PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER: Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia  dan Dunia Arab

Table of contents :
Kata Pengantar
Daftar Isi
Memperbincangkan Kembali Sejarah Feminisme dan Gender
Pendahuluan
Hasil dan Pembahasan
Pengertian Gender
Gender dan Ilmu Sejarah
Gender dan Kajian Ilmu Sosial Hubungan Internasional
Gender dalam Kajian Islam
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Redefinisi Identitas Politik Perempuan: Pengalaman sebagai Kunci melalui Perspektif Iris Marion Young
Pendahuluan
Hasil dan Pembahasan
Pengalaman dan Serialitas, Indikator yang Hilang dari Pembentukan Definisi Identitas Perempuan: Sebuah Teori dari Iris Marion Young
Analisis Kritis atas Distorsi Pemahaman Identitas Perempuan
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai Kelompok Fundamentalis pada 2012 – 2017
Pendahuluan
Hasil dan Pembahasan
Sejarah Hizbut Tahrir Indonesia
Epistemologi dan Fundamentalisme Hizbut Tahrir Indonesia
Pandangan dan Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Nelson’s New Objectivity and Feminist Economic Criticism on the Issue of Domestic Workers (PRT) in Indonesia
Introduction
Result and Analysis
A Glimpse of Feminist Economic Theory Julie A. Nelson
The Strengths of Women’s Emotions in Knowledge
Lack of Representation and Contribution of Women in Economic Activities
Lack of Government Attention for Welfare of Domestic Workers (PRT): Nelson’s New Objectivity Analysis
Conclusion
Bibliography
Poligami dan Ketidakadilan Gender dalam Perspektif Islam: Studi Kasus Mentoring Poligami Coach Hafidin di Serang, Banten
Pendahuluan
Hasil dan Pembahasan
Motif Praktik Mentoring Poligami Coach Hafidin
Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Kasus Mentoring Poligami Coach Hafidin
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Gerakan Perempuan sebagai Gerakan Kebudayaan: Potret Gerakan Perempuan di Negara-Negara Arab
Pendahuluan
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Historis tentang Perempuan Pra-Islam (Arab Sebelum Islam)
Kondisi Perempuan di Timur Tengah: Mesir sebagai Pioneer Gerakan Perempuan di Timur Tengah
Maroko dan Tunisia
Saudi Arabia
Kuwait
Kesimpulan
Dinamika Tema Perempuan dalam Karya-Karya Naguib Mahfouz
Pendahuluan
Hasil dan Pembahasan
Karya-Karya Mahfouz: Pergulatan Identitas Politik Mesir
Naguib Mahfouz dan Tema Perempuan
Kesimpulan
Gerakan Pembebasan Perempuan sebagai Gerakan Keadilan Gender: Studi dan Dampak Pemikiran Qasim Amin (1863-1908) di Dunia Arab
Pendahuluan
Hasil dan Pembahasan
Sejarah Partisipasi Gerakan Perempuan di Dunia Arab
Perjuangan Qasim Amin dan Gagasan-gagasan Pembebasan Perempuan
Kontribusi Pemikiran Qasim Amin bagi Gerakan Perempuan
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Norma Gender di Arab Saudi dalam Serial Takki Karya Mohammad Makki
Pendahuluan
Hasil dan Pembahasan
Norma Gender bagi Perempuan dalam Berinteraksi dengan Laki-laki
Subordinasi Perempuan terhadap Laki-Laki
Stereotip berdasarkan Norma Gender bagi Perempuan yang tampil di Muka Publik
Pergeseran Norma Gender yang Mengikat Perempuan dalam Serial Takki
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Epilog
Biodata Penulis

Citation preview

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab Peneliti: Ariva Septyawati Kartina Rosa Tutut Meta Sari Febriani Koiru Nisa Prafitri Haziza Diterbitkan, dicetak, dan didistribusikan oleh PT. Literasi Nusantara Abadi Grup Perumahan Puncak Joyo Agung Residence Kav. B11 Merjosari Kecamatan Lowokwaru Kota Malang 65144 Telp : +6285887254603, +6285841411519 Email: [email protected] Web: www.penerbitlitnus.co.id Anggota IKAPI No. 209/JTI/2018

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik sebagian ataupun keseluruhan isi buku dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit. Cetakan I, Mei 2023 Editor: Nadila Zanuarita Nurul Hasna Khourunnnisa Prafitri Haziza Muhammad Nur Solekhan Perancang sampul: Syafri Imanda Penata letak: Syafri Imanda ISBN : x + 248 hlm. ; 14,8x21 cm.

©Mei 2023

KATA PENGANTAR Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan berkat, rahmat, serta karunia-Nya sehingga buku dengan judul “Perempuan, Feminisme, dan Kesetaraan Gender” ini dapat terbit. Berawal dari kesenangan penulis akan ilmu-ilmu pengetahuan budaya, kemudian melahirkan beberapa coretan pemikiran. Coretan itu lantas dituangkan lebih serius dalam bentuk jurnal yang dikumpulkan menjadi sebuah kumpulan tulisan. Buku yang sekarang ada di tangan pembaca ini terdiri dari sejumlah pilihan tulisan tersebut. Tujuannya tak lain untuk menyumbangkan beberapa pikiran pada bidang ilmu pengetahuan budaya. Selain itu, penulis juga berharap melalui buku ini, dapat menambah wawasan pembaca tentang pengetahuan pada bidang Islamic studies, Arab studies, filsafat, dan budaya, terutama tentang feminisme dan kesetaraan gender. Semua tulisan itu dikerjakan dalam rentang waktu kurang lebih 5 tahun terakhir. Penulis merasa bangga ketika Pengmas Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia bersedia membantu mendanai proses penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para kolega dan mahasiswa serta semua pihak yang mendukung terbitnya kumpulan tulisan ini. Kepada Nadila dan Hasna, ucapan terima kasih ini penulis sampaikan karena telah dengan tekun menyunting jurnal-jurnal ini menjadi sebuah iii

buku. Tanpa mereka kumpulkan, tulisan ini mustahil ada di tangan pembaca sekarang. Penulis berharap agar buku ini tidak hanya dinilai dari hasilnya saja, tetapi juga dapat dilihat upaya-upaya di balik semua itu. Hal ini dikarenakan sebelum menjadi sebuah buku, penulis harus memilah dan memilih bahan-bahan yang berserakan dalam rentang waktu lebih dari sepuluh tahun. Belum lagi, kondisi kesibukan dan kesehatan penulis yang sempat menurun beberapa tahun terakhir. Namun, yang pasti semua itu membahagiakan penulis. Semua bahan yang tersaji di dalam buku ini merupakan serangkaian tulisan berisi ilmu yang diperoleh selama berkiprah menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Penulis hanya bisa memberikan ‘hadiah’ ini sebagai salah satu insan akademia FIB UI yang telah berjasa membesarkan dan mendewasakan perilaku penulis untuk menerima ilmu-ilmu pengetahuan budaya yang sangat bermanfaat bagi diri penulis. Semoga usaha ini dapat memacu munculnya tulisan yang lebih berbobot di masa-masa yang akan datang. Penulis telah menyusun tulisan ini dengan sebaik-baiknya. Namun, jika ternyata ditemui kesalahan maupun ketidaksempurnaan, penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran pembaca demi perbaikan tulisan ke depannya. Semoga usaha ini mendapat ridha dari Allah SWT. dan bermanfaat untuk kita semua. Amin.

Depok, 8 November 2022 Penulis

Siti Rohmah Soekarba

iv

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

DAFTAR ISI Kata Pengantar.....................................................................iii Daftar Isi ..............................................................................v Memperbincangkan Kembali Sejarah Feminisme dan Gender...........................................................................1 Pendahuluan.................................................................................. 1 Hasil dan Pembahasan.................................................................. 3 A. Pengertian Gender..................................................................3 B. Gender dan Ilmu Sejarah......................................................4 C. Gender dan Kajian Ilmu Sosial Hubungan Internasional...........................................................................8 D. Gender dalam Kajian Islam...................................................10

Kesimpulan.................................................................................... 12 Daftar Pustaka ............................................................................... 13

Redefinisi Identitas Politik Perempuan: Pengalaman sebagai Kunci melalui Perspektif Iris Marion Young..........15 Pendahuluan.................................................................................. 15 Hasil dan Pembahasan.................................................................. 24 v

A. Pengalaman dan Serialitas, Indikator yang Hilang dari Pembentukan Definisi Identitas Perempuan: Sebuah Teori dari Iris Marion Young................................................24 B. Analisis Kritis atas Distorsi Pemahaman Identitas Perempuan...............................................................................32

Kesimpulan.................................................................................... 41 Daftar Pustaka............................................................................... 43

Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai Kelompok Fundamentalis pada 2012 – 2017 .........47 Pendahuluan.................................................................................. 47 Hasil dan Pembahasan.................................................................. 49 A. Sejarah Hizbut Tahrir Indonesia..........................................49 B. Epistemologi dan Fundamentalisme Hizbut Tahrir Indonesia.................................................................................52 C. Pandangan dan Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia.....................................................................56

Kesimpulan ................................................................................... 65 Daftar Pustaka............................................................................... 66

Nelson’s New Objectivity and Feminist Economic Criticism on the Issue of Domestic Workers (PRT) in Indonesia ......69 Introduction .................................................................................. 69 Result and Analysis........................................................................ 73 A. A Glimpse of Feminist Economic Theory Julie A. Nelson ........................................................................73 B. The Strengths of Women’s Emotions in Knowledge .........75 vi

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

C. Lack of Representation and Contribution of Women in Economic Activities...........................................................78 D. Lack of Government Attention for Welfare of Domestic Workers (PRT): Nelson’s New Objectivity Analysis ..........81

Conclusion..................................................................................... 88 Bibliography................................................................................... 89

Poligami dan Ketidakadilan Gender dalam Perspektif Islam: Studi Kasus Mentoring Poligami Coach Hafidin di Serang, Banten.................................................................93 Pendahuluan.................................................................................. 93 Hasil dan Pembahasan.................................................................. 105 A. Motif Praktik Mentoring Poligami Coach Hafidin.............105 B. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Kasus Mentoring Poligami Coach Hafidin.....................................111

Kesimpulan.................................................................................... 119 Daftar Pustaka............................................................................... 120

Gerakan Perempuan sebagai Gerakan Kebudayaan: Potret Gerakan Perempuan di Negara-Negara Arab..........123 Pendahuluan.................................................................................. 123 Hasil dan Pembahasan.................................................................. 124 A. Tinjauan Historis tentang Perempuan Pra-Islam (Arab Sebelum Islam)............................................................124 B. Kondisi Perempuan di Timur Tengah: Mesir sebagai Pioneer Gerakan Perempuan di Timur Tengah.................128 C. Maroko dan Tunisia...............................................................129 PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

vii

D. Saudi Arabia............................................................................132 E. Kuwait......................................................................................134

Kesimpulan.................................................................................... 142

Dinamika Tema Perempuan dalam Karya-Karya Naguib Mahfouz...................................................................151 Pendahuluan.................................................................................. 151 Hasil dan Pembahasan.................................................................. 156 A. Karya-Karya Mahfouz: Pergulatan Identitas Politik Mesir ........................................................................................156 B. Naguib Mahfouz dan Tema Perempuan..............................162

Kesimpulan.................................................................................... 167

Gerakan Pembebasan Perempuan sebagai Gerakan Keadilan Gender: Studi dan Dampak Pemikiran Qasim Amin (1863-1908) di Dunia Arab............................169 Pendahuluan.................................................................................. 169 Hasil dan Pembahasan .................................................................. 171 A. Sejarah Partisipasi Gerakan Perempuan di Dunia Arab..........................................................................................171 B. Perjuangan Qasim Amin dan Gagasan-gagasan Pembebasan Perempuan........................................................176 C. Kontribusi Pemikiran Qasim Amin bagi Gerakan Perempuan...............................................................................187

Kesimpulan.................................................................................... 195 Daftar Pustaka............................................................................... 201

viii

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Norma Gender di Arab Saudi dalam Serial Takki Karya Mohammad Makki....................................................203 Pendahuluan ................................................................................. 203 Hasil dan Pembahasan .................................................................. 212 A. Norma Gender bagi Perempuan dalam Berinteraksi dengan Laki-laki.....................................................................212 B. Subordinasi Perempuan terhadap Laki-Laki .....................216 C. Stereotip berdasarkan Norma Gender bagi Perempuan yang tampil di Muka Publik..................................................221 D. Pergeseran Norma Gender yang Mengikat Perempuan dalam Serial Takki..................................................................225

Kesimpulan ................................................................................... 231 Daftar Pustaka ............................................................................... 233

Epilog....................................................................................237 Biodata Penulis ....................................................................239

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

ix

x

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Memperbincangkan Kembali Sejarah Feminisme dan Gender oleh Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum.

Pendahuluan Mengapa filsafat dirasakan sebagai perkara rumit oleh beberapa orang dan juga para mahasiswa S3 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia? Lulusan S3 akan menyandang gelar Doktor (atau PhD, Philosophy of Doctor). Dengan demikian, sebuah keniscayaan bagi mereka belajar filsafat. Belajar filsafat seperti dicanangkan UNESCO adalah sebuah keharusan bagi mahasiswa. There can be no UNESCO without philosophy (Lodewycks, 2015). Sebagian orang berpendapat bahwa filsafat membuat kita pusing, tidak ada manfaatnya dan bahkan dianggap subversif serta berbahaya. Lalu, apa sebenarnya filsafat itu? Beberapa filsuf berpendapat bahwa mengamati sejarah filsafat merupakan upaya yang mustahil, bahkan sangat mungkin menimbulkan kerancuan. Namun, lebih baik melakukan sesuatu yang buruk daripada tidak berbuat apa pun. Dalam 3 kali pertemuan di kelas Filsafat Ilmu dan Metodologi, Dr. Embun Kenyowati Ekosiwi menyampaikan 3 hal: (1) Problem Nilai 1

dalam Ilmu Pengetahuan, (2) Narasi Ilmiah (Ilmu Pengetahuan dan Posmodernisme), dan (3) Ilmu Pengetahuan dan Gender. Dari ketiga tema yang disampaikan dalam kuliah, penulis akan mengambil tema gender. Bahasan tulisan ini adalah menyoroti gender dan feminisme dalam ilmu sejarah, hubungan internasional, dan kajian Islam. Kesalahpahaman memahami feminisme dan gender hampir ditemukan di semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali di kalangan akademisi. Padahal, ide-ide tentang feminisme dalam Islam yang mencoba mengangkat wacana kesetaraan hak dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki berdasarkan atas khazanah pemikiran Islam merupakan isu yang substansial dalam pemikiran Islam di Indonesia (Pribadi, 2002: 309). Gugatan mereka terhadap feminisme tanpa dasar akademik, tetapi lebih karena anggapan bahwa wacana feminisme dan gender hadir dan berasal dari Barat. Untuk itulah, gagasan feminisme dan gender diperangi di media sosial. Akun Instagram “Indonesia Tanpa Feminis” mengawali kampanye digital pada 17 Maret 2019: “Indonesia tak butuh feminisme” dan “Tubuhku bukan milikku”. Akun lainnya “This is Gender” memanfaatkan media sosial sebagai wadah untuk mengkaji secara kritis feminisme dan kesetaraan gender berdasarkan Islam. Akun ini beranggapan bahwa perempuan tidak seharusnya disetarakan, tetapi dimuliakan dengan mengutip pernyataan Felix Siauw1. Penyamaan laki-laki dan perempuan dalam feminisme merupakan penghinaan terhadap kodrat manusia, sebab perempuan dipaksa mengikuti fitrah laki-laki. Akun “Aila Indonesia” menyatakan bahwa untuk menghargai hak perempuan tidak perlu mengikuti feminisme (Primastika 2019). Kerancuan kajian akademis etnografi berbasis gender ditemukan pada buku “Kesetaraan Gender dalam Adat Inti Jagat Badui” karya R. Cecep Eka Permana (2001). Bagaimana status dan peran kesetaraan gender pada hubungan laki-laki perempuan dalam berbagai kelompok 1  Felix Siauw adalah seorang pendakwah beretnis Tionghoa-Indonesia dan menjadi seorang mualaf semenjak kuliah di IPB dan bergabung menjadi salah satu aktivis gerakan Islam, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Perspektif HTI sempat beberapa kali dikritik karena dinilai tidak peka akan sejarah. Lihat Koran Tempo. 18 April 2015 “Yang Terlupakan dalam Khalifah”

2

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

masyarakat Badui tidak dapat dipahami secara jelas. Argumentasi perspektif gender dan feminisme yang digunakan dalam riset kehidupan masyarakat Badui menunjukkan adanya misconception dan terlalu sederhana memahami gender dan feminisme sebagai sebuah pendekatan di dalam studi filsafat. Berdasarkan uraian di atas, makalah ini ingin memperbincangkan kembali sejarah feminisme dan gender.

Hasil dan Pembahasan A. Pengertian Gender Isu gender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan walaupun gender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Dalam konteks Indonesia, pemahaman masyarakat tentang konsep gender masih rancu. Fatalnya, kesalahpahaman tersebut bukan hanya terjadi di kalangan awam, melainkan terjadi juga di kalangan terpelajar (Umar, 1998: 96; Mulia, 2011a: 64; Muslikhati, 2004: 19). Istilah gender sering dirancukan dengan jenis kelamin atau malah jenis kelamin perempuan. Padahal, istilah gender mengacu pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Mengutip Shorwalter, wacana gender mulai dibicarakan pada awal 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu gender (gender discourse) (Mulia, 2011a: 67–68; Umar, 1998: 96). Pada 1990-an, Judith Butler, Eve Kosofsky Sedwick, dan Donna Haraway telah mengajukan cara menarik dan provokatif untuk memikirkan kembali perihal subjektivitas gender dan seksual (Gamble, 2010: 69). Konsep gender mengacu kepada seperangkat sikap, peran, fungsi, dan tanggung jawab yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya. Jadi, gender merupakan sesuatu yang socially constructed (dibentuk secara sosial) bukan given (kodrati) dalam diri manusia. Dalam realitasnya, perbedaan gender telah menimbulkan sejumlah ketidakadilan dan ketimpangan gender, terutama bagi PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

3

perempuan dalam bentuk perlakuan diskriminatif, subordinatif, marginalisasi, pemberian beban kerja yang lebih berat (burden), dan kekerasan (violence), baik di ranah domestik maupun publik (Mulia, 2011c: 246; 2011a: 65—66). Mulia bahkan menambahkan isu anak dalam perspektif gender (2011c: 246-259) yaitu hak anak dalam perkawinan antar kewarganegaraan dan hak anak di luar nikah. Menurutnya, pemahaman gender akan membawa pada kepekaan dan pemihakan terhadap anak-anak serta kesadaran kolektif yang meletakkan prinsip perlakuan dan kepentingan yang terbaik bagi anak-anak.

B. Gender dan Ilmu Sejarah Ilmu Sejarah mendorong kita agar senantiasa meninjau kembali posisi kita di dalam memandang masa lalu. Gagasan bahwa sejarah sebagai narasi masa lalu itu bukan hanya penting, melainkan juga perlu kita periksa kembali agar masa lampau selalu aktual. Bagaimana masa lalu itu dinarasikan dan dinarasikan ulang agar sejarah mampu membebaskan diri dari jerat-jerat kuasa politis yang akan membelenggu dan membekukan perspektif sejarah dan filsafat. Sejarah mesti ditempatkan sebagai bagian dari ilmu humaniora karena human concern menjadi titik tolak sekaligus nilai yang hendak dikejar. Munslow (2006: 122) menjelaskan bahwa sejarah gender adalah jenis analisis sejarah yang telah berkembang sepanjang sejarah perempuan dalam empat puluh hingga lima puluh tahun terakhir. Pada 1960-an dan 1970-an, gender sering digunakan sebagai sinonim untuk sejarah perempuan. Namun, dari 1980-an, istilah ini berkembang sebagai minat terpisah di antara sejarawan dan kritikus dalam disiplin ilmu lain. Gender dapat didefinisikan sebagai studi tentang budaya (termasuk sejarah, sosial, kelas, intelektual, ekonomi, politik, psikologi, sastra, dan lain-lain) organisasi, fungsi, representasi dan makna perbedaan jenis kelamin/tubuh. Seperti halnya kategori-kategori utama dari ilmu sejarah (kelas, ras, nasionalisme, imperialisme), perbedaan gender telah dikembangkan sebagai 4

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

karakteristik masyarakat yang umum dan terdapat di mana pun. Jenis kelamin sebagai jenis/kategori analisis, seperti konsep klasifikasi lain dalam sejarah, tidak dengan sendirinya menjelaskan apa pun, tetapi juga merupakan mekanisme analitis ketika perubahan dari waktu ke waktu dapat diinterpretasikan dan direpresentasikan. Seperti semua konsep yang digunakan para sejarawan, makna dan fungsi telah berubah seiring waktu dengan meningkatnya minat dan pilihan para sejarawan. Awalnya, pada 1970-an, studi gender tumbuh sebagai tambahan bagi sejarah perempuan (hal itu merupakan hasil dari feminisme gelombang kedua yang muncul dari 1950-an/1960an). Studi ini berbicara seperti halnya patriarki, dominasi laki-laki, dan mengapa perempuan disembunyikan dalam sejarah. Selanjutnya, berkat bagian penting dari karya Juliet Mitchell dan Teresa Brennan, feminin dan psikoanalisis dibawa bersama-sama untuk menjelaskan subjektivitas perempuan melalui bahasa. Dari 1970-an dan memasuki 1980-an, terutama melalui upaya awal Sally Alexander dan Catherine Hall, perempuan, kelas, dan perbedaan seksual berada di bawah arahan berbagai sejarawan Marxis dan perspektif materialis yang mencoba menyelubungi konsep dalam analisis perubahan ekonomi yang lebih besar. Dampak pemikiran post structuralism terlihat pada pertengahan hingga akhir 1980-an terutama dalam karya Joan Scott (Scott 1986, 1988). Pada awal 1990-an, gender telah menjadi topik penting di antara para sejarawan dan mereka yang tertarik dengan pendekatan interdisipliner. Dua teks karya Sue Tolleson Rinehart yang diedit pada waktu itu, yakni “Body Guards: The Cultural Politics of Gender Ambiguity” (1991) dan “Gender Consciousness and Politics” (1992), menunjukkan kedatangan final kesadaran gender di antara para sejarawan serta akademisi dari berbagai disiplin ilmu yang bersinggungan seperti studi budaya, studi perempuan, sastra, biografi dan penulisan biografi, serta ilmu politik dan antropologi. Gender juga membuat terobosan ke filsafat pada awal 1990-an meskipun sebagian besar pekerjaan dilakukan dengan mengeksplorasi epistemologi feminis seperti dalam Linda Alcoff dan Epistemologi Feminis yang PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

5

diedit oleh Elizabeth Potter (1993) yaitu “Feminist Epistemologies” (1993), karya yang diedit Ann Garry dan Marilyn Pearsall yaitu “Women, Knowledge and Reality” (1996), dan yang diedit oleh Jean Curthoys yaitu “Feminist Amnesia” (1997). Konsep gender saat ini dikembangkan dan digunakan dalam konteks perbedaan post modern yang sering dilontarkan dalam gagasan skeptisisme gender. Bagi banyak sejarawan, dan seperti yang ditunjukkan oleh John Tosh, sekarang jelas benar bahwa perempuan dan laki-laki menjadi gender dalam cara-cara tertentu dan dalam keadaan budaya tertentu. Sebagian besar filsuf feminis Prancis dan ahli teori kritis Luce Irigaray dan Hélène Cixous, bersama dengan Judith Butler, Diane Elam, Teresa Brennan, Mary Poovey, dan Donna Haraway, telah mengeksplorasi proses penyerapan budaya ke dalam wacana gender dominan, menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana gender secara historis mendefinisikan jenis kelamin dan agensi (struktur). Gender sekarang dengan tegas dikoreksi sebagai bagian dari banyak fitur baru industri sejarah –keluarga, ayah, perang, studi pria, pekerjaan, maskulinitas, AIDS, lesbianisme, homoseksualitas dan teori queer, masturbasi, transeksualisme dan transvestisme– tetapi sekarang menyatu dengan seluruh konsep sejarah arus utama yang dicatat melalui eksplorasi tidak hanya perbedaan tetapi juga identitas. Sebagai contoh, eksplorasi yang mengaitkan seksualitas, gender, dan nasionalisme diungkapkan dalam teks-teks seperti karya George L. Mosse “Nasionalisme dan Seksualitas: Moralitas Kelas Menengah dan Norma Seksual Eropa Modern” (1985) dan “Nasionalisme dan Seksualitas” (1992). Tentang gender, ras, imperialisme, dan kolonialisme dapat dilihat pada Anne McClintock et al., “Dangerous Liaisons: Gender, Nations, dan Postcolective Perspectives” (1997) dan Ida Bloom, Karen Hagemann dan Catherine Hall, “Gendered Nations: Genderered Nation: Nationalisms and Order Gender” pada abad kesembilan belas yang panjang (2000). Lihat juga karya Marian Warner yang menjadi perpaduan sejarah, gender dan dongeng “From the Beast to the Blonde” (1996). 6

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Gender sebagai sebuah kategori studi sejarah telah menunjukkan dirinya sebagai contoh klasik sejarah konstruksionis. Seperti yang dikatakan Alice Kessler-Harris, sejarawan telah menciptakan sikap interpretasi baru yang memperkaya pandangan kita tentang masa lalu, memungkinkan kita untuk membangun gambaran yang lebih lengkap tentang perubahan sejarah dan memahaminya dengan lebih menyeluruh. Menggunakan gagasan gender yang rumit, terimbas dengan ras dan kelas, sejarawan telah mengungkapkannya sebagai poros kekuasaan yang penting.... Saya ingin menjelaskan bahwa gender bukan satu-satunya poros yang perlu kita pahami, tetapi salah satu di antara beberapa (termasuk kelas, etnisitas, struktur politik, ideologi, lembaga ekonomi dan, baru-baru ini, ras) yang konsekuensinya sudah menjadi analisis subjek. Gender tertanam dalam poros ini, kendati tetap dapat dibedakan secara analitis (Kessler-Harris, 2002: 99 dalam Munslow, 2006:123).

Hal ini mungkin salah satu deskripsi terbaik tidak hanya tentang bagaimana gender sebagai konsep sejarah digunakan saat ini, tetapi juga tentang sifat pemikiran dan praktik sejarah arus utama, khususnya bagaimana konsep analitik digunakan untuk menghargai makna yang dianggap ada pada dunia empiris seperti dulu. Seperti semua konsep yang digunakan sejarawan, gender adalah alat model lain (dan semakin banyak yang kita miliki, semakin besar kekayaan yang kita miliki dalam sejarah) untuk mengatur dan kemudian mewakili masa lalu. Seperti biasa, ini dilakukan karena alasan yang banyak berkaitan dengan struktur naratif yang lebih disukai sejarawan dalam sejarah serta visi mereka tentang sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu dengan menjelaskan sifat masa lalu itu sendiri. Kessler-Harris menyimpulkan istilah seperti itu. Dalam argumen ‘empiris baru’ (upaya untuk menyatukan analitik empiris-analitik dengan narasi linguistik), Kessler-Harris berpendapat bahwa sejarah gender adalah cara memandang masa lalu dengan memperluas visi kita tentang hal itu terutama jika kita menggunakan wawasan post modern, meskipun tidak, seperti PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

7

katanya, ‘penolakannya terhadap materi’ (2002: 108). Seperti yang disarankan komentar, sejarawan selalu memulai pada masa sekarang dengan pilihan epistemologi dan bentuknya serta bekerja mundur untuk menciptakan, dalam hal ini, masa lalu sebagai sejarah gender, sementara selalu menengok ke belakang bahu mereka apa yang sedang mereka lakukan untuk sebuah disiplin ilmu (Munslow, 2006: 123).

C. Gender dan Kajian Ilmu Sosial Hubungan Internasional Sepanjang sejarah kemanusiaan, memerangi ketidakadilan sosial selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa mendatang. Sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia. Analisis dan teori kelas Karl Marx dapat membantu analisis sosial saat ini untuk memahami bentuk ketidakadilan ekonomi dan kaitannya dengan sistem sosial yang lebih luas. Antonio Gramsci dan Louis Althusser membahas ideologi dan kultural serta menggugat keduanya karena dianggap sebagai alat dan bagian dari mereka yang diuntungkan untuk melanggengkan ketidakadilan (Fakih, 2010: xi). Soetjipto menjelaskan bahwa kajian gender, feminisme, dan hubungan internasional telah berkembang lebih dari tiga dekade yang lalu, bermula dari diadakannya konferensi internasional akhir 1980-an, serta pada 1990 atas dukungan Ford Foundation di Amerika Serikat. Pada tahun yang sama, terbit isu khusus tentang ”Women in International Relations: di Jurnal Millenium yang menandai awal kajian Gender dan Hubungan Internasional dengan lahirnya buku Jean Bethke Elstain, ”Women and War” (1987) dan Cyntihia Enloe, Banana, Beaches, and Bases, “Making Feminist Sense of International Relations” (1989). Selanjutnya di Inggris, muncul pemikir feminis seperti Grant and Newland dengan bukunya “Gender and International Relations” (1991), dan Sandra Withworth dengan bukunya ”Feminist Theory and International Relations” (1994). 8

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Ketika studi Hubungan Internasional (HI) menggunakan kajian gender dan perspektif feminis, diharapkan analisis dan pembahasaan isu-isu politik internasional menjadi lebih komprehensif, mendalam, dan lebih tajam. Isu mondial yang dikaji menggunakan pendekatan gender menjadi lebih beragam dan lebih luas melampaui isuisu konvensional yang kita kenal selama ini. Sebagai contoh, isu kekerasan terhadap perempuan dalam perang, perempuan sebagai agen perdamaian, migrasi internasional, ketidaksetaraan global, persoalan perdagangan perempuan (women trafficking), arus migrasi buruh migran perempuan (migrant worker) dalam protokol dan konvensi internasional sebagian dari isu internasional bermuatan gender. Persoalan di dalam Hubungan Internasional bukan hanya isu dan persoalan yang terkait dengan perang, perdamaian, diplomasi, persenjataan, atau perdagangan, melainkan juga masih terdapat isuisu lain di antaranya gender yang dapat dikaji dari berbagai macam perspektif. Lebih jauh, dipaparkan bahwa isu gender secara luas dapat dikaitkan dalam berbagai kajian seperti keamanan, ekonomi politik internasional, HAM dan hukum internasional yang akan memberikan cara pandang baru khususnya ketika melihat bagaimana misalnya perempuan dalam konflik. Apa itu perdamaian dari sudut pandang feminis, isu pemerkosaan perempuan dalam konflik, bagaimana perkawinan dalam kajian ekonomi politik internasional, perjuangan perempuan dalam menggugat ketidakadilan berbasis gender adalah isu-isu yang dapat didekati dalam kajian gender dan feminisme (Soetjipto, 2013). Sementara itu, analisis gender merupakan bagian dari perangkat analisis ilmu-ilmu sosial budaya terhadap ketimpangan dan ketidakadilan sosial seperti halnya analisis kelas, ras, etnisitas, dan agama. Fokus analisis gender terletak pada analisis ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang disebabkan perbedaan sosio-kultural dalam memberikan kontribusi yang sangat besar dalam meretas akar-akar migoninis yang merugikan perempuan. Analisis ini juga menggeser pemahaman yang menjadikan stereotip jenis kelamin, posisi, dan peran sosial yang telah lama dianggap sebagai sesuatu yang terberi, PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

9

kodrati dan universal terkonstruksi secara sosial dan budaya, lokal, dan bersifat diskursif (Ruhaini, 2002). Analisis gender sebagaimana teori sosial lainnya adalah alat analisis untuk memahami realitas sosial. Sebagai teori, tugas utama analisis gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi, dan praktik hubungan baru antara kaum laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya. Dengan kata lain, analisis gender merupakan kacamata baru untuk menambah, melengkapi analisis sosial yang telah ada, dan bukan malah menggantikannya (Fakih, 2010: xii-xiii; Mulia, 2011a: 68).

D. Gender dalam Kajian Islam Kemunculan kelompok Islam penentang feminisme yang semakin lantang belakangan ini mengeras ke arah syariat Islam dan bias gender. Padahal, Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, tokoh Islam mazhab Hanbali, menyimpulkan bahwa syariat Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan untuk tujuan-tujuan kemanusian lainnya, yaitu kemaslahatan (al-mashlahah), keadilan (al-‘adl), kerahmatan (al-rahmat), dan kebijaksanaan (al-hikmah) (Mulia 2011c: 358). Islam sendiri secara historis lahir untuk menegakkan keadilan gender. Sejak kelahirannya, Islam banyak melakukan dekonstruksi sejarah (Pribadi, 2002: 311). Tampaknya, mereka belum memahami emansipasi perempuan dalam kaitannya dengan masalah ketidakadilan dan perubahan dalam konteks yang lebih lua (Fakih, 2010: xiii). Kajian gender memang tidak dapat dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam hampir semua agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex. Jika agama mempersepsikan sesuatu, biasanya dianggap as it should be (keadaan sebenarnya), bukan as it is (apa adanya). Namun, ketimpangan peran sosial berdasarkan gender masih tetap dipertahankan dengan dalih 10

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

doktrin agama. Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi bahwa perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki (Umar, 1998: 96—97). Gender dan feminisme di dalam kehidupan budaya Islam di Timur Tengah dan juga masyarakat Islam di Indonesia sebaiknya dipahami dalam perspektif sejarah yang memberikan gambaran luas secara sosial-politik. Pemahaman sejarah menempatkan isu-isu feminisme dan gender sebagai perjuangan kesetaraan yang berangkat dari perjuangan sosial dan bukan hanya agama. Munculnya feminis laki-laki di Mesir seperti Rifa’ah at-Tahtawi (1801-1873), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Qasim Amin (1863-1908) mendobrak kebekuan pemikiran tentang teologi perempuan yang dalam alam bawah sadarnya mempunyai kebencian dan inferioritas terhadap perempuan. Agenda kesetaraan dan keadilan gender tidak dapat dipisahkan dan selayaknya menjadi bagian dari paradigma gerakan pemikiran Islam. Sayangnya, di Indonesia, pemahaman terhadap pemikiran para feminis laki-laki tersebut penuh distorsi karena yang sampai di negara ini bukan ajaran-ajaran inti, tetapi ulasan muridnya Rasyid Ridla yang berasal dari kelompok konservatif; sementara dari kelompok progresif hampir tidak pernah dibaca di sini (Romli, 2010). Dari kalangan Islam sendiri, ada kecenderungan para pemikir Islam modern seperti Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Arkoun, Ali Asgar Engineer, Muhammad Syahrur, Farid Esack, Fatimah Mernisi, dan Abdullah an-Naim yang memberikan apresiasi positif terhadap kaidah-kaidah dari ulama minoritas, terutama dalam menjelaskan ayat-ayat gender. Upaya mereka untuk membaca ulang ayat-ayat gender tentu saja menimbulkan sikap-sikap apriori dari kalangan ulama tradisional. Namun, yang penting dalam hal ini yaitu bagaimana memunculkan sebuah pemahaman baru yang mencerahkan, terutama untuk memberdayakan kaum perempuan yang jumlahnya lebih dari separuh umat Islam (Umar, 2003: 201). Interpretasi Islam terhadap hak-hak perempuan tidaklah homogen. Ada yang resisten dan menolak kesetaraan gender, tetapi ada pula tafsir liberal yang bersifat mendukung dan menerima kesetaraan PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

11

gender dan hak-hak perempuan. Apabila ingin terjadi perubahan dalam interpretasi Islam terhadap isu-isu feminisme, maka yang harus dilakukan adalah perubahan pada tingkat metodologi. Tujuan akhir dari upaya memahami gender adalah membangun kesetaraan keadilan gender agar seluruh masyarakat (perempuan dan laki-laki) dapat memberikan kontribusinya yang positif dan konstruktif demi terciptanya kehidupan yang lebih adil, sejahtera, dan beradab.

Kesimpulan Dari uraian pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan kritis bahwa dalam membuka topeng maskulinitas yang dipakai filsafat, feminisme dan gender membantu meruntuhkan kepastian yang dicita-citakan filsafat. Agenda-agenda besar dan kebenaran absolut filsafat yang dicari mulai dari para filsuf Yunani kuno diserang dari banyak sisi. Post structuralism, dekonstruksi, dan kritik-kritik atas ide rasionalisme pencerahan semuanya merapuhkan dasar cita-cita filsafat dalam memberikan jawaban dan segalanya. Munculnya para feminis di dalam sejarah filsafat adalah respons atas isu pada masanya sehingga zeitgeist dan aktualitas terasa sudah lewat. Namun, ethical concern yang terkandung di dalam sejarah feminisme tetap relevan untuk dibaca kembali karena pokok masalah yang dikemukakan belum selesai hingga saat ini. Beberapa feminis berpendapat bahwa seluruh bahasa baru, bahasa perempuan, harus ditemukan untuk memikirkan kembali seluruh filsafat. Kita dapat mengajukan pertanyaan: ”Sampai di manakah filsafat dan sains telah membawa kita (perempuan) saat ini?” Studi gender dan feminisme di Indonesia bernilai penting sebagai alat untuk membongkar tafsir lama terhadap ayat yang tidak adil karena budaya patriarki. Feminisme dan gender menjadi wadah untuk menyajikan keadilan dan menjawab masalah-masalah yang terjadi pada perempuan. Kelompok antifeminisme sepatutnya dapat menjelaskan masalah-masalah perempuan seperti buruh migran dan kesehatan reproduksi melalui pengetahuan Islam yang dimiliki 12

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

agar pemahaman itu dapat menyelesaikan persoalan. Pemahaman gagasan gender dan feminisme yang baik dapat membuat orang sadar terhadap eksploitasi dan kejahatan seksual yang mungkin terjadi pada perempuan dan anak-anak.

Daftar Pustaka Soetjipto, Ani dan Pande Trimayuni dkk (2013). Gender dan Hubungan Internasional Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Jalasutra. Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Budhy Munawar-Rachman, Nasaruddin Umar dkk (2002). Rekonstruksi Metodologi Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lodewycks, Herman (2015). “UNESCO and Philosophy Teaching”. Association Internationale des Professeurs de Philosophie. www. aipph.eu. Fakih, Mansour (2010). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gamble, Sarah (2010) Feminisme dan Postfeminisme. Yogyakarta: Jalasutra. Moghissi, Haideh (2005). Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Yogyakarta: LKiS. Mulia, Siti Musdah (2011a). Muslimah Sejati menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi. Bandung: Penerbit MARJA. Mulia, Siti Musdah (2011b). Islam dan Hak Asasi Manusia Konsep dan Implementasi. Yogyakarta: Naufan Pustaka. Mulia, Siti Musdah (2011c). Membangun Surga di Bumi. Kiat-kiat Membina Keluarga Ideal dalam Islam. Jakarta: PT Elex media Komputindo Kompas Gramedia.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

13

Munslow, Alun (2006). The Routledge Companion to Historical Studies. Second edition. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group. Muslikhati, Siti (2004). Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Umar, Nasaruddin (2003). Teologi Jender. Antara Mitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta: PUSTAKA CICERO. Umar, Nasaruddin (1998). “Perspektif Jender dalam Islam” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina Volume I Nomor 1, JuliDesember 1998, hlm. 96-128. Primastika, Widia (2019). “#UninstallFeminism: Benarkah Indonesia Tak Butuh Feminisme?” Romli, Mohamda Guntur (2010). Muslim Feminis Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam. Jakarta: Freedom Institute.

14

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Redefinisi Identitas Politik Perempuan: Pengalaman sebagai Kunci melalui Perspektif Iris Marion Young oleh Ariva Septyawati dan Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum.

Pendahuluan Dalam situasi kontemporer, kita mungkin sudah terbiasa melihat perempuan dan laki-laki berkompetisi untuk memperebutkan pekerjaan atau titel dalam bidang yang sama. Seorang perempuan dapat berkarir sebagai politikus, jabatan yang dulunya hanya dimiliki oleh laki-laki. Akan tetapi, jika kita melihat lebih jauh ke dalamnya, masih terdapat praktik diskriminasi, ketidaksetaraan struktural, serta asumsi atau ide yang berkembang tentang perempuan yang merupakan warisan budaya patriarkal. Pada ilmu filsafat misalnya, sebagai ilmu yang dianggap memiliki tingkat kesukaran paling tinggi, bidang ini selalu dikonotasikan sebagai sesuatu yang maskulin. Filsuf besar yang hingga saat ini 15

pemikirannya masih banyak dikutip, yakni Aristoteles, menyebut bahwa perempuan tidaklah berakal penuh seperti laki-laki sehingga ia secara alamiah tidak mampu membuat keputusan penting. Bagi Aristoteles, perempuan memiliki sifat-sifat yang kurang berkualitas dibandingkan laki-laki sehingga hal-hal seperti politik bukanlah ranah perempuan (Beauvoir, 2016: 6). Perempuan dan kemampuan reproduksinya terletak di ranah domestik semata. Pemikiran ini masih terus diajarkan dalam kuliah-kuliah filsafat dan sering dikutip oleh orang-orang yang memiliki pandangan misoginis, terutama untuk menjustifikasi dogma agama. Berdasarkan pandangan di atas, perempuan kerap kali dikategorikan sebagai manusia “kelas kedua”, atau pendamping daripada laki-laki. Karakter perempuan juga masih sering dideskripsikan sebagai makhluk yang lemah, memiliki ketergantungan yang tinggi kepada laki-laki, serta hanya mampu bekerja di ranah domestik. Konstruksi tersebut didasarkan pada budaya maskulin yang kemudian membuat identitas perempuan seolah-olah lekat dengan ranah pribadi dan domestik. Ranah publik dan pengambilan keputusan secara bias dianggap sebagai sesuatu yang tidak cocok untuk perempuan. Hal tersebut kemudian juga banyak didukung oleh dogma agama, peraturan kewarganegaraan, serta nilai moral yang disusun masyarakat. Akhirnya, pemisahan antara perempuan dan politik menciptakan alienasi terhadap perempuan. Politik menjadi hal yang sangat jauh dan perempuan dikondisikan untuk enggan jika berhubungan dengan politik. Di masa sekarang, perempuan Indonesia tidak hanya memiliki hak politik untuk tidak hanya memilih, tetapi juga dipilih.Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan dan politik kini tidak lagi menjadi sesuatu yang terpisah. Hak tersebut tertuang dalam serangkaian produk hukum mulai dari Undang-Undang sampai Instruksi Presiden. Salah satu kebijakan yang menjadi fokus dalam artikel ini ialah kebijakan Affirmative Action. Kebijakan ini hakikatnya ditujukan untuk kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dan berupaya untuk memperbaiki ketidaksetaraan yang mereka alami. 16

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Affirmative Action berusaha menciptakan mekanisme positif untuk mencapai kesetaraan hasil melalui basis kuota agar kelompokkelompok yang terdiskriminasi memiliki peluang yang setara dalam suatu bidang dengan kelompok-kelompok yang tidak mengalami diskriminasi. Kebijakan ini dalam ranah politik Indonesia mendorong kelompok perempuan untuk masuk ke bidang politik, dalam hal ini legislatif, dengan mensyaratkan kuota minimum sebanyak 30% dari jumlah anggota legislatif DPR RI. Dengan menggunakan zipper system (Sihite, 2011: 23), yakni sistem yang mewajibkan pada setiap tiga orang bakal calon sekurang-kurangnya harus terdapat satu perempuan, diharapkan mampu meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia. Sejak diberlakukannya Affirmative Action, jumlah perempuan yang terlibat dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah tren peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif terutama sejak Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 hingga terakhir pada tahun 2019. Peningkatan keterwakilan perempuan ini juga ditopang dengan diberlakukannya perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H Ayat (2) pada tahun 2003 yang pada akhirnya berbunyi “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Kebijakan afirmatif (Affirmative Action) terhadap perempuan dalam bidang politik juga makin diperkuat dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Mulyono, 2010: 2). Upaya peningkatan keterwakilan perempuan ini ditempuh salah satunya dengan cara memberikan ketentuan agar Partai Politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30% di dalam mengajukan Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 65 Ayat (1)UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan, ‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

17

dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”(Mulyono, 2010: 4). Berikut ini adalah tabel persentase keterwakilan perempuan yang mencerminkan tren peningkatan yang dimaksud: Tabel 1.1 Data Jumlah Partisipasi Perempuan Politik di DPR RI dari tahun 1999-2024 Jenis Kelamin

1999-

2004-

2009-

2014-

2019-

2004

2009

2014

2019

2024

Perem-

9,0%

11,8%

18%

17,5%

21%

91,0%

88,2%

82%

82,5%

79%

Tanpa affirmative action

Setelah adanya affirmative action

Dengan affirmative action kuota 30% zipper system 1 di antara 3 bakal calon

Setelah affirmative action

Setelah Affirmative action, naik sebanyak 22% dari angka terdahulu

puan LakiLaki

Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa kebijakan ini secara berangsur-angsur memperbaiki kondisi kesetaraan di bidang politik untuk perempuan. Akan tetapi, pasca kebijakan ini diterapkan pada tahun 2004, terdapat perubahan situasi yang mendorong penulis untuk mengajukan permasalahan baru. Setelah ruang publik telah dimiliki, belum terlihat jelas keterwakilan seperti apa yang harus ditunjukkan oleh perempuan. Ketika pertama kali kebijakan ini dicanangkan, ada harapan bahwa perempuan dapat menyuarakan isu-isu seputar perempuan yang telah lama dipinggirkan dan direpresi akibat budaya patriarkal. Dengan semakin banyaknya perwakilan perempuan yang masuk ke ranah politik, diharapkan masalah-masalah perempuan yang tadinya tidak terdengar naik ke permukaan publik dan dapat 18

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

dipecahkan.Akan tetapi, saat ini, kendati angka partisipasi politik perempuan meningkat, harapan awal dari peningkatan keterwakilan perempuan masih belum tercapai secara memuaskan. Hal itu seringkali disebabkan karena perwakilan perempuan yang ada dirasa belum mengetahui apa sebenarnya yang menjadi isu penting bagi kalangan perempuan. Fenomena lain yang menarik untuk diperhatikan ialah banyaknya tokoh publik dari kalangan perempuan yang berhasil menempati jabatan struktural dan menerima animo yang cukup tinggi dari masyarakat, terutama di media sosial, karena dianggap “mewakili kaum perempuan”, namun ternyata tidak memiliki signifikansi apapun terhadap perjuangan perempuan. Misalnya, ketika Puan Maharani dilantik menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI (2019-2024) dan menerima animo positif yang tinggi dari masyarakat sebagai Ketua DPR Perempuan pertama di Indonesia, penulis tidak menemukan adanya rekam jejak yang memadai dari karir politiknya yang menunjukkan adanya kontribusi yang signifikan terhadap isu perempuan. Hal ini kemudian membawa penulis untuk melihat adanya sesuatu yang imanen dibalik fenomena-fenomena ini, yakni bahwa konsep identitas politik perempuan sendiri ternyata bahkan belum diformulasikan secara sempurna. Terdapat serangkaian unsur tertentu yang kemudian mempengaruhi bagaimana “seharusnya” perempuan dipandang dan masalah yang kemudian harus dipersoalkan kepada publik. Penulis menduga bahwa ada semacam normalisasi yang dilakukan oleh negara untuk menentukan siapa itu perempuan Indonesia yang kemudian berimbas pada bentuk pola pikir yang mereka miliki serta batasan apa yang tidak boleh dilewati. Boleh jadi bukan masalah representasi lagi yang harus diperjuangkan perempuan Indonesia, melakukan perbaikan atas ketidaksempurnaan definisi atas identitas perempuan serta cara pandang negara dalam mengakui identitas politik perempuan. Penulis menggunakan pemikiran Iris Marion Young, seorang filsuf dan feminis yang berasal dari Chicago Amerika Serikat, PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

19

mengenai peran pengalaman dalam identitas perempuan. Iris Young menyatakan bahwa: (1) identitas tidak dapat lepas dari pengalaman seseorang; (2) tidak semua perempuan dapat digambarkan memiliki pengalaman yang sama; dan (3) terdapat ikatan sosial kolektif diantara perempuan yang kemudian memunculkan rasa solidaritas atas nama “perempuan” dan akhirnya membentuk identitas perempuan. Gagasan Iris Young tersebut tertuang pada “Gender as Seriality: Thinking about Women as Social Collective” (1994). Perbedaan pengalaman ini sering dilupakan oleh lingkungan sosial dan mengakibat adanya kegagalan pemahaman terkait siapa sebenarnya perempuan. Pemikiran tersebut diperkuat dengan ide Young lainnya dalam “Justice and Politics of Difference” (1990) mengenai adanya tendensi asimilatif terkait Ideal of Universal berupa pemaksaan terhadap perbedaan yang ada untuk diasimilasi dan disesuaikan dengan apa yang ideal menurut negara. Hal ini menunjukkan bahwa selalu ada dominasi dari negara untuk membentuk apa yang ideal termasuk mengenai definisi gender dan implikasinya pada sosial. Young(1990) juga melihat bahwa kebijakan Affirmative Action adalah wujud konkret untuk menghargai perbedaan demi menciptakan kesetaraan. Tulisan ini diharapkan dapat menunjukkan aspek yang selama ini terlupakan dan hilang dalam membentuk suatu identitas, yaitu makna dan pengalaman. Pengalaman berperan dalam menciptakan sikap sosial dan tindakan politis. Ketika suatu kelompok tidak dapat mengidentifikasi pengalaman dalam dirinya, maka kelompok tersebut menjadi tidak memahami keberadaannya dan dapat dengan mudah dikontrol oleh kekuatan dominan, dalam hal ini negara. Penelitian ini juga diharapkan mampu menyadarkan politikus, pembuat kebijakan, serta kelompok-kelompok lainnya tentang siapa yang dimaksud sebagai perempuan dan bagaimana perempuan dapat menentukan identitas “ke-perempuan-annya” sendiri. Dengan menyadari hakikat sejati perempuan melalui penyatuan pengalaman, gerakan feminisme di Indonesia dapat memiliki justifikasi terhadap keberadaannya serta secara kritis dapat menentukan sikap dan 20

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

tindakan politisnya. Selain itu, perempuan yang terjun dalam politik dapat menyadari kekuatan serta apa yang sebenarnya dibutuhkan sebagai perwakilan dari suatu kelompok. Tulisan ini merupakan penelitian berbasis studi literatur yang memuat berbagai sumber dari buku, jurnal ilmiah, maupun berita nasional. Penelitian ini bersifat tematis seputar perempuan dan politik. Dalam pengumpulan data, penulis melakukan pengumpulan berbasis Internet in Qualitative Research dan Literature Review. Penulis mengambil beberapa data dengan melihat pada sumber berita, artikel jurnal, dan buku yang disajikan secara daring maupun fisik. Misalnya, penulis mengambil data mengenai persentase perwakilan perempuan melalui sumber berita daring serta publikasi resmi dari DPR RI. Penulis kemudian melakukan tinjauan pustaka berbasis pada artikel ilmiah yang relatif baru dengan tema serupa yang disajikan pada perpustakaan daring maupun luring. Dengan melihat pada konteks Indonesia, penulis berusaha untuk mempertanyakan mengapa pasca ruang publik dan kesempatan partisipasi yang sama sudah diberikan kepada perempuan tetapi hal-hal substansial seperti isu perempuan masih belum menemui kemajuan. Penulis berasumsi bahwa terdapat kegagalan pemahaman yang masuk ketika pemerintah berusaha mengakomodir kebutuhan akan representasi perempuan. Kegagalan tersebut menyebabkan identitas politik perempuan belum mampu dipahami secara mendalam dan sekadar menekankan pada hal-hal mendasar saja seperti kuantitas representator. Secara khusus, penelitian ini akan mengambil pemikiran Iris Marion Young dalam mengidentifikasi kekeliruan institusi sosial dalam melakukan “normalisasi” atas makna perempuan, identitasnya, dan cara mengupas identitas perempuan itu sendiri. Tulisan ini melalui metode analisis kritis mencoba membedah setiap bagian untuk kemudian mendemonstrasikan ketimpangan apa yang terjadi dalam suatu wacana. Pertama-tama, tulisan ini berupaya untuk mengungkap sesuatu yang transendental, bahwa ada semacam “normalisasi” atribut atas pengalaman dan definisi perempuan yang tentu saja berakibat pada identitasnya. Identitas perempuan masih dinormalisasikan oleh PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

21

serangkaian atribut yang.dijadikan mutlak dalam menggambarkan siapa itu perempuan. Ada kultur yang secara sistemik bekerja dalam menentukan batasan apa yang dimiliki oleh perempuan. Kemudian, ada sesuatu yang imanen dalam normalisasi tersebut yang tentu saja dipengaruhi oleh negara yang diafirmasi oleh imej dan kondisi politik perempuan saat ini. Negara memegang kontrol terhadap supremasi ide mengenai “ke-perempuan-an” termasuk membatasi pikiran perempuan di parlemen yang nantinya akan berdampak pada berbagai kebijakan terkait. Konteks sosio-historis dalam hal ini masih belum berubah dan masih berakar pada ideologi patriarki. Terakhir, meskipun kesempatan telah diberikan, pengetahuan yang menopang segala kebijakan tersebut masih mendiskriminasi perempuan. Ideologi patriarki masih dilestarikan oleh negara dan partai politik di Indonesia. Ada beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan tema atau pendekatan seperti tulisan ini. Pertama, adalah artikel dari Mite Setiansah, Wening Udasmoro, dan Ratna Noviani pada 2015 yang menyatakan bahwa perempuan mengalami begitu banyak bentuk dominasi dalam kesehariannya yang seringkali bersumber dari identitas feminin mereka yang dijadikan alasan bagi terjadinya subordinasi oleh lingkungan sosial (Setiansah, dkk 2015:183). Untuk mengatasi pemberian identitas dan upaya subordinasi, utamanya dalam ruang politik, serta memberikan ruang yang memungkinkan terjadinya negosiasi, perempuan menggunakan perantara smartphone sebagai medianya. Sayangnya, justru muncul bentuk represi baru pasca munculnya smartphone ketika perempuan dinilai berlebihan dalam menggunakan smartphone sehingga mengabaikan tugas-tugas yang diberikan oleh lingkungan sosialnya danmembangun relasi emosional yang ilegal dengan lawan jenis. Kendati laki-laki berpotensi melakukan hal yang sama, namun pada kenyataannya beban tanggung jawab moral yang dipikul seolah tidak seberat perempuan (Setiansah, dkk., 2015: 184). Partisipasi politik perempuan adalah manifestasi dari pemenuhan hak kewarganegaraan. Dengan berpartisipasi, perempuan menjadi 22

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

warga negara yang sah untuk melakukan perbaikan kehidupan di ranah politik terutama untuk menghapus diskriminasi dan ketidaksetaraan yang telah lama dialaminya. Partisipasi ini juga berarti bahwa perempuan tidak hanya menyumbangkan suara kepada partai politik, tetapi juga menjadi pelaku dan pembuat kebijakan yang harus diperhitungkan dalam negara. Kedua, Partini (2014) dalam penelitiannya berargumen bahwa kendati politik seharusnya tidak memiliki gender, tetapi bangunan sistem politik Indonesia masih dikonstruksi oleh maskulinitas. Hal ini merujuk kepada stigma bahwa perempuan masih belum memiliki kapasitas yang mumpuni seperti laki-laki. Proses elektoral juga seharusnya tidak hanya menampilkan wacana keterwakilan saja tetapi juga bagaimana menciptakan proses transformasi sistem politik antara partai dan perempuan (Partini, 2014: 29). Terakhir, adalah penelitian dari Ajeng Rachmatika Andayani (2009) yang membahas mengenai pemisahan antara ruang pribadi dan politik dengan menggunakan perspektif feminisme yang melihat bahwa hak perempuan sebagai makhluk politik haruslah diberikan (Andayani, 2009: 15). Akan tetapi, penelitian Andayani, seperti penelitian-penelitian sebelumnya, masih membahas mengenai disparitas ruang pribadi-publik yang akhirnya membuat perempuan termarjinalkan sebagai political being. Di akhir penelitiannya, Andayani menyetujui dan menegaskan kembali pentingnya kebijakan zipper system 30% Affirmative Action yang ada Indonesia. Tulisannya memiliki kesimpulan bahwa kebijakan Affirmative Action merupakan salah satu cara untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi di bidang politik. Kebaruan dari artikel ini terletak pada titik berangkatnya yang berasal dari kondisi saat ini, yaitu saat perempuan sudah berhasil merebut ruang publik. Sedangkan pada penelitian terdahulu, titik berangkatnya masih dari diskriminasi masa lalu tentang pemisahan ruang pribadi-publik melalui gender yang kemudian menyerukan semangat untuk berpartisipasi. Kendati demikian, masalah perempuan masih belum tertangani dan sekarang malah muncul permasalahan PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

23

baru seperti tidak adanya keterwakilan substantif. Oleh karena itu, penulis melihat adanya urgensi untuk membahas hal ini karena dengan terjebaknya perempuan pada euforia representasi, perempuan berada pada stagnasi yang membuatnya tidak mampu untuk memahami dirinya sendiri dan identitas politiknya. Hal itu tentu saja berimbas pada kemajuan isu-isu perempuan. Kebijakan Affirmative Action yang biasanya terjustifikasi dalam penelitian penelitian sebelumnya, dalam tulisan ini kembali direfleksikan. Boleh jadi, kebijakan ini akhirnya malah menimbulkan permasalahan baru, seperti misalnya keterwakilan yang sebatas deskriptif dan hanya diukur berdasarkan kuantitasnya.

