Surat Batak. Sejarah Perkembangan Tulisan Batak

Citation preview

SURAT BATAK SEJARAH PERKEMBANGAN TULISAN BATAK Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII

Uli Kozok

Ecole française d'Extrême-Orient KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 2009

Daftar Isi SURAT BATAK .....................................................8 1

PENDAHULUAN ....................................................9

2

BAHASA DAN KESUSASTRAAN .......................13

2.1 2.2 2.3 2.4

BAHASA.....................................................................14 SASTRA .....................................................................16 HATA PODA ...............................................................17 PUNAHNYA SEBUAH TRADISI .................................19

3

BAHAN-BAHAN REFERENSI..............................21

3.1 3.2 3.3

PERKAMUSAN ..........................................................21 INVENTARISASI NASKAH .........................................22 NASKAH BATAK DI DUNIA MAYA ............................27

4

PENGADAAN NASKAH ........................................28

4.1 4.2 4.3

JENIS BAHAN NASKAH ............................................28 PROSES PEMBUATAN PUSTAHA ............................30 PROSES PEMBUATAN NASKAH BAMBU ................37

5

PUSTAHA DAN ISINYA ........................................39

5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6

CERITA ......................................................................42 ILMU HITAM ..............................................................42 ILMU PUTIH ...............................................................44 ILMU-ILMU LAINNYA ................................................46 OBAT (TAOAR, TAMBAR, DAON)..............................48 ILMU NUJUM ............................................................48

6

AKSARA BATAK DAN SEJARAHNYA ..............67 ASAL USUL AKSARA BATAK ....................................67 AKSARA BATAK MASUK PERCETAKAN ..................86 URUTAN AKSARA BATAK ........................................94 INA NI SURAT ............................................................96 ANAK NI SURAT ........................................................106 PENYIMPANGAN DARI AKSARA BATAK .................111

6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6

Daftar Isi 7

PEDOMAN MENULIS AKSARA BATAK ...........116

7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 7.7 7.8 7.9

ANAK NI SURAT ........................................................116 AKSARA A DAN HA ...................................................117 AKSARA I DAN U .......................................................118 VOKAL GANDA & DERETAN VOKAL ........................118 NASALISASI ..............................................................119 KENDALA MORFEMIK ..............................................120 KONSONAN GANDA .................................................121 AWALAN -ER .............................................................122 LATIHAN ....................................................................122

8

TRANSLITERASI DAN TERJEMAHAN .............125

8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6

TRANSLITERASI I / PENYALINAN.............................126 RALAT ........................................................................129 TRANSLITERASI II / PENYUNTINGAN ......................129 TERJEMAHAN ...........................................................131 PENDOKUMENTASIAN .............................................132 CONTOH TRANSLITERASI........................................133

9

AKSARA KOMPUTER ..........................................137

9.1 9.2 9.3 9.4 9.5

KARO .........................................................................138 PAKPAK .....................................................................140 SIMALUNGUN ...........................................................141 TOBA .........................................................................143 MANDAILING .............................................................144

10

VARIAN-VARIAN AKSARA BATAK ...................147

11

JAWABAN ...............................................................151

CAP SINGAMANGARAJA XII ..........................163 KEPUSTAKAAN ...................................................201

5

6

Surat Batak

Prakata Buku saya “Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak” yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2009 sudah lama habis terjual. Hal itu menunjukkan adanya minat untuk mempelajari dan lebih mengetahui aksara Batak. Buku terbitan tahun 1999 itu sekarang diterbitkan ulang dengan berbagai tambahan dan perbaikan. Bagian yang mengalami revisi mendasar adalah bagian yang membahas porhalaan (kalender Batak). Untuk itu, saya sangat berhutang budi pada Bapak H.J.A. Promes, seorang ahli Batak asal Belanda, atas masukannya yang sangat berharga. Selain itu pemulis juga menambahkan satu BAB tentang cap Singamangaraja yang didasari atas artikel berbahsa Inggris yang pernah diterbitkan di majalah Indonesia and the Malay World (Kozok 2000c). Artikel itu disajikan kembali dalam bahasa Indonesia setelah direvisi secara menyeluruh. Seyogyannya dalam buku ini terdapat juga bagian buku mengenai program komputerasi aksara Batak yang belakangan ini dikembangkan oleh pengarang bekerjasama dengan Leander Seige. Akan tetapi karena program tersebut bagaimanapun berada di Internet maka kami persilakan para pembaca untuk singgah di laman untuk mengikuti perkembangan aksara Batak yang terkini:

http://transtoba2.seige.net serta

http://ulikozok.com

Daftar Isi

7

I

Surat Batak

1

PENDAHULUAN

Buku ini menguraikan tradisi dan sejarah tulisan Batak, terutama aksara Batak, dan naskah Batak yang ditulis dengan surat (aksara) Batak. Dengan demikian buku ini bukan pengantar teori filologi yang umum, melainkan pengantar filologi Batak yang isinya terutama mencakup dasar-dasar filologi Batak serta penerapannya. Dengan demikian ruang lingkup karangan ini lebih bersifat praktek daripada teori dan dimaksudkan agar para mahasiswa Batakologi dapat secara ringkas dan praktis memperoleh pengetahuan yang mempersiapkannya untuk membaca dan mentransliterasi (mengalihaksarakan) naskah-naskah Batak. Pembaca yang ingin mengetahui secara lebih mendalam studi filologi Indonesia serta teorinya dipersilakan untuk membaca buku-buku yang telah ada, khususnya Pengantar Teori Filologi (Baried et al. 1994) dan Principles of Indonesian Philology (Robson 1988). Para filolog yang meneliti naskah Batak telah banyak menyumbangkan pengetahuan tentang kesusastraan Batak sebagaimana tertulis di kulit kayu, bambu, dan tulang kerbau. Hampir semua karangan para ahli tersebut tertulis dalam bahasa asing – bahasa Jerman, Inggris, dan Belanda, dan malahan seorang filolog Batak asli, Dr. Liberty Manik, memilih menulis dalam bahasa Jerman. Tulisan mengenai naskah Batak dalam bahasa Indonesia masih sangat langka sehingga banyak orang kurang mengetahui tentang isi buku-buku kulit kayu yang sangat dibanggakan orang Batak itu. Oleh sebab itu dimasukkan beberapa BAB yang menguraikan baik isi pustaha dan naskah-naskah lainnya maupun proses pengadaan naskah tersebut. Para penulis buku bertopik kebudayaan Batak pada umumnya tidak luput memasukkan satu BAB, atau paling tidak sebuah tabel yang me-

10

Surat Batak

muat surat Batak1. Hal ini menunjukkan bahwa orang Batak bangga atas prestasi nenek moyangnya yang telah mampu menciptakan sebuah tulisan sendiri dan mengarang ribuan naskah yang kini tersimpan di museummuseum mancanegara. Sayangnya, tidak satu pun dari susunan aksara Batak tersebut memberikan gambaran yang jelas dan lengkap. Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor, pertama karena aksara Batak sudah lama tidak digunakan lagi, dan kedua karena bentuk-bentuk aksara Batak dipengaruhi oleh varian-varian aksara yang mulai akhir abad ke-19 sudah diangkat untuk mencetak buku-buku yang bersifat keagamaan dan pendidikan untuk keperluan zending dan pengajaran. Sebagai hasil dari faktorfaktor tersebut, maka apa yang dianggap sebagai aksara baku sering merupakan hasil penyimpangan. Kendatipun akasara Batak kini dijadikan pelajaran wajib bagi murid SD dan SMP, mutu buku pelajaran masih sangat kurang. Buku pelajaran bahasa daerah (Toba) misalnya yang disarankan oleh Kantor Wilayah Provinsi Sumatra Utara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai buku bacaan di sekolah lanjutan tingkat pertama penuh dengan kesalahan dan kejanggalan. Keadaan di perguruan tinggi juga memprihatinkan. Sebagaimana telah dialami pengarang saat menjadi dosen luar biasa di jurusan sastra daerah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara mahasiswa pada umumnya tidak dapat membaca sebuah naskah Batak karena surat Batak yang telah mereka pelajari ternyata kurang lengkap dan kerap kali malahan salah. Salah satu penyebab adalah bahwa sampai sekarang belum ada buku yang secara lengkap membahas seluk-beluk kelima surat Batak dengan segala variasinya. Diharapkan bahwa buku ini dapat mengisi kekosongan tersebut. Buku ini terutama bermaksud untuk mempersiapkan mahasiswa dan khalayak yang menaruh minat pada budaya Batak agar mereka dapat membaca dan mengalihaksarakan naskah-naskah Batak. Karangan ini juja merangkap sebagai pedoman untuk menulis surat Batak – baik pakai

1. Lihat misalnya (Marbun dan Hutapea 1987; Sarumpaet 1994; Sihombing 1986; Situmorang 1983; Tampubolon 2002a; Tampubolon 2002b).

Pendahuluan

11

tangan maupun dengan komputer dengan menggunakan aksara Batak yang dikomputerkan. Bahan-bahan untuk penulisan buku ini berasal dari berbagai sumber melalui penelitian kepustakaan, penelitian lapangan, dan terutama dari pengalaman penulis yang telah lima belas tahun berkecimpung di bidang sastra Batak dan telah membaca dan mentransliterasikan ratusan naskah Batak. Penelitian khusus untuk penulisan buku ini dilakukan selama tiga minggu di Museum für Völkerkunde Berlin, dan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Jumlah naskah yang dievaluasi dan dipetakan dalam upaya perbandingan aksara mencapai kira-kira 200 naskah, kira-kira separuh di antaranya adalah buku kulit kayu (pustaha) dan sisanya merupakan naskah yang ditulis di atas bambu, tulang, dan kertas. Kedua ratus naskah tersebut berasal terutama dari daerah Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandailing. Evaluasi naskah Karo berdasarkan kirakira 200 naskah Karo telah dilakukan penulis waktu menulis disertasinya (Kozok 2000a), sedangkan naskah Pakpak-Dairi memang sangat langka, dan penulis hanya menemukan sekitar lima naskah saja yang jumlahnya tentu belum cukup untuk sebuah evaluasi yang mendalam. Oleh karena itu, hasilnya yang menyangkut surat Batak Pakpak-Dairi bersifat sementara saja. Definisi istilah ‘Batak’ Kita tidak mungkin menulis mengenai ‘Batak’ tanpa memberikan definisi dulu dengan apa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Dewasa ini, istilah Batak sebenarnya sudah jarang dipakai bila merujuk kepada kelompok etnis Batak selain Toba, yaitu Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun serta Angkola-Mandailing. Keempat etnis tersebut sekarang jarang menyandang predikat Batak, namun di zaman prakolonial, dan juga masih di awal penjajahan Belanda, mereka lazim menyebut diri sebagai Batak (Mandailing sudah mulai dijajah pada tahun 1835, tetapi kebanyakan daerah Batak baru menjadi teritorial pemerintahan kolonial pada tahun 1904 atau 1907). Salah satu alasan maka predikat Batak kini jarang dipakai oleh keempat etnik tersebut berkaitan dengan kenyataan bahwa orang Toba cenderung menyebut diri sebagai Batak dan bukan

12

Surat Batak

sebagai Toba. Dengan demikian maka Batak sering dianggap sinonim dengan Toba. Jadi mengapa orang Batak Toba lebih suka menggunakan predikat Batak ketimbang Toba? Sebabnya ialah karena "Toba" sebenarnya nama daerah dan bukan nama suku bangsa. Pada intinya Toba merujuk pada dua daerah saja, yaitu Toba Humbang dan Toba Holbung, sementara Habinsaran, Samosir, Silalahi, Silindung, Uluan, dan beberapa daerah kecil lainnya sebenarnya tidak termasuk daerah Toba. Akan tetapi karena kesamaan dari segi bahasa dan budaya penduduk daerah-daerah itu lazim disebut etnis Toba, terutama oleh orang luar (orang Karo misalnya menyebutnya kalak Teba ‘orang Toba’), dan kemudian juga oleh para ahli bahasa dan antropologi. Karena sampai sekarang, banyak orang Samosir masih tetap merasa janggal bila mereka disebut Toba, dan lebih suka menggunakan istilah Batak saja. Buku ini mengenai aksara Batak, yang dalam bahasa-bahasa Batak disebut Surat Batak. Sekarang sistem tulisan yang ada di Sumatra Utara suka dibedakan antara aksara Toba, Karo, dsb, tetapi dulu semua orang Batak, termasuk Karo, Simalungun, dan Mandailing, menggunakan hanya satu istilah: surat Batak. Oleh karena itu, dan demi menjaga kesederhanaan tulisan ini, istilah ‘Batak’ digunakan bila merujuk kepada semua sub-etnis ‘Batak’, sedangkan istilah Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba dan AngkolaMandailing digunakan bila merujuk pada suatu kelompok sebagaimana telah ditunjukkan pada gambar di halaman berikut.

|

2

BAHASA DAN KESUSASTRAAN

Gambar 1: Peta Linguistik Sumatra Utara

14

Surat Batak

2.1

Bahasa Proto-Batak

PSB

PNB

PT PAM Alas

Karo Dairi

Si

To

An

Ma

Kelima suku Batak memiliki bahasa yang satu sama lain mempunyai banyak persamaan. Namun demikian, para ahli bahasa membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya begitu besar sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok tersebut.

Gambar 2: Rumpun Bahasa Batak Bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok ketiga yang berdiri di antara rumpun utara dan rumpun selatan, namun menurut ahli bahasa Adelaar (1981) secara historis bahasa Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk. Semua dialek bahasa Batak berasal dari satu bahasa purba (protolanguage) yang sebagian kosa katanya dapat direkonstruksikan.2 Linguistik historis komparatif adalah bidang linguistik yang menyelidiki perkembangan bahasa dari masa ke masa serta menyelidiki perbandingan satu bahasa dengan bahasa lain. Dengan metode tersebut dapat diketahui bahwa misalnya kata untuk bilangan 3 (tiga) dalam bahasa Batak Purba adalah tělu. Bentuk ini sampai sekarang diwariskan oleh rumpun Batak Utara, sedangkan rumpun Batak Selatan mengalami pergeseran dari [ə] menjadi [o] sehingga tělu berubah menjadi tolu.3 Dengan cara perban-

2. Bahasa purba adalah sebuah bahasa yang menjadi perintis dari bahasa yang saling berhubungan yang membuat sebuah rumpun bahasa. Bahasa purba tersebut dapat direkonstruksikan dengan metode komparatif yang dapat menentukan kekerabatan bahasa-bahasa dengan membandingkan bentuk dari kata-kata seasal. 3. Dalam hal ini rumpun utara yang melestarikan bentuk aslinya, namun banyak contoh lainnya di mana bentuk aslinya dipertahankan oleh rumpun selatan (PBS).

Bahasa dan Kesusastraan

15

dingan yang demikian, linguistik historis komparatif dapat menentukan hubungan kekerabatan antara bahasa-bahasa yang seasal. Adapun bahasa Alas secara linguistik dapat digolongkan dalam rumpun bahasa Batak Utara, namun dari segi budaya suku Alas tidak termasuk kebudayaan Batak. Ada kemungkinan bahwa di masa dahulu orang Alas juga pernah menggunakan sebuah varian surat Batak mengingat bahwa dari segi budaya, sistem kekerabatan, dan terutama dari segi bahasa, Alas masih cukup banyak memiliki persamaan dengan Batak, khususnya Batak Karo (Iwabuchi 1994). Karena orang Alas sudah lama memeluk agama Islam, maka huruf Jawi dipakai untuk surat-menyurat sebelum abjad Latin diperkenalkan. Walaupun bahasa Karo dan bahasa Simalungun merupakan dua bahasa yang begitu berbeda sehingga sulit berkomunikasi satu sama lain, di daerah-daerah perbatasan Karo-Simalungun tidak ada masalah komunikasi karena di situ masing-masing bahasa memiliki banyak kata yang dipinjam dari seberang perbatasan. Dan bukan saja dari segi bahasa, dari segi budaya pula tidak ada perbedaan yang mencolok di antara kampungkampung Simalungun dan Karo di daerah perbatasan. Demikian juga halnya di daerah perbatasan antara bahasa/budaya Karo dan Pakpak atau Pakpak dan Toba. Bahasa Toba, Angkola, dan Mandailing tidak banyak berbeda. Malahan Angkola dan Mandailing merupakan dua bahasa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga pada umumnya disebut bahasa Angkola-Mandailing saja. Dengan adanya kesinambungan linguistik antara suku-suku Batak, tidak mengherankan bahwa tiada juga perbedaan-perbedaan yang jelas antara varian-varian surat Batak. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada lima varian surat Batak, ialah Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandailing. Namun, kita harus mengingat bahwa baik dari segi bahasa, budaya maupun tulisan tidak selalu ada garis pemisah yang jelas antara kelima suku Batak tersebut karena kelima suku Batak itu mempunyai induk yang sama.

16 2.2

Surat Batak Sastra

Sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita-cerita rakyat dalam bentuk fabel, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhantorhanan, turi-turian, huling-hulingan – semua itu tidak pernah ditulis, tetapi diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Walaupun orang Batak sudah berabad-abad memiliki tulisan tersendiri, mereka tidak pernah menggunakan sistem tulisannya untuk tujuan sehari-hari. Membuat catatan, mengeluarkan dokumen-dokumen, mencatat utang-piutang atau pengeluaran rumah-tangga, mencatat silsilah marganya – semuanya ini tidak pernah dilakukan dengan menggunakan pena melainkan secara lisan saja. Orang Batak menggunakan tulisannya hanya untuk tiga tujuan: 1. Ilmu kedukunan (hadatuon) 2. Surat-menyurat (termasuk surat ancaman) 3. Ratapan (hanya di Karo, Simalungun, dan Angkola-Mandailing). Tiga perempat naskah membahas hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedukunan atau hadatuon. Yang berhak untuk menulis perihal hadatuon adalah para dukun (datu). Pengetahuannya terutama ditulis pada buku kulit kayu, tetapi kadang-kadang mereka juga menggunakan bambu atau tulang kerbau. Diperkirakan terdapat sekitar 1.000 hingga 2.000 pustaha yang kini disimpan dalam koleksi-koleksi museum atau perpustakaan di mancanegara, terutama di Belanda dan Jerman. Sebuah koleksi yang besar juga terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Pustaha dan isinya akan diteliti dengan lebih mendalam pada BAB berikut. Tidak semua naskah Batak ditulis oleh para datu. Dalam hampir setiap koleksi terdapat surat yang ditulis oleh orang biasa, atau seorang raja. Juga surat ancaman (T,S pulas, K musuh běrngi) sering ditemukan. Surat seperti itu mengandung ancaman terhadap pihak yang memperlakukan si penulis secara tidak wajar, misalnya karena kecurian kerbau atau upah yang tidak dibayar. Di banyak daerah, terutama Karo, Simalungun, Angkola dan Mandailing banyak terdapat ratapan (K bilangbilang, S suman-suman, M andung) yang membahas penderitaan si pe-

Bahasa dan Kesusastraan

17

nulis yang terbuang oleh sanak saudara, kematian orang tua atau kerabat lainnya serta juga percintaan yang gagal. Bahan yang dipakai untuk surat, surat ancaman, serta ratapan biasanya bambu. Di Karo ratapan tersebut ditulis pada sebuah ruas bambu yang diberi tutup dan dipakai sebagai tempat kapur sirih (tagan pěrkapurěn) atau tempat tembakau (tagan pěrtimbakon). Di Simalungun, di samping tempat kapur sirih juga parlilian (tempat untuk menyimpan lidi yang dipakai untuk bertenun) sering ditulisi ratap-tangis, sedangkan di Angkola dan Mandailing bambu yang panjangnya bisa mencapai empat atau lima ruas biasanya dipakai untuk menulis sebuah andung. Ratap-tangis andung juga dikenal di Toba dan Pakpak, tetapi hanya sebagai tradisi lisan saja. Kebiasaan menulis surat, surat ancaman dan ratap-tangis ini menunjukkan bahwa di zaman dulu bukan saja sang datu bisa menulis dan membaca. Kemungkinan besar bahwa angka keberaksaraan di zaman prakolonial telah mencapai 30–50 persen dari kaum laki-laki. Kendati demikian, hanya sang datu-lah yang pandai menulis pustaha. Mereka adalah penulis profesional dan mereka juga merupakan lapisan penduduk dengan mobilitas yang paling tinggi. Seorang murid (sisean) sering merantau jauh agar dapat berguru kepada seorang datu yang terkenal. Dalam pustaha Perpustakaan Nasional, No. D 2 misalnya, disebut bahwa penulis pustaha tersebut yang berasal dari Pangaribuan di daerah Habinsaran, merantau sampai ke dataran tinggi Karo untuk berguru pada seorang datu terkenal yang juga menjadi raja (sibayak) di kampung Kuta Bangun. Mobilitas yang sangat tinggi ini mungkin juga merupakan salah satu sebab mengapa kita sering dapat menjumpai kata-kata dan aksara-aksara dari daerah lain di dalam sebuah pustaha.

2.3

Hata Poda

Dalam menulis sebuah pustaha, para datu menggunakan sebuah ragam bahasa yang lazim disebut hata poda. Kata poda (pědah di dialek utara) dalam bahasa sehari-hari diartikan ‘nasehat’, tetapi dalam pustaha artinya lebih mendekati ‘instruksi’ atau ‘petunjuk’. Ragam hata poda yang hanya dipakai di pustaha ini, merupakan sejenis dialek kuno

18

Surat Batak

rumpun bahasa Batak Selatan dan banyak bercampur dengan kata-kata yang dipinjam dari bahasa Melayu. Karena kekunoannya, dialek tersebut juga menjamin bahwa hanya seorang datu yang telah mempelajari ragam bahasa ini dapat mengerti isi pustaha. Kerahasiaan ini merupakan salah satu sebab mengapa isi pustaha sangat sukar dimengerti – petunjuk-petunjuk yang diberikan pada umumnya hanya dapat dipahami oleh seseorang yang sudah memiliki pengetahuan mendalam mengenai masalah yang dibicarakan. Walaupun seorang datu harus menguasai bahasa poda sebelum ia mulai menyusun sebuah pustaha, hal itu tidak berarti bahwa bahasa yang dipakai di pustaha-pustaha adalah murni hata poda. Tentu banyak kata dari masing-masing bahasa daerah ikut memperkaya bahasa yang dipakai dalam pustaha. Tetapi ada pula banyak naskah yang kalau dilihat dari segi bahasa, tempat asalnya tidak dapat diketahui karena ditulis dalam ragam hata poda tersebut. Standardisasi yang dilakukan dalam penulisan pustaha seperti halnya menggunakan bahasa poda sebagai ragam bahasa penulisan pustaha, juga terdapat pada tulisannya. Jika seorang datu Karo misalnya menulis sebuah pustaha, ia cenderung untuk mengubah aksara Karo sedemikian rupa hingga tampak lebih selatan. Untuk mencapai itu, ia akan menghindarkan penggunaan diakritik e-pepet (kěběrětěn) dan menggantinya dengan diakritik /o/ (kětolongěn). Karena keseragaman baik bahasa maupun tulisan, bentuk-bentuk aksara sebagaimana terdapat dalam sebuah pustaha tidak selalu mewakili bentuk-bentuk aksara yang biasanya dipakai di daerah asal datu yang mengarang pustaha tersebut. Hal itu dapat terjadi bukan saja karena kecenderungan untuk menyesuaikan tulisan dengan bentuk selatan, tetapi juga karena para datu sering memperoleh pengetahuannya, termasuk kepandaian membaca dan menulis, dari seorang datu dari lain daerahnya. Oleh sebab itu, sebuah perbandingan aksara seperti dilakukan di BAB 6 sebaiknya dilakukan berdasarkan naskah-naskah bambu dan bukan pustaha agar mendapatkan sebuah gambaran yang lebih akurat. Sebagai contoh ragam hata poda, saya berikan di sini beberapa kata yang lazim dipakai dalam penulisan sebuah pustaha:

Bahasa dan Kesusastraan

19

Tabel 1: Ragam Hata Poda Hata Poda

Batak Toba

Batak Karo

Melayu

jaha

molo

adi

jika

purba

habinsaran

kěbincarěn

timur

dongan

dohot

ras

dengan

turun

tuat, susur

susur

turun

inon

on

enda

ini

lobe

jolo

lěbe

dulu

bajik

uli

uli

bajik

dumatang

ro

rěh

datang

da- (pasif)

di-

i-

di-

Daftar ini masih dapat diperpanjang dengan puluhan atau bahkan lebih dari seratus kata lainnya. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hata poda dianjurkan untuk membaca karya Sarumpaet (1982), Hariara (1987), atau merujuk pada kamus-kamus bahasa Batak, terutama kamus Van der Tuuk (1861) dan Warneck (1977). Dari beberapa contoh tersebut menjadi jelas bahwa idiolek poda terutama berdasarkan rumpun bahasa Batak Selatan dengan pengecualian kata lobe yang diambil dari rumpun bahasa Batak Utara. Selain itu juga tampak banyaknya kata pinjaman dari bahasa Melayu seperti jaha, dongan, turun, bajik, d=um=atang, dan juga dari bahasa Sanskerta (purba).

