Bersujud Aku Dalam Detail Ciptamu 9786021782903

Penulis buku ini telah 4 tahun menekuni dunia fotografi makro, sebuah genre dalam fotografi yang mengkhususkan diri memo

510 54 15MB

Indonesian Pages [77] Year 2013

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE

Polecaj historie

Bersujud Aku Dalam Detail Ciptamu
 9786021782903

Citation preview

"Hiasilah firman-Ku dengan keindahan suaramu", kata Tuhan. Dan kueksplorasi, ku-ijtihad-i: Temukanlah detail-detail keindahan firman-Ku, yang terkandung dalam Kitab-Ku, di alam semesta maupun di dalam dirimu, dengan mripat cintamu, dengan kameramu, dengan tajamnya kecerdasan bidikan penglihatanmu, dengan lembutnya rasa batinmu yang mampu menembus detail-detail rahasia ciptaan-Ku. Niatilah setiap bidikan keindahanmu sebagai pernyataan cinta kepada-Ku, supaya aku terikat untuk melimpah-limpahkan cinta-Ku kepadamu dan kepada semua yang kau cintai. EMHA AINUN NAJIB Penyair, Budayawan

TEGUH SANTOSA

TEGUH SANTOSA

Jentera Intermedia

Lady First

BERSUJUD AKU DALAM DETAIL CIPTAMU Oleh Teguh Santosa Copyright © 2013 Editor: Noer Indrijatno Eska Desain dan Layout: Hendy Irawan Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh PT JENTERA INTERMEDIA INTIUTAMA Puri Kenari B-4, Caturtunggal, Depok, Sleman Yogyakarta 55281 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekam lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) BERSUJUD AKU DALAM DETAIL CIPTAMU PT JENTERA INTERMEDIA INTIUTAMA, 2013 148 hlm; 24 cm ISBN: 978-602-17829-0-3

Manunggal

P R A K ATA

N

yaris 4 tahun saya menekuni dunia fotografi makro, sebuah genre dalam fotografi yang mengkhususkan diri memotret objek-objek kecil, yang seringkali tidak terlihat jika tidak berhenti sejenak untuk memperhatikannya. Boleh dibilang, dunia makro yang menghadirkan ruang dan objek yang sebenarnya begitu akrab dengan kita, kadang terlihat asing karena sering luput dari perhatian keseharian kita. Berangkat dari pergaulan yang begitu intens dengan dunia fotografi makro, tumbuhlah niat saya untuk ikut menancapkan tonggak kecil perjalanan hidup saya dalam jagat fotografi satu ini. Tonggak itu berupa sebuah buku berisi karya-karya foto makro saya serta beberapa gagasan pribadi saya tentangnya. Ketika ide itu bergulir, Noereska, sahabat saya menyambutnya dengan antusias. Noereska juga yang membantu mengarahkan bagaimana bentuk akhir

04

buku ini nantinya. Maka, mulai dari perencanaan, persiapan, pengumpulan bahan foto dan tulisan, kami lakukan berdua. Dan yang lebih membuat saya tersanjung adalah kesediaan dua nama besar yang berkenan memberikan catatan, atau lebih tepatnya memberikan frame bagi karya foto saya agar lebih terpahamkan, sekaligus merekatkan pemaknaan dalam konteks yang lebih dalam. Dua nama besar itu, yang pertama adalah Agus Leonardus, seorang fotografer senior Indonesia yang intens mengakrabi sentuhan kemanusiaan dalam banyak karyanya. Sedangkan yang kedua adalah Ahmad Tohari, seorang sastrawan terkemuka Indonesia yang terkenal dengan karya fenomenalnya, yaitu trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, sebuah ekspresi yang begitu indah dan detail berlandaskan kepeduliannya terhadap alam, manusia, dan lingkungannya. Bahkan budayawan sekaliber Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pun

berkenan memberikan catatan singkat tapi sangat penting mengantarkan buku ini di cover dalam. Ketika buku ini sampai ke tangan pembaca, tentu saja semua itu berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Esa, serta bantuan dan kepedulian banyak pihak. Tanpa mengabaikan peran seluruh pihak yang membantu, secara khusus saya menyampaikan terima kasih kepada Pak Noereska dan Tim Jentera Intermedia, terutama Mas Hendy; Dinda Ayie Permata Sari dan Mas Topan Kamil; Mas Andiyan Lutfie yang membantu menyeleksi foto-foto yang dimuat di buku ini; teman-teman GS Photography; dan banyak pihak yang tidak sempat tersebutkan. Dan, last but not least, terima kasih atas seluruh energi yang diberikan oleh keluarga saya (Umi, Mya, Emil). Kepada mereka saya melabuhkan sukaduka saya selama ini.

Teguh Santosa

05

Selagi Masih Siang

DA F TA R I S I Prakata - Teguh Santosa - 4 Daftar Isi - 7 Fotografi Macro: Detail Pesona yang Menginspirasi Jiwa - Noer Indrijatno Eska - 8 Semula Adalah Cahaya - Ahmad Tohari - 10 Personifikasi sebagai Kekuatan dalam Fotografi Makro - Agus Leonardus - 16 Shrink into Beauty - 24 Cinta dalam Setetes Embun - 74 Macroscapes - 106 Diri dalam Cermin - 120

Daya Hidup

P E N G A N TA R E D I TO R

FOTOGRAFI MAKRO D E TA I L P E S O N A YANG MENGINSPIRASI JIWA NOER INDRIJATNO ESKA

M

asa paling kreatif dalam hidup kita adalah masa kanak-kanak, saat antusiasme, keingintahuan, dan rasa penasaran begitu meruah. Pada diri Teguh Santosa yang saat ini sudah tidak lagi muda, saya masih melihat semangat itu. Betapa tidak. Tak sampai empat tahun sejak ia membeli dan memegang sebuah kamera DSLR 'entry level', dengan keriangan serta keingintahuan yang terpelihara di dalam dirinya, Teguh Santosa terus membidik objek-objek yang menarik hatinya. Pada suatu pagi ia datang ke rumah saya dalam penampilan yang tak hanya dekil, tapi juga kotor. Celana serta kausnya basah penuh lumpur. Ia bilang

