Pengantar Filsafat Kebudayaan [1 ed.]

The book studies on philosophical thoughts by Indonesian philosophers on a phenomenon called 'kebudayaan'. �

423 55 2MB

Bahasa Pages 106 [107] Year 2021

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE

Polecaj historie

Pengantar Filsafat Kebudayaan [1 ed.]

Citation preview

Pengantar Filsafat Kebudayaan

Amin Khoirul Abidin

Mukadimah

A

lhamdulillah, penulis bersyukur buku ini selesai ditulis pada waktunya. Di sela-sela kesibukan penulis sebagai pendidik, penulis harus mencuri-curi waktu untuk menyelesaikan, dan akhirnya buku ini bisa ada di depan pembaca. Sekali lagi saya berucap alhamdulillah. Buku pengantar filsafat kebudayaan memang sudah banyak ditulis orang, akan tetapi masing-masing mereka memiliki pendekatan dan metode masingmasing yang bisa saja berbeda dan berlawanan satu sama lain. Buku saya ini adalah salah satu buku pengantar filsafat kebudayaan yang memiliki pendekatan yang berbeda dari buku-buku pengantar serupa yang telah terbit. Letak perbedaannya adalah pada definisinya. Kebanyakan buku pengantar filsafat kebudayaan menyamakan ‘Filsafat Kebudayaan’ dengan Philosophy of Culture. Dalam buku ini, penulis justru membedakan keduanya. ‘Filsafat Kebudayaan’ adalah sejenis filsafat yang mengkaji secara filosofis fenomena kebudayaan, sedangkan Philosophy of Culture adalah sejenis filsafat yang mengkaji secara filosofis fenomena yang disebut culture. Kebudayaan berasal dari bahasa Indonesia, sedangkan culture dari bahasa Inggris. Kedua kata tersebut belum tentu bermakna sama dan belum tentu berarti serupa, sebagaimana yang akan pembaca temui saat membaca dalam-dalam isi buku ini. Perbedaan kedua terletak pada obyek bahasan. Buku ini membahas pikiranpikiran filosofis mengenai kebudayaan yang diproduksi oleh filosof-filosof kebudayaan di tanah air saja. Filosof-filosof Barat atau Eropa dan Amerika yang memiliki pikiran-pikiran filosofis mengenai culture sengaja tidak kami masukkan dalam buku ini. Mengenai mereka, cukuplah pembaca merujuk pada buku-buku pengantar kebudayaan yang ditulis penulis-penulis lainnya. Itu dikarenakan buku ini mengantarkan pembaca ke kajian tentang Filsafat Kebudayaan, bukan Philosophy of Culture. Membahas Filsafat Kebudayaan di tanah air sungguh menarik bagi peneliti filsafat. Ternyata, dan ini masih jarang diketahui orang, kita memiliki lebih dari 10 filosof yang pernah memikirkan masalah kebudayaan, misalnya: Sutan Takdir Alisjahbana, Koentjaraningrat, Soedjatmoko, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, FX. Mudji Sutrisno, Hendar Putranto, Edi Sedyawati, Fuad Hassan, Tan Malaka, R. Soekmono, Ki Hajar Dewantara, Abdul Hadi WM, Jakob i

Sumardjo, Ferry Hidayat, Abdullah Wong, Hardiansyah Suteja, Abdul Hadi WM, dan masih banyak lagi. Juga, para penerjemah buku filsafat kebudayaan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, seperti Dick Hartoko, Arie Setyaningrum Pamungkas, dan lain-lain. Semua filosof dan penerjemah buku memiliki pemahaman dan pendekatan dalam mengkaji Filsafat Kebudayaan secara berbeda-beda, dan ini sungguh sangat mengasyikkan. Ini sekaligus menunjukkan betapa kebudayaan merupakan masalah penting, masalah serius, yang menjadi kepedulian mereka semua. Mengkaji semua pikiran filosofis mereka semua membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Untuk menghemat waktu, penulis terpaksa harus memilih dan memilah wakil-wakil yang bisa mewakili, terutama jika ada di antara semua filosof tersebut yang memiliki kesamaan ide atau keserupaan sudut pandang. Menurut analisa penulis, semua filosof tadi bisa dipecah ke dalam dua kategori mazhab, yakni ‘Mazhab Profan’ dan ‘Mazhab Sakral’. Kategorisasi yang penulis lakukan adalah kategorisasi yang teramat umum ( the most general categorization), yakni kategorisasi berdasarkan penyikapan semua filosof tadi terhadap religi atau agama. Filosof kebudayaan yang bertendensi menganggap agama sebagai poros utama (the axis) dikelompokkan dalam filosof ‘Mazhab Sakral’ (dari kata sacred, sacral, sacrum, sacrament, yang berasosiasi erat dengan agama), sedangkan filosof kebudayaan yang bertendensi menganggap agama sebagai salah satu aspek saja dari aspekaspek kebudayaan universal lainnya (cultural universals) dikelompokkan dalam filosof ‘Mazhab Profan’ (dari kata profane, profanus, prophanen, yang berarti menjauh dari agama). Kategorisasi ini belum final; masih bisa direvisi. Dengan berjalannya waktu dan adanya ketersediaan waktu, penulis akan merevisi buku pengantar filsafat kebudayaan ini secara kontinyu, insyaAllah. Akhirul kalam, selamat menikmati makanan akaliah ( food for thought) ini, pembaca! Semoga buku ini menjadi wasilah penulis mendapat berkah Ilahi. Ammin  Wassalam, Desa Sidayu, Mei 2021 AKA.

ii

Daftar Isi Mukadimah __________________________________________________ Daftar Isi ____________________________________________________ Bab Satu: Apa itu Filsafat Kebudayaan? __________________ Bab Dua: Mazhab Filsafat Kebudayaan ____________________ * Filsafat Kebudayaan “Mazhab Profan” __________________ Sutan Takdir Alisjahbana __________________________________ Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan”_______________________________________________ Konsep-Konsep Filosofis ___________________________________________________________ Ikhtisar Filsafat _____________________________________________________________________

Hal. i-ii iii 1 2-3 3 3-4 4-6 6-19 19-20

Koentjaraningrat ___________________________________________ 20

Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan”________________________________________________ 20-22 Konsep-Konsep Filosofis ___________________________________________________________ 22-40 Ikhtisar Filsafat _____________________________________________________________________ 40-41

Soedjatmoko ______________________________________________ 42

Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan”_________________________________________________ 42-43 Konsep-Konsep Filosofis ___________________________________________________________ 44-63 Ikhtisar Filsafat _____________________________________________________________________ 63

Penerjemah-Penerjemah Buku _____________________________ 63-64 Dick Hartoko ________________________________________________________________________ 64-68 Arie Setyaningrum Pamungkas _____________________________________________________ 68-71 Daftar Pustaka _______________________________________________________________________ 71-72

* Filsafat Kebudayaan “Mazhab Sakral” ___________________ 72-73 Ferry Hidayat _______________________________________________ 73 Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan”_________________________________________________ 74-80 Konsep-Konsep Filosofis ___________________________________________________________ 80-102 Ikhtisar Filsafat _____________________________________________________________________ 102-103

iii

BAB SATU Apa Itu Filsafat Kebudayaan? Secara semantik, Filsafat Kebudayaan adalah suatu frasa yang terdiri dari dua kata yakni filsafat dan kebudayaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata filsafat diartikan sebagai “pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya .”1 Sedangkan kata kebudayaan di sini sengaja tidak kami artikan, sebab di sinilah terletak problematikanya; kata kebudayaan di sini justru menjadi obyek kajian buku ini. Dengan demikian, Filsafat Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai pengetahuan dan kajian yang dihasilkan lewat proses penalaran mengenai hakikat kebudayaan, sebab kebudayaan, asal kebudayaan, dan hukum kebudayaan. Walaupun problematis ketika diartikan, kata kebudayaan adalah kata yang khas Indonesia. Kemungkinan besar, kata ini memiliki etimologi dari bahasa India, yakni buddhayah ( ). Dari bahasa India, kata ini lalu diadopsi oleh bahasa Jawa Kuno (Kawi), dan disesuaikan dengan ejaan Jawa, sehingga menjadi budaya. Kata budaya dari bahasa Jawa Kuno ini lalu diadopsi oleh para filosof-filosof kebudayaan (yang sering disebut budayawan), dan mereka menyebutnya kebudayaan atau pendeknya, budaya saja. Di tangan para pemikir-pemikir kebudayaan, kata kebudayaan dipahami secara berbeda-beda; sesuai dengan mazhab filsafat kebudayaan yang mereka anut. Filsafat Kebudayaan berbeda dengan suatu cabang dari Ilmu Filsafat yang berkembang di Dunia Barat, yakni Philosophy of Culture. Philosophy of Culture adalah “a branch of philosophy that examines the essence and meaning of culture ” (suatu cabang dari filsafat yang mengkaji hakikat dan makna dari culture).2 Kata culture dalam khazanah bahasa Inggris belum tentu memiliki kesamaan arti dengan kata kebudayaan dalam khazanah bahasa Indonesia.

1

2

Lema “filsafat”, dalam KBBI Offline versi 1.5.1 “Philosophy of Culture”, dalam https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Philosophy_of_culture&oldid=964716466

1

BAB DUA Mazhab Filsafat Kebudayaan Sebagaimana disinggung tadi, kata kebudayaan dipahami oleh filosof-filosof kebudayaan secara berbeda; sesuai dengan mazhab filsafat kebudayaan yang mereka anut. Sejauh ini, terdapat dua mazhab filsafat kebudayaan: 1. Filsafat Kebudayaan “Mazhab Profan” 2. Filsafat Kebudayaan “Mazhab Sakral Perbedaan paling fundamental antara kedua mazhab filsafat kebudayaan tersebut terletak pada dua hal: 1. Sumber inspirasi filosofis yang diadopsi masing-masing mazhab filsafat kebudayaan tersebut. “Mazhab Profan”, yang diwakili oleh filsuf-filsuf kebudayaan seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Koentjaraningrat, Soedjatmoko, dan Dick Hartoko, dan lain-lain mengambil inspirasi filosofis untuk menjelaskan makna dan hakikat kebudayaan dari sumber khazanah filosofis Barat/Eropa, sedangkan “Mazhab Sakral”, yang diwakili oleh Ferry Hidayat, Abdullah Wong, Hardiansyah Suteja, Abdul Hadi WM, dan lain-lain mengambil inspirasi filosofis untuk menjelaskan makna dan hakikat kebudayaan dari sumber khazanah negeri sendiri dan tradisi filosofis Timur, terutama India. 2. Perbedaan pemaknaan terminologis “kebudayaan” yang dipakai oleh masing-masing mazhab filsafat kebudayaan. “Mazhab Profan” menyamakan makna “kebudayaan” dengan makna“cultuur”, “culture”, “kultur”, dan “colere” dalam bahasa Eropa, sedangkan “Mazhab Sakral” menyamakan makna “kebudayaan” dengan makna “budi” dan “buddhi” dalam bahasa tradisional negeri sendiri dan bahasa Sansekerta (India). Perbedaan sumber inspirasi filosofis yang diadopsi masing-masing mazhab filsafat kebudayaan, beserta pemaknaan terminologis dari kata “kebudayaan” sebagai diterangkan di atas, amat berdampak dan berpengaruh pada penyikapan atas religi atau agama. “Mazhab Profan” memandang agama atau religi sebagai subsider (subsidiary) dari kebudayaan, sedangkan “Mazhab Sakral” memandang agama sebagai poros (axis) atau mata air jernih yang mengaliri seluruh air sucinya untuk membaptis atau membaiat kebudayaan. “Mazhab Profan” cenderung humanistis (artinya, mengunggul-unggulkan rasio dan nalar manusia di atas agama), sedangkan “Mazhab Sakral” cenderung theistis (artinya, mengunggulkan agama di atas rasio atau nalar manusia). “Mazhab Profan” cenderung meremehkan posisi agama dalam hidup manusia, 2

sementara “Mazhab Sakral” cenderung mengagungkan posisi agama dalam hidup manusia. A. FILSAFAT KEBUDAYAAN “MAZHAB PROFAN” Mazhab filsafat kebudayaan ini diwakili oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Koentjaraningrat, Soedjatmoko, dan penerjemah buku-buku mengenai kebudayaan dari bahasa Inggris, semisal Dick Hartoko, Arie Setyaningrum Pamungkas, dsb. Sebenarnya, filsuf-filsuf yang termasuk dalam mazhab filsafat kebudayaan ini cukup banyak, akan tetapi pembatasan halaman membuat penulis harus memilah dan memilih wakil yang terpenting dari mazhab ini saja; sementara filsuf-filsuf yang tidak tercakup dalam buku ini, kami persilahkan para pembaca untuk membaca karya-karya mereka dalam bibliografi di akhir pembahasan ini. 1. Sutan Takdir Alisjahbana Sutan Takdir Alisjahbana (kerap dipanggil dengan inisial “STA”) lahir di Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara pada 11 Februari 1908. Beliau meninggal di Jakarta pada 17 Juli 1994 dalam usia 86 tahun. Alisjahbana dikenal sebagai filsuf kebudayaan, sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia. Ia juga salah seorang pendiri Universitas Nasional (UNAS) Jakarta. Karya-karya filosofis beliau yang berkaitan dengan kebudayaan hampir tidak bisa dihitung. Beliau sungguh mengabdikan umurnya untuk merenungi kebudayaan dan menuliskannya di hampir semua karya-karya tulisnya. Yang paling masyhur adalah Indonesia in the Modern World, berbahasa Inggris (1961); Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966); Values as Integrating Forces in Personality, Society and Culture, berbahasa Inggris (1974); Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1975); kumpulan tulisan-tulisan polemis beliau yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja berjudul Polemik Kebudayaan: Pokok Pikiran St. Takdir Alisjahbana (1977); Sociocultural Creativity in the Converging and Restructuring Process of the Emerging World, berbahasa Inggris (1983); Antropologi Baru (1986); tulisan-tulisan beliau yang disunting oleh Ignaz Kleden et.al. berjudul Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana (1988); dan karangan-karangan lepas beliau yang tersebar di majalah, koran, jurnal, buku, baik di dalam negeri 3

maupun di luar negeri, yang jumlahnya tidak terhitung. Bahkan, komitmen dan dedikasi beliau dalam dunia filsafat kebudayaan makin nampak jelas saat beliau mendirikan satu yayasan yang bernama Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan di tahun 1946, yang bertujuan menyebarluaskan pemikiran filosofis beliau tentang kebudayaan dan mewujudkannya dalam realitas. 1.a. Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan” Sutan Takdir Alisjahbana memaknai kata “kebudayaan” dengan “culture”, “Geist”, dan “Kultur” dari bahasa Barat/Eropa dalam semua karya-karyanya dan karangan-karangannya yang disebut di atas. Misalnya, dalam karyanya yang berjudul Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1975), Alisjahbana menjelaskan makna kata “kebudayaan” yang dianutnya: Adalah pola kejiwaan yang di dalamnya terkandung dorongan-dorongan hidup yang dasar, inseting (instink), perasaan, dengan pikiran, kemauan dan fantasi yang kita namakan budi. Budi itu adalah dasar segala kehidupan kebudayaan manusia. Oleh karenanya berbedalah kelakuan manusia dan kelakuan hewan, kehidupan alam dengan kehidupan kebudayaan, sebab yang dinamakan kebudayaan itu tidaklah lain daripada penjelmaan budi manusia. Dilihat dari jurusan ini bahasa Indonesia tepat sekali memakai perkataan budi atau kebudayaan. Hal ini tidak terdapat dalam bahasa Inggris; di sana tidak ada perhubungan antara mind dengan culture, sehingga dilihat dari suatu jurusan, ilmu kebudayaan yang dalam bahasa Inggris sering disebut ilmu sosial, pada hakekatnya kacau. Dalam bahasa Jerman ada suatu kesadaran, bahwa pengertian Geist sama dengan mind atau budi itu, rapat berhubungan dengan pengertian Kultur, die Geisteswissenschaften disamakan dengan die Kulturwissenschaften.3

Di sini, Takdir memaknai “kebudayaan” sebagai penjelmaan atau manifestasi dari jiwa manusia dan totalitas kulturnya (“budi”), yang semakna dan searti dengan kata Jerman “Geist” dan “Kultur”. Kajian-kajian mengenai kebudayaan dipahami oleh Alisjahbana sebagai semakna dan searti dengan die Geisteswissenschaften atau die Kulturwissenschaften dalam tradisi Jerman. Pemaknaan Alisjahbana atas kata “kebudayaan” yang semakna dengan kata Jerman “Geist” dan “Kultur” sangat konsisten. Dalam tulisan berikutnya di tahun 1988, Alisjahbana kembali memaknai “kebudayaan” dengan “Geist” dan “Kultur” ini:

3

Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai, Jakarta: Yayasan Idayu, 1975, hal. 6

4

The appearance of man in the course of evolution has brought a great change in the total process of life on our planet. While the animal lives on the basis of its drives and instincts, in man through his upright position a change took place in the form and structure of his brain, which enabled the emergence of new capacities and potentialities in his psychological make-up which in the English language are called mind and spirit. While the animal lives in nature as a part of nature, man transcends his natural surrounding and creates new entities in which he lives his life, and which we call culture. In the German language the combination of mind and spirit is called Geist so that in the German language the Geisteswissenschaften run paralel with the Kulturwissenschaften. In the Indonesian language we have used for the concept of Geist, that is the combination of mind and spirit, the word budi which characterized man as the enlightened animal. It is thus especially in the Indonesian language that the relation between the psychological make-up of man and his culture is the most clearly expressed since from budi derives directly budidaya or kebudayaan which means the power or result of the budi. It is in the great process of change created by budi and budidaya that the concept of development…has its broadest basis… In order to have a clear idea of the concept of development, that is the change caused by human cultural behavior in socio-cultural life, we have to analyse the process of the human budi and culture during human history. The difference between the process of natural evolution in which animal lives its life and the new evolution of culture created by man, is that the animal from its birth is already a complete or finished being; it has already everything in its psychological make-up for the further continuation of its life… Compared to this the newborn human infant is in every aspect a helpless being but with a great potentiality to develop further and further into a personality and a member of a certain society, which is not predictable from the beginning…4

Dalam karangannya yang berbahasa Inggris ini, Takdir memaknai “budi” dalam kaitannya dengan “kebudayaan”. Kata “budi” dimaknai Takdir secara serupa dengan kata Jerman, “Geist”, yakni paduan antara “mind” dan “spirit” dalam bahasa Inggris. Dengan “budi”, manusia membedakan dirinya dari bangsa binatang. Jika binatang hidup sebagai bagian dari Alam, maka manusia mengatasi lingkungan alamiahnya dan menciptakan entitas-entitas baru di dalam Alam, yang disebut sebagai “culture”. Jika “budi” adalah “Geist” dan “Geist” adalah “Kultur”, maka “Kultur” (Jerman) atau “Culture” (Inggris) adalah sama dengan “kebudayaan” (Indonesia). Juga dalam karangannya yang lain, Alisjahbana secara konsisten memahami “kebudayaan” dengan makna bahasa Jerman “Geist” dan “Kultur”: In contrast to Geist, the English concept of mind has more cognitive character. It is in this sense that in the English language there is no direct relationship between the concept of mind and the totality of culture, which includes the product 4

Sutan Takdir Alisjahbana, "Socio-Cultural Development in Global and National Perspective and Its Impact", dalam Majalah Bulanan Ilmu dan Budaya, Tahun X, No. 10/Juli 1988, Jakarta: Universitas Nasional, 1988, hh. 721-722

5

of intuition, feeling and imagination as expressed in religious awe and the creation of the arts. It was this more comprehensive German concept of Geist which influenced me in the construction of my cultural philosophy. I have given to the concept of budi in the Indonesian language, which is related to the word Buddha, the Enlightened One, the meaning of Geist, since in the Indonesian language the word culture (budidaya and kebudayaan) is directly related to the concept of budi, from which it is derived. Indeed, in the Indonesian language the concept of budi represents the most characteristic of the human psyche in contrast to the drives and instincts in the animal psyche.5

Di sini, lagi-lagi Alisjahbana memaknai “budi” juga dalam kaitannya dengan “kebudayaan”. Kata “budi” dimaknai Alisjahbana secara serupa dengan kata Jerman “Geist”, dan kata “kebudayaan” dimaknainya dengan totalitas kultur manusia, yang mencakup produk-produk intuisi, rasa, dan imajinasi manusia. Penyamaan dan penyejajaran “kebudayaan” dengan kata-kata Barat/Eropa seperti “culture”, “Geist”, serta “Kultur” oleh Alisjahbana sungguh berdampak besar dan berpengaruh luas atas konsep-konsep filosofis kebudayaannya. 1.b. Konsep-Konsep Filosofis Adopsi “Hukum Retrogenese” Jan Romein Untuk menjelaskan evolusi kebudayaan, Alisjahbana mengutip dan mengadopsi “Hukum Retrogenese” yang dikemukakan oleh Jan Romein, seorang filsuf Belanda, dalam bukunya Het Onvoltooid Verleden. Alisjahbana menjelaskan: Sepanjang sejarah kelihatan kepada kita peroses turun naiknya kebudayaan. Tak ada kebudayaan yang tetap di puncak selama-lamanya. Mesir Kuno, Babilonia, Parsi, kerajaan Iskandar, Mongol India, Cina, dan lain-lain jatuh dan diganti oleh kebudayaan-kebudayaan bangsa yang muda, yang semula terkebelakang dan tiada bertenaga. Jan Romein dalam bukunya Het Onvoltooid Verleden berbicara tentang hukum retrogenese dalam sejarah, bahwa puncak sejarah yang berikutnya itu bukan lanjutan dari puncak yang sudah ada, tetapi adalah lompatan dari kebudayaan yang sebelumnya lebih rendah, tetapi dapat menimbulkan vitalitas, keluasan jiwa dan kesegaran tenaga cipta yang baru dan besar, sehingga mengalahkan kebudayaan yang mula-mula mengatasinya itu, tetapi lambat laun tiba dalam fase menurun oleh hukum-hukum pertumbuhan dari dalam diri kebudayaan itu sendiri.6

14

Sutan Takdir Alisjahbana, Speech On the Occasion of the Bestowal to him of the Commander’s Cross of the Order of Merit of the President of The Federal Republic of Germany (terjemahan dari bahasa Jerman), dalam Majalah Bulanan ‘’Ilmu dan Budaya’’, No. 2-3/Tahun XI/November-December 1988, Jakarta: Universitas Nasional, 1988, hal. 84 6 Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, suntingan Ignas Kleden et.al., Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988, hh. 56-57

6

Lebih lanjut, Alisjahbana menjelaskan hukum retrogenese Jan Romein: The ‘life’ of a culture that finds expression at any one time and place is no exception to the laws that govern all living things. A culture begins to bud, when there grows up within a society a conviction of the truth of a certain system of values. This stimulates the heart, the mind and the hand to devote themselves to the realization of these values in the life of the individual and of the community. In some places the heritage of the former culture may be partially remoulded and translated into new forms, and elsewhere entirely new conceptions may arise, but little by little one can discern a new culture with a new structure developing, based on the new value-system. But the ability of a culture to develop is not unlimited, for every culture contains within itself the dialectic of all growth. As the papaya seed, which sprouts in the fertile soil and joyfully thrusts up through it to greet the beneficent rays of the sun, must experience, the further it rises up out of the earth, an increasing remoteness from the soil, from which its roots suck up the sap, that makes it grow, so every culture that gives expression to a definite system of values, must eventually experience the limits to the possibilities of its further development. Sooner or later the time comes when its initiative decays, its creative power withers away, and the robust vigour of its youthful maturity turns into the decrepitude of old age. 7

Proses naik-turunnya kebudayaan adalah seperti hukum alam yang dialami seluruh makhluk hidup. Kebudayaan pertama-tama tumbuh seperti bunga yang baru membuka kuncupnya; kebudayaan lama sebagiannya akan tetap bertahan hidup bersamaan dengan kebudayaan baru yang mulai merekah. Tetapi lambat laun kebudayaan lama akan mati, digeser oleh kebudayaan baru yang tumbuh berakar dalam. Kebudayaan baru yang berjaya hidup itu kelak akan mati pula, disebabkan adanya dialektika internal di dalam dirinya sendiri. Kebudayaan baru tadi menjadi kebudayaan lama, yang akan digantikan lagi oleh kebudayaan baru yang terkemudian. Dan begitulah seterusnya hukum retrogenese dalam sejarah setiap kebudayaan di dunia. Analisa Historis atas Evolusi Kebudayaan Menurut STA, kebudayaan terus mengalami evolusi; kebudayaan terus mengalami perkembangan; kebudayaan terus mengalami kemajuan. Gerak perkembangan dan kemajuan kebudayaan terlihat jelas lewat pendekatan historis atau analisa kesejarahan. Dengan analisa kesejarahan, evolusi kebudayaan akan nampak jelas dan terang.

7

Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia in The Modern World, New Delhi: Prabhakar Padhye, 1961, hh. 3-4

7

Misalnya, evolusi kebudayaan Indonesia. Dengan analisa historis yang digunakan STA, nampaklah bahwa kebudayaan Indonesia berevolusi dalam empat “lapis kultural” (cultural layer), yakni: a. b. c. d.

Lapis kultur pribumi (indigenous Indonesian culture); Lapis kultur Hindu-India (Indian-Hindu culture); Lapis kultur Islam (Islamic culture); Lapis kultur Eropa modern (modern European culture).8

Lapis kultur pribumi adalah kebudayaan orang asli Indonesia yang mendiami kepulauan Indonesia; yakni kebudayaan yang masih bertahan di beberapa daerah di Indonesia dan masih sangat dekat dengan kebudayaan asli, seperti kebudayaan orang pedalaman hutan Kalimantan (Borneo). 9 Lapis kultur Hindu-India adalah lapis kultur yang berdiri di atas lapis kultur pribumi; berasal dari kebudayaan Hindu-India, seperti kebudayaan Hindu-India yang ada di pulau Bali.10 Lapis kultur Islam adalah lapis kultur yang berdiri di atas dua lapis kultur yang lebih dulu ada (kultur pribumi dan kultur Hindu-India). Lapis kultur Islam berasal dari kebudayaan Islam di Timur-Tengah, di Persia, dan di India. Lapis kultur Islam nampak dalam kebudayaan Islam di Jawa dan di Sumatra di abad 14 dan abad 15 Masehi.11 Lapis kultur Eropa modern ialah kebudayaan yang hadir di hadapan tiga lapis kultur yang lebih dulu ada (kultur pribumi, kultur Hindu-India, dan kultur Islam). Kebudayaan Eropa modern datang bersama-sama dengan datangnya orang Eropa ke Indonesia: orang Portugis dan Spanyol sejak abad 15 Masehi, dan orang Belanda sejak pertengahan abad 19 Masehi dan awal abad 20 Masehi. Kebudayaan ini menantang tiga lapis kultur yang telah lebih dulu ada di Indonesia dan meninggalkan pengaruh atas ketiga lapis kultur tadi.12 Analisa kesejarahan juga dapat dipakai untuk menganalisa evolusi kebudayaan di Indonesia yang berkenaan dengan etos ekonomi. Menurut analisa historis atas lapis-lapis kultur tadi, STA menyimpulkan bahwa etos ekonomi dalam kebudayaan Indonesia dapat dibagi dalam 4 (empat) kategori: a. Etos ekonomi dalam lapis kultur asli pribumi b. Etos ekonomi dalam lapis kultur Hindu-India c. Etos ekonomi dalam lapis kultur Islam

8

Ibid., hh. 9-11 Ibid., hh. 9-10 10 Ibid., hal. 10 11 Ibid. 12 Ibid., hh. 10-11 9

8

d. Etos ekonomi dalam lapis kultur Eropa modern.13 Etos ekonomi dalam lapis kultur asli pribumi bersifat bersahaja. Orang hidup sekedar untuk memenuhi keperluan hidup yang terbatas; mereka tidak punya tujuan menumpuk-numpuk kekayaan dan tidak punya tujuan menjalankan aktifitas ekonomis yang rasional dan efisien. “ Kalau keperluan hidup diperoleh, biasanya orang yang berhenti bekerja. Waktu bukanlah uang .”14 Etos ekonomi dalam lapis kultur Hindu-India bersifat hirarkis berdasarkan kasta-kasta. Kaum pengrajin, kaum petani dan kaum saudagar dari kasta tingkat pertama dan tingkat kedua memanglah amat produktif dan kreatif dalam ekonomi, tapi sebaliknya, kaum dari kasta ketiga (kasta waisya) dan kasta keempat (kasta sudra) dilarang aktif dan produktif dalam ekonomi. 15 Etos ekonomi dalam lapis kultur Islam sungguh berbeda dengan lapis-lapis kultur sebelumnya; dalam lapis kultur Islam, “masih kelihatan pengaruh etos ekonominya”. Merekalah kaum santri pedagang, santri saudagar, santri pemilik pabrik, santri pemilik perusahaan, santri milyuner-milyuner yang hidup di sekitar langgar masjid dan pondok pesantren. “ Merekalah sebenarnya kaum menengah atau kaum burjuis,…” ungkap STA, yang terinspirasi ajaran Al-Quran ‘…yang dengan berterus terang menganjurkan ummat Islam menjalankan keaktifan di dalam dunia,” dan terinspirasi Hadits Nabi, “…bahwa kemiskinan adalah hampir sama dengan kufur.”16 Etos ekonomi dalam lapis kultur Eropa modern lebih canggih dari etos ekonomi dalam lapis kultur Islam; etos ekonomi dalam lapis kultur Eropa modern memiliki “modernisasi dan rasionalisasi kegiatan ekonomi dan ilmu

dengan jalan mengambil unsur-unsur kemajuan dari dunia Eropah dan Amerika…”17 Adopsi “Teori Nilai” Eduard Spranger Kebudayaan suatu bangsa memiliki karakter yang khas. Bangsa Inggris mempunyai kebudayaan yang berkarakter khas; bangsa Arab pun memiliki kebudayaan yang berwatak khas. Begitu pula dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Menurut STA, perbedaan watak khas dan karakter khas dari kebudayaan suatu bangsa terletak pada nilai-nilai (values) paling dominan yang dijunjung tinggi 13

Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, suntingan Ignas Kleden et.al., Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988, hh. 76-109 14 Ibid., hal. 76 15 Ibid. 16 Ibid., hh. 79-104 17 Ibid., hh. 106-107

9

oleh bangsa tersebut. Untuk menjelaskan nilai-nilai dominan ini, STA mengutip dan mengadopsi teori nilai yang dijelaskan oleh Eduard Spranger, seorang filsuf Jerman, dalam bukunya Lebensformen.18 Menurut Eduard Spranger, terdapat 6 (enam) nilai paling dominan yang dijunjung oleh semua bangsa di dunia, yakni: a. b. c. d. e. f.

