TEORI-TEORI ETIKA (Riview Buku Etika Karya K. Bertens)

  • Categories
  • Art

Citation preview

1

TEORI-TEORI ETIKA (Riview Buku Etika Karya K. Bertens) Oleh: Amin Khoirul Abidin A. PENDAHULUAN Salah satu hal penting dalam menjaga keharmonisan manusia dalam menjalani kehidupannya adalah masalah etika. Etika merupakan refleksi dari moralitas perilaku manusia. Ketika zaman semakin berkembang, perilaku manusia juga akan mengikuti perkembangan zaman, maka tidak heran jika permasalah

manusia

juga

semakin

kompleks.

Ilmu

pengetahuan dan teknologi selain memberikan pengaruh positif dalam kehidupa manusia, juga memberikan dampak negatif, seperti munculnya masalah-masalah moral baru. Dalam buku “Etika”, Prof. Dr. K. Bertens memberikan gambaran terhadap seluruh wilayah etika. Hal pertama yang dibahas yaitu tentang tema-tema klasik, misalnya; hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, keutamaan. Kemudian, yang kedua, dijelaskan tentang teori-teori besar dari sejarah filsafat moral, seperti: hedonisme, eudemonisme, utilitarisme, dan deontologi. Dan yang ketiga, ditampilkan pandangan singkat tentang pengantar pada etika terapan, artinya etika yang 2

membahas bidang-bidang khusus, misalnya dunia kedokteran, praktik bisnis, lingkungan hidup, dan lain-lain. Namun dalam tulisan ini hanya ingin membedah dan membaca ulang tulisan K. Bertens tentang teori-teori etika atau sistem filsafat moral. Hal tersebut dikarenakan teori-teori tersebut memberikan pengaruh yang besar di sekitar kehidupan manusia saat ini. Tulisan ini dapat dikatakan sebagai ringkasan buku, karena penulis hanya menulis kembali tulisan-tulisan K. Bertens dan memberikan sedikit interpretasi terhadap istilahistilah yang dirasa sulit. Apabila pembaca merasa kurang puas dengan ringkasan ini, silahkan pembaca bisa membaca langsung buku “etika” karya K. Bertens.

B. BIOGRAFI SINGKAT Prof. Dr. K. Bertens lahir di kota Tilburg, Nederland pada tahun1936. Ia belajar filsafat dan teologi di sebuah perguruan tinggi di Nederland. Selanjutnya ia mendalami studi tentang filsafat di Universitas Leuven Belgia. Di sana ia memperoleh gelar doktor filsafat dengan disertasi tentang Nicholas Malebranche, seorang filsuf Prancis abad 17. Mulai tahun 1968 ia mulai aktif memberikan kuliah filsafat sistematis dan sejarah di pelbagai perguruan tinggi di 3

Indonesia, di antaranya; Sekolah Tinggi Seminari Pineleng di Manado, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Universitas Indonesia, dan Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Ia termasuk staf Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya. Sejak pertengahan tahun 2011, ia menjadi Guru Besar Emeritus. Adapun karya ilmiah yang ditulis K. Bertens antara lain; Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Kanisius, 1975; Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1976; Filsafat Barat Abada XX, Jilid I (Inggris-Jerman), Jakarta, Gramedia,

1985;

Gramedia,

1987;

Gramedia,

1987;

Panorama

Filsafat

Fenomenologi Pengantar

Etika

Modern,

Jakarta,

Eksistensial,

Jakarta,

Bisnis,

Yogyakarta,

Kanisius, 2000; Etika Biomedis, Yogyakarta, Kanisius, 2011.