Hasil dan Pembahasan A. Pengalaman dan Serialitas, Indikator yang Hilang dari Pembentukan Definisi Identitas Perempuan: Sebuah Teori dari Iris Marion Young Iris Marion Young adalah seorang feminis sekaligus filsuf politik asal Amerika Serikat. Ia merupakan profesor dari Universitas Chicago yang banyak mendalami isu mengenai keadilan dan perbedaan sosial. Beberapa filsuf yang memiliki pengaruh dalam karya-karyanya adalah Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoire, dan Ludwig Wittgeinstein (Casals, dkk., 2008). Dalam karyanya yang berjudul “Justice and Politics of Difference” pada tahun 1990, Young membawa gagasan mengenai politik perbedaan yang mengedepankan perbedaan sosial dalam identitas politik. Politik perbedaan ini bermaksud untuk mencapai kesetaraan melalui partisipasi dan bahwa penyertaan semua kelompok membutuhkan perlakuan berbeda untuk kelompok yang tertindas atau yang termarjinalisasikan. Kebijakan sosial menurut Young harus siap untuk memberikan atensi khusus kepada kelompok tersebut dengan tetap memberikan kebebasan untuk membuka keunikannya yang terdiri atas makna identitasnya (Young, 1990: 157– 158). 24

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Terdapat dua kata kunci dalam politik perbedaan yang digagas Young yakni politik perbedaan posisi dan politik perbedaan budaya. Jika pada politik perbedaan posisi dinyatakan bahwa orang-orang menderita ketidakadilan struktural ketika posisi sosial kelompok mereka dibatasi peluangnya untuk mencapai kesejahteraan, maka pada politik perbedaan budaya secara eksplisit menolak prinsipprinsip dan praktik-praktik politik yang menekankan keberadaan satu makna definitif yang bertepatan dengan satu budaya bersama (Young, dkk, 2004: 81–82 & 97). Konsep politik perbedaan tersebut telah dicoba untuk diterapkan di Indonesia dengan lahirnya kebijakan afirmatif bagi kelompok minoritas dan perempuan agar dapat memiliki peran sebagai pelaku kebijakan dan terjun ke ranah politik. Dengan adanya kebijakan ini, kesetaraan dicapai dengan menyertakan perempuan sebagai kelompok minoritas dengan segala karakternya untuk diberikan kesempatan yang sama untuk mengakses berbagai urusan publik, termasuk menjadi pejabat publik. Akan tetapi, Indonesia masih mengupayakan penghapusan ketidaksetaraan struktural yang merupakan prinsip dari politik perbedaan posisi. Indonesia belum mampu menerapkan politik perbedaan budaya karena masih belum mampu memberikan ruang bagi setiap kelompok berbeda untuk mengekspresikan kebebasannya. Indonesia masih terus mempromosikan dan melestarikan satu budaya bersama yang harus dijunjung, yang secara tidak langsung membatasi apa yang berbeda dan menciptakan naturalisasi bagi satu makna tunggal yang harus dipatuhi sesuai keinginan penguasa. Untuk menjawab keresahan mengapa setiap isu perempuan lambat ditanggapi oleh politikus perempuan, penulis beranggapan bahwa hal tersebut terjadi karena ketiadaan pemahaman mengenai politik perbedaan budaya. Ketika kita menyodorkan kartu penduduk kepada seseorang, kita menyebut selembar plastik itu sebagai sesuatu yang kita rujuk sebagai identitas kita. Akan tetapi, pernahkah kita mempertanyakan secara filosofis apa sebenarnya identitas itu. Identitas adalah konstruksi psikokultural yang bertujuan untuk memberikan makna dan tujuan PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

25

bagi seorang aktor sosial. Prosesnya dibangun melalui interaksi sosial dan interaksi internal individu. Seorang individu memiliki identitas yang beragam dan kompleks yang diekspresikan tergantung pada kebutuhan, waktu, dan tempat yang berbeda (Deleon, dkk., 2003: 5–6). Maka dari itu, identitas dapat kita pahami sebagai manifestasi personal kepada berbagai macam simbol yang dibentuk berdasarkan pengalaman personal, ruang dan waktu, serta konstruksi antarnilai-nilai budaya yang menghasilkan satu ikatan emosional antara individu dengan keterangan identitas tersebut. Akan tetapi, pada bagian kali ini, kita akan melihat bahwa proses penyematan identitas perempuan tidak dilakukan melalui interaksi sosial, pengalaman internal individu, maupun manifestasi makna dirinya. Ada sesuatu yang salah dari identitas perempuan. Ada yang salah dari definisi perempuan. Pada bagian ini, kita akan mempersoalkan apa yang hilang dari identitas perempuan melalui pemikiran Iris Marion Young. Masalah pertama yang dapat kita identifikasi adalah istilah “perempuan” dan “rumah” yang seolah-olah telah menjadi dua kata komplementer bagi satu sama lain. Bagi Young, perempuan sudah terlalu lama mengalami opresi akibat adanya idealisasi rumah. Rumah menjadi semacam tugas yang tidak boleh terbantahkan untuk perempuan. Idealisasi rumah terdiri dari visi akan rumah indah yang nyaman dimana perempuan melakukan tugas perawatan dan perbaikan rumah, sementara laki-laki menghuni rumah sebagai kepala resolusi konflik dan anak-anak sebagai penghias. Jika citra rumah rusak, hal tersebut dibebankan kepada perempuan. Perempuan selama ini mengalami tegangan karena kendati berada di rumah, akan tetapi ia tidak merasakan “ker-rumah-an” itu sendiri. Secara bersamaan, perempuan memiliki sekaligus tidak memiliki identitasnya dengan cara mengasosiasikan dirinya dengan rumah tersebut. Rumah seolaholah menjadi tempat tinggal, identitas, profesi, sekaligus penjara. Young menanggapi hal tersebut dengan tidak hanya menolak idealisasi rumah, tetapi juga mencoba memperluas makna rumah menjadi critical value. Rumah seharusnya dipahami sebagai wadah 26

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

esensial bagi rasa aman. Young berargumen bahwa rumah harus menjadi support of individuation. Young mengusulkan sebuah rumah ideal sebagai ruang kepemilikan dukungan material yang mencerminkan proses kembali ke diri sendiri serta menyediakan koherensi dan stabilitas untuk diri sendiri. Dukungan material muncul ketika perempuan sebagai subjek dapat dipahami sebagai sesuatu yang berubah, selalu bergeser, serta dipengaruhi oleh kondisi diri dan pendapatnya akan kondisi tersebut. Dengan kata lain, rumah adalah material support bagi pengalaman perempuan (Weir, 2008: 5–10). Masalah kedua dapat ditelusuri dalam buku “Dancing With Iris” (2009) yang menjadi suatu kompilasi pemikiran Iris Marion Young. Salah seorang penulis di dalamnya, yakni Michaele Fergusson, menyatakan bahwa peran pengalaman dan narasi personal dapat menumbuhkan identitas dan agensi politik. Keterputusan antara pengalaman hidup sebagai perempuan dan pesan-pesan ideologis yang diterima tentang bagaimana seharusnya “menjadi perempuan” telah menjadi acuan mendasar atas setiap analisis kritis dan seruan untuk bertindak. Saat ini, banyak perempuan yang melakukan penolakan atas pengalamannya sendiri dan hanya menerima pesanpesan ideologis tentang siapa itu mereka. Young menyatakan di sini bahwa pengalaman pribadi dapat menjadi politis ketika beresonansi dengan orang lain. Cerita-cerita yang beresonansi tersebut bersifat subjektif tetapi terdengar akrab bagi perempuan lain. Bayangkan dua perempuan yang dibesarkan di dua negara yang berbeda, dengan budaya dan ide berbeda, memiliki simpati terhadap satu sama lain ketika mereka merasa familiar dengan kondisi satu sama lain. Misalnya saja, sama-sama mengalami diskriminasi pada dunia kerja. Di situlah resonansi terbentuk. Young bermaksud untuk membuat pengalaman pribadi dimunculkan secara publik dengan harapan akan beresonansi dengan orang lain, dan dapat memicu energi untuk terlibat dalam tindakan politis (Fergusson & Nagel, 2009: 54). Di sinilah akhirnya Young menggagas bahwa terdapat sejenis proyek konseptualisasi perempuan yang mengarah pada normalisasi PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

27

dan pengecualian ide. Young tidak setuju kepada apa yang dianggap sebagai “karakteristik umum” dalam menentukan siapa itu perempuan karena hal itu sama dengan menghilangkan personal experience yang menjadi makna utama dari identitas. Young berusaha melakukan rekonseptualisasi kolektivitas atas makna kelompok sosial dari identitas perempuan ini untuk melihat perempuan sebagai yang kolektif tanpa mengidentifikasi atribut-atribut umum yang dimiliki perempuan atau menyiratkan bahwa semua perempuan sama (Young, 1994: 713–714). Misalnya, pada masalah keterkaitan rumah dan perempuan, perlu adanya dekonstruksi ide kolektif bahwa rumah adalah tempat keamanan dan ketenangan bagi setiap manusia yang menghuni di dalamnya, termasuk kepada perempuan. Makna rumah sebagai tempat yang suportif itulah yang perlu dijunjung secara kolektif oleh masyarakat. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan resonansi dalam hal ini? Secara harfiah, ia berarti pengulangan suara. Namun, dalam hal ini, Young lebih mendefinisikannya sebagai “sympathetic vibration of air in certain cavities and bony structures”, dimana kita mendapatkan suatu panggilan yang dapat menstimulasi suatu tindakan. Ketika suara beresonansi, ia menghasilkan getaran, gerakan, dan energi. Ini juga merupakan tujuan menceritakan pengalaman pribadi. Ketika cerita beresonansi, hal tersebut menghasilkan gerakan dengan cara yang terlokalisasi, yaitu dengan membuat kita merefleksikan cerita kita sendiri. Akan tetapi, idealnya, cerita-cerita ini juga menggerakkan kita dengan cara lain. Ketika kita melihat melalui berbagai pengalaman kita tentang struktur yang membatasi dan membebaskan kita, hal ini menggerakkan kita untuk terlibat dalam aksi kolektif (Fergusson, dkk, 2009: 66–68). Young memberikan contoh lanjutan untuk mengilustrasikan resonansi pengalaman dengan menyatakan bahwa ia adalah perempuan kulit putih, kelas menengah, seorang akademisi, seorang ibu, dan maka dari itu, ia dengan perempuan lainnya tidaklah sama karena terdiri atas unsur pengalaman yang berbeda. Dirinya mungkin memiliki pengalaman yang serupa dengan perempuan lainnya yang 28

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

juga berkulit putih, akademisi, dan merupakan seorang ibu dan oleh karenanya, membuat identitas yang mereka miliki dapat menjadi lebih mirip ketimbang membandingkan dirinya dengan perempuan lain, misalnya, dari Asia. Di sini, Young bermaksud membangun argumentasi epistemologis atas kualifikasi pengalaman. Kita tidak dapat mengklaim bahwa kita mengetahui bagaimana semua perempuan mengalami ‘pakaian’ mereka. Namun, kita dapat membuat klaim yang lebih terbatas bahwa kita mengetahui bagaimana semua perempuan yang “berkulit putih, menempati kelas menengah, berprofesi sebagai akademisi profesional, dan merupakan seorang ibu” mengalami ‘pakaian’ mereka. Dengan demikian, klaim Young tentang pengalaman tidak menantang asumsi bahwa pengalaman memberi kita akses menuju pengetahuan, melainkan membuat langkah secara khusus menuju klaim pengetahuan yang dibuat berdasarkan pengalamannya sendiri. Pengalaman tidak mengungkapkan kebenaran, namun sebaliknya, menyatakan bahwa pengalaman adalah bagian dari proses pengungkapan struktur yang membatasi dan membentuk kita sebagai individu yang memiliki pengalaman tertentu. Inilah yang Young sebut sebagai produksi “pengetahuan sosial”. Proses pengungkapan struktur yang membentuk berbagai pengalaman berbeda kita di dunia inilah yang bersifat politis (Fergusson, dkk, 2009: 63–64). Serialitas merujuk pada tingkat dari keberadaan sosial dan hubungan dengan orang lain, suatu tindakan rutin atau kebiasaan yang terikat aturan dan terstruktur secara sosial, tetapi berfungsi sebagai latar belakang pra-reflektif perempuan untuk bertindak. Serialias dijalani sebagai medium atau sebagai lingkungan bagi perempuan, dimana tindakan diarahkan pada tujuan tertentu yang mengandaikan serialitas tanpa benar-benar membawa kesadaran. Maksudnya, perempuan sebagai serialitas adalah suatu relasi/hubungan struktural dengan objek material yang diproduksi dan diorganisir oleh sejarah sebelumnya. Gender, seperti halnya kelas, adalah seperangkat struktur dan objek yang luas, beraneka ragam, berlapis, dan tumpang tindih. Perempuan adalah individu yang diposisikan sebagai feminin oleh PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

29

kegiatan yang mengelilingi struktur dan objek tersebut (Young, 1994: 728). Lebih lanjut, Young (1994) menyatakan bahwa perempuan yang diposisikan oleh struktur-struktur sosial ini, tidak berarti dengan sendirinya menunjuk atribut-atribut apa saja yang menjadi milik perempuan-perempuan yang ada dalam serialitas tersebut. Hal itu termasuk juga tidak mendefinisikan identitasnya. Individu bergerak dan bertindak dalam kaitannya dengan practico-inert2sehingga dapat menyebut dirinya sebagai perempuan atau yang lainnya. Struktur dari practico-inert melakukan generalisasi atas apa yang mungkin dilakukan perempuan dan menciptakan batasan-batasan tindakan, tetapi tidak menentukan dan mendefinisikannya secara pasti. Misalnya, Anisa sebagai seorang perempuan adalah individu yang mengejar keinginannya sendiri untuk belajar filsafat di Uganda. Ia mendapatkan kesenangan dari menonton drama televisi Korea dan mencari nafkah sendiri. Berdasarkan pembagian kerja seksual yang merupakan bagian dari practico-inert yang membentuk batasan tentang apa yang bisa ia lakukan, perempuan pasti mengalami menstruasi dan melahirkan, sehingga Anisa pasti mengambil cuti melahirkan di perusahaannya. Struktur practico-inert dari serialitas gender adalah abstraksi dalam hubungan dengan individu maupun grup, yang tidak mendefinisikan atribut-atribut pasti kepada individu, dan lebih merupakan fakta material sosial dimana masing-masing individu dapat merelevansikan dirinya kepada satu sama lain. Lebih lanjut, Young memberi contoh, ketika ia membaca surat kabar dan mendapati seorang perempuan diperkosa. Ia berempati dan menyadari keberadaan dirinya yang juga “ikut diperkosa”, menjadi objek potensial dari apropriasi laki2  Practico-inert adalah term yang dipopulerkan oleh Sartre yang mengacu pada serialitas yang terjalin oleh tindakan-tindakan yang terkait objek.“Sartre calls the system of practico-inert objects and the material of actions in relation to them that generate and are reproduced by collectives the milieu of action.” Misalnya, dalam hal ini, adalah pengetahuan kolektif pendengar radio dibentuk oleh orientasi individual mereka terhadap objek, dalam hal ini radio, dan materialnya yaitu transmisi suara. Sebagai pendengar, mereka terisolasi, tetapi bagaimanapun, mereka sadar menjadi bagian dari serangkaian pendengar radio (Young, 1994).

30

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

laki. Kesadaran inilah yang pada akhirnya melakukan pertukaran pengalaman hingga membangun relevansi dalam hubungan perempuan satu dengan yang lainnya sebagai yang kolektif (Young, 1994: 730–732). Dengan melakukan serialitas ini, Young bermaksud untuk menolak klaim yang menyamaratakan atribut spesifik yang dimiliki semua perempuan. Lebih jelasnya, ia menolak universalitas yang digunakan dalam mengidentifikasi perempuan. Melalui pengakuan terhadap unsur pengalaman sebagai manifestasi makna, hal tersebut diharapkan dapat merekonstruksi proses pemberian identitas pada perempuan. Pertama, identitas haruslah merujuk pada sesuatu yang dimiliki seseorang dalam arti menuangkan aspek psikologis mereka ke dalamnya secara mengakar. Hal tersebut merupakan makna utama identitas. Kedua, identitas dapat diartikan seperti menganggap diri sendiri sebagai milik kelompok di mana individu dan orang lain dalam kelompok sama-sama mengidentifikasi diri masing-masing, untuk kemudian berkomitmen bersama terhadap serangkaian nilai, praktik, dan makna. Identitas di sini berarti seperangkat makna yang dibagi secara sadar untuk menafsirkan kondisi dan komitmen sebagai seorang perempuan. Oleh karena itu, identitas setiap orang adalah unik. Ia menciptakan sendiri sejarah dan maknanya kemudian dikembangkan melalui hubungannya dengan orang lain, interaksi komunikatifnya melalui media, dan caranya mengambil struktur-struktur serialiatas tertentu. Tidak ada identitas perempuan yang sama karena pengalaman yang dimiliki berbeda-beda. Serialitas ada untuk mengakui pengalaman perempuan sebagai satu identitas kolektif yang dibagi oleh setiap anggota di dalamnya. Identitas seharusnya tidak dipahami melalui apa yang dibatasi oleh pihak eksternal, tetapi dengan mengambil bagian dari makna tersebut. Dengan adanya identitas perempuan yang terbentuk dari serialitas, maka akan sangat mudah untuk menentukan apa yang terbaik dalam mengakomodir kebijakan sosial yang dibutuhkan perempuan. Pada PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

31

bagian selanjutnya akan dijelaskan bagaimana kemudian seharusnya serialitas hadir dalam pengambilan keputusan publik.

B. Analisis Kritis atas Distorsi Pemahaman Identitas Perempuan Pada bagian ini, kita melihat bagaimana pemikiran Iris Marion Young yang berfokus pada narasi partikularitas, serialitas dan pengalaman perempuan menganalisis implementasi beberapa kebijakan di Indonesia. Telah disampaikan pada bagian pendahuluan bahwa kebijakan Affirmative Action dengan kuota 30% sesungguhnya adalah upaya baik yang dimaksudkan untuk memperbaiki ketidaksetaraan struktural yang perempuan alami. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk lepas dari lingkungan yang diskriminatif. Kebijakan ini pertama kali diterapkan pada awal Era Reformasi tahun 2004 di Indonesia dengan mulai direvisinya Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28H Ayat (2) seperti yang telah disebutkan di atas, kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya UU Nomor 12 Tahun 2003. Kebijakan ini dimaknai sebagai suatu kebijakan yang dikeluarkan bagi kelompok tertentu yang dianggap tidak memiliki representasi secara memadai pada posisi-posisi strategis dikarenakan sejarah diskriminasi panjang yang dialaminya. Ani Sutjipto, sebagaimana dikutip oleh Irma Sihite, menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan cara yang efektif membuka pintu bagi perempuan untuk berpartisipasi di arena politik (Sihite, 2011: 25). Kebijakan itu menghasilkan dampak positif dengan membuka ruang partisipasi secara konkret untuk perempuan. Terbukti dengan lahirnya kebijakan ini, terjadi signifikansi perjuangan perempuan Indonesia dikarenakan telah tersedianya wadah aspirasi bagi mereka yang selama ini terpinggirkan. Akan tetapi, yang menjadi masalah, apakah wadah yang tepat ini diimbangi dengan kualitas para politikusnya yang akan mengarah pada penanganan isu perempuan? Kini, semakin banyak perempuan muda yang menjadi figur publik terkenal masuk ke dalam politik. Ini terlihat, misalnya, dengan 32

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

dilantiknya seorang perempuan untuk pertama kalinya sebagai Ketua DPR RI Periode 2019–2024 serta terpilihnya seorang perempuan lainnya dari generasi milenial sebagai Staf Khusus Presiden. Muncul semacam euforia kosong di tengah masyarakat Indonesia yang memuji kehadiran variasi gender di dalam politik. Akan tetapi, euforia ini kemudian menurun seiring dengan menurunnya kinerja Anggota DPR dan ketiadaan gerakan perubahan dari politikus perempuan. Sejauh ini, mereka yang terpilih cenderung hanya mengikuti arus yang ada di parlemen, dan bahkan banyak diantaranya memiliki rekam jejak kehadiran yang tidak baik. Artinya, tujuan awal untuk meningkatkan partisipasi tersebut menjadi sia-sia karena setelah masuk tujuan utama ini terlupakan dan tidak dimanfaatkan dengan baik. Contohnya saja pada catatan presensi minggu pertama setelah DPR RI Periode 2019–2024 dilantik, dari total 711 anggota DPR dan DPD, hanya 376 anggota yang hadir berdasarkan presensi yang dibacakan saat pembukaan sidang. Artinya, sebanyak 335 anggota lainnya tidak hadir dalam sidang paripurna. Meskipun tidak ada data lebih lanjut mengenai absensi berbasis gender, hal ini tetap mengecewakan (Wahyudi, 2019). Memang, salah satu faktor yang menyebabkan hal ini bisa terjadi adalah sistem partai politik di Indonesia yang masih tidak transparan, bahkan tidak berjalan dalam memberikan sekolah kaderisasi terhadap kader-kader perempuannya. Atau justru sistem penjaringannya yang masih buruk dan terkesan mengambil sembarangan saja asalkan memenuhi kuota Affirmative Action serta dapat meningkatkan suara/ kursi untuk partainya. Akan tetapi, jika dilihat kembali, boleh jadi hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman dari kader-kader perempuan tersebut akan identitasnya sendiri. Karena adanya naturalisasi definisi terhadap identitas perempuan, politikus perempuan terjebak pada pemahaman atribut yang mutlak yang dibentuk oleh kuasa negara tentang apa yang harus dimiliki perempuan tanpa melihat kepada pengalaman dan cerita apa yang mereka alami. Negara memberikan definisi bahwa yang disebut perempuan adalah ia yang memiliki ciri-ciri identitas PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

33

seperti; memiliki vagina, seorang ibu, serta memiliki peran utama dan tanggung jawab dalam rumah tangga dan pekerjaan domestik. Hasilnya, program yang ditawarkan oleh para politikus perempuan tidak lebih dari sekadar bagaimana caranya perempuan melakukan wirausaha dari rumah ketimbang melirik kebijakan diskriminatif yang menimpa para pekerja perempuan. Pengalaman perempuan tidak dapat hadir dalam identitas tersebut karena terkungkung di dalam penjara normalisasi. Pengalaman adalah bagian dari proses pengungkapan struktur yang membatasi dan membentuk kita sebagai manusia yang memiliki pengalaman tertentu. Proses mengungkapkan struktur yang membentuk berbagai pengalaman berbeda kita di dunia inilah yang bersifat politis yang seharusnya dibuka ketika perempuan ingin kembali menentukan siapa dirinya dalam identitasnya. Perempuan menjadi asing dengan dirinya sendiri karena makna yang seharusnya termanifestasi pada identitas yang ia pilih dan tentukan menjadi sesuatu yang paralel dengan dirinya. Dalam Politics of Difference (1990), dibanding membangun kebijakan melalui pengalaman atas serialitas yang membentuk perempuan, negara dan politikus perempuan malah membentuk kebijakan berdasarkan definisi perempuan yang telah dinormalisasi. Mereka melakukan hal tersebut dengan cara menciptakan atribut-atribut yang menjadi dasar definisi perempuan. Akibatnya, perempuan sendiri mengalami naturalisasi atas definisi yang ada. Dengan membayangkan sebuah masyarakat di mana hanya ada satu penjelas utama, itu berarti unsur lainnya dianggap tidak memiliki signifikansi sosial. Normalisasi ini diharapkan menyajikan standar kesetaraan dan keadilan yang jelas dan tidak ambigu. Prinsip keadilan bagi mereka adalah sederhana: perlakukan setiap orang sesuai dengan prinsip, aturan, dan standar yang sama. Padahal dengan mengaburkan perbedaan, masalah yang ingin dihadapi malah menjadi kabur dan tidak tepat sasaran (Young, 1990: 158). Kita akan mengambil contoh pada Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah empat tahun 34

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

masuk Prolegnas DPR-RI namun tidak kunjung disahkan. Pada perkembangan terbarunya, RUU PKS terancam keluar dari prolegnas prioritas pada Oktober 2020 (Astuti, 2020) dengan alasan bahwa pembahasan RUU PKS dianggap sulit. Apabila sampai bulan Oktober 2020 masih belum ada rapat pembahasan lebih lanjut, maka RUU tersebut akan resmi dikeluarkan dari Prolegnas. Adapun beberapa poin RUU PKS yang perlu diketahui yakni: (1) Definisi kekerasan seksual yang akan diatur pada Pasal 1 meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemerkosaan dalam perkawinan, pemaksaan prostitusi, perbudakan dan penyiksaan seksual; (2) Tujuan dari RUU PKS yaitu untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku kekerasan seksual, dan menjamin terlaksananya kewajiban negara dan peran dan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual; (3) Cakupan tindak pidana kekerasan seksual. Kekerasan seksual di sini termasuk tindak pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual. Tindakan kekerasan seksual termasuk yang terjadi dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik; dan (4) Merumuskan secara sah mengenai hak korban kekerasan seksual, hak keluarga korban, hak saksi yang dijelaskan pada Pasal 21–39 (Ratmia, 2019). RUU PKS ini merupakan salah satu kebutuhan atau isu yang muncul karena pengalaman perempuan, salah satu bagian daripada identitas perempuan saat ini. Tidak dapat kita hindari bahwa kasus kekerasan seksual dominan dialami oleh perempuan. Pengalaman ini beresonansi antarperempuan dan kemudian membentuk tindakan politis, yakni gerakan politis untuk menuntut diterbitkannya kebijakan yang menangani kasus ini. Cerita-cerita yang beresonansi tersebut bersifat subjektif, maksudnya menjadi alami secara partikular oleh pada level individu PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

35

tetapi terdengar familiar bagi perempuan lain pada level sosial. Karena pengalaman kekerasan seksual ini saling beresonansi, maka terbentuk solidaritas di antara perempuan. Pengalaman pribadi ini kemudian dimunculkan secara publik dengan membentuk gerakan bahkan menuntut lahirnya kebijakan tertentu dengan harapan bahwa hal tersebut akan beresonansi dengan orang lain dan dapat memicu massa untuk terlibat dalam tindakan politik. Kita dapat mengambil contoh spesifik bagaimana kasus Agni di UGM Yogyakarta, seorang mahasiswi yang mengalami victim blaming oleh institusi pendidikan tempat ia bernaung ketika ia mencoba bersuara akan kasus yang menimpanya. Perempuan-perempuan lain kemudian mulai bermunculan untuk menyuarakan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus karena mendapatkan stimulus, empati dan dorongan dari kasus Agni untuk ikut bersuara. Mereka semua kemudian berbondong-bondong membangun koalisi untuk mendukung dan mengambil peran untuk menyuarakan pikirannya dalam gerakan politis, yang kemudian tertuang dalam gelombang aksi massa yang terjadi di beberapa daerah, seperti Jakarta, Malang, dan Jogjakarta. Di sini, kita dapat melihat cerita Agni beresonansi dengan perempuan lain karena adanya kesamaan pengalaman antarperempuan dan hal tersebut menciptakan tindakan politis. RUU PKS sendiri kemudian lahir dari suara-suara serupa, misalnya pada butir awal disebutkan bahwa RUU ini bertujuan untuk melindungi dan memulihkan korban sekaligus menindak pelaku kekerasan seksual. Hal ini ada karena pengalaman perempuan yang awalnya bersifat subyektif dan pribadi dibagikan dan menjalin hubungan simpatik, kemudian bersama-sama sebagai makna kolektif diupayakan sebagai suatu tindakan yang bersifat politis demi tujuan menghilangkan pengalaman tersebut agar tidak ada lagi perempuan yang teropresi oleh suatu budaya patriarki, yakni kekerasan seksual. Akan tetapi, yang kemudian terjadi adalah sebagian besar politikus perempuan tidak benar-benar mendukung dan mengakui identitas dan pengalamannya sendiri. Mereka justru mengabaikannya, 36

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

memilih untuk tunduk pada kekuasaan yang lain, dan akhirnya mengabaikan RUU PKS. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Supratman, Ketua Badan Legislasi DPR RI, yang menyatakan bahwa RUU PKS sangat sulit untuk dibahas karena tidak kunjung mencapai kesepakatan. Maka dari itu, rencananya pada bulan Oktober 2020, RUU PKS yang hadir berkat pengalaman perempuan, akan dikeluarkan dari Prolegnas. Alih-alih memahami dan mendukung pengalaman perempuan, politikus yang ada sekarang dengan mudahnya memiliki pola pikir “jika ini dirasa sulit, maka lebih baik dibuang saja”. Para politisi ini justru semakin menunjukkan dukungannya terhadap normalisasi yang dilakukan oleh negara. Para politisi ini menyetir gagasan awal RUU PKS sebagai kebijakan yang tidak sesuai dengan norma-norma keagamaan dan kesusilaan di masyarakat. Negara menampik ‘cerita’ perempuan sebagai korban kekerasan seksual dengan bertolak dari pandangan patriarki yang balik menyalahkan perempuan sebagai asal-muasal yang memancing syahwat laki laki. Politikus perempuan yang mendukung pemikiran tersebut juga menimpali dengan bergeming dari RUU PKS, yang merupakan bagian daripada identitasnya, dan malah memperparah status quo yang ada dengan memberikan seruan terkait pentingnya menjadi istri dan ibu yang baik serta berbakti pada keluarga. Nilainilai yang dikampanyekan di sini tunduk pada atribut-atribut yang sudah dijelaskan di atas, atribut yang ditunggalkan oleh kekuasaan negara. Contoh kedua adalah dengan dikeluarkannya RUU Ketahanan Keluarga yang berasal dari hegemonisasi makna perempuan yang disebutkan sebelumnya di atas. Seperti yang diutarakan Antonio Gramsci, dalam melanggengkan kekuasaan yang hegemonik, kelompok yang dominan,dalam hal ini negara dan pendukung ideologi patriarki, mengartikulasikan kepentingan sektoralnya sebagai kepentingan umum, dan mengejawantahkannya dalam kepemimpinan moral dan politik, dalam hal ini RUU Ketahanan Keluarga.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

37

RUU Ketahanan Keluarga adalah Rancangan Undang-Undang yang bermaksud untuk mengatur norma kemasyarakatan, utamanya di dalam keluarga, yang dituding telah pudar nilai ketimurannya akibat globalisasi. Masuk ke dalam Prolegnas 2020, RUU ini diinisiasi oleh Sodik Mudhajid dari Fraksi Partai Gerindra, Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, serta Ali Taher dari Fraksi PAN (Prabowo, 2020). Terdapat beberapa pasal yang menuai kontroversi seperti pengaturan peran suami dan istri di rumah, larangan aktivitas seksual yang bernuansa kekerasan (BDSM), dan kewajiban homoseksual untuk lapor diri dan wajib direhabilitasi. Pada pembahasan kali ini kita akan berfokus pada Pasal 25 Huruf K RUU Ketahanan Keluarga mengenai pengaturan peranan suami dan istri di dalam keluarga. Pada Pasal 25 Ayat (2) dan (3), hak dan kewajiban suami-istri jelas berbeda. Dalam hal ini, suami memiliki kewenangan menyelenggarakan resolusi konflik dalam keluarga, sedangkan istri hanya memiliki kewajiban dalam ranah domestik seperti mengurusi urusan rumah tangga dan menjaga keutuhan keluarga (Sari, 2020). Kewajiban Istri termasuk di dalamnya mengurus rumah tangga sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga, serta memperlakukan suami dan anak dengan baik, termasuk dengan memenuhi hak-hak suami sesuai norma agama dan sosial (DPR-RI, 2020: 18). Peran istri, atau lebih luasnya lagi, peran perempuan dalam kehidupan rumah tangga, direduksi menjadi sebatas pada pekerjaan domestik yang malah merupakan tindakan kontraproduktif dan menempatkan posisi perempuan kembali lagi seperti pada Era Gelombang Pertama Feminisme. Di era tersebut, perempuan masih terkungkung pada pemisahan ruang publik-pribadi. Padahal, dengan adanya kebijakan 30%, seharusnya kita sudah telah melampaui kondisi tersebut. Kebijakan di atas adalah salah satu upaya hegemonisasi yang dilakukan negara agar normalisasi ide perempuan dapat terus lestari. Dengan dibentuknya aturan ini, negara sebagai otoritas tertinggi budaya berperan sebagai konstruktor utama. Ketika kebijakan ini 38

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

disahkan, masyarakat akan menjadikannya sebagai patokan utama kebenaran. Nilai-nilai domestifikasi terhadap perempuan ini akan diduplikasi oleh agen-agen sosial tunggal dan kelompok yang pada akhirnya semakin membawa perempuan menuju kondisi yang terpojok. Pengalaman perempuan, alih-alih diakui dan dijadikan dasar penentuan kebijakan yang tepat, justru semakin terabaikan. Negara, dalam hal ini, politikus yang menginisiasi RUU Ketahanan Keluarga, semakin mengecilkan makna perempuan, dan membuang kesempatan yang sebelumnya diberikan sebagai upaya memerangi ketidaksetaraan. Tiga dari lima penyusun RUU ini ialah produk daripada warisan budaya patriarki yang juga telah diusung oleh pemerintahan sebelumnya. Politikus perempuan ini meyakini bahwa normalisasi definisi perempuan semacam ini adalah makna absolut yang terjustifikasi oleh agama yang dianut. RUU Ketahanan Keluarga Pasal 25 Huruf K seperti menampik pengalaman dan kesejarahan perempuan. Pertama, RUU ini hadir seolah-olah untuk menjustifikasi arahan yang diberikan pemerintah dalam mendefinisikan laki-laki dan perempuan. Tidak ada ruang bagi kedua gender untuk memaknai dirinya sendiri. Mereka dipaksa sekadar menerima apa yang diberikan pemerintah. Dalam hal ini, para politisi sebagai pemangku kebijakan. Kedua, RUU ini menolak upaya setiap individu untuk memaknai pengalamannya. Pengalaman dianggap hanya sekadar serangkaian kejadian yang terjadi secara arbitrer di dalam kehidupan manusia tanpa melihat dampak secara mikro atas apa yang dialami oleh masing-masing gender. Pengalaman perempuan sebagai manusia yang telah lama diopresi dalam tatanan budaya yang diskriminatif tidak dianggap berpengaruh dalam menentukan apa yang dianggap baik dan buruk didalam masyarakat. Hal ini terasa seperti menolak perempuan untuk mendapatkan haknya sebagai manusia. Ketiga, RUU ini tidak hanya tidak memiliki urgensi tetapi juga tidak menggubris gerakan politis yang dibangun atas solidaritas pengalaman perempuan. Kumpulan cerita perempuan dinilai tidak cukup berharga untuk kemudian diberikan kesempatan sebagai bahan PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

39

pertimbangan. Ketika pengalaman tidak dianggap, maka hilanglah esensi dari semangat humanisme yang menjadi asas peradaban. Perempuan kembali ditempatkan pada posisi awal mereka di masa yang kelam sebagai seonggok boneka di belakang layar. Sesungguhnya, kehadiran kebijakan Affirmative Action ini sangatlah baik dan merupakan implementasi konkret dari politik perbedaan. Kebijakan ini mendorong kelompok yang termarjinalkan dengan tidak menyamaratakan perlakuan kepada mereka yang termarjinalkan, dalam hal ini perempuan. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan sistem dan cara berpikir yang sama. Meskipun telah muncul kebijakan yang membantu kelompok perempuan berpartisipasi secara politis, pola pikir yang masih tertanam dalam setiap politikus masih dibatasi oleh definisi yang beredar. Definisi tersebut mendiskreditkan identitas perempuan dengan menerbitkan serangkaian atribut yang menjadi penjelas utama tentang siapa itu perempuan. Hal ini yang sebenarnya ingin disoroti oleh artikel ini. Ada semacam pola pikir aneh yang berkontradiksi di dalam penerbitan dan implementasi kebijakan ini di Indonesia. Dari pembahasan kedua Rancangan Undang Undang di atas sebagai contoh, kita dapat melihat bahwa kebijakan Affirmative Action tidak akan sesuai dengan tujuan awalnya jika belum ada dekonstruksi pola pikir patriarki di kepemimpinan politik ataupun negara secara umum. Para kader perempuan seharusnya dibekali dengan pengetahuan yang holistik dan tidak memihak pada arus utama serta serius dalam memperjuangkan dirinya sebagai bagian dari serialitas perempuan. Akan tetapi, tampaknya cara pikir ini belum sampai pada perwakilan politis perempuan di Indonesia. Di luar kontestasi pertarungan kekuasaan, kehadiran politisi perempuan masih belum menyumbangkan perbedaan dan seringkali malah terlupakan. Hal ini perlahan akan membuka situasi kelesuan yang berujung pada menurunnya angka kepercayaan publik dan partisipasi politik perempuan. Melalui permasalahan di atas, kita juga dapat melihat posisi negara sebagai organisasi tertinggi yang memegang kekuasaan 40

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

harusnya dapat memfasilitasi kebutuhan dan keluhan masyarakat yang sebenar-benarnya. Dengan berpatokan pada pengalaman, negara harusnya telah memiliki wawasan dan sensitivitas terhadap isu perempuan maupun kelompok lainnya yang terdiskriminasi. Identitas seharusnya dibentuk dari diri sendiri dan pengalamannya dengan yang eksternal seharusnya dirangkul dan diakui sebagai bagian yang khas dan esensial. Negara yang seharusnya berdiri sebagai fasilitator malah mengintervensi dengan seolah-olah menciptakan definisi baku dan berupaya “menggunting” pengalaman-pengalaman yang ada. Negara yang dikontrol oleh representasi pejabat publik seolah acuh untuk melihat langsung kepada realitas, dan malah menciptakan polemik baru. Kader-kader politik perempuan yang kini berlaga di arena politik juga masih banyak yang belum memiliki perubahan pola pikir dengan menampik pengalaman/identitas perempuan yang sebenarnya dan secara tidak sadar kian merepresi kaumnya sendiri. Oleh karena itu, perlu ada dekonstruksi pola pikir dari implementasi politik ini. Perlu juga adanya penggerakan massa yang terbentuk dari serialitas gender daripada kelompok perempuan untuk bersama-sama mengumpulkan pengalamannya yang saling beresonansi dan melakukan perebutan kekuasaan demi merebut klaim atas diri mereka yang seutuhnya. Dengan kata lain, penyatuan gerakan perempuan yang masif untuk merebut klaim atas makna diri mereka seutuhnya.

Kesimpulan Identitas perempuan Indonesia terjebak dalam proses politik yang tidak melibatkan pengalamannya akibat normalisasi yang didominasi patriarki. Dari pengalaman yang beresonansi dengan perempuan yang lain dan membentuk semacam perasaan empati dan solidaritas, kemudian terbentuklah makna yang masuk ke dalam identitas dan tindakan politis yang kolektif. PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

41

Kebijakan Affirmative Action di Indonesia memang memiliki dampak positif, akan tetapi tidak berarti kebijakan ini tidak menimbulkan masalah sama sekali. Kebijakan ini pada praktiknya tidak benar benar menyaring kualitas daripada perwakilan kelompok yang termarjinalkan. Maka dari itu, redefinisi dibutuhkan untuk tidak hanya memberikan kesempatan bagi perempuan untuk masuk ke dalam kontestasi politik tetapi juga secara bebas merangkul pengalamannya dan membebaskannya secara utuh dari diskriminasi yang secara halus masih dialami. Singkatnya, perempuan harus menentukan sendiri siapa dirinya. Berdasarkan tulisan ini, penulis merefleksikan bahwa serialitas pengalaman haruslah diterapkan dalam lini terkecil kehidupan bermasyarakat. Misalnya, pengalaman penulis sebagai mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi menunjukkan bahwa rekognisi atas pengalaman seseorang dapat berdampak vital dalam pengambilan keputusan. Ketika terdapat satu mahasiswi yang menceritakan pengalamannya karena mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari salah seorang tenaga pengajar, maka segenap mahasiswi lain yang ada di rapat tersebut bersimpati dan dapat membayangkan kepahitan dalam ceritanya karena pengalaman mereka beresonansi satu sama lain. Mahasiswa lainnya juga membangun solidaritas dengan mendengarkan dan menghormati kepingan cerita yang terbagi itu. Kemudian terbentuklah aliansi yang akhirnya mengeluarkan keputusan politik atas nama organisasi untuk dibawa pada peristiwa politik, misalnya pada pemilihan rektor universitas. Akhirnya, sepotong pengalaman tersebut berubah menjadi gerakan politik, persis seperti tujuan terakhir serialitas yang digagas oleh Young. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pejabat publik dalam menentukan kebijakan yang tepat untuk perempuan dan menyumbang pandangan baru terhadap studi feminisme di Indonesia tentang bagaimana pengalaman seharusnya menjadi dasar utama gerakan perempuan. Penulis berharap akan ada tulisan lain yang dapat meneruskan penelitian ini, dengan mengangkat 42

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

posisi pro-kontra atau memprediksi kemungkinan masalah lain yang bisa terjadi pasca negara mengakui pengalaman perempuan dan perempuan berhasil melakukan redefinisi identitas politiknya. Pada tulisan ini, tema yang diangkat adalah tema politik dan identitas. Akan sangat menarik jika ide tulisan ini dibahas dalam sisi kebudayaan dan media, terutama tentang bagaimana media mengemas standar “ke-perempuan-an” yang tidak berbeda jauh dengan negara. Terakhir, dengan adanya kesempatan bagi perempuan untuk masuk ke dalam politik, maka hal tersebut dapat pula memberikan kebebasan dalam menentukan identitas serta keputusan apa yang terbaik untuk diri dan kaumnya, bukan hanya terjebak sebagai clone of male politicians. Dengan merajut keseimbangan yang harmonis dan kontribusi yang positif, diharapkan akan terbentuk suatu kondisi politik dan bernegara yang lebih ramah gender dan bebas dari diskriminasi.

Daftar Pustaka Buku

Beauvoir, S. d. (2016). Second Sex. Yogyakarta: Pustaka Promethea. Fergusson, A., & Nagel, M. (2009). Dancing With Iris: The Philosophy of Iris Marion Young. Oxford: Oxford University Press. Young, I. M. (1990). Justice and Politics of Differance. New Jersey: Princeton University Press. Young, I. M. (1994). Gender as Seriality: Thinking about Women as a Social Collective. The University of Chicago Journals, Signs, Vol. 19, No. 3, 713-738. Young, I. M., Appiah, K., Benhabib, S., & Fraser, N. (2004). Justice, Governance, Cosmopolitanism, and The Politics of Different. Berlin: Engelbert Habekost.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

43

Skripsi/Tesis/Jurnal Ilmiah Andayani, A. R. (2009). Pencapaian Identitas Perempuan dalam sistem politik baru. SkripsiUniversitas Indonesia. Casals, N. T., Boran, I., & Young, I. M. (2008). Interview with Iris Marion Young. Hypatia, Vol. 23, No. 3, In Honor of Iris Marion Young: Theorist and Practitionerof Justice, 173-181. Deleon, R., & Naff, K. (2003). Identity Politics and Local Political Culture The Politics of Gender, Race, Class and Religion. American Political Science Association, 5-7. Partini. (2014). Partisipasi Politik Perempuan Dalam Praktik Kewarganegaraan di Indonesia. Jurnal Perempuan Vol.19 No.2, 29-44. Sihite, I. L. (2011). Penerapan Affirmative Action. Tesis Universitas Indonesia, 1-132. Weir, A. (2008). Home and Identity: In Memory of Iris Marion Young. Hypatia, Vol. 23, No. 3, In Honor of Iris Marion Young: Theorist and Practitionerof Justice, 4-21. Artikel Daring Astuti, N.R. (2020, June 30). Baleg DPR Minta Ada RUU Ditarik dari Prolegnas Prioritas,Termasuk RUU P-KS. Retrieved June 30, 2020, dari Detik:https://news.detik.com/berita/d-5074127/balegdpr-minta-ada-ruu-ditarik-dari-prolegnas-prioritas-termasukruu-p-ks DPR-RI. (2020, February). RUU Ketahanan Keluarga. Dipetik April 24, 2020, dari DPR-RI.go.id. Mulyono, I. (2010, February 2). Dokumen DPR RI Makalah Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan. Retrieved October 11, 2019, from DPR RI: http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/ makalah_STRATEGI_MENINGKATKAN_KETERWAKILAN_ PEREMPUAN__Oleh-_Ignatius_Mulyono.pdf 44

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Prabowo, H. (2020, February 24). RUU Ketahanan Keluarga: Warisan Orde Baru yang Harus Dicabut. Dipetik March 23, 2020, dari Tirto: https://tirto.id/ruu-ketahanan-keluarga-warisan-ordebaru-yang-harus-dicabut-eApr Ratmia, D. (2019, February 13). Hal-Hal yang perlu diperhatikan dari RUU PKS. Dipetik November 18, 2019, dari Kumparan: https://kump aran.com/kump aranst y le/ha l-ha l-yangperlu-diketahui-tentang-ruu-penghapusan-kekerasanseksual-1550050688179490092 Sari, H. P. (2020, February 22). 3 Poin Dalam RUU Ketahanan Keluarga yang Tuai Kritik. Dipetik April 23, 2020, dari Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2020/02/27/05582961/3poin-dalam-ruu-ketahanan-keluarga-yang-tuai-kritik?page=2 Setiansah, M., Udasmoro, W., & Noviani, R. (2015). Politik Identitas Perempuan Pengguna Smartphone: Negosiasi, Apropriasi dan Resistensi Perempuan Dalam Dunia Serba Ambivalen. Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 13, Nomor 2, 183-192.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

45

46

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia sebagai Kelompok Fundamentalis pada 2012 – 2017 oleh Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum. dan Kartina Rosa

Pendahuluan Gerakan Islam selalu distereotipkan dengan gerakan patriarkis yang melibatkan partisipasi perempuan pada urutan nomor dua setelah laki-laki. Sebuah stereotip yang kemudian digunakan Barat sebagai objek dalam percontohan kelompok yang mempunyai kebutuhan akan gerakan feminisme sebagai akibat praktik pengekangan kebebasan perempuan. Stereotip ini pula yang kemudian digunakan oleh kelompok-kelompok fundamentalis sebagai latar belakang aktivitas mereka dalam memanifestasikan narasi tandingan yang dibuatnya. Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia sama halnya dengan perempuan di kelompok lain. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama di masyarakat. Pembeda atau ciri khas dari perempuan 47

Hizbut Tahrir Indonesia secara kasat mata mudah dikenali melalui gaya berbusananya. Mereka identik dengan penggunaan jilbab lebar dan panjang serta setelan gamis atau jubah longgar. Pada beberapa kesempatan seperti demonstrasi, aksi, dan kampanye, mereka kerap menggunakan busana yang sama dalam hal warna dan modelnya. Gaya berbusana yang tertutup ini kerap distereotipkan oleh Barat sebagai simbol pengekangan perempuan dalam berekspresi. Dalam hal ini, peneliti menemukan hal yang menarik dari aktivitas berekspresi perempuan Hizbut Tahrir Indonesia yang dimanifestasikan dalam bentuk demonstrasi, aksi, dan kampanye. Baju kurung rupanya tidak mengurangi hak berpendapat dan kebebasan mereka dalam menyampaikan aspirasinya dengan cara berteriak, menyanyikan yel-yel, dan berorasi. Kondisi tersebut mendorong peneliti untuk mendefinisikan kembali fundamentalisme Hizbut Tahrir Indonesia. Kemudian menelaahnya lebih dalam mengenai pandangan dan peran politik perempuan Hizbut Tahrir Indonesia khususnya pada tahun 2012–2017. Metode yang digunakan dalam artikel ini yaitu metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Basis datanya adalah library research. Pendekatan penelitian tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa penelitian kualitatif menjelaskan suatu fenomena melalui pengumpulan data yang akan menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam tentang pokok permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini. Penulis menerapkan metode analisis penelitian secara deskriptif analitis untuk menganalisis data. Deskriptif analitis adalah metode dengan menggambarkan hal-hal yang menjadi objek penelitian sehingga diharapkan mampu menjawab pokok permasalahan yang diangkat. Proses ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Muhammad Idrus, 2009: 148). Artikel ini menggunakan teori Agus Maftah (Abegebriel dan Syitaba, 2004: 506-507) yang menyebutkan ciri-ciri umum dari fundamentalisme Islam ialah: (a) gerakan-gerakan Islam yang 48

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

secara politik menjadikan Islam sebagai ideologi dan secara budaya menjadikan Barat sebagai the others; (b) memiliki prinsip yang mengarah pada paham perlawanan (oppotionalisme); (c) penolakan terhadap hermeneutika karena pemahaman Al-Qur’an sepenuhnya adalah skriptualistik; (d) dan secara epistemologis, dalam wilayah gerakan sosial-politik menolak pluralisme dan relativisme; serta (e) penolakan perkembangan historis dan sosiologis, karena dalam pandangan mereka, “umat manusia yang tengah melakukan aktivitas sejarah di dunia harus menyesuaikan diri dengan teks Al-Qur’an, bukan sebaliknya”.

Hasil dan Pembahasan A. Sejarah Hizbut Tahrir Indonesia Hizbut Tahrir didirikan oleh Taqiyudin al-Nabhani di Palestina pada 1953. Al-Nabhani mengkritik gerakan Pan-Islamisme dan Pan-Arabisme yang dianggapnya sebagai “polemik bertele-tele tanpa membuahkan kesimpulan dan hasil”. Selain itu, al-Nabhani sebelumnya pernah aktif di Ikhwanul Muslimin Yordania. Kurniawan Abdullah dalam tesisnya untuk UI (2004) menyampaikan, Abdul Qadim Zallum, imam kedua Hizbut Tahrir, mengajukan gagasan pada 1950-an, yaitu umat Islam sedunia perlu konsep pemerintahan yang layak untuk mengatasi persoalan-persoalan era kontemporer. Kemudian didirikanlah partai politik independen sebagai upaya yang ia lakukan dan kelompoknya dalam memperjuangkan gagasan dan konsep pemerintahannya (Kumparan, 2017). Pada awalnya, Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik ideologis berlandaskan Islam yang gerakannya berdasar pada klaim keharusan untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah. Sebagaimana disebutkan dalam buku “Struktur Negara Khilafah; Pemerintahan dan Administratif ”, menyebutkan bahwa Sistem Pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan alam semesta adalah sistem Khilafah. (Tahrir, Hizbut, 2006: 14). PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

49

Hizbut Tahrir yang pada mulanya hanya di Yordania, kemudian meluas ke seantero Timur Tengah hingga negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Organisasi ini lahir dengan beberapa agenda besar yang bertujuan untuk membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang sangat parah; membebaskan umat dari ideide, sistem perundang-undangan, dan hukum yang dianggap kufur; serta membebaskan masyarakat Islam dari dominasi negara-negara kafir. Hizbut Tahrir mengusung ide Pan-Islamisme yang bertujuan mengembalikan supremasi Islam pada abad pertengahan. Hal itu kemudian dimanifestasikan dengan upaya mendirikan sistem Khilafah dan penegakan syariat Islam secara global dengan menghilangkan batasan-batasan negara, dengan kata lain mengagendakan pemerintahan yang terpusat dari seluruh dunia. Sebelumnya, gerakan serupa Hizbut Tahrir Indonesia yang memiliki tujuan untuk membentuk daulah Islamiyah atau negara Islam sudah pernah ada di Indonesia, yaitu gerakan separatisme DI/TII oleh Kartosuwiryo dan gerakan NII. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah gerakan Hizbut Tahrir Indonesia tidaklah sama dengan gerakan daulah Islamiyah sebelumnya. Jika DI/TII dan NII masih menganggap adanya batasan negara dalam hal ini, tidak demikian dengan Hizbut Tahrir Indonesia. Hal itu juga yang kemudian menjadi semangat Hizbut Tahrir dalam menyebarkan pemikirannya ke seluruh dunia. Bermula dari negara-negara Arab, kemudian meluas ke negaranegara Islam lainnya, hingga negara-negara dengan muslim sebagai minoritas (WAMY, 2002). Karakteristik yang khas dari Hizbut Tahrir adalah konsentrasinya yang sangat besar terhadap aspek keilmuan dan menjadikannya sebagai landasan pembentukan pribadi muslim dan umat Islam. Selain itu, Hizbut Tahrir juga memiliki konsentrasi pada pengembalian kepercayaan terhadap Islam melalui aktivitas keilmuan dan jalur politik. Jalur politik yang dilakukan adalah perumusan dan periwayatan kembali segala peristiwa yang pernah dilalui umat Islam dengan tetap mengaitkannya dengan hukum-hukum Islam. Upaya ini diharapkan mampu menarik simpati dan kepercayaan dalam jumlah yang besar. 50

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Kemudian, pada kesempatan lainnya, banyak pihak menjadikan upaya jalur politik tersebut sebagai legitimasi atas justifikasi terhadap Hizbut Tahrir sebagai kelompok fundamentalis. Kelahiran Hizbut Tahrir Indonesia dipelopori oleh beberapa orang anggota dan simpatisan yang telah bersentuhan secara langsung dengan gerakan ini di Timur Tengah. Oleh karena itu, banyak sistem yang diadopsi mentah-mentah dari Timur Tengah, mulai dari nama kelompok, bentuk, doktrin, ideologi, sampai dengan metode gerakannya. Hizbut Tahrir Indonesia juga terintegrasi secara global dengan jaringan Hizbut Tahrir Internasional dan bertanggung jawab langsung kepada Pengurus Pusat Hizbut Tahrir di Yordania (Rahmat, 2005: 162). Sudarno Shobron dalam artikelnya, “Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia” (2014), menyebutkan bahwa Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1983. Proses masuk itu dibawa oleh Abdurrahman al-Baghdadi, seorang mubaligh sekaligus aktivis Hizbut Tahrir dari Australia yang berasal dari Yordania. Pada tahun 1980-an, KH. Abdullah bin Nuh, pendiri pondok pesantren Al-Ghazali Bogor, mengajak al-Baghdadi untuk tinggal di Indonesia dan mengajar di pesantren tersebut. Sejak saat itu lah, safari dakwah berlangsung untuk memperkenalkan Hizbut Tahrir ke pelbagai pesantren dan kampus. Pergerakan ini semakin meluas ke masjid kampus IPB. Kemudian, berkembang menjadi halakah-halakah untuk mendalami gagasan Hizbut Tahrir. Ketika Orde Baru berkuasa, aktivitas Hizbut Tahrir menjadi gerakan ‘bawah tanah’. Era Reformasi semakin membuka kesempatan Hizbut Tahrir untuk menunjukkan eksistensinya. Pada tahun 2000, Hizbut Tahrir Indonesia, selanjutnya disebut Hizbut Tahrir Indonesia, membuat acara fenomenal yakni Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah yang dihadiri oleh 5000 peserta di Senayan, Jakarta. Kemudian, dalam sidang tahunan MPR-RI 2002, Hizbut Tahrir Indonesia menyampaikan tuntutan penerapan syariat Islam. Pada 29 Februari 2004, Hizbut Tahrir Indonesia mengerahkan massa berjumlah 20 ribu orang dari Monas hingga sekitar Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

51

Mereka menyuarakan dukungan bagi penegakan syariat Islam dan sistem Khilafah di Indonesia. (Rizqa, 2017). Berbeda dengan negara asalnya, di Indonesia, Hizbut Tahrir berbentuk organisasi masyarakat berbadan hukum. Secara umum, Hizbut Tahrir maupun Hizbut Tahrir Indonesia memiliki karakteristik sebagai berikut: (Nashir, 2007: 409–411): 1. Latar belakang berdirinya adalah seruan amar ma’ruf nahi munkar; 2. Misi utamanya adalah terbentuknya daulah Islamiyah dengan bentuk Khilafah Islam secara transnasional; 3. Anggotanya merupakan orang-orang yang bersedia terhimpun dalam sistem Islam tanpa batasan ras, golongan, keturunan, bangsa, maupun mazhab tertentu; 4. Aktivitasnya bersifat politik; 5. Wilayah persebarannya adalah negeri-negeri Islam; 6. berlandaskan Qur’an, Sunah, Ijmak, dan Qiyas; 7. Metode dakwah yang diterapkan mengikuti Rasulullah Saw. dengan tahapan pembinaan dan pengkaderan, berinteraksi, penerimaan kekuasaan; dan 8. Pemikirannya berlandaskan pada pemikiran Islam (Nashir, 2007).

B. Epistemologi dan Fundamentalisme Hizbut Tahrir Indonesia Epistemologi merupakan salah satu cabang kajian dalam filsafat ilmu yang secara spesifik diartikan oleh Jujun Suriasumantri sebagai bidang kajian yang membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha memperoleh pengetahuan (Suriasumantri, 1998). Selanjutnya, hal ini akan berkaitan dengan proses Hizbut Tahrir Indonesia dalam memahami dan memperoleh pengetahuan terhadap ajaran Islam, khususnya terkait perempuan dan perannya. Dalam pandangan Taqiyuddin an-Nabhani, penafsiran terhadap syariat Islam tidak seharusnya melakukan penyesuaian teks Qur’an dengan perkembangan ruang dan waktu. Lebih lanjut, ia menjelaskan 52

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

seharusnya masyarakatlah yang diubah agar sesuai dengan syariat Islam, bukan sebaliknya. Hal ini dipertegas dengan adanya sikap penolakan terhadap hukum yang harus bersesuaian dengan perubahan zaman dan adat istiadat. Menurut Hizbut Tahrir, dalam Islam, teks Qur’an merupakan sumber-sumber hukum yang dengannya realitas disesuaikan. Dengan kata lain, hukum-hukum syariat tidak bisa berubah meskipun realitas mengalami perubahan. Karena alasan itu pula Hizbut Tahrir menolak perbedaan budaya bisa dijadikan faktor determinan yang dapat mengubah hukum-hukum Islam. Bagi Hizbut Tahrir, budaya tidak memiliki kekuatan untuk mengubah hukum karena ‘illah (motif diberlakukan hukum) dan sumber hukum. Lebih lanjut, menurut Hizbut Tahrir, banyak produk budaya yang justru bertentangan dengan syariat Islam (Tahrir, 2002). Menurut an-Nabhani, waktu dan tempat bukan sesuatu yang patut dipertimbangkan, begitu pula halnya dengan alasan mendatangkan maslahah dan menolak mafsadah. Berdasarkan hal ini, maka hukumhukum syariat tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Begitu juga dengan tradisi dan adat istiadat manusia yang tidak bisa mempengaruhi perubahan hukum karena tradisi bukanlah hukum Allah dan bukan dasar suatu hukum. Tradisi adakalanya bertentangan dengan syariat, adakalanya juga tidak. Apabila bertentangan, maka syariat yang seharusnya menghapus dan mengubahnya. Sebab salah satu fungsi syariat adalah untuk mengubah tradisi dan adat istiadat yang rusak sebagai penyebab rusaknya masyarakat. Inilah yang menyebabkan tradisi dan adat istiadat tidak bisa dijadikan dasar maupun ‘illah hukum syariat. Dalil hukum syariat yang berasal dari teks Qur’an maupun Sunah bertujuan untuk mengatasi setiap permasalahan baru yang terjadi di masyarakat. Lebih lanjut, syariat Islam dalam hal ini menetapkan untuk mengikuti makna-makna dari teks tersebut, bukan terbatas pada teks itu sendiri. Sebagai konsekuensi dari pandangan itu, Hizbut Tahrir dengan hati-hati memanfaatkan prinsip kemaslahatan yang sering digunakan sebagai pijakan dalam menentukan hukum suatu PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

53

persoalan. Adapun asumsi syarat nilai tersebut yang kemudian dijadikan dasar pertimbangan utama yang digunakan oleh Hizbut Tahrir dalam menentukan kemaslahatan suatu perkara tetap syariat, bukan akal. Alasannya, Hizbut Tahrir meragukan kemampuan akal dalam menentukan substansi kemaslahatan. Menurutnya, hanya Allah yang dapat menentukan permasalahannya. Sedikit argumentasi di atas dapat memunculkan benang merah bahwa yang menjadikan pertimbangan hukum bukanlah realitas yang pada gilirannya menjadikan produk hukum berubah-ubah dari waktu ke waktu dan berbeda-beda antara satu tempat ke tempat yang lainnya, melainkan dengan syariat realitas harus disesuaikan. Sampai di sini, dapat dikatakan pola epistemologi Hizbut Tahrir adalah membuang jauh-jauh kezamanan dalam memproduksi hukum, baik sosio-historis yang melingkupi teks Qur’an maupun sosio-historis penafsir sebagai wadah artikulasi subjektivitasnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fundamental bermakna bersifat dasar (pokok); mendasar. Sedangkan fundamentalis diartikan sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci. Karakteristik-karakteristik yang menjadi platform gerakan Islam fundamentalis di antaranya sebagai berikut ini: cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama dan menolak pemahaman kontekstual atas teks agama karena pemahaman seperti ini dianggap akan mereduksi kesucian agama; menolak pluralisme dan relativisme; memonopoli kebenaran atas tafsir agama; setiap gerakan fundamentalisme hampir selalu dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusivisme, intoleran, radikalisme, dan militanisme (Ratnasari, 2010). Berdasarkan karakteristik-karakteristik yang menjadi platform gerakan fundamentalis di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia menjadi bagian dari kelompok Islam Fundamentalis di Indonesia. Berikut landasan ideologis yang ditemukan di Hizbut Tahrir Indonesia (Ratnasari, 2010). 54

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Pertama, konsep Din wa Daulah (agama dan negara). Dalam konsep ini, Islam dipahami sebagai sistem hidup keseluruhan, yang secara universal dapat diterapkan pada semua keadaan, waktu, dan tempat. Pemisahan antara agama (din) dan negara (daulah) tidak dapat diterima oleh kelompok fundamentalis sehingga agama dan negara dipahami secara integralistik. Kedua, mereka ingin kembali kepada Qur’an dan Sunah. Dalam konsepsi ini, umat Islam diperintahkan untuk kembali kepada akarakar Islam awal dan praktik Nabi Saw. yang puritan dalam mencari keaslian (otentisitas) dan pembaruan. Jika umat Islam tidak mengikuti para pendahulu mereka, maka mereka niscaya tidak akan selamat. Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai dan budaya dari Barat ditolak karena dianggap sebagai sesuatu yang asing bagi Islam. Oleh karena itu, media massa diupayakan untuk menyebarkan nilai-nilai dan praktik Islam yang otentik ketimbang menyebarkan pengaruh-pengaruh budaya asing sekuler. Keempat, berpegang teguh pada kedaulatan syariat Islam. Tujuan utama umat Islam adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi ini. Tujuan ini bisa dicapai dengan membangun tatanan Islam (Nizham al-Islam) yang mampu memposisikan syariat sebagai Undang-Undang tertinggi. Dari pemahaman ini, maka agenda formalisasi syariat Islam menjadi entry point bagi terbentuknya negara Islam sehingga syariat Islam benar-benar dapat diberlakukan. Kelima, menempatkan jihad sebagai instrumen gerakan. Umat Islam diperintahkan untuk membangun masyarakat ideal berawal dari rumah tangga sebagaimana telah digariskan dan sesuai dengan syariat Islam. Keenam, perlawanan terhadap Barat yang hegemonik dan menentang keterlibatan Barat dalam urusan bernegara Islam, seperti yang terjadi di Irak, Libya, Bosnia, Afghanistan, dan Palestina. Mereka merasa harus mendeklarasikan perlawanannya terhadap Barat karena umat Islam sudah diperlakukan dengan tidak adil, baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Dominasi Barat atas negara Islam tidak PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

55

dalam kapasitas saling bekerja sama melainkan memojokkan dan memusuhi. Pada gilirannya, ketidakadilan Barat dilawan dengan aksiaksi kekerasan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Selain itu, berikut beberapa catatan yang menyebabkan kaum fundamentalis dapat dikatakan memperlihatkan sikap yang kurang baik, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, beragama dengan rigid dan literalis. Kaum fundamentalis lebih menekankan simbol-simbol keagamaan daripada substansinya. Bagi kalangan modernis, yang penting adalah agar prinsip-prinsip, cita-cita, dan roh Islam dapat menjiwai kehidupan masyarakat dan negara, bukan mengutamakan simbol, sebagaimana yang dipegang teguh kaum fundamentalis. Kedua, sikap dan pandangan yang eksklusif, yaitu pandangan yang membenarkan diri sendiri saja. Akibatnya, mereka cenderung tertutup dan tidak terbuka dalam menerima pandangan yang berbeda sehingga sulit untuk berdialog. Ketiga, menyikapi produk sosial dan budaya modern dengan sikap konservatif dan tidak mau menerima. Oleh karena itu, justru mengesankan kehidupan mereka yang kolot dan nyeleneh. Keempat, dari segi bentuk dan sifat gerakannya. Mereka cenderung memaksakan kehendak dengan menggunakan berbagai cara termasuk cara-cara kekerasan. Oleh karena itu, mereka seringkali dianggap sebagai kelompok gerakan radikal, fanatik, dan sebagainya. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir Indonesia tidak sampai berlaku demikian (Ratnasari, 2010).

