Movie Village, selalu saja ada pemandangan ini: orang berkumpul di depan sebuah papan. Ekspresi mereka kala memandang papan ini begitu penuh warna: cekikikan, serius, saling berbisik, menunjuknunjuk, geleng-geleng kepala, mengkerutkan kening, dan banyak lagi. Aktivitas ini berlangsung hampir setiap waktu. Pagi hari ketika saya menuju Palazzo del Cinema, orangorang sudah berkumpul di depan papan itu. Siang saat ingin rehat di Movie Village, lagi-lagi papan itu sudah dikerubungi orang. Sore waktu ingin minum kopi di warung, panitia sudah sibuk menempel-nempel kertas dengan kepala bertuliskan Ridateci I Soldi! Malam saat usai menonton film terakhir pun, orang-orang seperti merasa wajib untuk menengok papan itu. Awalnya saya pikir, papan itu untuk iklan lowongan pekerjaan yang biasanya banyak bertebaran sepanjang musim panas. Jadi saya tidak begitu peduli. Apalagi hampir semua tulisan

776

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

di papan itu ngoceh dalam bahasa Italia, jelas saya tidak berminat. Tapi lama-lama saya penasaran juga. Makin hari, papan itu makin penuh dan tidak hanya berisi tulisan tapi juga gambar dan kadangkadang komik strip. Suatu ketika, saat sedang menanti pemutaran film Jay karya sutradara Filipina Francis Xavier Pasion di program Orizzonti, seorang pria gondrong asyik cekikikan dengan temen se-geng-nya sambil memamerkan sebuah foto dalam kamera poketnya. Saya yang paling tidak tahan kalau melihat orang ngerumpi akhirnya ikutan nimbrung. Untungnya, orang Italia memang suka sekali bercerita. Film-film dari gerakan neorealis termasuk yang paling rajin menampilkan ciri utama orang Italia ini: suka bicara dengan suara lantang dengan tempo sangat cepat sampai memperlihatkan urat leher mereka. Saya pikir, orang-orang macam itu hanya ada dalam film. Ternyata, karakter orang Italia memang seperti dalam filmfilm itu. Kembali ke soal ngerumpi tadi, tak disangka hanya dari sebuah pertanyaan singkat saya: “mmm, itu apa sih Pak?”, saya kemudian mendapat segudang informasi tentang papan yang bikin saya penasaran tiap hari itu. Tidak hanya dari si pria gondrong, tapi juga dari teman-temannya yang tidak segan-segan bercerita panjang lebar. Pria gondrong, yang mengingatkan saya dengan figur Hulk Hogan yang hobi membanting-banting orang itu, bercerita tentang foto yang diambil dari papan di Movie Village. Dalam foto itu sebuah tulisan ‘galak berteriak’: MULLER TI RIVOGLIAMO A FARE YOGHURT!. “Ini artinya kurang lebih, Muller kembalilah membuat yoghurt!” (Muller = Marco Muller, Direktur Venice Film Festival). Kabarnya memang banyak yang kecewa dengan program film-film pilihan di program kompetisi tahun ini. Dan lontaran kekecewaan tentu saja dilampiaskan kepada penanggung jawab

KEMBALIKAN UANG KAMI!

program. Nah, bagi mereka yang kecewa, tersedia sebuah ‘wadah mengeluh’ yang menampung semua keluhan yang berhubungan dengan Mostra. ‘Wadah keluhan’ berbentuk papan yang dipajang di Movie Village inilah yang terkenal dengan nama papan Ridateci I Soldi. Dinding Ridateci I Soldi atau biasa juga disebut Wall Of Shame adalah sebuah program independen yang dibuat oleh sekelompok kritikus Italia. Mottonya adalah semua orang bisa mengkritik. Entah itu film, program, acara, atau apa saja. Tapi tentu saja sasaran utama adalah kritik film-film yang ditonton oleh penonton selama festival berlangsung. Disarankan setiap orang yang ingin menulis di Wall of Shame membuat tulisannya singkat, padat, to the point, dan jelas, dalam bentuk apa saja. Entah itu tulisan, komik strip, atau gambar selama bisa muat di selembar kertas A4 berkop surat Ridateci I Soldi itu. Siapa saja yang ingin menulis kritik bisa langsung datang di depan papan ini, mengambil kertas berkop Ridateci yang selalu tersedia di meja, menulis, menyerahkannya kepada panitia yang langsung memasangnya di papan. Satu-satunya syarat yang harus dipenuhi untuk bisa menulis di sini adalah mencantumkan alamat email dan nama asli. Meski terlihat sebagai program ‘lucu-lucuan’, sebetulnya Ridateci I Soldi ini sangat serius digarap oleh pembuatnya. (Sayangnya, hingga saat ini, saya tidak pernah sempat bertemu langsung dengan Gianni Ippoliti, sang penggagas Ridateci). Pada akhir setiap festival, program kritik yang baru berusia 10 tahunan ini akan memilih finalis dan pemenang kritik terbaik dengan memberikan sebuah piala kayu yang juga diberi nama Ridateci I Soldi Coppa 2008 Codacons. Ridateci I Soldi!—yang ternyata jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa berarti Kembalikan Uang Kami!— juga bukan nama yang dipilih asal-asalan. Tidak seperti festival film lainnya yang cenderung menjual tiket dengan harga murah

777

778

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

selama festival, Film Festival Venesia justru menjadikan ajang ini sebagai ajang komersil. Meski terbuka untuk umum, festival ini menjual tiket dengan harga yang sungguh gila—dan bikin saya menganga— untuk film-film yang belum ketahuan betul mutunya. Penentuan harga juga sangat tergantung dari waktu dan tempat menonton yang dipilih. Untuk sebuh film yang diputar di Sala Grande, misalnya. Waktu tayang jam 11.00 pagi dan jam 14.00 siang harga tiket 10 euro (kalikan dengan Rp. 14.000; 1 Euro = 14.000 rupiah). Menjelang sore jam 16.30, harga naik menjadi 15 Euro. Semakin malam, jam 19.00—waktu prime time di mana seluruh cast and crew dari sutradara, aktor, artis hingga produser duduk di tengah-tengah penonton—harga tiket melambung menjadi 40 Euro. Menjelang tengah malam waktu tayang jam 22, harga turun menjadi 28 Euro dan jam tayang 24.00 harga kembali jadi 15 Euro. Ini untuk harga tiket per film. Kalau mau yang lebih afdol, panitia menawarkan tiket abonemen yang harganya hampir sama dengan cicilan rumah saya sebulan. Untuk tiket yang lebih murah tersedia di Pala Biennale yang rata-rata harga tiketnya 8 Euro per film di waktu senggang, dan 16 Euro diwaktu prime time. Dengan abonemen, harga tiket menjadi 160 Euro untuk penonton diatas 26 tahun dan 130 euro untuk penonton dibawah 26 tahun. Bandingkan dengan bioskop-bioskop kelas A di Eropa seperti Kinepolis, Pathe atau UGC, yang harga tiketnya rata-rata berkisar 8 Euro per film untuk penonton di atas 26 tahun atau abonemen berkisar antara 15 hingga 19 euro per bulan dan bisa nonton sepuasnya. Dengan harga tiket yang bikin pening itu, jelaslah penonton selalu berharap menonton film dengan kualitas A. Jika ternyata film yang ditonton tidak sesuai harapan, maka Ridateci I Soldi siap menerima limpahan uneg-uneg. Tidak heran jika setiap hari papan ini selalu dikunjungi orang, baik itu hanya sekadar ingin melihat

ATAS: Setiap pengunjung dan penonton film bisa menuliskan atau menggambarkan kritiknya. BAWAH: Piala Ridateci I Soldi! bagi pemenang kritik terbaik. Foto oleh Asmayani Kusrini.

780

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

komentar pedas terbaru atau juga ingin menambah makian yang semakin hari semakin bertumpuk. Kita tentu bisa maklum, dengan patokan harga tiket yang tidak bersahabat, sementara film yang ditonton juga tak layak, maka jangan salahkan penonton jika mereka berteriak lantang: Ridateci I Soldi !

Favorit Ridateci I Soldi Tahun Ini Menurut teman baru saya, Simona Tell yang sudah 8 tahun menjadi pengunjung tetap Mostra, setiap tahun selalu saja ada film-film favorit yang jadi bahan gunjingan di Ridateci. Tahun ini, menurut statistik, film Shirin karya terbaru Abbas Kiarostami-lah yang paling banyak ‘dituntut’. Saya sendiri suka dengan Shirin yang menggunakan konsep ‘menonton penonton menonton’ ini. Maka penonton pun disuguhi berbagai macam ekpresi dari 114 penonton (diantaranya Juliette Binoche) yang sedang menonton pertunjukan drama The Story of Khosrow and Shirin, adaptasi dari puisi kuno tentang cinta segitiga abad ke 12 karya penyair Nezami Ganjevi. ‘Menonton penonton menonton’ tentu saja bukan ide baru. Ingmar Bergman misalnya pernah mencoba ide ini dalam Trollflojten (The Magic Flute) tahun 1975 yang diadaptasi dari karya musik Mozart. Kurang lebih 10 menit pertama The Magic Flute ‘hanya’ mengamati reaksi penonton terhadap apa yang terjadi dipanggung. Abbas Kiarostami melakukan ini sepanjang 92 menit dalam Shirin. Sebanyak 114 penonton yang merupakan artis-artis film dan teater jelas sebuah pilihan ‘licik’. Kita tidak pernah tahu, apakah ekspresi itu adalah reaksi spontan atau ‘ekspresi buatan’. Dan di sinilah menariknya menonton mereka ‘berakting’. Tapi rupanya, Shirin membuat banyak orang kegerahan dan paling banyak dibahas di Ridateci. Untuk Shirin, ada yang menggambar

KEMBALIKAN UANG KAMI!

penonton gantung diri, ada pula yang menonton sambil makan es krim saking bosannya, dan banyak lagi ‘makian’ yang tidak saya mengerti. Selain Shirin, yang banyak di‘cela’ adalah film terbaru Barbet Schroeder, Inju La Bete dans L’ombre. Untuk film ini, saya setuju dengan para pemrotes di Ridateci. Inju diniatkan sebagai film misteri thriller tapi tak sanggup menjadi misterius dan tak mampu menjadi thriller. Olahan ceritanya seperti Alfred Hitchcock yang sedang kehabisan ide. Film ini hanya ingin ‘jualan’ keeksotisan kehidupan seorang Geisha dengan mencomot referensi dari berbagai film antara lain Kill Bill, V for Vendetta, dan entah apalagi. Tapi saya baru menyadari berbagai referensi film ini, justru karena melihat salah satu gambar yang terpampang di Ridateci. Maka untuk film Inju La Bete dans L’ombre, saya pun termasuk yang berteriak: Ridateci I Soldi !!!.

781

Asmayani Kusrini

7 Oktober 2019, 21:30

65th Mostra Internazionale d'Arte Cinematografica

Yang Terkenang dari Venesia

S

aya tidak punya bayangan apa-apa tentang Hayao Miyazaki. Bagaimana modelnya, bentuknya, usianya, pribadinya, siapa yang peduli. Saya hanya menonton film-filmnya yang selalu saja menggemaskan: Tonari no Totoro (My Neighbor Totoro), Majo no Takkyubin (Kiki’s Delivery Service), Sen to Chihiro no Kamikakushi (Spirited Away), Mononoke Hime  (Princess Mononoke), dan tentu saja  Howl no Ugoku Shiro (Howl’s Moving Castle). Tapi percayakah kalau saya bilang, Hayao Miyazaki adalah orang tua paling menggemaskan yang pernah saya temui? Rambut Miyazaki yang nyaris semuanya putih dengan mata sipitnya yang lucu dan bahasa tubuh seperti umumnya masyarakat Jepang (terbungkuk-bungkuk hormat setiap kali selesai bicara), sungguh membuat Mayazaki terlihat sama menggemaskan dengan karakter-karakter anak kecil dalam film-filmnya. Saya menyempatkan diri untuk bertemu Miyazaki di konferensi pers

YANG TERKENANG DARI VENESIA

di Palazzo Del Casino usai menonton film terbarunya Ponyo On The Cliff By The Sea. Ponyo membuat saya ingin sekali mencubit gemas Hayao Miyazaki. Bisa-bisanya dia membuat film yang membuat saya lantas merasa jadi anak-anak dan pengen terus jadi anak-anak. Padahal cerita Ponyo bukan cerita baru. Kisah ikan kecil yang ingin menjadi manusia ini diadaptasi dari dongeng karya HC Andersen, Little Mermaid. Tapi tidak seperti Mermaid buatan Walt Disney yang dipenuhi dengan ‘girly stuff’ (model rambut buatan salon, perhiasan centil atau body mermaid yang ala model serta pangeran impian yang tampan dengan badan kekar), mermaid buatan Miyazaki yang bernama Ponyo ini lebih ‘lugu’ dan sang ‘pangeran’ yang bernama Sosuke jauh lebih ‘cute’ dan baru berumur 5 tahun. Ponyo tidak ditaburi dengan angan-angan romantis yang berbunga-bunga tapi dengan caranya sendiri, Miyazaki mampu membuatnya terasa romantis tanpa kehilangan sentuhan realitas untuk menyampaikan pesan tentang persahabatan, hubungan antara manusia dan lingkungan hidup. Dari segi artistik, pastinya, yang sudah pernah menonton karya-karya Miyazaki langsung bisa mengenali ciri khas dan garis tangan pria kelahiran Tokyo, 67 tahun lalu ini. Dan tentu saja dengan mottonya, no CG touch ! Film lain yang sempat saya tonton di Venesia ini dan meninggalkan kesan yang cukup dalam adalah Achilles and The Tortoise karya terbaru actor-penulis-pelukis-sutradara nyentrik, Takeshi Kitano. Sesuai judulnya, Kitano menggunakan paradoks yang diciptakan oleh filsuf Zeno of Elea, bahwa bagaimanapun Achilles yang terkenal sebagai pelari tercepat itu tidak akan pernah mengalahkan kura-kura jika si kura-kura mulai berlari 100 kaki di depan Achilles. Paradoks ini digunakan untuk menggambarkan situasi seniman dan dunia seni dalam film Kitano. Walaupun paradoks Zeno ini dikemudian hari tidak berlaku jika menggunakan rumus

783

784

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

lain, tapi Kitano rupanya lebih memilih untuk percaya kepada teori in—mungkin—berdasarkan pengalamannya sendiri. Machisu—putra seorang pengusaha sutra kaya yang juga seorang kolektor lukisan—punya bakat melukis yang luar biasa diusianya yang belum lagi genap 12 tahun. Bakat dan keinginan Machisu untuk jadi pelukis makin berkobar saat seorang pelukis favorit ayahnya memuji dan menghadiahinya topi pet—yang kemudian tidak pernah lepas dari kepalanya. Dari sini, alur cerita  Achilles  mulai terasa pahit seiring dengan jalan hidup Machisu yang tragis itu. Di satu sisi, Kitano jelas memandang  kecut  terhadap ‘penghuni’ dunia seni (kolektor, pemilik galeri, kritikus, kurator). Tapi di sisi lain, Kitano juga seperti putus asa melihat kelakuan – dan dahaga tak henti-henti—para seniman-seniman yang terobsesi untuk selalu menemukan cara baru, gara baru, teknik baru, dan mencipatkan karya orisinil yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Rasa pesimis Kitano juga ditujukan kepada sekolah-sekolah seni yang menurutnya hanya menciptakan seniman-seniman ‘penjiplak’. Ironis memang. Tapi kita bisa percaya bahwa dalam situasi dan kondisi tertentu—khususnya seperti yang ditunjukkan oleh Kitano dalam filmnya—Achilles memang tidak akan pernah menang melawan kura-kura. Apalagi jika menonton lengkap trilogi ‘artistic frustration’ nya ini:  Takhesi’s,  Glory to The Filmmaker!  (pernah diputar di Rotterdam Film Festival), dan Achilles and The Tortoise. Rupanya, rumor bahwa Marco Muller—direktur festival ini —adalah penggemar film-film Asia khususnya Jepang benar adanya. Tidak hanya menjaring film Hayao Miyazaki dan Takeshi Kitano, tapi Muller juga berhasil menggaet Mamoru Oshii (Ghost in the Shell) dengan karya animasi terbarunya The Sky Crawlers. Bercerita tentang pilot handal yang tidak punya ingatan. Berbeda dengan film Miyazaki yang ‘cute’ atau Kitano yang ‘pesimis’, tema

YANG TERKENANG DARI VENESIA

film Oshii sangat ‘kelam’ dan menjinjing beban yang juga berat: immortal warrior yang diciptakan untuk jadi budak perang, masa lalunya dihapus dari memori otak, tapi kemudian mempertanyakan masa depan yang mungkin tidak ada—kecuali sebagai prajurit perang. Dan tentu saja ada film karya Minoru Kawasaki, Monster X Strikes Back: Attack the G8 Summit. Ketertarikan Muller terhadap Asia tidak hanya terbatas pada Jepang. Dalam daftar film tahun ini, setidaknya ada dua film dari Filipina (Melancholia karya Lav Diaz, Jay karya FX. Pasion keduanya di seksi Orizzonti), satu film dari Thailand (Queens of Langkasuka karya Nonzee Nimibutr di seksi Out of Competition), dari China ada Cry Me A River karya Jia Zhangke di seksi  Out Of Competition,  Women  karya Huang Wenhai dan Perfect Life karya Emily Tang di seksi Orizzonti. Dan sebuah film asal Vietnam, When I’m 20 karya Dang Pi Phan di seksi film pendek.

Festival Termahal Tentu saja banyak lagi film lain yang sempat saya tonton. Di antaranya  Shirin  (Abbas Kiarostami),  Inju La Bete Dans L’ombre  (Barbet Schroeder),  Machan  (Uberto Pasolini),  The Burning Plain (Guillermo Arriaga), dan terutama film-film di program Questi Fantasmi. Setelah kelelahan menonton film, saya baru menyadari perbedaan mendasar menonton film di Venice dengan menonton film di festival-festival lainnya. Menonton film di  Mostra Internazionale d’Arte Cinematografica  seperti sebuah beban tersendiri, karena ternyata film festival ini adalah festival dengan akreditasi termahal yang pernah saya kunjungi. Lima puluh Euro untuk sebuah akreditasi pers. (Dengan harga itu, saya bisa menonton 50 judul film di  Musee Du Cinema  Brussels).

785

786

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Bandingkan misalnya dengan Cannes yang gratis, Rotterdam 30 Euro, atau Berlin dengan program film terbanyak yang mematok harga 40 Euro. Fakta bahwa berjalan di atas karpet merah pun bisa ‘dibeli’ di Mostra membuat saya sedikit kecewa. Anda bisa melenggak lenggok di atas karpet merah bersama dengan para bintang dan sutradara diiringi hujan kilatan blitz, asal berani bayar 1300 Euro. Walaupun 1300 Euro itu untuk tiket berjalan di atas karpet merah Sala Grande selama 10 hari, tetap saja waktu mendengar jumlah itu, saya langsung pusing. Saya jadi ingat salah satu kalimat di film Achilles and The Tortoise. Nilai sebuah karya seni itu tidak melulu karena mutu, tapi kadang sangat tergantung dari ‘kemasan’. Menonton film di  Mostra  jadinya tidak semurni niat menonton film di Cannes atau Rotterdam atau di festival manapun yang pernah saya kunjungi. Di berbagai festival, mengejar pemutaran film selalu dengan alasan ‘artistik’ entah itu karena sutradaranya, tema filmnya, aktor atau artisnya, dan lainlain. Di Mostra, pindah dari satu pemutaran ke pemutaran film lainnya diiringi dengan kalkulasi biaya di kepala, penuh perhitungan untung rugi. Belum lagi kenalan-kenalan baru saya di Italia—baik yang yang punya akreditasi atau yang tidak—terus mengingatkan: Ricordi che i vostri soldi quei avete speso ! (Ingat uang yang sudah kamu habiskan!)

Amsterdam Fantastic Film Festival LAPORAN OLEH EKKY IMANJAYA

PADA 9-20 April lalu, hampir bersamaan dengan Cinemasia, Amsterdam Fastastic Film Festival digelar untuk ke-24 kalinya. Selain menyajikan tontonan dari genre fantasi, anime, cult, horor, dan thriller, ada tradisi penting yang terus dipelihara: The Night of Terror. Redaktur Rumah Film Ekky Imanjaya begadang semalam suntuk bersama sekitar seribu penonton film yang brutal dan ganas, tak kalah dengan hooligan sepakbola.

Ekky Imanjaya

Amsterdam Fantastic Film Festival

“Tet! Tet! Autobus!!!” BEGADANG BERSAMA PARA HOOLIGAN FILM FANTASI

A

walnya, saya agak sedikit bingung ketika petugas Pathe Tuschinski, Amsterdam, menghadang saya yang mau memasuki pintu gerbang bioskop tertua di Belanda itu. “Tolong tas dan jaket dititipkan dulu di sebelah saja,” ujarnya sambil menunjuk sayap kanan yang berubah menjadi tempat penitipan barang. Saya sejenak berpikir, “ada apa ini?”. Bukankah saya cuma mau menonton saja? Setahu saya, penitipan barang di negeri ini hanya untuk konser musik, sepakbola, dan masuk ke museum. Begitu saya masuk Zaal 1, studio terbesar dengan dua tingkat balkon, baru saya ngeh. Bersama sutradara Joko Anwar (yang meneraktir saya malam itu) dan kontributor Jakarta Post yang mahasiswa Phd Universitas Amsterdam Alpha Amirrahman, saya merasakan pengalaman menonton yang berbeda dari yang pernah saya alami sebelumnya. Acara itu bernama The Night of Terror, bagian dari tradisi Amsterdam Fastastic Film Festival

“TET! TET! AUTOBUS!!!”

(link: www.afff.nl) , sebuah ajang menonton empat film bergenre fantasi (horor, fiksi sains, anime, cult, fantasi, dan thriller) semalam suntuk, bahkan hingga pukul 08.00 pagi. Sekilas, saya teringat tradisi  old and new jaman dulu malam tahun baruan.   Saat jam menunjukkan pukul 00.30, di hari Minggu 13 April 2008. Begitu panitia keluar untuk membuka acara, suasana riuh. Teriakan membahana dari berbagai penjuru. Rol tisu toilet yang panjang-panjang berseliweran di udara, dari mana-mana, kertas-kertas sobekan berkilauan dilemparkan. Pemandu acara berusaha meneruskan pembicaraannya, tapi apa daya gemuruh suara mengalahkannya, walau dia sudah memakai mikrofon. Selama lebih dari lima menit, MC mencoba bicara tapi tetap tertelan keramaian. Baru setelah seorang panitia datang membawa mikrofon yang suaranya lebih keras dari kerumunan itu, baru ia bisa menjelaskan jadwal acara dan lainnya. Tapi, tetap saja, para penonton, yang sebagian berpakaian aneh-aneh, tetap melanjutkan cemoohan dan makian. Sebuah film pendek pemenang kontes menjadi korban “huuuuu” pertama. Kegiatan lainnya, Scream Queen contest, tentu juga terkena dampaknya. “Di Jakarta, saat Screamfest, penontonnya juga antusias seperti itu,” ujar Joko. Tapi saat pemutaran film pertama, [REC] (Jaume Balagueró, Paco Plaza, 2007—film zombie dengan pendekatan seperti Diary of the Dead, Cloverfield, atau Blairwitch Project), penonton tak menunjukkan tanda-tanda mereda, Joko melanjutkan pendapatnya,”…tapi kalau film diputar, kita harusnya diam. Ini mah sudah tahap menganggu,” lanjutnya. Tapi kami lama-lama memaklumi tradisi itu. Dua film lainnya, Hatchet (Adam Green, 2006m, komedi-slasher) dan yang terbaik Inside (Alexandre Bustillo, Julien Maury, 2007, thriller tentang wanita hamil tua yang diteror psikopat yang menghendaki anaknya), juga diperlakukan sama. Tentu saja mereka akan bertepuk tangan dan berteriak kesenangan kalau ada adegan seru seperti pembantaian, pembunuhan, atau hadirnya sosok antagonis.

789

790

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Teriakan-teriakan cemoohan itu antara lain, “Achter je! Homo!” (di belakangmu! Homo!), “Pas op dat schaap!” (hati-hati domba itu!), serta “Sterf dan Hoer!” (Matilah kau pelacur!). Yang paling sering adalah makian berbau rasis “Homo!”, yang membuat saya heran, mengingat Amsterdam adalah ibukota gay dunia dan pernikahan sejenis legal di sana. Ada juga suara-suara suitan dan peluit yang mengeluarkan suara erangan bayi. Tetapi yang mengganggu adalah klakson terompet yang berbunyi keras macam yang ditiup para hooligan sepakbola. “Tet! Tet!”. Dan, setiap orang yang mendengar ini, sepertinya ada kewajiban tak tertulis untuk menjawabnya: "Autobus!”. “Ini adalah tradisi kebanggaan kami,” ungkap salah seorang relawan yang menyebarkan angket di hari penutupan. Tradisi ini berawal 23 tahun lalu, saat Weekend of Terror bermula di Alhambra Theater, bilangan Weteringschans. Itulah kali pertama para penggemar film-film slasher berkumpul dan dengan serius menikmatinya, sedangkan para jurnalis dan pencinta film seni mengacuhkannya. Bahkan mereka punya situs tidak resminya di Situs: www.weekendofterror.nl. Kegilaan hooligan film fantasi ini sudah dari awal terlihat. Misalnya, saat sutradara Tim Burton hadir dan memberikan tanda tangan, banyak juga yang datang dengan kostum sesuai karakter di film-film Burton. Sayang, kasus saya dengan Madonna di Berlinale terulang, Burton harus pergi ke konperensi pers di saat saya (yang mengantre sejak 45 menit lalu) sudah tinggal menunggu sekitar 7-10 orang untuk berhadapan dengan dia. “Saya bertemu dengan Depp di sebuah coffeeshop,” ungkapnya saat Q&A sesaat sebelum Edward Scissorhands diputar. Dan penonton pun tertawa, dan itu membuat Burton melanjutkan kalimatnya:”…tapi bukan coffeeshop yang ada di sini, lho..”. Maklum coffeeshop di Belanda adalah tempat untuk menghisap hashish dan ganja sepuasnya secara legal (setelah membayar tentunya). “Tapi tentu saja kami juga beberapa kali melakukan

Suasana lomba, cosplay dan keriuhan penonton, AFFF 2008. Foto oleh Ekky Imanjaya.

792

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

hal-hal seperti di coffeeshop di sini” imbuhnya. Film Burton lainnya yang diputar adalah Ed Wood dan Sleepy Hollow. Setelah Inside, kami sepakat untuk pulang, mengingat di hari itu ada pemutaran dua film Indonesia di penutupan Cinemasia, dan Joko menjadi pembicaranya. Waktu menunjukkan pukul 06.00 pagi, Subuh belum lagi tiba. Inilah sebuah pengalaman fantastis sebagai bagian dari hooligan film fantasi Belanda. “Tet! Tet!”, “Autobus!!!!”

Festival De Cannes 2009 LAPORAN OLEH ASMAYANI KUSRINI

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2009

Dari Pesta Demokrasi di Indonesia hingga Pesta Film di Perancis Catatan I dari Festival Film Cannes ke-62

K

risis ekonomi di seluruh dunia? Hmmm…. Beberapa event penting nampaknya tidak mengenal kata krisis dalam perbendaharaan katanya. Beberapa di antaranya yang bisa saya sebutkan dengan jelas: pemilu di Indonesia dan festival film Cannes yang tahun ini berusia 62 tahun. Tanpa perlu panjang lebar, alasannya jelas dengan fakta yang terpampang di depan mata. Lihat saja. Di tengah krisis ekonomi yang melanda seluruh dunia ditambah lagi dengan tragedi lokal yang bertubi-tubi, para peserta ‘pesta demokrasi’ di Indonesia itu menghamburhamburkan duit ke angkasa tanpa beban. Nah, seperti juga yang terjadi di ‘pesta perfilman’ di Cannes. Krisis ekonomi juga bikin pusing semua pemimpin negerinegeri di Uni Eropa. Masing-masing sibuk memikirkan jalan keluar karena rakyat sudah mulai gerah. Demo di mana-mana.

ATAS: Selamat bergabung dalam antrian. BAWAH: Suasana kota Cannes yang padat sepanjang Festival film berlangsung. Foto oleh Asmayani Kusrini.

796

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Mulai dari demo karyawan yang dipecat, kenaikan upah gaji buruh sampai pelajar dan mahasiswa yang minta biaya pendidikan yang sudah minimal itu—setidaknya jika dibandingkan dengan biaya pendidikan yang melunjak di Indonesia—diminimalisir. Tapi itu semua tidak membuat rakyat perfilman berhenti berbondong-bondong untuk memeriahkan pesta film di Cannes, kota kecil pesisir Cotê d’Azur itu. Krisis jelas tidak membuat penyelenggara festival kedodoran mencari dana untuk membiayai pesta kebanggaan mereka itu. Salah satu yang paling jelas adalah, backpack! Yup. Paket katalog, notebook, dan buklet sekitar informasi film yang hadir tahun ini dikemas dalam tas punggung, tidak lagi tas gantung seperti tahun-tahun sebelumnya—setidaknya selama saya mengunjungi festival ini. Biaya membuat tas punggung dengan banyak kantong itu tentunya lebih mahal dari biaya tas gantung sederhana. Bukti lainnya: pengunjung yang membludak. Ukurannya bisa dilihat di stasiun kereta Cannes. Polisi dikerahkan untuk mengatasi gelombang pendatang yang datang dari berbagai penjuru dengan kereta api. Ini tentu saja belum termasuk yang datang lewat bandar udara Nice. Saya sempat tertegun sejenak melihat panjangnya antrian yang menunggu taksi begitu keluar dari pintu utama stasiun yang mengalahkan ukuran panjang gedung stasiun Cannes sendiri. Belum lagi para tamu khusus yang dijemput juga dengan mobil khusus dari hotel-hotel berbintang. Tapi, seperti juga ‘pesta demokrasi’ di Indonesia yang nampak meriah dan sibuk menyembunyikan hal-hal tak menyenangkan, begitu pula yang terjadi di setiap gemerlap panggung dunia hiburan. Selalu ada cerita di balik layar yang tidak akan nampak oleh mata pengunjung biasa. Dan ini tentu saja karena keahlian programmer-programmer Cannes untuk menyediakan ‘umpan lezat’ bagi masyarakat film. Karena itu, mari kita nikmati saja

DARI PESTA DEMOKRASI DI INDONESIA HINGGA PESTA FILM DI PERANCIS

Festival Film Cannes yang sudah makin tua ini, sambil mencari tahu dalam 12 hari ke depan mengapa Cannes tidak pernah kehabisan daya tariknya. Bienvenue à Cannes !!!

797

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2009

Kembalinya si Anak Bandel dari China

Catatan dari Festival Film Cannes ke-62: 13 Mei 2009

K

ehebohan dan kegilaan itu kemudian di mulai di berbagai sudut kota Cannes. Sepanjang jalan terlihat antrian panjang di mana-mana. Mulai dari antrian menunggu taksi di stasiun, antrian para tamu di depan hotel menunggu diladeni oleh porter, antrian di kedai es krim yang sangat laku karena matahari bersinar terik-teriknya, antrian para moviegoers, mofiebuffs, atau apapun namanya di depan Palais Du Cinema hingga antrian di depan pintu akreditasi festival di lantai 1 Palais. Kartu akreditasi satu persatu mulai menemukan pemiliknya. Ada yang turun pangkat, ada yang naik, dan ada juga yang masih setia diposisi semula. Contohnya adalah saya. Kartu biru masih belum rela posisinya digeser. Tapi seorang apartementmate saya naik pangkat dari biru ke pink tahun ini. Menjadi satu-satunya pangkat biru di antara para pink, itu berarti saya harus melakukan segalanya lebih dulu. Istilah rekan

KEMBALINYA SI ANAK BANDEL DARI CHINA

saya ‘motor penggerak’ untuk memulai hari. Mulai dari sarapan lebih pagi, meninggalkan rumah lebih dulu, mengantre paling depan, tapi menunggu lebih lama. Tapi paling tidak, saya tidak mendapat kartu kuning. And life is beautiful. Lebih baik berpikiran positif terus. Ingat pesan nenek moyang. Resepnya cuma satu: bangun pagi banyak rejeki. Maka, mengutip seperti kata bapak penjaga pintu di ruang akreditasi: Welcome to the festival and enjoy the films! Dan karena ini di Perancis, maka menjawab dalam bahasa Perancis tentu lebih afdol: Ah…merci et bien sûr, Monsieur !. Well, seperti biasa, di hari pertama tidak banyak pilihan film yang tersedia. Hanya ada film animasi UP dari program out of competition yang disutradarai Pete Docter dan Spring Fever dari program kompetisi utama karya Lou Ye si anak nakal dari China. Film UP akan meresmikan dimulainya pesta film prestisius ini dan diputar di teater utama Palais, Grand Theatre Lumiere lengkap dengan ritual berjalan di atas karpet merah yang melegenda itu. Saya jelas tidak berminat untuk repot-repot mengenakan gaun dan sepatu berhak tinggi hanya untuk nonton film. Apalagi film animasi yang seminggu lagi bakal rilis di bioskop-bioskop. Karena itu saya memilih untuk menonton Spring Fever yang akan diputar di teater Salle Debussy, bioskop kedua terbesar di kompleks Palais. Ingat Lou Ye? Itu loh yang pernah bikin ngamuk pemerintah China karena Summer Palace, film yang pertama kali mengangkat kenangan peristiwa tragedi Tiananmen, masuk program kompetisi festival film Cannes tahun 2006 lalu. Film yang membuka lagi peristiwa memalukan bagi China itu dilarang peredarannya oleh pemerintah dan terpaksa dikeluarkan dari seksi kompetisi setelah ada ‘negosiasi politis’. Tidak hanya itu Lou Ye kemudian menerima ‘hadiah’ berupa larangan membuat film selama 5 tahun di China.

799

ATAS: Lou Ye sutradara Spring Fever yang kembali ke Cannes. BAWAH: Mereka yang beruntung mendapat kartu putih dan merah jambu. Foto oleh Asmayani Kusrini.

KEMBALINYA SI ANAK BANDEL DARI CHINA

Tapi Lou Ye tidak akan dapat julukan ‘sutradara bandel’ kalau hanya akan menunggu sampai masa hukumannya berakhir. Belum lagi 5 tahun, Lou Ye sudah kembali ke Cannes dengan film terbarunya ini, Spring Fever yang dibuat sembunyi-sembunyi di kota Nanjing. Tentu saja Spring Fever tak lepas dari elemen-elemen ciri khas Lou Ye: topik kontroversial—kali ini tentang gay yang sepertinya jadi topik favorit sutradara-sutradara Asia belakangan ini—, kehidupan urban kontemporer China yang disorot  ‘telanjang’, teknik kamera hand-held (kamera pegang) yang gelisah, tata suara yang tak mulus, dan tidak terlalu peduli pada komposisi . Secara teknis, Lou Ye tidak banyak peningkatan. Kalaupun ada yang berubah mungkin adalah keputusannya untuk lebih fokus pada cerita personal karakter-karakternya. Kalau Summer Palace cukup luas dengan menggabungkan kisah personal dengan sejarah politik, di Spring Fever, Lou Ye memilih untuk fokus pada jalinan kisah cinta yang rumit dengan emosi yang intens sambil mengambil referensi kutipan puisi-puisi penyair China di tahun 30an, Yu Dafu.

801

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2009

Boneka Seks dan Vampir Bersalib

Catatan Dari Festival Film Cannes ke-62: 14 Mei 2009

N

iat untuk menonton film sebanyak-banyaknya yang bisa ditonton kadang mengabaikan prioritas penting lainnya. Gara-gara melihat nama penting di daftar film hari ini, rasanya tak mungkin melewatkan film mereka. Lihat saja daftar hari ini dan catatan pinggirnya: 8.30

Grand Théâtre Lumière

Compétition Fish Tank (2h04), Andrea Arnold (selesai sekitar jam 10.34. Masih ada waktu sekitar 30 menit untuk antri di film selanjutnya. Agak telat untuk kartu biru. Tapi patut dicoba?) 11.00

Salle Debussy

Un Certain Regard Kazi Az Gorbehaye Irani Khabar Nadareh (No One Knows

BONEKA SEKS DAN VAMPIR BERSALIB

About Persian Cats) (1h46), Bahman Ghobadi (selesai sekitar 12.46. Press Conference Lou Ye jam 12.30. Tidak mungkin tiba tepat waktu.) 13.30

Salle Debussy

Un Certain Regard Kuki Ningyo (Air Doll), 2h05, Hirokazu Kore-eda (selesai sekitar 15.35. Cukup waktu mengantre film selanjutnya) 16.30

Salle Debussy

Compétition Bak-Jwi (Thirst), Park Chan-Wook, 2h13

Saya berhasil melewati itu semua dengan sukses, artinya mengantre tanpa perlu menghadapi tulisan ‘Complet Full’ saat giliran saya tiba. (Ini pernah terjadi saat mengantre untuk nonton No Country For Old Men-nya Coen bersaudara tahun 2007 lalu). Sampai usai menonton Bak Jwi nya Park Chan Wook yang pernah bikin Oldboy itu. Semua baik-baik saja. Di luar matahari masih bersinar walau waktu sudah menunjukkan angka 18.33. Tapi kemudian, sampai di luar Salle Debussy, badan mulai goyah, tangan mulai gemetar, kaki kaki terlihat bengkak dan di dalam perut saya ada mahluk mungil menendang-nendang protes. Barulah teringat, saya lupa makan siang! Apalagi usai menonton filmnya Park Chan Wook. Thirst banyak mengumbar darah muncrat dibandingkan Oldboy. Kita semua tahu karya-karya Park Chan Wook seperti Oldboy (mendapat Grand Prix di Cannes tahun 2003), Lady Vengeance, Sympathy for Mr. Vengeance dan salah satu film dalam Three Extremes. Chan Wook selalu saja berhasil membuat saya merem melek setiap kali menonton film-filmnya. Dan film

803

804

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

terbarunya Thirst membuat saya memecahkan rekor terbanyak merem. Thirst berkisah tentang seorang pastor taat dengan niat mulia untuk membantu umatnya menyembuhkan penyakitpenyakit berbahaya. Karena itu ia setuju untuk menjadi kelinci percobaan sebuah vaksin temuan baru. Percobaan itu malah membuatnya berubah. Pastor ini horny tak terkira, haus darah tak terbendung dan tiba-tiba punya kemampuan ilmu meringankan tubuh yang membuatnya bisa melayang-layang di udara. Lepas dari kemampuan film ini membuat saya mual-mual dan memaksa saya menutup mata berkali-kali, Thirst bertabur satir yang menyentil agama dan manusia-manusia hipokrit. Ini membuat Thirst jauh berbeda dari film-film vampir romantis macam Interview With The Vampire dan Bram Stocker’s Dracula. Selain itu, Chan Wook juga membuang semua atributatribut vampir yang selama ini sudah jadi ‘seragam’ vampir: cowok tampan, gigi taring, kastil seram, kelelawar, cermin, bawang putih, tusukan tepat dijantung, apalagi salib yang dipercaya bisa mengusir vampir…semua itu tak akan ditemukan dalam vampir ala Chan Wook. Vampir ini malah memakai salib, tidak punya taring dan juga tidak begitu tampan. Tapi menonton film memang pantas diperjuangkan. Di atas segala kemegahan karpet merah, di antara hiruk-pikuk kegiatan festival dari hari ke hari, ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa diukur walaupun dalam taraf tertentu akhirnya bisa membahayakan. Lupa akan prioritas penting lainnya, misalnya lupa makan. Tapi sebetulnya ini semua bisa diatasi. Kuncinya hanya satu: jangan lupa menyusupkan biskuit, coklat, cemilan kecil serta sebotol kecil air. Jadi Anda tidak perlu repot memikirkan makan siang.

ATAS: Crew film Thirst di acara konferensi pers Festival Cannes 2009. BAWAH: Kim Ok-Vin pemeran utama dalam film Thirst karya Park Chan Wook. Foto oleh Asmayani Kusrini.

806

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Dari pinggiran Inggris hingga ke Underground Iran Ok. Let’s talk about movies. Saya suka sekali dengan Fish Tank karya sutradara perempuan asal Inggris, Andrea Arnold. Fish Tank mengikuti tradisi realisme sosial yang sudah terlebih dulu dirintis oleh para senior seperti Ken Loach atau Dardenne bersaudara. Kita semua tahu, tidak mudah menjadi gadis berusia 15 tahun yang hidup dengan orang tua tunggal dan seorang adik perempuan, tanpa figur ayah. Mia, remaja 15 tahun itu, seperti kuda liar tanpa pemilik yang bingung akan berlari ke arah mana. Sampai suatu ketika, figur laki-laki dewasa masuk di kehidupannya dalam wujud Connor (Michael Fassbender) kekasih sang ibu. Hadirnya Connor membuat Mia merubah cara pandang terhadap dirinya sendiri. Storyline yang terdengar klise tapi Andrea Arnold membuat Fish Tank menjadi objek observasi tentang hubungan dinamis—walau tidak harmonis—antar karakter-karakternya. Lalu film terbaru dari Bahman Ghobadi, Kasi Az Gorbehaye Irani Khabar Nadareh (No One Knows About Persian Cats) di program Un Certain Regard, juga tak kalah menarik. Film ini banyak dikritik karena mencampur aduk dokumenter dan fiksi, dan bahwa musik-musik latarnya membosankan, dan aktoraktornya berakting kaku, dan lain-lain. Saya bilang: so what?. Campur aduk bagi saya tidak masalah selama layak tonton. Musik-musiknya memang musik-musik yang umum didengar di mana-mana. Ada rap, pop rock, rock alternatif, hingga musik tradisional. No Knows kemudian jadi menarik karena memperkenalkan sebuah sisi lain yang belum pernah diangkat sebelumnya oleh sineas Iran. Tentang kehidupan dan perjuangan para musisi underground untuk bisa bebas memainkan musik karya mereka di bawah tekanan rezim yang ketat membatasi kreatifitas.

BONEKA SEKS DAN VAMPIR BERSALIB

Tentang akting. Well, semua orang tahu, Bahman Ghobadi nyaris tidak pernah memakai aktor-artis professional. Semua musisi yang ditemui di film ini adalah musisi underground dan beberapa actor non-profesional. Film ini pun disyut sambil ‘main kucing-kucingan’ dengan otoritas setempat. Dengan semua keterbatasan itu, dilengkapi dengan dialog-dialog ringan yang mengalir seperti obrolan di warung kopi, No One Knows menjadi film yang sangat kritis tanpa kehilangan energi humornya.

Boneka Seks Hirokazu Kore-eda adalah salah satu filmmaker yang punya pendekatan unik dalam setiap film-filmnya. Nyaris tidak ada perbedaan antara film dokumenternya (Without memory), film drama (Nobody Knows), hingga film semi-drama-fantastisnya (After Life). Di tangan Kore-eda, semua film-film itu punya sentuhan kesederhanaan yang nyaris magis menggunakan material-material nyata dan bukan olahan CGI. Hal yang sama pun ada dalam film terbarunya Kuki Ningyo (Air Doll). Kuki Ningyo berkisah tentang Nozomi, seorang (atau sebuah) boneka seks yang tiba-tiba menemukan nafas kehidupan dalam arti harfiah maupun dalam arti sebenarnya. Peralihan Nozomi dari boneka udara menjadi manusia dipresentasikan dengan ‘simple’ tanpa efek-efek rumit. Nozomi adalah ‘milik’ seorang pria kesepian yang menjadikan Nozomi sebagai ‘istri’. Lepas dari konotasi mesum boneka seks, Kore-eda justru membuat Air Doll sebagai media meditasi untuk mempertanyakan lagi esensi hidup manusia lewat sosok Nozomi. Ketika Nozomi menemukan hati, ia mulai bertanya mengapa ia kosong, mengapa ia ada, kapan ia ulang tahun, siapa yang menciptakannya. Sejumlah pertanyaan itu membawanya

807

808

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

pada keinginan yang lebih manusiawi, ia ingin hidup seperti manusia lainnya. Ia ingin mencintai, ia ingin bisa merasakan, ia ingin menjadi tua. Nozomi tidak ingin kosong lagi, ia tidak ingin hanya berisi udara. Di antara keinginannya untuk tidak kosong, Nozomi malah mendengarkan banyak pengakuan dari orang-orang yang ditemuinya. Bahwa hidup mereka kosong dan menyedihkan. Selain ingin merefleksikan kondisi psikologis masyarakat modern sekarang, Nozomi juga adalah proyeksi budaya konsumtif yang makin tak terbendung di kalangan masyarakat urban. Dengan sedih, Nozomi mendapati bahwa ia ternyata hanya ‘berharga’ tidak lebih dari 6000 yen dan bisa diganti ketika pemompa udaranya rusak.

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2009

Puisi, Film Rumahan, dan Woodstock

Catatan dari Festival Film Cannes ke-62: 15 Mei 2009

K

ehebohan di hari pertama dan gelombang para tamu mulai mereda. Kesan awal bahwa krisis tidak berpengaruh, agak meragukan. Tentu saja, jalanan masih —dan akan selalu—penuh dengan moviegoers, lengkap dengan mereka yang ‘memohon’ undangan untuk bisa menonton film. Tapi jika diperhatikan dengan teliti, hotel-hotel raksasa macam Martinez atau Majestic yang biasanya penuh dengan poster filmfilm berbudget menjulang, kali ini terlihat agak polos, bahkan nyaris telanjang. Gedung-gedung sepanjang pantai Croisette yang tahun-tahun sebelumnya tak pernah kosong dengan iklan, tahun ini terlihat polos. Lalu seorang rekan wartawan dari sebuah radio di Perancis mengabarkan bahwa radio tempat mereka bekerja sedang melakukan mogok kerja sebagai protes atas pemecatan besarbesaran terhadap rekan kerja mereka. “Biasanya, dari radio kami dikirim 10 wartawan, ditambah 4 hingga 6 orang teknisi

810

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

lapangan. Tahun ini hanya ada 5 orang plus 2 orang teknisi. Stasiun radio dan TV lainnya juga begitu,” kata rekan yang saya kenal saat sedang mengantre nonton ini. Dengan adanya mogok kerja itu, rekan ini akhirnya menghabiskan nonton film secara maraton sekaligus menghadiri pesta hampir tiap malam. “Saya nyaris teler tiap malam,” katanya. Jadi krisis itu rupanya memang ada. Tapi lupakan krisis sejenak. Mari kita menulis puisi. Saya suka membaca puisi. Pessoa, Rimbaud. Verlaine. Poe. De Campos. Reis. Dan saya membaca John Keats walaupun tidak terlalu terinspirasi dengan romantismenya. Mungkin itu juga yang membuat saya tidak terlalu antusias dengan film terbaru Jean Campion, Bright Star, terinspirasi dari salah satu karya Keats dengan judul yang sama. Enam belas tahun setelah memenangkan Palme d’Or di tahun 1993 untuk film The Piano, Jane Campion kembali ke Cannes dengan membawa Bright Star, tentang kisah cinta Fanny Brawne dengan John Keats, penyair aliran romantis di Inggris awal abad ke 19. Alur Bright Star bisa diduga, penuh dengan adegan-adegan melow dan dialog-dialog manis di mana hubungan cinta mereka berkembang hanya dari aktivitas sederhana macam sentuhan tangan atau surat cinta bercap bibir. Melihat karya-karya Jane Campion sebelumnya seperti The Piano dan The Portrait of A Lady, sutradara kelahiran New Zealand ini jelas adalah orang yang tepat untuk mengangkat kisah cinta yang jarang dibicarakan ini. Sentuhan khas Campion yang pernah terlihat di The Piano makin sempurna di Bright Star. Skenario yang rapi, shoot-shoot yang ditata sempurna dengan detail-detail yang kaya dan puitis serta akting yang juga menyamai capaian sinematografis. Bisa dibilang, film ini sempurna dari segala aspek. Plus menjadi salah satu film dengan nilai paling tinggi hingga hari ke 3. Sayangnya, seperti juga puisi-puisi Keats, film ini tidak bisa saya

ATAS: Jane Champion diapit oleh aktor dan artis pemeran dalam filmnya Bright Star. BAWAH: Abbie Cornish pemeran Fanny Brawne di Bright Star. Foto oleh Asmayani Kusrini.

812

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

masukkan dalam kategori film favorit. Alasannya cuma satu, film model begini bisa dinikmati di stasiun TV BBC tiap minggu. Tidak perlu jauh-jauh sampai ke Cannes.

Film Rumahan L’epine Dans Le Coeur (Thorn in My Heart) mungkin bisa jadi contoh dan penyemangat bagi mahasiswa jurusan film maupun filmmaker muda yang belum pede dengan karya mereka. Film dokumenter rumahan ini dibuat oleh seorang keponakan yang ingin memfilmkan tantenya, Suzette, yang bekerja sebagai guru sekolah dasar di desa kecil dan konservatif Cévennes, Prancis antara tahun 1952 hingga 1986. Film ini terpilih sebagai salah satu film yang diputar untuk Special Screening. Dokumenter ini terdiri dari banyak footage keluarga yang disyut dengan Super 8, lalu dokumentasi Suzette mengunjungi bekas-bekas sekolahnya dulu, wawancara dengan kerabat, bekas murid, dan teman dekat, dan tentu saja sentuhan si pembuat film dengan animasi untuk setiap pergantian tema dan waktu serta rekonstruksi bekas-bekas sekolah Suzette. Terlihat upaya si filmmaker untuk membuat tantenya terbiasa dengan kamera hingga pada titik tertentu, ia pun berhasil membuat Suzette bercerita tetang aib keluarga yang kemudian disebutnya sebagai ‘the thorn in my heart’. Setelah melalui banyak basa-basi soal kenangan masa-masa aktif sebagai guru, film rumahan—yang terus terang saja agak menjemukan ini—kemudian fokus lebih pada ‘aib’ keluarga tersebut dan akhirnya lebih seperti terapi psikologis bagi sang tokoh utama, Suzette. Sayangnya, ‘the thorn in my heart’ yang bisa menjadi pelajaran bagi siapa saja yang mengalami hal yang sama ini tidak cukup menarik untuk diceritakan sehingga film ini jadi terasa sangat dangkal.

Ang Lee (tengah) saat berjalan menuju ruang konferensi pers. Foto oleh Asmayani Kusrini.

814

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Saya hanya berpikir, jika si keponakan, si filmmaker yang membuat Thorn bukan bernama Michel Gondry, apakah film ini tetap akan dipilih untuk Special Screening? Jika misalnya, saya yang membuat film ini, apakah juga akan dilirik oleh para programmer Cannes? Seorang rekan yang saya sodori pertanyaan ini, menatap saya dengan miris lalu tertawa terbahak-bahak. “Huahahaha….jangan mimpi. Emang lu siapa !” kata teman saya. Katanya, kalo saya sudah sekelas Michel Gondry, mau membuat film tentang ayam bertelur pun pasti dilirik oleh festival papan atas. Kadang-kadang, nama memang penting. Seperti juga nama Ang Lee yang kembali bertandang ke Cannes dalam rangka membawa film terbarunya, Taking Woodstock. Tapi, jangan salah sangka. Taking Woodstock bukan tentang salah satu momen paling bersejarah dalam dunia musik dan budaya di Amerika di tahun 60 an itu. Peristiwa bersejarah itu hanya jadi latar belakang yang disediakan bagi tokoh utama film ini, Elliot Tiber. Jadi tidak ada Janis Joplin, tidak ada Jim Hendrix, tidak ada Bob Dylan. Yang terlihat hanya poster, Dylan: Show Yourself Please! Taking Woodstock sendiri terinspirasi dari buku yang ditulis Tiber tentang upayanya menyelamatkan bisnis keluarga yang nyaris bangkrut. Dari kesulitan keuangan dan situasi ekonomi yang bikin stress itulah, Tiber kemudian punya ide gile untuk mengundang penyelenggara Woodstock—yang kala itu ditolak oleh otoritas Woodstock, sehingga Woodstock tidak jadi diselenggarakan di Woodstock walaupun tetap menggunakan nama Woodstock—ke desanya. Nah, kesibukan menyiapkan ‘ledakan budaya’ terbesar, tergila dan termegah itulah yang jadi cerita utama di Taking Woodstock—yang tidak diselenggarakan di Woodstock itu. Taking Woodstock juga bercerita tentang sejumlah karakter yang berinteraksi dengan Tiber serta cara mereka menghadapai kegalauan terhadap pertanyaan eksistensial ala remaja yang sedang beranjak dewasa.

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2009

Scorsese Menyelamatkan Film, Won Bin, dan Penjara Prancis Catatan dari Festival Film Cannes ke-62: 16 Mei 2009

K

emarin sore, Martin Scorsese tiba-tiba muncul di Palais Du Cinema. Agak mengejutkan atau saya yang memang tidak memperhatikan jadwal, entahlah. Tapi yang penting, dia datang melenggang dan masuk ke ruang pers dengan anteng. Padahal proyek film terbarunya biopic tentang Frank Sinatra belum selesai. Jadi saya pikir, dia hanya akan say hello, sekadar basa basi untuk promosi. Saya salah duga. Bapak Marty datang untuk berkampanye tentang sebuah proyek yang lebih dari sekadar membuat film. Memulihkan dan mengawetkan master dan copy film-film yang terancam punah karena perawatan yang tak layak. Scorsese yang mendirikan World Cinema Foundation ini memulai proyek reservasi gara-gara menonton film The Seven Year Itch karya Billy Wilder yang dibuat tahun 1955 dalam kondisi tak lagi sesuai dengan warna aslinya. Warna copy film ini memudar karena pita

816

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

seluloid yang terkena sindrom asam pengawet. Saya sendiri tidak mengerti bahasa teknisnya. Tapi Anda tahulah maksud saya. Nah, Scorsese tentu saja shock, dan sejak itu mulai berkampanye untuk mengumpulkan dana demi menyelamatkan setiap inci seluloid. “Kita tentu tidak ingin copy film-film ini hanya jadi tumpukan pita berbau cuka lalu dibikin salad,” katanya bersemangat di depan pers. Scorsese mengaku sudah mengajak beberapa rekannya seperti Brian DePalma, Steven Spielberg, Paul Schrader, serta Coppola untuk ikut dalam proyek ini. Proyek penyelamatan film-film ini juga tidak hanya akan dibatasi untuk film-film buatan Amerika saja tapi juga untuk filmfilm di seluruh dunia dan sudah memulainya di Brazil, Turkey, Dubai, Korea Selatan, dan akan menyusul yang lain. Dan Martin Scorsese pun mendapat applaus meriah! Ternyata, Marty makin tua makin bijaksana.

Kisah Won Bin di Cannes Awalnya saya tidak mengerti kenapa para penggemar film dan drama Korea dalam lingkar pertemanan saya yang tidak luas itu rame-rame mengirim sms dengan isi yang nyaris seragam: ‘Jangan lupa foto dan tanda tangan Won Bin ya!’. Bahkan adik saya pun ikut-ikutan mengirim pesan. Hmmmm…saya bingung, mereka tahu darimana Won Bin bakal ada di Cannes? Barulah hari ini saya sadar, setelah menonton film Mother karya Bong Joon Ho di program Un Certain Regard. Saya nyaris tidak mengenali Won Bin, aktor Korea cakep yang pernah bikin saya tergila-gila di masa puber. Di film ini ia berperan sebagai cowok dengan mental agak terbelakang yang punya ibu super protektif. Saya ingat, Tan Chui Mui, sutradara film Malaysia itu pernah bilang, “Aktor artis Korea adalah aktor artis terbaik di

ATAS: Martin Scorsese yang tiba-tiba muncul di ruang pers Festival Film Cannes 2009. BAWAH KIRI: Jacques Audiard. BAWAH KANAN: Niels Arestrup salah satu aktor utama dalam film A Prophet karya Jacques Audiard. Foto oleh Asmayani Kusrini.

818

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

dunia sinema Asia. Mereka bisa jadi karakter apa saja dengan sangat meyakinkan,” katanya. Dan saya teryakinkan. Apalagi setelah menyaksikan film Thirst karya Park Chan Wook serta Mother-nya Bong Joon Ho ini. Tapi saya pikir, semua juga kembali lagi kepada sutradaranya. Won Bin dan Kim Hye Ja—artis setengah baya langganan peran ibu dalam drama-drama Korea—bisa berakting dengan sangat baik karena arahan yang tepat dari Bong Joon Ho. Dengan Mother—serta sebelumnya The Host dan Memories of Murder—, Joon Ho jelas ditakdirkan untuk menjadi auteur yang akan tercatat dalam sejarah perfilman Korea Selatan.

Penjara Prancis Hari ini, masyarakat Prancis—secara umum—seperti mendapat ‘hadiah’ dari filmmakernya sendiri, Jacques Audiard. Sutradara Prancis kelahiran tahun 1952 ini, hadir di program kompetisi dengan karya terbarunya A Prophet. Sayangnya saya tidak punya banyak perbendaharaan kata bahasa Indonesia untuk bisa mendeskripsikan film ini dengan tepat. Film ini mengejutkan karena ini mungkin film Prancis yang bisa dicerna dengan mudah tapi sulit untuk dimasukkan kategori genre. Thriller, crime, drama…atau apapunlah namanya, yang dari segi kualitas dan intensitas akan sulit mencari perbandingannya di dunia film Prancis. Secara narasi dan visual, A Prophet mampu merangkum filosofi, spiritual serta masalah sosial yang merupakan representasi Prancis saat ini. Untuk memotret wajah masyarakat dan kebanalannya, Audiard mengambil penjara sebagai contoh kasus. Audiard cukup berani mengambil resiko di tengah banyaknya stereotype penjara yang diciptakan oleh film-film Amerika. Dari

SCORSESE MENYELAMATKAN FILM, WON BIN, DAN PENJARA PRANCIS

penjara inilah, Audiard ingin bicara banyak hal. Sayangnya, hari ini saya tidak punya waktu untuk membahas film yang menarik ini sekarang.

819

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2009

Day 5: Film…Film…Film Lagi dan Complete Full

Catatan dari Festival Film Cannes ke-62: 17 Mei 2009

S

ebetulnya kemarin saya juga sempat menonton Samson and Delilah karya Warwick Thornton di program Un Certain Regard serta Kinatay karya Brillante Mendoza di program kompetisi. Cuma kadang kalau menonton film maraton itu bikin otak kehilangan orientasi. Ndilalah saya bingung kenapa Mendoza memakai aktor suku aborigine di filmnya. Saya bahkan salah berkomentar antara film Australia dan film Filipina. Tapi sekarang semua sudah tertata baik lagi. Saya jadi ingat kenapa Samson and Delilah susah dicerna. Dorongan terbesar menonton Samson and Delilah adalah rasa ingin tahu. Film ini tentang kisah cinta dua remaja suku aborigine di Australia. Berlokasi di pemukiman miskin suku aborigin di tengah padang tandus, panas dan kotor, membuat saya melihat wajah lain Australia selain wajah kinclong Nicole Kidman.

DAY 5: FILM…FILM…FILM LAGI DAN COMPLETE FULL

Dengan setting yang eksotis itu, sayangnya, film feature pertama karya Thornton ini kekurangan chemistry antara tokoh utamanya Samson diperankan oleh Rowan McNamara dan Delilah oleh Marissa Gibson. Upaya Thornton untuk meminimalkan dialog seminim mungkin agar para pemeran utama ini bisa bebas mengeksplorasi dan latihan berekspresi dengan wajah dan tatapan mata juga sia-sia. Belum lagi musik yang digunakan berulang-ulang akhirnya bikin sakit telinga. Lain lagi dengan Kinatay karya terbaru Brillante Mendoza. Fakta bahwa Mendoza, sutradara Filipina itu berhasil memasukkan filmnya dalam program kompetisi selama dua tahun berturut-turut cukup mengejutkan. Tahun lalu, Serbis sempat bikin tercengang banyak kritikus hingga membelah dua kubu masyarakat perfilman Cannes, antara yang sangat suka dengan sangat tidak suka dengan film ini. Saya sendiri masuk di kubu pertama, karena menurut saya Mendoza melakukan beberapa hal radikal misalnya dengan menempatkan suara ribut sebagai bagian dari ‘tokoh’ utama dan juga upaya pemilik keluarga bioskop porno yang nyaris bangkrut berhasil dipotret dengan jitu oleh Mendoza. Nah dalam Kinatay atau jika diartikan kurang lebih ‘pembantaian’, Mendoza masih melakukan hal yang sama. Memotret dengan fokus yang tepat keributan dan kehirukpikukan kota Manila. Dan kali ini Mendoza sedang ingin bermain-main di ranah thriller. Kinatay berkisah tentang pemuda Pepoy (lagi-lagi diperankan Coco Martin yang juga tampil di Serbis), calon polisi muda dengan wajah naif ala anak baru gede. Pepoy yang ‘innocent’ tanpa praduga, di hari yang sama ikut temannya untuk melakukan sebuah ‘misi’ mengerikan dan tak terbayangkan. Tentu saja saya tidak akan bercerita tentang film ini, silahkan nanti Anda saksikan sendiri. Tapi Mendoza pada dasarnya hanya melakukan pengulangan yang tidak berhasil. Apalagi ritme film molor di tengah sehingga alurnya pun

821

822

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

keteteran. Yang tersisa dari film itu hanyalah rasa ngeri yang tidak begitu meninggalkan jejak setelah keluar dari teater. Hari ini pun film-film di program kompetisi tidak juga menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Pagi dimulai dengan Vengeance filmnya Johnnie To. Saya suka filmnya The Election yang pernah masuk nominasi Palem Emas di Cannes tahun 2005 lalu. Jadi saya lumayan berharap banyak dengan film terbarunya ini. Tapi saya kecewa. Bagi yang mengenal Johnnie, pasti taulah film macam apa yang dibuatnya. Ituloh film gangster-gangster saling pamer senjata dengan adegan aksinya yang heboh. Entah kenapa film ini masuk program kompetisi. Apa mungkin karena kolaborasi dengan Prancis dengan menggunakan artis aktor Prancis? Apalagi dibintangi Elvis Presley-nya Perancis Johnny Hallyday. Ohhh my…..! Mungkin karena saya bukan penggemar gangster jadi saya tidak bisa melihat di mana bagusnya film ini. Film ini jadi mengingatkan saya dengan video game. Johnnie To lagi main video game yang asyik mengumpulkan senjata sebanyak-banyaknya untuk mendapat poin. Lalu dia pengen melucu tapi garing. Hallyday pengen akting seperti seorang ayah (mantan polisi atau preman, saya tidak ingat) yang ingin balas dendam atas kematian menantu dan dua cucunya. Pengennya terlihat garang sekaligus punya sisi lembut, tapi malah nampak bloon. Film berikutnya juga tidak banyak menutup kekecewaan. Alejandro Amenabar yang pernah menyutradarai The Others dan The Sea Inside itu hadir dengan filmnya yang super duper ambisius, Agora. Film di program out of competition ini adalah epic sejarah tentang Hypatia, ahli matematika, filsuf dan astronomer perempuan pertama dalam sejarah peradaban dunia. Agora berlatar belakang tahun 369 sebelum masehi—periode waktunya saja seperti jarak Bumi ke Pluto, tak terbayangkan dengan pikiran dan mata telanjang.

ATAS: Grand Theatre de Lumière di pagi hari digunakan untuk pers screening. BAWAH: Antrian yang panjang menuju Salle Bazin untuk menonton film Antichrist. Foto oleh Asmayani Kusrini.

824

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Jaman itu katanya jaman yang mulai memperlihatkan konflik agama. Di kota Alexandria, awalnya hidup tentram para penganut pagan dan yahudi. Kemudian datanglah ajaran baru yang disebut Kristen. Di film ini, para penganut Kristen dengan brutal kemudian berusaha mengenyahkan pagan dan yahudi. Maka kacaulah Alexandria, dampaknya hingga ke perpustakaan umum yang biasanya steril dari konflik politik. Di perpustakaan umum inilah Hypatia mengajar filosofi, matematika dan astronomi. Di tengah-tengah gejolak politik agama, Hypatia yang diperankan Rachel Weisz ini sibuk memikirkan rotasi matahari, bintang dan bumi. Gara-gara konflik politik agama inilah, keberadaan Hypatia—yang dicintai oleh dua laki-laki, satunya orang Kristen, satunya Pagan—dipertanyakan. (Kenapa tidak sekalian juga ada wakil Yahudi biar seru?). Para lelaki ini bingung menentukan antara keyakinan mereka atau perempuan yang mereka cintai ini. Walaupun Hypatia sendiri lebih sibuk memikirkan bintang-bintang di langit. Film yang banyak memanfaatkan tenaga dan CGI ini jadinya kekurangan perspektif karena ingin melontarkan banyak hal sekaligus. Waktu dua jam lebih juga tak banyak membantu saya untuk memahami apa yang mau diucapkan Amenabar dalam film. Dan dengan bangga Amenabar bercerita bahwa dengan film ini ia sudah mengatakan semua hal penting yang harus diucapkan sebelum mati. Mengutip kata-katanya: “With this one, I really said everything that seemed important to me. If I were to die tomorrow, I would prefer for Agora to be my last. In any case, this is the most ambitious film of my career.” Saya hanya bisa mengelus-elus perut. Beginilah jadinya kalo orang terlalu serius. Pengen bicara banyak hal tapi kehilangan fokus. Dan mengikuti ambisi Alejandro Amenabar, sutradara Rusia Pavel Lounguine juga ikut-ikutan bikin proyek ambisius dengan filmnya Tsar—mengangkat kisah Tsar Rusia yang terkenal gila,

DAY 5: FILM…FILM…FILM LAGI DAN COMPLETE FULL

Ivan The Terrible—yang ingin mengikuti jejak mbah-nya perfilman Rusia, Sergei Eisenstein yang pernah bikin film klasik Ivan The Terrible. Kalau periode waktu di Agora seperti jarak Bumi ke Pluto, nah perbandingan antara Tsar-nya Pavel Lounguine dengan Ivan The Terrible-nya Eisenstein mungkin seperti jarak Bumi ke Neptunus….jauh! Ivan the Terrible-nya Eisenstein memang sulit disamai. Tapi kekecewaan terbesar saya hari ini adalah gagal menonton Antichrist-nya Lars Von Trier. Pengalaman dengan No Country For Old Men dua tahun lalu terulang lagi. Antri di tengah panas matahari sejam sebelum film dimulai, dan ketika giliran saya nyaris tiba, si penjaga lantas meletakkan papan bertulisan cemerlang: COMPLETE FULL!. Untuk mengantisipasi membludaknya penonton, pihak festival kemudian membuka Salle Bazin untuk memutar Antichrist di jam yang sama. Salle Bazin, cinema yang lebih kecil di samping Salle Debussy ini ternyata juga kewalahan menampung antusiasme penonton hingga hanya dalam hitungan menit, Salle Bazin pun dinyatakan Complete Full. Ingin nangis malu, ingin ngamuk tapi akan sia-sia. Lagi-lagi saya sebel dengan kartu biru saya. Hikssss…..!

825

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2009

Day 6: Antichrist, Kembalinya Sang Agen Provokator, dan Eric Cantona Catatan dari Festival Film Cannes ke-62: 18 Mei 2009

T

he worst thing for me would be that my film didn’t provoke anything”. Itu kata-katanya Lars Von Trier loh yang saya kutip dari buku Trier on Von Trier yang diedit oleh Stig Bjorkman, di halaman yang saya lupa. Makanya, saya tidak heran, ketika Antichrist membuat heboh masyarakat perfilman Cannes hari ini. Cannes memang adalah tempat yang tepat bagi Lars untuk membuat provokasinya berdampak luas. Selain itu, kita tentu tidak lupa, Lars adalah anak kesayangan Festival Film Cannes. Lars Von Trier (saya singkat LVT saja biar mudah) memang pantas disebut agen provokator. Bayangkan Antichrist-nya yang diputar tadi malam—dan bikin saya ketemu lagi dengan papan Complete Full itu—langsung bikin berang banyak orang. Sayangnya saya tidak bisa komentar tentang filmnya sendiri. Jadi saya menyimak jalannya konferensi pers itu sekadar karena

DAY 6: ANTICHRIST, KEMBALINYA SANG AGEN PROVOKATOR, DAN ERIC CANTONA

penasaran. Dan saya yakin, kalau saja tidak ada penjaga, mungkin LVT sudah digebuki rame-rame. Pertanyaan pertama yang diajukan pagi itu dengan nada berang kurang lebih seperti ini : “Anda maunya apa sih bikin film ini. Anda harus bertanggung jawab menjelaskan kepada saya dan juga kepada yang hadir di sini, kenapa Anda harus bikin film yang tak bermutu ini,” kata wartawan itu dengan nada tak enak. LVT yang didampingi Willem Dafoe dan Charlotte Gainsbourg dua bintang utamanya dalam Antichrist itu dengan wajah bingung sempat terdiam. Lalu dengan enggan LVT menjawab: “Well, kenapa saya harus menjustifikasi film saya? Saya tidak perlu menjelaskan apaapa kepada anda. Saya bikin film saya sendiri, dengan uang saya sendiri, dan saya tidak merasa perlu untuk bertanggung jawab kepada siapa-siapa,” katanya enteng. Voila… makin ramelah ruang pers. Pertanyaan-pertanyaan menyerang datang bertubi-tubi. Dan setiap kali itu pula, jawaban LVT seperti minyak tanah yang dituang ke bara api. Sampai di satu titik gerah, dengan enteng LVT bilang: “Well you know, God is not the best God in the world. But me, I’m the best director in the world”. Nyaris semua yang hadir tercengang. Ada yang menganggapnya lucu, tapi ada juga yang menanggapinya serius dan memilih keluar dari ruangan meninggalkan kursi dan pintu yang ditutup berdentum. Bisa dipastikan, kalimat itu akan jadi headline di mana-mana besok. Sekali lagi, sayangnya saya tidak bisa berkomentar tentang Antichrist dan saya sendiri tidak tahu apakah LVT the best director in the world. Tapi saya tahu, film-filmnya seperti Dancer in the Dark, Dogville, Manderlay, Breaking The Waves, Europa, Epidemic, The Element of Crime, Idioterne (semuanya pernah masuk seksi kompetisi di Cannes) memang adalah film-film yang tidak bisa sekadar dibilang film bagus. It’s beyond that.

827

828

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Dan tidak salah kalau ada yang berani bilang bahwa LVT adalah sutradara jenius. Saya setuju. LVT selalu menciptakan bahasa dan hal-hal baru dalam filmnya. Saya tidak bisa menuliskan dengan detail karena saya bukan kritikus dan tidak punya cukup banyak perbendaharaan kata-kata teknis untuk menulis film. Tapi jika Anda menonton film-filmnya, Anda pasti tahulah maksud saya. Dan Antichrist—seperti yang saya pernah baca di koran— adalah hasil dari depresi berat yang dialami LVT selama beberapa tahun terakhir ini. Menurut pengakuannya, LVT banyak menghabiskan waktu di tempat tidur, nyaris gila dan berhari hari hanya terpekur menatapi langit-langit kamarnya. “Part of the road to recover was reinventing the horror film in the form of Antichrist,” katanya. “I have spent all my energy on making this bird fly—aka Antichris—what’s up next, I don’t know. First I have to survive Cannes. It can be terrible but it is part of the job”. Ada yang bilang, LVT sebetulnya cuma pura-pura depresi— dan entah kenapa, pada umumnya yang bilang begini adalah wartawan-wartawan Amerika. “Itu kan bagian dari aktingnya dia, biar filmnya makin heboh,” kata bisik-bisik di ruang pers. Saya sih tidak tahu dan tidak ingin membuat analisis tentang LVT. Yang saya tahu, LVT ternyata tidak seperti yang terlihat di foto-foto yang ada di majalah atau di internet. Di foto-fotonya, dia terlihat seksi, berwibawa dan agak angkuh. Ketika bertemu dengan LVT langsung, ternyata orangnya rikuh, agak kagok, dan tersenyum malu-malu kala diminta melambai untuk foto atau tanda tangan. Kalau melihat LVT seperti itu, saya jadi tidak punya gambaran, seberapa gila film Antichrist itu sebetulnya. Dengerdenger sih adegan kekerasannya sudah tidak bisa dijelaskan. Apalagi adegan mutilasi (ampun deh… ada mutilasi segala!!!) yang katanya tidak terdeskripsikan dengan kata-kata karena tidak ada kata yang tepat. Saya jelas makin penasaran dengan kehebohan itu. Tapi saya akan menunggu, karena hari ini sudah

ATAS: Lars Von Trier sutradara Antichrist. BAWAH: Giovanna Mezzogiorno dan Marco Bellocchio sutradara film Vincere. Foto oleh Asmayani Kusrini.

830

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

ada 17 orang yang mewanti-wanti saya untuk tidak menonton film itu selagi hamil. Pfuffff…LVT bisaaaa ajaaa !

Mencari Eric Cantona dan Mussolini Hari ini akhirnya ada juga film yang mendapat applause paling meriah dan bahakan tawa paling nyaring. Beberapa hari ini, penonton sepertinya mulai lelah dengan film-film serius sehingga jarang menanggapi. Tapi kali ini, mereka sepertinya mendapat pencerahan saat menonton film terbaru Ken Loach, Looking for Eric yang ada di program kompetisi utama. Ini mungkin untuk pertama kalinya dalam karir Ken Loach sebagai sutradara film membuat film bernuansa komedi. Loach yang film-filmnya juga mondar mandir masuk kompetisi di Festival Film Cannes membuktikan bahwa dia punya selera humor dan bisa bikin film humor tanpa menanggalkan sentuhan khasnya yang sangat peka terhadap kehidupan masyarakat kalangan bawah. Kisah Looking For Eric juga tidak berat. Adalah Eric Bishop, tukang pos penggemar berat Eric Cantona yang punya masalah keluarga dan memiliki rasa tidak percaya diri yang berlebihan. Suatu kali saat nyimeng, Eric Bishop kedatangan sang King Eric yang diperankan sendiri oleh Eric Cantona. Mulailah hubungan ‘pertemanan’ mereka terjalin dan sedikit demi sedikit Eric si tukang pos yang tidak pede ini mulai percaya, bahwa kepercayaan diri bisa terbangun tidak hanya dari status sosial atau pekerjaan yang lebih intelek. Looking For Eric yang terasa ringan ini jadi punya kedalaman karena kepekaan Ken Loach menangkap detail-detail kehidupan tukang pos serta kegilaan para fans Manchester United. Bahkan saat film ini memanas ketika Eric tukang pos menghadapi masalah keluarga, Looking For Eric tidak kehilangan kendali dan tidak

DAY 6: ANTICHRIST, KEMBALINYA SANG AGEN PROVOKATOR, DAN ERIC CANTONA

terjerumus masuk jurang melodrama. Asyiknya lagi, Loach bisa membangun chemistry yang pas antara King Eric dan Eric si tukang pos. Film ini rasanya wajib tonton bagi para penggemar MU. Film menarik lainnya di program kompetisi adalah karya terbaru Marco Bellochio, Vincere. Kalau tahun lalu ada dua film Italia di program kompetisi utama (Gomorah dan Il Divo), tahun ini Vincere adalah satu-satunya. Vincere berkisah tentang Ida Dalser, istri pertama Benito Mussolini yang berjuang mendapatkan pengakuan keabsahan pernikahan dan putra mereka. Kisah Ida Dalser ini versi lain kehidupan pribadi Benito Mussolini yang jauh berbeda dari versi resmi pemerintah fasis saat itu. Selama memegang tampuk pemerintahan Italia, Mussolini berusaha menghapus Ida Dasler dan putra mereka Benito Albino Mussolini dari catatan masa lalunya. Ketika Dasler menolak untuk ‘dihapus’, ia dan putranya akhirnya malah berakhir tragis di rumah sakit jiwa. Bellochio menyusupkan footage-footage asli peristiwa-peristiwa bersejarah dan juga pidato-pidato Mussolini selama memerintah. Dengan teknik ini, Vincere jadi terasa lebih nyata dan susupan skena-skena dari dokumentasi sejarah sangat mendukung struktur film ini. Tapi beban terberat tentu saja haruss ditanggung oleh Giovanna Mezzogiorno yang berperan sebagai Ida Dasler. Dan untungnya, Mezzogiorno mampu menanggung beban itu dan kemungkinan akan mendapat gelar artis terbaik tahun ini.

831

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2009

Day 8: Filipina, Malaysia, Thailand, dan seterusnya Catatan dari Festival Film Cannes ke-62: 20 Mei 2009

N

ggak enaknya bangun pagi ditemani kopi tak enak,” kata mas Arya “adalah kopi yang ditolak di pasaran dan disuguhkan buat para jurnalis di Cannes.” Kopi tak enak ini juga tidak membantu menyegarkan ingatan tentang percakapan-perckapan kemarin. Hmmmm… Oh ya, tentang film Filipina. Setiap orang punya pendapat berbeda dengan argumen masing-masing. Raya Martin misalnya tidak setuju dengan pendapat orang yang bilang kalau filmnya terpilih karena diproduseri orang Prancis. Ia juga membantah kalau filmnya masuk ke program utama karena ia mantan peserta Cinefoundation Residence. “Banyak filmmaker yang sudah pernah jadi peserta program itu dan tidak semuanya bisa menembus seksi penting di Cannes,” kata Raya. Tan Chui Mui setuju. “Program Cinefoundation itu memang membuka peluang kami mengenal industri film dan cukup membantu mengajarkan bagaimana caranya mendapat

DAY 8: FILIPINA, MALAYSIA, THAILAND, DAN SETERUSNYA

funding. Tapi itu bukan jaminan. Tentu saja pengurus Cinefoundation mengikuti perkembangan proyek kami, tapi untuk bisa menembus seksi bergengsi di Cannes itu lain lagi ceritanya,” kata Mui yang jadi peserta Residency pada 2007 lalu. Mui juga sependapat dengan Geertjan Zuilhof bahwa para programmer di Cinefoundation juga berusaha membuka peluang seluas-luasnya kepada sutradara-sutradara muda dari Asia Tenggara untuk mengajukan aplikasi. “Tentu saja kita harus mendaftar, mengajukan proyek dan proposal. Itu prosedur. Tapi bahwa mereka desperately seeking for Southeast Asia filmmakear, itu benar.” Kata Mui. Cinefoundation yang memulai program Residency ini sejak 2000 hingga saat ini baru menjaring 3 filmmaker dari asia tenggara yaitu Raya Martin, Tan Chui Mui dan Liew Seng Tat. “Saking inginnya mereka punya peserta dari Asia Tenggara waktu itu, mereka berkali-kali meminta saya untuk mendaftar,” kata Mui. Karena itu, Mui menyarankan agar sutradara-sutradara muda dari Asia Tenggara dan tentu saja Indonesia juga mendaftar ikut program ini. Sepanjang pengetahuan saya, sudah banyak filmmaker dari program ini yang kemudian berhasil hingga ke Cannes. Misalnya sutradara perempuan asal Argentina, Lucrecia Martel yang berhasil masuk ke program kompetisi utama tahun lalu dengan filmnya The Headless Woman—script film ini dikerjakan selama mengikuti program residency tahun 2002. Lalu ada Kornel Mundruczo yang menjadi peserta residency tahun 2004. Di tahun 2005, film Mundruczo, Johanna terseleksi di Un Certain Regard di Cannes lalu menyusul Delta di tahun 2008 yang masuk program kompetisi utama. Di tahun itu, Delta mendapat penghargaan dari Fipresci sebagai film terbaik. Script development Delta juga dikerjakan selama mengikuti program residency. Dan masih banyak lagi sutradara muda lainnya.

833

834

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

So…wahai para filmmaker Indonesia. Jangan lewatkan kesempatan emas ini. Rebut kesempatannya dan nikmati fasilitasnya! …hmmm, makin hari makin tidak bisa fokus mengomentari film. Terlalu banyak cerita di kepala. Beberapa film harus saya tonton lagi. Dua tahun lalu, Death Proof-nya Tarantino terlihat cool. Tapi begitu saya tonton lagi ketika tidak ada kerjaan, ternyata film itu membosankan sekali. Untuk selanjutnya, komentar yang saya tulis untuk sebuah film jangan terlalu dimasukkan di hati. Bisa berubah sewaktu-waktu tanpa Anda sadari. Film-film kemarin: r Los Abrazos Rotos (Broken Embraces) —Pedro Almodovar—Kompetisi. It’s a very Almodovar, but it’s just a good movie. Not his masterpiece. r Demain Des L’aube (Tomorrow At Down) —Denis Dercourt—Un Certain Regard Saya tertidur di 20 menit pertama. Berusaha tertawa walau garing di menit selanjutnya. Dan bosan di menit-menit terakhir. r Amintiri Din Epoca De Aur—Cristian Mungiu and the gang—Un Certain Regard Filmnya lucuuuuuu banget !!!. Tentang legenda-legenda dan kebiasaan-kebiasaan di era komunis di Romania. Jadi ingat cerita-cerita lucu dan kewajiban-kewajiban menggelikan di jaman orde baru di Indonesia. Mulai dari upacara bendera sampai menonton film G30 S tiap tahun. r Les Herbes Folles (Wild Grass) —Alain Resnais—Kompetisi ‘Saya tidak mengerti kenapa film saya ini dipilih masuk

DAY 8: FILIPINA, MALAYSIA, THAILAND, DAN SETERUSNYA

kompetisi’. Itu kata Alain Resnais sendiri loh, bukan kata saya. Tapi saya percaya, ada film-film tertentu yang baru bisa dimengerti ketika kita sudah tiba di usia tertentu. Nah, mungkin saya baru bisa menikmati Les Herbes Folles dan dagelan-dagelannya ketika saya nanti berusia hmmm… lets say, 40 hingga 50 tahun ? Film-film hari ini: r Inglorious Basterds —Quentin Tarantino—Kompetisi Dengan kesadaran penuh, saya memilih tidak menonton film ini di Cannes karena minggu depan Basterds sudah akan rilis di bioskop. Jadi saya memilih untuk bertemu dengan sutradara dan aktor-aktornya saja. Tapi yang namanya Quentin Tarantino apalagi ada Brad Pitt, bisa dibayangkan bagaimana para fotografer akan saling injak menginjak untuk bisa mendapat foto-foto mereka dan para fans yang tega saling menyikut demi untuk mendapat tanda-tangan Brad Pitt. Jadi agar terhindar dari sikut menyikut sesama fans dan selamat dari injakan fotografer, di tengahtengah mereka yang berteriak ‘Brad Pitt…Brad Pittttt… Braaaaaaddd Piiiiiiiiiiit! Saya dengan suara full volume, heboh berteriak…Michael…Michaeeeeelll Fassbenderrrr! Dan berhasil. Kami pun bisa ngobrol di tengah-tengah orang berdesakan. Saya: “You’re doing a great job in Hunger and Fish Tank!” Michael: “Really? Wow, thank you very much.” (dengan aksen Inggrisnya yang kental dan seksi itu… hmmmm yummy!) Saya: “Would you give me your autograph?” Michael: “Sure.”

835

ATAS: Brad Pitt dan Quentin Tarantino ketika menghadiri acara konferensi pers di Cannes 2009. BAWAH: Mélanie Laurent artis Prancis yang bermain dalam Inglorious Basterds. Foto oleh Asmayani Kusrini.

DAY 8: FILIPINA, MALAYSIA, THAILAND, DAN SETERUSNYA

Tak lama kemudian semua orang berkerumun meminta tanda tangan Fassbender sementara tak jauh dari situ terlihat kubu Brad Pitt bubar dengan tangan kosong karena Pitt yang sibuk melambai ke sana kemari. r Einaym Pkuhot—Haim Tabakman —Un Certain Regard Tema gay memang belakangan ini jadi favorit rupanya. Dari China, Filipina, Prancis, hingga Israel. Gay Kristen, Muslim dan sekarang Yahudi. Saya tidak punya masalah dengan gay. Tapi melihat dua lelaki berjenggot dengan rambut kriwil-kriwil dikuping (ciri khas pria Yahudi) ciuman dan beradegan seks, bulu kuduk saya merinding juga. Mungkin karena ini untuk pertama kalinya saya melihat pria Yahudi bermain cinta. r Nang Mai—Pen-Ek Ratanaruang —Un Certain Regard Nonton hanya setengah karena ada janji wawancara. Tidak bisa komentar. r Das Weisse Band (The White Ribbon) —Michael Haneke—Kompetisi Ini yang saya bilang film bagus tanpa cela dan saya tidak perlu menambah kata ‘tapi’. Untuk seksi kompetisi, film ini saya masukkan dalam peringkat pertama menyusul A Prophet-nya Jacques Audiard lalu Looking For Eric-nya Ken Loach. Semoga film ini menang dan mendaptkan Palem Emas! Amin.

837

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2009

Ibu Hamil dan Mandi Darah di Cannes Catatan dari Festival Film Cannes ke-62: 22 Mei 2009

S

ejak peristiwa Antichrist, saya tidak segan segan bercerita kepada siapa saja yang mau mendengarkan tentang peristiwa « Complete Full », walaupun semua orang mewanti-wanti saya untuk tidak menonton film itu. Gara-gara antri kelamaan kaki saya bengkak mirip kaki badak. Nah, gara-gara sibuk ngomel inilah saya lantas mendapat pencerahan dari seorang kawan—karena keseringan antri bareng kami jadi berkawan—jurnalis asal Rusia. Dia mendapat info kalau sebetulnya orang-orang dengan kondisi tertentu bisa mendapat pengecualian dan kemudahan. Kondisi tertentu ini berlaku bagi mereka yang punya kesulitan mengantre karena—antara lain— cacat bawaan, cacat karena kecelakaan sehingga, mereka yang berusia lanjut, dan ibu hamil. Mereka dengan kondisi tertentu ini —tak peduli warna kartu—tak perlu mengantre dan disediakan pintu khusus persis di samping teater.

IBU HAMIL DAN MANDI DARAH DI CANNES

Saya nyaris tidak percaya ada pengecualian seperti itu di Cannes. Prancis gitu loh!. Tapi saya tergoda untuk mencoba juga. Dan berhasil! whoahhhh serasa melayang di udara. Saya nyaris menangis karena terharu. Apalagi ketika diijinkan masuk teater lebih dulu sebelum para kartu putih. Bahkan dengan senyum super ramah, para penjaga pintu dan penjaga di dalam teater mempersilahkan saya duduk di mana saja saya mau. Akhirnya saya jadi ngelunjak. Boleh duduk di tempat paling tinggi? Boleh! Boleh duduk di barisan paling luar? Oh boleh! Boleh bawa minuman? Oh tentu saja boleh. Boleh ngemil? Silahkan! Bahkan di Salle du Soixantieme, teater tambahan non permanen di salah satu teras Palais, saya disediakan tempat duduk sambil menunggu pintu dibuka. Whoahhhh uenaaakk tenan! Kenapa tidak dari hari pertama ya saya tahu soal info ini. Aihhh kalau begini caranya, saya jadi ingin hamil lagi untuk Cannes tahun depan…hehehe. Sejak itu, saya tidak perlu mengantre lagi. Cukup datang ke pintu khusus itu. Langsung masuk dan duduk ongkang-ongkang kaki sambil menunggu mereka yang baru dipersilahkan masuk. Tapi saya malah jadi kangen dengan teman-teman mengantre saya. Karena dengan mengantre, banyak informasi dan ceritacerita menarik beredar dan bisa jadi inspirasi bahan tulisan. Hmmmm…manusia memang tidak pernah puas! Selain Antichrist, hari ini saya mendapat peringatan lagi untuk tidak menonton film Drag Me To Hell karya Sam Raimi. Jadi hari ini saya hanya menonton A L’Origine (In The Beginning) karya Xavier Giannoli di program kompetisi. Saya sih suka film ini, tapi belum bisa menjelaskan kenapa. Kalau menurut teori, film yang bagus adalah film yang bisa bercerita dengan baik dan mulus ditunjang berbagai faktor—akting yang baik, dialog yang mengalir, dan pesan yang ingin disampaikan bisa dimengerti. Nah, film ini memenuhi semuanya.

839

840

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Kemudian lanjut menonton film Karaoke karya Chris Chong dari Malaysia di Director’s Fortnight. Katanya, ini film Malaysia pertama yang masuk program ini sepanjang sejarah berdirinya. Dan rasanya saya harus menonton film ini lagi sebelum bisa memberikan pendapat saya. Setelah Karaoke, saya lanjut menonton The Time That Remains karya Elia Suleiman. Banyak momen bagus. Tapi otak saya sudah mampet dan nyaris tak mampu lagi mencerna film yang saya tonton. Apalagi usai menonton filmnya Gaspar Noe, Enter The Void yang juga terpilih dalam program kompetisi utama. Seperti juga Irreversible film Noe sebelumnya, Enter The Void banyak bermainmain dengan angle kamera plus kamera yang melayang-layang di udara. Penuh adegan seks dan tubuh-tubuh berdarah pula. Tapi yang paling bikin saya pusing adalah adegan aborsi yang dishoot dengan detail, lengkap dengan janin yang dibiarkan tergeletak di atas nampan rumah sakit. Adegan ini bahkan lebih seram dari adegan di 3 Months, 3 Weeks and 2 Days-nya Cristian Mungiu. Sayangnya, saya termasuk gelombang pertama yang menonton film ini mengingat saya mendapat kemudahan—karena hamil—untuk selalu didahulukan. Film ini diputar pertama kali untuk pers dalam jumlah terbatas di teater yang lebih kecil sehingga kapasitas penontonnya juga terbatas. Jadilah saya tidak mendapat peringatan terlebih dahulu dari kawan-kawan yang biasanya rajin memberi info. Dan situasi makin parah saat saya mencoba menonton The Silent Army karya Jean Van De Velde di Un Certain Regard. Film yang mengingatkan saya dengan adegan-adegan kekerasan di The Last King of Scotland ini sebetulnya sudah banyak dibuat. Berkisah tentang anak-anak yang dipaksa bergabung dengan tentara di negeri-negeri berkonflik di Afrika. Sayang saya lupa juduljudulnya.

IBU HAMIL DAN MANDI DARAH DI CANNES

Di 10 menit pertama, The Silent Army sudah menunjukkan adegan seorang anak yang dipaksa memotong leher ayahnya sendiri. Lalu beruntun adegan parang-parangan, sehingga saya terpaksa keluar ruangan. Saya sudah cukup mual melihat darah dan manusia terpotong, mulai dari Thirst, A Prophet, Kinatay, Mother, Vengeance, Tsar, Enter The Void, hingga The Silent Army ini. Untungnya saya tidak menonton Antichrist dan Drag Me To Hell. Belum terhitung film Quentin Tarantino yang terkenal hobby bermain darah. Mengingat para juri tahun ini didominasi perempuan, saya jadi penasaran apa yang mereka diskusikan tentang adeganadegan sadis berlumur-lumur darah ini. Rasanya, inilah tahun yang paling banyak menghadirkan adegan potong memotong dan paling banyak menghabiskan darah di Cannes. Maka karpet merah pun terlihat makin merah.

841

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2009

Cannes, Krisis, Kisah Tentang Raoul dan Pemenangnya adalah… Catatan dari Festival Film Cannes ke-62: 24 Mei 2009

S

ebetulnya pengen mengunjungi warung Indonesia di Market. Ternyata isinya sudah kosong. Saya terlambat. Tapi Lalu bilang, nggak ada perubahan. “Orangnya itu-itu juga. Isinya juga nggak banyak berubah. Nggak pentinglah loe kesana”. Baiklah. Saya menurut kata Lalu saja. Kemarin Visage (Face) karya terbaru Tsai Ming Liang jadi film terakhir yang diputar dari seksi kompetisi. Tidak banyak mendapat sambutan. Saya pikir karena Tsai Ming Liang terlalu memaksa diri untuk ikut selera Prancis yang banyak membiayai film ini. Aktor-artisnya pun didominasi aktor artis Prancis. Mungkin saya harus menontonnya sekali lagi untuk bisa menangkap apa maunya Tsai Ming Liang. Film berdurasi 2 jam 18 menit ini bikin merana karena mata dan pikiran dipaksa mencerna terlalu lama. Untunglah sinematografi dan desain artistiknya keren sekali jadi saya tidak tergoda untuk tidur dalam bioskop.

CANNES, KRISIS, KISAH TENTANG RAOUL DAN PEMENANGNYA ADALAH…

Setelah Visage, tak ada lagi film yang perlu saya tonton. Jadi hari ini, saya menghabiskan waktu berjalan-jalan di kota Cannes di luar wilayah Palais Des Festival sambil motret. Tapi dasarnya Cannes ini memang kota kiblatnya sinema dunia, setiap sudutnya pasti ada saja hal-hal yang berhubungan dengan film. Mulai dari pemberhentian bus yang dihiasi dengan pernak pernik kursi sutradara dan poster bintang-bintang, dinding yang tidak dibiarkan melompong dan penuh dengan referensi film-film ternama seperti The Kid, Titanic hingga Mickey Mouse. Lalu diparkiran dekat stasiun kereta ada lukisan raksasa Lumiere bersaudara lengkap dengan ‘ footage’ film mereka. Setelah saya perhatikan, ternyata ada juga ‘wall of fame’ ala Cannes yang terdapat di taman diujung Croisette persis disamping Palais. Sayangnya tradisi ini tidak teratur sehingga bintang-bintang dan sutradara yang punya cap tangan juga terbatas. Ada Sharon Stone, Tim Robins, Ken loach, Youssef Chahine, dll. Saat sedang makan es krim semangkok gede, tiba-tiba saya bertemu kawan lama yang tahun lalu sering bareng antri dan menulis di ruang Wifi lantai 3. Kawan jurnalis Belgia yang sudah mengunjungi Cannes selama 30 tahun ini tentu tahu banyak tentang Cannes. Maklum, ia hadir di Cannes mulai dari kartu pers yang masih ditulis tangan hingga format digital sampai sekarang. Ia mulai datang ke Cannes dengan rambut gondrong ala generasi Woodstock hingga rambut nyaris botak dengan kumis nyaris putih semua. Dari beliau inilah saya mendengar cerita tentang ‘Legenda Raoul’ yang terkenal sudah jadi semacam hymne-nya masyarakat perfilman Cannes dan bahkan sudah meluas hingga ke negerinegeri tetangga. Kalau Anda berkesempatan menonton film di Cannes, lalu tiba-tiba ada yang berteriak ‘Raoulllllllll…’ setiap kali film akan dimulai, nah itulah hymne yang biasanya otomatis akan disahuti oleh yang lain.

843

844

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Ternyata, once upon a time, puluhan tahun lalu, di Palais Du Cinema yang tua, adalah seorang jurnalis yang menunggu teman dan menyediakan sebuah kursi kosong untuk teman tersebut. Tapi hingga film akan dimulai dan lampu dimatikan, si teman itu tak kunjung datang. Dengan setengah putus asa, si jurnalis ini pun berteriang di tengah kegelapan, “Raaaaouuuulllll…. Raaaaaooouulllll!”. Lalu tanpa komando dan aba-aba, tiba-tiba hampir semua orang dalam teater itupun ikut berteriak “Raaaaooooulllll…”. Dan nama Raoul pun tetap diteriakkan hingga saat ini, setiap kali film akan dimulai dan lampu dimatikan. “Raaaaaoooouulllllll…..! Saat kembali ke Palais Du Cinema, tak sengaja menyimak wawancara Thierry Fremaux di TV resmi festival Film Cannes.”Kami sadar bahwa krisis itu ada di luar sana, tapi untunglah tidak berdampak langsung pada berlangsungnya Festival Cannes”, katanya. Pantas saja fasilitas yang didapat oleh masyarakat perfilman Cannes tidak berubah bahkan bertambah keren dengan backpack gratisnya—kecuali tentu saja kopi tak enak yang katanya kopi yang ditolak dipasaran itu. Posisi Festival Film Cannes sebagai kiblat dunia film memang tak tergoyahkan oleh apapun. Kembali ke kawasan Palais des Festival, karpet merah sedang gemerlap. Saatnya mendengarkan pengumuman pemenang. Dan Palme D’Or pun jatuh ke tangan Michael Haneke untuk film The White Ribbon. Syukur Alhamdulillah. Saatnya untuk mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal kepada para staf diruang pers, bapak-bapak, ibu-ibu dan mbak-mbak penjaga pintu. Merci. Au revoir, et A L’annee prochaine. Selamat tinggal dan sampai jumpa tahun depan.

ATAS: Menjelang malam penutupan. BAWAH: Sekuen-sekuen film pertama Lumière Brothers. Foto oleh Asmayani Kusrini.

ATAS: Salah satu sudut kota Cannes yang dipenuhi mural film. BAWAH: Suasana ruang pers di malam penutupan Festival Film Cannes. Foto oleh Asmayani Kusrini.

CANNES, KRISIS, KISAH TENTANG RAOUL DAN PEMENANGNYA ADALAH…

Daftar Lengkap Pemenang Festival Film Cannes ke 62: r Palme D’Or : Das Weisse Band (The White Ribbon) –by Michael Haneke r Grand Prix : Un Prophete (A Prophet) –by Jacques Audiard r Lifetime Achievement Award For His Work and his exceptional Contribution to the history of Cinema : Alain Resnais r Best Director : Brillante Mendoza for film Kinatay r Jury Price : Fish Tank by Andrea Arnold and Bak Jwi (Thirst) by Park Chan Wook r Best Actor : Christoph Waltz (in the film Inglorious Basterds by Quentin Tarantino) r Best actress : Charlotte Gainsbourg (in the film Antichrist by Lars Von Trier) r Best Screenplay : Mei Feng (for the film Spring Fever by Lou Ye) SHORT FILMS

r Palme D’Or : Arena by Joao Salaviza r Special Mention : The Six Dollar Fifty Man by Mark Albiston and Louis Sutherland UN CERTAIN REGARD

r Prix Un Certain Regards : Kynodontas (Dogtooth) by Yorgos Lanthimos r Jury Price : Politist, Adjectiv by Corneliu Porumboiu r Special Price Un certain Regard : Kasi Az Gorbehaye Irani Khabar Nadareh (No One Knows About Persian Cats) by Bahman Ghobadi and Le Pere De Mes Enfants (Father Of My Children) by Mia Hansen-Love

847

848

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Camera D’Or

Samson and Delilah by Warwick Thornton Camera D’Or Special Mention

Ajami by Scandar Copti and Yaron Shani FIPRESCI Awards

r For The Competition : Das Weisse Band (The White Ribbon) by Michael Hanneke r For Un Certain Regard : Politist, Adjectiv by Corneliu Porumboiu r For Director’s Fortnight : Amreeka by Cherien Dabis

Festival De Cannes 2011 LAPORAN OLEH ASMAYANI KUSRINI

RITUAL tahunan untuk para penggila film dunia dimulai pada tanggal 11 Mei 2011 lalu di kota kecil di Prancis. Festival Film Cannes memasuki penyelenggaraan ke-64 tahun ini, dan kontroversi masih terus menjadi salah satu energi penggerak utamanya. Kali ini, dengan sengaja festival film ini memasukkan dua nama yang sedang berada dalam kesulitan di negara mereka: Jafar Panahi dan Mohammad Rasoulov. Keduanya berasal dari Iran dan mereka sedang berada dalam penjara dan dilarang untuk membuat film. Lihat bagaimana Cannes malah memberi tempat khusus kepada keduanya. Redaktur Rumah Film, Asmayani Kusrini, berada di Cannes tahun ini untuk menjadi saksi bagi Anda, sidang pembaca, mengenai apa yang terjadi di Cannes tahun ini. Rini juga mencatat bagaimana Cannes memberi tempat bagi Mesir dan Tunisia, dua negara Timur Tengah yang kita tahu sedang mengalami masa transisi yang sangat penting, bukan hanya bagi kedua bangsa itu, bahkan mungkin bagi seluruh dunia. Mulai hari ini, ikuti catatan Rini dari Festival Film Cannes 2011. —Eric Sasono

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2011

Revolusi dan Dedikasi Jafar Panahi

S

urat itu tiba dari jauh. Dari sebuah negeri yang warga negaranya tidak bisa sepenuhnya menikmati hak kebebasan berekspresi. Ditulis oleh Jafar Panahi dengan muram tapi tak kehilangan semangat. “The reality of being alive and the dream of keeping cinema alive motivated us to go through the existing limitations in Iranian cinema”. Bersama surat itu, Jafar juga berhasil menyelesaikan dan mengirimkan filmnya In Film Nist (This Is Not Film), film yang mendokumentasikan hari-harinya sejak menyatakan banding terhadap keputusan hakim yang menghukumnya 6 tahun penjara dan 20 tahun larangan membuat film serta aktivitas aktivitas lainnya yang berhubungan dengan kebebasan berekspresinya sebagai sutradara. Bersama dengan In Film Nist yang akan diputar pada Festival Film cannes Kamis 19 Mei 2011 juga akan ditayangkan Bé Omid é Didar (Goodbye) karya sutradara Iran

REVOLUSI DAN DEDIKASI JAFAR PANAHI

lainnya, Mohammad Rasoulof yang ikut dihukum bersama Panahi. Tidak ada yang tahu pasti akan bagaimana nasib Panahi dan Rasoulof di Iran nanti setelah film mereka nanti ditayangkan. Tapi upaya mereka mengirimkan film tersebut di bawah tekanan adalah tindakan yang sungguh berani. In Film Nist dan Bé Omid é Didar adalah pesan kepada dunia bahwa sinema punya kekuatan yang tak bisa diukur dampaknya. Kesediaan Festival Film Cannes untuk menayangkan film ini di program pemutaran khusus dan Un Certain Regards, menjawab banyak pertanyaan mengapa Festival Film Cannes akan selalu menjadi tempat prestisius sebagai etalase karya para pembuat film. Di usianya yang ke 64, Festival film yang dimandori oleh Thierry Fremaux ini tidak hanya menunjukkan kepiawaiannya menjaring karya-karya maestro, mulai dari Terrence Malick hingga Lars Von Trier, tapi festival ini juga paham betul putaran dunia politik yang banyak mempengaruhi karya-karya pembuat film dari berbagai belahan dunia. Dengan hadirnya film Jafar Panahi dan Mohammad Rasoulof, berarti juga menunjukkan sikap politik Festival Film Cannes. Dengan segala kemegahannya, festival ini menyediakan pentas terbuka bagi para pembuat film dari negara-negara yang sedang bergolak. Tahun ini giliran Mesir dan Tunisia. Bagaimana kondisi perfilman di negeri-negeri yang sedang dalam masa transisi itu? Seberapa banyak yang kita tahu tentang industri film di negeri mereka? Bagaimana para sutradara ini berkarya di negeri-negeri yang tidak bisa menikmati kebebasan berekspresi seperti mereka yang di Eropa maupun Amerika? Dari Festival Film Cannes ke 64, sepanjang 10 hari kedepan, selain melaporkan perkembangan festival ini setiap hari, Rumah Film juga akan menyoroti khusus fenomena karya-karya film dari negara-negara yang sedang dalam masa transisi politik. Ini

851

Jafar Panahi. Foto oleh Asmayani Kusrini.

sekaligus menunjukkan penghargaan atas upaya mereka mengangkat masalah dalam negeri mereka untuk menjadi bahan diskusi dan bisa jadi pelajaran bagi negeri negeri lain. Lewat sinema, mereka bicara. Lewat sinema, kita berdialog. Lewat sinema, kita berbagi, tanpa mengabaikan fakta bahwa orang-orang seperti Jafar Panahi inilah penghargaan dunia sinema sesungguhnya harus diberikan. Let’s keep cinema alive, and welcome to Festival Film Cannes 2011!

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2011

Sutradara Perempuan, dari Mesir Hingga ke Cannes

S

aya mencari sosok pria. Kami ada janji bertemu sore itu di Village International, Cannes. Saya tidak tahu bagaimana tampangnya, mungkin dengan rambut agak tebal dan wajah kearab-araban. Saya amati setiap wajah, sambil mencoba membaca papan nama yang tergantung di leher setiap orang. Di tengah lalu lalang orang-orang yang memenuhi area kecil Les Cinema Du Monde, saya hampir putus asa menemukan pria ini ketika tak sengaja seorang perempuan keluar dari ruang fotokopi di hall Les Cinema Du Monde. Di papan nama yang tergantung di lehernya tertulis: Ayten Amin. Oh, pria yang saya cari ternyata seorang perempuan. Ayten tertawa maklum. Ini bukan yang pertama kalinya, kata Ayten. Orang-orang asing sering menganggap Ayten nama laki-laki. Ayten adalah sutradara generasi baru di Mesir. Perempuan berumur 31 tahun ini datang ke Cannes untuk mengawali film pendeknya Spring 89 yang diputar di Short Film

854

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Corner. Selain itu ia datang untuk mencari dana menyelesaikan film panjangnya yang pertama, 69 Messaha Square. Berlatar belakang sutradara iklan, Ayten berusaha meyakinkan calon-calon produser yang bertebaran di Cannes untuk mewujudkan 69 Messaha Square. “Mungkin kedengarannya klise, tapi tidak ada produser di Mesir yang tertarik membiayai film saya,” kata Ayten. Padahal,, 69 Messaha Square memenangkan penghargaan di Cairo Film Connection sebagai proyek terbaik pada Desember 2010 lalu. “Saya harus bicara langsung dengan calon pendonor demi proyek ini,” kata Ayten. Ayten bukan yang pertama. Menghadapi masalah internal maupun eksternal yang beruntun, banyak sutradara Mesir yang akhirnya sukses menembus pasar internasional. Di Festival Film Cannes, nama Youssef Chahine adalah sutradara Mesir yang paling menonjol kehadirannya. Setidaknya 7 judul film yang disutradarai Chahine pernah masuk seleksi dalam berbagai program resmi Festival Film Cannes; yaitu Sun Of The Nil (1951), The Sparrow (1973), Adieu Bonaparte (1985), The Sixth Day (1987), Alexandria Again and Forever (1990), Destiny (1997), The Other (1999), dan Alexandria...New York (2004). Chahine kemudian mendapatkan penghargaan a lifetime achievement award di Cannes Film festival 1997. Selain The Sparrow, film-film Chahine semuanya mendapat dana dari luar Mesir. “Meskipun kami mencari dana di luar, bukan berarti kami membuat film berdasarkan selera luar juga. Saya membuat film untuk ditonton semua penonton yang ingin menonton,” kata Ayten menyangkal anggapan banyak orang bahwa dana luar negeri berarti selera luar negeri pula. Ketidakpastian tersedianya dana untuk membuat film membuat banyak sutradara Mesir bertebaran mencari celah di manapun ada kesempatan. “Kami banyak berharap dengan adanya revolusi Januari lalu, situasi akan berubah, tapi tentu dampak dari revolusi ini tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat.

Ayten Amin sutradara Mesir yang datang ke Cannes untuk mencari produser untuk filmnya. Foto oleh Asmayani Kusrini.

856

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Jadi untuk sementara, sebagai pembuat film, kami belum bisa terlalu banyak berharap dari siapapun. Kami lakukan apa yang kami bisa dulu,” kata Ayten.

Para Sutradara Perempuan Sebuah kebetulan, hingga di hari kedua Cannes Film festival berlangsung, sudah ada tiga karya sutradara perempuan di seksi kompetisi utama yang ditayangkan. Sleeping Beauty karya Julia Leigh, We Need To Talk About Kevin karya Lynne Rhymes dan Poliss karya Maiwenn Le Besco. Sleeping Beauty karya film pertama novelis Australia, Julia Leigh. Jane Campion tercatat sebagai produser karena itu ia juga hadir di acara konferensi pers untuk film ini. Sebagai karya pertama, Leigh mengeksplorasi dongeng Sleeping Beauty dari sudut erotisme. Sinopsis yang cukup ambisius. Skenario Sleeping Beauty pernah masuk dalam daftar ‘The Hollywood Black List’ script di tahun 2008, sebagai skenario yang gagal diproduksi. Julia Leigh mencoba mengangkat Sleeping Beauty dengan premis ‘use your imagination’. Dengan premis itu, Leigh merasa bisa bermain, mempergunakan cinema sebagai taman eksplorasi. Di sinilah kemudian terlihat bahwa Leigh belum sepenuhnya bisa sepiawai mentornya Jane Campion dalam meramu imajinasi. Meski begitu, bisa dipastikan Leigh akan kembali lagi ke Cannes di tahun-tahun mendatang. Lynne Ramsay hadir dengan thriller psikologis We Need To Talk About Kevin. Film yang dikonstruksi dengan sangat baik ini pastinya akan meremukkan banyak hati para ibu. Ramsay dengan piawai mengekplorasi kondisi psikologis karakter seorang ibu yang punya hubungan sulit dengan anak remajanya yang juga sulit. Perkembangan hubungan seorang ibu dan anaknya memang akan selalu menjadi rahasia waktu. Sejauh ini, We Need To Talk

ATAS KIRI: Julia Leigh sutradara film Sleeping Beauty. ATAS KANAN: Rachael Blake salah satu pemeran dalam film Sleeping Beauty. BAWAH: Maiwenn beserta aktor artis pendukung filmnya Polisse. Foto oleh Asmayani Kusrini.

858

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

About Kevin menjadi film yang paling banyak dibicarakan dan mendapat tepuk tangan yang meriah dari para kritikus dan wartawan film. Karya yang cukup mengejutkan lahir dari tangan sutradara sekaligus artis Prancis, Maiwenn. Mantan pasangan Luc Besson ini membuat film berjudul Polisse, tentang satuan polisi unit khusus perlindungan anak di Prancis. Terlihat jelas film ini dipersiapkan dengan matang hingga realita yang ditawarkan nyaris menyamai film dokumenter. Kekurangan ada di sana sini, tapi sebagai sutradara yang baru membuat 3 film, Maiwenn jelas patut diperhitungkan serius. Selanjutnya para filmgoers menunggu Hanezu No Tsuki karya Naomi Kawase yang akan melengkapi kwartet sutradara perempuan dalam program kompetisi utama memperebutkan Palem Emas. Sepanjang sejarahnya, baru kali inilah Festival Film Cannes menempatkan 4 nama sutradara perempuan di kompetisi utama.

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2011

Apa Kabar Film Indonesia Di Cannes?

D

ilihat dari posisinya, Pojok Indonesia di Cannes itu sangat strategis. Pojok ini berada di aksis utama hall Marché Du Cinema (Pasar Film), langsung terlihat begitu kaki melangkahkan masuk melewati gerbang. Jadi meskipun ruangnya kecil, Pojok ini –harusnya-- bisa jadi menarik perhatian pengunjung pasar. Terlihat ada upaya untuk itu. Pojok kecil ini didekorasi ala Indonesia, bendera Indonesia dengan umbul-umbul warna-warni, beberapa figur wayang, jajaran poster film-film Indonesia, serta tulisan dijidat pojok, Wonderful Cinema Indonesia. Di dalamnya terdapat sebuah TV dan dua perangkat meja kursi juga tersedia bagi para tamu atau calon pembeli yang ingin datang berkunjung. Sehari-harinya seperti juga pedagang film lainnya di Pasar Film, stan ini dibuka, brosur-brosur film Indonesia ditata di atas meja tamu yang di atasnya tersedia permen dan dodol.

860

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

“Stan ini adalah sumbangan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,” kata Ahmad Darby, staf konsulat jenderal RI dari Marseille. Menurut Darby, biaya pendirian stan berukuran kurang lebih 3 x 7 meterpersegi ini adalah sekitar 10.000 euro (kurang lebih Rp. 120 juta). Sudah lima tahun berturut-turut stan Indonesia berdiri di Marche Du Cinema, tapi sepanjang lima tahun itu pula tak banyak perkembangan berarti. Biasanya, seorang staf konjen, akan bertugas sebagai penjaga stand dan penerima tamu. Sehari-hari tugasnya merapikan stand Indonesia sekaligus jadi juru bicara jika ada pertanyaan seputar film-film yang dibawa kontingen Indonesia ke pasar ini. Meski tahun ini stan Indonesia menjajakan 12 judul film, tapi tidak ada satu judulpun yang akan diputar di teater-teater khusus yang biasa dipesan untuk pemutaran film bagi calon pembeli. Beberapa tahun lalu, Shanty Harmayn datang menjajakan dan memutar film The Photograph di Marché, tapi itupun atas inisiatif sendiri. “Kalau ada yang berminat, kami putarkan DVD nya di sini saja,” kata Darby. Lantas, bagaimana caranya menarik minat pembeli?. “Kan ada brosur dan DVD screening,” kata Darby. Selain itu, tidak banyak lagi yang bisa dibicarakan. Sebagai perbandingan, pemerintah Thailand yang tidak hanya membuka stan di Pasar tapi juga mendirikan paviliun di Village Internasional, tahun ini menyelenggarakan 3 acara, yaitu Thai Night, Thai Party, dan Thai Fight. Dalam setiap acara itu, turut diundang sejumlah distributor-distributor potensial, programmer-programmer festival, dan banyak lagi orang-orang dari Industri film yang memang membanjiri Festival Film Cannes setiap tahunnya. Tak lupa, untuk membuat acara ini terlihat lux, turut hadir pula Putri kerajaan Thailand, Ubol Ratana yang ikut menyambut para tamu. “Kami bikin acara kalau ada pak Menteri datang. Biasanya ada acara makan siang. Tapi kalau tidak ada yang datang, yah kami bikin stan ini saja,” jelas Darby yang sering bergantian

Pojok Indonesia di Pasar Film Cannes tahun 2011. Tidak banyak perubahan berarti. Foto oleh Asmayani Kusrini.

862

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

dengan staf konjen yang lain untuk datang menjaga stan. Kebetulan, saat saya berkunjung, beliau inilah yang sedang berada di tempat. Melihat perkembangan pojok Indonesia ini dari tahun ke tahun, kita bisa maklum kalau majalah The Economist menyebutkan bahwa kondisi perfilman di Indonesia adalah satusatunya sektor yang belum mengalami reformasi setelah tahun 1980, sejak kejatuhan Soeharto era. Jika mau dipersingkat, hasil dari berdirinya stan ini hanya selalu sampai pada taraf “negosiasi” atau “ada yang tertarik”. Demikian pula ke 12 judul film yang dibawa tahun ini yaitu Kharisma Love Story, Purple Love, Virgin 3, Evil Nurse, Love In Perth, Dibawah Lindungan Kabah, Goyang Jupe Depe (Sexy spirit dancers), Scandal, Sang Pencerah (The enlightened one), Dark forest, Evil Rises, Uninvited (Pocong Ngesot). Hingga saat ini, situasi film Indonesia di Pasar film lagi-lagi hanya sampai pada posisi ‘ada yang tertarik’. Dengan biaya sekitar 10.000 euro yang diambil dari anggaran pemerintah (yang berarti pula berasal dari pajak rakyat), maka bukankah kita sebagai rakyat berhak tahu laporan perkembangan stan Indonesia di Cannes?. Tapi adakah atau siapakah yang membuat laporan ini? ‘Barangkali disana ada jawabnya’, kata Ebiet G Ade.

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2011

“Kita Yang Harus Mendidik Pemerintah.”

Ketika nama Apichatpong Weerashetakul disebut sebagai penerima Palme D’Or pada Festival Film Cannes tahun lalu, dunia sinema terperanjat. Tapi yang tak kalah kaget dari peristiwa itu adalah Pemerintah Thailand sendiri. Tiba-tiba semua mata seperti tertuju pada negeri mereka, padahal mereka nyaris tak sadar bahwa film Apichatpong ikut berkompetisi. Maklum, film Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives murni hasil upaya Apichatpong sendiri. Tapi di dunia perfilman, ia sudah dianggap sebagai ikon dari Thailand. Mau tak mau Pemerintah Thailand harus berbenah diri. Tahun ini, Thailand mulai berusaha memberi perhatian khusus kepada para sutradara independennya.

864

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

L

etak stan jualan mereka tidak strategis. Terletak di lantai dua Marché Du Cinema atau Pasar Film, Cannes, di pojok paling belakang, terpencil dan jauh dari keramaian aksis utama. Tapi dengan semangat reformasi yang terlihat nyata, stan yang didirikan atas kerjasama Departemen Eksport bagian perdagangan, Departemen Kebudayaan bagian seni dan budaya kontemporer, serta Departemen Pariwisata ini pun terlihat ‘hidup’ dengan berbagai aktivitas. Bahkan jika Anda sekadar melongokkan wajah sejenak, para pegawai yang bertugas saat itu tidak akan membiarkan Anda pergi begitu saja. “Halo, selamat siang. Silahkan masuk jangan raguragu,” begitu sapaan ramah seoran penjaga stan. Stan yang berdiri di kiri kanan jalan setapak berkarpet ini hari itu sedang ramai oleh para tamu. “Stan ini khusus untuk aktivitas bisnis, segala hal yang berhubungan dengan industri film maupun pariwisata. Namanya juga Pasar, ya fungsinya sebagai tempat jualan. Sementara Paviliun kami di Village Internasional adalah tempat khusus untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan seni dan kebudayaan,” kata Onanood Phadoongvitee, pegawai senior dari Kantor Perdagangaan Thailand. Onanood adalah salah satu delegasi yang ditunjuk untuk jadi juru bicara di stan Thailand. Sehari-hari ia bisa ditemui di stan berukuran kurang lebih 60m2 ini. Jika waktu istirahat tiba, atau Onanood harus menghadiri acara yang berhubungan dengan pengembangan jaringan sosial di Cannes, maka ia akan digantikan oleh wakilnya yang juga selalu siap di area pasar ini. Menurut Onanood, keberadaan stan dan paviliun Thailand sebetulnya sudah sejak 3 tahun lalu.”Tapi kami memang baru tahun ini membuat kegiatan yang lebih aktif, kami ingin membuatnya lebih maksimal. Stan dan paviliun yang kami dirikan di sini adalah salah satu bagian dari agenda nasional untuk lebih fokus pada peningkatan kreativitas,” kata Onanood.

ATAS: Onanood Phadoongvitee, pegawai senior dari Kantor Perdagangaan Thailand yang berada di Paviliun Pemerintah Thailand. BAWAH: Phantam Thongsang, produser dari Aukao Aunam Films Co Thailand. Foto oleh Asmayani Kusrini.

866

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Tak tanggung-tanggung, mereka juga menyewa jasa event organizer untuk memastikan kesuksesan setiap acara yang mereka jadwalkan. “Kami ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kami punya pondasi yang kuat, tim produksi yang tak kalah berbakat, dan lokasi syuting di Thailand yang selalu siap disewa.” Dengan fasih, Onanood menjelaskan konsep strategis pengembangan aktivitas perfilman yang sedang dicanangkan oleh pemerintahnya. “Apakah ini karena kemenangan Apichatphong tahun lalu?”. Tidak juga kata Onanood. Menurutnya, kemenangan itu memang mengakibatkan semacam gelombang kesadaran baru khususnya bagi para tokoh perfilman di Thailand. “Penghargaan itu menjadi inspirasi dan pemberi semangat khususnya bagi sutradarasutradara baru. Dan kami dari pihak pemerintah ingin menjadi bagian dari semangat itu dengan mendukung mereka,” kata Onanood. Sebulan sebelum Festival Film Cannes dibuka misalnya, mereka sudah aktif mengirimkan email ke milis-milis wartawan tentang acara-acara yang akan mereka gelar, antara lain Thai Film Pitching Project, Thai Film Screening yang dibiayai oleh pemerintah, hingga Thai Fight Boxing Contest sebagai acara hiburan untuk membangun jaringan sosial di lingkaran dunia perfilman dunia. “Acara-acara ini memang baru tahun ini kami selenggarakan di Cannes, karena sekali lagi kami ingin menunjukkan dukungan kami kepada dunia perfilman,” kata Onanood. Onanood mengklaim bahwa saat ini jumlah bioskop di Thailand nyaris mencapai angka 600. “Dan saya mengundang Anda untuk datang ke Thailand untuk melihat sendiri bioskopbioskop yang dibangun. Salah satu pelayanan bioskop terbaik di dunia. Pengalaman menonton film di bioskop Thailand tidak akan Anda lupakan,” kata Onanood. Ini antara lain menonton sambil

“KITA YANG HARUS MENDIDIK PEMERINTAH.”

minum champagne, berbaring di sofa empuk, hingga menonton sambil dipijat. Toh meningkatnya pelayanan yang super luks ini, belum bisa diikuti dengan peningkatan dukungan terhadap produksiproduksi lokal khususnya proyek-proyek film art house. “Karena itulah kami punya Thai Film Pitching, sebuah proyek idealis khusus untuk proyek-proyek dari sutradara-sutradara independen,” kata Onanood. Untuk mengetahui lebih jauh tentang Thai Film Pitching serta segala hal yang menyangkut proyek-proyek film lainnya, Onanood kemudian menyarankan untuk berkunjung ke Paviliun Thailand, di Village International nomor 139. Proyek Thai Film Pitching sudah lama mengirimkan undangan yang sangat bersemangat: WE are READY TO MEET YOU at CANNES FILM FESTIVAL 2011 (11-17 May 2011). We Offer the best Thai film’s projects to the world’s investment selection.

Seiring dengan pengumuman itu, juga diindikasikan bahwa untuk tahu lebih banyak tentang proyek-proyek mereka, setiap orang yang tertarik bisa datang ke Paviliun mereka. Menjadi bagian dari Village International adalah kebanggaan tersendiri bagi pemerintah Thailand. Bukan hanya karena lokasi paviliun yang berada di bibir pantai Croisette dengan teras yang menghadap ke laut, tapi keberadaan paviliun ini juga membuktikan bahwa mereka berniat menjadi bagian dari dunia perfilman dunia. Nama Village International sudah jelas menunjukkan fungsi area ini. Area Village Internationa yang mulai dibuka tahun 2000 ini diniatkan menjadi tempat di mana setiap negara yang ikut berpartisipasi bisa mempromosikan dan menginformasikan tentang program pengembangan identitas budaya, industri film,

867

868

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

dan tentu saja para pekerja film di negara mereka,. Paviliun ini juga menjadi tempat saling bertukar pengalaman. Tahun ini, sebanyak 46 negara berpartisipasi dengan 4 negara yang baru bergabung yaitu Albania, Cina, Cyprus dan Macedonia. Selain paviliun nasional, di area ini juga berdiri paviliun Cinemas Du Monde, Uni Eropa, serta institusi-institusi international yang bergerak dalam dunia perfilman. “Paviliun ini tentu saja lebih bergengsi. Stan di Pasar Film kan untuk jualan, untuk bisnis. Paviliun ini untuk bergaul,” kata Phantam Thongsang, produser dari Aukao Aunam Films Co. Phantam adalah produser film Enemies karya sutradara  Ekachai Uekrongtham. Ekachai adalah sutradara Thailand yang berkarir sebagai sutradara teater di Singapura. Film keduanya Pleasure Factory masuk seleksi di Festival Film Cannes 2007 lalu. Informasi detail tentang proyek film ini bisa didapatkan di Paviliun Thailand lengkap dengan daftar investor, biaya yang dibutuhkan hingga perhitungan biaya yang diharapkan dari investor asing. Menurut Phantam, salah satu perubahan berarti yang dilakukan oleh pemerintah Thailand terhadap industri film adalah dengan menciptakan platform yang mendukung sutradarasutradara independen. “Dan ini untuk pertama kalinya dalam sejarah perfilman kami,” kata Phantam. Tahun ini ada 4 proyek film dari 80 proyek film di Thai Film Pitching yang dibawa ke Cannes karena dianggap potensial untuk menarik perhatian investor asing, Perubahan yang dilakukan ini, menurut Phantam bukan datang dari pemerintah, tapi justru inisiatif dari para pekerja film sendiri. “Pemerintah Thailand tidak tahu banyak tentang industri film, karena itu kita yang harus mendidik pemerintah. Kita harus memberi informasi kepada mereka apa yang kita butuhkan dalam industri ini. Sebagai permulaan, menurut saya, dengan membawa Thai Film Pitching proyek ke paviliun ini adalah langkah awal yang baik,” kata Phantam.

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2011

Gong Perang Dingin Rasoulof-Panahi versus Pemerintah Iran

D

engan suara yang terdengar tegar, Rosita Rasoulof mengucapkan, ‘Salam’. Di depan penonton yang memenuhi Salle Debussy, sabtu 14 Mei lalu, Rosita bicara atas nama suaminya, Mohammad Rasoulof, yang saat ini sedang dalam proses banding atas hukuman enam tahun penjara dan 20 tahun larangan bekerja yang dijatuhkan pemerintah Iran. Beberapa hari sebelum Cannes dimulai, Rasoulof dikabarkan akan datang menghadiri pemutaran film perdananya, Bé Omid E Didar (Goodbye), yang masuk seleksi di program Un Certain Regard yang jurinya diketuai Emir Kusturica, sutradara Serbia yang juga terkenal karena film-film bertema politiknya. Thierry Fremaux, direktur Festival Film Cannes bahkan berjanji jika Mohammad Rasoulof bisa sampai di Cannes, maka festival tersebut akan menyediakan teater dan memutar lagi film Bé Omid E Didar. Namun menurut Rosita, harapan itu akhirnya pudar ketika sampai hari ini, paspor dan visa suaminya tetap

870

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

berada di tangan pihak berwenang. Karena itu, hanya Rosita dan Leyla Zareh (artis utama dalam film Bé Omid E Didar) yang hadir malam itu. Sebelum pemutaran dimulai, Rosita, Leyla dan beberapa kru film naik di atas panggung untuk menyampaikan sepatah dua patah kata. Rosita sendiri tidak banyak bicara. Wanita mungil berkerudung ini hanya mengucapkan terima kasih atas dukungan yang diberikan kepada suaminya. Sementara Leyla berharap, film ini bisa membuat penonton memahami situasi masyarakat Iran yang hidup tertekan. Goodbye adalah film panjang Rasoulof yang kelima dan bercerita tentang Noura, seorang pengacara perempuan muda yang izin berpraktiknya ditanggalkan sementara suaminya menjadi buronan politik. Segala upaya ia lakukan untuk bisa keluar dari Iran, apalagi ketika ia kemudian mengandung. Goodbye menggambarkan betapa mahalnya harga kebebasan, dan lebih mahal lagi buat Noura karena ia perempuan. Noura selalu membentur tembok ketika harus memutuskan sendiri apapun yang ingin dia lakukan. Sebagai perempuan yang sudah menikah, ia selalu butuh persetujuan suaminya, mulai dari pemeriksaan ke dokter kandungan hingga menginap di hotel. Sisi gelap kehidupan masyarakat Iran ini digambarkan dengan muram dan dingin, bahkan diakhiri dengan penyelesaian yang pesimis. Goodbye menuntut perhatian darurat bukan hanya dari pemerintah tapi juga dari masyarakat Iran sendiri. Sampai kapan mereka akan terus hidup seperti Noura? Goodbye tidak hanya film yang berhubungan (secara tidak langsung) dengan nasib Rasoulof, tapi juga merupakan protes kolektif masyarakat Iran. Awal Maret tahun lalu, Rasoulof, Panahi dan 17 orang lainnya dibekuk di kediaman Jafar Panahi. Mereka dituduh membuat film propaganda mendukung oposisi Mir Hossein Mousavi. Bukan rahasia lagi kalau mereka yang ditangkap saat itu adalah kelompok pro reformasi yang dikenal sebagai Gerakan

Leyla Zareh artis Iran pemeran utama dalam film Goodbye karya Mohammad Rasoulof. Foto oleh Asmayani Kusrini.

872

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Hijau (Green Movement). Padahal menurut Panahi, mereka sedang membicarakan proyek film tentang perkembangan sebuah keluarga pascapemilu. Setelah penangkapan itu, Rasoulof dibebaskan 17 hari kemudian, sementara Panahi baru dibebaskan 25 hari kemudian dengan jaminan. Setelah melalui proses hukum, mereka berdua kemudian dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan 20 tahun larangan membuat film. Tuduhan terhadap mereka adalah berkumpul dan bekerjasama ingin menghancurkan sistem keamanan negara dan membuat karya propaganda melawan Republik Islam. Keputusan ini membuat masyarakat perfilman dunia mengambil tindakan spontan. Sejumlah petisi disebarkan baik melalui media maupun jaringan sosial seperti Facebook untuk mendukung pembebasan keduanya. Kecaman internasional terhadap hukuman Rasoulof dan Panahi meningkat, bersamaan dengan makin tidak pastinya nasib mereka berdua. “Festival Film Cannes akan terus ikut serta dalam barisan mendukung pembebasan Rasoulof dan Panahi,” kata Direktur festival, Thierry Fremaux. “Mereka sudah mengambil resiko berbahaya, karena itulah kami juga tidak akan berhenti sampai di sini,” kata Fremaux lagi. Berita terakhir, Cinema Without Borders membuat Open Page yang didedikasikan untuk Panahi dan Rasoulof. Open Page ini mengundang siapa saja, mulai dari kritikus, penulis, pencinta film untuk menulis komentar, surat, artikel yang ada hubungaannya dengan kedua sutradara ini. Open Page akan terus diaktifkan hingga keduanya dibebaskan. Pemerintah Iran menganggap Panahi dan Rasoulof adalah dua orang yang berbahaya. Mohammad Rasoulof dan Jafar Panahi (dengan film In Film Nist) terang-terangan menunjukkan posisi mereka di seberang jalan, menyerukan penolakan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengungkung. Pengiriman

Rosita Rasoulof hadir mewakili suaminya dalam pemutaran perdana Goodbye. Foto oleh Asmayani Kusrini.

874

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

kopi kedua film ini pun dilakukan dengan sangat rahasia. Kegigihan ini berbuah: di samping perhatian dunia, para juri Un Certain Regard pun menganugerahi penghargaan untuk penyutradaraan terbaik bagi Rasoulof untuk Goodbye. Hadirnya kedua film ini di Cannes menjadi semacam pengeras suara bagi Rasoulof dan Panahi untuk meminta hak kebebasan mereka. Salah satu koran lokal di Prancis memasang headline: Panahi dan Rasoulof versus Pemerintah Iran. Jika kita percaya bahwa sinema punya kekuatan tak terduga, Goodbye dan In Film Nist bisa dijadikan referensi.

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2011

Kontroversi, Revolusi dan Masa Depan Anak-Anak

P

ara pemenang sudah diumumkan. Gedung Palais Du Cinema sudah ditinggalkan oleh penghuninya selama 2 pekan ini. Tapi dengung peristiwa yang terjadi sepanjang festival masih akan terasa hingga beberapa pekan kedepan. Tentu saja pengusiran Lars Von Trier dari Festival Film Cannes menjadi berita utama tahun ini. Untuk pertama kalinya, festival yang dikomandoi oleh Thierry Fremaux ini memberikan hukuman ‘persona nan grata’. Berita mengejutkan mengingat Lars Von Trier adalah salah satu sutradara yang sudah terlanjur dianggap ‘anak favorit Cannes’. Sutradara Denmark ini bahkan tidak boleh berada dalam radius 200 meter dari tempat berlangsungnya festival. Mungkin Von Trier memang pantas diberi pelajaran. Ia mengolok-olok Yahudi, mengaku simpatisan Nazi, dan lupa bahwa ia sedang bicara kepada ratusan wartawan dari berbagai negara, yang berarti juga, ia bicara kepada seluruh dunia. Von Trier

876

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

ditegur. Ia minta maaf. Puncaknya, Von Trier diusir dari festival. Tapi sepertinya, itu belum cukup. Masalah ini akan panjang, dan akan dipanjang-panjangkan lagi untuk konsumsi media-media yang haus kontroversi. Selebihnya, urusan ini biarkan jadi urusan Von Trier, petinggi festival dan para ahli analisis situasi. Masih banyak hal yang lebih penting untuk diperhatikan. Misalnya saja, Festival Film Cannes dengan segala kemegahannya tak bisa mengabaikan situasi politik dunia yang terjadi sepanjang tahun. Selain memutar dua film kontroversial dari dua sutradara Iran yang paling banyak disoroti tahun ini, festival yang sudah berusia 64 tahun ini menjadi panggung saksi revolusi. Revolusi yang terjadi di Tunisia, kemudian diikuti oleh Mesir, dan menyebar ke negeri-negeri tetangganya direkam tanpa komando oleh para pembuat film dari negeri-negeri setempat. Saat itu mereka mengangkat kamera hanya berdasarkan spontanitas. Tanpa rencana. Tanpa aba-aba. Hasilnya sebuah film dokumenter Plus Jamais Peur (No More Fear) karya Mourad ben Cheikh asal Tunisia, dan kumpulan film pendek yang tergabung dalam 18 Jours (18 Days) karya 10 sutradara asal Mesir diputar perdana pada Festival Film Cannes yang baru saja berakhir.

Masa Depan Anak-Anak di Dunia Sinema Hal yang paling terasa dari film-film yang masuk seleksi tahun ini (mulai dari seleksi utama, Un Certain Regards hingga Critic’s week) adalah kekhawatiran terhadap perkembangan dan masa depan anak-anak. Sejumlah film tahun ini banyak mengangkat masalahmasalah yang dihadapi anak-anak. Di seksi kompetisi memperebutkan Palem Emas, ada Polisse karya Maiwenn tentang satuan polisi perlindungan anak di Paris. Ketidakberdosaan anakanak disalah-gunakan, dieksploitasi, dan dimanipulasi baik oleh orang tua mereka sendiri, guru dan masyarakat sekelilingnya.

KONTROVERSI, REVOLUSI DAN MASA DEPAN ANAK-ANAK

Michael karya sutradara Markus Schleinzer menggambarkan lima bulan terakhir kehidupan Michael seorang pedofilia dan korbannya Wolfgang, anak lelaki berusia 10 tahun. Sejak awal pembuatan film ini, Schleinzer mengalami kesulitan menemukan pemeran Wolfgang, anak yang menjadi korban pedofilia, fenomena yang belakangan ini marak di Eropa. Sementara Dardenne bersaudara dengan film The Kid With The Bike adalah sebuah potret yang lumrah dialami banyak anakanak jaman ini. Cyril, bocah 12 tahun yang ditinggalkan ibunya, ditolak ayahnya, dan dimanfaatkan teman barunya. Dalam usia semuda itu, Cyril berusaha terus tegar di antara kekecewaan yang bertubi-tubi. The Tree Of Life karya Terrence Malick juga mengambil tema keluarga di mana seorang anak mengenang kembali hubungannya dengan sang ayah demi memahami kegelisahannya tentang makna hidup. Bahkan Melancholia karya Lars Von Trier pun mengangkat kecemasan terhadap masa depan anak-anak. Dalam sebuah percakapan tentang bumi yang sebentar lagi akan hancur oleh Melancholia, Claire (Charlotte Gainsbourg) bertanya tentang bagaimana nanti nasib anaknya yang baru berusia 9 tahun itu. “But where would Leo grow up?” Sementara di program Un Certain Regards, Toomelah karya Ivan Sen berkisah tentang Daniel, bocah umur 10 tahun yang ingin menjadi bagian dari kelompok gangster karena melihat tokoh idolanya. Di usia yang begitu muda, karena pengaruh lingkungan, Daniel menjalani hidup yang menurutnya ideal. Bolos sekolah, tawuran, dan ikut-ikutan menjual obat-obatan terlarang. Meski tidak secara langsung berbicara tentang anak-anak, Bé Omid é Didar (Goodbye) karya Mohammad Rasoulof juga mengutarakan kekhawatiran tentang masa depan anak-anak yang lahir dengan kondisi khusus, dalam hal ini down syndrome. Noura, sang calon ibu memutuskan untuk menggugurkan saja kandungannya jika anak itu lahir di Iran. Ketika ada harapan

877

878

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

untuk meninggalkan negerinya, Noura memutuskan untuk mempertahankan kandungannya. “Di luar sana, paling tidak anak ini bisa hidup lebih baik.” katanya. Where Do We Go Now? karya Nadine Labaki berkisah tentang upaya para ibu di sebuah desa terpencil untuk melindungi anak-anak mereka di tengah-tengah konflik agama dan senjata. Meski film ini adalah sebuah dongeng, dan memberikan solusi utopia yang hanya bisa terjadi dalam dunia dongeng, kecemasan akan nasib anak-anak di tengah kekacauan menjadi tema utama film panjang kedua sutradara asal Lebanon ini. Di seksi Director’s Forthnight, masalah anak-anak juga diangkat oleh sutradara Bouli Lanners dalam Les Géants, Blue Bird karya Gust Van den Berghe, dan Play karya Ruben Ostlund. Sementara di program Critics Week, ada sutradara Delphine dan Muriel Coulin yang mengangkat kisah remaja belasan tahun yang sepakat untuk hamil diwaktu bersamaan dalam film 17 Girls. Jika sinema adalah refleksi wajah kita dijaman ini, maka kita tahu, kita memang perlu khawatir dengan masa depan anak-anak kita.

Dan Kita Tahu Pemenangnya Bahkan di menit terakhir, banyak orang masih yakin bahwa Le Havre karya sutradara Finlandia Aki Kaurismaki lah yang akan pulang membawa Palem Emas. Namun ternyata, para juri berpikiran lain. Tree Of Life karya Terrence Malick lah dianggap lebih pantas untuk menang. Tilda Swinton, pemeran utama dalam film We Need To Talk About Kevin karya Lynne Ramsay juga dijagokan akan menerima penghargaan artis terbaik. Namun, penonton hanya bisa menduga. Bisa dimengerti, betapa sulitnya menentukan pemenang. Le Havre (Aki Kaurismaki), The Boy With The Bike (Dardenne Brothers), Tree Of Life (Terrence Malick), Once Upon A Time in

KONTROVERSI, REVOLUSI DAN MASA DEPAN ANAK-ANAK

Anatolia (Nuri Bilge Ceylan), Polisse (Maïwenn), We Need To Talk About Kevin (Lynne Ramsay), Hanezu No Tsuki (Naomi Kawase) dan Melancholia (Lars Von Trier) adalah film-film favorit saya sepanjang festival. Sayangnya, tak semua bisa membawa pulang tropi. Tapi nilai budaya sebuah film tidak ditentukan oleh sebuah penghargaan. Selamat untuk para pemenang. FEATURE FILMS

r Palme d’Or : THE TREE OF LIFE directed by Terrence MALICK r Grand Prix Ex-aequo : BIR ZAMANLAR ANADOLU’DA (ONCE UPON A TIME IN ANATOLIA) directed by Nuri Bilge CEYLAN and LE GAMIN AU VÉLO (THE KID WITH A BIKE) directed by Jean-Pierre et Luc DARDENNE r Award for Best Director : Nicolas WINDING REFN for DRIVE r Award for Best Screenplay : Joseph CEDAR for HEARAT SHULAYIM (Footnote) r Award for Best Actress : Kirsten DUNST in MELANCHOLIA directed by Lars VON TRIER r Award for Best Actor : Jean DUJARDIN in THE ARTIST directed by Michel HAZANAVICIUS r Jury Prize : POLISSE (POLISS) directed by MAÏWENN SHORT FILMS

r Palme d’Or - Short Film : CROSS (CROSS COUNTRY) directed by Maryna VRODA r Jury Prize - Short Film : BADPAKJE 46 (SWIMSUIT 46) directed by Wannes DESTOOP

879

880

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

UN CERTAIN REGARD :

r Prize of Un Certain Regard Ex-aequo : ARIRANG directed by KIM Ki-Duk and HALT AUF FREIER STRECKE (STOPPED ON TRACK) directed by Andreas DRESEN r Un Certain Regard Special Jury Prize : ELENA directed by Andrey ZVYAGINTSEV r Directing Prize of Un Certain Regard : BÉ OMID É DIDAR directed by Mohammad RASOULOF

KONTROVERSI, REVOLUSI DAN MASA DEPAN ANAK-ANAK

Festival De Cannes 2012 LAPORAN OLEH ASMAYANI KUSRINI

881

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

Scene From Tgv Carriage No 5 Direction Cannes

S

emua orang di dalam gerbong kereta nomor lima itu menoleh ketika pria wangi berjas hitam itu naik di bandara Charles De Gaule. Bahkan, petugas yang sedang memeriksa tiket pun sempat menganga. Betapa tidak, bawaan pria berjas hitam itu mencengangkan. Tiga buah koper setinggi pinggang, lima setelan jas dengan sebuah merk terkenal tercetak elegan di atas bungkus hitamnya, dengan sebuah bacpack di punggung sementara salah satu lengannya mengepit I-pad. Pria perlente ini nampak kehabisan nafas ketika berusaha menata barang-barang bawaannya di bagasi kereta. Beberapa orang akhirnya datang membantu. Setelah beres, akhirnya ia duduk berselonjor, di kursi persis di tengah-tengah gerbong. Seakan menjadi wakil dari rasa penasaran seluruh penghuni gerbong, seorang wanita muda—dengan anak bayinya yang tertidur di pelukan—akhirnya bertanya.

SCENE FROM TGV CARRIAGE NO 5 DIRECTION CANNES

“Anda lagi pindah rumah ya?” tanyanya menuduh. Pria itu tertawa. Setelah melihat mata semua orang tertuju padanya, ia akhirnya bercerita. Ternyata, ia adalah seorang penata busana yang bekerja di sebuah rumah mode terkenal di Paris. Dia bilang, barang bawaannya itu tak lain adalah busana-busana yang nanti akan ditawarkan kepada para bintang-bintang tenar yang akan melenggang di karpet merah pada Festival Film Cannes yang akan dimulai Rabu, tanggal 16 Mei 2012. Terdengar gumaman ‘ooooooo’ serentak yang panjang di dalam gerbong. Mengapa bisa begitu banyak? Karena ia harus memperhitungkan cuaca. Sehingga setiap artis atau aktor yang diincar bakal punya berbagai pilihan, jika cuaca mendung dan agak dingin, ada syal berbulu domba. Jika cuaca panas terik, ada gaun halus nan seksi, dan jika cuaca hujan, maka ada gaun khusus yang dibuat dari bahan plastik hingga anti air. Jadi selama ini, gaun-gaun itu bukan milik pribadi si artis ya? Kami makin penasaran. Tentu saja bukan, kata pria perlente itu. Biasanya sebulan sebelum Festival Film Cannes berlangsung, butik-butik dan rumah mode terkenal berlomba-lomba membuat rancangan baru—sekaligus juga mengeluarkan koleksi musim panas mereka—untuk dipamerkan lewat para bintang-bintang di karpet merah. Mereka membuka cabang dadakan sekaligus mengirimkan penata busana yang paling berpengalaman untuk merayu para bintang ini agar mau memakai busana dari rumah mode tersebut. Lagi-lagi, gumaman ‘ooooo’ yang panjang terdengar. Lalu gerbong nomor lima pun mulai ramai dengan pembicaraan soal Festival Film Cannes. Ternyata, hampir sebagian besar penghuni gerbong nomor lima punya tujuan sama walaupun dengan tugas berbeda. Ada penata busana tadi, ada sukarelawan yang akan bekerja jadi penjemput tamu di acara pesta-pesta yang bakalan ramai sepanjang festival, ada distributor, produser dan tentu saja wartawan.

883

884

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Wanita setengah baya yang duduk di samping saya kemudian ikut bercerita betapa dulu ketika ia muda, ia senang sekali berkunjung ke setiap festival termasuk Festival Film Cannes. Dia bilang, di Festival Film Cannes selalu ada film-film politis yang menyuarakan sesuatu. “Lebih baik menonton filmfilm bermuatan politis daripada mendengarkan politikus-politikus bicara tanpa muatan alias omong kosong,” katanya. Setelah ngobrol beberapa lama, wanita Prancis berkebangsaan Inggris ini ternyata adalah seorang psikoterapis yang dulu pernah meneliti tentang representasi karakter anak-anak di dalam film-film Amerika dan Eropa. Mata saya membelalak? Menarik sekali. Sayang, dari pengeras suara terdengar pengumuman bahwa kereta kami sudah tiba di stasiun kereta Cannes. Semua orang akhirnya bergegas turun, termasuk pria perlente yang tadi membuat heboh. Sebelum berpisah, masing-masing dari kami akhirnya hanya bisa saling berucap: bonne fête à vous tous !

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

Dari Moonrise Kingdom hingga Mesir

Laporan II

F

estival Film Cannes ke 65 akhirnya dibuka semalam. Red carpet dilewati oleh tim Moonrise Kingdom yang terdiri dari Wes Anderson, Bruce Willis, Edward Norton, Bill Murray, Tilda Swinton, Jason Schwartzman plus dua bintang utama cilik Jared Gilman dan Kara Hayward. Tulisan ini dibuat sambil menonton mereka menapaki karpet merah. Kalau dipikir-pikir, Pramuka itu sebetulnya kegiatan yang aneh. Di situ, anak-anak dianggap bisa memuaskan energi petualangan mereka sekaligus mengajarkan disiplin. Hidup bebas di alam dengan menggunakan peralatan seadanya, tapi juga ketat dengan jadwal rutin ala militer. Kontradiksi ini kental sekali dalam film Moonrise Kingdom karya terbaru Wes Anderson. Moonrise Kingdom seperti ingin mengingatkan para orang dewasa, betapa menyenangkannya jika kita bisa melihat segala hal tentang hidup yang terasa rumit dari kacamata anak-anak yang sederhana.

886

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Film bernuansa retro yang menjadi pembuka Festival Film Cannes yang ke 65 ini tidak hanya berisi tentang kebutuhan anakanak menjelang remaja untuk diberi kepercayaan melakukan apa yang menurut mereka harus dilakukan oleh anak-anak sebaya. Dalam film ini, adalah Sam dan Suzy, dua remaja tanggung umur 12an yang dianggap aneh oleh lingkungan sekitar mereka. Suzy suka menyendiri dan berhayal. Sementara Sam ogah mengikuti aturan main dalam perkemahan kelompok Pramuka dan ingin berpetualang menyusuri jejak suku asli yang pernah menetap di pulau tempat mereka tinggal. Apa yang salah dengan mereka berdua? Tidak ada. Mereka berdua hanya tidak mengikuti aturan dan standar yang dibuat oleh orang dewasa. Moonrise Kingdom menunjukkan betapa seringnya kita salah menyikapi kebutuhan anak-anak kita. Betapa seringnya kita menganggap remeh kemampuan anak-anak sebagai manusia utuh yang bisa bertindak dan berpikir sendiri. Betapa seringnya kita lupa bahwa anak-anak suka berpetualang melakukan hal-hal baru diluar rutinitas mereka sehari-hari: pergi sekolah, pulang, belajar dan bermain di halaman. Moonrise Kingdom juga menggambarkan dengan jitu betapa orang-orang dewasa sudah terbelit begitu banyak kewajiban sehingga mereka seperti lupa untuk menikmati hidup. Semua elemen ini diramu dengan kocak dan cerdas oleh Wes Anderson sehingga menghasilkan film yang menggabungkan sejumlah referensi literatur dan sinema, mulai dari Romeo and Juliet, Lord Of The Flies, hingga adegan ala Lolita karya Stanley Kubrick. Anak-anak tanggung ini digambarkan jatuh cinta dengan tulus tapi naif ala Romeo and Juliet. Mereka bisa menjadi begitu kasar, mengerikan dan tak terkendali seperti anak-anak yang tinggal di pulau tanpa orang dewasa di Lord Of The Flies. Dan akan tiba masanya mereka penasaran dengan seksualitas serta mencoba untuk tampil memikat ala Lolita.

DARI MOONRISE KINGDOM HINGGA MESIR

Film panjang Wes Anderson yang ketujuh, makin menegaskan gaya penyutradaraan Anderson yang khas. Tidak hanya desain produksi dan tata artistik yang disiapkan dengan matang dan penuh detail, tapi juga gaya penceritaan yang unik lengkap dengan sekumpulan karakter yang ‘nyeleneh’. Pendekatan yang unik ini mulai terlihat sejak Rushmore hingga Fantastic Mr. Fox. Yang juga ‘nyeleneh’ adalah sang narator, seorang bapak tua berjaket merah yang sejak awal menjelaskan letak geografis pulau kecil mereka. Saya pikir ini hanya kebetulan, tapi bapak tua dengan jaket merah ini menjelaskan berbagai hal dan kemudian sesekali muncul sebagai penengah ketika sebuah adegan krusial sedang berlangsung membuat saya tak sanggup menahan tawa. Adakah yang ingat tentang seri komedi TV, The Fast Show? Komedi asal Inggris yang tayang dari tahun 1994 hingga 2001 berisi fragmen-fragmen banyolan yang sungguh garing tapi lamalama jadi lucu karena garingnya. Serial ini jadi salah satu favorit saya selain The Big Bang Theory dan Dawson’s Creek (so?). Film Moonrise Kingdom membuat saya teringat lagi dengan The Fast Show. Jika Anda menganggap The Fast Show lucu, maka Moonrise Kingdom pasti akan membuat Anda tertawa. Bahkan Bruce Willis pun terlihat lucu di film ini. Film kompetisi lain yang diputar hari ini adalah Baad El Mawkeaa (After The Battle) karya sutradara Yousry Nasrallah. Tahun lalu, Yousry Nasrallah ikut berpartisipasi dalam omnibus 18 Jours, tentang peristiwa yang ada hubungannya dengan Revolusi Mesir yang memuncak di Tahrir Square sehingga menumbangkan pemerintahan Housni Mubarak. After The Battle juga berkisar tema yang sama, euforia revolusi yang masih tersisa dibumbui dengan kisah cinta yang terlalu dipaksakan ada. Film tentang dampak perang dan revolusi dari sudut pandang rakyat biasa sudah bukan hal yang baru. Sebelumnya

887

888

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

yang monumental tentu saja trilogi perang Roberto Rossellini: Allemagne Anne Zero, Paisan atau dan juga Rome Open City. Filmfilm Rosselini tersebut berhasil karena ia konsisten dengan karakter-karakter utama dan kapasitasnya masing-masing. Edmun si anak kecil yang berusaha keras membantu keluarganya di Allemagne Anne Zero, Pina yang berusaha membantu pemimpin kelompok penentang pemerintah di Rome Open City dan Carmela yang berusaha membantu sekelompok tentara. After The Battle mencoba melakukan yang sama. Berlatar belakang revolusi di Tahrir dan juga pembangunan dinding sepanjang 16 kilometer yang memblokade akses antara kawasan turistik dan desa Nazlet El Samman, desa tradisional di kaki kawasan Pyramid. Keterlibatan para pengendara kuda (yang biasanya menjadi pemandu turis) di Tahrir Square erat hubungannya dengan ketidakpuasan para penghuni desa dengan pembangunan dinding tersebut. Tentu, ini sebuah hipotesis menarik untuk sebuah film. Masalah utama yang sangat mengganggu dalam After The Battle karya Yousry Nasrallah ini justru karena peran yang dibebankan kepada karakter utamanya, Rim (diperankan oleh Menna Chalaby). Rim digambarkan sebagai wanita modern dengan pikiran-pikiran liberal yang jatuh cinta kepada seorang pengendara kuda miskin dari desa Nazlet yang sudah beranak istri. Di saat yang sama, Rim ingin bertindak sebagai kekasih, sekaligus penggalang revolusi yang lantang menyerukan demokrasi, penolong bagi kaum wanita yang pendidikannya tertinggal, dan pemersatu ketidak-kompakan dalam komunitas di desa Nazlet El Samman. Dengan kata lain, Rim berlaku dan diperlakukan seperti juru penyelamat bagi semua orang, dan ini yang membuatnya menjadi karakter yang absurd. Semua momentum-momentum dan dialog-dialog menarik yang banyak terlontar di dalam film ini

DARI MOONRISE KINGDOM HINGGA MESIR

akhirnya cuma sampai menjadi sketsa tanpa garis yang tegas. Dengan tema yang sama, 18 Jours tahun lalu menawarkan perspektif yang jauh lebih beragam dan tegas menyerukan revolusi.

889

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

Lewat Djam Malam dan Kabar Gembira Film Indonesia Laporan III

J

ika situasi di Festival Film Cannes bisa jadi ukuran, jelas ada yang mulai berubah di dunia sinema Indonesia. Pertama, bisa terlihat dari poster-poster film Indonesia yang terpasang di pojok Wonderful Cinema Indonesia, Marché Du Film. Tahun-tahun sebelumnya, poster-poster yang terpasang nyaris seragam: poster film-film hantu gentayangan dengan satu dua poster film reliji atau film remaja. Tahun ini, poster yang terpasang tidak melulu film-film arus utama tapi beragam tema, dan terutama memasang film-film yang sudah membawa nama Indonesia di festival-festival film Internasional: Modus Anomali, Dilema, Lovely Man, dan Poscard From The Zoo. Selain itu ada Surat Kecil Untuk Tuhan, Sang Penari, hingga The Raid. Kedua, di pasar film tahun ini, dari Indonesia tidak hanya ada Wonderful Cinema Indonesia yang merupakan booth resmi Pemerintah Indonesia. Lima production house patungan untuk

LEWAT DJAM MALAM DAN KABAR GEMBIRA FILM INDONESIA

membuka booth yang diberi nama Indonesian Film Initiative yang bertempat di pasar film, lantai 2. Booth ini patungan antara Amalina, Lynx, KG Production, Gama Pratama, dan A 700 Pictures. Film-film yang dijual juga beragam, mulai dari Catatan Si Boy, Negeri 5 Menara, #RepublikTwitter, Hello Goodbye hingga Parts Of The Heart. Indonesian Film Initiative yang baru dibuka tahun ini menunjukkan semangat baru yang sedang tumbuh dalam industri film Indonesia yang tidak selalu harus bergantung pada ‘kebaikan hati’ pemerintah. Ketiga, akhirnya Pemerintah Indonesia mengadakan Indonesian Party bertempat di café pantai Hotel Carlton, pada malam tanggal 18 Mei kemarin. Acara seperti ini sangat umum diselenggarakan selama Festival Film Cannes. Setiap hari sepanjang malam, ada saja acara dengan berbagai atraksi menarik guna mempertemukan orang-orang yang bergerak dalam industri film. Pemerintah Thailand misalnya mendatangkan kelompok Thai-Boxing untuk dipertontonkan kepada tamu-tamu mereka. Pemerintah Indonesia pernah mengadakan Indonesian Party sekitar 10 tahun lalu, dan sejak itu vakum hingga sekarang. Indonesian Party ini disponsori oleh RenderPost, sebuah perusahaan post-production di Indonesian dan Bosowa Group. Acara seperti ini dianggap sebagai ajang perkenalan sekaligus pintu masuk berbagai persetujuan kerjasama industri yang dilakukan secara informal. Berita yang paling menggembirakan malam itu adalah janji dari Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Ukus Kuswara. Beliau berjanji tahun depan akan menyewa Paviliun di Village Internasional, yang tentu saja lebih prestisius dibandingkan kios di pasar film. Janji dari Ukus Kuswara ini tentu menjadi berita gembira yang patut dirayakan. Harapannya, jika paviliun ini dikelola dengan baik dan profesional, maka ia akan membuka banyak peluang-peluang untuk perkembangan film Indonesia di masa-masa mendatang.

891

ATAS: Pemutaran perdana hasil restorasi Lewat Djam Malam di Festival Film Cannes. BAWAH KIRI: Pierre Rissient, kritikus film asal Prancis. BAWAH KANAN: Alexander Payne berada di antara penonton Lewat Djam Malam. Foto oleh Asmayani Kusrini.

LEWAT DJAM MALAM DAN KABAR GEMBIRA FILM INDONESIA

Perubahan-perubahan yang saya sebutkan di atas menjadi lengkap dengan diputarnya hasil restorasi digital film Lewat Djam Malam pada program Cannes Classics, di Salle Bunuel, pada 17 Mei lalu. Tentu, peristiwa ini menjadi kebanggaan tersendiri mengingat upaya untuk melakukan restorasi ini sudah melalui proses panjang. Film karya Usmar Ismail yang dibuat tahun 1954 berada dalam kondisi penuh jamur ketika diserahkan kepada pihak laboratorium L’immagine Ritrovata di Italia. Lisabona Rahman, editor filmindonesia.or.id yang terlibat sejak awal mengatakan bahwa berbagai masalah teknis muncul selama proses pemulihan ini. “Bayangkan, ada dua menit yang suaranya hilang,” kata Lisa. Dua menit yang hilang ini sempat membuat mereka yang bekerja di proyek ini kalang kabut. Bersama-sama mereka menyusuri satu persatu setiap reel untuk menemukan suara dari dua menit tersebut. Terlepas dari segala kepanikan tersebut, tewujudnya restorasi ini juga menjadi pengalaman berharga bagi semua pihak yang terlibat. “Sebelumnya, kami tidak punya bayangan sama sekali merestorasi film itu seperti apa,” kata Lee Chor Lin, direktur National Museum Of Singapore. Belum lagi, bayangan akan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Menurut Lee Chor Lin, masalah biaya akhirnya bisa ditanggulangi ketika World Cinema Foundation akhirnya tertarik untuk menjadi bagian dari proyek ini. “Keikutsertaan World Cinema Foundation benar-benar membuka peluang besar bagi Lewat Djam Malam untuk bisa ditonton di berbagai kalangan di seluruh dunia. “ Berkat kerjasama dengan National Museum of Singapore, Sinematek Indonesia, Yayasan Konfiden, dan bergabung kemudian World Cinema Foundation yang dikepalai oleh Martin Scorsess, Lewat Djam Malam akhirnya bisa ditonton dengan layak. Malam itu, di tengah-tengah penonton, hadir pula Alexander Payne, sutradara terkenal Amerika yang tahun lalu

893

894

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

mendapat Oscar sebagai penulis skenario terbaik untuk filmnya The Descendants. Sebelum pemutaran dimulai beberapa orang berpidato singkat tentang pentingnya film Usmar Ismail ini. Dalam pidatonya Pierre Rissient, kritikus film senior asal Perancis mengatakan bahwa Lewat Djam Malam adalah salah satu film monumental bagi sinema Indonesia. “Lewat Djam Malam pantas mendapatkan perhatian dari pencinta film di seluruh dunia. Hasil restorasi ini memungkinkan hal tersebut dilakukan. Jadi saya hanya bisa bilang, selamat menonton dan semoga Anda semua yang hadir di sini bisa menikmatinya.”

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

Hujan dan Film Kompetisi

Laporan IV

C

annes diguyur hujan deras. Cuaca seperti ini sangat jarang terjadi di Cote D’azur yang terkenal karena mataharinya bersinar sepanjang musim panas. Tapi badai hujan rupanya bukan rintangan bagi para sinefil, filmbuff, film enthusiast atau apapun itu namanya untuk tetap sabar menanti di udara terbuka karena panitia tidak menyediakan tenda mengantre di tengah cuaca yang buruk. Hasilnya, semalam, hampir semua penonton masuk ke teater dengan kondisi basah. Tapi tidak ada yang mau ketinggalan menonton film yang memasang nama-nama seperti Michael Haneke, Abbas Kiarostami, atau Thomas Vinterberg. Pecinta film yang datang ke festival film Cannes memang istimewa. Mereka penggila film yang benar-benar gila. Kegilaan mereka tidak sia-sia. Sejak hari pertama, Festival yang sudah memasuki usia 65 tahun ini mempertontonkan sejumlah film yang istimewa, tidak hanya di program kompetisi

896

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

utama tapi juga di program Un Certain Regard. Kabarnya, sejumlah film menarik juga bertebaran di program-program lain seperti Critics Week dan Director’s Forthnight. Hari kedua di Cannes dimulai dengan Rust and Bone (De Rouille Et D’os), film terbaru Jacques Audiard yang sudah pernah hadir di Festival Film Cannes pada 2009 lalu dengan A Prophet. Kisah tentang pemuda liar yang tak berpendidikan dengan seorang perempuan cantik dari kelas yang berbeda mungkin kisah klise yang sudah ratusan kali diangkat ke atas layar lebar. Tapi Rust and Bones tidak hanya berkisah tentang hubungan yang unik antara Ali—diperankan oleh aktor Belgia Matthias Schoenaerts—dan Stephanie—Marion Cotillard, tapi juga menggarisbawahi hubungan antara Ali dan Sam, anaknya yang berusia 5 tahun. Kekuatan akting dua karakter utamanya menasbihkan Audiard sebagai pendongeng sinema yang piawai memastikan bahwa melodrama ini akan membuat penontonnya tidak sia-sia menitikkan airmata. Di kompetisi utama yang diputar 17 Mai lalu juga ada Paradise: Love, film pertama dari trilogi Paradise karya Ulrich Seidl. Apa yang ditampilkan oleh Seidl dalam film panjangnya yang keenam ini seperti ingin mengoyak-ngoyak ilusi tentang cinta dan surga. Paradise: Love adalah eksplorasi tentang eksploitasi antar ras, antar budaya, dan antar sesama manusia di mana cinta dan surga tidak lebih dari produk bisnis. Daftar kompetisi di hari ketiga festival Cannes ditambah dengan film Reality, karya sutradara Italia, Matteo Garrone yang pernah membawa pulang piala Jury Grand Prize, dari Festival Film Cannes tahun 2008 lalu untuk filmnya yang kontroversial, Gomorrah. Reality berkisah tentang daya tarik yang sangat kuat terhadap reality show Big Brother dalam masyarakat kalangan bawah di Italia. Fantasi tentang selebriti, menjadi terkenal dan hidup mewah merasuk ke dalam kehidupan Luciano, seorang penjual ikan di pasar. Reality yang dikemas dalam bentuk humor

Konferensi pers film Amour dihadiri sutradara Michael Haneke dan segenap kru dan pemain. Foto oleh Asmayani Kusrini.

898

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

yang sinis ini sangat relevan dengan program-program televisi yang berlebih-lebihan menawarkan pelarian dari realita hidup sehari-hari sehingga mengorbankan orang-orang seperti Luciano. Salah satu film yang paling menonjol hingga hari ketiga ini adalah Beyond The Hills (Dupa Dealuri) karya terbaru Cristian Mungiu. Kita tentu tidak lupa bagaimana Mungiu mengejutkan banyak orang ketika film pertamanya 4 Months, 3 Weeks, and 2 Days, memenangkan Palem Emas ditahun 2007 lalu. Kali ini Mungiu kembali dengan kisah tentang keterlibatan kelompok relijius dalam sebuah kasus misterius tentang terbunuhnya seorang gadis di dalam biara mereka. Kasus ini pernah jadi berita hangat di Romania sehingga menggelitik Tatiana Niculescu Bran untuk meneliti kasus ini lebih jauh. Tatiana yang kala itu menjabat sebagai pemimpin redaksi BBC World cabang Bucharest akhirnya menerbitkan novel berjudul Deadly Confession, hasil dari investigasi tersebut. Dengan bantuan Tatiana sebagai penulis skenario, Mungiu mengadaptasi novel tersebut untuk Beyond The Hills. Di tangan Mungiu, kisah ini tidak hanya menampilkan kronologi peristiwa yang diduga akibat exorcism atau praktik pengusiran setan. Dalam Beyond The Hills, Mungiu mengungkapkan banyak lapis sisi suram kehidupan beragama dalam masyarakat Romania, dan juga mengetengahkan tema yang sangat universal, bahwa banyak kesalahan terbesar di dunia ini mendapat pembenaran atas nama iman.

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

Tentang Cinta, Misteri, dan Seorang Pelajar Miskin Laporan V

M

ichael Haneke bukan tipe sutradara yang gampang membuat penontonnya menitikkan air mata. Mulai dari The Seventh Continent, Benny’s Video, 71 Fragments of a Chronology of a Chance, Das Scholss, Funny Games, Code Unknown: Incomplete Tales Of Several Journeys, The Piano Teacher, Time Of The Wolf, Caché, hingga The White Ribbon. Filmfilm tersebut begitu suram dan tidak menjanjikan optimisme hingga nyaris ke titik nihil. Jika menontonnya secara maraton— sangat tidak disarankan—akibatnya bisa membuat Anda paranoid, pesimis, atau meragukan bahwa hidup mungkin sudah tidak berarti lagi untuk dijalani. Karena itu, ada sensasi yang mencengangkan ketika menonton Amour atau Love karya terbaru Haneke yang diputar di seksi kompetisi di Festival Film Cannes tahun ini. Anda boleh tidak percaya dan menganggapnya klise, tapi inilah film yang memberi definisi lain terhadap ilusi tentang cinta. Penonton

900

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

diperkenalkan kepada Georges dan Anne yang dibintangi aktor/ artis manula bukan artifisial (Jean-Louis Trintignant dan Emmanuella Riva), pasangan renta berusia 80an. Dari gerak gerik dan cara mereka saling memperlakukan pasangannya, kita tahu hubungan mereka sudah jauh melampaui cinta romantis nan klise. Kehidupan Georges dan Anne sudah sampai pada tahap saling menghargai dan menghormati, hingga pada satu titik, Anne yang terlihat begitu hidup, tiba-tiba menatap kosong. Tatapan kosong ini kemudian memburuk hingga menggerogoti tubuh Anne. Secara perlahan dan pasti, Anne tidak berdaya dan terpaksa sepenuhnya tergantung pada Georges bahkan untuk hal-hal mendasar seperti makan dan minum. Maka cinta ditampilkan dalam bentuk keakraban dan kesabaran yang tulus, mengelus tangannya, memasangkan sepatunya, mencucikan rambutnya, bercerita tentang merpati yang masuk lewat jendela dan hal-hal kecil yang dilakukan tanpa mengeluh. Amour berkisah tentang cinta yang harus berhadapan dengan usia yang terkikis, dan rasa putus asa karena tidak punya kuasa untuk berbuat sesuatu. Film sederhana yang hangat dari tangan dingin seorang Michael Haneke. Program Un Certain Regard dibuka dengan Mystery karya terbaru Lou Ye, usai masa pelarangannya membuat film di China selama enam tahun. Mystery tidak beranjak jauh dari tema perselingkuhan yang selalu ada dalam film-film Lou Ye. Setelah dilarang membuat film di Cina gara-gara Summer Palace yang berlatar belakang peristiwa revolusi pelajar dan tragedi Tiananmen, Lou Ye memilih zona aman untuk Mystery. Berkisah tentang kehidupan ganda seorang pria yang kemudian berakibat tragis. Seperti film-film Lou Ye yang lain seperti Summer Palace, Spring Fever, Suzhou River, karakterkarakter film ini terlibat hubungan rumit dan masing-masing tersiksa oleh rasa cemburu berlebihan sehingga akhirnya mereka terdorong untuk saling menyakiti. Mystery mengkombinasikan

TENTANG CINTA, MISTERI, DAN SEORANG PELAJAR MISKIN

berbagai aspek fenomena masyarakat Cina saat ini, kehidupan ganda, orang kaya baru, dan maraknya berbagai tindak kriminalitas yang diselesaikan di bawah meja. Mystery tidak menawarkan hal yang baru, beberapa hal menarik patut dicatat antara lain soal kompromi terhadap hukum dan bagaimana mentalitas dan moralitas masyarakat Cina yang saat ini berada di titik terendah. Kita tentu tidak lupa terhadap kisah seorang balita yang terlindas mobil dan dibiarkan saja tergeletak di tengah jalan. Peristiwa ini direka dan diadaptasi oleh Lou Ye di adegan pembuka. Mystery menjadi film yang menuntut banyak emosi tapi tidak lebih dari emosi rasa kasihan dan miris terhadap karakter-karakter ini. Crime and Punishment sudah sangat banyak diadaptasi ke medium film tapi di Kazakhstan novel karya Dostoyevsky ini termasuk baru dalam dunia literatur. Tema di dalamnya juga masih menjadi perdebatan antar para intelektual di negeri ini. Darezhan Omirbayev, sutradara Kazakhstan yang paling aktif membuat film selama 20 tahun terakhir, mengadaptasi novel ini ke dalam film terbarunya Student yang diputar di program Un Certain Regard. Seperti dalam novelnya, Student menghadapi dilema moral setelah melakukan pembunuhan yang terencana tapi tak sengaja menjatuhkan korban lain. Student berkisah tentang seorang pelajar yang berusaha menyambung hidup dengan bekerja serabutan di produksi film. Sebagai pekerja magang di dunia film, ia bertemu dengan seorang artis muda yang seksi, manja, dan jadi istri pria kaya. Di satu sisi, Student menyaksikan kapitalisme mulai merasuk dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sementara di sisi yang lain, sebagai pelajar jurusan filososi, ia diajari untuk tetap percaya pada nilai-nilai tradisional masyarakat Kazakh yang belum bisa menerima perubahan. Omibayev menempatkan Student dalam konteks sosial politik Kazakh yang sedang gamang dengan perubahan pola

901

902

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

hidup sosialis menjadi kapitalis. Sebagai seorang pelajar miskin, karakter dalam Student akhirnya tak kuasa berada di tengahtengah. Ia harus memilih antara menjalani nilai-nilai tradisional dan akhirnya kelaparan dan terus menunggak iuran kamar kos, atau ikut arus mengambil jalan mudah agar bisa memenuhi kebutuhan dasarnya tersebut. Sayangnya, Student satu-satunya film di Un Certain Regard yang tidak mendapat publikasi yang layak. Tidak seperti film-film lain yang hadir di Cannes, Student tidak punya media representative, tidak ada press release, tidak ada promosi apalagi informasi tentang produksi film ini. Semoga dengan menjadi salah satu film Un certain Regard, film yang patut mendapat perhatian yang lebih ini bisa mengundang perhatian distributor dan programmer festival lain.

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

Ini Tentang Nick Cave

Laporan VI

L

awless karya John Hillcoat mungkin bukan film yang istimewa dan mungkin hanya akan masuk daftar film tentang gangster yang menggabungkan elemen-elemen yang dibutuhkan sebuah film populer arus utama: kekerasan, pistol, dan perempuan cantik. Lawless juga bertabur bintangbintang papan atas Hollywood, mulai dari Shia LeBeouf, Tom Hardy, Gary Oldman, Jessica Chastain, Mia Wasikowska, hingga Guy Pearce. Lawless berkisah tentang 3 bersaudara Bondurant, yang menjalankan bisnis whiskey ilegal dan berhasil mengelabui dan membekuk aparat hukum Amerika di era tahun 1920 – 1933. Lawless terlihat istimewa—menurut saya—karena ditulis oleh Nick Cave, musisi multi bakat asal Australia yang juga mengerjakan soundtrack film ini. Lawless adalah film kedua Cave sebagai penulis skenario. Sebelumnya, Cave sudah pernah menulis untuk film The Proposition yang dirilis tahun 2005 lalu. Dalam Lawless, Cave kembali bekerja sama dengan sutradara John

ATAS: John Hillcoat diapit pemain dan pendukung film, termasuk Tom Hardy, Nick Caves, Jessica Chastain, Shia LaBeouf, Mia WAsikowlski. BAWAH KIRI KE KANAN: Mia Wasikowlski, Shia LeBouf, dan Guy Pierce. Foto oleh Asmayani Kusrini.

INI TENTANG NICK CAVE

Hillcoat yang juga menyutradarai The Proposition. Seperti judulnya, Lawless, sudah bisa diduga penuh dengan adegan pelanggaran hukum. Tapi isi dari karya-karya Nick Cave memang tidak ada yang taat hukum. Ia pernah membuat album Murder Ballads dengan kelompok musiknya Bad Seeds. Nick Cave satu-satunya musisi yang mampu membuat kasus pembunuhan terdengar romantis seperti di lagu Where The Wild Roses Grow. Daftar panjang karyakarya musiknya juga membuktikan bahwa Cave terobsesi dengan kisah-kisah kekerasan yang menurutnya tidak pernah bisa lepas dari kehidupan manusia sejak jaman Adam dan Hawa. Selain sebagai musisi, Cave juga sudah pernah menerbitkan novel, And The Ass Saw The Angel yang penuh dengan deskripsi mutilasi. Menyimak daftar karya-karyanya, terlihat, apapun yang disentuh Cave, baik itu musik, novel hingga skenario tidak pernah lepas dari bahasa kekerasan. Cave pernah menjuluki dirinya sendiri sebagai seorang misanthropic miserabilist yang lucu, julukan sinis dan pesimis yang sangat cocok menggambarkan karyakaryanya. Tapi ada yang sedikit berubah dalam Lawless. Film ini tetap dipenuhi adegan kekerasan yang ekstrim (tidak dianjurkan untuk ditonton anak-anak), berdarah-darah dan tanpa seks –salah satu hal yang selalu dihindari Cave--. Kalaupun ada indikasi seks, ia tidak pernah dipertontonkan secara eksplisit. Tapi Lawless adalah satu dari sangat sedikit karya Nick Cave yang menawarkan optimisme, bahwa pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Sebuah premis yang aneh dari seorang misanthropic miserabilist.