Nilai teoritis (theoretical value); Nilai ekonomis (economic value); Nilai relijius (religious value); Nilai estetik (aesthetic value); Nilai kekuasaan (power value); Nilai solidaritas (solidarity value).19

Alisjahbana menjelaskan apa yang dimaksud dengan enam nilai ( value) dominan tersebut: With the theoretical value man attempts to know objectively, i.e. to identify the things and occurences around him. With the economic value he is facing his surrounding in terms of utility, he attempts to use his surrounding in the most efficient way for the maintenance and the comfort of his life. The religious value brings him in relationship with the great mysterious all-embracing power around him. He realizes, that he is only a small, meaningless being, in every aspect dependent on the great mysterious universe, which expresses itself to him as tremendum and fascinans. The religious value is usually called holiness. In the aesthetic value the world around him expresses itself in the form of beauty. But a man is also facing his fellowman in his daily life. When his ambition is to have power over other people, he is aspiring at power. In the social relations between men the power value manifests itself as a vertical force, while the value of solidarity expresses itself as a horizontal force in the form of love, friendship, mutual help, etc.20

Di atas, Alisjahbana menjelaskan bahwa nilai teoritis adalah nilai dominan yang menekankan pentingnya pengetahuan obyektif untuk mengidentifikasi hal-hal dan kejadian-kejadian di sekitar tempat hidup manusia. Sedangkan nilai ekonomis adalah nilai dominan yang mengutamakan pemanfaatan lingkungan dan efisiensi pemanfaatannya untuk melestarikan dan menikmati hidup. Adapun nilai relijius adalah nilai dominan yang menekankan keterhubungan antara diri dan kekuatan misterius adi-alamiah yang menakjubkan, tapi 18

Sutan Takdir Alisjahbana, Speech On the Occasion of the Bestowal to him of the Commander’s Cross of the Order of Merit of the President of The Federal Republic of Germany (terjemahan dari bahasa Jerman), dalam Majalah Bulanan ‘’Ilmu dan Budaya’’, No. 2-3/Tahun XI/November-December 1988, Jakarta: Universitas Nasional, 1988, hal. 84 19 Sutan Takdir Alisjahbana, “Socio-cultural Development in Global and National Perspective and Its Impacts”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 10/Juli 1988, Universitas Nasional, hal. 722 20 Ibid., hh. 722-723

10

sekaligus menegangkan di alam yang juga penuh misteri. Nilai relijius adalah nilai dominan yang menekankan pentingnya eksistensi Sang Kudus (the holiness). Nilai estetik adalah nilai dominan yang menekankan pentingnya keindahan yang mengungkap-diri dalam dunia sekitar manusia. Nilai kekuasaan adalah nilai dominan yang menekankan keutamaan ambisi menguasai orang lain dalam kuasa vertikal (hirarkis antara atasan-bawahan). Terakhir, nilai solidaritas adalah nilai dominan yang menekankan keutamaan percintaan, keutamaan persahabatan, dan keutamaan gotong-royong (mutual help) dalam kuasa horisontal (sejajar antara kekasih, sahabat dan warganegara). Lebih lanjut, Alisjahbana menjelaskan: … There is relation between the logic and reality of the theoretical and the economic value; both are facing the surrounding nature and its laws and potentialities. While the theoretical value wants to know, to identify these laws and potentialities, the economic value wants to use the laws and potentialities for human survival and comfort. A combination of both values forms the progressive aspect of culture and it is in their cooperation that technology comes into being and continuously develops. There is also some similarity between the religious and the aesthetic value on evaluating process. Both face the surrounding world not as a reality but as an expression of another reality. For the religious value the surrounding world is the expression of holiness, while for the aesthetic value as the expression of beauty. There is also a similarity between the processes and logics of the religious and aesthetic values; both proceed on the basis of intuition, feeling and imagination. A culture dominated by these values or evaluating processes, I call the expressive culture,… A dominance of the power value in the progressive as well as in the expressive culture represents a totalitarian social structure, while a dominance of the solidarity value represents a democratic social structure.21

Disebabkan kesamaan-kesamaan antara nilai teoritis (sains), nilai ekonomi, dan nilai teknologi, maka Alisjahbana menyatukan ketiganya menjadi satu nilai saja. Juga, karena ada kesamaan antara nilai agama dan nilai seni, maka beliau pun menyatukannya jadi satu nilai saja. Adapun nilai kekuasaan dan nilai solidaritas, karena adanya kesamaan antara keduanya, Alisjahbana juga menyatukannya dalam satu nilai saja. Kesimpulannya, Alisjahbana memampatkan enam nilai menjadi ringkas ke dalam tiga nilai saja, yakni:

21

Sutan Takdir Alisjahbana, “Socio-cultural Development in Global and National Perspective and Its Impacts”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 10/Juli 1988, Universitas Nasional, hal. 723

11

a. Nilai seni dan nilai agama; b. Nilai ilmu (sains), teknologi, dan ekonomi c. Nilai kekuasaan (power) dan solidaritas.22 Watak-Watak kebudayaan Bangsa Ketiga nilai-nilai dominan tersebut menentukan corak, watak, atau karakter khas kebudayaan suatu bangsa. Terdapat tiga watak atau tiga karakter kebudayaan berdasarkan nilai-nilai paling dominan yang tadi disebutkan, yakni: a. Kebudayaan ekspresif (kebudayaan yang mementingkan ungkapan perasaan dan emosi); b. Kebudayaan progresif (kebudayaan yang mementingkan kemajuan); c. Kebudayaan organisasional (kebudayaan yang mengutamakan organisasi politik dan solidaritas sosial).23 Kebudayaan ekspresif adalah kebudayaan yang memiliki watak khas berdasarkan nilai dominan seni dan nilai dominan agama. Sedangkan kebudayaan progresif adalah kebudayaan yang memiliki watak khas berdasarkan nilai dominan ilmu (sains), teknologi, dan ekonomi. Adapun kebudayaan organisasional adalah kebudayaan yang memiliki watak khas berdasarkan nilai dominan kekuasaan (power) dan solidaritas (solidarity).24 Contohnya ialah kebudayaan bangsa Asia. Kebudayaan bangsa Asia memiliki watak khas kebudayaan ekspresif, karena nilai-nilai yang mendominasi bangsa Asia adalah nilai-nilai seni dan nilai-nilai agama. Contoh lainnya ialah kebudayaan bangsa Eropa. Kebudayaan bangsa Eropa memiliki watak khas kebudayaan progresif, karena nilai-nilai yang mendominasi bangsa Eropa adalah nilai-nilai sains, teknologi dan ekonomi. Dalam hal ini, Alisjahbana menjelaskan lebih lanjut: The most important epoch in human history until our time was the epoch of the fifth century B.C. as indicated by various historians and philosopher. It was epoch when in Asia and Europe great thinkers and religious builders lived and struggled: Confucius, Lao-tse, Mo-Ti laid the foundation of the great Chinese culture. In India emerged at the same time Mahavira, Buddha and the thinkers of the Upanishad. In the Middle East lived the Jewish prophets, from whose thought and work later the religion of Christianity and Islam derived.

22

Sutan Takdir Alisjahbana, Antropologi Baru, Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986, hal. 278 (catatan kaki). Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, suntingan Ignas Kleden et.al., Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988, hal. xxv 24 Ibid. 23

12

All these cultures were expressive cultures which means the life of the people was dominated by religion and the arts on the basis of belief, feeling, intuition and imagination. The 5th century was the great epoch of Asia, which until our time still influences the life and aspirations of millions of people, not only in Asia but in the whole world. But during the same epoch emerged on the European Continent the cultural of Greece which gradually left its prelogical and mythological character to become a more secular and rational culture which laid the foundation for the development of modern culture dominated by science, technology and economic progress; I call such a culture a progressive culture, which proceeds on the basis of independent secular rational thought in contrast to the Asiatic prelogical and mythological expressive cultures.25

Di atas, Alisjahbana menyebutkan bahwa kebudayaan bangsa Cina, kebudayaan bangsa India, dan kebudayaan bangsa Timur-Tengah termasuk dalam kategori kebudayaan ekspresif, di mana kehidupan bangsanya didominasi oleh agama dan seni sebagai basis kepercayaan, perasaan, intuisi, dan imajinasi. Sedangkan kebudayaan bangsa Eropa di era modern (yang mewarisi kebudayaan bangsa Grik yang telah ada sebelumnya) termasuk kebudayaan progresif, karena berbasis pada kemajuan kebudayaan modern yang didominasi sains, teknologi dan kemajuan ekonomis. Dalam tulisannya yang lain, Alisjahbana menyebut contoh-contoh lain dari bangsa yang memiliki kebudayaan progresif dan kebudayaan ekspresif: A culture dominated by the theoretical and the economic values, as for example the European and American cultures, I call a progressive cultures, in contrast to those cultures, dominated by the religious and aesthetic values which are based on intuition, feeling and imagination, which I call expressive cultures such as the Balinese culture or the culture of the Middle Ages in Europe. 26

Kebudayaan bangsa Eropa dan kebudayaan bangsa Amerika berwatak progresif karena mementingkan nilai dominan sains, teknologi dan kemajuan ekonomis, sementara kebudayaan suku Bali di Indonesia dan kebudayaan bangsa Eropa di era Abad Pertengahan (Abad ke-5 hingga Abad ke-15 Masehi) berwatak ekspresif karena menekankan pentingnya nilai agama dan seni. Perubahan Watak Kebudayaan Watak kebudayaan yang dimiliki suatu bangsa dapat berubah dari satu watak ke suatu watak kebudayaan yang lain. Suatu kebudayaan bangsa yang berwatak ekspresif, misalnya, dapat saja berubah menjadi kebudayaan bangsa 25

Sutan Takdir Alisjahbana, “Emerging Asia and The Future of Humanity”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 3/Desember 1987, Universitas Nasional, hal. 162 26 Sutan Takdir Alisjahbana, “S. Takdir Alisjahbana Receives the Commander’s Cross of the Order of Merit from the President of the Federal Republic of Germany”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 3/Desember 1987, Universitas Nasional, hal. 84

13

yang berwatak progresif. Kebudayaan bangsa Eropa di Abad Pertengahan (sejak abad 5 hingga 15 Masehi) yang berwatak ekspresif bisa berubah menjadi yang berwatak progresif di Abad Modern (sejak abad 15 hingga sekarang). Apakah faktor-faktor yang menyebabkan perubahan watak kebudayaan dari suatu watak khas ke suatu watak khas yang lain? Menurut Alisjahbana, perubahan watak kebudayaan suatu bangsa dari suatu watak khas ke watak khas yang lain disebabkan karena beberapa faktor: a. Faktor budi (kombinasi jiwa dan semangat) manusia. Manusia memiliki budi, sementara binatang tidak memilikinya. Budi inilah yang membedakan (differentia) manusia dari semua species dari genus binatang. Dengan eksistensi budi di dalam dirinya, manusia mampu mengubah alam berdasarkan keinginannya sendiri, idenya sendiri, dan berdasarkan pilihannya sendiri. Dengan eksistensi budi ini pula manusia mampu mengubah nilai-nilai dominannya sendiri (6 [enam] nilai dominan yang dijelaskan tadi di atas), yang pada gilirannya mendasari watak kebudayaan yang ia ciptakan. Jika manusia memutuskan untuk mengubah watak kebudayaannya sendiri, maka ia tidak memiliki kesulitan untuk mengubahnya disebabkan keberadaan budinya yang terus aktif mencipta dan yang aktif berubah itu.27 b. Faktor kolonialisme. Penjajahan suatu bangsa yang kuat atas bangsa yang lemah juga dapat menjadi faktor utama perubahan watak kebudayaan suatu bangsa. Misalnya, penjajahan bangsa Barat/Eropa yang memiliki watak kebudayaan progresif (yang mementingkan nilai sains, teknologi dan ekonomi) atas bangsa Asia, bangsa Afrika, bangsa Amerika asli dan bangsa Australia asli yang memiliki watak kebudayaan ekspresif (yang mementingkan nilai agama dan seni), memaksakan bangsa-bangsa yang dijajahnya untuk mengubah watak kebudayaan dari yang ekspresif ke yang progresif.28 c. Faktor rekayasa bahasa. Watak kebudayaan suatu bangsa dapat diubah secara perlahan dan secara tersembunyi melalui rekayasa kebahasaan (language engineering) atau perencanaan bahasa (language planning). Misalnya, bangsa Indonesia yang berwatak kebudayaan ekspresif memiliki bahasa, yakni bahasa Indonesia. Agar watak kebudayaan progresif bisa mengganti dan mengubah watak kebudayaan ekspresif yang selama ini dimiliki bangsa Indonesia, maka dalam bahasa Indonesia dimasukkanlah terma-terma, istilah-istilah, dan kosakata-kosakata dari bahasa-bahasa bangsa yang memiliki watak kebudayaan progresif, yakni bahasa-bahasa Eropa/Barat (bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa 27

Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai, Jakarta: Yayasan Idayu, 1975, hal. 6 28 Sutan Takdir Alisjahbana, “Emerging Asia and the Future of Humanity”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 3/Desember 1987, Universitas Nasional, hh. 163-164

14

Belanda, dll.) ke dalam jantung bahasa Indonesia, sehingga lambat laun kosakata-kosakata baru itu akan terus digunakan oleh lisan-lisan orang Indonesia dari semua kalangan masyarakat, terus diulang-ulang dalam novel dan cerpen-cerpen pujangganya, terus dihafal-hafal di kelas-kelas kuliah di perguruan tingginya, sehingga akhirnya benar-benar mengubah watak kebudayaan bangsa Indonesia dari yang ekspresif ke yang progresif.29 Superioritas Kebudayaan Progresif Menurut Alisjahbana, kebudayaan bangsa yang berwatak khas progresif lebih unggul dan lebih hebat daripada kebudayaan bangsa yang masih berwatak khas ekspresif disebabkan oleh beberapa alasan: a. Kebudayaan progresif “…is most characteristic of world progress today…”30 (adalah kebudayaan yang paling sesuai dengan karakter dunia modern dewasa ini), sedangkan kebudayaan ekspresif hanya cocok untuk dunia kuno tradisional. b. Kebudayaan progresif sangat menjunjung tinggi nilai sains, teknologi dan ekonomi, sehingga secara ilmiah ia berupaya keras untuk menghasilkan penemuan-penemuan (invention) baru, dan secara teknologis ia berupaya keras untuk menghasilkan teknologi canggih, dan secara ekonomis ia berjuang keras untuk jadi kaya dan berlimpahan harta; sedangkan kebudayaan ekspresif yang masih menjunjung tinggi nilai agama dan seni, masih mempercayai mitologi, dan logikanya masih logika yang belum matang (prelogical), sehingga sulit diharapkan untuk menguasai dan mengembangkan sains, sukar menghasilkan teknologi canggih, dan sulit menjadi kaya dan makmur.31 c. Sains, teknologi, dan ekonomi suatu bangsa hanya bisa berkembang di dalam bangsa yang berwatak kebudayaan khas progresif; sains, teknologi, dan ekonomi tidak bisa berkembang sepenuhnya di dalam bangsa yang berwatak kebudayaan khas ekspresif.32 Padahal, kemajuan di bidang sains-lah, di bidang teknologilah, dan kemajuan di bidang ekonomilah yang bisa “…mendudukkan bangsanya di sisi bangsa-bangsa lain di dunia ini…”33 Sains, teknologi, dan ekonomi adalah “… alat bangsa 29

Sutan Takdir Alisjahbana, “Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia”, dalam Amran Halim (ed.), Politik Bahasa Nasional 1, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1980, hal. 42 30 Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia in the Modern World, New Delhi: Prabhakar Padhye, 1961, hal. 10 31 Sutan Takdir Alisjahbana, “Emerging Asia and the Future of Humanity”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 3/Desember 1987, Universitas Nasional, hal. 162 32 Ibid., hal. 163 33 Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan sebagai Perjuangan: : Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, suntingan Ignas Kleden et.al., Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988, hal. 21

15

… dalam perlombaannya di dunia modern dengan bangsa-bangsa yang lain.”34 Sains, teknologi, dan ekonomi adalah syarat kemajuan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi “… Dalam usaha untuk menyejajarkan bangsa kita dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi sekarang ini …”35 agar bangsa itu tidak “…tertinggal di belakang dalam persaingan internasional …”36 d. Bangsa yang masih berwatak kebudayaan ekspresif memiliki “…inferiority of the knowledge … of the laws and potentialities of our surrounding nature…”37 (keterbelakangan dalam hal pengetahuan mengenai hukum-

hukum alam dan mengenai potensi-potensi alam sekitar). Sebaliknya, bangsa yang berwatak kebudayaan progresif “… By his knowledge of the

laws and potentialities of nature he continuously expanded his command of nature which he utilized and exploited for his own well being, Through the progress of his expanding knowledge he became so powerful that Nietzsche called him Superman.”38 (Dengan pengetahuan mengenai hukum-hukum alam dan potensi-potensi alam, bangsa itu terus-menerus meluaskan penguasaannya atas alam yang digunakannya dan dieksploitasinya demi kesejahteraannya sendiri. Dengan perkembangan pengetahuannya yang kian luas, bangsa itu menjadi bangsa yang sangat berkuasa sehingga Nietzsche menyebutnya dengan bangsa Superman).

Sintesis Kebudayaan Progresif-Ekspresif Akan tetapi, bangsa yang memiliki watak kebudayaan khas progresif, dalam pandangan Alisjahbana, pada akhirnya mengalami krisis dan problema. Problematika yang dihadapi oleh bangsa-bangsa yang berbudaya dengan watak khas progresif ialah sebagai berikut: a. Negara-negara maju yang berwatak kebudayaan progresif saling berlomba-lomba dalam “…perlombaan kekuasaan dan martabat, yang

menjelma dalam perlombaan persenjataan… perlombaan menciptakan bom nuklir yang dapat menghancurkan bumi kita berpuluh kali …”39

b. Di bidang ekonomi muncullah persaingan, pertentangan dan kekacauan merajalela dalam perhubungan antara negara-negara maju yang 34

Sutan Takdir Alisjahbana, “Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia”, dalam Amran Halim (ed.), Politik Bahasa Nasional 1, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1980, hal. 45 35 Sutan Takdir Alisjahbana, “Didikan Barat dan Didikan Pesantren, Menuju ke Masyarakat yang Dinamis”, dalam Achdiat K. Mihardja (ed.), Polemik Kebudayaan: Pokok Pikiran St. Takdir Alisjahbana”, Jakarta: Balai Pustaka, 1977, hal. 44 36 Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan sebagai Perjuangan: : Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, suntingan Ignas Kleden et.al., Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988, hal. xi 37 Sutan Takdir Alisjahbana, “Emerging Asia and the Future of Humanity”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 3/Desember 1987, Universitas Nasional, hh. 163-164 38 Ibid., hal. 163 39 Sutan Takdir Alisjahbana, Kebudayaan sebagai Perjuangan: : Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, suntingan Ignas Kleden et.al., Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1988, hal. 50

16

berwatak kebudayaan progresif. “… Dimana-mana kelihatan perlombaan

c.

d. e.

f.

memajukan hasil masing-masing dengan perkembangan industri, pertanian, pertambangan dan usaha-usaha ekonomi yang lain, dan perebutan pasar dunia… perlombaan bebas di pasar dunia… ”40 “…berdirilah perlombaan yang sengit antara ahli ilmu, ahli teknologi dan ahli ekonomi di tiap-tiap negara…” yang berwatak kebudayaan progresif. “…kemajuan ilmu dan teknologi itu hanya akan membuat perselisihan dan permusuhan antara golongan-golongan manusia bertambah berbahaya dalam keadaan perlombaan persenjataan… perusakan alam yang disebabkan oleh kemajuan ilmu, teknologi, kecerobohan dan keserakahan manusia…”41 “Sekularisasi yang dibawa oleh kebudayaan industri telah mengakibatkan kehidupan umum menjadi semakin dangkal, materialistis dan hedonistis.”42 “Pada tingkat sosial krisis ini ditandai oleh melemahnya nilai solidaritas hampir pada segala lapisan. Pada unit sosial yang paling mendasar yaitu keluarga, hal itu kelihatan dalam berubahnya hubungan antara suami isteri, yang dipengaruhi oleh perubahan pandangan mengenai hubungan seksual yang diakibatkan oleh penemuan-penemuan baru dalam ilmu-ilmu biologi dan psikologi.”43 “In its secularity and rationality progressive culture which its tremendous development of science, technology, and economic affluence cannot guarantee peace, equilibrium and happiness to human social groups as well as individuals because of its unsatiable drive for expansion. Our sciences, our power and our material affluence are not able to provide ultimate meaning and purpose to our terrestrial life”44 (Dalam kondisi

sekulernya dan kondisi kerasionalannya, kebudayaan progresif berikut kemajuan sains, teknologi dan berlimangnya harta yang diakibatkannya tidaklah menjamin perdamaian, kesetaraan, dan kebahagiaan bagi kelompok sosial manusia dan bagi individu orang per orang disebabkan oleh nafsunya yang meluap-luap untuk memperluas kekuasaan. Sains, teknologi dan gelimang materi dalam kebudayaan progresif tidak mampu memberi makna ultimat dan tujuan ultimat dalam hidup manusia di dunia ini).

40

Ibid., hal. 50-51 Ibid., hal. 51-52 42 Ibid., hal. xiv 43 Ibid., hal. xv 44 Sutan Takdir Alisjahbana, “Emerging Asia and the Future of Humanity”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 3/Desember 1987, Universitas Nasional, hh. 167 41

17

Untuk mengatasi problem tersebut, harus dilakukan asimilasi kebudayaan atau sintesis kebudayaan. Sintesis antara kebudayaan khas progresif yang menekankan nilai sains, teknologi dan ekonomi dengan kebudayaan khas ekspresif yang menekankan nilai agama dan seni. Dalam ungkapannya sendiri, Alisjahbana menjelaskan: …masyarakat dan kebudayaan modern itu mengalami krisis justru karena sifatsifat kemodernannya yang dikuasai rasio, individualisme, dan keduniaan. Kedudukan rasio yang terlampau kuat dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan telah mengancam membuat masyarakat dan kebudayaan modern menjadi kering, kaku dan kasar; individualisme membuat perhubungan sesama manusia kehilangan kemesraan, kerukunan dan tolong-menolong, dan menjadi terpecah-pecah dan penuh kesepian pribadi. Kehidupan dan cita-cita yang berlebih-lebihan akan harta dan nilai keduniaan membuat suasana masyarakat dingin berhitung, malahan menimbulkan persaingan yang sering melampaui batas kemanusiaan. Dalam krisis ini, yang makin lama makin meluas, terutama angkatan muda di seluruh dunia mulai mencari nilai-nilai modern. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia yang lama, seperti yang masih banyak dijelmakan oleh bahasa-bahasa daerah dalam rumusan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan, dapat memberi sumbangan…45

Dalam kutipan di atas, STA mengusulkan pengadopsian kembali ( re-adoption) buah-buah kebudayaan ekspresif untuk mengatasi krisis dan problema yang dihadapi oleh kebudayaan progresif. Rumusan nilai-nilai spiritual dan rumusan nilai-nilai moral yang dimiliki oleh kebudayaan ekspresif dapat menyumbangkan solusi mengatasi krisis kemanusiaan yang dijangkiti kebudayaan progresif. Dalam tulisannya yang lain, STA menjelaskan pentingnya asimilasi kebudayaan dan sintesis kebudayaan antara kebudayaan ekspresif dan kebudayaan progresif untuk mengatasi krisis dan problematika yang dihadapi negaranegara yang berwatak kebudayaan progresif: But in the face of the tremendously devastating modern weapons, product of the still fast progressing science and technology of our time, there is of course also the other possibility that the human race on this planet earth through the shortsightedness and narrowness of its mind and spirit, or Geist or Budi will beg down in its present insoluble, chaotic rivalries, conflicts, purposeless engine wars and commit suicide in a nuclear war. Then the human race will disappear from life on earth like formerly the mastodon and other extinct animal of prehistorical time. The evolution of human culture which started with the appearance of man on earth comes then to an end. In the favorable and positive case, a further development of human mind-spiritual life and its cultural realization will take place. A new society and culture of the whole of humanity is then emerging, greater than any in the past…it is very likely that the great synthesizing and creative task of building up a new global society and culture of the whole of humanity will take place in Southeast Asia…which in the course of 45

Sutan Takdir Alisjahbana, ‘Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia”, dalam Amran Halim, Politik Bahasa Nasional 1: Kumpulan Kertas Kerja Praseminar, Jakarta: Balai Pustaka, 1980, hal. 44

18

the history of the last 2,000 years has given evidence of its open-mindedness and assimilative power by accepting in its total cultural make-up not only the elements and traits of the great Chinese, Indian and Middle Age cultural tradition, but which with its native creativity has also been able to create out of this elements and traits great cultural monuments of lasting religious and aesthetic greatness…46

STA menyontohkan keberhasilan bangsa-bangsa Asia Tenggara dalam mengasimilasi dan menyintesiskan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda yang mendatangi dan mempengaruhinya. Bangsa-bangsa Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand, Laos, Myanmar, Vietnam, dsb. berhasil mengasimilasi dan menyintesiskan kebudayaan Cina, kebudayaan India, dan kebudayaan Islam-Persia, dan kebudayaan Islam-Arab yang datang dari luar, dan mengintegrasikannya, meraciknya kembali, dan mengekspresikannya dengan ekspresi estetik dan ekspresi relijius yang berbeda dari aslinya ke dalam manifestasi kebudayaan nasional mereka. Jika semua bangsa-bangsa yang berwatak khas progresif (seperti di Perancis, Inggris, Amerika, Denmark, Norwegia, dsb.) berhasil mengintegrasikan unsurunsur dari kebudayaan ekspresif ke dalam kebudayaannya, seperti halnya bangsa-bangsa Asia Tenggara tadi, maka niscaya krisis kemanusiaan yang dialami bangsa-bangsa berwatak progresif tersebut akan mampu teratasi.47 Ikhtisar Filsafat Lantaran “kebudayaan” semakna dan searti dengan “Geist”, “culture”, dan “Kultur ” dalam tradisi filosofis Eropa/Barat, maka implikasi-implikasinya adalah sebagai berikut: a. Kebudayaan adalah ciptaan khas manusia; binatang tidak bisa menciptakan kebudayaan. b. Kebudayaan lahir dari budi manusia; kebudayaan lahir dari insting, perasaan, pikiran, kemauan, dan fantasi manusia. Binatang hanya memiliki insting dan perasaan saja, dan karenanya, binatang tidak bisa melahirkan kebudayaan. c. Kebudayaan diciptakan manusia sebagai akibat dari transendensi (pengatasan) manusia atas alam, sementara binatang tidak bisa mengatasi alam; binatang hidup di alam sebagai bagian dari alam, sehingga binatang tidak bisa menciptakan kebudayaan.

46

Sutan Takdir Alisjahbana, “Socio-cultural Development in Global and National Perspective and Its Impacts”, dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 10/Juli 1988, Universitas Nasional, hh. 730-731 47 Sutan Takdir Alisjahbana, “Bumantara Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan”, dalam dalam Majalah Bulanan ILMU DAN BUDAYA, Tahun X, No. 4/Januari 1988, Universitas Nasional, hal. 264

19

d. Budi manusia adalah alat manusia untuk menciptakan proses perubahan terbesar dari alam atau alat untuk menciptakan kebudayaan. Dengan budinya, manusia menciptakan evolusi baru, yakni evolusi kebudayaan. e. Evolusi kebudayaan berarti kebudayaan kian berkembang dari satu kondisi ke kondisi lain yang berubah dan berbeda dari kondisi sebelumnya. Evolusi kebudayaan adalah perubahan yang disebabkan oleh perilaku kebudayaan manusia dalam hidup sosio-kulturalnya; evolusi kebudayaan bersifat niscaya, karena manusia memiliki budi, dan budinya menghasilkan kebudayaan.

2. Koentjaraningrat Koentjaraningrat (biasa dipanggil “Pak Koen” atau ‘Mas Koen”) lahir di Yogyakarta, Jawa Tengah, pada 15 Juni 1923. Beliau meninggal di Jakarta pada 23 Maret 1999 dalam usia 76 tahun. Pak Koen dikenal sebagai begawan ilmu antropologi, penari, pelukis, dan filsuf kebudayaan. Beliau dikenang sebagai Guru Besar Antropologi di Universitas Indonesia. Karya-karya filosofis beliau yang berkaitan dengan kebudayaan terjalin berkelindan dalam karya-karya beliau di bidang Ilmu Antropologi. Oleh sebab itu, peneliti filsafat kebudayaan yang hendak meneliti unsur-unsur filsafat kebudayaan di dalam karya-karyanya harus berhati-hati memilah dan memilih, sebab filsafat kebudayaan yang dianut Pak Koen ada bersandingan dengan dan bersamaan dengan pandangan-pandangan antropologisnya. Karya-karya beliau yang paling terkenal, di antara lain, adalah: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1970); Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974); Pengantar Ilmu Antropologi (1980); Sejarah Teori Antropologi Jilid I (1982); Cultural Value Orientation and Development in Indonesia (1984), berbahasa Inggris; Ritus Peralihan di Indonesia (1985); Sejarah Teori Antropologi Jilid II (1990); Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk (1994); dan berpuluh-puluh karangan lepas yang diterbitkan di jurnal-jurnal dan majalah-majalah di dalam negeri maupun di luar negeri. 2.a. Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan” Pak Koen memaknai kata “kebudayaan” dengan “colere” (bahasa Latin) dan “culture” (bahasa Inggris) dalam semua karya-karyanya dan karangankarangannya yang disebut di atas. 20

Misalnya, dalam karyanya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Pak Koen menjelaskan makna kata “kebudayaan” yang dianutnya: Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, ke-budaya-an itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”… Kalau diingat bahwa sebagai konsep, kebudayaan menurut hemat saya antara lain berarti: keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu, maka istilah “kebudayaan” memang suatu istilah yang amat cocok. Adapun istilah Inggerisnya berasal dari kata Latin colere, yang berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture, sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merobah alam.48

Berdasarkan keterangan di atas, Pak Koen memahami “kebudayaan” sebagai: a. Sinonim dari kata Latin “colere” yang berarti “mengolah”, yakni mengolah tanah atau bertani b. Berkaitan erat dengan arti kata Inggris “ culture”, yakni “segala daya dan usaha manusia untuk merobah alam” c. Berasal dari kata Sanskerta “buddhayah”, yang merupakan bentuk jamak (plural form) dari kata Sanskerta “buddhi”, yang berarti “akal” d. Semua produk akal manusia yang berupa gagasan e. Semua karya manusia yang berasal dari akalnya Di tempat lain, Pak Koen menjelaskan arti kata “kebudayaan” yang dianutnya: Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “kekal”. Kata asing culture yang berasal dari kata Latin colere (yaitu “mengolah”, mengerjakan”, dan terutama berhubungan dengan pengolahan tanah atau bertani), memiliki makna yang sama dengan “kebudayaan”, yang kemudian berkembang menjadi “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam”.49

Berdasarkan penjelasan di atas, Pak Koen memahami “kebudayaan” sebagai: a. Berasal dari kata Sanskerta “buddhayah”, yang merupakan bentuk jamak (plural form) dari kata buddhi, yang berarti “akal” atau “kekal” b. Sinonim dari kata Inggris “culture”, yang berasal dari kata Latin “colere”, yang berarti “mengolah” atau “mengerjakan” dan berkaitan erat dengan pengolahan tanah oleh manusia atau pertanian oleh manusia c. Segala daya dan upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam

48 49

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, cetakan ke-8, Jakarta: Gramedia, 1981, hal. 19 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, cetakan ke-3, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hh. 73-74

21

Penyamaan dan penyejajaran “kebudayaan” dengan kata-kata Latin dan Inggris seperti “culture” dan “colere” oleh Pak Koen sungguh berdampak besar dan berpengaruh luas atas konsep-konsep filosofis kebudayaannya.

2.b. Konsep-Konsep Filosofis Instrumen Kebudayaan Ada dua hal yang mutlak dimiliki untuk memungkinkan seorang manusia mempunyai kebudayaan, yakni: a. Akal b. Bahasa Dengan penguasaannya yang baik mengenai Ilmu Paleoantropologi, Pak Koen menerangkan 2 (dua) instrumen kebudayaan ini: Dengan kemajuan-kemajuan di bidang paleoantropologi dan geologi, konsepsi mengenai missing link itu telah berubah. Makhluk yang semula dianggap sebagai perantara yang menghubungkan kera dan manusia itu kini diperkirakan sebagai “makhluk induk” (precursor) adalah makhluk yang ada sebelum terjadinya percabangan antara kera-kera besar (Pongid) dan manusia… … makhluk induk.. dianggap sebagai makhluk yang menurunkan manusia dan jenis-jenis kera besar, seperti orangutan, gorila, dan simpanse, … ditemukan fosil rahang bawahnya di Saint-Gaudens (Perancis Selatan) pertengahan abad yang lalu, yang diberi nama Dryopithecus… … Dalam tahun 1898, seorang dokter Belanda, Eugene Du Bois menemukan tulang-belulang berupa tengkorak atas, rahang bawah, dan sebuah tulang paha di … lembah Sungai Bengawan Solo, dekat desa Kedung Brubus… Gigi-giginya pun mirip gigi manusia, dan bentuk tulang pahanya menandakan bahwa makhluk itu mampu berdiri tegak. Du Bois menamakan makhluk itu Pithecanthropus Erectus (=manusia kera yang berjalan tegak), dan menganggapnya sebagai nenek moyang manusia… Fosil-fosil Pithecanthropus dari Jawa… tidak pernah ditemukan bersama artefak, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa makhluk-makhluk tersebut belum berkebudayaan… Berdasarkan kenyataan bahwa fosil-fosil Pithecanthropus di Indonesia tidak pernah ditemukan bersama bekas alat-alat, dan volume otaknya yang terlampau kecil bagi suatu makhluk yang memiliki akal… dan terutama karena rongga mulutnya menunjukkan bahwa ia belum dapat menggunakan bahasa, … makhluk Pithecanthropus belum berkebudayaan… tanpa bahasa dan volume otak yang kecil yang tidak memungkinkan aktivitas akal… … makhluk itu belum dapat disebut memiliki kebudayaan, sehingga dengan demikian ia belum pula dapat sepenuhnya dianggap sebagai manusia…

22

… kedua unsur dalam kehidupan manusia, yaitu akal dan bahasa, adalah hal-hal yang mutlak dimiliki untuk memungkinkan seseorang mempunyai kebudayaan. Apabila suatu makhluk telah memiliki suatu kebudayaan, maka barulah ia secara utuh dapat disebut “manusia”.50

Adopsi “Universal Categories”Clyde Kluckhohn Semua kebudayaan di dunia—baik yang terdapat di masyarakat yang tinggal di desa nan kecil terpencil maupun di masyarakat yang hidup di kota besar yang lebih kompleks—memiliki unsur-unsur, dan unsur-unsurnya dapat dipecah-pecah dan dipilah-pilah ke dalam beberapa kategori. Karena unsurunsur kebudayaan ini dapat dipastikan bisa ditemukan dalam hampir semua masyarakat yang telah berkebudayaan di seluruh dunia, unsur-unsur kebudayaan ini disebut dengan “unsur-unsur kebudayaan universal” (universal categories of culture). Pak Koen mengutip gagasan tentang unsur-unsur universal kebudayaan dari Clyde Kluckhohn, seorang antropolog terkenal di Amerika Serikat. Menurut Clyde Kluckhohn, ada 7 (tujuh) universal categories of culture dari semua kebudayaan di dunia, yakni: a. b. c. d. e. f. g.

Bahasa; Sistem pengetahuan; Organisasi sosial; Sistem peralatan hidup dan teknologi; Sistem mata pencaharian hidup; Sistem religi; Sistem kesenian.51

Unsur kebudayaan universal yang pertama ialah bahasa. Setiap masyarakat yang berkebudayaan di dunia ini, baik yang di desa terpencil maupun yang di kota besar yang komplek, pasti memiliki bahasa atau lambang-lambang vokal. Dengan lambang-lambang vokal itu, manusia dapat mengkomunikasikan gagasan-gagasan serta konsep-konsep yang dibentuk akalnya kepada individu-individu lain dalam masyarakatnya.52 Unsur kebudayaan universal yang kedua ialah sistem pengetahuan. Pengalaman-pengalaman yang dialami manusia diabstraksikan dan disimpan dalam bentuk pengetahuan-pengetahuan. Semua pengetahuan-pengetahuan ini kemudian diteruskan dan diwariskan dan diajarkan dan ditransmisikan kepada generasi-generasi berikut dalam suatu masyarakat.53

50

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, cet-3, 2005, hh. 52-59 Ibid., hal. 80 52 Ibid., hal. 67 53 Ibid., hal. 68 51

23

Unsur kebudayaan universal yang ketiga ialah organisasi sosial. Setiap masyarakat yang berkebudayaan pasti memiliki organisasi sosial, semisal sistem kekerabatan, sistem komunitas, sistem pelapisan sosial, sistem kepemimpinan, sistem politik, dsb.54 Unsur kebudayaan universal yang keempat ialah sistem peralatan hidup dan teknologi. Setiap masyarakat yang berkebudayaan pasti memiliki sistem peralatan hidup dan teknologi. Misalnya, teknologi atau peralatan bercocok tanam, teknologi atau peralatan menangkap ikan, teknologi atau peralatan berburu, dsb.55 Unsur kebudayaan universal yang kelima adalah sistem mata pencaharian hidup. Setiap masyarakat yang berkebudayaan pasti mempunyai sistem mata pencaharian hidup, seperti perburuan, peladangan, perkebunan, pertanian, peternakan, perdagangan, industri, kerajinan, industri pertambangan, industri jasa, industri manufaktur, dsb.56 Unsur kebudayaan universal yang keenam adalah sistem religi. Setiap masyarakat yang berkebudayaan memiliki sistem religi, yakni sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, ruh-ruh halus, neraka, surga, berbagai bentuk upacara, benda-benda yang disucikan, dsb.57 Unsur kebudayaan universal yang terakhir ialah sistem kesenian. Setiap masyarakat yang berkebudayaan pasti memiliki sistem kesenian, yang berwujud gagasan, ciptaan, pikiran, dongeng, atau syair yang indah, tindakan interaksi berpola antara sesama seniman pencipta, penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, peminat hasil kesenian, benda-benda seni yang indah, candi, kain tenun yang indah, dsb. 58 Komponen-Komponen Religi Religi atau sistem religi dapat dipecah-pecah lagi ke dalam beberapa komponen, yaitu: a. b. c. d.