C. Pandangan dan Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia Peran politik perempuan Hizbut Tahrir tentunya tidak terlepas dari pemikiran dan doktrin yang dipercayainya. Dalam sebuah cuplikan video yang dibawakan oleh Dr. Nazreen Nawaz, Direktur Media Muslimah Kantor Pusat Hizbut Tahrir, ia menyebutkan bahwa peran 56

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

politik perempuan Hizbut Tahrir berada di tengah masyarakat dalam bentuk dakwah dan syiar. Ia juga menambahkan bahwa tidak ada perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki dalam berdakwah tersebut. Dakwah itu dilakukan melalui berbagai metode untuk menyebarkan paham dan konsep khilafah kepada masyarakat. Mulai dari dakwah di rumah-rumah, masjid, sekolah, sampai dengan parlemen (Tahrir, 2013). Dakwah yang dilakukan terdiri dari muatan-muatan yang kerap dijadikan pilihan untuk dikampanyekan, antara lain berisi kritikan dan tuntutan untuk pemerintah yang dianggap zalim, tidak adil, dan melakukan aktivitas korup. Agenda dakwah mereka terdiri dari aktivitas dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dakwah menyebarkan konsep khilafah, dan dakwah yang berisikan diskusi ideologis bersama aktivis perempuan dan paham lainnya. Perempuan Hizbut Tahrir termasuk di dalamnya Hizbut Tahrir Indonesia kerap melakukan aktivitas berdakwah dalam bentuk pengadaan ruang berdiskusi seperti talkshow, seminar, konferensi, dan syiar-syiar dari masjid, sekolah, sampai rumah-rumah. Selain itu, mereka juga aktif dalam memproduksi tulisan-tulisan dalam bentuk selebaran, majalah, buku, dan kontak media secara rutin. Seperti buletin “al-Wa’ie” yang terbit setiap bulan. Mereka juga tak jarang terlibat dalam debat-debat ideologis bersama aktivis perempuan dari berbagai latar belakang ideologis yang berbeda. Selain itu, di negara yang mengidentitaskan Hizbut Tahrir sebagai partai politik, kerap menampilkan tokoh perempuan yang menjadi anggotanya untuk dijadikan juru bicara perempuan bahkan anggota komite eksekutif. Di Indonesia, yang mana Hizbut Tahrir diidentitaskan sebagai ormas, kerap melibatkan anggota perempuannya untuk berpartisipasi sebagai penanggung jawab aksi dan demonstrasi di lapangan. Mereka juga kerap terlibat dalam perang pemikiran bersama paham-paham lain. Isu-isu yang banyak diangkat antara lain tanggapan dan pandangan tentang kepemimpinan perempuan, gender, feminisme, HAM, dan beberapa isu tren global lainnya. Hizbut Tahrir Indonesia PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

57

juga kerap melakukan kritik terhadap terminologi-terminologi Barat. Mereka beranggapan bahwa terminologi yang berasal dari Barat tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa kritik yang dilontarkan antara lain terhadap konsep gender dan feminisme. Menurut Hizbut Tahrir Indonesia, gagasan kesetaraan gender adalah sebuah konspirasi kelanjutan dari upaya menghapuskan peradaban Islam dan mencegah kebangkitannya kembali melalui penghancuran keluarga-keluarga muslim. Konsep kesetaraan gender yang kerap menginterpretasikan syariat Islam sebagai bentuk pemaksaan, pembatasan, dan pembedaan gender sehingga mengurangi jaminan rasa aman bagi perempuan menjadi latar belakang Hizbut Tahrir Indonesia konsisten dalam menentangnya. Di balik opini kesetaraan gender tersebut, tersimpan bahaya besar bagi eksistensi keluarga dan masyarakat muslim. Isu ini dipercayai oleh Hizbut Tahrir Indonesia sebagai konspirasi Barat yang bertujuan untuk menghancurkan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus menghapuskan peran keibuan yang menjadi tulang punggung lahirnya generasi muslim yang berkualitas. Oleh karena itu, semua agenda kesetaraan gender ini menurut Hizbut Tahrir Indonesia harus diwaspadai. Menurut Hizbut Tahrir, wacana kesetaraan gender tidak bisa diterima karena tidak ditemukan landasan kuat dalam Qur’an dan Sunah. Sebagai kelompok fundamentalis, Hizbut Tahrir kerap menggunakan tafsiran tekstual yang mengacu pada Qur’an dan Sunah saja tanpa mengindahkan tafsiran kontekstual yang mengacu pada kesejarahan. Pemahaman yang tekstual atau literal tersebut berasal dari pandangan untuk selalu memegang teguh ajaran fundamental agama yang mana akan tereduksi jika ditafsirkan kontekstualis. Oleh karenanya, dalil yang berasal dari Qur’an dan Sunah yang berkenaan dengan relasi antara perempuan dan lelaki dipahami apa adanya, tanpa mempertimbangkan sisi historis pada saat dalil tersebut diwahyukan. Padahal, dalil-dalil tersebut diwahyukan untuk menjawab persoalan umat pada saat itu, khususnya yang berkenaan dengan perempuan yang sekaligus merespons kondisi sosial masyarakat Arab. 58

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Pemahaman yang demikian membawa tafsiran yang nampak sangat bias terhadap laki-laki. Sedangkan pada realitasnya, pemahaman tekstualis atau literalis terhadap Qur’an dan Sunah sangat sarat akan nilai. Realitasnya, Qur’an dan Sunah kini berkedudukan sebagai objek yang mana manusia adalah subjeknya. Dalam hal ini, kecenderungan manusia sebagai subjek akan memunculkan subjektivitas terhadap objek tersebut sehingga pemahaman terhadap Qur.an dan Sunah itu menjadi tidak terbebas dari nilai. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abou Fadl dalam bukunya (Abou Fadl, 2004), “terdapat asumsi yang tertancap di otak –baik ia menyadarinya atau tidak–.” Kondisi ini membawa pelibatan sarat nilai atau dengan kata lain tidak bebas dari nilai, asumsi, dan ideologi dari subjek yang memahami Qur’an dan Sunah tersebut jika hanya mempertimbangkan secara literalis. Mereka menilai isu gender merupakan media yang strategis untuk merusak perempuan Islam yang secara tidak langsung merusak pula generasi dan umat muslim secara keseluruhan. Selain itu, bagi Hizbut Tahrir Indonesia, isu kesetaraan gender bukan solusi dalam mengatasi segala persoalan perempuan. Namun, ia justru menambah persoalan baru yaitu perempuan menjadi merasa terhina ketika melakukan tugastugas domestik karena tidak dianggap berkontribusi untuk ekonomi bangsa, yaitu tidak bernilai ekonomis dan menghasilkan pendapatan. Inilah yang kemudian menjadi penyebab perempuan-perempuan meninggalkan tugas domestiknya, yang kemudian berlanjut pada institusi rumah tangga menjadi rusak dan generasi hancur. Selain mengkritik terminologi kesetaraan gender, Hizbut Tahrir Indonesia juga berpendapat bahwa feminisme yang dibawa Barat telah memberi banyak pengaruh dan perubahan di dunia. Tidak sedikit kaum perempuan yang telah berhasil mengekspresikan diri, bekerja di bidang yang menjadi minatnya tanpa harus merasa takut dengan berbagai hal tabu yang selama ini dianggap membatasi mereka. Menurut Hizbut Tahrir Indonesia, hal itu dianggap menjadi salah satu bukti sekaligus akar permasalahan karena kebebasan yang ditawarkan feminisme tersebut berakibat pada runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian dan kasus aborsi, meluasnya gaya PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

59

hidup free-sex, dilema perempuan karir, sindrom cinderella complex, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah, dan lain-lain. Bukannya membentuk fondasi masyarakat yang kokoh, tetapi malah masyarakat yang penuh dengan ketidaktenangan dan ketidakpastian. Selain itu, dalam salah satu buku rujukannya, Hizbut Tahrir Indonesia juga memberikan kritik terhadap feminisme, (Sa’idah & Khotimah, 2003) antara lain sebagai berikut. Pertama, ketidakadilan gender yang dikatakan telah mendarah daging secara universal dalam struktur masyarakat patriarki terbantah oleh realitas bahwa berbagai fakta yang disebut-sebut sebagai persoalan perempuan ternyata juga dialami oleh kaum laki-laki. Sebagai contoh adalah persoalan yang kini dihadapi oleh negeri-negeri dengan dominasi muslim, persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan seksual, ketertinggalan, malnutrisi dan sebagainya menjadi persoalan krusial yang dihadapi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya perempuan. Kedua, ide kesetaraan gender yang diusung feminisme merupakan gagasan yang absurd, ambivalen, dan utopis, sebab kaum feminis meyakini bahwa sifat keperempuanan yang dianggap lebih banyak merugikan perempuan tersebut bukan merupakan bentukan yang alami (nature), melainkan bentukan dari kebudayaan (nurture). Untuk itu, mereka menuntut adanya perubahan konstruksi sosial budaya baik secara kultural maupun struktural. Dengan begitu, diharapkan pembagian peran yang berperspektif gender tidak ada lagi dan masyarakat mampu memposisikan perempuan sebagai manusia tanpa ada segregasi identitas perempuan dan laki-laki. Akibatnya, pembagian peran domestik dan publik akan luruh dengan sendirinya sehingga semua orang dapat berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa kekhawatiran terhadap anggapan menyalahi kodrat dan sebagainya. Ketiga, cara pandang feminisme yang individualistik dan emosional telah menempatkan persoalan perempuan menjadi seolah terpisah dari persoalan masyarakat secara keseluruhan. Kemudian, ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut 60

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

perempuan, mereka lantas memandang persoalan tersebut sebagai urusan internal komunitas perempuan. Akibatnya, pemecahan yang dimunculkannya pun hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni perspektif perempuan. Padahal, realitasnya adalah masyarakat bukan hanya sekedar terbentuk dari individu-individu saja, melainkan juga dari kesamaan pemikiran, perasaan, dan aturan yang diterapkan, yang disertai dengan adanya interaksi terus menerus. Keempat, politik dalam perspektif feminisme seolah terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Akibatnya, peran politik perempuan pun selalu diarahkan kepada partisipasi perempuan di wilayah politik formal; pemerintahan, lembaga legislasi, partai politik, dan lain-lain. Hal itu seolah menggambarkan bahwa apabila perempuan terlibat dalam kebijakan, maka masalah perempuan akan terselesaikan. Banyak fakta justru menunjukkan keberadaan perempuan di parlemen atau di puncak kekuasaan tidak lantas mampu memberi jaminan pada tuntasnya persoalan-persoalan perempuan. Bagi Hizbut Tahrir Indonesia, yang terpenting bukanlah persoalan kuantitas perempuan yang berpartisipasi di politik praktis, melainkan kembali pada ideologi berdasarkan akidah yang benar, yaitu akidah Islam dengan penerapan syariatnya. Kelima, anggapan bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik bagi penyelesaian persoalan-persoalan perempuan sehingga mereka harus ikut memperjuangkannya adalah anggapan yang sangat lemah. Gagasan kedaulatan berada di tangan rakyat sehingga rakyat berhak menentukan hukum justru kerap melahirkan tirani minoritas yakni kehendak rakyat mayoritas harus tunduk kepada kehendak wakil rakyat yang minoritas. Jika demikian, muncul pertanyaan bagaimana sistem ini bisa memberikan kebaikan pada perempuan dan manusia secara keseluruhan. Lebih lanjut lagi, Hizbut Tahrir Indonesia menilai bahwa pemikiran para tokoh feminis ini sangat berbahaya dan harus diwaspadai oleh umat Islam karena: feminisme merupakan produk pemikiran barat yang menganut liberalisme dan kapitalisme; paham ini berdiri atas landasan sekularisme, yaitu pemisahan agama dari PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

61

kehidupan; eksistensi gerakan ini mengharuskan muslim untuk beradaptasi dan menyetujui ide-ide yang ditawarkan, meskipun mengikis kesempurnaan Islam; pemikiran ini telah memunculkan ketimpangan dalam struktur masyarakat dan keluarga; serta ide ini makin menjauhkan muslim dari gambaran peradaban Islam dengan aturan sosialnya yang memanusiakan manusia. Padahal, seharusnya disadari bahwa secara politis, negara kapitalis yang menjadi sponsor dan suporter gerakan feminis ini sangat berkepentingan dengan ideide seperti ini di dunia Islam (Sa’idah & Khotimah, 2003). Pemikiran Hizbut Tahrir Indonesia ini didasari oleh pandangan yang menganggap semua ideologi selain Islam seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, nasionalisme, patriotisme, freemasonry, sektarianisme, dan isme-isme sejenis, tidak lain sebagai ideologi yang rusak, merusak, dan bertentangan dengan fitrah manusia. Mengambilnya, menyebarluaskannya, dan berkelompok berasaskan ideologi tersebut termasuk perkara yang diharamkan Islam. Kaum muslim juga diharamkan mendirikan partai politik berdasarkan ideologi-ideologi buatan manusia tersebut, juga haram menjadi anggota dan simpatisannya, karena partai-partai politik seperti itu termasuk partai-partai kufur dan mengajak kepada kekufuran (Nashir, 2007). Hal lain yang kerap menjadi bahan perdebatan dan diskusi Hizbut Tahrir Indonesia yaitu dalam hal peran politik perempuan dan kepemimpinan perempuan dalam bernegara. Menurut Hizbut Tahrir Indonesia, di antara aktivitas politik tertentu yang tidak diperkenankan oleh Allah untuk digeluti perempuan, yakni aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan atau pemerintahan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan atau pemerintahan adalah wilayah pengaturan urusan umat yang dilakukan secara langsung dan menyeluruh, misalnya menjadi penguasa. Dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah atau kepala negara, mu’awin tafwidh atau pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan, wali atau kepala wilayah, dan amir atau kepala daerah (Sa’idah & Khotimah, 2003).

62

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Mengangkat wanita menjadi waliy al-amr hukumnya haram (Tahrir, Hizbut, 2006). Oleh karena itu, jabatan khalifah haruslah lakilaki. Pengkhususan ini bukan untuk merendahkan atau menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas dua karena Islam memandang bahwa peran penguasa dan rakyat dalam politik sama pentingnya. Penguasa adalah pelaksana politik yang bersumber dari hukumhukum Allah, sedangkan rakyat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan politik berdasarkan syariat Allah (Sa’idah & Khotimah, 2003). Posisi kepala negara atau khalifah merupakan sebuah tanggung jawab yang besar karena menyangkut terlaksananya pengaturan kehidupan umat sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya sehingga Islam memberikan aturan yang rinci tentang masalah ini. Sebagaimana dalam “Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan dan Administratif)” yang menyebutkan tujuh syarat in’iqad atau syarat legal menduduki jabatan Khalifah dan sah akad baiat kepadanya, jika kurang satu syarat saja, maka akad kekhalifahannya tidak sah, antara lain: (Tahrir, Hizbut, 2006; 34-40) 1. Muslim, berdasarkan Quran 4: 141; 2. Laki-laki, berdasarkan HR al-Bukhari yang berbunyi “lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan”; 3. Balig; 4. Berakal; 5. Adil; 6. Merdeka, bukan hamba sahaya; 7. Mampu menjalankan amanah. Sehingga dalam hal ini, peran perempuan Hizbut Tahrir Indonesia di ranah politik tidak sampai mengizinkan mereka untuk menjadi pemimpin atau penguasa. Melainkan dialihkan ke ranah yang dianggap lebih dekat dengan kodrat perempuan, seperti sektor domestik dan akademisi. Tidak sedikit perempuan Hizbut Tahrir Indonesia yang bekerja dan berprofesi di sektor kesehatan, akademik, dan lainnya dengan jenjang karir yang tidak sampai menjadi pemimpin di lembaga tempat mereka bekerja. Namun, semua aktivitas-aktivitas PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

63

tersebut dilandasi dengan semangat jihad dan dakwah sebagaimana yang selalu ditekankan dalam aktivitas halakah yang mereka amalkan. Dalam hal ini, dakwah yang dimaksud adalah senantiasa menyertakan niat berdakwah menyebarkan paham kekhalifahan Hizbut Tahrir di tengah aktivitas kesehariannya. Selain itu, hal ini juga sekaligus dijadikan sarana merepresentasikan kontribusi perempuan Hizbut Tahrir Indonesia dalam pembangunan bangsa dan negara. Selain beraktivitas sebagai individu pekerja yang diniatkan untuk berdakwah dan jihad, perempuan Hizbut Tahrir Indonesia juga memiliki agenda dan kepengurusan yang sistematis dan termanajemen baik. Hal ini bertujuan untuk meluaskan kebermanfaatan dan jangkauan dakwah Hizbut Tahrir melalui kaum perempuan di ranah yang berkaitan dengan perempuan. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, kegiatan yang dilakukan meliputi diskusi, halakah, konsolidasi, aksi massa, bahkan mengajukan Judicial Review jika diperlukan. Tercatat selama berkiprah, Hizbut Tahrir Indonesia sudah beberapa kali mengadakan Konferensi Perempuan Internasional di Jakarta yang dihadiri oleh anggota perempuan Hizbut Tahrir dari seluruh dunia. Pada 22 Desember 2012, telah berlangsung konferensi yang merupakan rangkaian dari kampanye global perempuan Hizbut Tahrir yang bertajuk “Melindungi Perempuan dari Kemiskinan dan Eksploitasi”. Konferensi tersebut dihadiri oleh 1500 perempuan Hizbut Tahrir dari seluruh dunia. Mereka mendiskusikan dampak kerusakan yang ditimbulkan sistem kapitalisme ekonomi pasar bebas terhadap perempuan dan keluarga. Kegiatan ini diakhiri dengan kesimpulan bahwa kebijakan dan hukum Islam di bawah khilafah merupakan pendekatan yang telah teruji dalam melindungi perempuan dari kemiskinan dan eksploitasi. Kemudian pada 11 Maret 2017, Hizbut Tahrir Indonesia kembali mengadakan Konferensi Perempuan Internasional di Jakarta yang dihadiri oleh 1700 perempuan berpengaruh dari seluruh dunia. Acara tersebut mengangkat tema “Khilafah & Pendidikan: Menghidupkan Kembali Masa Keemasan” dan membahas bagaimana negara 64

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

khilafah akan merangkul sebuah visi independen bagi pendidikan yang ditujukan untuk membangun kepribadian-kepribadian Islam yang mulia dan unggul dalam memahami ilmu agama dan empiris. Dari hal ini lah dapat menghasilkan generasi dengan pemahaman agama selayaknya. Acara ini diakhiri dengan pembuatan rencanarencana visioner kebangsaan (Nawaz, 2017). Kedua acara tersebut menunjukkan adanya kecenderungan yang meningkat dari publik untuk bergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia dan konsistensi Hizbut Tahrir Indonesia dalam berdakwah melalui ruang diskusi.

Kesimpulan Cara pandang tekstualis atau literal identik dengan kelompok fundamentalis. Sedangkan pemikiran Hizbut Tahrir Indonesia mengenai perempuan sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya sangat dipengaruhi oleh cara pandang tekstualis atau literal yang digunakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia dalam memahami Qur’an dan Sunah. Hasil pemikiran tekstualis tersebut tentu akan menghadirkan pemahaman yang sempit, khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Hal itu karena banyak pemikir Islam kontemporer yang mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran yang dangkal dan sempit tentang Islam biasanya lahir dari cara pandang atau penafsiran tekstualis yang tidak mempertimbangkan tafsiran kontekstual yang berkaitan. Untuk itu, hubungan antara fundamentalisme Hizbut Tahrir Indonesia dengan peran politik perempuan Hizbut Tahrir Indonesia sangat dekat dan saling berkaitan. Fundamentalis diartikan sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yaitu selalu merasa perlu untuk kembali kepada ajaran agama yang asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci. Hal ini dapat dilihat dalam pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir terhadap isu-isu mengenai perempuan seperti keadilan dan kesetaraan gender. Dalam realitasnya, gerakan perempuan Hizbut Tahrir Indonesia dapat dinilai cukup progresif. Hal ini tentunya dapat dilihat di bagian pembahasan tulisan ini, perempuan Hizbut PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

65

Tahrir Indonesia sering melakukan aksi massa berupa demonstrasi, konsolidasi, seminar, sampai dengan audiensi dengan tokoh-tokoh penting. Dalam hal ini, wacana Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perempuan –yang lahir dari dogma yang dimunculkan di agenda gerakannya; halakah– mampu menjadi salah satu wacana alternatif (selain wacana barat) yang dapat dijadikan pertimbangan masyarakat umum dalam bersikap. Hal ini menjadi baik selama tidak bertentangan dengan ideologi dan konstitusional negara Indonesia.

Daftar Pustaka Buku

Fadl, Khalis Abou. (2004). Atas Nama Tuhan; Dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, terj. R. Cecep Luqman Yasin. Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka. Nashir, H. (2007). Gerakan Islam Syari’at Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Jakarta: PSAP. Rahmat, I. (2005). Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta: Erlangga. Sa’idah, N., & Khotimah, K. (2003). Revisi Politik Perempuan Bercermin Pada Shahabiyat. Jakarta: Idea Pustaka Utama. Tahrir, Hizbut. (2006). Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan & Administratif). (Y. A.R, Trans.) Jakarta, Indonesia: HTI-Press. Tahrir, Hizbut. (2002). Menegakkan Syariat Islam. Jakarta: HTI-Press. WAMY. (2002). Gerakan Keagamaan dan Pemikiran Akar Ideologis dan Penyebarannya. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat. Lain-lain Kumparan. (2017, Mei 8). Sejarah Hizbut Tahrir di Indonesia. Retrieved from Kumparan: 66

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Nawaz, N. (2017, Maret 22). Siaran Press Konferensi Perempuan Internasional HTI di Indonesia: Khilafah & Pendidikan: Menghidupkan Kembali Masa Keemasan. Retrieved from Ratnasari, D. (2010, Januari-Juni). Fundamentalisme Islam. Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol.4 No.1. Rizqa, H. (2017, Mei 8). Sejarah Lahirnya Hizbut Tahrir, dari Timur Tengah Hingga Indonesia. Retrieved from Republika: Tahrir, H. (Director). (2013). A Profile of the Women of Hizb ut-Tahrir [Motion Picture].

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

67

68

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Nelson’s New Objectivity and Feminist Economic Criticism on the Issue of Domestic Workers (PRT) in Indonesia by Tutut Meta Sari and Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum.

Introduction Mainstream economics has an understanding taken from the neoclassical economic approach, which assumes that individuals have optimal rational, autonomous, and agent choices. This understanding makes representation of women rather insignificant in economic activities because the concept of rational choice is greatly disregarded from women who want to think and make decisions for themselves in their lives. Women are considered closer to emotional things that are considered irrational. That is because even if a woman has determined her way of life, she will still feel a responsibility to look after her children and family members. Therefore, women’s work in the domestic sphere is not included in the discussion of the mainstream economy and 69

domestic issues such as family and household as an institution do not receive adequate attention (Ferber, 1997: 150). Conditions in the preceding paragraph are still carried up to now in Indonesia. It is further clarified by the lack of government attention to the fate of women in the domestic sphere. They are housewives and domestic workers, the majority of them are women. In this discussion, it will be more focused on domestic workers in Indonesia, which amount to 4.2 million with the majority of female workers aged around 20-35 years at 84% (JALA PRT, 2018). The large number of female domestic workers is caused by several reasons, one of which is the low level of education makes women choose jobs as domestic workers who do not require higher education (Nurhayati, 2007: 2). In addition, there are economic pressures that make women have to participate in seeking income for the survival of their families (Ruspita, 2012: 31), as well as the strong culture of patriarchy in social relations between men and women or in imbalance husband and wife relationships. Women feel responsible with domestic problems such as taking care of the house, children, and other family members, so they use their abilities and sense of responsibility to work in the familiar domain (Ferber, 1997: 150). A domestic worker or, in short, will be abbreviated, a domestic worker is a non-family member who is recruited to work to take care of various household problems and earn a living. Thus, it can be said that domestic workers have an important role not solely for families. Moreover, for the social life of the community and the country’s economy because it allows household members to carry out social and economic activities outside the home, so that the public sector can run well (Dhewy, 2017: 4). However, the important role of domestic workers is rarely taken into account because there is no legal protection governing it. Not surprisingly, there are many cases affecting domestic workers. The cases in question are physical and verbal violence such as beatings, murder, rape, even to the practice of human trafficking. Not only the aforementioned cases, the problem of fulfilling the lack of rights and exploitation of labor can also occur because the 70

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

work is in the invisible domestic realm. The rights of domestic workers that are often not fulfilled or even ignored, working hours that do not have clear boundaries, decent benefits or salaries, social security for health and employment, the right to feel safe and protected, and many other rights. In addition, the government also discriminates against domestic workers. It is further clarified by the existence of a law that specifically regulates migrant domestic workers in UU No. 18 of 2017. As for domestic workers, the bill of rights has not been ratified since 2004 until now. In fact, both migrant and domestic workers are both working in the domestic sphere. Not only that, domestic workers as if not taken into account in economic affairs while migrant workers are counted as foreign exchange. The cause of cases involving domestic workers is the weak legal force that protects them. It is further shown by the absence of domestic workers in labor protection that is in UU No. 13 of 2003. Regulations that specifically regulate domestic workers only exist at the local regulation level (Regional Regulations) instead of regulations that can be applied comprehensively at the national level. Meanwhile, the discussions on the Domestic Workers Bill of Rights that have been submitted since 2004 have not been ratified by the government up to now. There is also Permenaker No. 2 of 2015 which regulates the protection of domestic workers issued by the Ministry of Manpower. However, the Permenaker is not strong enough to provide protection to domestic workers because the Ministerial Regulation has weaker legal force compared to the Act (Ady, 2015). There are several articles that discuss the issue of legal protection for domestic workers such as the article entitled “Perlindungan Hukum terhadap PRT” written by Briliyan Erna Wati in 2012 in the journal of PALASTReN, an article written by Ranny Intan Raflis and friends in 2016 in the Diponegoro Law Journal entitled “Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga Perempuan Korban Tindak Kekerasan”, article written by Anita Dhewy in 2017 in the Jurnal Perempuan entitled “Diskriminasi, Kekerasan, dan Pengabaian Hak: Status PRT di Tengah Ketiadaan Payung Hukum Perlindungan PRT”, and articles PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

71

written by Theresia Rizka Ully Situmorang in 2016 from the Faculty of Law, Universitas Sumatera Utara entitled “Perlindungan Hukum Pekerja Rumah Tangga Indonesia ditinjau dari Konvensi ILO No. 189”. The four articles have almost the same discussion, namely regarding legal protection for domestic workers which is very necessary and the situation of domestic workers who experience many problems that are examined using a legal perspective. The conclusions obtained from the four articles are about legal protection for domestic workers who must be ratified immediately by the government and the policy must have a definite and nationally binding legal force. Different from the four articles, this research uses the economic point of view especially the feminist economy and the new objectivity proposed by Julie A. Nelson to analyze the problem of domestic workers. Therefore, it can be said that the purpose of this research is to explain the criticism of feminist economics and Nelson’s new objectivity in the mainstream economy which is the reason why the government has not passed the Domestic Workers Bill of Rights proposed since 2004. In addition, Nelson’s new objectivity and feminist economy can be used as alternatives to solving domestic workers problems by encouraging the government to pass the domestic workers bill of rights. This research uses a feminist critique method with explanations written in descriptive analysis. Data collection was carried out first with a literature study from various sources, both primary and secondary on feminist economics and Nelson’s new objectivity. The primary sources used are books written by Nelson namely Feminism, Objectivity, and Economics and an article titled Feminism and Economics and the book Economics for Human for supporting primary sources. In addition, there is another article that is a secondary source that discusses the problems of domestic workers, legal protection related to them, as well as mainstream economic issues. After the data is collected, the writer sees that there is a gender bias in the mainstream economy which tends to lead to masculinity and analyzes it with the feminist economy and Nelson’s new objectivity. 72

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Feminist critique method is used to show what factors that include gender bias in the economy and how it implies in real life in economic activities. The next step is to describe feminist economic criticism of the mainstream economy that makes them different. Then, a descriptive analysis is carried out on the concepts by analyzing them in detail to provide a comprehensive explanation of them. This research will first explain what is feminist economy and its criticism of the mainstream economy and the differences related to various domestic workers issues that are the object of this research and will explain new objectivity as an offer to resolve the problem. As such, this research explains Nelson’s feminist economic goal to dismantle the old understanding of the mainstream economy by stating that domestic activities undertaken by domestic workers are included in economic activities and can be recognized as a profession as other jobs in the public sphere. In addition, this research shows policies that regulate domestic workers need to be made to protect and guarantee their rights, as well as provide economic value to domestic workers so that they can be recognized as a job worthy of protection. If cases of violence occur, they can be processed on the basis of a clear labor law. With this policy, domestic workers who are in the domestic sphere can be considered as economic activities because they are recognized as work that has a bargaining position and economic value. This policy clearly requires many parties to be fully implemented and get satisfying results.

Result and Analysis A. A Glimpse of Feminist Economic Theory Julie A. Nelson A brief explanation of what is feminist economics will be given first to facilitate understanding before entering Julie A. Nelson’s thought. Feminist economics is a knowledge project that works towards economic change on a feminist-based basis. In other words, this knowledge uses gender as an analytical category because so far the PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

73

mainstream economy has rationalized and naturalized existing social hierarchies based on gender, race, class, and particular nation. Gender analysis is used to highlight the asymmetrical effects of mainstream economic theory and policy (Barker, 2005: 2189). It can be said that feminist economics is an economic flow that incorporates a gender perspective to study certain problems so that there is no gender imbalance that occurs in economics. In other words, the feminist economy uses economic knowledge to improve human living conditions (Barker & Feiner, 2009: 44). Feminist economic thought was developed by Nelson, a feminist who departed from the ideology and social movements on the issue of conservation and improvement of environmental health (Candraningrum, 2012: 162). Starting from her interest in studying economics which began by reading Adam Smith’s work, Nelson discovered the fact that in the economic sphere, women’s contributions were minimal and not many discussed their involvement (1996: 4). That fact made Nelson decide to study feminist economics with a focus on discussion in the field under her control, namely methodology and then developed on the economic models and topics that he criticized (2008: 454). With the capital of ethical understanding obtained from Amartya Sen, Nelson then wrote a work entitled Economics for Human to provide a new perspective on a more human economy. In addition, Nelson also collaborated with many other thinkers such as Marianne Ferber, Nancy Folbre, Sandra Harding, and many more to write and disseminate her thoughts. Nelson tried to develop a different mindset with the aim of improving the mainstream economy. Her thinking departs from an economic understanding that is metaphorically connected with the hierarchical, dualistic conception of gender, and the special features of the concept of particular masculinity. Nelson states that gender as a social fact has become a cognitive regulator of society so he wants to break away from the hierarchical judgments inherent in the life of that society. From that statement, it can be said that Nelson does not want to overthrow the dualism of the weak and strong, however, he wants to 74

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

enrich thinking in economics by adding another dimension, namely what has been considered weak can be flexible and positive and what is considered strong can theoretically rigid but negative (Dolfsma & Hoppe, 2003: 120). Feminist economics Nelson criticizes the mainstream economy because it is male-centered (science that relies on androcentrism) and economic machines. These two characteristics affect the topics, methods and mainstream economic models that are still believed to this day. That made Nelson put forward the feminist economy as the most recent form of mainstream economics. This feminist economic theory examines real problems in economics that have gender biases in them. Some topics discussed by feminist economics such as employment issues, the provision of unequal wages between women and men, and habits in the household (Nelson, 2000: 1179). The focus of Nelson’s feminist economic discussion is to want a new objectivity that presupposes a genderbiased and more humane economy. Nelson’s feminist economic thinking will be clearly discussed in the next sub-discussion relating to the problems faced by domestic workers.

B. The Strengths of Women’s Emotions in Knowledge Mainstream economics focuses on masculinity because it has a higher status and is different from femininity. “That is, masculinity and femininity are construed of largely as opposites, with masculinity claiming the high-status side of the line” (Nelson, 1996:6). The center of masculinity then makes the economic anthropological assumption that homo economicus assumes individuals are rational, autonomous, and self-interested agents who have consistent preferences, and desires to maximize their own utility (Hill & Myatt, 2010: 9). ”The subject of the economist’s model world is an individual who is self-interested, autonomous, rational, and whose active choices are the focus of interest, as opposed to one who would be social, other-

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

75

interested, dependent, emotional, and directed by an intrinsic nature” (Nelson, 1996:22).

The anthropological assumptions give a picture of the economic subject model. This picture has the opposite that is not considered the subject because it is social, caring with others, dependent, emotional, and related to intrinsic nature. Such understanding of the mainstream economy has a big impact on women, especially those who work in the domestic sphere as domestic workers because they are victims. That is because domestic activities carried out by domestic workers are not valued as economic activities because they are based on love and affection related to emotional matters. It is considered low and weak because it is gentle and contrary to the rational. “If masculine is “strong” and feminine is “weak”, who wants to be weak?” (Nelson, 1996:7). If emotional things are considered inferior and weak, no one wants to be weak and are considered inferior. Then, it is women who become victims because of discrimination in economic activities and are not even considered as economic subjects and included in the discussion. Therefore, Nelson revealed that emotional things that are identical with women can be positive and masculinity that is considered rational is negative. An economy that places too much emphasis on masculinity that is considered strong can make it rigid to the changes that occur and at the same time become its weakness because it lacks flexibility. “But hardness can also mean a lack of flexibility, that is, rigidity or a lack of the malleability needed to adapt to changing conditions. “Softness” also has other connotations besides weakness. The aspect of feminine “softness” that needs elevation here is not weakness, but rather flexibility or resilience.” (Nelson, 1996:12-13).

Emotions that have been considered weak because they are gentle should be seen on the positive side, namely flexibility which has an important part in truly rational decisions. Evidently, in human life,

76

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

things like death, pain, and all forms of emotions are needed as a prerequisite for making good decisions (Nelson, 1996: 17). Not only that, emotions actually have a relationship with reasoning and play an important role in knowledge because of the production of knowledge, discussion of various thoughts, and recognition of theories as knowledge. It is all incorporated in social activities expressed in social practice. In other words, emotions have intrinsic value as instrumental because life without emotion at all will be a life that has no meaning (Prokhovnik, 1999: 75). There are at least five ways that make emotions play an important role in knowledge or ways that make emotions used in reasoning. First, emotions can give value to cognition. Second, emotions can accompany intellectual concentration. Third, emotions can support the development of reasoning. Fourth, emotions and reasoning are connected in language. Fifth, intellectual virtue (Prokhovnik, 1999: 77). It shows that emotions that are identical with women have an advantage for knowledge and are needed in social life so it is unethical to consider it low and weak. Emotions and reasoning can complement each other without bringing gender discussion so that the remaining discussion is about what is good and what is bad (Nelson, 1996: 7). Thus, it is known that Nelson wants an economic model that is not limited to the assumption of homo economicus but also on an economic model that sees and accepts social facts and includes emotional matters so that there is no discrimination or gender bias. “The feminist analysis suggests that there should not be just one economic model, but rather many economic models, depending on the usefulness of various modeling techniques in the various applications” (Nelson, 2008:461). Feminist analysis suggests not only one economic model, but many models depend on their use in various modeling techniques in their various uses. By using Nelson’s feminist economy, domestic workers who work in the domestic sphere can enter the economic activity model and have status as an occupation, and are no longer considered inferior. That is because the feminist economy does not PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

77

differentiate household production analytically apart from productive labor. In other words, activities in the domestic or household realm are the same as other forms of work (Barker & Feiner, 2009: 45).

C. Lack of Representation and Contribution of Women in Economic Activities The anthropological assumption of homo economicus also makes the economic topic only focus on market practices consisting of production, consumption, and distribution carried out by rational individuals to maximize their utility. Understanding that makes the economy is defined as the study of processing something that includes goods, services, and financial capital that is exchanged (Nelson, 2008: 466). “The idealized market is a place where rational, autonomous, anonymous agents with stable preferences interact for the purposes of exchange. The agents make their choices in accordance with the maximization of some objective function subject to resource constraints, and the outcome of their market interactions is the determination of an efficient allocation of goods along with a set of equilibrium prices.” (Nelson, 1996:20).

The market is only for individuals who are rational, autonomous, and have a stable preference to maximize their utility as an economic subject very closely attached to masculinity. The method used to discuss economic topics is formal and mathematical methods which are very systematic because they only rely on data to achieve objectivity in economic results (Nelson, 2008: 462). Economic topics that lead to markets make traditional nonmarket or non-market women’s activities such as taking care of home, children and parents considered non-economic activities and not the subject of economic research (Nelson, 2008: 466). In other words, the practice of mainstream economic analysis focuses on technical implementation and the success of its efficiency lies on the government and the market. The workings of the economy will not be separated 78

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

from the discussion of markets that have a relationship with public goods (public goods) which are counted as rational activities (Aprilia & Pratama, 2017: 2-3). This understanding clearly impacts domestic workers who work in the domestic sphere. As it is not recognized as a job because it is in the domestic realm that does not have market practices in it. The value of domestic work is also considered to be low and not worth considering. The burden they feel becomes layered and has implications for the low contribution of women in the economic field (Arivia, 2012: 14-15). Data from a research report titled The Global Gender Gap Report 2018 released by the World Economic Forum shows that the level of gender equality in Indonesia in the economy is 0, 629 points and is ranked 96th specifically for the economic sector alone from 149 countries surveyed (WEF, 2018: 11). From this ranking, it can be seen that in the economic field the participation or contribution of women is still less than the word balanced or equal to men. The reason is the understanding of the division of labor that is in the domestic realm is the work area of ​​women who are considered as unproductive work, do not require skills, and lack productive value (Gutiérrez-Rodríguez, 2014: 192). Therefore, women are then always associated with jobs that exist in the domestic realm and deal with care which results in the perpetuation of a patriarchal structure while at the same time causing women to experience imbalances in the economy (Gutiérrez-Rodríguez, 2014: 194). For domestic workers, the majority of workers are women who come from marginalized and vulnerable groups. The group has low and poor education levels due to patriarchal social structures, weak representation of women in the political system, and weak policies that protect women’s rights. Automatically, women will be marginalized from the decision making process in the public space and access to their basic needs will be limited (Triwibowo, 2012: 86). Evidenced by the total number of 560 members of the Republic of Indonesia DPR in the 2014-2019 period, there were only 97 female PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

79

members. Of course the number is small because it does not meet the minimum quota of women as DPR RI members which is 30% and cannot represent the votes of hundreds of millions of women throughout Indonesia, especially in this case the domestic workers. The elaboration of the problems faced by domestic workers aims to show that there are economic topics other than markets conducted by women so that they do not have to focus on a single economic topic. Therefore, Nelson argues that instead of using “marketization” as a demarcation criterion in the economy or using a rational choice model, a broader economic definition can describe subject matter without using sexist assumptions about what is important and what is not important (2008: 467). It also provides a view for the economy to be broader in scope and not gender biased as desired by Nelson. The facts about domestic workers as explained in the previous paragraph, cannot be thoroughly known if only using formal and mathematical methods as emphasized in the mainstream economy. In her book Feminism, Objectivity, and Economics, Nelson suggests that economics should expand its toolbox with new theories and methods when the old ones are inadequate for current use. “Economists should be willing to expand the toolbox to new theories and methods, when old ones prove inadequate.” (1996:77). That is because feminist economics is not only the voice of dissatisfaction from the narrowing of the search for economic knowledge, but, as a consequence of the departure of a less educated economy and its practice in richer substantive analytical skills. Feminist economics wants a more adequate methodology toolkit, not just relying on formal methods and mathematics alone (Nelson, 2008: 463). Feminist economics tries to provide a definite methodology and data needs borrowed from other disciplines including research with surveys, case studies, and participant observation from other social sciences (Macdonald, 1995: 160). Feminist economics Nelson puts forward a new objectivity using qualitative-based methods in order to be able to make an empirical approach to a real problem. By using qualitative methods, the facts 80

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

about gender bias in the economy experienced by domestic workers can be seen with more depth. Not only that, qualitative methods can target the voices and experiences of women as domestic workers, which have never been discussed. One method that can be used is observation by interview or survey. Through this qualitative method, slowly making the presence of women, especially domestic workers, can be seen (Macdonald, 1995: 161).

D. Lack of Government Attention for Welfare of Domestic Workers (PRT): Nelson’s New Objectivity Analysis Comprehending the anthropological assumptions of homo economicus makes the mainstream economy works like a machine (economic machine) dealing with money, profits, markets, and the state by following strict and immoral laws. Therefore, the economy looks cruel or inhuman. “This is the belief that money, profits, markets, and corporations are parts of an “economic machine”. This machine operates in an automatic fashion, following inexorable and amoral “laws”. While the machine organizes provisioning for our bodies, it is itself soulless and inhuman, according to this belief.” (Nelson, 2006:1).

Because machines do not have morality, an economy that works like a machine places the field of trade outside ethical discussion. “Since machines are incapable of morality, thinking about economies as machines puts commerce firmly outside the ethical realm” (Nelson, 2006:2). It can be said that economic discussion is independent of morality and ethics which makes it so mechanistic that human welfare is no longer discussed. That situation is illustrated as written in the background about how the situation of domestic workers who had no legal protection because they were not considered as an economic activity. They experience injustice and destitute because their rights are not fulfilled by their employers. It is further clarified by the data obtained from Komnas Perempuan to strengthen the statement. PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

81

Based on Komnas Perempuan’s annual records (CATAHU), domestic workers are included in case findings in the private sphere. 20 cases of violence against domestic workers were found occurred in 2018 until early 2019 (Komnas Perempuan, 2019: 11). The case was carried out by the employer by engaging in multiple layers of violence including (1) verbal abuse such as being berated when making a mistake, (2) physical abuse for example being slapped, beaten, abused, and so on, (3) psychological abuse as restricted in communicating with family and others and threatened, (4) the economical abuse by giving improper salaries that does not go in accordance with the initial agreement, and 5) sexual abuse for example rape and sexual harassment. In the case of domestic workers, employers often view domestic workers as property, so they can treat domestic workers inappropriately and at will (Komnas Perempuan, 2019: 36). The findings of 20 cases by Komnas Perempuan came from three direct complaints to Komnas Perempuan and the rest were reported by service provider institutions in collaboration with Komnas Perempuan, both from the government such as the District Court, Police, and Hospitals, or from NGOs (Non-Government Organizations Society) and WCC (Women Crisis Center) (Komnas Perempuan, 2019: 11). From the findings of the case, it can be analyzed if the low number of violence in domestic workers does not mean that only a few cases occur. That is because the absence of a report does not mean that no violations or cases have occurred. It could be that there are number of cases that are not recorded or not reported. That means that only a handful of domestic workers dare to report violence or injustice they experience because they feel threateaned that they will lose their job which leads to financial disruption be it minor or major and their safety will at stake if they report it. In consequence of it, they will not have any more income. Other possibilities such as the absence of an institution where victims report or public mistrust of available institutions can also influence the low findings of cases of violence in domestic workers (Komnas Perempuan, 2019: 9).

82

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

The strong understanding of the mainstream economy causes the lack of legal protection for domestic workers which results in the absence of guaranteed fulfillment of their rights as workers and opens up large spaces of lasting slavery even to the practice of human trafficking of domestic workers (LBH Jakarta, 2019: 41). Coming from vulnerable, marginalized and poor groups who want to change their destiny. However, there was no change that occurred because they were not given awards and treated rather arbitrarily. Naturally, if the majority of domestic workers live not prosperous because they are trapped in poverty. In connection with the previous sub-discussion which states that women’s work in the domestic sphere is considered low because it has no productive value, making women marginalized when working by getting discrimination on the salary they get (Nelson, 2008: 461–462). “Many feminists argue that the types of jobs held by women are systematically paid less than their worth to the employer. Most economists dismiss this argument, referring to arguments that competitive markets will drive women to be paid their marginal product” (Nelson, 1996:122).

Women’s work will be systematically paid low because the criteria used by the mainstream economy are competitive markets. The preceding statement has an impact on domestic workers. The work in the domestic sphere (household affairs) that they do is considered to only require a little effort so that the salary earned is not proportional to the workload they do. Getting a decent salary and working time limit is one of the rights that is not fulfilled by the employer. The majority of domestic workers who work full time spend more than 12 hours doing household work. They must be available when told by the employer at any time, however, the salary they get is not proportional to the workload they do. If grouped, the work carried out by domestic workers includes 6 categories namely kitchen work (cooking, preparing food, and washing cooking utensils), home care (sweeping, mopping the floor, and cleaning up), clothing care PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

83

(washing, drying, and ironing), caring for children (taking care of all the needs of children), maintenance of motor vehicles, and additional work other than those mentioned (Nurhayati, 2007: 30). Among the various tasks undertaken by domestic workers, most of them become routine work. Is it fair to give a small salary to domestic workers who have worked without clear time limits and diverse tasks? “And what if it has been socially perceived that “feminine” activities are of little worth, so that therefore it is only “fair” to pay them less?” (Nelson, 1996:123). The problem of improper salary is due to the absence of a work agreement that regulates the rights and obligations between the employer and the domestic worker at the time of recruitment. During this time, the recruitment process of domestic workers has only been carried out with verbal agreements that are informal without using employment agreements (Nurhayati, 2007: 33). This is important because the employment agreement contains several things such as the identity, rights and obligations of both parties, and various other requirements in relation to work. With the agreement, all obligations and rights of domestic workers are written and regulated as clearly as possible, as well as being binding on both parties. If there is a violation it can be proven by the agreement letter. However, in reality, there is no application of the employment agreement in the recruitment of domestic workers so that if there is a violation of rights it cannot be known because the rights of the two parties are not clearly regulated. Not only that, due to the absence of domestic work in the Labor Law as a job, making domestic workers do not have social security for health and employment. The poor condition of domestic workers seems to have received no attention from the government. It is further proven by the absence of policies or regulations that guarantee the rights of domestic workers in Indonesia. The Domestic Workers Bill of Rights that was submitted in 2004 has not been approved by the government to date. Various attempts have been made by institutions concerned with the fate of domestic workers such as JALA (National Network for Advocacy) 84

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

of domestic workers and NGOs from various regions incorporated, such as holding hearings, lobbying, campaigns and actions to urge the government to immediately ratify the bill of rights and ratify the Convention ILO No. 189 to provide decent work for domestic workers. Call for discussion asking for clarity of articles in the policy that might be burdensome or that could lead to conflict so that they could be revised or alleviated also had not obtained significant results. That could be because the government uses a mainstream economic mindset that considers domestic work to be low and has no economic value. In addition, the government could also place their position as employers who fear that their position is threatened if the Domestic Workers Bill of Rights is passed (Rofika, 2019). The many problems faced by domestic workers and the difficulty of the government to pass the Domestic Workers Bill of Rights makes the fate of domestic workers in the lower class because their basic rights as workers have not been fulfilled. That makes them continue to struggle with the problem of injustice and poverty in their lives. Issues of justice and welfare related to social life have been separated from economic discussion causing problems experienced by domestic workers are not highlighted in economic problems. Nelson wants economic discussion to bring morality and ethics back so that the issues of justice and welfare of domestic workers can find common ground and be discussed in various economic studies. “What it argues for is a change in the value system of economics, so that economics can become flexible as well as hard, contextual as well as logical, human as well as scientific, and rich as well as precise. Such an economics would be more adequate for analysis of the economic behavior of both women and men, and by both male and female practitioners.” (Nelson, 1996:150).

What Nelson wants to convey in her feminist economic thinking is that there is a change in the economic value system that makes the economy flexible and also firm, contextual but also logical, and rich and precise. Such an economy would be more adequate for economic analysis for both women and men, and both. Nelson also wants to PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

85

emphasize that an economy that works like a machine is only a belief, not a fact. Therefore, it can be changed and can be understood that the economy is something important, life, made by humans, and formed from our ethical choices that can help improve our decisions individually or society (Nelson, 2006: 6). Nelson argues that so far economics has tried to be recognized as an objective science like any other science. Evidence of economics business being an objective science is releasing important aspects that shape welfare such as love, affection, and morality which actually makes economics work less objectively (Aprilia & Pratama, 2017: 2). In addition, according to Nelson, economic practices have been constructed socially and culturally to apply unfairly to certain gender, namely women and sexual minorities and unfairly on ecological issues (Candraningrum, 2012: 163). Therefore, Nelson offers a form of economic method that makes science more objective. This is the core of all the feminist economic criticisms put forward by Nelson that new objectivity is assumed to help economics solve major problems such as poverty, inequality, and injustice and make the economy no longer gender biased (Aprilia & Pratama, 2017: 4). The concrete manifestation of an economy that transcends masculine bias is an “solidarity economy” that is cooperative and united in the liberation of slavery, safeguards and does not damage the environment, does not violate the rights of certain ethnic communities and vulnerable groups, as well as being fair to women and sexual minorities. Thus, what Nelson wants to spell out is that economics should care for humans and nature. Not only care about the scientific status. Therefore, a more humane sustainable economy can be formed (Candraningrum, 2012: 164). By using Nelson ‘new objectivity, it can be said that the cause of injustice and the unequal welfare of domestic workers is the mainstream economy that tries to claim itself as an objective science, but instead makes it plunge into gender bias and devoid of morality. It is known that the new objectivity wants the economy to also discuss social problems, so that domestic workers who experience injustice, 86

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

poverty, and injustice become the main problems that must be resolved immediately. New objectivity in the Nelson feminist economy can be used as an alternative to solving problems experienced by domestic workers. Recognize their work that is closely related to women’s traditional activities because it is based on emotions such as love and affection as an economic model. Domestic workers whose majority of workers are women and their work in the domestic sphere can be recognized as an economic activity that can be discussed as a topic in the economy. In other words, new objectivity includes emotional elements that are identical to women in economic discussions to eliminate gender bias in them. Not only that, new objectivity also listens to the voices and pays attention to the fate of domestic workers who come from vulnerable groups so that their contribution in the economy can be seen and fight the injustices they experience. This was done by encouraging the government to immediately recognize domestic workers as work, give economic value to their work, protect and guarantee their rights in a policy made specifically for them. The policy was made not only to protect the rights of domestic workers but also for employers so that there would be a sense of security from both parties. The impetus given by new objectivity in the economy makes the fate of domestic workers better because they can get out of poverty and feel prosperity. Nelson states that the process of realizing new objectivity can be slow and takes a long time because of understanding the patriarchy and mainstream economy that has become ingrained (1996: 37). Therefore, many parties are needed to be able to dismantle the old understanding and replace it with new objectivity so that a common welfare can be achieved evenly for domestic workers.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

87

Conclusion Understanding the mainstream economy that is too male-centered because it emphasizes rationality and masculinity makes it works like a machine and becomes inhumane. The mainstream economy causes discrimination against women who are considered irrational. They are considered low and weak because they are closely related to emotional things such as love and affection. This has an impact on domestic workers who work in the household. Their work is seen as inferior because it is not productive enough to be recognized as a job. Not surprisingly, domestic workers’ contributions are not counted and their role is not well represented in the economic field. In addition, they are often mistreated by employers and their rights are not fulfilled which makes the lives of domestic workers close to poverty. The absence of legal protection from the government for domestic workers makes them included in the lower classes in the community. Many violence cases are bound to be experienced by domestic workers ranging from physical, verbal, economic, psychological, and sexual violence and even to the practice of buying and selling humans as evidence of the government’s lack of attention to their well-being. It can be concluded that the cause of the many problems faced by domestic workers is the understanding of the mainstream economy. Dismantling the understanding of the mainstream economy that has been ingrained by using the feminist economy and Nelson ‘new objectivity is important. That will make the fate of domestic workers better. They are slowly coming out of the abyss of poverty and detaching from poor conditions due to many problems. The initial step to realize this is to encourage the government to immediately pass a bill of rights that protects and guarantees the rights of domestic workers as a job. The legal protection policy can provide economic values to domestic workers in order for their jobs no longer considered inferior. The government’s attention to the fate and voice of domestic workers is an important point to be able to fulfill any rights that have been neglected. They deserve a decent job by receiving a salary that is comparable to the workload they have done, reasonable working 88

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

hours and holidays, get health and labor insurance, safety in working place, treated well, and other rights are listed in letter of employment agreement regulated in the bill of rights. The fulfillment of the basic rights of domestic workers and access to them makes their representation apparent. It takes the seriousness of the government and assistance from various parties to approve and realize the bill of rights so that it can be applied nationally and consistently. The reasons why the bill of rights was not immediately passed should be removed because of policies that protect domestic workers not in the same direction, but in two directions. Ratification of the Domestic Workers Bill of Rights can be used as concrete evidence of efforts to eliminate gender bias in the economy which makes it more humane as well as official guidelines of a state that reinforces the new objectivity approach in understanding the economy with a feminist perspective.

Bibliography Ady. (2015). “Menaker Terbitkan Peraturan Perlindungan PRT”. Online News. Retrieved 15 3, 2019, from https://www.hukumonline.com/ berita/baca/lt54bef36d5a917/menaker-terbitkan-peraturanperlindungan-prt Aprilia, I. R., & Pratama, H. S. (2017). “Pandangan Mengenai Inkonsistensi Objektivitas Kebijakan Pajak Melalui Metode New Objectivity Julie Nelson”. Artikel dipresentasikan dalam seminar APRISH, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Arivia, G. (2012). It’s Women’s Rights, Stupid. Jurnal Perempuan, 7-21. Barker, D. K. (2005). Beyond Women and Economics: Rereading “Women’s Work”. Signs, 30, 2189-2209. Retrieved 3 10, 2019, from https://www.jstor.org/stable/10.1086/429261

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

89

Barker, D. K., & Feiner, S. F. (2009). Affect, Race, and Class: An Interpretive Reading of Caring Labor. Frontiers: A Journal of Women, 30, 41-54. Retrieved 18 10, 2018, from https://www.jstor. org/stable/40388706 Candraningrum, D. (2012). Melampaui Bias Patriarki dalam Ilmu Ekonomi (Beyond Economic Man: Feminist Theory and Economics’s Review). Jurnal Perempuan, 74, 161-164. Dhewy, A. (2017). Pekerja Rumah Tangga Domestik dan Migran. Jurnal Perempuan, 94, 4-5. Dolfsma, W., & Hoppe, H. (2003). On Feminist Economics. Feminist Review, 118-128. Retrieved 11 9, 2018, from https://www.jstor. org/stable/1395865 Ferber, M. A. (1997). Gender and The Study of Economics: A Feminist Critique. In R. L. Bartlett (Ed.), Introducing Race and Gender Into Economics (pp. 147-155). London and New York: Routledge. Gutiérrez-Rodríguez, E. (2014). The Precarity of Feminisation: On Domestic Work, Heteronormativity and the Colonialityof Labour. International Journal of Politics, Culture, and Society, 191-202. Retrieved 9 17, 2018, from https://www.jstor.org/stable/24713312 Hill, R., & Myatt, T. (2010). The Economics Anti-Textbook. London dan New York: Zed Book. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT). (Oktober,2018). “Pengorganisasian Pekerja Rumah Tangga (PRT) Di Indonesia”. Material presented at Dialog Publik SCN “Penguatan Kapasitas Pekerja Rumahan & Organisasi Pekerja Rumahan Melalui Pendampingan, Pengorganisasian & Pemberdayaan”. Retrieved 25 3, 2019, from https://www.scn-crest.org/id/ images/public/MateriPresentasi%20PengorganisasianPRT%20 251018-JalaPRT.pdf Komnas Perempuan. (2019). “Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen 90

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Negara Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018”. Retrieved 21 4, 2019, from https://www.komnasperempuan. go.id/read-news-lembar-fakta-dan-poin-kunci-catatan-tahunankomnas-perempuan-tahun-2019 LBH Jakarta. (2019). “Demokrasi di Persimpangan: Catatan Akhir Tahun LBH 2018”. Retrieved 20 4, 2019, from https://www. bantuanhukum.or.id/web/wp-content/uploads/2018/12/catahulbh-jakarta-2018.pdf Macdonald, M. (1995). Feminist Economics: From Theory to Research. The Canadian Journal of Economics / Revue canadienne d’Economique, 28, 159-176. Retrieved 11 9, 2018, from https:// www.jstor.org/stable/136027 Nelson, J. A. (1996). Feminism, Objectivity, and Economics. London: Routledge. Nelson, J. A. (2000). Feminist Economics at the Millennium: A Personal Perspective. Signs, 25, 1177-1181. Retrieved 10 09, 2018, from https://www.jstor.org/stable/3175508 Nelson, J. A. (2006). Economics for Human. Chicago dan London: The University of Chicago Press. Nelson, J. A. (2008). Feminism and Economics. In D. M. Hausman (Ed.), The Philosophy of Economics (pp. 454-477). New York: Cambridge University Press. Nurhayati. (2007). Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Bagi Pekerja Rumah Tangga. Thesis University of Indonesia. Retrieved from https://lib.ui.ac.id/ Prokhovnik, R. (1999). Rational Woman: A Feminist Critique of Dichotomy. London dan New York: Routledge. Raflis, R. I., Rochaeti, N., & Wijaningsih, D. (2016). Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Rumah Tangga Perempuan Korban Tindak Kekerasan. Diponegoro Law Journal, 5, 1-16. Retrieved 12 28, 2018, from https://media.neliti.com/media/publications/19226-IDPEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

91

perlindungan-hukum-bagi-pekerja-rumah-tangga-perempuankorban-tindak-kekerasan.pdf Rofika, Diah. (2019, Maret 17). Personal Interview. Ruspita, L. (2012). Keterasingan Perempuan dari Pekerjaannya: Kemitraan Suami-Istri dalam Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga. Jurnal Perempuan, 74, 23-46. Situmorang, T. U. (2016). Perlindungan Hukum Pekerja Rumah Tangga Indonesia ditinjau dari Konvensi ILO No. 189. Medan: Essay Universitas Sumatra Utara. Triwibowo, D. (2012). Kerentanan Perempuan Terhadap Kemiskinan: Temuan Empiris dan Tantangan Pengarusutamaan Gender. Jurnal Perempuan, 74, 83-97. Wati, Briliyan Erna. (2012). Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga. PALASTReN, 185-197. World Economic Forum. (2018). The Global Gender Gap Report 2018. Retrieved from http://www3.weforum.org/docs/WEF_ GGGR_2018.pdf

92

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Poligami dan Ketidakadilan Gender dalam Perspektif Islam: Studi Kasus Mentoring Poligami Coach Hafidin di Serang, Banten oleh Febriani Koiru Nisa, S.Hum. dan Siti Rohmah, S.S., S.Pd., M. Hum.