905

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

Un Certain Regard Menghadirkan Cronenberg Junior Laporan VII

Beasts Of The Southern Wild

K

isah seorang anak umur 6 tahun yang hidup di daerah pemukiman kumuh bertaburan sampah tentu akan membuat hati miris. Ibunya kabur sejak Hushpuppy— nama anak ini—masih jabang bayi, sementara ayahnya juga tidak punya kapasitas untuk memelihara si gadis kecil, kecuali bahwa ia ingin Hushpuppy tumbuh kuat agar bisa bertahan hidup di daerah tak layak huni tersebut Daerah kumuh tempat pembuangan limbah ini dipisahkan oleh bendungan yang dibangun untuk melindungi dunia di luar sana dari genangan air. Mereka yang tinggal di dalam menganggap tempat kumuh ini adalah tanah air, tanah tumpah darah mereka dan dengan keras kepala menolak untuk pindah. Ayah Hushpuppy—dengan egoisnya—terus-terusan mengingatkan agar Hushpuppy tidak lari dari tanah tersebut. “Kamu harus belajar bertahan hidup di tanah ini,” kata sang ayah. Hushpuppy yang tidak pernah mengenal ibunya ini hidup dengan

UN CERTAIN REGARD MENGHADIRKAN CRONENBERG JUNIOR

dogma tersebut. Hushpuppy menjalani hidup di tengah sampah sebagai bagian kegiatan sehari-hari. Beasts Of The Southern Wild karya Benh Zeitlin adalah kisah tentang ketaatan seorang anak terhadap ayahnya dan bagaimana kelompok marjinal ini menganggap bahwa tetap tinggal di daerah tersebut dengan segala resikonya adalah mutlak. Permainan gemilang artis cilik Quvenzhané Wallis sebagai Hushpuppy sungguh luar biasa, lepas dari kekurangan Beasts Of The Southern Wild yang enggan bertanggung jawab terhadap subjek ceritanya. Hubungan ayah-anak di Beasts sungguh kisah yang menyentuh. Tapi film ini dengan keras kepala menganggap bahwa anak-anak tersebut harus tetap tinggal di daerah kumuh tempat mereka lahir dan dibesarkan. Beasts Of The Southern Wild yang awalnya dibangun dengan sangat realistis kemudian berkembang ke arah ilusi idealisme yang muluk-muluk.

Laurence Anyways Xavier Dolan ingin membuat film tentang kisah cinta yang menggebu antara sepasang kekasih yang berlangsung selamanya. Premis ini terdengar ambisius bagi sutradara yang baru berusia 23 tahun, dan mungkin baru saja mengalami cinta pertamanya. Bayangan romantis tentang cinta pertama yang tidak pernah mati, kental dalam filmnya yang ketiga Laurence Anyways. Namun, Dolan menawarkan kisah cinta dari pasangan yang tidak konvensional antara Laurence (diperankan aktor Perancis Melvil Poupaud) dan Frederique (Suzanne Clément). Laurence adalah pemuda yang sadar bahwa ia perempuan yang lahir dalam tubuh seorang lelaki. Sementara Frederique adalah perempuan nyentrik yang percaya bahwa Laurence adalah pasangan jiwanya hingga saat Laurence mengatakan keinginannya ganti kelamin.

907

Artis cilik Quvenzhané Wallis sebagai Hushpuppy di film Beasts of The Southern Wild. Foto oleh Asmayani Kusrini.

UN CERTAIN REGARD MENGHADIRKAN CRONENBERG JUNIOR

Eksplorasi kisah cinta seorang transeksual dengan pasangan perempuannya menghindarkan Dolan dari romantisme cinta pertama, tapi tidak bisa menyembunyikan ketidakmatangan Dolan meramu hubungan ini ke tingkat yang lebih dewasa. Di babak awal memperlihatkan bagaimana Laurence dan Frederique bahu membahu berusaha mempertahankan hubungan mereka di tengah prasangka dan tatapan aneh yang belum bisa menerima seorang pria berdandan cantik ala perempuan. Upaya Dolan untuk memaksimalkan kisah epic yang melankolis ini mengendur di babak akhir ketika Laurence dan Frederique yang jauh lebih dewasa harus dihadapkan pada keputusan-keputusan menyangkut keluarga dan masa depan. Visualisasi, mise-en-scene yang tanpa cela, dan sihir sinema tidak bisa menyelamatkan film ini dari kelemahan tersebut. Bagaimanapun, Laurence Anyways tetaplah film yang menunjukkan cikal bakal lahirnya seorang auteur baru dalam dunia sinema.

Les Chevaux de Dieu (Horses of God) Horses Of God dibuka dengan adegan yang mengingatkan kita pada Slumdog Millionaire karya Danny Boyle dan Loveleen Tandan. Namun film karya Nabil Ayouch ini jauh dari keceriaan ala Slumdog dan lebih merupakan gabungan antara Paradise Now dan The Kite Runner. Diangkat dari novel The Stars Of Sidi Moumen karya Mahi Binebine, tentang sekelompok remaja dari daerah kumuh Sidi Moumen di Casablanca, Maroko yang direkrut menjadi pengebom bunuh diri. Horses Of God menampilkan secara kronologis bagaimana kemiskinan yang akut dan harapan akan masa depan yang tidak jelas menjadi bibit subur tumbuhnya kelompok fundamentalis agama. Pada Mei 2003 lalu, masyarakat Maroko tersentak dengan

909

910

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

peristiwa pembomaan berdarah di beberapa titik ramai di Casablanca. Pemboman ini dilakukaan oleh 14 pelaku yang kesemuanya berasal dari Sidi Moumen. Sejumlah testimoni dari pelaku yang berhasil diselamatkan menunjukkan bahwa Maroko sudah dirasuki berbagai kelompok fundamentalis yang memanfaatkan anak-anak miskin untuk dijadikan martir. Nabil Ayouch menampilkan Yachine (Abdelhakim Rachid) yang selalu terlihat takut dan peragu. Bersama sahabat akrabnya, Nabil (Hamza Souidek), mereka selalu jadi bulan-bulanan kelompok anak-anak yang lebih dewasa sehingga terus-terusan mendapat perlindungan dari kakaknya Hamid (Abdelilah Rachid). Hamid yang dianggap sebagai preman kampung begitu mendominasi dan selalu membuat Yachine tidak percaya diri. Yachine kembali menjadi bahan olokan ketika Hamid dipenjara akibat pertikaian berdarah. Beberapa tahun kemudian, usai menjalani masa tahanan, Hamid yang begitu sangar pulang dengan tingkah laku yang berbeda. Dalam Horses Of God, Nabil Ayouch, sutradara Maroko kelahiran Perancis ini lebih fokus pada pendekatan personal karakter-karakternya dibandingkan gerakan fundamentalis itu sendiri. Ayouch memotret anak-anak dari Sidi Moumen sebagai korban kemiskinan yang lahir dari situasi sosial politik negara yang tidak beres pengelolaannya.

Antiviral Film ini mengingatkan saya pada almarhum Michael Jackson. Obsesinya merubah diri menjadi pria putih dengan terus-terusan melakukan operasi ganti kulit, mengubah hidung lebarnya menjadi mungil mancung hingga menambahkan belahan pada dagunya akhirnya merusak tubuhnya sendiri. Mega popstar ini

UN CERTAIN REGARD MENGHADIRKAN CRONENBERG JUNIOR

didera berbagai penyakit akibat banyaknya bahan kimia yang disuntikkan ke dalam sel-sel tubuhnya. Antiviral karya perdana Brandon Cronenberg ini memotret obsesi kolektif yang masif terhadap kecantikan. Obsesi ini melahirkan industri kecantikan yang tidak pernah berhenti mencari inovasi dan formula baru untuk produk-produk kecantikan. Premis yang sangat relevan dengan sistem kapitalisme era ini di mana semua produk dimanipulasi sedemikian rupa demi keuntungan yag berlimpah dari orang-orang yang termakan obsesinya sendiri. Sebagai sutradara yang mengemban nama Cronenberg di belakang namanya, Brandon sepertinya sadar betul dengan tantangan untuk meyakinkan para pencinta film bahwa ia bagian dari klan Cronenberg. Mungkin ini bawaan genetik, tapi Brandon berhasil membuat Antiviral sebagai film yang menuntut perenungan mendalam betapa obsesi bisa berbalik menjadi bumerang. Bisa dipastikan, seperti ayahnya, Brandon juga akan bolak-balik melewati karpet merah Festival Film Cannes di tahuntahun mendatang.

911

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

Thomas Vinterberg dan Hong Sang-Soo

Laporan VIII

F

estival Film Cannes sudah memasuki minggu kedua, yang berarti hari pengumuman pemenang juga makin dekat. Hingga saat ini, sejumlah film di kompetisi utama sudah dipertontonkan dan masyarakat perfilman di Cannes sudah mulai berspekulasi tentang siapa-siapa saja yang akan membawa pulang penghargaan dari festival yang sudah berumur 65 tahun ini. Tentu, ada pekerjaan berat yang menanti para juri yang dikepalai oleh Nanni Moretti untuk memutuskan kepada siapa Palem Emas akan diberikan. Siapapun atau film apapun yang akan membawa pulang penghargaan tertinggi tersebut, rasanya setiap orang sadar, bahwa setiap film punya keistimewaannya sendiri-sendiri. Hingga saat ini, Amour aka Love karya Micheal Haneke dan Beyond The Hills karya Cristian Mungiu menempati urutan teratas dalam daftar favorit, tapi film-film lain yang masuk kompetisi juga tidak bisa diabaikan. Adalah Thomas Vinterberg sutradara

THOMAS VINTERBERG DAN HONG SANG-SOO

Denmark yang pernah hadir di Cannes pada tahun 1998 dengan filmnya The Celebration. Film ini adalah film pertama hasil dari Manifesto Dogme 95, manifestasi gerakan avant-garde dalam pembuatan film yang dideklarasikan oleh Vinterberg dan Lars Von Trier. Festival Film Cannes lalu menasbihkan pengakuan terhadap gerakan ini dengan memberi Jury Prize untuk The Celebration pada 1988. Film-film yang dibuat berdasarkan manifesto Dogme 95 ini kemudian marak dalam dunia film. Sejak itu pula, Vinterberg dan Lars Von Trier terus membuat film hingga melampaui batas negara mereka. Namun, setelah The Celebration, film-film Vinterberg selanjutnya tidak lagi banyak dibicarakan. It’s All About Love (2003), Dear Wendy (2005), A Man Comes Home (2007), dan Submarino (2010) tidak berhasil mengembalikan sanjungan yang pernah didapat dari The Celebration. Tahun ini, Vinterberg kembali ke Cannes setelah 24 tahun, dengan film terbarunya Jagten (The Hunt) yang masuk dalam barisan kompetisi utama. The Hunt kembali membuktikan bahwa Vinterberg tetap bisa membuat film yang kuat dari segi cerita dan sinematografi lepas dari embel-embel Dogme 95. Vinterberg sendiri mengaku bahwa ia sudah selesai dengan Dogme 95 usai membuat The Celebration. Memang tidak lagi penting mencari jejak Dogme 95 dalam The Hunt. Cerita, sinematografi dan performa para aktor/artis di dalamnya membuat The Hunt menjadi film yang kompleks dan sangat jitu menggambarkan paranoia masyarakat bukan hanya di Denmark, tapi juga di seluruh dunia. Denmark dan negara-negara di Skandinavia lainnya terkenal sebagai negara yang punya perhatian sangat tinggi terhadap anak-anak. Di setiap ruang terbuka untuk publik aau di cafe-cafe selalu tersedia fasilitasfasilitas khusus, mulai dari tempat bermain hingga toilet khusus. Di Denmark, perhatian yang intensif terhadap anak-anak ini memunculkan gejala baru: kekhawatiran yang berlebihan. Maka

913

914

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

ketika kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak terungkap, segala gerak-gerik yang dulunya dianggap biasa menjadi terlihat tidak normal. The Hunt berkisah tentang seorang guru taman kanak-kanak yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap seorang muridnya. Klara (Annika Wedderkopp), seorang gadis kecil tiba-tiba mengaku bahwa gurunya yang tampan, Lucas (Mads Mikkelsen), sudah melakukan hal tak senonoh. Pengakuan ini jelas penggemparkan komunitas di kota kecil di mana semua orang saling mengenal. Terlebih lagi Klara adalah anak Theo (Thomas Bo Larsen), sahabat Lucas sendiri. Meskipun Klara kemudian mengakui bahwa ia tidak sengaja melontarkan tuduhan itu, toh hidup Lucas sudah berantakan. Semua orang terlanjur percaya bahwa Lucas adalah pelaku pelecehan seksual. Sebuah ide iseng berubah menjadi virus takut yang menyebar tak terkendali. Betul, bahwa pelaku pelecehan seksual ada di mana-mana mengintai korban. Tapi apakah kita lantas mencurigai semua orang yang bermain dengan anak-anak kita?. Ada konflik moral antara siapa yang harus dipercaya di The Hunt. Apakah si anak yang terlihat tak berdosa, atau si guru yang memang sangat akrab dengan murid-muridnya. Di seksi kompetisi hadir pula sutradara Korea, Hong Sangsoo dengan film terbarunya In Another Country, bercerita tentang seorang gadis yang bosan dan lalu menulis cerita untuk menghabiskan waktu luangnya. Menurut si gadis, dia terbiasa melihat wanita-wanita asing yang biasa datang ke fesival film Busan dan selalu terpesona dengan kecantikan dan keasingan mereka. Ia lalu menulis 3 cerita tentang perempuan Perancis yang datang berkunjung ke Mohang. Dalam ketiga narasi ini, semuanya bernama Anne. In Another Country dihadirkan seperti sketsa dengan satu kesamaan: Anne, seorang lifeguard, seorang sutradara, seorang wanita hamil, sebuah mercusuar, penginapan dan desa Mohang. Karakter-karakter komikal dalam setiap cerita dibongkar pasang

THOMAS VINTERBERG DAN HONG SANG-SOO

sesuai kebutuhan karakter Anne, dan menciptakan banyak momen-momen lucu karena perbedaan bahasa dan budaya. Isabelle Hupert yang memerankan ketiga karakter Anne, sudah terbiasa berperan sebagai perempuan dingin dan keras atau karakter dengan masalah psikologis yang akut. Menampilkan Hupert sebagai karakter komikal, cute, dan manis tentu jadi tantangan tersendiri. Dalam In Another Country, Hong Sangsoo berusaha tidak tergantung sepenuhnya dengan kehadiran Hupert dengan banyak bermain-main dengan struktur dan narasi. Sayangnya, walaupun Sangsoo berhasil melenturkan wajah keras Hupert, tapi ia gagal meminimalisasi dominasi Hupert di depan kamera.

915

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

From Kiarostami, Resnais, Dominik, Loach to Carax Laporan IX

J

epang bagi sebagian orang menyimpan pesona eksotis yang unik. Budaya, kepercayaan, cara hidup, dan apapun yang berbau Jepang sekarang dianggap sebagai kualitas hidup. Sushi menjadi makanan populer dan dijual mahal. Teh asal Jepang dijual lebih mahal dari teh asal Cina. Manga yang dulunya hanya bisa didapatkan di dunia underground, menjadi bacaan populer di seluruh dunia. Zen sebagai ajaran Budda yang sebetulnya berasal dari Cina tapi—entah kenapa—lekat dengan budaya Jepang, kemudian dijadikan gaya hidup. Dekorasi ruangan ala zen, taman ala zen, dan semua yang menyandang kata ‘zen’ menjadi produk populer karena berasal dari Jepang. Like Someone In Love pun ditunggu oleh para pecinta film dengan ekspektasi seperti produk-produk yang berasal dari Jepang tersebut. Apalagi, film ini adalah karya Abbas Kiarostami, sutradara Iran yang memang sudah mengukir namanya di jajaran sutradara papan atas. Saking besarnya nama Kiarostami, sehari

FROM KIAROSTAMI, RESNAIS, DOMINIK, LOACH TO CARAX

sebelum pemutaran perdana di mana belum ada seorang pun yang menonton filmnya, Like Someone In Love sudah diprediksi akan mendapat Palem Emas. Tentu, Like Someone In Love menyajikan gambar-gambar ala Kiarostami: puitis, cantik, fotogenik. Kiarostami memilih semua karakter orang Jepang. Ia menciptakan kisah tentang Akiko, seorang gadis Jepang yang bekerja sambilan sebagai ‘call girl’ yang suatu hari mendapat tugas untuk melayani seorang klien tua, Takashi. Ternyata, bapak tua ini lebih butuh teman bicara dan teman makan malam ketimbang bersetubuh. Masalah sederhana ini mejadi rumit ketika hubungan mereka ketahuan Noriaki, pacar Akiko yang pencemburu. Kiarostami sepertinya tidak ingin terlihat sebagai orang asing yang datang berkunjung ke Jepang. Tapi Like Someone in Love tidak bisa menutupi kecanggungan Kiarostami sebagai orang Iran yang hanya sekadar berkunjung ke dalam kehidupan masyarakat Jepang. Karakter-karakter yang dipilihnya adalah fenomena banal yang terjadi di masyarakat Jepang. Gadis-gadis muda yang mencari duit dengan melacur. Pria-pria renta yang doyan daun muda. Semua karakter ini ditampilkan dengan canggung, seakan tidak ingin merusak imaji Jepang yang dianggap sakral. Film yang setengahnya diambil di dalam mobil ini menunjukkan keraguan Kiarostami untuk melangkah keluar dan melihat wajah Jepang yang sesungguhnya. Kiarostami malahan asyik memperlihatkan refleksi-refleksi cantik dari lampu-lampu jalan di luar sana dan enggan berkomentar bahwa Jepang tidaklah sesuci yang dipercaya orang banyak. Di jajaran para maestro yang kembali ke Cannes tahun ini selain Kiarostami adalah Alain Resnais. Sudah enam decade Resnais membuat film. Tapi filmnya yang terbaru, You Haven’t Seen Anything Yet menunjukkan ia belum mau berhenti meski usianya sudah menginjak 86 tahun.

917

918

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Alkisah, sebuah surat wasiat dari seorang sutradara teater terkenal menginstruksikan untuk mengumpulkan semua aktor dan artis yang pernah bekerja sama dengannya dalam produksi Eurydice. Dalam surat wasiat itu, mereka semua diminta untuk menonton sebuah rekaman adaptasi pertunjukan berjudul Eurydice, yang dibuat sekelompok mahasiswa teater yang ingin meminta ijin memproduksi kembali karya tersebut. Eurydice adalah naskah drama yang ditulis oleh Jean Anouilh dan sudah sering dipertunjukkan di berbagai panggung teater. Menonton aktor artis ini menonton Eurydice dalam You Haven’t Seen Anything Yet berarti juga menonton Eurydice dalam berbagai versi dengan aktor artis yang berbeda. Resnais kembali mencampur filmnya dengan bidang seni yang lain, kali ini teater dan musik. Seperti biasa, Resnais juga bermain bentuk, narasi dan struktur serta sengaja menampilkan film ini secara artifisial, jauh dari realisme. Dengan cara ini, Resnais menarik garis tegas yang berlapis antara penonton You Haven’t Seen Anything Yet, penonton Eurydice di dalam film, dan kelompok teater yang memainkan Eurydice. Dari Inggris, Ken Loach menghadirkan The Angels’ Share. Sutradara yang karyanya lekat dengan sosial realisme ini menampilkan film komedi tentang kehidupan sekelompok pemuda dari kalangan kelas bawah yang berusaha mencari tempat di dalam masyarakat. Mereka semua bertemu saat menjalani hukuman dengan bekerja di bawah pengawasan petugas sosial. Salah satunya adalah Robbie, pemuda berandalan yang pacarnya baru saja melahirkan bayi mereka. Menjadi seorang ayah membuat Robbie berusaha keras untuk tidak terjebak hidup dalam lingkungan kriminal tempatnya tumbuh selama ini. Robbie tidak sengaja menemukan jalan keluar di bidang yang tidak terduga: dunia para kolektor whisky. Loach, dengan pendekatan komedia, memaparkan dunia keras para

Ken Loach. Foto oleh Asmayani Kusrini.

920

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

kriminal amatir yang terjebak dan jarang punya pilihan lain selain bertahan hidup dalam dunia gelap tersebut. Loach sudah pernah membuat komedi tentang dunia penggemar sepak bola dalam Looking For Eric. Dalam The Angels’ Share, Loach makin matang meramu komedi sambil tetap mempertahankan ketertarikannya terhadap isu-isu sosial di kalangan masyarakat bawah. The Angels’ Share menjadi film Loach yang mengharukan tapi paling banyak mengundang tawa sepanjang festival film Cannes tahun ini. Seperti judulnya, Killing Them Softly karya Andrew Dominik berkisah tentang strategi seorang pembunuh bayaran untuk membunuh sekelompok amatir yang merampok tempat perjudian milik mafia. Dominik pernah membut film The Assassination Of Jesse James by The Coward Robert Ford yang memperlihatkan keraguan Robert Ford untuk melakukan pembunuhan terhadap bandit idolanya, Jesse James. Kepiawaian Dominik menceritakan dilema batin Ford membuat The Assassination menjadi film yang ikut membuat penonton khawatir terhadap perjalanan moral Ford mengambil keputusan membunuh tersebut. Killing Them Softly mencoba melakukan hal yang sama dengan memberi latar belakang yang cukup ambisius yaitu menempatkan pembunuhan ini dalam konteks politik yang berat. Hampir sepanjang film diberi latar belakang televisi atau radio yang terus-terusan mengumandangkan kampanye politik antara George W Bush dan Barack Obama. Konteks politik yang begitu mendominasi ini mengecilkan arti karakter-karakter yang terlibat di dalam Killing Them Softly. Dominik mencoba membuat karakter-karakter ini simpatik dengan memperlihatkan bahwa mereka punya masalah seharihari dan tidak cukup pintar untuk melakukan kejahatan yang terencana. Brad Pitt sebagai pembunuh bayaran mafia ingin membunuh berandalan tak punya kerjaan yang harus menanggung akibat ketololan mereka sendiri. Siapa yang ingin

FROM KIAROSTAMI, RESNAIS, DOMINIK, LOACH TO CARAX

peduli dengan mereka? Bahwa mereka menjadi seperti itu akibat situasi politik Amerika yang berantakan? Mungkin. Tapi Killing Them Softly gagal mencapai klimaks seperti film Dominik sebelumnya. Selain Alain Resnais, sutradara Perancis lainnya yang berada di kompetisi tahun ini adalah Leos Carax. Holy Motors adalah film dengan judul aneh yang menggambarkan suka duka berkarir sebagai aktor. Seringkali sebagai penonton film kita tergelitik untuk tahu seperti apa kehidupan personal aktor atau artis yang biasa kita saksikan di atas layar perak. Karena itu, reality show atau tayangan infotainment menjadi begitu digemari karena rasa penasaran terhadap para selebriti. Holy Motors memperlihatkan bahwa di tengah kemewahan hidup—di atas limousine putih—, pekerjaan menjadi orang lain bukanlah pekerjaan mudah. Sebagai aktor yang harus bergantiganti peran, kadang membuat si aktor lupa kehidupan yang sebenarnya. Tapi yang membuat Holy Motors menjadi film yang menonjol adalah permainan gemilang aktor Denis Lavant yang bertransformasi dari satu karakter ke karakter lain, yang akan sulit ditandingi oleh aktor manapun. Lavant menciptakan setiap karakternya dengan dedikasi tinggi. Berkat Lavant, Carax bisa bermain-main dengan ekspektasi penonton. Holy Motors pada akhirnya membuat penonton bingung, sama bingungnya dengan si aktor yang identitas aslinya tak terlacak. Satu-satunya peristiwa yang bisa dijadikan patokan identitas asli Lavant adalah ketika bertemu dengan mantan kekasihnya yang diperankan Kylie Minogue. Di pertemuan ini, Minogue mendendangkan lagu dengan lyrik menyentuh : who are we? Who we were, back then?. Kalimat yang sangat pas untuk Holy Motors.

921

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

On The Road To Cosmopolis

On The Road

I

nilah salah satu film yang paling banyak dinantikan di Festival Film Cannes 2012. On The Road diadaptasi dari buku berjudul sama karya Jack Kerouac, salah satu tokoh sentral dalam kelompok Beat Generation. Group yang ingin menentang pemikiran dan gaya hidup konservatif dan formulaik di Amerika pasca perang dunia kedua. On The Road salah satu dari sedikit karya literatur yang terkenal sulit untuk diadaptasi ke medium film. Walter Salles, sutradara asal Brazil itu mencoba mengangkat On The Road ke layar lebar sejak tahun 2004. Namun ia sadar, struktur, ritme dan kontradiksi dalam buku On the Road adalah materi yang sangat kompleks. Salles awalnya tidak cukup percaya diri untuk memotret ikon-ikon Beat Generation seperti Kerouac, Neal Cassady, atau Allen Ginsberg. Untuk mengumpulkan keberanian, Salles kemudian melakukan penelitian mendalam dan memilih untuk membuat

ON THE ROAD TO COSMOPOLIS

dokumenter perjalanan berdasarkan apa yang digambarkan dalam buku Kerouac tersebut. Dokumenter ini diharapkan bisa membuat film On The Road lebih dalam memahami petualangan tokoh-tokoh ikonik tersebut dengan menyusuri jalur-jalur perjalanan persis seperti yang ada di dalam buku. Maka, seperti The Motorcycle Diary karya Salles sebelumnya, On The Road juga sebuah road-movie yang mengisahkan keliaran para pencetus Beat Generation sepanjang perjalanan mereka. Dalam petualangan itu mereka mengisi waktu dengan mencoba obat-obatan, marijuana, seks bebas, menggelandang ke sana ke mari tak tentu arah sesuka hati. Selebihnya tidak ada yang substantial dalam menggambarkan beat generation sebagai generasi anti-kemapanan yang punya visi dan misi kebebasan artistik. Dalam On The Road mereka hanya terlihat sebagai pemudapemuda yang sedang krisis identitas dan ogah dibebani tanggung jawab. Tidak ada yang membedakan mereka dengan generasigenerasi muda lainnya dari segala jaman yang ingin mencicipi hidup liar sebelum masuk ke dunia yang beradab. Secara visual On The Road adalah film yang menyenangkan dipakai sebagai bahan hayalan para calon petualang yang ingin mengembara. Dan tidak lebih dari itu.

Post Tenebras Lux Sejak awal, Carlos Reygadas menghadirkan premis yang tak cukup kuat dalam film terbarunya, Post Tenebras Lux. Pasangan suami istri muda dengan dua anak balita pindah ke rumah cantik di daerah pedalaman Mexico dengan alasan yang tidak jelas. Mungkin alasan kepindahan mereka memang tidak begitu penting. Sejak awal, film ini menyajikan serangkaian gambar yang memukau, seorang anak balita yang cadel bermain-main dengan

923

924

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

bebas di lapangan rumput yang becek berteman anjing dan sapi. Yang paling menarik perhatian tentu saja lensa yang digunakan membuat seorang kawan yang duduk di dekat saya sibuk menyalahkan kaca matanya yang hilang. Efek lensa ini mungkin memang sengaja sebagai penanda ada hantu yang mengintai. Ya, ada hantu yang mengintai dan otomatis film ini langsung mengingatkan kita pada Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Life karya Apichatpong Weerasethakul. Sulit sekali menyimak film ini dengan karakter-karakter yang juga sepertinya gamang terhadap peran mereka. Apa masalah mereka? Adakah alam di sekitar menjadi penghubung? Hidup bersanding dengan alam di dalam rumah vila yang berhantu? Mitos? Masalah sosial? Perbedaan kelas? Hubungan yang tidak harmonis antara suami istri? Kematian? Seks? Rumah tangga? Rasa bersalah? Semua hadir di dalam Post Tenebras Lux dengan minim petunjuk. Carlos Reygadas sendiri menolak untuk mengomentari filmnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada penonton untuk menginterpretasi. The Paperboy karya Lee Daniels diawali dengan kisah investigasi menegangkan tentang pembunuhan misterius seorang polisi di sebuah kota kecil di Florida. Investigasi dua jurnalis ini (diperankan oleh Matthew McConaughey sebagai Ward dan David Oyelowo sebagai Yardley) ingin membuktikan bahwa si tertuduh, Hillary Van Wetter (John Cusack), tidak bersalah. Dalam prosesnya muncul adik Ward, Jack (Zac Efron) dan Charlotte (Nicole Kidman), tunangan Hillary. Cerita kemudian melebar dan berkembang ke arah yang tak terduga. The Paperboy ingin mencakup banyak hal: cinta buta, ras, homoseksual, hingga ke bisnis media. Investigasi ala Zodiac (David Fincher) yang awalnya solid kemudian berubah fokus pada kisah kasih tak sampai antara Jack dan Charlotte. Konflik-konflik yang dihadirkan antar para tokoh dalam film ini merenggang sehingga tak banyak yang bisa dikenang dalam The Paperboy

ON THE ROAD TO COSMOPOLIS

kecuali: adegan gorok leher dan Nicole Kidman yang mengencingi Zac Efron Salah satu film yang paling menonjol dalam festival film Cannes kali ini adalah In The Fog (V Tumane) karya Sergei Loznitsa, sutradara asal Belarus. Loznitsa pernah hadir di Cannes tahun 2010 lalu dengan filmnya My Joy. Film panjang kedua Loznitsa ini menghadirkan 3 karakter utama yang berkumpul di sebuah hutan untuk mengadili salah satu di antara mereka. In The Fog berlatar belakang pendudukan German di Russia. Masyarakat Russia berada di bawah tekanan dan setiap manusia berusaha bertahan hidup dengan tunduk terhadap musuh atau mati. Maka tidak ada yang percaya ketika seorang pekerja rel kereta api bisa bebas begitu saja setelah tiga orang teman lainnya mati digantung. Rumor kemudian beredar, ia bebas karena ditundukkan alias menjadi mata-mata. In The Fog adalah kisah memilukan tentang seorang manusia yang berusaha jujur dan menjunjung harga dirinya di tengah-tengah hilangnya kepercayaan antar sesama. Sebuah film yang akan menempatkan Belarus sejajar dengan Romania dalam dunia sinema. Selanjutnya ada Cosmopolis, karya David Cronenberg yang diadaptasi dari buku Don Delillo. Setelah A Dangerous Method, Cronenberg masih ingin bagi-bagi ilmu tentang psikoanalis. Untuk tidak membuat film ini kaku dengan teori Freud tentang evolusi manusia, maka dipilihlah salah satu pria paling populer sekarang ini, Robert Pattinson. Mungkin dengan harapan, gadisgadis belia penggemar Pattinson juga akan tertarik menonton film kontemporer yang bicara soal eksistensi, kapitalisme, bursa saham, jatuhnya kurs, dan pembelian properti sambil bermain seks. Apapun itu, Cosmopolis adalah film Cronenberg terburuk yang pernah ia buat. Do Nui Mat (Taste Of Money) karya Im Sang Soo lagi-lagi bicara soal kejahatan kapitalisme di mana uang adalah segalanya. Taste Of Money mencoba menyentil perilaku hipokrit kelas atas

925

926

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Korea di mana semua orang saling memanfaatkan bahkan dengan anggota keluarga sendiri, demi uang. Mereka bahkan rela hidup merana agar bisa tetap hidup dekat dengan sumber uang. Di syuting dan ditata ala drama TV Korea, Taste Of Money salah satu film yang sebetulnya tidak pantas masuk kompetisi utama di Festival Film Cannes.

Asmayani Kusrini

Festival De Cannes 2012

Don’t Judge A Movie By Its Crowds

Laporan Penutup

H

ari terakhir menjelang pengumuman Palem Emas di buka dengan film kompetisi Mud, karya Jeff Nichols (Take Shelter). Berkisah tentang Ellis dan Neckbone dua remaja 14 tahun yang terpesona oleh seorang pelarian, Mud (Matthew McConaughney) yang sedang bersembunyi di salah satu pulau di tengah-tengah sungai Mississippi. Keduanya bukan hanya kagum dengan ke-macho-an Mud, tapi juga dengan cerita tentang rencana pelariannya dengan Juniper, gadis idaman. Ellis terutama sangat terpesona dengan kisah cinta Mud dan berusaha menolong Mud untuk bisa melarikan diri bertemu dengan sang kekasih. Ellis yang baru saja jatuh cinta lantas mulai mencari contoh terbaik dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Cinta antara paman Neckbone dengan kekasihnya, cinta antara kedua orang tuanya, dan khususnya cinta antara Mud dan Juniper. Bayangan Ellis yang naif tentang cinta membuatnya berusaha

928

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

dengan segala cara untuk mewujudkan usaha Mud bersatu dengan Juniper demi membuktikan bahwa cinta adalah sesuatu yang patut diperjuangkan. Cerita yang ditulis sendiri oleh Nichols ini dibumbui aksi dan petualangan ala Mark Twain bekerja dengan baik. Seperti dalam Take Shelter, Nichols berhasil membuat penonton bersimpati dengan karakter-karakternya, dan bisa dipercaya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Film yang pas bagi anak remaja untuk mengisi hari libur. Film yang dipilih sebagai film penutupan di acara pengumuman nanti adalah Thérèse Desqueyroux oleh sutradara Perancis, Claude Miller. Kisah klasik tentang perjodohan antara Thérèse (Audrey Tautou) dan Bernard (Gilles Lellouche) dua borjuis pewaris tanah berhektar-hektar. Thérèse yang tumbuh dewasa di desa kecil mengira perjodohan ini sudah lumrah dan berharap bisa berbahagia. Tapi Thérèse tidak merasa bahagia dan baru sadar ada yang kurang dengan pernikahannya ketika mendengar kisah cinta sahabat dan juga adik iparnya, Anne (Anais Demoustier) dengan Jean Azevedo (Stanley Weber). Thérèse Desqueyroux diangkat dari novel François Mauriac, pemenang hadiah Nobel dalam bidang literatur. Thérèse dalam film Miller diceritakan sebagai perempuan cerdas yang dipenuhi dengan ide-ide dan pemikiran-pemikiran radikal. Tapi seperti apa ide-ide atau pemikiran Thérèse itu tidak pernah dijelaskan kecuali bahwa Thérèse senang membaca. Ini menjadi kelemahan paling menonjol dalam Thérèse Desqueyroux, karena ide dan pemikiran Thérèse adalah petunjuk vital terhadap keputusannya untuk memberontak. Setelah Thérèse Desqueyroux, maka berakhir lah acara menonton secara maraton program utama selama 12 hari di Festival Film Cannes ke 65 tahun ini. Sekarang adalah periode menunggu para juri memutuskan kepada siapa berbagai penghargaan itu akan diberikan.

Reese Witherspoon, Jeff Nichols dan Matthew McConaughey. Foto oleh Asmayani Kusrini.

930

2. HANTU DAN UANG DI VENESIA

Ada fenomena berulang yang selalu menjadi bagian dari kemeriahaan di Cannes. Walaupun jarang ada yang bisa menduga hasil keputusan para juri dengan tepat, toh godaan untuk menduga-duga tidak pernah bisa dihilangkan sebagai bagian dari Festival Film Cannes. Tapi, sorak sorai, gemuruh, tepuk tangan yang membahana tidak pernah lantas jadi jaminan bagi sebuah film untuk menang. Tahun ini, tercatat, crew film yang paling banyak mengundang fotografer dan wartawan untuk masuk berbondongbondong ke dalam ruang pers adalah: Lawless, Killing Them Softly, On The Road dan Cosmopolis. Alasannya karena para superstar yang bermain dalam film tersebut. Ada Shia LeBeouf, Kristen Stewart, Robert Pattinson, Brad Pitt, Kylie Minogue dan banyak lagi lainnya. Jurnalis dan fotografer saling sikat dan sikut demi mendapatkan foto atau tanda-tangan mereka. Akting yang baik dan peran yang menantang juga sangat menentukan apakah seorang aktor akan dielu-elukan atau diabaikan. Matthew McConaughey misalnya bermain dalam dua film yang masuk kompetisi tahun ini: The Paperboy dan Mud. Dalam The Paperboy, McConaughey berperan sebagai jurnalis homo yang dikerjai habis-habisan oleh gangster setempat. Ketika berjalan ke arah ruang pers untuk The Paperboy, nyaris tidak ada yang menyapa McConaughey dan perhatian lebih ditujukan kepada Zac Efron dan Nicole Kidman. Situasi ini berubah seratus delapan puluh derajat ketika McConaughey berjalan ke ruang pers untuk filmnya Mud. Dalam film ini, aktor tersebut berperan sebagai Mud, tokoh pelarian yang menjadi idola dua remaja dalam film tersebut. Semua orang dengan bersemangat memberinya tepuk tangan meriah dan para fotografer berteriak-teriak untuk minta foto. Reese Witherspoon yang berjalan bersamanya nyaris tidak mendapat perhatian sama sekali.

DON’T JUDGE A MOVIE BY ITS CROWDS

Film yang paling sedikit menarik perhatian para wartawan adalah In The Fog karya Sergei Loznitsa. Hal ini wajar karena belum banyak yang mengenal karya Loznitsa dan film ini tidak menampilkan aktor-artis terkenal. Tapi apakah berarti In The Fog tidak punya kesempatan menang? Tentu tidak. Pengalaman membuktikan. Tahun 2007 lalu, Mungiu dan tim 4 Months, 3 Weeks, 2 Days melenggang tak ditegur. Wartawan yang menghadiri konferensi persnya juga bisa dihitung dengan jari. Hal yang sama juga terjadi dengan Apichatpong Weerasethakul dengan Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives. Film mereka mendapat Palem Emas membuat banyak wartawan menyesal tak menyempatkan waktu untuk berbincang dengan dua sutradara tersebut. Yang juga sering terjadi adalah banyak wartawan tidak merasa perlu menonton film kompetisi yang diputar paling terakhir. Mereka memilih pulang karena yakin, film terakhir biasanya tidak terlalu menarik dan tidak mungkin menang. Anggapan ini membuat banyak jurnalis terkecoh ketika Entre Les Murs karya Laurent Cantet mendapat penghargaan bergengsi Palem Emas di tahun 2008. Tidak banyak yang menonton film tersebut karena diputar paling akhir, di mana hampir sepertiga jurnalis sudah meninggalkan Cannes. Satu hal yang pasti, the greatness of a movie will stay forever, with or without awards. Sampai jumpa di Festival Film Cannes tahun depan.

931

3

Tentang Film, Tentang Penonton, Tentang Dunia Kita PERCAKAPAN RUMAH FILM DENGAN TOKOH-TOKOH PERFILMAN

Asmayani Kusrini

“Kurdi Lebih Berbudaya dari Amerika.” WAWANCARA DENGAN BAHMAN GHOBADI

P

ria dengan sweater merah itu melambai. Dia rupanya tahu, sedari tadi saya menunggu sampai dia selesai ngobrol dengan seorang tamu. “Maaf ya, pertemuan kita tertunda kemarin,” Ia menyapa ramah, sambil menarik kursi untuk saya. Ya, kemarin pertemuan kami batal, karena jadwal pesawatnya tertunda. “Tidak keberatan kalau kita duduk di sini kan? saya suka sinar matahari,” katanya sambil menatap keluar jendela, ke arah pantulan matahari di kaca. Di tangannya tergenggam cangkir kertas berisi kopi yang asapnya mengepul pelan. Pria itu, Bahman Ghobadi, duduk tenang sambil sesekali meremas tangannya agar tetap hangat. Udara di Rotterdam akhir January memang dingin, dan setiap orang mencari matahari. Saya tentu saja tidak keberatan. Penghangat listrik rupanya tidak cukup punya daya menghangatkan ruang kaca besar di lantai 3, gedung De Doelen. Meski mengerti dan bisa berbahasa Inggris, Ghobadi

936

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

minta ditemani seorang penerjemah. “Saya tidak terlalu lancar berbahasa Inggris,” katanya. Bahman Ghobadi lahir pada 1 Februari 1969 di Baneh, sebuah kota kecil di propinsi Kurdi, Iran, yang berbatasan dengan Iraq. Ghobadi belajar teknik membuat film di Iranian Broadcasting College. Awalnya dia bekerja sebagai fotografer, tapi kemudian beralih ke film dengan membuat dokumenter pendek. Ghobadi mendirikan rumah produksinya Mij Film pada 2000 dan mulai membuat feature film. Film awalnya, A Time For Drunken Horses meraih Camera D’or di Cannes Film Festival 2000. Lalu Marooned in Iraq yang mendapat Gold Plaque dari Chicago International Film Festival pada 2002, kemudian menyusul Turtles Can Fly pada 2004 yang memenangkan berbagai penghagaan bergengsi di festival festival film internasional. Dengan sedikit ragu-ragu, saya membuka obrolan dengan bertanya soal eksekusi Saddam Husein. Dan benar saja, wajahnya langsung berubah.

Secara tidak langsung film-film Anda banyak menyorot kehidupan di perbatasan Iran-Iraq akibat dari kebijakan dari pemerintahan Saddam Husein. Sekarang, Saddam dijatuhi hukuman mati. Menurut Anda apakah akan ada perubahan? Saya tidak suka dengan pertanyaan ini. Semua yang terjadi di middle east adalah sebuah permainan. Permainan yang bodoh, dan gila. Saddam Husein, adalah orang yang dibina oleh barat, ditempatkan oleh barat, diberi kekuasaan oleh Barat, diciptakan sebagai monster oleh barat dan menjadi diktator juga atas restu Barat. Lucunya, dia dieksekusi oleh Amerika, padahal mereka sudah mengeruk banyak keuntungan, mengeruk banyak uang dari Saddam. Alur yang memuakkan, cerita lama yang sama. Saya menonton soal eksekusi itu. Itu, sangat gila. Saya tidak percaya

“KURDI LEBIH BERBUDAYA DARI AMERIKA.”

hidup di jaman gila begini. (Kepalanya menggeleng-geleng. Ia kembali menghirup kopinya yang tinggal setengah) Ok, mari kita bicara film saja. Apakah masyarakat Kurdi bisa menonton film Anda? Ada kurang lebih 40 juta warga Kurdi dan di tanah Kurdi mereka hanya punya 4 atau 5 cinema. Susah untuk mempertontonkan film saya. Apalagi bisnis film komersial tidak memberikan banyak ruang bagi independent cinema. Rasanya sama juga dengan di Indonesia. Aturan yang berlaku di dunia bisnia film adalah aturan Hollywood: sinema bukan dianggap sebagai bentuk seni, tapi bisnis di seluruh dunia. Semua orang yang bekerja di dunia itu sekarang mencoba untuk mengeruk keuntungan sebanyakbanyaknya. Mereka cepat melupakan objektivitas cinema, melupakan tujuan membuat film. Untunglah, banyak DVD ilegal di pasaran. Itu sungguh membuat saya gembira. Saya tidak masalah dengan pembajakan karya saya. Mereka tidak punya uang, tidak punya cukup uang untuk membeli DVD asli. Hanya itu satu satunya cara agar mereka bisa menonton film saya. Dan mereka pantas untuk menonton film saya dengan cara itu. Toh saya menggunakan budaya Kurdi sebagai inspirasi, pertukaran yang sangat menguntungkan bagi saya. Mengapa Anda sangat tergila-gila dengan budaya Kurdi? Saya mengenal bahasanya, saya mengenal orang-orangnya, saya mengenal negerinya, karena itu saya punya kemampuan untuk memperlihatkan pada seluruh dunia, gambaran sebenarnya tentang suku Kurdi. Mereka adalah orang-orang yang baik dan ramah. Mereka adalah masyarakat dengan latar belakang, sejarah, dan akar budaya yang kaya. Begitu banyak hal yang bisa ditemukan dan menunggu untuk ditemukan. Tidak hanya mengenai Kurdistan, tapi juga seluruh Iran.

937

938

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Anda harus tinggal di sana untuk menemukan elemen yang baik dari masyarakat yang baik ini. Anda harus hidup di sana. Iran tidak seperti yang anda saksikan di TV, atau di media. Tidak benar 1% pun. Dan itu sesuatu yang membuat saya sedih. Itu semua bukan gambar sebenarnya tentang Iran. Iran adalah salah satu wilayah dengan budaya yang paling kaya di dunia. Masyarakat yang berbudaya, masyarakat dengan sejarah yang agung. Menurut Anda, suku Kurdi lebih berbudaya dari Amerika? Suku Kurdi dan Iran adalah masyarakat paling berbudaya, lebih berbudaya dari Amerika. Amerika Serikat itu negara baru. Kurdistan dan Iran adalah salah satu negeri tertua di dunia. Sama seperti Indonesia. Kamu punya sejarah, kamu punya masyarakat yang punya kebudayaan jauh lebih mengakar daripada Amerika. Semua itu tidak akan kamu dapati di Amerika serikat. Saya menonton Opera Jawa, dan saya terpesona sekali. Itu film yang sangat bagus, menggambarkan betapa Indonesia punya sesuatu yang tidak akan pernah saya dapatkan dari menonton berita di CNN. Saya berharap bisa menonton film-film yang bisa memperkenalkan saya lebih jauh dengan budaya Indonesia. Opera Jawa adalah film Indonesia terindah yang pernah saya saksikan. Excelent. (Tak lupa dia menitip salam untuk Garin Nugroho. Dia bilang, pernah diundang Garin makan nasi goreng di Cannes. Ghobadi nampak geli jika mengingat undangan itu) Anda pernah jadi asisten Abbas Kiaroustami. Bagaimana ceritanya? Itu 10 tahun lalu. Saya bekerja dengan Kiaroustami hanya beberapa hari. Saya sebenarnya lebih ke manajer produksi, tapi kemudian jadi asisten sutradara. Saya berada di lokasi syuting selama 10 hari, berniat untuk belajar sesuatu. Tapi selama di sana,

Bahman Ghobadi Foto oleh Asmayani Kusrini.

940

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

saya merasa, itu bukan produksi yang saya inginkan. Saya ingin melakukan sesuatu yang lain. Bukan jenis produksi sinema yang saya cari. Saya benar benar menyukai film-film feature Kiaroustami di awal karirnya. Feature-nya yang belakangan ini saya sudah tidak terlalu nyambung, saya tidak terlalu suka. Bagaimana dengan Makhmalbaf? Saya adalah penasehatnya untuk soal Kurdistan. Saya membantunya mengenal lebih jauh tentang Kurdis. Saya membantunya beberapa hari. Kami bekerja sama dengan baik. Saya memang dengan senang hati selalu ingin membantu semua orang yang datang ke Kurdistan. Saya ingin mereka tahu, dan menemukan betapa menariknya bangsa Kurdi. Kenapa memilih film? Saya datang dari wilayah Kurdistan, bagian Iran. Iran punya sejarah panjang dalam industri film, 100 tahun lebih, dan selama itu tidak ada Sinema Kurdi. Saat ini saya mencoba untuk menemukan wajah sinema bangsa Kurdi. Kapan mulai tertarik dengan film? 17 atau 18 tahun yang lalu. Saya memulainya dengan 8mm, bikin film pendek 8 sampai 10 menit dan masih menggunakan VHS. Bisa ceritakan film pertama yang Anda tonton? Hahaha …saya tidak ingat judulnya. Tapi itu film murahan. Saya ingat menonton dengan keluarga saya. Film action murahan di bioskop kecil dan sangat tua. Kalau mengingat menonton film itu dan melihat hidup saya sejauh ini, saya sadar, semua hal nyata yang sudah saya alami dalam hidup saya, adalah pengalaman yang tidak pernah dilihat orang lain sebelumnya. Apa yang pernah saya saksikan dalam hidup saya adalah film panjang. Saya melihat banyak perang, tapi tidak di atas layar

“KURDI LEBIH BERBUDAYA DARI AMERIKA.”

putih. Saya melihatnya nyata. Anda mungkin hanya bisa melihat James Bond dalam sebuah film yang punya License To Kill. Tapi saya menyaksikan ribuan James Bond di Irak. Anda trauma? Berat untuk mengatakannya. Tapi saya selalu ingat, 90% hidup saya banyak menyaksikan hal mengerikan, saya mengalami hari hari sulit, menderita. Saya melihat paman saya tewas. Sehari setelah itu, paman saya yang lain dengan sepupu saya, tewas terkena bom di depan mata saya. Saya melihatnya dengan mata kepala sendiri, melihat tubuh mereka hancur. Dua bulan setelah itu, bibi saya kehilangan kedua kakinya di tengah perang. Semua terjadi hanya dalam waktu 2-3 bulan. Di depan mata sendiri. Itulah kenapa saya selalu sakit kepala kalau menonton film film heroik macam James Bond. Itu yang membuat Anda takut mati? Saya ingin membuat film, saya ingin membuat sesuatu untuk negeri saya. Saya ingin punya energi untuk itu. Saya mencoba membuat beberapa orang agar menjadi asisten saya. Mendidik. Butuh waktu 10 tahun untuk bisa benar-benar belajar cara membuat gambar yang baik dan cara membuat film yang baik. Dan saya takut, 10 tahun bukan waktu yang singkat. Bagaimana jadinya kalau asisten-asisten saya belum selesai belajar? Mungkin saya bukan guru yang baik, tapi setidaknya saya punya fasilitas dan sedikit pengalaman yang bisa saya bagikan kepada mereka. Saya takut mati sebelum itu terlaksana. Saya selalu merasa dibayang-bayangi oleh kematian. Kadang-kadang tidak mengganggu tapi kadang sangat mengganggu. Tidak jelas apakah Iran akan ada perang lagi, apakah nanti Israel akan membom Iran, dll. Saya selalu berpikir, kematian mengitari kami. Saya bahkan pernah berpikir untuk

941

942

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

bunuh diri, biar kematian tidak lagi membayangi. Tapi saya sadar, saya harus berbuat sesuatu dulu. Bukankah kita semua akan mati pada akhirnya? Ya, saya tahu maksudmu. Tapi saya bukan takut akan mati itu sendiri. Saya takut mati sebelum saya melakukan sesuatu. Itu yang mengerikan. Anda percaya Tuhan? Saya percaya. Tapi masalahnya saya tidak percaya ada reinkarnasi, saya tidak percaya ada hidup di kesempatan kedua. Kita lahir hanya sekali, dan kita bisa memilih apakah bisa mempengaruhi masyarakat atau tidak, apakah ingin berbuat sesuatu selama hidup atau tidak. Nah saya ingin berbuat sesuatu dulu.

SETELAH itu kami melanjutkan obrolan tentang film-filmnya, sampai seorang panitia mengingatkan bahwa Ghobadi masih punya acara lain. Sebelum mengucapkan selamat berpisah, Ghobadi meminta kamera yang sedari tadi saya gunakan untuk memotretnya dari berbagai sisi. “Kesinikan kamera itu” “Loh, untuk apa?” Dia tertawa, dan langsung menyambar kamera di tangan saya. “Kamu diam di situ, jangan banyak bergerak” “Aduh, Pak Ghobadi, masa saya yang difoto, kan saya malu,” saya berdiri kikuk. Penerjemah yang sedari tadi menemani kami ngobrol senyum senyum. “Kepalamu miring sedikit biar kena matahari, ayo, jangan tegang begitu,” katanya memerintah.

“KURDI LEBIH BERBUDAYA DARI AMERIKA.”

“Pak Ghobadi, saya harus bagaimana? Senyum?” Saya tambah kikuk. “Nah, begitu lebih baik.” Dan saya pun mendengar nada ‘klik’. Kamera itu diserahkan kembali kepada saya. Saya lihat hasilnya lewat LCD. Saya tidak suka difoto, karena saya tidak fotogenik. Tapi, saya di foto itu, terlihat begitu manis. Terima kasih, Pak Ghobadi.

943

Krisnadi Yuliawan

“Audiens Bukan Ukuran Sukses.” WAWANCARA DENGAN PHILIP CHEAH

D

ua tahun berturut-turut Philip Cheah menjadi kurator di Jogjakarta Asian Film Festival (JAFF). Selain memilih film-film terbaik Asia untuk JAFF, Direktur Festival dari Singapore International Film Festival ini juga telah bertahun-tahun mengamati pertumbuhan generasi baru sineas Indonesia. Baginya, sinema Asia, termasuk Indonesia mengalami perkembangan yang luarbiasa sepuluh tahun belakangan ini. Di Yogya, Krisnadi Yuliawan sempat berbincang dengan Phillip Cheah ditengah-tengah kesibukannya. Berikut petikan percakapan Rumah Film dengan Board Member of NETPAC (Network for the promotion of Asian Cinema) ini: Dua tahun terakhir Anda menjadi kurator dari Yogya Netpac Asian Film Festival. Apa yang bisa Anda catat dari perkembangan film-film yang ambil bagian di festival ini?

“AUDIENS BUKAN UKURAN SUKSES.”

Pertama-tama, mungkin harus saya katakan bahwa saat ini festival film internasional sudah menjadi hal yang biasa. Dimanamana Anda bisa menemukan festival film internasional. Yang belum biasa adalah sebuah festival film khusus (film) Asia. Saat ini adalah fakta bahwa sinema Asia sangat asing dan aneh bagi mata sesama warga Asia. Maka saya kira tujuan dari JAFF adalah untuk membuka mata terhadap sinema Asia. Tahun lalu, kami membuka mata khusus untuk sinema dari Timur Tengah, kawasan yang film-filmnya tak cukup dilihat warga Asia lain. Tahun ini kami membuka mata mereka yang hadir terhadap sinema dari wilayah yang juga tak cukup kita kenal, meskipun sama-sama berasal dari kawasan Asia Tenggara. Yang saya maksud adalah sinema Vietnam, yang memiliki sejarah dan ragam sangat kaya. Saya berani bertaruh, hampir semua orang di kota ini belum pernah menyaksikan satupun film bermutu dari negeri itu.

Melihat audiens yang datang cukup banyak, apakah Anda merasa JAFF sukses? Saya tak memakai audiens sebagai ukuran sukses. Sinema bisa sangat popular, tapi juga bisa sangat spesial. Saya percaya, sebagian sinema tetap tidak akan popular, tetapi hanya akan jadi terspesialisasi. Maka masukan tak hanya harus Anda dengar dari khalayak, tetapi juga dari para kritikus yang paham. Kalau keduanya memberi apresiasi terhadap apa yang Anda lakukan, itu berarti setidaknya Anda telah melakukan sesuatu dengan benar. Apa beda fokus Singapore international film festival dengan apa yang anda lakukan di Yogya Jaff? The Singapore International Film Festival, sesuai namanya memiliki jati diri internasional sehingga di sana ada aspek non-asian sinema yang tak saya lakukan di sini. Pekerjaan saya di

945

946

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

SIFF boleh dibilang lebih luas. Juga, karena bekerja dengan karakteristik local dari Yogyakarta, saya bekerja sangat berbeda disini. Kota Yogyakarta ini punya karakter yang lebih muda, dan lebih berbasis kelompok (community based) maka kita perlu bekerja dengan manner yang lebih berorientasi grass-root. Di Singapore, apa yang saya lakukan lebih bersifat mendokumentasikan, seperti menyelenggarakan eksebisi, atau mencoba menggelar program restropeksi khusus, lalu mengkoleksi esai-esai yang menjelaskan restropeksi itu. Hal-hal semacam itu. Ini sangat berbeda dengan apa yang saya lakukan di sini. Di sini Anda tak hanya mengkuratori film di kompetisi? Saya melakukan hampir semua hal di sini. Pada program film pendek misalnya, saya memilih film-film pendek Singapura, Korea, juga Filipina. Tapi tidak film Indonesia. Karena buat saya, jika berada di sebuah negara, tuan rumah akan selalu lebih paham dengan sinema mereka sendiri, dan kata putus dalam memilih adalah hak mereka. Saya juga tak percaya orang asing bisa mengelola sebuah festival film bagi orang local di sebuah negeri, terlebih lagi di Indonesia. Saya percaya, di negeri ini tingkat bakat sumberdayanya sangat tinggi. Di sini, dengan mudah Anda bisa menemukan orang berbakat. Saya yakin, berada di region yang sama, tentu Anda sejak lama sudah mengamati film-film Indonesia, komersial maupun independen. Apa yang anda lihat? Saya mengikuti perfilman negeri ini sejak 1991, ketika Garin muncul. Saya juga melihat kemunculan “generasi baru” film Indonesia ketika Kuldesak lahir. Hingga kini, tingkat pertumbuhan film Indonesia sangat intens dan luar biasa. Pada tahun Kuldesak muncul, kita ingat sepanjang tahun itu hanya ada satu film panjang yang muncul. Sementara sekarang, pada 2007,

“AUDIENS BUKAN UKURAN SUKSES.”

saya kira film Indonesia bisa mencapai jumlah 45 feature film. Ini luar biasa. Dalam jangka waktu yang sangat pendek, jumlah film sudah berlipat. Hanya saya kira, karena era globalisasi saat ini, selalu ada ancaman. Mereka, para filmmaker ini begitu ingin sukses, sehingga mereka membuat semua (film) sama. Mereka percaya, untuk sukses mereka harus mengikuti formula tertentu, melakukan hal tertentu yang sama. Maka, peluang yang harus Anda pertahankan saat ini adalah dengan mempertahankan diversity dari sinema Anda, dan menolak dibajak oleh kepentingan komersial. Tapi maksud saya, sinema komersial memang akan selalu ada, tapi seharusnya sinema komersial itu bukanlah satu-satunya yang ada. Meski produksi film Indonesia tak bisa diblang minim, tapi di festival-festival film Internasional sangat sedikit film Indonesia yang terpilih seleksi, apalagi yang memenangkan penghargaan. Saya kira, keadaan seperti yang Anda sebut itu telah sedikit berubah. Lihat saja Kala yang terpilih menjadi film penutup di Phucheon Film Festival tahun ini. Kala juga terpilih untuk diputar di international film festival di India. Film Ravi Bharwani juga diputar di banyak festival. Dan sekarang saya tengah menanti-nanti dimanakah film The Photograph-nya Nan akan mendapat tempat. Tapi film Indonesia sangat jarang menjadi semacam tilikan khusus, tak seperti film Iran, atau beberapa tahun belakangan film Thailand, dan terakhir film Malaysia? Sulit menjawab pertanyaan ini. Tapi, kalau bicara soal film festival di manapun di dunia, Anda jangan lupa bahwa ada sesuatu yang disebut the flavor of the month, or the flavor of the year. Lima tahun lalu, film-film Iranlah yang menarik perhatian siapapun, dan dua tahun belakangan film-film Malaysia. Jadi,

947

948

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

kadang ini bukanlah sesuatu yang menunjukkan adanya masalah dalam sinema Indonesia, tapi ini masalah mereka yang melihat sinema tapi tak berfikir jangka panjang. Saya sendiri, saat ini memandang sangat positif sinema Indonesia, karena—sebagai contoh—documentary scene Indonesia sangat-sangat menarik. Ada banyak karya bagus di situ. Masalahnya cuma sebagian Asia tak menempel bagi bagian Asia yang lain. Dengan Netpac kita ingin terus meluaskan selera Asia untuk warga Asia. Masalah sinema Indonesia, selain copycat, apakah mungkin karena belum bersedia berpindah memakai digital? Kalau Anda bersikap tidak realistic, dalam bisnis itu akan selalu menimbulkan masalah. Makin realistic Anda akan bakat, akan cara dan alat produksi anda, makin baik bagi anda. Tapi, di Indonesia, pembuatan film secara digital telah masuk jauh ke sector documentary. Saya selalu mengikuti karier dari Lexi Rambadetta, aryo danusiri and Andi Bachtiar Yusuf. Di mata saya mereka cukup punya komitmen dan terus berkarya setelah bertahun-tahun. Menurut Anda apakah ada kesamaan yang jelas pada sinema ASEAN? Selalu ada kesamaan, meski juga selalu ada perbedaan. Lihat saja sinema Vietnam sebagai contoh. Ada karakteristik Asia Tenggara di situ. Sangat emosional, namun juga sederhana dan tulus, sebagaimana sinema Asia Tenggara lain. Tetapi pengaruh yang masuk ke sinema Vietnam sangat berbeda karena banyak filmmaker Vietnam yang dididik di Uni Soviet. Jadi gaya sinematografi mereka sangat dekat pada sinema rusia. Bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah sinema Indonesia memiliki karakteristiknya yang khas? Sesuatu yang bisa dibilang Indonesia?

“AUDIENS BUKAN UKURAN SUKSES.”

Ingatan saya tentang Kuldesak adalah bahwa para pembuatnya sangat terpengaruh gaya US Indie cinema. Mereka sangat terpengaruh oleh Tarantino misalnya. Saya kira para filmmaker Kuldesak sudah memantapkan gaya pribadi mereka. Lihat Riri Riza misalnya, ia punya gaya yang khas. Ia bisa melakukan beberapa hal berbeda dengan mudah. Ia membuat film digital Eliana, Eliana. Ia juga membuat bio-epik dengan Gie. Ia juga membuat road movie dengan Tiga Hari untuk Selamanya. Nan juga sudah membuktikan diri bisa menangani banyak hal berbeda. Di Wishpering Sand ia sangat mythic. Di Bendera ia bikin film anak-anak dengan political twist. New talent is people like Joko Anwar. Saya suka Kala lebih dari Janji Joni. Tapi sayang, Kala gagal di sepertiga akhir. Ending Kala sangat buruk menurut saya karena ia kehilangan atensi pada detail pada akhir film. Di dua pertiga awal film, Joko sangat in control, dia build up suspens dengan baik, matanya sangat baik untuk detail. Namun, di mata saya dia seperti membuang semuanya di sepertiga akhir. Benar-benar sayang. Anda melihat karya-karya Edwin? Saya kira Edwin ditakdirkan untuk hal besar. Saya lihat filmnya, dan saya kira dia an amazing director. Saya tak sabar menunggu debut film panjangnya. Bagaimana pentingnya festival film seperti ini? Saya kira trend di masa depan adalah regionalism. Alih-alih international film festival, Anda lebih membutuhkan festival film regional. Anda bisa lihat JAFF sangat berpengaruh di kawasan sekitar yogya, karena semua komunitas film tertarik pada apa yang berlangsung di sini. Karena jika sebelumnya Anda harus pergi jauh ke pusat Indonesia, ke Jakarta untuk mencari tahu perkembangan terakhir, kini Anda punya tempat yang sebenarnya jauh dari pusat, yang melakukan sesuatu yang

949

950

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

penting yang bisa diakses mudah oleh masyarakat sekitar. Mereka bisa langsung melihat bakat-bakat terbaik negeri lain, bisa membangun kontak internasional tanpa harus pergi ke pusat. Tetapi, Indonesia memang sangat miskin festival film Apapun faktanya, sesuatu itu harus dimulai. Saya kira banyak kelompok, atau organisasi lain atau kota lain akan berfikir untuk menyelenggarakan festival film mereka sendiri. Indonesia membutuhkan lebih banyak festival film. Kebhineka-an negeri ini luar biasa, dan karenanya sangat kurang jika negeri ini cuma punya satu festival film di Ibukota. Ada banyak hal berlangsung di seluruh Indonesia, dan setiap kali, hampir semuanya begitu berbeda. Saya kira Anda bahkan perlu punya festival film di Irian.

Krisnadi Yuliawan & Ekky Imanjaya

“Kami Cuma Bekerja dan Berbuat.” WAWANCARA DENGAN HO YUHANG

D

i Jogjakarta Asian Film Festifal, film sutradara Malaysia Ho Yuhang berjudul Tai Yang Hue, atau Rain Dogs, memperoleh kehormatan untuk menjadi film penutup. Terdidik sebagai insinyur, Yuhang mengejutkan banyak orang terdekatnya ketika ia memutuskan berpindah karier dengan menulis dan menyutradarai sendiri filmnya. Awalnya, Yuhang belajar film dengan bekerja di industri iklan televisi. Salah satu karya pertamanya Semangat Insan: masters of Tradition memenangi Malaysian Video Award 2001. Sejak itu ia mulai menyutradarai beberapa film pendek dan dokumenter, dan sukses diundang ke berbagai festival film seperti di Tampere (Finlandia), Singapura, manila dan sebagainya. Film televisi pertama Yuhang, Min tercatat memenangi special Jury prize di Nantes Festival of 3 Continents 2003 di Perancis. Sedangkan Feature film pertamanya Sanctuary, gagal memenangi New Currets Award di Pusan International Film

952

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Festival 2004. Film yang sama juga gagal memperoleh Tiger Award dan Netpac Award di Rotterdam International Film Festival 2005. Dalam berbagai festival film Internasional, Yuhang dikenal sebagai salah satu dari generasi baru perfilman Malaysia. Yuhang pun kemudian hampir selalu disebut dalam satu nafas dengan Tan Chui Mui (Love Conquers All) James Lee (My Beautiful Washing Machine, When we Falling Love Again), Amir Muhammad (Lelaki Komunis Terakhir, Big Durian), Yasmin Ahmad (Sepet, Gubra, Muhsin) Deepak Kumaran Menon (Chemman Chaalai) dan beberapa nama lain. Beberapa tahun terakhir, kumpulan sutradara baru Malaysia ini benar-benar menarik perhatian kalangan perfilman dunia. Film-film mereka diundang berkeliling ke berbagai festival film terkemuka dunia. Sebagian film-film itu malah sukses memenangi penghargaan penting di festival-festival itu. Love Conquers All misalnya memenangi penghargaan Film Asia Terbaik di Pusan Film Festival 2006. Setahun sebelumnya, film Yasmin Ahmad terpilih sebagai Film Asia Terbaik di Tokyo International Film Festival. Generasi baru sineas Malaysia ini punya cara bekerja, cara melihat dan menafsir kenyataan yang berbeda dengan generasi sineas Malaysia sebelumnya. Mereka misalnya, tak ragu membuat film yang sepenuhnya berbahasa Cina, atau keberanian mereka untuk sepenuhnya membuat film digital berbudget kecil. Mereka juga bekerja dengan sangat erat. Dalam Love Conquers All, cerita yang ditulis oleh Tan Chui Mui misalnya, James Lee menjadi penata kamera, Ho Yuhang menjadi editor dan Amir Muhammad berperan sebagai produser. Dalam film Yuhang Rain Dogs, juga bisa kita saksikan bagaimana Yasmin ahmad berperan sebagai salah satu karakter utama. Di film lain, peranperan kreatif ini seolah digilir berganti-ganti diantara mereka.

“KAMI CUMA BEKERJA DAN BERBUAT.”

Berikut petikan percakapan Krisnadi Yuliawan dan Ekky Imanjaya dengan Yuhang, di tengah-tengah kesibukannya di JogJakarta Asian Film Festifal (JAFF) 2007:

Film James Lee, When We Falling Love Again, baru saja menang Film Asia Terbaik di Bangkok Internasional Film Festival. Seringkali, setiap kali menyebut nama James Lee, orang juga harus menyebut nama Anda, Tan Chui Mui, dan juga Amir Muhammad. Kalian berteman dekat, dan memulai membuat film bersama-sama. Sebagian film malah kalian buat bersamasama. Kalian, sebagai kelompok, sering disebut sebagai gerakan baru dalam perfilman Malaysia. Apakah kalian memang merasa sedang membuat gerakan? Tidak. Kami cuma bekerja dan berbuat. Gerakan, atau movement, atau apapun istilahnya adalah sesuatu yang ditulis oleh para jurnalis. Saya pikir para jurnalis itu melihat suatu fenomena lalu mencoba menafsirkannya. Pada satu sisi, kami semua memang menghasilkan karya-karya baru, dan karya-karya itu kebetulan menjadi perhatian dari berbagai film festival. Setelah itu makin banyak orang menulis tentang kami. Para jurnalis ini boleh jadi merasa bahwa selama ini sinema Malaysia, termasuk yang mainstream, belum beranjak jauh, lalu tiba-tiba saja muncul sekelompok orang entah darimana yang memiliki ekspresi sangat berbeda dalam film-filmnya. Jadi, bagi mereka, kami ini seperti sebuah fenomena, mulailah mereka menulis dan menyebut kami sebagai a new wave, atau new movement. Tapi kami ini tidaklah terdiri dari banyak orang untuk bisa menciptakan sebuah gelombang baru, sama sekali tidak seperti new wave Perancis. Jadi sebenarnya ada berapa orang filmmaker di lingkar pertemanan Anda ini?

953

954

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Sebenarnya kami bekerja sama sebagai bentuk pertemanan. Kami sama sekali tidak pernah secara sadar menyebut diri sebagai new wave atau gerakan. Kami tidak banyak, mungkin hanya sepuluh-lima belas orang. Kalau tidak merasa sebagai sebuah gerakan, lalu bagaimana Anda dan teman-teman memandang kelompok ini? Kami Independen. Bahkan kami pun saling independen satu sama lain. Seperti saat ini, saya sedang berencana membuat film, James Lee juga membuat filmnya sendiri. Tapi memang, setiap kali kami membuat karya, kami akan meminta pendapat yang lain. Kemarin, seorang sutradara baru yang juga teman kami menggarap film yang akan diputar di Pusan Film festival. Ketika menyelesaikan filmnya ia menelpon kami “bisakah datang dan beri masukan?”. Maka kami pun datang dan menonton film itu. Biasanya kami berkomentar seperti “ah film ini terlalu panjang, menurut saya kamu bisa melakukan editing di bagian ini dan ini”. Hal-hal seperti itulah. Dan biasanya, komentar-komentar dalam diskusi internal ini didengar? Ya, ya. Biasanya komentar-komentar itu dihargai. Tentu saja saya misalnya, tak merasa bahwa apa yang saya katakan selalu benar, tapi saya hanya mencoba mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Sebaliknya, kalau giliran saya yang membuat film, semua juga boleh memberi masukan. Menurut Anda, sebenarnya apa yang benar-benar membedakan Anda, dan kelompok Anda ini, dengan sutradara-sutradara Malaysia lain? Saya pikir kami membuat film yang memang berbeda. Kami terobsesi pada hal-hal yang berbeda. Lihat saja Amir Muhammad,

Ho Yuhang Foto oleh Asmayani Kusrini.

956

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

kita harus mengerti bahwa Amir terdidik sebagai lawyer. Dia biasa menulis kolom untuk suratkabar. Kolom-kolomnya sangat lucu. Jadi film-film Amir merefleksikan kepribadiandan tulisantulisannya. Bahkan, menurut saya, film-film Amir sangat mirip kolom-kolomnya, cuma kali ini memakai gambar. Sementara film-film Tan Chui Mui biasanya berbicara tentang hubungan, a very sensitive kind of male-female relationships. Film James Lee juga punya tema yang sama, tapi film James sedikit aneh, weird, seolah science-fiction namun bicara tentang hubungan modern antar manusia dengan cara yang absurd. Adapun film-film saya, saya pikir makin kesini makin berbicara di seputar kekerasan dan agitasi, juga tentang manusia yang tiba-tiba saja diletakkan dalam sebuah lingkungan baru, dimana ia tak kunjung menemukan jalan untuk keluar dari situ. Ya, itulah tema film-film saya. Untuk Anda, apakah anda merasa benar-benar memetik pelajaran dari sutradara-sutradara lain? Kalau harus memilih, siapa sutradara yang paling mempengaruhi anda? Tentu saja. Saya kira setiap sutradara akan menempuh fase-fase penciptaan tertentu. Saya menonton semua film Eropa dan Jepang yang saya sukai. Film dari master-master seperti sutradara Jepang Naruse, Ozu, dan tentu saja Misoguchi. Saya juga sangat suka film bisu, benar-benar suka. Tapi, terlihat juga ada pengaruh Tsai Min Liang di film-film anda? Ya, tapi setiap film yang gambarnya tak bergerak dalam waktu cukup lama pasti akan mirip film-film Tsai Min Liang. Tapi sebenarnya, saya sama sekali tak merasa terpengaruh Tsai Min Liang. Setidaknya tidak terlalu. Mungkin saya lebih terpengaruh Hsou Sia Hsien daripada Tsai Min Liang. Tapi makin kesini, saya sepertinya makin terpengaruh film noir, juga film-filmnya Fritz

“KAMI CUMA BEKERJA DAN BERBUAT.”

Lang. Saya juga sangat suka cartoon. Saya memang suka banyak hal. Banyak pengaruh juga saya dapatkan dari membaca. Anda seorang insinyur, bagaimana ceritanya anda akhirnya memutuskan berkarier sebagai sutradara? Saya insinyur, tapi saya memutuskan berhenti dari pekerjaan dan bilang pada diri sendiri “oke, saya ingin membuat film”. Saat itu saya benar-benar give up everything. Buat saya ini perjudian, dan saya pikir kalau mau berjudi kita harus mau habis-habisan kalau ingin menang. Film selalu menjadi passion saya, dan insting saya bilang saya bisa melakukannya. Saya mulai dengan bekerja di industri iklan TV. Ini semacam training buat saya, karena jika ingin membuat film saya perlu tahu hal-hal tehnis: apa itu kamera? Apa itu lighting? Apa saja tipe-tipe system produksi? Dan sebagainya. Beberapa tahun setelah itu saya menjadi asisten sutradara, lalu memutuskan berhenti. Sekarang, saya rasa hidup saya lebih menarik, karena saya bekerja seperti seorang penulis. Setiap hari, jika saya sedang ingin, saya berangkat bekerja, datang ke kantor, duduk dan mulai memikirkan cerita, lalu menuliskannya. Saya sangat suka cara hidup begini. Sekarang, berapa lama Anda menyelesaikan sebuah skenario? Beberapa cukup cepat, tiga atau empat bulan. Beberapa bahkan selesai dalam dua bulan, tapi kemudian saya membutuhkan empat bulan untuk re-write. Saat ini, saya sedang menyelesaikan dua skenario. Yang satu cukup a lot, jadi perlu waktu agak lama. Yang satu, boleh dibilang sudah selesai. Dari sudut estetik, apakah Amir, Tan Chui Mui, James Lee dan teman-teman yang lain cukup memberi pengaruh pada film-film Anda? Itulah mengapa kini saatnya untuk berpindah. Selalu ada sedikit bahaya, karena kami semua suka banyak hal yang sama. Dan

957

958

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

layaknya filmmaker muda, kami pun mengkopi. Semua sutradara muda akan memasuki fase meniru sutradara tertentu yang ia suka. Saya kira, sekarang saya dan kawan-kawan beranjak dari fase ini. Setelah beberapa waktu, kami bertumbuh lebih matang. Apa ini artinya Anda selaku pribadi kini memelihara jarak dari Tan Cui Mui, dari Amir Muhammad, dari teman-teman? Tidak, tidak, tidak seperti itu. Saya cuma bilang itu dalam urusan pekerjaan, bukan dalam hal pertemanan. Saya selalu tahu bahwa merekalah sahabat-sahabat saya. Sekali lagi, apakah anda merasa punya semacam gerakan estetika atau storytelling style tersendiri? Tidak, Saya pikir makin kesini saya makin kembali ke dasar, seperti film lama. Maksudnya kembali menjadi sangat efektif, how to be very pecise. Tapi itu saya, saya tak tahu bagaimana dengan teman-teman yang lain. Saya pikir pelan-pelan mereka juga melakukan eksperimen. Seperti (Tan Chui) Mui, meski saat ini saya tak tahu arah mana yang ia tuju. James Lee sekarang ini sedang syuting film horror komersial. Saya pikir ini bagus, karena menurut saya ia memang harus mencoba sesuatu yang berbeda. Seperti perjalanan ziarah, atau liburan, kita harus pergi ke suatu tempat jika ingin kembali fresh. Jadi anda merasa sangat berubah sekarang? Ya. Saya piker tulisan saya sekarang ini berada pada fase kedua. Sebelum ini saya baru masuk fase satu. Seperti pekerjaan membangun rumah, saya sudah membangun rumah, tapi merasa rumah itu tak begitu bagus sekarang jadi saya memutuskan membangun rumah lain dengan fondasi lebih baik. Jendelajendela rumah itu juga kini berbeda. Kalau anda bertanya tentang estetika, saya pikir saya sedang mengalami pengalaman estetik yang lebih baru dalam film-film baru saya.

“KAMI CUMA BEKERJA DAN BERBUAT.”

Jadi, kalau harus diucapkan, apa sih estetika baru dari filmfilm anda sekarang? Apa bedanya dengan estetika anda yang lama? Saya pikir film-film saya sekarang lebih langsung, lebih precise. Apa itu berarti akan menjadi lebih komersial? Tidak. Saya kira hanya akan menjadi lebih accessible. Saya tak akan pernah bilang bahwa film-film saya berikutnya akan mengandung semua elemen komersial, justru karena saya tahu benar bagaimana cara menjadi komersial. Saya bekerja pada industri iklan sebelumnya, saya tahu aturan mainnya. Memenangi beberapa award, diundang ke berbagai festival film, apakah hal-hal itu mempengaruhi hidup anda? Sama sekali tidak. Sungguh, saya nggak merasakan apapun. Terakhir menang, saya nggak merasakan apapun. Oke, menang itu menyenangkan, tapi buat saya itu tak berarti karya saya sudah luar biasa. Saya piker saya sangat self critical. Saya bukan orang yang self-satisfying. I push myself very hard. Apakah anda merasa film-film Malaysia kini memang maju pesat? Jika anda bicara mengenai film-film mainstream, film Malaysia tak banyak berbeda dibanding film-film Indonesia. Saya pikir Indonesia juga membuat film-film yang sejenis, hanya saja dalam hal kualitas produksi film-film Malaysia jelas lebih buruk. I think we just stupid, pembuat film Malaysia tak terlalu peduli pada kualitas produksi. Tapi itu jika kita bicara soal film komersial Malaysia. Ya, untuk film-film komersial kami punya sutradara-sutradara yang sungguh buruk. Dibanding film Indonesia, sutradara film komersial Malaysia buruk. Sungguh. Lihat saja film Indonesia

959

960

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

yang paling laku seperti Ada Apa dengan Cinta, production value-nya benar benar tinggi, disyut dengan sangat baik, dan punya scenario yang menyedot perhatian anak-anak muda. Its like wow! Dan semua orang pun suka. Bahkan di Malaysia film ini meraih uang banyak karena anak muda Malaysia pun suka. Suka para pemainnya, suka the looks of the film. Tapi, untuk film non-komersial saat ini Malaysia jauh lebih dikenal di dunia internasional dibanding film Indonesia? Tapi itu tak berarti film-film kami lantas meraih banyak penonton. Ini fakta. Saya tahu, Mas Garin Nugroho juga mengalami hal yang sama di sini. Perfilman kami sangat terbelah. Kami memang diundang ke berbagai film festival, tapi film festival itu hanya berlangsung dalam jangka waktu yang sangat pendek. Screening di festival-festival itu juga terbatas. Banyak orang sengaja datang ke festival untuk menonton film kami karena di luar festival mereka tak mungkin melihatnya. Jadi, di festival anda akan memperoleh banyak penonton, dan itu bagus. Tapi ketika anda bicara soal distribusi komersial , itu soal lain. Tapi, memenangi penghargaan jelas membantu.. Ya, meraih penghargaan membuat orang mengenal nama kita. Ini jelas bagus, karena membuat mereka ingin tahu. Tapi, sekali anda berhasil membuat publik igin tahu, selanjutnya anda harus memberi mereka sesuatu. Maka saya pikir kami tak boleh cepat puas. Saya benar-benar berupaya melecut diri untuk film saya yang akan datang, yang saya tahu akan menuju arah yang berbeda. Saya benar-benar ingin setiap film saya berbeda. Saya bukan orang yang sabar, jadi kalau saya tak suka sesuatu, saya akan segera berpindah melakukan hal lain. Anda punya target personal, ingin membuat satu atau dua film setahun setidaknya?

“KAMI CUMA BEKERJA DAN BERBUAT.”

Mungkin tidak. Tahun depan ada kemungkinan saya membuat dua film. Tapi, saya belum membuat satu filmpun dua tahun belakangan. Buat saya, bisa membuat satu film setahun sudah sangat bagus. Di Yogya, anda berbicara dalam seminar membuat film digital “low budget high quality”. Apakah sekarang anda merasa lebih menyukai digital? Saya tak punya masalah. Saya membuat film dengan dua medium itu, digital dan film. Sesekali saya memang sengaja menulis cerita yang sesuai dengan salah satu medium. Karena sesekali digital tak terlalu bagus untuk sinar matahari langsung karena kontrasnya terlalu tinggi. Tapi saya rasa semua bisa ditangani. Dalam tulisannya, Garin Nugroho menyebut pilihan Anda dan kawan-kawan untuk membuat film digital di Malaysia adalah revolusi. Anda setuju? Di satu sisi, saya pikir Garin benar, karena menggunakan digital memang serba convenient. Jika memilih digital, kadang hanya dengan bermodal software bajakan seseorang bisa mengedit film-fillmnya dengan sangat mudah. Jadi di satu sisi, digital itu sangat demokratis. Tapi, saya harap, hanya karena sangat murah, digital janganlah kita anggap sesuatu yang paling baik di bawah matahari. Para filmmaker harus berkonsentrasi pada karya. Karya akhirnya yang harus bagus, apapun mediumnya. Jadi jangan berpikir, karena digital murah, maka saya bisa membuat film. Karena sekali kita berpikir begitu, biaya murah dan kemudahan itu hanya akan jadi alas an. Kalau karya akhirnya tak baik, mereka akan bilang “Ya kan karena ini film murah, karena digital”. Jadi, buat saya, sama sekali bukan masalah kalau satu ketika seseorang merasa memang perlu membuat karya dengan seluloid yang mahal, karena ini juga sebuah keasyikan tersendiri. Bukankah ada banyak film-film bagus yang bagus yang memang

961

962

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

berbiaya mahal. Dan saya juga suka beberapa film komersial berbiaya mahal itu. Buat saya, pertanyaan akhirnya adalah apakah sebuah karya itu bagus? Apakah karya iu membuat saya tersentuh? Kalau tidak, ya film itu bullshit. Tak peduli apakah film itu digarap dengan biaya jutaan dollar atau dibuat dengan sepuluh ribu dollar, if it is a shit, it’s a shit. Saya ingin komentar anda pada beberapa film di JAFF ini. Sempatkah Anda menonton banyak film? Sayangnya tidak. Kalau sedang tak memberi seminar, saya sibuk berkunjung ke Borobudur, juga keliling Jogja. Tapi, saya lihat baru saja anda ikut menonton Kala. Bagaimana film Indonesia yang satu ini menurut anda? Menurut saya aktor-aktornya terlihat aneh, itu saja. Aneh bagaimana maksud anda? Akting mereka. Tapi, ini mungkin karena kastingnya yang juga sedikit aneh. Saya sudah lihat film Joko sebelumnya, Janji Joni, dan saya suka. Saya lebih suka Janji Joni daripada Kala. Tapi saya juga tahu, menulis film seperti Kala sangat sulit. Ia sebuah genre tersendiri. Buat saya, endingnya yang berakhir terlalu conveniently. Tapi sekali lagi, sangat sulit menulis jenis film noir seperti ini. Saya ini penggemar film noir dan saya tahu estetika film noir. Saya ini jatuh cinta pada film noir. Bahkan, saya juga punya satu cerita yang sangat noir. Kisahnya juga tentang korupsi. Ini Asia Tenggara, jadi mestilah korup dan kotor, hahaha. Film saya itu juga bakal penuh kekerasan. Tapi, bicara Kala, semua orang akan bisa lihat betapa tinggi production value-nya. Di Malaysia, kami tak punya film sejenis ini. Kita bisa lihat bahwa Joko benar-benar memperhatikan detil dan produksi. Saya tak tersentuh, tapi saya juga tak bilang ini film jelek. Masalah besar perfilman Malaysia

“KAMI CUMA BEKERJA DAN BERBUAT.”

adalah kualitas produksinya yang rendah. Jadi kalau kita menonton di bioskop, sudah membayar mahal, tapi yang mereka pertontonkan cuma sampah. Tapi, dari sudut produksi, kebanyakan film komersial Indonesia juga tak sebagus Kala. Saya tahu. Tapi, saya menemukan beberapa film komersial Indonesia yang sangat bagus kualitasnya. Saya ini fans filmfilmnya Riri Riza. Buat saya pribadi, Eliana, Eliana itu great film. Dan lihatlah, Eliana bukanlah film yang mahal. Saya juga melihat banyak karya Mas Garin. Beberapa karyanya juga bukan karya yang mahal, tapi ekspresinya, juga apa yang hendak ia katakan adalah sesuatu yang tak dimiliki film-film Malaysia. Jadi ketika orang-orang di Indonesia menyebut-nyebut bahwa revolusi film digital Malaysia ini hebat, saya merasa sedikit malu, karena kalian membuat film-film yang jauh lebih bagus dari kami. Bahkan cerita seperti Kala, pada dasarnya berbicara soal politik dengan cara yang sangat menarik. Dan kalian bisa melakukan ini. Di negeri kami, hal-hal semacam itu sama sekali nggak punya tempat dalam film, karena berbahaya. Seandainya punya kesempatan bekerja dengan filmmaker Indonesia, siapa yang anda pilih? Saya akan sangat senang jika bisa bekerja sama dengan Riri. Karena saya bisa melihat sensibilitasnya dalam film-filmnya. Sepertinya kami bicara dengan vibrasi dan frekuensi yang sama. Saya sangat suka semua karya Mas Garin, tapi apa yang kami ingin lakukan sepertinya berbeda, karena ketertarikannya sedikit berbeda dengan saya. Dengan Riri, akan menjadi sangat menarik untuk melihat apa yang dia pikirkan. Pertanyaan terakhir, menurut anda sepenting apa sih kritik film untuk sebuah gerakan film?

963

964

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Saya pikir mereka punya peran. Tetapi kebanyakan kritikus di Malaysia, mereka sekadar menulis seperti menulis press kit. Mereka sama sekali tak menulis kritik. Apa yang mereka tulis cuma sekadar “oh, film ini asyik”, atau “spesial efeknya benarbenar bagus”, seperti itulah. Saya muak dengan kritik semacam ini. It is really stupid. Hampir semua kritikus film di Malaysia menulis dengan gaya semacam itu. Dan itu sangat membosankan. Yang saya ingin adalah kritik yang membuat publik mengerti aspek tertentu dalam film, sesuatu yang belum dilihat, atau lalai diperhatikan orang lain.

Asmayani Kusrini

“Saya Manusia Internasional.” WAWANCARA DENGAN MARJANE SATRAPI (+ VINCENT PARONNAUD)

B

erhentilah bertanya soal itu!” dan wajah Marjane Satrapi langsung berubah. Dia pasang mimik enggan menjawab. Tapi mungkin perempuan berusia 38 tahun itu sadar, suka atau tidak puluhan wartawan yang berkumpul di ruang konferensi pers Palais Des Festivals, Cannes menunggu jawabannya. Maka Dengan suara tenang, dalam bahasa Prancis yang lancar Marjane Satrapi pun akhirnya menjawab. “Surat yang disampaikan oleh sebuah organisasi film di Iran kepada kedutaan Prancis memang benar. Isinya mengeluhkan keputusan Cannes memutar Persepolis, karena katanya film saya itu menampilkan gambaran yang mengganggu tentang revolusi Islam di Iran. Tapi itu bukan masalah besar. Yang membuatnya jadi masalah adalah perhatian media yang berlebihan. Jadi tolonglah, jangan ada lagi pertanyaan soal surat itu.” Usai melontarkan jawaban, perempuan kelahiran Iran itu pun terlihat berseri kembali. Apalagi, para crew yang duduk mendampinginya

966

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

—termasuk Vincent Paronnaud, komikus yang juga menyutradarai Persepolis—saling memberi komentar menyejukkan. Peringatan Satrapi itu, jadi awal yang bagus buat reporter seperti saya agar kelak tidak bertanya soal itu. Maklum, Marjane sudah berjanji menyediakan waktu untuk diwawancarai oleh wartawan yang berminat tahu lebih jauh tentang Persepolis—film yang diadaptasi dari komik grafisnya. Dan sekretaris Satrapi pun mengaku sudah memasukkan saya dalam daftar wartawan itu. Tapi akhirnya kesempatan berbincang dengan Satrapi datang justru tidak melalui sekretaris banyak janji itu. Pada malam penganugerahan hadiah Festival Cannes ke 60, Persepolis yang disutradarai Marjane Satrapi dan Vincent Paronnaud meraih Prix Du Jury Cannes 2007. Dan dari layar raksasa yang dipajang hampir di setiap sudut venue, terlihat Satrapi meneteskan airmata. Segala kekesalan karena berita tentang ‘surat’ protes itu langsung lenyap. Setelah itu, Marjane dan Vincent melenggang masuk ke ruang pers yang makin sepi karena banyak wartawan memilih pulang sebelum acara puncak. Hanya wartawan kantor berita asing atau reporter penasaran seperti saya yang masih tinggal. Meski dijaga ketat oleh sejumlah pria berotot, Satrapi ditemani Paronnaud langsung setuju ketika saya ajak untuk sedikit menjauh dari pusat ruang pers, duduk di kursi empuk ruang tamu berwarna putih itu. Di sudut lain terlihat Julian Schanbel (sutradara terbaik) juga sudah ‘dibajak’ seorang wartawan, juga Jeon Do Yeon (artis terbaik). Sementara sutradara wanita Jepang Naomi Kawase terlihat sedang dikerubuti wartawan-wartawan berwajah asia. Namun, kesempatan berbincang dengan Marjane Satrapi membuat saya tidak lagi ingat peringatan yang dilontarkan Satrapi di konferensi pers beberapa hari sebelumnya;

Marjane Satrapi Foto oleh Asmayani Kusrini.

968

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Apakah pemberitaan media tentang Persepolis yang bikin kesal pemerintah Iran membuat Anda merasa dalam bahaya? Tidak. Kenapa saya harus merasa dalam bahaya. Saya sudah bilang, itu bukan masalah. Ini bukan hal besar. Seseorang yang sedang mulai perang. Mereka memang menulis surat. Tapi itu bukan apa-apa. Bukan masalah besar. Satu-satunya yang membuatnya jadi masalah besar adalah perhatian media yang berlebihan. Kalau kalian terus membuatnya terlihat besar dari yang seharusnya, maka kalian yang membuat saya dalam bahaya. Tapi tidak bisa dipungkiri, Persepolis memang kental dengan latar politik? Orang bisa berpendapat seperti itu. Tapi ayolah, kita bicara soal film. Bukan politik. Kalaupun ada yang saya inginkan dari film ini—yang disangkut pautkan dengan politik—adalah agar film ini bisa jadi inspirasi bagi remaja-remaja yang tumbuh dalam situasi politik yang tidak menentu. Situasi politik seharusnya tidak bisa mengubah mereka dari menjadi diri sendiri. Saya membuat Persepolis tidak dalam frame atau orientasi politik, apalagi menyusupinya dengan pesan untuk menjual. Di film ini saya tidak membuat statemen ‘benar atau salah’. Persepolis membeberkan segala macam situasi dalam berbagai lapisan yang dihadapi oleh tokoh utamanya. Dan yang lebih penting lagi, saya membuat film ini untuk menunjukkan bahwa saya sangat mencintai keluarga saya. (Persepolis adalah film yang diadaptasi dari novel grafis berjudul sama. Persepolis 1 terbitan 2000 dan Persepolis 2, 3 dan 4 yang terbit sepanjang 2001. Satrapi menggunakan gaya komik sederhana dan hitam putih untuk menceritakan bagaimana ia tumbuh dimasa Iran sedang bergolak; Hidup Marjane dalam komik –orang tua yang melek politik, bergaya cosmopolitan, obsesinya terhadap musik rock

“SAYA MANUSIA INTERNASIONAL.”

punk, pencarian jati diri—adalah tipikal kehidupan anak kota yang bisa kita temui di mana saja. Di layar lebar, Persepolis tidak jauh berbeda dari versi komiknya. Persepolis tetap sangat personal meski berlatar revolusi Islam di Iran. Persepolis menampilkan bagaimana Marjane remaja dikirim orang tuanya ke Vienna di usia 13 tahun untuk mendapatkan pendidikan yang baik, yang sulit didapat di Iran pada masa itu. Tapi sebagai remaja yang hidup bebas sendiri di negeri barat, tanpa pengawasan orang tua, Marjane remaja sempat kehilangan jati diri. Ikut arus pergaulan bebas, drugs, dll) Bagaimana ceritanya sehingga anda kemudian bekerjasama dengan komikus Perancis untuk menggarap film ini? Ceritanya panjang. Tapi saya sebelumnya sudah lebih dulu mengenal karya Vincent. Saya melihat hasil karyanya yang menurut saya sangat orisinil. Saya juga menonton dua film animasi pendek yang pernah dibuatnya. Waktu itu, saya sudah langsung berpikir, kalau nanti saya akan membuat film, saya harus bisa mengajaknya bekerja sama. Anda membuat novel grafis ini sendiri. Apakah ada kesulitan ketika harus bekerja sama dengan orang lain? Saya dan Vincent memang punya gaya yang berbeda dalam membuat komik tapi entah kenapa kami bisa bekerja sama dengan sangat baik. Bahkan, saya bisa bilang, karena bekerja sama dengan Vincent lah maka Persepolis bisa menjadi sebuah karya film seperti yang sudah anda tonton. Saya sudah menyelesaikan novel grafis Persepolis sejak empat tahun lalu. Novel itu juga sudah diadaptasi dalam bahasa Inggris dan sampai di Amerika. Ketika itu, datang tawaran untuk membuatnya jadi serial TV. Bahkan ada yang menawari untuk membuat film yang akan dibintangi oleh Jennifer Lopez sebagai ibu dan Brad Pitt sebagai bapak saya. Tapi saya tidak bisa

969

970

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

membayangkan kalau Persepolis akan dimainkan oleh manusia. Saya ingin tetap dalam bentuk animasi. Saat itulah saya sadar, kalau saya ingin membuat film, saya tidak akan sanggup membuatnya sendiri. Dan hanya dengan Vincent lah semuanya bisa selesai seperti yang saya inginkan. (Harus diakui, kerjasama mereka membuat Persepolis menjadi film yang bagus. Mereka berdua bisa merangkum buku Persepolis 1, 2, 3 dan 4 dalam durasi 1 jam 35 menit dan tidak kehilangan inti cerita, sisi artistik yang unik, susunan cerita yang padat berisi, dan yang lebih penting sisi personal yang tetap kental meski dikerjakan oleh dua orang yang datang dari latar belakang dan budaya yang berbeda) Vincent Parronnaud yang, menurut Marjane, pendiam dan introvert akhirnya ikut buka suara. Kami bekerja menyelesaikan skenarionya selama tiga bulan. Itu masa-masa yang tidak saja sulit tapi juga menghebohkan. Sejak awal saya sangat menyukai Persepolis. Novel itu tidak seperti dalam bayangan saya sebelumnya. Sebelum bertemu Marjane saya pikir gambarnya pasti sangat girly dan ceritanya pun pasti sentimentil. Tapi ketika saya melihat Persepolis, saya terpaksa harus mengakui, Marjane punya gaya menggambar komik yang tidak biasa dan cerita Persepolis sendiri tidaklah cengeng seperti yang saya duga. (Vincent Parronnaud, dengan nama pena Winshluss adalah komikus underground yang lahir di La Rochelle, Perancis pada 1970. Pria kurus ini dua kali masuk nominasi di Angouleme Comic Book Festival untuk komiknya Smart Monkey(2004) dan Wizz and Buzz (2007). Bersama koleganya Cizo, Vincent pernah membuat dua film pendek animasi O’Boy What Nice Legs dan Raging Blues)

“SAYA MANUSIA INTERNASIONAL.”

(Untuk Vincent): Apakah anda menemui kesulitan ketika harus menghadapi Marjane dan karakter Marjane di film ? Memasuki wilayah kerja seseorang tentu saja sangat sulit apalagi saya juga harus memasuki wilayah kehidupannya. Lebih sulit lagi karena dia orang yang saya kenal baik dan orang yang saya cintai. Selama bekerja sama, kami harus saling bahu membahu untuk tetap menjaga semangat kami agar tidak kendur. Untungnya Marjane sangat antusias dengan proyek ini dan dia membuat saya akhirnya terlibat secara personal dengan Persepolis. Pertanyaan terakhir, Anda berniat kembali ke Iran? Saya selalu merindukan Iran, tapi saya punya kehidupan yang saya dambakan di Prancis (Satrapi menetap di Prancis sejak 1994). Kebebasan berekspresi yang saya inginkan tidak bisa saya dapatkan di Iran. Saya tinggal di Paris, salah satu kota terindah di dunia, dengan pria yang saya cintai, mengerjakan pekerjaan yang saya sukai bahkan saya dibayar untuk itu. Sekarang saya memilih untuk menjadi manusia internasional. Manusia global. (Pembicaraan terpaksa berakhir. Thierry Fremaux, art director festival film Cannes mengajak mereka untuk bergabung dengan yang lain di acara eksklusif penutupan festival. Satrapi rupanya melihat, saya masih ingin bertanya lebih banyak. Dia bilang: “kalau ada waktu anda bisa berkunjung ke studio saya, Atelier des Vosges di Paris. Mungkin kita bisa ngobrol lebih banyak”. Saya tentu akan mengingat pesan yang ini).

971

Ekky Imanjaya

“Saya Membuat Film Karena Ingin Lebih Memahami Tuhan.” WAWANCARA DENGAN YASMIN AHMAD

W

is mangan? Wis wareg?”. Pertanyaan itu dilontarkan Yasmin Ahmad, sutradara terkemuka Malaysia bahasa Jawa yang fasih. Malam itu, akhir Agustus lalu, RumahFilm beroleh kehormatan diundang Yasmin menonton Muallaf, film terbarunya. Tak hanya disuguhi Muallaf, sekitar 10 hadirin di screening room kantor Yasmin, di Leo Burnett Malaysia juga bisa menikmati makan malam lezat dan keramahan khas Yasmin. Yasmin Ahmad adalah fenomena. Film-filmnya: Sepet, Gubra, dan Mukhsin, laris manis di negerinya, sekaligus menyabet banyak penghargaan di berbagai festival kelas dunia, semacam Berlin dan Tokyo International Film Festival. Bahkan, pada Festival Film Tokyo 2006, ada retropeksi khusus untuk empat film Yasmin. Bersama Amir Muhammad, Ho Yuhang, Tan Chui Mui, dan James Lee, ia dianggap sebagai penggiat gerakan estetika

“SAYA MEMBUAT FILM KARENA INGIN LEBIH MEMAHAMI TUHAN.”

film baru Malaysia—film-film yang belakangan dirayakan di berbagai belahan dunia. Setelah mengangkat tema pembauran etnis dalam film sebelumnya, lewat Muallaf Yasmin kini siap menjewer publik dengan film nakal yang sedikit ofensif tentang hubungan antar agama. Seperti apa pemikiran Yasmin tentang film-filmnya, tentang gelombang baru film Malaysia, dan makna hari kemerdekaan? Berikut petikan wawancara Yasmin dengan Ekky Imanjaya di kantornya, Leo Burnett Malaysia, menjelang tengah malam.

Anda memenangi Silver Hanoman Award di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) tahun ini. Bagaimana pendapat Anda tentang Yogja dan festivalnya? Saya sangat gembira karena pemenang pertamanya adalah film Irak-Kurdistan. Saya menghormati film-film dari sana. Saya telah pergi ke berbagai festival. Favorit pertama saya adalah Berlin, karena ratusan orang mengapresiasi film saya dengan hangat. Dan kedua adalah Yogja, karena tempat itu sangat personal. Tidak adil memang, karena saya seperempat Jawa dan seperempat Jepang. Karena saat saya ke Jawa untuk pertama kalinya, saya merasa pulang ke rumah. Yogja sangat sangat personal bagi saya. Yogja sangat inspiratif. Karena banyak mahasiswa dan mereka menjadi relawan. Mereka sungguh cerdas. Dan Anda bisa merasakan atmosfir kesenian di mana-mana. Saya tak bisa menjelaskan. Di tepi jalan, di jual buku-buku yang sangat terhormat yang tidak ada di dalam bahasa Melayu, bahkan di toko buku Kinokuniya sekali pun. Anak muda sangat terpelajar di Yogja. Dan ini mengingatkan saya pada Calcutta. Umur mereka belasan tahun, jika ke toko CD dan tanya mereka tentang film Satyajit Rai, mereka bilang, apa mau film Satyajit yang seluruh dunia sudah

973

974

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

tahu atau yang langka. Mereka tahu tempat-tempatnya. Mereka belasan tahun tapi sangat cerdas. Saya juga pengagum Garin Nugroho. Memang saya tak tonton semua filmnya, tapi saya menonton Daun di atas Bantal dan Cinta dalam Sepotong Roti, yang keduanya sangat saya sukai. Dan saya kira Garin sangat seksi (tertawa). Tapi karena dia sepertinya suka gadis muda, dan saya sudah tua, saya hanya mengaguminya dari jauh. Dia juga sangat cerdas. Mengapa Anda selalu mengawali film Anda dengan bacaan Bismillah? Untuk mengingatkan diri saya mengapa saya membuat film. Yaitu untuk memahami Tuhan. Saya bukan wanita yang sebaik itu, mengingat adegan “masuk ke sarung” (Yasmin tertawa) (yang ia maksud adegan suami istri dalam film Rain Dogs karya Ho Yuhang - red). Tetapi jika saya ditanya mengapa saya membuat film, ada tiga alasan: Agar memahami Tuhan dengan lebih baik, agar memahami diri sendiri lebih baik lagi, dan untuk menghibur orang tua saya dan teman-teman. Anda merasa lebih memahami Tuhan lewat film-film Anda? Ya. Saya kira, kalau kita lebih memahami diri sendiri, juga akan lebih memahami Tuhan. Setelah Rabun, Sepet, Gubra, dan Mukhsin, akan adakah lagi film yang fokus pada karakter Orked? Mukhsin adalah bagian terakhir tentang Orked. Tidak akan ada lagi. Apa hubungan Anda dengan Orked? Saya curiga Andalah Orked. Tentu saja. Orked adalah kombinasi saya, ibu saya, dan adik saya

“SAYA MEMBUAT FILM KARENA INGIN LEBIH MEMAHAMI TUHAN.”

yang memang bernama Orked Ahmad, perempuan dalam tudung saat tampil di akhir film menyanyikan Hujan Keroncong. Film tentang Orked selalu tentang multiras, pembauran etnis. Mengapa? Saat saya kecil, ibu saya punya sahabat baik bernama Ibu Tan, seorang Cina. Saya rasa, itu sangat mempengaruhi sepanjang hidup saya. Semua pacar saya adalah Cina. Pria Jepang lebih ganteng tapi tidak banyak di Malaysia. Hanya ada Cina, dan itu yang terdekat dengan Jepang (tertawa kecil). Dan saya suka pria pemalu. Semua karakter di film saya, termasuk Brian, tokoh utama dalam Muallaf, adalah pria pemalu. Apakah pembauran merupakan masalah besar di Malaysia saat ini? Jadi masalah karena perempuannya Melayu. Kalau ceritanya tentang pria Malaysia dengan gadis China atau India, tidak akan jadi masalah. Tapi kalau sebaliknya, takkan bisa diterima masyarakat. Karena bagi pria Malaysia, mereka bisa menikah dengan ras apa pun, tapi tidak bagi perempuan Melayu. Jadinya, (untuk pria) tidak terlalu ofensif. Muallaf juga adalah bagian dari diri saya. Karena suami saya adalah China. Apakah Anda terobsesi dengan budaya China? Tidak. Saya terobsesi dengan budaya yang bukan budaya saya. Saya paling suka budaya India. Tapi karakter orang India baru muncul di Muallaf? Itu karena saya terlalu malas menulis banyak karakter di film saya. Saya tidak suka keramaian. Saya memang pembicara yang percaya diri, dan saya mengajari mahasiswa agar selalu penuh percaya diri. Tapi di dalam diri saya, saya tak nyaman dengan keramaian. Saya lebih memilih kelompok kecil seperti ini

975

976

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

(menyebut kelompok kecil yang hadir dalam private screening malam itu - red). Jadi, karakter-karakter saya ada dalam kelompok kecil. Karena itu saya suka (Abbas) Kiarostami dan (Yasujiro) Ozu. Hanya beberapa orang saja. Karena satu orang bisa merepresentasikan dunia. Jadi, lima orang sudah cukup. Muallaf Anda tulis di Bali? Semua skenario film saya ditulis di Bali. Di Ubud, tepatnya di Sayan. Kami sewa tempat di dekat sungai. Di sana, tidak ada masalah kalau saya berkemban, beda dengan di Malaysia. Saya merasa bebas. Muallaf saya buat dalam lima hari. Juga Mukhsin. Gerakan estetika baru film Malaysia banyak dibicarakan. Anda serta Amir Muhammad acap dianggap sebagai patron Ho Yuhang, Tan Chui Mui, atau James Lee. Apa komentar Anda? Saya tak tahu. Yuhang dan saya berkawan karena membuat iklan bersama. Kami membuat film dalam waktu yang bersamaan. Saya main dalam filmnya, dan dia main dalam film saya. Min adalah film pertama Yuhang, dan itu kependekan dari Yasmin, dan saya hadir sebentar di sana. Yuhang pertama kali ada di film saya, Rabun. Saya tidak merasa sebagai patron. Kami bersama-sama melakukannya, dan berkata: “film-film di Malaysia sangat buruk!”. Mereka juga suka pergi ke berbagai festival, dan di sana mereka ditanya “film macam apa yang ada di Malaysia?” dan mereka malu menjawabnya. Jadi mereka memutuskan untuk membuat film sendiri. Saat ayah saya sakit, ia memberi masukan agar saya menbuat film. Saya pikir itu menarik, maka saya membuat Rabun, yang saya syut dalam 6 hari. Saya hanya ingin menikmati diri sendiri, bersama orang-orang. Lalu Tan Chui Mui datang. Tapi James Lee dan Amir sudah buat film terlebih dulu.

“SAYA MEMBUAT FILM KARENA INGIN LEBIH MEMAHAMI TUHAN.”

Kalian memang saling membantu untuk kebangkitan film Malaysia? Istilah “kebangkitan” berasal dari mata orang luar. Di Malaysia, mereka malah mencekal dan menyensor film-film kami. Saya kira, film-film saya adalah yang paling publik di antara mereka. Tapi saya tak mau menjadi art-house filmmaker. Saya tak mau. Saya mau film-film saya ditonton banyak orang. Anda juga aktris yang baik. Anda bermain alami dan indah dalam Rain Dogs? Saya merasa bermain buruk. …apalagi adegan ranjang dan adegan “masuk ke sarung”? Ya, adegan itu membuat suami saya begitu marah. Dia tidak tahu dan kaget sekali begitu melihatnya. Tadinya saya mau menolak adegan itu, tapi saya akan mengecewakan banyak orang. Banyak orang bicara dikotomi antara art-house film dan komersial. Tapi film Anda adalah kombinasi keduanya, disukai orang banyak sekaligus meraih penghargaan festival dunia. Apa resepnya? Tidak ada formula. Saya membuat film agar manusia merasakan sesuatu. Untunglah orang-orang di Festival juga manusia. (tertawa kecil). Saya percaya pada Shintaro Tanikawa dan Pablo Neruda. Neruda bilang, “I want my poetry to be like bread, everybody can eat it”. Shintaro bilang, “aku tak mau pembaca saya menganalisa puisi saya. Saya mau puisi saya seperti makanan, dan saya harap mereka mencicipinya dan merasakan kenikmatannya. Kedua tokoh itu adalah penyair terbesar yang pernah hidup menurut saya. Dan saya mengkiblatkan pada keduanya, karena mereka lebih hebat dari pembuat film seni yang membosankan. Ketika membuat film, kita harus melupakan tentang festival-festival itu, karena nantinya akan tidak jujur. Karena

977

978

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

hanya menuruti selera juri di festival. Saya membuat film karena ingin lebih memahami Tuhan dan diri sendiri, bukan ingin lebih memahami juri-juri di festival. Negeri Anda, Malaysia, merayakan Kemerdekaan ke-50 pada 31 Agustus lalu? Saya tidak peduli. Saya bukan nasionalis. Peringatan lima puluh tahun tidak berarti apa-apa. Bendera juga tidak bermakna, hanya selembar kain. Saya harus jujur pada Anda. Yang bermakna adalah masyarakat di Malaysia. Saya selalu bermasalah dengan negara. Karena begitu ada istilah “ini Negara saya” maka akan digunakan dan menjadi alasan untuk melawan Negara lain. “Negara saya, Negara kamu”. Saya peduli dengan masyarakat. Kita adalah kutukan terburuk dunia, juga harapan terbesar dunia. Kita harus memilih menjadi apa kita kelak. Anak muda sekarang dianggap buruk oleh orang tua. Saya malah sebaliknya, mengapresiasi generasi sekarang. Anak muda sekarang dituduh tidak menghargai perjuangan 1957, saya pikir ini bagus. Cukuplah generasi tua saja yang merasakan kesengsaraan masa itu. Mengapa generasi muda dipaksa merasakannya juga? Itu bukan tujuan kemerdekaan. Kalau anak muda melupakan perjuangan, itu bagus. Karena mereka punya perjuangannya sendiri. Ya! Mereka lebih pintar, dan lebih bagus penampilannya. (Tertawa) Kapan Muallaf beredar? Di Jepang Oktober. Di Singapura November. Tidak takut ada protes dari kalangan “fundamentalis”? Sudah biasa. Dan aku baru tahu ada produser besar, yang membayar wartawan 3-4 wartawan untuk mendiskreditkan

“SAYA MEMBUAT FILM KARENA INGIN LEBIH MEMAHAMI TUHAN.”

berita apa pun mengenai gelombang baru film Malaysia, seperti film saya, atau Yuhang, atau Amir. Ini fakta, bukan kecurigaan. Apa film Indonesia favorit Anda akhir-akhir ini? Film Mendadak Dangdut. Ceritanya unreal, palsu. Tapi emosinya nyata. Dan saya suka lagu Jablai. Saya tak peduli itu film art atau tidak. Film-film lain, seperti milik Yuhang bersifat art. Tapi Anda tidak keberatan membantu mereka? Yang paling bersatu hati, adalah saya dan Yuhang. Dan saya kira Yuhang tidak hendak membuat film seni, tapi feeling movies, melodrama dan sentimental. Menurut saya, filmnya sangat sentimental. Malam telah larut. Lewat tengah malam. Sadar bahwa saya dan istri bingung bagaimana caranya pulang di kota asing, Yasmin mengajak kami pulang bersama. Tentu saja dengan persetujuan suaminya. Dan kami berdua pun diantar hingga depan hotel, di Bukitbintang, tentu saja dalam keadaan wareg, karena nikmatnya hidangan nasi lemak..

979

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:20

“Saya Tidak Ingin Uang Mereka....” WAWANCARA DENGAN MANU REWAL, SUTRADARA INDEPENDEN INDIA

A

pa yang paling berkesan bagi kita, orang Indonesia, ketika berurusan dengan birokrasi? Apa yang terbayang, ketika kita mengurus surat-surat, mengajukan permohonan izin, dan segala hal yang harus melalui suatu instansi pemerintah. Hampir semua kita sepakat, jawabannya: ribet ! Tapi, kenapa ya jarang sekali pembuat film Indonesia yang menyorot tema ini? Bukankah ini tema yang sangat akrab? Dan rupanya, tidak hanya di Indonesia kekisruhan birokrasi ini terjadi. Soal ini juga membikin gerah sutradara independen India, Manu Rewal. Jadilah film Rewal, Chai Pani, etc. (atau Love, Bribes, Etc) terasa seperti menengok pengalaman sendiri ketika berurusan dengan birokrasi di Indonesia. Temanya tentang India yang katanya sudah 60 tahun jadi negeri penganut sistem demokrasi. Toh, seperti juga banyak negeri dengan sistem yang sama, termasuk Indonesia, India tidak pernah

“SAYA TIDAK INGIN UANG MEREKA....”

benar-benar bersih dari ‘penyakit’ lama yang berakar: KKN alias Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Inilah yang harus dihadapi oleh  Satya, tokoh utama di Chai Pani, etc.. Satya adalah sutradara muda idealis yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di Amerika. Ia pulang dengan banyak mimpi membuat film dokumenter yang nantinya bisa memperkenalkan India ke dunia International. Proyek pertamanya adalah membuat dokumenter tentang kota kuno, Jaisalmer di Rajashtan, perbatasan India-Pakistan. Semangatnya yang menggebu terbendung oleh para birokrat hipokrit yang selalu saja menghadang langkahnya. Dari jajaran staf paling bawah hingga ke yang lebih tinggi. Perjuangan Satya meloloskan idealisme inilah yang membuat banyak penonton tertawa geli. Bagi penonton Barat, mereka tertawa karena lucu. Bagi penonton Asia, kami tertawa karena deskripsi yang dituturkan oleh Rewal dalam film ini terasa sangat akrab. Chai Pani, etc. juga punya subplot tentang kehidupan pribadi Satya. Bagi mereka yang asing dengan India, film ini secara ringkas dan padat mencoba memotret generasi muda India yang juga makin bergeser dari budaya ‘kolot’ ke budaya ‘campuran’ hasil godokan globalisasi.  Hasilnya, Chai Pani, etc. memang terasa kagok ketika mencoba menuturkan pergeseran ini. Manu Rewal juga tidak mencoba menutup-nutupi kekagokan itu. Secara keseluruhan, Chai Pani, etc. bukan film yang nekoneko, baik dari segi tema, struktur cerita dan penyajian visual. Tentu saja, film ini tanpa adegan kejar-kejaran di antara pohonpohon. Atau menari borongan dan main umpet-umpetan. Bahwa film ini mengalir dengan lancar juga karena pilihan Rewal yang tidak ingin terlalu serius membicarakan tema yang serius ini. Chai Pani, etc. lebih  terlihat seperti  ingin menertawai kegaguan diri sendiri. Chai Pani, etc. adalah film panjang  Manu Rewal yang pertama. Sebelumnya, Rewal banyak membuat film dokumenter

981

982

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

arsitektur. Film-film dokumenternya—seperti Mandu, Lutyens New Delhi, Le Corbusier in India—banyak menerima penghargaan dari festival-festival film internasional. Film pendeknya, Hollywood Ki Pukar, diputar pertama kali di Cannes 2002, pada seksi Director’s Fortnight. Sosok Rewal seperti merepresentasikan filmnya yang santai dan ringan. Sutradara bertubuh tambun berusia 40 tahun ini selalu terlihat dengan tas ransel bututnya, jeans belel, dan sepatu kets. Rewal juga terlihat cepat akrab dengan lawan bicaranya. Berikut, wawancara Rumahfilm dengan sutradara keturunan India-Prancis ini di Pusat Kebudayaan Jacques Franck usai pemutaran filmnya di International Independent Film Festival Brussel, pada tengah November 2007 lalu. Chai Pani, etc. menerima Special Award Of The Jury di festival ini.

Saya baru saja menonton film Anda. Langsung mengingatkan saya pada kampung halaman. Saya sering sebal dengan situasi seperti dalam film itu. Tapi menonton film Anda, saya tak bisa tidak tertawa. Saya memang suka menertawakan hal-hal serius. Apa yang Anda lihat di Chai Pani, etc. adalah guyonan sehari-hari di antara teman-teman saya. Saya pikir, jika kita menghadapi isu serius dengan serius, maka hasilnya pasti menjadi berat. Dan kalau tidak hati-hati, bisa jadi terlihat seperti sedang berkhotbah. Karena itu saya memilih gaya satire dan humor. Anda melihat bahwa karakter-karakter di Chai Pani, etc. tidak sedang melucu tapi tetap membuat orang tertawa, karena mereka melihat sesuatu yang nyata. Anda belajar di Amerika, kemudian kembali ke India. Apakah Anda sempat mengalami culture shock juga? Mungkin sedikit. Saya setengah India setengah Prancis. Ibu saya

“SAYA TIDAK INGIN UANG MEREKA....”

orang Prancis. Waktu kecil, saya sering berkunjung ke Prancis kemudian kembali lagi ke India, kemudian Prancis kemudian India lagi. Jadi saya tidak pernah benar-benar mengalami culture shocked. Tapi Anda juga benar. Saya lahir di India, dan tumbuh remaja di India. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, saya belajar di Prancis. Segalanya sangat berbeda dengan India. Mulai dari sistem pendidikan, gaya hidup, dan itu membuat saya butuh waktu untuk bisa beradaptasi. Sebagai anak yang dibesarkan dalam dua budaya yang berbeda, apakah Anda merasa punya nilai lebih dalam hal menilai dan menikmati medium film? Saya rasa begitu. Ada kelebihan dan kekurangannya juga. Tapi saya mebih banyak mengambil keuntungan…hahahah. Sederhananya begini. Saya selalu merasa lebih mudah bagi saya bekerja di wilayah Eropa untuk urusan birokrasi. Tapi juga karena saya tumbuh di dua wilayah yang berbeda budaya, saya lebih paham bahwa sesungguhnya, semua tidak tergantung darimana kita berasal, tapi tergantung dari seberapa baik dan seberapa profesional Anda di bidang yang Anda tekuni. Itu yang jauh lebih penting. Jika Anda datang ke seorang produser film, dia tidak akan melihat apakah Anda orang India, Prancis atau Amerika, tapi apakah Anda memang layak dipercaya bisa mengerjakan produksi film atau tidak. Apakah itu juga mempengaruhi cara Anda melihat dan menilai sebuah film? Saya pikir, darimanapun dia berasal, entah itu dari India, Indonesia, Eropa, darimanapun, tidak pernah menentukan film bagus atau tidak. Film bagus selalu bicara tentang bahasa emosi atau bahasa gambar yang menurut saya sangat universal. Film yang bagus melampaui batas-batas teritori.

983

984

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Jadi apa artinya film buat Anda? Bagi saya, dari semua medium seni, film adalah medium paling lengkap dan kompleks. Film bisa berbicara, menyentuh emosi, menyampaikan cerita tentang dunia tempat Anda hidup. Selain itu, film juga bisa menghibur sekaligus menyampaikan pesan pembuatnya tentang apa yang dilihatnya tentang hidup. Karena itu setiap pembuat film selalu punya cara bertutur yang berbeda, dan di situlah keasyikan bermain dengan medium ini. Ayah Anda seorang arsitek. Karena itu Anda memulai dengan membuat dokumenter arsitektur? Saya pembuat film yang banyak membuat dokumenter tentang arsitektur. Tapi saya tetaplah pembuat film, bukan arsitek. Selain itu, arsitektur dan seniman, khususnya pembuat film, tidak sama. Arsitek selalu butuh klien yang memberikan order. Mereka tidak bisa hanya sekadar berkarya. Mereka bekerja untuk orang lain. Tidak seperti pelukis, yang ketika dapat ide langsung bisa berkarya meski di atas selembar kertas tisu. Arsitek tidak bisa menghantui pikiran orang lain. Dengan film, itu bisa dilakukan. Dengan mulai sebagai pembuat film dokumenter, apakah itu berpengaruh banyak dengan cara Anda membuat feature? Saya rasa tidak. Saya (dulu) lebih banyak berurusan dengan bangunan. Lebih banyak benda mati. Sementara di feature, saya lebih banyak berurusan dengan manusia yang pastinya tidak diam kaku. Jadi, pendekatan yang saya lakukan berbeda. Tapi mungkin dokumenter yang saya buat berpengaruh pada cara saya mengedit. Saya mengerjakan hampir semua editing sendiri. Saya tidak pernah takut untuk memotong film-film saya. Jika saya mendapati sebuah footage yang tidak cocok, walapun footage itu sayang untuk dibuang, saya akan membuangnya dan tidak pernah berpikir untuk menggunakannya lagi.

“SAYA TIDAK INGIN UANG MEREKA....”

Banyak pembuat film yang sangat terpesona dengan apa yang mereka rekam sampai kadang mereka berat untuk memotong. Yang saya pelajari dari banyak membuat dokumenter adalah kadang hasilnya jauh lebih baik jika kita memotong daripada tetap menggunakan footage yang tidak perlu. Percayalah, jika Anda merasa ada yang tidak beres dengan sebuah adegan, lebih baik dibuang. Saya belajar untuk lebih kuat dan lebih kejam terhadap film-film saya. Itu yang saya pelajari dari dokumenter. Soal Chai Pani, etc., sepertinya itu pengalaman sendiri? Terutama soal menembus birokrasi di India? Ceritanya fiksi, tapi tentu memang pernah saya alami. Tapi, sekali lagi, itu tetap fiksi. Seperti kesimpulan dari 10 tahun hidup Anda di atas beberapa lembar kertas. Saya mengubah banyak hal, memodifikasi. Soal birokrasi, tentu saja itu terjadi. Ketika masyarakat India menonton film ini, banyak orang memberi komentar bahwa apa yang saya tampilkan di film itu masih kurang dengan apa yang sebetulnya terjadi. Kenyataannya lebih sadis lagi. Oh ya? Bagaimana reaksi mereka, khususnya pemerintah? Chai Pani, etc. mendapat sambutan baik di India. Tapi memang saya harus berhadapan dengan badan sensor kurang lebih 7 bulan demi meloloskan film ini. Mereka ingin saya memotong beberapa bagian. Setelah 7 bulan berargumen, akhirnya saya berhasil meloloskannya dari sensor dan mendistribusikannya. Masyarakat India menyukai film ini, dan setiap orang mengidentifikasikan diri dalam Chai Pani, etc.. Bagian mana di film ini yang harus dipotong? Mereka tidak suka dengan adegan ciuman dan merokok. Mereka gila. Tapi saya rasa itu hanya alasan biar mereka terlihat bekerja.

985

986

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Berapa banyak film India dengan adegan ciuman dan merokok beredar? Masa hanya film saya yang harus dipotong. Dan mereka tahu saya tidak akan pernah setuju untuk memotong bagian yang mereka minta itu. Mungkin Anda tidak menonton film film India komersial belakangan ini. Jika Anda menontonnya, Anda pasti paham, bagaimana film Bollywood yang sesungguhnya. Saya rasa, Chai Pani, etc. sangat sopan, sangat ringan dibandingkan film-film Bollywood yang sekarang banyak menampilkan artis nyaris telanjang bahkan kadang-kadang melakukan striptease. Tak ada satu pun dalam film saya yang pantas dipotong karena alasan moral. Bagaimana aturan sensor di India? Sensor di India adalah sesuatu yang sangat absurd. 60 tahun kami menganut sistem demokrasi tanpa interupsi. Kami memiliki free press. Umur 18, kami sudah bisa memilih dalam pemilihan umum. Tapi pemerintah kami masih saja risau untuk memutuskan apa yang bisa dan tidak bisa ditonton oleh masyarakatnya. Sementara mereka tidak sadar, sekarang semua bisa dilihat lewat internet. Menggelikan, jika saya harus memotong adegan cium. Bahkan banyak orang mengakui bahwa aturan sensor di India memang sangat absurd. Secara personal banyak staf pemerintah mengakui bahwa aturan sensor di India memang bodoh. Tapi tidak ada seorang pun dari mereka ingin mengubahnya. Sungguh bikin frustrasi, kadang-kadang. Bagaimana dengan skenario Chai Pani, etc.? Hahaha…saya memang butuh waktu yang sangat lama menyelesaikannya. Saya membuat 15 versi. 1/5 versi itu saya selesaikan dalam waktu 5 tahun. Saya selalu menulis ulang, lagi,

“SAYA TIDAK INGIN UANG MEREKA....”

dan lagi. Chai Pani, etc. adalah film feature panjang saya yang pertama jadi saya ingin membuatnya sebaik mungkin. Tapi di antara waktu lima tahun itu, saya juga membuat beberapa dokumenter tentang arsitektur dan tentang warisan budaya India. Kadang, saya menulis selama 2 hingga 3 bulan, lalu meninggalkan skenario itu, mengerjakan dokumenter selama 6 bulan, lalu kembali lagi ke skenario yang saya tinggalkan. Bagaimana hasilnya menurut Anda sendiri? Well …tentu saya saya senang akhirnya saya bisa membuat dan merealisasikan Chai Pani, etc. Tapi, seperti manusia normal lain, saya tidak pernah 100% puas. Jika saya menontonnya lagi, saya merasa banyak hal yang bisa saya lakukan untuk membuatnya lebih baik dan lebih baik lagi. Saya sadar bahwa apa yang saya tulis diatas kertas tentu tidak akan pernah sama betul dengan apa yang tersaji di layar. Apalagi, di layar, Anda sangat tergantung dengan aktor, artis, pencahayaan, kostum, dll. Tujuan saya adalah agar emosi yang ingin saya sampaikan bisa sama dengan apa yang tertulis di atas kertas dan apa yang tersaji di atas layar. Bagaimana dengan aspek estetika di film Anda. Sepertinya Anda tidak bisa lepas dari cara penyajian dokumenter arsitektur? Banyak crew yang bekerja sama dengan saya mengatakan itu. Mungkin juga. Saya memang tidak ingin bermain-main dengan teknik estetis, baik itu melalui kamera, efek dll. Bagi saya, isi lebih penting. Cerita harus tersampaikan dengan baik. Karena itu saya ingin selalu menulis skenario saya sendiri. Saya merasa bahwa aspek estetis terbentuk dari cara mengeskpresikan apa yang dirasakan oleh sutradara tehadap skenario. Karena itu, penting bagi saya menulis sendiri cerita yang akan saya sutradarai. Bagi saya, gaya bertutur dan aspek estetis terbentuk sendiri melalui

987

988

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

apa yang saya tulis dan saya coba memproyeksikannya di atas layar. Saya tidak mungkin menggunakan gaya Orson Welles atau Coen Brothers di film saya. Nggak nyambung…hahahah. Ketika cerita saya jadi, mulailah saya berpikir bagaimana gerakan kamera nanti, bagaimana close ups, bagaimana komposisi untuk adegan tertentu, dll. Maka terbentuklah aspek estetis itu. Jadinya, seperti yang ada lihat, realistis. Memang tidak 100% realis karena saya mencoba bergaya komedi satire. Bagaimana dengan rencana film selanjutnya? Lagi-lagi saya masih akan membuat film komedi realis, dengan sedikit sentuhan satire. Tapi, saya masih mencoba mencari dana. Seperti biasa. Masalah yang sama setiap saat. Untuk lebih jauh lagi, saya juga ingin sekali membuat film tentang sejarah India, karena kami punya banyak kisah menarik di masa lalu yang jarang disentuh. Anda adalah bagian dari sutradara independen India yang jauh dari Bollywood. Bagaimana Anda bisa bertahan di tengahtengah megaindustri film India itu? Saya pikir, “independen” dalam arti bahwa membuat film ini tidak melulu soal duit. Mungkin terdengar klise dan idealis, tapi bagi saya, dalam membuat film, dana bukanlah masalah paling penting. Beberapa pembuat film memilih untuk membuat film sesuai permintaan untuk memenuhi standar komersil demi uang. Artinya, alasan utama mereka membuat film adalah uang. Bagi saya, yang paling utama adalah membuat film yang baik. Seperti juga orang lain, tentu saja saya akan sangat senang jika film saya bisa menghasilkan uang, tapi itu bukan prioritas. Ini berhubungan dengan sikap dan pendekatan terhadap pembuatan film.  Dan ini dimulai dari konsep cerita hingga cara mendistribusikan film.

“SAYA TIDAK INGIN UANG MEREKA....”

Apakah sebagai pembuat film independen, Anda pernah mengalami konflik dengan industri? Bisa dikatakan begitu. Ketika saya mencoba untuk mendistribusikan sendiri film saya, memang tidak mudah. Di Delhi, kota tempat saya tinggal, saya bisa mendistribusikan sendiri. Tapi di Bombay, jauh lebih sulit. Kadang-kadang, saya harus bertengkar dengan sinema setempat karena mereka mengganti jadwal pemutaran film tanpa pemberitahuan lebih dulu walaupun saya sudah memegang kontrak. Kadang film saya diputar pagi-pagi jam 10 atau tengah malam. Mereka jarang memberikan saya waktu strategis. Mereka juga tidak mengizinkan film saya diputar di bioskop besar. Dan banyak lagi gangguan teknis yang disengaja. Industri di India merasa bahwa jika pembuat film tahu cara mendistribusikan film mereka sendiri, maka bisa jadi para pembuat film independen lain mengikuti jejak tersebut dan mereka akan kehilangan pekerjaan. Industri film di India banyak mengekploitasi kekurang-pahaman para pembuat film mendistribusikan film. Padahal, dari apa yang saya pelajari dari pengalaman, ternyata tidaklah begitu sulit mendistribusikan sendiri. Yang saya temukan malah, proses produksi 100 kali lebih sulit dibandingkan mendistribusikannya. Jika Anda bisa memproduksi film, maka itu berarti Anda juga bisa mendistribuskan. It’s a piece of cake. Percayalah. Tentu saja, memproduksi dan mendistribusikan adalah dua profesi yang berbeda, kita memang harus memelajari caranya seperti juga kita belajar hal-hal yang lain. Apakah menurut Anda pemerintah bisa melakukan sesuatu untuk mengatasi dominasi industri Bollywood? Saya tidak pernah berharap mendapat dukungan apa-apa dari pemerintah. Saya tidak pernah berharap mereka mau memberi

989

990

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

dukungan dana. Saya tidak ingin uang mereka, karena saya paham betul, berharap dana dari pemerintah sama saja mengumpankan diri ke jaring birokrasi yang menghisap tenaga bahkan uang. Jadi tidak pernah terlintas untuk meminta bantuan pemerintah. Tapi, saya berharap mereka membuat peraturan yang tidak makin menjatuhkan eksistensi pembuat film independen seperti saya. Pajak, misalnya. Kami dikenai pajak sangat tinggi. Ada yang disebut pajak entertainment, yang membebani 50% jumlah dana produksi. 50% sisanya, harus dibagi lagi. 70% dari 50% sisa itu diambil oleh distributor, jadi kami hanya menerima 30% dari 50% sisa itu. Hampir tidak mungkin untuk bisa bertahan hidup di pasar. Film adalah industri yang sangat rentan bagi pembuat film independen non-Bollywood. Saya tidak peduli berapa pajak yang dibebankan kepada industri raksasa itu. Tapi aturan itu juga berlaku bagi pembuat film macam saya. Jadi saya berharap mereka membiarkan pasar film bekerja tanpa campur tangan petugas pajak yang mengendus ke sana ke mari. Jadi kami bisa bersaing dengan film buatan industri besar. Saya sih berharap India akan menerapkan sistem seperti di Eropa, misalnya, yang bebas pajak. Jika ada seorang investor yang ingin berinvestasi di film, maka uang investasi itu bebas pajak, karena film adalah produk budaya. Segala produk budaya di Eropa bebas pajak. Inilah susahnya di India, segalanya serba dipajak, bahkan untuk produk budaya, dan itu membuat orang malas memberikan dana. Jangan bicara soal duit. Saya tidak ingin duit dari pemerintah. Lebih baik mereka membuat peraturan yang bisa membuat kami bernafas lebih lega. Bagaimana dengan kritikus film di India? Apakah juga membantu? Hahahaha…untuk hal ini, saya harus bicara lebih hati-hati. Saya

“SAYA TIDAK INGIN UANG MEREKA....”

akan mengatakan begini. Di India, jujur saya katakan nyaris tidak ada kritikus yang bisa menulis sesuatu tentang seni film. Banyak kritikus India yang menulis sesuatu yang mereka pikir diharapkan oleh penonton film. Bagi saya ini sangat bodoh. Karena itu bukan pekerjaan kritikus film. Saya pikir, kritikus film yang baik seharusnya menulis apa yang mereka sukai dan menjelaskan mengapa sebuah film itu layak tonton atau tidak. Dan untuk ini, kritikus harus punya kapasitas untuk itu. Artinya, paling tidak, dia paham soal apa itu film, sejarah film, dan tentu saja banyak menonton film. Saya banyak menemukan kritikus yang tidak paham, bahkan hal hal dasar tentang film. Banyak juga kritikus yang tidak punya perspektif sama sekali. Saya bukannya ingin membandingkan dengan Eropa atau Amerika, tapi di sana, mereka punya standar dan selera yang baik terhadap film. Kritikus-kritikusnya juga adalah orang-orang yang paham betul apa itu film. Sebagian dari mereka paham entah karena belajar teori di universitas, entah itu otodidak dan hanya fokus pada film, ada juga yang mencoba membuat film sehingga paham betul apa itu medium film, sehingga mereka lebih paham dan mengerti tentang sinema. Jadi, ketika mereka membahas sebuah film, para pembuat film bisa lebih paham juga tentang nilai lebih ataupun kekurangan film yang dibuatnya. Di India, situasi ini jelas belum terbentuk. Banyak kritikus hanya berusaha menjatuhkan karya pembuat film dan tidak merasa bertanggung jawab untuk menjelaskannya. Apakah menurut Anda kritikus bisa memengaruhi film industri? Di India, kritikus yang baik bisa memengaruhi cara pandang penonton terhadap film yan mereka tonton. Saya berharap kritikus bekerja sebagai pendidik bagi penonton. Jika Anda punya kritikus film yang benar-benar fokus, paham betul apa itu sinema,

991

992

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

dan punya media untuk mengutarakan apa yang dipikirkannya, ini akan sangat membantu mendidik penonton film. Dengan penonton film yang terdidik, maka standar selera menonton film juga akan meningkat. Tentu saja ini sangat teoritis dan mungkin tidak praktis, tapi saya berharap ada kritikus seperti ini di India. Toh film yang bagus akan tetap bagus. Saya akan sangat menghargai seorang kritikus yang banyak menonton film, dan tentu saja mencintai film. Anda tidak menonton film karena keharusan atau perintah dari redaktur Anda atau karena sekadar untuk mengisi kekosongan halaman di koran. Jika Anda menonton banyak film, berbagai macam genre, dan menonton film karena memang Anda tergila-gila dengan film, maka saya yakin, apa yang Anda pikirkan tentang sebuah film akan sangat berbeda dengan mereka yang menonton film karena wajib. Entah Anda setuju atau tidak, bagi saya, seorang kritikus harus punya passion terhadap sinema.

Asmayani Kusrini

Kabar Visual dari Jafar WAWANCARA DENGAN MOJTABA MIRTAHMASB

S

alah satu kegiatan Jafar Panahi selama menunggu keputusan bandingnya adalah menjaga iguana. Putrinya yang sedang belajar di Paris sering menelpon, mengingatkan Jafar untuk tak lupa memberi makan iguana yang sering bermanja-manja di lengan Jafar. Di salah satu adegan dalam film In Film Nist, Jafar terlihat kesal karena si iguana ogah membuka mulut. Penonton tertawa ketika Jafar terpaksa menolak menjaga anjing tetangganya karena si anjing membuat iguana kabur ketakutan. Melihat Jafar Panahi di In Film Nist, seperti menjawab pertanyaan semua orang, bagaimana nasib Jafar Panahi di Iran sana? Dalam In Film Nist, Jafar seperti ingin memberi kabar, bahwa ia baik-baik saja dan sedang terus berjuang untuk bebas. Usai pemutaran perdana In Film Nist (This Is Not Film), Kamis 19 Mei kemarin, Mojtaba Mirtahmasb langsung bergegas menuju Les Ambasadeur Terrace, lantai empat Palais Du Cinema.

994

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Sutradara dokumenter ini langsung menyalakan i-Pad dan tak lama kemudian, wajah Jafar Panahi muncul di layar. “Bagaimana pemutaran filmnya?” kata Jafar di seberang sana. “Baik. Salle Bazin penuh, dan tidak ada yang meninggalkan tempat hingga selesai,” lapor Mirtahmasb. Lelaki kelahiran Kerman, Iran 1971 ini kemudian ngobrol dengan Jafar sambil mondar-mandir. Sesekali ia mendekatkan telinganya ke speaker i-Pad jika sinyal mengaburkan suara Jafar. Di akhir pembicaraan mereka, Jafar berpesan, “Hei Mojtaba, hati-hati di sana dan semoga sukses,” kata Jafar. Di Cannes, masyarakat perfilman setuju, In Film Nist adalah film (politik) penting tahun ini. Jafar Panahi dan Mojtaba Mirtahmasb harus berhati-hati dengan sejumlah pagar berduri yang mengelilingi proses pembuatan film ini. Mereka bergerak di antara proses keputusan hukum Jafar Panahi dan batasan terhadap pembuatan dokumenter yang tidak boleh mengkritisi pemerintah. Dalam salah satu adegan, misalnya, terjadi ‘tarikmenarik kekuasaan’ antara Jafar yang merasa sebagai sutradara dan Mojtaba yang sedang menyutradarai. “Hei, sekarang ini saya yang sutradara, kamu lakukan saja tugasmu di depan kamera,” kata Mojtaba dari belakang kamera. Jafar yang terlihat cemberut akhirnya pasrah dan bilang, “Iya ya, saya dihukum 20 tahun untuk tidak membuat film, tidak menulis skenario, tidak boleh memberikan interview kepada media mana pun dan tidak boleh keluar dari Iran. Tapi saya tidak dilarang berakting dan membaca skenario, kan? Apa saya bacakan saja skenario saya?” katanya di depan kamera. “Ya, saya akan merekam apa saja yang kamu lakukan. Kan maksud saya datang kesini (ke rumah Jafar) memang untuk itu.” Dalam ruang sempit yang absurd inilah In Film Nist lahir dan secara mengejutkan bisa dinikmati sebagai film komedi juga. Bahkan orang yang tidak tahu sama sekali kasus Jafar Panahi akan

KABAR VISUAL DARI JAFAR

Mojtaba Mirtahmasb. Foto oleh Asmayani Kusrini.

995

996

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

bisa menikmati film ini sebagai doku-drama yang dipenuhi humor-humor sinis. Saat credit title muncul, hanya nama Jafar Panahi dan Mojtaba Mirtahmasb saja yang muncul di layar. Nama mereka yang ikut berpartisipasi, mulai dari musik, editor hingga ucapan terima semua muncul seragam dalam bentuk rangkaian titik-titik. Usai berkomunikasi dengan Jafar, Mojtaba Mirtahmasb, sutradara dokumenter yang juga menjabat sebagai Kepala Asosiasi Sutradara Dokumenter Iran ini lalu makan roti dengan cepat. Maklum, sudah waktunya makan siang. Setelah makan, Mojtaba berkesempatan untuk bercakap dengan RumahFilm di Teras Festival. Berikut adalah kutipan percakapan kami. RumahFilm mengucapkan terima kasih kepada Shahla Rostami, wartawan Iran yang bersedia menjadi penerjemah. Selamat, Anda akhirnya tiba di Cannes. Pihak Festival baru mengumumkan bahwa anda akan hadir di Cannes di menit terakhir. Apakah ada kesulitan di perjalanan? Saya baru tenang ketika pesawat mengangkasa. Sudah beberapa kali saya batal berangkat keluar negeri ketika persis berada di jalan masuk pesawat. Jadi ya, saya ada di sini sekarang benarbenar suatu keberuntungan. Selain itu saya tidak dihukum seperti Jafar. Walaupun sering dilarang keluar negeri untuk mengikuti aktivitas perfilman, tapi saya tidak dilarang membuat film dan juga tidak dilarang keluar dari Iran. Passport dan Visa saya berlaku dan legal. (Mojtaba bukan orang baru dalam daftar hitam polisi Iran. Pada 2009 lalu misalnya, Mojtaba bersama artis Fatemah Moatamed-Arya, ‘dijemput’ di bandara oleh polisi intelijen ketika akan berangkat ke Amerika menghadiri petemuan di American Academy Of Motion Picture Arts and Science. Mereka, termasuk Jafar Panahi, terkenal sangat aktif dalam ‘Green Movement’, gerakan hijau yang menuntut presiden Mahmoud Ahmadinejad turun dari

KABAR VISUAL DARI JAFAR

kursi kepemimpinan. Sebulan kemudian, lagi-lagi Mojtaba dihentikan di depan pintu pesawat ketika akan berangkat menghadiri acara CPH DOX festival di Copenhagen.) Di dalam In Film Nist, Anda bilang kepada Jafar bahwa Anda sedang mengerjakan proyek dokumenter Behind The Scene of Filmmaker Not Making Film . Apakah mengganti judul film ini dengan In Film Nist (INI BUKAN FILM) untuk menghindari masalah hukum? Bisa dibilang begitu. Saya memang sedang mengerjakan proyek dokumenter tentang para pekerja film Iran yang dihukum untuk tidak membuat film. Jafar adalah salah satu narasumber saya. Dari proyek saya inilah Jafar datang dengan ide yang menurut saya sangat lihai dan cerdik. Di satu pihak, kami bekerja sama membuat film ini, yang berarti nama Jafar berhak dicantumkan dalam film. Tapi di lain pihak, karena hukuman yang dijatuhkan padanya, film ini bisa memperberat hukumannya. Karena itulah kami memberi judul In Film Nist. Kalau ada tuntutan hukum, kami bisa bilang Ini Bukan Film. Apakah bagian ini nantinya akan masuk dalam proyek dokumenter Anda? Tidak. Akhirnya bagian Jafar Panahi ini berdiri sendiri. Jafar mengajukan idenya hingga film ini menjadi film tentang masalah yang sedang dihadapinya. Saya berharap proyek awal saya itu bisa selesai juga. Bagaimana Anda bisa merahasiakan film ini hingga selesai dan bisa sampai di Cannes? Seperti di film-film detektif, copy film ini disimpan dalam kunci USB lalu diselundupkan dalam kue kemudian dikirim memutar dari tangan ke tangan agar tidak mencurigakan.

997

998

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Periode waktu dalam film ini, terlihat hanya satu hari, dari pagi sampai malam. Keputusan berdasarkan faktor hukum juga? Kami berdua memutuskan seperti itu. Saat kami menonton kembali footage yang ada, kami merasa sudah cukup menggambarkan secara umum apa yang terjadi pada Jafar. Hampir setiap hari waktunya dihabiskan menonton TV, bermain dengan telepon genggam, dan menjaga iguana putrinya. Rasanya itu sudah cukup menggambarkan situasi Jafar saat ini dan bagaimana bosannya dia. Ada special appearance dari Iguana dan Anjing menjadi aktor pembantu. Selain ‘tukang sampah yang mengaku saudara penjaga gedung, karakter-karakter lain tersembunyi dari kamera dan muncul dalam bentuk suara, baik di telepon maupun di belakang pintu. Begitulah keseharian Jafar sejak menjalani hukuman. Iguana itu milik putri Jafar yang sekarang sedang belajar di Paris. Iguana ini sudah menjadi bagian dari keluarga sejak berumur beberapa hari. Selain itu, kami juga tidak mau melibatkan banyak orang karena pasti akan menimbulkan kecurigaan. Kami tidak mau orangorang yang keluar masuk gedung melihat kamera yang sedang merekam. Banyak kebetulan-kebetulan lucu yang mewarnai In Film Nist. Tetangga yang datang dengan anjingnya dan meminta Jafar untuk menjaga anjing itu satu dua jam hingga munculnya tukang sampah yang sedang mengumpulkan sampah dari lantai ke lantai gedug apartemen. Ini kebetulan yang disengaja? Saya ingin mengumpamakannya seperti ini. Di musik, ada namanya improvisasi. Ada score yang jadi panduan para musisi tapi di saat yang sama, ketika tampil live mereka berimprovisasi

KABAR VISUAL DARI JAFAR

sambil tetap mempertahankan score. Seperti pemain gitar dan pemain drum, yang memainkan alat musik mereka masingmasing, tapi mengomposisikan lagu yang sama. Situasi kami juga sama. Saya lebih tertarik ke dokumenter, sementara Jafar lebih ke film fiksi. Jadi kami ingin menggabungkan latar belakang ketertarikan kami ini tanpa harus memberikan garis antara dokumenter dan nondokumenter. Garis itu tidak terlihat di film ini. Kami tidak punya skenario ketika mengerjakan proyek ini. Kami berimprovisasi karena kami menghadapi masalah yang sama, masalah mendasar, yaitu kebebasan membuat film. Hanya itu yang menjadi dasar dan titik tolak lahirnya film ini. Dalam beberapa bagian di film ini, dalam batas tertentu, saya ingin mengarahkan film ini di jalur yang tepat. Tapi di saat yang sama, saya juga nyaris tidak melakukan apa-apa dalam konteks improvisasi Jafar, karena pada akhirnya film ini mengalir sendiri tanpa ada instruksi khusus dari kami berdua. Bahkan non aktor, baik itu hewan, iguana dan anjing maupun orang yang masuk dalam film ini juga melakukan improvisasi tanpa skenario. Sulitkah mengarahkan Jafar Panahi? Tidak sulit, karena dia hanya menjadi diri sendiri dan dia tahu apa yang ingin dia lakukan. Yang sulit adalah ketika Jafar lupa diri sebagai aktor dan ingin mengambil alih peran di belakang kamera. Hahahaha. Dia kadang tidak sadar, dia sedang dihukum untuk tidak membuat film. Di dalam film, Anda berdua saling memfilmkan. Anda dengan kamera Anda, dan Jafar dengan blackberry-nya. Apakah adegan ini tidak membahayakan status hukum Jafar? Dengan membuat film ini saja, status hukum kami berdua sedang dipertaruhkan. Tapi sekali lagi, kami siap dengan antisipasi. Dalam film itu, ketika Jafar mengarahkan kamera handphone-nya

999

1000

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

kepada saya, dia kan bilang bahwa dia bosan dan tidak ada salahnya menggunakan handphone, toh ini bukan film (tapi, rekaman dalam handphonew). Ketika kamera berbalik, menampilkan hasil rekaman Jafar di handphone dan posisi Anda kemudian menjadi aktor di depan kamera, Anda bilang, “Rekam saja, siapa tahu saya ditangkap nanti”. Itu salah satu antisipasi atau provokasi terhadap pemerintah Iran? (Mojtaba angkat bahu). Lebih tepat disebut sebagai bentuk kekhawatiran sebetulnya; Sampai sekarang saya tidak punya petunjuk sama sekali bagaimana nanti reaksi pemerintah. Tapi saya ingin menunjukkan, bahwa sebagai pembuat film dokumenter, saya berhak mendokumentasikan apa pun yang terjadi di Iran. Membuat film ini adalah hak saya. Kalaupun nanti ada sanksi hukum, Jafar bisa mengelak bahwa dia menjadi aktor di film ini, dan menjadi aktor tidak termasuk dalam hukumannya. Kalau nanti saya diberi sanksi, saya akan bilang, Ini Bukan Film.

Asmayani Kusrini

Dongeng Naif dari Dunia Nadine Labaki WAWANCARA DENGAN NADINE LABAKI

D

alam hal industri film, Indonesia termasuk yang beruntung sudah memiliki infrastruktur. Di Indonesia, sejumlah rumah produksi aktif membuat film dan menghasilkan setidaknya 10 – 20 judul (?) dalam setahun. Bandingkan dengan Lebanon misalnya. Konflik seperti sudah jadi menu sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Lebanon. Perang saudara berkecamuk sejak 1975 dan baru berakhir sekitar tahun 1990. Meskipun dinyatakan berakhir, Lebanon masih harus berhadapan dengan konflik-konflik di beberapa bagian negaranya, termasuk konflik di selatan Lebanon yang terjadi mulai 1985 hingga 2000. Lalu serangkaian pengeboman di tahun 2005 dan tak lama kemudian Lebanon kembali ke kancah perang di tahun 2006. Suasana politik di Lebanon kembali memanas dan memuncak pada Mei 2008 lalu. Perang bersaudara kembali berlangsung di Lebanon, dipicu oleh konflik agama, perebutan kekuasaan antara

1002

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

kelompok sunni dan syiah dan terpecahnya suara kelompok kristen. Tahun 2008 tercatat sebagai tahun berdarah, tahun paling buruk dalam sejarah konflik di Lebanon. Negeri yang terus terusan dilanda konflik itu tertatih-tatih dalam memproduksi film. Menurunnya minat menonton film membuat Lebanon tidak punya studio maupun perusahaan produksi film. Dalam setahun, Lebanon hanya mampu memproduksi 3 – 5 judul film setahun. Dalam kondisi yang tidak memadai itu, sejumlah sutradara muda berbakat muncul di ranah sinema Lebanon. Sayangnya, karena tidak ada infrastruktur yang memadai, para sutradara Lebanon ini terpaksa berpaling kepada donor asing terutama Prancis untuk bisa memproduksi film mereka hingga selesai. Tanpa dana luar, bisa dipastikan, Lebanon tidak bisa memproduksi film. Dengan dana yang hampir seluruhnya berasal dari luar inilah, sejumlah sutradara baru berkibar di panggung sinema lokal maupun dunia. Salah satu sutradara Lebanon yang belakangan ini banyak jadi bahan pembicaraan adalah Nadine Labaki. Konflik yang tak berhenti di Lebanon akhirnya membuat Nadine Labaki gusar. Sutradara perempuan asal Lebanon yang masuk dalam daftar 10 Directors To Look Out For List majalah Variety ini akhirnya memutuskan membuat film tentang konflik agama. Nadine Labaki bukan wajah baru di Cannes. Tahun 2007 lalu, filmnya Sukkar al-Banat (Caramel) diputar perdana di program Director’s Fortnight di festival yang sama. Caramel berkisah tentang kehidupan sekelompok perempuan Beirut yang bekerja di salon kecantikan. Saat itu, perempuan cantik lulusan Saint Joseph University Beirut jurusan Audiovisual ini tidak mau ikut-ikutan mengangkat tema perang saudara yang marak dalam film-film karya sutradara-sutradara muda asal Lebanon. Tapi, di tahun 2008 itu, Nadine Labaki sedang mengandung anak pertamanya. Konflik agama ini merisaukan perempuan

DONGENG NAIF DARI DUNIA NADINE LABAKI

kelahiran 18 Februari 1974 ini. Instingnya sebagai calon ibu menggerakkan ide awal pembuatan film Where Do We Go Now?, yang tahun ini masuk program Un Certain Regards. Where Do We Go Now? Adalah film panjangnya yang kedua setelah membuat banyak video iklan dan video klip musik. Ditemui di teras Cheri Cheri Beach Cafe di sepanjang pantai Croisette, Nadine Labaki menyempatkan waktunya menemui RumahFilm pada Rabu 18 Mei lalu, 2 hari setelah pemutaran perdana Where Do We Go Now?. Kepada Rumah Film, Nadine bercerita tentang film terbarunya, tentang konflik dan absennya industri film di Lebanon. Berikut hasil percakapannya:

Dalam Caramel, sepertinya anda tidak begitu risau dengan konflik. Selama 5 tahun belakangan ini saya memang sedang mengalami fase penting. Ketika Caramel dibuat, saya sedang memasuki periode menjadi wanita dewasa yang matang. Sementara ketika membuat Where Do We go Now?, saya sedang memasuki masa persiapan menjadi ibu. Periode ini membuat saya melihat segala sesuatunya dari sudut yang berbeda. Cara pandang anda melihat konflik di sekitar juga berbeda. Sebelumnya, saya dan juga masyarakat Lebanon pada umumnya berpikir, jika perang berlangsung lagi, kami kabur saja. Tapi semuanya berubah ketika saya mengandung bayi. Apakah anda tidak berniat untuk membesarkan anak anda di luar Lebanon? Saya tidak berniat pergi meninggalkan Lebanon. Negeri itu adalah tanah air saya, dan suami saya juga. Anak saya anak Lebanon. Kami berhak tinggal dan hidup damai di Lebanon. Karena itu saya membuat Where do We Go Now?, sebagai upaya menuntut perdamaian. Saya tidak bisa membayangkan jika anak

1003

1004

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

saya kelak harus terlibat konflik yang mungkin tak dipahaminya. Jika anak saya tumbuh dewasa di periode itu, seberapa jauh saya ingin bertindak menghalangi niat anak saya untuk mengangkat senjata seperti yang lainnya, turun ke jalan dan membunuh orang lain dan mungkin terbunuh atas nama agama, atau atas nama komunitasnya atau atas nama partai politik. Where Do We Go Now? berasal dari semua galau itu. Para ibu yang melakukan apa saja untuk melindungi anak-anaknya, melindungi orang terkasih dari perang, yang bagi saya berasal dari insting ibu, reaksi spontan seorang wanita. Selama ini saya menjalani hidup normal di Lebanon. Kadang menjadi abnormal jika ada perang saudara. Tapi di sela-selanya, kami berusaha hidup tenang lagi. Perang di Lebanon tidak pernah bisa diprediksi. Hanya satu masalah kecil, seluruh negara bisa berantem. Kami sudah terbiasa dengan hidup begitu. Sejak kecil kami terbiasa menghabiskan hari di shelter, tempat tempat penampungan. Kami terbiasa bersiap-siap lari, jika terdengar ledakan bom, kami terbiasa secepat kilat membawa apa yang perlu dibawa ketika situasi darurat. Saya beruntung, orang tua saya selalu tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana; mereka selalu siap melindungi kami, bahkan mengirim kami ke keluarga yang tinggal di luar negeri kalau perlu. Tapi suami saya misalnya, dia banyak sekali menyaksikan langsung orang mati di jalanan. Semua orang Lebanon yang tinggal di Lebanon hidup dengan kengerian itu. Di satu sisi saya tidak ingin anak saya mengalami masa-masa kacau, tapi di sisi lain, saya juga ingin anak saya tumbuh besar di Lebanon. Bagaimana caranya? Dengan berharap agar konflik bisa dihindari dan dihentikan. Itu yang menjadi tema utama di Where Do We Go Now? Artinya, jika saat itu anda tidak hamil, anda akan melakukan pendekatan yang berbeda terhadap Where Do We Go Now?

DONGENG NAIF DARI DUNIA NADINE LABAKI

Nadine Labaki. Foto oleh Asmayani Kusrini.

1005

1006

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Mungkin akan berbeda. Rasanya insting akan menjadi ibu ada hubungannya dengan hasil akhir film ini. Obsesi dan ketakutan terhadap kehilangan anak. Karena saya sudah menjadi saksi begitu banyak perempuan, ibu yang menangis di depan saya karena anaknya hilang dalam perang. Saya menyaksikan sejak kecil konflik ini, dan terus berlangsung, terulang lagi terulang lagi. Saya tidak kenal seorang pun yang tidak kehilangan salah satu anggota keluarganya karena perang saudara. Saya sendiri sudah kehilaangan beberapa anggoa keluarga juga, baik keluarga dekat maupun keluarga jauh. Sejak kecil, tangis ibu itu sudah menjadi menu utama, baik itu dari siaran televisi maupun menyaksikan langsung di depan mata, ibu yang meratap-ratap. Sejak hamil, saya menjadi terobsesi ingin tahu bagaimana reaksi mereka, para ibu ini, bagaimana mereka menghadapi kehilangan, di dunia yang sudah nyaris tak terkendali. Kehilangan itu tak tertahankan. Saya tidak bisa membayangkan jika itu anak saya, bagaimana perempuan itu bisa bertahan hidup dalam kenangan akan anak-anak mereka? Dengan beberapa adegan artifisial, misalnya di awal film ketika para wanita berjalan ke kubur sambil bersenandung lagu duka, dan beberapa adegan humor di sepanjang film, di satu sisi, Where Do We Go Now? jadi terlihat naif. Film ini adalah dongeng yang ingin saya ceritakan kepada penonton. Seperti pada umumnya dongeng, ia berisi hal-hal utopia yang saya tahu, sayangnya tidak akan terjadi di dunia nyata. Karena itu, saya tidak akan tersinggung kalau orang menyebut film saya naif, karena memang film ini naif. Cara saya berpikir memang naif. Saya ingin mengubah dunia dengan cara saya, saya berfantasi ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, saya melihat segala-galanya seperti dari mata anakanak. Absurditas dunia saya lihat dari kaca mata anak-anak. Ada yang bilang kebenaran datang dari mulut anak-anak, karena

DONGENG NAIF DARI DUNIA NADINE LABAKI

mereka lebih jernih pikirannya dari kita orang dewasa. Saya memang naif, kenapa tidak?. Itulah keuntungannya menjadi filmmaker. Saya bisa menciptakan dunia ideal saya. Alasan itu juga yang membuat saya tidak ingin meninggalkan Lebanon. Saya merasa saya punya kelebihan karena bekerja di bidang film. Dengan profesi ini saya bisa menunjukkan kepada dunia, khususnya mereka yang menonton film saya, cara pandang saya terhadap dunia. Sekarang saya merasa punya misi yang jelas, untuk mengekspresikan kekhawatiran dan rasa cemas lewat film. Tentu saja saya berharap mungkin film saya bisa mengubah sesuatu. Kalaupun film saya tidak mengubah apa-apa, tidak ada salahnya bermimpi. Di sisi lain film anda juga menyentuh masalah substansial, contoh asal muasal konflik agama. Bagaimana tanggapan otoritas agama di Lebanon terhadap film ini. Sampai saat ini, saya benar-benar tidak tahu bagaimana film ini akan diterima. Bukan hanya tanggapan dari kelompok Hisbullah, tapi juga otoritas agama lainnya, saya tidak tahu. Rasanya juga tidak perlu, karena saya merasa saya tidak menyinggung siapasiapa di film saya. Kalaupun nanti mereka menganggap bahwa film membawa misi politik, biar saja. Saya tidak berbakat sama sekali di politik. Saya tidak tertarik dengan dunia politik. Film ini baru saja diputar dua hari yang lalu, jadi tentu saja belum bisa memberi komentar sekarang. Film ini berlatar belakang kehidupan di desa kecil yang hubungannya ke dunia luar hanya berupa jalan setapak yang kiri kanannya hancur terkena bom. Bahkan mobil pun tidak bisa lewat. Mengapa anda memilih lokasi di desa kecil yang hubungannya dengan dunia luar nyaris terputus?. Desa ini hanya fiksi. Rekaan. Fantasi. Tapi saya ingin menggarisbawahi absurditas situasi konflik. Desa ini menjadi

1007

1008

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

dunia saya, dan saya ingin menggarisbawahi bagaimana pengaruh luar, apa yang terjadi di luar bisa sangat berpengaruh terhadap apa yang terjadi di dalam desa. Hubungan mereka dengan dunia luar sangat terbatas, mereka tidak punya jembatan yang memadai, sinyal televisi yang sulit di dapat. Begitu mereka bisa dapat sinyal, begitu mereka mendengar apa yang terjadi di luar sana meski sayup-sayup, bahwa ada konflik agama di luar sana, mereka mulai memukul genderang perang di dalam desa terpencil yang selalu hidup damai. Dalam salah satu adegan, seorang perempuan berteriak kepada suaminya, kemarin kamu masih memanggilanya saudara, makan falafel bersama, sekarang kamu mau membunuhnya hanya karena kamu mendengar di luar sana mereka saling membunuh? Bagi saya, itu benar-benar absurd. Dengan mengambil lokasi di area terpencil yang terisolasi ini, absurditas itu makin ditegaskan. Film ini tentang konflik agama. Apakah tidak ada tentangan dari otoritas agama setempat dalam proses pembuatannya? Apalagi anda melibatkan penduduk desa setempat. Saya sadar, film ini menyentuh masalah sensitif, sehingga saya berusaha merahasiakan proyek ini hingga selesai. Selama proses pembuatannya, saya tidak bicara dengan media, tidak memberikan skenario kepada sembarang orang dan hanya tim inti saja yang tahu jalan ceritanya. Para artis aktor pendukung pun tidak paham betul arah film ini sampai pada menit terakhir. Dan semua warga desa ikut terlibat dengan sangat bersemangat. Agak susah memang merahasiakan proyek ini karena di Lebanon, orang tidak membuat film setiap hari; Syukurlah, semua orang bisa diyakinkan untuk tidak menyebarkannya keluar lokasi shooting sampai selesai.

DONGENG NAIF DARI DUNIA NADINE LABAKI

Di dalam film anda sepertinya ingin mengatakan bahwa sensor itu perlu. Para ibu mulai berulah untuk mengalihkan perhatian ketika TV menayangkan berita konflik di ibukota. Tapi di saat yang sama, para ibu inilah yang berinisiatif membawa orang luar masuk ke desa dengan tujuan yang sama, yaitu mengalihkan perhatian. Ada banyak bentuk perbedaan. Perbedaan pendapat, perbedaan warna kulit, perbedaan bahasa, dan tidak perlu itu jadi konflik. Tapi di saat yang sama, saya juga sadar bahwa sebagai ibu ada hal-hal yang perlu disensor dari jangkauan anak-anak. Misalnya saya tidak akan mempertotonkan film adegan kekerasan dan pembunuhan kepada anak usia belia. Ada waktunya untuk itu. Bukan berarti saya menentang keterbukaan, bukan berarti saya menyembunyikan informasi penting. Tapi sebagai ibu, anda mengenali anak anda dan sifat-sifatnya, anda tahu dalam hal-hal tertentu, perlu waktu yang tepat untuk melepaskan informasi sensitif. Industri film di Lebanon bukan industri yang populer di kalangan generasi muda. Bagaimana ceritanya anda bisa bergelut dalam bidang ini? Saya selalu tahu bahwa saya ingin menjadi sutradara. Awalnya saya tidak tertarik karena saya orangnya pemalu. Tapi saya mulai belajar sinematografi, dan mengikuti salah satu pelajaran teater, yang membuat saya harus tampil di atas panggung. Saya mulai menikmati bekerja di bidang ini ketika saya mulai bekerja dan menyutradarai orang lain. Saya menemukan energi baru dari dalam diri saya. Memang, film bukan profesi yang menjanjikan di Lebanon. Setiap orang agak skeptikal ketika saya mengutarakan niat ingin membuat film. Tidak mudah membuat film di Lebanon.

1009

1010

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Kenapa tidak mudah membuat film? Karena Lebanon belum punya infrastruktur untuk itu. Di Lebanon, kami tidak punya referensi apa-apa. Kami tidak punya industri film. Jika anda ingin membuat film, anda harus belajar sendiri saat melakukannya. Learning by doing. Saya berkesempatan belajar ketika membuat video klip musik dan iklan. Tapi membuat film, dengan segala kerumitan produksinya, bagaimana caranya, bagaimana seorang sutradara bekerja, bagaimana mengatur semuanya, anda harus belajar dari nol dan belajar sendiri. Saya juga banyak belajar dari kesalahan. Saya juga beruntung mendapatkan produser tapi tidak semua sutradara di Lebanon bisa beruntung. Produser anda dari Prancis. Apakah hal ini menuntut anda untuk membuat film sesuai selera Prancis? (Nadine tertawa). Saya tidak tahu bagaimana selera Prancis itu. Saya merasa film saya sangat Nadine Labaki, bukan film Prancis. Saya akui, dengan produser orang Prancis, saya juga dibantu oleh tim dari Prancis, tapi bukan berarti mereka bisa mengintervensi film saya sesukanya. Seperti yang saya bilang, sejak di Lebanon kami tidak punya referensi, saya juga belajar banyak dari tim Prancis dan mereka mau tidak mau harus terbiasa dengan ketidak profesionalan tim saya (lagi-lagi Nadine tertawa). Saya selalu berusaha menemukan jalan untuk bekerja sama dengan orang-orang lokal juga. Tim saya tim lokal. Banyak sekali peristiwa yang menunjukkan ketidakprofesionalan tim saya, tapi kami terus maju, dan yang membuat kami ingin terus adalah gairah membuat film. Kami menciptakan sistem bekerja kami sendiri, karena itu sulit bagi tim lain untuk menyamakan cara kerja dengan tim lokal saya. Tim film dari Prancis punya cara kerja sangat terstruktur, sehingga tidak mudah bagi mereka menghadapi keunikan cara kami membuat film.

DONGENG NAIF DARI DUNIA NADINE LABAKI

Saya menyutradarai adegan dari dalam situasi, di depan kamera bukan di belakang kamera, dan banyak melakukan improvisasi. Saya mengubah skrip beratus kali di lapangan karena kami banyak improvisasi. Ini membuat tim Prancis kelabakan. Tapi kami berusaha dan akan terus berusaha. Suatu hari nanti kemungkinan usaha kami membentuk tim lokal ini akan berkembang dan semoga bisa menghasilkan industri film yang terstruktur. Anda mencasting diri anda sendiri dalam film ini. Iya, saya menemukan bahwa lebih mudah bagi mereka, bagi artis non profesional ketika saya berakting di antara mereka. Mereka hanya bereaksi terhadap apa yang saya lakukan. Mereka paham akan ke mana jalur cerita ketika saya mulai berakting; Film anda mengingatkan saya pada Turtles Can Fly karya Bahman Ghobadi pada pemilihan lokasi di area ranjau dan di salah satu adegan mencari sinyal di atas bukit berdebu. Saya suka sekali karya-karya Bahman Ghobadi. Tapi kalaupun anda menemukan kesamaan, itu karena tuntutan cerita, mungkin saja secara tidak sadar. Tapi saya hanya ingin menunjukkan bahwa mereka terisolasi dari dunia luar. Apakah anda feminis? Feminis dalam arti jelek? Seperti girl power? Tidak sama sekali. Saya termasuk perempuan yang sangat konvensional. Tapi di film anda, khususnya Where Do We Go Now? mereka justru yang punya kekuatan. Ya, saya mencari sesuatu dari perspektif saya sendiri sebagai perempuan. Saya merasa saya punya dasar secara emosi dan psikologi, ketika menggambarkan kehidupan perempuan. Itulah

1011

1012

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

kenapa selalu suka bercerita tentang perempuan. Saya merasa perempuan, walaupun sangat konvensional, punya kode rahasia, mereka bisa saling mengerti. Apakah revolusi Arab yang baru saja terjadi mempengaruhi juga film anda? Apakah revolusi Arab ini akan berhasil? saya tidak tahu. Semoga keberhasilannya bisa mempengaruhi negeri-negeri Arab lain. Sayangnya di Lebanon anda tidak pernah tahu apa yang harus diharapkan. Saya rasa, saya takut terlalu optimis. Tentu saja saya senang ketika negeri-negeri Arab bangkit berevolusi dari ketertindasan, tapi di saat yang sama saya terlalu sering melihat konflik agama, karena itu saya bertanya Where Do we Go Now?.

Hikmat Darmawan

16 Juni 2008, 18:18

“Penonton Lebih Pintar Daripada Kreatornya, Kok!” WAWANCARA DENGAN DJENAR MAESA AYU

P

agiku memang pukul 10,” ujar Djenar Maesa Ayu melalui SMS kepada saya. Kami berjanji akan mengadakan wawancara di rumah Djenar, di sebuah kompleks perumahan yang gayeng di daerah Kembangan, Jakarta Barat. Djenar mengajak saya bercakap-cakap di ruang kerjanya, di lantai tiga rumahnya. Anak bungsunya, Btari Maharani yang ia panggil “Yiyi”, ikut nimbrung berpose saat difoto. “Dia memang banci tampil,” kata Djenar dengan sayang. Di ruang kerjanya, di samping terdapat rak dinding untuk buku-buku, terdapat cermin menempati sebuah bagian tembok ruangan selayaknya di ruang tari. “Anakku yang pertama (Banyu Bening) memang suka menari.” Ada juga beberapa lukisan menarik, tertumpuk di pojok di depan cermin itu. “Itu lukisannya Yiyi,” jelas Djenar. Saya segera meminta still photo adegan dan behind the scene film debutan Djenar itu. Djenar mengeluh, komputer mac-nya sedang rusak, “Keyboard-nya sedang masalah.

1014

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Saya juga nggak bisa burn ke CD, karena drive-nya tak bisa dibuka.” Berulang kali, Djenar berkomentar, “gue lagi bangkrut, nih! Bangkrut!” “Habis, bagaimana,” jelas Djenar, “menulis.... royaltinya nggak seberapa. Bikin film, modalnya saja belum balik.” Setelah selesai urusan gambar, saya pun mulai melakukan percakapan.

Menonton Mereka Bilang Saya Monyet!, saya merasa bahwa dalam pelataran sejarah film Indonesia, film ini kok “antiSjuman”, ya? (Kaget) “Anti-Sjuman”? Maksudnya? Kan Sjuman—apalagi sepulang ia dari Rusia dulu—sangat terobsesi pada masalah-masalah sosial di Indonesia. Sementara film Mereka Bilang Saya Monyet! ini sangat ke “dalam”, ya ...malah agak “self-absorbed”? Masalah-masalah sosial itu kan ...gini, ya, perkembangan zaman juga sudah beda. Masalah-masalah sosial yang ditangkap oleh Sjuman juga pastinya berbeda dengan yang saya tangkap. Dulu itu ...justru kenapa Sjuman itu dianggap pembelot, lalu salah satu filmnya—Yang Muda Yang Bercinta—itu juga di-banned, nggak boleh keluar…karena dia kan against pemerintahan. Tapi kan isunya waktu itu memang begitu. Kita memang lagi sangat against pemerintah, Orba, yang kayak begitu-begitu. Jadinya, Sjuman ya ke sana. Tapi kan soal tema, ya orang punya obsesinya masing-masing lah... Tapi saya ya nggak anti-Sjuman dong, jangan dong.... (tertawa). Tapi mau tak mau, orang bisa punya kesan itu sih. Kalau melihat sejarah film terdahulu ...Sjuman dengan (karyakaryanya) Si Doel, Si Mamad. Oke, memang ada persoalan

“PENONTON LEBIH PINTAR DARIPADA KREATORNYA, KOK!”

zaman telah berbeda. Apa benar-benar berbeda, apakah sekarang ... Pastinya beda. Sekarang, kultur juga sudah beda... Sudah begitu, gue perempuan, Sjuman lelaki. Pastinya ada obsesi-obsesi yang beda. Apa maksudnya perempuan lebih individualistik, kayak di film itu? Bukan. Film ini banyak sekali mengangkat isu perempuan, karena gue perempuan. Sjuman laki-laki. Mungkin dia juga saat itu lebih condong pada masalah sosial ... Dia juga punya nostalgia dengan kampung halamannya, dan itu terekam di Si Doel. Si Doel itu anak Betawi dan lalu ia terlalu ke kota....dan itulah Sjuman. Dari dulunya ia tinggal di Purworejo, hijrah ke Jakarta. Setelah itu dia selalu bilang, ‘Gue adalah anak Betawi!’ Padahal dia adalah orang Jawa. “Jakarta”-nya itu sudah sangat kental pada dia. Cintanya pada Jakarta, perubahan kultur dari dia yang ...Itu semua terbawa ke dalam film-filmnya. Gue bukan orang ...nggak pernah tinggal di desa, sudah sangat urban. Begitu lahir, kenalnya, ya udah, masanya sudah urban begini. “Jakarta”-nya sudah bukan “tempo dulu”, tapi sudah sangat modern. Bapak dan ibu juga dulu sudah modern. Mereka bukan “orang kampung” lagi. Jadinya, nggak mungkin lah gue bikin yang tentang perkampungan. Yang jelas, (gue) nggak kepingin membikin sesuatu yang gue nggak tahu. Ada kesan lain yang pasti kelihatan dalam film ini. Mereka Bilang Saya Monyet!, kalau mau digambarkan, “amoral”, “kasar”, dan “self-absorbed”.... Gue tidak akan mau mengatakan mana persepsi orang. Terserah mereka mau bilang apa. Yang jelas, gue cuma memotret sebuah realita. Gue berkarya berdasarkan referensi. Walau pun yang

1015

1016

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

harus dicatat juga, sebuah karya bukanlah penggandaan realitas. Kalau jadi penggandaan realitas, jadinya jurnal, jadi dokumenter.... Ini kan tetap fiksi. Tapi mengacu dari sana, bahwa “karya bukan penggandaan realitas” ...jadi sebetulnya sebuah karya itu sudah ada dalam dunia tersendiri, sangat individual, sangat personal... Sangat self-absorbed...? Personal, ya, maksudnya? Film ini sangat “self-absorbed”, artinya, sangat asyik dengan dunianya sendiri, dengan masalah pribadi si pembuat filmnya sendiri.... Itulah. Film itu kan berdasarkan referensi, ya. Karena ia bukan penggandaan realitas, maka imajinasi menjadi milik yang sangat personal, menurut gue. Jadi, ya... itulah.....begitulah. Tapi, kayaknya Djenar sangat terobsesi dengan masalah realitas. Dalam sebuah adegan, ada diskusi yang menarik, soal “realitas itu apa sih?”.... Gue memang sangat terobsesi dengan soal itu. Karena sejak awal jadi penulis, banyak sekali orang yang punya kecenderungan ... walau pun gue tidak bisa menyalahkan juga... tapi banyak sekali pembaca atau penonton yang menghubung-hubungkan antara realitas dan imajinasi itu. ‘Benar nggak, sih? Ini cerita asli, bukan sih?’ Di beberapa tulisan gue juga, gue sudah sering banget mengangkat soal ‘apa sih proses kreatif?’ Ya, itu lah, dalam film itu juga gue coba utarakan bahwa ini lho, proses kreatif itu kayak begini.... Kalau mereka bilang, ini sungguhan nggak sih? Ya, apa yang mereka percaya, itulah realitasnya. Iya nggak, sih? Itulah yang kita lihat.

“PENONTON LEBIH PINTAR DARIPADA KREATORNYA, KOK!”

