ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK [1 ed.] 9786231190529

Wawan Sobari Analisis Institusionalisme Baru Dalam Ilmu Politik Institusi merupakan pusat perhatian analisis politik. Se

118 90

Indonesian Pages 114 Year 2024

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE

Polecaj historie

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK [1 ed.]
 9786231190529

Table of contents :
PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH vi
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR BOKS xii
PENDAHULUAN 1

1. Pendekatan Teoretis Ilmu Politik 4

2. Konsep-Konsep Institusi 26
1.1 Perilaku Kebijakan: Konvergensi Perilaku Politik dan Proses Kebijakan 26
1.1.1 Perilaku dalam Konteks Politik 26
1.1.2 Inkrementalisme: Pembacaan Warisan Akademik Lindblom 32
1.1.3 Politik Proses Kebijakan 35
1.2 Informal Governance, Institusi Informal, dan Negara Bayangan (shadow state) 43
1.2.1 Informal Governance (Tata Kelola Informal) 44
1.2.2 Institusi Informal 46
1.2.3 Negara Bayangan (shadow state) 50

3. Institusionalisme (Kelembagaan) Baru 55
1.3 Menjelaskan Tindakan dan Dampak Politik: Tiga Pendekatan Analitis Utama Institusionalisme Baru 63
1.3.1 Institusionalisme Historis (Historical Institutionalism) 63
1.3.2 Institusionalisme Pilihan Rasional (Rational Choice Institutionalism) 66
1.3.3 Institusionalisme Sosiologis (Sociological Institutionalism) 69

4. Analisis Institusional 80
1.4 Definisi Institusi 80
1.5 Analisis Institusional 86
1.6 Pola Analisis Institusional 90

5. Penutup 94

DAFTAR PUSTAKA 96
BIOGRAFI PENULIS 101

Citation preview

ANALISIS

INSTITUSIONALISME BARU dalam Ilmu Politik

~i~

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pasal 1: 1.

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Pasal 9: 2.

Pencipta atau Pengarang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan a. Penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan Ciptaan; d. Pengadaptasian, pengaransemen, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinan; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. Penyewaan Ciptaan.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 1.

2.

Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100. 000. 000, 00 (seratus juta rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak C ipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500. 000. 000, 00 (lima ratus juta rupiah).

~ ii ~

Wawan Sobari | Universitas Brawijaya

ANALISIS

INSTITUSIONALISME BARU dalam Ilmu Politik

Penerbit Lakeisha 2024

~ iii ~

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

Penulis: Wawan Sobari | Universitas Brawijaya Editor : Andriyanto, S.S., M.Pd. Layout : Yusuf Deni Kristanto, S.Pd. Desain Sampul : Tim Lakeisha Cetak I Januari 2024 15,5 cm × 23 cm, 101 Halaman ISBN: 978-623-119-052-9 Diterbitkan oleh Penerbit Lakeisha (Anggota IKAPI No.181/JTE/2019) Redaksi Srikaton, RT 003, RW 001, Pucangmiliran, Tulung, Klaten, Jawa Tengah Hp. 08989880852, Email: [email protected] Website: www.penerbitlakeisha.com Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

~ iv ~

Didedikasikan untuk: Siti Komariyah Aliyan Ilman Sobari Fabian Sebastian Sobari

~v~

Segala puji hanya bagi Allah SWT atas limpahan nikmat dan rezeki waktu, tenaga, pikiran, dan kesehatan pada penulis hingga saat ini, Alhamdulillah. Pendekatan institusionalisme (kelembagaan) baru merupakan salah satu pendekatan dalam studi Ilmu Politik yang berkontribusi bagi pengembangan pengetahuan tentang fenomena politik, pemerintahan, dan kebijakan publik. Pendekatan institusionalisme baru dalam Ilmu Politik berupaya membantu para akdemisi, peneliti, mahasiswa, dan praktisi mempelajari institusi politik dan dampaknya dalam mendorong tindakan dan dampak politik. Buku ini didedikasikan untuk membantu mahasiswa, calon akademisi dan/atau ilmuwan politik melakukan analisis institusional dalam kajian-kajian tentang topik institusi politik dan topik terkait lainnya yang relevan. Buku ini hadir sebagai salah satu alternatif sumber referensi yang ditulis dalam Bahasa Indonesia, dari sekian sumber yang lebih banyak ditulis dalam Bahasa Inggris. Bahan bacaan ini diharapkan bisa memudahkan perolehan sumber dan pemahaman sederhana institusi dalam pengertian yang lebih luas dan dalam konteks Ilmu Politik. Edisi pertama buku ini tentunya masih terdapat kelemahan. Kerangka analisis yang sederhana menjadi ciri khas buku ini, dengan harapan bisa membantu mahasiswa, calon akademisi dan/atau ilmuwan politik untuk melakukan analisis institusional terhadap fenomena politik yang diteliti. Intinya, analisis institusional tidak bisa lepas dari institusi sebagai titik perhatian dan titik tolak analisis.

~ vi ~

Saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada penerbit atas bantuannya selama persiapan penerbitan buku ini. Secara khusus saya ingin berterima kasih kepada FISIP Universitas Brawijaya yang memberikan kesempatan pada penulis untuk mendanai riset-riset penulis yang menggunakan pendekatan kelembagaan baru. Sehingga hasilnya bisa menjadi contoh konkret tentang pentingnya mengetahui, memahami, dan mengukur institusi dalam kajian politik. Kampus juga menjadi institusi yang memungkinkan saya berinteraksi dengan mahasiswa yang meminati studi-studi institusi dalam kajian politik. Pengalaman berinteraksi dalam proses pembimbingan tugas akhir mahasiswa mendorong saya memahami kesulitan mahasiswa menggunakan pendekatan teoretis institusionalisme baru. Sehingga dibutuhkan sedikit bantuan pola analisis institusional sederhana. Penulis berterima kasih pula kepada keluarga penulis atas dukungan moril dan keluangan waktu mereka yang membantu penulisan buku ini. Malang, Januari 2024 Wawan Sobari

~ vii ~

PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH ..................... vi DAFTAR ISI ........................................................................... viii DAFTAR TABEL ....................................................................... x DAFTAR GAMBAR.................................................................. xi DAFTAR BOKS ....................................................................... xii PENDAHULUAN...................................................................... 1 1. Pendekatan Teoretis Ilmu Politik ...................................... 4 2. Konsep-Konsep Institusi................................................... 26 1.1 Perilaku Kebijakan: Konvergensi Perilaku Politik dan Proses Kebijakan .......................................................... 26 1.1.1 Perilaku dalam Konteks Politik ................... 26 1.1.2 Inkrementalisme: Pembacaan Warisan Akademik Lindblom ................................... 32 1.1.3 Politik Proses Kebijakan .............................. 35 1.2 Informal Governance, Institusi Informal, dan Negara Bayangan (shadow state) ................................................ 43 1.2.1 Informal Governance (Tata Kelola Informal) .. 44 1.2.2 Institusi Informal ........................................ 46 1.2.3 Negara Bayangan (shadow state) .................... 50 3. Institusionalisme (Kelembagaan) Baru .............................. 55 1.3 Menjelaskan Tindakan dan Dampak Politik: Tiga Pendekatan Analitis Utama Institusionalisme Baru ..... 63 1.3.1 Institusionalisme Historis (Historical Institutionalism)............................................. 63 1.3.2 Institusionalisme Pilihan Rasional (Rational Choice Institutionalism) .................................. 66 ~ viii ~

1.3.3

Institusionalisme Sosiologis (Sociological Institutionalism)............................................. 69

4. Analisis Institusional ........................................................ 80 1.4 Definisi Institusi .......................................................... 80 1.5 Analisis Institusional .................................................... 86 1.6 Pola Analisis Institusional ............................................ 90 5. Penutup........................................................................... 94 DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 96 BIOGRAFI PENULIS ............................................................ 101

~ ix ~

Tabel 2.1

Pendekatan Teoretis Ilmu Politik .............................. 7

Tabel 2.2

Pengelompokan Pendekatan Teoretis Ilmu Politik ...................................................................... 18

Tabel 3.1

Perilaku dalam Konteks Politik ............................... 29

Tabel 3.2

Politik Sebagai Alternatif Mode Kebijakan.............. 37

Tabel 3.3

Tipe Lembaga Informal ........................................... 49

Tabel 3.4

Informal governance, Lembaga informal, dan Negara Bayangan ................................................................. 52

Tabel 4.1

Institusi dan Tindakan Politik................................. 74

Tabel 5.1

Model Analisis Institusional Lowndes dan Roberts (2013) ...................................................................... 89

Tabel 5.2

Model Analisis Institusionalisme Baru .................... 91

~x~

Gambar 3.1

Permainan Kekuasaan dalam Proses Pembuatan Kebijakan ................................................................ 41

~ xi ~

Boks 4.1

Kasus Institusi 1 ........................................................... 57

Boks 4.2

Kasus Institusi 2 ........................................................... 61

Boks 4.3

Kasus Institusi 3 ........................................................... 70

Boks 5.1

Kasus Institusi 4 ........................................................... 80

Boks 5.2

Kasus Institusi 5 ........................................................... 87

~ xii ~

I

nstitusi merupakan pusat perhatian analisis politik. Setiap hari kita berhadapan dengan institusi. Sejak lahir warga berhubungan dengan institusi untuk menyatakan kelahiran hingga mencatatkan kelahirannya dan mendapatkan akta catatan sipil. Para orang tua sudah dihadapkan pada institusi sejak kelahiran anaknya. Pada masa anak-anak, institusi hadir dengan kewajiban vaksinasi tertentu untuk menjaga imunitas anak dari virus dan penyakit tertentu. Pada masa sekolah dasar hingga menengah atas dan kuliah, institusi mengambil perannya dalam mengatur keabsahan sekolah dan perguruan tinggi hingga perolehan ijazah pendidikan formal. Lalu, pada saat meninggal, setiap warga harus mendapat surat pengakuan kematian dari institusi yang mengeluarkan akta kematian. Demikianlah siklus hidup warga negara tidak terlepas dan dibentuk oleh institusi. Meskipun demikian, institusi tidak sebatas lembaga formal, seperti pemerintah, negara, instansi pemerintah dan negara, dan segala aturan yang dibuat untuk mengatur dan melayani masyarakat. Institusi juga meliputi norma, nilai, dan praktik nyata yang berlaku dan berjalan di masyarakat dan berpengaruh mengarahkan tindakan politik warga (langsung atau tidak langsung) dan melahirkan dampak politik. Inilah gagasan utama institusionalisme baru yang berusaha melengkapi pandangan institusionalisme lama. Institusi meliputi lembaga formal dan informal yang bisa secara bersamaan atau mandiri mengarahkan tindakan politik warga dan dampak politiknya. Selain itu, narasi (narrative) kemudian memperkaya pemahaman tentang institusi. Gagasan Lowndes dan Roberts (2013) menambahkan praktik pembingkaian narasi kepada publik bisa ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

1

mengarahkan tindakan dan dampak politik. Narasi menjadi kian relevan sebagai salah satu mode institusi baru, selain aturan dan praktik (informal), pada era komunikasi digital. Narasi menjadi instrumen yang massif dan beragam digunakan untuk saling mempersuasi, membingkai, dan mengarahkan tindakan politik tertentu dalam kegiatan politik tertentu pula. Narasi menjadi institusi utama politik digital. Semakin beragamnya mode institusi merupakan keniscayaan dalam kajian empirik Ilmu Politik. Bukti-bukti ilmiah keberadaan dan cara kerja institusi menjadi perhatian utama buku ini, khususnya pada upaya melakukan analisis berdasarkan pandangan institusionalisme baru. Karena itu, buku ini hadir dengan tujuan untuk membantu para analis, ilmuwan, praktisi, dan mahasiswa studi-studi institusi untuk mengetahui, memahami, memetakan, dan menguji institusi dan relevansinya terhadap kehidupan politik dan bernegara. Buku ini terbagi dalam tiga bagian utama. Bagian I dan II mengantarkan analisis melalui konsep-konsep yang relevan dan bisa menjadi contoh langsung institusi dalam pengertian yang diperluas. Bagian II menjelaskan pendekatan-pendekatan yang dikembangkan dalam studi-studi politik. Penekanan pada institusi memberikan arah pembahasan buku ini yang memfokuskan pada penjelasan dan analisis institusional(-isme) baru. Bagian III membahas konsep dan teori yang menjelaskan bekerjanya lembaga secara informal dalam proses kebijakan. Termasuk pula bahasan tentang proses kebijakan publik yang tidak bisa lepas dari campur tangan kekuatan dan aktor non-formal. Di luar lembaga resmi dan aturan resmi, masih ada praktik informal governance, institusi informal, dan negara bayangan (shadow state) yang bisa terlibat dan memengaruhi proses kebijakan. Bagian IV menjelaskan definisi konseptual institusi dalam pandangan institusionalisme baru. Selain berupaya memperbaiki dan memperluas tentang fenomena dan gagasan institusi, perubahan konsep institusi juga membantu meletakan dasar kajian dan teori yang semakin berkembang dari konsep dan paradigma lama. Tanpa 2

Wawan Sobari

mengabaikan konsep dan teori institusi lama, bagian IV menjelaskan konsep praktik dan narasi sebagai perluasan gagasan institusi. Tiga teori utama instusionalisme baru dalam Ilmu Politik dijelaskan dengan padat pada bagian IV untuk menunjukkan keragaman analisis institusional(-isme) baru. Bagian V menjelaskan prinsip-prinsip institusionalisme baru yang menjadi landasan analisis institusional. Prinsip-prinsip tersebut menjadi fondasi hingga menggagas pola sederhana analisis institusional yang terdiri dari enam langkah, yaitu identifikasi mode institusi, identifikasi aktor utama dan pendukung, analisis peraturan dan norma yang mengatur lembaga, analisis peraturan dan norma yang mengatur lembaga, analisis insentif bagi para aktor, dan analisis dampak pengaturan kelembagaan. Pola analisis ini tidak bersifat baku dan kaku, para analis bisa melakukan tambahan atau pengurangan langkah analisis tersebut sesuai konteks institusi yang dianalisis. Bagian terakhir (VI) merupakan epilog singkat analisis institusional dalam pandangan kelembagaan baru di bidang Ilmu Politik.

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

3

Pendekatan Teoretis Ilmu Politik

P

endekatan (approach) dalam Ilmu Politik merupakan fundamen krusial dalam memahami fenomena politik. Penggunaan pendekatan tertentu dalam Ilmu Politik akan membantu mempertajam analisis tentang tindakan atau fenomena politik tertentu dalam keseharian. Tidak banyak literatur Ilmu Politik yang menjelaskan definisi approach dalam Ilmu Politik. Sedikit di antaranya yaitu disampaikan beberapa ahli, aeperty van Dyke, Johari, Marsh dan Stoker. Menurut vDQ'\NH³6HEXDKSHQGHNDWDQWHUGLULGDULNULWHULD seleksi, yaitu kriteria yang digunakan dalam memilih masalah atau pertanyaan untuk dipertimbangkan dan dalam memilih data yang akan dibawa. Maka, pendekatan itu terdiri dari standar yang PHQJDWXUSHQ\HUWDDQGDQSHQJHFXDOLDQSHUWDQ\DDQGDQGDWD´ GDODP Johari, 1982). Maka, kata kunci dari pendekatan yaitu penggunaan kriteria dalam memahami fenomena atau tindakan politik. 6HPHQWDUD LWX - & -RKDUL PHQMHODVNDQ   ³SHQGHNDWDQ adalah cara melihat dan kemudian menjelaskan suatu fenomena tertentu yang mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan pengumpulan dan pemilihan bukti yang diperlukan untuk 4

Wawan Sobari

SHQ\HOLGLNDQ GDQ DQDOLVLV KLSRWHVLV´ -RKDUL PHPSHUMHODV PDNQD µNULUHULD¶\DQJGLPDNVXGYDQ'\NHEDKZDNULWHULDGLJXQDNDQXQWXN melihat dan menjelaskan fenomena atau tindakan politik dari sudut pandang yang sesuai dengan kriteria tersebut. Secara operasional, pendekatan dijalankan dengan mengumpulkan dan memilih bukti yang sesuai. Kemudian, Marsh dan Stoker (2010) menjelaskan bahwa pendekatan menggabungkan seperangkat sikap, pemahaman, dan praktik yang menentukan cara tertentu dalam analisis Ilmu Politik. Maka, semakin jelas bahwa setiap pendekatan memiliki kriteria (sikap, pemahaman, praktik) tersendiri untuk memahami fenomena politik atau menjalankan Ilmu Politik saat menganalisis fenomena tertentu. Dalam penjelasannya, pendekatan Ilmu Politik seringkali menampung dua pengertian, yaitu pendekatan teoretis dan metodologis. Meskipun keduanya bisa digunakan bersamaan, namun memiliki perbedaan. Van Dyke menambahkan bahwa pendekatan teoretis terdiri dari kriteria untuk memilih masalah dan data yang relevan dalam analisis politik. Sementara pendekatan metodologis merupakan rangkaian prosedur untuk mendapatkan dan memanfaatkan data. Namun, van Dyke mengingatkan bahwa ³VXDWX SHQGHNDWDQ PHQ\DUDQNDQ PHtodenya sendiri sedangkan sebaliknya tidak benar. Misalnya, pendekatan perilaku dikaitkan dengan metode ilmiah dan pendekatan normatif dikaitkan dengan PHWRGH ILORVRILV´ GDODP -RKDUL   'HQJDQ NDWD ODLQ pendekatan bisa disertai dengan metode tertentu dalam hal prosedur pengumpulan dan pemanfaatan data. Namun, tidak demikian sebaliknya, metode tidak bisa berkomitmen pada pendekatan teoretis tertentu, misalnya, metode ilmiah bisa saja digunakan dalam studi berpendekatan selain tingkah laku. Maka, perlu dijelaskan bahwa dalam buku ini yang dimaksud pendekatan yaitu merujuk pada pendekatan teoretis. Atau, pendekatan adalah seperangkat kriteria (sikap, pemahaman, praktik) untuk memahami fenomena politik atau menggunakan pendekatan teoretis Ilmu Politik saat menganalisis fenomena tertentu. Dengan ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

5

kata lain, pendekatan teoretis Ilmu Politik, yaitu sudut pandang tertentu yang digunakan untuk menganalisis tindakan atau fenomena politik berdasarkan kriteria atau prinsip akademik tertentu yang relevan. Tabel 2.1 meringkas kriteria-kriteria seleksi pendekatan Ilmu Politik. Pendekatan teoretis Ilmu Politik memiliki posisi penting dalam menjelaskan tindakan politik tertentu. Dalam buku ini, pendekatan teoretis berupaya menjelaskan mengapa suatu tindakan politik tertentu terjadi. Dengan kata lain, setiap pendekatan berupaya menjelaskan faktor dan/atau motivasi apa yang mendorong suatu tindakan politik dilakukan. Singkatnya, pendekatan teoretis Ilmu Politik menjelaskan bagaimana kekuasaan (motif atau faktor tertentu) bekerja mengarahkan tindakan politik, baik secara individual maupun kolektif. Pendekatan teoretis pertama dikenal sebagai pendekatan filsafat atau ideasional. Pendekatan ini bersandar pada penjelasan bahwa gagasan, keyakinan bisa menuntun penafsiran terhadap sesuatu masalah hingga bisa mengarahkan pilihan tindakan politik tertentu. Pendekatan filsafat berupaya menjelaskan tindakan politik tertentu berdasarkan gagasan-gagasan yang disampaikan para pemikir besar, seperti Plato, Aristoteles, Socrates, John Locke, dan pemikir besar ODLQQ\D6HEDJDLFRQWRK3ODWRPHQMHODVNDQPDNQDGDQSRVLVLµNHDGLODQ¶ sebagai pedoman untuk mencapai kehidupan yang baik (good life), baik tingkatan individu, kolektif, maupun negara (Budiardjo, 2008). Dalam konteks Indonesia, Pancasila bisa menjadi sumber penjelasan normatif dengan menilai dan merekomendasikan tindakan politik tertentu (preskriptif) sesuai butir-butir pelaksanaannya. Pendekatan berikutnya, yaitu kelembagaan (instutionalism). Akar dari pendekatan ini merujuk paGD NRQVHS µOHPEDJD¶ VHEDJDL aturan dan organisasi formal yang dibuat untuk memandu tindakan politik individu, kolektif, dan pemerintah. Pendekatan kelembagaan fokus pada peraturan, norma dan nilai yang mengatur pertukaran politik. Maka, inti dari pendekatan kelembagaan, yaitu setiap aktor SROLWLN µEHUPDLQ¶ VHVXDL DWXUDQ \DQJ GLEXDW XQWXN PHQJDWXU

6

Wawan Sobari

interaksi, baik dalam situasi kerja sama maupun kompetisi. Namun, institusi tidak hanya memberikan batasan terhadap ruang gerak aktor, melainkan pada saat yang sama menyiapkan ruang (insentif) karena jaminan aturan dan organisasi formal (Parsons, 2017). Penjelasan lainnya, aturan menjadi panduan para aktor untuk melakukan yang terbaik untuk mereka, organisasi, dan kehidupan kolektif (Marsh and Stoker, 2010). Tabel 2.1. Pendekatan Teoretis Ilmu Politik Pendekatan Substansi Teori Filsafat/Ideasional

x Bersifat analitis atas apa yang dikatakan para pemikir besar (Heywood, 2019) x Ide, keyakinan, atau budaya yang diyakini menuntun penafsiran dan pilihan tindakan (Parsons, 2017) x Pendekatan normatif bersifat 'preskriptif' atau membuat penilaian dan menawarkan rekomendasi (Heywood, 2019)

Kelembagaan (old institutionalism)

x /HPEDJD´DGDODKDWXUDQGDQRUJDQLVDVL\DQJ dibangun orang untuk memandu interaksi mereka x Penjelasan kelembagaan intinya bermain sesuai aturan permainan (Parsons, 2017) x Fokus pada aturan, norma dan nilai yang mengatur pertukaran politik. x Mempertimbangkan pengaturan kelembagaan di dunia politik arus utama dan reflektif x setiap orang melakukan yang terbaik untuknya, mengingat aturannya (Marsh and Stoker, 2010) x Aturan dan organisasi kelembagaan di sekitar para aktor pemain menetapkan

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

7

Pendekatan

Substansi Teori batasan dan insentif yang mendorong tindakan politik (Parsons, 2017) x Lima analisis dominan: 1) legalisme (legalism); 2) strukturalisme (structuralism); 3) holisme (holism); 4) historisisme (historicism); 5) analisis normatif (normative analysis) (Peters, 2019).

