Jalan Cinta Menuju Surga: Dialog Dua Nalar Tentang Keselamatan Eskatologis di Luar Islam
 978-602-99896-3-2

Table of contents :
PRAKATA, 1
JALAN CINTA MENUJU SURGA, 4
1. Tiga Kotak Teologis, 5
2. Etika dalam Perbedaan, 8
3. Subtilitas Iman, 11
4. Finitas Dunia, 17
ESKATOLOGI ISLAM, 23
EMPAT DOKTRIN ESKATOLOGI ISLAM, 28
1. Kiamat Sughra, 28
2. Alam Barzakh, 29
3. Kiamat Kubra, 30
4. Alam Akhirat, 33
KESELAMATAN ESKATOLOGIS, 46
TIDAK ADA KESELAMATAN DI LUAR ISLAM, 51
ADA KESELAMATAN DI LUAR ISLAM, 64
DIALOG DUA NALAR ESKATOLOGI ISLAM, 86
PENUTUP, 108
DAFTAR PUSTAKA, 111
PENULIS, 122
INDEKS, 123

Citation preview

JALAN CINTA MENUJU SURGA Dialog Dua Nalar Tentang Keselamatan Eskatologis di Luar Islam

Nyong ETIS

Penerbit:

Jl. Rajawali 27 Punggul IV/05 Gedangan Sidoarjo, Jawa Timur 61254 Http://uruanna.wordpress.com Email: [email protected]

ISBN 978-602-99896-3-2

Catakan I, Oktober 2011 All rights reserved .

DAFTAR ISI PRAKATA, 1 JALAN CINTA MENUJU SURGA, 4 1. 2. 3. 4.

Tiga Kotak Teologis, 5 Etika dalam Perbedaan, 8 Subtilitas Iman, 11 Finitas Dunia, 17

ESKATOLOGI ISLAM, 23 EMPAT DOKTRIN ESKATOLOGI ISLAM, 28 1. 2. 3. 4.

Kiamat Sughra, 28 Alam Barzakh, 29 Kiamat Kubra, 30 Alam Akhirat, 33

KESELAMATAN ESKATOLOGIS, 46 TIDAK ADA KESELAMATAN DI LUAR ISLAM, 51 ADA KESELAMATAN DI LUAR ISLAM, 64 DIALOG DUA NALAR ESKATOLOGI ISLAM, 86 PENUTUP, 108 DAFTAR PUSTAKA, 111 PENULIS, 122 INDEKS, 123

1 PRAKATA Istilah eskatologi (eschatology) berasal dari bahasa Yunani yaitu "eschatos" yang berarti ”terakhir” (last) dan ”eschata” yang berarti ”halhal terakhir” (the last things).1 Jadi, eskatologi dapat dimaknai sebagai pengetahuan atau ajaran-ajaran yang berkenaan dengan hal-hal terakhir atau tentang akhir zaman. Eskatologi Islam sendiri memuat banyak varian doktrin dalam lingkupnya, meliputi kematian, alam kubur, peristiwa menjelang kiamat, kebangkitan, perhitungan amal, juga perihal surga dan neraka.2 Eskatologi secara umum bisa dibedakan menjadi dua: Pertama, eskatologi individual (individual eschatology) yang membahas perihal nasib tiap jiwa manusia sesudah kematian (microcosmos); dan kedua, eskatologi umum (general eschatology) yang membincang persoalan lebih luas terkait transformasi dan akhir dari kehidupan alam ini (macrocosmos).3 Adapun yang hendak dibahas dalam buku ini lebih fokus pada konsep keselamatan eskatologis yang bersifat individual. Pembaca akan menemukan penjelasan dua konstruk pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai hal ini. Khususnya tentang eksistensi keselamatan eskatologis bagi non-muslim. Satu pihak mengklaim bahwa Islam menolak adanya keselamatan eskatologis di luar Islam, sementara pihak yang lain justru berpendapat sebaliknya. Melalui pemaparan dua varian pemikiran Islam tersebut, pembaca diharapkan

1

R.J. Zwi Werblowsky, "Eschatology" dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 3 (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), 148-151. 2 Arthur Jeffery, Islam: Muhammad and His Religion (Indianapolis and New York: The Bobbs-Merrill Company Inc., 1977), 137. Lihat juga: Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1989), 106. 3 Werblowsky, "Eschatology", 148-151; Seyyed Hossein Nasr, Islam: Religion, History, and Civilization (New York: Harper San Francisco, 2003), 72; Sayyid Haidar Amuli, Inner Secrets of the Path (Great Britain: Element Books, 1989), 7.

2 | Nyong ETIS

akan dapat mengenali pokok-pokok nalar dari masing-masing pihak dengan penuh kearifan. Menelaah eskatologi Islam ini sesungguhnya membutuhkan kepekaan terutama ketika menyatakan suatu proposisi tertentu sebagai doktrin agama Islam, apalagi otentik Islam. Sementara telah diketahui bahwa konseptualisasi ajaran eskatologi yang berkembang di kalangan umat Islam telah mengalami perkembangan dan pembaruan dalam sejarahnya. Dialogika yang terjadi antarkutub pemikiran internal Islam, dan juga ketika berhadapan dengan pemikiran sejenis antaragama, telah berkontribusi bagi pengayaan wacana dan diseminasi pengaruh atau keterpengaruhannya.4 Vincent J. Cornell pernah menyatakan, "(…) no orthodoxy is static; all orthodoxies are "orthodoxies in the making." Official interpretations of doctrine tend to fluctuate over time and maybe transformed in response to changing social conditions or relations of power."5 Tidak ada 4

Arthur Jeffery mengemukakan bahwa ajaran eskatologi Islam menjadi menarik dikaji karena dalam proses perumusannya telah menyentuh materi dari beragam asal-usul [Islam, 137]. 5 Vincent J. Cornell, "Fruit of the Tree of Knowledge: The Relationship Between Faith and Practice in Islam" dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford History of Islam (New York: Oxford University Press, 1999), 63-105. Pernyataan Cornell ini menarik untuk disandingkan dengan dua ungkapan berikut ini: (1) All religions are new religions, every morning. For religions do not exist up in the sky somewhere, elaborated, finished, and static; they exist in men's hearts. Semua agama sebenarnya adalah agama baru setiap harinya. Agama tidaklah berada di suatu langit manapun, dielaborasi, selesai, dan statis; tetapi agama sejatinya hadir dalam hati seseorang [Wilfred Cantwell Smith, Religious Diversity (New York: Crossroad, 1982), 142]; dan (2) The cardinal framework is eternal. Truth remains unchanged; but the human condition does not. It is the principles of Islam that are eternal; but not their space-time operationalisation. The Beloved Prophet himself, as well as the Rightly Guided Caliphs, varied the application of the principles of Islam as the circumstances changed, but always within the parameters of Islam. They had fully understood the spirit of Islam. Kerangka pokoknya bersifat abadi (tetap). Kebenaran tidaklah berubah, tetapi

Jalan Cinta Menuju Surga | 3

ortodoksi yang bersifat statis; semua ortodoksi adalah “ortodoksi yang sedang dibentuk”. Penafsiran-penafsiran resmi atas doktrin cenderung akan berfluktuasi seiring perjalanan waktu dan bisa jadi ditransformasikan guna merespon perubahan. Beranjak dari kesadaran ini, penulis mencoba membatasi diri dalam mendeskripsikan beberapa konsep dasar terkait keselamatan eskatologis Islam dengan referensi normatif dalam al-Qur’an dan alHadis.6 Semoga tulisan sederhana ini bisa memberi manfaat dan beroleh ridha-Nya. Selamat membaca. Nyong ETIS

kondisi manusia yang berubah. Prinsip-prinsip Islam-lah yang tidak berubah itu, sedangkan aspek operasionalnya mengikuti perkembangan situasi dan kondisi. Nabi sendiri, sebagaimana halnya para khulafa’ rasyidun, berbeda dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip Islam seiring dengan perubahan keadaan, tetapi senantiasa tetap berada dalam parameter Islam. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar memahami semangat ajaran Islam [Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures (London: Pheto Press, 2003), 49]. 6 Wahid Abdussalam Bali telah menegaskan pentingnya membatasi rujukan persoalan eskatologi (yakni tentang surga dan neraka) hanya atas dasar dalil-dalil yang sahih. Menurutnya, persoalan ini termasuk kategori iman kepada yang gaib, yang merupakan tiang utama dari aqidah Islam, sehingga tidak selayaknya ia dibangun di atas fondasi dalil-dalil nash yang tidak jelas kualitasnya. Terlebih lagi, sesungguhnya dalil-dalil yang sahih sudah cukup memadai untuk memberi penjelasan tentang persoalan ini [Wasf al-Jannah wa al-Nar min Sahih al-Akhbar (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1987), 5].

2 JALAN CINTA MENUJU SURGA Surga dan neraka merupakan tema penting dalam bidang keagamaan, khususnya tentang kehidupan eskatologis. Kebanyakan orang beragama mengimaninya sebagai puncak perlawatan hidup manusia. Ia bisa menjadi orientasi religiusitas dari pemahaman, penghayatan dan pengamalan kongkret keberagamaan seseorang. Pada istilah ini terkandung makna-makna terdalam dari aspek-aspek rasional dan sekaligus emotif seseorang yang memutuskan jalan hidupnya untuk dibimbing atau setidaknya diwarnai oleh pesan-pesan ajaran agama. Harapan atau ketakutan eksistensial manusia pun dapat muncul dalam simbol-simbol yang diandaikan sebagai surga dan neraka. Dari perspektif teologis, dengannya pula manusia kerapkali mempersepsikan sukses tidaknya mereka dalam menjalani misi kehidupannya di muka bumi ini. Surga dan neraka dengan demikian tidak hanya sekedar penggambaran tentang kesempurnaan nikmat dan azab yang bisa diperoleh atau dialami oleh manusia, tetapi juga perwujudan dari konsekuensi atau implikasi hukum konsep-konsep keagamaan lainnya yang tidak sederhana, seperti iman, islam, kufur, dan nifaq. Dalam sejarahnya, konflik-konflik paling awal yang terjadi dalam tubuh umat ini juga mempergunakan terma-terma tersebut dalam pergulatan antar golongan yang bertikai.7 Tiap istilah lantas bisa menjadi bermuatan politis saat dilontarkan sebagai klaim yang mentahbiskan kebenaran golongan tertentu atau sebaliknya untuk mengkategorikannya sebagai sesat dan kafir. Khawarij bisa menjadi contoh bagaimana terma-terma teologis tersebut di atas bisa begitu kental muatan politisnya. Perbedaan sikap politik antara golongan ini dengan pihak-pihak yang menerima arbitrase 7

Abdullah ibn Zaid al-Mahmud, Tathqif al-Azhan bi 'Aqidat al-Islam wa al-Iman (Qatar: Riyasah al-Muhakim al-Shar'iyah wa al-Shu'un al-Diniyah, 1982), 16.

Jalan Cinta Menuju Surga | 5

(tahkim) telah mengantarkan mereka mengembangkan suatu faham yang menyatakan bahwa orang-orang yang tidak berhukum dengan alQur’an dalam penyelesaian konflik antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai kafir dan layak dibunuh. Doktrin ini lambat laun merambah setiap pelaku dosa besar (murtakib al-kabair; capital sinners) juga dipandang kafir, keluar dari Islam.8 Implikasi eskatologis bagi mereka yang murtad selanjutnya tidak lain adalah neraka. Kategori-kategori keagamaan seperti mu’min, kafir, dan munafik itu memang cenderung membelah manusia kedalam sekat-sekat khusus yang secara teologis seolah ditakdirkan tidak bisa saling bertemu atau berkompromi satu dengan lainnya. Identifikasi teologis ini pada gilirannya juga mempengaruhi corak artikulasi etik pada ranah sosiologis. Tetapi, bagaimana sebenarnya Islam memandang manusia ditinjau dari afiliasi keimanannya? 1. Tiga Kotak Teologis Secara teologis manusia dapat ditipologikan menjadi yang beriman (believer) dan yang tidak beriman (unbeliever). Dalam perspektif Islam, yang pertama disebut mu’min dan yang kedua kafir. Mu’min adalah seseorang yang mengikrarkan diri memeluk atau menjadi pengikut dari agama Islam, risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Sedangkan kafir adalah seseorang yang tidak memeluk Islam sebagai agamanya. Di sini, kafir bisa mencakup seseorang yang sejak awal tidak berafiliasi kepada Islam, dari kaum beragama atau tidak beragama, dan juga seseorang yang semula beragama Islam kemudian memutuskan keluar dari Islam atau murtad. Di samping dua posisi teologis ini, khazanah intelektual Islam juga mengenal istilah munafiq (hypocrite). Yaitu seseorang yang menampakkan dirinya kepada publik secara lahiriah (eksoterik) sebagai mu’min (yang beriman), tetapi secara batiniah (esoterik) ia sebenarnya kafir (tidak mengimaninya).9 8

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2002), 8-9. 9 Kategori teologis semacam ini tentu bersifat perspektif. Artinya, masing-masing

6 | Nyong ETIS

Istilah mu’min terkadang dibedakan dengan istilah muslim. Hal ini berakar pada pemaknaan yang berbeda atas konsep iman dan islam ketika keduanya disebut secara bergandengan. Islam ditafsirkan sebagai perbuatan lahir, sedangkan iman sebagai perbuatan batin. Semisal disebutkan dalam sebuah hadis: Islam itu yang terlihat kasat mata, sedangkan iman yang tersembunyi dalam hati.10 Tampak nyata atau terang-terangan ini dikaitkan dengan perbuatan lahiriah seseorang yang dapat dipersaksikan oleh masyarakat bahwa yang bersangkutan adalah muslim.11 Tetapi dua istilah ini, dalam pemakaiannya, juga bisa saling mempergantikan jika disebut secara terpisah atau sendirian. Karena iman mencakup islam, sebagaimana pula tidak ada islam tanpa iman.12 Mengenai proposisi ketercakupan pengertian islam dalam iman dapat dirujuk pada sabda Nabi Muhammad Saw.: Ada lebih dari tujuh puluh cabang (manifestasi) keimanan. Yang tertinggi adalah pernyataan la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanan. Dan malu juga salah satu dari cabang keimanan itu.13 Selanjutnya, bagaimana implikasi eskatologis dari masing-masing posisi teologis ini? Secara garis besar, terdapat dikotomi keadaan eskatologis yang mungkin dialami manusia dalam kehidupannya pasca kematian, yaitu: kondisi penuh nikmat (kebahagiaan) dan lainnya kondisi penuh azab (kesengsaran). Kebahagiaan eskatologis itu dapat dijumpai pemeluk agama yang berbeda memiliki hak sejajar untuk dapat menyebut dirinya sebagai kaum beriman (yang hidup di atas jalan kebenaran), sementara dari kacamata teologisnya, mereka yang memeluk agama atau keyakinan berbeda dipandangnya sebagai kaum kafir (yang masih belum memperoleh petunjuk kebenaran). 10 HR. Ahmad dari Anas bin Malik. 11 Al-Mahmud, Tathqif al-Azhan, 5. 12 Ibid., 4. 13 HR. Bukhari dan Muslim.

Jalan Cinta Menuju Surga | 7

manusia di surga, sedangkan kesengsaraan eskatologis dijumpai di neraka. Sebagian umat Islam meyakini bahwa kenikmatan atau kepedihan eskatologis sudah akan ditemui manusia sejak mereka berada di alam barzakh, dengan apa yang dikenal sebagai nikmat dan azab kubur.14 Surga merupakan tempat persinggahan terakhir bagi manusia yang selama hidupnya di dunia terbukti berbuat baik dan taat kepada Tuhannya. Sebaliknya, neraka menjadi tempat persinggahan terakhir bagi manusia yang sepanjang hidupnya di dunia terbukti berbuat jahat dan ingkar terhadap Tuhannya.15 Allah berfirman: 14

Al-Nawawi mengatakan bahwa keyakinan adanya azab kubur, dalam pengertian yang hakiki, merupakan mazhab Ahlus-sunnah. Maksudnya, berbeda dengan golongan Khawarij, mayoritas Mu'tazilah, dan sebagian Murji'ah, yang justru berkeyakinan sebaliknya bahwa azab kubur tidak ada [Abdul Malik Ali al-Kulaib, Ahwal al-Qiyamah (Riyadh: Ri'asat Idarat al-Buhuth al-'Ilmiyah wa al-Ifta' wa alDa'wah wa al-Irshad, 1987), 21]. 15 Mayoritas Sunni klasik percaya bahwa ancaman (wa'id; threat) hanya diperuntukkan bagi orang-orang kafir (infidels). Sedangkan Hashwiya dan juga sayap moderat Imamiyah memandang bahwa ancaman neraka juga ditujukan bagi para kaum beriman (believers). Hanya saja, mereka tidak kekal di dalamnya, atau untuk sementara waktu saja. Adapun kelompok Khawarij dan juga minoritas Sunni klasik (seperti Hasan Basri dan Yazid Raqashi) justru berpendapat bahwa kaum beriman yang meninggal dunia tanpa sempat bertobat atas dosa-dosa besar, akan kekal di neraka. Sepaham dengan pendapat ini adalah al-Hallaj dan Zajjaji. Menurut mereka, jika pendosa besar dapat selamat karena tersisanya iman mereka di hati, maka iblis tentu lebih berhak selamat (tidak kekal di neraka) sebab pengetahuan dan keyakinan monoteistiknya. Kaum Mu'tazilah cenderung berbagi ide dengan Hasan al-Basri secara teoritis, namun secara praktis terdapat beberapa modifikasi [Louis Massignon, The Passion of al-Hallaj: Mystic and Martyr of Islam, vol. 3 (Princeton: Princeton University Press, 1982), 151-153]. Dalam perdebatan kalam klasik, dikenal juga istilah al-manzilah bayn al-manzilatayn, yaitu posisi eskatologis bagi mereka yang berbuat dosa besar dalam struktur kepercayaan Mu’tazilah. Istilah ini mengemuka sebagai respon golongan ini terhadap pendapat yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar bukanlah kafir dan tetap mu’min (sekalipun mu’min yang bermaksiat) di satu sisi, dan pendapat yang menyatakan bahwa pendosa besar adalah kafir di sisi lain. Bagi Mu’tazilah, pelaku dosa besar bukanlah kafir dan sekaligus juga bukan mu’min, karena imannya tidak

8 | Nyong ETIS

Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya, dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit). Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.16 2. Etika dalam Perbedaan Terhadap tiga tipe (kategoris) manusia tersebut di atas, Islam juga mengembangkan suatu bentuk etika sosial yang khas. Ia mengajarkan umatnya tentang bagaimana mereka seharusnya bersikap terhadap orang lain yang dipandang berafiliasi berbeda secara teologis. Dalam hal ini, setiap mu’min dituntut mengetahui hak-hak orang lain yang berbeda agama atau kepercayaan; untuk selanjutnya menunaikan kewajiban-

lagi sempurna. Karena itu, ia tidak dapat masuk surga dan sebenarnya juga tidak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka, demikianlah sebenarnya keadilan menurut Mu’tazilah. Tetapi mengingat di akhirat tidak ada tempat lain selain surga dan neraka, maka pendosa besar harus dimasukkan ke salah satu tempat itu. Maka pendosa besar betul masuk neraka, tetapi mendapatkan siksaan yang lebih ringan. Inilah posisi menengah yang dimaksudkan oleh Mu’tazilah. Faham ini sesungguhnya dipengaruhi pemahaman Mu’tazilah bahwa iman tak cukup hanya sekedar pengakuan dan ucapan lisan (tasdiq), tetapi sekaligus juga pengetahuan (ma’rifah) dan perbuatan (’amal) (Nasution, Teologi Islam, 56-57 dan 148-149). 16 Al-Qur’an, 79: 34-46.

Jalan Cinta Menuju Surga | 9

kewajiban atau kepatutan-kepatutan sikap dan perilaku melalui interaksi sosialnya di masyarakat. Etika sosial itu terkait erat dengan cara pandang Islam terhadap pluralitas agama dan kebebasan manusia dalam memilih imannya. Seperti ditegaskan langsung oleh Allah dalam al-Qur’an, Islam sesungguhnya menghargai dan menjamin kebebasan dalam beragama. Bagi Islam, tidak ada paksaan dalam perkara keyakinan. Manusia, dalam hidupnya di dunia ini, memang diberi kebebasan oleh Tuhannya untuk memilih imannya. Allah berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.17 Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.18 Sekalipun demikian, Islam juga memandang bahwa Tuhan telah menggariskan jalan mana (kepercayaan; keyakinan) yang seharusnya dipilih dan yang seharusnya dihindari. Jadi secara logis, sebagaimana Tuhan berkenan menganugerahkan kebebasan kepada manusia dalam memilih imannya, maka Diapun kuasa menjelaskan bagaimana kebebasan itu mestinya dipergunakan. Seolah-olah dikatakan: Hai manusia, ketahuilah, bahwa kalian memiliki kebebasan dalam memilih agama atau keimanan. Tetapi perlu kalian ketahui juga, bahwa tiap pilihan bisa menuai konsekuensi eskatologis yang berbeda. Seperti halnya kalian telah dijadikan memiliki kebebasan memilih, maka pilihan itu ada yang bisa mengantarmu pada kebahagiaan di surga; tetapi ada juga pilihan yang justru mengantarmu pada kesengsaraan di neraka. Untuk itu, kenalilah beragam pilihan yang ada itu secara baik dan bijaklah dalam melakukan pilihan. Konstatasi ini sekaligus menegaskan penyifatan dunia sebagai tempat ujian bagi manusia. Allah berfirman: 17

Ibid., 2: 256. Ibid., 18: 29. Kekufuran (disobedience) sebenarnya adalah simbol dari kemerdekaan yang dianugerahkan oleh Allah untuk manusia [Behechti dan Bahonar, Philosophy of Islam (Karachi: Ansariyan Publications, 1990), 183.] 18

10 | Nyong ETIS

Sesungguhnya Kami telah menunjuki manusia jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.19 Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan kejahatan). Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?20 Dan (demi) jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan ketakwaannya; sesungguhnya beruntunglah orang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang mengotorinya.21

Allah dan yang yang

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.22 Dengan struktur teologis tersebut, maka terhadap siapapun juga, baik dia mu’min atau kafir, muslim atau non muslim, setiap pemeluk agama Islam sudah seharusnya menghormati orang lain dengan pilihan agama atau kepercayaannya. Adapun pertanggungjawaban teologis atas pilihan tersebut selanjutnya memasuki wilayah privat dimana hanya Tuhan yang berhak melakukan penilaiannya di pengadilan akhirat. Peran publik manusia kemudian hanyalah sebatas menyeru (tabligh) atau saling mengingatkan (tawasaw) antara satu dengan lainnya dalam halhal yang bersifat positif. Allah berfirman: Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.23

19

Al-Qur’an, 76: 3. Ibid., 90: 10-11. 21 Ibid., 91: 7-10. 22 Ibid., 21: 35. 23 Ibid., 5: 48. 20

Jalan Cinta Menuju Surga | 11

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.24 Spirit yang sangat empatik ini pula yang melandasi implementasi aktivitas dakwah dalam Islam. Seperti difirmankan oleh Allah: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.25 Adapun mengenai orang-orang munafik, yakni mereka yang secara lahiriah menunjukkan diri sebagai muslim, namun dalam batinnya tidak terdapat iman atau bahkan memendam kebencian terhadap Islam, maka Rasulullah Saw. berinteraksi dengan mereka sebagai muslimin, sedangkan persoalan apa yang ada di dalam hati mereka diserahkan sepenuhnya kepada penilaian Allah kelak.26 3. Subtilitas Iman Mu’min, kafir, atau munafik dalam pembahasan ini memang bersifat sangat normatif. Namun kategori yang normatif seringkali dibutuhkan untuk dapat memahami realitas tertentu agar tidak lepas dari struktur atau sistem pemikiran yang sedang dikaji. Hanya saja, kesan yang sering mencuat kemudian, manusia seakan dapat dengan mudahnya dimasukkan kedalam salah satu kotak kategoris yang ada. Lebih ironisnya, jika kotak teologis --dimana seseorang atau suatu kelompok dipandang termasuk bagian darinya—diyakini secara mutlak dan apriori sebagai sesuatu hal yang bersifat konstan atau permanen. Padahal kenyataannya, memetakan manusia dalam jejaring kategori teologis tertentu ternyata bukan persoalan remeh. Iman, baik aspek 24

Ibid., 103: 1-3. Ibid., 16: 125. 26 Al-Mahmud, Tathqif al-Azhan, 8. 25

12 | Nyong ETIS

konsepsual maupun praktikalnya, memendam subtilitas tersendiri guna memahaminya. Beberapa uraian berikut ini mencoba menjelaskan perihal tersebut. Pertama, partikularitas tradisi keagamaan. Manusia sekarang tentu sangat menyadari adanya pluralitas agama. Mereka menyaksikan bahwa tradisi keagamaan yang ada tidaklah tunggal. Betapa banyak agama atau kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di berbagai belahan bumi ini. Mereka dihadapkan pada kenyataan tak terbantahkan bahwa agama yang masih hidup di dunia ini ternyata bukan hanya agama yang dianutnya saja. Manusia lainnya di kantung-kantung komunitas yang berbeda pun menyeru Tuhan dan beribadah kepadaNya, sekalipun dengan konsepsi dan istilah yang bermacam-macam. Tetapi pada tingkatan tertentu, mereka sama-sama meyakini bahwa ada Dzat Adi Kodrati yang menciptakan manusia dan alam semesta ini. Atau setidaknya ada Prinsip-prinsip Ultim yang dipercaya mengatur realitas kehidupan ini berikut peredarannya. Mereka yang berbeda itupun terbukti mampu menghadirkan bentuk-bentuk kesalehan dan nilai-nilai kebijaksanaan baik yang bersifat ritual maupun sosial. Allah berfirman: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.27 Menyadari realitas ini, manusia semestinya tergerak untuk memahami bahwa suatu agama atau kepercayaan, walaupun baginya kebenarannya bersifat universal, ia senantiasa akan bersifat partikular di wilayah publik. Terlebih lagi, kebenaran suatu agama bagi para pemeluknya tidak membutuhkan justifikasi teologis dari tradisi keagamaan lainnya. Tiap-tiap tradisi memiliki perspektifnya masingmasing tentang kebenaran. Jika pemeluk agama Islam umpamanya, bisa menyatakan bahwa penganut agama Nasrani, Hindu, Budha, atau Konghucu sebagai kafir; maka sebaliknya, orang Islam juga bisa 27

Al-Qur’an, 49: 13.