08

baru pulang dari memotret Candi Banyunibo. Mengapa sekotor itu? Karena ia harus bersujud, bahkan merangkak di tanah basah demi mendapatkan angle terbaik dalam memotret embun di halaman candi. Memotret embun mengapa harus di halaman candi? Ia ingin memerangkap keindahan candi ke dalam titik embun di ujung rerumputan! Semangat itulah agaknya yang menjadi jawaban sehingga dalam waktu relatif singkat Teguh Santosa telah menghasilkan begitu banyak karya foto makro. Satu hal yang menarik, seusai melampiaskan kegairahannya memotret berbagai objek, ia selalu berhenti, benar-benar berhenti, untuk mempertanyakan atau me-review apa yang sudah

dilakukannya. Ia lalu membuat catatan atasnya. Hal ini membuat perjalanan kreatifnya menjadi lebih terukur. Seolah ia ingin meninggalkan tonggaktonggak kecil di sepanjang petualangannya berburu objek-objek makro. Cara Teguh Santosa memperlakukan objek-objek makro juga unik. Bagai seorang pengamat sosial yang menanggalkan semua perspektif dan tata nilai yang ada padanya saat berbaur dengan kelompok masyarakat yang menarik perhatiannya, Teguh Santosa pun menyusutkan seluruh pikiran dan perasaannya, semata-mata agar ia dapat menghayati konteks yang terjadi pada objek-objek makro yang dibidiknya. Dengan pendekatan ini, Teguh Santosa benar-benar memperlakukan setiap objeknya sebagai subjek yang bebas menyatakan dirinya. Berdasarkan inspirasi saat membidik objeknya, Teguh Santosa lalu mempersonifikasikan setiap objek guna melekatkan muatan makna tertentu dalam konteks kehidupan manusia. Hal ini bisa kita lihat pada judul serta catatan yang diterakannya pada setiap karya fotonya. Teguh Santosa dengan sengaja menyajikan dua hal dalam satu kesatuan, yaitu karya foto dan konsep/pesan yang ingin disampaikannya (foto-foto Teguh Santosa merupakan foto otentik, bukan hasil

olah digital). Meskipun demikian, Teguh Santosa bersikap cukup moderat dengan tetap membuka diri terhadap interpretasi lain dari para penikmat karyanya. Sepak terjang Teguh Santosa seolah mewakili kegelisahan para fotografer makro yang oleh Ahmad Tohari disebut dalam kalimat sangat indah sebagai “para peziarah yang sangat rindu membaca maha wajah dengan penuh kenikmatan”. Masalahnya kemudian adalah, adakah apresiasi terhadap karya foto makro sebagai representasi keseluruhan jagat besar? Apakah foto makro hanya akan berhenti sekedar untuk menafkahi kebutuhan mata wadag? Ataukah ia akan mampu mengantarkan “para pengintip semesta” ke dimensi maha cahaya untuk mengungkap kesejatian objek dan menemukan keilahian di sana? Pertanyaan sekaligus tantangan Ahmad Tohari tersebut sungguh selaras dengan judul buku ini: Bersujud Aku dalam Detail CiptaMu. Bersujudnya Teguh Santosa dalam mendapatkan angle terbaik atas butiran embun dan semua detail yang dibidiknya telah mengantarkannya ke dalam sujud yang sesungguhnya kepada Yang Maha Pencipta.

09

Dewa Embun

SEMULA ADALAH CAHAYA AHMAD TOHARI

D

alam keremangan fajar, sebentuk jejaring ramat yang hanya selebar daun sirih mulai menampakkan diri. Bahkan utas-utasnya yang lebih halus dari rambut dibelah tujuh sudah mampu menangkap dan memantulkan kembali cahaya lembut fajar yang menyelinap masuk di antara pucuk rerumputan. Maka jejaring lembut itu pun hadir. Meskipun dengan segala kerentanan dan kerenikan, kehadiranya amat niscaya di balik rumput yang menjadi bagian semesta. Jejaring itu tergelar hampir vertikal; merentang pada utas-utas ramat yang ujungnya melekat pada beberapa titik di ujung ranting dan daun. Utas-utas ini bersama-sama membentuk titik konvergensi di tengah yang kemudian terjalin oleh lingkaranlingkaran patah dari ramat sejenis. Terciptalah jala ramat kecil.

10

11

Ketika pagi masih remang, jala ramat itu sudah akrab dengan ribuan renik embun pagi yang membuatnya basah dan berkilau. Bukan sembarang kilau, melainkan gebyar samar bianglala karena jutaan molekul air pada jala ramat itu bersama-sama memantulkan cahaya fajar sambil mengurai spektrum tujuh warna pelanginya. Oleh gerakan udara yang amat lembut jala ramat itu bergoyang. Ia menari, meliuk sambil melempar sampur bianglala kepada siapa saja yang punya kehalusan jiwa untuk menikmatinya. Si empunya jala ramat adalah laba-laba kecil yang hanya sebesar gabah. Ia ada dan diam di titik pusat jalanya. Segugus sel genetis di kepalanya membawa pelajaran turun-temurun bagaimana cara membuat jala ajaib itu; lentur, liat, dan lengket. Bahkan kelengketannya tidak berkurang walaupun jala ramat itu dalam keadaan basah. Ada drama terjadi di keheningan pagi di balik dedaunan itu. Seekor semut bersayap terbang melintas ruang di antara dedaunan lalu menabrak jala ramat itu dan terjebak. Aturan alam berlaku dengan seniscayanya. Si laba-laba bergerak cepat meninggalkan pusat jala untuk menangkap mangsa pertamanya. Gigi-giginya yang kuat segera mengunyah semut bersayap. Hanya dalam hitungan detik mangsa itu telah lumat dan mengisi perut sang pemangsa. Sebuah pembunuhan yang alamiah terjadi dalam kelengangan. Pembunuhan atas unitas jenis yang banyak untuk mendukung kehadiran unitas jenis yang sedikit. Itulah keselarasan pembangun kearifan alam yang menjadi daya tahannya hingga usianya bisa mencapai sekian ribu juta tahun hingga pagi ini. Ada tiga atau empat pocong kecil dalam gulungan ramat tergantung di ujung-ujung daun dekat jala itu, bahkan dua di antaranya terjulai di sekitar titik pusat jala. Pocong itu berisi lalat atau sejenisnya yang kemarin terperangkap jala, tetapi laba-laba kecil itu tidak memangsanya. Si laba-laba hanya menangkap, lalu membuat mangsa itu mati suri dengan gigitan tertentu, dan menggulungnya dengan sobekan jala. Dalam keadaan antara hidup dan mati, si mangsa itu ditempeli puluhan telur oleh sang laba-laba yang segera menambal jala ramatnya hingga kembali sempurna. Dan besok, apabila telur-telur itu menetas, bayi laba-laba langsung menjadi predator atas mangsa yang telah disediakan oleh induknya. Maka kehidupan yang sepi, renik, dan tersembunyi di balik rerumputan itu terus bergulir mengikuti aliran waktu dan entah sampai di mana ujungnya.