Kelembagaan Baru (new institutionalism)

x Kelembagaan baru merevisi pemahaman tentang 'institusi'. Lembaga politik tidak lagi disamakan dengan organisasi politik dan aturan formal saja, namun mencakup pula nilai dan norma informal x Lembaga atau institusi 'tertanam' dalam konteks normatif dan historis tertentu. (Heywood, 2019) x Lembaga bukan hanya cerminan kekuatan sosial, namun termasuk pula yang beberapa tidak tertulis, termasuk motif memaksimalkan keuntungan (Roskin dkk, 2017) x Tiga pilar teoretis analisis kelembagaan baru fase ketiga, yaitu rules (aturan), practices (tindakan¶LQIRUPDOLWDV¶), dan narratives (narasi) (Lowndes dan Roberts, 2013)

Tradisionalisme

x Bergantung pada evaluasi normatif. Nilai sebagai dasar penilaian atas manfaat (outcome) tindakan/kebijakan (Dooley dan Patten, 2015) x Memusatkan perhatian pada apa yang terjadi di dalam pemerintahan, bukan proses sosial-ekonomi

8

Wawan Sobari

Pendekatan

Substansi Teori x Memahami politik dengan memeriksa hukum, lembaga pemerintahan, konstitusi, dan lembaga (politik) resmi lainnya. x Mendeskripsikan lembaga berjalan sesuai aturan formal dan prosedur publik x Cenderung bersifat historis (proses) dan normative (perbaikan) pada peraturan (Grigsby, 2012)

Tingkah Laku

x Menekankan pentingnya penyelidikan ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan (Simon dkk, 2018); menekankan pentingnya analisis empiris (Grigsby, 2012) x Fenomena politik dijelaskan melalui multikausalitas. Suatu kondisi atau perilaku terjadi karena pengaruh dua atau lebih faktor (A dan B penyebab C). x Memahami politik membutuhkan pembuatan data yang seobyektif mungkin dan bebas nilai (Simon dkk, 2018) x Konsentrasi pada perilaku "aktual" (lawan dari pikiran atau perasaan) dari orang atau lembaga tertentu yang didorong oleh data dan tanpa komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai. (Dooley dan Patten, 2015) x Berkonsentrasi pada proses politik yang terkait dengan politik arus utama dan pemerintah (Marsh and Stoker, 2010) x Ini memberi kredensial ilmiah yang andal: data obyektif dan dapat diukur yang menjadi dasar pengujian hipotesis (Heywood, 2019). ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

9

Pendekatan

Substansi Teori x Empirisme adalah sarana pengumpulan data berdasarkan observasi (Grigsby, 2012). x Memeriksa "basis sosial" politik, sikap dan nilai-nilai warga negara, yang sangat membantu dalam membuat sistem berfungsi sebagaimana mestinya. (Roskin dkk, 2017)

Pascatingkah Laku

10

Wawan Sobari

x Berupaya menggabungkan unsur-unsur pendekatan tradisional (khususnya ide nilai) dengan behavioralisme. x Menekankan tanggung jawab etis keilmuan dan warga negara pada umumnya. x Menjawab pertanyaan penting yang memengaruhi warga negara, negara bagian, dan dunia di sekitar mereka (Dooley dan Patten, 2015) x Ilmu Politik harus relevan dan dapat diandalkan secara empiris menghasilkan informasi yang memiliki implikasi etis. x David Easton: fenomena politik seringkali merupakan masalah hidup dan mati ² masalah yang berkaitan dengan perang, pertumbuhan penduduk, degradasi lingkungan, dan konflik ras dan etnis (Grigsby, 2012). x Pascabehavioralis menyadari bahwa fakta dan nilai saling terkait. Mereka bersedia menggunakan data kualitatif dari kaum tradisionalis dan data kuantitatif para behavioralis (Roskin dkk, 2017)

Pendekatan

Substansi Teori

Pilihan Rasional

x Prihatin dengan kondisi aksi kolektif di dunia politik arus utama (Stoker dan Marsh, 2010) x Politik bekerja secara deduktif dari asumsi sederhana tentang aktor politik seperti pemilih, pejabat terpilih, dan administrator pemerintah. Asumsinya, para aktor politik rasional dan memilih cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan mereka x Apa yang memotivasi orang dan asumsi bahwa aktor itu rasional dalam memenuhi keinginannya? (Simon dkk, 2018). x Mengacu pada contoh teori ekonomi dalam membangun model, biasanya tentang perilaku rasional yang mementingkan diri sendiri dari individu yang terlibat. x Contoh; perangkat analisis tentang tindakan pemilih, pelobi, birokrat, dan politisi, serta perilaku negara dalam sistem internasional (Heywood, 2019) x Fokus pada penjelasan material-rasional, yaitu benturan kepentingan. x Setiap orang dianggap memiliki tujuan dasar yang sama yaitu kenyamanan pribadi, keamanan, dan kendali atas lingkungan sekitar mereka. Setiap pilihan mencerminkan hambatan atau insentif yang mereka hadapi. x Kepentingan sebagai titik tolak, yaitu tindakan yang paling jelas menguntungkan seseorang mengingat posisinya di dunia

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

11

Pendekatan

Substansi Teori (Parsons, 2017) x Memprediksi perilaku politik dengan mengetahui kepentingan para aktor. Mereka secara rasional memaksimalkan kepentingannya. (Roskin dkk, 2017)

Marxisme

x Politik adalah pertarungan antara kelompok sosial, kelas sosial tertentu (Marsh and Stoker, 2010) x Politik sebagai penggunaan kekuasaan (Shively, 2019) x Perjuangan kelas, yang berakar pada ekonomi, sebagai kunci analisis tentang masyarakat dan politik. x Mereka kelas pekerja dan kelas kapitalis (pemodal) bersaing memperebutkan kekuasaan. x Studi perjuangan kelas mengidentifikasi kekuatan yang bersaing untuk kekuasaan; kepentingan dasar mereka; nilai-nilai mereka; perilaku ekonomi, sosial, dan politik mereka; dan kebijakan publik mereka yang bersaing. (Simon dkk, 2018)

Konstruktivisme

x Politik didorong oleh makna yang dilekatkan para aktor pada tindakan dan konteksnya. x Politik pada dasarnya mencerminkan pandangan orang-orang tentang konten (makna) yang dilibatkannya (Marsh dan Stoker, 2010)

12

Wawan Sobari

Pendekatan

Substansi Teori x Tidak ada realitas sosial atau politik objektif yang terlepas dari pemahaman kita tentang realitas itu. x Konstruksionisme memandang Dunia sosial bukan sesuatu 'di luar sana'; sebaliknya, ia hanya ada 'di dalam' (kesadaran intersubjektif). x Aktor politik, bertindak sebagai individu atau kelompok sosial, 'mengkonstruksi' dunia sesuai dengan konstruksi tersebut. (Heywood, 2019)

Feminisme

x Definisi proses yang luas yang mengakui EDKZD µSHUVRQDO GDSDW PHQMDGL SROLWLV¶ (Marsh and Stoker, 2010) x Politik sebagai sebuah proses, khususnya praktik kekuasaan terhadap orang lain (Heywood, 2019) x Masyarakat dicirikan oleh ketidaksetaraan seksual atau gender. x Struktur kekuasaan laki-laki dapat, dan harus, dibatalkan/dibalikkan. (Heywood, 2017)

Psikologi Politik

x Pandangan politik melalui lensa kepribadian dan kognisi individu yang terlibat dalam praktiknya, terutama di dunia arus utama (Marsh and Stoker, 2010) x perhatian utama termasuk studi tentang susunan psikologis dan apa yang motivasi para pemimpin politik (Kressel, 1993 dalam Heywood, 2019)

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

13

Pendekatan

Substansi Teori x Contoh: Studi tentang kepribadian elite yang menghubungkan kepribadian dan perilaku politik. Pengaruh kepribadian terhadap sikap dan perilaku politik (Mondak dan Halperin, 2008)

Politik Depan Politics)

14

Masa (Future

Wawan Sobari

x Kemajuan tanpa henti ilmu dan teknologi akan mengubah cara hidup kolektif, dengan konsekuensi politik yang mendalam x Politik di masa depan akan sangat berbeda dengan politik di masa lalu. x Pertanyaan inti dari Politik Masa Depan: sejauh mana hidup kita harus diarahkan dan dikendalikan oleh sistem digital yang kuat dan dalam hal apa? x Teori politik sangat cocok untuk mengkaji interaksi teknologi dan politik. Teori politik mengandung kebijaksanaan dan menjelaskan kesulitan di masa depan dan membantu kita mengidentifikasi apa yang dipertaruhkan (dipertimbangkan). Teori politik berhubungan dengan tema-tema besar dan pertanyaan-pertanyaan politik. x Teori politik juga menawarkan metode berpikir tentang dunia yang membantu kita menaikkan tingkat perdebatan di atas pernyataan dan prasangka. x Teknologi berdampak mendasar pada kondisi manusia, maka analisis kita tentang dampak itu juga harus mendasar (Susskind, 2018).

Tidak berhenti sampai di situ, pendekatan kelembagaan mendapat kritik tajam, lalu melakukan revisi penjelasan-penjelasan teoretisnya melalui pendekatan kelembagaan baru (new institutionalism). Kelembagaan baru mudah dipahami mengambil posisi sebagai reaksi terhadap pendekatan institusional atau 'institusionalisme lama' dalam Ilmu Politik. Perspektif lama hanya memandang institusi sebagai struktur material atau dalam definisi materialis, seperti konstitusi, kabinet, parlemen, birokrasi, pengadilan, tentara, pengaturan federal atau otonomi, dan sistem kepartaian. Perspektif ini terlalu sempit untuk melihat bahwa tindakan tidak terjadi dalam kekosongan institusional. Namun demikian, institusionalis baru percaya bahwa institusi dalam pengertian lebih luas mampu membentuk tindakan politik (Lecours, 2005)1. Perbedaan utama antara institusionalisme dan institutionalisme baru terletak pada konseptualisasi institusi. Yang terakhir memandang institusi dalam arti yang lebih luas dibandingkan dengan yang pertama. March dan Olsen (1989) mengkonseptualisasikan institusi sebagai: By “rules” we mean the routines, procedures, conventions, roles, strategies, organizational forms, and technologies around which political activity is constructed. We also mean the beliefs, paradigms, codes, cultures, and knowledge that surround, support, elaborate, and contradict those rules and routines…These routines may be procedural rules specifying a process that is to be followed under certain Peters (1999) tidak ingin menggunakan istilah radikal, seperti, 'reaksi' untuk menunjukkan perbedaan antara institusionalisme lama dan baru. Dia hanya menyatakan bahwa karya March dan Olsen (1984) yang memprakarsai gerakan institusionalisme baru dimaksudkan untuk menegaskan kembali beberapa fitur dari analisis institusional yang lama. March dan Olsen juga mencoba menanggapi penyederhanaan teoritis dari pendekatan perilaku menyangkut perilaku politik manusia yang berkaitan dengan institusi. Dalam karya terbarunya, Peters (2019) menyebut relasi antarpendekatan harus dilihat sebagai complementary (saling melengkapi) daripada competit ive (saling bersaing) dalam menjelaskan fenomena politik. 1

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

15

circumstances. They may be decision rules specifying how inputs are to be converted into outputs. They may be evaluation rules specifying criteria for assessing results.

Melalui definisi ini, March dan Olsen secara langsung menyampaikan pesan bahwa institusi, dalam hal politik, tidak dapat dipahami secara kaku sebagai institusi tetap atau formal dari negara atau pemerintahan. Mereka juga mengatakan bahwa lembaga terdiri dari lembaga keras (organisasi negara dan non-negara) dan lembaga lunak (aturan, norma, nilai, dan prosedur) baik dalam hal lembaga formal maupun informal. Pemahaman ini kemudian memicu munculnya perspektif yang berbeda untuk melihat fenomena politik dalam pertimbangan yang lebih kompleks berdasarkan fakta yang kompleks. Dalam perkembangannya, pendekatan kelembagaan baru memiliki tiga kerangka analisis, yaitu institusionalisme historis (historical institutionalism), institutionalisme pilihan rasional (rational choice institutionalism), dan institusionalisme sosiologis (socilological institutionalism). Selanjutnya, hadirlah pendekatan kelembagaan baru fase ketiga. Lowndes dan Roberts (2013) menggunakan tiga pilar teoretis untuk menjelaskan pilihan perilaku dan dampak politik, yaitu rules (aturan), practices (tindakan), dan narratives (narasi). Dalam pandangan pilar pertama, tindakan politik bergantung pada mekanisme yang nampak dan tercatat (formal). Penjelasan kedua mengandalkan kekuatan-kekuatan praktik informal. Di luar cara-cara resmi, norma, nilai, hubungan antara pemimpin dan pengikut, dan praktik informalitas lainnya lebih otoritatif mengarahkan perilaku warga. Pilar ketiga mengandalkan kekuatan cerita dan gagasan guna membingkai makna aturan dan efektifitas implementasi kebijakan. Pembingkaian makna dilakukan melalui penjelasan, dialog, dan langkah-langkah implementasi kebijakan. Dengan kata lain, keberhasilan konstruksi narasi ikut membantu meyakinkan pilihan tindakan politik pemerintah atau

16

Wawan Sobari

pemimpin. Pilar ketiga relevan menjelaskan situasi era digital, yang mana informasi yang tersirkulasi secara cepat dan sulit dikendalikan ikut mereduksi inefektifitas pembingkaian makna kebijakan dan tindakan oleh ototitas formal. Beberapa ahli Ilmu Politik mengkategorikan tiga pendekatan pertama tersebut dalam kelompok pendekatan tradisionalisme. Meskipun terdapat perdebatan, namun penjelasan tradisionalisme memiliki relevansi dengan ketiga pendekatan itu. Pertama, tradisionalisme menjelaskan pentingnya peran nilai dalam analisis. Tindakan politik tidak hanya dipahami asal-usul faktor yang mendorongnya bekerja. Tradisionalisme memandang tindakan politik sebaiknya memiliki nilai untuk menilai manfaat dari tindakan atau kebijakan. Dengan kata lain, nilai merupakan instrumen evaluasi normatif tindakan atau kebijakan (Dooley dan Patten, 2015). Kedua, tradisionalisme fokus pada tindakan politik atau kebijakan dalam pemerintahan, namun kurang memperhatikan proses sosial-ekonomi yang membentuk tindakan dan kebijakan. Ketiga, dalam praktik metodologis, tradisionalisme berusaha memahami tindakan politik atau kebijakan melalui analisis kelembagaan formal, yaitu berupa hukum, lembaga pemerintahan, konstitusi, dan lembaga (politik) resmi lainnya. Keempat, tradisionalisme mendeskripsikan lembaga yang berjalan sesuai aturan formal dan prosedur publik. Bila tidak sesuai aturan, maka dinyatakan tidak sesuai dan melanggar aturan formal. Terakhir, tradisionalisme mempertimbangkan lembaga yang bersifat historis (proses) dari masa sebelumnya. Jika terjadi perubahan dari kebijakan sebelumnya, maka secara normatif lembaga akan menilai perubahan tersebut dan melakukan perbaikan pada peraturan yang saat ini berlaku. Dengan kata lain, selalu ada keterkaitan antara peraturan terdahulu dan kini (Grigsby, 2012).

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

17

Tabel 2.2 Pengelompokan Pendekatan Teoretis Ilmu Politik Kelompok Pendekatan Pendekatan

Tradisional

x Filsafat/Ideasional x Kelembagaan dan Kelembagaan baru x Historis x Legal

Nontradisional

x Tingkah Laku x Pasca-tingkah laku x Pilihan rasional x Marxisme x Konstruktivisme x Feminisme x Psikologi Politik

Masa Depan

x Future politics

Sebagai kritik terhadap tradisionalisme yang menekankan pada peranan nilai dalam analisis politik, maka hadirlah kelompok pendekatan modern yang mempelajari tindakan politik aktual atau praktik empirik politik. Pendekatan pertama dalam kelompok modern, yaitu pendekatan tingkah laku (behavioral approach). Berbeda dari tradisionalisme yang mengandalkan pikiran, nilai, dan unsur normatif lainnya, pendekatan tingkah laku menekankan empirisme dalam menjelaskan tindakan politik atau harus berdasarkan observasi (Grigsby, 2012). Dalam praktiknya, pendekatan tingkah laku mensyaratkan penyelidikan ilmiah untuk menjelaskan fenomena politik yang saling berhubungan secara kausal. Tindakan politik tidak berdiri sendiri karena mengikuti pikiran atau pendapat para pemikir besar dan aturan, namun terdapat faktor politik tertentu yang berpengaruh mendoring tindakan politik tertentu. Untuk itu, secara metodologis,

18

Wawan Sobari

para pendukung pendekatan tingkah laku menyaratkan penelitian yang obyektif dan terlepas dari nilai yang diyakini (Simon dkk, 2018) Roskin dkk (2017) mencontohkan secara operasional pendekatan tingkah laku yang penting dalam mengungkap dan menjelaskan "basis sosial" politik, sikap dan nilai-nilai warga negara, yang menyebabkan sistem politik berfungsi sebagaimana mestinya. Menyadari kelemahan pendekatan tingkah laku yang tidak memperhatikan nilai, para Ilmuwan Politik menginisiasi pendekatan pascatingkah laku. Fondasi berfikirnya, yaitu pengetahuan ilmiah politik tidak mungkin mengisolasi diri dari situasi dan masalah yang dihadapi manusia. Dengan kata lain, Ilmu Politik tidak bisa lepas dari tanggung jawab etis keilmuan dan warga negara pada umumnya. Maka, pendekatan ini berusaha menggabungkan antara unsur-unsur pendekatan tradisional (khususnya ide nilai) dan tingkah laku. Penelitian dan kajian Ilmu Politik tidak sekedar berorientasi bagi pengembangan keilmuan. Pada saat yang sama Ilmu Politik harus mampu menjawab pertanyaan penting atas masalah yang berpengaruh pada kehidupan warga (Dooley dan Patten, 2015). David Easton mencontohkan sejumlah masalah yang dihadapi umat manusia dan membutuhkan jalan keluar, seperti masalah yang berkaitan dengan perang, pertumbuhan penduduk, degradasi lingkungan, dan konflik ras dan etnis (Grigsby, 2012). Dalam situasi terkini, masalah global yang membutuhkan upaya meminimalkan risikonya bagi umat manusia, seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan yang terbaru krisis kesehatan publik karena Pandemi COVID-19 yang kemudian memicu krisis lainnya, terutama krisis ekonomi dan sosial. Secara metodologis, para pendukung pendekatan pascatingkah laku bisa saling melengkapi dalam menggunakan data. Karena kesadaran bahwa fakta dan nilai saling terkait, para tradisionalis berkontribusi data kualitatif dan para behavioralis berkontribusi data kuantitatif (Roskin dkk, 2017). Pendekatan selanjutnya, yaitu pendekatan pilihan rasional (rational choice). Para Ilmuwan Politik terus bekerja menyelidiki fenomena atau tindakan politik kolektif di luar arus utama dunia ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

19

politik, seperti negara dan pemerintah. Perhatian justru difokuskan pada individu atau kelompok di balik bekerjanya politik dalam pembuatan aturan dan implementasinya dan berjalannya roda pemerintahan dan legislatif. Tindakan-tindakan politik secara individual seperti ikut serta dalam pemilu, aksi protes, petisi digital, dan lainnya tidak luput pula dalam perhatian pilihan rasional. Menurut Simon dkk (2018), pendekatan pilihan rasional memandang bahwa politik bekerja karena para aktor politik (pemilih, pejabat terpilih, dan administrator pemerintah) memiliki kepentingan tertentu yang memotivasinya dan bertindak rasional dalam melakukan tindakan politik. Mereka bekerja secara rasional rasional dan memilih cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan mereka. Pendekatan pilihan rasional tidak lepas dari pengaruh teori ekonomi dalam mengembangkan model perilakunya. Asumsi yang terkenal, yaitu para aktor politik berperilaku rasional, mementingkan diri sendiri individu yang terlibat atau secara rasional memaksimalkan kepentingannya. Contoh pengembangan modelnya digunakan untuk perangkat analisis tindakan pemilih (voting), pelobi, birokrat, politisi, dan perilaku negara dalam sistem internasional (Roskin dkk, 2017; Heywood, 2019). Maka, fokus dari pendekatan ini terletak pada penjelasan berbasis material-rasional, yaitu berupa benturan atau konflik kepentingan dalam tindakan politik. Kepentingan secara material adalah tujuan dasar yang sama (para aktor politik), yaitu kenyamanan pribadi, keamanan, dan kendali atas lingkungan sekitar mereka. Setiap pilihan mencerminkan hambatan atau insentif yang mereka hadapi. Dengan kalkulasi rasional, kepentingan merupakan akar tindakan yang paling jelas menguntungkan seseorang karena posisinya (Parsons, 2017). Maka, pendekatan rasional mengembangkan model untuk memprediksi perilaku politik dengan mengetahui kepentingan para aktor. (Roskin dkk, 2017). Pendekatan berikutnya, yaitu marxisme. Inti dari Marxisme klasik (Marxisme Karl Marx), yaitu filsafat sejarah yang menjelaskan sebab musabab kapitalisme hancur dan sosialisme berusaha 20

Wawan Sobari

menggantikannya, berdasarkan analisis yang dianggap ilmiah. Pendekatan Marxisme bertumpu pada teori yang disebut Frederich Engels sebagai the ‘materialist conception of history’ atau historical materialism. Teori ini menjelaskan bahwa kondisi material atau ekonomi pada akhirnya membentuk hukum, politik, budaya dan aspek lain dari kondisi sosial (Heywood, 2019). Dalam pandangan Marxisme, politik merupakan pertarungan antarkelompok sosial atau kelas sosial tertentu (Marsh and Stoker, 2010). Karenanya, perjuangan kelas yang berakar pada kondisi material atau ekonomi merupakan kunci analisis tentang masyarakat dan politik. Kelas pekerja dan kelas kapitalis (pemodal) berkompetisi memperebutkan kekuasaan untuk kejayaan kelas. Dalam praktiknya, perjuangan kelas bisa diteliti dengan mengidentifikasi kekuatan yang saling berkontestasi untuk meraih kekuasaan. Kepentingan dasar kelas, nilai-nilai kelas, perilaku ekonomi kelas, perilaku sosial kelas dan perilaku politik kelas diperjuangkan agar menjadi kebijakan publik (Simon dkk, 2018). Maka, secara sederhana politik dalam pandangan Marxisme dilihat sebagai penggunaan kekuasaan (Shively, 2019). Dalam perkembangan selanjutnya, Marxisme berkembang menjadi tiga bentuk, yaitu Marxisme klasik (classical Marxism), Komunisme ortodoks (orthodox communism), dan Marxisme baru (neo-Marxism). Berakar dari pendekatan Marxisme, lahirlah sejumlah pendekatan kritis dalam Ilmu Politik yang menjadi alternatif prinsipil dari politik arus utama yang mengedepankan kajian formal. Feminisme, teori kritis, konstruktivisme, ideology hijau, poststrukturalisme, dan post-kolonialimse merupakan bagian dari pendekatan kritis. Dua karakteristik utama pendekatan kritis, yaitu 'kritis' dalam cara memahami dan menjelaskan yang berbeda atau berusaha untuk melawan politik status quo, dengan mendorong kesetaraan diri bagi kepentingan kelompok yang terpinggirkan atau tertindas. Pendekatan kritis berupaya mengungkap kesenjangan dan asimetri yang cenderung tidak diperhatikan dalam pendekatan arus utama. Kedua, pendekatan kritis menekankan pentingnya peran kesadaran dalam membentuk perilaku politik (Heywood, 2019). ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

21

Menjadi bagian pertama dari pendekatan kritis, yaitu konstruktivisme. Pendekatan ini menilai politik didorong oleh makna yang tidak bisa dilepaskan dari para aktor untuk tiap tindakan dan konteksnya. Maka, pandangan para aktor tentang konten (makna) yang dilibatkannya tercermin dalam tindakan politik (Marsh dan Stoker, 2010). Intinya, setiap aktor memiliki interpretasi yang tidak lepas dari kepentingannya. Konsekuensi dari cara pandang itu, menurut Heywood (2019), tidak ada realitas politik yang sepenuhnya objektif atau terlepas dari pemahaman kita tentang realitas itu. Realitas politik merupakan hasil konstruksi sesuai kepentingan para aktor. Maka, aktor politik, bertindak sebagai individu atau kelompok, berusaha 'mengkonstruksi' dunia sesuai dengan tujuan konstruksi tersebut. Pendekatan berikutnya, yaitu feminisme. Sebagaimana prinsip utama pendekatan kritis, karakteristik feminisme, yakni mengupayakan kesetaraan. Feminisme secara kritis memandang dunia dari perspektif yang didasarkan pada jenis kelamin, gender, dan seksualitas untuk memajukan kebebasan, kesetaraan, dan inklusi bagi perempuan. Sebagaimana laki-laki, perempuan adalah warga negara yang memiliki hak untuk menentukan jalan hidup yang sama (Boryczka dalam Kurian (eds.), 2011). Feminisme menilai masyarakat dicirikan oleh situasi ketidaksetaraan gender. Untuk itu, struktur kekuasaan laki-laki dapat, dan harus, dibalikkan agar tidak dominan dan timbulah kesetaraan (Heywood, 2017). Sebagaimana pandangan pendekatan kritis, dalam pemikiran feminisme, politik merupakan sebuah proses. Secara spesifik politik adalah praktik kekuasaan terhadap orang lain (Heywood, 2019). Maka, politik menjadi bagian dari tiap individu untuk mendorong terjadinya kesetaraan. Dalam praktik atau gerakan, feminisme sangat PHQJDQMXUNDQ SDUWLVLSDVL DWDX NHWHUOLEDWDQ .DUHQDQ\D µVHWLDS LQGLYLGXGDSDWPHQMDGLSROLWLV¶ 0DUVKGDQ6WRNHU  Pendekatan selanjutnya, yaitu psikologi politik. Pendekatan LQL µPHQ-WHRULNDQ¶ dampak dan pentingnya kepribadian dalam tindakan atau praktik politik. Secara spesifik, psikologi politik memfokuskan analisis tingkat individu, khususnya pengambil 22