Tapi, memang, dari beberapa tulisan Djenar, di beberapa cerpen, disinggung isu ini. Di dalam film ini juga disinggung. Saya jadi berpikir, “Djenar ini, sebagai pencipta, masih belum bisa keluar dari lingkaran persoalan ‘Djenar menulis’, ya....” Apa pun yang ditulis oleh seseorang, apa pun temanya ...kalau gue, gue tidak terlalu memusingkan masalah topik atau tema, tapi caranya. Cara bertutur. Karena segala tema, mau personal atau mau sosial, tentu semua pernah terjadi, sudah pernah ditulis dan dibuat ...Jadi, tugas seorang creator adalah bagaimana agar kita dapat menyampaikan tema-tema yang sudah ada ini menjadi segar. Jadi, kalau sekarang kita bertutur dengan cara yang sama ...ya udah lah! Orang semua orang juga sudah tahu lah... pengkhianatan, cinta, semua orang sudah tahu lah. Apa lagi sih? Kayak begitu-begitu saja, kok. Hidup ini begitu-begitu saja, kok. Nggak ada yang baru. Jadi, bagaimana kita membuat sesuatu yang baru? Ya, cara bertutur yang baru. Tapi kalau lantas dibilang, film ini “Djenar banget”...lantas, kapan Djenar bisa bicara tentang orang lain, tentang masalah lain? Siapa yang bilang film ini “Djenar banget”? Kan orang itu sendiri. Jadi, apa yang ia percayai menjadi sebuah realitas. Ya, terserah aja orang mau ngomong apa. Gue kan nggak bisa bilang (menunjukkan mimik lucu), ‘wah bukan, kok, bukan!’ Buat apa? Hal ini juga disinggung dalam film ini juga, ya.... Ya, itu kan bisa dibilang sebuah statement juga. Atau, jadi hal-hal yang sudah dikonfirmasi sebelum orang nanya, ya kayak gitu.... Ya, kayak adegan di bar itu ...itu kan, serapan Djenar, kayaknya. Bagaimana tidak pribadi, coba....? (Tertawa) Yaaa ...skenario film itu kan ditulis empat tahun lalu, ya. Dulu sih memang sedang ada isu “sastra wangi”, dan itu kan

1017

1018

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

agak membuat eneg juga.... Nggak ‘panas’, sih. Cuma, (gue) kepingin aja agar orang tahu, apa sih sebetulnya yang dibilang ... Dulu itu, setiap perempuan berkarya, orang nggak pernah percaya begitu aja. Selalu ada embel-embelnya, ‘Alaah, ini paling ditulisin sama mentornya! Alaa, itu kan bukan karya dia.’ Itu kalau perempuan, tapi kalau laki-laki nggak. Bukannya gue nggak siap dengan yang begitu-begitu. Gue sih justru santai banget. Cuma kan bukan berarti gue tidak punya sikap atau mesti diam saja. Kalau memang itu ingin ditampilkan, kenapa nggak. Gue menanggapi isu-isu kayak begitu mah malah ketawa saja, malah gue bikin jadi lelucon aja di film.... Di film itu, ada ucapan “kamu pendendam”. Apa ini ...”balas dendam” dengan film? (Tertawa) Nggak tahu ...penonton lebih pintar daripada kreatornya, kok! Kadang-kadang kita menulis apa, nanti bisa jadi wacana apa... Itu (saya) amazed. Dan sebetulnya, yang membuat orang akhirnya ketagihan berkarya adalah itu. Mereka juga bisa belajar banyak dari karyanya sendiri. (Mereka) bisa melihat pertumbuhan “anak”-nya ...dia lahir, lalu dia berkembang sudah dengan nasibnya, dan kita memantau nasibnya sebagai “orang tua”...’oh, akhirnya dia sudah berkembang sudah ke arah sana, ke arah sini...’ Proses kreatifnya sebetulnya memang bisa dibilang sudah selesai, tapi perjalanannya panjang sekali. Jadi, andai kata saat ini orang bilang bagus...belum juga kita bisa ambil pakemnya bahwa memang ‘bagus’. Waktu akan menjawab. Dibilang jelek pun, sama juga. Waktu akan menjawab. Banyak sekali karya yang baik tapi pada zamannya nggak diterima, beberapa puluh tahun kemudian bisa jadi masterpiece. Itu yang paling menarik dalam berkarya. Nah, ketika saya sampai ke akhir film, timbul dua pertanyaan di kepala saya. Sebelum pertanyaan yang lebih abstrak, yang

“PENONTON LEBIH PINTAR DARIPADA KREATORNYA, KOK!”

kongkret dulu, deh. Di film itu kan ada sosok penulis, Asmoro. Di beberapa bagian ada diskusi dengan penulis itu. Mau nggak mau saya berpikir itu... ... Mengacu ke salah seorang penulis... “Tardjie!” (Maksudnya, Sutardjie Calzoum Bachrie yang memang sempat dikenal sebagai “mentor” Djenar dalam sastra.) (Tertawa) Kan ada dialog seperti, “...karir lu kan lagi turun! Gara-gara jadi mentor gue, lu dibicarain lagi...!” (Tertawa makin keras) Wah, gila! Nggak lah, nggak, nggak.... Tardjie itu tidak akan pernah turun... (tertawa) dia sudah... dia baru dapat penghargaan... nggak lah.... Begini lah. Tentunya, setiap karya ada ...ah, kita mengambil dari realitas...kita tambahi, kita kurangi, kita campur juga dengan imajinasi.... Sebetulnya nggak bisa juga dikatakan apakah itu Tardji, atau Seno (maksudnya, Seno Gumira Adjidarma), atau Pak Budi Darma. Ya, repot kalau kayak begitu ...marah semua nanti orang-orang sama saya. Atau, itu ibu saya...itu Djenar...itu teman-teman saya.... Susah nanti orang berkarya. Iya nggak, sih? Jadinya, terlalu mikirin orang-orang. Satu lagi pertanyaan sehubungan dengan akhir film itu. (**SPOILER ALLERT**) Mungkin berkaitan dengan soal realitas itu. Kalau buat saya yang awam, atau sebagai lelaki yang awam, isu terbesar dalam film itu bagi tokoh utama (Adjeng) adalah penistaan seksual yang dia alami sewaktu kecil. Di situ ada isu perkosaan, pedofilia. Tapi di ujung, justru “tembakan” terakhir justru ditujukan kepada sosok penulis itu. Yang dipilih jadi klimaks justru itu. Apalagi ditambah sebuah trick, yang menarik sebetulnya dalam sejarah film Indonesia, ketika tahu-tahu semua tokohnya, dari masa lalu dan masa kini, muncul dalam satu frame waktu. Tapi buat saya,

1019

1020

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

kok jadinya kayak menghindari isu sesungguhnya? Sepertinya film ini ingin melunakkan realitas itu? Waduh, kalau soal itu, gue nggak bisa jawab, deh. Maksudnya, gue tidak pernah dengan sengaja ingin melunakkan. Kayak-nya tujuannya nggak ke sana, tuh? (Tertawa) Soalnya, kok (film ini, akhirnya) seperti memalingkan muka.... Masak sih? Malah gue nggak tahu, itu....Menarik juga untuk ditelaah, buat gue.... Soal penulisan. Ada banyak siasat visual yang menarik dalam film ini... Iya, memang itu ada beberapa yang nanya, itu di tahap editing atau memang di script-nya memang begitu. Memang dari script-nya begitu. Ganti-ganti orang, atau segala macem, ya itu memang sudah di script.... Kami (Djenar dan Indra Herlambang) menulis script itu dua tahun. Itu kayak-nya draft yang ke-berapa juta, gitu ... (tertawa). Itu pun, pada akhirnya, di bagian opening scene-nya, ada sebelas scene yang dibabat habis. Ganti. Ketika di proses editing, gue lihat lagi ...ini karena ketidakmatangan gue dalam men-direct, jadi ada kesalahan teknis di lapangan, jadi hasilnya kurang memuaskan, ya udah, diganti... Dalam directing, gue juga membebaskan pemain untuk juga ‘menangkap’ tokoh yang diperaninya. Karena, kalau gue terlalu men-direct tanpa membiarkan mereka juga berkontemplasi, itu hasilnya juga, gue yakin, tidak akan pernah baik. Kebetulan sih semua tokoh ini, semua pemain yang memerankan tokoh-tokoh ini, beberapa pemain yang di sudah ada di kepala gue dari awal ...melihat cara dia jalan, melihat dia ngomong, saya bilang, ‘ya, dia si anu...’ Kebetulan ketika ditawari, beberapa langsung mau ...ada juga yang menolak.

“PENONTON LEBIH PINTAR DARIPADA KREATORNYA, KOK!”

Diuntungkan juga, ya, oleh jaringan pertemanan... Sangat. Sangat diuntungkan oleh itu. Dan terima kasih lagi untuk Bung Sjuman. Karena gue sangat yakin bahwa kemudahankemudahan selama ini ...misalnya, banyak sekali orang-orang yang mendukung dari tahap membuat script...ada mas Jujur Prananto, ada mas Garin Nugroho, Joko Anwar, Nia diNata, Eddy SS, Enisson...mereka semua gue tanya, nulis script itu kayak apa sih? Dan terima kasih kepada skenario-skenario Bung Sjuman juga. Semuanya tak mungkin ...gue nggak yakin, apakah kalau cuma Djenar aja semua orang akan membantu? Misalnya, Ray Sahetapy juga mau bermain dengan honor yang tidak terlalu mahal. Banyak sekali orang yang tidak dibayar selayaknya film, lah. Tapi semua mendukung, begitu smooth semuanya. Gue rasa, ini adalah sebuah warisan yang lebih besar dibanding (warisan) materi dari Bung Sjuman. Jadi, kebaikan dia yang akhirnya berimbas ke gue. Makanya, special thanks di film itu yang paling atas buat Bung Sjuman. Memang “kekeluargaan” banget, ya, film ini? (Tertawa) Wong Aksan...Agus Melasz....Dia kan bapak tiriku. Dia suami pertama ibuku, sebelum Sjuman. Aksan. Titi Sjuman. Banyu Bening, anakku juga. Jadi, pilihan menggunakan teknologi digital bagi film ini, apakah itu pilihan estetis, atau kepepet? Kita semua sudah tahu, bahwa memang sekarang ini eranya digital. Bagaimana kita bisa memaksimalkan ini. Kita punya banyak sekali keuntungan dari digital. Yaitu, menekan budget, ya. Dengan menekan budget, tentunya kita juga bisa, let’s say, nggak terlalu mendengarkan produser... Masih berani lah, kita indie. Kita masih bisa cari uang ke beberapa sumber. Kayak film ini, 700-an juta rupiah ...investornya hanya lima orang, pribadi... Tapi akhirnya kita kan bisa membuat film. Dibandingkan ketika kita

1021

1022

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

membuat film dengan seluloid, harus dengan biaya ber-em-em (bermilyar-milyar rupiah)... aduh, kayaknya jadi mustahil untuk membuat film. Dengan adanya digital, yang dituntut pada seorang kreator adalah kreativitas. Itu yang paling penting. Dan ternyata, sampai sekarang sih cukup berhasil. Kalau nantinya sudah banyak sinema proyektor digital seperti Blitz, berarti kita nggak harus blow up jadi seluloid. Kita nggak harus keluar uang lebih banyak. Ada kesempatan untuk orang-orang “lain”, ya ... mungkin untuk orang-orang yang idealis juga... ya, sudah, kumpulin duit dan mereka membikin film sendiri, misalnya. Jadi, yah, lebih punya warna lah. Jadi, perfilman Indonesia tidak terlalu didikte oleh keinginan para investor. Soal format digital. Kemarin, di LSF (Lembaga Sensor Film), kan sempat ada masalah, mereka tidak mau menyensor film digital...? Nggak ...(agak bingung) gue nggak tahu ada masalah itu. Kemarin, waktu ke LSF, nggak ada masalah sama sekali. Gue ke sana nggak melakukan apa-apa: kasih film, itu saja. Gue pikir memang akan ada masalah. Waktu itu gue tongkrongin. Jadi, misalnya, kalau ada apa pun, ya, kita bisa saling memberi argumentasi, lah, pada hari itu juga. Yang dikasih pun baru picture lock, dan masih rough cut. Jadi, belum masuk musik. Tadinya gue pikirkan, kalau andaikan ada memang yang  dipotong, atau gimana, ketika mixing dengan musik tidak akan mengganggu karena terputus-putus adegannya. Jadi, memang mau “nyikat” dari awal. Dan gue merasa amaze juga, ternyata memang tak ada yang dipotong. Gue juga bingung. Kirain dari awal memang menyiasati supaya tidak ada yang dipotong. Maksud saya, (Djenar) melihat undang-undangnya kayak apa, lalu cari akal.... Nggak. Justru gue nggak terlalu tahu perkembangan. Yang dipikirkan juga hanya film saja, soal produksi dan segala macem.

“PENONTON LEBIH PINTAR DARIPADA KREATORNYA, KOK!”

Kita sudah tahap praproduksi tapi duit belum masuk, misalnya. Jadi memang kita nggak tahu apa-apa kalau ada masalah. Nggak tahunya, (proses di LSF) mudah. Gue juga nggak ngerti. Waktu itu ada ibu Titi Said, Rae Sita, semuanya ada, kok, ada lima orang. Mereka bilang bahwa, ‘kami suka melihat film ini. Kami mengerti apa yang ingin disampaikan. Kami tahu kenapa sex scene di sini memang harus diangkat. Jadi, tak ada yang kami potong.’ Tadinya, saya sudah ‘Semangat empat lima’, siap tempur. Mendengar itu, saya jadi ...(pasang tampang bengong), huh? Yang bener nih? (Tertawa) Oke. Terakhir, rencana berikutnya... Sekarang sih saya harus mengerjakan novel. Karena, itu kan sudah kontrak, ya. Judulnya, Ranjang. Itu dulu, baru nanti bikin film lagi. Script-nya sudah 40 halaman. Tapi langsung berhenti karena si keyboard gila ini! (Tertawa) Kalau film, (gue) masih belum tahu judulnya. Temanya masih seputar penulisan? Yang ini, nggak. Seks? Seks, yah, seks salah satu unsur dalam hidup, ya. Kalau memang harus ada adegan seks, kenapa nggak? Kalau memang nggak harus ada, kenapa harus ada? Bukan dalam adegan, tapi sebagai tema... Nggak tahu, tuh. Entar kita lihat saja. Masih belum sampai draft ke-jutaan kali, kan? Kalau melihat ‘ramai-ramai’ film Indonesia saat ini, misalnya, soal MFI atau FFI.... Nggak pusing lah. Berkarya saja....

1023

Eric Sasono

16 Juni 2008, 18:19

PERCAKAPAN JOKO ANWAR, EDWIN, DAN ERIC SASONO

“Lewat Film Saya Bisa Bikin Puzzle.”

BAGIAN 1

D

i Tornado Coffee, Kemang, Jakarta, tempat para pekerja film sering berkumpul, 31 Agustus tahun lalu Joko Anwar bertemu dengan Edwin. Ditemani Eric Sasono, redaktur Rumah Film keduanya berbincang seru tentang ide, pencarian cerita, identitas, juga tentang director for hire. Joko memulainya dengan bertanya pada Edwin. Joko Anwar: Kenapa lo milih Babi Buta yang Ingin Terbang sebagai film panjang pertama lo. Juga kenapa baru sekarang lo bikin feature? Edwin: Tiba tiba ada perasaan kalau misalnya setahun atau dua tahun lagi sesuatu terjadi dan saya nggak bisa bikin film lagi, kira-kira harus bikin film apa? Apa sih yang paling saya pengen. Ternyata nongol lah cerita tentang babi buta yang ingin terbang ini; sebuah cerita yang sebagian besar, hampir 90%, adalah

“LEWAT FILM SAYA BISA BIKIN PUZZLE.”

tentang pertanyaan-pertanyaan saya mulai dari kecil sampai sekarang. Tentang identitas lah Joko Anwar: (Identitas) Sebagai? Edwin: Sebagai… sebagai Edwin. Sebagai manusia yang kebetulan ternyata keturunan Cina. Terus juga banyak banget pertanyaan-pertanyaan yang waktu kecil kita ngga bisa tanya. Seperti: kok dilemparin batu? Kenapa? Kok yg lain nggak dilemparin batu? Joko Anwar: Pernah dilemparin batu? Edwin: Pernah.. pernah.. Joko Anwar: Karena lo Cina? Edwin: (Edwin mengangguk) Karena adik saya keliatan Cina. Saya nggak pernah dilempari, karena nggak pernah keliatan Cina dari dulu. Adik saya tuh tampangnya Cina banget. Dia sebenarnya yang dilemparin, tapi karena kita pulang sekolah bareng, jadinya ya gitu.. Joko Anwar: Terus, korelasinya sekarang apa? Itu nggak terjadi lagi dong sekarang? Edwin: Iya, mungkin aja sekarang nggak terjadi lagi. Tapi tetep akan nggak selesai-selesai kalau misalnya saya nggak terlalu tahu jawabannya apa. Jadi sampai film ini jadi kayaknya masih ada sesuatu yang belum selesai. Kalau misalnya film ini nggak dibikin, nggak enak bangetdeh rasanya. Jadi memang lewat film inilah saya jadi bisa bikin puzzle dari segala macam pertanyaanpertanyaan. Misalnya kenapa dilemparin batu? atau kenapa

1025

1026

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

waktu SD kita disuruh nulis milih warga negara Indonesia, pribumi, atau warga negara asing? Itu pertanyaan-pertanyaan yang nggak bisa dijawab sama orang tua dari dulu. Sekarang ini saya bisa konsentrasi untuk cari tahu kenapa semua begitu. Bukan untuk mencari siapa yang salah, tapi kenapa ini terjadi, bagaimana itu bisa mempengaruhi personality seseorang. Joko Anwar: Dapat nggak jawabannya dari bikin film ini? Edwin: Minimal sih. Jawaban bulatnya tetepribet, tapi minimal ada sesuatu yang keluar. Bisa dibahas. Seneng bisa ngobrol sama anggota tim lainnya. Sama Dede misalnya, dia Cina juga. Sama Sidi (Sidi Saleh, sinematografer di film Edwin, red.) walaupun dia bukan Cina, tapi dia ternyata juga punya masalah karena dia Arab gitu. Walaupun masalahnya sepele-sepele tapi ternyata dia juga punya yang kayak gitu-gituan. Maksudnya, sesuatu yang tidak bisa didiskusikan selama berpuluh-puluh tahun ternyata sekarang pelan-pelan mulai enak untuk diomongin. Joko Anwar: Film ini kan budgetnya terbatas. Sekarang kebanyakan orang menyikapi keterbatasan budget dengan menggunakan medium video ketimbang film seluloid, sementara lo masih tetap pakai film 35 milimeter. Kenapa? Pertimbangannya apa? Edwin: Balik lagi ke tadi, di awal. Misalnya kita nggak bisa bikin film lagi, mau bikin film kayak apa? Yang pasti saya sih milih pakai film. Joko Anwar: Kenapa? Edwin: Itu alasan yang sangat romantis sebenernya. Saya tahu sekarang kalau mau bikin yang kayak indie-indiean begini ya

“LEWAT FILM SAYA BISA BIKIN PUZZLE.”

memang agak-agak nggak realistis. Tapi untuk sesuatu yang menurut saya punya nilai personal tinggi, kayaknya perlu diperjuangkan untuk mendokumentasikan semua pertanyaanpertanyaan - proses kerja ataupun proses pencarian diri kita ini - dengan sesuatu yang paling maksimal. Bukan bilang bahwa video itu nggak maksimal, tapi bagaimanapun film itu punya semacam image dialah yang paling pol. Jadi kita pengen ini didokumentasikan. Joko Anwar: Dengan kata lain lo bilang bahwa film lebih superior daripada video? Edwin: Bisa dibilang begitu. Maksudnya apapun yang kita shoot dengan film, itu punya nilai romantis yang lebih lah… Joko Anwar: Provokatif nih… Eric Sasono: Lo punya kekhawatiran nggak Jok, bahwa lo nggak bisa bikin film lagi? Joko Anwar: Mmm…nggak! Eric Sasono: Kenapa? Joko Anwar: Mungkin karena membuat film sekarang gampang ya. Film gue setelah ini aja gue pikir untuk dibikin pake video, syuting gerilya. By the way kenapa musti khawatir? Eric Sasono: Pertanyaannya gini deh. Seandainya lo punya kesempatan sekali lagi saja untuk bikin film. Akan seperti apa film itu? Joko Anwar: Nggak akan mempengaruhi plan gua. Sekarang di

1027

1028

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Indonesia - diseluruh dunia juga sebenarnya - ada 2 jenis director. Yang pertama director for hire, sutradara yang mengerjakan film karena dihire untuk mengerjakan film… Edwin: Seperti siapa? Joko Anwar: Banyaklah… Edwin: Nama dong nama…! Joko Anwar: Banyaklah! Misalnya seseorang dipanggil sama produser untuk bikin film, mmmm (dia tanya) berapa budget? Satu M? oke gue bikinin, ceritanya apa? Nah kan ada yg kayak gitu. (Kategori) Yang kedua itu director yang tak akan bikin film kalo tidak datang dari dalam dirinya sendiri. Dia lebih punya something to say gitu. Nah, gue kebetulan termasuk tipe yang kedua. Bukan berarti yang pertama lebih jelek dari yang kedua… Edwin: Emang lebih jelek.. Joko Anwar: Iya sih… hahaha.. Joko Anwar: Oke, gue kan udah punya plan, film ketiga gue apa, film keempat apa, film kelima apa. Pertanyaan lo tadi nggak bakal mempengaruhi plangue. Kalau misalnya sekarang gue cuma punya kesempatan bikin satu film lagi, ya gue bikin film ketiga gue. Eric Sasono: Nggak ada tema esensial yang harus lo sampaikan, seperti Edwin dengan persoalannya? Joko Anwar: Film-film gue lebih merupakan reaksi sosial gue terhadap hal-hal yang terjadi disekitar gue. Kalau Edwin kan

“LEWAT FILM SAYA BISA BIKIN PUZZLE.”

masih dalam dirinya nih, ada something inside yang harus dikeluarin. Kalau gue, I made peace with myself, hehehe. Jadi masalah personal searchinggue sudah selesai. Jadi sekarang lebih ke reaksi sosial, semua film gue kaya gitu. Janji Joni dan Kala sangat jelas reaksi sosialnya. Eric Sasono: Gue mau tanya berkaitan dengan Kala dan pernyataan lo bahwa itu adalah reaksi sosial. Adegan homo di film Kalague rasa esensial banget buat lo, dan lo harus mengatakan hal itu dalam film ini. Gue merasa kalau itu sesuatu yang dalam sebetulnya. Buat gue itu adalah statement yang esensial dari film itu. Lo nggak nganggep itu sebagai sesuatu yang personal? Joko Anwar: Mmm…sebenarnya nggak personal sama sekali. Sekarang kan kebanyakan orang memaksakan nilainya ke orang lain, dan parah. Indonesia sangat parah menurut gue. Pertanyaan gue adalah bagaimana jika orang yang akan menyelamatkan lo adalah orang yang mempunyai nilai berbeda dari lo. That’s it! Kenapa gue masukkan kalau si tokoh Ratu Adil ini homoseksual? karena pada waktu itu nggak bisa nyari yang lain lagi dan menurut gue itu yang paling gampang tanpa mengambil waktu banyak dari film itu.

1029

Eric Sasono

16 Juni 2008, 18:19

PERCAKAPAN JOKO ANWAR, EDWIN, DAN ERIC SASONO

“Apa Bener-Bener Dapat Duit Suster Ngesot itu?”

BAGIAN 2

F

ilm-film layar lebar Indonesia sekarang ramai bermunculan mengisi layar beragai bioskop. Tapi, Edwin justru merasa perfilman Indonesia kini sedang sangat sepi. Ia merasa kehilangan film Indonesia yang inspiratif dan asyik ia nikmati sebagai bocah. Mengapa ia menghubungkan senyapnya keragaman dalam film Indonesia dengan masuknya Joko Anwar sebagai sutradara? Joko Anwar: What do you think about Indonesian films? Edwin: Film Indonesia? Sebenarnya sih saya nggak banyak nonton film Indonesia sekarang-sekarang ini, juga beberapa beberapa tahun belakangan. Joko Anwar: Tahun 2007 ini saja deh misalnya

“APA BENER-BENER DAPAT DUIT SUSTER NGESOT ITU?”

Edwin: 2007 ini saya nonton film apa ya? Keliatannya film Indonesia ramai, tapi ramainya itu apa ya, kurang enak gitu lah. Maksudnya ramainya terlalu dibuat buat. Kayak orang pengen ramai-ramaiin aja. Ramai tapi gak penting.. Joko Anwar: Kebanyakan nggak ada yang bisa dirayakan dari film-film Indonesia. Nothing to celebrate about, begitu maksudnya? Edwin: Maksudnya, kalau ramai tahun 70-an, 80-an, waktu saya masih kecil, masih bego-begonya dan belum tahu banyak, film (Indonesia-red) itu sesuatu yang sangat inspiratif. Asik untuk diikuti. Tapi sekarang nggak. Justru mungkin awal-awal film Indonesia setelah reformasi itu asik untuk diikutin. Mulai dari Garin (Nugroho), Nan (Achnas), trus ada Petualangan Sherina, enak gitu ngikutinnya. Tapi setelah lo masuk di saat yang rame banget, berkurang keberagaman tiba tiba. Padahal ramai kan? Suasananya tiba-tiba jadi sepi lagi, kayak semu gitu.. Eric Sasono: Karena Joko masuk, gitu? Edwin dan Joko: Hehehehe.. Joko Anwar: Gue masih belum nangkep. Kenapa dengan zaman dulu, zaman si Garin dan segala macem… Edwin: Gimana nggak rame, ada film seks, ada film Dono, ada film Teguh Karya yang ribet begitu, film mistiknya juga asik. Juga ada drama yang standar-standar aja kayak Roy Marten, Rano Karno. Tapi konsisten. Orang banyak merasakan ada keberagaman. Nah sekarang ini (film Indonesia-red) ramai tapi nggak berteriak apapun. Mereka tuh kayak nggak punya suara. Kita-kita ini, sekarang ini meramaikan buat apa? Untuk

1031

1032

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

merayakan apa sih keramaian-keramaian ini? Kenapa orang bikin film? Mau duit doang? sebenernya saya juga bertanya, apakah benar-benar dapet duit si “suster ngesot” itu? Seberapa sih dapet duitnya.. Eric Sasono: Win, lo nggak nanya Joko, apa yang mau dia katakan dengan filmnya? Edwin: Jok, kenapa sih lo masuk ke film di saat yang, menurut saya sebenernya… Joko Anwar: Gue? lo juga masuk kan sama-sama gue.. Edwin: Nggak dong. Saya kan masih lebih muda. Maksudnya, saya belum bikin film Jok. Masih sering banget ditanyain, kapan bikin film beneran? Nah lo kan sudah pernah bikin film beneran. Janji Joni itu tahun berapa? Joko Anwar: 2005 Edwin: Nah 2005. Ingat nggak Jok, kira-kira barengan sama film apa di tahun itu? Joko Anwar: Jomblo, Apa Artinya Cinta , Gerbang 13, macammacam … Edwin: Tapi pada saat itu yang saya tonton cuma Janji Joni dan Gie. Apa Artinya Cinta saya nonton sambil ngeganja. Jadi buat seneng-senengan. Ngga cukup berhasil… Joko Anwar: Jadi lo nggak banyak nonton film Indonesia? Kalau gue, semua gue tonton

“APA BENER-BENER DAPAT DUIT SUSTER NGESOT ITU?”

Edwin: Jomblo aja gue nggak nonton.. Joko Anwar: Jomblo nggak nonton? Edwin: Jomblo gue nggak nonton. Filmnya Hanung saya cuma nonton yang pertama, Brownies. Itu aja. Joko Anwar: Bagus nggak? (Edwin menjawab, tapi meminta jawaban untuk pertanyaan ini off-the record). Edwin: Lo kan masuk di jaman itu. Perasaan lo gimana? Masuk di saat masih agak enak lah. Saya ngeliat tahun 2005 itu masih asik. Tahun 2006, 2007 itu saya sudah mulai agak-agak malas. Joko Anwar: Kenapa malas? Lo bilang film Indonesia begini, begini, begini, tapi lo ngga nonton semua, gimana dong? Edwin: Saya nonton film emang feeling-feelingan saja sih Jok. Yaa nggak tahu, mood waktu itu nggak enak untuk nonton film.. Eric Sasono: Kembali ke pertanyaan Edwin. Bagaimana perasaan lo Jok, masuk ke film pada waktu film Indonesia sedang tak terlalu baik lah.. Joko Anwar: Nggak ada masalah… Edwin: Lo dengan kondisi tahun itu merasa film Indonesia akan bagus-bagus saja? Soalnya saya melihat tahun 2000 itu dengan semangat. Tahun 1998 sudah pengen masuk IKJ, sekolah film. Kalau saya pengen sekolah lagi di tahun 2002, saya nggak bakalan milih sekolah film. Mungkin kayak dulu aja, seneng-senengan

1033

1034

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

nonton film, nggak pernah pengen bikin film. Tapi karena pas timing-nya, di tahun 1998 dan 2000-an itu, wah asyik nih, seru nih film kayaknya. Maka saya masuk sekolah film. Joko Anwar: Kalau gue memandang film Indonesia secara atmosfir mungkin. Gue nggak pernah menganggap ini sebagai kondisi yang menyenangkan. Dalam artian ada sesuatu yang bisa di-celebrate apakah itu film yang komersil kaya Harry Potter atau film-film independen. Kan (film Indonesia) nggak ada yang kayak gitu. Untungnya di Indonesia itu sesekali ada yang membuat gue senang. Paling nggak ada sesuatu yang bisa membuat gue masuk ke bioskop nonton film-film indonesia. Tahun 2005 ada Realita Cinta dan Rock ‘n’Roll. Terus apa lagi ya? Pokoknya tahun itu ada beberapa film yang bikin gue seneng di bioskop. Bukan berarti filmnya film yang bagus tapi at least ada satu perasaan di dalam diri gue yang terwakili untuk mencari sesuatu yang bisa bikin guecelebrate. Dengan segala kekurangannya, Nagabonar Jadi 2 buat gue sangat entertaining dan juga well made. Lalu ada The Photograph yang worth watching, yang gue nggak ngerasa down dengan film-film yang bikin down... di atas bantal… hehehehe… Edwin: The Photograph sih saya nonton...

Eric Sasono

16 Juni 2008, 18:19

PERCAKAPAN JOKO ANWAR, EDWIN, DAN ERIC SASONO

“Wawasan Penonton dan Wawasan Filmmaker Timpang.” BAGIAN 3

F

ilm dan perfilman Indonesia selalu menarik dibincang dan diperdebatkan. Tapi mengapa Edwin mengatakan film Indonesia tak ada, sementara Joko Anwar ngotot mengatakan sudah ada? Bagaimana pula dua sutradara ini memandang rekor film-film di box-office? Juga apa alasan Joko ngotot menyebut film yang totally escapism diperlukan? Joko Anwar: Gue ada satu pertanyaan. Lo kan sekarang ini filmmaker yg sedang bikin film Indonesia. You do it in this country, man. Lo punya kekhawatiran nggak sih tentang film Indonesia, tentang perfilman Indonesia? Edwin: Ada sih. Maksudnya gini. Perfilman Indonesia kan yang nyiptain kita sendiri. Itu sesuatu yang nggak ada sebetulnya. Istilah doang.

1036

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Joko Anwar: Lo ngomongnya masih kayak Slamet Rahardjo… ”film Indonesia emang sudah ada”? Sutralaaah ada, udah!! Edwin: Ngga ada, Jok.. Joko Anwar: Ada lah! Suster Ngesot kan film Indonesia. Film Indonesia kan film yang dibuat… Edwin: Dibuat orang Indonesia? Iya. Tapi, maksud lo perfilman kan? Joko Anwar: Iya! Lo punya nggak kekhawatiran? Kalau gue punya... Edwin: Nggak, nggak ke film. Perfilman Indonesia kalau memang masih kayak gitu tadi, bakal terus ada. Orang akan tetep bikin film. Joko Anwar: Kekhawatiran gue begini... Gue ngomong dalam konteks director yang have something to say kayak Riri Riza, Nia Dinata. Mereka nggak akan bikin film seandainya mereka nggak punya sesuatu untuk dikatakan. Sementara ada director for hire. Buat gue Garin Nugroho masih director for hire, karena Opera Jawa juga dibuat … (Joko tak menyelesaikan kalimatnya. Film Opera Jawa memang dibuat untuk memperingati 250 tahun kematian Wolfgang Amadeus Mozart - red). Gue terus terang kepingin ada industri film di Indonesia. Karena industri akan memastikan semua orang yang terlibat tetep bisa bikin film, apakah mereka director for hire ataukah yang have something to say. Mereka harus bisa co-exist. Kalau kita lihat Hollywood misalnya. Mereka punya film yang totally escapism, tapi juga ada filmmaker yang punya something to say. And somehow mereka subsidi silang. Film-film yang escapism ini they still well made , masih bisa

“WAWASAN PENONTON DAN WAWASAN FILMMAKER TIMPANG.”

dihormati sebagai film. Nah di Indonesia, jalur yang escapism ini they are so bad. Dan kayaknya peningkatan wawasan film penonton dan wawasan pembuat filmnya timpang banget. Penontonnya makin lama semakin pinter karena pilihan makin banyak, DVD bajakan makin bagus, sementara filmmaker kita nggak. Gue takut kalau ini mati, kita bakal balik ke jaman dulu lagi tahun 1990-an. Coba, kebangkitan film dimulai dari apa? Dimulai dari komersil! lihat Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta. Tahun 1960-an ketika film Hollywood sangat boring orang lari dari bioskop. Nggak ada lagi yang mau nonton film. Orangorang lalu menciptakan blockbuster. Ada yang bikin film dengan gaya mereka tapi tetap menarik penonton. Orang-orang kayak Steven Spielberg mungkin sekarang dilihat sebagai mainstream filmmaker. Tapi tahun 1971-1972 dia dilihat sebagai pionir ketika baru pertamakali bikin film blockbuster Jaws. Juga Martin Scorsese, Francis Coppola dengan film-filmnya. Film-film komersil yang memulai semua ini. Nah, kita ini komersilnya nggak jalan. Tahun ini coba. Film apa yang huge success?? Nggak ada! Kecuali mungkin Nagabonar Jadi 2. Bukan Bintang Biasa yang didesain sebagai film yang sukses nggak laku karena suatu hal. Padahal promonya gila-gilaan. Kekhawatiran gue cuma itu. Edwin: Buat Joko kekhawatirannya masuk akal karena dia melihat bahwa film itu ada karena ada yang nonton. Dan kalau begitu berarti bisa dihitung. Jelas takarannya: semakin banyak yang nonton, eksistensi film itu jadi lebih gede. Joko Anwar: Oke, gue koreksi sedikit. Perfilman itu eksis kalau ada penonton. Tapi bukan per film. Jadi kalau misalnya ada satu film target audience-nya memang kecil ya nggak papa juga. Edwin: Tapi kan lo bilang tadi, semua dimulai dari yang komersil? Berarti komersil ukurannya box office lah, apa lah..

1037

1038

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Joko Anwar: Iya maksud gue gini. Gue sekarang berada di jalur ini. Tapi gue butuh orang yang diseberang gue untuk bagus juga. Edwin: Kenapa lo butuh mereka bagus? Joko Anwar: Seperti gue bilang. Salah satu nggak bakal bisa maju kalau yang lain nggak maju juga. Edwin: Kalau refer ke Hollywood sih memang begitu kondisinya.. Joko Anwar: Di mana-mana.. Edwin: Misalnya taruhlah nggak ada lagi yang bikin film, terus tiba-tiba ada satu film. Cuma filmnya Garin doang gitu, kayak tahun 1995-an. Itu film ada! Film Indonesia tuh ada.. Joko Anwar: Iya ada.. Tapi orang yang mau bikin film sangat terbatas. Gak semua bisa. Edwin: Tapi film Indonesia tetap ada kan? Tadi kan pertanyaannya takut kalau film Indonesia itu nggak akan ada lagi? Joko Anwar: Nggak. Gue takut akan kembali ke jaman itu lagi. Sekarang mau nggak mau kita harus kembali ke hakikat film sebagai sebuah karya seni yang membutuhkan banyak duit.. Edwin: Gue lihat sekarang kan film komersil ini jadi lebih nggak maju-maju di Indonesia… gitu ya? Joko Anwar: Commercial filmmaking..

“WAWASAN PENONTON DAN WAWASAN FILMMAKER TIMPANG.”

Edwin: Ya, commercial filmmaking lagi stuck banget. Nggak ada peningkatan dan nggak bener… Kalau lo boleh milih, kayak gini terus atau hilangin aja yang ini? Joko Anwar: Nggak bisa! Edwin: Nggak. Harus milih. Lebih enak mana begini terus -sampai seumur hidup lo -- atau mendingan nggak ada semuanya terus yang nongol yang kecil-kecil aja? Joko Anwar: Gue milih bakal berusaha untuk masuk ke sisi yang komersil. Karena gue pikir itu bagus. Makanya sekarang gue punya rencana sama Richard Oh bikin film untuk mass-market tapi dibikin dengan kompeten. Edwin: Oke. Terus kalau lo lihat film-film di sebelah lain, film-film yang non-komersil itu, lo lihat sudah bagus? Joko Anwar: Nah, kalau film yang di sebelah situ, parameternya agak susah-susah. Karena itu art movie, susah ngukurnya.. Edwin: Tapi keberadaan mereka.. Joko Anwar: Kalau menurut gue, sekarang jangan. Edwin: Jangan? Joko Anwar: Jangan. Eric Sasono: Seberapa besar sih Win arti penonton buat filmfilm lo?

1039

1040

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Edwin: Ya senanglah kalau mereka ada. Tapi gini. Film itu tidak dibuat untuk mereka pada awalnya. Susah gitu membayangkan siapa yang bakal menonton film saya, misalnya Babi Buta.. Joko Anwar: Terus lo bakal mencoba nggak? Misalnya kelak dalam perjalanan bikin film lo mikir penonton? Misalnya lo bikin Babi Buta karena ada yang ingin lo sampaikan. Pertanyaan atau apalah, itu lo coba untuk lempar sampai ke penonton nggak? Dengan kata lain, mencoba supaya penonton dimudahkan untuk bisa ngakses film lo. Edwin: Sudah pernah dicoba sih, tapi susah banget Jok. Susah banget dalam arti seperti menebak-nebak beribu-ribu, berjutajuta karakter orang gitu. Film Babi Buta itu awalnya dari sesuatu yang personal, sesuatu yang pribadi, kok sekarang jadi buat orang lain. Maknanya kok berkurang rasanya. Terus ya sudah… kita balikin lagi. Sepanjang kita yang bekerja mengerti filmnya, beres. Kru kita kecil tapi punya keunggulan. Bisa ngobrol terus-terusan. Itu aja yang terus di-maintain. Jadi mereka bekerja karena sudah tahu apa yang mereka kerjakan. Kita semua tahu karena kita tahu apa yang harus kita kerjakan. Pernah suatu masa kita meeting untuk membayangkan kita jadi penonton, atau memikirkan penonton gitu. Berubah semua yang kita rencanakan, jadi kehilangan nyawanya.

Eric Sasono

16 Juni 2008, 18:19

PERCAKAPAN JOKO ANWAR, EDWIN, DAN ERIC SASONO

“Mereka Menonton Cenderung Untuk Mencari-cari Kesalahan.” BAGIAN 4

S

etiap Sutradara memiliki rujukan kenangan sendiri. Edwin memulai dengan melahap filmfilm Hollywood. Sementara Joko Anwar menggilai film-film kunfu. Mengenai penonton film Indonesia sekarang? Joko menyebutnya mirip orang kaya baru, atau lebih tepat film buff baru. Tapi, apa alasan Joko menyebut penonton film Indonesia melek film sekadar judul? Joko Anwar: Root film lo apa sih Win? Edwin: Root film? Joko Anwar: Maksudnya film-film yang lo tonton.. Edwin: Hollywood lah pasti.

1042

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Joko Anwar: Hollywood? Edwin: Dari kecil nonton Hollywood lah. Film pertama kayak Jaws, Steven Speilberg, Indiana Jones, Rocky. Terus mulai bosan. Mulai ada Oscar. Kok yang menang Oscar nggak pernah saya tonton ya? Mulailah nonton Godfather, Silence of The Lamb. Ya udah trus mulai banyak sih tontonan. Animasi juga, Walt Disney. Sampai sekarang gue nonton animasi. Terakhir Ratatouille. Nonton film-film yang ribet sesudah sekolah film. Tapi nggak bisa dikaitkan deh. Sekarang ini saya bekerja lebih seperti kumpulan dari semua yang pernah saya tonton itu. Tapi lebih alam bawah sadar yang bekerja. Susah sih njelasinnya. Kadang-kadang nggak berhubungan apa yang kita pernah tonton dengan apa yang kita bikin. Beda bagian otak kayaknya.. Joko Anwar: Root film gue, film-film kungfu, film b-movie dan sekarang bikin film ya seperti itu. Edwin: Waktu sebelum bikin film saya pernah nulis. Waktu SMA lah. Kan waktu itu belum kepikiran bikin film atau nulis. Ada cerita-cerita dan tulisan-tulisan sehabis nonton film atau baca komik. Kalau sekarang saya lihat tulisan-tulisan itu, sebenarnya juga nggak sama juga dengan yang ditonton masa itu. Jadi yang saya tonton cuma jadi trigger aja. Kalau film-film itu menjadi motivasi untuk membuat sesuatu sih iya. Kalau lagi nulis, susah ingat sama film yang pernah saya tonton… Joko Anwar: Wah kalau gue sih all the time .. Edwin: Saya gampang lupa sama apapun sih.. Eric Sasono: Buat lo penonton itu apa Jok?

“MEREKA MENONTON CENDERUNG UNTUK MENCARI-CARI KESALAHAN.”

Joko Anwar: Penikmat yang baik. Penting banget. Gue bikin film buat penonton. Eric Sasono: Yang lo bayangkan penonton film Indonesia seperti apa? Joko Awar: Penonton film Indonesia ini mirip orang kaya baru. Bedanya, penonton film Indonesia ini film-buff baru. Kita dulu susah untuk mengakses film. Film cuma yang diputar di bioskop karena kita tidak punya sistem distribusi video yang baik. Jadi terbatas tontonan kita. Tiba-tiba, muncul teknologi VCD yang lebih oke, lalu DVD yang memungkinkan semua film jenis apapun dari negara manapun bisa masuk ke Indonesia lewat DVD bajakan. Jadi gue pro-bajakan nih sekarang. Sebab penonton bisa mengakses itu semua. Terus ada semacam sindrom film-buff baru, mereka merasa diri mereka paling pintar, tapi sebenarnya nggak. Eric Sasono: Jadi lo nggak percaya bahwa penonton Indonesia melek film? Joko Anwar: Melek film sekadar judul. Mereka tahu filmnya, judulnya apa. Gue sering baca milis-milis, forum-forum, discussion board -- kafegaul misalnya -- kalau lo baca komentarnya lucu-lucu gitu. Lo bisa ketawa-ketawa sendiri karena mereka tahu judul, tapi begitulah… Misalnya mereka tahu film ini bagus karena ini itu. Tapi mereka bisa dibilang masih sangat artifisial. Apapun, mereka berpengaruh besar sama perfilman, karena penonton adalah faktor yang sangat besar. Attitude mereka itu menjadi faktor penting. Begitu mereka kena sindrom film-buff baru, mereka menonton film cenderung untuk mencari-cari kesalahan. Jadi mereka selalu menempatkan diri di atas sebuah film. Padahal kalau lo mau mengambil sesuatu yang bagus dari

1043

1044

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

film, mengambil manfaat dari pergi ke bioskop atau menyetel VCD, lo harus menempatkan diri setara dengan film itu. Lo masuk ke film itu mencari tahu what is that movie all about . Eric Sasono: Dengan dua film lo ini, apakah lo bisa— katakanlah—mengarahkan penonton film Indonesia ini? Joko Anwar: Mungkin terdengar arogan tapi that’s what I am doing right now. Itu yang bakal terus gue lakuin. Karena dari kecil, pendidikan yang gue dapat itu dari film-film yang gue tonton. Kalau gue masuk ke bioskop I want to love that film, dan gue dapat pendidikan tentang hidup, everything about it. Juga tentang how to treat people, how to deal with emotion dari film-film yang gue tonton. Tapi, begitu kita menempatkan diri di atas film, kita masuk ke bioskop untuk mencari kesalahan. Sekarang sindrom ini bukan cuma menjangkiti penonton biasa. Yang menulis kritik di koran di majalah semua seperti itu. Paling parah buat kritikus film ketika mereka kena sindrom film-buff baru. Mereka merasa tahu semuanya. Mereka nggak bakal dapat apa-apa. Dan mereka nulis! Eric Sasono: Buat lo Win, lo sudah bikin empat film pendek. Menurut lo penonton film lo siapa sih? Edwin: Nggak tahu.. Eric Sasono: Nggak tahu? Edwin: Kalau yang datang itu sih kebanyakan anak-anak SMA… Eric Sasono: Mereka ngasih komentar? Ada yang paling lo ingat dari komentar-komentar itu?

“MEREKA MENONTON CENDERUNG UNTUK MENCARI-CARI KESALAHAN.”

Edwin: Biasanya pertanyaan dan komentar mereka ada hubungannya sama logika. Misalnya di Kara. Patung Ronald McDonald itu jatuh dari mana? Terakhir ada yang nanya: ada anak kecil mukul-mukul Ronald McDonald pakai pedang di McD kenapa nggak distop sih, malah dikasih minuman? Semacam yang logis-logis begitu lah. Joko Anwar: Nah, itu karena penonton film Indonesia masih melihat film per part. Padahal kalau nonton film kita harus menikmati the whole experience. Bukan cuma anak SMA, yang tua juga begitu. Mereka masuk untuk scrutinize… terutama film Indonesia. Karena berpikir film Indonesia bodoh-bodoh mereka masih berpikir di mana nih kesalahannya. Coba lihat film Barat, ‘wah, film ini keren banget’ dan mereka nggak mencoba untuk mencari kesalahan. Mereka melihat film Indonesia juga melihat sutradaranya. Beberapa sutradara Indonesia punya previlege atau mungkin anti-previlege, gue nggak tahu. Ketika mereka bikin film sesampah apapun mereka dipuji. Ada beberapa filmmaker kita yang gitu. (Film) ini bagus banget karena yang bikin si ini, si ini… (Eric sasono dan Edwin meminta Joko menyebut nama. Joko menyebut nama, tapi ia minta bagian itu off the record) Joko Anwar: (bertanya ke Edwin) Seperti apa sih kritik film bagi lo? Edwin: Kritik. Nggak ada sih yang ngritik. Perlu sih perlu. Eric Sasono: Lo mengharapkan reaksi seperti apa sih dari penonton? Edwin: Sudah biasa dapat reaksi begitu, nggak ada harapan lagi. Kalau Joko kan melihat: posisi penonton kita bagaimana, dia tahu. Dan dia berusaha mengajar mereka untuk pelan-pelan

1045

1046

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

mengerti. Joko mau mengerti mereka, mereka mau mengerti Joko, ngobrollah mereka. Kalau saya sih nggak.. Eric Sasono: Nggak berusaha? Edwin: Nggak. Susah, kayaknya. Nggak nyampe.. Eric Sasono: Kalau dibilang onani gimana? Edwin: Ya nggak papa sih. Onani enak juga. Hahahahaha.. Sampai sekarang pun orang nggak akan onani kalau nggak enak.. Joko Anwar: Gue lebih suka onani lho, daripada sama orang. Tapi bukan film. Film gue nggak onani. Edwin: Aku nggak terus-terusan lah. (Film) yang kedua pengen juga kayak Joko.. Eric Sasono : Tapi mungkin gini, pertanyaannya diubah. Lo merasa punya sparring partner nggak dalam film-film yang lo hasilkan? Atau dalam proses. Di luar kru ya.. Edwin: Di kru jelas ada ya. Makanya pakai kru yang sama. Kita tumbuh bareng lah. Di luar kru jarang banget kalau nggak bisa dibilang nggak ada, kali. Eric Sasono: Festival punya arti nggak buat lo? Edwin: Festival itu nyenengin di awal-awalnya. Saya merasa dihargai. Tapi ternyata sama juga. Dalam soal penonton sama juga. Tapi minimal, mereka di festival itu memberikan semangat untuk: ‘nggak papa, lo bikin film kayak gitu nggak papa’.

“MEREKA MENONTON CENDERUNG UNTUK MENCARI-CARI KESALAHAN.”

Joko Anwar: Sebenarnya festival film itu pentingnya buat seorang filmmaker adalah untuk sadar bahwa mereka nggak sendiri dan ruang bermain mereka bukan cuma di Indonesia doang. Mengunjungi festival menurut gue adalah pengalaman yang bikin kita humble. Karena bertemu banyak filmmaker yang bagus-bagus dan filmmaker yang keren-keren. Jadi kita nggak sombong dan kita bisa terpacu. Kalau kita nggak kemana-mana, kita cuma bikin di sini, apalagi kalau di negara sendiri dipuji-puji, ya sudah, putus. You are so good and you are so crap, nggak sadar! Edwin: Ada sih partner in crime dari festival. Kita bisa kenal ada yang sama kayak kita. Punya masalah yang sama dan diskusinya, walaupun kecil, tapi punya arti. Kalau dari Malaysia ada Tan Chui Mui. Dari Filipina ada Joe Torres. Karakternya beda, filmnya beda tapi ada yang sama, kayak punya teman. Senang kalau ngeliat dia ngapain, atau sekarang lagi bikin film baru apa, pengen tahu apa yang lagi dikerjain. Kalau di sini ada Ifa (Ifansyah - red).

1047

Eric Sasono

16 Juni 2008, 18:19

PERCAKAPAN JOKO ANWAR, EDWIN, DAN ERIC SASONO

“Investor Sudah Bertanya ‘Kok Si Ini Bisa...’” BAGIAN 5

G

elombang baru perfilman Indonesia, belakangan memunculkan fenomena film-film murah dan laku. Apa dampak trend ini bagi filmmaker? Edwin: Kali ini ngomong bikin film cepat kayak Rudi (Sujarwo – red). Dia bikin kayak gitu gimana? Berapa hari tuh? Berapa juta? Bagaimana menurut lo? Eric Sasono: Pertanyaan soal moda produksi ini buat beberapa orang sudah mulai mengganggu. Karena sudah jadi benchmark. Produksinya murah dan laku. Tuh lihat, penontonnya banyak. Mengganggu, karena beberapa investor sudah bertanya ‘kok si ini bisa..’ Joko Anwar: Itu kekhawatiran yang gue rasakan juga. Alumni FFTV IKJ pernah bikin diskusi sehari judulnya film instan. Itu

“INVESTOR SUDAH BERTANYA ‘KOK SI INI BISA...’”

diadakan karena kekhawatiran seperti yang gue bilang tadi. Beberapa sudah khawatir karena sekarang ada benchmark baru yang sudah sangat rendah, sehingga mereka yang ingin bekerja dalam situasi yang katakanlah lebih proper, dengan bayaran yang lebih manusiawi merasa ter-challenge, merasa terganggu. Apa sih bahasanya? Terancam! Seharusnya sistem produksi itu dipilih setelah kita lihat filmnya apa dan dipilih yang cocok untuk film itu. Kalau misalnya ada orang yang bilang bahwa film disyuting 7 hari tidak benar, gue tidak setuju. Karena tergantung mau bikin film apa. Ada orang yang bikin film satu hari. Russian Ark misalnya, syutingnya cuma satu hari karena one take. Edwin: Tapi juga nggak 700 juta (rupiah).. Joko Anwar: Blair Witch Project… itu 200 juta. Edwin: Tapi juga bukan buat mainstream, komersil. Joko Anwar: Maksud gue, lo mau bikin film sistemnya seperti apa, syutingnya sesuai dengan filmnya, gitu. Kayak film Little Shop of Horror tahun 1968 misalnya, syuting cuma dua hari, modalnya juga kecil, box-office dan dianggap sebagai milestone film horror. Bersama Blair Witch Project, Little Shop dianggap film yang sangat jenius. Sekarang masalahnya di Indonesia sistem produksi film sesuaikah dengan filmnya? Sistem produksi yang digunakan, film instan itu, apakah sudah sesuai dengan film yang diproduksi? Jadi kalau ditanya benar atau salah? Salah! Seharusnya yang dipertanyakan bukan sistem produksinya tapi apakah cocok dengan film yang akan dibikin. Kalau kita lihat, film yang dibikin itu sebenarnya film dengan lokasi banyak, membutuhkan persiapan besar, sehingga syutingnya juga seharusnya lebih proper. Masalahnya kan di situ. Sekarang masalah kedua, masalah kekhawatiran orang-orang yang ingin

1049

1050

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

bekerja dalam situasi yang lebih proper. Kalau menurut gue kita nggak bisa khawatir dengan adanya benchmark baru ini. Kalau menurut gue, sebagai filmmaker apapun posisi lo, expertiselo, lo harus membuat diri loindispensable. Jadi tidak bisa tidak, orang harus makai lo. Kalau misalnya ada art director yang satu produksi minta 100 juta (rupiah) sementara sekarang muncul anak-anak yang bisa dibayar hanya dengan 5 juta dan hasilnya sama, lalu salah siapa? Art Director itu nggak bisa membuat dirinya sangat bagus sekali sehingga harus makai dia. Kalau menurut gue, you have to make yourself indispensable. Eric Sasono: Soal kualitas sumberdaya manusia… Joko Anwar: Kita harus pakai Edwin, gak bisa kalau nggak pakai Edwin. Tapi dia mahal. Ya gimana dong, dia bagus dan kita butuh yang seperti itu. Jadi, orang harus pakai expertiselo. Karena memang hanya lo yang bisa ngelakuin itu.. Eric Sasono: Buat lo Win, apa produk-produk film instant yang lo tunjuk sebagai ‘keramaian palsu’ film Indonesia? Edwin: Kalau buat sisi industri sih seru pasti. Tapi bukan, bukan masalah itu. Mungkin ke depannya akan ada semacam pijakan bareng-bareng, entah etika atau apa, yang bisa menjawab itu dengan lebih fair… Eric Sasono: Win, guengedengerlo ngomong itu sebagai kru. Sekarang bagaimana lo sebagai filmmaker melihat sistem produksi seperti itu? Edwin : Saya nggak pernah berada pada posisi itu. Maksudnya saya bukan kru yang dibayar, belum pernah menjadi itu. Film-

“INVESTOR SUDAH BERTANYA ‘KOK SI INI BISA...’”

film saya, saya cari dananya sendiri. Sampai sekarang ini belum pernah di posisi yang Joko ceritain tadi.. Eric Sasono: Iya, maka sebetulnya lo nggak terlalu khawatir juga mungkin.. Edwin: Sekarang memang belum kesentuh jadi nggak terlalu keganggu banget. Karena nggak ngerasain kan. Tapi nggak tahu kalau berikutnya saya mau bikin film yang untuk pasar.. Joko Anwar: Mungkin kalau Edwin sudah sampai di pertanyaan: ‘apakah gue harus hidup dari film’ baru kerasa… Edwin: Iya. Joko Anwar : Lo sekarang hidup dari mana? Edwin: Ya video klip.. Joko Anwar: Nah, kalau kayak gue, hidup gue dari film. Gue nggak bikin iklan, nggak bikin video klip.. Edwin: Tapi video klip pun juga ada gitu-gituannya. Maksudnya kalau mau disamain bisa aja.. Joko Anwar: Itu masalah yang bakal dihadapi nanti kalau misalnya terbentuk asosiasi. Jaman sekarang okelah kalau kita mau bikin asosiasi dengan segala concern-nya. Fine. Tapi it’s not the end of the story. Pasti muncul masalah. Pasti. Masalah duit aja yang paling gampang. Karena salah satu yang diurus asosiasi biasanya adalah standar bayaran. Orang yang masuk asosiasi produser harus bayar sekian. Pasti orang mikir lah..

1051

1052

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Eric Sasono: Jok, soal cari duit dari film. Lo sebut ada director for hire dan ada katakanlah director with statement. Banyak orang beralasan jadi director for hire dengan alasan dia lagi nyari duit sehingga akhirnya berada dalam posisi itu. Lo sendiri merasa bisa bertahan dengan statemen-statemen lo terus dalam bikin film? Joko Anwar: Seperti gue bilang, si director for hire seharusnya mereka co-exist. Kita membutuhkan mereka. Tapi mereka harus… they have to make it with craft. Gue pengen tetap di sini. Makanya gue bikin production company. Make film for mass. Mungkin bukan gue yang nge-direct. I will produce it. Gue yang nulis. Tapi make it with craft. I’m very positive sama film Indonesia. Gue yakin kok. Tapi kita harus aktif. Gue harus aktif. Mungkin kedengarannya seperti bullshit, tapi gue seperti itu. Edwin: Craftmanship yang gimana nih yang kurang? Joko Anwar: Everything! Sekarang yang paling kurang menurut gue adalah kesadaran bahwa bahwa everything about teknik di film adalah storytelling. Kan selama ini orang selalu menaruh di pundak scriptwriter untuk storytelling. Padahal yang namanya camera movement, whatever itu semua storytelling. Craftmaship in what? In storytelling. Jadi bukan asal supaya kameranya dibikin keren segala macam. If it doesn’t tella story kamera bergerak satu mili pun don’t do it. Eric Sasono: Lo ngelihat film-filmnya Edwin bagaimana? Joko Anwar: Oh, Edwin adalah salah satu filmmaker yang sangat gue respek di Indonesia. Edwin: Taiklu!

“INVESTOR SUDAH BERTANYA ‘KOK SI INI BISA...’”

Joko Anwar: Serius. Serius. Eric Sasono: Kenapa? Joko Anwar: Karena dia bisa membuat film-film yang seperti gue bilang tadi. Satu gel gitu. Kalau misalnya Edwin kita ibaratkan bikin kue, dia bikin gel gitu. As a whole, it’s very inspiring. Dan kalau gue lihat, dia punya storytelling walaupun dia nggak menyadari itu. Mungkin sangat intuitif tapi pemilihan medium apa segala macam itu storytelling.. Eric Sasono: Gue nanya sebaliknya. Win, lo ngeliat film-filmnya Joko gimana? Edwin: Janji Joni dan Kala? Eric Sasono: Iya. Edwin: Copy paste aja dari jawaban Joko. Hehehe. Joko... anjing. Anjinglah Joko..

1053

Eric Sasono

16 Juni 2008, 18:19

PERCAKAPAN JOKO ANWAR, EDWIN, DAN ERIC SASONO

“Saya masih Mencoba Memfilmkan Bau.”

BAGIAN 6

J

oko Anwar merasa di era kini hampir mustahil untuk bisa meraih invention baru di film. Semua praktis telah ditemukan. Tapi, menyumbang re-invention masih dimungkinkan. Lalu apa re-invention yang digagas Joko? Mengapa pula ia sangat menyukai film-film yang memprovokasi? Film seperti apakah itu? Eric Sasono: Win, Lo ngelihat craftmanship nggak dari filmfilmnya Joko? Edwin: Ada usaha ke arah sana. Joko Anwar: Ada usaha. Haahhaha! Berhasil enggak, nomor dua. Edwin: Ada. Storytelling jelas. Lo sebagai penulis, penulis yang bagus. Lo bikin film Janji Joni itu, terhiburlah yang nonton film

“SAYA MASIH MENCOBA MEMFILMKAN BAU.”

itu. Paling itu kan maksud lo bikin film itu? Maksudnya, Joko dan cintanya terhadap film selalu kelihatan di dua filmnya. Dari Janji Joni ada passion film. Statemen-statemennya tentang film, itu ada semua. Pada Kala juga, tapi dalam bentuk yang beda. Meminjam istilah Joko, genre-bending. Itu menarik banget. Kalau saya menjadi seorang Joko memang itu yang paling asik. Ketika kita sudah tahu semua struktur yang benar bagaimana. Ayo dong kita main-main dengan ramuan yang tadinya baku itu. Jadinya dia tahu posisinya dimana dalam film-filmnya itu.. Eric Sasono: Jadi lo juga bisa ngeliat bahwa ada statement yang diucapkan Joko dalam film-filmnya? Edwin: Mmm.. statement sih lebih ke sesuatu yang bukan personal. Tapi lebih tentang film. Tentang passion. Tentang sekelilingnya gitu. Belum kelihatan sih sesuatu yang personal dari dia. Maksudnya sih mungkin ada. Tapi nggak asiklah dibahas. Enakan ngebahas bagaimana teknik-teknik dia untuk menceritakan, untuk memain-mainkan genre noir di Kala? Sama orang-orang sekolahan Kala dilihat sebagai film noir yang salah. Padahal sebenarnya ya memang salah. Karena dia memang bermaksud merusak genre noir. Joko Anwar: Satu hal yang sering diucapkan teman-teman ketika gue bikin Kala. Mereka bilang, bahkan mereka bikin di blog mereka, film itu another movie of Joko that would be misunderstood. Tapi selalu ada resiko itu ketika elo memutuskan untuk tidak memakai easy way. Sebenarnya kalau mau ditanya apakah ada yang personal dalam film-film gue? ada beberapa. Tapi per part kayak adegan Kala pertama kali ketika elo liat ada payungpayung dari atas ada seseorang datang berlari dari kanan ke kiri, itu adalah statement gue. I will not take easy. Ada beberapa orang yang hujan mereka jalan pakai payung. Mereka jalan dari kiri ke

1055

1056

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

kanan. Kan kita biasa baca dari kiri ke kanan. Gampang ngelihatnya. Begitu kita baca dari kanan ke kiri, nggak biasa gitu. Mungkin film gue lebih dinikmati di Arab. Hahahaha… Dalam Janji Jonigue juga masukin personal statement gue. Bagaimana posisi gue di film, ada di situ. Kala juga seperti itu. Mungkin personalnya di situ. Cuma, karena film sebagai sebuah karya seni yang selalu dinamis, tidak akan terus berjalan kalau tidak ada yang breakthrough. Orang-orang Hollywood yang sekarang besar kayak Scorsese, Coppola, Spielberg, adalah orang-orang yang membuat industri film mereka terus bisa berjalan. Itu karena mereka breakthrough. Itu film untuk industri perfilman. Sebagai filmmaker itu juga sangat butuh itu. Karena sebagai filmmakerlo nggak bisa lepas dari keharusan untuk me re-invent. One of the true nature of filmmaker adalah re-invent. Edwin: Joko keren lah. Eric Sasono: Re-invent apa nih? Joko Anwar: To invent sudah nggak mungkin dan mungkin sound ambisius tapi untuk me re-invent, untuk make it fresh sama seperti industri yang lain lah. We need to fresh stuff gitu. Hal-hal yang segar sangat dibutuhkan. Misalnya dulu ada hip-hop, ada metal. Tiba-tiba masuk Linkin Park. Musik apa ini? contohnya begitu. Industri berjalan karena ada Linkin Park. Penjualan CD naik lagi, apresiasi naik lagi. Tadinya ada yang bilang ini stuck, gitu. Karena itu bukan hanya true nature-nya filmmaker doang, tapi true nature of human.. Eric Sasono: Elo ngeliat film-film kayak filmnya Edwin akan ngasih sumbangan ke proses re-invent itu? Joko Anwar: Exactly! Itu dia yang paling gue suka. Ketika orang

“SAYA MASIH MENCOBA MEMFILMKAN BAU.”

mengambil keputusan membuat film mungkin sekadar sok jago. Atau mungkin sekadar eksperimental tanpa dasar. Dia jelas. Seperti Kara misalnya. Sering gue omongin di forum-forum. Bikin film pakai seluloid ketika bagian Kara. Ketika bagian McDonald, sekalipun gue nggak setuju dengan yang dia katakan, bahwa McDonald sebagai predator, he puts McDonald dalam konteks yang peyoratif. Mungkin gue nggak setuju sama itu, tapi gueadmire his statement. Karena he states something! Karena gue nonton film bukan mau jadi seorang penonton yang agreeable. Edwin: Gue setuju. Joko Anwar: Tapi gue ingin di-provoke. Pikiran gue mau diprovoke. Gue pengen tahu apakah ini benar, apakah yang selama ini gue pikir salah? Film-film dia itu will be like that. Babi Buta will be like that. Will provoke people. Makanya gue bisa menghargai Nagabonar Jadi 2 ketimbang elo (kepada Eric – red) menghargainya karena di situ gue nggak setuju sama Dedi Mizwar talking about nationalism dan whatever bullshit itu tapi it makes me think. Is it the right way, is it yang bisa bilang lebih bener deh, apakah lebih penting? Jadi gue bisa menghargai film itu walaupun gue nggak setuju sama penempatan posisi dia. Bagaimana sebuah film bisa menciptakan itu kalau nggak ada sesuatu yang ingin disampaikan, whatever it is. Apakah itu gagasan, apakah itu pertanyaan. Eric Sasono: Lo ngeliat nggak, adanya limit dalam statement seorang sutradara dalam karya-karyanya? Joko Anwar: No! nggak ngomongin limit sih. Sebenarnya kita coba ke teknis. Itu yang gue benci: limit. That’s why I break it. Eric Sasono: Di sisi lain kan maksud guesome people should’ve

1057

1058

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

known better. Beberapa orang seharusnya tak mengatakan hal yang tak dimengertinya. Joko Anwar: Ada. Adapretensiousness happen ketika he doesn’t know what he’s talking about. Karena penonton adalah kamera. They don’t lie. Camera don’t lie. Kalo misalnya aktor yang nggak sincere, nggak bagus keliatan di kamera. Sama kayak film juga. Begitu dia trying to be something yang bukan dia atau mengatakan sesuatu secara palsu atau nggak sampai ke situ, keliatan. Tapi bener yang lo bilang. Ada limitnya kalau dalam konteks itu. Tapi sometimes orang bisa mengatakan sesuatu yang outrageous kalau misalnya he can find the way to do it. Kalau pada jamannya mungkin film Lolita. Ada yang salah. Misalnya, sorry to say, film I Love You Om. He’s trying to saysomething tapi dia nggak tahu caranya. Edwin: Mau nambahin aja. Itu tadi Kara dalam pemilihan media, film dan video. Itu idenya Sidi (Saleh) sebagai kameraman. Dia menerjemahkan bagian belakangnya itu dengan video. Nah, balik ke teknis dan hubungannya sama limit. Limit di technical itu menurut lo udah pol banget atau masih ada batasannya? Kalau saya sendiri masih agak mencoba. Sampai sekarang tuh masih nyoba bagaimana caranya menimbulkan bau. Karena menurut saya keterbatasan film itu adalah ketika kita pengen mencium bau, itu nggak bisa real banget. Nah, lo apa Jok? Joko Anwar: Lihat nggak lo, film Scracth Card. Filmnya John Waters.. Edwin: Atau lo punya cara lain nggak untuk menimbulkan bau? Joko Anwar: Nggak pernah mikir itu, man.. Eric Sasono: Punya kebutuhan itu?

“SAYA MASIH MENCOBA MEMFILMKAN BAU.”

Joko Anwar: Nggak. Karena film kan sight and sound. And smell, hehehe... Smell-nya, smell bioskop. Tapi bener yang gue bilang alangkah beruntungnya bapak-bapak kita ketika invention masih sangat sedikit. Jadi people do it all the time, happens all the time. Ketika mereka pertamakali meletakkan kamera di atas kereta api, kamera jalan. Itu track pertama, track movement pertama. Oh my god. Ketika Hitchcock track in zoom out, Oh My god. Sekarang gue udah nggak ngeliat lagi kemungkinan itu terjadi. But sometimes people came with something. Sudah lama nggak ya? Eric Sasono: Irreversible kayak gitu? Mungkin invensinya lebih luas, nggak hanya sebatas teknis tapi juga storytelling. Joko Anwar: Iya. Irreversible, bisa. Atau Memento. Edwin: Tapi saya pengen tahu banget gimana caranya orang bisa ngerasain bau itu dengan tool yang kita punya sekarang ini. Nggak usah nyiptain alat-alat baru lagi. Karena kalau kita ngomongin moment yang didokumentasikan, memotret realita lewat film, bau kurang dieskplor sampai sekarang. Eric Sasono: Tak cukup hanya dengan sight and sound? Edwin: Maksudnya kalau kita mau mendokumentasikan kehidupan kita, tiap hari kita membaui sesuatu kan? Saya selalu membayangkan film itu gunanya untuk mengingat apa-apa yang pernah kita rasakan. Kalau misalnya nanti 10 atau 20 tahun lagi saya nggak bisa ngebau, gitu, nah bau itu gimana caranya nih sekarang. Saya butuh banget.

1059

1060

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Joko Anwar: Emang nggak cukup dengan ekspresi. Ketika film American Pie, misalnya, ketika dia tiba-tiba mengambil coklat yang ternyata tai itu.. Edwin: Nah sekarang kalau lo lupa bau tai gimana? Joko Anwar: Hahahahaha… Mungkin kalau ngomong sama Arya Kusumadewa nyambung ya. “Tuhan beri aku kentut..” Eric Sasono: Mungkin soal kenangan. Bahwa film membangkitkan kenangan. Bukannya kenangan terletak pada scene? Kalau buat gue sendiri misalnya film lebih banyak pada scene.. Joko Anwar: Karena kita ngomongin bau literally. Kalau nggak literally sih gue ngerasain bau dalam film all the time. Ketika film itu hujan, gue bisa ngerasain bau hujan.. Edwin: Karena gini ya. Maksudnya kita kan ngerespon semua di otak. Bau itu kan di otak. Sebenarnya cuma alat doang. Mustinya ada cara supaya men-trigger sel-sel di otak untuk menciptakan sensasi bau. Joko Anwar: headline lo tuh: Edwin mencari invension bau. Hehe..

Eric Sasono

16 Juni 2008, 18:19

PERCAKAPAN JOKO ANWAR, EDWIN, DAN ERIC SASONO

“Filmmaker Indonesia: Gontok-Gontokan sih Nggak, Tusuk-Tusukan Iya!” BAGIAN 7

S

isi storytelling masih menjadi masalah besar film Indonesia. Itukah sebabnya mengapa Joko Anwar mengaku terus mencari formula yang bisa membuat penonton Indonesia going gaga? Lalu mengapa Edwin berkeras bahwa orang Indonesia memang gagap mengekspresikan apa yang ada dikepalanya? Kita juga bisa ikuti mengapa Joko dan Edwin berani menyebut bahwa di negeri ini banyak filmmaker punya aura jahat. Eric Sasono: Gue mau ngomong storytelling ya. Dalam soal storytelling pertanyaan buat kalian beda-beda. Kalau buat lo Jok, pertanyaannya soal re-invention dalam konteks film Indonesia yang sudah lo definisikan. Seperti apa lagi re-invention itu? Joko Anwar: Lho, kalau ngomong Indonesia sebenarnya gue sebagai filmmaker berbeda sama pendapatnya Edwin. Kalau dia

1062

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

merasa sebagai filmmaker di jaman sekarang ini it’s not very favorable buat dia, buat gue favorable. Karena kita belum menemukan formula yang bisa membuat penonton Indonesia merasa going gaga. Kalau Hollywood udah ada formula yang bikin mereka going gaga. Blockbuster, Harry Potter and the stuff. Kalau Thailand ada sendiri yang bikin mereka going gaga. India jelas, songs and dance. Indonesia belum ada. Di situ pencarian yang menurut gue sangat menarik sebagai filmmaker yang berada di jaman sekarang. Jaman dulu tahun 1980-an ada Sundel Bolong contohnya, itu bikin kita going gaga.Beranak dalam Kubur, Dono Kasino Indro. Karena belum ada banyak sekali film luar yang mempengaruhi otak penonton. Kalau sekarang sudah banyak sekali going on di kepala penonton. Lantas formula dalam film Indonesia apa? Belum ada. Makanya gue sekarang sebagai filmmaker merasa excited. Eric Sasono: Justru menurut lo ini saat puncak gitu ya? Joko Anwar: Saat yang baik untuk mencari itu. Eric Sasono: Dengan dua film lo, merasa nemu sesuatu nggak? Joko Anwar: Belum! Eric Sasono: Belum? Joko Anwar: Belum, tapi I’m proud of it! Sekalipun setiap gue nonton film gue pasti ngeliat kesalahan. Kalau misalnya film gue diputar di festival gitu, gue begini (Joko menutup wajah dengan tengannya). Tapi apakah dua film ini sudah jadi film yang gue cari-cari? Belum.I want to find that, man! Gue mau mencari film yang benar-benar.... Bisa sebagai medium atas apa yang ingin gue katakan dan jadi sesuatu yang enak untuk ditonton dan dialami.

“FILMMAKER INDONESIA: GONTOK-GONTOKAN SIH NGGAK, TUSUK-TUSUKAN IYA!”

Eric Sasono: Kalau di box-office kita ada Sherina, AADC.. Joko Anwar: Sherina, AADC itu kasusnya seperti Dono Kasino Indro dulu. At that time bagus, tapi kalau misalnya dilakukan sekarang, kita sudah sangat terbuka sekali. Accessibilitas kepada film-film di seluruh dunia. Eric Sasono: Maksud lo pada waktu itu penonton belum sadar film? Joko Anwar: Belum banyak referensi.. Edwin: Jadi menurut lo kalau AADC dibuat sekarang belum tentu laku? Joko Anwar: Mmmm.. belum tentu. Tapi itu tidak mengurangi value film itu. Karena film itu dibuat untuk masanya dan berhasil. Eric Sasono: Kalau lo Win, merasa storytellinglo itu bagian dari proses nggak sih, dalam konteks lo sebagai orang Indonesia? Edwin: Oh iya. Kalau saya lihat sendiri ya film-film itu menceritakan sesuatu yang abstrak atau susah dijelaskan dengan kata-kata. Gagap gitu. Dan orang Indonesia itu kan gagap sebenarnya, kalau saya lihat. Orang Indonesia itu gagap untuk mengekspresikan apa yang ada di kepalanya dengan sangat clear. Joko Anwar: Orang Indonesia iya. Dan itu wajar sekali. Emang kita sudah lama disuruh diam kok. Wajar aja. Nggak usahlah ngomong penonton. Scriptwriter aja masih begitu. Begitu kita ngomong, enak kita ngomongnya. Tapi begitu harus nulis,

1063

1064

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

berhadapan dengan keyboard: switch! Perbedaan bahasa lisan sama bahasa tulisan.. Eric Sasono: Lo merasakan kegagapan itu ketika mengerjakan dua film lo? Orang yang bekerjasama dengan lo? Atau penontonnya? Joko Anwar: Itu nggak gue anggap kesulitan ya. Gue merasa itu advantage. Kan film itu akan lebih berhasil jika sebuah society yang masih sangat, katakanlah, belum terbuka, ketika mereka menonton, film lo berhasil membuka ruang-ruang di kepala. Itu successful. Daripada kalau misalnya gue bikin film di sebuah society yang sudah gape bikin film, impact-nya nggak akan sebesar kalau gue bikin di Indonesia. Edwin: Sebenarnya tuh kalau lihat film-film lo yang dua itu sebenarnya elo bikin film untuk film.. Joko Anwar: Banyak yang bilang itu dan gue harus setuju walaupun sebenarnya nggak sengaja. Karena memang dasar gue adalah membuat film untuk memberikan efek yang sama sebagaimana film-film yang gue tonton memberi efek ke gue. Gue memang sangat worship film. Meskipun dia nggak bisa menimbulkan bau. Hehe. Film itu harus apa? Harus fun. Sebuah film itu harus fun dengan levelnya sendiri-sendiri. Padahal gue menganggap film seperti The Last Picture Show bukan film komedi yang bikin penonton hahaha, tapi so fun. Irreversible atau I Stand Alone yang sangat depresif menurut gue pantes. Setuju nggak lo? Eric Sasono: Ilustrasinya?

“FILMMAKER INDONESIA: GONTOK-GONTOKAN SIH NGGAK, TUSUK-TUSUKAN IYA!”

Joko Anwar: Ilustrasinya gini. Banyak film Indonesia itu mean spirited. Apa ya bahasa Indonesianya? Eric Sasono: Berniat jahat? Joko Anwar: Bukan berniat jahat. Spiritnya tuh jahat. Setuju gak lo? Seakan-akan bilang ‘gue hukum nih’ penonton dengan nonton film itu. Setuju nggak lo? (Joko menyebut satu judul yang dianggapnya mean-spirited itu, tapi ia meminta agar judul film itu jangan ditulis) Edwin: Auranya jahat. Joko Anwar: Exactly! Auranya jahat. Dan kecenderungan ini sangat luar biasa lho di Indonesia. Edwin: Karena situasinya juga sih. Aura filmmaker-filmmaker kita ini jahat. Joko Anwar: Elo merasa nggak beberapa waktu yang lalu film independen semuanya tentang apa? Tentang drugs. Dibikin seperti… kayaknya penonton mau dilempar durian ke mukanya, gitu. Duar!! Kecenderungannya gitu. Kayaknya dia merasa bahwa apa yang ingin dia sampaikan tidak akan kesampaian kalau dia tidak menyampaikannya dengan jahat. Eric Sasono: Hehehe.. Joko Anwar: Coba film Stanley Kubrick, Clockwork Orange, itu film yang sangat sadis, sangat gila. Tapi nggak mean spirited gitu. Lo ngerasa nggak?

1065

1066

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Edwin: Bukan ini sih. Tapi ketika seluruh sistem yang berkait sama film Indonesia itu punya kecenderungan ke aura yang jahat… Eric Sasono: Maksudnya dorongan pasar? Edwin: Segala macam. Semua. Filmmaker, pembuatnyalah, kritikusnyalah, ke penontonnyalah, industrinya sendiri apa pemegang kekuasaannya. Mean spirited gitu. Tak bersahabat. Eric Sasono: Tidak bersahabat? Joko Anwar: Jadi mereka bikin film itu bukan untuk something to celebrate. Menurut gue seharusnya ada something to celebrate. Ekstremnya lihat Ratatouille misalnya. Sekarang gue ada di sini, dan gue melakukan semua ini karena kecintaan sama film.. Edwin: Lo ngerasa ketika bikin film ada sesuatu yang seharusnya nggak lo pikirin gitu kan? Kayak tekanan-tekanan yang nggak perlu ada, gitu kan? Joko Anwar: Banyak banget.. Edwin: Ada tekanan gitu waktu gue bikin film. Ya di satu sisi sih kalau orangnya kuat bisa aja mencuekin gosip. Salah satu tekanan itu ya gosip-gosip. Itu yang paling kelihatan jahatnya.. Joko Anwar: Tapi gue gak tahu ya. Di beberapa negara filmmaker sangat dekat. Di sini? Saling gontok-gontokan nggak sih? Edwin: Gontok-gontokan sih nggak. Tapi tusuk-tusukan dari belakang sih iya. Kita bisa rasain auranya. Ada yang berdarah nih!

“FILMMAKER INDONESIA: GONTOK-GONTOKAN SIH NGGAK, TUSUK-TUSUKAN IYA!”

Joko Anwar: Yang paling salah di Indonesia sebenarnya ini. Semua orang merasa bahwa everbody else is competition. Salah. It’s wrong! Salahnya apa? Masih bodo-bodo semua! Saingan sama Ang Lee. Jangan sama Joko Anwar, sama Edwin..

1067

Eric Sasono

16 Juni 2008, 18:19

PERCAKAPAN JOKO ANWAR, EDWIN, DAN ERIC SASONO

“Kritik Film di Indonesia Bukan Cuma Jelek, Tapi Parah!” BAGIAN 8

J

oko Anwar kesal pada kritik film yang ia temui di suratkabar. Ia percaya kritik film penting, tetapi mengapa ada yang justru ia sebut membodohi? Mengapa pula ia tetap punya harapan tinggi pada kritik film? Di sisi lain, mengapa bagi Edwin, kritik membuatnya berhati-hati dan mempertanyakan apakah ia masih perlu membuat film? Joko Anwar: (Kepada Eric sasono) Sekarang gue tanya lu balik boleh nggak? Boleh dong.. Eric Sasono: Iya, boleh. Joko Anwar: Kritik film itu adalah yang sangat penting di perfilman. Tadi elo nanya Edwin soal sparring partner. Gue kira bakal ngomong ke situ..

“KRITIK FILM DI INDONESIA BUKAN CUMA JELEK, TAPI PARAH!”

Eric Sasono: Nggak jadi karena Edwin belum pernah dikritik.. Joko Anwar: Karena sparring partner yang paling bagus adalah kritik film Edwin: Netral kan dia.. Joko Anwar: Artinya apa? Kritik film ini sudah harus jadi orang yang minimal seimbang dengan filmmaker atau lebih pintar karena they have to study film. Karena begitu elo jadi filmmaker, yang elo pelajari adalah teknik. Dari segi segi estetik waktu lo kurang. Seharusnya ada sesuatu yang mem-back up itu. Kritik film Indonesia parah! Bukan cuma jelek, parah! Elo tahu nggak kayak Kompas, on the record, Kompas!! (Joko mendekatkan mulutnya ke alat perekam dan mengeraskan suaranya) Dan itu akhirnya bikin susah karena membodohi. Kalau menurut lo gimana? Eric Sasono: Gue belum lama sampai menulis surat ke redaksi Kompas. Joko Anwar: Yang dibilang science fiction? Eric Sasono: Ya. masak Bourne Ultimatum dibilang science fiction? Apakah yang nulis resensinya nggak tahu? Apakah editornya nggak tahu? Menurut gue, mereka give film critic a bad name, dan gue nggak rela. Penulis itu juga salah mengartikan Kala. Dia juga memakai kata ‘negro’ pada tahun 2006. Pokoknya banyak sekali lah. Dan itu bisa jadi ikutan dari semua kondisi yang kalian gambarkan. Penonton yang masih film buff-baru. Filmmaker-nya di bawah tekanan. Mereka sendiri juga adalah produk dari sebuah sistem kerja yang tidak respectfull terhadap film. Bahwa mereka tidak pernah membuat usaha ekstra misalnya untuk memahami

1069

1070

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

film. Menurut gue bukan hanya film. Problem juga sama di seni rupa juga begitu, teater dan sebagainya. Semua. Tapi film sangat nyata karena film kan selalu mempunyai exposure lebih. Mass appeal. Dan kalau seni rupa ada kritikus dari luar. Tapi mereka menganggap enteng film. Bukan berarti bahwa film harus berat. Tapi bahwa lo harus ada respek dan passion. Itu yang menurut gue hilang. Tidak ada passion mereka sebagai penonton film. Problem lain lagi adalah pemahaman storytelling, pemahaman bahasa. Bahwa film juga kan grammar. Dan pemahaman itu parah. Joko Anwar: Yang paling parah justru Kompas! Ini on the record lho .. Edwin: Iya, gagap semuanya. Saya sih nggak pernah baca koran, nggak nonton TV. Saya lebih percaya internet. Maksudnya ya yang kayak model-model youtube gitu, yang memang personal. Buat saya mereka bisa lebih dipercaya. Bahkan seperti National Geographic juga gitu. Seharusnya kita bisa punya akses internet lebih cepat. Eric Sasono: Elo mengharapkan apa peran kritikus? Apa yang lo bayangkan ketika membaca sebuah review? Joko Anwar: Setiap gue membaca sebuah review dari luar negeri, apakah di majalah atau di internet, kayak rottentomatoes atau metacritic.com; bukan cuma filmmakernya yang dapat sesuatu. Bahkan gue sebagai penonton juga merasa: I see. Karena terkadang sebagai filmmaker lo merasa: it doesn’t work out. Kenapa ya? Karena kalau misalnya lo ajak ngomong gue sama Edwin ya kita kayak gini. Ya secara verbal kita nggak bisa ngomong.We can do it with the movies. Jadi kalau cari jawaban secara verbal what went wrong, itu susah. Harapan adalah hal itu datang dari film critic, what doesn’t work, why doesn’t work. I don’t

“KRITIK FILM DI INDONESIA BUKAN CUMA JELEK, TAPI PARAH!”

care about it should’ve been done like this. Tapi gue perlu: why doesn’t work. Itu yang gue pikirin. Misalnya di RumahFilm ada beberapa kritik tentang ending film gue. Mereka bilang this .. this and this. Apapun itu, apakah elo setuju atau tidak dengan itu, elo sebagai filmmaker juga harus membuka diri. Dan jangan nolak, tapi itu semua harus diproses. Kalau gue, gue proses, dan pasti ada benarnya. Kritikus film yang baik adalah kritikus yang bisa membantu filmmaker menempatkan dirinya ada di mana. Eric Sasono: Menurut elo gimana Win? Kritik film. Elo mengeluh film lo belum pernah dikritik. Apakah akan membantu dengan melihat kritikus yang sekarang ada? Edwin: Pasti sih kebayangnya akan jadi sebuah input dari orang luar yang netral, yang tidak subyektif terhadap filmmaker atau filmnya sendiri. Pastinya akan membantu. Penting. Eric Sasono: Joko bilang kritik yang baik yang bisa memberi tahu filmmaker dimana tempatnya. Buat elo apa Win? Edwin: Ya, supaya jadi lebih hati-hati aja bikin film. Saya sih berharap ada kritik yang akhirnya bisa membuat saya berpikir: masih perlu nggak bikin film? Apakah saya berada di tempat yang benar sekarang ini? Eric Sasono: Gitu ya? Masih se-eksistensial itu problem lo ya? Edwin: Kalau elo sampai kapan jadi kritikus? Perlukah ada kritik terhadap kritikus? Eric Sasono: Perlu. Perlu karena kritik pertama ya pembaca lah. Dan kritikus harus siap dikritik seperti halnya dia mengkritik film. Dan buat gue sendiri jadi kritikus kan kayak semacam

1071

1072

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

kecelakaan, kalau gue mau jujur. Karena awalnya, elo tahu lah gue pengen jadi filmmaker, tapi merasa bahwa gue nggak berbakat. Joko Anwar: Elo pengen jadi filmmaker? Eric Sasono: Awalnya.. Edwin: Dia pernah bikin film pendek. Eric Sasono: Ya, bikin film pendek. Gue ngerasa gagal. Merasa bahwa ada yang lebih berbakat lah.. Joko Anwar: Kenapa elo berhenti? Eric Sasono: Ya gue merasa ada yang lebih berbakat aja ketimbang gue.. Joko Anwar: Elo mencoba dengan cukup nggak, sebelum elo memutuskan untuk berhenti? Eric Sasono: Mungkin terlalu banyak batasan. Dan itu bisa jadi tekanan yang bikin gue nggak pede. Bikin gue nggak lepas bikin film dan itu.. Joko Anwar: Elo udah nonton film pendek gue kan? Sejelek itu! Hehehe.. Eric Sasono: Gue nggak cukup pede. Nggak cukup deterministik, nggak cukup konsisten untuk jadi filmmaker. Joko Anwar: Menurut gue, elo terlalu cerdas. Eric Sasono: Taik lu!

“KRITIK FILM DI INDONESIA BUKAN CUMA JELEK, TAPI PARAH!”

Joko Anwar: Maksud gue gini. Elo terlalu cerdas secara verbal. Filmmaker tuh biasanya idiosinkratik, man. Seseorang yang verbalnya oke banget, udah nggak butuh lagi. Lo dengan tulisan sudah bisa membuat orang: wow! Gitu lho.. Eric Sasono: Itu juga kan proses sebetulnya. Dan akhirnya gue merasa bahwa di situ passion gue lebih sampai. Gue ngerasa nemuin bahasa gue sendiri. Tadinya gue juga berpikiran untuk jadi novelis, nulis cerita, nulis fiksi. Sempat menulis skenario. Gue nyoba di Brownies dan gue merasa nggak ada challenge lagi. Gue sempat ditanya ketika menang kritikus terbaik DKJ 2005. Ada yang nanya: lo mau jadi penulis skenario atau penulis kritik? Gue merasa pertanyaan itu nggak perlu ditanyakan pada posisi gue waktu itu. Ya gue jawab, kalau ada pertanyaan yang memaksa, baru gue jawab pertanyaan itu. Kalau belum dipaksa oleh keadaan, gue belum akan menjawab. Belum lama ini satu skenario yang gue tulis tahun 2003 mau dibeli orang.. Joko Anwar: Terus, lo bilang? Eric Sasono: Akhirnya gue bilang gue nyumbang cerita aja deh. Jadi diambil sama orang lain.. Joko Anwar: Judulnya? Eric Sasono: Belum, belum jadi. Belum produksi. Kalau gue nulis skenario, mungkin gue harus berhenti nulis kritik.. Joko Anwar: Gue sekarang bikin film dan bikin kritik. Sinema Indonesia. Hehehe.. Eric Sasono: Garin masih. Sutradara dan kritikus film..

1073

1074

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Edwin: Menurut elo film-film yang eksistensialis sekarang ini masih relevan nggak? Eric Sasono: Mungkin gue nggak nyebutnya eksistensialis.. Mungkin pada dasarnya gini. Sekalipun Joko bilang dia sudah selesai dengan dirinya sendiri, tapi ada sesuatu dari dalam dirinya yang muncul dan keluar dalam film-filmnya kan? Somehow soal personal ini muncul. Ini soal ketika porsi personalnya besar banget, seperti film-film lo Win. Gue bisa ikut ngerasain sakit nonton Very Slow Breakfast. Buat gue justru mungkin janganjangan film-film seperti itu yang long lasting. Kalau Joko bilang harus ada ko-eksistensi, gue percaya film-film seperti yang lo buat itu menyumbangkan sesuatu. Belajar dari Malaysia lah. Mereka mulai dari Uwee Haji Saari dan sampai akhirnya Amir Muhammad dan kawan-kawan. Mereka memberikan sesuatu buat penonton film Malaysia. Itu kan muncul dengan adanya kelompok yang konsisten melahirkan karya-karya seperti itu.

PERCAKAPAN kemudian ditutup dengan obrolan lebih santai tentang berbagai hal. Tentang Joko yang sedang menyiapkan sebuah filmnya yang judul sementaranya mengandung frasa 24frames. Ia juga teribat dalam reality show, On the Lot, sebuah reality show yang menguji ketrampilan sutradara muda berbakat. Juga tentang Edwin yang bercerita bahwa ia masih terus berkutat dengan penyelesaian Babi Buta yang Ingin Terbang.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:19

“Filmmaker di Area Nyaman” WAWANCARA DENGAN GERTJAN ZUILHOF

S

uatu kali Gertjan Zuilhof menolak kesempatan untuk mengkuratori film-film Asia. Alasannya: “Karena saya tidak pernah ke wilayah itu dan tidak tahu bahasanya.” Dan ia menyesal. “It was very stupid of me,” katanya. Terbukti, kendala bahasa bukan halangan untuk mengenal jauh budaya lain. Untuk menebus ‘kesalahan’ itu, ketika kesempatan kedua datang, Zuilhof tidak ragu-ragu lagi. Zuilhof kemudian membuat ruang khusus di International Film Festival Rotterdam (IFFR) untuk film-film dari Asia tenggara. Program yang dibuatnya diberi nama SEA Eyes (South East Asia Eyes) pada tahun 2005, sebuah ‘tempat khusus’ untuk mengamati perkembangan dunia sinema di wilayah itu . Pria lulusan Sejarah Seni di Leiden ini juga mulai rajin berkunjung ke negeri-negeri asia tenggara, mencari dan menemukan para pembuat film independen yang selama ini ‘tak kelihatan’.

1076

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Dan Zuilhof menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu dalam film-film Asia Tenggara yang tentu tidak ditemukannya di filmfilm Eropa. Apa itu? Berikut petikan obrolan RF dengan programmer yang bergabung dengan IFFR sejak 1990 ini:

Anda menjadi kurator di IFFR sejak 1990, tentunya anda mengikuti perkembangan film-film Asia yang masuk ke festival ini. Tapi saya tidak mengikuti sinema Asia sejak awal. Saya mulai dengan experimental film, film-film Eropa, khususnya film-film berbahasa Jerman. Seingat saya, saya baru mulai menaruh perhatian sekitar 4 atau 5 tahun lalu, jadi bagi saya, Asia khususnya Asia tenggara masih menjadi wilayah baru, saya masih berusaha mengenali wilayah ini lebih dekat. Kenapa tiba-tiba tertarik dengan sinema Asia Tenggara? Tidak bisa dibilang tiba-tiba juga. Dulu waktu pertama kali bergabung di IFFR, saya sudah ditawari untuk fokus ke Asia. Saya menolak karena saya tidak tahu sama sekali tentang Asia kecuali bahwa Belanda pernah menjajah Indonesia…hahaha. Selain itu saya pikir, jika ingin mengkuratori film Asia, orang harus jadi ahli di wilayah itu, paling tidak bisa bahasanya. Sementara saya hanya bisa bahasa Eropa jadi saya lebih merasa nyaman di wilayah Eropa. Tapi saya menyesal. It was very stupid of me, karena kemudian saya menyadari bahwa orang lain so-called ahli sinema Asia ternyata juga tidak bisa salah satu bahasa Asia. Mereka berkunjung ke China, Jepang, Indonesia, Filipina, hanya dengan berbekal bahasa Inggris. Andai saya melakukannya dari awal.. Untungnya datang kesempatan kedua saat Simon Field yang dulu rajin berkunjung ke festival festival film di Asia kemudian meninggalkan IFFR, tempatnya kemudian kosong. Akhirnya

“FILMMAKER DI AREA NYAMAN”

saya mengajukan diri untuk membuat sebuah program besar dan khusus untuk Asia Tenggara, yang kemudian berlangsung tahun 2005, SEA Eyes. Dengan membuat program ini, saya berkesempatan untuk berkeliling di negara-negara itu. Dua tiga kali saya berkunjung ke Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan lain-lain. Sampai sekarang pun saya masih menemukan hal-hal baru di sana. Apa yang anda temukan? Kesan pertama apa yang anda dapat? Awalnya saya hanya menonton film-film yang dikirim ke IFFR, dengan tema yang beragam, kualitas yang beragam. Lalu saya menyadari bahwa ada sesuatu dalam dunia sinema yang sedang tumbuh berkembang di wilayah Asia Tenggara saat saya melihat karya James Lee, Room To Let. Saya pikir, orang ini tidak mungkin sendirian. Dia bisa membuat sebuah film yang tidak biasa, absurd dan berani menggunakan banyak referensi tapi dengan gayanya sendiri. Dugaan saya benar, dia tidak sendiri. Dialah yang kemudian memperkenalkan saya kepada Ho Yuhang, lalu Tan Chui Mui, hingga Liew Seng Tat, dan begitu seterusnya. Demikian pula dengan perkenalan saya pada dunia sinema Indonesia. Awalnya saya hanya tahu Garin Nugroho yang sering datang ke IFFR, lalu kemudan saya mengenal Edwin dari film pendeknya. Saya pikir anak ini juga pasti tidak sendiri, pasti ada sesuatu yang lebih di Indonesia sana, lalu dari dia kemudian saya berkenalan dengan banyak lagi termasuk Tintin Wulia, Lulu Ratna, dan yang lain. Mungkin karena saya terlalu lama bergelut mengamati film-film Eropa sehingga saya tak menyangka bahwa ada sesuatu yang juga tidak biasa di Asia Tenggara. Melihat karya-karya mereka, saya seperti menemukan ‘darah segar’, sesuatu yang sangat hidup dan bergairah. Maka rajinlah saya ke sana.

1077

1078

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Anda menemukan kesamaan yang jelas? Pada pendekatan mereka terhadap media film? Ada beberapa kesamaan tapi tentu saja lebih banyak perbedaannya. Kesamaan ini misalnya antara Malaysia, Indonesia atau juga Filipina yang lebih pada soal cuaca dan budaya. Di film-film mereka ada aura kesamaan yang berhubungan dengan elemen ini. Maksud saya, mereka berbeda misalnya dengan China atau Jepang. Asia tenggara sangat menonjol dengan budaya jalanan, orang-orang makan di halaman rumah, mereka punya cara interaksi yang juga berbeda. Selebihnya, saya menemukan perbedaan yang sangat sangat besar dalam pendekatan mereka terhadap medium film. Dan ini berhubungan dengan budaya, agama, dan politik. Misalnya saja, sutradara-sutradara muda asal Bangkok, Thailand, lebih berorientasi ke dunia internasional, ke Amerika atau Eropa. Kadang saya juga tidak menyangka kalau mereka lebih Amerika, seperti lebih tahu apa yang terjadi di New York misalnya daripada apa yang terjadi di negara tetangganya. Filipina juga berbeda lebih karena sejarah kolonial seperti Indonesia, politik dan agama memegang peranan yang cukup besar sehingga membuat situasi mereka berbeda. Di Vietnam juga begitu karena sangat terpengaruh dengan komunisme di mana pemerintah mengontrol studio-studio film. Sinema independen di negeri itu tidak seantusias di negara-negara tetangganya karena ada sistem yang mengontrol. Anda bilang ada perbedaan yang sangat besar dalam pendekatan terhadap media film di Indonesia karena pengaruh politik dan agama? Saya belum melihat banyak film-film Indonesia yang baru dirilis dan mungkin saja ada yang berubah. Tapi sepanjang yang saya lihat, karena sensitivitas agama akhirnya banyak yang harus disembunyikan, ini membuat spontanitas mereka tertekan. Saya

Gertjan Zuilhof Foto oleh Asmayani Kusrini.

1080

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

tidak tahu seberapa tajam gunting sensor di Indonesia, tapi saya rasa pada umumnya pembuat film banyak berkompromi dengan situasi itu. Selain itu, saya melihat pada umumnya juga menyesuaikan dengan pasar lokal, dan ini saya rasa juga terjadi di negara-negara lain. Film-film mainstream yang nyaris tidak ada bedanya dengan opera sabun TV. Tapi seperti pada umumnya produk untuk pasar lokal, sebagian besar tidak ada yang mau berkaca pada budaya sendiri. Dan tentu saja bagi audiens internasional, jadi tidak menarik lagi. Tapi bagi pada umumnya filmmaker di negara besar seperti Indonesia dan China, ini sepertinya tidak masalah. Dengan jumlah penduduk yang begitu banyak dan komunitas yang begitu besar, mereka memang kemudian jadi lebih fokus ke dalam. Seperti China misalnya. Bagi mereka, China sudah cukup besar bagi mereka, dan mereka tidak butuh keluar kandang. Audiens yang sudah pasti membuat mereka tidak butuh tambahan penonton, mereka nyaman dan bangga dengan audiens yang sudah ada. Dan sepertinya, ini juga yang terjadi di Indonesia. Kebanyakan berada di ‘area nyaman’ dan memilih untuk tetap disitu. Ini tentu saja pilihan masing-masing. Ini berbeda dengan negara yang lebih kecil seperti Malaysia misalnya, khususnya filmmaker dari golongan minoritas. Mereka tidak punya pilihan, tidak punya akses ke peralatan studio, tidak punya akses ke 35mm. Golongan minoritas ini tidak mendapat dukungan sama sekali di negeri mereka, dan mereka sangatlah kecil, ini membuat mereka tidak punya pilihan lain kecuali keluar. Mereka ‘terpaksa’ mencari dukungan dari luar, dan ‘terpaksa’ mengirim film mereka ke festival film. Tentu saja selalu ada pengecualian. Dan selalu ada pilihan. Garin misalnya, sekarang bisa dibilang setelah melalui proses panjang, ia sudah berada di comfort zone dibandingkan dengan

“FILMMAKER DI AREA NYAMAN”

sutradara independen lain. Tapi, ia memilih untuk terus mengeksplorasi, dan saya pikir kita bisa berharap sama terhadap Edwin dan teman-temannya. Apakah gerakan sinema independent yang mulai muncul nyaris bersamaan sekitar 10 tahun belakangan ini saling mempengaruhi satu sama lain? Ada semacam network antara para pembuat film muda, khususnya para pembuat film pendek. Tapi saya belum tahu pengaruhnya seperti apa, dan apa dampaknya terhadap perkembangan mereka. Tapi ini menarik untuk diamati, karena film-film pendek justru lebih banyak berbicara dan lebih lebar membuka ruang yang lebih tentang Asia Tenggara. Film feature panjang tidak terlalu menarik? Saya tidak bilang begitu. Hanya saja, menurut saya pada umumnya film pendek dari Asia tenggara lebih solid dalam segala hal, ide, struktur, pendekatan. Di IFFR makin membuka ruang terhadap film-film personal. Secara umum, kami tidak menutup kemungkinan untuk genre movie. Kami bahkan punya program khusus untuk film genre horor dan fantasi, tapi harus sesuatu yang istimewa. Misalnya film karya Hitoshi Matsumoto, Dainipponjin yang sebetulnya masuk kategori genre komik, manga dengan banyak elemen, monster gila, dan lain-lain, tapi diolah dengan framework yang berbeda. Ia menggabungkan adegan-adegan realis di sela-sela genre itu, dan konstruksi yang dilakukan Matsumoto membuat film ini jadi menarik dan istimewa. Di sini kami mencari pengembangan baru yang sebetulnya tidak bisa diprediksi. Seperti art movie misalnya, ada rentang waktu 10 hingga 15 tahun belakangan ini tidak ada

1081

1082

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

perkembangan berarti. Yang sekarang menarik justru film-film yang berada di batasan antara seni visual dan budaya pop yang ekstrim yang dekat dengan games, comic strip. Tapi untuk seksi kompetisi, memang kami membuka ruang lebar untuk film personal. Film yang blak-blakan, statemen pribadi atau opini sutradaranya terhadap berbagai hal. Tidak perlu selalu berhubungan dengan kehidupan sutradaranya. Kecenderungan personal ini bisa saja dilihat dari cara bertutur dengan gayanya sendiri, pendekatan sendiri dan ‘tulisan tangan’nya sendiri.

Asmayani Kusrini

16 Juni 2008, 18:19

“Filmmaker Sekarang Lebih Banyak Mengeluh.” WAWANCARA DENGAN WERNER HERZOG

S

uatu kali kritikus-yang-menjadi-sutradara François Truffaut menyebutnya ‘the most important film direcor alive’. Ken Burns menjulukinya ‘the great film artist of our time’. Peter Wintonick, sutradara Manufacturing Consent: Noam Chomsky and the Media dan Cinema Vérité:Defining the Moment menganggapnya sebagai suhu. Hubert Sauper, sutradara Darwin’s Nightmare datang mengadu padanya ketika mengalami masalah. Dialah satu-satunya orang, satu-satunya sutradara yang sudah membuat film di 7 benua. Itu saja sudah cukup membuat saya tidak bisa tidur ketika suatu kali mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Werner Herzog, sutradara dengan kurang lebih 50 film --15 Features, termasuk film pendek dan selebihnya adalah dokumenter. Beberapa di antara filmnya masuk kategori ‘Film Terbaik Sepanjang Masa’—Aguirre The Wrath Of God, Fitzcarraldo, Stroszek—, harus mulai dari mana ngobrol dengan orang ini?

1084

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Belum lagi rumor-rumor yang beredar bahwa Herzog adalah orang Jerman yang sangar dan galak. Dan tentu saja eksentrik. Kita tentu tidak akan lupa dengan dokumenter karya Les Blank: Werner Herzog Eats His Shoe di mana Herzog benar-benar memakan sepatunya sendiri karena kalah bertaruh. Demi sahabatnya, Lotte Eisner (kritikus film Jerman dan sempat menjadi penulis tetap di Cahiers Du Cinema) yang sekarat, Herzog pernah pula berjalan kaki dari Munich ke apartemen Eisner di Paris. Herzog melakukan semacam ‘deal’ dengan Tuhan, jika ia berhasil tiba di Paris dengan berjalan kaki, maka umur Eisner akan lebih panjang. Belum lagi kegilaannya yang lain; mengarak kapal ribuan ton menyeberangi gunung di Fitzcarraldo atau melepas puluhan ribu tikus di kota Delft, Belanda demi syuting film Nosferatu. Ia selalu menolak melakukan syuting di studio. Satu-satunya film yang menggunakan studio adalah Rescue Dawn, ‘Itupun hanya adegan saat helikopter meledak’, tegasnya. Herzog adalah teladan untuk para pembuat film independen. Beberapa film di awal-awal karirnya disyut dengan menggunakan film kadaluarsa yang akan dimusnahkan. Dari awal, ia sangat mandiri. Film pertamanya dibuat dengan kamera ‘pinjaman’. Film keduanya dibuat dengan hadiah kemenangan film pertama. Film ketiganya dibiayai dari bekerja sebagai tukang las. Pada film keempatnya—Signs Of Life yang juga film feature pertamanya—ia mulai mencoba mencari produser yang mau membiayai film berikutnya. Gagal mendapat produser, Herzog membuat perusahaan filmnya sendiri dengan bermodal kamar kontrak sebagai kantor, sebuah telepon, mesin ketik dan tekad. Meski Signs Of Life dinobatkan sebagai Film Terbaik di National Film Award (Bundesfilmpreis) di Jerman dan juga Silver Bear di Berlin Film Festival, perjalanan karir Herzog tidak langsung mulus. ‘Saya diundang untuk berbicara di screening

“FILMMAKER SEKARANG LEBIH BANYAK MENGELUH.”

Signs Of Life di sebuah sinema di Jerman dan hanya 9 orang yang menonton film itu.’ kata Herzog. Tentu saja, sekarang, hal itu tidak lagi membuat Herzog kebat-kebit. Jaman sekarang, film-film Herzog selalu ditunggu. Retrospeksi dan workshop nya selalu penuh. Tak terkecuali di Intenational Documenter Film Festival Amsterdam (IDFA). Selama delapan belas tahun festival film dokumenter ini mengundang Herzog untuk datang. Selama delapan belas tahun itu pula, Herzog tidak pernah bisa dihubungi langsung. Entah itu dia sedang sibuk syuting di hutan Afrika, atau di rimba Asia, atau di Himalaya, atau juga di ladang minyak Kuwait. Barulah tahun 2007 ini Herzog berhasil didatangkan. Itu juga karena kebetulan pria kelahiran Munich 1942 ini baru pulang syuting dari Antartika dan menyelesaikan film dokumenter terbarunya Encounters At the End of the World. Karena itu, penyelenggara IDFA langsung memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Selain memutar Encounters –yang melengkapi petualangannya syuting film di tujuh benua--, banyak program acara menghadirkan Herzog sebagai pembicara, termasuk Q&A, Masterclass, Conversation With Herzog, debat dan workshop. IDFA 2007 adalah pertemuan kedua saya dengan Herzog. Pertemuan pertama saya dengan Herzog murni karena keberuntungan saya semata. Herzog berkunjung ke Belgia (Brussel dan Antwerpen) dalam sebuah retrospeksi karyakaryanya Januari 2007 lalu. Seperti biasa, jika berharap pada birokrasi, nyaris tidak mungkin mendapatkan waktu wawancara dengan pria ini. Toh tidak sengaja kami bertemu di sebuah cafe di gedung tempat acara retrospeksinya akan dilangsungkan. Herzog datang 2 jam lebih awal. Di cafe itu tidak ada siapa-siapa kecuali pelayan cafe dan seorang panitia yang langsung pasang wajah galak ketika saya masuk. Untungnya, Herzog tidak keberatan. Segala

1085

1086

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

kekhawatiran langsung lenyap. Herzog ternyata tidak sesangar yang saya bayangkan. Ia jauh dari galak apalagi eksentrik. Hanya saja dia keberatan untuk diwawancara di dalam café tersebut. Kala itu saya memang masih bekerja sebagai pemagang di sebuah stasiun radio Jerman. Saat melihat mikrofon dengan logo radio tersebut, ia langsung mengajak saya keluar ruangan. Alasannya, ‘Anda dengar musik itu?’ sambil menempatkan jari telunjuknya di bibir. Dalam ruang itu, memang sayup terdengar musik. “Itu ada copyright -nya. Kecuali kalau anda berani jamin bahwa anda akan membayar copyright musik tersebut, saya bersedia diwawancara di sini. Tapi kalau tidak, lebih baik kita cari tempat yang tenang, tanpa musik,”. Pertemuan kedua saya dengan Herzog di IDFA jauh lebih ringan, karena saya tidak lagi gelisah. Tentu saja, Herzog tidak ingat saya, tapi ingat stasiun radio bekas tempat saya bekerja. Apalagi saya memperkenalkan diri dengan membawa nama baru, RumahFilm. Khusus untuk RumahFilm, Herzog menyediakan waktunya dalam dua kali kesempatan yaitu usai diskusi tentang masa depan film dokumenter di Compagnietheater, Amsterdam, dan usai diskusi tentang dokumenter asli atau palsu di Tuschinski 2, pada akhir November lalu. Dengan pengalaman 50 tahun berkutat menjadi sutradara, Herzog tentu punya banyak cerita, tapi tentu saja percakapan ini tidak bisa merangkum seluruh apa yang diceritakan Herzog. Kepada RumahFilm, Herzog bercerita banyak hal, termasuk sikapnya terhadap cinema vérité dan tentu saja film terbarunya, Encounters at the End of the World.

Anda beberapa kali membuat statemen bahwa para pendukung cinema vérité adalah pecundang. Kenapa sih anda begitu menentang cinema vérité ini?

“FILMMAKER SEKARANG LEBIH BANYAK MENGELUH.”

Karena memang itu hal yang bodoh. Cinema vérité selalu menganggap dokumenter sebagai ‘hak’nya. Kata ‘dokumenter’ itu perlu digunakan dengan hati-hati. Saya selalu bilang, ‘dokumenter’ digunakan oleh penulis, kritikus, atau setiap orang hanya karena ingin memudahkan kategorisasi. Konsep cinema vérité dokumenter itu tidak akan pernah bisa menembus jauh ke dalam kebenaran yang ingin dicapai. Untuk bisa menembus dalam, sebagai pembuat film, kita perlu membuat taktik, menyusun strategi, mempersiapkan latar belakang yang tabu bagi para pendukung vérité. Bagi saya, cinema vérité itu adalah konsep para pembuat film yang pemalas. Apa bedanya mereka dengan para turis yang menenteng kamera. Pulang ke rumah, kamera itu dihubungkan dengan TV kemudian menonton apa yang sudah mereka syut sepanjang hari, lalu puas dan kemudian berkesimpulan, film sudah jadi, tinggal memberi judul. Itu kan tidak mungkin. Apa gunanya jadi pembuat film? Bagi saya, membuat film itu seperti membuat puisi. Dalam membuat puisi, satu kalimat sederhana bisa berarti banyak hal dan artinya bisa tidak sesederhana seperti yang terbaca. Sudah menjadi sifatnya untuk bisa memaparkan banyak sisi dan dimensi sebuah kebenaran yang lebih dalam dari sekadar ‘kebenaran’ dangkal cinema vérité. Dimensi inilah area subur yang harus dimanfaatkan oleh para pembuat film. Tapi bukankah anda banyak menerapkan teknik “cinema vérité “dalam membuat film? Anda bilang, anda tidak suka kalau kameramen anda menghabiskan banyak waktu untuk mencari angle yang puitis. Dalam setiap film dokumenter, anda juga sering jadi narator yang berjarak dengan objek-objek yang anda syut, yang dalam istilah vérité sebagai unobtrusive observer, imparsial dan sebagai outsider. Bukankah cara kerja cinema vérité juga seperti itu?

1087

1088

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Wow. Kalau begitu anda salah menilai saya. Saya selalu terlibat dalam dalam setiap film-film saya. Oh ya, dan saya sangat terganggu dengan klaim anda soal kategori ‘dokumenter’ itu. Saya memang tidak suka kalau kameramen saya menghabiskan waktu hanya untuk menunggui sunset misalnya. Tapi saya selalu tiba lebih awal di sebuah lokasi, biasanya dua atau tiga hari lebih awal. Dan saya serta kameramen akan berkeliling menjiwai dan merasakan lokasi itu dulu tanpa kamera. Jadi tepat pada hari syuting dimulai, kameramen saya biasanya sudah paham, angin bertiup dari mana, cahaya datang dari mana, dan sebagainya. Jadi dia tidak akan menghabiskan waktu mengintip dan menemukan angle yang pas. Saya hanya tahu apa yang saya butuhkan di lokasi itu. Dan saya memang selalu membiarkan kamera saya menangkap apa saja tanpa merencanakan sudut pengambilannya. Jika tiba-tiba ada hujan di lokasi, saya tetap akan menyalakan kamera saya, memfilmkan kepanikan crew meski itu tidak ada dalam skenario. Saya selalu terbuka terhadap improvisasi seperti itu; Tapi apakah itu vérité? Tentu tidak. Karena footage-footage itu dikomposisikan, dimanipulasi lagi sehingga sesuai dengan alur yang pas. Pada akhirnya editor saya yang akan mengomel, dan film saya yang rencananya jadi X hasilnya bisa jadi Z. Dan dalam film-film saya, yang anda bilang dokumenter itu, seperti Land of Silence and Darkness, Bells From The Deep, Little Dieter Needs to Fly, saya sangat terlibat dengan karakter-karakter saya. Bagaimana mereka mau bercerita kepada saya kalau saya berjarak dengan mereka? Vérité itu sesuatu yang tidak mungkin. Saya tidak setuju dengan cinema vérité karena tujuannya hanya menyentuh level paling banal untuk mengerti segala sesuatu di sekeliling kita.

“FILMMAKER SEKARANG LEBIH BANYAK MENGELUH.”

Karena itu juga anda tidak suka dengan klasifikasi film fiksi dan film dokumenter? Bagi saya pembatasan kategori antara fiksi dan dokumenter itu tidak pernah eksis. Semuanya adalah film. Setiap film selalu terdiri dari fakta seberapapun kadarnya, karakter, cerita dan sebagai pembuat film, kita bermain dengan elemen-elemen itu dengan cara yang sama. Bagi saya, dengan membuat penegasan yang jelas antara ‘fakta’ dan ‘kebenaran’ di dalam film-film saya, saya bisa mendalami berbagai strata ‘kebenaran’ yang tidak semua pembuat film menyadarinya. Kebenaran yang mendalam di dalam sinema dapat ditemukan tanpa perlu ketegasan birokrasi, politis apalagi matematis. Dengan kata lain, saya mulai menciptakan dan bermain dengan ‘fakta’ lewat imajinasi, lewat fabrikasi, lewat rekaan, saya menemukan tingkat kebenaran dengan cara yang alami. Bagi saya fiksi, non fiksi, fantasi, dan apapun lagi namanya dalam pembuatan film, adalah zona perdagangan bebas. Contohnya? Anda sudah menonton dua film saya? Little Dieter Needs to Fly dan Rescue Dawn? Yang mana yang fakta dan yang mana yang rekayasa, yang bisa anda bedakan antara—yang anda bilang dokumenter—Little Dieter Needs To Fly dan Rescue Dawn? (Keduanya bercerita mengenai Dieter Dangler, seorang pilot Amerika dalam perang Vietnam yang harus bertahan hidup di hutan di Laos – red.) Hahaha…Anda balik mewawancarai saya? Tidak. Saya akan mengembalikan bola kepada anda. Saya hanya ingin tahu apa yang anda pikirkan tentang kedua film itu. Yang jelas, Little Dieter menampilkan Dieter Dengler yang asli sebagai narator karena itu masuk kategori dokumenter;

1089

1090

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

sedangkan Rescue Dawn adalah feature di mana Dieter Dengler diperankan oleh Christian Bale. Dan saya harus akui, keduanya sama-sama meyakinkan sebagai dokumenter, sekaligus sama-sama meyakinkan sebagai feature. Nah, anda sekarang paham kenapa saya tidak suka pengkategorian film-film saya. Rescue Dawn—yang anda bilang feature itu—benar-benar disyut di hutan yang sama, nun jauh di belantara Thailand. Saya tidak berani bilang, bahwa Christian Bale hanya berakting di film itu. Faktanya adalah, dia benerbenar takut dan panik dengan hutan perawan di Asia. Sama seperti kepanikan yang dialami Dengler ketika terjebak di hutan itu, benar-benar bergidik dengan binatang-binatang tropis. Sedangkan dalam Little Dieter, saya mengikuti Dengler, menfilmkan kesehariannya, dan membawanya kembali ke hutan demi menjiwai esensi pengalamannya. Demi menemukan ‘kebenaran’ teror yang dialaminya. Kedua film itu adalah hasil keterampilan merekayasa dan mengolah fakta. Memangnya di Little Dieter ada rekayasa? Hahaha…anda masih tidak yakin juga. Ketika saya datang menemui Dieter Dengler, di rumahnya banyak pajangan lukisan. Dan salah satu yang menarik perhatian saya adalah semua lukisan pajangan itu selalu ada pintu yang terbuka. Ketika saya tanya soal itu, dia baru memperhatikan. Dengler juga tidak menyangka dan tidak menyadari soal itu. Saya kemudian meminta Dengler untuk membuka dan menutup pintu dan jendelanya, berkali-kali. Itu adalah dramatisasi dan improvisasi—hal yang tabu dalam cinema vérité—atau seperti yang anda bilang, rekayasa. Tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai seni film. OK, Saya mengerti. Mari kita bicara soal lain Ya, cinema vérité sudah seharusnya masuk museum. Hahaha…

“FILMMAKER SEKARANG LEBIH BANYAK MENGELUH.”

Soal film dokumenter….hmmm…film terbaru anda, Encounters at the End of the World. Anda masih menggunakan metode yang sama dengan film-film sebelumnya? Maksud anda metode yang sama? Setahu saya, anda bukan pembuat film yang duduk merenung lama demi menciptakan sebuah kisah. Anda yang pergi mengembara, mencari, dan menemukan cerita. Apakah Encounter juga anda temukan dalam salah satu pengembaraan itu. Encounters tidak berbeda dengan film saya yang lain. Saya berkunjung ke Antartika tanpa skenario, tanpa rencana, dan tanpa bayangan film macam apa jadinya nanti. Saya bahkan tidak punya bayangan orang-orang seperti apa yang akan saya temui nanti. Untuk film ini, saya harus berterima kasih kepada Henry Keiser yang juga membuat musik soundtrack untuk film saya sebelumnya, Grizzly Man. Saat mengerjakan musik itu, Keiser menunjukkan kepada saya beberapa footage yang diambilnya ketika berada di Antartika. Sebagian footage-footage itu juga saya gunakan dalam film saya sebelumnya Wild Blue Yonder. Perlu anda tahu, Keiser juga adalah fotografer khusus bawah laut. Setelah Wild Blue Yonder, saya menyatakan rasa penasaran saya untuk berkunjung ke Antartika. Keiserlah yang kemudian menyarankan saya mendaftar ke US National Science Foundation untuk mengunjungi pos kerja mereka di McMurdo Station, Antartika. Saya berangkat berdua dengan kameramen saya Peter Zeitlinger. Berapa lama anda butuhkan waktu sampai menemukan cerita yang anda inginkan? Setiba di sana, modal kami hanya bergaul. Kami tinggal selama 7 minggu di sana. Satu minggu khusus untuk latihan bertahan

1091

1092

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

hidup di belantara salju. Selebihnya saya gunakan untuk syuting. Selama itu, saya ngobrol dengan semua orang di sana. Lama-lama saya sadar, setiap orang punya cerita yang unik. Antartika adalah ujung dunia di mana tidak semua orang ingin ke sana dan pada umumnya saya menemukan cerita-cerita personal yang membuat saya tertawa geli mendengarnya. Dalam tiga hari, saya sudah menemukan cerita apa yang saya butuhkan dan hari-hari berikutnya kami sudah punya tujuan yang pasti. Kabarnya, anda sempat berjanji tidak akan memfilmkan penguin? Hahahaha…iya, saya memang sesumbar, saya bilang kepada teman-teman saya, saya berjanji tidak akan membuat film tentang penguin lagi. Setibanya di sana, tidak sengaja saya mendengar tentang seorang ahli penguin yang bertahun-tahun hanya bergaul dengan penguin dan karena itu kehilangan kepekaan untuk berkomunikasi dengan manusia. Tentu saja saya ingin tahu, orang macam apa dia. Jadilah saya mengunjunginya juga. Dan ternyata benar. Terus terang saja, saya sempat kehilangan akal bagaimana bisa membuatnya ngobrol dengan saya, dan itu tidak mudah. Karena itu pulalah saya akhirnya memfilmkan penguin sebagai representasi orang ini. Hasilnya tidaklah terlalu jelek bukan? Tentu tidak. Menurut saya, adegan penguin itu justru sangat lucu. Apakah Encounters, adalah pernyataan anda untuk ikut kampanye lingkungan hidup seperti yang dilakukan Al Gore atau Leonardo DiCaprio? Oh tidak. Saya pembuat film, bukan aktivis lingkungan. Ada film yang lebih baik merepresentasikan kekhawatiran tentang lingkungan hidup. Tentu saja saya menyadari bahwa lingkungan hidup kita sekarang sedang terancam. Untuk itu diperlukan orang-orang yang memang punya dedikasi seperti Al Gore. Tapi

“FILMMAKER SEKARANG LEBIH BANYAK MENGELUH.”

Encounters jelas bukan sebuah pernyataan terselubung politis apalagi kampanye lingkungan hidup. Encounters adalah cerita tentang sekelompok orang yang bertemu di satu titik di ujung dunia dengan alasannya masing-masing. Encounters melengkapi petualangan anda di 7 benua. Sampai saat ini, dari semua film-film anda, ada satu kesamaan dasar, tentang hidup yang penuh obsesi. Apakah obsesi anda sudah terpenuhi? Obsesi saya hanya membuat film. Saya bukan salah satu dari para intelektual yang sibuk berpikir tentang filosofi atau struktur sosial untuk membuat film. Saya tidak pernah berpikir untuk mengilhami film film saya dengan referensi filosofis. Bagi saya, film saya lebih banyak tentang kehidupan nyata daripada referensi filosofis. Semua film saya dibuat tanpa perenungan. Kontemplasi itu baru ada setelah film saya selesai, itupun dibuat oleh para kritikus atau penulis film. Kenapa anda selalu mencari lokasi-lokasi yang bisa dibilang jauh dari peradaban, terpencil? Lokasi-lokasi di kota besar saya rasa lebih cocok untuk Woody Allen. Kan kasihan kalau Allen disuruh syuting di tengah hutan. Selain itu dia pasti bikin repot. Saya harus tahu diri dan minggir ke alam. Di Encounters lagi-lagi anda bertindak sebagai multiple staff. Sebagai sutradara, penata cahaya, penata suara . Seperti saya bilang, bayangkan kalau Woody Allen yang jadi sutradara. Bisa jadi New York dipindahkan ke Antartika… Hahaha. Encounters praktis dikerjakan oleh empat orang, saya, Peter Zeitlinge, kameramen, Henry Keiser, produser dan Joe Bini, editor. Itu juga salah satu alasan saya suka membuat film dokumenter. Saya terbiasa bekerja dengan kru yang sangat kecil.

1093

1094

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Sekarang anda tidak lagi kesulitan mendapatkan produser. Bukankah anda mulai membuat Werner Herzog Filmproduktion karena putus asa mencari produser? Sekarang memang tidak. Tapi juga butuh waktu lama hingga orang menganggap saya ada. Saya ingat, waktu itu umur saya sekitar 17 t ahun, dan diundang oleh seorang produser. Saya pikir, dia berbeda dari produser yang lain yang selalu memandang saya dengan sebelah mata hanya karena umur saya. Begitu masuk ke ruang produser itu, salah seorang dalam ruangan itu berkata; ‘The Kindergarten kid is trying to make films nowadays!’. Setelah itu saya langsung kabur dan berjanji pada diri saya sendiri, saya tidak akan lagi menghadapi perlakuan seperti itu. Setelah itu saya dengan segala apa yang saya punya mendirikan Werner Herzog Filmproduktion. Sejak itu, saya membuat film saya sendiri. Saya menyewa sebuah apartemen kecil yang berfungsi sebagai kantor sekaligus sebagai tempat tinggal di Munich, yang dilengkapi dengan pesawat telepon dan mesin ketik. Ruang tamunya saya jadikan ruang editing sekaligus ruang tidur. Saya belajar, bahwa untuk memproduksi film, anda hanya butuh telepon, mesin ketik, mobil dan tekad. Walaupun hingga saat itu saya hanya berhasil mendapatkan uang dari kemenangan film-film saya di festival dan sejumlah screening, toh akhirnya 20 th Century Fox tertarik untuk menjadi co-produser film saya berikutnya Nosferatu. Mereka mengundang saya ke Hollywood, tapi saya menolak dan mengundang mereka datang ke Munich. Mereka datang berempat, saya menjemput mereka dengan VW tua saya di bandara dan mengajak mereka berjalan-jalan dengan VW itu. Anda pernah mendapat beasiswa untuk belajar film di Amerika. Tapi kemudian kabur? Periode itu orang masih percaya dengan ijazah. Saya sudah

“FILMMAKER SEKARANG LEBIH BANYAK MENGELUH.”

menyelesaikan 3 film pendek ketika itu dan ketiganya memenangkan berbagai penghargaan. Saya bahkan sudah memenangkan sejumlah uang untuk skenario yang saya tulis, tapi tetap saja tidak ada yang mau membiayai produksinya. Waktu itu saya pikir, mungkin lebih baik saya sekolah dulu. Maka saya pun menerima tawaran beasiswa itu dan memilih Universitas Pittsburgh. Tapi pilihan saya salah. Universitas itu ternyata tidak sesuai yang saya bayangkan. Saya hanya bertahan 3 hari, setelah itu saya menyatakan diri DO, saya mengembalikan beasiswa tersebut dan akhirnya menggelandang di Pittsburgh dan ketahuan tidak punya visa tinggal kecuali kalau saya berstatus pelajar. Mengapa anda tidak suka sekolah film? Saya tidak pernah terlalu percaya dengan sistem pendidikan. Saya percaya, segala sesuatu yang anda pelajari karena terpaksa di sekolah akan segera anda lupakan begitu saja. Tapi segala sesuatu yang anda pelajari karena pengalaman tidak akan pernah anda lupakan. Itu adalah pelajaran awal paling vital bagi saya. Memutuskan untuk menjadi pembuat film berarti harus siap dengan segala hal tak terduga. Para pembuat film sekarang lebih banyak mengeluh. Mengeluh karena kekurangan dana, mengeluh karena kru yang tidak bisa diatur, mengeluh karena produser yang tidak tepat janji, dan lain-lain. Orang-orang yang banyak mengeluh karena persoalan-persoalan seperti itu rasanya tidak cocok untuk masuk ke dunia film. Prinsip saya, semua bisa dipelajari. Apalagi sekarang, semua serba mudah, film bisa dibuat dengan biaya sangat minim. Sudah terbukti di mana-mana, peralatan teknis tidak lagi jadi masalah. Karena itu tidak ada alasan untuk mengeluh bagi para pembuat film muda di jaman ini. Jika ada sesuatu yang bagi saya terlihat rumit, saya akan melakukan percobaan, jika saya tetap tidak dapat menguasainya

1095

1096

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

maka saya baru akan menyewa seorang teknisi. Dan hal-hal seperti ini, tidak akan anda dapatkan di sekolah film. Sekolah hanya akan menjadikan anda teknisi. ‘For academia is the death of cinema. It is the very opposite of passion.

Asmayani Kusrini

24 Juni 2008, 09:57

“Hanya Sutradara Film Iklan Saja yang Memikirkan Penontonnya.” WAWANCARA DENGAN BÉLA TARR

W

alaupun saya mulai menonton film sejak jaman Ira Maya Sopha jadi Cinderella, toh saya baru ‘melek film’ dua-tiga tahun terakhir ini. ‘Melek’ film artinya sekarang saya tidak lagi bingung ketika ditanya, Willy Dozan itu aktor laga dari Hongkong atau Magelang. Sekarang saya tidak lagi bisa ‘dikibuli’ ayah saya—yang penggemar film silat—bahwa Bruce Lee itu kakak tertua Stephen Chow, dan Jet Li itu adik bungsunya, dan Andy Lau itu sepupu mereka. Meskipun begitu, toh, kecenderungan ‘menyamaratakan’ masih belum bisa lepas juga. Dan Béla Tarr adalah salah satu ‘korban’ penyamarataan itu. Dulu, bagi saya, semua film hitam putih itu adalah film klasik. Dan semua sutradara film klasik, pada umumnya sudah wafat. Berkali-kali saya menganggap, bahwa Béla Tarr sudah berstatus almarhum gara-gara anggapan naïf ini. Saya memang teledor dan sudah berkesempatan untuk minta maaf langsung.

1098

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Tapi saya punya alasan. Ketika menonton salah satu filmnya, berjudul Karhozat (Damnation) di sebuah bioskop kecil di Budapest beberapa tahun lalu, saya pikir, ini pasti salah satu film klasik yang sering lupa disebut oleh teman-teman saya para maniak film. Saya membayangkan, sutradaranya pastilah satu angkatan dengan Andrei Tarkovsky atau bahkan Sergei Eisenstein. Struktur ceritanya, --tentang cinta dan penghianatan— membuat film ini sebetulnya bisa masuk kategori genre film. Tapi jauh lebih tepat menyebutnya sebagai art film. Sekuen-sekuennya kaya dengan detail-detail visual yang hanya mungkin dilakukan dengan gerakan kamera yang seperti siput - sangat lambat. Film hitam putih ini tak bisa lepas dari ingatan karena pesimisme yang kental terhadap hidup. Tapi dalam salah satu katalog, saya sempat membaca komentar Susan Sontag tentang film ini: “Some of the very few heroic violations of cinematic norms of our times”. Saya sudah lupa soal Damnation ketika suatu kali seorang kawan saya mengajak menonton sebuah film berdurasi 7 jam 30 menit dengan judul seram: Satantango (Satan’s Tango). Saya sempat menolak karena teringat Shoah, film dokumenter karya Claude Lanzmann yang juga berdurasi panjang dan tidak pernah berhasil saya tonton tuntas. Tapi karena semangat teman saya yang bilang bahwa Satantango adalah salah satu film terbaik sepanjang masa, saya tertarik juga. Apalagi, untuk menonton film itu, teman saya menyiapkan diri seperti akan pergi camping, beberapa botol minuman ringan, coklat batangan, kue-kue, plus snack. Meski tidak sadar bahwa sutradara Satantango adalah sutradara Damnation juga, kesan saya tetap sama. Dia pastilah seangkatan Eisenstein. Menonton Satantango seperti sedang mengikuti prosesi spiritual visual. Usai menonton film yang tak sedikitpun bikin saya mengantuk itu, saya nyeletuk: “gile ya,

“HANYA SUTRADARA FILM IKLAN SAJA YANG MEMIKIRKAN PENONTONNYA.”

sutradara jaman-jaman dulu emang nggak tertandingi”. Dan saya pun menerima sejumlah omelan. “Jaman dulu ? Nenek moyangmu?. Film ini buatan 1994, loe nyebut jaman dulu itu kayak sebelum Perang Dunia ke-2 aja,” kata teman saya. “Sutradaranya emang masih hidup?”, tanya saya. Begitulah. Sampai kemudian saya menyadari bahwa Damnation, Satantango (masuk dalam daftar 1001 Movies You Must See Before You Die-nya Stephen Jay), dan kemudian Werckmeister Harmonies (masuk dalam daftar Great Movies-nya Roger Ebert), lalu Almanac of Fall, The Outsider, Family Nest, dihasilkan oleh sutradara yang sama, bernama Béla Tarr. Nama dan film-filmnya yang jarang terdengar, juga bukan tanpa sebab. Sebagai perbandingan, Roger Ebert saja, baru menonton film Béla Tarr pertama kali di tahun 2007 lewat Werckmeister Harmonies, itupun dalam format DVD. Nama Béla Tarr didengarnya dari mulut kemulut dan dari buku 1001 Movies You Must See Before You Die. Béla Tarr sendiri juga bukan orang yang rajin mondarmandir ke pesta-pesta film. Apalagi, ia pernah ‘terusir’ dari Hungaria dan terpaksa harus mengungsi. Saat ini, Hungaria sudah memintanya kembali pulang. Waktunya lebih banyak dihabiskan di sebuah dusun kecil tak tercantum dalam peta dekat Budapest. Karya-karya awalnya hanya beredar di sekitar komunitas seniman di Hungaria. Film-film masterpiece-nya beredar hanya sekitar festival di Eropa. Satantango sendiri baru dibawa ke Amerika sekitar tahun 2000-an. Film-film Béla Tarr yang menuntut banyak kesabaran penonton memang bukan jenis film yang diminati bioskopbioskop mainstream. Tapi seperti kata Roger Ebert, jika anda bisa sabar menonton filmnya setidaknya 20 menit pertama, maka yakinlah anda pasti akan menontonnya hingga menit terakhir. Atau seperti kata Susan Sontag—yang rupanya juga pengagum

1099

1100

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

karya Tarr—tentang Satantango: Devastating, enthralling for every minute of its seven hours. I’d be glad to see it every year for the rest of my life. Dan, ya, saya beruntung akhirnya bisa bertemu dengan Béla Tarr. Ia turun gunung untuk menemani film terbarunya: The Man From London pada Festival Film Rotterdam lalu. Rotterdam adalah salah satu festival yang bisa dibilang turut andil dalam mewadahi kreatifitasnya di awal-awal karir sebagai sutradara. Béla Tarr langsung mengingatkan saya pada film-filmnya. Wajahnya murung kalau tidak bisa dibilang muram. Tapi mata biru-hijau-keabu-abuan itu menatap setiap lawan bicaranya seperti sedang mengamati dengan intens. Bicaranya pelan, nyaris satu demi satu kata diucapkan dengan tekun, persis seperti shotshot di film-filmnya. Dan terus terang saja, Béla Tarr agak susah untuk diajak ngobrol. Bagaimana pengalaman sutradara ini tentang karirnya sebagai pembuat film? Berikut petikan obrolan saya dengan sutradara kelahiran Pecs, Hungaria pada 21 Juli 1955 ini:

The Man From London agak berbeda dengan film anda sebelumnya seperti Satantango atau Damnation, walaupun tidak ada yang bisa terkecoh, The Man adalah film Béla Tarr. The Man, sepertinya jauh lebih pesimis. The Man memang lebih dramatic, nyaris tidak ada subplot, tidak ada aksi. Yang kedua, karena saya makin hari makin tua dan ilusi saya makin berkurang. Ide-ide di kepala saya juga mengering. Rasanya saya tidak lagi romantis dalam hal merangkai film. Maksud anda, tidak lagi romantis akan ide penolakan formal terhadap konvensi sinematis? Oh tidak. Saya tidak lagi berpikir soal konvensi sinematis. Saya hanya berpikir tentang nasib dan keyakinan manusia. Saya hanya

“HANYA SUTRADARA FILM IKLAN SAJA YANG MEMIKIRKAN PENONTONNYA.”

ingin bercerita tentang bagaimana mekanisme hidup itu bekerja. Lewat karakter dalam The Man, saya hanya ingin bercerita tentang seorang pria di atas usia 50 tahun, yang punya kehidupan monoton dan bagaimana ia harus bersikap ketika tergoda pada sesuatu. Tidak seperti film anda yang lain, yang kental dengan kombinasi spiritual dan efek dari sisi gelap manusia, di The Man, aspek spiritualnya sepertinya memudar, dan membuat The Man makin terasa pesismis. Sulit untuk mengatakannya, karena saya tidak merasakan apa-apa. Segalanya terjadi secara natural, berdasarkan situasi saat kami membuat film. Film ini mungkin memang sebuah pengecualian. Anda tahu, kami mulai syuting pada 2005, dan kami tidak bisa menyelesaikannya karena produser kami meninggal (bunuh diri –red). Kami harus berhenti dan terpaksa membongkar set yang sudah kami bangun berbulan-bulan. Kami harus mengatur ulang post produksi dan kami kehilangan banyak hal selama satu setengah tahun, ditambah lagi dengan masalah legal, masalah dana, dan lain-lain. Ketika kami akhirnya bisa melanjutkan produksi, suasana hati saya sudah lain. Dan ketika film itu akhirnya selesai, saya merasa sangat sangat lelah. Saya merasa….kata yang tepat buat saya adalah mengering. Saya mengering. Saya tidak punya ilusi lagi. Jadi pada dasarnya, The Man tidak punya storyline. Ambisi saya terhadap film ini adalah menunjukkan wajah manusia sesungguhnya, yang bertindak secara natural terhadap situasi sulitnya masing-masing. Saya berikan waktu kepada karakterkarakter saya di depan kamera, saya berikan mereka ruang yang seluas-luasnya, dan hal-hal kecil lainnya yang bagi saya lebih penting dari sekadar mengikuti storyline. Bagaimana dengan script?

1101

1102

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

Saya tidak pernah menggunakan script, apalagi storyboard. Storyboard itu pekerjaan yang membuang waktu. Saya atau juga penulis skenario hanya menuliskan dasar-dasar pondasi filmnya. Selain itu, alur cerita bagi saya hanya bagian kecil dari sebuah film. Ada yang lebih penting dari sekadar alur cerita. Perkembangan emosi karakternya, waktu yang dibutuhkan agar keberadaannya sebagai karakter bisa terasa, eksistensinya, ritme, lokasi. Bagi saya, waktu dan lokasi juga adalah karakter sendiri. Selain itu yang terpenting adalah tahu bagian mana yang tidak boleh dipotong di ruang edit. Apa yang membuat anda begitu sedih sebetulnya. Apakah akibat dari kematian produser anda? Tidak. Hidup itu berat. Dan saya melihat dan mengalami bagaimana beratnya. Bukan hanya saya sesungguhnya, hidup makin berat juga bagi semua orang, bukan? Ya, tentu saja. Tapi jangan bilang anda akan berhenti membuat film. Oh tentu saja tidak. Itu satu-satunya harapan saya untuk terus hidup. Syukurlah. Bisa ceritakan salah satu pengalaman berat itu? Ada masa di mana saya ingin jadi filsuf. Ketika saya mendaftar untuk masuk jurusan filosofi, saya ditolak. Penolakan itu karena alasan politis, karena saya iseng membuat film. Saya membuat film tentang kelompok gypsy di Hungaria yang mengirim surat kepada pemimpin komunis tentang keinginan mereka untuk keluar dari Hungaria karena tidak punya apa-apa, tidak punya makanan, tidak punya pekerjaan. Setelah itu, saya membuat lagi film pendek, semacam dokumenter tentang kehidupan keluarga pekerja yang bermukim

Béla Tarr Foto oleh Asmayani Kusrini.

1104

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

secara illegal di rumah-rumah terlantar. Saat polisi datang untuk menyingkirkan mereka, saya malah dipenjara. Setelah keluar dari penjara, anda akhirnya berhasil masuk universitas? Tidak. Saya tidak pernah mendaftar ke universitas lagi. Saya tidak lagi peduli tentang filosofi. Saat itu saya memutuskan, saya tidak mau jadi filsuf lagi. Tapi kemudian anda menerjemahkannya dalam film? Terutama Werckmeister dan Satantango? Tidak, tidak. Saya tidak mau jadi filsuf lagi, bahkan dalam film sekalipun. Tapi anda tidak bisa mengelak, keinginan untuk menekuni hal-hal filosofis dalam film-film anda. Khususnya Werckmeister juga sangat kental dengan dimensi kosmis. Adegan pembuka Werckmeister misalnya, di mana orang-orang berkumpul memperagakan komposisi kosmik. Anda sepertinya percaya tentang hal-hal yang berhubungan dengan filosofi metafisik. Saya tidak pernah memikirkan hal-hal teoris ketika sedang bekerja.Anda tahu, setiap orang punya kewajiban sosial yang besar. Waktu saya membuat Werckmeister, di Hungaria kami memang sedang menghadapi problem sosial dalam sistem politik kami. Saya pikir, kenapa film ini tidak mempertanyakan masalah sosial itu? Kami juga menghadapi problem ontologi dan saya pikir semua masalah-masalah ini datang dari kosmos. Tapi tidak pernah saya dan tim saya membicarakan hal hal metafisik. Saya hanya mendengarkan dan memikirkan apa yang terjadi, mengkonstruksinya agar semua sudah siap ketika syuting dimulai. Di Werckmeister, saya ingin bercerita tentang bagaimana warga desa terpencil itu tiba-tiba menjadi gelisah menyambut

“HANYA SUTRADARA FILM IKLAN SAJA YANG MEMIKIRKAN PENONTONNYA.”

datangnya ikan paus. Ketika saya bekerja, saya tidak membicarakan hal hal teoritis. Kami selalu menghadapi problem teknis, kami tidak pernah membicarakan soal chaos atau hal-hal eksistensial. Kami membiacarakan bagaimana seharusnya adegan di jalanan, bisa bekerja sesuai yang seharusnya. Bagaimana jika seseorang masuk ruangan, dan bagaimana seharusnya reaksi orang-orang yang ada dalam ruangan tersebut. Kami membicarakan hal-hal kecil dan detail. Tidak pernah teori. Mengapa anda pikir semua ini datang dari kosmos? Segalanya dalam hidup selalu lebih besar dari yang kita duga. Kita ini, manusia hanya bagian yang sangat kecil dari itu semua. Tapi saya tidak akan memberikan definisi apalagi interpretasi apa-apa tentang film saya. Biarkan imaginasi anda berkembang sendiri tanpa perlu saya pagari. Maaf, tapi anda percaya Tuhan? Itulah masalahnya. Saya tidak percaya. Mudah saja untuk menyalahkan Tuhan dalam segala hal. Mudah saja bilang, ini kehendak Tuhan. Tapi saya pikir bodoh sekali kalau manusia seenak-enaknya menganggap bahwa Tuhan lah yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Tidak, saya tidak akan menghabiskan waktu saya dengan mengharapkan Tuhan ada. Anda pernah jadi eksil, keluar dari Hungaria beberapa waktu lamanya. Apakah juga ada hubungannya dengan kegiatan membuat film? Iya. Waktu itu sekitar tahun 1985. Saya ingin sudah ingin sekali membuat Satantango yang terinspirasi dari novel The Melancholy of Resistance karya sahabat saya Laszlo Krasznahorkai. Karena masalah politik, studio dan perusahaan film yang kami dirikan

1105

1106

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

bersama-sama dengan beberapa sutradara independen Hungaria akhirnya ditutup oleh pemerintah. Satantango akhirnya sempat tersimpan lama di rak buku, tapi saya sempat membuat Damnation di periode itu. Setelah itu, karena tekanan politik, saya akhirnya meinggalkan Hungaria dan menetap di Jerman Barat hingga runtuhnya tembok Berlin. Bersamaan dengan itu, situasi politik membaik, dan saya kembali ke Hungaria. Anda lama berkutat dengan sistem di Hungaria untuk membuat film. Sekarang boleh dibilang, nama anda sudah jaminan. Kritikus-kritikus pun memuji-muji film anda. Apakah sekarang anda lebih mudah membuat film daripada sebelumnya? Tidak akan pernah ada kata lebih mudah untuk membuat film. Nama? Apalah artinya nama. Tentu saja penting untuk tahu pendapat orang tentang film-film yang saya kerjakan karena selama mengerjakannya, praktis saya dan tim saya bekerja sendiri. Kami selalu pusing masalah dana, pusing menghadapi masalah-masalah di lapangan. Selama proses itu, anda tidak akan pernah punya waktu untuk memikirkan penonton atau siapa yang akan menonton film itu. Hanya sutradara film iklan saja yang memikirkan penontonnya. Bahkan setelah selesai pun, saya sudah cukup puas jika ada sepuluh orang yang menyatakan pendapatnya tentang film saya, karena penting bagi saya untuk tahu apa pendapat mereka. Tapi saya tidak pernah membayangkan ribuan orang akan menonton film saya, saya toh tidak bisa memuaskan dan menyenangkan semua orang. Di Hungaria sendiri, secara resmi, tidak ada yang suka. Kami toh berada di luar standar yang ada. Di jaman Komunis, kami adalah orang luar, tapi bahkan setelah Komunis berganti pun, kami tetaplah berada di luar garis, berada di luar sistem,

“HANYA SUTRADARA FILM IKLAN SAJA YANG MEMIKIRKAN PENONTONNYA.”

berada di luar komunitas borjuis kecil yang bodoh bernama industri film. Hampir semua film-film anda rupanya terinspirasi dari buku. Ya, tapi hanya terinspirasi bukan adaptasi. Biasanya saya lebih tertarik pada kesan yang ditimbulkan sebuah buku setelah saya membacanya. Kesan dan atmosfir itulah yang terolah di kepala saya, dan bukan karena alur cerita di buku itu. Saya tidak tahu banyak tentang budaya Hungaria. Apakah film-film anda menggambarkan kepribadian orang-orang Hungaria, Saya tidak tahu. Yang pasti saya orang Hungaria. Anda tahu, saya tidak tahu apa-apa selain saya orang Hungaria. Film-film anda pada umumnya disyut dengan format hitam putih dan sekilas ada pengaruh gaya Tarkovsky. Apakah dia yang menginspirasi anda? Sulit juga dibilang begitu. Saya suka film-film Tarkovsky walaupun tidak semuanya. Yang terbaik bagi saya Andrei Rublyov dan tentu saja Stalker. Tapi pilihan format hitam putih bukan karena Tarkovsky. Alasannya sederhana, saya pusing melihat terlalu banyak warna. Saya hanya membuat dua film berwarna. Selebihnya hitam putih. Saya juga tidak tahu, tapi saya merasa menggunakan warna membuat film saya jadi cerewet melebihi yang seharusnya. Yang menginspirasi saya justru Cassavetes. Saya sangat suka dengan film-film Cassavetes. Tapi film-film Cassavetes selalu riuh dengan dialog dengan pergerakan kamera yang selalu ikut andil, sementara film anda sangat kalem, minim dialog dan kamera anda selalu berjarak. Saya terinspirasi bukan berarti saya harus mengikuti dia kan? Saya sangat suka dengan gaya naturalis Cassavetes, tapi saya juga

1107

1108

3. TENTANG FILM, TENTANG PENONTON, TENTANG DUNIA KITA

sadar saya tidak bisa membuat film seperti dia. Saya punya keberatan sendiri. Anda pernah menyerah untuk jadi filsuf. Kenapa akhirnya ngotot membuat film? Itu pertanyaan yang sering saya ajukan terhadap diri sendiri dan saya tetap tidak bisa menjawab. Yang saya tahu pasti adalah saya tidak akan bisa membuat film jika orang-orang disekitar saya tidak memberikan kesempatan. Banyak waktu yang saya habiskan hanya untuk gagal. Banyak waktu saya habiskan untuk memohon-mohon dana dan berusaha mencari kemungkinan untuk membuat film yang berbeda dari film-film mainstream di Hungaria. Ketika saya akhirnya bisa mendapatkan sedikit uang, dengan bodohnya saya bangga menyebut diri ‘independen’. Tapi kemudian saya sadar, tidak ada itu yang namanya independen apalagi kebebasan berkarya, yang ada hanya uang dan politik. Saya hanya bisa memberikan pembenaran terhadap oportunisoportunis. Mungkin juga saya sudah menjadi bagian di kelompok itu. Anda benar-benar pesimis rupanya terhadap diri sendiri Saya bukan pesimis, tapi realistis.

4

Film dan Kita SISIK MELIK DUNIA FILM DALAM ESAI DAN ARTIKEL RUMAH FILM

Eric Sasono

Bioskop Tertua di Dunia?

K

etika saya tahu bahwa Minor Theatre di Arcata ini adalah gedung bioskop yang pertamakali dibangun di Amerika untuk keperluan pertunjukan feature film (dan bukan pertunjukan lain seperti teater atau vaudeville), saya pun googling. Saya ringkaskan di bawah ini. Bioskop itu terletak di sudut jalan di 1013 H Street, Arcata, California. Dari hotel tempat saya menginap, Hotel Arcata, cukup berjalan kaki tak paling lama sekitar satu menit. Ini adalah gedung teater tertua di Amerika Serikat yang memang dibangun untuk pertunjukan feature film. Bahkan salah satu pemiliknya, David Phillips, berpikir bahwa ini adalah yang tertua di dunia. Bioskop ini dibangun tahun 1914. Sedangkan feature film baru pertama kali dibuat tahun 1912. Jadi bisnis feature film sama sekali belum banyak dan bisa disimpulkan belum ada gedung yang benar-benar dibangun untuk pertunjukan film. Pada masa itu pertunjukan lebih banyak dilakukan di nickelodeons dan one-reel show dan

1114

4. FILM DAN KITA

bagian dari vaudeville. Minor Theatre inilah yang pertamakali dibangun untuk menampung pertunjukan feature film. Jadi ini ziarah bersejarah ya. Bioskop ini dibangun oleh orang kaya di situ, Isaac Minor, bulan Januari 1914. Seorang pengusaha nickelodeons di daerah, seorang perempuan bernama Bert Pettingel menjadi partner Isaac Minor untuk mengelola bioskop ini. Malam pembukaannya adalah pada 3 Desember 1914 memutar film berjudul The Chimes, sebuah film bisu yang konon termasuk film yang sudah tak ada lagi copy-nya. Di auditorium utama terdapat 524 bangku. Pada malam pembukaan itu, semua bangku terisi. Padahal penduduk Arcata waktu itu sedikit di atas 1.000 orang. Foto pembukaan bioskop ini masih dipajang di lobby. Tahun 1927 bioskop ini menjadi bagian dari rantai usaha bioskop yang dimiliki bersama dengan beberapa bioskop lokal di Humbold County; dan kemudian berpindah-pindah tangan. Hingga akhirnya sekarang menjadi bagian dari Coming Attractions Theatres yang dimiliki oleh John Schweiger yang juga memiliki jaringan Vartsity Theatres. Awalnya bioskop ini hanya terdiri dari satu auditorium. Namun sekarang sudah ditambahi dengan beberapa ruang pertunjukan lain dan menjadi seperti sineplex pada umumnya. Namun auditorium utama masih dipertahankan seperti apa adanya. Sayangnya ketika saya datang, sedang ada pertunjukan di audiotrium utama dan tak bisa mengambil foto di sana. Kualitas suara di gedung bioskop ini Dolby Stereo atau THX. Film yang diputar di situ adalah Bourne Ultimatum yang sudah saya tonton di DC. Sampai sekarang bisnis berjalan lancar. Rebecca, asisten manajer bioskop itu menyebut sekitar 50-60 orang per pertunjukan. Bisa lebih pada film-film yang memang box office. Harry Potter kemarin full house. Juga pada film-film serius, kata Rebecca. Film serius? Ya, film-film politik. Tiket untuk Sicko laku

BIOSKOP TERTUA DI DUNIA?

keras. “Orang di sini suka pada film-film serius dan film politik” kata Rebecca. Pasti ini ada kaitannya dengan penduduk Arcata, para pemilih partai hijau. Mereka umumnya memang aktif secara politik dan kritis terhadap pemerintahan. Maka setiap pekan selalu diputar film berbahasa asing, film impor ataupun film distribusi independen. Pekan ini yang diputar adalah  Once, sebuah film Irlandia. Ini sudah jadi komitmen pemilik jaringan bioskop ini untuk menyediakan pertunjukan berkualitas, kata Rebecca. Hm, foreign film artinya berkualitas? Bioskop masih sepi jam pada 7.20 malam ketika saya berada di situ. Pertunjukan berikut, yang akan saya tonton, adalah The Simpsons, jam 8 malam. Di auditorium utama sedang berlangsung Bourne Ultimatum. Ketika saya akan keluar untuk jalan-jalan, kasir sempat berkata: ‘nanti akan ada antrian panjang beli tiket; kamu kasih lihat tiketmu aja, dan nggak usah repot ikut antrian’. Saya mengiyakan saja sekalipun tak mengerti dan tak yakin akan ada antrian nanti. Mungkin memang begitu kebiasaan di sini. Jam 8 kurang lima saya kembali, dan saya memang melihat antrian orang untuk membeli popcorn. Tak banyak, tapi lumayan untuk Selasa malam. Saya melirik harga popcorn dan minuman. Mahal: 4 dolar, air putih 2.50, dan soft drink 3 dolar. Belum pajak. Buku Bordwell, Art of Cinema, memang bilang bahwa bioskop di Amerika bisa tetap dapat untung dari berjualan popcorn, dan minuman yang mahal-mahal ini, dan tak semata-mata dari tiket. Keuntungan terbesar dari pertunjukan masih ada di tangan distributor, dan bukan pula produser. Saya masuk ke ruangan auditorium yang memutar  The Simpson, pilihan saya malam itu. Ruangan itu memuat antara 100 – 110 kursi. Kecil, tapi lumayan nyaman. Layarnya tak terlalu besar, dan suara Dolby Stereo. Pengalaman yang tak istimewa. Apalagi  The Simpsons Movie  juga tak secerdas yang saya bayangkan. Episode-episode TV-nya terlalu legendaris untuk bisa

1115

1116

4. FILM DAN KITA

dilampaui oleh film layar lebarnya ini. Bandingkan dua line dari Homer ini: I’m not a religious person but if you’re up there, please help me; Superman! This Book doesn’t have any answer! Saya kok merasa line “Superman” ini jauh lebih witty dan hilarious ketimbang yang kedua. Selain meledek agama, line ini juga mengacu pada popular culture. Line kedua hanya ledekan pada agama saja. Tapi memang itu masalah adaptasi: jangan membandingkan dengan aslinya. Okelah, saya cukup menikmati kecerobohan dan ignorant-nya Homer sekalipun bagian Alaskanya itu bagi saya terasa tidak “Simpsonish”. Ini memang cerita feature-length. Harus ada silent moment sebelum titik kulminasi konflik. Beda dengan TV yang isinya constant attack yang setiap 3 menit harus ada hal baru. Mungkin line paling saya suka adalah dari Bart: “He knows me….” Hm, bioskop tertua di dunia. Mungkin tak terlalu istimewa, karena pemerintah Arcata tak perlu merasa melestarikan atau memberi sertifikat apapun untuk gedung ini. Beda dengan Hotel Arcata tempat saya menginap yang diberi sertifikat sebagai salah satu gedung bersejarah di Amerika oleh Kementrian Dalam Negeri mereka. “Hotel itu 7 tahun lebih tua daripada gedung ini,” kata Rebecca ketika saya tanya mengenai hal ini. Tapi waktu saya cek di plakat gedung bersejarah itu, tertulis Hotel Arcata dibangun tahun 1915, setahun sesudah Minor Theatre ini. Mungkin bisnis bioskop tak terlalu istimewa untuk dapat endorsement pemerintah, atau mungkin karena gedung bioskop di Amerika banyak sekali yang sama bersejarahnya seperti Minor Theatre ini dan masih beroperasi dengan baik sehingga tak perlu ada endorsement pemerintah. Atau pikiran saya yang masih ngendonesia sehingga setiap ada gedung bersejarah yang

BIOSKOP TERTUA DI DUNIA?

terpikirkan adalah perlindungan dari pemerintah. Hehe. Anyway, saya jadi ingat bioskop tua di Jakarta seperti bioskop di jalan Guntur, ataupun Metropole. Bioskop tua di jalan Guntur sudah jadi gedung terbengkalai. Entah apakah usaha menjadikan bekas bioskop itu sebagai museum film akan berhasil atau tidak. Jelas butuh dana besar, dan uang pemerintah yang paling mungkin; atau sumbangan dari orang-orang terkaya di Indonesia untuk mewujudkannya? Sedangkan kabar terakhir yang saya dengan tentang Metropole adalah ketika seorang wartawan dari RuangFilm mewawancara saya mengenai rencana untuk merenovasi, dan mengubah kompleks Metropole menjadi kompleks bangunan yang lebih cocok dengan selera tahun 2000an. Benarkah kabar terakhir ini? Saya tak sempat mengecek pada siapapun. Ada yang tahu? Bagaimana pula dengan bioskop yang berkaitan dengan masa kecil? Bioskop Viva tempat saya saat kecil menonton film seperti Ratapan Anak Tiri, Nakalnya Anak-Anak, atau Betty Bencong Slebor sudah jadi semacam gudang. Tebet Teater di sebelahnya sudah jadi dealer mobil. Gedung bioskop di Taman Mini di sebelah kolam renang Ambar Tirta yang saya tak tahu namanya dan tempat saya menonton film-film Sundel Bolong-nya Suzanna, dan (saya ingat betul) film Captain America, dan sebuah feature-length dokumenter tentang kehebatan persenjataan pada Perang Malvinas tahun 1982, sekarang entah jadi bangunan apa. Maaf kalau jadi romantis dan jadi bicara soal seperti itu. Film memang bukan hal terpenting dalam kehidupan. Apalagi di negeri seperti Indonesia dimana lapangan kerja masih jadi soal lebih penting ketimbang menonton film di tempat yang bagus. Bisnis bioskop dan bisnis film bisa mati. Gedung bioskop bisa diruntuhkan dan dibongkar. Tak apa. Sekalipun kenangan dan pembentukan kesadaran yang lahir darinya adalah sesuatu yang imortal bagi setiap individu.

1117

Hikmat Darmawan

Film Indonesia Suatu Ketika BAGIAN PERTAMA: SEBUAH SOSIOLOGI YANG HILANG

1

P

ada 1983, terjadi sesuatu yang jarang saya temui lagi: saya sekeluarga menonton film Teguh Karya, Di Balik Kelambu, di Pasar Minggu Theatre. Kejadian ini unik di beberapa level. Pertama, Di Balik Kelambu adalah film drama yang “dewasa” –film yang mengolah persoalan-persoalan orang dewasa, di mana inti persoalan adalah sulitnya pasangan muda tinggal di rumah mertua. Ketegangan-ketegangan yang terjadi, spiral konflik yang merumit, emosi-emosi yang tercuat, semua terasa sangat “Indonesiawi”. Padahal Teguh sendiri, sebagaimana biasa, membesut ragam soal rumah tangga ini dengan latar ilmu teater klasiknya. Ilmu teater yang ditranformasikan pada sebuah bahasa film yang menekankan pada akting dan tidak pada akrobat kamera atau editing. Dalam mazhab sinema ini, boleh dibilang kamera dan gambar diarahkan untuk melayani akting.

FILM INDONESIA SUATU KETIKA

Kedua, Di Balik Kelambu adalah film pemenang FFI. Dilihat dari gaya pengolahannya, boleh dibilang film ini sebetulnya termasuk kategori arthouse movies atau film-film yang digarap dengan intensi seni. Nyatanya, film ini laris di pasaran. Fakta bahwa Ayah dan Ibu saya (yang bukan penggemar film) ingin sekali kami sekeluarga (bersama saya dan adik saya) menontonnya, menandakan bahwa film ini menarik perhatian masyarakat—seingat saya, bioskop waktu itu penuh sekali, dan banyak juga yang menonton seperti kami: sekeluarga, berbondong menyaksikan Slamet Rahardjo, dan Christine Hakim di layar lebar menggeluti persoalan yang mungkin mirip dengan yang mereka alami juga di rumah. Ketiga, berkait dengan kenyataan larisnya  Di Balik Kelambu serta pengalaman saya menontonnya bersama keluarga, adanya sebuah latar sosiologis yang menarik bagi film Indonesia: film kita waktu itu rupanya masih merupakan tontonan keluarga. Di Balik Kelambu sebetulnya bukanlah film yang pas untuk saya saat itu. Saya masih SD, apalah pengertian saya terhadap nuansa persoalan rumah tangga: masalah himpitan ekonomi, tekanan sosial, atau impian punya rumah sendiri. (Bahwa toh saya kemudian menikmati juga film ini, itu soal lain.) Saya terlibat dengan film ini mulanya di luar kemauan saya. Keluarga batih saya —khususnya Ayah dan Ibu—butuh hiburan keluarga, dan mereka menganggap film ini bisa jadi pilihan, dan saya serta adik saya dibetot untuk menonton film ini. Peristiwa kecil ini mencerminkan sebuah latar sosiologis karena berkelindan dengan berbagai variabel sosial dan jaringjaring fakta sosial yang mengikat serta mengeratkan saya, keluarga saya, dan film Di Balik Kelambu. Misalnya, acak saja, variabel institusi keluarga. Pada saat itu, pilihan keluarga untuk mengisi leisure time bersama rupanya bisa terpaut dengan film Indonesia. Cobalah tengok pola konsumsi saat itu: mal belum banyak dan belum “segala ada” seperti saat ini,

1119

1120

4. FILM DAN KITA

sehingga para pengunjung belum terlalu terpilah-pilah berdasarkan demografi mereka; bioskop masih merupakan hiburan yang sangat ‘ajaib’ dan, lebih penting lagi, belum tersegmentasi menjadi tempat hiburan remaja; di sisi lain, hiburan-hiburan “isolatif” macam playstation, handphone, i-Pod, saluran kabel, DVD dan home theatre, belum melimpah –“hiburan bersama” masih jadi agenda penting bagi sebuah keluarga batih di Jakarta. Di Balik Kelambu (juga film-film Indonesia yang laris pada masa itu – katakanlah pada masa sebelum deregulasi ekonomi Indonesia pada 1990) beruntung karena bisa jadi milik bersama berbagai lapis masyarakat penontonnya. Ia menjadi milik Ayah dan Ibu saya saat itu, milik para tetangga mereka, milik penonton dari berbagai lapis sosial dan ekonomi, dan akhirnya jadi milik saya juga yang masih bau kencur itu. Perlahan, latar sosiologis seperti itu luruh dan buyar. Film Indonesia, secara umum, kini tak lagi jadi tontonan keluarga. Film-film laris masa kini, sebut saja Jelangkung, Ada Apa Dengan Cinta?, Eiffel ...I’m In Love, atau Jomblo, adalah milik segmen pasar tertentu (remaja atau ABG). Kita harus memeriksa, apakah hal ini sesuatu yang positif atau negatif bagi perkembangan film nasional kita nantinya.

2 Sesungguhnya, segmentasi demikian terjadi juga di Amerika atau Jepang, juga di Eropa atau di Hong Kong (atau berbagai bagian lain dunia yang telah terkosmopolitanisasi). Gampangnya saja, kita lihat betapa genre adalah sebuah institusi kuat dalam industri film Hollywood. Genre adalah sebuah perwujudan segmentasi pasar tersebut. Termasuk, dalam kasus Amerika, pembedaan

FILM INDONESIA SUATU KETIKA

“film-film musim panas” (hiburan, untuk remaja) dan “film-film musim gugur/dingin” (lebih serius, opsi untuk anugerah Oscar dan lain-lain). Malah, yang kini terjadi adalah segmentasi tahap lanjut, yakni fragmentasi. Dalam fragmentasi, bukan hanya terjadi pemilahan, terjadi juga kesalingasingan. Ini, tentu, mengimplikasikan eksklusi. Sengaja atau tak sengaja, fragmentasi itu mengakibatkan mertua saya (terutama Mama), misalnya, beberapa tahun belakangan sering merasa tak nyaman di dalam lobi Studio 21 TIM. Tentu saja, kedua mertua saya membawa dunia sosiologisnya sendiri di bioskop itu—ayah mertua saya, misalnya, memakai batik untuk menonton. Bioskop 21, telah jadi milik nyaris eksklusif sebuah (atau beberapa, yang punya ciri berdekatan) dunia sosiologis yang sama sekali lain dari dunia mertua saya.

3 Soal menonton film bersama keluarga, saya pernah menyaksikan sesuatu yang aneh sekali pada paruh kedua 1990-an. Waktu itu saya sedang luntang-lantung di sebuah bioskop kelas tiga—saya lupa, apakah itu bioskop di Buaran atau sebuah bioskop di Cinere (waktu itu, saya memang sering sekali luntang-lantung di bioskopbioskop kumuh macam itu). Waktu itu, sekitar pukul 8 malam. Saya menyaksikan sebuah keluarga batih, ayah-ibu-dan-seorang anak balita, menonton pertunjukan pukul 9-an, salah satu film panas lokal yang pada masa itu banyak diproduksi. Saat itu saya tak habis pikir, kok bisa film panas bertema seks begitu jadi tontonan keluarga tersebut? Saya membayangkan si anak kecil menonton adegan-adegan panas (yang walau disensor

1121

1122

4. FILM DAN KITA

ketat, tapi penuh dialog-dialog ngeres yang banal) di layar besar dalam kegelapan bioskop kumuh itu. Sebuah gejala sosiologis yang aneh. Tentu saja, kalau saya bersikap ilmiah murni—tak diberati pertimbangan-pertimbangan moral apapun—maka saya tak perlu heran pada kejadian itu. Sosiologi hanyalah mencoba mencatat dan memahami. Fenomena sosial bukanlah soal genah-tak genah. Toh saya merasa gerah karena kejadian itu. Bukan karena alasan moral. Saya gerah, gundah, gelisah, karena samar menangkap sesuatu yang kemudian saya kenali sebagai kemiskinan sosiologis film kita. Kejadian film panas sebagai tontonan keluarga lahir, antara lain, karena miskinnya pilihan dalam dunia film kita. Pada 1990an itu, misalnya, berapa banyakkah film keluarga yang tersedia? Dengan mengambil sebuah premis sosiologis secara agak sembarang, saya melihat bahwa kemiskinan ini menimbulkan dislokasi sosial. Dalam kemiskinan tontonan film Indonesia, keluarga di sebuah bioskop kumuh itu mengalami semacam “kiamat” fungsional berskala kecil. Mereka jadi serba salah,1 keliru tempat, ketika duduk di bioskop menonton film panas itu. Si lelaki saat itu mestinya sedang berfungsi sosial sebagai “Ayah”, si perempuan sebagai “Ibu”, dan si anak sebagai seseorang yang mestinya mendapat asupan tontonan yang sesuai bagi usianya. Tapi semua itu “terpaksa” buyar karena demikianlah dunia film kita saat itu, dengan segala infrastrukturnya (seperti sistem distribusi dan perbioskopannya) yang kacau.

1

Di sini, saya tidak sedang bicara “sikap serba salah” pada keluarga tersebut, seolah itu sesuatu yang memang dirasakan oleh keluarga tersebut. Soal perasaan, saya tak tahu. Saya bicara (sebagai pengamat tak terlibat) tentang kekacauan fungsi sosial yang lazim dalam sebuah masyarakat modern—yang punya harapan-harapan sosial yang jelas bagi fungsi-fungsi dasar macam “Ayah”, “Ibu”, atau “Anak”.

FILM INDONESIA SUATU KETIKA

Ini baru satu saja aspek kekacauan sosiologis film kita saat itu—di mana film panas dipandang sebagai sebagai sebuah fakta sosial di hadapan sebuah keluarga batih. Belum lagi jika kita bicara tentang materi filmnya sendiri, tentang “isi” film-film nasional kita saat itu. Tanpa usah bersikap marah-marah pun, kita bisa segera mengenali adanya gejala dislokasi, disfungsi, dan bahkan chaos sosial yang cukup umum dalam “isi” film-film kita pada masa itu. Ambil contoh film-film panas 1990-an itu. Kita sepakati dulu bahwa “film panas” adalah film Indonesia yang mengangkat tema seksualitas dan berahi, menampilkan adegan-adegan seks yang cukup eksplisit (tak mungkin sepenuhnya eksplisit— mengingat gunting sensor kita untuk adegan-adegan “seksplisit” seperti  frontal nude  atau  intercourse  yang gamblang terbilang cukup ketat), dan dibintangi bintang-bintang (terutama perempuan) yang berani melakukan adegan-adegan “seksplisit” itu. Nah, jika kita mengambil masa paruh akhir 1990-an saja, kita lihat bahwa film-film demikian sangat dominan dalam produksi film nasional.2 Pada 1995, jumlah produksi film nasional 22 buah dan 18 di antaranya adalah film-film panas seperti Bebas Bercinta,  Gairah Malam yang Kedua,  Gairah Terlarang, atau Permainan Binal. Pada 1996, 34 film diproduksi dan 31 di antaranya film panas (6 menggunakan kata “Gairah” dalam judul mereka, 6 menggunakan kata “Sex”, dan 6 menggunakan kata “Nafsu”). Pada 1997, 32 film diproduksi dan 23 film panas. Pada 1998, produksi film menurun drastis (dari angka yang sebetulnya juga sebuah penurunan dari masa produktif 1980-an) menjadi 4 film saja. Tak pelak, pastilah krisis moneter membuat para produser film kita “tiarap”. Lebih aman menggiatkan 2

Data-data ini saya ambil dari JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2005, Penerbit Nalar, 2005.

1123

1124

4. FILM DAN KITA

bermain di dunia sinetron TV daripada bikin film untuk bioskop. Dari 4 film, 3 di antaranya film seksplisit. Sebetulnya, maraknya film-film panas sejenis telah terlihat tanda-tandanya sejak 1991-1992, mulanya mendompleng film-film genre horor atau silat. Film silat/mitis/sejarah Selir Adipati Gendra Sakti (1991), misalnya, menampilkan seorang perempuan tinggi yang berani buka-bukaan, Lela Anggraini. Konflik berpusat pada politik seks sang Selir. Konflik ini sesungguhnya memberi alasan bagi banyak adegan seks dalam film ini. Belakangan, Lela Anggraini memang jadi salah satu bintang panas generasi awal dekade 1990-an. Contoh lain,  Kembalinya Si Janda Kembang (1992). Lagi-lagi, tekanan bukan pada horor yang jadi premis cerita film ini—konflik justru berpusat pada masalah seks, dan itu lagi-lagi jadi alasan bagi unjuk “keberanian” Sally Marcelina (lagi-lagi bintang ‘berani’ untuk dekade 1990-an). Pada 1993, tema-tema erotik jadi semakin mencuat. Ceritacerita film macam Akibat Hamil Muda (bintang: Sally Marcelina, Windy Chindyana),  Gairah Malam  (bintang: Malvin Shayna), Ranjang yang Ternoda (bintang: Inneke Kosherawati), atau Misteri di Malam Pengantin (bintang: Kiki Fatmala, Yohana Alexandra) berlatar tokoh-tokoh urban yang menempatkan seks sebagai masalah utama mereka. Film-film ini boleh dibilang turunan langsung dari film  Bernafas Dalam Lumpur  (1970, sutradara: Turino Djunaidy, pemain: Suzanna) yang disebut JB. Kristanto sebagai “(F)ilm Indonesia pertama yang menonjolkan seks, perkosaan, dan dialog-dialog kasar”.3 Pada 1994-1995, tematema erotik menjadi dominan dalam perfilman Indonesia. Lebih dari film-film horor/mistis berbintang Suzana pada 1990-an yang menempatkan seks sebagai bumbu, film-film panas Indonesia 1990-an menempatkan seks sebagai sajian utama.

3

JB. Kristanto, idem, halaman 76.