12

Adalah sesuatu yang bila ia tidak hadir maka kehidupan di atas jala ramat itu tidak akan ter-iqra oleh siapa pun. Demikian juga kehidupan lain yang sama renik, lebih renik atau yang gigantik sekalipun. Benda-benda paling kecil berukuran atomik sampai yang amat besar seperti bulan, bumi, matahari, dan bintang-bintang tidak akan tampak. Juga kehidupan di bawah laut. Sesuatu yang harus hadir itu jugalah yang menampilkan segala bentuk, rupa, dan warna. Bahkan juga gerak. Ungunya bunga bungur, hijau atau kuningnya lautan padi, bintik warna-warni pada sayap kupu-kupu, atau sungut semut, atau kombinasi ajaib antara warna merah dan hijau pada bulu burung bayan (betet), atau merah-hitam-kelabu pada burung gelatik; semuanya tidak berarti tanpa Sang Sesuatu itu. Maka sesuatu itu adalah utusan utama Sang Alam. Ia sudah ada sejak semula, sejak peristiwa ledakan besar yang mengubah ke-tidak-ADA-an semesta menjadi ke-ber-ADA-an semesta. Dan sesuatu itu adalah cahaya, yang memancar dari sumbernya ke segala arah dan segala yang ada, lalu memantul kembali ke segala arah juga sambil mengusung kesaksian atas adanya suatu benda yang telah disentuhnya dalam bentuk citra (bayangan) benda itu secara sempuna. Seperti jaring ramat laba-laba kecil itu, misalnya; cahaya menyentuhnya di kala fajar dan memantulkan citra jaring ramat itu masuk dan menembus sepasang lensa mata. Lensa menangkap citra yang dibawa oleh cahaya pantulan itu dan mengolahnya menjadi sinyal-sinyal yang bisa terbaca oleh jaringan syaraf. Sesungguhnya, di dalam mata, citra itu jadi terbalik, atas jadi bawah, namun karena terlanjur menjadi kesepakatan dunia, maka yang sejatinya bawah di sebut atas. Adapun gerak laba-laba itu ketika menangkap mangsa, misalnya, atau gerak apa pun, bisa terekam karena “kesalahan alam” yang disengaja, yakni bahwa memori yang ada di syaraf mata tidak langsung terhapus begitu citra yang dibawa oleh cahaya terputus. Memori itu bertahan selama 1/16 detik. Maka bila dalam satu detik dikirim 16 citra yang berurutan, maka mata akan menangkap suatu gerakan normal. Demikian, maka gerak sepasang sungut semut atau gerak setitik embun yang meluncur di permukan daun yang miring hanya akan terekam oleh mata sebagai gerakan normal (bukan slow motion atau fast motion) bila mata menerima rangsangan 16 citra berurutan dalam satu detik. Dan semua ini terjadi karena adanya peran Sang Cahaya.

13

Hampir sama halnya ketika citra yang dibawa oleh cahaya pantulan itu masuk menembus lensa kamera. Dahulu, di dalam kamera lama, citra itu “diabadikan” melalui proses kimiawi pada sehelai seluloid yang amat peka terhadap cahaya, yang kemudian bisa diolah menjadi dianegatip atau diapositip yang kemudian menjadi sarana untuk menyetak foto, baik BW atau berwarna, baik dua atau tiga dimensi. Kini era seluloid telah menepi dan era digital sudah merajai dunia fotografi.

Mereka yang sering melekatkan mata di belakang lubang intip atau viewfinder kamera adalah orang-orang yang bersahabat dan suka bercengkerama dengan cahaya, terutama cahaya pantulan pembawa citra objek amatan. Bila objek amatan berupa manusia utuh, bunga mawar, atau sebuah bangunan, misalnya, maka pekerjaan mengabadikan citra objek tersebut adalah hal biasa. Namun bila objek tersebut misalnya berupa semut atau kabut yang menyublim dan menjadi setitik embun di ujung daun ilalang atau serenik spora lumut, maka mengakrabi cahaya yang mengantar citra objek-objek itu adalah tantangan yang sungguh menggairahkan. Para pengintip itu akan sabar mencari sampai menemukan posisi terbaik, momentum paling tepat dan komposisi ideal ketika cahaya pembawa citra itu dipersilahkan masuk menembus lensa kamera, lalu merekamnya secara digital atau melalui proses kimia di lapisan seluloid. Mereka adalah peziarah yang rindu, sangat rindu meng-iqra, membaca sabda, merekam “maha-wajah” dengan penuh kenikmatan. Mereka seperti mengambil alih tugas sebagai pewaris para rasul yang telah menerima sabda agar manusia berterima kasih atas kepemilikan matanya, telinganya, dan sarana inderanya.

Semula adalah cahaya. Ia adalah gejala getaran abadi yang lahir sejak ledakan akbar puluhan miliar tahun lalu. Yang menciptakan gelombang mikro dan menggejala menjadi dirinya: cahaya. Yang diperintah untuk memenuhi semesta demi mengungkap segala-gala dalam citra bentuk, warna, dan gerak. Tetapi demikianlah; sesungguhnya cahaya hanya mengungkap segala-gala dalam realitas bayangan. Cahaya hanya mampu berbicara dalam kemayaan, seperti sebuah cermin yang hanya memantulkan bayangan, apa? Yaitu bayangan dari segala yang sejati, yang hanya bisa terungkapkan bukan oleh cahaya melainkan oleh cahaya di atas cahaya, maha cahaya. Dalam pantulan maha cahaya, maka laba-laba di atas jaring ramat selebar daun sirih itu misalnya, akan tampak ilahi. Juga segala sesuatu di sekitarnya akan tampak ilahi karena hadir dalam keberadaannya yang tidak lagi maya atau hanya bayangan melainkan keberadaan sejati. Dalam pantulan Sang Maha Cahaya, maka segalanya menjadi lebih terang, lebih kemilau, dan lebih hidup. Yang merah menjadi lebih merah, yang ungu menjadi lebih ungu. Atau senyum anak-anak menjadi jauh lebih menawan dan lebih mampu menembus dasar hati. Semula adalah cahaya, yang menembus masuk lensa para pengintip semesta, lalu menyajikan citra, warna, dan gerak segala dalam keindahan dan pesona. Meskipun sesungguhnya itu maya. Tapi bagi peziarah-peziarah sejati, cahaya itu akan mengantarnya mencapai dimensi maha cahaya. Dan hanya Sang Maha Cahaya yang bisa memantulkan segalanya dalam perwujudannya yang sejati dan ilahi.

Ahmad Tohari Novelis senior Indonesia, pencinta lingkungan hidup.

Tetapi, sejauh mana, bahkan apakah ada penghormatan terhadap hasil pembacaan para pengintip jagat alit sebagai objek yang sesungguhnya mewakili keseluruhan jagat ageng? Apakah hasil pembacaan yang amat bernilai itu hanya akan menghias dinding atau lembar-lembar sepi, atau hanya dipandang dengan mata wadag sekedar untuk menikmati sekilas objek kecil yang (hanya dianggap lucu?) dan belum pernah hadir dalam perhatian mereka?