Wawan Sobari

keputusan individu dalam proses politik (McDermott dalam Kurian dkk, 2011). Penjelasan psikologi politik meminjam konsep dan teori psikologi ke dalam Ilmu Politik melalui dua pernyataan kunci. Pertama, proses dan dampak politik dibentuk setidaknya sebagian oleh preferensi, pilihan, dan tindakan individu dan kelompok. Kedua, untuk menjelaskan preferensi politik, pilihan dan tindakan individu dan kelompok, maka perlu dipelajari karakteristik dan KXEXQJDQ SULEDGL VHFDUD HPSLULV W¶+DUW GDODP 0DUVK GDQ 6WRNHU 2010). µ7 +DUW GDODP 0DUV GDQ 6WRNHU   PHUDQJNXP VWXGLstudi psikologi politik yang mengadopsi tiga cabang pemikiran utama dalam psikologi, yaitu psikologi kognitif, motivasional, dan sosial. Pada cabang pertama digali dimensi kognitif yang mengkaji bagaimana keyakinan dan persepsi membentuk aksi politik. Cabang kedua meneliti dimensi motivasi, yaitu kepribadian dan gaya kepemimpinan politik atau dampak politik dari kepribadian pemimpin atau gaya kepemimpinan dalam banyak bentuk. Cabang ketiga memfokuskan pada dimensi sosial, yaitu hubungan kelompok dan antarkelompok. Dalam konteks perilaku elit, sikap dan pilihan kebijakan para pemimpin dan pemerintah dipengaruhi proses kelompok, bukan semata karena mengikuti nasihat, deliberasi (dialog), dan negosiasi. Dalam konteks perilaku massa, keanggotaan (subyektif) warga dalam kelompok dan kategori sosial dan hubungan dengan kelompok dan kategori lain membentuk keyakinan politik, sikap, nilai, dan perilaku warga negara. Perkembangan kelompok pendekatan teoretis Ilmu Politik selanjutnya tidak terlepas dari perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi. Perubahan disruptif karena perkembangan teknologi yang bersifat eksponensial daripada linier ini mendapat label sebagai revolusi industri keempat (industri 4.0). Menurut Schwab (2016), industri 4.0 menimbulkan banyak perubahan besar pada semua sektor, terutama sektor industri, pemerintahan, dan masyarakat. Revolusi yang didorong perubahan

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

23

teknologi baru secara fundamental merubah cara kita hidup, bekerja dan berhubungan satu sama lain. Dalam pandangan Schwab dan World Economic Forum   UHYROXVL LQGXVWUL NHHPSDW GLGRURQJ ROHK µSHUWHPXDQ PHQJHMXWNDQ¶ WHURERVDQ-terobosan teknologi, seperti artificial intelligence (AI), robotics, the internet of things (IoT), autonomous vehicles, 3D printing, nanotechnology, biotechnology, material science, energy storage and quantum computing. Berbagai terobosan teknologi ini memiliki karakter yang bisa menghasilkan perubahan radikal (revolusi). Karakter industri 4.0 yang dimotori berbagai terobosan teknologi itu menonjol pada tiga hal sebagai dampaknya (Schwab, 2016). Begitu banyak sektor dan jenis teknologi yang terlibat dalam revolusi, menyebabkan perubahan bergerak secara eksponensial daripada linier. Intinya, karakter kecepatan (velocity) menjadikan revolusi 4.0 berbeda dari revolusi sebelumnya. Karakter kedua, industri 4.0 menunjukkan keluasan dan kedalaman perubahan (breadth and depth). Revolusi digital berkontribusi terhadap perubahan yang luas atas paradigma bisnis, ekonomi, individu, dan masyarakat. Terakhir, industri 4.0 berdampak sistem atau sistemik (system impact). Perubahan secara serempak dan cepat menghasilkan dampak sistemik lintas negara, perusahaan, industri dan masyarakat secara keseluruhan. Selanjutnya, Schwab (2016) memperkirakan bahwa industri 4.0 memiliki dua sisi saling bertentangan sekaligus yang muncul bersamaan. Di satu sisi, manfaat terbesar terletak pada sisi konsumen. Digitalisasi produk dan servis meningkatkan efisiensi bagi kosumen, karena mereka cukup melakukan pemesanan digital saat membutuhkan barang dan jasa. Sebaliknya, industri 4.0 memunculkan persoalan terbesar, yaitu meningkatnya kesenjangan (inequality). Meningkatnya perbedaan pendapatan yang paling kentara antara pekerja dan pemilik modal. Efisiensi melalui digitalisasi dan automasi produksi meningkatkan potensi menurunnya kebutuhan akan pekerja dan menurunnya pendapatan pekerja.

24

Wawan Sobari

Tantangan terhadap munculnya kesenjangan, pertama, membutuhkan tingkat kepemimpinan dan pemahaman terhadap perubahan yang sedang berlangsung. Kedua, tantangan pemberdayaan individu dan komunitas yang beragam dan menghindari kemunduran karena perubahan fundamental yang tengah berlangsung (Schwab, 2016). Bagi pemerintah, Schwab (2016) memetakan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah. Pertama, efek sistemik yang terdiri dari tantangan regulasi dan keamanan. Kedua, turunan detail dari efek sistemik tersebut, yaitu melahirkan tantangan karena dipertanyakannya otoritas publik, aktor-aktor lebih berdaya, penyebaran ideologi, dan kebutuhan pelayanan publik. Perubahan disruptif yang digambarkan dalam fase industri 4.0 tersebut menjadi perhatian yang sama dalam perkembangan pendekatan teoretis Ilmu Politik. Disadari bahwa kemajuan tanpa henti ilmu dan teknologi mengubah cara hidup kolektif warga dan memiliki konsekuensi politik yang mendalam. Maka, asumsinya politik di masa yang akan datang akan sangat berbeda dengan politik di masa lalu. Salah satu faktor yang berpengaruh mengarahkan dan mengendalikan kehidupan kolektif masa depan, bukan sekadar bergantung pada penjelasan peran negara, pasar, dan warga. Politik masa depan bekerja karena pengaruh sistem digital yang kuat (Susskind, 2018). Susskind (2018) menambahkan pentingnya teori politik dalam orientasi peran teknologi. Teori politik sangat cocok untuk mengkaji interaksi teknologi dan politik. Teori politik mengandung kebijaksanaan dan menjelaskan kesulitan di masa depan dan membantu kita mengidentifikasi apa yang dipertaruhkan (dipertimbangkan). Maka, politik masa depan percaya bahwa teknologi berdampak mendasar pada kondisi manusia. Konsekuensinya, politik masa depan melahirkan penjelasan berbeda dari penjelasan masa lalu terkait empat konsep dasar, yaitu kekuasaan masa depan, kebebasan masa depan, demokrasi masa depan, dan keadilan masa depan.

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

25

Konsep-Konsep Institusi

A policy is sometimes the outcome of a political compromise among policy makers, none of whom had in mind quite the problem to which the agreed policy is solution. Sometimes policies spring from new opportunities, not from “problems” at all. Charles E. Lindblom, 1968

B

ab ini diawali dengan pemaparan tentang konsep perilaku kebijakan, pilihan kebijakan, dan informal governance. Penjelasan ini penting untuk memulai dengan contoh-contoh konsep yang menunjukkan institusi atau lembaga dalam pandangan institusionalisme (kelembagaan) baru. 1.1 Perilaku Kebijakan: Konvergensi Perilaku Politik dan Proses Kebijakan 1.1.1 Perilaku dalam Konteks Politik Melacak istilah spesifik perilaku kebijakan lebih mudah ditemukan dalam literatur hubungan internasional daripada literatur ilmu politik dan ilmu kebijakan. Sarjana hubungan internasional umumnya menggunakan istilah "perilaku kebijakan luar negeri". Pengertian dari konsep ini mengacu pada suatu 26

Wawan Sobari

kebijakan khusus untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan internasional suatu negara, baik dalam hal hubungan dengan suatu negara atau banyak negara maupun hubungan dengan organisasi internasional. Dalam beberapa literatur terkait hubungan internasional yang telah buku ini survei, memang, buku ini tidak dapat dengan mudah menemukan definisi yang representatif dari perilaku kebijakan. Beberapa literatur hanya mengimplikasikan definisi tersebut tanpa menyebutkan definisi yang memadai. Namun, beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana hubungan internasional membuat definisi tersirat yang jelas tentang perilaku kebijakan luar QHJHUL VHSHUWL +HUPDQQ \DQJ PHQ\DWDNDQ EDKZD «LVL VHUWD FDUD membuat keputusan politik' (1980, hal. 8). Ia mencoba menemukan penjelasan logis bahwa karakteristik pribadi pemimpin politik dapat berkontribusi pada orientasi perilaku kebijakan luar negeri. Selain itu, East (1973) menggunakan definisi tersirat serupa tentang perilaku kebijakan. Dia berpendapat bahwa perbedaan ukuran negara dapat membuat perilaku kebijakan luar negeri yang berbeda. Negara-negara kecil memiliki pola perilaku kebijakan luar negeri yang berbeda dibandingkan dengan negara-negara besar. Mengutip penjelasannya, ia menyiratkan bahwa perilaku kebijakan luar negeri negara-negara kecil cenderung mencari keamanan dengan bergabung dan mendukung organisasi internasional dan antarpemerintah, tetapi mereka memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam urusan dunia, dan mereka berusaha untuk menyelaraskan perilaku kebijakan mereka dengan lebih banyak negara negara-negara kuat. Argumen East tentang perilaku kebijakan luar negeri negara-negara kecil secara implisit mirip dengan definisi Hermann bahwa isi kebijakan luar negeri mencerminkan ukuran suatu negara. Michael Brecher dan rekan-rekannya (1969) dan Michael Don Ward (1982) menunjukkan karya analog tentang pemahaman tersirat tentang perilaku kebijakan. Sementara kutipan sebelumnya memahami definisi tersirat perilaku kebijakan luar negeri sebagai hasil evaluasi diri dari posisi tawar suatu negara terhadap negara lain ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

27

atau organisasi internasional dalam politik dunia, beberapa ahli teori hubungan internasional juga fokus pada input (masukan) perilaku kebijakan luar negeri, seperti konsep kekuatan menengah. Konsep tersebut merupakan alat analisis untuk mengidentifikasi perilaku kebiMDNDQOXDUQHJHULVHNHORPSRNQHJDUDEHUGDVDUNDQ³NHPDPSXDQ kekuatan dan posisi relatif yang mereka pegang dalam spektrum NHNXDWDQLQWHUQDVLRQDO´ %Dc, 2007 dalam Bevir, 2007). Akhirnya, para ahli menyiratkan bahwa konsep kekuatan tengah telah menyediakan alat analisis untuk membuat teori perilaku kebijakan luar negeri sekelompok negara. Masukan yang dapat mendukung perilaku kebijakan luar negeri kelompok negara ini untuk memengaruhi peristiwa internasional, yaitu NDUHQD ³« kemampuan diplomasi dan peran kepemimpinan mereka lebih dari NHPDPSXDQ NHNXDWDQ UHODWLI PHUHND´ %DF, 2007 dalam Bevir, 2007). Dari definisi-definisi yang tersirat tentang perilaku kebijakan luar negeri ini, buku ini dapat mengambil pelajaran tentang konsep perilaku kebijakan. Tiga komponen yang menunjukkan perilaku kebijakan luar negeri adalah sarana (cara kebijakan dibuat, seperti kemampuan diplomasi), konten (keluaran atau pilihan kebijakan), dan sumber daya untuk ditawar atau masukan (kemampuan kekuatan, ukuran negara, peran kepemimpinan). Dibandingkan dengan literatur dalam ilmu politik dan ilmu kebijakan, konseptualisasi perilaku kebijakan perlu beberapa perbaikan. Perilaku kebijakan luar negeri tidak dapat memberikan penjelasan tentang insentif bagi pembuat kebijakan dan signifikansi arena kebijakan terhadap pilihan kebijakan. Sesuatu yang buku ini sadari akan kelemahan ini. Untuk meningkatkan kesesuaian konsep perilaku kebijakan dengan situasi politik dan pembuatan kebijakan dalam negeri, buku ini kembali ke literatur ilmu politik dan ilmu kebijakan. Buku ini secara khusus memilih konsep dan teori perilaku politik dan proses pembuatan kebijakan dari kedua ilmu untuk merumuskan definisi konseptual perilaku kebijakan yang dapat diterima dan digunakan dalam buku ini.

28

Wawan Sobari

Ilmu politik membahas perilaku politik dalam dua bentuk, yaitu perilaku politik sebagai salah satu fokus ilmu politik dan sebagai paradigma. Bentuk terakhir melihat perilaku politik sebagai salah satu mata pelajaran dalam ilmu politik yang memberikan perhatian pada perilaku manusia secara individu dalam beberapa konteks politik (Robert dan Edwards, 1991).2 Behaviorisme memandang perilaku politik sebagai perspektif dalam ilmu politik yang telah membedakan dan membatasi karakteristik akademik dan metode analisis dibandingkan dengan perspektif lain (Robert dan Edwards, 1991). Namun, buku ini lebih memilih untuk menggunakan konsep perilaku politik yang bertujuan untuk mempertajam gagasan perilaku dalam konteks politik. Jadi, buku ini mengajukan pertanyaan, apa itu perilaku dalam politik? Dengan tujuan untuk mempersempit makna perilaku dalam konsep ini. Tabel 3.1 Perilaku dalam Konteks Politik Definisi Komponen Indikator Perilaku Terekstraksi ³3LNLUDQGDQWLQGDNDQ Aktivitas politik: xPikiran dan manusia terkait dengan tindakan manusia xKepercayaan proses pemerintahan. xPikiran Perilaku politik mencakup xTindakan tanggapan internal (pemikiran, persepsi, xPilihan penilaian, sikap, xFungsi kepercayaan) serta lingkungan tindakan yang dapat xNiat diamati (pemilihan, Beberapa behavioris tidak membedakan antara perilaku individu dan kelompok, seperti Jaros dan Grant (1974), Greenstein (1969), Woshinsky (2008), dan Plano et.al (1982). Saya tidak melihatnya sebagai perbedaan krusial antara perilaku individu dan kelompok, karena buku ini mengakomodasi keduanya. Namun, dalam konteks perilaku politik pejabat, buku ini melihatnya sebagai perilaku politik individu dengan dukungan dari sekelompok orang yang menunjukkan loyalitas kepada mereka. 2

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

29

Definisi memprotes, melobi, NDXNXVEHUNDPSDQ\H ´ (Plano dkk, 1982) ³3HULODNXGDODP pengertian ini, tindakan terlepas dari keyakinan GDQQLDWDNWRU´ 5REHUWV dan Edwards, 1991) ³7LQGDNDQ\DQJGLDPELO oleh orang atau kelompok yang dapat dijelaskan dan GLXNXUVHFDUDVLVWHPDWLV´ (Woshinsky, 2008) ³«3HULODNXDGDODKIXQJVL dari situasi lingkungan tempat aktor menemukan diri mereka sendiri dan kecenderungan psikologis yang mereka bawa ke dalam VLWXDVLLQL´ (Greenstein, 1969 dalam Kavanagh, 1983) ³DSD\DQJVHEHQDUQ\D terjadi dan bagaimana orang menjalankan DNWLYLWDVSROLWLNQ\D´ (Elcock, 1976) ³3LOLKDQDGDODK karakteristik mendasar dari perilaku politik. Beberapa pilihan bersifat individual, seperti ketika warga negara memilih seorang kandidat atau 30

Wawan Sobari

Komponen Perilaku

xTindakan: kepercayaan dan niat

xTindakan yang dijelaskan dan terukur

xFungsi lingkungan xPredisposisi psikologis

xAktivitas politik (apa) xAktivitas politik (bagaimana) xPilihan individu xPilihan kolektif

Indikator Terekstraksi

Definisi

Komponen Perilaku

Indikator Terekstraksi

referendum, seorang kandidat memilih strategi pemilu, seorang perdana menteri menerapkan kontrol upah dan harga, seorang legislator menekan tombol di lantai DPR AS, atau birokrat menyampaikan permintaan anggaran kepada atasan. Pilihan lainnya bersifat kolektif, seperti ketika mayoritas rakyat memilih seorang kandidat, parlemen menyetujui undangXQGDQJ«´ -DURVGDQ Grant, 1974)

Buku ini mengutip beberapa definisi perilaku politik dari beberapa sarjana untuk mengidentifikasi perilaku aktual yang relevan dengan konteks politik pada Tabel 3.1 Menurut klasifikasi sederhana dari definisi-definisi tersebut, perilaku dalam konteks politik terdiri dari aktivitas yang jelas (tindakan dan pilihan) dan aktivitas yang tidak terlihat (pemikiran dan keyakinan) dengan mempertimbangkan fungsi lingkungan yang dapat mendorong atau menghambat semangat aktor untuk melakukan aktivitas politik untuk tujuan atau kepentingan politik tertentu. Berkaitan dengan topik buku ini, konsep perilaku politik memberikan indikator fundamental untuk melihat secara jelas dan tidak jelas aktivitas politik pejabat dalam mengambil kebijakan dalam masa jabatan publiknya. Ini juga mencakup pentingnya memahami niat pejabat untuk memilih opsi kebijakan dan situasi

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

31

lingkungan di sekitar dirinya yang dapat mendukungnya untuk membuat pilihan kebijakan tertentu. Dengan demikian, dari penjabaran definisi perilaku politik, buku ini mengekstraksi konsep spesifik perilaku kebijakan sebagai ³tindakan dan pilihan tertentu serta pemikiran dan keyakinan pemimpin/ pejabat politik dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam prosesnya pembuat kebijakan mempertimbangkan situasi lingkungan dan aktor politik lainnya untuk menentukan pilihan kebijakan tertentu´. Untuk menghubungkan definisi spesifik perilaku kebijakan dengan teori proses pembuatan kebijakan yang lebih luas, buku ini menyajikan sebuah teori yang erat kaitannya dengan penjelasan perilaku pembuat kebijakan, yaitu inkrementalisme. Tinjauan ini merupakan upaya untuk menghubungkan topik kajian yang sempit ini dengan komunitas kajian yang lebih luas dalam proses pembuatan kebijakan. 1.1.2 Inkrementalisme: Pembacaan Warisan Akademik Lindblom Membahas inkrementalisme sebagai salah satu teori pembuatan kebijakan utama sebagian besar bergantung pada karya Charles E. Lindblom, seorang ekonom politik dari Universitas Yale (Kelly dan Palumbo, 1992 dalam Hawkesworth and Kogan, 1992). Lindblom mendefinisikan inkrementalisme dalam dua pengertian yang berbeda, namun keduanya saling berhubungan. Pertama, Lindblom menggunakan politik inkremental sebagai pola politik yaiWX³SHUXEDKDQSROLWLNGHQJDQODQJNDK-langkah kecil (terlepas dari PHWRGH DQDOLVLV ´   'DODP NRQWHNV LQL LQNUHPHQWDOLVPH menunjukkan tingkat perubahan kebijakan, khususnya dibandingkan dengan kebijakan yang sama sebelumnya. Dalam upaya pertamanya untuk menempatkan landasan akademik inkrementalisme sebagai pendekatan alternatif proses pembuatan kebijakan3, Lindblom menyiratkan beberapa Penjelasan tersebut ditulis dalam Lindblom, Charles E. (1959) ‘The Science of “Muddling Through”’ Public Administration Review . 19 (2):79-88. 3

32

Wawan Sobari

karakteristik inkrementalisme. Dia mengusulkan bahwa kerangka inkrementalisme adalah perubahan situasi terkini dengan perubahan langkah demi langkah dan derajat kecil. Perubahan kecil dirancang karena situasi kebijakan yang kompleks dan harus ditangani oleh pembuat kebijakan. Membuat kebijakan publik untuk organisasi publik tidak sesederhana seperti di organisasi kecil atau swasta. Berbagai kepentingan yang beragam dan kompleks, bahkan kepentingan yang saling bertentangan, harus diakomodasi dan dapat menimbulkan adanya ruang perselisihan (1959). Selain itu, perubahan kecil tersebut sebenarnya terjadi karena analisis kebijakan memiliki keterbatasan lain dalam praktiknya. Pembuat kebijakan umumnya memiliki informasi yang tidak memadai untuk mendukung argumen dan pilihan kebijakan mereka. Juga, analisis kebijakan berbasis bukti yang sempurna harus menghadapi dilema antara darurat solusi masalah dan batas waktu yang ada (Lindblom, 1968). Terakhir, pembuat kebijakan harus bertahan dalam ketidakmungkinan merumuskan masalah kebijakan berdasarkan definisi masalah analitik sederhana. Komponen moral tidak ada dalam setiap pertanyaan dan diskusi kebijakan. Dan, PHUHND KDUXV GLUHNRQVLOLDVL GHQJDQ PHQJDFX SDGD ³QLODL-nilai atau NHSHQWLQJDQ \DQJ EHUNRQIOLN GL PDV\DUDNDW PDQD SXQ´ \DQJ membuka keterlibatan politik dalam analisis kebijakan (Lindblom 1980). Kedua, Lindblom meningkatkan inkrementalisme dua puluh tahun kemudian setelah publikasi terkemuka pertamanya pada tahun 1959. Dia membuat perbedaan yang jelas antara politik inkremental dan analisis inkremental. Sebagai analisis kebijakan, inkrementalisme memiliki tiga pengertian, yaitu analisis inkremental sederhana, inkrementalisme terputus-putus, dan analisis strategis. Serupa dengan publikasi sebelumnya, Lindblom (1979) meletakkan asumsi dasar bahwa implementasi inkrementalisme dalam dasar analisis kebijakan diaplikasikan pada masalah kebijakan yang kompleks. Untuk konotasi pertama, inkrementalisme berarti alternatif kebijakan untuk menjawab permasalahan yang hanya menawarkan ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

33

perubahan kecil dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya (status quo). Lindblom berpendapat bahwa analisis inkremental sederhana mendorong pembuat kebijakan atau analis kebijakan untuk membuat perubahan yang µenggan¶ terhadap masalah saat ini. Dia telah mencatat bahwa mereka biasanya "berpikir kecil, malu-malu, konservatif tentang perubahan sosial". Analisis kebijakan mengikuti strategi ketidaklengkapan untuk mengamati dan meninjau semua pilihan kebijakan yang mungkin karena analisis inkremental sederhana adalah 'praktik perubahan politik' (Lindblom, 1979). Untuk pemaknaan yang kedua, Lindblom (1979) memberikan ciri khas inkrementalisme. Dia menolak untuk memisahkan antara makna pertama dan kedua. Lindblom mengatakan bahwa analisis inkremental sederhana adalah salah satu dari beberapa elemen inkrementalisme terputus-putus. Ini memiliki lebih dari satu karakteristik analisis kebijakan. Analisis adalah proses terbatas untuk menilai preferensi kebijakan yang diinformasikan. Analisis tidak dapat menghindari keterkaitan atau bahkan persaingan antara tujuan kebijakan dan kepentingan pembuat kebijakan untuk mengkaji masalah kebijakan yang sebenarnya. Pun, analisis lebih besar sebagai reaksi yang tidak disengaja terhadap masalah daripada pemeriksaan menyeluruh terhadap tujuan kebijakan yang positif. Selanjutnya, analisis kebijakan hanya menawarkan solusi coba-coba untuk masalah, dan akibatnya, menghasilkan episode perubahan yang kecil dan panjang. Kemudian, inkrementalisme terputus-putus dengan sengaja mencari sejumlah biaya yang masuk akal dari opsi yang dipertimbangkan untuk mengatasi masalah. Akhirnya, analisis terputus-putus membagikannya kepada banyak aktor partisan dalam pembuatan kebijakan. Tentang makna ketiga, Lindblom menyatakan bahwa analisis strategis mencakup inkrementalisme terputus-putus sebagai salah satu bentuk yang mungkin. Lindlom (1979) memberi label analisis strategis sebagai pendekatan lebih realistis yang merekomendasikan pilihan strategis untuk masalah yang kompleks daripada analisis

