Konsep inventif etika Pancasila berdasarkan filsafat Pancasila Notonagoro 6027981113, 9786027981119

Notonagoro adalah seorang filsuf yang telah merumuskan pengertian Filsafat Pancasila serta arti substansial dari sila-si

198 110 35MB

Indonesian Pages 178 [187] Year 2014

Report DMCA / Copyright

DOWNLOAD FILE

Polecaj historie

Konsep inventif etika Pancasila berdasarkan filsafat Pancasila Notonagoro
 6027981113, 9786027981119

Citation preview

Konsep Inventif Etika Pancasila Berdasarkan Filsafat Pancasila Notonagoro Dr. Sri Soeprapto, MS.

i

Undang-und ang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hale Cipta

Llngkup Hak Cipta

Pasal 2: 1.

Hak Cipta merupakan hak seksekutif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumum kan atau memperban yak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurang i pembatasan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72:

1.

2.

Barangsiap a dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaiman a dimaksudka n dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidanakan dengan pidana penjara masing-mas ing paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.00 0,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.00 0.000,00 (lima miliar rupiah). Barangsiap a dengan sengaja menyiarkan, memamerka n, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang basil Pelanggara n Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaiman a dimaksudka n dalam ayat (1) dipidanakan dengan pidana penjara paling lama S (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii

Konse p Inven tif Etika Panca sila Berda sarka n Filsaf at Panca sila Noton agoro

Dr. Sri Soeprap to, M.S.

iii

Konsep lnventif Etika PancasUa Berdasarkan Filsafat Pancasila Notonagoro

Cet.akan 2 , 2014

Penutts : Dr. Sri Soeprapto, RS.

Editor : H.artono Tata Letak : Pudji Triwihowo Desain Cover : Dffli Satrtya Hidayat

Dk:etak dan d:itai>itfdan tJleh :

UNYPl"ess Komplets .Fakwta:s Teknik Kampus KarangmaJ:ang Yogyakarta, 55281 Telp. (0274) 589346 Email: unypress.y [email protected] lsi diluar tanggung jawab pen:etaka.n

ISBH: 978-602-7'9'81-11-9

Perpustakaan NasionaJ ; Katalog Dalam ieri>itan (KD'T)

iv

Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT., yang telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga buku hasil laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Penulis berharap buku basil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang mendasar dan komprehensif bagi bangsa Indonesia dalam mempersiapkan diri menyongsong masa depan. Buku ini merupakan basil penelitian yang bertahap selama dua tahun, untuk menunjukkan pertanggungjawaban peneliti sebagai pengasuh mata kuliah Filsafat Pancasila dan Etika Pancasila di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Manfaat yang diharapkan dari penelitian kualitatif di bidang filsafat ini terutama untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, filsafat, dan bangsa Indonesia. Hasil penelitian ini bagi ilmu pengetahuan akan dapat menjadi pertimbangan tentang ruang lingkup aktifitasnya, yaitu pada lingkup pengalaman empiris.

Pengertian tentang terbatasnya lingkup ilmu pengetahuan pada pengalaman empiris diharapkan dapat menjadi pendorong para ilmuwan untuk memperluas dan memperdalam dasar-dasar teorinya sampai ke pengetahuan tentang sumber dan hakikat objek ilmiah yang ditekuninya, yaitu landasan ontologisnya. Penelitian ini juga bermanfaat bagi ilmu Filsafat, yaitu akan dapat menjadi pertimbangan, bahwa ilmu Filsafat sebagai aktivitas pemikiran rasional dapat lebih bermakna fungsional. Konsep teoritis filsafat bukan hanya menjadi konsep-konsep teoritis substantif, tetapi dapat bermanfaat untuk kepentingan hidup berbangsa dan bemegara. Penelitian ini diharapkan akan bermanfat juga bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia diharapkan dapat mengantisipasi masa modernisasi dan globalisasi dengan perencanaan penge!llbangan kebangsaan Indonesia yang berpedoman kepada nilai-nilai budaya Indonesia sendiri, tetapi tidak eksklusif karena dikaitkan pada nilai-nilai yang universal.

V

Buku Inf d pat dis lesalka.n dan dtterbttkan dengan bantuan berb gal pih k. P ·nulls mengucapkan terlmakaslh secara khusus kepada almarhum Prof. Dr.(HC). Drs. Notonagoro, SH., karcna karyakaryanya t lah menumbuhkan ins pl rasi dan semangat pada penulls untuk mengembangkannya. Prof. Dr.(HC). Drs. Notonagoro, SH. telah m mb rikan bimbingan pada awal karler permits, yaitu selama penulis menjadi asisten beliau di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Penulis juga sangat b~rterlmakasih kepada UNY Press (Penerbit Universitas Negerl Yogyakarta) yang telah menerbitkan hasil penelitian ini. Hasil penelitian terhadap karya-karya Prof. Dr.(HC). Ors. Notonagoro, SH. ini diharapkan akan dapat tersebar luas, sehingga dibaca dan dikembangkan oleh para pakar ilmu pengetauan. Para pakar ilmu pengetahuan di Indonesia perlu mempertlmbangkan pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan kepentlngan dan tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Ilmu pengetahuan tidak cukup apabila hanya memperhatikan kemajuan ilmiah di bidangnya masing-masing.Masing-masing cabang ilmu pengetahuan perlu selalu memperhatika n landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan aksfologisnya. Jlmu pengetahuan dituntut dapat memberi sumbangan penyelesaian terhadap masalah-masalah konkret yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa , dan negara secara kritis, komprehansif, dan sekallgus evaluati f.

Yogyakarta, 10 September 2014

Srl Soeprapto

vi

Halaman Judul ............................................................... ................................... Prakata. ................................................................................ ......... ... . ........................... . . .................... ......... . . _................... "··· v Dafta.r isi . . . . . . . . ............. ...................................................................... ..................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A Latar Belakang Permasalahan .......................................... 1 8. Metode Penelitian .................................................................. 11 BAB II RUANG LINGKUP ONTOLOGI ................................................. A Pengertian Ontologi ........:......................................-............. B. Objek Bahasan Ontologi ...................................................... C. Metode Ontologi ..................................................................... D. Manfaat Ontologi ....................................................................

15 15 18 34 36

BAB III LATAR BELAKANG FILSAFAT NOTONAGORO ............ 41 A Riwayat Hidup dan Karya Notonagoro ......................... 41 B. Filsuf dan Filsafat yang Berpengaruh ............................ 43 BAB IV ONTOLOGI PANCASILA ............................................................. A. Pandangan Notonagoro Tentang Yang Tetap dan Yang Berubah ............... -................................................ B. Landasan Ontologis Pancasila ........................................... C. Pengertian Pancasila Yang Substansial ......................... D. lsi Arti Sila-sila Pancasila ....................................................

67 67 70 82 86

BAB V PENGEMBANGAN INVENTIF PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA .............................................................................. 113 A Pengembangan Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa ......................................................................................................................................,..............._....... 114

B. Pengembangan Pancasila Melalui Penyelenggaraa n Negara ..........................................................._.............................. 122 C. Pengembangan Pancasila Melalui Perundangundangan ..................................... ,................................................ 134 vii

D. Reflelcsi Teleologis ................................................................... 142 E. Pengertian Etika Pancasila .................................................. 163

BAB VI

PEN'UTUP ..,................................................................................. 170

D.ATTAR PUSTAKA ..............................•...................................................•... 174

viii

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belaka ng Permasalahan Notonagoro adalah seorang filsuf yang telah merumu skan pengert ian Filsafat Pancasila dan isi arti sila-sila Pancasila yang substan sial. Konsep Notonagoro tentang Filsafat Pancasila yang masih perlu dikembangkan adalah kejelasan pelaksa naannya dalam kehidup an nyata. Permasalahan pelaksa naan Pancasila yang penting diperha tikan adalah masalah konsep pengem bangann ya bagi kehidup an berbang sa dan bernega ra di masa sekaran g dan yang akan datang. Dasar pengembangan Pancasila bagi kehidup an berbang sa dan bernega ra dapat dikhususkan ke arah penting nya perumu san landasa n-landa san filsafati Pancasila, yaitu landasa n ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Perumu san landasa n-landa san filsafati Pancasila dapat dimulai dari perumu san landasa n ontolog is Pancasila, agar pengem bangan landasa n epistem ologis dan aksiologisnya tetap berdasa r dan konsiste n dengan landasa n ontologisnya. Perumu san landasa n ontologis Pancasi la adalah rumusa n tentang asal mula keberad aan Pancasila sebagai dasar negara dan isi arti substansialnya. Rumusan isi arti Pancasi la dalam sistem ontologis akan memper jelas pandang an dasar tentang kehidup an berbang sa dan bernega ra, serta hubung annya dengan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Konsep Notonagoro tentang Filsafat Pancasila merupa kan hasil rangkai an peneliti an yang telah dilakukan sejak tahun 1946. Notonagoro terutam a meneliti sejarah perkem bangan kebang saan Indones ia serta notulen rapat-ra pat BPUPKI dan PPKI. Hasil peneliti an Notonagoro yang penting dan fundam ental pernah disampa ikan secara tertulis dan kemudi an dipublik asikan melalui penerbi tan buku. Uraian ilmiah pertama yang disampa ikan secara tertulis berjudu l Pantjasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, disampa ikan pada 19 Septem ber 1951, sebagai pidato promot or pada promos i honoris causa Preside n Soekarn o dalam ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada. Uraian ilmiah kedua berjudu l Hakikat dan

Konlql hwnitif!ttlm P1111cn.siLt

&rcwarbn F,IJD.fi,.t P1111casila Notonagorn

1

Kedudukan Pi mb kaan O nda,w-0 ndang Dasar 194.S, disampaikan p. d 10 No mb r 1955, s bagai pidato dies pada Dies Natalis pertam Uni rsita.s Airlangga .Surabaya~ Uralan ilmiah ketiga

b rjudul een·ta Pikiron llmiah tentong Kemungkinan Djalan ke luar dari esuliton meng nai Panq'.osfla sebttga; Dasar N~aro Republik Indonesia, di ampai~'lln p da 1 Februari 1959, sebagai makalah ilmiah 'p ad minar Pancasila di Yogyakarta (Makagiansar. 1974. ii). Kon p N tonagoro masih dikembangkan lebih lanjut dalam p n rbitan buku berik'lltnya yang berjudul Pantjasila Setjaro llmiah Populer. pada tahun 197 1. lsi buku tersebut pernah diuraikan selama satu etengah tahun (tahun 1960 - 1961) dalam bentuk pidatn melalui iaran sentral Radio Republik Indonesia atas permintaan p metintah kepada Unive.rsitas Gadjah Mada Konsep Noton~o0ro tentang Filsafat Pancasila merupak:an hasil penelitian dan pemikiran yang berkesin.amb~aan. Konsep tersebut ·uga telah mendapat pe~aak111an dan kepen:ayaan dari Universitas Gadjah Mada dan pemerintah. Universitas Gadjah Mada telah memberik.'"an penghargaan berupa pe~aanlloaerahan gelar docwr honon's causa dalam bidang ilmu Filsafat kepada Notonagoro pada tahun 1973. Sukadji Ranuwirahardjo (1974: 8) sebagai Rel-tor/ Ketua enat Guru Besar Universitas Gadjah Mada dalam kedudukannya sebagai promotor p-ada pengan~aerahan gelar doctor honoris causa tersebut mengemukakan, bahwa melalui perenUlloaan jiwa yang dalam. penyelidikan cipta yang teratur dan saksama. serta dilandasi pengetahuan dan pengalaman yang luas, Notona.:,aoro telah berhasil merumuskan ilmu Filsafat Pancasila deDe.aan menemukan pengertian dan hakik.-at sHa-silanya. Pengertian ha.kik--at dan nilai-nilai Pancasila dapat dijadikan dasar dan ti'tik tolak untuk memeca.hkan soal-soal p:okok ilmu pengetahuan dan me11ooembangkan ihnu pengetahuan termasuk segi penerapannya bagi kehidupan di lndon sia. Konsep Notonagoro tentang Filsafat Pancasila apabila dilanjutkan dengan kons p tentan.g pelaksa.naann akan sangat r le n untuk masa kint Bangsa Jndonaia pada akhir abad mengalami mas krisis perekonomian ng kemudian berlrem m njadi krisls di h mpir emua bidang , rudupan. Xrisi multi dim n ional ters but b rlangsun dalam m gl baU ' sehi

2

menjadikan permasalahan semakin berat bagi wawasan kebangsaan. Bangsa Indonesia memasuki abad XXI menghadapi permasalahan yang berpotensi destruktif dan disintegratif bagi wawasan kebangsaantersebut Awai abad XXI merupakan momentum yang sangat menentukan bagi kesiapan bangsa Indonesia untuk menjaga eksistensinya. Bangsa Indonesia perlu memiliki konsep yang mendasar dan komprehensif untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Pancasila sebagai kepribadiannya yang secara akulturatif akan siap menerima pengaruh nilai-nilai budaya baru. Bangsa Indonesia perlu menyusun perencanaan dengan pertimbangan-pertimbangan yang mendasar dan komprehensif tentang jalan keluar mengatasi ancaman disintegrasi akibat krisis multi dimensional dan globalisasi tersebut Pandangan Notonagoro bahwa Pancasila adalah kepribadian bangsa yang memberi corak dan watak khas bangsa Indonesia masa lalu, sekarang, dan yang akan datang perlu dijadikan pertimbangan sebagai sumber bahan dan nilai bagi perencanaan yang mendasar dan komprehensif tersebut. Pengembangan nilai-nilai Pancasila memerlukan pemikiran filsafati yang mendasar dan komprehensif sampai ke landasan ontologisnya, yaitu dasar yang terkait dengan hakikat keberadaan manusia. Landasan ontologis Pancasila penting bagi perencanaan dan penataan hidup berkebangsaan agar tetap pada jalur untuk meningkatkan kualitas harkat dan martabat manusia. Masalahmalasah kualitatif merupakan masalah filsafati yang oleh ilmu pengetahuan positivistik tidak diberi tempat dalam kerangka pemikirannya. Ilmu pengetahuan positivistik memang mampu menemukan kebenaran yang objektif berdasarkan bukti-bukti faktual, tetapi tidak akan pernah bersentuhan dengan nilai-nilai hidup terutama moral dan spiritual. Konsep Notonagoro tentang pengertian Filsafat Pancasila dan isi arti sila-silanya yang substansial perlu dirumuskan landasan ontologisnya agar sistem nilai-nilai kebudayaan nasional, yaitu nilainilai Pancasila dapat memberi orientasi teleologis bagi bangsa Indonesia. Orientasi teleologis ini tidak hanya untuk memantapkan fungsi Pancasila sebagai dasar negara dan integrasi nasional saja, tetapi juga untuk menentukan masa depan yang tetap

berkepribadian Pancasila. Rumusan Iandasan ontologis Pancasila sangat diperlukan agar perubahan dalam hal konsep, bentuk, fungsi, dan sifat budaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan dunia modern dapat berlangsung tanpa mengubah sistem nilai-nilai budaya Indonesia sendiri. Notonagoro (1974: 4) dalam pidato penerimaan gelar doctor honoris causa dalam ilmu Filsafat berpandangan, bahwa dalam menghadapi pengaruh ilmu pengetahuan modern dan latar belakang aliran filsafatnya yang berasal dari luar dapat ditempuh cara eklektis inkorporatif. Metode eklektis inkorporatif adalah langkah-Iangk ah metodis untuk menerima ilmu pengetahuan modern dari luar tersebut, tetapi dengan melepaskan dasar sistem filsafatnya dan selanjutnya diinkorporasika n atau disintesiskan ke dalam struktur Filsafat Pancasila. Pandangan Notonagoro tentang metode eklektis inkorporatif perlu kejelasan dan perumusan lebih lanjut dalam suatu kesatuan dengan landasan ontologis Pancasila, karena berkaitan dengan masalah perubahan suatu sistem nilai kefilsafatan. Rumusan tentang landasan ontologis Pancasila dapat digunakan untuk menjelaskan pentingnya metode eklektis inkorporatif sebagai langkah-langk ah metodis dalam mempertahank an nilai-nilai Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia, tetapi tidak eksklusif. Perumusan Iandasan ontologis Pancasila dapat menjadi bahan untuk merumuskan Iandasan epistemologis dan aksiologis Pancasila. Rumusan tentang landasan epistemologis Pancasila yang jelas akan sangat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, terutama pengetahuan ilmiah yang berhubungan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Rumusan tentang landasan aksiologis Pancasila yang jelas akan sangat berguna bagi penyusunan konsep Etika Pancasila yang berhubungan dengan moralitas bangsa Indonesia di masa depan. Perumusan landasan ontologis Pancasila memerlukan pemahaman tentang pengertian Ontologi. Ontologi adalah cabang Filsafat yang paling tepat untuk menganalisis hubungan a ntara keberadaan nilai-nilai hidup masa lalu, sek~rang, dan masa yang akan datang sebagai suatu proses yang berkesinambun gan. Ontologi secara khusus membahas tentang pengertian perubahan, hubungan 4