14

15

The Lifter

PERSONIFIKASI S E B AG A I K E KUATA N DALAM FOTOGRAFI MAKRO AGUS LEONARDUS

“Secanggih apa pun kamera, ia tidak dapat mencari subjek sendiri.”

F

otografi setidaknya menyangkut dua hal. Pertama yang bersifat mekanis, yaitu meliputi segala hal teknis. Oleh karena masalah teknis bersifat lebih matematis, maka relatif mudah dipelajari. Di era fotografi analog, masalah teknis ini perlu dipelajari dan dilatih secara serius. Dibutuhkan perjuangan keras agar seorang fotografer terampil memanfaatkannya. Di era itu, menghasilkan foto yang secara teknis benar saja sudah merupakan sebuah prestasi. Memasuki era fotografi digital, ketika hampir seluruh masalah teknis ini diambil alih peranannya oleh kamera yang sedemikian canggih, peran seorang fotografer dalam hal-hal teknis menjadi sangat minim. Dengan demikian, jika seorang fotografer melulu hanya mengandalkan keterampilan teknis dalam berkarya, dapat dikatakan ia belum berprestasi.

16

17

Hal kedua yang bersifat kreatif, yaitu segala hal yang memerlukan kreativitas seorang fotografer. Pemilihan objek pemotretan misalnya, memerlukan kreativitas, kejelian, serta kepekaan rasa. Demikian pula dengan penentuan sudut pemotretan dan komposisi. Seorang fotografer yang baik adalah yang selalu mempunyai komitmen untuk menghasilkan karya kreatif. Dalam hal ini, seorang fotografer dapat dikatakan kreatif apabila ia mampu memotret sesuatu yang belum pernah dipotret oleh orang lain. Atau, andaikata objeknya pernah dipotret oleh fotografer lain, ia akan memotretnya dengan cara yang berbeda. Karena fotografi adalah bahasa visual, maka seringkali seorang fotografer mempergunakan simbol-simbol dalam berkarya. Simbol ini bisa dihasilkan dari teknis memotretnya, misalnya ia memanfaatkan bayangan memanjang dalam fotonya untuk mengesankan suasana pagi atau sore hari, meskipun mataharinya tidak tampak dalam bidang foto. Simbol teknis lainnya misalnya pemanfaatan kualitas cahaya kontras atau soft untuk mengesankan keras dan lembut. Selain teknis, fotografer juga bisa memanfaatkan simbol berupa bentuk tertentu atau gestur, jika objeknya berupa manusia. Penggunaan teknis tertentu, termasuk pemilihan sudut pemotretan atau komposisi, bahkan jenis objek tertentu, jika dilakukan secara terus-menerus dan konsisten, akan membentuk sebuah style pada diri fotografer. Tetapi, jika ia 'keterusan' dan terpaku hanya pada masalah teknis belaka, maka ia akan terjebak pada zona kenyamanan dan takut melakukan perubahan. Alhasil, kreativitasnya akan mandeg. Dengan kata lain, fotografer harus lebih mengutamakan isi foto daripada teknisnya, karena hal-hal teknis tersebut semata-mata hanyalah sekedar alat bantu untuk mencapai tujuan. Fotografer yang baik dan kreatif tentu menyadari bahwa teknis itu penting, tapi bukan yang terpenting. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang fotografer jika melulu mempertontonkan keterampilan teknis saja, maka ia akan dinilai sebagai seorang perajin foto yang terampil. Tetapi jika keterampilan tadi digunakan secara tepat sebagai alat bantu untuk memvisualisasikan ide-idenya, maka dari isi fotonya publik akan menilai tingkat kecerdasan, luasnya pengetahuan, kreativitas, serta intelijensi fotografer yang telah menghasilkan karya tersebut.

18

FOTOGRAFI MAKRO dalam pengertiannya adalah fotografi dengan objek yang relatif berukuran kecil. Secara teknis, untuk memotret objek berukuran kecil diperlukan lensa yang mampu memotret dalam jarak relatif dekat ke objek. Lensa paling ideal untuk pemotretan makro tentu saja adalah lensa yang didesain untuk pemotretan jarak dekat, yaitu yang disebut lensa makro atau lensa mikro. Pada lensa tertentu, jarak pemotretan bisa sedekat 1 cm dari objeknya. Bandingkan dengan lensa pada umumnya, misalnya lensa dengan titik api 50 mm, jarak terdekat pemotretannya sekitar 45 cm. Lensa makro dapat memotret dengan perbandingan 1:1. Artinya, jika objek yang difoto berukuran 1 cm, maka imaji yang disimpan oleh film/sensor juga berukuran 1 cm. Karena jarak pemotretan yang sangat dekat, akibatnya objek foto yang berukuran kecil dapat terekam seolah membesar, menjadi raksasa. Kesulitan teknis dalam memotret makro adalah dalam hal mengatur jarak pemotretan (focusing). Semakin dekat jarak pemotretan akan semakin kritis. Sedikit saja meleset dalam mengatur jarak, maka objek utamanya akan kabur karena out of focus dan berada di luar ruang ketajaman (depth of field). Kesulitan berikutnya adalah pendekatan ke subjeknya. Hal ini terjadi apabila sasaran bidiknya adalah makhluk hidup seperti serangga dan sejenisnya. Dalam hal ini tentu diperlukan teknik pendekatan tertentu, penyamaran, dan ketelatenan. Hasil dari pemotretan makro pada awalnya selalu menakjubkan di mata pemirsa. Sudah menjadi hukum alam, sesuatu yang jarang atau sulit dilihat oleh mata manusia, ketika berhasil ditampilkan akan selalu mengundang decak kagum. Akan tetapi, uraian di awal tulisan juga berlaku pada pemotretan makro. Selain dari penampilan objeknya yang jarang dan sulit dilihat oleh mata pemirsa karena ukuran aslinya yang sangat kecil, hal menakjubkan yang dihasilkan pemotretan makro adalah teknis pemotretannya. Maka, jika pemotret hanya terpaku pada keterampilan teknis dan melupakan isi fotonya, maka ia akan terjebak menjadi sekedar perajin yang terbuai oleh keindahan visual belaka. Hasil karya yang dengan susah payah dibuatnya memang akan menakjubkan mata pemirsa, tetapi sayangnya juga akan cepat dilupakan orang.