C. PEMBAHASAN 1. Definsi Etika Dalam kehidupan sehari-hari kata-kata seperti “etika”, “etis”, dan “moral” sering kita dengar tidak saja di lingkungan pendidikan seperti sekolah, kampus, dsb, namun kata-kata tersebut juga sering didengar di berbagai kehidupan praktis manusia. Misalnya, “tindakan yang dilakukan si A tidaklah etis”, “Perilaku pejabat negara sudah tidak mempunyai etika 4

karena bertentangan dengan hati nurani rakyat”, dan lain sebagainya. Namun dalam buku ini, kata “etika” dimengerti sebagai filsafat moral, meskipun kata tersebut tidak selalu dipakai dalam arti itu saja. Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos yang mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jama (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dalam kamus bahasa Indonesia (KBBI, edisi ke-1, 1988), etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika mempunyai tiga arti berikut ini. Pertama, kata “etika” bisa diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, “etika agama Budha”, maka kata etika yang dimaksud di sini bukan etika sebagai ilmu namun sebagai “sistem nilai” yang menjadi pengangan umat agama budha. 5

Kedua, “etika” berarti juga: kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud di sini adalah kode etik. Misalnya dalam dunia Kesehatan, Rumah Sakit mempunyai kode etik, dokter mempunyai kode etik, maka etika dalam arti ini adalah kode etik. Ketiga, “etika” mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika baru menjadi ilmu, apabila keyakinankeyakinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat –sering kali tanpa disadari- menjadi bahan refleksi kritis bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. “Moralitas” (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya ada nada lebih abstrak. Kita bicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. 2. Etika dan Etiket Perbedaan penting antara etika dan etiket. Setidaknya ada empat macam perbedaan

6

1. Etiket

menyangkut

dilakukan

manusia

cara

suatu

sedangkan

perbuatan etika

harus

menyangkut

masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan ya atau tidak. Contoh etiket: jika saya menyerahkan sesuatu kepada atasan saya, saya harus menyerahkannya dengan tangan kanan. Sehingga apabila kita menyerahkan dengan tangan kiri maka dianggap melanggar etiket Contoh etika: Jika ada orang berinisial A menyerahkan amplop menggunakan tangan kanan kepada B, namun ternyata si B adalah seorang hakim dan si A adalah orang yang mempunyai perkara di pengadilan dan amplopnya ternyata berisi uang untuk menyuap hakim tersebut, maka perbuatan ini tidak etis, meskipun dari sudut pandang etiket benar, yaitu menyerahkan amplop menggunakan tangan kanan. 2. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, etiket tidak berlaku. Sebaliknya, etika selalu berlaku, meskipun tidak ada saksi mata. 3. Etiket bersifat relatif sedangkan etika lebih bersifat absolut.

7

4. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedangkan etika menyangkut manusia dari segi dalam.

D. Etika Sebagai Cabang Filsafat 1. Moralitas: Ciri Khas Manusia Banyak perbuatan manusia berkaitan dengan baik dan buruk, namun tidak semua, ada juga perbuatan yang netral dari segi etis. Contoh sederhana, ketika saya ingin makan bubur ayam, saya mengaduknya terlebih dahulu, perbuatan tersebut tentu tidak mempunyai hubungan dengan baik dan buruk. Karena boleh saja saya melakukan tidak demikian, saya langsung makan bubur ayam tersebut tanpa mengaduknya. Mungkin mengaduk bubur ayam sebelum memakannya adalah kebiasaan saya, karena menurut saya makan bubur ayam dengan cara diaduk terlebih dahulu akan menambah rasa nikmat. Namun kedua cara makan bubur tesebut, diaduk atau tidak diaduk tidak lebih baik atau lebih buruk dari sudut pandang moral. Tapi lain ceritanya, bila saya adalah seorang pejabat pemerintahan yang seharusnya membantu rakyat malah justru melakukan tindak pidana korupsi dengan mengambil uang rakyat sehingga mereka sengsara. Maka tindakan saya jelas sangat tidak bermoral, immoral, buruk dari sudut moral, karena 8

sebagai pejabat pemerintahan, saya mempunyai kewajiban untuk membatu dan mensejahterakan rakyat, bukan malah menyengsarakan. Contoh kedua inilah dalam arti etis memiliki pengaruh dan peranan

penting

dalam

kehidupan

manusia.