Emosi keagamaan; Sistem keyakinan; Sistem ritus dan upacara; Peralatan ritus dan upacara;

54

Ibid., hal. 83 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 13 56 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, cet-3, 2005, hal. 83 57 Ibid., hal. 81 58 Ibid. 55

24

e. Umat agama.59 Komponen pertama dari religi adalah emosi keagamaan. Emosi keagamaan adalah “…getaran yang menggerakkan jiwa manusia…” di saat “…jiwa manusia dimasuki cahaya Tuhan.” Getaran jiwa ini dirasakan manusia ketika ia “…dalam keadaan terhinggap oleh emosi keagamaan… ”60 Komponen kedua dari religi adalah sistem keyakinan atau sistem kepercayaan. Sistem keyakinan mengandung kepercayaan “… serta bayangan manusia

tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, tentang hakekat hidup dan maut, dan tentang wujud dari dewa-dewa dan mahluk-mahluk halus lainnya yang mendiami alam gaib.” 61

Komponen ketiga dari religi ialah sistem ritus dan upacara. Sistem ritus “…melaksanakan dan melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan wujud kelakuan (behavioral manifestation) dari religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka macam

upacara yang bersifat harian, musiman,… Masing-masing upacara terdiri dari kombinasi dari berbagai macam unsur upacara, seperti misalnya: berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa, intoxikasi, bertapa, bersamadi.”62

Komponen keempat dari religi adalah peralatan ritus atau peralatan upacara. “…peralatan dari upacara, seperti gedung pemujaan (masjid, gereja, pagoda,

stupa dsb.), patung-patung orang suci, patung-patung dewa, alat bunyibunyian untuk membuat musik suci (orgel, genderang, gong, seruling suci) dsb….”63 Komponen religi yang terakhir adalah umat agama atau kelompok keagamaan. Umat agama adalah “…kelompok-kelompok religieus, kesatuan-kesatuan

sosial atau umat yang menganut sistem kepercayaan dan melakukan sistem upacara-upacara yang merupakan komponen kedua dan ketiga terurai di atas… organisasi-organisasi religieus seperti organisasi penyiaran agama, organisasi sangha, organisasi gereja, partai politik yang berdasarkan ideologi religieus, gerakan religieus, orde-orde rahasia dsb.”64

59

Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, cetakan ke-2, hal. 43 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 138 61 Ibid., hal. 139 62 Ibid., hh. 139-140 63 Ibid., hal. 140 64 Ibid. 60

25

Dua Sisi Religi Religi memiliki dua sisi, yakni: a. Sisi antropologis; b. Sisi teologis Religi dalam sisi antropologis merupakan unsur kebudayaan universal, sedangkan religi dalam sisi teologis bukan merupakan unsur kebudayaan universal. Religi dalam sisi teologis bukan ranah para antropolog; tapi ranah para teolog. Religi dalam sisi antropologislah yang menjadi perhatian, kajian dan bahasan para antropolog, dan mereka menganggapnya sebagai unsur kebudayaan universal. “Di dalam buku tentang antropologi yang diuraikan adalah agama sebagai bagian dari kebudayaan .”65 Religi dalam sisi antropologis kerap disebut Pak Koen dengan “religi” atau “agama” secara bergantian (interchangably), sedangkan religi dalam sisi teologis kerap disebut Pak Koen dengan “agama” saja. Mengenai religi dalam sisi antropologis, Pak Koen menggunakan terma “religi” dan “agama” secara bergantian di banyak tempat, misalnya: a. “Berkat kegiatan para penyiar agama Kristen dari Rheinische Mission Gesellchaft (RMG), maka sebagian besar dari orang Nias kini beragama

Kristen Protestan. Agama lain yang juga mempunyai umat di sana adalah Islam, Katolik, Budha dan Pélébégu… Pélébégu adalah nama agama asli diberikan oleh pendatang yang berarti “penyembah ruh”.”66 b. “Walaupun orang Batak untuk sebagian besar sudah beragama Kristen atau Islam, namun banyak konsep-konsep yang asal dari agama aslinya masih hidup, terutama di antara penduduk daerah pedesaan .”67 c. “Walaupun secara resmi orang penduduk Pantai Utara beragama Kristen, namun tanggapan mengenai dunia gaib dan dunia akhirat masih banyak berasal dari religi mereka yang asli.”68 d. “…penduduk Maluku Tengah…Walaupun sudah beragama Nasrani dan Islam, sejak lama, namun sampai sekarangpun masih tampak adanya banyak sisa-sisa religi mereka yang asli, dari zaman sebelum mereka memeluk agama Nasrani dan Islam.”69

Di tempat lain, Pak Koen memahami religi dalam sisi antropologis dengan terma “religi” dan “agama” secara bergantian dalam kaitannya dengan pengakuan resmi negara: 65

Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, cet-15, 1995, hal. 323 Ibid., hal. 50 67 Ibid., hal. 113 68 Ibid., hal. 86 69 Ibid., hal. 186 66

26

… kepada saya pernah diajukan pertanyaan: “Apakah agama merupakan bagian dari kebudayaan?” Menurut hemat saya, religi memang merupakan bagian dari kebudayaan (Perhatikan bahwa saya sengaja menghindari istilah “agama”, dan memakai istilah yang lebih netral, “religi”. Ada pendirian yang mengatakan bahwa suatu sistem religi merupakan suatu agama, hanya bagi penganutnya. Sistem religi Islam merupakan agama hanya bagi anggota umat Islam. Sistem religi Hindu Darma merupakan suatu agama hanya bagi orang Bali. Ada juga pendirian lain, ialah bahwa agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh negara kita. Saya sendiri condong untuk mempergunakan istilah “agama” menurut pendirian kedua)… … Saya … membedakan akan adanya tiga konsep beserta istilahnya, ialah: agama yang bisa kita pakai untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi dalam negara kita, yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu-Dharma, BuddhaDharma dan; religi yang bisa kita pakai kalau kita bicara tentang sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, seperti Konghucu, Seventh Day Advent, Gereja Pinkster, Hindu, dan segala macam gerakan kebatinan, dsb.; kepercayaan yang mempunyai arti yang khas, ialah komponen kedua dalam tiap agama maupun religi.70

Sedangkan mengenai religi dalam sisi teologis, Pak Koen hanya menggunakan terma “agama” saja di dalam tulisannya. Pak Koen menulis: ”Perhatikan bahwa

maut merupakan “salah satu sebab” saja dari timbulnya religi, jadi bukannya “satu-satunya sebab”. Lagi pula, dalam hal ini saya menyebut “religi” dan bukan “agama”, karena agama merupakan suatu gabungan dari rasa, akal, serta tindakan manusia yang dijiwai oleh Tuhan.”71 Religi dalam sisi teologis ini tidak bisa dijelaskan oleh sains, termasuk oleh Ilmu Antropologi. Ia merupakan hadiah Tuhan yang dimasukkan-Nya ke dalam jiwa manusia; ia bukan hasil dan olahan akal dan bahasa manusia, jadi bukanlah unsur kebudayaan universal. Religi dalam sisi teologis ini bermanifestasi dalam bentuk emosi keagamaan yang meluap-luap, yang hinggap di dalam jiwa manusia, menggetarkan jiwanya dengan getaran jiwa yang tidak bisa dideskripsikan oleh bahasa manusia. Seorang yang beragama Katolik yang masuk gereja Katolik dan melihat kemegahan altar dengan salib dan patung Jesus, bisa merasakan emosi tadi dalam dirinya, padahal orang lain yang bukan Katolik bisa masuk gereja itu berperasaan dingin tanpa emosi.72

Emosi keagamaan yang meluap-luap saat manusia mengungkapkan religi dalam sisi teologis ini sulit dideskripsikan oleh sains karena jiwa manusia yang memiliki emosi keagamaan meluap-luap itu langsung dijiwai oleh cahaya

70

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hh. 137, 141, 142. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, cet-3, 2005, hal. 69 72 Keontjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 139 71

27

Tuhan, dan cahaya Tuhan itu membuatnya sakral dan keramat. “ … ialah cahaya Tuhan yang membuat suatu upacara itu suatu aktivitas yang keramat. ”73 Pada saat jiwa manusia dimasuki cahaya Tuhan terjadilah proses-proses fisiologis dalam tubuhnya dan proses-proses psikologis dalam jiwanya yang sulit dianalisa dan sulit dideskripsikan; itulah yang disebut Pak Koen dengan “getaran jiwa”. “Getaran jiwa” inilah yang menggerakkan jiwa manusia saat ia dihinggapi religi dalam sisi teologis ini.74 Mengenai emosi keagamaan yang meluap-luap saat manusia memiliki religi dalam sisi teologis ini, Pak Koen menjelaskan lebih dalam: Emosi keagamaan, yang menyebabkan bahwa manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Proses-proses fisiologi serta psikologi apa yang terjadi bila seseorang dihinggapi emosi keagamaan tadi, sepanjang pengetahuan saya belum pernah dianalisa maupun dideskripsi oleh seorang ahli. Rudolf Otto malahan menghindari suatu analisa, dengan suatu uraian yang mendalam bahwa emosi itu, yang berupa “sikap takutterpesona” terhadap “hal yang gaib serta keramat” itu, pada hakikatnya tak dapat dijelaskan dengan akal manusia karena berada di luar jangkauan kemampuannya. Söderblom hanya menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap “takut bercampur percaya” kepada hal yang gaib serta keramat, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.75

Meskipun sulit diungkap dengan bahasa manusia dan sulit dijelaskan oleh sains, dalam suatu upacara agama, religi dalam sisi antropologis dan religi dalam sisi teologis masih bisa dibedakan: … peralatan dari upacara, seperti gedung pemujaan (masjid, gereja, pagoda, stupa dsb.), patung-patung orang suci, patung-patung dewa, alat bunyi-bunyian untuk membuat musik suci (orgel, genderang, gong, seruling suci) dsb., semuanya adalah hasil akal manusia, dan karena itu merupakan bagian dari kebudayaan. Walaupun demikian, upacara agama belum lengkap kalau tidak dihinggapi dan dijiwai emosi keagamaan. Di sinilah masuk komponen pertama, ialah cahaya Tuhan yang membuat suatu upacara itu suatu aktivitas yang keramat… Religi sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi cahaya Tuhan yang menjiwainya dan membuatnya keramat tentunya bukan bagian dari kebudayaan.76

Modernisasi, Westernisasi, dan Penggunaan Unsur Kebudayaan Barat Ada perbedaan mendasar antara modernisasi, westernisasi, dan penggunaan unsur-unsur kebudayaan Barat oleh bangsa-bangsa non-Barat.

73

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, cet-3, 2005, hal. 140 Ibid., hal. 138 75 Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, cetakan ke-2, hal. 43 76 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hh. 140-141 74

28

Modernisasi adalah “… berusaha menyesuaikan diri dengan konstelasi dunia pada zaman bangsa itu hidup.”77 Atau, “usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang.”78 Jika suatu bangsa hidup di zaman kejayaan Kekaisaran Romawi dan bangsa itu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan tata-dunia yang dikuasai oleh Kekaisaran Romawi itu, maka upaya itu disebut “modernisasi”. Atau, jika suatu bangsa hidup di zaman kejayaan Dinasti Maurya di India dan bangsa itu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan tatadunia yang dikuasai oleh Dinasti Maurya itu, maka upaya itu disebut “modernisasi”. Pak Koen menjelaskan lebih lanjut: Apabila suatu bangsa dengan sadar memulai proses modernisasinya, maka sebenarnya ia hanya mau berusaha menyesuaikan diri dengan konstelasi dunia pada zaman bangsa itu hidup. Dalam arti itu, maka segala zaman, dan tidak hanya abad ke-20 ini, pernah mengalami suatu usaha dan proses modernisasi… Sudah barang tentu dalam hal menyesuaikan diri itu, tiap kerajaan menjaga sifat kekhususannya masing-masing, dalam melaksanakan “modernisasi” itu… Itulah sebabnya kebudayaan Kerajaan Sriwijaya atau Majapahit berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan di India; atau kebudayaan Vietnam, Jepang atau Korea berbeda dengan kebudayaan Cina.79

Saat melakukan modernisasi, suatu bangsa menyerap kebudayaan asing yang dominan di zamannya. Tapi di saat bangsa itu menyerap kebudayaan asing, kebudayaan yang khas dari bangsa itu tidak berubah; kebudayaan khasnya tetap terjaga. … sama seperti nenek moyang kita di zaman Sriwijaya, yang dalam “modernisasi” mereka, menjaga kekhususan mereka dan tidak menjadi India, dan sama seperti orang Vietnam zaman dahulu, yang dalam “modernisasi” mereka, menjaga kekhususan mereka dan tidak menjadi Cina.80

usaha orang usaha orang

Kebetulan di zaman ini, di abad 21 ini, tata-dunia didominasi oleh empat kekuatan besar (superpower countries), yakni negara-negara Uni-Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Cina, maka: Semua negara lain yang belum mencapai kemajuan, yang hampir semua terlokasi di Afrika, Asia dan Amerika Latin dan yang disebut the developing, atau the third world, terpaksa harus menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan yang berada dalam the developed world itu. Kalau tidak, bangsa-bangsa di negara-negara terbelakang itu akan kandas terdesak oleh kekuasaan-kekuasaan raksasa yang sedang menguasai dunia sekarang ini. Ini suatu kenyataan yang pahit, tetapi apa boleh buat… Dengan demikian, bagaimanapun juga, tak bisa tidak kita harus melaksanakan modernisasi;… dalam arti seperti apa yang saya terangkan di atas, … kekuatan-

77

Ibid., hal. 131 Ibid., 133 79 Ibid., 131 80 Ibid., hal. 133 78

29

kekuatan yang menentukan konstelasi dunia sekarang ini bukan hanya dunia Barat, tetapi suatu kombinasi dari paling sedikit empat kekuatan. 81

Jadi, mengikuti alur logika Pak Koen, modernisasi berarti upaya dan usaha menyesuaikan diri dengan tata-dunia dan konstelasi kebudayaan dari empat kekuatan besar yang sekarang sedang berjaya di dunia, yakni negara-negara Uni Eropa, negara Amerika, negara Jepang, dan negara Cina. Sedangkan “westernisasi” adalah “usaha meniru gaya hidup orang Barat (orang Eropa Barat atau Amerika).”82 Misalnya, meniru secara berlebihan gaya pakaian orang Barat dengan cara mengikuti mode fashion terus menerus; meniru gaya bicara dan tatakrama orang Barat dengan disertai sikap merendahkan bahasa nasional dan tata kesopanan bangsa sendiri; meniru pola-pola pergaulan dan pola-pola berpesta seperti orang Barat, dsb. Orang yang melakukan westernisasi seperti itu jelas berbeda dengan orang yang melakukan modernisasi. Orang… seperti itu sebenarnya sama dengan sekali tidak mempunyai mentalitet yang diperlukan untuk modernisasi, maka ia sebenarnya adalah orang yang amat kolot… … Sebaliknya, orang itu mentalitetnya feodal, ia tak berdisiplin dalam irama hidupnya, tak berani bertanggung jawab dalam masa-masa kesulitan dalam pekerjaannya, tak bermutu dalam karya-karyanya, tidak gigih dalam usahanya,… … Lagipula orang… seperti itu biasanya tidak hemat dalam hidupnya, padahal sifat hemat itu adalah suatu sifat yang sangat perlu bagi bangsa… untuk pembangunan; artinya bagi bangsa… sekarang, hidup hemat merupakan suatu sifat yang modern.83

Yang juga berbeda dari westernisasi dan modernisasi adalah penggunaan unsur-unsur kebudayaan Barat oleh bangsa-bangsa non-Barat. Pak Koen menjelaskannya sebagai berikut: Unsur-unsur yang mula-mula berasal dari kebudayaan Barat itu dapat kita tiru, kita ambil alih, kita adaptasi, kita beli, dengan tak usah menjadi seperti orang Barat, dan dengan tak usah hidup dengan suatu gaya hidup orang Barat. Sebenarnya sudah sejak lebih dari seabad lamanya kita meniru, mengambil alih atau mengadaptasi unsur-unsur kebudayaan Barat, tanpa kita menjadi orang Barat. Pakaian yang kita kenakan sehari-hari, sepatu yang kita pakai tiap hari, semuanya adalah sebenarnya unsur-unsur yang berasal dari kebudayaan Barat… Dengan demikian, kalau kita nanti secara lebih luas dan intensif mengambil alih teknologi yang kebetulan berkembang di dunia Barat, kita memang harus membiasakan diri beberapa sifat mental tertentu, tetapi hal itu tidak berarti bahwa kita harus menjadi orang Barat, atau membiasakan diri suatu gaya hidup Barat.84

81

Ibid, hh. 132-133 Ibid., hal. 135 83 Ibid., hal. 135 84 Ibid., hal. 134 82

30

Menurut Pak Koen, bangsa Indonesia harus banyak mengambil unsur-unsur kebudayaan Barat yang positif berupa sifat-sifat mental untuk terus membangun; tetapi bukannya dengan melaksanakan westernisasi: Kita bangsa Indonesia harus mengembangkan sifat-sifat mental itu, untuk bisa menjadi lebih makmur daripada sekarang, untuk lebih menyempurnakan demokrasi kita, untuk bisa menghasilkan lebih banyak karya bermutu yang bisa kita banggakan… … kita bangsa Indonesia, bisa berusaha mengembangkan sifat-sifat mental itu, tanpa hidup seperti orang Barat (orang Eropa Barat atau Amerika), tanpa membiasakan diri suatu gaya hidup kebarat-baratan… Dengan membedakan secara tajam antara konsep “modernisasi”, konsep “mengadaptasi unsur-unsur kebudayaan Barat” dan konsep “westernisasi” seperti apa yang terurai di atas, …jelaslah bahwa modernisasi tidak memerlukan westernisasi.85

Pembangunan Pembangunan adalah upaya bangsa-bangsa untuk mencapai kemajuan. Biasanya kemajuan yang ingin dicapai bangsa-bangsa itu diasosiasikan dengan kemajuan ekonomis. Pak Koen menjelaskan mengapa pembangunan menjadi penting dilakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa bekas jajahan (post-colonial states): Sesudah Perang Dunia II, yaitu antara tahun 1950 dan tahun 1960, sebagian besar negara jajahan memperoleh kemerdekaan. Negara-negara baru yang umumnya miskin itu semua ingin maju, dan kemajuan itu umumnya mereka konsepsikan sebagai kemajuan ekonomi, yang berarti keluar dari kemiskinan. Upaya untuk mencapainya adalah dengan melakukan pembangunan ekonomi. 86

Lebih lengkapnya, Pak Koen menjelaskan bahwa pembangunan itu berarti “…berusaha untuk menjadi lebih makmur daripada sekarang, … berusaha untuk

lebih menyempurnakan demokrasi…, dan… berusaha untuk menghasilkan karya yang lebih dapat kita banggakan.”87 Atau, dengan kata lain, …ingin menjadi agak lebih makmur dan ingin lebih menyempurnakan demokrasi kita dan lebih menyempurnakan suatu kehidupan nasional yang dapat memberi akomodasi kepada aneka-warna kebudayaan bangsa kita, dan … dapat menghasilkan lebih banyak karya yang bisa kita banggakan sebagai bangsa. 88

Hanya saja, dalam menjalankan pembangunan, hendaknya bangsa-bangsa bekas jajahan (post-colonial states) tidak secara buta meniru pembangunan yang dijalankan oleh bangsa-bangsa yang telah maju (the developed countries), karena ternyata kemakmuran yang terlampau ekstrem dan 85

Ibid., hh. 133-136 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid II, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 243 87 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 39 88 Ibid., hal. 84 86

31

demokrasi yang dipraktekkan dengan cara terlalu berlebihan, seperti yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa maju, justru malah memberi bahaya-bahaya dan memberi ekses-ekses negatif bagi bangsa-bangsa maju itu.89 Bahaya-bahaya dan ekses-ekses negatif dari kemakmuran yang terlalu berlebihan dan demokrasi yang terlampau berlebihan, di antaranya, ialah: a. b. c. d. e.

Individualisme yang ekstrem dan isolasi individu; Keretakan prinsip-prinsip kekeluargaan; Hilangnya nilai-nilai hidup rohaniah; Over kemakmuran dan over waktu luang; Polusi dan pencemaran lingkungan. 90

Individualisme yang ekstrem adalah kondisi manakala “… Hak milik individu

didewa-dewakan, nilai-nilai kemesraan hubungan antar-individu menjadi tak penting…”91 Lebih lanjut Pak Koen mendeskripsikan individualisme ekstrem

yang diakibatkan oleh pembangunan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa maju: Individualisme extrem… juga menimbulkan pandangan hidup yang berpendirian bahwa: “……. hidup itu milik individu, karena itu dia sendirilah yang berhak menentukan dan berbuat dengan hidupnya itu menurut kemauannya sendiri.” Kita bisa membayangkan bagaimana suatu pandangan hidup seperti itu bisa mengisolasikan individu dari lingkungan sosialnyaa, dan bagaimana individu akan kehilangan tempat berlindung apabila iaa sedang dikejar oleh masalah-masalah yang menekan jiwanya. Ngeri juga membayangkan hidup di dunia ini sebatang kara.92

Ekses pembangunan yang mesti dihindari akibat pembangunan selain individualisme yang ekstrem adalah pudarnya prinsip-prinsip kekeluargaan. “…usaha berlebih-lebih untuk mencapai perkembangan ekonomi yang cepat

rupa-rupanya dengan mudah akan mendatangkan keretakan keluarga itu. Sistem komunisme malahan dengan sengaja berusaha menghancurkan sistem keluarga, demi kemajuan ekonomi… Dari proses itu kita bisa belajar pagi-pagi, agar tetap sadar akan titik di mana kita harus berhenti. ”93 Selain pudarnya prinsip kekeluargaan, pembangunan juga bisa mengakibatkan hilangnya nilai-nilai hidup rohaniah. Walaupun dengan kemakmurannya manusia di negara-negara maju dapat membeli keindahan dan unsur-unsur kehidupan rohaniah sekalipun, tetapi toh manusia tidak akan dapat menikmatinya apabila ia tak dapat menemukan dalam 89

Ibid. Ibid., hh. 84-88 91 Ibid., hal. 85 92 Ibid., hh. 85-86 93 Ibid., hal. 86 90

32

jiwanya keselarasan antara komfort dan kehidupan rohaniah itu. Menjaga agar keselarasan yang melandasi hidup bermutu itu tidak pecah itulah yang harus menjadi perhatian kita pagi-pagi.94

Yang tidak kurang berbahayanya dari ekses negatif pembangunan adalah kemakmuran yang berlebihan dan waktu luang yang berlebihan. Kalau kemakmuran sudah tiba, biasanya manusia tak bisa menyadari batas dari kebutuhannya yang meningkat secara tak wajar. Terdorong oleh rasa bersaing untuk meninggikan gengsi, maka kalau mereka sampai pada batas jumlah dan frekwensi dari kemewahan, dari rumah, perabot, perhiasan, kendaraan dan pestapesta, maka ia akan mencari penonjolan gengsinya dalam sifat keanehan dari rumah, perabot, perhiasan, kendaraan, dan pesta-pesta itu. Kelebihan luang waktu akan bersifat lebih berbahaya lagi; apalagi kalau hal itu bersamaan dengan rasa kekosongan hidup akibat isolasi individu, atau akibat tak-adanya keselarasan hidup, mutu hidup, dan arti hidup.95

Ekses negatif yang terakhir ialah polusi dan pencemaran lingkungan hidup. Polusi dan pencemaran lingkungan hidup adalah “… akibat negatif dari eksesekses pembangunan yang tak dikendalikan.”96 Adopsi “Value Orientation” Clyde Kluckhohn Di dalam setiap kebudayaan di dunia ini terdapat konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai halhal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup masyarakat itu. Konsepsi-konsepsi ini disebut dengan “orientasi nilai” (value orientation). Orientasi nilai dalam suatu kebudayaan ini berurat-berakar dalam alam jiwa sebagian besar warga masyarakat itu, dan dianut oleh sebagian besar warga masyarakat itu, sehingga ia sukar sekali diganti dengan konsepsi-konsepsi lain dalam waktu singkat. Untuk menjelaskan apa saja orientasi-orientasi nilai dalam setiap kebudayaan di dunia, Pak Koen mengadopsi teori “orientasi nilai” dari buku karangan Clyde Kluckhohn, seorang antropolog Amerika, berjudul Variations in Value Orientation (1961).97 Konsepsi-konsepsi mengenai nilai dalam setiap kebudayaan selalu berkisar mengenai 5 (lima) hal: a. Hakekat hidup b. Hakekat karya c. Persepsi manusia tentang waktu 94

Ibid., hal. 87 Ibid., hal. 87 96 Ibid., hal. 88 97 Ibid., hal. 34 95

33

d. Pandangan manusia terhadap alam e. Hakekat hubungan antara manusia dengan sesama manusia.98 Ada 3 (tiga) orientasi nilai yang berkaitan dengan hakekat hidup, yakni: 1. Orientasi nilai “hidup itu buruk” 2. Orientasi nilai “hidup itu baik” 3. Orientasi nilai “hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup menjadi baik”99 Orientasi nilai “hidup itu buruk”, misalnya, dimiliki oleh kebudayaan yang terpengaruh oleh ajaran Buddha: ... ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada hakekatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan, dan karena itu harus dihindari. Kebudayaankebudayaan yang terpengaruh oleh agama Buddha misalnya dapat disangka mengkonsepsikan hidup itu sebagai suatu hal yang buruk. Pola-pola kelakuan manusia akan mementingkan segala usaha untuk menuju kearah tujuan untuk bisa memadamkan hidup itu (nirvana = meniup habis), dan meremehkan segala kelakuan yang hanya mengekalkan rangkaian kelahiran kembali (samsara).100

Orientasi nilai “hidup itu baik” yakni “…bahwa hidup adalah sumber

kesenangan maupun segala hal yang indah dan bermakna, dan bahwa manusia wajib menjalani hidupnya dengan penuh kegairahan.”101

Sedangkan orientasi nilai “hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup menjadi baik” yakni “... memandang hidup manusia itu pada

hakekatnya buruk, tetapi manusia dapat mengusahakan untuk menjadikan hidup itu suatu hal yang baik dan menggembirakan.”102

Kemudian, terdapat 3 (tiga) orientasi nilai yang berkaitan dengan hakekat karya, yakni: 1. Orientasi nilai “karya itu untuk nafkah hidup” 2. Orientasi nilai “karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dsb.” 3. Orientasi nilai “karya itu untuk menambah karya”103 Orientasi nilai “karya itu untuk nafkah hidup” maksudnya ialah “…banyak

kebudayaan menganggap bahwa manusia bekerja untuk mencari makan, sama seperti semua kegiatan dan tingkah-laku binatang maupun makhluk-makhluk lain dalam alam semesta adalah untuk makan, selain untuk bereproduksi. ”104

98

Ibid., hal. 37 Ibid. 100 Ibid., hal. 35 101 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 79 102 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 35 103 Ibid., hal. 37 104 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 81 99

34

Orientasi nilai “karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dsb.” maksudnya ialah “…ada kebudayaan-kebudayaan yang telah mengembangkan konsepsi bahwa kepuasan hidup terletak dalam bekerja dan kualitas dari hasil kerjanya .”105 Sedangkan orientasi nilai “karya itu untuk menambah karya” maksudnya ialah “…bekerja untuk beramal menolong orang lain yang kurang beruntung atau untuk menghasilkan karya-karya agung.”106 Selanjutnya, terdapat terdapat 3 (tiga) orientasi nilai yang berkaitan dengan persepsi tentang waktu, yakni: 1. Orientasi nilai “masa kini” 2. Orientasi nilai “masa lalu” 3. Orientasi nilai “masa depan”.107 Orientasi nilai “masa kini” maksudnya ialah kebudayaan di mana orang “…tidak

akan memusingkan diri dengan memikirkan zaman yang lampau maupun masa yang akan datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada masa sekarang ini.”108

Orientasi nilai “masa lalu” maksudnya ialah kebudayaan di mana “…orang akan

lebih sering mengambil sebagai pedoman dalam kelakuannya contoh-contoh dan kejadian-kejadian dalam masa yang lampau.”109 Sedangkan orientasi nilai “masa depan” maksudnya ialah kebudayaan yang “…warganya biasanya ingat bahwa ada dua kemungkinan: masa depan yang

baik atau buruk. Karena itu manusia yang hidup dengan persepsi seperti itu seringkali menyisihkan sebagian dari keperluan hidupnya untuk digunakan apabila sewaktu-waktu ia mengalami masa yang sulit. Manusia seperti itu biasanya hidupnya wajar dan hemat.”110 Adapun mengenai orientasi nilai yang berkenaan dengan pandangan terhadap alam, terdapat 3 (tiga) orientasi nilai, yakni: 1. Orientasi nilai “manusia tunduk kepada alam” 2. Orientasi nilai “manusia menjaga keselarasan dengan alam” 3. Orientasi nilai “manusia menguasai alam”

Orientasi nilai “manusia tunduk pada alam” maksudnya ialah “… kebudayaan-

kebudayaan yang memandang alam itu suatu hal yang begitu dahsyat,

105

Ibid. Ibid. 107 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 37 108 Ibid., hal. 36 109 Ibid., hh. 35-36 110 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 81 106

35

sehingga manusia itu pada hakekatnya hanya bisa menyerah saja tanpa ada banyak yang dapat diusahakannya.”111 Orientasi nilai “manusia menjaga keselarasan dengan alam” maksudnya ialah “…kebudayaan… yang menganggap bahwa manusia itu hanya bisa berusaha mencari keselarasan dengan alam.”112 Sedangkan orientasi nilai “manusia menguasai alam” maksudnya ialah “…kebudayaan yang mengajarkan kepada warganya sejak usia yang muda

sekali bahwa walaupun alam bersifat ganas dan sempurna, namun nalar manusia harus mampu menjajagi rahasia-rahasianya dan akhirnya menaklukkannya dan memanfaatkannya guna keperluannya (mastery over nature). Suatu nilai budaya yang mempunyai orientasi seperti itu telah memberi motivasi bagi berkembangnya sains dan teknologi, terutama dalam kebudayaan bangsa-bangsa Eropa Barat dan Amerika.”113 Adapun mengenai orientasi nilai yang berkenaan dengan pandangan tentang hakekat hubungan antara manusia dengan sesama manusia, terdapat 3 (tiga) orientasi nilai, yakni: 1. Orientasi nilai “relasi kolateral/horizontal” 2. Orientasi nilai “relasi vertikal” 3. Orientasi nilai “relasi individualistik”114 Orientasi nilai “relasi kolateral/horizontal” maksudnya ialah kebudayaan yang warganya menilai hubungan antara satu dengan sesamanya berdasarkan rasa ketergantungan antar-sesama (berjiwa gotong-royong). “Orang dalam suatu

kebudayaan serupa itu akan amat merasa tergantung kepada sesamanya, dan usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangganya dan sesamanya merupakan suatu hal yang dianggap amat penting dalam hidup. ”115 “…kebudayaan yang sejak awal mengajarkan kepada warganya agar senantiasa hidup bergotong-royong dan agar mereka selalu “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Kebudayaan-kebudayaan dengan variasi orientasi nilai budaya seperti ini biasanya mementingkan konsensus untuk kerjasama. ”116 Sedangkan orientasi nilai “relasi vertikal” maksudnya ialah “…manusia yang

hidup dalam suatu kebudayaan serupa itu akan berpedoman kepada tokohtokoh pemimpin, orang-orang senior, atau orang-orang atasan.”117 “… selalu mengacu ke warga masyarakat yang senior, berpangkat tinggi, atau yang 111

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 36 Ibid. 113 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 79-81 114 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 37 115 Ibid., hal. 36 116 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 81 117 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 36 112

36

berasal dari golongan-golongan sosial yang tinggi. Warga-warga masyarakat semacam itu biasanya menjadi acuan restu dan contoh bertindak bagi sebagian besar warga kebudayaan bersangkutan (lineality).”118 Adapun orientasi nilai “relasi individualistik” maksudnya ialah “…kebudayaan

menekankan pada hak asasi dari setiap individu yang menjadi warganya, yang tidak boleh diganggu-gugat oleh siapa pun. Dalam kebudayaan semacam ini warganya biasanya sejak dini sudah diajarkan agar bersikap mandiri, karena keberhasilannya dalam hidup harus diperoleh dengan upayanya sendiri tanpa campur-tangan orang lain (individuality). Dalam kebudayaan semacam itu berkembang berbagai aliran berpikir individualisme, dan dalam kebudayaankebudayaan yang mempunyai orientasi nilai budaya seperti itu kedudukan orang dalam masyarakat didasarkan atas mutu dari hasil karyanya dan tidak atas senioritasnya, pangkatnya, atau golongan sosialnya. ”119 Mentalitet Pembangunan Teori “orientasi nilai” (value orientation) yang diadopsi dari Clyde Kluckhohn digunakan Pak Koen untuk membahas apa yang disebutnya “ mentalitet pembangunan”. Mentalitet pembangunan adalah orientasi nilai yang bisa menyukseskan pembangunan yang dilakukan suatu bangsa. Mentalitet pembangunan ini harus menjadi orientasi nilai yang dianut, dibiasakan, dan harus diinternalisasikan oleh sebagian besar warga suatu kebudayaan supaya pembangunan yang dilakukan bangsanya dapat sukses mencapai tujuantujuannya.120 Ada beberapa mentalitet pembangunan yang harus dijadikan orientasi nilai oleh warga suatu bangsa yang sedang membangun ( the developing countries), yakni: a. Orientasi nilai “masa depan”. “… Suatu nilai budaya semacam itu akan

mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih saksama dan teliti, dan oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan untuk berhemat. Kita semua tahu bahwa sifat hemat yang meluas itu amat perlu untuk memungkinkan suatu bangsa menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk mengakumulasi modal.”121 b. Orientasi nilai “manusia menguasai alam”. “…Suatu nilai semacam itu akan menambah kemungkinan inovasi, terutama inovasi dalam 118