19

Secara umum, objek foto-foto dalam buku ini barangkali bukan merupakan sesuatu yang baru. Meskipun demikian, bukan berarti Teguh Santosa tidak menawarkan satu kebaruan. Kebaruan itu terlihat misalnya pada keputusannya menentukan angle. Tanpa mengingkari minatnya sebagai fotografer makro, Teguh Santosa banyak menempatkan 'horison' imajiner yang menghadirkan kesan landscape pada banyak foto makro karyanya. Bisa jadi, inilah yang akan menjadi style pada diri Teguh Santosa. Tantangan berikutnya sangat bergantung pada kreativitasnya untuk menemukan konten atau objek yang dibidiknya. Seperti dikatakan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Kisah Mata: “mata memandang, memotret adalah menyatakan.” Di tengah hamparan dunia makro, kiprah Teguh Santosa akan bergantung kepada apa saja yang akan diputuskannya untuk dipotret sebagai sebuah pernyataan. Beberapa karya Teguh Santosa setidaknya juga bisa memantikkan inspirasi bahwa salah satu yang bisa dilakukan oleh macro photography agar tidak terjebak untuk memotret hanya demi mengejar keindahan visual, adalah dengan memanfaatkan objeknya sebagai simbol bagi kehidupan manusia. Dengan personifikasi atau memanusiakan objek yang dibidiknya, kiranya fotografer makro juga dapat lebih efektif menyampaikan pesan atau opininya kepada publik. Beberapa foto yang menampilkan simbol-simbol lewat personifikasi antara lain “Dream Team“ yang memberi inspirasi kepada kita semua akan mulianya nilai gotong royong, lalu foto “ Ugh, so hard “, "Pantang Menyerah", "Menggapai Tanah Impian", serta “The Lifter” yang menggambarkan kegigihan dan kerja keras. Personifikasi yang lebih kuat tampak pada foto “Over The Top” yang menggambarkan pencapaian pada puncak yang diinginkan. Begitu juga dengan foto “Show Off” yang menggambarkan kebanggaan diri akan kegagahan dan pesona yang dimiliki. Saya melihat seorang Teguh Santosa juga memiliki sense of humor saat melihat foto berjudul “Can I whisper something, Pal?” , "Jangan Dorong Aku!" atau juga "Pihak Ketiga".

in Blur “, serta "Semesta" yang bisa dikategorikan sebagai foto surealis mungkin juga mengundang penafsiran berbeda-beda. Seseorang yang melihatnya mungkin merasakan keindahan. Tetapi sebaliknya, orang lain lagi barangkali akan merasakan kengerian. Sementara pada beberapa foto refleksi embun seperti “Candi Barong Inside”, "Prambanan Inside", atau "Tumetesing Embun Nelesi Ati Suwung" saya melihat sebuah pencarian yang sebenarnya belum selesai. Meskipun secara teknis Teguh Santosa telah mendapatkan gambar utama yang bagus, tetapi konten atau objek utama tersebut belum didukung oleh lingkungan yang ada. Jika saja seluruh lingkungan yang tampil dalam foto memiliki korelasi dengan objek utama, maka akan semakin memperkuat konsep/tema foto. Apresiasi patut diberikan kepada Teguh Santosa yang dengan berani menampilkan karya foto makro di bagian akhir buku ini dalam format hitam-putih. Ketika banyak foto makro yang masih terjebak di dalam pesona efek warna-warni, Teguh Santosa justru menghilangkan warna-warni tersebut. Bagaimanapun, sebuah foto dengan konsep yang kuat, biasanya akan semakin menarik ketika ditampilkan dalam format hitam-putih. Sekali lagi, semoga buku ini menginspirasi kita sebagai fotografer agar tidak berpuas diri di tataran keindahan visual semata.

Agus Leonardus Fotografer senior yang selalu berusaha untuk mempergunakan fotografi sebagai bahasa visual. Baginya, fotografi adalah menulis dengan cahaya.

Lain halnya dengan beberapa foto embun yang bersifat lebih multitafsir karena penghayatan atasnya sangat bergantung pada kondisi serta pengalaman jiwa penikmatnya. Misalnya pada foto “The Flute” sangat dimungkinkan seseorang justru merasakan sebuah kesakitan karena membayangkan sebuah keindahan dan kelembutan yang tertembus oleh duri-duri tajam. Lalu pada foto semacam "Sejuta Benang", “ The Lost

20

21

Harmoni

22

23

MACRO WORLD

SHRINK INTO BEAUTY

DUNIA LILIPUT YANG TERABAIKAN TEGUH SANTOSA

M

acro world adalah dunia yg sering luput dari perhatian keseharian kita. Ruang dan objek yang sebenarnya begitu akrab dengan kita, sering terlihat asing karena nyaris tak pernah tertangkap mata dan atensi harian kita.

Seekor laba-laba rumput dengan mata waspada berjaga mengamati seluruh jaringan ramat kekuasaannya yang basah gemerlap berselimut embun pagi. Sepasang semut rangrang berciuman di celah batang trembesi saat induk rangrang menyeberang sambil menggendong anak di mulutnya. Di lain semak, dua ekor kepik bersebadan atas naluri menjaga populasi, sementara titik-titik embun bergelayutan pada pepucuk rumputan di halaman. Kepada mereka semua, pernahkah kita berempati? Kita sering luput menatap mereka. Bisa jadi karena kita terlanjur terbiasa memandang sepele peristiwa-peristiwa kecil yang rasanya 'nggak penting banget' di tengah perkara besar kehidupan (politik, ekonomi, sosial, bahkan infotainment) yang lebih membetot nyaris seluruh waktu, minat, dan energi kita. Ketika dunia yg akrab sekaligus asing itu kemudian tersaji dalam bingkai kecerdasan artistik yang bukan saja menghasilkan gambar-gambar spektakuler, melainkan juga mampu memantikkan kontemplasi, kita jadi terperangah.

24

25

Di akhir tahun 80-an, ada sebuah film berjudul “Honey, I Shrunk The Kids”. Film ini mengisahkan tentang seorang ayah peneliti yang dengan mesin ciptaannya tanpa sengaja membuat anak-anaknya menyusut hingga sebesar kutu. Dengan tubuh sekecil itu, halaman rumah mereka berubah menjadi belantara penuh hewan-hewan raksasa. Anak-anak itu tersesat di dalam hutan rumput yang sebelumnya setiap hari mereka injak-injak dan kini mereka harus menjalani petualangan di belantara itu dengan penuh rasa seram, ketakjuban, serta keterkejutan tanpa henti. Bagaimana tidak? Mereka secara drastis harus mengubah sudut pandang mereka terhadap hewan-kecil yang biasanya mereka temui sehari-hari. Jika sebelumnya mereka melihat hewan-hewan kecil itu dari atas, kini mereka justru berada di bawah hewan-hewan tersebut dan melihatnya sebagai raksasa. Namun, hal tersebut justru menjadi sensasi luar biasa yang tidak pernah mereka temui di dunia normal. Bayangkan. Mereka bisa naik ke punggung semut dan ikut berbagi menikmati remah roti sisa mereka sendiri, mandi di ceruk daun penuh genangan embun, serta lari pontangpanting saat dikejar nyamuk dan tawon. Nah, semua sensasi penuh ketakjuban dan kejutan seperti itu sangat mungkin bisa kita alami dalam dunia foto makro. Maka, salah satu obsesi saya dalam memotret makro adalah ingin melahirkan foto-foto makro dengan konsep yang tak lagi berkutat pada pembesaran ekstrem, ketajaman, dan kecemerlangan warna semata, tetapi juga secara empatis larut terlibat dalam pengalaman subjek foto. Ketika pembesaran ekstrem sudah bisa dilakukan dengan alat canggih (kamera, lensa, lighting) dan teknik yang tepat serta mumpuni, ketika detil objek bisa disingkap dengan sangat gamblang hingga ke bulu-bulu halus di kuduk capung jarum yang sangat kecil itu misalnya, what next? Menurut hemat saya, pada tahap ini foto makro menghadapi tantangan spesifik, yaitu bagaimana membuat foto makro yang lebih bermakna. Sebagai sebuah ekspresi, foto makro semestinya juga mengusung satu nilai yang pada ujungnya mampu menancapkan impresi mendalam ke dalam pikiran atau perasaan penikmatnya. Jika tidak, sebuah foto hanya akan berhenti sebagai gambar indah semata yang berarti akan memasung potensi sesungguhnya yang dimiliki sebuah foto.