34

Wawan Sobari

komprehensif. Dia berpendapat bahwa sifat dari masalah kebijakan (sosial) adalah multifaset (kompleks). Masalah biasanya melibatkan banyak kepentingan, kemungkinan alternatif, dan konsekuensi untuk dipetakan dan ditinjau. Namun demikian dalam situasi nyata, pembuat kebijakan dibatasi oleh batas waktu, oleh karena itu solusi yang realistis adalah dengan menggunakan 'analisis parsial'. Untuk mempraktikkan analisis, pembuat kebijakan harus mempersingkat berbagai taktik untuk mendekati masalah yang kompleks. Analisis atau sinopsis yang lengkap tidak akan memenuhi harapan pembuat kebijakan yang harus menghadapi banyak masalah sehari-hari maupun darurat dalam masyarakat (Linblom, 1979). 1.1.3 Politik Proses Kebijakan The policy-making process can explain partially how governments pursue their various policy targets, but not why the targets are chosen. Charles E. Lindblom, 1980 Dalam memperdebatkan perlunya menghitung politik sebagai faktor mendasar untuk menganalisis proses pembuatan kebijakan, Lindblom (1980) awalnya membuat daftar beberapa batasan metode komprehensif rasional. Dalam publikasinya4, ia mengajukan empat keberatan mengenai metode tersebut. Keterbatasan pertama adalah falibilitas metode. Dia menunjuk pada dua situasi kontradiktif yang dapat menghambat upaya rasional pembuatan kebijakan, yaitu ketidakmampuan kapasitas rasional manusia dan masalah kebijakan kompleks yang harus diselesaikan. Kapasitas yang terbatas biasanya menghasilkan analisis masalah yang dangkal dan bahkan bias. Selain itu, pembuat kebijakan mempertimbangkan kendala mereka untuk menyediakan informasi yang cukup untuk mendukung argumen kebijakan. Pada saat yang ‘The Science of Muddling Through’ (1959); ‘The Policy-Making Process ‘(1968); ‘Still Muddling, Not Yet Through’ (1979); ‘The Policy-Making Process’ 2nd edition (1980). 4

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

35

sama, para pembuat kebijakan harus menangani masalah-masalah publik yang beraneka segi yang membutuhkan lebih dari sekadar analisis teknis semata. Kedua, yaitu nilai-nilai yang bertentangan. Pembuat kebijakan harus menghadapi kepentingan yang berbeda atau kontradiktif di antara masyarakat menuju tujuan kebijakan yang diusulkan. Di satu sisi, banyak pihak yang akan diuntungkan dari opsi kebijakan yang diajukan pemerintah. Di sisi lain, pemerintah juga harus menghormati bagian masyarakat lain yang dirugikan karena opsi kebijakan yang telah disepakati. Lindblom (1980) juga menegaskan bahwa kriteria kepentingan publik dari pilihan kebijakan sering diperdebatkan untuk berbagai kelompok masyarakat dengan karakteristik dan latar belakang yang berbeda. Ketiga, banyak masalah publik yang sering meminta solusi darurat, sebaliknya, pembuat kebijakan memiliki waktu dan sumber daya yang terbatas untuk menyelesaikan masalah ini. Analisis yang sempurna membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk mendapatkan hasil yang ideal, dan akibatnya menghabiskan sumber daya untuk membiayai proses analitis. Oleh karena itu, pembuat kebijakan akan lebih memilih metode yang cepat dan lebih murah untuk memutuskan pilihan kebijakan daripada analisis yang memakan waktu dan biaya secara komprehensif (Linblom, 1980). Akhirnya, dalam situasi yang kompleks, mendefinisikan masalah kebijakan tidaklah sederhana. Kepentingan dan nilai yang diperebutkan mewarnai perumusan masalah kebijakan. Lindblom (1980) berpendapat bahwa derajat ketepatan merumuskan masalah kebijakan adalah relatif. Dengan demikian, ia menyarankan bahwa meskipun upaya rasional dapat membantu menjawab pertanyaan kebijakan, analisis kebijakan juga harus merujuk pada perselisihan nilai atau kepentingan dalam masyarakat mana pun. Selain keterbatasan metode rasional, model kebijakan politik5 yang dipelopori oleh Lindblom menunjukkan asumsi dasar Matheson (2009) menggunakan istilah mode kebijakan politik untuk menggeneralisasi karya Lindblom. 5

36

Wawan Sobari

dari proses pembuatan kebijakan yang nyata. Dalam dunia empiris, pembuatan kebijakan adalah arena kontestasi atau kompetisi. Pembuat kebijakan melakukan 'permainan kekuasaan untuk memengaruhi, mengendalikan, atau kekuasaan satu sama lain' (Linblom, 1980). Dia mengamati bahwa dalam membuat kebijakan, pemain (aktor) formal mengerahkan kekuasaan melalui legitimasi otoritas pemerintah dengan manuver legal dan ilegal yang cerdas. Mereka juga berinteraksi dengan pemain non-pemerintah, seperti kelompok kepentingan, partai politik, dan bisnis. Mereka melakukan praktik yang melanggar hukum dari aturan tertulis pemerintah, pembicaraan uang, dan melakukan bantuan (Linblom, 1980). Petunjuk untuk memahami pelaksanaan kekuasaan dalam pembuatan kebijakan adalah pernyataan bahwa pembuat kebijakan ingin mengarahkan proses pembuatan kebijakan untuk mengakomodir kepentingannya, dalam isi kebijakan tertulis, dan memberikan berbagai kemudahan (manfaat nampak dan tak nampak). Tabel 3.2 Politik Sebagai Alternatif Mode Kebijakan Dasar argumen Batasan analisis Kebijakan: falibilitas, waktu dan biaya, konflik nilai, perumusan masalah Asumsi dasar Untuk menetapkan kebijakan, para aktor berinteraksi untuk melakukan pengaruh, kontrol, atau kekuasaan satu sama lain Aktor Elit pejabat, elit kelompok kepentingan, elit pendirian (analis kebijakan), komunitas bisnis, pimpinan partai politik Penggunaan kontrol Persuasi, pertukaran, wewenang dalam permainan kekuasaan Mekanisme di antara Kontrol dan penyesuaian timbal balik: pembuat kebijakan Tawar-menawar, perdagangan manfaat terdekat kontinjensi, pembayaran, atau bantuan Mode analisis Analisis partisan: metode mengerahkan ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

37

kebijakan

kontrol Analisis kebijakan sebagai instrumen permainan kekuasaan, bukan alternatif darinya Sumber: Lindblom (1968; 1979; 1980)

Unsur substansial analisis politik dalam proses pembuatan kebijakan selanjutnya yang dikemukakan oleh Lindblom (1968) adalah para aktor atau para pemain. Dengan mengacu pada politik nasional AS, ia mengidentifikasi tiga kelompok utama pembuat kebijakan atau pembuat kebijakan, yaitu elit pejabat, elit kelompok kepentingan, dan elit pembentuk. Elit resmi terdiri dari kelompok kecil termasuk pejabat pemerintah dan pemimpin politik. Lindblom (1968) melabeli istilah khusus untuk pejabat sebagai pembuat kebijakan terdekat atau elit yang memiliki posisi penting untuk proses pembuatan kebijakan yang sebenarnya. Dia menyebut presiden, legislator, administrator tingkat tinggi, dan hakim sebagai bagian dari kelompok ini. Tiga ciri khas elite pejabat dalam proses pengambilan keputusan adalah kedekatannya dengan proses, peran yang menentukan untuk menentukan kebijakan, dan subordinasi terhadap pemain lain. Mengenai kelompok kepentingan (interest group), Lindblom merevisi definisinya pada publikasi tahun 1980 6. Kelompok kepentingan bukan sekedar entitas atau aktor tertentu yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Ini juga mencakup kegiatan interaksi yang dilakukan oleh individu dan kelompok swasta yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan. Ia memberikan catatan penting bahwa aktor yang terlibat bukan hanya orang-orang yang memegang kekuasaan pemerintahan. Untuk melakukan interaksi yang memengaruhi kebijakan, kelompok kepentingan bekerja sama dengan pejabat pemerintah untuk memainkan peran yang sangat diperlukan dalam pembuatan kebijakan. Dalam praktik umum, Revisi trehadap pendapat dalam Lindblom, Charles E. (1959) ‘The Science of “Muddling Through”’ Public Administration Review . 19 (2):79-88. 6

38

Wawan Sobari

kegiatan kelompok kepentingan melakukan tindakan terkait pembuatan kebijakan tertentu, yaitu klarifikasi dan artikulasi kepentingan warga negara, pembentukan agenda, fungsi pengawasan, dan pemecahan masalah interaktif. Elit pembentuk adalah analis kebijakan yang memberikan analisis kebijakan partisan untuk memengaruhi pembuatan kebijakan. Analis, dengan kemampuannya yang terampil dalam isu tertentu, memainkan peran penting untuk memberikan efek yang besar bagi pembuat kebijakan untuk mengikuti ide, saran, dan karya mereka. Mereka adalah pakar dan praktisi analisis kebijakan yang mendominasi wacana kebijakan. Lindblom (1968) mencantumkan beberapa contoh elite yang eksis di AS, yaitu pemerintah, asosiasi swasta, universitas, dan surat kabar yang tergabung dalam Council on Foreign Relations. Selain membuat daftar aktor dalam proses pembuatan kebijakan, Lindblom mengamati hubungan antaraktor. Ia menyatakan bahwa inkrementalisme mendasarkan asumsinya pada demokrasi liberal yang memungkinkan berbagai aktor dan pemangku kepentingan untuk terlibat dan berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan (Kelly dan Palumbo, 1992). Namun, demokrasi liberal juga menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks yang mana hubungan antaraktor tidak selalu merupakan keseimbangan hubungan kekuasaan yang ideal. Sekelompok aktor lebih dominan daripada yang lain karena kedekatan mereka dengan proses pembuatan kebijakan. Mereka umumnya adalah aktor yang secara formal memegang otoritas untuk membuat kebijakan, meskipun beberapa aktor, seperti pemimpin politik, pemimpin kelompok kepentingan, dan pengusaha juga memiliki akses untuk memengaruhi proses tersebut. Aktor menjalankan permainan kekuasaan dari kepentingan mereka untuk menetapkan kebijakan. Gambar 3.1 menyederhanakan praktik kekuasaan yang diadaptasi dari Lindblom. Aktor menggunakan dua metode utama, yaitu kontrol dan otoritas. Pembuat kebijakan dan pemimpin organisasi non-pemerintah melakukan kontrol melalui analisis persuasi dan partisan, ancaman, ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

39

dan pertukaran untuk mendorong proposal kebijakan di arena pembuatan kebijakan. Persuasi, baik persuasi yang jujur maupun yang menipu, memberikan analisis tentang biaya dan manfaat dari preferensi kebijakan. Analisis ini merupakan instrumen persuasi atau alat kontrol dalam interaksi politik. Analisis tersebut memberikan pula fakta dan argumen dengan sudut pandang yang GLEDQJXQ DWDX µVHUDQJNDLDQ NHSHQWLQJDQ¶ XQWXN PH\DNLQNDQ DNWRU dalam proses pembuatan kebijakan. Sementara itu, dalam praktik pembuatan kebijakan yang normal dan formal, ancaman jarang digunakan. Demokrasi konstitusional mengacu pada landasan hukum dan moral untuk membatasi penggunaan ancaman, dari ancaman ringan hingga ekstrim, di antara para pelaku kebijakan. Yang terakhir adalah pertukaran atau jual-beli manfaat (Lindblom, 1968). Lindblom (1980) memberikan ilustrasi pertukaran sederhana seperti µBuku ini mengusulkan agar Anda melakukan sesuatu yang buku ini inginkan, dalam hal ini buku ini akan melakukan sesuatu yang Anda inginkan'. Dengan demikian, pertukaran menyiratkan barter manfaat atau transaksi kepentingan untuk melakukan control pembuatan kebijakan. Pertukaran mengambil tiga bentuk utama, yaitu bantuan eksplisit, timbal balik, dan uang. Lindblom (1980) membuat sedikit perbedaan antara kontrol dan otoritas. Metode kontrol ini memanfaatkan persuasi, ancaman, pertukaran untuk menggunakan kekuatan dalam pengambilan keputusan. Namun, otoritas menggunakan aturan tetap untuk mendapatkan kepatuhan. Penggunaan otoritas dapat berfungsi sebagai dasar pemerintahan. Dengan demikian, otoritas dapat mengarahkan proses pembuatan kebijakan. Pada saat yang sama, implementasi otoritas menguntungkan pembuat kebijakan.

40

Wawan Sobari

Gambar 3.1 Permainan Kekuasaan dalam Proses Pembuatan Kebijakan The Play of Power in Policy-Making Process

Mutual control and adjustment

Interest group leaders

Chief of Executive Political parties (Political bosses and party officials)

control

Control and authority

Businessmen

Legislators

Partisan Analyst

supports x  x  x  x  x 

Party workers Journalists Opinion leaders Terrorists Officials of subordinate units of govt.

Ind

i re

ol ntr Co

ct co re ntro jec l ( tio su n ) pp o

w (Po

rt /

er)

High-level administrators

Policy-making process (Problem definition, formulation, decision-making) Methods in the play of power: x  Control/power (Persuasion, threat, exchange benefit) x  Authority (Persuasion/ media, exchange, money)

Policy outputs (Law, regulations, budget, etc.)

Adopted from Lindblom 1968 and 1980

Lindblom memberikan perhatian khusus kepada aktor-aktor yang memegang otoritas formal. Mereka memiliki hubungan paling dekat dengan proses pembuatan kebijakan (proximate policy-makers). Mereka memiliki akses dan kontrol yang lebih besar terhadap proses tersebut. Singkatnya, para aktor ini memainkan peran yang lebih menentukan daripada aktor lain dalam pembuatan kebijakan. Lindblom (1980) menegaskan bahwa metode pembuat kebijakan menerapkan metode yang disebut 'saling mengontrol dan menyesuaikan' dalam kerjasama informal mereka. ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

41

Dalam praktik empiris, ia mengamati bahwa proses pembuatan kebijakan merupakan arena kerja sama antarpembuat kebijakan terdekat (1968). Persaingan hanyalah instrumen untuk mencapai pembagian kepentingan di antara para pembuat kebijakan. Dengan demikian, kepala eksekutif dan legislator melakukan check and balance tidak dimaksudkan untuk mencari pemenang dalam persaingan, tetapi untuk mendistribusikan sumber daya dan manfaat untuk membangun kolektivisme. Penyesuaian timbal balik menggunakan aturan timbal balik sebagai aturan universal. Doktrin logika ini adalah "...kewajiban pada setiap individu untuk membalas budi" (Lindblom, 1968). Metode penyesuaian umum adalah tawar-menawar yang menyiratkan 'perdagangan keuntungan, pembayaran, atau bantuan kontingen'. Namun, kontrol dan penyesuaian timbal balik tidak selalu dilakukan dalam tawar-menawar yang langsung dan terlihat. Saling ketergantungan antarpembuat kebijakan biasanya akan mengarah pada situasi timbal balik untuk mengurangi kontestasi kepentingan dalam proses pembuatan kebijakan. Seorang pembuat kebijakan mengantisipasi sikapnya terhadap suatu kebijakan dengan mempertimbangkan pembuat kebijakan lain yang mendukungnya. Dengan demikian, mereka terlibat dalam kerjasama tersembunyi untuk memastikan keamanan mereka untuk mendapatkan keuntungan bersama (Lindblom, 1980). Meskipun pembuat kebijakan formal memiliki peran yang lebih dominan dan menentukan dalam proses pembuatan kebijakan. Lindblom (1980) mempertimbangkan peran aktor nonpemerintah dalam permainan kekuasaan. Ia menyebut kelompok kepentingan dan pengusaha yang biasa dikaitkan dengan proses pembuatan kebijakan. Mereka dapat mengajukan dukungan, tuntutan, atau bahkan penolakan terhadap usulan kebijakan yang sedang dibahas oleh pembuat kebijakan. Kelompok kepentingan berusaha memengaruhi pembuat kebijakan melalui beberapa cara, yaitu persuasi, memerintah, mengantarkan pemilih, dan kampanye. Sementara itu, pengusaha memberikan pengaruh yang lebih kuat untuk menggerakkan pembuat kebijakan karena daya tawar

42

Wawan Sobari

mereka yang dapat menentukan pasar dan produksi ekonomi nasional. Pemerintah khawatir kegagalan bisnis berpotensi menimbulkan dampak besar dan memicu ketidakstabilan negara serta posisi elit penguasa. Konsekuensinya, pembuat kebijakan memberikan ruang khusus bagi para pengusaha. Mirip dengan kelompok kepentingan, pengusaha menjalankan kekuasaan dalam proses pembuatan kebijakan melalui persuasi, pertukaran, dan otoritas. Mereka memiliki pengaruh yang lebih besar dan efektif terhadap pembuatan kebijakan pemerintah karena keuntungan mereka memiliki dana, organisasi yang mapan, dan akses istimewa ke pejabat pemerintah melalui diskusi rutin dan sering untuk mendapatkan informasi dan nasihat (Lindblom, 1980). Partai politik merupakan aktor lain yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan. Terdapat perbedaan peran yang dapat dimainkan oleh partai berdasarkan sistem pemerintahan yang khas, yaitu pemerintahan parlementer, sistem presidensial, dan pemerintahan otoriter. Partai politik dan/atau pimpinan partai menggunakan kekuasaannya melalui kewenangannya untuk mengontrol legislator. Pemimpin partai memengaruhi legislator 'untuk berpegang pada program partai' dalam proses pembuatan kebijakan (Lindblom, 1980). Selain itu, partai memberikan informasi dan saran bagi legislator dalam pengambilan kebijakan. Kemudian, legislator bermain aman dalam pembuatan kebijakan untuk mengamankan posisi mereka di partai dan keanggotaan legislatif serta untuk menutupi ketidakmampuan mereka menangani isu-isu kebijakan tertentu (Ripley, 1975; Wahlke, 1974 dalam Linblom, 1980). 1.2 Informal Governance, Institusi Informal, dan Negara Bayangan (shadow state) Consideration of informal rules is also often critical to explaining institutional outcomes. Informal structures shape the performance of formal institutions in important and often unexpected ways. Helmke and Levitsky, 2004 ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

43

Transisi pasca-otoriter memiliki hasil proses yang khas, yaitu bentuk informalitas dalam proses pemerintahan dan politik (Helmke dan Levitsky, 2004) 7. Informalitas mungkin terjadi karena ketidaksesuaian antara institusi formal yang ada dengan euforia politik reformasi. Lambatnya transformasi struktur pasca-otoriter dan tuntutan reformasi yang cepat telah meninggalkan beberapa kelemahan ketidakdewasaan demokrasi. Situasi ini telah memberikan ruang kepada aktor informal untuk bermain di rezim pasca-otoriter. Informalitas memiliki beberapa tampilan yang tidak selalu terlihat oleh orang dan pengamat. Informalitas nampak dalam bentuk aturan informal, aktor atau pemain di luar pemerintah, interaksi nonformal, tawar-menawar dan kompromi tersembunyi, dan praktik ilegal. Dalam literatur politik dan ekonomi, isu dan praktik informalitas diakomodasi dalam beberapa istilah konseptual dengan substansi esensial yang serupa. Pakar politik menggunakan istilah informal governance, lembaga informal, dan negara bayangan untuk merujuk pada fenomena informalitas baik di negara demokrasi baru maupun lama. 1.2.1 Informal Governance (Tata Kelola Informal) Informal governance bisa menjadi istilah yang paling asing digunakan oleh para sarjana untuk mewakili praktik informalitas dalam proses pemerintahan dan kebijakan. Namun, istilah tersebut memiliki konotasi yang mirip dengan dua istilah konseptual lainnya (lembaga informal dan negara bayangan) untuk memotret praktik dan lembaga yang mengambil posisi di luar pemerintahan formal, namun memiliki pengaruh dan dampak pada proses dan hasil formal pemerintahan. B. Guy Peters adalah salah satu ilmuwan yang konsisten menggunakan istilah ini. Peters (2006) berpendapat bahwa pemberian kata sifat untuk istilah governance (tata kelola Dalam Gel'man (2004). Memang, informalitas juga umum terjadi di negaranegara demokrasi maju dengan tingkat kejadian yang berbeda-beda. 7

44

Wawan Sobari

pemerintahan) berdampak pada pengukuran kinerja praktik governance di banyak negara. Good governance adalah kata sifat paling populer yang ditambahkan ke istilah ini. Akibatnya, munculnya informal governance tidak dapat dihindari. Peters (2006) secara tidak langsung menyatakan bahwa istilah informal governance ³PHQJLV\DUDWNDQ EDKZD governance dilakukan melalui aktor dan SURVHVGLOXDUSHPHULQWDKDQIRUPDO´ dalam Bevir, 2007). Dalam penjabaran lebih detail mengenai konsep dan praktik informal governance, Peters (2006) menjelaskan bahwa informal governance adalah proses tata kelola yang melibatkan sejumlah aktor non-negara dan prosedur informal. Dalam praktiknya, informal governance menyiratkan inklusi yang luas dalam proses kebijakan. Dia juga menyarankan bahwa informal governance terdiri dari mekanisme informal governance, proses implementasi informal, dan instrumen informal (tawar-menawar) (2006). Sementara itu, Hidayat (2009) menerapkan istilah informal governance dalam politik yang mirip dengan shadow state dan ekonomi informal. Ia memperluas cakupan aktor yang terlibat hingga aktor negara. Dalam konteks lokal di Indonesia, Hidayat (2009) mengamati bahwa informal governance terdiri dari aktor-aktor tertentu yang memiliki kekuatan informal, yaitu jawara (orang kuat) dan pengusaha8. Mereka memainkan pembuatan kebijakan transaksional dengan pembuat kebijakan untuk mendapatkan peran yang menentukan dalam proses pembuatan kebijakan, terutama dalam pengalokasian anggaran daerah (dalam Erb and Sulistiyanto, 2009). Melalui konsepsi tersebut, muncul beberapa istilah kunci yang mewakili definisi informal governance, yaitu aktor non-negara, mekanisme informal, proses kebijakan di luar pemerintahan formal.