2.4

Punahnya sebuah tradisi

Waktu ahli bahasa Belanda Herman Neubronner van der Tuuk mengadakan perjalanannya ke Sipirok pada tahun 1852, beliau telah mencatat bahwa daerah tersebut “sangat kekurangan atas pustaha, datu, dan babi” sebagai akibat masuknya agama Islam ke daerah tersebut.4 Enam tahun

4. “Een algemeene schaarschte in poestahas, datoes en varkens, welke laatste bestand-

20

Surat Batak

sebelumnya, Willer, seorang civiel gezaghebber (pegawai pamongpraja) di Mandailing, juga sudah menulis bahwa di daerah Pertibi (Angkola) tidak lagi terdapat pustaha, sedangkan di Mandailing sudah menjadi sangat jarang. Dijelaskannya bahwa kaum Padri berusaha sedapat-dapatnya untuk memusnahkannya.5 Ternyata bukan kaum Padri saja yang benci pada produk-produk para datu. Penginjil-penginjil Jerman bersama dengan pendeta-pendeta pribumi memilih jalan yang sama pula dan secara besar-besaran mereka membakar pustaha serta obyek-obyek "kekafiran" lainnya.6 Pada tahun 1920an agama Kristen sudah memasuki daerah-daerah pedalaman termasuk Samosir, Dairi serta dataran tinggi Karo dan Simalungun. Walaupun kebanyakan penduduk di daerah tersebut saat itu masih bertahan pada agama nenek moyangnya, boleh dipastikan bahwa pada waktu itu sudah hampir tidak ada lagi datu yang menulis pustaha. Pada saat itu juga, tidak ada lagi buku, baik terbitan zending maupun pemerintah, yang dicetak dengan menggunakan aksara Batak. Setahu saya buku terakhir yang dicetak dalam aksara Batak adalah Porgolatanta: Buku sidjahaon ni anak sikola karangan Arsenius Lumbantobing (1916) yang terbit di Balige pada tahun 1916, dan naskah-naskah asli yang masih ditulis setelah tahun itu jumlahnya sangat sedikit sekali.

deelen van de Battaksche gemeente voor den invloed van het Islamisme de vlugt hebben moeten nemen.” Dikutip dari Voorhoeve (1927:314). 5. “Wat Pertibie en Mandheling betreft, kan ik verzekeren, dat in eerstgenoemd landschap geen poestaha's hoegenaamd zijn te verkrijgen, en zij in het laatstgenoemde hoogst zeldzaam zijn te vinden. De Padries hebben deze boeken overal met veel godsdienstijver opgespoord en verbrand, de bezitters daarvoor hooge boeten afgeperst; zij gebruiken hier hetzelfde argument als Omar bij de Alexandrijnsche boekerij.” (Willer 1846:391) 6. Penginjil Meerwaldt (1922:295) misalnya menulis: “De boeken door de datoe's met zooveel opoffering van tijd en moeite geschreven, zij dienden hen, die, gelijk wij in Hand. 19 : 19 lezen, ijdele kunsten pleegden, en waren dus rijp, om, evenals daar, ten vure gedoemt te worden.”

3

BAHAN-BAHAN REFERENSI

3.1

Perkamusan

Kebanyakan kamus bahasa-bahasa Batak masih berbahasa asing – Belanda atau Jerman. Berkat upaya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) sudah ada beberapa kamus bahasa-bahasa Batak – Indonesia, tetapi kebanyakan masih belum memenuhi standar. Dibandingkan dengan kamus asing, kamus-kamus keluaran Pusat Bahasa pada umumnya kurang lengkap, dan juga sangat kekurangan dari segi metodologi penyajian data. Hal itu menjadi jelas bila kita menyimak kamus Karo (Siregar et al. 1985), Simalungun (Zubeirsyah 1985), Toba (Tambunan 1977) dan Angkola-Mandailing (Siregar 1977). Keakuratan data keempat kamus tersebut tidak terlalu dapat diandalkan dan kurang bermanfaat sebagai referensi sehingga kita masih tetap harus menggunakan kamus-kamus asing. Kamus bahasa-bahasa Batak – Indonesia yang lebih baik justru dibuat oleh orang yang bukan akademik. Kamus Pakpak-Dairi – Indonesia yang disusun oleh T. R. Manik (1977) cukup bermutu. Sayang sekali kamus tersebut diterbitkan oleh Pusat Bahasa tanpa memberi kesempatan kepada penyusun untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi selama proses penyuntingan. Japorman E. Saragih (1989) telah menyusun kamus Simalungun–Indonesia yang sederhana tetapi sangat berguna untuk melengkapi kamus Simalungun–Simalungun yang dikarang oleh Wismar Saragih (1936). Salah satu contoh kamus Batak – Indonesia yang bermutu adalah Kamus Toba – Indonesia yang disusun oleh J.P. Sarumpaet (1994). Kamus ini sangat berguna terutama karena kosakatanya yang kontemporer, tetapi kurang bermanfaat bagi seorang filolog yang meneliti naskah-naskah lama sehingga kita masih tetap tergantung pada kamus Van der Tuuk dan Warneck.

22

Surat Batak

Setelah lebih dari seratus tiga puluh tahun, kamus Van der Tuuk masih merupakan referensi yang sangat penting bagi bahasa Toba, Dairi, dan Angkola-Mandailing (Tuuk 1861). Tidak kalah penting adalah kamus Toba – Jerman yang disusun oleh Warneck dan, dalam edisi keduanya, dilengkapi oleh Winkler dengan sejumlah kata khas hadatuon yang kerap terdapat dalam pustaha (Warneck 1906; 1977). Untuk bahasa Angkola-Mandailing, selain kamus Van der Tuuk masih ada kamus Angkola-Mandailing – Belanda yang disusun oleh Eggink (1936). Untuk bahasa Pakpak-Dairi, selain kamus Van der Tuuk yang kurang lengkap memuat kata-kata Pakpak-Dairi, hanya ada kamus PakpakDairi – Indonesia yang disusun oleh Tindi Raja Manik (1977). Karena pendudukan Jepang maka upaya P. Voorhoeve untuk menyusun kamus Simalungun – Belanda tidak pernah rampung. Kamus-kamus Simalungun yang ada semua berbahasa Indonesia. Kamus Karo-Belanda pertama disusun oleh misionaris M. Joustra (1907). Kamus tersebut disusun dalam aksara Batak. Kemudian J.H. Neumann (1951) yang juga menjadi misionaris zending Belanda di Tanah Karo, menyusun sebuah kamus Karo-Belanda beraksara Latin. Dalam kamus tersebut, semua lema kamus Joustra dimasukkan sehingga yang pertama tidak dibutuhkan lagi sebagai referensi.

3.2

Inventarisasi Naskah

Tugas seorang filolog adalah untuk menguraikan sebuah naskah sedemikian rupa sehingga naskah tersebut tersedia dalam bentuk yang dapat dibaca dan dipahami oleh kalangan yang lebih luas. Karena naskah-naskah Batak sering sulit dimengerti dan juga karena faktor lainnya (kerusakan atau hilangnya bagian sebuah naskah misalnya) biasanya kita mesti membaca beberapa naskah dari jenis yang serupa untuk dapat memahami isi naskah yang sedang dipelajari. Katakanlah seseorang ingin meneliti surat-menyurat antara penginjil Nommensen dan raja-raja Toba. Sudah barang tentu peneliti tersebut akan merasa kurang kalau hanya membahas satu atau dua naskah karena informasi yang diperolehnya tidak cukup. Maka ia akan berusaha untuk mencari sebanyak-banyaknya

Bahan-Bahan Referensi

23

naskah yang dapat dipelajarinya. Untuk itu ia perlu mengetahui di mana saja tersimpan surat-surat seperti ini. Untuk itu, tersedia sejumlah buku referensi. 1. Manik, Liberty. Batak-Handschriften. Vol. XXVIII, Verzeichnis der orientalischen Handschriften in Deutschland. Penyunting: W. Voigt. Wiesbaden: Franz Steiner Verlag 1973. Katalog ini adalah salah satu referensi yang terpenting yang memuat semua naskah Batak yang ada di Jerman, berjumlah sekitar 500 naskah; dilengkapi dengan suplemen oleh Theodore G.Th. Pigeaud dan P. Voorhoeve berjudul Handschriften aus Indonesien: Bali, Java und Sumatra. Vol. XXVIII, 2, Verzeichnis der orientalischen Handschriften in Deutschland; disunting oleh D. George. Stuttgart: Franz Steiner Verlag Wiesbaden 1985. Kedua katalog ini berbahasa Jerman. 2. Voorhoeve, Petrus. Codices Batacici. Codices Manuscripti XIX. Leiden: Universitaire Pers 1977. Deskripsi dari sekitar dua ratus naskah yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, termasuk koleksi-koleksi Van der Tuuk dan Ophuijsen. Karangan yang berbahasa Belanda ini merupakan salah satu sumber yang sangat penting. Di Universiteitsbibliotheek Leiden terdapat juga ribuan lembar berisi transliterasi dan deskripsi ratusan naskah Batak dari puluhan koleksi mancanegara. Bahan yang sangat berharga ini dikumpulkan oleh Voorhoeve selama puluhan tahun. Koleksi tersebut telah diinventariskan oleh P. Voorhoeve dan Uli Kozok (1993). 3. Voorhoeve, Petrus. A catalogue of the Batak manuscripts in the Chester Beatty Library. Dublin: Hodges Figgis & Co.Ltd. 1961. Penguraian yang sangat teliti dan luas atas 51 naskah koleksi Perpustakaan Chester Beatty di Dublin, Irlandia. Naskah yang dibahas secara amat teliti adalah naskah 1101 karena pustaha Karo ini merupakan salah satu dari hanya beberapa pustaha yang menjelaskan cara pembuatan dan penggunaan tunggal panaluan. Seluruh teks pustaha tersebut ditransliterasikan dan bagian-bagian yang kurang lengkap dapat dilengkapi dengan mengambil teks dari dua naskah Karo lainnya yang juga bertopik tunggal panaluan. Katalog ini dilengkapi dengan suplemen oleh

24

Surat Batak

P. Voorhoeve berjudul “Supplement to the Batak Catalogue. The Chester Beatty Library” yang dimuat di majalah Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 124 (3) 1968. 4. Ricklefs, M.C., dan P. Voorhoeve. Indonesian Manuscripts in Great Britain. A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections. Vol. 5, London Oriental Bibliographies. Oxford: Oxford University Press 1977. Karangan ini berupa katalog naskah-naskah Indonesia, termasuk puluhan naskah dari daerah Batak yang ada di berbagai museum dan perpustakaan di Britania Raya. Katalog tersebut dilengkapi dengan Addenda et Corrigenda yang dimuat di Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. XLV, Part 2, 1982. 5. Voorhoeve, Petrus. Catalogue of Indonesian Manuscripts. Part 1, Batak Manuscripts. Copenhagen: The Royal Library 1975. Katalog berbahasa Inggris ini menguraikan dengan sangat teliti dan luas isi 86 naskah Batak koleksi Perpustakaan Kerajaan Denmark. Bagian pertama buku ini yang berjudul Comparative observations on some typical designs in Batak manuscripts ditulis oleh Carl Schuster dan membandingkan ornamen-ornamen yang lazim terdapat di dalam naskah-naskah Batak (seperti bindu matoga dan bindu matogu, tapak raja Suleman dsb.) dengan ornamen-ornamen di India dan juga luar India. Bagian kedua katalog ini yang ditulis oleh Voorhoeve dibagi atas enam bagian. BAB pertama yang berjudul “Mythology” berkaitan dengan makhluk halus sangat berbahaya yang bernama Sirudang Gara yang diuraikan di naskah BAT.1. BAB kedua berjudul “Aggressive Magic” dan menguraikan teks-teks yang mengandungi ajaran ilmu gaib yang bertujuan untuk memusnahkan musuh (songon, pangulubalang dsb.). BAB ketiga berjudul “Protective Magic” terutama berisikan pagar dan azimat serta ajaran untuk memperoleh kekebalan. BAB keempat berjudul “Divination” (ramalan), BAB kelima berkaitan dengan tambar dan tawar (obat-obatan), dan BAB keenam membahas beberapa naskah bambu dan tulang seperti bilang-bilang (ratap-tangis), surat, dan pulas (surat ancaman).

Bahan-Bahan Referensi

25

Katalog ini dilengkapi dengan sebuah BAB tambahan yang mengandung transliterasi teks-teks yang diambil dari 22 pustaha dan yang berkaitan dengan pengayauan (pemenggalan kepala orang). Perlu ditambah di sini bahwa selama ini orang Batak hanya dikenal karena antropofaginya (makan daging manusia), dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pengayauan sebagaimana dikenal dari suku Dayak misalnya pernah ada di tanah Batak. Teks-teks yang disajikan Voorhoeve membuktikan bahwa pengayauan ternyata pernah juga dilakukan orang Batak. 6. Petrus Voorhoeve. Elio Modigliani’s Batak Books, Archivio per l’Antropologia e la Etnologia Vol. CIX-CX, 1979–1980, Hal. 61–96 Kisah Elio Modigliani yang pernah dianggap oleh orang Batak sebagai utusan Raja Rum telah diceritakan oleh Sitor Situmorang dalam buku “Guru Somalaing dan Modigliani ‘Utusan Raja Rom’. Sekelumit sejarah lahirnya gerakan Ratu Adil di Toba” (Situmorang 1993a). Tokoh Itali yang telah banyak mempengaruhi sejarah orang Batak membawa pulang 20 pustaha dan empat naskah bambu dari perjalanannya ke tanah Batak pada tahun 1890 yang kini tersimpan di kota kelahirannya Firenze. 7. Poerbatjaraka, R. Ng., P. Voorhoeve, dan C. Hooykaas, Indonesische Handschriften. Bandung 1950. Katalog berbahasa Belanda ini antara lain juga memuat daftar dari beberapa naskah Batak yang ada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 8. Saragih, Japorman Edison, Pustaha-pustaha laklak dan surat-surat buluh yang berasal dari daerah Batak, Sumatera Utara Perpustakaan Nasional (stensilan) (Saragih 1973). Daftar naskah Batak di Perpustakaan Nasional yang lebih lengkap (namun banyak mengandung kesalahan) telah disusun oleh J. E. Saragih yang dapat dibaca di ruangan naskah Perpustakaan Nasional. Daftar ini juga sangat penting karena menunjuk kepada map berkode Vt. yang berisi transliterasi-transliterasi sebagian besar naskah Batak yang ada di Perpustakaan Nasional. Transliterasi itu sangat berguna karena dibuat oleh orang yang memiliki pengetahuan yang sangat mendalam mengenai isiisi pustaha. Perlu diingat bahwa transliterasi yang dibuat pada awal abad

26

Surat Batak

ini tidak merupakan transliterasi yang ilmiah, melainkan transliterasi praktis yang tanpa memberi indikasi apa pun memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang ada pada naskah asli. 9. Haruki Yamamoto dan Andreas S. Lingga, “Catalogue of the Batak Manuscripts in the Simalungun Museum.” Nampo-Bunka 17, November 1990:1–18 Artikel ini merupakan sebuah daftar inventaris yang memuat deskripsi oleh sembilan belas pustaha yang dimiliki Museum Simalungun di Pematang Siantar. Demikianlah daftar bahan-bahan referensi berupa daftar inventaris beberapa koleksi. Daftar ini masih dapat dilengkapi dengan katalog inventaris beberapa koleksi yang lebih kecil, antara lain Tenri Central Library, Tenri, Jepang (Yamamoto 1992), Royal Art and History Museums di Brussels, Belgia (Persoons 1986), Perpustakaan John Rylands di Manchester, Inggris (Voorhoeve 1951), Museum Antropologi (Museum voor Volkenkunde) Leiden, Belanda (Fischer 1914; 1920), LindenMuseum Stuttgart, Jerman (Kozok 2003) serta koleksi H.H. Bartlett, pengarang The Labors of the Datu (Bartlett 1973), yang diinventariskan oleh Voorhoeve (1980). Sekilas pandang daftar ini bisa kelihatan mengagumkan. Hal ini terutama berkat kegiatan Petrus Voorhoeve yang, mulai tahun 1927 sewaktu ia menerbitkan disertasinya berjudul Overzicht van de volksverhalen der Bataks (Peninjauan terhadap cerita-cerita rakyat Batak) hingga pada tahun 1996 ketika beliau menemui ajalnya, menekuni sastra lisan dan filologi Batak. Sumbangan Voorhoeve pada filologi Batak memang luar biasa. Dilahirkan di tahun 1899 di Vlissingen, provinsi Zeeland, negeri Belanda, beliau mempelajari bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden. Setelah tamat ia ditugaskan di Pematang Siantar sebagai taalambtenaar (pegawai bahasa) dengan tugas untuk menyusun kamus Simalungun yang tak pernah terbit karena sebagian besar bahan yang telah dikumpulkannya hancur terbakar di zaman Jepang. Beliau sendiri dikirim ke Burma untuk bekerja paksa untuk mesin perang Nippon, sedangkan isteri dan anak-anaknya diinternir di Jaranguda, Berastagi. Kembali ke negeri Belanda ia menjadi kepala bagian pernaskahan di Perpustakaan

Bahan-Bahan Referensi

27

Universitas Leiden sampai mencapai usia pensiun. Masa jabatannya di perpustakaan tersebut dan juga setelah pensiun merupakan masanya yang paling produktif sehingga ia menerbitkan puluhan buku dan artikel seputar bahasa dan sastra, dan terutama filologi Aceh, Batak, Jawa, dan Sumatra bagian selatan. Alangkah miskinnya filologi Batak kalau tidak ada orang ini yang menyumbangkan seluruh jiwa dan raga pada dunia pernaskahan Nusantara. Tetapi apakah dayanya seorang diri menghadapi ratusan bahkan ribuan naskah yang terpencar di mancanegara. Hingga kini, belum ada orang yang menghitung jumlah naskah Batak yang ada di Belanda yang barangkali mencapai beberapa ratus atau bahkan seribu lebih. Naskahnaskah yang ada di museum-museum terbesar seperti di Tropenmuseum Amsterdam atau di Museum Geraldus van der Leeuwen, Groningen, misalnya, tidak pernah diinventariskan sehingga pengetahuan kita tentang koleksi-koleksi ini sangat minim. Demikian juga dengan naskahnaskah yang ada di Austria (misalnya di Museum für Völkerkunde Wien, Vienna) atau di berbagai koleksi lainnya di Eropa dan luar Eropa.

3.3

Naskah Batak di Dunia Maya

Salah satu masalah bagi mahasiswa Indonesia adalah bahwa lebih dari 90% naskah-naskah Batak berada di luar negeri. Upaya "pengembalian" naskah Batak ke tanah air telah dirintis oleh penulis melalui dunia maya. Pranala (link) untuk mengakses situs internet adalah: http://ulikozok.com Dalam bilik tersebut terpajang sejumlah naskah Batak dari berbagai koleksi luar negeri. Naskahnya dapat langsung dibaca di situ, didownload atau dicetak serta dibawa pulang untuk menghemat biaya.

|

4

PENGADAAN NASKAH

4.1

Jenis Bahan Naskah

Naskah-naskah Batak pada umumnya ditulis pada tiga jenis bahan: kulit kayu (laklak), bambu, dan tulang kerbau. Di antara 500 naskah Batak yang ada di berbagai koleksi di Jerman, naskah kulit kayu dan bambu yang paling banyak, yakni masing-masing sekitar 43%, sedangkan naskah tulang 12% dan naskah kertas hanya 2%. Kertas sudah ada di Tanah Batak pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tetapi jarang digunakan kecuali di sekolah-sekolah dan untuk menulis dengan huruf Latin. Tabel 2: Jenis-jenis naskah (di Jerman)

Ratapan

Surat

Surat Ancaman

Hadatuon

250

200

150

100

50

0 Pustaha

Bambu

Tulang

Kertas

Kulit kayu dapat diolah menjadi sebuah buku yang disebut pustaha yang bentuk dan ukurannya bisa berbeda-beda. Pustaha yang sederhana hanya terdiri dari laklak yang dilipat-lipat, dan tidak memiliki sampul

Pengadaan Naskah

29

kayu untuk menjilidnya, sedangkan pustaha yang mewah, sampulnya (lampak) dapat memiliki ukiran yang indah sekali. Ukurannya pun dapat berbeda sekali – dari pustaha yang kecil berukuran sekitar 3 x 5 cm hingga pustaha besar yang ukurannya bisa mencapai 40 x 25 cm. Proses pembuatan pustaha diuraikan di BAB berikut. Tulang kerbau yang dipakai sebagai bahan tulis pada umumnya tulang rusuk dan tulang bahu. Proses penulisan sama dengan di bambu yakni dengan ujung pisau, dan bekas goresan pisau itu kemudian dihitamkan. Bambu adalah bahan yang sangat praktis karena dapat diperoleh kapan dan di mana saja. Hampir semua jenis bambu dapat dipakai dan jenis mana yang dipilih tergantung pada jenis naskah yang mau dihasilkan. Naskah-naskah bambu yang paling panjang biasanya ditemukan di Angkola dan Mandailing. Naskah bambu seperti itu yang panjangnya dapat mencapai 5 ruas berukuran sekitar 1,5–2 meter dengan diameternya sekitar 5–8 cm biasanya dipakai untuk menulis sebuah ratapan (andung). Naskah yang begini sangat berbeda dengan ratapan di Karo dan Simalungun yang hampir selalu ditulis pada tabung-tabung bambu yang dipakai sebagai tagan pěrkapurěn (tempat kapur sirih), tagan pěrtimbakon (tempat tembakau), dan di Simalungun juga sebagai parlilian (tempat menyimpan lidi yang dipakai dalam bertenun). Bambu yang dipakai untuk tagan pěrkapurěn biasanya jenis bambu yang kulitnya tipis dan selalu dipakai satu ruas saja yang bukunya menjadi dasar tabung, sedangkan tutupnya terbuat dari kayu atau dipakai sumbat bambu. Tinggi tabung tersebut antara 10 sampai 20 cm dan diameternya 2,5 hingga 4 cm. Tempat tembakau juga beruas satu dan diberi tutup dari kayu. Tingginya sekitar 10–15 cm dengan diameter antara 7 dan 9 cm. Parlilian hanya digunakan di Simalungun sebagai tempat untuk menulis sebuah ratapan. Bambunya biasanya agak tinggi dengan ukuran sekitar 30 x 4 cm. Ketiga jenis tagan ini biasanya dihiasi dengan bermacam-macam ornamen. Tempat-tempat lain yang terbuat dari bambu dan ditulisi ratap tangis adalah tuldak (torak) dan běluat (suling). Sekedar untuk melengkapi daftar ini masih dapat disebut naskah yang ditulis di tali pinggang yang dipakai sebagai azimat terutama dalam masa perang untuk menangkal peluru musuh. Sebuah tali pinggang bia-

30

Surat Batak

sanya terdiri atas sejumlah kepingan-kepingan tulang bersegi empat yang dipotong dari tulang bahu kerbau. Masing-masing kepingan tulang diberi dua lubang untuk memasang tali katun yang dipakai untuk mengikat kepingan-kepingan tulang tadi. Bahan tulis yang paling banyak digunakan di Jawa, Bali, dan Sulawesi yakni lontar tidak dipakai di Sumatra, dan demikian juga naskah yang terbuat dari logam serta prasasti di batu-batu besar. Tradisi seperti itu tidak pernah ada di tanah Batak, dan itu juga salah satu sebab mengapa kita tidak memiliki pengetahuan apa pun mengenai sastra Batak di zaman pra-Eropa – maksudnya zaman sebelum naskah Batak yang pertama dibawa dari Sumatra ke Eropa yang terjadi pada akhir abad ke-18. Semua naskah Batak terbuat dari bahan yang pada suhu yang panas dan kelembaban udara yang tinggi di daerah yang beriklim tropis dan subtropis tidak dapat bertahan lama.