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 82 Ibid. 120 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hal. 40 121 Ibid. 119

37

teknologi. Pembangunan yang memerlukan usaha mengintensifkan produksi tentu tak bisa tidak harus memanfaatkan teknologi yang makin lama makin disempurnakan.”122

c. Orientasi nilai “karya itu untuk menambah karya”. Orientasi nilai ini mementingkan mutu dan ketelitian, sementara mutu dan ketelitian adalah dua hal yang diperlukan dalam mengadaptasi teknologi dari bangsa asing.123 d. Orientasi nilai “relasi individualistik”. Dengan orientasi nilai ini, semua orang akan menilai tinggi usaha individu dalam mencapai kesuksesan, menumbuhkembangkan jiwa kemandiriaan dan kewirausahaan, menimbulkan sikap percaya-diri, menumbuhkan disiplin-diri, menumbuhkan keberanian untuk bertanggungjawab sendiri.124 Masalah-Masalah Pembangunan Kebalikan dari “mentalitet pembangunan” adalah “masalah-masalah pembangunan”. Masalah-masalah pembangunan adalah orientasi nilai yang dianut, dihayati, dibiasakan, dan diinternalisasi oleh sebagian warga dari suatu kebudayaan, yang justru menghambat kesuksesan pembangunan. Pak Koen mendaftar beberapa masalah-masalah pembangunan yang harus dihindari oleh suatu bangsa agar bangsanya sukses dalam pembangunan, yakni: 1. Orientasi nilai “relasi vertikal”. “… Nilai yang terlampau berorientasi

vertikal ke arah atasan akan mematikan jiwa yang ingin berdiri sendiri dan berusaha sendiri, dan akan menyebabkan timbulnya sikap tidak percaya kepada diri sendiri. Nilai seperti itu juga akan menghambat tumbuhnya rasa disiplin pribadi yang murni, karena orang hanya akan taat kalau ada pengawasan dari atas, tetapi akan merasa tak terikat lagi kalau pengawasan tadi menjadi kendor atau pergi. Akhirnya nilai yang terlampau berorientasi ke arah atasan akan juga mematikan rasa tanggung jawab sendiri, tetapi akan membiakkan rasa yang condong untuk selalu melemparkan tanggung jawab ke atas, atau kalau tidak bisa, untuk selalu membagi rata tanggung jawab itu dengan orang lain sehingga rasa tanggung jawab sendiri itu menjadi sekecil mungkin .”125 “…Mentalitet menunggu-restu-dari-atas jelas tidak cocok dengan jiwa pembangunan.”126

122

Ibid. Ibid., hal. 41 124 Ibid., hh. 41-42 125 Ibid. 126 Ibid., hal. 47 123

38

2. Orientasi nilai “relasi kolateral/horizontal”. Dalam kebudayaan Indonesia ini tercermin dari kebudayaan “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Orientasi nilai ini menjadi masalah pembangunan karena “… mencegah

bakat dan keistimewaan dari individu untuk berkembang dan menonjol atas yang lain.”127

3. Orientasi nilai “karya itu untuk nafkah hidup”. Orientasi nilai ini biasanya ada dalam kebudayaan kaum petani. Kaum petani jika ditanya apa hakekat dari karya dan hakekat dari hasil karyanya, maka mereka akan menjawab bahwa manusia itu bekerja keras untuk dapat makan. Orientasi nilai ini jadi masalah pembangunan, karena “… tidak cocok dengan jiwa

pembangunan… yang berorientasi terhadap hasil dari karya manusia itu sendiri (tidak achievement oriented).”128

4. Orientasi nilai “masa lalu”. Orientasi nilai ini biasanya ada di kebudayaan kaum feodal (di Indonesia, misalnya, pada kaum priyayi Jawa). “… Rutin

kehidupan kantor dan rumah tangga priyayi yang rata serupa dari hari ke hari, diisi dengan suatu rasa sentimen yang agak berlebih-lebih untuk benda-benda pusaka dari nenek moyangnya, dengan perhatian terhadap mitologi, silsilah, dan karya-karya pujangga-pujangga kuno, serta diselingi dengan upacara-upacara rumit untuk memelihara benda-benda pusaka… suatu orientasi yang terlampau banyak terarah ke zaman yang lampau akan melemahkan kemampuan seseorang untuk melihat ke masa depan… Unsur mentalitet… inilah, yang kurang cocok dengan keperluan pembangunan.”129

5. Orientasi nilai “manusia menjaga keselarasan dengan alam”. Orientasi nilai ini ada pada kebudayaan kaum petani dan kebudayaan kaum feodal. Kaum petani amat bergantung pada kemurahan alam. Mereka memang tidak tunduk sepenuhnya pada alam, tapi juga tidak merasa mampu menguasainya secara penuh. Mereka akhirnya memandang bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam. “… mentalitet seperti itu tidak amat cocok dengan jiwa pembangunan .”130 Kebudayaan Nasional “Kebudayaan nasional” adalah kebudayaan kesatuan yang merepresentasikan kepribadian nasional dan identitas nasional dari suatu bangsa. Bangsa yang memiliki “kebudayaan nasional” berarti bangsa itu memiliki kepribadian nasional dan identitas nasional yang keduanya dicerminkan dalam 127

Ibid., hal. 66 Ibid., hal. 44 129 Ibid., hal. 45 130 Ibid., hh. 45-46 128

39

kebudayaannya. Menurut Pak Koen, “kebudayaan nasional” harus bercirikan sebagai berikut: 1. Bersifat khas. Maksudnya, kebudayaan itu “…bisa memberi identitas

kepada warga dari negaranya… sebagian besar orang… mau dan bisa mengidentifikasikan diri...”131 Kebudayaan itu bersifat khas karena

dimanifestasikan dalam bahasa nasional bangsa itu, dalam kesenian bangsa itu, dan dalam upacara-upacara yang tradisional dan yang baru yang dimiliki bangsa itu.132 2. Harus dapat dibanggakan oleh warganegara yang mendukungnya. Maksudnya, kebudayaan itu “…harus bisa menimbulkan rasa kebanggaan kepada mereka…”133 3. Harus bermutu tinggi.134

Asalkan suatu hasil karya anak bangsa dari suku bangsa apapun bisa memenuhi tiga kriteria di atas, maka hasil karya tersebut dapat diakui sebagai “kebudayaan nasional” dari suatu bangsa. Mengenai ini, Pak Koen mencontohkan bagaimana suatu hasil karya putra dan putri bangsa Indonesia dapat diakui sebagai “Kebudayaan Nasional Indonesia”: Apabila ada suatu gaya pakaian wanita yang khas sifatnya tetapi toh indah, sehingga kita bangga mempertontonkannya, maka itulah suatu unsur dalam Kebudayaan Nasional kita. Soal apakah gaya pakaian itu berasal dari kebudayaan Bugis, Minangkabau, Jawa, Bali ataupun Maluku, menjadi tidak penting lagi. Demikian juga kalau ada suatu pementasan gamelan yang khas sifat-sifatnya dan juga indah serta bermutu tinggi, maka gamelan itulah suatu unsur lagi dalam Kebudayaan Nasional Indonesia. Soal apakah permainan gamelan itu berasal dari kebudayaan Bali, Sunda atau lain, hal itu menjadi tidak penting lagi… Demikian, kalau orkes Simfoni Jakarta bisa mengembangkan sifat-sifat yang khas dan mencapai mutu tinggi sehingga menjadi terkenal di dunia, maka bangsa Indonesia akan bangga dan sudi mengakui Orkes Simfoni itu tadi sebagai unsur dalam Kebudayaan Nasionalnya. Soal bahwa Orkes Simfoni itu berasal dari kebudayaan Barat, dan bahwa seniman-seniman dalam Orkes tersebut orang Sunda, orang Jawa, orang keturunan Cina serta orang Indo, tidak menjadi penting lagi. 135

Ikhtisar Filsafat Lantaran “kebudayaan” semakna dan searti dengan kata Latin “colere” dan kata Inggris “culture”, serta penyerapan Pak Koen yang menyeluruh di semesta Ilmu Antropologi di Amerika Serikat, maka implikasi-implikasinya adalah sebagai berikut:

131

Ibid., hh. 104-105 Ibid. 133 Ibid., hal. 105 134 Ibid. 135 Ibid., hh. 105-106 132

40

a. Kebudayaan dipahami Pak Koen seluruhnya secara antropologis; Pak Koen menguasai semua cabang dari Ilmu Antropologi, sehingga semua pengertiannya tentang kebudayaan berasal dari semua cabang Ilmu Antropologi yang amat dikuasainya: Paleoantropologi (Antropologi Fosil), Antropologi Fisik, Antropologi Kultural, dan Antropologi Sosial, dsb. b. Culture dalam bahasa Inggris berarti kebudayaan dalam bahasa Indonesia; tidak ada perbedaan apapun di antara keduanya; keduanya serupa dan sama. c. Cultural Anthropology diterjemahkan Pak Koen dengan “Antropologi Budaya”.136 d. Pak Koen menerjemahkan semua derivasi dari culture (semisal cultural, cultural sociology, cultural patterns, dsb.) dengan kebudayaan. e. Semua konsep-konsep filosofisnya yang terkait kebudayaan berasal dari Ilmu Antropologi, yang dipelajarinya secara intensif di Yale University di bawah asuhan antropolog terkenal G.P. Murdock, semisal “Empat Wujud Kebudayaan”, “Unsur-Unsur Kebudayaan”, “Integrasi Kebudayaan”, “Kebudayaan dan Kerangka Teori Nilai”, “Proses Belajar Kebudayaan Sendiri”, “Proses Evolusi Sosial”, “Proses Difusi”, “Akulturasi”, “Asimilasi”, “Pembaruan (Inovasi)”, “Konsep Suku Bangsa”, “Konsep Daerah Kebudayaan”, “Pola Penyebaran Kebudayaan”, dsb. f. Pak Koen mengintegrasikan konsep antropologis Eropa/Barat (yakni, konsep culture) dengan konsep-konsep lokal tanah air seperti konsep adat, adat-istiadat, peradaban, agama, gotong-royong, dan kepercayaan,137 sehingga konsep-konsep tersebut terintegrasi dalam pemahaman antropologis yang bulat, meskipun konsep-konsep tersebut terkesan diintegrasikan “secara paksa”.

136

Pak Koen berkata: “Universitas Indonesia secara resmi memakai istilah “antropologi budaya” untuk menggantikan istilah G.J. Held, “ilmu kebudayaan” “. Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, cet-3, 2005, hal. 8 137 Perhatikan dengan seksama bagaimana Pak Koen mengintegrasikan semua konsep-konsep tadi ke dalam pemahaman antropologisnya di dalam bukunya yang amat klasik, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, cet-8, 1981, hh. 19, 27, 59, dan 64.

41

3. Soedjatmoko Soedjatmoko (yang juga dikenal dengan sebutan “Bung Koko”) lahir di Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 10 Januari 1922. Beliau wafat di Yogyakarta pada tanggal 21 Desember 1989, saat beliau berumur 67 tahun. Beliau dikenal dan dikenang sebagai seorang seorang politikus, diplomat, dan pemikir problem-problem di Dunia Ketiga (The Third World affairs). Pada tahun 1947, Presiden Soekarno menunjuk beliau untuk mewakili Indonesia di PBB; di tahun 1971, beliau diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi Penasihat Khusus Urusan Budaya dan Sosial untuk Kepala BAPPENAS; tahun 1978, beliau menerima Ramón Magsaysay Award di bidang Hubungan Internasional; dan di tahun 1980, beliau diangkat sebagai rektor the United Nations University (UNU) di Tokyo, Jepang. Karya-karya beliau yang menyangkut Filsafat Kebudayaan sungguh banyak sekali, tapi yang paling masyhur ialah: Introduction to Indonesian Historiography (1965), berbahasa Inggris; Reconstituting the Human Community (1972), berbahasa Inggris; Development and Freedom (1980), berbahasa Inggris; kumpulan tulisan-tulisan beliau yang disunting oleh Ignas Kleden berjudul Etika Pembebasan: Pilihan Karangan Tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah, dan Ilmu Pengetahuan (1984); Principles and Ideals (1985), berbahasa Inggris; kumpulan tulisan-tulisan beliau yang disunting oleh Penerbit Tiara Wacana Yogya berjudul Soedjatmoko dan Keprihatinan Masa Depan (1991); kumpulan tulisan-tulisan beliau yang disunting oleh Penerbit Gramedia berjudul Menjelajah Cakrawala: Kumpulan Karya Visioner Soedjatmoko (1994); Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan (1995); kumpulan tulisan-tulisan beliau yang disunting oleh Muhidin M. Dahlan berjudul Kebudayaan Sosialis (2001); dan karangan-karangan lepas beliau yang tersebar di prosiding seminar, prosiding konferensi, jurnal ilmiah, baik di dalam negeri maupun luar negeri, artikel-artikel beliau dalam buku-buku penulis mancanegara, dan ceramah-ceramah beliau yang didokumentasikan, dalam kapasitas beliau sebagai dosen tamu, pemakalah, rektor UNU Tokyo, Dubes RI untuk AS, dan pengamat kebijakan politik Dunia Ketiga, yang tak terhitung banyaknya. 3.a. Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan” Berbeda dengan STA dan Pak Koen yang mendefinisikan kata “kebudayaan” di banyak karangan mereka, Bung Koko jarang sekali mendefinisikan kata “kebudayaan” dalam karangan-karangannya; ini dapat diartikan bahwa Bung 42

Koko menganggap para pembaca karya-karyanya sudah mengerti dan paham dengan apa yang dimaksudnya dengan “kebudayaan”, atau beliau mempersilahkan setiap pembaca karya-karyanya untuk mendefinisikan kata “kebudayaan” dengan implikasi-implikasi mereka sendiri. Dalam satu karangannya—ini satu-satunya karangan dimana Bung Koko mendefinisikan kata “kebudayaan”—Bung Koko menjelaskan bahwa kebudayaan adalah: …sesuatu yang meliputi keseluruhan dari pengetahuan, ilmu, kecakapan, alat-alat, adat kebiasaan, lembaga-lembaga pengalaman dan perasaan yang telah terjelma menjadi cara hidup tertentu, yang diwariskan secara turun-temurun dari yang tua kepada yang muda…138

Dengan kata lain, “kebudayaan” adalah warisan cara hidup suatu masyarakat, yang diwariskan oleh generasi tua ke generasi muda dari bangsa itu. Akan halnya dengan karangan-karangan Bung Koko dalam bahasa Inggris dan bahasa Belanda, beliau menggunakan kata Belanda “ cultuur” dan kata Inggris “culture” untuk menerjemahkan kata Indonesia “kebudayaan”. Beliau tidak membedakan maknanya; beliau menyejajarkan kata Indonesia “kebudayaan” dengan kata Belanda “cultuur” dan kata Inggris “culture” secara taken for granted, secara lumrah.139 Dalam karangan-karangannya yang berbahasa Belanda dan Inggris pun, Bung Koko tidak pernah mendefinisikannya secara semantis maupun secara terminologis kata Belanda “cultuur” dan kata Inggris “culture” yang dipakainya. Ini menunjukkan bahwa Bung Koko lebih mementingkan tesis-tesis yang disampaikan daripada semantika an sich. Penyejajaran beliau antara kata “kebudayaan” dengan kata “cultuur” dalam bahasa Belanda dan kata “culture” dalam bahasa Inggris berimplikasi pada pandangan-pandangan dan konsepsi filosofis beliau mengenai kebudayaan.

138

Soedjatmoko, ‘”Masa Lalu yang (tidak) Membunuh Masa Depan: Tentang Kesusastraan dan Konfrontasi Budaya”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 178 139 Bung Koko menggunakan kata Belanda “cultuur” yang berarti “kebudayaan” dalam karangannya yang berjudul “De Crisis in de Indonesische Cultuur”dalam jurnal De Nieuwe Stem (1955); dan menggunakan kata Inggris “culture” yang berarti “kebudayaan” dalam karangan-karangannya yang antara lain adalah: An Introduction to Indonesian Historiography (1965), “Indonesia: Problems and Opportunities” (1967), “Religions and Development Process in Asia” (1970), “The Role of Major Powers in the East Asian-Pacific Region” (1972), “Communications and Cultural Identity” (1979), “Education for Peace: The Role of Religion” (1981), “Global Transformation: Search for New Understanding” (1981), “The Future and the Learning Capacity of Nations: The Role of Communications” (1981), “Managing the Global Commons” (1982), “The Humanities and Development” (1986), “The United Nations University: A New Kind of University” (1987), dan “Education Relevant to People’s Needs” (1989).

43

3.b. Konsep-Konsep Filosofis Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi sungguh penting dilakukan oleh semua bangsa di dunia, terlebih lagi oleh bangsa-bangsa bekas jajahan (the post-colonial states) seperti Indonesia. Tujuan-tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia, antara lain adalah: 1. Memenuhi “Harapan bangsa kita akan kehidupan yang lebih luas dan lebih baik…”140 2. “…tingkat produksi yang lebih tinggi dengan pembagian penghasilan yang lebih merata.”141 3. “…mengatasi masalah kemelaratan di negeri kita… ”142 4. Memberikan “Jaminan yang mutlak bagi asas menentukan nasib kita sendiri.”143 5. “…memulihkan keadaan ekonomi… pada tingkat sebelum perang [maksudnya Perang Dunia II—penulis.], malahan tingkat itu dapat dilalui...”144 6. “…mencapai kembali atau melebihi penghasilan nasional sebelum perang…”145 7. Mengejar ketertinggalan dan menyamai tingkat ekonomi negara-negara yang sudah lebih maju. Jika tidak segera dilakukan pembangunan ekonomi di Indonesia, maka “… negara-negara yang terbelakang

ekonominya makin lama makin jauh perbedaan tingkat ekonominya dengan negara-negara yang sudah lebih maju dan makin sukarlah bagi negara-negara yang terbelakang ekonominya itu untuk menyamai pesatnya kenaikan tingkat ekonomi itu.”146

Yang perlu diperhatikan oleh bangsa-bangsa yang menjalankan pembangunan ekonomi adalah bahwa pembangunan ekonomi tidak menjadikan manusia semata-mata obyek yang bisa dimanipulasi, tapi pembangunan ekonomi justru bertujuan meninggikan harkat dan martabat manusia. Kata Bung Koko: … dalam proses pembangunan itu manusia … tidak semata-mata menjadi obyek yang dimanipulasi, melainkan tetap merupakan pangkal dan tujuan daripada usaha pembangunan…itu; yang memungkinkan … untuk tidak menjadi budak 140

Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 131 141 Ibid., hal. 132 142 Ibid. 143 Ibid. 144 Ibid. 145 Ibid., hal. 133 146 Ibid.

44

daripada teknologi dan lembaga-lembaga…, melainkan … dapat menjinakkannya untuk melayani tujuan-tujuan ethis daripada pembangunan dan perjuangan bangsa…147

Dampak Kebudayaan dari Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi yang dijalankan suatu negara memiliki dampak kebudayaan yang amat signifikan. Dampak-dampak kebudayaan ini harus dipertimbangkan oleh negara yang menjalankan pembangunan ekonomi. Pengabaian terhadap dampak-dampak kebudayaan ini akan membuat pembangunan ekonomi yang dijalankan tidak berhasil mencapai tujuantujuannya tadi. Bung Koko menyontohkan bagaimana suatu program dari pembangunan ekonomi (misalnya, pembentukan koperasi) yang dijalankan dalam suatu masyarakat (misalnya, masyarakat desa) memiliki dampak kebudayaan yang besar yang bisa menggoncangkan kebudayaan masyarakat desa itu: Pendirian suatu koperasi di desa berarti bahwa kita menggunakan suatu teknik organisasi tertentu: ia memerlukan administrasi serta pembukuan yang modern. Ia meminta tanggung jawab finansial. Sikap orang-orang desa terhadap uang dan kredit harus berubah sebab keaktifan koperasi dan para anggotanya harus dapat diperhitungkan dengan uang. Pendirian koperasi tidak hanya merupakan perubahan dalam cara-cara orang menyusun diri dan bekerja bersama, melainkan juga berarti perubahan dalam lembaga-lembaga suatu desa. Susunan administratif baik di desa maupun dalam hubungan desa itu dengan daerah di sekitarnya akan harus disesuaikan kepadanya. Timbulnya suatu koperasi dalam desa juga merupakan timbulnya suatu pusat kekuasaan baru sebagai saingan dalam susunan kekuasaan lama. Maka begitu pula susunan politik. Orang-orang desa, pendapat-pendapat dan adat-adat kebiasaannya, terpaksa menyesuaikan diri kepada badan-badan baru ini. Dengan adanya suatu koperasi dalam desa akan muncul orang-orang baru dengan kejuruan dan keahlian yang istimewa, yang dahulu tidak terdapat dalam lingkungan itu. Orang-orang desa harus belajar bergaul dengan orang-orang baru ini dan memberi tempat dan penghargaan terhadapnya.148

Dampak kebudayaan yang ditimbulkan dari pembangunan ekonomi tidak akan menghambat proses pembangunan ekonomi, apabila dampak kebudayaan itu dikelola dengan baik, tidak diabaikan, serta diurus dengan baik, karena pembangunan ekonomi tidaklah semata-mata “…menerima mesin serta

teknologi dunia modern dengan menolak begitu saja penjelmaan-penjelmaan izin dari kebudayaannya.”149 Akan tetapi, pembangunan ekonomi berarti 147

Soedjatmoko, “Prakata”, dalam C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko, Jakarta: Kanisius & BPK Gunung Mulia, 1976, hal. 6 148 Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 137 149 Ibid., hal. 141

45

pengadopsian teknologi modern dan penerimaan lembaga-lembaga modern yang disertai dengan “…mengerti kebudayaan dan jiwa yang menciptakannya.”150 Walaupun pembangunan ekonomi berarti membuat program-program baru yang belum ada sebelumnya dan mengadopsi teknologi baru dan lembagalembaga ekonomi baru yang tidak ada sebelumnya, tidaklah berarti bahwa pembangunan ekonomi membuang semua warisan kebudayaan yang lama, membuang semua lembaga-lembaga yang kuno, menolak semua hal yang telah ada sebelum pembangunan ekonomi dimulai. Pembangunan ekonomi justru harus dilakukan dengan ketersambungan antara tujuan-tujuan pembangunannya yang baru dengan kebudayaan tradisional. Kata Bung Koko: “…pembangunan bukan merupakan perpecahan dengan tradisi atau dengan sejarah, melainkan kontinuitas…”151 Akar Dinamika Kebudayaan Pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh suatu bangsa akan berhasil dengan gemilang mencapai tujuan-tujuannya apabila kebudayaan masyarakatnya memiliki “akar dinamika”. “Akar dinamika” ini akan membuat masyarakat itu bergerak dinamis secara penuh kesadaran, bertindak, berbuat banyak hal demi menyukseskan pembangunan ekonomi yang dijalankan bangsanya. Menurut Bung Koko, terdapat beberapa “akar dinamika”, yakni: 1. Sikap aktif terhadap alam 2. Asas pembaruan terus-menerus 152 3. Kepercayaan bahwa manusia sanggup dan harus dapat menguasai nasibnya sendiri di dunia ini.153 4. “…menerima … halalnya umat manusia dan bangsa… khususnya

mengecap kenikmatan hidup di dunia ini dalam segala bentuk material dan spiritualnya dan mengejarnya sebagai salah satu dari beberapa tujuan hidup…”154

5. Tanggapan jiwa yang positif terhadap kerja.155

150

Ibid. Soedjatmoko, “Menjelang Suatu Politik Kebudayaan”, Ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) 22 Mei 1972, dalam Agus R. Sarjono, Pembebasan Budaya-Budaya Kita: Sejumlah Gagasan di Tengah Taman Ismail Marzuki, Jakarta: Gramedia, 1999, hal. 53 152 Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 143 153 Ibid., hal. 146 154 Ibid., hal. 150 155 Ibid., hal. 152 151

46

Sikap aktif terhadap alam maksudnya ialah “… paham bahwa penguasaan alam oleh manusia merupakan suatu hal yang mungkin dan yang patut dikejar. ”156 Sikap ini merupakan “akar dinamika” dari pembangunan ekonomi karena dengan paham ini manusia menjadi aktif menyelidiki alam, mempelajari dan menemukan hukum-hukum alamiah, menggunakan hukum-hukum alamiah itu untuk menguasai alam, menaklukkan alam, serta mengeksploitasi alam untuk kepentingan pembangunan ekonomi suatu bangsa.157 Asas pembaruan yang terus-menerus maksudnya ialah “…intisari tanggapan ilmu pengetahuan…”158 atau dasar sikap ilmiah, dimana sikap ilmiah berkecenderungan untuk belajar, mencari tahu, mengumpulkan data-data dengan metode ilmiah, menyusun suatu teori yang logis dari data-data yang dikumpulkan, lalu teori itu diuji lagi terus-menerus, dan jika ditemukan datadata baru dari pengujian itu, ia bersedia mengubah teorinya yang semula. Satu teori terus-menerus diperbarui; satu pendapat diperbarui terus-menerus; satu pengetahuan diperbarui terus-menerus. Kebiasaan untuk memperbarui teori, memperbarui pendapat, dan memperbarui pengetahuan inilah yang merupakan dasar sikap ilmiah. Asas pembaruan yang terus-menerus yang dijiwai dengan dasar sikap ilmiah itu adalah “akar dinamika” pembangunan ekonomi. Dengan asas ini, suatu bangsa terus-menerus ingin membangun ekonominya karena teori ekonomi terus-menerus dinamis, diuji lagi, diperbarui lagi, diuji lagi, diperbarui lagi, dan begitu seterusnya. 159 Kepercayaan akan kesanggupan manusia untuk bebas menentukan nasibnya maksudnya ialah “…keyakinan bahwa nasib manusia di dunia ini untuk

sebagian penting dapat diperbaiki oleh manusia sendiri berkat pengetahuan alam ini…”160 Pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan hukum-hukum

alamiah serta penguasaan dan penaklukkan manusia atas alam menjadikan manusia penguasa alam. Dengan penguasaannya atas alam, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya dan berbuat apapun dalam alam yang telah dikuasainya itu. Kepercayaan ini adalah “akar dinamika” pembangunan ekonomi karena dengan kepercayaan ini rakyat suatu bangsa tidak takut mengekplorasi alam, mengeksploitasi sumber-sumber daya alamiah, demi suksesnya pembangunan ekonominya. Keyakinan bahwa menikmati hidup dan mengejar kenikmatan hidup adalah halal, maksudnya ialah “…membuang segala sikap Weltverneinung…”161 Sikap 156

Ibid., hal. 144 Ibid. 158 Ibid. 159 Ibid., hh. 144-145 160 Ibid., hal. 145 161 Ibid., hal. 150 157

47

Weltverneneinung ialah …bersifat menolak sepenuh-penuhnya kenikmatan lahir dari hidup di dunia ini. Di berbagai bagian Asia dan terutama di wilayah yang kebudayaannya dipengaruhi oleh filsafat Hindu, dan umumnya oleh tradisi mistisisme, sikap yang demikian ini sering kita dapati. Di bagian-bagian ini ikhtiar manusia untuk mengurangi kebutuhan-kebutuhan lahinya sering merupakan cita-cita yang kuat…”162 Keyakinan ini “akar dinamika” pembangunan ekonomi karena justru tujuan-tujuan pembangunan ekonomi yang akan dicapai ialah kemakmuran ekonomi yang berwujud kenikmatan hidup dalam bangsa yang makmur.

Sikap positif terhadap kerja maksudnya ialah sikap selalu ingin “…menambah

pengetahuan serta kejuruan yang diperlukan oleh perkembangan industrialisasi…”163 Sikap ini harus dimiliki oleh semua pekerja di suatu bangsa. Sikap selalu mengembangkan diri secara profesional, karena semakin suatu bangsa maju dalam pembangunan ekonominya, semakin pekerjanya dituntut selalu mengembangkan kejuruannya, keahliannya, dan profesionalismenya. Alat Pelaksana Pembangunan Ekonomi Alat-alat pelaksana pembangunan ekonomi adalah “… badan-badan perantara

yang harus melaksanakan perubahan-perubahan yang menyertai pembangunan ekonomi…” atau, “Alat-alat yang harus kita gunakan untuk membimbing perubahan yang luas dan mendalam…”164 Dengan kata lain, alatalat pelaksana pembangunan ekonomi adalah lembaga-lembaga sosial dalam suatu bangsa yang bertugas mengubah kebudayaan masyarakat supaya kebudayaan masyarakat itu mendukung pembangunan ekonominya. Menurut Bung Koko, terdapat beberapa lembaga-lembaga sosial yang merupakan instrumen-instrumen pengubah kebudayaan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.

Sekolah-sekolah Partai-partai politik Serikat-serikat buruh dan tani Alat-alat pembentuk pendapat umum Aparat birokrasi negara 165

Sekolah-sekolah merupakan instrumen penting pengubah kebudayaan demi menyukseskan pembangunan ekonomi suatu bangsa. Sekolah-sekolah bertugas menanamkan dan memupuk perilaku psikologis yang merupakan “akar dinamika kebudayaan” yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, sekolah162

Ibid., hal. 148 Ibid., hal. 151 164 Ibid., hal. 161 165 Ibid. 163

48

sekolah juga harus menyediakan banyak pilihan bidang kerja agar sesuai dengan “…kepentingan negara dan pembangunan ekonomi pada taraf

perkembangannya pada suatu waktu… si murid harus dibebaskan dari kungkungan pikiran bahwa tujuan satu-satunya yang layak baginya ialah menuntut pendidikan tinggi, sebagai dokter atau sarjana hukum. Padanya harus ditimbulkan keinginan untuk menempuh jalan yang baru… harus lebih disesuaikan dengan usaha pembangunan masyarakat Indonesia. ”166 Juga, sekolah-sekolah bertugas “…menyiasatkan cara-cara yang sebaik-baiknya untuk mengatasi segala “Weerstanden” (hambatan) itu dan untuk menahan kebiasaan-kebiasaan baru…”167 Jika sekolah-sekolah berhasil menjalankan semua tugas mengubah kebudayaan masyarakat ini, maka pembangunan ekonomi akan berhasil dijalankan.