FILM INDONESIA SUATU KETIKA

Tapi, masalah siapakah seks seperti tergambar dalam filmfilm panas tersebut? Film-film panas itu tak peduli pada pertanyaan tersebut. Mereka mendefinisikan penonton mereka sendiri. Definisi yang mungkin naif, eksploitatif, tapi sempat menjadi sebuah fakta sosial film nasional kita. Film-film itu mendefinisikan Sang Penonton film kita sebagai vulgar, tak keberatan dengan adegan-adegan buruk, fotografi buruk, atau dialog-dialog buruk. Bersambung

1125

Eric Sasono

Burung Pipit yang Tak Pernah Menyesal

Non, Rien De Rien, Non, Je Ne Regrette Rien Ni Le Bien Qu’on M’a Fait, Ni Le Mal

S

eratus empat puluh menit itu nyaris saya sesali apabila lagu berbahasa Prancis di atas tak datang pada Jumat malam itu. Saya memang menantikannya, tetapi tak pernah menduga datangnya lagu itu begitu kuat. Saya menonton  La Vie En Rose, pada Jumat malam 2 November lalu. Film itu menjadi film penutup pada Europe On Screen, festival film Eropa di Jakarta tahun 2007. Film karya Oliver Dahan ini adalah sebuah biopik penyanyi Perancis, Edit Piaf (1915 – 1963). Waktu saya bekerja di Delta FM—ketika itu masih favourit oldies station—saya sering mendengarkan lagu itu: Non, Je Ne Regrette Rien. Ada alasan kenapa lagu tadi membuat terasa begitu kuat. Film La Vie En Rose ini adalah sebuah biopik yang berarakan. Episode demi episode lewat bagai awan tergeret angin membawa muatan emosinya sendiri. Alur yang melompat maju mundur dengan tokoh beritu banyak membuat saya kehilangan peta plot

BURUNG PIPIT YANG TAK PERNAH MENYESAL

film. Emosi Edith juga nyaris tak terlacak perkembangannya dalam keseluruhan bangunan film. Yang bisa diikuti hanya tema demi tema yang dibangun dalam sekuen demi sekuen film itu. Film ini menceritakan hidup Edith Piaf yang dramatis. Terlahir dengan nama Edith Giovanna Gassion, ia mengubahnya menjadi Edith Piaf, burung pipit. Ibunya penyanyi jalanan dan ayahnya pemain akrobat sirkus. Edith kecil hidup bersama neneknya di rumah bordil (di situs RFI, rumah neneknya ini dikatakan sebagai sebuah peternakan). Edith tak kekurangan kasih sayang di sana karena ia jadi pembawa keriangan, kompensasi bagi para pekerja seks di situ. Maka ketika ayahnya memaksanya pergi, Edith menangis. Juga Titine yang sempat membawa Edith berdoa kepada Santa Theresa untuk kesembuhan matanya yang hampir buta karena suatu penyakit. Edith kemudian berkelana di jalan, bernyanyi ditemani sahabatnya, Simone yang ia panggil Momone. Sampai suatu hari Louis Leplee melihatnya. Leplee yang mengelola sebuah cafe Le Gerny dekat Champs De Elysees, membawa Edith ke sana. La Mome Piaf mulai dikenal orang dan diliput media. Sampai Leplee mati akibat pembunuhan, dan Edith dicurigai terlibat di dalamnya. Lolosnya Edith dari kecurigaan tak diceritakan dalam film ini, dan kemudian kita diantarkan kepada proses mentoring Edith yang melelahkan. Mentor itu bernama Raymond Asso yang mengajar Edith dengan ketelitian yang menggetarkan. Dari situ, keterkenalan tinggal selangkah di depan Edith, majulah ia ke bawah sorot lampu itu; hingga ke Amerika. Di sana, ia bertemu cinta sejatinya, Marcel Cerdan, seorang petinju Prancis yang sedang menuju puncak karirnya. Mereka menjalin cinta sekalipun Marcel sudah menikah. Kematian Marcel kemudian membawa Edith pada kehancuran jiwanya. Ia terlibat pemakaian obat-obatan dan ini membuat kondisi tubuhnya jadi sangat buruk. Malam terakhir bagi Edith itu datang. Perempuan bertubuh kecil itu berumur 48 tahun ketika ia sudah sulit untuk jalan, dan

1127

1128

4. FILM DAN KITA

tampak jauh lebih tua dari usianya. Ia sudah sulit untuk tampil. Tapi Non, Je Ne Regrette Rien terlalu menggodanya. Ia tampil di Olympia dengan lagu itu, yang sekaligus menutup film ini. Film karya sutradara Olivier Dahan ini dipenuhi tokoh, dan perpisahan Edith yang tak jelas dengan para tokoh itu. Mulai dari ibunya, lalu ayahnya, Titine, Simone alias Momone, suaminya Louis Dupont (tampil selintasan di film ini), anaknya Marcelle (yang muncul lebih selintasan lagi), Raymond Asso, kekasihnya Marcel Cerdan dan seterusnya. Penonton seperti tak diberi kesempatan menyelami karakter-karakter di seputar Edith ini dan mengapa mereka ada. Ini memang film tentang seorang manusia yang memilih agar hidup berpusar padanya – semata-mata padanya – dan bagai tak berikatan apa pun dengan sekelilingnya. Hidup boleh keras, boleh lembut, boleh nikmat, boleh pedih, boleh hiruk, boleh hening. Tapi hidup adalah hidup yang terus berjalan berpusar di satu orang: Edith Piaf, dan itu cukup bagi Edith. Tentu saja dimensi bagi peristiwa jadi tipis dan kurangnya informasi sedikit membingungkan, tapi jelas sekali bahwa Dahan sedang membawa kita mengarungi lautan emosi dalam kehidupan Edith Piaf. Maka ketika ia bernyanyi di ujung film: Non, Rien De Rien, Non, Je Ne Regrette Rien, itulah puncaknya. Inilah hidup yang tak akan disesali oleh Edith Piaf. Maka ketika ia mendengar lagu ini pertamakali dari komposer yang menawarkannya, Edith berteriak: itu lagu saya!! Dan ending film ini membawa saya pada ingatan di suatu siang pada 1997. Saya mewawancarai seseorang bernama HJC Princen. Orang ini dikenal di kalangan dekatnya dengan panggilan Poncke Princen. Ia seorang prajurit KNIL Belanda yang desersi dan kemudian beralih membela Republik Indonesia. Ia ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan. Kemudian pasukan Siliwangi membebaskannya dan ia ikut bersama pasukan Siliwangi

BURUNG PIPIT YANG TAK PERNAH MENYESAL

melakukan long-march dari Yogyakarta ke Bandung yang terkenal itu. Ia ingat di sepanjang jalan mereka menyanyikan lagu Lilly Marlene, lagu yang dpopulerkan diva paling terkenal pra-Perang Dunia II, Marlene Dietrich (Marlene muncul selintas dalam film La Vie En Rose). Poncke kemudian menjadi seorang yang tak bisa diam. Ia terus memprotes sana sini. Di masa Jepang, ia ditahan oleh Jepang. Di masa Sukarno, ia memprotes Sukarno dan dipenjara. Di masa Soeharto ia juga memprotes Soeharto dan dipenjara. Bahkan ketika masih di Belanda, ia dipenjara oleh pemerintah pendudukan Jerman. Setiap pemerintahan di negeri yang ditinggalinya seperti alergi padanya. Sepanjang hidupnya, ia seperti seorang gerilyawan dan terus berteriak untuk membela apa yang disebut hak asasi manusia. Sekalipun akibatnya ia sempat ditolak untuk masuk ke Belanda karena masih dianggap sebagai pengkhianat di sana. Ia jelas kecewa, sekalipun hal itu sudah merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihannya. Saya mendengar namanya lewat media, tapi saya cukup menghormati orang ini, sekalipun dari jauh saja. Waktu saya temui itu, Poncke sudah berkursi roda. Ia bicara dengan tak tergesa. Suaranya pelan dan nyaris berbisik. Tapi sesekali suaranya meninggi seperti marah. Ini terjadi ketika saya bertanya mengenai soal-soal politik. Soeharto sedang di ujung kekuasaannya, dan Poncke termasuk yang sejak lama ikutan menggerogoti kekuasaan Soeharto dengan omongan kerasnya. Tapi secara umum, suasana wawancara terasa hangat dan akrab, penuh dengan cerita, kenangan, dan tawa kecil yang lepas. Sampai saya bertanya kepadanya: “Poncke. Seandainya Poncke bisa memilih hidup kembali, Poncke memilih untuk menjadi orang Belanda atau orang Indonesia?” Pertanyaan itu membuatnya terdiam sejenak, dan memandangi saya dengan senyum. Seakan ia sudah

1129

1130

4. FILM DAN KITA

mengantisipasi pertanyaan semacam ini. Lalu ia menjawab dengan pelan, nyaris berbisik. “Saya ingat sebuah lagu dari Edith Piaf, Non, Je Ne Regrette Rien.” Lalu ia bernyanyi dengan suaranya yang lirih. Non, Rien De Rien Non, Je Ne Regrette Rien “Tidak, saya tidak menyesal...,” kata Princen. “Ini hidup saya. Apa yang sudah saya alami tak akan saya sesali. Inilah hidup saya....” Saya terdiam mendengar nyanyiannya. Dan itulah akhir wawancara saya. Sepuluh Tahun jarak kedua peristiwa itu. Dua orang di dua jaman terhubung oleh sebuah lagu. Baik Edith Piaf dan Poncke Princen sama-sama memiliki pusaran hidup mereka, dan saya seperti menjadi saksi yang jauh, yang terhubung samar-samar dengan keduanya. Apakah saya beruntung? Mungkin tidak – apakah arti hidup orang lain bagi saya. Tapi inspirasi memang berjalan jauh. Poncke Princen jelas terinspirasi oleh Edith Piaf, si burung pipit yang tak pernah menyesali hidupnya. Mungkin Poncke akan menangis apabila sempat menonton film ini. Tapi Poncke tak akan pernah menontonnya karena ia sudah meninggal dunia pada 2002. Ia juga tak akan tahu bahwa di bangku Djakarta Teater itu dada saya sesak mendengar lagu itu karena teringat padanya.

Ekky Imanjaya

Jangan Tinggalkan Aku, Orked Ne me quitte pas Il faut oublier Tout peut s’oublier Qui s’enfuit déjà Oublier le temps Des malentendus Et le temps perdu A savoir comment Oublier ces heures Qui tuaient parfois A coups de pourquoi Le coeur du Bonheur Ne me quitte pas Ne me quitte pas Don’t leave me We must forget All we can forget all we did till now Let’s forget the cost of the breath We’ve spent saying words unmeant And the times we’ve lost hours that must destroy Never knowing why everything must die at the heart of joy Don’t leave me don’t leave me — (Ne Me Quitte Pas, Nina Simone mendaurulang dari Jacques Brel)

1132

4. FILM DAN KITA

S

alah satu ciri film yang baik adalah seberapa dalam dan lama kesan, serta sentuhannya bergaung ke hati penonton.  Saya menonton Mukhsin lima kali, dan lima kali pula  tersentuh. Saya merasakan ketulusan dan  kepenuhan hati pembuatnya, sekalipun saya tak menontonnya di layar lebar.  Saya menyaksikan  Mukhsin  pertamakali melalui laptop di sebuah hotel melati di Bukitbintang, Kuala Lumpur,  sehari sebelum bertemu dengan  Yasmin Ahmad, sang sutradaranya. Yasmin ramah dan bercerita banyak hal dengan hangat. Salah satunya tebak-tebakan adegan mana dalam filmnya yang membuatnya menangis. Baginya, hal ini penting, karena bagaimana mungkin sang sutradara bisa membuat orang lain terharu, kalau dirinya sendiri tak tersentuh? Apa salah satu bagian dari  Mukhsin  yang membuatnya menangis? “Tentu saja ini mudah ditebak. Adegan saat keluarga besar Orked  berdansa bertiga, dan Mukhsin di luar, dengan lagu Ne Me Quitte Pas,” jelasnya. Dan lagu yang artinya “Jangan Tinggalkan Aku” itu bukan satu-satunya lagu di sana yang menggerakkan perasaan. Film terakhir dari trilogi Orked ini adalah contoh yang sempurna dalam penggunaan lagu. Setidaknya, ada dua lagu utama di film itu yang meraih Grand Prix of the Deutsche Kinderhilfswerk, dan Crystal Bear untuk Film Fitur Terbaik di  Festival Film Berlin  2007 itu. Keroncong Hujan dan Ne Me Quitte  Pas. Ne Me Quitte Pas (Don’t Leave Me) dalam film ini adalah versi Nina Simone. (Salah satu penyanyi terbaik yang pernah ada, kata Yasmin). Mengapa bukan versi orisinalnya yang dinyanyikan Jacques Brel, Iwan Fals-nya Belgia (“Pahlawan saya”, kata Dr Wanda Strauven, dosen Film Theory di kampus saya)? “Ya, karena saya suka saja,” ujar Yasmin.

JANGAN TINGGALKAN AKU, ORKED

Secara literal  Ne Me Quite  Pas bercerita persis seperti yang digambarkan judulnya: jangan tinggalkan aku. Ia ditempatkan di adegan saat sang karakter utama merasa diabaikan, dan takut bahwa orang yang ia cintai akan meninggalkannya untuk selamanya. Sedangkan Keroncong Hujan, terdengar di awal film, bersamaan dengan turunnya hujan, sambil mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah dan kebersamaan. Namun keduanya adalah juga sebuah tanda.  Ne Me Quitte Pass  adalah pintu masuk serta keluar Mukhsin dan Orked, menegaskan pertemuan dan perpisahan mereka. Lagu Hujan, dimainkan di depan dan di belakang film, adalah juga pintu petanda awal serta akhir kehidupan Orked kecil. Kedua lagu itu juga mempertegas atmosfir kehangatan di dalam hati karakternya, dan di dalam rumah. Saat keduanya dilantunkan, kita bisa merasakan keintiman, nilai kekeluargaan, dan kehangatan antar anggota keluarga. Tapi di saat yang bersamaan,  misalnya kasus saat pertama kali  Ne Me Quitte Pas dinyanyikan secara “karaoke” oleh tukang kebun, yang sudah dianggap saudara sendiri oleh keluarga Orked, terasa dinginnya hati  di luar  keluarga inti dan rumah sederhana itu. Saat itu Mukhsin yang berada di luar memandang ke dalam rumah Orked yang penuh keceriaan. Mukhsin, anak dari keluarga berantakan, sedang diabaikan Orked, dan ia melihat betapa bahagianya sebuah keluarga, justru di saat ia sudah mulai menjadi bagian dari lingkarannya. Di adegan berikutnya, giliran Orked yang merasakan kebekuan di dalam hatinya, saat ia sadar bahwa Mukhsin akan menginggalkannya. Entah sampai kapan, dan Orked tak diberi kesempatan mengucapkan selamat tinggal. Sedikit berbeda untuk Hujan. Pada lagu ini, yang terasa hanya keceriaan. Kehangatan mengalir saat keluarga Orked bermain musik di teras rumah, bersama-sama. Di akhir film, Mak

1133

1134

4. FILM DAN KITA

Inong asli, Pak Atan asli, dan Orked yang adalah adik kandung Yasmin, bernyanyi bersama seluruh kru dan pemain. Semuanya bergembira. Kedua lagu utama itu mempertajam jarak antara keceriaankesedihan; orang dalam-orang luar; awal-akhir. Terutama lewat lirik lagu-lagu itu yang memang erat hubungannya dengan adegan-adegannya, juga dengan mood musiknya itu sendiri. Yasmin dengan penuh kesadaran memilih lagu yang bukan dari budaya negerinya, Malaysia. Yang satu adalah lagu Belgia berbahasa Prancis, yang lainnya berakar dari Indonesia. Dia ingin menggarisbawahi wacana multirasialisme yang selama ini sudah ia sampaikan dalam Sepet dan Gubra, dua film  terdahulu dari trilogi Orked dan juga dari iklan-iklan Petronas yang dibuatnya. Dari wawancara saya dengan Yasmin, tampak bahwa pilihan itu adalah cermin dari pemikiran sang sutradara yang terobsesi dengan kebudayaan lain di luar budayanya. Yasmin sempat memberi cerita menarik soal lagu keroncong di filmnya itu. Mukhsin diputar di Jogja-Netpac Asia Film Festival tahun ini dan meraih Silver Hanoman. Ketika lagu Keroncong Hujan disenandungkan sebagai penutup, salah seorang wartawan senior dari surat kabar beroplah terbanyak di negeri ini berdiri dan kurang lebih berkata:’Mana sutradaranya? Ini lagu kok sangat Indonesia!’.  “Saya jadi takut mendengarnya…” kata Yasmin. Lewat film peraih Best Asian Feature Film di Cinemanila International Film Festival  2007 itu,  kita menjadi lebih sadar, bahwa lagu tidak sekadar hiasan belaka, atau pelengkap penyerta. Ia bisa menjadi alat yang efektif untuk mengarahkan perasaan penonton sesuai dengan tujuan yang diinginkan, membuat pemahaman penonton lebih dalam, lewat lirik dan mood dari lagu dan aspek musikalnya. Padahal, film ini sangat sederhana, “hanya sekadar” kisah cinta monyet Orked, si tomboi dari sebuah keluarga “gila”, dengan Mukhsin.

JANGAN TINGGALKAN AKU, ORKED

Lalu giliran saya yang sedih. Yasmin berkata, “Ini film terakhir tentang trilogi Orked. Setelah ini, tak akan ada lagi film tentang Orked”.  Mukhsin  menuntaskan trilogi Orked. Kecil kemungkinan saya berjumpa lagi dengan karakter Orked, padahal saya terlanjur saya jatuh cinta padanya. Ne me quitte pas, Orked…

1135

Asmayani Kusrini

Hiroshima Mon Amour

Pada Mulanya Sebuah Buku

S

aya ingat buku itu. Buku seukuran kantong jaket yang saya temukan di sebuah toko buku yang nyaris musnah dimakan api. Buku-buku yang selamat dan masih layak baca akhirnya dilelang. Dan buku kecil itu salah satunya. Lusuh. Tergeletak tak menarik di antara buku-buku yang bersebaran di atas meja besar. Saya hanya tertarik dengan sampulnya. Foto selembar kertas merah keunguan yang terkoyak dan sedikit sobek. Di atas lembar yang terkoyak itu tertulis: Lui (Him): You haven’t seen anything in Hiroshima. Nothing. Elle (Her): J’ai tout vu. Tout. (I’ve seen everything. Everything.)

Judul buku itu adalah  Hiroshima Mon Amour,  ditulis oleh Marguerite Duras. Novel Duras sering mengeksplorasi tema tentang trauma. Tapi Hiroshima Mon Amour bukan dimaksudkan untuk menjadi novel, meski sangat kental dengan bahasa sastra

PADA MULANYA SEBUAH BUKU

yang kadang abstrak dan cenderung puitis. Buku itu adalah skenario film dengan judul sama dan disutradarai oleh Alain Resnais. Kalimat pembuka di awal ceritanya pun persis sama dengan apa yang tertera di sampul buku. Tidak ada nama. Hanya ada Lui dan Elle atau him dan her dalam bahasa Inggris. Tidak sulit untuk mengikuti alurnya karena buku kecil ini ditulis dengan struktur skenario. Banyak ‹interupsi› yang ditandai dengan tulisan miring. ‹Interupsi› ini biasanya soal gambar apa yang harus dimasukkan ketika  lui  dan  elle  sedang  ngobrol  tentang sesuatu yang khusus. Buku itu seperti sudah mempersiapkan mental saya untuk membayangkan film macam apa Hiroshima Mon Amour itu. Kesan pertama usai membacanya: ceritanya suram terbebani kenangan buruk. Tapi kesuraman itu diimbangi dengan warna yang lebih segar, romantisme yang rada-rada melankolis. Seperti yang ditulis dalam pengantar bukunya, Duras menulis Hiroshima atas permintaan Alain Resnais. Waktu itu, selain tertarik pada film, Resnais juga menunjukkan minat besar pada berbagai bentuk seni lainnya, dari seni lukis, fotografi, hingga literatur. Di saat bersamaan, para penulis muda mulai membuat karya-karya yang kemudian dikenal dengan gerakan Nouveau Roman  (atau  new novel). Nama-nama di balik gelombang ini antara lain Alain Robbe-Grillet, Marguerite Duras, dan Nathalie Sarraute di tahun 1950an. Resnais tidak sekadar tertarik pada literatur tapi juga punya peran yang besar dalam memperkenalkan gelombang Nouveau Roman. Sepanjang karirnya kemudian, Resnais selalu memilih penulis-penulis yang punya nama di dunia sastra khususnya dari kelompok Nouveau Roman untuk menulis skenarionya—di antara karya filmnya yang paling terkenal ditulis oleh dua sastrawan,

1137

1138

4. FILM DAN KITA

Duras (Hiroshima Mon Amour) dan Robbe-Grillet (L’anneé Dernière à Marienbad). Kerjasamanya dengan Duras juga bukan kebetulan. Awalnya, Resnais diminta untuk membuat film dokumenter tentang bom atom dan gerakan perdamaian dunia. Sebelumnya, Resnais sukses membuat dokumenter tentang holocaust, Nuit et Brouillard. Tapi Resnais jelas tidak ingin membuat dokumenter dengan pendekatan yang sama dengan Nuit et Brouillard, karena itu ia sempat ragu untuk menerima tawaran membuat dokumenter sejarah lagi. Resnais berubah pikiran saat produser asal Jepang menyodorkan ide untuk membuat film ini dalam perspektif Jepang dan Prancis. Tidak perlu dokumenter murni seperti yang dilakukan Resnais sebelumnya dalam  Nuit et Brouillard. Itu berarti juga terbuka kemungkinan untuk meramu sebuah kisah yang lebih berdimensi sekaligus memadukan dua budaya tersebut. Bagi Resnais, tidak ada orang lain yang lebih pantas untuk menulis skenarionya selain Marguerite Duras. Saat itu, Duras adalah tokoh nouveau roman yang banyak meramu tema tentang trauma dan kenangan, khususnya trauma sejarah seputar pendudukan Prancis dan Holocaust. Duras sangat akrab dengan kenangan itu, juga akrab dengan trauma yang mewarnai sebuah periode dalam hidupnya. Suami pertamanya, Robert Antelme, yang juga seorang penulis dideportasi karena keterlibatannya dengan gerakan perlawanan Prancis menentang pendudukan Nazi Jerman pada Perang Dunia Kedua. Antelme dikirim ke kamp konsentrasi Nazi di berbagai tempat di Jerman, kemudian berakhir di kamp konsentrasi Dachau. Antelme kembali ke Paris pada 1945. Duras menunggu ditemani firasat buruk, banyak menduga dan yang pasti terus ketakutan karena tidak pernah menerima kabar pasti tentang suaminya.

PADA MULANYA SEBUAH BUKU

Trauma kehilangan itu tidak juga hilang bahkan setelah suaminya kembali. Duras mengalami proses panjang untuk bisa mengerti kesulitan suaminya mengatasi trauma serta usahanya untuk berdamai dengan situasi itu. Karena itu, Resnais memilih Duras. Dan pilihan itu tidak salah. Membaca Duras, jelas terlihat kematangannya dalam mendeskripsikan ‘trauma’. Itu juga yang terasa ketika membaca skenario Hiroshima Mon Amour. Romantisme yang ditawarkan dalam skenario tidak dangkal. Ceritanya pun tidak sekadar romantisme-berlatar sejarah yang klasik. Terbukanya kemungkinan untuk tidak sekadar membuat dokumenter murni memberi peluang bagi Duras dan Resnais untuk memberi dimensi baru dan perspektif yang lebih luas terhadap peristiwa sejarah Hiroshima. Duras pun punya kesempatan untuk mengeksplorasi tema favoritnya tentang romantisme perempuan yang kadang-kadang melankolis dan dikombinasikan dengan ketertarikan Resnais terhadap dokumenter sejarah. Kalimat pembuka yang sangat ‘catchy’ seperti tertulis di sampul buku skenarionya adalah jalan pembuka menyusuri jejak sejarah yang makin meluas. Tidak hanya tentang bom atom yang dijatuhkan di atas Hiroshima, tapi juga sejarah ‹hitam› periode pendudukan Nazi di Prancis. Ini membuat saya berpikir, betapa romantisnya kisah ini, tapi juga membuat saya khawatir. Bahasa literatur jelas berbeda dengan bahasa film. Ada kesan, Duras mengesampingkan fakta bahwa ia sedang diminta untuk menulis skenario film yang tidak hanya butuh cerita tapi juga butuh kesadaran visual. Sebelum menonton filmnya, saya hanya bisa menduga-duga, entah Duras yang terbebani dengan permintaan Resnais atau sebaliknya Resnais yang akan terbebani dengan cerita Duras ini.

1139

1140

4. FILM DAN KITA

... Kemudian Film Itu Untuk membuat film Hiroshima Mon Amour, sejak awal Duras dan Resnais berangkat dari sebuah pertanyaan dasar, bagaimana menceritakan sebuah peristiwa yang tidak mungkin dimengerti oleh mereka yang tidak pernah mengalaminya? Pertanyaan yang sama pernah diajukan Resnais saat membuat dokumenter tentang kamp konsentrasi, Nuit et Brouillard. Dalam film itu, kamera Resnais menyusuri kamp yang kosong sambil ditemani narasi yang terus mengingatkan kita tentang perlunya kita mengingat tapi juga ketidakmungkinan kita untuk mengerti atau membayangkan horor yang terjadi di kamp itu. Di  Hiroshima Mon Amour, Resnais kembali dengan pertanyaan ini. Tapi kali ini, ia mengajak penontonnya menyusuri sejumlah dokumen nyata yang ditempatkan dalam konteks fiksi. Upaya ini adalah hal yang biasa dilakukan dalam mengadaptasi kisah sejarah. Harus saya akui, saya punya ekspektasi macam-macam terhadap film  Hiroshima Mon Amour. Selama membaca skenarionya pun, saya sudah punya bayangan bagaimana kemungkinan film ini di layar besar. Maklum, otak saya dipenuhi ‘file’ film-film cinta berlatar sejarah. Dan bayangan itu melenceng sangat jauh. Struktur cerita Hiroshima Mon Amour dituturkan dengan sangat teliti, dan gaya teater yang kental. Sebagai film, tak ada yang bisa memprediksi alur kisah Hiroshima. Meski sinopsisnya terkesan sangat konvensional untuk ukuran jaman sekarang, pendekatan Resnais dalam membuat Hiroshima jauh dari pendekatan konvensional. Seperti yang ditulis Duras, di awal film, kita tidak akan melihat wajah kedua karakter orang ini. Hanya ada kalimat itu: Tu n’as rien vu à Hiroshima. Rien!. J’ai tout vu. Tout.  Kita hanya mendengar suara, sebuah narasi tentang keyakinan sang pria

PADA MULANYA SEBUAH BUKU

bahwa si wanita tidak melihat apa-apa di Hiroshima, sementara si wanita sebaliknya sangat yakin sudah melihat semuanya. Sepanjang percakapan itu, di layar hanya terlihat dua lengan saling silang, berpelukan. Lalu ditimpali dengan  shotshot  dokumenter tentang orang-orang yang sekarat, terbakar dengan wajah hancur, anak-anak dengan kulit terkelupas atau wajah setengah hilang menangis mencari ibu, dan banyak lagi adegan mengerikan lainnya. Narasi dengan gaya teatrikal ini berlangsung cukup lama sampai kemudian wajah keduanya terlihat. Kita kemudian tahu, percakapan tentang Hiroshima itu berlangsung saat mereka sedang bermain cinta. Percakapan tentang Hiroshima terus berlanjut, melebar sampai pada waktu-waktu tertentu ada ‘interupsi’ gambar dari sebuah peristiwa lain: kenangan personal si wanita. Dan adegan demi adegan mengalir membuat kita makin mengenal siapa si lelaki dan siapa si wanita. Narasinya secara sadar dibuat kompleks untuk memberi jarak cukup bagi penonton mengamati sekaligus memahami karakter-karakter dalam Hiroshima. Skenario Duras ini diadaptasi dengan bahasa visual yang tidak biasa, bahkan hingga kini. Resnais memperkenalkan elemen subjektif demi menangkap mekanisme kenangan tentang peristiwa sejarah, dan menjadikan filmnya menjadi semacam mediasi yang menghubungkan dua peristiwa (bom atom di Hiroshima dan pendudukan Jerman di Prancis). Hiroshima juga seperti mediasi antara dokumenter dan film fiksi. Dalam Hiroshima, perempuan Prancis ini adalah seorang artis yang berperan dalam sebuah film semi documenter, yang menggunakan Hiroshima sebagai latar belakang, sebagai lanskap untuk mendokumentasikan sekaligus mereka ulang kejadian mengerikan setelah bom dijatuhkan. Sebuah film dalam film.

1141

1142

4. FILM DAN KITA

Pada saat Hiroshima dirilis, Resnais dianggap membuat sebuah terobosan yang menandai karya  feature  dalam gerakan nouvelle vague atau New Wave Prancis. Hiroshima jelas tidak mengikuti langgam atau jejak-jejak pembuat film pendahulunya. Bahkan tidak juga Vigo atau Rossellini yang banyak menjadi inspirasi para sutradara New Wave. Munculnya  Hiroshima  membuat kritikus di  Cahiers Du Cinema  (termasuk Godard dan Truffaut) terpaksa membuat forum khusus untuk mendefinisikan film tersebut. Ada yang menyebutnya sebagai sebuah narasi novel antara William Faulkner dan James Joyce, atau gabungan lukisan Georges Braque dan Picasso, atau bahkan komposisi musik Stravinsky. Godard kemudian menyimpulkan,  Hiroshima Mon Amour tidak punya referensi sinematis sama sekali dari film-film atau pembuat film sebelumnya. Campuran antara trauma personal dan mimpi buruk sejarah kala itu dianggap sebagai bahasa baru. Hiroshima menggabungkan semua hal yang tidak ada dan tidak pernah disebut dalam petunjuk membuat film. Segala hal yang tidak seharusnya dilakukan – dalam konteks konvensional – ada dalam Hiroshima. Kombinasi radikal antara nafsu berahi dengan bom atom, masalah yang sangat umum dengan masalah yang sangat khusus, masalah sosial dan masalah politik, semua dicampur aduk dan terpantul dalam hubungan mereka yang terjebak mengikuti kata hati dan obsesi. Pada akhirnya, semua sepakat menyimpulkan, Hiroshima Mon Amour adalah karya orisinal. Setelah menyaksikan film ini, dugaan saya ternyata tidak terbukti. Jelas terlihat, kolaborasi Duras dan Resnais tidak saling membebani. Duras bisa bercerita dengan bahasa literaturnya dan Resnais mampu bercerita dengan bahasa visualnya. Maka jadilah Hiroshima Mon Amour sebagai sebuah film yang merayakan gradasi literatur-visual. Kolaborasi ini kemudian menjadi landmark dalam dunia sinema Prancis, bahkan sinema dunia.

Intan Paramaditha

Like a Rolling Stone: Imagining America in Contemporary Indonesian Films

I

n one of the most memorable scenes of Gie (2005), Riri Riza’s high budget film about the life of a Chinese-born Indonesian student activist Soe Hok Gie in the 1960s, students are marching in the city streets to protest against President Sukarno. This demonstration is accompanied by non diegetic music: Bob Dylan’s  Like a Rolling Stone  sung by an Indonesian band. Dylan’s anti-establishment lyrics fits very well with the youthful, rebellious spirit of the students, yet the use of an American song to challenge the authority of a left-authoritarian president demands attention to the intersection between the local and the global as well as nationalism and popular culture. Riri Riza’s entrance to the Indonesian film industry was marked by Kuldesak (Cul de Sac, 1998), a groundbreaking youth film made by 4 directors at the end of Suharto regime with a conscious reference to American popular culture such as Pulp Fiction, Taxi Driver, American grunge music, and icons from

1144

4. FILM DAN KITA

director Quentin Tarantino to alternative musician Kurt Cobain. Breaking away from the older generation of filmmakers, Kuldesak directors are aware that many people despise the film because “it was too American”.1 While for older filmmakers and film critics America is equal to low quality and mass culture (Said 1991: 7), Riri Riza’s generation asserts their identity by embracing American-ness. This paper intends to explore why the idea of America, particularly Hollywood, is inseparable from the cultural and national imagination in Indonesia; it also attempts to see how America is reappropriated by contemporary Indonesian filmmakers to challenge the dominant power.

Tracing the Freedom The foreign relation between Indonesia and the United States only began in 1960s, especially after Suharto came to power and shifted gear from communist-nationalist politics to pro U.S. militarism. The United States was not interested in Indonesia at least until Sukarno claimed himself as a resistant enemy with antiU.S. rhetoric and alignment with Soviet Union and China. During and shortly after World War II, United States only looked at onedimensional Indonesia as a model of ‘good assimilation politics’ in which the natives accepted Dutch colonialism for its reform projects (Bradley 2000: 66). On the other hand, Indonesians imagined the United States as unfamiliar – due to the limited contact between the two countries – yet idealized its values of liberty and democracy (Weinstein 1976: 68). During Japanese occupation, Indonesian nationalists were hoping for the United States to ‘save’ them; similarly during Soekarno’s authoritarian regime, America became a part of the opposition between the 1

Amir Muhammad, “Lesson From Indonesia”(www.kakiseni.com: January 29, 2002).

LIKE A ROLLING STONE: IMAGINING AMERICA IN CONTEMPORARY INDONESIAN FILMS

liberal and the communists. The image that links student demonstration and Bon Dylan’s song as a part of American popular culture in Gie resonates the 1960s’ situation. Indonesia’s relation with U.S. since World War II has taken different shapes. From limited contact and ignorance in the World War, the anti-American movement during Sukarno, Suharto’s association with U.S. imperial power, and today’s tension after the 9/11, the nature of foreign relations between the two countries has been fluctuating. Today, Indonesia under U.S. imagination is “the largest Muslim country in the world.” Despite the existence of diverse beliefs and religions in Indonesia, the Muslim label seems inseparable from Indonesia. Indonesian names and bodies, especially male, suddenly become racialized and subjected to scrutiny in the United States. On the other hand, anti-American movements become more rampant in Indonesia. After 9/11 Muslim organizations become a more legible spectacle on television for rallying demonstrations against the U.S. in addition to secular organizations, which have long criticized American imperialism as well as intervention in the conflicts in Aceh and East Timor. At the same time, Indonesian middle class female professionals, feeling oppressed by Indonesian strong patriarchal tradition, can relate to the Sex and the City serials and perceive the successful, single, white heterosexual female characters as their heroines. The serials’ ignorance toward the world outside the protagonists’ race and class is not more salient to Indonesian female audience than the theme of female empowerment. The diverse reception of America indicates that while the United States has been linked with negative associations such as predatory empire and commercialism, the idea of “America” remains powerful and influential in Indonesian popular culture. The similarity between 1960s students portrayed in Gie and Sex and the City aficionados lies in the imagination of America as a symbol of transgression of the social norms and

1145

1146

4. FILM DAN KITA

authority figures. America is equal to the freedom to choose. Indonesian women remain unmarried in their 30s are considered as ‘unmarketable’ women who cannot find potential husbands, yet when Carrie Bradshaw and her friends remain single, it is viewed as an attractive choice. Similarly, Carrie might make decisions that are not politically correct in the feminist framework, such as being involved in a romantic yet unequal relationship or spending all her money for shoes. It is nevertheless seen as freedom to choose instead of victimization. The association between America and the value of liberty can be traced back to the Cold War period in which the United States began to see Asian region as an important site for the extension of U.S. political, military, and economic power. Christina Klein argues that in order to attain global power in the age of decolonialization, United States built its empire precisely by distancing itself from the image of oppression and colonialism (Klein 2003: 9). This empire operated through what Mary Louise Pratt calls “narratives of anti-conquest” to promote American ideas of equality, tolerance, and universal humanitarianism (13). Klein further states that these narratives are packaged in the sentimental rhetoric in popular culture such as novels, travel writing, and musicals. The appeal of American sentimentalism in Indonesia could be seen in the musical genre such as Terimalah Laguku (Accept My Song, 1953), directed by D. Djajakusuma and written by Asrul Sani, who studied film at UCLA. This film disturbed some nationalist Indonesian directors for simply offering dreams, yet it was very successful that a series of light musicals were produced afterwards (Said 1991: 55). Asrul Sani, with his American education background, later directed Pagar Kawat Berduri (The Barbed Wire Fence, 1963), a film about an Indonesian military officer who works for the Dutch colonial government, embodying “the principle of ‘Universal Humanism’ and a ‘hero of humanity’.” The film was criticized by LEKRA, a

LIKE A ROLLING STONE: IMAGINING AMERICA IN CONTEMPORARY INDONESIAN FILMS

communist cultural organization, for defending colonialism and imperialism (67). The antagonism between Asrul Sani and LEKRA mirrors the cold war polarities -- imagined by the U.S. -between those who believed in individual liberty and “totalitarian regimes” (Klein 2003, 22). Klein agrees with Bruce Cumming, who views the Cold War in terms of “international integration,” creating a global imaginary that binds U.S. and other countries in an interdependent relationship. He reflects on today’s globalized world as “the anticipated consequence, the unfolding of the liberal hegemony that American internationalists like Acheson envisioned in the peculiarly American moment of 1945” (267). Following this trail of thought, Inderpal Grewal’s Transnational America focuses on the post-cold war U.S. global power and suggests that we see the United States not merely as an imperialist nation-state but “a discourse of neoliberalism making possible struggles for rights through consumerist practices and imaginaries that came to be used both inside and outside the territorial boundaries of the United States” (2005: 2). The discourses of freedom and choice, with genealogies rooted in the rhetoric of American exceptionalism in the Cold War era, enable the United States to spread and preserve its influence in many parts of the world. The nation boundaries of America are expanding, producing “subjects outside its territorial boundaries in its ability to disseminate neoliberal technologies through multiple channels.” Grewal reveals that people in South Asia and South Asian diaspora in the United States are linked in these transnational connections with both South Asian and American identities converge in their new, hybrid identity. Grewal uses the term “transnational connectivities” in which “subjects, technologies, and ethical practices were created through transnational networks and global connections of many different types and within which the ‘global’ and the ‘universal’

1147

1148

4. FILM DAN KITA

were created as linked and dominant concepts” (3). Although Indonesian diaspora in the United States is not plenty nor very influential, U.S. global power has contributed in the formation of cosmopolitan figures who are capable of moving across border with flexibility. The difference between Riri Riza’s generation and the older generation of Indonesian filmmakers is the greater involvement of new generation in these “transnational connectivities.” Although some of the older generation of Indonesian filmmakers received their education in either the United States or the Soviet Union, most of them started their career in local theatre groups and learned filmmaking through apprenticeship with more established directors. Today, Indonesian mainstream filmmaking is populated by middle-class Western graduates such as Riri Riza, Nan Achnas, Nia DiNata, and Rudy Soedjarwo, who entered the film industry with a conscious attempt to break the tie with the older generation of filmmakers. Within Grewal’s framework that links neoliberalism to consumer culture, this new generation consumes the global and in turns becomes the producer of the global for the local market. This process, furthermore, is reversible, as one can see in Nia diNata’s film production strategy. Studying filmmaking at NYU, diNata transfers her education and cultural knowledge by making Arisan (The Gathering), a film about the lives westernized, upperclass Indonesians in the urban Jakarta setting. Yet she also, more than any other directors, actively participates in American film festivals such as Tribeca in New York and Palm Spring in Los Angeles, aided by Indonesian students and immigrants who reside in the U.S.2

2

Each Indonesian director has his/ her own imagined market. Garin Nugroho, the most prominent Indonesian filmmaker, targets his films mostly for European market, especially Cannes Film Festival.

LIKE A ROLLING STONE: IMAGINING AMERICA IN CONTEMPORARY INDONESIAN FILMS

Localizing America Nia diNata’s strategy shows that transnational connectivities need to be understood not only as the dissemination of U.S. cultural hegemony by cosmopolitan subjects but also the process in which the local is circulated in the global arena. In addition, while Indonesian filmmakers are attracted to the idea of individual freedom characterizing neoliberalism, the conception of America is always appropriated within the local context, indicating that cinema does not only simply reflect the hierarchy between the hegemony and its passive receiver. In a deleted scene in Gie, Riri Riza describes Gie’s meeting with Sumitro, former minister during Sukarno era who lost his job and had to live in the United States because of his controversial political vision. Wearing a Hawaiian shirt and a pair of shorts, Sumitro welcomes Gie in his luxurious house with expensive gifts from the United States. Sumitro is portrayed as a hedonistic man who comes to Indonesia from America to save Indonesian people from Sukarno’s left-wing authoritarianism. His American-ness is emphasized as he mixes Indonesian language with English, while Gie speaks only in Indonesian. When he asks whether Gie would continue giving him support, Gie, with a cynical expression framed in close up, replies in English, “It depends on where you stand, Sir.” Gie’s comment foreshadows the later part of the film, where Sumitro becomes a corrupt minister in Suharto’s New Order cabinet. “America” in this scene serves as foreshadowing signs of Sumitro’s greed and corruption; it represents wealth, snobbish attitude, and foreignness. Most of all, the gifts Sumitro brought from the U.S. resonate today’s bleak image of America as an insincere helper of unfortunate nations. With this scene removed, Sumitro’s presence is substituted by his gift delivered by an assistant to Gie. The elimination of Sumitro and his American-

1149

1150

4. FILM DAN KITA

ness obscures the context of the gift and deletes the film’s criticism toward America. The lack of critique posed by contemporary Indonesian films toward America might be seen as the difficulty to deconstruct deep-seated influence of the U.S. in the national imaginings. This is partly true, yet looking at it in another way, this phenomenon also shows that criticizing United States is not so much an important agenda as criticizing the government. A couple of months before Gie was launched, in a casual conversation, Riza mentioned Mike Nichols’ Closer and refered to Jude Law’s character in the film as a contemporary face of manhood: sensitive, fragile, and often indecisive. He does not explicitly say how much American fictionalized character has affected his Chinese-Indonesian hero, Soe Hok Gie; however, reading Gie in relation to Riza’s earlier film, Kuldesak, will show that he challenges Indonesian model of masculinity, a combination of Suharto’s masculine militarism and the Javanese priyayi model of emotional restraint. In order to do this, he creates new male characters closer to Kurt Cobain and Jude Law, with lack of cultural reference to Indonesian archetypal male. Produced at the dawn of Suharto’s power, Kuldesak presents male protagonists who are ‘unproductive’ when perceived under the New Order masculine norms. Having no real jobs and money, all they do is dreaming to be an artist, either as musician or filmmaker. One male character who wants to make a movie, Aksan, declares that his heroes are Quentin Tarantino and Robert Rodriguez instead of established filmmakers of the New Order era such as Syumanjaya – his real father outside the film -- and Teguh Karya. These young generations are contrasted to the typical New Order Bapak (Father), a man associated with power, hierarchy, and bureaucracy. Yosef Gamarhada, a successful businessman who rapes his own female employees represents this type of manhood and is visualized as an aging dinosaur. Riza counters New Order patriarchal norms with his Cobain-like heroes:

LIKE A ROLLING STONE: IMAGINING AMERICA IN CONTEMPORARY INDONESIAN FILMS

withdrawn, angry, vulnerable, reluctant to be fit into the established system, threatening for their unregulated bodies. Kuldesak is obviously an Americanized youth film, especially when it is compared to mainstream Indonesian cinema during New Order that promotes Indonesian-ness as an umbrella unifying more than 300 ethnic groups from Aceh to Timor. Yet “America” here is not simply a celebration of American dream; it is used within the Indonesian context to reinvent the concept of resistance.

A Real Indonesian Face? Salim Said in his study on the political and social forces that have shaped Indonesian film until 1980s begins his book by questioning why there are so many Indonesian films with poor qualities, selling only sex, violence, and luxurious lifestyles that do not show “the real Indonesian face” (1991: 3). The main reason to this, according to Said, is based on the history of commercialism in Indonesian film history. Early films are produced by Shanghai or Indonesian-born Chinese merchants who were “foreign” and had “separate status;” thus they failed to show the actual representation of Indonesia (5). These Chinese producers, furthermore, used Hollywood genre as a standard since Hollywood produces films that fits with the public taste (9). Said’s premise, however, draws a question: how would we define-- if there is any -- ”a real Indonesian face”? By creating a binary between Indonesia and ‘foreign’ (Chinese/ American) influences, Said fails to see how foreignness takes part in the process of reimagining Indonesia. Likewise, his dichotomy between idealistic Indonesian filmmakers (Usmar Ismail, Syumanjaya, Teguh Karya) and Hollywood genre as “a commodity for mass consumption” cannot explain how new

1151

1152

4. FILM DAN KITA

Indonesian filmmakers negotiate between redefinition of nationhood and the need to compromise with the market’s taste. America has extended its nation boundaries, and the imagined America in Indonesian cinema is a part of this global process. However, America is not a singular hegemonic power since it is only an element meshed and reconstituted into the larger idea of Indonesian-ness.  Gie  and  Kuldesak  demonstrates that the discourse of freedom is localized to redefine nationalism in Indonesian cinema. America is a part, but not the driving force, in Riri Riza’s question of both national and gender identity. As we understand his hero as a hybrid between the Chinese Indonesian Soe Hok Gie and the American vulnerable male model of Kurt Cobain, we can see how new generation of Indonesian filmmakers imagine a more fluid national identity that transcend gender, ethnic, and nation boundaries.

Bibliography Bradley, Mark Philip. Imagining Vietnam and America: The Making of Postcolonial Vietnam, 1919-1950. Chapel Hill & London: The University of North Carolina Press, 2000. Grewal, Inderpal. Transnational America: Feminism, Diaspora, Neoliberalism. Durham & London: Duke University Press, 2005. Klein, Christina. Cold War Orientalism: Asia in the Middlebrow Imagination, 1945-1961. Berkeley & Los Angeles: University of California Press, 2003. Said, Salim. Shadows on the Silver Screen. Jakarta: The Lontar Foundation, 1991. Weinstein, Franklin B. Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Soekarno to Soeharto. Ithaca & London: Cornell University Press, 1976.

Hikmat Darmawan

Musik dan Film: Bukan Sekadar Latar

B

ayangkan: adegan menegangkan di shower (gadis yang akan ditikam ketika mandi) dalam film Psycho (Alfred Hitchcock) yang terkenal itu ... tapi tanpa musik! Film thriller tanpa musik? Ada sekian tingkat ketegangan yang hilang tanpa bantuan musik. Musik telah jadi bagian tak terpisahkan dari film (genre apapun). Bahkan musik-musik film tertentu tertanam dalamdalam pada benak penontonnya. Sebagian orang akan selalu terbuai ke dunia jauh, ke alam Cassablanca, jika mendengar As Time Goes By. Sebagian orang masih menyenandungkan Lara’s Theme dan teringat epik cinta Doctor Zhivago. Atau menyiulkan lagu tema Love Story pada saat merasa romantis. Banyak film yang menjadi abadi karena lagu/musik mereka. Dan Hollywood dengan sigap mengindustrikan fenomena tersebut. Musik/lagu dari film—layar lebar ataupun televisi— menjadi sebuah komoditi tersendiri.

1154

4. FILM DAN KITA

Perkembangan Di era film bisu, musik jadi latar dengan berbagai alasan: sebagai warisan tradisi teater, sebagai peredam suara berisik dari proyektor, dan sebagai pemberi ‘kedalaman’ pada gambar bisu dua dimensi di layar. Di era film bersuara, musik film mulai menyusun bahasanya tersendiri. Pada awalnya musik film melanjutkan tradisi era film bisu, yaitu menggunakan khasanah musik Barat yang telah ada— terutama musik klasik Eropa abad ke-19. Pada era 1930-an, mulai umum untuk menuliskan komposisi khusus untuk sebuah film. Sebagian sineas—seperti para sineas di Rusia—menggunakan musik dalam rangka eksplorasi relasi antara musik (sebagian bagian dari suara), dan gambar. Tapi kebanyakan film menempatkan musik sebagai dekor, atau alat bantu saja dalam membangun suasana. Dalam era 1930-an itu Hollywood mulai menyususn kamus musik film lewat para komposer yang terdidik dalam tradisi musik Eropa. Kosa musik-film itu mapan di era 1940-an. Nama-nama terkemuka pada masa itu antara lain Max Steiner (King Kong 1933), dan Bernard Herrmann—dengan karya mencakup Citizen Kane (1941) hingga Psycho (1960). Dominasi kosa musik-film yang menggunakan simfoni, dan bergaya Eropa mulai didobrak di tahun 1950-an: pengaruh jazz masuk ke arus besar film Hollywood. Para pemulanya antara lain adalah Alex North (A Street Car Named Desire (1951), Cleopatra (1963), Who’s Affraid of Virgina Wolf? (1966) dan Elmer Bernstein (The Man With The Golden Arm (1955), Magnificent Seven (1960). Salah satu komposer paling terkenal aliran itu adalah Henry Manciny. Musik film dengan pengaruh jazz memang wajar disukai para pembuat film karena di samping ekspresif, lebih kontemporer dari musik gaya romantik Eropa, juga tak memerlukan orkestra besar, hingga bisa lebih murah.

MUSIK DAN FILM: BUKAN SEKADAR LATAR

Era 1950-an adalah juga era eksperimen musik/bunyi yang lebih beragam. Di India, Satyajit Ray menggunakan musik etnis karya Ravi Shankar untuk filmnya, Pather Panchali. Di Jepang, Fumio Hayasaka menggunakan alat-alat musik Jepang untuk film Akira Kurosawa, Rashomon (1950), dan Seven Samurai (1955). Eropa melahirkan pakem musik-film dengan orkes studio yang kecil. Gerakan new-wave di Perancis turut mempopulerkan pakem itu, dan melahirkan tokoh musik-film seperti Michael Legrand (The Umbrellas of Cherbourg - 1964), Summer of ‘42 (1972)—di situ ia memenangkan Oscar, dan Yentl (1983)—juga memenangkan Oscar. Eksperimentasi tahun 1950-an dilanjutkan dengan eksperimentasi tahun 1960-an. Dunia sedang dilanda revolusi musik, dengan pahlawan utamanya: The Beatles. Yang paling menonjol dari revolusi musik itu –disamping mencuatnya ragam bunyi etnis dan jazz—adalah mencuatnya musik rock sebagai kekuatan baru. Khasanah musik film pun ikut kena imbas, dan pengaruh rock mulai tertanam. Salah satu empu musik film dengan pengaruh rock itu adalah John Barry, yang karyanya mengisi hampir seluruh film James Bond, juga, antara lain, Born Free (1966), Out of Africa (1985), Dances With Wolves (1990) dan Indecent Proposal (1993). Pada tahun 1980-an, beberapa kecenderungan mutakhir mencuat ke permukaan. Pertama, penggunaan synthesizer. Nama-nama yang menonjol dalam arus itu adalah Vangelis (Chariots of Fire (1981), Blade Runner (1982), Tangerine Dream (Legend (1985), Vision Quest (1985)) dan Giorgio Moroder (Flash Dance (1983) dan Top Gun (1986)). Musik film dengan synthesizer memberi nuansa yang khas: bunyi-bunyi buatan elektroniknya amat tepat untuk membangun atmosfer ‘dunia yang lain’ (alam dongeng, futuristik atau mimpi) pada gambar di layar. Trend kedua, musik avant garde tak hanya jadi ‘milik’ film avant garde saja. Musik garda depan masuk juga ke arus besar.

1155

1156

4. FILM DAN KITA

David Byrne, seorang musisi avant garde, menyusun komposisi untuk Something Wild (1986) dan ikut membantu dalam The Last Emperor (1987) yang, antara lain, memenangkan Oscar untuk tata musiknya. Trend ketiga adalah kecenderungan membangun tata musik film dari lagu-lagu populer. Film-film seperti Big Chill (1983), Down And Out in Beverly Hills (1986), dan Good Morning, Vietnam (1987) dengan sengaja membangun suasana lewat musik-musik lawas yang sudah membenam dalam kesadaran kolektif penonton Amerika—dalam dua film pertama, hal itu memang diharuskan oleh cerita. Variasi lain dari trend itu adalah tata musik film yang memang dengan sadar memilih lagu-lagu rock yang sedang atau akan digemari, seperti Against All Odds (1984—dan memopulerkan single dari Phil Collins dengan judul sama) dan White Nights (1985—mencuatkan hit Lionel Ritchie, Say You Say Me). Variasi tersebut terpengaruh sebuah serial televisi, Miami Vice. Trend terakhir pula yang membuka peluang bagi meriahnya musik alternatif dan musik ‘hitam’—terutama R&B; dan rap— menghias film-film Hollywood tahun 1990-an. Menguatnya black music berkait juga dengan munculnya trend black movies di Hollywood yang dimotori oleh Spike Lee (Jungle Fever, Malcom X), dan John Singleton (Boyz ‘n The Hood, Poetic Justice). Namun, tata musik black music untuk black movies yang cenderung rasialis itu melebar juga ke arus besar yang dikuasai sineas ‘bule’. Contohnya, Space Jam: film itu tampak sebagai ‘milik’ orang hitam—pahlawan basket Michael Jordan serta musik R&B; dan rap mendominasi film. Padahal tokoh-tokoh kartun Loonie Toons (lawan main Jordan), adalah produk budaya ‘putih’ Amerika (belum lagi jajaran produser film tersebut, yang mengeruk untung besar dengan menjual muatan ‘hitam’ itu, juga kulit putih).

MUSIK DAN FILM: BUKAN SEKADAR LATAR

Berburu ‘harta karun’ Dengan segala perkembangan tersebut dunia tata musik film menjadi sebuah lahan koleksi yang menyenangkan dan berharga. Di Jakarta, para kolektor biasa mengaduk-aduk toko macam Duta Suara (terutama yang di Sabang) dan Aquarius (khususnya yang di Pondok Indah—sayang, sudah dibakar massa Mei 1998 lalu). Keduanya terhitung punya koleksi paling lengkap. Aquarius Pondok Indah malah menyertakan juga koleksi musik dari dramadrama musikal Broadway (seperti Jesus Christ Superstars, Cats, Miss Saigon). Yang lebih rajin bisa juga mengaduk-aduk Glodok, atau kios-kios musik loakan di Jalan Surabaya. Di Jalan Surabaya, disamping CD-CD dan kaset-kaset bekas, juga dijual video dan piringan hitam—sering dengan kualitas yang masih lumayan terjaga. Berhubung kios loakan, maka rekaman-rekaman sound track yang dijual kebanyakan dari film-film lama (1960-an hingga 1970-an). Buat para kolektor, hal itu justru mengasyikkan. Dari khasanah musik film kita juga bisa menemukan ‘harta karun’ yang sukar ditemukan dalam rak-rak musik lain. Misalnya dalam OST Leaving Las Vegas, Sting menyanyikan lagu-lagu karya sang sutradara, Mike Figgis, yang khusus ditata untuk film tersebut. Para penggemar Sting tentu saja tak akan menemukan lagu-lagu tersebut pada album-album Sting. Contoh lain, para penggemar Led Zeppelin bisa mengobati rindu mereka dengan mendengar karya-karya dua eksponen grup legendaris itu, Jimmy Page dan John Paul Jones, dalam dua karya sutradara Michael Winner. Page menata musik Death Wish II (Charles Bronson), dan Jones menata musik Scream For Help (yang melejitkan hit Christie dengan vokal Jon Anderson). ‘Harta karun’ lain adalah jika seorang bintang benar-benar menyanyikan sendiri lagu dalam filmnya. Dalam Evita, misalnya, semua bintang menyanyikan sendiri lagu-lagu yang ditampilkan —termasuk Antonio Banderas. Sebelumnya, Banderas juga

1157

1158

4. FILM DAN KITA

menyanyikan sebuah lagu dalam Mambo King. Atau jika ingin mendengar suara sexy Michelle Pfeifer, silahkan putar OST Faboulus Baker Boys (adegan paling terkenal dalam film itu adalah saat Pfeifer menyanyikan Makin’ Whoopee di atas piano). Yang lebih unik adalah kasus Blues Brothers dan The Commitments: keduanya adalah film tentang kelompok musik fiktif, tapi kemudian para pemerannya malah jadi musisi betulan! Hal lain yang mengasyikkan dalam berburu musik film adalah seringkali musik yang kita dengar lamat-lamat, separuhseparuh, atau sambil lalu (tanpa sadar, karena kita sedang terpesona oleh gambar/adegan) saat menonton ternyata merupakan komposisi yang bermutu dan dikerjakan secara serius oleh musisi yang piawai. George & Ira Gershwin, Maurice Jarre, Henry Manciny, Bernard Hermann, John Barry, adalah contoh nama-nama terhormat: kumpulan karya-karya mereka untuk berbagai film telah menjadi tonggak musik tersendiri. Indonesia juga punya nama terhormat: Idris Sardi. Beliau terhitung paling piawai dalam menata musik yang bisa memberi tekanan suasana tertentu pada citra yang bergerak di layar. Juga Eros Djarot—karya-karyanya dalam Badai Pasti Berlalu telah menjadi tonggak musik pop tanah air dengan melejitkan Chrisye dan Keenan Nasution. Namun seiring dengan ‘tidur’-nya film Indonesia, mereka seperti ikut terbungkam dalam berkarya. Sayangnya kesadaran kita untuk mendokumentasikan tata musik film—sebagaimana kesadaran kita untuk mendokumentasikan film-film nasional—amat minim. Tapi era 1990-an adalah masa yang menarik untuk perkembangan OST dalam negeri. Yang merajai pasar adalah OST film-film TV produk luar (khususnya Hong Kong) yang di-Indonesia-kan. Bermula dari sukses lagu tema Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti yang dinyanyikan Yuni Shara, para penyanyi lokal lain banyak mengalami sukses serupa. Belakangan, OST sinetron-

MUSIK DAN FILM: BUKAN SEKADAR LATAR

sinetron lokal pun lumayan laku dijual. Tapi, sebagaimana film nasional secara umum, lahan musik film kita pun belum optimal digarap.

1159

Hikmat Darmawan

Dosa Film Kita

S

ederhananya: film Indonesia mengalami deintelektualisasi yang makin hari makin parah. Ketika akhirnya pada 2002 saya menonton Darah dan Doa (1950), karya Usmar Ismail yang ditabal sebagai film “nasional” pertama, saya terpana oleh tingkat pergumulan gagasan dalam film tersebut. Seolah sejak  Darah dan Doa, film kita mengalami gelombang penurunan kadar intelektualitas yang menetap. Cerita dan skenario Darah dan Doa ditulis penyair Sitor Situmorang. Persoalan yang dibahas adalah kemanusiaan di tengah segala segi revolusi. Dialog-dialog sering dipadati diskusi filsafat, sehingga sebagai tontonan—apalagi dengan banyak sekali kekurangan teknis pembuatan film—Darah dan Doa terasa belum sedap benar ditonton. Apakah diskusi-diskusi filsafat yang condong pada masalah-masalah eksistensial manusia itu menjadikan film ini elitis?

DOSA FILM KITA

Mungkin saja. Namun yang patut kita catat, ketika film ini dibuat dan beredar, Indonesia memang masih dekat sekali dari “Masa Revolusi”. Kemerdekaan telah dinyatakan pada 1945, 5 tahun sebelum film ini dibuat; aksi polisional Belanda pun baru berlangsung (1947), dan negara baru ini baru tenang mendapat pengakuan utuh pada 1949. Bangsa kita waktu itu masih ingar revolusi, walau sedang mengalami jeda. Menonton film ini, saya jadi disadarkan bahwa peristiwa macam Revolusi Madiun oleh kalangan komunis adalah sebuah perang saudara yang keras, dan mengandung pertaruhan filosofis yang nyata. Begitu juga, ternyata, masalah kemerdekaan. Sitor Situmorang menuliskan kisah ini sebagai sebuah problemasi makna kemerdekaan: apakah arti jiwa merdeka? Apa arti “manusia merdeka”? Dengan kata lain, dengan segala bobot filosofisnya, film ini boleh dibilang memiliki kedekatan tertentu, relasi erat, dengan masyarakatnya. Memang, seperti perjuangan kemerdekaan kita mengalami pendangkalan hingga jadi sekadar rutinitas perayaan tujuhbelasan di RT-RT dan TK-TK, film Indonesia pun mengalami pendangkalan pelan-pelan. Usmar Ismail sendiri, sutradara Darah dan Doa yang juga intelektual publik terkemuka pada masanya, harus berkompromi. Ia membuat film-film komersial seperti Tiga Dara  dan  Krisis. Dunia film rupanya tak bisa keras kepala membatasi diri jadi dunia seni belaka, ia juga harus mengindustrikan diri. Bukan berarti intelektualitas itu disingkirkan sepenuhnya. Selalu ada film-film yang memiliki kadar intelektual yang tinggi. D. Djajakusuma, Asrul Sani (terutama sebagai penulis skenario), Sjumandjaja, Nya’ Abbas Acub, Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Arifin C. Noor, Chaerul Umam, Putu Wijaya, adalah contoh para sineas lokal yang cendikia. Mereka bukan hanya pembuat film, tapi juga budayawan terkemuka. Dalam hal gagasan—baik

1161

1162

4. FILM DAN KITA

gagasan sinematis mau pun gagasan filosofis yang hendak disampaikan, film-film mereka cerdas di atas rata-rata. Nah, yang “rata-rata” ini yang jadi soal. Seiring tumbuhnya industri film Indonesia, tumbuh pula pemerataan gagasan sinematis yang, terus terang, kurang cerdas dan menjemukan. Gagasan umum insan film kita tentang pembuatan film seperti terhambat perkembangannya selama beberapa dekade. Kemungkinan gerak-gerik kamera, misalnya, jarang sekali dieksplorasi bahkan pada era 1970-80-an—saat film kita sedang banyak-banyaknya diproduksi (bisa lebih dari 100 film per tahun). Bahasa visual kebanyakan film-film kita saat itu betul-betul alakadarnya: kamera yang malas, tata cahaya dan warna yang sekadar ada, mise-en-scéne yang miskin, setting dan artistik apa adanya, editing yang sekadar menjahit cerita, dan seterusnya. Bandingkan dengan film-film komersial di Hollywood, Italia, Jepang, pada era yang sama—segala kemungkinan kriya tak pernah luput dikembangkan. Untungnya, masih ada penjelajahan di bidang efek spesial, walau dengan dana yang jelas terbatas. Film-film horor macam Pengabdi Setan dan Beranak Dalam Kubur, atau film-film silat macam Jaka Sembung atau Si Pitung, masih memberi “sihir” pada penonton kita saat itu. Untung pula, banyak film kita waktu itu masih bertumpu pada seni peran yang sering diisi oleh aktoraktor watak macam Yeni Rachman, Rima Melati, Zaenal Abidin, Maruli Sitompul, Ray Sahetapy, Deddy Mizwar; atau aktor-aktor serba bisa macam Bing Slamet dan Benyamin S. Juga masih ada: kehendak untuk bermakna. Film-film komersial kita sejak zaman Usmar hingga 1980-an hampir selalu mengandung petuah. Cerita pun masih dipentingkan, walau teknik bertutur (visual) mereka kurang berkembang. Film-film karya Sophan Sophiaan, Wim Umboh, Ismail Subardjo, Buce Malawau, dan beberapa sineas lain, masih mencoba bicara tentang masalah kemanusiaan atau sosial. Soal mutu, tentu bergantung

DOSA FILM KITA

pada tingkat intelektual para pembuat film itu. (Dan memang, rata-rata bermutu tanggung.)

PADA 1990, Garin Nugroho mencanang sesuatu yang relatif baru pada film Indonesia: tekanan pada estetika gambar. Filmnya, Cinta Dalam Sepotong Roti, mengandung fotografi yang puitis. Kalau sekadar gambar indah, tentu Garin tak akan lebih dari Wim Umboh (“Basuki Abdullah”-nya film Indonesia) yang terkenal gemar membuat gambar indah tapi artifisial. Kelebihan Garin adalah keberaniannya untuk menjadikan imaji filmis sebagai tumpuan berbagai gagasannya tentang film, manusia Indonesia, apa saja. Hal ini terutama tampak pada film keduanya, Surat Untuk Bidadari, dan semua filmnya sesudah itu. Nuansa baru itu makin dikukuhkan pada oleh Kuldesak (1997). Ada empat segmen dalam film ini, yang digarap oleh empat anak muda: Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Mantovani, dan Nan T. Achnas. Film ini betul-betul tak mau tunduk pada aturan main yang ada pada film nasional selama berpuluh-puluh tahun. Mereka, misalnya, membuat film tanpa ikut syarat “magang” di dunia film sebelum jadi sutradara. Mereka juga membebaskan diri dalam hal tema dan pengucapan visual. Ada segmen yang menelusuri kehidupan gay di kalangan muda kelas bawah; kehidupan musik  underground  yang menjadikan Kurt Cobain sebagai ikon; kehidupan anak muda kaya yang tergila pada film dan bahkan meniru-niru polah para karakter film alternatif dari luar negeri; dan ada segmen film laga tentang pengusaha yang berkuasa dengan hobi perbudakan seks (segmen paling buruk dalam Kuldesak). Film ini seolah miniatur lanskap film nasional kita sejak itu.  Pertama, latar para pembuatnya adalah dari lapisan masyarakat tertentu yang cukup memiliki posisi strategis untuk bisa membuat film sendiri. Dengan kata lain, mereka adalah anak-

1163

1164

4. FILM DAN KITA

anak muda kaya yang ingin hobi mereka, film, bisa mewujud ke masyarakat. Kedua, sebagai seniman film, tampak antusiasme mereka yang besar terhadap teknikalitas film. Jenis kamera, filter kamera, rasio gambar, tata cahaya, property, latar musik, editing, terasa benar jadi pembicaraan wajib dalam proses pembuatan film itu. Ketiga, ada kecenderungan bereksperimen yang tinggi dalam hal tema, pengucapan visual, dan teknik bertutur. Kecenderungan bereksperimen itu (termasuk jadi tren tersendiri, menyelip di tengah-tengah film komersial mutakhir kita, seperti ditunjukkan oleh  Pasir Berbisik  (Nan T. Achnas), Beth (Arya Kusumadewa), Eliana, Eliana (Riri Riza), atau 6:30 (Rinaldy Puspoyo).

SECARA umum, film-film Indonesia generasi 2000-an masih digerogoti penyakit deintelektualisasi. Penguasaan teknis yang tinggi tampak jomplang dengan pengetahuan mereka tentang manusia. Para sineas unggulan kita di masa lalu, memiliki gagasan yang jelas tentang manusia pada saat membuat film. Sementara para sineas muda kita lebih banyak menyuguhi penonton dengan sisi kemanusiaan yang setengah matang atau mentah sama sekali. Film-film Rudi Sujarwo, misalnya, selalu berpretensi intelektual, hip, dan terlibat dengan masyarakat. Film-film ini sering mencoba menampilkan percakapan atau persoalan filosofis.  Tentang Dia,  Rumah Ketujuh,  Mengejar Matahari, atau Sembilan Naga berusaha keras untuk menampilkan dialog anak muda yang cerdas tentang hidup. Hasilnya malah wagu, seperti percakapan anak SMP/SMU yang baru punya bacaan tanggung tapi sudah merasa memahami hidup. Seorang preman di Sembilan Naga kok bicara begini, “Namamu indah …seindah maut.” Teman saya meledek, ini  mah  preman kelas kartu ucapan Hallmark.

DOSA FILM KITA

Lebih parah jika Rudi mencoba mengulik kehidupan orang miskin Indonesia.  Mendadak Dangdut,  dan  Mengejar MasMas  adalah sebuah pandangan dari “atas”, dengan dagu mendongak, terhadap kehidupan kelas bawah kita. Rudi (dan Monty Tiwa, penulis skenario favorit Rudi) dalam film-film itu seperti seorang residen Belanda masa lalu yang merasa paham kehidupan orang kampung di Indonesia. Sutradara-sutradara lain tak lebih baik. Hany R. Saputra (Virgin, Heart, Love is Cinta) bahkan hanya mampu menampilkan boneka-boneka tak bernyawa di tengah-tengah gambar indah. Demikian juga Rako Prijanto (Ungu Violet), Jose Purnomo (Jelangkung). Tentu, ada perkecualian. Misalnya, Joko Anwar, dan Riri Riza. Kedua sutradara ini berani melanjutkan eksplorasi pengucapan dan tema untuk film layar lebar. (Khasanah film pendek kontemporer kita menyimpan banyak calon sineas cemerlang di masa depan. Tapi itu perlu ruang diskusi lain). Joko, dengan sadar memilih tak risau soal pendalaman psikologis para tokohnya. Janji Joni dan Kala dipenuhi karakter yang karikatural. Tapi mereka, terutama di Janji Joni, adalah karikatur yang lumayan cerdas dan jelas menghibur. Pilihan terhadap karikatur adalah masuk akal, mengingat Joko memusatkan diri pada  storytelling  dalam bahasa visual. Ia terbenam dalam keasyikan bagaimana mengoptimalkan unsurunsur visual agar mencapai efek asyik ditonton. Janji Joni  dipenuhi dengan retorika kamera yang rajin bergerak, di samping  soundtrack  yang tak mau diam. Kala dipenuhi permainan sinematografi noir yang memikat. Seperti Quentin Tarantino (Kill Bill), film-film Joko “ensiklopedis” – dipenuhi kolase berbagai kosa film yang pernah ada, baik dalam maupun luar negeri. Ia tak beraspirasi menjadi Teguh Karya atau Garin baru, tapi film hiburan kita di masa depan akan diuntungkan oleh capaian-capaian Joko.

1165

1166

4. FILM DAN KITA

Lain dengan Riri Riza. Ia gagal secara artistik dengan Gie, dan membuat sebagian pengamat meyakini ia lebih berhasil di area film personal macam Eliana, Eliana, dan Tiga Hari Untuk Selamanya. Toh, banyak juga yang mengkritik Tiga Hari… sebagai tanpa greget, tanpa konflik memadai, dan sebagainya. Cobalah kita menonton film ini tanpa beban ekspektasi kebermaknaan yang berlebih, maka film ini dapat lebih asyik dinikmati apa adanya: sebuah potret kecil yang dengan cukup akurat menggambarkan kerisauan generasi muda kita saat ini. Ini lebih bermakna daripada film-film yang omong besar, tapi pretensius, macam Koper (Richard Oh) atau Novel Tanpa Huruf ‘R’ (Arya Kusumadewa).

JOKO ANWAR dan Riri Riza belum mencapai puncak pencapaian mereka. Ada beberapa nama lain yang cukup memberi harapan: Ravi Bharwani (The Rainmaker), Cassandra Massardi (100% Sari). Sementara beberapa sineas muda lain masih menunggu saat untuk muncul. Anggap saja ini keberuntungan: berarti, kita masih bisa menaruh harap pada masa depan film kita. Sementara, pertanyaan itu masih menghantui: film hiburan yang cerdas; film seni yang jujur …apakah kedua hal ini masih merupakan utopia film kita?

Asmayani Kusrini

Bergman, Oh, Bergman SEBUAH OBITUARI

H

ari itu, Senin, 30 Juli 2007 seorang teman mengirim pesan singkat: “RIP. Ingmar Bergman.” Padahal, teman itu sedang mempersiapkan sebuah workshop film yang akan mengundang Bergman. Saya ingat tahun lalu, dalam sebuah acara retrospektif karya-karya Bergman di Musee Du Cinema, Brussels, saya berencana untuk mengajukan permohonan wawancara. Sayang, saat itu Bergman batal hadir. Kondisi kesehatannya memburuk. Saya pikir, lain kali saya pasti bisa menemuinya langsung. Ternyata 30 Juli lalu, dia pergi. Tentu saja, saya tidak sedih. Sedikit berkabung mungkin lebih tepat. Sayangnya, berita-berita di koran tidak ada yang memuat secara detail tentang kematiannya di pulau kecil Faro, tempatnya menetap dan hidup tenang sejak tahun 1966. Padahal, saya ingin tahu, apakah semua anak-anak yang tidak pernah dipedulikannya itu hadir? Apakah semua wanita-wanita – kecuali

1168

4. FILM DAN KITA

yang sudah meninggal—yang pernah dicampakkannya berkumpul mengiringinya pergi? Dan apakah dia sudah berdamai dengan kebencian yang dalam terhadap ayahnya sebelum bersatu di alam sana? Saya tidak mengenalnya, tentu saja. Tapi saya menonton film-filmnya. Dan setiap kali saya menonton film Bergman, saya selalu mendapat kesan bahwa tidak mungkin ia membuat film-film itu, menulis dialog-dialognya, kecuali jika ia mengalaminya sendiri. Keyakinan saya terjawab ketika saya membaca otobiografinya, The Magic Lantern dan Images: My Life in Film. Bergman lahir dalam sebuah lingkungan yang rumit, dan tumbuh sebagai pribadi yang tak kalah rumitnya. Film-film Bergman seperti sebuah cermin yang dihadapkan padanya. Bagai sebuah upaya untuk menengok ke belakang sejenak. Upaya mencari sisi pahit dari hidupnya dan mengulangnya kembali di atas panggung atau di atas layar perak, atas nama kepuasan batin sebagai sang penentu. Tapi semua yang dilakukan Bergman bukanlah upaya untuk introspeksi diri menjadi lebih baik. Film, bagi Bergman, adalah perwujudan dirinya sebagai ‘Tuhan’. Dia membenci Tuhan dan semua kekuasaannya atas nasib. Hanya dunia film dan panggung lah yang memungkinkan dia menjadi penguasa untuk menentukan sang nasib.

Bergman dan Perempuannya Film Ingmar Bergman yang saya tonton pertama kali, justru adalah filmnya yang terakhir  Saraband. Sebuah mini seri sepanjang 220 menit yang dibuat khusus untuk stasiun TV Sveriges Television di Swedia tahun 2003. Setelah ditayangkan di TV Swedia, Saraband kemudian diedit menjadi 107 menit untuk memenuhi standard layar lebar.

BERGMAN, OH, BERGMAN

Usai menonton Saraband, saya berpikir, pembuatnya pasti agak ‘sakit’. Kok bisa-bisanya terpikir menciptakan tokoh seorang ayah, Johan, begitu pelit terhadap anak sendiri, Henrik; tak mau meminjamkan duit ke Henrik yang menghiba-hiba. Sementara mereka berebut perhatian Karin, anak Henrik dan cucu Johan. Henrik malah tidur seranjang dengan Karin. Ketahuan oleh Marianne, mantan istri Johan yang bukan ibu Henrik. Marianne kebetulan datang berkunjung, dan kemudian ikut terperangkap di tengah-tengah konflik bapak-anak-cucu itu. Saya lahir dan besar di tengah keluarga yang harmonis. Tak ada konflik berarti dan hubungan keluarga berada di jalur yang saya anggap ideal. Orang tua saya membesarkan anak-anak dengan membuat anak-anak mencintai orang tuanya dan sebaliknya. Saraband, jauh dari gambaran ideal itu. Yang terasa hanya kebencian yang akut, seakan mereka hidup untuk saling menyakiti dan saling balas membalas dendam. Sementara, sang cucu adalah korban dari ego keduanya. Henrik dan Johan begitu posesif terhadap Karin. Dan lewat tokoh Marianne, kita pun tahu, Johan adalah ayah dan suami yang gagal pula. Saya sempat tertawa: pahit betul hidup tua yang dibayangkan sang sutradara. Bukankah pada umumnya orang membayangkan akan menghabiskan hari tua dengan damai, dikelilingi oleh cinta? Lewat  Saraband, Bergman jelas tak membayangkan hari tuanya seperti itu. Kalau memang benar, jujur dan berani betul si Bergman. Bukan kebetulan kalau tokoh si cucu dinamai Karin. Hampir 80% tokoh utama perempuan di film-film Bergman diberi nama Karin. Dalam kehidupan nyata, nama ibu Bergman adalah Karin. Dia pernah mengaku, “I’m very much in love with my mother.” Ayahnya, Erik, dianggap saingan. Suatu kali Bergman bahkan berpikir untuk membunuh ayahnya hanya karena merasa ibunya lebih mementingkan sang ayah daripada ia. Bergman juga

1169

1170

4. FILM DAN KITA

hampir membunuh adik perempuannya ketika baru lahir, hanya karena ibunya harus mencurahkan perhatian lebih kepada si jabang bayi. Umurnya kala itu baru 4 tahun. Bergman sangat membenci ayahnya. Dan seperti kutukan dalam keluarga itu, Bergman sendiri gagal sebagai ayah. Salah seorang dari sekian banyak anaknya dengan garang pernah berteriak, “A father? Since when you’re become my father? You never act as one!” Saraband  merupakan sekuel dari  Scenes From Mariage (1972). Setelah menonton Scenes From Marriage, saya semakin paham kehidupan Bergman jelas tergambar di film itu. Bagi yang belum menikah, Scenes From Marriage akan membuat orang berpikir kembali sebelum memutuskan. Bagi yang sudah menikah, film ini akan membuat Anda bertanya kepada diri sendiri, benarkah pernikahan Anda bahagia seperti tampaknya? Pertanyaan itulah yang membuka adegan di Scenes From Marriage. Johan dan Marianne dalam film itu diperankan oleh Erland Josephson dan Liv Ullmann. Mereka adalah pasangan muda dengan dua putri mereka. Mereka bahagia, setidaknya menurut mereka. Tapi ketika ditanya apa kebahagian itu, mulailah Johan dan Marianne tergagap. Dan Scenes seperti terus menggali hingga ke dasar lubuk hati, seperti memburu tokoh-tokohnya untuk tidak lagi berpura-pura bahwa ada yang salah dan terlewat dalam pernikahan mereka. Bukan sekadar komunikasi yang tidak jalan, tapi juga benturan ego dan ketidakpercayaan dengan pasangannya. Secara visual, Scenes From Marriage tidaklah neko-neko. Lokasi dan latar belakang sederhana yang mengingatkan saya pada drama-drama TVRI jaman dulu. Gambar pada umumnya disyut di ruang studio yang kadang diubah menjadi ruang kantor, ruang makan, dan sebagainya. Kekuatan Scenes adalah pada dialog yang begitu nyata, interaksi antar tokoh; dan tentu saja akting gemilang Ullman dan Josephson, artis dan aktor favorit Bergman.

BERGMAN, OH, BERGMAN

Dialog-dialognya yang begitu nyata membuat saya yakin bahwa skenarionya ditulis berdasarkan pengalaman sendiri bercerita tentang seorang suami yang mencoba untuk jujur, seorang istri yang mencoba untuk menerima. Di bukunya, Magic Lantern, Bergman mengakui bahwa Scenes from Marriage memang dialaminya sendiri. Adegan dan dialog ketika Johan mengaku punya perempuan lain dan akan meninggalkan Marianne juga dialami oleh Bergman ketika terpikat oleh seorang jurnalis, Gun Hagberg. Johan langsung pergi meninggalkan Marianne tanpa mengucapkan selamat tinggal pada anak-anak mereka. Begitu pula Bergman. Kala itu, Bergman dan Ellen, istri keduanya, sudah memiliki 4 anak (dua diantaranya kembar), ketika ia memutuskan untuk pergi ke Paris bersama Gun. Cobalah perhatikan adegan ini di bagian Paula, salah satu sekuen di Scenes From Marriage. Bergman punya banyak referensi dari pengalamannya sendiri. Ia menikah lima kali, dan menjalin hubungan dengan hampir semua artis-artis di filmnya, dari Harriet Andersson, Bibi Andersson, hingga Liv Ullmann. Belum lagi affair-nya dengan para kru. Hampir semua skandalnya itu bisa disimak di Saraband, Scenes From Marriage, A Lesson In Love (tentang hingar bingar kehidupan perkawinan yang diwarnai perselingkuhan), Journey into Autumn (tentang seorang wanita yang tergila-gila dengan pria beristri), Smiles Of A Summer Night (tentang konflik cinta segi banyak), The Naked Night (lagi-lagi tentang orang-orang menikah yang tak tahan godaan), All These Women, The Ritual, The Passion Of Anna, hingga  After The Rehearseal  yang seperti sebuah kesimpulan dari semua skandal-skandal itu. Bergman memang bukan lelaki yang bisa diharapkan untuk setia. Ia mencatat dan merekam dalam ingatan, hampir setiap detail peristiwa-peristiwa yang dialaminya itu dan meramunya dengan lincah dalam film-filmnya. Karena itulah, meski semua

1171

1172

4. FILM DAN KITA

film-film di atas bertema sama—kehidupan rumah tangga yang penuh konflik—Bergman tak pernah kehabisan bahan untuk ramuan ceritanya. Mungkin itu juga yang membuat setiap dialognya begitu membumi, konflik-konfliknya begitu nyata. Untuk hal yang satu ini saya harus mengakui, Bergman—bukan sebagai pria, tapi sebagai sutradara dan penulis skenario—memang yang terbaik. Ia bisa memanipulasi semua perempuannya, menjadikan mereka objek penelitian emosi, dan hasilnya bisa disaksikan dalam filmfilmnya. After The Rehearseal, mungkin adalah pengakuannya. Di film yang berlatar belakang sederhana itu, seorang sutradara teater yang menua duduk termenung mengenang yang sudah sudah. Lalu ia didatangi seorang artis muda yang menggoda. Kemudian muncul karakter ketiga, seorang artis yang lebih tua. Dan ketiganya—seperti terperangkap dalam permainan puzzle sang sutradara—punya hubungan yang bisa diinterpretasikan dari berbagai sudut pandang. Sang artis yang lebih tua adalah mantan kekasih dari sekian banyak kekasih sang sutradara. Artis yang lebih muda, mungkin justru adalah anak mereka. Bukankah dalam kehidupan nyata, Bergman memiliki affair dengan Liv Ullmann, dan menghasilkan Linn Ullmann? Tentu saja  After The Rehearseal  tidak secara gamblang memaparkan kisah Bergman-Ullmann itu mentahmentah. After The Rehearseal  lebih banyak bermain dengan interpretasi, mungkin juga bagian dari fantasi Bergman. Ia seperti ingin berandai-andai. Dan Bergman membiarkan penontonnya— juga saya—menduga-duga. Tapi yang lebih penting, film ini adalah pengakuan Bergman, bukan pengakuan bersalah, tapi pengakuan bahwa dalam kehidupan nyata pun, ia bisa menjadi penguasa atas nasib.

BERGMAN, OH, BERGMAN

Para kekasihnya diperlakukan seperti karakter-karakter ciptaan yang bisa ia hancurkan kapan saja. Bergman tak peduli apakah itu menghancurkan hidup mereka, bahkan tak peduli apakah perbuatannya menghancurkan hidupnya sendiri. Ini dilakukan atas nama kreativitas untuk menjadi ‘penentu nasib’. Menyakitkan? Memang. Dan itulah yang disadari oleh sang sutradara yang menua di After The Reheraseal. Selain hubungan pria dan wanita, Bergman juga lihai bermain dengan hubungan tak sedap antara ayah/ibu dan anakanak mereka. Selain Saraband, film yang paling berkesan tentang hubungan orang tua dengan anaknya adalah  Autumn Sonata (1978). Film ini bercerita tentang seorang pianis kelas dunia yang sukses dan egois. Charlotte (Ingrid Bergman), sang pianis, memiliki dua orang putri yang terabaikan. Ia sibuk keliling dunia, mengejar popularitas. Tapi di depan kedua putrinya, Eva (Liv Ullman) dan Helena (Lena Nyman), Charlotte selalu tampak sebagai ibu yang penuh kasih sayang dan cinta. Toh, kedua putrinya tak bisa ditipu. Meski kata ‘cinta’ sering terdengar dari mulut ibu mereka, sikap dan lakunya dingin dan hambar. Sekali lagi, seperti film-film Bergman yang lain, Autumn Sonata terus mendorong karakter-karakternya ke pengakuan jujur yang paling murni meski menyakitkan. Eva yang selalu mengagumi ibunya, toh pada akhirnya tak tahan dan mendamprat sang ibu yang penuh kepura-puraan. Charlotte bahkan tidak peduli bahwa Helena yang cacat itu juga akibat dari ketidakpedulian sang ibu. Dampratan Eva tentu saja membuat Charlotte shock. Pada akhirnya, toh kita paham, air mata yang dikeluarkannya di depan Eva bukan air mata penyesalan seperti yang diharapkan, tapi lebih berupa penyesalan karena ia menghabiskan waktunya yang berharga hanya untuk mendengarkan kecaman Eva. Bergman juga mengaku bahwa karakter Charlotte adalah penggambaran dirinya. Jika disimak, dalam setiap drama

1173

1174

4. FILM DAN KITA

keluarga, Bergman nyaris tak pernah menyinggung soal anakanak. Dalam Scenes From Marriage misalnya, dikisahkan bahwa pasangan Johan-Marianne memiliki dua putri. Tapi keduanya nyaris tak pernah nampak di layar, nyaris tak pernah terpikirkan. Yang nampak selalu dua orang egois yang hanya peduli dengan perasaan masing-masing. Bergman juga punya hubungan yang buruk dengan anakanaknya. Ia tercatat memiliki 9 orang anak yang diakuinya resmi dari perempuan yang berbeda. Dalam buku otobiografinya, The Magic Lantern, tak sekalipun Bergman ingin tahu tentang perasaan anak-anaknya. Ia hanya tahu, bahwa ketika ia selingkuh dengan si B, si A sedang mengandung anaknya. Dan ketika ia meninggalkan si C, si D baru saja melahirkan anaknya yang lain, dan ketika dia berasyik masyuk dengan si F, dia harus mengirim uang bulanan ke anaknya dengan si E yang sedang berada di rumah sakit, dan begitu seterusnya. Saya bahkan ragu, Bergman mengingat nama-nama kesembilan anaknya. Bergman sangat tidak suka dengan perasaan sentimentil terhadap hubungan orang tua dan anak. Perasaan itu disebutnya ‘emotional blackmail’. Sikapnya dengan anak-anaknya itu pun persis dengan Charlotte di Autumn Sonata. Selalu terlihat sayang, tapi palsu. Dan seperti Charlotte, Bergman pun pernah kena damprat dari salah seorang anaknya. Pedulikah Bergman? Saat kena damprat dari anaknya itulah, Bergman lantas berpikir, adegan tersebut bagus untuk film selanjutnya. Maka jadilah  Autumn Sonata  yang membuat Bergman mendapat nominasi Oscar dan sejumlah penghargaan bergengsi lainnya.

Bergman, sang pembohong dan Tuhan Ingmar Ernest Bergman lahir 14 Juli 1918 di Uppsala, Swedia. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Ketika si kecil Ingmar lahir,

BERGMAN, OH, BERGMAN

ibunya sedang menderita influenza parah yang membuatnya tak bisa makan, dan sang bayipun sekarat karena kekurangan gizi. Si Ibu juga tak mampu memberinya air susu. Neneknya lah yang menyelamatkan Ingmar dari kematian. Tapi sejak itu, Ingmar sering menderita perih kembung dan pada saat-saat tertentu selalu muntah. Penyakit ini tumbuh bersamanya hingga tua. Sebagai anak penyakitan, Ingmar kecil yang cengeng selalu haus perhatian terutama dari sang Ibu. Tapi sebagai anak seorang Pendeta yang taat, perhatian kedua orang tuanya banyak tercurah pada urusan gereja dan umat. Karena itu ia membenci Tuhan, hal abstrak yang disembah kedua orang tuanya. “Bagaimana mungkin mereka bicara tentang kasih Tuhan sementara mereka tidak memerdulikan aku? Bagaimana mungkin mereka lebih peduli terhadap mahluk itu daripada anak sendiri?” Begitu pikir Ingmar. Bergman juga benci dengan kisah Abraham yang tega mengorbankan anaknya sendiri demi Tuhan. “Kalau sampai ayah akan memotongku juga dan malaikat terlambat datang, bagaimana nasibku?” Dalam buku hariannya, ia pernah menulis, “I hated GOD and Jesus, specially Jesus with his revolting tone of voice, his slushy communion and his blood. God didn’t exist. No one could prove he existed. If he existed, then he was evidently a horrid god, petty minded, unforgiving and biased”. Menurut Bergman, satu-satunya bukti nyata bahwa hidup kemungkinan ada hubungannya dengan Tuhan adalah kematian. Karena itu, film-film Bergman juga banyak bermain-main dengan kematian. Bergman lah yang pertama kali dalam sejarah film, mewujudkan kematian sebagai sebuah sosok nyata dan bermain catur pula di The Seventh Seal. Lagi-lagi, Seventh Seal adalah upaya Bergman menyaingi Tuhan. Seakan ia ingin bilang, aku pun bisa mengatur bahkan bermain-main dengan kematian. Lihatlah, aku suruh dia main catur! Di film  Cries and Whisper  juga terlihat upaya Bergman mengamati kematian, sebuah objek yang belum sanggup

1175

1176

4. FILM DAN KITA

ditaklukkannya.  Cries  bercerita tentang 3 orang bersaudara (Maria oleh Liv Ullmann, Agnes oleh Harriet Andersson, dan Karin oleh Ingrid Thulin) dan seorang pelayan perempuan, Anna oleh Kari Sylwan. Keempatnya berkumpul untuk menemani Agnes, bungsu dari tiga bersaudara tersebut yang sedang sekarat menunggu wafat. Tak diragukan lagi, adegan ini terinspirasi dari saat-saat kematian ibu Bergman. Bahkan dialognya pun dikutip dari percakapan dengan sang ibu sebelum pergi. (Oh Bergman, bahkan ibumu yang sedang sekaratpun kaujadikan objek. Di samping ranjang tidur ibumu, di tengah-tengah airmatamu, pikiranmu melayang untuk segera menuliskan adegan itu dalam bentuk skenario!) Cries and Whisper memang tak melulu mengamati kematian dari jarak dekat, tapi juga (sekali lagi) tentang hubungan tak sehat antar saudara sendiri. Sekali lagi Bergman memaksa karakterkarakternya untuk menunjukkan sisi gelap masing-masing. Jujur, iya! Menyakitkan, sangat ! Dan bagi saya, inilah film terbaik dari yang terbaik yang pernah dibuat Bergman. Di film inilah, Bergman berhasil menunjukkan keahliannya dalam mendalami sisi psikologis manusia. Film yang membuat Sven Nykvist mendapat gelar sebagai sinematografer terbaik dan membuat Bergman dinominasikan sebagai sutradara sekaligus penulis skenario terbaik pada 1972. Kebencian Bergman terhadap Tuhan sudah parah sejak kecil. Apalagi ayahnya selalu mengatasnamakan Tuhan untuk segala hal. Dan atas nama Tuhan juga, Ingmar selalu terkena hukuman. Entah itu tak diberi makan, entah itu dikunci dalam lemari, dan berbagai macam hukuman lainnya. Ia merasa, orang tuanya penuh tipu daya. Ayahnya, yang selalu bicara tentang kasih sayang didepan umat, tidak pernah menunjukkan kasih sayang itu kepadanya. Apalagi, keluarga pendeta Bergman yang nampak harmonis itu toh tak seindah luarnya. Ingmar sering mendapati kedua orang tuanya bertengkar hebat. Ibunya bahkan pernah

BERGMAN, OH, BERGMAN

mengaku punya kekasih lain. Tapi demi menjaga nama baik dan gereja, mereka tetap bertahan. Di depan orang banyak, ibunya juga selalu nampak taat patuh kepada sang ayah. Karena itu, Ingmar selalu mencoba berbagai macam cara untuk memenangkan perhatian ibunya. Pura-pura sakit. Pura-pura hampir mati. Dan segudang pura-pura lainnya. Tapi perhatian ibunya, tak pernah membuat Ingmar merasa cukup. Apalagi ketika adik perempuannya lahir. Perhatian Karin akhirnya terbagi. Karena itu, Ingmar membenci adiknya, Margareta. Karena dendam, Ingmar bahkan tega membunuh bakat sang adik sebagai penulis. “I wrote badly, affectedly and was much influenced by Hjalmar Bergman and Strindberg. Then I found the same strained, laboured style in my sister’s writing and murdered her attempt without recognizing that this was her only means of expression.” Sejak itu, Margareta berhenti menulis. Kecintaannya kepada sang ibu, Karin, sempat membuat khawatir seorang psikater anak sehingga menyarankan agar Karin tidak terlalu memanjakan Ingmar. Sejak itu, sikap pura-pura Ingmar makin menjadi-jadi. Awalnya untuk menarik perhatian sang ibu, lama-lama menjadi kebiasaan, dan akhirnya mendarah daging. “I think I came off best by turning myself into a liar”. Di sekolah, Ingmar terkenal sebagai pembohong atau lebih tepatnya, pengkhayal ulung. Ia suka berkhayal dan menceritakan khayalan itu kepada teman-temannya sebagai suatu yang nyata. Misalnya, Ingmar pernah mengaku bahwa Pendeta Bergman bukanlah ayah kandungnya. Ayah yang sebenarnya adalah seorang aktor terkenal. Ceritanya ini tersebar di seluruh sekolah dan membuatnya kena hukuman. Ingmar dendam setengah mati terhadap teman sekolah yang menceritakan khayalannya itu kepada guru mereka. Ketika teman

1177

1178

4. FILM DAN KITA

sekolahnya itu terkena polio dan akhirnya meninggal, Ingmar mengaku puas bukan main. Semua hubungan rumit keluarga Bergman dan sekelilingnya itu kurang lebih bisa disaksikan dalam filmnya,  Fanny and Alexander. Segala kisah, semua karakter, dan semua pertanyaannya tentang Tuhan serta kematian, tercurah dalam film yang pernah mendapat Oscar sebagai film berbahasa asing terbaik pada 1982 itu. Fanny and Alexander adalah film terakhir Bergman yang saya tonton hingga saat saya menulis artikel ini. Kisah hidup Bergman sama berlikunya dengan film-filmnya. Bergman pernah ditangkap polisi karena tuduhan menggelapkan pajak. Tuduhan itu akhirnya dicabut, tapi Bergman terlanjur sakit hati. Ia pun meninggalkan Swedia dan menetap di Jerman. Ini membuat dunia teater di Swedia sempat kelimpungan ditinggal sutradara berbakatnya itu. Maklum, selain film, Bergman juga berkarir di teater. Sayang, saya belum pernah sekali pun menonton pertunjukan teaternya. Saya masih ingin mencari filmnya yang belum saya tonton. Jika diurutkan hingga akhir, bisa jadi sejak film pertama hingga film terakhirnya, adalah rangkaian utuh tentang hidupnya, tentang fantasinya, tentang kebenciannya. Bergman pasti tahu, bahwa pilihannya pada teater dan film untuk melampiaskan krisis egonya, adalah pilihan terbaik. Setidaknya, hidupnya yang penuh amarah dan benci itu tidak membunuhnya di usia muda. Dari kebencian itu, karya-karya fenomenalnya lahir. Setidaknya ia bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Sekarang dia pergi. Bertemu kematian. Mungkin juga sedang bermain catur, bertiga dengan Tuhan.

BERGMAN, OH, BERGMAN

Film-film Terbaik karya Bergman rekomendasi penulis:

r r r r r r r r r r r

Cries and Whisper Fanny and Alexander Scenes From Marriage Saraband Seventh Seal Wild Strawberries After The Rehearsal Autumn Sonata Face To Face Persona The Virgin Spring.

1179

Veronika Kusuma

Asrul Sani, Sebuah Fragmen Keadaan Barangsiapa tidak melawan kelampauan, maka dia akan hancur. — Gafar, dalam Lewat Djam Malam (1954).

M

asa lalu adalah ingatan. Sekerumunan bayangbayang yang selalu mencoba datang. Dalam alur waktu yang terus berulang, masa lalu hadir dalam kesendirian, kadang dalam kehebohan. Di suatu siang, dalam pendar cahaya proyektor yang samar, saya melihat sekumpulan film dengan potret-potret bangsa pribumi, lengkap dengan upacara-upacara ganjil, dan penyakit cacar serta pesnya. Film-film yang lebih pantas disebut showreel itu, dibuat oleh para pembuat film Belanda dalam sebuah ekspedisi mengenai ‘tanah jajahan’. Showreel ini merupakan sedikit dari showreel-showreel yang bisa diselamatkan oleh kaum kolonial Belanda. Lima tahun setelah Lumiere memutar filmnya yang sangat monumental (1895), orang-orang Hindia Belanda telah berhasil menyaksikan keajaiban seni film. Tetapi memerlukan waktu sekira 20 tahun bagi bangsa Hindia Belanda untuk membuat film sendiri.

ASRUL SANI, SEBUAH FRAGMEN KEADAAN

Film-film Hindia Belanda (yang kemudian diakui sebagai Indonesia) sebelum perang merupakan hasil dari perasaan takjub atas kehadiran media baru ini. Dalam film-film pra-perang ini, bangsa Indonesia (yang terutama digerakkan oleh keturunan Belanda, keturunan China, dan beberapa orang Minang) masih mencoba-coba medium ini. Sebagai bagian dari kesenian yang muncul dari kesenian bazaar alias kesenian pasar, film hadir di tengah masyarakat kolonial yang terfragmentasi baik dari segi kelas maupun sosial/budaya.1 Di tengah kehadiran media baru ini, bentuk-bentuk tradisi ‘lama’ masih bertahan dan mengalami masa kejayaan. Tradisitradisi ini berkembang di ibukota Jakarta, di tengah proses tawarmenawar nilai-nilai baru dan lama (uang, pendidikan, politik etis, dll). Bentuk-bentuk seni rakyat seperti opera stambul, sandiwara, dll masih bertahan hingga tahun 1930-an ketika film kemudian mulai merangkak mengambil alih keadaan. Film-film zaman ini dimaknai sebagai media baru (dari segi bentuk), tapi secara naratif tidak memberikan bangunan yang kuat di penduduk pribumi. Pola-pola naratif yang dibangun oleh film-film Indonesia pra-perang adalah pola-pola lama. Tak beda dengan opera stambul atau pun sandiwara, film-film pra-perang menyajikan cerita-cerita dari legenda, dongeng, atau cerita-cerita terkenal yang sudah mengalami perubahan carut-marut di sanasini.2 Meski pengaruh film Hollywood segera menyerbu penduduk pribumi, tapi pola naratif sandiwara tak tergantikan. Bahkan pembuat-pembuat film zaman ini mengambil cerita 1

2

Beberapa buku tentang sejarah film Indonesia telah ditulis, baik oleh penulis dalam negeri maupun luar negeri. Di antaranya Krishna Sen, Indonesian Cinema, Framing the New Order, Zed Books Ltd., 1994. GPBSI, Dari Gambar Idoep ke Sinepleks, 1992. Ryadi Gunawan, Sejarah Perfilman Indonesia, dalam Prisma No. 5 tahun 1990. Taufiq Abdullah et.al., Film Indonesia, Bagian I (1900-1950), 1993. H. Misbach Yusa Biran, Sejarah Film Indonesia, 1974. Ibid.

1181

1182

4. FILM DAN KITA

Hollywood untuk kemudian dipoles sana-sini untuk memberikan hiburan bagi jiwa-jiwa nestapa pribumi. Salah satu film  boxoffice zaman itu, Terang Boelan (1937)3 merupakan adonan dari berbagai pengaruh pasar, yang dikemas dengan pola naratif sandiwara yang telah dimiliki dan dihayati penonton Indonesia (nyanyian, pemandangan yang indah, melodrama/happy ending, cinta). Film-film ini tidak menampilkan cerita masyarakat kolonial dengan gaya ‘realis’ seperti yang kita kenal. Hampir semua film pra-perang adalah film-film fantasi, persis novel-novel angkatan Balai Pustaka dalam sastra. Ketika Jepang menduduki Indonesia kemudian dipaksa keluar oleh Sekutu, Indonesia memasuki fase yang sangat kritis, ie. pembentukan nation-state Indonesia. Tahun 1945 hingga akhir tahun 1950-an bisa dikatakan merupakan masa di mana nation4 diyakinkan dan ditegakkan, sementara film sebagai salah satu alat penting sebuah nation, mulai meformasi diri untuk membentuk apa yang disebut sinema nasional (kalau ada).5 Di masa inilah, orang-orang seperti Usmar Ismail, Asrul Sani, dan Djamaludin Malik mulai bekerja. Kehadiran Asrul Sani bisa dikatakan begitu khas. Ia menjadi satu-satunya eksponen, ‘Angkatan 45’ yang masih berkarya di tahun-tahun kritis itu.6 Chairil Anwar meninggal di tahun 1949, 3 4

5 6

Taufiq Abdullah et.al., ibid. Diskusi menarik tentang pembentukan nation Indonesia, mau tak mau merujuk pada Benedict O Anderson, Imagined Communities:Reflections on the Origin and Spread of Nationalism,(Verso, 1983) dan Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1945 (Cornell University Press, 1972, dan kritik mengenai teori ini dalam Vedi R. Hadiz, “Politik, Budaya dan Perubahan Sosial”, dalam Prisma, no. 2 tahun 1989. Saya kira, Anderson menyediakan basis pengetahuan yang memadai tentang kberlangsungan generasi seperti Asrul Sani dalam masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Roy Armes, Third World Film Making and The West, University of California Press, 1987, terutama hal. 5 (Pendahuluan). Pembahasan yang bagus sekali tentang Angkatan Sastra 45 bisa dilihat dalam Dr. A Teeuw, Sastra Indonesia Modern I dan Sastra Indonesia Modern II, Pustaka Jaya, 1989. HB Jassin, Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi, Balai Pustaka, 1982, lihat terutama bagian pengantar.

ASRUL SANI, SEBUAH FRAGMEN KEADAAN

sementara Rivai Apin hampir tidak berkarya lagi setelah bergabung ke Lekra. Penulis prosa seperti Idrus dan Achdiat Kartamiharja bisa dibilang hilang dari peredaran. Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin inilah, Asrul Sani membuat Tiga Menguak Takdir dan membuat sebuah manifesto yang (terlalu) bersemangat, Surat Kepercayaan Gelanggang. Eksponen yang lain memilih jalannya sendiri-sendiri. Di tahun 1954, Asrul Sani mulai mengenal medium film dengan menulis skenario/dialog Lewat Djam Malam, sebuah film tentang ‘perjuangan nasional’ yang kelak tema ini akan banyak mewarnai karya Asrul Sani sewaktu masih muda. Pada tahun 1959, ia menulis skrip Titian Serambut Dibelah Tujuh, sebuah interpretasi atas novel Hamka, yang bercerita tentang pertentangan generasi muda dan tua Islam. Dalam film Pagar Kawat Berduri, beliau menyutradarai dan membuat dialogdialognya. Di tahun 1969, ia membuat film Apa yang Kau Tjari, Palupi?, yang konon merupakan salah satu capaian terbaiknya.7 Asrul Sani dididik sebagai generasi terakhir Indonesia yang mendapatkan pendidikan Belanda. Ia berasal dari keluarga NU di Sumatera Barat, sebuah daerah yang tidak menjadi basis penting organisasi Islam ini. Ia sekolah drama di Belanda dan belajar film di Universitas Southern California, hasil ‘konsesi’ politik Amerika Serikat.8 Dalam film-film pertamanya, Asrul Sani banyak mengungkap tema-tema perjuangan dan sosial. Asrul Sani memang tidak terpisah dari zamannya.9 Saat Asrul Sani 7

8

9

Saya tidak bisa menonton film Apa yang Kau Tjari Palupi? Karena copy film tersebut telah rusak. Beberapa pembahasan film Asrul Sani merupakan sumber primer (langsung menonton sendiri) dan sisanya diambil dari JB Kristanto, Katalog Film Indonesia, 1926-2005, Penerbit Nalar, 2005. Rosihan Anwar, “In Memoriam Asrul Sani”, Kompas, Selasa, 13 Januari 2004. Ekky Imanjaya, “Asrul Sani dan Penulisan Skenario di Indonesia”, layarperak.com, diakses Maret 2007. Krishna Sen membahas soal technical assistance dalam bidang perfilman oleh pemerintah Amerika di bukunya (ibid. hal. 24-25). Secara khusus Salim Said membahas tentang Revolusi Indonesia dalam Film-Film

1183

1184

4. FILM DAN KITA

bersemangat membuat film-film bertema perjuangan, rekan-rekan seprofesinya melakukan hal yang sama.Tema-tema ini sangat jauh berbeda dengan film-film sebelum perang yang fantastik alias tidak realistis. Seperti yang telah dibahas di atas, estetika film praperang adalah estetika hiburan, senang-senang: gambar indah, casting cakep, cerita sudah diketahui umum (karena dari legenda/dongeng sandiwara), maka tak perlu lagi tema-tema berat dengan karakter yang spesifik. Yang dijual adalah efek, gambar indah, dan sensasionalisme. Bisa diduga bahwa karena berasal dari tradisi lisan, skenario bukanlah hal penting dalam film-film Indonesia sebelum perang. Cerita tak lagi penting bagi penonton karena semua orang toh sudah tahu. Bahkan bisa dipertanyakan, adakah skenario-seperti yang kita kenal sekarang- dalam film-film sebelum Asrul? Sebagai perintis dan penulis skenario terbaik yang dimiliki film Indonesia, Asrul Sani bisa dianggap ‘yang tidak hancur melawan kelampauan’. Melihat skenario-skenario yang telah beliau tulis, sangat kelihatan bahwa Asrul Sani adalah pembaru bagi zamannya. Ia menulis skenario dengan sistem narasi modern, dengan tema-tema yang dipillih secara saksama (dan personal), dengan pengembangan karakter yang khas, dan cara penceritaan yang mengalir. Pada tahun-tahun awal karirnya sebagai penulis skenario, Asrul Sani memang [dengan terlalu] bersemangat mendasarkan skenarionya pada sebuah gagasan/konsep. Filmnya selalu hadir dengan gagasan. Dengan gagasan, ia membuat skenario dengan gaya bercerita modern. Dalam studi film, skenario-skenario Asrul Sani sangat mengikuti apa yang disebut narasi klasik Hollywood. Dalam narasi klasik Hollywood,10 logika dibangun di atas drama Indonesia dalam Pantulan Layar Putih, Pustaka Sinar Harapan, 1991, hal.44. 10 Kristin Thompson dan David Bordwell, Film Art, 7th ed., McGraw Hill, 2003. Seymour Chatman, Story and Discourse:Narrative Structure in Fiction and Film, Cornel UP, 1978, hal. 108. Seno Gumira Ajidarma dalam Layarkata (Bentang, 2000) secara khusus

ASRUL SANI, SEBUAH FRAGMEN KEADAAN

tiga babak Aristotelian (pembukaan, persoalan, penyelesaian/ penutup). Sistem narasi ini ditandai terutama oleh karakter individual, ruang dan waktu yang jelas, sebab dan akibat yang jelas, cita-cita protagonist menggerakkan plot, konflik yang dibangun atas dasar motivasi psikologis, dan penutup. Unsurunsur ini hampir bisa dikatakan tidak ada dalam film-film Indonesia praperang (bahkan mungkin sekarang). Bukan sebuah kebetulan, bahwa Asrul Sani adalah eksponen Angkatan 45 yang menganggap dirinya sebagai pewaris kebudayaan dunia atau dalam perdebatan selanjutnya disebut, beraliran humanisme universal. Hal ini berasal dari tradisi politik etis Belanda yang kemudian menemukan dirinya dalam pemerdekaan diri-sendiri sebagai individu. Ide yang semata-mata liberal ini merupakan inti dasar dari tradisi narasi klasik Hollywood. Tak heran, dalam film-film bernarasi klasik, film digerakkan oleh karakter (character driven). Film-film Asrul Sani tidak bisa tidak merupakan cermin dari gejala ini. Film-film Asrul Sani selalu merupakan film yang bercerita. Hal ini tak pelak merupakan hasil pergulatan dan pergaulannya di tahun-tahun itu. Mengutip A Teew, Asrul Sani adalah sebuah generasi yang “...digetarkan oleh dunia tempat mereka hidup, dunia yang sarat dengan puisi, atau sering pula mereka terpesona oleh pertentangan menyedihkan antara yang tradisional dan yang modern dalam segala pernyataannya.”11 Dalam perkembangan selanjutnya, tema-tema perjuangan ini semakin disikapi dengan gaya pesimis dan bahkan sinis. Gaya dan sikap personal Asrul Sani semakin kelihatan. Meski ia tidak menulis skenario secara langsung, tapi mengadaptasi dari karya tulis orang lain, ia selalu memasukkan gaya personalnya dalam skenario-skenarionya.

membahas 3 skenario Asrul Sani dari perspektif ini. 11 Dr. A.Teew, ibid. hal. 10.

1185

1186

4. FILM DAN KITA

Bukan hanya dari pilihan tema, tapi juga karakter dan bahasa yang digunakan. Asrul Sani sangat menyukai konflik-konflik psikologis dengan protagonist kebanyakan kelas menengah berpendidikan baik (guru, kyai, wartawan, penulis, kapten, dll). Dalam dialogdialog yang disusunnya, ia selalu menggunakan bahasa Indonesia yang sangat ekspresif. Dalam film-film perjuangan yang ditulisnya, bahasa yang digunakan cenderung bercorak propagandis dan pedagogis (atau dalam bahasa ‘agama’: dakwah).12 Hal ini saya kira berasal dari tradisi sastranya yang kuat dan kondisi Indonesia saat itu yang baru saja merdeka. Dalam menulis puisi, Angkatan 45 termasuk dirinya percaya bahwa bahasa adalah alat ekspresi dan buah pikiran sang pengucap. Angkatan ini meneruskan apa yang dilakukan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (Pujangga Baru) dengan ‘menghancurkan’ kaidah dan bentuk baku bahasa yang menjadi tradisi Balai Pustaka.13 Apa yang dilakukan Asrul Sani terhadap puisi, sama dan sebangun dengan apa yang dilakukannya pada film. Baginya, film adalah alat ungkap dan ekspresi personal. Dalam hal ini, Asrul Sani adalah pengarang (auteur) bagi karya-karyanya karena setiap karya adalah ekspresi pembuatnya. Ini merupakan perubahan besar dari pandangan generasi sebelumnya yang memandang film sebagai sarana ketakjuban. Bagi Asrul Sani, film adalah medium ekspresi. Dalam bahasa Jean-Luc Godard, ia tidak membuat film politik, tetapi ia membuat film secara politik. Sekarang ini, anak-anak muda Indonesia kembali pada fase ketakjuban atas media. Perubahan dunia yang begitu cepat, perkembangan teknologi, dan banjirnya ide dari belahan dunia mana pun membuat anak-anak muda Indonesia kembali memaknai film sebagai sesuatu yang lebih bersifat permukaan 12 Terutama film-film Lewat Djam Malam (1954), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959), Pagar Kawat Berduri (1962), Istana Kecantikan (1988). 13 Bandingkan A Teew, ibid. Dr. Keith Foulcher, Pujangga Baru, Girimukti Pasaka, 1991.

ASRUL SANI, SEBUAH FRAGMEN KEADAAN

(cool), daripada esensi. Tanpa mengurangi penghormatan bagi para pembuat film yang konsisten, estetika generasi ini adalah estetika kebingungan. Film-film Indonesia bergenre drama atau horror dibangun atas legenda-legenda dan dongeng-dongeng yang sudah melekat erat dalam sejarah mental Indonesia. Sayangnya, karena sudah tahu ceritanya, ia bersifat Srimulat. Cerita tidak penting, yang penting lucu, seram, cool, atau fantastik. Dan ini merupakan kemunduran yang sangat memprihatinkan. Generasi ini memang tidak bergulat untuk menegakkan sebuah nation atau memperjuangkan ideologi (karena satu-satunya pergulatan adalah bagaimana bisa terbenam dan menjadi  cool di tengah kapitalisme ini). Generasi ini kadang dianggap tidak bisa bercerita karena kata-kata generasi ini telah direbut oleh lagu-lagu pop dan ringtone handphone. Perasaan-perasaan dan kegelisahan generasi ini telah diambil alih dengan sangat baik oleh para copy writer dan vj teveteve internasional. Tetapi generasi ini dilimpahi oleh hal-hal yang tak pernah dimiliki oleh generasi-generasi sebelumnya: teknologi yang lebih bagus dan murah, pasar yang lebih terbuka, referensi sekolahan yang lebih canggih, tampang cakep dan kece, dengan cerita yang tanpa batas. Maka pelajaran penting dari seorang Asrul Sani adalah keberaniannya untuk konsisten, untuk menceritakan dirinya-sendiri. Tanpa bisa menjadikan film sebagai medium ekspresi dan alat bercerita, niscaya generasi ini akan kehilangan sejarahnya sendiri.

1187

Hikmat Darmawan

Tentang Mengulas Film Dalam kesenian, satu-satunya sumber informasi yang bebas hanyalah kritik. Lainnya itu iklan. — Pauline Kael, dikutip oleh JB. Kristanto, dalam “Apa Sih Maunya Resensi Film Itu? Kritikus Film: Paria Superstar”, Nonton Film Nonton Indonesia (Penerbit Kompas, 2004).

S

eperti film Indonesia, tulisan-tulisan tentang film di Indonesia juga tak berkembang jauh secara estetis. Malah, tampak gejala kemunduran. Rata-rata ulasan film di media massa kita masih merupakan anak dari sebuah tradisi kasip penilaian “bagus-jelek” atas cerita film, ditambah penilaian serba sedikit atas unsur filmis lainnya seperti: keindahan gambar, seni peran, dan kadang musik latarnya. Dalam sepuluh tahun terakhir, tampak bahkan struktur ulasan film di media massa pun itu-itu saja: (a) ulasan dibuka dengan deskripsi cuplikan adegan yang dianggap paling menarik oleh pengulas; (b) lalu diuraikan sinopsis cerita dan info-info yang dianggap penting tentang film itu, seperti siapa pembuat dan para bintangnya; (c) lalu penilaian serba sedikit tentang beberapa unsur seperti cerita, gambar, seni peran, dan lainnya; (d) dan akhirnya, keputusan akhir bahwa film itu “bagus” atau “jelek”

TENTANG MENGULAS FILM

(paling sering, pengulas cari aman dengan varian kategori tengahtengah: “lumayan”) yang bernada menyaran apakah penonton perlu menontonnya atau tidak. Adanya kebutuhan untuk tak membosankan, juga perbedaan besar atau kecil ruang yang tersedia untuk ulasan film dalam setiap media, membuat banyak variasi dari struktur ulasan di atas. Misalnya, ada yang mengacak urutan poin di atas. Atau, jika ruang yang tersedia sangat kecil, struktur itu diciutkan menjadi hanya mengandung poin b, c, d, atau b dan d saja. Masalah utama tradisi ulasan film macam ini adalah pada kategori “bagus” dan “jelek” itu. Pertama, kategori itu lebih condong pada selera si pengulas. Kalau kebetulan si pengulas memang berselera tinggi, maka kategori itu jadi bermanfaat. Kalau (dan ini yang sering terjadi belakangan) kebetulan selera si pengulas kurang terasah karena, misalnya, ia penulis belum berpengalaman yang disuruh menulis bidang “hiburan” yang dianggap “ringan” – nah, pembaca bisa dirugikan. Kedua, “baik” atau “buruk” itu cenderung pada pemaknaan “menghibur” atau “tidak menghibur”. Jika ini yang jadi patokan, manfaat dan potensi film direduksi belaka oleh sang pengulas. Sebab, makna “menghibur” atau “tidak menghibur” lebih sering didefinisikan oleh kelaziman dalam industri hiburan arus utama (mainstream). Agar “menghibur”, misalnya, film harus disederhanakan; tak boleh membuat penonton berpikir; kalau bisa, banyak menyentuh tombol-tombol emosi paling dasar (ngeri, tegang, senang, gembira) dengan formula-formula yang sudah baku. Kata “menghibur” jadi tunggal makna. Sering juga, industri hiburan arus utama memaknai kata “hiburan” sebagai “eskapisme”. Logikanya begini: orang menonton film ingin melupakan kenyataan hidup yang susah. Dengan mematok sifat “menghibur” (dalam pengertian arus utama) sebagai tolok ukur keberhasilan sebuah film, sang pengulas cenderung memenangkan film-film eskapis di atas jenis

1189

1190

4. FILM DAN KITA

film lain. Potensi film untuk “menghibur” akal budi penonton, dengan mengajak penonton memikirkan sebuah masalah hidup, misalnya, cenderung direduksi. Namun, secara paradoksal, kecenderungan pada film eskapis dibarengi pada pemujaan terhadap gaya realisme. Sederhananya, film adalah make-believe (atau, meminjam terjemahan yang baik dari Eric Sasono: “reka-percaya”); dan jurus yang dianggap paling ampuh untuk mencapai efek reka-percaya ini adalah realisme.

Apakah cerita masih penting? Dalam khasanah film arus utama di Hollywood, cerita jadi tolok ukur utama. Sebuah film akan diukur dari menarik atau tidak ceritanya; dan bagaimana unsur-unsur cerita, bahkan unsurunsur film itu sendiri, mendukung cerita tersebut (apakah memperlancar cerita atau tidak, misalnya). Sebab utama, memang demikianlah modus produksi film arus utama. Para pembuat film akan berangkat dari cerita yang dibayangkan akan menarik minat para penonton. Begitu banyak ragam teknik dikembangkan untuk modus produksi ini. Antara lain, berkembangnya istilah “premis” cerita. Sebuah film, dalam premis ini, seyogyanya, bisa dirumuskan dalam satu kalimat saja. Semakin istimewa sebuah premis, semakin nyeleneh, maka ia akan disebut “high concept”. Dalam modus produksi begini, para pembuat film berlomba-lomba mengejar “konsep” paling “tinggi”. Diterjemahkan dengan cara lain, ini berarti semakin eskapis suatu film semakin baiklah ia. Memang, modus produksi ini lama-lama tak memuaskan juga. Ada berbagai revisi dan penyesuaian dengan semangat zaman. Tapi, sebelum lebih jauh, kita lihat dulu dampak dari dominasi film cerita pada tradisi ulasan film yang ada.

TENTANG MENGULAS FILM

Tradisi mengulas film dengan menempatkan cerita sebagai tolok ukur utama, bisa dilihat dalam contoh ini. Pada halaman 204 buku  Katalog Film Indonesia 1926-2005, dalam lema film  Nostalgia di SMA  (1980, Sutradara: Syamsul Fuad), JB. Kristanto menulis: “Sebenarnya hampir tak ada cerita dalam film ini. Yang ada adalah serpihan kenangan yang digabung-gabung.” Kalimat ini mengandaikan pengertian tertentu tentang cerita. “Serpihan kenangan yang digabung-gabung” rupanya dianggap bukan cerita. Nada kalimat ini seperti menyesali ketiadaan cerita. Seolah penulis hendak berkata, film yang dibintangi Soekarno M. Noor, dan Muni Cader itu menjadi cacat karena ketiadaan cerita. Saya kebetulan membaca kembali kalimat itu beberapa saat setelah menonton sebuah tayang ulang  Fist of Legend  yang dibintangi Jet Li dalam sebuah stasiun televisi swasta kita. Ini film yang sangat saya sukai. Adegan laga yang paling saya sukai, dan saya anggap salah satu adegan kungfu terbaik sepanjang masa, adalah pertempuran persahabatan Chen Chen (Jet Li) lawan seorang master karate yang diperankan bintang kungfu lama, Yasuaki Kurata. Justru adegan itu dihilangkan. Yang membuat saya tertarik dari penghilangan itu: jalan cerita ternyata tak terganggu sama sekali. Berarti, dari segi cerita, adegan yang paling saya suka itu memang tak perlu. Masalahnya, tetap saja saya terganggu oleh penghilangan itu. Saya bayangkan, jika ada orang lain melihat versi terpotong itu, lalu ia menemukan versi yang menyertakan adegan itu, kemungkinan besar ia akan lebih menyukai versi lengkap film itu. Nah. Di sini saya jadi mengerti, tak selamanya cerita mutlak menentukan mutu sebuah film. Roger Ebert, pengulas film satu-satunya yang pernah mendapat Pulitzer, sangat sadar hal ini ketika ia memuji Kill Bill Vol. 1 (Sutradara: Quentin Tarantino) dengan komentar: “It’s all storytelling and no story”. Sebuah film boleh jadi tak memiliki cerita yang kuat atau koheren, atau tak punya karakter tokoh yang

1191

1192

4. FILM DAN KITA

kuat, atau tak punya pesan apa-apa—dan kita masih bisa menikmatinya. (Dan di sini saya belum bicara film eksperimental!) Tulisan JB. Kristanto yang saya contohkan di atas sebetulnya hanya jejak dari sebuah proses JB. Kristanto sendiri sebagai pengulas film berpengalaman di Indonesia. Ia boleh dibilang salah satu pengulas film yang paling serius memikirkan hakikat, cara kerja, posisi, dan fungsi kritik film di Indonesia. Pengantarnya untuk kumpulan tulisannya, Nonton Film Nonton Indonesia (Penerbit Kompas, 2004), yang berjudul “Kritik Film, Suatu Pengalaman”, menelisik perkembangan pemahamannya atas kritik film. Di situ, tergambar evolusi awalnya sebagai kritikus film dalam tradisi film cerita. Ini tampak jelas dari syarat-syarat yang ia tetapkan untuk sebuah film yang baik di masa itu. Syarat pertama, ungkap JB. Kristanto, “...struktur kisahnya harus logis, memenuhi hukum sebab-akibat, dan dengan sendirinya karakter tokoh-tokohnya juga harus berkembang sesuai dengan jalur kisah dan sebab-akibat tadi.” Syarat kedua, “fotografi harus mampu menciptakan kembali realitas seperti yang seharusnya terjadi, karena bukankah hakekat kamera itu merekam realitas yang ada di depannya?” (Nonton Film Nonton Indonesia, halaman 4) Namun, JB. Kristanto menceritakan betapa ia kemudian  menthok  sendiri dengan pisau bedah film itu. Singkatnya, ia berevolusi dan kemudian mencoba keluar dari tradisi menilai film cerita. Modal dasarnya adalah pengalaman awalnya bahwa ternyata film adalah sejenis “kesenian” (yang dalam pengertian beliau, bisa menjadi “replika kehidupan”). Di tahap akhir, ia menetapkan bahwa ia tak bisa lagi menerapkan begitu saja ukuran-ukuran lama. “(U)kuran atau nilai-nilai suatu film haruslah datang dari dirinya sendiri, karena pada dasarnya suatu karya seni ...adalah suatu unikum.” (Hal. 8)

TENTANG MENGULAS FILM

Bagaimana JB. Kristanto mengoperasikan model penilaian ini? Pertama, pengulas harus mafhum maksud dan jenis sebuah film, dan menilainya berdasarkan maksud dan jenis film itu sendiri. Si pengulas harus terbuka terhadap segala jenis dan maksud film, tapi juga mesti mengembangkan “kepekaan menangkap gejala dan fakta-fakta film itu” (hal. 8). Untuk mengasah kepekaan itu, si pengulas harus punya pengetahuan yang luas tentang medium film. Namun, pengetahuan itu sekadar jadi alat bantu. Kedua, pengulas membandingkan dengan film lain yang sejenis. Baik-buruk suatu film dari segi ini bergantung pada “keaslian” atau “originalitas” film yang diulas. Di titik ini, kepribadian sang pembuat film menjadi sangat penting atau diidealkan. Ketiga, si pengulas seharusnya bisa juga membaca konteks sosial film yang ia nilai. Rupanya, poin ketiga ini jadi penting sekali bagi JB. Kristanto, sehingga ia menulis: “(S)eberapa hebat pun pencapaian estetiknya, film harus bicara dalam konteks masyarakat Indonesia.” Jelas, poin ini bisa memancing debat hangat jika kita hendak mengembangkan tradisi kritik film yang baru di Indonesia. Sementara ini, cukuplah dicatat bahwa—walau ia masih menyimpan jejak tradisi lama penilaian film cerita—JB. Kristanto mencoba bergerak ke jalan baru kritik film di Indonesia.

Berbagai jenis kritik film Dan banyak jalan tersedia bagi seorang penulis yang ingin mengulas film. Veven Sp. Wardhana, misalnya, mencoba memetakan dua jenis kritik film. Pakem kritik film yang diurai di atas (struktur yang itu-itu saja, berpusat pada penilaian cerita), misalnya, termasuk yang disebut Veven sebagai “kritik synopsis(an)”. Sedang kritik jenis lain adalah “yang berisi telaah

1193

1194

4. FILM DAN KITA

kritis” (Veven Sp. Wardhana,  “Membaca Sinema, Menonton Kritik Sinema, dalam Imaji”, Jurnal Fakultas Film dan Televisi IKJ, edisi II, Maret 2006). Kritik film yang berisi telaah kritis, oleh Veven dibagi lagi jadi beberapa jenis—Veven meminjam ragam kritik dalam khasanah dunia sastra. Misalnya, menurut Veven, ada kritik ekspresif yang mendasarkan diri pada teori bahwa sebuah karya seni adalah ekspresi penciptanya. Dalam kritik jenis ini, pengulas hendak mengetahui kehendak si pencipta, ragam idiom yang dipakai dan dieksplorasi untuk mengekspresikan diri si pencipta, dan seterusnya. Ada juga kritik impresif, yang menitikberatkan kesan yang timbul dari si penikmat film, tanpa menganggap penting “ideologi” atau “pandangan dunia” si pencipta film itu. Subjektivitas dipersilakan, karena kesan setiap penikmat suatu film tentu berbeda-beda. Jenis kritik lain, kata Veven, adalah kritik akademis atau kritik objektif. Biasanya, kritik jenis ini dilakukan oleh para akademisi. Singkatnya, kritik jenis ini sangat dipenuhi oleh teori dan memang berurusan dengan penyusunan sebuah teori atas suatu karya (film). Kritikus film dari Inggris, Tony Rayn, menawarkan pembagian lain saat ia datang dan memberi workshop penulisan ulasan film di Jakarta pada tahun 2005 lalu. Pengulas yang dikenal “ahli” Wong Kar Wai, dan biasa menulis di Sight & Sound ini, menyatakan ada tiga jenis kritik film. Jenis pertama, kritik film sebagai consumer guide (panduan konsumen). Tujuan utama kritik ini adalah memandu pembaca memilih film apa yang akan mereka konsumsi – dengan tekanan pada pandangan “film sebagai hiburan”. Kritik jenis ini memang anak kandung industri film arus utama, utamanya Hollywood. Leonard Matlin, yang rajin mengeluarkan buku panduan film setiap tahun serta rutin tampil di televisi Amerika setiap

TENTANG MENGULAS FILM

pekan, masuk ke dalam kategori ini. Sebetulnya, Roger Ebert juga masuk ke dalam kategori ini. Namun, seiring waktu, Ebert mengalami sofistikasi (pencanggihan) dalam penilaiannya. Memang, kritik film jenis “panduan konsumen” tak mesti terbatas pada jenis “kritik synopsis(an)” seperti disebut Veven di atas. “Panduan konsumen” yang ada dalam majalah Times, Newsweek,  Entertainment Weekly,  New Yorker,  Empire,  Total Film,  Rolling Stone, misalnya, telah berkembang sebagai seni menulis yang ciamik bahkan canggih. Kritik film yang semula ingin memandu konsumen pun, seperti kritik film dalam majalah New Yorker dan Rolling Stone, bisa melangkah ke jenis kedua kritik film menurut Rayn: kritik film sebagai perlawanan terhadap kapitalisme/konsumtivisme di dunia film. Rayn menempatkan dirinya dan kritik-kritik film dalam majalah Sight & Sound dalam kategori ini. Kritik jenis ini mengemban misi pendidikan masyarakat, dan berniat mencuatkan film-film yang “tak biasa” atau “tak sekadar menghibur”. Sinema dunia menjadi khasanah penting bagi kritik jenis ini. Dalam kritik film jenis kedua inilah, kritik film yang bertumpu pada penilaian cerita film kehilangan relevansinya. Kritik film ini sebisa mungkin menjauhkan diri dari perangkap kategori “menghibur” atau “tak menghibur”. Barangkali ia akan menggesernya dengan kategori “menyentuh” (“moving” –seperti yang diterapkan oleh sutradara Ho Yuhang) yang lebih elastis. Kategori alternatif ini bisa melepaskan diri dari ikatan film arusutama atau bukan. Film karya Steven Spielberg, misalnya, bisa menyentuh seperti juga Saraband (Ingmar Bergman) atau The Other Half (Yin Liang) juga bisa menyentuh. Tugas seorang pengulas jenis ini adalah mengasah kepekaan untuk menangkap sentuhan sebuah film. Sebuah film bisa menyentuh dengan cara yang tak tunggal:

1195

1196

4. FILM DAN KITA

bisa lewat gambar, lewat pewujudan ide, lewat permainan bentuk, lewat dialog dan suasana, lewat segala unsur yang mungkin didedahkan oleh medium film. Rayn sendiri, sebetulnya lebih purist dalam menerapkan kategori kedua ini. Misinya sebagai kritikus sungguh tegas: mengenalkan, mengangkat ke permukaan, segala yang bukanHollywood. Termasuk, ia akan menampik “sinema dunia” yang dibuat dengan modus produksi Hollywood. Jenis  ketiga  kritik film menurut Rayn adalah  kritik akademis yang menjadikan tulisan film sebagai ranah kajian film yang teoritis. Jenis ketiga ini kira-kira mirip dengan yang diuraikan Veven tentang kritik film yang mengandung telaah kritis.

Keterampilan, perspektif, dialog Nah, dari sekian banyak jalan yang bisa dipilih seorang pengulas film itu, seberapa banyak yang telah dijelajah para penulis film kita? Tak banyak. Memang, di satu sisi, selama sepuluh tahun terakhir, tak ada kritikus film yang menonjol macam Salim Said, JB. Kristanto, Radhar Panca Dahana, Marselli, atau Seno Gumira Ajidarma pada masa 1980-an hingga awal 1990-an. Ulasan film di media massa didominasi oleh tulisan para wartawan hiburan yang seringkali tak punya pengetahuan yang cukup tentang film. Hal ini bisa dengan mudah dikenali dari banyaknya kesalahan data yang fatal dan dasariah tentang film yang mereka ulas. (Kesalahankesalahan itu sudah sampai tingkat hazardous, berbahaya, bagi pembaca karena bersifat dungu dan mendungukan.) Lebih dari itu, terasa benar kekurangan imajinasi dan keterampilan dasar menulis pada kebanyakan ulasan film kita saat

TENTANG MENGULAS FILM

ini. Jenis kritik yang dibuat hanya yang itu-itu saja: penilaian film cerita. Bahkan ulasan jenis sinopsis pun sering lemah secara gawat. Jangan dikira menulis “kritik synopsis(an)” tak memerlukan keterampilan sendiri. Cobalah baca ulasan pendek berikut ini (saya ambil acak saja dari rak majalah saya): Charlie’s Angels: Full Throttle PG-13, 106 menit. Lebih banyak lagi hidangan permainan para Barbie spionase, dan lebih banyak lagi kinetika kitsch menegangkan. Adegan-adegan laganya adalah tontonan mini dari gaya “maskulin” yang digubah menjadi kekuatan feminin murni.  B+ — diambil dari Entertainment Weekly # 721, August 1, 2003

Perhatikan betapa efektif kalimat-kalimat ulasan itu. Perhatikan juga kosa kata dalam satu paragraf itu. Atau: Swimming Pool R, 102 menit.  Sebuah pembauran kenyataan dan fantasi, dengan Charlote Rampling sebagai seorang penulis misteri dari Inggris. Ia menyepi di sebuah vila di pedesaan Prancis yang ia pinjam sejenak, tapi terganggu oleh kedatangan anak perempuan pemilik rumah nan seksi (dimainkan oleh Ludivine Sagnier). — diambil dari Entertainment Weekly # 721, August 1, 2003

Perhatikan betapa contoh ulasan pendek ini terasa lugas, cerdas, tak asal-asalan. Perhatikan juga bahwa ulasan ini mengandaikan adanya pemahaman dasar pembacanya mengenai khasanah film

1197

1198

4. FILM DAN KITA

yang ada. Dalam ulasan mini macam begini, si pengulas harus menyeleksi ketat informasi apa saja yang ia anggap penting untuk diungkapkan, agar dengan segera memberi gambaran penilaian atas film yang diulas. Perhatikan bahwa dalam kedua ulasan itu tak disebutkan nama sutradara. Sementara di halaman yang sama, ada juga film yang disebut sutradaranya. Dalam ulasan Charlie’s Angels di atas, tiga bintangnya tak disebutkan (dianggap tak perlu, karena toh “semua orang” sudah tahu?). Dalam ulasan Swimming Pool, perlu disebut Charlote Rampling. Seolah pengulas menyentuh wawasan pembaca yang diharapkan tahu belaka siapa Charlote Rampling yang ikonik pada 1970-an itu. Bukan hanya seleksi informasi film, poin penilaian pun diseleksi hanya pada unsur yang dianggap terpenting dari film yang diulas. Padahal, ini jenis ulasan film yang paling  gampangan: panduan konsumen film. Sifat panduan konsumen ini tampak dalam perspektif penilaiannya. Kedua contoh ulasan pendek itu saya ambil dari sebuah halaman yang memuat 12 ulasan pendek serupa sebagai pendamping sebuah daftar box office atau film terlaris di Amerika dalam sepekan. Saya pribadi menilai perspektif ulasan di situ terhitung buruk (Dirty Pretty Things mendapat nilai C, sementara Terminator 3 mendapat B+; ini jelas penilaian yang berangkat dari selera arus utama belaka). Toh saya mengagumi keterampilan menulis dalam ulasanulasan pendek itu. Untuk panduan konsumen film yang punya perspektif bagus, lihat beberapa contoh berikut. The Contender (2001) Kadang, begitulah kata sebuah slogan feminis, “the best man for the job is a woman.” Rupanya slogan ini dianut Presiden Amerika, Jackson (Jeff Bridges), sehingga ia memilih Senator Laine

TENTANG MENGULAS FILM

Hanson (Joan Allen yang mengagumkan) sebagai wakil presiden ketika lowongan untuk jabatan ini tiba-tiba terbuka. Pilihan ini tak disukai kaum konservatif Gedung Putih, terutama sang among suara Sheldon Runyon (Garry Oldman dalam tampilan yang menebus karirnya yang terpuruk selama ini). Ia menggali sebuah skandal seks dari masa kuliah Hanson untuk merusak kredibilitas dan kelayakannya bagi pekerjaan sebagai wapres. Satu-satunya yang bisa membuat film ini lebih bagus lagi adalah jika kisahnya tentang seorang Presiden perempuan. Barulah jika demikian, kita akan tahu apa sih yang jadi taruhan bagi ego kaum lelaki. Oh, dan jika akhir film yang jingoistik itu membuat Anda sebal, ingat-ingatlah bahwa bagaimana pun, Anda sedang menonton film Amerika. — diambil dari Empire, Maret 2002

Atau: Intimacy Dipenuhi oleh para aktor Inggris yang istimewa, berdasarkan kumpulan cerpen sastrawan kesayangan London, Hanif Kuraishi, Intimacy memperlihatkan London kontemporer lewat mata seorang sutradara Paris, Patrice Chéreu. Dan London yang tampil sungguh tak indah. Lepas dari apa yang mungkin telah Anda dengar tentang film ini, Intimacy bukanlah pornografi hardcore. Alih-alih, ia adalah sebuah realismesosial hardcore, sekaligus sebuah penghormatan dari seorang pembuat film Prancis terhadap para pendobrak untuk genre film kekerasan-kumuh Inggris, Mike Leigh dan Ken Loach. — diambil dari Empire, Maret 2002

Dua contoh ulasan pendek ini menampilkan dengan baik modalitas yang diperlukan untuk membuat ulasan film yang cerdas dan cerkas: wawasan film, wawasan keilmuan tambahan

1199

1200

4. FILM DAN KITA

(“realisme sosial”), dan wawasan kata yang membuah pada diksi (pilihan kata), ungkapan jitu, dan pengalimatan yang efektif. Semua modalitas ini bisa tampil lebih baik lagi, jika Anda, misalnya, membaca ulasan-ulasan film New Yorker atau Rolling Stone. Anthony Lane, dalam ulasan-ulasan pendeknya di New Yorker, misalnya, bukan hanya berwawasan luas dan tajam. Ia bahkan bisa “nakal” dan lucu setengah mati. Lihat saja cara ia membuka ulasannya terhadap film Beautiful Mind (Sutradara: Ron Howard): “Jika Anda menganggap judul film ini busuk, cobalah filmnya. Pada 24 Maret 2002, film ini menerima Oscar untuk kategori film terbaik, sutradara terbaik, dan skenario adaptasi terbaik, dan dengan ini membuktikan bahwa walau The Academy enggan memberi anugerah pada film komedi tapi beberapa keputusannya masih bisa dipastikan memancing tawa lepas kita.” (New Yorker, 15 April 2002) Atau, bacalah komentarnya yang kejam tapi teramat kocak terhadap film Death to Smoochy di edisi New Yorker yang sama: “Ini bukan benar-benar film. Ini lebih merupakan tabrakan beruntun lima puluh mobil di jalan tol, yang menyamar sebagai film.” Bukannya ia tak bisa serius. Berikut adalah contoh ulasannya terhadap Monsoon Wedding: Moonson Wedding Film baru Mira Nair ini dipuji sebagai sebuah film penebar perasaan senang, tapi film ini lebih hebat lagi—racikan yang nyaris tak stabil dari luka, kebingungan, dan hal-hal yang memikat. Peristiwanya mengambil tempat di Delhi, ketika pasangan orang tua kelas menengah (Lillete Dubey dan Naseeruddin Shah) bekerja keras mempersiapkan upacara seserahan putri mereka (Vasundhara Das). Pernikahan itu, tentu saja, telah diatur; di sela segala keributan dan ceracau tentang kemodernan film ini, Monsoon Wedding masih sempat

TENTANG MENGULAS FILM

menyarankan—betapa pun “ajaib”nya saran ini, mungkin, bagi penonton New York— bahwa dari perjodohan kuno ini mungkin saja bersemi sebuah cinta yang lestari. Pengantin pria terbang dari Houston, Texas; kerabat lain terbang dari Australia, dan Anda mesti bersiap melihat sebuah benturan budaya. Hasilnya, sebuah komedi—tapi ala kadarnya. Ketegangan India dalam menempatkan ortodoksi dan inovasi (dengarkanlah tabrakan antara kicau burung dan bunyi ponsel) membawa pada sebuah perpecahan keluarga yang melantakkan, yang hanya tersembuhkan sebagian saja oleh perayaan pernikahan di akhir film. — New Yorker, 15 April 2002

Apakah Anda memerhatikan bahwa contoh ulasan  Moonson Wedding ini jelas-jelas bertumpu pada penilaian cerita film? Saya memang sengaja menampilkan contoh ini, untuk menyampaikan dua poin. Pertama, tradisi mengulas film cerita tak selamanya buruk. Keterampilan menulis yang tinggi dan wawasan yang luas akan membuat ulasan bergaya “old school” atau jadul ini bisa tetap menarik. Kedua, keberagaman jenis kritik yang muncul tak mesti mendepak satu model ulasan film yang dianggap telah kasip. Yang saya keluhkan adalah ketika model kasip itu jadi satu-satunya model, dan dikerjakan secara serampangan pula. Untuk memberi bandingan, saya contohkan ulasan Pauline Kael dari edisi New Yorker yang sama (yang kebetulan saya ambil secara acak dari rak buku saya), yang menyertakan kepekaan terhadap unsur-unsur filmis noncerita. The Last Waltz Boleh jadi ini adalah dokumenter terbaik yang pernah ada mengenai konser musik rock. Film karya Martin Scorsese tentang tampilan The Band untuk hari Thank’s Giving di San Fransisco pada 1976 ini sungguh tak berlebihan dan sangat

1201

1202

4. FILM DAN KITA

memuaskan. Secara visual, film ini bernada gelap dan kaya, dan sederhana secara klasik. Sungguh melegakan bahwa kita bisa menyaksikan sebuah film konser tanpa sinematografi yang serba bergerak dan menangkap-apa-saja-yang-kebetulan-tertangkapkamera. Scorsese menanam kamera-kamera bak seorang jenderal menata pasukannya. Michael Chapman, Vilmos Zsigmond, Laszlo Kovacs, dan David Myers adalah sebagian dari mereka yang bertanggungjawab memberi kita imej-imej kalem dengan segala kegairahan batin di dalam imej-imej itu. Bintang film ini para anggota The Band—Robbie Robertson, Levon Helm, Garth Hudson, Richard Manuel, dan Rick Danko. Juga dibintangi para penampil yang mewakili beragam gaya rock dan berbagai tradisi yang telah memberi energi pada musik ini—Joni Mitchell, Bob Dylan, Van Morrison, Eric Clapton, Muddy Waters, Neil Young, Ronnie Hawkins, Dr. John, The Staples, Ringo Starr, Paul Butterfield, Emmylou Harris, Neil Diamond, dan lain-lain. — New Yorker, 15 April 2002

Dalam ulasan pendek ini, Pauline Kael menyentuh soal sinematografi. Tepatnya, soal retorika kamera. Bukan hanya hasil sinematografi itu yang dikomentari secara puitis oleh Kael, tapi juga modus operandinya. Kael bahkan sengaja menyebut namanama sinematografer yang membantu Scorsese itu. Bukan hanya untuk menghargai, penyebutan nama-nama itu bisa memberi gambaran pembaca yang agak terlatih dalam menonton film tentang kualitas fotografi yang bisa diharapkan dari film dokumenter ini. Di akhir ulasan, Kael lagi-lagi sengaja menderetkan nama-nama. Kali ini untuk memberi gambaran lanskap musikal yang ada dalam film dokumenter tersebut. Contoh-contoh ini menunjukkan ada banyak siasat untuk mencuatkan keunggulan (atau kebusukan) sebuah film. Dengan kata lain, ada banyak siasat dalam mengoperasikan prinsip “ukuran atau nilai-nilai suatu film haruslah datang dari dirinya

TENTANG MENGULAS FILM

sendiri” seperti yang disebutkan oleh JB. Kristanto. Kael, misalnya, kadang mengutip sebuah kalimat dialog film secara lengkap. Anthony Lane banyak menyorot segi kisah dan kekisahan film, tapi tak jarang juga mendekati sebuah film dari segi konteks sosial-budayanya. Tony Rayn dan Roger Ebert telaten menelaah berbagai aspek film yang seringkali hanya tertangkap setelah menonton berulang-ulang dan bahkan kadang dengan memelajari frame demi frame. Dan kita baru mengambil contoh ulasan-ulasan pendek. Di majalah luar negeri, bukan hal aneh jika ada film-film – jika memang dianggap sangat penting—yang dibahas sampai berhalaman-halaman majalah. Ini, saya garis bawahi, bukan jenis ulasan akademis yang biasanya panjang itu. Ulasan-ulasan panjang tentang film kadang tak lebih dari “panduan konsumen”, hanya saja sangat mendalam. Apalagi jika memang sebuah tulisan film panjang hendak jadi kritik film dengan misi tertentu, atau menjadi sebuah dialog wacana. Betapa kaya kemungkinan yang dibuka sebuah sebuah ulasan panjang, jika demikian! Artinya, tulisan film atau ulasan film tak lagi sekadar pekerjaan sampingan yang remeh dan sambil lalu. Ia tumbuh menjadi sebuah cabang seni menulis yang mandiri. Ia menjadi wahana dialog seorang penulis dengan sebuah karya seni yang kebetulan adalah film. Nah, alangkah jauhnya gambaran kerja menulis film ini dengan kenyataan masih banyaknya kesalahan fatal dalam ulasan film kita. Di Indonesia, kita masih membaca bahwa  Bourne Ultimatum  adalah film “science fiction”; atau bahwa Disturbia adalah “diambil dari novel Vertigo karangan Alfred Hitchcock”. Astaga. Saya tak menemukan penjelasan lain dari kesalahan fatal ini selain bahwa si penulis memang meremehkan penulisan film. Di zaman internet ini, seorang wartawan (apalagi ia berkantor di koran terbesar di Indonesia) tak bisa lagi mengaku kekurangan

1203

1204

4. FILM DAN KITA

informasi. Dan, kok editornya sampai berkali-kali meloloskan kesalahan sejenis? Kalau tidak karena ada yang salah dalam sistem kerja redaksi, berarti ini karena editornya pun tak paham serta meremehkan kerja menulis film. Boro-boro deh, berharap penulis atau media itu berevolusi ke tahap lebih canggih dalam menulis film. Masak mesti ada rubrik “kritik terhadap kritik film?” Wah!

Ade Irwansyah

Kritikus dan Pembuat Film: Kawan atau Lawan?

I

P

embuat  film kerap memanfaatkan kritikus sebagai tolak ukur keberhasilan sebuah karya. Hanya saja, penilaian kritikus itu baru disambut gembira bila hasilnya berupa pujian. Sebab hal itu bisa dijadikan alat pemasaran (bisa ditempelkan di poster film atau sampul DVD). Lain halnya ketika kritikus menilai jelek terhadap karyanya. Pembuat film bisa mencak-mencak, “Memangnya bikin film itu gampang! Enak saja bilang film saya jelek, coba bikin sendiri kalau bisa!” Pembuat film yang marah-marah ketika filmnya dikritik pedas sejatinya tak butuh kritik film. Yang ia butuhkan adalah publikasi alias pemberitaan atau ulasan serba baik dan bagus menyangkut filmnya. Lain tidak. Persoalan ini, menurut Goenawan Mohamad bermuara pada kenyataan bahwa film adalah barang dagangan, bukan hanya

1206

4. FILM DAN KITA

karya seni.1 Sebagai barang dagangan, lanjut Goenawan, film tak butuh kritik, tak butuh pembahasan dari segi artistik, sinematografi, logika, kejujuran penciptaan dan kecerewetan macam itu.2 Sebagai barang dagangan ukuran yang digunakan adalah “laris” dan “tidak laris”. Sedang kritik film menggunakan ukuran “bermutu” dan “tidak bermutu”. Perbedaan tolak ukur ini saja sebenarnya sudah menjelaskan hubungan antara pembuat film (terutama yang memandang film sebagai barang dagangan) dengan kritikus film: hanya baik bila kritikus memberi nilai bagus. Karena ya itu tadi, penilaian yang bagus tersebut bisa dijadikan alat pemasaran tambahan pada film. Menjadikan kritikus sebagai alat pemasaran berarti pula menempatkan kritikus pada posisi dalam bagian mata rantai produksi film. Padahal pada hakekatnya tidak demikian. Posisi kritikus berada di luar proses produksi, dan karenanya ia independen dalam menilai sebuah film. Hanya saja, masih banyak sineas yang tak menganggap begitu. Dengan dalih sebagai bagian dari memajukan dunia perfilman, pembuat film mengharapkan kontribusi kritikus yang bila disederhanakan maksudnya: kritik yang memuji.

II Ada banyak cerita soal hubungan kurang baik antara sineas dengan kritikus. Goenawan Mohamad pernah menerima keluh kesah kenalannya yang pembuat film usai dikritik pedas. “Mungkin maksudnya ingin mematikan karier saya,” kata

1

2

Goenawan Mohamad, Tentang Kritik dan Bagaimana Supaya Tak Terlalu Jengkel, dimuat dalam Festival Film Indonesia: Buku Kritik Film Indonesia 1982-1983, PWI Jaya Seksi Film, Teater dan Kebudayaan—Badan Pelaksana FFI 1983, Jakarta, 1983, h. 125. Ibid.

KRITIKUS DAN PEMBUAT FILM: KAWAN ATAU LAWAN?

Goenawan mengutip kawannya itu. 3  Di Hollywood sana contohnya juga banyak. Suatu ketika, seperti diulas kritikus Roger Ebert, kritikus film Los Angeles Times Patrick Goldstein menulis film-film terbaik nominator Oscar tahun 2005 yang menurutnya “tak dihiraukan, tak disukai dan ditolak pembuatannya oleh studio film lantaran … mereka lebih suka menghabiskan uang untuk membuat film-film sekuel, termasuk sekuel Deuce Bigalow: Male Gigolo, sebuah film yang sayangnya tak diacuhkan saat penganugerahan Oscar karena tak seorang pun terpikir untuk membuat kategori Best Running Penis Joke Delivered by a Third Rate Comic—lelucon kemaluan laki-laki berlari yang dibawakan komedian kelas tiga.”4 Komedian yang dimaksud adalah bintang utamanya, Rob Schneider. Sang pelawak ini lantas menganggap cercaan padanya sudah kelewatan, dan karenanya harus ditanggapi serius. Ia membuat iklan satu halaman di koran Daily Variety dan Hollywood Reporter berupa surat terbuka yang isinya antara lain: “Well, Mr. Goldstein, saya memutuskan melakukan riset, dan menemukan kalau Anda tak pernah memenangkan penghargaan apa pun. Saya cari di Internet dan tak menemukan data yang menyebutkan Anda pernah memenangkan apa pun. Tak pernah sekalipun. Tidak ada penghargaan jurnalistik atau semacamnya (yang pernah Anda menangkan)… Mungkin Anda tak pernah menang Pulitzer Prize (Oscar-nya buat wartawan) lantaran mereka, para juri di sana, belum menemukan kategori untuk Best Third-Rate, Unfunny Pompous Reporter Who’s Never Been Acknowledged by His Peers—Terbaik untuk orang-orang kelas tiga, reporter yang karyanya tidak lucu yang tak pernah dikenal oleh kawan sesama profesi.”

3 4

Ibid, hal. 124. Roger Ebert, “Deuce Bigalow: European Gigolo; ‘Bigalow’ Reaches New Giga-low”, Diupload ke Internet pada 12 Agustus 2005. URL: http://rogerebert.suntimes.com/.

1207

1208

4. FILM DAN KITA

Ebert lantas membela Goldstein saat meresensi film Deuce Bigalow: European Gigolo  di korannya  Chicago Sun-Times. Ia menulis: “Saya cari di Internet dan menemukan Patrick Goldstein pernah memenangkan National Headliner Award, Los Angeles Press Club Award, RockCritics.com Award, dan penghargaan seumur hidup dari Publicists’ Guild Award.” Sedangkan Schneider, lanjut Ebert, “dinominasikan untuk Razzie Award (penghargaan untuk film-film buruk) tahun 2000 untuk Aktor Pembantu Terburuk, namun kalah oleh Jar Jar Binks, karakter virtual dalam film Star Wars Episode I: The Phantom Manace. Schneider benar soal Patrick Goldstein tak pernah menang Pulitzer Prize. Namun, sebagai orang yang pernah memenangkan Pulitzer, dan dengan begitu berarti saya masuk kualifikasi yang ditetapkan Schneider. Saya berhak bilang, dalam kapasitas sebagai pemenang Pulitzer, Mr. Schneider, film Anda buruk.”5 Hubungan yang buruk itu tak hanya berlangsung lewat saling cerca di koran. Melainkan juga sudah pada tahap pencekalan terhadap sejumlah kritikus. Pembuat film menganggap kritikus pedas sebagai lawan, sedang yang menulis serba baik dianggap kawan. Sebagai contoh saja, kritikus film mendiang Pauline Kael, dari The New Yorker, mengatakan, dirinya membayar mahal untuk bersikap independen. “Sangat memalukan saat rekan wartawan lain diundang ke pemutaran film sedang dirimu tidak,” katanya pada Glenn Lovell yang menulis laporan soal campur tangan pembuat film pada kritikus untuk jurnal Columbia Journalism Review.6 Dalam laporannya, Lovell menyebut pencekalan terhadap kritikus itu berlangsung dari sekadar pelarangan memasuki pemutaran film milik studio film 5 6

Ibid. Roger Ebert memenangkan Pulitzer Prize untuk kategori penulisan kritik pada 1977. Glenn Lovell, “Movies and Manipulation”, Columbia Journalism Review edisi Januari/ Februari 1993, bahan di-download dari Internet, dengan URL: http//backissues. cjrarchives.org/year/97/1/movies.asp.

KRITIKUS DAN PEMBUAT FILM: KAWAN ATAU LAWAN?

yang filmnya dihina sang kritikus, hingga ancaman membatalkan iklan pada media tempat sang kritikus bekerja.

III Lantas, pertanyaannya bagaimana seharusnya kritikus memosisikan diri? Sebagai teman atau lawan dari pembuat film? Jawabnya harus dikembalikan pada kenyataan kalau kritikus film bukanlah bagian dari mata rantai produksi film. Kritikus bukanlah publisis film atau staf humas dari rumah produksi yang membuat film. Ia tak digaji oleh rumah produksi, melainkan oleh media tempatnya bekerja atau sama sekali tak punya media alias menulis sekadar melepas unek-unek usai menonton film. Lantaran tak menggaji sang kritikus, pembuat film tak berhak mencampuri isi tulisan kritikus film maupun mencekal sang kritikus bila filmnya dibilang jelek. Kritikus yang baik harus bertanggung jawab atas amanat yang diembannya dengan tetap bersikap independen. Meskipun bila pada kenyataannya kemudian, film yang dibilang buruk olehnya ternyata laris manis ditonton orang. Sebab, kita mafhum yang laris bukan berarti pula yang bermutu. Dan bila terjadi kebalikannya, film yang dinilai buruk oleh kritikus ternyata tak laku pula di pasaran, hal itu sejatinya kebetulan belaka. Kebetulan saja selera sang kritikus cocok dengan selera orang kebanyakan. Kritikus film harus mengedepankan kepentingan film sebagai karya seni. Bukan pada pembuat film atau produser yang sudah berinvestasi besar-besaran membuat film. Meski berlebihan, pendapat Pauline Kael yang dikutip JB Kristanto ada benarnya: “Dalam kesenian satu-satunya sumber informasi yang bebas hanyalah kritik. Lainnya itu iklan.”7 7

JB Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004, h.34.

1209

1210

4. FILM DAN KITA

Kael yang dianggap salah satu kritikus film terbaik Amerika menganggap kritikus punya tugas suci. Kritikus berfungsi membantu orang melihat apa yang ada dalam sebuah karya, apa yang mestinya tidak ada dalam karya itu, dan apa yang mestinya hadir dalam karya itu.8 Kritikus yang baik, lanjut Kael, membantu orang memahami sebuah karya lebih dari saat orang itu melihatnya sendiri; kritikus yang hebat yakni jika ia, dengan pemahaman dan perasaannya atas sebuah karya, juga dengan hasratnya, bisa menarik orang untuk lebih menelusuri sebuah karya yang menunggu untuk disingkap. Ia bukanlah kritikus buruk bila penilaiannya ternyata keliru. Ia jadi kritikus buruk ketika kritikannya tak membangkitkan rasa ingin tahu, mengundang ketertarikan maupun memberi pemahaman pada pembacanya. Kael lantas berkesimpulan, seni dari kritisisme terletak pada penularan pengetahuan dan menggiring rasa antusias berkesenian pada orang lain.9 Dari sini kelihatan, fungsi kritikus sebagai jembatan antara masyarakat dengan pembuat film. Ia membantu masyarakat mengapresiasi sebuah film. Dalam ungkapan Marselli Sumarno, kritikus film berguna untuk “menangkap dan menyampaikan kepada pembaca tingkat intelektual dan emosional sebuah film, memberi deskripsi kepada penonton film apa yang dibuat. Meski filmnya jelek, kritikus bisa menyebutkan pengalaman apa yang dapat dinikmati.”10

8

Pauline Kael, “Circles and Squares (excerpts)”, kutipan dari buku Pauline Kael I Lost It at The Movies, dimuat di Internet dengan URL: http://keepingmybrainalive.blogspot. com/2006/09/circles-and-squares-excerpts.html. 9 Ibid. 10 Marselli, “Film dan Kritik Budaya”, dimuat dalam Festival Film Indonesia: Buku Kritik Film Indonesia 1982-1983, PWI Jaya Seksi Film, Teater dan Kebudayaan—Badan Pelaksana FFI 1983, Jakarta, 1983, h.96.

KRITIKUS DAN PEMBUAT FILM: KAWAN ATAU LAWAN?

IV Pada posisi sebagai jembatan pula posisi perkawanan kritikus dan pembuat film harus diletakkan. Kritikus membantu sineas menyampaikan gagasannya pada penonton lewat penafsiranpenafsirannya. Kepada pembuat film, kritikus punya kewajiban untuk memberi evaluasi atas hasil kerja sang sineas. Kritikus memberi jawaban pada pertanyaan sang pembuat film: Apakah gagasan dalam film saya sampai pada penonton dengan baik? Apakah film saya memberi manfaat pada perkembangan jiwa dan alam pikiran khalayak banyak? Lantas, apakah film saya memberi kontribusi pada kemajuan film sebagai karya seni? Kritik film yang mengedepankan film sebagai karya seni juga akan bermanfaat bagi sang kritikus. Sebab, seperti kata kritikus film senior Salim Said, maju mundurnya kritik tergantung sepenuhnya pada maju mundurnya objek kritik tersebut.11  Tidak ada kritik film yang bagus tanpa lahirnya film yang bagus. Kritikus film amat berkepentingan pada kemajuan seni film. Lewat film-film baguslah sang kritikus bisa mengasah kemampuannya mengkritik. Pada titik ini, film dan kritik film saling melengkapi. Kritik film yang baik sama bermutunya dengan film yang baik pula. Bahkan, diharapkan, membaca kritik film sama asyiknya dengan menonton film. pelajaran hidup yang diperoleh dari menonton film, makin lengkap bila ditambah membaca kritik film. Oleh karena itu, hendaknya kritikus film dan pembuat film berkawan. Perkawanan yang baik antara kritikus dan pembuat film menyaratkan kejujuran dan kemandirian. Kawan yang baik tak selalu memuji setinggi langit, melainkan berkata apa adanya. Jangan sampai, lantaran punya hubungan baik dengan produser 11 Salim Said, Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, h. 15.

1211

1212

4. FILM DAN KITA

atau sutradara film yang tengah ia ulas, sang kritikus mengendurkan standarnya. Film yang diulas, ia tulis serba baik demi menjaga hubungan baik perkawanan. Jika demikian adanya sang kritikus tidak lagi independen. Penilaiannya tidak valid lantaran bukan berasal dari fakta-fakta objektif. Padahal, seharusnya kritik film disusun berdasarkan fakta-fakta objektif yang ditemukan saat menonton. Misalnya, bila akting si A pada kenyataannya buruk, ya jangan ditulis yang sebaliknya. Hal ini ibarat menulis berita yang tak sesuai fakta. Namanya berita bohong. Berbohong dalam urusan berita adalah dosa besar yang tak diampuni. Begitupun semestinya dalam kritik film. Tulisan kritik film yang lahir bukan dari independensi penulisnya bisa dibilang cacat hukum karena telah menodai kemurniannya sendiri. Di sini harus timbul kesadaran dari kritikus bahwa ia mengabdi pada kepentingan kemajuan sinema sebagai karya seni. Penilaiannya yang kritis bukanlah ditujukan untuk merendahkan martabat sineas di depan umum. Melainkan harus diletakkan sebagai sebuah kajian yang bermanfaat bagi kalangan perfilman. Pada gilirannya pihak yang paling diuntungkan atas kehadiran film bagus dan kritik film bermutu adalah masyarakat. Mereka jadi terdidik dengan kehadiran film-film yang mencerdaskan.

V Lantas, sudahkah kritikus film negeri ini jadi kawan yang baik bagi pembuat film? Jika masih banyak kritikus yang membuat ulasan dengan lebih banyak menulis sinopsis cerita dengan lempang, atau masih ada saja pengulas film yang salah mengindentifikasi genre film, rasanya perkawanan ideal itu sulit diwujudkan. Baik pembuat film dan kritikus film negeri ini sama-

KRITIKUS DAN PEMBUAT FILM: KAWAN ATAU LAWAN?

sama dalam tahap belajar. Para sineas masih belajar membuat film bagus, sedangkan kritikus sedang belajar mengkritik dengan baik dan benar. Saya hanya berharap dugaan soal sineas dan kritikus sedang belajar benar adanya. Semoga optimisme di atas tak berbuah jadi buruk sangka. Sebab, pada kenyataannya, sineas kita tak sedang belajar melatih keterampilannya membuat film bermutu (mereka malah fokus membuat film sebagai barang dagangan). Sedangkan kritikus juga tak sedang belajar mengulas film dengan baik (mereka malas menggali ilmu kritik film). Halo, Bapak-Ibu Sineas dan Mas-Mbak Kritikus, Anda semua sedang giat belajar, ‘kan?

1213

Veronika Kusuma

Gie: Representasi Berwajah Ganda1

Pendahuluan

F

ilm Gie dibuat oleh sutradara Riri Riza dengan produser Mira Lesmana pada tahun 2005, 35 tahun setelah Soe Hok Gie meninggal. Film ini meraih 3 piala Citra dari 12 nominasi, salah satunya sebagai film terbaik di FFI 2005. Film ini bercerita tentang Soe Hok Gie, seorang pemuda keturunan Tionghoa yang hidup di saat Indonesia sedang mengalami perubahan besar. Film ini mengangkat kisah nyata kehidupan Soe Hok Gie, selanjutnya disingkat sebagai SHG saja, aktivis angkatan ‘66. Dibuat dengan melibatkan lebih dari 2.500 pemain dan kru dan syuting di Jakarta, Semarang, Jogjakarta, kaki gunung Merapi, puncak Pangrango, dan lembah Mandalawangi.

1

Tulisan ini berasal dari makalah penulis dalam kuliah “Teori Film” di Institut Kesenian Jakarta, 2007.

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

SHG adalah wakil dari golongan menengah berpendidikan. Ia putra keempat dari seorang penulis dan redaktur berbagai surat kabar seperti Tjin Po, Panorama, Hwa Po, dan masih banyak lagi. Ayahnya bernama Soe Lie Piet dengan nama lokal, Salam Sutrawan. SHG lahir 17 Desember 1942, ketika Jepang baru saja masuk ke Indonesia. Nama Soe Hok Gie berasal dari dialek Hokkian dari nama Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Leluhurnya berasal dari Provinsi Hainan, RRT. Pada umur lima tahun, SHG masuk sekolah Sin Hwa School, sebuah sekolah khusus untuk warga keturunan Tionghoa. Ia lalu melanjutkan ke SMP Strada dan Kolese Kanisius Jakarta, yang merupakan salah satu sekolah terbaik dengan populasi siswa Tionghoa yang cukup besar.2 Sejak kecil, SHG telah menunjukkan bakat sebagai anak yang cerdas, setia kawan dan memiliki sikap kritis. Hal ini sering menimbulkan situasi yang menyulitkan dirinya. Semasa menjadi mahasiswa di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia, SHG tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan idealis. Situasi politik saat itu membuat mahasiswa terbagi atas berbagai kelompok yang saling bentrok. Pada bulan September 1965, terjadi peristiwa G-30 S sebagai puncak pertentangan antara pihak militer dan Partai Komunis Indonesia. Peristiwa ini diikuti demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa, jatuhnya Presiden Soekarno, dan pembubaran PKI yang diikuti pembantaian massal yang menimbulkan korban hingga lebih dari 1 juta orang. SHG merasa sangat kecewa. Ia adalah mahasiswa yang turut berdemonstrasi menuntut pengunduran diri Soekarno, tetapi setelah Soekarno tidak lagi berkuasa, dan digantikan Soeharto, teman-temannya justru ikut bermain di panggung politik 2

Daniel Dhakidae, "Soe Hok Gie:Sang Demonstran“, dalam Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Jakarta: LP3ES, 2005.

1215

1216

4. FILM DAN KITA

nasional. Ia kecewa karena ia merasa teman-temannya telah mengkhianati idealismenya. SHG tetap kritis dan menyampaikan kekritisannya baik secara langsung maupun lewat tulisantulisannya di media massa. Ia menjadi musuh bagi temantemannya. SHG meninggal pada bulan Desember 1969 di puncak gunung Semeru dalam usia yang masih belia. 3

Soal SARA Film ini menarik karena mengetengahkan bukan saja ikon anak muda, tapi juga sosok cukup kontroversial dalam gerakan pemuda di Indonesia. Selain karena sikapnya yang konsisten, “lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”, ia dikenal sebagai pemuda keturunan Tionghoa yang terjun ke gerakan dan politik praktis. Film Gie sendiri merupakan film pertama generasi pasca1998 yang mengangkat sosok sejarah yang pernah benar-benar ada dalam sejarah Indonesia. Tetapi lebih dari itu, film ini penting dicatat karena menghadirkan satu persoalan penting yang melingkupi wacana film Indonesia, yakni persoalan representasi etnis, terutama etnis Tionghoa dalam film Indonesia. Dalam film Indonesia, terutama masa Orde Baru, masalah ras dan representasi identitas baik yang berdasarkan suku, agama, dan ras, apalagi kelas adalah masalah yang pelik dan sensitif. Bukan hanya dalam kehidupan nyata tapi juga di media. Ada larangan untuk membicarakan SARA karena membicarakan SARA, termasuk di dalamnya persoalan kelas sosial bisa jadi subversif. SARA dan kelas sosial dianggap ancaman terhadap kesatuan nasional.

3

Sinopsis film (VCD), Gie, Cinekom, 2005 dan Riri Riza, Gie, Naskah Skenario, Penerbit Nalar, 2005.

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

Tionghoa adalah persoalan kedua. Menjadi Tionghoa di Indonesia bisa merupakan persoalan yang benar-benar rumit. Meski memiliki banyak peran dalam perkembangan sejarah Indonesia, etnis Tionghoa dianggap minoritas dan ‘jahat’ secara ekonomi karena sejak masa kolonial mereka mendapatkan hak istimewa sebagai pedagang perantara antara kaum kolonial dan apa yang disebut bangsa pribumi. Sebenarnya, setelah reformasi politik pada tahun 1998, Nia Dinata telah mulai menggarap dan menghadirkan sosok Tionghoa dalam filmnya,  Cau Bau Kan  (2001). Film yang juga menggunakan pendekatan sejarah ini, menceritakan tentang seorang perempuan Betawi yang menjadi istri seorang Tionghoa, Tan Peng Liang, pada masa awal abad 20. Seluruh film Cau Bau Kan  menceritakan tentang kehidupan kelompok-kelompok Tionghoa dan hubungannya dengan penduduk non-Tionghoa (sering disebut pribumi, seperti Jawa, Betawi, Sunda, dan sebagainya). Tetapi posisi film Gie menjadi pantas dibahas karena tidak seperti sosok Peng Liang yang pedagang / pebisnis tembakau, sebuah pekerjaan stereotip etnis Tionghoa, film Gie menghadirkan representasi yang sangat berbeda dari etnis Tionghoa kebanyakan. Di sinilah wacana representasi etnis dalam film Indonesia menjadi menarik. Gie sebagai teks sejarah maupun teks film menghadirkan dilemma, dan kontradiksi dalam soal representasi etnis tertentu dalam film. Riri sendiri tidak mengakui bahwa film ini memiliki sentimen ras tertentu. Ia menjelaskan, “Film Gie adalah sebuah film yang berfokus pada seorang karakter yang pernah hidup di sebuah masa yang bisa dibilang paling penting dalam sejarah modern Indonesia, dan ia mencatat pergolakan pikiran, perasaan, dan situasi-situasi yang terjadi di sekelilingnya melalui sebuah catatan harian. Namun, sama sekali tidak ada unsur subversif maupun SARA di dalamnya." Meski demikian, nanti kita akan

1217

1218

4. FILM DAN KITA

melihat bahwa dalam hal representasi etnis, film  Gie  akan menduduki posisi yang sangat sentral. Pembahasan representasi Tionghoa dalam sinema Indonesia mungkin bisa dibilang hal yang cukup baru. Meski dibangun dan dikembangkan oleh kaum Tionghoa, cerita atau tema (subjectmatter) etnis Tionghoa dalam sinema Indonesia relatif jarang diangkat. Soal representasi etnis pun dibahas terbatas, pada misalnya etnis Betawi yang merajai film-film dekade 1970-an (Si Doel anak Betawi, film-film yang dibintangi oleh Benyamin Suaeb, dan sebagainya). Namun sebelum bicara soal etnis ini, lebih dahulu bicara soal representasi.

Representasi Stuart Hall, seorang pakar kajian budaya, mengajukan sebuah konsep untuk memahami tentang representasi. Secara singkat, representasi mengacu pada proses produksi makna melalui bahasa. Merepresentasikan berarti menggambarkan / mendeskripsikan sesuatu. Deskripsi ini hanya bisa terjadi di dalam bahasa, yakni melalui kata-kata yang digunakan. Kata-kata merepresentasikan konsep tentang sesuatu.4 Dalam representasi ada 2 sistem yang bekerja. Pertama, sistem di mana semua obyek, manusia dan peristiwa saling berkorelasi membentuk satu konsep atau representasi mental. Tanpa konsep-konsep itu, kita tidak bisa menginterpretasi segala sesuatu di dunia. Jadi pemaknaan atas dunia sangat tergantung pada sistem konsep dan gambaran yang terbentuk/yang kita bawa. Sistem ini juga mensyaratkan berbagai konsep mengorganisir, mengelompokkan, menyusun dan mengklasifikasi 4

Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practice, SAGE Pub. and Open University, 1997, terutama bagian “Representation, Meaning and Language”.

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

konsep-konsep yang telah kita miliki. Proses ini hanya bisa dilakukan apabila kita bisa saling mempertukarkan konsep dan pemaknaan. Dan kita hanya bisa melakukannya kalau kita memiliki akses pada bahasa yang sama. Di sinilah, bahasa merupakan sistem representasi kedua karena dengan bahasalah kita mengkonstruksi makna atas dunia.5 Film sebagai bahasa memberikan tanda-tanda tempat makna diproduksi. Singkatnya, citraan visual dalam film merupakan konsep-konsep yang akan dipertukarkan dalam proses representasi. Proses ini melibatkan pembuat film dan penontonnya. Representasi selalu bekerja dalam dua operasi: inklusi dan eksklusi. Atribusi sifat-sifat negatif (stereotip) selalu dilakukan dalam operasi eksklusi, pemisahan. Pihak-pihak yang terkena stereotip adalah pihak-pihak yang dieksklusi dari ‘mayoritas’ atau normal. Di sini, proses representasi membedakan ‘kita’ dan ‘mereka’, dengan ‘mereka’ adalah pihak-pihak yang kita eksklusi.6

Etnis Tionghoa dalam Film Indonesia Kasus etnis Tionghoa merupakan gambaran sempurna dari analisis ini. Persoalan representasi dalam sinema Indonesia sebenarnya pernah disinggung oleh beberapa ahli, di antaranya Krishna Sen. Dalam bukunya Indonesian Cinema:Framing The New Order (London, 1994) ia menganalisis representasi kelas dan gender dalam sinema Indonesia. Ia terutama peduli pada bagaimana sinema nasional dibentuk oleh representasi kelas dan gender yang tak seimbang. Tetapi dalam hal representasi etnis, belum ada tulisan yang cukup rigid dan ilmiah yang mencoba 5 6

Stuart Hall, ibid. Chris Barker, ibid., hal. 263-264.

1219

1220

4. FILM DAN KITA

menelusurinya. Hanya, ada satu-dua protes berkaitan dengan dominasi (etnis) Jawa dalam sinema Indonesia. Dalam kasus film dengan latar etnis Tionghoa, selama masa awal diproduksinya film di Indonesia hingga tahun 1965, jumlah film yang menggunakan kasting / karakter dan pokok soal (subject-matter) Tionghoa hanya mencapai 21 film. Jumlah ini semakin mengecil pada masa Orde Baru (1966-1998) yang hanya mencapai 9 film.7 Meski demikian, peran pembuat film Tionghoa dan kru Tionghoa sudah mayoritas sejak medium film pertama kali dikenal di negeri ini. Tak mengherankan, film-film awal sejarah sinema Indonesia memiliki jumlah yang cukup banyak film berpokok soal Tionghoa, meski dari segi makro, ia tetap ‘minoritas’. Dalam periode waktu 1926-1965, film-film tentang kehidupan orang Tionghoa atau dengan tokoh utama Tionghoa biasanya berasal dari cerita-cerita tradisional Tionghoa. Film Sam Pek Eng Tay  (1931), misalnya, merupakan suatu tipikal film Tionghoa saat itu. Film-film Tionghoa yang diproduksi oleh kebanyakan juga orang Tionghoa yang bekerja dan tinggal di Indonesia banyak mengangkat kisah-kisah persilatan (kungfu) yang merupakan tradisi besar kaum Tionghoa yang dibawa ke daerah-daerah perantauan kaum ini. Kaum diaspora banyak mengangkat pula persoalanpersoalan yang dihadapi secara internal oleh kaum Tionghoa. Meski demikian, tak satu pun film-film itu yang menyinggung masalah politik secara langsung. Selain silat / kungfu, film-film Tionghoa banyak mengangkat tema percintaan, kawin paksa, dan hal-hal semacam itu.8 Hal ini tidak mengherankan karena meski dalam kondisi masyarakat kolonial, arus besar perfilman Hindia Belanda tetaplah film-film melodrama tiruan Hollywood yang 7 8

JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2005, Penerbit Nalar, 2005. JB Kristanto, ibid.

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

menjual lagu-lagu, kisah percintaan serta bintang-bintang cantik dan ganteng.9 Film-film seperti Gadis jang Terdjoeal (1937) dan film Oh Iboe (1938) mengangkat kisah-kisah warga Tionghoa yang terjebak dalam konflik rumah tangga. Film-film yang telah disebut sangat berfokus pada kisah dan perikehidupan orang Tionghoa, tidak menampilkan interaksinya dengan apa yang disebut bangsa pribumi, apalagi kaum kolonial Belanda. Film  Penjelundup  (1952) adalah debut film yang berusaha meletakkan karakter Tionghoa di tengah konflik masyarakat di Indonesia. Meski demikian, karakter Tionghoa di film ini menjadi antagonis yang tidak memiliki karakter sentral. Tema yang sedikit berbeda diangkat oleh film  Dibalik Awan (1963). Film buatan sutradara Fred Young ini menggunakan bintang-bintang terkenal saat itu, seperti Bambang Irawan, Nani Widjaja dan Sofia Waldi. Film ini sendiri bercerita tentang Ah Tjang dan anaknya, Gwat Lie yang menolong seorang pejuang bernama Ismono. Di sini, peranan Tionghoa dalam perang kemerdekaan mulai ditampilkan dalam film. Setelah tahun 1966, representasi suku Tionghoa dalam sinema Indonesia semakin mengecil. Representasi etnis, apalagi Tionghoa merupakan hal yang sangat sensitif di Indonesia. Film pertama masa Orde Baru yang dengan terbuka mengangkap representasi Tionghoa adalah film Kisah Fanny Tan (1971). Film yang disutradarai oleh Andjar Subijanto ini menggunakan tema asimilasi sebagai pokok soalnya. Tema perbedaan ras antara Fanny yang Tionghoa kaya dan Sahid yang pribumi miskin, dijadikan landasan bagi kisah Romeo-Juliet yang berakhir tidak menyenangkan. Film ini mengambil rangka waktu sejak sebelum kemerdekaan. Film yang dibalut sebagai drama nyata-nyata kemudian akan menjadi propaganda tentang proses asimilasi etnis Tionghoa. 9

Taufik Abdullah (ed.), Film Indonesia Bagian I (1900-1950), Dewan Film Nasional, 1993.

1221

1222

4. FILM DAN KITA

Tema serupa diangkat oleh John Tjasmadi yang menyutradarai film  Kisah Cinta  (1976). Film ini, seperti mengulang film  Dibalik Awan, menyajikan peranan etnis Tionghoa dalam perang kemerdekaan. Peranan ini diintegrasikan dalam proses asimilasi, yakni perkawinan antara Tan Cong Ham dan Kusmiyati. Tema serupa diangkat lagi dalam film Mustika Ibu (1976). Tema percintaan kaum Tionghoa dan pemuda-pemudi pribumi agaknya memang populer di kalangan pembuat film waktu itu. Tahun 1980, sutradara Maman Firmansjah kembali mengangkat kisah platonik keluarga Han Liong Swie ke layar lebar. Kisah ini diberi judul Putri Giok. Perubahan tema baru terjadi pada tahun 1989, ketika sutradara Tjut Djalil memproduksi film Menumpas Petualang Cinta. Film yang diproduksi oleh PT Virgo Putra Film yang dimiliki seorang pengusaha keturunan Tionghoa, berkisah tentang penculikan seorang gadis Tionghoa, Lingling oleh Jaka, seorang pribumi. Dalam film ini, salah satu karakter utama Tionghoa, Tuan tanah Po Seng digambarkan sebagai tuan tanah jahat yang sewenang-wenang.