Pendahuluan Islam sejatinya adalah agama yang selalu menjunjung kedamaian, keadilan, dan kemanusiaan melalui konsep tauhid yang mengajarkan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Allah SWT. dan sesamanya. Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13 telah menjelaskan bahwa Allah SWT. menciptakan semua manusia dari saripati tanah, kemudian dijadikannya laki-laki dan perempuan dengan berbagai suku bangsa dan ketakwaanlah yang menjadi pembeda antara mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan biologis manusia tidak berpengaruh terhadap kedudukan derajat mereka, tetapi menunjukkan equalitas peran laki-laki dan perempuan dalam

93

kehidupan sosial. Hanya amal ibadah yang menjadikan derajat setiap orang berbeda di mata Tuhan. Akan tetapi, dalam realitas sosial di masyarakat perbedaan seks tersebut seringkali disamakan dengan perbedaan gender yang sifatnya non-kodrati. Nilai-nilai bias gender dan patriarki yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat itulah memunculkan masalah ketidakadilan gender dan terjadi perlakuan suatu diskriminasi, terutama terhadap perempuan yang menyebabkan hilangnya hak asasi dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain. Selain itu, pemahaman teks-teks agama yang keliru seringkali menempatkan posisi perempuan sebagai manusia kelas dua di bawah superioritas laki-laki dan cukup berperan di ranah domestik. Salah satu implementasinya adalah praktik poligami yang dinilai banyak merugikan perempuan. Sejak dulu, poligami memang selalu menjadi polemik di masyarakat. Poligami bahkan diidentikkan dengan ajaran Islam karena umumnya banyak dilakukan oleh para pemuka agama seperti kiai dan alim ulama, sehingga banyak masyarakat umum yang mengikutinya. Menilai poligami sebagai ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. adalah hal yang keliru karena sejatinya praktik poligami telah marak dilakukan jauh sebelum ajaran Islam datang, seperti pada zaman Yunani, Romawi, Mesir Kuno dan Arab Jahiliyyah. Di zaman itu, perkawinan poligami tidak terbatas adalah hal yang sangat lumrah dilakukan. Bahkan, para raja pada masa itu memiliki lebih dari puluhan bahkan ratusan istri tanpa syarat-syarat tertentu. Kemudian, Rasulullah Saw. datang membawa ajaran Islam, yang berusaha memperbaiki tradisi masyarakat jahiliyah yang memandang rendah kedudukan perempuan dan gemar melecehkan perempuan dengan memerintahkan semua laki-laki yang memiliki istri lebih dari empat untuk menceraikannya beserta syarat-syarat berpoligami yang sangat ketat, seperti yang tertuang dalam surat An-Nisa ayat 3. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi praktik poligami yang sangat marak dan merendahkan kaum perempuan saat itu. Di tengah lumrahnya tradisi tersebut, Rasulullah Saw. justru lebih 94

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

memilih dan mempraktikkan monogami dengan menikahi Khadijah binti Khuwailid selama 25 tahun. Ajaran-ajaran Islam mengenai pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah diperlihatkan melalui perjalanan pernikahannya dengan Khadijah. Rasulullah Saw. juga tidak pernah bersikap seolah-olah berkuasa secara mutlak atas Khadijah. Khadijah justru menjadi sosok perempuan pertama yang aktif berperan dalam mendakwahkan Islam. Motif poligami yang dilakukan Rasulullah Saw. berkaitan dengan kondisi sosial budaya pada saat itu, yakni semangat penyebaran Islam ke berbagai wilayah Arab. Hal itu seperti dua tahun pasca wafatnya Khadijah, Rasulullah Saw. baru menikah lagi dengan Saudah binti Zam’ah yang juga sudah berusia lanjut dan menopause untuk melindunginya dari siksaan keluarganya yang masih musyrik. Semua perempuan yang dinikahinya, kecuali Aisyah binti Abu Bakar adalah para janda yang sudah tua dari para sahabat yang gugur membela Islam (Musdah Mulia, 2004: 44-78). Hal ini memperlihatkan bahwa pernikahan yang dilakukan Rasulullah Saw. bukan semata-mata memenuhi hasrat biologisnya dan mencari sisi kecantikan perempuan. Ketika menikah dengan Aisyah, Rasulullah Saw. memang menikahinya ketika berusia 6 tahun, tetapi beliau menunggunya hingga cukup dewasa untuk memulai hidup bersama, yaitu antara usia 17 tahun atau 18 tahun. Hal tersebut sangatlah berbeda dengan kebanyakan pria di zaman sekarang yang hendak berpoligami dengan menikahi perempuan di bawah umur karena dianggap masih produktif (Hasanul Rizqa, 2021). Faktanya, praktik poligami di masa kini justru berbanding terbalik dengan hal tersebut. Praktik poligami yang dilakukan Rasulullah Saw. banyak disalahartikan sehingga hal ini semakin marak dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat, termasuk di Indonesia yang banyak melakukan pernikahan poligami. Praktik poligami yang seharusnya bersifat internal kini dijadikan sebagai konsumsi publik melalui sosial media. Banyak bermunculan konten-konten youtube dan instagram yang memamerkan kisah-kisah poligami yang dinilai inspiratif, cara PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

95

berpoligami yang sukses, dan hal lainnya yang menunjukkan bahwa berpoligami adalah hal yang mudah dan berbuah kebahagiaan. Salah satu contohnya adalah kasus mentoring poligami berbayar Coach Hafidin yang akhir-akhir ini sempat viral di media sosial. Mentoring poligami berbayar ini dilakukan oleh seorang pimpinan Pondok Pesantren Ma’had Yashma, Yayasan Ashabul Maimanah di daerah Serang, Banten yaitu Kiai Haji Hafidin. Pondok tersebut berada di Jalan Jalumprit Buah Jangkung 04/01, Waringinkurung, Serang–Banten. Pondok Pesantren Ma’had Yashma merupakan Ponpes Tahfidz Quran yang memiliki banyak sarana prasarana, namun masih dalam tahap pembangunan. Adapun santri-santri yang menuntut ilmu berasal dari berbagai kalangan usia, mulai dari usia TPA sampai seterusnya. Pengajaran di pesantren ini bertujuan untuk mencetak para penghafal Quran, melakukan kaderisasi ulama Rabbani dan peduli terhadap yatim, janda serta dhuafa. Trainer poligami yang biasa dipanggil dengan sebutan Coach Hafidin oleh para pengikutnya ini mempunyai 4 orang istri dan 25 orang anak. Dia merupakan santri di sebuah pondok pesantren dan mempelajari kitab kuning. Dia berkuliah di salah satu universitas di Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Agama. Selain itu, dia pernah menerima ilmu dari Mardigu Wowiek dalam berbagai acara dan pernah menjadi murid dari Coach Dr. Fahmi. Pada akun instagramnya, dia diikuti oleh 1.519 orang dan mengikuti 345 orang, dengan mengunggah berbagai poster ajakan untuk mentoring poligami. Dia menyebarluaskan kisah poligaminya beserta kiat-kiat sukses berpoligami kepada masyarakat luas melalui seminar-seminar berbayar, seperti webinar berjudul “45 Hari Sukses Berpoligami” dan “One Day Training Session The Happy Wife” yang diadakan khusus untuk perempuan. Webinar yang dilakukan tidak lepas dari campur tangan para istrinya, mereka membantu menyebarkannya. Dalam webinar tersebut, Coach Hafidin mengajak perempuan untuk mencari kebahagiaan dari seorang pria berpoligami. Kisahnya yang kontroversial tersebut serentak viral dan banyak mendapat kritik 96

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

setelah diliput dan ditayangkan di kanal Youtube Narasi pada 16 November 2021. Tayangan tersebut telah ditonton hingga lebih dari 2 juta kali, disukai oleh 116 ribu orang, dan lebih dari 38 ribu orang ikut menyampaikan tanggapannya di kolom komentar (Narasi Newsroom, 2021). Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain; (1) Apa motif dari praktik mentoring poligami Coach Hafidin?, (2) Apa saja bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam kasus mentoring poligami Coach Hafidin? Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan motif praktik mentoring poligami Coach Hafidin serta bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam kasus tersebut. Selain itu, besar harapan agar penelitian ini juga dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitianpenelitian selanjutnya yang terkait. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Yin (1996) menerangkan bahwa studi kasus merupakan proses pencarian pengetahuan yang empiris guna menyelidiki dan meneliti berbagai fenomena dalam konteks kehidupan nyata. Di samping itu, penulis juga menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode studi pustaka sebagai sumber data tambahan untuk melengkapi data-data lainnya yang terkait. Objek kajian dalam penelitian ini adalah kasus mentoring poligami Coach Hafidin di Serang, Banten. ​​ enelitian ini menggunakan teori ketidakadilan gender, seperti P yang dijelaskan di dalam Women’s Studies Encyclopedia, kata gender diartikan sebagai sebuah konsep kultural yang digunakan untuk membedakan peran, perlakuan, dan karakteristik antara laki-laki dan perempuan di lingkungan masyarakat (Musdah Mulia, 2011:151). Sedangkan menurut Mansour Fakih (2010: 8), gender merupakan sifat, peran, perilaku, dan atribut yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada konstruksi sosial budaya, bukan mengacu pada perbedaan biologis, seperti seks (jenis kelamin) yang bersifat kodrati (sebuah pemberian Tuhan yang tidak dapat diubah). PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

97

Gender merupakan proses bentukan budaya selama berabadabad yang bertransformasi sesuai zaman dan pemikiran manusia, seperti laki-laki yang digambarkan dengan sifat berani, tegar, rasional, dan kuat. Wanita digambarkan dengan sifat lembut, emosional, penakut, dan rapuh. Ironisnya sistem masyarakat patriarki di Indonesia memunculkan kepercayaan yang mengakar dalam sistem sosial budaya masyarakat yang dapat dikatakan bahwa perbedaan tersebut adalah kodrat hingga terciptalah isu ketidakadilan gender. Teori Feminisme Marx yang dikembangkan dari teori sosialkonflik dan determinisme ekonominya mengemukakan bahwa ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan berasal dari eksploitasi kelas yang berkuasa dan hubungan produksi yang diterapkan dalam sistem keluarga yang penuh konflik, sehingga perbedaan peran gender dijadikan alat untuk mengembangkan budaya kapitalisme dan patriarki (Nasaruddin Umar, 1999:62). Ketidakadilan gender merupakan sebuah sistem atau struktur konstruksi masyarakat yang salah yang menempatkan perempuan secara khusus sebagai korban (Mansour Fakih, 2010:11). Menurut Siti Musdah Mulia (2011), ada beberapa bentuk ketidakadilan gender yang terkait dengan hak asasi manusia, khususnya perempuan, antara lain: Subordinasi adalah keyakinan bahwa peran seorang perempuan lebih rendah dari peran dan kedudukan laki-laki. Perempuan dianggap tidak penting dan sekedar dijadikan sebagai pelengkap bagi kepentingan laki-laki. Hal inilah yang membatasi peran perempuan dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat. Perannya seakan dikontrol oleh banyak aspek, seperti tuntutan seorang perempuan harus selalu patuh pada perintah ayah atau suami yang menyudutkan posisi perempuan dalam pengambilan keputusan. Stereotip adalah pelabelan yang umumnya bersifat negatif yang dilekatkan kepada perempuan karena persepsi yang salah, sehingga memunculkan ketidakadilan, contohnya adalah anggapan kodrat perempuan sebagai ibu rumah tangga dan cukup bekerja di dapur, sehingga tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi. Selain itu, 98

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

perempuan juga dianggap tidak mampu menjadi pemimpin karena cenderung emosional atau tidak rasional, dan bahkan dilabeli sebagai makhluk penggoda. Beban kerja ganda adalah pemberian beban kerja yang lebih berat dan panjang terhadap perempuan, khususnya para perempuan yang bekerja di luar rumah, selain harus memenuhi kebutuhan ekonominya, mereka juga dituntut untuk bertanggung jawab dalam menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga. Padahal seharusnya hal tersebut dapat dikerjakan bersama anggota keluarga yang lain karena pekerjaan tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat kodrati. Bentuk ketidakadilan gender ini lagi-lagi memberatkan posisi perempuan karena mereka seringkali dianggap mengabaikan tanggung jawabnya di rumah maupun di kantor. Kekerasan (violence) merupakan perilaku atau ucapan yang merendahkan gender lain, terutama perempuan, dan berdampak negatif terhadap fisik, seksual, serta psikologis korban yang dapat terjadi dalam ranah domestik (rumah tangga) dan ranah publik. Hal ini terjadi karena ketimpangan gender yang menyebabkan laki-laki atau suami selalu merasa berkuasa dan lebih kuat dari perempuan, sehingga mereka merasa dapat bebas melakukan apapun dan perempuan harus menerimanya. Marginalisasi (pemiskinan perempuan) adalah tindakan peminggiran perempuan dari berbagai kegiatan ekonomi karena adanya penggolongan pekerjaan berdasarkan gender, seperti perempuan yang umumnya bekerja sebagai penjahit di pabrik, sedangkan sektor pertanian dan industri dikuasai laki-laki karena dianggap lebih mampu melakukannya. Selain itu, dalam proses analisis digunakan pula landasan teologi Islam terkait gender dan poligami untuk membantu kerja teori ketimpangan gender. Islam selalu menjunjung tinggi persamaan antar manusia, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut:

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

99

ٰ ُْ َ َ ُ ُ ْ ُ ْ َ َ َّ ُ َّ َ ُّ َ ٰٓ ‫اس ا ِنا خلقنٰك ْم ّم ِْن ذك ٍر َّوانث َو َج َعلنٰك ْم ش ُع ْو ًبا‬ ‫يايها انل‬ َ َ ُ ٰ َّ ْ َّ ْ ّٰ ْ ُ ُ َ ‫ىك ْم ۗا ِن‬ َ ‫َّو َق َب ۤاىِٕ َل لِ َ َع‬ ‫الل َعل ِيْ ٌم‬ ‫ارف ْوا ۚ ا ِن اك َر َمك ْم عِن َد اهللِ اتق‬ ٌ ْ ‫َخب‬ )١٣ :‫ي (احلجرات‬ ِ Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. (Q.S. Al-Hujurat: 13)

Jadi, Islam tentu tidak pernah melihat perbedaan gender sebagai hal yang dapat melemahkan salah satu gender lainnya, khususnya kaum perempuan, karena derajat manusia diukur melalui ibadah dan takwanya. Sejarah Islam membuktikan bahwa pada tahun ke-7 di masa Arab jahiliyyah, Rasulullah Saw. melakukan perubahan besar dalam menumpas ketidakadilan dan kekerasan terhadap kaum perempuan, seperti kepemilikan mahar perempuan, warisan bagi perempuan, dan merayakan kelahiran bayi perempuan di saat masyarakat memandangnya sebagai aib. Landasan teologi Islam yang banyak dijadikan acuan oleh masyarakat dan juga para alim ulama dalam ketentuan praktik poligami adalah Q.S An-Nisa: 3. Ayat tersebut tidak berdiri sendiri, isinya berkaitan dengan ayat lainnya dan bersifat historis, karena itulah harus dikaji secara kontekstual untuk mendapatkan isi ajaran yang sebenar-benarnya dan meluruskan dogma terhadap ajaran agama yang keliru di masyarakat tentang gender dan poligami. Al-Quran menyebutkan bahwa pernikahan adalah sebuah perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghaliza), yaitu perjanjian antara suami dengan Allah untuk memperlakukannya dengan baik dan jika tidak maka ceraikan dengan baik pula. Untuk mewujudkannya ada beberapa prinsip dasar pernikahan dalam Islam, yaitu kebebasan perempuan memilih jodoh, mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih 100

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

sayang), memperlakukan istri dengan sopan (mu’asyarah bil ma›ruf), dan saling melengkapi serta melindungi. Jika dilihat isi surat An-Nisa ayat ketiga secara tekstual seolah bertolak belakang dengan prinsip di atas. Akan tetapi, perlu ditelaah kembali secara kontekstual ayat pertama dan kedua yang terkait dengan ayat tersebut.

َ َ ْ َّ ُ َ َ َ ْ َّ ُ ُ َّ َ ْ ُ َّ ُ َّ َ ُّ َ ٰٓ ‫ِي خلقك ْم ّم ِْن نف ٍس َّواح َِد ٍة َّوخل َق‬ ‫يايها انلاس اتقوا ربكم ال‬ َّ ً َ َّ ُ َّ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ْ ‫الل ال‬ َ ّٰ ‫يا َّون َِسا ًۤء ۚ َواتقوا‬ ً ْ ِ ‫ث مِنْ ُه َما ر َجال كث‬ ‫ِي‬ ‫مِنها زوجها وب‬ ِ َ َ َ َُ ََ ً ْ ْ ُ ْ َ َ َ َ ّٰ َّ َ َ ْ ْ )١ :‫ۤءل ْون بِهٖ َوالرحام ۗ ا ِن الل كن عليكم َرقِيبا (النساء‬ ‫تسا‬ Wahai Manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Ayat pertama di atas berisi penjelasan bahwa Allah SWT menciptakan manusia, dari hal yang sama yaitu nafas yang satu (nafs wahidah). Dan dari gabungan kedua nafas itulah lahir lakilaki dan perempuan yang bersuku dan berbangsa. Ayat tersebut juga memerintahkan semua manusia bertakwa kepada Allah sebagai makhluk-Nya yang sama kedudukannya dan perannya di dunia.

ُ َّ َ َ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ ٰ ٰ َ ْ ُ ٰ َ ُ ُ َْ َ َ ْ َْ ّ َّ ٓ ‫واتوا الت‬ ‫ب ۖ َول تأكل ْٓوا‬ ِ ِ ‫م اموالهم ول تتبدلوا البِيث بِالطي‬ َ ْ َ ٰٓ ْ ُ َ ْ َ ً ُ َ َ ٗ َّ ْ ُ ًْ )٢ :‫ام َوالهم ا ِل ام َوال ِكم ۗ ا ِنه كن ح ْوبا كبِيا (النساء‬

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

101

Selanjutnya pada ayat kedua Allah SWT. memerintahkan kepada manusia untuk berlaku adil, yang dalam konteks ini secara spesifik merujuk kepada anak yatim. Hal ini mengacu pada kondisi sosial budaya pada masa jahiliyah saat itu, peperangan banyak terjadi dan berdampak pada kenaikan jumlah anak yatim yang cukup besar karena orang tua mereka gugur dalam perang. Mereka diasuh sepenuhnya oleh para wali, namun tidak sedikit dari mereka yang berlaku zalim, seperti memakan harta anak yatim dan menukar barang mereka dengan yang buruk. Konteks historis ini pun terkoneksi dengan ayat ketiga, ketika Allah SWT. memberikan solusi atas masalah tersebut, sebagaimana yang tertulis di bawah ini:

ْ ُ َّ َ ُ ْ ْ ُ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ٰ ٰ َْ ‫اب لك ْم ّم َِن‬ ‫كحوا ما ط‬ ِ ‫َوا ِن خِفت ْم ال تقس ُِط ْوا ِف التم فان‬ َ َ ُ َ َّ َ ْ ْ َ ْ ّ َ ُٰ ‫الن ِ َساۤءِ َمث ٰن َوثلث َو ُرب ٰ َع ۚ فا ِن خِف ُت ْم ال ت ْعدِل ْوا ف َواح َِدةً ا ْو َما‬ ُ ُ َ َّ َ ٰٓ ْ َ َ ٰ ْ ُ ُ ْ َ ْ َ َ َ )٣ :‫ملكت اي َمانكم ۗ ذل ِك ادن ال تع ْول ْوا ۗ (النساء‬ Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Tetapi jika khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

Kalimat “nikahilah perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat” sekilas memang menunjukkan kebolehan berpoligami dalam Islam, namun kata “perempuan yatim” pada kalimat sebelumnya menunjukkan bahwa perkara ini menyangkut masalah keadilan bagi anak yatim seperti pada ayat sebelumnya. Ayat ini diturunkan setelah perang Uhud yang menewaskan banyak mujahid muslim dan berdampak pada meningkatnya jumlah anak yatim yang diasuh oleh para wali. Banyak wali yang menikahi perempuan yatim dengan motif untuk menguasai harta peninggalan orang tua mereka. Oleh karena itu, untuk menghindari perbuatan tidak adil atau zalim tersebut turunlah ayat 102

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

ini yang menganjurkan untuk menikahi perempuan lain saja (Musdah Mulia, 2004:93-94). Dalam hadits pun Aisyah Ra. menyampaikan asbabun nuzul ayat ini yang berkenaan dengan kisah seorang wali yang tertarik dengan kecantikan dan harta seorang anak yatim kemudian menikahinya, tetapi tanpa mahar dan menyengsarakannya. Menurut Muhammad Abduh, reformer Islam dari Mesir, ayat ini juga peringatan bahwa berlaku adil dalam poligami seperti halnya kepada anak yatim mustahil dilakukan seorang manusia biasa karena kini praktik ini dijadikan pemuas syahwat sehingga mengganggu kemaslahatan umat. Berdasarkan konteks historisnya, praktik boleh dilakukan dalam kondisi darurat dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Berdasarkan pencarian penulis, penelitian mengenai ketidakadilan gender dalam kasus mentoring poligami tersebut belum pernah dilakukan. Akan tetapi, penulis menemukan beberapa penelitian yang serupa dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut: Jurnal karya Didi Sumardi pada 2015 yang berjudul “Poligami Perspektif Ketidakadilan Gender”. Penelitian ini membahas poligami dalam perspektif ketidakadilan gender dengan metode studi pustaka. Hasil dari penelitian ini adalah perspektif keadilan gender yang diperjuangkan oleh kaum feminis, poligami bukanlah sebuah jalan ideal untuk membentuk relasi keluarga yang ideal karena sejatinya perkawinan dalam Islam berasaskan monogami dan keadilan, sedangkan poligami dilakukan dalam kondisi dan syarat tertentu berpotensi menyebabkan ketidakadilan gender terhadap perempuan. Penelitian penulis tentu memiliki perbedaan dengan penelitian tersebut, yaitu memiliki rumusan masalah penelitian yang lebih sempit dan baru, yaitu mengkaji ketidakadilan gender dengan studi kasus mentoring poligami di Indonesia sebagai objek penelitiannya. Jurnal karya Putri Jannatur Rahmah, Ikke Pradima Sari, Muhammad Roy Purwanto pada 2021 dengan judul “Praktik Poligami dalam Komunitas Poligami Indonesia Perspektif CEDAW”. Penelitian ini membahas motif dari praktik poligami yang dilakukan oleh Komunitas Poligami di Indonesia ditinjau dari perspektif prinsip PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

103

CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yaitu keadilan, kesetaraan, dan nondiskriminasi. Dapat disimpulkan bahwa motif terciptanya komunitas poligami ini adalah poligami dianggap sebagai hal yang vital dalam mencapai kesalehan dan memiliki dampak positif seperti meminimalisir kasus perselingkuhan dan penularan HIV, sehingga perlu disebarluaskan. Hal tersebut bertolak belakang dengan pendapat para feminis dan beberapa ulama bahwa poligami bukanlah syariat dan wujud kekerasan terhadap perempuan. Penelitian penulis menganalisis objek kajian yang berbeda dengan penelitian ini, yaitu praktik poligami berupa kegiatan mentoring. Selain itu, perspektif penelitian penulis lebih menitikberatkan pada teori ketimpangan gender. Jurnal karya Haikal Fadhil Anam pada 2020 yang berjudul “Poligami dalam Hermeneutika Feminis Amina Wadud”. Penelitian ini memfokuskan kajiannya dalam menganalisis hakikat pemikiran Amina Wadud pada hak perempuan dan kebebasan poligami dengan teori hermeneutika feminisnya, mulai dari konsep pembebasan, patriarki, dan klasifikasi makna. Dapat disimpulkan, bahwa menurutnya poligami dibolehkan dalam konteks khusus, seperti dalam konteks hak asuh anak yatim korban peperangan di masa lalu dan korban perceraian di masa sekarang. Penelitian penulis memiliki fokus bahasan yang melihat isu poligami lebih luas melalui perspektif ketimpangan gender dalam sebuah praktik poligami di Indonesia dengan teori yang tentu berbeda. Dari ketiga tinjauan pustaka yang digunakan oleh penulis, maka penelitian ini memiliki beberapa perbedaan dan pembaharuan dari penelitian sebelumnya, yaitu rumusan masalah yang digunakan oleh penulis mengkaji ketidakadilan gender dengan studi kasus mentoring poligami Coach Hafidin di Serang, Banten sebagai objek penelitiannya. Disamping itu, penggunaan teori dalam penelitian ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu teori ketidakadilan gender.

104

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Hasil dan Pembahasan A. Motif Praktik Mentoring Poligami Coach Hafidin Mentoring merupakan sebuah aktivitas berupa metode bimbingan praktis dari seorang individu yang sudah sangat berpengalaman, senior, atau menguasai hal-hal tertentu (mentor) untuk membagikan ilmunya kepada orang yang membutuhkannya (mentee) demi tercapainya suatu tujuan tertentu. Mentoring pada umumnya digunakan sebagai sarana pembelajaran akademik, agama, karir maupun dalam organisasi, sehingga mentor atau guru ini dipercaya sebagai sosok panutan yang ahli di bidangnya. Metode inilah yang ditempuh oleh Coach Hafidin, seorang praktisi sekaligus mentor poligami di lingkungan pesantrennya maupun di lingkungan masyarakat luas untuk mengajarkan praktik poligami yang sukses kepada masyarakat, baik kaum laki-laki yang juga ingin berpoligami maupun kaum perempuan yang bersedia dipoligami. Kemunculan fenomena ini, membuka mata kita untuk melihat secara lebih mendalam bahwa permasalahan poligami di masyarakat Indonesia kini telah berkembang menjadi sebuah isu yang unik, namun memprihatinkan. Dapat dikatakan bahwa hal ini bukanlah sebuah perkembangan, melainkan sebuah fenomena budaya yang mempertontonkan kemunduran umat akibat kekeliruannya dalam memahami dan mempraktikkan ajaran agama. Baik dalam motif, tujuan, maupun praktik mentoring poligami yang dilakukan Coach Hafidin dengan alasan dakwah, nyatanya berbanding terbalik dengan ajaran Islam, bahkan merusak representasi keluarga Islam yang seharusnya, karena itulah penelitian ini diperlukan untuk memperbaiki masalah tersebut. Melalui wawancara langsung yang ditayangkan tim Narasi di kanal YouTube-nya, Coach Hafidin secara gamblang menyatakan bahwa tujuan utama dari praktik mentoring poligami yang dilakukannya adalah untuk memperbaiki orang (umat) yang masih menganggap poligami sebagai hal yang tabu dan melecehkan perempuan sehingga banyak dihindari. Coach Hafidin mengaku bahwa memang PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

105

pada awalnya dia tidak pernah memiliki niatan untuk menjadi mentor poligami karena hal tersebut adalah privasi setiap keluarga, sebagaimana kesepakatannya dengan istrinya. Akan tetapi, pada saat itu banyak kaum laki-laki yang mengeluhkan masalah rumah tangganya, seperti naiknya libido mereka kepada perempuan lain tetapi mereka tidak ingin berzina dan ingin menghalalkannya dengan berpoligami tetapi juga belum mengerti ilmunya. Oleh karena itu, para laki-laki ini membutuhkan pengajaran atau mentoring dari Coach Hafidin karena mereka melihat praktik poligami yang dilakukannya terbilang sukses dengan terpenuhinya kebutuhan setiap istri. Coach Hafidin pun bertanya kepada salah satu istrinya dan menurut istrinya pun dia berhasil membangun rumah tangga yang baik. Hal itulah yang menjadi motif awal Coach Hafidin mengembangkan praktik mentoring poligami tersebut dan mengajarkan kiat-kiat sukses berpoligami dengan mudah melalui pengalamannya. Selain itu, praktik mentoring poligami yang dia lakukan dapat menjadi ladang penghasilan yang cukup besar bagi kehidupannya bersama keempat istrinya dan anak-anaknya. Bahkan, dalam jangka waktu tiga bulan dia sudah mendapatkan lebih dari 25 klien atau murid dengan penghasilan puluhan juta per kliennya. Dia juga dengan tegas menyatakan bahwa yang diajarkannya itu adalah hal yang benar dan mengumpamakannya seperti mengajar mengaji, sehingga menurutnya tidak masalah mengambil keuntungan dari usahanya tersebut. Di samping itu, motif melakukan poligami itu sendiri secara lugas terucap dari pernyataannya bahwa selama ini dia sudah menikahi 6 perempuan, namun dua perempuan sudah dilepas, dengan alasan karena sudah menopause, sedangkan sang kiai masih ingin memiliki anak banyak. Motifnya tersebut tentu sangat bertolak belakang dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Ketika itu Rasulullah Saw. melakukan poligami dengan motif dakwah Islam dan melindungi para perempuan yang masuk Islam, seperti Saudah binti Zam’ah yang dibuang keluarganya karena dia memeluk Islam. Bahkan, Saudah 106

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

diketahui sudah menopause, sehingga jelas bahwa motif poligami yang banyak dilakukan para laki-laki pada zaman ini, termasuk Coach Hafidin, bertentangan dengan apa yang dicontohkan Rasulullah Saw. Fakta ini pun membenarkan pendapat sejumlah pemikir Islam modern, seperti Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa praktik poligami adalah tindakan yang dilarang dan tidak bermoral karena pada masa ini praktik poligami bertransformasi menjadi pemuas kebutuhan seks para laki-laki yang merusak kemaslahatan umat. Di tengah kejayaan Islam pada masa Umayyah hingga Ottoman tanpa sadar perlahan Islam mengalami keterpurukan moral akibat poligami, yang mana saat itu para sultan memiliki banyak harem yang menjadi tempat pertukaran dan penampungan ratusan bahkan ribuan perempuan untuk “melayani” sultan (Dara Affiah, 2017:6566). Dari peristiwa itulah, mereka yakin bahwa prinsip pernikahan sesungguhnya dalam Islam adalah monogami. Dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 3 secara tersirat menjelaskan bahwa konteks poligami saat itu terjadi dalam kondisi yang mendesak, yaitu untuk menyebarluaskan Islam, menopang ekonomi, dan menjunjung keadilan bagi para janda dan anak yatim pasca Perang Uhud. Kata “adil” itu sendiri memang selalu menjadi kunci utama sebagai syarat seseorang dapat melakukan poligami. Pemikiran tersebut telah tumbuh dan mengakar di benak masyarakat Indonesia, bahkan para ulama yang membenarkan praktik poligami apabila dapat berlaku adil. Hal tersebut memang dijelaskan dalam ayat tersebut, namun di sisi lain Al-Quran juga menjelaskan lebih lanjut terkait kata “adil” tersebut dalam ayat setelahnya, yaitu dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 129 yang memiliki arti “Kamu takkan dapat berlaku adil terhadap perempuan meskipun kamu berhasrat demikian”. Hal tersebut mencerminkan bahwa mustahil seseorang untuk berlaku adil dalam perkawinan poligami. Jadi, Al-Quran seolah-olah menggambarkan poligami sebagai sebuah hal yang mustahil untuk dilakukan dan tidak dianjurkan. Al-Quran mengizinkannya dengan syarat adil, namun di saat yang PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

107

bersamaan dijelaskan bahwa tidak ada manusia yang dapat berlaku adil dalam perkara tersebut. Nyatanya, pada zaman modern ini, Islam sudah tersebar luas, anak yatim terpelihara dengan baik di berbagai rumah singgah, dan kesempatan kerja bagi perempuan sudah terbuka cukup lebar. Banyak perempuan yang dapat memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri, sehingga tidak membutuhkan topangan ekonomi dari laki-laki. Oleh karena itu, motif-motif untuk berpoligami pada zaman ini sudah tidak relevan lagi. Selain itu, motif praktik mentoring poligami Coach Hafidin sebagai pemuas hasrat seksual laki-laki jelas bertentangan dengan Islam yang mengajarkan pentingnya mengendalikan hawa nafsu. Selain mengadakan mentoring poligami bagi para laki-laki, Coach Hafidin juga mengadakan mentoring poligami untuk para perempuan agar dapat hidup bahagia dengan suami yang berpoligami. Melalui tren kampanye poligaminya yang menyasar kepada kelompok ekonomi menengah ke bawah, dia ingin menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa berpoligami tidak harus kaya raya. Dengan kehidupan yang sederhana pun bisa berpoligami dengan “adil”. Walaupun lingkungan rumahnya cukup sederhana, namun dia dapat membuat rumah terpisah bagi semua istrinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa dia cukup berada secara ekonomi. Padahal, realitanya tidak mungkin dapat menghidupi keluarga sebesar itu dengan 4 istri dan 25 anak tanpa biaya yang sedikit. Hal ini menjadi kontras dengan himbauan poligaminya yang hanya dijadikannya sebagai sebuah paradoks. Motif praktik mentoring poligami yang dilakukan Coach Hafidin tersebut adalah sebuah ajaran dan pernyataan yang tidak berdasar. Tidak ada ayat manapun yang menunjukkan bahwa praktik poligami ini adalah hal yang harus diperjuangkan dan disebarkan seperti ajaran-ajaran Islam yang didakwahkan Rasulullah Saw. pada saat itu. Justru para pemuka agama seharusnya membuka pandangan masyarakat akan konteks poligami dalam Islam yang sebenarnya, bukan mengajak dan seolah mengentengkan syarat-syarat dalam poligami seperti yang diiming-imingkan Coach Hafidin dalam program mentoringnya, karena nyatanya Rasulullah Saw. pun tidak 108

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

pernah mencontohkannya, bahkan melarang anak perempuannya, yaitu Fatimah untuk dipoligami. Berlawanan dengan Coach Hafidin yang sangat ingin anak perempuannya dipoligami karena baginya itu sama dengan meneruskan perjuangannya memarakkan poligami. Jadi, melalui pandangan Islam sendiri motif praktik poligami tersebut, terlebih lagi mentoring poligami yang bertujuan untuk memperbanyak praktik tersebut di masyarakat bertentangan dengan konteks ajaran dalam Al-Quran dan ajaran Rasulullah Saw. Di samping motif Coach Hafidin sendiri, perlu diketahui pula motif keempat istrinya yang bersedia dipoligami. Istri keduanya yang bernama Ummu Nailah Komariyah atau biasa dipanggil Cinta berasal dari Serang dan merupakan murid dari Coach Hafidin. Dia menjelaskan bahwa pernikahannya dengan sang kiai merupakan hasil perjodohan oleh kakak iparnya. Hal tersebut cukup membuatnya kaget saat itu, karena Coach Hafidin diketahui sudah memiliki istri. Dia pun sempat menolak, namun karena kakak iparnya yakin dengan sang kiai, Ummu Nailah Komariyah pun menerima kondisi tersebut. Sama seperti istri ketiganya, yaitu Umi Amira Salsabila yang berasal dari Tasikmalaya dan merupakan seorang janda beranak 3. Dia juga dijodohkan oleh kakak iparnya. Dia melihat kakak iparnya adalah orang yang saleh sehingga dengan munculnya kepercayaan lebih terhadap keluarga terdekat yang dianggap paham agama, dia pun percaya bahwa poligami adalah syariat dan membuatnya terdorong mengikuti praktik tersebut. Motivasi untuk mengikuti praktik poligami juga didapatkan istri keempat Coach Hafidin, yaitu Mita Mufida yang mendapat dorongan dari kedua orang tuanya, terutama abinya (ayah). Perempuan yang biasa dipanggil Adek ini dinikahi Coach Hafidin pada umur 16 tahun. Pada awalnya merasa ragu karena dia merupakan salah satu santri di pesantren tersebut, sehingga sudah menganggap kiai dan istri-istrinya seperti ayah dan ibunya sendiri. Selain itu, dia ingin sekali berkuliah pada saat itu, namun sang ayah tetap memaksanya karena menurutnya menikah tidak akan menghalangi niatnya tersebut. Akan tetapi, dalam liputan tersebut tidak menampilkan sosok istri pertama dari Coach PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

109

Hafidin, entah terdapat alasan apa di balik tidak munculnya istri pertama tersebut. Berdasarkan pernyataan ketiga istrinya tersebut, didapat beberapa kesamaan motif sang istri mengizinkan dan bersedia dipoligami oleh Coach Hafidin, yaitu karena mereka percaya bahwa poligami adalah syariat. Padahal, seperti yang dikatakan Amira (istri ketiga Coach Hafidin), sebenarnya di dalam hati kecil setiap perempuan manapun tidak ada yang ingin dipoligami. Akan tetapi, kepercayaan akan syariat poligami yang berkembang di masyarakat tersebut, termasuk dalam rumah tangga Coach Hafidin umumnya bersumber dari hal yang sama, yaitu adanya intervensi orang ketiga, dalam hal ini keluarga mereka sendiri yang “memotivasi” dan memberikan pandangannya terkait poligami. Intervensi orang terdekat, terutama keluarga yang tentunya mereka percaya dan condong memilih untuk mengikutinya dapat menjadi sumber pemicu kesalahan interpretasi syariat poligami dalam Islam. Dalam sejarah masyarakat Arab jahiliyah, hal ini dinamakan sebagai hak ijbar, yaitu pemaksaan orang tua, utamanya seorang ayah, paman, atau kakak laki-laki, untuk menikahkan anak atau saudara perempuannya dengan laki-laki yang bukan pilihannya. Padahal, di sisi lain Rasulullah SAW mencontohkan untuk selalu meminta pendapat putrinya dan memberi hak pilih pada putrinya untuk menerima atau menolak ketika hendak menjodohkannya. Hal ini dilakukan Rasulullah SAW untuk merubah kebiasaan hak ijbar yang marak dalam tradisi masyarakat Arab saat itu. Dijelaskan pula dalam Al-Quran bahwa sebagai seorang istri, perempuan juga mempunyai hak yang sama dalam menentukan pilihannya sendiri (al-istiqlal asy-syakhshi) atas dasar keyakinannya yang benar walaupun berlawanan dengan suaminya, seperti kisah Asiah (istri Firaun) yang memilih untuk tidak mengikuti suaminya.

110

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

B. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Kasus Mentoring Poligami Coach Hafidin Abad ke 7 M menjadi awal mula ditunjukkannya realitas persamaan laki-laki dan perempuan melalui ajaran Islam. Bahwa perempuan adalah manusia, dan setiap manusia adalah hamba Allah (Q.S. AnNisa: 124) yang diberi tugas sebagai khilafah fil ardh (Q.S. An-Nahl: 97). Jadi, perempuan bukanlah harta benda yang dapat dikuasai secara mutlak oleh laki-laki, baik ayah ataupun suaminya, seperti pada masa terdahulu. (Nur Rofiah, 2020:12). Layaknya manusia lain, dalam kehidupannya, perempuan tentu memiliki hak-hak yang patut dipenuhi, salah satunya adalah hak untuk mendapat keadilan. Keadilan di mata hukum, keadilan dalam menjalankan kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Sayangnya, sedari dulu hingga sekarang keadilan akan hak-hak perempuan masih mengalami kebuntuan. Padahal di Indonesia sejak era reformasi para kaum perempuan telah berupaya memperjuangkan hak-hak mereka, sehingga lahirlah berbagai perangkat hukum yang mengatur dan melindungi hak-hak perempuan, seperti UU No. 39 tahun 1999 yang mengatur tentang hak-hak asasi perempuan, UU No 23. tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, berdirinya Komnas Perempuan, dan lembagalembaga swadaya masyarakat untuk perlindungan perempuan. Ironisnya, aturan-aturan tersebut tidak lebih dari sekedar tulisan, karena pada kenyataannya ketidakadilan gender terhadap wanita kian merajalela. Menurut laporan World Economic Forum (WEF), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pada 2021 Indonesia masih memiliki Gender Gap Index yang cukup besar yaitu sebesar 0,688 dari 1 (Sri Rahayu, 2022). Hal tersebut tidak hanya terjadi di sektor publik, namun juga dalam sektor pribadi, yaitu rumah tangga. Sebagai istri mereka dituntut untuk mengutamakan suami dan pekerjaan rumah dibanding kehidupan pribadinya. Banyak pula yang masih menjadi korban kekerasan fisik maupun psikologis dalam rumah tangga. PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

111

Tidak terbayangkan bagaimana hal tersebut terjadi dalam rumah tangga yang melakukan poligami, seperti yang dilakukan Coach Hafidin, yang mana memperbesar kemungkinan konflik akibat ketidakadilan terhadap para istri daripada pernikahan monogami. Praktik poligami tentu tidak hanya bersandar pada nilai-nilai keagamaan, melainkan dapat menjadi perwujudan ketidakadilan gender bagi perempuan. Jika motif mentoring poligami yang dilakukan Coach Hadifin telah terbukti bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam, maka berdasarkan sudut pandang hak asasi dan kemanusiaan, ketidakadilan gender dalam praktik mentoring poligami Coach Hafidin dapat direalisasikan dalam beberapa bentuk berikut. 1. Suami sebagai Pemegang Semua Kontrol dalam Rumah Tangga Poligami yang dijalankan Coach Hafidin nyatanya tidak dilakukan secara terbuka. Ketika hendak menikah lagi, dia tidak pernah meminta izin kepada istri-istrinya yang lain. Menurutnya, izin dari istri-istrinya yang lain tidak diperlukan karena istri sudah seharusnya mengikuti semua kemauan suaminya, tanpa sedikitpun menentangnya. Kiai: Ngapain izin? Emang istri saya kepala dinas? (saat ditanya reporter apakah izin kepada istri untuk menikah kembali). Reporter: Bukannya harus dengan persetujuan istri? Kiai: Nggak, kan istri mah manut aja sama saya.

Dialog hasil wawancara tersebut mencerminkan ketidakpedulian suami dengan pendapat istri. Terlihat jelas bahwa Coach Hafidin memegang semua kontrol dalam rumah tangganya. Aksi dan pernyataan Coach Hafidin tersebut pun menunjukkan bahwa dia telah melakukan subordinasi terhadap istrinya. Seperti halnya makna subordinasi, dia meyakini bahwa laki-laki atau suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan peran istrinya dalam rumah tangga. Menurutnya, istri harus menuruti semua keputusan yang diambilnya tanpa

112

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

boleh menentangnya, sehingga menikah lagi secara diam-diam tidak menjadi masalah yang berarti untuknya. Dalam kasus ini, kedudukan perempuan sebagai istri seolah tidak dianggap. Mereka juga tidak bisa mengutarakan pendapatnya dalam rumah tangga karena disudutkan dengan interpretasi ajaran agama yang keliru bahwa mereka harus selalu patuh pada perintah suami. Mereka tidak lebih dari pion yang langkah demi langkahnya dikontrol oleh sang suami. Padahal telah disebutkan dalam Al-Quran bahwa salah satu citra wanita ideal, yaitu wanita yang memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan pribadi yang benar (Q.S. At-Tahrim: 11), yang tentunya ketika sudah menikah pilihan tersebut harus didiskusikan bersama antara satu sama lain. Salah satu faktor terjadinya kontrol mutlak tersebut yaitu akibat stereotip yang juga merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender di masyarakat yang menganggap bahwa laki-laki memiliki kedudukan dan peran yang lebih tinggi daripada perempuan. Oleh karena itu, mereka dipercaya menjadi pemimpin dan memiliki kuasa yang lebih tinggi untuk mengatur. Selain itu, kontrol mutlak Coach Hafidin terhadap keputusan atas istri-istrinya juga dapat menyebabkan istri-istrinya mengalami tekanan batin. Mereka cenderung memendam perasaan dan pendapatnya karena didoktrin untuk patuh secara mutlak terhadap suaminya tanpa memikirkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Dalam menjalankan kehidupan rumah tangga yang berpoligami pun tentunya perasaan cemburu kepada istri yang lain tidak dapat terhindarkan. Namun, mayoritas dari mereka berusaha menyembunyikan perasaan tersebut, seperti pernyataan istri keempat yang mengaku jika dia sering memendam rasa cemburunya. Terlebih di usianya yang masih sangat labil. Pada akhirnya, masalah ini pun dapat berujung menjadi kekerasan psikis terhadap perempuan sebagai seorang istri. Seorang istri memang sepatutnya patuh pada suami, namun tidak secara PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

113

mutlak. Jika ada hal-hal yang dianggap tidak benar berakibat menyakiti pasangannya, maka istri juga memiliki hak untuk menolak. 2. Mendoktrin Istri untuk Bermaslahat secara Mutlak terhadap Suami Ketidakadilan gender yang berbentuk subordinasi akibat kontrol mutlak Coach Hafidin terhadap istri-istrinya ternyata tidak hanya diterapkan dalam rumah tangganya sendiri. Hal tersebut kerap diajarkannya kepada para suami atau laki-laki dalam kelas praktik mentoring poligami. Bahkan, para istri-istri yang mengikuti seminar poligami bagi perempuan pun menjadi sasaran doktrinnya. Dalam seminar tersebut, Coach Hafidin secara tegas menyatakan kepada mereka bahwa taat kepada suami adalah syarat mutlak. Apapun yang dilakukan suami, istri harus menerima dengan senang hati. Kiai : “Terserah apapun yang kau mau wahai suamiku, fokusku hanya satu yaitu memberi yang terbaik untukmu. Apapun yang terjadi aku tidak peduli. Yang penting apa yang bisa aku perbuat dan berikan yang terbaik bagi suamiku”. “Kala suami tidak bereaksi baik kepada kita, kita tidak perlu marah karena berbakti kepada suami untuk mendapat pahala Allah.”

Pernyataannya tersebut dimaksudkan untuk menggiring opini dan pemikiran para istri seolah apa yang diajarkannya adalah syariat Islam yang benar, bahwa wajib taat kepada suami secara mutlak. Jadi, dia mendoktrin para istri bahwa apapun yang dilakukan suami bahkan bertindak kekerasan secara fisik maupun mental atau batin, termasuk dipoligami, harus diterima dengan ikhlas dan sabar karena hal tersebut diibaratkan sebagai jalan ibadah kepada Allah. Bahkan, istri pun kerap dijadikan kambing hitam atau dianggap sebagai sumber masalah jika suami tidak bereaksi baik padanya. Padahal, sejatinya Islam mengajarkan ketaatan yang 114

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

mutlak hanya dilakukan kepada Allah SWT. semata. Walaupun telah menjadi kepala keluarga, suami tidak boleh menuntut istrinya, baik peran maupun tubuhnya hanya untuk kemaslahatan laki-laki karena sejatinya hal itu adalah amanah semata yang sama-sama harus digunakan untuk bermaslahat kepada-Nya. Representasi bentuk ketidakadilan gender dalam doktrin tersebut bertentangan dengan prinsip equality (persamaan) dalam Al-Quran yang menegaskan hubungan egalitarian suamiistri, seperti dalam surat Al-Dzariyat ayat 49. Kesetaraan fungsi suami dan istri juga diilustrasikan dalam surat Al-Baqarah ayat 187 dengan konsep pakaian yang saling melengkapi, bukan mendominasi (Mizan Yusefri, 2015). Jadi, suami dan istri wajib untuk menggauli sesamanya dengan cara yang baik, bukan hanya istri yang dituntut untuk melayani dengan baik. 3. Kontrol terhadap Seksualitas Perempuan Stereotip masyarakat yang telah terbangun berabad-abad kerap kali menempatkan posisi perempuan seperti mesin penghasil bayi. Fungsi atau peran mereka tidak lain hanya dianggap untuk mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengurus anak serta rumah tangga. Terkadang mereka diperlakukan secara tidak baik dan dijadikan sebagai objek hasrat para lelaki. Hal inilah yang menimbulkan ketidakadilan dalam bentuk marginalisasi, yaitu peminggiran perempuan dalam perannya dalam kehidupan pribadi maupun publik. Dalam kasus praktik dan mentoring poligami Coach Hafidin ini, kontrol terhadap seksualitas perempuan menjadi salah satu contoh perwujudan dari dua bentuk ketidakadilan tersebut. Faktanya, sang kiai sendiri pun mengaku bahwa ia pernah menceraikan istri yang pernah dinikahinya karena sudah menopause, sedangkan dia masih ingin memiliki banyak anak. Kiai: Saya sudah menikahi 6 perempuan namun 2 sudah dilepas, dengan alasan (1) karena sudah menopause namun

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

115

masih ingin memiliki anak banyak, (2) menikahi seorang janda dan takdirnya tidak layak untuk diteruskan.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pernikahan poligami yang dilakukannya bukan atas dasar cinta ataupun berdakwah, seperti Rasulullah Saw., melainkan hanya untuk penyaluran nafsunya. Dari kasus ini, nampak jelas bahwa daya reproduktif istri-istrinya banyak dikontrol oleh Coach Hafidin. Jika mereka tidak sesuai dengan ketentuan dan keinginannya, maka langsung diceraikan. Tidak ada kebebasan untuk memutuskan berapa banyak anak yang mereka inginkan, kapan, ingin atau tidak untuk hamil lagi. Perempuan diwajibkan memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki tanpa laki-laki tersebut memahami apa yang dirasakan perempuan. Hal ini dapat menjadi bentuk subordinasi terhadap perempuan atas kontrol terhadap seksualitasnya (Kamla Bhasin, 1996:6-9). Sejatinya, tidak ada yang berhak atas tubuh seorang perempuan, kecuali dirinya dan penciptanya. Sangat tidak adil jika laki-laki terus berkuasa atas semua hal, sementara fungsi perempuan dipandang sebelah mata dan dihempaskan ketika tidak dapat memberikan keturunan. Selain itu, sistem keluarga di Indonesia kerap kali hanya menyalahkan perempuan jika mereka tidak dapat mremberikan keturunan. Padahal, Islam telah mengajarkan prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf (pergaulan yang sopan dan santun) dalam pernikahan, bahwa suami istri harus dapat bergaul serta berkomunikasi secara terbuka, jujur, sopan dan santun, jauh dari perilaku kekerasan, dominasi, diskriminasi dan eksploitasi. 4. Beban Kerja Ganda para Istri Beban kerja ganda tentunya dirasakan para istri Coach Hafidin yang berperan sebagai ibu rumah tangga sekaligus aktif mengajar di pesantrennya itu. Terutama bagi Mita, sang istri keempat kiai, yang mengaku bahwa dia dinikahi oleh Coach Hafidin pada usia yang masih sangat belia, yaitu 16 tahun. Setelah menikah Mita 116

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

dan kiai langsung hidup bersama dalam satu rumah dan memiliki anak. Hal tersebut tidak mencontohkan perbuatan Rasulullah Saw. yang menunggu Aisyah sampai cukup umur untuk hidup bersama satu rumah. Perempuan yang biasa dipanggil dengan sebutan Adek tersebut juga mengaku bahwa sebenarnya dia ingin melanjutkan kuliah, namun sang ayah dan kiai seolah mendorongnya untuk menikah dan dapat kuliah setelahnya. Kiai: Berapa umur sekarang dek? Istri Keempat: 19 tahun. Reporter: Berarti menikah di tahun berapa? Istri Keempat: Tahun 2018, umur 16 tahun. Reporter: apa ragu-ragu di awalnya? Istri Keempat : Ya ragunya karena sudah dekat banget dengan istri-istrinya dan menganggap pak Kiai juga kayak ayah sendiri, istrinya juga kaya ibu sendiri. Terus maunya karena, pertama dikasih motivasi dari abi. Waktu habis dilamar kan ditanya mau atau nggak, soalnya saya pengen kuliah juga, tapi kata ustadz menikah itu tidak menghalangi itu semua.

Apa yang dialami Mita tersebut dapat menjadi implementasi beban ganda yang dipikul perempuan. Dalam usianya yang masih belia, dia dituntut untuk membagi waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengurus rumah, mengajar, sekaligus mewujudkan keinginannya untuk berkuliah. Terlihat bahwa ayahnya dan sang kiai pun seolah menganggap gampang keinginannya untuk berkuliah dapat dijalankan serta berperan sebagai seorang istri. Hal tersebut dikarenakan perkawinan anak tersebut tidak akan membuat laki-laki mengalami pengalaman biologis maupun psikologis yang penuh rasa sakit dan lelah seperti perempuan. Terlebih lagi jika hal tersebut dialami anak perempuan muda seperti Mita yang bahkan dapat membahayakan keselamatan mental dan fisik anak yang belum sanggup menanggungnya. Oleh karena itu, KUPI (Komisi Ulama Perempuan Indonesia) PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

117

menyatakan kewajiban hukum terhadap pencegahan perkawinan anak yang berbahaya (Nur Rofiah: 58–59). Beban ganda tersebut lagi-lagi terbentuk sejak lama dalam benak dan budaya masyarakat patriarki, yang menjadikan komitmen perempuan dalam rumah tangga adalah abadi sedangkan komitmen laki-laki pada rumah tangga bersifat temporal. Maksudnya, apabila perempuan dari kerja pulang ke rumah maka dia seperti sedang mengerjakan tugas pekerjaan shift kedua setelah pekerjaan formalnya, namun apabila laki-laki ikut andil dalam pekerjaan rumah maka peran mereka lebih pada membantu. Jika perempuan bekerja maka dia menjalani peran dan tanggung jawab ganda yang sangat berat. Ini adalah takdir tragis perempuan. Hal ini biasa disebut sebagai superwoman syndrome. Mirisnya, beban ganda ini terkadang diciptakan oleh perempuan itu sendiri, yang mana sudah tertanam dalam dirinya akibat pengaruh budaya patriarki bahwa keagungan baginya adalah rumah, sehingga melupakan waktu bagi dirinya sendiri. Kemudian apabila urusan di rumah berantakan maka sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologisnya (Dewi Candraningrum, 2013:14– 15). 5. Dampak terhadap Anak Dampak poligami terhadap ketidakadilan gender tentunya tidak hanya dirasakan oleh perempuan sebagai seorang istri. Secara tidak langsung, hal tersebut juga berdampak besar bagi anak-anak yang berada dalam pernikahan ganda tersebut terutama anak perempuan mereka (Siti Rohmah, dkk., 2021: 161). Mereka akan ikut merasakan ketidakadilan baik secara moril maupun materil, seperti kasih sayang seorang ayah yang terbagi dan pandangan lingkungan terhadap mereka yang ayahnya berpoligami. Terlebih lagi, jika sedari kecil mereka telah dituntut dan dikontrol di bawah kekuasaan ayahnya untuk melakukan hal yang serupa,

118

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

yaitu dipoligami, seperti yang dilakukan Coach Hafidin terhadap anak-anak perempuannya. Coach Hafidin mengatakan bahwa dia tidak keberatan jika nanti anak perempuannya dipoligami oleh suaminya. Bahkan menurutnya itu sangat bagus demi meneruskan perjuangannya membesarkan praktik poligami dengan mengamanatkan kepada para istrinya kalau anaknya nanti dijadikan sebagai istri kedua ketiga dan keempat. Sama seperti ibunya, mereka tidak diberikan pilihan untuk menentukan hidupnya sendiri. Dampak-dampak psikologis itulah yang menyisakan trauma dalam diri mereka, dan secara tidak sadar berujung pada kekerasan psikis dan eksploitasi anak. Reporter: kalau anak perempuan (20 tahun) pak kiai di poligami bagaimana? Kiai: Gapapa, bagus. Bahkan saya sudah amanatkan kepada seluruh istri saya, kalau mau ikut perjuangan ayah, maka jadikan anak-anak putri kalian menjadi istri kedua, ketiga atau keempat. (Kalau menjadi istri pertama itu urusan dia) Artinya kalau dilamar jadi istri kedua, ketiga, keempat buat saya tidak masalah.

Kesimpulan Setelah pemaparan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa praktik mentoring poligami Coach Hafidin atau yang biasa disebut Kiai merupakan salah satu isu yang dapat menjadi simbol dari kemunduran umat, baik dalam beragama maupun dalam hal kemanusiaan. Adapun motif mentoring poligami Coach Hafidin maupun motif pribadinya untuk berpoligami bukanlah praktik poligami yang dibenarkan dalam ajaran Islam karena di dalamnya berisi banyak ajaran yang bertentangan dengan ajaran Islam yang dicontohkan Rasulullah Saw. Praktik ini sebenarnya hanya dibuat dengan tujuan bisnis yang dikemas dengan membawa nilai-nilai agama yang salah. Hal ini tentu PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

119

tidak dibenarkan karena ajaran yang dibawa oleh Kiai tersebut salah karena secara tidak langsung telah mencemari agama Islam. Selain itu, praktik ini telah melanggar batas-batas keadilan gender karena memuat doktrin-doktrin yang melemahkan peran perempuan serta menjerumuskan kehormatan perempuan sebagai istri, seperti doktrin untuk mengontrol istri secara mutlak, beban kerja ganda para istri, dan kontrol terhadap seksualitas perempuan.

Daftar Pustaka Affiah, Neng Dara. 2017. Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Azis, Asmaeny. 2007. Feminisme Profetik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bhasin, Kamla. Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Candraningrum, Dewi. 2013. Superwoman Syndrome & Devaluasi Usia: Perempuan dalam Karier dan Rumah Tangga, dalam Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Jakarta: Jurnal Perempuan. Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Moghissi, Haideh. 2005. Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Muhammad, K.H. Husein. 2007. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Mulia, Siti Musdah. 2004. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Mulia, Siti Musdah. 2011. Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep & Implementasi. Jakarta: Naufan Pustaka. 120

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Mulia, Siti Musdah. 2011. Muslimah Sejati: Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi. Bandung: Marja. Purwanto, Muhammad ; Sari, Ikke ; Rahmah, Putri. 2021. Praktik Poligami dalam Komunitas Poligami Indonesia Perspektif CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women). Jurnal Mahasiswa FIAI-UII: at-Thullab, Vol.2, No. 1. Rofiah, Nur. 2020. Nalar Kritis Muslimah: Refleksi atas Keperempuan, Kemanusiaan, dan Keislaman. Bandung: Afkana.id. Romli, Mohamad Guntur. 2010. Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam. Jakarta: Freedom Institute. Sumardi, Didi. 2015. Poligami Perspektif Keadilan Gender. Jurnal ‘Adliya, Vol. 9 No. 1, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif AlQur’an. Jakarta: Paramadina. Umar, Nasaruddin. 2003. Teologi Jender: Antara Mitos dan Teks Kitab Suci. Jakarta: Pustaka Cicero. Yusefri, Mizan. 2015. Hukum Poligami Menurut Siti Musdah Mulia. Jurnal Ilmu Syariah: FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) BOGOR, Vol. 3 No. 2. Situs Daring Insertlive. 2021, 20 November. Beri Mentoring Poligami, Coach Hafidin: Saya Berhak Terima Upah Puluhan Juta. Insert : Jakarta. Diakses pada 9 Februari 2022 dari https://www.insertlive. com/hot-gossip/20211120153336-7-254352/beri-mentoringpoligami-coach-hafidin-saya-berhak-terima-upah-puluhan-juta Mahendra, Usman. 2021, 23 November. Polemik Mentor Poligami; Merugikan Perempuan atau Wujud Pengabdian Pada Suami?. PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

121

Djawa News. Diakses dari https://djawanews.com/berita-hariini/polemik-mentor-poligami-merugikan-perempuan-atauwujud-pengabdian-pada-suami-28256 Rahayu, I. R. S. Sri Mulyani: Ketimpangan Gender di Indonesia Masih Cukup Besar. KOMPAS.com. Diakses pada 1 Juni 2022 dari https:// money.kompas.com/read/2022/04/21/183700126/sri-mulyani— ketimpangan-gender-di-indonesia-masih-cukup-besar?page=all. Rasyid, Raihan. 2021, 23 November. Coach Hafidin Seorang Mentor yang Mengkampanyekan Poligami, Lalu, Bagaimanakah Sebenarnya Hukum Poligami dalam Islam?. Diakses pada 8 Februari 2022 dari https://www.kompasiana.com/ raihanrasyiid/619c6d4906310e548272ec53/coach-hafidinseorang-mentor-yang-mengkampanyekan-poligami-lalubagaimanakah-sebenarnya-hukum-poligami-dalam-islam. Rizqa, Hasanul. “Berapa Usia Aisyah Kala Menikah dengan Nabi?.” Republika.co.id, 23 Desember. 2021, https://www.republika.co.id/ berita/r4jpbu458/berapa-usia-aisyah-kala-menikah-dengannabi. Shihab, Najwa. [Narasi Newsroom]. 2021, 16 November. Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar [Video]. Youtube. https://www. youtube.com/watch?v=3qIQvczER3w

122

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Gerakan Perempuan sebagai Gerakan Kebudayaan: Potret Gerakan Perempuan di NegaraNegara Arab oleh Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum.

Pendahuluan Gerakan perempuan dengan perjuangan gender sebagai alienasi pergerakannya sampai kini masih menjadi agenda besar dalam kesamarataan, kesejajaran hak dengan laki-laki. Pada awalnya, gerakan ini diawali dengan gugatan atas ketidakadilan, perlakuan terhadap perempuan yang kemudian meluas pada gugatan ketidakadilan sosial dengan tuntutan persamaan hak yang hendak dicapainya. Tulisan ini hendak memperlihatkan bagaimana dalam sepanjang sejarah, budaya telah dimanfaatkan oleh suatu golongan dan kelas tertentu untuk menindas golongan dan kelas yang lain –dalam hal ini perempuan, terutama kelas bawah– serta bagaimana gerakan perempuan berupaya untuk mempengaruhi sistem nilai yang berlaku

123

di masyarakat untuk melahirkan kebudayaan dan peradaban baru yang lebih adil dan relevan dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Mempertimbangkan gerakan perempuan di negara-negara Arab, hampir tidak mungkin tanpa memperbincangkan peran Qasim Amin (1863-1908), Hoda Sya’rawi, Malak Hifni Nasif (18861918) di dalamnya. Merekalah yang pertama-tama menggugat nilainilai budaya dan agama yang telah berurat akar dalam masyarakat Arab dan sangat merugikan masyarakat. Mereka bahkan dianggap sebagai pelopor lahirnya pemikiran-pemikiran baru yang orisinal dan berbobot tentang masyarakatnya. Keberhasilannya melahirkan pemikiran-pemikiran bukan hanya karena persentuhannya dengan kebudayaan Barat yang dibawa Perancis dan Inggris pada waktu itu, tetapi lebih-lebih karena persentuhannya dengan pengalaman nyata baik yang dialaminya sendiri maupun yang dialami masyarakatnya. Kesempatan memperoleh pendidikan dan berbagai informasi yang dibacanya memungkinkan mereka dapat berkomunikasi dan mengenal gagasan-gagasan baru sehingga ia dapat melihat kenyataan diri.