Selain sekolah, instrumen penting pengubah kebudayaan suatu masyarakat agar mendukung pembangunan ekonomi bangsanya ialah partai-partai politik dan serikat-serikat buruh dan tani. Selain sebagai pelopor perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat, dua lembaga sosial ini dengan sendirinya adalah cerminan perubahan sosial; keduanya adalah lembaga sosial modern yang tidak dikenal dalam kebudayaan tradisional. Agar kedua lembaga sosial ini dapat mendukung pembangunan ekonomi sepenuhnya, maka hendaknya setiap anggota partai dan anggota serikat buruh menginsyafi bahwa “… politik

itu bukan hanya alat untuk merebut kekuasaan, melainkan bahwa berpolitik itu terutama ialah menimbulkan, menggerakkan, mengarahkan, dan membimbing kekuatan-kekuatan sosial dalam suatu masyarakat ke arah tujuan tertentu. ”168

Alat-alat pembentuk pendapat umum, seperti pers, juga merupakan instrumen pengubah kebudayaan masyarakat yang efektif, sebab fungsi pers “…bukan

hanya memberitakan yang telah terjadi melainkan juga mengarahkan perhatian serta kekuatan ke arah pembangunan masyarakat… ”169

Instrumen pengubah kebudayaan yang terakhir ialah aparat birokrasi negara. Aparat birokrasi negara yang diseleksi ketat dan dipilih adalah orang-orang yang telah dididik dan diajar dalam sekolah-sekolah berorientasi baru seperti yang dijelaskan sebelumnya. Aparat yang alumni sekolah berorientasi baru itu “…tidak lagi memandang kedudukan sebagai pegawai negeri terutama dari sudut prestise sosial yang menyertainya, melainkan sebagai salah satu dari

berbagai alat yang ada pada masyarakat… untuk mencapai tujuan pembangunannya.”170

166

Ibid., hh. 161-162 Ibid., hh. 162-163 168 Ibid., hal. 165 169 Ibid., hal. 164 170 Ibid., hal. 163 167

49

Daya ke Arah Perubahan dan Daya Penentang Perubahan Ketika suatu kebudayaan dalam suatu masyarakat berhadapan dengan suatu perubahan, maka kebudayaan itu memiliki dua kekuatan, atau dua dorongan, atau dua daya yang saling bertolak belakang, yakni: 1. Daya ke arah perubahan, yakni dorongan kuat untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan kapan pun kebudayaan itu menghadapi perubahan-perubahan. 2. Daya penentang perubahan, yakni dorongan kuat untuk mempertahankan sifat-sifat dan kepribadian kebudayaan itu dengan sedapat-dapatnya menolak perubahan-perubahan dari luar yang akan mengubah sifat dan kepribadian kebudayaan.171 Vitalitas suatu kebudayaan nampak dan terlihat jelas apabila daya ke arah perubahan lebih kuat daripada daya penentang perubahan. Sebaliknya, integritas suatu kebudayaan nampak dan terlihat jelas apabila daya penentang perubahannya lebih kuat daripada daya ke arah perubahan. Dua daya yang bertolak belakang ini dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia selalu bentrok satu sama lain, berbenturan satu sama lain. Benturan itu justru menunjukkan bahwa kebudayaan itu memiliki vitalitas dan integritas.172 Misalnya, dalam kebudayaan masyarakat Indonesia di zaman revolusi (tahun 1950-an), terdapat dua daya yang masing-masing menunjukkan vitalitas dan integritas. Vitalitas kebudayaan masyarakat Indonesia di zaman itu diindikasikan dengan adanya kehendak untuk menjalankan pembangunan ekonomi dan pengadopsian sains dan teknologi dalam kehidupan. Tapi vitalitas ini berhadapan langsung dengan daya penentang perubahan yang menghendaki integritas kebudayaan terus terjaga dan bertahan dari serbuan perubahan-perubahan, yakni skeptisisme sebagian besar golongan pegawai negeri dan sebagian besar pemimpin politik era tersebut yang tidak menghendaki pembangunan ekonomi dan pengadopsian sains dan teknologi.173 Karena daya penentang perubahan lebih kuat daripada daya ke arah perubahan, maka akibatnya ialah pembangunan ekonomi Indonesia di era 1950-an “…setengah-setengah saja dikerjakan, seperti tak bisa berangkat dan macet.”174

171

Ibid., hal. 146 Ibid. 173 Ibid., hh. 146-147 174 Ibid., hh. 134-135 172

50

Contoh lain dari fenomena benturan dua daya ini adalah yang terjadi di India di era Mahatma Gandhi. Mahatma Gandhi mewakili pemimpin-pemimpin India yang lebih mengutamakan integritas kebudayaan India dengan cara menolak kehidupan industrial, sedangkan Jawaharlal Nehru mewakili pemimpinpemimpin India yang lebih mengutamakan vitalitas kebudayaan India dengan cara menyesuaikan kebudayaan India yang telah ada dengan menerima unsur baru dari industrialisme Barat/Eropa. Gandhi pun “…tidak mengikuti jalan industrialisasi Barat, dan kembali kepada alat-alat pemintal yang sederhana…” Sayangnya, dengan cara itu Gandhi tidak bisa bertahan menghadapi masalah kemiskinan dan kemelaratan masyarakat India pada umumnya dan ia pun tidak bisa bertahan dari kekuatan-kekuatan bangsa Barat/Eropa yang mendesaknya dari luar, sehingga Gandhi pun gagal mengatasi masalah ekonomi India, dan rakyat India pun memilih Nehru untuk mengatasi masalah ekonomi. Ini menunjukkan bahwa daya vitalitas kebudayaan India yang diwakili Nehru di era itu lebih kuat daripada daya integritas kebudayaan yang diwakili Gandhi.175

Modernisasi Kebudayaan Modernisasi adalah membuat modern “…kebudayaan-kebudayaan… yang

dianggap pra-modern, tradisional, dan yang dianggap perlu disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan jaman dan tanggungjawabtanggungjawab baru yang menjadi konsekwensi dari kemerdekaan bangsa…”176 Modernisasi diperlukan oleh bangsa-bangsa bekas jajahan (postcolonial states), yang terdiri dari suku-suku etnis yang telah lebih dulu memiliki

“kebudayaan regional” sebelum bentuk persekutuan baru yang menjelma “negara bangsa” (nation-state) muncul. “Kebudayaan regional” adalah kebudayaan tradisional yang belum modern ( pra-modern). Berdirinya suatu negara bangsa membutuhkan dibentuknya “kebudayaan nasional” yang modern. Untuk itu, negara bangsa itu melakukan “modernisasi kebudayaan”, yakni memoderenkan “kebudayaan regional” yang masih pra-modern itu. Menurut Bung Koko, terdapat tiga faktor yang dapat mempercepat proses “modernisasi kebudayaan” tadi, yakni:

175

Ibid., hh. 148-149 Soedjatmoko, “Menjelang Suatu Politik Kebudayaan”, Ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) 22 Mei 1972, dalam Agus R. Sarjono, Pembebasan Budaya-Budaya Kita: Sejumlah Gagasan di Tengah Taman Ismail Marzuki, Jakarta: Gramedia, 1999, hal. 46 176

51

1. Faktor pendidikan 2. Faktor pembangunan 3. Faktor keterbukaan negara.177 Pendidikan, sistem pendidikan, orientasi pendidikan dan kurikulum pendidikan suatu bangsa bisa mempercepat “modernisasi kebudayaan” di dalam bangsa itu. Dalam sistem pendidikan dimasukkan orientasi pendidikan dan kurikulum pendidikan yang mengajarkan, mendidik, dan membiasakan murid-murid berperilaku dengan perilaku-perilaku yang merupakan “akar dinamika kebudayaan” yang telah dijelaskan di atas. Selain pendidikan, pembangunan suatu bangsa juga bisa mempercepat “modernisasi kebudayaan”. Pembangunan “…mau tak mau memaksakan

semua yang terlibat di dalamnya, untuk menjadi lebih sadar mengenai tujuan dari proyek yang dikerjakannya…”178 Pembangunan di dalam suatu negara

bangsa yang baru merdeka memiliki program-program, proyek-proyek, dan tujuan-tujuan yang baru yang sungguh berbeda dari kebutuhan-kebutuhan dalam kebudayaan tradisional atau “kebudayaan regional” sebelum kemerdekaan. Maka, agar tujuan-tujuan itu berhasil dicapai dan proyek-proyek pembangunan tercapai, semua yang terlibat dalam pembangunan mau tidak mau setidaknya harus mengadaptasikan diri pada program-program pembangunan yang sepenuhnya baru dan sepenuhnya berbeda daripada kebutuhan dan kepentingan dalam “kebudayaan regional” yang dulu. Selain dua faktor di atas, faktor keterbukaan negara terhadap turis-turis asing, peneliti-peneliti asing, dan pengaruh kebudayaan asing dari mancanegara juga sungguh signifikan dalam mempercepat proses “modernisasi kebudayaan”. Dengan dibukanya saluran-saluran bagi orang-orang asing untuk memasuki wilayah suatu bangsa, “kebudayaan regional” justru jadi menggeliat lagi. Orang asing membawa kebudayaan asing, sedangkan warga asli bangsa itu memiliki “kebudayaan regional”. Dua pihak ini akan bersitegang. Dengan ketegangan di dua belah pihak, justru “kebudayaan regional” akan kian mempertahankan diri sekaligus mencari saluran lain yang kreatif agar integrasi kebudayaannya terus terjaga. Bung Koko menganggap positif “ketegangan antar-kebudayaan” ini. Tanpa ketegangan yang kreatif antara “kebudayaan asing” dan “kebudayaan regional”, ujar Bung Koko, “… saya yakin dinamika perkembangan kehidupan kebudayaan… akan berkurang…”179

177

Ibid., hal. 51 Ibid. 179 Ibid., hal. 50 178

52

Kebudayaan Nasional Bagi suatu bangsa yang mempunyai penduduk yang terdiri dari banyak sukusuku bangsa, seperti halnya Indonesia, masalah “kebudayaan nasional” adalah masalah krusial. Suku-suku bangsa yang banyak itu masing-masing memiliki kebudayaan-kebudayaan khas yang telah mereka hayati bertahun-tahun sebelum mereka menggabungkan diri dalam persekutuan politik baru, yang disebut “republik”. Kebudayaan-kebudayaan ini disebut “kebudayaan regional” atau “kebudayaan daerah”. Masalahnya ialah apakah “kebudayaan regional” yang banyak itu harus dihapuskan karena republik itu sedang membangun “kebudayaan nasional” ataukah tidak? Persoalan ini dipikirkan secara serius oleh Bung Koko, sebab jika tidak segera diselesaikan, maka persoalan ini justru menghambat pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh suatu bangsa. Menurut Bung Koko, “kebudayaan nasional” dari suatu bangsa bersifat lentur, fleksibel, liquid, cair; tidak statis; ia dalam kondisi “… masih dalam kandungan…,”180 belum menjadi. Bahkan, walaupun sudah ada “kebudayaan regional” yang dimiliki suku-suku bangsa yang mendiami suatu bangsa, “kebudayaan nasional” tidak terwujud “… dengan hanya menjumlahkan kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada…”181 “Kebudayaan nasional” justru akan berujud manakala pembangunan ekonomi dijalankan oleh suatu bangsa. Pembangunan ekonomi yang dijalankan suatu bangsalah yang menentukan sifat, corak, karakter dari “kebudayaan nasional” suatu bangsa. Selama suatu bangsa tidak menjalankan pembangunan ekonomi, maka “kebudayaan nasional” bangsa itu tidak berwujud; atau “masih dalam kandungan”. Bung Koko menyontohkan bagaimana “kebudayaan nasional Indonesia” belum berwujud sepanjang bangsa Indonesia belum menjalankan pembangunan ekonomi: …soal apakah sifat dan corak kebudayaan Indonesia, yaitu kebudayaan bangsa Indonesia yang modern tidak usah menjadi soal yang harus kita jawab lebih dahulu sebelum kita mulai melakukan pembangunan ekonomi kita. Kebudayaan Indonesia akan merupakan penjelmaan jiwa bangsa Indonesia baru yang telah terbebaskan dari kungkungan kemiskinan dan yang telah menemukan dan menyadari inti pribadinya sendiri dalam kesanggupannya serta kepercayaannya kepada diri sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri. Tak usah kita sangsikan bahwa pangkal sifat Indonesia dari kebudayaan kita tidak akan dapat menyatakan satu jawaban terhadap masalah pembangunan…182

180

Soedjatmoko, ‘”Masa Lalu yang (tidak) Membunuh Masa Depan: Tentang Kesusastraan dan Konfrontasi Budaya”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 179 181 Ibid. 182 Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 159

53

…sikap kita terhadap pembangunan ekonomi, merupakan masalah kebudayaan, oleh sebab cara bertindak ekonomis suatu masyarakat tak lain merupakan satu wajah kebudayaannya sendiri. Maka bisa kita katakan, bahwa kebudayaan Indonesia masih dalam kandungan, dan bahwa kebudayaan Indonesia itu tidak tercapai dengan hanya menjumlahkan kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada pada waktu-waktu sekarang ini…183 Pertanyaan corak-corak mana yang akan dimiliki oleh kebudayaan Indonesia, akan ditentukan jawabnya, oleh cara-cara kita menghadapi soal-soal pembangunan ekonomi, oleh cara-cara kita mengerahkan tenaga-tenaga yang terkandung dalam masyarakat kita dan oleh cara-cara kita menyalurkan dan menggunakannya, pada umumnya oleh cara-cara kita mendinamiskan masyarakat kita serta cara mempertinggi tempo kehidupan. Artinya, oleh cara-cara kita mencapai kesanggupan mengembangkan kekuatan ekonomi dan politik di atas tingkatan yang lebih tinggi…184

Dengan kata lain, “kebudayaan nasional” suatu bangsa akan berujud bersamaan dengan wujud pembangunan ekonomi yang dijalankan bangsa itu. Hasil-hasil kesuksesan dari pembangunan ekonomi suatu bangsa akan sepenuhnya mewarnai “kebudayaan nasional” yang dibangun bangsa itu. Jika pembangunan ekonomi suatu bangsa umpamanya bercorak kapitalisme, maka bersamaan dengan itu “kebudayaan nasional” yang dibangun bangsa itu juga akan bercorak kapitalisme. Jika pembangunan ekonominya bercorak sosialistik, maka “kebudayaan nasional” juga akan bersamaan bercorak demikian. Jadi, watak dan corak khas “kebudayaan nasional” suatu bangsa ditentukan oleh pembangunan ekonomi bangsa itu.

Politik Kebudayaan yang Evolusioner dan Politik Kebudayaan yang Revolusioner Setiap pemerintah harus memiliki “politik kebudayaan” atau “strategi kebudayaan”, karena “strategi kebudayaan” itu akan “…membimbing proses

modernisasi dan pembangunan sehingga menjaga dan memperkuat kepribadian nasional, kontinuitas kebudayaan, dan kemampuan kita untuk berdiri sendiri di atas kaki sendiri, sekaligus dengan memperkuat kesatuan nasional…”185

Pemerintah suatu negara bisa menjalankan dua jenis politik kebudayaan agar semua rakyatnya berubah dari satu kebudayaan yang lama ke kebudayaan

183

Soedjatmoko, ‘”Masa Lalu yang (tidak) Membunuh Masa Depan: Tentang Kesusastraan dan Konfrontasi Budaya”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 179 184 Ibid., hal. 182 185 Soedjatmoko, “Prakata”, dalam C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko, Jakarta: Kanisius & BPK Gunung Mulia, 1976, hal. 5

54

yang baru, atau agar semua rakyatnya lebih berdaya ke arah perubahan daripada berdaya penentang perubahan, yakni: 1. Politik kebudayaan yang evolusioner 2. Politik kebudayaan yang revolusioner Politik kebudayaan yang evolusioner adalah politik kebudayaan yang diarahkan, diatur, dibiasakan secara sadar dan dilakukan oleh pemerintah secara bertahap-tahap dalam jangka waktu yang perlahan-lahan. Pemerintah yang menjalankan politik kebudayaan yang evolusioner melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan lembaga-lembaga sosial dan lembagalembaga kebudayaan yang telah ada di dalam masyarakatnya sehingga semua rakyatnya siap lahir dan batin untuk menerima perubahan kebudayaan yang dikehendaki pemerintah dari atas.186 Sedangkan politik kebudayaan yang revolusioner adalah politik kebudayaan yang diarahkan, diatur, dan dibiasakan secara sadar dan dijalankan dengan sepenuh hati oleh pemerintah secara segera, tidak ditunda-tunda, cepat sekejap, dalam jangka waktu yang relatif singkat. Pemerintah yang menjalankan politik kebudayaan yang revolusioner, seperti yang dilakukan oleh Uni Soviet misalnya, tidak mau melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan lembaga-lembaga kebudayaan yang telah ada di masyarakatnya, tapi malah memusnahkan lembaga-lembaga kebudayaan itu dengan paksaan dan kekerasan, lalu mengintegrasikan kembali kebudayaannya dengan susunansusunan yang baru, dengan campuran paksaan dari atas, antusiasme ideologis yang sengaja ditinggikan, dan patriotisme yang sengaja dielu-elukan oleh pemerintah.187 Politik kebudayaan yang revolusioner tidak mesti dijalankan oleh suatu pemerintah dengan cara paksaan dan kekerasan dari atas; ia bisa juga dijalankan dengan cara penyadaran dan cara bimbingan ke bawah. Masyarakat yang kebudayaannya akan diubah ke kebudayaan yang baru disadarkan betulbetul oleh pemerintah dan dibimbing betul-betul oleh pemerintah akan betapa pentingnya politik kebudayaan yang revolusioner itu demi kebahagiaan rakyatnya. Jika kesadaran dan pencerahan jiwa rakyat telah berhasil, maka politik kebudayaan yang revolusioner dijalankan oleh pemerintah bukan hanya diterima baik oleh rakyat, tapi malah akan berhasil memajukan kehidupan rakyat. Pemerintah yang berhasil menjalankan politik kebudayaan revolusioner tanpa paksaan dan kekerasan dari atas ialah pemerintah Yugoslavia dan pemerintah Israel. Pemerintah Yugoslavia menjalankan politik kebudayaan revolusioner dengan dukungan rakyat yang penuh dan berhasil melepaskan 186

Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 154 187 Ibid., hal. 157

55

diri dari kekuasaan Rusia secara penuh, sedangkan pemerintah Israel menjalankan politik kebudayaan revolusioner dengan dukungan penuh rakyatnya dan berhasil menjalankan pembangunan ekonomis bangsanya dengan mendirikan koperasi-koperasi rakyat (kibutzin).188 Agama Agama dibagi menjadi tiga kategori, yakni: 1. “Agama dalam kitab suci” 2. “Agama historis” 3. “Agama instrumental” Agama dalam kitab suci ialah “… kekayaan khasanah, pikiran, dan kaedah-

kaedah agama yang ada di dalam kitab suci atau di dalam buku-buku agama…”189 Mengenai ini, Bung Koko tidak pernah membincang dan

membahasnya. Sementara agama historis dan agama instrumental maksudnya ialah agama yang dipraktekkan oleh “… orang-orang dan lembaga-lembaganya untuk memegang peranan di masa depan…”190 Bung Koko selalu membahas dua jenis agama ini dalam pemikiran beliau. Agama historis ialah agama yang berfungsi memberikan pelajaran historis kepada umat manusia. Ialah agama yang menyejarah; agama sebagai fenomena sejarah; agama yang diteropong dan dinilai lewat pendekatan historis; agama yang dinilai dan dievaluasi dengan pengadilan sejarah. Agama yang menyejarah adalah agama yang pernah dipraktekkan oleh generasi terdahulu, yang bernilai sejarah bagi generasi sekarang. Generasi sekarang dapat menimba pengalaman dari agama yang telah dipraktekkan oleh generasi terdahulu lewat penelitian sejarah. Misalnya, Bung Koko menyebutkan agama historis dengan ungkapan-ungkapannya sebagai berikut:  “bila di masa lampau agama menghindari diri dari berurusan dengan

problem dalam rumusan struktural itu, dengan semata-mata memperhatikan manusia secara pribadi dan mengurus kerohanian pribadi saja, maka dengan pengertian struktural ini, sekarang agama secara langsung berhadapan dengan persoalan kekuasaan dan ketegangan abadi antara kekuasaan dan moralitas. ”191

188

Ibid., hal. 158 Soedjatmoko, “Tanggung Jawab Agama terhadap Masa Depan Umat Manusia”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 215 190 Ibid. 191 Soedjatmoko, “Perdamaian, Keamanan, dan Martabat Kebangsaan”, prosiding Konferensi Asia “Agama dan Perdamaian” di Singapura, 25 November 1976, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 106 189

56

 “Dalam masa lampau setiap agama besar menyediakan konsepkonsep…” simpati pada orang lain, rasa kemanusiaan dalam dunia yang sesak dan kompetitif, dan mencintai satu sama lain. “Sekarang, untuk

pertama kali dalam sejarah, menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil bagian,…dari sebuah visi dan dalam konsep manusia mengenai dirinya sendiri, mengenai sesamanya, bahkan dengan orang-orang yang menyatakan dirinya tidak beragama sekalipun.”192  “Saya kira kita harus melihat dahulu sejarah agama pada umumnya, yakni pada agama dan lembaga-lembaganya… perpecahan dalam semua agama itu ada, artinya dialami oleh semua agama. Kita bisa melihat pada waktu adanya perang-perang agama di Eropa itu yang lamanya kira-kira 30 tahunan, dan hampir tak ada habisnya… ”193  “Most religions have at one point or another in history played one of these roles and usually both - at different times - and it would be folly to ignore the potential that religions have to facilitate or to hamper the process of development and nation building.”194  As claimants to ultimate truth and reality, all religions have had difficulty in their relationship to history and social change. While both history and social change inevitably bear the stamp of the prevailing religion, both at the same time continue to escape the precepts, norms and injunctions of religion. Of course, the tension between religion on the one hand and society with its own autonomy so to speak, on the other is a basic and permanent one. Mostly, that tension is a creative one. It is from this tension that many of man's cultural and artistic achievements flow. Rapid social change, however, disproportionately aggravates the already difficult relationship between religion and society.”195 Sedangkan “agama instrumental” ialah agama yang berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mencapai suatu tujuan atau untuk melayani kepentingan dan keuntungan umat manusia. Ialah agama yang berfungsi sebagai alat atau agama yang bertugas sebagai sarana (means) untuk mencapai suatu tujuan (ends) tertentu; agama sebagai pemicu atau penyebab atau penggerak atau motivator eksternal bagi kesuksesan dan keberhasilan suatu proyek kemanusiaan. Contoh agama instrumental yang disebut dalam karangankarangan Bung Koko ialah sebagai berikut:

192

Ibid., 113 Soedjatmoko, “Tanggung Jawab Agama terhadap Masa Depan Umat Manusia”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 222 194 Soedjatmoko, “Religions and the Development Process in Asia”, ceramah di Asian Ecumenical Conference for Development, Tokyo Jepang, Juli 1970, dimuat di Occasional Bulletin from The Missionary Research Library, New York, dalam http://www.internationalbulletin.org/issues/1971-00/1971-02-001-soedjatmoko.pdf, hal. 6 195 Ibid., hal. 8 193

57

 Kemampuan “…untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan agama…” Islam oleh para mahasiswa-mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sungguh amat diperlukan sebagai alat untuk menghadapi “…masalah dan perkembangan baru… ” yang terjadi di tingkat nasional dan global di abad ke-21, yakni masalah kependudukan, masalah tenaga kerja, masalah kemiskinan, masalah ekonomi internasional, masalah dampak IPTEK, dan masalah pemanasan bumi.196  Agama berfungsi sebagai alat untuk “… memobilisir sumber-sumber spiritual…” agar kemampuan manusia menangani persoalan-persoalan perdamaian internasional, masalah keamanan dalam negeri, dan masalah pembangunan kian baik.197  Agama berfungsi sebagai pembantu dalam “…mengembangkan

kepekaan serta kepercayaan terhadap orang-orang yang berbeda dengan kelompok sendiri…” minimal secara internal dalam tradisi

agamanya sendiri.198  Agama-agama di Asia ikut mengurus perubahan sosial dan politik dan skala persoalan yang menyertai Asia.199  Agama ikut menangani ketegangan-ketegangan dalam proses pembangunan dan transformasi sosial.200  Agama ikut bertanggung jawab dalam “… berusaha mengurangi

sebanyak mungkin biaya sosial dan biaya manusia untuk mencapai perubahan, dan sebanyak mungkin pula berusaha memanusiakan proses perubahan…” sosial.201  Agama menyiapkan dan menyediakan suatu “…struktur pengertian yang pencapaiannya melampaui politik, untuk menghubungkan arah peristiwa umat manusia dan tanggung jawab manusia dengan tujuan-tujuan moral…”202  Agama mengurangi usaha mengajak orang-orang beragama lain pindah ke agamanya, dan “…mensubordinasikan usaha pemindahan agama ini

kepada kebutuhan akan solidaritas yang lebih besar dalam usaha bersama untuk menjamin kebutuhan minimum bagi terselenggaranya kesantunan dan martabat manusia di bawah tekanan-tekanan yang

196

Soedjatmoko, “Manusia Indonesia Menjelang Abad Ke-21 dan Persiapannya”, dalam Tim Tiara Wacana Yogya, Soedjatmoko dan Keprihatinan Masa Depan, Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya, 1991, hh. 87-104 197 Soedjatmoko, “Perdamaian, Keamanan, dan Martabat Kebangsaan”, prosiding Konferensi Asia “Agama dan Perdamaian” di Singapura, 25 November 1976, dalam dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hh. 94-95 198 Ibid., hal. 102 199 Ibid., hal. 106 200 Ibid., hal. 108 201 Ibid., hal. 110 202 Ibid., hal. 111

58



 





makin meningkat, bagi pembatasan konflik, pengurangan kekerasan, dan bagi ikhtiar memanusiawikan perubahan sosial… ”203 Agama-agama membantu “…menjamin perdamaian dengan martabat manusia dalam warsa-warsa mendatang dan memelihara dan mengasuh di antara bangsanya masing-masing, keberanian dan kehendak politik untuk membangun masyarakat-masyarakat… menjadi masyarakatmasyarakat yang lebih manusiawi, melalui cara-cara yang lebih manusiawi, meskipun dengan resiko yang lebih besar… ”204 Agama “…membantu manusia mengadakan pilihan-pilihan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moril dalam menghadapi hari depan…”205 “The system of social organization in most of our traditional Asian societies was shaped by religion. The most meaningful language of large parts of Asia's masses is still the language of religion. We cannot therefore begin to understand their social dynamics, nor can we develop ways of utilizing or circumventing them in the development process unless we understand how religion meshes into social relations and into collective as well as individual human behavior. These religions can be a strong motivating and integrative force.”206 “If, however, the prevailing religion in a society in the process of social transformation develops, through its leaders, an adequate comprehension of the process of social change, of the urgency of development, the social factors impelling it and the requirements that will have to be met as a pre-condition for civility and for the viability of any political system, religion can play an important reintegrative role.”207 “Be that as it may, one thing seems to be certain. The attainment of, or failure to attain, the goals of development could very much be determined by whether the religions of Asia will be able to absorb and digest the new elements and perspectives that come with social change, without loss of their own integrity. Insofar as this comes about, they will be able to play the essentially reintegrative and motivating role described here . Further, the manner in which the religions of Asia position themselves relative to the development process is bound to have a profound impact on the political systems that will emerge and on the political process that will develop. In other words, unless the religions in

203

Ibid. Ibid., hal. 114 205 Soedjatmoko, “Tanggung Jawab Agama terhadap Masa Depan Umat Manusia”, dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 225 206 Soedjatmoko, “Religions and the Development Process in Asia”, ceramah di Asian Ecumenical Conference for Development, Tokyo Jepang, Juli 1970, dimuat di Occasional Bulletin from The Missionary Research Library, New York, dalam http://www.internationalbulletin.org/issues/1971-00/1971-02-001-soedjatmoko.pdf, hal. 6 207 Ibid., hal. 8 204

59

Asia are capable of formulating their own development ideology, and learn to use their tremendous influence on the masses toward the attainment of development goals, they may in the end be shunted aside, and it may well be the secular counter-religions which will shape the political systems through which these goals will be achieved.”208  “Such an involvement of all religions in the country and their organizations will therefore be an important step towards the building of a transcommunal consensus for development, and in this way contribute to the decommunalization and depolitization of development. All religions within a single society thus have a common interest in developing among themselves the understanding, accommodations and self-restraints, as well as modes of explicit and implicit cooperation which will ensure the continued participation of all religions in the developmental efforts at all levels. They also have a common stake in strengthening the capacity of the nation as a whole to deal with conflicts - political, social, cultural as well as interreligious or intercommunal conflicts - peacefully, with full regard of the basic human rights. While many of our nations are committed to these basic rights, the social preconditions for their effective application are on the whole quite fragile. And this is bound to remain so unless an effective and militant constituency is forged - out of elements drawn from all religions - on which civility and tolerance could rest.”209  “Should not the religions in Asia raise the question of the desirability and possibility of alternative social systems, of an alternative civilization capable of coping with the problems of the 20th and 21st centuries, that could be maintained at a lower human and ecological cost. The religions of Asia cannot escape the responsibility while playing out their constructive role in the development process itself, of raising these fundamental issues in order that each step, each choice in the course of development is made in full awareness of the options that become open to man as soon as he refuses blindly to follow the steps in economic development already taken by the industrially advanced nations. In order to be able to play this creative role it will be necessary for the leaders of these religions not only to speak to the problems of development in terms of the formal precepts or in terms of the general moral values of their religions, but in terms that make sense to their followers in their efforts towards material, intellectual and spiritual improvement.”210

208

Ibid., hh. 8-9 Ibid., hal. 9 210 Ibid., hal. 11 209

60

 “In order to guarantee peaceful co-existence among differing peoples,

cultures and social systems, thereby fostering global co-operation in solving the many problems that confront today's increasingly perilous, insecure and fragile world, the participation of the world's major religions is essential. They could be a major force in the shaping of a sense of shared humanity and solidarity across the globe and with future generations.”211

Penyesuaian Kreatif (Creative Adjustment ) “Penyesuaian” ialah kemampuan suatu kebudayaan untuk mencerna dan menyesuaikan terhadap kebudayaan-kebudayaan asing yang datang kepadanya untuk keperluan, kepentingan dan tujuan dari kebudayaan itu sendiri, sehingga kebudayaan-kebudayaan asing itu demikian luruhnya dan tidak terasa asing lagi, tapi bahkan dirasakan sebagai kebudayaan itu sendiri.212 Penyesuaian tersebut tidak bersifat pasif; tinggal menerima saja kebudayaankebudayaan asing itu. Tidak. Melainkan penyesuaian itu bersifat kreatif; dalam artian bahwa kebudayaan itu “…dirangsang oleh pengaruh-pengaruh luar, ke arah kreatifitas yang lebih besar… ”213 atau kebudayaan itu “…senantiasa

menghadapi pengaruh-pengaruh luar dengan satu cetusan kreatifitas baru, yang akhirnya mampu mencerna pengaruh-pengaruh luar itu menjadi bahanbahan pembinaan kebudayaan sendiri…”214 Contoh bagaimana kebudayaan-kebudayaan di dunia “penyesuaian kreatif” dijelaskan oleh Bung Koko sebagai berikut:

melakukan

Perkembangan kebudayaan di Eropa Barat misalnya, merupakan hasil pertemuan dengan kebudayaan Islam dalam Perang Salib. Timbulnya Renaisans di Italia Utara lantaran penemuan kembali kebudayaan Yunani Klasik. Dan kegemilangan kebudayaan Islam merupakan akibat pertemuan dengan kebudayaan Hellenistis, dan kemudian, setelah surut sebentar, dalam abad ke-16 merupakan akibat pengaruh Mongol dan Turki di India sebagai akibat konfrontasi Mongol dengan kebudayaan asli India. Di Indonesia perkembangan kebudayaan Hindu dan kemudian pertemuannya dengan kebudayaan Islam, menunjukkan, betapa besar manfaat serta kemajuan yang dimungkinkan oleh pertemuan satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Nyatalah apa yang menjadi pokok dalam pertemuan dua kebudayaan itu, yaitu kemampuan kebudayaan yang satu untuk mencerna dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan yang lain kepada keperluan serta tujuantujuannya sendiri.

211

Soedjatmoko, “Education for Peace: The Role of Religion”, pidato pembukaan the 2 nd Asian Conference on Peace and Religion, New Delhi, India, 7-11 November 1981, tidak dipublikasikan, dari http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/19104-[_Konten_]-Konten%2098.pdf, hal. 1, 212 Soedjatmoko, “Mobilisasi Mental dalam Sukma Kebudayaan”, dalam dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hh. 73-74 213 Ibid., hal. 74 214 Ibid., hal. 77

61

Semua kebudayaan-kebudayaan itu tidak pasif saja menerima pengaruhpengaruh dari kebudayaan-kebudayaan asing yang mendatanginya “…melainkan mencari celah kekuatan bagi berkembangnya kreatifitas yang lebih besar…” di pihak kebudayaan-kebudayaan itu.215 Contoh lain dari “penyesuaian kreatif” ialah masuknya teknologi mesin (misalnya, traktor) ke dalam kebudayaan suatu desa. Ketika traktor masuk dalam hidup warga desa, maka warga desa akan melakukan penyesuaianpenyesuaian: warga mulai belajar menggunakannya, belajar memeliharanya, cara-cara kerja para petani dalam menggarap sawah pun disesuaikan dengan traktor. Lama-kelamaan, para petani menganggap traktor seperti halnya paculnya; traktor sudah menjadi bagian kebudayaan warga desa itu; warga desa itu “…mencernakan mesin tadi dalam tubuh kehidupan masyarakat… ” di desa,216 sehingga traktor itu “…menjadi darah daging… menjadi alat-alat dan cara-cara…memenuhi kebutuhan…” mereka sendiri. 217 Akan tetapi, mereka tidak berhenti di sini saja; dalam diri mereka malah “… timbul keinginan dan

kesanggupan, tidak saja untuk memelihara mesin itu, melainkan juga untuk membuatnya sendiri, dan untuk senantiasa menciptakan mesin-mesin yang lebih baik dari yang sudah-sudah, yang lebih sesuai lagi dengan kebutuhan… ” riel dalam hidup warga desa.218 Inilah hakikat dari “penyesuaian kreatif dari kebudayaan” yang dimaksud Bung Koko.219

Apabila “penyesuaian” tidak bersifat “kreatif”, tapi “pasif”, maka menurut Bung Koko, penyesuaian itu “…tidak akan dapat melampaui taraf imitasi, taraf tiruan belaka…” Kebudayaan yang hanya melakukan “penyesuaian pasif” seperti ini “…hanya akan meningkat dari tingkat statis yang satu ke tingkat statis yang lain, dan … senantiasa akan terbelakang. ”220 Kebudayaan yang tidak melakukan “penyesuaian kreatif”, tapi justru senantiasa meniru dan mengopi kebudayaan asing akan menjadi tergantung pada kebudayaan asing. Ketergantungan pada kebudayaan asing bukannya menstabilkan kebudayaan itu, tapi justru malah menggoncangnya, mengubahnya dan pada akhirnya mematikannya. ... authentic modernization—which does not lead to a loss of identity, self-respect, and creativity—is possible only if tradition is recognized as a resource of great significance and power. Cultural continuity, in combination with rigorous selfcriticism and constant reinterpretation, is therefore an essential requisite for the creative adjustment that modernization demands. Modernization that is fueled by 215

Ibid. Soedjatmoko, “Pembangunan Ekonomi sebagai Masalah Kebudayaan, dalam dalam Muhidin M. Dahlan (ed.), Kebudayaan Sosialis, Jakarta: Penerbit MELIBAS, cet-2, 2004, hal. 140 217 Ibid., hal. 145 218 Ibid., hal. 140 219 Ibid., hal. 141 220 Ibid. 216

62

outside forces or models is possible, at least for a time, but it leads to dependence rather than autonomy, to instability rather than social resilience.221

Ikhtisar Filsafat Karena “kebudayaan” bermakna sama, bermakna serupa, dan sejajar dengan kata Belanda “cultuur” dan kata Inggris “culture”, maka implikasi-implikasinya adalah sebagai berikut: a. Kebudayaan dipahami Pak Koen seluruhnya secara politik-pembangunan (developmentalist politics) dan etika-pembangunan (developmentalist ethics); sehingga semua pengertiannya tentang kebudayaan diwarnai oleh kajian-kajian beliau tentang politik pembangunan dan etika pembangunan. b. Culture dalam bahasa Inggris dan cultuur dalam bahasa Belanda berarti kebudayaan dalam bahasa Indonesia; tidak ada perbedaan apapun di antara kata-kata tersebut; baik cultuur, culture, dan kebudayaan serupa dan sama. c. The Humanities dalam bahasa Inggris diterjemahkan Bung Koko dengan “Ilmu-Ilmu Humaniora”, dimana kebudayaan masuk dalam obyek kajiannya.222 d. Bung Koko menerjemahkan semua derivasi dari culture (semisal cultural identity, cultural aspect of development, cultural element, dsb.) dengan kebudayaan.