Jalan Cinta Menuju Surga | 13

dinyatakan kafir atau kandidat kuat penghuni neraka jika tidak mengikuti agama mereka. Oleh karenanya, setiap kategori teologis dari perspektif tradisi keagamaan tertentu selalu mengandung limitasi pada tingkat operasionalnya. Jika didalami lebih lanjut, keterbatasan ini tidak hanya terkait konsep metafisiknya, tetapi akan berlaku dalam setiap pembahasan seputar konsep benar dan salah (logika), baik dan buruk (etika), maupun indah dan jelek (estetika). Semua bermula dari perbedaan cara pandang dan parameter yang dipakai untuk melihat atau menilai suatu perkara. Seorang muslim yang meyakini daging babi itu haram misalnya, maka memakannya adalah suatu perbuatan yang salah sekaligus tidak baik. Sebaliknya, seorang kristen yang tidak meyakini keharaman daging babi, memakannya tentu bukanlah suatu aib apalagi dosa. Jadi jelaslah, bahwa apa yang dipandang dan dinilai sebagai positif atau negatif ternyata sangat bergantung pada perspektif yang dipergunakan. Tetapi realitas ini tentu juga tidak menghalangi adanya perjumpaan konsepsual atau doktrin antara berbagai kutub pemikiran atau keyakinan teologis yang ada. Misalkan dari contoh di atas, meski berbeda dalam menyikapi tentang kebolehan memakan daging babi, tetapi baik Islam maupun Kristen sama-sama membimbing umatnya agar pandai mensyukuri rezeki (pemberian) dari Tuhan. Mereka senantiasa dianjurkan untuk tidak lupa berdoa kepada-Nya setiap kali hendak makan dan sesudahnya. Pembacaan ini akan mengarahkan siapapun yang bermaksud memahami suatu ajaran (doktrin) agama atau kepercayaan tertentu untuk menyadari sejak awal bahwa tiap tradisi memiliki keunikan (kekhasan) masing-masing. Kedua, konstruksi identitas keagamaan. Keberagamaan seseorang ternyata bukanlah produk dari daya tarik normativitas ajaran agama semata, tetapi konstruksi isi dan corak pemahaman serta praktek keberagamaannya justru banyak dipengaruhi bahkan dibentuk oleh faktor budaya masyarakatnya.28 Hal ini terjadi bahkan sejak tahap paling 28

Edward T. Hall pernah menyatakan bahwa pola pikir dan perilaku manusia sebagian besar memang dimodifikasi oleh budaya [Beyond Culture (New York: Anchor

14 | Nyong ETIS

dini dari perkembangan intelektual dan emosional seseorang. Katakanlah seseorang lahir dalam keluarga dan lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Islam, maka proses kultural yang dialami akan cenderung mengarahkan pada konsepsi dan identifikasi diri sebagai seorang muslim. Pola yang sama tentu bisa diderivasikan kepada bentukbentuk sub kultur (aliran) pemahaman keagamaan yang beragam. Konstatasi ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad Saw.: Bahwa setiap anak manusia terlahir kemuka bumi ini dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya-lah (lingkungan kultural) yang membentuknya menjadi seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi. 29 Dan seiring "perkembangan panjang pencanggihan konseptual",30 identitas seseorang pun dapat bertumbuh dalam proses interaksi sosiokultural yang ada. Identitas tertentu, termasuk agama dan kepercayaan yang dianut oleh seseorang, sangat mungkin akan mengalami proses revisi bahkan konversi. Fenomena berpindah agama merupakan contoh kongkrit untuk pernyataan di atas. Seseorang yang semenjak kecil tumbuh dalam kultur keagamaan tertentu misalnya, ketika dewasa bisa saja memutuskan untuk menanggalkan identitas keagamaan tersebut dan memilih agama atau kepercayaan lainnya sebagai identitas barunya. Signifikansi nalar yang dapat dipetik di sini adalah bahwa suatu konstruk keberagamaan ternyata tidak mustahil untuk berubah atau dimodifikasi.31 Allah berfirman:

Book/Doubleday, 1977)]. 29 HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. 30 Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, ter. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Yayasan Bendang Budaya, 2002), 40. 31 Identitas seseorang dapat terbentuk melalui proses dialektika antara imej pribadi (self image) dan imej publik (public image) terhadap dirinya. Richard Jenkins mengistilahkannya sebagai internal-external dialectic of identification. Melalui refleksi atas persamaan dan perbedaan, seseorang akan mengenal siapa dirinya dan bagaimana kemudian ia harus bertindak [Social Identity (London: Routledge, 1996), 29-30]. Jadi, identitas hakikatnya adalah hasil dari proses pembacaan-kontinum seseorang

Jalan Cinta Menuju Surga | 15

Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya (diperolehnya) besok.32 Ketiga, psikologi iman. Jika sebelumnya disebutkan bahwa aspek rasional dari iman seseorang bisa berubah, maka hal serupa bisa juga terjadi pada aspek psikologisnya. Tanpa memandang afiliasi keagamaannya, manusia tidak akan bisa lepas dari faktualitas personalnya. Ia tercipta sebagai entitas hidup yang mampu merespon berbagai stimulan yang berbeda dengan ritme psikologis yang berbeda pula. Dengan dinamika dan segala macam problematika kehidupan yang dihadapinya, manusia tak akan pernah sepi dari mengalami apa yang disebut fluktuasi psikologis tersebut. Karakteristik ini berlaku sama dalam persoalan iman. Di antara momen-momen hidupnya, manusia pasti menjumpai situasi dimana gairah keberagamaannya, baik yang dirasakan secara instrinsik maupun yang diekspresikan secara ekstrinsik, menunjukkan grafik peningkatan atau justru penurunan. Fenomena pasang-surut iman ini dalam khazanah keislaman sering dibahasakan dengan ungkapan, al-iman yazidu wa yanqush: Iman itu bisa bertambah dan juga bisa berkurang. Adapun ilustrasi aktualnya dapat dijumpai dalam al-Qur’an berikut ini: Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).33 Keempat, transendensi iman. Persoalan agama tak jarang mengemuka sebagai the ultimate choice yang tidak saja membentuk atas dirinya sendiri dan juga pemaknaan tentang bagaimana orang lain melihatnya. Tan Malaka pernah menyatakan bahwa setiap orang sebenarnya adalah murid dari orang lainnya, baik yang berasal dari dalam masyarakatnya sendiri ataupun dari luar. Seseorang dalam perkembangan hidup dan intelektualnya pastilah dipengaruhi oleh orang lain, apakah itu gurunya, kawannya sepaham, atau bahkan oleh musuhmusuhnya [Madilog (Jakarta: Pusat Data Indikator, 1999), 15]. 32 Al-Qur’an, 31: 34. 33 Ibid., 29: 65.

16 | Nyong ETIS

identitas seseorang, tetapi pada akhirnya juga moda eksistensialnya dalam mengarungi bahtera kehidupannya di dunia ini. Semisal ketika seseorang memutuskan untuk memeluk Islam sebagai agamanya, maka pada saat yang sama ia sebenarnya tengah memutuskan bagaimana seharusnya dirinya menjalani hidup ini sebagai seorang manusia. Pada konteks ini, menjadi manusia baginya kemudian adalah menjadi manusia sebagaimana ’yang seharusnya’ manusia itu menurut kacamata agama Islam. Pengandaian ini berlaku dengan asumsi bahwa Islam memang dianut secara sadar sebagai suatu sistem keyakinan yang memiliki konsekuensi preskriptif yang harus dijalankan. Proses transformasi eksistensial lantas mewujud dalam bentuk penghayatan aktual seorang muslim ’yang senyatanya’ (das sein) atas muslim ’yang seharusnya’ (das sollen) tersebut. Inilah momen dimana agama ditransendensikan. Dalam transendensi itu, agama menjadi sentrum dari wilayah yang sangat privat dan eksklusif. Agama menjadi dunia batin atau kesadaran terdalam yang menghubungkan seorang manusia dengan Tuhannya. Dan apapun afiliasi teologisnya, saat manusia mengalami proses penghayatan transendental semacam ini, ia akan ’bersimpuh telanjang’ di hadapan Sang Pencipta, Dzat yang diyakininya sebagai Yang Maha Sempurna. Tiada lagi yang sanggup ditutupi atau disembunyikan dari pengetahuan-Nya. Manusia menemukan kemanusiaannya serba diliputi oleh keterbatasan dan kekurangan. Jika iman dimaknai sebagai pencapaian prestasi pemaknaan eksistensial semacam ini, maka sekatsekat teologis yang secara kategoris bersifat normatif akan mencair dengan sendirinya. Pemahaman atas subtilitas iman ini penting untuk membangun kesadaran dan keinsyafan diri seseorang terutama dalam membangun hubungan sosial yang empatik dan toleran dengan pihak lain yang berbeda afiliasi teologis. Tegasnya, menurut kacamata Islam, tiap-tiap manusia selama masih hidup di dunia ini dan belum menemui ajalnya, memiliki kesetaraan probabilistik untuk termasuk menjadi penghuni surga atau sebaliknya menjadi penghuni neraka dalam kehidupan eskatologis nantinya. Seseorang patut menahan diri untuk tidak terjebak pada arogansi teologis yang berujung pada sikap intoleran apalagi

Jalan Cinta Menuju Surga | 17

memaksakan imannya untuk diterima oleh mereka yang beda keyakinan. Allah Swt. mengingatkan dalam firman-Nya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.34 Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?35 Nabi Muhammad Saw. sendiri telah mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersikap rendah hati (tawaddhu’) dalam soal keimanan. Merekapun dianjurkan untuk berdoa agar diberi kemampuan memelihara ketaatan (istiqamah) sampai datangnya kematian. Dengan ungkapan sederhana, beliau telah menjelaskan siapa sebenarnya orang yang bisa dikatakan beriman itu: Seseorang dikatakan muslim jika saudaranya yang lain selamat dari perkataan dan perbuatannya …36 Seseorang dikatakan mu’min (beriman) jika orang lain merasa aman darinya atas keselamatan diri dan juga hartanya.37 4. Finitas Dunia Islam meyakini bahwa kehidupan dunia (al-dunya) hanya sementara.38 Bagi individu manusia (mikro-kosmos), kesementaraan 34

Ibid., 6: 108. Ibid., 10: 99. 36 HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar. 37 Matan tambahan dari riwayat Turmudzi dan Nasa’i. 38 Ketidak-kekalan kehidupan dunia ini menegaskan bahwa Allah memang menjadikannya sebagai tempat ujian (al-Qur’an, 67: 2) bagi manusia. Kenikmatan 35

18 | Nyong ETIS

berlangsung atas hidupnya ketika meninggal dunia, menemui ajalnya. Bagi alam semesta (makro-kosmos), termasuk dunia manusia, kesementaraan itu berlangsung saat hari kiamat tiba. Finitas dunia ini tampaknya menggoda manusia untuk merenungkan takdir eksistensialnya. Apakah hidup di dunia ini memang hanya sebatas sampai datangnya kematian? Ataukah masih ada kehidupan lain bagi manusia sesudahnya? Di sinilah surga dan neraka menjadi jawabannya dari agama. Dalam pandangan dunia Islam, secara kronologis, manusia masih akan memiliki kehidupan lain sesudah kematiannya. Ada seri-seri kehidupan baru yang pasti dijalaninya sesudah hidupnya di dunia ini. Sementara secara moral, setiap seri kehidupan yang baru itu sejatinya adalah konsekuensi atau hasil niscaya dari kehidupan sebelumnya. Artinya, setiap perbuatan di dunia pasti akan menuai balasan eskatologisnya yang sepadan. Perbuatan positif akan berbuah kebahagiaan, yang disimbolkan dengan surga. Perbuatan negatif akan berbuah kesengsaraan, yang disimbolkan dengan neraka. Dengan begitu, keadilan yang sesungguhnya akan ditegakkan di hari yang telah dijanjikan. Jika misalnya manusia belum menerima balasan (hukuman) atas perbuatan zalimnya di pengadilan dunia, maka mereka tidak akan bisa lolos dari putusan Sang Hakim di pengadilan akhirat kelak. Keadilan Tuhan ini merupakan salah satu konsep kunci yang turut membangun sikap optimisme dan selalu memiliki harapan dalam hidup kaum beriman. Al-Qur’an mengatakan: Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.39

yang ada di dalamnya tidaklah sejati, atau tak lebih dari apa yang diistilahkan oleh alJauzi sebagai rahah min mu'lim, rehat sejenak dari kepedihan [Jamaluddin Abu alFaraj Abdurrahman bin al-Jauzi, Al-Thabat 'ind al-Mamat (Beirut: Dar al-Kutub al'Ilmiyah, 1986), 25]. 39 Al-Qur’an, 12: 87.

Jalan Cinta Menuju Surga | 19

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.40 Berikutnya, sudah menjadi tabiat manusia jika selalu menginginkan kebaikan dalam hidupnya. Itu berarti bahwa manusia tidak pernah menghendaki keburukan menimpa dirinya. Kebaikan dan keburukan di sini tentu bisa bersifat materiil maupun immateriil, keduniawian maupun keakhiratan. Dari kacamata agama, kebaikan itu sebenarnya adalah kebahagiaan hidup (kesenangan dan keselamatan), tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Allah Swt. sendiri mengajari manusia untuk menjadikan hal ini sebagai puncak kerinduan eksistensial yang patut diperjuangkan dengan ikhtiar dan doa untuk merealisasikannya. Duhai Tuhan kami, berilah kami (anugerah) untuk menjadi manusia yang berbahagia dalam kehidupan di dunia ini dan juga di akhirat kelak; serta selamatkanlah kami dari segala bentuk kesengsaraan hidup.41 Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguhsungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuiNya.42 Islam sesungguhnya memandang kehidupan sebagai suatu kesatuan yang integral, karena semua yang ada berasal dari dan akan kembali kepada Dzat Yang Maha Tunggal. Dialah Allah, tiada Tuhan (ilah) selain-Nya. Doktrin ketauhidan (monoteisme) ini menjadi pusat pandangan dunia Islam. Ia melandasi, meresapi, dan sekaligus menjadi orientasi akhir dari segala bentuk artikulasi hidup manusia. Allah menyatakan: Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.43 40

Ibid., 99: 7-8. Ibid., 2: 201. 42 Ibid., 84: 6. 41

20 | Nyong ETIS

Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.44 Maka tiada yang ada di alam semesta ini tanpa terkecuali bahwa eksistensialitasnya pasti bersandar, bergantung, dan terhubung hanya kepada Allah, al-Samad. Dari sinilah, bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar bahagia dunia dan akhirat, bisa dijelaskan. Dia berfirman: Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataanperkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.45 Islam memandang bahwa setiap manusia mempunyai satu misi primordial dalam hidupnya, yaitu pengabdian kepada Tuhan. Allah berfirman: Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.46 Misi tersebut ditunaikan melalui dua peran sekaligus, yaitu sebagai hamba Allah dan wakil-Nya di muka bumi ini. Integrasi (kepaduan) antara ‘abd dan khalifah fi al-ardh inilah yang akan menjadi pintu masuk bagi manusia untuk menemukan kebermaknaan dan kebahagiaan yang sejati dalam hidupnya. Allah berfirman: Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (...) Katakanlah: ”Hanya

43

Ibid., 2: 115. Ibid., 2: 156. 45 Ibid., 35: 10. 46 Ibid., 51: 56. Ibadah yang dimaksudkan di sini tidak sebatas pada bentuk-bentuk perilaku ritual (‘ibadah mahdhah; ‘ibadah khasshah), tetapi mestinya meluas seluas totalitas kehidupan manusia itu sendiri (mencakup ‘ibadah ‘amah). 44

Jalan Cinta Menuju Surga | 21

Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agamaku.”47 Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri.48 Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.49 Seorang mu’min dengan demikian seharusnya bukanlah manusia yang bingung atas hidupnya. Ia punya tujuan pasti. Ia sadar akan konsekuensi yang mungkin dihadapinya dalam tiap-tiap pilihan sikap maupun tindakan yang diambilnya selama periode kehidupannya di dunia. Oleh karena itu, pilihan terbaik bagi manusia atas hidupnya adalah menjadikannya sebagai ibadah. Segala ekspresi dan artikulasi hidupnya diniatkan sebagai ibadah, dikreasi dalam rangka ibadah, dikelola dan dikembangkan dalam bingkai tujuan ibadah. Sehingga menjadi tepat jika kemudian ia berkata seperti firman Allah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam.50 Di sanalah sebenarnya kaum beriman menggapai puncak religiusitasnya, yaitu kemampuan “mengibadahkan”, “memasjidkan” atau “mensujudkan” totalitas hidupnya itu secara tulus hanya kepada Tuhan. Yang menjadi kerinduan terbesarnya dalam hidup ini lantas bukan lagi penerimaan atau pengakuan dari manusia sesamanya, tetapi keridlaan dan cinta dari Tuhannya. Itulah surga yang sejati. Allah berseru: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.51 47

Ibid., 39: 10. Ibid., 35: 39. 49 Ibid., 98: 5. 50 Ibid., 6: 162. 48

22 | Nyong ETIS

(Yaitu) di hari (dimana) harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.52

51 52

Ibid., 89: 27-30. Ibid., 26: 88-89.

3 ESKATOLOGI ISLAM Iman kepada hari akhir merupakan doktrin asasi ajaran Islam.53 Yakni salah satu dari Rukun Iman yang mengajarkan tentang adanya kehidupan sesudah kematian. Suatu kelak, manusia yang mati diyakini akan dibangkitkan kembali untuk dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan atas seluruh perbuatannya selama hidup di dunia ini. Siapa saja yang mengerjakan suatu kebaikan atau kejahatan, sekecil apapun, niscaya akan memperoleh balasannya yang setimpal.54 Bagi mereka yang berbuat baik dijanjikan balasan berupa surga atau keselamatan. Sebaliknya bagi mereka yang berbuat jahat, maka neraka atau kesengsaraan adalah tempatnya.55

53

Istilah doktrin (doctrine) merujuk pada dua makna: pertama, penegasan atau pernyataan atas suatu kebenaran (the affirmation or the statement of a truth); dan kedua berarti suatu ajaran (a teaching) [W. Richard Comstock, "Doctrine" dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 3 (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), 384-388]. Dalam konteks keagamaan, dua pengertian tersebut sebenarnya memiliki hubungan yang dapat saling terjembatani. Ajaran agama, bagaimanapun juga, mengandung pengertian penegasan atau pernyataan atas suatu kebenaran. Sehingga doktrin menjadi kategori yang mencakup beragam faktor penting ajaran (kebenaran) agama yang diakui. Dari sini terpahami bahwa eskatologi kemudian hanya merupakan salah satu doktrin di antara doktrin-doktrin lainnya [Millard J. Erickson, Christian Theology (Grand Rapids: Baker Books, 1998), 1170]. Sachiko Murata dan William C. Chittick menegaskan tentang dapatnya ajaran Islam dipelajari secara parsial independen. Tetapi hal tersebut demi maksud pengkajian semata, karena ajaran Islam bagaimanapun harus dipandang sebagai suatu kesatuan organik yang menyeluruh [The Vision of Islam (Minnesota: Paragon House, 1994), xxxii]. 54 Lihat: al-Qur’an, 99:7-8. 55 Konsep-konsep terkait yang dipergunakan dalam buku ini penulis letakkan pada konteks eschatological inferences bukan pada historical interpretations, semacam yang dipergunakan oleh Mustafa Mahmud ketika memaknai kesengsaraan dunia

24 | Nyong ETIS

Islam sesungguhnya memiliki dimensi-dimensi ajaran sebagaimana umumnya agama atau sistem kepercayaan dunia lainnya.56 Merujuk pada hadis Jibril misalnya, Murata dan Chittick memandang adanya beberapa dimensi ajaran Islam, yaitu: (1) islam (submission), yang berkenaan dengan perbuatan; (2) iman (faith), yang berkenaan dengan pemikiran dan pemahaman; (3) ihsan (doing what is beautiful), yang berkenaan dengan maksud hati atau niat (intentions); dan (4) sa'ah, berkenaan dengan waktu dan sejarah (time and history). Suatu hari ketika Nabi Saw. tengah bersama shahabatnya, datanglah seorang lelaki yang lantas bertanya kepada beliau: Apa itu Iman? Nabi menjawab: Iman adalah percaya kepada Allah, malaikat-Nya, perjumpaan dengan-Nya, utusan-utusan-Nya, dan hari kebangkitan. Lelaki itu bertanya lagi: Apa itu Islam? Dijawab oleh Nabi: Islam adalah beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa ramadhan. Lelaki itu kembali bertanya: Apa itu Ihsan? Nabi mengatakan: Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; dan jikalau tidak bisa melakukan hal yang demikian itu maka (yakinlah bahwa) sesungguhnya Dia melihatmu. Lagi-lagi lelaki itu bertanya: Kapan hari kiamat? Nabi menjawab: Tidaklah yang ditanya mengenai hal ini lebih mengetahui daripada yang bertanya. Saya hanya akan menjelaskan kepadamu tentang tanda-tandanya. Di antaranya adalah ketika perempuan budak melahirkan tuannya, para penggembala domba bermegah-megahan dalam bangunan rumahnya selama lima masa, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Nabi Saw. kemudian membaca firman Allah: ”Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu ada di sisi sebagai "jahannam al-dunya" (neraka Jahannamnya dunia) atau kota London yang maju (taqaddum) sebagai "jannah" (surga) [Al-Ruh wa al-Jasad (Kairo: Dar al-Ma'arif, t.t.), 30 dan 33]. 56 Ninian Smart memandang agama sebagai organisme yang memiliki 6 dimensi utama, yaitu: doktrin, mitos, etika, ritual, institusi sosial, dan pengalaman religius [The Religious Experience of Mankind (New York: Charles Scribner's Sons, 1984), 16].