Realisasinya, foto-foto makro yang saya ciptakan biasanya tidak bertumpu pada cara membesarkan objek yg akan saya foto sebagaimana kita melihat sebuah benda kecil dengan kaca pembesar, tetapi (seolah-olah) sayalah yang harus menyusut dan ternganga takjub melihat perilaku para 'raksasa' (semut, kepik, tetes air, dan sebagainya) dan seolaholah 'terlibat' di dalam subjek foto. Dalam kemenyusutan itulah saya baru bisa menyaksikan dan menikmati keindahan kontekstual yang luar biasa pada tetes sejuk embun, kesigapan gerak semut, kesabaran tawon saat menghisap kembang, geletar sayap kepik yg sedang kawin, dan sebagainya. Pada hemat saya, sudut pandang bawah (low angle) juga mampu mengubah persepsi kita pada objek yang sama. Bagaimana tidak? Dengan sudut pemotretan dari bawah, kita akan mendapatkan cakrawala baru yang menakjubkan yang selama ini nyaris tak terlihat oleh kita. Kita akan mendapatkan bahwa garis horizonnya begitu dekat, tetapi sekaligus jauh untuk ukuran foto makro. Dengan low angle, 'objek' foto kita menjelma menjadi tokoh yang begitu gagah dan seolah-olah mampu mendominasi kita. Pelajaran penting yang saya dapatkan adalah, bahwa dengan kesediaan menyusutkan segenap pikiran dan perasaan, dunia makro mampu menyuguhkan berjuta peristiwa spektakuler. Peristiwa kecil, sangat kecil dari sisi ukuran, tetapi mampu menggugah inspirasi besar tentang manusia, tentang kehidupan dengan segenap heroisme dan keindahannya. Di sisi lain, saya semakin menyadari betapa liliputnya kita di hadapan alam semesta ciptaanNya. Apa lagi di hadapanNya.

SHRINK YOURSELF, G AND ENJOY THE AMAZIN

WORLD!! ADVENTURES IN MACRO

*esensi dari 'kredo' ini pernah dipublikasikan di buku Indonesia Macro Photo Book.

26

27

Berbagi Suami

28

29

Can I Whisper Something, Pal?

30

31

Sepasang Penari

32

Cheerleaders

33

Di Atas Rumput Raya

34

License to Kill

35

Dreamteam

36

Puncak Gunung Es

37

Over The Top

38

Payung Fantasi

39

Show Off

40

41

Halo, Ndut!

42

TOM

43

Kisah Sebuah Pertemanan

44

45

Dari Ketinggian Singgasana

46

47

Sepohon Dua Hati

48

49

Pagi Sunyi

50

51

Tajam Tak Bertepi

52

Standing dan Terbang

53

Menjaga Sang Puteri

54

55

Nyanyi Sunyi

56

57

Asmara di Ujung Batu

58

Daya Hidup #2

59

Dream Light

60

61

Drama di Balik Daun

62

What A Wonderful Small World

63

Kincir Dewa

64

65

Para Pendoa

66

67

Concentric Spaces

68

69

Penguasa Rimba

70

Jangan Dorong Aku!

71

Pihak Ketiga

72

73

S H R I N K

I N T O

B E A U T Y

Demi Cerah

us berserah: r a h u k a a p a i s Kepada

CINTA DALAM

SETETES

EMBUN

74

au Tanah rekah, at ? Matahari merah

Gulita memeluk malam. Taburan kilau bintang di langit tak mampu menembus gelap. Hening. Bahkan bising suara jangkrik dan katak pun tak mampu mengusir keheningan. Di saat itulah sebuah proses fisikawi berlangsung. Uap air yang terperangkap oleh panasnya udara di siang hari ternyata tak mampu dipertahankan oleh dinginnya udara malam. Maka proses mengembun pun terjadi. Uap air yang terlepas kemudian melayang sebagai embun, lalu turun dan melekat pada benda-benda yang dilewatinya.

Paginya, tebaran embun menyapa rerumputan yang dengan antusias memberinya tempat untuk menebarkan kesejukan dan memamerkan kilaunya barang sesaat, karena seiring datangnya siang, embun pun surut. Sejak mengakrabinya lewat viewfinder empat tahun lalu, saya langsung jatuh cinta. Meski awalnya saya memulainya bukan dengan lensa makro, melainkan hanya dengan lensa kit yang saya balik, saya sudah takjub melihatnya. Segera saya menyadari bahwa keindahan embun terletak pada refleksi yang terperangkap di dalamnya. Hanya saja, jika ingin menikmati keindahannya secara maksimal, kita harus rela bersujud agar dapat melihatnya dari bawah, atau paling tidak sejajar dengan embun.

Begitulah awal kecanduan saya memotret embun. Sampai sekarang, entah sudah berapa ribu kali saya memencet shutter untuk mengabadikannya. Tak cuma pendaran kilaunya yang mempesona mata, tapi refleksi di sekujur permukaannya yang besarannya hanya sekian milimeter itu seolah mewartakan keindahan surgawi. Sungguh tak terperi....

75

The Flute

76

77

Tak perlu setiap kali mengutuki kegelapan jika mampu meneranginya dengan cara kita sendiri meski hanya senyala kecil sekali pun.. "Anyone Can Light A Candle"

78

Sejuta Benang

75

Shine to Believe

80

77

Semesta

82

Stairway to Heaven

79

Sesumpit Surga

84

81

Senyala Pagi

86

Hingga Maut Menjemput

83

Lost in Blur

88

85

Bergetar Putik Sang Kembang Saat Tetes Embun Meminang

90

91

Beauty on Dirty

92

93

Embun di Jari-jari Bunga Luka Memaksaku Mengeja Kenangan di Setiap Kilaunya

94

Halusinasi

95

Emas Fatamorgana

96

97

Bulir Kehidupan

98

Linangan Airmata Syukur

99

Kepada Siapa Aku Berserah, Tanah Rekah, atau Matahari Merah?