Sesudah Reformasi Dalam  Cau Bau Kan, film pertama yang mengangkat etnis Tionghoa ke layar pasca-1998, orang Tionghoa digambarkan sebagai kaum yang berperan dalam kemerdekaaan Indonesia. Penggarapan karakter dalam film ini tidak hitam putih. Film terakhir yang menggunakan karakter Tionghoa secara tipikal adalah film Berbagi Suami (2005) juga karya sutradara Nia Dinata. Representasi Tionghoa dalam film ini dimasukkan dalam subyek tema yang lebih besar, yakni poligami. Di sinilah, arti penting film Gie terlihat. Gie, seperti yang dikatakan oleh para pembuatnya, bukanlah film tentang seorang

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

pemuda Tionghoa. Ia lebih dilihat sebagai pemuda Indonesia yang benar-benar Indonesia, yang membela negaranya dan memiliki kontribusi besar bagi bangsanya, meski ia seorang Tionghoa.10 Kata “meski” sebenarnya membawa kita pada diskursus yang lebih panjang dan historis tentang representasi Tionghoa dalam media sinema, dan yang justru paling serius, posisi etnis Tionghoa dalam nation (bangsa) Indonesia. Dalam pembukaan film sendiri, Riri Riza memberi teks yang memberi penonton orientasi pada kondisi sosial-politik saat itu. Di bagian akhir teks, sang sutradara menulis, “Soe Hok Gie adalah pemuda keturunan Cina yang tumbuh dalam pergolakan ini dan merekamnya dalam catatan harian.” (garis bawah dari penulis) Mengapa Riri Riza harus menggunakan frase ‘pemuda keturunan Cina’? Mengapa tokoh lain, seperti Aristides Katoppo, tidak disebutkan sebagai ‘pemuda keturunan Flores’? Atau Jaka, sebagai ‘pemuda keturunan Sunda’? Apa arti Cina (Tionghoa) dan ke-Cina-an di sini? Pertanyaan besar tentang apa arti menjadi Cina tak bisa terjawab begitu saja dari film ini. Apa arti Cina/ Tionghoa dalam masyarakat Indonesia? Mengapa Cina/Tionghoa selalu berkonotasi tertentu? Dalam hampir seluruh elemen naratif film Gie, hanya ada beberapa adegan yang secara eksplisit merujuk posisi SHG sebagai keturunan Tionghoa. Adegan di sekitar menit ke-70 ketika SHG berdialog dengan kakaknya, Arif Budiman (Soe Hok Djin), misalnya. Scene ini menampilkan inisiatif kakaknya mengganti nama Tionghoanya dengan nama yang ‘lebih Indonesia’. Adegan ini merupakan satu-satunya adegan yang secara jelas merujuk identitas keluarga SHG sebagai keturunan Tionghoa. Sementara

10 Riri Riza, “Gie adalah Cermin”, dan Mira Lesmana, “Politik itu Keren!”, Majalah F, ed.1, Juli-Agustus 2005.

1223

1224

4. FILM DAN KITA

di sebagian besar film, ke-Cina-an (ke-Tionghoa-an) SHG ditampilkan secara visual dalam bentuk yang lebih implisit.

Gie: Representasi Positif? Berbeda dengan kondisi sosial politik Indonesia yang menganggap etnis Tionghoa sebagai etnis yang oportunis dan tidak memiliki afiliasi politik yang jelas,11 film Gie justru menampilkan sosok SHG yang sangat idealis dan memiliki garis / sikap politik sangat jelas. Dalam adegan pembuka, ketika SHG membaca buku biografi Soekarno, teman-temannya mengganggu pemudapemuda yang menulis kata ‘REVOLUSI’. Seluruh teman-teman SHG, bukan kebetulan, adalah beretnis Tionghoa. Hal ini dicirikan dengan gambaran anak-anak yang hampir semuanya berkulit putih dan bermata sipit. Adegan ini diambil dengan posisi SHG di pinggir bingkai ( frame). Dalam adegan-adegan di seluruh film, SHG sendiri jarang sekali diambil dalam posisi di tengah bingkai. Ia selalu ditempatkan di pinggir kiri atau kanan, dengan hampir seluruh pengadeganan menggunakan medium close-up. Pembuat film ini bisa dibilang sangat sedikit menampilkan close-up wajah SHG. Ada satu adegan di mana SHG berada di pusat bingkai, yakni ketika SHG berada di tengah-tengah para pendukung PKI (menit ke-25.34). Ketika itu, SHG menumpang sebuah truk dengan kanan dan kirinya adalah ‘orang-orang pribumi’ yang mengibarngibarkan bendera Palu Arit. Dan ia tampak tidak nyaman berada di sana.

11 Sebuah studi khusus tentang afiliasi politik etnis Tionghoa dapat dilihat dalam Mely G. Tan (ed.), Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa, YOI dan LIPI, 1979.

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

Meski sering ditempatkan di pinggir bingkai (frame), SHG selalu ditampilkan dalam konteks. Ia ditempatkan di tengah mise en scene dan tampak tidak menonjol / dominan. Dalam adeganadegan tanpa dialog, SHG biasanya digambarkan berjalan sendirian, tanpa interaksi dengan lingkungan. Dalam adeganadegan di mana ia satu-satunya figur yang muncul dalam mise en scene, ia selalu ditampilkan sebagai seorang pembicara, hampir sebagai pedagogis (pendidik) di mana orang-orang di sekitarnya terdiam dan mendengarkannya. Atau dalam banyak adegan yang juga muncul, SHG selalu diperlihatkan sedang membaca buku. Dalam adegan membaca buku ini, kehadiran orang lain dan konteks lain tidak lagi menjadi penting. Riri dan Mira memberi pernyataan bahwa SHG ingin pula ditampilkan sebagai sosok yang manusiawi, yang juga suka kumpul-kumpul dan bergaul. Tetapi dalam kondisi kumpulkumpul dan bersenang-senang dengan teman-temannya, SHG tetap kelihatan sendiri dan menyedihkan. Dalam konteks ini, sifat keras kepala dan idealisme SHG menjadi sangat menonjol. Pembuat film ini berhasil menampilkan sosok SHG yang tidak mau berkompromi dengan lingkungan. Pada beberapa syut awal, ketika anak-anak Tionghoa digambarkan sebagai pengganggu ‘perjuangan revolusi’ Indonesia, Riri Riza kemudian mencirikan SHG dengan aksesnya pada pengetahuan. Di sini, sosok SHG sebagai Tionghoa selalu ditekan sedemikian rupa untuk tidak menonjol. Tionghoa selalu ditempatkan dalam konteks mise en scene yang lebih luas. Berbeda dengan film  Menumpas Petualang Cinta, Tionghoa tidak ditampilkan secara ofensif sebagai jahat dan menindas. Meski demikian, Tionghoa masih dianggap ambigu dalam hal posisinya terhadap perjuangan dan ‘revolusi nasional’. Dalam beberapa hal, intelektual Tionghoa, seperti juga SHG ditampilkan sangat kritis terhadap kepemimpinan nasional yang sangat ‘Jawa’. Dalam tahap tertentu, kekritisan itu sampai pada

1225

1226

4. FILM DAN KITA

tingkat pengutukan. Tetapi seperti juga ayah Shanti, salah satu karakter dalam film ini, kritisisme dan juga politik adalah salah satu hal yang dihargai warga Tionghoa. Meski ketika diminta terjun langsung, mereka masih berpikir panjang karena risiko politis yang mesti ditanggungnya. Film ini tidak menonjolkan SHG dalam hal kehidupan pribadi dan ini berarti penghilangan identitas personal SHG sebagai Tionghoa. Film ini juga lebih memperlihatkan SHG sebagai seorang pemuda romantis yang putus asa. ‘Presentasi’ SHG lebih menonjolkan pada segi intelektualitas dan emosi personalnya, tanpa kedekatan subyek via close-up, seperti yang dikatakan Riri Riza, ditujukan untuk menampilkan SHG sebagai manusia biasa. Ia ingin menampilkan SHG secara lebih manusiawi,12 termasuk di dalamnya keluarga SHG. Keluarga SHG ditampilkan sebagai keluarga yang biasa saja, tidak menonjol. Representasi SHG yang demikian, mau tak mau, meluruhkan identitasnya sebagai Tionghoa. “Gie tidak pernah merasa dirinya berbeda dengan orang lain, “jelas Riri. Ungkapan Riri ini tak pelak bertepatan benar dengan sikap Soe Hok Gie menghadapi persoalan etnis Tionghoa dalam hubungannya dengan integrasi bangsa Indonesia. Peluruhan identitas Tionghoa SHG ini digunakan untuk menonjolkan sosoknya sebagai vokalis paling kritis terhadap kekuasaan Orde Lama, dan kemudian juga Orde Baru. Riri Riza justru membentuk dan mengembangkan karakter SHG dari ‘kuasa pembacaan’ yang dilakukannya. SHG ditampilkan sebagai kelas menengah intelektual, yang seperti kelas menengah Indonesia pada umumnya, relatif steril dan berjarak dengan ‘realitas sosial’. Selain banyaknya adegan SHG membaca buku, sudut pandang (point of view) SHG sangat mewakili semangat 12 “Mimpi Besar Riri Riza Atawa Politik Hati Nurani”, wawancara Majalah F dengan Riri Riza, ed. 01, Juli-Agustus 2005.

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

‘borjuis intelektual’. Adegan Gie membaca berbagai buku, mulai dari Biografi Soekarno, Mahatma Gandhi, Orang Asing-nya Albert Camus, atau  Senja di Jakarta-nya Mochtar Lubis merepresentasikan pengetahuan yang dimilikinya dan pengetahuan adalah kekuasaan.13 Tak heran, pengetahuan yang dimiliki kelas menengah, dalam film ini adalah obor dan sumber pengajaran menuju ‘jalan yang benar’. SHG, seperti juga kelas intelektual, diharapkan dan direpresentasikan untuk mengajar, untuk berpidato, untuk berbicara banyak dan menjadi agen bagi aspirasi golongan bawah. Penggambaran aktivitas SHG naik gunung juga merupakan elemen integral dalam pembentukan karakternya sebagai ‘borjuis intelektual’ (kelas menengah). Dilandasi oleh pemikiran romantik untuk bersahabat dengan alam, kegiatan seperti naik gunung merupakan impuls untuk mengontrol alam dengan ilmu pengetahuan dan rasionalitas. Semangat-semangat ini merupakan jalan menuju modernisasi, industrialisasi dan pula, kamp konsentrasi. Demokrasi, persamaan, dan liberalisme adalah ideide modernitas yang bukan secara kebetulan dibawa SHG. Di sinilah, apa yang disebut pengetahuan sebagai perspektif muncul ke permukaan. Dalam ide tentang borjuis intelektual ini pula, ide SHG tentang masyarakat yang jujur dan adil beririsan dengan ide Riri untuk menghadirkan ‘sosok manusia baru yang pejuang, cerdas, dan berani.” Menarik menyimak pernyataan Mira Lesmana tentang film Gie. Ia mengatakan bahwa ide untuk membuat film tentang SHG sudah datang sejak tahun 2000. Ide ini datang karena ia secara personal adalah pengagum SHG. Baginya, SHG

13 Michel Foucoult dalam The Archaeology of Knowledge (Pantheon, 1972) dan Power/ Knowledge (Pantheon, 1980) meletakkan landasan pada hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Tesis ini dirujuk dari Chris Barker, ibid.

1227

1228

4. FILM DAN KITA

adalah sosok pahlawan, “yang membela orang yang lemah.” Gie adalah sosok yang cerdas, romantis dan angkuh.14 Bagi Mira, membuat film tentang SHG penting karena sosok ini penting bagi masyarakat Indonesia, terutama generasi muda. SHG adalah sosok anak muda yang berani mengambil sikap. Menurutnya, SHG adalah saksi penting bagi sebuah sejarah yang sampai sekarang masih buram. Mira berharap, generasi muda yang menonton film ini melihat betapa pentingnya memiliki sikap dan kejujuran seperti SHG. “Setiap manusia punya hati nurani yang kadang-kadang dengan segala permasalahan hidup, ia tidak bicara lagi pada kita. Sosok Gie ibarat lonceng yang mengingatkan kita saat terjadi sesuatu yang salah. Lebih jauh lagi, ada elemen-elemen kemanusiaan yang mungkin kita lupakan dan ini bisa kita temukan dalam film Gie,” tutur Mira.

SHG dan Han: Inklusi dan Eksklusi Riri Riza menguatkan tesis ini dengan menyatakan bahwa kisah Soe Hok Gie adalah teropong terbaik untuk melihat Indonesia. Kisah hidup Gie adalah ramuan yang lebih dari cukup untuk membuat film yang menarik. Maka dibuatlah film berbudget 11 miliar, sebuah nilai paling besar bagi produksi film layar lebar di Indonesia, dengan durasi 147 menit. Penggambaran SHG yang demikian, bukan hanya menyajikan sebuah ‘kontestasi’ atas stereotip etnis yang selama ini dilekatkan pada kaum Tionghoa, tetapi juga meletakkan kuasa pengetahuan yang bahkan menjauhkan atau sebaliknya, menguatkan stereotip etnis ini. 14 Mira Lesmana, “Catatan Seorang Pengagum”, dalam Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Jakarta: LP3ES, 2005.

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

Selain karakter SHG, karakter beretnis Tionghoa yang menonjol dalam film ini adalah Han. Teman kecil SHG ini digambarkan berasal dari keluarga yang miskin. Bahkan bisa diduga, ia adalah anak angkat dari Tante Han. Dalam satu adegan awal, Tante Han bahkan berkata, “Emang anak gak tau diuntung lu! Udah bagus ada yang ngasih makan….”

Karakter Han ini menyajikan sebuah representasi yang lain atas etnis Tionghoa. Dalam sebuah pertemuan kembali di sekitar Kramat, kita bisa melihat bahwa Han mengambil jalan yang jauh berbeda dengan Gie. Bukannya kuliah seperti Gie, Han justru harus bekerja. Informasi ini terlihat dari setting dialog antara Gie dan Han di warung di dekat sebuah pabrik, tempat Han bekerja. Dari dialog yang dilakukan dua orang ini, ternyata Han sudah menjadi salah satu kader PKI. Seperti juga yang telah tampil di beberapa adegan di bagian depan, pendukungpendukung PKI selalu ditampilkan sebagai orang-orang ‘miskin’, baik miskin material maupun pengetahuan. Keikutsertaan orangorang ini dalam politik lebih didorong oleh impian dan harapan untuk memperbaiki hidup, bukan semangat idealis untuk mencapai ‘sesuatu’. Istilah-istilah borjuis bagi ‘sesuatu’ seperti demokrasi, keadilan sosial, kebenaran, dan lain-lain, bukanlah sesuatu yang penting bagi rakyat golongan bawah. Kutipan dialog SHG dan Han berikut memberikan argumentasi untuk pernyataan tadi. GIE Han, lu denger nggak sih apa yang gue omongin? Coba lu pikirin, kenapa Soekarno dan PKI saling mendukung? Ini permainan politik, Han, …permainan kekuasaan….

1229

1230

4. FILM DAN KITA

HAN Gie, dengar gue sebentar…Lu mestinya inget dan ngerti kenapa gue pengen hidup gue berbuah, kenapa gue pengen hidup layak. Dan seperti lu, gue juga merasa punya tugas untuk memastikan rakyat kita yang miskin bisa hidup layak. Ini akan tercapai Gie…

Tentu saja, Han tidak ditampilkan membaca buku-buku, atau berdiri di depan mimbar dan bicara tentang perjuangan kaum Komunis, tidak pula Han ditampilkan naik gunung atau punya waktu, dan uang banyak untuk bersenang-senang seperti SHG. Maka yang disebut Han sebagai “tugas untuk memastikan rakyat kita yang miskin bisa hidup layak” memiliki dimensi yang berbeda bagi SHG. Bagi Gie memastikan rakyat bisa hidup layak bisa dilakukan dengan protes terhadap DPR dan Presiden, membaca banyak buku, naik gunung, dan berdiskusi. Bagi Han, memastikan rakyat bisa hidup layak berarti menjadi anggota Partai Komunis Indonesia, menjadi bagian massa proletariat yang akan menghancurkan kaum kapitalis dan agen-agennya, termasuk di dalamnya kelas menengah, seperti SHG. Persoalan di sini, bukanlah persoalan bagaimana memastikan rakyat bisa hidup layak. Persoalannya adalah dua orang ini memiliki posisi politik yang berbeda karena mereka berasal dari kelas yang berbeda: kelas borjuis / kelas mengah dan golongan rakyat bawah. Rakyat bawah ditampilkan menjatuhkan pilihan-pilihannya tidak berdasarkan rasionalitas dan pengetahuan yang cukup (dengan membaca banyak buku), tapi mereka menjatuhkan pilihan pada satu ideologi tertentu karena harapan dan mimpimimpi untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Tak heran, proses ekslusi, baik Han sebagai figur komunis yang memang sudah liyan bagi Indonesia, sekaligus sebagai kelas bawah nampak dalam adegan penangkapan Han. Penguasa Orde Baru via militer, bekerja untuk melakukan eksklusi, bukan saja

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

Han sebagai komunis tapi juga Han sebagai kelas bawah. Dan Gie, sebagai kelas menengah, tidak bisa tidak selain diam dalam kebisuan. Adegan beberapa tahun kemudian, ketika Gie bertemu dengan Tante Tjin Han menyajikan sebuah gambaran dilematis tentang peran ‘kelas menengah intelektual’ seperti Gie terhadap peristiwa pembantaian besar-besaran terhadap kaum Komunis, termasuk Han. GIE Jadi ia tidak pernah kembali lagi sejak hari itu? TANTE HAN Dia diambil lewat tengah malam Gie… Dia suruh aku sembunyi di dalam lemari…..dst. (contd.) Tapi aku tidak tahu lagi Han ada di mana…. GIE melepaskan nafasnya.

Dalam sebuah wawancara, SHG melihat bahwa persoalan pembantaian orang-orang PKI ini dengan sendirinya akan menguatkan dominasi militer. Begini ucapnya: GIE …..Dominasi militer akan semakin kuat karena militer adalah pahlawan baru. Kini mereka berkuasa dan kekuasaan kembali menjadi setir… Saya juga melihat bahwa ormas Islam akan kembali muncul dan memegang kendali, sementara parlemen hari ini diisi oleh orang-orang yang membawa kepentingan politik penguasa. …

Dalam sebuah adegan, Gie menulis demikian,

1231

1232

4. FILM DAN KITA

Pembunuhan ini telah menekan korban sekurang-kurangnya delapan puluh ribu jiwa, tua, muda, laki, perempuan. Dan ini menurut pada perkiraan yang paling konservatif.

Ungkapan-ungkapan SHG ini terdengar sangat rasional, ilmiah, sistematis, tertata, tetapi kering emosi. Pembantaian ratusan ribu orang menjadi statistik yang menjadi landasan bagi analisis kekuatan politik di level nasional. Lalu kemana suara para korban, keluarga korban, dan orang-orang yang berada di golongan bawah negeri ini? Kemana tangisan, jeritan, dan penderitaan kaum-kaum tak bersalah yang dibantai karena pilihan ideologinya ini? Hal ini terlihat sejalan dengan salah satu tajuk di harian Mahasiswa Indonesia, corong perjuangan mahasiswa (yang adalah kelas menengah dan menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik) pada masa awal pembentukan Orde Baru, terlihat di adegan ketika Gie bertemu Soenarto. Begini tulisannya, CINA, PKI = MATI. Tajuk ini mewakili bukan saja eksklusi dan penolakan atas etnis yang dianggap lain, tapi juga stereotip yang dilekatkan pada etnis ini, yakni sebagai pendukung dan pemasok modal bagi operasional golongan komunis (PKI). Pada tahun-tahun itu (1965-1966) sentimen anti-Tionghoa memang meningkat pesat, bukan saja karena perang propaganda yang dilancarkan oleh Baperki vs. LPKB, tapi timbul kecurigaan bahwa orang-orang Tionghoa di Indonesia dan negara Tiongkok membantu PKI untuk melakukan kudeta.15

15 Charles A. Coppel, ibid.

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

Ambiguitas Maka, film Gie ini menggambarkan dua operasi representasi yang bertumpang-tindih, yakni representasi SHG sebagai kaum Tionghoa borjuis berhaluan progresif. Sementara di sisi lain, Han, kaum Tionghoa miskin, tanpa akses pengetahuan ditempatkan sebagai korban yang tak pernah terepresentasikan dalam media, Komunis, dan oleh karena itu sah untuk dihilangkan. Seperti juga Han, kaum kelas bawah ini segera keluar dari bingkai (frame). Ia menghilang dan tidak kelihatan (invisible) serta out-of-shot.16 Maka film ini menampilkan dua representasi yang saling berlawanan, yakni Tionghoa yang masuk wilayah pusat dan mereka yang berada di periferi. Dan menurut Stuart Hall, ambiguitas representasi ini akan selalu hadir dalam usaha untuk menampilkan ‘representasi positif’ suatu etnis/identitas. Orang yang dianggap berbeda dari mayoritas—‘mereka’, daripada ‘kita’—sering diekspos dalam representasi biner. Mereka kadang direpresentasikan saling berlawanan, terpolarisasi, berada dalam oposisi biner yang ekstrim—baik/buruk, beradab / primitif, jelek / sangat menarik, mengganggu karena ‘berbeda’ / menarik karena aneh dan eksotis. Dan representasi seperti ini kadang memang diperlukan dalam waktu yang bersamaan!17 Representasi yang bersifat ambigu ini akan bisa mendapatkan tempat yang lebih tidak rasis ketika ia ditempatkan dalam wacana tentang kuasa. SHG sebagai sosok Tionghoa idealis, seperti juga kelas menengah lainnya di Indonesia, tidak 16 Dikutip dari kuliah Jennifer Verrais, Postcolonial History, Unconscious Specters of Colonialism and the Archive Fever, IKJ, 18 Juni 2007. 17 Hall, S.(ed.), “The Spectacle of the Other” dalam Stuart Hall (ed.), Representations, SAGE, 1997. “People who are in any way significantly different from the majority —‘them’ rather than ‘us’—are frequently exposed to this binary form of representation. They seem to be represented through sharply opposed, polarized, binary extremes –good/bad, civilized / primitive, ugly / excessively attractive, repelling-becausedifferent / compelling-because-strange-and-exotic. And they are often required to be both things at the same time!”

1233

1234

4. FILM DAN KITA

bisa berbuat apa-apa ketika ‘kelas bawah’ mengalami penindasan. Kelas menengah intelektual, yakni mahasiswa yang merupakan kekuatan baru pasca-perang kemerdekaan, baik di tahun 1966 maupun di tahun 1998, sama-sama tidak berdaya. Mereka memang menginisiasi perubahan, tapi kemudian, sejarah berulang. Kelas ini terserap menjadi kolaborator kaum penindas. Etnis Tionghoa, sebagai korban ‘abadi’ dalam gejolakgejolak sosial di Indonesia, tidak memiliki pelindung dari persoalan ini, tidak pula kelas menengah intelektual yang selama ini mempromosikan persamaan, anti-diskriminasi, demokrasi dan keadilan sosial. Dalam konteks ini, nyata terlihat bahwa Tionghoa lagi-lagi menempati posisi sebagai periferi, di mana tempatnya di dalam sejarah dan media coba dikeluarkan (ekslusi) dari apa yang disebut ‘normal’ dan mayoritas.

Asmayani Kusrini

Yang Tergeser Ke Luar Layar

“Apa? Kamu tidak suka film Juno?”

S

eruan itu datang serempak. Lalu saya pun mendapati tatapan mata membelalak seperti anak panah siap ditembak—dengan saya sebagai sasaran. Tibatiba saja saya merasa sudah duduk di kursi tertuduh dengan tuduhan: tidak punya selera humor, tidak tahu film bagus, sudah terlalu tua untuk mengerti, dan sederet tuduhan pidana bidang film lainnya. Saya hanya bisa nyengir sambil menawarkan gula-gula ke teman-teman saya, yang seperti kena serangan jantung. Toh itu tidak bisa mengalihkan perhatian mereka ke topik utama hari itu. Satu-satunya yang mendukung dan mengerti kenapa saya tidak suka dengan film Juno hanya Nathalia. Teman asal Rusia yang sebal dengan nama aslinya, Nathasa, itu yang paling bersemangat membela. “Bener Rin. Kan saya bilang juga apa,  Sex and The City jauh lebih bagus !” Gantian saya yang melongo.

1236

4. FILM DAN KITA

Sore itu saya berhasil menghindari tuntutan mereka untuk memberi penjelasan lebih lanjut. Saya memang termasuk orang yang malas memberi penjelasan. Tapi tak urung, protes mereka terngiang-ngiang terus dibenak saya. Kenapa saya tidak suka dengan film itu?. Gara-gara pertanyaan itu, saya terpaksa menonton Juno lagi. Saya ingin memastikan bahwa mungkin memang ada yang terlewat dari pengamatan saya.

Apa sebetulnya yang saya cari dari film Juno? Saya setuju, Juno adalah film yang unik. Ia membuat masalah yang berat itu—kehamilan remaja atau kehamilan tak diinginkan— jadi terasa enteng. Setidaknya, saya menemukan beberapa hal penting yang ingin disampaikan oleh Juno. Pertama: jangan takut untuk hamil, semua akan baik-baik saja. Kedua: adopsi lebih baik daripada aborsi. Saya setuju, karena saya anti-aborsi. Saya juga setuju, Juno adalah film yang diperlukan saat ini. Di Amerika, data menunjukkan setiap tahun setidaknya ada kurang lebih satu juta remaja belia hamil. Hampir setengah dari jumlah itu memilih aborsi sebagai jalan keluar. Selebihnya memilih melanjutkan kehamilan untuk kemudian menyerahkan anaknya untuk diadopsi, dan sedikit dari mereka memberanikan diri untuk membesarkan sendiri. Karena itu, Juno adalah sebuah film yang hadir disaat yang tepat. Apalagi Juno dikemas tidak dalam bentuk ‘khotbah’. Saya kagum dengan Juno yang bersikap sewajarnya ketika tahu ia hamil. Juno tidak histeris, apalagi menangis. Ia hanya terkejut, dan mungkin takjub. Kalaupun ia cemas atau takut, jelas Juno lihai menyembunyikan. Dan saya kagum dengan orang tua Juno ketika mendengar anaknya hamil. Mereka menerima juga dengan sewajarnya. Bagi saya, dijaman ini ketika aib menjadi kata usang, begitulah

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

seharusnya orang tua bersikap. Tidak perlu ada umpatan apalagi kutukan. Kehamilan itu saja sudah cukup mengguncang bagi Juno. Tapi justru sikap ‘wajar’ inilah yang begitu lihai digarap agar penonton yakin bahwa aborsi itu pilihan salah, dan adopsi adalah jalan yang terbaik. Di sini saya mulai ragu dengan premis yang dijanjikan  Juno. Tapi saya berusaha mencari kemungkinan Juno  menawarkan sesuatu yang lebih ‘dalam’, bahwa seperti aborsi, adopsi juga masih bisa dipertanyakan dalam konteks moral. Benarkah adopsi adalah jalan terbaik bagi semua pihak?

Dunia ideal Cody Saya kemudian teringat, bahwa apa yang saya tonton adalah dunia ideal ciptaan seorang Diablo Cody, penulis skenario sekaligus pencipta karakater-karakter dalam film Juno. Entah kenapa, saya tak sanggup menahan godaan untuk memplesetkan semua karakter di dalam film Juno menjadi Diablo Cody. Perhatikan semua dialog one-liner—biasanya kalimat yang diucapkan dengan cepat dalam satu tarikan nafas—ala sitcom itu membuat semua karakter dalam film Juno seperti dari satu karakter dengan dandanan berbeda-beda. Dan karena itu, mereka menanggapi kehamilan Juno juga dengan reaksi dan ekspresi yang nyaris sama. Juno pun bisa ‘melucu’ dengan mulus nyaris tanpa konflik. Ketimbang mikir yang berat-berat, Juno disibukkan dengan tugas mencari orang tua lewat iklan yang mirip biro jodoh biar ada kesan setidaknya ia bertanggung jawab mencari orang tua asuh yang cool buat si jabang bayi. Hanya dengan membayangkan Diablo Cody sebagai Juno, Leah, ayah, ibu, penjaga klinik aborsi, bahkan Paulie lah saya bisa tertawa. Bagi saya, satu-satunya

1237

1238

4. FILM DAN KITA

karakter yang bisa diciptakan Cody tanpa Cody hanyalah pasangan Mark dan Vanessa. Tapi saya curiga, karakter Mark dan Vanessa ada sekadar untuk ‘melindungi’ Juno agar tidak dihadapkan pada persoalanpersoalan yang terlalu rumit. Mereka disediakan sebagai jawaban dengan sedikit konflik. Diablo Cody memang sedang ingin menanggapi masalah kehamilan remaja yang bikin pusing masyarakat Amerika dengan menghadirkan Juno sebagai sosok ideal. Cody jelas berhasil menciptakan Juno sebagai ‘pahlawan’ baru. Maka saya tidak heran ketika minggu lalu saya membaca di koran De Morgen tentang sekelompok remaja 17-an yang janjian hamil dengan pacar masing-masing. “Its cool, you know !” kata mereka rame-rame. Mereka bahkan akan membuka butik khusus untuk remaja hamil yang tetap ingin tampil funky.

Lantas, apa yang saya cari dalam film Juno? Sebetulnya saya sedang mencari sebentuk rasa prihatin. Bukan terhadap kehamilan itu, tapi terhadap si bayi yang akan lahir. Saya kecewa. Diablo Cody sudah berhasil menciptakan dunia ideal buat Juno dengan segala pernak perniknya. Tapi ia dengan enteng menghalau atau menghindari pembicaraan tentang konsekuensi pilihan Juno. Kalaupun ada, keprihatinan itu sekadar numpang lewat dan terlupakan. Cody membuat mahluk hidup yang akan lahir itu dibicarakan seperti benda seni yang disiapkan dan dirawat dengan baik agar bisa dilelang dengan harga tinggi. Juno lebih khawatir terhadap nasibnya daripada bayinya ketika bertanya : bagaimanakah orang bisa bersama selamanya, atau paling tidak, beberapa tahun sajalah?. Daripada menyodori Juno dengan

GIE: REPRESENTASI BERWAJAH GANDA

pertanyaan tentang nasib sang bayi, Cody malah sibuk menyuapi mulut Juno dengan kalimat-kalimat one-liner yang catchy. Salah satu yang berhasil diciptakan Cody dilontarkan oleh Juno: “You should’ve gone to China, you know, ‘cause I hear they give away babies like free iPods.” Juno yang imut itu kemudian lincah berkotbah soal bayi-bayi yang dibuang di Cina tanpa sadar, bahwa ia juga sedang melakukan hal yang sama. Tidak perlu jauh-jauh ke Cina. Juno toh, sadar atau tidak sadar, sedang menciptakan trend free iPods juga. Saya mau tidak mau jadi ingat Dora, salah seorang teman keponakan saya. Dora gadis kecil yang murung, saya menjulukinya begitu. Dengan mata sipit dan rambut hitam-lurusjabrik, Dora jelas merasa berbeda, bukan hanya dengan temanteman sekolahnya, tapi juga dengan ayah dan ibunya yang berambut pirang bermata biru. Dora adalah free iPods yang diceritakan Juno itu. Tak ada yang bisa membuatnya tertawa. Bahkan Vivian, psikiater anak yang menangani Dora, juga sadar tidak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kerusakan permanen dalam jiwa Dora. Vivian tentu saja mengerti betul kondisi Dora. Ia juga punya luka permanen yang sama. Vivian adalah anak ‘Juno’. Ibunya masih 16 tahun ketika berlibur ke Indonesia. Pulang ke Belgia, ia kedapatan hamil. Seperti Juno, ibu Vivian menyerahkan Vivian ke keluarga yang mampu, setelah itu ia menghilang dari kehidupan Vivian. Vivian kemudian menjadi psikiater anak yang terobsesi untuk bisa menyembuhkan ‘luka jiwa’ anak-anak terbuang. “Saya memang tidak kekurangan apa-apa. Tapi tetap saja seperti ada lubang besar disini,” kata Vivian sambil menepuknepuk dadanya ketika ia bercerita kepada saya tentang niatnya untuk menelusuri jejak sang ayah yang kebetulan orang Indonesia. Dan jika ia beruntung, bisa menemukan jejak sang ibu. Sepanjang 35 tahun hidupnya, Vivian terus bergulat dengan ‘lubang besar’ itu.

1239

1240

4. FILM DAN KITA

Adakah Juno pernah berpikir soal ini? Benarkah keputusan untuk memutuskan semua hubungan dengan si bayi adalah yang terbaik? Terbaik untuk siapa? Keprihatinan terhadap si bayi inilah yang digeser keluar layar di film Juno. Mereka sibuk membicarakan kehamilan itu—karena takut dituduh membunuh si bayi yang katanya sudah punya kuku—tapi lupa terhadap ‘perasaan’ si bayi. Padahal kesempatan untuk membuatnya jadi bahan pikiran terpampang lebar tanpa harus jadi berat. Film Juno malah berusaha ngeyel dengan menampilkan Juno yang imut berusia 16 tahun dengan wajah tak berdosa sehingga penonton seakan tak tega untuk membebaninya dengan pertanyaan moral. Penonton pun dibuat maklum saat Juno akhirnya lega—sepertinya aborsi maupun adopsi tidak lagi penting—dan duduk bermain gitar dengan Paulie. Mungkin karena Juno tidak pernah bertemu Dora. Tidak pernah bertemu Vivian.

Eric Sasono

Trend (Tak Terlalu) Baru: Menggemblok Monyet

1

P

ernah punya teman yang senang menggemblok monyet di punggungnya ketika jalan-jalan ke keramaian? Teman eksentrik—jika tak dianggap gila—macam itu tentu tak banyak, tapi pasti ada. Juno McGuff (Ellen Page) adalah salah seorang penggemblok monyet semacam itu. Wajahnya imut dengan hidung bulat dan mata berbinar-binar. Umurnya 16 tahun, tapi mulutnya tajam dan ia memelihara sikap bahwa ia sudah tahu isi dunia. Termasuk ketika ia bereksperimen soal seks dengan teman satu sekolahnya, Paulie Bleeker (Michael Sera). Juno hamil. Ia tak berani aborsi. ‘Bayi dalam kandunganmu sudah punya kuku’, kata teman sekelasnya yang berdemo anti aborsi di depan Woman Now! Maka ketika di ruang tunggu klinik Juno melihat orang-orang mengetukkan kuku di meja dan menggaruk leher mereka dengan kuku, ia pun mengurungkan niatnya. Bagaimana kalau bayi di kandungannya itu benar-benar

1242

4. FILM DAN KITA

sudah punya kuku? Beralihlah Juno ke pilihan berikut: mencari orang tua yang akan mengadopsi bayinya itu. Lewat iklan di tabloid gratisan, Juno berhasil menemukan pasangan Vanessa dan Mark Loring yang ngebet punya anak. Pasangan ini ideal buat Juno. Mereka tinggal di kawasan suburban yang asri dengan rumah yang cocok jadi katalog furnitur. Karir Vanessa tampak baik sekali dengan senyum mengembang seperti dewi kahyangan. Sementara Mark yang memelihara impian jadi musisi rock, harus puas jadi pembuat  jingle  iklan. Lumayan, satu jingle bisa untuk bikin dapur, kata Mark. Pasangan ini cool, pikir Juno. Juno pun merasa nyaman dengan pasangan kaya itu. Ia ingin adopsi ‘cara lama’, mirip dengan burung bangau yang meninggalkan bayi di dalam keranjang di depan pintu rumah. Tapi kedatangan Juno seperti mengingatkan Mark Loring terhadap cita-citanya yang ia masukkan kardus ketika menikah dengan Vanessa. Pernikahan pasangan itu jadi gonjang-ganjing. Namun itu adalah sub plot. Karena Juno tetap punya masalahnya sendiri. Masalah itu bukan menggemblok monyet di punggung melainkan menggendong-gendong janin di dalam perut dan tetap melanjutkan sekolah. Aborsi bisa jadi lebih cocok buat generasi nenek Juno. Buat generasi i-pod dan penonton youtube seperti Juno, mungkin lebih asik dan meneruskan kehamilan sambil tetap pedekate ke Pauliee Bleeker. Kehamilan yang tak diharapkan macam yang terjadi pada Juno bukan hal istimewa. Setiap remaja di belahan dunia manapun punya soal semacam ini, tetapi membicarakannya seperti penulis skenario Diablo Cody membicarakan soal ini di Juno memang sesuatu yang istimewa. Alih-alih mengolok-olok atau pun menghakimi Juno, Cody dengan santai membiarkan Juno apa adanya. Juno juga tidak jadi superhero yang mengatasi tekanan sekelilingnya ataupun menjadi simbol bagi kritik sosial semisal Ruth di Citizen Ruth (Alexander Payne, 1999). Juno tetap

TREND (TAK TERLALU) BARU: MENGGEMBLOK MONYET

seorang remaja berselera musik unik dan pencemburu tapi gengsi untuk menyatakan suka lebih dulu. Maka Juno, seperti kata teman saya Hikmat Darmawan, jadi sebuah film remaja dengan sikap yang dewasa. Film ini menyelesaikan masalah baik-baik dengan proporsi yang juga baik.  Resensi Hikmat Darmawan  itu sudah cukup untuk menjelaskan kenapa film ini memang sebaik itu.

2 Juno yang diedarkan oleh Fox Searchlight, anak perusahaan 20th Century Fox yang bertugas mengakuisisi film-film yang diproduksi oleh studio-studio kecil. Film-film semacam Juno banyak lahir di festival-festival di Amerika yang memberi kesempatan kepada perusahaan kecil atau pembuat film baru untuk mencoba peruntungan mereka. Beberapa di antara festival itu, seperti Independent Spirit Award atau Tribeca Film Festival dan yang paling terkenal, Sundance, melahirkan generasi baru pembuat film Amerika yang banyak di antaranya pindah ke studio besar dan pelan-pelan menjadi raksasa sendiri. Sebut saja misalnya Steven Soderbergh dan Quentin Tarantino serta Kevin Smith yang kini sudah menjadi nama-nama dengan karya yang dianggap patut diperhitungkan. Beberapa festival itu kemudian dianggap menjadi terlalu komersial dan kehilangan semangat kebebasannya. Evolusi membesarnya festival sebagai sebuah pasar film yang lain – ketimbang semangat untuk berkarya bebas – dicatat dengan baik oleh Peter Biskind dalam bukunya Low and Dirty Pictures yang menggunakan figur pendiri perusahaan Miramax, Harvey dan Bob Weinsten. Miramax sukses membuat ‘film independen’ menjadi sebuah komoditi yang punya pendekatan promosional serupa dengan film-film studio besar. Praktek yang digunakan

1243

1244

4. FILM DAN KITA

oleh Weinsten bersaudara itu akhirnya menyulut perang antar studio untuk berlomba-lomba menanam modal dalam perusahaan scouting macam Fox Searchlight (milik Fox) atau Paramount Vantage (milik Paramount) atau Sony Classic Pictures (milik Sony). Miramax kemudian dibeli oleh Disney, salah satu dari studio besar. Harvey dan Bob tersingkir dan mendirikan Weinsten Company. Namun dari tangan merekalah potensi film independen Amerika terpapar paparan dan sambutan yang luas. Pasar juga terbuka luas dan tema dieksplorasi – hingga jenuh. Sampai akhirnya film-film independen juga diragukan lagi ke”independen”nya lantaran banyak hal, semisal memakai Al Pacino atau Julia Roberts sebagai bintang. Kejenuhan itu hingga membuat beberapa kritikus skeptis. Sekalipun demikian, beberapa film mencatat sukses yang cukup baik dalam dua tahun terakhir, baik secara komersial maupun dalam pandangan kritikus. Tahun lalu,  Little Miss Sunshine mendapat sambutan meriah di berbagai festival, selain pasar domestik. Tahun ini, Juno berhasil memelihara semacam semangat bahwa film independen Amerika belum jenuh, belum mati dan masih punya sesuatu yang bisa ditawarkan kepada penonton.

3 Tawaran film independen Amerika pada dasarnya adalah tawaran serupa dengan film Hollywood pada umumnya. Pada elemen naratifnya (yang biasa kita sebuh sebagai cerita) film-film Hollywood punya beberapa ciri yang jelas. Pertama, karakter yang bermotivasi. Karakter ada dalam film untuk alasan tertentu, dan kerap motivasi tokoh utama itulah yang menggerakkan seluruh cerita.

TREND (TAK TERLALU) BARU: MENGGEMBLOK MONYET

Kedua, kausalitas. Dengan adanya motivasi sebagai penggerak, maka sebab akibat harus ada dalam film. Satu peristiwa menyebabkan yang lain, satu adegan menyebabkan adegan berikut. Ketiga, tutupan (closure). Film harus diakhir, tak boleh dibiarkan terbuka atau mengalir seperti sungai tak berujung. Ciri yang kini seakan menjadi satu-satunya standar penilaian terhadap elemen naratif film, juga dimiliki oleh film-film independen Amerika.Elemen naratif mereka didirikan di atas fondasi yang serupa dengan film-film studio besar. Motivasi karakter, kausalitas, dan tutupan selalu ada dalam film-film itu. Namun film-film independen tidak tinggal diam dalam elemen kekisahan demikian. Di atas fondasi itu, film-film independen Amerika mendirikan struktur dan bangunan kekisahan yang berbeda untuk menghasilkan representasi Amerika yang berbeda dengan representasi yang dilakukan oleh film-film studio besar. Film-film independen Amerika menghasilkan gambaran mengenai Amerika yang jauh dari gambaran sempurna, ketiadaan American Dreams, keruntuhan nilai dan makna keluarga, dan nyaris segala jenis antitesis dari apa yang digambarkan oleh studio-studio besar. Berikut adalah beberapa ciri tambahan yang didirikan oleh film-film independen Amerika di atas fondasi elemen kekisahan neo-klasik Hollywood yang dianggap sudah baku itu. Pertama, lingkungan sosial yang dipandang sinis. Nilai-nilai Amerika dan segala tatanan sosial yang menopangnya adalah sebuah hipokrisi besar dan palsu. Tokoh-tokoh yang dianggap role model dalam representasi kehidupan sehari-hari dan media sebenarnya adalah orang-orang yang memanipulasi masyarakat demi kepentingan sendiri. Masyarakat dipotret secara karikatural dimana peran-peran para demagog palsu ditonjolkan dan critical mass sama sekali tak ada. Film semacam Citizen Ruth (Alexander

1245

1246

4. FILM DAN KITA

Payne),  Notorious Betty Page  (Marry Harron) misalnya, merupakan film-film dengan model seperti ini. Kedua, karakterisasi yang jauh dari karakter-karakter baku (stock character).Juno termasuk karakter yang jauh dari karakter baku. Film remaja umumnya menampilkan karakter remaja yang dimabuk asmara, kekanakan, tak bertanggungjawab dan segala stereotip lainnya. Juno memelencengkan itu dengan karakter Juno McGuff yang ngoceh seperti senapan mesin komentar ini itu yang membuat kuping orang dewasa panas. Ia juga tak risih “menggemblok monyet” di punggungnya. Contoh film-film independen lain yang punya karakter dan karakterisasi yang jauh dari karakter baku misalnya, Henry Fools (Hal Hartley) atau rombongan keluarga gila di Little Miss Sunshine (Jonathan Dayton dan Valerie Faris) atau  About Schmidt  (Alexander Payne) dan Napoleon Dynamite (Jared Hess). Dari karakter yang berada di luar stock ini, imaji mengenai karakter ideal Amerika seperti yang dibawa oleh peran-peran yang biasanya dimainkan oleh Charlton Heston, Kevin Costner hingga Tom Cruise, dibuat seperti sebuah iklan mobil mewah mengkilap yang tidak realistis. Keseharian Amerika bukanlah  alphamale, kulit putih tampan penuh kepercayaan diri dengan tubuh tegap yang menyelamatkan dunia dari ancaman terorisme atau ancaman terorisme, melainkan, orang-orang dengan predikat kelainan sosial atau punya masalah Ketiga, lokus konflik yang kecil semisal keluarga dan pertemanan. Drama dalam film independen kerap dibangun dari konflik yang bersifat sehari-hari. Pertengkaran orangtua dengan anak atau konflik antar teman menjadi inti bangunan masalah. Lewat konflik dalam lokus yang kecil ini, film-film independen lebih bisa mengungkapkan persoalan-persoalan dasar yang ada pada karakter manusia. Lihat misalnya film seperti Raising Victor Vargas (Peter Solllet), Junebug (Phill Morrison), The Squid and the

TREND (TAK TERLALU) BARU: MENGGEMBLOK MONYET

Whale  (Noah Baumbach) yang isinya drama keluarga dan  Sideways  (Alexander Payne) atau  sex, lies and videotapes (Steven Soderbergh) atau 25 th Hour (Spike Lee) untuk konflik-konflik pertemanan. Lewat lokus yang kecil ini, Amerika digambarkan penuh persoalan domestik dan peran-peran global mereka selalu jadi lelucon. Lewat ketidakmampuan orang-orang dalam film ini menyelesaikan persoalan-persoalan kecil mereka di ruman dan dengan teman-teman terdekat, gambaran mengenai menyelamatkan dunia dari ancaman terorisme jadi sebuah klise yang menggelikan. Keempat, kelokan plot dan kecohan (twist) yang tajam untuk menyajikan humor-humor gelap. Pulp Fiction dari Quentin Tarantino adalah contoh ikonik untuk soal ini, tapi film yang lebih kecil seperti  Go  (Doug Lyman),  Usual Suspect  (Bryan Singer), Se7en (David Fincher) dan sebagainya menunjukkan pula kecohan tajam itu. Film-film ber-genre kriminal atau mengisahkan kehidupan petite criminals atau tokoh-tokoh neonoir, biasanya digunakan juga ditujukan mengusik kemapanan dan kepercayaan terhadap sistem penegakan hukum. Amerika yang selalu membanggakan diri dengan prosedur dan sistem yang sudah pasti berjalan (dan akan menghasilkan warga negara yang baik) selalu tampak bopeng.

4 Tema-tema yang mengenai Amerika yang (diam-diam) uber alles, baik dalam sistem, manusia dan sikap toleransi, dikacaukan oleh film-film independen dan kecil ini. Mereka mengacak-acak idealisasi dan idolisasi yang dengan penuh semangat digelorakan dalam film-film mereka. Gambaran-gambaran minor tentang

1247

1248

4. FILM DAN KITA

manusia yang nyentrik di tengah kenyataan yang getir ditampilkan untuk menyatakan bahwa Amerika bukanlah mimpi indah yang terwujud nyata. Penjelasan ini bisa jadi semacam tipikalisasi dari film independen yang ragamnya lebih daripada sekadar kategorisasi di sini. Kategorisasi inipun sebenarnya mengandung masalah sendiri dengan adanya penyederhanaan dan idealisasi di sana sini. Bagaimanapun film independen Amerika juga dipenuhi oleh karya-karya epigon dari film studio besar mereka. Namun anak seperti Juno yang melanjutkan trend ini seperti sedang menghidupkan lagi gambaran Amerika yang lebih mau rendah hati dan melihat diri sendiri dengan tidak jumawa. Itu diwakili oleh sepasang anak muda bernyanyi di tangga teras rumah dengan gitar bolong tentang diri mereka sendiri.

Hikmat Darmawan

Mengapa Film Horor (1)

Industri Bulu Kuduk

A

nda berada di sebuah ruang gelap. Di hadapan Anda, tampak seorang perempuan muda sedang menyusuri kamar-kamar kosong dan gelap. Wajahnya tampak ketakutan. Ia merasa ada yang mengikuti, atau ada yang tersembunyi di rumah itu. Perempuan muda itu menengok ke kanan, ke kiri, dengan cemas. Anda sendiri tahu pasti, sangat pasti, bahwa sesuatu akan terjadi. Perempuan itu tiba-tiba tercekat, ia menyadari sesuatu. Dan tiba-tiba....AAARGGH!! Anda tentu akrab dengan suasana di atas. Ya, setelah adegan mengagetkan di atas lewat (barangkali si perempuan muda itu selamat, mungkin juga mengalami nasib mengerikan), Anda akan mesem-mesem dan menengok ke kanan dan ke kiri Anda, sesama penonton, biasanya teman-teman Anda (menonton film macam begini paling enak ramai-ramai dengan teman, bukan?).

1250

4. FILM DAN KITA

Dengan berbagai variasi, kira-kira begitulah suasana menonton film horor. Kok, mau saja, ya, kita membayar untuk ditakuti? Film horor punya sejarah panjang. Sejak awal sejarah film di akhir abad ke-19, film horor telah ada, dan menempati posisi penting. Sejak penemuan awal teknologi dan teknik film yang mendasar, lanjut lewat rute ekspresionisme Jerman, lalu berkembang di berbagai domain industri film di seluruh dunia, hingga kita  trend  mutakhir film-film horor Asia, film horor berkembang terus. Film horor juga tumbuh jadi bisnis yang penting. Saat ini saja, yakni pada 2-3 tahun terakhir, industri film Indonesia seperti didominasi oleh film horor. Film-film terlaris di Indonesia sejak 2001 hingga kini, banyak ditempati oleh film-film horor – di samping film-film cinta remaja setelah sukses besar Ada Apa Dengan Cinta? (2001, Rudi Soedjarwo). Film Jelangkung (2001, Jose Poernomo & Rizal Mantovani), tercatat meraup penonton 748.003 orang di Jabotabek saja, sejak Oktober 2001 hingga Januari 2002. Terakhir, dalam tulisan “Selamat Datang di Republik Hantu (Edna C. Pattisina)” di Kompas, 25 Maret 2007, film ini bahkan disebut mencapai rekor 1,5 juta penonton. Sukses ini agak mengejutkan, pada mulanya. Para pembuatnya tadinya tak berharap banyak. Mereka bahkan hanya punya ekspektasi diputar di Cineplex 21 paling 1-2 minggu saja. Lantas sesuatu yang aneh terjadi: berminggu-minggu, film ini tetap mengalami antrean panjang. Satu bulan, masih diantre. Dua bulan. Tiga bulan lebih, film ini bercokol di bioskop-bioskop papan atas Jabotabek! Praktis, pada 2007-2008, film horor telah jadi andalan industri film nasional. Raam Punjabi, Madhu Mahtani, dan Shanker RS, tiga dari sekian produser yang lincah memanfaatkan peluang pasar film horor ini, mengaku bahwa film-film horornya

MENGAPA FILM HOROR (1)

bisa sampai menembus lebih dari sejuta penonton (Kompas, 25 Maret 2007). Film horor jadi tambang emas produser tahun ini. Belajar dari angka-angka kemilau film-film horor pascaJelangkung, siapa tak tergiur? Tusuk Jelangkung didaku merengkuh 1,3 juta penonton, sama dengan Kuntilanak. Apalagi biaya produksi film horor lokal relatif lebih murah daripada film-film drama, misalnya. Ini karena film-film horor bisa diproduksi secara digital murni, dan tak memerlukan sistem bintang (bisa pakai bintang-bintang yang kurang dikenal, sehingga lebih murah). Rata-rata, biaya film horor adalah 2-2,5 milyar rupiah. Pendapatan sebuah film horor lokal yang bisa menembus angka sejuta penonton, menurut hitungan Kompas, kira-kira bisa mencapai hampir 8 milyar. Sebetulnya, ada persamaan antara  Ada Apa Dengan Cinta? dan Jelangkung: keduanya ditujukan untuk pasar remaja! Istilah pasarnya, “teen flick”. Film-film begini, mengasumsikan bahwa penonton terbanyak di bioskop-bioskop yang ada dalam mal adalah para remaja/ABG (Anak Baru Gede). Pasar ini menguntungkan: mereka konsumtif, dan selalu menonton ramairamai. Untuk melayani pasar ini, dirancanglah serangkaian pakem: tokoh-tokohnya harus remaja, cerita harus sederhana tapi mengalir cepat, soundtrack yang dinamis, dan sebagainya. Ada pun kebangkitan teen-horror-flick pada 1990-an sampai 2000-an ini, bisa dirujuk pada keberhasilan komersial Scream (1996, Wes Craven). Film ini berhasil menyegarkan kembali film-film horor/ slasher yang sudah ‘basi’ karena terlalu banyak dibuat, dengan rumus-rumus yang sudah gampang ditebak, sejak marak pada 1980-an. Ada kepekaan posmodernisme dalam Scream: semangat bermain-main, ironis, sekaligus kaya referensi (tepatnya, selfreferential). Jangan kira ini hanya terjadi di Indonesia saja. Sejak sukses Ringu (1997, Hideo Nakata), dunia seperti dilanda demam J-Horror, hingga kini. Sampai-sampai Hollywood begitu

1251

1252

4. FILM DAN KITA

bergairah membuat ulang banyak film-film horor dari Jepang, dirancang sebagai film-film box offices dengan bintang-bintang populer. Bahkan, tak hanya Jepang, belahan Asia Timur lainnya pun mengalami “kebangkitan film horor”, yang memengaruhi lanskap industri film dunia: Thailand, Korea, dan Hongkong. Di Amerika dan Inggris pun, film horor seolah mengalami kebangkitan ulang pada periode 2000-an. Bukan hanya remake film-film horor Jepang, remake film-film horor Hollywood klasik pun tak kurang bergairahnya. Misalnya, Dawn of The Deadnya George P. Romero, dibuat ulang oleh Zack Snyder, dan menjadi salah satu bagian kebangkitan para zombie di layar perak Hollywood. Bukan hanya demam remake, beberapa sutradara generasi baru di Hollywood agaknya tertarik mengeksplorasi film horor sebagai wilayah kreatif mereka. Demikian juga di Australia dan Inggris –namun kedua domain film dunia itu relatif lekat dengan industri Hollywood juga, jadi dianggap satu bagian. Ada sutradara muda macam Eli Roth, yang sukses dengan horor indie-nya, Cabin Fever, dan menggarap Hostel yang sensasional karena sangat sadis —dan laris! Barangkali, para sutradara itu terinspirasi oleh sukses The Sixth Sense (1999, M. Night Shyamalan) yang meraup penjualan sebesar 293,5 juta dollar di Amerika saja. Film berbujet kecil ini bukan hanya sukses secara komersial, tapi dianggap memuaskan secara intelektual. Film ini seperti membuka kembali kemungkinan eksploratif/artistik dalam film horor, seperti leluhur mereka—film-film horor di awal abad ke-20 yang bermutu artistik tinggi, dan diakui hingga kini. Atau, mungkin juga, para sutradara itu sekadar mau  having fun  saja, bersenang-senang dengan medium asyik bernama film ini. Setiap masa punya horornya sendiri. Setiap masyarakat, setiap budaya, punya definisi sendiri tentang apa yang mereka

MENGAPA FILM HOROR (1)

anggap sebagai menyeramkan. Maka demikianlah, setiap masa melahirkan kisah-kisah horornya sendiri. Begitulah pula mengapa film horor dari masa ke masa, atau dari satu tempat ke tempat lain, punya kadar keseraman yang berbeda-beda. Kadang, ada film-film yang menyentuh syaraf ngeri seolah secara universal—melintas waktu dan tempat (budaya). Elemenelemen tertentu dalam film, apalagi yang dihidupkan dalam bioskop, dapat dieksploitasi untuk menghasilkan efek menakutkan pada penonton secara umum. Misalnya, suara. Musik bernada rendah, seringkali dari alat-alat gesek atau organ, lazimnya memberi suasana  spooky  atau angker. Jika tiba-tiba musik itu menjadi bising yang mengejutkan, atau meninggi nada dan suaranya, maka rasa takut pada penonton pun akan terpancing. Ingat, misalnya, musik yang bagai menjerit-jerit pada adegan shower dalam film Psycho (Sutradara: Alfred Hitchcock). Efek suara yang mengejutkan memang teknik termudah memancing rasa takut. Bukan hanya musik, sumber-sumber bunyi lain pun bisa dieksploitasi. Misalnya, suara guntur, jeritan, raungan, dan sebagainya. Apalagi jika dijalin dengan unsur visual seperti setting waktu (misalnya, malam—apalagi malam ketika hujan lebat) dan tempat (seperti gedung tua, atau kuburan). Tokoh-tokoh tertentu, atau penggambaran tokoh-tokoh tersebut, pun bisa dengan mudah memancing rasa takut: para “monster”, misalnya – yang biasanya digambarkan bersosok aneh dan cacat. Ada monster hasil penyimpangan alam, seperti mutan, “alien”, atau tubuh-tubuh “abnormal”. Ada monster yang mengatasi alam (supernatural), seperti vampir atau drakula, atau setan dari neraka. Ada juga manusia bersifat “monster”, karena intensinya yang merusak atau membawa maut bagi orang lain. Walau unsur-unsur filmis tersebut bisa kita harapkan sebagai hal yang menakutkan secara universal, tapi ternyata belum tentu juga. Tampilan monster, misalnya, belum tentu menakutkan

1253

1254

4. FILM DAN KITA

di suatu masyarakat. Bahkan tampilan monster dalam film di sebuah masyarakat pada era tertentu pun belum tentu akan menakutkan di era lain pada masyarakat yang sama. Masyarakat di berbagai belahan dunia memang berbeda satu sama lain. Apa yang menakutkan di Jakarta belum tentu membuat takut di New Delhi atau Ontario, Kanada. Apakah masyarakat pinggiran Ontario akan ketakutan dengan isu “Kolor Ijo”? Atau “Sundel Bolong”? Apakah kelelawar dan burung hantu akan menakuti warga Bekasi? Lagipula, masyarakat berkembang semakin kompleks. Pada 1950-an, film-film B yang mengeksploitasi monster-monster dengan efek spesial murahan bisa cukup menakuti penonton mereka ketika itu. Jika dilihat oleh penonton masa kini, kebanyakan film-film “menakutkan” itu terasa culun dan bloon saja. Sesuatu yang sangat mengejutkan pada saat pertama muncul, akan jadi rumus membosankan setelah beberapa dekade. Dengan kata lain, film horor terkait erat dengan keadaan masyarakat. Tentu, semua film (bahkan semua produk budaya/ seni), dengan taraf yang beragam, terikat dengan keadaan masyarakat mereka. Namun, film horor memiliki ikatan yang unik: mau tak mau, film horor bergerak di wilayah gelap sebuah masyarakat. Film horor hendak menakuti penontonnya, dan untuk itu ia meraih, menggapai-gapai, daerah gelap itu: mimpimimpi buruk, prasangka-prasangka irasional, kecemasankecemasan yang tumbuh dalam suatu masyarakat. Seperti kata Greg McLean, ketika ditanya soal adeganadegan penyiksaan yang amat realistis dalam filmnya, Wolf Creek, yang menyebabkan sebagian penonton (perempuan) berhamburan keluar bioskop, “...aku percaya, adalah tugas seorang seniman ...untuk ‘tak memalingkan wajah’ dari dunia kita dan dari pengalaman manusia: baik momen-momen tergelap kita maupun momen paling membahagiakan kita.” (Empire, November 2005)

MENGAPA FILM HOROR (1)

Namun, dalam posisi tersebut, seniman pembuat film horor berjalan di sebuah titian serambut dibelah tujuh: kapankah sebuah pernyataan artistik terjatuh pada eksploitasi murahan? Sebelum kita beranjak lebih jauh pada pertanyaan itu, ayo kita dalami dulu seluk-beluk pengertian dan sejarah film horor.

Film Horor, Apa Sih? Film horor adalah salah satu genre utama dalam film. Genre adalah sekumpulan pakem dalam unsur-unsur naratif. Dalam film, unsur-unsur naratif yang terpola itu tentu mencakup unsur-unsur visual. Genre film horor kurang lebih adalah sekumpulan film yang dimaksudkan untuk memancing atau menerbitkan rasa takut pada penonton. Menurut Wikipedia, film horor adalah: …are designed to elicit fright, fear, terror, disgust or horror from viewers. In horror film plots, evil forces, events, or characters, sometimes of supernatural origin, intrude into the everyday world. (...dirancang untuk menerbitkan rasa ngeri, takut, teror, jijik, atau horor dari para penontonnya. Dalam plot-plot film horor, berbagai kekuatan, kejadian, atau karakter jahat, terkadang semua itu berasal dari dunia supernatural, memasuki dunia keseharian kita.)

Dalam pengertian ini, film horor memusatkan diri pada tema kejahatan (evil) dalam berbagai ragam bentuknya. Rasa takut, teror, jijik (sebuah rasa yang menarik kita bahas nanti, khususnya dalam membahas film-film horor Indonesia), atau horor adalah efek yang diinginkan.

1255

1256

4. FILM DAN KITA

“Evil” atau kejahatan dalam pengertian Barat (EropaAmerika) sangat dipengaruhi oleh mitologi iblis dan kejahatan dalam tradisi Yudeo-Kristiani. Pertama-tama, tumpang-tindih antara pengertian “kejahatan” dan “iblis” dalam bahasa Inggris. Memang, ada kata “devil”, yang lebih jelas menunjuk pada setan/ iblis dalam Bahasa Indonesia. Kedua, dalam tradisi Yudeo-Kristiani, “iblis” dan wadyabalanya (Satan, Lucifer, Beelzebub, segala jenis setan dari zaman antik, hingga ke setan-setan lokal di pelbagai daerah di Eropa yang di-‘angkat’ juga dalam tradisi Gereja lokal), sebagai perwujudan fisik dari kejahatan, biasanya mengambil bentuk makhluk buruk rupa yang menakutkan (monster).

Beda “Teror” Dan “Horor” Yang pertama kali membedakan antara “teror” dan “horor” dalam literatur modern adalah Ann Radcliffe. Ia mengangkat isu ini dalam sebuah esai tentang topik supernatural dalam puisi, pada majalah The New Monthly Magazine (1826). Dalam esai berbentuk percakapan imajiner itu, Radcliffe—seorang penulis horor “gothic” —menyatakan: Terror and Horror are so far opposite, that the first expands the soul and awakens the faculties to a high degree of life; the other contracts, freezes and nearly annihilates them. (Teror dan horor amatlah bertentangan. Teror meregangkan jiwa dan membangunkan unsur-unsurnya hingga ke tingkat hidup yang tinggi; sedang horor mencekam, membekukan, bahkan nyaris memusnahkan jiwa dan segenap unsur-unsurnya.) — dikutip dari Wikipedia

MENGAPA FILM HOROR (1)

Davendra P. Varma, dalam  The Gothic Flame  (1966), yang mengangkat pembedaan dari Radcliff itu, lebih jauh menerangkan bahwa beda teror dan horor adalah seperti beda antara terciumnya bau kematian, dengan tersandung sesosok mayat. Bau kematian adalah sesuatu yang sumir, kabur, memicu imajinasi. Mayat, apalagi yang termutilasi, misalnya, adalah sesuatu yang gamblang, wujud kematian paling wadag. Teror bergerak di wilayah ketakjelasan itu. Horor bergerak di wilayah gamblang: segala hal yang mengancam itu diwujudkan, wadag, langsung kita hadapi. Keduanya bisa saling menyeberang. Sebuah kejadian supernatural, misalnya penampakan hantu dalam Sixth Sense (M. Night Saymalan), bisa mengandung teror sekaligus horor. Kadang satu unsur lebih dominan dari yang lain. Iblis dalam  Rosemary’s Baby  (Roman Polansky), misalnya, hanya muncul dalam adegan seperti mimpi dan sepanjang film hanya muncul secara sugestif lewat percakapan, sindiran, dan bekasbekas kehadiran yang tak bisa dipastikan. Toh kita merasakan kengerian yang dialami Rosemary. Sebaliknya, iblis(-iblis) di Evil Dead III: Army of Darkness (Sam Raimy), tampil di sekujur film dengan wajah-wajah buruk mereka. Dalam praktik, penyebutan “film teror” kurang populer. Lebih sering, unsur-unsur teror dianggap sebagai bagian dari “film horor”. Ada pengertian lain, tentu. Menurut sebuah artikel di filmsite.org, film horor: …are unsettling films designed to frighten and panic, cause dread and alarm, and to invoke our hidden worst fears, often in a terrifying, shocking finale, while captivating and entertaining us at the same time in a cathartic experience.

1257

1258

4. FILM DAN KITA

(…adalah film-film ‘mengganggu’ yang dirancang untuk menakuti atau membuat panik, menimbulkan rasa ngeri dan waspada, dan untuk memancing berbagai ketakutan terburuk kita yang tersembunyi. Sering, pancingan itu ada dalam sebuah akhir kisah yang mengerikan dan membuat shock, sambil sekaligus menghibur kita dengan memberikan sebuah pengalaman katartik.)

Perhatikan bahwa dalam pengertian ini, film horor disebut sebagai film yang “mengganggu”. Film horor bukanlah untuk memberi kenyamanan, keindahan, atau suasana gayeng. Ia dirancang untuk menakuti, bahkan membikin panik. Tersembunyi di balik kata “rancang” itu adalah sebuah desain: struktur, pola, bahkan pakem. Ada aturan-aturan khusus yang membuat sebuah film menjadi film horor. Dengan kata lain, film horor punya estetikanya sendiri. Tentu, kadang terjadi pelanggaran atau penyangkalan terhadap aturan-aturan itu. Pelanggaran dan penyangkalan ini bisa jadi membuka jalan bagi “estetika (film) horor” baru. Paling tidak, jadi jalan alternatif dalam estetika film horor. Misalnya, Ringu atau The Ring karya Hideo Nakata. Banyak pakem horor yang dilanggarnya: hantu biasanya keluar malam, eh, di film itu, siang pun keluar. Seperti juga hantu-hantu dalam  The Others  (2001, Alejandro Amenábar), yang leluasa bergerak di siang hari, di dalam mau pun luar gedung. Atau film Martin karya George P. Romero, yang bercerita tentang vampir tanpa sedikit pun bekas supernatural dari mitologi vampir (Gereja? Tak takut! Bawang putih? Jangan bodoh! Taring? Yang diperlukan hanyalah silet, kok!) Lucunya, segala rancangan untuk membuat ngeri dan syok itu, sekaligus juga agar kita terhibur. Definisi di atas cukup cerdas dengan mengkhususkan jenis hiburan yang ada dalam film horor:

MENGAPA FILM HOROR (1)

pengalaman katartik, atau pelepasan/pelampiasan. Kita akan bahas aspek ini dalam bab lain. Film horor juga bisa dibedakan dari jenis-jenis film lainnya. Misalnya, dengan film thriller. Jika film horor dirancang untuk menakuti penonton, maka film  thriller  dirancang untuk menerbitkan rasa tegang atau cemas pada penonton. Sementara film misteri, dirancang untuk menuntun penonton meniti gerak maju dari hal-hal yang tak diketahui (unknown) menuju yang diketahui (known) melalui penemuan dan pemecahan petunjuk-petunjuk yang tersebar di sepanjang cerita/ film. Dalam praktik, ketiganya saling bercampur. Sebuah film horor bisa mengandung unsur misteri dan biasa mengandung unsur thriller (ketegangan). Tapi film thriller dan misteri belum tentu mengandung unsur horor. (Bersambung)

1259

Hikmat Darmawan

Mengapa Film Horor (2)

Tiga Jenis Film Horor Menurut Derry

D

alam perkembangannya, ada beberapa jenis film horor. Menurut Wikipedia, pada masa awal perkembangannya di Barat, film-film horor mengambil ilham dari tokoh-tokoh dalam sastra klasik Barat seperti Dracula, Wolfman, Frankenstein, Dr. Jekyll & Mr. Hyde, The Mummy, The Phantom of The Opera, dan lain sebagainya. Setelah Perang Dunia II, atau pada pertengahan hingga akhir abad ke-20, berkembang tiga jenis (subgenre) film horor yang dominan di Amerika:  horror-of-personality,  horror-ofArmageddon, dan horror-of-the-demonic (Charles Derry, Dark Dreams: A Psychological History of the Modern Horror Film, 1977). Horror-of-personality adalah jenis (film) horor yang tak lagi menokohkan karakter-karakter mitis sebagai sumber horornya. Dalam horor jenis ini, objek horor bukan lagi sosok berciri monster, tapi manusia biasa yang kelihatan normal dan biasanya baru pada bagian akhir cerita tampak tabiatnya yang mengerikan.

MENGAPA FILM HOROR (2)

Secara tipikal, film-film jenis ini memberikan tekanan pada tematema psikologi aliran Freud dan seks. Bagi banyak pengamat, karya seminal untuk jenis film horor ini adalah Psycho (1960, Alfred Hitchcock). Sebetulnya, M dari Fritz Lang jelas mengandung unsur horor dalam manusia biasa. Film yang beredar pada 1931 ini menemukan sosok berpribadi monster pada diri Hans, yang gemar membunuh anak. Ketika akhirnya kota Berlin yang jadi latar cerita dilanda teror oleh perbuatan M, para polisi dan kelompok penjahat sama-sama mencari sang monster. Ketika Hans terpojok oleh massa, penonton dipaksa berada dalam posisi tak nyaman: sang monster jadi makhluk yang terpojok, tersiksa, terancam, terteror. Ketaknyamanan posisi moral inilah yang membuat M menjadi sebuah karya masterpiece. Hans memang monster, tapi apakah massa penyerangnya juga monster? Setelah M, karya cult classic yang juga menampilkan sosok psikopat/manusia berjiwa monster secara kuat adalah Night of The Hunter (1955, sutradara: Charles Laughton) Robert Mitchum berperan sebagai Harry Powell, psikopat yang meneror seorang perempuan, Willa Harper (Shelley Winters). Jari-jari Mitchum yang bertato huruf-huruf membentuk kata “h-a-t-e” dan “l-o-v-e” menjadi salah satu imaji paling terkenal dalam sejarah film noir. Namun, memang baru setelah  Psycho, sebuah blangko (template) psikopat yang utuh tersedia bagi film-film sesudahnya. Lebih dari sekadar menyediakan model psikopat yang memikat dalam dunia film, Psycho juga menyediakan embrio model filmfilm slasher lewat adegan pembunuhan di shower-nya (adegan pembunuhan paling masyhur dalam sejarah film). Film  slasher  adalah subgenre film horor yang mengeksploitasi adegan kekerasan eksplisit yang lazimnya melibatkan senjata tajam atau alat potong, seperti: pisau jagal, kampak, gergaji mesin, clurit, dan sebagainya. Hasilnya adalah

1261

1262

4. FILM DAN KITA

mayat-mayat termutilasi. Ciri lain, tentu saja, cipratan darah – banyak, banyak darah. Jenis kekerasan yang ditampilkan juga khas: sangat eksesif. Satu lagi cirinya, kekerasan eksesif itu “sebaiknya” ditampilkan secara jelas, telanjang, terang-terangan. Film  slasher  akan kita bahas di bab lain, karena ia menyempal dari film  Psycho: tokoh-tokoh psikopat filmfilm  slasher  belum tentu manusia biasa, bisa jadi makhlukmakhluk supernatural. Misalnya, Freddy Krueger (Nightmare On The Elm Street), Jason Voorhees (Seri Friday the 13th—walau secara teknis, pembunuh dalam film pertama ini adalah manusia biasa), atau Mike Myers (Halloween). Yang menarik, “pembunuh” pada Final Destination—apakah malaikat maut, atau benda-benda yang nyatanya membunuh para tokoh itu? Horror-of-the-Armageddon  adalah jenis film horor yang memetik arketip kisah/mitologi biblikal tentang kiamat. Namun, dalam film, arketip ini diambil melewati rute perkembangan filmfilm sci-fi pada 1950-an. Salah satu pelopor subgenre ini, menurut Derry, adalah The Birds (1963, Alfred Hitchcock). Lebih rinci, Derry menyebutkan: …in this subgenre, the world is constantly being threatened with extinction, usually by nonhuman, unindividualized creatures such as birds, bats, bees, frogs, snakes, rabbits, ants, or plants. Although the nucleus of the horror-of-Armageddon subgenre is distinct, the outer reaches of the subgenre are downright fuzzy; indeed, the horror of Armageddon includes in its periphery films as disparate as Yog, Monster from Outer Space (Inoshirô Honda, Japan, 1970), The War Game (Peter Watkins, Britain, 1965), and They Shoot Horses, Don’t They? (Sydney Pollack, USA, 1969). (...dalam subgenre ini, dunia selalu terancam hancur atau musnah, biasanya oleh makhluk-makhluk nonmanusia dan tak bersifat individual, seperti burung-burung, kelelawar, lebah, katak, ular, kelinci, semut, atau tumbuhan. Walau ciri-ciri

MENGAPA FILM HOROR (2)

subgenre ini amat khas, cakupan yang luas dari subgenre ini bisa sangat membingungkan. Memang, subgenre ini mencakup film-film yang sangat beragam macam Yog, Monster from Outer Space (Inoshirô Honda, 1970), The War Game (Peter Watkins, 1965), dan They Shoot Horses, Don’t They? (Sydney Pollack, 1969).

Derry sendiri menggunakan kata “Armageddon” (tempat pertempuran terakhir kekuatan baik vs. kekuatan jahat di akhir zaman dalam mitos Injili) bukan karena konotasi religiusnya. Ia menggunakan kata itu karena “film-film ini selalu berurusan dengan sejenis pertempuran yang jelas-jelas bersifat mutlak, mitis, dan berdampak kejiwaan/ruhaniah yang besar.” Walau cakupannya luas, film berjenis  horror-of-theArmageddon  bisa dibedakan dari film-film bencana seperti Armageddon (1998, Michael Bay), Twister (1996, Jan de Bont) atau Dante’s Peak (1997, Roger Donaldson). Film-film bencana itu tak bernuansa apokaliptik. Tema utama film-film bencana adalah kemampuan manusia untuk bertahan hidup (survival) atau menghadapi bencana. Menurut Derry, salah satu contoh terbaik film horor jenis ini adalah film-film zombie yang dipopulerkan oleh George P. Romero. Film-film ini, ungkap Derry, secara tipikal dicirikan oleh kebangkitan mayat-mayat hidup di seluruh dunia, yang mengincar orang-orang yang masih hidup untuk mereka makan secara kanibalistik. Rasa ngeri yang ditimbulkan oleh film-film horor jenis ini adalah munculnya rasa ketakberdayaan atas kehancuran mondial, bahkan kadang kehancuran kosmis; kengerian atas bencana apokaliptik, kengerian akan kehampaan karena segala kemajuan peradaban umat manusia akan musnah dan sia-sia. Terakhir, Horror-of-the-Demonic, jelas yang paling dikenal dalam khasanah horor. Derry mengungkap bahwa film horor jenis ini,

1263

1264

4. FILM DAN KITA

….suggested that the world was horrible because evil forces existed that were constantly undermining the quality of existence. The evil forces could remain mere spiritual presences, as in Don’t Look Now (Nicolas Roeg, 1973), or they could take the guise of witches, demons, or devils... (…Menawarkan tema tentang dunia yang buruk karena kuasa Setan ada di dunia, dan selalu mengancam kehidupan mat manusia. Kuasa Setan/Kejahatan itu bisa hanya berupa penampakan spiritual belaka, seperti dalam Don’t Look Now (1973, Nicolas Roeg), atau dapat juga mengambil bentuk penyihir, demit, atau setan....)

Ada empat tema, menurut Derry, yang biasa ada dalam film-film horor sejenis ini. Keempat tema ini bisa serentak ada pada sebuah film, bisa juga kombinasi beberapa saja: r r r r

Gagasan balas dendam Perusakan tokoh tak berdosa Fenomena Mistik, khususnya kerasukan Tekanan pada simbologi Kristiani (ingat, bahwa kajian ini adalah tentang film Amerika, yang didominasi oleh tradisi Yudeo-Kristiani).

Perkembangan Berbagai Jenis Film Horor di Indonesia Pembagian jenis horor lain juga bisa kita lihat dalam Wicaksono Adi & Nurruddin Asyhadie,  “Paramarupa Film Horor Kita” (Majalah F, no. 3, Februari-Maret 2006). Menurut tulisan ini—yang sebetulnya membahas perkembangan film horor di Indonesia, ada ketegangan film horor berjenis  demonic horror (horor dengan tokoh-tokoh setanwi, atau supernatural)

MENGAPA FILM HOROR (2)

dan pyschological horror (horor yang bersumber dari persoalan kejiwaan). Menurut tulisan ini, jika kita menerima bahwa film horor pertama Indonesia adalah Tengkorak Hidoep (1941, Tan Tjoei Hock), maka sejarah film horor Indonesia diawali oleh film  demonic horror. Sementara, jika kita mengacu pada film Lisa (1971, M. Shariefuddin) sebagai film horor Indonesia yang pertama (seperti disebutkan pula dalam buku Katalog Film Indonesia 1926-2005), maka sejarah film horor Indonesia justru dimulai dari psychological horror. Pertanyaannya, mengapa ada dua versi tentang “film horor Indonesia yang pertama”, dengan jarak waktu masing-masing versi sepanjang 30 tahun? Barangkali soalnya terletak pada definisi film horor yang dipakai. Rupanya, bagi Wicaksono Adi & Nurruddin Asyhadie, film yang melibatkan unsur supernatural seperti  Tengkorak Hidoep dengan sendirinya adalah film horor. Padahal, bisa jadi sebuah film melibatkan alam gaib tanpa menjadi film horor. Misalnya, jika unsur supernatural (termasuk hantu) itu disajikan sebagian dari sebuah cerita fantasi atau cerita dongeng –seperti yang agaknya terjadi pada Tengkorak Hidoep. Contoh lain, betapa film hantu tak mesti film horor, adalah Ghost (1990, sutradara: Jerry Zucker) yang sama sekali bukan film horor, malah film romantis yang mencuatkan model “rambut Demi Moore”. Atau  Casper  (1995, Brad Sliberling) dan Ghost Busters (1984, Ivan Reitman) yang lebih merupakan komedi. Jika kita kembali ke pengertian paling dasarnya, bahwa film horor adalah “film yang dirancang untuk menerbitkan rasa takut”, maka film  Lisa  lebih memenuhi syarat sebagai film horor Indonesia pertama. Film ini menyajikan narasi kengerian yang timbul dari rasa bersalah tokoh Ibu tiri (Rahayu Effendi) karena memerintahkan orang untuk membunuh Lisa (Lenny Marlina).

1265

1266

4. FILM DAN KITA

Pada tahun yang sama, terbit pula film  Beranak Dalam Kubur (Sutradara: Awaludin & Ali Shahab, dengan skenario dari Sjuman Djaja, berdasar cerita dari komik Ganes TH,  Tangis Dalam Kabut). Menurut catatan Wicaksono Adi & Nurruddin Asyhadie, film ini lebih laris dibanding Lisa. Pada 1972, muncul lagi film horor berjenis psychological horror, berjudul Pemburu Mayat  (Sutradara: Kurnaen Suhardiman), tentang seorang psikopat pengidap nekrofilia (gemar bersetubuh dengan mayat). Lagi-lagi tak terlalu berhasil di pasar, dibanding  demonic horror  berjudul  Ratu Ular  (sutradara: Lilik Sudjio, skenario: Motinggo Boesje, Sofyan Sharna). Wicaksono Adi & Nurruddin Asyhadie menyimpulkan bahwa pada akhirnya, “pertarungan” antara dua jenis film horor itu di Indonesia dimenangi oleh demonic horror. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka juga mencatat bahwa muncul banyak subgenre horor yang menarik dalam kancah film nasional. Ada  horor-komedi  yang ditandai oleh film Mayat Cemburu (1973, sutradara: Awaludin, skenario: Teguh Srimulat). Juga biographic horror (film Kisah Nyata Dukun AS (Misteri Kebun Tebu), 1997, sutradara: Eddie SS.) dan  sociohistorical horror (seperti film Misteri Banyuwangi (Dukun Santet), 1998, sutradara: Walmer Sihotang). Namun, identifikasi kedua jenis film horor terakhir masihlah sumir. Sebab, misalnya, film macam Kisah Nyata Dukun AS  bisa kita kategorikan secara lebih masuk akal ke dalam subgenre  horror-of-personality, di mana rasa takut penonton ditimbulkan oleh penggambaran sosok Dukun AS yang gemar membunuh demi ilmu hitamnya. Yang menarik, Wicaksono Adi & Nurruddin Asyhadie mencatat adanya pergeseran kecenderungan dari  narrative horror dalam film-film horor Indonesia lazimnya, menjadi visual horror.

MENGAPA FILM HOROR (2)

Film berjenis narrative horror merancang terbitnya rasa takut penonton berdasarkan unsur-unsur pembangun cerita – seperti tokoh (kuntilanak, sundelbolong, leak, siluman buaya, psikopat, dll.), kontruksi plot, atau premis cerita (misalnya, bagaimana kalau perempuan korban perkosaan yang telah mati lalu gentayangan dan membunuhi para pemerkosanya). Sementara film berjenis  visual horror  bertumpu pada elemen-elemen visual dalam menakuti penontonnya. Sebetulnya, pengertian ini pun kurang memuaskan. Bagaimana pun, tokoh horor paling culun pun, macam kuntilanak atau sundel bolong versi Suzanna, mengandalkan unsur visual seperti kostum dan make up untuk menerbitkan rasa takut penonton. Adi & Asyhadie menunjuk Jelangkung (2001, sutradara: Rizal Mantovani & Jose Purnomo) sebagai penanda awal film horor “jenis baru” ini. Kedua penulis cukup jeli untuk mengenali bahwa film ini dipengaruhi oleh generasi film horor baru di Amerika, yang ditandai oleh  Scream  (1996, sutradara: Wes Craven), dan di Jepang—yang biasa kita sebut sebagai fenomena J-Horror—yang ditandai oleh sukses internasional Ringu (1997, sutradara: Hideo Nakata). Referensi Jelangkung memang bukan lagi film-film horor Indonesia lama. Baik referensi visual, maupun pakem-pakem naratifnya. Film-film horor Indonesia sebelumnya mengambil sumber cerita dari  folklore  dengan  setting  “kampung” (sang kuntilanak, misalnya, masih harus  nangkring  di atas pohon rimbun, dan bukan ikut masuk lift). Sementara film-film horor generasi/aliran  Jelangkung  mengambil sumber cerita dari khasanah urban legend di kota. Perbedaan penting lainnya, Jelangkung adalah film generasi pasca-Garin Nugroho. Sutradara Garin Nugroho pernah mencanang gagasan sinematisnya sebagai “mementingkan estetika gambar”. Artinya, tekanan estetis film-film Garin adalah pada sinematografinya. Garin terkenal sebagai sutradara yang piawai

1267

1268

4. FILM DAN KITA

mencipta gambar-gambar yang kuat secara fotografis. Garin juga terkenal dengan film-filmnya yang membingungkan dari segi cerita. Ada kesan, memang, Garin adalah sutradara yang abai cerita. Generasi pembuat film sesudah Garin sangat fasih bicara dan menggunakan teknologi film, khususnya sinematografi, mutakhir, termasuk teknologi film digital. Mereka fasih memanfaatkan “rasio gambar”, “CGI”, “low key photography”, “musik ambiance”, dan sebagainya. Mereka juga fasih mengutip berbagai acuan visual dari film-film dunia (tak hanya dari mainstream Hollywood saja). Dan, seperti Garin, kebanyakan mereka sering bermasalah dalam hal membangun cerita (premis, penokohan, struktur plot, logika-dalaman, dialog, dsb.) Dari generasi inilah, lahir film-film horor lokal “gaya baru”. Mereka, di luar beberapa perkecualian, cenderung membuat filmfilm horor yang menomorsatukan pencapaian gambar, dan menomorduakan elemen lain, seperti cerita. Namun, dalam hal film horor lokal, keliru jika ‘penyakit’ abai cerita hanya menjangkiti kaum sineas muda kita: dari dulu pun, film horor lokal banyak dijangkiti ‘penyakit’ ini! (Bersambung)

Eric Sasono

The Glare is Back!

Y

ou’ve seen that glare in Stanley Kubrick’s films. The main characters usually squint into the screen with contempt. Even the supercomputer HAL 9000 in 2001: A Space Odyssey gave such impression! The last time you saw this glare was when a rich doctor named Bill Harford (Tom Cruise) was glaring at the screen expressing his sexual desire to an anonymous person in a masked-orgy. It was in 1999 Eyes Wide Shut, and Kubrick died shortly after finishing the filming . Stanley Kubrick is known for mastering to portray elegantly and beautifully how humanity falls. Kubrick did this through references on classical music (2001), painting (Barry Lyndon), stage performance (Clockwork), technology (Clockwork and Dr. Strangelove), crossed with cinematic possibilities, including characterization. Characters in his films—Alexander DeLarge (Clockwork), Barry Lyndon (Barry Lyndon), Jack Torrance (The Shining), Gomer Pyle (Full Metal Jacket), and Bill Harford (Eyes

1270

4. FILM DAN KITA

Wide Shut)—made that glaring expression, which could also be seen in many of Kubrick’s pose in his portraits. Genius and insanity sometimes mixed up within the creator and his or her creations. Now look at this clown in purple garb and painted face in Christopher Nolan’s The Dark Knight. He walks in dancing, his metal stick screeches as he drags it on the floor, similar to when Alex DeLarge from Kubrick’s  A Clockwork Orange  enters luxurious mansion to perform his vicious deeds. “Beautiful” was the adjective used to describe what Alex did with his stick in Clockwork. But with similar kind of worship toward violence, this painted-face clown has outdated Alex. The sex element in this clown’s deed is not a physical one that could be depicted frontally on screen, but an almost irresistible temptation in Jungian mode of thinking challenging established mind and humanely order. He believes that deep down within human’s existence lies chaos; and human being has a very strong desire to go with that. He paints his face like a Native American in his war-mask. He does it to match his nemesis, a man wearing black mask and bat-shape garb made of Kevlar, titanium, and other expensive materials. Only by wearing freakish outfit could this unnamed person dubbed as The Joker match the psychopathic ‘batman’ who goes out of his mansion every night dropping mob boss from four stories building and doing other extreme violence to scare criminals. This obsessive Batman has been using psychological warfare to his enemies, and this could only be matched with the same apparatus. And the unfunny Joker-character knows his tools pretty much. Even a pencil could be used in an extremely out-ofthe-box fashion. We used to call people painting their faces and turning them as war-mask savage or barbarian, yet the term must be reviewed seeing how The Joker’s self-awareness apparently belongs to postmodernist mode of thinking. He is not only calling himself ‘ahead

THE GLARE IS BACK!

the curve’ instead of a monster to describe self-awareness of his monstrosity. Self-awareness being the landmark of modern human mind is mocked by his seriousness when saying ‘why so serious?’ He even refers jokingly to one of the most quoted lines in cinema history, Jerry Maguire’s ‘you complete me,’ to describe his position as the film’s antagonist. The war then became so severe. Batmans has cornered the criminals and they pushed back through Joker. Is Joker a supervillain? Well, the question should be: is Batman a superhero? Violence bears violence and Joker has made clear his message that he is only a consequence, not the cause of this war. He experiments in every level of human consciousness, positioning himself as a broker between a human being and his or her worst nightmare, which is to be the executor in an assassination or an almost-random massacre. Then we come to the list of victims in this war. The first and the foremost is sanity. Batman, The Dark Knight, is not alone in Gotham City knighthood war against crime. There are knightwith-a-badge named James Gordon and The White Knight Harvey Dent on his side . Batman and his fellow knights believe they are on the sane side of the war since they are for the law and order. But they’re wrong. Batman is the  prima-causa  of this insanity when he pushes the band of criminals to their fear with his crime-fighting obsession. Then the determinedHarvey fuels up the feud, making apoint-of-no-return for the crime to fight back with desperation. The Joker intervenes, and the war is no longer one of crime versus law and order. The unstoppable force versus immovable object has caused damageto the surrounding, and Gotham’s White Knight—who represents order and sanity—is the first to fall. Harvey Dent turns into Two-Face, half-monster half-pain. A man with an obsession of his kind just needs a little push, and the clown dressed in a nurse uniform armed with remote controlled-

1271

1272

4. FILM DAN KITA

bomb has effectively turned chaos into a new order. Harvey gives in to The Joker’s rule of the game and leaves for his own vengeance scheme. There is only The Dark Knight left with his knight-with-abadge sidekick to give Gotham protection and desperation at the same time. The film believes there’s no such thing as heroism. Nolan uses this superhero material as anti-heroism statement and that is the amazing thing of it. Its comic fans might not be surprised by this. Such bold choice to present Batman story to adult readers has been started with band of mavericks and geniuses such as Grant Morrison, Frank Miller and Allan Moore and the likes. The question for the comic book fans is what it would be like if Jonathan Nolan were given a chance to write the comic book. Now Christopher Nolan has brought back the glare to the screen, and surely he couldn’t do it without the assistance of the late Heath Ledger. However, Ledger wouldn’t have any chance without Nolan providing the stage for him. And this stage has the complexity multiple to what Kubrick has done. The grey area in war between good and evil is dominating the landscape. This is The Joker’s playground and nothing would fit better for Ledger to steal from what Malcolm MacDowell has done as Alex in Clockwork. The shadowy Gotham City in The Dark Knight is even a better social-landscape than the dystopian London in  Clockwork, especially with a range of insane individual characters in stock, including the protagonist and his sidekicks. Definitely with the new genius glaring from the screen, The Dark Knight has given one authentic cinematic experience after a long absence. It was a great one with bitter aftertaste about humanity. — The Dark Knight (2008) Director: Christopher Nolan / Cast: Christian Bale, Heath Ledger, Gary Oldman, Maggie Gylenhall, Michael Caine, Morgan Freeman.

Asmayani Kusrini

Joker: Return of The Devil

You may not believe me!

N

evertheless, I know it’s him. I’ve heard about him as long as I could remember. A story about him floats in the air, since long before I was born. He has evolved through time, spread by word of mouth, and survived through many talented storytellers. The folktale reveals that he is one of the great villains who will be reincarnated someday as the agent of chaos. The story about him was almost forgotten, dimmed with his rotten body during the Dark Age. I almost buried him too, until I heard about this guy with a scarred face, a devilish smile highlighted by a smudged crimson lipstick. People said he represents chaos, anarchy, and random injustice. He is the talk of the town, the headline of every newspaper, and the hot topic in prime time. He is disturbingly vicious yet irresistibly appealing. And he called himself, The Joker. Suddenly I had this vision.

1274

4. FILM DAN KITA

Therefore, when people flocked to Gotham City to see the battle between—our long time hero—Batman and—the villain of our time—The Joker, I went with them too. I didn’t want to miss the spectacle of the year and I wanted to prove if the prophecy of this immortal felon is true. Is The Joker, him? Is he the reincarnation of Doctor Mabuse, who was known as the greatest criminal mastermind? Maybe it is him, finally resurrected from his grave. If it is, then I don’t want to miss a chance to meet him too.

FOR so long, I believed in Batman. I witnessed how he struggled to wage a war against his own fear and moral motives in Batman Begin. As Bruce Wayne, he hashis past. His parents were killed by a mugger. He was young and naïf. He was full of anger and wanted revenge. He thought he would do justice by killing the mugger. But he learned that there is always a thin line between justice and vengeance. And Batman IS Bruce Wayne’s thin line to do his justice. Everyone agrees with him. At least until The Joker loomed into sight in The Dark Knight, and suddenly, the thin line became thicker. In people’s perception of justice, Batman is the man who is trying to put it right. But there’s something about The Joker’s ‘persona’ which made me realize another perspective about right and wrong, or good and bad. Batman had done his justice in his own way. He is rich, anyway. In fact, being the richest man in Gotham gives him the privilege to be extralegal, to be without jurisdiction. He could do anything he wants. He knows ‘the rules of his society’—or I would say the rules of Bruce Wayne’s society—and will do anything to uphold it. But what are exactly ‘the rules of Wayne’s society? If I’m not wrong, the rules are to keep their assets —or their capital in Marxist word—and their rights in its place.

JOKER: RETURN OF THE DEVIL

To keep the people where they belong to. Batman is following the spirit of the rules. However, we are talking about true justice, about everyone’s right. Let us put Wayne’s richness aside, and the question is : if he could do anything he wants, why can’t we? While Batman is busy cleansing the Gotham’s streets full of Batmen’s wannabes – they are just doing anything they want in the name of justice - here comes the Joker. He, who springs out of nowhere and everywhere, he is no one, yet, he is everyone. He is not a sudden-popped-upevil though. Actually, he is a logical reaction to Batman. The Joker said to Batman: “People see us as freaks. Both of us are freaks”. And he made his point. Somehow, they are both catalysts of chaos. It’s just that they are using different ways. In addition, The Joker wants to loose Batman’s faith that justice could be straightened up. The Joker believes that justice is a very fragile thing and it could be lost in the face of real adversity. It’s hard to believe, but somehow The Joker was not judging. He just made sure that everybody had a chance to choose. The Joker knows that there is a monster residing within all of us and he wants us to bring it to the surface and face it. Through intricate criminal actions and elaborate schemes of violence, The Joker pushed everyone into the edge of their composures. And every single arrangement that he made resulted in ethical dilemmas and horrendous choices for the victims. One of them was when he put two groups of people in two boats. One boat packed with the most dangerous criminals in the country and the other loaded with innocent civilians. And both groups had to decideeach other’s fate. The Joker was at ease with his twisted, perverse viewpoint and chaos-inducing way of life. Though the Joker looks like ‘just a wild dog’, philosophically speaking, he is as tricky and as smart as Batman. Even the police officer, Gordon, realizes that The Joker is right. The Joker turns our beliefs upside down and let it explode in our faces like a

1275

1276

4. FILM DAN KITA

boomerang. Gotham’s DA, Harvey Dent is one of The Joker’s experiments. Dent, who said : “You either die a hero or live long enough to see yourself become the villain.” The bitter sentence which is backfiring him later. The sentence that is not only referring to him, but to Batman and to everyone. And all hell broke loose. The Joker was screwing them up. He was sabotaging the established order without fearing anything. And the most stupendous thing is I can’t really hate him. Somehow, he is right. Everything that happened in Gotham poses a logical set of questions that doesn’t need simply black and white answers. Batman’s vision about justice is excessively fragile and I must say, utopic dream. Batman wanted to present a white knight. He wanted people to believe that black is bad, and white is good. And there’s still hope as long as there is a white knight. Therefore, he chooses to be a dark knight in order to emphasize the existence of so-called white knight. He just didn’t realize that no matter what it’s all about consequences. How stubborn he is. I went back home, disappointed. Batman had always been my hero. And I was bitter about the fact that… maybe…he is not anymore. Oh, this Joker had really swayed my common sense, I guess. That’s the moment when Doctor Mabuse came in to my mind. Call it a premonition or whatever, and forgive me if I’m wrong, but the Joker resembled every idea of Doctor Mabuse.

DOCTOR Mabuse first appearance was in 1922, created by novelist Norbert Jacques but introduced by one of the greatest storyteller, Fritz Lang. Mabuse came into being for the first time in  Dr. Mabuse, the Gambler: The Picture of Our Time. Lang acquainted him as The Great Unknown, master of disguise, a criminal genius who’s controlling people with his ability to hypnotize. He uses gambling as one means to attain his ends.

JOKER: RETURN OF THE DEVIL

Like The Joker, nobody knows who he was. He was nobody, yet he was everybody. He was there, everywhere. He could be a broker who manipulates and throws the stock exchange into disarray. He could be a Jewish huckster. He could be a sick old man. He could be a professor in the university. He could be everyone. People who had a chance to meet him described him as a mysterious man with eyes evil like a devil. For him, everything in the world was boring except one thing: the game with people and their faith. He liked to agitate the devilish subconscious and unconscious in humans. His vassals consisted of drug addicts, thieves, schizophrenics, blinds, depressives, and many kinds. He had the unbelievable suggestive power to force people to do things that were in an absolute conflict with their nature. Mabuse believed there’s no such a thing like love and luck. There’s only passion and the will to gain power. Once he asked a Countess: Should I give you a prove of the power of will? And he did it, with a diabolical scheme and pitiless act. In The Testament of Dr. Mabuse, he acknowledged: “the last purpose of the crime is to put up the limitless rule of the crime, a state of complete insecurity and anarchy, built up on the smashed ideals of a world which is sentenced to its downfall. When the people are ruled by the terror of crime and went insane because of the horror and dismay, when the chaos became the supreme law, then the rule of crime has come”. He always needed a sensation of a very special kind. His aim was to swirl laws and gods like withered leaves, just like The Joker did with Gotham’s laws and heroes. Mabuse wanted the citizens to overthrow the state, to bring this decayed world down into a chaos. He planed his deeds precisely and accurately. For people who know the Joker, the description of Mabuse sounds familiar, isn’t it? Of course there are some differences. The Joker is a scoundrel of our time. He has appeared in the globalization age and terrorism epoch where everybody—from

1277

1278

4. FILM DAN KITA

people on the street to politician on the high above—talked about it and feared it like gossips, but consumed it like popcorn. By all means, The Joker uses all the tools and strategies from this generation: remote control, bazooka, mobile phone, high tech equipment, etc, whilst Mabuse was a villain after World War I. It was a hard time. It was a time of deepest despair, of hysteria, of cynicism, of unbridled excesses for Germany, the country where Mabuse was created. The government of Weimar Republic fought against left and right rebels. Mabuse is an archetype rogue of this period. According to Fritz Lang, Mabuse is the worst brother of Faust. Mabuse is a Nietzschean Übermensch in a bad sense. But on the other hand, he is also a product of the total destruction and post-war social decadence, when severe will to live was so powerful and money was—as it still is now—all that matters. It made him remain the hugest and most trivial materialist amongst the demons. He was the most memorable criminal in German cinema. Now The Joker is the most serious pretender to the throne. Both, The Joker and Dr. Mabuse share the same ideals for the society of their time and share the same ways to reach their goals. You may not believe me if I say, The Joker is Mabuse’s reincarnation. You may not believe me if I say, The Joker has a German ancestor. So, why so serious?

Ekky Imanjaya

Menyambut Hari Anak Nasional, 23 Juli 2008

Anak-Anak sebagai Penonton

B

elasan anak-anak usia SD berlomba mengacungkan tangan dengan penuh antusias, hendak bertanya kepada Hana Makhmalbaf tentang film yang baru ditontonnya, Buddha Collapse out of Shame. Pertanyaanpertanyaan mereka sangat kritis. Dengan sabar, putri bungsu Mohsen Makhmalbaf yang baru berusia 18 itu menjawab pertanyaan. Satu terjawab, puluhan jari-jari mungil kembali diacungkan, menyerangnya. Masih dengan pertanyaan yang kritis. “Mengapa kamu memilih karakternya memakai topeng kertas? Itu mengingatkan saya pada penjara Abu Ghayrab?” “Berapa umur si protagonis? Bagaimana kamu mempersiapkan dia untuk adegan-adegan ‘sadis’?” “Publik seperti apa yang diinginkan film ini? Apakah memang untuk anak-anak?” Tentu saja ada pertanyaan lugu seperti:

1280

4. FILM DAN KITA

“Apakah ada orang yang tinggal di gua lokasi syuting film ini?” “Bagaimana dengan bayi yang ada di scene awal? Apakah dia selamat?” “Mengapa filmnya lama sekali?” Di tempat lain, masih di acara yang sama, Liew Seng Tat yang hadir bersama film Flower in the Pocket, dikejar-kejar, juga oleh anak-anak 6-14 tahun, untuk diajak berfoto bersama dan dimintai tanda tangannya. “Wah, Seng Tat jadi bintang, nih,” ungkap seorang temannya. Tak jauh dari situ, belasan penonton cilik menulis resensi di formulir yang sudah disediakan, banyak yang menulis sambil tiarap di ubin. Inilah pemandangan lazim pada Berlinale International Film Festival awal tahun ini. Mungkinkah ini terjadi di Indonesia? Sebelum membahas tentang nasib penonton anak-anak di Indonesia, saya hendak berbagi pengalaman menonton film di Eropa. Belanda, misalnya, amat menaruh perhatian terhadap kaum minoritas, termasuk anak-anak. Lihat saja, di buletin dan pengumuman berbagai bioskop Pathe, sinepleks terbesar di sana, mereka selalu menyelipkan program khusus untuk anak-anak. Khusus film bagi anak-anak ini, biasanya ada dua versi: O.V. ( Original Vertie ) dan NL (sudah disulihsuarakan menjadi berbahasa Belanda). Ini berlaku untuk semua film, mulai dari Narnia, Horton, Wall-E, hingga Nim’s Island . Untuk film produksi dalam negeri, musim panas tahun ini mereka punya Piet Piraat & het zwaard van Zilvertand (Bart van Leemputten) dan De brief voor de Koning (Pieter Verhoeff). Beberapa bulan sebelumnya, ada film Waar is het Paard van Sinterklaas? ( Mischa Kamp) dan Dunya & Desi, (Eva van de Wijdeven dan Maryam Hassouni). Memang, mereka hanya punya sedikit film khusus anak-anak-anak, tapi bahkan bioskop komersial mereka punya program khusus untuk mereka.

ANAK-ANAK SEBAGAI PENONTON

Maka tak heran bila puluhan anak-anak mengantre untuk Kungfu Panda, misalnya. Anak-anak berlarian ke sana kemari, bersama rekan-rekannya, bikin ulah, dan aktivitas anak kecil lainnya. Tentu saja, akan banyak yang bilang: “Lha, di Indonesia, saat liburan, banyak juga  kok  anak-anak yang ke bioskop?” Oke, saya setuju. Tapi, itu kan memang sudah alamiah, kalau ada film yang ditujukan untuk mereka, anak-anak (acap bersama orang tuanya) akan bergegas ke sinema. Tapi, apakah bioskop atau distributor atau organisasi perfilman kita pernah berpikir untuk membuat acara rutin yang berfokus pada mereka? Tidak usah film bermutu mesti diputarkann Film animasi umum sajalah, atau film arusutama keluaran Hollywood yang diperuntukkan bagi anak-anak atau keluarga. Sepertinya jarang. Dan berapa banyak film anak-anak produksi lokal yang hadir? Mari kita tengok di era Reformasi saja. Tahun ini ada  Liburan Seruuu...!!  (Sofyan de Surza). Selebihnya, didominasi horor atau komedi dewasa. Kita hitung mundur. Ada  Anak-Anak Borobudur  (2007, Arswendo Atmowiloto),  Denias, Senandung di Awan  (2006, John de Rantau), Untuk Rena (2005, Riri Riza, 2005), Ariel dan Raja Langit  (2005, Harry Dagoe Suharyadi),  Rindu Kami PadaMu (2004, Garin Nugroho), Bendera (2002, Nan Achnas), Janus Prajurit Terakhir  (2002, Chandra Endroputro),  Viva Indonesia  (2001,  Ravi L. Bharwani  Aryo Danusiri  Asep Kusdinar  Lianto Luseno  Nana Mulyana), dan yang paling fenomenal, Petualangan Sherina (1999, Riri Riza). Sebagian dari film itu hanya bertahan beberapa hari saja di bioskop. Ada juga Tina Toon & Lenong Bocah the Movie (2004, Aditya Gumay),  Petualangan 100 Jam  (2004, Winaldha Melalatoa),  Petualangan Trio Penjelajah Dunia  (2000, Eko Kusumo Nugroho),  Joshua oh Joshua  (Edward Sirait, 2000). Kurang dari 15 judul dalam kurun waktu 10 tahun. Apakah ini cukup? Dan kita belum lagi bicara urusan mutu.

1281

1282

4. FILM DAN KITA

Kembali ke Festival Film Berlinale. Penyelenggara festival film semacam Berlinale bahkan bertindak lebih jauh lagi. Mereka melakukan literasi film secara berkala untuk anak-anak. Berlinale, misalnya, membuat program khusus, Generation untuk usia SD dan Generation K-plus untuk usia SMP dan SMA. Ada juri-juri dari kalangan anak-anak sendiri yang memilih film terbaik (fitur dan pendek) bertajuk The Crystal Bear for the Best Feature Film. Tahun ini, anugerah itu dimenangkan oleh Buda Az Sharm Foru Rikht oleh Hana Makmalbaf (Iran/Prancis, 2007) dan Nana (Warwick Thornton, Australia, 2008). Mereka tampil ke depan panggung, membacakan pemenangnya, sebagaimana juri-juri dewasa. Juri dewasa yang terlibat pun berkelas: Yasmin Ahmad, Anna Justice, Omri Levy, dan Antonia Ringbom, yang memberikan The Deutsche Kinderhilfswerk Grand Prix kepada TOUS A L’OUEST! Une aventure de Lucky Luke (Olivier JeanMarie, France, 2008) dan film pendek Min morbror tyckte mycket om gult (Mats Olof Olsson, Swedia, 2008). Tempat mereka dipisahkan dari acara utama, tepatnya di Zoo Palast, Berlin Barat. Festival Film Internasional Rotterdam juga memunyai para juri muda, namun memang seusia anak SMA. Mereka memberikan MovieSquad Award kepada Persepolis ( Marjane Satrapi & Vincent Paronnaud, Prancis, 2007). Juga pernah ada program khusus anak-anak, misalnya How Are the Kids? pada 1997. Bagaimana dengan Festival Film Internasional Dokumenter Amsterdam (IDFA)? Mereka punya program nonkompetitif dengan judul yang gamblang: Kids & Docs. Pada IDFA 2007 lalu, mereka menghadirkan 13 film, 5 di antaranya mengikuti lomba tahunan Kids & Docs Contest, bahkan dua film yang termasuk di dalamnya mengikuti kompetisi Silver Cub. Di ajang ini, film-film karya sutradara berusia 8-13 tahun diputar.

ANAK-ANAK SEBAGAI PENONTON

Amsterdam Fantastic Film Festival pun tak kalah. Mereka punya acara AFFF/Kids dan berpusat di Filmmuseum, terpisah dari wahana utama. Institusi penting lainnya adalah Cinekid yang menyelenggarakan festival film khusus anak-anak. Tahun ini, memasuki usia 22 tahun, festival itu akan diadakan pada 23-26 Oktober di Amsterdam, dan juga 30 lokasi satelit seantero Belanda. Cinekid Festival, demikian namanya, berfokus pada anak-anak dan media, khususnya film, televisi, dan New Media (artinya, termasuk video games! Tahun lalu pemenang pilihan penonton kategori ini adalah FIFA 2007 keluaran XBOX360!). Setiap tahun, lebih dari 35 ribu anak-anak hadir dan mengapresiasi sekitar 200 produksi media yang terdiri dari film fitur, dokumenter anak-anak, film pendek, animasi, seri TV, produk lintas-media, instalasi interakatif, dan lokakarya. Kompetisinya memperebutkan Cinekid Lion. Juga ada Junior Film Market. Tujuannya: mempromosikan kualitas produksi media untuk anak, mengajak anak-anak dan anak muda untuk berpartisipasi di bidang media, dan memberdayakan anak-anak untuk berhadapan dengan kuantitas produksi media. Tahun lalu, pemenangnya adalah Max en ik (Anna Justice, Jerman, 2006). Di Indonesia, penonton anak-anak tidak mendapatkan perhatian cukup. Kalau pun saat musim liburan mereka bergegas ke bioskop, mereka hanyalah memenuhi hasrat alamiah kanakkanak mereka, menonton film-film yang mereka sukai –yang didominasi produksi Hollywood. Tidak jelek, memang. Tapi, itu artinya, tidak ada perhatian khusus yang terprogram untuk ini. Sebenarnya, istilah “tidak ada perhatian khusus” bukanlah kata yang terlalu tepat. Misalnya, kita punya Jakarta International Film Festival yang pernah memutar film seperti Nyanyian Negeri Sejuta Matahari (Edwin, 2006). Juga ada program dari In-docs bernama In-Docs Junior Camp yang “…ditujukan bagi para siswa SMU yang ingin berkarya secara langsung untuk perubahan sosial yang positif di masyarakat,” yang dilakukan di Pulau Kelapa pada

1283

1284

4. FILM DAN KITA

2002 dan Bandung pada 2003. Salah satu pesertanya, Ratrikala Bhre Aditya, berhasil meloloskan filmnya, Bunga Dibakar ke Singapore International Film Festival 2006. Tetapi, sekali lagi, apakah cukup? Tentu saja ini adalah tugas semua orang. Tidak adil rasanya hanya bertumpu pada 2-3 organisasi atau festival film. Maka saya senang sekali saat di Berlinale ada pernyataan dari Nia Dinata untuk menggelar Indonesian International Children Film Festival (IICiFF) pertengahan tahun depan. Dan ada sinyal positif dari Menbudpar Jero Wacik yang meminta kalangan produser film dalam negeri untuk membuat film anak-anak. “Pasar sudah meminta, jadi saya kira para produser tidak perlu ragu lagi untuk membuat film anak-anak,” kata Menteri saat memberikan sambutan pada Peringatan Hari Film Nasional di kantornya, 30 Maret lalu—seperti tertulis di Antara. Acara itu juga berisi demonstrasi seribu anak-anak bersama orang tuanya yang mempertanyakan perfilman Indonesia. Tentu saja, kita tidak harus bergantung pada siapa pun untuk membuat film atau program literasi film khusus anak. Atau, bisa juga kita mulai dari lingkungan terdekat kita sendiri: mengajarkan anak-anak kita untuk belajar mengapresiasi film, misalnya.

Eric Sasono

Nagabonar (Jadi) 2 dan Kala

Indonesia Nun Di Sana

“Sesudah menonton film ini, saya bangga menjadi orang Indonesia”.

K

alimat itu diucapkan oleh dua penonton berbeda sesudah menonton dua film berbeda di tahun 2007 lalu. Mereka menyatakannya sesudah menonton film Nagabonar Jadi 2 (Deddy Mizwar) dan Kala (Joko Anwar). Kedua film itu menghasilkan reaksi serupa. Kenapa? Lebih menggelitik lagi, memang adakah “Indonesia” dalam kedua film tersebut? Mencari sebuah kolektivitas bernama negara bangsa dalam sebuah film seharusnya bukan merupakan proses yang kelewat rumit. Beberapa akademisi dan kritikus memang menggunakan pendekatan faktual yang menyatakan bahwa apa yang ada di layar itulah sesungguhnya wajah kita. Layar hanya cermin saja bagi apa yang sebenarnya menjadi impian dan idealisasi kita (secara sadar ataupun tidak). Pendekatan lain menghindar cara berpikir demikian. Mengidentikkan gambaran di layar dengan diri sendiri berarti

1286

4. FILM DAN KITA

tunduk pada selera massa yang mudah dikendalikan oleh rangsangan instan terhadap impuls manusia. Film sebagai media yang larger-than-life selalu punya perangkat paling lengkap dan efektif dalam mengendalikan impuls itu. Maka penyerupaan layar film dengan wajah kita adalah sebuah misrepresentasi yang berbahaya, karena di dalamnya terkandung penghindaran terhadap soal-soal yang berada di luar jangkauan impuls yang instan itu. Perenungan dan kompleksitas serta penghadiran dimensi kerap ditundukkan di bawah kepentingan mencari keuntungan saja. Wajah kolektif sebuah bangsa dan masyarakat sedikit banyaknya memang tetap tercermin dalam film. Siegfried Kracauer ketika membahas film Jerman pra-Hitler: ia melihat bahwa film sebagai usaha kreatif kolektif pastilah menghadirkan gambaran kehidupan kolektif juga. Interaksi antarawak pembuat film adalah interaksi kreatif yang akhirnya akan membuat gambaran yang tampil di layar merupakan hasil kerja kolektif. Pendekatan ini juga tak memuaskan, mengingat peran pengambil keputusan yang tak imbang antara satu posisi pekerja film dengan lainnya. Namun aspek kolektivitas pada film tetap merupakan sesuatu yang penting mengingat kemampuan film menghadirkan interaksi sosial baik di layar maupun dalam proses di balik layar. Berangkat dari interaksi sosial di layar, abstraksi terhadap kehidupan kolektif akan terjadi. Hubungan-hubungan simbolis bermunculan dan perasaan tentang sebuah “komunitas yang terbayangkan” disimpulkan secara post-factum. Maka gambar dan suara yang membawa gagasan dalam sebuah film berubah menjadi simbol dan tanda yang bicara karena keberadaan kontrak tak tertulis antara pembuat film dengan penonton. Kontrak tak tertulis itu bernama konteks (yang pasti berbeda antara satu penonton dan lainnya) yang selalu membatasi pembacaan bagi gambar dan suara yang ada di film.

INDONESIA NUN DI SANA

Simbol itu tak serta merta muncul, ternyata. Pada beberapa film, gambar dan suara yang ada di layar tak mampu membangkitkan perasaan kolektif tentang satu komunitas utuh dan solid yang “terbayangkan” yang bernama “Indonesia”. Nagabonar Jadi 2 dan Kala memicu bayangan itu tentu karena mereka berhasil menghadirkan hal-hal yang dirasakan menjadi agenda bagi sebagian penonton yang mengeluarkan komentar di atas tadi. Mari kita lihat bagaimana hal itu terjadi.

Nagabonar yang Romantis Nagabonar datang dari Lubukpakam, kota kecil yang berbatasan dengan kota Medan. Ia berlatarbelakang seorang bekas pejuang kemerdekaan yang kini menjadi pengusaha kebun kelapa sawit. Ia pergi ke Jakarta untuk sebuah urusan bisnis yang melibatkan anaknya sendiri, Bonaga. Sesampai di Jakarta, Nagabonar harus menemukan kenyataan kehidupan Indonesia kontemporer yang urban dan kosmopolit ternyata sama sekali berbeda dari Indonesia yang dibayangkannya. Nagabonar kehilangan orientasi dan bingung. Ia tak mampu memahami Indonesia yang ia perjuangkan dengan taruhan nyawa dahulu. Dengan menggunakan tokoh ini, Deddy Mizwar mengajukan berbagai dikotomi yang hidup berdampingan pada Indonesia kontemporer. Nagabonar kemudian membawa simbolsimbol ke-Indonesiaan yang dikenalnya ke sebuah Indonesia baru, Indonesia yang modern (atau post-modern?), urban, terbuka untuk modal asing, akrab dengan teknologi dan penuh gairah. Dalam film ini, Nagabonar menjadi tokoh di pinggiran yang dengan asing mengamati Indonesia baru baginya itu. Ia melihat hilangnya nilai-nilai ke-Indonesiaan yang ia ketahui. Maka ia menilai bahwa ke-Indonesiaan harus dikembalikan (paling tidak bagi dirinya sendiri) dengan memaksakan diri menghormat

1287

1288

4. FILM DAN KITA

kepada bendera merah putih pada saat upacara bendera atau menurunkan tangan patung Jendral Soedirman yang menghormat pada kendaraan roda empat, atau nyekar ke makam prajurit tak dikenal. Di sini Nagabonar berhasil menyajikan sebuah gambaran jujur satu generasi yang merasa rindu pada ungkapan-ungkapan ke-Indonesiaan yang melandaskan diri pada mitos-mitos yang sudah ada, mudah dikenali dan diproduksi-ulang guna mendaku identitas Indonesia dalam konteks negara bangsa. Karena membawa pandangan masa lalu ini, maka  Nagabonar  terasa anakronistik. Selain itu ia menjadi tidak kritis terhadap mitos yang dikembangkan pada masa Orde Baru sebagai alat manipulasi dan mobilisasi politik. Nagabonar ikut mewakili gambaran pemujaan terhadap militerisme yang diidentikkan dengan nasionalisme. Ini adalah sebuah mitos yang digunakan Orde Baru untuk melestarikan kekuasaan. Negara Indonesia dalam pandangan Nagabonar tahun 2007 ini dihasilkan lewat perjuangan bersenjata yang cenderung mewakili pandangan militeristik yang menurut Doktor ilmu politik Salim Said dalam disertasinya, The Genesis of Power, menjadi asal muasal pembenaran bagi dwifungsi ABRI yang problematis itu. Pandangan terakhir ini adalah perpanjangan dari mitosmitos perjuangan kemerdekaan sebagai sebuah keberhasilan mobilisasi rakyat ke dalam perjuangan bersenjata yang menjadi dasar berdirinya TNI. Hal inilah yang dalam politik praktis diwujudkan dalam doktrin yang melandasi lahirnya dwi-fungsi pada masa Orde Baru yang tak memisahkan antara yang militer dan bukan militer; sekaligus mensubordinasi penggambaran perjuangan non-militer dalam sejarah-sejarah formal seperti yang digambarkan dalam film-film tentang periode kolonial yang diproduksi oleh lembaga negara seperti PFN.

INDONESIA NUN DI SANA

Agaknya pandangan Deddy Mizwar ini mewakili kerinduan terhadap ke-Indonesia-an yang ajeg dan bisa diwariskan, sebagaimana halnya gambaran mengenai Indonesia pada masa Orde Baru. Indonesia adalah sesuatu yang tak perlu dipertanyakan kesatuan ruang dan gagasannya. Ia sudah selesai. Maka pewarisan kepada generasi baru sangat penting agar nilainilai lama mengenai Indonesia bisa terus bertahan. Namun Nagabonar dalam Nagabonar akhirnya putus asa. Ia memilih untuk menyerah dan menyatakan bahwa penilaiannya memang anakronistik. Ia mengaku bahwa ia tak mampu memahami Indonesia yang baru ini sehingga tak mungkin baginya mewariskan gambaran Indonesia lama itu kepada generasi baru ini. Ia menyerahkannya pada anakya. Hanya sayangnya, pewaris itu, Bonaga dalam film ini, adalah semacam salinan-tak-sempurna (copycat) dari Nagabonar. Itulah kenapa film ini berjudul Nagabonar Jadi 2. Bahkan dalam urusan berpacaran sekalipun, Bonaga kalah dari sang ayah karena pacar Bonaga, Monita, lebih dulu mencium Nagabonar, padahal Monita belum pernah mencium Bonaga. Tampaknya Deddy Mizwar bisa berlega hati menyerahkan “Indonesia” kepada Bonaga, karena Bonaga menolak menyuap, tak merokok, anti main perempuan, sopan dan seterusnya. Selain itu, Bonaga pun kalah hebat dibandingkan dengan Nagabonar.

Metafora Kala Jika Joko Anwar adalah semacam Bonaga (dari segi usia mungkin cocok), maka ia menyimpang jauh dari yang didefinisikan Nagabonar. Joko menentukan sendiri kanvas yang harus dilukisnya ketimbang meneruskan lukisan yang pernah dibuat Deddy Mizwar.  Kala  punya titik berangkat yang beda dengan  Nagabonar.  Kala  adalah sebuah gambaran mengenai

1289

1290

4. FILM DAN KITA

bercampurnya fakta dan mitos, kenyataan dan khayalan, medium dan pesan, kelangkaan dan kelimpahan, masa kini dan masa lalu, dan seluruhnya yang membentuk sebuah Indonesia yang obskur, yang tidak jelas dan jauh dari definitif. Maka, simbol-simbol Indonesia seperti yang dibawa oleh  Nagabonar  sama sekali berada di luar pola pikir Kala.  Kala  bicara secara induktif tentang Indonesia dengan menggunakan perlambang dan umpama. Tak ada konsep-konsep yang sudah lebih dulu ada (dan karenanya bisa diwariskan) tentang Indonesia. Pada Kala, yang ada adalah fakta demi fakta yang dihadirkan terlalu jelas untuk tak disimpulkan sebagai Indonesia. Indonesia muncul sebagai sebuah kesimpulan dari kumpulan perlambang dan umpama yang dihadirkan oleh Joko Anwar sepanjang film itu semata-mata karena Joko tak bisa menghindar dari kenyataan bahwa ia dilahirkan di Indonesia. Kala menjadi karya yang menarik karena ia sepenuhnya sadar akan bentuk. Hal ini bertolak belakang dengan Nagabonar yang sepenuhnya terfokus pada muatan dan terasa abai pada bentuk. Kala adalah pameran gaya dan bercampurnya gaya dan muatan yang ingin disampaikan. Kala  dengan sadar membengkok-bengkokkan film yang dibuat dengan formula baku (biasa disebut film genre) dan mengungkapkannya dengan teknik sinematografi, editing, tata suara, tata musik, dan seluruh aspek teknis yang terasa betul ditujukan untuk mencapai kesempurnaan bentuk. Itu semua bukan tanpa alasan. Bentuk sudah sama pentingnya dengan muatan pada generasi Joko Anwar. Keduanya tak terpisah dan kesadaran untuk bermain dengan bentuk adalah semacam pernyataan artistik sang kreator, dan Joko Anwar (jangan lupa bahwa ia bekas kritikus film—atau masih?) sadar betul dengan permainan bentuk semacam ini. Bentuk-bentuk yang dipermainkan oleh Joko bahkan lebih banyak (jika tak semua) adalah bentuk khazanah film dunia, ketimbang film

INDONESIA NUN DI SANA

Indonesia yang pernah populer. Maka, ketimbang mendaur ulang (dan membengkokkan) film-film Warkop Dono-Kasino-Indro atau Nyi Blorong atau Bing Slamet, Joko malahan membengkokkan formula dari genre noir, slasher movie dan sebagainya. Khazanah dunia tampak sama definitifnya dengan khazanah Indonesia, bagi Joko. Sumber menjadi non-faktor. Dengan begitu, Indonesia yang diungkapkan secara metaforis ini, tampil arbitrer. Tak tampak usaha Joko untuk membuat filmnya menampilkan “Indonesia”. Properti, lokasi dan pencahayaan dalam  Kala  bisa terjadi di lokasi mana saja di dunia. Kala tak terlihat seperti Indonesia baik dalam tampilan visual maupun cara ucap. Joko hanya sadar bahwa ia berkarya di Indonesia, dan filmnya ditujukan (untuk menghibur) orang Indonesia dan ia tak bisa lepas dari kenyataan itu. Namun pertanyaannya: kenapa Indonesia pada Kala harus berbentuk metafora? Pada Nagabonar, tentu saja Indonesia harus realis karena ia sedang ingin romantis; membayangkan sebuah masa lalu yang hilang. Tetapi mengapa Kala harus metaforis? Alasan pertama, tentu soal eksplorasi bentuk yang sangat nyaman dengan dengan cara tutur metaforis seperti itu. Namun bisa jadi ada alasan lain karena pada  Kala, Joko sedang menawarkan sebuah gagasan yang terlalu sulit diungkapkan dengan telanjang. Ia sedang mengajukan pertanyaan: bagaimana apabila orang yang berhasil membawa bangsa ini keluar dari masalahnya adalah orang yang berbeda pendapat dengan kaum mayoritas? Mungkin secara lebih eksplisit: bagaimana apabila di negara mayoritas muslim yang sedang gencar menegakkan syariat Islam ini, orang yang mampu menjadi penyelamat adalah seorang homoseksual? Pertanyaan ini memang terlalu tajam untuk ditanyakan secara terbuka. Maka metafora, pasemon, adalah sebuah jalan keluar yang paling layak untuk itu. Namun apakah pasemon itu tertangkap? Simbolisme Joko terlalu rumit dan sumir sehingga ia terasa seperti tak terlalu mementingkan muatan itu. Jika ia benar-

1291

1292

4. FILM DAN KITA

benar merasa bahwa muatannya harus sampai kepada penonton, tentu ia akan menggunakan metafora yang lebih mudah ditangkap penonton. Di sinilah terasa bahwa Nagabonar dan Kala sama-sama gagal berurusan dengan ke-Indonesiaan yang sekarang, yang kontemporer.  Nagabonar  gagal karena ia tak mengenali lagi Indonesia kontemporer dan akhirnya menyerah kalah padanya. Ketika ia menatap Indonesia yang sekarang, ia berpaling ke nilainilai lama, karena itulah yang bisa ia kenal. Sedangkan Indonesia yang sekarang ia percayakan saja pada anaknya, yang ia yakini sudah ia didik sebaik yang ia bisa (sekalipun ia merasa gagal). Pada Kala, bisa jadi Indonesia kontemporer mengandung resiko terlalu besar untuk dibicarakan terbuka. Sikap penghindaran untuk membicarakan soal itu secara terbuka adalah sebuah self-censorship—tapi, apa gunanya self-censorship semacam itu ketika muatan memang sangat penting untuk disampaikan? Atau soalnya bukan self-censorship, tapi memang Joko Anwar menghindar saja dari membicarakan Indonesia, ataupun menempuh risiko karena ia memang sedang bersenang-senang dengan eksperimen bentuk?

Relevansi ke-Indonesia-an Deddy Mizwar dan Joko Anwar, keduanya gagal menggambarkan atau memberi pemecahan baru bagi Indonesia kontemporer, sekalipun mereka bicara tentang Indonesia. Nagabonar lebih suka menoleh masa lalu. Kala tak berani menatap masa kini dan beralih ke metafor. Keduanya memang berbicara tentang Indonesia, sengaja atau pun tidak. Keduanya akhirnya punya nilai artikulatifnya sendiri pada khalayaknya masing-masing. Bukan sekadar sebagai hiburan, tapi juga sebagai pertanyaan besar kepada mereka tentang ke-

INDONESIA NUN DI SANA

Indonesiaan yang pernah mereka kenali atau ingin mereka pegang. Di satu sisi, ada kebutuhan akan romantisme mengenai ke-Indonesia-an. Di sisi lain, ada kebutuhan pendefinisian baru dari apa yang mereka lihat sehari-hari, tapi tak mampu untuk dinyatakan dengan jelas, apa sesungguhnya yang mereka lihat. “Indonesia” dalam kedua film ini ada di kejauhan yang tak tertangkap. Kilasan itu menghasilkan kerinduan ketika pendefinisian Indonesia menjadi makin sulit dan makin tak terasa diurusi oleh siapa-siapa. Tiap orang harus mencari sarana pendefinisiannya sendiri yang bertaburan. Mungkin akhirnya orang harus memilih sesuatu yang paling dekat dan paling nyaman dengan diri mereka. Maka kedua orang penonton film itupun berkomentar: “sesudah menonton film ini, saya bangga menjadi orang Indonesia.”

"Pasemon” adalah istilah yang dipopulerkan dalam kajian sastra Indonesia oleh Goenawan Mohamad. Pada mulanya, istilah ini dilontarkan Goenawan untuk menjelaskan estetikanya dalam sebuah pidato sambutan atas sebuah anugerah sastra yang ia terima. Pidato ini dikembangkan jadi sebuah esai panjang, dan dimuat dalam kumpulan esai Goenawan Mohamad, Sastra dan Kekuasaan. Kata “pasemon” sendiri diambil dari sebuah kata bahasa Jawa, yang kurang lebih menggambarkan sifat mengisyaratkan pada sesuatu, penyamaran, juga semacam sindiran.

1293

Ifan Adriansyah Ismail

Hegemoni yang tak Mati-Mati Dari diskusi buku Kandang dan Gelanggang, Sinema Asia Tenggara Kontemporer

Mengapa harus Asia Tenggara? Apa yang signifikan darinya?

P

ertanyaan itu menggantung di benak.Maka dengan pikiran kosong, saya menghadiri diskusi peluncuran buku ini: “Kandang dan Gelanggang: Sinema Asia Tenggara Kontemporer”. Pembicara pertama, Veronica Kusuma, mahasiswa kajian film IKJ, seolah menjawab langsung pertanyaan tadi, bahwa kajian film kawasan Asia Tenggara akan lebih banyak berbicara tentang hal-hal yang ekstra-estetis, alias tidak bicara soal estetika film. Jadi maaf saja jika saya bahkan hampir tidak membicarakan film di sini.

Identitas kolektif yang dicari-cari Jika perihal estetika bersama tidak relevan, bagaimana kalau kita tarik mundur sedikit ke soal identitas bersama?

HEGEMONI YANG TAK MATI-MATI

Setiap negara di Asia Tenggara memiliki dinamika sendiri, sulit mencari padanan “sejarah bersama”-nya, kecuali bahwa mereka kebetulan bertetangga. Entah anugerah entah kutukan bahwa budaya di kawasan ini tidak ada yang memiliki pengaruh keluar sekuat kebudayaan-kebudayaan besar di sekitarnya yang berusia ribuan tahun, seperti Cina dan India. Yang ada di kawasan ini adalah percampuran dari dua kebudayaan itu plus budaya lokal, dan malah, kalau mau percaya Lee Kuan Yew, masih ada semacam perebutan pengaruh di antara keduanya, antara kebudayaan “Sinic” dan “Indic”. Akibatnya, Asia Tenggara relatif terbebas dari hegemoni yang dominan dari kedua kebudayaan itu, dan jadilah ia sebentuk melting pot yang lebih beraneka warna, bertaburkan aneka ragam budaya yang dalam skala global seperti “terbang di bawah radar”. Jangankan identitas yang menyerukan “Asia Tenggara”, identitas masing-masing negara saja terus menerus bergulat mendefinisikan dirinya. Indonesia, kita tahu, adalah konsensus yang menyatukan bekas jajahan Belanda semata, dengan keanekaragaman budaya yang begitu dahsyat, hingga ke titik yang kita sendiri sulit merawatnya. Malaysia kini sedang dilanda pergulatan etnis (yang sekarang tampak meruncing) antara Cina, India dan Melayu. Maka film-film yang muncul dari sana seringkali menggambarkan problem itu. Film arus utama lebih banyak bermain di wilayah melodrama (tidak jauh berbeda dengan Indonesia), dengan tendensi dominasi salah satu ras. Sementara itu, film-film gelombang barunya berusaha mempertanyakan dan melanggar dominasi itu, dengan resiko budayanya sendiri. Singapura adalah sebuah negara yang didirikan kaum perantau di tanah yang asing, sehingga sejarahnya masih sangat muda. Negeri mungil ini boleh saja maju pesat, tapi dengan biaya yang tak murah, antara lain dipinggirkannya elemen-elemen sejarah yang tidak sesuai dengan semangat kemajuan.

1295

1296

4. FILM DAN KITA

Thailand, meski tak pernah dijajah, bukan berarti ia lantas mudah mencari jati diri. Sebuah esai tahun 1997 karya Anchalee Chaiworaporn dengan “kurang ajarnya” bertanya: “Desperately Seeking the True-Thai Style”. Bisa jadi politik bambu ala Thailand yang menjadikannya fleksibel dan persentuhannya dengan dunia luar yang terus-menerus menjadikannya seperti sejenak kehilangan target.

Wacana geopolitik dan CIA? Jangan-jangan satu-satunya keunggulan Asia Tenggara secara keseluruhan adalah posisinya yang strategis. Masih segar ingatan pelajaran IPS dan Geografi semasa SMP dan SMA bahwa posisi strategis kawasan inilah yang menentukan perannya di percaturan global. Barangkali memang benar, meskipun bapak guru dan ibu guru IPS sedikit meleset: bukan Indonesia, tapi Singapuralah yang merajai kawasan ini. Apa hubungan wacana geopolitik seperti ini dengan wacana film? Bukankah pengkotakkan berdasarkan letak geografis tidak ada artinya, apalagi untuk sebuah kawasan yang dengan sinis pernah dikatakan sebagai bentukan CIA? Mungkin akan masuk akal jika di antara keduanya kita letakkan aspek perantara bernama “budaya”. Budaya, di balik topengnya yang tak berdosa dalam bentuk norma-norma, gedung dan tarian, menyimpan pertarungan berdarah yang sepanjang sejarah meminta tumbal jutaan nyawa. Meskipun orang-orang posmodernis telah memberikan pemaafan yang berlebih atas “pertempuran” itu, misalnya lewat relativisme kebenaran, percampuran budaya dan menghujat Samuel Huntington, tetap saja kita tak dapat menampik bahwa perseteruan itu nyata adanya.

HEGEMONI YANG TAK MATI-MATI

Pembicara kedua, Arya Gunawan, memberikan opini yang barangkali bisa menjelaskan peran perseteruan budaya di wacana perfilman Asia Tenggara. Dalam interaksi budaya Timur dan Barat pada umumnya, dan interaksi perfilman Asia Tenggara dan Barat pada khususnya, Arya Gunawan membagi kronologinya dalam tiga fase. Fase pertama adalah ketika mereka yang di Barat acuh tak acuh terhadap karya di luar dunia “beradab” mereka. Kesombongan masa itu menganggap bahwa budaya merekalah yang adiluhung dan universal. Dan sialnya, mereka punya modal untuk mewujudkannya bahwa seolah-olah begitu adanya, lewat imperialisme dan kolonialisme. Fase kedua, ketika rasa sombong terkikis dan malah ada sebersit kebosanan, mulai timbul rasa kagum terhadap eksotisme “Timur”. Inilah masanya ketika mereka menerima karya-karya Asia sebagai alternatif yang berharga. Fase ketiga adalah ketika interaksi itu mulai berbelok ke arah yang baru, entah baik entah buruk. Dengan keunggulan infrastruktur dan permodalan, “Barat” melakukan penguasaan jalur distribusi, dan hak edar atas karya mendadak beralih ke mereka. Dengan sendirinya ada uang yang mengalir. Kemudian tanpa deklarasi, mereka diam-diam menetapkan diri sebagai otorita atas karya seni dari Asia. Karya-karya itu seolah tidak pantas go international kalau belum dinilai bagus oleh otorita dari kalangan mereka. Banyak insan film Asia yang lantas jadi inferior secara mental dengan mengharap pengakuan dari yang internasional (dan entah kenapa dianggap universal), yaitu dari Barat: Cannes, Venesia, Berlin... Apakah ini kolonialisme bentuk baru? Boleh jadi visi suram Arya Gunawan agak berlebihan, tapi kekhawatiran seorang pesimis tidak dapat diabaikan. Memang, idealnya festival adalah ajang persinggungan dan dialog budaya, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menjadi arena mencari pasar baru, komersialisasi, lobi dan go international. Boleh

1297

1298

4. FILM DAN KITA

saja kita berbangga dengan kekuatan Asia dan berbagai jenis slogan lainnya. Tapi tetap saja, ternyata Asia dipandang sebagai kaukus yang berbeda, sebagai sesuatu “yang lain”. Yang universal masih saja yang di “Barat”.

Konsolidasi regional? Tiba-tiba dari sini muncul kemungkinannya kenapa harus “Asia Tenggara”. Bahwa jangan-jangan memang betul bahwa wacana perfilman Asia Tenggara itu ekstra-estetis. Bisa puyeng dan buntu kalau bersikukuh hendak berbicara tentang estetikanya. Barangkali memang tepat (dan mungkin juga satu-satunya) jika wacananya berangkat dari segi geopolitik: bahwa Asia Tenggara adalah kaukus yang meski bersifat arbitrer, tetap bisa menjalin kerjasama untuk menaikkan daya tawar. Kasus paling jelas adalah Uni Eropa yang—dengan latar belakang dan budaya beraneka ragam, bahkan secara tradisional bermusuhan—menjalin kerjasama untuk menghadapi “musuh bersama” bernama Amerika Serikat, sebuah negara ajaib yang menghegemoni dunia. Wacana perfilman Asia Tenggara dari segi geopolitik dan prediksi suram Arya Gunawan memang menunjukkan, dalam budaya kontemporer pun, hegemoni tak pernah mati. Mungkinkah Asia Tenggara memang harus bekerja lebih keras untuk menaikkan daya tawar dirinya dan sejenak melupakan perbedaan-perbedaannya? Mungkinkah, di antara keengganan dan kehendak setengah hati para pemimpinnya (lihat saja betapa memble ASEAN), kerjasama itu justru dimulai dari sebuah karya budaya bernama film?

Krisnadi Yuliawan

Membaca Globalisasi dalam Kacamata Perang Budaya*

K

etika berada di Jepang pada akhir 2006, saya mendengar sebuah cerita menarik yang santer beredar dari mulut ke mulut di kalangan pelaku industri film negeri sakura itu. Konon, berdasar sebuah laporan, ketika Bae Yong Joon, aktor serial televisi Korea berkunjung ke Tokyo, Akie Abe—istri Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe—meminta suaminya untuk memesan kamar di lantai hotel yang sama. Akie Abe berharap, dengan menginap di situ, ia bisa beruntung memergoki Bae Yong Joon dan melihat bintang idolanya itu dari dekat. Kisah ini besar kemungkinan benar adanya, karena Akie Abe sama sekali tak menyembunyikan kekagumannya kepada

* Disampaikan sebagai pengantar diskusi dalam seminar “Globalisasi, Seni, dan Moral Bangsa” yang diselenggarakan LIPI pada 25 Maret 2008

1300

4. FILM DAN KITA

sang aktor di depan publik. Apalagi belakangan saya juga menemukan cerita ini dikutip berulang kali dalam berbagai literatur mengenai perfilman Jepang mutakhir, tanpa bantahan sedikit pun dari pihak Akie Abe. Fakta bahwa seorang istri pemimpin politik Jepang dengan terbuka menyatakan diri sebagai pengagum aktor dan film Korea, adalah sesuatu yang tak mudah ditemui beberapa tahun sebelumnya. Sebagaimana kita tahu, zainichi, alias warga Jepang keturunan Korea, sejak lama menjadi semacam pariah dalam masyarakat Jepang. Korea juga bukan negara yang bisa dengan mudah dinyatakan sebagai negara yang dikagumi dalam perbendaharaan bahasa politik Jepang. Tapi, beberapa tahun terakhir, semua berubah. Popularitas serial televisi korea Winter Sonata mengubah hal ini. Lewat serial ini, juga melalui beberapa serial dan film layar lebar Korea setelahnya, Korea menjadi sesuatu yang  hype  dan tak lagi terbelakang dalam kamus masyarakat Jepang. Data yang saya peroleh menunjukkan, sejak 2004 film Korea berhasil menjadi film asing dengan penonton terbanyak kedua di Jepang (setelah film-film Hollywood) dan menggeser posisi film-film Prancis yang selama beberapa dekade menjadi favorit penggemar film di Jepang.

SEBUAH illustrasi lain juga saya pungut dari pengalaman ketika berada di Jepang adalah ketika menyaksikan film Letter from Iwojima diputar. Karya Clint Eastwood ini adalah salah satu film yang paling ditunggu-tunggu publik Jepang pada 2007. Maklum, film ini menceritakan salah satu peristiwa terpenting bagi bangsa Jepang pada Perang Dunia II: direbutnya Iwojima, pulau pertahanan terdepan Jepang di samudra Pasifik oleh tentara sekutu.

MEMBACA GLOBALISASI DALAM KACAMATA PERANG BUDAYA*

Berbeda dengan Flag of Our Fathers, film Clint Eastwood sebelumnya yang menceritakan peristiwa sama dari sudut pandang pasukan Amerika Serikat, Letter from Iwojima digarap Eastwood sepenuhnya dalam bahasa Jepang dengan menggunakan aktor-aktor Jepang. Dua film ini memang direncanakan Eastwood sebagai dua mata berbeda dalam memandang pertempuran Iwojima. Yang menarik adalah reaksi masyarakat Jepang terhadap film ini. Nyaris tak ada komentar negatif muncul di publik Jepang, selepas pemutaran film ini. Meski digarap oleh sutradara nonJepang, dengan penulis skenario yang meski keturunan Jepang namun hampir sebagian hidupnya dihabiskan di Amerika, film ini dipandang berhasil membaca dan menggambarkan psikologi masyarakat Jepang masa itu. Saking berhasilnya, kritik yang berulang disampaikan kritikus dan pengamat kala itu adalah, “kenapa justru harus menunggu seorang Amerika untuk membuat film seperti ini.”

DUA kisah di atas mungkin tak sepenuhnya bisa mewakili fenomena globalisasi. Tapi, setidaknya dua kisah itu menunjukkan betapa dalam produksi film (dan resepsi terhadap film), batasbatas negara mulai melebur dengan cepat. Prasangka, praduga, dan asumsi lama juga makin sering harus tunduk pada fakta dan kecenderungan baru yang dipengaruhi oleh hubungan antarkultur yang makin terbuka. Tanda dari globalisasi, menurut Anthony Giddens, adalah intensifikasi hubungan sosial  world-wide,  yang saling menghubungkan lokalitas yang jauh. Akibatnya, sesuatu yang bersifat lokal selalu dipengaruhi apa yang terjadi ribuan mil dari tempat itu, begitu juga sebaliknya. Wallerstein yang menyebut globalisasi sebagai “proses integrasi tiada akhir” pada 1974,

1301

1302

4. FILM DAN KITA

bahkan telah yakin proses itu telah bergerak bebas menerjang batas fisik dan imajiner negara-bangsa. Jadi, sungguh tak mengherankan jika dalam dunia mutakhir belakangan ini bukan hal yang sulit untuk menemukan karya yang terasa bebas dari kungkungan batas negara-bangsa. Pada Tokyo International Film Festival 2006 yang saya hadiri, misalnya, film pemenang dalam seksi film Jepang adalah Cats of Mirikitani, sebuah dokumenter yang jika diukur dengan ukuranukuran lama, hanya punya sedikit saja ke-Jepang-an. Cats of Mirikitani adalah sebuah dokumenter mengenai Jimmy Mirikitani, seorang pelukis jalanan di New York. Meski berdarah Jepang, nyaris seluruh hidup Jimmy Mirikitani habis di Amerika. Ia bahkan tak lahir di Jepang. Sutradara film ini, Linda Hattendorf, adalah perempuan kaukasian yang lahir di Ohio dan sepenuhnya berkarir di komunitas dokumenter New York. Bahkan Lucid Dreaming Inc., perusahaan yang memproduksi film ini, juga perusahaan Amerika, bukan perusahaan Jepang. Tapi, tak ada protes muncul ketika Yoshi Yatabe, programmer Japanese Eyes—seksi kompetisi film Jepang dalam Tokyo International Film Festival—memasukkan  Cats of Mirikitani  sebagai salah satu film Jepang yang berkompetisi. Karena film itu memang memikat keputusan memenangkan film ini juga nyaris tak diragukan, meski beberapa film Jepang lain yang berkompetisi juga istimewa. Cats of Mirikitani tak sendirian. Dalam moda produksi film masa kini, banyak contoh dari runtuhnya batas-batas antar negara ini. Di Indonesia, sebagian film Garin Nugroho dibiayai produsen atau lembaga asing. Sementara seorang kawan jurnalis film sempat mempertanyakan mengapa di suatu festival film,  Berbagi Suami  karya Nia Dinata diputar sebagai bagian dari sinema Prancis, bersama karya sutradara berdarah Vietnam Tranh Anh Huang. Jika sekali lagi harus melongok Jepang. Salah satu wakil paling perkasa dari perfilman Jepang, Hayao Miyazaki, dengan

MEMBACA GLOBALISASI DALAM KACAMATA PERANG BUDAYA*

mudah dan tanpa ragu mengambil karakter karya penulis Belgia untuk film animasi terakhirnya, Howl’s Moving Castle. Kerjasama dan intensifikasi pengaruh antar bangsa dalam film sebenarnya tak terlalu mengherankan. Sebab, karakter asalnya sebagai anak kandung penemuan teknologi menyebabkan sejak awal film tak pernah bisa disebut sebagai milik satu bangsa. Sejak awal, kamera tak bisa disebut sebagai sesuatu yang indigenous milik Prancis atau Amerika Serikat, sama seperti penemuan Sony Walkman tak bisa disebut fenomena yang unik khas Jepang. Sejak kelahirannya, film telah menjadi praktik global. Di Thailand, dan juga Indonesia yang sangat jauh dari pusat penemuan kamera, misalnya, pertunjukan film sebagai bagian dari kampanye Lumiere bersaudara, telah dimulai bahkan sejak 1897. Maka, ketika sebuah gerakan sinema nasional lahir, ketika seorang pangeran di Thailand, atau seorang pribumi Indonesia mulai merekam sebuah adegan dengan kamera, ia tengah melakukan sebuah kegiatan lokal yang sekaligus menjadi bagian dari globalisasi.

NAMUN, sebagaimana fenomena global lain, globalisasi di dunia film ini membawa persoalan tersendiri ketika hukum alam yang kuat versus yang lemah menyeruak. Struktur modal dan teknologi menyebabkan tumbuhnya sebuah pusat yang terlalu berkuasa dalam industri film dunia. Hollywood menjadi begitu berpengaruh. Dan mulailah muncul suara-suara yang menyatakan bahwa globalisasi dalam indusri film tak ubahnya sebuah kolonisasi baru. Ben Okri, penulis Nigeria, satu kali pernah berujar (dalam kumpulan esainya, A Way of Being Free) bahwa jika kita ingin menguasai sebuah bangsa, kuasailah lebih dulu kisah-kisah dan dongeng-dongeng di kepala mereka. Maka, seringkali ketika

1303

1304

4. FILM DAN KITA

berbicara mengenai globalisasi, banyak orang sepakat bahwa Hollywood dengan semua karya blockbuster-nya telah melakukan apa yang disebut Okri itu. Wim Wenders, sutradara Jerman ternama, satu kali pernah berpidato kepada bangsanya: “Amerika telah menjajah, telah mengoloni subconscious kita”. Banyak orang memang sepakat dengan Okri dan Wenders. Hollywood tak sekadar menawarkan sisi glamor dari bintangbintangnya, melainkan juga mewakili soft power, atau bahkan imperialisme kultural, dari Amerika. Adalah fakta bahwa meski Hollywood memproduksi hanya sebagian kecil dari jumlah keseluruhan film feature dunia, ia menghasilkan sekitar 75 persen penghasilan dari bioskop-bioskop di seluruh dunia. Jumlah persentase ini bahkan akan makin besar jika kita menggabungkan pembelian dan penyewaan video-dvd. Pasar film-film Hollywood di tahun-tahun terakhir ini hampir dua kali lipat pasarnya di 1990-an. Bandingkan dengan pasar bagi industri film Eropa yang terus menciut. Dibanding pasarnya pada 1945, industri film Eropa belakangan ini ukurannya hanya sepersembilan. Di Eropa Barat pada 1985, 41 persen tiket bioskop direbut oleh film-film Hollywood. Tapi pada 1995, angka itu membengkak menjadi 75 persen. Di Asia, keadaannya tak jauh berbeda. Sejak meningkatnya kemakmuran di Asia pada 1980-an dan 1990-an, yang diikuti dengan munculnya kultur sinepleks, film-film Hollywood mulai merajalela. Pada tahun-tahun itu tercatat 96 persen tiket bioskop di Taiwan diraih film-film Hollywood. Di Thailand angkanya 78 persen dan di Jepang 65 persen. Maka tak mengherankan jika sejak tahun 2000 film-film Hollywood mulai memperoleh pendapatan box-office lebih besar di luar Amerika. Sejak 2000 itu, tercatat hanya ada satu film luar Hollywood yang bisa memperoleh pendapatan diatas US$ 100 juta dollar yakni film Hayao Miyazaki Spirited Away. Film itu pula

MEMBACA GLOBALISASI DALAM KACAMATA PERANG BUDAYA*

satu-satunya film luar Hollywood yang bisa menyeruak menjadi film terlaris pada tahunnya (2001). Di luar fenomena Spirited Away, Hollywood selalu mengisi daftar box office dunia.

HOLLYWOOD tak hanya sukses secara komersial. Gaya tutur Hollywood dan selera penceritaannya juga menjadi sesuatu yang berpengaruh besar pada dunia. Bombardir film-film Hollywood menyebabkan selera penonton perlahan juga diseragamkan. Sistem penceritaan tiga jurus yang sederhana, seolah menjadi satu-satunya model penceritaan baku yang harus ditiru jika seseorang ingin membuat film. Resep yang dipandang terbukti sukses ini akhirnya juga menjadi jurus yang dianut sebagian besar para pembuat film dunia. Maka, sungguh menarik misalnya ketika kita menyaksikan film King Naresuan yang tahun lalu memecahkan segala rekor boxoffice Thailand. Film yang dibuat dalam tiga sekuel ini mengisahkan kehidupan Raja Naresuan, Raja masa lalu paling popular di Thailand karena berhasil membebaskan Siam dari “penjajahan” raja Myanmar. Ketika film pertama King Naresuan diputar di Bangkok, penulis menyaksikan nyaris seluruh layar sinepleks terkemuka di Bangkok memutar film ini. Hanya ada satu film kecil yang berani bersaing dengan Naresuan, yakni sebuah feature dokumenter mengenai empat anak SMA Thailand yang jungkir balik mempersiapkan diri untuk mengikuti semacam tes Sipenmaru ala Thailand. Tapi, alih-alih menyaksikan sebuah epik khas Thailand dalam menonton King Naresuan, apa yang kita saksikan di layar nyaris tak ada bedanya dengan film Hollywood. Kisah masa kecil Raja Naresuan yang ditahan di istana kerajaan Myanmar, tak bisa tidak akan mengingatkan kita pada penggambaran bocah dalam produksi Hollywood. Petualangan bocah Naresuan dengan

1305

1306

4. FILM DAN KITA

dua side-kick-nya (bocah lelaki badung dan satu gadis kecil yang cantik menggemaskan) benar-benar mirip dengan karakter dalam kisah Harry Potter versi Hollywood. Adegan-adegan pertempuran, dengan kuda dan gajah dalam dua sekuel Naresuan berikutnya, segera mengingatkan saya pada imaji-imaji pertempuran dan percakapan dalam trilogi Lords of the Ring-nya Peter Jackson. Tak hanya pendekatan ataupun struktur cerita, scene per scene adegan pun sangat mirip. Di Jepang, pun pengaruh Hollywood jelas terlihat. Sebuah film berjudul  Always-Sunset on Third Street  yang sangat laku (pendapatannya melampaui 3 Milyar Yen) bisa jadi contoh. Always bukanlah sebuah film buruk. Terbukti ia memenangi 12 penghargaan dalam ajang tahunan Piala Citra versi Jepang. Namun, film yang didasarkan pada sebuah manga alias komik Jepang yang laris ini bisa dengan mudah dinilai sangat “tidak Jepang”. Dalam percakapan dengan penulis, Kenichi Okubo, seorang kritikus film Jepang dengan separuh kesal mengungkapkan betapa penggambaran hubungan antarkarakter dalam Always benarbenar sulit ditemui dalam masyarakat Jepang. Lebih tak masuk akal lagi karena kurun yang digambarkan dalam film ini adalah tahun-tahun kala semangat juang bangsa Jepang bangkit kembali paska kalah di perang Dunia ke II.

PENGARUH global Hollywood ini jelas tak berlangsung tanpa perlawanan. Eropa misalnya, jelas melawan. Dalam ronde perundingan WTO (World Trade Organization) misalnya, Eropa berkeras menolak film dipandang sebagai sebuah entitas ekonomi semata. Dengan mempertahankan pandangan bahwa film adalah produk kultural, negara-negara yang bergabung dengan Uni Eropa merasa berhak mempertahankan subsidi negara untuk

MEMBACA GLOBALISASI DALAM KACAMATA PERANG BUDAYA*

menyokong industri perfilman mereka, dalam menghadapi serbuan Hollywood. Dengan tiga festival film terbaik dunia yang berlangsung di benua ini—yakni Festival Film Cannes, Venice, dan Berlinale— Eropa berhasil menyuburkan semangat perlawanan dan pembedaan dengan tradisi film Hollywood. Meski memiliki karakter berbeda, tiga festival ini mempertahankan tradisi filmmaking yang konsisten berupaya mencari bahasa dan temuan sinematik baru. Lewat tradisi festival inilah, muncul ke permukaan sutradara-sutradara besar yang memiliki kecenderungan author dan personalitas kuat. Yasuhiro Ozu, Akira Kurosawa dan Misoguchi yang kelak dipandang sebagai raksasaraksasa dalam tradisi perfilman Jepang dikenal dan dirawat oleh festival-festival film di Eropa ini. Belakangan, sutradara-sutradara seperti Wong Kar-Wai, Tsai Min Liang, Apitchatpong Weerasetakul, Pen-ek Ratanaruang dan juga Garin Nugroho turut menapaki tradisi ini. Film-film mereka akan terasa “aneh” dan “berbeda” bagi penonton mayoritas di negeri masing-masing. Pasalnya, mereka terus mencari bahasa ucap yang berbeda dan enggan berkompromi dengan tradisi umum penceritaan dalam film-film nasional yang dipengaruhi Hollywood ini. Di negerinya, perlawanan ala sutradara-sutradara “festival” ini juga menularkan semangat pemberontakan tersendiri. Beberapa sutradara baru dari generasi yang lebih muda turut lahir dan mengibarkan pemberontakan mereka sendiri. Namun biasanya gerakan sutradara pemberontak ini akan terasa kecil bak suara teriak di tengah hutan. Belantara selera penceritaan Hollywood terlalu lebat untuk mereka tembus. Jadilah di Thailand, film seperti sekuel  King Naresuan  yang akan merajai box-office. Persis seperti film Ayat-ayat Cinta menguasai rekor box-office di negeri ini.

1307

1308

4. FILM DAN KITA

MEMPERDEBATKAN mana yang lebih baik, perlawanan personal ala para sutradara author atau perlawanan merebut boxoffice dari film Hollywood ala King Naresuan atau Ayat-ayat Cinta, jelas bakal berbuntut debat yang panjang. Pertanyaan lebih mendasar, ”apakah sukses King Naresuan dan Ayat-ayat Cinta bisa disebut perlawanan?”—juga bakal mencuat dan memiliki pendukung pro dan kontra tersendiri. Dengan memutuskan menunda membicarakan pro kontra itu, mungkin jauh lebih menarik melihat bagaimana Jepang dan Korea memperkuat diri dalam menghadapi globalisasi ini. Pasalnya, ketika saya berada di Jepang, dan bergaul dengan sebagian kalangan di industri perfilman Jepang, sangat terasa betapa mereka kini tengah mewaspadai Korea, dan memandang negeri ginseng ini sebagai pesaing utama mereka. Dalam bahasa seorang organizer festival film di Jepang, “Jika dulu generasi kami terpesona oleh film, musik dan gaya hidup Amerika, kini generasi muda Jepang melihat hal serupa pada negeri seperti Korea.” Keberhasilan serial televisi Korea dan filmfilm Korea merebut penggemar di Jepang memang meningkatkan kewaspadaan para sineas Jepang. Seorang penulis (skenario) Jepang yang sempat penulis wawancarai bahkan merefleksikan kekalahan sementara film-film Jepang ini sebagai kekalahan dan kelemahan bangsa Jepang. “Sederhana saja. Bangsa ini bahkan sudah kehilangan tabu. Bertemu lalu berhubungan seks tak lama sesudahnya, misalnya, membuat bangsa ini melupakan cara membangun emosi yang jujur,” katanya. Dari sudut besaran industri, perfilman Jepang seharusnya tak perlu merasa kalah dari Korea. Dengan produksi tahunan ratarata 300, perfilman Jepang mungkin hanya kalah dari Bollywood dan Hollywood. Tapi, sukses Korea membangkitkan industri filmnya yang kolaps dan mencuri posisi Jepang sebagai “pusat”

MEMBACA GLOBALISASI DALAM KACAMATA PERANG BUDAYA*

pengaruh di perfilman Asia benar-benar membuat Jepang terpaksa membuka mata. Tokyo International Film Festival, misalnya, kini harus memberi jalan bagi Pusan International Film Festival yang dimulai sebagai Festival paling bergengsi bagi perfilman Asia. Dengan pengunjung hingga 160 ribu orang per tahun, Pusan jelas telah sukses mengukuhkan diri sebagai festival film terbesar di Asia. Tapi, bukan Jepang kalau menyerah begitu saja. Apalagi mereka tahu benar apa yang dipertaruhkan. Pada Tokyo International Film Festival (TIFF) 2006, Akira Amari, menteri ekonomi Jepang kala itu, berujar: “Industri content adalah kunci industri dan ekspor di abad ke-21.” Ia pun mengakui kalau Jepang mati-matian berupaya menguasai industri konten (film, musik, komik dan game) ini. “Kalau Hollywood adalah  hub  bagi industri konten dunia, maka kami ingin jadi hub konten industri di Asia,” kata Amari. Jepang memang tak main-main. Serangkaian undangundang yang dipuncaki dengan Content Promotion Law pada 2004 memberi landasan dan kewajiban bagi pemerintah Jepang untuk melindungi dan memenangkan persaingan bagi industri konten negeri itu. Sejalan dengan semangat bersaing dalam industri konten inilah Akira Amari bertekad menjadikan TIFF sebagai “Total festival konten bagi film, anime, game, dan musik untuk tahun-tahun berikutnya”. Sebagian kalangan film sangat berkeberatan dengan cita-cita ini, karena menilai ambisi ekonomi semacam ini bakal menghancurkan reputasi artistik Tokyo International Film Festival. Kalangan industri anime juga tak terlalu antusias karena merasa telah memiliki Tokyo International Anime Fair. Namun tampaknya, tekad pemerintah Jepang yang disokong sebagian kalangan industri ini bakal sulit dihadang. Apalagi, popularitas TIFF di kalangan industri anime makin meningkat. Dibanding featurelive-action, anime Jepang memang

1309

1310

4. FILM DAN KITA

jauh lebih mudah dijual ke pasar internasional. Pokemon,  Naruto, Full Metal Alchemist, adalah judul anime Jepang yang kini tengah popular di seluruh penjuru dunia. Sebelumnya juga telah ada Astro Boy dan Dora Emon, atau Ultraman yang usianya telah lebih dari 40 tahun. Bahkan jika film jepang secara internasional telah “disalip” film Korea, keadaannya berbeda di dunia anime. OnePiece, kartun Jepang dalam versi film panjang, dengan mudah diputar di 100 layar bioskop ketika hak tayangnya dibeli Korea. Jepang, dan juga Korea, tampak sangat siap untuk memacu persaingan dalam industri konten ini. Persaingan keduanya, turut memunculkan sebuah kecenderungan baru menyatunya kultur populer Asia Timur. Cina (Hongkong), Taiwan, Korea, Jepang, dan Thailand perlahan tapi pasti “menyatukan” sejenis kultur populer yang boleh disebut seragam. Kesamaan gaya hidup pada kaum muda dan kelas menengah di negeri-negeri ini membawa kesamaan pula terhadap selera mereka. Pada era semacam inilah, serial drama Korea, film Horor Jepang, dan crime-flick Hongkong seolah menjadi kosa kata wajib bagi kaum muda kelas menengah Asia. Wajah Bae Yong Jun dan Rain dari Korea, juga Ayu dan Takuya Kimura dari Jepang, juga Zang Zi Yi dari Cina, dengan mudah dikenali sebagai ikon iklan mulai dari Guangzhou hingga Singapura. Dalam era ini pula, Korea dan Jepang sangat sadar bahwa memajukan industri konten mereka (yang pada 2000 saja nilainya sudah US$ 12 milyar) sama dengan memperkuat soft power mereka terhadap bangsa lain. Bagaimana Indonesia? Ketika berada di Jepang, saya berkesempatan mendengar Rahmat Gobel, salah satu ketua kamar dagang Indonesia, mempresentasikan apa yang ia sebut sebagai Road Map Industri Indonesia 2030 di depan para mahasiswa doktoral Indonesia di sebuah Universitas negeri itu. Pada Road Map itu, ternyata indusri konten sama sekali tak disebut-sebut.

MEMBACA GLOBALISASI DALAM KACAMATA PERANG BUDAYA*

Dengan kaca mata semacam inilah kita mungkin harus membaca Indonesia. Ketika kita melihat Agnes Monica meliukliuk menari, lalu melihat betapa penyanyi Korea, Rain, dalam konsernya di sekujur Asia telah lebih dahulu meliuk dengan gaya serupa; juga ketika melihat kaum muda kita di Bandung, atau di Kelapa Gading, menyelenggarakan karnaval  cosplay ala anime  Jepang; atau ketika menyaksikan betapa filmmaker  muda kita bersusah payah mencoba meniru estetika film Korea, kita tahu di mana letak kita sebagai bangsa di hadapan apa yang kita sebut globalisasi ini.

1311

Eric Sasono

Laa Ilaha Ilaallah, Sambil Telanjang Dada

1

D

i JAFF 2008 ini, sekali lagi saya menonton Kantata Takwa pada malam pembukaan. Tadinya saya berniat melewatkan saja pemutaran Kantata di festival ini karena saya sudah pernah menontonnya dalam pertunjukan khusus di Ruang Sjuman, Institut Kesenian Jakarta bulan April lalu, dan saya sudah menuliskannya untuk Rumah Film. Namun karena belum ada kegiatan lain yang bisa diikuti di festival ini, saya pun duduk di gedung pertunjukan di Taman Budaya Yogyakarta menonton film itu sekali lagi. Sebagaimana biasa, menonton film untuk keduakalinya selalu memunculkan hal baru. Saya mengalaminya. Entah kenapa saya bisa luput melihat hal ini ketika menonton Kantata untuk pertamakalinya. Mungkin semata-mata luput, atau  mungkin karena suasana ketika saya menonton pada April 2008 berbeda dengan Agustus 2008.

LAA ILAHA ILAALLAH, SAMBIL TELANJANG DADA

Hal baru pertama yang muncul soal teknis. Sistem suara di Taman Budaya Yogyakarta jauh lebih baik ketimbang di ruang Sjuman. Maka musik dan suasana konser Kantata jauh lebih menghantam telinga dan menimbulkan efek emosi lebih besar. Dengan begitu, posisi film ini sebagai film konser terasa sekali. Dengan lagu-lagu yang saya kenal baik, apresiasi saya terhadap film ini jadi meningkat ketimbang pertama kali saya menontonnya. Namun kesan baru kedua yang muncul agak mendasar. Iwan Fals, Sawung Jabo dan kawan-kawan bernyanyi di panggung dengan telanjang dada. Lirik yang mereka lantunkan antara lain “Laa Ilaha Illallah”—penggalan kalimat syahadat. Clara Sinta juga muncul berjilbab di sana menjadi semacam saksi terhadap berbagai peristiwa yang dialami oleh para seniman itu. Di ujung film, Clara Sinta yang tadinya sendirian kemudian diikuti oleh banyak perempuan berjilbab lainnya. Jelas sekali bahwa pembuat film ini ingin menyatakan bahwa di masa depan Islam akan menjadi pemenang di Indonesia. Film ini memang dibuat pada era ketika kata “Takwa” sedang diusahakan masuk ke dalam berbagai dokumen resmi negara semisal RAPBN dan sebagainya. Memahami konteks  Kantata  memang berguna untuk memberi makna terhadap pesan-pesan yang ada di dalam film itu. Saya menekankan pada konteks itu ketika membahas Kantata untuk pertamakalinya dan tak bisa lepas dari bayangan saya tentang persoalan dan ekspresi dekade 1990-an. Namun melihat film ini sekali lagi berhasil membuat konteks tersebut tanggal dan saya bisa lebih bebas. Maka muatan Islam dalam film ini jadi maju ke muka dan bicara dalam sebuah konteks yang sama sekali berbeda. Melantunkan Laa Ilaha Ilallah sambil bertelanjang dada (bahkan menurut Gotot Prakosa, mereka melantunkan itu sesudah nge-gele) adalah sesuatu yang sangat ideosinkretik pada saat ini.

1313

1314

4. FILM DAN KITA

Para lelaki bertelanjang dada dan melantunkan syahadat ini tergolong istimewa. Kita masih ingat gambar Vino Bastian dan Herjunot Ali bertelanjang dada di poster Realita, Cinta dan Rock ‘n’ Roll yang diturunkan oleh sekelompok pemrotes dari kelompok Islam yang sedang memprotes film Buruan Cium Gue. Lelaki telanjang dada (sekalipun tak termasuk mengumbar aurat) dianggap sebagai tidak Islami. Jika dibandingkan dengan ‘ketertutupan aurat’ dan pakaian ‘Islami’ yang menjadi agenda penting dalam ungkapan Islam dalam budaya pop sekarang ini, maka apa yang disajikan Kantata Takwa terasa seperti menyajikan bentuk ekspresi ke-Islaman yang berbeda sama sekali.

2 Sinema dan budaya pop saat ini sedang menjadi sebuah ajang pergulatan baru bagi umat Islam di Indonesia. Sesudah Ayat-Ayat Cinta menjadi film Indonesia yang paling banyak ditonton, terjadi perumusan ulang yang serius terhadap hubungan antara Islam dan film. Kecenderungan meningkatnya secara drastis besaran pasar budaya pop Islam (nasyid, novel ‘Islami’ dan sebagainya) akhirnya seperti ditasbihkan dengan keberhasilan AAC menjadi film bioskop terlaris sepanjang masa di Indonesia. Saya sempat mengomentari kesuksesan AAC adalah karena keberhasilannya mencabut sekat antara Islam dan romansa. AAC seperti memberi sebuah jalan bagi romansa yang melodramatis yang biasanya menjadi wacana yang ada pada filmfilm kelas menengah dan kaum borjuasi.  AAC  berhasil memindahkan romansa yang biasanya ada pada film-film remaja dan sinetron TV ke dalam bentuk layar lebar, sambil tetap mempertahankan ungkapan ke-Islamannya. Namun AAC tetap menuai banyak protes, terutama dari kalangan Muslim yang lebih skriptural. Protes pertama adalah

LAA ILAHA ILAALLAH, SAMBIL TELANJANG DADA

ungkapan-ungkapannya yang dianggap ‘kurang mewakili semangat Islam’, terutama dalam karakterisasi tokoh utama film itu. Tokoh utama film itu, Fahri, tampak bimbang dan tak punya semangat ideologis ketika mengambil keputusan. Dalam novel, Fahri adalah seorang tokoh sempurna—cenderung idyllic—yang mengambil keputusan berdasarkan kesadaran ideologisnya. Namun dalam film, Fahri seperti orang tak berdaya dan tersudut oleh keadaan. Protes juga terjadi dalam proses pembuatan film yang akhirnya mempengaruhi output sinematik dari film ini.  AAC  merupakan sebuah film ketika peristiwa di luar pertimbangan sinematis turut mempengaruhi proses sinematisnya. Misalnya pada soal pertimbangan pemilihan pemain yang harus beragama Islam, nilai muatan dakwah di dalamnya atau hal-hal semacam ini. Film ini, seperti diakui Hanung Bramantyo dalam talk show dengan saya di salah satu TV swasta, film ini adalah kompromi 4 pihak: sutradara, penulis skenario, penulis novel, dan produser. Protes dan kompromi dalam proses ini bisa dibilang merupakan sebuah upaya untuk memunculkan apa yang dianggap sebagai nilai-nilai Islam dalam bentuk sinema, baik dalam proses produksi maupun dalam cara ungkap sinematisnya. Ukuranukuran dogmatis tentang Islam berusaha diterapkan ke dalam sinema, jika perlu dalam bentuk yang sama dogmatisnya dengan sebuah khotbah Jumat atau pengajian. Sebagai ilustrasi saja, misalnya, adalah sebuah surat pembaca ke email redaksi RumahFilm yang sebenarnya ditujukan kepada Habiburrahman El Shirazy, penulis buku AAC dan Ketika Cinta Bertasbih yang sedang dalam proses difilmkan. Ada 2 poin utama dalam surat itu yang menarik dalam konteks melihat ungkapan Islam dalam sinema. Pertama adalah permintaan sang penulis surat agar pemilihan pemain Ketika Cinta Bertasbih. Jika ada adegan lelaki-perempuan dalam film itu

1315

1316

4. FILM DAN KITA

sebaiknya dimainkan oleh mereka yang memang muhrim. Permintaan kedua adalah agar dalam proses menonton film itu, sebaiknya lelaki dan perempuan dipisah atau lampu di dalam gedung bioskop dibuat terang saja supaya bisa menghindar dari keadaan dimana lelaki dan perempuan bercampur (bahkan berpacaran) di ruang gelap. Kedua logika ini sama sekali berbeda dengan logika produksi dan eksebisi film yang sudah dikenal selama ini. Terlepas dari apakah logika ini bisa diterima atau tidak, yang jelas usaha untuk membuat sinema menjadi sedekat mungkin dengan dogma Islam sedang membesar. Maka membayangkan kelompok Kantata Takwa yang menyanyikan Laa Ilaha Ilallah bertelanjang dada (bahkan kabarnya sesudah mengisap ganja) adalah sebuah ungkapan keIslaman yang berjalan ke ujung lain dari tuntutan logika itu. Apakah ini berarti Kantata Takwa tak bisa diakui sebagai film Islam atau film Islami?

3 Akhirnya perdebatan memang sampai kepada soal apa yang Islam (atau ajektifnya, Islami) dan tidak dalam sinema. Sampai di sini, ukuran-ukuran non-sinematis sudah pasti nyaris diterapkan. Perdebatan mengenai apa yang “Islam” atau “Islami” dan yang tidak, dan rasanya itu bukan urusan sinema. Sinema bagaimanapun sebuah usaha representasi dari para pembuatnya. Maka pada Kantata dan AAC, Islam direpresentasikan oleh dua kelompok pembuat film yang berbeda dan menghasilkan gambaran berbeda tentang Islam. AAC adalah sebuah gambaran tentang melodrama dalam Islam. Tema melodrama yang memancing tangis dari kesulitan posisi perempuan adalah sebuah tema milik kelas menengah. Tokoh utama dalam  AAC  adalah mahasiswa pasca sarjana,

LAA ILAHA ILAALLAH, SAMBIL TELANJANG DADA

seorang kelas menengah. Tokoh-tokoh lainnya berlatar belakang kelas menengah Mesir yang selesai dengan persoalan-persoalan konsumsi primer mereka. AAC adalah sebuah eksemplar dari representasi kelas menengah Islam dalam layar perak. Sementara itu, Kantata membawa sebuah irisan tema Islam dengan pemberontakan terhadap kekuasaan. Film  Kantata memperlihatkan suasana penonton konser yang berdesakan masuk, menghancurkan segala rintangan yang ada di depan mereka. Dengan lantunan “Bento!” dan “Bongkar!”, Kantata seperti sedang menggambarkan suasana hati massa yang marah dengan situasi tekanan politik Orde Baru saat itu dan mencari jalan pelampiasan.  Kantata  adalah sebuah katarsis dimana lagu jalanan Iwan Fals bertemu dengan aspirasi Islam, dan hasilnya adalah anak-anak singkong bernyanyi Bento dan massa yang mendobrak pagar pembatas stadion Utama Senayan untuk menyalurkan histeria mereka. Kantata Takwa adalah sebuah ungkapan Islam untuk massa. Bisa jadi karena faktor Iwan Fals yang mempunyai daya tarik bagi massa, tapi juga bisa jadi karena puisi-puisi Rendra yang meminimalkan metafora dan bicara langsung tentang persoalanpersoalan kekuasaan saat itu. Paling tidak, sajak-sajak Rendra bicara dalam bahasa dan ungkapan yang relatif mudah dimengerti dan bisa dengan mudah diubah menjadi slogan. Saat ini, diskusi mengenai muatan Islam dalam sinema terarah pada bentuk-bentuk yang lebih tekstual, skriptural. Persoalan seperti hijab, muhrim atau tidak dan ungkapanungkapan seperti itu lebih mendapat perhatian bagi film-film yang ditujukan untuk kelas menengah dengan persoalan-persoalan untuk orang-orang yang sudah selesai dengan konsumsi primer.  Kantata Takwa  bagaimanapun bicara kepada massa dengan ungkapan-ungkapan Islam. Sekalipun Kantata Takwa bicara dalam konteks 1990-an, tetapi ia—sebagaimana film Rhoma Irama—bicara kepada massa

1317

1318

4. FILM DAN KITA

Islam. Hal yang sangat menarik dari Kantata ketimbang film-film Rhoma Irama adalah agenda pembicaraannya berupa perlawanan terhadap kekuasaan. Hal inilah yang tampaknya sedang hilang dalam usaha untuk memindahkan wacana Islam ke dalam bentukbentuk sinema. Bahwa ungkapan nilai Islam dalam sinema tidak hanya agenda yang ada pada film Ayat-ayat Cinta saja. Apakah Islam sedang tak punya artikulasi bagi massa—atau setidaknya kelas pekerja—dalam bentuk-bentuk budaya popular atau sinema?