Jalan Cinta Menuju Surga | 25

Allah ...” Kemudian lelaki itu pergi. Nabi kemudian berkata kepada para sahabatnya: Panggillah kembali lelaki itu kemari. Tetapi setelah dicari ternyata mereka tidak menemukannya. Nabi Saw. lantas berkata: Dia adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan agama kepada manusia.57 Jika Islam kemudian dipahami sebagai kebenaran atau jalan yang benar, maka apa yang diajarkannya adalah bagaimana cara yang benar untuk berbuat sesuatu, cara yang benar untuk berfikir dan memahami, serta cara yang benar untuk menetapkan niat (maksud) yang melandasi suatu tindakan.58 Ketiga dimensi tersebut lantas dirangkai dengan pengetahuan tentang pergerakan waktu dan sejarah, kemana ia akan mengalir dan menuju.59 Melalui kerangka di atas, terpahami bahwa tema eskatologi menyentuh keseluruhan dimensi ajaran Islam. Pertama, dalam ruang eskatologis, tampak adanya relasi kausalitas antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat; antara amal dan pertanggungjawaban serta pembalasannya. Sehingga terjalin kontinuitas temporal antara kehidupan manusia di dunia dan kelak di akhirat. Tidak ada kontradiksi atau konflik antara kehidupan dunia dan akhirat. Yang satu bergerak menuju yang lainnya. Tidak dapat saling menghindari. Keduanya adalah bagian dari satu kesatuan yang tak terpisahkan. Al-Maududi mengatakan, akidah tentang Hari Akhir memang bersifat teoritis (abstrak) dan berhubungan dengan alam sesudah kehidupan dunia ini. Tetapi, jika dipercayai sebagai suatu kebenaran akan memberi dampak pada akhlak dan perilaku aktual seseorang. Sebab ia dapat mengokohkan kesadaran tentang pertanggungjawaban atas segala perbuatannya semasa hidup di dunia, yang akan menentukan kebahagiaan atau kesengsaraannya kelak di akhirat.60 Toshihiko Izutsu menegaskan pula bahwa sepanjang hidupnya, 57

HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Murata, The Vision, xxxiii. 59 Ibid., xxxviii-xxxix. 60 Abu al-A'la al-Maududi, Al-Iman bi Allah wa Mala'ikatih wa Kutubih wa Rusulih wa al-Yawm al-Akhir (t.t.: Dar al-Khilafah, t.t.), 267. 58

26 | Nyong ETIS

seorang muslim secara moral akan selalu tertuntut untuk mampu memilih perbuatan yang menghubungkannya dengan surga, dan sebaliknya menghindari perbuatan yang menghubungkannya dengan neraka.61 Maka dari itu, tiap detik dalam kehidupan dunia ini, pada hakikatnya menantang manusia untuk mampu memanfaatkannya secara benar, baik maksud maupun bentuk tindakannya.62 Seseorang tak dapat mengatakan ”tidak” kepada dunia ini dan menunggu dalam keheningan kontemplasi untuk kehidupan selanjutnya. Bagi Jalaluddin Rumi misalnya, waktu itu ibarat pedang yang tajam. Seseorang tak sepatutnya menahan diri untuk tidak terlibat secara aktif dalam kehidupan ini. Ia mengatakan, "The Sufi is the son of the (present) time, O Comrade." Seseorang adalah anak zamannya. Jadi, "it is not the rule of the Way to say 'Tomorrow'.“63 Tidaklah pada tempatnya di dunia ini untuk mengatakan ‘besok’ saja. Kedua, ajaran eskatologi inipun tak cukup hanya sebagai sekedar pengetahuan kognitif, melainkan juga menuntut adanya iman atas kebenarannya. Al-Maududi menjelaskan bahwa guna membuktikan persoalan ini, al-Qur’an memilih mengambil metode persaksian berupa alam dan termasuk pula diri manusia sendiri.64 Allah berfirman: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar.65 61

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur'anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 90. 62 Agama sering dipahami memiliki kemampuan untuk mengkonsepsikan identitas dalam sistem tindakan manusia. Hal itu berguna bagi manusia dalam memelihara dirinya menghadapi situasi penuh tekanan dan pergolakan hidup [Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World (New York: Harper & Row, 1970), 11]. 63 Afzal Iqbal, The Life and Work of Jalal al-Din Rumy (London: The Octagon Press, 1983), 182. 64 Al-Maududi, Al-Iman, 242. 65 Al-Qur’an, 41: 53.

Jalan Cinta Menuju Surga | 27

Pada konteks inilah terdapat variasi pemikiran di kalangan umat Islam mengenai hal-hal apa saja yang perlu diimani berkenaan dengan kehidupan akhirat.

4 EMPAT DOKTRIN ESKATOLOGI ISLAM Sebagai gambaran umum, setidaknya terdapat empat pokok doktrin dalam Islam yang perlu dikemukakan terkait kehidupan eskatologis, yaitu tentang kiamat sughra, alam barzakh, kiamat kubra, dan alam akhirat. 1. Kiamat Sughra Islam mempercayai bahwa tiap manusia pasti akan menemui 'ajalnya (mati). Allah berfirman: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian.66 Ketika ruh berpisah dari jasad,67 sesungguhnya pada detik yang sama telah terjadi kiamat kecil (sughra) dalam kehidupan seseorang yang bersangkutan. Yakni telah tegaknya (dimulainya) kehidupan baru yang berbeda dari kehidupan sebelumnya (di dunia). Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan: Sesungguhnya kematian adalah peristiwa ma’ad (kembali ke asal) dan ba’th (kebangkitan) yang pertama. Allah Swt. menjadikan dua ma’ad dan ba’th bagi manusia dimana mereka yang berbuat jahat atau baik dibalas setimpal sesuai perbuatannya. Kebangkitan pertama adalah pada saat berpisahnya ruh dari badan menuju dar al-jaza’ (tempat pembalasan) yang pertama. Kebangkitan kedua adalah pada hari dimana Allah mengembalikan ruh kepada jasad serta membangkitkannya dari kubur menuju surga atau neraka. Inilah hari berkumpul yang kedua.68 66

Ibid., 3: 185. Hal ini ditandai dengan naza', menyaksikan kehadiran malaikat maut, dan kemudian tempat akhir kehidupannya di akhirat, yakni surga atau neraka [Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuti, Al-Budur al-Safirah fi Ahwal al-Akhirah (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1996), 28-29]. 68 Syamsuddin Abu Abdillah bin Qayyim al-Jauziyah, Al-Ruh: Fi al-Kalam 'Ala Arwah 67

Jalan Cinta Menuju Surga | 29

Alam baru bagi mereka yang telah meninggal dunia tersebut dikenal dengan istilah al-barzakh. 2. Alam Barzakh Secara bahasa, al-barzakh berarti sekat pemisah (al-hajiz bayn alshay'ayn) sebagaimana terpahami dalam ilustrasi surah al-Furqan ayat 53. Tetapi maksudnya di sini tentu sebagai dunia-antara yang memisahkan kehidupan fana ini dan kehidupan akhirat. Al-Sya'bi menyifatinya: Tidaklah alam barzakh itu berada (atau menjadi bagian dari) kehidupan dunia maupun akhirat. Adapun secara istilah berarti: Tempat (yang kebangkitan.69

didiami)

sesudah

kematian

hingga

hari

Difirmankan oleh Allah dalam al-Qur’an: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ”Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.70 Di alam barzakh ini, seseorang akan menemui gambaran tentang nasibnya kelak di kehidupan akhirat. Apakah ia termasuk dalam al-Amwat wa al-Ahya' bi al-Dala'il min al-Kitab wa al-Sunnah wa al-Athar wa Aqwal al-'Ulama' (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1982), 103. Istilah dar dan sejenisnya dalam pemakaiannya memiliki pengertian yang bisa menunjuk pada dimensi lokalitas dan juga aspek domestik [Juan Eduardo Campo, The Other Sides of Paradise: Explorations into the Religious Meanings of Domestic Space in Islam (Columbia: University of South Carolina Press, 1991), 24 dan 41]. 69 Umar Sulaiman al-Asyqar, Al-Qiyamah al-Sughra wa 'Alamat al-Qiyamah al-Kubra (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1986), 13. 70 Al-Qur’an, 23: 99-100.

30 | Nyong ETIS

golongan orang-orang yang terselamatkan ataukah justru menjadi bagian dari mereka yang memperoleh kesengsaraan. Ini diperlihatkan melalui nikmat atau azab kubur yang dirasakan selama mereka berada di sana. Allah berfirman: Dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): ”Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya kedalam azab yang sangat keras”.71 Dalam sebuah riwayat, Rasulullah memberikan ilustrasi yang menegaskan eksistensi hal tersebut. Disebutkan, bagi mereka yang beriman akan diperlihatkan kepadanya surga dan kenikmatannya. Sehingga mereka berseru: Ya Tuhanku, segerakanlah hari kiamat. Segerakanlah hari kiamat hingga aku bisa berkumpul kembali dengan keluarga dan hartaku. Sementara bagi mereka yang kafir, diperlihatkan kepadanya neraka dan kesengsaraan di dalamnya. Sehingga mereka berkata: Ya Tuhanku, janganlah engkau tegakkan hari kiamat. Maka Rasulullah Saw. pun telah berpesan: Berlindunglah kepada Allah dari azab kubur.72 3. Kiamat Kubra Islam juga meyakini bahwa alam semesta ini, berikut makhluk yang tinggal di dalamnya, akan menemui 'ajal-nya (kehancuran) pula. Menjelang itu, akan terjadi terlebih dahulu beragam peristiwa yang merupakan penanda bagi kiamat (ashrat al-sa'ah), di antaranya seperti telah tersebut dalam hadis Jibril. Sementara kondisi manusia ketika itu telah mengalami dekadensi moral yang sangat akut. Sehingga dapat dikatakan, kiamat hanya akan terjadi di tengah-tengah masyarakat yang

71 72

Ibid., 40: 45-46. HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim dari al-Barra' bin Azib.

Jalan Cinta Menuju Surga | 31

amat buruk akhlaknya. Rasulullah Saw. bahkan menyifati mereka seolah tak ada bedanya dengan setan. Kata beliau: Mereka yang masih hidup ketika hari kiamat itu tiba adalah sejelek-jeleknya manusia. Mereka itu tidak mengenal kebaikan dan tidak pula mengingkari kemungkaran. Kondisi mereka tak ubahnya seperti setan.73 Peristiwa kiamat alam semesta (al-qiyamah al-kubra) digambarkan al-Qur’an dalam banyak sekali ayat sebagai sebuah kejadian yang maha dahsyat. Semisal tentang bumi yang berguncang, gunung-gunung beterbangan, matahari dan rembulan memudar, bintang-bintang berguguran, dan langit tujuh lapis digulungkan, hingga kemudian semuanya menjadi hancur. Allah berfirman: Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.74 Keseluruhan peristiwa itu bermula ketika sangkakala ditiup kali pertama, seperti dikabarkan dalam al-Qur’an: Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat.75 Usai kehancuran alam semesta, tidak ada penjelasan tegas mengenai apa yang terjadi hingga ditiup kembali sangkakala untuk yang kedua kalinya.76 Tetapi dalam studi Shinya Makino, terdapat petunjuk 73

HR. Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-As. Al-Qur’an, 22: 1-2. 75 Ibid., 69: 13-15. 76 Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah repetisi 74

32 | Nyong ETIS

bahwa masa di antara dua even tersebut merupakan masa transformasi alam semesta kepada bentuk atau formasinya yang baru. Ia mengatakan: 77 Dari telaah yang telah dilakukan dapatlah ditarik pengertian bahwa transformasi eskatologis alam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an umumnya digambarkan sebagai suatu proses perubahan spasial (…) Demikianlah, alam, yang tercipta melalui serangkaian proses pengaturan spasial, dipandang mengalami metamorfosis eskatologis, meski perubahan itu tidak lantas berarti terjadi pada aspek kualitasnya, tetapi lebih pada hubungan-hubungan spasial di dalamnya, semisal perombakan tatanan spasial yang telah terbangun pada masa penciptaan. Penjelasan ini kiranya dapat membantu memahami firman Allah: (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Makhshar) berkumpul menghadap kehadirat Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.78 Sekaligus mempertegas makna al-Qur’an yang berbunyi:

sangkakala. Ada yang menyatakan dua kali, tiga kali, dan juga empat kali. Al-Kulaib menyatakan bahwa pendapat terkuat adalah yang menyatakan dua kali. Yakni, tiupan pertama saat kehancuran semesta; dan tiupan kedua ketika makhluk dibangkitkan kembali di kehidupan akhirat [al-Kulaib, Ahwal al-Qiyamah, 34]. 77 Shinya Makino, Creation and Termination: A Semantic Study of the Structure of the Qur'anic World View (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1970), 36. 78 Al-Qur’an, 14: 48. Agus Mustofa mengambil 'ibrah (pelajaran) dari ayat ini dengan mengatakan: Bumi kehidupan Dunia dan Bumi kehidupan Akhirat adalah Bumi yang tidak sama. Bumi Akhirat memang berasal dari Bumi dunia juga, tetapi yang sudah mengalami banyak perubahan secara radikal … Jadi, Alam Akhirat bakal terjadi di Planet Bumi. Bukan di planet Mars, bukan di Bintang Centaury. Bukan di Galaksi Andromeda, atau di sudut langit manapun. Akhirat benarbenar akan terjadi di permukaan Bumi! [Ternyata Akhirat Tidak Kekal (Sidoarjo: Padma Press, 2004), 81].

Jalan Cinta Menuju Surga | 33

Allah berfirman: ”Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan.”79 Tiupan sangkakala yang kedua merupakan penanda bagi dimulainya kehidupan akhirat dengan diawali peristiwa kebangkitan. Allah berfirman: Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.80 4. Alam Akhirat Kelak di hari akhirat, manusia akan dibangkitkan kembali dengan jasad dan ruhnya.81 Allah berfirman:

79

Al-Qur’an, 7: 25. Ibid., 36: 51. 81 Terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang hakikat kebangkitan ini, apakah bersifat jasmani dan rohani, ataukah semata rohani. Akar pemikiran yang menolak pembalasan dalam bentuk jasmaniah dapat ditemukan dalam pemikiran Jahmiyah. Ide ini telah memberi pengaruh dalam banyak pemikiran di kalangan sufi dan filsuf dengan munculnya dua corak pandangan: (1) azab dan nikmat akhirat bersifat rohani dan bukannya jasmani, sehingga kekal; (2) azab di neraka hanya sementara untuk menghapus dosa, sehingga tidak kekal; kekekalan hanya ada di surga. Pandangan lain muncul dari Ibn Arabi yang mengatakan bahwa penghuni neraka yang telah menerima azab setimpal dengan kesalahannya, akan mendapati neraka menjadi dingin sekaligus beroleh rahmat dan nikmat dari Allah di dalamnya. Semacam pemikiran yang dimiliki Ibn Sina itulah yang kemudian dikritik oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah [Abdul Qadir Mahmud, AlFalsafah al-Sufiyah fi al-Islam: Masadiruha wa Nazariyatuha wa Makanuha (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1966), 323]. Pada konteks ini, al-Ghazali bukanlah bermaksud menolak filsafat in toto (secara total), tetapi hanya menyerang aspek metafisisnya yang mengantar para filsuf kepada tiga simpulan dasar berikut: (1) menyangkal kebangkitan badan di akhirat; (2) membatasi pengetahuan Tuhan pada hal yang universal; dan (3) pendirian akan kekekalan alam [Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), 58-59]. Sedangkan pemikiran Ibn Arabi tentang hal ini kerap dikaitkan dengan perkataannya: Dan jika masuk kedalam neraka, maka mereka (juga) akan memperoleh kenikmatan yang nyata di dalamnya. Yaitu kenikmatan surga yang abadi. Dan 80

34 | Nyong ETIS

Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.82 Manusia dibangkitkan layaknya jamur yang tumbuh kala hujan mengguyur bumi dan dalam keadaan telanjang. perkaranya sebenarnya sama. Di antara keduanya telah jelas persoalannya. Dinamakan ’adhab karena diambil dari (ungkapan) ’udhubatu ta’mih atau kelezatan rasanya. Dan hal itu baginya ibarat (menjadi) kulit (pelindung) yang memelihara. Atas dasar tersebut, al-Baqa'i menganggap bahwa Muhyiddin Ibn Arabi sebagaimana para sufi lainnya juga berpendapat bahwa orang kafir tidak akan diazab di neraka, sehingga bertentangan dengan teks al-Qur’an. Abdul Fattah al-Sayyid Muhammad al-Dimasi tidak bersepakat dengan pandangan demikian ini. Menurutnya, anggapan tersebut tidak benar, ungkapan Ibn Arabi tidaklah berarti lain kecuali bahwa rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Mereka yang beriman akan beroleh kenikmatan secara mutlak, sedangkan mereka yang kafir, sekalipun masuk ke dalam neraka, tetap beroleh rahmat pula dari Allah, yakni berupa peringanan (takhfif) azab panas api Jahannam. Dengan demikian, Ibn Arabi sesungguhnya berpandangan bahwa rahmat Allah secara utuh diberikan khusus bagi mereka penghuni surga, sedangkan bagi penghuni neraka, rahmat Allah tersebut bercampur (mamzujah) dengan azab. Jadi, tidak benar bahwa ia menafikan adanya azab bagi orang kafir seutuhnya. Dalam ungkapan lainnya Ibn Arabi mengatakan: Sudah seharusnya jika masa hukuman usai, neraka akan menjadi dingin dan aman bagi para penghuninya. Inilah yang dimaksud dengan kenimatan bagi para penghuni neraka itu. Perkataannya ini menegaskan bahwa Ibn Arabi melihat rahmat Allah bagi orang kafir di neraka berupa peringanan azab sesuai dengan dosa mereka. Dan tampaknya, sesuai dengan keadilan Allah, Ibn Arabi berpendapat azab api neraka akan berhenti ketika mereka telah menerima hukuman setimpal dengan dosanya. Jadi, kekekalan dalam perspektif Ibn Arabi bagi orang kafir bukanlah dalam aspek azabnya, melainkan lokasi berdiamnya (bertempat tinggalnya) mereka di sana. Dengan lain kata, Ibn Arabi melihat bahwa terma neraka (nar) perlu dilihat dalam dua pengertian sekaligus, yakni sebagai suatu tempat (mahal) dan hukuman ('adhab). Ketika orang kafir selesai dihukum sesuai dosa perbuatannya, ia akan bertempat tinggal di sana sebagai penghuni tanpa dikenai azab [Abdul Fattah al-Sayyid Muhammad al-Dimasi, Al-Hubb al-Ilahy: Shi'r Muhy al-Din ibn Arabi (Al-Fajalah: Dar al-Thaqafah, 1983), 423425]. 82 Ibid., 75: 3-4.

Jalan Cinta Menuju Surga | 35

Manusia dikumpulkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan tak beralas kaki, telanjang, dan tidak berkhitan.83 Seluruh manusia, dari Nabi Adam hingga manusia terakhir, lantas dikumpulkan menjadi satu di suatu tempat (al-makhshar).84 Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.85 Rasulullah Saw. mengabarkan bagaimana gambaran keadaan ketika itu: Aku adalah pemimpin (sayyid) manusia pada hari kiamat. Tahukah kalian bagaimana keadaan kala itu? Allah mengumpulkan manusia mulai dari generasi awal hingga yang terakhir di suatu hamparan yang sama. Maka pendengaran dan mata mereka dibuka. Matahari didekatkan hingga manusia merasakan kesusahan dan kepedihan yang hampir-hampir tak kuasa mereka menanggungnya. 86 Di tengah manusia kehausan itulah, kaum mu'min di Makhshar beranjak menuju telaga (khawd) Nabi untuk beroleh penawar dahaga.87 Nabi bersabda: Tersedia bagi umatku suatu telaga. Aku memberi minum orangorang darinya sebagaimana seseorang menuangkan air untuk diminum onta orang lain di samping ontanya sendiri. Sahabat Nabi yang mendengar kabar tersebut lantas bertanya: Duhai Nabinya Allah, apakah engkau mengenali kami? 83

HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah. Makino, Creation and Termination, 40. 85 Al-Qur’an, 99: 6. 86 HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. 87 Para ulama berbeda pendapat tentang telaga (khawd) Nabi: apakah mu'min tiba di sana sebelum sirat, yakni ketika manusia kehausan di Makhshar (tempat dimana manusia dikumpulkan usai dibangkitkan) ataukah ia terjadi sesudah hisab, mizan dan sirat. Al-Kulaib menguatkan pendapat yang pertama [al-Kulaib, Ahwal al-Qiyamah, 53]. 84

36 | Nyong ETIS

Beliau menjawab: Tentu saja. Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki orang lain. Kalian datang dengan kilau cahaya karena bekas wudhu. Lantas ada sebagian dari kalian yang terhalangi untuk sampai ke telaga itu. Akupun bermohon: ”Ya Tuhanku, mereka semua adalah sahabatku.” Lalu ada malaikat yang menjawabiku seraya berkata: ”Apakah engkau mengetahui apa yang terjadi dengan mereka sepeninggalmu?” 88 Allah kemudian menegakkan saat perhitungan (hisab; reckoning) bagi amal perbuatan manusia selama di dunia. Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.89 Makino melalui studinya menunjukkan bahwa tahap perhitungan tersebut akan didahului oleh proses pemaparan (tahdhir; presentation) catatan amal manusia selama di dunia. Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapat segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu tentangnya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.90 Dalam al-Qur’an, proses ini mencakup pula terma persaksian (musyahadah; witness) maupun interogasi (sa'l; interrogation).91 Allah mengatakan dalam al-Qur’an: 88

HR. Muslim dari Abu Hurairah. Al -Qur’an, 20: 15. 90 Ibid., 3: 30. 91 Makino, Creation and Termination, 67. Makino juga mengatakan bahwa pandangan dasar al-Qur’an tentang pengadilan terakhir adalah bahwa semua perbuatan manusia sebelumnya telah terekam di buku catatan Allah, dan ketika dunia ini berakhir, Tuhan menyiapkan balasan atas prestasi yang dicapai oleh manusia selama hidupnya di dunia. Kemudian manusia dipilah secara tegas menjadi dua golongan, yang satu ditakdirkan masuk surga, sedangkan yang lainnya untuk menjadi penghuni neraka 89

Jalan Cinta Menuju Surga | 37

Dan (ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan dari tiap-tiap umat seorang saksi (rasul), kemudian tidak diizinkan kepada orang-orang yang kafir (untuk membela diri) dan tidak (pula) mereka dibolehkan meminta maaf.92 Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.93 Mengenai pokok-pokok materi yang dipertanggungjawabkan, Rasulullah Saw. antara lain bersabda: Tidaklah akan bergeser kaki manusia pada hari kiamat di sisi Tuhannya hingga mereka ditanya tentang lima perkara: tentang umurnya bagaimana ia habiskan, tentang masa mudanya bagaimana ia jalani, tentang hartanya darimana ia peroleh dan kemana ia belanjakan, serta tentang perbuatan apa yang ia lakukan dengan pengetahuan yang dimilikinya.94 Tidak akan ada lagi kezaliman pada hari itu. Keadilan ditegakkan secara sempurna. Nabi berkata: Barangsiapa telah melakukan suatu kezaliman kepada orang lain dalam hal apapun hendaklah ia tuntaskan selama masih hidup di dunia ini, sebelum tiba masa dimana uang emas dan perak tidak lagi berharga. Jika ia memiliki amal baik maka akan diambil darinya senilai kadar kezaliman yang diperbuatnya. Dan jika tidak ada kebaikan padanya, maka kejahatan orang yang dizaliminya itu akan ditanggungkan kepadanya dengan kadar setimpal.95

[Ibid., 50]. 92 Al-Qur’an, 16: 84. 93 Ibid., 16: 93. 94 HR. Turmudzi dari Abdullah bin Mas'ud. 95 HR. Bukhari dari Abu Hurairah.

38 | Nyong ETIS

Ketika masa hisab, Allah akan menampakkan secara jelas surga kepada kaum mukmin, sehingga mereka menjadi tidak sabar untuk segera memasukinya.96 Maka ketika itulah mereka berusaha menemui para nabi dan rasul meminta syafa'at agar disegerakan menjadi penghuni surga. Namun tiap-tiap nabi atau rasul yang ditemui senantiasa menjawab: nafsy nafsy. Yakni menegaskan bahwa urusan pada hari itu menjadi tanggung jawab pribadi. Kepedihan yang ada jelas menjadikan tiap manusia begitu sibuk pada hari itu. Masing-masing akan mengurus dirinya sendiri, terlepas atau terpisah dari ikatan-ikatan saat mereka berada di dunia. Allah berfirman: Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkan.97

96

Mayoritas umat Islam, kecuali Qadariyah dan Mu'tazilah, mengakui bahwa sesungguhnya surga dan neraka telah ada eksistensinya sekarang ini. Dasar argumentasinya adalah kisah perjalanan (mi'raj) Nabi Muhammad ke surga yang direkam dalam al-Qur’an (seperti surah 53 ayat 13) dan banyak sekali hadis. Hal ini dinilai sebagai pengetahuan yang bersifat niscaya (bi al-dharurah) [Syamsuddin Muhammad Abu Bakr bin Qayyim al-Jauziyah, Hady al-Arwah ila Bilad al-Afrah (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1983), 18]. Untuk lebih jelasnya memahami konsep bahwa surga dan neraka telah ada saat ini, ada baiknya dibaca ulasan Agus Mustofa tentang teori dimensi. Dikatakannya bahwa alam akhirat sudah ada sejak alam semesta diciptakan, termasuk surga dan neraka. Tetapi manusia tidak bisa merasakannya karena jasmaninya terikat di dimensi 3, sedangkan akhirat berada di dimensi 9. Buktinya, Rasulullah pernah melihat surga itu saat mi'raj. Beliau sebenarnya tidak beranjak dari bumi, tetapi hanya mengalami perjalanan dimensional dari dimensi 3 di langit pertama menuju dimensi 9 di langit ketujuh. Karena itu surga bisa ditampakkan atau tidak oleh Allah karena memang eksistensinya telah ada sekarang ini. Jika batas-batas dimensi itu kelak disingkap oleh Allah pada hari kiamat, maka indera manusia, termasuk 'mata hati', bakal bisa mengobservasi dan merasakan seluruh langit yang tujuh itu dari bumi. Paparannya ini menegaskan firman Allah dalam al-Qur’an (7: 25) yang menginformasikan bahwa di bumi itulah manusia hidup, mati dan juga dibangkitkan [Mustofa, Ternyata, 191192]. 97 Al-Qur’an, 80: 34-37.