Konaq, lriYrnl.Jf WkA Pana.s1la Bcrduarlwi nla.{iu Pana.siui Nourruu:pro

antara yang tetap dan berubah, normanya, serta tujuannya. Metode eklektis inkorpo ratif penting dirumus kan kejelasan Iangkah-langkah metodisnya untuk menjelaskan pengert ian pengembangan nilai-nilai Pancasila. Transfo nnasi nilai-nilai budaya yang bercora k ontologis adalah perubah an dalam ha] konsep, bentuk, fungsi, dan sifat budaya untuk menyesuaikan dengan kebutuh an perkem bangan zaman, tetapi tanpa meruba h inti nilai-nilai budaya Indonesia sendiri. Tujuan trasform asi budaya adalah mengem bangka n nilainilai budaya sendiri untuk mencapai masa depan yang lebih baik (Mardimin, 1994: 15). Penelitian untuk merumu skan konsep pengem bangan Pancasila dapat dimulai dari konsep Notonagoro tentang pengert ian ontologisnya, dan Pancasila yang kefilsafatan, landasa n pelaksanaannya, kemudian dilanjutkan dengan konsepn ya tentang metode eklektis inkorporatif. Landasan ontologis Pancasila dapat dijadikan sebagai sumber bahan merumu skan landasa n-Ianda san epistemologis dan aksiologis Pancasila. Metode eklektis inkorpo ratif metodis Iangkah-Iangkah mempe rjelas dapat diharap kan pengem bangan landasan-Iandasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis ilmu pengeta huan di Indonesia, terutam a yang berhubu ngan dengan kehidupan berbang sa dan bernega ra. Langkahlangkah metodis tersebu t akan dapat mempe rjelas kedudu kan nilainilai Pancasila dalam menerim a pengaru h pemikir an rasiona l dan moralitas modern sebagai akibat perkem bangan ilmu pengeta huan modern dan latar belakang aliran filsafatnya. Permas alahan penelitian ini, yaitu untuk mengem bangkan nilai-nilai Pancasila meliputi permas alahan tentang pengert ian Filsafat Pancasi la dan isi arti sila-sila Pancasila yang substan sial menuru t Notonagoro, landasa n ontologis Pancasila, landasa n-landa san epistem ologis dan aksiologis Pancasila, serta norma Etika Pancasila. Kajian kepusta kaan menunjukkan, bahwa perhati an para pakar terhada p konsep Notonagoro ten tang Filsafat Pancasila sebenar nya cukup banyak. Banyak catatan- cata·t an kaki di buku-b uku Pancasila dan Filsafat Pancasila yang bersum ber dari konsep Notonagoro, tetapi sebagai sumber acuan dan bukan suatu peneliti an untuk mendal aminya dan mengembangkannya. Penelitian ini berbeda dengan buku-buku karya para pakar yang menulis tentang Konsq, lnvmtifEti/ca Pancasila t:Jo~f.O!O llac:waTkan Fdsn{at P~

5

IJ.a. P

Pa

~nnya rutama pad.a udut pan.dang atau objek (Qf'ffl.aJny~ y ltu ,Ontolog1. Sudut pandang Ontologl dlrnaksudkan tm mcrum kan landasan ontologls PancaJ>tLa Landasan ontologl.s P· ti.a dfmabudkan untuk merumu.skan pengertlan dan nilainUaf suw n,la] Pan lla yang tefah dlrumuskan oleh Notonagoro njadf koM p Ontologt Panca tla Kon ep OntoJogt Pancasila lnilah yang dlj3'tlkan d.aur untuk merumuskan pengembangan nilai-nlla1 Ua bag1 kep ntingan hldup bcrbangsa dan bernegara di masa P rang clan yang akan datang. Pranarka, 1985, menyusun buku Sejarah Pemikfran Tentang Ponca. Ila. Pranarka menyltlr pandangan Notonagoro tentang isi arti Pana lla bagaf baglan pemikiran tentang perkembangan pttrumu.,an i f art1 Pancaslla,. kemudlan diJadikan bahan untuk m lakukan anall.sl krltts dart sudut pandang kesejarahan. Suwarno, 1993, m nyu un buku Pancaslla Budaya Bangsa Indonesia. Suwarno, m nyttfr pandangan Notonagoro tentang lsi arti Pancasila yang dlrum· kan eca.ra fllsafatl melalui metode abstraksi untuk dJkomparasfkan dengan lsi artl Pancasila yang dirumuskan melalui analJ Antropologi kefllsafatan dengan metode induktif dan isi arti PancaJJtla yang dlrumuskan melalui analfsls fenomenologi. Soejadi, 1-999, menyU8un buku Pancaslla Sebagai Sumber Tertib Hukum lndone la. SoeJadl menyitir pandangan Notonagoro tentang kedudukan Pancasfla dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bagal Pokok Kaid.ah Fundamental Negara untuk menganalisis k dudukan Pancaslla sebagal Sumber Tertib Hukum Indonesia. Ka -!an, 2003, menyusun buku Pendidikan Pancasi/a dan Filsafat Pancaslla. Kaelan dalam buku Pendldikan Pancasila menyitir pandiingan Notonagoro tentang asal mula Pancasila, kesatuan silafla PancasJla, kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bagaJ Pokok Kaid.ah Fundamental Negara untuk menganalisis kedudukan dan fungsl Pancasila dalam ketatanegaraan Republik Jndon fa. Kaelan dalam buku Fllsafat Pancasi/a juga menyitir p ndangan Notonagoro tentrang Isl artl Pancasila yang abstrak umum unJver al dan pelaksanaan Pancasila untuk menganalisis r 11 J pengamalan Pancaslla dalam berbagai bidang kehidupan b rm yarakatdarl sudut pandang yurldls kenegaraan dan fll afatan. iJ

,

,

1Cofl..tq1 l11vmt( EU.liJ rw..,ll, llJDI1n,.rbn J1',f(IJ PWJall, ND~w

-

--------

Kajian pustaka menunjukkan, bahwa konsep Notonagoro tentang pengertian dan isi arti Pancasi1a yang filsafati memang dipandang penting, tetapi para pakar umumnya berpendapat perlu dikembangkan lebih lanjut kejelasan pe)aksanaanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suwarno (1993: 95) menjelaskan, bahwa Notonagoro dengan menggunakan teori-teori filsafat klasik telah berhasil menjelaskan hakikat keberadaan Pancasila, bahwa Pancasila ada.lah kepribadian bangsa Indonesia untuk masa sekarang dan yang akan datang. Rumusan penjelasan Notonagoro yang bercorak substansiaJ tersebut perlu diperkaya secara komprehensif. Driyarkara bertitik tolak dari Filsafat Manusia modern dengan metode induktif juga telah berhasil merumuskan keberadaan dan sekaligus menjelaskan hakikat Pancasila yang akan terus terlekat pada bangsa Indonesia. Pendekatan fenomenologis dengan menggunakan metode reduksi berhasil menemukan prinsipprms1p kehidupan yang berdasar pada Pancasi1a dengan memperhatikan fenomena sosiaJ di Indones·ia. Permasalahan tentang hakikat dan nilai-nilai substansial Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut adalah permasaJahan pengembangannya untuk masa sekarang clan yang akan datang melalui pendekatan yang mendasar dan komprehensif. Kartodirdjo (1994: 32) menjelaskan, bahwa konsep yang mendasar dan komprehensif tentang pengembangan Pancasila sebagai kepribadian bangsa akan tercapai apabila diperhitungkan bahwa Pancasila memiliki tiga dimensi yaitu di.mensi identitas, dimensi humanitas, dan dimensi universalitas. Dimensi identitas merujuk kepada ruang dan waktu secara terbatas, antara lain lokalitas, etnisitas, genealogi, dan negara nasional. Dimensi humanitas mempunyai ruang lingkup yang lebih luas yaitu mentransendensi batas-batas lokalitas dan temporal tertentu. Manusia dengan komunikasi modern mendapat cakrawala yang semakin meluas, yaitu empati terhadap sesama di mana saja. Dimensi humanitas dan universalitas mentransendensi batas-batas ruang dan waktu, bahkan memperluas perspektifnya mundur ke masa lampau dan maju ke masa depan. Sila pertama dan kedua termasuk dimensi humanitas dan universalitas tersebut Dimensi humanitas dan universalitas sangat diperlukan dalam pergaulan antar bangsa

--· --- -----

x-.p ~ P - - 1 &

Bmlaanan

P9ICUlila

'-,L

Koento-Wibisono (1981: 7) berpendapa t, bahwa rumusan Notonagoro tentang pengertian hakikat sila-sila Pancasila yang substansial bersifat Platonis, Aristotelian, dan Thomistis. Apabila pengertian tentang hakikat Pancasila tersebut diteruskan dengan pemikiran Notonagoro tentang pelaksanaan Pancasila yang dibedakan secara objektif dan subjektif, maka akan nampak sifat fungsionalnya. Setiap gerak dan arah perubahan yang terus menerus berlangsun g tidak akan terjerumus dalam suasana relativisme atau nihilisme sebagai akibat sampingan dari penerapan paham Pragmatism e atau Eksistensialisme atau pemujaan terhadap pandangan Positivisme. Apabila segala sesuatu yang baru harus diterapkan di dalam hidup bangsa Indonesia yang ber-Pancas ila, maka satu hal yang secara mutlak harus dipegang adalah nilai-nilai intrinsik substansial Pancasila. Prospek pemikiran Filsafat Pancasila dalam menyambu t masa depan adalah setepatnya untuk diberi corak substansial-fungsional. Peruncingan permasalahan pengemban gan Pancasila berdasarka n corak substansial-fungsional menurut pendapat Koento-Wibisono perlu dilanjutkan. Agar nilai-nilai substansia l Pancasila mempunyai corak fungsional, maka diperlukan kejelasan rumusan tentang pelaksanaannya untuk masa yang akan datang. Pelaksanaa n Pancasila untuk masa yang akan datang adalah masalah pengemban gannya untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman. Permasalahan pengembangan Pancasila membutuh kan kejelasan hubungan keberadaan dan fungsi Pancasila di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, sehingga diperlukan kejelasan rumusan tentang keberadaan Pancasila secara ontologis. Ontologi adalah cabang filsafat yang secara mendalam membahas tentang hakikat keberadaan segala yang ada di alam semesta, cara memperole h pengetahuan tentang unsur-unsu r hakikat, pengertian perubahan, dan hubungan antara unsur-unsu r hakikat dengan halhal yang berwujud. Rumusan tentang Iandasan ontologis Pancasila sangat penting sebagai sumber bahan untuk merumusk an landasanlandasan epistemologis dan aksiologis Pancasila. Kaelan (2002 : 159) berpandapa t, bahwa kesatuan sila-sila Pancasila secara filsafati bukan hanya merupakan kesatuan formal logis saja, tetapi yang Iebih 8

Ko~ lm,mtyEtilr. Pana.si.la

Bmlasuiun Filsa[al Pancasila No!onaj?oro

mendasar mempunyai dasar kesatuan makna atau isi hakikatnya. Kesatuan sila-sila Pancasila yang formal logis adalah dasar kesatuan sila-sila Pancasila yang hirarkhis-piramidal untuk menggambarkan hubungan hirarkhis sila-sila Pancasila dalam urutan keluasan isinya (kuantitasnya). Sila-sila Pancasila juga memiliki kesatuan dasar makna isinya yang hakikat, yaitu landasan-landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Landsan epistemologis dan aksiologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan landasan ontologisnya yang bersumber pada pengertian tentang hakikat keberadaan manusia. Kaelan menjelaskan, bahwa pemikiran Notonagoro tentang landasan ontologis Pancasila diawali melalui penjelasannya tentang asal mula keberadaan Pancasila sebagai dasar negara dan isi artinya yang filsafati. Notonagoro menjelaskan keberadaan Pancasila sebagai dasar negara melalui teori kausalitas. Pertama, asal mula bahan (causa materialis) Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri. Unsurunsur Pancasila sebelum disahkan sebagai dasar negara sudah dimiliki bangsa Indonesia sebagai asas-asas adat istiadat dan kebudayaan, serta asas-asas hidup keagamaan. Kedua, asal mula bentuk (causa formalis) Pancasila adalah bentuk rumusan Pancasila yang disahkan oleh PPKI. Ketiga, asal mula tujuan (causa fina/is) Pancasila adalah tujuan dirumuskannya dan diusulkannya Pancasila, yaitu sebagai dasar negara. Keempat, asal mula karya (causa efisien) Pancasila adalah kegiatan di dalam sidang-sidang BPUPKI. dan PPKI. untuk mengusulkan calon dasar negara sampai dengan pengesahan Pancasila sebagai dasar negara. Teori kausalitas yang dipakai untuk menjelaskan keberadaan Pancasila tersebut dapat dijadikan dasar analisis tentang landasan ontologis Pancasila dan sumber bahan pengetahuan tentang hakikat sila-sila Pancasila. Hakikat keberadaan Pancasila adalah nilai-nilai hidup bangsa Indonesia sendiri, bukan dari bangsa lain dan bukan hasil pemikiran seseorang atau beberapa orang. Nilai-nilai hidup tersebut telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum Proklamasi Kemerdekaan, yaitu sebagai asas-asas adat istiadat, kubudayaan, dan religius. Pemikiran Notonagoro tentang landasan ontologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan pemikirannya tentang hakikat Koruq, lnvmtif Etilca PancasUa Bcrda.uru n H~(at Pll11CllSila Notpras:~