4.2

Proses Pembuatan Pustaha

Kini, tradisi pembuatan pustaha sudah lama usai. Dan bukan pustaha saja, demikian juga dengan naskah-naskah lainnya yang ditulis pada ruas-ruas bambu atau di tulang-tulang rusuk kerbau. Sudah punah memang, tetapi masih ada sisa-sisa yang bertahan walaupun dalam keadaan yang menyedihkan dan memprihatinkan. Yang dimaksud adalah industri cenderamata yang di samping berbagai jenis kitsch dan barang rongsokan juga menghasilkan obyek kesenian seperti debata hidup, tunggal panaluan, dan juga naskah-naskah Batak untuk dijual pada wisatawan lokal maupun mancanegara di pusat-pusat parawisata seperti Parapat dan Kecamatan Simanindo, pulau Samosir. Terutama naskah-naskah baru yang diciptakan cukup memprihatinkan. Para pembeli tidak bisa membaca surat Batak dan para penghasil mengetahui hal itu. Konsekuensi yang logis adalah bahwa surat Batak dipakai sebagai hiasan saja. Kebanyakan naskah (bambu maupun pustaha) yang terjual di Medan, Parapat, Berastagi dan Samosir adalah naskah tiruan yang "teksnya" hanya terdiri atas rantaian huruf-huruf yang tidak berarti. Setelah dicek ke kampung pembuatannya seperti Sosor

Pengadaan Naskah

31

Tolong, sekitar lima kilometer dari Tomok, ternyata bahwa para pengrajin hanya bisa menulis beberapa huruf saja, tetapi tidak mengerti artinya. Hasilnya adalah sebuah ‘naskah’ yang ‘teksnya’ dikarang oleh orang yang buta huruf, yang kemudian dijual kepada masyarakat sebagai hasil ciptaan budaya Batak. Walaupun kebanyakan naskah yang dihasilkan sebagai cenderamata sangat rendah nilainya, ternyata masih ada juga pengrajin naskah yang memiliki ketrampilan dan dapat menghasilkan naskah yang lebih lumayan bobotnya. Sebagai contoh kami perkenalkan dua pengrajin yang termasuk pada kategori tersebut. Informan pertama berasal dari Lumban Dolok, Tomok. Teks-teks pustaha yang dibuatnya diambil dari pustaha-pustaha asli yang pernah dibacanya. Namun huruf yang digunakan merupakan huruf "baru" dan bukan huruf asli seperti yang dipakai di pustaha-pustaha zaman dulu. Pustaha-pustaha yang diciptakannya terkesan agak terburu-buru dan kurang rapi. Informan kedua, Nanti Sidabutar dari Siharbangan, Tomok, belajar surat Batak dari ayahnya yang juga pernah menjadi pengrajin pustaha.7 Mendiang ayahnya juga menjadi datu yang masih menguasai sebagian dari pokok-pokok yang dibahas di pustaha. Dia juga sering membaca pustaha-pustaha asli. Teksnya kemudian disalin sehingga pustaha yang dibuatnya mirip dengan pustaha yang asli. Hurufnya juga sangat menyerupai huruf yang lazim dipakai dalam pustaha asli. Informan kedua ini kemudian kami mintai untuk memperagakan langkah demi langkah proses pembuatan naskah. Perlu diingat bahwa cara pembuatannya tidak sama dengan cara yang dipakai oleh para datu seratus tahun yang lalu. Tentu sudah banyak yang berubah, tetapi dalam banyak hal, proses pembuatannya masih hampir persis sama dengan dahulu kala. Jika perlu, keterangan narasumber dilengkapi dengan keterangan yang didapat dari studi kepustakaan.

7. Ternyata Nanti Sidabutar dan ayahnya yang sekarang sudah almarhum pernah juga menjadi narasumber René Teygeler yang menulis bahwa tahun 1990 ia mengunjungi sebuah keluarga di desa Siharbangan, Samosir (Teygeler 1993:595). Hal itu baru saya ketahui beberapa bulan setelah pertemuan saya dengan Nanti Sidabutar.

32

Surat Batak

Pada hakikatnya, sebuah pustaha terdiri dari laklak dan lampak. Laklak adalah "kertasnya", sedangkan lampak adalah sampul bukunya. Laklak adalah kulit kayu alim, sebuah pohon yang tumbuh di kawasan hutan dataran tinggi. Pohon alim (Latin: Aquilaria) banyak dijumpai di daerah Barus hulu, di sekitar Pardomuan, Kab. Dairi, dan juga di daerah Pulau Raja, Kab. Asahan, terutama di Kecamatan Bandar Pulau, tetapi tidak terdapat di daerah yang padat penduduk seperti di Karo, Toba, Silindung atau di Samosir. Kulit kayu dikupas dari pokoknya dalam kupasan yang panjangnya menurut narasumber kami dapat mencapai sampai tujuh meter, dan lebarnya hingga 60 cm tergantung pada besarnya pohon.8 Namun hasil studi kepustakaan menunjuk bahwa ternyata ada pustaha yang laklaknya mencapai 15 meter lebih. Pustaha yang sangat panjang tersebut kini disimpan di perpustakaan Universitas Leiden (Or. 3428) (Teygeler 1993:605). Kulit kayu pustaha tersebut masih utuh dan tidak disambung-sambung seperti sering terdapat pada pustaha lain. Kalau tidak terdapat potongan laklak yang cukup panjang, dua potong dapat dijadikan satu dengan cara menjahit atau merekatnya. Kulit kayu yang dipakai sebagai bahan dasar pustaha bukanlah kulit luar (yang sudah kering dan mati) melainkan lapisan dalam yang tidak keras melainkan liat. Sebagai langkah pertama kulitnya dipotong sesuai dengan lebar dan panjangnya pustaha yang diinginkan. Kemudian kulit luarnya yang sudah kering dipisah dari kulit dalamnya (Lihat Gambar 3).

8. Harganya pada tanggal wawancara (31/10/1998) mencapai sekitar Rp. 2.000 per meter (€0,30) untuk kupasan yang lebarnya sekitar 40 cm.

Pengadaan Naskah

Gambar 3: Kulit dalam dipisahkan dari kulit luar.

Gambar 4: Laklak dilipat dan lipatannya ditokoh.

33

34

Surat Batak

Gambar 5: Kedua sisi laklak diratakan.

Gambar 6: Laklak ditulisi dari bawah ke atas. Kalam (tarugi) dimasukkan ke bolpoin kosong agar lebih enak dipegang.

Pengadaan Naskah

35

Proses tersebut sangat mudah bila kulitnya masih berair (baru diambil dari pohonnya), tetapi kalau sempat menjadi kering proses pengupasan makan waktu lebih lama. Setelah proses pemisahan kulit dalam dan kulit luar selesai, bagianbagian yang masih kasar dilicinkan dengan pisau. Kulit dalam yang sudah bersih kemudian diketam dengan memakai parang dan untuk membuatnya lebih licin, kulitnya digosok pakai kertas pasir. Informan kami tidak dapat menjelaskan apa yang dipakai oleh para datu dahulu kala waktu kertas pasir belum ada, tetapi menurut dia, kalau bahannya masih segar dan berair, proses pelicinan itu sebenarnya tidak perlu karena kulitnya dapat dipisahkan dari kulit dalam secara mudah dan tanpa meninggalkan bekas-bekas. Menurut Heyne, daun-daun yang kasar dipakai sebagai pengganti kertas pasir untuk melicinkan permukaan kulit kayu (Heyne 1927:567). Laklak yang sudah bersih itu kemudian dilipat seperti akordeon. Lipatannya lalu ditokok-tokok dengan martil kayu agar terlihat rapi lipatannya dan kedua belah sisi laklak dipotong dengan pisau sehingga lurus (hal itu tidak selalu dilakukan dan banyak dapat dijumpai pustaha yang sisi kanan kirinya tidak rata). Setelah itu, laklaknya sudah siap untuk digunakan sebagai bahan tulisan. Namun, agar pustahanya lebih mudah terjual, diusahakan agar barang itu kelihatan seperti sudah antik. Untuk itu, seluruhnya laklak dioleskan zat pewarna yang disebut permagan (kaliumpermanganat). Langkah ini tentu tidak ada di zaman dahulu, dan menurut sumber kepustakaan ada dua langkah lainnya (yang tidak diketahui oleh narasumber kami) yang harus diambil sebelum laklaknya siap untuk ditulisi. Langkah pertama adalah mengoleskan larutan tepung beras dan air pada kulit kayu supaya menjadi licin dan agar tintanya mudah lengket. Setelah kering, pustaha digarisi sesuai dengan banyaknya baris yang mau ditulis pada setiap halaman. Garis halus tersebut yang hampir tidak kelihatan membantu penulis agar setiap baris menjadi lurus dan rapi. Sebagai penggaris (balobas) dipakai sebatang bambu, dan garis halus tersebut dibuat dengan pisau bambu (panggorit).

36

Surat Batak

Setelah zat pewarna sudah kering, pustaha ditulisi dengan menggunakan kalam dari lidi enau (tarugi), dan tinta merek Parker.9 Pengrajin mengakui tidak mengetahui resep untuk pembuatan mangsi yang dulu dipakai sebagai tinta. Menurut Warneck (1906) bahan utama mangsi adalah getah baja dan jeruk nipis (unte). Baja adalah sejenis pohon kecil yang kalau kayunya dibakar mengeluarkan getah hitam yang juga dipakai untuk menghitamkan gigi (manghihir). Getah tersebut dicampur dengan air jeruk dan kadang-kadang juga bahan-bahan lainnya seperti dapat dibaca di resep pustaha laklak Museum Simalungun No. 252 (Saragih dan Dalimunte 1979). Teygeler (1993:606) menyebut 15 resep mangsi yang sebagian besar berdasarkan getah baja atau getah damar. Pada proses penulisan, laklaknya terletak melintang di hadapan penulis yang kemudian mulai mengisi halaman pertama dengan menulis huruf-hurufnya dari bawah ke atas.10 Perlu dicatat bahwa hurufnya tidak dibaca dari bawah ke atas melainkan dari kiri ke kanan (posisi laklak pada saat penulisan melintang sedangkan bila dibaca posisinya membujur). Proses penulisan berjalan lancar dan cukup cepat. Seperti dalam pustaha yang asli, setiap bagian baru diawali bindu godang, sebuah ornamen yang agak besar, sedangkan tiap akhir alinea ditandai dengan bindu na metmet. Selain itu tidak terdapat tanda-tanda baca apa pun dan spasi antarkata pun tidak ada. Setelah diisi dengan teks dan gambar, dibuat pula lampak, sebuah sampul yang biasa terbuat dari kayu. Menurut narasumber kami, jenis kayu yang dipakai pada umumnya kayu ingul. Sekali-sekali dapat ditemukan pustaha yang lampaknya terbuat dari tulang kerbau atau kulit rusa. Sampul atas biasanya dihiasi dengan ukiran cecak atau ornamen lainnya, sedangkan sampul bawah biasanya polos saja. Kedua sampul dilem pada kedua ujung lembaran laklak. Kadang-kadang sampul dilubangi dan diikat dengan rompu, pilinan tiga, tujuh atau sembilan tali rotan.

9. Menurut Teygeler, istilah tarugi hanya menunjuk pada bahan yang dipakai, ialah lidi pohon enau, sedangkan istilah untuk kalam adalah suligi (Teygeler 1993:605). 10. Karena kurang lengkapnya informasi mengenai cara penulisan pustaha belum dapat dikonfirmasikan dengan pasti apakah pustaha selalu ditulis dari bawah ke atas. Bisa saja hal tersebut merupakan sebuah kebiasaan karena naskah bambu memang harus ditulisi dari bahwah ke atas (lihat BAB berikut).

Pengadaan Naskah 4.3

37

Proses Pembuatan Naskah Bambu

Jenis bambu yang dipakai tergantung pada obyek atau bentuk naskah yang mau dihasilkan. Yang terbaik adalah jenis-jenis bambu berkulit halus yang disebut bulu suraton. Diambil bambu yang sudah tua karena bambu yang muda terlalu rawan terhadap serangan serangga. Alat untuk menulis adalah pisau (raut) yang runcing. Untuk membuat garis-garis panjang yang melingkari bambu dipakai pisau bambu karena raut itu runcing, tetapi tidak tajam. Pisau raut dipakai baik untuk mengukir ornamen maupun aksara. Bambu biasanya ditulisi sedemikian rupa sehingga tulisannya sejajar dengan panjangnya bambu. Teksnya biasanya mengisi seluruh panjangnya ruas tetapi bagian buku tidak ditulisi karena permukaannya kurang rata. Gelombang-gelombang yang ada di sekitar buku sering ditutup dengan membuat ukiran-ukiran atau dengan meratakannya. Karena bambu itu bulat, sangatlah penting untuk memegangnya erat-erat sehingga tidak ada goresan yang meleset.

Gambar 7: Pembuatan naskah bambu oleh Nanti Sidabutar.

38

Surat Batak

Bekas goresan pisau kemudian dihitamkan dengan menggunakan kemiri yang dibakar hingga minyaknya ke luar. Campuran abu dan minyak itu hitam pekat dan lengket untuk selama-lamanya pada bekas goresan pisau sehingga tulisan dan ornamen-ornamen sangat mencolok di atas permukaan bambu yang kuning. Karena bentuk bambu yang bulat serta panjang memang tidak mudah untuk menulisinya. Untuk menghindari agar bambu itu tidak bergeser saat ia ditulisi maka ujungnya yang satu bersandar di bagian perut penulis dan ujungnya yang satu lagi dipegang dengan tangan kiri. Dalam keadaan seperti itu, terpaksa penulis menulis aksara-aksara mulai dari bawah ke atas dan bukan dari kiri ke kanan! Hal itu juga dilakukan supaya penulis tidak melukai diri kena ujung pisau yang runcing pada saat menulis. Cara penulisan dari bawah ke atas telah juga dilaporkan oleh Van der Tuuk (1971), dan hal yang sama juga dilakukan orang-orang Filipina bila menulis di bambu dengan aksaranya yang masih serumpun dengan aksara Batak (Francisco 1973:19; Postma 1971:6).

|

5

PUSTAHA DAN ISINYA

Untuk mengetahui isi pustaha, sebuah referensi yang amat berguna adalah buku Winkler (1925) yang berjudul Die Toba-Batak auf Sumatra in gesunden und kranken Tagen. Johannes Winkler (1874–1958), seorang dokter zending yang mulai tahun 1901 ditugaskan di daerah Toba, berguru pada seorang datu yang bernama Ama Batuholing Lumbangaol. Dengan bantuannya Winkler mengetahui dan mencatat isi pustaha serta perihal ilmu kedukunan (hadatuon) pada umumnya. Beliau membedakan tiga jenis ilmu yang paling banyak terdapat dalam pustahapustaha Batak: 1. Die Kunst, das Leben zu erhalten (Ilmu yang menyambung hidup) 2. Die Kunst, das Leben zu vernichten (Ilmu yang menghancurkan hidup) 3. Ilmu Nujum Pengelompokan yang dilakukan Liberty Manik (1973) dan Petrus Voorhoeve (1977:519) masih berpedoman pada sistem Winkler, tetapi lebih terinci. Pengelompokan mereka disajikan di bawah ini dengan rincian berapa jumlahnya pustaha yang memuat topik tersebut. Rincian di bawah ini berdasarkan evaluasi 461 pustaha, 214 di antaranya diinventariskan oleh Manik, dan 247 lagi oleh Voorhoeve. Naskah bambu, tulang, dan kertas tidak disertakan dalam tabel berikut ini. Terutama ramalan yang berkaitan dengan ilmu perbintangan, dan khususnya porhalaan sering ditulis pada ruas-ruas bambu, sedangkan teks-teks azimat seperti sarang timah, sering terdapat pada naskah tulang.

40

Surat Batak

Tabel 3: Statistik Isi Pustaha (berdasarkan 461 pustaha) L.M.

P.V.

6

11

1. Pangulubalang

39

51

2. Tunggal Panaluan

2

4

3. Pamunu Tanduk

13

30

4. Pamodilan/Tembak

7

16

5. Gadam

2

0

6. Lain-lain

15

28

1. Pagar

59

68

2. Sarang Timah

3

1

3. Porsimboraon

6

5

4. Songon

2

1

5. Piluk-piluk

4

1

6. Lain-lain

3

24

1. Tamba Tua

3

5

2. Dorma

4

15

3. Porpangiron/Paranggiron

6

6

4. Porsili

12

11

5. Ambangan

4

1

6. Pamapai Ulu-ulu

4

7

Obat

32

39

I.

Cerita (turi-turian)

II.

Ilmu Hitam

III.

IV.

V.

Ilmu Putih

Ilmu-ilmu lainnya

Total

Pustaha dan Isinya VI.

41

Nujum a. Nujum Perbintangan 1. Pormesa na Sampulu Duwa

22

26

2. Panggorda na Uwalu

23

21

3. Pehu na Pitu

1

4

4. Pormamis na Lima

28

22

5. Tajom Burik

3

1

6. Pane na Bolon

24

25

7. Porhalaan

8

9

8. Ari Rojang

13

6

9. Ari na Pitu

13

9

10. Sitiga Bulan

4

0

11. Ketika Johor

5

0

12. Pangarambui

36

31

13. Lain-lain

16

20

1. Aji Nangkapiring

23

31

2. Manuk Gantung

12

38

3. Aji Payung

10

14

4. Porbuhitan

8

12

5. Gorak-gorahan Sibarobat

3

2

6. Lain-lainnya

14

6

1. Rambu Siporhas

11

25

2. Panampuhi

8

23

3. Pormunian

3

4

4. Parombunan/Partimusan

5

12

5. Hariara Masundung di Langit

4

2

b. Nujum dengan memakai binatang

c. Nujum-nujum Lainnya

42

5.1

Surat Batak 6. Parsopoan

1

1

7. Tondung

4

1

8. Simonang-monang/Rasiyan dsb.

11

8

9. Lain-lain

17

21

Cerita

Bidang folklor jarang sekali disentuh dalam pustaha. Folklor termasuk legenda dan cerita lainnya (turi-turian), pantun (umpama dan umpasa), teka-teki (torhan-torhanan), nyanyian (ende), dan lain-lain pada umumnya diturunkan secara lisan, demikian juga dengan silsilah marga yang juga tidak pernah dibahas dalam pustaha. Satu-satunya turi-turian yang sekali-sekali dimuat di pustaha adalah cerita Si Aji Donda Hatahutan yang membahas asal-usul tunggal panaluan. Cerita tersebut ditemukan dalam empat pustaha (Perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or. 8929; Perpustakaan Nasional Perancis, Paris, Mal. Pol. 260; Perpustakaan Chester Beatty, Dublin, 1101; dan Linden-Museum Stuttgart 27210). Sebab kenapa pada daftar di atas tercantum jumlah yang lumayan besar, yakni 17 cerita rakyat yang terdapat di beberapa pustaha, ialah karena banyak di antara naskah tersebut berasal dari koleksi Van der Tuuk atau koleksi Ophuisen dan dibuat atas permintaan kedua orang Belanda tersebut!

5.2

Ilmu Hitam

Dalam katalog-katalog naskah Batak terdapat puluhan cara untuk menyerang dan membunuh musuh. Hal itu dapat dilakukan dengan racun atau dengan ilmu sihir yang bertujuan untuk menghancurkan musuh. Berikut ini beberapa contoh: Pangulubalang Dalam katalog Manik dan Voorhoeve terdapat 90 pustaha yang berkaitan dengan pangulubalang, semacam roh yang dijadikan hulubalang sang datu untuk memusnahkan musuh dan roh-roh jahat.

Pustaha dan Isinya

43

Cara pembuatan pangulubalang telah dijelaskan oleh Winkler (1925) dan Warneck (1909:64-66). Versi yang hampir sama juga terdapat di dalam Kamus Budaya Batak Toba (Marbun dan Hutapea 1987:124). Pada hakikatnya, pangulubalang adalah roh anak laki-laki atau perempuan yang mati dibunuh. Seorang anak kecil diculik dari kampung orang yang diasuh oleh seorang datu. Segala keinginan anak itu dipenuhi, tetapi ia diwajibkan untuk selalu harus patuh dan setia kepada tuannya. Akhirnya sang korban dengan ikhlas bersedia mau dijadikan pangulubalang. Si anak kemudian dibunuh dengan cairan timah yang mendidih yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Kemudian mayatnya dipotong-potong dan dicampur dengan berbagai binatang dan bahan lainnya dan dibiarkan membusuk. Air yang keluar kemudian ditampung dan dimasukkan ke dalam guri-guri (cawan), sedangkan sisanya dibakar sampai menjadi abu (pupuk) dan juga disimpan. Kemudian diadakan pesta besar (pangulubalang adalah milik marga, bukan milik seorang datu) untuk memanggil begu (roh) anak yang dibunuh tadi. Pupuk yang dihasilkan dapat dipakai untuk menjiwai bermacam-macam patung yang terbuat dari batu, tanah, atau kayu. Oleh karena itu patung-patung tersebut juga sering disebut pangulubalang walaupun fungsi patung tersebut adalah sebagai pagar atau pohung. Patung pangulubalang tersebut merupakan patung penolak bala yang diletakkan di kampung sendiri, sedangkan pangulubalang yang menjadi hulubalang sang datu dalam perang melawan kampung orang dikirim ke daerah musuh. Tunggal Panaluan Cukup jarang dapat kita temukan teks-teks yang memberi petunjuk tentang pembuatan dan penggunaan tongkat sakti orang Batak. Tunggal panaluan itu sendiri telah banyak dibahas (lihat misalnya daftar pustaka di Tobing 1956:156) antara lain oleh Tobing sendiri, dan juga oleh Voorhoeve (1961:15). Dalam buku Voorhoeve tersebut terdapat transliterasi dari sebagian besar pustaha Chester Beatty Library, Dublin, MS. 1001. Waktu saya bertemu dengan Liberty Manik di tahun 1986, beliau sedang merencanakan untuk menerbitkan naskah Linden-Museum Stuttgart 27210 yang telah ditransliterasikannya. Pustaha Karo tersebut yang masuk ke Linden-Museum pada tahun 1883 secara mendalam menjelas-

44

Surat Batak

kan pemakaian tunggal panaluan dan juga turi-turian Si Aji Donda Hatahutan, yakni cerita tentang asal-usul tunggal panaluan. Sayang sekali, setelah Liberty Manik meninggal beberapa tahun yang silam, pihak-pihak yang berkepentingan tidak dapat mencapai kesepakatan tentang apa yang mau diperbuat dengan harta warisan beliau yang antara lain termasuk transliterasi ratusan naskah Batak. Dikhawatirkan warisan mendiang Liberty Manik harus dianggap telah hilang. Pamunu tanduk (pembunuh tanduk) yang juga disebut pamuhu tanduk (penangkal tanduk) adalah ilmu yang dapat menetralkan ilmu hitam yang dikirim oleh musuh dalam sebuah tanduk. Pamunu tanduk memang sering diasosiasikan dengan pagar (penolak bala), tetapi di beberapa pustaha pamunu tanduk juga dikaitkan dengan panggulubalang dan dipakai untuk menyerang musuh. Cara tembak-menembak (pamodilon/tembak) juga dipelajari di pustaha, baik dari segi tehnik penembakan (termasuk cara menuangkan berbagai jenis peluru) maupun dari segi ilmu gaib (sesajen yang harus diberikan, mantra-mantra yang perlu diucapkan dsb.). Gadam adalah semacam racun yang dikenakan pada musuh sehingga kulitnya menjadi bersisik seperti pada penderita kusta.

5.3

Ilmu Putih

Penolak Bala (Pagar) Manik mencatat 59 naskah yang mengandung instruksi untuk membuat bermacam-macam penolak bala yang disebut pagar. Pembuatan pagar adalah suatu proses yang sangat rumit, dan hanya boleh dilakukan pada hari yang baik dengan memperhatikan bermacam-macam tandatanda. Sebuah pagar bisa terbuat dari bermacam-macam bahan, terutama tumbuhan, tetapi dapat juga mengandung kepala, usus atau bulu ayam misalnya. Ramuan tersebut harus dikumpulkan pada tempat-tempat tertentu seperti di tempat keramat yang disebut sombaon. Proses pembuatan bisa makan berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Semua bahan itu kemudian dimasak dan ditumbuk halus menjadi semacam pasta atau bubuk yang disimpan di tanduk kerbau yang berukiran (naga morsa-

Pustaha dan Isinya

45

rang). Pagar itu kemudian dapat diberi kepada seseorang untuk dimakan (pagar panganon), dijunjung (pagar sihuntion ini hanya dipakai oleh seorang perempuan yang hamil) atau digantung, misalnya dekat tempat tidur seseorang yang sakit (pagar di halang ulu modom). Sebuah pagar dapat juga diberikan kepada sebuah keluarga (pagar sabagas) atau bahkan kepada seluruh isi kampung (pagar sahuta) untuk menolak segala macam bala yang disebabkan oleh roh-roh yang jahat dan guna-guna orang. Oleh karena itu pembuatan pagar selalu diiringi mantra-mantra yang berbunyi: “pagari hami, so hona begu, so hona aji ni halak” (lindungilah kami agar tidak kena roh jahat dan guna-guna orang). Cara pembuatan pagar sahuta dapat dibaca dalam naskah Perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or. 3405 yang telah dicetak dalam bahasa Batak berikut dengan terjemahan ke dalam bahasa Belanda (Boer 1946). Azimat Di zaman dahulu hampir setiap orang Batak memakai azimat untuk melindungi diri. Sebagian azimat didatangkan dari luar, misalnya dari Aceh, Melayu atau Minangkabau karena azimat tersebut dianggap sangat ampuh. Azimat tradisional Batak terdiri dari sebiji timah hitam (simbora) berbentuk bulat-torak yang berongga untuk menampung tali pengikat yang digantungkan di leher. Karena terbuat dari timah hitam (timbel), azimat pada umumnya disebut porsimboraon yang termasuk juga azimat gigi beruang atau harimau misalnya. Instruksi pembuatan azimat beserta mantra-mantranya juga sering dapat ditemukan dalam pustaha. Sarang bodil atau sarang tima(h) adalah semacam azimat yang dapat menangkal peluru musuh dan bisa dibuat dari tulang kerbau yang ditulisi dengan beberapa mantra. Azimat dan sarang tima sering ‘dipagari’ (diberi pagar) agar lebih ampuh. Instruksi mengenai pembuatan azimat tersebut beserta mantra-mantranya terdapat di beberapa pustaha. Pencegah Pencurian Sungguhlah bukan hal yang sederhana untuk menentukan ilmu sihir yang mana termasuk ilmu yang menyambung dan yang menghancurkan hidup karena ilmu yang melindungi dapat juga digunakan untuk menghancurkan musuh. Hal itu menjadi jelas bila kita perhatikan ilmu songon dan pohung yang oleh Manik dimasukkan dalam ilmu putih

46

Surat Batak

karena merupakan sejenis ilmu yang preventif ialah agar barang kita jangan dicuri orang. Di lain pihak, ilmu tersebut juga dapat dikatakan sebagai ilmu hitam karena maksudnya bukan saja untuk menghindarkan pencurian, tetapi malahan untuk membunuh si pencuri! Bukan saja sekarang, juga di zaman dahulu pencurian sudah menjadi persoalan yang serius. Kebanyakan pencurian tidak terjadi di kampung yang senantiasa ramai dan dijaga, melainkan di ladang yang sering sepi – apalagi di malam hari. Hasil kebun biasa dilindungi dengan cara gaib. Ilmu pencegah pencurian disebut pohung atau songon. Pohung dan songon adalah semacam patung (gana-gana) yang didirikan di ladang untuk melindungi hasil kebun. Ilmu tersebut dapat dikatakan bersifat menangkal karena mencegah terjadinya pencurian. Bahwa ilmu ini dapat juga dikelompokkan pada ilmu yang “menghancurkan kehidupan” menjadi jelas bila kita membaca mantra (tabas) yang berkaitan dengan ilmu ini: “Surung ma ho batara pangulubalang ni pohungku, ama ni pungpung jari-jari, ina pungpung jari-jari, batara si pungpung jari, surung pamungpung ma jari-jari ni sitangko sinuanku onon, surung bunu” yang berarti: “Marilah Batara Hulubalang pohung-ku, ayah jari-jari yang cacat, ibu jari-jari yang cacat, Batara jari-jari yang cacat, kudungkan jari-jari yang mencuri tanamanku ini, bunuh!” (Voorhoeve 1975:96). Satu lagi ilmu sihir yang bertujuan untuk menangkal pencurian hasil ladang disebut piluk-piluk.