4. Penerjemah-Penerjemah Buku Pembahasan mengenai Filsafat Kebudayaan “Mazhab Profan” diakhiri dengan pembahasan mengenai penerjemah-penerjemah buku tentang kebudayaan. Setiap penerjemah pasti membawa asumsi-asumsi bawaan ke dalam terjemahannya; tak terkecuali para penerjemah buku tentang kebudayaan; mereka membawa-serta asumsi-asumsi bawaan tentang kebudayaan yang amat dikuasai dan yang amat dihayatinya, lalu memasukkannya secara tersadari maupun tak-tersadari ke dalam terjemahannya. Asumsi-asumsi kebudayaan bawaan ini berakar pada bacaan mereka tentang kebudayaan di 221

Soedjatmoko, “The Humanities and Development”, pidato pada The 4th National Science Congress of the Indonesian Council of Sciences, 9 September 1986, Jakarta, tidak dipublikasikan, dari http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/17948-[_Konten_]-Konten%206550.pdf, hal. 9 222 Soedjatmoko, “The Humanities and Development”, pidato berbahasa Inggris dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional ke-4 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tanggal 9 September 1986, tidak dipublikasikan, hal. 4

63

waktu lampau, yang menginternalisasi jauh ke alam bawah-sadar mereka. Jika bacaan mereka tentang kebudayaan adalah bacaan kebudayaan ala “Mazhab Profan”, maka pastilah keluaran terjemahan mereka pun ala “Mazhab Profan”; begitu pun sebaliknya. Jika bacaan mereka tentang kebudayaan adalah bacaan kebudayaan ala “Mazhab Sakral”, maka terjemahan yang dihasilkan pun ala “Mazhab Sakral”. Jadi, terjemahan mereka merepresentasikan betul-betul bacaan kebudayaan mereka di jauh-jauh hari, yang menginternalisasi menjadi super-ego saat mereka menghasilkan terjemahan. Walaupun tidak memiliki pandangan-pandangan filosofis tersendiri, para penerjemah buku kebudayaan di bawah ini turut menggencarkan masifnya signifikansi profan dari kebudayaan; mereka menerjemahkan pikiran-pikiran filosofis dari pemikir-pemikir Eropa/Barat dalam bingkai makna kebudayaan khas Indonesia. 4.1. Dick Hartoko Dick Hartoko, seorang rohaniwan dan filosof yang memiliki nama asli Theodoor Willem Geldorp ini, menerjemahkan buku karangan Cornelis Anthonie van Peursen (1920-1996) berbahasa Belanda, yang berjudul Cultuur in

stroomversnelling: Een geheel bewerkte uitgave van Strategie van de cultuur

(1975) ke Bahasa Indonesia. Buku ini diterjemahkan oleh beliau ke Bahasa Indonesia menjadi berjudul Strategi Kebudayaan (1976). Dalam buku ini, Soedjatmoko (Bung Koko) menuliskan “Prakata”. 223 Di dalam buku ini, Dick Hartoko menerjemahkan kata Belanda “cultuur” dengan kata Indonesia “kebudayaan” di seluruh halaman buku tersebut. Lewat pena dan tinta Dick Hartoko, cultuur alias kebudayaan, dipahami sebagai:  “… manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-

orang; berlainan dengan hewan-hewan maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah dia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah dia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor hewan, ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiahnya, dan justru itulah yang kita namakan kebudayaan.”224

223

Lihat ‘Prakata” yang ditulis Soedjatmoko, dalam C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko, Jakarta: Kanisius & BPK Gunung Mulia, 1976, hh. 5-7. Kata beliau: “…pentingnya buku ini ialah bahwa dia dapat membekali kita dalam kita sendiri mempertanyakan dan coba menjawab masaalah-masaalah nasional kita di bidang kebudayaan. Oleh karena itu penerbitan buku ini dalam bahasa Indonesia merupakan suatu kejadian yang penting, yang patut disambut dengan gembira, justru di dalam tahap pembangunan kita sekarang ini.” (hal. 7). 224 C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko, Jakarta: Kanisius & BPK Gunung Mulia, 1976, hal. 10

64

 “… kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan







 

sesuatu yang kaku atau statis. Dulu kata “kebudayaan” diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih sebagai sebuah kata kerja. Kebudayaan bukan lagi pertama-tama sebuah koleksi barang-barang kebudayaan, seperti misalnya karya-karya kesenian, buku-buku, alat-alat, apalagi jumlah museum, gedung-gedung universitas, ruang-ruang konperensi, kantor-kantor pajak dsb. Bukan, kini kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia yang membuat alat-alat dan senjata-senjata, dengan tata upacara tari-tarian dan mantera-mantera yang menentramkan roh-roh jahat, dengan cara anak-anak dididik dan orangorang yang bercacad mental diperlakukan, dengan aneka pola kelakuan yang bertautan dengan erotik, perburuan, sidang-sidang parlemen, resepsi perkawinan, dsb… kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan: riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada.”225 “… kebudayaan jangan dipandang sebagai sebuah titik tamat atau keadaan yang telah tercapai, melainkan terutama sebagai sebuah penunjuk jalan, sebuah tugas: kebudayaan itu ibarat sebuah cerita yang beluum tamat, yang masih harus disambung. Maka dari itu kebudayaan dewasa ini hendaklah dilukiskan sebagai suatu tahap, sebagai suatu bagian dalam cerita tentang sejarah perkembangan. ”226 “Bila kita ingin memperbaiki atau menyetel sebuah mesin, maka kita harus tahu dulu, bagaimana mesin itu jalan. Pengertian mengenai sebuah proses dapat mengakibatkan, bahwa kita dapat mengarahkan proses itu—dan ini berlaku mengenai proses-proses dalam tehnik atau alam, tetapi juga mengenai proses-proses dalam kebudayaan manusia.”227 “… setiap orang ingin mencoba mencampuri atau menangani kekuatankekuatan yang turut membentuk kebudayaan… Jalan yang akan ditempuh ialah secara sungguh-sungguh memikirkan, bagaimana masalah kebudayaan dapat ditangani, dikelola atau diperalat… merenungkan gejala kebudayaan sebagai suatu usaha untuk mencapai suatu policy yang lebih baik…”228 “… sejarah umat manusia selalu memperlihatkan suatu dimensi baru, yaitu penilaian moril…, pembelokan arah kebudayaan, dorongan pembaharuan…”229 “… kebudayaan tidak berarti, bahwa kita bersikap seperti daun puteri malu, atau menggulingkan diri kita seperti seekor landak dalam

225

Ibid., hal. 11 Ibid., hal. 13 227 Ibid., hh. 13-14 228 Ibid., hal. 13 229 Ibid., hal. 16 226

65



   

isolemennya, melainkan bahwa kita mengeluarkan kepala kita, berani menghadapi situasi tertentu lalu menyusun sebuah evaluasi. Kebudayaan menyerupai gerak pasang surut antara manusia dan kekuasaankekuasaan itu, ketegangan antara imanensi dan transendensi, kebijaksanaan atau strategi yang mengatur pasang surut, memberi dan mengambil itu. Bila kebudayaan dipandang sebagai sekolah umat manusia, maka dapat juga dinamakan “pendidikan terus-menerus”; pendidikan di sekolah ini tak ada tamatnya dan sepanjang sejarah hubungan antara manusia dan kekuasaan-kekuasaan itu diatur oleh rencana-rencana baru…”230 “… filsafat kebudayaan bukan lagi suatu tujuan tersendiri, melainkan sebuah alat atau sarana: merenungkan tentang kebudayaan kita bukan pertama-tama merupakan suatu usaha teoritis, melainkan menyediakan sarana-sarana yang dapat membantu kita memaparkan suatu strategi kebudayaan untuk hari depan. Manusia modern hendaklah dijadikan sadar tentang kebudayaannya, dan ini berarti bahwa ia secara aktif harap turut memikirkan dan merencanakan arah yang akan ditempuh oleh kebudayaan manusiawi.”231 “… setiap kebudayaan dapat dipandang sebagai suatu rencana tertentu, suatu policy atau kebijaksanaan tertentu… ”232 “Kini para sarjana tidak lagi sibuk membeberkan kebudayaan itu secara teoritis; tidak, secara praktis mereka ingin menyusun semacam policy kebudayaan, suatu strategi kebudayaan. ”233 “Kebudayaan merupakan suatu strategi atau rencana yang dibuat oleh manusia dan yang diarahkan kepada hari depan. ”234 “Di dalam suatu strategi kebudayaan dapat ditemukan jalan-jalan baru yang sebelumnya tidak kita sadari, metode-metode berpikir yang baru; dirubah organisasi dalam bidang penelitian dan angket, dibuat pertimbangan-pertimbangan yang lebih halus dan disusun suatu policy yang lebih kreatif, itu semua dapat dikembangkan—asal proses belajar manusia itu dapat berlangsung dengan bebas dalam bidang rasa tanggung jawab moril.”235

 Ada tiga “strategi kebudayaan” yang dapat dilakukan oleh semua manusia untuk mengarahkan kebudayaannya, mengevaluasi jalan kebudayaannya selama ini, memperalat kebudayaannya untuk kemajuan masa depannya, untuk menyusun suatu policy tertentu mengenai 230

Ibid., hal. 24 Ibid., hal. 10 232 Ibid., hal. 17 233 Ibid., hal. 9 234 Ibid., hal. 216 235 Ibid., hh. 225-226 231

66

kebudayaannya, dan untuk mengubah dan membelokkan arah kebudayaannya, yakni: “strategi kebudayaan mitis”, “strategi kebudayaan ontologis”, dan “strategi kebudayaan fungsional”.236  Tiga “strategi kebudayaan” ini dapat diterapkan ke hampir semua masalah-masalah kebudayaan manusia. Misalnya, dalam hal manajemen perusahaan (bagaimana kepemimpinan dalam perusahaan itu menampakkan diri dalam “strategi mitis”, “strategi ontologis”, dan “strategi fungsional”) atau dalam hal mentalitas kerja karyawan-karyawan dalam suatu perusahaan (bagaimana cara kerja mereka menurut “strategi mitis”, “strategi ontologis”, dan “strategi fungsional”), bahkan dalam masalah keberagamaan manusia (bagaimana keterlibatan sosial orang yang beragama kadang bertentangan dengan penghambaannya terhadap Tuhan ditinjau menurut “strategi mitis”, “strategi ontologis” dan “strategi fungsional” yang ia lakukan), dsb. 237  “Strategi kebudayaan mitis” ialah strategi yang dilakukan manusia dengan cara pertama-tama ia membenamkan dirinya di tengah-tengah dunia sekitarnya, lalu kemudian ia berupaya untuk mengontrolnya dengan cara-cara magis.238 Dunia di sekitarnya dirasakan manusia seperti mengepung dirinya, punya kekuatan yang melebihi dirinya, punya keajaiban yang mengatasi dirinya; dan manusia tidak punya cara lain untuk menguasai dunia di sekitarnya itu kecuali dengan berpartisipasi di dalamnya; melebur di dalamnya. Akan tetapi, manusia tidak meleburkan dirinya terus-menerus; manusia perlahan-lahan berusaha menguasai dunia di sekitarnya itu dengan cara-cara magis, yakni mempengaruhi dunia di sekitarnya dengan doa-doa, dengan antisipasi-antisipasi, dengan kepandaian-kepandaiannya, dengan obat-obat penenang. Tujuan melakukan “strategi kebudayaan mitis” ialah “mencari aman” dalam kebudayaan yang sulit dikendalikannya.239  “Strategi kebudayaan ontologis” ialah strategi yang dilakukan manusia ketika ia telah mengatasi ketakutannya terhadap dunia sekitar yang tadi mengepungnya dan mengelilinya, dengan cara mengambil jarak antara dirinya dengan dunia sekitarnya itu, lalu meneliti dunia sekitarnya dengan penuh keberanian, mempelajari dunia sekitarnya itu sebagai obyek pengetahuannya, dan menjelaskannya dalam bentuk teori-teori, ajaran-ajaran, hukum-hukum, menurut perincian ilmu-ilmu dan sains buatannya.240 Dunia di sekitarnya dikuasai manusia dengan cara memahami seluk-beluknya lewat rasionya yang dingin. Tujuan 236

Ibid., hal. 18 Ibid., hal. 235 238 Ibid., hal. 233 239 Ibid., hh. 38-52 240 Ibid., hal. 18 237

67

melakukan “strategi kebudayaan ontologis” ialah menjaga jarak dengan kebudayaan supaya bisa mengontrol kebudayaan itu dengan pengetahuan-pengetahuan, pengertian-pengertian rasional, atau sainssains buatannya.241  “Strategi kebudayaan fungsional” ialah strategi yang dilakukan manusia ketika ia merasa tidak terkungkung dan tidak dikepung lagi dengan lingkungannya, tapi juga ia tidak lagi mengambil jarak dengan kepala dingin terhadap obyek-obyek penyelidikannya; ia memandang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri sebagai dua kekuatan yang fungsional satu sama lain; “…ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya …”242 Dirinya dan dunia sekitarnya saling berpartisipasi dan turut serta dalam membangun arti dan makna; “…tak lagi ada sesuatu yang mempunyai arti, bila dipandang lepas dari dunia sekitarnya …”243 Tujuan “strategi kebudayaan fungsional” ialah memberi arti dan memberi makna bagi kebudayaannya, dan sekaligus mengambil arti dan mengambil makna dari kebudayaannya.244  Manusia modern memandang kebudayaan sebagai sesuatu “… yang

dilukiskan secara “fungsionil”, yaitu sebagai suatu relasi terhadap rencana hidup…” manusia modern itu sendiri.245 Mereka memandang kebudayaan bukan lagi sebagai sesuatu yang mengepung dan melingkari mereka dengan segala keangkeran dan kesakralan yang dimilikinya, tapi juga bukan sebagai sesuatu yang diberjaraki oleh mereka untuk dijadikan obyek-obyek penyelidikan ilmiahnya, melainkan kebudayaan dipahami sebagai sesuatu yang dimaknai oleh mereka sekaligus memaknai mereka; sesuatu yang memberi arti bagi mereka, sekaligus diberi arti oleh mereka dalam bingkai fungsi-fungsi.

4.2. Arie Setyaningrum Pamungkas Arie Setyaningrum Pamungkas, seorang Dosen Sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, menerjemahkan buku karangan Chris Jenks246 yang berjudul Culture (Key Ideas) yang terbit tahun 1993 ke Bahasa Indonesia. Buku 241

Ibid., hh. 63-84 Ibid., hal. 18 243 Ibid., hal. 87 244 Ibid., hh. 87-109 245 Ibid., hal. 233 246 Chris Jenks adalah seorang Dosen Senior Bidang Sosiologi di Goldsmiths’ College, University of London. Buku-buku yang beliau karang antara lain adalah Culture (Key Ideas), Cultural Reproduction, Visual Culture, dll. Buku beliau yang berjudul Culture (Key Ideas) dijadikan rujukan dalam matakuliah Sosiologi Kultural di Jurusan Sosiologi UGM Yogyakarta. 242

68

ini diterjemahkannya menjadi Culture (Konsep Budaya).247 Di dalam buku ini, Tia Pamungkas (sapaan akrab beliau), menerjemahkan kata Inggris “ culture” dengan kata Indonesia “kebudayaan” di seluruh halaman buku tersebut. Banyak terjemahan beliau yang layak ditelaah, akan tetapi yang paling menarik dari terjemahan Doktor Tia ini adalah terjemahan beliau mengenai Cultural Studies.248 Doktor Tia menerjemahkan kata bahasa Inggris “Cultural Studies” dengan kata bahasa Indonesia “Kajian Budaya”.  “…‘kajian budaya’ (cultural studies)… meng-klaim dirinya sebagai suatu

pendekatan yang ‘paling kontemporer’ dan mewakili fenomena budaya kekinian yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya dalam studi mengenai kebudayaan.”249  “Kajian budaya (cultural studies) muncul dalam diskursus akademik kirakira tigapuluh tahun yang lalu, dimulai di Inggris, dan kemudian menyebar ke Amerika Utara dan Australia... Dalam periode selama tigapuluh tahun itu, kajian budaya memperoleh legitimasi dan popularitas baik di dalam maupun diluar dunia akademik. Popularitas yang diperoleh kajian budaya (cultural studies) mengindikasikan bahwa wacana yang mereka sebarkan telah menjadi suatu daya tarik tersendiri dalam masalah-masalah sosial kontemporer yang terkini. Berbagai pusat studi didirikan untuk merespon perkembangan intelektual yang muncul lewat pembahasan ‘kajian budaya’ ini… Berbagai program studi untuk strata S1 dan S2 didirikan, serta penerbitan jurnal-jurnal khusus yang merespon dan mempromosikan perkembangan wacana dalam ‘kajian budaya’ (cultural studies) itu.”250  “… posisi politik ‘kajian budaya’ berada pada wilayah ‘merah-jambu’ (pink), yakni tidak sungguh-sungguh membawa ideologi Marxis, tetapi tetap berbasis pada ideologi sosialisme, atau setidaknya ideologi sosialdemokratis dimana ada komitmen untuk menanggalkan nilai-nilai lama seperti konflik dan radikalisme, dan lebih berpihak pada nilai-nilai yang mendukung reformasi sistem sosial dan demokratisasi. ”251  “Kajian ini menolak asumsi-asumsi dibalik perdebatan mengenai ‘apa itu kebudayaan’, dan karenanya menolak konsep yang memisahkan ‘budaya tinggi’ (high culture) dengan ‘budaya rendah’ (low culture). Lebih jauh, kajian ini berupaya untuk membangun kembali landasan-landasan bagi stratifikasi kultural.”252 247

Dapat diunduh di https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/chris-jenks-culture-konsep-budaya.pdf. Chris Jenks, Culture (Konsep Budaya), terjemahan Bahasa Indonesia oleh Arie Setyaningrum Pamungkas, dari https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/chris-jenks-culture-konsep-budaya.pdf, hh. 140-147 249 Ibid., hal. 140 250 Ibid. 251 Ibid., hal. 141 252 Ibid., hal. 146 248

69

 “… ‘kajian budaya’ melegitimasi, menjustifikasi, merayakan, dan











mempolitisasi berbagai aspek dalam budaya populer. Kajian ini memandang budaya populer sebagai sesuatu yang berharga bagi hak kelangsungannya sendiri, dan bukanlah suatu fenomena bayangan, atau secara sederhana hanya sebuah kendaraan bagi kepentingan mistifikasi ideologis.”253 “Kebudayaan dipandang bukan sebagai sesuatu yang ‘tetap’, ‘pasti’, atau sebuah ‘sistem yang tertutup’. Kajian budaya memandang ‘kebudayaan’ sebagai sesuatu yang ‘mendesak’, dinamis, dan memiliki kelangsungan untuk terus-menerus mengalami pembaharuan. Kebudayaan bukanlah suatu rangkaian artefak, atau simbol-simbol yang beku, melainkan sebuah proses.”254 “Kajian budaya menegaskan perbincangan tentang ‘konflik’ daripada ‘tatanan’. Kajian ini melacak dan mengantisipasi konflik yang terjadi, baik pada level interaksi dua-mata (orang yang saling berhadapan secara langsung), maupun interaksi yang secara signifikan berpengaruh pada pembentukan makna. Kebudayaan tidak dapat dilihat hanya sebagai prinsip yang seragam, kebudayaan merupakan suatu sumber yang dibagi bersama melalui pengertian atau mekanisme untuk melegitimasi ikatanikatan sosial.”255 “Kajian budaya bersifat imperialistik secara “demokratis”. Seluruh aspek dari kehidupan sosial yang saat ini adalah ‘berbudaya’, sehingga karenanya tidak ada satupun bagian dari kehidupan sosial yang tidak memiliki kepentingan, misalnya seperti pertunjukan opera, fashion, kelompok gang jalanan, kekerasan, perbincangan di kafe, belanja, film horor, dan lain sebagainya... kesemua itu tidak lagi dibawah kekuasaan, dan ditundukkan hanya oleh satu sistem makna yang sentral saja. ”256 “Representasi-representasi budaya pada setiap level, dipandang oleh ‘kajian budaya’ sebagai suatu kelahiran (awal mula), mediasi (perantaraan) dan penerimaan, atau produksi, distribusi, dan konsumsi.”257 “Kajian budaya merupakan suatu studi inter-disipliner, yang mengumandangkan tidak pentingnya asal-usul latar belakang disiplin keilmuan dalam mengklaim unit analisisnya. Kajian ini mendorong penelitian yang mempertemukan berbagai minat dalam disiplin ilmu

253

Ibid. Ibid. 255 Ibid., hh. 146-147 256 Ibid., hal. 147 257 Ibid. 254

70

yang beragam, kajian ini juga memperkenalkan penjelasan tentang suatu peralihan situasi ‘bisu’.”258  “Kajian budaya menolak nilai-nilai absolut—kajian ini juga menolak apa yang diinginkannya (meskipun kadangkala kajian ini juga menunjukkan apa yang diinginkannya!).”259 Dengan menerjemahkan “Cultural Studies” menjadi “Kajian Budaya”, Doktor Tia berarti menyamakan saja semua kajian mengenai kebudayaan dengan Cultural Studies. Daftar Pustaka Selain dari pemikiran kebudayaan dari Sutan Takdir Alisjahbana, Koentjaraningrat, Soedjatmoko, dan para penerjemah buku-buku kebudayaan yang dijelaskan di atas, sebenarnya masih banyak pemikiran kebudayaan dari filosof-filosof kebudayaan kita yang layak untuk dibahas, seperti Fuad Hassan, Edi Sedyawati, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, serta Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Demi keringkasan, pemikiran kebudayaan yang tidak dibahas di sini akan diberikan daftar rujukan supaya para pembaca bisa membacanya sendiri. Fuad Hassan

Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Kebersamaan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974). Berkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989). Renungan Budaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1991). Manusia dan Citranya (Jakarta: Aries Lima, 1991). Heteronomia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992), cet-2. Dimensi Budaya dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995). Studium Generale (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998). Edi Sedyawati

Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar Harapan, 1981). Kumpulan Makalah (1993-1995), (Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdikbud, 1995-1996). Kumpulan Makalah dan Sambutan (Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdiknas, 2001). Warisan Budaya Takbenda: Masalahnya Kini di Indonesia (Depok: PPKBUI, 2003). Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 & 2 (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008). Budaya Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2010). Kebudayaan di Nusantara (Depok: Komunitas Bambu, 2014). Laut dan Kebudayaan (Bogor: Roda Bahari, 2014). 258 259

Ibid. Ibid.

71

Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno & Hendar Putranto

Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya (Yogyakarta: Kanisius, 1993). Filsafat, Sastra, dan Budaya (Jakarta: Yayasan Obor, 1995). Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005). Cultural Studies: Tantangan bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan (Jakarta: Koekoesan, 2008). Ranah-Ranah Kebudayaan (Dalam Esai), (Yogyakarta: Kanisius, 2009). Ranah Filsafat dan Kunci Kebudayaan (Yogyakarta: Galang Press, 2010). Krisis Peradaban (Yogyakarta: Kanisius, 2013). Membaca Rupa Wajah Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2014). Yusuf Bilyarta Mangunwijaya

Sastra dan Religiositas (Jakarta: Sinar Harapan, 1982). Teknologi dan Dampak Kebudayaannya (Volume I), (Jakarta: Yayasan Obor, 1983). Teknologi dan Dampak Kebudayaannya (Volume II), (Jakarta: Yayasan Obor, 1985). Putri Duyung yang Mendamba: Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern (Jakarta: Yayasan Obor, 1986)

Tumbal: Kumpulan Tulisan tentang Kebudayaan, Perikemanusiaan dan Kemasyarakatan (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), cet-3

Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein: Esei-Esei tentang Kebudayaan Indonesia Abad Ke-21 (Yogyakarta: Kanisius, 1999).

Wastu Citra (Jakarta: Gramedia, 2013). Manusia Pascamodern, Semesta dan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2020).

B. FILSAFAT KEBUDAYAAN “MAZHAB SAKRAL” Mazhab ini diwakili oleh Ferry Hidayat, Abdul Hadi WM, Abdullah Imam (yang lebih dikenal dengan “Abdullah Wong”), Hardiansyah Suteja, Reno Ramutu, dan lain-lain. Sebenarnya, filsuf-filsuf yang termasuk dalam mazhab ini cukup banyak, akan tetapi pembatasan halaman membuat penulis harus memilah dan memilih wakil yang terpenting dari mazhab ini saja, yakni Ferry Hidayat. Pewakilan ini pun sifatnya murni “pewakilan teoritis”; pewakilan yang sejauh dan sebatas teoritisasi dan konseptualisasi “Mazhab Sakral” saja; tidak lebih dari itu. Sebab, menurut Ferry Hidayat, paham kebudayaan yang berkarakter sakral ini sudah dihayati secara bulat dan sudah diinsyafi secara de facto oleh manusia Indonesia pra-modern di zaman pra-modernisasi di teritorial dunia yang dulu disebut “Nusantara” serta dihayati oleh saga-saga spiritualist dan orang-orang suci beragama asli di tanah air ini (yang disebut para antropolog sebagai “kepala-kepala adat”) sejak zaman baheula, oleh orang Indonesia yang masih teguh menghayati adat mereka dalam seluruh hidup, para penghayat “agama-agama adat” yang terkorbankan oleh konsep Tylorian yang reduksionis sebagai “animist-animist” belaka, dan juga oleh semua homo religiosus di negeri ini; akan tetapi secara in doctrina belum ada seorang pun 72

yang menteoritisasikan hal tersebut dalam suatu teoritisasi filosofis dalam bingkai-kerja Filsafat Kebudayaan; Ferry Hidayat ikhlas berbakti untuk mengisi “kekosongan teoritis” itu. Beliau yakin di masa depan akan banyak teoritisiteoritisi “Mazhab Sakral” yang lebih canggih dan lebih filosofis lagi darinya. Untuk mereka itu, Ferry Hidayat hanyalah berfungsi tak lebih sebagai “perambah jalan”. Ferry Hidayat Ferry Hidayat lahir di Kayu Manis, Jakarta Pusat pada 8 Desember 1973. Kini beliau berusia 48 tahun. Pernah menjadi peneliti (researcher) pada lembaga kajian Filsafat Perenialisme bernama Institute for Perennial Studies (IPS) Ciputat, Jakarta Selatan, dari tahun 2004 hingga 2008. Pernah pula menjadi Dosen pada matakuliah Pengantar Teori-Teori Filsafat, Filsafat Estetika, Filsafat Etika, dan matakuliah Filsafat Modernisme di Barat di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Pertiwi, Bekasi, pada tahun 2015 hingga 2017. Kini beliau adalah seorang pendidik ( ustadz) di Pondok Modern Tazakka, Batang, Jawa Tengah. Karya-karya filosofis beliau yang berkaitan dengan kebudayaan terdiri dari dua buku mengenai kebudayaan dan sejumlah artikel-artikel kebudayaan dalam jurnal-jurnal nasional dan internasional. Buku-buku beliau yang mengenai kebudayaan berjudul Antropologi Sakral: Revitalisasi Tradisi Metafisik Masyarakat Indigenous Indonesia (IPS Press, 2010) dan Budi: Suatu Studi Kritis atas Definisi-Definisi (2006, manuskrip). Sedangkan artikel-artikel kebudayaan beliau yang terbit di jurnal nasional dan internasional adalah: “Return to The Cosmic Adat to Solve The Chaotic Present” (Majalah Ilmiah BINA WIDYA, Vol.16, No. 3, Desember 2005, Universitas UPN "Veteran", Jakarta, hh. 249-260); “Adat”, “Adat Babuhul Mati”, dan “Adat Babuhul Sentak” dalam Ensiklopedi Filsafat Indonesia (https://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home/a); “Towards Islamic Anthropology in an Indonesian Context: A Perennialist Epistemological Perspective”, “Memahami Adat Nusantara Secara Paling Benar dengan Metode Perenial”, “Adat: Sophia Perennis Suku-Suku Asli Indonesia”, “Tentang Budi, Nur Muhammad, ‘Jiwa Dunia, ‘Intelek’, dan al-‘Aql al-Awwal”, “Antropologi Sakral, Antropologi Profan”, “Budaya dalam Makna Sakral dan Makna Profan”, “Adat Abadi, Adat Perennis” (semua di http://stba.academia.edu/FerryHidayat); dan “On Budaya and The Re-sacralization of Indonesian Cultural Anthropology” (Journal of Philosophy and Religion “PRAJNA VIHARA”, Vol.21, No.2, July – December 2020, Assumption University of Thailand). 73

a. Pemaknaan atas Kata “Kebudayaan” Sebelum memaknai kata “kebudayaan”, Ferry Hidayat menekankan pentingnya memahami kata “budi” terlebih dulu; karena pemahaman yang benar mengenai “budi” berimplikasi langsung dan berdampak besar atas pemahaman mengenai makna “kebudayaan”. Kata “budi” terdapat dalam khazanah kebudayaan tanah air, yakni dalam Serat Centhini 260 dan Serat Wirid Hidayat Djati.261 Dalam Serat Centhini, kata “budi” berarti sesuatu yang memperantarai “wujud tanpa kahanan” (Formless Being) dengan “kak sajati” (Reality); ialah manifestasi dari “Hyang Suksma” atau Tuhan: Wujud tanpa kahanan puniki Ing dalem kak sajati lantaran Inggih budi lantarané Sarupa wujud ing hu Pan jumeneng Muhammad latip Mustakik ing Hyang Suksma Kenyatanipun Budi wujud ing Hyang Suksma Inggih budi inggih Hyang kang Mahasuci Budi tatabonira.262 (Wujud tanpa keberadaan itu di tengah-tengah kenyataan sejati memiliki perantara ialah budi yang serupa dengan wujud Dia adapun budi itu Muhammad yang rohani perwujudan Hyang Suksma serta manifestasiNya Budi itu wujudnya Hyang Suksma Budi itu ialah Yang Mahasuci Budi ialah tempat kedamaiannya.)

Sedangkan dalam Serat Wirid Hidayat Djati, kata “budi” berarti lapisan dalam ke-2 setelah “manik” yang terletak di kepala manusia dan lapisan dalam ke-2 setelah “jantung” yang terletak di dada manusia. Mengenai “budi”, Ranggawarsita menjelaskan: Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Baitul Makmur, iku omah enggoneng parameyaningsun, jemeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek, kang ana antaraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, 260

Banyak sekali penerbit yang menerjemahkan buku yang dikarang oleh Raja Pakubuwana V beserta pujanggapujangga istananya (Ranggasutrasna, Ranggawarsita I, dan Sastradipura) di abad ke-19 Masehi ini dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia. Dalam buku ini, kami merujuk pada terjemahan P.J. Zoetmulder, dalam bukunya Pantheïsme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur, berbahasa Belanda, terjemahan Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Gramedia, 1998, cet-3. 261 Buku karangan Ranggawarsita (1803-1875), pujangga istana Kasunanan Surakarta, cucu dari pujangga istana yang bernama Yasadipura II di abad ke-19 Masehi. 262 Kutipan Serat Centhini dalam P.J. Zoetmulder, Pantheïsme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur, terjemahan Dick Hartoko, Jakarta: Penerbit Gramedia, 1998, cet-3.

74

sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, ananging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan jati…263 Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Baitul Muharram, iku omah enggoneng lelaranganingsun, jemeneng ana ing dhadhaning Adam, kang ana ing sajroning dhadha iku ati, kang ana ing antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, iya iku angen-angen, sajroning angen-angen iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, ananging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan jati…264 (Sesungguhnya Aku [Tuhan] mempersiapkan sebuah mahligai dalam Baitul Makmur, yaitu rumah tempat keramaianKu, terdiri dalam kepala manusia. Dalam kepala ada dimagh, yaitu otak; di antara otak ada manik, di dalam manik ada budi, di dalam budi ada napsu, di dalam napsu ada sukma, di dalam suksma ada rasa, di dalam rasa ada Aku. Tak ada Tuhan kecuali Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya… Sesungguhnya Aku [Tuhan] mempersiapkan sebuah mahligai dalam Baitul Muharram, yaitu rumah tempat laranganKu, terdirikan dalam dada manusia. Dalam dada ada hati, di antara hati ada jantung, di dalam jantung ada budi. Di dalam budi ada jinem yakni angan-angan (imajinasi). Dalam angan-angan (imajinasi) ada sukma, dalam sukma ada rasa, dalam rasa ada Aku. Tidak ada Tuhan selain Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya…)

Kesimpulannya, kata “budi” dalam khazanah kebudayaan kita memiliki 2 (dua) arti: (1) arti ontologis atau kosmologis; dan (2) arti psikologis. “Budi” dalam arti ontologis adalah “budi” dalam Filsafat Metafisika atau Kosmologi; ialah manifestasi Tuhan yang memperantarai Realitas (Reality, Haqiqah) dan Eksistensi (Being, Wujud), yang disimbolkan dalam Serat Centhini sebagai “Ruh Muhammad” (al-Nur al-Muhammadiy). Ialah “budi” dengan huruf kapital “B”. “Budi makrokosmik”. Ialah “Budi” dalam Jagat Gedhe. Sedangkan “budi” dalam arti psikologis adalah “budi” dalam Psikologi Tradisional;265 ialah intelek266 yang dimiliki manusia untuk memahami “Budi ontologis” tadi dan memahami segalanya; ialah “Budi” (dalam arti kosmologis tadi) yang Tuhan imanenkan dan letakkan dalam intelek manusia. Ialah “budi” yang ditulis dengan huruf kecil non-kapital. “budi mikrokosmik”. Ialah “budi” dalam jagat cilik.

263

Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Djati, dari https://alangalangkumitir.files.wordpress.com/2011/05/serat-wiridhidayat-jati.pdf, hal. 4 264 Ibid. 265 Psikologi Tradisional adalah ilmu psikologi pra-modern, yakni psikologi spekulatif dan teoritis; psikologi yang belum mewajibkan penyelidikan laboratoris sebagaimana diwajibkan oleh Wilhelm Wundt (1832-1920). Psikologi Tradisional berisi teori-teori tentang intelek atau akal dalam buku-buku seperti De Anima karangan Aristoteles, Liber De Anima karangan Tertullianus, Ratio Studiorum karangan santo-santo dalam Ordo Serikat Yesus, atau yang dijelaskan dalam Opera Omnia karangan Franciscus Suárez, dsb. 266 Yakni intellectus, yang dipahami oleh Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae, atau al-‘aql sebagaimana dipahami oleh Al-Farabi dalam Risalah fi’l-‘Aql.