9

keberadaan manusia, karena subjek yang ber-Pancasila dan bernegara adalah manusia. Pengertian tentang haldkat manusia tidak dapat diperoleh melalui pemikiran yang empiris. Akal mengusahakan pengetahuan yang mendalam tentang hakikat manusia melalui tingkat-tingkat memoris, reseptif, kritis, dan kreatif. Akal melakukan transfonnasi pengetahuan melalui tingkat-tingkat demonstrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi, dan ilham. Konsep hakikat manusia sebagai makhluk monopluralis mengakui kebenaran rasional dan dalam proses reseptif mengakui kebenaran empiris. Sintesis yang harmonis antara akal, rasa, dan kehendak menjadikan manusia mampu mendapatkan kebenaran sampai dengan kebenaran yang tertinggi yang disebut kenyataan mutlak. Penget.ahuan tentang hakikat manusia sebagai makhluk monopluralis merupakan hasil pemikiran akali yang tertinggi sampai ke kenyataan mutlak tentang manusia (Kaelan, 2003: 69). Perumusan tentang landasan ontologis Pancasila juga sangat penting untuk merumuskan Iandasan-landasan epistemologis dan aksiologisnya. llmu pengetahuan memang mampu menemukan kebenaran yang objektif berdasarkan bukti-bukti faktual yang tekanan utamanya pada hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang empiris, tetapi tidak akan pernah bersentuhan dengan nilai-nilai hidup. Manusianya (ilmuwan) yang perlu berupaya untuk membuat ilmu pengetahuan dapat menjadi abdi tujuan-tujuan sosial dan etis (Soedjatrnoko, 1994: 42). Agar pengetahuan-pengetahuan empiris dapat berguna bagi tujuan-tujuan sosial dan dapat dipertanggungjawabkan secara etis, maka diperlukan bahasan yang mendalam sampai ke landasan-landasan filsafatinya. Peranan Notonagoro merumuskan pengertian Filsafat Pancasila dan isi arti sila-silanya sangat penting bagi pengembangannya, yaitu untuk menentukan adanya nilai-nilai Pancasila yang tetap dan menjadi dasar perubahan di masa depan. Inti sila-sila Pancasila mempunyai sifat abstrak dan memiliki pengertian umum universal. Karena sifatnya yang abstrak umum universal, maka isi arti hakikat sila-sila Pancasila bersifat tetap dan tidak berubah. Isi arti sila-sila Pancasila yang abstrak umum universal tersebut secara material perlu dilaksanakan dalam kehidupan yang nyata, terutama pada segala aspek kehidupan penyelenggaraan negara. Isi arti Pancasila JO

Konaq, lm,mtif F./.ih Panasila ~ f"il@fat

PAJ)qJila Notcmw,ro

bagi praktis pedoman sebagai dipergunakan tersebut penyelenggaraan negara secara nyata. Rumusan pedoman praktis bagi penyelenggaraan negara tersebut di dalam Logika disebut umum kolektif. Isi arti Pancasila disebut umum kolektif karena terbatas pada suatu kelompok penjumlah (bangsa dan negara Indonesia), wilayah (tempat) Indonesia, waktu (kelangsungan negara) Indonesia. Suatu pengertian umum kolektif di samping memiliki unsur-unsur umum juga memiliki unsur-unsur khusus. Unsur-unsur khusus adalah unsur-unsur yang terkandung dalam suatu barang atau hal tertentu yang menyebabkan barang atau hal tersebut berbeda dengan barang atau hal yang lainnya. lsi arti Pancasila yang bersifat khusus hanya berlaku pada bidang-bidang kehidupan yang konkret (Kaelan, 1996: 64).

B. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif di bidang Filsafat Filsafat sebagai ilmu kemanusiaan berupaya mendeskripsikan nilainilai dan makna yang terkandung dalam kebudayaan manusia. Filsafat tidak bertujuan untuk menemukan kebenaran berdasarkan kuantitas. Filsafat berupaya untuk memahami dan memberikan pemaknaan objek penelitiannya (Kaelan, 2005: 67). Sumber data penelitian ini dikumpulkan dari buku-buku kepustakaan yang berkaitan dengan objek material penelitian. Objek material penelitian ini adalah konsep Notonagoro tentang Filsafat Pancasila dan isi artinya yang abstrak umum universal. Objek formalnya, yaitu sebagai sudut pandang analisis adalah Ontologi. Bahan atau objek penelitian yang utama adalah semua karyakarya Notonagoro di bidang Filsafat dan Filsafat Pancasila Ka:ryakarya Notonagoro dapat dipilahkan antara buku-buku yang sudah cliterbitkan dan yang masih da.lam bentuk stensilan. Karya-karya Notonagoro yang masih stensilan diperlukan untuk. memudahkan pemahaman dan pemaknaan karya-karyanya yang telah diterbitkan. Buku-buku dan makalah-makalah karya para pakar lain di bidang Filsafat Pancasila dan Ontologi dijadikan sebagai bahan penunjang. Artikel-artikel di majalah Umiah dan internet yang

berhubungan dengan bidang Filsafat Pancasila dan Ontologi juga dijadikan sebagai bahan penunjang. Kepustakaan Primer sebagai umber utama penelitian ini adalah buku-buku yang berisi pemikiran Notonagoro tentang Filsafat Pancasila. Notonagoro tahun 1971, menulis buku Beberapa Hal Mengenai Fa/safah Pancasila, Pantjuran Tudjuh, Jakarta. Buku kedua terbit tahun 1971, Pancasila Secara l/miah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta. Buku ketiga terbit tahun 1974, Pancasi/a Dasar Falsafah Negara (kumpulan tiga uraian pokok persoalan tentang Pancasila), Pantjuran Tudjuh, Jakarta. Buku ini merupakan kumpulan tiga tulisan Notonagoro. Pertama, Pidato pada Promosi Honoris Causa dalam

I/mu Hukum oleh Senat Universitit Negeri Gadjah Mada Terhadap PYM. Ir. Soekamo Presiden R.1.,· tahun 1951. Kedua, Pidato Pada Dies Natalis Universitas Airlangga yang Pertama, Pemboekaan OendangOendang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia), tahun 1955. Ketiga, Uraian makalah pada seminar Pancasila, Berita Pikiran Ilmiah Tentang Kemungkinan ]a/an ke luar Dari Kesulitan Mengenai Pancasi/a Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, tahun 1959. Buku keempat terbit tahun 1974, Pidato Sambutan Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sumber kepustakaan primer lain. adalah karya Notonagoro yang belum diterbitkan. Buku stensilan pertama, tanpa tahun, Moral Pancasi/a dan Penerusan nilai-nilai 45, stensilan, UGM., Yogyakarta. Buku kedua, tanpa tahun, Skema Pendidikan Mental / Didik Diri Kesiapan Pribadi Pancasila, stensilan, UGM. , Yogyakarta. Buku ketiga,1976, Filsafat Pancasi/a dan Pengamalannya, makalah pada lokakarya Pengamalan Pancasila, kerjasama Departemen Dalam Negeri dan Universitas Gadjah Mada diselenggarakan di Yogyakarta. Jalan penelitian ini terdiri dari langkah-langkah memahami dan memberikan pemaknaan terhadap konsep Notonagoro tentang Filsafat Pancasila. Jalan penelitian diurutkan dalam langkah-langkah pengumpulan data, reduksi data, klasifikasi data, interpretasi, penyimpulan, dan penyusunan laporan. Langkah pengumpulan data disesuaikan dengan objek material, yaitu mencari data dari bukubuku karya Notonagoro, terutama konsepnya di bidang Filsafat Pancasila. Langkah reduksi data adalah merangkum data yang 12

l=tif Etilc.t Pancasila Berda.sarlca.n Fllsa/iit Pancasila Nolaruigoro

Kon.'iq)

telah diinventarisasi, kemudian dipilih untuk difokuskan pada kesesuainnya dengan bidang-bidang bahasan Ontologi. Langkah klasifikasi data adalah mengelompokkan data berdasarkan ciri khas masing-masing sesuai dengan pola dan sistematika Ontologi agar dapat dirumuskan landasan ontologis Pancasila. Langkah penyimpulan terhadap data yang telah dan interpretasi diklasifikasikan dilakukan dalam upaya menemukan makna hakikat Pancasila dan nilai-nilainya bagi masa depan bangsa dan negara Indonesia. Langkah selanjutnya adalah penyusunan laporan hasil penelitian. Cara menganalisis data didasarkan pada metode analisis yang lebih menekankan pada proses pemberian makna dan mengorganisasikannya berdasarkan pola dan sistem yang telah ditentukan (Kaelan, 2005: 68). Proses pemberian makna agar hasil penelitian dapat dihubungkan dengan konteks masa depan, maka dalam penelitian ini digunakan metode analisis hermeneutika. Hermeneutika adalah analisis untuk menemukan makna yang terkandung di dalam konsep Notonagoro tentang Filsafat Pancasila. Analisis hermeneutika meliputi analisis tekstual, kontekstual, dan perspektif sejarah. Pemaknaan ini membutuhkan penafsiran dengan cara berpikir kritis, kreatif, dan imajinatif (Kaelan, 2005, 82). Analisis hermeneutika ditempuh melalui tahapan-tahapan analisis verstehen, interpretasi, abstraksi, dan heuristika. Verstehen adalah analisis untuk memahami pandangan-pandangan filsafati Notonagoro tentang Pancasila sebagai keseluruhan dengan jalan menyusunnya dalam sistem yang koheren. Pemahaman yang pandanganmenyeluruh dan koheren ini dimaksudkan agar pandangan Notonagoro dapat diproyeksikan untuk menyusun konsep Ontologi Pancasila. Proses projektif ini ditempuh dengan cara menghubungkan pandangan-pandangan Notonagoro dengan unsurunsur permasalahan utama di bidang Ontologi. lnterpretasi adalah proses analisis menunjuk arti, yaitu mengungkapkan dan menerangkan unsur-unsur substansial pandangan-pandangan Notonagoro. Proses interpretasi bertumpu pada evidensi-evidensi objektif, yaitu nilai-nilai kebenaran yang terkandung di dalam buku-buku karya Notonagoro. Interpretasi bukan hanya dimaksudkan untuk mengungkapkan dan memaharni Konsq, mwntifElilta Pana.sil.a 8acwarhn Fd.sa/'at P ~ NotoM,1tot0

}J

BAB II

RUANG LINGKUP ONTOLOGI A. Pengertian Ontologi

Ontologi adalah cabang Metafisika yang disebut Metafisika Umum, sehingga banyak pendapat yang menyamakan penggunaan istilah Ontologi dengan Metafisika. Ontologi adalah cabang filsafat yang secara sistematis reflektif berusaha menemukan dan menjelaskan pengertian unsur terdalam yang ada di belakang segala yang ada. Unsur terdalam yang dapat ditemukan pada segala yang ada disebut Yang Ada. Yang Ada adalah unsur terdalam yang menjadi subjek bagi objek-objek yang bereksistensi, dan dalam pembagian kategori yang dilakukan oleh Aristoteles disebut substansi. Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas hakikat segala yang ada secara umum, sehingga berbeda dengan studi ilmiah yang juga membahas hal-hal yang ada secara khusus. Ontologi membahas unsur-unsur hakikat yang paling dalam segala yang ada, yaitu unsur yang paling umum dan bersifat abstrak, disebut dengan istilah substansi. Ontologi membahas permasalahan hakikat segala yang ada dan pengertian substansi itu sendiri. Ontologi membahas unsur paling dalam segala yang ada untuk memahami struktur yang tetap atau hakiki segala yang ada dalam arti seluas mungkin. Bahasan utama ontologi tentang unsur yang terdalam dan struktur yang tetap segala yang ada adalah pembahasan tentang hubungan antara segala yang ada dengan substansi dan antara eksistensi dengan substansi. Permasalahan hubungan antara eksistensi dengan substansi dibahas secara khusus untuk mengetahui pengertian tentang hakikat perubahan dan maknanya bagi kehidupan nyata. Permasalahan tentang perubahan dibahas dalam topik-topik pembahasan tentang yang tetap dan berubah, aktualitas dan potensialitas, yang sungguh ada dan yang mungkin ada, serta substansi dan aksidensia. Permasalahan tentang perubahan yang dibahas oleh Ontologi menjadi dasar atau pijakan yang penting bagi manusia dalam memaknai dan menyikapi hidupnya.

Karuq, tnwntifEtiu ~

Bmwarun ~

- 1S

. ! ~ ~ ~J

1 -- -

Pengertian Ontologi dan perubahan secara lebih terinci dapat ditelusuri dari kedudukan Ontologi sebagai cabang Metafisika. lstilah metafisika berasal dari kata ta meta ta physica artinya yang ada di belakang fisika atau yang ada setelah fisika. Pengertian Metafisika tersebut ditelusuri melalui sejarah pengumpulan karya-karya Aristoteles. Aristoteles sebenarnya belum pernah menggunakan istilah Metafisika. Metafisika oleh Aristoteles disebut dengan istilah Filsafat Pertama, dalam arti cabang Filsafat yang bersangkutan dengan unsur-unsur terdalam dan prinsip-prinsip struktur yang tetap segala yang ada. Aristoteles sering juga menyebut Filsafat Pertama dengan istilah Sofia artinya kebijaksanaan. Filsafat Pertama oleh Aristoteles dikembangkan sebagai studi tentang unsur yang paling sederhana dan paling dalam, yang merupakan prinsip-prinsip umum objek-objek yang dapat diketahui adanya. Proses pemikiran yang diajarkan oleh Aristoteles dimulai dari objek-objek individual yang indrawi. Manusia, hewan, benda-benda, kualitas-kualitas, dan aksi atau aktivitas memiliki ciri khas keberadaannya masing-masing. Masing-masing objek yang bersifat indrawi mempunyai model keberadaan yang berbeda. Kualitas-kualitas (seperti warna hijau atau rasa manis) juga mempunyai model keberadaan yang berbeda, yaitu hanya dapat ada sebagai atribut a tau sifat hal-hal yang indrawi. Aksiaksi atau aktivitas (misalnya mendirikan bangunan) merupakan model keberadaan khusus, yaitu sebagai proses dan hanya dapat diketahui melalui hasilnya. Filsafat Pertama oleh Aristoteles dikembangkan untuk mengetahui unsur terdalam dan prinsipprinsip umum di balik semua model keberadaan. Unsur terdalam dan prinsip-prinsip umum tersebut oleh Aristoteles disebut substansi. Inti persoalan Filsafat Pertama adalah menganalisis tentang substansi dan keberadaan substansi di dalam berbagai model keberadaan (Taylor, 1955: 42). Filsafat Pertama yang dikembangkan oleh Aristoteles dalam perjalanan sejarahnya menjadi lebih dikenal dengan nama Metafisika. lstilah Metafisika muncul dari latar belakang usaha Aristoteles Andronikos menyusun karya-karya Aristoteles. mewariskan perpustakaannya pada muridnya yang bernama Teokratos. Perpustakaan ini oleh Teokratos diwariskan kepada Neleo. Raja-raja dari Pergamon dan Alexandria yang berkuasa pada l6

l(qnsq, lmientifEtilcA Panw& ~ n rd,,af11 Panauil,, No!cnagoro

zaman itu melarang buku-buku filsafat dan menyembunyikan bukubuku warisan Aristoteles di dalam gudang bawah tanah. Appelicone berhasil menemukannya kembali dan membawa semua buku-buku warisan Aristoteles ke Athena pada tahun 100 SM. Semua buku-buku tersebut pada tahun 86 SM dibawa ke Roma dan diserahkan kepada Andronikos dari Rodas. Andronikos menyusun karya-karya Aristoteles dengan membuat urutan yang dimulai dari karya-karya yang berhubungan dengan bidang-bidang kealaman yang bersifat fisis. Andronikos menempatkan 14 buku tanpa nama karya Aristoteles mengenai bidang-bidang yang ada dibalik pengetahuan yang fisis tersebut pada urutan sesudah karya-karya Aristoteles mengenai bidang-bidang kealaman yang fisis. Andronikos menyebut 14 karya tersebut dengan nama ta meta ta physica artinya di belakang atau sesudah Fisika. Buku-buku tersebut berisi pembahasan mengenai hal-hal yang ada di belakang segala yang ada, yaitu Yang Ada. Yang Ada dibedakan antara esensi dan substansi. Esensi dimaksudkan untuk menyebut sesuatu unsur terdalam yang merupakan hakikat hal-hal yang sungguh ada dalam keadaannya sendiri sebelum dihubungkan dengan keberadaan sesuatu hal. Unsur terdalam hal-hal yang bersifat abstrak disebut esensi, sedangkan unsur terdalam hal-hal yang bersifat konkret lebih tepat disebut substansi. Karena Ontologi lebih mengkhususkan pembahasan tentang perubahan yang terjadi pada hal-hal yang bersifat konkret, maka istilah yang sering digunakan adalah substansi (Bagus, 1991: 18 dan Blackburn, 1994 : 240). Christian Wolff membedakan Metafisika menjadi Metafisika Umum (Ontologi) dan Metafisika Khusus. Metafisika khusus dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Kosmologi atau Filsafat Alam Semesta, Psikologi Filsafati atau Filsafat Manusia, dan Teologi Kodrati atau Filsafat Ketuhanan (Bagus, 1991: 20). Istilah Ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu on, ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Istilah ontologi mulai diperkenalkan oleh Goclenius tahun 1636, kemudian digunakan oleh Clauberg tahun 1647, Micraelius tahun 1653, dan Du Hamel tahun 1663. Ontologi kemudian lebih dikenal setelah dikembangkan oleh Leibniz, Wolff, dan Baumgarten. Wolff mendefinisikan Ontologi sebagai cabang filsafat yang membahas tentang hakikat terdalam segala yang ada, K.onsq, lnvmt!f£W.. Panc.ull.ti Berd.uarlwi ~'\lsafat P'7'?,Sila NoJan.o,goro