Hasil dan Pembahasan A. Tinjauan Historis tentang Perempuan Pra-Islam (Arab Sebelum Islam) Perempuan pada masa Arab pra-Islam merupakan makhluk Tuhan yang dianggap hina. Pada waktu itu, perampasan terhadap hak-hak perempuan sudah menjadi suatu kebiasaan sehari-hari. Perempuan tidak mendapatkan hak apa-apa dan diperlakukan tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat diwariskan sebagaimana harta benda. Di kalangan masyarakat Arab pra-Islam, apabila seorang suami meninggal dunia, putranya yang lebih tua, atau keluarga yang lainnya mempunyai hak untuk mewarisi janda atau janda-janda ayahnya, bahkan dapat mengawininya jika mereka suka tanpa memberikan 124

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

mas kawin. Mereka bisa juga mengawinkannya dengan orang lain, atau melarang mereka kawin sama sekali. Kebiasaan lain masyarakat Arab pra-Islam adalah menguburkan anak-anak perempuan mereka hidup-hidup. Adat yang tidak beradab ini tersebar di tanah Arab pra-Islam dengan motif: pertama, ketakutan kalau pertambahan keturunan perempuan akan menimbulkan beban ekonomi; kedua, ketakutan akan kehinaan (aib keluarga) yang seringkali disebabkan karena para gadis yang ditawan oleh suku musuh akan menjadi kebanggaan penculiknya di hadapan para orangtua dan saudara laki-lakinya. Saat itu bukan tidak ada perlawanan terhadap perilaku biadab ini. Di antara penentang-penentang yang gigih terhadap kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup terdapat nama adalah Zaid ibn Amr ibn Tufail dan Farazdaq.3 Dalam sejarah, juga ditemukan bahwa pada periode Arab praIslam tidak ada pembatasan tentang jumlah istri yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Rata-rata seorang anggota suku Quraisy mempunyai sepuluh istri. Para pemuka dan pemimpin mempunyai banyak istri untuk menjalin hubungan dengan keluarga lainnya atau antarsuku. Praktik pembujukan keluarga lain atau suku yaitu aliansi politik melalui perkawinan juga dipraktikkan dalam masyarakat feodal. Bentuk perkawinan pada masyarakat Arab pra-Islam bersifat ‘kontraktual’. Tidak pernah ada perkawinan ‘sakramental’ dan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Seorang ayah, kakek, paman dan kakak laki-laki menggunakan hak eksklusif mereka sebagai wali untuk menyerahkan pengantin perempuan dalam perkawinan, kemudian mengambil mas kawin.4 Masyarakat Arab pra-Islam mengenal empat macam perkawinan. Pertama, perkawinan istibdha’, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan setelah menikah suami memerintahkan istrinya berhubungan badan dengan laki-laki lain yang dipandang terhormat karena kebangsawanannya dengan maksud 3  Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi dan Cici Farcha Assegaf (Yogyakarta:bentang Budaya, 1994), hlm. 28. 4  Ibid, hlm. 31-32.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

125

mendapatkan anak yang memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan. Kemudian, setelah hamil suami mengambil istrinya kembali dan bergaul dengannya sebagaimana layaknya suami-istri. Kedua, perkawinan al-maqthu’, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan ibu tirinya. Sudah menjadi tradisi Arab sebelum Islam bahwa anak laki-laki mewarisi secara paksa istri-istri mendiang ayahnya, dan jika anak laki-laki yang mewarisi itu masih kecil, keluarganya dapat menahan istri itu sampai anak tersebut dewasa. Ketiga, perkawinan al-rahthun, yaitu perkawinan poliandri. Perkawinan seorang perempuan dengan beberapa laki-laki. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu mengundang semua laki-laki yang yang pernah menggaulinya lalu menentukan siapa ayah dari bayinya dan laki-laki yang ditunjuknya itu harus menerima dan mengakui bayi itu sebagai anaknya. Keempat, perkawinan khadan, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa akad nikah yang sah. Masyarakat Arab ketika itu menganggap hal yang demikian bukan kejahatan selama dilakukan secara rahasia. Ada lagi dua bentuk perkawinan lainnya, yaitu perkawinan badal. Dalam perkawinan ini dua orang suami bersepakat tukarmenukar istrinya tanpa melalui talak. Tujuannya semata-mata untuk memuaskan hasrat seksual mereka. Kemudian, perkawinan al-syigar, yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain tanpa menerima mahar, tetapi dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya (tukar menukar anak atau suaradar perempuan).5 Dalam strata sosial, derajat perempuan menempati urutan paling bawah, sehingga wajar bila saat itu pendidikan kaum perempuan tidak diperhatikan. Ini sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Arab saat itu, yang menggunakan perempuan hanya sebagai pelampiasan nafsu 5  Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 11-13.

126

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

birahi. Bahkan dalam perkawinan pun, seorang perempuan harus menggunakan walinya, karena mereka dianggap bodoh, di samping itu tukar-menukar pasangan merupakan hal yang dianggap wajar. Persoalan wali dan mahar sebenarnya merupakan tradisi jahiliah Arab pra-Islam yang kemudian digabungkan ke dalam fikih Islam pada masa belakangan. Konsep wali dalam masyarakat pra-Islam pada saat itu dimaksudkan sebagai upaya peniadaan kebebasan dan hak bagi perempuan. Dalam pernikahan, seorang perempuan tidak dapat menikah, manakala tidak disertai seorang wali dari ayah, saudara laki-laki, kakek atau paman, atau yang dianggap diserahi tanggung jawab untuk hal tersebut (wali hakim). Pemakaian wali dalam masyarakat Arab pra-Islam disebabkan para perempuan pada saat itu tidak berpendidikan, lebih dari itu sudah merupakan suatu tradisi dan budaya, bahwa masyarakat Arab sangat merendahkan peran, hak dan kebebasan perempuan. Dengan demikian sangatlah tepat apa yang dikemukakan Imam Hanafi manakala secara kualitas perempuan telah mengenyam pendidikan, maka wali dalam nikah tidak diperlukan lagi. Kasus lain yang menyangkut persoalan sosial adalah peran perempuan. Dalam kasus ini paradigma sejarah Arab pra-Islam tetap dominan. Perempuan hanya sebagai pelayan suami, pengasuh anak dan kerja di dapur, dan mengesampingkan peran perempuan sebagai pelayan masyarakat. Ternyata tradisi ini masih dianut sebagian masyarakat muslim. Ironisnya lagi hal tersebut dianggap sebagai ajaran Islam tanpa melihat latar belakang kultur sosial dari sejarah bangsa Arab masa lalu.6 Sejarah inilah yang nanti menjadi acuan bagi kajian gender, khususnya dalam mengkritisi doktrin-doktrin teologis di seputar masalah perempuan.

6  Anang Haris Himawan, “Telaah Feminisme dalam Budaya Global:Telaah Kritis Fiqh Perempuan” dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Quran No. 4 VII/1997, hlm. 37 dan 41.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

127

B. Kondisi Perempuan di Timur Tengah: Mesir sebagai Pioneer Gerakan Perempuan di Timur Tengah Di Timur Tengah sebetulnya terdapat perbedaan besar antara perempuan Saudi Arabia, Libanon, Mesir atau Tunisia. Juga perbedaan kelas, perbedaan pekerjaan dan pendidikan dalam berbagai masyarakat Muslim membuat tidak mungkin untuk menempatkan perempuan dalam satu golongan. Di Mesir, pada tingkat rakyat bawah, perempuan telah memainkan peran yang kuat dan aktif. Pada tingkat kedudukan dalam kedinasan dan pegawai negeri, Mesir telah memberikan kesempatan penting bagi perempuan. Di Kairo, ada kelompokkelompok agama yang dipimpin oleh perempuan yang mengadakan pertemuan-pertemuan di rumah pribadi. Kenyataan yang tidak bisa disanggah adalah di Mesir perempuan di akademi telah memberikan sumbangan positif dalam penulisan Islam. Prof. Aisha Abdel Rahman yang dikenal sebagai Bint al-Shati, adalah perempuan pertama yang pernah menulis tafsir al-Quran dan menulis secara luas mengenai Islam. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.7 Di Mesir, sebelum modernisasi pendidikan dicetuskan Mohammed Ali, terdapat para perempuan yang dididik untuk menghafal al-Quran dan menjadi ahli fikih profesional. Perempuan diterima belajar di kuttab (sebuah ruangan di dalam masjid), ada juga perempuan yang mengajarkan salat dan juz-juz tertentu dari al-Quran kepada anak-anak perempuan. Jika kita perhatikan, di kebudayaan Mesir perempuan kelas rendah pada zaman dahulu maupun sekarang sangat aktif dalam kehidupan ekonomi. Gejala perempuan yang dominan sebagai pedagang di tempat-tempat umum (pasar), sebagai kepala rumah tangga dan perempuan pengusaha ada dalam kebudayaan ini. Mengutip AlMessiri, Mona Abaza mengatakan bahwa dalam kebudayaan rakyat pinggiran kota Mesir terdapat jenis perempuan kuat dan aktif seperti 7  Mona Abaza, Bab 7 “Persepsi Agama terhadap Feminisme Islam:Perbandingan antara Perempuan Islam Mesir dan Indonesia” dalam Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi Studi Kasus Alumni Al-Azhar. Terj. (Jakarta:LP3ES, 1999), hlm. 148-151. Ia menganggap bahwa pada saat ini Nawal sebagai pendukung fusi feminisme dengan analisis Marxis.

128

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

bint al-balad yang memakai milayya laff (kain penutup panjang di atas gaun) dan menyandang kedudukan tinggi dalam keluarga dan sekitarnya. Di Mesir, petani penggarap perempuan bersama pengungsi lakilaki pergi ke negeri-negeri Teluk, telah menjadi tiang-tiang produksi pertanian. Kebudayaan fellah (petani) tradisional di Mesir mengatakan bahwa perempuan bekerja sebagai pedagang kecil, pergi ke pasar tanpa kerudung dan mengatur anggaran rumah tangganya, tetapi juga bekerja di ladang bersama suami mereka. Penggambaran Mesir abad ke-19 oleh Lane –seperti dikutip oleh Abaza– mengungkapkan bahwa perempuan rakyat jarang berkerudung. Pada hakikatnya, pemingitan dan pemisahan dengan lawan jenis hanya berhubungan dengan perempuan kelas atas.8 Di Mesir, khususnya di daerah pedesaan, perempuan aktif berperan serta dalam upacara Maulid Nabi dan perayaan orang suci. Perempuan juga memelihara hubungan emosional kuat dengan ide berkah dan melakukan kunjungan ke tempat-tempat orang suci untuk memanjatkan doa di tempat suci Sayyeda Zainab, Imam al-Syafii, Sayyeda Aisyah dan tempat-tempat suci lainnya di Kairo.

C. Maroko dan Tunisia Masalah perempuan di negara-negara Arab tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain di Asia dan Afrika, yang seharusnya diharapkan sudah keluar dari konteks agama dan masuk ke konteks politik dan ekonomi. Pada kenyataannya, nilai budaya yang berpilin dan berkelindan dengan nilai-nilai agama membuat banyak persoalan mengenai perempuan belum juga selesai. Di Maroko Undang-undang Keluarga yang diusulkan pada bulan November 2003 itu berhasil digolkan berkat intervensi Raja Maroko Muhammad VI dan baru saja disahkan pada Februari 2004. UUK itu dipandang sudah banyak memiliki kemajuan dibandingkan dengan yang lama. Ibid., hlm. 153.

8 

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

129

Kemajuannya itu antara lain, menghambat laki-laki menceraikan istrinya sesuka hati. Pengadilanlah yang memutuskan. Di Maroko dan Tunisia, perempuan dapat menggugat cerai laki-laki, tetapi di negaranegara Arab-Afrika yang lain seperti Aljazair, Libya, dan Mauritania tidak diperbolehkan. Hal yang kedua yang dianggap cukup maju adalah tanggung jawab rumah tangga yang dalam UU itu ditanggung bersama oleh suami dan istri. Kepala keluarga tetap suami, tetapi istri juga mempunyai tanggung jawab dan suara. Sebelumnya, otoritas suami sangat kuat. Untuk mendapat paspor dan untuk melakukan perjalanan ke luar negeri, seorang istri harus mendapat izin dari suami. Otoritas suami sebagai “pemilik” istrinya juga sangat kuat sebelumnya meskipun mereka memiliki hak-hak politik yang setara. Kalau seorang istri menjadi anggota DPR, dan suami tidak suka ia berhak untuk memanggil istrinya ke luar siding sekalipun sang istri sedang berpidato. Dengan UU yang baru, hal itu tidak bisa terjadi lagi. UU Keluarga yang baru itu juga memuat klausal tentang poligami, yang menyatakan suami hanya boleh mengambil istri lagi dengan persetujuan istri pertama. Sebelumnya laki-laki bisa melakukan apa saja, termasuk menikah lagi tanpa persetujuan istri pertama. Dibandingkan dengan Tunisia, UU Keluarga di Maroko masih berada di belakang. Akan tetapi setiap negara memiliki dinamikanya sendiri. Ada beberapa hal dalam UU Keluarga baru itu yang tetap mengacu pada al-Quran secara tekstual, seperti hukum waris, yang tetap memberikan kepada anak perempuan separuh dari hak untuk anak laki-laki. Semua negara Arab juga menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), tetapi dengan reservasi, khususnya pada bagian-bagian yang erat kaitannya dengan hukum agama. Namun pada dasarnya, gerakan perempuan di negara-negara Arab juga mengadopsi hak-hak perempuan, seperti yang dipromosikan dalam Dasawarsa Perserikatan Bangsa-bangsa untuk perempuan tahun 1976-1985 setelah Konferensi PBB untuk Perempuan I di Meksiko tahun 1975. Yang berperan bukan hanya 130

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

perempuan, tetapi juga laki-laki yang memiliki pandangan terbuka dan pemikiran bahwa perempuan adalah manusia yang utuh, bukan separuh. Dinamika gerakan perempuan di Maroko menarik dicermati. Situasi politik sangat menentukan bagaimana perempuan diposisikan. Pada tahun 1998-1999, ahli ekonomi dan ahli kebudayaan Arab yang juga seorang feminis melakukan kajian mengenai perempuan demokrat diajukan ke parlemen sebagai dasar gerakan. Parlemen tampaknya tidak sependapat. Menteri Urusan Perempuan yang dijabat oleh laki-laki feminis saat itu langsung dilemahkan dengan cara kementriannya tidak diberi anggaran lagi. Setelah itu sang menteri digantikan oleh perempuan, dan nama Kementerian untuk Penyandang Cacat, dan di bagian paling belakang baru ada kata keluarga. Kata perempuan dihilangkan sama sekali. Di tiga negara Arab-Afrika lainnya –kecuali Tunisia– kecenderungannya adalah mengangkat keluarga bukan perempuan. Kendati perempuan kembali dikentalkan di dalam keluarga. Identitas perempuan di negara Arab, seperti juga di negara berkmebnag lainnya, juga semakin terpecah karena persoalan ekonomi. Organisasi seperti Kerjasama Baru untuk Pembangunan Afrika (NEPAD) tidak lebih dari mesin neoliberalisme. Di dalam sistem itu posisi perempuan akan semakin terpinggirkan. Istilah-istilah seperti “partner-ship”dan “development” kalau tidak dicermati dengan hatihati akan lebih merupakan jebakan karena semua yang strateginya lebih dimaksudkan untuk mendorong kebebasan pasar dan modal. Gerakan perempuan di negara-negara Arab (Asia dan Afrika) harus didasarkan pada solidaritas untuk menciptakan globalisasi yang lebih ramah dan memiliki keberpihakan terhadap kelompok yang lemah dan terpinggirkan.9

9  Wawancara wartawan Kompas Maria Hartiningsih dengan Prof. Hassaniah DrissiChalby, profesor di bidang sosial ekonomi di sebuah universitas di Maroko. 50 Tahun Setelah KKA di Bandung “Kita Belum Saling Mengenal dengan Baik” dalam Kompas, Senin, 25 April 2005, hlm. 42.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

131

Tunisia adalah sebuah negara Arab yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara dan sejak 1956 telah membuat undang-undang hukum keluarga yang bernama Majalat al-Ahwal al-Syakhshiyyah Nomor 66 Tahun 1956. Semenjak ditetapkan, undang-undang tersebut telah berkali-kali mengalami perubahan, penambahan, modifikasi, yaitu pada tahun 1959, 1964, 1981, dan 1993. UU tersebut mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak dari segi material berbeda dengan ketetapan fikih klasik. Dari sekian banyak pembaruan terhadap UU tersebut yang menonjol adalah larangan untuk berpoligami. Adapun alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami adalah, pertama, menganalogikan poligami dengan perbudakan. Menurut Tunisia, institusi perbudakan dan poligami hanya diizinkan pada masa-masa awal perkembangan Islam dan setelah Islam mampu membangun masyarakat yang berbudaya dan berkeadaban, poligami seharusnya dihapuskan. Kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.10

D. Saudi Arabia Dikotomi antara perempuan dan laki-laki di Arab Saudi, misalnya, dihubungkan dengan dunia pribadi vis a vis dunia publik; perempuan diasosiasikan dengan konsep di dalam ruangan (indoor), sedangkan laki-laki dengan konsep di luar ruangan (outdoor) yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, politik, dan keagamaan. Menjaga ruang pribadi tersebut merupakan tugas laki-laki. Karena itu, konsep kehormatan seorang laki-laki telah berakar kuat dalam struktur dan dinamika dari keluarga-keluarga Arab yang terikat darah dan turunan laki-lakinya. Kehormatan dari keluarga yang dikaitkan dengan eksistensi perempuan itu mempunyai karakter suci yang dikenal Siti Musdah Mulia, op.cit., hlm. 194-195.

10 

132

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

dengan Ird. Ird ini merupakan nilai yang sekuler daripada suatu nilai yang religius. Wacana tentang pembaharuan terus berkembang di di negaranegara Arab dan Arab Saudi. Bahkan semakin merebak pula tuntutan emansipasi kaum perempuan. Tuntutan emansipasi kaum perempuan itu ditangkap dan ditanggapi positif oleh Raja Saudi Abdullah, tetapi dengan sikap hati-hati. Pernyataan Raja Abdullah tampaknya sebagai resonansi atas hasil konferensi tingkat tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Mekkah. Hasil KTT Mekkah tanggal 8 Desember 2005 antara lain merekomendasikan tentang pentingnya peningkatan peranan perempuan dalam Program Aksi 10 tahun. Maka terdengar menarik pernyataan Raja Abdullah di depan kaum perempuan yang berpartisipasi dalam putaran kelima Dialog Nasional Arab Saudi akhir pekan lalu. Raja meyakinkan, “Saya ucapan semoga kalian beruntung tetapi harap bersabar, bersabar dan bersabar.” Mungkin untuk mencegah tuntutan perubahan yang mengada-ada, Abdullah selanjutnya mengingatkan agar tuntutan harus “masuk akal dan apa yang mungkin”. Oleh tradisi dan budaya, ruang gerak dan peran kaum perempuan Arab Saudi di muka umum dibatasi. Perempuan tidak dapat memilih dan dipilih seperti dalam pemilihan dewan kota tahun 2005. Namun, kaum perempuan dijanjikan berpartisipasi dalam pemilihan dewan kota di masa mendatang. Sejauh ini Arab Saudi baru mempraktikkan pemilihan untuk tingkat dewan kota. Sebelum reformasi politik bergerak lebih jauh, kaum perempuan telah mengambil langkah mengesankan. Dua perempuan pengusaha Arab Saudi, misalnya, memenangi pemilihan jabatan di Kamar Dagang Jeddah bulan November lalu. Sekalipun pemilihan itu hanya di lingkungan terbatas kamar dagang, hal itu dinilai sebagai terobosan penting karena untuk

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

133

pertama kalinya kaum perempuan menjadi kandidat dan terpilih. Sebuah perspektif perubahan memang sedang muncul. Munculnya arus dan tuntutan perubahan itu terefleksi pula dalam KTT OKI di Mekkah dua pekan lalu. Para pemimpin 57 negara OKI mengeluarkan Deklarasi Mekkah tentang pembaruan sosial, politik, dan ekonomi yang dituangkan dalam Program Aksi 10 tahun. (“Perempuan Saudi Diminta Bersabar”, Tajuk Rencana Kompas, Selasa 20 Desember 2005 hal. 6).

E. Kuwait Kaum perempuan baru pada hari Senin 16 Mei 2005 malam memperoleh hak mereka untuk memilih dan mencalonkan diri dalam pemilihan umum setelah parlemen mengesahkan amandemen bersejarah pada undang-undang pemilihan umum negara tersebut. Ini bukan amandemen biasa di negara Uni Emirat Arab yang kaya raya ini. Untuk pertama kalinya parlemen memberi hak istimewa bagi perempuan agar dapat terjun ke dunia politik. Dengan hak tersebut, perempuan Kuwait dapat ikut memilih dan mencalonkan diri di parlemen dan pemilihan umum lokal. Isu mengenai hak politik perempuan ini langsung merambah ke dalam tubuh kabinet. Perdana Menteri Kuwait Syekh Sabah al-Jaber al-Sabah dalam rencananya akan ditunjuk seorang perempuan untuk menempati posisi menteri kesehatan dalam beberapa pekan ke depan. Ketika hasil diumumkan, disambut dengan tepuk tangan bergemuruh dari balkon publik yang juga menyanyikan lagu kebangsaan Kuwait. Lulua al-Mulla, aktivis perempuan yang memiliki jabatan sebagai Sekretaris Jenderal Komunitas Sosial dan Budaya Perempuan Kuwait tidak pernah merasakan kebahagiaan sebahagia pengesahan amandemen pemberian hak politik bagi perempuan Kuwait yang sudah ditunggu-tunggu selama 20 tahun. Aktivis perempuan, Roula al-Dashti, menganggap hal ini sebagai awal baru dalam babak sejarah kaum perempuan Kuwait. Sasaran mereka adalah pemilihan umum parlementer tahun 2007. Di luar gedung 134

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

parlemen, orang-orang menari-nari dan bersorak-sorai, pengemudi yang lewat membunyikan klakson. Mereka menyatakan dukungan dan kembang api menerangi langit. Aktivis perempuan yang lain, Fatima al-Abdali, sambil berlinang air mata mengatakan hal yang sama. Hari itu dikatakan sebagai hari kemenangan dalam demokrasi, hari lengkapnya demokrasi di Kuwait. Perempuan Kuwait yang secara tradisional lebih liberal dan lebih berpendidikan dibandingkan sesama perempuan di negara-negara Arab Teluk namun ketinggalan dalam hal politik, telah bertahuntahun menuntut hak yang lebih besar. Parlemen bersidang untuk membicarakan RUU yang mengizinkan perempuan berpartisipasi dalam pemilihan kota praja. Tetapi pemerintahan Syekh Sabah meminta parlemen untuk melakukan sebuah pemungutan suara mengenai pemberian hak politik penuh pada kaum perempuan. Kini, perempuan Kuwait bergabung bersama sesama kaum perempuan dari negara tetangganya Qatar, Oman dan Bahrain dalam hal mempunyai hak suara. Amandemen ini tercapai setelah debat dan perjuangan puluhan tahun kaum perempuan Kuwait untuk mendapatkan hak mereka. Selama ini Kuwait hanya memberi hak politik penuh bagi laki-laki untuk ambil bagian dalam parlemen. Mayoritas dari parlemen –yang semuanya laki-laki– menyetujui amandemen setelah sidang maraton selama sembilan jam. Sejumlah 35 anggota mendukung, 23 menolak dan satu suara abstain dalam pemungutan suara yang mendapat tantangan keras dari anggota parlemen kelompok garis keras dan perwakilan suku. Para anggota parlemen yang menentang hak untuk perempuan mencoba menghalangi pemungutan suara, setelah pemerintah memiliki mayoritas cukup untuk meloloskan amandemen tersebut. Namun, kelompok penentang hak perempuan berhasil meloloskan sebuah tambahan pada amandemen itu yang mengharuskan perempuan Kuwait untuk ambil bagian dalam pemilihan umum “untuk mentaati aturan yang ditetapkan oleh hukum syariah Islam”. Sejumlah kalangan di parlemen menyebutkan hukum Islam tetap harus diberlakukan. Implikasi amandemen ini masih menjadi PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

135

pertanyaan di kalangan aktivis perempuan. Sebagian dari para aktivis perempuan mengatakan hal itu bisa saja dilakukan berupa isu seperti pemisahan TPS bagi pria dan perempuan.11 (Nanti diedit lagi ya!) Keputusan parlemen Kuwait (Majelis al-Ummah) hari Senin, 16 Mei 2002 menyetujui amandemen Pasal I Undang-undang Pemilu Tahun 1962, dengan memberi hak penuh bagi perempuan untuk mencalonkan dan memberi suara, merupakan reformasi politik yang sangat signifikan. Amandemen UU tersebut mendapat dukungan 35 suara, berbanding 23 suara menolak, dan satu abstain. Pasal I UU 1962 itu hanya memberi hak suara dan pencalonan dalam pemilihan umum pada kaum lelaki saja. Media massa Kuwait dan Arab menyebut keputusan itu sangat historis. Keputusan itu dianggap bagian dari geliat gerakan yang berhasil mendobrak kekokohan tabir konservatisme di kalangan Teluk Arab. Pascaamandemen itu, kaum perempuan Kuwait mengikuti jejak kaum sesamanya di Qatar, Bahrain, Oman dan Uni Emirat Arab yang telah terlebih dahulu mendapatkan hak politiknya. Kini tinggal perempuan Arab Saudi di kawasan Teluk Arab yang belum mendapat hak politiknya. Seperti halnya gerakan reformasi yang kini sedang gencar menggeliat di negara-negara Arab, tekanan dalam negeri dan internasional berpadu menjadi sebuah kekuatan yang mengoyak tabir status quo di Kuwait. Di dalam negeri, kaum perempuan Kuwait telah hampir empat puluh tahun berjuang mendapat hak politik secara penuh.Perjuangan kaum perempuan Kuwait itu mulai itu mulai menemukan titik terang, setelah Amerika Serikat mulai menggulirkan konsep Timur Tengah Raya (Greater Middle East) bagi reformasi di dunia Arab pada tahun 2002. 11  “Perempuan Kuwait Dapat Hak Memilih” dalam Kompas, Rabu, 18 Mei 2005 hal. 3 kolom 1-3. Lihat juga “Menunggu Hak Politik Perempuan Kuwait”, dalam Koran Tempo, Rabu, 18 Mei 2005 hal. B11 kolom 1-4.

136

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Seperti yang ditulis mantan deputi Menteri Luar Negeri AS urusan Timur Tengah, William Burns, pada harian berbahasa Arab al-Hayat, konsep Timur Tengah Raya itu bertumpu pada empat butir utama, yaitu pertama, harus ada keterbukaan politik dengan memberi tempat yang layak kepada kaum perempuan dan kelompok masyarakat sipil (civil society). Kedua, gerakan demokratisasi di Timur Tengah harus menjadi bagian dari upaya penyelesaian konflik Arab-Israel dan membangun sistem demokrasi di Irak. Ketiga, gerakan demokratisasi harus dilakukan secara bertahap. Keempat, demokratisasi harus berasal dari inisiatif kekuatan-kekuatan politik dalam negeri. Konferensi Tingkat Tinggi Arab di Tunisia pada bulan Mei 2004, kemudian memberi respons positif terhadap konsep Timur Tengah Raya tersebut. KTT Arab itu untuk pertama kalinya mengangkat isu reformasi sebagai bagian dari salah satu agenda utamanya. Isu reformasi yang yang diusung KTT Arab itu berintikan dari empat poin, yaitu demokrasi, hak asasi manusia, pemberdayaan kaum perempuan, dan peran civil society. Mengapa isu pemberdayaan kaum perempuan Arab menjadi isu tersendiri dalam konsep Timur Tengah Raya itu? Peran kaum perempuan Arab sangat minim dibandingkan dengan peran perempuan di belahan dunia mana pun, bahkan dibanding dengan kaum perempuan Afrika sekali pun yang dikenal secara ekonomi tertinggal. Menurut laporan tahunan pembangunan dunia Arab tahun 2002, hanya 3,5 persen kaum perempuan Arab yang duduk di parlemen, dibanding dengan 8,4 persen di Afrika Selatan dan Afrika Tengah. Dalam persentase peran kaum perempuan Arab yang sangat minim itu, tidak mencakup seluruh negara Arab. Hanya negara-negara Arab Mediterania (bertepi ke laut tengah) yang memberi porsi peran cukup pada kaum perempuan, seperti Libanon, Suriah, Mesir, Palestina, Tunisia, Maroko dan Aljazair. Kaum perempuan negara Arab Mediterania yang mendapat status layak itu karena interaksinya dengan Eropa. Para istri pemimpin negara Arab Mediterania juga sudah terbiasa mendampingi suami mereka PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

137

dalam acara publik. Sementara itu, Jordania meski tidak bertepi ke laut tengah, namun berkat interaksi yang kuat dengan masyarakat Palestina, kaum perempuannya mendapat peran yang lumayan. Irak yang juga tidak bertepi laut tengah, kaum perempuannya mendapat peran yang positif karena interaksinya dengan Turki dan Iran. Negara-negara Arab Teluk (Kuwait, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kesultanan Oman) dan Yaman, yang secara geografis berada di garis belakang, dikenal lebih konservatif, khususnya menyangkut kaum perempuannya. Para pemimpin negara Arab Teluk dan Yaman juga sama sekali tidak memiliki tradisi didampingi istri mereka dalam acara publik. Suatu contoh kasus, Pemerintah Saudi pada tahun 1960 memutuskan membuka sekolah khusus untuk perempuan sebagai bagian dari proses pembangunan negara. Namun, kubu konservatif menolak keras keputusan pemerintah itu yang dinilai akan merusak akhlak dan menodai tradisi. Namun, Pemerintah Arab Saudi tetap bertahan meskipun mendapat tantangan keras. Beberapa tahun kemudian disadari, betapa strategisnya pendidikan kaum perempuan di Arab Saudi. Berkat pembukaan pendidikan perempuan itu, kini di Arab Saudi terdapat kaum perempuan yang bergelar master dan doktor, serta masuk dalam berbagai profesi seperti guru, dokter, perawat, bankir, dan pegawai departemen, meskipun dalam persentase skala nasional masih sangat minim. Empat dekade kemudian, persisnya pada tahun 1999, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz berinisiatif menggelar dialog nasional tentang peran perempuan dan cara pemberdayaannya. Sejak itu, berbagai dialog dan seminar dalam skala lebih kecil digelar di Arab Saudi untuk membahas peningkatan peran kaum perempuan, khususnya di bidang politik. Akan tetapi, setelah enam tahun dari inisiatif Pangeran Mahkota itu, peran politik kaum perempuan Arab Saudi belum bergeser dari status semula. Kaum perempuan Arab Saudi hingga saat ini masih 138

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

dilarang memberi suara dan mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Perjuangan perempuan Kuwait mendapat hak politiknya juga sesungguhnya tidak mudah. Kaukus Islam dan kaum tradisionalis dari Suku dalam parlemen selalu menjadi penghalang kaum perempuan negeri itu meraih hak-hak politiknya. Anggota parlemen dari kubu Islam yang berjumlah 18 (lebih dari sepertiga anggota parlemen yang berjumlah 50) ditambah dari Suku selalu menang dalam berbagai voting suara di parlemen. Tetapi, terakhir ini sejumlah anggota parlemen dari kubu Islam keluar dari sikap klasiknya dan menyatakan mendukung pemberian hak politik secara penuh kepada kaum perempuan. Di antara anggota parlemen dari kubu Islam yang keluar dari sikap klasiknya itu adalah Dr. Badr Nashi dari Gerakan Konstitusional yang dekat dengan Ikhwanul Muslimin dan Waleed Tabtabbaie dari Gerakan Salafi. Perubahan sikap sejumlah anggota parlemen dari kubu Islam itu mengubah perimbangan kekuatan di parlemen yang lebih berpihak kepada kelompok pro hak politik kaum perempuan Kuwait. Sebagian pengamat menyebutkan, perubahan perimbangan kekuatan di parlemen itu terjadi menyusul pernyataan Emir Kuwait Sheikh Jabeer al-Ahmed al-Sabah akhir Oktober tahun lalu secara terang-terangan meminta parlemen menetapkan rancangan UU yang memberi kaum perempuan hak politik penuh dengan mengizinkan memberi suara dan mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Sheikh Jabeer dalam sambutan pembukaan sidang parlemen, yang dibacakan PM Sheikh Sabah Ahmed al-Sabah saat itu mengatakan, pemberian hak politik kepada kaum perempuan merupakan suatu keharusan untuk memperluas basis pemilih dalam pemilihan umum dan upaya reformasi politik secara mendasar. Ia lalu meminta proses reformasi itu harus segera dilaksanakan dengan prinsip keadilan, keterbukaan dan kepentingan umum. Ia secara khusus meminta para anggota parlemen menetapkan serangkaian program reformasi pada periode sidang tahun 2004PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

139

2005. Sejak seruan Emir Kuwait itu, para aktivis kaum perempuan Kuwait mulai awal tahun ini mengadakan aksi pengumpulan tanda tangan dukungan hak politik kaum perempuan dari rumah ke rumah di seluruh negeri. Menurut aktivis perempuan yang juga ketua Lembaga Ekonomi Kuwait, Roula al-Dashti, aksi pengumpulan tanda tangan dukungan itu untuk menyampaikan pesan kepada para anggota parlemen bahwa kaum perempuan Kuwait telah memiliki basis dukungan massa sangat kuat untuk meraih hak politiknya secara penuh. Sebanyak 37 anggota parlemen secara mengejutkan meminta komisi urusan dalam negeri dan keamanan parlemen Kuwait mempelajari rancangan amandemen Pasal I UU Tahun 1962 untuk diajukan secara resmi pada sidang parlemen yang digelar mulai siang hingga malam pada hari yang sama. Pada saat sidang parlemen membahas amandemen Pasal I UU Tahun 1962 itu, puluhan aktivis perempuan Kuwait menggelar unjuk rasa di depan gedung parlemen dengan membawa spanduk bertuliskan tuntunan kaum perempuan mendapat hak politik secara penuh. Melalui amandemen UU tersebut, jumlah pemilih Kuwait akan meningkat, di mana sebelum ini hanya 15 persen dari 950.000 penduduk asli Kuwait yang memiliki hak suara. Pascalolosnya amandemen itu, anggota parlemen dari kaukus Islam, Sheikh Fahd al-Khannat, kepada televisi al-Jazeera mengungkapkan, kaukus Islam memberi suara menolak amandemen karena memegang teguh prinsip bahwa kaum perempuan tidak boleh mencalonkan diri dalam pemilihan umum dan dilarang menduduki jabatan pemerintahan. Namun, lanjutnya, kaukus Islami menerima keputusan amandemen karena menghormati suara mayoritas. Bahkan Sheikh Fahd menyatakan, amandemen pemilu itu dapat menguntungkan kubu Islam karena dalam pemilihan umum mendatang faksi-faksi Islam dapat memanfaatkan suara kaum perempuan untuk menambah perolehan suara. 140

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Meski kubu Islam kalah dalam voting suara, namun mereka berhasil menambah butir dalam UU baru itu, yaitu kaum perempuan harus komit memenuhi etika dan syariah Islam dalam melaksanakan hak politiknya. Aksi perjuangan kaum perempuan ternyata memang tidak mudah di masyarakat Arab Teluk yang konservatif. Meski secara formal kaum perempuan di Kuwait, Qatar, Oman dan Bahrain telah mendapat hak politiknya secara penuh, namun realita politiknya mereka masih sangat minim menjadi anggota parlemen dan menduduki posisi strategis di pemerintahan maupun swasta. Pandangan masyarakat kawasan Arab Teluk masih setengah hati terhadap kaum perempuan.12(Musthafa Abd Rahman, “Membaca Kasus Perempuan Kuwait Mendapat Hak Politik”, dalam Kompas Jumat 20 Mei 2005 hal. 43). Kaum hawa Kuwait boleh bernafas lega. Tanggal 4 April 2006, dua wanita di negara kaya minyak iu untuk pertama kalinya bertarung memperebutkan kursi dewan di Distrik Salmiya, sekitar 15 kilometer tenggara Kuwait City. Jenan Bushehri dan Khaleda al-Khader, seorang psikiater, diperbolehkan menjadi kandidat setelah tahun lalu negara mengeluarkan undang-undang soal hak politik perempuan. “Saya bangga menjadi perempuan Kuwait pertama yang menjadi kandidat dewan”, kata Khader. (“Kandidat Parlemen Perempuan”, Koran Tempo, Rabu, 5 April 2006 hal A23 kolom 1, Kantor Berita AFP). Jenan Bushehri, perempuan kandidat pemilu di Kuwait mengatakan, kemarin dirinya ‘bangga’ atas penampilan di dewan pemerintahan pada saat pemilihan umum yang perempuan untuk pertama kalinya ikut mengambil bagian meskipun gagal memenangkan satu-satunya kursi di sana. Bushehri adalah satu dari dua perempuan yang mengikuti pemilu. Ia menduduki urutan kedua dengan perolehan suara 1.807 suara di bawah Yussef al-Suwaileh yang secara meyakinkan memenangi kursi pemilihan umum dengan 5.436 suara dalam pemilu bersejarah itu. “Saya sangat bangga terhadap diri 12  Musthafa Abd Rahman, “Membaca Kasus Perempuan Kuwait Mendapat Hak Politik”, dalam Kompas, Jumat 20 Mei 2005 hal. 43.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

141

sendiri dan tim yang bekerja dengan saya. Saya sangat bangga bahwa saya merupakan bagian dari era baru Kuwait yang memperlihatkan perempuan berpartisipasi dalam pemilu”, kata Bushehri setelah hasil pemilu diumumkan kemarin.” (“Perempuan Ikut Pemilu”, Kantor Berita AFP, Media Indonesia, Kamis, 6 April 2006 hal. 9).

Kesimpulan Lemahnya posisi perempuan dalam masyarakat merupakan akumulasi dari berbagai faktor dalam sejarah panjang umat manusia. Dalam berbagai budaya, subordinasi perempuan mempunyai kesamaan antara satu kelompok atau keyakinan dan kelompok atau keyakinan yang lain. Beberapa peneliti menyatakan bahwa akar historis pemahaman misoginis, yaitu inferioritas perempuan sebagai manusia rendahan dan kurang baik, sedangkan laki-laki lebih superior, berawal dari pemahaman tentang penciptaan perempuan yang berbeda dengan penciptaan laki-laki. Dalam pada itu, budaya misoginis dalam masyarakat tersebut berakumulasi dengan dongeng-dongeng atau mitologi klasik serta ajaran agama dengan rentang sejarah yang sangat panjang. Karena itu, bisa dipahami jika pandangan misoginis dalam ajaran Islam atau dalam agama Samawi lainnya, seperti Yahudi dan Kristen, merupakan suatu rangkaian dari tradisi sebelumnya. Misoginisme dalam ajaran agama hanya dapat dieliminasi melalui ajaran-ajaran kesetaraan gender. Apakah agama yang kita yakini kebenarannya itu mengandung doktrin patriarki dan diskriminasi terhadap kedudukan dan peranan perempuan dalam masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut para feminis muslim melakukan beberapa langkah pemikiran. Pertama, mereka ingin membedakan ajaran Islam yang asli, dalam hal ini Quran yang langsung diwahyukan oleh Allah SWT. dan hadis sebagai ucapan, tindakan, dan taqrir Nabi Muhammad Saw. dengan ilmu pengetahuan dan interpretasi keislaman yang merupakan rekayasa manusia. Karena itu, rumusan Islam dituntut untuk selalu kompatibel dengan 142

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

konteks zamannya; jika zaman berubah penafsirannya juga bisa jadi ikut berubah. Langkah kedua, membedakan antara Islam dan kearaban atau antara Islam dan masyarakat tempat pemikiran Islam itu berkembang. Dalam konteks ini, domestifikasi perempuan ataupun masalah jilbab, apakah benar-benar ada dasar hukum dan teologi yang sahih (termasuk rasional dan empiris) yang sesuai dengan Quran dan hadis atau hanya adat bangsa Arab? Jika secara sosiologis dan antropologis kedua persoalan tersebut lebih merupakan gejala kebudayaan, lebihlebih jika mengandung simbol patriarki, hukum fikih dan pandangan teologis mengenai jilbab dan persoalan perempuan pada umumnya harus dikaji ulang. (Asep Gunawan, “Perempuan dalam Realitas Misoginis”, Koran Tempo Minggu, 9 April 2006 hal 21 kolom 1-4). Dalam konteks ini, para pemikir feminis seperti Riffat Hasan, Fatimah Mernisi, Asghar Ali Engeener, Amina Wadud Muhsin berusaha mengkaji ulang berbagai penafsiran ayat Quran dan hadis, baik dengan metode tekstual maupun kontekstual dalam perspektif feminis. Adalah Fatimah Mernissi, feminis Muslim asal Maroko yang menjelaskan bahwa marginalisasi perempuan dalam sejarah Islam tercipta karena dua hal: pertama, semangat tribalisme Arab yang tumbuh kembali setelah Nabi Muhammad wafat; kedua, pemahaman ajaran agama yang berkaitan dengan perempuan lepas dari keterkaitan historisnya. Kedua marginalisasi tersebut bergandengan dengan citra perempuan Muslim dewasa ini. Ketika Islam datang terjadi pemutusan sejarah berkenaan dengan posisi perempuan. Perempuan yang dalam tradisi masyarakat Arab tidak dianggap, mulai diakui eksistensinya. Islam memberikan hak waris yang sebelumnya tidak pernah diperoleh oleh perempuan Arab. Sayangnya, semangat meninggikan posisi perempuan tersebut padam bersamaan dengan munculnya perubahan drastis dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya. Sistem kekhalifahan yang demokratis yang telah dirintis oleh empat khalifah pertama berubah PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

143

menjadi sistem dinasti. Hal ini menyiratkan perpanjangan sistem tribal Arab pra-Islam. Penguasa yang dalam Islam berdiri sebagai pemimpin umat, kembali menjadi wakil keluarga tertentu. Dengan demikian, potensi perempuan Islam yang sedang subur berkembang pupus kembali di tangan “kelelakian” budaya Arab pra-Islam. Untuk itu, Mernissi berpendapat bahwa rekonstruksi sejarah perempuan menuju kesetaraan dengan laki-laki adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana pesan-pesan yang terdapat dalam Quran.13 Riffat Hassan, feminis Muslim yang berpendidikan Barat, dengan kepercayaan terhadap Tuhan meneliti teks-teks Quran. Dia mendapatkan bahwa ternyata banyak teks-teks yang ditafsirkan untuk kepentingan masyarakat tertentu dan kekuasaan tertentu, akibatnya pesan-pesan Quran menjadi sesuatu yang “ahistoris”. Ajaran-ajaran tentang perempuan sengaja dielaborasi demi supremasi masyarakat yang “patriarkal” yang tidak sesuai dengan pesan kitab suci.14 Feminis dan novelis asal Mesir, Nawal El Sa’adawi, menjelaskan bahwa terpinggirnya perempuan dalam percaturan ekonomi dan masalah global tidak lepas dari pemerintah dan masyarakat laki-laki yang sangat represif terhadap perempuan dan hal ini bertentangan dengan akal sehat manapun.15 Untuk merubah citra perempuan tersebut, Nawal menjelaskan perlunya menyingkap tabir menuju penyadaran bahwa perempuan diciptakan bukan hanya sekadar menjadi istri dan ibu rumah tangga, tetapi ia adalah seorang yang dapat berprestasi secara politik untuk menentukan jalannya pemerintah untuk berbicara dan menulis atau kesadaran yang penuh bahwa peran perempuan di dalam kehidupan tidaklah terbatas di rumah saja. Jadi, menurutnya yang paling penting dalam pembebasan kaum perempuan adalah menyingkap tabir yang menyelimuti pikiran mereka.16 Fatima Mernissi, Women and Islam (Oxford:Brasil Black Well, 1991). Riffat Hassan, “Feminisme dan Al-Qur’an” dalam Jurnal Ulumul Quran No. 19, 1991, hlm. ? 15  Jurnal Islamika No. 1, Juli-September 1993. Penulis dan halaman? 16  Nawal El Saadawi, Perempuan di Titik Nol, terj. Amir Sutaarga (Jakarta:Yayasan 13  14 

144

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Pembacaan Ayat-ayat Suci Model pembacaan adalah subjek yang sangat serius dalam agama karena digunakan untuk meminggirkan, menindas, dan menciptakan prasangka, bahkan kebencian, pada perempuan dan kelompok yang dianggap “lain”. Dr. Asma Barlas menyebutnya “reading patriarchy”. Intelektual feminis Muslim dari Ithaca College, AS itu, mengatakan bahwa setiap pemaknaan terkait dengan pemahaman teks kitab suci oleh masyarakat penafsir. Ia menyodorkan cara membaca Al Quran yang membebaskan perempuan dalam bukunya Believing Women in Islam:Unreading Patriarchal Interpretations of the Quran (2003).17 Karya itu merupakan penghargaan pada keimanannya; sebuah buku yang ia tulis dengan penuh cinta, terutama dalam menempuh perjalanan spiritualnya sebagai perempuan Muslim. Mengikuti pendahulunya, Amina Wadud, Riffat Hasan dan Fazlur Rahman, Barlas tampaknya tidak membiarkan kecenderungan penguasa di tingkat apapun untuk memenangkan bacaannya dan mengalahkan bacaan yang lain. Mengutip sejarawan Islam asal Aljazair, Muhammad Arkoun, Barlas mengatakan bahwa teks suci seperti Quran seringkali dicabut dari konteks sejarah, kebahasaan, sastra, psikologi dan secara terusmenerus direkonstektualisasikan dalam berbagai kebudayaan dan kebutuhan ideologis para pelakunya yang beragam. Oleh karena itu, sepatutnya perlu diuji siapa saja yang membaca teks Quran secara historis dan bagaimana mereka membaca; bagaimana memilih epistemologi dan metodologi (hermeneutika), peran masyarakat penafsir dan negara dalam membentuk pengetahuan serta otoritas keagamaan yang memungkinkan mereka menerapkan bacaan Quran yang patriarkis. Cara membaca yang diajukan Barlas memperkuat dan membuktikan tesisnya tentang karakteristik egalitarianisme dan antipatriakhalisme dalam Islam. Obor Indonesia, 2001), hlm. 53-54. 17  Buku terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah Cara al-Qur’an Membebaskan Perempuan (Jakarta:Serambi, 2005). PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

145

Nilai-nilai kesetaraan dalam Islam dimaknai sebagai saling memahami, saling menghormati nilai-nilai yang mengagungkan perdamaian dan cinta kasih terhadap sesama sehingga membaca Islam adalah membawa wajah Islam yang teduh. Artinya bukan agama yang melahirkan ektremisme, fundamentalisme, konservatisme atau apa pun namanya yang mengedepankan ketidaksetaraan, kekerasan dan kebencian. Muaranya adalah ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial. Agama dijadikan ideologi yang mengesahkan kekerasan untuk melawan semua itu. Menurutnya, memasukkan seksisme, ketidaksetaraan, dan kekerasan serta teori-teori yang memberikan privilese kepada lakilaki dan kepada golongan tertentu berarti mengorup gambaran kita tentang keadilan dan kebaikan Allah. Karena itu, praktik-praktik penindasan seperti “honor killing” dan mutilasi alat kelamin perempuan yang terus berlangsung dalam masyarakat di banyak negara lebih berkaitan dengan tradisi tribal yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Membunuh anak perempuan karena dianggap menodai “kehormatan” keluarga adalah sebuah bentuk kriminal. Sebuah keharusan bagi negara untuk mencegahnya. Berbagai praktik “budaya” lain seperti pengecilan kaki dan dada, pembakaran istri, sistem mahar (dowry) dan perkosaan telah menggunakan tubuh perempuan sebagai “medan pertempuran” dalam situasi “damai”. Tubuh perempuan juga menjadi “site struggle” bagi moralitas, pemaknaan dan kekuasaan dalam fenomena fundamentalisme. Setiap ideologi memiliki dua sisi. Sisi gelap ideologi nasionalisme diperlihatkan Hitler ketika melakukan pemurnian rasial dengan mengesahkan pembunuhan massal terhadap ras lain. Barat mengesahkan perbudakan demi ideologi sekular rasial mereka. Kita menyaksikan kekejian luar biasa akibat keyakinan pada ideologi tertentu dari kelompok-kelompok etnis dan agama. “Identitas perempuan sangat rentan dimanipulasi untuk kepentingan ideologi”. Dalam pemahaman Barlas, perbedaan biologis perempuan dan lakilaki tidak menyebabkan mereka berbeda secara etika dan moral. 146

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Keduanya memiliki kapasitas yang sama sebagai agen moral dan mengemban tugas-tugas kemanusian yang tidak berbeda.18 (Maria Hartiningsih, “Membaca Asma Barlas”, Kompas, Sabtu, 25 Juni 2005, hal. 12 kolom 3-6). Gerakan Perempuan di Mesir Di antara aliran feminisme yang terkenal adalah: a) Feminisme liberal, yang menuntut kesempatan, hak yang sama, bagi setiap individu; b) Feminisme radikal,yang melihat bahwa penindasan perempuan adalah urusan “subyektif ” individual, suatu hal yang bertentangan dengan kerangka Marxis yang melihat penindasan perempuan sebagai “realitas objektif ”; c) Feminisme Marxis dengan pandangan bahwa penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam “relasi produksi”; d) Feminisme sosialis yang berasumsi bahwa penindasan gender terjadi di kelas manapun.19 Gerakan feminis awal di Mesir dipelopori oleh Hoda Sya’rawi. Ia adalah istri tuan tanah besar dan berdarah ningrat. Pada tahun 1923 ia mendirikan Persatuan Feminis pertama di Mesir dan menganjurkan perubahan sistem hukum mengenai perkawinan dan perceraian. Ia menganjurkan kebebasan perempuan melalui pendidikan, meraih jabatan-jabatan dan juga pemisahan dengan lawan jenis dan pemingitan. Karena berlatar belakang aristokrat, ia masuk dalam kelompok Wafdis Nasionalis, kelas tuan tanah besar liberal. Pada tahun 1911, seorang feminis lain, Malak Hifni Nassef bergabung ke dalam lingkaran Sha’rawi dan mengusulkan dalam Forum Kongres Nasional agar perempuan diperbolehkan masuk secara bebas ke masjid, hak yang pada zaman dahulu telah mereka miliki, kemudian dirampas oleh kekuasaan patriarkat. Gerakan Sha’rawi terutama menganjurkan kemerdekaan nasional. Pendidikan Islam hanya disokong dengan

18  Maria Hartiningsih, “Membaca Asma Barlas”, dalam Kompas, Sabtu, 25 Juni 2005, hal. 12 kolom 3-6 19  Mansur Fakih, Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 61-78.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

147

tuntunan umum dari pemikiran sekularis dan liberal yang pada saat itu besar sekali. Sya’rawi dalam aktivitasnya berusaha membela kemerdekaan melawan kolonialisme, terutama memusatkan pada keadaan tertindas perempuan. Dengan penuh perasaan antikolonial terhadap perlakuan kejam dan penghinaan Inggris terhadap bangsanya, ia berusaha keras mengubah susunan tradisi di mana ia dibesarkan sebagai perempuan. Pernyataan feminisme dan perasaan antikolonial dalam kaum ningrat Dunia Ketiga pada awal abad ini merupakan dua hal yang bertentangan. Di satu pihak kelas ini meliputi nilai-nilai Barat yang terpadu dalam liberalisme politik dan moral universal yang memerlukan pengetahuan tentang bahasa dan lambang penguasa kolonialnya. Sha’rawi dipandang sebagai pahlawan nasional. Ia menulis dengan bahasa yang bukan bahasa ibunya yaitu bahasa Perancis sedangkan ibunya berbahasa Turki. Ia menulis suratnya yang berisi pemikiranpemikirannya kepada pemerhati Eropa dan teman-teman Eropanya. Artinya, Baratlah yang membuatnya selalu menyadari kedudukan dan perbedaan mereka sendiri. Sya’rawi berkorespondensi dengan nyonya-nyonya Perancis dan teman-teman Amerika, dan seperti yang telah ditulisnya sendiri ia sangat mengerti kebudayaan Perancis dan sangat sering pergi ke Eropa. Di pihak lain, pengalaman ini membawa kelas ini mengetahui perlunya emansipasinya sendiri, baik dari kungkungan kolonial maupun patriarki tradisional. Sya’rawi mempunyai harapan yaitu mendidik dan memberi kesempatan kepada perempuan. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangkitkan sekolah-sekolah dan organisasi perempuan. Hoda Sya’rawi dipandang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutannya. Ia ambil bagian dari dalam kehidupan politik dengan cara menjadi perempuan pertama yang membuka kerudungnya. Ia ikut serta dalam revolusi 1911 di Mesir dan kejadiankejadian politik lainnya. Ia juga membentuk komite perempuan dan kemudian majalah L’Egyptienne. Ia juga mendirikan yayasan amal. Huda Sya’rawi oleh orang yang berpaham Islam dianggap sebagai hasil dari nasionalisme sekulra dan dia dikritik karena mewakili 148

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

kepentingan kelas atas ningrat yang memasukkan ide “feminisme Barat”. Tetapi citra yang telah dilakukannya membuatnya menjadi tokoh terkemuka, sehingga secara sadar atau tidak membentuk berbagai gerakan yang mengikutinya di negara Mesir. Agaknya Sya’rawi menjadi kerangka penunjuk bagi gerakan perempuan. Kita tidak mungkin mengabaikannya karena dialah yang memeloporinya. Jadi, feminis awal kebanyakan berasal dari golongan liberal sekularis dan borjuasi, misalnya Qassem Amin yang mendirikan majalah Tahrir al-Mar’a (Emansipasi Perempuan), Malak Hifni Nassef yang mempunyai majalah Nissa’iyyat (Masalah Perempuan), dan Abdel Hamid yang memiliki majalah al-Sufur (Menanggalkan Kerudung). Semua ini adalah karya yang disemangati oleh jiwa liberalisme. Kendati Amen adalah pengikut Muhammad Abduh, tetapi perbedaannya adalah penganut Abduh di Mesir membuat sekularisasi lebih jauh dalam masyarakat.20 Feminisme di Mesir terutama dikembangkan oleh kaum sekularis dan pada tahun 40-an dan 50-an oleh kaum kiri seperti Inji Aflatoun dan Doria Shafik jebolan Sorbonne yang terkenal dengan sebutan Bint al-Nil. Pada saat ini penganut utama dari feminisme Mesir adalah Nawal el-Sa’dawi yang mendukung fusi feminisme dengan analisis Marxis. Ikhwanul Muslimin juga mendirikan cabang untuk perempuan yang dipimpin oleh Zainab al-Ghazali. Tetapi Ikhwanul Muslimin hanya memusatkan diri pada tujuan politik, bukan untuk pendidikan. Selain itu karena mereka dilarang pada zaman rezim Nasser, pengaruh sosialnya tertahan. Ikhwanul Muslimin menjadi lebih aktif selama masa Sadat dan demikian pula dengan departemen perempuannya yang dipimpin oleh Zainab al-Ghazali.

Mona Abaza, op.cit., hlm. 154. Bangkok, 11 Juli 2005.

20 

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

149

150

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Dinamika Tema Perempuan dalam Karya-Karya Naguib Mahfouz oleh Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Pd.

Saya adalah putra dua peradaban yang pada suatu masa dalam sejarah telah membentuk perkawinan yang berbahagia. Peradaban yang pertama, yang umurnya tujuh ribu tahun, adalah peradaban Firaun; yang kedua, seribu empat ratus tahun umurnya, adalah Islam. (Pidato penerimaan Hadiah Nobel, diucapkan pada 8 Desember, 1988)

Pendahuluan Nama novelis Mesir ini mencuat secara internasional setelah menerima hadiah Nobel pada 13 Oktober 1988 oleh Akademi Sastra Internasional Stockholm di Swedia.21 Sebelumnya, Mahfouz beberapa kali menerima penghargaan baik dari dalam maupun luar Mesir. Pada 1957, Mahfouz menerima penghargaan dari the State Literary 21  Naguib Mahfouz, Awal dan Akhir, terjemahan Anton Kurnia dan Anwar Holid, Jakarta: Yayasan Obor, 2000, hal. 194.

151

Prize for the Novel, pada 1968 ia menerima penghargaan dari the State Merit Award, bagian pertama dari novel triloginya, Qasr Shawq berhasil memenangkan Jaizah al-Daulah fi al-Adab (Hadiah Sastra Negara), pada 1970, ia memperoleh penghargaan nasional al-Daulah al-Taqdiriyah (Hadiah Apresiasi Sastra), dan pada 1972 Mahfouz dianugerahi Wisam al-Jumhuriyah min al-Darajah al-Ula (Bintang Tanda Jasa Republik Tingkat I). Kemenangan Mahfouz merupakan rangkaian peristiwa yang cukup penting untuk kita catat yaitu: Orang pertama yang menulis dalam bahasa Timur (Arab), pemenang pertama dari bangsa Arab, pemenang pertama yang beragama Islam, orang pertama Mesir yang mendapat penghargaan, dan orang pertama yang membuka mata dunia – bahwa hadiah Nobel bukan hanya untuk karya-karya yang ditulis dalam bahasa Barat. Karya terbaik Mahfouz adalah sebuah trilogi yang dirampungkan pada 1957, dengan halaman setebal 1500. Mahfouz termasuk salah satu dari sekian banyak paus sastra dunia yang terpilih sebagai penerima penghargaan Nobel di bidang sastra. Penghargaan ini diberikan kepada Mahfouz atas dedikasinya dalam ranah sastra yang ia geluti selama lebih dari lima dekade.22 Tentu saja, hal ini membuat Mahfouz terkejut karena tidak mengira akan dinobatkan sebagai penerima Nobel di bidang sastra. Mahfouz menduga bahwa yang berhak dan layak menerima penghargaan Nobel di bidang sastra ini adalah Taha Husein, Taufiq Hakim, dan Muhammad Husein Kamil karena pada 1970 nama-nama tersebut lebih sering disebut sebagai calon penerima hadiah Nobel. 23 Mahfouz adalah sastrawan Arab yang pertama kali mendapat hadiah Nobel. Ia merasa begitu senang karena pada akhirnya sastrawan Arab diakui oleh dunia. Dalam pidatonya yang dibacakan Muhammad Salmawi di hadapan sidang Akademi Swedia, Mahfouz memperkenalkan dirinya sebagai putra dua peradaban sejarah, peradaban Fir’aun, dan Islam.24 Pengakuan Mahfouz ini menunjukkan 22  Lihat Julie Scott Meisami dan Paul Strakey, Encyclopedia of Arabic Literature, London dan New York, Routledge, 1998, hal. 490. 23  Majalah Tempo, 2000, hal. 72. 24  Rodhi As’ad, Sidang Sastrawan Dunia, Yogyakarta: Pinus, 2004, hal. 224.

152

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

betapa ia sangat bangga dengan kedua peradaban tersebut. Kebanggaannya tersebut ia jelaskan bukan karena kemegahan Piramida, Sphinx, dan Karnak yang telah dibangun Fir’aun, melainkan karena kebijaksanaan Fir’aun ketika harus menjatuhkan hukuman pada orang yang bersalah dengan memanggil ahli hukum untuk menyelidiki dakwaan yang ada. Fir’aun berkata kepada mereka bahwa ia menginginkan kebenaran sehingga ia dapat menjatuhkan hukumannya dengan adil. Mahfouz menyatakan, “Menurut saya perilaku ini lebih hebat dibanding dengan pendirian sebuah kerajaan atau pembangunan Piramida. Perilaku itu lebih menandakan keunggulan peradaban dibanding kekayaan atau kemuliaan mana pun.” 25

Mengenai peradaban Islam, dalam pidatonya, Mahfouz mengungkapkan kebanggaannya bukan pada seruan Islam untuk membangun persaudaraan di bawah khalifah (perwalian dari Pencipta), berlandaskan pada kemerdekaan, persamaan, dan pengampunan, juga bukan karena kebesaran Nabinya. Mahfouz begitu terkesan dengan peradaban Islam ketika terjadi pertukaran antara tawanan perang tentara Romawi dengan buku-buku filsafat, matematika, dan kedokteran warisan Yunani, saat kaum muslim memenangkan pertempuran melawan Bizantium.26 Penghargaan yang diterima Mahfouz baik dari dalam maupun luar Mesir menunjukkan reputasinya sebagai sastrawan yang tidak diragukan lagi. Namun, idealismenya sebagai sastrawan bukan sekedar mendapatkan penghargaan, melainkan juga mendapatkan kecaman, tuduhan sebagai spionase Barat dan Israel, dianggap kafir, bahkan ia menerima fatwa tentang “kematiannya” yang dihalalkan, terutama setelah ia menulis novel Awlâd Hâratinâ (Anak-anak Kampung Kami) pada 1959. Novel ini pertama kali terbit secara berseri di harian alAhram, kemudian isinya dianggap sebagai cerita kontroversial karena menghadirkan tokoh dan alur cerita seperti kisah para Nabi. Ibid, hal. 226. Ibid, hal. 227.