5.4

Ilmu-Ilmu lainnya

Tamba tua (tambah tuah) adalah semacam ilmu yang dapat mendatangkan kekayaan dan terutama juga keturunan, dan sering diterapkan pada laki-laki atau perempuan yang menderita kemandulan dan untuk mengobati laki-laki yang lemah syahwat. Salah satu naskah yang panjang-lebar menguraikan tamba tua adalah pustaha IC 12636 Museum Antropologi Berlin. Dorma, dari bahasa Sanskerta dherma, (Melayu derma), adalah ilmu untuk memikat hati seorang perempuan. Winkler memberikan sebuah contoh dari ilmu pelet tersebut: bahannya adalah dua biji jeruk purut (unte mungkur) dan benang tiga warna, masing-masing berwarna hitam,

Pustaha dan Isinya

47

merah, dan putih yang dipilin menjadi satu (bonang manalu). Benang triwarna tersebut kemudian dimasukkan ke jarum dan ditusukkan pada jeruk sampai tembus. Jeruk yang satu ditanam persis di bawah tempat tidur perempuan yang hendak dipikat, dan yang satu lagi digantungkan dengan benang triwarnanya di dekat tempat tidur orang yang hendak memelet perempuan tersebut. Lalu jeruk yang digantung itu digoyang-goyangnya sepanjang malam – hal mana akan mengakibatkan bahwa perempuan yang dimaksud akan jatuh hati padanya atau menjadi gila (Winkler 1925:182). Porpangiron mengandung petunjuk-petunjuk untuk melaksanakan acara berlangir – mencuci kepala dengan air yang diberi air jeruk dan ramuan lainnya untuk mencapai kesucian spiritual. Porsili adalah sebuah patung berupa manusia yang biasanya diukir dari pokok pisang dan digunakan sebagai tumbal. Patung ini sering digunakan dalam upacara penyembuhan dan dibawa ke rumah pasien untuk diolesi dengan daki si penderita. Kemudian patung tersebut diusung ke luar rumah dan dibuang di perempatan jalan atau dilemparkan ke jurang. Dengan demikian patung ini dijadikan tumbal (kata dasar porsili adalah sili (silih, ganti, tukar) agar roh-roh jahat yang menyebabkan sakit mengira bahwa orang itu sudah mati. Cara pembuatan porsili diterangkan dalam naskah Perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or. 3405 (Boer 1946). Satu lagi ilmu yang dapat dipakai sang datu untuk menyembuhkan adalah ambangan yang bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat dari tubuh penderita. Jenis ilmu yang disebut pamapai ulu-ulu atau dalam bahasa Pakpak panungkuni takal-takal menunjukkan bahwa orang Batak pernah melakukan pengayauan. Pengayauan adalah pembunuhan yang dilakukan untuk memenggal kepala orang, suatu adat kebiasaan beberapa suku bangsa di Indonesia seperti misalnya suku Dayak. Adat tersebut dahulu kala dilakukan oleh banyak suku bangsa, termasuk Jawa, Bali, dan juga suku Batak seperti dibuktikan oleh 20 teks yang terdapat dalam pustaha (Voorhoeve 1975:106).

48 5.5

Surat Batak Obat (Taoar, Tambar, Daon)

Dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain, perihal perobatan tidak terlalu sering disinggung dalam pustaha. Dari 501 naskah Batak di Jerman yang diinventariskan oleh Manik, resep obat-obatan hanya terdapat pada 33 naskah. Menarik untuk dicatat bahwa ke-33 naskah tersebut semuanya pustaha. Berarti tidak ada satu pun naskah bambu atau naskah tulang yang mengandung resep obat-obatan. Jumlah pustaha dalam katalog Manik sebanyak 214, berarti bahwa hanya sekitar 15% pustaha mengandung obat-obatan. Banyak obat-obatan yang disebut dalam pustaha berguna untuk menetralkan racun (bisa, rasun) dan sebagai obat anti guna-guna (aji). Sering juga terdapat obat penyakit dan infeksi kulit seperti kusta (gadam), dan borok (baro gaja). Selain itu ada obat yang dapat mengobati sakit perut, sakit gigi (tungkolon), penyakit anak-anak, penyakit setelah bersalin (rianon), malaria (arun), disentri (rojan) dan sebagainya. Banyak di antara obat-obatan adalah ramuan yang dipijat pada bagian tubuh yang sakit (pandampol). Bagi yang ingin lebih mengetahui obat-obatan tradisional Batak dianjurkan untuk membaca karya Winkler dan Römer yang semuanya berbahasa Jerman (Römer 1907; Winkler 1907; 1925).

5.6

Ilmu Nujum

Boleh dikatakan bahwa tidak ada pustaha yang tidak mengandung ramalan. Ilmu nujum mungkin ilmu yang paling penting bagi orang Batak dahulu kala, dan sebagian besar isi pustaha berkaitan dengan topik tersebut. Cara untuk meramal ada seribu satu macam dan yang disebut di sini hanyalah yang paling sering disebut dalam pustaha. 5.6.1 ILMU PERBINTANGAN Banyak ramalan bertolak pada ilmu perbintangan. Di sini bukan tempatnya untuk menjelaskan astrologi orang Batak yang sangat kom-

Pustaha dan Isinya

49

pleks ini. Cukup bila disebut beberapa nujum perbintangan yang lazim terdapat di pustaha-pustaha. Pormesa na Sampuludua Pormesa na Sampuludua adalah gugusan bintang dalam lengkung langit yang dua belas (sampuludua) jumlahnya. Kata pormesa terdiri dari awalan por-, yaitu awalan kuno yang sekarang bisanya menjadi par-, dan mesa yang berasal dari bahasa Sanskerta meṣa. Meṣa (domba jantan) adalah rasi pertama dalam astrologi Hindu yang dalam astrologi Barat dikenal sebagai Aries. Dengan demikian arti pormesa na sampuludua berarti kedua belas rasi yang dalam bahasa Indonesia dinamakan mintakulburuj atau zodiak. Pada daftar berikut terdapat kedua belas rasi dalam lima bahasa – Sanskerta, Batak Karo dan Toba, Indonesia dan Latin. Saya ikutsertakan bahasa Latin, karena nama rasi dalam bahasa Latin lebih populer daripada yang dipinjam dari bahasa Sanskerta dan Arab. Kebanyakan nama rasi berasal dari bahasa Sanskerta, tetapi beberapa rasi juga mempunyai nama kedua yang dipinjam dari bahasa Arab. Rasi nesa misalnya juga disebut burjamhal, dan rasi kanya juga disebut sunbulat atau burjusumbulat. Karena bangsa Indonesia tidak lagi menimba ilmu dari India atau Arab melainkan dari Eropa dan Amerika, maka nama rasi yang dipinjam dari bahasa Arab dan Sanskerta sudah kurang populer dan mulai diganti oleh nama rasi yang diambil dari bahasa Latin (dengan penyesuaian ejaan, mis. pisces yang dalam bahasa Latin berarti ‘ikan’ menjadi pises, dan cancer ‘kepiting’ menjadi kanser). Karena rata-rata orang tidak memahami bahasa Latin atau Sanskerta maka arti dari rasi tersebut umumnya tidak diketahui. Oleh sebab itu daftar di bawah ini dilengkapi dengan kolom yang memuat terjemahan setiap rasi. Perlu diketahui bahwa arti kebanyakan rasi dalam bahasa Latin dan Sanskerta persis sama, misalnya arti gemini dan mithuna adalah anak kembar, virgo dan kanya dalam kedua bahasa juga mempunyai satu arti, yaitu gadis. Yang berbeda hanya rasi makara (kaprikornus): Capricornus adalah semacam kambing liar sementara makara adalah semacam mahluk penghuni lautan.

50

Surat Batak

Tabel 4: Dua Belas Rasi Bintang

♈ ♉ ♊ ♋ ♌ ♍ ♎ ♏ ♐ ♑ ♒ ♓

Bahasa Latin Bah. Sanskerta Aries Meṣa

B. Indonesia

Terjemahan

Aries Nesa

domba jantan

Taurus Vriṣabha Gemini Mithuna Cancer Karkaṭa Leo Singha

Taurus Wrisaba Gemini Mintuna Kanser Karkata Leo Singa

lembu jantan

Virgo Kanyě Libra Tulě Scorpio Vrṣṭika Sagittarius Dhanu Capricornus Makara Aquarius Kumbha Pisces Mina

Virgo Kanya Libra Tula Skorpio, Kala Kricika Sagitarius Danuh Kaprikornus Makara Akuarius Kumba Pises Mina

gadis

anak kembar kepiting singa

neraca kala pemanah panah kambing liar mahluk laut penuang air kendi ikan

Bahasa Toba Bahasa Karo Mesa Mesa Morsoba Měrsěeba Nituna Mětuna Harahata Měrkata Singa Singa Hania Kania Tula Tula Mortiha Měrtika Dano Dahanu Mahara Makara Morhumba Kumba Mena Mena

Menarik untuk dicatat bahwa orang Batak memberi arti yang pada umumnya berbeda. Hanya satu rasi diberi arti yang sesuai dengan arti aslinya, yaitu mena yang diartikan denghe (ikan). Semua rasi lainnya diberi arti baru. Binatang yang asing bagi orang Batak seperti domba dan singa diganti dengan binatang yang lebih dikenal, yaitu hambing (kambing) dan babiat (harimau). Penyimpangan yang lebih jauh terdapat pada harahata – seharusnya kepiting – yang diartikan tohuk atau rikrik (kodok). Kadang-kadang arti yang baru disebabkan oleh bunyi kata yang

Pustaha dan Isinya

51

asli. Misalnya vriṣabha yang menjadi morsoba dan diartikan sobasoba (kumbang) atau sabasaba (kupu-kupu). Hal yang sama terjadi pada rasi nituna yang diartikan tuna (cacing), dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Karo sebagai gayo (cacing). Hal itu juga terjadi pada rasi dano yang diartikan aek (air, sungai) atau dano (danau). Nujum pormesa na sampuludua dibuka kalau mendirikan rumah baru, membuka lahan pertanian, mengadakan pesta perkawinan, mencari benda yang hilang, dan banyak lagi hal. Bila nujum yang berkaitan dengan kedua belas pormesa kurang menguntungkan, maka dibuka nujum panggorda na ualu. Panggorda na ualu Panggorda (Karo: panggurdaha) adalah delapan dewa yang masingmasing menguasai satu mata angin. Urutan dan nama kedelapan panggorda tidak selalu sama: 1. Garoda/gorda, 2. Dieak gora/deak gora, 3. sua, 4. sangmusiha/sangbunia, 5. sorpa/singa, 6. sangbinae/hania, 7. hania umbunu/sorpa, 8. tola umbunu dano/morsaboa. Arti kedelapan panggorda juga tidak selalu sama. Garoda (Gorda) diartikan halili (elang) atau onggang (enggang) – pokoknya sejenis burung (gorda/garoda = Garuda). Seperti dikatakan tadi, pormesa na sampuludua dan panggorda na ualu dapat ditandingkan. Pada hari pertama dalam sebulan, mesa (kambing) yang menentukan, tetapi kalau hasilnya kurang cocok, dapat pula diperhatikan panggorda na ualu. Panggorda pertama adalah gorda, dan kalau kambing dan enggang berkelahi, menanglah enggang. Karena panggorda hanya ada delapan, maka pormesa kesembilan bertanding dengan panggorda pertama dst. Kalau kedua belas pormesa dan kedelapan gorda sudah dikonsultasikan, tetapi hasilnya belum juga memuaskan, masih ada jalan keluar dengan membuka nujum ketiga yang disebut pehu na pitu. Pehu na pitu Pehu adalah tujuh dewa yang masing-masing menguasai satu hari pada satu minggu yang terdiri atas tujuh hari. Nujum ini membentuk suatu kesatuan dengan kedua nujum yang disebut di atas. Nujum ini

52

Surat Batak

biasanya dibuka kalau hasil kedua nujum di atas tidak menunjukkan hasil yang memuaskan karena ketujuh pehu tersebut dapat membunuh kedua belas pormesa dan kedelapan gorda. Nujum ini dapat juga dibuka sendirian (tanpa sebelum mengkonsultasikan pormesa dan gorda), misalnya pada acara kelahiran anak, persiapan perang dsb. Nama dari ketujuh pehu adalah 1. artia sanggasti, 2. suma simonang barita, 3. anggara patimosna, 4. muda sampe tua, 5. boraspati pidoras, 6. singkora sunggu sori, 7. samisara sunggu raja. Pormamis na lima Kelima pormamis adalah dewa yang masing-masing menguasai satu ketika (dalam bahasa Melayu nujum ini disebut Ketika Lima): Mamis di na sogot (pagi-pagi), bisnu di na pangului (pagi), sori di na hos (siang), hala di na guling (sore), dan borma di na bot (malam). Nujum ini dibuka sebelum mengadakan acara perkawinan atau acara lain yang berkaitan dengan uang. Maksudnya ialah untuk mengetahui waktu yang tepat untuk melakukan acara termaksud. Nujum pormamis sering dibuka bersamaan dengan dua nujum lainnya yang disebut lamadu na onom dan rambu matoga na opat dengan maksud untuk mengetahui baik hari maupun waktu yang cocok untuk melakukan suatu upacara. Kelima pormamis adalah 1. mamis, 2. bisnu, 3. sori, 4. hala, 5. borma. Empat dari kelima pormamis ini adalah dewa Hindu: Vishnu, Sri, Kala, dan Brahma. Nujum ini banyak persamaan dengan ketika lima di mana ketika pertama dinamakan maheswara – salah satu nama dewa Shiwa. Karena itu dapat disimpulkan bahwa mamis adalah Shiwa. Tetapi hal itu tidak penting bagi orang Batak yang menggunakan nujum ini untuk mengetahui apa suatu ketika adalah baik atau buruk. Pane na Bolon Nujum ini pada hakikatnya sama dengan nujum naga besar yang dikenal oleh masyarakat Melayu. Nujum pane na bolon (pane besar) biasanya dibuka pada saat mau mengadakan perang atau kalau mau mendirikan kampung baru. Pane besar adalah dewa yang mengelilingi bumi (banua tonga) dan dalam perjalanannya menempati keempat mata angin selama masing-masing tiga bulan. Pada setiap kali berpindah ia

Pustaha dan Isinya

53

mendirikan sebuah kampung baru, dan sesuai dengan adat Batak mengadakan sebuah pesta besar. Untuk menjamu tamunya ia membutuhkan jiwa manusia yang biasa diambilnya pada saat perang atau wabah penyakit. Hal tersebut membuat pane na bolon menjadi dewa yang sangat ditakuti, dan hanya sang datu-lah yang dapat mengetahui keberadaannya dan bagaimana menghindarinya. Sang datu perlu mempertimbangkan letaknya pane, bagian-bagian tubuh, dan organ-organnya. Kutipan berikut ini diambil dari sebuah pustaha: Ianggo di bulan si pahasada ro di bulan si pahadua di purba ma ulu ni ompunta Pane na Bolon, di pastima ma ia ihurna. Jaha hita laho porang masibodilan, tumundalhon agoni ma hita dohot nariti ia porang masibodilan. Ia porhehe ni ompunta Pane na Bolon di boras si pati ni tangkup; ia ari portolo: di muda ni poltak, di boras si pati ni poltak, di suma ni mangadop, di mula ni holom, di anggara na begu, di samisara bulan mate, di hurung. I ma na jadi porporangon; dapot ma anak ni raja dohot anggi ni suhut dohot boru sihabolonan dohot anak silitonga jala tumading na [d]i bortian. Ia hamateanna di pea-pea ia so di punsu ni tor jala singgalak do halak mate, ale amang suhutnami, oi. (Tobing 1956:125-126) Mulai bulan pertama hingga bulan ketiga kepala sang Pane na Bolon berada di timur, dan ekornya di barat. Kalau kita mengadakan perang bedil, pastikan agar selalu membelakangi tenggara dan barat daya. Adapun hari bangkitnya Pane na Bolon hari ke-12. Harihari berikut ini cocok untuk memerangi musuh kita: hari keempat, kelima, ke-18, ke-24, ke-28 dan ke-29. Dalam peperangan tersebut jatuhlah korban sebagai berikut: anak raja, adik raja, menantu raja, dan anak tengah; yang terakhir meninggalkan anak dalam kandungan. Orang yang mati itu ditemukan terlentang di puncak gunung atau di rawa-rawa, wahai raja kami. Kemudian teksnya diteruskan tentang apa yang terjadi pada triwulan kedua bila kepala Pane na Bolon berada di selatan dan ekornya di utara. Letaknya Pane bukan saja perlu diperhatikan bila mau mengadakan

54

Surat Batak

perang, tetapi juga pada acara-acara penting lainnya, seperti misalnya membangun rumah. Kalau sang Pane diketahui berada di selatan, sebaiknya pembangunan dimulai dengan dinding barat dan timur, dan pendirian dinding lainnya perlu ditunda dulu agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Pane na Bolon sering dikaitkan dengan halilintar. Di salah satu pustaha dapat kita baca tentang poda ni panjujur ni pane na bolon… (petunjuk tentang nujum Pane na Bolon yang berbunyi: Poda ni panjujur ni pane na bolon na umboto porhas manoro dohot hilap sumormin dohot gontam, daboto ma manghuling, na paboa ari tula dohot suma ni holom. Di panjujur ni pane na bolon do dajujur porpanean. Ia manoro do pane na bolon, dadabu ma ajinta inon. Ianggo gontam dope manghuling dohot sormin humilap, inda poro manoro ajinta inon. Ia manghuling do giring-giring ni pane na bolon inon torang arina inon, manoro ma pane na bolon. Ia torruhut hita do inon dohot rambu siporhas, i pe hita asa na tongon datu ninni halak na torop, ale Datu Pangarambu ni Aji. Ulang so ingot di ari, ulang dipaboa ho inon di halak legan, ale amang! (Winkler 1956:31) Petunjuk perihal nujum Pane na Bolon yang mengetahui kilat yang menyambar, serta kilap yang berkilau, yang bergemuruh, yang mengumumkan hari tula, dan suma ni holom. Dalam memperhitungkan Pane na Bolon dimintalah nasehat nujum Pane. Kalau menyambar Pane na Bolon maka diterapkanlah sihir ini. Kalau masih bergemuruh dan mengilap, sihir ini belum menyambar. Kalau berbunyi giring-giring Pane na Bolon, maka menyambarlah Pane na Bolon di pagi buta. Kalau kita mengetahui aturan ini serta nujum rambu ni porhas, barulah kita betul-betul datu yang diakui oleh rakyat banyak, wahai Datu Pangarambu ni Aji! Jangan lupa pada hari-harinya, jangan beritahu kepada yang tidak berkepentingan, Bapak! Dari kutipan tersebut menjadi jelas bahwa ilmu kedukunan dianggap sebagai suatu ilmu yang sifatnya rahasia dan hanya boleh diketahui oleh para datu dan sisean (muridnya).

Pustaha dan Isinya

55

Porhalaan Porhalaan ialah kalender Batak yang terdiri atas dua belas bulan dengan masing-masing 30 hari. Kalender tersebut tidak pernah dipakai untuk penanggalan melainkan untuk tujuan meramal hari yang baik yang disebut panjujuron ari. Orang Batak dahulu kala tidak pernah mengetahui angka tahun karena memang tidak pernah dihitung. Bulan dihitung dengan mengurutkannya sebagai bulan pertama (bulan si pahasada), kedua (si pahadua), dan seterusnya hingga bulan kesepuluh.11 Bulan kesebelas dinamakan bulan li, dan bulan kedua belas dinamakan bulan hurung. Hari pertama setiap bulan (bona ni bulan) biasanya jatuh pada hari yang menyusul bulan mati, dan bulan purnama jatuh pada hari keempat belas. Permulaan tahun, yang dalam bahasa Toba disebut bona ni taon, dapat ditentukan ketika rasi Skorpio (siala poriama) terbit di ufuk timur dan rasi Orion (siala sungsang) terbenam di ufuk barat yaitu di bulan Mei. Bila bulan sabit yang masih sangat tipis kelihatan menjelang maghrib di sebelah utara Orion sebelum terbenam di ufuk barat, ialah awal tahun baru kalender Batak (yang pada tahun 2001 jatuh pada tanggal 23 Mei). Empat belas hari kemudian bulan purnama terbit di ufuk timur dan mengambil posisi sebelah utara rasi Skorpio. Dari rasi Skorpio (kala) kalender Batak dapat namanya, yakni porhalaan. Diagram kalender dengan 12 bulan dan 30 hari sering diukir pada ruasruas bambu. Pada setiap bulan terdapat gambar kala yang menempati tiga hingga empat hari. Pada bulan pertama letaknya bulan purnama (hari ke-14) masih dekat dengan Skorpio, sedangkan pada bulan-bulan berikut bulan purnama makin menjauh dari rasi bintang tersebut. Dalam bahasa Batak tidak ada istilah ‘minggu’, tetapi setiap bulan dapat dibagi atas empat minggu yang masing-masing tujuh hari. Nama ketujuh harinya dipinjam dari bahasa Sanskerta. Dalam dalam Sanskerta hari pertama adalah Aditya (matahari) dan yang kedua Soma (bulan). Kelima hari berikut dinamakan menurut salah satu bintang siarah, yakni 11. Walaupun ‘paha-’ dalam si pahasada dst. hanya merupakan awalan untuk membentuk bilangan urutan, awalan tersebut sering dianggap sebagai kata sendiri sehingga sering dapat dijumpai cara penulisan si paha sada atau dalam bahasa Karo si paka sada; bandingkan Van der Tuuk (1971:187).