17

hlngga Wolff juga set1Jju untuk mengartikan Ontologi sebagai Fllsafat Pertama. Baumgarten mendefinisikan Ontologi sebagai caba ng fllsafat yang membahas tentang predikat-predikat yang p ling umum don abstrak dart segala yang ada. Ontologi seringkali dlsebut d ngan tstilah Ontosophia, Metaflsika Umum, dan Filsafat P rtama (Bagu , 200 5, 748).

B. ObJck Bahasan Ontologi Objek material (bahan bahasan) Ontologi adalah segala yang ada. gala yang ada adalah yang sungguh-sungguh ada. Yang sungguh-sungguh ada mempunyai pengertian yang luas. Yang sungguh-sungguh ada bukan hanya untuk menyebut apa yang aktual ada sekarang, tetapi juga apa saja yang telah pernah berwujud, akan berwujucL dan hal-hal abstrak yang menjadi objek pikiran (akal). Pandangan yang luas tentang yang sungguh-sungguh ada meliputi dua macam keberadaan, yaitu objek-objek yang keberadaannya dapat ditangkap oleh indra dan objek-objek yang keberadaannya dapat ditangkap oleh akal. Ontologi bukan hanya membahas keberadaan yang aktual. Keberadaan yang aktual hanya meliputi halhal yang dapat ditangkap oleh indra secara langsung, yaitu meliputi b nda-benda atau objek-objek bereksistensi diwaktu sekarang. Pen_getahuan tentang keberadaan yang aktual berarti pengetahuan· tentang hal-hal yang indrawi dan benda-benda yang ada di sini dan k r ng. Struktur keberadaan yang aktual adalah susunan totalitas hal-hal dan benda-benda yang indrawi di sini·dan sekarang. Ontologi m mbaha k beradaan dalam pengertian yang luas, yaitu meliputi obj k-obj k yang keberadaannya dapat ditangkap oleh indra dan kal (Klub rtanz, 1955 : 24). Y n , ada merupakan himpunan segenap kesatuan yang m rnpuny j sif t ada. Karena himpunan tersebut meliputi segala . u tu, m ka dapat dinamakan himpunan semesta. Kenyataan m rup k n himpunan bawahan yang ada, yaitu meliputi satuantu n ng dil kati oleh sifat nyata. Segala hal yang nyata pasti b rst t . d "' s d ngk n yang da belum tentu merupakan kenyataan. Hlmpunnn ng d ju meliputi hal-hal yang adanya masih dalam k mun kin n. Hlmpun n k nyataan tidak setara dengan eksistensi.

18

Suatu ha] yang bereksistensi sudah pasti ada, tetapi sesuatu yang nyata tidak selalu bereksistensi. Himpunan kenyataan juga meliputi hal-hal yang abstrak Hal-hal yang bereksistensi adanya dapat ditangkap oleh indra, sedangkan yang abstrak hanya dapat dimengerti adanya oleh akal. Eksistensi merupakan himpunan bawahan kenyataan, yaitu meliputi satuan-satuan yang dilekati oleh sifat indrawi (Kattsoff, 1986: 195-197). Objek formal Ontologi adalah membahas segala yang ada dari sudut pandang hakikatnya yang terdalam. Ontologi membahas tentang apanya benda-benda, yaitu apa yang ada di balik wujud fisiknya dan pembahasan tentang wujud bendanya adalah pembahasan tentang kualitas, kuantitas, dan hubungan dengan halhal lain di sekitarnya. Apabila Ontologi membahas segala yang ada dalam dua pengertian tersebut, maka yang primer adalah apanya, yaitu substansinya. Apabila Ontologi membahas wujud benda, maka yang dibahas adalah kualitas, kuantitas, dan relasi (hubungannya) dengan hal-hal lain di sekitarnya. Pengetahuan tentang wujud benda merupakan pengetahuan tahap awal untuk ditingkatkan lebih Ianjut ke pengetahuan tentang substansinya. Pengetahuan tentang kualitas akan memperhatika n sifat baik atau buruk bendanya. Pengetahuan tentang kuantitas akan memperhatikan keluasan atau jumlahnya Pengetahuan tentang hubungan akan memperhatika n pengaruh timbal balik dengan ha~-hal di sekitarnya (Hutchins, 1986: 550). Ontologi membahas hakikat segala yang ada sampai ke unsurnya yang paling dalam, yaitu Yang Ada (substansi). Ontologi membahas permasalahan tentang hakikat segala yang ada dan pengertian substansi itu sendiri. Ontologi membahas hakikat segala yang ada dan mencari makna hubungan antara unsur-unsur hakikat dengan segala yang ada dengan kehidupan yang nyata (Bagus, 1991: 26). Beberapa pengertian tentang substansi yang pernah diajarkan oleh para filsuf dapat dikelompokkan menjadi empat macam. Pertama, unsur paling sederhana dalam susunan wujud keberadaan hal-hal konkret dan benda-benda yang ada di alam semesta, misalnya tanah, api, udara, dan air. Kedua, unsur yang ada di dalam setiap hal-hal konkret dan benda-benda, bukan sebagai predikat suatu subjek, tetapi sebagai sebab ada.nya. Ketiga, unsur k'.onsq, lnvmtifEtilca Pancasila Bcrduarun F"llsafat Pancasila Notanagoro

19

yang ada di dalam setiap hal-hal konkret dan benda-benda, yang membatasinya dan menjadikannya sebagai individu tertentu. Keempat, esensi abstrak yang ada di dalam setiap hal-hal konkret dan benda-benda yang dapat menjadi wahana melekatnya unsurunsur yang menjadikannya mempunyai wujud. Pandangan para filsuf yang beragam tersebut oleh Hutchins dijadikan dasar merumuskan pengertian substansi. Subst:ansi mempunyai dua pengertian yang saling menjelaskan. Pertama, unsur dasariah terdalam yang menjadi subjek keberadaan setiap hal-hal konkret dan benda-benda dan tidak dapat menjadi predikat hal-hal lain apapun. Kedua, unsur dasariah terdalam yang abstrak sebagai wahana melekatnya unsur-unsur yang menjadikannya berwujud (konkret), sehingga dapat disebut sebagai unsur hakikatnya (Hutchins, 1986: 538). Penjelasan atau pandangan tentang pengertian substansi ternyata sangat beragam. Penggolongan berbagai pandangan tentang pengertian substansi berdasarkan jenis atau kualitasnya adalah dan Hylemorfisme, Materialisme, Idealisme, Naturalisme, Emperisisme logis. Naturalisme berpandangan bahwa substansi Materialisme merupakan kenyataan yang bersifat kealaman. berpandangan bahwa substansi merupakan kenyataan yang bersifat kebendaan. ldealisme berpandangan bahwa substansi merupakan kenyataan bersifat kerohanian. Hylemorfisme berpandangan bahwa substansi segala yang ada berupa bahan (materia prima) dan bentuk (forma) sebagai kesatuan. Emperisisme logis berpandangan bahwa semua pernyataan tentang keberadaan substansi di balik segala yang ada tidak mengandung makna (Kattsoff, 1986: 216). Penggolongan berbagai pandangan tentang pengertian substansi berdasarkan sudut pandang jumlahnya atau kuantitasnya adalah Monisme, Dualisme, Pluralisme, dan Hylemorfisme. Monisme berpandangan bahwa hanya ada satu substansi. Dualisme (Paralelisme) berpandangan bahwa ada dua substansi yang berdiri sendiri-sendiri, yaitu substansi hal-hal yang abstrak dan substansi untuk hal-hal yang konkret Pluralisme berpandangan bahwa ada banyak substansi. Hylemorfisme berpandangan bahwa substansi tersusun atas bahan (materia prima) dan bentuk (forma) dalam kesatuan (Kattsoff, 1986 : 53). 20

Kansq, lm>entif'Etilca Pancuila ~ FllstfJt P ~ Nq!otwtoro

Pandangan-pandangan tentang pengertian substansi dalam perkembangannya memang beragam. Pandangan yang beragam tersebut perlu dipahami dan dinilai melalui latar belakang akar katanya dan pemaknaannya. Substansi sering diartikan sama dengan esensi, tetapi penerapannya perlu dibedakan. lstilah esensi dimaksudkan untuk menyebut sesuatu unsur terdalam yang merupakan hakikat hal-hal yang sungguh ada dalam keadaannya sendiri sebelum dihubungkan dengan keberadaan sesuatu hal. Substansi adalah esensi yang telah dilekati atau mengandung kualitas-kualitas dan sifat-sifat kebetulan yang dipunyai oleh hal-hal yang sungguh ada. Substansi adalah wahana bagi kualitas-kualitas dan sifat-sifat kebetulan tersebut Kualitas dan sifat-sifat kebetulan suatu objek adanya tergantung pada substansi, karena adanya melekat pada substansi. Substansi tidak dapat diketahui secara langsung, melainkan secara tidak langsung melalui tahapan-tahapan abstraksi. Keberadaan substansi berbeda dengan keberadaan kualitas dan sifat-sifat kebetulan suatu objek. Substansi adalah subjek dan wahana bagi kualitas-kualitas dan sifat-sifat kebetulan. Kualitas-kualitas dan sifat-sifat kebetulan yang melekat atau dimiliki oleh hal-hal yang sungguh-sungguh ada disebut aksidensia. Keberadaan substansi pada hal-hal yang konkret bersifat tetap, sedangkan keberadaan kualitas-kualitas dan sifat-sifat kebetulan akan selalu berubah (Hutchins, 1986: 538). Pemaknaan istilah substansi yang dalam perkembangannya sangat beragam dapat ditelusuri dari artinya yang didasarkan pada akar katanya. Istilah substansi barasal dari bahasa latin, yaitu substantia. Sub berarti di bawah dan stare berarti berdiri. Substansi secara harafiah berarti berada dan berdiri di bawah yang nampak. Substansi merupakan unsur fundamental, dasar sesuatu yang ada dan menjadi subjek bagi keberadaan hal-hal yang konkret. Substansi adalah sesuatu yang berada dalam dirinya sendiri dan menjadi sumber dan dasar keberadaan suatu kesatuan kenyataan (hal-hal yang sungguh-sungguh ada). Substansi adalah unsur terdalam dan terakhir setiap kesatuan kenyataan. Substansi menunjuk sesuatu unsur yang berdiri sendiri tidak tergantung pada sesuatu lain di luarnya. Pengertian substansi sebagi unsur terdalam kenyataan tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam. Pengertian substansi Konsq, lnvmtif'Etilua P1111casila lk-rda.sarlwi Alsafat P1111casila Not:magoro

21

yang pertama adalah unsur hakikat sebuah unit hal atau benda konkret atau perseorangan yang konkret, misalnya Ahmad. Pengertian substansi yang kedua adalah unsur hakikat genus atau kelompok jenis, misalnya himpunan kelompok jenis manusia. Karena substansi pertama merupakan sesuatu yang individual, maka bersifat khusus tidak dapat dipecah atau tidak dapat sama dengan substansi setiap hal individual yang lain. Substansi kedua bersifat universal, bukan hanya unsur hakikat kesatuan hal yang individual, melainkan suatu prinsip dasar yang menjadi inti kesamaan dari semua hal yang individual dalam kelompok jenis tertentu (Bagus, 1991: 122-124 dan Blackburn, 1994: 366). Setiap hal yang konkret tersusun atas unsur substansi dan kualitas-kualitas tetap serta sifat-sifat kebetulan yang melekat pada substansi. Setiap himpunan yang tunggal jenis atau genus mempunyai substansi yang sama. Setiap hal yang konkret dapat dibedakan dengan setiap hal konkret yang lain, karena perbedaan sifat-sifat kebetulan yang melekatinya. kualitas-kualitas dan Kualitas-kualitas dan sifat-sifat kebetulan yang melekat pada sesuatu hal yang konkret termasuk dalam pengertian unsur-unsur aksidensia. Istilah aksidensia berasal dari kata ad yang berarti pada atau ke dan kata cadere yang berarti jatuh. Aksidensia melekat atau tergantung pada substansi, dan tidak pernah berdiri sendiri. Aksidensia bersifat ekstrinsik artinya tidak mengubah hakikat atau substansi sesuatu hal yang konkret Aksidensia adalah unsur-unsur yang keberadaannya tidak dalam dirinya sendiri, tetapi melekat pada subjek yang memilikinya, yaitu substansi. Aksidensia terdiri atas unsur-unsur yang dapat dikelompokkan menjadi sembilan kategori, yaitu: a. Kuantitas Aksidensia kuantitas adalah aksidensia yang menyebabkan substansi merupakan hal yang konkret Aksidensia kuantitas menjadikan substansi mempunyai wujud, sehingga menjadi hal yang konkret Aksidensia kuantitas menyebabkan substansi mempunyai tiga dimensi ukuran dan menempati ruang. Aksidensia kuantitas berfungsi sebagai media bagi adanya aksidensia bentuk. 22

Kansq, tmoenrif Etilc.a Pancuila

~ ~at Pancuil. N ~

b.

c.

d.

e.