Memang,

pengertian tentang baik buruk di setiap zaman memiliki arti yang berbeda, namun bukan berarti tidak ada yang sama. Pada zaman dulu, perbudakan, kolonialisme dan diskriminasi terhadap perempuan masih dibenarkan, namun seiring dengan perkembangan zaman, tindakan-tindakan tersebut tentu tidak dibenarkan dan bertentangan dengan HAM (Hak Asasi Manusia). 2. Etika: Ilmu tentang Moralitas Etika adalah ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral. Dalam mendekati dan mempelajari moralitas, setidaknya ada tiga pendekatan yang digunakan, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika. a. Etika Deskriptif Yaitu melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tentang tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak 9

diperbolehkan. Sekarang ini etika deskriptif dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi budaya, psikologi, sosiologi, sejarah, dsb, meskipun mereka tidak pernah memakai istilah “etika deskriptif”. b. Etika Normatif Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika, di sini ahli bersangkutan tidak hanya bertindak sebagai penonton netral, seperti dalam etika deskriptif, namun ia melibatkan diri dalam mengemukakan penilaian terhadap perilaku manusia. Artinya melihat tingkah laku manusia dari sudut pandang norma, sehingga ia bisa menentukan posisi di mana ia berdiri. Ia tidak hanya melihat fungsi prostitusi di masyarakat lalu menggambarkannya saja, namun ia juga menolak prostitusi sebagai lembaga yang melanggar martabat wanita. Etika normatif dibagi menjadi dua, yaitu etika umum, memandang tema-tema umum seperti apa itu norma etis? Jika banyak norma etis bagaimana hubungan satu sama lain? Kedua, norma khusus, berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus.

10

c. Metaetika Metode lain untuk mempraktekkan etika sebagai ilmu ialah metaetika. Meta- berasal dari bahasa Yunani yang berarti “melebihi”, “melampaui”. Metaetika mempelajari tentang logika khusus dari ucapan-ucapan etis dan juga mengarahkan perhatiannya kepada arti khusus dari bahasa etika itu. Metaetika dapat dikatakan sebagai “filsafat analitis”, dan salah satu pelopornya yaitu George Moore. Karena berkaitan dengan filsafat analitis, metaetika kadang-kandang juga disebut “etika analitis”.

11

TEORI-TEORI ETIKA Sistem etika mempunyai banyak uraian khususnya yang berkaitan denga hakikat moralitas serta pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Sejak zaman dulu hingga sekarang, setidaknya ada beberapa sistem etika yang sangat berpengaruh, diantaranya; Hedonisme, Eudemonisme, Utilitarianisme, dan Deontologi. Berikut penjelasan singkat sistem dan teori-teori etika berdasarkan buku Etika karya K. Bertens.

1. HEDONISME Sepanjang sejarah barangkali belum terdapat sistem filsafat moral yang lebih mudah dimengerti dan akibatnya tersebar lebih luas seperti sistem hedonisme. Apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia? Para hedonis dengan senang hati akan menjawab: kesenangan (hedone dalam bahasa Yunani). Sesuatu yang memuaskan keinginan kita, yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita, itulah hal yang terbaik bagi manusia. Singkatnya, manusia hidup untuk mencari kesenangan, karena pada kodratnya manusia hidup untuk mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. 12

Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 SM), ia adalah seorang murid Socrates. Ketika Socrates bertanya tentang tujuan terakhir bagi kehidupan manusia, maka jawaban dari Aristippos adalah kesenangan. Kata Hedonisme berasal dari bahasa Yunani, hedone yang berarti nikmat, kegembiraan, kebahagiaan. Yang menjadi ciri khas dari hedonisme adalah bahwa manusia akan bahagia dengan

menemukan

perasaan-perasaan

yang

disenangi

sebanyak mungkin dan sebisa mungkin menghidari perasaanperasaan yang membuatnya tidak senang. Empat tinjauan kritis K. Bertens terhadap hedonisme a. Menurut hedonisme, manusia pada dasarnya hidup untuk mencari kesenangan dan cenderung berupaya untuk menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, pertanyaan mendasar justru apakah setiap manusia selalu mencari kesenangan dalam setiap tindakannya?