Hassan Abdul Muthalib

Perjuangan: Satu Monolog

W

ahai muridku, kamu bertanya: Apakah itu PERJUANGAN? Apakah ianya berbaris mengibar bendera? Melaungkan deklamasi? Atau berdemonstrasi? Atau pun reformasi? Kamu keliru. Aku tidak salahkan kamu. Hari ini banyak perkara yang mengelirukan. Media dan politikus mungkin lebih keliru dari kamu. Alihkan pandanganmu. Lihatlah butiran bintang di langit biru. Pandanglah kepada mereka - manusia seni, manusia yang bergelar pengkarya. Masihkah kamu keliru? Kamu bertanya—mengapa mahu lihat pada fiksyen dan tidak pada yang nyata? Muridku, di zaman ini sudah sukar untuk membezakan yang mana fiksyen, yang mana realiti. Adakalanya fiksyen lebih dekat dengan realiti. Mari, aku ajak kamu melihat hasil kerja seorang pengkarya dari antara beribu pengkarya yang tidak pernah keliru tentang

1320

4. FILM DAN KITA

perjuangan. Lihat kisah dalam filem NOVEMBER 1828, kisah perjuangan orang Muslim dan Hindu di Indonesia menentang Belanda—buah tangan STEVEN LIM TJOE HOCK (bergelar TEGUH KARYA), seorang karyawan Cina beragama Kristian pada tahun 1979. Antara adegan adalah tradisi tarian dan nyanyian orang Jawa yang bersandarkan Selawat:       (Musik Selawat). Bapa Pucung, jangan bingung. Hidup di zaman ini, harus punya pekerti. Jangan lupa pada Yang Maha Kuasa.      (Rebana). Sayang, sayang, orang kaya tidak sembahyang. Orang kaya mana? Bahkan yang terkaya Nabi Sulaiman, rajin sembahyang. Sayang, sayang, orang gagah tidak sembahyang. Orang gagah mana? Bahkan yang tergagah Nabi Yusuf, rajin sembahyang. Sayang, sayang, orang miskin tidak sembahyang. Orang miskin mana? Bahkan yang termiskin Nabi Yunus, rajin sembahyang. Sayang, sayang, orang cantik tidak sembahyang. Orang cantik mana? Bahkan yang tercantik Zulaekha, rajin sembahyang. Sayang, sayang, orang tua tidak sembahyang. Orang tua mana? Bahkan yang tertua Nabi Nuh, rajin sembahyang. Sayang, sayang, orang pangkat tidak sembahayang. Orang pangkat yang mana? Bahkan Sultan Agung, rajin sembahyang

PERJUANGAN: SATU MONOLOG

SENTOT PRAWIRODIRJO, ketua pemberontak, utuskan surat kepada KAPTEN BELANDA, penuh sopan tapi nadanya tetap sebagai seorang pejuang: Assalamualaikum warahma tullahi wabarakatuh. Bismillah hir Rahman nir Rahim.. Tuan-tuan mesti mengetahui bahawa tanah di mana saat ini tuan berdiri adalah tanah Jawi, negeri leluhur kami. Atas bantuan Allah, mudah-mudahan dalam waktu dekat ini, kami sudah akan bisa memiliknya lagi dan membebaskan orang-orang kami yang ditangkap. Nyawa kami adalah taruhannya. Amin, amin, ya Rabbal Alamin. Dikirim oleh SENTOT ALI BASYA ABDUL MUSTAFA PRAWIRODIRJO.

Seorang pejuang beragama Hindu, KROMOLUDIRO, difitnah KETUA KAMPONGnya sendiri. Dia diseksa Belanda agar akan mendedah tempat persembunyian SENTOT PRAWIRODIRJO. KAPTEN BELANDA menegaskan, ramai lagi orang Jawa yang akan membantu Belanda. KROMOLUDIRO: Tidak mungkin! Tidak ada sebuah negeri yang semua penduduknya terdiri dari pengkhianat! Tidak ada! Kalau betul ada menurut tuan Kapiten, saya rasa mereka sudah lupa diri! Mungkin lupa diri, tertutup oleh pangkat atau kekayaan yang kalian limpahkan sehingga mereka tidak bisa melihat lagi kebesaran nenek moyangnya! KAPTEN: (Sinis). Jadi—kamu lebih memilih kecintaan pada tanah air daripada dirimu atau keluargamu? Kamu tidak mencintai anak-anak kamu?

1321

1322

4. FILM DAN KITA

Bila gagal, Belanda hantarkan LARAS, anak perempuan KROMOLUDIRO, untuk mempengaruhi bapanya. LARAS: Ibu sangat menderita. KROMOLUDIRO: Bodoh! Itu yang diharapkan pasukan Belanda. Jangan kasih lihat pada mereka. Penderitaan ini tidak seberapa. Kesulitan adalah guru! Yang bisa membuatkan kamu semua bijaksana. LARAS: Kami semuanya gelisah. KROMOLUDIRO: Sebentar lagi akan lewat. (Menghibur). Kamu akan kahwin dan mempunyai anak. Teman hidup mu mesti seorang satria, yang bisa menjaga praya keluarga kita. Lelaki yang bisa mendahulukan kewajipan daripada kepentingannya sendiri. Kerana orang seperti itu yang tidak makan suap apalagi menjual bangsanya. Dari seorang satria akan lahir anak-anak yang baik. Kamu jangan kaget jika mereka nakal-nakal. Itu biasa. Yang penting, asal mereka jangan berani mencuri atau ingin harta orang lain. Supaya besarnya jangan jadi  pencuri. Hindarkan perbuatan seperti itu dari keluarga kita.

Sebuah pademangan yang terdiri dari banyak maling (pencuri), akan membuat sebuah kabupaten tidak bisa berdiri. Sebuah kabupaten jika terdiri dari banyak maling, tidak bisa membuat sebuah kepatihan berdiri. Sebuah kepatihan yang terdiri dari banyak maling tidak bisa membuat sebuah kesultanan berdiri kokoh. Jika penduduk sebagian besar terdiri dari maling, maka lebih baik pulau Jawa ini tenggelam ke dasar laut! KROMLUDIRO bermula seperti seorang bapa yang menasihati anaknya. Kemudian sebagai seorang guru yang

PERJUANGAN: SATU MONOLOG

mengajar muridnya. Akhir sekali sebagai seorang pejuang yang bertegas kepada rakyat negaranya. Muridku, di mana langit dipijak, di situ langit dijunjung. Tanah di mana tumpahnya darah, tanah itu penuh keramat dan bermakna. Terpisah dengan negera sendiri walaupun buat seketika adalah sesuatu yang amat menyiksakan. Mari lihat perasaan seorang gadis remaja di saat terpisah dengan kampong halamannya kerana mahu melanjutkan pengajian. Mari lihat cerpen FATIMAH BUSU,  THE CHILDREN OF KG PASIR PEKAN (1975), yang disampaikan dalam bahasa penjajah yang tidak kurang indahnya dengan bahasa ibunda: Tears rolled down Timah’s cheek. A few drops fell into the puddles on the paddy fields with the keli, puyu and haruan, finally blending with the drops of dew that clung to the ripe golden yellow grains of paddy. A few more drops fell on Kahir’s watermelon patch, Succouring the green creeping plant. And her tears would also fall on Adil’s barn, bringing  happiness to the unborn buffalo calves. The tears would certainly fall into the large pot of curry being cooked near Siah’s house. The curry would taste sweet and salty and would light up the faces of the newlyweds, Gani and Siah. It would not be long before Siah would conceive her first child. At the same time, Kahir’s sister, Jenah, would deliver her  first son. The soft breeze would blow the baby’s cry throughout the kampung together with the chatter of squirrels, the twittering of birds and the fluttering of butterflies. Her  mother’s paddy seedlings would flourish with new shoots sprouting all over the place. The durian, seta, rambutan and  langsat trees that were in flower would blossom into fruit. — (Translated by Hamdan Yahya).

1323

1324

4. FILM DAN KITA

Wahai muridku. Bumi ini bukan sembarangan. Bumi inilah yang melahirkan kamu, ibu bapamu, nenek moyangmu. Bumi ini juga tempat semadinya kamu nanti sebagaimana ia semadikan mereka itu semua. Muridku, kenalilah bumi ini dengan rata-rata. Dampingilah mereka yang bijaksana. Rapatlah dengan manusia bergelar pengkarya. Sentiasa ingat pada Yang Maha Esa. Kebesaran nenek moyangmu jangan dilupa. Lahirkan generasi yang lebih sempurna, Yang akan menyenangkan hati ibu dan bapa. Anakanak yang akan memajukan bangsa, Bukan yang akan menjadi maling, Bukan yang akan memalukan negara. Itulah PERJUANGAN. MERDEKA!

Monolog ini dipersembahkan di MALAM LAGU, PUISI & KOPI II di Fakulti Artistik & Kreatif, UiTM, Puncak Alam pada 29 Ogos 2008. Terima kasih, SENIMAN ABD GHAFFAR IBRAHIM atau AGI, yang memberikan peluang menyampaikan monolog ini—satu pengalaman baru dalam hidup saya yang sudah lanjut ini.

Ekky Imanjaya

Belitong According to Laskar Pelangi “Laskar Pelangi represents the other side of Indonesia. And it seems that our spectators had missed that kind of otherness” producer Mira Lesmana says. Why and how does the dynamic trio Riri Riza-Mira Lesmana-Salman Aristo (director, producer, scriptwriter, respectively) successfully depict Belitong in Laskar Pelangi (Rainbow Warrior)? I will elaborate it through two keywords: mental landscape and neorealist elements.

Mental Landscape

M

ental landscape gives the soul of one city. The city depicted in a film is not merely a physical landscape with abstract identity, but it tells its stories and the activities. The spectators can immediately feel and understand that if a film set in Jakarta with its particular social problems, and it tells stories of people living in Jakarta. In short, it shows its certain “spiritual vitality” of the city. It is notable film critic Andre Bazin who mentions “spiritual vitality” of one city on screen as an important aspect to depict mental landscape. This concept gives the soul and identity to one

1326

4. FILM DAN KITA

city so that the audiences are convinced with certain atmosphere and particular ambience of a city. Bazin uses it when he defends Rossellini’s Voyage to Italy. Bazin underlines that the recreated Naples on the film is not false, albeit it is not shot in the real Naples, because it has the quality of wholeness (including the geographical and social setting), and being “filtered” through the consciousness and the attitude of the main characters (Bazin 1972: 98-99). Through the main character’s awareness, the spectators can feel the wholeness and spiritual vitality of Naples. In conclusion, a mental landscape shows the “spiritual vitality” of one city on screen, construes something specific or certain indications referring that the city where the films are set is one particular city. And one aspect of the spiritual vitality is the reconstitution the city which supposedly signifying human achievement and progress. Asrul Sani states that most of Indonesian films in his era are set in Jakarta, but actually they are not about Jakarta or its people, but rather about a large city with no name. He writes: “Jakarta is merely a set, a place for action because every story needs a setting” (Jufri (eds.) 1992: 23). Sani writes that the spectators rarely see anything specific or certain indications referring that the city where the films are set is Jakarta. Jakarta is only physical space completely voids the symbolic meaning (Jufri (eds.) 1992: 23). Sani writes that instead of the outer images or the physical aspect of life in the city, a mental landscape of Jakarta should be shown on screen. “For them, life is a physical expression. In fact, life is something more. There is a world of activity behind the buildings and beneath the skin of urban men” (Jufri (eds.) 1992: 26). Sani states that the cities in Indonesian films are always pictured in stereotyped images, with highway full of cars and large and luxurious office building (Jufri (eds.) 1992: 24).One aspect of this kind of failure is that the filmmakers are not of an urban mind-frame; hence they do not get the spirit and the real condition

BELITONG ACCORDING TO LASKAR PELANGI

and situation of urban life (Jufri et at (eds.) 1992: 23). Sani mentions some examples on mental landscape, such as “…the fact that Jakarta is the meeting place for the people from all different sorts of ethnic and cultural backgrounds who are trying to find a social balance and in so doing producing a culture and social landscape that differs markedly from the respective regions in which they were raised” (Jufri (eds.) 1992: 25). This lack of mental landscape happens, as Sani mentions, because the stories are not ones that originate in Jakarta, but only the offshoots of foreign films: a dramatic formula containing the attitudes and element found in foreign films about large urban areas (Jufri (eds.) 1992: 24). Sani mentioned anomaly of Indonesian films that succeed to depict Jakarta and its resident not only as a physical but also a mental landscape which areSjuman Djaya’s  Kerikil-Kerikil Tajam (Sharp Gravels) and Si Mamad, Arifin C Noer’s Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa (Yuyun, Patient of a Mental Hospital) and Usmar Ismail’s Jakarta, the Big Village. Laskar Pelangi belongs to anomaly cases. But, it is its unique credit, instead of Jakarta it shows the mental landscape of Belitong. The story is of the book which the film is based originates in Belitong. The novel writer, Andrea Hirata, is a Belitong-native, thus he knows exactly about the location and its people daily activities, problems, and stories. And the fact that the story is his semi-memoir strengthens its mental landscape. (a very rare cases in Indonesian cinema history! It successfully represents the other face of Indonesia) and its “spiritual vitality”. Location depicted in this film is not a nameless nowhere city. There is no abstract identity in this film. The spectators can see the real locations and names such as SD Muhammadiyah Gantong, SD Timah, Manggar, Pantai Punai, Wisma Ria Lenggang 1, and PN Timah (some businessmen even arrange a “Laskar Pelangi” tour, such as www.belitungisland.com).

1327

1328

4. FILM DAN KITA

Surely, some of the places are not the real place, such as SD Muhammadiyah Gantong. But Riza and his art department crews recreated it as close as its reality. That is what mental landscape term all about. Hirata’s and the dynamic trio’s social awareness and educational consciousness reflected in the main characters’ awareness, consciousness and attitude strengthen the identity and wholeness of Belitong. Some filmmakers use neorealism elements to reanimate the mental landscape, in order to make the film (including the location) closer to reality. And Riri Riza is one of them.

Neorealism elements Italian Neorealism has several characteristics, but in fact, there is no manifesto of agreed aims and principles and no agreed method of filmmaking practice, only an array of negative convictions opposed to the formulaic depictions of commercial cinema and the belief that films should be a source of knowledge and reality (Hallam & Marshment 1988: 41).1 On discussion about the marks of neorealist films, many film scholars and critics describe neorealist films with some characteristics: the central characteristics consist of a method of filmmaking practice (location shooting and the use of nonprofessional actors), the attitude of the filmmakers (who aim to get close to their subject), their choice of subject matter (the loves of ordinary people, and as Bazin put it, “the concern with actual day-to-day events” (Bazin 1972: 20) and the ideological/ political slant of the films (broadly left wing/liberal humanist) (Hallam & Marsment, 1988: 40). 1

Bazin, for example, compares Rossellini and De Sica. For him, Rossellini’s style is a way of seeing, and de Sica’s is primarily a way of feeling (Bazin: 1972, 62)

BELITONG ACCORDING TO LASKAR PELANGI

Indeed, the term “neorealism” is not a simple and fixed definition. Film critic Mark Shiel writes that the realism of neorealism manifested itself in a distinctive visual style: preference for location filming, the use of nonprofessional actors, the avoidance of ornamental mise-en-scene, a preference for natural light, a freely-moving documentary style of photography, an non-interventionist approach to film directing and an avoidance of complex editing (Shiel 2006: 2). The neorealist city is more complex than it appears. For film scholar George NowellSmith, neorealism is above all a cinema of reconstruction, and its aesthetic in this respect follows its politics (Nowell-Smith 2001: 105). Accordingly, neorealist films do not declare “this is how things are”, but “this is how things were”. (Nowell-Smith 2001: 105). He illuminates two things on this matter. First, the films are a testimony to what the filmmaker saw at a particular time, and spectators watch it in other time. Second, the city is often a ruin, and the film states that the destruction and decoy should be restored (Nowell-Smith 2001: 105). Neorealist films also reveal poverty, unemployment and corruption in everyday life, and the effects on ordinary people, as a result of the social commitment and the political slant of the filmmakers (Hallam & Marshment 1988: 42). Riri Riza uses neorealist elements to strengthen the mental landscape. Firstly, he used non-professional actors, a group of extremely talented Belitong-native young children. Mira Lesmana explains that they chose 12 little actor from Belitong is for the sense and taste of locality. “I cannot imagine if the characters of the children are played by Jakartans”, she says. Her second reason, she believes that great talents are not centered in Jakarta, but in other district such as Belitong. As Bazin writes, in neorealist films, the use of nonprofessional actors is naturally chosen for their suitability for

1329

1330

4. FILM DAN KITA

the part, either because they fit physically or because there is some parallelism between the roles and their lives (Bazin 1972: 24). Zulfanny (as Ikal) for example, was chosen because he looks like young Andrea Hirata, and he is the son of a poor watch seller in Tanjungpandang market, Belitong. Verry Yamarno (as Mahar) is a son of a tronton truck driver, and he loves to play guitar and kendang (traditional drums). Yoha Nugraha (as Kucai) is a son of a freelance worker and Elementary School’s officer. (Madina, Oktober 2008, p 18-19). For Harun case, there is interesting fact: Riza uses the read retarded boy to play retarded character. Those facts underline Bazin’s statement that, besides the faithfulness to everyday life in the scenario, the truth to his part in an actor is simply the basic materials of the aesthetic of neorealist films (Bazin 1972: 25). The Belitong ambience is embodied in those actors’s attitude and daily life, i.e. the dialect. Can we imagine if the children’s characters are played by Jakarta people such as Tora Sudiro and Rieke Dyah Pitaloka who cannot speak Melayu in good and fluent dialect? Or, how many months does it take to practice such kinds of embodied cultural gestures for nonBelitong young actors? Secondly, it was shot on authentic location, in Belitong. Upon discussing the representation in a neorealistic way, NowellSmith mentions that one of the characteristics of neorealist films is location-shot, and the story happens in a place which is identifiable, very often named, and where the name may even form a part of the title (Nowell-Smith 2001: 101). And it can be touristic or shows aspects of cities which do not correspond to the audience’s pre-existing expectations (Nowell-Smith 2001: 101). Nowell-Smith also argues that shooting on location is either aesthetic or economic choice, or often mixtures. Laskar Pelangi is set in real locations, Belitong, not set-up locations or in studio. The audience can feel that the ambience of

BELITONG ACCORDING TO LASKAR PELANGI

certain spaces is closer to reality. The camera captures the atmosphere of minor details. The minor details construe, reconstitute and represent the mosaic of Belitong: the landscape, the beach, the fields, the market, the bicycles, Harimau’s chalk, and even some posters in class (KH Ahmad Dahlan, Buya Hamka, Rhoma Irama). Thus, it is a touristic experience for the spectators. The movie shows aspects of citiy which do not correspond to the audience’s pre-existing expectations. How about other neorealist elements? Let me discuss them below. The narrative technique applied in Laskar Pelangi is similar to Paisa (1946, a film by Roberto Rosselini one of neo-realist ‘founding fathers’) analyzed by Andre Bazin. Bazin writes that a film is always presented as a succession of fragments of imaged reality or a rectangular surface of given proportions, the ordering of the images and their duration on the screen determining its import (Bazin 1972: 30). And for Bazin, Paisa is the first film to resemble closely a collection of different short stories but “... their social, historical, and human foundation gives them a unity enough to constitute a collection perfectly homogeneous in its diversity” (Bazin 1972: 34). Bazin comments that in Paisa, the director “… chose these “facts” carefully while at the same time respecting their factual integrity” (Bazin 1972: 37) and “… manifest and equally concrete density” (Bazin 1972: 37). Similar to Paisa, Laskar Pelangi is a multiplot film with stories about Ikal, Lintang, and Mahar, and other characters, including the stories of the minor details (stories of Bu Muslimah, Flo, etc) shown on screen. But their stories are interwoven and united by SD Muhammadiyah of Gantong and their educational and social issues or by, as Bazin puts it, “… their social, historical and human foundation.” Those fragments of stories become one entity.

1331

1332

4. FILM DAN KITA

On poverty as a theme, the film explains itself. We can witness how poor those children (and also their teachers) in daily life (at school, in their own houses, etc). Riza shows us the fragile, nearly-collapsed school building, flooded by the rains with leaky ceiling. When holiday comes, the students will work as labors. This kind of poverty sharpens when the movie compare it to luxury school called SD Timah, run by a Government owned company. And, surely the spectators can feel the atmosphere of political slant and social commitment of the filmmakers. The city on screen is often a “ruin”, and the film states that “the destruction and decoy” should be restored (Nowell-Smith 2001: 105)—Riza puts chapter 31 of Indonesian Constitution at the end of the movie, it states: “every citizen has the right to education”. This movie is a statement of the filmmakers on educational condition. I argue that Laskar Pelangi’s aesthetic in this respect follows its politics (Nowell-Smith 2001: 105). And Riza and Mira (also Hirata) do not just declare “this is how things were”. (NowellSmith 2001: 105), but “this is how things are”, considering that the conditions in Indonesia are not very developing since 1979.

Bibliography Bazin, Andre. What is Cinema Vol II. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1972. Bondanella, Peter. Italian Cinema from Neorealism to the Present. New York: The Ungar Publishing Company, 1988. Hallam, Julia and Margaret Marsment. Realism and Popular Cinema. Manchester & New York: Manchester University Press, 2000. Jufri, Moch et al (ed). Indonesian Film Panorama. Jakarta: Permanent Committee of the Indonesian Film Festival, 1992. Nowell-Smith, George. Cities: Real and Imagined in Mark Shiel & Tony Fitzmaurice (eds). Cinema and the City: Film and Urban Societies in a Global Context (Studies in Urban and Social Change). Oxford: Blackwell Publisher, 2001, p 99-108. Overbey, David (ed). Springtime in Italy: A Reader on Neo-Realism. London: Talisman Books, 1978. Shiel. Mark. Italian Neorealism, Rebuilding the Cinematic City. London & New York: Wallflower, 2006. (Madina Magazine, Oktober 2008, p 18-19)

Ifan Adriansyah Ismail

Balibo, atau Indonesia Sebagai Monster Sempurna

L

ewat heboh film  Balibo, tampaknya orang Indonesia dipaksa mencicipi bagaimana rasanya jadi obyek tudingan; jadi korban sebuah peruntuhan nama baik di ranah budaya pop. Di Hollywood kita tahu, orang Rusia, Jerman dan Arab pasti sudah kenyang sekali jadi sasaran. Contoh yang lebih dekat, penggambaran orang Belanda dalam film-film perjuangan kita juga sebetulnya tidak lebih dari pelabelan yang serupa, dan dilakukan oleh kita, orang Indonesia. Maka sebetulnya tidak usah terlalu kaget. Sudah jamak bagi pihak yang “menang”, untuk melakukan propaganda peruntuhan nama buruk atas pihak lawannya yang berfungsi sebagai penjahat dalam narasi itu. Saya ingin mengambil tiga contoh kasus penggambaran ekstrim atas sebuah bangsa dari tiga buah film: Inggris dalam The Patriot, Belanda dalam Merah-Putih, dan Indonesia dalam Balibo. Di dalam ketiganya, terjadi proses monsterisasi (sepertinya saya

1334

4. FILM DAN KITA

mengarang istilah ini, tapi Anda tahulah maksudnya) atas pihak “lawan”, masing-masing dengan latar agenda yang berbeda-beda. Tapi saya mengajukan argumen bahwa monsterisasi orang Indonesia dalam Balibo jauh lebih kental dan intens dibandingkan kebanyakan film lain.

Proses Biasanya, monsterisasi dilakukan hanya dalam kondisi darurat perang. Pada batas tertentu mungkin bisa dipahami, demi memompa semangat perlawanan. Maka di era Perang Dunia 2, Jerman dan Jepang selalu digambarkan sebagai monster keji yang harus ditumpas. Tetapi ketika dilakukan dalam masa damai, motivasinya patut dipertanyakan. Konon, biasanya hanya demi penguatan agenda politik tertentu saja. The Patriot bisa menjadi semacam kitab suci bagi agenda politik sayap kanan AS yang ultranasionalis, atau bisa juga hanya karena Mel Gibson sedang mabuk. Merah-Putih dibuat ketika katanya terjadi penipisan nasionalisme di masyarakat kita. Tapi meskiun demikian, mengisi kekosongan nasionalisme itu dengan suntikan imaji yang chauvinis dan militeristis sepertinya juga bukan langkah tepat. Satu hal yang pasti: keduanya sama-sama membutuhkan musuh yang bisa dibenci bersama. Dalam The Patriot, Inggris digambarkan sebegitu kejam, sampai melakukan kejahatan perang yang tidak pernah ada catatannya dalam sejarah revolusi Amerika: membantai seisi desa dengan mengurung dan membakar mereka di gereja. Dalam Merah Putih, seperti yang diamati Eric Sasono, terjadi pengerasan persepsi atas Belanda. Jika dalam tren film-film perjuangan sebelumnya Belanda digambarkan sebatas kejam terhadap para “ekstrimis”, di Merah Putih Belanda bahkan tidak segan melakukan genosida nyaris tanpa alasan. Jika dugaan saya

BALIBO, ATAU INDONESIA SEBAGAI MONSTER SEMPURNA

akan agenda awalnya tadi tepat, maka sesungguhnya Inggris dan Belanda hanya ketiban pulung saja, pernah menjadi musuh bagi pihak yang berkepentingan tadi. Bagaimana dengan  Balibo? Tidak beda. Indonesia digambarkan sebagai golongan penjajah yang bengis, dan bahkan biadab. Hanya, ada sebuah kata “TAPI” yang besar di sini. Berbeda dengan  The Patriot  dan  Merah Putih,  Balibo  seakan menyaru sebagai kisah perjuangan tak berdarah untuk mencari keadilan. Nyatanya, dia justru menyimpan banyak kesan dan pesan sampingan yang jauh lebih menyerang. Sebagai sebuah film tentang wartawan, Balibo berpeluang menjadi film cerdas (untuk tidak mengatakannya “rumit”) dengan menyelami dunia kewartawanan dengan segala problem peliknya: etika, konflik batin, dan segala resiko profesinya, mungkin seperti  All the President’s Men. Lagi pula, sejak runtuhnya kepercayaan dunia (dan publik Amerika sendiri) terhadap pemerintah Amerika di masa administrasi Bush, sempat muncul kegandrungan terhadap cara bertutur “canggih” dengan sudut pandang luas dalam meneropong problem-problem pelik berskala global. Sebut saja dari yang sepenuhnya serius seperti Babel, Syriana, Crash sampai yang mulai bisa dicurigai mengekor, seperti Rendition dan Crossing Over. Sah belaka bagi filmmaker Australia untuk mengikut tren itu. Namun dalam  Balibo, tampaknya mereka memilih jalannya sendiri. Sayangnya berbau propaganda. Bangunan konflik dan drama Balibo bergantung sepenuhnya hanya kepada kebiadaban orang Indonesia, meskipun di sana ada banyak peluang lebar untuk membangun drama. Misalnya tokoh Roger East awalnya digambarkan berkarakter kompleks, dan sepertinya mengalami konflik batin. Sayang, pada akhirnya tidak pernah terjelaskan, konflik apa yang menderanya. Malahan dengan cepat ia berubah jadi penuh tekad dan keberanian, demi menyaksikan kebiadaban pasukan Indonesia. Tokoh kelima reporter muda yang terbunuh juga setali

1335

1336

4. FILM DAN KITA

tiga uang. Awalnya mereka diperlihatkan saling berkompetisi (antara 2 stasiun TV berita), dan ada peluang membahas kesalahan etis, dan kecerobohan mereka dalam meliput konflik. Lalu film ini pun berpeluang mengkritisi kebijakan negara pembuatnya sendiri: tokoh-tokoh penting film, termasuk Jose Ramos-Horta, membahas kemunafikan negara-negara barat (AS dan Australia) yang sesungguhnya menyokong pengambilalihan Timor Timur oleh Indonesia. Tapi peluang-peluang itu lalu tertutupi oleh sapuan sebarisan pasukan Indonesia yang dengan entengnya menembaki setiap makhluk hidup. Konflik-konflik internal yang jauh lebih menantang tadi dengan lekas menjadi tidak penting, karena ada segerombolan orang biadab yang menyerbu.

Si Liyan yang Sempurna Perihal penggambaran orang Indonesia, ada satu hal yang patut dicermati. Berbeda dengan bangsa Inggris dalam The Patriot dan Belanda dalam Merah-Putih, orang Indonesia dilucuti sama sekali elemen kemanusiaannya. Hal ini tampak dalam dua cara: Pertama, tidak ada sama sekali tokoh dari Indonesia yang dinamai. Dalam The Patriot, penonton masih disuguhi tokoh Kolonel Tavington sebagai antagonis, meski tugas utamanya adalah tersenyum menyebalkan, supaya dibenci penonton. Hal yang serupa bisa ditemui banyak sekali di film-film berlatar Perang Dunia, dengan tokoh perwira Jerman yang jadi tokoh antagonisnya. Di Balibo? Sama sekali tidak ada. Memang dalam adegan penembakan kelima wartawan, diperlihatkan seorang perwira bersyal panjang dan bertopi koboi, yang dengan dinginnya menembak seorang wartawan dari jarak dekat. Konon tokoh itu mengacu ke mendiang Kolonel Dading Kalbuadi, yang di dalam

BALIBO, ATAU INDONESIA SEBAGAI MONSTER SEMPURNA

foto-fotonya dalam operasi penyerbuan (“integrasi”, jika Anda bersikukuh) sering tampil dengan dandanan seperti itu. Tokoh lain, dalam adegan yang sama, diperlihatkan mengenakan topi dan memimpin unit kecil satuan pembunuh itu dan secara pribadi menusuk setidaknya 2 di antara para wartawan. Konon, tokoh itu dimaksudkan sebagai Muhammad Yunus Yosfiah, karena lagi-lagi, dandanannya dibuat mirip. Dalam adegan penyerbuan Dili, seorang tokoh berkemeja safari putih berjalan petentangpetenteng sembari dikawal, membawa pistol. Dengan pistol itu, dia mengeksekusi para tawanan sipil secara acak. Lagi-lagi konon, pria itu dimaksudkan sebagai Benny Moerdani. Penggambaran para tokoh di atas bisa saja dianggap sebagai kesoktahuan saya, seandainya saja materi studi dari pembuat filmnya sendiri tidak menegaskan hal itu. Konsultan sejarah film ini, Dr. Clinton Fernandes dari University of New South Wales, membeberkan dalam situsnya bahwa tokoh-tokoh yang tak bernama itu memang didasarkan dari mereka yang disebut tadi.1 Yang fatal adalah bahwa dalam filmnya sendiri, tokoh-tokoh itu menjadi tak bernama. Karakter mereka direduksi menjadi alphamale bengis yang memegang kendali atas segerombolan pasukan biadab. Pada titik ini, ada yang bisa dipertanyakan kepada pembuat  Balibo, dengan alternatif jawaban yang keduanya menguntungkan posisi Indonesia. Kenapa menjadikan tokoh-tokoh itu tak bernama? Alternatif 1: jika mereka berdalih tidak ingin menunjuk orang per orang sebagai pelaku kejadian yang masih sumir (karena toh secara teknis hukum Dading Kalbuadi dan Yunus Yosfiah masih belum terbukti sebagai pelaku), maka artinya sama saja mereka mengakui bahwa kejadiannya belum tentu 1

Data sejarah dikumpulkan dari Australia, Timor Leste, Amerika Serikat dan Portugis. Tidak satu pun bersumber dari Indonesia. Untuk lebih jauh tentang hasil riset Dr. Clinton Fernandes, silakan memulai di http://www.unsw.adfa.edu.au/hass/Timor/ index.html

1337

1338

4. FILM DAN KITA

seperti itu. Alternatif 2: jika sampai muncul pembenaran bahwa mereka berhak membuatnya seperti itu atas nama creative license, maka hipotesa saya tadi justru bisa terbukti. Tokoh-tokoh itu dihilangkan namanya untuk melucuti elemen kemanusiaan mereka. Kedua, setelah nama ditiadakan, bahasa dihilangkan. Dalam The Patriot setidaknya sang antagonis Kolonel Tavington masih berkesempatan melontarkan pembenaran-pembenaran: bahwa dia merasa lebih mulia dari orang yang dijajahnya; bahwa dia ingin menghabiskan masa tuanya menjadi tuan tanah di Amerika, karena yakin kebrutalannya membuat dia tidak lagi diterima di Inggris. Dalam Merah Putih, meskipun tidak dinamai secara eksplisit, tokoh perwira yang diperankan Rudy Wowor diperlihatkan sempat bertukar anekdot dengan prajurit yang menyupirinya. Adegan sederhana ini, meskipun mungkin ditujukan untuk semata membuat penonton dengan penuh harap menanti kehancuran mereka, menunjukkan bahwa mereka masih manusia. Bahkan orang Somalia di film Black Hawk Down masih lebih “beruntung”. Film itu dituduh menampilkan orang Somalia sebagai gerombolan liar yang dialognya tidak perlu dimengerti dan hanya perlu ditumpas. Sungguh pun begitu, masih ada tokoh yang mewakili mereka, yaitu komandan perang Mohammad Farah Aideed yang berkesempatan melontarkan pernyataan. Dalam Balibo nasib orang Indonesia lebih mengenaskan: tidak ada sebaris pun dialog yang dimaksudkan untuk dimengerti. Bahkan dialog yang diberi teks pun tidak.2 Salah satu adegan yang 2

Biasanya teks pun digunakan untuk menegaskan bahwa yang bicara adalah pihak yang liyan, bukan penonton. Sebagai contoh, penggunaan teks dalam film 10,000 B.C.—meskipun sebuah film luar biasa buruk—menjadikan penonton bisa mengidentifikasi diri dengan jagoan-jagoan purba yang berbahasa Inggris sempurna. Di sisi lain, orang-orang kejam berperadaban yang jadi tokoh antagonis justru digambarkan berbicara dalam bahasa “asing”, dan perlu teks untuk memahami katakata mereka.

BALIBO, ATAU INDONESIA SEBAGAI MONSTER SEMPURNA

menyolok soal ini adalah ketika empat dari lima wartawan itu telah terbunuh. Dalam reka adegan ini, 3 Tony Stewart—perekam suara dari Channel 7—sempat meloloskan diri tapi terpojok di sebuah ruangan terkunci. Di dalam ruangan itu Tony digambarkan menangis sesenggukan karena tahu tidak mungkin bisa lolos lagi. Di luar, pasukan Indonesia yang mengepung saling bercanda dengan sesamanya, bersantai dan menyulut rokok, meremehkan status kewartawanan orang-orang kulit putih itu. Pada adegan ini, saya menyetel telinga demi mendengar apa yang akan mereka ucapkan. Awalnya hanya rasa penasaran saja, seberapa jauh orang melakukan riset bahasa terhadap sebuah bangsa yang ditudingnya. Ternyata hasilnya di luar dugaan. Saya tidak mendengar dialog yang bisa dimengerti. Justru pada adegan yang (mungkin) paling membutuhkan dialog berbahasa Indonesia, hanya terdengar gumaman dan tawa yang tidak jelas. Mendadak saya teringat pada penggambaran film-film klasik terhadap suku primitif kanibal yang siap menyantap sang jagoan. Teriakan macam “hula, hula!” dan tawa melecehkan sudah cukup untuk menggambarkan, makhluk seperti apa mereka. Memang sesekali terdengar beberapa kosakata yang familiar, di antaranya “keluar, cepat!”, “tembak, tembak saja”, dan “bunuh dia!”. Tapi yang penting adalah fakta bahwa teriakan-teriakan itu tidak mencederai narasi film jika tidak dimengerti. Hal ini berakibat lebih jauh: orang Indonesia sepenuhnya tampil sebagai monster yang elemen manusianya dilucuti tanpa sisa. Persepsi yang timbul atas pasukan Indoensia menjadi tidak lebih baik dari segerombolan orcs dalam trilogi Lord of The Rings. Makhluk-makhluk yang menggeram, meraung, mendesis dan bahkan menguik statusnya sama dengan “makhluk-makhluk” dari 3

Saya menyebutnya “reka”, karena detik-detik penembakan adalah momen yang justru paling tidak terdokumentasi dengan baik.

1339

1340

4. FILM DAN KITA

Indonesia yang berteriak-teriak dalam bahasa yang tak terpahami. Maka, kedua hal di atas bukan saja meniadakan sudut pandang dari Indonesia, tapi juga dengan efektif menjadikan orang Indonesia sebagai monster yang sempurna. Jika orang Inggris dan Belanda tampil sebagai  the other  (liyan) yang mengancam, orang Indonesia bahkan tampil sebagai liyan yang bukan manusia.

Buruknya Manajemen Panik Kita Lalu apa sebaiknya yang kita lakukan? Apakah kita sebagai orang Indonesia lantas marah-marah tidak karuan, atau menyikapinya dengan lebih tenang? Menurut hemat saya, sebetulnya Balibo gagal menjadi film yang berbobot. Banyak potensi drama dan konfliknya yang seharusnya bisa multidimensi, dengan cepat dialihkan ke serbuan “kaum biadab”. Pemerintah Indonesia, selaku wakil dari bangsa Indonesia sangat berhak mengajukan protes atau mendebat balik preposisi yang diajukan film ini. Namun, sayang seribu sayang, seperti biasa kita terburu nafsu, mengamuk, dan bertindak biasa: melarang film ini. Pelarangan—terutama dalam kasus kali ini— adalah sebuah langkah yang luar biasa blunder. Setidaknya ada dua alasannya, yang bersifat umum dan yang khusus. Alasan khususnya, yaitu bahwa Indonesia seharusnya merancang strategi yang lebih jitu dalam kasus ini. Saya ingin membandingkannya dengan sikap pemerintah Nigeria yang melarang film District 9 karena menampilkan orang-orang Nigeria sebagai semuanya penjahat. Padahal dalam kasus  District 9, pergulatan persepsinya bermain dalam wilayah umum. Penonton yang agak cerdas sekalipun akan paham bahwa sesungguhnya tidak semua orang Nigeria penjahat. Sama halnya dengan memahami bahwa tidak semua orang Italia itu mafioso, atau tidak

BALIBO, ATAU INDONESIA SEBAGAI MONSTER SEMPURNA

semua orang Arab itu teroris. Paling buruk, persepsi dunia internasional atas pelarangan itu adalah bahwa pemerintah Nigeria ngambek. Tapi masalah Indonesia dalam Balibo tidak sesederhana itu. Film Balibo berkenaan dengan sebuah peristiwa, sebuah insiden yang partikular, khusus, dan pernah terjadi. Akibatnya, melarang film Balibo tidak akan sekadar menimbulkan persepsi bahwa pemerintah Indonesia ngambek, tapi justru lebih buruk: yaitu bahwa pemerintah Indonesia menyembunyikan sesuatu. Apalagi selama ini argumen Indonesia sangat lemah: “mari melupakan masa lalu, dan melangkah ke depan”. Maaf saja. Norma internasional selalu menuntut bahwa suatu perkara harus dituntaskan dengan segala pembuktian, baru melangkah ke depan. Sikap “melupakan masa lalu” dan menampik “luka lama” hanya mempertegas sikap Indonesia yang takut menghadapi masa lalunya, dan memperburuk citra di dunia luar. Maka langkah yang lebih matang dan terstrategi seharusnya dilakukan. Alasan umumnya tentu adalah bahwa melarang sesuatu sama saja dengan membungkam kontroversi, perdebatan, dan menampik perbedaan. Film adalah sebuah karya yang terbuka pada berbagai tafsir. Jika tidak setuju pada sebuah isi filmnya, langkah bijaknya adalah melalui perdebatan atau adu argumen yang sehat, atau lebih baik lagi, adu karya. Pemberangusan sebuah karya sama saja dengan sikap emosional yang menunjukkan ketidakdewasaan, atau malahan, jangan-jangan menunjukkan ketakutan, karena yang dituduhkan benar adanya. Bisakah kita membuktikan diri memang bukan monster?

1341

Hikmat Darmawan

Balibo dan Kita

F

ilm produksi Australia, Balibo (Sutradara: Robert Connolly, 2009), menyentuh daerah gelap sejarah kita. Perlukah pemerintah kita melarangnya? Ini seolah jadi pertanyaan klasik. Sebetulnya, sebuah film dilarang karena kontroversial, ataukah pelarangan film itu sendiri yang kontroversial? Jika film dilarang karena (isinya) kontroversial, berarti ada anggapan bahwa tak boleh ada percakapan pro dan kontra tentang film itu. Di era reformasi ini, anggapan seperti itu semakin problematik. Anggota DPR yang juga entertainer, Eko Patrio, tegas bilang, “Pemerintah terlalu paranoid untuk melarang film ini, padahal sejarah harus diinformasikan sebaik mungkin.” (Fajar. co.id). Film sejarah memang selalu memancing perdebatan: soal ketepatan, sudut pandang, juga nilai-nilai politis lainnya. Kalau tak para politisi, para sejarawan pun sering meributkan. Lihatlah

BALIBO DAN KITA

kasus film-film Oliver Stone seperti  JFK,  Nixon, bahkan Alexander. Terhadap rencana pemutaran Balibo di JIFFEST 2009 (6 dan 10 Desember), Lembaga Sensor Film tak memberikan sikap jelas pada panitia. Secara lisan, menurut Lalu Roisamri (Direktur Eksekutif JIFFEST), LSF melarang. Tapi, sampai artikel ini dituliskan, tak ada surat resmi pelarangan itu. Jika jelas dilarang, pertanyaan klasik itu pun mencuat. Apakah kita perlu membungkam kontroversi, perdebatan, perbedaan? Sebab, film adalah film. Bisa jadi sebuah film adalah pernyataan, gugatan, ajakan berpikir ulang. Tapi, film bukanlah peluru, yang pasti mematikan. Film juga, lazimnya (seharusnya) bukan diktator, yang secara pasti mengubah pikiran penonton ke satu arah. Karena sifatnya yang terbuka pada tafsir, perdebatan hangat tentang isi atau segala aspek film adalah sehat. Balibo bercerita saat-saat menjelang invansi Pemerintah Orde Baru Indonesia ke Timor Timur, pada 1975. Lima orang wartawan Australia mati, dan menurut film ini, militer yang membunuh mereka. Satu lagi wartawan, Roger East (Anthony LaPaglia) menyelidikinya, dan berkenalan dengan Ramos Horta muda. Apakah kita punya jawaban lebih baik dari film itu? Mungkinkah kita memberi jawaban tanpa mendengar pertanyaan?

1343

Eric Sasono

Sketsa Jakarta dalam Film Indonesia

I

S

inema dan kota konon tak terpisahkan. Pertama, sinema sebagai institusi lahir dalam konteks urban, bukan rural. Kemunculan sinema, dalam arti pertunjukan gambar bergerak yang dipungut bayaran, pertama kali terjadi di sebuah kafe di kota Paris, sebuah kota metropolis untuk ukuran awal abad keduapuluh waktu itu, bahkan hingga kini. Sejak itu sinema tumbuh menjadi bagian dari gaya hidup kaum urban, sekalipun pemanfaatan film sebagai bagian dari propaganda telah pula mencatat peran penting film di kehidupan rural. Kedua, sinema tumbuh relatif bersamaan dengan perkembangan kehidupan urban. Listrik, trem, pemisahan tempat kerja dan tempat tinggal, serta perkembangan dasar kota lainnya, beriringan tumbuhnya dengan sebuah cara tutur penting dalam sinema yaitu montage. Perpindahan dari satu shot ke shot lainnya dalam film, perubahan sudut pandang dan gerak kamera, mirip dengan perjalanan di tengah kota dengan menggunakan trem.

SKETSA JAKARTA DALAM FILM INDONESIA

Pemandangan berubah-ubah dari jalan sempit, gedung tinggi, wajah-wajah manusia yang asing, etalase toko, dan tiba-tiba muncul pemandangan alun-alun kota yang luas dan hijau, sama dengan prinsip penyuntingan pada film. Pada awal pertumbuhan film, bisa dibilang bahwa seseorang tak mungkin bisa memahami film yang diedit apabila tak pernah mengalami kehidupan kota. Maka kota punya tempat khusus pada sinema. Kota bisa berfungsi sebagai panggung tempat pembuat film mementaskan tokoh dan membentuk peristiwa. Sebagaimana lokasi dan elemen sinematis lain dalam film, kota bisa bertugas membentuk kemasukakalan cerita. Kota terhubung dengan manusia dan peristiwa lewat runtutan hubungan sebab akibat yang membentuk sebuah mayapada bagi cerita. Maka kota bisa saja tak penting sama sekali sebagai lokasi, dan bisa tergantikan. Sekalipun demikian, kota, meskipun hanya panggung, selalu menghadirkan pesona beragam bagi para pembuat film. Sebagian memandangnya sebagai panggung yang punya hubungan pribadi dengan mereka. Lihat misalnya bagaimana Frederico Fellini memperlakukan kota Roma dalam filmnya,  Roma  (1972). Sebagian lagi memandang kota sebagai sebuah ancaman atau gangguan bagi sesuatu yang asli, murni, dan polos. Dalam pandangan ini, kota adalah sebuah bentuk sempurna dari modernisasi, banyak yang memandangnya sebagai sesuatu yang mengerikan dan mengancam. Maka kota (dan kemodernan) disikapi dengan pandangan merendahkan perkembangan kota dan melihat kemodernan sebagai sebuah penurunan dari nilainilai yang lebih luhur. Di negara-negara Dunia Ketiga, pandangan yang terakhir itu cukup dominan. Kota tumbuh seiring aliran modal dan ini menyebabkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian pada kehidupan sosial-budaya di perkotaan. Fenomena seperti dislokasi sosial budaya, kehilangan identitas, dan ketidakmampuan bersaing bisa dianggap akibat dari penyesuaian struktural seperti

1345

1346

4. FILM DAN KITA

ini. Penyesuaian ini kerap terjadi tidak secara sukarela dan aparat pemerintah menjadi agen untuk memaksa melakukan penyesuaian-penyesuaian itu. Kegiatan seperti penggusuran atau pun penataan ruang adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan ruang bagi penyesuaian struktural kota dan penduduknya terhadap aliran modal yang masuk dan mengubah wajah kota. Penyesuaian itu tak selalu bisa dipahami. Di permukaan, yang tampak adalah sebuah dunia yang keras dan tak kompromis dengan saran-saran yang diberikannya. Apabila penduduk kota tak mengikuti “saran” penyesuaian itu, maka bersiaplah untuk mengalami dislokasi budaya, kehilangan pekerjaan, sampai halhal yang lebih fatal lagi. Fenomena di permukaan inilah yang diamati oleh para pembuat film Indonesia yang punya kepekaan dalam melihat Jakarta dan kemudian mengubahnya menjadi sebuah lokasi yang penting bagi ungkapan sinematik mereka. Jakarta memang ancaman, tapi dari sanalah ide dan gagasan kreatif tumbuh dan berkembang.

2 Pandangan yang menganggap kota sebagai ancaman yang datang beriring modernisasi dapat ditemui pada film-film dekade 1970an. Pada dekade tersebut modernisasi Indonesia sedang memasuki masa transisi awalnya. Ledakan ekonomi dari bonanza minyak belum terasa dan kemodernan (silakan artikan sendiri kata ini) masih dicurigai sebagai sebuah pengaruh yang bersifat degradatif atau paling tidak merupakan gangguan terhadap kehidupan yang naif dan sederhana. Tahun 1970-an adalah periode ketika Jakarta berada pada tahap awal keterbelahannya dan kedua pihak tidak bisa mencapai resolusi yang baik-baik dan cenderung untuk tidak bisa menjalani hidup koeksistensi damai.

SKETSA JAKARTA DALAM FILM INDONESIA

Salah satu contoh terkuat akan sikap terhadap perkembangan kota semacam ini adalah pada film Si Doel Anak Modern karya Sjumandjaja. Dalam judul di awal filmnya, kata “Anak” dicoret dan diganti “Sok” yang menandai ketidakmampuan si Doel (Benyamin S) untuk sungguh-sungguh menjadi modern, karena sesungguhnya yang dilakukan adalah meniru-niru gambaran kemodernan yang ditampilkan oleh tokoh antagonis dalam film itu (Achmad Albar). Kisah dalam Si Doel berawal dari sebuah “harmoni” sebuah kampung di Jakarta. Rutinitas bagi Si Doel terganggu ketika sebuah anasir asing masuk ke dalam harmoni itu dan anasir tersebut berasal dari sisi modern kota Jakarta. Anasir itu adalah seorang perempuan, Kristin alias Nonon (Christine Hakim). Perempuan ini adalah wakil dari modernitas, sebuah Jakarta yang baru. Ia adalah teman main si Doel ketika kecil, tetapi menjalani pendidikan dan kemudian bekerja sebagai peragawati (bayangkan istilah ini sekarang). Jakarta yang baru ini terbiasa dengan modernitas (baca: kehidupan urban) yang licik, licin, penuh tipu daya, beraroma narkoba dan seks (keduanya jahat), dan fesyen yang mengganggu (ingat pekerjaan Kristin adalah peragawati). Maka ketika Kristin melihat si Doel, ia terpesona akan kenyataan lain Jakarta, sebuah eksotisme yang muncul dari figur muka Janus metropolitan yang berada pada tahap infant. Gangguan bagi harmoni1 inilah yang dijadikan sebagai sebuah sumber kritik sosial oleh Sjumandjaja. Ia dengan ironik memperlihatkan ketidakmampuan tokoh seperti si Doel untuk mempertahankan identitas dirinya demi memenuhi kriteria yang disarankan oleh kemodernan. Celakanya, kriteria yang ditangkap oleh Si Doel itu adalah kriteria artifisial (rambut kribo, celana cutbray) sehingga kegagalan itu menjadi lebih ironik lagi. 1

Krishna Sen menyebutnya sebagai “order” atau “ketertiban”. Lihat Krishna Sen, Indonesian Cinema, Framing the New Order, London and Boston, Zed Books, 1994, hal. 157 dst.

1347

1348

4. FILM DAN KITA

Dengan melihat bahwa si Doel adalah anak dari suku Betawi, 2  maka Sjuman ingin sekaligus memperlihatkan kecemasannya akan ketidakmampuan penduduk suku asli Jakarta ini beradaptasi secara substansial dengan perkembangan modernitas yang jalan seiring dengan pertumbuhan kota. Hal ini digambarkan oleh kritikus JB Kristanto3  sebagai kedekatan khusus Sjumandjaja dengan Jakarta; karena selain Si Doel Anak (Sok) Modern, Sjuman juga membuat  Si Doel Anak Betawi dan Pinangan, sebuah adaptasi dari naskah drama Anton Chekov yang dibuat dengan latar belakang Betawi dan pendekatan lenong, teater rakyat tradisional Betawi.

3 Jakarta kemudian berkembang tak tertahankan. Kenaikan harga minyak dunia akibat Perang Iran-Irak tahun 1980-an telah menyebabkan bonanza minyak. Ledakan ekonomi ini kemudian diiringi dengan pengetatan ideologi dan korporatisasi yang dilakukan oleh negara. Paket UU Politik tahun 1985 membuat represi politik makin kentara dan ruang kebebasan menyempit. Kendali terhadap produksi film semakin terasa dan negara ikut campur dalam pembentukan mitos-mitos nasional melalui film, dengan memproduksi sendiri film-film mereka lewat Perusahaan Film Negara (PFN) yang punya posisi finansial kuat saat itu. Ideologisasi yang semakin kuat ini telah membuat kritik dalam film Indonesia tidak lagi dilakukan seperti pada 1970-an. Konfrontasi antara ide-ide modernitas dan ide tradisional tak lagi 2

3

Film ini lanjutan dari film Si Doel Anak Betawi (juga disutradarai oleh Sjumandjaja) yang diadaptasi dari buku bacaan anak-anak berjudul Si Doel Anak Jakarta karya Aman Datuk Mojoindo. JB Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004. hal. 317.

SKETSA JAKARTA DALAM FILM INDONESIA

menempati posisi sentral bertabrakan seperti pada Si Doel Anak Modern. Film Indonesia periode sesudah 1985 memperlihatkan sikap yang lebih lembut terhadap kenyataan, sekalipun dengan rangkaian keberatan yang nyata terhadap Jakarta. Penggambaran kota dalam kerangka seperti ini tidak lagi hitam putih. Kota memang masih “kejam” dan degradatif dan hipokrit, tetapi tokoh-tokoh di dalamnya tidak lagi seperti Si Doel yang menentangnya dengan cara hitam putih seperti pada Si Doel Anak Modern. Tokoh-tokoh dalam film tahun 1985 ke atas sudah lebih bisa menerima Jakarta sebagai sebuah fakta tak terelakkan dan kemudian melakukan penyesuaian diri terhadapnya. Keberatan-keberatan para pembuat film terhadap Jakarta kemudian diubah menjadi parodi, sebuah ironi yang tidak pahit. Setidaknya, ada dua film menonjol yang bisa dilihat membawa pendekatan semacam ini di awal dekade 1990-an. Kedua film itu adalah Oom Pasikom (Chaerul Umam, 1990) dan Badut-Badut Kota (Ucik Supra, 1993). Oom Pasikom (dengan judul dalam kurung Parodi Ibukota) jelas sekali membawa kritik keras terhadap gaya hidup Jakarta dengan cara bercanda. Film yang diinsipirasi dari kartun di harian Kompas ini membawa sketsa kehidupan Jakarta dari kacamata seorang  vagabond. Komentar sosial yang memperlakukan realitas sekelilingnya seperti snapshot, mirip dengan sebuah karikatur satu panel di halaman koran. Film ini dipenuhi sketsa dan sindiran terhadap gaya hidup Jakarta yang dipandang sebagai hipokrit dan tak tahu diri. Pada Badut-Badut Kota, Jakarta tampil lebih tidak ramah ketimbang pada Oom Pasikom. Jakarta dilihat sebagai rimbaraya tempat berlaku hukum survival of the fittest. Film Badut-badut Kota ini menceritakan mengenai pasangan muda di Jakarta Deddy dan Menul (Dede Yusuf dan Ayu Azhari) serta seorang anak mereka yang masih SD yang memanggil ayahnya dengan

1349

1350

4. FILM DAN KITA

panggilan “daddy” dan sering mengingatkan ayahnya dengan frasa: “don’t forget ya dad...”. Mereka tinggal di rumah kontrakan sempit dengan induk semang yang kelewatan pelit. Ketika mereka tak mampu membayar sewa rumah, si induk semang mengangkat perabot butut yang mereka miliki sebagai jaminan. Deddy adalah seorang sarjana yang bekerja sebagai badut di kawasan wisata dalam kota (bersama sepuluh orang sarjana lainnya sambil menunggu pekerjaan yang lebih baik). Namun pekerjaan ini bukan sungguh-sungguh pekerjaan karena dari berbagai aspek tak menyediakan kecukupan bagi pasangan ini untuk bertahan di Jakarta. Sampai akhirnya mereka berhasil mendapat pinjaman untuk membuka sebuah usaha warung makan, pelan-pelan pasangan muda ini akhirnya berhasil merintis jalan mereka sampai akhirnya mereka sukses dengan restorannya dan menjadi orang yang berhasil menaklukkan Jakarta. Film Badut-Badut Kota ini menggambarkan Jakarta dengan baik sebagai panggungnya. Keberadaan tempat wisata dalam kota seperti Taman Mini Indonesia Indah dan Dunia Fantasi, serta menguatnya posisi mereka, telah menghasilkan pekerjaan semiinformal yang menjadi penampungan sementara bagi penduduk terdidik Jakarta. Keberadaan gedung-gedung bertingkat dengan car call mereka (yang waktu itu masih terdengar hingga ke lobi) dijadikan sebagai sebuah elemen cerita yang unik. Deddy selalu memanggil “Bapak Deddy dari restoran Nyonya Menul” untuk mempromosikan gratis nama restorannya di gedunggedung bertingkat yang pada awal 1990-an (sesudah deregulasi perbankan 1988) menjadi salah satu fenomena paling mencolok di Jakarta. Sketsa-sketsa dalam  Oom Pasikom  dan  Badut-Badut Kota  memperlihatkan perubahan sikap dalam menghadapi Jakarta. Jika pada Si Doel Anak Modern, Jakarta dipandang dengan perspektif yang sangat tajam dan keras, pada kedua film yang

SKETSA JAKARTA DALAM FILM INDONESIA

belakangan ini, kekerasan itu menghilang. Ketajaman kedua pembuat film ini masih ada, tetapi mereka mengubahnya menjadi parodi, sebuah ironi yang didekati dengan bercanda. Hal ini, seperti disinggung di atas, merupakan buah dari perkembangan Jakarta yang sudah mengarah pada bentuk yang semakin terbelah. Jakarta bagai Janus bermuka dua, selalu menyingkirkan orang kecil dan memenangkan pembangunan ekonomi. Sesudah bonanza minyak terjadi, pemerintah meliberalkan perbankan dengan melakukan paket kebijakan ekonomi pada bulan Oktober 1988 yang memungkinkan pembukaan bank dengan modal relatif kecil. Pengumpulan modal masyarakat lewat bank ini kemudian diiringi dengan penyaluran kredit kepada kelompok usaha sendiri dan properti yang mengubah drastis wajah Jakarta, sekaligus membawa konflik besar-besaran seputar soal tanah di Jakarta. Tak heran, baik  Badut-Badut Kota  dan  Oom Pasikom, menampilkan shot dari bawah yang menggambarkan kemegahan gedung Bank BCA sebagai paduan dua fenomena terbaru Jakarta memasuki paruh pertama dekade 1990-an, yaitu ledakan properti gedung bertingkat, dan liberalisasi perbankan (yang keduanya kemudian mengarah pada kerentanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi 1997).

4 Pertengahan tahun 1990-an ditandai dengan ketidakberdayaan lebih jauh dari para pembuat film terhadap Jakarta. Ketidakberdayaan ini berasal dari perubahan drastis institusi perfilman. Jaringan eksebisi film mengalami perumusan ulang dengan masuknya modal besar Jaringan 21 dan membuat para produser kehilangan kenyamanan mereka dalam membuat film.

1351

1352

4. FILM DAN KITA

Banyak film mengubah pendekatannya menjadi sangat pragmatis terhadap selera massal dengan cara menjual erotika. Diawali dengan Gadis Metropolis yang dibintangi Inneke Koesherawati, maka film Indonesia memasuki sebuah fase yang kini dilihat sebagai sebuah situasi jumud. Pada masa itu, film Indonesia menawarkan adegan yang selalu diejek sebagai “bupati” (buka paha tinggi-tinggi) dan “sekwilda” (sekitar wilayah dada), sekalipun sebenarnya film-film itu tak menawarkan apa-apa. Elemen naratif film-film itu demikian lemah, sedangkan elemen erotika di dalamnya tak pernah benar-benar bisa memuaskan penonton. Setelah ledakan-ledakan lewat film  Gadis Metropolis dan Gairah Malam, film-film semacam itu membuat penonton kecewa dan kehilangan selera; sampai kemudian krisis ekonomi menghantam Indonesia dan produksi film nyaris berhenti dengan hanya lima judul setahun pada tahun 1998. Pada pertengahan 1990-an, karena absennya film dengan muatan kritik terhadap kota, maka Jakarta relatif hanya tampil di film-film quasi-erotika di atas sebagai panggung yang sama sekali tak signifikan dan sangat mungkin tergantikan. Film-film itu umumnya melihat Jakarta sebagai sebuah tempat yang mengalami “degradasi moral” dan film-film itu seakan ikut merayakannya dengan malu-malu. Satu-dua usaha untuk menggambarkan bahwa Jakarta adalah sebuah kolam yang kejam yang membuat ikanikannya harus menjadi “jahat”, digambarkan juga dalam film semisal Kenikmatan Tabu (1994) dan Akibat Bebas Sex (1996, beredar dalam VCD dengan judul Sex & Masalah Aids).4 Namun sesungguhnya “pesan moral” yang dibawa oleh film-film ini justru bertabrakan dengan penggambaran yang dilakukan oleh film ini sendiri.

4

JB Kristanto, Katalog Film Indonesia, Jakarta: Nalar, 2007., hal. 391.

SKETSA JAKARTA DALAM FILM INDONESIA

5 Film Indonesia pada tahun 2000-an terlihat sedikit sekali bersinggungan dengan Jakarta dalam intensitas yang cukup. Salah satu yang paling bertanggungjawab dalam menggambarkan Jakarta adalah Eliana, Eliana (Riri Riza, 2002) yang menjadikan latar belakang Jakarta bersifat spesifik. Film ini mengisahkan Eliana yang hidup menumpang di rumah temannya, Heni, di Jakarta. Eliana dijemput oleh ibunya dan diminta untuk pulang pada keesokan harinya. Eliana menghindar; dan pada saat yang sama Heni hilang dari rumah. Eliana kemudian bersama Bundanya berkeliling Jakarta di malam hari untuk mencari Heni. Film ini menggambarkan sketsa Jakarta secara utuh. Sejak awal, film ini memperlihatkan wajah Janus Jakarta pada karakter Eliana. Perempuan usia 20-an itu terdesak oleh kota besar itu dan harus tinggal di kawasan belakang, sebuah wilayah subsisten yang memberikan daya dukung bagi orang seperti Eliana. Persoalan kesenjangan antargenerasi, pertentangan antara tradisi dan perubahan, digambarkan dengan baik dalam konflik-konflik yang personal dan intens. Namun sekali lagi, Jakarta adalah sesuatu yang terterima seperti adanya. Para tokoh adalah ikan yang berenang di dalamnya, terombang-ambing dan tak mampu mengubah apapun mengenai kolam itu. Namun tampak bahwa  Eliana, Eliana sebagaimana Badut-Badut Kota dan Oom Pasikom, mampu menghadirkan Jakarta sebagai panggung yang utuh tanpa harus merasa takut dan masih menyisakan harapan di dalamnya. Satu film dekade 2000-an yang bicara Jakarta secara intens lagi adalah Kamulah Satu-satunya (Hanung Bramantyo, 2007). Film ini menggambarkan Jakarta dari kacamata seorang pendatang di Jakarta. Seorang remaja bernama Indah ingin menonton konser band kegemarannya, Dewa, di Jakarta. Namun kakeknya tak mengijinkan karena ibu Indah pernah pergi ke

1353

1354

4. FILM DAN KITA

Jakarta, dan tak kembali. Indah akhirnya kabur ke Jakarta dan menyaksikan bahwa Jakarta adalah sebuah kota yang keras, dan penuh dengan segala macam tipu daya. Jakarta adalah kota yang jahat, tetapi ada deux ex machina dalam film ini yang menegaskan dua wajah Jakarta dari kacamata seorang pendatang seperti Indah; seperti halnya juga Hanung sang sutradara film ini. Film  Kamulah Satu-satunya  menggambarkan Jakarta dengan sketsa, seperti pada Oom Pasikom. Film ini menyentuh berbagai dekorasi panggung bernama Jakarta seperti razia majalah yang dilakukan oleh kelompok berjubah mirip Forum Pembela Islam (FPI),5 pembajakan bis kota oleh demonstran, 6 penarikan sumbangan di jalan dalam pembangunan masjid, pendukung sepakbola, dan sebagainya. Elemen-elemen dekoratif ini terasa tidak disiapkan dengan matang sehingga menghilangkan karakteristik Jakarta seperti yang diniatkan. Jakarta menjadi generik seperti kota besar lain; atau paling tidak gambaran Jakarta bersifat snapshot tanpa sungguh-sungguh memahami kota itu dengan baik. Film ini justru gagal menangkap esensi Jakarta dan membuat dekorasi itu menjadi dominan menguasai penceritaan yang dibawa oleh filmnya.

6 Cara melihat kota bagi pembuat film Indonesia ini berubah-ubah, tergantung bagaimana persepsi mereka terhadap kota, khususnya Jakarta. Saat ini Jakarta sudah menjadi semacam determinan 5

6

Razia ini tak hanya terjadi di Jakarta. Di kota-kota lain hal ini juga terjadi. Lihat saja satu contoh di Tasikmalaya ini: http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2006/042006/15/0308.htm Demonstrasi untuk “memperjuangkan hak-hak rakyat”, sekalipun gambaran para demonstran ini lebih mirip karyawan menuntut kenaikan upah ketimbang menuntut perubahan politik. Ironi yang diniatkan oleh Hanung (pejuang rakyat membajak fasilitas rakyat) menjadi gagal karena kekeliruan pemilihan pemain ini.

SKETSA JAKARTA DALAM FILM INDONESIA

penting dalam menentukan tema. Lihat misalnya film-film yang menjadikan legenda urban Jakarta sebagai bagian dari elemen naratif mereka. Film seperti  Hantu Jeruk Purut, Terowongan Casablanca, dan Rumah Pondok Indah sudah menyebut daerahdaerah spesifik Jakarta sebagai judul film mereka, dengan harapan keterkaitan penonton film dengan cerita legenda urban tersebut. Namun peminjaman ini hanya sampai di sini, tak lebih. Hal semacam ini sudah dilakukan seperti pada film Blok M (Bakal Lokasi Mejeng, 1990) yang menggambarkan gaya hidup remaja sejak pertengahan tahun 1980-an, khususnya pernyataan mereka dalam soal fesyen. Namun, sebagaimana film-film horor tahun 2000-an, film ini tak menjadikan kota sebagai bagian tubuh film dan tema yang mereka ambil, dan hanya meminjam popularitas gaya hidup yang sifatnya permukaan saja. Film-film dengan judul lokasi spesifik ini semata-mata dibuat dalam rangka mengeksplorasi pasar semata dan tak berusaha membuat komentar apapun terhadap Jakarta. Dengan demikian sesungguhnya kemampuan seorang pembuat film dalam menangkap lingkungannya menjadi faktor yang sangat penting. Ketika ia mengungkapkan kembali hasil cernaannya terhadap lingkungan itu untuk menjadi panggung bagi filmnya, sesungguhnya di situlah terlihat kepekaan dan kemampuan seorang kreator dalam melakukan representasi dari lingkungan tersebut. Pada titik ini, tampaknya latar belakang pembuat film Indonesia yang berasal dari kelas menengah masih dominan dalam membentuk representasi yang mereka hasilkan. Dalam kebanyakan kasus, para pembuat film Indonesia kini berangkat dari kelas menengah kota yang tak menjalani proses inisiasi yang panjang untuk pada akhirnya membuat filmnya sendiri. Mereka relatif bukan pendaki kehidupan sosial yang datang dari luar Jakarta dan memulai kariernya dari bawah sekali. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyumbang dari minimnya pengalaman

1355

1356

4. FILM DAN KITA

dan pengamatan yang terlibat terhadap kelas bawah kota untuk ditampilkan dalam panggung kota Jakarta. Bahkan lihat misalnya dalam menggambarkan kehidupan migran (salah satu persoalan yang sejak zaman Gubernur Ali Sadikin sudah menjadi salah satu persoalan terbesar) di Jakarta. Persoalan yang dialami migran (sekalipun migran temporer) ke Jakarta adalah keinginan untuk menonton kelompok musik kesayangan, ketimbang migran pencari naf kah yang sesungguhnya adalah soal terbesar Jakarta dari dulu hingga kini. Kamulah Satu-satunya menggambarkan seorang anak kelas menengah dari sebuah kota kecil satelit Jakarta yang sebenarnya punya uang cukup untuk menonton kelompok musik kesayangannya, tetapi dilarang oleh kakeknya. Maka persoalan dan pengalaman di Jakarta adalah persoalan hubungan keluarga dan pengalaman artifisial yang terpisah dari pengalaman nyata kehidupan di Jakarta. Dengan demikian Jakarta sesungguhnya masih kurang terwakili dalam film-film Indonesia sekarang ini. Jakarta sebagai sebuah panggung seakan sepi dari masalah dan tak memengaruhi jalan hidup (baca: jalan cerita film) para manusia di dalamnya. Bisa jadi ini masih merupakan satu utang para pembuat film yang hidup dan besar di Jakarta ini untuk mengakrabi Jakarta dan bercerita tentangnya. Seperti yang dilakukan oleh Sjumandjaja, dengan kecintaan sekaligus kebenciannya terhadap Jakarta.

Esai ini pertama kali diterbitkan di jurnal Karbon pada 2 Januari 2008.

Grace Samboh

Antara Banal, Binal, dan ’Ndeso: Sketsa Eksotisme Yogyakarta Dalam Film Indonesia

A

pakah Yogyakarta hanya seluas Malioboro, Wijilan, Tugu, dan desa-desa bersawah luas? Tentu tidak. Untuk pilihan tempat makan kaki lima, Anda bisa mengunjungi UGM (Universitas Gajah Mada) Boulevard di wilayah Utara. Pasar Beringhardjo di Malioboro memang merupakan salah satu pilihan tempat berbelanja, namun itu bukan satu-satunya. Masih ada barang bekas bertumpuk di Pasar Klithikan, barang-barang kerajinan berbahan rotan di Godean, atau batik di Imogiri dan Taman Sari. Bahkan, komplek pelacuran, entah legal atau tidak, bukan hanya Pasar Kembang di Malioboro tetapi juga di Kotagede. Tugu memang menjadi landmark kota pelajar ini, tetapi penggambarannya dalam sejumlah film seringkali menimbulkan kesan bahwa pembuatnya perlu cara cepat untuk menunjukkan bahwa kota yang diceritakan adalah Yogyakarta.

1358

4. FILM DAN KITA

Pemandangan Kota Yang Banal Untuk lanskap kota, lihat Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006) yang menampilkan Yogyakarta sebatas Pasar Kembang, Malioboro, Tugu, dan Wijilan. Dalam film ini, lokasi-lokasi tersebut tampil sesuai dengan kenyataan bahwa Shanaz (Poppy Sofia) sampai di Stasiun Tugu tanpa membawa uang. Bagi saya, ganjil rasanya melihat Parno (Dwi Sasono), seorang pengamen, penduduk kota asli yang berkenalan, dan akhirnya membawa Shanaz makan gudeg di Wijilan serta digambari karikaturnya oleh seniman jalanan. Walau akhirnya mereka menghabiskan hari di desa bersawah luas dan berpemandangan indah—yang bagi saya adalah salah satu bentuk eksotisme—aktivitas mereka sebelumnya bahkan memerlukan biaya yang mahal apabila diukur dengan standar Yogyakarta. Apalagi mengingat Parno hanyalah seorang pengamen dan, saya ulangi, Shanaz tidak membawa uang sama sekali. Tak jauh berbeda, adalah Cerita Yogya karya Upi Avianto dalam omnibus film Perempuan Punya Cerita (2008) produksi Kalyana Shira. Di sana Yogyakarta digambarkan Upi melalui Malioboro, Wijilan, Tugu, dan Stadion Kridosono—sebagai tempat muda-mudi dalam filmnya menghabiskan waktu luang. Lucunya, Stadion Kridosono hanya akan Anda temukan ramai saat konser musik, bukan saat pertandingan sepak bola, apalagi sampai menjadi tempat nongkrong anak-anak muda. Sebenarnya sah saja sebuah film menampilkan apapun yang diinginkan pembuatnya sehingga tidak harus sesuai dengan keadaan di luar film—toh ini bukan dokumenter—selama logika penonton akan film dan ceritanya dikonstruksikan dengan baik sejak awal. Cerita Yogya juga menceritakan tentang sebuah warung internet (warnet) yang menyediakan bilik untuk berhubungan seks jangka pendek beserta penjaganya yang selalu terlihat membaca koran merah atau buku stensil. Sekelompok anak-anak

ANTARA BANAL, BINAL, DAN ’NDESO: SKETSA EKSOTISME YOGYAKARTA DALAM FILM INDONESIA

pria yang nongkrong di warnet itu digambarkan mencari film porno di Malioboro. Ini juga lucu. Apabila Anda ke Malioboro, Anda tidak akan menemukan satupun penjual CD/VCD/DVD. Lagi-lagi masalahnya adalah pembuat film mencari jalan pintas untuk menunjukkan bahwa lokasi dalam filmnya adalah Yogyakarta. Peminjaman tempat beserta bagian-bagian yang ada di dalamnya secara sambil lalu dalam film, seperti yang dilakukan beberapa pembuat film pada contoh di atas, biasa disebut visit filmmaking (atau tourism filmmaking). Yogyakarta yang dikenal turis adalah Malioboro. Jika area yang terlanjur ikonik ini dijadikan cara mudah untuk mengenali latar kota dalam film-film lainnya, Mengejar Mas-mas (Rudy Soedjarwo, 2007) rupanya menggambarkan Malioboro dengan sedikit berbeda. Malioboro di sana tak terlalu ramai karena rentang waktu dalam ceritanya memang bukan musim liburan, serta banyak makanan lesehan lengkap dengan pengamenpengamennya. Sesuai dengan kenyataan pada waktu nyata dan waktu film itu. Jagad X Code (2009, baca: Jagad Kali Code) bahkan berhasil menampilkan pemandangan kota yang itu-itu saja dengan tepat. Harus diakui, perkampungan di sepanjang Kali Code yang dibangun dan diperjuangkan Romo Mangunwijaya semenjak pertengahan 1980-an sampai akhir hayatnya itu memang lanskap yang sangat menarik. Film besutan Herwin Novianto menampilkan lanskap kota yang kaya dengan keindahan keseharian ini tanpa kegenitan eksotisme. Mulai dari area Kraton, Pasar Ngasem, Istana Air Taman Sari, Pasar Beringhardjo, perempatan Kantor Pos Besar, perumahan elit pemerintah di kawasan Timoho, sampai Kali Code. Hebatnya semua daerah itu diekspos dengan perspektif yang tidak turistik dalam film besutan Herwin Novianto ini. Jagad (Ringgo Agus Rahman) dan teman-temannya memang dikisahkan sebagai anak Kali Code, Regina (Tika Putri) adalah

1359

1360

4. FILM DAN KITA

anak pejabat korup yang tinggal di Timoho, dan sisanya adalah arena kejar-kejaran mereka. Yah, walaupun hanya dengan menonton sekilas saja, saya sih sadar kalau rute kejar-kejarannya sungguh tak masuk akal. Coba cek rute kejar-kejaran mereka yang saya corat-coret ini. Ya, film memang punya logikanya sendiri. Film tak perlu sesuai dengan realita. Namun menjadi masalah bagi saya ketika sebuah film yang berangkat dari realita—dengan mengambil elemen-elemen nyata (seperti papan penunjuk arah, plang nama jalan dan area-area yang sekilas pandang mudah dikenali)—tidak menggabungkan fakta dan fiksi tersebut dengan logis. Eksotisme adalah kata kunci nyaris semua hal ini. Dari ruang luar kota Yogyakarta, anggapan warga yang ndeso, sampai interior rumah. Kita bisa lihat beberapa adegan terakhir 3 Hari untuk Selamanya (Riri Riza, 2006), sebuah film perjalanan yang seharusnya hanya setengah hari, tentang Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti) menuju rumah nenek mereka di Yogyakarta. Setelah mereka berputar-putar selama tiga hari— mungkin untuk mencapai durasi film layar lebar yang umumnya kurang lebih 100 menit—sampailah mereka di rumah sang nenek yang modern secara arsitektur, dan interior. Rumah nenek memang tidak harus berupa rumah Joglo dan kuno, namun sangatlah klise ketika isinya penuh dengan barang-barang nonfungsional namun eksotis. Tatanan rumah yang dipenuhi dengan perabotan eksotis ini tidak punya relevansi apapun dengan cerita.

Masyarakat Kota Yang Kampungan: Stereotipe Wong ‘Ndeso? Bagi sejumlah pembuat film Indonesia, Yogyakarta rupanya tak hanya eksotis dan ndeso. Melalui Mengejar Mas-mas, sutradara

ANTARA BANAL, BINAL, DAN ’NDESO: SKETSA EKSOTISME YOGYAKARTA DALAM FILM INDONESIA

Rudi Soedjarwo juga mencoba menggambarkan kehidupan sosial di lingkungan pertetanggaan di Yogyakarta melalui film ini, setidaknya di daerah pelacuran Pasar Kembang, dan di sekitar rumah tinggal Ningsih alias Norma (Dina Olivia). Sayangnya, ibu-ibu tetangga Ningsih tetap digambarkan bodoh, “…ndak boleh percaya 100% sama suami! Jangan takut masalah hak wanita! Lha wong sekarang ini, sudah ada departemennya sendiri loh, untuk urusan wanita… Iya! Ada menterinya juga loh! Eh, menterinya itu wanita, lagi!” demikian penjelasan Ningsih yang mengaku berprofesi dosen kepada sejumlah tetangganya yang manut saja. Demikian cara film ini, sekalipun bisa melepaskan diri dari Malioboro yang eksotis, namun tetap menggambarkan lingkungan Yogyakarta yang dihuni oleh wong ‘ndeso, padahal daerah tempat Ningsih tinggal adalah sekitar Malioboro itu sendiri, sebuah pusat kota. Dan, seperti yang kita tahu, wong ‘ndeso selalu kampungan. Cerita Yogya menggambarkan muda-mudi Yogyakarta sebagai manusia-manusia banal dan binal. Film diawali dengan seorang perempuan berseragam SMU yang marah dan setengah berteriak di depan orang banyak, meminta pertanggungjawaban seorang pria yang berseragam juga, karena temannya yang adalah pacar pria itu hamil. Si pacar menolak, karena toh perempuan itu ‘digilir’ bersama teman-temannya yang lain. Bisa saja kelompok tersebut benar-benar eksis di Yogyakarta, masalahnya film pendek yang ditulis oleh Vivian Idris ini tidak berhasil membangun karakternya. Adanya kumpulan anak muda yang dalam kesehariannya bukan hanya membicarakan dan bercanda tentang hubungan seks, tetapi juga mempraktikkannya tanpa rasa malu dan bersalah, sungguh terasa ganjil. Karakter-karakternya pun terlihat sedang berakting, sama sekali tidak alami. Selain itu, skenario film ini terasa pretensius. Di dalam kamar hotel, Jay (Fauzi Baadila), Safina (Kirana Larasati) dengan senyum lugu-tapi-nakalnya mengatakan bahwa ia dan teman-

1361

1362

4. FILM DAN KITA

temannya tidak seperti anak-anak Jakarta yang harus check in (di hotel) untuk berhubungan seks. Adegan berlanjut ke sebuah kamar lain, yang dari luar terdengar jelas suara sepasang remaja sedang melakukan hubungan seks. Di luar kamar itu, ada beberapa pasang muda-mudi yang berkumpul sambil bermain Play Station, bermesraan, bersenda-gurau, merokok, minum minuman keras, dan mengganja. Seorang ibu berjilbab, yang adalah ibu pemilik rumah yang mereka tongkrongi, lewat sambil berbasa-basi ramah dengan mereka. Hal ini lucu bagi saya, karena ketika saya, seorang perempuan dewasa, merokok di lobi pascasarjana sebuah kampus saja hampir selalu menjadi pusat perhatian dan dipandangi dengan seksama, dari sepatu hingga rambut, oleh para perempuan berjilbab yang lalu-lalang—apalagi sampai mabuk dan mengganja. Lain halnya dengan Otomatis Romantis (2008). Film besutan Guntur Soehardjo ini mengamini stereotipe penduduk Yogyakarta yang dibangun oleh film-film sebelumnya bahkan tanpa perlu menggunakan latar kota Yogyakarta. “Bambang yang orang Jogja itu?” tanya Nadia (Marsha Timoty), pemimpin redaksi majalah GAYA kepada penata busananya. Nadia marah besar saat tahu salah satu modelnya batal datang pemotretan, dan si penata busana menggantinya dengan Bambang Setiadi (Tora Sudiro), salah satu pesuruh kantornya. Anda akan sering menemukan kalimat ”Bambang yang orang Jogja itu?” dengan nada yang variatif dalam film yang mengangkat tentang klise hubungan antara atasan dan bawahan ini. Saya ingat bahwa kalimat itu justru muncul saat Bambang sedang melakukan halhal yang tidak ‘kampungan’. Misalnya saat Bambang dikontrak menjadi model selama setahun oleh pemasang iklan di majalah tempat ia bekerja. Semua itu bermula ketika Bambang mengajukan diri untuk mencoba menulis artikel dalam majalah yang digambarkan mirip

ANTARA BANAL, BINAL, DAN ’NDESO: SKETSA EKSOTISME YOGYAKARTA DALAM FILM INDONESIA

dengan majalah Cosmopolitan ini. Ia mengaku pernah menjadi penulis sebelumnya di Yogyakarta: “… di majalah petani,” aku Bambang dengan muka sumringah, dan logat medok yang tidak pas. Pernyataan Bambang ini membuat kota asalnya seakan-akan adalah desa, maka Bambang harus selalu ‘ndeso dan ‘kampungan’. Padahal, sekali lagi, Yogyakarta adalah sebuah kota. Kalaupun di Yogyakarta ada area perkampungan, itu wajar, toh kampung memang adanya di dalam kota. Kampung Kali Code, misalnya. Jagad X Code mengisahkan Jagad dan kedua temannya yang disuruh preman lawas bernama Semsar (Tio Pakusadewo) untuk mencuri flashdisk dari tas seorang perempuan. Para pengangguran ini tentu mau-mau saja, apalagi konon bayarannya 30 juta. Masalahnya, mengutip 21cineplex. com, “karena kesenjangan teknologi, mereka bertiga tak tahu apa itu flashdisk.” Kontan kita tahu, ini film komedi perkara benarbenar lucu atau tidak, tidak ada hubungannya dengan penentuan genre film ini. Namun soal kesenjangan teknologi? Hm, 21cineplex.com sih bisa saja asal menuliskan itu. Atau, publicist film produksi Inno Maleo Pictures itu yang asal. Yang pasti, sepanjang film, tak ada penjelasan apapun soal kesenjangan teknologi. Sekali lagi, masyarakat Yogyakarta, walau dalam kasus ini hanya di Kali Code, digambarkan bodoh, mungkin ini cara mudah supaya film ini sukses jadi film komedi. Padahal, hubungan antara kebodohan mereka dengan daerah rumah mereka, Kampung Kali Code, tidak disinggung (apalagi dijelaskan) dalam film ini. Yang pasti, kesan itulah yang tertangkap sejak saya membaca sinopsis film ini, apalagi setelah menonton. Ah, lagi-lagi soal kampung dan ‘ndeso. Jagad X Code dibuka dan diakhiri dengan musik latar rap berbahasa yang dibawakan oleh Jahanam¾crew hip-hop asal Ngayogyakarta yang dikenal karena rap Jawanya. Salah satu personil Jahanam, Heri Wiyoso yang dikenal sebagai Mamok

1363

1364

4. FILM DAN KITA

(biasanya dituliskan: M2MX), bertempattinggal di Kampung Kali Code. Kebetulan kan? Entah. Yang pasti, Mamok yang saya kenal sama sekali tidak seperti Jagad, Bayu (…) atau Gareng (…); atau siapapun tokoh pemuda Kali Code dalam film ini. Ia juga bukan sosok terpelajar yang berpotensi korupsi dengan penampilan seperti bapaknya Regina (Ray Sahetapy). Tapi, saya yakin Mamok tak mungkin tak kenal flashdisk. Pasalnya, musik hip-hop yang digarap Jahanam semenjak 2003 itu diproduksi secara digital (sering juga disebut musik elektronik; bukan karena alirannya, tetapi karena cara pembuatannya). Saya bukannya ingin mengatakan Mamok bisa mewakili seluruh penghuni Kali Code, saya hanya ingin mengilustrasikan bahwa menggambarkan ketertinggalan wawasan teknologi yang sedemikian ekstrim di akhir dasawarsa pertama abad ke-21 ini sama sekali tidak masuk akal. Melucu bukannya harus masuk akal, tapi setidaknya melucu perlu ketrampilan khusus supaya audiens ¾setidaknya saya¾ tidak merasa dihina karena tak bisa merasionalisasinya. Mungkin, kalau film ini muncul pada awal 2000, mungkin saya masih bisa menganggapnya lucu ¾sekali lagi, mungkin. Ya, Jagad X Code memang menggambarkan masyarakat Yogyakarta yang sama sekali berbeda dengan Cerita Yogya. Cerita Yogya menggambarkan kehidupan seksual remaja yang sama sekali tidak merepresentasikan muda-mudi Yogyakarta. Remaja Yogyakarta, walaupun memang memiliki sifat urban, tetap tak lekang dari tradisi. Bukan maksud saya remaja kota ini masih berkebaya ke mana-mana. Namun dalam keseharian, apalagi yang masih berbahasa Jawa, mereka tidak mungkin melanggar normanorma pada umumnya ¾setidaknya pada tatanan penampilan. Walaupun sejumlah penelitian membuktikan bahwa Yogyakarta adalah kota dengan angka keperawanan pelajar paling rendah, kebudayaan Jawa yang kental di kota ini belum mengizinkan adanya kevulgaran yang sedemikian rupa hadir dalam pergaulan sehari-hari.

ANTARA BANAL, BINAL, DAN ’NDESO: SKETSA EKSOTISME YOGYAKARTA DALAM FILM INDONESIA

Simak beberapa tokoh perempuan dalam film pendek Cerita Yogya, yang merupakan salah satu dari empat film, yang dinyatakan para pembuatnya sebagai “film tentang, oleh, dan untuk perempuan ini”: [1] pemakai seragam putih abu-abu dan berjilbab yang asyik saja merokok di tempat umum tanpa dikomentari orang-orang sekitarnya, sementara seorang turis domestik perempuan yang merokok sambil berjalan di sepanjang Malioboro saja menjadi pusat perhatian; [2] siswi SMU yang tetap nongkrong bersama orang-orang yang menghamilinya tanpa beban, padahal sebelumnya ia digambarkan panik akan kehamilannya, takut aborsi, sehingga akhirnya meminta dikawini; dan [3] perempuan munafik yang berpikir logis, awalnya terlihat lebih berprinsip daripada yang teman-temannya, dan akhirnya menyerahkan keperawanannya pada seorang baru atas nama cinta, padahal ia tahu pemuda ini hanya pendatang yang tinggal di hotel, bukan kost (yang berarti sangat sementara). Sedangkan tokoh-tokoh lawan jenisnya: (1) pria SMU yang rela pacarnya ‘digilir’ teman-temannya, namun takut ketahuan ibunya sedang berhubungan seks; (2) pria berseragam putih abu-abu dengan wajah muda yang dengan bangganya memamerkan bahwa ia telah memerawani gadis berseragam putih biru, tetapi terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ia dicurangi teman-temannya sehingga harus menikahi perempuan yang ‘digilir’ tadi; dan (3) pria yang menawarkan solusi mengawini perempuan hamil tadi dengan cara mengundi nama dalam kaleng bir bekas dengan alasan semua merasakan enaknya, tetapi tidak tahu apa itu Miyabi—alias Maria Ozawa, bintang film porno Jepang yang sangat populer. Mengejar Mas-mas lain lagi. Film ini menggambarkan ekspresi kaget, takut, bercampur jijik di muka pemuda berprofesi pengamen di Malioboro itu pada saat Shanaz berkata “… gua udah bosen ngeseks!”. Film ini membangun stereotipe penampilan pemuda Yogyakarta. Lihat saja baju lurik dan blangkon yang selalu dikenakan Parno. Apabila Anda bertandang ke Yogyakarta,

1365

1366

4. FILM DAN KITA

saya jamin Anda akan kesulitan menemukan pengamen muda di Malioboro mengenakan celana batik, apalagi baju lurik. Parno juga dikenalkan sebagai pemuda bersepeda, yang memang sesuatu yang akan sering Anda temukan di Yogyakarta, yang terlalu bodoh untuk memperbaiki rem blong yang seringkali membuatnya jatuh—adegan ini memang lucu saat pertama kali muncul, tetapi untuk yang kedua dan ketiga, terlihat kalau penulis skenarionya, Monty Tiwa, kehabisan cara melucu. Parno dan pola pikir sederhananya juga digambarkan tidak punya harga diri. Sepulang berkencan, ia menemukan pacar Shanaz telah menunggu. Shanaz memperkenalkan Parno sebagai ojek sepeda yang telah membawanya berkeliling kota seharian, sehingga pacarnya kemudian memasukkan sejumlah uang ke dalam kantong Parno sebagai tanda terimakasih. Tanpa perlawanan dan ekspresi, Parno nrimo kemudian pergi. Nrimo. Itulah respon yang juga saya dapatkan dari beberapa teman saya yang sudah lama menjadi warga Yogyakarta terhadap film-film ini, bahkan dari mereka yang penduduk asli. Mereka hanya tertawa dan mengatakan bahwa itu ‘bumbu’ dalam film. Saya heran, karena saya, yang bukan orang Yogyakarta, merasa terusik melihat kota ini digambarkan dengan cara demikian. Apalagi membayangkan film-film ini ditonton oleh banyak orang yang kemudian ‘percaya’ bahwa apa yang diceritakan itulah wajah Yogyakarta. “Ih, masak sih Yogya segitunya?” komentar seorang perempuan paruh baya, dengan penampilan kantoran, di depan barisan yang saya duduki ketika menonton Perempuan Punya Cerita di Senayan XXI, Jakarta. Seluruh pembuat film yang saya ceritakan di atas tentu kekurangan waktu penelitian dalam pembuatan skenario dan kekurangan dana produksi untuk menggunakan lebih banyak tempat. Sementara Daun di Atas Bantal (Garin Nugroho, 1998) berhasil membuat penonton merasakan Yogyakarta tanpa perlu

ANTARA BANAL, BINAL, DAN ’NDESO: SKETSA EKSOTISME YOGYAKARTA DALAM FILM INDONESIA

mengeksploitasi lokasi-lokasi eksotis, film-film lainnya malah mengeksploitasi eksotisme untuk jalan pintas mengomunikasikan latar filmnya adalah kota Yogyakarta.

Versi awal tulisan ini diterbitkan pertama kali di Rumah Film (rumahfilm.org) pada 16 Juli 2008. Tulisan ini kemudian dimuat kembali dengan sejumlah revisi dan tambahan di jurnal Karbon (Karbonjournal.org—sekarang Jurnalkarbon.net) pada 26 Agustus 2009— terutama tentang film Jagad X Code yang dirilis setelah versi awal tulisan ini ditulis. Tulisan ini berasal dari versi revisi dan tambahan tersebut.

1367

Homer (Mual Harianja)

Menunggu Ayat-Ayat Cinta: Menunggu Keberhasilan Adaptasi? We take it for granted that film directors are, if they so wish, in the game of recycling. — Susan Sontag

F

ilm Ayat Ayat Cinta (AAC) yang sejatinya akan dirilis pada tanggal 29 Desember 2007, seperti yang dipromosikan selama ini, mengalami penundaan jadwal tayang. Hanung Bramantyo sebagai sutradara AAC memberi keterangan bahwa film ini akan tayang bulan Januari karena masih adanya kendala teknis dalam proses penyelesaiannya. Hanung tidak merinci apa yang disebutnya dengan kendala teknis itu. Hanung hanya menambahkan bahwa AAC adalah produksi yang penuh dengan cobaan dibanding dengan 6 film yang pernah dibuatnya sebelumnya. Film ini sepertinya telah menjadi sangat personal bagi Hanung sendiri. Membaca tulisan di  blog-nya  kita akan merasakan itu. Termasuk di dalamnya adalah kekuatiran akan diterima atau tidaknya film ini. Terlebih kepada pembaca fanatik novel Ayat-Ayat Cinta, novel yang menjadi sumber adaptasi. Hanung menulis dengan emosional “Mereka tidak lebih dari

MENUNGGU AYAT-AYAT CINTA: MENUNGGU KEBERHASILAN ADAPTASI?

sekadar penonton yang menuntut hiburan atau membandingbandingkan film dengan novelnya. Lantas jika tidak sama dengan novelnya terus mencaci maki, menganggap bodoh, dan kafir sutradara yang membuat. Karena hal-hal islami dalam novel tidak tampak, tidak terasa.” Lebih dalam lagi ketika Hanung menyitir kata-kata ibunya yang menurutnya terus menerus terngiang “ Kalau kamu sudah bisa membuat film. Buatlah film tentang agamamu”. Hanung merasa tidak sedang membuat film kodian. Ini adalah idealismenya. Dia sedang membuat film yang diadaptasi dari novel best seller yang kemunculannya sangat fenomenal. Novel yang ada di tangan saya ini sudah cetakan XXVII bulan November 2007. Cetakan pertamanya adalah desember 2004. Tidak salah jika dibilang fenomenal. Selain sebagai novel best seller, novel ini disebut juga sebagai novel pembangun jiwa yang tujuan utamanya adalah dakwah. Mengadaptasi novel berbobot menjadi film adalah sebuah tantangan besar bagi sutradara, menurut Susan Sontag ini adalah kerja seni yang terhormat. Karena pesan dakwah yang kental dalam novel ini tantangan itu menjadi ganda. Mengerti saya kemudian kenapa Hanung menjadi kuatir. Faktor di atas membuat film ini wajib ditunggu. Dari hasil googling saya tampaknya resmi bahwa AAC akan dirilis pada tanggal 14 Februari 2008 bertepatan dengan hari Valentine yang tidak sedikit mengundang protes karena dinilai tidak tepat secara Ayat-Ayat Cinta adalah film yang bernafaskan islam dan penuh dengan dakwah di dalamnya. Mungkin jika novel ini bukanlah sebuah novel  best seller yang pencapaian sastranya menurut beberapa kritikus juga bagus dan tidak punya beban dakwah, Hanung tidak akan menjadi kuatir. Hanung sebelumnya telah membuat film yang ceritanya mengadapatasi dari novel yaitu Jomblo yang “hanya” berhasil secara komersil. Novel ini tidak mempunyai beban untuk

1369

1370

4. FILM DAN KITA

diadaptasi menjadi film. Dalam bahasa Susan Sontag adalah “It became a dictum that cinema was better nourished by pulp fiction than by a literature.“ Sebagai contoh Birth of Nation (D.W. Griffith, 1915) yang banyak dipuji sebagai film modern pertama merupakan adaptasi novel sampah karya Thomas Dixon. Sedang film  Darah dan  Mahkota Ronggeng  (Yazman Yazid) merupakan sebuah contoh kegagalan sutradara dalam mengadaptasi novel sastra, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Louis Giannetti membuat tiga model bagaimana seorang sutradara melakukan pendekatan dalam proses adapatasi novel ke film, yaitu loose, faithful dan literal. Loose adalah pendekatan di mana sutradara hanya mengambil ide, situasi atau karakter dari sumber literatur kemudian mengembangkannya secara bebas dan independen. Contoh yang paling terkenal adalah  Throne of Blood karya Akira Kurosawa yang diadaptasi dari Macbeth karya Shakespeare. Adaptasi ini dianggap berhasil malahan karena Kurosawa tidak berusaha mengikuti sepenuhnya  Macbeth, kekuatannya bertumpu pada sinematik dan bukan verbal. Faithful adalah mencoba untuk menciptakan kembali sama seperti sumber literaturnya dalam bahasa film. Andre Bazin, seorang krikus film yang besar di masa  French New Wave, menganalogikannya sebagai seperti seorang penerjemah buku yang mencari padanan kata. Walau sebenarnya tidak terlalu pas tapi semangatnya seperti itu. Film-film John Huston termasuk dalam pendekatan ini. Rainer Werner Fassbinder, seorang sutradara Jerman yang terkenal, melakukan yang lebih ketat lagi. Dalam filmnya yang berjudul Berlin Alexanderplatz, Fassbinder sangat setia pada bukunya hingga perparagraf tidak heran kemudian jika durasi film tersebut menjadi 15 jam 21 menit. Literal biasanya merupakan adaptasi dari naskah-naskah drama. Karena dalam drama juga terdapat sebuah aksi dan dialog di dalamnya, sutradara hanya akan mempunyai tantangan dalam

MENUNGGU AYAT-AYAT CINTA: MENUNGGU KEBERHASILAN ADAPTASI?

persoalan ruang dan waktu. Hal ini akan berhubungan dengan pemilihan gerak kamera dan teknik editing. Sejarah sudah membuktikan bahwa pendekatan metode apapun yang dilakukan dalam proses adaptasi, mampu dan bisa untuk menghasilkan film yang baik. Namun kendala-kendala di luar film sebagai media membuat kebebasan itu terpasung. Sutradara menjadi tidak independen. Nabi film di belahan Perancis memang menyerukan konsep auteur tapi menjadi tidak berarti karena kendala tadi, seperti pemegang modal dan penulis buku aslinya sendiri untuk menyebut sedikit contoh. Novel  Ayat-Ayat Cinta  ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy biasa dipanggil Kang Abik. Novel ini bercerita tentang seorang pemuda desa miskin bernama Fahri bin Abdillah yang merantau ke Mesir, Kairo untuk bersekolah di Universitas Al Azhar. Dalam novelnya, periode waktu yang dipakai adalah masa ketika Fahri sedang menyusun tesis untuk S-2nya. Fahri adalah sosok islam yang berperilaku Islami. Dalam pengenalan tokoh ini, Kang Abik memulai dengan menggambarkan karakter Fahri yang berkemauan kuat dan teguh memegang janji. Hari itu sangat panas di Kairo,cuaca sangat buruk. Suhu 41 derajat celcius. Padahal hari itu adalah jadwal untuk talaqqi (belajar langsung face to face dengan seorang syaikh atau ulama) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah seorang ulama besar di Mesir. Pada Ulama besar ini, Fahri belajar ilmu tafsir dan membaca Al-quran dengan riwayat tujuh imam. Tidak sembarang orang yang bisa diterima menjadi murid Syaikh Utsman. Mereka diuji secara ketat. Yang diuji adalah hafalan Al-Quran tiga puluh juz dengan qiraah bebas. Di tahun itu hanya sepuluh orang yang diterima salah satunya adalah Fahri. Di sini Kang Abik juga mengenalkan Fahri sebagai seorang yang cerdas. Pengenalan karakter Fahri menjadi sentral dan teramat penting dalam novel ini. Karena karakter Fahri adalah pengerak dari semua peristiwa menjadi pesan moral yang ingin disampaikan penulisnya kepada

1371

1372

4. FILM DAN KITA

pembacanya. Pendeknya karakter Fahri adalah karakter seorang islam yang Kaffah. Fahri juga tidak bersentuhan dengan perempuan yang bukan istri atau mahramnya. Fahri bersama teman-temannya tinggal bertetangga dengan keluarga Mesir beragama Kristen Koptik yang sangat bersahabat. Yang paling dekat dengan keluarga itu adalah Fahri. Kamar Fahri tepat di bawah kamar anak perempuan keluarga Kristen Koptik itu. Namanya Maria. Walau berstatus Kristen, Maria suka AlQuran bahkan dia hafal beberapa surat Al-Quran. Yang paling disukainya adalah surat Maryam seperti namanya. Maria sulit bergaul dengan lelaki tetapi dengan Fahri dia merasa nyaman dan kemudian jatuh cinta kepadanya. Di sini Fahri digambarkan seorang yang inklusif dalam bermasyarakat tapi tetap eksklusif dalam beriman. Karena karakternya yang sangat sempurna Fahri dicintai oleh empat wanita sekaligus. Fahri yang juga mahir menyitir puisi-puisi romantis dari penyair Perancis, bukan cuma membuat perempuan berbunga-bunga didekatnya tapi tergila-gila bahkan jatuh koma. Perempuan yang menjadi kehilangan akal sehat karena cinta adalah Noura, perempuan yang sangat naas hidupnya. Noura mengalami kekerasan oleh ayahnya dan waktu bayi tertukar di rumah sakit. Berkat pertolongan Fahri, Noura menemukan kebahagiaan dan ayah sebenarnya. Namun cinta menggelapkan akal sehatnya, dia hamil dan menuduh Fahri yang melakukannya. Di Mesir seorang pemerkosa warga asli Mesir hukumannya adalah gantung. Berbeda bila yang diperkosa misalnya adalah warga negara lain. Fahri dalam kesusahan. Dia dipenjara dan disiksa. Tapi Fahri masih dapat bersyukur dan bertakwa. Fahri saat itu sudah menikah dengan Aisha, perempuan bercadar berayah Jerman, beribu Turki dan nenek Palestina. Fahri mengenalnya di sebuah trem, dalam perjalanan belajar ke Syaikh Utsman. Aisha adalah seorang mahasiswi jurusan psikologi. Aisha

MENUNGGU AYAT-AYAT CINTA: MENUNGGU KEBERHASILAN ADAPTASI?

sangat sedih. Dia sedang hamil. Dia tidak ingin anaknya yatim. Aisha yang juga seorang islam yang taat kehilangan pegangan. Kesedihan menggelapkan imannya. Aisha mengutarakan rencananya kepada Fahri untuk berdamai dengan keluarga Noura dengan memberikan sejumlah uang untuk menarik tuduhan. Uang bukanlah masalah. Aisha diwarisi kekayaan jutaan dolar dari keluarganya. Fahri menolak. Tidak mungkin baginya melanggar perintah Tuhan. Tidak mungkin baginya untuk menyuap. Satu-satunya saksi yang bisa membebaskan Fahri dengan membuktikan bahwa Noura berbohong dan merekayasa kejadian pemerkosaan itu adalah Maria, namun sayangnya Maria dalam keadaan koma. Satu perempuan lagi yang jatuh cinta pada Fahri adalah Nurul, seorang anak kyai yang juga sedang belajar di AlAzhar. Lika-liku cinta, romantisme dan Fahri sebagai seorang pemuda islam yang sempurna menjadi tema besar novel ini. Dalam film AAC rasanya memang tidak ada pilihan bagi Hanung untuk setia kepada novelnya. Saya tidak melihat alternatif lain. Ini adalah film dakwah. Film yang seharusnya membangun jiwa. Hanung tidak bisa bermain-main ala Kubrick. Dan tampaknya Hanung tidak akan bermain-main. Selain memang novel ini tidak punya lapisan (layer) yang banyak untuk ekplorasi cerita. Usaha untuk syuting di Kairo sudah dicoba walaupun akhirnya gagal karena anggaran yang tidak mencukupi dan izin yang tidak didapat. Usaha untuk setia pada novelnya yang bersetting Kairo telah dilakukan. Syuting diputuskan di India untuk menangkap daya magis Kairo dan sungai Nil. Sebagian lagi di syut di Jakarta dan sisanya akan dilakukan dengan tehnik CGI. Melihat castingnya, Fedi Nuril sebagai Fahri membuat beberapa orang berkomentar bahwa Fedi Nuril bukan sosok dalam bayangan mereka tentang Fahri. Itu biasa. Yang lebih menjadi perhatian saya adalah kualitas Fedi Nuril sebagai seorang aktor. Belum pernah saya melihat aktor satu ini tampil cemerlang

1373

1374

4. FILM DAN KITA

dan ngerinya dia memainkan karakter utama yang sangat kuat bahkan berkarisma. Sangat disayangkan bahwa untuk sesuatu yang menjadi kekuatan yang maha penting dalam naratifnya, dipasang pemain berkelas sinetron. Semoga saya salah dan ada anomali dalam kasus ini. Sesuatu yang baru dan akan menarik dalam film ini adalah bahasa yang digunakan. Ini jika Hanung akan setia pada cerita novelnya. Karena tokoh-tokohnya banyak orang asing maka bahasa yang digunakan harusnya asing juga. Aisha (Rianti Cartwright) istri Fahri fasih berbahasa Jerman dan sedikit patahpatah dalam berbahasa Arab. Sebaliknya Fahri sedikit berbahasa Jerman dan mahir berbahasa Arab. Mayoritas bahasa yang digunakan dalam imajinasi novel adalah bahasa Arab. Tentu saja dalam novel secara tulisan adalah bahasa Indonesia. Karena media novel dan film berbeda maka tidak bisa di film hanya diimajinasikan saja dalam bahasa Arab. Dalam cerita novel, kata diproses lewat imajinasi pembacanya sedangkan dalam film kata telah diubah langsung menjadi gambar, tanpa ada hutang budi imajinasi penontonnya. Jika di film dialog yang digunakan adalah bahasa Indonesia maka film ini bisa disebut gagal. Konteks pembauran dan nilai-nilai sosiologis dalam film ini sangat kental. Penggunaan dialog bahasa Indonesia menciderai maksud-maksud itu. Kalau melihat komposisi pemainnya, rasanya akan lebih tepat penggunaan dubbing. Ini merupakan praktik yang biasa. Sutradara besar macam Fellini pun melakukannya. Jadi pemakaian bahasa asing dalam film ini harusnya bukan bagian kendala seperti yang saya sebutkan di atas. Penonton Indonesia bisa menikmati lewat subtitle. Catatan penting lain adalah romantisme yang akan dibangun oleh film ini. Romantisme merupakan elemen penting dalam cerita di novel. Ia adalah bagian dakwah yang penting. Dalam novel, Kang Abik ingin menunjukkan menjadi islam

MENUNGGU AYAT-AYAT CINTA: MENUNGGU KEBERHASILAN ADAPTASI?

yang kaffah bukan berarti tidak bisa romantis. Ada penerjemahan ulang atas romantisme itu sebagai romantisme ala timur bukan barat: romantisme yang “Islami”. Dalam percakapan dengan seorang teman saya, dia bilang dia suka buku ini karena begitu romantisnya Fahri. Penggambaran romantisme dalam teks menjadi terasa wajar. Lain ceritanya ketika romantisme itu muncul dalam bentuk gambar. Ada pemahaman yang harus disiasati secara bijak. Bagaimana sutradara akan menampilkan romantisme ini lewat gambar akan menjadi sebuah tantangan. Jika Aisha saja menutup auratnya saat mandi, apakah dalam film Fahri dan Aisha yang sedang berpelukan mesra di jendela sambil minum dan memandang sungai Nil akan menjadi bagian dalam adegan film? Dalam novel deskripsi romantisme di adegan jendela kamar itu begitu kuat. Tentu pada prosesi perkawinan yang penuh aura cinta juga butuh kemampuan mengolah mise en scene yang baik. Sehingga proses transformasi kata menjadi gambar dalam konsep romantisme itu bisa hadir dalam layar dan menggugah penonton. Karena dalam bayangan saya, romantisme islam adalah romantisme yang privat. Apa saya akan melihat seorang berjilbab yang melepas cadarnya dan menjatuhkan kepalanya di dada lalu sang suami mengecup keningnya? Bagaimana Hanung membuatnya? Ini adalah bagian lain yang saya sangat tunggutunggu. Seseorang di sebuah forum dunia maya berujar,“sudah jamak buku yang bagus ketika diadaptasi menjadi film hasilnya malah buruk“. Saya sebaliknya malah berharap banyak dengan film ini. Membaca blog Hanung membuat saya semakin ingin menontonnya. Fassbinder mampu membuat Berlin Alexanderplatz dengan kesetiaan yang sangat pada bukunya. Dia mencintai buku itu sejak dia berumur 15 tahun, membuatnya menjadi sangat personal. Katanya dalam hatinya, dia akan membuat film

1375

1376

4. FILM DAN KITA

berdasarkan buku itu. Film berdurasi 15 jam lebih tercipta dan dipuji oleh kritikus. Hanung menulis bahwa AAC adalah film idealismenya. Dia menyitir kata-kata ibunya. Ini adalah film yang personal. Ini tidak akan seperti film-film remaja dan horror yang banyak beredar di bioskop, begitu tulisnya. Jadi tidak ada alasan lagi bahwa film ini akan menjadi film sinetron. Jadi Hanung, Saya tunggu 14 Februari.

Ade Irwansyah

Mengapa Kita Tak Lagi Membuat Film Superhero?

I

J

IKA Anda rajin berselancar ke forum-forum tentang film di situs-situs macam Kaskus, Ruang Film, dan sejenisnya, Anda akan ketemu kabar seperti ini: Gundala, sang tokoh komik legendaris itu, akan segera dibuat versi filmnya. Kabar ini bermula dari kehadiran situs bernama www.gundalathemovie.com.1 Situs ini memasang poster film dengan judul pendek: GUNDALA. Di poster itu terlihat sosok Gundala dengan latar belakang gedung-gedung Jakarta. Di bawah posternya, ada susunan kru dan pemain, serta sinopsis pendek. Film ini akan diproduksi Bumi Langit Pictures Komentar yang bertebaran di forum-forum Internet menyambut baik kehadiran Gundala versi film. Mereka yang sudah gerah disuguhi film-film horor di bioskop mengharap betul 1

Lihat www.gundalathemovie.com. Situs ini sekarang hanya memasang tagline ”Keadilan segera datang, keangkaraan akan sirna” dan penunjuk waktu: Juni 2009.

1378

4. FILM DAN KITA

kehadiran film ini. Tapi, apa iya film ini benar-benar ada dan akan edar Juni tahun depan seperrti disebutkan situs itu? Nanti saja dijawabnya. Yang pasti, film superhero bukanlah hal baru buat jagad sinema kita. Ya, sineas negeri ini pernah membuat film superhero, film yang bertema pahlawan berkekuatan super macam Superman atau Spider-Man. Pada 1974, sineas kita melahirkan Rama Superman Indonesia (Frans Totok). Judulnya sudah bercerita film ini berkisah tentang apa dan siapa. Tapi tak ada salahnya dikisahkan kembali. Alkisah, Andi (Boy Shahlani) seorang penjaja koran yang mendapat jimat kupu-kupu emas. Bila jimat itu dicium, ia bisa berubah jadi superhero yang bisa terbang, berkostum bak Superman, bernama Rama (diperankan August Melasz). Rama sering membantu orang yang kesusahan hingga jadi berita di koran. Kemudian, film mengisahkan pertautan Rama dengan wanita bernama Lia (Jenny Rachman), putri Profesor Hartoyo (Djauhari Effendi). Sang profesor jadi incaran komplotan penjahat Naga Hitam lantaran formula temuannya, yang bisa membuat bahan peledak berkekuatan sangat tinggi. Usaha merebut formula itu selalu digagalkan Rama. Karena gagal, Lia diculik. Rama muncul menyelesaikan masalah.2 Selang tujuh tahun kemudian giliran lahir Gundala Putra Petir (1981, Lilik Sudijo) dari tangan sineas kita. Kisahnya seputar Sancoko (Teddy Purba), seorang ilmuwan bergelar insinyur, berubah jadi Gundala, sang pahlawan berkekuatan super. Awalnya, Sancoko diam-diam menyuntikkan cairan anti petir. Hasilnya luar biasa. Tubuhnya jadi tahan terhadap arus listrik dan punya kekuatan luar biasa hal ini juga berkat bimbingan gurunya, Dewa Petir (Pitrajaya Burnama). Kehebatan Sancoko sampai ke telinga Gasul (WD Mochtar), seorang gembong narkotik. Bersama beberapa kawannya Gasul menculik Sancoko, 2

Sinopsis ini dikutip dari JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2005, Penerbit Nalar, Jakarta, 2005, h. 122.

MENGAPA KITA TAK LAGI MEMBUAT FILM SUPERHERO?

memintanya menciptakan ramuan heroin sintetis. Minarti (Anna Tarias), tunangan Sancoko, dan Prof. Saelan (Ami Prijono) ikut diculik. Sancoko tetap bungkam dan menolak permintaan kawanan penjahat itu. Belakangan diketahui, dalang kejahatan itu Ir. Agus (August Melasz) rekan Sancoko sendiri.3 Rama Superman Indonesia lahir empat tahun lebih dulu dari film  Superman  (1978) karya Richard Donner yang mempopulerkan Christopher Reeve sebagai Superman. Di Amerika sana, Superman versi layar lebar hadir menandai era kebangkitan film-film superhero. Sebelumnya, genre ini kurang dilirik sineas Amerika. Kisah  superhero  hanya cocok jadi tontonan televisi di rumah (serial televisi  Superman dan Batman populer di tahun 1950-an dan 1960-an). Kisah Superman layar lebar berlanjut hingga sekuel keempat di tahun 1980-an. Semakin bilangannya bertambah, kisah Superman versi layar lebar makin rendah mutunya dan orang mulai jenuh dengan kisah manusia super dari planet Krypton ini. Meski begitu, bukan berarti genre ini ikut jenuh. Hollywood lantas menyodorkan sosok superhero baru Batman (Tim Burton) di penghujung 1980-an. Sosok Batman kemudian hadir sepanjang dekade 1990-an. Namun, lagi-lagi sekuel Batman makin buruk (rilisan 1997 [Batman & Robin] malah dianugerahi Razzie Awards, Oscar-nya film-film buruk). Hollywood lantas berpaling pada Spider-Man (2002, Sam Raimi). Si manusia laba-laba ini membangkitkan kembali kegairahan membuat film superhero di Hollywood. Usai SpiderMan sukses besar, berturut-turut hadir versi layar lebar Hulk, The X-Men, Dare-Devil, The Punisher, Elektra, Cat Woman, hingga Iron Man. Superman dan Batman sendiri di-reboot alias dipermak ulang untuk penonton generasi 2000-an (Superman Returns,  Batman Begins,  The Dark Knight). Di luar film3

Sinopsis dikutip dari JB Kristanto, Ibid, ha. 216.

1379

1380

4. FILM DAN KITA

film superhero yang tergolong mainstream di atas, Hollywood berkreasi merilis film superhero yang tak lazim. Untuk ini kita perlu menyebut The Incredibles (2004, film superhero bertema keluarga), My Super Ex-Girlfriend (2006, film superhero di-mix and match dengan komedi romantis), dan terakhir Hancock (2008, film superhero dengan penggambaran pahlawan super yang lebih sering bikin masalah buat orang banyak hingga butuh perawatan segala). Fenomena di atas tak terjadi di Indonesia. Kelahiran kisah Superman versi Indonesia tak membangkitkan sineas lain untuk mengeksplorasi genre ini lebih jauh. Terbukti, sejak Rama hadir film-film bergenre  superhero  hanya muncul sesekali. Selain Gundala Putra Petir, ada Darna Ajaib (1980, Lilik Sudijo) yang berkisah tentang anak ajaib berkekuatan super.4 Lalu hadir pula  Manusia 6 Juta Dollar  (1981, Ali Shahab) dan  Gadis Bionik (1982, Ali Shahab). Dua film yang disebut terakhir ini lahir menyusul kepopuleran serial televisi populer waktu itu. Manusia 6 Juta Dollar merupakan versi parodi dengan Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro) sebagai bintang utamanya. Sedangkan  Gadis Bionik memasang (keseksian) Eva Arnaz sebagai jualan utama.

II Genre superhero tak pernah jadi genre populer. Bahkan hingga sekarang, saat sineas kita merilis lebih dari 40-an film dalam setahun. Kita sudah melihat beberapa film anak-anak, puluhan film horor dan percintaan remaja, belasan komedi seks, dan film 4

Sebenarnya film ini tak bisa disebut film superhero murni lantaran unsur mistis kental di film ini. Dikisahkan, Darna (Nia Zulkarnaen, Lydia Kandou) memang memiliki kekuatan super. Kekuatan ini didapat karena Darna terlahir dengan terbungkus plasenta. Selain itu ada pula Maria, lawan Darna. Maria jua punya kekuatan ajaib alias super. Namun, kekuatan Maria bersumber dari roh jahat. Sinopsis ini disarikan dari Ibid, h. 197.

MENGAPA KITA TAK LAGI MEMBUAT FILM SUPERHERO?

religius. Tapi, film superhero? Sepertinya, belum ada produser yang berminat membuatnya. Mengapa begitu? Sebelum menjawab pertanyaan utama itu, ada baiknya menjawab pertanyaan yang ini dulu: mengapa produser era ’70-an dan awal ’80-an memutuskan membuat film superhero? Anda harus mengerti dulu iklim perfilman di tahun-tahun itu untuk menjawabnya. Memasuki 1970-an, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan memajukan perfilman nasional. Kala itu, Menteri Penerangan Budiardjo mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 40/Kep/Mempen/1971 yang lazim disebut SK 71. Isinya, pemerintah memberi pinjaman pada produser sebesar setengah ongkos produksi film yang sedang mereka buat, dengan jumlah maksimal pinjaman Rp 7,5 juta (angka yang lumayan besar di tahun 1971). Keputusan ini disambut hangat kalangan produser. Terbukti, angka produksi film melonjak dari 21 film di tahun 1970 naik jadi 52 pada 1971.5 Di satu sisi, kebijakan ini terbukti meningkatkan jumlah produksi film. Namun, di sisi lain peningkatan kuantitas tak diikuti dengan peningkatan kualitas. Misbach Yusa Biran, sebagaimana dikutip Salim Said, mengeluhkan lahirnya banyak film yang “mutunya makin lama makin sulit dipertanggungjawabkan.”6 Pangkal soalnya, SK 71 ini melahirkan para sineas dadakan. Kebutuhan akan tenaga perfilman serba cepat berdampak pada banyak bermunculan tenaga baru yang tak berpengalaman dan minim pengetahuan. Alhasil, film yang mereka hasilkan pun ala kadarnya, kebanyakan buruk. Nah, di tengah situasi seperti itu lahir  Rama Superman Indonesia. Tidak ada catatan yang menyebutkan film ini bermutu baik. Buku  Katalog Film  susunan JB Kristanto (2005) tak 5 6

Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, Pustakakarya Grafikatama, Jakata, 1991, h.102 Ibid.

1381

1382

4. FILM DAN KITA

menyebutkan film ini mendapat penghargaan FFI maupun disebut sebagai film laris. Sejarah pun mencatat, dampak kebijakan pemerintah yang mengakibatkan  booming  film, belakangan disambut dingin penonton. Orang makin jarang ke bioskop karena tahu lebih banyak film Indonesia yang jelek dari hari ke hari. Mereka baru akan menonton film Indonesia bila filmnya betul-betul baik.7 Film impor keluaran Hollywood, Hong Kong, atau India lebih jadi pilihan tontonan. Kejemuan orang pada film Indonesia, membuat banyak produser merugi. Produksi film nasional kembali melorot. Situasi ini mendorong para sineas bereaksi. Akan tetapi, alih-alih memperbaiki mutu film yang mereka bikin, kebanyakan sineas mengkambinghitamkan banjirnya film impor. Protes ini didengar pemerintah. Di jaman Menteri Penerangan Mashuri keluar Surat Kepututusan Menteri Penerangan No. 51/Kep/ Menpen/1976 yang mewajibkan importir film memproduksi film sebagai syarat untuk memasukkan film dari luar negeri. Kebijakan ini terbukti meningkatkan jumlah produksi film nasional. Pada 1977-1978 Direktorat Film Departemn Penerangan mengeluarkan 100 surat izin produksi film. 8  Rupanya, importir yang jadi produser film dadakan ini tak mau melepaskan usahanya mengimpor film luar negeri. Demi mendapat ijin memasukkan film impor, mereka rela jadi produser film. Namun, lagi-lagi sejarah berulang. Banyak film, bukan berarti pula mutunya bagus-bagus. Produser film dadakan, yang “terpaksa” jadi produser lantaran ingin usahanya mengimpor film tetap jalan, dituding jadi biang kerok rendahnya mutu film nasional. Waktu itu produser yang importir film ini dituduh membuat film asal jadi.9

7 8 9

Ibid. Ibid, h. 108. Ibid.

MENGAPA KITA TAK LAGI MEMBUAT FILM SUPERHERO?

Sepeninggal Mashuri, giliran Ali Murtopo jadi menteri penerangan (dilantik Presiden Soeharto pada 1978). Ali Murtopo membebaskan para importir film dari kewajiban membuat film. Akibatnya, produksi film merosot. Salim Said mencatat, Ali tampaknya ingin terlebih dulu membersihkan dunia film Indonesia dari film-film bermutu rendah.10 Film-film yang dibuat golongan “produser terpaksa”. Ali Murtopo lantas mengadopsi kebijakan yang pernah dilakukan pendahulunya di awal Orde Baru, yakni membiayai film yang disebut proyek percontohan “seperti apa film yang baik itu”.11 Pada awal 1980-an proyek percontohan Ali Murtopo menghasilkan 5 film: Sorta, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Halimun, Lima Sahabat, dan Woyla. Film superhero macam Gundala, Darna Ajaib hingga Gadis Bionik lahir di saat iklim perfilman mulai membaik, dalam arti importir film yang jadi produser dadakan tak lagi diwajibkan membuat film. Namun, bukan berarti pula budaya membuat film asal jadi ikutan sirna. Gadis Bionik dan Manusia 6 Juta Dollar tak lebih dari reaksi latah produser film melihat kepopuleran serial televisi Bionic Woman dan The Six Million Dollar Man di TVRI saat itu. Sedangkan Gundala sebentuk reaksi sineas melihat komik yang tengah digandrungi masyarakat untuk kemudian di angkat ke layar lebar. Sah-sah saja mengangkat serial televisi atau komik ke layar lebar. Hollywood sudah lama melakukannya. Yang jadi persoalan, bila di Hollywood sana versi layar lebar dari komik atau serial televisi memberi pengalaman sinematik berbeda saat diangkat ke layar lebar, tak demikian dengan film-film superhero yang disebut 10 Ibid, h. 168. 11 Pada awal Orde Baru, di tahun 1968 saat BM Diah jadi menteri penerangan, dibentuk Dewan Produksi Film Nasional (DPFN). Badan ini memproduksi 5 film percontohan. Di antaranya Apa Yang Kau Tjari Palupi? (1969, sutr. Asrul Sani). Film ini mendapat penghargaan Film Terbaik di ajang Festifal Film Asia 1970. DPFN dibubarkan menteri penerangan berikutnya, Budiardjo karena “penggunaan uang yang terlalu boros.” Lihat Ibid, h. 99-100.

1383

1384

4. FILM DAN KITA

di atas. Film  superhero  buatan lokal kalah jauh dari segi teknologi. Gundala, misalnya, efek visualnya ketinggalan jaman dibanding film  Superman  pertama yang hadir 3 tahun sebelumnya.

III Bila ditilik, pangkal soalnya terletak pada uang. Membuat film  superhero  sungguhan tidaklah murah. Adegan yang memperlihatkan sang jagoan mengeluarkan kekuatan supernya membutuhkan dana yang tak sedikit. Sekadar tipuan kamera sederhana macam serial televisi Superman di tahun ’50-an jelaslah sudah usang. Di awal tahun 1970-an, film Indonesia dibuat dengan bujet rata-rata belasan juta rupiah. Di penghujung ’70-an rata-rata film nasional berbujet 40-an juta rupiah—film yang bujetnya ratusan juta rupiah sudah sangat mahal waktu itu.12 Angka-angka itu terlihat kecil bila dibandingkan film superhero  bikinan Hollywood. Situs IMDB mencatat film Superman (1978) berbujet 55 juta dollar Amerika. Bujet membuat film  superhero  kini makin spektakuler. Film The Dark Knight berbujet 150 juta dollar Amerika. Itu jumlah standar di Hollywood sana untuk film yang membutuhkan banyak aksi spektakuler. Namun, sineas film-film superhero lain berani mengambil resiko dengan angka di atas 200-an juta dollar. Sekadar contoh, X-Men: The Last Stand (2006) berbujet 210 juta dollar, Spider-Man 3 (2007, $ 258 juta dollar), dan Superman Returns (2006, $ 270 juta). Angka-angka itu masih terlalu tinggi untuk ukuran film-film Indonesia sekarang. Rata-rata film Indonesia saat ini dibuat 12 Film November 1828 (1978, sutr. Teguh Karya) termasuk film mahal saat itu dengan bujet Rp. 240 juta. Lihat “Darimana Uang Untuk Membuat Film Datang?”, Bintang Indonesia, Edisi 760, minggu kedua November 2005.

MENGAPA KITA TAK LAGI MEMBUAT FILM SUPERHERO?

dengan bujet 2-3 miliar rupiah. Film yang dibuat di atas 5 miliar rupiah terhitung sedikit (Ayat-ayat Cinta konon dibuat dengan bujet 5 miliar rupiah, Gie konon berbujet 7 miliar rupiah).

IV Di luar urusan uang, film  superhero  tak pernah benar-benar mengakar di jagad film nasional. Buktinya, sejarah mencatat kita hanya pernah melahirkan beberapa film superhero. Bila ditelusuri lebih jauh, kisah superhero bahkan bukanlah khas Indonesia. Mitologi pewayangan Mahabharata dan Ramayana yang sudah kita akrabi berabad-abad memang menyebutkan jagoan-jagoan berkekuatan super (Gatotkaca dan Hanoman, misalnya). Namun, apa yang disebut superhero muncul dan berkembang di tahun 1970-an lewat komik-komik lokal. Gundala, Godam, dan kawankawannya tumbuh subur di era itu. Hanya saja, superhero lokal tak lebih dari tiruan atau versi lokal dari jagoan-jagoan superhero  Amerika. Goenawan Mohamad pernah memaparkan kalau Gundala dan Godam (serta beberapa tokoh  superhero  komik lokal lainnya) mirip ”saudara”-nya di Amerika sana. Godam mirip Superman dan Captain Marvel. Jika Captain Marvel adalah penjelmaan penjual koran miskin, yang kemudian bekerja di radio, yang dengan berteriak ”Shazam!” berubah jadi pria perkasa; Godam, karya Wid N.S., sehari-hari adalah supir berwajah buruk bernama Awang. Tiap kali ada kejahatan dan ia merasa perlu menolong, ia mengenakan cincin sakti lalu berubah jadi Godam.13 Sedangkan Gundala mirip Captain America. Gundala, karya Hasmi, berpakaian hitam-hitam berupa kaus ketat yang 13 Goenawan Mohamad, “Dari Dunia Superhero: Sebuah Laporan”, dalam Setelah Revolusi Tak Ada Lagi, Penerbit Alvabet, Jakarta, 2001, h. 415-416.

1385

1386

4. FILM DAN KITA

menutupi seluruh tubuh dan sebagian wajahnya. Kepalanya pun tertutup kedok hitam, dengan hiasan sayap atau bulu di masingmasing kupingnya (konon, sayap di kuping itu perlambang sayap burung garuda, lambang negara kita). Kostum ini mirip Captain America. Bedanya, Gundala tertutup pakaian warna gelap sedang Captain America—yang muncul di masa menjelang Perang Dunia II ketika patriotisme Amerika memuncak—berwarna merahputih-biru, warna bendera Amerika.14 Baik Godam dan Gundala amat digemari di tahun ’70-an.15 Komik superhero telah menggantikan kepopuleran komik cerita silat di tahun sebelumnya. Saat komik silat populer, dunia film ikutan latah membikin versi filmnya. Komik Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH difilmkan pada 1970 dengan bintang Ratno Timoer. Pola serupa rupanya terjadi pula pada komik superhero. Meski hanya Gundala yang resmi diadaptasi ke film, besar kemungkinan film lainnya, seperti  Rama, dibuat setelah melihat komik superhero populer di masyarakat.

V Masalahnya, ya itu tadi, film  superhero  lokal tak memberi pengalaman sinematis berarti pada penonton. Efek visualnya tak lebih tipuan kamera sederhana. Alhasil, orang jadi malas menontonnya. Buntutnya, filmnya tak laku. Dan kalau sudah tak laku, akan sulit mengharapkan ada produser lain membuat film sejenis. Padahal, ini budaya produser Indonesia sejak dulu. Sebuah film populer akan melahirkan epigon berupa film bergenre sejenis. Bukankah itu yang terjadi pada Jelangkung dan Ada Apa dengan 14 Ibid, h. 417. 15 Goenawan menulis, seorang “tauke” penerbit Prashida menyebut angka 1000 eksemplar sekali terbit untuk komik Godam dan Gundala. Angka ini diragukan Goenawan. Menurutnya angka itu jelas diperkecil. Lihat Ibid, h. 419-420.

MENGAPA KITA TAK LAGI MEMBUAT FILM SUPERHERO?

Cinta? Beberapa tahun lalu, dan Quickie Express serta Ayat-ayat Cinta  sekarang? Film-film itu telah melahirkan banyak film ikutan. Produser kita yang kebanyakan bermental pedagang memandang film murni sebagai barang dagangan. Cara berpikir mereka sederhana. Jika melihat dagangan tetangga sebelah laku, dagangan yang sama mereka jual juga. Padahal, jika menganggap film-film Hollywood sebagai tetangga sebelah, mestinya produser kita tergoda pula untuk ikut membuat film superhero. Film superhero keluaran Hollywood terbukti menguntungkan. Menurut data IMDB, untuk peredaran di seluruh dunia Spider-Man 3 memperoleh keuntungan lebih dari 885 juta dollar Amerika. Film Batman terbaru,  The Dark Knight langsung bertengger di nomor satu box office. Modal yang dikeluarkan Warner Bros, produsernya, sudah balik belum sampai sebulan, bahkan berlipat jadi 314 juta dollar Amerika menurut data IMDB hingga akhir Juli 2008. Apa produser kita tak tergoda dengan angka-angka itu? Mestinya sih iya. Hanya saja, saya rasa tak ada produser kita yang berniat membuat film berbujet 100 juta dollar Amerika hingga saat ini. Mungkin juga mereka belum sekaya itu. Kecuali para pengemplang BLBI berniat jadi produser film. Kita mungkin akan melihat film  superhero  lokal yang tak kalah spektakuler dari trilogi Spider-Man.

VI Lalu, bagaimana dengan kelanjutan film Gundala yang katanya akan edar Juni tahun depan? Maaf, sepertinya kabar itu diragukan kebenarannya. Majalah Cinemags edisi Juli memuat surat pembaca yang bertanya soal kebenaran kabar film Gundala. Redaksi Cinemags meragukan kebenaran kabar itu. Cinemags

1387

1388

4. FILM DAN KITA

menulis, jika ditelusuri nama-nama yang tercantum tidak dikenal dan sosoknya tidak ada.16 Situs yang memuat kabar itu sepertinya buatan fans Gundala yang mengharap betul versi filmnya hadir kembali— dengan kualitas tak kalah dari film  superhero  bikinan Hollywood.17 Keinginan pembuat situs itu adalah keinginan kita bersama. Ya, kita sudah gerah dengan film horor cupu dan mulai bosan dengan komedi seks murahan. Bapak-bapak para pengemplang BLBI, adakah dari Anda yang berniat jadi produser film?

16 Lihat Cinemags edisi 108, Juli 2008. 17 Fans yang membuat situs semacam ini bukanlah fenomena baru. Sekadar contoh, di situs YouTube, fans penggemar komik Jepang Evangelion mem-postingtrailer dengan menggabungkan potongan film kartun (anime) Evangelion bersama potonganpotongan film lain. YouTube melabeli trailer ini fan-made alias bikinan fans. Lihat http://www.youtube.com/watch?v=4o-xqRGIKro.

Ekky Imanjaya

Idealism Vs. Commercialism In Indonesian Cinema: A Never Ending Battle?1

T

here is no dichotomy between art films and commercial films”, prominent Indonesian producer Mira Lesmana once told me in an interview. “There are only good films and bad films”, she continued. On the other hand, from the very beginning of film industry in Indonesia, the practices and polarization of idealistic filmmakers and commercial filmmakers become stronger and deeper. Discussions on the struggle between both groups seem to occur again and again, and I believe it still happens recently. Can both parties negotiate and unite? Indeed, notable film critic Salim Said writes that there are two groups of filmmakers, adopted from Andrew Tudor’s theory of genre and movement. The first group is the commercial 1

The article is a modification from Chapter II of Ekky’s Master thesis titled “The Backdoors of Jakarta: The representation of Jakarta and its social issues in postReform Indonesian Cinema”.

1390

4. FILM DAN KITA

filmmakers who make movies for commercial gain. The second group is the idealistic filmmakers who make films by desire for self expression and want to portray the actual face of Indonesian on screen (Said 1991: 6), and the pioneer is Usmar Ismail, known as The Father of Indonesian Cinema. Said complains that most Indonesian films are far away from their idealistic function: to show “the Indonesian face”. In such films, there is nothing Indonesian on screen. The spectators cannot feel the representation of Indonesian people or Indonesian situation on screen. He quotes former Director General of Radio, Television and films of Indonesian Government Umar Khayam: even if the spectators see Indonesian films as merchant of dreams, it is not Indonesian dreams (Said 1991: 4). And this phenomenon is the result of the domination of commercial filmmakers, the ones who treat films as merchandise and subject the directors in general to the impulses of the financial backers; while the directors, as the artists, should be the decisive element in film production (Said 1991: 10). For Said, since the beginning of filmmaking in Indonesia until the publication of his book, Indonesian films failed to represent the realities of Indonesian life (Said 1991: 3). It is his belief that most of the films are, so obviously, “…crude imitations of imported movies that bear little or no relation to Indonesian social norms or living conditions” (Said 1991: 5). And he blames the commercial group of filmmakers for this phenomenon. According to Said, commercial filmmakers produce films as “merchants of dreams” (Said 1991: 3). They use the formula: bind the films with sex, wealth, violence and exaggerated sadness. Pioneers in this group were the Chinese traders. Their film productions focus on quantity, not quality. Said writes: When movies are treated as merchandise the determining power in the production process is in the hands of capital owners. Directors, who as artists should be the decisive element, are

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

generally subject to the impulses of the financial backers... how can we expect quality movies from such subordinated directors?” (Said 1991: 10-11). Most films only show dreams, wishes or obsessions, instead of representing what the filmmakers think and feel of the reality (Said 1991: 121). In short, most of the films are unrealistic and have failed to picture the social problems of Indonesian people. Most film critics, scholars, and journalists, such as Karl Heider and Krishna Sen, agree with Said. However, in 1990, Said shows optimism: Even though Usmar Ismail is dead, the dream of making films that deal with Indonesian problems and issues has not yet completely died in the hearts of other filmmakers. To realize that dream, however, will be an uphill fight because the producers of Indonesian films, whether they be “indigenous” (pribumi?)or “non indigenous” (non-pribumi?), are businessmen who are accustomed to view film only in terms of the potential for commercial gain (Said 1991: 121).

This article will show that the dualism paradigm is still relevant and significant to be discussed today. As Said underlines, the history of Indonesian cinema can show a clear polarization between people who make films for commercial purpose only, and people who make movies for idealistic reasons (Said 1991: 102). Below is an overview of the history of Indonesian cinema as related to the struggle of the idealistic group of filmmakers, focusing on the representation of social issues and/or Jakarta city and films with realism approach in general. The discussion below will elaborate both sides: the birth of both parties, their struggles and battles again each other, the developments, the achievements, and recent progresses. And I also try to illuminate some trials to unite both sides of filmmaking.

1391

1392

4. FILM DAN KITA

I divide the time range into periods based on the important events happening in the years such as the first time cinema was introduced in Indonesia (early 1990s), the Japanese Occupation (1942-1945), the declaration of Indonesian’s Independence and its early years (1945-1956), the Old Order Regime and the conflicts of politics polarization (communism, Islam, nationalism, etc.) (1956-1965), the New Order Regime (1966-1998) and the Reform era (1998-present). The events would, directly or indirectly, influence the filmmaking activities in Indonesia. And I will elaborate deeper the post-Reform era, focusing on Garin Nugroho as senior filmmaker and Riri Riza as younger filmmaker.

Early Years Cinema was introduced for the first time to the public of Dutch East Indies (the name of colonized Indonesia) on 5 th December 1900. It started with a commercial announcement from Nederlandsche Bioskop Maatschappij, on Bintang Betawi daily, stating that there would be a great spectacle, which was “gambar idoep” (moving image) about events in Europe and South Africa from some documentary scenes, including when Netherlands’ Queen with His Majesty Hertog Hendrik entered Den Haag.2 The show took place in a house next to an automotive shop called Maatschappij Fuchs in Tanah Abang, Batavia (Jakarta, at that time). The man behind this show was T.D. Tio Jr. (Said 1991: 16). Twenty six years later, a local film was produced by NV Java Film Company—a silent film based on a Sundanese folktale entitled Loetoeng Kasaroeng (The Enchanted Monkey, 1926)3 2

3

For the beginning and development of cinema in Indonesia, see TheJakarta Post. http://www.thejakartapost.com/news/2008/01/01/history-039gambargambaridoep039.html. 16th April 2008. The accuracy of the production year of the films in this thesis refers to Kristanto,

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

directed by Heuverdorp (a Dutchman) and produced by Kruger (a German) (Said, 1991: 16; Heider 1991: 15). There is a report stating that in 1929, the Chinese controlled eighty-five percent of the existing movie theaters (Said 1991: 16). And the pioneers in filmmaking from the Chinese people were the Wong brothers who directed  Lily van Java  (also known as  Melatie van Java, The Jasmine of Java, 1928). Another Wong Brothers production is Si Tjonat (character’s name, 1929), the first Indonesian film set and made in Jakarta (Sen 1994: 15). The film was part of a repertoire of  lenong, a form of people theatre of Betawi (Jakarta) local population (Sen 1994:15). In the 1930s, the first film made by the idealistic group of filmmaking appeared. It is Pareh (Rice, original title is Het Lied van de Rijst, 1935), an anthropological film directed by Mannus Franken and Albert Balink.4 The production company was Java Pacific Film, a Dutch-owned company in Bandung (Said 1991: 23). Teguh Karya writes that Pareh tried to express artistic values (Sen 1988: 5). The premiere was in Odeon, Den Haag on 20 th November 1936. Pareh displays the beauty of Indonesian scenery that was so exotic to Western eyes (Said 1991: 24). The film attempted to introduce Indonesian ways of life to the Dutch audience (Ismail 1986: 54). Technically, the film was of acceptable quality but produced no money on Indonesian market (Said 1991: 23). In  Pareh, director Albert Balink met producers/ cinematographers Wong Brothers for the first time and they later made Terang Boelan (Full Moon, original title: Het Eiland der Droomen 1937)5 , the first successful film from the commercial group of filmmakers, and the one that gave birth to the first movie star: Miss Roekiah. The film was adapted from  The Jungle 4 5

JB. Katalog Film Indonesia 1926-2007. Jakarta: Penerbit Nalar, 2007 (Kristanto 2007: 4) (Kristanto 2007: 5)

1393

1394

4. FILM DAN KITA

Princess (USA: Wilhelm Thiele, 1936), a popular film at that time starring Dorothy Lamoure and set in Hawaii (Said 1991: 24). By early 1937, the finished film was ready for circulation and premiered in Orion Cinema, the popular cinema in Batavia. Miss Roekiah became prima donna in Tan’s Film, and she was projected as the idol of poor people. Her films always became box office, whoever her co-star was. With Raden Mochtar, she played in Fatima (character’s name, Joshua Wong, Othniel Wong, 1938)—earning F 200 thousands—and in Gagak Item (Black Crows, Joshua and Othniel Wong, 1939), an imitation of Zorro. In 1940, she left Tan’s Film and co-starred with Raden Djemala in Roekihati (character’s name, 1940) and Koeda Sembrani (The Enchanted Horse, 1941). Terang Boelan became the first commercially successful film since 1938 and it created a new trend in the star system until 1942.6 The film takes place in a fancy island called Sawoba (stands for the names of Saroen-Wong-Balink (the scriptwriter, the producer and the director, respectively). The island imitated the Hawaiian style from  Jungle Princess  especially in the design, costume, flower necklaces on necks and guitars, and the duet song called Terang Boelan and Boenga Mawar (Roses). The film was also popular in Singapore and earned $2000 thousands in the first two months. Then Miss Roekiah was recruited by Tan’s Film and founded Terang Boelan Troep and went on tour to Singapore.

6

In Indonesia, filmmakers use the terms “star system” and “triangle system” for production process. The former confirms that it is the movie stars who play the most important role, thus belongs to commercial filmmakers. The latter provides the cooperation among director-producer-scriptwriter, especially in scenario development, hence belongs to idealistic filmmakers group. For the case of triangle system, for example the making of Jomblo (The Bachelors) directed by Hanung Bramantyo, check: MyIndo. http://myindo.com/story/253.asp. 1st July 2008. For further information about star system, please see: Wikipedia. http://en.wikipedia.org/ wiki/Star_system_(film). 1 st July 2008.

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

Terang Boelan phenomenon atracted people from theater (toneel) to move to film industry, and similar films were made with the same formula: Hollywood style, beautiful songs, fighting scenes, good-looking and popular actors and actresses, and beautiful sceneries (Said 1991: 27). Teguh Karya states that “The legacy of Terang Boelan has been a stereotype film story for the industry, and an established technique which has remained undeveloped and static” (quoted in Heider 1991: 16). And the number of film productions increased rapidly with stories taken from popular stage plays adapted from box-office Western theaters such as Srigala Item (the Black Jackal) or Singa Laoet (The Sea Lion) from Zorro and Aladin, Djoela Djoeli Bintang Tujuh  (Dance of the Seven Stars) from  A Thousand and One Nights (Said 1991: 28). Other films imitated popular Hollywood films. For example, Tarzan gave birth to Poetri Rimba (Jungle Princess) and Rencong Aceh (The Acehnese Dagger); Dracula was the source for Tengkorak Hidoep (The Living Skull) (Said 1991: 30). One of the theater figures who became director is Andjar Asmara. In 1927, a Bandung paper claimed that 85% of movie theaters in Dutch East Indies belonged to the Chinese (Sen 1994: 14).Chinese people were the second class citizens—while the indigenous Indonesian people were considered the third class and European people the first citizens—hence they had many opportunities to do business, including in the film industry. In 1937, the silent film era ended and Terang Boelan became the first sound film in Indonesia. The spoken language in all films in this era is Indonesian. I consider the films made by Dutch directors, and/or by Dutch film companies in this era Colonial films. Most of the films were made for commercial purposes. But, indeed, there are some documentary films which were made by Dutch directors to show the development of colonial land to the Dutch government (Italy: Boriello, 2007), such as  Pareh

1395

1396

4. FILM DAN KITA

and Tanah Sebrang (original title Land aan de Overkant, Mannus Franken 1938).

Japanese Period During the Japanese occupation era (1942-1945), films were put under the control of Sendenbu (Propaganda Department), an independent department set up within the military government (Kurasawa 1991: 37).7 The Sendenbu also directly executed propaganda operations and founded another organization named Keimin Bunka Shidosho or Poesat Keboedajaan (Popular Education and Cultural Direction Center) in April 1943 (Kurasawa 1991: 37). One of its jobs was to educate and train Indonesian artists (Kurasawa 1991: 38). This was an important organization because for the first time, some Indonesian artists and intellectuals gathered in one organization, including writer Sanusi Pane, musician Simanjuntak, musician Raden Koesbini (Kurawasa 1991: 41) and playwright Usmar Ismail and Djadug Djajakusuma (Kurasawa 1991: 55). The Japanese-run company, Nippon Eigasha, held the monopoly over film production. None of the Chinese-owned studios was allowed to operate, and only “indigenous” Indonesians such as Inoe Perbatasari, Raden Arifin, and Roestam Soetan Palindih were permitted to work in the Japanese-owned studio (Said 1991: 32; Heider 1991: 16). In this era, with film supplies stalled, cinemas had to rerun the Western and local films. In April 1943, the number of cinemas 7

For further information about Indonesian cinema in Japanese years, see: Kurasawa, Aiko. “Films as Propaganda Media on Java under the Japanese, 1942-1945” in Japanese Cultural Policies in Southeast Asia during World War. Basingstoke [etc.]: Macmillan, 1991, 37)

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

in Java decreased drastically to 117. Most of the films were about propaganda of Japanese Occupation Government such as Keseberang (Across the Sea), Berdjoeang (Struggle), and Amat Heiho (Amat, the Volunteer Soldier) (Said 1991: 33). The first feature film to be screened was Kemakmoeran (Prosperity), in January 1944 (Kurasawa 1991: 53). Some of the cinema formats were mobile-cinema (Kurasawa 1991: 58). It was during this phase that many Indonesian artists, especially Usmar Ismail, learned about film. They gathered in the Cultural Center organized by Japanese. Djadug Djajakusuma, a friend of Ismail, states that: “Our interest in filmmaking was stimulated by two concurrent factors. One was the frequent visits of Andjar Asmara to our office and the second was the discovery of a bookcase full of materials dealing with the artistic and technical aspects of movie making which the Dutch had left behind” (quoted in Said 1991: 34). Ismail and his friends realized that film could be used as a means of social communication, the important aspect of the idealistic group of filmaking. Ismail says: The new atmosphere during the Japanese Occupation stimulated growth and change in the content as well as the techniques of filmmaking. It was under the Japanese that people became aware of the function of film as a means of social communication. Also of note during this period was the awakening of the (Indonesian) language...film began to mature and to be infused with a greater sense of national consciousness” (quoted in Said 1991: 34). Andjar Asmara was the figure who influenced Ismail and his friends to enter filmmaking world. He was a journalist of Doenia Film (Indonesian edition for Filmland) and later became a playwright and one of the first indigenous filmmakers and film critics. (Usmar Ismail’s first experience in his filmmaking career was when he worked as co-director for Andjar Asmara’s films, under South Pacific Cinema, a Dutch-run company). Andjar

1397

1398

4. FILM DAN KITA

Asmara sat as the chairperson of juries in the first Indonesian Film Festival, 1955. He learned from Japanese’s propaganda films, and then transfered the knowledge to Ismail, that film would become an important tool to educate the masses, a concept that had been unthinkable before The War (Said 1991: 35). One of the most important things in this era is that Ismail and his friends learned to make films systematically, both in the preparatory stage and during the actual shooting, whereas when working with Chinese film companies they felt haunted by the need to keep cost down, etc. (Said 1991: 34; Kurasawa 1991: 55). And, as prominent writer Armjn Pane states, the language used in the dialogues of the film became very fluent and was no longer bahasa Melayu-Tionghoa (Sino-Malay dialect) but a more correct form (Kurasawa 1991: 55). The convergence of opinion on filmmaking between Asmara and Ismail brought the two together in a cooperative venture that lasted well into the post-Japanese occupation era. In 1948, when Asmara made movies for South Pacific Film, he offered Ismail the job of assistant director (Said 1991: 36). After the Japanese surrendered, the department was taken over by the government of the Republic Indonesia and its facilities were put under the control of the Directorate of Movies and Communication of the Department of Information (Kurasawa 1991: 55).

Post-Independence Day The most important event for Indonesia is the proclamation of independence on a Friday morning, 17 th August 1945. Dutch literary historian Teeuw states that in the first years of independence, large numbers of young intellectuals were drawn to film.

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

Rivai Apin, Asrul Sani, Siti Nuraini, Sitor Situmorang, Trisno Sumarjo, and many others were fascinated by this new medium, which promised so much—especially in a land where for the man of letters contact with the (not yet) reading public proved to be such a great problem (quoted in Sen 1994: 19). As I mentioned earlier, Andjar Asmara inspired the playwright Usmar Ismail to enter filmmaking world. Asmara later asked Ismail to become his assistant-director in 1948 to make films for Netherlands Indies Civil Administration (NICA) Company, South Pacific Film. Ismail at that time was just released from Dutch custody (he was captured in Jakarta while doing his task as an intelligence officer), and he left his military duties to make films (Said 1991: 36). Another prominent figure who had influenced Ismail and other early filmmakers from the idealistic group was Dr. Huyung, also known as Hinatsu Eitaro or Hue Yong. He was a Japanesehalf Korean soldier, and his duty was to dominate the theater industry in the Japanese occupation era. In 1948, Huyung founded Cine Drama Institute in Jogjakarta, the capital city of Indonesia at the time. One of the lecturers was the prominent ounder of Taman Siswa, 8 Ki Hajar Dewantara, the first the minister of education and cultural affairs. But the institute soon disbanded. Then, Huyung founded Stichting Hiburan Mataram (Stichting Recreational Foundation) where young Indonesian artists studied and developed their talent (Said 1991: 38). Huyung and other intellectuals taught filmmaking in Jogjakarta. 8

Literal meaning is Garden of Students. It was an influential and widespread network of schools that encouraged modernization but also promoted indigenous Indonesian culture (Britannica Online. http://www.britannica.com/eb/topic-225819/Gardenof-Students. 27th May 2008). It was an anticolonial educational movement in the Dutch East Indies founded in July 1922 (Bookrags. http://www.bookrags.com/ research/taman-siswa-ema-05/. 27 th May 2008). One of its three principles, Tut Wuri Handayani (to lead from behind) became the catchphrase of Indonesian’s Department of Education until recently.

1399

1400

4. FILM DAN KITA

On 31 st March 1950, Ismail founded Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesian, National Film Company) (Said 1991: 39). The first film produced by this company is Darah dan Doa, and its first shooting day, 31 st March 1950, became National Film Day. This is actually Ismail’s third film after Harta Karun (Hidden Treasure) and Tjitra (Image). For Ismail, Harta Karun is the first effort to unite cinema with literature, and Tjitra is the first film “… to raise the question of national consciousness which was common in literature for a long time” (Sen 1994: 18). But only in Darah dan Doa he felt the freedom of expression and free from producers’ commercial pressure. Ismail consciously made it for the Cannes International Film Festival (Said 1991: 48). Ismail emphasizes: “I cannot say that both early films are my film, (because) when I wrote and made them, I receive so many instructions (from the producers) I did not always agree with”.9 Ismail also writes: “…because for the first time, a film was made by Indonesian filmmakers, technically and creatively, and economically. And for the first time, Indonesian film raised the issues about events in national scale” (Ismail 1986: 170) Even though Dewan Film Nasional (National Film Council), in its conference on 11 th October 1962, decreed the first shooting day of Darah dan Doa, the official acknowledgement from the Indonesian Government occurred in 1999 when President Habibie legitimized the Presidential Decree (Keputusan Presiden, Keppres) no. 25/1999. The funding for this film was helped by Tong Kim Mew, a Chinese movie theater owner (Said 1991, 51), and senior officials of the Siliwangi military division (Sen 1994: 20). The story speaks of the saga of the march by the Siliwangi Division from Jogja to its old base in West Java after the Dutch took Jogja in 1948 (Said 9

“...tak dapat saya mengatakan bahwa kedua film itu adalah film saya, (sebab) pada waktu penulisan dan pembuatannya saya banyak sekali harus menerima petunjukpetunjuk (dari produser) yang tak selalu saya setujui”. My translation.

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

1950: 51). Ismail’s second film, Enam Djam di Jogja (Six Hours in Jogja, 1951) is about the general attack of an Indonesian guerilla army just as the Dutch were trying to prove in the international forums that they were in firm control of Indonesia (Said 1991: 52), with focus on the role of Diponegoro Division. The main characters were all real people (Sen 1994: 22). The next film, Dosa tak Berampun (The Unforgiveable Sin, 1951) represents the first exodus of the Indonesian war as related to real-life topics. Siasat, a leading journal of the period, published a review claiming that Ismail “had introduced a new motif into his film whose characters can be found in our daily life” (Said 1991: 53). The article states that in that film, a conscious attempt has been made to apply the principles of good film, something rarely seen in Indonesian films. The article stated that the lyrical Italian realism has left a good imprint there and, for the time being at least, that film can be said to be the best Indonesian film ever made. “Perhaps they were not sufficiently explored but the film does, nonetheless, offer new possibilities for Indonesia. Usmar should have further exploited his material. The film abounds with redundant scenes; yet there are other scenes which Usmar could have shot to strengthen his film” (quoted in Said 1991: 53). Said mentions that at the time Perfini was established, neorealism (which was a new trend in filmmaking) was riding high in Italy. For Said, some aspects of Italian neorealism occur in Ismail’s early films. “The Italian Neorealist believed in taking the camera out into the street and using common people, not stars. The same opinion was shared by Perfini people. Usmar was so fanatic about this new approach that Perfini’s films always introduced new actors with no previous film experience” (Said 1991: 54). Said also mentions other aspects. First, the constant lugging of the camera to the street or shooting location instead of the studio. Second, just like the neorealist succeeded in showing the worn face of post-war Italy, Perfini did its best to show the real

1401

1402

4. FILM DAN KITA

face of Indonesia. But he highlights that “Although a comparison might be deemed exaggerated, there are also some Indonesian pararrels to the resistance that sprang up in Italy” (Said 1991: 54). Other Perfini’s film, Embun (Dewdrops, 1951) was directed by Djaduk Djajakusuma and highlights a common problem in those days, the veterans, depicting the village life with its detailed visual description of living customs and beliefs (Said 1991: 54-55). The story followed the common model of a frustrated exrevolutionary being brought back to life and society by a woman’s love (Sen 1994: 23). After the production, Ismail was awarded Rockefeller Foundation fellowship to study for a year at the University of California in Los Angeles (Said 1991: 55). A year later, he made films under the influence of Hollywood style and tried to strike a compromise between idealism and commercialism. But, the spirit of the idealistic group of filmmaking still existed in Perfini. For example, Krisis (Crisis), directed by Ismail in 1954, dealt with Jakarta’s housing problem and depicted a variety of human characters and a range of human behavior and responses to this distressing situation (Said 1991: 56). Regarding the connection between Perfini and realism, Nyak Abbas Akub, a director specializing in comedy who always put social issues on his films and began his career at Perfini, explains that in Perfini days, he and his colleagues got the stories for the films from reality. The Long March of the Siliwangi Division gave birth to The Long March; the general attack on Jogya gave birth to Six Hours in Yogya; the struggle for housing in Jakarta in those days became the source of Crisis; while Past Midnight was based on the difficulty that veterans were having in adjusting to society after leaving military service. “The stories and the themes that we chose were totally different from these that were dominant in the cinemas at that time “ (quoted in Said 1991: 102).

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

Teguh Karya mentions that Ismail’s films were indeed “… films depicting Indonesia as it is. The themes and the characters Usmar created really reflected Indonesian thinking and the Indonesian personalities” (Sen 1988: 6). In the same year Perfini was founded, 1950, Huyung established Kino Drama Atelier (Dramatic Film Studio) and made  Antara Bumi dan Langit  (Between Earth and Heaven) written by prominent novelist Armjn Pane about the Eurasian citizenship problem in Indonesia after the revolution (Said 1991: 49; Sen 1994: 22). Before the film was made, some kissing scenes appeared in newspapers and it was stated that the still photos were taken from the film, hence it became controversial. On 21 st January 1951, four months before the censor board gave its approval, the Medan branch of Pelajar Islam Indonesia (PPI, Indonesian Islamic Students) protested the film (Said 1991: 50). Expatriates in Indonesia also made protest against its sensitive content. As a result, the film went to the censorship council, who changed the title to Frieda, the main character’s name. And it became just an ordinary love story because several scenes had to be cut and be replaced with new ones (Said 1991: 50). Pane refused to put his name on screen (Sen 1994: 22). Also in 1950, Perusahaan Film Negara (the State Film Corporation) began producing feature films as well (Said 1991: 39). On 23 rd April 1951, Muslim businessman and politician Djamaluddin Malik (later known as the Father of Indonesian Film Industry) founded Perseroan Artis Indonesia (Persari, The Indonesian Artists Company) (Said 1991: 39). This is the indigenous film company that started the big studio system (with cooperation with studios in Manila, Philippine, for postproduction and later built a big studio in Jakarta suburb of Polonia with complete equipment) (Said 1991: 41) and with Hollywood

1403

1404

4. FILM DAN KITA

style approach. Thus, this is the first indigenous company from the commercial group of filmmaking, as Malik stated: “If the public wants Indian, we’ll give them Indian until they’re sick and tired of it” (Said 1991: 42). Its first film was  Sedap Malam (Tuberose) directed by Ratna Asmara, Andjar Asmara’s wife. One of the important moments is when Persari and Perfini worked together to produce a film directed by Ismail and written by Asrul Sani, Lewat Djam Malam (After Curfew, 1954). This was the film that got critically and commercially successful achievement (Said 1991: 43), the union of the commercial and idealist filmmakers. The story is about Iskandar, a medical student and revolutionary soldier, who finds himself unable to face the better prospect of civilian life in post-war Indonesia and feels betrayed by the corruption and mismanaged leadership surrounding him (Sen 1994: 39). On 30 th August 1954, Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI, The Association of Indonesian Film Companies) was founded by Malik and Ismail. In 1955, Malik proposed the first Indonesian Film Festival (Festival Film Indonesia, FFI) on 30 th March-5 th April 1955. Lewat Djam Malam won the best film award and represented Indonesia in the 2 nd Asia Film Festival in Singapore. But the result had some problematic affair because Lewat Djam Malam was not the only best film announced in FFI. Tarmina, a Persari production directed by Lilik Soedjio also became the best film. Consequently, many people questioned this result, considering Malik fully sponsored the festival (Said 1991: 43). But Ismail and Malik, and also Sani, were still best friends and united in one political party, Nadhatul Ulama (the Awakening of Islamic Scholars, a traditional Islamic party). In PPFI, they made public statements and arranged demonstrations by film actors and other film personnel to urge the government to

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

lower the quota for Indian movies (Said 1991: 44) because they consider Bollywood films the destructor of Indonesian film market. Later, all of them made Tauhid (Pilgrimage to Mecca). They united against Indonesian Communist Party (Partai Komunis Indonesia, PKI). From the leftist filmmakers, Bachtiar Siagian is the most prominent director who made film with socialism-realism approach such as  Tjorak Dunia  (Color of the World, 1955) and Turang (Beloved, 1957). Tjorak Dunia relates the love stories of ex-revolutionary soldiers and social rehabilitation set in a poor rural zone, and Turang is about a love story between a guerilla commander and a village head’s daughter told from the “people in revolt” point of view (Sen 1994: 42, 45). His other film, Daerah Hilang (Lost Land, 1956), was truncated by the Board of Censors because “the Censors were frightened by the honest depiction of social realities” (Sen 1994: 43). Later, the influence of the communist party grew and had great effects on Indonesian cinema.

Old Order Regime and Politics of Polarization Usmar Ismail entitled his article concerning the political conflicts in 1960s Sejarah Hitam Perfilman Nasional (The Dark History of National Cinema) (Ismail 1986: 91-97). In the last years of 1950s, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, The Institute for People’s Culture) and Serikat Buruh Film dan Sandiwara (Sarbufis, the Film and Stage Workers Union), the leftist cultural and art organizations under PKI, continually attacked Ismail, Malik, Sani, and other non-Communist movements. They asked the government to close down PPFI member studios (Said 1991: 46). On the other hand, PPFI, under

1405

1406

4. FILM DAN KITA

the leadership of Ismail and Malik, decided on 19th March 1957 to close all studios, in protest against Indian films domination over the market (Sen 1994: 31). Later the studio reopened, but a few days after the reopening, in May 1957, Malik was arrested. No clear or authoritative explanation was given as to why he was arrested. But rumors were spreading among Malik’s closest friends that he was arrested because of his political activities as one of the top leaders of NU10 and he was being considered a candidate for the post of Junior Minister of Welfare (Said 1991: 46). In that time, President Soekarno’s policy was close to those of the communist party and he ran a system of Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). In 1957, conflicts between the central and regional governments grew bigger and the rebellion of PRRI/Permesta (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, the Indonesian Revolutionary Government) occurred (Said 1991: 60). Salim Said illuminates that leftist politicians criticized and attacked anyone outside their ideology, especially when they suspected that the persons were close to America’s imperialism. They attacked Pagar Kawat Berduri (The Barbed Wire Fence, 1961) directed by Asrul Sani and adapted from Trisno Juwono’s novel, because the film was assumed to be speaking of universal humanism and had sympathy for the Dutch colonial’s characters. They objected that Koenan (a Dutch military officer, one of the main characters) was given the pivotal role as an embodiment of the principle of universal humanism—the principle which 10 In response to Lekra’s influence in the artistic community, NU set up Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi, the Institute of Islamic Culture) in 1962. Ismail and Malik were members together with a large number of film directors and other film professionals (Sen 1994:30). In Lekra, none of the top leader was filmmaker (Sen 1994: 30)

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

castrated the patriotism and heroism of revolutionary fighters, according to Lekra, and a ‘hero of humanity’ whose failures cause him, in the end, to commit suicide. They also considered the film a defender of imperialists and colonialists (Said 1991: 67). As a result, the film was confiscated by the military. They also made sharp criticism against Anak Perawan di Sarang Penjamun (Trapped in a Robbers’ Lair, 1961), directed by Ismail and adapted from Sutan Takdir Alisjahbana’s novel, because it “...deviated from the revolutionary path” (Said 1991: 68). Leftist politicians, with director Bachtiar Siagian as the main figure, founded Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperalis Amerika Serikat (Parfias, Committee for the Boycott of American Imperialist Films) on 9 th May 1964. They boycotted Hollywood films (Said 1991: 69) and attacked other filmmakers who did not belong to their group and manifesto.  Tauhid  (literal meaning Oneness of God, about pilgrimage to Mecca) was almost banned, but President Soekarno helped the film to be on screen. Impian BukitHarapan (Dreams on Mount Hope, 1964), a movie about tea plantation workers directed by Wahyu Sihombing, was banned because it was “insulting to workers” (Said 1991: 73). This political tension ended when the tragedy of G30S (September 30 Movement, the killing of six generals—the official version stated that the communist party attempted to gain political power) happened on 30 th September 1965. PKI was banned, and the new order regime under Soeharto began. Over half a million people were killed during the transition to the new order. The mass killing was aimed to purge the society from communist people.11

11 Wikipedia. 30 th June 2008

1407

1408

4. FILM DAN KITA

New Order Regime (1966-1998) The New Order Regime began right after the G30S event, the extermination of PKI members and followers, and the fall of President Soekarno. Soeharto became president, and the army dominated the political sphere (Sen 1994: 48). In this era, the rules over filmmaking were very difficult and hard, for example the censorship and the bureaucracy. If someone wanted to make film, he/she should submit their scripts for approval before production, he/she should be members of one of government-sanctioned organizations of film workers union. Shooting permits for all forms of audiovisual recordings were the norm with prior approval required of production companies, and of course the company should be a member of the union (Marselli & Achnas 2002: 156). And, to become a director, he/she should serve as assistant director three times, and in order to be an assistant director, he/she needed to be a script continuity person several times.12 And if the director had fulfilled all the requirements, the censorship affairs were the next step to face. Heider illustrates that the government film censorship board must approve the script of a film before shooting, and it must advise again during the editing stage. News items frequently appear in the press announcing titles of films which have been released by the censorship board (Heider 1991: 22). Films scholars and filmmakers Marcelli Sumarno and Nan Triveni Achnas are witnesses to these kinds of rules: they writes: “Until quite recently, film law in Indonesia was subject to red tape and stifling policies. The main objective was to regulate film as stipulated in the state guidelines as ‘not only an entertainment

12 Also check: Kaki Seni. http://www.kakiseni.com/articles/columns/MDEyMQ.html#top. 24 th March 2008.

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

vehicle but also as a medium for educational and cultural purpose’. (Sumarno & Achnas 2002: 160) In this era, Krishna Sen highlights the lack of representation of the middle class, and the films focus on the stores of the dominant and the subordinate without an identifiable mediating middle class in between them (Sen 1994: 130). Later, in 1996, Kuldesak became an important phenomenon because the directors broke all these complicated rules (Sumarno and Achnas 2002: 164) but in fact, in early 1990s Garin Nugroho did the same.13 I will elaborate this topic later. Let me discuss this era by decades.

Late 1960s On 30 th May 1968, the Minister of Information BM Diah issued a decree on Dewan Produksi Film Nasional (National Film Production Council) which consisted of nine members from the public and private filmmakers. The unique thing in this is that Usmar Ismail and Djamaluddin Malik were excluded (Said 1991: 82).14 But DPFN did not establish for long. After making five model films, including the family drama Apa yang Kau Tjari Palupi (What Are You Looking For, Palupi?, Asrul Sani, 1969) and the comedy Mat Dower (the character’s name, Nyak Abbas Akkub, 1969), both are realist films, the organization disbanded. 13 Nugroho broke all rules since his first feature films. Check: Femina Online. http:// www.femina-online.com/serial/serial_detail.asp?id=110&views=26. 28 th March 2008. I also interviewed Nugroho about the same topic when I met him in Amsterdam, on February 2008. 14 According to Perfini’s member, Ismail rejected government interventions on film production. But according to Asrul Sani who was one of the members, Ismail did not want to mingle with Naziruddin Naib, one of Perfini founder who made conflict with Ismail in the past. The other source mentioned that as “senior” filmmaker, both of them objected the attitude of Sjumandjaya toward them, Film General Director of Ministry of Information who were former officer in Perfini (Said 1991: 82).

1409

1410

4. FILM DAN KITA

Palupi  won the first prize in the 1970 Asian Film Festival in Jakarta, and tells a story of a woman who loses herself in search of an undefined ‘something’—which she sees as happiness. The dominant discourse of the film shows greed, immortality, and rejection of a man’s love (Sen 1994: 141). Mat Dower has a strong satire social critic and distributors were frightened away by its content (Said 1991: 82-83).

1970s In 1970, Ismail made Big Village as an attempt to show the ongoing and sometimes heated struggle between Jakarta the metropolis and Jakarta the cluster of villages, a place whose dominant lifestyle is in fact very much different from that of a large modern city (Jufri et al (eds.) 1992: 21). In this 1970s era, new filmmakers were born. It became a first start for idealist filmmakers such as Teguh Karya, Syuman Djaya and Arifin C. Noer. Sjuman Djaya, who had studied film in Moscow, made his first film, Lewat Tengah Malam (Past Midnight, 1971), after the disbandment of DPFN and his resignation as General Director of Film (Said 1991: 91). His first film tells a story of a veteran’s disappointment in former friends-in-arms who have failed to live up to the ideals for which they once fought. Lono, the main character, becomes a thief who steals from his corrupt friends to divide the spoils among those badly in need (Said 1991: 91-92). Then Djaya started to make films full of social and political critique such as  Si Doel Anak Betawi (Si Doel Betawi Boy, 1973), Atheis (1974), Si Doel Anak Modern (Si Doel Modern Boy, 1976), and Si Mamad (1973). Both Si Doel films speak of the indigenous people of Jakarta; the first is a children film and the latter tells about the culturally-shocked teenager Doel toward

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

modernity. Si Mamad tells about an honest middle-aged clerk called Pak Mamad, who works in the archives section of the Ministry of Internal Affairs and lives in slum quarters on the edge of Jakarta. Mamad’s wife is pregnant with their seventh child, and that situation forces Mamad, the only officer who does not commit corruption, to steal some things. But, soon, he wants to confess his mistakes but nobody cares. Tormented by guilt and inadequacy, Mamad gets ill and later dies. Budiman, his friend, at the burial site, pays his last tribute to him: People called him Pak Mamad. But he preffred Muhammad. Muhammad has left us. And the world has lost a person whom I knew as the most human of human beings...Muhammad who was honest and Muhammad who was truthful. Unfortunately, he died because of his honesty. I trust that God will recieve him unto Himself.15 In the same year, Teguh Karya made his first film with Teater Populer, Wadjah Seorang Laki-Laki (The Face of a Man, 1971). It tells about an uncompromised portrayal of the development of a young man into adulthood. Later, in 1980s, Karya made Secangkir Kopi Pahit (A Cup of Bitter Coffee, 1984) and Ibunda (Mother, 1986) among other titles. Some great actors, such as Tuti Indra Malaon, Slamet Djarot, Christine Hakim, and Alex Komang were born from his hands. From his first film, Karya wanted to make films showing the life of ordinary people (Sen 1988: 5). For example, Ibunda describes a mother as a strong woman surrounded by her own children‘s problems such as divorces and drugs. Arifin C Noer16 made his first movie in 1973.  Rio Anakku (Rio My Child) has the same passion to represent on15 Quoted in Sen, Krishna. “Power and Poverty in New Order Cinema: Conflicts on Screen” in Creating Indonesian Cultures. Sydney: Oceania Publications, 1989: 10). 16 For some information, please check: Internet Movie Database. http://www.imdb.com/ name/nm0633938/. 16 th April 2008.

1411

1412

4. FILM DAN KITA

screen the reality around him as, for example,  Suci Sang Primadona  (Suci the Prima Donna 1977),  PetualangPetualang (The Adventurers, 1978) and Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa  (Yuyun, Patient of a Mental Hospital, 1979).  Petualang Petualang was first titled Koruptor-Koruptor (The Corruptors). The film was pended in Badan Sensor Film (Film Censorship Board) for almost six years for the content, and was released with 319 meters-long cut (Kristanto 2007: 179). Another filmmaker from the idealistic group is Nico Pelamonia with his debut work, Anjing Anjing Geladak (Harbor Dogs, 1972), which tells about the harsh life in the harbor area. Nyak Abbas Akub, who used to help Ismail in Perfini, was the figure that had succesfully combined the commercial and idealistic groups of filmmaking. He made social criticism through comedies with, among others, Inem Pelayan Sexy (Inem the Sexy Maid, 1976), Cintaku di Rumah Susun (My Love in Apartment House, 1987) and his last film Boneka dari Indiana (Doll from Indiana, 1990). Those films concern gender role in society and the power of women with their sexuality toward men. And those Akub films are successfully combined idealistic purposes and commercial gain. Regarding producers from the commercial filmmakers, Karya states: “We have to revolt against the producers. Do not give them a change to dictate to us. They know nothing about filmmaking. They possess the capital and see filming as a lucrative investment” (quoted in Said 1991: 117). But, still, Karya and other idealistic directors should sometimes make compromises in order to realize their next idealistic projects. In 1978, Frank Rorimpandey directed Perawan Desa (The Village Virgin), adapted from a true story about Sumarijam, 17 years old girl from Jetak near Jogjakarta who was raped by a son of senior civil servantofficial in September 1970 (Sen 1989: 13). It was a legally difficult process because the rapist was the son of a

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

man of power while the victim was a nobody. The film depicts the huge difference between wealthy people in the mansion and poor people in  kampung  (Sen 1989: 14-15). Film journalists commended that  Perawan Desa  is a film of very high social relevance, extremely relevant in the efforts of the Indonesian people to search for and establish truth and justice and it depicts clearly the fate of the little people (rakyat kecil) who suffer, trampled by injustice. “The film also shows the courage of the citizens, both men and women, including journalists and youth, who become involved, individually and socially, in the defense of someone who becomes the victim of arbitrary authority” (quoted in Sen 1994: 119). The commercial group of filmmakers still existed in 1970s. Pengantin Remaja (Teenage Wedding, Wim Umboh, 1971) was controversial because some people considered it a plagiarism of Love Story (USA: Arthur Hiller, 1979). The film made the star couple, Sophan Sophian and Widyawati, popular. In this era, commercial filmmakers also began to produce sexploitation films. Popular actress known as the queen of mystic and sex symbol Suzanna started her adult career in 1970 with Bernapas dalam Lumpur (Breathing in the Mud, Turino Djunaidi 1970), the first film to accentuate sex, rape, and dirty dialogues. Her other film,  Bumi Makin Panas  (The World is Getting Hotter, Ali Shahab 1973) was of similar topic, and was once banned in Cianjur (West Java) and Malaysia. The phenomenon of sexploitation cinema underlines the strong position of the commercial group of filmmaking. These films were made for commercial aims, thus the stories were poor and female bodies were exploited to sell the films. The most popular box-office film in the 1970s was Ratapan Anak Tiri (Lamentation of Step-Daughter, Sandy Suwardi Hassan, 1973).

1413

1414

4. FILM DAN KITA

However, the slowdown of film industry reoccured in 1972. The number of productions decreased. People kept on blame on each other. Some blamed the filmmakers, some blamed film journalists and critics. Farouk Afero, an actor and singer , said that the cinemas were at fault and he shaved his head bald in protest against cinema owners (Said 1991: 86). As a result, cinema owners threatened to boycott Afero’s films. FFI was held again in 1973.17 But this did not change the situation. In 1974, there were 77 films, but downed to 41 in 1975. On 18 th January 1975, some directors, producers and actors gathered in Taman Ismail Marzuki (Art Center), Jakarta (Said 1991: 86-87). They discussed the crisis in film industry and its connection to cinemas and government. As a result, three ministers issued a regulation stating that every cinema should put national films on-screen. But still this step did not help fixing the problems. In 1976, the Minister of Information stated that film importers should produce national films as a condition to import film from abroad. Yet, film productions increased rapidly although most of them were of bad quality. In 1977, the star system, from the commercial group, became stronger, using the term “The Big Five”—the five film stars with the highest salary, i.e. Rp. 5 millions. They were Yatie Octavia, Robby Sugara, Doris Callebout, Yenny Rachman and Roy Marten. Another popular star couple was Yessy Gusman and Rano Karno.The star system, as one of the important elements of commercial group of filmmaking, dominated the film market. Most of the films used popular film stars, and most of the spectators were (and still are) going to the cinemas to watch their idols on screen. 17 In 1955, 1960, and 1967, the name was Indonesian Film Appreciation Week. In 1973, the event was renamed to Festival Film Indonesia and the award is called Citra, and it stopped in 1992. In 2004, the annual movie festival was revived until recently. For more information, please check: Wikipedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Indonesian_ Film_Festival/ 22 nd April 2008.

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

The 1980s In the 1980s, Asrul Sani was still a scriptwriter. Kejarlah Daku Kau Kutangkap (Pursue Me, I Catch You, Chairul Umam, 1985), written by Sani, won Citra Award in 1986 FFI for best scenario, box-office award (Piala Antemas) and best comedy award (Piala Bing Slamet). The film tells about man-woman relationship connected in a comical marriage life. The film made director Chaerul Umam travel around the world from one festival to others. Naga Bonar (character’s name, MT Risyaf, 1986) won Citra Award for best scenario, best picture, best story, best actor, and best supporting actress, music, and sound. It is a social comedy about an ex-pickpocket who participates in the independence war and inaugurates himself as general. Some first-rate films from this group are Doea Tanda Mata (Mementos, Teguh Karya, 1984), Matahari-Matahari (The Suns, Arifin C Noer, 1985) and  Tjoet Nyak Dien (Eros Djarot, 1986). Slamet Rahardjo Djarot made films like Kembang Kertas (Paper Flower, 1985),  Kodrat  (Fate, 1985),  Ponirah Terpidana (Ponirah the Convicted, 1985), whereas his first film was Rembulan dan Matahari (A Time to Mend, literal meaning Moon and Sun, 1979). Chaerul Umam made films representing Jakarta such as Ramadhan dan Ramona (Ramadhan and Ramona, 1992) and Oom Pasikom, Parodi Ibukota (Uncle Pasikom, Parody of the Capital City, 1989). However, the most phenomenal film is  Pengkhianatan G-30S/PKI (G30S/PKI Treason, 1982), the official version of the event. Many film scholars consider it a propaganda film; the film became compulsory to be watched by all students, and was to be annually screened on TV to commemorate the event until the Reform era came. The film was especially commissioned by Soeharto to provide an official narrative of the controversial 1965 coup by the

1415

1416

4. FILM DAN KITA

PKI, and highlights the suffering of the military heroes victimized by PKI as well as Soeharto’s heroism in aborting the coup and stabilizing the situation (Paramaditha 2007: 42, 42). The keyword is “stability” (Paramaditha 2007: 43), and in order to reach the state of national stability, Soeharto made the official (the one and only) version of the events by which he confirmed his purpose to preserve his power by eliminating the entire communist element in the society and also the trace of the previous Soekarno’s political charisma. Film scholar Intan Paramaditha underlines that Soekarno is represented as lying motionless in bed, emphasizing his serious illness, or looking through his window from his claustrophobic space without showing significant movement; thus Soekarno’s illness denotes impotence and the lack of capacity for actions (Paramaditha 2007: 49). Other films which depict Soeharto as historical and narrative hero are Janur Kuning (Yellow Coconut Leaf, Alam Rengga Surawidjaya, 1979) (Sen 1994: 90) and Serangan Fajar (The Dawn Attack, Arifin C Noer, 1981) (Sen 1994: 101). From the commercial group of filmmaking, there were the comedian group Warkop DKI and dangdut singer Rhoma Irama. New film stars were born, including Meriam Bellina and Marrisa Haque. Films for teenagers became box office and had influence on lifestyle, such as Catatan Si Boy (Boy’s Journal, Nasri Cheppy, 1987) and Lupus (character’s name, Achiel Nasrun, 1987). Both films were commercially successful and the sequels were produced.. In 1983, there was a sexploitation film,  Bumi Bulat Bundar (The World is Round, Pitrajaya Burnama, 1983; starred by Eva Arnaz, Yeni Farida, and Wieke Widowati). This genre increased rapidly in the late 1980s and dominated the film industry in the 1990s. The most controversial was Pembalasan Ratu Laut Selatan (Lady Terminator, literal meaning Revenge of the South Sea Queen, Tjut Jalil, 1988; starred by Yurike Prastica)

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

which was withdrawn from cinemas due to its erotic scenes (Jufri et al (eds.) 1992: 1). The same situation happened to Akibat Terlalu Genit (the Result of Too Flirtatious, Hadi Poernono, 1988, starred by Yurike Prastica) and  Ketika Musim Semi Tiba  (When the Spring Comes, Bobby Sandy 1986, starred by Meriam Bellina).