100

Dalam Buaian Kelopak Cinta Sendiri, Menanti Sapa Mentari

101

The City of Dew

102

103

Kilau Pagi

104

105

S H R I N K

I N T O

B E A U T Y

S E P A C S O R C A M

Bermula dari memotret embun.

Bagaikan mata liliput yang tak pernah terpejam, tetestetes embun yang bergelayutan di pepucuk rumputan merefleksikan apa pun yang berada di belakangnya. Kilau cerlangnya tak henti memantulkan keindahan di sekitarnya: hamparan rumput, dedaunan, sawah luas, gunung, bahkan langit biru. Uniknya, embun selalu merefleksikan semua benda tersebut secara terbalik. Saya terperangah. Segera saya teringat salah satu fragmen cerita wayang yang begitu akrab sejak saya masih kecil, yaitu Dewaruci atau Bima Suci, sebuah kisah perjalanan spiritual Bima untuk mencari Tirta Amerta (air kehidupan) di dasar samudera. Setelah melalui begitu banyak rintangan, antara lain Sang Bima harus mengalahkan raksasa dan naga,

106 26

sampailah Sang Bima di dasar samudera. Di sana tidak ada siapa-siapa yang ditemuinya kecuali seorang dewa berwujud persis seperti dirinya, tetapi dalam ukuran yang sangat kecil. Ia bernama Dewa Ruci. Untuk memahami makna kesejatian, Bima diminta masuk ke dalam raga Sang Dewa Ruci. Tentu saja Bima ragu, bagaimana mungkin badannya yang besar mampu masuk ke dalam raga Sang Dewa Ruci yang hanya seujung kelingkingnya?

anakku, “Wahai Werkudara si dungu ing alam semesta? sebesar apa dirimu diband suk ke dalam diriku, seisi alam ini pun bisa ma g hanya sejentik jangankan lagi dirimu yan noktah di alam.

Dewaruci, mendengar ucapan Sang seketika, Sang Bima merasa kecil suk dan segera melompat ma ruci ke telinga kiri Sang Dewa arahnya“. yang telah terangsur ke di dalam raga Sang Dewa Ruci, Bima menerima wejangan tentang kehidupan, tentang sangkan paraning dumadi, tentang menyatunya 'jagat besar' ke dalam 'jagat kecil'. Kisah Dewa Ruci itu menginspirasi saya untuk menghasilkan beberapa karya foto yang saya sebut sebagai Macroscapes. Saya ingin menyatukan foto lanskap ke dalam foto makro, khususnya embun. Secara teknis, saya memanfaatkan embun sebagai 'lensa' tambahan untuk menangkap refleksi di belakangnya. Dan hasilnya, bagi saya cukup menakjubkan. Saat pertama kali memotret embun

dengan refleksi sawah, langit biru, dan rumah di seberang sawah, saya sungguh terharu, bahkan seolah mengalami katarsis. Saya merasa seolah-olah telah menyatukan 'jagat besar' ke dalam 'jagat kecil'. Maka berikutnya saya berusaha menyatukan lanskaplanskap yang sudah dikenal banyak orang ke dalam embun, mulai dari Candi Prambanan, Candi Borobudur, Gunung Merapi, Gunung Bromo, Jembatan Kahayan, dan sebagainya. Dari hal-hal kecil dalam kehidupan kita kadang kita temukan sebuah inspirasi besar, sangat besar, sebagaimana dari Sang Dewa Ruci seorang Bima mendapatkan makna kesejatian hidup.

107 27

Kahayan Bridge Inside

108

109

Memerangkap Langit

110

111

A Thousand Dews into The Dew

112

Candi Barong Inside

113

Prambanan Inside

114

115

Sadurunge Embun Tumiba ing Banyunibo

116

Tumetesing Embun Nelesi Ati Suwung

117

Tears of Knowing YOU

118

119

S H R I N K

I N T O

B E A U T Y

IN M R E C M A L A D I R I D

Aku berkaca Bukan buat ke pesta Ini muka penuh luka Siapa punya?

(dua bait pertama Puisi ggal) Chairil Anwar: Selamat Tin

Refleksi atau bayangan sering terlihat lebih indah dari aslinya. Mata wadag kita pun terbiasa lebih menikmati refleksi sebagai sesuatu yang lebih indah atau bahkan terasa lebih nyata. Plato, dalam Allegory of the Cave menyatakan bahwa manusia sering terjebak pada apa yang mereka persepsikan sebagai “kenyataan sebenarnya”. Sementara faktanya belum tentu seperti itu.

120

Terkisahlah Narsissus atau Narcissus, seorang pemuda rupawan yang 'cinta mati' pada bayangannya sendiri. Tak bosan-bosannya Narsissus memandangi bayangan wajahnya di air kolam yang jernih dengan penuh ketakjuban. Ia tertegun memandang mata yang cemerlang, pipi yang lembut, leher yang halus seperti gading, dan wajah yang tampan. Ia pun jatuh cinta kepada wajah rupawan yang juga selalu memandangnya dengan sepenuh cinta itu. Tiada puas-puasnya Narsissus memandang bayangan wajahnya sendiri. Ia tidak sadar bahwa yang dijatuhcintainya itu bukanlah kenyataan.

Foto refleksi atau foto berefleksi, dalam banyak kasus juga bisa memunculkan persepsi serupa. Mata kita sering lebih terpenjara pada citra yang direfleksikan,

baik pada refleksi yang bening bagai cermin diam ataukah patah-patah bergelombang. Boleh jadi hal ini menggambarkan kecenderungan kita yang suka bercermin. Bukankah nyaris setiap hari kita bercermin, entah untuk melihat kekurangan diri kita atau (justru) mengagumi diri kita sendiri. Terlebih lagi refleksi pada foto seringkali memunculkan (seolah-olah) realita baru. Distorsi yang muncul akibat air yang bergelombang, misalnya, sering memunculkan nuansa aneh pada refleksi yang ditimbulkan sehingga kadang bahkan surealistik. Begitu juga ketika yang direfleksikan adalah hewanhewan kecil yang dalam keseharian sering kita abaikan keberadaannya. Semut yang mau menyeberang dari ranting ke rumput, sepasang keong kecil yang saling berebut untuk 'berkaca', belalang

kecil yang sedang 'berlayar' di riak gelombang, kepik hijau yang 'mengagumi' keindahan warna sayapnya sendiri, semut yang terpesona pada kegagahannya, dan sebagainya. Di sisi lain, pengalaman menyaksikan ekspresi hewanhewan kecil di atas air itu, bagi saya seperti mengingatkan pengalaman kita sendiri saat bercermin. Mungkin takjub, kecewa, marah, bahkan mungkin ngeri. Saya teringat topik pembicaraan saya dengan Pak Ahmad Tohari pada suatu siang di beranda rumah beliau: sebagai penikmat keindahan sejati, kita hendaknya jangan terjebak dalam keindahan bayangan atau refleksi (pen)citra(an) semata, karena ada yang lebih hakiki dari semua itu, yaitu keberadaan sejati.