Apakah tidak mungkin seseorang

melakukan perbuatan

hanya

dengan

niat

murni

membantu dan tanpa pamrih? b. Dari anggapan bahwa kodrat manusia adalah mencari kesenangan, maka sebenarnya para hedonis telah 13

menyetarakan kesenangan dengan moralitas yang baik. Secara logis hedonisme harus membatasi diri pada suatu etika deskriptif saja, dan tidak boleh merumuskan suatu etika normatif. Lantas timbul pertanyaan, apakah memperoleh kesenangan dengan menyiksa orang atau bahkan membunuh orang seperti kaum sadisme dibenarkan? Karena mereka mencari kesenangan untuk dirinya? Tentu kesenangan saja tidak cukup untuk menjamin sifat etis suatu perbuatan. c. Kaum hedonis memiliki konsep yang kurang tepat mengenai

kesenangan.

Anggapan

mereka

bahwa

sesuatu yang baik adalah yang disenangi. Akan tetapi, kesenangan tidak merupakan suatu perasaan yang subyektif belaka tanpa acuan obyektif apa pun. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik. Kita menilai sesuatu sebagai baik karena kebaikannya yang intrinsik, bukan karena kita menilainya secara subyektif belaka. Contoh sederhana, adai saja saya mempunyai seorang sahabat dan saya senang sekali dengan dia karena keramah, perhatian, dan kebaikan hatinya terhadap saya. Dan saya berpikir dia adalah sahabat terbaik, belum pernah saya 14

menemukan

sahabat

sebaik

dia.

Namun,

pada

kenyataannya dan tanpa sepengetahuan saya, yang disebut

“sahabat”

itu

terus

menerus

menipu,

membohongi dan mejelekkan nama baik saya di hadapan semua orang, meskipun dilakukan di belakang saya. Apakah saya sungguh senang dengan dia? Tentu tidak. Kesenangan saya dengan dia tidak lebih daripada sebuah ilusi saja, dunia khalayan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi saya jadikan senang karena memiliki sesuatu yang betul-betul baik. d. Jika dilihat secara konsekuen, egoisme sangat kental dalam pemahaman hedonisme, karena mereka hanya menekankan kepentingan individu saja. Yang dimaksud di sini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan bahwa saya tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain daripada yang terbaik bagi saya sendiri. Prinsip egoisme etis: saya dulu, orang lain belakangan. Padahal egoisme etis harus ditolak karena bertentangan dengan prisip persamaan (the prinsiple oe equality) yang merupakan prinsip keadilan; semua manusia harus diperlakukan sama, selama tidak ada alasan untuk perlakuan berbeda. 15

Maka, hedonisme atau pandangan yang menyamakan “baik

secara

moral”

dengan

“kesenangan”

tidak

saja

merupakan suatu pandangan pada permulaan sejarah filsafat, tetapi di kemudian hari sering kembali dalam pelbagai variasi. Hedonisme faktanya sering dianut oleh individu dewasa ini meskipun tidak disadari.