The 1990s This is the era when the New Order became politically and economically weaker. In the early years, the control of the state was still strong. The cinema industry also felt pressures from some regulations (I will discuss this phenomenon in particular section). But later, in 1997, as politics scholar Julia Suryakusuma writes: “The international financial marketplace had ravaged the rupiah, plunging Indonesia into its worst economic crisis of New Order. The rupiah lost 75% of its value, prices spiraled, and ¾ of the companies listed on the local stock exchange were technically bankrupt. The sector was in tatters, and unemployment was expected to triple this year” (Suryakusuma 2004, 4). Prodemocracy movement became stronger against New Order’s authoritarianism, human right abuses, etc., and the support for Suharto’s government began to increasingly wane.18 Later, student movement began in early 1998 and Suharto stepped-down.19 Economic crisis and political pressures toward film regulations affected film production. The slack in film production in early 1990s made sexploitation cinema—low budget films with easy money—grew rapidly. The 1990s era belonged to sex films and Garin Nugroho. The sexploitation genre that flourished in the last years of 1980s continued. Some of the films were Kenikmatan 18 Wikipedia. http://en.wikipedia.org/wiki/New_Order_(Indonesia). 1 st July 2008 19 For chronological story of the Reform Movement, including the riots, see “Bananas, Backstabbing and Anarchy” (Suryakusuma 2004: 3-20).

1417

1418

4. FILM DAN KITA

Tabu  (Taboo Pleasure, RA, Danesh, 1994; starred by Inneke Koesherawati, Kiki Fatmala)and Gairah Malam (Night Passion, Maman Firmansjah, 1993; starred by Malfin Shayna). Others were Nafsu Liar (Wild Lust, Steady Rimba, 1996; starred by Deby Carol, Megy Megawati), Bergairah di Puncak (Passion in Puncak, Steady Rimba, 1996; starred by Windy Chindiyana), Misteri Permainan Terlarang  (Mystery of The Forbbidden Game, Atok Soeharto, 1993; starred by Kiki Fatmala, Lela Anggraeni) and Ranjang Pemikat (Bed of Charmer, Pitrajaya Burnama, 1993; starred by Sally Marcelina, Windy Chindiyana). The domination of sexploitation genre remained strong from 1993 until 1997 (Kristanto 2007: xxii, 376-402). There were only few films produced by the idealist group of filmmakers in the 1990s, such as Taksi (Taxi, Arifin C Noer, 1990), Sri (character’s name, Marselli, 1997), Telegram (Slamet Djarot, 1997), Badut-Badut Kota (City Clowns, Ucik Supra, 1993) and  Cemeng 2005  (The Last Prima Donna, N. Riantiarno, 1995). Taksi and Badut-Badut Kota contained representation of the hard life in Jakarta for common people, taxi driver and clown, respectively. Cemeng tells the story of the harsh life of a traditional performing art group in modern era, set in a city in Central Java. But it is Garin Nugroho who becomes the prolific director and directed Letter to an Angel in 1993, And the Moon Dances in 1994 and Leaf on a Pillow in 1997. I will discuss Garin Nugroho below. Concerned with this condition, the Department of Information decided to intervene. In 1994, Dewan Film Nasional, an organization under the Ministry of Information, produced Bulan Tersusuk Ilalang (Garin Nugroho) and Cemeng 2005 (N Riantiarno). This policy was made due to the slowdown in the film industry and to produce films to represent Indonesian cinema in the Asia Pacific Film Festival (Kristanto 2006: xxi). In 1996, four young directors—Riri Riza, Rizal Mantovani, Mira Lesmana and Nan Achnas--made omnibus project as their

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

debut. It was called  Kuldesak (Cul-de-sac, 1996), and the production finished in 1998, right after the Reform Movement succeeded. They were influenced by Robert Rodriguez’ works— both his low-budget debut film  El-Mariachi  and his famous book Rebel without a Crew. Kuldesak is a representation of their generation. The film became a snowball; young people wanted to make independent films (Heeren 2008). Its rebellious production.20 and fresh content and techniques set Kuldesak apart from both the films produced by the earlier generation and from the everyday soap operas on television (Heeren 2008). The press labeled it the first-ever Indonesian ‘independent’ film and often highlighted its ‘non-Indonesian’ features. The film was highly successful among young audiences. In several cities ticket counter queues stretched into the street (Heeren 2008). Also important was the wide availability of new audio-visual technologies such as digital video cameras and projectors (Heeren 2008). Indeed, Kuldesak is the gate for the post-Reform generation.

Garin Nugroho Garin Nugroho is one of the representations of the idealistic group filmmakers. He made his first feature, Cinta dalam Sepotong Roti (Love in a Slice of Bread, 1991), seven years before the Reform Movement started, and still continues to make films (his recent most celebrated film is Opera Jawa which took part in the New Crowned Hope Tribute to 250 th Mozart's anniversary in Vienna, 21 2006). David Hanan cites Nugroho as “the most important director to emerge in Indonesia, and possibly in South East Asia, in the last ten years” (Cheah, Philip (ed.) 2004: 144). 20 See Section “Kuldesak, I-Sinema and Riri Riza” 21 Variety. http://www.variety.com/review/VE1117931511.html?categoryid=31&cs=1. 30 th March 2008.

1419

1420

4. FILM DAN KITA

Nugroho is a figure who witnessed the transition from the New Order to Reform era, and the most well-known Indonesian director internationally, but we can hardly watch his films in Indonesia because Indonesian spectators find the films too difficult to understand (Cheah 2004: 12, 144). In fact, in 1990s, film industry was dominated by sex films while Nugroho became the most prolific director from the idealistic group. His films were screened on international film festivals such as Rotterdam, Berlinale and Cannes International Film Festival. He made Puisi Tak Terkuburkan (The Poet, 1999) and Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (Bird-Man’s Tale, 2002); both tell us the forbidden issues—the Indonesian Communist Party in Aceh and Organisasi Papua Merdeka (Free Papua Movement) in Papua. And both showed us the political violence done by police and— especially—government: the killing without trial, the kidnapping and torturing, and other inhumane treatments. Both are poetic movies, executed with great cinematography, but the stories are very political (Imanjaya 2006: 10), and Garin used nonprofessional actors. In Puisi, according to film critic Tadao Sato, the leading actor Ibrahim Kadir even plays his own story as a poet who was arrested and imprisoned, and 70% of the other prisoners are also played by people directly involved in the event (Cheah (ed.) 2004: 90-91). Sato explains Nugroho’s strategies toward these amateur actors. “When their memory of this event returns, they become unstoppable. As they are amateurs, it is difficult to make short shots of them like in usual films. That’s why continual recording must be made of their activities” (Cheah, 2004: 91). Two other films, Daun di Atas Bantal (Leaf on a Pillow, 1999) and Serambi (Veranda, omnibus project withTonny Trimarsanto, Viva Westi, Lianto Luseno, 2006) are representations of social issues faced by street children in Jogjakarta and the victims of tsunami in Aceh, respectively. Both films were shot in real locations with nonprofessional actors (in  Daun, street boy

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

characters are played by real street children, and the characters are named after the actors) (Cheah (ed.) 2004: 88).  Daun  was developed out of a documentary on street kids—Kancil and the other actors in the film—entitled  Dongeng Kancil tentang Kemerdekaan (Tale of Kancil on Independence), which is based on real events: the accidents of street kids. Serambi was officially chosen to enter the competition for Un Certain Regards,22 Cannes International Film Festival.  Daun  was also screened in 1998 Cannes Film Festival on the same program.23 Nugroho wants to represent Indonesia’s different cultures, mostly outside Jakarta and even outside Java Island, the central island of Indonesia. For example, Surat untuk Bidadari (Letter to an Angel, 1993) was shot in Sumba and Bulan Tertusuk Ilalang (… And the Moon Dances, 1995) was filmed in Jogjakarta. (Cheah (ed.) 2004: 12). Philip Cheah illuminates that Nugroho intended to prepare the new generations of filmmakers hence he would change crews periodically and push them along on their own career path (Cheah (ed.) 2004: 12). Among them are Riri Riza and Asep Kusdinar (Cheah (ed.) 2004: 12). Nugroho is a senior director and consistently makes films on political and social issues before and after the Reform, and he definitely belongs to the idealistic group of filmmaking.

Reform Era (1998-present) Gerakan Reformasi (The Reform Movement) created huge changes in politics and democracy. It was a people power that gave rise to an enormous change in the political situation of Indonesia: 22 Cannes International Film Festival. http://www.festival-cannes.com/index.php/en/ archives/film/4360363. 28th March 2008. 23 Cannes International Film Festival. http://www.festival-cannes.com/index.php/en/ archives/films/year/1998. 28th March 2008

1421

1422

4. FILM DAN KITA

the downfall of President Soeharto’s regime (1966-1998) in May 1998.24 Following the deposing of Soeharto and the falling of his dictatorship known as the New Order Regime in 1998, the democracy movement in Indonesia has been experiencing a wind of change (Budiman 1999: 56). Back in Soeharto’s regime (19661998), nobody dared to voice their differences, or criticize the government, without having a fear of being silenced or disappeared without a cause. Nowadays, Indonesian people have more freedom to openly express their opinion although it may be different from or even against that of the government (Imanjaya 2006: 10). So, how did the wind of change affect Indonesian Cinema after the downfall of the New Order regime? . Kuldesak distributed in 1998 right after the event, is the most influential film from young filmmakers. I will elaborate Kuldesak, along with the I-Sinema movement, in a particular sub-section below. The first films from the idealistic group of filmmaking made in this era are Petualangan Sherina (Sherina’s Adventure, Riri Riza, 1999) and Puisi Tak Terkuburkan (The Poet, Garin Nugroho, 1999). Sherina is a children musical that gained commercial and critical success and, again, unite both groups of filmmaking. Sherina is one of the first films which released merchandise and original soundtrack album. Since then, there are so many films with various merchandises such as script book, comic book, shirt, mug, hat, adaptation novel, behind the scenes, director’s journal, etc. Puisi was made in digital betacam and transferred to 35mm in Cineric Inc., New York (Kristanto 2007: 403-404). However, besides Kuldesak as the main factor, the passion to make films among young filmmakers was triggered by the successful screening of a horror movie Jelangkung (The Uninvited/ Ouja 24 In political term, the Reform demanded greater democracy, honesty and accountability in public life and policies that secure people’s welfare (Budiman (eds.) 1999: 73)

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

Board Ghosts, Jose Purnomo and Rizal Mantovani) and a highschool love story Ada Apa dengan Cinta? (What’s Up with Love?, Rudi Soedjarwo) in 2001. Except for Puisi, the films mentioned above were made by young filmmakers with the ambition to combine the commercial and idealistic groups of filmmaking. All the films were commercially successful without abandoning their idealism. The commercial group of filmmakers then follows the formula of the two films and dominates the film industry with horror and teenage love stories. Among the box office films is Eiffel I’m in Love (Nasry Cheppy, 2003) (Kristanto 2007: xxv). On the other hand, the idealistic group of filmmaking rarely make films to carry Usmar Ismail’s legacy because they are still trying to find the right formula to combine the commercial and idealistic groups of filmmaking and, as director Riri Riza illuminates, most of them prefer exploring the technological aspects and filmmaking skills to the stories (quoted in  Indonesian Cinema  (Italy: Maurizio Borriello, 2007)). Still, there are some filmmakers who try to make films idealistically, including the two important movements that I will elaborate later: Kuldesak and I-Sinema. There are some films related to realism and representation of social issues and/or Jakarta. Nia Dinata’s Berbagi Suami (Love for Share, 2006) is a film about polygamous life of three women in Jakarta who come from different religions, social classes and races, while Arisan! (The Gathering, 2003) represents the lifestyle of modern upper-class wives and the gay phenomenon. Riri Riza’s  Untuk Rena  (Dear Rena, 2005) tells of the life in an orphanage in Puncak (an area near Jakarta). Nan Achnas directed Bendera (The Flag, 2002), a story about some kids who pursue a flag through the slum alleys in  kampungs. Hanung Bramantyo’s Catatan Akhir Sekolah (The School’s Last Notes, 2004) tells a story of three looser students while  Get Married (2007) focuses on a girl from a slum kampung trying to

1423

1424

4. FILM DAN KITA

search for her soul-mate. Rudi Soedjarwo’s  Mendadak Dangdut (Suddenly Dangdut, 2006) depicts the daily activities in a slum kampung to which the two main characters run away as fugitives and become a dangdut singer and the manager. Nanang Istiabudi’s Detik Terakhir (The Last Second, 2005) follows the characters dealing with lesbian life and narcotics. Viva Indonesia is an omnibus project (Ravi L. Bharwani, Aryo Danusiri, Asep Kusdinar, Lianto Lusenoand, Nana Mulyana, 2001) and tells the story of four children from different regions sending letters to God. Some of the prominent young directors are Mira Lesmana, Riri Riza, Nia Dinata, Nan Achnas, Aria Kusumadewa, Rudi Soedjarwo, Hanny Saputra, Hanung Bramantyo, Joko Anwar and Ravi Bharwani. The role of female filmmakers, especially producers, also becomes stronger, such as Mira Lesmana, Shanty Harmayn and Nia Dinata.25 This situation could happen because while the New Order government applied Bapakisme (Fatherism)26 with its patriarchal system and while under the New Order Regime film industry belonged to men, in post-Soeharto era women play important roles in many fields, including in cinema.

25 For this topic, please check: Sen, Krishna. “Film Revolution? Women are now on both sides of the camera” in Inside Indonesia. http://insideindonesia.org/content/ view/155/29/. 16 th April 2008. 26 According to this ideology, the fathers position is pivotal figures, as the ruler and the leader of the house. The mothers and wives are considered “ikut suami” (follow the husbands), “Ratu Rumah Tangga” (Queen of the Household). the “female nature” in New Order cinema, ultimately sanctified in reproduction (motherhood), appears to be constantly in danger of being perverted (Sen 1994, 138). The government spread the ideology of “azas kekeluargaan” (Family Principle) and Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK, Family Welfare Movement) as released by the Directorate General for Rural Development, Jakarta, in 1978. PKK contains the five obligations of women (Panca Dharma Wanita), describes Indonesian women as having the following five roles: wife, standing by the husband; household manager; mother, responsible for reproduction; educator of the children; and citizen of Indonesia (Oey-Gardiner & Bianpoen 2000:58).

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

On the other hand, there are several senior filmmakers who have been involved in the film industry since the New Order era and still make films in post-Reform time, such as Nugroho, actordirector Slamet Rahardjo Djarot and actor-director Deddy Mizwar. Slamet Djarot’s Marsinah (2000) reconstructs the killing of Marsinah from Mutiari’s point of view—Mutiari was Marsinah’s supervisor who was captured and be accused of being behind the murder—with depiction of violence done by the police, including their real names and ranks. Deddy Mizwar’s Ketika (When, 2004) focuses on an ideal time in an imaginary country where corruption no longer exists, while Naga Bonar Jadi Dua (2007) continues the story of an Independence War veteran dealing with modernity and its different values. One of Nugroho’s films is Daun di Atas Bantal (Leaf on a Pillow, 1997) which was screened right after the downfall of Soeharto in 1998. One of the important events in this era was the initiating of the annual Jakarta International Film Festival in 1999, beside the use of the Internet and fighting cheap pirated DVDs. This festival opens young filmmakers’ mind and enriches film references so that they become well-informed generation with wider information access. Was the so-called “New Indonesian Cinema” born as a response to the Reform Movement? Indeed, there are some young filmmakers from the idealistic group who still produce films as media of expression, or make films to present social issues of Indonesian people in the New Order Regime. Some film scholars and film critics called them “the New Indonesian Cinema”. For example, Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) researcher Joanne Sharpe and Phd student Katinka van Heeren with her articles and on-progress dissertation in Leiden University.27 I believe film scholars need to undertake 27 The title is “The re-imagining and re-imaging of community in transition: New

1425

1426

4. FILM DAN KITA

further research on this topic, regarding the definition, characteristic, aesthetic values, purposes, etc., for there is no sufficient research have been done yet this interesting theme. But, indeed, there are two important terms in this generation of the early years of post-Reform era: Kuldesak(Cul-de-sac,Riri Riza, Nan T Achnas, Rizal Mantovani and Mira Lesmana, 1996) and I-Sinema. I will elaborate Kuldesak, I-Sinema, and the role and works of Riri Riza below. There is one important thing about contemporary Indonesian film history as related to this generation. Masyarakat Film Indonesia (Indonesian Film Society), a group of young filmmakers, wanted to reform the film policies. It all began when Ekskul (Extra Curricular, Nayato Fio Nuala, 2006) won the best picture and best director awards in 2006 Indonesian Film festival. The film was reportedly illegally incorporated music from foreign films such as  Gladiator,  The Chronicles of Narnia, Taegukgi  and  Munich. And around thirty young filmmakers returned their Citra awards, the country’s highest film prizes, to the Culture and Tourism Minister Jero Wacik in a protest over the handling of 2006 Indonesian Film Festival. Among them were prominent directors (Riri Riza, Hanung Bramantyo, Nia Dinata), producers (Mira Lesmana and Shanty Harmayn), as well as cast and crew members such as actresses Marcella Zalianty and Rachel Maryam and actor Nicholas Saputra.28 This incident turned into a political movement by the young filmmakers with an aim to reform film regulations, especially to change the method of censorship from cutting off the celluloid to classification system. Nan Achnas writes that the incident is merely the tip of the iceberg in terms of the many problems facing the country’s Indonesian Cinema”. Please check: Leiden University. http://www.cnws.leidenuniv.nl/ index.php3?c=18. 30 th March 2008. 28 Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com/news/2007/01/10/citras-handed-backprotest.html.. 16 th April 2008.

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

burgeoning film industry. “Outdated regulations, censorship, financial constraints on filmmakers, a shaky film infrastructure and a lack of support for film education are some of the persistent challenges”.29 Mira Lesmana says that “Initially, it started as a shared concern among filmmakers over the 1992 Film Law. “There are many things regulated by that legislation, which, we think, are no longer relevant with our present situation in the (film) industry. One of them is about censorship”.30 Before establishing the Indonesian Film Society, Lesmana and other filmmakers formed the Indonesian Film Producer Network (IFPN) in 2001 and later the Indonesian Cinema Commission in 2003. Both organizations stopped halfway but Lesmana, in the interview, did not explain the reasons. But, why do they choose political instead of aesthetic movement? Why don’t they try to express their hope and critical ideas through films? Although the Reform has opened many opportunities to make films in accordance with their idealism, only few political films were produced. While Garin Nugroho often makes clear political and cultural statements in his films, this younger generation mostly shows the opposite indication. There are no films made by this generation with political or critical thought against government’s policy or as statements concerning important events or notorious phenomena such as corruption, traffic jam, rising fuel prices, or natural disasters, to name a few. Why does the young generation choose political movement instead of aesthetic movement? I will elaborate some aspects.

29 Achnas. Nan. “Rebirth of Indonesian film industry, and the glaring lack of creativity” in Jakarta Post.http://www.thejakartapost.com/news/2007/06/09/rebirth-indonesianfilm-industry-and-glaring-lack-creativity.html. 16th April 2008 30 Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com/news/2008/02/17/mira-lesmana-livingmovies.html. 16th April 2008

1427

1428

4. FILM DAN KITA

I observe that the young generation of post-Reform era is still dealing with the attempt to merge both groups of filmmaking. For example, Riza’s interview shows that he still cares for the spectators. Or Mira Lesmana’s statement I mentioned at the beginning of this article: “for me, there is no such thing as art films and popular films. There are only good films and bad films”. I have other possibilities in mind. First, the directors, producers, and scriptwriters of this generation are becoming apolitical and have no intention to participate in politics. And they were (and are) busy earning money for themselves to support their lives and families. The New Order Regime, for more than 30 years, had succeeded in spreading a brain-washing program with its Penataran P4 (a teaching of the national ideology, the Five Pillars/ Pancasila) and other projects. And this New Order ideology made people either chose government political party, or being skeptical about politics and avoided it. As a result, the majority of the people became a floating mass instead of having one straight political statement or world-view. The Developmentalism-Economy approach also made the society busy fulfilling their own basic needs without thinking about other interests. And this phenomenon has affected the filmmaking world. Second, for many of them, such kinds of films are not so important to make because economically speaking, the films are watched by limited spectators, or even no movie-goers at all. Thus, they can not earn profit from the films. Salim Said adds other reasons. He writes that the freedom of expression that people got from the Reform Movement in 1998 was not automatically earning films of politics.31 This situation happened to ex-communist countries that were freed because of the dismantling of Berlin Wall. Salim says that maybe there are no urgency and importance of the recent political issues to expressin 31 Interview with Salim Said by email. 15 th June 2007.

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

films. Second, the very limited fund—they were used to be helped by the government. In Indonesian case, there was nearly no tradition or art of protest in literature history. This tradition was tried by Sutan Takdir Alisyahbana with “Literature with Tendencies”, and also by Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat, People Art Organization as the underbow of Indonesian Communist Party in 1950s and 1960s). But according to Said, both did not succeed. But, indeed, there are two keywords regarding the aesthetic movement by this post-Reform generation. They are Kuldesak and I-Sinema. Riri Riza is one of the prominent figures in both.

Kuldesak, I-Sinema and Riri Riza As I mentioned earlier, Kuldesak is one of the important films in the early years of post-Soeharto era. Researcher Joanna Sharpe writes that Kuldesak is widely hailed as the first in the recent wave of independent productions, which are self-funded and filmed on the sly ‘guerilla style’ without the necessary state permits (Sharpe 2008). Indonesianist Katinka van Heeren mentions the film as the first independent films movement, dealt with the problems of middle class Jakarta youth—drugs, homosexuality and the feeling of absolute desolation—and “… It appeared to be too revolutionary even for reformasi” because there is a kissing scene between boys that soon got censored (Heeren 2008). Since Kuldesak, many young people wanted to make film in his/ her own way. It seemed that everybody can make films. There are four stories interweaved in the film, and all portray the youngsters’ life in Jakarta in 1990s. They all try to realize their dreams and strive for their share of happiness. The conditions in their lives sometimes force them to make radical choices. Aksan has a great dream: he wants to make a film so badly and plan to

1429

1430

4. FILM DAN KITA

steal money to support the film. Andre is a young unhappy musician and just found out that his idol, Kurt Cobain, has committed suicide. Dina, a cinema ticket girl, can no longer distinguish delusion from reality, and for her life is a dream full of television images of a popular video-jockey. Lina works for an advertising agency and is pressed by her boss to work overtime, and raped in the office.32 As I highlighted, in the New Order regime, the regulations on filmmaking were very difficult and hard, for example the censorship and the bureaucracy. And Kuldesak broke all these rules (Sumarno and Achnas 2002: 164). All of the directors of Kuldesak were not registered members and the shooting also took place without a permit from the Ministry of Information. Consequently, they worked quietly. They also faced financial problems, hence all cast and crew worked for free and equipment was sponsored and loaned. The breaking-the-law attitude and financial problems made them work in a guerilla way. The other important terminology is I-Sinema, an aesthetic movement founded after May 1998 (Sumarno and Achnas 2002: 164). This movement has as it base a manifesto signed by thirteen young filmmakers: Riri Riza, Nan Achnas, Richard Buntario, Sentot Sahid, Mira Lesmana, Srikaton M, Enison Sinaro, Ipang Wahid, Teddy Soeriaatmadja, Dimas Djayadiningrat, Rizal Mantovani, Jay Subyakto and Yato Fionuala. They made a manifesto: “we trust and support each other. Synergies of creativity, spirit of explorations, aesthetical achievements, variety of themes and stories, all to give new colors to films. More importantly: to give different choices, insights, and experiences to spectators”.33 They made exploration on film medium, including 32 International Film Festival Rotterdam. http://www.filmfestivalrotterdam.com/eng/ search/film.aspx?id=cd17ee5f-72ea-4e25-b2a1-9e1a0dba7ee8. 26 th March 2008. 33 “Kami saling percaya dan memberi dukungan. Sinergi kreativitas, semangat eksplorasi, pencapaian estetis, keragaman tema dan cerita, semuanya untuk memberi

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

camera technology, shooting techniques, or directing treatment. For example, Eliana explores the story with few characters and short timespan story.34 Sharpe writes that the meaning of ‘I’ in ‘I-sinema’ is ambiguous—it stands for the word ‘Indonesian’ as much as it does for ‘Independent’, as well as other terms like ‘eye’ or even the English ‘I’. I-sinema films are made in the spirit of independence and even individualism, but they are also national in character. Riza is adamant that his films should not alienate people.Sharpe made interview with Riza on I-sinema. Riza emphasizes that this movement has as its primary concern the Indonesian audience who has been starving for Indonesian film, and this is the first thing these filmmakers seek to redress (Sharpe 2008). Riza says “It seems that alternative film movements in other countries just don’t care much about their audience. For us, the audience is still very important”. The first line of the manifesto states that ‘Stagnation in the Indonesian film industry means that we must find new ways of making feature films,’ (Sharpe 2008). The members of ‘I-sinema’ emphasize the importance of film as a form of freedom of expression and pledge to create films of artistic and personal credibility, but they remain aware of the practicalities of production (Sharpe 2008), thus continuing the struggle of the idealistic group of filmmaking. The thirteen members of the movement do not make demarcation between art-films and commercial films. “The next film I make might be commercial, it might be more art house, and it might even be a documentary. I’m not a jukebox. I’ll make whatever films I want” says Riri Riza warna baru pada perfilman. Lebih penting lagi, memberi pilihan, wawasan, serta pengalaman berbeda untuk penonton”. My translation. Kompas Newspaper. http:// www.kompas.com/kompas-cetak/0206/16/hiburan/isen19.htm. 9 th October 2007s 34 Imanjaya, Ekky. “Gerakan Politik dan Gerakan Estetika” in F Magazine 009 edition November-Desember 2007. Jakarta: KFT-ASI, 2008, 10-11).

1431

1432

4. FILM DAN KITA

(Sharpe 2008). These filmmakers have different background (from video music maker to commercial maker), but they share the same dreams about the awakening of Indonesian films. There is no further information about I-Sinema following the production of four films: Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (A Question for Love, Indonesia: Enison Sinaro: 2000), Eliana Eliana (Riri Riza, 2002), Bendera (The Flag, Indonesia: Nan Achnas: 2002) and Titik Hitam (Black Dot, Indonesia: Sentot Sahid, 2002). Riri Riza is one of the main figures in Kuldesak and I-Sinema movement. Riza, with Mira Lesmana as his producer, made some films and try to depict social and political issues of Indonesian people under Miles Films. One of the films is Gie (2005), a biopic of Soe Hok Gie, a legendary student activist in the 1960s who led a movement against President Soekarno in 1966 which ended up in the stepping down of Soekarno. Gie won Dragons & Tigers Award nominee at Vancouver International Film Festival 2005 and three Citra awards at 2006 Indonesian Film Festival and was screened on several international festivals. Tiga Hari untuk Selamanya (Three Days to Forever, 2007) is a road movie and talks about young generation’s thought on sex, morality and lifestyle. Untuk Rena (Dear Rena, 2005) deals with social issues, focusing on the life in an orphanage in the holy month of Ramadan and has link to tsunami disaster. His debut, a children musical entitled  Petualangan Sherina  (Sherina’s Adventure, 2002) became one of the box office films, reaching 1.6 million audiences—after 25 years of bad response by the audience to local films. The success of the film brought optimism regarding the growth of the local film industry yet at the same time some were skeptical that it was only a one-time success.35 And his best work is Eliana, Eliana. In 2008 he made a beautiful movie adapted 35 Miles Films Website. http://www.milesfilms.com/. 30 th March 2008

IDEALISM VS. COMMERCIALISM IN INDONESIAN CINEMA:A NEVER ENDING BATTLE?

from a novel called Laskar Pelangi (Rainbow Troops). I believe this film is also one of few films that unite the dualistic paradigm that haunted cinema history for a long time. Perhaps, this is the application of Miles Films’ motto: “there are no such differentiation like art films and commercial films. There are only bad and good films”. Is it possible for us, the spectators, to witness this so-called “honeymoon of two enemies” in more films? Some movies I illuminate above, such as  Lewat Djam Malam, Njak Abbas Akub’s,  Petualangan Sherina, Laskar Pelangi  (and also:  Naga Bonar, Kejarlah Daku Kau Ku Tangkap, etc) have already proved it! Bibliography Budiman, Arief (eds). Reformasi, Crisis and Change in Indonesia. Clayton: Monash Asia Institute, 1999. Cheah, Philip (ed). And the Moon Dances: the films of Garin. Jogjakarta Bentang Pustaka: 2004. Heeren, Katinka van. “Revolution of Hope, Independent films are young, free and radical” in http:// insideindonesia.org/content/view/391/29/. 30 th March 2008. Heider, Karl. Indonesian cinema: national culture on screen. Honolulu : University of Hawaii, 1991. Imanjaya, Ekky. “Who’s Afraid of Democracy. Politics of Freedom in Indonesian Films” in Osian’s Cinemaya, The Asian Film Quarterly Vol 1 no. 4, May, 2007. Mumbai: Osian’s = Connoisseurs of Art Private Limited: 8-11. Ismail, Usmar. Mengupas Film (To Analyze Film). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan: 1986. Jufri, Moch et al (ed). Indonesian Film Panorama. Jakarta: Permanent Committee of the Indonesian Film Festival, 1992. Kristanto, JB. Katalog Film Indonesia 1926-2007. Jakarta: Penerbit Nalar, 2007. Kurasawa, Aiko. “Films as Propaganda Media on Java under the Japanese, 1942-1945” in Japanese Cultural Policies in Southeast Asia during World War. Basingstoke [etc.]: Macmillan, 1991. Oey-Gardiner, Mayling and Carla Bianpoen (eds). Indonesian Women, The Journey Continues. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies Publishing The Australian National University: 2000. Paramaditha, Intan. “Contesting Indonesian Nationalism and Masculinity in Cinema” in Asian Cinema Vol. 18, No. 2, Fall/Winter 2007. Said, Salim. Shadows on the silver screen: a social history of Indonesian film. Jakarta: LontarFoundation, 1991. Sharpe, Joanne. “Eliana Eliana: Independent Cinema, Indonesian Cinema; A new wave of Indonesian films” in Inside Indonesia. http://www.insideindonesia.org/edit72/Theme%20Sharpe.htm. 24 th March 2008. Sumarno, Marselli and Nan Triveni Achnas. “Indonesia: in twoworlds” in The cinemas of Asia: Being and Becoming. New Delhi : Macmillan, 2002, p. 152-170 Sen, Krishna. Indonesian Cinema, Framing the New Order. London & New Jersey: Zed Books Ltd, 1994. -----------------. Histories and Stories: Cinema in New Order Indonesia. Victoria: Monash University Press, 1988. AUDIO VISUAL Indonesian Cinema (Italy: Maurizio Borriello, 2007)

1433

Eric Sasono

Sinema Filipina 2009

S

inema Filipina sedang memasuki sebuah tahap serupa dengan sinema Iran di pertengahan 1990an, sinema Korea atau sinema Cina di akhir 1990-an. mereka sedang menajdi pusat perhatian dunia sesudah kemenangankemenangan di festival-festival penting. Deretan nama baru yang eksotis menarik perhatian para programmer dari festival film di seluruh dunia. Semua berebut ingin memberi tempat kepada pembuat film Filipina, terutama nama-nama baru. Tahun 2009 memang milik mereka. Brillante Mendoza baru saja memenangkan gelar sutradara terbaik di festival film Cannes tahun ini. Nama yang dikalahkannya tak main-main. Ada Quentin Tarantino (Inglorious Basterds), Ang Lee (Taking Woodstock) dan Pedro Almodovar (Broken Embraces). Dengan film Kinatay (Execution of P), sebuah cerita tentang polisi yang korup dan mutilasi terhadap seorang pelacur, Brillante mencatat prestasi paling penting yang pernah dicatat oleh pembuat film

SINEMA FILIPINA 2009

Asia Tenggara. Maka Filipina sedang sangat berbangga. Dalam pemutaran film di Cinemanila, mereka membuat semacam  bumper  pendek (berbahasa Tagalog) yang membanggakan prestasi Brillante yang telah “memenggal” namanama besar itu. Di dekade 1970-an Filipina pernah punya sineas yang bicara di dunia internasional. Nama seperti Lino Brocka, Ishmail Bernal dan Kidlat Takhimi menjadi pembicaraan kritikus di Cannes dan Berlinale. Karya-karya mereka bahkan ikut membantu terbentuknya diskusi mengenai “third world cinema” yang dimulai dari film-film Amerika Latin. Social commentary yang kuat dan sikap politik yang tegas terhadap kolonialisme menjadi tema filmfilm para “bapak sinema independen Filipina” ini. Namun generasi ini hilang dan tak berlanjut di dekade selanjutnya. Direktur Philippine Independent Filmmakers MultiPurpose Cooperative (IFC), Clodualdo Del Mundo Jr., menulis di bulletin mereka bahwa generasi post-Brocka hanya akan menjadi generasi catatan kaki saja karena minimnya prestasi mereka. Sekalipun sebenarnya ada Raymond Red, orang Filipina pertama yang membawa pulang piala dari Cannes dengan film pendeknya, Anino. Namun Red kerap dmasukkan ke dalam satu generasi dengan Brillante Mendoza dan kawan-kawan ini. Maka kedatangan nama-nama baru ini telah mengembalikan sinema Filipina seperti era Brocka-Bernal dan kawan-kawan. Dengan begini, saya ke Manila tiba di tengah perayaan terhadap sinema Filipina. Dalam pidato penutupan Cinemanila, direktur dan pendiri Cinemanila, Amable “Tikoy” Aguluz VI berkata dengan lantang bahwa masa depan sinema dunia adalah sinema Filipina. Tikoy yang optimis ini tentu berlebihan. Tapi semangat itu memang sedang terasa sekali di Filipina saat ini. Karena selain Dante (nama akrab Brillante) memang ada beberapa nama lain. Misalnya Raya Martin. Pembuat film muda ini baru membuat 2 film panjang, tapi ia begitu diperhitungkan.

1435

1436

4. FILM DAN KITA

Filmnya,  Independencia, diputar di seksi kompetisi utama Cinemanila bersanding dengan film-film seperti Mammoth (Lukas Moodyson, Swedia),  Ricky  (Francois Ozon, Perancis),  Hunger  (Steve Martin, Inggris),  Tulpan  (Sergey Dvortsevoy, Kazakhstan), Milk of Sorrow (Claudia Llosa, Peru). Film terakhir ini mendapat Golden Bear, penghargaan tertinggi di Berlinale, tahun 2009. Nama-nama lain yang juga sudah beredar di lingkaran festival film dunia adalah Lav Diaz, Khavn DeLa Cruz, John Torres, Adolfo Alix Jr., Sherad Sanchez. Lav Diaz—saya gemar berat pada filmnya  Death in The Land of Encantos—terkenal membuat film-film dengan durasi sampai 6 atau 9 jam. Filmfilmnya diputar di Berlin atau Rotterdam. Khavn terkenal sangat produktif. Ia sudah membuat film pendek sebanyak 70-an judul, dan beredar di berbagai festival di Eropa. John Torres belum seterkenal dua nama ini, tapi ia juga sudah mulai diperhitungkan di Rotterdam. Adolfo Alix dan Sherad Sanchez juga membawa film mereka keliling ke berbagai festival di Eropa. Generasi baru—yang disebut generasi kelima sinema Filipina ini—memang sedang lahir dan berkembang. Belum lagi nama-nama di atas ini masuk ke lingkaran utama dunia, tiba-tiba muncul seorang anak muda berumur 21 tahun: Pepe Diokno. Film pertamanya, Engkwentro, diputar di Festival Film Venesia tahun 2009 ini dan membawa pulang piala Horizon Award dan Luigi De Laurentis Award dari festival itu. Award ini ditujukan bagi sutradara debutan atau sophomore. Maka bergembiralah dunia film Filipina tahun 2009 dengan rangkaian kemenangan-kemenangan penting ini. Saya ikut gembira dan senang ikut menjadi saksi. Sampai saya tiba pada  screening Engkwentro. Saya menonton film ini bersama kritikus Thailand, Kong Rithdee, dan produser Salto / SBO Film, Shanty Harmayn. Kami duduk melihat bakat baru Filipina ini menyajikan kisah dari sebuah kampung kumuh

SINEMA FILIPINA 2009

perkotaan dimana kekerasan bersenjata, seks dan obat bius menjadi santapan sehari-hari. Gerak kamera begitu candid tanpa koreksi. Mirip film dokumenter amatiran. Akting sangat natural, dan tampak dilakukan oleh non-aktor. Pengambilan gambar seperti ingin mengejar single shot untuk seluruh film. Tapi di tengah-tengah, ada cut juga. Semua ini membuat saya berpikir lagi: saya pernah melihat tema dan gaya seperti ini. Tentu saja. Dante pertamakali yang menggunakannya di Slingshot. Jim Libiran menambahi elemen musik rap pada tema dan gaya seperti ini di Tribu (Jim main di Engkwentro sebagai eksekutor, muncul di akhir cerita. Pantas saja ia berpesan kepada saya sebelum menonton film ini: jangan berkedip sedikitpun 5 menit sebelum ending). Lalu apa yang istimewa dari Engkwentro? Bisa jadi ada backdrop politik yang lebih kuat di Engkwentro ketimbang dua pendahulunya itu. Konteks politik ini ditampilkan dengan cerdas dalam bentuk siaran TV dan radio. Pepe sendiri seorang yang berbakat. Saya sempat melihat potongan pendek karya dokumenternya, Dancing for Discipline, yang mengisahkan seorang sipir penjara yang menggunakan tarian—dan bukan baris berbaris atau senam—sebagai sarana pendisiplinan narapidana di sana. Namun kemenangan Engkwentro akhirnya menghasilkan diskusi lumayan panjang antara saya, Kong dan Shanty. Kami berpikir bahwa para programmer festival di Eropa ini sedang getol sekali mencari negara baru. Maka ditasbihkanlah Engkwentro menjadi pemenang, padahal film itu—sekalipun baik—sama sekali bukan terobosan. Apakah Venesia saja yang sedang gumunan melihat film seperti ini? Atau mereka merasa kecolongan melihat Dante menang di Cannes dan mereka belum mencatat nama Filipina dalam daftar penting katalog mereka? Kuat sekali bau etnosentrisme di sini, dan jangan-jangan Filipina sedang jadi korban.

1437

1438

4. FILM DAN KITA

Karena anak seperti Pepe—21 tahun—sekarang sudah tak bisa lagi senang-senang. Apapun yang dibuatnya jadi ditunggu banyak orang. Lihat yang terjadi pada Raya Martin. Filmnya baru 2 dan ia masih boleh berbuat kesalahan, tapi dengan proyek beranggaran dan berambisi besar bernama Independencia, ia sudah menjadi pemain sesungguhnya di lapangan festival ini. Raya termasuk yang berhasil, karena sekarang untuk mendapatkan Independencia saja, Jiffest harus berhubungan dengan distributor Eropa yang meminta screening fee sekitar USD 1.000. Serupa belaka dengan film terbaru Dante, Lola (bagus sekali film ini) yang harus ditanyakan ke distributor Match Factory. Namun bukan soal screening fee yang mengkuatirkan betul, tapi tipisnya beda antara eksplorasi estetika dari negara-negara “baru” dengan pengarahan terhadap estetika itu. Festival tidak hanya menjadi standar estetika, tapi juga menjadi pasar. Film-film Filipina dari nama-nama ini  tidak ditonton oleh orang-orang Filipina. John Torres selalu berkata bahwa lebih banyak orang Eropa yang menonton filmnya ketimbang orang Filipina. Filmfilm Dante tak mendapat deal distribusi di Filipina, dan Dante kadang mengajak tamu-tamunya ke lapak bajakan jika ingin mencari DVD film-film lamanya, karena tak ada perusahaan label DVD yang berminat mengedarkannya. Jadi buat siapa anak-anak muda ini membuat film? Maka bau pengaruh programmer festival di Eropa terasa sekali, langsung maupun tidak. Mereka seperti “melayani” keinginan para  programmer  itu dengan gambar-gambar kemiskinan dalam lanskap mereka, tragedi, bencana, kejahatan politik, korupsi dan hal-hal lain yang tak akrab dengan masyarakat Eropa. Maka film Filipina yang disebut sebagai “alternatif ” ini dipenuhi oleh gambaran kemiskinan yang akut, kekerasan kasual, kampung kumuh yang akrab, korupsi yang jamak dan sebagainya. Tentu saja rangkaian ini mudah dilihat sebagai sebuah

SINEMA FILIPINA 2009

misrepresentasi Filipina. Yang lebih penting: penggambaranpenggambaran ini nyaris menjadi sebuah formula sendiri. Maka tak ada gambaran kelas menengah dalam sinema Filipina. Gambaran seperti itu tak akan laku di kalangan festival di Eropa. Namun ada alasan yang agak sosiologis juga mengenai hal ini. Struktur masyarakat Filipina memang terbelah: para superkaya di satu ekstrim, dan kelas pekerja yang miskin di esktrim lain. Di tengah-tengah yang seharusnya menjadi penyangga, lebih suka pergi ke Amerika dan menetap di sana. Migrasi Filipina ke Amerika memang luar biasa besarnya dan setiap hari permohonan permintaan visa di Kedutaan Besar Amerika di Manila sebanyak sekitar 3.000 pemohon! Bisa jadi tak semua mereka pergi ke Amerika dan tak semua adalah kelas menengah, tapi inilah aspirasi besar kelas menengah Filipina: menjadi warga Amerika. Dengan demikian kesempatan mereka untuk naik kelas sosial akan lebih besar. Kekosongan kelas menengah ini membuat film Filipina harus terbelah dengan ekstrim seperti sekarang. Filmfilm mainstream mereka umumnya medioker dengan pengaruh TV yang besar sekali—terutama bentuk telenovela. Unsur seks dan fantasi sangat besar untuk melayani kelas pekerja. Komedi hanya mengenal satu bentuk yaitu slapstick. Tipikal produk untuk kelas pekerja yang lebih mirip dengan sarana eskapisme. Bisa jadi apa yang terjadi di Filipina bisa dilihat juga di negara Asia lain, terutama Asia Tenggara. Indonesia, Malaysia dan Thailand mengalami hal yang tak jauh berbeda. Namun apa yang terjadi di Filipina adalah sesuatu yang esktrim. Di satu sisi adalah film-film semacam ini dan di sisi lain adalah film semacam Independencia. Saya membayangkan Independecia. Film ini sangat menarik dengan production value yang luar biasa, karena Raya berhasil merekonstruksi ulang elemen formal film tahun 1920-an. Namun bagi saya film itu terlalu intelektual (Shanty Harmayn kaget

1439

1440

4. FILM DAN KITA

mendengar komentar saya ini: “Hah?! Buat elo aja terlalu intelektual, buat siapa dong nggak?” Belakangan saya menemukan orang yang bisa mencerna film ini dengan enak, seorang dosen pengajar matakuliah film Asia di The College of William & Mary, Manila). Film Raya itu memang merupakan kritik terhadap penggambaran kebangsaan, historiografi (dan karenanya) identitas Filipina dengan ungkapan yang penuh referensi nonsinematik yang berasal dari sejarah, pengalaman, dan pengetahuan orang Filipina sendiri. Sebuah wisata intelektual yang menarik; tapi jelas sekali ini bukan materi bagi kelas pekerja yang masih sibuk dengan urusan perut dan utang uang tiap bulan untuk bayar kontrakan atau belanja susu anak. Maka saya akan merasa tak adil jika hanya menyalahkan para  programmer  festival di Eropa sebagai biang kerok misprepresentasi atau terjadinya schism semacam ini. Sejak era Lino Brocka dan Kidlat Takhimi hal seperti ini terjadi. Tak banyak pilihan bagi para pembuat film yang punya gagasangagasan yang berbeda dengan industri film mainstream. Pasar festival ini bisa jadi memang yang paling masuk akal. Bukan berarti mereka tak mencoba, mereka sudah. Film awal Dante, Summer Heat adalah film soft-porn. Demikian pula Adolfo Alix Jr. pernah membuat film semacam itu sebelum beralih ke festival-festival. Karena ada satu faktor penting yang belum saya bicarakan yang membentuk perfilman Filipina semacam ini. Bisa jadi namanya ideologi, bisa jadi juga sikap politik. Orang Filipina, apalagi filmmaker-nya, sangat sadar politik. Mereka berbincang politik terus menerus, bahkan beberapa di antaranya di tingkat idelogis. Beberapa mereka bicara soal  “social responsibility” para  filmmaker. Mereka mengambil contoh Lino Brocka dan Ishmail Bernal untuk soal ini. Mereka inilah yang menjadi pusat gagasan para pembuat film alternatif Filipina, terutama dengan penggambaran kemiskinan, penindasan, korupsi dan sebagainya;

SINEMA FILIPINA 2009

serta apa akibat sturktur yang mengekang itu pada individu dan komunitas. Jika ada tema yang lebih “kelas menengah” seperti tema pencarian identitas dalam konteks nasionalisme dan kolonialisme, maka contoh itu adalah Kidlat Takhimi. Film Kidlat, Perfume Nightmare, menjadi sebuah acuan tentang pencarian identitas dan dialog dunia pertama versus dunia ketiga lewat cara tutur yang mendekati model stream of consciousness. Pengaruh Kidlat tampak sedikit pada Lav Diaz dan Raya Martin. Namun pengaruh terbesar Kidlat adalah pada John Torres yang menggunakan metode serupa dengan Kidlat, yaitu non-scripted recording, diri sendiri menjadi protagonis, elemen naratif yang tak linear dan berpusar pada tema ketimbang progresi plot. Tradisi intelektual dan tanggungjawab sosial inilah yang masih tercium kuat di film-film alternatif-independen Filipina. Maka saya tak mau menilai ini semua sebagai misrepresentasi Filipina. Jika itu halnya, maka film-film Yasmin Ahmad juga akan terpotretkan sebagai misrepresentasi Malaysia (dan inilah yang membuat terjadinya sikap permusuhan tak resmi pemerintah Malaysia terhadap Yasmin). Ketika jumlahnya mencapai seperti apa yang terjadi di Filipina, tampaknya para programmer festival di Eropa harus memikirkan ulang lagi mengenai apa yang ingin mereka lihat dari film-film “negara baru” ini. Mungkin fenomena Filipina akan segera berlalu. Para  programmer  festival ini mungkin akan ke negeri baru, wilayah baru untuk mereka “temukan”. Sementara catatan dari Filipina ini akan masuk ke buku sejarah film, tak sekadar jadi catatan kaki. Tapi keterbelahan itu tetap di sana, dengan jarak yang tetap bertahan lebar. Kecuali jika para pembuat film Filipina mau (dan harus) belajar dari situasi ini dan mencoba keluar darinya. Jika mereka keluar dan menawarkan sesuatu yang lain, akankah pasar bernama festival itu akan menerimanya?

1441

Eric Sasono

Keluargaku, Bangsaku

M

elihat kepolitikan Indonesia harus dimulai dari melihat keluarga. Hal ini dikatakan oleh peneliti dan akademisi asal Jepang, Saya Siraishi. Dalam bukunya, Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik  (1997) Siraishi menggunakan alegori untuk menggambarkan kelahiran Orde Baru seperti pemunculan seorang Bapak dalam sebuah keluarga. Kemudian kepolitikan Orde Baru dipertahankan dengan menggunakan kerangka hubungan-hubungan antara ayah-ibu dan anak. Siraishi bertindak lebih jauh dengan melihat peran anak jalanan dalam penelitiannya ini. Namun kerangka yang digunakannya amat berguna untuk melihat bagaimana gagasan tentang keluarga ini beroperasi dalam membentuk kepolitikan Indonesia dalam berbagai tingkatan. Karena keluarga kemudian menjadi lokus bagi narasi nasional. Pembentukan sikap-sikap politik, pandangan terhadap otoritas, penerimaan dan penolakan terhadap kritik dan segala macam hubungan sosial dalam konteks negara orde baru

KELUARGAKU, BANGSAKU

dibangun di atas landasan pemahaman tentang keluarga. Keluarga yang dimaksud adalah sebuah bentuk hubungan sosial yang dilandasi pernikahan antara laki-laki dan perempuan (heteroseksual) dengan jumlah anak yang direncanakan. Penggambaran kampanye keluarga berencana di masa Orde Baru sangat mewakili hal tersebut: ibu + ayah dengan dua anak (lakilaki perempuan sama saja, yang penting kasih sayang). Bentuk keluarga batih homoseksual ini kemudian disosialisasikan secara ekstensif lewat berbagai media, terutama televisi. Peneliti Philip Kitley (2000) yang melihat bagaimana bentuk keluarga batih heteroseksual tak hanya dirayakan tetapi juga dijadikan eksemplar bagi model bersikap para anggota keluarga Indonesia. Serial TV Keluarga Rahmat yang diamati dalam penelitian Kitley menekankan pada empat wacana penting yang muncul terus menerus bersilangan dalam kadar bergantiganti. Empat wacana tersebut adalah kekeluargaan, kerukunan, hidup sederhana dan wawasan nusantara. Wacana ini kemudian digunakan untuk memperluas hubungan-hubungan keluarga itu untuk hubungan yang sesungguhnya jauh dan tidak akrab. Siraishi juga melihat perluasan hubungan keluarga ini ke dalam hubungan yang lebih luas, misalnya dalam istilah penggunaan “anak buah”, yang jelas sekali bersifat paternalistik. Dari penjelasan Kitley ini, tampak bahwa keluarga telah berperan sebagai lokus sandaran narasi pembentukan kepolitikan di Indonesia masa Orde Baru. Salah satu bentuk narasi itu adalah sinema. Keluarga sebagai lokus narasi merupakan sesuatu yang demikian masif diterima dalam sinema Indonesia. Karl Heider (1991) menyebutkan salah satu sub-genre dari genre film drama dalah drama keluarga. Subgenre lainnya adalah drama remaja. Pada sub-genre terakhir ini, latar belakang keluarga sangat kuat, umumnya memberi landasan bagi konflik seperti larangan / ketidaksetujuan orang tua dalam hubungan percintaan antar tokoh. Keluarga berguna untuk

1443

1444

4. FILM DAN KITA

mendukung terbentuknya konflik, sama kuatnya dengan pengaruh peer group pada individu. Lokus ini muncul juga pada film dengan gambaran nasionalisme, Garuda di Dadaku (Ifa Isfansyah) dan King (Ari Sihasale). Keduanya menjadikan keluarga sebagai lokus bagi narasi mereka, khususnya pada perkembangan individu dan kaitannya dengan gagasan tentang kebangsaan. Dengan melihat pada peran keluarga seperti gambaran Siraishi dan Kitley di atas, hal ini tak mengherankan. Gagasan mengenai keluarga-bangsa sebagai eksemplar masih kuat. Sikap-sikap individu, terutama yang berkaitan dengan kolektivitas bernama negara bangsa, sampai saat ini hanya bisa dimengerti dalam konteks keluarga. Paling tidak, lokus bagi narasi kebangsaan itu masih terjadi dalam keluarga. Keluarga masih mendominasi narasi semacam ini, kecuali dalam model-model narasi krisis (perang dan pasca perang misalnya), barulah individu (secara bersama) bisa menghela gagasan keluarga bangsa (dan nasionalisme) itu. Garuda  dan  King  mentransformasi aspirasi individual menjadi aspirasi kolektif kebangsaan. Bahkan aspirasi negara bangsa itu diterjemahkan oleh kedua film menjadi nasionalisme dengan penggunaan simbol-simbol nasional sebagai bentuk pencapaian. Yang menarik dari kedua hal ini adalah peran perantara (intermediary) dari berbagai elemen yang membuat transformasi itu terjadi. Beberapa faktor perantara itu adalah: aktor dan lingkungan. Namun di atas itu semua, seluruh narasi dibangun di atas lokus keluarga, dan inilah yang akan dilihat pertamakali sebelum kita bicara mengenai faktor perantara tersebut.

Keluarga Tampaknya bukan kebetulan ketika kedua film ini terjadi pada

KELUARGAKU, BANGSAKU

keluarga berorangtua tunggal (single parent). Dalam tulisan saya (2005), single parent sudah menjadi fenomena yang sangat lazim digambarkan dalam film Indonesia. Namun dalam Garuda dan King terdapat fenomena yang unik yaitu idealisasi terhadap konsep keluarga batih yang terdiri dari ayah+ibu+anak. Selalu ada dialog “seandainya ayah / ibu masih ada..” yang menempatkan orangtua tunggal sebagai sebuah kondisi tak ideal. Maka konflik yang disebabkan kekakuan komunikasi (King) dan kesulitan ekonomi (Garuda) adalah buah dari keluarga yang tak lengkap itu. Asumsi kedua film: seandainya keluarga mereka lengkap, tidak akan muncul persoalan dalam hubungan-hubungan mereka (dan karenanya pencapaian cita-cita kebangsaan mereka). Dalam hal ini, menarik untuk mengamati bagaimana para pembuat King dan Garuda tidak mempertanyakan keluarga batih heteroseksual dan malahan meromantisirnya. Bandingkan misalnya dengan Teguh Karya yang justru memperlihatkan keluarga utuh (bahkan keluarga besar) justru adalah sumber masalah bagi individu. Ide ini bahkan didorong ke titik ekstrim oleh pembuat film muda, Edwin. Jika dibandingkan dengan pertanyaan yang diajukan oleh Teguh Karya atau Edwin misalnya,  King  dan  Garuda  adalah bentuk konservatisme [1] dalam memandang institusi keluarga tak semata sebagai lokus narasi, tetapi juga pembentuk dan agensi pencapai tujuan-tujuan kebangsaan. Kepercayaan ini sedikit banyaknya sejajar belaka dengan kampanye Orde Baru yang menekankan pentingnya keluarga sebagai sarana pembentukan sikap berbangsa. Selanjutnya, individu yang membawa aspirasi dalam kedua film adalah anak-anak. Bukan sekadar tokoh anak (yang akan diposisikan bertentangan dengan ayah atau ibu, sekalipun sang tokoh sudah dewasa), kedua film menjadikan aspirasi kehidupan kolektif ini berada pada pundak anak-anak. Hal ini bukan kebetulan mengingat anak-anak adalah wakil dari ketidakternodaan narasi perjuangan nasionalisme yang tak harus

1445

1446

4. FILM DAN KITA

dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan politik (tentu hasil konstruksi orang dewasa). Anak-anak adalah wakil dari sebuah bentuk perjuangan nasionalisme yang tampak tulus, murni dan tak punya kepentingan politik. Hal ini serupa dengan anonimitas pahlawan tak dikenal di makam-makam pahlawan (yang digunakan oleh film  Nagabonar Jadi 2). Anonimitas pahlawan tak dikenal, sebagaimana dijelaskan oleh Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1991), merupakan sebuah eksemplar dari pejuang nasionalisme yang bertujuan mendaku nasionalisme sebagai sesuatu yang asali, sejak semula ada dalam konteks negara bangsa itu, tentu guna memunculkan legitimasi bagi pembentukan negara nasional itu sejak semula. Maka penggunaan anak-anak adalah untuk menciptakan eksemplar itu guna meyakinkan bahwa perjuangan nasionalisme para individu di Indonesia ini bersifat murni dan tak berkepentingan politik.

Faktor Aspirasi Yang paling menarik dari Garuda dan King justru adalah faktor perantara yang bekerja mentransformasi keinginan individu ini menjadi aspirasi kolektif (dan kemudian nasionalisme). Faktor perantara pertama adalah pemindahan fungsi pengasuhan kepada entitas komersial.  Garuda  menempatkan sekolah sepakbola Arsenal cabang Indonesia (Soccer School of Indonesia) untuk menempati posisi pengasuh. Lewat SSI inilah ketidaklengkapan keluarga batih itu digantikan perannya, dan cita-cita nasionalisme bisa mendapatkan jalan. Dalam konteks aspirasi individual sebagai penggerak cerita, Garuda menggunakan aspirasi Bayu untuk memakai simbol burung garuda di dadanya, sebuah lambang tim sepakbola nasional yang juga menjadi lambang kebangsaan. Kepentingan penggunaan simbol nasional itu

KELUARGAKU, BANGSAKU

sebenarnya bukan merupakan hal esensial dalam konteks keberhasilannya. Dengan latar belakang keluarga miskin, keberhasilan bersekolah di SSI dengan beasiswa saja sudah merupakan sebuah capaian individu yang penting. Pada titik ini, sebenarnya peer group Bayu saja sudah cukup untuk menjadi perantara bagi pencapaian aspirasinya. Tapi capaian individu itu tak cukup, dan aspirasi itu harus berubah menjadi aspirasi kebangsaan. Capaian aspirasi individual saja mungkin cukup tanpa membutuhkan adanya SSI, tetapi apabila Bayu ingin menjadi bagian dari tim nasional yang menjalankan aspirasi kolektif negara bangsa, ia harus menjalani pengasuhan oleh SSI. Maka peran SSI, sekolah sepakbola global berbasis di London, menjadi sesuatu yang esensial dalam konteks pencapaian aspirasi kolektif manusia Indonesia dalam Garuda di Dadaku dan bukan sekolah sepakbola Persija, misalnya. Dalam King, menarik sekali bahwa aspirasi individual tak pernah berdiri terpisah dari aspirasi kolektif komunal. Keluarga yang tak lengkap itu digantikan dulu perannya oleh komunitas tempat tinggal Guntur yang memang gemar olahraga bulutangkis. Peran sang guru (Ario Wahab) dalam pencapaian aspirasi Guntur menempatkan komunitas juga berperan, dan bukan hanya keluarga  single parent  dan  peer group. Keberadaan perantara komunal inilah yang tak ada pada Garuda. Perbedaan-perbedaan ini bisa dijelaskan dalam faktor perantara dalam narasi ini, yaitu lingkungan.

Lingkungan Urban Perbedaan ini terjadi tak lepas dari faktor perantara lain: lingkungan. Kedua anak ini besar dan tumbuh di lingkungan berbeda. Bayu tinggal dan tumbuh di kampung di perkotaan. Ibunya seorang pekerja swa-usaha  multi-level-marketing,

1447

1448

4. FILM DAN KITA

sementara ayahnya sudah meninggal. Kakeknya tinggal bersamanya dan menginginkan Bayu menjadi apa saja, selain pemain sepakbola. Apakah bukan kebetulan jika kemudian sang kakek ingin menjadikan Bayu sebagai seniman? Yang terpenting dari keberhasilan Bayu adalah peer groupnya, seorang anak orang kaya yang tinggal di rumah gedong dan diantar mobil ke sekolah. Anak ini harus berjalan di kursi roda dan dengan demikian ia tak bisa memenuhi hasratnya untuk menjadi pemain sepakbola. Ia hanya bisa memakai berbagai macam asesori sepakbola dan memindahkan obsesinya pada anak berbakat. Ia juga memberi berbagai fasilitas pada anak itu agar bisa mencapai cita-citanya. Lewat berbagai intervensi anak inilah akhirnya Bayu berhasil bersekolah di SSI. Namun aspirasi Bayu bukan bersekolah di SSI, melainkan untuk memakai lambang Garuda di dadanya. Maka sejak awal, peer group itu tidak akan pernah cukup dan peran SSI menjadi esensial dalam narasi film agar aspirasi individu itu tercapai. Maka SSI sebagai sebuah bagian dari entitas korporasi global memakai nama Indonesia (bayangkan nama ini: Soccer School of Indonesia, sekolah sepakbola Indonesia) menjadi perantara bagi aspirasi nasional seorang anak tak berkepentingan politik berusia praremaja. Dalam konteks Indonesia tahun 2000-an, keberadaan agensi global seperti SSI dan dakuan mereka terhadap ke-Indonesiaan mereka, sama sekali tak terhindarkan. Pertama, agensi atau perantara global dalam pembentukan negara bangsa dan nasionalisme adalah hal yang selalu diperhitungkan. Namun peran mereka yang sangat esensial seperti ini ditampilkan secara positif tanpa kritisisme sama sekali adalah sebuah perubahan besar dalam cara pandang terhadap negara bangsa dan segala aktor-aktor pembentuk nasionalisme. Belum pernah narasi tentang nasonalisme dikaitkan secara esensial dan demikian

KELUARGAKU, BANGSAKU

positif dengan sebuah entitas global yang beroperasi dengan dakuan yang demikian juga esensial. Kedua, peran menentukan ini bisa jadi muncul mengingat absennya peran semacam pada agensi lokal. Dalam konteks kehidupan urban kota Jakarta hal ini mungkin tak terhindarkan mengingat tak adanya klub lokal yang dipromosikan besarbesaran di tingkat nasional. Tak ada pemain nasional yang lebih banyak dibicarakan ketimbang Christiano Ronaldo atau Kaka’ oleh lembaran olahraga media massa. Tak ada tontonan liga sepakbola lokal yang lebih ditunggu ketimbang Manchester United melawan Liverpool. Artinya, di tingkat sosiologis, ada dasar bagi representasi yang dilakukan oleh Garuda. Namun mengingat reprsentasi adalah pilihan, maka sikap Garuda terhadap faktor asing dalam pencapaian cita-cita kolektif ini makin jelas.

Lingkungan Agraris Sedangkan Guntur pada King tinggal di kawasan agraris, dimana tampak sekali bahwa penduduknya hidup dari sektor pertanian. Bulu tangkis adalah sebuah sarana pemersatu komunitas. Ia menjadi titik sentral kehidupan komunitas karena letaknya di tengah kampung. Pekerjaan ayah Guntur menjadi pengumpul bulu angsa sekaligus komentator pertandingan bulu tangkis kampung itu menjadi sentral dari kehidupan komunal. Maka aspirasi Guntur kemudian dengan mudah menjadi aspirasi komunal. Keinginan Guntur untuk bersekolah bulu tangkis di PB Djarum pelan-pelan diterima menjadi aspirasi bersama, dan banyak anggota komunitas yang turut serta membantu jalan Guntur untuk bisa mencapai aspirasi itu. Aspirasi Guntur terhenti pada belajar di sekolah PB Djarum. Ia memang mengidolakan Liem Swie King (yang pernah juga

1449

1450

4. FILM DAN KITA

bersekolah di PB Djarum) dan ingin menjadi seorang yang berpresetasi internasional dan “mengharumkan nama bangsa”. Namun Guntur tidak sejak awal menginginkan sesuatu sejenis “memakai lambang Garuda di dada.” Jika ada, aspirasi semacam itu justru milik ayahnya yang terus memakai jaket bulu tangkis tim nasional Indonesia. Maka pada King, nasionalisme itu menjadi milik keluarga ketimbang milik individu. Pencapaian cita-cita individu itu kemudian dikatalisasi oleh kehidupan komunal. Latihan dan fasilitas yang digunakan oleh Guntur untuk berlatih di PB Djarum diberikan oleh banyak orang dalam lingkungannya. Raket dipinjamkan oleh pak guru teman berlatih Guntur, sementara tumpangan Guntur diberi oleh pemilik usaha angkutan di kampung itu. Di sini, usaha pencapaian aspirasi individual terlaksana akibat dukungan komunitas. Posisi PB Djarum dalam film ini esensial sebagai sebuah cita-cita, tetapi ia tak se-esensial SSI dalam sarana pencapaian cita-cita negara bangsa. Kemenangan-kemenangan Guntur dalam berbagai kejuaraan bulu tangkis internasional sesudah ia bersekolah di PB Djarum tampak sebagai sesuatu yang alamiah dan sudah seharusnya terjadi mengingat PB Djarum merupakan salah satu sekolah bulu tangkis yang menghasilkan paling banyak pemain bulu tangkis dengan prestasi internasional. Sifat alamiah ini akhirnya mengemukakan kesejajaran antara gagasan negara bangsa sebagai kelanjutan alamiah dari komunalitas. PB Djarum dilihat sebagai sebuah sarana transformasi komunal, ketimbang sebagai sarana yang mentransformasikan aspirasi individu seperti misalnya SSI di Garuda. Nasionalisme jadi tampak lebih alamiah di King. Ia menjadi kepanjangan dari komunalisme agraris. Keluarga juga berada dalam ranah yang alamiah itu. Di film ini, gambaran mengenai lingkungan komunal sebagai perluasan dari keluarga batih juga tampak berlangsung secara alamiah. Fungsi-fungsi pengasuhan disebar ke berbagai anggota komunitas. Sedangkan pada Garuda,

KELUARGAKU, BANGSAKU

nasionalisme dipaksakan menjadi aspirasi individual. Dan hal ini esensial dalam plot film. Keluarga batih juga tak sanggup menjalankan peran membawa gagasan ini. Keberhasilan aspirasi itu sepenuhnya tergantung pada filantropisme orang kaya plus pengasuhan yang dijalankan oleh lembaga pendidikan olahraga global. Kedua film ini kemudian menjadi tipikal dalam menggambarkan lingkungan para tokohnya sebagaimana disigi oleh Krishna Sen (1991). Kawasan perkotaan identik dengan orang kaya yang tinggal di rumah gedong, sementara di pedesaan, ikatan komunal masih kuat menjadi faktor pendorong bagi keberhasilan individual yang berlanjut ke keberhasilan negara bangsa. Hal ini bisa jadi bukan merupakan representasi yang keliru. Kedua film tampak berada pada wilayah stereotip bahwa pedesaan berarti komunalisme sedangkan perkotaan selalu berarti individualisme. Terasa ada romantisme (sekalipun manis) pada King dalam memandang komunalisme itu. Bandingkan soal komunalisme >< individualisme pada olahraga ini dengan Romeo Juliet (Andibachtiar Yusuf) yang mengangkat kehidupan komunal kaum urban pendukung kesebelasan Persija dan Persib. Stereotip bahwa urban selalu berarti individual sama sekali tidak berlaku. Juga romantisme bahwa komunalitas selalu berarti sesuatu yang produktif terhadap perkembangan individu juga dibantah dengan keras. Kedua cerita juga tidak bersikap kritis terhadap entitas komersial itu, baik entitas lokal seperti PB Djarum maupun entitas global seperti SSI. Kedua film sama-sama mengelak dari mempersoalkan bahwa ada persoalan struktural yang mungkin dikandung oleh keberadaan kedua entitas modal tersebut. Posisi SSI dalam  Garuda  sudah dijelaskan di atas. Sedangkan narasi  King  tidak kritis terhadap perusahaan tembakau lokal raksasa. Padahal perusahaan tembakau secara umum sedang dicurigai soal keterlibatan mereka dalam olahraga. Posisi

1451

1452

4. FILM DAN KITA

perusahaan tembakau dalam olahraga selalu dipandang sebagai usaha cucitangan dari dampak buruk yang ditimbulkan oleh rokok. Bisa jadi PB Djarum memang punya sejarah panjang menghasilkan para pahlawan bulutangkis nasional. Tapi pilihan untuk menggambarkan keberhasilan para pahlawan muda lewat jalur berasap tetap problematis. Bukankah PB Djarum bisa diganti dengan perusak lingkungan atau pelaku pelanggaran HAM? Tentu saja ada yang penting dari keberadaan entitas modal dan kepentingan internasional ini: sponsor. Keduanya secara komersial terlibat dalam pembuatan kedua film itu – dan itulah soalnya. Bisa jadi para pembuat film kita sudah melewati pertanyaan struktural dan memilih mengubah kepentingan modal lokal dan internasional menjadi kepentingan bersama demi memajukan industri film nasional sekaligus berpromosi (baca: jualan). Jika dahulu narasi seperti militerisme (Sen, 1991) atau narasi patriarkal (Paramaditha, 2007) menjadi narasi besar yang tak dipertanyakan lagi kepentingannya dalam konteks membangun mitos negara bangsa, kini narasi itu berganti dengan peran modal besar dan arus kepentingan politik (olahraga) global. Sampai di sini, kita kembali pada fakta bahwa kekuatan-kekuatan sosialekonomi-politik memang punya peran dalam menghasilkan apa yang ada di layar. Maka seperti halnya nasionalisme, filmmaking  tak pernah semata-mata urusan teknis semisal memilih pemain atau lokasi, tetapi juga pemosisian pembuat film di tengah kekuatan sosial-ekonomi-politik. Inilah semacam ideologi baru nasionalisme Indonesia. NOTES [1] Idealisasi keluarga ini dasar menjadi kampanye George W. Bush kepada para keluarga konservatif Amerika di tahun 2004 ketika ia terpilih untuk kedua kalinya. Ia mengajukan gagasan ownership society yang pada dasarnya menghendaki satu rumah (stand alone house) untuk satu keluarga batih (dan heteroseksual) Amerika. Gagasan ini berbuah pada digelontorkannya kredit rumah secara tidak hati-hati yang berimbas pada krisis finansial terbesar Amerika di abad ke-21. Lihat laporan majalah Newsweek edisi 20 Oktober 2008, halaman 26-28.

Hikmat Darmawan

Mengenang Yasmin Ahmad: Kenyataan yang Tak Bisa Ditampik “Most people choose vengeance. I choose to make chicken salad.”

— Yasmin Ahmad

K

abar itu begitu tiba-tiba. Dalam sebuah meeting  dengan antara lain Siti Nurhaliza, Yasmin Ahmad jatuh pingsan. Ia langsung dibawa ke rumah sakit, dan diketahui ia mengalami  stroke  dan pendarahan otak. Di rumah sakit Damansara, 25 Juli 2009, ia meninggal, pada usia 51. Sineas Indonesia, bersama para insan film di Asia Tenggara, khususnya, tersentak, berduka. Yasmin Ahmad sedang menanjak di pelataran film dunia. Film panjangnya baru enam (yang pertama, Rabun, dibuat pada 2002; semuanya diputar di JIFFEST 2009), tapi berderet penghargaan internasional telah ia dapat. Bukannya hal ini tanpa harga. Di negerinya sendiri, ia sering ditampik. Film-filmnya sering memancing kontroversi di kalangan konservatif Melayu. Secara singkat, para pencelanya menuduh Yasmin bicara hanya untuk Barat, film-filmnya tidak menggambarkan “realitas Malaysia”. Sebaliknya, para pendukungnya justru menganggap

1454

4. FILM DAN KITA

film-film Yasmin berani mengungkap kenyataan Malaysia apa adanya. Maka, kita bisa simpulkan, film-film Yasmin menjadi medan perselisihan, pergesekan, perseteruan, bahkan pertumbukan kenyataan Malaysia kiwari. Yasmin sendiri sering mengungkap keheranannya akan segala keributan terhadap film-filmnya. “Saya sungguh kaget bahwa film-film saya kontroversial. Orang-orang  kok  kaget melihat perempuan berbaju kurung pergi ke pesta dalam film saya. Itu bukan yang terburuk yang bisa dilakukan seorang perempuan Melayu. Film saya amatlah lunak, jika dibandingkan dunia nyata.” Soal kecenderungannya mengangkat hal-hal sensitif, Yasmin bilang, “Saya perlahan merasa bahwa karya-karya saya percuma sampai diributkan segala. Maksud saya mengangkat hal-hal sensitif adalah agar orang-orang bisa mendiskusikannya dengan beradab. Hal itu tak terjadi.” Walau tampak ia mempertanyakan sendiri pilihanpilihannya sebagai seniman yang ternyata menuai cerca dan tampik, Yasmin tak pernah takut masuk ke isu-isu gelap negerinya: dominasi dan kuasa Melayu, percintaan antaragama, percintaan antar-ras, dan kuasa moralitas agama yang konservatif. Menariknya, ia sering mengangkat itu semua dengan caracara halus, lewat bahasa imaji yang puitik dan tak cerewet. Misalnya, dalam Gubra, ia menuai kontroversi antara lain dengan adegan seorang merbot masjid ramah bermain dengan seekor anjing dalam perjalanannya menuju masjid untuk shalat subuh. Dan biasanya, lewat kehalusan itu, kita perlahan dijerat pada situasi humor yang nakal. Dalam kehalusannya, Yasmin menggambarkan ledakanledakan batin dan guncangan sosial yang rupanya mengejutkan banyak orang. Ia menggambarkan kemesraan dan kedalaman cinta dua orang beda ras dan agama dengan rileks. Ia menggambarkan keluarga dengan “disfungsi kultural” (misalnya,

MENGENANG YASMIN AHMAD: KENYATAAN YANG TAK BISA DITAMPIK

suka mandi bareng) dengan memikat. Begitu memikat, hingga seolah yang disfungsional kemudian adalah mereka yang tak mampu menerima keluarga itu. Ia mengajukan pertanyaanpertanyaan tajam pada agama lewat mulut kanak. Semua itu bergumul dengan kecenderungan Yasmin sendiri yang, seperti pengakuannya di blog, “amat sangat optimistik dan sentimental, sampai-sampai mengganggu orang.” Yasmin yang memasuki sudut-sudut gelap hidup manusia maupun bangsanya, adalah seorang yang tak percaya pada hal-hal muram sebagai akhir jawaban. “Seni yang tak menampakkan kilasan Tuhan adalah sebuah kesempatan yang terlewat (missed opportunity). Dan jika kita bicara Tuhan, kita bicara harapan....” Keyakinan ini agaknya melumuri seluruh proses pembuatan film-film Yasmin. Hingga modus produksinya pun menggambarkan keyakinan dan percaya diri itu. Untuk filmfilmnya yang efektif mencipta citra demi pesan-pesan yang menancap dalam kenangan para penontonnya, Yasmin bisa menulis naskah cepat, dan mengambil gambar-gambar yang hemat, tak perlu banyak kaleng film atau berlarat-larat menyorotkan kamera. Artinya, ia tahu belaka apa yang hendak ia ucapkan dalam film-filmnya. Terhadap keyakinan besar macam begini, bagaimana bisa kita menampiknya? Yasmin, saya rasa, keyakinan macam itulah yang hilang pada kebanyakan pembuat film Indonesia belakangan ini.

1455

Tim Redaksi Rumah Film

Sejarah adalah Sekarang 4

Body of Works: Soekarno M. Noor

S

oekarno M. Noor adalah aktor terbaik Festival Film Indonesia (FFI) dalam film  Anakku Sajang (1960), Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1967), dan Kemelut Hidup (1979). Ia juga terpilih sebagai Aktor Terbaik PWI Jaya, lewat  Jembatan Merah  (1973) dan  Raja Jin Penjaga Pintu Kereta (1974). Di bidang teater, ia dianugerahi Hadiah Seni dari Pemerintahan untuk pengabdiannya, juga Hadiah Surjosoemanto dari PB2N tahun 1985. Lahir di Jakarta, 13 September 1931, ia bermain sebagai pemeran utama di lebih dari 68 film. Ia juga aktif di Parfi sebagai Ketua I (1972-1974) dan Ketua umum dua periode (1974-1978), dan mengadakan pelatihan seni peran dan analisa skenario, agar aktor tak sekadar mengandalkan bakat alam. Dari pernikahannya dengan Lily Istiarti, ia memperoleh enam orang anak, termasuk Tino Karno, Rano Karno, dan Suti Karno.

BODY OF WORKS: SOEKARNO M. NOOR

Ia mulai berseni peran pada 1953, lewat pementasan Runtuhan. Tahun itu pula ia pertama kali bermain sebagai figuran dalam  Meratjut Sukma. Peran utama baru dia mainkan pada Gambang Semarang (1955). Pada 1970, “seniman Pasar Senen” itu mendirikan PT Kartika Binaprama yang melahirkan Honey Money and Djakarta Fair. Tapi, ia tetap lebih dikenal sebagai aktor watak kelas satu. Soekarno M. Noer wafat pada 26 Juli 1986. Film terakhirnya adalah Opera Jakarta. Ia adalah salah satu aktor watak Indonesia yang kehadirannya di layar sangat kuat selama tiga dekade. Screen persona  Soekarno M. Noor bukan karena ia ganteng, tapi sepenuhnya karena selalu total menghadirkan diri dalam setiap filmnya. Kehadirannya yang melintas batas-batas genre dan bahkan kekelompokan politik para seniman semasanya, membuat ia jadi semacam penanda penting sejarah film Indonesia. Soekarno M. Noer bermain dalam film-film karya seniman Lesbumi (Usmar Ismail, Asrul Sani, Misbach Jusa Biran, D. Djajakusuma) yang bertaut dengan Nahdhatul Ulama. Tapi, ia juga serta dalam film-film karya seniman Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakyat) yang bertaut dengan PKI, seperti Bachtiar Siagian dan Basuki Efendi. Ia tetap bermain semasa Orde Baru, baik film-film nyeni maupun yang ngepop. Pada semua, ia tak pernah kehilangan penjiwaan. Pilihan-pilihan perannya sering berisiko tinggi. Simak saja peran-perannya dalam enam film yang diputar di Kineforum bulan Maret 2010 silam. Ia menjadi Harun, juragan gay yang sedikit sinting dan menakutkan, dalam Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982). Ia adalah seorang promotor musik yang diduga tukang tipu, dalam Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966). Ia adalah napi buronan, salah satu dari tiga, yang lunak hati menyayangi seorang gadis cilik, dalam Senyum di Pagi Bulan Desember (1974). Atau, jadi bekas pemain lenong yang jadi penjaga rel kereta dan

1457

1458

4. FILM DAN KITA

secara mengenaskan dieksploitasi pemilik warung, dalam Raja Jin Penjaga Pintu Kereta (1974). Fasih pula ia jadi seorang pejuang yang berdebat filsafat dalam Pagar Kawat Berduri (1962). Dan, menjelang wafatnya, ia sempat diunggulkan sebagai pemeran pembantu terbaik dalam film terakhir Sjuman Djaya,  Opera Jakarta (1986). Dalam rangka bulan film nasional yang diselenggarakan oleh Kineforum, Dewan Kesenian Jakarta dengan tema Sejarah Adalah Sekarang 4, Rumah Film menyeleksi beberapa film Soekarno M. Noer untuk dipertunjukkan di Body of Works aktor besar ini. Film-film tersebut adalah: 1. Raja Jin Penjaga Pintu Kereta Api (1974) Drama, DVD, 98 menit (B Indonesia). Sutradara: Wahab Abdi, Pemain: Soekarno M Noer, Rina Hassim, Mansjur Sjah, dan Tan Tjeng Bok (UNTUK 15 TAHUN KEATAS). Gono, bekas pemain lenong dengan peran khas Raja Jin, bertugas menjadi penjaga pintu lintasan kereta api. Dalam seluruh tindak-tanduknya, baik dalam pekerjaan maupun di rumah, Ia tidak pernah melepaskan peran lenong yang sangat di senanginya itu, tapi tidak bisa diteruskan karena keluarga istrinya sangat benci dengan pekerjaannya. Film ini membuahkan penghargaan aktor terbaik PWI 1974-1975 bagi Soekarno M. Noer. 2. Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966) Drama, DVD (Bahasa Indonesia) Sutradara: Misbach Jusa Biran, Pemain: Soekarno M Noer, Titiek Puspa, Nani Widjaja, dan Rachmat Kartolo (UNTUK 15 TAHUN KEATAS) Djoni promotor yang sering menipu seniman, dengan rayuannya akhirnya bisa dipercaya mengatur pertunjukan yang dimaksud

BODY OF WORKS: SOEKARNO M. NOOR

untuk mencari dana pertunjukan sendra tari. Djoni menunjukan kelihaiannya, kali ini Ia mengatur pertunjukan dengan cara koboi. Pada film ini Soekarno M. Noer mendapat penghargaan pemeran utama pria terbaik dalam penghargaan Pekan Apresiasi Film 1967 3. Senyum di Pagi Bulan Desember (1974) Drama, 35mm, 145 menit, (B Indonesia|Subtitle B Inggris) Sutradara: Wim Umboh, Pemain: Soekarno M Noer, Rachmat Hidayat, Kusno Sudjarwadi, dan Santi Sardi (UNTUK 15 TAHUN KEATAS) Buang, Bernardus, dan Bakar, tiga narapidana yang melarikan diri saat terjadi pemberontakan di penjara. Pertemuan dengan Bunga, gadis cilik yang kesepian karena orang tuannya sibuk bekerja, sementara rumahnya terpencil dari rumah tetanga, hal ini membuat tiga narapidana tersebut menjadi manusia biasa kembali. Film ini mendapat Piala Citra pada FFI 1975 untuk film dan musik. 4. Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) Drama, DVD, (B Indonesia) Sutradara: Chaerul Umam, Pemain: Soekarno M Noer, El Manik, Dewi Irawan, dan Soultan Saladin. (UNTUK 15 TAHUN KEATAS) Ibrahim, guru muda yang teguh. Menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam kehidupan kampung yang ditinggali. Hatinya membenarkan apa yang dikatakan musafir tua, bahwa kehidupan masyarakat diibaratkan sebagai layanglayang putus. Film ini mendapat Piala Citra pada FFI 1983 untuk Skenario, dan Penghargaan PWI Jaya sebagai Film Drama Terbaik 1983

1459

1460

4. FILM DAN KITA

5.  Suci Sang Primadona (1977) Drama, 35 mm, 116 menit, (B Indonesia) Sutradara: Arifin C Noer, Pemain: Soekarno M Noer, Joice Erna, Rano Karno, dan Awaludin. (UNTUK 15 TAHUN KEATAS) Suci nampak dibuat-buat permainannya bila berhadapan dengan Oom Kapten, Pak Dawud, dan tuan Condro. Tiga lelaki ini tempat Suci, primadona panggung teater rakyat, meraih impiannya tentang kekayaan. Film terlaris IV di Jakarta 1978 6. Pagar Kawat Berduri (1961) Drama, 35mm, 123 menit, (B Indonesia | subtitle B Inggris) Sutradara: Asrul Sani, Pemain: Soekarno M Noer, Ismed M Noer, Wahab Abdi, dan Mansjur Sjah. (UNTUK 12 TAHUN KEATAS) Dalam sebuah kamp Belanda di masa revolusi fisik terdapat sejumlah pejuang yang ditawan. Hampir semua berusaha lari, tapi tidak gampang. Sementara yang lain berusaha meloloskan diri, Parman malah bersahabat dengan koenen seorang perwira Belanda unutuk mencari informasi. 7. Opera Jakarta (1985) Drama, 35 mm, 181 menit, (B Indonesia | subtitle B Inggris) Sutradara: Sjuman Djaya. Pemain: Soekarno M Noer, Zoraya Perucha, Ray Sahetapy, dan Nani Widjaja (UNTUK 15 TAHUN KEATAS) Klinem pulang ke Bekonang, Solo untuk menyerahkan bayinya pada neneknya dan lalu pergi lagi. Joko nama bayi tersebut tumbuh tanpa mengetahui siapa ibunya, Joko memiliki

BODY OF WORKS: SOEKARNO M. NOOR

kegemaran di bidang tinju dan menjadi pemimpin di antara teman-teman sebayanya. Piala Citra untuk kategori Pemeran Pembantu Pria diberikan pada Soekarno M. Noer. Demikian pula untuk Film, dan Sutradara terbaik pada FFI 1986.

1461

Donny Anggoro

Sepuluh Film Terbaik Nja’ Abbas Akup

J

agat perfilman nasional membuktikan nama Nya Abbas Akup (kadang ditulis Nyak Abbas Acup, atau Nya Abbas Akub) tak bisa dilupakan walau pada kenyataannya sineas kelahiran Malang berdarah Aceh ini sampai akhir hayatnya tak pernah mendapatkan Piala Citra sebagai sutradara terbaik. Penghargaan yang pernah diraihnya adalah Piala Antemas (1978, untuk Inem Pelayan Sexy) penghargaan untuk film terlaris, dan Piala Bing Slamet (1991, untuk Boneka dari Indiana) sebagai film komedi terbaik. Dalam hal ini Akup mirip sineas Alfred Hitchcock yang sepanjang karirnya tak pernah mendapat Academy Award. Anak didik Usmar Ismail yang mengawali karirnya sebagai asisten sutradara dalam film Kafedo (1953) ini seperti kurang diakui juri Piala Citra lantaran prestasi tertinggi kebanyakan diraih oleh film-film berjenis drama. Walau filmnya berbobot dan sukses menghasilkan laba, sosok pendiam yang jauh dari kesan

SEPULUH FILM TERBAIK NJA’ ABBAS AKUP

lucu ini seperti tenggelam dibandingkan nama besar Usmar Ismail, Syuman Djaya, Teguh Karya, Wim Umboh, Arifin. C. Noer, dan Asrul Sani dalam sejarah film kita. Salim Said, pengamat politik yang juga kritikus film menjulukinya “tukang ejek nomor wahid” atas kiprahnya “menampilkan sesuatu yang baru di tengah sejumlah komedi konyol gaya sandiwara” (Pantulan Layar Putih, Pustaka Sinar Harapan, 1991). Kalau untuk “Bapak Film Nasional” kita dapat menyebut Usmar Ismail, Nya Abbas Akup, (lahir 22 April 1932 dan wafat pada 14 Februari 1991) pantas menyandang gelar “Bapak Film Komedi Indonesia”. Ia memang pantas menyandangnya. Dalam rentang waktu 19 tahun berkarya, para pelawak kondang mulai dari Bing Slamet, Benyamin. S, Jalal, Ateng dipertemukan dalam satu layar pada film-film Akup. Terakhir adalah duet Kadir-Doyok yang pertama kali dipertemukan dalam film Cintaku di Rumah Susun (1987) yang disutradarainya. Selain itu, Akup dinilai oleh banyak kritikus dan pengamat film berhasil menyegarkan aspek bertutur film komedi di tengah komedi konyol slapstick. Selain hampir semua generasi bintang komedi kita pernah ditangani Akup dan hampir semua sub genre film komedi pernah disentuhnya. Sebutlah Drakula Mantu (1974, a.ka. Benyamin Kontra Drakula) yang dapat dianggap sebagai horor komedi. Tiga Buronan (1957) adalah black comedy. Ia juga membuat komedi aksi dengan Bing Slamet Koboi Cengeng (1974), ada parodi ketika di masa itu Indonesia sedang tergila-gila pada popularitas film koboi Django, Lone Ranger, dan Bonanza. Akup juga membuat komedi musikal pada  Dunia Belum Kiamat  (1971) dan Ambisi (1973). Ia juga membuat kritik sosial dalam Inem Pelayan Sexy  (1976) yang dapat disebut sebagai salah satu masterpiece-nya lantaran sukses secara komersial sekaligus menghasilkan pujian dan kritik yang positif di kalangan pengamat film.

1463

1464

4. FILM DAN KITA

Akup sendiri sebenarnya “punya” penerus. Walau tak pernah menyatakan kepada media massa ia penerus Nya Abbas Akup yang fenomenal itu, sang penerus itu adalah Ucik Supra, sutradara  Rebo dan Roby  dan  Badut-Badut Kota  yang dapat disebut sebagai penerus film komedi kritik sosial. Sayang Ucik muncul di zaman terpuruknya perfilman nasional sehingga ia kurang produktif. Film terakhirnya, Panggung Pinggir Kali (2004), meski bukan komedi masih sedikit menyimpan greget dengan kritiknya- satu hal yang segan disentuh produser film kita. Pembaca boleh tak bersetuju dengan daftar yang terhimpun di sini karena daftar berikut ini hanya sejumlah catatan kecil yang berhasil dihimpun penulis. Anda bahkan boleh menyusun daftar sendiri dari karya-karya almarhum maestro film komedi nasional ini. Sekadar catatan daftar di bawah ini tidak dibuat berdasarkan peringkat melainkan hanya pengumpulan film-film terbaik versi penulis yang pernah dihasilkan oleh Nya Abbas Akup. Berikut daftarnya: 1. Heboh (1954) Boleh dibilang inilah debut Nya Abbas Akup mencetak “hit” di dunia perfilman setelah sebelumnya ia menjadi astrada (asisten sutradara) dalam film Harimau Tjampa dan Kafedo (keduanya diproduksi 1953). Dibintangi oleh Udel, Cepot, Bambang Hermanto dan Mia Marta yang kemudian menjadi istrinya, film ini tercatat sebagai “penyelamat” perusahaan film yang dirintis usmar Ismail, PERFINI. Sukses komersial film ini menyelamatkan “lumbung padi” PERFINI yang kering gara-gara sejumlah film-film PERFINI mengalami kesulitan peredaran. Menurut catatan Salim Said dalam bukunya Pantulan Layar Putih, Heboh dibuat Akup tatkala ia masih berusia 22 tahun dan dinilai Salim Said berhasil menampilkan sesuatu yang baru di

SEPULUH FILM TERBAIK NJA’ ABBAS AKUP

tengah film-film komedi kebanyakan yang konyol dan bergaya sandiwara sebelum perang. Film ini mengisahkan tentang pencarian harta warisan jutawan Mutalib. Sebelum meninggal ia berpesan kepada Dullah (Bambang Hermanto) untuk mencari harta karun yang letaknya tercantum dalam peta rahasia. Dullah kemudian mencari harta karun itu dibantu oleh sahabat bapaknya Cepot dan Udel. Usahanya digagalkan pembantu ayahnya. Sampai pada suatu ketika Cepot dan Udel diculik sang pembantu. Usaha pencarian harta warisan ini banyak diselingi adegan kocak. Namun ketika harta itu betul-betul ditemukan Dullah hanya menemukan secarik kertas yang isinya menyuruh ia untuk bekerja. Film ini memang belum menampilkan kritik yang begitu tajam seperti karya-karya Akup yang kita kenal sesudahnya. Tapi di situ mulai terlihat bagaimana Akup memotret kelakuan orang yang hanya percaya pada takhayul berupa kuburan keramat. Dan orang yang disindir itu merembet juga pada anak orang kaya macam Dullah. 2. Tiga Buronan (1957) Dengan menggunakan bintang pelawak tenar Bing Slamet sebagai tokoh penjahat Mat Codet, film ini menyabet penghargaan FFI 1960 untuk kategori pemeran pembantu wanita terbaik, Mpok Ani. Menurut Salim Said, film ini merupakan titik perkembangan Akup dalam menggarap film komedi setelah film debutnya Heboh (1954) menuai pujian. Lewat filmnya ini, menurut Said, Akup berhasil lepas dari “bayangbayang” gurunya, Usmar Ismail.

1465

1466

4. FILM DAN KITA

Film ini mengisahkan kaburnya kepala bandit Mat Codet dari penjara yang sangat ditakuti di sebuah desa. Banyak adegan lucu terjadi tatkala Mat Codet menunjukkan kegarangannya sebagai kepala bandit. Namun usaha gerombolan Mat Codet yang merongrong kehidupan Pak Hadji ayah Ginah, pacar Maman (Bambang Irawan) selalu dihalangi oleh Maman sampai pada suatu ketika Mat Codet harus berhadapan dengan pasukan Brimob yang dipanggil oleh Ginah. Mat Codet tak berkutik dan akhirnya menyerah. Oleh Salim Said, film ini dianggap seperti menampilkan sosok Menteri Luar Negeri Subandrio yang di masa jayanya bisa berbuat apa saja, tetapi “rontok” di hadapan Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Begitu juga Mat Codet yang rontok di hadapan Brimob setelah usahanya selalu digagalkan Maman. Seperti sudah disebutkan di awal tulisan, lewat film ini Akup menampilkan black comedy dan komedi aksi pertama di Indonesia. 3. Ambisi (1973) Ini merupakan “big hit” awal Akup yang membawanya menjadi sutradara komedi papan atas. Digarap ceritanya oleh Nya Abbas Akup bersama (alm.) Mus Mualim yang tak lain adalah suami Titiek Puspa, film ini mengisahkan penyiar radio swasta “Undur-Undur” Bing Slamet yang tidak akur dengan istrinya. Dalam pekerjaannya sebagai penyiar ia menemui keasyikan tersendiri, salah satunya adalah ia bisa bergaul dengan penggemarnya, Anna Mathovani yang bercita-cita jadi penyanyi tenar. Cita-cita Anna pun akhirnya tercapai berkat jasa Bing.

SEPULUH FILM TERBAIK NJA’ ABBAS AKUP

Film ini selain dibintangi dua maestro komedi, Bing Slamet dan Benyamin.S, dan juga menampilkan video klip penyanyi dan musisi beken masa itu seperti Koes Plus, Trio Bimbo dan God Bless. Tak heran film ini layak disebut sebagai film komedi musik pertama, yang selain kocak juga menjadi tambatan para penyanyi beken menampilkan hit-hit yang ditampilkan dalam bentuk yang merupakan cikal bakal video klip pertama di Indonesia. Film ini meraih penghargaan Citra FFI 1974 untuk tata artistik, Piala Akademi Sinematografi LPKJ FFI 1974 untuk fotografi dan Piala Djamaluddin Malik FFI 1974 sebagai film komedi terbaik. Tak ada kritik sosial dalam film ini selain film hanya banyolan yang ditampilkan habis-habisan oleh kedua bintangnya, Bing Slamet dan Benyamin.S. 4. Drakula Mantu (1974) Dibintangi Benyamin.S, Tan Tjeng Bok (sebagai Drakula), Pong Hartjatmo (putra Drakula) dan memperkenalkan bintang cantik Rice Margaretha Gerung yang barusan tenar sebagai Miss Photogenic Jakarta 1974. Beredar pula dengan judul lain Benyamin Kontra Drakula, film ini oleh majalah film F edisi Februari-Maret 2006 dinobatkan sebagai sub genre film perpaduan antara horor dan komedi pertama di dunia. Mungkin karena film ini tidak diedarkan secara internasional sehingga luput dari pengamatan, akhirnya sejarah mencatat film Close Encounters of The Spooky Kind (1980) yang dibintangi Sammo Hung sebagai film horor-komedi pertama di dunia. Akan tetapi sebenarnya sebelum Drakula Mantu, ada film lain yang sebenarnya lebih pantas sebagai

1467

1468

4. FILM DAN KITA

pelopor genre horor komedi yaitu Mayat Cemburu (1973) yang disutradarai Awaluddin dan diperankan oleh para pelawak Srimulat (Johnny Gudel, Russ Pentil, Sumiati, dkk). Tapi karena film ini tidak jadi diedarkan di Indonesia lantaran pimpinan Srimulat, Teguh bersengketa dengan pengedarnya, Herman Samadikun, maka jadilah Drakula Mantu karya Nya Abbas Akup menjadi pelopor genre horor komedi. Selain dikenal sebagai pelopor genre horor komedi, film ini juga mengandung unsur parodi dengan menampilkan Count Dracula tokoh setan tenar dari Eropa yang datang ke Indonesia mengawinkan anaknya dengan setan dari Indonesia. Mengisahkan pasangan muda yang membeli rumah tua di pinggiran kota, film ini menonjolkan permasalahan penggusuran tanah yang kerap terjadi kala itu lewat balutan komedi. Rumah tua yang hendak dihuni ternyata didiami oleh setan yang mengganggu siapa saja yang masuk ke dalamnya sehingga rumah tersebut jadi menyeramkan. Konon setan-setan yang menghuni rumah tua itu adalah penduduk yang tergusur. Nya Abbas sengaja memakai simbol makhluk halus sebagai potret warga yang tergusur sehingga kritiknya tersamar dan lolos sensor dari pemerintah Orde Baru yang kala itu sangat ketat dan tak segansegan melarang peredaran film yang terasa “menyindir”. 5. Bing Slamet Koboi Cengeng (1974) Di film ini lagi-lagi Nya Abbas Akup mencetak hit luar biasa, jauh sebelum Inem Pelayan Sexy dibuat. Kalau Drakula Mantu layak disebut sebagai pelopor genre horor komedi, film ini layak disebut perintis film

SEPULUH FILM TERBAIK NJA’ ABBAS AKUP

parodi pertama di Indonesia. Dengan memparodikan film-film koboi Amerika dan tentu saja film-film “spaghetti western” dari Italia, film ini beredar takala era keemasan film-film koboi sedang memuncak di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Dibintangi oleh pelawak yang tergabung dalam Kwartet Jaya (Bing Slamet, Eddy Sud, Ateng, dan Iskak) film yang ceritanya digarap Akup bekerjasama dengan Kwartet Jaya ini berhasil menggondol penghargaan khusus Citra 1975 untuk film humor terbaik dan Piala GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) 1975 untuk film terlaris 1974-1975. Mengisahkan jago tembak Eddy Sud yang menyelamatkan Vivi Sumanti, anak dari Bing Slamet dari komplotan bandit. Bing kemudian kerjasama dengan Eddy Sud untuk menyelamatkan Vivi yang diculik Sheriff Ateng. Di akhir cerita terbongkar bahwa otak penculikan itu tak lain adalah ide Eddy Sud. Di akhir film Eddy Sud duel tembak dengan Bing Slamet. Selain dibintangi pelawak Kwartet Jaya yang memang di masa itu sedang jaya, film ini juga dibintangi rocker Ucok AKA Harahap, dan pelawak Us Us. Selain film ini adalah “big hit” Akup, film ini adalah film terakhir komedian Bing Slamet yang meninggal beberapa bulan sesudah film ini dibuat. 6. Inem Pelayan Sexy (1976) Dibintangi oleh pelawak almarhum Djalal sebagai Tuan Bronto, Titiek Puspa dan Aedy Moward, film yang merupakan debut akting bintang cantik Doris Callebaut sebagai Inem ini boleh dibilang sebagai masterpiece dan “big hit”nya Akup. Walau sebelumnya ia sudah terkenal lewat film-film komedi, film yang dibuat sekuelnya

1469

1470

4. FILM DAN KITA

sampai tiga jilid ini makin melambungkan pamor Nya Abbas Akup sebagai “tukang ejek nomor wahid”. Film ini menyabet Piala Antemas FFI 1978 sebagai film terlaris tahun 1977-1978. Bahkan karena larisnya nama Inem pun dinobatkan sebagai nama perusahaan film “PT Inem Film” bikinan Nya Abbas sendiri yang diantaranya memproduksi film garapan Nya Abbas juga yaitu Rojali dan Juleha (1979) yang dibintangi Nanu dari grup lawak beken Warkop Prambors, Lydia Kandouw, Titiek Puspa, dan trio pencetus Sersan Prambors di kala masih muda lantaran baru menyandang gelar sebagai juara lawak dari sebuah lomba (Pepeng, Krisna dan Nana Krip). Mengisahkan seorang babu yang menyandang predikat janda bernama Inem, ia disukai oleh bos majikannya, Tuan Bronto. Di sini kritik yang muncul terasa sumir, yaitu menonjolkan walau seorang babu punya “hak” hidup sebagai manusia sehingga senantiasa ia tidak boleh terus dipinggirkan. Kelas sosial yang berbeda antara majikan dan babu ditonjolkan lewat humor segar yang menyentil. Selain disukai bos majikannya, film ini juga mengisahkan hubungan asmara singkat antara anak majikan Inem dengan anak Inem. Pertanyaan yang mengusik tapi menyentil muncul pula dalam film ini misalnya “Sudikah kamu berhubungan dengan anak seorang babu?”, sehingga terasa Nya Abbas sedang menampilkan hubungan kelas sosial berbeda yang baru kala itu berani ditampilkan dalam film. Selain dialog yang terasa fenomenal kala itu, Nya Abbas juga menampilkan tuan-tuan dan nyonyanyonya kaya para majikan babu yang norak. Paling tidak kepiawaian Nya Abbas menampilkan kelas sosial

SEPULUH FILM TERBAIK NJA’ ABBAS AKUP

berbeda ini menambah bobotnya sebagai “tukang ejek nomor wahid”. Sukses  Inem  tak hanya dibuat secara simultan sekuelnya oleh Akup pada tahun 1977 (dua film di tahun yang sama, Inem 2 dan Inem 3) melainkan juga dibuat versi sinetronnya pada tahun 1998 dengan judul Inem Pelayan Sexy dan Inem Sang Pelayan. 7. Semua karena Ginah (1985) Dibintangi aktris cantik mantan perenang nasional Zoraya Perucha, yang kemudian menjadi istri ketiga sutradara kondang Syuman Djaya, film ini tak hanya menampilkan kritik dan sindiran semata. Film ini juga menampilkan dampak dari sebuah modernisasi tatkala jamu tradisional diproduksi massal bak Coca Cola. Film ini mengisahkan penjaja jamu gendong yang cantik bernama Ginah. Ginah terkenal dan menjadi primadona di sebuah kompleks perumahan yang menjadi sasaran penjualan jamunya. Hampir semua lelaki mulai dari penghuni rumah sampai para pedagang yang menjadi langganan jamunya jatuh cinta padanya. Nasib Ginah berubah ketika ada sebuah pemotretan seorang model dan wajah Ginah yang cantik tak sengaja terpotret oleh seorang juru kamera. Ginah kemudian dicari dan akhirnya dijadikan model iklan produk jamu terbaru rasa strawberry. Kondisi berubah. Ginah menjadi tenar dan makin sulit ditemui para pengagumnya yang dulu menjadi pelanggan jamu Ginah. Tak hanya itu, jamu gendong yang dijual para penjual jamu gendong pun tergerus oleh jamu gendong cap Ginah lantaran bahan baku jamu tradisonal diborong habis oleh produsen jamu. Ginah sendiri pun merasa resah dengan kehidupan barunya. Puncaknya ia

1471

1472

4. FILM DAN KITA

ingin kembali ke kehidupannya dulu yang terkesan apa adanya jauh dari intrik. Apalagi hatinya makin luluh tatkala mengunjungi pabrik jamunya yang dulu bangkrut lantaran tergerus jamu cap Ginah rasa strawberry. Film ini juga semakin menajamkan kritik sosial ala Akup. Selain kritik sosial, Akup pun dengan berani menyindir sebuah keadaan yang tergerus modernisasi cenderung mematikan kehidupan sebelumnya. Ya, dampaknya memang kejam. Tapi hal itulah yang seolah ingin dikatakan Akup bahwa hal demikian suka tidak suka mau tidak mau harus diterima. Meski film ini sebenarnya baik dari segi tema maupun penggarapan, tapi menurut saya film ini juga mencatat beberapa kekurangan walaupun kritik dan sindiran Akup terasa makin tajam dibandingkan film sebelumnya. Pertama, banyak pengulangan yang dilakukan dari film Inem ke Ginah dengan menampilkan babu-babu di sebuah kompleks perumahan. Adegan lain yang juga merupakan pengulangan dari Inem adalah adegan Ginah yang sempat berhenti menjadi penjual jamu ketika ia diterima bekerja menjadi seorang babu. Meski lucu dan masih konteks dengan cerita rasanya sayang juga sineas sebesar Akup melakukan pengulangan yang seharusnya tidak dilakukannya. Kedua, Akup kurang berhasil meyakinkan penonton yang teliti, sehingga Ginah tiba-tiba begitu saja ingin kembali ke kehidupan lamanya. Persoalan Ginah yang tidak mau dikawini bosnya dalam film ini ditampilkan kurang meyakinkan. Meskipun demikian di film ini lagi-lagi Akup diganjar penghargaan Piala

SEPULUH FILM TERBAIK NJA’ ABBAS AKUP

Antemas FFI 1986 sebagai film terlaris dengan mengumpulkan sebanyak 234.279 penonton menurut data Perfin yang dikutip dari buku Katalog Film Indonesia 1926-2005 susunan mantan wartawan Kompas JB. Kristanto. 8. Cintaku di Rumah Susun (1987) Film ini dibintangi sederet bintang beken seperti Eva Arnaz, Deddy Mizwar, Asmuni, Pak Tile, Kadir dan Doyok. Mengisahkan problematika keseharian warga rumah susun sederhana. Yang menarik film ini menampilkan pelbagai karakter karikatural yang kadang saling sirik atau mencurigai sesama penghuni rumah susun. Film ini juga termasuk “big hit”-nya Nya Abbas selain Inem dan menyabet penghargaan sebagai film dengan skenario dan film terpuji Festival Film Bandung 1988. Penghargaan lain yang diterima adalah FFAP 1988 dan (sayangnya hanya) unggulan Citra 1987 untuk cerita, skenario, fotografi, dan suara. Film yang pertama kali menampilkan dua pelawak beken, Kadir dan Doyok, dalam satu film ini juga menyabet penghargaan Citra 1987 untuk tata artistik terbaik. Kemenangan ini diraih lantaran Nya Abbas begitu detilnya menampilkan set rumah susun sederhana sehingga penonton benar-benar terbawa dalam suasana keseharian rumah susun dengan kompleks. Sukses film ini juga mengilhami produser sinetron sekitar tahun 2005 untuk dibuat versi sinetronnya. 9. Kipas-Kipas Cari Angin (1989) Film ini meski bukan termasuk “big hit”-nya Nya Abbas

1473

1474

4. FILM DAN KITA

Akup, rasanya tetap layak juga disebut sebagai salah satu film terbaiknya. Seperti Cintaku di Rumah Susun, film ini juga dibintangi sederet bintang-bintang beken seperti Mathias Muchus, Nurul Arifin, Eeng Saptahadi, Didi Petet, bintang cantik asal Malaysia, Raja Emma, dan tak ketinggalan pelawak Pak Tile. Film ini mengisahkan kehidupan keluarga sederhana yang “njomplang” habis. Pasangan Raja Emma sebagai istri dan Eeng Saptahadi sebagai suami betul-betul tak seimbang. Eeng berperan menjadi suami pemalas yang hobinya naik motor dan gonta-ganti cewek sedangkan Raja Emma berperan sebagai istri yang kerja keras banting tulang menghidupi keluarga. Suatu ketika lewat kabar dari pegawai hotel yang diperankan Pak Tile, ada harapan kepada Raja Emma untuk memperbaiki nasib lewat pencarian tenaga kerja (TKW). Tapi sebelum pendaftaran TKW dimulai panitia yang diperankan Mathias Muchus dan Didi Petet menyelenggarakan kontes wanita cantik terlebih dahulu lewat lomba yang dinamai ”Miss Golanpas” (Golongan Pas-Pasan). Para pesertanya notabene perempuan dari “golongan pas-pasan” seperti Raja Emma. Pemenangnya baru boleh ikut jadi TKW. Lomba dimulai. Saling ejek dan adu mulut antar pesaing, salah satunya dibintangi Nurul Arifin, mewarnai film berdurasi 104 menit ini. Film ini tetap menampilkan sindiran sosial yang tajam ala Akup. Settingnya memperlihatkan sebuah perkampungan kumuh yang bersebelahan dengan hotel mewah. Adegan pembukanya saja sudah memperlihatkan bola yang dimainkan anak-anak kampung terbang melayang ke dareah elit yang terletak di sebelah perkampungan kumuh dikembalikan lagi

SEPULUH FILM TERBAIK NJA’ ABBAS AKUP

kepada anak-anak yang memainkannya dalam keadaan kempes. Film ini nyatanya juga cukup laris dan menuai penghargaan untuk aktor terpuji (Eeng Saptahadi) dan aktris terpuji (Nurul Arifin) pada Festival Film Bandung 1990. Berbekal sederet penghargaan yang disabetnya di samping ceritanya yang juga menarik, film ini menurut saya layak disebut sebagai “big hit” Akup. 10. Boneka dari Indiana (1990) Film ini adalah film pamungkas dan big hit terakhir Akup di layar lebar. Ia mulai diganjar sakit-sakitan seperti jantung dan bahkan sempat digerogoti stroke sampai ia benar-benar meninggal di RS Harapan Kita pada 14 Februari 1991 (buku Kritik Sosial dalam Film Komedi, FFTV-IKJ Press, 2006). Film ini meraih penghargaan Piala Citra pada FFI 1991 untuk pemeran wanita terbaik Lydia Kandouw dan Piala Bing Slamet FFI 1991 untuk film komedi terbaik. Film ini bercerita tentang Egi (Didi Petet) seorang suami yang selalu dikuasai istrinya Cece (Lydia Kandouw) dan mertuanya Yudho (Ami Priyono). Suatu ketika dalam sebuah proyek besar Egi diperintah untuk mendekati Eya (Merriam Bellina) wanita simpanan seorang pejabat besar. Usaha ini dilakukan untuk mengejar sebuah proyek besar. Ini membuat Cece cemburu. Lama-lama Egi berontak tatkala mengetahui usahanya selama ini hanya untuk memperalat dirinya demi sebuah proyek yang mengabaikan lingkungan. Di film ini kritik Akup makin tajam saja. Ia tak lagi hanya menampilkan potret orang-orang miskin yang sedang berjuang seperti film-film sebelumnya,

1475

1476

4. FILM DAN KITA

melainkan menampilkan geliat kehidupan orang yang sudah mapan tapi hidupnya dikekang oleh istri dan mertuanya. Sebuah kenyataan hidup yang berhasil dipotret Akup dengan baik.

Berikut adalah Filmografi lengkap Nya Abbas Akup, diambil dari Harun Suwardi, tuling ulang Veven Sp. Wardhana, 2006, Kritik Sosial dalam Film Komedi; Studi Khusus Tujuh Film Nya Abbas Akup, FFTV-IKJ PRESS 1950-an - Kafedo (1953, asisten sutradara) - Harimau Tjampa (1953, asisten sutradara) - Heboh (1954, sutradara, cerita, skenario) - Tiga Dara (1956, pemain) - Djuara 1960 (1956, sutradara, cerita, skenario) - Tiga Buronan (1957, sutradara, cerita, skenario) - Djendral Kantjil (1958, sutradara, skenario) 1960-an - Asmara dan Wanita (1961, cerita, skenario) - Penjeberangan (1963, pemimpin produksi, co-skenario) - Langkah-langkah Dipersimpangan (1965, sutradara, skenario) - Tikungan Maut (1966, sutradara, skenario) - Nenny (1968, sutradara, skenario) - Mat Dower (1969, sutradara, cerita, skenario) 1970-an - Dunia Belum Kiamat (1971, sutradara, skenario) - Catatan Seorang Gadis (1972, sutradara, cerita, skenario) - Ambisi (1973, sutradara, cerita, skenario) - Bing Slamet Koboi Cengeng (1974, sutradara, cerita, skenario) - Ateng Minta Kawin (1974, sutradara, cerita, skenario) - Drakula Mantu (1974, sutradara, cerita, skenario)

- Tiga Cewek Badung (1974, sutradara, cerita, skenario) - Cintaku di Kampus Biru (1976, coskenario) - Inem Pelayan Sexy (1976, sutradara, cerita, skenario) - Karminem (1977, sutradara, cerita, skenario) - Bang Kojak (1977, cerita) - Petualang Cilik (1977, skenario) - Inem Pelayan Sexy II (1977, sutradara, cerita, skenario) - Inem Pelayan Sexy III (1977, sutradara, cerita, skenario) - Kisah Cinta Rojali dan Juleha (1979, sutradara, cerita, skenario) 1980-an - Gadis (1980, sutradara, skenario) - Koboi Sutra Ungu (1981, sutradara, skenario) - Apanya Dong (1983, sutradara, cerita, skenario) - Semua karena Ginah (1985, sutradara, cerita, skenario) - Cintaku di Rumah Susun (1987, sutradara, cerita, skenario) - Kipas-Kipas Cari Angin (1989, sutradara, cerita, skenario) 1990-an - Boneka dari Indiana (1990, sutradara, cerita, skenario) - Inem Pelayan Sexy (serial televisi, 26 episode, 1998, cerita) - Inem Sang Pelayan (serial televisi, 13 episode, 1998, cerita)

Krisnadi Yuliawan

The Last Decades of Indonesian Films: is it Voiceless? or is it Being Lost in Voicing Indonesia?

S

eeing it from up close, or seeing it from afar, no one will argue that Indonesia—in the last decade—is in the middle of fundamental changes. This country has lost Soeharto, who led the country with authoritarian style for more than thirty years. It is now being run by the so-called “democracy”. Indonesians are also witnessing the birth of so many political parties, so many mass organization based on tribal and religious beliefs, and countless mass demonstration, with or without violence. This country also undergoes a very radical change of rejecting a centralized political life: rejecting Jakarta-centered and starting a semi-autonomous political life for the periphery regions. Indonesians, now openly scream for anti-corruption policy, but also witness their newspapers’ headline full of report of corruption cases every day.

1478

4. FILM DAN KITA

The changes that has started since the success of Reformasi (reform) movement in 1998, is deep-rooted. It shakes almost every aspect of life, happens everywhere from the Capital to every remote villages in the country. Indonesia is, no doubt, experiencing countless crises. Its political and economic life is full of suspense and surprise. The interesting questions then come up: do Indonesian films reflect this instability? Are Indonesian films zealous enough to converse about those changes, those crises? At the end of the Soeharto era, Indonesian films – like many other aspects of life in this country—cannot resist from being controlled by few elite, and has slowly drifted away from its public. Before that, in 1970s, Indonesian films finding its home in thousands of stand-alone movie theaters. Those theaters were spread across the country, from the Capital city, big cities, to small and even remote towns. Those theaters were places where moviegoers from every parts of life gather to watch their favorite movies. But in late 1980s, everything changed. A war occurred and slowly, those thousands cinema has gone and as a result, sole has survivor emerged: one group who then control almost every cinema complex in the country. By mid 1980s, Indonesian films have lost its houses in this war. The influx of international products, mainly Hollywood’s, has wiped out domestic films and has made Indonesian film production declined massively. From around 100 films per year in late 1970s and 80s to only one or two films by 1998, the year that Soeharto decided to resign as the Indonesian President. Indonesian Film Festival, an annual festival that being held since 1955—a kind of Indonesian version of Academy Awards— has to be stopped in 1992 because there was not enough film to compete for the awards. It has marked the complete failure of Indonesian Films to co-exist with Hollywood productions. This story is not, of course, exclusively belongs to Indonesia. A collapse of national cinema because of Hollywood domination

THE LAST DECADES OF INDONESIAN FILMS: IS IT VOICELESS? OR IS IT BEING LOST IN VOICING INDONESIA?

happens everywhere. But maybe, it is in Indonesia that people take this for granted. It seems like nobody, government nor the public alike, have a problem with the domination. But of course, there are always some people who do not surrender easily. After the shut down of Indonesian Film Festival, Garin Nugroho—his first feature-length film Cinta Dalam Sepotong Roti (Love on the Slice of Bread) won best film award in the last Indonesian Film Festival—keeps making films. He [ES1] was almost alone (in making film) at the time, but he has proven that films can serve as a very strong political and social statements. During the totalitarian regime, Garin kept making the films he wanted to make without any compromise. Some people said harshly that Garin’s films are not made for Indonesian. They are solely meant for foreign audience. For Indonesian public—who are in years are nurtured by Hollywood storytelling—his films seem strange and hard to understand. Then the accusation seems valid because his films are usually produced with the assistance of foreign funding and win many awards in film festivals abroad. But one thing is for certain: Garin keeps making films and strongly puts his readings on Indonesian society in his films. None of his films looked the same. His style is always changing from one film to another, but he makes it appears as “very Indonesia”. He understands the rich diversity of Indonesia: more than 400 ethnic groups, more than 300 local languages. So his films reflect this diversity. His films are voicing the real socio-political landscape that Indonesians rarely want to hear. His only problem is: his films are rarely shown in regular Cineplex, and when they are screened,  they rarely attract huge audience. Garin has, maybe, sent a strong message that Indonesian films were never surrender, but he could not save Indonesian film alone. It needed support, which came from two popular films— Petualangan Sherina (2001) and Ada Apa Dengan Cinta (2002).

1479

1480

4. FILM DAN KITA

Petualangan Sherina (Sherina’s Adventure, 2001) is a musical film directed by Riri Riza and starred by a then popular child singer, Sherina. This general-audience-rated movie, surprisingly, won the audience’s heart, and has made every body talked about it. Its story, about children kidnapping, is in resonance with the kidnapping of Indonesian activists that led to the fall of Soeharto regime, some interpret. Ada Apa Dengan Cinta? (What’s Up with Love? directed by Rudi Soedjarwo, 2002) is a teenage love story, which surpassed Petualangan Sherina box-office record. Interestingly, this film has broken an unwritten taboo by showing teenage French kiss on the screen and also by putting someone with Indonesian leftist background as a protagonist, which was then, new in Indonesian films. Both  Petualangan Sherina  and  Ada Apa Dengan Cinta sparked a confidence that Indonesian films can be profitable. Afterward, public started to see the number of Indonesian films increased year after year. This burgeoning number has then made the forgotten Indonesian Film Festival can be held again in 2004. But can we say that the last ten years is a decade of Indonesian films revival? Or what we have been seeing is just another episode of new downturn story of Indonesian films? In the last ten years we see the box-office record of Indonesian films is being broken again and again.  Laskar Pelangi (Rainbow Warrior, 2008), a unique story about a group of children who live in poverty but refuse to give up their education, can reach 4.5 millions viewers and now hold the all-time boxoffice record. It is a magical number for Indonesian films, but is a very humble number if we realize that Indonesia is a country with more than 230 million population. However, in the last two years, while the number of Indonesian film produced, are increasing to almost a hundred films each year, the audience attendance for Indonesian films is

THE LAST DECADES OF INDONESIAN FILMS: IS IT VOICELESS? OR IS IT BEING LOST IN VOICING INDONESIA?

decreasing. Before this happens, a typical Indonesian film can easily reach 400 thousands viewers, but in the last two years, it is hard to reach even half of that number. No one is sure on what really happens with the audience, but the question remains: will Indonesian films loose its audience again? This last decade, if we are to summarize and to choose the keywords for Indonesian films, we maybe come to these words: repetition and copycat. After Petualangan Sherina made a big hit, it seems everyone wants to make a general-audience-rated movie. After Ada Apa Dengan Cinta? everyone made a teenage love story movie. It happens also when Jelangkung (a horror story by Rizal Mantovani, 2001) reached 1 million viewers, then everyone felt the horror story was the answer of their commercial quest.It is not fair to put the blame only to the producers. The exhibition infrastructure in Indonesian film industry has not changed much in the last decade. Almost every cinema in Indonesia nowadays is built inside a shopping mall.  There has been another cinema chain that competes with the existing group, but its screens are also built inside the shopping malls. So, the audience’s characteristics remain the same: they are limited only to the mall-goers. And because of shopping malls exist only in big cities, it is safe to say that commercial filmgoers in Indonesian are only urban people. So, whenever the producers and filmmakers are thinking seriously on the commercial side of their films, they must be thinking about this particular segment of the market. This maybe explains the constant influx of typical films to the market , and why copycatting box-office hits is the shortest route to keep the financial lost at bay. However, films are not always about its commercial return. Maybe it is time to ask the right question, especially when the combination of horror and sex (even with Japanese porn-stars are jumped-in to help) has failed to keep the audience come to the

1481

1482

4. FILM DAN KITA

cinema: are Indonesian films loosing their audience, of whom they never really talk about? Reformasi  movement has deeply affected the life of Indonesian, but why it takes ten years after the movement to see films like  May  and  98:08,  which talk intimately about the Reformasi, being produced? May (directed by Viva Westi, 2008) is a love story that tells how the events surrounding  Reformasi  movement can damage people’s life, while  98:08  is an omnibus, which intimately saw how the reformasi is seen from many different perspectives. Upon watching these films, we wonder, how can these important events had been overlooked in Indonesian films for so long? There are so many social issues that are rooted deeply in everyday life of Indonesians. In the 1970s and 80s Indonesian films, even the commercial-driven love stories or domestic dramas, reflect the life experience surrounding this social issue of those days. But nowadays, in the middle of more crucial and problematic years of Indonesia, Indonesian films, especially the commercial-driven ones, seem to avoid talking about social issues. Corruption, deep poverty, law injustice, money politics, abuse of power and so many other issues do not appear proportionally in Indonesian films nowadays. But luckily, there are some films that are brave enough to converse intimately with these sensitive issues:  Marsinah  (2000), Babi Buta Ingin Terbang (2008), and Jermal (2009) for examples. Marsinah (directed by Slamet Rahardjo Djarot) tells a true story about a woman who was a labor activist who was brutallymurdered by Indonesian Military. This film is brave enough to expose the real name of all the military personnel who is responsible for the murder. Jermal (directed by Ravi Bharwanni, Rayya Makarim and Orlow Seunke) is dare to avoid land and put its setting remotely in the sea, an implicit but strong message to

THE LAST DECADES OF INDONESIAN FILMS: IS IT VOICELESS? OR IS IT BEING LOST IN VOICING INDONESIA?

show another side, the forgotten side, of Indonesia. Jermal talks, not only about poverty, but also about how poverty is so deeprooted and it leaves no choices in a person’s life. Babi Buta Ingin Terbang (Blind Pig Who Wants To Fly, directed by Edwin) on the other hand, is a very interesting movie, which is not afraid of asking questions, even when some of the questions are considered taboo to be asked for decades. But these kinds of film are having difficulties to reach wider audiences, either because of censorship, or limited screening time in commercial cinema. But maybe, hopefully, the landscape of Indonesian (commercial) films will change in the future. The difficulties to attract the audience for the typical and formulaic commercial mainstream films, hopefully, will be transferred into a more genuine reading of the society and then turned into new kind of films, which are not only honest in depicting problems, but also are closer to the Indonesians’ emotion and heartbeat. Seeing the films that compete in Indonesia Film Festival last years, maybe this hope will not be a false hope at the end. The Indonesian films of 2011 show broader social issues being touched, in comparison to Indonesian films ten years after the 1998 Reformasi movement. Even a sensitive subject, such as the mass killing of Indonesian Communist Party supporters following the political turmoil in 1965, now can appears on the screen. If Garin Nugroho was almost alone in addressing local issue and stressing that Indonesia is not only urban-centered Jakarta, now we see Indonesian filmmakers have already followed suit. Maybe it, to some extent, reflects the local governments’ spending on promotion of their regions, but it cannot deny the fact that local voices are becoming stronger in Indonesian films recently. Sang Penari (The Dancer, directed by Ifa Isfansyah), the best film of Indonesian Film Festival 2011 for example, does not

1483

1484

4. FILM DAN KITA

hesitate to use local language almost for the whole film and uses subtitle to translate the dialogues into Indonesian national language. Many other films do the same, and the local voices that are screened now are not limited only to language. Strong local issues, for example on people who live in the border area of the neighboring country , are now also being discussed and being put on screen for the first time by Rudi Soedjarwo in his film, Batas (Border) Many Indonesian films of 2011 are not using urban-major cities as their setting.  Mirror Never Lies  (directed by Kamila Andini) is set in Wakatobi, a remote place in the eastern part of Indonesia; Tendangan Dari Langit (A Divine Kick, directed by Hanung Bramantyo) is set in Mountain of Bromo;  Pengejar Angin (Wind Chaser, directed by Hanung Bramantyo) is shot in and tells a story of people of Lahat, South Sumatra; and even general-audience-rated movie, Lima Elang (Five Eagle, directed by Rudi Soedjarwo) is set in Kalimantan. Poverty and issues on urban poor are also being touched in Indonesian Films of 2011. Moreover, issues on  religious freedom and fundamentalism appear strongly on the screen. One of the movies,  Tanda Tanya  (Question Mark, directed by Hanung Bramantyo), which tells a story about quotidian life in a multireligion community in one town in Central Java, is targeted by Islamic fundamentalist organization to be banned because dubbed as an anti-Islam movie. Despite the issues that are being put into the screen, the way they being presented are still raising questions. Some of the films convey the right issue, but they are wrongly executed. The films are lost in interpreting or miss the depth of the issues. However, the future will be the judge: will public accept the abovementioned flaws and embrace the fact that now Indonesian films are starting to learn to become active in conversation to re-

THE LAST DECADES OF INDONESIAN FILMS: IS IT VOICELESS? OR IS IT BEING LOST IN VOICING INDONESIA?

understand Indonesia? Or the laziness in going into the depth, and the lack of effort to find the real voice of Indonesia, will deepen the problem of Indonesian films altogether.

This essay is commissioned by The 1st Hua Hin International Film Festival as the country report of the last decade of Indonesian cinema, January 2012.

1485

Eric Sasono

Mencatat Film Tahun 2011

2

011 adalah tahun yang sulit, kata para produser film Indonesia. Hingga akhir tahun, tak ada film yang bisa mencapai angka di atas 1 juta penonton. Pencapaian paling tinggi justru dicapai film  Surat Kecil untuk Tuhan, sebuah sleeper hit, yang tak pernah diduga sebelumnya. Padahal gairah untuk membuat film sedang lumayan besar. Bayangkan adanya film-film seperti Di Bawah Lindungan Kabah atau Sang Penari yang dibuat dengan production value yang tinggi (artinya biaya yang besar). Dengan kondisi pasar seperti ini, belum tentu mereka balik modal, kalau cuma mengandalkan pendapatan dari penonton. Memang ada mekanisme pendanaan lain semisal iklan yang dipasang di dalam cerita film (Di Bawah Lindungan Kabah) atau sumber pendanaan non komersial asing (Sang Penari). Namun secara hitung-hitungan bisnis, saya yakin kedua film itu terhitung jeblok.

MENCATAT FILM TAHUN 2011

Tahun 2012 bakal ada Bumi Manusia dan kisah tentang Soekarno yang menanti diproduksi. Juga misalnya lanjutan seri Laskar Pelangi,  Edensor, yang menuntut syuting di Eropa. Terbayang biaya yang besar dan risiko tinggi dari segi komersial. Apakah para produser yang membuatnya akan balik modal jika film-film itu dibuat sepenuhnya dengan dana komersial dan mengharap penjualan tiket bioskop (atau tambah TV dan DVD) saja? Singkatnya: industri film kita yang sempat digadang-gadang bangkit dan tumbuh oleh Jero Wacik, ternyata masih seperti ini. Sejak awal ia memang cuma membual belaka. Di tengah kondisi demikian, sampai ¾ tahun 2011 berjalan, saya merasa belum ada film yang sungguh-sungguh mengundang saya untuk bersegera datang ke bioskop menontonnya. Adakah hubungan langsungnya? Bisa jadi, bisa juga tidak. Saya tak terlalu ingin membicarakannya karena saya kekurangan data untuk menganalisis situasi itu. Saya tak cukup banyak menonton film Indonesia untuk sampai pada kesimpulan yang menghubungan minat saya menonton dengan kondisi industri yang sedang payah ini. Di awal tahun sempat ada film  ?  (Tanda Tanya) karya Hanung Bramantyo yang sempat saya tulis  resensinya  di RumahFilm. Namun sesudah itu, terus terang saja, tak ada yang kelewat menonjol bagi saya. Kecuali kembalinya film aksi di layar bioskop di Indonesia. Ini tentu dampak dari kesuksesan film Merantau (Gareth Evans) tahun lalu. Setidaknya 3 film aksi yang muncul di bioskop tahun ini; dan sebagai penggemar film aksi, saya menonton ketiganya. Namun 2 yang pertama yaitu Pirate Brothers (Asun Mawardi) dan Tarung (City of Darkness) (Nayato), tak ada yang berhasil membangkitkan gairah saya sebagai penonton, bahkan sebagai penggemar film gebuk-gebukan. Pirate Brothers kelewat naïf, baik secara teknis penggarapan, cerita maupun tata kelahi. Apalagi

1487

1488

4. FILM DAN KITA

kelewat banyak lubang dalam soal non-teknis yang membuat film ini jadi tak asyik ditonton. Harapan sempat sedikit melambung pada Tarung, karena kabarnya Nayato mengerjakan film ini secara bergerilya dengan etos non-komersial. Bahkan kabarnya ia mengerjakan film ini dengan obsesi tinggi dengan uang sendiri lantaran tak ada yang mau membiayainya. Saya bersemangat membayangkan pembuatan film kembali pada asas mendasarnya: dorongan kebutuhan primer para sutradara. Saya sedikit antusias ke bioskop mengejar film ini. Namun sesudah menontonnya, saya kecewa karena lagi-lagi film ini abai pada departemen cerita, dan celakanya koreografi sebagai syarat utama kemasukakalan jalan cerita film aksi gagal ia capai. Sama belaka masalahnya dengan Pirate Brothers, bahkan lebih parah karena gambarnya tak enak dilihat. Namun kekecewaan terobati ketika saya menonton film aksi ketiga: Serbuan Maut, atau The Raid buatan orang Wales, Gareth Evans. Film yang diputar di INAFF 2011 ini termasuk film yang saya anggap patut dicatat tahun ini. Ketika saya ikut menjadi juri pada pemilihan film terbaik (dan beberapa unsur lagi) yang diselenggarakan oleh Majalah Tempo, saya bersetuju film ini dianggap film terbaik, sekalipun secara pribadi ternyata sesudah saya pikirkan masak-masak dan berdiskusi panjang lebar dengan dengan beberapa teman, saya pikir ada yang lebih patut untuk predikat itu. Setidaknya bagi pilihan saya pribadi. Ikuti saja terus tulisan ini. Catatan lain adalah sedikit menurunnya akses saya pada film dokumenter pada tahun ini. Saya mendengar film seperti Batik: A Love Story (Nia Dinata) atau Konspirasi Hening (Ucu Agustin) dan Mocca: Life Keeps on Turning (Ari Rusyadi), tapi apa boleh buat, sampai sejauh ini saya baru menonton Hidup untuk Mati (Tino Saroenggalo). Penjara dan Nirwana karya Daniel Rudi

MENCATAT FILM TAHUN 2011

Haryanto alias Rudi Gajahmada saya tonton tahun lalu di festival film dokumenter Jogjakarta dan saya ikut menjadi juri yang memenangkan film itu pada festival tersebut. Film karya Aryo Danusiri On Broadway #5 (kami, RumahFilm, memutar film ini untuk publik tahun ini) juga saya tonton tahun lalu. Agak menyesal saya melewatkan Dongeng Rangkas (Forum Lenteng) dari pemutaran publik. Maka dengan segala kondisi seperti di atas, saya mencatat film di tahun 2011. Lagi, saya mencoba membuat urut-urutan berdasarkan apa yang saya anggap paling berkesan atau saya anggap paling penting. Inilah hasilnya. 8. Hidup untuk Mati – Tino Saroenggalo

Sebuah film etnografis yang paling memenuhi standar yang ditetapkan dalam buku teks tentang jurnalisme audio visual. Tidak saja etnografis, narasi dalam film ini bersifat etnosentris menempatkan subyek dalam posisi yang bias sejak semula. Tak heran karena sutradara film ini, Tino Saroenggalo, adalah pelaku utama dalam kisah yang ia ceritakan ini. Ceritanya tentang pemakaman ayahnya sendiri, seorang pemuka suku Toraja. Oh, bagi Anda yang tak tahan adegan kekerasan, bersiap untuk adegan kerbau disembelih yang memang lazim terjadi dalam upacara seperti ini di Toraja. Kabarnya gambar penyembelihan semacam ini yang jadi inspirasi Francis Ford Coppola untuk adegan pemancungan kerbau di Apocalypse Now! 7. Kentut – Aria Kusumadewa

Film ini merupakan kerjasama Dedi Mizwar dan Aria Kusumadewa yang ketiga, dan bagian dari kehendak Aria membuat trilogi cerita tentang rumah sakit. Kualitas karya ini berada di bawah Identitas (2009) atau Alangkah Lucunya [Negeri Ini] (2010). Namun sekali lagi, film ini menegaskan kesamaan antara Dedi Mizwar dan Aria Kusumadewa: keduanya verbalistis

1489

1490

4. FILM DAN KITA

dan agak vulgar dalam bercanda. Tak ada upaya untuk menjadikan humor mereka sebagai humor yang subtil. Meskipun berangkat dari titik tolak estetika yang berbeda, keduanya seperti percaya bahwa pesan vulgar adalah ekspresi kesenian terbaik. Saya tidak suka pada vulgarisme karena kerap ia menjadi didaktik, mengajarkan pesan secara telanjang dan terbuka seakan orang lain tak tahu dan tak memegang pesan yang diajarkan itu. Dan dalam kasus Kentut, political correctness yang disampaikan dengan model satir ini tetap menempatkan para pembuatnya dalam posisi paling benar dan paling tahu tentang nilai yang sedang mereka sampaikan. Ini semua sudah jadi pilihan para pembuatnya, dan saya masih berharap Dedi Mizwar menghasilkan lagi satir seperti  Ketika yang kurang didaktik. Meski demikian, film ini tetap ada dalam daftar ini karena fiksi kita tak hanya membutuhkan pahlawan yang memberi kita contoh, tetapi juga badut untuk mengkritik sikap kita yang sudah mapan. 6. ? (Tanda Tanya) – Hanung Bramantyo

Saya sudah membahas film Hanung Bramantyo ini, jadi tak perlu lagi saya bahas sampai jauh. Saya tak akan membahas film ini lebih jauh, kecuali bahwa keberanian Hanung untuk memasuki lorong kontroversi amat patut dihargai, dan menempatkan film ini pada daftar saya. 5. Tendangan dari Langit – Hanung Bramantyo

Sebuah film yang sangat mengingatkan pada  In Oranje, juga Garuda di Dadaku (yang juga terinspirasi dari In Oranje). Berkisah tentang seorang anak yang memimpikan dirinya menjadi pemain sepakbola profesional, tapi terhalang oleh sang ayah yang punya masa lalu pahit sebagai pemain sepakbola. Sang ayah ini merasa bahwa menjadi pemain sepakbola di Indonesia tak punya masa depan.

MENCATAT FILM TAHUN 2011

Yang istimewa dari film ini adalah latar belakang kampung yang ditangkap dengan amat baik oleh Hanung Bramantyo. Sepakbola tarkam dan latar Gunung Bromo yang disajikannya berhasil meyakinkan saya tentang sebuah mimpi yang kecil dan sederhana, jauh dari mengada-ada. Sayang sekali cerita kecil itu harus dibebani dialog berbau kuliah tentang sepakbola dan negeri ini. Ambisi untuk mengkritik ini terlalu membebani, sekalipun bukan soal besar karena porsinya tak terlalu besar. Soal akting penting untuk dicatat. Tugas seorang sutradara yang tak bisa digantikan oleh awak kreatif lain adalah mengarahkan pemain. Dalam kerja kamera, sutradara bisa digantikan oleh penata kamera dan dalam konstruksi adegan ia bisa digantikan oleh editor, tapi dalam mengarahkan pemain tak ada yang bisa menggantikan sutradara. Nah, dalam hal ini,  Tendangan Dari Langit  memperlihatkan bahwa Hanung adalah sutradara dengan kemampuan di atas rata-rata sutradara lain. Lihat misalnya Sujiwo Tejo yang biasanya tampil  over acting dalam film-film lain, di sini jadi amat sangat pas. Gerak tubuhnya yang cenderung teatrikal dan suaranya yang menggelegar menjadi alat yang tepat untuk menggambarkan seorang yang penuh dendam dengan masa lalunya sendiri. Perhatikan juga Agus Kuncoro yang tak pernah off-key di tangan Hanung. Pemain debutan juga tampak bisa mengimbangi para profesional. Kesimpulan: saya tak pernah kuatir dengan departemen akting di film Hanung. Namun terasa bahwa kebutuhan untuk mencapai akhiran film yang bahagia dan menyenangkan penonton akhirnya membuat rangkaian kebetulan membuat film ini mudah tertebak. Heroisme semacam ini—bagai film-film Amerika—mulai terasa sedikit melebih-lebihkan keberhasilan individu. Tak apalah. Setidaknya Hanung berpihak pada harapan penonton, sekalipun harapan itu agak-agak mirip mimpi yang tak realistis.

1491

1492

4. FILM DAN KITA

4. Sang Penari – Ifa Isfansyah

Pemahaman saya terhadap kisah Rasus dan Srintil yang saya baca dari novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, bukan sekadar kisah cinta, tapi juga punya dua makna penting: historiografi alternatif dan upaya memahami sebuah pandangan dunia yang sama sekali berbeda dengan pandangan dunia mapan Orde Baru. Saya memakai kedua hal ini bukan untuk mencari yang tak ada dalam film, melainkan sebagai patokan yang disajikan oleh Sang Penari itu sendiri. Baiklah satu-satu. Historiografi alternatif itu adalah pemberian suara pada korban peristiwa 1965, terutama dari pihak yang paling jadi korban seperti Srintil dan seluruh Dukuh Paruk. Sampai di sini, Sang Penari juga menyajikan hal itu dengan amat baik. Suara Dukuh Paruk sebagai korban (sebagaimana korban lain) dipotret amat berbeda dari potret “orang-orang kiri” dalam film-film Indonesia masa Orde Baru. Tambahan: film ini berani menempatkan TNI berada di belakang pihak yang melakukan pembantaian itu (kalau tak bisa dibilang melakukannya sendiri). Ini amat penting mengingat peran TNI amat sentral dalam historiografi resmi Orde Baru – terutama dalam film seperti yang digambarkan oleh Katherine McGregor (2007) – yang berada di atas semua golongan sehingga sah menjadi sokoguru bagi pembangunan nasional. Historiografi lewat film-film Orde Baru pada saat yang sama biasanya menggambarkan masyarakat sipil selalu dipenuhi konflik sesama dan sedia untuk saling membunuh sehingga diperlukan TNI untuk melakukan pengorganisasian yang tak mendahulukan kepentingan golongan sebagai sarana untuk membangun kehidupan bersama. Landasan historiografi Orde Baru itu dibongkar oleh Sang Penari, sekalipun pada saat yang sama film ini tetap menampilkan wajah TNI yang pluralis dan simpatik ketika mereka digambarkan sebagai individu. Namun keterlibatan mereka sebagai lembaga

MENCATAT FILM TAHUN 2011

dalam pembantaian itu tetap jelas dan tegas: mereka berada di belakang para eksekutor. Gambaran macam ini tak mungkin sama sekali bisa terjadi pada masa Orde Baru. Namun dalam soal mistisisme dan pemahaman terhadap cara berpikir ronggeng, film ini memilih tak menyentuhnya. Mistisme sebagai pendukung cara berpikir yang menghasilkan ronggeng dan budaya kecabulan yang mengiringinya diganti dengan persoalan pencarian identitas yang cenderung lebih dekat dengan persoalan manusia kelas menengah modern ketimbang menjalani panggilan alam semesta dan kehendak takdir. Pilihan yang tampaknya mencoba mendekatkan diri dengan persoalan penonton film Indonesia sekarang ini yang kebanyakan adalah pengunjung mal. Berhasil atau tidak, Anda sendirilah para penonton yang menilainya. Bagaimanapun, Sang Penari adalah sebuah karya yang amat patut dicatat. Bukan hanya pada filmnya, tetapi untuk pembuatnya, terutama sutradara Ifa Isfansyah (ia menjadi pilihan sutradara terbaik majalah Tempo dan juga pilihan saya pribadi) yang mampu menggambarkan kompleksitas peristiwa 1965 dengan cukup baik. Lihat misalnya konstruksi adegan pembantaian massal di tepi sungai yang halus tapi menggedor. Tak ada penggambaran kekerasan frontal, dan dengan penggunaan elemen suara ia berhasil mendekatkan kengerian itu. Capaian ini membuat saya yakin bahwa Ifa mampu menghasilkan sesuatu yang lebih besar lagi suatu saat nanti. 3. Lovely Man – Teddy Soeriaatmadja

Terus terang, dengan adanya Eliana-eliana (Riri Riza, 2004), film ini terasa seperti sebuah versi lain dari kisah hubungan orang tua tunggal dan anaknya. Namun film ini berani menabrak tabu, sesuatu yang tak disentuh oleh Eliana-eliana. Bayangkan seorang ayah yang sudah menjadi waria dan (spoiler alert!) seorang anak

1493

1494

4. FILM DAN KITA

SMU berjilbab yang hamil. Dalam situasi tak biasa itulah keduanya ditemukan dan terungkaplah pribadi-pribadi mereka yang tertutupi oleh hal-hal di permukaan. Katakanlah: inilah potret manusia Indonesia ketika berada dalam situasi intim – seperti dua orang yang dipisahkan jarak kurang dari setengah depa. Dan inilah soal terbesar  Lovely Man. Apakah manusia Indonesia harus berada pada situasi-situasi ekstrim atau tak biasa untuk bisa sampai pada pengungkapan diri mereka yang sesungguhnya? Sebuah ungkapan yang ekstrim yang membenarkan hal ini bisa kita lihat pada film karya Edwin, Babi Buta yang Ingin Terbang (2008). Jika Edwin mengatakan bahwa ungkapannya itu adalah buah kegagapan manusia Indonesia karena kekaburan peta identitasnya, maka Lovely Man seperti menyatakan bahwa ketidakmampuan manusia Indonesia untuk membuka diri, bahkan dengan kerabat terdekat mereka sendiri, berkaitan dengan soal-soal di sekitar penerimaan terhadap diri sendiri. Ini semacam problem identitas juga, tapi rasanya lebih menukik, terutama dibandingkan dengan Eliana-eliana yang banyak elemennya memang mirip dengan film ini. Apapun,  Lovely Man  masih berkutat pada suatu penggambaran pedalaman batin (psyche) manusia Indonesia yang belum berangkat jauh dari  Eliana-eliana, atau  3 Hari Untuk Selamanya yaitu ketika dibutuhkan sebuah situasi istimewa untuk bisa mendekati keintiman—bahkan dengan sesama anggota keluarga. Penggambaran seperti ini relatif “aman” karena, toh, dalam situasi ekstrim dan temporer seperti film-film tadi, orang cenderung terjebak pada kesementaraan dan keadaan batin yang siap untuk pengungkapan. Maka eksplorasi karakter bisa dilakukan. Yang menantang justru adalah memasuki pedalaman manusia dan mengenali segala yang ada di dalamnya justru dalam

MENCATAT FILM TAHUN 2011

situasi yang tenang dan sehari-hari, seperti yang misalnya dilakukan sutradara Malaysia, Yasmin Akhmad, dalam Mukhsin. Rasanya film kita belum bisa tiba pada kedewasaan semacam itu. 2. Serbuan Maut (The Raid) – Gareth Evans

Film karya Gareth Evans ini terpilih menjadi film terbaik Majalah Tempo tahun ini dimana saya ikut serta menjadi juri di dalamnya. Saya tak keberatan menjadikan film itu menjadi nomer satu dalam acara pemilihan itu dengan alasan penting: sudah lama tak ada film yang mampu mengembalikan pengalaman sinematik secara sempurna. Menurut saya,  Serbuan Maut  inilah yang berhasil melakukannya. Inilah film yang mampu, seperti film Rhoma Irama di dekade 1980-an, membuat penonton berdiri di atas kursi, bertepuk tangan dan bersuit-suit ketika sang jagoan berhasil membuat keok musuh yang kejamnya sampai ke ujung rambut. Film ini seperti mengingatkan hal yang sudah lama kita lupa: pengalaman sinematik itu seperti naik  roller coaster, sensasinya membuat kita berada di batas-batas ketakutan dan ekstase kita, tapi selalu ingin kita ulangi sesudah selesai mengendarainya. Maka  The Raid, seperti halnya yang dilakukan oleh mendiang D. Djajakusuma atau Nawi Ismail dulu, berhasil membuat adegan kelahi yang meyakinkan dan asyik diikuti. Gareth Evans yang jatuh cinta pada silat ini mirip dengan Clint Eastwood. Maksud saya ia seorang yang datang dari luar tapi mampu menangkap sebuah semangat dan esensi milik bangsa lain dan menceritakannya seakan itu miliknya sendiri. Perhatikan bagaimana Eastwood membuat  Letters from Iwo Jima  yang membuat orang Jepang tercengang; Evans juga melakukannya terhadap silat, beladiri yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sebagai sebuah bagian khazanah estetika yang siap dituai-panen. Maka bagi saya,  The Raid, bagai  Letters of Iwo

1495

1496

4. FILM DAN KITA

Jima  atau  Invictus, bisa jadi bukti bahwa film tak punya kebangsaan. Pilihan saya untuk mencatat The Raid dengan antusias, sekali lagi, adalah sebuah perayaan terhadap sensasi sinematik yang mendasar yang hadir secara optimal kepada penonton Indonesia. Sebenarnya tak hanya lewat film aksi seperti  The Raid ini, sensasi semacam itu bisa juga datang dari film thriller (ingat lagi  Pintu Terlarang-nya Joko Anwar) atau film horor (semisal  Legenda Sundel Bolong-nya Hanung Bramantyo atau Pocong 2 karya Rudi Soedjarwo). Selama ini, sensasi semacam itu cenderung diremehkan, dianggap cuma bermanfaat bagi para remaja tanggung untuk “teriak bersama” ketika pacaran. Maka ketika ia muncul pada film laga macam ini, saya berharap agar film kembali pada kemampuannya untuk merangsang sensasi macam ini dan permusuhan terhadap film horor, atau sensasi semacamnya, diakhiri karena sikap apriori semacam itu merugikan diri sendiri.

1. Mata Tertutup – Garin Nugroho

Inilah film yang bagi saya paling berhasil memasuki sebuah pedalaman manusia Indonesia yang paling tak ingin dijelajahi oleh manusia lainnya. Kebanyakan kita akan dengan mudah menyalahkan negara, keluarga dan faktor-faktor eksternal sebagai sebuah penyebab bagi perilaku yang dianggap secara umum sebagai fundamentalis maupun teroris. Namun apakah yang menyebabkan orang-orang itu sampai pada titik ketika mereka membuat keputusan penting dalam hidup mereka; dan mereka mengambil keputusan terpenting itu dengan mata tertutup? Sejauh ini, baru Garin Nugroho yang sanggup bertindak lebih jauh ketimbang jatuh pada peng-hitam-putihan atau sekadar kunjungan simpatik. Jika orang lain dengan nyaman menjadikan

MENCATAT FILM TAHUN 2011

mereka antagonis, atau meletakkan mereka dalam kotak-kotak kategori, Garin mencoba melihat pedalaman batin itu, dan ia berhasil. Ia mendadar fakta yang tidak pernah sederhana sejak semula, karena pilihan hidup memang sebanyak jumlah manusia itu sendiri. Sekali lagi, sesudah Rindu Kami Pada-Mu, Garin Nugroho tampak menjadi filmmaker yang paling relijius, yaitu yang paling mampu menghargai kemampuan manusia untuk mendekati kebaikan dan kebenaran. Ia tak meletakkan manusia pada pandangan-pandangan sosiologis dan kategorisasi yang sempit. Yang menarik lagi adalah penyutradaraan model ketoprak yang berhasil membuat para non-aktor menjadi para pemain yang tampak professional di layar. Bisa jadi mereka memerankan diri mereka sendiri, tetapi lihat bagaimana interaksi antar mereka tampil begitu halus, karena akting yang dibutuhkan pada film jenis ini memang akting yang sehari-hari, bukan akting yang larger than life apatah lagi teatrikal. Mereka adalah orang sehari-hari yang sedang dihadapkan pada pilihan hidup, yang dalam keadaan sehari-hari, memang tak terjadi secara dramatis. Maka ketika dramatisasi pilihan-pilihan dan penggambarannya itu dijadikan ukuran dalam menilai film ini, hal itu sudah salah tempat sejak semula.

1497

Eric Sasono

Refleksi Akhir Tahun (2011)

Membaca (Sinema) Indonesia dari Banda Aceh

P

ada 5-7 Desember, saya ke Banda Aceh atas undangan Fozan Santa, rektor Sekolah Menulis Dokarim, Banda Aceh. Tujuan utamanya adalah untuk menjadi pembicara di diskusi “Lokal Aceh, Lokal Arab: Meneguhkan citra Islam dalam Budaya Lokal”¸pada  malam pembukaan Festival Film Arab ke-3 (FFA), yang digelar 6-10 Desember di markas mereka, Episentrum, Ulee Kareng Banda Aceh.  Di malam itu, sekitar dua ratus penonton membanjiri  gedung yang malam itu disulap menjadi bioskop dua layar. Walau cuma 2 malam, setelah banyak ngobrol dengan Fozan dan juga aktivis lainnya seperti Reza Idria dan Azhari Aiyub, saya merenungi banyak hal, bermula dari kondisi sinema di negeri tanpa bioskop ini, hingga budaya populer dan penegakan syariat Islam di sana. Tentu saja berbagai opini di tulisan ini tidak imbang, karena hanya menggelontorkan ide-ide dari satu pihak saja. Mereka

MEMBACA (SINEMA) INDONESIA DARI BANDA ACEH

mungkin hanya minoritas. Saya hanya sekadar memberikan ruang untuk berdialog bagi mereka. Inilah refleksi akhir tahun saya.

1. Aceh, Arab, Islam, Indonesia Ini jaman boeroek boeat pikeran dan imajinasi. Siapa bilang Arab itoe Atjeh. — Kata Dokarim (tulisan di belakang kaos resmi Festival Film Arab 2011, Banda Aceh)

Di Banda Aceh, bagi banyak orang, Arab dan Islam nampaknya tak terpisahkan. Arab adalah Islam, dan Islam adalah Arab, dan mengadopsi segala yang datang dari Arab tampaknya adalah sebuah keharusan.  Tengoklah sebuah pertanyaan sesaat setelah pemutaran film pembuka FFA, Captain Abu Raid:  “Saya kira, film tadi tidak menggambarkan Arab, malah lebih dekat dengan gaya Prancis. Dan mengapa masih dibahas soal Arab dan Islam? Arab itu ya Islam, karena Islam datang dari sana”.  Ketika saya hendak menjawab, si penanya sudah ngeloyor pergi, seolah tak membuka jalan dialog. Sebelum pertanyaan itu, saya melakukan presentasi singkat tentang teori representasi. Pada kesempatan itu, saya menyatakan bahwa festival film semacam ini penting untuk melihat representasi berbagai budaya Arab yang tak tunggal (tidak satu agama, tidak satu madzhab, tidak satu ideologi, dan sebagainya) lewat film. Teori representasi membuat orang kritis bertanya: “realitas yang mana? Realitas apa? Realitas menurut siapa?”. Dan, karena film adalah produk budaya, maka menggambarkan dinamika kultural bagaimana kondisi sebuah bangsa

1499

1500

4. FILM DAN KITA

diproyeksikan dalam film. Dan tentu saja, setting Captain Abu Raid, kota Amman, jauh lebih moderat dan memperlihatkan seorang wanita tanpa jilbab menjadi pilot sangat berbeda dari Arab Saudi yang, misalnya, melarang perempuan menyetir mobil. Tapi, rupanya, penjelasan saya tidak mempan. Buktinya: pertanyaan seperti di atas. Dan juga, ada pertanyaan dari seorang intelektual lokal yang menjadi pembicara di sebelah saya. Katanya, kurang lebih, film tidak bisa dijadikan pijakan untuk menjadi sebuah referensi dalam kebudayaan, karena tidak bisa memotret realitas. Buktinya, film The Corruptor dibuat di Hong Kong, sebuah tempat yang terkenal dengan komisi antikorupsi yang tegas dan sukses. Pun dengan film-film Arab di festival ini, tidak bisa dijadikan patokan bahwa itulah patokan budaya arab “yang sebenarnya”. Tentu saja, pernyataan ini benar, tapi juga sekaligus naïf.  Karena pengkajian dengan pendekatan representasi (atau teori kajian kebudayaan lainnya) , tentu menjadi alat analisa untuk mengkaji sebuah budaya dan situasi sosial sebuah produk budaya seperti sinema. Dan satu lagi, apakah itu, Arab “yang sebenarnya”, karena ada Mesir, Jordania, Suriah, Qatar, dan Uni Emirat Arab, yang jelas semuanya mempunya karakteristik kultural yang berbeda-beda (di samping ideologi yang tak hanya satu jenis Islam, tapi juga berbagai madzhab Islam, disamping, sosialisme, sekularisme, dan sebagainya). Tapi itulah yang terjadi. Arab itu Islam dan Islam itu Arab, dan, segala dari Arab (Saudi) harus diadaptasi, termasuk di antaranya: syariat Islam dengan penafsiran tertentu.  Juga misalnya penanaman pohon korma di depan Masjid Raya. Inilah yang menjadi kekhawatiran sebagian kelompok di Banda Aceh: kecenderungan Arabisasi dengan tanpa dialog. Karena itulah, kaos penyelenggara festival ini punya pernyataan yang keras, yang dikutip dari Do Karim, tokoh budayawan Aceh, yang menjadi nama sekolah mereka. Dan karena itu pula, slogan festival mereka adalah “sinoe Aceh sideh Arab, sinoe sideh hana rab” (di sini Aceh di

MEMBACA (SINEMA) INDONESIA DARI BANDA ACEH

sana Arab, disini-di sana tidak dekat).  Bagi penyelenggara acara festival film ini, Arab mungkin lebih tua dari Islam, tapi Islam jauh lebih luas dan lebih universal daripada Arab. Dan film adalah sarana yang efektif untuk menunjukkan hal itu. Di satu sisi, ada teori yang memang masih terbuka untuk didebat, Arab adalah salah satu budaya saja yang mewakili huruf A, padahal masih ACEH – sebagaimana secara populer dipercaya oleh orang Aceh – terdiri dari A, C(ina), E(ropa), dan H(industan). Fauzan Santa, rektor Sekolah Menulis Dokarim menyatakan bahwa “…Arabisasi  dalam hal ini cuma proses penetrasi simbolik sebuah budaya tua sekaligus cermin galau kita saat hendak menemukan model dan bentuk kebudayaan Islam kontemporer”. Penanaman pohon kurma—yang kemudian tak berbuah dan melayu sebelum menghijau–adalah sebuah contoh menarik, betapa sia-sia usaha adopsi kebudayaan tanpa tahu konteks (tanah, cuaca, dan kadar air) di Aceh.  Pun dengan urusan kebudayaan, politik, dan hukum. Reza Idria, salah seorang fasilitator institusi ini, menyatakan bahwa FAA adalah medium memperkenalkan situasi sehari-hari di Timur Tengah, persoalan-persoalan rumah tangga, politik, agama dan sebagainya menjadi lebih ringkas lewat visualisasi sebuah film. “Ini memang dilakukan sebagai upaya untuk menangkis bayangan ideal tentang Timur Tengah, khususnya negara-negara Arab sebagai tempat suci dan teladan bagi pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Karena ternyata melalui film orang dapat melihat problem-problem yang terjadi di Aceh juga dialami dalam keseharian masyarakat Arab. Jadi tidak benar dengan membungkus tubuh orang, melarang orang berkumpul antara laki-laki dan perempuan, mencambuk, bersorban, dan lainlain bisa menyelesaikan kebutuhan riil masyarakat,” jelas Reza yang baru saja menyelesaikan S2 di Universitas Leiden. Di balik festival film itu, ada problema yang lebih besar di hadapan, yang kurang lebih berkaitan dengan isu “Arab-adalah-

1501

1502

4. FILM DAN KITA

Islam” di atas: bagaimana hukum Islam diterapkan dengan— menurut beberapa kalangan–cara legalistis, formalistis, birokratis, dan simbolis. Sejauh ini, sudah diterapkan Syariat Islam yang berkaitan dengan moralitas, misalnya hukuman bagi pemabuk, penjudi, orang yang ber-khalwat  (berduaan dengan bukan  mahram)—di antaranya hukum cambuk1 yang terselenggara sejak 2001—misalnya, Qanun atau peraturan daerah Syariat Islam No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat bidang aqidah dan ibadah, No. 12 tahun 2003 tentang  khamar  (minuman keras), No. 13 tahun 2003 tentang maisir (judi), dan No. 14 tahun 2003 tentang khalwat. Sejak 2009, RUU baru–Qanun (Peraturan Daerah) tentang  Jinayat  (Pidana Islam) dan Hukum Acara  Jinayat— diserahkan oleh DPR Aceh, namun tak kunjung ditandatangani Gubernur, sebuah hukum yang di dalamnya ada hukuman potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina yang telah menikah. Fozan menyatakan bahwa sejauh ini, penerapan syariat Islam kurang efektif. “Kalau cambuk atau penjara sejauh ini tidak juga membebaskan manusia dari perilaku buruk, apa lantas hukum Islam atau hukum (negara) modern gagal membawa kemaslahatan umat? Jadi apa makna slogan-slogan “Islam adalah solusi”, “Syariat Islam akan membawa kedamaian”? Menurut Fozan, penegakan hukum semacam itu adalah proses pengerdilan universalitas nilai Islam. “Semua hal harus punya cap stempel formal syariat: dari makanan sampai wisata. Dari bank sampai jurnalisme. Sementara ini kalau kita bicara syariat Islam kita cenderung memahami fiqih/hukum Islam.  Maka Islam jadi sempit. Cuma urusan ini boleh itu tidak.  Kalau sudah hukum cambuk dijalankan, seolah sah kita merasa beragam islam walaupun si terhukum sudah lebih dulu masuk penjara 1

Misalnya, silahkan periksa: http://www.republika.co.id/berita/regional/ nusantara/11/05/22/lll3uo-amnesty-internasional-minta-hukuman-cambuk-di-acehdicabut

MEMBACA (SINEMA) INDONESIA DARI BANDA ACEH

dalam tempo lama sebelum dicambuk. Rentan konflik horizontal. Jadi seolah-olah siapa saja ingin beraktifitas dan berusaha di Aceh hari ini mesti pakai emblem syariat. Siapa tahu nanti ada Salon Syariat, warkop syariat, Wisata syariat, marathon Syariah, Ayam tangkap syariat, dan sebagainya (ayam tangkap adalah menu makanan populer di Aceh-red.)” Jika kita mendengar adanya peristiwa penangkapan dan penggundulan anak-anak punk karena dianggap tidak berpakaian dan berpikiran Islami—bahkan harus diceburkan ke sungai Reza dan Azhari menyatakan bahwa para anak punk itu sebenarnya melawan balik, dan kelompok mereka sekarang sudah 10 gang. Ternyata, tidak hanya punker yang “membangkang”, tapi juga telah terjadi semacam civil disobedient dengan cara tidak benarbenar menjalankan aturan, bahkan mengakalinya.2 Misalnya, Reza dan Azhari memberi contoh tentang konser God Bless yang mewajibkan penontonnya harus terpisah pria dan wanita. “Ketika sudah masuk, mereka berbaur lagi di dalam.” Atau, ketika  penjual hamburger dilarang untuk berjualan di atas pukul 12 malam, karena mengundang muda mudi untuk datang dan “mojok berduaan”.3 “Mereka akan pergi, tapi dua tiga hari lagi akan kembali ke tempat semula”. Namun para warga itu tidak bermaksud untuk membangkang terhadap syariat Islam. Menurut Reza, “…yang membangkang dan menolak adalah terhadap formulasi dan interpretasi hukum lokal yang diberi label syariat oleh otoritas namun dalam kenyataan juga berlaku sangat parsial, politis, dan tidak sesuai dengan prinsip maqashid syari’ah (tujuan syariat-EIJ) itu sendiri.” Lantas, bagaimana jalan keluar atau titik temunya? Fozan Santa meyatakan: “ Kita amat sangat perlu belajar kembali pada sejarah (interaksi) sosial-politik Nabi Muhammad periode 2 3

Silahkan cek: http://aceh.tribunnews.com/2011/11/28/apa-kabar-syariat-islam Kasus serupa, cek: http://beritasore.com/2010/12/06/nasib-syariat-islam-di-negeriserambi-mekah/

1503

1504

4. FILM DAN KITA

Mekkah, bukan semata mahir menjiplak formalitas personal dan legalistik yang sudah mapan pada periode Madinah”. Sedangkan Reza menyatakan sebaiknya syariat dikembalikan pada pada makna harfiahnya: jalan menuju tuhan. “Jalan menuju tuhan ditempuh dengan pendidikan dan etika. Etika yang mengatur hubungan dengan tuhan, hubungan dengan manusia, hubungan dengan alam, semua ada dalam syariat agama. Hukuman adalah pilihan akhir yang harus diterapkan setelah pendidikan dan etika diperkenalkan” jelasnya. Bagi penyelenggara FFA, hukuman adalah sarana, bukan tujuan, dari penegakan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam.   Sehingga yang sebaiknya dilakukan   adalah gerakan penyadaran dan pemahaman, bukan sesuatu yang menakutkan dan dipaksakan.  Jalannya adalah pendidikan, sejarah, dan etika, yang merupakan bagian dari kebudayaan.Gerakan   kultural itulah, agaknya, yang tengah mereka perjuangkan. Salah satunya lewat Festival Film Arab. Jika tidak, maka yang terjadi akan seperti simbol FFA, sebuah pohon kurma di Masjid Raya, yang pada akhirnya hanya menjadi  hiasan artifisial belaka.

2. Merayakan Film di Negeri Tanpa Bioskop Dalam setahun ini, tidak banyak saya ke luar kota. Beberapa di antaranya adalah ke Banda Aceh dan Serang. Keduanya mempunyai, setidaknya, satu persamaan: tidak ada bioskop. Dan ada banyak sekali kota-kota, baik di Jawa atau di luar Jawa, yang tidak memiliki bioskop.4 Mungkin itu salah satu alasan mengapa film terlaris kita, Laskar Pelangi, meraup lebih dari 5 juta penonton, yang sebenarnya adalah sekitar 2,5 % total penduduk  Indonesia. Kita berhadapan dengan persoalan distribusi dan eksibisi. 4

Untuk data bioskop, silahkan cek http://filmindonesia.or.id/movie/viewers

MEMBACA (SINEMA) INDONESIA DARI BANDA ACEH

Bioskop penting tidak saja sebagai sebuah tempat untuk menonton film dengan fasilitas khusus, tapi juga untuk membuka ruang publik tempat masyarakat bertemu dan berapresiasi dan interaksi sosial. Festival Film Arab yang dicetuskan Sekolah Menulis Dokarim adalah salah satu upaya untuk membuka bioskop.  Mereka menyulap kantor mereka, Episentrum Ulee Kareng, menjadi ruang publik yang nyaman untuk para penonton. Menurut Fozan Santa, sang kepala sekolah, setelah bioskopbioskop resmi lenyap di Aceh, konsentrasi penonton kritis serta pengamat kebudayaan kita hari ini berpindah ruang ke meja-meja di kedai minum untuk merayakan keramaian dan keragaman pemikiran. “Tidak mudah memang menyelenggarakan kembali sebuah bioskop resmi saat ini, untuk aktifitas menonton dan menemukan inspirasi kebudayaan dari balik sorot proyektor film,” ujarnya. Fozan menjelaskan, adanya pergeseran pemahaman pasca konflik dan tsunami terhadap “ruang gelap komunal” menjadi “ruang sunyi personal”.  Itu pula yang membikin orang kini lebih senang dan nyaman menonton televisi atau bioskop-keluarga (home-theater) karena di sana gelap-terang bukan lagi soal yang berarti untuk simbol baik dan buruk. Bisnis bioskop di Banda Aceh menurun sejak 1989. Sejak konflik meningkat, sekitar tahun 2000an, makin banyak yang jarang keluar malam, sedangkan warung kopi  yang buka siangmalam pun banyak tutup. Saat Tsunami, Desember 2004, bioskop terakhir pun tutup. Walhasil, rakyat Aceh yang budayanya kental dengan audio visual dan tradisi lisan, tidak hanya sekadar haus tontonan, namun juga  rindu ‘perayaan sosial’. Sebab, menurut Fozan, selama ini, mereka hanya bisa menonton VCD sendiri atau bersama keluarga di rumah. Padahal, umumnya, masyarakat Aceh suka keramaian dan hiburan, suka berkumpul meski tak melulu menonton

1505

1506

4. FILM DAN KITA

bioskop. Karena itulah, banyak warung kopi yang memasang layar besar untuk menonton pertandingan sepak bola beramai-ramai. Dan karena itulah FFA dibanjiri penonton dari berbagai penjuru. Bagaimana kemungkinan membuka bisnis bioskop? Menurut Reza Idria, setelah tsunami, ada banyak sektor modal yang bangkit, namun tidak ada lagi orang yang mau investasi di bidang ini karena ada larangan bercampur laki-laki dan perempuan di tempat gelap.  Namun, jika ada regulasi yang jelas dari pemerintah tentang aturan bagi penyelenggara dan penonton bioskop maka saya kira peluang keuntungan bagi yang mau investasi sangatlah besar. Tetapi, rupanya absennya gedung bioskop tidak lantas membuat mereka berdiam diri untuk melakukan perayaan sosial dan kultural. Ada beberapa geliat di bidang distribusi dan eksibisi. Beberapa di antaranya adalah serial film Eumpang Breuh, dan acara TV Eng Ong. Eumpang Breuh  (yang bermakna karung beras) adalah sebuah  drama komedi yang digagas oleh grup lawak setempat Aceh, Tuha Ban Lahee. Mereka memproduksi filmnya sendiri dan mengedarkannya sendiri dalam bentuk kepingan VCD. Episode pertama (Preman Gampong) dirilis Agustus 2006 dan laris hingga 25 ribu keping. Seri kedua (Yusniar Dara Gampong) laku  40 ribu. Dan yang ketiga (Cinta Bang Kapluk) melonjak hingga 70 ribu.5 Ratusan orang antri panjang hanya untuk membelinya, dan para “distributor” biasanya membayar lunas di muka, dengan uang tunai berkarung-karung. Serial keempat (Raket bak Pisang), lima (Kaoy Haji Uma), dan seterusnya hingga nomor sembilan masih juga diproduksi. Eumpang breuh adalah simbol keberuntungan bagi Joni Kapluk yang berjuang demi mendapatkan kekasih sekaya dan secantik Yusniar, anak tunggal Haji Uma yang galak. Intinya sebenarnya adalah perjuangan mendapatkan jodoh dan 5

http://www.acehfeature.org/index.php/site/detailartikel/586/Eumpang-Breuh/

MEMBACA (SINEMA) INDONESIA DARI BANDA ACEH

mendapatkan halangan dari calon mertua, dan disajikan dengan slapstick, misalnya dengan berlari-lari dikejar-kejar golok.6 Film seri ini disturadarai oleh Imran Abdoe alias Ayah Doe dan diproduseri oleh Din Keramik sebagai Produser. TV Eng Ong agak berbeda. Kegiatan yang  digagas oleh Episentrum Ulee Kareng  bekerja sama dengan beberapa institusi itu sebenarnya adalah semacam ajang kampanye sosial ke rakyat Aceh, misalnya tentang peran perempuan, dan isu sosial lainnya. Umumnya, acara ini disutradarai oleh Akmal M Roem dengan berbagai penutur dengan pendekatan komedi.7 Panggungnya berbentuk televisi raksasa bermerek Episentrum, dan dua orang berperan sebagai reporter televisi, 8 dan lebih mengandalkan improvisasi akting. Ribuan orang menghadiri dan tertawa bersama.9 Yang paling menarik adalah segmen roadshow ke pemirsa, eh, penonton, mengingat mereka merasa benar-benar masuk televisi. Misalnya, pada pertengahan September 2011, mereka pentas  dengan tema Perempuan dan Perdamaian, di Kabupaten Aceh Besar, di antaranya di Kantho, Lampuuk, Indrapuri, dan Siem.  Untuk kali ini, mereka bekerja sama dengan Koalisi Perempuan dan UN Women. Sebelum dan, umumnya, setelah suksesnya Eumpang Breuh ini, bermunculannya produksi lokal bertema komedi, dengan jaringan distribusi dan eksibisi lokal pula. Di kesempatan lain, Desember 2009, mereka melawat Aceh Selatan (Kecamatan Sawang, Tapaktuan, Bakongan dan Kluet

6 7 8 9

http://acehdalamsejarah.blogspot.com/2011/08/eumpang-breuh-grup-lawakkawakan-dan_15.html Contoh scenario bisa dibaca di: http://aamovi.wordpress.com/2009/04/01/naskah-tveng-ong/ Contohnya bisa dicek di: http://www.youtube.com/watch?v=7-LL5TuuoiI Foto-foto bisa dilihat di: https://www.facebook.com/media/ set/?set=a.124019374337124.22503.124014454337616&type=1

1507

1508

4. FILM DAN KITA

Timur) dengan tema perdamaian, kesehatan reproduksi dan kampanye anti HIV/Aids, khususnya soal penyembuhan trauma. Acara yang diprakarsai Komunitas Tikar Pandan ini merupakan bagian dari kampanye trauma healing dan kesehatan. Dalam pertunjukannya di negeri naga tersebut, TV Eng Ong mengangkat isu-isu tentang perdamaian, kesehatan reproduksi dan kampanye anti HIV/Aids di Aceh. Alternatif  ruang publik lainnya adalah Gerobak Bioskop, sebuah perangkat layar tancap yang dihibahkan Komunitas Ruang Rupa kepada Episentrum Ulee Kareng pada 28 November 2011. Perangkat tersebut terdiri dari Media Player, Sound System, Komputer Operator (Laptop), dan Proyektor beserta layarnya. Di negeri tanpa gedung bioskop, rakyat Aceh tak kehilangan kreativitasnya untuk menciptakan system distribusi dan eksibisi baru, untuk menciptakan ruang publik yang menampung rakyatnya untuk perayaan sosial dan mengapresiasi budaya lisan dan audio visual yang sudah lama ada dalam tradisi mereka. Dan komedi adalah pilihan mereka, yang sudah lama didera konflik dan bencana. Moda produksi dan distribusi ini juga diterapkan di Nias dengan serial Ono Sitefuyu. Di tempat yang juga nir-bioskop ini, VCD Ono Sitefuyu beredar 11 episode. Hingga Juli 2011, Ono Sitefuyu telah terjual hingga 220.000 kopi hanya di Pulau Nias saja.10 Seperti disebutkan dalam buku Menjegal Film Indonesia: Suksesnya Eumpang Breuh dan Ono Sitefuyu mencerminkan kekuatan komunitas dan akar yang kuat dalam pembuatan karya film. Patut diakui, bahwa faktor terisolasinya komunitas ini dari ekspos produk budaya pop global (dalam hal ini: Hollywood) semestinya cukup berperan dalam membangun minat masyarakat. Jika masyarakat kedua daerah itu sejak awal terekspos 10 Kompas Online, Film Berbahasa Daerah Diminati, 4 Juli 2011, dan Harian Batak Pos, Masyarakat Batak di Jambi Sulit Dapatkan Film VCD “Anak Sasada”, 14 Juli 2011

MEMBACA (SINEMA) INDONESIA DARI BANDA ACEH

kepada Hollywood, apakah film-film daerah ini akan sesukses sekarang? Sulit diketahui jawabannya. Dan tiba-tiba saya teringat dengan masyarakat menengah ke atas yang mengeluh karena tak bisa menonton  Harry Potter dan Transformers di pertengahan tahun ini, bahkan ada yang berinisiatif nobar ke Singapura.

1509

Hikmat Darmawan

Catatan Film Indonesia 2011

Pada Mulanya, dan Pada Akhirnya, Proses

S

ehari sebelum konperensi pers FFI 2011 untuk mengumumkan susunan dewan juri film bioskop (konperensi pers itu pada 30 November 2011), Totot “Pak De” Indrarto, menelepon saya untuk memberi “kabar buruk” itu: “Kau jadi ketua dewan juri film bioskop FFI sekarang, ya, Mat!” Ini jelas semacam pulung. Bukan saya termasuk orang yang tak mensyukuri keadaan. Tapi, orang bersyukur kan bukan berarti tak paham mana pulung mana bukan. Ini pulung karena FFI masih sarat beban sejarah dan kontroversi. Praktis, posisi “ketua” adalah posisi serba-tak enak: bisa jadi kambing hitam paling mudah ditunjuk, kalau terjadi apa-apa soal keputusan akhir penjurian. Masalahnya, saya memang sudah tahu sebelumnya akan ditunjuk jadi salah seorang juri. Jadi ketua, praktis tak terlalu mengubah hal terlalu banyak. Dengan bersedia menjadi juri, ya berarti saya bersedia pula pada kemungkinan-kemungkinan “rawan” pelaksanaan FFI 2011 tersebut.