Kualltas Aksidensia kualitas berbeda dengan kuantitas. Apabila kuantitas berkaitan dengan wujud hal-hal konkret, maka kualitas berkaitan dengan bentuk atau forma. Aksidensia kualitas dapat dibedakan antara kualitas yang dapat diindra dan yang tidak dapat diindra. Kualitas yang dapat diindra adalah bentuk yang dimiliki oleh semua hal yang konkret. Kualitas yang tidak dapat diindra hanya khusus dimiliki oleh manusia, yaitu keutamaan-keutamaan moral dan intelektual. Relasi Aksidensia relasi menunjukkan adanya saling hubungan di antara hal-hal yang konkret. Hubungan di antara hal-hal yang konkret mempunyai alasan dan tujuan tertentu. Aksidensia relasi meliputi tiga unsur yaitu subjek hubungan, dasar atau alasan hubungan, dan tujuan hubungan. Aksidensia relasi keberadaan setiap hal yang dapat menjelaskan bahwa konkret selalu mempunyai hubungan dengan setiap hal yang konkret lainnya. Hubungan di antara hal-hal yang konkret ada yang dapat diamati secara langsung, tetapi pada umumnya atau tidak langsung. memerlukan pengamatan bertahap Hubungan yang dapat diamati secara langsung adalah hubungan di antara dua hal konkret yang bersifat kausalitas atau hubungan sebab akibat. Misalnya hubungan antara orang tua dan anak, antara hujan dan tanah yang basah. Aksi. Aksidensia aksi adalah kemampuan suatu subjek mempengaruhi hal-hal yang Iain. Aksidensia aksi terdapat pada subjek yang berhubungan dengan sesuatu hasil atau akibat yang dibuatnya. Akibat tersebut berbeda dari dirinya. Aksidensia aksi adalah aktivitas yang bersifat transitif. Aksi transitif berkaitan dengan sesuatu yang berbeda dari pelaku, sehingga dapat dibedakan dengan aktivitas imanen. Aktivitas imanen adalah kegiatan yang hasilnya berada di dalam diri pelaku yang bersangkutan. Passi Aksidensia passi merupakan sebuah modivikasi yang dialami subjek, karena dibuat atau dipengaruhi oleh yang lain. Passi

menjadi pasien dari berkaitan dengan aksi. Sesuatu hal pelaku. Kegiatan atau aktivitas pelaku tersebut terdapat dalam pasien yang menerima aktivitas itu.

f.

g.

h.

i.

Waktu

Aksidensia waktu merupakan ukuran bagi subjek untuk menjawab pertanyaan tentang kapan diketahui keberadaannya. · Ruang Aksidensia ruang merupakan ukuran bagi subjek untuk menjawab pertanyaan di mana diketahui keberdaannya. Tempat Aksidensia tempat merupakan ukuran bagi subjek untuk menjawab pertanyaan tentang volumenya, yaitu panjang, lebar, dan tingginya. Habitus Aksidensia habitus adalah aksidensia tidak untuk menunjukkan ukuran suatu subjek, tetapi yang menempel atau melekat pada subjek. Habitus adalah hal-hal yang dipakai atau menempel, tetapi tetap bersifat ekstrinsik pada suatu subjek. Habitus memodifikasi subjek, tetapi tidak mengubah ujud dan hakikatnya. Misalnya perlengkapan-perlengkapan yang dipakai oleh seorang pemburu, tentara, atau perenang disebut habitus. Habitus merupakan aksidensia khusus untuk manusia, tetapi dapat diterapkan pula pada binatang apabila dikenakan perlengkapan untuk kepentingan manusia. Misalnya kuda dapat dikenakan pelana agar dapat nyaman dinaiki" manusia (Taylor, 1955: 42 dan Bagus, 1991: 132-133).

Pembahasan utama Ontologi tentang unsur. hakikat terdalam segala yang ada dimaksudkan untuk memperoleh makna tentang hubungan antara yang ada dengan substansi dan lebih khusus antara substansi dengan eksistensi. Pembahasan tentang hubungan antara substansi dengan eksistensi dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang hubungan antara substansi yang bersifat tetap dengan unsur-unsur aksidensia yang terus menerus berubah. Permasalahan tentang perubahan tersebut dibahas melalui topiktopik pembahasan tentang hubungan antara yang tetap dan berubah,

24

Kon.sq, l=tif"Etib Pancas!la

!knu.saric.an Filsa/"al P.ancasua Nolonagoro

aktualitas dan potensialitas, yang sungguh ada dan yang mungkin ada, serta aksidensia dan substansi (Taylor, 1955: 43). 1. Pengertlan Perubahan

Permasalahan tentang perubahan yang terjadi pada hal-hal yang bereksistensi atau benda-benda konkret terutama didasarkan pada hubungan antara masalah perubahan tersebut dengan masalah kausalitas. Ciri khas masalah perubahan adalah sifatnya yang suksesif (pewarisan), yaitu adanya unsur yang tetap di samping unsur-unsurnya yang terus berubah. Perubahan selalu bersifat suksesif, yaitu merupakan rangkaian pertumbuhan suatu identitas yang bertujuan (teleologis). Unsur identitas yang bersifat tetap dalam proses perubahan tersebut adalah unsur substansinya. Proses perubahan merupakan yang identitas perkembangan suatu rangkaian proses berkesinambungan dari awal hingga hasil akhirnya. Unsur yang tetap pada suatu identitas berkedudukan sebagai sebab, sedangkan hasil akhirnya berkedudukan sebagai akibat Unsur yang berkedudukan sebagai sebab dalam masalah kausalitas berfungsi sebagai prinsip dasar bagi seluruh proses perubahan. Setiap perubahan memiliki prinsip dasar yang imanen yang telah ada dari awal perubahan sampai dengan basil akhirnya. Hasil akhir merupakan tujuan dari seluruh proses perubahan. Setiap hal yang bereksistensi akan mengalami perubahan akibat pengaruh aksi yang berasal dari luar dirinya. Kebenaran adanya pengaruh aksi dari luar tersebut dapat diketahui melalui rangkaian proses kejadian-kejadian dan bukan hanya melalui satu kejadian saja, sehingga tidak selalu dapat dibuktikan secara empiris. Wujud ha,1-hal yang bereksistensi dan benda-benda akan selalu berubah, karena pengaruh aksi dari hal-hal lain di sekitarnya. Wujud masing-masing hal yang bereksistensi dan benda-benda akan terus berubah artinya dapat berbeda wujudnya dalam urutan waktu yang berbeda. Perubahan wujud tersebut terjadi akibat kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh aksi dari luar yang diterimanya. Perbedaan besarnya pengaruh dari luar menjadi sebab perubahan wujudnya yang beraneka ragam.

Asal mula atau sebab terjadlnya perubahan da lam hubungan dengan masalah kausalltas dapat dlbedakan dua macam. Pertama, kausaltta lmanen, yalt11 adanya potensl dart dala m ya n g m enjadf sebab adanya unsur-unsur ya ng tetap pada seluruh p roses perubahan. Prtnslp-prl nslp dasar yang dimlllki hal-ha l yang bereksistenst dan benda-benda akan terus menjadl prtnsfp utama dart awal proses perubahan sampal dengan hasfl akhlrnya. Ked ua, kausalitas tran senden, yaltu adanya pengaruh aksl dari luar yang menjadi sebab perubahan wujud yang terus menerus tetjadf. Pengaruh aksl yang besarnya berbeda-beda dalam waktu yang berbeda akan mempengaruhl bentuk-bentuk penyesuaian yang juga berbeda (Taylor, 1969: 158). Perubahan adalah perallhan sesuatu hal dari keadaan sebelumnya menjadl bukan keadaannya (keadaan yang baru), yaitu dari keadaan sebelumnya menjadi keadaannya sekarang. Keadaannya sekarang Juga akan menjadi potensi bagi keadaan yang akan datang. Perubahan adalah proses dari keadaan potensial m enjadi keadaan aktual dan darf keadaan aktual menjadi keadaan potensia) bagi keadaan yang akan datang. Permasalahan utama perubahan, yaitu keadaan potensial menjadi keadaan aktual adalah proses menjadi. Proses menjadi yang bertahap mempunyai dua titik yang menempati dua ujung dari suatu proses. Titik pertama adalah titik mulai disebut terminus a quo. Titik yang kedua adalah titik tujuan disebut terminus ad quern. Syarat terjadinya suatu proses menjadi adalah tldak adanya kontradiksi antara dua titik tersebut Titik pertama sebagai terminus a quo dan titik kedua sebagai terminus ad quern tidak saling menJadakan. Pennasalahan hubungan antara akt us dan potensl adalah permasalahan mempertanggu ngjawabkan adanya perubahan tanpa menegasikan prinsip identitas. Potensi adalah kemampuan subjek untuk dapat berubah. Subjek itu sendlri yang mempunyat kemampuan berubah dari dalam. Apabila potensi merupakan kemampuan untuk berubah, maka hasil perubahan tersebut adalah aktus. Aktus merupakan kenyataan sepertl apa adanya sebagal hasll perubahan. Semua hal yang berekslstensl atau konkret merupakan rangkafan aktus dan potensia ya ng berkesinambungan.

Pemahaman tentang proses perubahan yang suksesif penting bagi kehidupan manusia. Pertama, pemahaman tentang perubahan yang suksesif diperlukan sebagai dasar menentukan pandangan dan sikap yang bersifat khusus terhadap perubahan yang direncanakan bagi dirinya sendiri. Kedua, pemahaman yang lengkap tentang prinsip-prinsip perubahan suksesif yang terus terjadi dalam perjalanan sejarah alam semesta diperlukan untuk dasar menetukan pandangan dan sikap manusia dalam menghadapi dan mengelola alam lingkungannya (Taylor, 1969: 163). 2. Yang Ada dan Keluasan Perubahan

Permasalahan perubahan yang dibahas oleh Ontologi tidak meliputi segala yang ada, tetapi hanya meliputi hal-hal yang sungguh-sungguh ada. Taylor (1969: 24) menjelaskan, bahwa istilah yang ada memberi batasan kepada suatu himpunan yang meliputi segala yang ada, baik yang konkret maupun yang abstrak. Yang konkret meliputi semua hal-hal yang bereksistensi. Yang abstrak meliputi hal-hal yang sungguh ada tetapi tidak bereksistensi dan hal-

hal yang adanya hanya sebagai khayalan. Ontologi tidak memasukkan hal-hal yang ada di dalam khayalan sebagai bagian objek bahasannya, karena adanya tidak dapat ditangkap dengan tangkapan yang dapat dipercaya. Yang ada merupakan predikat yang paling umum dan paling sederhana di antara semua predikat Yang ada merupakan predikat yang semesta, yaitu predikat dari setiap satuan yang ada Keluasan cakupan pengertian yang ada tidak setara dengan yang sungguh-sungguh ada. Keluasan cakupan pengertian yang sungguhsungguh ada hanya meliputi hal-hal yang dapat ditangkap keberadaannya melalui tangkapan yang dapat dipercaya, baik melalui tangkapan indra maupun akal. Cakupan pengertian yang sungguh-sungguh ada tidak meliputi hal-hal yang hanya ada di dalam khayalan. Permasalahan perubahan yang dibahas di dalam Ontologi meliputi pennasalahan perubahan pada semua hal-hal yang sungguh-sungguh ada, baik yang abstrak maupun yang bereksistensi.

K.oNq, !nwnt!failca Pancuila

f

~ fl!M!.t""'ca!il• N ~.

27

I

L.. _

3. Yang Tetap dalam Proses Perubahan

Proses perubahan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu proses perubahan dalarn arti luas dan sempit Proses perubahan dalam arti luas meliputi pro;es perubahan pada umurnnya at.au keseluruhannya. Proses perubahan yang menyeluru h hanya dapat terjadi pada bi dang konseptual ( akali), yaitu ketika muncul suatu pemikiran konseptual baru yang paradigrna tis, misalnya ketika muncul teori baru bahwa bumi bulat konsentris t.elah mengubah secara menyeluruh teorl tentang bumi yang pipih. Perubahan dalam arti sempit menyangkut perubahan yang bersifat suksesif at.au bertahap. Perubahan suksesif terjadi pada segala hal, yaitu hal-hal yang akali dan he: 1 -hal yang bereksisten si. Proses perubahan pada hal-hal yang bereksistensi selalu hanya perubahan yang bersifat suksesif dan tidak pernah bersifat menyeluru h (Taylor, 1969: 163). Proses perubahan yang suksesif mempunyai dua titik yang menempati dua ujung dari suatu proses. Titik pertama adalah titik mulai disebut terminus a quo. Titik yang kedua adalah titik tujuan disebut terminus ad quern. Syarat terjadinya suatu proses perubahan adalah tidak adanya kontradiksi antara dua titik tersebut Titik pertama sebagai terminus a quo dan titik kedua sebagai terminus ad quem tidak saling meniadakan. Substansi yang ada pada titik pertama akan bersifat tetap dan menjadi inti bagi titik kedua Apabila antara titik pertama dan kedua terjadi kontradiksi, maka tidal{ terjadi proses perubahan suksesif yang bertahap. Perubahan suksesif atau peralihan yang bertahap dan berkesinam bungan tidak dapat ditemulcan dalam dua hal yang kontradiktif (Taylor, 1969: 163 clan Bagus, 1991: 138). Pemahaman tentang adanya unsur substansi yang bersifat tetap pada proses perubahan yang terjadi pada hal-hal yang konkret penting dljadikan dasar pemahaman tentang perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia, baik sebagai pribadi perseorang an maupun dalam kehidupan bermasyara kat dan berbangsa.