2. EUDEMONISME Pandangan ini dikemukakan oleh seorang filsuf Yunani yaitu Aristoteles yang hidup pada tahun 384-322 SM. Menurut Aristoteles makna atau tujuan kehidupan yang paling tinggi adalah kebahagiaan. Jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia dengan baik, maka ia akan mencapai tujuan akhir atau kebahagiaan. Apa tujuan hidup manusia? Dalam setiap kegiatannya manusia selalu mengejar tujuan, dan bisa dikatakan jika perbuatan manusia ingin mencapai sesuatu yang baik untuk dirinya. Tapi jika semua orang sepakat bahwa kebahagian adalah tujuan terakhir hidup manusia, tentu itu belum memecahkan semua kesulitan, karena kebahagiaan menurut masing-masing individu berbeda. Ada yang berkata kalau kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang berpendapat jika 16

uang dan kekayaan adalah kebahagiaan, ada juga yang menganggap status sosial sebagai kebahagiaan. Namun bagi Aristoteles semua itu tidak bisa diterima sebgi tujuan akhir. Bagi aristoteles ada dua macam keutamaan, yaitu keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Tinjauan Kritis 1. Pemikiran Aristoteles tentang etika tentu jauh lebih kompleks. Pemikirannnya tentang keutamaan adalah yang paling menarik dalam pembahasan etikanya. Namun, pandangannya tentang keutamaan tidak bisa terlepas dari cerminan budaya masyarakat Yunani pada saat itu. Sehingga keutamaan yang dimaksud oleh Aristoteles tidak dapat diterapkan disetiap tempat, karena keutamaan setiap waktu dan tempat akan berbeda sebagaimana yang dipahami oleh Aristoteles. 2. Aristoteles belum melihat paham hak manusia, apalagi persamaan hak semua manusia. malah ia membenrkan secara

rasional

berpendapat

lembaga

bahwa

perbudakan,

beberepa

manusia

karena

ia

menurut

kodratnya adalah budak. Ini adalah pandangan yang tidak etis menurut orang modern. Hal ini tentu tidak

17

kita tekankan, karena kita tidak bisa mengkritik seseorang karen ank dari zamannya. 3. Etika Aristoteles dan khususnya ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk memecahkan dilema-dilema moral besar yang kita hadapi sekarang ini. Pemikirannya tidak membantu banyak dalam mencari jalan keluar bagi masalah-masalah moral penting di zaman kita, seperti misalnya risiko penggunaan

tenaga

nuklir,

reproduksi

artifisial,

penelitian, bio medis dengan embrio, kloning dan sebagainya. Kita membutuhkan pertimbangan etis lain lagi untuk bisa mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemikiran Aristoteles tentang keutamaan lebih tepat dignakan untuk menilai kadar moral seseorang berdasarkan perbuatannya, termasuk hidup moralnya sebagai keseluruhan.

3. UTILITARISME Tokoh pertama aliran utilitarianisme adalah seorang filsuf Inggris yaitu Jeremy Bentham (1748-1832), dengan bukunya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789). Pokok pikiran Bentham yaitu moral dan 18

hukum dibuat untuk kepentingan manusia, bukan sebaliknya manusia untuk kepentingan moral dan hukum, maksudnya adalah tujuan hukum untuk memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati. Dari

dasar

tersebut,

Betham

mengusulkan

agar

kejahatan diklasifikasikan berdasarkan berat tidaknya suatu pelanggaran dan berdasarkan efek kesusahan atau penderitaan yang diakibatkan kejahatan tersebut terhadap korbannya dan masyarakat. Dari dasar tersebut Betham berpendapat bahwa suatu pelanggaran yang tidak merugikan orang lain, sebaiknya tidak dianggap sebagai tindakan kriminal. Terdapat dua prinsip utilitarisme Pertama, prinsip konsekuensionalis/teleologis. Suatu tindakan dikatakan bermoral atau tidak bermoral berdasarkan konsekuensi atau tujuan dari suatu tindakan. Moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan. Kedua, prinsip utilitas/prinsip hedonis yaitu prinsip kesenangan, karena manusia pada kodratnya selalu mengarah kepada kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, jika perbuatan tersebut dapat menambah atau 19

mengurangi kebahagiaan banyak orang. Semakin perbuatan menambah kebahagian banyak orang, maka perbuatan tersebut dikatakan baik, sebaliknya semakin sedikit kebahagian bagi orang, maka perbuatan itu buruk. Karena kebebasan akan tercapai, jika manusia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Tokoh kedua aliran utilitarisme adalah John Stuart Mill (18061873) seorang filsuf Inggris, dengan bukunya utilitarianism (1864). Ada dua pendapat penting yang patut diperhatikan. Pertama,