25  26 

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

153

Naguib Mahfouz dilahirkan dengan nama lengkap Naguib Mahfouz Abdul Aziz Ibrahim al Basya pada 15 Desember 1911 di Gamaliyya, sebuah distrik tua di pinggiran kota Kairo, Mesir. Keluarganya tergolong miskin dan tidak mengecap pendidikan yang memadai. Ayahnya adalah seorang pegawai rendahan yang kemudian beralih profesi sebagai pedagang. Naguib memiliki enam saudara; dua laki-laki dan empat perempuan. Keenam saudaranya meninggal ketika mereka masih kecil sehingga Naguib kecil tumbuh hidup sendiri. Pada saat ia berusia 6 tahun, Naguib dan keluarganya pindah ke distrik Abbasiyyah yang lebih bersih dan modern. Pada saat itu ia dimasukkan ke Sekolah Dasar dan pada 1924, di saat ia berusia 13 tahun, Naguib memasuki Sekolah Lanjutan al Madrasah al Tsanawiyyah Fu’ad al Awwal. Seiring dengan kondisi perekonomian keluarganya yang semakin membaik, ia belajar di Universitas Cairo mengambil jurusan Filsafat Islam pada tahun 1930. Pada 1934 ia lulus sebagai Sarjana Filsafat. Sebenarnya, Naguib memperoleh tawaran dari Mustafa Abdur Raziq, guru besar di Universitas Cairo untuk menempuh program Doktor di bidang Filsafat dan Mistik Islam, namun tawaran itu ditolaknya. Kesenjangan sosial yang dialaminya sejak kecil serta penderitaan kaum miskin yang tertindas arogansi kekuasaan birokrasi di Mesir, membuat rasa solidaritasnya bangkit. Ia memilih jalur pekerjaan di almamaternya dan menekuni bidang tulis-menulis.27 Karir Mahfouz di bidang seni semakin menanjak, terutama pada 1957, ketika ia dipercaya untuk menjabat sebagai Direktur Lembaga Perfilman Nasional Mesir.28 Ia mengabdi pada lembaga ini selama delapan tahun, hingga akhirnya pengabdian ini berbuah penghargaan ketika ia ditetapkan sebagai anggota Dewan Tertinggi Perlindungan Seni dan Sastra pada 1965.29 Ketika tidak lagi mengabdi pada Lembaga Perfilman Nasional Mesir, Mahfouz menilai kualitas film 27  Mahfouz, Aku Musa Engkau Fir’aun, diterjemahkan dari novel Awlad Haratina episode Jabal. Yogyakarta:Tarawang, September 2000, bagian Biografi, hal. 189-190. 28  Mahfouz, Ibid, hal. 190. 29  Ibid., hal. 191.

154

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

produksi Mesir tahun 1936-an —baik dari segi tema maupun akting pemainnya— lebih baik dibandingkan dengan produksi masa kini.30 Selanjutnya, semenjak 1969 sampai 1971, Mahfouz lebih banyak disibukkan sebagai konsultan perfilman di Departemen Kebudayaan Mesir, sumber lain menyebutkan pada tahun tersebut Mahfouz dipercaya sebagai Penasihat Menteri Kebudayaan Mesir (Mahfouz, 2000: 191). Sejak 1971, Mahfouz mengambil keputusan untuk berhenti dari kepegawaian dan menggeluti secara total dunia tulis menulis (Mahfouz, 2000: 191). Langkah selanjutnya, yang ia lakukan adalah menjadi editor sastra pada surat kabar al-Ahrâm, sebuah surat kabar yang dimiliki pemerintah Mesir. Karya-karya novelnya sebanyak 35 buah dan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebanyak 25 buah, 13 antologi cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebanyak 33 buah, 25 skenario film; tiga buah di antaranya juga telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, tujuh novelnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, dua karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan Ibrani, serta sekitar sepuluh buah karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu: Awal & Akhir jilid 1 dan jilid 2; Lorong Midaq, Di Bawah Bayang-bayang Perang, Pencopet dan Kelompok Begundal, Rifa’at sang Penebus, Pengemis, Hotel Miramar, Hari Terbunuhnya Sang Presiden, Aku Musa Engkau Fir’aun. Dua cerita pendeknya yang dimuat di dalam buku kumpulan cerpen berbahasa Arab “Bayt Sayyi’ al-Sum’ah”, terbitan Qalam, Beirut, 1971 pun telah diterjemahkan yaitu “Bianglala” dan “Menjelang Berangkat”.31 Hampir semua karya-karyanya banyak mengangkat masalah masyarakat tradisional dan modern di Mesir yang menggambarkan kenyataan hidup sosial yang dialami masyarakat Mesir pada masa itu. Di antaranya adalah novel trilogi karangannya32 yang merekam kehidupan sosial dan politik di Mesir sebelum dan Majalah Tempo, 2000, hal. 66. Lihat Mahfouz, op.cit., hal. 190. 32  Tiga novel karangannya: Bain al-Qahsrain (Mesir:Dar Misr al-Thiba’ah, 1983), Qashr al-Syauq (Mesir:Dar Misr al-Thiba’ah, 1987) dan al-Sukkariyah (Mesir: Dar Misr alThiba’ah, 1984), ditulis sejak tahun 1956-1957. 30  31 

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

155

sesudah revolusi Juli 1952. Pada tulisan ini, akan dibahas dan sekaligus dikritisi tema perempuan dalam karya-karya Naguib Mahfouz.

Hasil dan Pembahasan A. Karya-Karya Mahfouz: Pergulatan Identitas Politik Mesir Mahfouz, novelis yang telah mulai menulis karya sastra dalam usia 15 tahun dan hingga kini terus berkarya. Kendati berlatar belakang pendidikan filsafat, ia pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada bidang sastra, setelah mengalami dilema antara berkarir di bidang filsafat sebagai pengajar di universitas dan menjalani karir di bidang kesusastraan di bidang sastra. Secara garis besar, novel-novel yang dihasilkannya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni: pertama, novel berdasarkan sejarah Mesir Kuno yang bercorak romantik (1939-1944), seperti Abas al Aqdar (1939) dan Kifah Tibah (1944); kedua, novel-novel realis (1945-1962), seperti al Qahirah al Jadidah (1945) dan al-Sukkariyah (1957); dan ketiga, novel simbolis filosofis (sejak 1959), seperti Awlad Haratina (1959) dan al ‘Ais fi al Haqiqah (1985). Boleh dikatakan sosok Mahfouz ini unik. Ia hidup dalam rezim penguasa yang silih berganti dengan kebijakan dan afiliasi politik yang juga berlainan. Namun, ia tetap bisa hidup dan hampir tidak pernah mengalami hambatan dari para penguasa. Bukan berarti ia tidak mempunyai prinsip dalam menyikapi kenyataan yang ada, melainkan mencoba menyesuaikan diri dengan kebijakan penguasa atau tidak peduli pada apa yang sedang terjadi di sekelilingnya dengan menghasilkan karya-karya yang jauh dari rekaman zamannya. Sebaliknya, karya-karyanya sarat dengan kritik sosial yang ditampilkannya secara eksplisit, transparan dan terperinci. Karyakarya dalam masa-masa awal kepengarangannya, terutama yang bercorak realis membuktikan semuanya. Keunikan Naguib Mahfouz lainnya adalah adanya tiga fase kepengarangannya dengan corak karya yang berbeda-beda. 156

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Novel al Sukkariyah karya Naguib Mahfouz adalah salah satu contoh dari sekian novel yang ditulisnya yang bercorak realis. Novel ini adalah seri ketiga dari trilogi Mahfouz, dua seri lainnya adalah Bain al Qasrain (1956) dan Qasr al Syauq (1957). Fenomena sosial yang terekam transparan dan eksplisit. Dengan ketransparanan dan keeksplisitannya tersebut memungkinkan dapat menjangkau segmen pembaca yang luas. Gagasan, ide, atau wacana yang dikembangkan pengarang dengan demikian dapat berpengaruh terhadap masyarakat banyak. Barangkali inilah yang mendasari Mahfouz untuk memilih gaya realis dan juga historis dalam merekam kondisi sosial sekitarnya ketika negara Mesir sedang mencari identitas dalam gelombang besar perubahan. Novel al Sukkariyah adalah seri ketiga dari trilogi Mahfouz yang mengantarkannya meraih Hadiah Nobel Kesusastraan dari Akademi Swedia pada 1988. Novel ini menjadikan pengarangnya sebagai sastrawan Arab dan Muslim pertama yang meraih Hadiah Nobel yang dihasilkan dalam fase puncaknya sebagai pengarang realis.33 Sebagai sebuah novel realis, al Sukkariyah dengan sangat rinci memotret sisi kehidupan sosial, politik dan agama di Mesir pada 1930-an dan 1940an terutama dari perspektif keluarga kelas menengah. Pergesekan pemikiran antara generasi lama dan generasi baru, pergolakan dan ragam afiliasi politik masyarakat, dan lontaranlontaran kritis para tokoh terhadap eksistensi Tuhan dan agama menghiasi dan mewarnai novel ini. Melalui deskripsi yang cermat dan rinci, Mahfouz seolah membawa pembaca novel yang tebalnya 232 halaman ini sampai pada kesimpulan bahwa peristiwa-peristiwa yang dilukiskan di dalamnya merupakan peristiwa yang secara faktual historis terjadi, dalam arti bahwa novel ini adalah kaya nonfiksi, padahal yang sebenarnya adalah bahwa novel tersebut murni hasil proses kreatif si pengarang. Novel realis al Sukkariyah merupakan pilihan tepat untuk melihat bagaimana kondisi sosial, politik dan agama di Mesir yang tercermin 33  Muhammad Salih al Syanty, al Adab al Araby al Hadis:Madarisuhu wa Fununuhu wa Tatawwuruhu wa Qadayahu wa Namadiju minhu, Saudi Arabia, 1992, hal. 354.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

157

dalam karya sastra. Sebagai sastrawan terkemuka dunia Arab dan Islam, Naguib Mahfouz memperoleh perhatian dan sorotan publik yang melintasi wilayah etnik, geografis, dan agama. Berbagai kajian, tinjauan dan analisis dengan beragam pendekatan terhadap karyakaryanya banyak dilakukan, baik berupa analisis lengkap tersendiri maupun yang terselip dalam sorotan terhadap kesusastraan Arab secara umum, terutama terhadap trilogi yang mengantarkannya menerima Hadiah Nobel. John A. Haywood, misalnya, sedikit menyinggung karya trilogi Mahfouz dan hanya memberikannya porsi kurang dari satu halaman ketika ia membahas perkembangan prosa Mesir.34 Menurutnya, karya tersebut adalah sejarah keluarga dilatarbelakangi oleh perbincangan tentang politik dan masalah-masalah keluarga di cafe-cafe yang dipandang penting dalam kehidupan sosial masyarakat kota di dunia Arab. Muhammad Salih al Shanty mengangkat karya Mahfouz tersebut dalam bukunya al Adab al ‘Araby al Hadis:Madarisuhu wa Fununuhu wa Tatawwaruhu wa Qadaruhu wa Namadiju minhu, tetapi bahasannya hanya sekilas dalam sub bab Prosa dalam Sejarah Arab Modern.35 Tulisan yang secara khusus mengkaji karya-karya Naguib Mahfouz adalah Naguib Mahfouz:The Pursuit of Meaning karya Rasheed el Enany. Karena jangkauan kajian buku ini mencakup hampir semua karya Naguib Mahfouz, maka ulasan tentang trilogi hanya mencakup sub bab Time and the Man:Four Egyptian Sagas. Dalam tulisannya tersebut, El Enany mempersoalkan perubahan yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat Mesir dan novel Mahfouz tersebut mampu merekam perubahan itu dengan cermat. Novel-novel garapan Mahfouz banyak mengambil hay Gamaleyah sebagai latar cerita. Novel Zuqâq al-Midâq (Lorong Midaq) yang mengisahkan kehidupan manusia di lorong Midaq, adalah tempat 34  John A Haywood, Modern Arabic Literature 1800-1970:An introduction, with extract in translation, New York, 1972, hal. 206-207. 35  Muhammad Salih al Syanty, op. cit., hal. 355-356.

158

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

berdirinya maqha al-Fishawy yang sehari-hari dikunjunginya. Hal ini menunjukkan betapa ia sangat mencintai hay Gamaleya. Ketika ia bekerja di Kementerian Agama dan Urusan Waqaf pada tahun 1939, Mahfouz masih menyempatkan diri datang ke sana pada malam hari selepas bekerja.36 Rasa cintanya tidak terbatas pada hay Gamaleyah, melainkan juga pada Mesir, ibu pertiwinya. Ia merasa ada keterikatan batin antara dirinya dan Mesir. Secara jasmani pun, Mahfouz terlihat begitu mencintai bangsanya. Ini terlihat dari keengganannya untuk meninggalkan Mesir, sekalipun untuk menerima penghargaan sastra bergengsi seperti Nobel. Mahfouz meninggalkan Mesir tercatat hanya sebanyak tiga kali sepanjang 85 tahun, dan itu juga dilakukannya karena terpaksa harus pergi. Negara pertama yang ia kunjungi saat meninggalkan Mesir adalah Yaman. Saat itu pemimpin politik wilayah tersebut meminta para penulis terkemuka pada tahun 60-an untuk memberi pandangan seputar perang yang tengah berkecamuk di wilayah tersebut. Negara kedua yang dikunjunginya adalah Yugoslavia, saat ia tergabung dalam rombongan penulis dari Mesir sebagai bentuk pertukaran budaya antardua negara yang memiliki hubungan erat, terutama antara Presiden Gamal Abdul Naser dan Tito. Kunjungan Mahfouz yang ketiga pada tahun 1991 saat ia terpaksa harus melakukan operasi di London.37 Sebagai seorang penulis, Mahfouz menulis baik fiksi maupun nonfiksi. Tulisannya mulai dipublikasikan sejak tahun 1930, yaitu sebuah artikel yang berjudul “Runtuhnya Kepercayaan Lama dan Lahirnya Kepercayaan Baru”. Selain itu juga beberapa esai yang bertema filsafat antara lain: “Evolusi Fenomena Sosial”, “Apakah Filsafat Itu?”, “Persepsi dan Indra”, “Keruntuhan Beberapa Keyakinan dan Tumbuhnya Keyakinan Lainnya”, “Pragmatisme”, dan “Kecenderungan Lama dan Baru dalam Psikologi”.38 36  Samir Serhan, Wathani Mishr:Najib Mahfuz Hiwaraat ma’a Muhammad Salmawi, Kairo: Dar al-Suruq, 2000, hal. 16. 37  Ibid., hal. 19 38  Mahfouz, 2000, op.cit., hal. xv.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

159

Karya Mahfouz pertama kali dipublikasikan dalam bentuk antologi cerpen. Antologi cerpen Hams al-Junûn (Bisikan Kegilaan) adalah karyanya yang pertama kali terbit pada tahun 1932. Keinginan untuk terus menghasilkan karya sastra sangat menggebu dalam diri Mahfouz. Ini terbukti dari novel perdananya yang terbit pada tahun 1938 berjudul Abath al-Aqdar (Permainan Taqdir). Lima tahun kemudian lahirlah novel Radubis (1943), dan tidak lama kemudian pada tahun 1944 terbitlah novel Kifah Thibah (Perjuangan Thebe). Ketiga novel yang disebutkan di atas, ditulis Mahfouz dengan menggunakan metode naratif untuk mengkritik sistem pemerintahan tanpa melawan penguasa. Hal ini terkait dengan keadaan politik Mesir pada masa itu yang tidak memungkinkan Mahfouz menulis novel dengan tujuan mengkritik secara lugas dan terbuka. Pada bulan Juni 1930, penguasa Ismail Sidqi diangkat menjadi Perdana Menteri. Ia membatalkan konstitusi 1923 dengan alasan bahwa bangsa Mesir belum siap dengan sistem demokrasi seperti yang diterapkan di Barat. Untuk meredam kelompok oposisi, Ismail Sidqi secara terangterangan melindas semua bentuk perlawanan termasuk di antaranya dua sastrawan Taha Husein dan al-Aqqad. Taha Husein sengaja dituding telah menyuarakan keraguan terhadap Islam dan dituduh kafir melalui karyanya Fi al-Syi’ir al-Jahily (Seputar Syair Jahily,1926), sedangkan al-Aqqad dipecat sebagai Dekan Fakultas Seni karena dituduh telah menghina keluarga kerajaan. Dalam situasi seperti itu, Mahfouz mencoba meramu suatu metode naratif untuk mengkritik sistem tanpa memperlihatkan perlawanan secara terbuka. Akhirnya lahirlah tiga buah novel historis berlatar belakang Mesir kuno, Abath al-Aqdar (Permainan Taqdir), Radubis, dan Kifah Thibah (Perjuangan Thebe) yang menunjukkan perpaduan antara sejarah dengan simbol-simbol yang menggambarkan sentimen politik masa itu dengan keadaan zaman Fir’aun.39 Pada 1945, Mahfouz menghasilkan novel berjudul al-Qâhirah alJadîdah (Kairo Baru). Novel Khan al-Khalili (Lelaki yang Terpasung) Ibid., hal. xviii.

39 

160

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

terbit pada tahun 1946 dan mendapat penghargaan dari Simposium Bahasa Arab.40 Tahun 1949, novel Bidâyah wa Nihâyah (Awal dan Akhir) diterbitkan. Kemudian, beberapa novel Mahfouz pernah diangkat ke layar lebar, salah satunya adalah novel Bidâyah wa Nihâyah (Awal dan Akhir) ini yang dibintangi oleh aktor Mesir, Omar Sharif.41 Pada 1956 dan 1957 Mahfouz menerbitkan tiga novel sekaligus yang dikenal dengan sebutan al-Thulathiya (Trilogi), yaitu novel Bayn alQasrayn (Antara Dua Istana) yang terbit pada 1956, kemudian novel Qasr Al-Shawq (Istana Kerinduan) dan al-Sukkariya (Jalan Gula) yang terbit pada tahun 1957. 42 Latar waktu yang digunakan Mahfouz dalam novel Bayn alQasrayn (Antara Dua Istana) adalah rentang masa 1917 hingga 1919, novel Qasr al-Shawq (Istana Kerinduan) menggunakan latar waktu antara 1924 hingga 1927, dan novel al-Sukkariyah (Jalan Gula) menggunakan latar waktu antara 1935 hingga 1952. Hay Gamaleya juga turut andil menciptakan latar tempat yang spesial dalam novel trilogi Mahfouz ini. Tempat kelahiran Mahfouz ini banyak memberi inspirasi pada novel trilogi, cerminan autobiografi Mahfouz sendiri, hal ini diakui Mahfouz sendiri dalam bukunya Asdaq al-Sirah alDzatiyah (Biografi Terjujur) yang terbit pada 1994. Trilogi setebal 1500 halaman ini berbuah penghargaan Nobel yang dinobatkan secara resmi pada tanggal. 43Tepat pada hari yang diidam-idamkan seluruh paus sastra dunia untuk meraih penghargaan Nobel di bidang sastra ini, Mahfouz justru tidur siang di rumahnya, ia mewakilkan kehadiran dirinya kepada Muhammad Salmawi untuk menerima penghargaan tersebut.44 Penerbitan cerita Awlâd Hâratinâ (Anak-anak Kampung Kami) memperboleh koran al-Ahram menerbitkan cerita tersebut secara berseri, tetapi melarang diterbitkan atau dicetak dalam bentuk novel Mahfouz, 2003, op. cit., hal. xi-xiii. Ali Audah, Mesjid di Lorong Sempit, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1990, hal. 178. 42  Samia Mehrez, ”No More Chit Chat on the Nile”, 2001. Lihat http://weekly. ahram.org.eg/ 2001/564/2sc2.htm. 43  Mahfouz, 2000, op.cit, hal. 192. 44  Majalah Tempo, op.cit., hal. 64 40  41 

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

161

di Mesir, sebaliknya novel tersebut pertama kali dicetak di Lebanon pada 1967 dan terjual sebanyak 120.000 eksemplar.45 Novel al-Liss wa al-Kilâb (Seorang Pencuri dan Anjing) terbit pada tahun 1961, kemudian pada 1967 Mahfouz menerbitkan sebuah antologi cerpen yang berjudul Tahta al-Mizalla (Di Bawah Payung). Pada 1973, Mahfouz al-Hubb tahta al-Mathâr (Cinta di bawah Hujan). Latar waktu yang digunakan Mahfouz dalam novel ini adalah ketika Mesir dan Arab sedang menghadapi perang fisik dengan Israel pada tahun 1967. Pada 1975, novel Hadratu al-Muhtaram (Tuan Terhormat) dan novel Amâma al-‘Arsy (Di Hadapan Mahkota) yang terbit pada 1983. Ia menulis lagi sebuah novel yang diri judul Yawma al-Maqta al-Za’im (Hari Kematian Sang Pemimpin). Novel ini berlatar belakang penembakan Anwar Sadat pada 1981 oleh anggota al-Jihad.

B. Naguib Mahfouz dan Tema Perempuan Berbicara tentang perempuan, Mahfouz mengakui bahwa dirinya adalah seorang liberalis ketika menghadapi kedua putrinya, Ummu Kultsum dan Fathimah. Apapun yang ia tawarkan kepada putrinya —baik pendapat maupun argumen— tidak pernah dipaksakan kepada putrinya untuk serta merta diterima. Mahfouz menyunting Athiyatullah Ibrahim, gadis pujaannya untuk menjadi pendamping hidupnya pada 1954. Saat pernikahan berlangsung, Mahfouz berusia 43 tahun. Di Mesir, adalah hal yang biasa bagi pemuda-pemudi untuk menikah pada usia yang “matang” karena pertimbangan kepemilikan materi untuk membayar mahar yang cukup mahal yang dilegitimasi adat istiadat Arab. Dari pernikahan mereka, lahirlah dua putri yang sudah disebutkan di atas. Keluarganya boleh dikatakan sebagai keluarga yang harmonis. Athiyatullah adalah seorang istri yang memahami profesi suaminya sebagai seorang penulis. Hubungan antarorang tua dan anak juga terjalin dengan baik. Mahfouz merupakan tipe ayah yang selalu memberikan kebebasan sepenuhnya pada kedua putrinya. Ia Gordon, 1990:87-88.

45 

162

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

mengizinkan kedua putrinya bersekolah dan bekerja; dan kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri. Kendati demikian, mereka berdua sangat taat menjalankan agama. 46 Perempuan dalam karya sastra Mahfouz –barangkali yang paling terkenal di antara penulis-penulis Mesir kontemporer– cuma “seorang perempuan”, baik ia miskin atau kaya, bodoh atau berbudaya. Naguib Mahfouz melakukan langkah maju dibandingkan penulis laki-laki Arab sebelumnya yang selalu menceritakan gugurnya pahlawanpahlawan karena kelemahannya sebagai perempuan, atau kenyataan bahwa akal dan pikiran mereka kurang. Sebaliknya bagi Mahfouz, dosa perempuan dihubungkan dengan alasan-alasan ekonomis (kemelaratan). Kendati demikian, konsepnya tentang kehormatan masih sama dan cakupannya hanya berkisar pada wilayah yang terbatas pada bagian keperempuanannya saja. Walaupun Mahfouz berpandangan lebih maju tentang keadilan sosial, tetapi konsep-konsep dan sikapnya, dalam kaitannya dengan perempuan, tidak jauh berbeda dari orang-orang sebelumnya. Ia memberi perempuan hak pendidikan dan bekerja untuk mendukung ayah dan suami sebagai penyumbang terhadap penghasilan keluarga dengan syarat ia tidak melangkahi batas-batas moral dan agama dalam pengertian sistem keluarga patriarki, serta standar ganda yang berlaku dalam masyarakat di mana laki-laki dan perempuan bersatu dalam cinta, namun hanya perempuan yang dianggap tidak terhormat. Mahfouz kadang-kadang sangat bersemangat, ia mengajak membangun sebuah masyarakat sosialis dan mengkhayalkan suatu jalan hidup yang lebih manusiawi dan makmur. “Harapan untuk mampu mengisi apa yang ia impikan dalam khayalannya, tanpa melanggar ajaran-ajaran agama, dan membawa rasa bahagia ke dalam hati.”47 Menurut Nawal El Saadawi, Naguib Mahfouz telah menjadi mangsa kontradiksi yang tidak terselesaikan. Ia mengizinkan perempuan untuk bekerja dan berpenghasilan, namun pada saat yang sama mengingkari Serhan, op.cit, hal. 17 dan hal. 78-79. Mahfouz, Bidayah wa Nihayah, op.cit, hal. 302.

46  47 

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

163

kebebasan pribadi mereka. Ia memperbolehkan perempuan untuk mencintai tetapi menuduh mereka sebagai perempuan yang gagal bila mereka benar-benar jatuh cinta. Ia menganggap perkawinan sebagai hubungan yang sah dan diperbolehkan antara laki-laki dan perempuan. Namun bila perempuan berpikir tentang syarat-syarat pernikahan, laki-laki akan menuduhnya konservatif, terlalu hati-hati dan tidak mampu mencintai. Dalam salah satu tulisannya, ia mengatakan –mengomentari tentang keinginan kekasihnya untuk bertunangan– ”Ia ingin menikahiku, tidak mencintaiku. Inilah rahasia kehati-hatiannya dan kekakuannya.”48 Pada salah satu kesempatan lain, ia melihat di dalam diri perempuan sumber segala kekuatan yang mengejawantah di dalam segala sesuatu di dunia ini. “Tidaklah ada satu gerakan pun yang berasal dari laki-laki kecuali di belakangnya berdiri seorang perempuan. Peran yang dimainkan seorang perempuan dalam hidup kita laksana gaya gravitasi yang membentang antara planet-planet dan bintang-bintang”.49 Pada 1948, Mahfouz memperlihatkan potret sosial seputar peran seorang ibu dalam rumah tangga dalam novelnya al-Sarâb (Bayangan), yang dikategorikan sebagai novel psikologi. Dikisahkan tentang seorang ibu yang tidak rela ditinggalkan oleh anak lelakinya semata wayang yang sangat dicintainya semenjak kecil, setelah suaminya meninggal. Setelah lulus dari universitas, sang anak menduduki sebuah posisi penting di salah satu instansi pemerintahan. Ketika menikah, sang anak tidak dapat mempertahankan hubungannya dengan sang istri yang terbukti tidak setia. Sang istri berselingkuh dan meninggal ketika melakukan aborsi. Anak lelaki kesayangan ibunya ini akhirnya kembali ke pangkuan sang ibu seperti ketika mereka masih bersama dahulu. Novel al-Sarâb (Bayangan) dianggap sebagai pengungkapan rasa cinta Mahfouz pada ibunya dan istrinya tercinta, Athiyatullah Ibrahim. Ibid. Nawal el Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 331 merujuk pada Naguib Mahfudz, As-Sarab (Maktabah Masr), hal. 310. 48  49 

164

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Kesusastraan Arab tersebar dengan contoh-contoh yang sangat banyak dari dua golongan perempuan yang berlawanan dan bertolak belakang. Ibu merupakan simbol dari cinta yang agung dan mulia, sementara perempuan adalah simbol dari cinta yang hina. Penghormatan suci yang diberikan laki-laki Arab kepada ibunya, tampak jelas dalam lagu, sajak, novel, dan kebudayaan mereka. Kebanyakan harapan dari para tokoh perempuan dalam kehidupan adalah untuk melegitimasi keberadaan mereka melalui perkawinan. Dunia perempuan terbatas hanya untuk memikirkan laki-laki dan mengimpikan seorang suami. Setelah menikah, seorang perempuan benar-benar disibukkan oleh seni merawat suami. Laki-laki yang menikahi seorang perempuan pekerja, atau seorang yang memiliki rasa percaya diri dan kepribadian yang kuat, dipandang sebagai orang yang lemah dan didominasi istri.50 Ia digambarkan sebagai sedang melawan ibunya yang senantiasa mengingatkannya untuk melarang istrinya pergi bekerja. Naguib Mahfouz menggambarkan suami seperti ini sebagai orang yang gagal karena ia menjalankan kehidupan di mana keputusan berada di tangan seorang istrinya. Ia melukiskan seorang wanita, Rabab, yang melahirkan cinta palsu untuk suaminya dan membesarkan nafsunya untuk laki-laki lain. Rabab mengkhianati si suami dengan cintanya dan Mahfouz tidak memaafkannya, bahkan membuatnya mati tatkala Rabab melakukan aborsi. Pembagian perempuan ke dalam dua golongan yang terpisah tampak jelas dalam karya-karya Mahfouz terutama dalam novelnya yang terkenal Tsulatsia (Trilogi). Dalam novelnya ini, ia menggambarkan tokoh Aminah yang suci dan saleh sebagai lawan dari seorang tokoh pelacur, Haniah Umi Yasin. Tokoh lainnya adalah Aisyah yang cantik, pemalu dan penakut, berlawanan dengan Khadijah yang jelek, berani dan kurang ajar.

Ibid., hal. 332 merujuk pada Naguib Mahfudz, As-Sarab (Maktabah Masr), hal. 249.

50 

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

165

Pada 1947, Mahfouz menghasilkan karyanya yang berjudul Zuqâq Midaq (Lorong Midaq). Novel ini mengambil latar tempat dari hay Gamaleya tempat ia dilahirkan. Lorong Midaq adalah salah satu lorong yang ada di hay Gamaleya. Maqha al-Fishawy tempat Mahfouz sering duduk santai sembari menyeduh kopi Turki yang kental juga terletak di lorong Midaq. Mahfouz seakan ingin mengabadikan kenangannya di hay Gamaleya dalam sebuah novel, termasuk di dalamnya lorong Midaq. Baginya, lorong-lorong di sekitar apartemen penduduk di Mesir seolah kapsul waktu. Dari abad ke abad, loronglorong itu berdinding sama, tetapi berganti manusia dengan beragam masalah yang berbeda.51 Dalam Zuqaq al-Midâq, Mahfouz mengambil latar waktu saat berlangsungnya Perang Dunia kedua. Seorang wanita dari kelas menengah ke bawah jatuh cinta pada seorang penata rambut asli Mesir, akan tetapi ketertarikannya pada seorang tentara Inggris di kota juga menggodanya. Pria Mesir yang tadinya mencintai sang perempuan patah hati dan cemburu. Di akhir cerita, sang perempuan berubah profesi menjadi perempuan penghibur. Mahfouz mencoba menggunakan agresi seksual terhadap perempuan sebagai simbol agresi terhadap negara atau rakyat. Pada malam yang sama ketika Yasin memilih untuk memperkosa budak perempuan istrinya, sang ayah memaksa tetangganya, Umi Mariam untuk tidur dengannya, sementara pasukan Inggris bergerak maju masuk ke wilayah Kairo tempat mereka tinggal. Meski menggunakan simbol-simbol ini pada tingkat individu, kehormatan dan integritas perempuan bagi Naguib masih benar-benar sesuatu yang berbeda dengan yang dimiliki laki-laki. Kehormatan perempuan dianggap masih ada atau hilang bergantung pada tipe hubungan yang ia lakukan dengan laki-laki, berbeda dengan kehormatan dalam aspek-aspek kehidupan mereka lainnya. Novel-novel Mahfouz sarat dengan figur-figur perempuan tidak terhormat dan menutupinya dengan “kabut kemanusiaan” dan gagasan yang menjadi selubung jiwanya yang superior, dipenuhi dengan ide-ide sosialis. Keadaan ini baginya adalah penyebab dari Majalah Tempo, op.cit, hal. 6.

51 

166

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

gagalnya perempuan-perempuan tersebut. Dengan begitu, bagi el Saadawi, pemahaman Mahfouz tentang keadaan perempuan lebih merupakan analisis dangkal tentang kondisi sosial perempuan ketimbang kesadaran sebuah kesadaran yang dalam dan peka terhadap tragedi yang membuat perempuan terpaksa hidup atau sebuah pemahaman yang lebih maju yang membuat perempuan menjadi korban ketidakadilan yang tidak ada habis-habisnya.52 Dunia begitu memihak kepada kaum laki-laki, bahkan undangundang dan surga pun selalu memihak kaum laki-laki. Kendati demikian, Nawal tetap mengkritik dan menyindir kaum hawa sebagai sebuah autokritik yang membangun. Dalam hal ini, Nawal dianggap mampu menembus dan berdialog langsung dengan permasalahan psikologis perempuan yang jarang ditangkap oleh psikolog atau penulis laki-laki.53

Kesimpulan Mahfouz dikenal di kalangan sastrawan Arab sebagai sastrawan yang banyak mengambil tema cerita dari kehidupan sehari-hari yang ia lalui. Kehidupan masyarakat Kairo, baik yang masih mempertahankan tradisi maupun yang mengikuti perkembangan zaman selalu terekam dalam novel dan cerpen yang ditulis Mahfouz. Alur cerita, tokoh, dan tema yang diangkat Mahfouz dalam setiap karyanya selalu membawa pembaca ke dalam bentuk reportase basah yang menampilkan hiruk pikuk manusia di sekitar sang pengarang. Kreativitas seorang penulis tampak pada kemampuannya mempertautkan hubungan sekaligus meniadakan jarak antara peristiwa fiksi dan nonfiksi, sains dan seni, serta antara tubuh, jiwa, dan pikiran. Kreativitas seorang penulis ditunjukkan pula dengan pikiran yang kritis, tidak patuh, dan dapat mengubah apa yang diwarisi.54 Mahfouz tidak hanya mampu melukiskan sejarah dengan Ibid., hal. 336. El Saadawi, Tiada Tempat di Surga Untuknya, diterjemahkan dari Adam am Qillat alAdab,Yogyakarta, Penerbit Jendela, April 2002, hal. vii- viii. 54  “Perempuan Penulis: Pikiran yang Kritis Cermin Kreativitas”, dalam Media 52  53 

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

167

baik, melainkan ia mampu menampilkannya secara harfiah, seperti ketika membaca karya Tolstoi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari karya-karya Naguib Mahfouz yang berkenaan dengan tema perempuan adalah –meminjam istilah el Saadawi– Mahfouz memiliki pemahaman yang dangkal tentang problematika perempuan. Analisis yang dilakukannya terasa kering karena tidak memahami persoalan perempuan yang tidak ada habishabisnya tertindak oleh budaya Arab yang sangat “male oriented”. Ada anggapan lain yang berpendapat bahwa gambaran perempuan dalam novel-novel Mahfouz tentang perempuan “baik” adalah kecintaannya kepada ibu dan istri tercintanya. Namun, apakah tokoh-tokoh perempuan yang dianggap tidak “baik”, bisa dikatakan sebagai sikap “kebencian”nya terhadap para perempuan tersebut? Mahfouz –dalam novel-novelnya– boleh dikatakan begitu memihak pada laki-laki di tengah masyarakat patriarkis. Semua perempuan yang dianggap “buruk” dihabisi lewat jalan yang tragis, seperti meninggal ketika melahirkan, bunuh diri, atau menjadi pelacur dsb. Tampaknya harus dilakukan penelitian lebih jauh dengan menggunakan “pisau bedah” yang lebih tajam agar tidak berat sebelah dan bisa dilihat dengan lebih jernih titik persoalan ini.

Indonesia, Senin, 20 November 2006, No. 9459/Th XXXVII, hal. 16.

168

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Gerakan Pembebasan Perempuan sebagai Gerakan Keadilan Gender: Studi dan Dampak Pemikiran Qasim Amin (1863-1908) di Dunia Arab oleh Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum.

“Keadilan adalah kebajikan tertinggi yang di dalamnya setiap kebajikan dimengerti” (Aristoteles)

Pendahuluan Dalam konteks Islam, sentralisme ide keadilan dibuktikan melalui penyebutannya di dalam Quran lebih dari 50 kali dalam beragam bentuk. Di samping menggunakan kata al-Adl, Quran juga menggunakan kata lain yang maknanya identik dengan keadilan, seperti al-Qisth, al-Wasath (tengah), al-Mizân (seimbang), al-Sawâ/ al-Musawah (sama/persamaan), dan al-Matsil (setara). Lebih dari 169

itu, keadilan menjadi nama bagi Tuhan dan tugas utama kenabian. Antonim keadilan adalah kezaliman (al-Zhulm), tirani (al-Thugyân), dan penyimpangan (al-Jawr). Hal ini menunjukkan keadilan memiliki dua sisi yang harus diperjuangkan secara simultan: menciptakan moralitas kemanusiaan yang luhur dan menghapuskan segala bentuk penderitaan.55 Keadilan secara umum didefinisikan sebagai “menempatkan sesuatu secara proporsional” dan “memberikan hak kepada pemiliknya”. Dari definisi ini, terlihat bahwa keadilan selalu berkaitan dengan pemenuhan hak seseorang atas orang lain yang seharusnya diterima tanpa diminta karena hak itu ada dan menjadi miliknya. Realitas sosial, kebudayaan, ekonomi, dan politik masih menempatkan perempuan sebagai the second creation dan selanjutnya diperlakukan sebagai the second sex. Persepsi kebudayaan masih melekatkan stereotipe yang merendahkan, mendiskriminasi dan memarjinalkan perempuan. Masyarakat Arab adalah masyarakat patriarkal dan budaya mereka sangat androcentris. Laki-laki akan mengambil semua kemungkinan untuk kekuasaan. Dalam sejarah, Islam berhasil melakukan ekspansi wilayah sampai ke Eropa Selatan. Terpukau oleh kekuasaan, lakilaki mengemas patriarki dengan baju Islam. Sementara syariah dikondisikan secara historis. Dalam konteks sejarah, kita melihat perempuan tidak mempunyai akses untuk sosialisasi, pendidikan dan sumber-sumber ekonomi. Dunia Arab pada masa lampau adalah masyarakat keras yang dicirikan bukan oleh kekuatan intelektual, melainkan kekuatan fisik. Laki-laki memakai kekuatan fisik untuk mendominasi perempuan. Hal ini pun merembet kepada doktrin, pemikiran dan teks-teks keagamaan yang serba masculin oriented sehingga dinilai merugikan, mendiskreditkan perempuan dan dipandang tidak adil. Perhatian terhadap hak-hak perempuan dalam batas-batas tertentu relatif memarginalkan. Misalnya, berdasarkan ketentuan 55  Husein Muhammad, “Kesetaraan Jender: Memaknai Keadilan dari Perspektif Islam”, dalam Kompas Senin, 12 November 2007 hal. 35 kolom 5.

170

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

syariah tradisional perempuan tidak berhak menjadi hakim, kepala negara, hak waris dan nilai kesaksiannya adalah dua perempuan berbanding satu orang laki-laki, seorang gadis boleh dikawinkan secara paksa oleh walinya, dan seterusnya. Tulisan ini ingin memaparkan ide dan gagasan pembebasan Qasim Amin tentang tahrîr al-mar’ah (pembebasan perempuan) berdasarkan konteks relasi gender bahwa pemenuhan hak atas perempuan masih merupakan problem kemanusiaan yang serius; kemudian bagaimana dampak dan kontribusi pemikirannya di dunia Arab.

Hasil dan Pembahasan A. Sejarah Partisipasi Gerakan Perempuan di Dunia Arab Kaum perempuan seringkali kurang mendapatkan kesempatan yang cukup untuk berkiprah dalam kehidupan sosial bila dibandingkan laki-laki. Hal ini terjadi karena masih lekatnya ketidakadilan gender dalam masyarakat yang terjelmakan dalam marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan yang bersifat menyepelekan (tidak penting) kepada kaum perempuan, bahkan kekerasan (violence) termasuk dalam hal bekerja atau justru beban kerja yang lebih panjang atau lebih banyak (double burden).56 Perempuan di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negaranegara Muslim, secara umum mengalami keterasingan. Di banyak negara dewasa ini, tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, bisnis, bahkan dalam melakukan perjalanan pun harus persetujuan suami. Di banyak kawasan sub-Sahara Afrika, sebagian besar perempuan memperoleh hak atas tanah melalui suami mereka atas dasar perkawinan, di mana hak-hak itu seringkali hilang saat terjadi 56  Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997), hal. 12.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

171

perceraian atau kematian sang suami. Di Asia Selatan yang mayoritas Muslim, rata-rata jumlah jam yang digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki. Di banyak negara berkembang, termasuk di dalamnya negara-negara Muslim, wirausaha yang dikelola oleh perempuan cenderung kekurangan modal, kurang memiliki akses terhadap mesin, pupuk, informasi tambahan, dan kredit dibandingkan wirausaha yang dikelola laki-laki.57 Fenomena ketidakadilan gender dalam masyarakat Islam ternyata lebih menunjukkan adanya kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Hal ini merupakan akibat dari pola budaya dan sistem masyarakat muslim yang mayoritas bercorak patriarkal, struktural, dan subordinatif yang dapat ditelusuri dalam sejarah masyarakat muslim. Sempitnya ruang gerak bagi kaum perempuan muslim terjadi justru setelah Islam mengalami perkembangan pesat dengan wilayah kekuasaan yang luas. Alam masyarakat muslim Arab pra-Islam dan Islam masa awal, kaum perempuan pada umumnya dapat beraktualisasi secara bebas. Namun, pada giliran selanjutnya, terjadi pergeseran pandangan terhadap perempuan di antaranya karena interaksi budaya, kepentingan politik dan ekonomi, serta interpretasi atau penafsiran terhadap teks-teks Quran.58 Fatimah Mernisi adalah seorang feminis yang mempunyai pandangan progresif mengenai perempuan. Ia menyatakan bahwa faktor sosio-antropologis sesungguhnya juga mempunyai peran yang cukup dominan dalam memunculkan paradigma yang bersifat patriarkis, genderis, seksis, bahkan sikap-sikap yang mencerminkan misoginisme. Sikap misoginis yang dimaksud adalah kegusaran laki-laki atas derajat keberadaannya yang dipersamakan dengan perempuan. 57  Abdullahi Ahmed an-Na’im, Islam dan Negara Sekuler:Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah (Bandung:Mizan, 2007), hal. 191. 58  Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of Modern Debate, terj M.S. Nasrullah (Jakarta:Lentera Basritama, 2000), hlm. 98-115. Phillip K. Hitti, History of Arab, (London:Macmillan, 1940), hlm, 342.

172

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Dalam konteks historis, sikap-sikap ini telah ada sejak Islam muncul sebagai gerakan reformasi budaya. Penolakan Islam oleh masyarakat Arab merupakan penolakan atas moralitas yang dinilai telah menghapuskan simbol-simbol superioritas kekuasaan laki-laki.59 Pandangan-pandangan yang bias gender ini juga dialami ketika mengajukan pertanyaan dalam sebuah percakapan di toko kelontong langganannya di Maroko, “Bisakah seorang wanita menjadi pemimpin masyarakat Islam?” yang kemudian dijawab oleh pelanggan lain dengan sebuah jawaban yang sering dijadikan senjata pamungkas untuk menurunkan perempuan dari pentas politik: Hadis Nabi. “Mereka yang mempercayakan urusan-urusan mereka kepada seorang perempuan tidak akan pernah merasakan kemakmuran!”60 Dalam sejumlah masyarakat Timur Tengah, perjuangan politik dan intelektual bagi hak-hak perempuan bermula pada akhir abad ke-19, walaupun terlibatnya perempuan dalam wilayah publik dan gerakan-gerakan terorganisasi tidak muncul hingga peralihan abad itu. Kemudian pada awal abad pertengahan, khususnya pada abad ke-15 sampai awal abad ke-18 di negara-negara seperti Turki, Mesir dan Suriah, kondisi perempuan nampaknya tidak berbeda jauh dari abad-abad sebelumnya. Perempuan mempunyai kekuasaan yang kecil atas kehidupan seksual, psikologis dan emosionalnya. Hanya beberapa perempuan kelas atas yang sedikit beruntung dan secara konsekuen memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupannya. Leila Ahmed mengutip al-Attaqji menceritakan bahwa pada masa itu, kaum perempuan dapat menjadi tukang rambut, tukang roti, pencatat Quran, tukang cuci, perawat istri, pelayat penguburan mayat, dan mata-mata yang mengawasi perempuan. Khalifah al-Makmum (813–833) mempekerjakan seribu tujuh ratus perempuan tua untuk mengawasi dan melaporkan tentang harem-haremnya.61 59  Fatimah Mernisi, Women in Islam (London:Basil Blackwell, 1991), hal. 45-62. Lihat juga Aminah Wadud Muhsin, Wanita dalam Al-Quran, (Bandung:Pustaka, 1994), hal. 1-2. 60  Lihat Fatimah Mernisi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik (Surabaya:Dunia Ilmu, 1997) terjemahan dari The Veil and the Male Elite. 61  Leila Ahmed, Women and Gender in Islam:historical Roots of a Modern Debate (Michigan:

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

173

Pada zaman Abbasiyah dan Umayyah, seorang laki-laki mendapatkan budak-budak –baik perempuan maupun laki-laki– menurut sekehendak hatinya dalam jumlah yang tidak pernah terbayangkan semenjak zaman masyarakat Muhammad. Menurut Leila Ahmed, praktik-praktik dan sikap hidup kebangsawanan Sasanid tersebut banyak yang diadopsi oleh bangsawan-bangsawan Abbasiyah. Mencari harem dan budak sebanyak mungkin adalah praktik yang sah. Contohnya adalah khalifah Mutawakkil (847–861) yang mempunyai 4000 budak dan Harun al-Rasyid (786–809) memiliki beribu-ribu.62 Pada akhir abad ke-18, misalnya, kaum perempuan sudah dapat menerima pelajaran membaca pada beberapa sekolah. Mereka mendapat kesempatan untuk hadir di kuttab.63 Di antara mereka, ada yang melanjutkan pelajarannya dan menjadi akademisi yang terkenal dengan sebutan ulama. Umi Hani (wafat 1466) adalah perempuan Mesir yang belajar Quran pada kakeknya, kemudian ia pergi ke Mekkah dan kembali lagi ke Mesir. Pengetahuannya tentang hadis dan fikih sangat kuat dan menonjol. Kekuatannya itu diakui oleh sarjanasarjana laki-laki pada zamannya. Nama-nama sarjana perempuan lain adalah Hajar (wafat 1388), Bayram, dan lain-lain. Pada awal abad ke-19, masyarakat Timur Tengah mulai mengalami perubahan sosial yang cukup fundamental. Pengerukan kekayaan oleh negara-negara Barat, timbulnya negara bangsa (nation state), serta penguasaan –baik formal maupun informal– oleh kekuatan-kekuatan kolonial pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah membentuk parameter perubahan ekonomi dan politik yang sangat penting. Pada awal dekade pertama abad ke-20, kaum perempuan, khususnya para pekerja di pedesaan dan perempuan kelas bawah di kota-kota besar di negara Mesir dan Suriah, merasa tertindas sebagai konsekuensi logis atas pergantian model ekonomi dan politik. Dampak politis dan budaya dari pengerukan kekayaan oleh Eropa ditanggapi negatif oleh kaum perempuan ini. Meski demikian, ada Yale University Press New Heaven & London, 1992) Cet. I, hal. 113. 62  Ibid., hal. 84. 63  Sekolah yang letaknya di masjid dan biasanya hanya dihadiri oleh anak laki-laki untuk belajar membaca dan menulis Quran.

174

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

hal-hal yang bersifat positif disebabkan institusi dan mekanisme sosial untuk mengontrol dan memencilkan dari urusan-urusan publik secara gradual dibongkar. Sistem sosial sebagai hasil gabungan antara budaya Mediterania, Timur Tengah dan Islam yang ditafsirkan negatif oleh kaum perempuan mulai ditinggalkan.64 Beberapa perubahan yang berasal dari perubahan ekonomi dan dari kebijakan-kebijakan negara mempunyai dampak terhadap kehidupan laki-laki dan perempuan, apakah itu dipacu oleh internal maupun birokrasi kolonial serta diikuti oleh pembangunan ideologi dan budaya. Pada abad ini, untuk pertama kali sejak kemapanan Islam, perlakuan terhadap perempuan dalam hukum Islam seperti poligami dan segregasi secara terbuka didiskusikan di Timur Tengah. Topik tentang perempuan naik ke permukaan sebagai konsekuensi atas karya-karya intelektual laki-laki di Mesir dan di Turki. Memang pada awalnya gerakan perempuan muncul bersamaan dengan munculnya isu-isu lain yang menurut para intelektual muslim penting untuk kemajuan masyarakat. Gerakan tahrîr al-mar’ah (pembebasan perempuan) di dunia Arab dimulai dari gerakan-gerakan perempuan yang terjadi di negara Mesir, Turki, dan Suriah yang penduduknya mayoritas muslim. Secara langsung, muncul kesadaran tentang status perempuan. Ditengarai perdebatan tentang status perempuan di dunia Eropa dan kolonialisme di dunia Arab berpengaruh terhadap gerakan perempuan. Yang berkembang lebih dahulu adalah gerakan perempuan di negara Mesir. Tokoh-tokoh pembentuk wacana gerakan perempuan tersebut pernah mengenyam ilmu di Eropa yang dimulai pada pemerintahan Muhammad Ali Pasha. Duta Mesir yang dikirim ke Perancis adalah Rifa’a Rafi’ al-Tahtawi (1801–1873). Dia tinggal di Perancis dari 1826 sampai 1831. Ketika pulang ke Mesir, dia menjadi penerjemah pada Sekolah Artileri dan menjalankan Sekolah Bahasa Asing. Dia menganggap bahwa adalah suatu kebutuhan bagi Mesir 64  Shafiq Hasyim dkk, “Gerakan Perempuan dalam Islam Perspektif Kesejarahan Kontemporer” dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 5 Tahun 1999 (Jakarta, LAKPESDAM dan LTN NU, 1999), hal. 7.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

175

untuk berhubungan dengan negara-negara Barat agar dapat menyerap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Tahtawi adalah pemikir modern Mesir yang mencurahkan pemikirannya untuk kaum perempuan. Pemikir Mesir ini dianggap berjasa memajukan pendidikan bagi para perempuan. Dia memelopori pembaharuan terhadap kondisi kaum perempuan dan memberikan hak-hak mereka sebagaimana yang ditetapkan oleh syariah Islam. Dalam bukunya al-Mursyid al-Amîn lî al-Banat wa al Banîn (Petunjuk yang benar untuk Putra Putri) (1872), dia menjelaskan bahwa reformasi terhadap kondisi kaum perempuan dan memperbaiki nasib mereka merupakan kebutuhan yang sangat mendasar. Kendati al- Tahtawi mengajarkan konsep tahrîr al-mar’ah di Mesir dan dunia Arab, namun yang dikehendakinya bukanlah gerakan pembebasan perempuan seperti di Barat, melainkan gerakan perempuan yang masih tetap dalam bingkai-bingkai Islam.65 Tokoh kedua –yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini– gerakan perempuan di Mesir adalah Qasim Amin (1863–1908).

B. Perjuangan Qasim Amin dan Gagasan-gagasan Pembebasan Perempuan Qasim Amin tidak dapat dilepaskan dari setiap pembicaraan mengenai gerakan pembebasan perempuan di dunia Arab dan Islam. Amin memiliki rasa keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi internal perempuan muslim di Mesir yang rata-rata tidak berpendidikan tinggi. Hal inilah yang mendorong Amin menulis karya-karyanya. Tiga karyanya yang sangat menggoncang masyarakat Mesir adalah “Halat al-Mar’ah fî al-Hai’ati al-Ijtimâiyyah Tâbiah lî Halat al-Adab” (Kondisi Perempuan di Lingkungan Masyarakat mengikuti Kondisi 65  Lihat Charles Kurzman (ed.), Modernist Islam 1840-1940 A Source Book (New York: Oxford University Press, 2002 hal. 31-39. Lihat juga artikel “Rifa’a Al-Tahtawi First Thinker to Call for Girl’s Education”, dalam Egypt Issue No. 22 Winter 2001, p. 16-17, Cairo, State Information Service (SIS) Ministry of Information Arab Republic of Egypt, 2001.

176

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Budaya), Tahrir al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) dan al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Modern). Dari ketiga karyanya tersebut, Tahrîr al-Mar’ah merupakan karya Qasim Amin yang paling kontroversial. Berbagai reaksi yang keras muncul di seluruh Mesir. Kurang lebih 30 buku dan ratusan pamflet ditulis oleh lawan-lawan polemiknya untuk menolak gagasan Amin atau menyerang pribadinya. Serangan itu bukan hanya dari faksi konservatif, seperti Tala’at Harb, yang mengambil sikap oposisi terhadap pemikiran Amin, namun juga dari faksi nasionalis Mesir, seperti Mustafa Kamil, bersikap sama kendati dengan argumentasi yang berbeda.66 Jika golongan konservatif cenderung melihat ide emansipasi perempuan tidak lebih berasal dari Barat dan karenanya mereka menuduhnya sebagai suatu upaya yang hendak menggoyahkan sendi-sendi kehidupan sosial Muslim, maka kalangan nasionalis memandang ide emansipasi perempuan sebagai bukan persoalan yang terlalu penting ketimbang kemerdekaan bangsa Mesir dari penjajahan Inggris. Karena itulah, kalangan nasionalis menuduh ide emansipasi perempuan sebagai counter-productive, hanya memperlemah kesatuan dan persatuan bangsa untuk menghadapi dominasi bangsa asing. Akibat bukunya ini tahun 1989, dia dituduh murtad dan zindiq.67 Tuduhan ini menjadi salah satu sebab kematiannya dalam usia muda. 66  M. Arslan Salim GP, “Pembebasan Perempuan di Dunia Islam: Pemikiran Qasim Amin” dalam Jurnal Perempuan Edisi 10, Februari-April 1999, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, hal. 48 merujuk pada Thomas Philip, “Feminism and Nationalst Politics in Egypt” dalam Lois Beck dan Nikki Keddie, Women and the Muslim World (USA:Harvard University Press, 1979), hal. 279. 67  Mengacaukan agama dan membahayakan masyarakat Muslim. Dalam sejarah Islam modern, banyak intelektual Muslim yang mengalami tuduhan kafir dan zindiq. Ali Abd Raziq karena pendapatnya dalam al-Islâm wa Ushûl al-Hukm bahwa kekhalifahan bukanlah tuntutan Islam dan bentuk negara diserahkan kepada kaum Muslim, divonis kafir dan dikeluarkan dari keulamaannya. Najib Mahfuz (1911-2006) akibat novelnya Awlâd Haratinâ juga dianggap telah menghina Allah dan para Nabi serta ingin mengganti agama dengan ilmu dan sosialisme. Karenanya, ia mengalami percobaan pembunuhan meskipun gagal. Kasus Nasr Hamid Abu Zaid yang dikafirkan oleh pengadilan Mesir akibat kritik tajamnya terhadap Imam Syafi’i dan pendapatnya bawa teks agama bersifat historis. Kasus serupa juga dialami terlebih dahulu oleh pemikir pembaharu asal Pakistan Fazlur Rahman, cendekiawan Iran Abdul Karim Soroush, serta Abdullahi Ahmed an-Na’im asal Sudan. Mahmoud Thaha, guru An-Na’im, bahkan dihukum gantung oleh rezim berkuasa di Sudan tahun 1985.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

177

Pokok-pokok pikiran Qasim Amin yang menjadi perdebatan pada waktu itu adalah tentang hijab bagi perempuan. Kedua, adalah tentang kebutuhan untuk membatasi hak suami dalam memutuskan ikatan perkawinan dengan talak karena hak menjatuhkan talak pada dasarnya tidak mutlak milik laki-laki. Ketiga, adalah kritiknya terhadap sistem pernikahan poligami. Ketiga pokok pikirannya tersebut termuat dalam karyanya Tahrîr al-Mar’ah. Dalam bukunya ini, Amin lebih banyak mengemukakan argumentasi-argumentasi yang sarat dengan nuansa keagamaan. Karya kedua Amin al-Mar’ah al-Jadîdah (1901) secara mendalam memberikan landasan logika pemikirannya yang sudah tercantum dalam buku pertamanya. Dalam bukunya ini, Amin menanggapi kritik dan penolakan yang muncul terhadap gagasannya di dalam buku Tahrîr al-Mar’ah. Dalam karya keduanya, Amin memperlihatkan kedalaman argumentasi dan keluasan intelektualitasnya. Ia meletakkan ide-ide pembaharuannya di atas kerangka ilmu pengetahuan modern dan fiisafat Barat, seperti teori evolusi Darwin. 1. Pendidikan Perempuan Dalam pemikiran Amin, pendidikan dan pengajaran adalah suatu hal yang perlu. Seorang perempuan tidak akan dapat menunaikan tugas-tugas kehidupannya baik di lingkungan sosial maupun keluarga apabila ia tidak dibekali dengan pendidikan yang memadai. Amin mengajukan argumentasi bahwa jika populasi perempuan di setiap negeri mencapai kurang lebih 50% dari total penduduknya dibiarkan dalam keadaan bodoh, maka betapa besar potensi sumber daya manusia yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Amin mengajukan protes agar perempuan diberikan sekurang-kurangnya pendidikan dasar68 yang sama diberikan kepada laki-laki. Pada saat itu, gagasan Amin dinilai cukup progresif mengingat tingginya jumlah perempuan yang masih 68  Bentuk pendidikan dasar itu meliputi membaca, menulis, sejarah, ilmu bumi, seni dan kesehatan.

178

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

buta huruf. Dengan bekal itu, pikiran perempuan dapat terbebaskan dari segala bentuk mitos dan takhayul. Pendidikan dasar dinilai sangat penting artinya bagi perempuan karena akan berguna bukan hanya untuk mengatur rumah tangga dengan baik, melainkan juga untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak. Menurut Amin, pendidikan juga merupakan modal bagi setiap manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya baik secara materil maupun immaterial.69 Dengan pendidikan yang dimiliki, perempuan akan memungkinkan mereka untuk memperoleh penghasilan sendiri, dan dengan demikian mereka tidak perlu secara terus-menerus bergantung kepada belas kasihan ataupun kebaikan laki-laki. Pendidikan pada akhirnya akan menyudahi tirani laki-laki. Sebetulnya, pendidikan bagi perempuan Mesir pada saat itu bukan bang baru. Jauh sebelumnya, sudah didirikan sebuah sekolah khusus perempuan oleh misionaris Amerika pada 1856. Sebuah sekolah negeri untuk perempuan juga telah dibangun oleh Ismail Pasha pada 1873. Tetapi bagaimanapun, pengakuan umum terhadap hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan adalah sebuah proses panjang yang di dalamnya kontribusi Qasim Amin tidak dapat diabaikan begitu saja.70 2. Perempuan dan Tradisi Hijab Masalah hijab adalah persoalan yang sensitif bagi bangsa Arab pada umumnya. Karenanya, Amin memperlihatkan sikapnya yang agak moderat. Tradisi hijab di Mesir yang dimaksud Amin adalah pemakaian cadar dan pemingitan perempuan. Gagasan utama Amin bukalah membongkar dan membuang norma hijab yang telah digariskan ajaran agama, melainkan merestorasi bentuk hijab yang sebenarnya, seperti yang dikehendaki teks-teks suci ajaran agama. 69  Qasim Amin, Tahrîr al-Mar’ah (Kairo:al-Markaz al-Arabi li al-Bahts wa al-Nasyr, 1984), hal. 25-26. 70  M. Arslan Salim GP, op. cit., hal. 50.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

179

Menurut Amin, sesungguhnya tidak ada larangan yang eksplisit terhadap penampakan wajah perempuan dalam Quran dan Hadis. Syariat membolehkan perempuan menampakkan sebagian anggota tubuhnya di hadapan bukan mahram sekalipun. Sebab, bagaimana mungkin seorang perempuan yang bercadar dapat leluasa menangani urusan bisnisnya ataupun melakukan berbagai aktivitas kehidupan sosial lainnya yang secara jelas berkaitan langsung dengan penghidupannya? Pemakaian cadar yang berkembang saat itu di Mesir tidak lebih sebagai suatu tradisi yang lahir dari hasil interaksi pergaulan antar bangsa, yang dinilai baik kemudian diberi label sebagai pakaian yang islami. Amin berargumen bahwa cadar itu sesungguhnya telah hadir dalam masyarakat Yunani Kuno, dan karenanya bukanlah suatu ciri khas islami tetapi suatu tradisi yang dikenal luas di setiap bangsa, bahkan di Spanyol dan Amerika sekalipun.71 Amin melihat pemingitan perempuan sebagai suatu aturan agama yang hanya diperuntukkan secara khusus kepada istri Nabi. Selanjutnya, Amin mengajukan interpretasi bahwa ayatayat dalam Quran surat 33:32–33, 35 hanya untuk istri-istri Nabi, maka tentu saja pemingitan tidak berlaku bagi perempuan. Dia berargumentasi bahwa bunyi teks dalam ayat tersebut merupakan indikator yang menafikan adanya persamaan hukum antara istri-istri Nabi dengan perempuan-perempuan Muslim pada umumnya. Dengan demikian, apa yang diwajibkan Allah kepada istri-istri Nabi, tidak lantas menjadi suatu pola yang wajib pula atau anjuran untuk diikuti oleh seluruh perempuan Muslim.72 Amin mengutarakan pendapatnya bahwa norma-norma agama yang bersifat tekstual harus dicari melalui celah kontekstual. Misalnya, kewajiban hijab bagi kaum perempuan yang terdapat dalam teks Quran bukanlah semata-mata syariat Islam, namun merupakan tradisi yang diwarisi bangsa Arab kuno. Orang Arab Qasim Amin, Tahrîr al-Mar’ah, hal. 65-68. Ibid., hal. 79-81.