56

Surat Batak

Anggara (Marikh, Mars), Budha (bintang Utarid, Mercurius), Brihaspati (Musytari, Yupiter), Syukra (bintang Johar, bintang timur, Zuhara, Zohrah, Zuhrat, Venus), dan Syanaiscara (Zohal, Saturnus). Sistem tujuh hari tersebut dipinjam dari India, tetapi dari nama-nama hari dalam kalender Batak Karo tampak bahwa ada sistem asli Batak, ialah dengan menghitung ketiga puluh hari tersebut. Perhatikan misalnya hari ketiga (Nggara telu uari), keenam (Cukera enem berngi), kesembilan (Suma na siwah), kesepuluh (Nggara sepuluh), kesembilan belas (Beraspati sepuluh siwah), dan hari kedua puluh (Cukera dua puluh). Hari ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 dalam kalender Karo juga masih menunjukkan nama yang asli, yakni bělah, bělah purnama, bělah turun, dan mate bulan. Pada hari kedua dan kelima terdapat tambahan pultak (bertambah besar), sedangkan setelah bulan purnama pada hari ke-14 terdapat tambahan cěpik (berkurang), měděm (tidur), mate (mati), holom (kelam), buni (sembunyi), gok (penuh), duduk (akhir), yang semuanya menandakan bulan yang makin mengecil. Ada pula beberapa nama hari atau tambahan yang kurang jelas maksudnya. Hari kedelapan kalender Toba (antian ni aek) misalnya jelas merupakan penyimpangan dari bentuk aditia naik. Kurang jelas adalah tambahan mangadop (menghadap) dan tangkěp (tangkap). Tabel 5: Nama Hari menurut Kalendar Batak Toba

Karo

1

Artia

Aditia

2

Suma

Suma pultak

3

Anggara

Nggara telu uari

4

Muda

Budaha

5

Boraspati

Beraspati pultak

6

Singkora

Cukera enem berngi

7

Samisara

Belah naik

8

Antian ni aek

Aditia naik

9

Suma ni mangadop

Suma na siwah

10

Anggara sampulu

Nggara sepuluh

Pustaha dan Isinya 11

Muda ni mangadop

Budaha ngadep

12

Boraspati ni tangkop Boraspati tinangkop

Beraspati tangkep

13

Singkora purnama

Cukera lau Cukera dudu

14

Samisara purnama

Belah purnama

15

Tula

Tula Belah purnama raya

16

Suma ni holom

Suma cepik

17

Anggara ni holom

Nggara enggo tula Nggara petula

18

Muda ni holom

Budaha gok Budaha ha

19

Boraspati ni holom

Beraspati sepuluh siwah

20

Singkora mora turun Singkora dua pulu

Cukera dua puluh

21

Samisara mora turun

Belah turun

22

Antian ni angga Antian ni anggara

Aditia turun

23

Suma ni mate

Suma na mate

24

Anggara na begu Anggara ni begu

Nggara si mbelin

25

Muda ni mate

Budaha medem

26

Boraspati ni gok

Beraspati medem

27

Singkora duduk

Cukera mate

28

Samisara bulan mate

Mate bulan

29

Hurung

Dalin bulan

30

Ringkar

Samisara

57

58

Surat Batak Sebagaimana juga halnya di kawasan Nusantara lainnya, hari baru bermula pada ketika matahari terbenam. Penentuan awal bulan dapat dilakukan dengan perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan (hisab) atau dengan mengamati penampakan bulan sabit (rukyat).

Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang setelah matahari terbenam karena intensitas cahaya bulan sabit yang masih amat tipis sangat redup dibanding dengan cahaya matahari. Karena, menurut pengetahuan kita, orang Batak di zaman dahulu belum dapat menentukan posisi bulan secara matematis maka awal bulan ditentukan dengan cara rukyat. Apabila bulan sabit terlihat (hilal), maka pada petang waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru dengan hari Artia/Aditia. Bulan sabit akan kelihatan di ufuk barat dekat dengan tempatnya matahari terbenam. Beberapa saat kemudian bulan sabit pun terbenam di ufuk barat atau menghilang di balik gunung (bagi mereka yang tinggal di pedalaman). Secara astronomis, bulan baru bisa terjadi pada pagi, siang, sore, atau malam. Apabila bulan baru terjadi sesudah jam 12 siang maka pada petang hari bulan sabit masih terlalu dekat pada matahari sehingga tidak terlihat (pada saat bulan baru waktu bulan terbenam hampir sama dengan waktu matahari tenggelam). Karena hilal tidak terlihat, maka awal bulan ditetapkan mulai petang keesokan harinya walaupun secara astronomis sudah bermula sehari lebih awal! Oleh sebab itu maka bona ni bulan biasanya jatuh pada hari pertama atau malahan hari kedua sesudah peristiwa bulan baru astronomis. Setelah tujuh hari bulan terbit pada jam 12 siang dan terbenam sekitar jam 12 malam. Pada saat itu nampak bulan separuh dari bumi. Ketika ini bisa jatuh pada hari Samisara/Belah Naik atau pada hari Antian ni Aek/Aditia Naik tergantung apakah bona ni bulan dirukyat pada satu atau dua hari setelah hilal. Oleh sebab itu maka nama kedua hari itu diberi tambahan naik. Tujuh hari kemudian adalah

Pustaha dan Isinya

59

bulan purnama yang jatuh pada hari Singkora Purnama/Cukera Lau atau Samisara Purnama/Belah Purnama. Oleh karena itu kedua hari diberi tambahan purnama. Sama dengan matahari perjalanan bulan pun dari timur ke barat, akan tetapi perjalanan bulan lebih lambat sehingga sesudah hari Aditia bulan makin ketinggalan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada minggu pertama setelah bulan baru. Posisi bulan pada jam 18:00 kian hari kian tinggi yang dalam bahasa Melayu/Indonesia disebut sebagai ‘timbul’ akan tetapi dalam bahasa Batak istilahnya naik. Semakin timbulnya bulan terjadi seiring dengan semakin bertambah besar (poltak/pultak) bulan sabit. Oleh sebab itu maka keenam hari menyusul Artia/Aditia kerap diberi tambahan poltak atau pultak yaitu Suma ni poltak, Anggara ni poltak, Muda ni poltak, Boraspati ni poltak, Singkora ni poltak, dan Samisara ni poltak sementara hanya sebagian dari keenam hari itu dalam bahasa Karo diberi tambahan pultak: Suma pultak, Anggara telu hari, Budaha, Beraspati pultak, Cukera Enem Berngi, Belah naik. Oleh sebab itu juga maka mata angin barat dalam pustaha sering disebut sebagai hasundutan ni mataniari, hapoltahan ni bulan. Di daerah Karo sampai sekarang masih sering dipakai sebuah kalender yang menggunakan tarikh Masehi maupun Batak. Di bawah tiap hari Masehi dicetak hari menurut kalender Batak Karo berikut dengan keterangan tentang baik-buruknya hari tersebut. Pada kalender tersebut (yang dicetak oleh Toko Barus di Kabanjahe) hari ke-14 disebut belah purnama raya sedangkan hari ke-15 adalah hari tula. Kebetulan saya memiliki dua edisi dari kalender tersebut, yakni tahun 1983 dan 1991. Setelah dicek, terdapat beberapa hal yang membuat saya ragu apakah kalender tersebut sesuai dengan penanggalan Batak yang tradisional. Pada kalender ini tanggal 29 Maret 1983 adalah hari belah purnama raya bulan si paka-IX. Bulan purnama memang jatuh pada hari tersebut (terbit jam 19:13). Di bulan berikut bulan purnama jatuh pada tanggal 27 April (terbit jam 18:42). Perlu diketahui bahwa kurun waktu antara bulan purnama ke bulan purnama rata-rata 29,53 hari (12 jam, 44 menit, dan 2.8 detik) sehingga dua belas bulan membentuk satu tahun kamariah yang panjangnya 354.36 hari, sedangkan tiap bulan Batak memiliki 30 hari. Tidak diketahui bagaimana orang Batak dahulu

60

Surat Batak

kala mengimbangi kekurangan tersebut. Pada kalender yang disebut di atas hal ini memang diperhitungkan dengan cara bahwa setiap bulan secara berganti-ganti mempunyai 29 atau 30 hari. Dengan demikian satu tahun tidak mempunyai 360 hari melainkan hanya 354 hari. Saya hampir yakin bahwa kalender ‘tradisional’ tersebut tidak berpangkal dalam tradisi tetapi disesuaikan dengan tarikh Hijrah karena ternyata tahun baru Hijrah yang jatuh pada tanggal 13 Juli 1991 (1 Muharam 1412H) identik dengan pergantian tahun Batak (hari Aditia, bulan si paka sada), kemudian hari pertama bulan kedua identik dengan tanggal 1 Safar 1412H, bulan si paka telu mulai pada tanggal 1 Rabiulawal dan seterusnya. Kelompok Batak yang hingga kini masih menggunakan penanggalan Batak adalah Parmalim. Parmalim adalah aliran kepercayaan yang berdasar pada agama leluhur Batak. Penulis sudah tiga kali menyaksikan acara si pahasada, ialah pada tanggal 2-4-1985, 8-4-1989, dan 30-3-1991. Menurut kalender Batak yang tradisional, tiap bulan berakhir dengan mati bulan. Acara pertama dan ketiga dirayakan oleh Parmalim yang berpusat di Huta Tinggi. Baik tanggal 2-4-1985 maupun 30-3-1991 tidak mungkin merupakan awal tahun (atau awal bulan). Acara 1985 diadakan tiga hari sebelum bulan purnama (hari ke-11 atau Muda ni mangadop) dan acara 1991 diadakan pada bulan purnama atau hari ke-14. Tidak diketahui bagaimana Parmalim Hutatinggi menentukan si pahasada-nya, tetapi jelas tidak menurut cara tradisional Batak. Acara si pahasada yang saya saksikan tahun kemudian (1989) dilaksanakan oleh kelompok Parmalim yang berpusat di Silaen. Kelompok Parmalim ini tidak mempunyai hubungan dengan Parmalim Hutatinggi dan merupakan sebuah aliran kepercayaan yang tersendiri. Acara tersebut juga tidak bertepatan dengan hari Aditia, tetapi dekat sekali: 8.4.1989 adalah hari kedua (Suma). Akan tetapi konstelasi bintang yang terdapat pada hari itu tidak sesuai dengan awal tahun Batak yang seharusnya jatuh pada 5 Juni 1989! Sebuah porhalaan sering diukir di sebuah ruas bambu. Ada yang berbulan dua belas dan ada pula yang berbulan tiga belas. Bulan ke-13 dipakai untuk menyesuaikan tahun kamariah dengan tahun matahari. Karena kalender Batak berdasarkan pengitaran bulan mengelilingi bumi maka satu tahun terdiri atas 12 bulan dengan masing-masing 30 hari sehingga

Pustaha dan Isinya

61

berjumlah 360 hari. Karena tahun kamariah tidak dapat digunakan untuk tujuan yang berkaitan dengan bercocok tanam (menentukan bulan semaian dsb.) maka perlu ditambah satu bulan sehingga sesuai dengan lamanya perjalanan bumi mengitari matahari (365 hari). Hal tersebut dicapai dengan menambah bulan ke-13 yang dinamakan bulan lobi-lobi atau lamadu. Namun demikian, menurut Winkler (1913:443) bulan ke-13 ini tidak berfungsi sebagai bulan kabisat. Sang datu selalu ikut memperhitungkan bulan yang berikut (misalnya bulan lima dan enam, atau bulan 12 dan 13 - dan kalau tidak ada bulan 13 maka diambil bulan satu) untuk mendapat kepastian dalam menentukan hari yang baik. Pada diagram porhalaan yang sering diukir di suatu ruas bambu, tampak 12 atau 13 bulan dengan masing-masing 30 harinya yang dibuat dengan garis yang membujur dan melintang. Selain itu tampak pula beberapa garis sudut-menyudut yang masing-masing berpangkal pada hari ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 di bulan pertama. Pada bulan kedua, hari yang kena garis diagonal tersebut adalah hari ke-6, ke-13 dan seterusnya. Hari-hari ini dikenal sebagai ari na pitu – hari-hari yang ketujuh yang harus dihindarkan bila hendak memulai suatu pekerjaan yang baru. Selain ari na pitu tersebut ada pula gambar kala jengking (hala) yang sudah disebut di atas. Pada hari yang ditempati kepala, badan atau ekornya, tidak boleh dilakukan upacara apa pun. Hari-hari yang lain ditandai dengan bermacam-macam lambang yang tidak selalu seragam. Hari yang baik biasanya ditandai dengan sebuah titik yang melambangkan butir padi, sedangkan hari yang tak menentu ditandai dengan tanda silang. Hari-hari yang lain biasanya kurang menguntungkan. Beberapa hari juga ditandai dengan huruf. Hari yang ditandai Ha, Na, Ta dan O adalah hari yang baik, huruf Ra menandai hari yang dapat diragukan, sedangkan huruf Pa, Sa, La, Nga, Ngu, Hu, dan Ba menandai hari yang buruk. Hampir tidak ada kegiatan yang penting yang dilakukan tanpa menggunakan porhalaan – menentukan saat persemaian, waktu panen, hari perkawinan, mulai membangun atau memasuki rumah baru, mengadakan perjalanan, berperang, dsb.

62

Surat Batak

Ari Rojang Nujum yang masih erat berkaitan dengan porhalaan adalah ari rojang yang jumlahnya 30 dan setiap hari diberi nama binatang. Di alam Melayu nujum ini dikenal sebagai rejang, dan hari-harinya adalah 1. kuda, 2. kijang, 3. harimau, 4. Kucing, dsb., tetapi di Batak tidak ada keseragaman sehingga tidak mungkin memberikan daftar yang akurat. Menurut sebuah pustaha dari koleksi Van der Tuuk (Leiden Cod. Or. 3402, hal. 142), nujum ari rojang dibuka pada kesempatan sebagai berikut: Ia ulaon ni ari rojang, molo halak laho mordalan barang laho mangoli barang laho mortunggu barang laho mortiga-tiga ditilik ma i; di si ma diboto na denggan barang na dae. Molo tole ma ibana borhat dibahen ma pangalomuk dohot panahut. I ma ulaonni. (Voorhoeve 1975:183) Nujum rejang ini dibuka bila mau mengadakan perjalanan, pesta perkawinan, menagih utang, atau berjualan agar diketahui baik buruknya hari. Kalau mau mulai mengadakan suatu kegiatan agar dipersembahkan sajian yang membuat [dewa yang menguasai hari tersebut] menjadi jinak dan takut. Demikianlah manfaat nujum ini. 5.6.2 NUJUM DENGAN MEMAKAI BINATANG Banyak ramalan berkaitan dengan binatang kurban, biasanya ayam atau kerbau. Ada pula ramalan yang menggunakan leher babi atau anjing yang dipotong yang disebut Aji Payung. Pormanuhon (Aji Nangkapiring, Manuk Gantung) Ramalan yang memakai ayam sebagai binatang kurban disebut pormanuhon (manuk = ‘ayam’) yang dapat dibagi atas dua ramalan yang agak berbeda: Aji Nangkapiring dan Manuk Gantung. Ramalan Aji Nangkapiring dibuka sebelum melakukan sesuatu yang penting, seperti mendirikan kampung atau rumah baru, mempersiapkan perang, mengadakan perkawinan, dan juga untuk mengetahui sebab sebuah penyakit. Ramalan ini cukup rumit dan biayanya besar sehingga

Pustaha dan Isinya

63

hanya orang kaya, atau seisi kampung yang sanggup melaksanakannya. Secara ringkas, apa yang dilakukan pada ramalan tersebut adalah memotong seekor ayam yang kemudian ditutup dengan sebuah keranjang. Oleh karena itu ramalan tersebut juga dinamakan manuk di ampang (ayam di keranjang). Bila ayam sudah mati, keranjangnya dibuka dan diperhatikan letaknya ayam itu terhadap keempat sudut keranjang, terhadap desa na ualu (kedelapan mata angin), terhadap hasea na pitu, yaitu tujuh jenis ramuan yang bersamaan dengan ayam ditaruh di bawah keranjang tersebut12, dan terhadap datu yang duduk menghadap keranjang tersebut. Ramalan ini disebut Aji Nangkapiring menurut nama yang diberikan kepada ayam jago yang dipotong (Winkler 1907:207; Tobing 1956:143). Nujum manuk gantung juga termasuk pormanuhon, tetapi cara ramalannya berbeda sedikit. Ramalan ini biasanya dibuka pada saat sebuah kampung diancam perang, atau pada saat sebuah kampung mengadakan pagar. Setelah ayam itu dipotong, diperhatikan tanda-tanda pada paruh, mata, bulu, dsb. Kemudian ayam itu dibelah dan diperhatikan tandatanda di bagian dalamnya (Winkler 1925). Porbuhitan Persembahan seekor kerbau yang ditambat di borotan (tiang persembahan) merupakan salah satu upacara yang paling penting bagi orang Batak yang menganut agama leluhur. Upacara ini dihadiri oleh seluruh bius13 dan dirayakan pada pergantian tahun (mangase taon atau mamele taon) dengan maksud untuk memulihkan keselarasan dengan alam semesta14. Upacara bius juga sering diadakan kalau suatu bius diguncang oleh

12. Ketujuh bahan (hasea) adalah gelang kuningan, daun sirih, baja (semacam getah kayu yang keluar kalau kayunya dibakar), minyak kelapa, bunga-bungaan, dan sebuah anting-anting emas. 13. Bius (di Samosir disebut buyus, dan di tempat lain bus) adalah gabungan beberapa horja (federasi kampung) yang semarga atau yang terdiri dari beberapa marga yang masih berada dalam satu ikatan genealogis. Biasanya mempunyai pusat tertentu yang merupakan onan (pekan). Horja bius telah dibahas dalam beberapa karangan (Korn 1953; Situmorang 1993b; Tobing 1956:152; Vergouwen 1933:86; Winkler 1925:138; Ypes 1932:160), sedangkan porbuhitan dibahas secara mendalam oleh Voorhoeve (1958:132-133). 14. Upacara mangase taon diuraikan panjang lebar dalam buku The Toba-Batak High God, transcendence and immanence oleh Anicetus B. Sinaga (1981).

64

Surat Batak

bencana, misalnya wabah penyakit atau musim kemarau yang berkepanjangan. Juga pada acara penting lainnya seperti mendirikan kampung baru, atau wafatnya seorang raja tua dapat diadakan persembahan kerbau dengan nujum porbuhitan. Saat kerbau yang dikurbankan ditikam dengan tombak dan jatuh mati merupakan ketika yang sangat penting bagi sang datu. Dari cara jatuh dan letaknya kerbau yang dipotong itu dapat ia ramalkan berbagai hal sebagaimana telah ditetapkan di pustaha yang dimilikinya. Nujum porbuhitan kadang-kadang dibahas panjang lebar dalam sebuah pustaha dan bisa mengisi puluhan halaman. Sebagai contoh disajikan di sini kutipan ringkas saja dari sebuah pustaha Karo (Perpustakaan Kerajaan, Copenhagen, BAT. 32) yang ditulis dalam ragam bahasa hata poda (lihat BAB 2.3). Jaha horbo marobo mangadoppon otara buhit mangameru nama tuwanni pusuk ni tali morsihotingan. (Voorhoeve 1975:134-135) Kutipan tersebut secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Jika kerbau rebah menghadap utara [maka] nama [daripada] tuah ini [adalah] bukit Mahameru; ujung tali saling terkait.” Kemudian dijelaskan bagian daging yang mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dimakan oleh pihak yang berperan dalam pesta tersebut, sajian apa yang perlu dipersembahkan, dan sebagainya. Kalau kerbau jatuh menghadap barat daya misalnya, hal ini bukan pertanda yang baik melainkan pertanda yang buruk: “Jaha horbo marobo mangadoppon nariti, buhit bayo tora tilahan ni horbo inon” (Jika kerbau rebah menghadap barat daya [maka nama daripada] celaka kerbau ini ini [adalah] bukit Bayo Tora). Kedua kutipan di atas tidak mudah dimengerti, tetapi sangat menarik bila disimak secara lebih mendalam. Dalam hampir semua nujum porbuhitan, tetap terdapat beberapa kata kunci yakni nama, buhit, mangameru, tuwanni atau tuwannya, dan tilahan atau tilahannya. Menarik untuk dicatat bahwa tuwannya dan tilahannya ditulis dengan aksara Nya karena bunyi tersebut tidak ada dalam bahasa Toba. Selain pada kedua kata tersebut huruf Nya hanya terdapat pada kata irisannya (timur laut). Kata ini memang berasal dari bahasa asing (Sanskerta aiśěnī). Pada umumnya

Pustaha dan Isinya

65

hanya kata asing yang ditulis dengan aksara Nya. Tilaha dalam bahasa Batak berarti ‘kematian anak’, tetapi secara etimologi padanan tilaha adalah ‘celaka’ sehingga tilahannya dengan huruf Nya dapat dianggap berasal dari bahasa Melayu ‘celakanya’, dan dalam kaitan dengan nujum dapat diartikan ‘[pertanda yang] kurang baik’. Sedangkan kata tuwannya dipakai sebagai lawannya tilaha sehingga dapat disimpulkan bahwa tuwannya berasal dari Melayu ‘tuah=nya’ (untung, bertuah). Jelas juga bahwa nama di sini bukan dipakai dalam arti Batak (nama = hanya), melainkan dalam arti Melayu.15 Arti buhit yang terdapat dalam kata Pusuk Buhit (nama sebuah gunung) serta dalam beberapa nama kampung kurang jelas, namun kemungkinan berarti ‘tinggi’. Dalam nujum ini dikatakan bahwa nama tuwanni atau nama tilahan adalah buhit yang dalam nujum ini disebut Mangameru, Bayo Tora, dan masih banyak nama lain. Nama yang paling sering terdapat adalah “Mangameru” yang berasal dari Mahěmeru – gunung suci dalam mitologi India. Jelas bahwa nujum porbuhitan ini banyak menunjuk pengaruh asing, terutama India dan Melayu, dan hal itu memang benar bagi sebagian besar nujum Batak. Pada umumnya pengaruh India itu tidak langsung masuk ke tanah Batak melainkan melalui budaya Melayu sebagai perantara. 5.6.3 NUJUM-NUJUM LAINNYA Rambu siporhas adalah sebuah tali ijuk yang panjangnya sekitar satu meter. Pada tujuh bagian tali tersebut diikat dengan bonang manalu, (benang triwarna). Nujum ini dibuka pada saat perang. Semua laki-laki yang ikut perang duduk di atas tikar yang dibentangkan di halaman kampung. Sang datu duduk terpisah dengan kain ulos ragidup di depannya. Kemudian datu mulai mengucapkan mantra dan melemparkan rambu siporhas di atas ulos yang terbentang di depannya. Dari letaknya tali yang dilempar tadi sang datu dapat meramal apakah mereka menang atau kalah (Voorhoeve 1975:145). Nujum panampuhi dibuka untuk menentukan cocok tidaknya jodoh, dan juga untuk meramal hasil perang. Untuk tujuan yang pertama diambil sebiji jeruk yang kedua ujungnya dipotong. Kedua potongan lalu di15. Kata ‘nama’ sendiri berasal dari bahasa Sanskerta.

66

Surat Batak

jatuhkan di tempat berisi air yang telah disediakan. Dari cara jatuhnya dapat dilihat apa kedua jodoh cocok atau tidak (Winkler 1925:189). Masih banyak ramalan-ramalan lain yang dapat disebut di sini seperti pangharhari (meramal dengan memperhatikan tanda-tanda pada telur yang direbus dan kemudian dibelah dua), parmunian (membaca tandatanda alam dan mimpi), parombunan (membaca tanda pada awan), atau ruji-rujian ialah potongan-potongan bambu yang diikat seperti ikat kunci. Masing-masing potongan bambu mengandung beberapa kata atau kalimat. Ikatan tersebut ditaruh di atas kepala orang yang disuruh memilih salah satu potongan bambu. Dari kata-kata yang tertulis di atasnya ketahuan bagaimana nasibnya atau apa harinya cocok untuk melakukan suatu pekerjaan.

|

6

AKSARA BATAK DAN SEJARAHNYA

Surat Batak sering diklasifikasikan sebagai sebuah silabogram, namum ini jelas keliru karena aksara Batak – sebagaimana juga aksaraaksara lainnya di Nusantara – merupakan bagian dari rumpun tulisan Brahmi (India) yang lebih tepat dapat diklasifikasikan sebagai abugida (paduan antara silabogram dan abjad). Sebuah abugida terdiri dari aksara yang melambangkan sebuah konsonan sementara vokal dipasang pada aksara sebagai diakritik. Abugida adalah jenis tulisan yang bersifat fonetis dalam arti bahwa setiap bunyi bahasanya dapat dilambangkan secara akurat.

6.1

Asal Usul Aksara Batak

Paleografi adalah ilmu tentang tulisan-tulisan kuno. Di banyak masyarakat yang mengenal tulisan terdapat naskah-naskah kuno yang umurnya dapat mencapai ratusan atau bahkan ribuan tahun. Aksara yang terdapat pada naskah-naskah kuno pada umumnya berbeda dengan aksara yang terdapat dalam naskah yang lebih baru. Dengan cara memperbandingkan aksara-akasara yang terdapat dalam naskah-naskah lama, kita dapat menyusun semacam silsilah aksara. Sebagian besar sistem tulisan yang ada di Afrika, Eropa, dan Asia berasal dari satu sumber, yakni aksara Semit Kuno yang menjadi nenek moyang tulisan-tulisan Asia (Arab, Ibrani dan India) maupun Eropa (Latin, Yunani dsb.) Aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Aksara India yang tertua adalah aksara Brahmi yang menurunkan dua kelompok tulisan yakni India Utara dan India Selatan. Aksara Nagari dan Palawa masing-masing berasal dari kelompok utara dan selatan dan kedua-duanya pernah dipakai di berbagai tempat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Casparis

68

Surat Batak

1975). Yang paling berpengaruh adalah aksara Palawa. Semua tulisan asli Indonesia berinduk pada aksara tersebut. Pada Gambar 8 dapat dilihat di mana secara garis besar tempatnya aksara Batak dalam silsilah tulisan sedunia.