75

"Budi makrokosmik" dalam Serat Centhini menyerupai "Buddhi" dalam kosmologi aliran Samkhya dalam tradisi filosofis India. Dalam buku BhagavadGita disebutkan:

([Krisna menjawab Arjuna:] Secara ringkas aku sebutkan: pertama, Prakriti yaitu alam semesta yang sebabnya tak nampak tapi karakternya terlihat; lalu lahirlah Intelek [Buddhi], lalu lahirlah Ahamkara [keakuan]; lalu lahirlah [mahabhuta:] tanah, air, dan eter, udara dan api; Dan organ-organ pengetahuan [buddhindriya] dan organ-organ kerja [karmendriya], serta jiwa manusia [manas]; dan lima obyek indria [tanmatra] yaitu esensi suara, esensi bau, esensi sentuhan, esensi pengecap rasa; Dan keinginan, rasa benci, kebahagiaan dan dukacita; terakhir adalah kesadaran dan resolusi; Gabungan itu bercampur dalam tubuh [mikrokosmik] ini. Semua unsur itu merupakan aktifitas "Tubuh Besar" [Makrokosmos] dengan semua keterbatasan dan perubahannya.)267

Dalam kosmologi itu, "Buddhi" memperantarai Prakriti (Wujud Primordial) dengan Ahamkara (Identitas Semesta). Sedangkan "budi mikrokosmik" dalam Serat Wirid Hidayat Djati menyerupai "buddhi" dalam psikologi aliran Advaita Vedanta dalam tradisi filosofis India. Dalam buku Viveka-Chudamani karangan Shankara dijelaskan:

267

The Song of God: Bhagavad-Gita, terjemahan bahasa Inggris oleh Swami Prabhavananda & Christopher Isherwood, New York: Mentor Books, 1960, cet-7, hh. 100-101

76

77

(Ayat 92: Telinga, kulit, mata, hidung, dan lidah adalah organ pengetahuan [buddhindriya], karena ia membantu kita mengenali obyek-obyek; organ-organ vokal, tangan, kaki, dsb., adalah organ kerja [karmendriya], karena kecenderungannya untuk kerja. Ayat 93-94: Organ psikis [Antahkarana] adalah Jiwa [Manas], Intelek [Buddhi], Keakuan [Ahamkara] atau Hasrat Kesenangan [Chitta], menurut fungsinya masing-masing. Jiwa [Manas] berfungsi menimbang-nimbang sisi positif-negatif dari sesuatu; Intelek [Buddhi] berfungsi menentukan benar-palsunya obyek-obyek. Keakuan [Ahamkara] berfungsi mengidentifikasi tubuh dengan diri seseorang, sedangkan Hasrat Kesenangan [Chitta] berfungsi mencari obyek-obyek yang menyenangkan. Ayat 96: Lima organ kerja [karmendriya] seperti organ vokal dsb., juga lima organ pengetahuan [buddhindriya] seperti telinga dsb., ... Intelek [Buddhi] dsb. [Antahkarana], serta Kejahilan [Avidya], nafsu dan kerja--semua itu adalah delapan "daerah" yang bersusun menjadi tubuh yang subtil. Ayat 103: Organ psikis tadi [Antahkarana] memiliki tempat bersemayam di dalam organ pengetahuan seperti mata, juga di dalam tubuh manusia, yang menyesuaikan diri dengan organ-organ tersebut dan yang dilengkapi dengan sinar dari Sang Wujud Kosmik [Atman].)268

Implikasi langsung dari “budi” yang bermakna kosmologis dan bermakna psikologis ini adalah bahwa “kebudayaan”, dengan demikian, adalah: 1. Produk-produk dari “budi mikrokosmik” manusia yang memungkinkannya untuk patuh pada “aturan-aturan kosmik” atau “tata kosmik” abadi, yang tidak boleh dilanggar; yang jika dilanggar, maka Kosmos akan berubah jadi Khaos; 2. Produk-produk dari “budi mikrokosmik” manusia yang memungkinkannya untuk memanifestasikan “Budi” yang di langit di bumi; 3. Produk-produk dari “budi mikrokosmik” manusia yang memungkinkannya untuk mengimanensikan Sang Kenyataan ( Kak Sajati) dalam peradabannya; 4. Produk-produk dari “budi mikrokosmik” manusia yang memungkinkannya untuk menghubungkan “budi” di bumi dengan “Budi” yang di langit dengan segala cara, segala sarana, dan segala instrumen yang menjamin keterhubungan abadi antara keduanya. 5. Produk-produk dari “budi mikrokosmik” manusia yang memungkinkannya untuk membaktikan shalat daim; sembahyang; eternal prayer; upacara; ritus; zikir; dan eling untuk Tuhan. Dengan kata lain, "budi" adalah peristiwa kejatuhan "Budi" di langit menjadi "budi" di dunia (Descension); sedangkan "kebudayaan" adalah modus-modus 268

Shankara, Viveka-Chudamani of Sri Sankaracharya: Text with English Translation, Notes and an Index, terjemahan Bahasa Inggris oleh Swami Madhavananda, Dt. Almora: the Prabuddha Bharata Press, 1921, hh. 38-43

78

anagogis menaiknya "budi" di dunia menuju "Budi" di langit ( Ascension). "Kebudayaan" adalah segala ciptaan manusia yang memungkinkannya kembali dari Paran menuju Sangkan; dari Omega menuju Alpha. "Kebudayaan" dengan arti di atas memiliki padanan-kata yang cukup banyak dalam khazanah kebudayaan kita, seperti "adat";269 "arat sabulungan" (suku Mentawai di Sumbar); "peowaindo" (suku Tolaki di Sulteng); "uku" (suku Sawu/Sabu di NTT); "temputn" (suku Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung di Kalimantan), dsb. Sehingga, frasa "kebudayaan Jawa" bisa diparafrase dengan "adat Jawa"; "kebudayaan Lombok" dengan "adat Lombok"; "kebudayaan suku Tengger" dengan "adat suku Tengger"; "kebudayaan suku Asmat" dengan "adat suku Asmat", dsb. Contoh dari kebudayaan adalah tulisan-tulisan sastrawi seperti Serat Centhini dan Serat Cabolek, Kakawin Sutasoma, atau Sya’ir Unggas dan Sya’ir Perahu. Contoh lain dari kebudayaan ialah tari-tarian seperti tari Tortor Tunggal Penaluan suku Batak, tari Reog orang Ponorogo, tari Kecak dan Barong suku Bali, tari Kuda Lumping suku Jawa, dan tari Saman orang Aceh. Contoh lainnya ialah pertunjukan-pertunjukan seperti Wayang suku Jawa dan Debus orang Banten. Kemudian, pahatan dan ukiran kayu Mbis suku Asmat, pahatan kayu Toleruno di daerah Sentani, pahatan kayu Korwar di daerah Biak, pahatan dan ukiran suku Kalimantan, juga rumah-rumah adat suku Toraja dan perahuperahu suku Lampung. Pahatan Mbis adalah produk budi orang Asmat di Papua yang sengaja diciptakan untuk membangun hubungan sakral antara ‘budi mikrokosmik’ dan ‘Budi Makrokosmik’. Karya-karya sastra Jawa yang tantristik dan siwaistik seperti tercermin dalam kitab-kitab sastra spiritual Gatholoco, Darmoghandul, Centhini, dan Serat Wirid Hidayat Jati adalah kebudayaan orang Jawa yang juga dibuat untuk memperingati sejarah kosmik antara Bumi dan Langit; sejarah kosmik antara ‘budi mikrokosmik’ dan ‘Budi Makrokosmik’. Tarian Tortor Tunggal Penaluan adalah kebudayaan yang dibuat orang Batak yang ditarikan dengan hasrat cinta membara agar dapat terbang dan menaik secara anagogis tuk berjumpa kembali dengan Batara Guru—Tuhan yang telah terpisah darinya di era penciptaan alam semesta.

269

Secara kebahasaan, kata ‘adat’ hanya dikenal dalam budaya suku-suku asli yang dipengaruhi Islam. Orang Riau, orang Minangkabau, orang Aceh dan orang Ambon menyebutnya ‘adat’; orang Bugis menyebutnya ‘ade’; orang Rembong di Flores Barat dan orang Makasar di Sulawesi menyebutnya ‘adak’.

79

Manusia primitif yang hidup di Babakan Bali di abad 35 SM membuat genderang perunggu (nekara) yang dilukisi dengan gambar bangau Cina. Genderang itu ditabuh dan dipukul dengan penuh rasa kesakralan pada saat mereka melakukan upacara ‘minta hujan’. Simbol ‘bangau Cina’ yang dilukis di genderang adalah kebudayaan orang Bali Kuno yang berfungsi sebagai sarana menaik secara anagogis menuju ‘Budi’ di langit. Dan contoh-contoh kebudayaan lainnya yang merupakan produk-produk ‘budi mikrokosmik’ di bumi yang memungkinkan manusia terbang, menaik secara anagogis, menuju ‘Budi’ di langit. Penyamaan dan penyejajaran makna "budi" dalam khazanah kebudayaan kita dengan makna "buddhi" dalam tradisi filosofis India (aliran Samkhya dan aliran Advaita Vedanta), juga penyejajaran kata “kebudayaan” dengan kata "adat" dan berbagai sinonim-sinonimnya oleh Ferry Hidayat, sungguh berdampak besar dan berpengaruh luas atas konsep-konsep filosofis kebudayaannya.

b. Konsep-Konsep Filosofis Asal-usul Samawi Seluruh Manusia Sebagaimana "budi mikrokosmik" di bumi berasal dari "Budi makrokosmik" di langit, masyarakat pun berasal-mula dari langit; mereka punya asal-usul samawi. Sebelum dunia terpisah dari langit, dunia dan langit menyatu. "Masyarakat langit" hidup tenang dan bahagia hingga suatu ketika langit penuh sesak dijejali penghuni langit. Maka, para penghuni langit pun turun ke dunia, menempati dunia, dan memenuhi dunia. Jadi, “masyarakat dunia” berasal dari “masyarakat langit”. Walaupun telah tinggal di dunia dalam waktu lama, “masyarakat dunia” tidak pernah melupakan asal-muasal mereka yang dari langit.270 “Masyarakat langit” turun, memenuhi dunia, lalu menaik kembali ke langit. Turun sebagai "budi" untuk menaik sebagai "kebudayaan". Mengenai asalmula manusia yang dari langit, mitologi dalam khazanah kebudayaan kita menjelaskannya. Misalnya, mitos kosmologis suku Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung berikut ini:

270

Mitos turunnya Adam dan Eva dari Surga ke dunia dalam kebudayaan Semitik juga menegaskan asalmula manusia dari suatu tempat teragung di atas dunia, yang terus jadi dambaan tempat pulang manusia.

80

…sebelum segalanya ada, terdapat suatu ruang kosong yang sangat luas yang gelapnya lebih pekat daripada malam. Di dalam ruang ini terdapat suatu sarang burung raksasa, yang melayang kesana-kemari, ditiup angin sepoi-sepoi. Di dalam sarang itu terdapat ‘Elang Raksasa Langit’ (Beniak Lajang Langit). Di atas pundak elang itu terdapat suatu ruh yang disebut Wook Ngesok. Wook Ngesok memiliki dua lengan berupa batu karang; lengan kanannya disebut Batuq Rangkang Bulau dan lengan kirinya disebut Batuq Ding Dingkikng. Di bahu sebelah kiri Wook Ngesok terdapat suatu tempat yang disebut ‘segenggam bumi’ (Belikutn Tana) dan ‘segundukan langit’ (Bengkolokng Langit), sedangkan di bahu sebelah kanannya terdapat tempat yang disebut ‘tanah kekuasaan’ (Tana kuasa) dan ‘segundukan bumi’ (Bengkolokng Tana). Di tempat yang disebut ‘segenggam bumi dan segundukan langit’, tumbuhlah delapan batang pohon Potukng Reyus. Di dekat pepohonan itu, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari delapan generasi; semuanya hidup dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan di tempat yang disebut ‘tanah kekuasaan dan segundukan bumi’, tumbuhlah delapan batang pohon Nancang Suyatn. Di dekat pepohonan itu, hidup pulalah sebuah keluarga yang terdiri dari delapan generasi; semuanya juga hidup dalam waktu yang bersamaan. Generasi kedelapan dari keluarga yang hidup di bahu kiri Wook Ngesok adalah seorang lelaki bernama Imang Mengkelayakng, sementara yang hidup di bahu kanannya ialah seorang perempuan yang bernama Lolang Kintang. Mereka berdua menikah dan membangun sebuah rumah besar yang luasnya sebatas Batuq Rangkang Bulau dan Batuq Ding Dingkikng…271

Mitos kosmologis Suku Batak pun menjelaskan asalmula manusia yang dari langit: Pada mulanya tidak ada apa-apa. Di atas sana, di suatu ruang yang amat jauh, yang tidak nampak oleh penglihatan dan tidak disangka-sangka manusia, duduklah Debata, ‘Mula jadi na bolon’, sang dewa pencipta. Pada mulanya tidak ada apa-apa di bawah tempat Debata, ‘Mula jadi na bolon’, duduk itu. Yang ada hanya kehampaan yang sangat, yang diliputi oleh lautan luas dan alam arwah (netherworld), hanya ada kehitaman yang pekat, kesunyian yang amat senyap, tidak ada suara manusia, tidak ada suara binatang, apalagi suara desir angin yang berhembus. Ombak di lautan bergulung-gulung tanpa suara; tidak ada pantai yang dapat mencegah gulungannya. Hanya ada satu makhluk hidup yang diperkenankan untuk menemani kesunyian sang keabadian yang Maha Kuasa— manuk-manuk, yaitu ayam berbulu biru. Manuk-manuk ini, sang isteri dewa, menetaskan tiga telur dan dari ketiganya lahirlah tiga dewa: Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru pun menciptakan dunia dan manusia…272

Juga, mitos kosmologis Suku Tolaki berikut ini: Sebelum terjadinya alam…, maka yang ada hanya ruang kosong, tak ada apa-apa di dalamnya. Pada suatu ketika o ombu menciptakan o ngga (terang, cahaya). O ombu memandang o ngga, yang mengakibatkan o ngga menjadi panas, maka terjadilah o api (api, panas). O ombu memandang kepada o api, yang 271

Michael Hopes, Madras & Karaakng, Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak, Jakarta: Puspa Swara & Rio Tinto Foundation, 1997, h. 20 272 Mochtar Lubis, Indonesia: Land under the Rainbow, Oxford, New York, Singapore: Oxford University Press, 1990, h. xiii

81

mengakibatkan o api menjadi oleo (matahari). O ombu memandang kepada oleo, yang mengakibatkan oleo bergerak. Gerakan oleo inilah kemudian yang menimbulkan o pua (angin). Selanjutnya o ombu menutup mata maka terjadilah gelap segala yang terang. Gelap inilah yang menjadikan o wingi (malam). Terjadilah siang dan malam. Kemudian o ombu mengupas dakinya dan menggulungnya menjadi gumpalan dan dilemparkannya ke bawah dan itulah yang kemudian menjadi wuta’aha (tanah yang luas, bumi). O ombu mencabut beberapa lembar rambut dan bulunya dan dilemparkannya ke wuta’aha dan itulah yang kemudian menjadikan tumbuh-tumbuhan di wuta’aha; sesudah itu o ombu mengeluarkan beberapa kutunya dan dilemparkannya ke atas wuta’aha dan itulah yang kemudian menjadikan hewan-hewan di wuta’aha. Agar tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan dapat hidup di atas wuta’aha, o ombu membuang kencingnya dan itulah yang kemudian menjadikan hujan. Segala peristiwa kilat dan guntur serta apa yang dinamakan o lelu (gempa bumi) adalah wujud dari o ombu yang menggerakkan dirinya.273

Kosmologi suku Jawa diterangkan dalam Serat Centhini dan Serat Wirid Hidayat Djati, sebagaimana berikut: Milanipun dadèkken sekalir Déné ayun tinon Sampun nyata kang jagat jatiné Saking sebda pisan dadinèki Tan kari kariyin Saking sebda iku.274 Wujud tanpa kahanan puniki Ing dalem kak sajati lantaran Inggih budi lantarané Sarupa wujud ing hu Pan jumeneng Muhammad latip Mustakik ing Hyang Suksma Kenyatanipun Budi wujud ing Hyang Suksma Inggih budi inggih Hyang kang Mahasuci Budi tatabonira.275 ... jumeneng sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam ahadiyat, alam wahdat, alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, dadining manungsa sampurna...276 (Ia [Tuhan] menciptakan segala sesuatu karena Ia ingin dipandang dengan demikian dunia menjadi kenyataan yang nampak dunia terjadi seketika tanpa ditunda-tunda.

273

Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), cet-2, hh. 217-218 sebagaimana dikutip P.J. Zoetmulder dalam bukunya, Pantheïsme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Litteratuur, terj. Indonesia oleh Dick Hartoko, Jakarta: Penerbit Gramedia, 1998, cet-3, hh. 108-110 275 Ibid., hh. 249-253 276 Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Djati, dari https://alangalangkumitir.files.wordpress.com/2011/05/serat-wiridhidayat-jati.pdf, hh. 4-5 274

82

Wujud tanpa keberadaan itu di tengah-tengah kenyataan sejati memiliki perantara ialah budi yang serupa dengan wujud Dia adapun budi itu Muhammad yang rohani perwujudan Hyang Suksma serta manifestasiNya Budi itu wujudnya Hyang Suksma Budi itu ialah Yang Mahasuci Budi ialah tempat kedamaiannya. ... maka mula-mula sebagai nukat (titik) gaib, kemudian turun menjadi johar awwal. Di situlah adanya Alam Ahadiyat, Alam Arwah, Alam Wahidiyat, Alam Misal, Alam Ajsam, dan Alam Insan kamil, yakni manusia yang sempurna...)

Suku Minangkabau juga memiliki kosmologi yang menegaskan asalmula manusia dari langit: Ado pun tatkalo bumi akan takambang, tatkalo Adam akan ditampo; Akan manunggui isi bumi dunia anak-cucu Adam alaihissalam, dan yang jadi rajo iyolah anak Adam yang bungsu... Mako, sagalo malaikat itu paragi kepado anak Adam itu. Mako, samo-samo mamapat tangannyo dan kainnyo. Mako, mamandang Adam sarato Hawa anak-beranak kapado langit... Mako, maminta doa iyo Kepada Allah, "Yo, Allah; Yo, Rabbul alamin, partamukan juo ambo sarato anak-cucu ambo." Mako, ampirlah turun 83

ka dunia... Mako, bargarak bumi samoanyo --antarah-barantah rasonyo alam. Sabab, itulah banamo Tanah Rum. Mako, berkato sagalo anak Adam yang tinggal sarato ibu-bapaknyo... Mako, malaikat itu pun manurun anak Adam itu ka bumi yang suci.277 (Ada pun tatkala bumi akan diciptakan, tatkala Adam akan ditempa; Akan menunggui isi bumi dunia anak-cucu Adam alaihissalam, dan yang jadi raja ialah anak Adam yang bungsu... Maka, semua malaikat pun pergi kepada anak Adam itu. Maka, sama-sama memepat tangannya dan kainnya. Maka, memandanglah Adam serta Hawa anak-beranak kepada langit... Maka, meminta doa ia [Adam] kepada Allah: "Ya, Allah; 277

Tambo Minangkabau, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Darman Moenir & Boestami, dimuat dalam Subagio Sastrowardoyo & A. Kasim Achmad, Anthology of Asean Literature: The Islamic Period in Indonesian Literature, Volume III, Jakarta: The ASEAN Committee on Culture and Information, 1989, hh. 122-131

84

Ya, Rabbul Alamin, pertemukan juga hamba serta anak-cucu hamba." Maka, diturunkan ia ke dunia... Maka, bergoncanglah bumi semuanya --tak keruan alam terasa. Akibatnya, muncul tanah yang bernama Tanah Rum. Maka, semua anak Adam tinggal bersama ibu-bapaknya... Maka, malaikat pun menurunkan anak Adam ke bumi [Tanah Rum] yang suci itu.)

Semua kosmologi di atas berfungsi sebagai pengingat bahwa “manusia bumi” berasal-mula dari “manusia langit”, sehingga kemana pun manusia pergi, ia senantiasa ingat asal-usul samawinya, ingat asal-usul lelangitnya, sebagaimana diungkap secara indah dalam peribahasa suku Minangkabau: “dimana bumi

dipijak, disitu langit dijunjung”. Fitnah Kebudayaan

Fitnah kebudayaan adalah pandangan palsu mengenai suatu kebudayaan yang dibuat oleh pihak luar yang membenci kebudayaan itu. Tujuannya ialah (1) agar orang-orang ikut membenci kebudayaan itu, dan (2) agar anggota masyarakat yang kebudayaannya difitnah itu terpengaruh dengan fitnah itu dan akhirnya ikut membenci kebudayaannya sendiri. Banyak sekali contoh fitnah kebudayaan. Berikut ini adalah fitnah-fitnah kebudayaan yang sangat populer di masyarakat kita: a. Agama asli pribumi itu sebentuk kekafiran b. Masyarakat asli pribumi itu tak beradab (barbarik) Fitnah kebudayaan yang pertama ialah fitnah bahwa agama asli pribumi adalah sebentuk kekafiran, dan orang yang menganut agama asli pribumi adalah orang kafir. Dalam konteks Indonesia misalnya, fitnah ini disebarluaskan oleh 85

para penginjil (Evangelist), misionarist, para da'i (pendakwah dari komunitas Islam), dsb. Mereka sengaja ditugaskan oleh lembaga keagamaan mereka untuk mencari penganut agama asli pribumi untuk difitnah sebagai kafir, lalu setelah ketemu, mereka berupaya untuk mengkonversi agama masyarakat pribumi itu; dari agama asli pribumi ke agama yang mereka dakwahkan. Bisa Islam; bisa Katolik; bisa Protestan; bisa juga yang lain. Contohnya adalah fitnah kebudayaan yang disebarluaskan oleh zending Kristen bernama N. Graafland. Beliau ditugaskan untuk membangun gereja, mencari jemaat gereja itu, dan mendakwahkan Protestantisme di tengahtengah masyarakat pribumi Minahasa di abad ke-19. Dalam bukunya De Minahasa: Haar verleden en haar egenwoordige toestand (1869), beliau menyebarkan fitnah kebudayaan bahwa banyak desa di Minahasa berada dalam kondisi kekafiran karena tetap menganut agama asli mereka: … Tonsea, Kakas, Sonder, dan Rumoong paling terkenal dengan ungkapanungkapan kotor dan rendah, sedang kewedanaan lain tidak sampai sejauh itu. Namun, kanker itu sedikit banyaknya telah menerobos ke mana-mana, dan agama orang Alifuru cepat atau lambat akan menemui keruntuhannya. Bibit kerusakan telah ditabur, mulai tumbuh subur, dan di suatu tempat telah menghasilkan buah yang merusak. Bila Kristen tidak tiba pada waktunya, maka rakyat, sebagaimana telah terjadi di sana-sini, jatuh ke dalam kekafiran.278

Pengarang terkenal, Sitor Situmorang, pernah menulis dalam memoarnya mengenai fitnah kebudayaan yang disebarluaskan zending Protestan di tengah-tengah masyarakat Batak di Tarutung: Adat yang oleh agama baru [Kristen] disebut kekafiran dan jahiliyah masih berkuasa kuat dalam jiwa. Ayah sendiri tetap melaksanakan rukun kepercayaan aslinya... Lembah Silindung adalah pangkalan zaman baru untuk Tanah Batak. Di sanalah misionaris Nommensen mendirikan gereja pertama di pertengahan abad ke-19, sebelum ke daerah Toba-Balige di akhir abad itu. Sekolah-sekolah pertama, pendidikan pendeta dan guru agama didirikan di situ pula. Juga pangkalan kekuasaan Belanda. Penduduk lembah masih memakai sistem marga, yang disesuaikan dengan tatacara gereja: pemujaan arwah nenek moyang berikut segala ritual dan keseniannya sudah dilarang dan hapus. Di seluruh lembah tidak ada satu pun lagi rumah arsitektur tradisional...

278

N. Graafland, De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand, terj. Indonesia oleh Lucy R. Montolalu, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 119

86

Di samping sarana pendidikan dan pengobatan modernnya yang diterima oleh penduduk sebagai kemajuan, gereja menciptakan suasana ambivalen oleh prasangka pendeta dengan kebudayaan asingnya. 279

Fitnah kebudayaan yang juga populer ialah fitnah bahwa masyarakat pribumi tidak beradab atau tidak berkebudayaan. Dalam konteks Indonesia, fitnah ini disebarluaskan oleh penjajah Belanda. Mereka menilai bahwa level peradaban masyarakat pribumi terjajah berada pada level yang paling rendah, sehingga mereka pun membangun lembaga sosial baru yang disebut "School" (yang disesuaikan penyebutannya jadi "Sekolah") untuk meninggikan peradabannya supaya setara dengan peradaban sang penjajah. Contohnya ialah fitnah kebudayaan yang disebarluaskan oleh N. Graafland di tengah-tengah masyarakat Minahasa di abad 19 Masehi: Berlebihankah jika saya katakan bahwa sekolah merupakan tempat pembibitan peradaban? Anak-anak tampak duduk tertib dengan wajah bersih dan rambut tersisir rapi (tentu saja ada kekecualian). Mereka tidak liar berlari kian-kemari, tetapi tekun menyimak buku dengan sebelah mata, dan mengintip kami dengan sebelah mata lainnya. Pakaian mereka sederhana tapi bersih walaupun ada kalanya agak longgar. Mereka tidak kikuk jika Anda memandang kepada mereka. Semua ini merupakan bukti yang nyata bahwa anak-anak tersebut sudah mengalami perubahan, bahwa mereka bukan lagi anak-anak hutan yang masih berkeliaran dengan cidako atau sepotong kain sekotor babi yang Anda lihat di jalanan. Semua itu merupakan hasil pendidikan sekolah.280

Penganiayaan Kebudayaan Penganiayaan kebudayaan ialah tindakan fisik atau aktifitas fisik yang bertujuan untuk menghinakan kebudayaan suatu masyarakat, menyudutkan keberadaan masyarakat yang berkebudayaan tertentu, bahkan untuk menghapus keberadaan mereka melalui pembunuhan. Penganiayaan kebudayaan adalah tindakan lebih lanjut dan akumulasi kebencian paling akhir dari fitnah kebudayaan. Jenis-jenis penganiayaan kebudayaan dikategorikan dalam beberapa kategori: 1. 2. 3. 4.

Kompetisi Transmogrifikasi Pengusiran Pembunuhan

279

Sitor Situmorang, Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hh. 25-46 280 N. Graafland, De Minahasa: Haar verleden en haar tegenwoordige toestand, terj. Indonesia oleh Lucy R. Montolalu, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hh. 303-304

87

Penganiayaan kebudayaan jenis pertama ialah kompetisi; mempermalukan dengan cara duel. Pihak yang membenci kebudayaan tertentu berduel dengan anggota masyarakat dari kebudayaan yang dibencinya, dan apabila anggota masyarakat itu kalah dalam kompetisi itu, maka semua anggota masyarakat dari kebudayaan itu dipaksa mengikuti kebudayaan si pemenang duel. Contohnya ialah duel seorang da’i (pendakwah Muslim), Dato’ di Tiro, dengan ketua masyarakat Kajang bernama Ammatoa. Ammatoa kalah dalam duel tersebut, maka Ammatoa dan seluruh anggota masyarakat Kajang pun dipaksa konversi ke kebudayaan Islam.281 Penganiayaan kebudayaan jenis kedua ialah transmogrifikasi (penunggangan konseptual). Pihak yang membenci kebudayaan tertentu menunggangi konsep-konsep kunci dari kebudayaan yang dibencinya untuk dipergunakan demi mengonversi ke kebudayaan si pembenci. Contohnya ialah konsep Lowalangi yang dipahami komunitas Nias sebagai ‘Dewa Langit’. Konsep ini ditunggangi oleh para penginjil Kristen ( zending) lalu diubah maknanya menjadi Allah Sang Tuhan Bapak untuk tujuan penyiaran kebudayaan Kristen di tengah-tengah kebudayaan Nias.282 Juga, konsep Osali yang aslinya dipahami komunitas Nias sebagai rumah untuk pelaksanaan ritual mereka. Konsep ini pun ditunggangi maknanya oleh zending lalu diubah menjadi berarti gedung gereja untuk kepentingan penyiaran kebudayaan Kristen di tengah-tengah kebudayaan Nias.283 Transmogrifikasi ini menyebabkan masyarakat Nias (terutama generasi muda Nias masa kini) tidak mengenali lagi makna asli dari konsep-konsep sakral asli mereka sendiri. 284 Penganiayaan kebudayaan jenis ketiga ialah pengusiran. Pihak yang membenci kebudayaan tertentu mengusir suatu masyarakat dari kebudayaan yang dibencinya agar keluar dari hunian mereka. Contohnya ialah penganiayaan kebudayaan yang dilakukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) terhadap komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Kalimantan Timur. Mengemban misi meng-agama-kan komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan yang dianggap “animist”, TNI mengusir komunitas tersebut dari kampung mereka dan membiarkan mereka masuk ke kampung-kampung sekitar, beradaptasi dengan kebudayaan asing, dan menganut agama asing dalam kebudayaan 281

Asman Aziz, “Multikulturalisme Wawasan Alternatif Mengelola Kemajemukan Bangsa”, dalam Jurnal Dialog Peradaban TITIK-TEMU, Vol.2, No.1, Juli-Desember 2009, Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), hal. 89 (f.1). 282 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1995, cet-15, hh. 50-51 283 Ibid, hal. 43 284 Praktek-praktek transmogrifikasi seperti ini rupanya dianjurkan oleh semua gerakan penyiaran Protestanisme di tengah-tengah kebudayaan masyarakat asli di Indonesia, terutama dalam gerakan yang disebut “Teologi Kontekstualisasi”. Gerakan ini bertujuan “…menjelaskan Injil dalam cultural frame work suatu budaya sehingga membawa keseimbangan yang dinampakkan dalam refleksi teologis yang alkitabiah dari kerangka budaya tersebut, di mana Yesus Kristus diterima sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka dan Injil serta gereja adalah juga milik mereka.” Lihat Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Malang: Penerbit Gandum Mas, 1993, hal. 9

88

asing itu.285 Juga, penganiayaan kebudayaan yang dilakukan para da’i terhadap komunitas Towani-Tolotan di Sulawesi. Mereka diusir dari kampung mereka, komunitas mereka dibubarkan secara paksa, dan kitab suci mereka dibakar oleh massa, sehingga mereka terpaksa masuk ke kampung lain, beradaptasi dengan kebudayaan asing, dan terpaksa konversi ke agama asing.286 Penganiayaan kebudayaan yang tersadis ialah pembunuhan. Pihak yang membenci kebudayaan tertentu membunuhi masyarakat dari kebudayaan yang dibencinya agar mereka terhapus dalam sejarah. Contohnya ialah penganiayaan kebudayaan yang dilakukan oleh seorang ulama aliran Wahabiyah di Sumatera Barat bernama Tuanku Pasaman terhadap komunitas adat di kampungnya sendiri (kampung Lintau) di abad 19. Tuanku Pasaman sangat benci dengan tradisi adu-ayam yang dipraktekkan oleh komunitas adat di kampungnya; begitu bencinya, sehingga saat beliau melihat seorang anggota komunitas adat sedang berjalan sambil mengapit ayam aduannya, ia dihadang di tengah jalan oleh Tuanku Pasaman, lalu diikat, diseret, dibawa ke markas besar gerakan Wahabiyah di situ, lalu dicambuk keras-keras hingga mati. Akibatnya, komunitas adat pun terpaksa konversi ke kebudayaan Islam aliran Wahabiyah di desa Lintau. Deskripsi selengkapnya ditulis oleh sejarawan terkenal di Sumatera Barat, Rusli Amran, berikut ini: Kemudian Tuanku Pasaman kembali ke tempat kelahirannya di Lintau. Tetapi dia tidak begitu berhasil menyebarkan ajaran baru itu [Islam aliran Wahabiyyah] di sana, oleh karena itu ia ingin memberi contoh dengan menghukum mati seorang penghulu yang telah tiga kali dijumpainya mengapit ayam aduan. Tindakan ini mengejutkan sekali dan segera banyak penduduk menganut ajaran baru itu, kecuali daerah Tanjungbarulak yang tetap menentang. Tuanku Pasaman memerangi Tanjungbarulak dan memakai paksaan agar rakyatnya tunduk. Tetapi para keluarga terdekat raja-raja Pagaruyung memaksa Tuanku Pasaman untuk meninggalkan tempat itu. Namun tidak lama kemudian dia kembali lagi dan merebut Tanjungbarulak. Sesudah itu dia meminta agar diadakan pertemuan di Kotatengah dengan semua raja dan pembesar Pagaruyung. Dalam perundingan tersebut, Tuanku Pasaman meminta agar kaum adat menjatuhkan hukuman mati terhadap Yang Dipertuan Rajo Naro, Yang Dipertuan Rajo Talang dan putra raja Minangkabau, Raja Muning, karena semua mereka ini menentang agama. Yang disebut pertama karena memerangi Tuanku Pasaman di Tanjungbarulak, sedangkan ke dua lainnya karena membantu yang pertama. Kemudian timbullah perselisihan antara yang hadir lalu meningkat menjadi perkelahian. Beberapa pembesar Pagaruyung luka-luka, antaranya Raja Muning, paman Raja Gumpita.