Jalan Cinta Menuju Surga | 39

Hingga sampailah kemudian mereka kepada Nabi Muhammad untuk maksud yang sama. Kemudian beliau menghadap kepada Allah untuk beroleh perkenan memberi syafa'at kepada umatnya. Allah akhirnya memperkenankan permohonan nabi-Nya: Hai Muhammad! Masukkanlah ke dalam surga dari sebagian umatmu yang tidak ada hisab (perhitungan) atasnya melalui pintu sisi kanan dari pintu-pintu surga. Dan mereka berbondongbondong (jumlahnya banyak).98 Syafa’at (shafa’ah; intercession) adalah semacam pemberian keistimewaan, pemutihan, grasi atau abolisi kepada seseorang tertentu sehingga dapat masuk surga lebih dahulu tanpa hisab, atau diampunkan dosa-dosanya, bahkan diizinkan dikeluarkan dari neraka untuk kemudian menjadi penghuni surga. Dari sudut pandang umum, syafa’at ini tampak menjadi semacam tindakan pembelaan yang dilakukan oleh malaikat atau beberapa orang terpilih di hadapan Allah. Rasulullah berkata: Tiap nabi mempunyai doa (permintaan) yang pasti terkabulkan. Maka mereka tergesa-gesa dengan permintaannya masingmasing. Sedangkan aku menyimpannya sebagai syafa’at untuk umatku di hari kiamat. Dan insya Allah, syafa’at itu akan diperoleh siapapun dari umatku yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun jua.99 Tetapi jika didalami, sesungguhnya, syafa’at ini hanya mungkin terjadi dengan izin Allah semata secara mutlak. Dia berfirman: Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa’at-pun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.100

98

HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. 100 Al-Qur’an, 6: 51. 99

40 | Nyong ETIS

Menelaah proses kehidupan awal di akhirat, dari konsep catatan amal manusia (di dunia), pemaparannya (di akhirat), persaksian atasnya, penyidikannya, perhitungannya, dan akhirnya pengambilan keputusan (decision); maka tahapan yang ada tampak merupakan suatu evaluasi obyektif atas perbuatan manusia di dunia. Tetapi jika kemudian telaah diarahkan kepada konsep syafa’at, maka yang lebih tampak adalah aspek subyektivitasnya, dalam artian bahwa hal ini semata terjadi karena kehendak prerogatif Allah secara absolut. Dan rasionalitasnya cenderung didasarkan pada penerimaan bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia berhak menganugerahi ridha atau syafa’at-Nya kepada siapapun yang dikehendaki.101 Manusia kemudian diperhadapkan dengan neraka yang tampak sangat mengerikan. Di atasnya dibentangkan apa yang dikenal sebagai sirat, yakni semacam jembatan yang akrab diilustrasikan melebihi tipisnya helai rambut dan tajamnya mata pisau. Di sisi-sisinya, terdapat kait-kait (kalalib) yang aktif bergerak menghalangi siapapun yang melewati sirat tersebut. Sifat perjalanan di atas titian itu bermacammacam, bergantung pada tingkat iman dan amal saleh masing-masing manusia semasa hidup di dunia. Kata Nabi: Orang mukmin yang menyeberang sirat ada yang secepat kedipan mata, kilat, angin, dan juga ada yang seperti langkah berjalannya onta dan kuda; maka selamatlah orang yang berserah diri (muslim) …102 Jadi, mereka yang kafir atau memiliki catatan kemaksiatan103 yang belum beroleh ampunan dari Allah, akan terkena kibasan kalalib 101

Baca: Makino, Creation and Termination, 69-70. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudri. 103 John Hick mengatakan bahwa dosa (sin) dalam bentuk singular, merujuk pada hubungan yang tidak sempurna antara manusia dengan Tuhannya. Sedangkan dosa, dalam bentuk plural, adalah perbuatan atau sikap manusia yang salah yang terjadi melawan kehendak Tuhan (atau, lebih tepatnya, menentang harapan Tuhan) dan muncul dalam hubungan-hubungan yang terdistorsi. Mengenai kejahatan, Hick membedakannya menjadi dua macam, yaitu kajahatan moral (moral evil) dan kajahatan alamiah (natural evil). Kejahatan moral adalah kejahatan yang dilakukan 102

Jalan Cinta Menuju Surga | 41

sehingga jatuh ke dalam neraka. Mereka yang selamat meniti sirat akan masuk ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan mereka yang masuk ke dalam neraka, sebagian ada yang kekal di dalamnya, dan sebagiannya lagi ada yang hanya untuk sementara waktu. Yang kekal adalah mereka yang meninggalkan kehidupan dunia ini dalam keadaan kafir atau musyrik, menyekutukan atau menyembah-selain Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.104 Yang sementara adalah mereka yang dalam hatinya terdapat iman kepada Allah, namun kemaksiatannya terlampau banyak sehingga tak mampu tertutupi oleh amal salehnya. Dalam neraka itulah, mereka dihukum sekadar dosa yang belum terampuni. Selanjutnya dikeluarkan dari neraka, dan disucikan di sungai kehidupan (nahr al-hayah), untuk kemudian dimasukkan ke dalam surga. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw.: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengeluarkan sekelompok orang dari neraka setelah ujud mereka tak bersisa kecuali wajahnya, maka Allah kemudian memasukkan mereka ke dalam surga.105 Terkait bahasan ini, dalam al-Qur’an sendiri terdapat berita yang menegaskan bahwa kelak nanti di akhirat manusia akan terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu golongan kanan, golongan kiri, dan golongan yang paling dahulu masuk Islam. Dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah manusia, seperti kebengisan, kebohongan, kelicikan, dan pikiran atau perbuatan lain yang menyimpang. Adapun kejahatan alamiah adalah kejahatan yang terjadi di luar perbuatan manusia, seperti basil mengandung penyakit, gempa bumi, badai, dan sejenisnya [John Hick, Evil and the God of Love (London-Melbourne-Toronto: Macmillan, 1966), 16]. 104 Al-Qur’an, 4: 48, 116. 105 HR. Albani dari Abu Said al-Khudri.

42 | Nyong ETIS

sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga).106 Selanjutnya kehidupan dalam surga dan neraka menjadi tempat tinggal penghuni tetapnya untuk selama-selamanya (abadi). 107 Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombongrombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: ”Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: ”Benar (telah datang)”. Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir. Dikatakan (kepada mereka): ”Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya.” Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri. Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintupintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjagapenjaganya: ”Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.” Dan mereka mengucapkan: ”Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga dimana saja yang kami kehendaki.” Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orangorang yang beramal.108 Kekekalan hidup di surga maupun neraka akan dijalani dan dirasakan oleh penghuninya masing-masing sesuai dengan amal perbuatannya 106

Al-Qur’an, 56: 7-10. Kronologi kehidupan eskatologis ini bisa ditemukan variasinya dalam narasi Massignon, The Passion, vol.3, 159; dan al-Mahmud, Tathqif al-Azhan. 108 Al-Qur’an, 39: 71-74. 107

Jalan Cinta Menuju Surga | 43

selama di dunia. Pada konteks inilah mengapa Islam mengajarkan adanya perbedaan tingkatan nikmat atau azab bagi manusia. Hal itu di sisi lain juga menjelaskan konsep keadilan Tuhan. Kata Nabi Saw.: Seringan-ringannya azab penghuni (tetap) neraka adalah azab yang ditimpakan kepada Abu Talib, yaitu ia mengenakan dua alas kaki dan kepalanya menjadi mendidih karena panas yang disebabkannya.109 Dalam banyak sekali ayat al-Qur’an maupun riwayat al-Sunnah, kenikmatan dan kesengsaran di kehidupan akhirat ini diilustrasikan dalam ungkapan yang bersifat jasmaniah. Maksudnya, dalil-dalil tersebut memakai narasi yang memberi pemahaman literal kepada pembacanya bahwa kehidupan akhirat, baik di surga maupun neraka, akan dijalani oleh manusia tidak saja secara rohaniah, melainkan juga secara jasmaniah. Semisal tentang kabar adanya sungai, pohon, pasar, tempat tinggal, istri, makanan, dan juga minuman di dalam surga yang kental merujuk pada pengertian apa adanya seperti dipahami manusia ketika hidup dalam dunia ini. Seperti diungkap Nabi Muhammad Saw. tentang kehidupan biologis manusia di akhirat: Sungguh, demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, tiap penghuni surga akan diberi kekuatan seratus laki-laki dalam hal makan, minum, dan berhubungan seksual.110 Atau sabda beliau tentang memandang wajah Allah di surga: Apakah kalian kesulitan melihat rembulan di malam purnama? Para sahabat menjawab: Tidak ya Rasulullah. Apakah kalian kesulitan melihat matahari ketika langit bersih dari awan? Mereka menjawab: Tidak. Nabi lantas berkata: Maka sesungguhnya kalian juga akan melihat Allah seperti itu juga --yaitu tanpa ada kesukaran.111

109

HR. Muslim dari Ibn Abbas. HR. Nasa'i dari Zaid bin Arqam. 111 HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. 110

44 | Nyong ETIS

Meski demikian, terdapat pula beberapa nash yang menegaskan bahwa kehidupan nanti di akhirat sangatlah berbeda dengan kehidupan saat ini di dunia.112 Menarik dicermati hadis qudsi berikut ini: Allah berfirman: ”Aku menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan tidak pula pernah terlintas di hati manusia.”113 Allah pun menyatakan dalam al-Qur’an bahwa ungkapan tentang kehidupan surga dan neraka adalah suatu permisalan, sehingga manusia mampu memahaminya secara lebih baik. Dia berfirman: (Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?114

112

Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa bahasa yang dipakai untuk menggambarkan realitas eskatologis, khususnya dalam al-Qur’an, bersifat kasat mata dan kongkrit (vivid and concrete); padahal ini sebenarnya simbol yang seharusnya tidak dipahami dalam pengertian literalnya, meskipun pengertian literal juga memiliki signifikansi pada levelnya sendiri. Penggambaran keadaan post-human (paska kematian) dan realitas eskatologis, yang melampaui batas kemampuan imajinasi manusia, hanya mungkin dapat diekspresikan secara simbolis. Maka, makna sebenarnya haruslah dipikirkan sebagaimana komentar-komentar inspiratif dan tulisan-tulisan berbobot dari tokoh seperti Ibn Arabi dan Sadruddin al-Shirazi [Islam, 73]. 113 HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Ini sesuai dengan ayat 17 dari surah alSajdah. 114 Al-Qur’an, 47: 15.

Jalan Cinta Menuju Surga | 45

Beranjak dari cara pandang yang berbeda, di kalangan umat Islam hingga saat ini masih terdapat percabangan pendapat tentang kekekalan hidup di akhirat, apakah bersifat rohani semata ataukah juga jasmani.115 Paparan di muka kiranya dapat menjadi kerangka dasar untuk mengetahui karakteristik yang dimiliki agama ini dalam memandang dunia (kehidupan) eskatologis dikomparasikan dengan konsepsi kehidupan sesudah mati dari agama-agama lainnya.116

115

Jamal J. Elias, Islam (London: Routledge, 1999), 65; Nurcholish Madjid, Masyarakat Relijius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 2004), 153; Massignon, The Passion, vol.3, 156-158. 116 Baca: Warren Matthews, World Religions (Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1999); Joesoef Sou'yb, Agama-agama Besar di Dunia (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983).

5 KESELAMATAN ESKATOLOGIS Mengkaji pluralitas konstruk pemikiran tentang ada atau tidaknya keselamatan eskatologis di luar Islam, dengan sendirinya merupakan studi komparatif yang berusaha menggali ragam perbedaan sekaligus persamaan dari masing-masing klaim. Terdapat dua hal, terkait persoalan ini, yang patut dipahami dan diletakkan secara terpisah. Pertama, perbedaan konstruk klaim-klaim itu sendiri dalam merespon agama lain berikut ajarannya tentang keselamatan bagi pemeluknya. Kedua, perbedaan sikap dalam umat Islam yang mungkin timbul berkenaan pluralitas klaim di atas. Kajian mengenai hal pertama telah cukup banyak dilakukan oleh para pemikir keagamaan kontemporer dengan menawarkan rumusanrumusan tertentu dalam simpulannya. Mengingat masalah ini bersifat lintas agama, kiranya ragam pemikiran yang berkembang di kalangan Islam dapat juga dirujukkan pada fenomena sejenis yang ada di komunitas kepercayaan lainnya. Beberapa di antaranya yang cukup relevan untuk diketengahkan di sini, dari pemetaan yang bersifat umum hingga kepada pemetaan yang lebih detail, antara lain Frithjof Schuon, yang memandang pembacaan atas agama dan keberagamaannya sebagai hal yang terpetakan ke dalam dua perspektif, yakni eksoteris dan esoteris. Eksoterisme dikarakterisasikan dengan dogmatisme dan eksklusivisme. Sementara esoterisme dikarakterisasi sebagai kebalikan dari sebelumnya.117 Perangkat kategoris sejenis diajukan pula oleh William Lane Craig dengan mempergunakan istilah universalisme dan partikularisme. Pertama, universalisme menjadi raison d'etre bagi respon keterbukaan atas realitas tersebut dengan meyakini bahwa setiap orang akan beroleh keselamatan. Sementara yang kedua, 117

Frithjof Schuon, "The Transcendent Unity of Religions" dalam Gary E. Kessler (ed.), Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective (Kalifornia: Wadsworth Publishing Company, 1999), 556-561.

Jalan Cinta Menuju Surga | 47

partikularisme menjadi doktrin kelompok yang meyakini bahwa tidak semua orang akan beroleh keselamatan dari Tuhan. Tipe terakhir ini berada antara dua versi partikularisme: yang sempit (narrow) dan yang luas (broad).118 Sedangkan Frederick J. Streng lebih memilih untuk mempergunakan istilah reduksionis (the reductionist view) dan empatik (the empathic view) guna memetakan tipologi respon terhadap pluralisme agama.119 Raimundo Panikkar dalam konteks ini juga mengemukakan suatu tawaran kategoris yang menarik untuk disimak. Ia menegaskan adanya tipe-tipe keberagamaan dalam konteks kemajemukan agama-agama yang umum dikenal selama ini dengan istilah eksklusivisme (hanya agamaku yang benar), inklusivisme (agamaku merangkul yang lainnya), dan paralelisme (kita bergerak independen menuju tujuan yang sama).120 Ia lantas mengajukan sebuah model sikap keberagamaan lain yaitu interpenetrasi (interpenetration).121 Model yang dimaksudkannya ini bersandar pada penerimaannya bahwa agama atau ide-ide agama yang lain dalam kasus-kasus tertentu dapat saja mengisi atau melengkapi kepercayaan agamanya. Saling jalin antar ajaran ini tak mengubah kenyataan bahwa religiusitasnya tetap merupakan sebuah keutuhan yang tak terbagi.122 118

William Lane Craig, "Politically Incorrect Salvation" dalam http://www.leaderu.com (1995-2004). 119 Frederick J. Streng, Understanding Religious Life (Kalifornia:Wadsworth Publishing Company, 1985), 252. 120 Lihat: John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven dan London: Yale University Press, 1989), 363. 121 Purusottama Bilimoria menyebut tipe terakhir yang diajukan oleh Panikkar ini sebagai pluralisme radikal (radical pluralism) [Lihat: Purusottama Bilimoria, "A Problem for Radical Pluralism" dalam Kessler, Philosophy of Religion, 575-581]. 122 Raimundo Panikkar, "Four Attitudes" dalam Kessler, Philosophy of Religion, 532535. Pemetaan kategoris pada konteks ini juga diajukan oleh pemikir-pemikir lain dengan ragam istilah dan model masing-masing. Baca di antaranya: William J. Wainwright, Philosophy of Religion (Kalifornia: Wadsworth Publishing Company, 1999), 202-207. Baca pula: Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, ter. Imam Khoiri (Yogyakarta: AK Group, 2003), 366-392.

48 | Nyong ETIS

Respon terhadap persoalan kedua, yakni pluralitas klaim yang muncul dalam komunitas muslim, dapat mengemuka dalam beberapa kemungkinan pilihan sikap. Pertama, memilih mengambil salah satu posisi klaim sebagai pandangan keagamaannya. Pilihan ini dapat tampil secara variatif, yakni antara pilihan yang menegasikan peluang kebenaran klaim yang berbeda dan pilihan yang terbuka atas kebenaran posisi lainnya. Kedua, memilih bersikap tak terikat dengan salah satu klaim yang ada. Pilihan ini bisa jadi dipicu oleh keyakinan pada relativitas kebenaran tafsir dan ketulusan motif religius yang melatari masingmasing klaim; meskipun dapat juga dikarenakan oleh ketidakacuhan atau anggapan bahwa persoalan ini bukan sesuatu yang penting atau prinsip untuk diputuskan secara tegas. Dalam bagian selanjutnya akan disajikan pembahasan tentang keselamatan eskatologis perspektif Islam dengan memanfaatkan tawaran pemetaan yang bersifat lebih umum, seperti yang dikemukakan misalnya oleh Schuon dan Craig. Berkaca pada kerangka kategoris tersebut, secara garis besar, terdapat dua model sikap teologis yang mungkin timbul berkenaan dengan ada atau tidaknya keselamatan di luar Islam, yakni: (1) menolak atau tidak menerima adanya keselamatan eskatologis bagi non-muslim; dan (2) menerima adanya keselamatan eskatologis bagi non-muslim. Analisis kategoris untuk mengungkap lebih jauh variasi subtil dari masing-masing pandangan akan dilakukan kemudian. Pada ulasan sebelumnya, sempat disinggung mengenai adanya perbedaan, di samping persamaan, mengenai konsep keselamatan eskatologis Islam dengan konsep serupa menurut perspektif agamaagama yang lain. Hal ini bisa menimbulkan beberapa implikasi mungkin: Pertama, apabila perbedaan ini dianggap serius dan mendasar, yang meniscayakan konsekuensi logis berupa perbedaan ”bentuk” sekaligus ”hakikat” keselamatan yang dianggit, maka masing-masing agama dapat saja dinyatakan merupakan jalan-jalan yang khas menuju surganya masing-masing yang khas pula. Dengan kata lain, jalan menuju keselamatan eskatologis dalam perspektif Islam tentunya hanya mungkin dicapai dengan jalan yang diajarkan oleh Islam. Demikian pula

Jalan Cinta Menuju Surga | 49

halnya dengan surga-surga dalam perspektif agama-agama yang lain hanya akan dapat digapai melalui jalan yang digariskan oleh masingmasing agama yang bersangkutan. Di sini, pertanyaan tentang eksistensi keselamatan di luar Islam menjadi tidak lagi relevan, karena sekalipun dijawab secara positif bahwa memang ada keselamatan bagi nonmuslim, alasan yang diajukan akan kembali disandarkan kepada perspektif agamanya masing-masing yang khas, bukan Islam. Kedua, jika perbedaan tersebut dipandang hanya sebatas variasi deskriptif atas suatu hakikat yang sama, maka terdapat dua kemungkinan jawaban yang bisa dihadirkan: (1) Keselamatan eskatologis tersebut tidak dapat dicapai oleh semua agama, tetapi hanya agama tertentu saja yang merupakan jalan yang absah untuk itu, yang dalam konteks ini tentu saja Islam. (2) Tiap-tiap agama yang tampak saling berbeda itu adalah jalan yang sama-sama sah dan valid untuk memperoleh keselamatan eskatologis. Sehingga dengan cara lain dapat dikatakan, tidak ada satupun agama yang dapat mengklaim secara eksklusif sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Di sini, Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan yang lainnya adalah sejajar dan sama-sama valid sebagai jalan keselamatan eskatologis. Selanjutnya dengan demikian, pertanyaan tentang pencapaian keselamatan dalam perspektif Islam melalui jalan non-Islam, juga mempunyai dua kemungkinan jawaban: (1) Tidak bisa, karena sekalipun hakikat keselamatan yang dianggit sama, jalan yang sah hanya satu, yaitu Islam. Jawaban yang serupa tentu dikemukakan secara lebih tegas apabila hakikat keselamatan yang diancang oleh masing-masing agama ternyata diyakini saling berbeda; (2) Bisa, karena semua jalan adalah sah dan hakikat keselamatan yang dituju pun tidak berbeda. Paparan ini bisa menjadi pijakan awal untuk memulai pembahasan guna menjawab persoalan perbedaan klaim tentang eksistensi keselamatan eskatologis di luar Islam, yaitu dengan mengajukan pertanyaan: Apakah keselamatan eskatologis Islam memang dapat dicapai melalui jalan agama-agama yang lain? Apakah agama-agama lain merupakan jalan yang sama-sama absah dan valid untuk mencapai keselamatan eskatologis menurut perspektif Islam?

50 | Nyong ETIS

Melalui telaah khazanah pemikiran Islam akan dapat diketemukan bahwa dua kemungkinan pandangan sebagaimana dijelaskan di muka ternyata sama-sama eksis dan hidup mewarnai pemahaman teologis umat.

6 TIDAK ADA KESELAMATAN DI LUAR ISLAM Mayoritas umat Islam memang tampak lebih cenderung berpihak kepada (menerima) pendapat yang melihat bahwa agama Islam merupakan jalan eksklusif guna meraih keselamatan eskatologis. Artinya, fasilitas kenikmatan surga Tuhan hanya mungkin diperoleh dengan berbekal ”tiket berstempel” Nabi Muhammad Saw., sehingga ”terminal atau stasiun” akhir bagi non-muslim tidak lain dan bukan kecuali hanyalah neraka. Demi menguak pokok-pokok argumentasi yang sering diajukan untuk menjustifikasi klaim ini, ada baiknya mengelaborasinya terlebih dahulu dengan menjelaskan konsepsi ”jalan” untuk bisa meraih keselamatan eskatologis perspektif Islam sebagaimana dipahami posisi sikap ini. Bangun ajaran dan kepercayaan agama Islam, secara umum, sebenarnya cukup terangkum antara lain melalui pesan hadis Jibril yang sangat terkenal itu, yang salah satu matannya telah dihadirkan di bab terdahulu. Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak sahabat seperti Umar bin Khattab dan Abdullah putranya, Abu Hurairah, Abu Dzar, Abdullah bin Abbas, Abu Amir al-Asy'ari dan lainnya.123 Merujuk pada hadis Jibril di atas, Murata dan Chittick berpendapat bahwa terdapat empat dimensi ajaran Islam, yaitu: (1) islam (submission), yang berkenaan dengan perbuatan; (2) iman (faith), yang berkenaan dengan pemikiran dan pemahaman; (3) ihsan (doing what is beautiful), yang berkenaan dengan maksud hati atau niat (intentions); dan (4) sa'ah, berkenaan dengan waktu dan sejarah (time and history).124 Adapun yang 123

Hafiz bin Ahmad Hakami, Ma'arij al-Qabul bi Sharh Sullam al-Wusul ila 'Ilm al-Usul fi al-Tawhid, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, t.t.), 3. 124 Murata, The Vision, xxxiii. Syaikh al-Alawi mencatatkan bahwa terdapat ruang ijtihad dalam tiga aspek ajaran Islam (islam, iman, ihsan) yang terkandung dalam pesan hadis Jibril tersebut. Ijtihad tersebut tampak melalui fenomena mazhab fikih dalam konteks islam, aliran teologi dalam konteks iman, dan aliran tarekat dalam

52 | Nyong ETIS

penting untuk diperhatikan di sini adalah, bahwa agama (din) Islam tidak semata terbatas pada aspek keyakinan batin, melainkan juga meliputi aspek perbuatan lahir yang teraktualisasikan dalam konteks sejarah.125 Hakami menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa Din Islam itu adalah pernyataan (qawl) hati dan lisan sekaligus perbuatan ('amal) hati, lisan dan anggota badan. Empat hal inilah yang menyusun agama Islam sebagai suatu keutuhan. Pertama, pernyataan hati adalah pembenaran (al-tasdiq) dan keyakinan atasnya (al-iqan). Kedua, pernyataan lisan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat la ilaha illallah dan Muhammad rasulullah. Ketiga, perbuatan hati, yakni dengan meneguhkan niat, keikhlasan, kecintaan, kepatuhan, dan penerimaan kepada Allah serta bertawakkal atas segala konsekuensi logisnya. Keempat, perbuatan lisan dan anggota badan. Dengan lisan dapat berupa seperti membaca al-Qur’an, berzikir dan berdoa. Dengan anggota badan dapat berupa semisal berdiri dalam shalat, ruku', sujud, dan berjalan menuju hal-hal yang diridhai oleh Allah .126 Jika didalami, penjelasan Hakami tersebut tidak lain adalah penjabaran makna persaksian Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang berhak disembah (ilah) dan Muhammad sebagai nabi dan rasul yang membawa syariat Allah; dan sekaligus penegasan atas kesaling-kaitan antara keduanya. Ini juga yang terkandung dalam pernyataan Hujwiri ketika mengatakan bahwa hakikat ("There is no god but Allah", are the Truth) dan syariat ("Muhammad is the apostle of Allah", are the Law) adalah dua hal yang tak terpisahkan, ibarat jasad dan ruh. Maka

konteks ihsan [Martin Lings, "The Reality of Sufism" dalam Jaroslav Pelikan (ed.), The World Treasury of Modern Religious Thought (Boston: Little, Brown & Company, 1990), 515-524]. 125 Makna akar dari kata din adalah taat (to obey), pasrah atau berserah diri (to be submissive), dan melayani (to serve). Kata yang terkait erat, yang tertulis secara serupa dalam tulisan Arab, adalah dain yang berarti hutang (debt). Hubungan antara ketaatan dan hutang tidak sulit untuk dipahami. Jika seseorang berhutang sejumlah uang dari kita, maka ia telah memikul kewajiban untuk menyerahkannya kembali kepada kita [Murata, The Vision, xxviii-xxix]. 126 Hakami, Ma'arij al-Qabul, vol.2, 15-17.