71  72 

180

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

telah salah paham dengan tradisi yang dianggapnya merupakan syariat agama, sehingga mereka bersikeras mempertahankan tradisi tersebut. Menurut Amin, dalam Islam konsep hijab menjadi syariat karena sesuai dengan kondisi cultural masyarakat Arab tradisional. Ada kemungkinan jika kondisi kultural tersebut berubah, maka tradisi itu pun ikut berubah karena sudah tidak sesuai lagi. Artinya, hijab sudah tidak lagi mengandung unsur kemaslahatan umum, maka dapat digantikan dengan solusi yang sesuai dengan spirit zaman. 3. Perempuan dalam Keluarga: Persoalan Poligami dan Perceraian Menurut Muhammad Abd al-Hamid Abu Ziad, di zaman Jahiliyah, masyarakat Arab biasa mengawinkan anak perempuannya dengan cara paksa, dimana anak perempuan tidak dilibatkan dalam musyawarah untuk perkawinannya sendiri. Hak menentukan pilihan bagi perempuan benar-benar tidak ada dalam perkawinan.73 Qasim Amin mengkritik keras pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik tentang membolehkan seorang gadis dikawinkan secara paksa (ijbâr). Amin secara tegas menolak arranged married dengan mengatakan: ”Saya telah mengkaji kitab-kitab para ahli fikih. Sesungguhnya, mereka mendefinisikan nikah sebagai sebuah transaksi yang membuat laki-laki dapat menikmati kehormatan perempuan.”74 Dia mengemukakan pentingnya menegakkan kebebasan perempuan untuk memilih jodoh seperti hak yang dimiliki laki-laki selama ini. Alih-alih menerima perjodohan, Amin menganjurkan perlunya masa perkenalan di antara calon suami dan istri. Menurutnya, bagaimana mungkin pasangan suami-istri menjadi sehat dan dapat mencapai kebahagiaan apabila mereka berdua tidak saling mengenal sebelumnya. Amin melihat realitas di atas 73  Sukron Kamil, dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM (Jakarta CSRC dan Konrad Adenauer Stiftung, 2007), hal. 47. 74  Qasim Amin, Tahrîr al-Mar’ah, hal. 141.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

181

analog dengan tindakan setiap manusia yang hendak memutuskan sesuatu, lazimnya melihat terlebih dahulu dari segala segi secara seksama, sehingga ia merasa yakin dan mantap bahwa tidak terdapat cacat dalam pilihannya itu.75 4. Persoalan Poligami Sebelum Qasim Amin, gurunya, Muhammad Abduh (1849– 1905), merumuskan secara baik dan sistematis ide-ide pembaharuan Islam. Idenya tentang kekuatan akal memberi pengaruh luas bagi timbulnya pemahaman Islam modern yang kontekstual, termasuk pendidikan untuk anak perempuan dan perbaikan status sosial kehidupan perempuan. Abduh pernah menyinggung persoalan poligami. Baginya, poligami dalam konteks pembicaraan anak yakin bukan tanpa alasan. Hal itu memberikan pengertian bahwa persoalan poligami identik dengan persoalan anak yatim.76 Mengapa persoalan poligami disamakan dengan persoalan anak yatim. Karena, dalam dua persoalan tersebut terkandung masalah yang sangat mendasar, yaitu masalah ketidakadilan. Anak yatim seringkali menjadi korban ketidakadilan karena mereka tidak terlindungi. Sementara itu, dalam poligami yang menjadi korban ketidakadilan adalah kaum perempuan. Dalam Quran, anak-anak yatim dan perempuan sering disebut sebagai kelompok al-mustadh’afîn (yang dilemahkan) karena hak-hak mereka tidak dilindungi. Abduh menyatakan kebolehan berpoligami merupakan sesuatu yang sangat sulit, mengingat beratnya syarat yang harus dipenuhi. Karena beratnya syarat yang ditentukan membawa kepada pemahaman bahwa Tuhan melarang poligami. Poligami memang diharamkan atas mereka yang mempunyai kekhawatiran tidak dapat berlaku adil apabila menikah lebih dari satu. Jika dilakukan akad dalam keadaan demikian, maka akadnya dianggap Ibid., hal. 142-146. Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta:Gramedia, 2004), hal 96 merujuk pada Rasyid Ridla. 75  76 

182

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

fasid atau batal karena keharamannya menjadi penghalang bagi berlakunya akad. Abduh menegaskan bahwa pembicaraan poligami yang diungkapkan dalam konteks pembicaraan anak yatim dan larangan memakan harta mereka walaupun melalui perkawinan membawa kepada pemahaman bahwa jika kamu merasa khawatir tidak dapat menahan diri dari memakan harta anak yatim, maka janganlah kamu mengawini mereka, sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi kamu pilihan selain anak yatim dengan membolehkan kamu kawin dengan perempuan lain selain mereka sampai empat orang. Akan tetapi, jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrimu yang banyak itu, maka kawinlah dengan seorang saja. Kekhawatiran tidak dapat berlaku adil itu menunjukkan kebolehan poligami hanya berlaku jika seseorang yakin dirinya dapat berlaku adil. Lebih jauh lagi, Abduh menambahkan, jika diamati ayat dalam Quran tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa poligami merupakan persoalan yang sangat pelik dan berat. Tampaknya, poligami hanya dibolehkan bagi orang yang sangat membutuhkan dengan syarat meyakini kemampuan dirinya berlaku adil dan aman dari perbuatan dosa. Selanjutnya, jika diperhatikan pula bahaya yang timbul akibat poligami pada masa sekarang, dapat dipastikan bahwa tidak mungkin seseorang mampu membina satu keluarga yang di dalamnya terdapat beberapa orang istri. Dalam rumah tangga yang di dalamnya terdapat banyak istri, maka suami dan para istri itu sendiri sebetulnya memberi andil bagi kehancuran rumah tangganya tersebut. Sebab, di antara para istri satu sama lain akan saling bermusuhan, demikian pula antara anak dan ayah, atau suami dan istri. Bahaya yang ditimbulkan poligami itu akan meluas dari lingkungan individu ke lingkungan keluarga, dan dari keluarga merebak ke masyarakat dan pada gilirannya nanti akan merembet kepada kehidupan bangsa dan negara. Menurut Abduh, poligami PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

183

telah dipraktikkan secara meluas oleh kaum Muslim generasi terdahulu, tetapi kemudian berkembang menjadi praktik pemuasan syahwat yang tak terkendali, sehingga tidak lagi kondusif bagi kesejahteraan masyarakat. Atas dasar pertimbangan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat, Abduh akhirnya menyimpulkan perlunya penghapusan poligami dalam Islam.77 Mengikuti pendapat gurunya, Muhammad Rasyid Rida (1865–1935), menambahkan bahwa poligami secara alamiah bertentangan dengan tujuan perkawinan karena pada dasarnya perkawinan itu adalah antara satu laki-laki dan satu perempuan. Poligami hanyalah untuk kondisi darurat, misalnya dalam peperangan, tetapi juga disertai syarat yang ketat, yaitu tidak boleh mengandung unsur dosa dan ketidakadilan. Karena itu, jika terjadi suatu kondisi yang menyebabkan poligami menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaatnya, lebih banyak menimbulkan problem di masyarakat, maka para hakim dapat mengharamkan poligami. Rasyid Rida lebih jauh menafsirkan bahwa ada dua kalimat kunci dalam ayat ini, yaitu wa in khiftum alla tuqshithû, dan fa in khiftum alla ta’dilû. Maksud dari kedua kalimat itu adalah hendaknya kalian berlaku adil dan bersikap hati-hati terhadap perempuan, sebagaimana terhadap anak yatim. Sedangkan, perlakuan tidak adil terhadap kedua kelompok tersebut (kelompok anak yatim dan kelompok perempuan) akan merusak tatanan sosial yang membawa kepada kemurtadan Tuhan.78 Kemudian, bagaimana pandangan Qasim Amin terhadap poligami? Amin sendiri membenarkan ayat dalam Quran yang selintas mengandung kebolehan poligami, namun sekaligus juga ancaman bagi pelaku poligami. Pada hakikatnya, suami yang akan berpoligami sudah tahu bahwa dirinya, sesuai dengan ayat ini, sebenarnya tidak akan mampu berbuat adil. Jadi, sebelum melakukan itu, dirinya sebetulnya telah diliputi rasa takut. Ibid., hal. 99-103. Ibid., hal. 100-101.

77  78 

184

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Karena itu, kebolehan poligami hanya ditujukan pada orangorang tertentu yang yakin bahwa dirinya tidak akan terperosok dalam perilaku tidak adil, dan yang tahu soal ini adalah dirinya dan Tuhan.79 Pandangan Amin ini perlu digarisbawahi bahwa ada faktor lain yang membolehkan seorang laki-laki berpoligami, yaitu perasaan dan keyakinan dalam dirinya apakah dengan berpoligami ia akan terjebak pada dosa atau tidak. Berkenaan dengan dosa ada dua acuan dari hadis yang mengatakan bahwa yang disebut dosa adalah segala sesuatu yang menimbulkan kegelisahan di dalam hati. Qasim Amin menggambarkan sosok suami yang memiliki istri banyak tidak ubahnya seperti seekor ayam jantan yang dikelilingi oleh sekumpulan ayam betina. Yang seperti itu tentu saja alamiah di dunia satwa, namun tidak alamiah bagi manusia. Berbeda dengan manusia, binatang tidak memiliki emosi sehingga poligami di dunia binatang tidak menimbulkan persoalan psikologis, seperti yang dialami manusia. Karena itu, semakin beradab suatu masyarakat, semakin jarang poligami dijumpai. Amin menganggap poligami tidak lebih sebagai alasan agama yang dimanipulasi (hilah) untuk memuaskan nafsu seksual laki-laki semata. Kesimpulannya adalah, semakin tinggi tingkat keberadaban masyarakat, seharusnya semakin berkurang jumlah poligami.80 5. Perceraian Dalam karyanya al-Mar’ah al-Jadîdah, Amin dengan gamblang memperketat hak prerogatif laki-laki dalam menjatuhkan talak. Amin menilai bahwa ketentuan perceraian yang terdapat dalam ajaran Islam sangat memihak laki-laki dan karenanya cenderung lebih banyak merugikan pihak perempuan. Seorang suami secara arbitrer dapat menjatuhkan talak kepada istrinya tanpa harus Ibid., hal. 99. Qasim Amin, Tahrîr al-Mar’ah (Kairo: al-Markaz al-Arabi li al-Bahts wa al-Nasyr, 1984), hal. 156-157. 79  80 

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

185

didasari alasan-alasan yang rasional. Berdasarkan itu, Amin mengusulkan bahwa talak hanya dibolehkan pada saat darurat. Di sisi lain, dia menuntut agar perempuan diberi peluang untuk mengajukan gugatan cerai. Sesuai dengan prinsip keadilan, perempuan harus diberi hak yang sama dalam menentukan pilihan seperti halnya laki-laki. Apakah ia akan meneruskan hubungan perkawinannya dengan suaminya atau akan mengakhirinya. Untuk mengatur perceraian, Amin berupaya mencari jalan keluar yang lebih praktis dengan mengusulkan lima pasal kepada pemerintah yang menurutnya tidak bertentangan dengan maqâsid al-syariah (tujuan akhir hukum) sebagai berikut: a. Setiap suami yang hendak menceraikan istrinya diharuskan dating menghadap kadi; b. Kadi diharuskan memberi nasihat dan petunjuk bahwa talak adalah sesuatu yang terkutuk di sisi Allah, dan untuk itu ia diberi waktu selama satu minggu untuk mempertimbangkan niatnya; c. Jika ternyata suami tetap bertahan pada niatnya untuk bercerai, maka kadi harus menghadirkan hakim dari kedua belah pihak yang berfungsi untuk mendamaikan mereka; d. Jika proses perdamaian yang dilakukan hakim mengalami kegagalan, maka suami dan istri diminta mengajukan semacam ketetapan hati, biasanya dalam bentuk tertulis, dan tiap-tiap pihak untuk melangsungkan perceraian, dan pada saat itulah suami diizinkan menjatuhkan talaknya; e. Perceraian dianggap sah hanya apabila dilakukan di hadapan kadi dan dihadiri oleh dua orang saksi. Selain itu, talak baru dapat dikatakan mempunyai kekuatan hukum apabila terwujud dalam bentuk bukti tertulis resmi. Amin mengakui bahwa sekalipun proses menuju perceraian telah dipersempit, tetapi tetap penting untuk memberikan hak gugat cerai kepada perempuan. Hal ini akan menjadi jalan keluar bagi perempuan dari kemelut rumah tangga yang dihadapinya, misalnya sang suami menjadi narapidana, sering menganiaya, 186

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

tidak memberikan nafkah, sakit atau hiang tidak tentu rimbanya. Amin juga mengajukan 11 pasal yang menyebutkan sejumlah alasan yang membolehkan perempuan mengajukan gugatan cerai di hadapan kadi. Melalui ide pembaharuan keluarga ini, Amin ingin meningkatkan hak dan status perempuan.81

C. Kontribusi Pemikiran Qasim Amin bagi Gerakan Perempuan Sejarah partisipasi perempuan dalam gerakan-gerakan nasionalis dan dalam menggerakkan gagasan-gagasan mengenai hak-hak perempuan dan kesetaraan gender juga eksis di Mesir, diawali dengan tulisantulisan perempuan-perempuan hebat seperti Zaenab al-Fawwaz dan Aisha al-Taimuriyya pada pertengahan abad ke-19. Penelitian ekstensif Margot Badran dan karya-karyanya yang mengagumkan tentang feminisme di Mesir menunjukkan bahwa kesadaran feminis di negara itu memiliki akar pribumi. Dia mempertanyakan pandangan bahwa feminisme di Mesir dimulai oleh laki-laki seperti Muhammad Abduh dan Qasim Amin, atau bahwa feminisme berasal dari dan khas Barat atau bahwa feminisme ini hanya milik kelas atas.82 Menurut Moghissi, Badran keliru dalam berargumentasi bahwa gerakan feminis Mesir adalah unik dalam hal bahwa perjuangan bagi perubahan dan hukum perdata datang dari perempuan sendiri, tanpa bantuan pemerintah, sebuah situasi yang menurut Badran sangat berbeda dengan situasi yang dihadapi perempuan di Iran dan di Turki. Bagaimanapun juga, bergabungnya Mesir dalam pasar dunia pada pertengahan abad ke-19 serta perubahan ekonomi sosial pada masa itu telah memunculkan perubahan-perubahan penting, termasuk kesempatan pendidikan setidaknya bagi perempuan urban kelas atas. Ini semua merupakan pembaharuan yang “diprakarsai oleh negara” yang menjadi rujukan Badran. Namun, Moghissi setuju dengan 81  Charles Kurzman, Modernist Islam 1840-1940 a Source Book (New York, Oxford University Press, 2002), hal. 67-68. 82  Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam (Yogyakarta:LKiS, 2004), hal. 174.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

187

Badran bahwa perempuan di Mesir menjadi pencetus bagi perjuangan feminis tidak hanya di negara mereka sendiri, namun juga di sepanjang wilayah Timur Tengah. Bahkan, perempuan Mesirlah yang, misalnya, memprakarsai pembatalan memakai cadar pada awal abad ke-20, diawali oleh penanggalan Huda Sha’rawi dan Saiza Abarawi di stasiun kereta api Kairo setelah kembali dari sebuah konferensi feminis internasional, dan mereka mendeklarasikan “keinginan perempuan untuk mengakhiri pemisahan antara laki-laki dan perempuan serta pengekangan atas perempuan di rumah”. Perempuan Mesir juga mulai menyebut diri mereka sebagai kelompok feminis pada 1923 dengan pembentukan Persatuan Feminis Mesir (EFU).83 Pelopor hak-hak perempuan di Timur Tengah dengan mengagumkan menghargai kerja sama inter-regional dan internasional di kalangan perempuan dan menegaskan sifat universal patriarki. Misalnya, pelaksanaan kongres Perempuan Timur - pertama diadakan oleh perempuan Suriah pada 1930; kedua oleh para feminis Iran pada 1932 – telah menyatukan perempuan dari Timur Tengah dan Asia Selatan. Kedua kongres itu membicarakan tuntutan-tuntutan akan hak-hak yang setara bagi perempuan dalam keluarga, penghapusan poligami, wajib pendidikan dasar, hak perempuan berpendapat dan gaji yang sama dalam kerja upahan.84 Ide-ide yang dicetuskan oleh Amin boleh dikatakan menjadi landasan bagi gerakan perempuan sesudahnya. Karya Amin, Tahrîr al-Mar’ah memberikan inspirasi gerakan pembebasan perempuan di banyak negara Arab seperti Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Libanon, Palestina dan Suriah. Ide-ide Amin membebaskan kaum perempuan keluar dari belenggu tradisi yang membuat mereka terbelakang. Gagasan-gagasannya juga memberikan ruang bagi perempuan untuk berekspresi dan beraktivitas dan membebaskan mereka dari interpretasi yang salah tentang posisi dan fungsi perempuan dalam 83  Ibid, hal. 175. Lihat artikel “Hoda Sha’rawi Pioneer of Egyptian Feminism”, dalam Egypt Issue No. 22 Winter 2001, p. 19-20, Cairo, State Information Service (SIS) Ministry of Information Arab Republic of Egypt, 2001 dan lebih lanjut lihat juga Shaarwi, Harem Years:The Memoirs of an Egyptian Feminist (London:Virago, 1986). 84  Ibid., hal. 176.

188

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

rumah tangga, terutama menyangkut hubungan suami-istri. Di antara gagasannya seperti yang sudah dijelaskan di depan adalah masalah hak cerai yang bukan monopoli laki-laki. Tongkat estafet gerakan perempuan pasca Amin dilanjutkan oleh Malak Hifni Nasif (1886-1918)85 yang melihat persoalan perempuan dari kaca mata perempuan. Nasif yang menggunakan nama samaran Bahithat al-Badiyah (Penyelidik dari Padang Pasir) adalah aktivis feminis Muslim generasi pertama, yang telah memperoleh pendidikan menurut standar modern. Nasif banyak terinspirasi oleh gagasan Amin dalam hal pemikiran dan keberaniannya, dan juga murid Amin yang gigih dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Pada 1911, Qasim menyerahkan sepuluh butir program tentang hak-hak perempuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan hal itu menjadi rumusan yang pertama kalinya di Mesir. Pendapatpendapatnya dikemukakan berdasarkan pedoman syariat Islam. Dalam salah satu syairnya dia menulis:”wal ‘ilmu wa al-dînu lil jinsaini mathlabu, falaisa yukhtasu jinsa minhuma bihima”. Ilmu dan agama adalah untuk laki-laki dan perempuan, tidak dikhususkan untuk salah satu dari keduanya. Walaupun begitu, Nasif masih terlihat agak konservatif. Ia misalnya, belum berani menyatakan secara terang-terangan tentang pelucutan cadar bagi perempuan. Begitupun pendapatnya tentang tahap perkenalan laki-laki dan perempuan sebelum menikah cukup dengan dua tiga kali pertemuan saja.86 Setelah Nasif, perjuangan gerakan perempuan di Mesir diteruskan sampai ke generasi-generasi berikutnya di antaranya Huda Sya’rawi (1882-147), Munira Tsabit, Duraiyya Syafiq, Amina el-Said, Siza Nabaruwi, Engly Aflatun, Nabawiyya Musa, dan Safia Zaghlul. Huda Sya’rawi adalah tokoh gerakan perempuan Mesir yang mendirikan sekolah perempuan pertama pada 1910 yang menawarkan bukan hanya untuk pelatihan kejuruan tetapi juga pendidikan umum. Sepuluh tahun kemudian, ia mendirikan asosiasi perempuan 85  Lihat Charles Kurzman (ed.), Modernist Islam 1840-1940 A Source Book (New York: Oxford University Press, 2002), hal. 70-76. 86  M. Arskal Salim GP, op. cit., hal. 50.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

189

Mesir pertama. Program organisasi ini antara lain pembaharuan sosial politik, pendidikan bagi perempuan, pembaharuan hukum perkawinan, usulan usia 16 tahun sebagai usia dewasa perempuan, kesehatan public, dan kesejahteraan anak. Pada 26 Maret 1919, Sya’rawi memimpin aksi demonstrasi di depan Kedutaan Inggris di Kairo untuk melawan pendudukan Inggris di Kairo. Pada saat itu jatuh korban tembak seorang perempuan aktivis Mesir, Shafiqa Muhammad. Sya’rawi mendirikan Serikat Perempuan dan jurnal Egyptian Woman pada 1924 dan pada 1944 ia membantu mendirikan Federasi Perempuan Arab. Di samping itu, Sya’rawi juga aktif melakukan advokasi terhadap orang-orang Palestina. Melalui tulisan-tulisannya, ia mendorong Konferensi Perempuan Arab di Kairo untuk membantu masalah Palestina dan Israel. Dengan berani, ia menulis surat protes keras kepada PBB tentang penentuan nasib dan hak-hak rakyat Palestina. 87 Pada 16 Maret 1923, Huda Sya’rawi dan teman-temannya membentuk organisasi Al-Ittihâd an-Nisâ (Persatuan Perempuan) yang bertujuan sebagai berikut: 1. Memperoleh persamaan hak bagi kaum perempuan dalam pendidikan di semua tingkatan; 2. Mendapatkan persamaan hak penduduk dan hak politik bagi kaum perempuan; 3. Menghapuskan pemberian izin untuk pelacuran: 4. Menaikkan usia pernikahan menjadi 16 tahun bagi anak perempuan dan 18 tahun bagi anak laki-laki; 5. Mendapatkan pembaharuan-pembaharuan yang menguntungkan bagi kaum perempuan dalam hukum keluarga, seperti pembatasan penceraian sesuai hukum Islam, pemeliharaan anakanak, tunjangan uang untuk perempuan yang diceraikan dan halhal lain.

87  “Hoda Sha’rawi Pioneer of Egyptian Feminism”, dalam Egypt Issue No. 22 Winter 2001, Cairo, State Information Service (SIS) Ministry of Information Arab Republic of Egypt, 2001, hal. 19-20.

190

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Keberanian Sya’rawi melepaskan cadarnya di muka publik merupakan sebuah keberanian untuk membebaskan diri dari status inferior perempuan.88 Keputusannya ini kemudian diikuti perempuan Mesir lainnya. Di Libanon, Nazirah Zain al-Dîn juga membuka cadarnya. Pada 1928, Nazirah menerbitkan buku Removing the Veil and Veiling, yang berisi kuliah dan refleksi kebebasan perempuan dan reformasi sosial di dunia Islam. Di Tunisia muncul aktivis feminis seperti Tahir Haddad dan Jamil Sidki Zahawi di Irak yang terpengaruh oleh gagasan Amin untuk memperjuangkan perbaikan nasib perempuan. Gagasan yang ditekankan Amin adalah kaum perempuan harus mampu memerdekakan diri mereka dari tindakan superioritas kaum laki-laki, sistem perbudakan, budaya dan tradisi. Sejumlah reformasi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang hukum keluarga di beberapa negara Muslim dewasa ini tidak dapat dipungkiri terinspirasi oleh karya-karya Amin, baik langsung maupun tidak langsung. Turki melakukan pembaharuan hukum keluarga pada 1917. Mesir baru melakukan reformasi hukum keluarga pada 1920 dan 1929, tetapi peraturannya mengandung unsur pembaharuan yang lebih progresif dan komprehensif. Perundangundangan Mesir tersebut terutama yang menyangkut perceraian, memperlihatkan adanya kontinuitas dengan gagasan Amin tentang pembebasan perempuan. Pengaruh gerakan pembebasan perempuan Amin di bidang pendidikan adalah diselenggarakannya sekolah menengah cumacuma pada 1950. Setelah revolusi pendidikan, universitas membuka diri untuk kalangan luas dan tidak dipungut biaya. Tahun 1962, Universitas Al-Azhar memperbolehkan kaum perempuan untuk kuliah di sana. Kemudian diikuti dengan didirikannya Perguruan Tinggi Al-Azhar untuk Perempuan oleh Dr. Zainab Rasyid yang kini 88  Di kota Kairo terdapat sebuah patung yang melukiskan gambaran kuat negara Mesir dalam masa peralihan. Patung karya Mahmud Mukhtar (1891-1934) tersebut dibuat untuk memperingati an-Nahdah (Kebangkitan). Patung itu menggambarkan kebangkitan negara Mesir dengan bentuk seorang petani Mesir yang sedang berdiri dengan tangan kanan di atas kepala seekor spinx, sementara tangan kirinya menahan cadar yang telah dibuka dari wajahnya dengan sorot mata memandang ke masa depan.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

191

jumlah mahasiswanya mencapai lebih dari tiga ribu yang datang dari seluruh dunia Islam. Pengaruh Amin terlihat pula dalam sejarah perempuan Mesir. Pemikirannya tentang kebebasan perempuan memberikan posisi yang lebih baik dari sebelumnya. Peradaban di Mesir terjadi setelah kaum laki-laki melihat kemampuan kaum perempuan yang ikut serta berperang bersamanya. Aktivis-aktivis feminis banyak bermunculan dan hal ini menjadikan kehidupan sosial masyarakat Arab mulai memiliki kekuatan untuk hidup. Tercatat banyak perempuan yang menulis dan karya mereka diterbitkan seperti Anis al-Jalis (18981908), Fatat al-Sharq (1906-39), Al-Jins al-Latif (1908-24), Al-‘Afaf (1910-22), dan Fatat al-Nil (1913-15).89 Para penulis perempuan di Mesir kerap merujuk kepada ide-ide dan pemikiran Amin dalam setiap permasalah tentang pembebasan perempuan. Para penulis tersebut menerbitkan majalah-majalah khusus untuk membela kaum perempuan. Kemudian tahun 1920, Nabawiyah Musa menerbitkan bukunya yang berjudul al-Mar’ah wa al-Amal (Wanita dan Pekerjaan) di Iskandariah. Ia telah berupaya mencurahkan pemikirannya pada emansipasi intelektual kaum perempuan, terutama dalam meraih kesempatan bekerja. Bukunya tersebut memiliki pesan agar kaum perempuan mendapatkan persamaan kesempatan baik di bidang pendidikan maupun di bidang pekerjaan. Poligami merupakan tradisi yang masih dipraktikkan dalam masyarakat Islam. Mengingat hal ini rentan dari penganiayaan terhadap perempuan serta paradoks dengan nilai fundamental perkawinan, yakni menciptakan sakinah, mawaddah dan rahmah, maka poligami yang berpotensi mengancam nilai-nilai fundamental tadi harus dikaji uang. Tujuannya agar hak-hak perempuan terlindungi sepenuhnya dalam perkawinan. Bukan sebaliknya, hakhak perempuan malah teraniaya dengan adanya perkawinan. Oleh karena itulah, feminis Aminah Wadud Muhsin menuding poligami Leila Ahmed, loc.cit., hal. 172.

89 

192

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

sebagai sebuah ketidakadilan bagi perempuan.90 Dalam masyarakat Islam, hak-hak perempuan belum terlindungi sepenuhnya, sejak masa pra-Islam hingga kini. Pemikiran Qasim Amin tentang pelarangan poligami bisa disaksikan di Tunisia dan di Turki. Pelarangan mutlak poligami bukan hal yang sama sekali baru di dunia Islam, melainkan telah dilakukan di beberapa negara Islam, seperti Tunisia. Sebelumnya, Turki merupakan negara Muslim pertama yang melarang poligami secara mutlak melalui UU Sipil Turki Tahun 1926. Tunisia adalah sebuah negara yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara dan sejak tahun 1956 telah membuat undangundang hukum keluarga yang bernama Majalat al-Ahwal alSyakhsiyyah Nomor 66 Tahun 1956. Semenjak ditetapkan, undang-undang tersebut telah berkali-kali mengalami perubahan, penambahan, modifikasi, yaitu pada tahun 1959, 1964, 1981 dan 1993. UU tersebut mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak yang dari segi material berbeda dengan ketetapan fikih klasik. Dari sekian banyak pembaharuan terhadap UU tersebut yang menonjol adalah larangan untuk berpoligami. Adapun alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami pertama, menganalogikan poligami dengan perbudakan. Menurut Tunisia, institusi perbudakan dan poligami hanya diizinkan pada masa-masa awal perkembangan Islam, dan setelah Islam mampu membangun masyarakat yang berbudaya dan berkeadaban, poligami seharusnya dihapus. Kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi yang mampu berlaku adik terhadap istri-istrinya.91 Munculnya feminis Mesir seperti Nawal el-Sa’dawi yang tidak pernah lelah menyuarakan keadilan adalah sebuah bukti bahwa dia melanjutkan ide-ide awal Qasim Amin. El-Sa’dawi adalah seorang 90  Lihat Aminah Wadud, Qur’an and Woman (New York:Oxford University Press, 1999), hal. 9 dan hal. 76. 91  Siti Musdah Mulia, op.cit., hal. 194-195.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

193

dokter, sosiolog, pejuang hak-hak perempuan dan tentu saja seorang penulis kawakan. Perempuan berkebangsaan Mesir yang berani mengambil resiko apa pun asalkan bisa tetap menuliskan apa yang dianggapnya benar dan diyakininya sebagai kebenaran ini, memang bukan sembarang orang. Beberapa kali ia harus menerima kenyataan yang menyakitkan, dibebastugaskan dari jabatan-jabatan yang pernah ia pegang atau bahkan dipenjara sekalipun. Kendati el-Sa’dawi mengkritik Amin, namun bagi saya pemikirannya melengkapi apa yang belum dipikirkan Qasim Amin pada masanya. Karya-karya el-Sa’dawi telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa. Di Indonesia, beberapa karyanya diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, yaitu: Perempuan di Titik Nol, Matinya sang Penguasa, Memoir Seorang Dokter Perempuan dan Tak Ada Kebahagiaan Baginya. Salah satu novel karyanya yang dilarang terbit oleh Majma’ al-Buhuts al-Islâmiyyah92 adalah Jatuhnya sang Imam, karena dianggap melanggar ajaran Islam. “Saya mewarisi (agama) Islam dari ayah. Saya harus mengubah warisan ini dengan menggunakan pikiran saya secara kritis untuk mengkritik budaya saya, politik saya, orangtua saya, professor saya, dan Presiden AS. Inilah cara saya menjadi kreatif. Pada dasarnya kreativitas berarti kemampuan untuk mengkritik”, kata el-Sa’dawi. Dia melihat pentingnya kemampuan seorang dalam membuat perubahan terhadap dunia dan segala aturan yang dinilainya tidak adil. Dia menilai situasi global kini bukanlah disebabkan adanya pertentangan budaya, peradaban, maupun agama. Semua ini justru pertentangan kepentingan ekonomi. Pembunuhan orang di Palestina dan Perang Irak adalah contoh bagaimana pertentangan yang disebabkan kepentingan ekonomi. Tetapi para pelaku kolonialisasi menyamarkannya sebagai benturan agama, budaya dan peradaban. Dia pun tidak lupa menyoroti kecenderungan yang kini terjadi di Indonesia, yakni masyarakat mulai membicarakan identitas keagamaan yang kerap diartikan sebagai bangkitnya fundamentalisme. Kendati, 92 

194

Lembaga Penelitian Islam milik Universitas Al-Azhar Kairo. PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

fundamentalisme agama adalah sebuah fenomena global yang tidak hanya berlaku pada Islam.93 Apakah ini sebuah pertanda bahwa gerakan tahrirul mar’ah di dunia Arab sudah menunjukkan nilai positif? Apakah pandangan masyarakat dunia Arab terhadap kaum perempuan masih setengah hati terhadap kaum perempuan?

Kesimpulan Pertanyaan apakah ide-ide pembebasan perempuan yang disuarakan Qasim Amin menampakkan keberhasilan di dunia Arab tampaknya harus dilihat kembali. Cengkeraman para penjaga syariah Islam masih terasa dalam setiap aspek kehidupan perempuan di dunia Arab dan Islam. Memang, tidak dapat diukur sejauh mana pemikiran dan aktivitasnya memberikan kontribusi dan pengaruh bagi gerakan feminisme di dunia Arab. Namun, harus diakui bahwa gagasan-gagasan Amin memperlihatkan benang merah yang menyambungkannya dengan pembaharuan hak-hak perempuan dalam keluarga Muslim dewasa ini. Peran kaum perempuan Arab sangat minim dibandingkan dengan peran perempuan di belahan dunia mana pun, bahkan dibandingkan dengan kaum perempuan Afrika sekali pun yang dikenal tertinggal secara ekonomi. Perempuan kehilangan hak pribadinya. Hingga sekarang, di beberapa negara Arab, perempuan dilarang menjadi hakim, perempuan tidak boleh terlibat bisnis atau perjalanan tanpa suaminya menuliskan persetujuan. Menurut laporan tahunan pembangunan dunia Arab tahun 2002, hanya 3,5 persen kaum perempuan Arab yang duduk di parlemen, dibanding dengan 8,4 persen di Afrika Selatan dan Afrika Tengah. Namun, ini tidak mencakup seluruh negara Arab. Negara-negara Arab Mediterania seperti Libanon, Suriah, Mesir, Palestina, Tunisia, Maroko dan Aljazair memberi porsi peran yang cukup kepada para perempuan. 93  “Perempuan Penulis: Pikiran yang Kritis Cermin Kreativitas”, dalam Media Indonesia Senin, 20/11/2006 No. 9459/Th. XXXVII hal. 16.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

195

Berdasarkan laporan United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 2001, persentase perempuan yang bekerja pada tahun 1995-2000 di negara-negara yang menerapkan syariah sangat kecil. Di Arab Saudi, perempuan yang bekerja hanya 26%, Iran 36%, Pakistan 41%, dan Sudan 40%, dibandingkan dengan laki-laki.94 Kaum perempuan di Qatar, Bahrain, Oman dan Uni Emirat Arab telah mendobrak kekokohan tabir konservatisme di kawasan Teluk Arab. Mereka sudah terlebih dahulu mendapatkan hak politiknya, kemudian disusul oleh Kuwait. Kini tinggal kaum perempuan di Saudi Arabia di kawasan Teluk Arab yang belum mendapatkan hak politiknya. Tabir status quo Kuwait terkoyak karena tekanan dalam negeri dan internasional. Kaum perempuan Kuwait telah hampir empat puluh tahun berjuang untuk mendapatkan hak politik secara penuh. Perjuangan mereka menemukan titik terang setelah Amerika Serikat mulai menggulirkan konsep Timur Tengah Raya (Greater Middle East)95 bagi reformasi di dunia Arab pada 2002. Keputusan parlemen Kuwait (Majlis al-Ummah) menyetujui amandemen Pasal I Undang-undang Pemilu tahun 1962, dengan memberi hak penuh bagi kaum perempuan untuk mencalonkan dan memberi suara, merupakan reformasi politik yang sangat signifikan. Pasal I UU 1962 tersebut hanya memberi hak suara dan pencalonan dalam pemilihan umum pada kaum laki-laki saja. 94  Sukron Kamil, dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM (Jakarta CSRC dan Konrad Adenauer Stiftung, 2007), hal. xii-xiii merujuk pada Saiful Mujani dalam Burhanuddin (ed.), Syari’at Islam, Pandangan Muslim Liberal (Jakarta:JIL, 2003). 95  Dalam harian berbahasa Arab Al Hayat, mantan deputi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat urusan Timur Tengah, William Burns menulis bahwa konsep Timur Tengah Raya itu bertumpu pada empat butir utama, yaitu pertama, harus ada keterbukaan politik dengan memberi tempat yang layak kepada kaum perempuan dan kelompok masyarakat sipil (civil society). Kedua, gerakan Timur Tengah harus menjadi bagian dari upaya penyelesaian konflik Arab-Israel dan membangun sistem demokrasi di Irak. Ketiga, gerakan demokratisasi harus dilakukan secara bertahap. Keempat, demokratisasi harus berasal dari inisiatif kekuatan-kekuatan politik dalam negeri. Konferensi Tingkat Tinggi Arab di Tunisia pada 20 Mei 2004 memberikan respons positif terhadap konsep Timur Tengah Raya tersebut. Untuk pertama kalinya, isu reformasi diangkat sebagai bagian dari salah satu agenda utama. Inti isu reformasi KTT Arab tersebut adalah: 1. demokrasi, 2. hak asasi manusia, 3. pemberdayaan kaum perempuan, 4. peran civil society.

196

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Berita ini sontak membuat para aktivis dan pendukung hak perempuan Kuwait yang menghadiri sidang di Dewan Nasional Kuwait, mengungkapkan kegembiraannya dengan bersorak ketika juru bicara Jassim al-Khorafi mengumumkan bahwa parlemen telah meloloskan undang-undang yang menjamin hak perempuan untuk memberikan suara dan mengikuti pemilihan umum, yang merupakan pertama kali di antara negara-negara Teluk yang pro Barat pada Senin, 16 Mei 2005. Rancangan pemberian suara yang bersejarah itu menunjukkan, 35 suara setuju, 23 suara menentang, dan satu suara abstain dalam pemungutan suara yang menimbulkan pertentangan cukup sengit.96 Kaum perempuan negara Arab Mediterania mendapat status layak karena interaksi dengan Eropa. Yordania, berkat interaksi dengan masyarakat Palestina, kaum perempuannya mendapat peran yang cukup lumayan. Begitu juga kaum perempuan Irak yang mendapat peran positif karena interaksi dengan Turki dan Iran. Sedangkan negara-negara Arab Teluk seperti Kuwait, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kesultanan Oman dan Yaman dikenal lebih konservatif, khususnya menyangkut status kaum perempuan. Mungkin saja ide dan gagasan Qasim Amin yang tertuang dalam Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah tidak dibaca oleh mereka di negara-negara Arab Teluk. Di Arab Saudi, misalnya, perempuan dilarang mengendarai mobil. Pemerintah Arab Saudi pada tahun 1960 memutuskan membuka sekolah khusus untuk perempuan sebagai bagian dari proses pembangunan negara. Kubu konservatif menolak keras pemerintah itu yang dinilai akan merusak akhlak dan menodai tradisi. Namun, niat baik membuka sekolah tersebut tetap dipertahankan kendati mendapat tantangan keras. Beberapa tahun kemudian, disadari betapa strategisnya pendidikan bagi para perempuan di Saudi Arabia. Berkat pembukaan pendidikan tersebut, kini di Arab Saudi terdapat kaum perempuan yang bergelar master dan doktor, 96  Musthafa Abd Rahman, “Membaca Kasus Wanita Kuwait Mendapat Hak Politik” dalam Kompas Jumat, 20 Mei 2005 hal. 43 kolom 4-6.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

197

serta masuk dalam berbagai profesi seperti guru, dokter, perawat dan pegawai departemen, meskipun dalam persentase skala nasional masih sangat minim. Empat dekade kemudian, pada 1999, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz yang sekarang menjadi Raja Kerajaan Arab Saudi yang keenam pada masa modern, berinisiatif menggelar dialog nasional tentang peran perempuan dan cara pemberdayaannya. Sejak itu, pelbagai dialog dan seminar dalam skala kecil digelar di Arab Saudi untuk membahas peran perempuan, khususnya di bidang politik. Namun, hingga saat ini peran politik perempuan Arab Saudi belum bergeser dari status semula. Mereka masih dilarang memberi suara dan mencalonkan diri dalam pemilihan umum.97 Di Sudan, perempuan pekerja yang berasal dari kelas menengah yang dipandang “seolah-olah sebagai kelas pelacur” diusik dan disodorkan pertanyaan oleh rezim penguasa serta orang-orang yang mengaku sebagai “para penjaga moral” berkenaan dengan keberadaan mereka di tempat umum dan hubungan-hubungan mereka dengan rekan laki-laki mereka.98 An-Na’im menambahkan pula bahwa di Sudan, laki-laki memutuskan untuk perempuan. Hal ini bertentangan dengan pandangannya bahwa setiap manusia seharusnya membuat putusan sendiri untuk dirinya. Makna kesetaraan adalah kesetaraan dalam kesempatan. Laki-laki dan perempuan adalah setara dalam aspeknya adalah suatu imperatif di dalam Islam. Dalam kenyataannya perempuan sebagai kelompok memakai titik awal yang tidak menguntungkan untuk dirinya. Perempuan harus membentuk titik berangkatnya sendiri. Hubungan perkawinan atau hubungan keluarga tidak menyebabkan laki-laki dapat begitu saja membuat putusan atas nama istri, adik atau kakak perempuan.99 Pendeklarasian Numeiri Ibid. Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam (Yogyakarta:LKiS, 2004), hal.

97  98 

40.

99  “Perempuan, HAM dan Syariah Islam”, wawancara dengan Abdullahi Ahmed AnNaim dalam Jurnal Perempuan Edisi 92 November 1998-Januari 1999, hal. 32

198

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

atas Sudan sebagai negara Republik Islam dan penerapan ketatnya terhadap syariah pada 1983, memiliki pengaruh terhadap perempuan. Dengan diberlakukannya undang-undang pidana Islam, misalnya, rezim Numeiri membatalkan infibulasi yang disahkan pemerintah Inggris dan tetap diberlakukan hingga tahun 1989. Kebijakan Islamisasi semakin meningkat di bawah junta militer fundamentalis paska lengsernya Numeiri pada 1989. Di antara kebijakan Islam pertama yang diterapkan oleh pemerintah revolusioner ini adalah pembatasan terhadap kebebasan aktivitas perempuan dan pemberlakuan ketentuan pemakaian hijab.100 Sementara itu di Iran, Kepala Polisi Islam di Teheran, menetapkan bahwa seorang perempuan dilarang “tersenyum kepada laki-laki asing, sebab senyuman seorang perempuan mungkin dapat membangkitkan nafsu jahat”. Praktik ini mendapatkan legitimasinya dari konsep bahwa seksualitas perempuan harus dikekang, dijinakkan dan dikontrol demi kebaikan masyarakat. Karenanya, kontrol negara terhadap tingkah laku perempuan sangat melewati batas, seperti pengawasan terhadap gerak-gerik perempuan yang melihat dan tersenyum di depan umum. Atas dasar apa kebudayaan Islam membiarkan atau bahkan mengizinkan penertiban keras yang dilakukan seorang laki-laki terhadap tingkah laku moral dan seksual perempuan?101 Setelah jatuhnya Shah, Ayatullah Khomeini menghapuskan Aksi Perlindungan Perempuan (FPA) yang telah dibentuk parlemen pada 1967 seperti larangan poligami dan nikah mut’ah. Pada tahun 1980, rezim Ayatullah memaksa perempuan memakai cadar dan diikuti oleh sebuah perubahan aturan-aturan wilayah hak-hak personal, hukum dan sosial perempuan. Batas pernikahan umur pernikahan yang sah bagi para gadis diperendah hingga 13 tahun dan kemudian hingga 9 tahun; para hakim perempuan dipecat, sekolah-sekolah teknik dan kejuruan ditutup bagi perempuan, perempuan dilarang memasuki wilayah pendidikan tinggi tertentu seperti ilmu teknik, pertanian dan matematika; dan ratusan Haideh Moghissi, op.cit., hal. 42 Ibid, hal. 40.

100  101 

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

199

para pekerja, guru dan pegawai pemerintah perempuan disingkirkan, dipecat awal atau dipaksa berhenti dari pekerjaan mereka. Para remaja putri dari kelas menengah yang memakai cadar dengan tidak benar (bad hejab) dihina, didenda, ditangkap, dicambuk atau dibunuh. Pada musim panas 1993, Bahareh Vejdani, seorang remaja putri, ditembak oleh polisi dalam sebuah kamar telepon di Teheran karena menentang aturan hejab.102 Keadilan bagi perempuan di sini masih menjadi korban kebudayaan yang dirumuskan berdasarkan ideologi partiarkhis dan serba maskulin. Apakah masuk akal jika hukum Islam menciptakan ketidakadilan, meskipun dengan mengatasnamakan teks ketuhanan? Pembaharuan hukum keluarga di beberapa negara Islam seperti Tunisia, Mesir dan Suriah misalnya, memang telah dilakukan. Namun, menurut Riffat Hassan, baru menyentuh pinggiran masalah, tidak banyak membawa perubahan yang berarti bagi prinsip-prinsip yang mendasari hukum tersebut. Bahkan El-Saadawi mengungkapkan, “Kami perempuan di negara-negara Arab menyadari bahwa kami ibarat budak, tertindak, bukan karena kami milik Timur, bukan karena kami Arab, atau anggota masyarakat Islam, tetapi akibat dari sistem partriarkal yang telah mendominasi dunia sejak ribuan tahun. Seperti El-Saadawi, kondisi perempuan di belahan dunia lain juga bernasib sama. Sistem inilah yang memberi imbas pada diskriminasi hak perempuan dalam keluarga.103 Di sisi lain, yang menggembirakan adalah menjamurnya literatur tentang perempuan dan gerakan perempuan pada dua dekade terakhir di Timur Tengah dan Afrika Utara. Isu-isu tentang status dan hak-hak perempuan serta sejalan tidaknya dengan aturan-aturan syariah Islam, tampaknya telah menjadi isu sentral dalam perdebatan-perdebatan di kalangan kelompok sekuler dan konservatif di dalam banyak masyarakat Timur Tengah. Sejak tahun 1980-an, kita menyaksikan pertumbuhan pesat tulisan-tulisan tentang perempuan di berbagai negara di Timur Tengah, khususnya tentang cara-cara perempuan Ibid, hal. 136-138. Sukron Kamil, dan Chaider S. Bamualim, hal. 56 merujuk pada kutipan Ghada Kam, “Perempuan, Islam dan Patriakalisme,” dalam Mai Yamani, Feminisme dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra” (Bandung:Yayasan Nuansa Cendekia, 2000). 102  103 

200

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

melepaskan diri dari ikon-ikon identitas nasionalis dengan memutus proyek-proyek modernisasi pasca kolonial atau setelah kemerdekaan negara bangsa di Timur Tengah. Suatu bangsa yang dipadati umat Islam seperti dunia Arab dan Indonesia, analisis gender dalam Islam secara kritis tidak dapat ditinggalkan. Dalam era globalisasi ini, persaingan dalam mempertahankan hidup berlangsung sedemikian rupa, seolah-olah tidak ada tempat bagi mereka yang tidak mempunyai kualitas individu yang handal, baik laki-laki maupun perempuan.

Daftar Pustaka Abd Rahman, Mustafa, “Membaca Kasus Wanita Kuwait Mendapat Hak Politik” dalam Kompas Jumat, 20 Mei 2005 hal. 43, Jakarta. Amin, Qasim, Tahrîr al-Mar’ah, Kairo:al-Markaz al-Arabi li al-Bahts wa al-Nasyr, 1984. Ahmed, Leila, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate, London, Yale University Press, 1992. Arivia, Gadis, Feminisme:Sebuah Kata Hati, Jakarta, Kompas, 2006. Faqih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997. Faqih, Mansour, “Gerakan Masyarakat Untuk Keadilan Gender”, dalam TashwirulAfkar Edisi No. 5 Tahun 1999, Jakarta, LAKPESDAM dan LTN NU, 1999. “Hoda Sha’rawi Pioneer of Egyptian Feminism”, dalam Egypt Issue No. 22 Winter 2001, p. 19-20, Cairo, State Information Service (SIS) Ministry of Information Arab Republic of Egypt, 2001. Kamil, Sukron dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM, Jakarta CSRC dan Konrad Adenauer Stiftung, 2007.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

201

Kurzman, Charles, Modernist Islam1840-1940 a Source Book, New York, Oxford University Press, 2002. Moghissi, Haideh, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, Yogyakarta, LKiS, 2004. Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta, Gramedia, 2004. Patai, Raphael, The Arab Mind, New York, Hatherleigh Press, 2002. Redaksi, “Perempuan Penulis: Pikiran yang Kritis Cermin Kreativitas”, dalam Media Indonesia Senin, 20/11/2006 No. 9459/Th. XXXVII hal. 16, Jakarta. “Perempuan, HAM dan Syariah Islam”, wawancara dengan Abdullahi Ahmed An-Naim dalam Jurnal Perempuan Edisi 92 November 1998-Januari 1999, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan. “Rifa’a Al-Tahtawi First Thinker to Call for Girl’s Education”, dalam Egypt Issue No. 22 Winter 2001, p. 16-17, Cairo, State Information Service (SIS) Ministry of Information Arab Republic of Egypt, 2001. Salim GP, M. Arskal, “Pembebasan Perempuan di Dunia Islam:Pemikiran Qasim Amin”, dalam Jurnal Perempuan Edisi 10, Februari-April 1999, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan. Wadud, Aminah, Qur’an and Woman, New York, Oxford University Press, 1999.

202

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Norma Gender di Arab Saudi dalam Serial Takki Karya Mohammad Makki oleh Prafitri Haziza, S.Hum. dan Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum.

Pendahuluan Takki merupakan salah satu serial web yang diproduksi pada 2012 di Arab Saudi. Pada awal dirilis, tidak ada stasiun televisi di Arab Saudi yang dapat menayangkannya sehingga serial ini kemudian disiarkan melalui kanal YouTube. Arab Saudi merupakan bagian dari Arab Spring yang dimulai di Tunisia pada 2011. Faktor tersebut membuat serial ini sangat menarik untuk dikaji mengingat pada awal disiarkannya, Arab Saudi sedang mengalami serangkaian protes terhadap pemerintah untuk menuntut perubahan dalam berbagai bidang kehidupan sehingga isu-isu yang terdapat di dalam serial tersebut merupakan gambaran yang relevan dengan kehidupan masyarakat. Keajegan di Arab Saudi menyebabkan masyarakat, terutama dari golongan muda, menginginkan adanya perubahan dalam berbagai bidang kehidupan. Munculnya Arab Spring merupakan sebuah angin 203

segar yang dapat mewujudkan perubahan tersebut. Dalam serial Takki, terdapat isu-isu terkait Arab Spring yang diangkat seperti kebebasan berekspresi, norma gender, dan budaya yang kaku di kalangan masyarakat Arab Saudi. Budaya yang kaku merupakan salah satu karakteristik dari ajaran Wahabi yang dinilai konservatif (Mabon, 2012) sehingga dalam penerapannya, terdapat banyak pembatasan di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Isu-isu tersebut merupakan hal yang tabu untuk dibahas sehingga munculnya Takki sebagai sebuah serial web menimbulkan penilaian yang beragam. Meskipun begitu, serial ini mendapatkan tanggapan yang positif dari masyarakat muda di Arab Saudi sebab penggambarannya merupakan refleksi dari kehidupan para pemuda-pemudi Saudi di tengah lingkungan yang konservatif. Perubahan yang terjadi di Arab Saudi selama sepuluh tahun terakhir memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Pada 2018, pemerintah Arab Saudi melegalkan kembali pembukaan bioskop sebagai wujud realisasi dari Visi Arab Saudi 2030 untuk mendorong perkembangan sosial dan ekonomi di bidang industri non-minyak bumi (Shesha & Yusuf, 2021). Pembukaan kembali bioskop untuk pertama kalinya sejak 1980 memberikan peluang bagi para pembuat film untuk berkarya dan menghidupkan kembali industri perfilman Arab Saudi. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya produksi serial web ataupun film yang disutradarai oleh orang Saudi. Dilegalkannya bioskop juga mempengaruhi tingkat investasi dari luar negeri di bidang industri perfilman Arab Saudi. Salah satu bentuk investasi ini dapat dilihat dari akuisisi serial Takki oleh Netflix pada 2021. Produksi serial Takki sempat mengalami jeda setelah musim kedua pada 2015 sebelum kemudian dilanjutkan produksinya oleh Netflix. Dengan dilanjutkannya produksi serial ini oleh Netflix, maka Takki memiliki peluang jangkauan yang lebih besar sehingga dapat meningkatkan ekonomi dalam industri film. Dalam melihat perubahan-perubahan yang terjadi di Arab Saudi, penulis menemukan bahwa perubahan yang terjadi dalam realitas sosial memiliki pengaruh dalam isu-isu yang dibahas dalam serial 204

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Takki. Salah satu perubahan sosial yang paling menonjol dalam serial Takki adalah pergeseran norma gender dalam masyarakat Arab Saudi yang erat kaitannya dengan peningkatan hak-hak dan kebebasan berekspresi bagi perempuan. Berbeda dengan musim-musim sebelumnya, penulis menemukan bahwa pada musim ketiga, serial Takki lebih banyak menyoroti tentang perubahan sosial yang terjadi dalam kurun waktu enam tahun terakhir dibandingkan budaya konservatif masyarakat Arab Saudi yang menjadi fokus utama musim pertama dan kedua. Penulis menduga perubahan fokus dalam Takki musim ketiga bertujuan untuk menyampaikan pesan tertentu. Penulis berhipotesis bahwa musim ketiga dari serial ini merupakan sebuah upaya untuk menunjukkan kemampuan masyarakat Arab Saudi untuk menerima perubahan, khususnya pergeseran norma gender. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keberadaan norma gender dengan menganalisis pesan-pesan tersebut dalam serial Takki. Untuk membuktikan hipotesis tersebut, penulis melakukan analisis bagaimana norma gender yang disampaikan dalam serial Takki serta bagaimana norma tersebut digambarkan dalam serial Takki. Charles Peirce menjelaskan bahwa semiotika adalah sebuah aksi atau pengaruh yang melibatkan kerja sama tiga subjek, seperti tanda, objeknya, dan penafsirannya (Peirce, 1905). Charles Peirce juga menambahkan bahwa semiotika merupakan aksi dari segala macam tanda dan definisi semiotika yang telah diutarakan sebelumnya dapat digunakan pada segala hal yang melibatkan tanda. Lebih lanjut, Charles Peirce mendefinisikan tanda sebagai sebuah representasi yang mewakili seseorang atas sesuatu dalam sebuah kapasitas. Hal ini ditujukan kepada seseorang yang kemudian menciptakan sesuatu dalam pikiran orang tersebut tanda yang serupa, atau bahkan tanda yang lebih berkembang. Tanda yang terbuat kemudian disebut sebagai penafsir tanda pertama. Tanda tersebut berarti sesuatu, yaitu objek. Namun, tanda tersebut tidak berarti objek dalam segala aspek, melainkan sebuah referensi terhadap sebuah ide. PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

205

Dalam teori semiotika Charles Peirce, tanda tidak termasuk dalam kelas objek. Tanda hanya terdapat dalam pikiran penafsir: “Tidak ada tanda tanpa penafsiran sebuah tanda.” Penafsiran ini kemudian menjadi bagian dari semiosis ketika sebuah tanda memberikan efek kognitif terhadap penafsirnya (Peirce, 1905). Tanda merupakan sebuah representasi atas sesuatu yang dapat ditafsirkan logika secara umum. Sejatinya, tanda merupakan sebuah entitas yang telah ada sebagai dasar dari sebuah ide. Tanda kemudian menjadi representasi dari sebuah objek. Hubungan antara objek dari sebuah tanda dan tanda yang merepresentasikannya merupakan satu kesatuan: objek menentukan tanda (Peirce, 1905). Objek memiliki batasan-batasan, syarat-syarat, atau kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah tanda agar dapat merepresentasikan objek. Jika sebuah tanda tidak dapat merepresentasikan objek, maka tanda tersebut gagal dalam merepresentasikan objek yang dimaksud. Penafsiran merupakan pengembangan dari tanda yang asli dalam memberikan pemahaman terhadap tanda-tanda yang dimiliki oleh objek. Seperti halnya hubungan antara tanda dengan objek, hubungan antara tanda dengan penafsiran juga merupakan satu kesatuan: tanda menentukan penafsiran (Peirce, 1905). Tanda menentukan penafsiran dengan menggunakan syarat-syarat tertentu seperti dalam tanda yang membuat objeknya signifikan untuk membentuk sebuah pemahaman. Akibatnya, tanda membuat objek signifikan melalui syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga tanda dapat menentukan penafsiran dengan memfokuskan pemahaman pada syarat-syarat tertentu yang membuat hubungan antara tanda dan objek menjadi signifikan. Dalam menganalisis norma gender, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai definisi gender dan jenis kelamin. Gender merupakan sebuah konsep sistem sosial yang menyangkut pembagian sumber daya, peran, tingkah laku, kekuatan, dan hak berdasarkan praktik yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan, maskulin atau feminin (Ridgeway dan Correll, 2004). Sedangkan jenis kelamin adalah suatu istilah yang diasosiasikan dengan fungsi biologis 206

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

seseorang untuk dapat dikategorikan sebagai laki laki atau perempuan (Archer & Lloyd, 2002). Perbedaan antara gender dan jenis kelamin dapat dilihat dari atribut yang diasosiasikan kepada dua istilah tersebut. Gender diasosiasikan dengan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2016). Masyarakat mempraktikkan konstruksi gender secara sosial maupun kultural berdasarkan jenis kelamin sehingga faktor yang mempengaruhi gender berasal dari luar diri. Sedangkan jenis kelamin merupakan kodrat lahiriah seseorang yang telah melekat sejak lahir dan merupakan identitas yang berasal dari diri sendiri. Untuk membangun konteks analisis norma gender dalam serial Takki, penulis menggunakan teori norma gender dibantu dengan teori pendekatan semiotik dalam mengkaji adegan-adegan tertentu untuk dapat menemukan tanda-tanda keberadaan norma gender baik secara tersurat maupun tersirat. Norma gender diproduksi dan direproduksi ulang melalui interaksi sosial, saat individu terlibat dengan praktik yang menunjukkan, selaras, atau bertentangan dengan gagasan maskulinitas dan feminitas (West dan Zimmerman, 1987). Norma gender dipelajari pada masa kanak-kanak, dari orang tua dan lingkungan, dalam sebuah proses yang dikenal sebagai sosialisasi, kemudian diperkuat dalam keluarga dan konteks sosial yang lebih besar: melalui sekolah, tempat kerja, agama, media, dan institusi sosial lainnya (Bem 1981, Tenebaum dan Leaper, 2002). Norma gender merupakan serangkaian aturan tidak tertulis yang bersumber dari konstruksi sosial masyarakat mengenai pantas atau tidak pantasnya suatu tindakan dilakukan berdasarkan gender. Norma gender memiliki perbedaan dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. Di Arab Saudi, norma gender dipengaruhi oleh ideologi gender mengenai perempuan Muslim ideal yang didasarkan pada kebijakan pemerintah yang dipengaruhi oleh fatwa-fatwa ulama Wahabi. Perempuan Saudi yang ideal adalah perempuan yang berstatus sebagai istri dan ibu, mementingkan keluarga, dan mendapatkan perlindungan dari laki-laki (Doumato, 1992). Perlindungan tersebut menempatkan PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

207

perempuan pada posisi subordinat sebab adanya kewajiban untuk mematuhi laki-laki yang melindunginya, seperti ayah, saudara lakilaki, maupun suami karena perempuan dianggap sebagai gender yang lebih lemah dan tidak mampu melindungi dirinya sendiri. Penulis memfokuskan analisis norma gender di Arab Saudi sebab dalam serial Takki, masyarakat Saudi digambarkan masih mempraktikkan norma gender yang bersifat kaku sehingga membatasi golongan muda yang menginginkan perubahan. Norma gender yang kaku juga lebih merugikan perempuan sebab ruang gerak perempuan terbatas dan terikat pada norma gender yang berlaku dan pelanggaran terhadap norma tersebut akan menimbulkan disrupsi sosial. Dari segi bahasa, serial Takki yang ditayangkan di Netflix menggunakan bahasa percakapan atau amiyyah Arab dengan dialek Saudi. Al-Twairesh dkk. (2018) mengklasifikasikan dialek Saudi menjadi empat macam berdasarkan wilayah: dialek Najd (wilayah tengah), dialek Hijaz (wilayah barat), dialek Teluk (wilayah timur), dan dialek wilayah selatan. Dialek yang terdapat dalam serial Takki dipengaruhi oleh latar belakang kota yang menjadi fokus utama dalam serial ini, yaitu Jeddah. Kota Jeddah adalah sebuah kota pelabuhan yang terletak di wilayah barat Arab Saudi sehingga dialek yang digunakan dalam serial ini adalah dialek Hijaz. Dialog antarkarakter dalam dialek Hijaz merupakan salah satu faktor penting dalam menganalisis norma gender sebab dialog tersebut merupakan penanda keberadaan norma gender yang terdapat di dalam serial sehingga beberapa cuplikan dari dialog tersebut akan ditampilkan dalam bentuk teks bahasa Arab amiyyah dialek Hijaz dalam penelitian penulis. Penulis menggunakan metode semiotik untuk menganalisis norma gender dimana film merupakan sebuah tanda dari objek yang dapat ditafsirkan sehingga maknanya dapat dipahami. Tanda dalam serial Takki merupakan adegan-adegan tertentu yang menggambarkan norma gender sedangkan objeknya adalah isu-isu yang dibahas dalam serial tersebut. Penulis merupakan penafsir yang menganalisis 208

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

keberadaan norma gender dalam serial Takki menggunakan metode semiotik Charles Peirce. Penulis mengumpulkan data untuk melakukan penelitian melalui dua tahapan. Pertama, penulis menonton serial ‘Takki’ secara menyeluruh, dari musim pertama sampai musim ketiga sebagai bentuk pengamatan terhadap norma gender dalam serial tersebut. Kedua, penulis menganalisis dan mencatat adegan-adegan yang menampilkan norma gender. Penulis juga menggunakan metode studi pustaka untuk memperoleh data dan informasi pendukung lain yang berasal dari berbagai sumber seperti buku, artikel jurnal, dan internet. Dengan menggunakan metode studi pustaka, penulis mengkaji teori-teori yang digunakan serta memahami penelitian-penelitian terdahulu dan mempelajarinya sebagai bahan acuan terhadap penelitian yang dilakukan oleh penulis. Data yang telah dikumpulkan akan penulis klasifikasikan menjadi tiga kategori sesuai teori semiotika Charles Peirce, yaitu tanda, objek, dan penafsiran. Serial Takki ditetapkan sebagai sebuah tanda dari objek pembahasan yang berupa isu-isu sosial di dalamnya. Untuk mengungkapkan pesan-pesan yang terdapat dalam serial tersebut, penulis akan membagi analisis menjadi dua tahapan. Pertama, analisis akan dilakukan pada serial Takki musim pertama dan kedua untuk menemukan tanda-tanda mengenai norma gender yang terdapat di dalamnya. Adegan pertama yang akan penulis analisis adalah norma yang harus dipatuhi oleh perempuan dalam berinteraksi dengan laki-laki. Kemudian, penulis akan melakukan analisis terhadap pesanpesan tersirat yang terdapat dalam adegan tersebut, baik berupa dialog maupun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para aktor dan aktris untuk menjelaskan mengenai objek yang dibahas dalam serial Takki. Lalu, penulis akan menganalisis tanda-tanda tersebut sebagai norma gender, yaitu serangkaian aturan tidak tertulis yang bersumber dari konstruksi sosial masyarakat mengenai pantas atau tidak pantasnya suatu tindakan dilakukan berdasarkan gender. PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

209

Setelah mengungkapkan norma gender tersebut, penulis menganalisis bagaimana tanda tanda dapat merepresentasikan sebuah objek yang kemudian ditafsirkan menjadi sebuah pesan yang dapat diterima. Analisis yang sama juga akan dilakukan untuk mengungkapkan tentang norma gender dalam serial Takki musim ketiga. Namun, pada musim ketiga penulis akan memfokuskan pembahasan pada tandatanda yang menunjukkan terjadinya perubahan dan pergeseran norma gender. Perubahan dan pergeseran norma gender yang dibahas meliputi kebebasan berekspresi bagi perempuan, peningkatan hakhak perempuan, dan keberadaan perempuan di ruang publik. Terdapat beberapa penelitian yang membahas mengenai analisis gender dalam film yang berasal dari Arab maupun yang bersumber dari cerita rakyat masyarakat Arab. Penelitian yang melibatkan analisis gender telah dilakukan sebelumnya oleh Sarah Refihana Salim dalam sebuah tulisan berjudul Pesan Gender dalam Film Aladdin 2019 yang dilakukan pada 2020. Tulisan ini dibuat dengan menggunakan metode semiotik untuk membahas pesan gender dalam film Aladdin 2019 yang menyampaikan pesan-pesan mengenai kesetaraan gender dari perspektif barat dalam sebuah film yang berlatar belakang dunia Arab. Salim menjelaskan bahwa dalam film Aladdin 2019, karakter Putri Jasmine menjadi sosok yang mendominasi film di tengah masyarakat patriarki. Pada 2017, penelitian ilmiah yang membahas tentang peran gender telah disampaikan dalam sebuah tulisan yang berjudul Pengaruh Teori-teori Peran Gender secara Tersirat dalam Pembenaran Sistem Gender: Keyakinan Tetap Memperkuat Maskulinitas untuk Mempertahankan Status Quo. Penelitian tersebut merupakan sebuah kolaborasi antara empat penulis, yaitu Laura J. Kray dan Laura Howland dari Universtias California dan Alexandra G. Russell dan Lauren M. Jackman dari Universtias Stanford. Penelitian ini mengungkapkan bahwa teori peran gender secara implisit mempengaruhi pemahaman dan justifikasi yang didasarkan pada gender. Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa dengan menanamkan kepercayaan bahwa peran gender dapat berubah dan sedang mengalami perubahan, 210

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dikesampingkan untuk meraih kesetaraan. Belum ada penelitian yang membahas mengenai norma gender yang terdapat dalam serial Takki menggunakan analisis semiotika Charles Peirce. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian tentang gender yang telah dilakukan sebelumnya sebab penulis memfokuskan pembahasan pada norma gender yang berlaku dalam masyarakat konservatif di Arab Saudi melalui serial Takki untuk menunjukkan perubahan dan pergeseran norma gender yang terdapat dalam serial tersebut. Penulis tidak hanya mengkaji penelitian ini dari sudut pandang gender, melainkan juga melalui sudut pandang sosial masyarakat Arab Saudi mengenai keberadaan perempuan di ruang publik yang masih dianggap sebagai hal tabu sehingga dapat menimbulkan permasalahan. Melalui tulisan ini, penulis berharap dapat memberikan pengetahuan baru dalam penelitian yang berfokus pada pembahasan norma gender melalui media film dalam dunia Arab.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

211

Hasil dan Pembahasan A. Norma Gender bagi Perempuan dalam Berinteraksi dengan Laki-laki Adegan 1: Lama menasihati Bayan pada episode satu musim kesatu detik 00:54

Gambar 1. Adegan Lama menasihati Bayan pada detik 00:54

-

Tanda Norma Gender Dalam adegan tersebut, nasihat yang diberikan oleh Lama merupakan tanda dari norma gender. Lama yang menggunakan hijab berwarna putih abu-abu berkata kepada Bayan,

Kamu berdua akan menghadapi satu sama lain sendirian. Kamu akan menundukkan pandangan sepanjang pertemuan. Kamu akan menawarkan dia gelas dan langsung duduk. Jangan duduk dengan kaki menyilang atau seperti saat kamu duduk di kampus. Dan ketika dia berbicara kepada kamu, berbicaralah kepadanya dengan lembut dan pelan).