Mill

mengkritik

pandangan

Betham

bahwa

kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi daripada hewan. Kualitas kebahagiaan dapat diukur secara empiris, yaitu kita harus

berpedoman

pada

orang

yang

bijaksana

dan

berpengalaman. Kedua, kebahagian yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagian satu orang saja yang barangkali mempunyai status khusus. Tinjauan kritis a. Utilitarisme memiliki kekuatan pada prinsip yang jelas dan rasional. Prinsip Betham dapat kita jumpai pada 20

kehidupan demokrasi saat ini, yaitu suara terbanyak adalah kebenaran. Namun pertanyaannya adalah apakah setiap kekuatan besar atau suara terbanyak adalah sebuah kebenaran? Jawabannya belum tentu, bisa jadi sebaliknya. b. Prinsip kegunaan bahwa suatu perbuatan adalah baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar, tidak selamanya benar. Misalnya, ada sepuluh orang yang suka mabuk, dan satu orang yang tidak mabuk sama sekali, kemudian sepuluh orang pemabuk tersebut mengatakan bahwa mabuk adalah sesuatu yang menyenangkan, sedangkan satu orang tersebut mengatakan bahwa mabuk adalah sesuatu yang tidak baik dan cenderung merusak. Pertanyaannya, apakah yang dikatakan sepuluh orang pemabuk tersebut adalah sebuatu kebaikan? Dan yang dikatakan satu orang yang tidak mabu itu adalah kejelekan? Tentu tidak. c. Prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa kebahagiaan dibagi juga secara adil. Salah satu pokok kekurangan utilitarisme adalah bahwa mereka tidak mampu menampung prinsip keadilan dalam teori mereka. Misalnya, jika dalam suatu wilayah didapati 21

penduduknya 60% termasuk golongan kaya dan 40% golongan miskin, maka menurut utilitarisme sebenarnya masyarakat tersebut sudah diatur dengan baik, karena golongan kaya (golongan yang memiliki kesenangan) lebih banyak daripada golongan miskin (golongan yang tidak memiliki kesenangan). Namun jika dilihat dari prinsip keadilan maka sebenarnya masyarakat tersebut tidak diatur secara baik karena tidak disusun dengan adil.

4. DEONTOLOGI Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon yang berarti apa yang harus dilakukan; kewajiban. Deontologi tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan manusia, melaikan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan itu dilakukan. Berbeda dengan teori-teori etika seperti hedonisme, eudemonisme, dan utilitarianisme yang berorientasikan kepada tujuan suatu perbuatan serta mengukur baik dan buruk dari konsekuensi perbuatan, teori deontologi lebih menekankan kepada maksud pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Deontologi Menurut Immanuel Kant 22

Immanuel

Kant

merupakan

filsuf

berkebangsaan

Jerman yang menggagas teori deontologi. Menurut Kant, perbuatan yang disebut baik dalam arti yang sebenarnya hanyalah kehendak yang baik. Lalu apa yang membuat kehendak menjadi baik? Menurut Kant kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kita melakukan kewajiban bukan hanya karena kewajiban tersebut memiliki nilai dan menguntungkan bagi kita. Misalnya, ketika saya melihat seorang pengemis kemudian saya mendermakan sebagian uang, karena merasa iba ataupun kasihan melihat keadaannya, maka sebetulnya menurut Kant perbuatan itu tidak patut disebut baik, karena perbuatan baik didasarkan pada kewajiban. Ketika melihat pengemis kewajiban kita adalah mendermakan sebagian harta, karena itu adalah suatu kewajiban, tanpa memperdulikan motifnya, entah karena iba, kasian, atau sebagainya. Perbuatan mendermakan tersebut baru dapat memasuki taraf moralitas jika