Jalan Cinta Menuju Surga | 53

siapapun yang menolak hakikat adalah kafir (an infidel) dan yang mengingkari syariat adalah bid'ah (a heretic).127 Jadi pada dasarnya, Islam ingin menegaskan bahwa ikrar ketauhidan kepada Allah meniscayakan ikrar kepada kebenaran kenabian dan kerasulan Muhammad, yang merupakan makna dua kalimat syahadat.128 AlQardawi menyatakan bahwa penerimaan yang tulus atas hakikat syahadat ini adalah kunci pembuka pintu (masuk) surga dan selamat dari api neraka. Pengertian masuk surga (dukhul al-jannah) di sini meliputi pula mereka yang sebelumnya mencicipi azab neraka, sehingga selamat dari neraka (al-najah min al-nar) menjadi bermakna selamat dari kekekalan berada di dalamnya.129 Pemahaman di atas dengan sendirinya berimplikasi pada penilaian terhadap status teologis dan juga amal perbuatan seseorang. Aktivitas manusia kemudian menjadi bernilai ibadah (dengan janji balasan pahala) di sisi Allah hanya jika memenuhi kriteria atau syarat pokok sebagai berikut: (1) dilakukan secara ikhlas semata mengharap keridhaan Allah; dan (2) mengikuti petunjuk dan bimbingan Rasulullah Muhammad Saw., baik dalam ritual dengan tata cara praktisnya maupun dalam mu'amalah dengan prinsip-prinsip moral dan etikanya. Simpulan ini pula yang diajukan oleh Ibn Katsir ketika menafsiri firman Allah: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia

127

Reynold A. Nicholson, The Mystic of Islam (Bloomington: World Wisdom, 2002),

65. 128

John L. Esposito mengatakan bahwa dalam Islam, tujuan hidup tidak hanya dinyatakan tetapi harus diaktualisasikan, tidak hanya percaya adanya Tuhan, tetapi juga merealisasikan kehendak Tuhan –yakni menyebarkan pesan dan hukum Islam. Iman tanpa amal adalah kosong, tanpa hasil; sungguh, inilah buku catatan amal yang akan menjadi dasar (pertimbangan) bagi pengadilan Ketuhanan. Inilah pokok hukum di atas teologi dalam tradisi keislaman [Islam: The Straight Path (New York: Oxford University Press, 1991), 70]. 129 Yusuf al-Qardawi, Zahirah al-Ghuluw fi al-Takfir (Abidin: Maktabah Wahbah, 1990), 39.

54 | Nyong ETIS

mempersekutukan Tuhannya. 130

seorangpun

dalam

beribadat

kepada

Beliau mengatakan: Keduanya adalah rukun dari diterimanya suatu amal perbuatan, yaitu dilakukan secara ikhlas semata mengharap ridla Allah dan sesuai dengan syariat Rasulullah Saw. 131 Berdasarkan kerangka kategoris tersebut, jika kita relasikan konteks pembahasannya dengan entitas non-muslim, maka dapat dipastikan bahwa setiap amal perbuatan mereka adalah sia-sia. Artinya, keyakinan dan perbuatan baik mereka tidak akan mengantarkannya kepada keselamatan eskatologis (surga) perspektif Islam.132 Sebagaimana terungkap melalui studi Mahmoud Mustafa Ayoub, seorang tokoh pendukung faham pluralisme agama, terhadap tafsir sepuluh orang mufassir terkemuka baik dari kalangan Sunni (yaitu Sayyid Qutb, 'Abdul Qadir bin Syaibatul Hamdi, Muhammad Sayyid Tantawi, Wahba al-Zuhaili, Muhammad Mutawalli Sha'rawi, Sa'id Hawwa) maupun Syiah (yakni Muhammad Jawad al-Balaghi, Muhammad Jawad Mughniya, Nasir Makarim al-Shirazi, dan Sayyid Mahmud Taliqani) atas ayat 62 surah al-Baqarah dan ayat 69 serta 82-85 surah al-Ma'idah, bahwa hampir keseluruhannya (kecuali Mughniya) bersepakat atas tidak-memenuhi syaratnya keimanan dan amal ibadah non-muslim untuk meraih keselamatan di akhirat.133 130

Al-Qur’an, 18: 110. Lihat: Salih bin Sa'd al-Suhaimi, Mudhakarah fi al-'Aqidah li al-Dawrat alTadribiyah li Mu'allim al-Lughah al-Arabiyah wa al-Thaqafah al-Islamiyah (Madinah: al-Jami'ah al-Islamiyah bi al-Madinah al-Munawwarah, t.t.), 9. 132 Ali Rabbani Gulpaigani, Menggugat Pluralisme Agama: Catatan Kritis atas Pemikiran John Hick dan Abdul Karim Sourush, ter. Muhammad Musa (Jakarta: AlHuda, 2004). 133 Mahmoud Mustafa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam, ter. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), 175-192. Ayoub dengan demikian menegaskan kebenaran simpulan yang diambil oleh Fazlur Rahman ketika mencermati tafsir para mufassir terhadap dua ayat pertama di atas [Ibid., 191]. Rahman menyatakan jika mayoritas ahli tafsir muslim tampaknya menghindar untuk 131

Jalan Cinta Menuju Surga | 55

Berkenaan dengan aspek keimanan kepada Tuhan, secara prinsipil, akidah agama-agama lain dinilai tidak merepresentasikan ketauhidan yang murni sebagaimana dipahami oleh Islam. Sementara kata al-Faruqi, "Without al-Tawhid, therefore, there can be no Islam." 134 Tanpa tauhid, bagaimanapun juga, tidak akan ada yang dinyatakan sebagai Islam. Hakamy telah menjelaskan, ketauhidan dalam Islam mencakup dua pengertian sekaligus, yakni tawhid al-ma'rifah wa alithbat (tauhid konsepsional) dan tawhid al-ilahiyah wa al-'ibadah (tauhid operasional). Yang pertama meneguhkan kebenaran Allah sebagai Rabb, yakni pencipta dan pemelihara seluruh makhluk, yang memiliki nama dan sifat-sifat kesempurnaan. Yang kedua meneguhkan kebenaran Allah sebagai Ilah, yakni pusat satu-satunya segala bentuk peribadatan dan persembahan.135

mengakui makna yang sudah sangat jelas dalam kedua ayat tersebut, yaitu (memberi pengakuan) bahwa siapapun juga dari umat manusia ini yang beriman adanya Tuhan dan Hari Akhir serta berbuat baik akan terselamatkan. Hal itu terlihat dalam tafsir mereka yang tampak dipaksakan untuk mengarahkan pengertian Yahudi, Kristen, dan Sabiin yang dimaksudkan ayat tersebut adalah orang-orang yang telah menjadi muslim atau yang hidup sebelum diutusnya Muhammad. (Padahal) ketika menjawab klaim Yahudi dan Kristiani bahwa surga hanya milik golongan mereka saja, al-Qur’an mengatakan: sebaliknya, siapapun juga yang berserah diri kepada Tuhan dan iapun berbuat kebajikan, maka ia akan mendapati balasannya dari Tuhan, tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula kerugian [Major Themes, 166]. Pada konteks ini menarik pula untuk disimak ringkasan Jacques Waardenburg mengenai pokok-pokok persoalan yang menjadi polemik dan alasan para sarjana muslim untuk menolak agama Kristen dalam Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama, ter. Penerbit (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 97-99. 134 Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Riyadh: International Islamic Publishing House, 1995), 19. Muhammad bin Abdul Wahhab meletakkan pengetahuan tentang makna Tauhid ini sebagai kewajiban pertama seorang muslim [Three Essays on Tawhid, ter. Ismail Raji al-Faruqi (Riyadh: The World Assembly of Muslim Youth, 1979), 12]. 135 Hakami, Ma'arij al-Qabul, vol.1, 340. Baca juga: Muhammad Imarah, Risalat alTawhid li al-Imam Muhammad 'Abduh (Beirut: Dar al-Shuruq, 1994), 146. Merujuk pada ayat 14, 114, dan 164 surah al-An'am, Yusuf al-Qardawi menyebutkan tiga unsur dasar ketauhidan, yakni: tidak mengambil selain Allah sebagai Rabb, Waly, dan

56 | Nyong ETIS

Dari sini akan mudah terpahami mengapa al-Qur'an bersikap begitu keras terhadap perbuatan syirik hingga menyifatinya sebagai perbuatan yang takkan terampuni di akhirat kelak. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.136 Pada konteks ini jugalah mengapa al-Qur’an mengkritik konsepsi dan implementasi akidah non-muslim, di antaranya terhadap doktrin trinitas kaum Nasrani dengan mengatakan: Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. 137 Syed Muhammad Naquib al-Attas secara tajam menandaskan bahwa sesungguhnya terdapat perbedaan mengenai konsepsi Tuhan yang dipahami oleh Islam dengan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lainnya di dunia. Kalaupun ada kemiripan, menurutnya, hal itupun tidak bisa ditafsirkan sebagai bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama, yakni Tuhan Universal Yang Esa (The One Universal God), karena masing-masing konsep tersebut dipergunakan Hakim [Jarimah al-Riddah wa 'Uqubah al-Murtad fi Dhaw' al-Qur’an wa al-Sunnah (Abidin: Maktabah Wahbah, 1996) 10]. 136 Al-Qur’an, 4: 48 dan 116. 137 Ibid., 5: 72-73.

Jalan Cinta Menuju Surga | 57

sesuai dengan dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda.138 Selanjutnya, terkait keimanan kepada kenabian dan kerasulan Muhammad atau kebenaran syariatnya, agama-agama lain dipandang telah membohongi dirinya sendiri. Hal ini didasarkan pada informasi alQur’an yang mengatakan bahwa perutusan Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir merupakan bagian dari wahyu yang diwartakan para nabi sebelumnya dan termaktub dalam kitab-kitab suci mereka. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang namanya mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.139 Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anakanaknya sendiri. 140 Beranjak dari informasi tersebut, ketika para pemeluk agamaagama lain mengingkari kenabian Muhammad dan syariatnya, maka 138

Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam "Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama", ter. Harris Susmana, Islamia, 3 (September-November, 2004), 43-48. Baca juga ulasan Kessler tentang beberapa konsep Tuhan yang dipahami oleh Totemisme, Animisme, Henotheisme, Pantheisme, Panentheisme, dan Monotheisme [Philosophy of Religion, 44-45]. 139 Al-Qur’an, 7: 156-157. 140 Ibid., 6: 20.

58 | Nyong ETIS

dapat diartikan mereka terjerumus dalam kesesatan yang nyata karena telah menyembunyikan kebenaran ini. Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. 141 Ini dapat pula diartikan bahwa kitab-kitab samawi terdahulu tidak lagi suci karena telah mengalami pengubahan (tahrif wa tabdil) oleh tangantangan manusia.142 Al-Qur’an menyatakan: Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.143 Terhadap ketidakotentikan kitab-kitab samawi itu, Islam setidaktidaknya merumuskan tiga sikap yang bisa diambil: (1) menerimanya jika mendapat pembenaran dari Rasulullah Saw. dan mendapat penguatan dari syariat; (2) menolaknya jika jelas kedustaannya dan bertentangan dengan syariat Islam; dan (3) netral, dalam artian tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan, terhadap berita-berita yang tidak termasuk kategori pertama maupun kedua, meski tidak dilarang untuk mengkisahkannya.144

141

Ibid., 2: 174. Yusuf al-Qardawi, Madkhal li Dirasah al-Shari'ah al-Islamiyah (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1993), 12. 143 Al-Qur’an, 2: 79. 144 Lihat catatan kaki (5) dari Said bin Ali bin Wahf al-Qahtani, Al-Hikmah fi al-Da'wah ila Allah Ta'ala (Riyadh: Matba'ah Safir, 1992), 407. 142

Jalan Cinta Menuju Surga | 59

Pemaparan di atas mengerucutkan pemahaman pada suatu simpulan tunggal bahwa tidak ada keselamatan bagi non-muslim atau jalan keselamatan di luar Islam. Keselamatan eskatologis hanya bisa diperoleh melalui jalan agama dan syariah145 yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.146 Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam.147 Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.148 Mereka yang bersikeras menolak kebenaran tauhid adalah musyrik. Mereka yang bersikeras menentang kenabian Muhammad dan kehujjahan al-Qur’an adalah kafir.149 Musyrik dan kafir tidak memiliki pilihan tempat lain di akhirat kecuali adalah neraka.

145

Syari'ah secara etimologis, awalnya berarti sumber air untuk minum, lalu terpakai dengan makna jalan yang lurus (al-tariqah al-mustaqimah). Adapun secara terminologis berarti sesuatu yang telah digariskan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya dalam perkara akidah, ibadah, akhlak, mu'amalah, dan pola hidup dengan berbagai aspeknya untuk mewujudkan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat [Manna' alQahtan, Al-Tashri' wa al-Fiqh fi al-Islam: Tarikhan wa Manhajan (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1985), 14-15]. Baca juga ulasan Cornell tentang perbedaan terma Shari'ah dan Fiqh [Cornell, "Fruit of the Tree…", 91]. Ide dasar pembedaan antara syariah dan fikih ini pula yang mengilhami Abdolkarim Soroush dalam pengembangan Teori Kontraksi dan Ekspansi Tafsir Keagamaan dengan menggariskan pemilahan makna agama (religion) dan pengetahuan keagamaan (religious knowledge) [Reason, Freedom, and Democracy in Islam, ter. Mahmoud Sadri dan Ahmad Sadri (New York: Oxford University Press, 2000), 30]. 146 Syed Abdul Quddus mengatakan: Filsafat dasar Islam menggelindingkan seperangkat kepercayaan dan konsep. Kesatuan ketuhanan, kenabian, dan hari akhirat adalah pondasi-pondasi yang tak tergugat dari keyakinan ini. Konsep-konsep ini berakar dalam kesadaran dasar manusia dan realitas pengalaman manusia [The Challenge of Islamic Renaissance (Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1990), 210]. 147 Al-Qur’an, 3: 19. 148 Ibid., 3: 85. 149 Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan menyebutkan bahwa pembatal persaksian

60 | Nyong ETIS

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.150 Perbedaan yang mendasar antara Islam dan agama-agama lainnya ini mengantar pada suatu sikap tegas bahwa tidak ada kerjasama dalam hal keyakinan teologis (akidah). Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.151 Kerjasama hanya dimungkinkan dalam aspek interaksi moral dan etika sosial. Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama

iman (shahadat) dapat mewujud kedalam dua bentuk: (1) dengan tidak masuknya seseorang ke dalam Islam, sehingga tetap kafir atau musyrik; dan (2) setelah masuk Islam, namun memelihara keyakinan atau perbuatan yang menafikan hakikat persaksian itu sendiri, sehingga masuk kategori murtad. Sebagian ulama juga menjelaskan jika pembatal-pembatal tersebut bisa terkait dengan Allah (berupa syirik), Rasulullah (berupa pengingkaran atas kenabiannya), syariat Islam (berupa penentangannya), dan juga musuh-musuh Allah (berupa pemberian loyalitas untuk maksud memusuhi Islam) [Al-Madkhal Li Dirasat al-'Aqidah al-Islamiyah 'ala Madhhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah (t.t.: t.p., t.t.), 113]. Bagi sebagian besar ulama klasik, khususnya abad kedua hijriyah, persepsi tentang kekafiran dalam al-Qur’an selalu dikaitkan dengan ketidakadilan (zulm), penindasan (‘udwan), dan fitnah. Pandangan inilah yang memunculkan asumsi umum bahwa semua kaum kafir adalah musuh Islam yang harus diperangi tanpa penyelidikan lebih jauh apakah mereka memang benar-benar penganjur ketidakadilan, penindasan, dan fitnah itu ataukah tidak [Achmad Jainuri, “Terorisme dalam Wacana Kontemporer Islam: Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Aliran Modern dalam Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006), 17]. 150 Al-Qur’an, 98: 6. Hartono Ahmad Jaiz dengan mengambil kaidah: man lam yukaffir al-kafir fa huwa kafir, atau barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka ia sendiri kafir, mengatakan bahwa ide pluralisme adalah propaganda dan makar busuk yang dapat menyeret pengikutnya kepada kemurtadan [Menangkal Bahaya JIL dan FLA (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), 122]. 151 Al-Qur’an, 109: 6.

Jalan Cinta Menuju Surga | 61

dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.152 Berikut dapat diikhtisarkan, beberapa prinsip-prinsip yang kerap dikemukakan sebagai argumentasi untuk mendukung pendapat yang menolak adanya keselamatan eskatologis bagi non-muslim: (1) Risalah Islam yang turun bersama perutusan Nabi Muhammad Saw. merupakan penanda bagi akhir masa berlakunya (mengganti atau menghapus) risalah nabi-nabi sebelumnya. Prinsip naskh ini mencakup pula pengertian bahwa ajaran Islam sebagai risalah terakhir bersifat universal, mencakup dan menyempurnakan ajaranajaran agama sebelumnya. Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang lakilaki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.153 Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.154 Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahuinya.155 (2) Kebenaran kenabian Muhammad dan ajaran Islam yang dibawanya telah terwartakan dalam kitab-kitab suci agama-agama sebelumnya, 152

Ibid., 60: 8. Kata khatam dalam ayat ini ditafsiri oleh pendukung faham pluralisme agama bukan dengan arti penutup, melainkan sebagai cincin, yaitu cincin pengesah bagi keabsahan agama-agama yang ada [Lihat: Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 23]. 153 Al-Qur’an, 33: 40. 154 Ibid., 34: 28. Ayat lainnya, 7: 158. 155 Ibid., 45: 18.

62 | Nyong ETIS

sehingga keimanan yang benar dan utuh hanya dapat diperoleh dengan penerimaan akan hal ini. (3) Kitab suci dan ajaran agama-agama terdahulu sudah tidak lagi otentik, terutama terkait konsep ketauhidan dan kenabian Muhammad. Satu-satunya wahyu otentik yang masih terpelihara isi dan ajarannya adalah yang dimiliki oleh Islam.156 Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.157 (4) Islam memiliki konsep ketuhanan yang khas, berbeda dengan apa yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lainnya. Kalaupun ada kemiripan, maka hal itupun tidak bisa ditafsirkan sebagai bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama, yakni Tuhan Universal Yang Esa (The One Universal God), karena masingmasing konsep tersebut dipergunakan sesuai dengan dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda. (5) Pengertian Islam tidak sebatas makna generiknya saja, yakni berserah diri kepada Allah, melainkan juga mencakup pengertian tak terpisahkan berupa ketundukan untuk menerima dan mentaati syariah atau hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Jadi, Islam menggabungkan aspek batin (esoteris) dan lahir (eksoteris) sekaligus, tidak ada pemisahan antara keduanya. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesunggunya dia telah sesat, sesat yang nyata.158

156

Ketiga prinsip pertama ini juga diulas oleh Abu al-A'la al-Maududi dalam bukunya: What Islam Stands for (Plainfield: The Muslim Students' Association of the U.S. & Canada, 1981), 2-5. 157 Al-Qur’an, 15: 9. 158 Ibid., 33: 36.

Jalan Cinta Menuju Surga | 63

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.159 Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: ”Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.160 Keseluruhan prinsip tersebut, sebagaimana telah ditegaskan di muka, secara kolektif mengimperasikan sebuah klaim bahwa hanya Islam sajalah, satu-satunya jalan yang absah dan valid bagi umat manusia akhir zaman untuk memperoleh keselamatan eskatologis. Tegasnya, tidak ada surga di luar Islam. Nabi Muhammad Saw. pernah bersumpah: Demi Yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, tidak seorangpun dari umat (akhir zaman) ini yang telah mendengar tentangku, entah Yahudi atau Nasrani, kemudian ia tidak beriman dengan risalah (Islam) yang kubawa, kecuali bahwasanya dia akan termasuk golongan penghuni neraka. 161

159

Ibid., 4: 65. Ibid., 24: 51. 161 HR. Muslim dari Abu Hurairah. 160

7 ADA KESELAMATAN DI LUAR ISLAM Pandangan dan sikap para pemikir muslim yang dapat dikategorikan masuk dalam barisan pendukung klaim adanya keselamatan eskatologis di luar Islam terungkap antara lain melalui tafsir mereka atas ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang berbicara tentang tema terkait. Selain itu, konstruk pemikiran mereka juga tertangkap melalui ulasan dan kritikannya terhadap pemikiran rival. Hal serupa ini juga terjadi sebelumnya ketika menguak konstruk pemikiran yang mengklaim tidak adanya keselamatan eskatologis bagi non-muslim dilakukan. Jadi, tesa masing-masing posisi akan dapat dibaca dengan bantuan dari pendapat atau tanggapan antitesanya. Adapun secara definitif, pendukung utama klaim ini sebenarnya adalah para intelektual muslim yang menerima konsep pluralisme agama.162 Hanya saja dalam pembahasan ini, lebih difokuskan pada aspek atau dimensi eskatologisnya, yang merupakan konsekuensi logis dari kepercayaan teologis atau metafisis tentang keabsahan agama-agama selain Islam. Tokoh-tokoh muslim klasik yang kepadanya faham ini kerapkali dinisbatkan antara lain adalah al-Hallaj, Ibn Arabi, dan Jalaluddin Rumi. Pemikiran ketiga tokoh ini sering disebut-sebut menjurus pada pengabsahan wahdat al-adyan sebagai pandangan hidup (world view) yang khas dari Islam. Di era kontemporer, ide dan gagasan tersebut bermetamorfosa, muncul di dalam bahkan menjadi inspirasi bagi pemikiran para penyokong filsafat perennial dan faham pluralisme 162

Majalah pemikiran dan peradaban Islam "Islamia" terbitan Insist dan Khairul Bayan, Jakarta; dalam pengantar edisinya no. 3 dan 4 menyebutkan bahwa pluralisme agama memiliki setidaknya dua aliran yang relatif berbeda meskipun ujung-ujungnya sama, yakni aliran kesatuan transenden agama-agama (the transcendent unity of religions) dan aliran teologi global (global theology). Jika yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, maka yang kedua justru dapat dibaca sebagai kepanjangan tangan dan pendukung gerakan globalisasi.