4. Perubahan Potensialitas ke Aktualitas

Permasalahan perubahan antara titik pertama sebagai titik mulai dan titik kedua sebagai titik tujuan dapat lebih dijelaskan melalui permasalahan tentang hubungan antara aktus dan potensi. Permasalahan hubungan antara aktus dan potensi adalah permasalahan mempertanggungjawabkan adanya perubahan tanpa menegasikan substansi sebagai pr insip identitas. Potensi adalah kemampuan subjek untuk dapat berubah. Subjek itu sendiri yang mempunyai kemampuan berubah dari dalam. Karena setiap subjek mempunyai kemampuan berubah, maka kemampuan tersebut akan dapat menjadi aksi atau mempengaruhi subjek-subjek yang lain. Masing-masing subjek dapat menjadi aksi yang saling mempengaruhi untuk menimbulkan perubahan (Taylor, 19SS: 48). Apabila potensi merupakan kemampuan untuk berubah, maka aktus adalah sesuatu yang telah menjadi nyata dalam keberadaannya. Aktus merupakan kenyataan seperti apa adanya sebagai basil perubaban. Hubungan antara aktus dengan potensi merupakan kesinambungan. Aktus sebagai basil perubaban akan menjadi potensi bagi perubaban selanjutnya. Aktus sekarang menjadi potensi proses perubahan berikutnya dan aktus basil perubaban berikutnya menjadi potensi bagi proses perubaban yang akan datang. Semua yang bereksistensi mengalami perubahan dari potensi menjadi aktus yang berkesinambungan (Bagus, 1991: 142). Pengertian perubahan yang terjadi pada hal-hal yang bereksistensi sebagai perubahan dari potensi menjadi aktus yang berkesinambungan penting dijadikan dasar memahami perubahan dalam hidup pribadi seseorang dan bagi hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 5. Kenyataan Yang Sungguh Ada dan Yang Mungkin Ada

Permasalahan tentang perubahan dari potensi menjadi aktus yang berkesinambungan dijelaskan lebib lanjut melalui pembabasan tentang bubungan antara yang sungguh ada dan yang mungkin ada. Aktus adalab yang sungguh ada, yaitu yang nyata ada artinya dapat ditangkap keberadaannya. Potensi adalah yang mungkin ada. Yang

Kon.sep JnventlfEtilua Panca.sila r 8 ! r ~ R ~ t P ~ No!£1!l!g!J.!O _1

29 -

mungkin ada dapat dibedakan antara yang mungkin ada daJam halhal yang konkret (the apparent) dan yang mungkin ada dalam pikiran (the conceptuaf). Yang mungkin ada dalam pikiran dapat dibedakan antara yang mempunyai potensi untuk menjadi sungguh-sungguh ada dan yang tidak mempunyai potensi untuk menjadi sungguhsungguh ada. Yang mungkin ada dalam pikiran dan yang tidak mempunyai potensi untuk menjadi sungguh-sungguh ada adalah halhal yang hanya ada dalam khayalan. Ontologi hanya membahas perubahan yang terjadi pada hal-hal yang sungguh ada dan hal-hal yang mungkin ada sebagai potensL sehingga tidak membahas hal-hal yang adanya hanya dalam khayalan. Pembahasan tentang perubahan yang terjadi pada hal-hal yang bereksistensi dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang hubungan antara substansi yang bersifat tetap dengan unsur-unsur aksidensia yang terus menerus berubah (Kattsoff, 1986: 50). Pembedaan antara yang sungguh ada dan yang mungkin ada mempunyai malrna ganda. Pertama, yang sungguh ada diartikan sebagai kelompok jenis tertinggi [genus), yang di dalamnya setiap kesatuan hal yang sungguh ada merupakan jenis bawahan (species). Cakupan himpunan yang sungguh ada meliputi himpunan hal-hal yang abstrak dan yang konkret Kedua, yang sungguh ada merupakan himpunan bawahan dari himpunan yang ada. Kata ada diartikan sebagai predikat yang semesta, karena dapat diterapkan pada segala sesuatu. Yang ada merupakan himpunan yang meliputi hal-hal yang sungguh ada dan yang mungkin ada. Cakupan himpunan yang sungguh ada tidak dapat disamakan dengan himpunan eksistensi Suatu hal yang bereksistensi pasti sungguh ada, tetapi sesuatu hal yang sungguh ada tidal< selalu bereksistensi. Himpunan eksistensi merupakan bawahan himpunan yang sungguh ada Sesuatu yang sungguh ada tentu dapat diketahui. Sesuatu yang sungguh ada dapat diketahui secara langsung dan tidak langsung. Sesuatu yang sungguh ada dapat diketahui melalui pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Sesuatu yang sungguh ada pasti mempunyai hubungan dengan hal-hal yang lain. Seseorang dapat mengetahui sesuatu hal tertentu berarti mengetahui adanya hubungan sesuatu hal tersehut dengan hal-hal yang lain. Segala hal yang dapat mempengaruhi hal yang lain dapat dikatakan sungguh ada Yang sunggu.h ada merupakan JO

Kon-, 111\CBtfFlilm PUICllila ~F~~~.

himpunan segenap kesatuan yang mempunyai pengaruh terhadap hal-hal yang lain, sehingga potensi yang hanya dapat ada dalam kemungkinan tidak termasuk di dalam himpunan yang sungguh ada tersebut (Taylor, 1955: 43). 6. Perubahan Aksidensia Permasalahan perubahan yang terjadi pada hal-hal yang bereksistensi dapat dibedakan dengan permasalahan perubahan pada hal-hal yang abstrak. Hal-hal yang bereksistensi adalah hal-hal yang terdapat dalam ruang dan waktu (konkret). Sesuatu hal yang bereksistensi adalah bersifat publik artinya hal tersebut merupakan objek yang dapat dialami oleh banyak orang yang melakukan pengamatan (indrawi). Himpunan hal-hal yang bereksistensi merupakan bawahan himpunan hal-hal yang sungguh-sungguh ada. Keluasan cakupan himpunan hal-hal yang bereksistensi hanya meliputi hal~hal yang terdapat dalam ruang dan waktu. Proses perubahan pada hal-hal yang bereksistensi selalu hanya perubahan yang bersifat suksesif dan tidak pernah bersifat menyeluruh. Substansi yang menjadi inti hal-hal yang bereksistensi akan tetap menjadi identitas bagi setiap perubahan yang terjadi pada hal-hal yang bereksistensi tersebut Perubahan yang terjadi pada hal-hal yang bereksistensi adalah perubahan kualitas-kualitas dan sifat-sifat kebetulan yang melekat pada sesuatu hal yang bereksistensi tersebut Kualitas-kualitas dan sifat-sifat kebetulan yang melekat pada sesuatu hal yang bereksistensi termasuk dalam pengertian unsur-unsur aksidensia. Unsur-unsur aksidensia bersifat ekstrinsik artinya tidak mengubah substansi sesuatu hal yang konkret Unsurunsur yang selalu berubah pada hal-hal yang bereksistensi meliputi unsur-unsur kuantitas, bentuk (kualitas), relasi, aksi, passi, waktu, ruang, tempat, dan keadaan atau habitus (Taylor, 1969: 158).

7. Norma Transendenta l Istilah transendental mengacu pada segala hal yang ada artinya berlaku untuk semua kelompok, baik kategori maupun genus. Pemahaman mengenai norma yang transendental mengacu kepada

Korixp 1nvm11fr.t11ta p....:asiJa

r 31 ,L

~Panasil&N ~

_

ciri-ciri khusus atau atribut-atribut transendental segala yang ada. Sifat-sifat satu, benar, dan baik memberikan suatu ciri khusus bagi pengetahuan tentang yang ada, karena istilah yang ada sendiri tidak menunjukkannya. Semua sifat transendental tersebut merupakan pemahaman mengenai yang ada dari satu aspek kemampuan rohani tertentu. Semua sifat transendental tersebut tidak menambahkan sesuatu pengaruh yang nyata pada yang ada. Semua sifat transendental tersebut dapat dikatakan reduplikasi yang ada pada pikiran, kehendak, atau kemampuan rohani manusia. Sifat satu dapat dimengerti melalui seluruh kemampuan rohani manusia, baik pikiran maupun kehendak. Sifat benar dapat dimengerti melaui pikiran. Sifat baik dapat dimengerti melalui kehendak Sifat transendental satu berbeda dengan bilangan satu yang termasuk dalam kategori kuantitas. Sifat transendental satu adalah keutuhan setiap hal yang ada sejauh tidak terbagikan. Pengertian sifat satu dalam arti ontologis adalah bahwa yang ada tidak dapat dibagi dalam dirinya sendiri. Kesatuan sesuatu hal yang konkret tidak dapat dibagi dalam hubungan dengan dirinya sendiri, tetapi dapat dipisahkan dan dibagi apabila dihubungkan dengan yang lain. Sifat transendental yang ada adalah satu artinya tak terbagi dalam dirinya dan berbeda dari yang lain. Yang ada tertentu adalah utuh dalam dirinya sendiri dan tidak sama atau berbeda dengan yang lain. Pengertian kesatuan dapat dibedakan antara kesatuan tunggal dan kesatuan gabungan atau tersusun. Kesatuan tunggal adalah kesatuan tanpa ada gabungan, yaitu kesatuan yang murni. Kesatuan yang murni hanya terjadi pada Tuhan. Kesatuan gabungan dapat dibedakan antara kesatuan substansial dan kesatuan aksidental. Kesatuan substansial adalah kesatuan baru yang utuh berbeda dengan bagian-bagian yang menyusunnya. Contoh kesatuan substansial adalah manusia. Manusia tersusun atas badan dan jiwa, tetapi manusia berbeda dengan badan dan jiwa dalam keadaan sebagai kesatuan sendiri-sendiri. Kesatuan aksidental adalah kumpulan bagian-bagian yang tidak menimbulkan keutuhan baru, tetapi masing-masing bagian tetap merupakan keberadaan sendiri yang otonom. Contoh kesatuan aksidental adalah susunan tumpukan batu bata.

32

Kon,q, lmml!frulu, P1111CUila ~ r~at P~cuiJa N11tonagoro

Permasalahan konseptual yang berkaitan dengan sifat tran~endental satu adalah konsep identik dan berbeda ( ._1

87

bersifat kesadaran pikir dan sama nilainya dengan hasil usaha manusia da1am bidang Hmu pengetahuan. Cara pembuktian tentang adanya Tuhan banyak macamnya. Pembuktian yang termudah bagi umum untuk dimengerti adalah pembuktian yang berpokok pangkal pada pengalaman setiap orang tentang adanya segala sesuatu di dunia. Segala barang sesuatu atau kejadian menjadi ada bukan karena dirinya sendiri, tetapi disebabkan oleh sesuatu barang atau kejadian yang lain. Sesuatu barang atau kejadian yang lain tersebut merupakan sebabnya, sedangkan sesuatu barang atau kejadian itu sendiri merupakan akibat Pembuktian tentang adanya Tuhan yang mudah dimengerti dan paling tepat apabila memakai cara mulai dari akibat ke arah sebabnya. Seseorang harus berpokok pangkal pada hal-hal yang nampak. Pengalaman menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi bukan dari satu sebab saja, tetapi dari kumpulan sebab yang berturut-turut, sehingga dapat diartikan agar suatu hal dapat menimbulkan akibat pada dirinya harus memiliki kemampuan yang cukup sempurna. Kemampuan yang cukup sempuma tersebut merupakan persoalan pokok kedua dalam masalah sebab akibat. Kemampuan yang cukup sempurna tersebut bukan hanya terdap~t pada sebab yang langsung menimbulkan akibat, tetapi dimiliki oleh semua sebab yang sebelumnya. Permasalahan akali lebih lanjut adalah tentang kemampuan yang cukup sempurna tersebut merupakan jumlah kemampuan-kemampuan dari masing-masing sebab yang berturut-turut atau hanya kemampuan dari satu sebab saja yang menjadi dasar pokok semua sebab berikutnya. Sebab-sebab yang berturut-turut apabila dipikirkan ternyata, bahwa sebab-sebab tersebut tidak akan berakhir, karena selalu tergantung dari sebab yang lain lagi, sehingga tidak dapat menjadi sebab yang cukup sempurna bagi suatu akibat Apabila sabab-sebab yang berturutturut tersebut berasal dari sebab sebelumnya yang tidak 1agi dipersebabkan oleh hal lain, maka sebab ini yang dapat dikatakan mempunyai kemampuan yang cukup sempurna untuk menimbulkan akibat. Kesimpulan yang diperoleh bahwa alam semesta dan segala sesuatu di dalamnya dapat terjadi hanya disebabkan oleh sesuatu hal yang adanya tidak disebabkan oleh hal lain, sehingga merupakan

88

lCansq, lmimtifl'.tih Pancasila ~ I J PMat P~i:asila ~

(lf'Q

sebab yang pertama segala sesuatu. Sebab yang pertama tersebut di dalam filsafat disebut Causa Prima. Sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa apabila dipikirkan memang sesuai dengan pengertian sebab pertama tersebut Istilah Tuhan apabila dirumuskan berdasarkan hubungannya dengan hal-hal di luar diri-Nya berarti segala sesuatu yang di luar diri-Nya berada di dalam lingkungan-N,ya, tergantung pada-Nya, sesuai dengan pembuktian di atas segala sesuatu tersebut tergantung dari sebab pertama. Istilah Yang Maha Esa artinya yang hanya satu, sedangkan sebab pertama memang hanya ada satu. Pengertian tentang sifat-sifat hakikat Tuhan sebagai sebab pertama tersebut ialah yang pertama, sehingga selama-lamanya ada atau abadi, hanya ada satu, asal mula pertama segala sesuatu, segala sesuatu tergantung pada-Nya, sehingga sempurna dan kuasa. Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai asal mulanya mempunyai wajib bertaklim dan bertaat (Notonagoro, L?BO: 74-76). Apabila dicermati secara kritis sumber ajaran Notonagoro, bahwa Tuhan mempunyai sifat abadi dan sempurna bukan lagi mumi ajaran Thomas Aquinas. Notonagoro menjelaskan keabadian dan kesempurnaan Tuhan sebagai sebab pertama lebih didasarkan kepada ajaran Plato tentang keabadian dan kesempurnaan dunia idea. 2. Sila Kemanu·s iaan yang adil dan beradab

Konsep Notonagoro tentang isi arti sila Kemanusiaan yang adil dan beradab yang abstrak umum universal terutama didasarkan pada pengertian hakikat manusia. Konsep Notonagoro tentang hakikat manusia didasarkan pada ajaran Aristoteles tentang hakikat manusia. Aristoteles mengajarkan bahwa tubuh dan jiwa merupakan dua aspek dari satu substansi yang saling berhubungan seperti hubungan antara materia prima dan bentuk (forma), atau antara potensi dan aktus. Tubuh adalah materia prima, sedangkan jiwa adata·h bentuk. Tubuh adalah potensi, sedangkan jiwa adalah aktusnya. Notonagoro mengembangkan pemikiran lebih lanjut, bahwa hakikat manusia sebagi kesatuan mengandung bawaan mutlak untuk dijelmakan dalam perbuatan lahir dan batin, yaitu Kansq, lnW111jfEtib PIDICUila ,...

. . ~!!!£!!!!! ..I"~ I 89

tabiat saleh atau watak saleh, dan pribadi saleh. Konsep Notonagoro tantang watak saleh dan pribadi saleh didasarkan pada ajaran Plato tentang Cardinal virtues. Cardinal virtues adalah ideal-ideal atau bentuk-bentuk perbuatan atau tindakan tertinggi manusia. Plato merumuskan empat kebajikan dasar, yaitu kearifan atau kebijaksanaan, keberanian atau keuletan, keadilan atau kejujuran, dan moderasi atau kesabaran. Ajaran Notonagoro tentang kebahagiaan sempurna, yaitu kebahagiaan yang mempunyai sifat mutlak dan tidak berakhir, dan sebagai tujuan hidup terakhir manusia juga didasarkan pada ajaran Plato. Plato mengajarkan tentang tujuan hidup manusia untuk menuju pada Yang Baik, Yang Benar, dan Yang lndah, yang adanya hanya di dunia idea. Konsep Notonagoro secara lebih rind tentang isi arti sila Kemanusiaan yang adil dan beradab yang abstrak umum universal dapat ditelusuri dari rumusan intinya: Sifat-sifat dan keadaan-keadaan di dalam negara seharusnya sesuai dengan hakikat manusia. Hakikat manusia adalah bersusun, yaitu terdiri atas unsur-unsur yang majemuk tunggal atau monopluralis. Unsur-unsur tersebut adalah tubuhjiwa (akal, kehendak, dan rasa), sifat perseoranganmakhluk sosial yang menimbulkan kebutuhan mutlak ketubuhan dan kejiwaan, diresapi akal -· kehendak rasa, masing-masing dalam perwujudannya mutlak berupa nilai-nilai hidup, kenyataan termasuk kebenaran, kebaikan, dan · keindahan kejiwaan. Kebutuhan mutlak tersebut dalam lingkungannya berujud kebutuhan diri sendiri atau perseorangan dan kebutuhan umum. Unsur-unsur pribadi berdiri sendiri-makhluk Tuhan menimbulkan kebutuhan religius (Notonagoro, 1980: 90). Hakikat manusia yang · monopluralis · mengandung bawaan mutlak untuk dijelmakan dalam perbuatan lahir dan batin, yaitu tabiat saleh, watak saleh, dan pribadi saleh. Pertama, hakikat manusia mengandung bawaan mutlak untuk melakukan perbuatanperbuatan lahir dan batin atas dorongan kehendak, berdasarkan putusan akal, selaras dengan rasa untuk memenuhi hasrat-hasrat sebagai ketunggalan, yaitu ketubuhan, kejiwaan, perseorangan,