Hidayat mengamati fenomena informal governance di Provinsi Banten sebelum pelaksanaan pilkada dan di Provinsi Jambi setelah pelaksanaan pilkada. 8

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

45

1.2.2 Institusi Informal Dibandingkan dengan informal governance dan negara bayangan, istilah Lembaga informal paling populer di kalangan ilmuwan politik. Sarjana yang memiliki fokus minat mempelajari institusi informal terutama mengacu pada karya penting O'Donnell pada tahun 1996 tentang "institusionalisasi informal" 9. Dia awalnya mengkritik ketidakpekaan ilmuwan politik terhadap masalah yang dihadapi beberapa negara demokrasi yang lebih fokus pada SHOHPEDJDDQ GHPRNUDVL 2¶'RQQHOO PHQJDPDWL EDKZD PDVDODK demokrasi (poliarki), khususnya di Amerika Latin sebagai referensi empiris utamanya, bukan hanya karena kurangnya pelembagaan, tetapi juga peran lembaga informal. O'Donnell secara sederhana PHQJJDPEDUNDQ GXD LQVWLWXVL SHQWLQJ LQL VHEDJDL ³VDWX VDQJDW formal, tetapi terputus-putus: pemilu. Yang lainnya bersifat informal, permanen, dan meresap: partikularisme (atau klientelisme, GLGHILQLVLNDQVHFDUDOXDV ´   O'Donnell (1996), kemudian, memusatkan konsepsinya tentang 'informalisasi' sebagai partikularisme. Suatu situasi dapat diklasifikasikan sebagai partikularisme jika individu menjalankan institusi politik dan negara yang dikemudikan oleh orientasi nonuniversalistik atau motif partikularistik. Dua istilah kunci dapat dipetik dari konsepsi ini, yaitu partikularisme dan orientasi (norma dan aturan). Konsep lembaga informal yang lebih elaboratif ditunjukkan oleh Helmke dan Levitsky (2004) yang mendefinisikan lembaga LQIRUPDO VHEDJDL ³DWXUDQ EHUVDPD VHFDUD VRVLDO ELDVDQ\D WLGDN tertulis, yang dibuat, dikomunikasikan, dan ditegakkan di luar jalur UHVPL´ ,QVWLWXVL LQIRUPDl berbeda dengan institusi formal, seperti konstitusi, undang-undang, dan peraturan yang dibuat melalui jalur resmi, seperti pengadilan, legislatif, dan birokrasi. Melalui definisi ini, Helmke dan Levitsky (2004) memperingatkan untuk membedakan antara institusi informal dan organisasi informal 9

Lihat Helmke and Levitsky (2004) and Gel’man (2004). 46

Wawan Sobari

(aturan dan pemain). Berkaitan dengan studi ini, peringatan mereka telah mengingatkan buku ini bahwa organisasi politik baik formal PDXSXQ LQIRUPDO KDUXV GLVLNDSL GHQJDQ MXGXO ³LQVWLWXVLRQDOLVPH´ GDQDWDX ³LQVWLWXVLRQDOLVPH EDUX´ 0HUHND MXJD WHODK PHPEHULNDQ petunjuk bahwa bentuk organisasi informal bisa berupa klan, mafia, dan struktur informal lainnya. Dari definisi ini, buku ini dapat mengutip dua istilah kunci: aturan bersama yang tidak tertulis secara sosial dan disusun oleh aktor dan saluran non-negara. Selain itu, berdasarkan pengamatan ekstensif di Afrika, Bratton (2007) mengungkapkan definisi lembaga informal. Serupa dengan O'Donnell yang mensurvei praktik lembaga informal di negara berkembang, Bratton mendefinisikan lembaga informal sebagai "yang buku ini maksud dengan lembaga informal adalah pola hubungan patron-klien di mana kekuasaan juga dijalankan". Aspek menarik yang diutarakan Bratton adalah pernyataan langsung kekuasaan yang cocok dengan praktik lembaga informal. Pernyataan ini dengan jelas menandai hubungan patron-klien yang dilakukan di luar organisasi dan mekanisme pemerintah dan mungkin melibatkan isu kekuasaan sebagai insentif atau dukungan dari hubungan informal. Dari definisi tersebut muncul dua kata kunci: hubungan patron-klien dan kekuasaan. Lauth (2000), ilmuwan politik lainnya, memberikan definisi dan kategorisasi institusi informal yang lebih inklusif. Dengan mempertimbangkan pandangan institusionalisme baru, Lauth mengidentifikasi institusi informal sebagai alternatif perspektif institusional pada institusi yang didefinisikan sebagai gagasan norma. Kritiknya terhadap definisi institusi sebagai norma atau aturan formal sangat penting. Norma atau aturan ini memang tidak efektif untuk terus-menerus menciptakan efek pada politik nyata. Selain itu, ada peran dan norma lain yang ada di luar peraturan formal yang lebih berdampak. Dibandingkan dengan penjelasan lembaga formal, Lauth (2000) menyatakan bahwa: µLembaga formal dikodifikasikan secara terbuka…Sementara lembaga formal dijamin oleh lembaga negara dan persetujuannya disetujui ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

47

oleh negara, lembaga informal semata-mata didasarkan pada fakta keberadaan dan keefektifannya. Kekuatan sanksi yang terlibat dengan mereka sebagian besar terkait dengan mekanisme eksklusi sosial, atau hanya didasarkan pada syarat bahwa nonpemanfaatannya meminimalkan kesempatan untuk mendapatkan akses ke barang dan jasa. Institusi informal sama-sama dikenal dan dikenali publik; namun, mereka tidak ditetapkan secara tertulis¶ Dari definisi tersebut, kelembagaan informal identik dengan norma dan aturan tidak tertulis yang ternyata dapat memberikan pengaruh yang lebih efektif dibanding sebaliknya. Sanksi bukan semata-mata unsur pemaksa agar lembaga informal dapat dilaksanakan dan dipatuhi dengan baik, tetapi penjelasan yang terpenting adalah tentang relevansinya yang dapat diterima dalam kenyataan. Definisi ini memunculkan beberapa kata kunci: aturan atau norma tidak tertulis, keberadaan dan efektifitas, dapat dikenali publik, tidak selalu disetujui. Relevan dengan kajian ini, Lauth (2000) mengkaitkan pentingnya konsep institusi informal dengan teori demokrasi. Secara khusus, ia mengkategorikan lembaga informal dalam kaitannya dengan perannya sebagai sarana untuk melakukan pengaruh politik. Sebab, dalam politik praktis, institusi informal bersaing dengan klaim negara untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Ia kemudian memperkenalkan lembaga informal partisipasi politik (IIPP). Lembaga dimaksudkan adalah lembaga-lembaga informal yang melakukan partisipasi politik untuk memengaruhi para pengambil keputusan politik dan lembaga-lembaga negara. Mereka mengusahakan proses kebijakan agar mempertimbangkan dan mengakomodir kepentingan mereka dalam kebijakan formal. Untuk melakukan partisipasi, lembaga informal menempuh dua strategi, yaitu jalur formal dan informal. Modus pertama menerapkan dampak langsung terhadap partisipasi politik dengan membentuk kebijakan pemerintah dalam koridor formal. Juga, dalam mode kebijakan ini, lembaga informal melakukan penilaian biaya dan manfaat dari setiap pilihan kebijakan. Strategi informal 48

Wawan Sobari

melampaui lembaga formal melalui saluran tambahan yang bertujuan untuk memengaruhi proses dan keluaran kebijakan. Dalam praktiknya, IIPP dilaksanakan dalam lima bentuk, yaitu hubungan khusus (clientelism), pertukaran material (korupsi), penggunaan pengaruh kekerasan (ancaman putsch), perlawanan sipil (pembangkangan sipil), dan praktek hukum (hukum adat) (Lauth, 2000). Tabel 3.3 Tipe Lembaga Informal Tipe Karakter Khusus Klientelisme Hubungan pertukaran (manfaat) antara patron dan klien, hubungan patron-klien yang tidak seimbang, partikularistik dalam hubungan kepercayaan. Jenis: kekerabatan, mafia, nepotisme/patronase, klik otokratis dan partai klientelistik. Korupsi Manipulasi keputusan, memuaskan kepentingan partikularistik, penggunaan sumber daya publik, mengurangi pemerintahan yang efektif Ancaman Membuat ancaman atau partisipasi berbasis pemberontakan kekerasan: ancaman pemberontakan, perang gerilya, kerusuhan dan kejahatan terorganisir Pembangkangan sipil Kekerasan fisik, ancaman, kepastian fakta ideasional (Habermas dkk, 1983 dalam Lauth, 2000), kegagalan jalur formal Hukum adat Bentuk pra-negara hukum, jalan lain, tidak mengikat negara, aturan non-kodifikasi dan mode perilaku Sumber: Lauth, 2000. Bentuk-bentuk IIPP yang dikemukakan oleh Lauth (tabel 3.3) meliputi partisipasi politik informal untuk memengaruhi proses pembuatan kebijakan. Aktor non-negara melalui berbagai cara partisipasi mempersuasi pembuat kebijakan melalui jalur kebijakan ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

49

non-resmi. Dibandingkan dengan keempat jenis IIPP lainnya, hukum adat menunjukkan bentuk partisipasi yang paling pasif. Ia tidak melakukan tekanan aktif kepada pembuat kebijakan, sebaliknya ia memberikan alternatif bagi pembuat kebijakan untuk merujuk kebijakan. 1.2.3 Negara Bayangan (shadow state) Sejalan dengan pengertian pemerintahan informal dan lembaga informal, konsep negara bayangan menunjukkan kemiripan fokus yang ingin digambarkan, yaitu lembaga non-negara, baik dari segi aktor maupun norma atau aturan. Seperti konsep lainnya, pemahaman tentang keadaan bayangan memiliki dua konteks keberadaan yang berbeda. Menurut konsepsi William Reno (1995), negara bayangan menunjuk pada sekelompok penguasa non-negara yang beroperasi di pasar informal dengan mengarahkan otoritas politik formal. Para pemain informal membangun aturan partikularistik dalam situasi lembaga formal yang tidak efektif. Reno menjelaskan bahwa prakondisi negara yang tidak mampu telah mendukung terjadinya negara bayangan atau 'kehancuran total lembaga formal negara'. Negara bayangan berjalan dengan merongrong pemerintahan formal dan melemahkan aparatur negara di untuk menguasai pasar dan mendapatkan keuntungan komersial. Ini beroperasi dalam jaringan dengan aturan tidak tertulis (Funke dan Solomon 2002, p. 1). Konsepsi-konsepsi tersebut bersumber dari pengamatan empiris atas pengalaman Negara-negara Afrika, khususnya Sierra Leone, yang terpuruk dalam krisis ekonomi berkepanjangan, lemahnya kemampuan administrasi pemerintahan, dan tekanan masyarakat internasional yang keras untuk melakukan transformasi. 3DVDU LQIRUPDO PHQJDPELO SRVLVL GDODP VLWXDVL LQL PHODOXL µNRQWrol SHUWXNDUDQ VZDVWD¶ 5HQR, 1995). Mendahulukan konteks kemunculan konsep akan memberikan pemahaman yang lebih baik ketika kita menjelaskannya.

50

Wawan Sobari

Penafsiran yang lain mengambil latar belakang kemunculan negara bayangan yang relatif berbeda, meskipun memiliki titik pembahasan yang sama. Cuti yang relatif sukarela dari badan-badan pemerintah untuk melayani fungsi-fungsi kesejahteraan adalah konteks khusus yang mendukung negara bayangan untuk berkembang lebih cepat di Inggris dan AS.10 Tindakan ini telah mendorong organisasi swasta dan nirlaba untuk 'mengambil alih' layanan sosial pemerintah. Wolch (1990) mendefinisikan negara ED\DQJDQ VHEDJDL ³DSDUDWXU SDUD-negara yang terdiri dari beberapa organisasi sektor sukarela, dikelola di luar politik demokrasi tradisional dan dibebani dengan tanggung jawab layanan kolektif utama yang sebelumnya dipikul oleh sektor publik, namun tetap EHUDGDGDODPOLQJNXSNRQWUROQHJDUD´ (dalamTrudeau, 2008) Dari definisi Wolch (1995), kita dapat mengekstraksi konsep bahwa negara bayangan bekerja di bawah wewenang yang didelegasikan pemerintah untuk melakukan pemberian layanan komunal. Meskipun menciptakan persaingan, negara bayangan menerima penugasan dari pemerintah yang berwenang untuk menyediakan layanan sosial. Selain itu, Wolch menyebutkan dengan jelas organisasi sukarela sebagai entitas negara bayangan.11 Kedua konsepsi ini menunjukkan keadaan asal yang kontras dari keadaan bayangan. Faktor penting yang menjelaskan ketidaksamaan ini adalah situasi sosio-ekonomi di mana negara bayangan itu ada. Yang pertama menunjukkan latar belakang negara berkembang dengan kemampuan pemerintah yang lemah untuk menegakkan aturan dan memengaruhi pasar. Padahal, yang terakhir menandakan argumen reformasi efektivitas dalam memberikan

Pengunduran diri negara secara bertahap karena tren nasional kemudian menjadi tren global reformasi administrasi, seperti desentralisasi, devolusi, privatisasi, dan proses terkait lainnya. Negara dengan sengaja mendelegasikan wewenang kepada organisasi nirlaba. 11 Definisi ini juga diadopsi oleh Lake dan Newman (2003) untuk menilai tanggung jawab sosial yang berbeda oleh organisasi berbasis masyarakat nirlaba. 10

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

51

layanan dan pemerintah mendelegasikan wewenang untuk melayani organisasi nirlaba dengan pilihan. Buku ini memutuskan untuk memilih konsep negara bayangan yang mengacu pada karya Reno dengan pengalaman negara-negara pasca-otoriter Afrika. Beberapa kata kunci yang dikutip dari pengertian ini adalah aktor non-negara, aturan tidak tertulis, pasar informal, hampir gagal, pemerintah yang tidak mampu, dan perilaku dan manfaat yang partikularistik. Sedangkan versi lain dari negara bayangan mengutip beberapa kata kunci, yaitu organisasi sukarela, penyediaan layanan, dan di bawah kendali negara. Tabel 3.4 Informal governance, Lembaga informal, dan Negara Bayangan Konsep Kata kunci Konvergensi Tiga Konsep Aktor non-negara, Informal Aktor non-negara, mekanisme informal, governance saluran tidak resmi, proses kebijakan, di luar terlihat efektif, aturan pemerintahan formal tidak tertulis, partikularistik, memengaruhi Lembaga Partikularisme, aktor dan kebijakan, non-sanksi informal saluran non-negara, hubungan patron-klien, kekuasaan, partisipasi politik, aturan atau norma tidak tertulis, keberadaan dan efektivitas, dapat dikenali secara publik, tidak selalu disetujui Negara bayangan

52

Reno (1995): aktor nonnegara, aturan tidak tertulis, pasar informal, hampir gagal, pemerintah yang tidak mampu, dan Wawan Sobari

Konsep

Kata kunci

Konvergensi Tiga Konsep

perilaku dan keuntungan tertentu. Wolch (1990): organisasi sukarela, penyediaan layanan, di bawah kendali negara. Penjelasan mengenai informal governance, informal Institutions, dan shadow state memunculkan rangkaian kata kunci sebagai ciri utama dari ketiga konsep tersebut. Aktor nonnegara adalah sekelompok pemain atau aktor yang tidak memiliki status tertentu sebagai bagian dari aparatur negara. Mereka adalah aktor utama yang menggunakan kekuatannya untuk memengaruhi kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dan/atau memasukkan kepentingannya ke dalam pilihan kebijakan. Memang, bentuk-bentuk informalitas juga melibatkan aktor negara yang sengaja atau tidak sengaja dalam beberapa kasus. Aktor negara yang lemah, tidak mampu, atau tidak bermoral 12 terutama menginvasi peluang aktor informal untuk terlibat dan mengejar kepentingan mereka dan/atau mendapatkan keuntungan dari pilihan kebijakan pemerintah. Saluran tidak resmi adalah jaringan yang menguntungkan yang digunakan oleh aktor informal yang melampaui prosedur formal untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan. Penggunaan saluran tersembunyi ini merupakan prosedur strategis untuk menghindari pengungkapan publik yang dapat menghambat atau memicu resistensi. Meskipun aktor informal memanfaatkan saluran tersembunyi melalui mekanisme alternatif untuk memengaruhi pilihan kebijakan, efek mereka terlihat efektif. Pilihan kebijakan Mereka juga kemungkinan aktor yang ingin mereformasi negara dan membutuhkan pihak luar untuk membantu melakukannya. 12

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

53

dengan muatan dan implementasi yang partikularistik merupakan output aktual untuk membuktikan peran efektif aktor informal dalam mengarahkan proses pembuatan kebijakan. Aturan tidak tertulis berkonotasi dengan aturan yang tidak dikodifikasikan yang ada di antara para aktor untuk memperketat komitmen mereka serta untuk mengamankan pergerakan informal. Buku ini mempertimbangkan untuk mencari aturan informal sebagai kesepakatan tak terlihat antaraktor maupun penerima dengan konsekuensi sanksi non-hukum untuk ketidaktaatan. Partikularisme menunjukkan motif aktor untuk mendorong distribusi barang publik di bawah kepentingan partikularistik mereka (O'Donnell, 1996). Pengaruh terhadap kebijakan menunjukkan sasaran partisipasi politik aktor informal serta norma dan nilai yang menyertainya untuk menuntut pembuat kebijakan agar menyesuaikan kepentingannya. Pengaruh juga merupakan bentuk kontrol dari pemain informal atas proses pembuatan kebijakan. Non-sanksi menandakan jaminan kepatuhan di antara para pelaku informal yang dibuat dalam kontrak yang disepakati secara sosial. Menerapkan kata-kata kunci ini sebagai penggabungan elemen-elemen substansial sangat berharga untuk mengungkap dan memahami persepsi dan praktik informalitas yang kompatibel dalam proses pembuatan kebijakan. Berdasarkan tinjauan definisi informal governance, lembaga informal, dan negara bayangan, studi ini menegaskan untuk menggunakan istilah µinformal governance' untuk mencermati informalitas dalam proses pembuatan kebijakan dan keluaran kebijakan yang dikaitkan dengan pemimpin. Praktik informalitas yang dijalankan oleh dan terkait dengan pejabat yang memimpin ditempatkan sebagai variabel yang dapat dianggap berkontribusi pada kelangsungan politik pejabat.

54

Wawan Sobari

Institusionalisme (Kelembagaan) Baru

U

ntuk menghubungkannya dengan perspektif yang lebih luas, buku ini menghubungkan konsep perilaku kebijakan, informal governance dengan institusionalisme baru dalam ilmu politik. Perilaku kebijakan dan informal governance dipandang sebagai institusionalisme baru dan menjadi bagian dari bidang minat dalam ilmu politik. Institusionalisme baru dengan mudah dipahami mengambil posisi sebagai komplementer (pelengkap) terhadap pendekatan LQVWLWXVLRQDODWDXµLQVWLWXVLRQDOLVPHODPD¶ (old institutionalism) dalam ilmu politik. Perspektif lama hanya memandang institusi sebagai struktur material atau dalam definisi materialis, seperti konstitusi, kabinet, parlemen, birokrasi, pengadilan, tentara, pengaturan federal atau otonomi, dan sistem kepartaian. Perspektif ini terlalu sempit untuk memahami bahwa tindakan tidak terjadi dalam ruang hampa institusional. Namun demikian, para penganut institusionalisme baru (new Institutionalists) percaya bahwa institusi mampu membentuk tindakan politik (Lecours, 2005)13.

Peters (1999) tidak ingin menggunakan istilah radikal seperti ‘reaksi’ untuk menunjukkan perbedaan antara institusionalisme lama dan baru. Ia hanya menyatakan bahwa karya-karya March dan Olsen (1984) yang memprakarsai 13

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

55

Perbedaan utama antara institusionalisme dan perspektif baru adalah konseptualisasi institusi. Perspektif baru memandang institusi dalam arti yang lebih luas dibandingkan dengan yang pertama. March dan Olsen mengkonseptualisasikan institusi sebagai ³NXPSXODQDWXUDQGDQUXWLQLWDV\DQJVDOLQJWHUNDLW´ dalam Lecours, 2005). Mengacu langsung kepada karya March dan Olsen (1989): µYang kami maksud dengan “aturan” adalah rutinitas, prosedur, konvensi, peran, strategi, bentuk organisasi, dan teknologi di mana aktivitas politik dibangun. Maksud kami juga keyakinan, paradigma, kode, budaya, dan pengetahuan yang mengelilingi, mendukung, menguraikan, dan bertentangan dengan aturan dan rutinitas tersebut… Rutinitas ini mungkin merupakan aturan prosedural yang menentukan proses yang harus diikuti dalam keadaan tertentu. Mereka mungkin aturan keputusan yang menentukan bagaimana input akan diubah menjadi output. Mereka mungkin aturan evaluasi yang menentukan kriteria untuk menilai hasil¶. Melalui definisi tersebut, March dan Olsen (1989) menyampaikan pesan secara langsung bahwa institusi, dalam istilah politik, tidak dapat dipahami secara kaku sebagai institusi negara atau pemerintahan yang tetap atau formal. Mereka juga secara lugas mengatakan bahwa institusi terdiri dari institusi keras (organisasi negara dan non-negara) dan institusi lunak (aturan, norma, nilai, dan prosedur) baik dari segi institusi formal maupun informal. Pemahaman ini kemudian memicu munculnya perspektif yang berbeda untuk melihat fenomena politik dalam pertimbangan yang lebih kompleks berdasarkan fakta yang multifaset (beraneka segi). gerakan baru institusionalisme baru dimaksudkan untuk menegaskan kembali beberapa karakter dari analisis institusional lama. March dan Olsen juga mencoba menanggapi penyederhanaan teoretis dari pendekatan behavioral mengenai perilaku politik manusia yang berkaitan dengan institusi. 56

Wawan Sobari

Institusi tidak semata-mata dilihat sebagai hasil dari penguatan yang digerakkan secara tunggal. Karya-karya March dan Olsen (1984 dan 1989) kemudian memicu banyak karya lain untuk memperkaya cakrawala intelektual institusionalisme baru dalam ilmu politik dalam banyak topik penelitian dan wilayah spasial yang beragam. Seperti, dengan membandingkan tiga pendekatan utama institusionalisme baru (pilihan rasional, teori organisasi, institusionalisme historis), Immergut (1998) sampai pada titik bahwa institusionalisme baru mencoba untuk menguji kekuatan aturan dan prosedur keinginan individu untuk mendorong pembuatan keputusan kolektif politik. Aturan dan prosedur sebagai inti dari institusi mencakup institusi lunak dan keras. Selain itu, Lauth (2000) menyarankan bahwa institusionalisme baru telah memasukkan pola informal yang memungkinkan untuk mempelajari peristiwa politik secara mendalam dan bervariasi di luar objek yang tampak. Selanjutnya, dalam studi perbandingan pemaparan demokrasi di Negara-negara Afrika, Bratton (2007) menerapkan lensa institusionalisme baru untuk menangkap pentingnya aturan informal sebagai acuan orang biasa untuk bertindak dan berpikir secara politis. Boks 4.1 Kasus Institusi 1 The Practice of Political Entrepreneurship in a Rural Javanese Village This qualitative case study aims to explore the practice of political entrepreneurship in a rural Javanese village. Political entrepreneurship is dictated by the special interest of political entrepreneurs, incentives gained from the political system, and awareness about targeting the change of political institution, an explanation theorized by McCaৼrey and Salerno (2011). Unlike the theory, this study assesses the importance of cultural explanation of political entrepreneurship which provides room in an academic discussion. The study reveals the role of Javanese (and Islam) values in encouraging the political entrepreneurship of a village head. Philosophical values of Javanese leadership promoting an exemplary leader (ing ngarso sung tulodo) and leadership behavior that is andap asor (humble) have favored public acceptance of the practice of political ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

57

entrepreneurship. Furthermore, the doctrine (akhlak) and practices of Islamic rituals by the village head explain the direction of political entrepreneurship. This study discovers also the concept of ‘sungkan’ demonstrated in respect for the performance of the village head. Moreover, the ability to provide solutions to villagers’ problems practiced through suwuk and petungan add gratitude for the village head. Leadership behavior adhering to these cultural and religious values directly or indirectly induced a ‘sungkan’ eৼect in a reelection bid (the 2013 Village Election). ‘Sungkan’, which is equal to electoral accountability, explicates the outcome of political entrepreneurship for the electoral process in the village that were relatively clean from vote-buying. Lastly, the casework expands political entrepreneurship theory, indeed, cultural and religious values can also drive the practice of political entrepreneurship.

Sumber: Sobari, 2019 Istilah institusionalisme baru dalam buku ini mengacu pada cara pandang dan teori institusionalisme baru dalam ilmu politik. Sebelum sampai pada penjelasan khusus tentang perspektif ini dalam ilmu politik, bagian ini terlebih dahulu membahas topik-topik inti dalam institusionalisme baru. Setelah melakukan review literatur terkait institusionalisme baru (March and Olsen, 1984, 1989, 2006; Koelble, 1995; Immergut, 1998; Peters, 1999; Thelen, 1999; Hall dkk, 1996, 2001; Lecours, 2005), terdapat konvergensi argumen teoritis inti dari perspektif ini. Institusionalisme baru memfokuskan teorinya pada hubungan antara institusi dan tindakan (political action) dan dampak politik (political outcome). Atau, dalam pernyataan langsung, argumen teoretis utama dari pendekatan ini DGDODK ³EDKZD LQVWLWXVL PHPEHQWXN WLQGDNDQ´ 7DUURZ  Amenta dan Zylan, 1991 dalam Lecours, 2005). Dengan kata lain, Hall dkk (1996) menyatakan bahwa institusionalisme baru mencoba menjelaskan peran institusi untuk menentukan dampak sosial dan politik (1996).