212

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

-

Objek Adegan pertama dalam episode satu musim kesatu yang ditunjukkan dalam serial Takki yang penulis temukan membahas mengenai cara berperilaku seorang perempuan yang harus ditunjukkan di hadapan laki-laki. Pada adegan awal, tokoh utama perempuan bernama Bayan yang menggunakan hijab berwarna merah jambu sedang mempersiapkan diri untuk menemui seorang laki-laki yang akan melamarnya. Saat sedang merias wajah, sepupu Bayan yang bernama Lama memasuki ruangan. Setelah memuji penampilan Bayan, Lama memberikan nasihat bagaimana sebaiknya seorang perempuan bersikap di hadapan laki-laki pada detik 00:54.

-

Penafsiran Nasihat yang diberikan Lama kepada Bayan bersumber dari norma gender yang dikonstruksi melalui sifat-sifat yang melekat pada diri perempuan. Fakih (2016) menjelaskan bahwa secara umum, perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sifat-sifat tersebut merupakan citra yang diharapkan tertanam dalam diri perempuan serta dipraktikkan sebagai bentuk realisasi atas ide perempuan yang baik dan ideal di mata masyarakat umum. Norma gender merupakan salah satu dari berbagai macam norma sosial yang bersumber dari aturan-aturan tidak tertulis dalam masyarakat. Bicchieri (2016) mengemukakan bahwa sistem norma menentukan apa yang diterima dan apa yang ditolak dalam suatu kelompok masyarakat. Selain itu, pertemuan antara Bayan dengan lakilaki yang akan melamarnya merupakan interaksi pertama tanpa adanya segregasi sosial yang melekat pada masyarakat Saudi. AlRashed (2013) menjelaskan bahwa segregasi sosial merupakan simbol kepatuhan terhadap ajaran syariah untuk menghindari terjadinya fitnah. Hal ini menyebabkan interaksi antara lakilaki dan perempuan bersifat terbatas sehingga satu-satunya interaksi yang diperbolehkan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya bertujuan untuk mengenal satu sama

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

213

lain sebelum akhirnya perempuan tersebut dilamar oleh laki-laki yang bersangkutan. Nasihat yang diberikan Lama menandakan adanya norma gender sebagai salah satu norma sosial yang harus dipatuhi oleh Bayan saat berinteraksi dengan laki-laki agar dapat diterima oleh masyarakat, terutama laki-laki yang akan melamarnya. Hal tersebut juga merupakan sebuah upaya untuk menunjukkan kesan pertama bahwa Bayan merupakan seorang perempuan yang baik dan ideal untuk dijadikan sebagai istri. Adegan 2: Bayan berteriak kepada tiga orang pemuda pada episode satu musim kesatu menit 8:29.

Gambar 2. Adegan Bayan berteriak kepada tiga orang pemuda yang mengganggunya pada menit 8:29

-

Tanda Norma Gender Dalam adegan tersebut, Bayan sedang menunggu taksi sebab sopir yang dipekerjakan sedang mengantar ibunya ke kantor dokter. Saat menunggu, tiga orang pemuda datang dan mengganggu Bayan dari dalam mobil. Bayan yang merasa terganggu kemudian berteriak,

“ ‫»!انقلع انت و اشكال البهايم اللي معاك‬

(Pergi dari sini, kalian orang-orang bodoh!). Ucapan Bayan kemudian dibalas oleh para pemuda yang ada di dalam mobil, 214

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

« ‫حرمة ترفع صوتها علينا؟» « اووه مرة عيب و هللا مرة عيب‬.» (Seorang perempuan meninggikan suaranya? Sangat tidak pantas). Perkataan tersebut kemudian ditimpali lagi oleh pemuda yang sama,

« ‫»!يعني الموضوع مو مستاهل‬

(Berani-beraninya seorang gadis menyahut!). -

Objek Pada adegan tersebut, terlihat bahwa tiga orang pemuda yang mengganggu Bayan merasa tidak senang sebab diteriaki. Fakih (2016) menjelaskan bahwa karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif untuk menjadi atau menuju ke suatu sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat. Hal ini berarti berteriak merupakan salah satu sifat agresif yang melekat pada diri laki-laki.

-

Penafsiran Saat Bayan berteriak kepada sekumpulan pemuda yang mengganggunya, ia dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap norma gender sebab hal yang dilakukannya bertolak belakang dengan norma gender yang seharusnya dipatuhi oleh perempuan saat berinteraksi dengan laki-laki, yaitu bersikap lemah lembut. Sifat lemah-lembut yang melekat pada diri perempuan merupakan salah satu norma gender yang harus dipatuhi sebagai bentuk realisasi terhadap aturan-aturan tidak tertulis dalam masyarakat. Dalam masyarakat patriarki di Arab Saudi, berteriak merupakan salah satu perwujudan dari sifat agresif yang melekat pada diri laki-laki sebagai bentuk kendali terhadap gender yang dianggap subordinat, yaitu perempuan. Dari penjelasan di atas, dapat dipahami secara tersirat bahwa ketika seorang perempuan berteriak, maka perempuan tersebut menempatkan dirinya sebagai pemegang kendali sehingga ia memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Perempuan yang menempatkan dirinya

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

215

bukan sebagai subordinat merupakan sebuah hal yang tabu di kalangan masyarakat patriarki Arab Saudi. Teriakan Bayan kepada tiga pemuda yang mengganggunya menandakan bahwa para pemuda tersebut telah kehilangan kendali sebagai laki-laki atas diri Bayan sebagai seorang subordinat.

B. Subordinasi Perempuan terhadap Laki-Laki Adegan 3: Majid Memarahi Bayan pada episode tiga musim kesatu menit 1:41

Gambar 3. Adegan Majid memarahi Bayan pada menit 1:41

Dalam adegan yang ditampilkan di atas, terlihat bahwa Majid yang menggunakan baju gamis berwarna putih sedang memarahi Bayan melalui sambungan telepon. Kemarahan Majid dilatarbelakangi oleh hal yang terjadi sebelumnya, yaitu ketika Bayan menerima tumpangan dari seorang pria bernama Malik setelah ia diganggu oleh tiga orang pemuda saat sedang menunggu taksi. Malik adalah seorang kameramen yang bekerja sama dengan Bayan dalam membuat konten video Youtube. Saat itu, Malik tidak mengetahui bahwa Bayan adalah tunangan temannya, Majid. Setelah mengantarkan Bayan sampai tujuan, Malik meminjamkan sebuah buku yang menarik kepadanya. Kejadian ini awalnya dirahasiakan, namun akhirnya terbongkar sebab Majid menemukan sebuah buku 216

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

terjatuh dari tas Bayan yang bertuliskan nama Malik di dalamnya. Untuk memastikan bahwa Malik yang dimaksud adalah temannya, Majid kemudian menonton video Youtube milik Bayan. Di akhir video, tertulis nama Malik sebagai kameramen yang merekam video tersebut. Setelah mengetahui hal tersebut, Majid mengajak Malik untuk bertemu di sebuah kafe. Majid menunjukkan video yang sama dan bertanya apakah Malik pernah memberikan tumpangan kepada Bayan. Segregasi sosial merupakan simbol kepatuhan terhadap ajaran syariah melalui fatwa-fatwa baru yang telah ditetapkan oleh para ulama Wahabi yang dimulai pada tahun 1980 (Al-Rasheed, 2013). Menurut Al-Rasheed (2013), fatwa adalah sebuah tanggapan dalam bentuk jawaban dari para ulama atau mufti terhadap sebuah pertanyaan baik yang bersifat nyata maupun hipotetis. Fatwa-fatwa baru ditetapkan sebagai upaya untuk memperbaiki kerusakan moral yang dianggap memiliki dampak buruk bagi masyarakat Saudi. Semenjak ditetapkannya fatwa-fatwa baru oleh para ulama Wahabi mengenai segregasi sosial pada tahun 1980, konstruksi sosial masyarakat Saudi menjadi kaku. Akibatnya, muncul larangan bagi perempuan dan laki-laki yang bukan mahramnya untuk berada di suatu tempat yang sama tanpa ada orang lain yang mendampingi. Pelanggaran terhadap larangan ini akan menimbulkan sanksi sosial dan pelabelan dengan citra buruk yang diberikan masyarakat kepada pihak-pihak yang terkait seperti yang terjadi pada Bayan dan Malik. -

Tanda Norma Gender Adegan pada menit 1:11 menunjukkan Majid yang sedang menelepon Bayan. Di awal percakapan, Majid berkata kepada Bayan,

“ ‫ال و هللا صايرة مشهورة و هللا ما شاء هللا عالقات عامة و تطلعي السيارة‬ ‫»!مع واحد ما تعرفي‬

(Jadi sekarang kamu terkenal dan mempunyai banyak koneksi, lalu kamu menumpang dengan orang yang tidak kamu kenal!). PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

217

Perkataan Majid menandakan bahwa seorang perempuan yang menumpang mobil laki-laki lain merupakan suatu hal yang tidak pantas di Arab Saudi. Kemarahan Majid kepada Bayan berlanjut pada menit 1:21 ketika ia berkata,

« ‫ اشبك ان ِت مجنونة‬، ‫»؟يا بيان ما تطلعي السيارة مع واحد ما تعرفيه‬

(Bayan, jangan menumpang mobil seseorang yang tidak kamu kenal! Apakah kamu gila?). Ucapan Majid menandakan bahwa ia mempertanyakan rasionalitas Bayan. Kemudian ia melanjutkan pada menit 1:41,

« ‫»؟مو كفاية اني معطيك الحر ية دي و تُخرجي تصوري‬

(Apakah izin yang kuberikan padamu untuk pergi keluar dan syuting tidak cukup?). -

Objek Dalam masyarakat patriarki di Arab Saudi, kedudukan perempuan dinilai lebih rendah jika dibandingkan dengan lakilaki sehingga berakibat pada terbatasnya kemampuan perempuan dalam memegang kendali atas dirinya sendiri. Hal ini tentu erat kaitannya dengan norma gender yang terdapat di negara tersebut. Dalam serial Takki episode tiga musim kesatu, penggambaran atas subordinasi Bayan sebagai seorang perempuan terhadap Majid, tunangannya terlihat jelas pada menit 1:41.

-

Penafsiran Perempuan dideskripsikan sebagai makhluk yang lemah, sebab ia tunduk pada siklus alami yang mengurangi kemampuan untuk bertindak, menilai, dan mengevaluasi situasi yang membutuhkan keberanian, kecepatan, dan kualitas maskulin lainnya (AlRasheed, 2013). Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 2016). Kalimat yang diucapkan Majid kepada Bayan pada menit 1:41 menandakan bahwa sebagai

218

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

perempuan, Bayan adalah seorang subordinat sebab ia harus meminta izin kepada tunangannya, Majid untuk melakukan syuting. Hal ini menandakan bahwa sebagai perempuan, Bayan dianggap tidak cukup rasional untuk membuat suatu keputusan tanpa izin dari laki-laki yang mengikatnya. Ucapan tersebut juga menandakan bahwa Majid merupakan laki-laki yang posesif sehingga ia merasa memiliki Bayan meskipun belum ada ikatan pernikahan di antara mereka. Akibatnya, Majid menjadi salah satu laki-laki yang perlu dimintai izin selain ayah Bayan agar Bayan dapat melakukan syuting. Adegan 4: Bayan meminta izin kepada ayahnya pada episode tujuh musim kesatu detik 00:39

Gambar 4. Adegan Bayan meminta izin pada ayahnya pada detik 00:39

-

Tanda Norma Gender Adegan dimulai dengan Bayan yang memberitahu ayahnya bahwa Ali, produser yang memproduksi video Youtube Bayan akan mengadakan syuting iklan di Abu Dhabi. Bayan menjelaskan bahwa Ali memintanya untuk menjadi narator dari iklan tersebut. Namun, ayah Bayan langsung memberi penolakan dengan mengatakan,

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

219

“ ‫أنا ماني موافق‬.» (Aku tidak setuju). Untuk meyakinkan ayahnya, Bayan kemudian menjelaskan bahwa selama syuting iklan ia akan tetap mengenakan hijab. Selain itu, syuting kali ini berbeda dengan yang sebelumnya sebab ia akan dibayar. Namun ayahnya tetap tidak memberi izin sehingga Bayan hanya bisa pasrah. -

Objek Dalam adegan di atas, terlihat bahwa Bayan adalah subordinat yang berstatus sebagai anak dari ayahnya. Status Bayan sebagai seorang anak sekaligus perempuan merupakan alasan yang mewajibkannya meminta izin kepada ayahnya untuk pergi syuting ke luar negeri sebab di Arab Saudi, perempuan tidak boleh melakukan perjalanan ke luar negeri sendiri dan harus didampingi oleh mahramnya.

-

Penafsiran Di Arab Saudi, aturan yang mewajibkan perempuan ditemani oleh mahramnya dalam melakukan perjalanan ke luar negeri dimulai sejak tahun 1980. Aturan tentang mahram bagi perempuan tidak hanya diterapkan dalam melakukan perjalanan ke luar negeri, Al-Lily (2011) menjelaskan bahwa perempuan wajib memiliki mahram seumur hidupnya. Dalam praktiknya, sistem mahram yang terdapat di Arab Saudi sangat membatasi ruang gerak bagi perempuan dalam melakukan berbagai aktivitas maupun membuat keputusan bagi dirinya sendiri seperti yang dialami oleh Bayan sebab segala hal yang berkaitan dengan kedua hal tersebut harus mendapatkan izin dari mahram. Sistem mahram juga menempatkan perempuan sebagai subordinat seumur hidup tanpa kemampuan untuk mengatur hidupnya sendiri, hal ini merupakan perwujudan ekstrem dari norma gender dalam masyarakat Arab Saudi berdasarkan sifat-sifat yang dilekatkan pada perempuan. Akibatnya, perempuan dituntut untuk selalu bergantung kepada laki-laki yang menjadi mahramnya sehingga

220

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

menyebabkan banyaknya rintangan bagi perempuan untuk mendapatkan hak dasar bagi manusia, seperti kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan.

C. Stereotip berdasarkan Norma Gender bagi Perempuan yang tampil di Muka Publik Adegan 5: Majid meminta Bayan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang Youtuber pada episode delapan musim kesatu menit 11:53

Gambar 5. Adegan Majid meminta Bayan berhenti dari pekerjaannya pada menit 11:53

-

Tanda Norma Gender Adegan dimulai dengan Majid yang bertanya mengenai apakah Bayan bersedia memenuhi permintaan Majid untuk berhenti dari pekerjaannya. Bayan kemudian menjawab bahwa ia tidak bisa berhenti dari pekerjaannya. Setelah mengatakan hal tersebut, Bayan balik bertanya mengenai alasan dari pertanyaan yang ia berikan sebelumnya. Majid kemudian memberikan penjelasan kepada Bayan melalui dialog di bawah ini,

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

221

“ ‫ وأنتي تعرفي الشي‬،‫أنا ماعندي مانع إنك تكوني إعالمية‬ ،‫ أنا أبغاك‬،‫ مهما يكون‬،‫ و أنا أبغاك‬،‫هذا‬

‫ ماهم‬.‫ �لكن يا بيان أهلي ماهم راضين‬.‫بيان‬ ‫مقتنعين إنك تطلعي في يوتيوب وتصوري‬.» (Kamu tahu bahwa aku tidak keberatan dengan pekerjaanmu di bidang media, dan aku menginginkanmu terlepas dari apa pun yang kamu lakukan, aku menginginkanmu, Bayan. Tapi Bayan, orang tuaku tidak sependapat. Mereka merasa tidak nyaman dengan gagasan bahwa kamu tampil di Youtube dan melakukan syuting). -

Objek Majid meminta Bayan untuk berhenti dari pekerjaannya di bidang media sebab perempuan yang menampilkan diri di muka publik dinilai tidak baik oleh masyarakat Saudi.

-

Penafsiran Stereotip merupakan satu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokkan kaum perempuan sehingga berakibat pada posisi dan kondisi kaum perempuan (Fakih, 2016). Dalam masyarakat patriarki Arab Saudi, keberadaan perempuan di ruang publik merupakan suatu hal yang tabu dan melanggar norma gender yang melabeli bahwa perempuan baik adalah perempuan yang tidak menampilkan dirinya di muka umum. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya dominasi ruang publik oleh laki-laki (Thorsen dan Sreedharan, 2019). Ketika seorang perempuan menampilkan dirinya di ruang publik, maka akan terjadi interaksi secara langsung antara lakilaki dengan perempuan yang bukan mahramnya. Interaksi ini dapat dilihat pada penjelasan adegan sebelumnya, yaitu ketika Bayan melakukan syuting kemudian menerima tumpangan dari laki-laki yang bukan mahramnya. Interaksi tersebut dinilai tidak pantas sebab dapat menimbulkan fitnah. Dari interaksi yang

222

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

telah disebutkan di atas, perempuan selalu menjadi subjek yang disalahkan dan dilabeli dengan stereotip berkonotasi negatif sebab telah melanggar norma gender yang mengharuskan perempuan untuk menghindari ruang publik. Adegan 6: Majid bertanya kepada Maha pada episode lima musim kedua menit 12:29

Gambar 6. Adegan Majid bertanya kepada Maha pada menit 12:29

Setelah Bayan memutuskan pertunangan karena tidak ingin berhenti dari pekerjaannya, Ibu Majid kemudian memperkenalkan anaknya dengan seorang gadis lain bernama Maha. Majid dan Maha adalah teman semasa kecil sehingga orang tua mereka akrab dengan satu sama lain. Karena alasan tersebut, Majid dan Maha dipertemukan kembali didampingi ibu masing-masing, kali ini dengan maksud agar keduanya dapat mengenal satu sama lain sebagai tahapan awal dalam proses selanjutnya, yaitu bertunangan. -

Tanda Norma Gender Suatu malam, Majid datang ke sebuah restoran untuk makan malam dengan keluarga tunangannya, Maha. Di awal kedatangannya, ia menyapa kedua orang tua beserta bibi Maha, kemudian duduk di sampingnya. Maha memberitahu Majid untuk memanggil pelayan agar mereka bisa memesan makanan. Saat mencari pelayan, Majid menyadari bahwa orang-orang di

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

223

dalam restoran menatap Maha yang tidak mengenakan hijab. Hal ini membuat Majid merasa tidak nyaman sehingga ia bertanya kepada Maha,

“ ‫»؟هل أنتي الترتدي حجاب‬

(Apakah kamu tidak mengenakan hijab?). Maha kemudian

menjawab, «‫ ليه؟‬،‫»ال‬

(Tidak, kenapa?). Majid lalu bertanya mengenai alasan Maha tidak mengenakan hijab,

« ‫»؟ليش ماتلبسي حجاب‬

(Kenapa kamu tidak mengenakan hijab?). Maha menjawabnya dengan memberikan penjelasan,

« ‫ ماراح ألبس حجاب عشان‬.‫ البنات فاهمين الحجاب غلط‬.‫اعتقد انه ماهو مهم‬ ‫أرضي الناس‬.»

(Menurutku itu tidak penting. Gagasan mengenai hijab disalahpahami. Aku tidak akan mengenakannya untuk menyenangkan orang lain). -

Objek Perempuan yang tidak mengenakan hijab di muka publik dianggap tidak baik sebab ia menarik perhatian orang lain dengan memperlihatkan rambutnya yang harus ditutupi.

-

Penafsiran Al-Rasheed (2013) menjelaskan bahwa di Arab Saudi, tubuh perempuan merupakan sumber fitnah sebab keberadaannya dipengaruhi oleh berbagai macam suasana hati dan penilaian. Oleh karena itu, tubuh perempuan perlu ditutupi untuk menghindari fitnah terutama ketika berada di ruang publik. Perempuan yang tidak menutupi tubuhnya dengan benar akan diberi label sebagai perempuan tidak baik yang berupa perkataan maupun sikap orang lain dalam memandang atau pun berinteraksi dengannya.

224

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

Penggunaan hijab dan abaya untuk menutupi tubuh perempuan merupakan sebuah upaya untuk menghindari perhatian dari orang lain. Penanggalan salah satu dari kedua hal tersebut akan menarik perhatian orang lain sebab hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan norma gender yang mewajibkan perempuan untuk menutupi tubuhnya agar terhindar dari fitnah. Akibatnya, akan muncul penilaian penilaian negatif dari masyarakat sekitar sebab perempuan tersebut telah melanggar norma gender yang telah ditetapkan. Sikap Majid dan orang-orang di restoran dalam menanggapi Maha yang tidak menggunakan hijab merupakan representasi dari adanya pelanggaran terhadap aturan yang harus dipatuhi oleh perempuan dalam menggunakan hijab di ruang publik.

D. Pergeseran Norma Gender yang Mengikat Perempuan dalam Serial Takki Adegan 7: Perempuan diperbolehkan untuk mengemudi pada episode tiga musim ketiga menit 9:05

Gambar 7. Pernyataan bahwa terjadi perubahan yang memperbolehkan perempuan mengemudi pada menit 9:05

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

225

-

Tanda Norma Gender Pada adegan di atas, seorang laki-laki bernama Ahmad yang merupakan tunangan Lama pada musim kesatu menyatakan telah banyak terjadi perubahan di Arab Saudi. Ahmad tidak menyaksikan perubahan tersebut secara bertahap sebab pada musim kesatu, ia dijebloskan ke dalam penjara setelah tertangkap menjual minuman beralkohol. Selepas masa tahanannya habis, Ahmad memutuskan untuk kembali menemui Lama dan melamarnya. Namun, Lama menyatakan bahwa keadaan telah banyak berubah dan menikah tidak lagi menjadi prioritasnya. Ia juga menyatakan bahwa saat ini ia sedang memfokuskan diri untuk bekerja dan menghasilkan banyak uang agar dapat menyewa tempat tinggal sendiri. Ahmad kemudian membalas perkataan Lama,

“ ‫ شفت حريم يسوقون‬،‫ أشياء كثير تغيرت في طر يقي هنا‬، ‫هذا صحيح‬.»

(Benar. Banyak yang telah berubah. Dalam perjalanan ke sini, aku melihat perempuan mengemudi). -

Objek Sebelum terjadi perubahan, perempuan tidak diperbolehkan untuk mengemudi. Oleh sebab itu, perempuan memerlukan sopir untuk mengantarnya bepergian. Namun setelah terjadi perubahan, perempuan diperbolehkan untuk mengemudi sendiri dan hak tersebut dijamin oleh hukum yang berlaku.

-

Penjelasan Diperbolehkannya perempuan untuk mengemudi merupakan salah satu upaya pemerintah Arab Saudi untuk meningkatkan angka pekerja perempuan guna memperkuat perekonomian negara dan kaitannya dengan Visi Arab Saudi 2030 (Saleh dan Malibari, 2021). Aturan yang memperbolehkan perempuan untuk mengemudi ditetapkan oleh pemerintah pada tanggal 23 Juli 2018. Mobilitas merupakan masalah utama yang dilatarbelakangi oleh adanya larangan bagi perempuan untuk mengemudi. Larangan

226

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

ini bersumber dari norma gender yang menganggap bahwa perempuan tidak memiliki rasionalitas yang dibutuhkan untuk mengemudi. Akibatnya, perempuan selalu bergantung kepada laki-laki dalam mobilitas sehari-hari. Hal ini dipandang sebagai sebuah hambatan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dengan melibatkan perempuan. Dihapuskannya larangan mengemudi bagi perempuan di Arab Saudi merupakan salah satu bentuk pergeseran norma gender sebab perempuan tidak lagi dianggap sebagai makhluk yang tidak rasional dan keberadaannya justru merupakan sebuah elemen penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Dalam adegan di atas juga dijelaskan bahwa Lama saat ini merupakan seorang perempuan yang bekerja sebagai kasir di sebuah toko bermerek. Hal ini menandakan bahwa keberadaan perempuan di ruang publik tidak lagi menjadi suatu hal tabu sebab adanya jaminan dari negara bagi perempuan untuk dapat melaksanakan hak berekonomi di bidang-bidang pekerjaan yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Adegan 8: Bayan pergi ke Amerika tanpa izin dari wali pada episode delapan musim ketiga menit 20:24

Adegan 8. Bayan akan pergi ke Amerika pada menit 20:24

Pada musim ketiga, industri perfilman di Arab Saudi sedang mengalami perkembangan dengan adanya pembukaan kembali PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

227

bioskop-bioskop di Arab Saudi. Hal ini mendorong Bayan untuk melakukan audisi agar dapat membintangi sebuah film yang disutradarai oleh Malik. Sebelum audisi, ia menyatakan kepada Malik bahwa sejak dulu keinginan terbesarnya adalah menjadi seorang aktris. Namun, sebelum terjadi banyak perubahan di Arab Saudi, hal tersebut sulit diwujudkan dan menjadi seorang Youtuber adalah sebuah pilihan alternatif dalam berakting. Setelah melakukan audisi, Malik memberitahu bahwa Bayan berhasil mendapatkan peran dalam film yang disutradarainya. Saat semua proses syuting telah selesai, tim produksi film melakukan sebuah pertemuan untuk menutup produksi dan menyiapkan penayangan film tersebut untuk pertama kalinya. -

Tanda Norma Gender Di tengah-tengah pertemuan, Bayan mendapatkan sebuah pesan yang menyatakan bahwa ia mendapatkan peran dalam sebuah film. Untuk memastikan hal tersebut, Bayan keluar dari ruang pertemuan dan menelepon sutradara yang memberinya kabar mengenai tanggal keberangkatannya. Malik kemudian mengikuti keluar dan bertanya mengenai kabar apa yang baru saja diterima oleh Bayan. Bayan kemudian menjawab,

“ ‫أنا حسافر امريكا‬.»

(Aku akan pergi ke Amerika). Setelah mendengar jawaban Bayan, Malik kembali bertanya,

« ‫»؟للسياحة‬

(Untuk turisme?). Bayan mengatakan tidak dan memberi penjelasan kepada Malik,

« ‫ حقعد هناك ثالث شهور ويمكن‬.‫ قاعدة اسوي شغل فلم طو يل‬.‫ للشغل‬،‫ال‬ ‫أكثر‬.»

(Tidak, untuk bekerja. Aku ditawari sebuah peran dalam film. Aku akan berada di sana selama tiga bulan, mungkin lebih).

228

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

-

Objek Sebelum terjadi perubahan, perempuan tidak dapat bepergian ke luar negeri tanpa izin dari wali. Setelah terjadi perubahan, perempuan diperbolehkan untuk melakukan perjalanan ke luar negeri sendiri, membuat keputusan sendiri, bahkan tinggal sendiri tanpa izin dari wali.

-

Penafsiran Aturan yang membolehkan perempuan untuk melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari wali menandakan bahwa telah terjadi pergeseran norma gender terkait posisi perempuan yang sebelumnya merupakan subordinat dari lakilaki. Sebelumnya aturan ini ditetapkan pada tanggal 20 Agustus 2019, untuk dapat bepergian ke luar negeri, perempuan harus mendapatkan izin dari wali dan didampingi oleh laki-laki yang merupakan mahramnya. Sistem mahram dan perwalian di Arab Saudi mengharuskan perempuan mendapatkan izin dalam melakukan berbagai aktivitas maupun membuat keputusan. Hal ini merupakan salah satu bentuk kekerasan simbolik yang berakar dari budaya masyarakat (Rohmah, 2019). Status perempuan sebagai subordinat menyebabkan terjadinya opresi terhadap hak-hak perempuan. Namun, di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Mohammad bin Salman, perempuan memiliki hak untuk mendapatkan paspor sendiri, bepergian ke luar negeri dan hidup mandiri tanpa izin dari wali laki laki (The Week, 2021). Selain itu, dikutip dari situs my.gov.sa, pemerintah Arab Saudi telah melakukan reformasi dalam meningkatkan hakhak perempuan dalam kaitannya untuk mewujudkan Visi Arab Saudi 2030 seperti kesetaraan gaji antara perempuan dan lakilaki, kesetaraan dalam mengenyam pendidikan, dan pelatihan dalam upaya mempersiapkan perempuan untuk meniti karier di berbagai bidang. Dalam adegan di atas, Bayan tidak hanya akan melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari wali, ia juga akan tinggal sendiri di Amerika selama tiga bulan tanpa mahram. Dengan dilonggarkannya peraturan mengenai mahram,

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

229

perempuan ditempatkan sebagai pembuat keputusan yang posisinya setara dengan laki-laki. Hal ini tentu berdampak sangat besar sebab perempuan akhirnya dapat membuat keputusan atas pilihannya sendiri tanpa campur tangan dari wali laki-laki. Dalam serial Takki, hal ini direpresentasikan dengan keputusan Bayan untuk mengejar mimpinya sebagai seorang aktris. Dengan adanya pembukaan kembali bioskop-bioskop di Arab Saudi, maka perempuan memiliki kesempatan untuk berkarya di bidang perfilman seperti yang dilakukan oleh Bayan. Serial Takki merupakan representasi dari masalah-masalah sosial yang terdapat dalam masyarakat Saudi. Masalah-masalah tersebut meliputi norma gender, keadaan masyarakat yang stagnan, dan kebebasan berekspresi bagi kaum muda. Penulis menyoroti salah satu masalah yang direpresentasikan dalam delapan adegan terkait dengan adanya norma gender di Arab Saudi. Adegan-adegan tersebut menggambarkan bahwa norma gender di Arab Saudi merupakan hal yang telah mengakar kuat dalam masyarakat sehingga keberadaannya dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Meskipun dipraktikkan secara massal, pada kenyataannya norma gender di Arab Saudi bersifat membatasi perempuan sebab norma gender menempatkan perempuan sebagai gender yang lebih lemah berdasarkan sifat-sifat yang dilekatkan kepada perempuan. Akibatnya, perempuan dipandang sebagai subordinat yang harus mematuhi lakilaki seumur hidupnya. Selain itu, keberadaan norma gender juga merugikan perempuan sebab pelanggaran terhadap norma-norma tersebut akan memunculkan stereotip negatif yang dilekatkan pada perempuan yang melanggarnya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, norma gender yang terdapat di Arab Saudi mulai mengalami pergeseran sejalan dengan kebijakan politik yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh banyaknya kritik yang diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah dalam berbagai bentuk, salah satunya melalui serial Takki.te Pergeseran tersebut berpengaruh terhadap 230

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

peningkatan hak-hak perempuan di Arab Saudi sehingga norma gender tidak lagi menjadi batasan bagi perempuan dalam berekspresi. Adanya pergeseran norma gender di Arab Saudi juga membebaskan perempuan dari subordinasi sebab pemerintah menjamin hak perempuan untuk membuat keputusan sendiri dalam hidupnya tanpa campur tangan laki-laki.

Kesimpulan Serial Takki merupakan sebuah kritik yang disampaikan dalam bentuk film kepada masyarakat maupun pemerintah Arab Saudi. Adeganadegan yang terdapat dalam serial merupakan representasi dari keadaan sosial masyarakat yang dipenuhi dengan aturan-aturan dan norma gender yang sulit untuk diubah. Aturan-aturan ini bersumber dari norma gender yang dijadikan sebagai ideologi dalam kehidupan bernegara. Ideologi gender yang diterapkan di Arab Saudi merupakan pengaruh dari fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh para ulama Wahabi tentang keberadaan perempuan sebagai warga negara dalam sebuah negara yang menerapkan hukum syariah. Dalam praktiknya, fatwa-fatwa yang telah ditetapkan bersifat merugikan perempuan sebab adanya pembatasan-pembatasan dalam berbagai aspek kehidupan perempuan yang erat kaitannya dengan dominasi laki-laki dalam masyarakat patriarki. Pada kenyataannya, fatwa-fatwa tentang perempuan yang ditetapkan oleh para ulama Wahabi merupakan dominasi laki-laki yang ditunjukkan dalam bentuk kendali laki-laki terhadap perempuan. Pada musim kesatu dan kedua, kritik ditujukan atas kondisi masyarakat yang belum mampu menerima perubahan sebagai bagian dari kemajuan. Dalam kedua musim tersebut, masyarakat di Arab Saudi terjebak dalam keadaan stagnan dengan norma gender yang mengikat selama beberapa dekade sehingga menyebabkan ide-ide baru atas perubahan yang melibatkan pergeseran norma gender dianggap sebagai bentuk ketidaksesuaian atas sistem yang sudah ada sejak lama. Selain itu, pada musim kesatu dan kedua serial ini juga menunjukkan bahwa PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

231

masyarakat terbagi menjadi dua kelompok: Kelompok orang tua yang menginginkan stabilitas dengan tetap menerapkan dan meneruskan sistem yang sudah ada dan kelompok muda yang menginginkan perubahan dan menemukan jati diri baru di era modern. Malik dan Bayan selaku dua tokoh utama dalam serial Takki berhasil merepresentasikan kesulitan kaum muda yang haus akan perubahan di tengah masyarakat yang stagnan. Bayan selaku tokoh utama merepresentasikan sulitnya menjadi seorang perempuan muda yang memiliki mimpi dan ambisi sebab dirinya dibatasi oleh aturan aturan dan norma gender yang telah mengakar dalam masyarakat. Sementara Malik merepresentasikan sulitnya mengubah perspektif masyarakat mengenai hal baru yang masih asing terkait dengan dunia perfilman yang digemarinya. Meskipun begitu, kedua tokoh utama tetap mengejar mimpi dan seiring berjalannya waktu berhasil mewujudkan mimpi mereka. Pergeseran norma gender merupakan salah satu faktor yang mendukung terjadinya perubahan-perubahan dalam musim ketiga. Hal ini erat kaitannya dengan realitas kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Mohammad bin Salman dalam membuat aturan-aturan baru yang mendukung peningkatan bagi hak-hak perempuan. Dalam musim ketiga, perempuan tidak lagi dianggap sebagai gender yang lebih lemah. Perempuan diberi hak untuk terlepas dari subordinasi laki-laki dan menentukan hidupnya sendiri. Serial ini menunjukkan bahwa masyarakat Arab Saudi yang dianggap konservatif mampu melakukan dan menerima perubahan mengenai norma gender dalam jangka waktu yang cukup singkat. Sutradara Mohammad Makki mengubah fokus utama pada musim ketiga menjadi perubahan yang terjadi dalam realitas sesungguhnya sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan perubahan-perubahan tersebut. Norma gender yang mengalami pergeseran dalam masyarakat juga tidak luput disoroti dalam musim ketiga. Meskipun begitu, serial ini tidak serta merta menghilangkan unsur kritik yang terdapat 232

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

di dalamnya sebab pada musim ketiga Mohammad Makki masih menampilkan adegan-adegan yang menunjukkan bahwa masyarakat Arab Saudi masih berpegangan pada sistem lama sehingga menimbulkan resistensi dalam menerima perubahan. Terlepas dari hal tersebut, Takki dapat dijadikan inspirasi bagi golongan muda di Arab Saudi agar tidak takut dalam berkarya dan mengejar mimpi meskipun terdapat banyak hambatan yang akan dialami.

Daftar Pustaka #EndMaleGuardianship: Women’s rights, s. m. (2019). Thorsen, Einar dan Chindu Sreedharan. New Media & Society, 5(21), 1121-1140. doi:10.1177/1461444818821376 Al-Lily, A. E. (2011). On line and under veil: Technology-facilitated communication and Saudi female experience within academia. Technology in Society, 1-2(33), 119-127. doi:https://doi. org/10.1016/j.techsoc.2011.03.005 Al-Rasheed, M. (2013). A Most Masculine State: Gender, Politics, and Religion in Saudi Arabia. New York: Cambridge University Press. Al-Twairesh, N. d. (2018). SUAR: Towards Building a Corpus for the Saudi Dialect. Procedia Computer Science(142), 72-82. doi:https:// doi.org/10.1016/j.procs.2018.10.462 Archer, J. d. (2002). Sex and Gender. New York: Cambridge University Press. Bicchieri, C. (2016). Norms in the Wild: How to Diagnose, Measure, and Change Social Norms. New York: Oxford University Press. Doumato, E. A. (1992). Gender, Monarchy, and National Identity in Saudi Arabia. British Journal of Middle Eastern Studies, 19(1), 3147. Fakih, M. (2016). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist Press. PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

233

Kray, L. J. (2017). The Implicit Gender Role Theories on Gender System Justification: Fixed Beliefs Strenghten Masculinity to Preserve the Status Quo. Journal of Personality and Psychology, 112(1), 98-115. doi: http://dx.doi.org/10.1037/pspp0000124 Liliweri, A. (2019). Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media. Mabon, S. (2012, Oktober 30). Kingdom in Crisis? The Arab Spring and Instability in Saudi Arabia. Contemporary Security Policy, 530-553. doi:10.1080/13523260.2012.727683 Mulhem, H. d. (2020). Islamic Knowledge or Saudi Knowledge? Female Religious Students and the Problem of Cultural Norms in a Changing Arabian Society. Religious Education, 115(5), 522-535. Dipetik Februari 10, 2022, dari https://remote lib.ui.ac.id:2216/ doi/full/10.1080/00344087.2019.1677987 North, W. (1990). Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Peirce’s Theory of Signs, Revised. (2010, November 15). Dipetik Maret 12, 2022, dari Stanford Encyclopedia of Philosophy: https://plato. stanford.edu/entries/peirce semiotics/#SigEleSig Rafiqah, A. Z. (2021). Representasi Feminisme dalam Film Qalb Al Adala Karya Walter Parkes dan William Finkelstein. Depok. Rohmah, S. (2019). Merebut Tafsir Soal Suami Kekerasan Simbolik [Salindia PowerPoint]. Dipetik Juni 15, 2022, dari https://drive.google.com/file/d/19VukF3ewLQ3_ SGQjBSAISwrYnDjQG0_W/view Saleh, W. d. (2021). Saudi Women and Vision 2030: Bridging the Gap? Behavioral Sciences, 11(10), 132. doi:https://doi.org/10.3390/ Salim, S. R. (2019). Pesan Gender dalam Film Aladdin 2019. Saudi Arabia: Travel Restrictions on Saudi Women Lifted. (2019, Agustus 22). Diambil kembali dari Human Rights Watch: https:// 234

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

www.hrw.org/news/2019/08/22/saudi arabia-travel-restrictionssaudi-women-lifted Saudi Arabian Cultures. (2022, Juli 20). Diambil kembali dari Cultural Atlas: https://culturalatlas.sbs.com.au/saudi-arabian-culture/ saudi-arabian-culture-family Shesha, L. S. (2021). The Socio-Economic Potencial of the Emerging Film Industry in Saudi Arabia. European Journal of Sustainable Development, 10(1), 239-256. doi:10.14207/ejsd.2021.v10n1p239 Staff, T. W. (2021, Agustus 25). What women can and can’t do in Saudi Arabia. Dipetik Juni 12, 2022, dari The Week: https://www. theweek.co.uk/60339/things-women-cant-do in-saudi-arabia Tamayo, S. G. (2021, April 21). The spectacular surge of the Saudi female labor force. Dipetik Juni 12, 2022, dari Brookings: https:// www.brookings.edu/blog/future development/2021/04/21/thespectacular-surge-of-the-saudi-female-labor-force/ Udry, J. R. (1994, November). The Nature of Gender. Demography, 31, 561-573. Williams, S. W.-a. (2019). Commuting for women in Saudi Arabia: Metro to driving - Options to support women employment. Journal of Transport Geography(77), 126- 138. doi:https://doi. org/10.1016/j.trangeo.2019.05.002 Women Empowerment. (2022, Juni 15). Diambil kembali dari Saudi Arabia’s National Unified Portal for Government Services: https:// www.my.gov.sa/wps/portal/snp/mai

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

235

236

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

EPILOG

P

ermasalahan gender seakan tidak ada habisnya. Banyak isu muncul yang kemudian tertuju pada kesetaraan gender yang dialami antara laki-laki dan perempuan. Padahal, kesetaraan gender ini tidak serta merta tentang perempuan dan laki-laki saja. Kesetaraan gender sebenarnya juga terjadi pada kelompok-kelompok rentan atau kelompok minoritas. Penulis ingin mengajak pembaca semua agar dapat menangkap hikmah atau pesan yang disampaikan melalui buku ini sehingga mampu memberikan pembelajaran yang patut diambil. Tema-tema feminisme, posisi kekinian dalam problematika peradaban, serta isuisu gender dan feminisme kontemporer bahkan menjadikan kita bisa belajar dan merenung dalam pemikiran Islam. Salah satu pesan yang ingin penulis sampaikan adalah bahwa di dalam Islam, feminisme dipandang sebagai upaya untuk melakukan penyetaraan dan perlakukan yang adil terhadap kaum perempuan sebagai makhluk Allah SWT. Bahkan, sebagian cendekiawan muslim dan ulama berpendapat bahwa feminisme tidak menjadi masalah bagi Islam. Hal itu dikarenakan ia selaras dengan nilai-nilai Islam yaitu penghargaan terhadap perempuan sebagai humanbeing dan keadilan. Walaupun begitu, kita bisa melihat banyak hadis bersifat misoginis. Ada juga Kitab Kuning sebagai teks ilmu hukum Islam klasik abad pertengahan yang ditulis dalam bahasa Arab menempatkan perempuan dalam hierarki lebih rendah di bawah laki-laki. Hal ini menunjukkan superioritas laki-laki atas perempuan. Kelebihan laki237

laki dalam hal kemampuannya mencari harta dijadikan alasan atas sikap superior dan relasi yang tidak seimbang yaitu bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua. Atas ayat ini, para ulama klasik hampir seluruhnya menyetujui superioritas laki-laki sebagai pandangan Islam. Pada akhirnya, buku ini hanyalah sedikit bagian dari kumpulan tulisan tentang perempuan, feminisme, dan kesetaraan gender. Dari sini, diharapkan dapat melahirkan tulisan-tulisan baru tentang tema serupa yang digali lebih dalam lagi dan komprehensif.

238

BIODATA PENULIS

Siti Rohmah Soekarba Alamat : Duta Cimanggis Residence No 12, Jl Raya Pondok Duta Cimanggis Depok, 16451 Nomor telepon

: +62 852-1613-8829

Email

: [email protected]

Tempat, tanggal lahir : Cirebon, 9 Februari 1966 Golongan

: Lektor Kepala, IV/c

Pengajar di : Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Pendidikan -

S2 | 1999 | Pascasarjana Universitas Indonesia Filsafat 239

Tesis: “Dekonstruksi, Telaah atas Teks-teks menurut Mohammed Arkoun” (Nilai A-) Pembimbing: Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi dan Dr. Haryatmoko, S.J. -

S1 | 1992 | Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Negeri Jakarta Bahasa Perancis Skripsi: “Pengaruh Latihan-Latihan Dikte terhadap Kemahiran Menulis: Studi pada Mahasiswa Semester Kedua Program Studi Perancis FSUI” (Nilai A) Pembimbing: Drs. Usaha Perangin-angin

-

S1 |1989 | Fakultas Sastra Universitas Indonesia Sastra Arab Skripsi: “Tarekat Tijaniah di Desa Mertapadakulon, Cirebon (Nilai A) Pembimbing: Dra. Jessy Augusdin

Pendidikan Non-Degree -

VIETNAM NATIONAL UNIVERSITY, Hanoi, VIETNAM S0 | 1997-2000 | COLLEGE OF FOREIGN LANGUAGES, Bahasa dan Kebudayaan Vietnam tingkat Dasar, Menengah, dan Mahir SO 2001 FAKULTI Tutor: Dr. Chu Thi Thanh Tam dan Dr. Anh Le Canh

-

BAHASA DAN LINGUISTIK, UNIVERSITI MALAYA KUALA LUMPUR, MALAYSIA Bahasa dan Kebudayaan Vietnam: Bahasa Vietnam tingkat Mahir dan Metodologi Pengajaran Bahasa Vietnam sebagai Bahasa Asing Tutor: Dr. Phạm Thị Thanh

240

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

-

SO SUMMER COURSE 1999-2002 | KAIRO, MESIR Bahasa Arab Mesir melalui Karya Taufiq el-Hakim Tutor: Syekh Fauzi al-Muhamy

Kursus -

1989-1992 Kursus Bahasa Arab, Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Agama (LIPIA) di Jakarta

-

1990 (29 September - 14 Desember) Kursus Intensif Tasawuf AlQuran (Dimensi Spiritual dalam Islam). Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta

-

1991 (23 Februari 25 Mei) Kursus Tasawuf Al-Quran (Angkatan Kedua) Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta

-

Pengantar Studi Islam, Yayasan Wakaf

-

1991 Kursus Paramadina, Jakarta

-

Humanisme dalam Islam), Yayasan Wakaf Paramadina,

-

1991 (10.7 - 17.10.1991) Kursus Islam Kamil (Konsep Jakarta

-

1991 (16.10 - 15.2.1992) Kursus Sejarah (Sirah) Nabi, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta

-

1994-1995 Kursus TOEFL LBI UI Salemba

-

1999- 2002 (Juni-Agustus), Library works (Bahasa Ara Mesir) di Nederlands-Vlaams Instituut in Cairo, Mesir.

-

2003 Kursus TOEFL LBI UI Salemba

-

2007-2008 Kursus Bahasa Jerman Tingkat Dasar I dan II, LBI UI Depok

Kemampuan Bahasa Asing -

Bahasa inggris Tulis dan Lisan (sangat baik)

-

Bahasa ARAB Tulis dan Lisan (sangat baik)

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

241

-

Bahasa PERANCIS Tulis dan Lisan (sangat baik)

-

Bahasa VIETNAM Tulis dan Lisan (sangat baik)

Minat Riset -

Sejarah dan Kebudayaan

-

Filsafat

-

Islamic Studies

-

Semitic and Indoeuropean Studies

Pengalaman Mengajar Universitas Indonesia -

Kemahiran Bahasa Arab (1993-1997, 2001-2017)

-

Islamologi (1993-1997, 2001-sekarang)

-

Gerakan dan Pemikiran Islam (2013-sekarang)

-

Sejarah Peradaban dan Kebudayaan Turki (2014- sekarang)

-

Sejarah Turki Modern (2015- sekarang)

-

Dasar-Dasar Filsafat (2003-2006)

-

Hermeneutika (2005-2006)

-

Sejarah Pemikiran Modern (2005-2006)

-

Pengantar Filsafat dan Pemikiran Modern (2007 - sekarang)

-

Paradigma Feminisme (2010-2013 dan 2018)

Di Luar Universitas Indonesia -

Bahasa Arab di Sekolah Dinas Luar Negeri, Kemenlu RI (20142015)Adaâ

-

Bahasa Arab pada Diplomat Austria (2016)

-

Bahasa Arab pada WN Venezuela (2016)

242

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

-

Bahasa Indonesia pada Expatriat Austria (2017)

-

Bahasa Vietnam pada staf Kedutaan Amerika di Jakarta (2018)

Beasiswa -

Super Semar (1987-1989)

-

TMPD (1994-1996)

-

The Toyota Foundation (1997-2001)

Publikasi dan Seminar -

2019 “The Practice of Secularism in Religious Censorship in Turkish Film (1939-1990)” International Review on P1 Humanities Studies Vol. IV, No. 1 January 2019. http://irhs.ui.ac.id/index.php/ journal.

-

2018 “The Practice of Secularism in Religious Censorship in Turkish Film (1939-1990)”, INUSHARTS FIB UI, 6-8

-

August 2018. “Agama dan Hubungan Sosial: Studi tentang Tarekat Alawiyah di Ribath Nurul Hidayah Kabupaten Tegal Jawa Tengah”, INUSHARTS FIB UI, 6-8 August 2018. Proceeding “Etnisitas dan Gerakan Keagamaan di Turki : Studi Kasus Etnik Kurdi, Partai Pekerja Kurdistan (PKK), dan Gerakan Gülen’”, INUSHARTS FIB UI, 6-8 August

-

2018. “The Cultural Evolution of Local Islamic Values on the Muludan Tradition in Cirebon: A Memetics Perspective”. APRISH Hotel Luwansa, 13-15

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

243

-

August 2018 “The Determinant of Patriarchy in the Middle East: A Hope of 2030 Vision in A New Saudi Arabia”, ICSGS Depok, 25-

-

26 October 2018. “The Nation and State Awareness of Hadrami Arabs in Indonesia”, ICSPI, Sanur Bali 29-30 October 2018. -”Kontribusi Budaya dan Masyarakat Arab Hadhrami di Indonesia”. Diskusi Cangkir Putih Tema “Arab vs Cina, Mana yang Pribumi?”, Departemen Keilmuan dan Kajian Budaya BEM FIB UI 2018, Auditorium Gedung I FIB UI, Rabu 2 Mei

-

2018. -”The Idea of Pluralism in Indonesian Society: A Case Study of Cirebon City as a Cultural Melting Pot”. Journal of Strategic and Global Studies Vol 1 No. 1 January 2018, University of Indonesia. -”The Trace of Local Islamic Values on the Muludan Tradition in Cirebon (West Java): A Cultural Evolution Theory

-

Konferensi Internasional “Re-Learning To be Human for Global Times: A Dialogue between Islam and (Memetics)”. dan Peradaban, Universitas Culture, Fakultas Filsafat Paramadina, 3-4 Januari 2018.

-

”Stabilizing or Destabilizing? Reconsidering the Relevancy International of Turkey’s NATO Membership, The First Conference of Strategic and Global Studies (ICSGS) ”Strengthening Sustainable Development Goals Toward A

-

2017 World Peace Order”, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, 30 November 2017. -”Pluralism in Indonesian Society: A Case Study of Cirebon Conference on Culture, 3-5 October 2017, Royal Palm Golf &

244

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

City as a Cultural Melting Pot”, The 2nd Lahore International Country Club Lahore, Pakistan. -Prosiding. “The Struggle of Indonesian Female Sellers in Traditional Market: A Study in the Perspective of Area Studies”. Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand. ICEPS 2017. ISSN Vol. I. 2518 2498. 2-3 August 2017, pp. 513-520.

Prosiding -

“Perbandingan Filosofi, Nilai dan Pragmatis antara Lirik Tarling Cirebon-Indramayu Klasik dan Modem:

-

Sebuah Kajian Filsafat”. 1st International Conference on Education, Literature, and Arts (ICELA) Intercultural

-

Communication through Language, Literature, and Arts” 17-

-

18 Mei 2017, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. Proceedings ISSN: 2579-8847 hlm. 2239-2260.

-

Prosiding. “Apa yang Salah dengan Estetika Rakyat Jelata?

-

Refleksi Kritis terhadap Lirik-lirik Vulgar pada tarling

-

Dangdut Cirebon-Indramayu”. Konferensi Nasioanal XXVII.

-

Himpunan Dosen Etika se-Indonesia. “Etika dan Hak-hak Asasi Manusia. 20- 22 Juli 2017. Fakultas Filsafat

-

”Le Grand Voyage: Perjalanan Agung menuju Perjumpaan Voyage. Festival Timur Tengah IKABA FIB UI, Senin 14 dengan Sang Khalik” Pemutaran dan Bedah Film Le Grand April 2014.

-

2013 “Son of Babylon: Tragedi Kemanusiaan di Irak” Pemutaran dan Bedah Film Son of Babylon. Festival Timur Tengah IKABA FIB UI, Jumat 19 April 2013.

-

2012 Gagasan Demokrasi Multikultural Indonesia: Studi Kasuspada Masyarakat pada Pemikiran Abdurrahman Wahid”. Seminar

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

245

Internasional Multikultural dan Globalisasi FIB UI Kerjasama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya FIB UI dan Departemen Kewilayahan FIB UI, 12-13 Desember 2012. -

2011 Prosiding. “Tragedi Cinta dan Rumahtangga dalam Liriklirik Tarling dangdut Indramayu Tarling Dangdut. The 3rd International Conference and Summer School on Indonesian Studies (ICSSIS)’ theme “Diversity, Continuity, and Changes”, 11-19 July 2011. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, pp. 373-422.

-

2008 (11.1). A Discussion with Prof. Dr. Abu Zayd. “The Possibilities as well as the Difficulties of Developing a Multicultural, Pluralistic, Democratic and Open Version of Islam, Supporting Human Rights. Friday, 11 January 2008, Centre of Initiatives of Change in the Netherlands, Den Haag (The Netherlands).

-

2007 ”Religion and Society: A Dialogue Indonesia-United States of America.” Washington, D.C., Pennsylvania, Indiana, and California, USA, April 8-April 24, 2007. Sponsored by Legacy International-USA & Center for Civic Education- Indonesia. Supported by the Bureau of Educational & Cultural Affairs of the United States Department of State.

-

2006 ”Pengaruh Latihan-latihan Imla dalam Meningkatkan Berbahasa Arab Tulis”, dalam Jurnal Kemampuan Kebudayaan Arab ARABIA Vol.8 No. 16, Okt 2005-Maret 2006, pp. 22-36. ISSN 14109-718X “Critics on Arab Thought: Deconstruction Method of Mohammed Arkoun”, in Journal of Humanities WACANA, Vol. 8, number 1, April 2006, pp. 78-95. ISSN 1411-2272. “Filsafat Iluminasi Suhrawardi: Teori Kehadiran sebagai Iluminasi”, Jurnal Kebudayaan Arab ARABIA, Vol.9 No 17, April-

246

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

September 2006, pp. 68-73 ISSN 14109-718X “Sejarah Arab: Problem Modern dan Modernitas di Dunia Arab”, Jurnal Kebudayaan Arab ARABIA, Vol.9 No 18, Oktober 2006-April 2007, pp. 1-21 ISSN 14109-718X -

2005 “Sufisme dalam Lintasan Sejarah: Tawawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi”, dalam Jurnal Kebudayaan Arab ARABIA, Vol.7 number 15, April-September 2005, pp. 14-38. ISSN 14109-718X ”Dekonstruksi Pemikiran Arab: Refleksi atas Pemikiran Arkoun”, dalam Jurnal Kebudayaan, Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 2, No. 2, April 2005, pp 101-115. Departemen Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. ISSN 16935764.

-

2004 ”Dimensi Spiritual dalam Islam: Sufisme dalam Quran”, dalam Jurnal Kebudayaan Arab ARABIA, Vol.7 No. 14, Oct 2004-Maret 2005, pp. 1-21. ISSN 14109-718X

-

2003 (23-27.4), International Conference on Together we can make a world of difference, MRA-Initiatives of Change Australia, The Collaroy Centre, Sidney (Australia).

-

2001 dalam Jurnal Arabia, Vol. 4 No. 7, April-September 2001, pp. ”Refleksi atas Metode Dekonstruksi Mohamed Arkoun”, 29-47.

-

2000 -”Insan Kamil dan Pemikiran Mistik Al-Jilli”, dalam Jurnal Arabia, Vol. 2 No. 4, Oktober 1999-Maret 2000, pp. 32-42. -”Konsep-Konsep Teologi Muktazilah “Al-Ushul al- Khamsa”, dalam Jurnal Arabia, Vol. 3 No. 5, April- September 2000, pp. 5264.

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab

247

-”Pemikiran Arkoun tentang Islamologi Terapan”, dalam Jurnal Arabia, Vol. 23 No. 6, Oktober 2000-Maret 2001, pp. 31-42. -

1999 ”Mengenal Arkoun dan Karya-karyanya”, dalam Jurnal Arabia, Vol. 2 No. 3, April-September 1999, pp. 29-45.

-

1991 -(26.4), “Tarekat dan Tradisi Kesenian Debus”, Lembaran Syi’ar, Harian TERBIT, Jumat 26 April 1991. -(24.5), “Tarekat Syattariyah dan Perkembangannya di Cirebon”, Lembaran Syi’ar, Harian TERBIT, Jumat 17 Mei 1991.

Proyek/Hibah Penelitian -

2018 PITTA Hadrami: Studi Gerakan Sosial Agama di Tegal

Penghargaan -

Satyalancana Karya Satya XX Tahun Keppres RI No. 17/TK/ TAHUN 2014

-

Satyalancana Karya Satya 10 Tahun Keppres RI No. 018/TK/ TAHUN 2005

-

Dosen Terfavorit Program Studi Arab The Second BEM FIB UI Awards Pelangi Inspirasi tahun 2009

-

Dosen Perempuan Paling Menginspirasi Program Studi Arab BEM FIB UI Awards tahun 2010

248

PEREMPUAN, FEMINISME, DAN KESETARAAN GENDER Belajar Menjadi Feminis dari Indonesia dan Dunia Arab