Jalan Cinta Menuju Surga | 65

agama seperti Rene Guenon, Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr, dan lainnya.163 Sekalipun kemudian muncul kritik dan bantahan dari pemikir lainnya atas kevalidan tafsir mereka sebagaimana nanti akan dijelaskan dalam uraian selanjutnya. Tanpa mengabaikan fakta ini, penulis tetap mencoba menghadirkan pemikiran tokoh-tokoh tersebut dalam framework yang dianggit oleh para pendukungnya. Al-Hallaj merupakan seorang proponen paling awal yang disebutsebut menerima klaim keselamatan eskatologis di luar Islam. Di antara tebaran pemikirannya, memang terdapat ide-ide yang dapat dipersepsi sebagai sumbangsihnya bagi faham pluralisme agama. Semisal yang terekam dalam tafsirnya atas kisah Musa As. ketika diajak bicara oleh Allah, yang tampak di mata telanjangnya sebagai pohon belukar api (burning bush) yang berbicara. Al-Hallaj menginspirasikan pemahaman bahwa hal tersebut adalah suatu fenomena ketika seseorang telah sampai pada titik kesadaran diri dimana ia tercerap ke dalam hakikat kebenaran sehingga kebenaran itu sendiri tampak hadir dalam setiap apa yang dilihatnya secara lahir. 164 Maka tak heran jika ia menyebutkan dalam syairnya:165 Kusaksikan Tuhanku dengan penglihatan Tuhanku; Maka kubertanya: siapa Engkau? Dia menjawab: engkau

163

Nasr menyebut beberapa tokoh yang segaris-sehaluan dengannya dalam pluralisme agama, antara lain: Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy, Titus Burckhardt, Marco Pallis, Martin Lings, dan Fritjhof Schuon [Lihat catatan kaki Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (Albany: State University of New York Press, 1972), 126]. 164 Lihat: Abu Abdurrahman al-Sulami, Tabaqat al-Sufiyah (Kairo: Maktabah alKhanijy, 1986), 309. Mircea Eliade mengatakan bahwa sesuatu benda semisal batu atau pohon ketika bermanifestasi sebagai yang sakral, ia menjadi sesuatu yang lain. Dalam ujudnya ia tetaplah batu atau pohon, tetapi realitasnya berubah menjadi realitas supranatural [The Sacred and the Profane (t.t.: Harper Torchbook, 1961), 12]. 165 Ali al-Khatib, Ittijahat al-Adab al-Sufy: Bayn al-Hallaj wa Ibn Arabi (Kairo: Dar alMa'arif, 1983), 196.

66 | Nyong ETIS

Berkaca pada kisah (Musa As.) ini, al-Hallaj berkata bahwa peran yang dipilihnya adalah untuk merepresentasikan belukar itu dalam kehidupannya.166 Faham al-Hallaj didasarkan pada pandangannya tentang Tawhid, dimana Tuhan adalah satu, unik, sendiri, dan terbukti satu (one, unique, alone, and attested one).167 Maka tauhid dalam keyakinannyapun mempersilahkan kehadiran konsep ketuhanan yang beraneka ragam. Baginya, Tuhan tak dapat disifati dengan apapun. Penyifatan justru hanya akan membatasi-Nya.168 Dari sinilah terpahami mengapa ia tidak menyoal penyembahan melalui konsep monoteisme dan politeisme, karena pada dasarnya, kufur dan iman itu hanya berbeda dari segi nama dan logikanya, yakni antara yang satu dan banyak, bukan dari segi hakikatnya. Menurutnya, jika ditelusuri, niscaya akan dijumpai bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut akan mengarah kepada satu Tuhan.169 Al-Hallaj mengatakan jika permenungannya terhadap agamaagama yang berbeda telah menghasilkan simpulan yang mengantarnya pada pemahaman bahwa ternyata terdapat suatu prinsip unik yang merajut keseluruhan agama-agama tersebut. Prinsip tersebut akan hadir dengan sendirinya kepada seseorang sehingga mampu memahaminya. Maka dari itu, seseorang tak usahlah dipinta agar memeluk suatu kepercayaan tertentu, karena hal itu justru dapat menjauhkannya dari meraih prinsip yang fundamental tersebut. 170 166

"My own role is to represent this bush" [Massignon, The Passion, vol.3, 293]. Ibid., 316. 168 Ibid., 322. 169 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama (Yogyakarta: LKiS, 2002), 12-16. 170 Lihat catatan kaki Frithjof Schuon, Understanding Islam (Baltimore: Penguin Books, 1972), 143. I have meditated on the various religions, forcing myself to understand them, and I have found that they arise from a uniqe principle having numerous ramifications. So do not ask of a man that he should adopt this or that religion, for that would take him away from the fundamental principle; it is this principle itself which must come to seek him; in this principle are elucidated all heights and all meanings, then he (the man) will understand 167

Jalan Cinta Menuju Surga | 67

Pemikiran al-Hallaj ini terkait erat dengan pemikirannya tentang konsep hulul dan Nur Muhammad. Al-Hallaj memang seorang tokoh yang terkenal dengan ucapannya, "Ana al-Haq", Akulah al-Haq (Sang Kebenaran; Allah).171 Akulah al-Haq dan al-Haq bagi al-Haq adalah haq (kebenaran) yang ”berbungkus” dzat-Nya, maka dari itu bedakanlah Dijelaskan oleh Mahmud jika ucapan hululiyah-nya tersebut tidak tepat jika dimaknai sebagai kesatuan diri hamba dan diri Tuhannya sebagaimana terpahami oleh konsep kesatuan wujudnya (wahdat alwujud) Ibn Arabi. Sebab, al-Hallaj sendiri menafsirkan syairnya itu dengan mengatakan:172 Aku adalah rahasia al-Haq, bukanlah al-Haq itu aku; aku tak lain hanyalah haq, maka bedakanlah di antara kami Sedangkan Nur Muhammad adalah konsep yang menegaskan emanasi wujud segala sesuatu, termasuk para nabi, dari cahaya Muhammad (di alam azali); sehingga pada prinsipnya semua agama adalah sama karena memancar dari jalan petunjuk yang satu. Maka dari itu, al-Hallaj menyalahkan mereka yang menyalahkan agama orang lain. Hal penting baginya adalah hakikat, bukan bentuk lahirnya. Ia mengatakan: Barangsiapa perhatiannya tertuju (terikat) pada perbuatanperbuatannya niscaya terhalangi dari siapa yang untuknya perbuatan itu dilakukan; dan barangsiapa perhatiannya tertuju pada siapa yang untuknya ia harus berbuat akan terhalangi dari melihat perbuatan-perbuatannya.173

them. Mahmud, Al-Falsafah al-Sufiyah, 365. 172 Ibid., 370 dan 501. Lihat: Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2004), 80. 173 Al-Sulami, Tabaqat al-Sufiyah, 308. 171

68 | Nyong ETIS

Jadi, siapapun yang terlalu terpukau atau terpaku pada bentuk (lahiriah) akan menjadi abai atau setidaknya kurang mendalam perhatiannya terhadap yang esensi (batiniah). Selaras dengan pandangan tersebut, relevan jika dikemukakan juga pemikiran tentang kewalian (wilayah) yang disandarkan kepadanya. Al-Hallaj dianggap sebagai seseorang yang mula-mula meyakini bahwa kewalian lebih utama daripada kenabian (nubuwwah). Kewalian adalah intisari (jawhar) kenabian, sehingga seseorang yang telah mencapai derajat kewalian yang sempurna, maka syariat yang dibawa para nabi tidak lagi mengikat dirinya. Pemikiran ini di kemudian hari dinilai menjadi lahan subur bagi perkembangan pemikiran tentang kesatuan ibadah (tawhid al-'ibadah) dan kesatuan agama-agama (wahdat aladyan) dalam aliran Ibn Arabi.174 Ibn Arabi merupakan figur representatif yang mengikuti jejak pendahulunya, al-Hallaj. Ia juga beranjak dari pembacaan atas Tuhan yang menurutnya tidak dapat terlihat oleh siapapun (visible to no one). Ia menolak klaim para sufi yang mengaku melihat Tuhan dalam keadaan ekstasi atau fana' mereka. Tuhan hanya menjadi nampak dalam bentukbentuk ephipani atau penampakan (mazahir; majally), yang tersusun dalam alam semesta.175 Tuhan hadir dalam keyakinan di hati. Ia membuka rahasia diri-Nya sendiri kepada hati dalam suatu cara yang memungkinkan hati mengakui-Nya. Lantas mata ini menyaksikan hanya Tuhan dari keyakinan. Keyakinan melahirkan ukuran dari kapasitas hati. Itulah mengapa terdapat banyak keyakinan-keyakinan yang berbeda. Kepada setiap orang yang percaya, Tuhan adalah Dia yang menyingkapkan dirinya dalam bentuk keyakinan (iman). Jika Tuhan menampakkan dirinya dalam bentuk yang berbeda, orang yang percaya tidak dalam bentuk itu akan menolak-Nya, dan inilah sebab mengapa keyakinan-keyakinan dogmatis bertikai satu dengan lainnya.176

174

Mahmud, Al-Falsafah al-Sufiyah, 381 dan 405. William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 337. 176 Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi (New York: 175

Jalan Cinta Menuju Surga | 69

Konsepsi ketuhanan Ibn Arabi dengan demikian berdiri di atas dikotomi yang membedakan antara Tuhan yang sebenarnya dengan Tuhan yang merupakan persepsi manusia terhadap-Nya. Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan dalam diri-Nya sendiri, dalam Dhat-nya, yang tidak dapat diketahui karena keterbatasan akal manusia. Ibn Arabi menyebutnya sebagai al-Ilah al-Haqq (The Real God), al-Ilah al-Mutlaq (The Absolute God), al-Ilah al-Majhul (The Unknown God), atau Ankar alNakirat, al-Ghayb al-Mutlaq, dan al-Ghayb al-Aqdas. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.177 Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.178 Sedangkan Tuhan dalam kepercayaan manusia, yang tentu diwarnai oleh kapasitas pengetahuan dan kesiapan partikular mereka (al-isti'dad aljuz'iy) untuk mempersepsi-Nya, disebut oleh Ibn Arabi sebagai Ilah almu'taqad, al-Ilah al-Mu'taqad, al-Ilah fi al-i'tiqad, al-Haqq al-I'tiqady, alHaqq alladhi fi al-mu'taqad, dan al-Haqq al-makhluq fi al-i'tiqad.179 Musa berkata: “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.”180 Di tengah-tengah berbagai bentuk keyakinan dan peribadatan yang berbeda tersebut, ahli makrifat (the Gnostic) hanya akan melihat satu hakikat obyek sesembahan.181 Dari titik inilah semua tipe agama adalah sama (equal), dan Islam tidak lebih baik daripada kultus (idolatry). Di sini tidak menjadi penting keyakinan apa yang seseorang miliki atau Princeton University Press, 1969), 197. 177 Al-Qur’an, 6: 103. 178 Ibid., 42: 11. 179 Kautsar Ashari Noer, "Tuhan yang Diciptakan dan Tuhan yang Sebenarnya", Paramadina, 1 (Juli – Desember, 1998), 129-147. 180 Al-Qur’an, 20: 50. 181 Mahmud, Al-Falsafah al-Sufīyah, 504.

70 | Nyong ETIS

ritual apa yang ia kerjakan.182 Masjid sejati adalah hati yang suci dan jernih dimana semua orang menyembah Tuhan di dalamnya,183 jadi, bukan di dalam masjid yang terbuat dari batu. Ibn Arabi menasehatkan agar seseorang hendaknya tidak terlalu mengikatkan diri secara eksklusif kepada suatu faham keyakinan tertentu. Sebab menurutnya, eksklusivisme tersebut hanya akan menggagalkan seseorang untuk menemukan dan mengakui kebenaran hakiki dari suatu persoalan sehingga cenderung menyalahkan yang lain. Padahal Tuhan yang Maha Wujud dan Kuasa tidaklah terbatasi oleh sekat-sekat sempit suatu keyakinan peribadatan. Dia hadir dalam tiap bentuk kepercayaan manusia. 184 Ibn Arabi menegaskan bahwa tidak ada agama yang lebih mulia dari agama cinta dan rindu akan Tuhan. Cinta adalah esensi dari semua keyakinan, terlepas apapun yang menjadi kulit luarnya. Dalam syairnya ia berkata:185 182

Siapapun menyembah Tuhan Yang Satu, yang bermanifestasi dalam bentukbentuk peribadatan yang berbeda. Inilah konsep dasar Wahdat al-Adyan Ibn Arabi, yang mengimperasikan kekurang-tepatan pendapat yang memahami bahwa Tuhan hanya bermanifestasi terbatas pada satu bentuk saja [Ibid., 516]. 183 Lihat: James W. Morris, "Classical Muslim Approaches to the Understanding of Islam and Other Religions (and their Implications for Interreligious Understanding)", Analytica Islamica, 1 (Mei, 2002), 1-14. 184 Nicholson, The Mystic, 61-62. Do not attach yourself to any particular creed exclusively, so that you disbelieve in all the rest; otherwise, you will lose much good, nay, you will fail to recognaize the real truth of the matter. God, the omnipresent and omnipotent, is not limited by any one creed, for He says (Kor.2 109), "Whosoever ye turn, there is the face of Allah." Every one praises what he believes; his god is his own creature, and in praising it he praises himself. Consequently he blames the beliefs of others, which he would not do if he were just, but his dislike is based on ignorance. If he knew Junayd's saying, "The water takes its color from the vessel containing it," he would not interfere with other men's beliefs, but would perceive God in every form of belief. 185 Asin Balathiyus, Ibn Arabi: Hayatuh wa Madhhabuh (Beirut: Dar al-Qalam, 1979), 265-266. Pada konteks ini, Ibn Arabi sebenarnya melihat adanya kesamaan inti ajaran

Jalan Cinta Menuju Surga | 71

Hatiku mampu menampung segala bentuk: Ia ibarat padang rumput bagi kawanan rusa, biara bagi para rahib Kristen; kuil berhala yang dipuja, Ka’bah para peziarah, lempengan kitab Taurat, dan mushaf al-Qur’an. Aku memeluk agama cinta: kemanapun jalan cinta itu menuju, kesana pulalah agama dan keyakinanku mengarah. 186 Tokoh lain yang juga dipandang menyokong faham pluralisme agama adalah Rumi. Ia mengatakan bahwa dunia ini dicipta dalam bentuk dan arah yang beragam, tapi dunia perintah dan sifat-sifat ketuhanan melampaui segala arah, tidak ada ciptaan yang tidak terhubung dengan-Nya. Hubungan itu tidak tergambarkan, karena dalam jiwa tidak ada pemisahan dan pembagian, sementara pikiran manusia

dalam agama-agama tersebut dengan keyakinan bahwa dalam kitab-kitab mereka terdapat pesan dan ajaran untuk mengimani Nabi Muhammad Saw. yang kelak akan diutus untuk umat akhir zaman dan kewajiban mengikuti syariatnya ketika hari itu tiba. Di sini iapun mempercayai bahwa Islam adalah agama penutup dan penyempurna yang mencakup semua kearifan ajaran agama-agama yang sebelumnya. Sehingga, dengan kesempurnaan ini, sesungguhnya siapapun juga pemeluk agama lain yang kemudian memutuskan untuk masuk Islam dia akan mendapati bahwa seakan ia tidak mengubah agamanya, justru meneguhkan dan memperoleh kesempurnaan. Jadi bukan sebagaimana yang disalahpahami bahwa ia membenarkan semua agama. Bahkan justru dengan ungkapannya ini, sebenarnya Ibn Arabi menunjukkan kelebihan dan superioritas Islam atas ajaran agama-agama lainnya. Dalam kerangka ini juga semestinya pernyataan berikut ini dipahami [Ibid', 267]: Nasrani dan ahli kitab masing-masing mereka jika masuk Islam sebenarnya tidaklah mengganti agamanya, karena dalam agama mereka ada keimanan pada Muhammad Saw. dan memasuki syariatnya. Tatkala ia diutus maka risalahnya bersifat umum. Jadi, sebenarnya tidak seorangpun, dari puak tradisi keagamaan apapun, yang mengganti agamanya ketika ia berserah diri (masuk Islam). Maka pahamilah. Argumentasi lain yang juga menyanggah klaim mereka yang menyatakan Ibn Arabi mendukung pluralisme agama juga dapat dibaca melalui tulisan Sani Badron, "Ibn alArabi tentang Pluralisme Agama", Islamia, 3 (September-November, 2004), 29-42. 186 Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages (New York: Caravan Books, 1969), 118. Lihat juga: Nicholson, The Mystic, 75.

72 | Nyong ETIS

tidak dapat berfikir kecuali (dalam kerangka) pemisahan dan pembagian. Pemikir tak mampu memahami secara menyeluruh realitas ini karena keterbatasan pemikiran yang hanya mampu bergerak dalam kategorikategori. Itulah mengapa Nabi menyatakan, ”Janganlah mencari tentang esensi Tuhan.”187 Rumi menganalogikan hakikat (Reality) dengan seekor gajah dalam kegelapan. Manusia merasakannya dengan telapak tangannya. Tangan itu menyentuh belalainya, hingga ia berfikir bahwa gajah itu seperti pipa air. Tangan orang lain menyentuh kupingnya, sehingga gajah itu seperti sebuah kipas. Lainnya lagi menyentuh kaki gajah hingga berkesimpulan bahwa gajah itu seperti sebuah tiang. Sedangkan yang lainnya lagi menyentuh punggung sehingga gajah dipikirnya seperti singgasana. Kata Rumi, jika saja ada lilin pada masing-masing orang, niscaya perbedaan akan sirna. Persepsi inderawi sebenarnya ibarat telapak tangan tanpa lilin itu, yakni keterbatasannya untuk mampu mencerap keseluruhan hakikat kebenaran (yang diilustrasikan dengan gajah).188 Tujuan final dan tertinggi di sini tentunya adalah Tuhan. Tapi para Korporealis dan Antropomorfis tidak dapat membangun konsepsi spiritual Tuhan. Mereka menyematkan kepada-Nya sifat-sifat ragawi. Tapi cinta yang sejati mentransendensikan semua dualitas itu.189 Jika al187

Iqbal, The Life and Work, 197. Ibid., 216. If there had been a candle in each one's hand, the difference would have gone out of their words. The eye of sense-perception is like the palm of the hand: the palm has no power to reach the whole of the elephant. Kisah ini sempat diambil John Hick sebagai inspirasi faham pluralismenya, tetapi Gulpaigani mengkritiknya, bahwa perumpamaan yang dipakai Rumi itu dalam konteks pengibaratan keterbatasan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui pancaindera. Tegasnya, hakikat-hakikat supranatural tidak bisa diketahui dengan mengandalkan pengetahuan inderawi. Jadi, ini bukan soal gajahnya, tetapi sarana untuk mengetahuinya. Maka, untuk memahami hakikat lebih utuh, manusia membutuhkan bimbingan tidak saja indera, tetapi juga intuisi, akal dan wahyu [Gulpaigani, Menggugat, 53-54]. 189 Perhatikan pemikirannya tentang baik dan buruk: 188

Jalan Cinta Menuju Surga | 73

Hallaj ketika mendeklarasikan penyatuan mistikalnya dengan Tuhan, yang mengantarnya ke tiang penyaliban, berkata: ”Thy spirit is mingled in thy spirit even as wine is mingled with pure water. When anything touches Thee, it touches me. Lo, in every case Thou art I.” Jiwa ini telah menyatu dalam jiwa itu laksana anggur yang tercampur sempurna dengan air jernih. Maka apapun yang menyentuh-Mu akan menyentuhku pula. Dalam segala sesuatu, Engkau mewarnaiku!; maka Rumi juga mengatakan hal yang serupa: “Sometimes I say to thee, ‘Tis thou,' sometimes, ‘Tis I'; Whatever I say, I am the sun illuminating (all)”. Terkadang aku menyatakan kepadamu, ’Ini engkau’, dan terkadang pula

Segala sesuatu adalah baik dan sempurna jika dihubungkan dengan Tuhan, tetapi tidak demikian jika dihubungkan dengan kita. Kemaksiatan dan kesucian, meninggalkan kewajiban ibadah dan menunaikannya, kafir dan Islam, kepercayaan berhala dan pengakuan atas keesaan Tuhan –semua adalah baik dalam hubungannya dengan Tuhan. Tapi dalam hubungannya dengan kita, kemaksiatan, mencuri, kafir, dan penyembahan berhala adalah jelek, sementara mengakui keesaan Tuhan, beribadah dan berderma adalah baik. Tetapi jika dihubungkan dengan Tuhan, semua adalah baik [William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi (Albany: State University of New York Press, 1983), 54]. Pada konteks ini pula perlu diperhatikan perbedaan yang khas antara pemikiran Ibn Arabi dan Rumi. Kedua-duanya memang berbicara tentang agama cinta, tetapi bukan berarti bahwa keduanya memiliki perspektif yang sama mengenainya. Bagi Rumi, cinta berikut keindahan dan kesenangan yang tercakup dalam pengertiannya, adalah hati dan sumsum dari agama, tema sentral dari semua spiritualitas; sementara bagi Ibn Arabi, cinta adalah suatu moda yang mungkin dari realisasi kebenaran yang tak dapat terbatasi. Ketika membaca Rumi, seseorang segera akan terarah pada pengalaman cinta sebagai pusat realitas melampaui beragam konseptualisasi yang mungkin; tapi ketika membaca Ibn Arabi, seseorang akan merasakan bahwa cinta adalah segala-galanya. Titik tekannya berada pada pengalaman dan pemahaman atas wujud ultim, tetapi cinta tidak perlu menjadi alat utama untuk meraihnya, sementara deskripsi teoritis dari realitas itu dan alat untuk mencapainya masih tetap menjadi perhatian utamanya [William C. Chittick, "Rumy and the Mawlawiyyah", dalam Islamic Spirituality Manifestations, ed. Seyyed Hossein Nasr (New York: The Crossroad Publishing Company, 1997), 105-126].

74 | Nyong ETIS

’Ini aku’. Tetapi apapun yang terkatakan, aku adalah matahari yang menyinari (segala sesuatu).190 Semua sifat-sifat lantas tampak menjadi tak berdaya ketika berupaya mendeskripsikan hakikat ketuhanan, sebab Dia dalam diri-Nya masih tetap merupakan misteri yang tak terekspresikan (the unexpressed mistery). Semua hal diakui atas keberadaan oposisinya, dan Tuhan sendiri tidak memiliki oposisi. Imajinasi manusia tetap tak kuasa memahami hakikat subtil ketuhanan. Apapun ide yang mungkin kita bangun tentang Tuhan dalam benak kita, Ia tetap berbeda dari itu semua. Semisal gembala dalam Masnawi, kata Rumi, kita pun bisa jadi akan mempergunakan terma-terma antropomorfik dalam memuji-Nya. Tetapi patut diingat bahwa hal itu tidak akan berhasil menggambarkan hakikat Tuhan yang sesungguhnya. Tahap tertinggi dari pujian tentulah dengan hati, bukan dengan mulut. Tuhan bersifat independen dari semua pujian, semua kemurnian atau ketidakmurnian, semua kemalasan atau kerelaan. Ia disembah sama-sama oleh kaum beriman dan juga kaum kafir. Tapi Dia tidak terkenai sanksi, karena Tuhan mencukupi diri sendiri secara absolut.191 Pemikir modern yang secara meyakinkan mengambil estafeta ide serupa para sufi terdahulu, salah satunya adalah Frithjof Schuon, yang telah mendedikasikan hidupnya untuk meneguhkan adanya kesatuan jiwa agama.192 Schuon melihat bahwa agama adalah realitas dua dimensi, yaitu eksoteris dan esoteris. Eksoteris merupakan aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika, dan moral sebuah 190

Iqbal, The Life and Work, 243. Formula sufistik ini mengilustrasikan suatu cara pandang esoteris [Lihat: Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions (Illinois: The Theosophical Publishing House, 1993), 47]. 191 Iqbal, The Life and Work, 247. 192 Dalam bahasa Huston Smith: Terdapat kesatuan pada sanubari agama-agama. Lebih dari hanya bersifat moral iapun bersifat teologis; dan bahkan lebih dari itu, ia juga bersifat metafisis dalam suatu pengertian yang pasti dari kata yang telah disebut: yaitu mentransendensikan dunia yang manifes ini [Baca pengantar Smith untuk edisi revisi buku Schuon, The Transcendent, xxiii].