58

Wawan Sobari

Lecours (2005) meyakinkan bahwa institusionalisme baru memperdebatkan posisi institusi sebagai kekuatan independen dalam politik. Institusi dapat memengaruhi tindakan dan dampak politik. Oleh karena itu, institusi harus diletakkan sebagai titik awal analisis politik. Argumen ini jelas mengatakan bahwa institusi bukanlah dampak dari tindakan. Sebaliknya, mereka menentukan munculnya tindakan dan dampak politik. Sekarang, kita mulai memahami tentang keterkaitan antara institusi politik dan 1) tindakan politik yang dilakukan oleh para aktor, baik aktor formal maupun informal, dan 2) dampak politik sebagai hasil dari proses institusional. Kajian lain dilakukan oleh Immergut (1998). Penilaiannya pada tiga jenis institusionalisme baru menemukan bahwa mereka memiliki masalah yang sama, yaitu efek dari 'konteks institusional' pada preferensi aktor manusia dalam politik. Dia, kemudian, menetapkan istilah institusi sebagai aturan dan prosedur yang dapat menggabungkan suara individu ke dalam kesepakatan (keputusan) kolektif. Lebih penting lagi, Immergut tidak membatasi asal mula aturan dan prosedur yang dibuat oleh organisasi formal saja, tetapi juga aturan dan prosedur dari asosiasi sukarela dan perusahaan. Namun, muncul pertanyaan bagaimana teori institusionalisme baru menjelaskan tentang dampak institusi terhadap tindakan dan dampak politik secara lebih rinci? Untuk menjawab pertanyaan mendasar ini, buku ini harus kembali ke logika atau argumen teoretis utama dari institusionalisme baru. Untuk lebih jelasnya, buku ini melanjutkan argumentasi dasar March dan Olsen dalam µRediscovering Institution: The Organizational Basis of Politics¶ (1989). Lebih luas dari institusionalis baru lainnya, March dan Olsen meltakkan tiga argumen teoretis mendasar tentang peran institusi politik. Pertama, institusi menggerakkan aktor politik melalui logika kesesuaian tugas dan peran institusional. Argumen ini adalah yang paling umum dikemukakan oleh ilmuwan lainnya. Kedua, dampak politik adalah hasil dari pembuatan makna melalui konstruksi determinan dan interpretasi daripada proses perumusan pilihan. ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

59

Akhirnya, institusi dalam hal rutinitas, aturan, dan norma terus berubah dan mengikuti jalur proses sejarah. Sejarah adalah dampak dari efek institusional (1989). Dalam diskusi rinci, asumsi teoretis pertama berpendapat tentang determinisme aturan dan rutinitas untuk memandu tindakan yang tepat untuk menanggapi peran dan situasi. Institusi politik, kemudian, mengontrol untuk menentukan situasi, peran yang dilakukan dalam situasi tersebut, dan kewajiban untuk menjalankan peran tersebut. Pemenuhan kewajiban aturan dan rutinitas adalah tindakan yang dikhususkan berbeda dengan logika konsekuensialitas yang menentukan preferensi dengan pilihan. Selain itu, logika kesesuaian menerapkan kerangka adaptif terhadap situasi, bukan oposisi. Aktor harus sesuai dengan karakter situasi dengan mengklarifikasi aturan, membuat perbedaan, menemukan situasi, dan memutuskan tindakan yang tepat (March dan Olsen, 1989). Akibatnya, tindakan politik harus diletakkan dalam konteks dan untuk menanggapi kewajiban dan tugas (March dan Olsen, 1984). Tentang dampak politik, institusionalisme baru memegang prinsip bahwa institusi politik bukan hanya produk reaksi responsif terhadap lingkungannya, tetapi juga kontributor perubahan lingkungan. Institusionalis baru berpikir bahwa dampak politik DGDODK KDVLO SURVHV GDUL WLJD SHQHQWX XWDPD \DLWX ³GLVWULEXVL preferensi (kepentingan) di antara aktor politik, distribusi sumber daya (kekuasaan), dan batasan yang dipaksakan oleh aturan permainan (konstitusi ´ 0DUFKGDQ2OVHQ, 1989).

60

Wawan Sobari

Boks 4.2 Kasus Institusi 2 The Worth of Javanese Conservative Leadership in Coping with COVID-19

Current studies discover the difference of response of conservatism to the COVID-19 pandemic situation with, at least, six stigmas, namely practicing conservative politics, high risk public health behavior, lack of trust in science, neglecting mainstream media reports, less support for vaccination, and tendency to stockpile. This fieldwork-based qualitative study aims to explore the conservative political leadership of a village head in dealing with the pandemic situation. Unlike the previous studies, it reveals the village head’s conservative leadership which plays a vital role in coping with the outbreak. Under the influence of Javanese culture and tradition, the practices of leadership have positive impacts on controlling the situation, that are responsiveness, willingness to hear input, empathy, direct engagement, non-discrimination, ability to mobilize village apparatuses and to encourage participation of villagers, and consistent reminders to villagers to adhere to health protocols. The village head operationally practices the values of ngancani (accompanying) and njagongi (hanging out) in his leadership. The findings challenge previous academic works as the leadership adjusts to dominant Javanese conservatism in handling the pandemic. It negates the view of difference of conservatism’s response to the outbreak. Conservatism, particularly Javanese cultural and traditional values, actually minimizes the differences of social identity among villagers. Sumber: Sobari, 2022 March dan Olsen (1989) secara gamblang memberikan argumentasi tentang posisi otonomi institusi politik dalam kaitannya dengan lingkungan (faktor eksogen). Dalam membuat preferensi, aktor politik tidak boleh secara mutlak memaksakan aktor lain (pemimpin atau pengikut lain), tetapi mereka berinteraksi satu sama lain untuk berbagi preferensi mereka melalui transformasi makna preferensi secara diskursif. Dengan demikian, institusi politik tidak ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

61

sepihak dipengaruhi oleh faktor eksogen, tetapi juga berdampak pada lingkungan. Dalam mendistribusikan sumber daya politik, aktor politik tidak bertindak sendiri-sendiri tanpa mempertimbangkan institusi politik yang ada. Dalam kalimat pendek dan langsung, institusi politik memengaruhi distribusi sumber daya, kekuatan aktor politik, dan institusi itu sendiri. Terakhir, aturan main (konstitusi, hukum, kontrak, dan aturan adat) tertanam secara endogen dalam institusi politik. Mereka memberikan aktor politik standar kebenaran untuk bertindak dan mengambil keputusan secara sah. Sebagai entitas yang otonom, institusi politik mengembangkan secara mandiri beberapa kendala intervensi faktor eksogen absolut. Institusionalis baru mengakui bahwa institusi politik terus menerus berubah. Alih-alih perubahan radikal, institusi politik mengikuti pola perubahan bertahap dan biasa. Kesadaran akan nilai, keyakinan, konsep, dan organisasi yang tertanam di mana mereka hidup membuat warga terus menjalankan perubahan nonradikal. Institusi politik tidak sepenuhnya independen dari lingkungan, memang institusi politik dalam hal perubahan norma dan aturan merespon lingkungan. Perubahan saat ini bukan semata-mata hasil dari pergulatan baru-baru ini di antara para aktor politik, tetapi juga bagian dari proses momen dan kondisi historis lainnya yang terwujud dalam aturan, rutinitas, dan bentuk institusi yang ada (March dan Olsen, 1989). Meskipun karya-karya March dan Olsen (1984) bukanlah kontribusi tunggal terhadap institusionalisme baru, namun mereka telah menempatkan perspektif alternatif untuk melihat tindakan politik atau politik yang dipengaruhi oleh konteks spesifik masyarakat, hasil adaptasi struktur organisasi dan aturan, respon aktor politik terhadap kelembagaan, tugas dan kewajiban, maladaptasi dan nonkeunikan dalam perkembangan sejarah, dan pengembangan makna melalui simbol, ritual, dan upacara. Oleh karena itu, institusionalisme baru meniadakan argumen kepentingan pribadi yang independen dan motif serta perilaku yang diperhitungkan yang membentuk tindakan politik. Juga,

62

Wawan Sobari

institusionalisme baru merevisi definisi sempit institusi politik dalam definisi formal. Institusionalis baru mempertimbangkan prinsip luas yang mencakup institusi informal (aturan, rutinitas, dan organisasi). 1.3 Menjelaskan Tindakan dan Dampak Politik: Tiga Pendekatan Analitis Utama Institusionalisme Baru Dalam kajian ini, institusionalisme baru ditempatkan bukan sebagai perspektif teoretis yang kaku untuk membingkai kajian. Institusionalisme baru bisa memberikan preferensi tradisi yang mendasar dan kerangka teoretis yang luas untuk melihat fenomena politik, seperti perilaku kebijakan dan praktik informal governance, dalam ilmu politik. Sejak kemunculan pertama institusionalisme baru pada 1980-an, ia memiliki lebih dari satu pendekatan analitis terhadap fenomena politik. Hall dkk (1996) mengidentifikasi setidaknya tiga aliran pemikiran yang diberi label sebagai institusionalisme historis, institusionalisme pilihan rasional, dan institusionalisme sosiologis14. Ketiga pendekatan analitis ini memiliki gambaran yang berbeda untuk menjelaskan peran institusi dalam membentuk tindakan dan dampak politik. 1.3.1 Institusionalisme Historis (Historical Institutionalism) Pendekatan analitis pertama dalam institusionalisme baru untuk memahami peran institusi adalah institusionalisme historis. Seperti yang dilambangkan dengan label, pendekatan ini menganggap bahwa institusi yang ada di masa lalu bisa menjadi preferensi untuk tindakan di masa depan. Mengutip dari karya Skocpol, Steinmo, Thelen, dan Longstreth (1992), Peters (1999) menyatakan bahwa pilihan kebijakan yang telah dibuat oleh institusi Thelen (1999) menghargai Hall dkk (1996) telah bekerja yang terbaik untuk mengkategorikan ketiga aliran pemikiran institusionalisme baru ini berdasarkan ciri-ciri mereka yang menentukan. Immergut (1998) memberi label institusionalisme sosiologis sebagai 'teori organisasi'. Memang, kedua label tersebut memiliki makna dan isi teoretis yang sama. 14

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

63

akan memengaruhi pilihan masa depan. Krasner (1984) menyederhanakan prinsip utama institusionalisme historis sebagai µNHWHUJDQWXQJDQMDOXU¶ (path dependency). Dia berasumsi bahwa sekali pilihan kebijakan dibuat, itu akan menjadi jalan untuk memimpin perkembangan masa depan. Dalam proses pembuatan kebijakan, institusionalisme historis percaya bahwa lembaga menetapkan batasan kelembagaan, melalui aturan dan rutinitas, yang membentuk perilaku aktor politik dan kelompok kepentingan (Beland, 2005 dalam Lecour, 2005). Karakter sentral lain dari institusionalisme historis disajikan oleh Hall dkk (1996), pertama, perkembangan (perubahan) institusi dikaitkan dengan asimetri kekuasaan. Kedua, materialisme historis memberi perhatian pada faktor institusional lainnya, seperti ide, untuk berkontribusi membuat dampak politik. Bagaimana institusionalisme historis menjelaskan mekanisme institusional untuk membentuk tindakan? Dalam pandangan institusionalis sejarah, para aktor melakukan refleksi diri untuk mengadopsi norma-norma sosial, budaya, dan sejarah serta menemukan kembali tradisi. Ini termasuk aturan, struktur, norma, dan ide. Selanjutnya, persetujuan lembaga membenarkan aktor untuk membentuk pilihan, perhitungan kepentingan, dan pembentukan tujuan (Immergut, 1998). Dengan demikian, para aktor tidak sepenuhnya mengabdikan proses politik pada institusi. Mereka juga melakukan upaya rasional untuk menilai opsi yang didukung oleh institusi. Di bagian lain, Immergut (1998) juga menyampaikan bahwa institusi melakukan fungsi penyaringan untuk memilih interpretasi yang disukai dari tujuan politik yang diupayakan oleh aktor politik dan mekanisme terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Argumen teoretis sentral dari institusionalisme baru yang menyesatkan adalah asosiasi institusi sebagai 'otonomi negara'. Secara realistis, Skocpol dan Orloff (dalam Lecours, 2005) menyatakan bahwa institusionalisme historis telah memajukan analisis institusional dari kerangka kerja yang lebih kompleks. Pekerjaan untuk menyusun tindakan kebijakan tidak hanya menjadi

64

Wawan Sobari

domain negara, tetapi juga kelompok sosial atau politisi yang berada dalam pengaturan kelembagaan pemerintah dan partai tertentu. Institusionalisme historis juga menghitung dua konsep lain \DQJEHUKDUJDXQWXNPHODNXNDQDQDOLVLVLQVWLWXVLRQDO\DLWXµSHPDLQ YHWR GDQ XPSDQ EDOLN NHELMDNDQ¶ ,PPHUJXW (1998) menyebut konsep pemain veto sebagai struktur peluang politik. Institusi telah memberikan keistimewaan kepada aktor tertentu untuk menanggapi usulan kebijakan serta kewenangan untuk menolak atau menyetujui. Dia memberikan contoh pengaruh politik istimewa dokter di Swiss untuk memveto kebijakan yang berisiko bagi kepentingan mereka15. Beland (dalam Lecours, 2005) berpendapat bahwa dalam situasi ini institusi politik telah memberikan ruang dan kesempatan kepada aktor non-pemerintah untuk membentuk pilihan kebijakan. Dengan kata lain, lembaga politik tidak selalu diperlukan untuk secara langsung menentukan proses kebijakan dalam proses kebijakan yang disengketakan (dalam Lecours, 2005). Konsep umpan balik kebijakan adalah proses institusi untuk mengevaluasi pilihan kebijakan sebelumnya dan untuk memperbaiki kebijakan masa depan yang lebih baik. Krasner (1998) menegaskan bahwa evaluasi mengikuti pola yang bergantung pada jalur agar institusi tetap eksis. Institusi melakukan evaluasi diri untuk mendapatkan umpan balik positif dari kebijakan masa depan. Umpan balik kebijakan memberi peluang bagi institusi untuk menyusun kembali dan menyempurnakan kebijakan serupa berikutnya. Masukan umpan balik kebijakan akan meningkatkan kebijakan masa depan menjadi lebih efisien dan mudah. Dengan demikian, ketergantungan jalur menunjukkan pentingnya evaluasi kebijakan di lembaga formal dan informal.

Dalam penjelasan serupa, Beland memandang bahwa kesempatan politik terstruktur sebagai pertukaran ide, kepentingan, dan institusi. Institusi memberi ruang bagi peran berpengaruh think tank dan lembaga penelitian akademik untuk mempresentasikan pandangan dunia mereka tentang opsi kebijakan yang sedang diperdebatkan dan memengaruhi hasilnya (dalam Lecours, 2005) 15

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

65

1.3.2 Institusionalisme Pilihan Rasional (Rational Choice Institutionalism) Kritik yang disuarakan oleh pendekatan ini adalah bahwa aktor politik tampaknya bertindak secara sukarela dan kurang disengaja atau semata-mata didorong oleh kelembagaan. Memang, dalam proses pembuatan kebijakan, aktor politik mungkin memiliki target individu dan/atau kelompok untuk mendapatkan keuntungan materi dan nonmateri. Selain itu, penegakan institusi yang sempurna tidaklah mudah dalam situasi politik yang kompleks. Pun, aktor politik merupakan kelompok pemain yang memiliki akses tertentu dan mungkin memiliki niat manipulatif dalam pembuatan kebijakan. Sampai batas tertentu, kita dapat menerima gagasan tentang kendala institusional yang membuat perilaku aktor politik tetap berada di bawah kendali normatif. Kita juga bisa mengakui bahwa aktor politik adalah aktor yang tidak termotivasi. Sebaliknya, March dan Olsen (1984) berpendapat tentang determinisme institusional nonabsolut. Keduanya mempertimbangkan pentingnya konteks sosial politik dan motif aktor individu untuk membentuk tindakan dan dampak politik. Ahli teori pilihan rasional sepenuhnya menyadari kesenjangan ini, dan mereka berusaha untuk mengisi kesenjangan teoretisnya. Sarjana institusionalisme baru memberi label pendekatan alternatif ini sebagai institusionalisme pilihan rasional (rational choice institutionalism)16. Immergut (1998) mendefinisikan perspektif ini sebagai "analisis pilihan yang dibuat oleh aktor rasional dalam kondisi saling ketergantungan". Beberapa istilah kunci dari definisi ini, yakni analisis, pilihan, aktor rasional, dan saling ketergantungan. Analisis institusionalisme pilihan rasional merupakan salah satu pendekatan analitis institusionalisme baru. Pilihan adalah dampak dari tindakan politik yang dilakukan oleh aktor. Aktor rasional berkonotasi Lihat Koelble (1995); Hall dkk (1996); Immergut (1998); Peters (1999); Shepsle (2006). 16

66

Wawan Sobari

dengan pemain yang melakukan tindakan politik dengan karakter tertentu dari pemaksimalan kepentingan pribadi yang diperhitungkan. Saling ketergantungan menunjukkan bahwa tindakan rasional dilakukan dalam kondisi tertentu yang menunjukkan banyak kaitan dengan faktor lain di luar aktor, seperti institusi, yang dapat memengaruhi pilihan yang disukai oleh aktor. Pilihan atau preferensi adalah fitur utama dari institusionalisme pilihan rasional. Cook dan Levi (1990) memberikan perhatian untuk menganalisis preferensi dalam politik sebagai inti dari institusionalisme pilihan rasional. Untuk sampai pada kesadaran ini, mereka mengakui keterbatasan teori pilihan rasional, peran pembentukan norma dan preferensi, dan titik temu antara institusi dan pilihan rasional (dalam Koelble, 1995). Maksud mereka, institusionalisme pilihan rasional memperlakukan preferensi bukan sebagai hasil independen dari tindakan rasional. Memang, ada faktor-faktor lain di luar perhitungan individu yang dapat berkontribusi untuk memandu pembuatan preferensi. Asumsi teoretis dari institusionalisme pilihan rasional didasarkan pada pemahaman mereka tentang institusi. Salah satu sarjana yang berpengaruh dalam pendekatan ini, Kenneth A. Shepsle (2006), mengategorikan tiga konotasi institusi dalam pilihan rasional. Kategori pertama adalah institusi sebagai kendala. Mereka disediakan secara eksogen untuk mendorong perilaku aktor. Institusi menyusun perilaku aktor melalui aturan permainan eksternal. Dalam istilah tertentu, Shepsle menamakan ini sebagai strukturinduksi ekuilibrium dari permainan institusional. Kategori kedua mengartikan institusi sebagai ekuilibrium. Berbeda dengan kategori pertama, interpretasi kedua memandang bahwa institusi yang disediakan di bawah konstruksi para pemain itu sendiri bertujuan untuk merespon institusi yang ada. Ada diskusi dan kesepakatan antar aktor untuk menyesuaikan institusi sehingga mengakomodasi keinginan aktor untuk bermain dalam permainan. Dalam pengertian ini, maka institusi adalah upaya untuk menciptakan ekuilibrium permainan. Kategori terakhir mengartikan institusi sebagai unsur magis yang bersifat irasional. Penafsiran ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

67

Shepsle (2006) ini mengacu pada karya Sait (1938) yang menganggap institusi sebagai sistem yang sudah lama terbentuk (edifices), seperti hukum, perbudakan, feodalisme, bahasa, hak milik. Dalam interpretasi ini, institusi bersifat magis karena asal-usulnya yang dibentuk atau direformasi di bawah pengaruh kekuatan yang kompleks dan tidak dapat diketahui (dalam Rhodes, Binder, dab Rockman (eds.), 2006). Pemahaman yang luas tentang institusi di antara para ahli teori pilihan rasional menyebabkan pendekatan analitis yang berbeda terhadap institusi. Berdasarkan asumsi bahwa individu terlibat dalam permainan kekuasaan di bawah keputusan yang memaksimalkan utilitas, institusionalis pilihan rasional menempatkan basis pemikiran individualistis mereka di dalam institusi. Mereka juga menghitung sifat dan peran institusi politik (Peters, 1999). Mempertimbangkan kategorisasi institusi Shepsle, pilihan rasional individualistis aktor juga harus memperhitungkan faktor eksogen yang memaksa dari kendala institusional serta upaya individu untuk bereaksi terhadapnya. Dengan kata lain, individu tetap mengejar kapasitasnya untuk menghasilkan hasil maksimalisasi individu tanpa mengabaikan keberadaan institusi dalam berbagai bentuk (Peters, 1999). Hall dkk (1996) merangkum empat substansi pendekatan yang berbeda. Pertama, institusionalisme pilihan rasional mendasarkan argumen mereka pada asumsi perilaku. Merujuk karya Shepsle dan Weingast (1987), Hall dkk berkomentar bahwa tindakan aktor politik didukung oleh serangkaian preferensi. Mereka berusaha mencapai pencapaian preferensi maksimum dengan menerapkan metode strategis di bawah pemikiran yang diperhitungkan. Kedua, institusionalis pilihan rasional cenderung PHPDQGDQJ ³SROLWLN VHEDJDL UDQJNDLDQ GLOHPD WLQGDNDQ NROHNWLI´ Kendala institusional menyusun perilaku aktor untuk mengikuti logika kerja sama daripada maksimalisasi hasil individu. Dengan demikian, Immergut (1998) menjelaskan bahwa institusi memengaruhi pilihan politik individu dengan memaksa mereka

68

Wawan Sobari

untuk memilih dalam dampak kolektif yang suboptimal tanpa mengabaikan preferensi mereka yang sebenarnya dan diinginkan. Ketiga, pilihan rasional menekankan pada penggunaan interaksi strategis untuk mencapai dampak politik yang diinginkan. Selain mengandalkan kekuatan institusional, individu tetap mengabadikan kalkulus tindakan strategis mereka. Individu menggunakan informasi yang diberikan oleh institusi untuk memengaruhi pilihan. Juga, aktor bertindak untuk mendorong orang lain untuk berperilaku sama seperti harapan mereka. Aktor rasional mencari keuntungan dari pertukaran untuk memotivasi tindakan mereka. Akhirnya, asal usul institusi berasal dari kelangsungan hidup institusi untuk menawarkan hasil yang lebih bermanfaat bagi para pelaku yang relevan. Dengan demikian, institusi diciptakan oleh para aktor untuk mewujudkan nilai-nilai mereka di bawah perhatian untuk memperoleh keuntungan dari kerja sama (Hall dkk, 1996)17. 1.3.3 Institusionalisme Sosiologis (Sociological Institutionalism) Selain warisan kebijakan masa lalu dan asumsi pilihan rasional yang dibatasi dari tindakan politik dalam institusi, institusionalisme baru mencurahkan perhatian pada pengembangan nilai dan simbol di antara masyarakat dan pemerintah dalam politik. March dan Olsen (1984) menganjurkan ilmuwan politik instrumentalis untuk mengarahkan kembali pemahaman mereka tentang perhatian utama kehidupan politik. Alih-alih menjelaskan pengambilan keputusan Mirip dengan empat elemen utama institusionalisme pilihan rasional ini, Peters mengekstraknya menjadi tiga versi pendekatan pilihan rasional terhadap institusi. Yang pertama adalah institusi sebagai aturan (berdasarkan karya Elinor Ostrom (1986, 1990; Ostrom, Gardned, dan Walker, 1994). Yang kedua adalah institusi sebagai aturan keputusan (memenuhi tujuan yang berbeda secara signifikan) (berdasarkan karya Kenneth Arrow (1951) dan James Buchanan dan Gordon Tullock (1962). Yang terakhir adalah individu dalam organisasi (aktor rasional berusaha memanfaatkan institusi untuk memenuhi tujuan individunya. (Berdasarkan terutama pada karya Nisnaken (1971, 1994), Downs (1967). 17

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

69

dan alokasi sumber daya sebagai inti kehidupan politik, mereka menegaskan bahwa konstruksi makna, melalui simbol, ritual, dan upacara, telah mengendalikan kehidupan politik. Boks 4.3 Kasus Institusi 3 NON-RELIGIOUS AND ETHNIC ORIENTATIONS IN THE VOTING PROCESS: A RECENT STUDY OF JAVANESE VOTERS Previous studies on Javanese voters in Indonesia emphasised sociological factors, mainly religious and ethnic, in the shaping of voting decisions. Religious positions and socio-religious orientation encourage partisan politics of the voters in elections. In the democratic era, the behaviour of Javanese voters outside the area of the Javanese ethnic bases in Central Java, Yogyakarta, and East Java resulted in the same explanation. This article however argues that Javanese ethnic identity is not the foundation for decisions when selecting candidates for regional heads; instead, this foundation is based on religious similarity. This qualitative observational study examines the logic of vote shifting from the incumbent candidate to the challenger in the 2020 pilkada (elections for regional leader) of Blitar Regency, Indonesia. It reveals that emotional closeness between voters and the challenger encourages electoral shift. The closeness is built upon two aspects: voters’ involvement in tarekat (Sufi order) activities and networks that attach to both the regent and vice vice-regent candidates as well as the murid (pupil) relationship with the vice-regent candidate. Another aspect is the similarities between voters and Muslim massbased organisations (MBOs) that support the challenger. Moreover, the emotional closeness between the incumbent and their constituents explains voters’ decision to keep voting for him. Based on the fieldwork findings, emotional closeness can be interpreted as a form of attachment or loyalty that affects voters’ perceptions of candidates. Therefore, consideration of the emotional bond between voters and candidate extends the logic of Javanese voting behaviour, as previously highlighted in the explanation of religious and cultural factors.