I

90 'Koruq, bnimtifEtllca Pancuila !~

Fi~ Pll!;l!HIJ,.~w _

makhluk sosial yang berkepribad ian berdiri sendiri, dan makhluk Tuhan. Setiap perbuatan manusia menjelmakan unsur-unsu r hakikatnya dalam sifatnya majemuk tunggal atau monopluralis. Kerjasama antara akal, rasa, dan kehendak karena bawaan hakikat manusia merupakan suatu keharusan yang mutlak. Manusia seharusnya selalu mempunya i kemampuan untuk menyelenggarakan kerjasama antara akal, rasa, dan kehendak dalam hubungan kesatuan. Akal memberi pengetahua n tentang perbuatan yang harus dilakukan, rasa mengujinya dengan berpedoman kepada hasratnya sendiri, dan kehendak yang menentukan akan dilakukan atau tidak, serta akhirnya mendorong terlaksana atau menolak pelaksanaa nnya. Kemampua n tersebut apabila telah mendarah daging akan mejadi watak yang disebut watak penghati-hati atau kebijaksanaan. Kedua, bawaan hakikat manusia yang juga merupakan keharusan mutlak adalah untuk memenuhi kebutuhan, baik yang ketubuhan maupun kejiwaan, baik diri sendiri maupun orang lain. Manusia harus selalu mempunyai kemampuan untuk memberika n kepada diri sendiri dan orang lain apa semestinya yang telah menjadi haknya. Kemampua n tersebut setelah menjadi watak disebut watak keadilan yang selalu terjelma sebagai tingkah laku dan perbuatan adil. Ketiga, karena hasrat-hasr at yang ketubuhan, kejiwaan, perseorang an dan makhluk sosial tersebut saling membatasi, maka akan dapat dihindari adanya pelampauan batas. Pelampauan batas tersebut ada dua macam, yaitu pelampauan batas dalam hal yang berupa suka atau enak dan sebaliknya menghindarkan diri dari hal yang berupa duka atau tidak enak. Manusia harus selalu mempunya i kemampua n untuk membatasi diri agar tidak melampaui batas dalam hal-hal suka atau enak, karena apabila tidak ada pembatasan diri akan berakibat buruk. Kemampuan yang selalu ada tersebut akan menjadi watak yang disebut watak kesederhanaan yang selalu menjelma sebagai tingkahlaku dan perbuatan kesederhanaan. Keempat, manusia juga harus selalu mempunyai kemampua n untuk membatasi diri agar tidak melampaui batas dalam hal menghinda rkan diri dari hal yang berupa duka atau tidak enak. karena jika tidak ada pembatasan diri juga akan berakibat buruk. Kemampua n yang selalu ada tersebut akan menjadi watak yang Kansep lnventifttilta Panca.sila

-

. - ·- __ J!fr_~ ~ g ~~ J 91

., I

disebut watak keteguhan yang selalu menjelma sebagai tingkah laku dan perbuatan keteguhan. Empat macam watak tersebut bersama-sama disebut watak saleh dan tingkah laku serta perbuatan sebagai penjelmaan tabiat saleh. Tabiat saleh empat macam tersebut mempunyai arti bahwa watak segala tingkah laku dan perbuatan sesuai sepenuhnya dengan hakikat manusia maka menentukan pribadi manusia, yaitu pribadi yang baik, susila, saleh, dan manusia yang bersangkutan disebut manusia baik, susila, saleh (Notonagoro, 1980: 90-91). Sifat-sifat kepribadian Indonesia tersimpul di dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Setiap orang Indonesia mempunyai susunan kepribadian bertingkat, yaitu mempunyai hakikat kemanusiaan, sebagai penjelmaannya mempunyai hakikat pribadi kebangsaan Indonesia, sebagai penjelmaan kedua hakikat tersebut mempunyai hakikat konkret kebangsaan Indonesia, sebagai penjelmaan ketiga hakikat tersebut mempunyai hakikat pribadi perseorangan dan hakikat konkret perseorangan. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung sifatsifat hakikat manusia sebagai dasarnya, tersimpul pula sifat-sifat kepribadian Indonesia atau kepribadian Pancasila. Isi arti unsur hakikat yang tersimpul dalam Pancasila, ternyata ada tiga macam hakikat, yaitu hakikat abstrak, hakikat pribadi, dan hakikat konkret Hakikat abstrak terdiri atas unsur-unsur yang bersama-sama menjadikan halnya atau barangnya yang bersangkutan ada. Hakikat abstrak adalah hakikat dari hal atau barang yang tunggal jenis, misalnya hakikat manusia, hakikat hewan, hakikat tumbuhtumbuhan, dan hakikat benda mati. Bangsa Indonesia sebagai kesatuan orang Indonesia mempunyai hakikat abstrak manusia. Hakikat abstrak manusia tersebut menyebabkan terpisah dari makhluk lain-lainnya dan berbeda dari makhluk lain-lainnya. Hakikat pribadi dan hakikat konkret merupakan penjelmaan dari hakikat abstrak Hakikat pribadi merupakan penjelmaan langsung dari hakikat abstrak atau hakikat jenis. Hakikat konkret merupakan penjelmaan langsung dari hakikat jenis dan penjelmaan tidak langsung hakikat jenis tersebut dengan melalui hakikat pribadi. Hakikat konkret merupakan penjelmaan hakikat pribadi. Hakikat pribadi melulu mengandung sifat-sifat yang tetap, terdiri atas sifat-

· 92

1

Komq, lmomtgEtw. Pancasila '~ n [ilwlli_P&l!_casila l"fo.t9N,2Ql'V

sifat hakikat kemanusiaan dan sifat-sifat tetap yang khusu.s dalam arti terikat jangka waktu adanya ha] atau barang sesuatu yang bersangkutan dalam kenyataan keadaan. Hakikat konkret di sarnping terdiri atas dua macam sifat-sifat tersebut juga mengandung sifatsifat khusus yang tidak tetap, selalu berubah, tergantung dari waktu, tempat, dan atau keadaan. Jadi kepribadian Indonesia adalah jumlah kesatuan sifat-sifat yang tetap terlekat pada bangsa dan orang Indonesia yang tetap, tidak berubah, terdiri atas sifat-sifat hakikat kemanusiaaan dan sifat-sifat hakikat yang khusus, yang menyebabkan bangsa Indonesia dan orang Indonesia sebagai diri pribadi terpisah dari bangsa lain dan orang bangsa lain serta berbeda dari pribadi dan bangsa-bangsa lain (Notonagoro, 1980: 93-94). Unsur-unsur hakikat manusia yang tersusun atas jiwa dan raga, akal-rasa-kehend~ sifat perseorangan dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan yang bersifat majemuk tunggal atau monopluralis mempunyai bentuk penjelmaan dalam hidup manusia Bentuk realisasi yang dimaksud adalah hasrat kodrat setiap manusia untuk mencapai satusatunya tujuan hidup yang menjadi inti segala macam tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan sempurna. Kebahagiaan sempurna ialah suatu kebahagiaan yang memenuhi tiga sifat mutlak, yaitu tidal{ mengandung kekecewaan atau memuaskan, sehingga apabila sudah tercapai tidal{ ada hasrat lainnya lagi, dan tidak berillir. Tujuan keduniaan apabila diukur berdasarkan tiga sifat yang mutlal{ tersebut, mal{a tidak ada yang benar-benar memenuhinya Kebahagiaan sempurna tersebut bersangkutan dengan masalah ketuhanan. Pancasila terlepas dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hal masalah_kemanusiaan disifati oleh soal tujuan hidup dan Ketuhanan. Pengertian hakikat manusia menyimpulkan hubungan kemanusiaan selengkapnya, yaitu tentang hubungan dengan dirinya sendiri, sesama manusia, dan dengan Tuhan. Kemanusiaan yang dimaksud ialah kemanusiaan yang adil terhadap diri sendiri, sesama manusia, dan Tuhan atau Causa Prima. Kemanusiaan yang adil dan atau perikemanusiaan prinsip mengandung beradab internasionalisme yang terjelma dalam hubungan dan penghargaan terhadap semua bangsa dan semua negara. Kebangsaan atau

KaNq, !momt!fEtilra Pll'IO.Sila ,..,

~Fl!,tm.t~ana.silaN~

-

: 93 I

nasionalisme Indonesia tidak chauvinistis, yaitu tidak sempit mengandung harga diri yang berlebihan. Istilah beradab dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab dimaksudkan sebagai penjelmaan unsur-unsur hakikat manusia, yaitu jiwa-raga, akal-rasa-kehendak, dan sifat kodrat makhluk perseorangan dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan dalam kesatuan monopluralis. Hidup beradab adalah bentuk penyelenggaraan hidup yang bermartabat setinggi-tingginya (Notonagoro, 1980: 92). 3. Sila Persatuan Indonesia

Konsep Notonagoro tentang isi arti sila Persatuan Indonesia yang abstrak umum universal terutama didasarkan kepada pengertian hakikat satu. Konsep Notonagoro tentang hakikat satu didasarkan pada keterpaduan ajaran Plato dan Aristoteles tentang yang ada. Ontologi Notonagoro pada umumnya merupakan perpaduan dan pengembangan ajaran Plato dan Aristoteles. Notonagoro berpandangan bahwa baik hal-hal dan benda-benda yang kongkrit dan dapat diamati maupun hal-hal yang abstrak dan tidak berubah merupakan kenyataan objektif. Notonagoro berpandangan bahwa sifat kesatuan juga ada di dalam kenyataan yang sesungguhnya, karena apabila tidak ada di dalam kenyataan yang sesungguhnya, maka bangsa, wilayah, dan negara Indonesia tidak ada dan tidak mungkin ada. Konsep Notonagoro secara lebih rinci tentang isi arti sila Persatuan Indonesia yang abstrak umum universal dapat ditelusuri dari rumusan intinya: Sifat-sifat dan keadaan-keadaan di dalam negara harus sesuai dengan hakikat satu, yaitu mutlak utuh tidak terbagi dan mutlak terpisah dari segala sesuatu hal lainnya. Satu merupakan sifat mutlak setiap hal yang merupakan diri pribadi atau barang sesuatu sendiri yang mempunyai bangun bentuk tersendiri, unsur tersendiri, sifat-sifat tersendiri, dan keadaan tersendiri, sehingga terpisah dari hal lain. Mutlak terpisah adalah mempunyai tempat tersendiri di dalam ruang (Notonagoro, 1980: 103). lnvmt![Flilta Pancaslla 94 Konsep BcrdasarkanFilsafat Pancasila No!.ol'.111,l(Oro

Rakyat Indonesia sebagai keseluruhan penjumlah semua orang Indonesia mempunyai tanah air tersendiri, sehingga mempunyai tempat tersendiri di atas bumi terpisah dari manusia lain. Persatuan dan kesatuan bangsa harus dipelihara, dipererat, dan diperkembang kan dalam arti agar perbedaaan-perbedaan yang saling mempunyai daya penarik saling melengkapi untuk memperkaya kehidupan, sedangkan perbedaan-perbedaan yang menimbulkan pertentangan agar disatupadukan dalam suatu resultan atau sintesis. Sila Persatuan Indonesia sebagai sifat kesatuan dalam dinamikanya, yang pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjadi sifat mutlak hakikat kebangsaan, wilayah, dan negara, di dalam keadaan kenyataannya harus selalu diamalkan. Sila Persatuan Indonesia mempunyai peranan historis sebagai faktor kunci perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sifat kesatuan kebangsaan dan wilayah negara Indonesia pada saat proklamasi menjadi sifat mutlak, yang selanjutnya dalam keadaan senyatanya harus selalu diamalkan. Susunan wilayah Indonesia atas kepulauan yang sangat besar jumlahnya dan luasnya, serta susunan bangsa Indonesia atas sukusuku bangsa, beraneka ragam bentuk sifat susunan keluarga dan masyarakatnya, adat . istiadatnya, kesusilaannya, kebudayaannya, hukum adatnya, dan tingkat hidupnya. Keadaan yang beragam tersebut masih ditambah dengan golongan bangsa keturunan asing dan kemungkinan kewarganegaraan orang asing tulen. Keadaan tersebut masih ditambah lagi adanya berbagai agama dan kepercayaan hidup, maka makin rnenjadi besar perbedaan yang terdapat di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Keadaan tersebut ditambah lagi sumber perbedaan, yaitu ideologi-ideologi politik yang jumlahnya dapat melampaui batas kelayakan bagi persatuan dan kesatuan. Keberagaman tersebut masih ditambah Iagi aksentuasi atau tekanan pertumbuhan kesukuan ke arah salah rasa, salah harga diri, salah sikap sebagai akibat zaman penjajahan. Semua faktor tersebut merupakan bekal persatuan dan kesatuan yang mengandung rintangan-rintangan yang sampai sekarang belurn dapat diatasi. Kesadaran tentang potensi tersebut adalah baik, karena membuat sadar untuk selalu merealisasikan sumpah pemuda,

yaitu satu bangsa, satu nusa, dan satu bahasa. Kesadaran tentang keberagaman tersebut sebagai penjelmaan persatuan Indonesia masih ada satu hal yang penting, yaitu semangat Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan suatu keseimbangan, yang tentu akan berubahubah bentuknya, tetapi tetap dalam dasarnya, yaitu dalam segala perbedaan tersebut (Notonagoro, 1980: 103-104). Permasalahan persatuan dan kesatuan dalam hidup kebangsaan dan kenegaraan selamanya dalam prinsipnya merupakan hal yang terpokok, maka merupakan objek perenungan par a penyelenggara hidup kenegaraan. Unsur yang disinggungsinggung pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah teori kehendak bersatu, teori satu nasib dengan menekankan pada teori persatuan antara orang dan tempatnya, yaitu teori geopolitik. Unsur-unsur perbedaan di dalam suatu lingkungan bangsa di samping menimbulkan daya penarik ke arah kerjasama dan kesatuan, juga menimbulkan suasana dan kekuatan tolak menolak. tentang menentang, yang mungkin mengakibatkan perselisihan, pertikaian, dan perpecahan, tetapi juga mungkin apabila dipenuhi syarat-syarat kesadaran tentang kebijaksanaan dan nilai-nilai hidup yang sewajarnya, menyatukan diri dalam suatu resultan atau sintesis yang malahan memperkaya masyarakat Adanya pertentangan justru memungkinkan timbulnya persatuan dan kesatuan sebagai resultan atau sintesis pertentangan. Bentuk realisasi dari hal-hal yang berbeda akan dapat sama, sedangkan bentuk realisasi dari satu hal atau hal-hal yang sama dapat berlainan. Perbedaan dalam kehidupan masyarakat dan kebangsaan pada umumnya dapat dikembalikan pada unsur-unsur tertentu yaitu kekuasaan. Kekuasaan dalam segala macam bentuk yang dapat timbul di dalam masyarakat, dapat digolongkan dalam kekuasaan lahir yaitu kekuasaan fisik (kekerasan, paksaan), kekuasaan ekonomis, dan kekuasaan batin (nafsu, pikiran, moral, kepercayaan). Teori-teori yang dibuat para ahli untuk mengusahakan peniadaan dan pengurangan perbedaan-perbedaan tersebut mengambil sikap hidup dan melakukan praktik hidup dengan dasar yang berbeda-beda. Ada teori sikap hidup dan praktik hidup yang mempunyai dasar kekerasan dan paksaan, dasar ekonomi dalam berbagai macam, mulai yang utopis idealis sampai yang

_!