Jalan Cinta Menuju Surga | 75

agama. Ia adalah Form, Maya atau kosmos yang tercipta. Sedangkan esoteris adalah aspek metafisis atau dimensi internal agama. Ia ibarat hati bagi eksoterisme. Essence yang tak berbentuk. Atma yang absolut, wujud akhir yang menjadi titik temu agama-agama. Ketika konsep ini diarahkan untuk memotret wujud agama-agama, dalam konteks hirarki wujud, semua agama adalah nisbi. Hanya Allah-lah sebagai Esensi atau Allah dalam dirinya sendiri yang mutlak. Itulah agama abadi, religio perennis, dasar bagi transcendent unity of religions. Tuhan pada level esoteris, yang melintasi sekat-sekat agama. Allah yang Esensi ini kemudian, ketika bermanifestasi, Dia menjadi Tuhan Personal. Yaitu Tuhan pada level eksoteris atau Tuhan yang dipersepsikan secara eksklusif oleh suatu agama. Dengan demikian Ia menjadi relatif, meski hanya melalui yang relatif inilah Dia dapat diketahui. 193 Ia mengatakan bahwa kebenaran absolut hanya dapat ditemukan di balik segala ekspresi yang mungkin. Baginya, klaim eksoteris hanyalah berujung pada kepemilikan kebenaran secara eksklusif yang menampik adanya fakta yang bersifat khas (unik). Mereka meyakini kebenaran yang absah yang berhak atas keselamatan eskatologis hanyalah satu, yakni kebenaran seperti yang mereka yakini. Klaim semacam ini tentu tidak berguna untuk meraih pengenalan akan adanya kebenaran dalam ajaran agama yang lain. Tidak tertarik pada kedalaman kebenarannya sendiri dan kurang pula pada kebenaran lainnya, atau setidaknya ia menolak kebenaran itu. Hal ini merupakan pengabaian atas sebab ideologi pemeluk agama yang eksklusif, yang secara fundamental tidak lain merupakan kebingungan yang nyata atas adanya perbedaan antara yang formal dan yang universal. Sehingga ide-ide tentang pluralitas agama mungkin akan senantiasa dicurigai oleh pemburu keselamatan individual yang eksklusif. Tegasnya, Pure and absolute Truth can only be found beyond all its possible expressions; these expressions, as such, cannot claim the attributes of this Truth; their relative remoteness from it is 193

Baca: Adnin Armas, "Gagasan Frthjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama", Islamia, 3 (September-November, 2004), 9-18.

76 | Nyong ETIS

expressed by their differentiation and multiplicity, by which they are strictly limited. 194 Kebenaran murni dan absolut hanya dapat ditemukan di balik semua ekspresinya yang mungkin; ekspresi-ekspresi tersebut, bagaimanapun, tidak dapat mengklaim seluruh sifat kebenaran ini; cakupan relatifnya tampak melalui diferensiasi dan keragamannya, yang mana mereka itu jelas-jelas memiliki keterbatasan. Agama dalam pemikiran Schuon dapatlah kemudian dipahami hanya suatu bentuk (form) yang memiliki keterbatasan dan paradoksi. Maka dari itu, setiap bentuk agama tampak memiliki Tuhan partikularnya masing-masing. Fragmentasi agama-agama kemudian muncul sebagai hasil dari kecenderungan untuk menegasikan kemungkinan-kemungkinan formal lainnya yang berbeda.195 Schuon menganalogikan agama-agama itu dengan lampu-lampu kaca yang berbeda warna (lamps of colored glass). Lampu mampu menerangi tempat gelap bukanlah karena ia berwarna merah, biru, kuning atau hijau; tetapi karena cahaya yang terpancar darinya. Setiap agama tentu merujuk pada entitas Tuhan tertentu (a divine subjectivity atau a theophanic individuality), tetapi pada saat yang sama, hal itu tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang sama (objective) bagi agama yang lainnya.196 Schuon berpendapat bahwa berhenti pada bentuk dan sosok eksternal (exoteric) serta menganggapnya sebagai absolut secara absolut (absolutely absolute) adalah kesalahan fatal, sebab kebenaran eksternal (exoteric truth) pada hakikatnya dibatasi oleh batasan-batasan konseptual ekspresif dan definitif. Dengan kata lain, bahwa yang mutlak dalam semua agama, termasuk Islam, adalah dimensi esoteriknya. Adapun dimensi eksoterisnya harus tetap relatif untuk berkoeksistensi dengan agama-agama besar yang lain. Meski demikian, relativitas 194

Schuon, The Transcendent, 20. Schuon, Understanding Islam, 143-144. 196 Frithjof Schuon, Christianity/Islam: Essays on Esoteric Ecumenicism (Bloomington: World Wisdom Books, 1985), 152. 195

Jalan Cinta Menuju Surga | 77

dimensi eksoterik ini sama sekali tidak mempengaruhi kemutlakan masing-masing agama dalam kaitannya dengan dunia partikularnya sendiri, yang diistilahkannya dengan relatively absolute (absolut relatif). Seyyed Hossein Nasr, tokoh pluralis kontemporer, menjelaskan konsep Schuon ini melalui dua cara: Pertama, lewat penegasan yang disebutnya sebagai Primordial Truth, bahwa only the Absolute is absolute, hanya Dhat yang absolut saja yang absolut. Karena itu, selain yang absolut, termasuk agama-agama, masuk dalam wilayah relatif. Hanya saja, karena agama merupakan jelmaan Yang Absolut, maka segala sesuatu yang ada dalam agama termasuk wahyu seperti al-Qur’an atau Logos seperti Kristus, sudah barang tentu sakral dan karenanya absolut tanpa harus menjadi Dhat Absolut itu sendiri. Karena itu, kemutlakan agama tidaklah mutlak, tetapi nisbi sesuai dengan dunia partikularnya sendiri. Hal ini diibaratkan Nasr dengan matahari dalam tatasurya kita, dimana ia adalah satu-satunya. Namun di saat yang sama, ia hanyalah salah satu dari sejumlah matahari yang ada di galaksi ini. Jadi, pada waktu yang sama, ia adalah a sun (salah satu matahari), sekaligus the Sun (satu-satunya matahari). Kedua, melalui pandangan bahwa setiap agama sejatinya adalah manifestasi dari model dasar (archetype di alam ideal) yang merupakan salah satu aspek dari hakikat Tuhan. Perbedaan dalam model-model dasar inilah yang sebenarnya menentukan perbedaan tabiat setiap agama dan selanjutnya menimbulkan keberagaman agama dalam manifestasi historisnya. Meski demikian, model dasar ini senantiasa mengekspresikan fokus tunggal dan tetap terangkum dalam lingkaran yang tunggal pula. 197 Analisis dan interpretasi tersebut dengan sendirinya mengimplikasikan penerimaan pada keaslian dan orisinalitas semua agama serta keabsahannya untuk diikuti di setiap saat dan semua tempat. Karena tiap agama berasal dari Sang Kebenaran, maka segala hal dalam agama yang dinyatakan berasal dari Logos adalah sakral 197

Lihat: Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 292.

78 | Nyong ETIS

dan seharusnya dihargai serta diperlakukan secara hormat tatkala ia dibahas dan bukan justru mengabaikan dan memperlakukannya seolah tak bermakna dengan dalih semacam universalitas yang abstrak.198 Pertanyaan tentang superioritas agama tertentu di atas yang lain dengan sendirinya menjadi tidak relevan, meski gurunya Nasr, yaitu Schuon, mengakui bahwa form yang satu bisa lebih superior dibanding dengan form yang lain, yang hal ini merupakan salah satu pemicu adanya konversi atau perpindahan agama.199 Bagi Nasr, memeluk atau mengimani agama apapun, kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya secara sempurna berarti telah memeluk dan mengimani semua agama.200 Untuk memperkuat argumentasinya, Nasr berpendapat bahwa hikmah (kebijaksanaan) dan 'adl (keadilan) Allah meniscayakan kebenaran simpulannya itu. Sebab, mustahil Allah yang Maha Adil dan Bijaksana akan membiarkan agama-agama dunia dalam kesesatan selama beribu-ribu tahun, padahal berjuta-juta manusia telah mencari jalan keselamatan dan pencerahan melaluinya. Dengan demikian, pluralisme agama memang merupakan iradah (kehendak) Allah. Konsekuensinya, semua agama adalah benar dan absah untuk diikuti.201 Agama-agama yang ada ibarat jalan-jalan yang berbeda menuju suatu puncak atau tujuan yang sama (all paths lead to the same summit).202

198

Ibid., 293. Armas, "Gagasan Frthjof Schuon …", 9-18. 200 Simpulan serupa juga dikemukakan oleh Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, ter. Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), 217. 201 Kata Ali Harb, "Satu kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang lainnya, namun malah mendukungnya" [Relativitas Kebenaran Agama: Kritik dan Dialog, ter. Umar Bukhory dan Ghozi Mubarak (Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), 171]. 202 Anis Malik Toha, "Seyyed Hossein Nasr Mengusung "Tradisionalisme" Membangun Pluralisme Agama", Islamia, 3 (September-November, 2004), 19-28. Dalam ungkapan S. Radhakrishnan: "varied expressions of a single truth" [Eastern Religions and Western Thought (Oxford: Oxford University Press, 1975), 306]. 199

Jalan Cinta Menuju Surga | 79

Penafsiran Nasr terhadap eksistensi agama-agama ini sebenarnya dapat pula dilacak pada interpretasinya terhadap istilah Islam, yang menurutnya, adalah agama primordial (al-din al-hanif) yang berintikan pada hakikat azali kemanusian (fitrah). Nasr mengatakan: Islam menganggap dirinya sendiri sebagai agama primordial (aldin al-hanif) karena berdasar pada doktrin kesatuan yang senantiasa ada dan hadir dalam hakikat segala sesuatu. Setiap agama pada puncaknya bersandar pada doktrin kesatuan yang dinyatakan dalam Islam bahwa “doktrin kesatuan adalah khas” (al-tawhid wahid). Hanya ada satu doktrin kesatuan yang tiap agama telah meyakininya dan yang Islam datang untuk menegaskan kembali apa yang selalu ada itu serta mengembalikan agama primordial sebagaimana awal adanya, yakni kebijaksanaan abadi (the eternal Sophia). Ia berhasil melakukan ini dengan keteguhannya pada keesaan Tuhan dan upayanya mengembalikan manusia kepada hakikat aslinya (fitrah), yang tersembunyi darinya karena sebab kelalaian. Dalam perspektif Islam, Tuhan tidaklah mengirim kebenaran yang berbeda melalui serangkaian nabi-nabi-Nya, tetapi menjadi ekspresi dan bentuk-bentuk yang berbeda untuk kebenaran fundamental yang sama dari kesatuan. Islam dengan demikian adalah penegasan kembali atas kebenaran primordial ini pada garis tradisi Ibrahim dalam lingkup spiritualitas Semitik dan menggunakannya sebagai dasar tiga unsur: kecerdasan, kehendak, dan kemampuan berbicara yang memungkinkan kesatuan terealisasikan. 203 Implikasi konseptual yang dapat dipetik dari narasi tersebut adalah bahwa Nabi Muhammad dan syariat Islam yang dibawanya 203

Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (Cambridge: The Islamic Texts Society, 2001), 1. Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa ide kesamaan hakikat semua pesan agama perlu dipahami pada tataran pesan dasar agama, yaitu sikap hidup yang hanif, bukan kesamaan dalam arti formal, yaitu syariah atau bahkan pokok-pokok keyakinan (akidah) tertentu [Islam Pluralis, 20-21].

80 | Nyong ETIS

bukanlah menghapus agama-agama sebelumnya, melainkan hadir untuk berkoeksistensi secara sejajar dalam hal kebenaran. Kitab suci agamaagama sama-sama memiliki keabsahan sebagai sumber ajaran keselamatan. Dan amal-amal baik yang diakui dan akan diberi balasan pun kemudian bukan hanya menjadi monopoli satu agama saja.204 Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.205 Hai manusia,sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.206 Sekalipun Nasr mengatakan bahwa Muhammad adalah "the seal of prophecy" (penutup kenabian) yang mensintesakan keunggulan tiga nabi utama agama-agama Semitik, yaitu Ibrahim dengan imannya (faith), Musa dengan hukumnya (law), dan Isa dengan jalan spiritualnya (spiritual way),207 namun beliau sesungguhnya tidak membawa sesuatu yang baru, tugas utamanya hanyalah meneguhkan kembali (reafirmasi) kebenaran dan keabsahan agama-agama yang telah ada.208 Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya.209

204

Lihat: Esack, Membebaskan, 219. Al-Qur’an, 5: 48. 206 Ibid., 49: 13. 207 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: State University of new York Press, 1981), 210. 208 Nasr, Islam, 5. 209 Al-Qur’an, 10: 47. 205

Jalan Cinta Menuju Surga | 81

Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitabkitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ” Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.210 Ide dan gagasan pluralisme agama juga merembes dalam pemikiran tokoh-tokoh keagamaan di Indonesia.211 Di antara mereka, yang paling populer tampaknya adalah Nurcholish Madjid dan Ulil Abshar-Abdalla. Gagasan pluralismenya Madjid dibangun di atas penegasannya atas pemaknaan Islam lebih pada arti generiknya, yakni sikap kepasrahan kepada Tuhan; bukan sebatas sebagai proper name untuk agama tertentu yang telah terlembagakan. Dituturkan Madjid, ”Kata al-Islam itu sebenarnya bukan nama agama. Tapi sikap.”212 Agama dalam arti dasarnya inilah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad sebagai sebaik-baik agama di sisi Allah, yaitu al-hanifiyah al-samhah, sikap bersemangat mencari kebenaran yang lapang dan toleran. Sebagaimana diilustrasikan al-Qur’an melalui figur Nabi Ibrahim: Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.213 Istilah muslim, sebagaimana pula halnya ”tiket surga” (keselamatan eskatologis), lantas tidak terbatasi hanya bagi mereka yang secara

210

Ibid., 2: 285. Alwi Syihab membedakan pengertian pluralisme dengan kosmopolitanisme, relativisme, dan sinkretisme. Jadi, penerimaan atas realitas majemuk yang diikuti dengan sikap partisipatif untuk siap saling belajar dan menghormati satu dengan lainnya, bukan untuk membentuk agama baru [Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan dan ANTeve, 1998), 41-43]. 212 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), 255. 213 Al-Qur’an, 3: 67. 211

82 | Nyong ETIS

formal menjadi pengikut Muhammad.214 Elaborasi pemikirannya ditunjang juga dengan menghadirkan interpretasi yang longgar atas konsep ahl al-kitab,215 sehingga mencakup tidak saja Yahudi dan Nasrani, melainkan juga komunitas-komunitas keagamaan lainnya seperti Shabi'in, Majusi, Hindu, Budha, dan Konghucu.216 Konsep ketuhanan al214

Tema ini mendapat ulasan dari Nurcholish Madjid dalam dua bukunya yang lain: Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), 47; dan Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2000), 191-189. Dalam terminologi agama, istilah Islam berarti kepasrahan atau berserah diri kepada Tuhan atau kehendak Tuhan. Al-Qur’an memakai istilah ini dan derivasinya dalam sekitar 70 ayat. Hanya sedikit dari ayat-ayat tersebut yang dapat diklaim merujuk pada pengertian Islam yang secara eksklusif terbatas pada agama yang telah dibangun oleh al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Singkatnya, kita mendapati ada empat makna dasar untuk kata Islam, dari pengertian yang paling luas hingga yang paling sempit: (1) kepasrahan semua makhluk ciptaan kepada Penciptanya; (2) kepasrahan manusia kepada petunjuk Tuhan seperti yang diwahyukan melalui para nabi; (3) kepasrahan manusia kepada petunjuk Tuhan yang diwahyukan melalui nabi Muhammad; dan (4) kepasrahan pengikut Muhammad kepada perintah-praktikal Tuhan. Dari pengertian tersebut, hanya pengertian ketiga yang dapat diterjemahkan menjadi Islam dengan huruf ”I” kapital. Sedangkan tiga lainnya lebih merujuk pada pengertian berserah diri atau islam (dengan ”i” kecil” [Murata, The Vision, 3 dan 6]. 215 Dilihat dari segi aqidah Islam, secara eksplisit, menurut kajian Muhammad Galib, ahlul kitab disebut kafir. Agama mereka juga sudah ternoda dengan hal-hal yang berbau syirik. Meskipun demikian, al-Qur’an tidak secara eksplisit menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik sebagaimana kepada orang-orang kafir Mekah. Bahkan dalam interaksi sosial, al-Qur’an memberi perlakuan-perlakuan khusus terhadap mereka. Misalnya, diperbolehkannya memakan daging sembelihan mereka dan juga mengawini perempuan mereka yang memelihara kehormatan [Ahl Al-Kitab: Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina, 1998), 188]. 216 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2000), 170. Bersama Tim Penulis Paramadina, Madjid mengulas berbagai pandangan mengenai konsep ahli kitab ini dalam buku Fiqh Lintas Agama. Poin penting yang perlu digarisbawahi di sini adalah penukilan pemikiran pendapat Ibn Taimiyah yang dikatakan menyokong klaim bahwa kaum ahli kitab bukanlah kaum musyrik [Nurcholish Madjid et.al., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, ed. Mun'im A. Sirry (Jakarta: Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), 53]. Penukilan tersebut selanjutnya

Jalan Cinta Menuju Surga | 83

Qur’an sepertinya dipahami tidak berbeda dengan konsep yang sama dalam kitab-kitab suci lainnya. Mengenai hal Tuhan, masalah nama kiranya bukan hal yang asasi; tetapi yang asasi adalah pengertiannya.217 Pandangan Madjid tersebut kemudian didukung oleh Ulil AbsharAbdalla, bahkan secara lebih liberal, nilai generis Islam pun dipandang dimungkinkan adanya dalam filsafat seperti Marxisme.218 Menurutnya, kebenaran Tuhan terlampau besar untuk bisa dicakup hanya oleh alQur'an, Hadis, dan keseluruhan korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarahnya. Karena itu, Islam patut dilihat sebagai suatu proses yang takkan pernah final. Dari sini Ulil tanpa rasa sungkan dan kikuk memaklumatkan, Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.219

memperoleh bantahan dari Hartono Ahmad Jaiz bahwa ternyata Ibn Taimiyah tidak berpandangan demikian, bahkan sebaliknya [lihat: Menangkal Bahaya, 202-213]. 217 Madjid et.al., Fiqih Lintas Agama, 56. Buku yang disusun Tim Penulis Paramadina ini merupakan karya serius yang tampaknya memang disusun untuk maksud (sebagai upaya) "merangkum" atau membenangmerahi berbagai kecenderungan pemikiran pluralisme agama di Indonesia, baik aspek teologis (ortodoksi) maupun aspek fikihnya (ortopraksi). 218 Inferensi ini tentu dapat dipahami sebagai gagasan yang mencoba memasukkan agama-agama filsafat (ardhy) termasuk dalam kategori sejajar dengan agama-agama wahyu (samawy) dalam konteks bahasan agama sebagai jalan kebenaran dan keselamatan eskatologis. Bandingkan dengan paparan yang diulas Madjid et.al. dalam Fiqh Lintas Agama, yang mengeluarkan iman kaum musyrik Quraisy dari bangun sejarah penyelamatan agama Islam [Ibid.]. 219 Ulil Abshar-Abdalla, "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" dalam Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, ed. Dzulmanni (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), 1-9. Konstruk pemikiran Ulil sempat didedah Agus Hasan Bashari dalam Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur’an: Menanggapi Ulil Absar Abdala (Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003),192-194.

84 | Nyong ETIS

Beranjak dari telaah tersebut di atas, kiranya dapat disarikan beberapa ide dasar yang menjalin dan membangun konstruk pemikiran yang menerima eksistensi keselamatan di luar Islam atau bagi non muslim,220 yaitu: (1) Agama-agama yang ada memiliki kesamaan Tuhan yang disembah. Perbedaan perumusan persepsi dan konsepsi proposisional mengenai-Nya bukanlah prinsip, karena semua itu hanyalah ekspresi berbeda untuk menyembah hakikat yang sama. (2) Islam adalah agama fitrah, kepasrahan kepada Tuhan, yang menjadi titik temu dari agama-agama. Islam bukan satu-satunya jalan keselamatan eskatologis. Agama-agama yang beragam itu adalah jalan-jalan keselamatan yang sama-sama absah. (3) Nabi Muhammad diutus bukan untuk menghapus agama nabi-nabi sebelumnya, melainkan justru untuk meneguhkan kebenaran dan keabsahannya. Beliau menyeru pemeluk agama-agama yang ada kepada kesatuan Tuhan dan mengajak mereka bersama-sama kepada kehidupan keagamaan yang penuh kepasrahan, selaras dengan fitrah manusia.

220

Hasan Askari dalam studinya menyebutkan beberapa postulasi yang muncul sebagai tawaran solusi teologis menghadapi tantangan multiagama. Kesemua postulasi berikut ini mengimplikasikan pemahaman bahwa masing-masing agama adalah unik tetapi memiliki pesan sama yang universal, berbeda cara tapi satu tujuan, relatif tapi meyakini kebenaran absolut yang sama, memiliki kesamaan nilai psikologis, berevolusi tanpa jeda, sejajar dan sama-sama absah. Postulasi-postulasi yang dimaksud yaitu: (1) kesatuan semua wahyu dari semua masa dan tempat; (2) kehadiran universal figur penyelamat dalam semua agama; (3) keabsahan semua agama yang setara sebagai jalan berbeda menuju tujuan yang sama; (4) relativitas semua bentuk agama di hadapan keabsolutan kebenaran tertinggi; (5) praktik keagamaan sebagai persiapan bertahap mencapai tingkat psikologis tertinggi yang dituju; (6) semua agama berevolusi menjadi satu; (7) bentuk-bentuk simbolis agama adalah klaim-klaim yang sama valid di atas prinsip kesatuan spirit manusia; (8) semua agama memiliki archetype atau pola dasar yang sama [Lintas Iman Dialog Spiritual, ter. Sunarwoto (Yogyakarta: LKiS, 2003), 12-14].

Jalan Cinta Menuju Surga | 85

(4) Syariat agama-agama bukanlah sesuatu yang fundamental atau prinsip. Islam menerima keragaman syariat agama. Siapapun yang beramal dengan ikhlas menurut syariat-syariat tersebut akan mendapatkan pahala dan balasan dari Tuhan. (5) Kitab suci agama-agama terdahulu berkedudukan sejajar dengan alQur’an dan sama-sama otentik.221

221

Bandingkan proposisi tersebut dengan isi pluralisme agama yang dikemukakan oleh John Hick, yang ingin menandaskan bahwa "Each world religion is equally valid" [Lihat: Keith E. Yandell, Philosophy of Religion (London: Routledge, 1999), 67-68].

8 DIALOG DUA NALAR ESKATOLOGI ISLAM Mengkaji dua pandangan yang berseberangan tentang keselamatan eskatologis perspektif Islam, sebagaimana terurai di bab terdahulu, mungkin lebih mudah untuk mengatakan bahwa realitas ini dipicu oleh faktor relativitas manusia yang memiliki keterbatasan kemampuan dalam merespon dan memahami sesuatu. Manusia ketika berhadapan dengan suatu entitas permasalahan apapun, maka subyektivitas akan senantiasa menjadi bagian yang inheren dari klaim obyektivitas respon terhadapnya.222 Terlebih lagi ketika persoalan tersebut bersentuhan dengan dimensi spiritual seseorang yang umumnya terwadahi melalui simbol dan doktrin kepercayaan agama, nuansa subyektivitas personal kian mengental bermain dalam wilayah pluralitas pemikiran yang ada.223 Terdapat beberapa alasan mengapa ketidaksepakatan (disagreement) antarklaim keagamaan tampak terus berlanjut.224 Pertama, karena kepercayaan agama berkenaan langsung dengan cara bagaimana seseorang hidup. Menerima atau menolak agama berarti menerima atau menolak keseluruhan cara hidup, dan setiap keputusan 222

Baca sebab-sebab ikhtilaf di kalangan umat Islam dalam Taha Jabir Fayyad alAlwani, Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam (Riyadh: al-Dar al-'Alamiyah al-Kitab al-Islamy, 1995), 105-114; dan Mustafa Said al-Khinni, Athar al-Ikhtilaf fi al-Qawa'id al-Usuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha' (Beirut: Mua'assasah al-Risalah, 1994), 8. 223 Annette Barnes mengilhami pembacanya bahwa penafsiran sebenarnya adalah aktivitas relatif yang sangat bergantung pada kepentingan pelakunya [On Interpretation: A Critical Analysis (Oxford: Basil Blackwell, 1988), 162]. 224 Yusuf al-Qardawi mengingatkan bahwa dalam perkara furu', ikhtilaf adalah suatu keniscayaan. Maka barangsiapa yang bermaksud mengumpulkan umat dalam suatu kesamaan pendapat, sebaiknya segera menyadari bahwa ia tengah mengupayakan sesuatu hal yang mustahil [Al-Sahwah al-Islamiyah Bayn al-Ikhtilaf al-Mashru' wa alTafarruq al-Madhmum: Dirasah fi Fiqh al-Ikhtilaf fi Dhaw' al-Nusus wa al-Maqasid al-Shar'iyah (Kairo: Dar al-Sahwah, 1992), 59].