Gambar 8: Silsilah Aksara Surat Batak terdiri atas dua perangkat huruf yang masing-masing disebut ina ni surat dan anak ni surat. Sistem tulisan yang demikian juga dipakai oleh semua abjad India dan abjad-abjad turunannya. Dan memang aksara Batak dan demikian juga semua aksara Nusantara lainnya yang berinduk pada aksara India).16 Namun demikian, kerabat surat Batak yang paling dekat adalah aksara-aksara Nusantara, dan khususnya yang di Sumatra. Tulisan Nusantara asli dapat dibagi atas lima kelompok: 1. Aksara Hanacaraka (Jawa, Sunda, Bali)

16. Yang dimaksud dengan “aksara Nusantara” adalah aksara-aksara turunan India yang terdapat di kepulauan Asia Tenggara.

Aksara Batak dan Sejarahnya

69

Ketiga aksara ini sangat mirip sekali dan disebut Hanacaraka menurut lima aksara yang pertama. Menurut De Casparis, ketiga tulisan tersebut berasal dari aksara Jawa Kuno (Kawi), sementara aksara Kawi secara langsung berasal dari aksara Palawa (Casparis 1975). 2. Surat Ulu (Kerinci, Rejang, Lampung, Lembak, Pasemah, dan Serawai) Surat Ulu, yang kadang-kadang juga dinamakan aksara Ka-Ga-Nga menurut bunyi ketiga aksara pertama, sangat mirip satu sama lain dan dipakai di dalam daerah yang sangat luas yang mencakup empat propinsi yakni Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Aksara Kerinci (surat incung) digunakan di Kabupaten Kerinci, propinsi Jambi, di sekitar kota Sungaipenuh. Dataran tinggi di pegunungan Bukit Barisan ini berbatasan dengan propinsi Sumatra Barat dan propinsi Bengkulu. Aksara yang ada di kabupaten Rejang-Lebong, Propinsi Bengkulu, juga dikenal sebagai aksara Rencong. Masih di kabupaten Bengkulu dan di perbatasan Bengkulu-Sumatra Selatan terdapat beberapa suku bangsa yang memiliki aksara yang hampir sama dengan aksara Rejang-Lebong, yakni aksara Lembak, Pasemah, dan Serawai. Aksara Lampung berbeda sedikit dari Surat Ulu, tetapi masih banyak memiliki persamaan. 3. Surat Batak (Angkola-Mandailing, Toba, Simalungun, PakpakDairi, Karo) 4. Aksara Sulawesi (Bugis, Makasar, dan Bima) Di Sulawesi terdapat dua aksara yang berbeda. Yang pertama adalah aksara Makasar Kuno. Naskah yang ditulis dengan menggunakan aksara tersebut sangat sedikit jumlahnya karena sejak abad ke-19 tidak dipakai lagi. Aksara kedua adalah aksara Bugis yang kemudian juga digunakan oleh orang Makasar menggantikan aksara Makasar Kuno. Pada hakikatnya aksara Bugis-Makasar tersebut persis sama, perbedaannya hanya ada pada jumlah huruf karena Bugis mempunyai empat aksara tambahan. Aksara Bugis-Makasar pernah juga digunakan di Bima dan Ende (bekas daerah taklukan Makasar), namun naskah dari kedua daerah tersebut sangat langka sekali. Sama dengan di Sumatra, orang Bugis pun menamakan aksaranya surat: Surat Bugis.

70

Surat Batak

5. Aksara Filipina (Bisaya, Tagalog, Tagbanwa, Mangyan) Seperti juga halnya dengan ketiga kelompok di atas, aksara Filipina juga merupakan suatu kelompok yang mempunyai beberapa sistem tulisan yang satu sama lainnya banyak menunjukkan persamaan. Keempat aksara adalah Sulat Bisaya, Sulat Tagalog, Surat Tagbanwa, dan Surat Mangyan. Naskah yang paling lama pada umumnya ditulis pada bahan yang dapat bertahan lama seperti di batu atau di lempengan logam. Batu bertulis yang paling tua di Indonesia adalah prasasti Raja Mulavarman yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Barat yang ditulis pada tahun 322 Saka (tahun 400 Masehi). Hampir sama tua (450 M) adalah prasasti Raja Purnavarman yang ditemukan di Ci Aruten, Jawa Barat. Kedua prasasti tersebut beraksara Palawa, dan berbahasa Sanskerta. Prasasti-prasasti Sriwijaya dari abad ke-7 juga masih menggunakan aksara Palawa, tetapi bahasanya lain, yakni bahasa Melayu Kuno. Lambat-laun aksara Palawa tersebut berubah bentuknya sehingga pada abad kedelapan menurunkan aksara Kawi (baik di Sumatra maupun di Jawa). Aksara Kawi tersebut masih relatif mirip dengan aksara induknya, tetapi di sepanjang abad aksara itu berkembang lagi dan bentuk hurufnya berubah. Sebagai akibat perkembangan tersebut, pada abad ke-14 terbentuk beberapa aksara serumpun, termasuk Sumatra (prasasti Adityawarman) dan Jawa (prasasti Majapahit) yang sudah sangat berbeda dari aksara Palawa. Sedangkan aksara Jawa hanacaraka (abad kedelapan belas hingga kini) juga jauh berbeda dengan aksara Kawi di zaman Majapahit. Bila kita perhatikan perubahanperubahan yang terjadi di sepanjang abad menjadi jelas bahwa perubahan itu tidak terjadi secara mendadak melainkan secara berkesinambungan. Sebagai contoh, mari kita simak sejarah perkembangan huruf Na. Pada naskah Batak ditemukan empat bentuk Na. Yang berbentuk boleh dianggap yang paling tua karena masih mirip dengan bentuk aksara Palawa dan Kawi (kolom 2–4). Na-kuno ini memiliki varian yang memperlihatkan perkembangan ke arah bentuk baru n dan n.

Aksara Batak dan Sejarahnya

71

Tabel 6: Perkembangan Bentuk Aksara Na Palawa Majapahit

Amogha Tj. pasa Tanah

Bali Baru

Jawa Baru

Batak

nn Pada kolum pertama tabel di atas terlihat huruf Na sebagaimana ditulis di India pada awal dan pertengahan milenium pertama. Kolom kedua memperlihtakan aksara yang sama sekitar seribu tahun kemudian (abad ke-14). Ternayata dalam kurun waktu seribu tahun bentuk Na Majapahit itu tidak berubah jauh dengan bentuk Palawa; bagian bawah masih hampir sama, namun bagian atas disederhanakan. Kolom ke-3 dan ke-4 memperlihatkan dua bentuk aksara yang juga dari abad ke-14, tetapi digunakan di Sumatra, persisnya di Dharmasraya, di perbatasan Sumatra Barat dan Jambi. Walaupun bentuknya berbeda, kedua aksara berasal dari masa dan tempat yang sama. Keduanya digunakan pada abad ke-14 di dalam kerajaan Malayu. Yang pertama ditulis pada naskah Tanjung Tanah yang berasal dari Dharmasraya, dan yang kedua ditemukan pada bagian belakang patung Amoghapasa yang ditulis oleh Adityawarman dan ditemukan di Dharmasraya juga. Bentuk Na naskah Tanjung Tanah tidak berbeda jauh dengan bentuk aksara Bali Baru namun Jawa Baru sudah makin menjauh dari aksara asalnya. Jelas kelihatan di sini bahwa aksara Palawa dan Kawi masih sangat mirip, dan juga Batak q, yakni Na-kuno, masih cukup dekat dengan aksara Palawa dan Kawi, sementara Batak n (Na-Baru) merupakan penyederhanaan bentuk q. Dengan adanya sejumlah naskah kuno, terutama prasasti dan naskah yang ditulis di lempengan-lempengan tembaga atau emas, maka sejarah aksara Jawa dapat ditelusuri kembali sampai pada awal perkembangan aksara Kawi. Orang Batak, Rejang, Kerinci, Lampung, Bugis, Makasar

72

Surat Batak

dan juga orang Filipina pada umumnya tidak mengenal prasasti atau naskah logam, dan hanya menggunakan bahan yang mudah lapuk seperti bambu, kulit kayu (Sumatra), dan lontar (Sulawesi). Naskah yang masih ada pada umumnya tidak lebih tua daripada 200 tahun sehingga kita tidak tahu banyak tentang sejarah perkembangan aksara-aksara Nusantara tersebut. Diduga bahwa semua tulisan Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari sumber yang sama yang dianggap berada di Sumatra bagian selatan pada masa kejayaan Sriwijaya. Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat dengan aksara Batak adalah aksara Kerinci (surat incung), aksara Lebong, Lembak, Lintang, Pasemah, Rejang, Serawai (surat ulu), serta aksara Lampung. Sama dengan daerah Batak, daerah-daerah tersebut juga agak terpencil di daerah pegunungan sehingga kurang terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh asing yang dibawa dari seberang lautan dan secara lambat merembet dari pesisir ke pedalaman. Salah satu pengaruh budaya asing adalah masuknya agama Islam. Serentak dengan penyebaran agama Islam bersebar pula tulisan Arab yang di Melayu terkenal sebagai tulisan Jawi. Aksara "Arab gundul" tersebut cepat menggantikan aksara-aksara Sumatra asli yang kemudian hilang sama sekali. Karena daerah-daerah yang disebut di atas berada di pedalaman dan agak terpencil, maka pengaruh Islam baru dirasakan pada abad ke-19 sehingga aksara asli masih dapat bertahan sampai pada abad ke-20. Besar kemungkinan bahwa aksara Minangkabau dan Melayu juga pernah ada, tetapi kemudian digantikan oleh tulisan Arab-Melayu sehingga hilang tak berbekas. Aksara-aksara surat ulu di Sumatra bagian selatan banyak memiliki persamaan dengan huruf Batak. Huruf Ka, Ga, dan Ha hampir sama bentuknya, dan juga huruf Da masih banyak menunjukkan persamaan. Tabel 7: Persamaan Surat Batak, Surat Ulu, dan Surat Incung Surat Batak Ka Ga Da

k g d

Surat Ulu

k g d

Surat Incung

k g d

Aksara Batak dan Sejarahnya Ha

a

h

73

h

Sebagian nama anak huruf (lihat BAB 6.1.2) juga sangat mirip. Selain itu semua aksara Sumatra dan termasuk juga sebagian aksara Sulawesi dan Filipina memiliki persamaan yang struktural yang membedakannya dengan aksara India, Asia Tenggara, Jawa, dan Bali. Ciri-ciri khas aksara-aksara Sumatra, Sulawesi, dan Filipina adalah kesederhanaannya. Dibandingkan dengan aksara-aksara India yang memiliki empat puluhan aksara ditambah belasan tanda diakritik, tulisan-tulisan Nusantara jauh lebih sederhana. Tulisan Jawa dan Bali memiliki 20 aksara dan 10 diakritik, tulisan Lampung memiliki 20 aksara dan 12 diakritik, tulisan Makasar 19 aksara dan 5 diakritik, dan tulisan Tagalog hanya 15 aksara dan dua diakritik. Tulisan-tulisan India dan juga tulisan Sunda, Jawa, dan Bali mempunyai tanda “pasangan”, ialah tanda diakritik penanda konsonan yang ditulis untuk menutup konsonan lain di depannya. Tulisan-tulisan Nusantara di luar Jawa dan Bali tidak menggunakan pasangan sehingga jumlah huruf yang harus dihafal jauh berkurang. Kesederhanaan dalam bentuk aksaranya juga adalah ciri-ciri khas bagi aksara-aksara tersebut. Bila dibandingkan dengan aksara Jawa atau Bali, tampak bahwa aksara Sumatra, Sulawesi dan Filipina mempunyai bentuk yang lebih sederhana. Bentuk yang berlengkung-lengkung telah diganti oleh bentuk yang lebih bersegi yang lebih sesuai untuk menulis di permukaan yang keras seperti di kulit bambu. Aksara-aksara tersebut juga memperkenalkan sebuah hal yang baru yakni aksara-aksara yang didahului bunyi sengau. Batak (Karo) memiliki dua huruf tambahan yakni Mba dan Nda, aksara Kerinci dan Rencong menambahkan dua lagi yakni Ngga dan Nja. Aksara Bugis juga mempunyai empat aksara yang bersengau ialah Ngka, Mpa, Nra, dan Nca. Perlu dicatat bahwa gejala tersebut tidak ada pada aksara Batak selain Karo, dan juga tidak ada di Lampung, Makasar, dan Filipina. Karena persamaan-persamaan yang tadi disebut, dapat diduga bahwa semua aksara Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari satu aksara purba. Aksara purba tersebut kemungkinan besar tercipta di daerah Su-

74

Surat Batak

matra selatan pada masa kejayaan dan di sekitar wilayah Sriwijaya. Aksara purba tersebut dapat dipastikan tercipta di bawah pengaruh aksaraaksara Palawa yang telah berkembang di wilayah tersebut, namun diolah sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi lebih sederhana supaya lebih mudah dipelajari, lebih sesuai untuk bahasa-bahasa setempat (yang dari segi bunyi jauh lebih sederhana daripada bahasa-bahasa India), dan juga lebih sesuai untuk menulis di atas bambu. Bagaimana persisnya perkembangan aksara Sumatra selanjutnya, bagaimana hubungannya dengan kerabat-kerabat lainnya di Filipina dan di Sulawesi, dan bagaimana persisnya peranan aksara Jawa dalam pembentukan aksara Sumatra tidak diketahui dan mungkin juga kelak tidak akan diketahui. Walaupun pengetahuan kita tentang masa lampau aksara Batak sangat terbatas, kita dapat mengetahui sedikit tentang sejarah perkembangan aksara Batak dengan cara memperbandingkan aksara Batak satu sama lain, dan juga dengan aksara Nusantara lainnya. Ternyata penelitian yang demikian yang sampai sekarang belum pernah dilakukan, sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang perkembangan dan arah penyebaran aksara Batak. Analisa ini dimulai pada ina ni surat. 6.1.1 AKSARA (INA NI SURAT) Van der Tuuk berpendapat bahwa perkembangan aksara Batak terjadi dari selatan ke utara, dan bahwa daerah asalnya di Mandailing (Tuuk 1971:77). Parkin (1978:100) juga berpendapat demikian karena alasanalasan berikut: Aksara Nya, Wa dan Ya melambangkan tiga bunyi yang terdapat dalam bahasa Mandailing sementara dalam bahasa Toba tidak ada bunyi [ny], [w], atau [y]. Dengan demikian ketiga huruf tersebut sebenarnya mubazir karena tidak terdapat bunyinya dalam bahasa Toba. Sebagai contoh, Mandailing sayur menjadi saur di Toba, manyurat menjadi manurat. Pada bahasa Pakpak dan Karo tidak ada bunyi [ny] dan juga tidak ada aksara Nya. Keberadaan Nya di aksara Toba membuktikan bahwa aksara Toba berasal dari Mandailing. Argumentasi Parkin sangat masuk akal. Sekiranya aksara Batak mula-mula tercipta di Toba, tak mungkin ada huruf Nya, karena tidak ada bunyi itu dalam bahasa Toba. Di Tanah Karo – daerah yang paling

Aksara Batak dan Sejarahnya

75

utara letaknya, huruf [ (yang di selatan berbunyi Nya) berubah maknanya menjadi Ca. Ternyata urutan dalam abjadnya tetap sama dengan posisi Nya ialah antara La dan I. Dengan demikian, huruf [ menunjukkan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara. Teori tersebut juga didukung oleh faktor-faktor lainnya: Keragaman dalam varian-varian aksara paling besar di Mandailing, disusul oleh Toba dan Karo. Namun di Karo, keragaman tersebut disebabkan oleh adanya perkembangan-perkembangan yang relatif baru seperti variasi yang ada pada huruf Sa, Da, dan Ca, dan terutama karena adanya sejumlah aksara baru seperti ketiga varian Mba B, v dan f serta kedua varian Nda ({ dan }). Semua varian tersebut merupakan perkembangan baru dan tidak ada di daerah Batak lainnya. Huruf Ma memiliki berbagai varian di Toba dan Angkola-Mandailing: 7, 8, dan m, sementara di Pakpak, Karo dan Simalungun masing-masing hanya ada satu bentuk saja. Di antara ketiga varian tadi, bentuk m biasa digunakan di Angkola dan Mandailing, tetapi agak jarang digunakan di Toba yang lebih cenderung memakai 7 dan 8. Keragaman dalam varian-varian aksara di Toba, dan khususnya di Mandailing menunjuk pada usia tinggi tulisan di daerah itu. Sebagai contoh akan saya mengemukakan dua aksara, yakni Na dan Ja. Sebagaimana telah ditunjuk di atas, bentuk Na dalam aksara Kawi sangat mirip dengan varian q yang terdapat di Mandailing dan di Toba. Hal ini tidak berarti bahwa aksara Batak berasal dari aksara Kawi, melainkan menunjukkan bahwa kedua aksara tersebut masih mempunyai nenek moyang yang sama atau bahwa terdapat pengaruh Jawa pada sejarah perkembangan aksara Batak purba. Keberadaan varian q yang oleh Voorhoeve disebut "Na kuno" di Mandailing dan Toba juga menunjukkan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara. Bentuk aksara Ja (j) sama dengan aksara Da (d) yang ditambah sebuah garis horisontal. Hal yang sama juga berlaku untuk da dan ja pada aksara Kawi, tetapi bukan pada aksara Palawa sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tahap awal perkembangan aksara Batak mesti ada pengaruh Kawi. Aksara j kemudian disederhanakan sehingga di daerah utara dari Toba hanya bentuk j yang ada.

76

Surat Batak

Gambar 9: Contoh aksara Karo

Gambar 10: Contoh aksara Simalungun

Aksara Batak dan Sejarahnya

77

Gambar 11: Contoh aksara Karo di bambu Naskah ini merupakan ratap tangis atau bilang-bilang. Catatan untuk Gambar 12 dan Gambar 13 di halaman berikut Perhatikan bentuk huruf Ja j (huruf pertama di baris kedua). Pada naskah ini Ta-utara t (baris 9 huruf ketiga) digunakan, namun sekali muncul Ta-Selatan t yaitu dalam kata sita-sita (kata terakhir pada baris 12) yang ditulis sitsit. Perhatikan bentuk huruf Ma yang berbentuk 0 maupun 4. Naskah ini mudah teridentifikasi karena bentuk L (lu) dan huruf Sa s yang khas Mandailing.

Gambar 12: Contoh aksara Toba.

Gambar 13: Contoh aksara Mandailing.

Bila kita perbandingkan kedua aksara selatan (Angkola-Mandailing dan Toba), ternyata hanya terdapat sedikit perbedaan saja. Aksara Toba kehilangan beberapa varian dari aksara Sa dan Ha, tetapi di daerah Toba juga terjadi perkembangan baru dengan memperkenalkan varian Ta (f) dan varian Wa (v). Namun tidak tertutup pula kemungkinan bahwa f dan v adalah bentuk yang lebih lama yang di Mandailing dan di sebagian Toba kemudian berubah menjadi varian Ta (t) dan varian Wa (w)! Bertolak pada anggapan bahwa t dan w adalah bentuk yang lebih lama, dan f dan v perkembangan baru, maka kedua varian f dan v kemudian bersebar ke arah utara ke PakpakDairi (v) dan Karo (f). Mesti diakui bahwa secara teoretis terdapat kemungkinan bahwa varian v merupakan perkembangan baru di Pakpak-Dairi yang kemudian bersebar ke selatan lalu dipakai di sebagian daerah Toba. Akan tetapi kemungkinan tersebut hanya kecil saja. Sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terlalu banyak indikasi bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara dan bukan sebaliknya.

Kiri: Surat Ompu ni Marlopuk kepada L.I. Nommensen. (Teks yang lengkap ada di hal. 136, dan transliterasi serta terjemahan di hal. 156.

Gambar 14: Contoh aksara Toba.

80

Surat Batak

Suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa aksara Simalungun memiliki beberapa persamaan dengan Mandailing. Misalnya varian Sa, s dan 0, dan juga varian Ha k (yang sangat mirip dengan varianvarian Angkola-Mandailing h dan w) terdapat di Mandailing dan di Simalungun, tetapi tidak di Toba. Hal itu menunjukkan bahwa ada kemungkinan besar bahwa sudah sangat dini aksara Batak dari Mandailing masuk ke Simalungun. Bentuk huruf Ya dengan garis horisontal yang melengkung juga menunjukkan pengaruh Mandailing. Menurut Van der Tuuk, kedua varian Toba untuk huruf Ta t dan Wa w dipakai di "Toba Timur", sedangkan varian f dan v dipakai di daerah "Toba Barat". Sayang Van der Tuuk tidak menjelaskan daerah mana yang dimaksud dengan Toba Barat dan Toba Timur, tetapi kalau Van der Tuuk benar, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut: Aksara Batak mula-mula berkembang di daerah Angkola-Mandailing, barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatra Barat. Dari sana aksara Batak tersebar arah ke utara sehingga terbentuk sebuah aksara purba Toba-Timur–Simalungun (kemudian disebut Toba-Simalungun) di dareah antara Parapat dan Balige yang subur dan padat penduduk. Aksara Simalungun kemudian tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, tetapi berubah sedikit bentuknya sehingga semua aksara kelihatan seperti terdiri dari garis-garis yang terpisah-pisah sebagaimana kelihatan sekali pada huruf Ma dan Ra. Aksara purba Toba-Simalungun menurunkan dua jenis huruf: Toba Timur yang menggunakan Ta dan Wa selatan: t, dan w, dan Toba Barat yang menggunakan Ta dan Wa utara: f dan v. Bentuk utara ini dapat dianggap sebagai perkembangan kemudian yang masuk dari Toba Barat ke Pakpak-Dairi (f dan v) dan Karo (hanya f). Perlu ditegaskan di sini bahwa tidak ada garis pasti antara ‘Toba Timur’ dan ‘Toba Barat’. Naskah yang dapat dipastikan daerah asalnya terlalu sedikit. Lagi pula, bentuk huruf mana yang dipakai oleh salah seorang juga sangat tergantung pada gurunya. Sifat datu yang suka mengembara turut mengaburkan batas-batas antara daerah. Daerah Karo dapat dipastikan sebagai daerah yang paling belakangan menerima aksara Batak. Tetapi justru di daerah ini, tulisannya berkembang sangat subur. Ratusan naskah Karo yang tersimpan di berbagai

Surat Batak

81

koleksi di mancanegara membuktikan bahwa bukan saja para datu (di Karo disebut guru) bisa membaca dan menulis. Di situ juga banyak terdapat pulas – semacam surat kaleng yang di daerah Karo juga terkenal sebagai musuh běrngi (musuh di malam hari). Tetapi bukti yang paling kuat bahwa aksara Batak cukup umum diketahui oleh para pria Karo adalah kebiasaan menulis ratapan percintaan (bilang-bilang) di ruas-ruas bambu. Barangkali justru karena surat Batak di Karo menjadi demikian populer, maka terjadi perkembangan-perkembangan yang baru seperti dibuktikan oleh huruf Mba dan Nda yang khas Karo. 6.1.2 TANDA DIAKRITIK (ANAK NI SURAT) Setiap anak ni surat memiliki nama tersendiri yang berbeda-beda tergantung pada daerahnya. Studi perbandingan nama diakritik tersebut ternyata sangat bermanfaat dalam menentukan arah penyebaran aksara Batak dan juga menunjukkan beberapa persamaan dengan nama diakritik di Sumatra Selatan dan di Jawa.

e

BE (Jawa taling, Lampung keteliling, Rejang katiling) Di Mandailing, diakritik ini dinamakan talinga – hampir sama dengan istilah yang dipakai di Jawa, Rejang, dan Lampung. Di Simalungun, nama diakritik tersebut ditambah dengan awalan hadan akhiran -an sehingga menjadi hatalingan. Karo kětělengěn barangkali berasal dari Simalungun hatalingan. Di Toba dan Pakpak hatalingan menjadi hatadingan. Sebabnya adalah barangkali bahwa taling tidak berarti apa-apa dalam bahasa Batak, sedangkan tading berarti ‘tinggal’. Dengan demikian hatadingan dapat diartikan ‘ketinggalan’, dan pemberian nama tersebut masuk akal mengingat diakritik tersebut berada sebelah kiri huruf induk, jadi dia seolaholah ‘ketinggalan’ di belakang. Kemungkinan besar bahwa istilah hatadingan bukan langsung berasal dari Mandailing, melainkan melalui Simalungun hatalingan. Mengingat bahwa daerah Simalungun tidak berbatasan langsung dengan daerah Angkola-Mandailing, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah ha-

82

Surat Batak

talingan “lahir” di daerah perbatasan Toba-Simalungun. Hal ini sesuai sekali dengan hipotesa bahwa aksara Toba dan Simalungun berasal dari aksara purba Toba-Simalungun kira-kira di daerah antara kota Parapat dan Balige. Secara sederhana, penyebaran nama diakritik tersebut adalah sebagai berikut17: M Talinga | S Hatalingan | K Kětelengan