Sumber: Sobari, 2023 Institusionalis sosiologis mendefinisikan institusi dalam pengertian alternatif dan luas. Powell dan DiMaggio (1991 dalam Koelble, 1995) mengemukakan bahwa institusi tidak hanya terdiri 70

Wawan Sobari

dari aturan, prosedur, standar organisasi, dan prosedur tata kelola, tetapi juga konvensi dan kebiasaan (dalam Koelble, 1995). Juga, March dan Olsen (1989) PHQGXNXQJ EDKZD ³LQVWLWXVL PHPEDWDVL GDQ PHPEHQWXN SROLWLN PHODOXL NRQVWUXNVL GDQ HODERUDVL PDNQD´ Mereka melanjutkan bahwa makna dibangun melalui simbol, ritual, upacara, dan tindakan simbolik uQWXN PHQJHPEDQJNDQ ³UDVD PHPLOLNL WXMXDQ DUDK LGHQWLWDV GDQ NHSHPLOLNDQ´   'DODP sorotan yang elaboratif, Peters (1999) menegaskan definisi institusi yang jelas dari segi makna sebagai penekanan atau persepsi kognitif. Institusi menghasilkan simbol, aturan, prosedur, dan perangkat organisasi lain yang bermakna "untuk menciptakan kerangka persepsi yang sama". Oleh karena itu, diskusi untuk mendefinisikan institusi di kalangan sosiologis institusionalis menghasilkan pemahaman untuk melihat tindakan politik tidak ditegakkan secara mandiri oleh perhitungan rasional. Sarjana institusionalisme sosiologis menganalisis bahwa para aktor berperilaku di bawah simbol, ritual, tindakan, upacara, identitas, dan kepemilikan khusus yang dibangun secara budaya yang dikaitkan dengan institusi. Juga, dalam elemen kepemilikan institusional ini tertanam struktur yang bermakna untuk membenarkan tindakan dan dampak politik. Pentingnya pembuatan makna dari kode-kode simbolik untuk memandu tindakan politik (pengambilan keputusan) adalah klaim utama dari institusionalisme sosiologis. Argumen untuk sampai pada klaim ini didasarkan pada salah satu kritik yang dirujuk dari karya Herbert A. Simon (1972) tentang teori rasionalitas terbatas. Dia berpendapat bahwa kognisi yang sempurna adalah sulit untuk membuat pengambilan keputusan yang rasional karena keterbatasan untuk memenuhi tiga elemen penting. Risiko dan ketidakpastian telah menghalangi pengetahuan yang sempurna dari aktor politik untuk menilai pilihan kebijakan. Juga, aktor harus menghadapi situasi informasi yang tidak lengkap tentang alternatif. Penyediaan informasi yang diperlukan tidak memadai dapat menyebabkan kegagalan untuk memprediksi konsekuensi dari keputusan. Salah satu alternatif untuk mengatasi situasi ini adalah

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

71

dilakukannya pencarian informasi. Namun upaya ini membutuhkan waktu dan biaya yang akan memberatkan para pelaku. Terakhir, kompleksitas masalah telah membatasi para aktor untuk memilih pilihan terbaik. Selain itu, asumsi aktor rasional yang dapat mengatur kepentingan mereka dan mengejar dampak institusi adalah tidak masuk akal karena aktor berada dalam situasi terbatas untuk memilih pilihan. Powell dan DiMaggio (1991 dalam Koelble, 1995), dengan mengacu pada March dan Olsen, menekankan bahwa aturan, norma, dan prosedur tertanam di antara institusi. Konsekuensinya, aktor biasanya menghubungkan, dan seharusnya mematuhi, perilaku mereka untuk menghadapi keadaan tertentu dalam logika kesesuaian. Keterbatasan kognitif ini memicu perilaku pragmatis para aktor untuk melakukan jalan pintas rasionalitas terbatas dengan meniru perangkat organisasi, seperti prosedur operasi standar, untuk mengambil keputusan (Immergut, 1998). Kemudian, aktor mengikuti aturan kelembagaan untuk bersikap dan bertindak. March dan Olsen (1989), kemudian, menyiratkan bahwa institusionalisme sosiologis berangkat dari asumsi bahwa nilai dan simbol memainkan peran penting untuk menggambarkan institusi dan mengarahkan perilaku aktor atau anggota organisasi (dalam Peters, 1999). Peters (1999) membuat istilah yang lebih sederhana bahwa pendekatan ini berkaitan dengan "dimensi organisasi simbolis dan valuatif". Memperdalam asumsi teoritis institusionalisme sosiologis, March dan Olsen (1989) mengemukakan pentingnya mempertimbangkan makna untuk membentuk tindakan politik: ³Tujuan tindakan ditemukan dalam hasil mereka, dan prinsip pengorganisasian sistem politik adalah alokasi sumber daya yang langka dalam menghadapi konflik kepentingan. Jadi, tindakan adalah pilihan, pilihan dibuat dalam kerangka harapan tentang konsekuensinya, makna diorganisasikan untuk memengaruhi pilihan, dan simbol adalah tirai yang mengaburkan politik nyata, atau artefak dari upaya membuat keputusan.´ 72

Wawan Sobari

Melalui pernyataan ini, March dan Olsen (1989) berpendapat bahwa makna memiliki peran khusus untuk memastikan tindakan politik, khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Kode-kode simbolik, seperti program dan prosedur, dihadirkan untuk mendorong para aktor membuat pilihan berdasarkan kepentingankepentingan yang dikonstruksikan tertentu. Mengutip karya Feldman dan March (1981), March dan Olsen (1989) lebih jauh menekankan keinginan aktor untuk berpartisipasi dalam politik untuk membuat simbol, mitos, dan ritual dengan niat. Para aktor berharap untuk membingkai makna kode-kode ini untuk memastikan kesesuaian peristiwa. Mereka lebih memperhatikan untuk memandu tindakan yang akan dilakukan dan akan menghasilkan seperti yang diharapkan. Menurut Holmberg (1989, dalam March and Olsen, 1989) istilah "sah" biasanya digunakan untuk menyesuaikan nilai-nilai moral peristiwa serta persyaratannya. Selain itu, Hall dkk (1996) mengkhawatirkan kesalahpahaman tentang hubungan antara institusi dan tindakan individu di antara para sarjana institusionalisme sosiologis. Tindakan individu bukan hanya efek dari peran yang disosialisasikan dan norma yang diinternalisasi. Institusionalis sosiologis menyarankan untuk mempertimbangkan 'dimensi kognitif' dari dampak institusional. Mereka mendalilkan bahwa institusi dapat memengaruhi perilaku karena kapasitasnya untuk menyediakan skrip, kategori, model sebagai hasil dari proses mental yang sadar. Mengutip dari Berger dan Luckmann (1966), Hall dkk (1996) menambahkan bahwa aktor menghitung identitas dan citra diri mereka yang disediakan oleh institusi untuk memengaruhi perhitungan strategis individu.

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

73

Tabel 4.1 Institusi dan Tindakan Politik Pendekatan Argumen teoretis inti Konten kelembagaan analisis baru Institusionalisme Fligstein: "choice-withinx Krasner: setelah sejarah constraints" adalah pilihan kebijakan kerangka utama dari dibuat, itu akan institusionalisme baru menjadi jalan (dalam Ingram dan Clay, untuk memimpin 2000) perkembangan masa depan (ketergantungan Ingram dan Clay (2000): jalan) penegasan mendasarnya x Institusi adalah bahwa para aktor menetapkan mengejar kepentingan batasan mereka dengan membuat institusional, pilihan dalam batasan melalui aturan dan rutinitas, dan Argumen khusus: membangun x Aktor sangat rasional perilaku aktor politik dan x Kendala kelompok kelembagaan: aturan kepentingan (konstitusi, hukum, x Aktor melakukan kebijakan organisasi, refleksi diri untuk norma sosial) mengadopsi x Konstruksi makna norma-norma mengendalikan sosial, budaya, dan kehidupan politik sejarah dan menemukan x Mempertimbangkan kembali tradisi insentif yang rasional x Menolak 'otonomi bagi para pelaku, negara' yaitu saling tukar x Memperluas manfaat antarpelaku. cakupan analitis PHODOXLµYHWRSOD\HU 74

Wawan Sobari

Pendekatan analisis

Argumen teoretis inti

Konten kelembagaan baru

and policy IHHGEDFNV¶ Institusionalisme pilihan rasional

x Pilihan atau preferensi adalah fitur utama x Pentingnya konteks sosial politik dan motif aktor individu untuk membentuk tindakan dan hasil politik x Pilihan rasional individualistis juga memperhitungkan faktor-faktor eksogen yang memaksa dari kendala institusional x Individu tetap mengabadikan tindakan kalkulus strategis mereka

Institusionalisme sosiologis

x Peters: pendekatan ini berkaitan dengan dimensi simbolik dan valuatif organisasi x March dan Olsen: konstruksi makna, melalui simbol, ritual, dan upacara, telah menguasai

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

75

Pendekatan analisis

Argumen teoretis inti kehidupan politik x March dan Olsen: institusi membatasi dan membentuk politik melalui konstruksi dan elaborasi makna x March dan Olsen: makna dibangun untuk mengembangkan rasa tujuan, arah, identitas, dan rasa memiliki x Aktor berperilaku di bawah simbol budaya tertentu, ritual, tindakan, upacara, identitas, dan kepemilikan yang dikaitkan dengan institusi. x Para aktor berharap untuk membingkai makna kode bermakna simbolis untuk menjamin kesesuaian peristiwa. x Institusi dapat memengaruhi perilaku karena kemampuannya

76

Wawan Sobari

Konten kelembagaan baru

Pendekatan analisis

Argumen teoretis inti

Konten kelembagaan baru

untuk menyediakan skrip, kategori, model sebagai hasil dari proses mental yang sadar.

Berdasarkan kajian literatur yang berkaitan dengan ketiga pendekatan analitis institusionalisme baru, buku ini berpendapat bahwa institusionalisme baru tidak sepenuhnya menolak pertimbangan rasional para aktor untuk melakukan tindakan politik. Sampai batas tertentu, tindakan yang diperhitungkan untuk kepentingan pribadi diterima secara logis untuk memandu dan mengontrol tindakan politik para aktor. Karena posisi, pengetahuan, dan keterampilan mereka, para aktor mampu membuat pilihan dalam proses pengambilan keputusan. Namun lembaga-lembaga yang ada, dalam hal organisasi dan aturannya di mana tindakan dilakukan, melakukan proses penyaringan untuk menilai logika kesesuaian tindakan tersebut. Aktor tidak dapat secara mandiri mengejar tindakan dan perilaku mereka untuk mendapatkan dampak atau keuntungan politik. Beberapa keterbatasan telah menciptakan kendala dan menghalangi aktor untuk merancang tindakan dan dampak politik untuk proses dan dampak yang diinginkan sepenuhnya. Pertama, aktor politik dibatasi secara rasional untuk mengantisipasi dampak politik. Aktor biasanya menghadapi situasi keterbatasan di mana risiko dan ketidakpastian tinggi, informasi untuk mendukung pengambilan keputusan tidak lengkap, dan kompleksitas masalah dan kendala tidak mudah diprediksi. Kedua, institusi menggerakkan negara mereka sendiri dengan mengeluarkan dan memberlakukan aturan (konstitusi, undangundang, kebijakan organisasi, norma sosial) untuk dipatuhi oleh

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

77

aktor. Institusi menegaskan jaminan kepatuhan ini untuk menghambat aktor merusak keadaan mapan institusional mereka. Ketiga, pemaknaan yang dikonstruksi dan dielaborasi melalui simbol, ritual, dan upacara membentuk interpretasi aktor terhadap institusi dan perannya untuk memandu perilaku aktor. Oleh karena itu, makna institusi yang dikonstruksi juga dapat berkontribusi pada tindakan dan dampak politik. Akhirnya, aktor tidak sepenuhnya irasional untuk bertindak dalam pengaturan institusional. Institusi, memang (dirasakan dan dirancang), tidak hanya memaksakan batasan kepada para aktor. Dapat dikatakan, institusi memberikan insentif bagi para aktor untuk mendapatkan manfaat pertukaran timbal balik dari rekan mereka. Bahkan, buku ini menempatkan asosiasi teoretisnya ke dalam dua perspektif kontras. Di satu sisi, inkrementalisme yang berpijak pada karya-karya Lindblom menempatkan argumen teoretis logika aktor-aktor independen untuk memainkan kekuasaan guna membentuk aksi-aksi politik dalam proses pembuatan kebijakan. Di sisi lain, institusionalisme baru memandang bahwa institusi politik secara inheren mengembangkan kendala pada aktor untuk menggerakkan tindakan dan dampak politik secara absolut melalui standar kebenaran. Untuk mengambil posisi yang jelas dalam dua penjelasan teoretis yang kontras ini, buku ini menetapkan kedua perspektif sebagai kemungkinan teoretis untuk mengkonfirmasi praktik yang ada, terutama tentang perilaku kebijakan pejabat dan praktik informal governance. Pemikiran alternatif menguji institusionalisme baru yang mana para aktor dapat membangun institusi yang sudah ada sebelumnya. Para aktor mungkin memanipulasi lembaga-lembaga sebelumnya, dalam hal struktur dan aturan, di bawah argumenargumen kepentingan pribadi yang rasional untuk merancang pola kelembagaan dan mengarahkan tindakan dan dampak politik di masa depan. Jika demikian, argumen ini tampaknya menciptakan teka-teki teoretis tentang kemungkinan penjelasan institusional. Mana yang lebih dulu keluar antara satu lembaga dengan lembaga lainnya? Semakin awal lembaga bertahan, semakin berpengaruh

78

Wawan Sobari

struktur tindakan politik dan untuk melawan lembaga sebelumnya. Hal ini wajar karena tidak ada institusi yang tidak memiliki kepentingan serta tidak ada aktor yang murni rasional yang memanipulasi institusi.

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

79

Analisis Institusional

1.4 Definisi Institusi Fondasi terpenting saat melakukan analisis institusional, yaitu memahami perubahan definisi institusi. Analisis institusionalisme baru bertumpu pada pemahaman insitusi yang berbeda dari analisis institusionalisme lama. Terjadi perluasan definisi tentang institusi atau lembaga. Selain itu, analisis bergantung pula pada penggunaan penjelasan teoretis institusionalisme baru. Prinsip-prinsip teoretis dalam institusionalisme baru menjadi rujukan untuk menjelaskan fenomena politik, khususnya menjelaskan tindakan politik dan dampak politiknya. Boks 5.1 Kasus Institusi 4 Anut Grubyuk in the Voting Process: The Neglected Explanation of Javanese Voters (Preliminary Findings) The “Javanese faktor” is a strategic consideration in Indonesian electoral politics, as the Javanese are Indonesia’s most numerous inhabitants. However, seminal masterpieces such as those by Geertz (1960) and Gaffar (1992) apply only a limited and individualbased voting approach in their efforts to explain Javanese voting behavior. Recent qualitative case studies explore anut grubyuk 80

Wawan Sobari

(fitting in) as a unique form of grouped rural Javanese voting behavior, rooted in the Javanese communal philosophy of life and hierarchical values. A study in four selected villages in Blitar and Trenggalek Regencies in East Java argues that individual Javanese voters adjust their voting decisions based on the major preference in their neighborhood, in keeping with the communal spirit of living in harmony as well as to avoid conflict and respect neighborly relationships. This article presents a preliminary assessment of anut grubyuk as group-oriented voting among the Javanese, a topic that has been relatively absent in academic discussion. Beyond cultural explanations, recent illiberal democratic practices have made anut grubyuk vulnerable to manipulation, since certain community leaders or brokers exploit Javanese communality in return for both individual and communal short-term benefits from candidates. Instead of helping with the growth of liberal democracy, anut grubyuk potentially supports patronage-driven democracy, in which small numbers of elites use patronage for influential control over electoral processes. Sumber: Sobari, 2016 Definisi institusi yang banyak dirujuk, yaitu karya March dan Olsen (1989). Menurut kedua ahli, institusi dalam konteks politik tidak hanya dipahami sebagai institusi negara atau pemerintahan yang tetap atau formal. Termasuk di dalamnya aturan-aturan formal yang mengikat institusi dan warganya. Mereka juga menyederhanakan kategori institusi menjadi dua, yaitu institusi keras (organisasi negara dan non-negara) dan institusi lunak (aturan, norma, nilai, dan prosedur). Pemahaman ini kemudian memicu munculnya perspektif yang berbeda untuk melihat fenomena politik dalam pertimbangan yang lebih kompleks. Institusi tidak semata-mata menghasilkan dampak berdasarkan pengaruh satu mode institusi, namun ikut melibatkan beberapa faktor institusi lainnya. Lowndes dan Roberts (2013) memperluas unsur institusi. Kedua ahli berpendapat, ³institusi membentuk perilaku politik ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

81

dalam tiga cara berbeda: melalui aturan, praktik, dan narasi´ Dua cara pertama, aturan dan praktik, memiliki pengertian yang relatif sama dengan gagasan March dan Olsen (1989) tentang institusi keras dan institusi lunak. Aturan (rules) identik dengan institusi keras dan praktik (practice) relatif sama dengan institusi lunak. Aturan bisa diketahui karena dibuat dan direkam secara formal. Praktik bisa diketahui karena ditunjukkan melalui tingkah laku. Sementara narasi (narratives) diketahui karena diungkapkan melalui kata-kata yang diucapkan (Lowndes dan Roberts, 2013). Contoh empirik narasi, yaitu pidato para politisi yang menjelaskan perlunya perubahan; kumpulan cerita dalam sebuah organisasi yang membenarkan status quo. Lebih jauh kedua ahli (Lowndes dan Roberts, 2013) menjelaskan cara kerja narasi yang diproduksi para aktor dan mengarahkan perilaku atau tindakan politik aktor lainnya. Narasi bekerja oleh para aktor dengan menghubungkan dan mengungkapkan gagasan secara lisan menjadi penjelasan dan persuasi. Selanjutnya, narasi memiliki dampak kepada publik saat mendengarkan cerita-cerita yang akrab dan mengenali pemahaman bersama mengenai satu gagasan tertentu. Lalu, narasi sampai pada titik di mana implikasi normatif diterima begitu saja oleh publik (terpersuasi). Perluasan definisi institusi dalam institusionalisme baru yang digagas Lowndes dan Roberts (2013) sangat relevan dalam situasi era politik digital. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi melalui digitalisasi telah mengubah cara kerja narasi menjadi lebih massif dan beragam. Aktor memproduksi narasi atau kata-kata yang diucapkan secara sengaja untuk mempersuasi aktor lainnya (audiens) demi tujuan kekuasaan tertentu. Harapannya, aktor politik audiens akan mengikuti gagasan atau anjuran atau perintah sang aktor politik komunikator. Menguatnya peran institusi (narasi) politik dalam bentuk digital (politik digital) karena revolusi teknologi komunikasi digital telah mengubah lingkungan komunikasi politik. Model dominan komunikasi politik yang berfokus pada hubungan antara politisi, 82

Wawan Sobari

sebagai penghasil pesan dan pembuat agenda, dan jurnalis, sebagai penjaga gerbang dan penyebar pesan yang bertahan hingga lama, sudah mengalami perubahan. Coleman dan Freelon (2015) menilai model tidak lagi stabil atau terisolasi seperti dulu. Meskipun organisasi politik dan media tetap menjadi pemain kunci dalam sirkulasi informasi dan gagasan politik, namun independensi dan saling ketergantungan peran media dan organisasi politik telah berubah. Pada era politik digital, lembaga politik formal harus bersaing dengan produsen narasi politik dari kalangan non-pemerintah dalam menarik perhatian publik. Pada saat yang sama, media massa bekerja keras mengatasi siruasi semakin berkurang dan terpecah-pecah. Audiens bisa mengakses informasi politik dari berbagai sumber dan menilai narasi politik konvensional sudah menurun relevansinya untuk dipertimbangkan. Situasi tersebut menunjukkan perubahan lingkungan komunikasi politik pada era digital yang ditandai lima kecenderungan perubahan (Coleman dan Freelon, 2015). Pertama, era politik digital ditandai dengan hadirnya berbagai sumber, platform, saluran, dan format politik baru sehingga sulit bagi satu institusi (formal) mengklaim otoritas menyeluruh atas arus narasi politik. Kedua, warga tidak lagi menganut jalur dominan vertikal dan linier komunikasi politik digital. Maka, warga berupaya menghindari struktur dan proses kelembagaan formal dalam komunikasi politik. Otoritas elit politik dan peran mediasi interpretasi para jurnalis mengalami perubahan peran dominan dalam era komunikasi politik konvensional. Ketiga, dalam era politik digital, audiens terlibat bukan saja sebagai konsumen informasi. Secara bersamaan, audiens bisa berperan sebagai produsen informasi. Dengan kata lain, narasi politik digital membuka insklusivitas pembuat pesan sehingga sumber informasi bisa diproduksi oleh peran ganda produsen dan konsumen narasi. Keempat, ekspresi komunikasi politik konvensional mengalami tantangan karena menguatnya peran politik digital. ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

83

Podcast, vlog, monolog digital pemengaruh (influencer) mengambil peran konvensi formal interaksi politik yang mendominasi acara ritual seperti wawancara siaran, panel komentar pakar, dan debat pemilu yang disiarkan televisi. Atau, di media sosial, para pendengung (buzzer) bekerja menyebarkan narasi politik partisan untuk memengaruhi warga. Terakhir, lingkungan komunikasi politik digital cenderung tanpa hukum atau bahkan kebal terhadap regulasi hukum yang kuat. Regulasi yang merespons konten menyinggung, pencemaran nama baik, dan afiliatif sulit ditegakkan karena arus komunikasi yang kompleks dalam banyak aspek komunikasi. Sementara itu, studi Guldemond dkk (2022) memberi contoh konkret peran narasi dalam memengaruhi tindakan politik. Riset ini mempelajari peran narasi antara pemimpin opini penipu (deceitful opinion leaders) dan perubahan perilaku politik pengikut mereka melalui penyebaran konten menipu di platform media sosial Twitter. Para pemimpin opini penipu terlibat dalam penyebaran berbagai jenis konten yang menipu (menyesatkan) bisa mengubah kondisi pengikut menjadi terkotak-kotak. Selain itu, studi ini mengungkap efek pesan menipu terhadap pengguna Twitter lainnya untuk 5.574 pengguna dan 731.371 pesan unik. Mereka mengikuti delapan pemimpin opini penipu Belanda di Twitter selama kampanye pemilu Belanda 2021. Hasilnya menunjukkan bahwa pengguna menerapkan bahasa yang lebih tidak sopan, menjadi lebih terpolarisasi secara afektif, dan berbicara lebih banyak tentang politik setelah mengikuti pemimpin opini yang curang. Hasil studi ini menunjukkan bahwa kelompok kecil pemimpin opini yang menipu ini mengubah norma percakapan di media sosial itu. Peran narasi digital yang tidak menguntungkan bisa kita lihat dari beberapa istilah yang digunakan saat ini untuk menggambarkan kondisinya, seperti istilah infodemik (pandemik informasi) pada masa pandemi COVID-19, banjir informasi, industri hoaks, dan istilah lainnya. Oleh karena itu, peran narasi sebagai institusi politik diketahui memiliki peran penting dalam mengarahkan tindakan dan dampak politik.