285

Asman Aziz, “Multikulturalisme Wawasan Alternatif Mengelola Kemajemukan Bangsa”, dalam Jurnal Dialog Peradaban TITIK-TEMU, Vol.2, No.1, Juli-Desember 2009, Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS), hh. 101-102 (f.20). 286 “Towani-Tolotan, Nasibmu Kini”, dalam Majalah Kebudayaan DESANTARA, Dialog Agama dan Kebudayaan, Edisi 03, Tahun II, Depok: Desantara Utama, 2002, hh. 17-18

89

Maka pecahlah perang antara raja-raja Tanah Datar dengan pihak Pidari. Banyak pula terbunuh dan raja lari menyelamatkan diri ke daerah lain…287

Pembebasan Kebudayaan Pembebasan kebudayaan ialah kondisi terbebasnya suatu masyarakat kebudayaan dari fitnah-fitnah kebudayaan dan penganiayaan-penganiayaan kebudayaan dari pihak yang membencinya. Bebas dari fitnah-fitnah kebudayaan maksudnya ialah masyarakat suatu kebudayaan menikmati kebebasan dan dijamin kebebasannya untuk mempraktekkan kebudayaannya tanpa dilabeli dengan label-label ofensifpeyoratif yang menunjukkan kebencian (misalnya, “agama orang kafir”, “agamanya gak jelas”, “agamanya syirik”, “itu kebudayaan orang barbar”, “itu orang beragama sesat”, “itu orang biadab”, “itu orang primitif”, dsb.) oleh pihak yang membencinya. Bebas dari penganiayaan-penganiayaan kebudayaan maksudnya ialah masyarakat suatu kebudayaan menikmati kebebasan dan dijamin kebebasannya untuk mempraktekkan kebudayaannya tanpa dianiaya dengan tindakan-tindakan fisik yang genosidal-terminatif (seperti, adu kompetisi, transmogrifikasi, pengusiran, serta pembunuhan dan pembinasaan) oleh pihak yang membencinya. Pembebasan kebudayaan ialah terjaminnya kebebasan mempraktekkan kebudayaan dari segala jenis fitnah kebudayaan dan segala jenis penganiayaan kebudayaan. Pembebasan kebudayaan dilakukan secara internal dan eksternal; secara internal oleh masyarakat kebudayaan yang menjadi korban dari fitnah kebudayaan dan penganiayaan kebudayaan; sedangkan secara eksternal oleh negara dan oleh lembaga-lembaga swadaya/voluntir yang memperjuangkan pembebasan kebudayaan. Pluralisme Kebudayaan Semua kebudayaan berasal dari Sang Sumber; maka, tak boleh ada fitnah kebudayaan dalam bentuk apapun dan tidak boleh ada penganiayaan kebudayaan dalam bentuk apapun; semua kebudayaan layak hidup dan semua

287

Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, hh. 394-395

90

kebudayaan bebas hidup di dunia, karena semua kebudayaan adalah manifestasi “Budi makrokosmik” di langit. Kebudayaan tidak tunggal, tapi plural. Pluralitas kebudayaan seplural masyarakat. Motto nasional kita menegaskan pluralitas kebudayaan: Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi bersatu). Kesadaran bahwa kebudayaan itu plural ditegaskan pula dalam peribahasa kita: Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya (suku Melayu) Ciri sabumi, aturan sadesa (suku Sunda)

Peribahasa “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” maksudnya ialah setiap tempat (“ladang” dan “lubuk”) memiliki kebudayaan tersendiri (“belalang” dan “ikan”), yang harus dihormati, diketahui, dilindungi, dijamin kebebasannya dari segala jenis fitnah kebudayaan dan penganiayaan kebudayaan. Peribahasa “ciri sabumi, aturan sadesa” maksudnya ialah kebudayaan (“ciri” dan “cara”) sungguh plural; pluralitasnya selebar desa dan seluas bumi ini. Maka, setiap anggota kebudayaan mesti menghormati, mesti mengetahui, mesti toleransi, dan tidak boleh menyebarkan fitnah kebudayaan dan penganiayaan kebudayaan atas kebudayaan-kebudayaan lainnya. Kesadaran akan pluralitas kebudayaan harus dibarengi dengan kesadaran bersatu. Sebab, jika tidak, maka setiap kebudayaan akan mengisolasi diri dari kebudayaan-kebudayaan lain dan terasing dari kebudayaan-kebudayaan lain, padahal semua kebudayaan itu hidup dalam naungan satu bangsa. Isolasi dan keterasingan justru membuka pintu-pintu fitnah dan pintu-pintu prasangka. Kesadaran akan pentingnya persatuan di antara kebudayaan yang plural itu ditegaskan dalam peribahasa-peribahasa kita: Misa kada dipotuo, pantan kada dipomate (suku Toraja) Tasdow iwud, ne itnem ra’ad (suku Evav) Mai tamanatol pia-pia lotayana hai do jafai (suku Kei) Uluno o Goa, worokono o Bone, wotoluno Konawe, huleno Wolio, kareno Tarinate, ponduno o Luwu, panino Mandara (suku Tolaki)

Peribahasa “misa kada dipotuo, pantan kada dipomate” berarti “satu kata kita hidup, banyak kata kita mati”. Maksudnya ialah kebudayaan yang plural harus bersatu; jika bercerai-berai, kebudayaan yang plural akan mengalami kerugian.

91

Peribahasa “tasdow iwud, ne itnem ra’ad” berarti “kita merundingkan perut, kita mempersatukan hati”. Maksudnya ialah masyarakat kebudayaan yang plural mesti disatukan hatinya agar bisa toleransi, bisa mengerti, dan bisa menghormati satu sama lain. Peribahasa “mai tamanatol pia-pia lotayana hai do jafai” artinya “mari bersamasama melihat bangsa baik-baik dan bersatu membangunnya”. Maksudnya ialah peribahasa ini mengajak seluruh kebudayaan untuk menyadari pentingnya suatu bangsa dan pentingnya bersatu untuk membangun bangsa itu. Peribahasa “uluno o Goa, worokono o Bone, wotoluno Konawe, huleno Wolio, kareno Tarinate, ponduno o Luwu, panino Mandara” adalah ucapan Sawerigading, leluhur suku-suku di Indonesia Bagian Timur, ketika ia membagi-bagikan daging ayam emas (manu rasa wula) yang disembelihnya kepada utusan-utusan negeri yang berbeda. Sawerigading memberi daging kepala ayam untuk utusan dari negeri Gowa, daging lehernya untuk utusan negeri Bone, daging tubuhnya untuk utusan negeri Konawe, daging jantung untuk utusan negeri Wolio, daging kakinya untuk utusan negeri Ternate, daging mulutnya untuk utusan negeri Luwu, dan daging sayapnya untuk utusan negeri Mandar. Semua utusan negeri yang berbeda mendapat bagian masing-masing, yang menunjukkan bahwa semua negeri yang berbeda-beda dipersatukan oleh ayam emas yang dibagikan Sawerigading. Keabadian Kebudayaan dan Perubahan Kebudayaan Kebudayaan terbagi menjadi dua: (1) kebudayaan yang tetap, tidak boleh berubah, dan tidak boleh diubah (abadi); dan (2) kebudayaan yang boleh diubah dan boleh berubah (temporer). Keabadian kebudayaan ditegaskan dalam peribahasa suku-suku etnis kita. Misalnya, Adat tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan (suku Melayu) Adat dipakai baru, pakaian dipakai usang (suku Melayu) Rusak taro datuk, tenrusak taro ade’ (suku Bugis) Adat lama, pusaka usang (suku Melayu) Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah (suku Melayu) Adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung (suku Melayu)

Peribahasa “adat tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan” maksudnya ialah kebudayaan atau adat dari suatu masyarakat berkarakter abadi; tidak mengenai 92

perubahan aksidental, seperti perubahan musim, perubahan waktu, perubahan rezim politik, dsb. Peribahasa “adat dipakai baru, pakaian dipakai usang” maksudnya ialah kebudayaan atau adat dari suatu masyarakat senantiasa bersifat baru; tidak pernah lama; tidak pernah kuno; tidak pernah dimakan usia. Peribahasa “rusak taro datuk, tenrusak taro ade’” maksudnya ialah kebudayaan atau adat dari suatu masyarakat bersifat eternal; tidak berubah walau raja berubah-ubah; tidak berubah walau opini legal berubah-ubah. Peribahasa “adat lama, pusaka usang“ maksudnya ialah kebudayaan atau adat dari suatu masyarakat bersifat abadi. Keabadian kebudayaan dibandingkan dengan harta pusaka; kebudayaan tidak pernah usang, sedangkan harta pusaka bisa usang, bisa rusak, bisa berkarat, dan bisa hancur. Peribahasa “hidup dikandung adat, mati dikandung tanah” maksudnya ialah kebudayaan atau adat dari suatu masyarakat bersifat kekal; berlaku seumur hidup. Kebudayaan baru habis keberlakuannya ketika anggota masyarakat kebudayaan meninggal dunia. Peribahasa “adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung” semakna dengan peribahasa “adat lama, pusaka usang” dan peribahasa “adat dipakai baru, pakaian dipakai usang”. Peribahasa ini juga menegaskan bahwa kebudayaan bersifat perenial; keberlakuannya seumur hidup dan sepanjang usia manusia. Sedangkan kebudayaan jenis kedua adalah kebudayaan yang boleh diubah dan boleh berubah. Suku-suku etnis kita memiliki kategorisasi kebudayaan seperti di atas. Di bawah ini adalah contoh kategorisasi kebudayaan yang dilakukan oleh suku Minangkabau dan suku Riau. Suku Minangkabau membagi kebudayaan ke dalam dua jenis: (1) adat babuhul mati; dan (2) adat babuhul sentak. “Adat babuhul mati” adalah kebudayaan yang tidak boleh berubah dan tidak boleh diubah; tetap dan abadi. Sedangkan “adat babuhul sentak” adalah kebudayaan yang tidak tetap, boleh berubah dan boleh diubah, disesuaikan dengan keperluan-keperluan temporer. "Adat babuhul mati" adalah adat atau kebudayaan yang disimpul dengan simpul mati, sebagaimana benda yang diikat tali dengan simpul mati: susah diubah, sulit diurai, tak bisa dilepas dengan mudah. Ialah adat yang diikat kaku, 93

yang tak boleh lepas ikatannya dalam kondisi dan situasi apapun. Seperti "adat sebenar adat" dalam suku Riau, ‘adat babuhul mati’ dalam suku Minang inipun tidak boleh berubah dan diubah, karena ia berasal dari Ilahi yang telah mengutus semua nabi-nabiNya untuk mengajarkannya kepada manusia. "Adat babuhul mati" bermula dari nabi Adam yang diteruskan keberlakuannya hingga kepada generasi sekarang. Karena berasal dari nabi Adam dan tidak boleh diubah, maka “adat babuhul mati” merupakan mata-rantai risalah profetik yang sengaja dilestarikan ketersambungannya hingga akhir zaman. Ialah adat atau kebudayaan dari "Budi makrokosmik" di langit. Kebalikan dari ‘adat babuhul mati’ adalah ‘adat babuhul sentak’, yaitu adat atau kebudayaan yang disimpul dengan ikatan yang gampang terbuka hanya dengan sekali sentak atau sekali gerak. Ialah adat atau kebudayaan yang diikat dengan ikatan yang longgar dan gampang terbuka. Karena disimpul dengan simpul tali yang longgar, maka kebudayaan jenis ini dapat diubah-ubah, disesuaikan dengan kebutuhan lokal, dan diperbarui demi mengikuti perkembangan sosio-historis. Ialah kebudayaan dari "budi mikrokosmik" di bumi. Bedanya dengan "adat babuhul mati", "adat babuhul sentak" ini merupakan manifestasi sosial-historis atau ekspresi sosial-historis di bumi dari ‘adat babuhul mati’ yang di langit; ia merupakan interpretasi sosial-historis dari ‘Hukum Kosmik’ yang kekal. Sebagai interpretasi sosial-historis "budi mikrokosmik" di bumi, maka "adat babuhul sentak” dapat berubah melalui mekanisme musyawarah. Sedangkan suku Riau membagi kebudayaan ke dalam tiga jenis: (1) adat sebenar adat; (2) adat yang teradat; dan (3) adat yang diadatkan. “Adat sebenar adat” adalah kebudayaan yang abadi, yang tidak boleh berubah dan tidak boleh berubah, sedangkan dua kebudayaan lainnya (“adat yang diadatkan” dan “adat yang teradat”) bersifat tidak tetap, boleh berubah dan boleh diubah. "Adat sebenar adat" ialah adat atau kebudayaan yang tidak berubah oleh kondisi dan situasi apapun, karena berasal dari Yang Ilahi. Ialah kebudayaan dari "Budi makrokosmik" di langit. Sedangkan dua jenis kebudayaan yang lainnya ("adat yang teradat" dan "adat yang diadatkan") dapat berubah, karena dibuat untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Ialah kebudayaan yang diciptakan dari "budi mikrokosmik" di bumi.

94

"Adat sebenar adat" ialah tata-kosmik dari "Budi makrokosmik" di langit. Ialah adat atau kebudayaan yang sejati yang tidak boleh berubah dan diubah, karena ia berasal dari Ilahi yang telah mengutus semua nabi-nabiNya untuk mengajarkannya kepada manusia. "Adat sebenar adat" bermula dari nabi Adam yang diteruskan keberlakuannya hingga kepada generasi sekarang. Karena berasal dari nabi Adam dan tidak boleh diubah, maka “adat sebenar adat” merupakan mata-rantai risalah profetik yang sengaja dilestarikan ketersambungannya hingga akhir zaman. Sedangkan "Adat yang teradat" adalah adat atau kebudayaan yang spontan ada; berasal dari inovasi seseorang yang munculnya tiba-tiba; saat ia diperlukan maka mendadak muncullah ia. Ia timbul dari kejeniusan seseorang. Ialah berasal dari "budi mikrokosmik" di bumi. "Adat yang teradat" dijelaskan dalam peribahasa suku Riau sbb: Adat yang teradat Datang tidak bercerita Pergi tidak berkabar; Adat disarung tidak berjahit Adat berkelindan tidak berjahit Adat berjarum tidak berbenang Yang terbawa burung lalu Yang tumbuh tidak ditanam…

"Adat yang diadatkan" adalah adat atau kebudayaan yang dihasilkan dari musyawarah komunal suatu suku. Jika ada keperluan sosial yang mendesak, maka anggota suku etnis akan bermusyawarah segera; hasil musyawarah tersebut jadi keputusan yang mengikat semua anggota suku tersebut; jadi kebudayaan suku tersebut yang harus dipatuhi bersama-sama. Ialah adat atau kebudayaan yang diciptakan oleh "budi mikrokosmik" di bumi. "Adat yang diadatkan" diterangkan dalam peribahasa suku Riau sbb: Adat yang turun dari raja, Adat yang tumbuh dari datuk, Adat yang cucur dari penghulu, Adat yang lahir dari mufakat, Putus mufakat ia berobah.

Perubahan kebudayaan boleh saja terjadi selama kebudayaan itu merupakan "kebudayaan yang terkebudayaankan" dan "kebudayaan yang dikebudayaankan", yang dihasilkan oleh "budi mikrokosmik" di bumi; tetapi perubahan kebudayaan tidak boleh terjadi dan tidak boleh mengenai "kebudayaan sebenar kebudayaan", yang berasal dari tata-kosmik "Budi makrokosmik" yang di langit.

95

Contoh perubahan kebudayaan ialah dalam tarian dan pahatan. Umpamanya, tari kecak di Bali. Gerakan-gerakan tarinya, format duduknya penari, dan teriakan yang keluar dari mulut penarinya boleh saja diubah, karena ia hanya merupakan "kebudayaan yang dikebudayaankan"; akan tetapi komunikasi dan penyatuan (communion) dengan Yang Ilahi yang merupakan tujuan ultimat tari kecak adalah "kebudayaan sebenar kebudayaan" yang tidak boleh diubahubah; itulah "adat sebenar adat" yang abadi. Contoh lainnya ialah tari Tunggal Penaluan suku Batak. Gerakan tarinya, format barisan penarinya, tongkat yang dipakai penari, dan mantera yang dikomatkamitkan penarinya boleh saja berubah atau diganti-ganti, karena ia hanyalah "kebudayaan yang dikebudayaankan"; akan tetapi komunikasi dan penyatuan dengan Yang Ilahilah yang merupakan "kebudayaan sebenar kebudayaan" abadi yang tak pernah diubah dan tak pernah diganti. Contoh lainnya ialah patung mbis suku Asmat di Papua. Motif ukirannya, simbolisme motifnya, dan posisi vertikal patungnya boleh diganti dan diubah karena ia adalah "kebudayaan yang dikebudayaankan", tapi komunikasi dan penyatuan dengan Yang Sakrallah yang merupakan "kebudayaan sebenar kebudayaan" abadi yang tidak boleh berubah dan tidak boleh diubah. Jika seumpama tari saman dari Aceh rupanya tidak menyebabkan penarinya serta penontonnya mengalami ‘kesadaran kosmik’ sedangkan tari whirling dervishes dari Persia dan tari belly dance dari Mesir bisa, maka tidak ada salahnya tari saman digantikan oleh dua tari yang disebut terakhir itu. Tarian hanyalah sekadar "kebudayaan yang dikebudayaankan", sedangkan komunikasi dan penyatuan dengan Sang Kosmos adalah "kebudayaan sebenar kebudayaan" yang tidak boleh diubah-ubah. Contoh perubahan kebudayaan yang lain adalah dalam hal upacara adat. Misalnya, upacara cabut gigi di Bali. Seumpama makna sakral-spiritual upacara cabut gigi di Bali telah hilang dalam ingatan manusia Bali Modern dan yang tinggal dipahami hanyalah upacara glamor dengan atribut-atributnya yang profan demi keuntungan material bidang pariwisata, maka upacara tersebut dapat diganti dengan upacara lain yang sedianya dapat membangkitkan kembali makna spiritualnya yang abadi, walaupun upacara itu harus berubah bentuk secara drastis dan dramatis. Upacara-upacara hanyalah "kebudayaan yang dikebudayaankan", sedangkan tujuan ultimat dari upacara itulah (yakni, kepatuhan akan tata-kosmik) yang merupakan "kebudayaan sebenar kebudayaan", yang tak boleh berubah dan diubah.

96

Demikian pula jika seumpamanya mitologi dan legenda telah kehilangan makna kebijaksanaannya, maka dapatlah dibuat mitologi dan legenda baru untuk mengembalikan makna kebijaksanaannya yang abadi. Itu pernah dilakukan oleh pencipta legenda ‘Bubukshah dan Gagang Aking’ dalam kebudayaan Sunda. Pencipta legenda ini melakukan perubahan fundamental terhadap kebudayaan yang mengajarkan vegetarianisme, ketika makna vegetarianisme dipahami secara profan oleh masyarakat di zamannya. Dalam legendanya, ia secara implisit mengritik seorang veggie (Gagang Aking) yang mempraktekkan vegetarianisme tapi tak lagi mengenali makna sakral dari praktek itu, dengan cara menampilkan sosok seorang rakus-pemakan-segaladaging (Bubukshah) yang justru memahami makna sakral-esensial dari praktek itu, sehingga si rakuslah yang berhasil masuk Nirwana, bukannya veggie itu. Dengan pembuatan mitos-mitos baru seperti itu, mitologi dan legenda bisa terus-menerus dihidupkan kembali dari kematian maknanya. “Adat sebenar adat” atau “adat babuhul mati” yang diterangkan di atas tidak boleh diubah-diubah dan tak boleh berubah-ubah, apapun alasannya dan apapun kondisinya. Larangan mengubah “adat sebenar adat” atau “adat babuhul mati” ditegaskan dalam peribahasa-peribahasa suku etnis kita: Ojo dhemen anyar (suku Jawa) Meunyoe ka ta’uet bek le toule. Ranueb na seupah jimita (suku Aceh) Kalau hidup tiada beradat, disitulah tanda Kiamat (suku Melayu) Imbaca jida kawa, ilingkang jida tau (suku Bakumpai) Enda tau belangit kedihe’ (suku Daya Suhaid) Cupak ‘lah tatagak, surilah takambang (suku Minangkabau)

Peribahasa “ojo dhemen anyar” (‘jangan suka hal-hal yang baru’) maksudnya suku Jawa melarang generasi mudanya untuk mengubah “adat sebenar adat” mereka dengan adat atau kebudayaan yang baru. Peribahasa “meunyoe ka ta’uet bek le toule” (‘kalau sudah ditelan, jangan lagi dimuntahkan’) maksudnya suku Aceh melarang generasi mudanya untuk membuang atau menolak “adat sebenar adat” yang sudah lestasi sejak dulu. Sedangkan peribahasa “ranueb na seupah jimita” (‘sirih ada, sepah dicari’) maksudnya suku Aceh melarang generasi mudanya untuk mengubah-ubah “adat sebenar adat” yang sudah lestari sejak lama dengan adat atau kebudayaan asing. Peribahasa “kalau hidup tiada beradat, di situlah tanda Kiamat” maksudnya suku Melayu melarang generasi mudanya untuk membuang atau mengubah “adat sebenar adat” mereka, sebab jika demikian halnya, kehancuran akan menimpa suku itu. 97

Peribahasa “imbaca jida kawa, ilingkang jida tau’” (‘dibaca tidak bisa, tapi dilangkahi tidak boleh’) maksudnya suku Bakumpai di Kalimantan Selatan melarang generasi mudanya untuk membuang “adat sebenar adat” suku tersebut, meskipun mereka sudah tidak mengerti dan mengenali “adat sebenar adat” suku itu. Peribahasa “enda tau belangit kedihe’” (‘tidak bisa hidup dengan langit sendiri’) maksudnya suku Daya Suhaid di Kalimantan Barat melarang generasi mudanya untuk membuat “adat sebenar adat” seenaknya sendiri dan seenaknya rasa sendiri, serta tidak boleh mengubahnya dengan seenaknya saja. Peribahasa “cupak ‘lah tatagak, surilah takambang” (‘adat telah tertegak, suri telah terkembang’) maksudnya suku Minangkabau menegaskan kepada generasi mudanya bahwa “adat sebenar adat” sudah ada lestari dan penerapannya pun sudah dilakukan oleh semua orang, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk membuangnya, menolaknya, atau mengubah-ubahnya. Dengan kategorisasi kebudayaan ala suku Minangkabau dan suku Riau seperti di atas, di samping menjaga kebudayaan secara ketat dan hati-hati, semua masyarakat kebudayaan juga bisa menerima pembaruan-pembaruan kebudayaan, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan temporer masyarakat itu. Pembedaan Kebudayaan Pembedaan kebudayaan ialah segala upaya yang dilakukan untuk membedakan mana paham kebudayaan yang bersifat sakral dan mana paham kebudayaan yang bersifat profan/antisakral. Pembedaan kebudayaan harus dilakukan dan penting dilakukan, sebab kata “kebudayaan” sudah sering dimaknai dan ditafsirkan secara profan belaka; kata “kebudayaan” sudah sering digunakan oleh pihak-pihak yang justru mendesakralisasi dan memprofanisasi kebudayaan; kata “kebudayaan” sudah sering dipakai oleh pihak-pihak yang memahami kebudayaan tapi dengan pemahaman yang begitu profan. Pembedaan kebudayaan adalah alat untuk mengidentifikasi mana “sakral” dan mana “profan”; ialah sarana untuk membedakan mana yang mendukung sakralitas kebudayaan dan mana yang mendukung profanitas kebudayaan.

98

Di bawah ini adalah beberapa pembedaan kebudayaan yang harus dilakukan oleh setiap masyarakat kebudayaan: 1.

Pembedaan antara “budi” yang dipahami “Mazhab Profan” dan “budi” yang dipahami “Mazhab Sakral”. 2. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami “Mazhab Sakral” dengan “kebudayaan” yang dipahami “Mazhab Profan”. 3. Pembedaan antara “budi” dengan “rasio” atau “nalar”. 4. Pembedaan antara “kebudayaan” dengan “culture”, “kultuur”, atau “cultuur”. 5. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh khazanah kebudayaan kita dan “kebudayaan” yang dipahami oleh “Humanities”. 6. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami “Cultural Anthropology” dengan “kebudayaan” yang dipahami khazanah kebudayaan kita. 7. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh “Cultural Studies” dengan “kebudayaan” yang dipahami oleh khazanah kebudayaan kita. 8. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh “Ilmu Budaya Dasar” dan “kebudayaan” yang dipahami khazanah kebudayaan kita. 9. Pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami seorang “budayawan” dengan “kebudayaan” yang dipahami oleh seorang “cultural thinker”. 10. Pembedaan antara “Kebudayaan Daerah” dan “Kebudayaan Nasional”. Pembedaan kebudayaan yang pertama ialah mengenai makna “budi”. Menurut paham “Mazhab Profan”, “budi” adalah rasio atau penalaran manusia yang berfungsi mengubah Alam dan mengolah tanah, sedangkan menurut “Mazhab Sakral”, “budi” adalah intelek yang Tuhan tanamkan dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk menaik secara anagogis ke “Budi makrokosmik” di langit. Pembedaan kebudayaan yang kedua ialah mengenai makna “kebudayaan”. Menurut “Mazhab Profan”, “kebudayaan” berarti manifestasi atau produkproduk nalar dari budi (semisal, seni, agama, lembaga sosial, dsb.), sedangkan menurut “Mazhab Sakral”, “kebudayaan” berarti semua aktivitas “budi” yang bisa menaikkan manusia secara anagogis menuju “Budi makrokosmik” di langit. Pembedaan kebudayaan yang ketiga ialah pembedaan antara “budi” dengan “rasio” atau “nalar”. Menurut “Mazhab Profan”, “budi” sama dengan rasio atau nalar, sedangkan menurut “Mazhab Sakral”, “budi” bukan hanya sekadar rasio atau nalar, tetapi juga Nur Muhammadi yang memperantarai Kak Wujud dan Kak Sajati dalam kosmologi tradisional (“Budi makrokosmik”); dan “budi” 99

adalah sekaligus intelek yang Tuhan imanenkan dalam kepala dan dada manusia (“budi mikrokosmik”). “Budi makrokosmik” dan “budi mikrokosmik” ini terus berhubungan satu sama lain dengan keterhubungan yang abadi, karena “manusia bumi” berasal-mula dari “manusia langit”, dan “budi mikrokosmik” berfungsi mengantar manusia secara anagogis dari bumi ke “Budi makrokosmik” di langit; dari Paran ke Sangkan atau dari Omega ke Alpha. Pembedaan kebudayaan yang keempat ialah pembedaan antara makna “kebudayaan” dengan dengan “culture”, “cultuur” atau “kultur”. “Mazhab Profan” selalu menyamakan dan menyejajarkan “kebudayaan” dengan “culture”, “cultuur” dan “kultur”. Mereka menyamaratakan saja “kebudayaan” dengan “culture”, “cultuur” dan “kultur”. Sedangkan “Mazhab Sakral” menegaskan perbedaan diametral antara “kebudayaan” dengan “culture”, “cultuur” dan “kultur”. “Mazhab Profan” menyamakan “kebudayaan” dengan “culture”, “cultuur” dan “kultur” karena mereka memahami “budi” sebagai alat yang manusia miliki untuk mengubah dan menguasai Alam (colere, cultura, culture). Sedangkan “Mazhab Sakral” membedakan secara diametral antara “kebudayaan” dengan “culture”, “cultuur” dan “kultur” karena mereka memahami “budi” sebagai alat yang manusia miliki untuk menaik secara anagogis menuju “Budi” di langit; Alam dimanfaatkan manusia bukan semata untuk manfaat terestrial an sich tapi terutama untuk menaik menuju langit. Oleh sebab itu, “kebudayaan” tidak bisa disamakan dan tidak bisa disejajarkan dengan “culture”, “cultuur” dan “kultur”. Pembedaan kebudayaan yang kelima ialah pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh “Humanities” dengan “kebudayaan” yang dipahami oleh khazanah kebudayaan kita. “Humanities” memahami kebudayaan sebagai fenomena kemanusiaan yang dikaji lewat metode Ilmu-Ilmu Kemanusiaan; sebagai fenomena sastrawi manusia oleh Ilmu Kesusasteraan (Literature); sebagai fenomena kebahasaan manusia oleh Ilmu Linguistik; sebagai fenomena historis manusia oleh Ilmu Sejarah; sebagai fenomena filosofis manusia oleh Ilmu Filsafat; dan sebagai fenomena seni manusia oleh Ilmu Kesenian. Sedangkan khazanah kebudayaan kita memahami “kebudayaan” bukan sekadar fenomena kemanusiaan (“budi mikrokosmik”), tapi juga fenomena kosmologis (“Budi makrokosmik”), serta sekaligus merupakan satusatunya jalan terbaik, satu-satunya sarana terbaik, satu-satunya instrumen terbaik, atau satu-satunya alat terbaik bagi “manusia bumi” untuk menaik secara anagogis ke asal-mulanya sebagai “manusia langit”. 100

Pembedaan kebudayaan yang keenam ialah pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh “Cultural Anthropology” dengan “kebudayaan” yang dipahami oleh khazanah kebudayaan kita. Sebagaimana “Humanities”, “Cultural Anthropology” memahami “kebudayaan” sebagai fenomena kemanusiaan; ia adalah produk nalar manusia yang ditujukan untuk menaklukkan alam demi kejayaan dan kemakmuran manusia. Sedangkan khazanah kebudayaan kita tidaklah sama sekali memahami “kebudayaan” sebagai alat menaklukkan alam demi kejayaan duniawi manusia lantaran kejayaan duniawi bukanlah kejayaan hakiki yang dituju oleh “kebudayaan”; kejayaan hakiki adalah menaik secara anagogis ke langit ke pangkuan “Budi makrokosmik”. Khazanah kebudayaan kita memahami kebudayaan sebagai satu-satunya transportasi bagi “budi mikrokosmik” untuk terbang secara anagogis ke “Budi makrokosmik” di langit. Pembedaan kebudayaan yang ketujuh ialah pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh “Cultural Studies” dengan “kebudayaan” yang dipahami oleh khazanah kebudayaan kita. Seperti “Humanities” dan “Cultural Anthropology”, “Cultural Studies” memahami kebudayaan sebagai fenomena kemanusiaan, khususnya fenomena kemanusiaan dari masyarakat atau komunitas yang terpinggirkan oleh media massa kapitalistik-modernistik dan tersisihkan oleh struktur keilmuan kapitalistik-modernistik. Ia adalah produk nalar dari manusia yang terpinggirkan dan produk nalar dari manusia yang tersisihkan dalam peradaban kapitalistik-modernistik yang ditujukan untuk bertahan hidup dalam peradaban itu dan mengaktualisasikan-diri dalam peradaban itu. Sedangkan “kebudayaan” yang dipahami oleh khazanah kebudayaan kita adalah segala produk intelek manusia (“budi mikrokosmik”) yang memungkinkannya untuk menaik secara anagogis ke “Budi makrokosmik” di langit, tak soal apakah manusia itu tersisihkan atau tidak; dan tak soal apakah manusia itu dalam peradaban kapitalistik-modernistik atau peradaban pra-modernistik. Pembedaan kebudayaan yang kedelapan ialah pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh “Ilmu Budaya Dasar” dengan “kebudayaan” yang dipahami oleh khazanah kebudayaan kita. “Ilmu Budaya Dasar” memahami kebudayaan sebagai alat untuk “memanusiakan manusia”, sedangkan khazanah kebudayaan kita memahami kebudayaan sebagai bukan sekadar alat “memanusiakan manusia” tapi juga alat “melangitkan manusia” dari “budi mikrokosmik” ke “Budi makrokosmik” di langit. Pembedaan kebudayaan yang kesembilan adalah pembedaan antara “kebudayaan” yang dipahami oleh seorang budayawan dengan “kebudayaan” yang dipahami oleh seorang cultural thinker. Seorang cultural thinker 101

memahami kebudayaan sebagai obyek pemikirannya, yang bisa dimanipulasi, yang bisa dimanfaatkan untuk manfaat kemanusiaan di dunia; sedangkan seorang budayawan memahami kebudayaan sebagai alat untuk menaik secara anagogis dari dunia menuju langit. Pembedaan kebudayaan yang kesepuluh ialah pembedaan antara “Kebudayaan Daerah” dan “Kebudayaan Nasional”. “Kebudayaan Daerah” tak lain dan tak bukan adalah kebudayaan yang selama ini dipahami dalam khazanah kebudayaan kita, sedangkan “Kebudayaan Nasional” adalah produk nalar kaum modernist pendiri kesatuan politik modern yang disebut dalam peta dunia sebagai “Indonesia” ini. Kaum modernist kita yang membangun “Kebudayaan Nasional” ini tidak menyukai sepenuhnya “Kebudayaan Daerah”, sebagaimana yang dipahami dalam khazanah kebudayaan kita, karena “Budaya Daerah” difitnah mereka sebagai “penghalang kemajuan”, “penghambat pembangunan”, “sisa-sisa nilai feodalistik kuno yang harus dibuang”, dsb. “Kebudayaan Daerah” yang boleh diadopsi oleh “Kebudayaan Nasional” hanyalah yang sesuai dengan tujuan-tujuan modernistik mereka saja, yakni yang indah, yang bermutu tinggi secara estetika modernistik, yang menyangga pembangunan politis-ekonomis ala kaum modernist ini, yang beradaptasi dengan logika modern yang dianut kaum modernist ini, dan yang menyokong sains dan teknologi. Apabila tidak sesuai dengan kriteria-kriteria modernistik tadi, maka “Kebudayaan Daerah” semestinya dibuang saja dan digantikan dengan “Kebudayaan Nasional” yang diambil dari khazanah kultural seluruh dunia, terutama Dunia Barat. Ikhtisar Filsafat Karena “budi” dalam khazanah kebudayaan kita disamakan artinya dengan “adat” dan “buddhi”, maka implikasi-implikasinya adalah sebagai berikut: a) “Kebudayaan” dipahami Ferry Hidayat seluruhnya dalam konteks kosmologis dan psikologis “budi” dalam khazanah budaya negeri sendiri; b) “Kebudayaan” dipahaminya dalam konteks kosmologis dan psikologis “buddhi” dalam khazanah filosofis India; c) “Budi” dalam khazanah kebudayaan kita dan tradisi filosofis India adalah berbeda jauh dengan “akal”, “rasio”, “akal budi”, dsb. dalam bahasa Indonesia populer. d) Makna “kebudayaan” dan makna “kultur” tidak serupa dan tidak sekalikali sama. e) Makna “kebudayaan” dalam “Mazhab Sakral” tidak bisa dikaitkan dengan makna “culture”, “kultuur” dan “cultuur” dalam “Mazhab Profan”. f) Semua kajian-kajian mengenai budaya dalam khazanah kebudayaan kita pun tidak bisa diterjemahkan dengan Cultural Studies. 102

g) Arti “budayawan” berbeda jauh dari arti “cultural thinker”. h) “Antropologi Budaya” berbeda jauh dari Cultural Anthropology. i) Semua hal yang mengenai kebudayaan dalam “Ilmu Budaya Dasar” tidaklah sama dan tidak serupa dengan semua hal yang mengenai budaya dalam khazanah kebudayaan kita.

103