PADA MULANYA, DAN PADA AKHIRNYA, PROSES

Terus terang, sebelumnya, saya praktis abai terhadap apa pun yang berkenaan dengan FFI, khususnya sejak dihidupkan kembali pada 2005 lalu. Kadang-kadang saya turut berkomentar ala warung kopi di media sosial saat terjadi ributribut FFI. Yang paling saya ingat, ketertarikan tertinggi saya adalah waktu teman saya (yang kemudian sama-sama mendirikan Rumahfilm.org), Eric Sasono, memenangi Piala Citra untuk kategori Kritik Film (yang hanya ada dua kali, keduanya dimenangi oleh Eric). Dan sewaktu Eric, bersama sekelompok “orang film” yang kemudian tergabung dengan MFI (Masyarakat Film Indonesia) mengembalikan Piala Citra sebagai protes atas pemenangan film Nayato, Ekskul. Selebihnya, FFI bagi saya adalah bayang-bayang nyaris ilusif, seperti “citra”: sebuah tolok ukur “film Indonesia bermutu” sewaktu saya kecil dulu. Ya, dulu—terutama pada 1980-an—FFI sangat bermakna buat saya, seorang remaja yang entah kenapa selalu tertarik ingin tahun film-film yang menang festival atau anugerah (seperti Oscar), dipuji kritikus, di sela-sela keasyikan menonton segala film B dari berbagai penjuru dunia sambil sesekali menonton bokep (blue film) secara sembunyi-sembunyi. Jadi, sewaktu tahu-tahu saya ditelepon Totot tentang pulung itu, saya tentu saja geli sendiri. Lha kok, tahu-tahu saya berada di pusaran proses FFI? Ya, sudah. Seperti saya bilang, saya bukannya tak bisa bersyukur. Saya anggap saja ini semacam petualangan menarik di akhir tahun.

Semangat baru? Wow, anggota juri yang lain terasa segar, rasanya. Itu kesan pertama saya melihat rekan-rekan juri. Ada anak-anak muda cemerlang: Mouly Surya (sutradara pemenang Citra untuk fiksi.),

1511

1512

4. FILM DAN KITA

Agung Sentausa (sutradara  Garasi  dan beberapa klip musik penting era 2000-an), Zeke Khaseli (penyanyi, pencipta lagu, penata musik film). Ada Djenar Maesa Ayu (cerpenis, novelis, sutradara), Hilmar Farid (sejarawan, budayawan), dan Nirwan Ahmad Arsuka (esais, kritikus, budayawan). Hm. Bakal seru penjuriannya, pikir saya, melihat susunan itu. Dalam pertemuan pertama, sebelum proses penjurian dimulai, Totot dan Abduh (aktivis film yang menjadi ketua FFI 2011) bicara tentang semangat besar melakukan perubahan dalam FFI. Totot menegaskan soal semangat menjadikan FFI sebagai sebuah  benchmark  bagi industri. “Maka,” kata Totot, “tak terhindarkan, nantinya penjurian akan terkait dengan politik estetika!” Mekanisme penjurian diubah, dengan lebih melibatkan “orang-orang film” yang masih aktif dalam perfilman nasional sekarang. Mereka terutama terlibat dalam proses seleksi, terpecah dalam beberapa komite nominasi yang menilai unsur-unsur film, memilih lima unggulan untuk masing-masing kategori nominasi. Dari lebih 70 film bioskop yang diproduksi di Indonesia pada 2011, 42 dinilai oleh komite-komite tersebut. Pada saat ketujuh juri memulai kerja, telah terpilih 16 film yang mendapat berbagai nominasi. Saya tak ingin menuliskan detail hari ke hari penjurian. Tapi beberapa hal menarik saja. (Oh, dan sekali lagi, ini pandangan pribadi—banyak mengandung subjektivitas saya, sama sekali bukan mewakili pandangan keseluruhan juri.)

Film buruk, apa maknanya? Pertama, menonton film buruk itu sungguh menyiksa. (Saya angkat topi tinggi-tinggi buat Djenar, Agung, dan Zeke yang harus

PADA MULANYA, DAN PADA AKHIRNYA, PROSES

menonton 42 film sebelumnya, dan terpaksa menonton kembali beberapa film buruk itu selama penjurian.) Tapi, saya setengah mati bersyukur dapat kesempatan menonton beberapa film bu(r/s)uk itu. Kapan lagi saya bisa menelusuri sebusuk apa batas bawah mutu film kita? Beberapa film memang terasa “ajaib” buat saya: apa yang dipikirkan para pembuatnya? Misalnya,  True Love, yang terpaksa harus kami tonton karena ada nominasi untuk pemeran utama wanita (Fanny Fabriana). Diadaptasi dari novel Mira W. Menonton film ini seperti kembali ke era 1980-an (musik: Areng Widodo!), tapi di bagian film-film roman kacangannya. Film ini hanya punya dua tokoh perempuan, keduanya digambarkan mandiri, tapi keduanya seperti harus dihukum oleh si empunya cerita: tokoh utamanya menikah dengan lelaki kaya yang manja, tak mandiri, mengalami kekerasan verbal, lalu diperkosa oleh asisten (sekaligus sahabat) si suami, dan sampai akhir film selalu meminta maaf pada semua pihak, termasuk si (mantan) suami manjanya itu! (Tokoh perempuan lain, kakak si tokoh utama lelaki, yang sebetulnya mengurusi perusahaan keluarga, tapi digambarkan judes, usil, dan “hanya memikirkan harta”.) True Love disutradarai Dedi Setiadi, yang legendaris sebagai jagonya penghasil sinetron bermutu di era TVRI hingga awal 1990-an. Penyuntingan cukup lancar, tapi cerita serta karakterisasi sungguh kekanakan. Film ini sempat-sempatnya pula syuting di Swiss, demi kebutuhan cerita. Bayangkan, berapa biaya dikeluarkan untuk film berdurasi 120 menit ini, dan hasilnya seperti FTV kacangan. Film Tebus (sutradara: Muhamad Yusuf), yang tak jelas maunya apa: mau jadi thriller, slasher, atau drama? Memang agak banyak adegan penuh darah, juga suasana misterius (yang gagal

1513

1514

4. FILM DAN KITA

dimasak, jadi tak terasa misteriusnya), sehingga bolehlah ditebak film ini maunya jadi film tegang. Tapi, film ini juga kadang jatuh jadi terlalu melodramatis. Yang jelas, terasa sekali bahwa film ini seperti sebuah “belajar bikin film”. Gerak-gerik kamera masih terasa menjunjung estetika dominan sinetron TV kita saat ini: membosankan, kekanakan. Tapi, paling celaka adalah ceritanya: berlarat-larat tak perlu, dengan dialog-dialog yang tak meyakinkan. Untuk durasi 100 menit, saya sungguh tersiksa menonton film ini: seolah tersekap dalam ruang pengap dan becek. Tapi, hampir semua juri sepakat, merasa sebal dan beberapa tersinggung menonton  Batas. Film yang disutradarai Rudi Soedjarwo ini sebetulnya dibuat dengan nilai produksi (production value) kelas A. Bolehlah kita berdebat soal pendekatan kamera film ini (yang menurut saya, tak konsisten dan gagap, antara menerapkan gaya “kamera goyah” dengan kamera untuk lanskap luas), tapi jelas sinematografinya cukup cerdas dan kiwari (kontemporer). Tapi, Batas—yang sebetulnya punya potensi besar jadi film baik dengan tema unik dan penting, yakni tentang dunia masyarakat perbatasan di Kalimantan—malah terjebak pada pandangan Pusat yang tanpa alasan jelas memaksa manusiamanusia perbatasan itu menjunjung tinggi “Nasionalisme”. Dan, jalan bagi masalah perbatasan itu sungguh banal: sekolah. Ini banal karena keharusan sekolah itu hadir tanpa argumen, sekadar dianggap lebih penting dari persoalan ekonomi yang sebetulnya amat konkret. Tokoh utama dari Jakarta, Jaleswari (Marcella Zalianti— yang juga produser film ini) hadir mewakili Pusat sepenuhnya, dengan pandangan-pandangan Pusat yang walau mengaku hendak belajar kearifan tradisional, tapi tetap menentukan nilainilai akhir yang harus diikuti penduduk lokal adalah nilai-nilai yang ia bawa. Dan, catatan khusus: film ini terutama terjungkal

PADA MULANYA, DAN PADA AKHIRNYA, PROSES

jadi membosankan, gara-gara terlalu didominasi peran Jaleswari, yang cerewet sekali berdakwah hingga di akhir film. Yang membuat tersinggung, adalah di bagian akhir film: setelah Jaleswari berpidato di pameran fotonya, ia duduk ke meja, dan disambut rekannya yang memuji pidato itu, dan berkata (dengan gembira), kurang lebih, bahwa sehabis acara bisa diharapkan bakal banyak proposal “proyek” untuk daerah perbatasan untuk mereka kelola. Ini fatal! Jadi, rupanya, segala persoalan perbatasan kita hanyalah lahan proyek belaka bagi mereka? Soal tersinggung, saya pribadi juga jatuh tersinggung memandang sikap yang tampil dalam cerita  Rindu Purnama dan Rumah Tanpa Jendela. Kedua film ini mengangkat isu anak jalanan yang tinggal di rumah-rumah kumuh daerah tumpukan sampah. Keduanya juga mengandung unsur dakwah Islam yang kental. Tapi, tampak benar bahwa kedua film ini tak punya pemahaman memadai soal kemiskinan kota: keduanya memandang kemiskinan kota dari sudut pandang tipikal kelas menengah Jakarta. Dalam sudut pandang tersebut, kemiskinan kota adalah “ujian dari Allah”, dan di akhir kedua cerita, masalah kemiskinan dalam film itu diselesaikan oleh uluran tangan para orang kaya dalam film tersebut. Derma, dianggap bisa menyelesaikan masalah. Tak ada persoalan struktural dalam kemiskinan di kedua film itu. Bahkan, dalam Rumah Tanpa Jendela (sutradara: Aditya Gumay), bobot permasalahan kemiskinan menjadi tak sepenting persoalan keluarga di kalangan mapan kota. Mencoba memotret persahabatan antara anak pemulung, Rara (Dwi Tasya), dan anak seorang kaya, Aldo (Emir Mahira) yang mengidap down syndrome, film ini jatuh menjadi potret tak imbang yang (buat saya) menjengkelkan.

1515

1516

4. FILM DAN KITA

Ketika rumah Rara dan kawan-kawan di kampung kumuh mereka terbakar, film malah lebih fokus pada masalah kakak perempuan Aldo yang merasa minder atas Aldo pada seorang cowok teman sekolahnya yang sedang ia taksir. Bayangkan, masalah satu kampung terbakar bisa jadi kurang penting dibanding masalah Aldo dan kakaknya (!). Di pintu kamar rumah sakit tempat nenek Rara yang koma sehabis kebakaran kampung mereka itu (atas derma keluarga Aldo), nenek Aldo berkata, “Nah, makanya, kita harus bersyukur bahwa keluarga kita masih utuh.” Wow! Seolah tragedi orang kampung sekadar sarana mensyukuri keadaan keluarga kaya yang utuh (persoalan keutuhan keluarga seolah lebih penting dari persoalan kehilangan kampung). Seolah, kalau si kaya sudah berbaik hati berderma, masalah si miskin selesai atau tak perlu dirisaukan lagi. Persoalan kemiskinan bukan persoalan keadilan, tapi persoalan ketidakberuntungan (atau, dalam satu garis pemahaman itu, persoalan kegigihan meraih peruntungan). Film Aditya ini dibuat masih dalam kerangka estetika sinetron TV kita. Lain lah dengan Rindu Purnama yang dibuat dengan biaya sekitar enam milyar rupiah itu: di beberapa tempat, khususnya di bagian-bagian yang terisi soundtrack asyik dari, a.l., rocker Aceh Rafli, film ini terasa berkelas A; walau, di beberapa bagian lain, tetap terasa seperti sinetron juga. Namun, kedua film ini sama-sama menutup mata dari persoalan keadilan sosial dan dari tragedi sesungguhnya masalah kemiskinan kota. Masalah kemiskinan masih didatangi secara turistik. Tapi, yang membuat saya tepekur adalah Surat Kecil Untuk Tuhan (SKUT). Film ini salah satu “pahlawan film nasional” di 2011, karena meraih hampir 800 ribu penonton di saat perolehan penonton film nasional kita sedang lesu. Itu pun karena masa tayang film ini di jaringan 21 terpotong tiba-tiba oleh kehadiran Harry Potter dan Transformer 3 akibat Jero Wacik membuka tiba-

PADA MULANYA, DAN PADA AKHIRNYA, PROSES

tiba pintu bagi film Hollywood yang sedang bermasalah akibat tunggakan pajak distributor film asing. Jika dibiarkan, sebagian pengamat bilang SKUT bisa meraih sekitar 1,5 juta penonton. Masalahnya, SKUT adalah film yang termasuk buruk. Film ini amat sangat melodramatis secara kekanakan – dan barangkali, itu sebabnya ia laris. Film ini mengangkat kisah nyata seorang anak yang menderita kanker, dan kemudian wafat. Penggambaran derita kanker itu sungguh berlebihan. Bahkan, disediakan tak kurang dari enam orang ABG cewek untuk jadi sahabat si penderita kanker, Keke (Dinda Hauw) yang fungsi filmisnya hanyalah memperbanyak jumlah pemeran gadis menangis sesenggukan di layar. Adegan-adegan dan gambar-gambar SKUT tersusun sesuai, lagi-lagi, estetika dominan sinetron TV kita. Dialog-dialog sama sekali tak meyakinkan. Karakterisasi sungguh miskin, tak ada perkembangan jiwa yang menggetarkan dalam cerita yang dirancang agar mengharukan ini. Lalu, jika SKUT adalah film yang terhitung buruk, mengapa ia begitu kena di penonton film kita? Mengapa, film macam Sang Penari begitu sukar meraih 100 ribu penonton? Menonton SKUT, bagi saya, adalah menonton Penonton Film kita saat ini. Tapi, saya jadi berpikir keras kembali soal pertanyaan dasar itu: Siapakah sesungguhnya Penonton Film Nasional?

Putusan dinihari, dan kontroversi-kontroversi Paling tak enak jadi juri adalah menyadari bahwa (1) juri harus memilih pemenang (yang berarti menyingkirkan unggulan lain yang ada), (2) pilihan-pilihan juri itu punya konsekuensi sosial (baca: tak akan menyenangkan semua orang –dan dalam kasus FFI, lebih mungkin tak akan menyenangkan banyak orang).

1517

1518

4. FILM DAN KITA

Dari pemutaran film pertama bagi juri, The Mirror Never Lies (sutradara: Kamila Andini) hingga film ke-16, ketujuh juri selalu berdiskusi dengan penuh semangat. Dinamika terjadi, beberapa film diperdebatkan panas. Penetapan nominasi film terbaik pun cukup seru. Tapi, bahkan dengan segala dinamika sepanjang proses menonton selama lima hari itu, saya agak tak menyangka bahwa diskusi terakhir penetapan pemenang berjalan sangat alot untuk beberapa kategori. Diskusi akhir itu berlangsung hingga hampir pukul empat dini hari, hari-H penganugerahan FFI 2011. Secara keseluruhan, dari 13 kategori nominasi, para juri menempatkan capaian teknis-estetis sebagai ukuran utama pada 11 kategori. Eksplorasi dihargai, setelah capaian teknis beres. Tapi, dalam dua kategori utama, yakni nominasi Film Terbaik dan Sutradara Terbaik, juri sepakat bahwa unsur visi menjadi pertimbangan yang lebih penting daripada capaian teknis. Dalam praktik, pertimbangan ini tak menjadikan penilaian lebih mudah. Soal teknis-estetis, misalnya, ternyata harus menimbang paradigma teknis-estetis yang berbeda-beda, yang rupanya masih bertabrakan dalam seleksi para unggulan maupun seleksi pemenang di tahap akhir penjurian. Komite nominasi bidang skenario, misalnya, rupanya punya pandangan yang beda dengan beberapa juri dalam menilai keunggulan teknis sebuah skenario. Catatan penting lainnya adalah: fakta bahwa ada film-film buruk yang mendapat nominasi pada unsur-unsurnya mungkin menunjukkan betapa tak padunya moda kreasi sebuah film di masa kini. Setiap unsur dikerjakan oleh para spesialis, yang tak merasa jadi bagian keseluruhan film. Sebuah unsur film bisa jadi nomor wahid, tapi filmnya secara keseluruhan nomor kacrut. Produser dan sutradara, rupanya tak semuanya punya visi menyeluruh atas film yang mereka buat.

PADA MULANYA, DAN PADA AKHIRNYA, PROSES

Berikut, catatan pribadi saya untuk beberapa nominasi yang saya anggap perlu lebih dipertanggungjawabkan, dan beberapa yang rupanya kontroversial. Saat diumumkan saja, sudah berseliweran twit-twit yang mengecam beberapa putusan juri. Sesudah pelaksanaan FFI, beberapa orang menggugat langsung ke saya beberapa putusan itu (mungkin juga ke juri yang lain). Nominasi film terbaik

Seorang juri mencatat bahwa ada tiga macam film yang berlaga jadi film terbaik: (1) film yang berorientasi komersial, seperti Masih Bukan Cinta Biasa, (2) film yang berorientasi seni dan tak komersial, diwakili oleh The Mirror Never Lies, dan (3) film yang berada di tengah-tengah, mencoba meraih orientasi seni tapi juga mencoba merangkul pasar, diwakili oleh Sang Penari. Setelah menonton ke-16 film itu, saya punya kesimpulan berbeda. Bagi saya (gara-gara sering berdiskusi dengan temanteman Rumahfilm.org, khususnya Eric Sasono), dikotomi film “idealis” dan “komersial” sudah tak bisa bekerja dengan baik lagi. Saya memandang, oposisi yang ada di FFI kali ini lebih pada (1) film-film yang dibuat berdasarkan pakem-pakem estetika yang sudah mapan, dengan pembobotan pada keterampilan teknis tinggi, dan (2) film-film yang berorientasi pada penjelajahan estetika baru, dan mengedepankan visi unik, mungkin personal, dari para pembuat filmnya. Dalam FFI kali ini, buat saya, wakil terbaik jenis pertama adalah Tendangan Dari Langit karya Hanung Bramantyo; dan wakil terbaik jenis kedua adalah Sang Penari. Sedang The Mirror Never Lies masuk jenis kedua, dan Masih Bukan Cinta Biasa masuk jenis pertama. Tentu saja, tak semua juri sependapat dengan pilihan saya. Ada yang menempatkan The Mirror Never Lies dan Masih Bukan Cinta Biasa  sebagai jagoan utama. Tapi, saat pemilihan film

1519

1520

4. FILM DAN KITA

terbaik, relatif tak terjadi perdebatan terlalu alot.  Sang Penari diterima sebagai film yang menawarkan suara terpenting dibanding film lain tahun ini karena upayanya membalik versi resmi sejarah kelahiran Orde Baru. Tapi, penerimaan para juri itu dengan catatan keras: Sang Penari masih mengandung banyak kelemahan—dan ini, agaknya membutuhkan ruang tersendiri (saya akan ulas di bagian tiga catatan saya ini). Skenario Terbaik

Ini salah satu kategori yang sangat alot diskusinya. Kandidat terkuat adalah skenario Masih Bukan Cinta Biasa dan Sang Penari. Saya menganggap skenario Sang Penari lebih unggul karena lebih baik dalam strukturnya, lebih padat dan matang dalam cerita dan tema.  Masih Bukan Cinta Biasa  unggul dalam karakterisasi, mengandung adegan-adegan yang kadang mengandung humor brilian, dan dialog-dialognya sering bernas juga. Buat saya, Masih Bukan Cinta Biasa sering longgar dalam hal struktur, sehingga ada bagian-bagian film yang terasa bolong atau tak perlu benar. Tapi, para juri kemudian sepakat bahwa skenario Masih Bukan Cinta Biasa  sangat “mengangkat” filmnya sendiri. Sementara  Sang Penari lebih terangkat oleh penyutradaraan. Seandainya unsur visi dibolehkan untuk pertimbangan, saya akan ngotot memenangkan Sang Penari. Tapi, kami akhirnya sepakat bahwa pada dasarnya, skenario lebih terkait dengan persoalan teknis. Dengan demikian, saya masih bisa berkompromi demi mufakat tentang siapa pemenang skenario terbaik. Pemeran Pria Terbaik

Keputusan juri untuk nominasi ini yang paling banyak dikecam, rupanya. Nyaris jadi pandangan “umum” di kalangan perfilman kita bahwa ini tahunnya Oka Antara, yang memerani Rasus dalam Sang Penari. Di kalangan juri, pada mulanya, hanya saya

PADA MULANYA, DAN PADA AKHIRNYA, PROSES

(seingat saya) yang menjagokan Oka. Tapi, keberatan terhadap Oka bisa saya terima, karena sebetulnya itu juga keberatan saya: Oka seperti memerankan dua tokoh berbeda dalam Sang Penari. Ada terasa lompatan yang terlalu jauh, antara Rasus sebelum jadi tentara, yang dipotret Oka seperti (kata salah seorang juri) village idiot; dengan Rasus yang menyupir jip dengan baju tentara di pasar dan sesudahnya. Maka, sebetulnya, perdebatan di antara juri adalah pilihan antara Ferdy Taher dalam Masih Bukan Cinta Biasa yang dianggap sangat natural; dan Emir Mahira, pemain cilik dalam  Rumah Tanpa Jendela, yang dianggap berhasil memasuki karakter tokoh pengidap  down syndrome  secara konsisten. Pengalaman juri yang sempat tak mengenali Emir dan mengira bahwa tokoh Aldo diperani oleh pengidap  down syndrome sebenarnya, jadi salah satu penentu pilihan juri. Ada yang menggugat bahwa tak pernah ada dalam sejarah penghargaan film, pemain cilik dipertandingkan setara dengan pemain dewasa dalam hal seni peran. Tapi, sejarah mencatat bahwa pada 1974, Tatum O’Neil mengalahkan para pemain dewasa saat memenangi Oscar untuk Paper Moon pada saat ia 10 tahun. Pemeran Pembantu Pria Terbaik

Kenapa bukan Landung Simatupang pemenangnya? Seandainya Landung dinominasikan untuk perannya di Sang Penari, peluang menangnya sungguh besar. Tapi, sayang sekali komite nominasi bidang ini luput memasukkannya. Menarik juga, bahwa untuk peran pembantu pria, kandidat lumayan berlimpah (tak seperti, misalnya, kandidat untuk pemeran utama wanita), sehingga ada yang tak tertampung. Seolah, banyak sekali aktor watak yang tak diberi kesempatan jadi pemeran utama, hanya disediakan peran pembantu buat mereka. Juri, misalnya, mencatat Piet Pagau dalam Batas bermain sungguh kuat. Tapi, pemenang FFI 2011

1521

1522

4. FILM DAN KITA

untuk kategori ini, Mathias Mucus, memang tampil meyakinkan dalam Pengejar Angin, sebagai pendekar silat merangkap bajing loncat (perampok). Sinematografi Terbaik

Calon terkuat untuk nominasi ini adalah sinematografi Sang Penari dan ? (Tanda Tanya), dan keduanya dikerjakan oleh Yadi Sugandi. J Sebetulnya, patut dijagokan juga sinematografi dalam  The Mirror Never Lies  oleh Rachmat ‘Ipung’ Syaiful, mengingat tingkat kesulitannya yang cukup tinggi untuk mengambil gambar-gambar indah di kampung laut suku Bajo. Sinematografi  ? (Tanda Tanya)  dimenangkan juri karena kematangan capaian teknisnya. Pada Sang Penari, eksplorasi Yadi memang berharga. Tapi, berdasarkan pertimbangan dari Komite Nominasi bagian Sinematografi, keberhasilan capaian teknis Yadi di Sang Penari kurang konsisten.

Merawat proses Lepas dari segala kekurangan dalam proses penjurian FFI 2011, prosesnya itu sendiri sungguh patut dipertahankan untuk kemudian diperbaiki. Salah satu hal yang menggembirakan, seusai FFI 2011, adalah perbincangan hangat dari beberapa praktisi film angkatan muda dalam mengevaluasi dengan sangat kritis keputusan-keputusan juri dan komite nominasi. Proses inilah yang, menurut saya, berharga untuk dirawat: proses terlibat secara aktif dalam membangun FFI yang lebih absah sebagai sebuah benchmark film nasional bermutu di masa depan. Tapi, saya juga sadar benar betapa dalam skema besar “kehidupan bangsa”, FFI 2011 belumlah jadi persoalan bersama masyarakat. Setelah upacara itu lewat, apa yang tersisa di masyarakat luas? Tak terlalu banyak, rupanya. FFI lewat, sebagai

PADA MULANYA, DAN PADA AKHIRNYA, PROSES

mana hari-hari biasa lewat. Para pemenang dan semua yang tak menang, segala air mata dan kegembiraan dalam prosesi FFI 2011, segera terlupakan. Tahun baru tiba, orang berpikir tentang kiamat, sandal, dan jamban. Film nasional, dan FFI, masihlah terutama hangat dibicarakan di kalangan sangat terbatas.

1523

1524

4. FILM DAN KITA

5

Berburu Shu Qi, Madonna Lari FILMSIANA, DAN LAIN-LAIN

Ekky Imanjaya

Pilih Siapa Gubernur DKI: Sophan atau Asmuni? Judul diambil dari majalah Zaman (19 September 1982)

P

ada 1980-an, ada majalah unik terbitan kelompok Tempo, namanya Zaman. Majalah keluarga ini berisi topik gado-gado, iseng, dan cukup banyak memuat artikel tentang film. Ketika akhirnya majalah ini ditutup karena tak menguntungkan, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya kemudian dipakai untuk majalah Matra – yang cenderung mencontoh Playboy, yakni majalah gaya hidup pria. Nah, pernah ada di Zaman rubrik Opini. Dalam rubrik ini, redaksi melontarkan sebuah topik yang sedang hangat di masyarakat pekan itu, lalu mengundang pembaca maupun tokoh masyarakat memberi komentar singkat mereka. Macam-macam topiknya, seperti “Seandainya anak saya homoseksual”, soal setuju atau tidak mencat rambut (Rendra bilang, pro!), dan banyak lagi. Pada edisi 19 September 1982, topik yang dimuat adalah “Kalau Aku Jadi Gubernur DKI”. Ada enam opini yang dimuat, tiga dari rakyat jelata (pedagang kaki lima, tukang becak, dan pedagang

1528

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

kelontong), satu dari penyiar RRI (Bang Madi, si “Tukang Sado”), dan dua dari insan film/artis: Sophan Sophian serta Asmuni. Berikut, petikan pendapat dua insan film itu, seandainya mereka jadi gubernur DKI: Sophan Sophian

...(Y)ang pertama kali saya akan saya kerjakan adalah, istri saya tidak boleh ikut campur urusan saya... Urusan kebersihan, itu urusan pemerintah DKI, bukan urusan para istri. Kebersihan di rumah itu baru urusan istri. Selain itu saya akan hidupkan lagi semua aturan yang pernah dijalankan oleh Bang Ali. Sopir yang ngebut dan seenaknya di jalan raya, saya setop dan saya tinju. ... Kalau ada yang protes saya gebuk sekalian. Dikira gampang jadi gubernur DKI? Sampai sekarang saya kira masih harus dengan tangan besi menangani Jakarta ini...Kekerasan harus dilawan dengan kekerasan. Itu baru namanya gubernur DKI. Soal kaki lima akan saya hapus sama sekali. Merusak pemandangan, mengganggu lalu lintas dan tidak berbudaya. Masa keadaan yang tidak berbudaya ini malah dipiara, seperti sekarang ini. Asmuni

Eh lah, jadi gubernur itu harus gagah, berwibawa, dan tampak pinter. Walaupun mungkin bodoh kayak saya ini ...harus tampak keminter. Eh lho, gubernur kok! Pokoknya kalau saya jadi gubernur, keminter nih, semua kerekere dan para penghuni gubuk-gubuk di pinggir sungai saya haruskan untuk mendapat rumah di Perumnas. Tapi ada kewajiban buat mereka ini. Setiap malam secara bergilir, mereka harus nonton Srimulat.... Ini penting mas, perintah gubernur. Daripada nyeleweng, cari perempuan ke sana ke mari, saya akan kawin lagi. Tidak tambah satu, sepuluh sekalian. Gubernur

PILIH SIAPA GUBERNUR DKI: SOPHAN ATAU ASMUNI?

lho ini, penting itu. Untuk menambah semangat kerja. Jamu mas, jamu. ... Banyak sebetulnya yang ingin saya kerjakan kalau saya jadi gubernur. Tapi saya takut mengatakan, nanti ditangkap. Belum jadi gubernur sudah ditangkap, kan nggak enak. ***

1529

Donny Anggoro

Film Fantasi dan Fiksi Ilmiah Indonesia: Adakah?

P

ertanyaan di atas mungkin sulit dijawab. Di Indonesia, genre film fantasi dan fiksi ilmiah kalah populer dibandingkan drama percintaan dan tema horormistik. Mungkin lantaran biaya produksi film fantasi dan fiksiilmiah lebih mahal dan membutuhkan keterampilan khusus di luar teknologi film yang selama ini dipelajari di sekolah film kita. Keterampilan khusus tersebut tak lain adalah penguasaan di bidang teknologi yang semestinya bisa disinergikan dengan ilmu film. Industri film kita yang nampaknya masih lebih membutuhkan kemampuan dramatik dan penguasaan seni peran membuat ilmu teknologi jadi seperti dikesampingkan –salah satu hal yang membuat genre fantasi fiksi ilmiah di sini kurang populer. Penguasaan ilmu fisika dan sains sebagai fondasi (agar cerita yang dibuat dapat meyakinkan penonton) jika ingin menjelajah genre ini nampaknya agak sulit dijamah masyarakat kita yang

FILM FANTASI DAN FIKSI ILMIAH INDONESIA: ADAKAH?

lebih akrab dengan mitos dan legenda. Akibatnya, penonton film genre ini di sini tidak terbentuk. Kalau pun ada, hanya terpuaskan dari film-film luar negeri yang memang sudah maju pencapaian efek visual mereka. Padahal, untuk mengangkat genre horor-mistik (juga silat) yang diilhami dari mitos dan legenda, penguasaan trik dan efek visual lainnya juga diperlukan, sama halnya dengan fiksi ilmiah. Begitu sedikit jumlah film atau buku fiksi ilmiah yang dirilis. Jika dilihat dari perkembangan dunia pustaka, genre ini pernah ditekuni oleh penulis anak Djokolelono. Penulis yang belakangan aktif dalam dunia periklanan ini pernah menelurkan buku trilogi Penjelajah Angkasa pada era 1980-an. Buku yang diterbitkan Gramedia ini pada masanya cukup mendapat sambutan. Sebelumnya, ia menulis novel anak  Bintang Hitam (1985) yang masuk dalam buku anak Seri Kancil (juga dari grup Gramedia). Nah, berikut adalah khasanah film fiksi ilmiah yang pernah kita miliki. Walau sedikit, dan tak terlalu ”fiksi ilmiah” karena beberapa masih dicampuri  klenik, tapi asyik juga menengok mereka kembali. Rama Superman Indonesia (1974)

“Superman” versi asli, yang diciptakan Jerry Siegel dan Joe Shuster pada 1939, baru dibesut menjadi film layar lebar tahun 1978 oleh sineas Richard Donner. Sineas Indonesia ternyata sudah mendahului dengan membuat film Rama Superman Indonesia. Produksi bersama PT Serama Film dan Jakarta Putrajaya Film ini disutradarai Frans Totok Ars dan skenarionya digarap oleh M. Endraatmadja yang juga bertindak sebagai produser Serama Film. Dibintangi oleh Agust Melasz, Jenny Rachman, Djauhari Effendi, dan Beng Ito, film ini mengisahkan seorang anak kecil penjaja koran yang menemukan jimat kupu-kupu emas. Jika jimat itu

1531

1532

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

dicium, ia jadi orang dewasa kuat yang dapat terbang dan berkostum seperti Superman bernama Rama (diperankan Agus Melasz). Ia sering menolong orang dan menjadi pemberitaan koran. Sang bocah berkenalan dengan dengan Lia (Jenny Rachman), putri Profesor Hartoyo yang sedang diincar komplotan penjahat Naga Hitam karena formula temuannya, yakni bahan peledak berkekuatan tinggi. Usaha merebut formula itu selalu digagalkan Rama sehingga Lia diculik komplotan Naga Hitam. Meski penggarapannya masih sederhana, film ini cukup unik dengan menggunakan caption seruan “braakkk”, “wow”, dan sebagainya, seperti dalam komik. Penggunaan caption ini nampaknya dipengaruhi serial televisi Batman (1961, diperankan aktor Adam West) yang sempat ditayangkan di TVRI pertengahan 1970-an. Gundala Putra Petir (1981)

Disutradarai Liliek Sudjio, film ini nampaknya mencoba memuaskan dahaga pencinta komik Gundala karya Hasmi yang populer saat itu. Diperankan Teddy Purba sebagai Sancaka/ Gundala, film ini diiklankan secara bombastis dengan mencantumkan kalimat “Setelah Superman!” di poster filmnya. Selain memuaskan penggemar komiknya, film ini dibuat paling tidak menyaingi popularitas film “Superman” yang diperankan Christopher Reeve di bioskop nasional. Seolah film ini hendak memberi gambaran bahwa Indonesia juga punya ikon superhero yang tak kalah hebat dari Superman. Sayang, film ini kalah sukses dibandingkan film Si Buta dari Goa Hantu yang juga diangkat dari komik. Terbukti dengan tidak dibuat sekuel Gundala, sedangkan Si Buta saja dibuat sampai berjilid-jilid dan merambah ke layar gelas hingga berjudul-judul. Pemeran lainnya dalam film ini adalah Anna Tairas, Pietrajaya Burnama, dan WD Mochtar.

FILM FANTASI DAN FIKSI ILMIAH INDONESIA: ADAKAH?

Manusia 6.000.000 Dollar (1981)

Meskipun film produksi Bola Dunia Film ini membonceng ketenaran serial teve The Six Million Dollar Man dengan tokoh jagoan bernama Steve Austin, film ini sedikit mengandung unsur fiksi ilmiah yang dikemas dalam humor parodi. Diperankan Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro), film ini disutradarai dan ditulis skenarionya oleh Ali Shahab. Kalau “The Six” mengisahkan Steve yang dijadikan manusia bionik setelah mengalami kecelakaan pesawat terbang, detektif Dono mengalami kecelakaan parah ditabrak bajaj tatkala mengejar pencopet. Bos detektif Kasino mengeluarkan biaya enam juta dolar untuk mengganti tubuh Dono yang rusak. Detektif Dono menjadi kuat dan punya kelebihan di atas rata-rata manusia biasa. Manusia 6.000.000 Dollar juga memopulerkan aktor gundul bertubuh tambun, Jack John, yang setelah film ini sering mendapat peran sebagai orang kuat atau jin (salah satunya, Jin Tomang). Jack John berperan sebagai orang kuat bergigi besi bernama Robot. Uniknya, selain memarodikan The Six Million Dollar Man, penampilan Robot di film ini terinspirasi dari tokoh Jaws (juga kuat dan bergigi besi), musuh James Bond (versi Roger Moore) dalam Moonraker yang juga beken pada zaman itu. Selain Jack John, aktor Dorman Borisman juga melesat lewat film yang merupakan debut akting Meriam Bellina ini.

Gadis Bionik (1982)

Masih disutradarai dan ditulis skenarionya oleh Ali Shahab, film ini sebenarnya masih terkait dengan Manusia 6.000.000 Dollar. Hampir semua pemainnya sama, kecuali trio Warkop DKI yang absen. Tokoh penjahatnya pun sama, yaitu Kontet (Don Nasco) yang di film sebelumnya dipenjara, juga Robot (Jack John). Di film ini ia berhasil meloloskan diri dan bermaksud balas dendam kepada Rita (Eva Arnaz), gadis yang membuatnya ditangkap. Rita

1533

1534

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

ditabrak jip oleh gerombolan Kontet dan mengalami kecelakaan parah. Agar pulih, Rita diselamatkan dan menjadi gadis bionik. Rita kemudian membantu polisi menumpas komplotan Kontet. Kalau film sebelumnya sangat humoris, Gadis Bionik cenderung serius dan nampaknya digarap sebagai film laga, bukan komedi. Humor di sini hanya tampak di adegan awal. Selain ”The Six”, film ini terinspirasi dari serial teve Bionic Woman yang juga populer pada masa itu. Homeland (2003)

Cukup lama genre fantasi dan fiksi ilmiah ditinggalkan, sampai muncul Homeland (sutradara dan cerita Gangsar Waskito) yang sejatinya adalah karya animasi. Mengisahkan Bumi, bocah 14 tahun yang tedampar di sebuah planet setelah mengendarai pesawat luar angkasa. Bumi tak tahu nasib ayahnya yang hilang setelah pesawat mereka mengalami masalah. Film produksi Studio Kasatmata dan Visi Anak Bangsa ini meski secara teknis cukup baik, dari segi cerita masih berat dikonsumsi anak. Memang ada beda visi yang sulit dikompromikan antara penciptanya (Studio Kasatmata, SET, dan Visi Anak Bangsa) yang semula membuatnya untuk remaja dengan investor yang menginginkan Homeland untuk anak. Pertimbangan investor pun bisa dimengerti lantaran pasar untuk animasi remaja memang belum terbentuk. Di Indonesia tayangan animasi remaja belum begitu populer, berbeda dengan di Amerika atau Jepang, di mana animasi remaja bahkan untuk dewasa sudah menjadi tren, baik di televisi dan layar lebar. Homeland merupakan film animasi fiksi ilmiah pertama kita yang diedarkan di luar bioskop melalui tayangan televisi, kemudian beredar dalam bentuk VCD. Janus: Prajurit Terakhir (2003)

Mengisahkan manusia robot dari abad 34 yang terdampar di abad 21 bernama Janus. Ia terdampar setelah insiden perang antar

FILM FANTASI DAN FIKSI ILMIAH INDONESIA: ADAKAH?

bangsa di masa depan. Janus berusaha kembali ke zamannya untuk melanjutkan perjuangan bangsanya, Genoc melawan Draco. Usahanya didukung Mayo (Derby Romero) dan Indri (Alyssa Soebandono). Mereka dikejar dua bocah badung dan diburu pasukan Draco di masa depan (musuh Genoc) dan orangorang dewasa yang tidak percaya cerita Mayo. Disutradarai dan skenarionya ditulis oleh Chandra Endroputro (Kejar Jakarta) yang semula aktif di bidang periklanan, film ini mencoba menggabungkan animasi dengan adegan film sungguhan yang diperankan aktor-aktris nyata. Meski tak sampai sekualitas Who Framed RogerRabbit (1988) yang juga menggabungkan animasi dan pemain sungguhan, film ini secara teknis cukup baik dan patut dihargai sebagai terobosan baru di Indonesia.

1535

Asmayani Kusrini

Istirahat = 3 Film

I

stirahat syuting, apalagi yang bisa dilakukan selain main? Namanya juga istirahat syuting, kamera nganggur. Salah satu alternatifnya, ya bermain dengan kamera. Begitulah yang dilakukan oleh kameramen yang juga merangkap sutradara, Liew Seng Tat. Saat sedang melakukan syuting sebagai kameramen Amir Muhammad di sebuah desa kecil di Malaysia, Seng Tat juga ikut bergaul dengan penduduk desa setempat. Saat istirahat, sutradara kelahiran 1979 ini, menggunakan kamera nganggur untuk mengambil gambar di sekitar desa. Salah satunya, sebuah acara tahunan di sebuah Taman Kanak-Kanak. Acara tahunan ini diisi dengan pesta kostum. Kostum yang dipilih anak-anak ini beragam pula. Dari yang dipersiapkan super teliti kayak kostum bidadari bersayap hingga kostum celana kolor. Si anak bercelana kolor ini ceritanya ingin menunjukkan bahwa dia olahragawan dalam bidang angkat besi.

ISTIRAHAT = 3 FILM

Dari segerombolan anak-anak inilah yang paling menarik perhatian adalah anak berkostum bunga matahari. Entah apa yang salah. Sang bunga matahari ini cemberut sepanjang waktu. Bahkan saat teman-temannya yang lain asyik bergembira ria, dia tetap cemberut. Adegan ini terus direkam oleh Seng Tat. Dan hasilnya diedit, kelucuan-kelucuan yang tertangkap disatukan, dan jadilah sebuah film pendek 7 menit diberi judul Matahari. Film ini masuk kategori Short : As Long As It Takes dalam festival film Rotterdam yang baru lalu. Seng Tat yang sekaligus jadi asisten sutradara Amir Muhammad ini tidak hanya membuat matahari di desa itu, tapi juga sebuah komedi singkat berjudul Man in Love. Film pendek berdurasi 4 menit ini sebetulnya ingin bercanda. Jadi dibuka adegan seorang bapak ngobrol dengan ‘kekasih gelapnya’. Tak ada yang sitimewa dengan obrolan tersebut selain mengenang kisah mereka dulu. Sampai kemudian ketika si bapak sambil merokok, lalu memotret dengan  kamera Nikon, ketahuan, si bapak ternyata punya 3 tangan. Lalu belakangan, si ‘kekasih gelap’ yang diajak ngobrol juga ternyata  punya 3 kaki yang diberi kuteks warnawarni. Mungkin  Man in Love  tidak menawarkan banyak hal kecuali kejutan 3 tangan dan 3 kaki itu. Tapi harus diakui, idenya yang tidak biasa membuat Man in Love dianggap layak putar. Seng Tat, tidak berhenti hanya di situ. Dia juga membuat  Daughters, di waktu senggang yang sama. Mendokumentasikan sejumlah kegiatan setempat dengan ibu-ibu dan anak-anak perempuan. Seng Tat, yang baru saja menyelesaikan film panjangnya yang pertama A Flower in Your Pocket ini, bakal ikut meramaikan serbuan sinema muda Malaysia ke Eropa. Seng Tat juga berasal dari kelompok yang sama yang membesarkan Tan Chui Mui, James Lee, Ho Yuhang dan Woo Ming Jin.

1537

Ekky Imanjaya

Mengaji Dunia Film

S

iapa yang tahu majalah film pertama di Indonesia? Mungkin banyak yang ngacung dan nyeletuk: “Saya tahu! Saya tahu! Doenia Film! Andjar Asmara pemrednya!” Yak! Seratus! Tapi siapa yang sudah pernah melihat dan membacanya? Izinkan kali ini saya, dengan penuh kerendahan hati, yang berteriak euforia:” Saya! Saya!” Saya memang gembira bukan kepalang saat menemukannya, di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies alias KITLV, Leiden, Belanda. Saat di katalog tercantum nama “Dunia Film”, saya belum begitu ngeh. “Ah mungkin judul buku saja,” ujar saya yang saat itu, yang tengah mencari bukubuku berbahasa Inggris tentang film Indonesia—saya jumpai nama Karl Heider, Khrisna Sen, Salim Said, dan Misbach Jusa Biran. Namun begitu saya iseng-iseng memesannya, saya seperti menemukan harta karun! A-ha!

MENGAJI DUNIA FILM

Dan KITLV pun memperlakukannya bak harta karun. Majalah antik itu tak boleh dibawa pulang. Walhasil saya pun memfotokopinya saja. Mari kita mulai mengkajinya. Rupanya Dunia Film (sudah memakai EYD rupanya) yang saya baca adalah nomor yang kesembilan, di akhir 1953 — dalam tajuk rencana mereka, tertulis bahwa di awal tahun 1954 majalah ini akan menjadi dwi-mingguan. Dalam masthead (keterangan redaksi), tercatat Madjalah Dunia Film bergambar dengan pemimpin umumnya Abdul Latief. Dewan redaksinya Julius Bahri Noer, H Asby, dan John Muzhar. Ada juga pembantu tetap di luar negeri yaitu di Roma, Singapura, Jepang, Manila, Hong Kong, dan India. Tidak ada nama Andjar Asmara lagi di sana. Harga eceran Rp. 3, dan alamat redaksi serta administrasinya di Djalan Kunir no. 1. Sampulnya seorang gadis manis berkerudung. Keterangannya ada di baliknya: “Lies Noor, peladjar S.M.A. bintang jang boleh diharapkan dari P.F.N.”. Sekilas, majalah ini sangat dengat dengan pengusaha dan pemilik Persari, Djamaluddin Malik. Beberapa iklan dari perusahaan milik ayah Camelia Malik ini ada di sana. Dan saat Djamaluddin ke Manila, bersama Usmar Ismail, untuk menghadiri konferensi para produsers Asia (16-20 November), mereka ikut mengantar ke bandara, dan meliput. Dari iklan yang sangat sederhana, kita belajar tentang distribusi saat itu. ada Gabungan Film Importir Nasional Indonesia (Gafini) yang menawarkan film-film mereka untuk para pengusaha  bioscoop. Ada film Tiongkok (dari  Kui Fang Lo hingga Fu Kui Fa), Malaya (Lupa Daratan, Radja Sehari), India (Arabian Night, Nirmal), Mesir (Gharam Rakisa, Muallim Bulbule), Amerika (Bridge of San Luis Rey, Pot O Gold), Jepang (Muteki, Golden Girl), hingga Spanyol (La Estrella De Merena, Lanina De La Vinta). Bunyinya: “Djaminan bagi pengusah2 bioscoop. Isi tjerita

1539

1540

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

jang memuaskan, seru dan hebat. Lutju dan gembira, njanji dan tari-tarian  jang menarik. Tjatat nama Gafini Films Ltd”. Rupanya, dunia film juga punya anak perusahaan impor ekspor di bidang penerbitan, percetakan, penjilidan, toko buku, biro reklame, dll. Keterangannya: “Satu2nja Usaha Nasional 100%. Mulai dari sekarang kami sudah dapat pula mempersewakan film luar negeri dari ukuran 16 m/m.  Untuk  film keliling dapat tarip jang istimewa. Mintalah keterangan lebih landjut pada alamat diatas”. Ada info film yang menceritakan ringkasan keseluruhan isi cerita, dari berbagai distributor, termasuk The War of the World.  Ada pula kajian tentang kritik film. Kali ini ditulis oleh Harlen Loekman dengan judul “Perkembangan Film Indonesia dan Kritik Pemuda (1)”. Favorit saya adalah “Mengintip di belakang Lajar Putih”. Ini semacam trivia. Silakan simak beberapa tulisannya:

Bioscop Astoria Djakarta

Dalam minggu pertama dalam bulan Nopember 1953 ini mendapat serangan dari djangkrik2 tetapi lebih hebat lagi serangan pentjinta2 Marilyn Monroe di ibu kota, sehingga waktu pertundjukan terpaksa dimulai sadja sebelum waktunja jang telah ditetapkan. Film Marilyn Monroe jang diputar itu adalah: Don’t Bother to knock – produksi 20 th Fox dengan Richard Wildmark. Zonder

Seorang boxer dan pemain film sebelum perang dalam Harta Berdarah kini menjetir opelet kepunjaannya sendiri dengan route Djatinegara-Kota. Bahwa di dalam “Kafedo” perkataan2 untuk saudara atau bung diganti dengan kata2 “TEMAN”.

MENGAJI DUNIA FILM

Menurut penjelidikan Menteng bioscoplah yang paling record dengan kutubusuknya. Kalau mau pertjaja, njalakanlah anak geretan, dan lihatlah ditjelah-tjelah rotan2 kursi, sdr2 tentu akan puas. Barbara Stanwyck

Setelah dia kembali dari pengambilan location dari hutan2 Mexico di Los Angelos menerangkan bahwa sekarang ini dia tak akan berteriak lagi apabila melihat lawa2 karena di Mexico dia telah melihat binatang2 jang lebih menakutkan lagi umpama: Kala. Marilyn Monroe

Adalah satu2nja wanita jang mempunjai “gaja elecriciteit tjium bernafsu” sebesar 13000 ohms. Rupanja gaja tjium inipun diukur di Hollywood. Tapi rupanya rubrik ini ada saingannya, yaitu “Ngaur”. Wak Den, sang penulis memaparkan fungsi sosiologis bioskop kala itu dengan kocak. Silahkan simak sepenuhnya: Bioskop

I. Umum r Satu2nja jajasan penjajang kutu busuk r Penjebar bibit kutu busuk r Tempat merosotnja bau parfum r Tempat mempertundjukkan berbagai film dimana adegan tjium mendapat proiritet nomor wahid II. Orang tua r Tempat menonton 2 matjam pertunjukan 1 x lihat r Alasan untuk kanak laki2 minta duit dan alasan keluar malam bagi anak perawan

1541

1542

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

III. Suami Tempat tjutji pikiran sesudah disambar piring terbang. IV. Istri Tempat menghabiskan waktu pagi selagi suami di kantor V. Baji Tempat jang menjebabkan sang baji ditinggal sendirian VI.  Pemuda r Tempat strategis untuk djual tampang dan tjari mangsa r Tempat membawa si “dia” dengan sedikit biaja utuk tarik keuntungan lega r Tempat jang strategis bagi operasi tangan r Tempat jang menghendaki tjelana wol pindah keloak bila tanggung bulan VII. Pemudi r Tempat hiburan istimewa zonder ‘kosten” r Medeblad terbaik untuk model badju a la primitip. r Kuliah terbaik untuk teori “Tjinta dan tjium” bagi para “sweet seventeenth” r Kuliah terbaik untuk meniru gerakan jang “Sex-Appeal”. VIII Peladjar r Pengisi waktu bolos r Tempat penambah pengetahuan umum jang “Oneindig”. r Menjebabkan penunggakan uang sekolah IX. Guru Tempat jang mendjadi alasan untuk memarahi murid. Fungsi sosiologis bioskop ini juga diulas oleh esai yang dalam dan

MENGAJI DUNIA FILM

rubrik “Sekitar Djakarta”, sayang tidak ada nama penulisnya. Sedangkan soal bintang film dikaji dengan popular tapi serius oleh John M dengan judul Mm-mm-mm-girl (batja: fumm-fumm-fummGirl). Ada juga halaman bergambar 2 halaman tengah yang berisi foto-foto aktor dan aktris dalam dan luar negeri. Tak hanya film, tapi juga hal lain muncul dalam majalah film antik ini. Misalnya, buku dan musik. Ada ulasan tentang biografi Louis Amstrong. Ada rubrik cerpen. Ada resensi mini buku-buku (Puisi Dunia Ke-II dari M Taslim Ali dan Tjinta Tanah Air karya N St Iskandar). Sekilas, gaya dan semangat majalah ini dekat dengan majalah Zaman dan Jakarta Jakarta. Popular tapi cerdas sekaligus jenaka. Entah apakah majalah ber”genre” seperti ini ada lagi di negeri ini? Sebagai penutup, mari kita tengok sedikit dari tajuk rencana mereka, Redaksi Menulis: Selain dari bioskop2 di Indonesia ikut mejebarkan madjallah Dunia Film ini, maka baru2 ini datang pula tawaran dari Malaya bahwa satu pengusaha disana sanggup pula untuk menjebarkan Dunia film pada theatre2 di Malaya dan Borneo Inggeris (Brunai, Kutjing dll). Maka dengan ini kami tegaskan setindak demi setindak Dunia Film betul2 sudah mendjadi batjaan umum di Indonesia dan sahabat tetangga kita Malaya Tentang isinja nomor 9 ini, tak kami beri komentar, hanja terserah pada sdr2. Sekianlah dari kami. Kepada jg baru datang kami utjapkan selamat datang, selamat bekerdja.”

1543

Asmayani Kusrini

“Porno Had A Real Naked Truth!” THE MINNESOTA DECLARATION “Cinema Vérite is not the answer anymore. In our situation, they are the losers, nothing but the losers!”

D

ua kali saya mendengar kalimat ini dari orang yang sama. Pertama kali ketika dia berkunjung ke Brussel dalam serangkaian program Retrospektif film-filmnya. Dan kedua kalinya di International Documentary Film Festival Amsterdam 2007. Siapa lagi kalo bukan Werner Herzog. Dalam dua kali pertemuan itu, ucapannya selalu saja disambut tepuk tangan yang meriah. Kalimat itu seperti pembakar semangat, untuk para pembuat film dokumenter. Herzog memang selalu tegas, tak ada batas antara dokumenter dan film feature. Baginya, Fitzcarraldo (film feature yang dianggap sebagai  masterpiecenya) sama dengan Grizzly Man (film dokumenter yang juga dianggap sebagai masterpiecenya). Menurutnya, kedua film itu dibuat dengan proses yang sama. Ada bagian yang harus direkonstruksi, ada bagian yang benar-benar murni disyut tanpa persiapan, tanpa terduga. Jadi

“PORNO HAD A REAL NAKED TRUTH!”

teori Cinéme Vérité baginya tidak berlaku. ‘I truly hope to be one of those who finally bury cinema vérité for good,’ kata Herzog. Untuk inilah, suatu malam, ketika sedang menghabiskan waktu disebuah hotel transit, Herzog menulis The Minnesota Declaration. Sejumlah  point  yang menentang teori  cinema vérité.  Ke-12 poin ini ditulis ketika sedang bosan menonton ‘documenter’ TV tentang kehidupan binatang. Setelah menghabiskan waktu pindah dari satu chanel ke chane l lain, yang isinya documenter-dokumenter yang tak kalah membosankan, Herzog malah menemukan chanel film porno. “My God, finally something straightforward, something real, even if it is purely physical. For me the porno had real naked truth.’ Dan malam itu, lahirlah The Minnesota Declaration.”

THE MINNESOTA DECLARATION

Truth and Fact in Documentary Filmmaking Lessons Of The Darkness By Werner Herzog r By dint of declaration the so-called Cinéma Vérité is devoid of vérité. It reaches a merely superficial truth, the truth of accountants. r One well-known representative of Cinéma Vérité declared publicly that truth can be easily found by taking a camera and trying to be honest. He resembles the night watchman at the Supreme Court who resents the amount of written law and legal procedures. ‘For me,’ he says, ‘there should be one single law: the bad guys should go to jail.’ Unfortunately, he is part right, for most of the many, much of the time. r Cinéma Vérité confounds fact and truth, and thus plows only stones. And yet, facts sometimes have a strange and bizarre power that makes their inherent truth seem unbelievable. r Fact creates norms, and truth illumination. r There are deeper strata of truth in cinema, and there is such a ting as

1545

1546

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

r r r

r r

r r

poetic, ecstatic truth. It is mysterious and elusive, and can be reached only through fabrication and imagination and stylization. Filmmakers of Cinéma Vérité resemble tourists who take pictures amid ancient ruins of facts. Tourism is sin, and travel on foot virtue Each year at springtime scores of people on snowmobiles crash through the melting ice on lakes of Minnesota and drown. Pressure is mounting on the new governor to pass a protective law. He, the former wrestler and bodyguard, has the only sage answer to this: ‘you can’t legislate stupidity. The gauntlet is hereby thrown down. The moon is dull. Mother Nature doesn’t call, doesn’t speak to you, although a glacier eventually farts. And don’t you listen to the Song Of Life. We oght to be grateful that Universe out there knows no smile. Life in the oceans must be sheer hell. A vast, merciless hell of permanent and immediate danger. So much of a hell that during evolution some species –including man--, crawled, fled onto some small continents of solid land, where the Lessons of Darkness Continue.

— Walker Art Center, Minneapolis, Minnesota, April 30, 1999

Hikmat Darmawan

My 2008 Movies Check List AMERICAN/HOLLYWOOD EDITION

CLOVERFIELD – It’s a clever monster movie. Well, a clever premise anyway. (And a great trailer at any rate.) Something, an unclear kind of monster, is attacking New York, and this attack only seen from the point of view of a small group of people. From JJ Abrams (producer), hit the theatre in January 2008. THE FORBIDDEN KINGDOM – It’s Jet Li and Jacky Chan, choreographed by Yuen Ho Ping. ‘nuff said. AUSTRALIA – The story is rather bland, but it’s directed by Bazz Luhrmann. After Moulin Roudge, I’m a sucker for this guy! BE KIND REWIND – Damn. The wittiest tribute for the frenzy of indie movie-making (so far). Jack Black as a slack that got his brain magnetized. Now, bear with me –this is a movie by Michel Gondry (Eternal Sunshine of The Spotless Mind,  Science of

1548

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Sleep) after all. What’s fun is that this movie isn’t about that. The magnetized brain erased the content of all videos in his buddy’s video rental, and so they set out to remake all of the movies by themselves, including  Robocop,  Back to The Future,  Ghost Buster, Boyz in The Hood, and, get this, The Lion King! “Our version is better,” said Jack. “Our version is 20 minutes long,” said his buddy. Damn. BLINDNESS  – By Fernando Meirelles (City of God,  The Constant Gardener), from a much admired novel by Nobel winner, Jose Saramago. I don’t know …why the sudden interest of Hollywood to magic realism novels/stories? But I’m willing to give this one a try. THE BOX – By Richard “Donny Darko” Kelly. It seems that here, Kelly leans toward a more down-to-earth approach than his headspinning  Southland Tales. It stars the ever shiny Cameron Diaz  (“There’s something about Cameron”). About a wooden box that brings wealth to whoever opened it, but always kill someone somewhere whenever it opened. BURN AFTER READING – It’s that other type of a star-driven movie (a “leftist star” type. :P). It has George Clooney, Brad Pitt, but being not a Soderbergh’s movie, it also has John Malkovich and Frances McDormand. Oh, it’s by the Coen brothers. THE CHANGELLING – First, I got excited because of the title. Oh, I thought, it’s a remake of a cult-fave small horror movie. I was wrong. Then, I learned that it’s by Clint Eastwood, with story by Michael J. Strazcynski (the creator of Babylon Five and one of the greatest writer of contemporary Spiderman series) and it’s about a possible alien penetration. I’m sold. Oh, and it has Angelina Jolie (There, you got it, Rini!) 

MY 2008 MOVIES CHECK LIST

CURIOUS CASE OF BENJAMIN BUTTON – By David Fincher (Se7en,  Fight Club), about a guy (Brad Pitt) who starts aging backwards. Curious, isn’t it? THE DARK KNIGHT – By Christopher Nolan, with Christian Bale returns as the Batman. Very twisted Joker. And the tagline is cut right to the heart of the matter: “Why so serious?”—it’s very “Joker-ly”. THE DAY THE EARTH STOOD STILL – It’s Jennifer Connelly, guys. Brian Michael Bendis said it best: “She’s got damn good genes!” Plus, I’m a sucker for a remake of sci-fi classics. THE HAPPENING – The buzz is that this is the most intense R-rated movie by M. Night Shymalan to date. WANTED – From an anarchist graphic novel by Mark Millar, adapted to movie by Timur Bekmambetov (Night Watch and Day Watch), and has Angelina Jolie. That’s three badass in a movie. THE INCREDIBLE HULK – Mind you, I considered Hulk by Ang Lee is one of the best movie adaptations from comics. I hate to see this movie screws that. BUT, it’s Edward Norton as Dr. Bruce Banner/Hulk. This I got to see. INDIANA JONES AND THE KINGDOM OF THE CRYSTAL SKULL – By Steven Spielberg, of course. The title alone had me grinning all day when I first read it. Why? Because when I was a kid, I read about this mystery of the crystal skull in one of HAI’s magazine special edition. The crystal skull was one of the true greatest mysteries in the world. I don’t know if it’s really the same crystal skull in this movie, but it brought out the fan boy in me.

1549

1550

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

IRON MAN – Consider this: Robert Downey Jr. as an alcoholicflamboyant-genius. Might as well he played as himself. JUMPER – Doug Liman made a blue print for the edgy look of  The Bourne  trilogy, and now he tries his hand on an interesting sci-fi. The trailer looks promising. SPEED RACER  – By the Wachowsky brothers, based on a 1960’s anime. Okaaay …it’s just got to get into the list. Damn. (The other reason: I want these guys to keep on making movie, until they make good of their promise to film Plastic Man). STAR TREK XI – It’s by JJ. Abrams, and it has Simon Pegg, SIMON PEGG!, as Scotty. (All together now: Beam me up, Scotty!) THE X-FILES 2 – Agent Scully, why so serious? Don’t you know that we already fell for you the minutes you entered that dark room of agent Mulder, playing with his pencils, oh so long ago? And what’s the latest news of our doomed world last seen in your last episode?

Ekky Imanjaya

"Berburu Shu Qi, Madonna Lari" PENGALAMAN TAK INDAH MELIPUT FESTIVAL FILM BERLIN 2008

S

eperti sedang bermain game watch, saya seolah dilatih untuk meliput ajang besar festival film internasional dengan level yang makin lama makin berat. Pertama, International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) pada November 2007. Lantas, International Film Festival Rotterdam (IFFR) di Januari dan awal Februari 2008. Sepekan kemudian, Berlinale International Film Festival (Berlinale). Yang pertama mungkin terbesar di genrenya, tapi bukan kelas utama di dunia perfestivalan di Eropa. Lokasinya pun persis di kampus saya, jadi sangat memudahkan saya. Kedua, mulai meningkat levelnya, dan berada di luar Amsterdam tempat saya tinggal, yakni di Rotterdam, walau masih di negeri yang sama. Terakhir, benarbenar sebuah festival kelas wahid, di negara dan sistem yang berbeda. Pengalaman di dua festival sebelumnya, memang sedikit banyak memberikan manfaat untuk beradaptasi saat bertugas di

1552

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Berlinale, namun sama sekali tidak cukup. Pun dengan pengalaman saya bekerja sebagai jurnalis sejak 1999, rupanya tak mengurangi hambatan. Pertama, soal peliputan. Berlinale, di banding dua festival sebelumnya, ibarat raksasa, atau hutan rimba yang lebat. Sangat banyak acara dan tempat yang harus didatangi—walau sebagian besar berdekatan. Banyak film dan program yang wajib diikuti, dengan kualitas nomor satu. Banyak sutradara dan bintang film yang berseliweran tapi nyaris tak tersentuh, lengkap dengan ritual karpet merah nan glamor yang tidak ada di IDFA dan IFFR. Contoh kongkret: wawancara. Di IDFA dan di IFFR, kita bisa dengan mudah bertemu dengan para sutradara. Selain karena mayoritas sutradara belum menjadi selebriti, mereka berkumpul di satu tempat, Atrium atau De Doelen. Sementara di Berlinale, tidak ada pusat, semua tersebar—dari Berlinale Palatz, Hotel Hyatt, hingga Zoo Palatz. Dan hampir semuanya dalam protokoler ketat, tidak bisa ditemui di sembarang tempat. Untuk urusan wawancara tembak langsung, tergantung kegigihan kita membujuk dan juga suasana hati sang narasumber. Nah, panitia Berlinale bisa menjadi fasilitator untuk wawancara. Tapi, ternyata, mereka hanya memfasilitasi wawancara juri dan seorang tokoh perfilman—itu pun dengan catatan, penerjemah harus dari pihak sang wartawan, atau menyewa mereka. Walhasil, saya membatalkan wawancara dengan Shu Qi.  Duh!  Padahal saya sudah membayangkan asyiknya mewawancara si seksi ini! Ada alternatif lain, kata sang petugas yang ramah tapi menyebalkan itu, yakni mengontak langsung humas dari masingmasing distributor film atau—belakangan saya baru  ngeh – kordinator programnya. Merepotkan memang, tapi mau bagaimana lagi? Ya sudah, saya coba—tapi jangan harap untuk jumpa sineas besar seperti Michel Gondry atau Andre Wajda. Jadwal mereka sudah penuh sejak sebelum pesta film itu dimulai.

"BERBURU SHU QI, MADONNA LARI"

Para wartawan senior sudah pesan tempat jauh-jauh hari, sepertinya—mungkin sudah jauh hari mengirim email minta waktu para sineas itu. Masalah datang. Untuk Wakamatsu Koji (sutradara United Red Army  yang menang dua penghargaan), misalnya, saya dikontak “Sore ini bisa, mas? Anda orang keempat ya?” Oke. Namun berita baik itu susul dengan info lain: ”Tapi dia tak bisa bahasa Inggris. Mas, bisa bahasa Jepang? Atau ada teman yang bisa? Tolong kabari, ya?” Untuk Majid Majidi, yang sering nongkrong di Hyatt tapi selalu menolak untuk sekadar didekati saking sibuknya, ada sms yang masuk ke ponsel saya memberitahu bahwa wawancara sudah tidak ada lagi karena sudah dialokasikan di empat hari pertama festival. Cara lain adalah cegat langsung mereka, seperti yang saya lakukan untuk Hana Makhmalbaf (si bungsu dari dinasti Makhmalbaf yang menang dua penghargaan di festival ini), walau saya harus menunggu satu jam lebih. Ada juga usaha saya mencegat usai penyerahan Independent Award, untuk mewawancarai Wakamatsu Koji dan Naoko Ogigami (sutradara Megane). Wah, saya cuma beberapa patah kata karena banyak pihak yang ingin memberikan ucapan selamat atau urusan lain. Maka, yang terbaik, bagi saya, adalah hadir ke konperensi pers. Jadual sudah tetap, tinggal hadir tepat waktu. Tak apalah wawancaranya tidak eksklusif (dan ternyata banyak juga pertanyaan tak bermutu dari para jurnalis itu), atau merelakan beberapa film bagus. Masalahnya, “tepat waktu” bukanlah kata yang tepat. Mengejar Madonna, misalnya. Penyanyi yang hadir dengan film pertamanya (Filth and Wisdom), memang salah satu yang paling ditunggu-tunggu. Saya sengaja hadir setengah jam sebelum acara. Saat saya hadir antrian sudah sangat panjang. Dan, sialnya, saat saya sudah di depan pintu masuk, panitia dengan gaya khas

1553

1554

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Jerman yang tegas dan dingin berkata, ”Sudah penuh. Tidak boleh masuk lagi.” Terpaksa saya menikmati jawaban Material Girl yang cerdas lagi jenaka itu dari televisi besar tak jauh dari ruang konferensi. Di situ, saya bisa merekam langsung ke speaker. Yah, agak mirip-mirip shalat Jumat deh: walau kita di lantai atas masjid, tidak bersama khatib, namun masih sah karena masih di lokasi yang sama. Jadi, masih “sah”. Pengalaman serupa terjadi saat saya hendak menonton filmnya, baik press screening ataupun untuk publik, semuanya laris manis, walau saya berkali-kali hadir ke Box Office untuk memesan pertunjukan berikutnya – karena wartawan hanya boleh memesan film di public screening untuk hari itu dan besoknya. Walhasil, saya tak berhasil menonton filmnya. Di tempat konperensi pers itu, kita disuguhi penerjemah berbahasa Inggris, Prancis, dan bahasa asli narasumber—lewat sebuah alat mirip earphone. Terpaksa kita cukup puas dengan waktu yang sangat terbatas, dan berebutan dengan berbagai wartawan yang hanya boleh mengajukan 1-2 pertanyaan saja. Namun masalah lain hadir: foto. Di Berlinale, akreditasi pers reporter berbeda dengan fotografer. Dan aturan itu sangat ketat. Walhasil, saya dilarang memotret selama konferensi pers. Walau saya foto juga diamdiam, tapi sebagian hasilnya tidak memuaskan. Ada yang nekad memotret dengan kamera digitalnya, dan ditegur oleh petugas. Tanpa kartu identitas fotografer, saya juga tidak punya hak istimewa untuk berada di paling depan dalam setiap  event, termasuk red carpet. Di ritual megah itu, saya cuma bisa memotret dari jauh, berjejalan dengan orang awam yang juga sama noraknya dengan saya kala melihat aktor Hollywood. Untuk acara red carpet, saya juga tidak boleh hadir, untuk menonton atau berada di lingkungan sana. Menurut Garin Nugroho, ada tingkatan-tingkatan para wartawan, dari yang pemula hingga yang all access. Mirip dengan Festival Film Cannes.

"BERBURU SHU QI, MADONNA LARI"

Garin hadir di sana sebagai ketua juri Netpac. Dan program yang ia lingkupi adalah Forum. “Semacam Uncertain Regard kalau di Cannes,” ungkap sutradara yang filmnya menang 5 kali di ajang ini. Di tempat untuk tamu Forum, saya diajak nongkrong oleh Garin. Dan di situ, saya seperti berada di IFFR. Saya bisa bertemu dan ngobrol dengan para pembuat film, saat mereka bersantai di sana. Namun, saya masih bersemangat untuk mengejar program Kompetisi atau paling tidak Panorama.

ASMAYANI Kusrini, rekan saya di RF, tepat sekali saat membawa  laptop  di IFFR. Di Berlinale, wartawan memang disediakan tempat untuk komputer dengan akses internet, dan ngeprint gratis. Namun, saya harus bersaing dengan hampir 500 wartawan, sehingga tidak pernah mendapatkan kesempatan, kecuali di komputer yang khusus untuk 15 menit. Sebetulnya, kabel koneksi untuk laptop juga disediakan, sayangnya, karena satu dan lain hal, saya tak membawa laptop. Walhasil, hingga festival berakhir, saya tidak berkesempatan untuk mengirimkan laporan langsung. Harapan saya waktu itu: ”Ya sudahlah, sekarang giliran belanja berita. Paling tidak, saya harus mendapatkan satu wawancara. Saya akan tulis laporannya secepatnya begitu saya tiba di Amsterdam.”

PENGALAMAN adalah guru terbaik. Klise memang, tapi benar. Berlinale, ingat-ingat. Suatu saat saya akan kembali!

1555

Hikmat Darmawan

IMHO: 10 Film Komik Non-Superhero Terbaik

K

omik tak seluruhnya tentang  superhero. Karenanya, tak seluruh film adaptasi dari komik melulu dari komik superhero. Ada cukup banyak film komik nonsuperhero, beberapa terhitung film-komik terbaik sepanjang masa (bahkan, satu dua, bolehlah disebut termasuk film-film terbaik yang pernah ada). Mendampingin resensi Eric Sasono atas Iron Man, saya mencoba menyusun daftar film-komik non-superhero  terbaik menurut saya (IMHO). Saat mencoba mengingat-ingat film-film adaptasi komik yang pernah saya tonton dan berkesan buat saya sejak kecil hingga kini, saya menemukan ada 1844 lema film “based on comics” di IMDB.com. Ini angka yang membuat saya harus rendah hati. Jelas bahwa: (1) saya belum menonton semua film-komik yang semestinya saya tonton (walau, saya berani bilang, ternyata

IMHO: 10 FILM KOMIK NON-SUPERHERO TERBAIK

saya juga telah nonton cukup banyak)—dan banyak yang saya belum tonton, saya curiga, memang bagus sekali (seperti, Always San-chome No Yuhi, Bigco 2: Return of The Meek, atau Ella Cinders); (2) perlu ada pemilahan dan pemilihan, apa boleh buat. Maka dalam daftar 10 terbaik film-komik non-superhero ini, saya harus mendepak (1) film-film animasi, (2) film-film pendek, (3) film-film yang belum saya tonton (tentu saja!). Oh, dan saya terpaksa tak menyertakan film-komik dari Indonesia – hemat saya, ini butuh daftar tersendiri, karena saya menerapkan “penilaian tersendiri” untuk film Indonesia. Karena itu, jelaslah daftar berikut adalah subjektif, tak lengkap, masih bisa berkembang. Tak apa. Anda pun kami undang untuk membuat daftar sendiri. Nah, inilah daftar saya, diurut dari belakang.... 10. Astérix & Obélix: Mission Cléopâtre  (2002, sutradara: Alain Chabait)

Apakah Asterix dan Obelix pahlawan super? Dari sudut tertentu, iya. Mereka memang memiliki kekuatan super gara-gara ramuan ajaib dukun mereka. Tapi, genre superhero adalah genre komik yang “sangat Amerika”, sehingga penggunaan kekuatan super di dalam komik non-Amerika akan memiliki ciri dan pakem sangat beda dengan komik superhero Amerika (kecuali jika memang diniatkan untuk menjiplak atau memarodikan pakem komik superhero Amerika, seperti yang dilakukan komik-komik superhero Indonesia). Film ini jauh mengatasi sekuel pertamanya, terutama karena humor-humornya lebih canggih dan “kena”. The great Gérard Depardieu, seperti biasa, tampil luar biasa sebagai Obelix sang raksasa lugu dan imut. Monica Belucci benarbenar moi sebagai Cleopatra. Alain Chabait sang sutradara juga bermain sebagai Julius Caesar. Penuh dengan komedi fisik yang lahir dari tradisi akting/teater non-Hollywood, akrobat logika

1557

1558

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

yang sebetulnya agak terlalu intelektual (untungnya, masih lucu), plus efek animasi komputer yang lumayan ciamik. Spektakuler? Yup. Tapi juga: cute. 9. History of Violence (2005, David Cronnenberg)

Film ini banyak dipuji kritikus di Amerika, tapi menurut saya film ini hanya cukup saja bagusnya. Keberatan saya, film ini didaku Cronnenberg bukan film-komik sepenuhnya karena ia menolak untuk membaca komiknya, novel grafis karya John Wagner dan Vince Locke, sebagai perbandingan. Toh, ini film Cronnenberg, yang selalu menarik bahkan dalam gagalnya. Di film ini, ia cukup berhasil menggambarkan sebuah kebenaran yang ditekan, disembunyikan di bawah permukaan. Kebenaran yang mengandung kekerasan. Dan ketika kekerasan itu terdedah, alangkah degilnya kekerasan! Keberhasilan untuk menggambarkan kebenaran yang ditekan itu, yang menghasilkan gaya ungkap yang low key (bernada rendah), sayangnya, sekaligus jadi kelemahan film ini. 8. Azumi (2004, Ryuhei Kitamura)

Sebuah ulasan bilang, kostum rok pendek si samurai-cewek ABG Azumi, dimainkan dengan sedap oleh Aya Ueto, menampakkan cikal sejarah dari kegandrungan film erotis Jepang terhadap rok mini seragam sekolah. Mungkin yang sebenarnya justru sebaliknya: ini adalah kostum “sejarah” yang diinspirasi oleh kegandrungan pada rok mini sekolah ABG dalam film-film Jepang. Sebab, Ryuhei (tipikal, jika melihat film-filmnya seperti Versus dan Alive!) memang memilih gaya eklektismeposmodern macam Kill Bill-nya Quentin Tarrantino. Ini adalah kekisahan-spektakuler juga. Bedanya dari kekisahan-spektakuler Hollywood yang lazim, gaya  beginian  di Jepang lebih memerhatikan pendalaman karakter. Malah, boleh jadi, bukan adegan laga spektakuler yang royal darah itu yang kita tunggu-

IMHO: 10 FILM KOMIK NON-SUPERHERO TERBAIK

tunggu, tapi bagaimana reaksi seorang tokoh terhadap sebuah dilema atau kejadian. Apa tidak merinding, melihat betapa Bijomaru Ogami (Jo Odagiri) tampak begitu menikmati pembunuhan sadis terhadap korban-korbannya? 7. Battle Royale (2000, Kinji Fukasaku)

Film “sakit”, tapi kita tak bisa menampik kekuatannya sebagai film —persis bahwa kita juga bisa tak bisa menepis kekuatan filmis  Pemberontakan G 30 S PKI  (Arifin C. Noor) yang melekatkan mimpi buruk kita tentang adegan-adegan penyiksaan para jenderal, betapa pun kita tak setuju politik film itu. Battle Royale  adalah film ultrakeras, bahkan sejak premisnya. Sekelompok pelajar yang dianggap pelanggar tatanan dikumpulkan di sebuah pulau, dan dipaksa untuk terlibat permainan maut: saling membunuh, hingga tinggal satu pemenang yang selamat. Jika mereka tak mau berpartisipasi, mereka akan mati juga oleh kalung monitor mereka. Jika setelah 72 jam masih ada lebih dari satu orang selamat, kalung pun meledak. Para pelajar itu dipaksa jadi pembunuh sadis dan biadab, dan film ini (karya ke-60 Kinji Fukasaku, dari komik karya Koushun Takami & Masayuki Taguchi) lama-lama menyodorkan pertanyaan tentang kultur menonton itu sendiri: mengapakah kita bisa menyukai sadisme itu? 6. Sin City (2005, Robert Rodriguez & Frank Miller)

Film ini sangat “film” sekaligus sangat “komik”. Pada satu syuting, Frank Miller, yang komik seri Sin City-nya diadaptasi film ini, bilang ke Rodriguez,  mbok  siluetnya berwarna hitam. Kata Rodriguez, ngapain? Kan lebih bagus kalau kayak di komiknya, putih dengan latar justru hitam. Dan kita pun mafhum, memang film ini ingin keluar dari dunia nyata serta mencipta dunia (visual)-nya sendiri. Rodriguez hanya  nyeleweng  dalam hal menjahit tiga komik seri Sin City sekaligus dalam satu cerita film

1559

1560

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

ini (sekuel pertama): Sin City-The Hard Good Bye, The Big Fat Kill, dan That Yellow Bastard. Memang, dalam bentuk komik pun, potensi menjahit cerita jamak itu sudah ada, karena, misalnya, ada tokoh-tokoh yang sudah mati di Sin City-The Hard Good Bye tapi muncul kembali di That Yellow Bastard. Lewat film ini, dengan efek dan teknik pembuatan digital, Rodriguez menegaskan kapasitas film untuk mencipta dunia dan logikanya sendiri. 5. Oldboy (2003, Park Chan-Wook)

Diangkat dari sebuah manga karya Garon Tsuchiya (cerita) dan Nobuaki Minegishi (gambar), inilah sebuah kisah pamungkas untuk film tentang balas dendam. Saat ini, kita mungkin sudah sangat akrab dengan premis luarbiasa film ini: Oh Dae-su diculik begitu saja suatu malam, dan disekap dalam sebuah kamar mirip kamar hotel murahan selama 15 tahun! Entah siapa penculiknya, dan apa motifnya. Dari TV dalam kamar, ia kemudian tahu bahwa istrinya mati dibunuh secara brutal dan sidik jari Oh ada di TKP. Putrinya diadopsi di Swedia. Dari TV itu pula Oh menyaksikan sejarah bergerak: keruntuhan dinding Berlin dan komunisme, matinya Lady Di, peristiwa 9/11. Secara rutin, kamarnya digasbius dan Oh dicukur, didandani, setiap kali ia pingsan. Oh yang mulanya seorang pemabuk gemuk tak berguna, karena amarah dan memupuk dendam, tumbuh jadi seorang keras secara fisik dan mental di dalam kamar itu—dan membuat Min-sik Choi, pemeran Oh, dipuja sebagai aktor total yang nekad. Dan tiba-tiba, ia dibebaskan. Ia diminta mencari tahu siapa dan, terutama, mengapa ia diculik selama 15 tahun, dalam 3 hari, atau ia mati. Dan cerita pun bergerak. Pada akhirnya, jawaban misteri ini ada di masa SMA Oh. Sebuah perbuatan kecil yang telah ia lupakan ternyata membuat Oh jadi sasaran dendam itu –disekap, istrinya dibunuh, dan sebuah rencana lain di akhir film yang membuat film ini dianggap setara dengan tragedi Yunani. Cerita ini bahkan lebih “sakit” dari Battle Royale.

IMHO: 10 FILM KOMIK NON-SUPERHERO TERBAIK

4. Dick Tracy (1990, Warren Beatty)

Dari komik strip karya Chester Gould, yang merupakan warisan budaya pop Amerika sejak 1930-an. Walau bukan komik superhero, seri Dick Tracy mengilhami galeri “rogues” atau penjahat bebuyutan yang serba-aneh seperti yang kita lihat pada kisah Batman. Keanehan nama, sifat, dan terutama fisik itu ditiru mentah-mentah lewat seni make-up yang piawai dalam film ini. Misalnya, Al Pacino sebagai Big Boy Caprice yang menjijikkan; dan Dustin Hoffman yang berbibir mencong sebagai Mumble. Warren Beatty jadi sutradara sekaligus bermain sebagai Dick Tracy. Beatty bahkan memberi film ini warna-warna jreng seperti kuning terang, merah, hijau, dan segala warna blok serba kontras. Jelas, Beatty sedang memarodikan film-komik, menghidupkan kembali corak  campy  seperti pernah dimunculkan pada seri Batman 1960-an. Salah satu film bertampilan paling imajinatif sepanjang masa, pendahulu Sin City dan 300. 3. Ghost World (2001, Terry Zwigoff)

Nihilistik. Pesimis. Imut. Itulah dunia cerewet Enid (Tora Birch) dan Rebecca (Scarlett Johanson). Sebetulnya, yang sangat cerewet adalah Enid. Dia adalah seorang misfit, dan kita diajak masuk ke dalam dunia Enid yang biasa-biasa saja selayak hidup di sebuah kota kecil Amerika yang monoton, di sisian budaya konsumtif yang, menurut film ini, jadi arus utama budaya besar Amerika. Tapi “biasa-biasa”-nya Enid dan Rebecca sang misfit adalah agak abnormal. Dan di sekeliling mereka, banyak juga  misfit  lain: orang-orang yang jika kita temui dalam keseharian kita akan kita gosipkan sebagai orang aneh dan mungkin segera kita jauhi. Diangkat dari novel grafis Daniel Clowes yang banyak dipuji karena dianggap berhasil menampilkan dunia anak muda Amerika 1990-an yang penuh  angst  (perasaan  mutung  tak jelas juntrung-nya), dan film ini cukup setia pada semangat itu. Film/cerita kecil tentang hal-hal kecil, yang sekaligus membuat

1561

1562

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

kita curiga bahwa ada makna di balik semua ini (memang! Tapi, apa, ya?). 2. Muno No Hito atau “Noowhere Man” atau “Manusia Tanpa Keterampilan” (1991, Naoto Takenaka)

Boleh jadi terasa lebih nihilistik dan pesimistik daripada Ghost World, karena satu hal: jika Ghost World cerewet, film ini minimkata dan penuh gambar sunyi yang menekan. Bagi Anda yang terbiasa atau sangat menyukai film-film bernaratif spektakular, sebaiknya menghindari film ini sebisa mungkin karena kemungkinan besar Anda akan diselimuti kantuk berat menonton film yang sering absurd tak keruan dalam ketenangannya ini. Naoto Takenaka, sutradara film ini, adalah juga aktor yang telah membintangi 118 film. Di film ini, ia berperan sebagai Sukezo Sukigawa, seorang mangaka (pembuat komik Jepang) yang tak laku. Tak ada pekerjaan, ia kemudian memutuskan jadi tukang penjual batu. Dasar ia “manusia tanpa keterampilan” (kecuali membuat komik), dengan “brilyan” ia membuka kios batu di tepi sungai kering yang penuh batu. Mengapa istrinya tetap mendukungnya? Entahlah. Mungkin itulah istri Jepang. Mungkin itulah keanehan hidup. Mungkin itulah manusia, selalu tak terduga. Di akhir film, Sukezo membuat sebuah manga, surreal, dan penuh citarasa seni. Dan, tentu saja, tidak laku. Itukah hidup? Bahwa saya menempatkan film ini di nomor dua daftar terbaik saya, jangan-jangan karena saya agak pesimis dan nihilis juga. 1. American Splendor  (2003, Shari Springer Berman & Robert Pulcini)

Salah satu film paling inovatif dari pelataran film Amerika— melanjutkan tradisi inovasi bahasa film/visual dari  Annie Hall,  American Splendor  mencuatkan akting menawan Paul Giamatti sebagai Harvey Pekar. Dan dalam satu adegan, Paul Giamatti menyelesaikan sebuah adegan, keluar dari set, lalu bicara

IMHO: 10 FILM KOMIK NON-SUPERHERO TERBAIK

dengan Harvey Pekar yang sesungguhnya! Harvey Pekar adalah komikus yang sejak 1976 menerbitkan secara swadaya seri komik otobiografis  American Splendor. Seri itu perlahan mendapat tempat terhormat di dunia seni komik underground Amerika. Pekar sendiri sempat jadi tamu tetap acara David Letterman. Tapi Pekar adalah Pekar: penggerutu, cerdas tapi pegawai rendahan, dan selalu mawas terhadap hal besar atau kecil yang melintasi dirinya dan mencatatnya dalam seri komiknya itu. Komikkomiknya, selain jadi kisah hidup dan pikiran-pikirannya, kemudian jadi cermin bagi the other America atau Amerika yang lain daripada yang kita sering cerap dari media massa umumnya. Dan film ini berhasil mengudar semangat komik alternatif itu dalam berbagai akrobat bahasa visual yang asyik: campuran fakta dan fiksi, sisipan animasi, juga komik secara bulat-bulat, berbagai siasat naratif yang ganjil tapi kok terasa pas dan enak ditelan.

1563

Hikmat Darmawan

IMHO: Film-Film Apokaliptik Terbaik

Dawn of the Dead (1978, George P. Romero). Ketika helikopter membawa para survivor entah ke mana, dengan persediaan bahan bakar entah sampai kapan, yang tersisa adalah perasaan cemas yang khas dalam sebuah situasi apokaliptik. Entah berapa banyak sudah bagian dunia yang diikuasai zombie pemakan manusia dalam film ini. Film yang juga berhasil jadi satire masyarakat konsumtif Amerika. Zack Snyder berhasil membuat re-make-nya (2004) lebih gelap lagi pada bagian akhirnya. Karisuma a.k.a. Charisma (1999, Kiyoshi Kurosawa). Sebuah film aneh dari Jepang. Bermula dari sebuah pohon tua di sebuah hutan yang menimbulkan banyak keanehan. Mulanya, efek itu sangat lokal, bahkan sumir: apakah benar ada pohon itu aneh, atau semua hanya khayalan. Tapi di akhir kisah, kita tercekat, melihat implikasi kehancuran besar yang disiratkan film ini.

IMHO: FILM-FILM APOKALIPTIK TERBAIK

Night Watch  (2005, Timur Bekmambetov). Film ini adalah fantasi epik dari Rusia. Kekuatan Gelap dan Kekuatan Terang melaksanakan pakta damai selama 1000 tahun. Untuk menjaga status quo, diciptalah polisi Polisi Gelap dan Polisi Terang untuk saling mengawasi. Pertempuran di antara mereka harus di luar kehidupan manusia.  Status Quo  guncang dengan kelahiran seorang anak. Sekuel kedua dari rencana trilogi lebih asyik lagi, Day Watch. Invasion of the Body Snatchers (1956, Don Siegel). Dr. Miles (Kevin McCarthy) tak sengaja menemukan bahwa penduduk sebuah kota kecil telah diganti oleh makhluk alien dari luar angkasa. Rasa sia-sia di akhir film, ketika Dr. Miles berteriak di jalan, sendirian, kepada mobil-mobil yang lalu-lalang tak peduli, sungguh mencekam. Dibuat ulang dua kali, pada 1978, dan 1993, dan ada rencana membuatnya sekali lagi. The Reaping (2007, Stephen Hopkins). Bagian paling menarik adalah penggambaran hadirnya 10 tanda hukuman Tuhan seperti dalam kisah Perjanjian Lama tentang wabah di Mesir zaman Nabi Musa. Menarik, karena dihadapkan pada keyakinan saintis atheis, Katherine (Hillary Swank), yang ingin membuktikan bahwa mukjizat tidak ada. Bagian twist di akhir juga cukup mengena. The Prophecy (1995, Gregory Widen). Christoper Walker sebagai Gabriel, malaikat yang jadi jahat –boleh dibilang, inilah daya tarik terkuat film ini. Para malaikat mengangkat perang, semena-mena ingin mengambil jiwa manusia, dan melibas sesiapa yang menghalangi dengan kejam? Wow. Seventh Sign (1988, Carl Schultz). Bukan film paling cemerlang sebetulnya. Tapi premis di bagian akhir kisah sungguh menarik.

1565

1566

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Apa yang harus dilakukan seorang ibu, jika bayi di kandungannya akan jadi tanda terakhir jatuhnya hari kiamat? Bukan karena bayi yang dikandungnya adalah iblis, tapi ini terkait dengan jiwa terakhir yang turun dari surga. Demi Moore sebagai sang ibu.

Hikmat Darmawan

IMHO: Psikopat Paling Menakutkan Dalam Sejarah Sinema

N

orman Bates, sang Psycho yang diperani dengan apik oleh Anthony Perkins, mungkin psikopat paling terkenal dalam sejarah film. Apakah dia yang paling jahat? Menurut saya, psikopat paling jahat/mengerikan dalam film adalah  Raymond Lemorne  dalam  Spoorloos a.k.a. The Vanishing (1988), film Belanda yang disutradarai George Sluizer. Sang sutradara membuat ulang film ini untuk Hollywood, dengan bintang Kiefer Shutterland dan Sandra Bullock, dan mengubah akhir cerita agar tak terlalu “mengganggu” atau “menggelisahkan” penonton. Maklum, Hollywood. Namun dalam versi aslinya, tokoh Lamorne sungguhsungguh menggelisahkan. Kejahatannya menjadi semakin mengerikan karena motifnya bukanlah hal-hal “lazim” macam trauma, dendam, atau uang. Ia membunuh, karena ia bisa. Ia membunuh karena ingin membuktikan bahwa ia bisa memilih jadi orang baik walau mampu membunuh.

1568

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Dan, Lamorne lebih mengerikan bukan karena penampilan yang mengancam atau menyeramkan. Lamorne seorang family man yang baik dan normal. Ia santun, berpendidikan tinggi, tak pandai berkelahi, dan canggung saat pertama kali melakukan kejahatannya. Canggung dalam arti sesungguhnya: bagaimana ia kesulitan melatih penggunaan obat bius cholorofom dalam sapu tangan, dan ketika sudah mahir, di hari H kejahatan yang telah ia rencanakan, malah salah pakai ke dirinya sendiri karena bersin! Tapi, gara-gara kesalahan itu, Lamorne malah mendapat korban ideal: Saskia, yang sedang berlibur sebagai pasangan muda bersama kekasihnya, Rex. Ceritanya berdasarkan novel Tim Krabbe, The Golden Eggs, dan diadaptasi dalam skenario oleh Sluizer dan Krabbe. Struktur ceritanya cukup berliku, tak bergaris lurus seperti film thriller biasa. Di mulai dari perjalanan liburan biasa Rex dan Saskia, dan ketika singgah di sebuah pom bensin dan toko kecil, Saskia hilang. Begitu saja. Setelah bertahun-tahun, ketika tak ada lagi harapan bahwa Saskia masih hidup, Rex masih terobsesi: ia ingin tahu apa yang terjadi pada Saskia. Dan suatu hari, begitu saja, ia didatangi Lamorne. Inilah yang mengerikan dari Lamorne: kemampuan persuasinya. Ia menawarkan Rex untuk mengalami apa yang dialami Saskia setelah hilang bertahun-tahun lalu. Sepanjang perjalanan menuju lokasi kejahatan, Lamorne bercerita tentang prosesnya menyiapkan kejahatan itu, bahkan sejak ia kecil! Lamorne penuh kalkulasi. Ia menyiapkan kejahatannya di selasela kewajibannya sebagai ayah dan suami yang baik. Ia makhluk tanpa nurani, hanya penuh perhitungan. Termasuk dalam cara dia mencintai keluarganya. Kisah ini berjalan kalem, apa adanya, tanpa efek-efek khusus atau musik menyeramkan. Dan tiba-tiba saja, kita dihadapkan pada sebuah akhir yang mengerikan!

IMHO: PSIKOPAT PALING MENAKUTKAN DALAM SEJARAH SINEMA

Psikopat Film Terjahat Lainnya Norman Bates (Psycho). Anthony Perkins dengan jitu memerani pembunuh sadis dan tragis ini dengan tampilan seorang yang santun, rapuh, malah cenderung manis. Tapi begitu ia pakai wig, hati-hati dengan pisau besar itu! Asami Mayazaki (Odishon a.k.a. Audition). Gadis Jepang kecil yang pendiam, pasrah, imut (diperani Eihi Shiina). Siapa sangka ia mampu mencabut lidah orang, sebagai foreplay pembunuhan dan mutilasinya.... Hannibal Lecter (Manhunter, The Silence of The Lamb, Hannibal, Red Dragon, Hannibal Raising). Yang paling menyeramkan tentu versi yang diperani Sir Anthony Hopkins. Intelektual, sinis, canggih, ahli memasak, pemakan manusia. John a.k.a. Jigsaw (Saw) adalah psikopat film paling kreatif dalam mencipta jebakan maut bagi para korbannya. Jebakan itu bukan hanya harus maut, tapi juga memberi pilihan sulit (misalnya membedah perut mayat dengan tangan untuk mengambil kunci jebakan) untuk memberi pesan: apa kau mau melakukan apa saja untuk hidup? Sebuah permainan yang dipicu oleh penyakit maut John sendiri. John Doe (Se7en). Kevin Spicey berperan sebagai pembunuh kejam nan licin, yang hanya tertangkap setelah sengaja menyerahkan diri. Ia bukan satu-satunya pembunuh serial bermotif khotbah agama, tapi rasanya, ia yang paling efektif. Joker (The Dark Knight). Heath Ledger, dan penulis naskah/ sutradara Christoper Nolan, memberi tafsir terbaik tentang Joker sebagai bukan hanya psikopat, tapi juga agen  Chaos, yang

1569

1570

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

bertujuan utama merusak tatanan, merusak jiwa masyarakat. Sejak Joker memberi kita “sulapan”-nya, penonton selalu degdegan menanti apa lagi yang akan dilakukan oleh “anjing gila” ini.

Donny Anggoro

Sosok Ngeri itu Bernama Freddy

M

onster ciptaan Dr. Frankenstein, pangeran kegelapan Dracula, Werewolf si manusia serigala, bocah setan Damien Omen, dan seabrek varian tokoh psikopat pun serial killers yang sudah diawali kehadirannya oleh Norman Bates di  Psycho  adalah ikon-ikon kengerian yang monumental dalam sejarah perfilman Hollywood. Tapi setelah ikon-ikon tersebut mulai mengalami kejenuhan, Hollywood kehabisan ikon baru yang selain mampu mencekam penonton, mampu pula mendulang dolar berjilid-jilid sehingga genre horor dapat terus berlanjut dengan kelebihannya menangkap seraya mengekspresikan ketakutan dan keingintahuan manusia terhadap dunia lain selain dunia yang kita jalani sekarang. Impian tersebut berhasil terwujud berkat ciptaan Wesley Earl Craven, seorang profesor bidang psikologi yang lantas berkarier di dunia sinema. Pria yang lebih dikenal dengan nama Wes Craven ini pada tahun 1984 menelurkan A Nightmare on Elm

1572

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Street, yang berhasil mencekam penonton sekaligus mendulang sebanyak $ 25.500.000 dalam pendapatan box office. Jauh sebelum Freddy Krueger muncul memang sudah ada Michael Myers ciptaan John Carpenter yang beken lewat Halloween (muncul pertama kali tahun 1978), Jason Vorhees ciptaan Victor Miller dan Sean S. Cunningham dalam Friday The 13 th (1982) dan Leatherface ciptaan Tobe Hooper dalam Texas Chainshaw Massacre (1974). Ketiga ikon horor yang masuk dalam varian slasher horor penerus Psycho ini segera meramaikan jagat horor yang sudah jenuh dengan monster dan makhluk alien. Walau sosok setan berwajah rusak terbakar, mengenakan sweater garis merah-abu-abu, topi kusam dan tangan bercakar besinya ini muncul belakangan, kehadiran Freddy Krueger di jagat horor benar-benar fenomenal. Selain melejitkan karier Wes dalam dunia sinema dan membuahkan pendapatan box office yang cukup besar, dalam sejarah horor baru Freddy Krueger yang mampu menjadi ikon dan  franchise  laiknya tokoh superhero dengan filmnya yang dibuat berjilid-jilid serta diproduksinya pula pelbagai  action figures  (boneka). Cakar besi,  sweater, topeng berwajah Freddy dan topi cokelatnya yang kusam menjadi merchandise film Nightmare selama bertahun-tahun.

Kekuatan Karakter Pertanyaan mengusik, apa sebab ikon horor satu ini mampu menjadi  franchise  yang digemari laiknya tokoh komik dan superhero? Kalau bicara kengerian, jauh-jauh hari orang sudah menjerit jika disuguhi karakter psikopat dan belepotan darah dalam Texas Chainshaw Massacre, kebringasan zombie dalam Night of The Living Dead-nya George Romero, kengerian Suspiria dan Inferno karya “The Italian Hitchcock” Dario Argento pun

SOSOK NGERI ITU BERNAMA FREDDY

kisah-kisah horor yang ditulis Stephen King dan Clive Barker. Memang di antara ikon dan kisah horor abad 20 lainnya, masingmasing juga berhasil menjadi cult hingga mempunyai banyak fans yang fanatik. Tapi, sekali lagi sangat jarang seorang tokoh sentral mampu menjadi ikon monumental setenar Dracula, Werewolf, Norman Bates dan Hannibal Lecter sekalipun. Sekali lagi apakah yang membuat ikon bernama Freddy Krueger ini menjadi monumental? Jawabnya tak lain adalah kekuatan karakter. Karakter? Bukankah karakter yang kuat sudah ada pada era horor klasik? Tunggu dulu. Baiklah kita tengok satu per satu komponen apa yang melatarbelakangi karakter Freddy Krueger. Pertama, wajah. Jika diperhatikan pelbagai simbol yang melekat pada karakter Freddy Krueger adalah perwujudan dari macam-macam ikon horor sebelumnya. Karakter wajah rusak seperti Freddy sudah dapat ditemui sebelumnya dalam monster Frankenstein berwajah persegi dengan bekas jahitan di pipinya atau karakter Leatherface di Texas Chainshaw Massacre. Bedanya wajah seram Freddy bukan karena bekas jahitan dan sayatan, melainkan bekas luka bakar. Kedua, gadget  (atribut). Peralatannya berupa cakar besi (terbuat dari sarung tangan yang di bagian keempat jarinya ditambahkan potongan besi yang diruncingkan) sudah ada pada tokoh dan karakter genre slasher horor (mempergunakan senjata tajam) yang (lagi-lagi) sudah diawali di Psycho, Friday The 13 th dan Halloween. Model topi cokelatnya yang kusam tentu saja tak jauh-jauh bermaksud menjadi “kostum resmi” seperti Dracula dengan leher kerahnya yang tinggi. Ketiga, pola membunuh. Pola membunuh Freddy adalah kegilaannya mempermainkan calon-calon korban sebelum dibunuh hingga menjadi kesenangan tersendiri sudah ada pada film Psycho dan Suspiria.

1573

1574

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Adapun Freddy sebelum sepenuhnya menjadi iblis, di dunia nyata sudah terkenal sebagai serial killer di Elm Street dengan kesenangannya membunuh anak-anak kecil dan remaja. Keempat, setting. Setting  pembunuhan sebagai “taman bermain” Freddy adalah alam mimpi di mana penonton dibawa ke dunia “antah berantah” yang ganjil. Penonton dibawa bolak-balik antara mimpi dan kenyataan. Pola demikian sudah ada pada The Evil Dead (1983) besutan sutradara penghasil Spider-Man, Sam Raimi, dan The Exorcist (1976) karya sutradara William Friedkin yang diangkat dari novel William Peter Blatty. Memang  The Exorcist “hanya” menghasilkan figur setan yang muncul dalam tubuh gadis cilik yang diperankan Linda Blair. Tapi figur inilah yang baru pertama kali divisualkan berganti-ganti antara wujud manusia biasa dengan sosok iblis. Kalau dalam The Exorcist dunia gaib hanya muncul sesekali lewat tubuh seorang gadis cilik, Nightmare menggantinya dengan lebih ngeri: setelah bersua dengan sang iblis yang tak lain adalah si Freddy, penonton sekaligus dibawa ke setting kekuasaan Freddy, yaitu alam mimpi. Tipe-tipe tersebut dikumpulkan Wes Craven menjadi satu bak struktur susunan teks sastra yang pernah dikemukakan Julia Kristeva dalam buku Structural Poetics susunan Jonathan Culler (London:Roudledge & Kegan Paul, 1977). Dalam buku tersebut tertulis bahwa setiap teks sastra sebenarnya hanyalah merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi dari teks-teks lain. Dengan kata lain, tak ada karya teks sastra di dunia ini yang tidak terpengaruh karya orang lain, demikian pula karya seni lain seperti lukisan dan film. Wes berhasil mengumpulkan mosaik-mosaik tersebut ke dalam karakter yang disusunnya ke bahasa visual dalam satu karakter bernama Freddy Krueger. Hal demikian tak dapat dipungkiri lagi jika melongok perjalanan kariernya sebelum menciptakan Freddy Krueger, Wes juga bersahabat dengan produser film Friday The 13 th, Sean S.

SOSOK NGERI ITU BERNAMA FREDDY

Cunningham. Persahabatan inilah yang menjadi bibit-bibit tersemainya tokoh Freddy Krueger.  Friday The 13 th  yang melejitkan Jason Vorhees, tokoh psikopat dengan goloknya yang mematikan itu tentu saja menjadi satu dari sekian karakter yang menjadi inspirasi pria kelahiran Cleveland, 65 tahun lalu dalam menciptakan Freddy. Adapun film yang menjadi debut penyutradaraannya di genre horor, Last House on The Left (1972) tak lepas dari supervisi Sean S. Cunningham.

Ikon yang Menjadi Cult Kemunculan setan fenomenal Freddy Krueger segera membuat tiap sequelnya menjadi cult, alias menuai popularitas dan fans yang fanatik. A Nightmare on Elm Street mendadak menjadi cult movie. Cult movie adalah istilah untuk film yang semula dilecehkan namun tak bisa begitu saja dilupakan. Istilah ini pertama kali muncul dari kritikus film kondang Roger Ebert dalam ulasannya di Chicago Sun-Times. Menurut Ebert, tipikal  cult  adalah ketika film itu ditayangkan pengaruhnya begitu besar kepada masyarakat, entah itu dari filmnya sendiri yang memang dapat dipertanggungjawabkan dari segi estetik sehingga mampu memberi pengaruh pada genre film sesudahnya, sekaligus punya penggemar fanatik bahkan menjadi  trendsetter.Cult movie  sendiri memang dimaksudkan sebagai bentuk film yang tertarik pada benda-benda sehari-hari sebagai cermin dari dunia industri sehingga menyimpan semangat yang kurang lebih serupa dengan yang dilakukan pengamat dan pengkaji seni rupa Inggris, Lawrence Alloway tatkala membuat istilah  pop art  sebagai penamaan kesadaran baru dari sekelompok pelukis dan cendekiawan Inggris akan perlunya alternatif baru.

1575

1576

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Uniknya, cult movie tak berarti harus berlaku pada film-film kategori “A” seperti Taxi Driver atau Apocalypse Now sekalipun. Film yang dibuat dengan naluri menghibur semata (bahkan bujet ringan atau masuk kategori “B” movie sekalipun) tetap saja bisa menjadi cult movie asal punya penggemar fanatik dan sangat bersuara pada zamannya, yaitu zaman ketika film itu dirilis. Orang-orang di zaman 1970 dan awal 1980-an pasti tak akan melewatkan film-film seperti King Kong, Saturday Night Fever, Grease,  atau yang paling tua adalah film  Big Boss-nya almarhum Bruce Lee (dan juga judul lain seperti Game of Death, Enter The Dragon), film-film laga yang dibintangi Chuck Norris, film-film ninja sampai era spaghetti western yang dibintangi Franco Nero. Pendek kata, orang bisa saja menyebut film-film seperti Big Boss, film-film laganya Chuck Norris, film tari Breakdance (yang merupakan epigon Flashdance), spaghetti western sampai King Kong,  dan film-film silat Mandarin keluaran Shaw Brothers sebagai film kacangan hingga tak layak diapresiasi secara kritis. Tapi tak bisa dipungkiri kehadiran film-film tersebut adalah pertanda bahwa di zaman itulah selera budaya massa muncul dalam satu bahasa: punya penggemar fanatik hingga menjadi trendsetter.  Bolehlah orang tak menganggapnya sebagai film bermutu, tapi dunia hiburan memang sedang berkembang dengan adanya film-film seperti itu. Cerita yang sangat hitam-putih, busana yang mungkin dilihat di zaman sekarang terlihat norak dan teknologi “seadanya” (beberapa sutradara film menyiasati agar teknologi “seadanya” itu tersamarkan karena memang di zaman itu tipuan kamera dan digital belum maksimal) tak jadi soal. Cult menjadi tanda-tanda zaman di mana dunia sinema telah merambah ke dalam selera massa yang lebih universal alias mampu menjangkau tipikal penonton manapun. Ini beda dengan era film-film kolosal macam  Ben Hur, The Mutiny on The Bounty, romantika macam Gone With The Wind, atau Casablanca

SOSOK NGERI ITU BERNAMA FREDDY

pada tahun 1960-an yang selain dimaksud sebagai selera massa juga, namun masih terlihat lebih terasa adorateur bourgeois-nya dengan mengedepankan romantisme sebagai resep utamanya. Sineas Quentin Tarantino yang belum lama ini mendapat kehormatan menjadi ketua juri Festival Cannes dalam karya terakhirnya, Kill Bill adalah salah satu contoh sineas yang begitu terpengaruh dengan film-film kategori  cult movie  sebagai inspirasinya. Mulai dari film kungfu almarhum Bruce Lee, film samurai yang diperankan aktor Jepang, Sonny Chiba sampai film silat keluaran Shaw Brothers semuanya menjadi satu dalam Kill Bill. Jackie Brown (1996) adalah karya Tarantino lainnya yang mencoba mengangkat genre blaxploitation yang sangat populer dan notabene menjadi cult di tahun 1970-an dimana film-film dalam genre ini mempunyai karakter yang melibatkan seluruh pemain dan awak produksinya adalah warga Afro-Amerika. Dari genre ini muncul film cult Shaft, film-film yang dibintangi Pam Grier dan film laga yang dibintangi aktor Fred Williamson. Dari serial teve muncul serial keluarga Jeffersons dan tentu saja yang paling populer adalah The Cosby Show yang diproduksi hingga awal 1990-an. Nightmare dengan tokoh sentral Freddy segera menambah daftar film-film cult movie dari genre horor dan fantasi yang sudah diwakili  Dracula, Werewolf, Frankenstein  sampai  King Kong dan Godzilla. Nightmare memang bukan film horor yang elegan dan masuk kategori “A” seperti The Exorcist, Rosemary’s Baby, Carrie,  dan  Psycho  sekalipun. Tapi ia punya ciri khas tersendiri bak superhero. Ini sebuah keunggulan yang baru dicapai ikon horor setelah Jason Vorhees, Michael Myers, dan Leatherface. Sebagai ‘syarat’ lain sebuah film menjadi cult, Roger Ebert juga menjadikan pengaruh yang mampu menjadi epigon setelah film tersebut punya penggemar fanatik. Epigon Freddy Krueger yang juga populer bisa disebut Pinhead, setan botak yang wajah

1577

1578

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

dan kepalanya ditusuk duri dalam film  Hellraiser. Hellraiser muncul di akhir tahun 1980-an. Dan seperti ikon horor lainnya,  Hellraiser  juga dibuat berjilid-jilid. Epigon Freddy Krueger lainnya bisa disebut Maniac Cop karya William Lustig dari “kerajaan B movie”. Jagat perfilman nasional sendiri pernah terang-terangan mengadopsi setan alam mimpi dalam film Ranjang Setan (1985). Seperti tipikal film horor Indonesia lainnya dengan mengetengahkan hantu perempuan, Ranjang Setan juga mengganti sosok yang diinspirasikan dari Freddy Krueger dengan sosok setan perempuan yang diperankan Chintami Atmanegara. Sukses di layar lebar, franchise Freddy dikembangkan pula ke serial televisi Nightmare’s Café (a.ka. Freddy’s Nightmare) hingga tak pelak lagi ikon horor satu ini terbilang paling populer dibandingkan ikon-ikon sebelumnya. Jason Vorhees, Leatherface, dan Michael Myers bisa saja terus dihidupkan jilid demi jilid dalam tiap sequel-nya. Namun, untuk menyebut ikon horor yang selain sudah diproduksi berjilid-jilid kemudian lantas merambah ke layar gelas laiknya ikon superhero macam Batman, Superman, Hulk, dan Spider-Man hanya dapat menyebut satu nama yaitu Freddy Krueger. Freddy Krueger sendiri pernah tampil sebagai cameo dalam episode serial kartun The Simpsons. Fred tampil di awal kartun ciptaan Matt Groening dengan duduk bersama Jason Vorhees. Matt Groening dan tim kreatifnya bahkan memparodikan beberapa adegan film  Nightmare  di  The Simpsons  episode Halloween Special.

Dari Teknologi “Seadanya” sampai Musik Soundtrack Resep sex, violence, and crime yang disusun Wes dari pelbagai karakter ikon horor diaduknya menjadi satu. Suasana tegang digabungkannya dengan perwujudan visual gila-gilaan sehingga

SOSOK NGERI ITU BERNAMA FREDDY

mampu mengaduk emosi antara humor dan rasa ngeri bagi yang menontonnya. Memang, A Nightmare on Elm Street demikian kuat unsur mistisnya. Tapi, Wes tetap tampil elegan dengan memperlihatkannya bergantian dalam suasana suspens sehingga di beberapa scene ia melakukan kompromi dengan menyiasati teknologi yang memang baru “seadanya”. Walau “seadanya” dalam Nightmare jilid pertama ini menyimpan adegan fenomenal yang barangkali paling sadis sekaligus menjijikkan di antara sequel Nightmare  lainnya. Tengoklah ketika seorang pemuda yang diperankan Johnny Depp terhisap ke dalam ranjang. Permukaan ranjang tersebut bergumpal-gumpal, seolah mengunyah tubuh Johnny Depp. Beberapa saat kemudian ranjang itu menyemprotkan gumpalan darah bak air mancur, sampai ke atas dinding kamar. Titik-titik gumpalan darah yang jatuh ke lantai dibuat seperti air hujan… Pada adegan awal pembukaan A Nightmare on Elm Street, penonton langsung dibawa dalam bebunyian yang mencekam dimana sosok Freddy muncul samar-samar. Hanya tawa dan bunyi cakarnya yang menggores besi dan kain terdengar menyayat. Baru di sequel selanjutnya tatkala teknologi spesial efek mulai berkembang, sosok Freddy muncul “tak malu-malu” lagi, bahkan nyaris tanpa prolog seperti jilid pertamanya. Freddy yang pandai bermalih rupa ke berbagai bentuk menjadi raksasa, menjadi traktor, atau speedometer sepeda motor yang mendadak menjadi kepala Freddy adalah contoh teknologi spesial efek di Nightmare yang mulai lebih dimaksimalkan. Tadi sudah disinggung pelbagai aspek di belakang keberhasilan Nightmare hingga ia mampu menjadi cult movie. Bagaimana dengan aspek lainnya? Tahun 1987 tatkala popularitas Freddy Krueger semakin memuncak, perusahaan New Line Cinema yang selalu memproduksi franchise Nightmare mencoba mensinergikan efek kengerian horor dengan raungan musik rock yang hingar bingar. Hasilnya tak sia-sia. Pada  soundtrack

1579

1580

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Nightmare on Elm Street 3: The Dream Warrior terlihat sejumlah musisi dan grup rock independen di bawah label Roadrunner Records. Walau bukan major label, Roadrunner banyak melahirkan grup rock kondang yang sangat bersuara pada zamannya sebagai perlawanan terhadap musik rock era  hair metal seperti Poison, Motley Crue, White Lion, dan Guns N’ Roses. Sepultura dan Obituary adalah dua grup trash metal kondang yang pernah bergabung di bawah label ini. Perkawinan musik rock dengan film horor secara total baru dilakukan dalam soundtrack Nightmare yang kemudian melahirkan banyak epigon sampai kini. Sebutlah film antihero semi horor  Spawn, The Crow,  dan Blade yang musik soundtrack-nya diramaikan dengan pelbagai varian musik rock mulai dari trash metal, speed metal, heavy metal, industrial sampai techno. Berbekal terobosan itulah, Nightmare  layak menjadi cult dalam industri soundtrack. Setelah musik, mungkin baru pada film horor Nightmare yang dalam satu sequelnya diramaikan para pesohor yang rela menjadi cameo. Rocker veteran yang terkenal dengan atribut horornya di panggung, Alice Cooper, selain menyumbangkan lagunya dalam soundtrack Freddy’s Dead: The Final Nightmare (1991) ia tampil pula sebagai cameo, bersama Roseanne Barr, Tom Arnold, dan Johnny Depp. Kebetulan cameo yang dikumpulkan dalam sequel keenam Nightmare ini notabene fans berat Freddy. Uniknya, Wes Craven “hanya” terlibat sebagai sutradara dan penulis skenario di tiga film Nightmare. Ia terlibat di Nightmare pertama (1984), ketiga (tahun 1987, produser pelaksana dan skenario) dan Wes Craven’s New Nightmare (1994) yang sengaja dibuat sebagai akhir dari legenda Freddy yang monumental itu. Nightmare sendiri sampai kini sudah dibuat sebanyak 7 sequel, di luar variannya yang paling gres,  Freddy Vs. Jason  (2003). Selebihnya, di pelbagai sequel maupun serial teve Nightmare, Wes Craven hanya terlibat sebagai konsultan seraya menerima royalti yang diterimanya.

SOSOK NGERI ITU BERNAMA FREDDY

Menuai Kegagalan Bicara tentang Freddy Krueger tentu saja tak lepas dari kreatornya, Wes Craven. Profesor bidang psikologi yang terjun ke dunia film ini seperti melampiaskan nafsu bengisnya habishabisan lewat “boneka” bernama Freddy Krueger. Latar belakang kehidupan Wes Craven sendiri terbilang sangat bertolak belakang dengan kariernya sebagai sineas horor. Kepada Sean M. Smith dari majalah Premiere, pengikut aliran Baptis fundamental ini mengaku terusik tatkala aliran tersebut menganggap karya seni bernama film adalah perangkat setan. Justru lewat film horor ia berkesempatan merepresentaskan sisi ketakutan sebagai aspek psikologis manusia ke dalam bentuk seni. Ketertarikannya pada film sebenarnya tak diawali dengan film horor. Seperti umumnya sineas, Wes juga pernah banyak membuat film-film dari berbagai genre mulai dari drama, komedi hingga laga. Baru pada tahun 1977 ia menemukan jati dirinya sebagai sineas horor setelah menyutradarai The Hills Have Eyes. Di sini ia melakoni tiga peran sekaligus: sutradara, penulis skenario dan editor. Setelah itu, berbagai film-film horor muncul dari tangannya. Walau rata-rata dibuat dengan bujet murah, seperti Stranger in Our House (1978) dan Summer of Fear (1978, keduanya dibintangi Linda “The Exorcist” Blair) perlahan namanya mulai menanjak hingga ia mendapat tawaran untuk menyutradarai beberapa episode serial teve horor misteri varian Alfred Hitchcock Presents yaitu The Twilight Zone. Selain Wes Craven, dalam serial teve The Twilight Zone juga pernah menjadi tempat berlabuh sutradara Tobe Hooper yang kemudian melejit lewat film horor  The Texas Chainshaw Massacre, dan Poltergeist (1982) yang diproduksi Steven Spielberg. Tahun 1982 karier Wes Craven mulai diperhitungkan setelah menulis skrip film yang diangkat dari komik, Swamp Thing (1982).  Swamp Thing yang diantaranya dibintangi akris

1581

1582

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

seksi Heather Locklear ini sukses besar, dan merambah pula ke layar gelas. Tapi, pasca Nightmare, dan Freddy Krueger nyaris film-film yang dibuat Wes kurang berhasil. Walau dalam segi pendapatan dan hasilnya cukup lumayan, beberapa filmnya sendiri gagal melambungkan tokoh setan jahat yang menjadi monumental lagi. Dalam situs resminya, wescraven.com, Wes Craven sendiri terlihat gerah dengan popularitas ikon Freddy Krueger yang diciptakannya sendiri. Hal ini bisa dilihat pada bagian F.A.Q , dimana pada bagian tersebut mensyaratkan kepada penggemarnya bahwa Wes tidak melayani permintaan dan pertanyaan perihal bagaimana caranya mendapatkan merchandise maupun atribut Freddy Krueger. Kegerahannya tersebut membuat Wes Craven berkeras menciptakan sebuah ikon baru yang muncul dalam Shocker (1989), sebuah film campuran horor, suspens thriller, dan fantasi yang agak lain dari  Nightmare.  Dalam Shocker yang dibuat dengan bujet tinggi ini Wes mencoba melejitkan seorang ikon baru di dunia horor bernama Horrace Pinker. Tapi walau Pinker yang dimainkan begitu baik oleh aktor Mitch Pileggi (ia juga bermain sebagai atasan Mulder dan Scully dalam serial teve The X-Files), tak kalah kuat karakternya dengan Freddy yang diperankan Robert Englund, ternyata gagal menjadi ikon baru. Padahal karakternya tak beda jauh dengan Freddy; suka bergurau (dengan caranya sendiri yang terasa black comedy) dan demikian sakti alias bisa beralih rupa ke pelbagai bentuk setelah menjadi iblis. Sebelum menjadi iblis Pinker adalah pembunuh serial yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang servis teve. Korbankorbannya tak lain adalah para pelanggannya. Kalau Freddy yang sebelum menjadi iblis dibakar ramai-ramai oleh penduduk setempat, Pinker malah tertangkap dan kemudian dijatuhi hukuman mati di kursi listrik. Tapi, listrik-listrik yang semula

SOSOK NGERI ITU BERNAMA FREDDY

membunuhnya malah memberinya energi baru hingga ia menjadi iblis dengan kekuatan listrik yang dahsyat. Sayang,  Shocker  gagal menjadi ikon dengan tak ada satupun  sequel  yang diproduksi. Padahal, sebagai karya  Shocker cukup mencekam, bahkan bumbu komedi dan fantasi menambah nilai lebih film ini secara artistik. Soundtrack-nya yang melibatkan sejumlah musisi rock kenamaan seperti Paul Stanley (Kiss), Alice Cooper, Desmond Child (produser dan pencipta lagu-lagu Bon Jovi), Vivian Campbell (Def Leppard) sampai grup metal Megadeth membuat film ini terlihat dipersiapkan habishabisan sebagai babak baru dalam penciptaan ikon horor Wes setelah Freddy Krueger. Entah kenapa, film ini gagal walau secara artistik sangat menghibur dan terlihat lebih “halus” ketimbang sequel Nightmare yang “boros” memuncratkan darah. Pada saat launching-nya saja, Wes sengaja menyiapkan diri tampil di depan publik berfoto bersama dua ikon horornya, Freddy Krueger dan Horrace Pinker. Apa boleh buat, dalam film yang juga menampilkan aktris Heather Langengkamp pemeran utama Nightmare jilid pertama ini sebagai  cameo  ternyata gagal. Hal demikian, seolah membuktikan “kutukan” terhadap film-film yang maunya dibilang cult. Dalam sejarah perfilman, memang tak ada satupun sineas maupun produser memaksudkan dirinya membuat filmfilm agar menjadi cult. Pelbagai film cult yang berhasil selalu semula dimaksudkan hanya untuk produksi saja, tak kurang tak lebih. Dengan kata lain sempat muncul pemeo di kalangan sineas jika ingin filmnya layak dibilang cult “pasti tak akan tercapai”, atau jika tercapai “pengalaman seperti itu hanya terjadi satu kali saja dalam hidupmu.” Oleh pengamat film Fredric Dannen, penulis buku kajian film Hong Kong yang menjadi lahan inspirasi Hollywood, Hong Kong Babylon, pemeo demikian nyaris dianggap

1583

1584

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

sebagai kebenaran dengan banyak gagalnya film-film (kebanyakan genre horor, fiksi ilmiah, dan laga) yang dimaksudkan sebagai cult kebanyakan gagal di pasaran. Wes Craven adalah salah satu contoh sineas yang tentu saja tak pernah menyangka karyanya menjadi cult dengan melejitkan tokoh Freddy Krueger menjadi ikon. Contoh lain, tentu saja disambut hangatnya film-film produksi Cannon Films. Nyaris ketika duet produser Israel Menahem Golan dan Yoram Globus masih aktif, film-film perang Vietnam-nya seperti trilogi Missing in Action (1982-1987) hanya dianggap sebagai hiburan semata dibandingkan film sejenis seperti The Deer Hunter yang sarat permenungan atau  Rambo  sekalipun yang dibuat dengan semangat “film kategori A”. Begitu era keemasan mereka berlalu, dunia mulai sadar hadirnya cult movie seperti itu sangat bersuara pada zamannya. Masyarakat seketika merasa seperti mempunyai “ikatan batin” dengan film-film semacam itu, walau mungkin pada masa film tersebut sedang beredar, karena adalah hiburan pelipur lara saja bisa jadi ia tidak menontonnya! Untung kegagalan Shocker masih bisa ditebus lewat Vampire in Brooklyn (1995) dan tentu saja trilogi Scream (1996-1999). Untuk  Vampire in Brooklyn  yang dibintangi komedian Eddie Murphy, ia bahkan terlihat memamerkan kekuatannya memadukan komedi, fantasi dan horor yang sudah ditampilkannya dalam Shocker dan (tentu saja walau sedikit) di Nightmare. Vampire in Brooklyn sendiri dibuat Wes dengan mengusung semangat blaxploitation, genre yang nyaris jarang disentuh kebanyakan sineas, apalagi yang sudah punya nama dalam genre horor. Kegagalan Wes Craven yang nyaris serupa dengan Shocker adalah Dracula 2000 dan Wishmaster. Walau Wes tak terlibat sebagai sutradara (ia menjadi produser pelaksana) dua film tersebut yang dibuat dengan bujet tinggi itu gagal lantaran

SOSOK NGERI ITU BERNAMA FREDDY

karakter dan kisahnya tak lagi mengundang pesona. Kedua film tersebut dikalahkan ikon horor baru seperti Candyman,  dan  Jeeper’s Creepers  selain Hollywood sendiri yang tengah mengalami pergeseran tren dengan ramai-ramainya mengangkat tokoh komik dan  video game  ke layar lebar atau kembali mengangkat tema-tema binatang (Anaconda, They Nest) atau  disaster  (kecelakaan/bencana alam) seperti Daylight,  dan Dante’s Speak. Sedangkan dalam Scream, nama Wes Craven baru terbilang berhasil mengulang sukses kedua kalinya secara fenomenal yang belum ditandingi sutradara spesialis horor lain. Dalam Scream ia berkolaborasi dengan penulis skrip Kevin Williamson, yang juga menulis skrip I Know What You Did Last Summer. Lewat trilogi Scream ia disebut-sebut sebagai pengangkat genre teenage movie ke dalam aroma horror, dan suspens yang mencekam. Scream yang sarat dengan aktor-aktris muda seperti Neve Campbell  (Party of Five), Jerry O’ Connell  (My Secret Identity, Sliders, Joe’s Apartment dan Stand By Me) , Skeet Ulrich, dan Jada Pinkett ini pun illustrasi musiknya pun bergaya MTV sehingga banyak menuai epigon seperti Valentine, The Craft, Buffy The Vampire Slayer, Charmed, I Still Know What You Did Last Summer, dan banyak lagi. Kesuksesan  Scream  seolah mematahkan pemeo bahwa untuk membuat film yang mampu menjadi cult hanya terjadi satu kali dalam kehidupan seorang sineas dan produser film. Wes berhasil mengulang sukses kedua kalinya walau dalam Scream ia tak punya ikon lagi seperti Freddy Krueger dan Horrace Pinker. Kepada Sean M. Smith dari Premiere, Wes berujar, “Apa yang menakutkan saya adalah jika terbangun saya menemukan kesuksesan Scream hanya mimpi saja,” Sukses Scream membuat Wes untuk “kabur” sejenak ke film drama Music of The Heart. Music of The Heart (1999) dibintangi

1585

1586

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

aktris kondang Meryl Streep, Aidan Quinn, Gloria Estefan, dan Angela Bassett. Usaha Wes tak sia-sia. Film ini berhasil menyabet 2 nominasi Oscar untuk Meryl Streep aktris terbaik dan original song. Nama Wes Craven sendiri sebagai sineas bolehlah tak sebanding dengan Martin Scorcese, Francis Ford Coppola atau Steven Spielberg yang selalu mendapatkan piala di pelbagai ajang film-film internasional, pun James Cameron, Sam Raimi, dan Ridley Scott yang setelah mengawali kariernya di film-film hiburan kemudian mendapat tawaran menangani pelbagai proyek film “raksasa”. Tapi untuk menyebut jagat horor yang sampai mengalami 2 kali masa keemasan dengan hadirnya ikon (Freddy Krueger/Nightmare on Elm Street) dan tren remaja (trilogi Scream) hanya bisa menyebut Wes Craven. Memang Wes tak sampai menggondol piala Oscar ataupun penghargaan Palem Emas di Cannes, tapi ia telah mengukir prestasi tersendiri yang ternyata belum dicapai sineas horor lain seperti John Carpenter, Dario Argento, Sean S. Cunningham/ Victor Miller, George Romero, dan Tobe Hooper. Nama Wes Craven bahkan lebih tepat disejajarkan dengan Alfred Hitchcock, yang juga mengukir prestasi tersendiri dalam genre horor dengan menuai pelbagai pujian dari kritikus kondang sekelas Roger Ebert, dan Harry Knowles, walau tak satupun piala Oscar pernah diraihnya.

Kutukan Freddy di Dunia Nyata Kalau Wes Craven kondang sebagai sutradara dan kreator Freddy, bagaimana dengan Robert Englund, aktor yang menghidupkan Freddy? Ternyata walau sekilas nasibnya sepertinya sukses, karier keaktoran Englund nyaris terbelenggu oleh Freddy. Film-film lainnya nyaris tak pernah dibicarakan walau Wes sudah

SOSOK NGERI ITU BERNAMA FREDDY

menempatkannya sebagai aktor kesayangan dengan mengajaknya ke dalam  Dracula 2000, Wishmaster  dan berbagai film lain. Kesuksesan  Nightmare  nampaknya secara tak langsung “membelenggu” sehingga ia nyaris “hanya” diterima jika tampil sebagai Freddy! Nampaknya aktor yang kini sudah berusia 55 tahun ini harus puas “menerima takdir”nya sebagai Freddy Krueger seperti Christopher Reeve yang sangat berhasil menghidupkan Superman, Peter Weller yang menghidupkan karakter Robocop, pun Mark Hamill, yang berperan sebagai Luke Skywalker dalam Star Wars. Mereka cenderung dilupakan jika tampil dalam film lain. Nasib serupa juga dialami Heather Langenkamp, pemeran Nancy dalam jilid pertama dan ketujuh Nightmare. Aktris cantik yang kini berusia 39 tahun ini sempat dinobatkan majalah Empire sebagai “ratu horor” seperti halnya Linda Blair yang sukses lewat The Exorcist, Jamie Lee Curtis di Halloween, Neve Campbell dalam Scream, dan Sigourney Weaver dalam Alien. Sayang, nasibnya kurang lebih sama dengan Robert Englund sehingga ia tak bisa lepas dari karakter Nancy. Padahal Heather cukup aktif dengan banyak terlibat di film-film teve. Kepada Reuters ia mengaku bosan disebut-sebut sebagai Nancy. Uniknya, dalam Wes Craven’s New Nightmare, kebosanannya tersebut benar-benar diutarakannya ke dalam film itu. Dalam film tersebut Heather blak-blakan bilang ingin main film drama saja. Ya, Heather memerankan dirinya sendiri. Dalam film tersebut dikisahkan Wes Craven tengah mengumpulkan beberapa aktoraktrisnya untuk membuat kembali New Nightmare. Tapi kengerian yang diciptakan di studio ternyata menjadi kenyataan. Suami Heather yang kebetulan bekerja sebagai pembuat spesial efek tewas. Freddy Krueger bangkit ke alam nyata menghantui pemeran Nightmare sesungguhnya. Wes Craven’s New Nightmare memang dimaksudkan Wes Craven episode paling akhir dari legenda terror Freddy Krueger.

1587

1588

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Ia mengolahnya sebagai fiksi dalam fiksi, sebuah kengerian yang subtil dan mengejutkan. Satu-satunya aktor yang lepas dari “kutukan” Freddy Krueger adalah Johnny Depp. Padahal perannya kurang berarti sehingga penonton cenderung lebih teringat pada Heather Langenkamp dan Robert Englund saja. Johnny Depp perlahan menjadi aktor kelas satu setelah tampil di serial teve 21 Jump Street yang benar-benar melejitkan namanya dan film-film box office seperti Heathers, Edward Scissorhands, Sleepy Hollow, From Hell, Donnie Brasco, dan Pirates of Caribbean. Heather Langenkamp dan Robert Englund boleh saja mengeluh kariernya terbelenggu gara-gara main dalam Nightmare. Tapi hal itu tak berlaku pada Johnny Depp. Bahkan sebagai “tanda terima kasih” kepada  Nightmare  ia bersedia menjadi cameo dalam  Freddy’s Dead: The Final Nightmare  yang disutradarai Russell Mulcanny. Perusahaan New Line Cinema yang memproduksi Nightmare pun memasang nama Johnny Depp dengan besar, sebesar nama Heather Langenkamp dan Wes Craven di dalam DVD  A Nightmare on Elm Street  dengan mencantumkan “ featuring the stars: Johnny Depp”.

Hikmat Darmawan

IMHO: 10 Film Warkop Terbaik

10. Pokoknya Beres (1983), Sutradara: Arizal Us Us sebagai bapak kos membuat film yang seperti kliping adegan-adegan ini jadi lebih terasa “rumahan”. Dono, Kasino, Indro, plus Eva Arnaz, dan Lidya Kandou yang nyaris selalu pakai short pant, dan kaos ketat sepanjang film hampir seperti keluarga di sini. Warkop menggambarkan para perantau yang jadi pengangguran, dan disibukkan oleh salah paham kecil, dan kesialan-kesialan kecil di antara para penghuni kos sendiri. 9. CHIPS-Cara Hebat Ikut Penanggulangan Masalah Sosial (1983), Sutradara: Iksan Lahardi. Diilhami film seri CHIPS yang dibintangi Eric Estrada, Warkop jadi anggota polisi bermotor swasta pimpinan Oom Junet (Panji Anom) yang mata keranjang. Selalu sial dalam tugas, para anggota CHIPS ala Warkop ini juga jadi sindiran tentang budaya suap di

1590

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

kalangan aparat kepolisian waktu itu. Lihat saja adegan Kasino memeras si Oom dengan kata “Jangkrik, booos....!” 8. Manusia 6000000 Dollar (1981), Sutradara: Ali Shahab. Saat mengejar copet, Dono ketabrak bemo, jadi manusia bionik. Diilhami sukses film seri TV The Six Million Dollar Man tentang Steve Austin (Lee Mayors). Dono harus menyelamatkan Eva Arnaz, dan melawan si gigi besi Jack John – ini karakter yang diilhami salah satu musuh James Bond dalam Moonraker. Adegan tak terlupakan: Kasino berburu copet, malah digebuki di pasar disangka copet. 7. Sama Juga Bohong (1986), Sutradara: Chaerul Umam. Skenario ditulis N. Riantiarno. Sutradara dan penulis skenario yang biasa dengan film “nyeni” membuat film ini sangat unik dibanding film-film Warkop lainnya. Dono dibantu Kasino-Indro membuat robot untuk pertunjukan amal. Barangkali, ini salah satu dari sedikit sekali film Indonesia yang menampilkan karakter robot. Film ini juga paling tak mengeksploitasi keseksian perempuan. 6. Maju Kena Mundur Kena (1983), Sutradara: Arizal. Film Warkop paling laris. Kasino jadi bos bengkel, dan DonoIndro jadi bawahannya. Kasino melarang anak buahnya naksir perempuan, tapi dia sendiri terobsesi pada Marina (Eva Arnaz). Kemudian Marina satu kos dengan mereka, tapi yang beruntung malah Dono yang diakui suami Marina, untuk menghindari dari perkawinan paksa oleh kakek-neneknya. Film diakhiri dengan Dono menyamar jadi pemain sepak bola wanita. 5. Setan Kredit (1982), Sutradara: Iksan Lahardi. Dono Kasino Indro jadi tim pembantu orang-orang yang kesulitan, termasuk mencari dan mencoba menyelamatkan

IMHO: 10 FILM WARKOP TERBAIK

seorang anak yang diculik. Sepertiga terakhir film ini menjadi komedi-horor, dengan trik-trik kamera yang lumayan. Gaya mereka menghadapi pocong mirip dengan film-film vampir Hongkong yang populer pada 1990-an. 4. Mana Tahan (1979), Sutradara: Nawi Ismail. Film paling “lurus” dari Warkop, juga adalah film pertama mereka. Citra “anak kos” dalam film ini tetap lekat pada mereka sampai film terakhir mereka pada 1994. Citra yang menggambarkan mereka sebagai sekawanan pemuda kurang kerjaan, dan terobsesi pada perempuan. Masih dengan “Warkop keempat” yang asli: Nano. 3. Pintar-Pintar Bodoh (1980), Sutradara: Arizal. Secara subjektif, inilah film Warkop terlucu menurut saya. Kritik sosialnya  suwir-suwir  saja, tapi premis ceritanya sudah lucu: detektif culun saling bersaing, dan semua kena nasib konyol. Momen paling ikonik: Dono memarodikan gaya John Travolta di Saturday Night Live, dan Kasino menyanyi “lagu kode”. Dibantu oleh Dorman Borisman, sebagai “Warkop keempat”. 2. Dongkrak Antik (1982), Sutradara: Arizal. Kali ini, “Warkop keempat” adalah Mat Solar, yang budek dan suka nyabut bulu hidung. Mereka jadi pegawai hotel yang serba salah. Dono pelupa, Kasino pemarah, Indro gagap. Di ujung film, mereka tampil sebagai band “Wah Gede Banget!”, yang memelesetkan lagu-lagu Beatles dan Rolling Stone jadi lagu-lagulagu daerah. 1. Gengsi Dong (1980), Sutradara: Nawi Ismail. Dono sebagai Slamet, Kasino sebagai Sanwani, Indro sebagai Paijo. Mereka mahasiswa di kota Jakarta yang bersaing soal cewek dan gengsi. Slamet yang paling kampungan, sebetulnya

1591

1592

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

paling kaya. Sedang Sanwani yang suka berganti-ganti mobil ternyata anak pemilik bengkel, dan mobil-mobil Sanwani adalah mobil-mobil para pelanggan. Sindiran sosial yang menghibur, tentang rapuhnya kebanggaan kelas sosial. Di film inilah pula, Dono mulai terkenal dengan panggilan ”bemo”.

Ifan Adriansyah Ismail

Ketika Ringgo Tak Lagi Menjerit …adalah ketika dia tampil dalam film terbaru Monty Tiwa, Kalau Cinta Jangan Cengeng (Cengeng). Ya, ketika peran-peran Ringgo Agus Rahman nyaris mencapai titik typecast, kali ini ia tampil melawan arus: berperan dalam drama serius. Kali ini, jangan harap Anda akan mendengar jeritan kalut yang sudah jadi ciri khas akting Ringgo di film-film komedi sebelumnya.

C

engeng  bercerita tentang seorang selebriti bernama Boy (Ringgo) yang berusaha menebus masa lalunya sebagai pengguna narkoba. Saat itu, ia menyebabkan kecelakaan yang merenggut nyawa keluarga seorang gadis bernama Yani (Marshanda). Ketika Boy yang kini telah bertobat bertemu Yani, cerita mulai bergerak maju. Di satu sisi ada Boy yang telah berhenti ‘memakai’ dan berkhotbah tentang buruknya narkoba. Di sisi lain, ada Yani yang berubah jadi ‘pemakai’, tapi pada prinsipnya dia adalah korban kelakuan Boy di masa lalu. Di sinilah Boy mulai berkonflik, terutama dengan dirinya sendiri. Monty Tiwa mengakui bahwa ada unsur personal dalam filmnya kali ini. Kisahnya dicampur dari pengalaman pribadi di

1594

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

sekitarnya. Tapi ia seakan mewanti-wanti. “Film yang personal kemungkinannya ada dua. Kalau  nggak  bagus  banget  ya jelek banget,” ujarnya. Film yang personal memang membutuhkan penggarapan yang peka. Salah penanganan sedikit saja, ceritanya dalam bahaya terjerumus ke perangkap racauan pribadi yang alihalih menimbulkan empati, malah menjauhkan penonton. Membesut film dramanya yang pertama, Monty mengaku terbebani. Bahkan otoritasnya sebagai pengambil keputusan terganggu oleh kekagumannya sendiri terhadap dua penulis skenarionya, Sinar Ayu Massie, dan Titien Wattimena. Proses bongkar pasang alur cerita kerap terjadi karena “terlalu banyak yang bagus”. Di sinilah tampaknya ketidaktegasan Monty berakibat fatal. Subplot cerita yang melibatkan Ahmad (Dwi Sasono) tergarap hanya sampai di tengah jalan, dan malah menimbulkan problem baru yang tak terselesaikan di layar. Selain itu, momen-momen dramatis juga tersebar di beberapa tempat yang tak perlu, sehingga bila digrafikkan, dramatika kisahnya sebetulnya datar, dengan geronjalan di sana-sini. Dan Monty memang tak mengelak. “Gua ini sutradara plinplan,” katanya. Ketika disinggung tentang kesuksesannya menyutradarai Maaf, Saya Menghamili Istri Anda (Maaf), Monty mengatakan bahwa menyutradari komedi bisa dilakukannya tanpa beban. Bahkan, meskipun dia mengaku melanggar semua prinsip-prinsip dasar sinematografi, Maaf dibuat dengan santai dan jujur. Terbukti, khalayak menerima. Eksperimen Monty dalam drama kali ini tampaknya memang berat. Lalu adakah hubungannya dengan keputusan untuk menggunakan aktor-aktor di luar peran kebiasaan mereka? “Gua pengen mereka ikut merasakan penderitaan gua,” katanya setengah bercanda. Baginya, memang sulit untuk mengeluarkan aktor-aktor yang perannya sudah tipikal menjadi sesuatu yang lain. Hal itu sangat terasa pada Marshanda, yang terbiasa dengan

KETIKA RINGGO TAK LAGI MENJERIT

peran-peran baik hati di sinetron. Bahkan dalam perannya di film ini, masih terlihat jelas sisa doktrin akting a la sinetron, bahwa akting bagus itu berarti berteriak. Menempatkan Agus Ringgo dan Marshanda di dalam peran yang tidak biasa bisa dibilang eksperimen yang berani. Namun, masih perlu dipertanyakan lagi, adakah keputusan itu tidak justru memperberat beban film yang bahkan sudah menanggung beban pesan anti-narkoba ini? Pada akhirnya, yang mungkin akan menggelitik calon penonton adalah fakta bahwa aktor-aktornya memainkan peran yang tidak biasa. Apakah ini menjadi eksperimen yang berharga, atau hanya menjadi bahan obrolan infotainment minggu ini, waktu akan membuktikan. Yang jelas, film ini menjadi tonggak ketika Ringgo tidak lagi berteriak, sementara Marshanda masih saja berteriak. Semoga tidak perlu menyisakan Monty Tiwa dan penonton yang terpekur bengong menyaksikan mereka.

1595

Ekky Imanjaya

Candil Seuriues: Komedi Itu Sulit!

R

ocker Candil dan komedi ibarat perangko dan amplop, tak terpisahkan. Di dunia musik, bersama Seurieus, ia sudah menunjukkan semangat humor nan tinggi sejak 1993. Bagaimana dengan dunia film? Setelah menjadi cameo di Tabrix Jabrix dan Asoy Geboy, mantan vokalis Seuriues itu kebagian peran pembantu di film terbaru karya Cassandra Massardi, Kawin Laris. “Saya berperan sebagai Mamud, asisten penghulu Deon yang diperankan Vincent Club 80s” ungkapnya kepada Rumahfilm.org. Ia kebagian peran dalam kelompok penghulu korup, melawan penghulu lurus dalam memperebutkan seorang klien calon presiden anak seorang jendral (Udjo) yang akan menikah dengan artis terkenal (Nana Mirdad). Candil menyatakan, ia menerima peran itu karena kebagian peran gila-gilaan di sana, cocok dengan karakternya. “Jangan kasih peran yang jaim atau sedih deh,” tuturnya. Walau begitu,

CANDIL SEURIUES: KOMEDI ITU SULIT!

menurutnya, genre komedi itu susah, “karena apa yang kita anggap lucu, belum tentu dirasakan lucu juga oleh orang lain,” katanya. Ia mencontohkan video klip Seurieus yang dianggap cupu oleh beberapa orang karena selera humor yang berbeda. Dalam dunia komedi, Candil sangat menggemari Stephen Chow, khususnya di Kungfu Hustle dan Hail the Judge. Karena itu, di film yang mempertanyakan lembaga perkawinan itu, ia menyontoh akting Chow yang banyak slapstick-nya itu. “Tapi berat juga mengikuti aktingnya”. Tapi, dalam beberapa gerakan komikal, seperti ekspresi wajah yang terkejut, pemeran bencong dalam Tarix Jabrix itu mengaku mengambilnya dari Chow.

1597

Bobby Batara

Modernity and Nationality in Vietnamese Cinema

Menampik Stereotipe Menjadi Cermin

S

ejak lama Vietnam dikenal unggul di sektor pertanian. Tapi sinema negeri paman Ho Chi Minh ini belumlah seharum beras Saigon. Di layar perak, orangorang Vietnam hanya kebagian peran sebagai objek semata. Sineas-sineas Hollywood mengeksploitasi citra mereka habishabisan, bahkan jauh setelah para serdadu Amerika terbirit-birit meninggalkan Saigon, bulan April 1975. Tengok saja film macam Missing in Action (1984) atau Heaven and Earth (1993), penduduk setempat identik dengan gerilyawan bersenapan, berbaju silat serba hitam berikut topi capingnya. Yang jelas posisi mereka selalu berada di pihak antagonis hanya lantaran paham komunis keluar sebagai pemenang di negeri itu. Stereotipe ini boleh jadi muncul lantaran kurangnya literatur tentang sinema Vietnam itu sendiri. Selama ini kita memang dicekoki oleh produk-produk budaya buatan Barat, termasuk juga film dan kajian tentangnya. Jika ditinjau lebih jauh,

MENAMPIK STEREOTIPE MENJADI CERMIN

setelah sekian lama merdeka, potensi perfilman Vietnam cukup menjanjikan harapan besar. Kurang lebih, itulah yang coba diungkap oleh Ngo Phuong Lan, kritikus film alumnus Jurusan Kajian Film dari Universitas Nasional Sinematografi (VGIK) di Uni Soviet lewat buku ini. Saat ini, Ngo masih berdinas di Departemen Sinema Vietnam sekaligus menjabat Ketua Dewan Teori dan Kritik Seni Vietnam. Tak heran, jika peraih titel Ph.D di bidang Sejarah Seni dan Budaya dari Institut Kebudayaan dan Informasi di Hanoi, Vietnam, pada 2005 ini cukup khatam tentang seluk-beluk dunia film di negaranya. Latar belakang akademis yang disandang sang penulis buku sangat berpengaruh terhadap pola penulisannya. Layaknya sebuah karya ilmiah, buku ini dirancang runut, sistematis, dan penuh dengan landasan teori. Sejak awal, pembaca sudah diajak untuk berkelana ke masa lalu. Embrio sinema Vietnam dirintis dari sekadar dokumentasi perang, sehingga jelaslah bahwa sinema merupakan anak kandung revolusi. Pada 1953, delapan tahun pasca kelahiran Republik Demokrasi Vietnam, presiden Ho Chi Minh menandatangani pendirian Vietnam National Cinema and Photography Company. Inilah momen yang menandai kelahiran kiprah perfilman di negeri pertanian itu. Ngo mengambil konsep modernitas dan nasionalitas sebagai titik berangkat dari kajiannya. Ada banyak definisi tentang modernitas yang dituturkan di dalamnya, namun maknanya yang paling sederhana adalah bagaimana proses penciptaan mampu menangkap semangat yang muncul pada zamannya. Proses yang dimaksud termasuk pemikiran kreatif dan cara-cara ekspresi. Konsep modernitas sangat membantu para sineas untuk merekam kehidupan secara nyata. Sedangkan nasionalitas sendiri dirasa sudah jelas maknanya, tersebab Vietnam adalah bangsa yang tercabik-cabik oleh imperialisme. Nasionalisme dalam film mutlak diperlukan sebagai alat pemersatu anak bangsa (Vietnam), begitu amatan Ngo.

1599

1600

2. MENCARI 5. BERBURU“YANG SHU QI,NYATA”, MADONNA DAN LARI LAIN-LAIN

Tak kurang dari sepuluh judul film menjadi bahan amatan penulis. Delapan judul film cerita menjadi representasi berbagai periode, mulai dari era kolonisasi 1953-1975, era reunifikasi 19751986, hingga era Doi Moi (pembaharuan) pada 1986. Kemudian, masih ada satu buah film fokumenter dan satu lagi animasi yang dikaji. Tak ketinggalan, dituangkan pula kupasan terhadap karya sineas Vietnam yang bermukim di luar negeri, yakni milik Tran Anh Hung. Kritik yang dilontarkan Ngo tentu istimewa posisinya. Buku ini tak hanya menunjukkan semangat untuk merevisi stereotipe tentang masyarakat Vietnam yang identik dengan serdadu Vietcong yang masih berkeliaran di tengah rimba buas. Bahkan lebih dari itu, dengan cerdas Ngo memaparkan eksistensi sinema di negerinya yang sudah berkembang jauh ketimbang alat propaganda rezim sosialis semata. Banyak sudah karya sineas anak negeri yang berbicara di berbagai festival mancanegara macam Pusan, Rotterdam, atau Berlin dengan beragam cara ungkap. Yang justru menarik dalam kajian ini adalah salah satu karya Tran Anh Hung, The Vertical Ray of The Sun (2000). Film yang sempat diputar di Festival Sinema Prancis 2001 ini menceritakan keseharian tiga kakak beradik perempuan Vietnam. Keresahankeresahan mereka tergambar secara jelas di sana. Terkadang mereka terkenang pada orang tua yang sudah tiada. Layaknya perempuan Vietnam yang lazim, mereka mendambakan cinta, kebahagiaan, dan ”naluri keibuan”. Hal-hal tersembunyi di benak kaum hawa macam inilah yang konon merupakan identitas budaya orang Vietnam dan berhasil dikuak oleh sineas yang lama bermukim di Prancis ini. Tran menjadi salah satu sosok unik yang membawa wajah baru bagi Vietnam. Sebagai sineas diaspora, ia tetap menyuguhkan karya yang berlatar belakang tanah kelahirannya. Lama bermukim di negeri orang justru tak membuatnya

MENAMPIK STEREOTIPE MENJADI CERMIN

mengalami dekadensi, bahkan ada semacam kerinduan yang diungkapkan lewat karyanya. Tak ayal, inilah yang membuat khazanah sinema negeri asalnya jadi lebih kaya. Dengan meminjam lokasi dan pemain lokal, Tran malah bisa melihat halhal unik dari kebudayaan leluhurnya dan kemudian mengungkapkannya kepada dunia. Buku Ong ini baik dibaca sebagai perbandingan. Paling tidak, kita diingatkan kembali, betapa sedikitnya buku-buku kajian tentang film kita yang konon punya sejarah panjang ini.

— Modernity and Nationality in Vietnamese Cinema Penulis: Ngo Phuong Lan / Penerbit: JAFF, Netpac dan Galangpress, 2007 / Tebal: xxvii + 237 (termasuk indeks).

1601

Ekky Imanjaya

3 September 2008, 13:38

Memulai Tradisi Arsip Visual

D

i layar besar, diputar rekaman orang-orang mondar mandir di sebuah pojok, di Pasarbaru, Jakarta. Tanpa plot, tanpa event yang menyertainya. Semua ditampilkan apa adanya. Seorang berjilbab melewati lorong, ibu dan anak hadir dan terdiam sejenak. Kamera hanya diletakkan dari subuh hingga tengah malam, tombol record ditekan, dan setiap gerakan terekam. Itulah salah satu menu pameran “24 Hours Indonesia” di Museum Tropen, Amsterdam, Belanda. Sejak 26 Juni lalu hingga 16 November mendatang, salah satu museum paling bergengsi di Belanda itu menjadi etalase bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Puluhan pengunjung menyaksikan berbagai potongan film keseharian di pasar, restoran, sekolahan, terminal bis, stadion sepakbola. Juga wawancara seputar kehidupan sehari-hari, keluarga, tempat kerja, hal-hal kecil tepatnya. Gambar-gambar non-plot dan nonperistiwa itu diambil dari Payakumbuh, Kawal, Jakarta, Sintang,

MEMULAI TRADISI ARSIP VISUAL

Delanggu, Surabaya, Bittuang, dan Ternate. Bagi orang Indonesia, mungkin itu hal biasa. “Kami merekam hal-hal yang normal yang sudah jelas terlihat, tapi justru karena itu tak seorang pun merekamnya. Makanya harus direkam atau itu semua akan lenyap,” ujar Henk Schulte Nordholt , salah satu pencetus dan tim dari eksibisi “24 Hours Indonesia”. Maka sejak 2003, tim yang terdiri dari Henk, Lexy Rambadetta, Andre Triadiputra, dan Fridus Steijlen pun mulai melakukan rekaman. Tiap tahun, mereka hadir kembali di dua titik yang sama di 8 kota. Dan proyek kerjasama KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Leiden), LIPI dan Offstream ini pun menghasilkan 230 jam footages. Hasilnya, adalah sebuah pameran dengan satu layar besar, dua layar dengan alat pemilih, dan 9 televisi. Pameran ini adalah bagian dari proyek audio visual Recording the Future. Ide merekam keseharian itu muncul dari Henk tahun 2003, dan terealisasi setahun kemudian. Dan, tak sengaja Henk melihat persamaan ide pada sutradara Lexy Rambadetta yang menyatakan dalam sebuah wawancara untuk membuat arsip tenatng keseharian dan ingin bekerja sama dengan lembaga seperti KITLV. “Lantas Fridus mencari Lexy dan kerjasama pun terjadi. Lexy sejak Maret 2003 hadir dan melakukan semacam workshop,” ungkap Henk. Metode yang digunakan adalah “keep rolling, keep filming, drive around, walk around”. Dan non-plot adalah salah satu ciri khasnya. “Orang kan tidak bicara tentang air ketika berenang,” kata Henk, bermetafor. Intinya, program ini ingin membuat arsip visual tentang bagaimana merekam realitas semacam lingkungan social dan rutinitas hidup. Dan ternyata, usaha seperti ini dalam konteks Indonesia nyaris tidak dilakukan. “Misalnya, upacara bendera. Ini kan berlangsung ribuan kali, tapi kami hanya menemukan tiga rekaman tentang ini,” ungkapnya. Karakteristik berikutnya adalah non-event, mereka tidak merekam, misalnya,

1603

1604

2. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

sebuah peristiwa politik atau demonstrasi. “Kisah-kisah kecil, itulah dasarnya kehidupan kita,” terang Henk. Sedangkan 8 kota yang terpilih secara acak adalah 8 jendela berbeda dalam melihat Indonesia. Misalnya, Kawal sebagai desa nelayan, Delanggu adalah sebuah desa yang tengah mengalami modernisasi di Jawa Tengah, Bittuang mewakili daerah pegunungan di Sulawesi. Cuplikan film itu mengingatkan pada film-film dokumenter a la Mannus Franken di era Kolonial. “Kami memang terinspirasi mereka. Misalnya, ada film produksi 1912 tentang suasana di Bandung, kamera dipasang di depan mobil,” jelas Direktur Riset KITLV itu. Menurut Henk, pameran ini adalah sebuah tradisi baru kearsipan. “Inilah format arsip baru, arsip visual. Semoga film-film bisa dipakai untuk semua ilmuwan,” harapnya. Rencananya, proyek ini akan dilanjutkan hingga 100 tahun ke depan. Dengan menyediakan bahan-bahan mentah itu, maka berbagai intelektual berbagai disiplin ilmu—sosiolog, antropolog, pakar politik, kajian budaya, sejarahwan, hingga ekonom—mendapatkan akses untuk melihat lagi Indonesia di tahun tahun tertentu. Empat anggota tim pun merasakan manfaatnya. Hadir tiap tahun selama 4 tahun berturut-turut ke tempat yang sama membuat orang sekitar mengenal mereka. Salah satu perubahannya adalah semakin banyaknya motor. “ Mungkin karena BBM naik”. Dan mereka pun merasakan pengalamanpengalaman menarik. Misalnya, di Payakumbuh. Pada 2003, mereka merekam seorang membawa gembolan ayam. Tahun ini, mereka bertemu dengan orang yang sama, tapi dengan 5 gembolan ayam. Tapi pada pertemuan mutakhir itu, sang pedagang ayam itu tidak mau direkam. “Terakhir ayam saya direkam, mereka tidak bertelur selama 5 pekan. Mereka stress.” Ungkap Henk. Hal lain adalah perbandingan masyarakat Indonesia dan Belanda dalam memandang kamera. “Indonesia terbiasa dengan

MEMULAI TRADISI ARSIP VISUAL

kamera. Mereka tidak peduli dengan kamera. Beda dengan orang Belanda yang menganggap itu adalah teritori pribadi mereka. Orang Indonesia lebih bersahabat,” ungkap Henk yang sejak 2007 menjadi professor bidang Kajian Asia Tenggara di KITLV Leiden dan Vrije Universiteit Amsterdam Mereka sadar bahwa kamera adalah alat yang intimidating. “Karena itu sebelum merekam kami minta ijin dulu”. Floor Thalauw, ibu asal Jakarta yang sudah 30 tahun bermukim di Belanda menyatakan kegembiraan dan kebanggaannya. “Sangat terkesan karena mereka sampai bisa pameran di sini. Ini prestasi,” ungkapnya. “Film tidak hanya seputar seks, misalnya, tapi juga yang lain memotret negara, orang-orang, pembangunan. Ini yang namanya karya positif”. You made a good start.” kata wanita 68 tahun pensiunan Radio Nederland Wereldomroep itu. Nuraini Juliastuti, Direktur Kunci Cultural Studies melihat kemiripan proyek ini dengan kanal Nostalgie TV. “S ecara konsep, ide proyek ini itu bagus. Tetapi sebagaimana halnya Nostalgie TV, yang ditunjukkan oleh film-film di sini masih sebatas penunjukan aneka sisi masyarakat indonesia. Untuk bisa ”membunyikan” datadata mentah itu, masih dibutuhkan step lanjutan misalnya analisa atau riset lain yg lebih mendalam atas data-data visual mereka,” ungkap Nuraini yang acap disapa Nuning. Misalya, pertanyaan tidak diolah dan kurang mendalam. Pada Noltalgie TV, Nuning mendapatkan banyak pengetahuan tentang sejarah Belanda. “Perbedaan antara keduanya menurut saya sampai saat ini adalah waktu. Nostalgie TV sudah berumur panjang, dan dia sudah sampai pada tahap bisa mengelompokkan dan istilah saya, membunyikan data2 yang dimilikinya. sementara proyek ini baru mulai. Jadi , kita masih menunggu. apa yang bisa dilakukan proyek ini nanti.”. intinya, ketahanan adalah kata kuncinya. Pada 4 September mendatang, akan diputar film 60 menit bertitel Don’t Forget to Remember Me (a day in the life of Indonesia)

1605

1606

2. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

di Universitas Leiden, tempat KITLV bermarkas, juga sebagai bagian dari proyek Recording the Future. Tradisi baru kearsipan, arsip visual, telah dimulai di Belanda. Semoga bisa bertahan hingga puluhan bahkan seratus tahun.

MEMULAI TRADISI ARSIP VISUAL

1607

1608

2. MENCARI “YANG NYATA”, DAN LAIN-LAIN

TENTANG REDAKTUR RUMAH FILM DAN PENYUSUN

ASMAYANI KUSRINI lahir di Majene, (yang dulunya di Sulawesi Selatan) Sulawesi Barat, besar di Makassar, Sulawesi Selatan. Mulai belajar menulis ketika menjadi wartawan di Majalah Mingguan Gatra, Jakarta (2001 – 2006). Pernah mendapat kesempatan belajar di Inggris untuk program Chevening Award tahun 2003. Sempat bekerja di TV7 dalam program dokumenter Saksi Hidup dan terlibat dalam pembuatan 6 episode. Menjadi koresponden dan kontributor Majalah TEMPO di Belgia (2006 – sekarang). Melanjutkan pendidikan dalam bidang Arsitektur dan Urbanisme di KU Leuven, Belgia, kemudian memperdalam ilmu Sejarah Seni Budaya Prancis khusus Cinema di Université Libre de Bruxelles ULB, Brussels (2005 – 2014). Bersama beberapa senior, ikut-ikutan membangun situs sinema RumahFilm.org tahun 2007. Selama di Belgia sempat menerbitkan majalah film Fovea, majalah khusus tentang budaya visual dan cinema di Eropa dan Indonesia. Saat ini tinggal di Belgia, bekerja sebagai event planner di perusahaan konsultan bisnis sambil terus aktif menulis dan terlibat dalam berbagai kegiatan seni budaya di Belgia. EKKY IMANJAYA adalah peneliti, kritikus film Indonesia, dan dosen tetap di Prodi Film Universitas Bina Nusantara. Ekky baru saja menyelesaikan studi doktoralnya di bidang Kajian Film di University of East Anglia di kota Norwich, Inggris. Studinya dibiayai oleh Beasiswa DIKTI dan menghasilkan tesis berjudul “The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema”. Ekky menjadi jurnalis sejak 1999 hingga 2007, berawal dari majalah Suara Hidayatullah dan tabloid Aliansi Keadilan. Fokus meliput dan menulis seputar film mulai tahun 2000 di situs daring Astaga!Layar. Sebagai kritikus film, tahun 2007, beberapa saat sebelum berangkat ke Belanda untuk menempuh studi S-2 di bidang Kajian Film di Universiteit van Amsterdam, yang menelurkan tesis berjudul “The Backdoors of Jakarta: Jakarta and Its Social Issues in Post-Reform Indonesian Cinema”, dia turut membidani lahirnya situs RumahFilm.org, dan juga aktif di dalamnya, hingga jurnal film daring itu bubar pada 2013. Bersama editor RumahFilm lainnya

(Eric Sasono, Hikmat Darmawan, Ifan Ismail), Ekky turut menulis di buku Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia yang disunting Eric Sasono, 2012. Ekky juga menulis resensi film dan buku seputar film untuk DetikHot.com, Kompas, majalah Tempo, Rolling Stone Indonesia, dan banyak lagi. Dia dinominasikan sebagai Kritikus Terbaik di Festival Film Indonesia 2005 atas tulisannya di majalah D’Maestro. Ekky juga menulis untuk media luar negeri seperti di Katalog Festival Film Taipei (2017), Cinematheque Quarterly, Südostasien, dan Inside Indonesia. Dia juga menjadi juri beberapa festival film seperti Festival Film Maya (2013-2015), Usmar Ismail Awards (2017), dan Islamic Movie Days FEUI. Sebagai akademisi, Ekky menulis di beberapa jurnal ilmiah dalam dan luar negeri, termasuk Asian Cinema, Cinemaya, Jump Cut, Plaridel, dan Cine-Excess. Ekky rajin mempresentasikan makalahnya, termasuk di salah satu konferensi kajian film dan media terbesar di dunia, yaitu SCMS (2015) dan MECCSA (2015). Ekky juga menjadi editor edisi Bahasa Indonesia untuk buku Mau Dibawa Kemana Sinema Kita? Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia (2011). Tahun 2015, dia menjadi editor tamu untuk jurnal Filipina, Plaridel: A Philippine Journal of Communication, Media, and Society, dengan tajuk “The Bad, The Worse, and The Worst: The Significance of Indonesian Cult, Exploitation, and B Movies”. Penghargaan lain yang pernah diraihnya selaku akademisi adalah Student Award (UEA Engagement Awards), dan Public Engagement Prizes (UEA Graduate School Prizes) tahun 2015 dari University of East Anglia, dan Dosen Terbaik bidang General Studies di Universitas Bina Nusantara (2011). Saat di Inggris, Ekky membuat kolaborasi dan kegiatan seputar kajian perfilman, seperti Workshop on Indonesian Cinema dan London Indonesian Film Screenings tahun 2013 (bersama Ben Murtagh) dan 2015 (bersama Ben Murtagh, Tito Imanda, Eric Sasono). Bersama Citra Diani, Doktor dari Universitas Colombia, New York, dia menulis “Dissecting the Female Roles in Indonesia’s Post Authoritarian Cinema: A Study of Demi Ucok by Sammaria Simanjuntak” dalam buku Women Indonesian Filmmakers yang disunting Yvonne Michalik (2013). Buku populer yang pernah diterbitkannya, di antaranya, adalah Why Not? Remaja Doyan Filsafat; Why Not? Remaja Doyan Nonton; dan Amsterdam Surprises. Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah kumpulan tulisan kritik filmnya dari 2007 hingga 2018, yang berfokus pada film dan dunia Islam. ERIC SASONO Kritikus film, memperoleh gelar PhD dalam Film Studies di King’s College London, salah satu pendiri Indonesian Film yang berbasis di London, Inggris.

HIKMAT DARMAWAN terutama aktif sebagai kritikus dan kurator di ranah budaya populer dengan spesialisasi bidang komik, film, dan sastra. Pada 2010, ia terpilih sebagai peneliti Asian Public Intellectuals Fellowship Program, dan mengadakan penelitian jurnalistik selama setahun tentang globalisasi subkultur manga di Jepang, Thailand, Indonesia. Saat ini, ia adalah ketua Komite Film DKJ, direktur kreatif Pabrikultur, juga dosen tamu pascasarjana IKJ, dan salah satu board of directors Festival Film Madani. Bukunya yang baru terbit pada awal 2019 adalah: Sebulan di Negeri Manga, terbitan Gramedia, 2019. IFAN ADRIANSYAH ISMAIL baru sadar bahwa dia telah menyukai film sejak kecil, justru di bangku kuliah. Lewat kegiatannya di unit mahasiswa Liga Film Mahasiswa (LFM) di ITB, ia terbenam dalam dunia film dan menjajal banyak lini. Pertama, tercebur di produksi film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC) sebagai tukang angkut dan pemotong bawang. Setelah itu terjun ke televisi dan perfilman sebagai penulis skenario. Mulai dari acara komedi Extravaganza hingga ke film Habibie & Ainun dan Sultan Agung. Profesi ini sempat membawanya mengikuti residensi ASEAN in Residence yang diadakan Kementerian Kebudayaan Thailand dan Kyoto Filmmakers Lab di Kyoto. Keduanya di tahun 2014. Namun ia juga sempat mencicipi dunia kajian dan kritik film melalui RumahFilm.org. Sejak itu tercebur di kolam yang lain lagi sejak 2017, menjabat sebagai Koordinator Program kineforum, sebuah program dan ruang putar alternatif di bawah Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Hingga saat ini masih mengelola program kineforum dan menulis skenario. KRISNADI YULIAWAN SAPTADI adalah pemerhati dan kritikus film. Mulai menulis film sejak menjadi wartawan di Majalah Berita Mingguan Gatra pada tahun 1995. Menyelesaikan pendidikan Sarjana dan Paska Sarjana di Universitas Indonesia. Pada 2006 memperoleh Asian Public Intelectual Fellowship dari Nippon Foundation untuk melakukan riset mengenai efek globalisasi pada perfilman Jepang dan Thailand. Pernah turut mendirikan situs kritik film rumahfilm.org pada 2007. Hingga saat ini ia masih tercatat sebagai Pengajar di Kajian Wilayah Eropa - Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. Sekarang Krisnadi bekerja sebagai Konsultan Komunikasi di sebuah CSO yang bekerja untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

IGNATIUS HARYANTO, Penyelaras Bahasa Ia adalah seorang pengajar jurnalistik dan peneliti media. Menyelesaikan sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Kemudian melanjutkan studi magister pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan kini sedang menempuh studi doktoral di Universitas Indonesia. Aktif menulis di sejumlah media massa, dan juga telah menulis puluhan buku terkait masalah jurnalistik, kajian media, dan ilmu social lainnya.

TENTANG KONTRIBUTOR RUMAH FILM

ADE IRWANSYAH, wartawan. Pernah bekerja antara lain di Tabloid Bintang Indonesia dan Liputan6.com. Menulis buku _Seandainya Saya Kritikus Film_ (Homerian Pustaka, 2009). Blognya: adeirwansyah.tumblr.com. BOBBY BATARA Alumni jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung ini menulis untuk majalah All Film sejak 2012 hingga 2018. Sebelumnya berkiprah di sejumlah media film seperti Cinemags, Kabar Film, dan 21cineplex.com. Di luar itu, ia juga menjadi kontributor film di majalah Femina, Grazia, Gadis. Terlibat di festival film antara lain Tim Ahli AFI 2013, juri Penghargaan Khusus Media XXI Short Film Festival 2014, serta anggota Dewan Juri Usmar Ismail Awards 2016 dan 2017. Pernah jadi produser film dokumenter Senjakala Orde Baru dan diputar di JAFF Netpac 2006. Saat ini menjadi Senior Editor di CATCHPLAY+.  DONNY ANGGORO A.K.A DORO pernah bekerja sebagai editor, redaktur, wartawan, penerjemah, dan kontributor sejak 1999-2010 karena punya minat tersendiri dalam budaya populer dan humaniora di berbagai penerbit buku, media cetak, dan daring a.l EKI Press, PANTAU, tabloid SENIOR, Matabaca (Grup Gramedia), Pustaka Tangga, Freekick!, Sinar Harapan, Warta IKAPI, Jakartabeat, The Borneo Institute, Lembaga Bhinneka Nusantara, dan Majemuk. Pernah aktif di komunitas Mata Bambu, Meja Budaya dan IPS (Indonesian Progressive Society). Menulis naskah drama “Gumam Gugat Gigit” untuk grup teater Gong Tiga (2015) yang dipentaskan di Teater Kecil TIM, Sanggar Kemasan Solo, Kamuning Bogor, dan Galeri Indonesia Kaya. Bukunya yang sudah terbit Episode Anak Negeri (puisi, 2000), Sastra yang Malas (esei, 2004), dan Chimera (novel, 2008). Sejak 2011-sekarang CEO toko buku dan musik online Bakoel Didiet dan Roundabout Music, Blok M Square, Jakarta.

GRACE SAMBOH (l. 1984, Jakarta) terus-menerus mencari kemungkinan bentuk kerja kuratorial di dalam ruang hidupnya. Klaim bahwa Indonesia kekurangan infrastruktur negara dianggapnya ketinggalan zaman. Ia bersijingkat peran dalam beragam elemen dan lembaga seni di sekitarnya. Belakangan ini, sejumlah penelitiannya berpihak pada praktik-praktik seni rupa yang tidak membutuhkan pusat maupun stabilitas. Dalam artikulasinya, ia mengaji-ulang hubungan praktik yang ditelitinya dengan kegiatan dan kejadian dari masa lampau serta stabilitas pusat yang kerap tidak merasa aman. Ia percaya bahwa kerja kuratorial adalah memahami sekaligus membuat sesuatu pada waktu yang bersamaan. Bersama dengan Hyphen, perhatiannya adalah untuk mendorong publikasi penelitian dan proyek artistik dalam konteks Indonesia. Bersama dengan Simposium Khatulistiwa (Yayasan Biennale Yogyakarta), ia mengeksplorasi kemungkinan terhubungnya banyak orang di sepanjang garis yang membelah bumi ini atas dasar solidaritas, kekaguman terhadap masa lalu, dan optimisme terhadap masa depan. Sejak 2019, ia ikut menata program RUBANAH Underground Hub. HASSAN BIN ABD MUTHALIB is a self-taught artist, designer, animator and director, and is currently a Malaysian film historian and film critic. He has won awards for his animation shorts, public service advertisements and documentaries, including directing Malaysia’s first animated feature. He is acknowledged as the Father of Malaysian animation, and an Asian Animation Pioneer by Nanyang Technological University, Singapore where he was invited to be a Visiting Scholar. For his contributions to academia and the industry, he was conferred with an Honorary Masters in Creative Technology. Hassan’s research and writings have been published by the British Film Institute, Cornell and Indiana University Press, Southeast Asia Research Journal, and Cahiers du Cinema. His research into the roots of Malaysian cinema is in his books on Malaysian cinema, Malaysian animation, and an analysis of the films of a prominent Malaysian film director. Hassan has been on many international film festival juries, curated animation programmes for festivals in Europe, and has been invited to lecture at many local and international universities. HOMER HARIANJA, penikmat film yang sempat bercita-cita membuat filmnya sendiri. Tahun 2008 mendirikan Homerian Pustaka bersama istri, penerbit rumahan yang  khusus menerbitkan buku-buku film. Sebelum akhirnya vakum, Homerian Pustaka telah menerbitkan dua buku film yaitu Memahami FIlm (Himawan Pratista, 2008) dan Seandainya Saya Kritikus Film (Ade Irwansyah, 2009). Sekarang tinggal di Yogyakarta dan masih gemar menonton film.

INTAN PARAMADITHA adalah dosen di Media and Film Studies at Macquarie University, Sydney, Australia. Gelar doktoralnya diperoleh dari Cinema Studies, New York University. Sedangkan masternya didapat dari University of California, San Diego dengan tesis berjudul “Motherhood and Na in Post-New tional Identity Order Indonesian Cinema”.  Tulisan akademisnya dimuat di Inter-Asia Cultural Studies (2011), Asian Cinema (2010);  Jurnal Perempuan (2009),  Anthology of Independent South East Asian Cinema (2011), dan Encyclopedia of Women and Islamic Cultures (2010). Intan juga seorang penulis fiksi. Dia menerima penghargaan sastra Pena Kencana 20 Cerpen Terbaik Indonesia dua tahun berturut-turut untuk karyanya berjudul Apel dan Pisau (2008—yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris) dan Satu Kunang-Kunang, Seribu Tikus (2009), serta Khatulistiwa Literary Awards untuk bukunya yang berjudul Sihir Perempuan (2005).  Novelnya, Gentayangan, tak hanya mendapat penghargaan dari Tempo (2017), tapi juga penghargaan the PEN Translates Award dari English PEN dan  the PEN/ Heim Translation Fund Grant dari PEN America, dan sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. VERONIKA KUSUMARYATI bekerja sebagai peneliti bidang antropologi politik dan media. Menyelesaikan studi sarjananya di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (2009), ia melanjutkan studi di tingkat doktoral di jurusan Antropologi di Universitas Harvard (lulus 2018). Tulisannya mengenai film baru saja diterbitkan di buku Process Cinema (2019) yang diedit oleh Scott MacKenzie dan Janine Marchessault. Saat ini penulis fokus pada studi masyarakat Papua. WINDU JUSUF saat ini bekerja sebagai editor di Tirto.id, kadang menulis untuk Cinema Poetica dan IndoProgress. 

Tilas Kritik

Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012 RUMAH FILM ASMAYANI KUSRINI EKKY IMANJAYA ERIC SASONO HIKMAT DARMAWAN IFAN ADRIANSYAH ISMAIL KRISNADI YULIAWAN KONTRIBUTOR ADE IRWANSYAH BOBBY BATARA DONNY ANGGORO GRACE SAMBOH HASSAN ABDUL MUTHALIB HOMER HARIANJA INTAN PARAMADITHA VERONIKA KUSUMARYATI WINDU JUSUF

Sejak awal berdirinya di tahun 2007 hingga sekitar 2012, Rumah Film (www.rumahfilm.org, RF) menjadi salah satu rujukan utama bagi wacana sinema di Indonesia. Mereka mengulas film tanpa mengkotak-kotakkannya, menulis esai panjang, melanglang buana ke berbagai festival film (termasuk Berlinale, Cannes, dan Venesia), mewawancarai para sineas Indonesia dan kelas dunia (dari Werner Herzog hingga Bela Tarr) secara eksklusif, membuat daftar-daftar, dan membuat buku hasil riset mereka. Seri Wacana Sinema ini berupaya untuk “menghidupkan” kembali tulisan-tulisan RF karena dirasa masih aktual dan penting untuk era kiwari, baik kontennya atau pun gaya penulisannya Seri Wacana Sinema Sebuah seri penerbitan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sebagai bagian dari upaya membangun pengetahuan bersama tentang sinema di Indonesia. Seri penerbitan ini akan mencakup berbagai tema yang relevan bagi perfilman Indonesia. Tujuan penerbitan adalah menyediakan rujukan teoritik hingga praktikal seputar perfilman, dan menciptakan percakapan-percakapan baru tentang perfilman di Indonesia maupun di dunia.

PENYELARAS BAHASA Ignatius Hariyanto PENGANTAR Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca)

“Sepanjang 2007-2012, Rumah Film berfungsi bak lentera yang memperlihatkan makna yang lebih dalam dari apa yang bisa terlihat secara kasat mata di layar lebar. Bagi pekerja film, Rumah Film adalah ‘adversary’ yang tak mengumbar pujian, dan karenanya mereka adalah oposan yang setara. Sementara mereka rehat, bersyukurlah dulu dengan buku rekam jejak perjalanan Rumah Film selama lima tahun keberadaannya.” — Prima Rusdi, penulis skenario

dkj.or.id

@JakArtsCouncil

dewankesenianjakarta

Jl. Cikini Raya No.73 Jakarta Pusat, Indonesia