T Hatadingan | P Ketadingin

o, u

Bo Diakritik yang berbentuk x memiliki makna [o] kecuali di Karo di mana bunyinya adalah [u]. Di Mandailing diakritik ini bernama siala ulu. Siala tidak ada artinya, tetapi ulu berarti ‘kepala’, barangkali karena letaknya yang ‘mengepalai’ huruf induknya. Selain diakritik ini ada lagi diakritik /i/ yang sama posisinya, dan juga namanya agak mirip yakni ulua. Di Toba siala ulu dipersingkat menjadi siala saja, dan terdapat pula nama kedua untuk diakritik tersebut yakni sihora. Di Pakpak-Dairi namanya persis sama (kalau ditulis), tetapi diucapkan sikora karena makna huruf h di Toba adalah [ha] sedangkan di Pakpak-Dairi selalu [ka]. Simalungun sihorlu, dan Karo sikurun masih mirip bunyinya dengan sihora, namun kurang jelas bagaimana kepastiannya: M Siala Ulu | T Siala

T Sihora | P Sikora

(S Sihorlu, K Sikurun)

17. K = Karo, P = Pakpak-Dairi, S = Simalungun, T = Toba, M = Angkola dan Mandailing.

Surat Batak

83

u, ě

Bu (M, T, S, P) Be (K, P) Diakritik ini terdapat dua kali di Pakpak, sekali sebagai tanda yang mewakilkan bunyi [u] dan sekali lagi sebagai tanda yang mewakilkan bunyi [ə], yaitu ě-pepet. Yang pertama disebut kaběrětěn, yang kedua kaběrětěn podi. Silsilah aksara ini jelas sekali. Kata kaběrětěn berasal dari Mandailing boruta (juga disebut buruta) yang menurunkan bentuk Toba haboruan dan haborotan. Kedua nama ini merupakan hasil interpretasi dari kata boruta dan buruta. Boruta jelas dianggap sebagai gabungan kata boru ‘anak perempuan’ dan akhiran -ta ‘kita’. Sebagaimana dapat dilihat pada Mandailing talinga yang menjadi Simalungun hatalingan, dan Mandailing amisara yang menjadi Toba hamisaran, terdapat kecenderungan untuk menambah imbuhan ha-...-an. Dengan demikian boru=ta menjadi ha=boru=an. Sebagaimana juga terjadi dalam hal hatalingan yang menjadi hatadingan (ialah interpretasi makna berdasarkan letaknya), diakritik ini pula mendapatkan nama keduanya haborotan (ha=borot=an) karena ia bersatu atau ‘tertambat’ (artinya borot adalah ‘tambat’) pada huruf induknya. M Boruta (Buruta) | T Haboruan

T Haborotan | P Kaběrětěn [u], P Kaběrětěn Podi [ə] | K Kěběrětěn [ə]

| S Haboritan [u]

ng

B^ (India Anusvara) Nama diakritik ini adalah amisara di Mandailing yang bunyinya mirip sekali dengan nama diakritik ini di India yakni anusvara. Di Toba dan Simalungun ditambah dengan bunyi sengau [n] dan imbuhan ha-...-

84

Surat Batak

an menjadi haminsaran. Karena bunyi minsar mirip dengan binsar (yang diucapkan ‘bitsar’ atau ‘bincar’) maka di Pakpak-Dairi diakritik ini menjadi kěbincarěn (T binsar dan P bincar berarti ‘terbit’). Di Toba juga terdapat nama kedua – paminggil yang berarti ‘bunyi bernada tinggi’. M Amisara | T Hamisaran

T S Haminsaran | P Kebincaren | K Kěbincarěn

T Paminggil

i Bi (J Ulu, L Olan, R Kaluan) Di hampir seluruh Indonesia, arti ulu adalah ‘kepala’ (hanya bahasa Melayu/Indonesia yang memakai ‘kepala’ yang berasal dari bahasa Sanskerta). Barangkali diakritik ini dinamakan ulu karena ia “mengepalai” huruf induknya. Namanya di Mandailing dan Toba ulua, dan di Toba ada nama kedua yang masih mirip yakni hauluan dan haluain. Kata dasar ha=ulu=an adalah ulu ditambah dengan imbuhan ha-...-an, sedangkan haluain agak menyimpang. Pakpak-Dairi kaloan dan Karo kělawan diturunkan dari Toba haluain atau Simalungun haluan. M Uluwa | T Uluwa

T Haluain (Hauluan), S Haluan | P Kaloan K Kělawan

o (ou)

BO L Kětulung (au), R Katulung (au)

Surat Batak

85

Di Lampung dan di Rejang terdapat tanda diakritik untuk diftong /au/ yang dinamakan kětulung dan katulung yang jelas sekali sama dengan Simalungun hatulungan. Simalungun adalah satu-satunya daerah yang memiliki diakritik tersendiri untuk diftong [ou]. Diftong [ou] juga terdapat di Karo, tetapi tidak di daerah-daerah lainnya. Namun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus untuk bunyi [ou]. Kendati demikian, Karo memiliki dua varian yang menandai bunyi [o] yakni BO dan Bo. Duaduanya bernama kětolongěn. Kemungkinan besar bahwa dahulu kala Karo pernah membedakan penulisan [o] dan [ou] sebagaimana sekarang masih halnya di Simalungun. Karena namanya yang mirip dengan Lampung kětulung dan Rejang katulung dapat dipastikan bahwa diakritik tersebut bukan perkembangan baru, dan juga mendukung hipotesa saya bahwa aksara Simalungun (atau lebih tepat aksara Purba Toba-Simalungun) adalah lebih tua daripada Toba Barat, Pakpak atau Karo. M T (?) | S Hatulungan [ou] | K Kětolongen [o] Kalau digambarkan, arah penyebaran aksara Batak adalah sebagai berikut:

86

Surat Batak

Gambar 15: Arah penyebaran aksara Batak

6.2

Aksara Batak masuk Percetakan

Tidak banyak orang yang tahu bahwa aksara Batak sudah dituangkan ke timah hitam jauh sebelum kedatangan Nommensen dan zending Jerman. Pada tahun 1855 telah terbit Over Schrift en Uitspraak der Tobasche Taal (Perihal Tulisan dan Pengucapan Bahasa Toba) karangan Herman Neubronner van der Tuuk. Buku tersebut dicetak di Amsterdam di percetakan C.A. Spin & Zoon dan lalu diedit kembali dan dicetak ulang dengan diberi judul baru Tobasche Spraakkunst, eerste stuk (Tata Bahasa Toba, Bagian Pertama) (Tuuk 1864). Tata bahasa tersebut dipuji-

Surat Batak

87

puji sebagai tata bahasa pertama di Hindia Belanda yang disusun secara ilmiah, dan karya ini dianggap sedemikian penting sehingga diterbitkan kembali dalam terjemahan bahasa Inggris lebih dari 100 tahun kemudian (Tuuk 1971). Dengan begitu kita memiliki tiga versi dari buku yang (hampir) sama yang masing-masing mempunyai bagian mengenai aksara Batak yang menguraikan secara terperinci dan sangat akurat tiap-tiap aksara Batak (Pakpak, Toba dan Angkola-Mandailing). Penjelasannya sedemikian lengkap sehingga tidak banyak yang masih dapat ditambah. Ini sungguhlah merupakan prestasi yang luar biasa apalagi mengingat bahwa pada zaman Van der Tuuk menyusun tata bahasanya, Tanah Batak masih merupakan terra incognita di peta ilmiah. Pantai Danau Toba belum pernah dijejaki oleh kaki Eropa (Van der Tuuk sendiri menjadi orang Eropa pertama yang melihat danau Toba) – apalagi Tanah Karo atau Simalungun yang namanya saja belum pernah didengar orang Eropa. Melihat betapa lengkap dan akurat data yang disajikan oleh Van der Tuuk mengenai bahasa dan aksara Angkola-Mandailing, Toba dan Pakpak, seharusnya pengetahuan kita saat ini lebih luas lagi, mengingat kemajuan di segala bidang selama seratus tahun terakhir ini. Sedihnya, pengetahuan kita mengenai aksara Batak tidak bertambah, dan malahan terjadi kemerosotan yang sangat memprihatinkan. Kini, yang masih diketahui orang, termasuk yang menganggap dirinya sebagai ahli, sangat sedikit, tak sampai sebatas pengetahuan yang dimiliki Van der Tuuk dan yang sudah diwariskan beliau dalam tiga edisi bukunya dan dalam dua bahasa. Dalam edisi pertama, di halaman 2, sudah disebut bahwa aksara Toba memiliki dua jenis aksara untuk Ta dan Wa, yaitu t dan f untuk Ta serta w dan w untuk Wa. Diberi lagi keterangan bahwa t dan w dipakai di Toba bagian timur, sedangkan f dan w dipakai di Toba bagian barat. Sayangnya, kepastian mengenai daerah mana yang ‘barat’ dan mana yang ‘timur’ tidak diberikan. Karena surat Batak sudah tidak dipakai lagi sejak minimum 70 tahun lalu, maka sekarang sulit sekali atau bahkan mustahil untuk mengetahui varian surat mana yang pernah dipakai di daerah mana. Yang dapat kita lakukan hanya statistik saja. Penulis sendiri telah meneliti ratusan naskah Batak Toba dari berbagai

88

Surat Batak

museum dan perpustakaan di dalam maupun di luar negeri, dan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sekitar 60% naskah Batak Toba menggunakan huruf f, sedangkan varian t hanya dipakai oleh 40% naskah Toba. Namun demikian, yang sekarang dikenal sebagai huruf yang dianggap "asli" Toba adalah t, sedangkan f dianggap Karo atau Pakpak, pokoknya bukan Toba. Mengapa dapat terjadi persepsi yang sedemikian keliru? Jawabannya: Karena tidak ada lagi orang yang masih memperoleh pengetahuan mengenai aksara Batak melalui jalur tradisional. Semua orang yang kenal aksara Batak mengetahuinya dari sekolah, atau melalui buku, atau melalui orang yang pengetahuannya berasal dari sekolah atau buku. Kalau demikian, mengapa sekarang t dianggap asli Toba, dan bentuk f tidak dikenali lagi atau malahan dianggap asing (non-Toba)? Hal itu dapat terjadi karena setelah Van der Tuuk, para penginjil dari Jerman dan juga percetakan negara di Batavia masing-masing mengembangkan aksara Batak untuk mencetak buku keagamaan dan yang bersifat pendidikan dalam surat Batak. Dalam banyak hal, mereka mengikuti saja Van der Tuuk sehingga t telah dinobatkan untuk menjadi bentuk Toba yang ‘baku’. Demikian juga dengan Wa sehingga kini tiada lagi yang mengetahui bahwa baik w maupun w merupakan varian Toba. Demi kesempurnaan ceritanya mari kita bahas langkah demi langkah sejarahnya aksara Batak masuk percetakan. 6.2.1 AKSARA BATAK VERSI VAN DER TUUK Huruf cetakan (font) Batak yang pertama dirancang oleh Van der Tuuk. Huruf cetakan tersebut terdiri atas tiga set: Angkola-Mandailing, Toba, dan Pakpak, dan dipakai dalam Bataksch Leesboek (Buku Bacaan Batak) yang seluruhnya ditulis dalam surat Batak. Karena itu, jika dalam salah satu surat Batak terdapat lebih dari satu varian aksara, demi kesederhanaan dan untuk menjaga konsistensi, Van der Tuuk tentu harus memilih salah satu bentuk huruf yang dapat mewakili aksara tersebut. Kebetulan pilihannya jatuh pada aksara t, sedangkan bentuk f dipakainya untuk abjad Pakpak-Dairi. Untuk huruf A dipilihnya bentuk A,

Surat Batak

89

dan bentuk M dipilih untuk mewakili huruf Ma. Huruf-huruf lainnya yang ‘bermasalah’ karena terdapat sejumlah variannya termasuk bentuk w yang dipilih Van der Tuuk untuk mewakili Wa, dan bentuk 4 yang menjadi Na. Untuk huruf Pa, Van der Tuuk memilih bentuk yang lurus: p, dan tidak melengkung. Agar sesuai dengan bentuk aksara di Mandailing yang cenderung lebih melengkung, van der Tuuk memilih bentuk Ga dan La yang lengkung (g dan l), akan tetapi bentuk Pa tetap lurus. Variasi lainnya terdapat pada aksara Ha, Na, Sa dan Wa (h, n, s dan w).

Gambar 16: Contoh Aksara Van der Tuuk Hampir semua publikasi Van der Tuuk diterbitkan oleh Nederlandsch Bijbelgenootschap, atau oleh penerbit Frederik Muller, dan dicetak oleh percetakan C.A. Spin & Zoon di Amsterdam (Tuuk 1855; 1859a; 1859b; 1859c; 1859d; 1860; 1861; 1864; 1867a; 1867b; 1867c). 6.2.2 AKSARA BATAK VERSI ZENDING Kebanyakan publikasi zending diterbitkan oleh percetakan zending Jerman (Rheinische Missionsgesellschaft) R.L. Friderichs & Comp. di Elberfeld (bagian kota Wuppertal). Hanya dua publikasi yang berbahasa Angkola dan Mandailing dicetak oleh Spin & Zoon di Amsterdam (Betz 1873; Schreiber 1874). Pada kedua buku tersebut kelihatan usaha zending untuk merancang sebuah huruf Batak yang lebih sesuai dengan varian-varian huruf sebagaimana lazim terdapat di Angkola dan Mandailing. Aksara Angkola-Mandailing tersebut masih berdasarkan aksara Mandailing Van der Tuuk, tetapi semua huruf dirancang kembali sehingga kelihatan lebih melengkung. Kurang jelas apa sebabnya mengapa dipilih beberapa bentuk aksara yang kelihatan agak aneh, yakni aksara Ma yang terdiri dari tiga garis yang tidak bersambung. Huruf ini kelihatan mirip dengan huruf Ma di Simalungun (m); yang berbeda hanya

90

Surat Batak

garis kiri atas yang di kedua buku tersebut berrbentuk lurus dan sejajar dengan garis tengah. Huruf lain yang menurut hemat saya juga kurang mengena adalah A yang berbentuk x (Betz 1873; Schreiber 1874). Ternyata para penyiar agama masih kurang puas sehingga percetakan R.L. Friderichs & Comp. di Elberfeld merancang sebuah huruf Toba yang masih berdasarkan aksara Spin & Zoon, tetapi menunjukkan beberapa perubahan. Bentuk huruf tersebut dipakai untuk mencetak karangankarangan para penginjil seperti L.I. Nommensen (1877; 1878; 1885b; 1902) dan Taute (1889). Bentuk huruf cetakan ini kemudian juga dipakai oleh Pangarongkoman Mission – percetakan zending di Laguboti (Lumbantobing 1916). Dibandingkan dengan huruf cetakan yang terdahulu, perbedaan yang paling mencolok adalah pada bentuk Na yang diberi garis lurus yang memanjang jauh ke kiri sehingga berbentuk 6. Yang dipertahankan adalah bentuk yang melengkung yang kelihatan pada aksara Pa, Ga, La dan Wa. Dan sebagaimana juga dilakukan oleh Van der Tuuk, juga pada aksara ini varian Toba untuk huruf Ta dan Wa yakni t dan w, tidak dipakai. R.L. Friderichs & Comp. juga merancang sebuah jenis huruf untuk Angkola-Mandailing. Huruf-huruf yang berbeda dengan aksara Toba adalah A x, Ha h, Ma 0, Sa s, dan Na n (Asselt 1876; Leipold 1880; Schreiber dan Leipold 1879; Schreiber 1875; Zahn 1875). Di kemudian hari diputuskan untuk tidak mempertahankan bentuk huruf A yang menjadi A (Schütz 1902). 6.2.3 AKSARA BATAK VERSI LANDSDRUKKERIJ Percetakan negara Landsdrukkerij di Batavia juga merancang sebuah huruf untuk Mandailing dan Toba untuk buku-buku pendidikan yang dicetak dalam surat Batak. Aksara yang dipakai untuk buku yang dicetak dalam bahasa Toba (Nommensen 1885a) dan dalam bahasa Mandailing (Doli 1901; 1872; Schreiber 1876) persis sama. Sebenarnya varian huruf yang dipilih adalah yang lazim digunakan di Mandailing, termasuk aksara A a, Ka h, Ma 0, Na 6, dan Sa s.

Surat Batak

91

Gambar 17: Contoh aksara Zending (atas) dan Landsdrukkerij (bawah) Berikut ini secara ringkas bentuk-bentuk huruf sebagaimana dirancang oleh Van der Tuuk (VdT), Percetakan Zending (Z), dan oleh Percetakan Landsdrukkerij (LD). Aksara yang tidak menunjukkan varian yang berarti tidak dimuat dalam tabel berikut ini. Tabel 8: Perbandingan bentuk huruf cetakan Toba

a ha pa na wa ga ma sa ya la i u

Mandailing

VdT

Z

LD

VdT

Z

LD

A h p 4 w G M s y L I U

A h p 6 w g M s y l I U

a h p 6 w g 0 s y l [ ]

A h p N w g M s y l I U

x h p N w g 0 s y l I U

a h p N w g 0 s y l [ ]

6.2.4 AKSARA BATAK VERSI "SURAT PUSTAHA"

92

Surat Batak

Bentuk-bentuk huruf yang disebut di atas adalah huruf yang dibuat dengan cara tradisional yakni dengan menuangkannya ke timah hitam. Pada saat itu belum ada tehnologi penggandaan seperti fotokopi, lichtdruk atau typesetting melalui peralatan komputer. Pada akhir tahun 1980an mantan presiden Republik Indonesia Soeharto berjanji untuk mengadakan alat typesetting yang lebih modern bagi semua aksara daerah di Indonesia. Oleh sebab itu ada pula upaya untuk mempersatukan varianvarian surat Batak menjadi satu aksara yang ditambahi beberapa huruf yang dahulu tidak ada – seperti huruf F atau V misalnya. Ditambahnya pula angka-angka, walaupun orang Batak dahulu tidak mengenal angka. Setelah dibahas dan diseminarkan oleh sebuah panitia yang terdiri atas orang-orang yang bukan ahli sastra Batak apalagi filologi, terciptalah sebuah aksara persatuan yang disebut "Surat Pustaha". Alhasilnya sangat menyedihkan dan – ironisnya – aksara yang diberi gelar tambahan pustaha itu menyimpang jauh dari bentuk-bentuk aksara yang lazim dapat dijumpai di pustaha-pustaha Batak. Surat Pustaha telah ditetapkan secara resmi dengan keputusan presiden (orde baru) Nomor: 116/B/1987 tanggal 16 Desember 1987. Kabarnya mesin typesetting yang dijanjikan Bapak Presiden untuk mencetak Surat Pustaha itu telah diserahkan kepada panitia Surat Pustaha lebih dari lima belas tahun yang silam, namun hingga kini mesin yang canggih ini belum beroperasi juga. Malahan buku panduan resmi untuk mengajar Surat Pustaha di sekolah lanjutan tingkat pertama masih menulis Surat Pustaha dengan tangan (Sidabutar) dan (Sukapiring et al. 1997)! Oleh sebab itu seharusnya Surat Pustaha tidak perlu dibahas dalam BAB ini yang berjudul “Aksara Batak masuk Percetakan” karena pelaksanaan Surat Pustaha dapat dianggap gagal. Gagalnya Surat Pustaha perlu disambut dengan baik karena huruf yang dipilih menyimpan dari bentuk yang lazim terdapat dalam pustaha dan naskah Batak lainnya. Untuk huruf Ma misalnya varian yang dipilih bukan varian yang paling umum ialah m, melainkan varian m yang jarang sekali dipergunakan. Aksara Ja yang seharusnya j dibuat sedemikian rupa sehingga garis atas dan garis bawah bukan lurus melainkan agak melengkung. Bentuk itu sama sekali tidak pernah ada dalam sejarah aksara Batak. Demikian juga dengan aksara Ya yang se-

Surat Batak

93

harusnya ditulis y dibuat tak berserif (tanpa garis horisontal) sehingga rupanya terasa amat janggal sekali. Dan huruf itu bukan sekadar ciptaan baru, melainkan panitia surat Surat Pustaha beranggapan bahwa bentuk yang mereka sepakati adalah huruf Ya yang asli! Masih banyak kesalahan dan kejanggalan lainnya yang tidak perlu disebut satu per satu di sini yang membuktikan bahwa para pencipta Surat Pustaha tidak terlalu memahami materinya. Dalam pelaksanaan praktis Surat Pustaha itu juga banyak kekurangan. Hal itu dapat dilihat di Kabupaten Karo yang dahulu pernah mulai mencantumkan nama-nama jalan dalam huruf Latin maupun Batak. Pada prinsipnya hal itu dapat dipuji karena merupakan ekspresi cinta budaya. Sedihnya, pelaksanaanya kurang mantap sehingga Jalan Kapten Ketaren di Kabanjahe misalnya dituliskan bukan Kětarěn (dengan e-pepet) melainkan Kétarén dengan e-taling, dan demikian juga nasibnya Jl. Veteran di Berastagi. 6.2.5 AKSARA BATAK VERSI PENGARANG Dari uraian-uraian yang di atas menjadi jelas bahwa ada beberapa huruf yang bermasalah, yang bentuknya berbeda-beda tergantung pada percetakannya. Pertama, kita dihadapkan dengan Wa versi Van der Tuuk melawan Wa dalam semua publikasi selanjutnya. Menurut hemat saya, bentuk w jauh lebih umum dibanding w -nya Van der Tuuk. Dalam hal Ma masalahnya sebetulnya sederhana. m, M dan m pada hakikatnya merupakan manifestasi dari bentuk dasar yang serupa. Ada kecenderungan bahwa ketiga garis yang membentuk huruf ini makin ke selatan makin bersatu. Di Karo, bentuknya sering 7 atau m, dan menjadi m, 8 atau M di Toba, sedangkan di Mandailing bentuknya bisa 8, M dan m. Bentuk m yang kini sering dianggap asli Toba, jarang sekali dapat ditemukan di dalam naskah-naskah Toba, dan sebetulnya adalah sebuah varian yang lebih umum terdapat di Angkola dan Mandailing. Saya memutuskan untuk memilih satu huruf yang dapat mewakili semua kelompok (kecuali Simalungun, yang mempunyai bentuk tersendiri) dan yang terdiri atas unsur-unsur dasar yang terpenting: m. Bentuk ini juga bentuk yang paling umum terdapat di dalam pustaha, baik dari mandailing, Toba, Pakpak, atau Karo.

94

Surat Batak

Huruf A adalah satu lagi huruf yang bentuknya dapat berbeda-beda. Sekali lagi, saya memilih bentuk yang paling sering dijumpai dan yang memiliki semua unsur dasar: a. Di beberapa daerah di Toba dan di Mandailing ada kecenderungan ke arah bentuk yang lebih bersegi seperti a, sedangkan bentuk A dan 0 yang kini sering dianggap "asli" Toba terlalu bersegi dan jarang dijumpai di dalam naskah-naskah Batak. Aksara Na juga bisa bermacam-macam bentuknya dan dapat bervariasi antara 3, 4, n, 5, 6 dan n. Bentuk 6 kini menjadi populer, tetapi jarang sekali terdapat pada naskah-naskah Batak. Bentuk n dapat sekali-sekali ditemukan, terutama dalam naskah-naskah Mandailing. Namun bentuk yang paling umum di semua daerah adalah n.