121

Siapa kamu, yang selalu mengikuti setiap langkahku

122

123

Pantang Menyerah

124

125

Menggapai Tanah Impian

126

Peselancar Sunyi

127

Perbincangan Pagi

128

129

Ugh... So Hard

130

A Long and Winding Road

131

Jalan Masih Panjang

132

133

Persinggahan

134

135

Penari Bayangan

136

137

Someone Who Watch Over You

138

139

Kalau Cermin Tak Lagi Punya Arti, Pecahkan Berkeping-keping. Kita Berkaca di Riak Gelombang...

Meniti Gelombang

(penggalan lirik lagu Leo Kristi: "Jabat Tangan Erat-erat, Saudaraku"

140

141

Narcissus

142

143

Temani Aku Menyeberang

144

145

Samar Bayang

146

147

.. I. T N E H R E B N A K A M U L E B kjub masih bersujud dalam ta world di dataran mimpi macro t tempat hati makin tertau njung surut keterpesonaan ini tak ku sini.... Ini tak akan berhenti di

148

Menatap karya foto makro Teguh Santosa, sering saya jadi membayangkan membikin sebuah rumah, pondok, semacam panti semadi. Di sana foto-foto karyanya seperti yang tersaji di buku ini akan terpampang besarbesar pada dinding-dinding, pintu-pintu, dan langitlangitnya. Foto-foto embun, serangga, dan sekian banyak hal serta makhluk sepele lainnya, ketika disajikan dengan murah hati oleh sang fotografer, hampir selalu membuat saya terserap dalam suasana meditatif. Fotofoto itu memang indah dipandang berkat kejelian, kepiawaian dan keseluruhan kualitas Teguh Santosa selaku fotografer. Tetapi keindahan yang saya serap tak hanya sebatas itu. Ada keindahan lain, keindahan proses batin: saya serasa disadarkan betapa tak sepelenya halhal yang biasa saya pandang remeh. Betapa banyak halhal kecil keseharian yang luput dari amatan apalagi apresiasi saya. Betapa luas dan besarnya hal-hal kecil itu, dan betapa teramat kecil dan terbatasnya saya. LANDUNG SIMATUPANG, aktor film dan teater, penyair Teguh Santosa, dilahirkan 50 tahun lalu, tinggal di Bantul, Yogyakarta. Mengaku bukan fotografer profesional, dan tidak pernah berniat menjadi fotografer profesional, ia lebih suka disebut fotografer amatir, maksudnya yang melakukan hobi dengan sepenuh cinta. Bukankah amatir itu dari kata amare (latin) yang berarti mencintai, atau amator (latin) artinya pencinta? Menekuni macro photography sejak tahun 2009, awal ketertarikannya kepada foto makro didorong oleh keinginan menjelajahi terra incognita (wilayah tak bertuan) dalam fotografi. Karena menyadari dirinya tidak punya cukup kesempatan untuk melakukan penjelajahan luas yang mengharuskannya pergi jauh dari lingkungan rumah dan pekerjaannya, maka ia cukup melakukan penjelajahan di sekitar rumahnya yang ternyata menyimpan begitu banyak objekobjek kecil yang sangat menakjubkan. Terutama dunia bawah rumput yang sungguh tak terduga keindahannya: embun, kepik, semut, dan hewan-hewan kecil

Bagi saya, kepakaran dan keseriusan Pak Teguh dalam menekuni dunia foto makro tak bisa diragukan lagi. Melalui foto makronya, ia menyuguhkan "dunia liliput" yang sering kita abaikan dan mengajak kita menikmati keindahannya. Pak Teguh seakan bisa berkomunikasi dengan semut, belalang, kepik, serta serangga-serangga kecil yang dipotretnya. Tak hanya itu, tetesan embun pun selalu jinak kepadanya sehingga sepertinya Pak Teguh bisa menghentikan dan menunda jatuhnya tetesan embun ke bumi. Karya-karyanya tak hanya enak dipandang, tetapi sekaligus mengajak kita bertakbir kepada Yang Maha Kuasa sambil mengagumi ciptaanciptaanNYA yang maha indah! RISMAN MARAH, fotografer senior, dosen ISI Yogyakarta

Saya mengenal nama Teguh Santosa di pertengahan 2009 ketika foto-foto makronya membuat heboh dunia macro photography Indonesia. Cara yang dipilihnya dalam memotret makro tidak lagi sekedar 'besar dan tajam', tapi telah masuk ke level 'indah dan bercerita'. Caranya menyajikan foto-foto dalam buku ini pun tidak cukup sekedar mempersilahkan kita melihat dan membaca, tapi alam pikiran kita diajak untuk masuk menyusuri kedalaman alam yg disuguhkan.... Sebuah buku yang "lebih dari sekedar buku fotografi". ANDIYAN LUTFIE, founder Macroworldmania, salah satu pionir fotografer makro di Indonesia Melihat hal kecil tetapi 'besar makna' dari ciptaanNYA membuat kita sadar akan sebuah perjalanan hidup. Dalam pilihan Pak Teguh, dengan melihat yang serba kecil kita diingatkan bahwa kecil itu Indah, kecil itu Penting. Tidak ada besar kalau tidak ada kecil. Pak Teguh telah mengekspresikan karya fotografinya dengan LENSA HATINYA. Inilah karya sangat efektif dan cerdas untuk melihat karya seisi Alam dari ciptaanNYA. Selamat buat Pak Teguh... Kesabaran, Kesadaran, ada dalam Lensa Hati. DJADUK FERIANTO, kreator, pekerja seni Mengambil posisi dlosoran untuk menggantikan adegan merasuk ke tubuh Dewa Ruci agar bisa merasakan posisi sebagai makhluk kecil, begitulah hati Mas Teguh bersujud di hadapanNya dengan mengakrabi ciptaanNya yang berukuran kecil. Saya juga merasakan ajakan untuk mengingat bahwa banyak hal kecil yang jarang kita perhatikan, terutama bila kita selalu merasa besar, kumalungkung. Dalam konteks berfotografi, patut diduga ini juga upaya Mas Teguh menyebarkan ideologi baru dalam berfoto makro. Jadi, waspadalah... :) HATTA KAWA, penggagas NgayogJazz

Penerbit PT Jentera Intermedia Intiutama Puri Kenari B-4, Caturtunggal Depok, Sleman, Yogyakarta