84

Wawan Sobari

Meskipun demikian, Lowndes dan Roberts (2013) menjelaskan bahwa tiga mode institusi (aturan, praktik dan narasi) tersebut tidak saja bekerja membentuk atau mengarahkan tindakan politik dan dampak politik. Institusi juga bisa menjadi penghambat atau kendala bagi tindakan dan dampak politik. Prinsip teoretis ini sejalan dengan teori March dan Olsen (1984), bahwa institusi tidak sekadar menyediakan insentif bagi aktor, namun institusi secara bersamaan menjadi penghambat bagi aktor dalam bertindak dan menghasilkan dampak politik. Definisi-definisi institusi tersebut nampak semakin jelas dan mengerucut. Namun, Peters (2019) mengingatkan bawa definisi institusi merupakan salah satu perbedaan yang ada di antara teoriteori institusionalisme baru. 3HWHUV  PHQHJDVNDQ³Perbedaan paling mendasar di antara pendekatan muncul dalam definisi tentang apa itu institusi, dan faktor-faktor yang bekerja untuk PHPEDWDVL SHULODNX LQGLYLGX GDODP NRQWHNV RUJDQLVDVL´ Gagasan tersebut dikuatkan Alvesson dan Spicer (2019) bahwa setiap mendefinisikan institusi, para ahli melakukannya dengan cara yang luas dan tidak jelas. Pelajaran penting mengenai tidak adanya definisi tunggal tentang institusi memberi catatan dalam analisis institusional mengenai fenomena politik tertentu. Pertama, tetapkan batasan yang MHODV PHQJHQDL µXQVXU¶ LQVWLWXVL \DQJ GLPDNVXG GDODP GHILQLVL Misalnya, apakah institusi hanya mencakup aturan dan praktik saja. Atau, analis menambahkan narasi sebagai institusi dalam analisisnya. Dengan demikian, analisis institusionalisme baru bisa menjelaskan lebih baik fenomena politik yang dikaji. Kedua, penting pula mempertimbangkan posisi institusi dalam analisis. Mayoritas analisis menggunakan institusi dalam analisis institusionalisme baru sebagai variabel independen atau variabel bebas yang mengarahkan tindakan politik dan dampak politik. Namun, dengan menetapkan definisi tertentu dalam analisis, maka posisi institusi bisa saja ditetapkan sebagai variabel tergantung atau variabel dependen yang dipengaruhi. Selain itu,

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

85

institusi juga bisa berposisi sebagai variabel anteseden atau variabel moderasi. Ketiga, dengan menetapkan batasan definisi institusi dalam analisis institusional, berarti institusionalis tengah berupaya menemukan keunikan dan/atau kebaruan. Analis bisa menemukan bentuk institusi baru atau bahkan mengembangkan penjelasan berbeda mengenai institusi, dampaknya, dan situasi yang berkontribusi mengarahkan tindakan politik dan dampak politik. Karenanya, penting untuk terus memperbaiki definisi institusi dalam analisis institusional, tanpa harus memaksakan kesamaan definisi institusi. 1.5 Analisis Institusional Bagian ini berupaya menjelaskan praktik analisis institusional(-isme) dalam institusionalisme baru. Pola analisis dibutuhkan terutama karena semakin berkembangnya praktikpraktik politik yang berkaitan dengan peran institusi. Analisis institusional baru digunakan dalam ilmu politik terutama untuk menjelaskan fenomena politik dengan institusi sebagai fokus utama analisis. Prinsip pertama dalam analisis institusi, yaitu menetapkan institusi sebagai titik pusat analisis. Peters (2019) menjelaskan bahwa titik kesamaan yang pertama dan mendasar untuk analisis institusi adalah penekanannya pada institusi. Dengan kata lain, faktor kelembagaan adalah titik tolak yang paling tepat untuk analisis fenomena politik. Prinsip kedua, analisis institusi menempatkan institusi/lembaga/struktur sebagai penentu tindakan atau perilaku politik. Peters (2019) menegaskan bahwa pendekatan-pendekatan terhadap analisis kelembagaan semuanya memusatkan perhatian pada pentingnya struktur dalam perilaku politik. Karena prinsip kedua ini, maka kita menyadari betapa pentingnya menetapkan batasan definisi institusi dalam analisis. Tentunya, batasan institusi yang dimaksud sesuai dengan pandangan institusionalisme baru yang tidak terbatas pada institusi formal saja. 86

Wawan Sobari

Lebih detail lagi Lowndes dan Roberts (2013) mengusulkan SULQVLS NHGXD VHFDUD GHWDLO EDKZD ³LQVWLWXVL PHPEHQWXN SHULODNX politik dalam tiga cara berbeda: meODOXLDWXUDQSUDNWLNGDQQDUDVL´ Namun, kedua ahli menjelaskan bahwa tiga unsur institusi tersebut tidak hanya bekerja sebagai pendorong (incentive), namun juga sebagai kendala (constraints) terhadap Tindakan politik. Pada bagian akhir penjelasan prinsip ini, Lowndes dan Roberts (2013) berteori bahwa efektifitas yang paling baik dari aturan, praktik, dan narasi dalam membatasi dan/atau mendorong aktor saat ketiganya bekerja bersama. Selain itu, Peters (2019) mengingatkan bahwa tidak seluruhnya institusi berposisi menentukan tindakan aktor. Dalam beberapa pendekatan, peran lembaga sangat tergantung pada tindakan anggota lembaga, dan persepsi mereka tentang aturan lembaga mereka. Dengan kata lain, bekerjanya institusi ditentukan tindakan aktor dalam lembaga dan persepsi terhadap norma atau aturan Lembaga. Prinsip ketiga, institusi menciptakan keteraturan (regularities) lebih besar bagi perilaku individu dibanding tanpa keberadaan institusi (Peters, 2019). Perilaku menjadi teratur karena ada keberadaan institusi dalam bentuk peraturan dan/atau insentif yang mengarahkan perilaku individu. Meskipun demikian, ukuran keteraturan perilaku sebagai dampak institusi tidak sepenuhnya seragam untuk seluruh institusi. Alasannya, tidak semua institusi membutuhkan tingkat keseragaman perilaku yang sama. Militer dan universitas merupakan dua institusi yang berbeda dalam syarat keteraturan atau keseragaman. Boks 5.2 Kasus Institusi 5 Reckoning Informal Politics: Expands the Logic of Survival and Failure of Regional H eads The qualitative research addresses the political logic of why and how the incumbents succeed and fail in direct election for regional heads (pilkada) in emerging democratic Indonesia. De Mesquita et al. (2003) believe that, to survive in office, a leader needs to offer a benefit at least equal to the greatest possible benefit offered by a ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

87

potential challenger. Particular to the pilkada cases in Indonesia, Erb and Sulistiyanto (2009) elaborate several faktors connected to “reward and punishment” logic that may lead to the incumbents’ survival and failure in re-election bids. This study expands the logic by revealing that populism, rivalry, and tangibility are the core strategies for the successful incumbents in retaining their offices in four rural and urban regions in East Java. Particularly, the survival of an incumbent hinges on his capacity to manage rivalry risks, namely the capability to manage support and opposition both from formal and informal aktors through fair or unfair means. These strategies, then, foster the success of patronage-based winning tactics to retain public office in the pilkada. To better assessment, it calls for the importance of democratic accountability as a complementary perspective (to consolidology) in measuring the progress of democracy in the country. Sumber: Sobari, 2018 Institusi militer membutuhkan perilaku standar dan menggunakan sanksi tegas untuk memaksa pemenuhan persyaratan atau standar tersebut. Universitas, sebaliknya, memperbolehkan dan bahkan mendorong keragaman dalam perilaku anggotanya. Atau, lembaga informal mungkin juga lebih toleran terhadap perbedaan daripada lembaga yang lebih formal. Prinsip keempat, untuk mengetahui bekerjanya institusi (pelembagaan) maka perlu pengukuran (Peters, 2019). Pertimbangan utamanya, yakni para institusionalis mengetahui bahwa institusi itu ada dan berpengaruh terhadap hidup kita setiap hari melalui berbagai cara. Untuk mengetahuinya, institusionalisme baru memberikan perhatian tentang pentingya metode dan teori. Menurut Peters (2019), kebutuhan untuk mengukur institusi erat kaitannya dengan konsep institusionalisasi dan deinstitusionalisasi. Pengukuran dibutuhkan untuk mengetahui tingkat pelembagaan dengan efektif. Asumsinya, institusi hampir selalu berubah dan tingkat pelembagaannya berbeda dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa mengukur 88

Wawan Sobari

institusionalisasi tidak hanya tunggal, tapi beragam aspek (multifaceted). Selain itu, masih ada ketidakjelasan jawaban mengenai pertanyaan sejauh mana sebuah lembaga dapat dikatakan terlembagakan. Selanjutnya, tabel 4.1 menunjukkan model analisis institusional sederhana yang dikembangkan Lonwdes dan Roberts (2013). Dalam karyanya, kedua ahli sebenarnya menggunakan tabel ini untuk menunjukkan karakteristik kunci tiga mode (aturan, praktik, dan narasi) hambatan institusional. Namun, sebagaimana dijelaskan di bagian awal bahwa institusi bisa berperan ganda sebagai insentif dan penghambat, maka model tersebut masih relevan untuk analisis institusional. Tabel 5.1 Model Analisis Institusional Lowndes dan Roberts (2013) Aspek Analisis Detail Bagaimana mengenali Bentuk nyata yang bisa dikenali atau institusi diketahui dari sebuah institusi Contoh empirik Contoh riil institusi, baik aturan, praktik maupun narasi Pemberlakuan institusi oleh Cara mewujudkan institusi oleh aktor aktor melalui apa? Dampak institusi pada aktor Dampak institusi kepada aktor diketahui dari tindakan politik atau dampak politik lainnya sesuai target institusi Disanksi oleh Bentuk riil daya institusi untuk mendorong tindakan politik dan dampak politik Interkoneksi antarmode Metode atau cara yang digunakan untuk menautkan antara aturan, praktik dan narasi. Ketiga mode institusi cenderung memanfaatkan narasi untuk saling terkait (interkoneksi) antara aturan, praktik, dan narasi

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

89

Metodologi penelitian indikatif

Perangkat metodologi (metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan lainnhya) yang digunakan untuk mengeksplorasi dan/atau mengukur pelembagaan.

Aspek pertama dalam analisis institusi yang bisa dilakukan sebagaimana disampaikan Lowndes dan Roberts (2013), yaitu mengetahui cara untuk mengenali institusi yang dianalisis. Setiap mode institusi memiliki cara rekognisi yang berbeda, misalnya untuk mengetahui institusi aturan, yaitu dengan mengenali peraturan tertulis dan terekam secara formal. Sementara untuk mengenali narasi bisa diketahui dari segala sesuatu yang diekspresikan melalui kata-kata yang diucapkan. Aspek-aspek lainnya membantu untuk mengetahui dampak institusi terhadap tindakan politik dan dampak politik. Cara kerja institusi, dampaknya, dan aspek analisis institusional lainnya membantu peneliti atau mahasiswa untuk mengetahui dan mengukur pengaruh institusi terhadap tindakan politik dan dampak politik. Meskipun demikian, instrumen analisis tersebut bisa digunakan sesuai tujuan riset atau kajian institusionalisme baru yang ditargetkan. Tidak ada aturan baku mengenai analisis institusional tersebut. 1.6 Pola Analisis Institusional Berdasarkan dua model analisis institusionalisme baru dari Peters (2019) dan Lowndes dan Roberts (2013) digabungkan dengan penjelasan teoretis dari March dan Olsen (1984; 1989), maka buku ini berupaya untuk mengembangkan langkah-langkah analisis institusionalisme baru. Intinya, analisis institusionalisme baru dalam Ilmu Politik merupakan kajian atas aturan, norma, dan narasi yang membentuk tindakan dan dampak politik. Untuk melakukan analisis kelembagaan baru dalam konteks politik, alur analisis berikut bisa dilakukan. Tabel 5.2 menunjukan 90

Wawan Sobari

aspek dan langkah sederhana analisis institusionalisme baru. Langkah pertama diawali dengan menentukan mode institusi mana yang akan dianalisis, apakah fokus pada salah satu di antara aturan atau praktik atau narasi. Atau, salah dua dari tiga mode, atau seluruh mode menjadi fokuse secara bersamaan. Pilihan keputusan ini tentunya tergantung dari keputusan analis dan ketersediaan sumber daya dan urgensi fenomena institusi politik yang diteliti. Tabel 5.2 Model Analisis Institusionalisme Baru Aspek dan Langkah Detail Analisis Tentukan (mode) institusi Aturan atau praktik atau narasi; yang dianalisis aturan dan praktik; aturan dan narasi; praktik dan narasi Analisis identifikasi aktor Partai politik, kelompok utama kepentingan, cabang eksekutif dan legislatif, yudikatif, birokrasi, dan aktor lainnya yang terlibat Analisis peraturan dan Konstitusi, undang-undang, norma yang mengatur peraturan, dan norma (informal) lembaga (nilai adat, kebiasaan, rutinitas) yang memengaruhi cara lembaga beroperasi dan bekerja Analisis proses pembuatan Verifikasi struktur kekuasaan, keputusan dinamika negosiasi, konsultasi, koersi di dalam institusi dan antarinstitusi Analisis insentif para pelaku

Analisis dampak pengaturan kelembagaan

Analisis aktor saat merespon insentif dan kendala yang dihasilkan oleh institusi Analisis dampak institusi dalam mencapai hasil yang diinginkan berupa tindakan politik dan dampak politik dan analisis institusi saat merespon konsekuensi yang tidak diinginkan dari kehadiran institusi

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

91

Sumber: Peters (2019); Lowndes dan Roberts (2013); March dan Olsen (1984; 1989) Setelah menentukan institusi yang dianalisis, Langkah kedua melanjutkan analisis dengan menentukkan secara spesifik aktor utama dalam institusi. Pilihan aktor yang dianalisis penting untuk ditetapkan agar analisis lebih fokus dan terarah. Aktor politik yang dimaksud, bisa merupakan institusi dan/atau individu, yaitu partai politik, kelompok kepentingan, cabang eksekutif dan legislatif, yudikatif, birokrasi, dan aktor lainnya yang terlibat dalam institusi. Dengan mengidentifikasi aktor, maka analis secara otomatis mengkoneksikannya dengan pilihan mode institusi dan menjelaskan relevansinya. Selain itu, karakter utama setiap aktor juga akan membantu menjelaskan hasil analisis institusional. Catatan yang perlu dipertimbangkan, setiap aktor perlu mempertimbangkan perannya dalam institusi, sehingga bisa dijelaskan aktor lainnya selain aktor utama yang masuk kategori aktor sekunder atau pendukung. Alur analisis institusional ketiga, yaitu melakukan analisis peraturan dan norma yang mengatur Lembaga. Tujuan analisis peraturan, yakni agar sejak awal analis sudah mempertimbangkannya dalam analisis institusional. Peraturan merupakan institusi yang paling awal dan dekat dengan aktor. Peraturan dimaksud bisa berupa konstitusi, undang-undang, peraturan, dan norma (informal) (nilai adat, kebiasaan, rutinitas) yang memengaruhi cara lembaga beroperasi dan bekerja. Selanjutnya, analis akan memanfaatkan mengenai keberadaan peraturan tersebut, atau bahkan memasukannya sebagai bagian dari analisis. Langkah keempat, analisis proses politik atau proses pembuatan kebijakan. Dalam pendangan institusionalisme baru, proses pembuatan kebijakan publik merupakan arena, yaitu forum terjadinya kontestasi politik antarelit pemangku kepentingan dan termasuk warga. Karenanya, analisis institusional melakukan verifikasi struktur kekuasaan, dinamika negosiasi, konsultasi, dan koersi di dalam institusi dan antarinstitusi. Melalui verifikasi proses92

Wawan Sobari

proses tersebut, maka bisa diketahui cara kerja institusi dalam mendorong atau menghambat tindakan politik aktor dan dampak politiknya. Misalnya, deskripsi negosiasi dan konsultasi antara pembuat kebijkan dan warga akan membantu menjelaskan peran institusi di dalamnya. Langkah kelima, menganalis insentif bagi para aktor untuk mengikuti institusi. Setiap aktor memiliki kepentingan saat melakukan tindakan politik. Salah satu bentuk kepentingan tersebut berupa insentif (nampak atau tak nampak) yang didapat aktor untuk mengikuti institusi. Untuk menjalankan, maka bisa dilakukan snalisis aktor saat merespon insentif dan kendala yang dihasilkan oleh institusi. Berdasarkan data respon tersebut bisa diketahui dampak institusi terhadap aktor. Langkah terakhir, yaitu analisis dampak pengaturan kelembagaan. Pada tahap terakhir ini, analis bisa memperkirakan dampak dari kehadiran institusi. Analisis dampak institusi dalam mencapai hasil yang diinginkan berupa tindakan politik dan dampak politik. Termasuk juga analisis institusi saat merespon konsekuensi yang tidak diinginkan dari kehadiran institusi. Pada Tahap akhir inilah analis bisa mengetahui posisi akademik hasil kajian institusionalnya, apakah memperkuat pendekatan dan teori institusi sebelumnya yang relevan, memperluas, atau bahkan menolak. Posisi akademik tersebut penting bagi kemajuan institusionalisme baru. Langkah-langkah analisis tersebut dapat membantu peneliti atau mahasiswa dalam kajian analisis institusionalisme baru guna memahami dan/atau mengukur lembaga dan dampak lembaga terhadap tindakan dan dampak politik. Analisis kelembagaan baru juga bisa membantu memprediksi tentang bagaimana lembaga akan merespons keadaan yang berubah.

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

93

Penutup

B

uku ini mengawali penjelasannya dengan pemaparan contoh konsep-konsep dalam Institusionalisme baru, terutama terkait proses kebijakan. Selanjutnya, diikuti dengan penjelasan teori proses kebijakan, terutama bari Lindbloom, yang menunjukkan proses kebijakan lebih banyak didorong oleh kompetisi kepentingan daripada prinsip-prinsip normatif pembuatan kebijakan. Bisa saja, pembuat kebijakan menggunakan data dan bukti (evidence-based policy) yang meyakinkan dalam pembuatan opsi-opsi kebijakan. Namun, pengambilan keputusan tidak sepenuhnya berdasarkan pada data dan bukti tersebut, namun lebih banyak diarahkan oleh kepentingan pembuatan kebijakan. Selain teori inkrementalisme pembuatan kebijakan dari Lindbloom, bagian awal buku ini juga secara berurutan menjelaskan konsep-konsep lainnya yang menunjukkan fenomena institusionalisme baru. Perubahan kebijakan, pembuatan kebijakan, dan tindakan politik rakyat dan pemimpin publik ternyata tidak sakadar mengikuti dorongan normatif aturan atau konstitusi. Konsep informal governance, informal institution, dan shadow state menunjukkan keterlibatan aktor-aktor dan proses informal yang justru lebih banyak mengarahkan proses kebijakan dan pengambilan keputusan. Institusionalisme baru, tidak hanya bertumpu pada

94

Wawan Sobari

logika formalitas, namun mengakui adanya kepentingan dan aktor informal yang mewarnai pembuatan dan isi kebijakan publik. Selanjutnya, penjelasan tentang institusionalisme baru menemukan urgensinya. Pertama, perlu perubahan cara berpikir memahami prinsip-prinsip baru mengenai institusi atau Lembaga. Institusionalisme baru berupaya melengkapi konsep dan teori institusionalisme lama yang secara normatif membatasi pada faktorfaktor formal institusi politik. Institusionalisme baru melengkapi institusi aturan dengan dua institusi lainnya, yaitu institusi praktik dan institusi narasi. Kedua, institusionalisme baru menyadari perbedaan bidang kajian dan keilmuan yang menjelaskan institusi dan dampaknya. Maka, untuk menjelaskan lebih baik fenomena institusi dalam konteks politik, maka setidaknya terdapat tiga sub-pendekatan dalam institusionalisme baru, yaitu institusionalisme historis, institusionalisme pilihan rasional, dan institusionalisme sosiologis. Meskipun masing-masing pendekatan memiliki penjelasan cukup berbeda mengenai bentuk dan dampak institusi terhadap tindakan politik dan dampak politik. Namun, ketiganya tetap menjelaskan institusi sebagai pusat analisis tindakan dan dampak politik. Setelah mampu menguasai konsep dan teori institusionalisme baru, maka selanjutnya melakukan analisis institusional(-isme). Analisis institusional dimulai dengan menetapkan definisi institusi yang ditetapkan dalam pendekatan institusionalisme baru. Selanjutnya, dua model analisis institusional dari Peters (2019) dan Lowndes dan Roberts (2013) bisa membantu para analis dengan prinsip-prinsip analisis dari para ahli itu. Terakhir, buku ini menawarkan pola sederhana analisis institusional berdasarkan konvergensi tiga model teoretis dari Peters (2019), Lowndes dan Roberts (2013), dan March dan Olsen (1984; 1989). Langkah-langkah analisis yang disampaikan tidak perlu dipahami dan dipraktikkan secara kaku. Para analis institusi bisa menggunakannya dengan longgar, meskipun tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip institusionalisme baru.

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

95

Alvesson, M., & Spicer, A. (2019). Neo-institutional theory and organization studies: a mid-life crisis? Organization Studies, 40(2), 199-218. Bevir, M. (2007). Encyclopedia of governance (Vol. 1). Sage. %UDWWRQ 0   µ7KH 'HPRFUDF\ %DURPHWHUV )RUPDO 9HUVXV ,QIRUPDO ,QVWLWXWLRQV LQ $IULFD¶ Journal of Democracy 18 (3): 96-110. Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Coleman, S., & Freelon, D. (2015). Introduction: conceptualizing digital politics. In Handbook of digital politics (pp. 1-14). Edward Elgar Publishing. Dooley, K. L., & Patten, J. N. (2020). Why Politics Matters: An Introduction to Political Science. Cengage Learning. East, M. A. (1973). Size and foreign policy behavior: a test of two models. World Politics, 25(4), 556-576. Elcock, H. J. (1976). Political behaviour (Vol. 584). Taylor & Francis. Erb, M., & Sulistiyanto, P. (Eds.). (2009). Deepening democracy in Indonesia?: direct elections for local leaders (Pilkada). Institute of Southeast Asian Studies. )XQNH1DQG6RORPRQ+  µ7KH6KDGRZ6WDWHLQ$IULFD$ 'LVFXVVLRQ¶ Development Policy Management Forum Occasional Paper No. 5. Addis Ababa: UNECA. Grigsby, E. (2012). Analyzing politics an introduction to political science. Belmont: Cengage Learning.

96

Wawan Sobari

Guldemond, P., Salleras, A. C., & van der Velden, M. (2022). Fueling toxicity? Studying deceitful opinion leaders and behavioral changes of their followers. Politics and Governance, 10(4), 336-348. +DOO 3HWHU $ DQG 7D\ORU 5RVHPDU\ &5   µ3ROLWLFDO 6FLHQFH DQG WKH 7KUHH 1HZ ,QVWLWXWLRQDOLVPV¶ Political Studies XLIV: 936-957. +HOPNH * DQG /HYLWVN\ 6   µInformal Institutions and Comparative Politics: A RHVHDUFK $JHQGD¶ Perspective on Politics 2 (4): 725-740. Hermann, M. G. (1980). Explaining foreign policy behavior using the personal characteristics of political leaders. International studies quarterly, 24(1), 7-46. Heywood, A. (2019). Politics. London: Red Globe Press. +LGD\DW 6   µPilkada, Money Politics and the Dangers of ³,QIRUPDO *RYHUQDQFH´ 3UDFWLFHV¶ FKDSWHU  LQ Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapore: ISEAS Publishing. ,PPHUJXW (OOHQ 0   µ7KH 7KHRUHWLFDO &RUH RI WKH 1HZ ,QVWLWXWLRQDOLVP¶Politics and Society 7 (1): 5-34. ,QJUDP 3 DQG &OD\ .   µ7KH &KRLFH-within-Constraints New ,QVWLWXWLRQDOLVPDQG ,PSOLFDWLRQV IRU6RFLRORJ\¶ Annual Review of Sociology 26: 525-546.

Jaros, D. and Grant, L. V. (1974) Political Behavior: Choices and Perspectives. %DVLO%ODFNZHOO6W0DUWLQ¶V3UHVV,QF Johari, J. C. (1982). Comparative politics. Sterling Publishers Pvt. Ltd. Kavanagh, D. (1983) Political Science and Political Behaviour. London: George Allen & Unwin. .HOO\5LWD0DQG3DOXPER'  µ7KHRULHVRI3ROLF\0DNLQJ¶ part 39 in Encyclopaedia of Government and Politics. London: Routledge.

ANALISIS INSTITUSIONALISME BARU DALAM ILMU POLITIK

97

.RHOEOH7KRPDV$  µ7KH,QVWLWXWLRQDOLVPLQ3ROLWLFDO6FLHQFH and SocLRORJ\¶Comparative Politics 27 (2): 231-243. .UDVQHU 6WHSKHQ ' D  µ$SSURDFKHV WR WKH VWDWH $OWHUQDWLYH &RQFHSWLRQVDQG+LVWRULFDO'\QDPLFV¶Comparative Politics 16 (2): 223-246. .UDVQHU 6WHSKHQ ' E  µ6RYHUHLJQW\ $Q ,QVWLWXWLRQDO PerspectiYH¶Comparative Political Studies 21 (1): 66-94. Lauth, Hans--RDFKLP  µ,QIRUPDO,QVWLWXWLRQVDQG'HPRFUDF\¶ Democratization 7 (4): 21-50. /HFRXUV$QGUH  µ1HZ,QVWLWXWLRQDOLVP,VVXHVDQGTXHVWLRQV¶ the first chapter in New Institutionalism: Theory and Analysis. Toronto: University of Toronto Press. /LQGEORP &KDUOHV (   µ7KH 6FLHQFH RI µ0XGGOLQJ 7KURXJK¶ Public Administration Review. 19 (2): 79-88. Lindblom, Charles E. (1968) The Policy-Making Process. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. /LQGEORP &KDUOHV (   µ6WLOO 0XGGOLQJ 1RW