6.3

Urutan aksara Batak

Dalam bahasa Batak, aksara Batak lazim disebut si sia-sia atau surat na sampulu sia karena jumlah aksara (ina ni surat) adalah sembilan belas. Tergantung pada daerahnya terdapat beberapa urutan surat Batak yang berbeda-beda: 1. Di Karo, Simalungun serta di berbagai daerah Toba urutannya: a/ha, ha/ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, (nya) la, (ca), i, u. Huruf [ adalah Nya di Simalungun, Toba, dan Mandailing, tetapi Ca di Karo (dengan demikian, jumlah aksara di semua daerah tetap sembilan belas). Huruf Nya hanya digunakan di Mandailing karena di luar daerah tersebut tidak terdapat fonem [ñ] (ny). Namun demikian, bila mengeja atau menulis abjad Batak, huruf Nya selalu disebut juga kecuali di Karo yang menggantikannya dengan Ca. Di Toba kedua huruf abjad pertama dibaca [a] dan [ha]. Menurut Voorhoeve, makna asli huruf a adalah [ha] dan makna asli huruf k adalah [ka] sebagaimana halnya pada dialek-dialek utara (KP), namun pada dialek-dialek selatan (STM) a berbunyi [a] dan k mempunyai nilai fonetis [ha] dan [ka] (Voorhoeve 1961:10). Pada naskah Simalungun Berlin IC 17057, urutan abjad agak berbeda sedikit. Huruf-huruf Ga Ja Da Ra disisipkan antara Ya dan Nga, dan

Surat Batak

95

urutan Nga dan La terbalik pula. Pola yang hampir sama juga terdapat di dua pustaha yang berasal dari Toba ialah pustaha D 49 dan D 50 Perpustakaan Nasional. Di D 50 urutan huruf Ga Ja Da Ra juga disisipkan antara Ya dan Nga, sedangkan posisi Nya adalah sesudah dan bukan sebelum La. Urutan ha, ka, ba, pa, na, wa, ma, ta, sa, ya, ga, ja, da, ra, nga… terdapat pula di D 49, dan huruf Nya di sini diurutkan pada posisi akhir mengikuti huruf U. Urutan yang persis sama terdapat pula di pustaha Or. 3479/Or.3488, Perpustakaan Universitas Leiden, yang ditulis oleh Guru Saitan ni Aji bermarga Pohan Simanjuntak dari kampung Pagaran Baringin (Voorhoeve 1977:51). Naskah-naskah tersebut menunjukkan bahwa ada kelonggaran dalam urutan abjad yang mungkin disebabkan oleh karena urutan abjad tergantung pada kebiasaan di masing-masing daerah yang mengikuti pola yang sedikit berbeda. Pada abjad Karo huruf [ tidak menjadi Nya melainkan Ca. Menarik untuk dicatat bahwa dalam urutan abjad Karo posisinya adalah sesudah La atau sesudah U. Hal itu memperkuat hipotesis saya bahwa Ca-nya Karo yang juga sering ditulis c atau c berasal dari Nya Toba/ Mandailing mengingat pola yang terlihat pada pustaha Jakarta D 49 dan D 50 yang huruf [ juga berada sesudah U atau sesudah La. Dalam abjad Karo terdapat dua huruf yang tidak dapat ditemukan dalam surat Batak lainnya, yakni Mba dan Nda. Kedua huruf tersebut merupakan ciptaan kemudian dan jarang dipakai. Huruf-huruf tersebut juga tidak biasa dimasukkan dalam abjad Karo. Kalaupun dimasukkan, posisinya biasanya sesudah Ca. 2. Surat Batak versi Toba mempunyai urutan kedua yang sangat berbeda; urutan ini juga dipakai di Angkola: a ha ma na ra ta sa pa la ga ja da nga ba wa ya nya i u18 3. Menurut Van der Tuuk urutan di Mandailing lain lagi: a ha na ma ta ra ja ga la pa sa da nya ba wa nga ya i u ka ca 4. Menurut Van der Tuuk pula, urutan Dairi (Pakpak) berbunyi:

18. Dalam naskah kertas Van der Tuuk (Perpustakaan Univ. Leiden, Cod. Or. 3421, hal. 83 letaknya aksara Nya adalah sesudah U.

96

Surat Batak

pa na ka ma ra ba ja sa la ga nga ha da wa ta ya i u 5. Dalam tiga buku sekolah zaman dulu, dua di antaranya dari Angkola dan satu lagi dari Mandailing, terdapat urutan yang berbeda lagi (Asselt 1876; Schütz 1902; 1872). Penulis-penulis ketiga buku tersebut memasukkan huruf yang ber-tompi (Ka dan Ca) dalam urutan aksara, padahal tompi adalah tanda diakritik dan bukan aksara.19 Adapun urutan aksara Angkola-Mandailing menurut ketiga buku ini: a ha ka ga nga sa ca ja ta da na pa ba ma ya ra la wa nya i u. Urutan abjad ini mengikuti urutan abjad India yang juga dipakai oleh Van der Tuuk dalam menyusun kamus bahasa Batak (Tuuk 1861). Kemungkinan besar urutan abjad ini tidak pernah dipakai oleh orang Batak. 6. Berikut ini satu ‘varian’ yang sering dipakai di sekolah-sekolah dalam pelajaran aksara Batak. Urutannya adalah: a ha na ra ta ba wa i ma nga la pa sa da ga ja ya u nya Dapat diduga bahwa urutan ini adalah ciptaan baru, khusus untuk tujuan mempelajari surat Batak di sekolah-sekolah, dan tidak memiliki dasar tradisional. Urutan ini mudah diingat oleh anak-anak sekolah karena membentuk kalimat: aha na rata baoa i mangalapa sada gaja berarti kira-kira: “apa yang hijau orang itu memotong seekor gajah”.

6.4

Ina ni surat

Daftar di bawah ini memperlihatkan varian-varian yang paling umum dijumpai dalam naskah. Sebuah daftar yang lebih lengkap terdapat di BAB 10. Tabel 9: Berbagai varian surat Batak

a

Karo

Pakpak

Simalung.

Toba

Mandail.

a

a

A

a

a

19. Tompi adalah diakritik yang dapat ditempatkan di atas huruf Ha dan Sa untuk mengubahnya menjadi Ka dan Ca. Diakritik tersebut hanya dipakai di Mandailing.

Surat Batak ha ka ba pa na wa ga ja da ra ma ta sa ya nga la

a k b p n w g j d r m t s y < l

a k b p n w g j d r m t s y < l

c C q B I U

c

nya ca nda mba i u

I U

97

K K B P N W G J d r m t s y < l [

h k b p n wv g j d r m ft s y < l [

h k b p n w g j d r m t s y < l [ c

I U

I U

I U

A / Ha

a

(KPTM) Mungkin inilah bentuk huruf A yang paling umum yang saya gunakan untuk mewakili keseluruhan aksara Batak kecuali Simalungun. Bentuknya mirip dengan huruf a yang digunakan oleh penerbit kolonial Landsdrukkerij Batavia (1872; Doli 1901; Nommensen

98

Surat Batak

1885a). Bentuk huruf A yang sering ditemukan dalam kebanyakan naskah-naskah Batak berada antara bentuk a dan a. Penerbit Landsdrukkerij tidak melanjutkan penggunaan bentuk huruf A yang sebelumnya sudah dipakai untuk mencetak kamus dan buku bacaan Van der Tuuk (1860; 1861). Kendati demikian, penerbit zending R.L. Friderichs & Comp. masih tetap melanjutkan penggunaan bentuk huruf A dalam semua terbitannya, termasuk edisi baru Tobasch Spelboekje (Buku belajar menulis bahasa Toba) yang dikarang oleh Nommensen (1885b). Mungkin itulah sebabnya maka bentuk huruf ini sekarang sering dianggap sebagai bentuk huruf yang ‘asli’ Toba. Lihat misalnya daftardaftar surat Batak yang terdapat di karangan-karangan Marbun dan Hutapea, Sihombing dll. (Marbun dan Hutapea 1987; Sihombing 1986). Dalam karangan-karangan ini huruf A biasanya berbentuk 0. Baik varian A maupun varian 0 cenderung secara berlebihan menekankan bentuk-bentuk siku yang memang sering ditemukan dalam naskah Toba dan Mandailing, tetapi sebenarnya kurang mewakili bentuk-bentuk huruf A sebagaimana mestinya. Varian A, yang lebih menekankan bentuk lengkung, kadang-kadang dapat ditemukan di dalam naskah-naskah Karo. Joustra menggunakan huruf lengkung seperti itu (2) dalam kamus bahasa Karo (Joustra 1907). Huruf itu memiliki bentuk dasar yang sama seperti Ta-nya Joustra. Meskipun varian-varian itu memang ada, dan sebenarnya kadang-kadang terdapat perbedaan kecil antara A versi Karo dan versi Toba atau Mandailing, saya memilih bentuk huruf a karena bentuk inilah yang paling umum dan dapat mewakili keseluruhan aksara Batak kecuali Simalungun.

a

(S) Dalam surat Batak versi Simalungun semua aksara cenderung terdiri atas garis-garis yang terputus. Demikian juga dengan huruf A yang serifnya (garis horisontal) terputus.20

20. Untuk keterangan definisi ‘serif’ dan istilah-istilah lainnya silakan merujuk pada daftar istilah.

Surat Batak

99

Sebagaimana diuraikan di bawah, huruf A di Pakpak dan Karo bermakna [a] atau [ha], sedangkan di daerah lain hanya bermakna [a] saja.

Ha / Ka

k (KPT) h f (M) Van der Tuuk menggunakan bentuk

huruf k untuk Ha di Toba dan Pakpak-Dairi, dan bentuk h di Mandailing, sedangkan penerbit Landsdrukkerij menggunakan h untuk Toba dan Mandailing. Kadang-kadang mustahil untuk menentukan apakah bentuk huruf yang terdapat dalam salah satu naskah lebih mirip k atau h, tetapi ada kecenderung ke arah bentuk h dalam naskah-naskah Mandailing. Pada beberapa naskah Mandailing juga ditemukan varian f. Huruf ini melambangkan [ha] atau [ka] di Simalungun, Toba, dan Mandailing, tetapi selalu bermakna [ka] di Pakpak dan Karo. Di Mandailing, aksara Ha (h) yang ditambahi dua garis pendek di atasnya (k) yang disebut tompi, kadang-kadang digunakan untuk membedakan Ka dan Ha. Perlu dicatat bahwa tompi itu adalah penemuan kemudian dan tidak selalu digunakan. Tompi itu tidak pernah digunakan dalam naskah-naskah Toba atau Simalungun.

k (S) Dalam surat Batak versi Simalungun huruf Ha dimodifi-

kasikan sedemikian rupa sehingga kedua garis miring menjadi dua garis horisontal pendek yang terpisah dari garis lengkung di atasnya. Bentuk huruf Ka di Karo sering berserif : K.

Ba

b

(PSTM) Bentuk huruf Ba seperti ini ditemukan di dalam hampir semua naskah-naskah Simalungun, Pakpak, Toba, dan Mandailing. Bentuk siku di bawahnya lebih nyata pada naskah-naskah bambu sedangkan pada naskah pustaha yang hurufnya ditulis dengan kalam yang agak lebar bentuk sikunya tidak begitu tampak dan kadang-kadang huruf Ba kelihatan berbentuk oval saja seperti halnya di Karo. (K) Di Karo, huruf Ba selalu berbentuk oval. Sebagaimana disebutkan di atas, bentuk ini juga kadang-kadang digunakan di dalam

b

100

Surat Batak

naskah Toba dan Mandailing, khususnya di pustaha, karena ditulis dengan kalam lebar. Lihat misalnya Foto 12. Di Karo selalu digunakan b untuk Ba dan B untuk Mba (lihat juga uraian Mba di bawah).

Pa

p

(KPTM) Pada hampir semua naskah-naskah Karo, Pakpak dan Toba huruf Pa berbentuk garis lurus horisontal. Varian melengkung p juga sering dipakai, terutama di Mandailing. Penerbit Landsdrukkerij menggunakan huruf Pa yang melengkung untuk huruf Toba meskipun varian yang lurus lebih umum.

p (S) Di Simalungun, huruf Pa kadang-kadang berbentuk garis

horisontal lurus atau melengkung seperti disebut di atas, tetapi varian p berbentuk tilde adalah bentuk yang paling umum dalam naskah-naskah Simalungun.

Na

n

Van der Tuuk menggunakan varian 4, dengan garis yang memanjang ke kiri di atas bentuk oval untuk huruf Na di Toba dan Pakpak, sedangkan bentuk n digunakannya untuk huruf Na di Mandailing. Akan tetapi penerbit Landsdrukkerij menggunakan bentuk n untuk Na di Toba dan Mandailing dan Joustra juga menggunakan n untuk Na di Karo. Pada semua surat Batak bentuk huruf Na dapat bervariasi. Kadangkadang, garis lurus berada tepat di atas oval (3), tetapi biasanya garis itu agak memanjang ke kiri. Garis itu dapat juga berbentuk miring (5), atau melengkung dan bersatu dengan oval di bawahnya sehingga menjadi n. Bentuk n ini sering terdapat dalam naskah Mandailing. Di daerah lain bentuk yang garis lurus memanjang ke kiri n lebih umum. Selain bentuk-bentuk yang disebut di atas, terdapat juga varian q dan v yang agak bebeda. Varian ini dikenal sebagai "Na kuno" karena bentuknya yang memang sangat mirip dengan huruf yang sama pada aksara Kawi (Jawa/Sumatra kuno). Varian ini saya temukan dalam enam naskah Mandailing (Leiden Or. 3567, Berlin IC 12636, 36841, 37389,

Surat Batak

101

37390, 37396), dan dua naskah Toba (Jakarta D82, Berlin IC 389878c). Saya belum pernah melihat bentuk ini dalam naskah-naskah Karo dan Simalungun sehingga dapat disimpulkan bahwa varian ini hanya dikenal dalam naskah-naskah selatan. Varian pertama huruf ini berbentuk simpul dengan garis lurus horisontal di atasnya (q). Dalam naskah Berlin IC 37389 tidak terdapat garis lurus horisontal, dan dalam naskah Berlin IC 39878c bentuk simpul diputar 90°, dan ujung kanan dari garis horisontal bersambung ke ujung atas simpul sehingga berbentuk v.

Wa

w (KTM) Huruf Wa Van der Tuuk dan Joustra berbentuk w.

Menurut hasil evaluasi naskah yang saya lakukan bentuk Wa yang paling umum adalah w meskipun terdapat juga varian-varian yang cenderung mengarah ke bentuk seperti disajikan oleh Van der Tuuk. Bentuk huruf yang dipakai oleh penerbit Landsdrukkerij berada di antara bentuk w dan w.

w (S) Seperti biasa dalam aksara Simalungun serif-serifnya selalu terputus. w (PT) Varian aksara Wa ini sangat umum di Pakpak dan sering

ditemukan di Toba. Di Mandailing dan dalam naskah-naskah kulit kayu Karo varian ini sangat jarang ditemukan, dan tidak pernah dipakai dalam naskah bambu Karo. Di 31 naskah Toba yang saya amati, bentuk w terdapat dalam 11 naskah sedangkan bentuk w digunakan dalam 20 naskah. Jadi sekitar sepertiga naskah Toba menggunakan bentuk aksara Wa ini.

Ga

g (KPTM) Huruf ini berbentuk garis lengkung horisontal yang

memiliki garis miring bersambung di ujung kanan. Kadang-kadang garis horisontal itu dapat juga lurus.

g (S) Sebagaimana biasanya di aksara Simalungun, garis di

ujung kanan itu terputus dan letaknya sejajar dengan garis di atasnya.

102

Surat Batak

Ja

j (TM) Bentuk huruf Ja persis sama dengan bentuk huruf Da dengan penambahan sebuah garis lurus di sebelah kanannya. j (KPS) Penyederhanaan huruf ini terjadi di bagian utara tanah Batak, khususnya di daerah Simalungun, Karo, dan Pakpak.

Da

d (KPSTM) Bentuk huruf Da ini paling umum ditemukan dalam semua naskah Batak kecuali naskah bambu Karo. D (K) Varian inilah yang ditemukan dalam naskah-naskah bambu Karo, sedangkan dalam naskah kulit kayu Karo bentuk huruf biasa d yang digunakan. Dewasa ini, huruf Da cenderung ditulis dengan garis miring yang terlalu vertikal. Bentuk tersebut sebenarnya tidak pernah ada dalam naskahnaskah Batak.

Ra

r (KPTM) Pada huruf ini, kedua garis horisontal yang sejajar

biasanya melengkung dengan garis miring di ujung kanan garis bawah, tetapi garis-garis horisontal itu kadang-kadang lurus baik dengan garis miring yang bersambung di ujung sebelah kanan maupun dengan garis putus. Kalau garis ketiga ini terputus maka letaknya biasanya sejajar dengan garis yang di atasnya, tetapi lebih pendek seperti berikut ini: R.

r

(S) Dalam aksara Simalungun, ketiga garis biasanya lurus dan terputus. Garis yang paling atas selalu memanjang ke kiri melewati garis di bawahnya. Pada umumnya, garis atas juga lebih pendek dari garis tengah, tetapi lebih panjang dari garis bawah.

Ma

m (S) Bentuk huruf Ma memiliki beberapa varian. Di Simalungun

bentuknya terdiri atas tiga unsur dasar yakni: 1. Garis atas-kiri yang horisontal dan agak melengkung. 2. Garis tengah yang miring dan agak panjang. 3. Garis bawah-kanan berupa garis miring terbalik.

Surat Batak

103

m

(KPTM) Pada huruf ini garis atas-kiri yang horisontal tidak melengkung, dan juga lebih pendek sehingga ujung kanannya tidak menyentuh garis tengah. Garis tengah tidak hanya berupa garis miring (yang ujung kanan agak melengkung), tetapi ujung kirinya juga bersambung ke atas sehingga menyentuh garis atas-kiri. Garis bawah-kanan tetap berbentuk garis miring terbalik yang menyentuh garis tengah. Garis atas-kiri yang horisontal juga dapat melengkung menjadi 8. Bentuk huruf Ma yang digunakan Van der Tuuk untuk Pakpak, Toba dan Mandailing sedikit berbeda: M. Garis atas-kiri bahkan lebih melengkung sehingga menyentuh garis tengah tepat pada tempat persentuhan garis bawah-kanan sehingga berkesan seolah garis atas-kiri dan bawah-kanan berupa satu garis. Padahal bukan begitu. Bentuk huruf Van der Tuuk tampaknya berupa bentuk kompromi antara varian-varian yang lebih umum dipakai yakni m, 8 dan 0. Bentuk huruf versi penerbit Landsdrukkerij untuk Toba dan Mandailing menggabungkan ketiga unsur dasar (garis atas-kiri, tengah dan bawah-kanan) menjadi satu garis berbentuk simpul: 0. Dalam hal ini, garis atas-kiri menyentuh garis tengah dan terus memanjang ke garis bawah-kanan; ujung kiri garis kiri-atas menyentuh ujung kiri garis tengah. Hasilnya, huruf itu dibentuk sebagai satu garis yang dimulai dari atas-kanan, kemudian membentuk simpul dan berakhir di bawah-kanan. Varian 0 sering ditemukan dalam naskah-naskah Mandailing, jarang digunakan di dalam naskah Toba, dan tidak pernah dipakai dalam naskah Simalungun atau Karo. Bentuk Ma yang digunakan oleh Joustra untuk Karo (7) hanya sedikit berbeda dari bentuk ini: m.

Ta Dalam hal bentuk huruf Ma, dapat ditunjukkan bahwa varian-varian huruf m, m, dan 0 yang tampaknya tak berhubungan sebenarnya masing-masing memiliki unsur-unsur dasar yang sama. Dalam hal bentuk huruf Ta ada dua varian, yaitu f dan t. Ternyata, kedua varian tidak memiliki unsur-unsur dasar yang sama, melainkan merupakan dua varian yang sama sekali tidak berhubungan.

104 1.

Surat Batak

t Ta Utara (KPT)

Bentuk Ta ini merupakan satu-satunya bentuk yang ada di Karo. Di Toba terdapat bentuk utara maupun selatan. Bentuk selatan kini sering dianggap sebagai bentuk "asli" Toba, padahal hanya 40% naskah Toba yang menggunakan bentuk selatan (t), sedangkan 60% naskah Toba menggunakan bentuk utara (f). Pada penulisan huruf Ta utara ini terdapat sedikit variasi: 1. Serif atas bisa berbentuk seperti serif bawah pada contoh ini (melengkung ke dalam). 2. Kedua serif memanjang ke kiri dan ke kanan seperti misalnya dalam bentuk huruf Ta yang digunakan oleh Joustra: t. Setelah dilakukan pengamatan pada sekitar 50 naskah bambu, ternyata bentuk f yang paling umum digunakan.

2.

t Ta Selatan (STM)

Bentuk huruf Ta selatan adalah satu-satunya varian yang digunakan di Simalungun dan Mandailing. Meskipun Ta utara lebih umum dipakai dalam naskah-naskah Toba, baik Van der Tuuk maupun Nommensen menggunakan bentuk Ta selatan. Mungkin itu sebabnya maka sekarang ini hanya varian selatan yang masih dikenal. Tidak terdapat varian-varian yang berarti mengenai Ta selatan ini. Sa

s (KPST) Bentuk huruf Sa ini paling umum terdapat dalam nas-

kah-naskah meskipun terdapat sejumlah varian. Di Karo kadang-kadang digunakan varian z dan bentuk simetris x. Di Toba bentuk s ini satu-satunya yang digunakan, tetapi jarang digunakan di Mandailing. Di Simalungun terdapat varian z dengan serif bawah yang terputus, dan sebuah varian lagi yang bentuknya sangat berbeda, yakni:

s

(S) Varian Sa ini adalah bentuk yang paling umum di Simalungun. Varian Sa Simalungun lainnya adalah 0 dan 1, tetapi bentuk-bentuk ini agak jarang ditemukan dalam naskah. Varian x juga kadang-kadang digunakan di Mandailing.

Surat Batak

s

(M) Dalam naskah-naskah Mandailing bentuk Sa lebih sering digunakan daripada varian x.

Ya

105

s ini jauh

y (KPSTM) Serif huruf ini biasanya berupa garis lurus horisontal

pendek, tetapi khususnya di Simalungun dan Mandailing, serif tersebut sering melengkung dan terputus seperti berikut ini: y.

NGa


L] Varian /tu/ dan /nu/ adalah F dan Q. Di Mandailing /pu/ dan /lu/ sedikit berbeda, menjadi P dan L. Untuk varian-varian Ha, Ma, dan Sa di Mandailing, anak ni surat U diletakkan dengan cara berikut ini: H dan F (hu), 1 (mu), dan S (juga ditulis v) serta X(su). Di Simalungun, letak U adalah seperti berikut:

AHBPNWGJDRMTSY>L] Masih perlu dicatat suatu hal yang agak aneh di sini. Di Simalungun dan di Mandailing terdapat varian Sa yang berbentuk x. Bila digabung dengan anak ni surat u maka di Simalungun diakritik itu diletakkan di atas huruf Sa menjadi S (su), sedangkan di Mandailing letaknya anak ni surat adalah pada tempat yang biasa, yakni X.

B^ (ng) (KPSTM) Anak ni surat ini disebut kěbincarěn di Karo dan Pakpak, haminsaran di Simalungun dan Toba, dan amisara in Mandailing. Di Toba juga dikenal dengan istilah paminggil. Bentuknya berupa tanda hubung yang diletakkan di atas sebelah kanan ina ni surat mengubah aksara b Ba berubah berbunyi [bang] b^.

Bh (h) (KPS) Anak ni surat ini disebut kějěringěn di Karo, hajoringan di Simalungun, dan sikorjan di Pakpak. Bentuknya berupa tanda = yang

Surat Batak

111

letaknya di atas sebelah kanan ina ni surat. Dengan demikian huruf Ba (b) berubah berbunyi [bah] bh.

B\ (Tanda Bunuh) (PTM) Anak ni surat ini disebut pangolat. Bentuknya berupa garis miring ke bawah yang diletakkan di belakang ina ni surat. Anak ni surat ini berfungsi menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat sebagaimana terlihat pada contoh berikut ini: tm\bk\ tambak (PTM)

B- (Tanda Bunuh) (KS) Anak ni surat ini disebut pěněngěn di Karo dan panongonan di Simalungun. Letaknya, dan juga fungsinya persis sama dengan pangolat ialah untuk menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat.

6.6

Penyimpangan dari aksara Batak

Dalam aksara Batak sebagaimana sering digunakan sekarang misalnya yang dipakai di kantor-kantor polisi, di tugu-tugu, di puskesmas, dan gedung-gedung umum lainnya, ada kecenderungan untuk menulis huruf Batak yang sangat menyimpang dari bentuk yang sebenarnya. Bentukbentuk yang agak aneh juga terdapat di karangan-karangan yang berkaitan dengan budaya Batak, misalnya di Sarumpaet (1994) atau Situmorang (1983). Huruf-huruf yang paling sering menyimpang adalah huruf A, Da, Ma, Na, dan Sa. Keterangan-keterangan mengenai penyimpanganpenyimpangan tersebut dapat dilihat pada uraian-uraian di BAB 6. Kejanggalan-kejanggalan tersebut sulit diketahui asalnya. Kemungkinan berasal dari ketidaktahuan saja. Terlampir ada beberapa contoh yang difoto oleh pengarang pada akhir tahun 1998 di Medan, dan di Tapanuli Utara. Gambar 18 diambil di kantor polisi Jl. Tembung, dan papan yang mirip itu ada di hampir semua kantor polisi di Medan. Perancang papan tersebut rupanya tidak mengetahui perbedaan antara aksara dan diakritik sehingga huruf I dalam ‘polisi’ yang seharusnya ditulis dengan diakritik: polisi malahan ditulis dengan aksara! Alhasilnya bukan lagi ‘polisi’ melainkan polIsI – po-la-i-sa-i, jadinya polaisai! Perhatikan juga bentuk La dan Sa. Bentuknya persis sama, pada aksara

112

Surat Batak

Sa hanya ditambah saja sebuah garis kecil. Bentuk ini sudah jauh menyimpang dari aksara s yang lazim terdapat dalam pustaha-pustaha.

Gambar 18: Papan di muka kantor polisi di Jalan Serdang, arah Tembung. Foto 19 diambil di kecamatan Laguboti, Tapanuli Utara. Yang terlihat di foto bagian atas sebuah tugu marga Pangaribuan.

Gambar 19: Tugu marga Pangaribuan, Kec. Laguboti, Kab. Tapanuli

Surat Batak

113

Utara. Tulisan Pangaribuan p