perbuatan

tersebut

dilakukan

semata-mata

karena

kewajiban. Tinjauan Kritis a. Sistem moral Kant cenderung suram dan kaku. Karena semua

perbuatan

harus

dilakukan

berdasarkan 23

kewajiban tanpa ada motif tertentu. Menurut Kant, perbuatan yang berdasarkan kecenderungan adalah perbuatan yang tidak bebas. Dari prinsip tersebut maka muncullah pertanyaan, apakah perbuatan yang dilandasi rasa cinta atau belas kasihan tidak dikatakan baik? Jika saya membaktikan hidup kepada orang tua dengan dasar rasa cinta dan kasih, apakah perbuatan saya tidak bisa dikategorikan perbuatan baik? Karena motif saya berbakti adalah rasa cinta dan kasih sayang? Tentu jawabannya tidak begitu. b. Memang betul, suatu perbuatan tidak tentu baik, jika tujuan atau konsekuensinya baik. Tetapi, tentu sangat sulit diterima jika tujuan dan konsekuensi diabaikan begitu saja dalam menilai moralitas suatu perbuatan. Misalnya,

negara

terjadi

pemberontakan,

dan

pemberontak tersebut mencari tokoh yang berpengaruh, dan ternyata kebetulan tokoh tersebut adalah ayah saya sendiri. Suatu ketika pemberontak datang ke rumah menanyakan keberadaannya, dan saya tahu persis tentang keberadaan ayah saya, pertanyaannya? Apa yang harus saya perbuat? Secara ajaran moral, saya tidak boleh berbohong, tetapi jika saya mengatakan sebenarnya maka ayah saya akan celaka. Dalam 24

deontologis, dalam situasi seperti itu, menurut Kant kita wajib mengatakan apa pun dan tidak boleh berbohong, karena jujur adalah kewajiban moral. Jika orang lain menjadi korban dari kewajiban saya, maka hal tersebut bukan tanggung jawab saya. Bukan saya yang mencelakakan dia.

Pandangan W.D. Ross Kesimpulan tersebut sepertinya sulit untuk diterima. Berdasarkan penilain moral yang umum, saya tidak perlu atau barangkali malah tidak boleh membiarkan konsekuensi jelek dari perbuatan yang sebenarnya baik (mengatakan yang benar), jika saya memiliki kemungkinan untuk mencegahnya. William David Ross (1877-1971) memberikan pemikiran menarik atas contoh kasus di atas. Menurut Ross, kewajiban itu selalu merupakan kewajiban prima facie (pandangan pertama), artinya, suatu kewajiban untuk sementara, dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban lain yang jauh lebih penting yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Dalam contoh kasus di atas, terdapat dua kewajiban yang tidak dapat dipenuhi secara bersamaan. Satu sisi saya harus mengatakan kebenaran atau tidak boleh berbohong dan di sisi lain, saya harus 25

menyelamatkan nyawa ayah saya. Ross berpendapat, bahwa kewajiban yang pertama adalah prima facie yang berlaku sampai

ada

kewajiban

yang

lebih

penting.

Tentunya

menyelamatkan nyawa ayah saya lebih penting daripada saya mengatakan kebenaran. D. KESIMPULAN Setelah melihat beberapa sistem etika di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu sistem pun

yang

memberikan kepuasan yang seutuhnya, karena setiap sistem terdapat kelebihan yang menarik dan juga

kelemahan, tak

terkecuali sistem yang paling berbobot sekalipun yaitu utilitarisme dan deontologi. Sehingga hal yang terbaik yang bisa dilakukan adalah mengkombinasikan keseluruhan sistem untuk mencapai pandangan secara menyeluruh.

26