96

,Kansep lnvmlifEtih Pancasi.la ~ F~g P~

No~9ro

materialis, dan dasar kejiwaan, serta ketuhanan. Teori, sikap, dan praktik hidup tersebut dalam sejarah kemanusiaan saling bergiliran dalam menempati kedudukan yang terpenting, yang setiap kali didahului dan diakhiri dengan pergolakan. Sejarah kemanusiaan tersebut dapat menunjukkan, bahwa tidak mungkin bagi teori, sikap, dan praktik hidup dengan dasar tertentu tersebut akan selalu menempati kedudukan yang terpenting, sehingga menjadi kuat alasan bagi pendapat, bahwa yang paling tepat adalah teori, sikap, praktik hidup yang mempunyai dasar baik lahir maupun batin dalam keseimbangan yang harmonis dan dinamis, sehingga yang paling sesuai dengan hakikat manusia, yaitu sifat monopluralis seperti yang tersimpul dalam Pancasila (Notonagoro, 1980: 105-106). Kesadaran tentang nilai-nilai hidup yang sewajarnya akan dimiliki apabila ada pengetahuan, kesediaan, dan kecakapan untuk melaksanakannya, bahwa segala sikap dan kecakapan perbuatan lahir dan batin manusia serta pula akibat hasilnya dinilai dengan ukuran-ukuran mutlak yang tertanam di dalam diri sanubari manusia, agar sikap dan perbuatan manusia sesuai dan tidak bertentangan dengan hakikat manusia, yaitu tidak merendahkan martabat kemanusiaan. Ukuran penilaian mutlak yaitu kenyataan termasuk kebenaran yang diperoleh atas dasar pikir, rasa, kepercayaan, ukuran penilaian mutlak yang berujud kebaikan serta ukuran penilaian mutlak yang berupa keindahan-kejiwaan. Perbedaan dalam lingkungan bangsa harus disadari untuk menumbuhkan kesediaan untuk tidak membiarkan atau untuk tidak memelihara ·dan membesar-besarkan perbedaan-per bedaan dengan berpegang teguh kepada adanya golongan-golongan bangsa, sukusuku bangsa, dan keadaan hidupnya yang beraneka ragam, tetapi seharusnya ada kesediaan dan kecakapan, serta usaha untuk dengan kebijaksanaan melaksanakan pertalian kesatuan kebangsaan. Suatu pertalian kebangsaan dengan berpegang kepada berbagai asas pedoman bagi pengertian kebangsaan dalam suatu susunan majemuk tunggal, yaitu menyatukan daerah (geopolitis), menyatukan darah, membangkitkan, memelihara, ·dan memperkuat kehendak untuk bersatu dengan mempunyai satu sejarah dan nasib, satu kebudayaan dalam lingkungan hidup bersama dalam satu negara, yang bersamasama diselenggarakan dan diperkembangkan. IConsq, lnvmtlfEtiu PllrlCUlla

- ~'Ml f':.~

tl,~Cl~!c•N~o=

~

97

Persatuan Indonesia mengandung pengertian Bhinneka Tunggal lka. Persatuan Indonesia mengandung pengertian kesadaran adanya perbedaan-perbedaan sebagai keadaan yang biasa dalam masyarakat dan bangsa. Kesadaran untuk menghidup-hidupkan perbedaan yang mempunyai daya penarik ke arah kerja sama dan kesatuan dalam suatu resultan atau sintesis d~n untuk mengusahakan peniadaan dan pengurangan perbedaan yang mungkin mengakibatkan suasana dan kekuatan tolak menolak ke arah perselisihan, pertikaian, dan perpecahan atas dasar kesadaran akan kebijaksanaan dan nilai-nilai hidup yang sewajarnya. Kesediaan, kecakapan, dan usaha untuk sedapat-dapatnya melaksanakan pertalian kesatuan kebangsaan sangat diperlukan dengan pedoman-pedoman majemuk tunggal bagi pengertian kebangsaan (Notonagoro, 1980: 106). Sifat mutlak kesatuan bangsa, wilayah, dan negara Indonesia dengan segala perbedaan dan pertentangan di dalamnya memenuhi sifat hakikat satu, yaitu mutlak utuh tidak dapat terbagi. Perbedaan dan pertentangan dapat disalurkan untuk memelihara dan mengembangkan kesatuan kebangsaan. Sifat yang utama dan paling

umum dimiliki segala sesuatu adalah ada. Ada atau sesuatu barang yang ada mempunyai pengertian yang bermacam-macam, yaitu ada di dalam kenyataan yang sesungguhnya, hanya dalam angan-angan manusia, dan dalam kemungkinan. Ada dalam kemungkinan berarti ada di dalam angan-angan manusia yang akan mungkin terwujud dalam kenyataan sesungguhnya. Lima unsur yang menjadi landasan Pancasila, yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil bagi bangsa dan negara Indonesia sudah tidak menjadi soal lagi tentang ada atau tidak ada dan adanya dalam arti di dalam kenyataan sesungguhnya. Adanya bangsa dan wilayah negara Indonesia dengan memiliki kesatuan sebagai sifat mutlaknya juga merupakan kenyataan yang sesungguhnya. Sifat kesatuan tersebut juga ada di dalam kenyataan yang sesungguhnya, karena apabila tidak ada di dalam kenyataan yang sesungguhnya, maka bangsa, wilayah, dan negara Indonesia tidak ada dan tidak mungkin ada. Setiap barang sesuatu yang ada merupakan suatu keutuhan dalam dirinya sendiri, mempunyai bangun bentuk tersendiri, susunan tersendiri, sifat-sifat, dan keadaan tersendiri. Semua sifat98 ,Konsq, lnvrntg EtlkA PII\CUila ~

n ~ @ f ~ t i ~21"'0

sifat tersebut bersama-sama menjadikan suatu hal yang bersangkutan terpisah dari hal yang lain, menjadikannya hal yang tersendiri di luar hal yang lain, dan terpisah dari hal-hal yang lain tersebut Setiap barang sesuatu yang merupakan hal tersendiri selalu hanya berjumlah' satu. Setiap barang sesuatu sebagai hal tersendiri selalu dise·rtai fakta hanya berjumlah satu, sehingga ada hubungan mutlak antara ada dan satu. Satu merupakan sifat mutlak setiap barang sesuatu yang ada. Hakikat satu adalah tetap terkumpulnya bagian-bagian yang menyusun sesuatu hal sebagai keutuhan. Apabila bagian-bagian tersebut dipisahkan satu dari yang lainnya, keutuhannya akan hilang dan hanya akan menjadi tidak ada. Apabila sifat mutlak satu telah hilang, maka akan menjadi berjumlah lebih dari satu s~~uai jumlah bagian-bagian yang terpisah. Jadi hakikat satu adalah utuh tidak dapat terbagi. Sifat tidak dapat terbagi tersebut tidak hanya tentang sesuatu barang yang dalam susunannya tunggal, te_!api juga apabila sesuatu hal tersebut bersusun terdiri atas bagianbagian. Pengertian tenta}!g bagian-baEian tersebut dapat dibedakan sebagai berikut Pertama, bagian-bagian dari sesuatu hal yang dirinya sendiri tidak merupakan sesuatu barang sendiri, hanya dapat berada sebagai bagian, disebut bagian-bagian dalam arti batin dan sifat kesatuan haL yang qisusunnya adalah kesatuan dalam arti batin. Kedua, bagian-bagian se_~uatu hal yang ~alam dirinya sendiri merupakan keutuhan sendiri, suatu barang sendiri, bersama-sama sebagai. bagian menyusun suatu keutuhan baru dan hanya apabila bersama-sama dapat melangsungkan suatu hal yang lain tersebut Kesatuan bagian-bagian yang dirinya sendiri merupakan keutuhan disebut hubungan kesatuan dalam arti lahir. Kesatuan dalam arti lahir tidak sampai mengenai hakikat dirinya, karena hubungan kesatuan tersebut tidak tergantung adanya sebagai diri sendiri. Sifat kesatuan suatu hal yang keseluruhannya tersusun atas bagian-bagian tersebut disebut kesatuan dalam arti lahir. Apabila hubungan kesatuannya berakhir, maka halnya sebagai keseluruhan juga menjadi tidak ada lagi. Hal-hal yang menyusun keseluruhan tersebut berhenti menjadi bagian-bagian, kehilangan ujud, dan sifat yang dahulu dimiliki dalam kesatuan, kemudian menjadi hal-hal lain dengan memperoleh bentuk sifat penjelmaan dirinya yang kurang sempurna. Meskipun sesuatu barang dalam dirinya bersusun, terdiri •

• Mao.

, . ,. . ,

atas bagian-bagian terlepas dari kedudukan dan keadaan bagianbagiannya, baik dalam arti batin maupun dalam arti lahir, maka sifat kesatuan yang ada tetap mutlak, sehingga sifat tidak dapat terbagi tetap mutlak pula (Notonagoro, 1980: 108-110). 4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaa n dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Konsep Notonagoro tentang isi arti sila keempat Pancasila yang abstrak umum universal terutama didasarkan kepada pengertian hakikat rakyat IS.Q_nsep Notonagoro teotaog hakikat · an Aristoteles bahwa hal-hal dan bendarakyat didasarkan benda yang konkret dan dapat diamati merupakan enyataan o6Jektif. Notonagoro berpandangan bahwa bai~~g anperseorangan sehagaf° warga maupun jumlah keselnn1han perseorangan sebagai rakyat merupakan keoyaraan objektif:.., Konsee Notonagoro bahwa hakikat rakyat adalah keseluruhan penjmplah semua orang warga dalam lingkungan daerah atau negara tertentu menjadi dasar pandangannya tentang cita-cita kefilsafatan demokr_j.si. Cita-cita kefilsafatan demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi sosial ekonomi. ~angan Notonagoco tentang citacita kefilsafatan demokrasi dan pengembangannya sebagai ciri demokrasi Pancasila banyak didasarkan pada hasil-hasil sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaau Indonesia. Konsep Notonagoro secara lebih rinci tentang isi arti sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawara tan/perwakilan yang abstrak umum universal dapat ditelusuri dari rumusan intinya: Sifat-sifat dan keadaan-keadaan di dalam negara harus sesuai dengan hakikat rakyat, yaitu keseluruhan penjumlah semua orang warga dalam lingkungan daerah atau negara tertentu. Negara Indonesia bukan negara untuk satu orang dan untuk satu golongan, tetapi negara di dasarkan atas rakyat, tidak pada golongan, tidak pada perseorangan. Negara satu untuk semua dan semua untuk satu, berdasarkan permusyawaratan dan gotong royong, berdasarkan

--

--

-

100

Konxp lnvmtif Etll«A Panasila n.F"~ e&nc:ulla Nolonli!!'9. ~

-

kekuasaan yang ada pada rakyat (kedaulatan rakyat) (Notonagoro, 1980: 120). Kerakyatan mengandung sifat cita-cita kefilsafatan, yaitu negara adalah untuk kepentingan seluruh rakyat, mengandung pula pengertian demokrasi dalam arti cita-cita kefilsafatan. Cita-cita kefilsafatan demokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi sosial ekonomi. Demokrasi politik untuk mewujudkan persamaan dalam lapangan politik Demokrasi sosial ekonomi untuk mengadakan persamaan dalam lapangan kemasyarakata n dan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, dengan demokrasi politik sebagai dasarnya. Negara kerakyatan adalah negara demokrasi monodualis, yaitu dapat dikembalikan kepada sifat kodrat manusia sebagai perseorangan dan makhluk sosial dalam kesatuan monodualis. Sifat kesatuan yang keseimbangannya dinamis, artinya sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bukan hanya menyebutkan Pancasila sebagai dasar filsafat negara, tetapi juga menentukan penjelmaannya, yaitu sebagai dasar politik negara dengan menyebutkan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Ketentuan ini menjamin pelaksanaan dasar filsafat dalam penyelenggaraan kehidupan negara. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga menyebutkan negara berkedaulatan rakyat, berdasar kerakyatan dan permusyawara tan/perwakilan. Kesimpulan yang penting melalui penelitian ilmiah tentang keadaan pemerintahan negara Indonesia dengan perubahan bentuk demokrasi dari demokrasi liberal menjadi demokrasi monodualis seharusnya tidak menimbulkan kesan yang berbeda, bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi, karena telah tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai penjelmaan Proklamasi kemerdekaan. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Pokok Kaidah Fundamental Negara yang dengan jalan hukum tidak dapat diubah dan selalu terlekat pada kelangsungan negara, maka negara Indonesia sekarang dan waktu yang akan datang adalah tetap negara demokrasi (Notonagoro, 1980: 120). Isi arti sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawara tan/perwakilan dapat diikhtisarkan

-~

Konscp lnvmtifEtika Pana.slla .' ~!?!.~9.!!!!Yi.&o.!!! ~

i OJ , /

menjadi empat bagian. Pertama, bahwa sila kerakyatan sebagai bawahan dari persatuan dan kesatuan semua sila, mewujudkan penjelmaan tiga sila yang mendahuluinya dan merupakan dasar bagi sila yang kelima. Karena di dalam tiga sila yang mendahuluiny a terkandung asas-asas hidup kerohanian, maka sila kerakyatan tersebut juga mengandung asas-asas hidup kerohanian. Kedua, di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sila kerakyatan juga telah ditentukan penggunaannya, yaitu dijelmakan sebagai dasar politik negara, bahwa negara Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat Ketiga, karena Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan pokok kaidah negara yang fundamental, maka dengan jalan hukum tidak dapat diubah, sehingga dasar politik negara berkedaulatan rakyat merupakan dasar mutlak negara, dengan jalan hukum tidak dapat diubah. Keempat, di dalam penjelasan resmi Undang-Undang Dasar 1945 dasar berkedaulatan tersebut dikatakan, berdasarkan kerakyatan dan dalam permusyawara tan/perwakilan , maka sistem negara harus berdasar juga atas kedaulatan rakyat dan permusyawara tan/perwakilan , sehingga negara Indonesia adalah mutlak negara demokrasi untuk selamanya (Notonagoro, 1980: 121). Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawara tan/perwakilan mengandung dua cita-cita kefilsafatan. Pertama, kerakyatan yang mengandung citi-cita bahwa negara adalah alat bagi keperluan seluruh rakyat dan juga cita-cita demokrasi sosial ekonomi. Kedua, musyawarah atau demokrasi politik keduanya dijelmakan dalam asas politik negara, yaitu negara berkedaulatan rakyat sebagai cita-cita politik yang mengandung tiga unsur tersebut, yaitu negara untuk seluruh rakyat, demokrasi sosial ekonomi, dan demokrasi politik. Dasar filsafat dan dasar politik negara berisi tiga unsur pokok, yaitu kerakyatan, permusyawar atan/ perwakilan, dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat adalah bentuk penjelmaan dua unsur pokok lainnya yang sebelumnya hanya merupakan dasar filsafat atau dasar kerohanian, kemudian juga menjadi dasar politik. Pemisahan tersebut diperlukan agar tidak terjadi kesalahan dengan memberi arti demokrasi kepada keduanya. Demokrasi sebagai arti sila kerakyatan adalah demokrasi dalam kedudukan dan makna dasar filsafat atau cita-cita kefilsafatan. Demokrasi sebagai arti kedaulatan rakyat adalah demokrasi dalam 102

l