Jalan Cinta Menuju Surga | 87

selalu mengandung emosi-emosi seperti halnya pula nalar. Kedua, terkait dengan komitmen subyektif yang terbawa kedalam analisaanalisa dan argumentasi-argumentasi yang ada. Baik bertuhan atau tidak, dasar keyakinan mereka yang dianggap obyektif tetaplah subyektif. "We can only believe what seems true to us, because a belief is a belief that something is true." 225 Kita hanya percaya pada apa yang tampak benar bagi kita, karena suatu kepercayaan adalah percaya bahwa sesuatu itu benar. Iman (faith) yang membentuk keputusan seseorang lebih merupakan iman yang telah dimiliki seseorang yang bersangkutan. Iman tersebut terdiri atas keyakinan-keyakinan dasar, perilaku-perilaku dan nilai-nilai yang seseorang bawa kedalam refleksinya pada suatu situasi religius. Iman ini, tentunya, bukan tidak dapat terubah (unalterable). Ia dapat saja dikembangkan dan dirubah. Refleksi rasional dan momenmomen keputusan, keduanya memainkan peranan penting dalam proses pengembangan atau perubahan iman.226 Secara teoritis, H.H. Prince membedakan dua perspektif tentang kepercayaan (belief). Pertama, teori yang menyatakan bahwa kepercayaan adalah tindakan mental, suatu kejadian yang mana ketika nalar mempertimbangkan suatu proposisi dan melakukan suatu tindakan untuk mengamininya. Kedua, teori yang mengatakan bahwa kepercayaan adalah suatu kecenderungan untuk bertindak atau berperilaku dalam suatu cara tertentu di bawah kondisi-kondisi tertentu pula. Prince sendiri menyimpulkan jika yang terbaik adalah kombinasi keduanya untuk memahami kepercayaan secara lebih baik.227 Pernyataan tersebut selaras dengan ungkapan Muhammad Iqbal berikut, Tak dapat ditampik bahwa keyakinan lebih dari sekedar perasaan. Ia memiliki semacam kandungan kognitif, dan keberadaan dari dua hal

225

C. Stephen Evans, Philosophy of Religion: Thinking about Faith (Illinois and Leicester: InterVarsity Press, 1982), 161-162. 226 Ibid., 163. 227 Ibid., 172.

88 | Nyong ETIS

yang berlawanan –skolastik dan mistik—dalam sejarah agama menunjukkan bahwa ide adalah unsur vital agama.”228 Pertanyaan selanjutnya yang mengemuka adalah terkait kemungkinan menemukan kebenaran dalam suatu struktur pemikiran yang pada tingkatan tertentu dapat diterima sebagai sesuatu yang lebih valid dan karenanya absah daripada struktur pemikiran lainnya dalam hal yang sama. Dalam konteks ini, tantangan itu mengemuka melalui dua konstruk pemikiran tentang keselamatan eskatologis non-muslim dalam perspektif Islam, yang tampak paradoks satu dengan lainnya. Satu pihak mengklaim bahwa Islam menolak eksistensi keselamatan eskatologis di luar dirinya, sementara pihak yang lain justru berpendapat sebaliknya, yakni Islam menerima eksistensi keselamatan eskatologis di luar dirinya. Permasalahan ini diangkat sesungguhnya bukan didasarkan pada pertimbangan untuk menyajikan tawaran sikap terhadap masing-masing klaim secara "take it or leave it" (ambil atau tinggalkan), ”all or nothing” (semua atau tidak sama sekali); melainkan jauh mengandaikan adanya dialog dan perjumpaan pemikiran secara lebih kreatif. Yakni untuk dapat melihat persolan bukan dengan kacamata oposisi biner, hitam-putih, tetapi dengan kesadaran terbuka pada kemungkinan datangnya kebenaran dari masing-masing pihak. Maka dari itu, pemahaman dan 228

Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1986), 1. Ronald J. Glossop menjelaskan bahwa agama tidak sekedar hanya seperangkat kepercayaan (a set of beliefs). Tiap agama memiliki sejumlah materi intelektual, seperti tentang hakikat dunia dan hakikat manusia serta cara bagaimana manusia seharusnya menjalani kehidupannya. Dengan kandungan intelektualnya, kepercayaan tentang hakikat dunia dan kehidupan yang baik ini, agama menjadi berhimpit (akin to) dengan filsafat. Dalam filsafat, orang-orang berusaha mendasarkan kepercayaan mereka di atas penalaran dan bukti-bukti yang teruji secara hati-hati daripada hanya sekedar meletakkannya di atas faktor-faktor lainnya seperti ketertarikan pada tradisi atau suatu otoritas sakral tertentu. Jika kepercayaan religius seseorang didasarkan pada penalaran yang kritis dan investigasi yang hatihati, maka kepercayaan keagamaan mereka sekaligus adalah kepercayaan filosofis (Philosophy: An Introduction to Its Problems and Vocabulary (New York: Delta, 1974), 7-8).

Jalan Cinta Menuju Surga | 89

kejelian mencermati konstruk argumentasi masing-masing pihak menjadi sesuatu yang hampir niscaya. Al- Qur’an menyatakan: Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.”229 Keselamatan eskatologis dalam perspektif Islam jika diandaikan sebagai suatu tujuan yang sama-sama hendak dicapai oleh masingmasing pihak yang berbeda pendapat, sementara agama-agama yang berbeda diibaratkan sebagai pendekatan dan metode yang dipergunakan untuk merealisasikannya, maka dapat dikatakan bahwa perhatian kemudian mesti dicurahkan pada cara atau jalan apa (perspektif terhadap eksistensi kebenaran agama-agama) yang dipilih oleh mereka untuk mewujudkannya. Mengenai motif atau niat yang bersemayam dalam hati tentu bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada penilaian Allah. Adapun mengenai instrumentasi konseptual dan praktikal tentu dimungkinkan buat nalar manusia memikirkan dan menilai kevalidan dan keabsahannya. Klaim manakah yang valid dan absah dengan demikian dapat digali melalui upaya mempertanyakan secara kritis: Apakah Islam memandang bahwa tidak ada jalan kebenaran dan keselamatan lain selain dirinya? Ataukah justru Islam memandang agama-agama lainnya juga sebagai jalan kebenaran dan keselamatan, sehingga dengan meminjam kerangka pikir Machiavellian,230 sejauh tujuannya sama maka jalan apapun yang ditempuh adalah absah?231

229

Al-Qur’an, 2: 111; dan 27: 64. Lihat pengantar M. Sastrapratedja dan Frans M. Parera dalam Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin Republik, ter. C. Woekirsari (Jakarta: Gramedia, 1987), xxxii. 231 Bandingkan dengan pernyataan berikut: Any two sentences which are mutually translatable will be said to express the same statement. Dua kalimat yang secara timbal balik dapat saling menerjemahkan akan dikatakan mengekspresikan pernyataan yang sama [A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (Harmonsworth: Penguin Book, 1971), 11]. 230

90 | Nyong ETIS

Pembahasan dalam bab terdahulu telah mengantarkan kepada pemahaman mengenai dua macam proposisi yang berbeda dalam menyikapi satu hal yang sama. Secara umum, ringkasan perbedaan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Aspek Ajaran

Konsep Kunci

Sumber Agama

Kitab Suci

Obyek Sesembahan

Tuhan

Pembawa Risalah Agama

Nabi

Tata Peribadatan

Syariat

Menolak Keselamatan Eskatologis di Luar Islam Hanya al-Qur’an yang masih otentik dan bebas dari tahrif dan tabdil Konseptualisasi dan obyek referensinya berbeda Muhammad adalah penutup kenabian dan risalah; diutus untuk semua umat manusia Islam mengajarkan prinsip ketauhidan sekaligus ketaatan kepada syariat Nabi Muhammad , yang diwahyukan untuk menghapus keberlakuan syariat agama-agama sebelumnya

Menerima Keselamatan Eskatologis di Luar Islam Semua kitab-kitab agama sama-sama otentik dan memiliki keabsahannya sendiri Kesatuan hakikat Tuhan dalam ragam konsepsi Muhammad hanya salah satu dari mata rantai kenabian dan risalah; sejajar dan tidak lebih unggul dari para nabi sebelumnya Islam adalah kepasrahan kepada Tuhan sekaligus amal kebajikan sesuai dengan prinsip-prinsip kearifan dan kemaslahatan; Islam dalam hal ini meneguhkan eksistensi dan keabsahan syariat agamaagama sebelumnya

Konstruk pemikiran mereka yang menolak eksistensi keselamatan eskatologis mungkin akan dinilai oleh mereka yang menerimanya sebagai cara pandang atas sesuatu persoalan secara tidak adil, atau kerap diistilahkan sebagai upaya yang memakai standar ganda (double standards), sebab menerapkan kriteria-kriteria agamanya sendiri untuk menimbang keabsahan ajaran agama lainnya.232 Sebaliknya, bagi yang232

Hugh Goddard, Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian Muslim-

Jalan Cinta Menuju Surga | 91

menolak, pemikiran mereka yang-menerima dapat dianggap telah keluar dari koridor agama Islam dan mengaburkan prinsip-prinsip dasar ajarannya, dan demikian seterusnya.233 Adapun yang perlu digarisbawahi di sini bahwa tulisan ini memang bermaksud menguak doktrin pemikiran Islam melalui cara pandang pemeluknya. Bagaimana suatu konstruk pemikiran itu dapat dinilai sebagai doktrin Islam karena merupakan hasil dari pembacaan partisipatif seorang muslim melalui kacamata sebagai seorang muslim (insider) terhadap sumber ajarannya.234 Jadi persoalannya bukanlah terletak pada pengenaan kriteria subyektif kepada yang lain, itu salah atau tidak, tetapi bagaimana dapat terkuak konstruk pemikiran hasil interaksi interpretatif langsung dengan data-data yang tersedia dalam sumber-sumber otoritatif Islam yang diterima oleh masing-masing pihak. Atas dasar ini, dialogika yang muncul diharapkan menjadi perjumpaan dua pola religiusitas yang memang keberagamaannya merupakan ujud otentisitas seorang pemeluk agama yang menjiwai keyakinannya. Dalam bahasa al-Attas dan juga Nasr, memperkenankan wahyu berbicara tentang dirinya sendiri, melalui caranya sendiri yang memang ia kehendaki agar seorang muslim melihatnya seperti apa adanya.235 Di sinilah pentingnya sikap arif terhadap masing-masing pihak dikedepankan.236 Kristen, ter. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2000), 14. 233 Baca: Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 83. 234 Kata Abu al-A'la al-Maududi, Apapun sistem hidup yang direncanakan untuk seseorang di dunia ini mestilah berasal dari konsep-konsep metafisis atau teologis tertentu. Tidak mungkin ada skema hidup tanpa suatu konsep yang jelas tentang manusia dan dunia dimana ia tinggal [A Short History of the Revivalist Movement in Islam, ter. Al-Asy'ari (Lahore: Islamic Publications Limited, 1981), 5]. 235 Lihat: al-Attas, "Respon Islam …", 43; dan Seyyed Hossein Nasr, "Dialog KristenIslam: Suatu Tanggapan terhadap Hans Kung", ter. Nanang Tahqiq, Paramadina, 1 (Juli – Desember, 1998), 33-47. 236 Pada konteks ini menarik dicermati kekhasan dua pendekatan yang dikemukakan oleh Rumi. Menurutnya, secara mendasar terdapat karakter distingtif antara

92 | Nyong ETIS

Dialog seputar kitab suci sebagai sumber ajaran kebenaran, perbedaan antara yang menolak dengan yang menerima eksistensi keselamatan eskatologis di luar Islam, muncul di atas cara pandang mereka dalam menerima otentisitas dan nilai keberlakuannya di masa pasca perutusan Nabi Muhammad. Mereka yang menolak condong untuk menegaskan bahwa kitab-kitab suci selain al-Qur’an tidak lagi suci karena distorsi dan intervensi manusia di dalamnya sehingga tidak layak menjadi sumber kebenaran ajaran agama. Lebih jauh, bahwa sejak turunnya al-Qur’an, praktis kitab suci sebelumnya tidak lagi memiliki otoritas keberlakuan secara legal karena telah ter-nasakh. Secara detail, sikap mereka ini dapat dibaca melalui paparan bab terdahulu. Sementara mereka yang menerima memusatkan argumentasinya pada kesejajaran eksistensi dan nilai kebenaran antar kitab suci. Ini direlasikan dengan peran Nabi Muhammad yang bukannya sebagai pengganti (dalam artian menghapus yang sebelumnya) tetapi sebagai penegas (dalam artian mengafirmasi yang sebelumnya), sehingga semua ajaran secara paralel interaksional adalah pintu-pintu kebenaran dan keselamatan menuju Tuhan yang sama. Perbedaan pola pandang atas poin pertama ini kemudian terlihat mewarnai perdebatan atas konsepkonsep dasar lainnya. Selanjutnya, terkait dengan persoalan ketuhanan, mereka yang menolak eksistensi keselamatan di luar Islam menekankan pandangannya pada keselarasan antara proposisi dan pengertiannya. AlQur’an dalam perspektif ini diyakini meletakkan suatu penjelasan yang gamblang mengenai konsep keesaan Tuhan (tawhid). Jadi suatu konsepsi atau proposisi tertentu menjadi penting karena memuat suatu

pemikiran seorang filsuf dengan seorang mistikus. Filsuf berfikir secara silogisme dan menggandakan hubungan-hubungan yang berdasar pada pembuktian logis (logical proofs). Sementara mistikus, sebaliknya, lari dari bukti. Jika bagi filsuf, asap itu bukti adanya api, bagi mistikus, tentu sangatlah manis jika dapat berada dalam api tanpa asap, khususnya jika itu Api Tuhan, yang tentu berada lebih dekat kepada-Nya daripada dari asap. Rumi juga mengemukakan keyakinannya bahwa setiap bukti yang tanpa hasil spiritual adalah sia-sia (Iqbal, The Life and Work, 221).

Jalan Cinta Menuju Surga | 93

pengertian tertentu pula.237 Di sini terdapat dua hal mungkin yang perlu dicermati: (1) beberapa konsep atau proposisi yang tampak berbeda tetapi merujuk kepada pengertian yang sama; dan (2) beberapa konsep atau proposisi yang sama tetapi pengertiannya berbeda. Kasus pertama dapat diambilkan misal konsep Tuhan (dalam bahasa Indonesia) yang merujuk pada pengertian sama dengan konsep God (dalam bahasa Inggris). Karena pada hakikatnya keduanya itu hanya berbeda sebatas peristilahan atau lambang semata. Sehingga, kata Allah, Yesus, atau Budha adalah sama-sama Tuhan (God) bagi masing-masing pemeluknya. Tetapi contoh ini jika diterapkan secara terbalik untuk kasus kedua bisa berimplikasi pengertian yang berbeda. Artinya, referen yang diacu oleh kata Yesus, yang bagi orang Nasrani adalah Tuhan, bagi umat Islam hanyalah seorang manusia (makhluk) yang diutus sebagai nabi dan rasul oleh Allah bagi Bani Israil (bangsa Semitik). Maka dari itu, mereka cenderung keberatan untuk menerima kebenaran klaim yang menyatakan bahwa konsep Trinitas (yang mengimperasikan ketuhanan Yesus) adalah sejajar kebenarannya dengan konsep Tauhid yang dipahami oleh orang Islam yang tegas-tegas menampik paham semacam itu karena bertentangan dengan firman Allah yang berbunyi: 237

Syed Muhammad Dawilah al-Edrus menyatakan: Sejauhmana bahasa dapat mengekspresikan kebenaran dengan aspek metafisis dan universalnya adalah sebuah pokok persoalan dari teori-teori pengetahuan. Tiap bahasa menciptakan dunia mentalnya dan karenanya ia merupakan fakta dan sekaligus fiksi. Sejauhmana seseorang dapat mempercayai instrumen ambigu ini untuk mengungkapkan kebenaran metafisis dan universal? Tapi kita mencatat sepanjang sejarah manusia adanya kepercayaan yang terus berlanjut terhadap bahasa. Baik filsafat maupun agama keduanya mempercayai bahasa sebagai alat yang memadai. Persamaan antara orang Yunani (Greek) dan Muslim adalah kepercayaan mereka pada bahasa untuk mengejar, menggapai dan menemukan kebenaran. Bagi filsuf, pendekatan rasional adalah basis untuk mengorganisir data dan untuk membedakan antara fakta dan fiksi. Bagi agama, wahyu adalah basis untuk memberi bahasa suatu kejernihan yang mampu merefleksikan kebenaran [Islamic Epistemology: An Introduction to the Theory of Knowledge in al-Qur’an (Cambridge: The Islamic Academy, 1992), 102].

94 | Nyong ETIS

Katakanlah: ”Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”238 Konklusinya kemudian disandarkan antara lain pada firman Allah yang berbunyi: Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ”Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam”. Katakanlah: ”Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalanghalangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?” Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.239 Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ”Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: ”Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.240 Adapun mereka yang menerima klaim keselamatan eskatologis di luar Islam justru cenderung lebih mendasarkan argumentasinya pada model kasus pertama di atas, yakni proposisi yang berbeda untuk 238

Al-Qur’an, 112: 1-4. Ibid., 5: 17. 240 Ibid., 5: 72-73. 239

Jalan Cinta Menuju Surga | 95

pengertian yang sama. Persoalan yang mengemuka di sini adalah apabila perbedaan beberapa proposisi yang ada memang dapat dibawa pada suatu pola penafsiran yang mampu menunjukkan adanya kesatuan referen yang diacu, semisal pola tafsir filosofis atas konsep Trinitas sebagai jalinan hipostasis atas hakikat yang tunggal, lantas bagaimana mendudukkan tafsir dua ayat di atas? Ada beberapa kemungkinan tanggapan atas pertanyaan ini: (1) Bahwa Allah memang memperkenankan keragaman proposisi untuk menyifati diri-Nya, bahkan sekalipun itu saling bertolak belakang dan menegasikan; sehingga masing-masing ajaran kemudian dapat dipandang sebagai ajaran kebenaran dan keselamatan yang unik (khas) yang tidak perlu dipertentangkan atau dipersoalkan satu dengan lainnya. (2) Bahwa Allah adalah konsep yang sesungguhnya mengacu pada hakikat yang sangat abstrak dan merupakan misteri. Wahyu adalah sebagian cara Tuhan agar manusia mengenali-Nya melalui bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami oleh mereka. Jadi, wahyu pada dasarnya merupakan ekspresi Dzat Yang Absolut, yang sengaja ditransmisikan sebagai sesuatu yang relatif. Dengan demikian, otentisitas ketauhidan bisa dipahami lebih tepat pada dataran hakikat esoteris Tuhan dan bukannya pada dataran ekspresi eksoteris ajaran (agama). Mengingat semua sejatinya berasal atau bersumber dari Tuhan, ajaran-ajaran yang berbeda itu dapat dimaknai dalam cakupan pengertian kasih sayang Tuhan untuk manusia. Sehingga manusia dapat lapang dalam hidup spiritualnya dan tegak pula kehidupan saling berbagi dan berlomba-lomba dalam kebajikan. Allah berfirman: Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.241 Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebajikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.242 241 242

Ibid., 7: 156. Ibid., 2: 148.

96 | Nyong ETIS

Konklusi mereka kemudian, selaras dengan perspektif inklusif atau pluralisnya, dapat disandarkan antara lain pada firman Allah yang berbunyi: Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Sabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.243 Pemikiran yang menerima keragaman konsep teologi dan ritual agama-agama sebagai fenomena manifestasi relatif yang saling terhubung dalam prinsip kesamaan hakikat ketuhanan yang absolut tersebut, sesungguhnya tidak kebal dari persoalan. Seandainya masingmasing sistem kepercayaan agama pun diterima sebagai suatu prinsip yang partikular hasil olah pikir (persepsi) manusia, maka penisbatan absolutisitas universal kepada Tuhan dalam diri-Nya adalah bagian dari hasil konstruksi nalar manusia pula, dan karenanya ia relatif. Jika demikian, landasan apa yang bisa menjamin kebenaran klaim kesamaan hakikat ketuhanan di antara beragam konsepsi dan proposisi teologis yang tak jarang saling bertabrakan? Sementara wahyu-wahyu yang menjelma dalam kitab suci agama-agama pun dipandang manifestasi relatif pula, yang pemahamannya juga membutuhkan kerja nalar yang relatif. Kerubu relativitas ini tampaknya sulit dihindari. Maka tampak tak berlebihan jika kemudian Evans melontarkan kritik atas tawaran pemikiran yang memandang Tuhan dalam diri-Nya sendiri sebagai realitas tak terbatas dan merupakan transendensi dari segala macam cerapan akal pikiran manusia. Jadi, ragam agama itu menghasilkan gambaran tentang Tuhan (yang sama), tetapi dengan ekspresi yang berbeda sesuai dengan interpretasi masing-masing. Evans menilai pemikiran semacam ini akan mengimplikasikan skeptisisme tentang Tuhan, yakni seseorang pada akhirnya tidak benar-benar tahu Tuhan sebagai apa atau dalam penggambaran yang mana sosok Tuhan 243

Ibid., 2: 62. Lihat pula: 5: 69.

Jalan Cinta Menuju Surga | 97

itu yang sebenarnya. Terma Tuhan di sini lantas menjadi keruh atau kabur (nebulous).244 Konsep absolutisitas hakikat ketuhanan yang merangkum relativitas manifestasi agama-agama dengan beragam sistem teologi dan ritualnya, lebih lanjut, akan baru bermakna utuh ketika diterima pula asas kebebasan bagi manusia untuk beribadah tidak dalam jejaring satu tradisi agama semata. Jika tidak demikian, maka klaim kesejajaran manifestasi relatif sebagai jalan-jalan keselamatan yang sama-sama absah dan valid dengan sendirinya runtuh. Maka dari itu, klaim kesatuan transendental agama-agama yang menjustifikasi keabsahan dan validitas sistem teologi dan ritual yang berbeda sebagai jalan keselamatan eskatologis tampaknya lebih merupakan konstruksi nalar abstrak yang memaksakan penerimaan suatu prinsip (teologis) sebagai kebenaran absolut yang wajib diterima. Prinsip tersebut lantas dikonstruksi agar menjadi supra-prinsip (prinsip universal-absolut) yang mempertautkan prinsip-prinsip partikular-relatif, dan karenanya menjadi salah dan eksklusif jika seseorang kemudian tidak menerimanya sebagai konsep keberagamaannya.245 244

Ibid., 180-182. Menarik dibaca ulasan Dale Cannon ketika menganalisis jalan-jalan kebenaran untuk menjadi seorang Hindu yang terbagi kedalam empat model dasar, yaitu: Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Dhyana Yoga. Cannon lantas melihat kecenderungan beberapa pemikir Hindu yang bermaksud menggeneralisir keragaman jalan menuju keselamatan dalam sistem teologi dan ritual Hindu tersebut menjadi ide pluralisme agama, yakni menerima agama-agama yang berbeda sebagai jalan-jalan yang sama-sama absah dan valid untuk mencapai keselamatan (many paths to one ultimate goal). Mengenai fenomena ini ia berkomentar bahwa usahausaha tersebut sudah agak salah arah. Menjadikan suatu model dari ekspresi keyakinan keagamaan yang spesifik (dalam hal ini keyakinan teologis tentang agamaagama) sebagai bukti untuk mendukung ide ini sangatlah lemah. Tapi sebagai alat untuk memahami hubungan di antara cara-cara yang berbeda dalam mengorganisir dan membawakan kehidupan religius di dalam satu tradisi keagamaan tertentu, ide ”banyak jalan menuju satu tujuan ultim” sangatlah menjanjikan dan secara luas dapat dipahami [Six Ways of Being Religious: A Framework for Comparative Studies of Religion (Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1996), 10]. 245

98 | Nyong ETIS

Paparan di atas cukup memberi deskripsi latar pemikiran untuk memahami pandangan mereka yang menerima eksistensi keselamatan eskatologis di luar Islam lainnya, yaitu kedudukan Nabi Muhammad dan syariatnya. Intisarinya, mereka meyakini bahwa perutusan Muhammad tidaklah dimaksudkan untuk mengganti atau menghapus syariat nabinabi sebelumnya, melainkan justru mengafirmasi atau menegaskan eksistensi dan keabsahannya sebagai pintu-pintu kebenaran dan keselamatan. Dengan arti kata lain, Nabi Muhammad diutus hanya untuk memberikan satu tambahan opsi atau pilihan baru kepada manusia tentang bagaimana hidup ini sebaiknya atau seharusnya dijalani dan dihayati dalam kesadaran sebagai seorang makhluk di antara sesamanya dan di hadapan Tuhannya. Firman Allah: Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.246 Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.247 Sedangkan mereka yang menolak eksistensi keselamatan eskatologis di luar Islam berkeyakinan teguh bahwa Nabi Muhammad adalah penutup kenabian dan kerasulan. Risalahnya dengan sendirinya merangkum, menyempurnakan, dan mengganti keberlakuan risalahrisalah sebelumnya hingga akhir zaman. Dengan demikian dapat diberi pengertian, bahwa keimanan dan amal peribadatan yang didasarkan atas ajaran dan syariat yang sudah tidak berlaku lagi tidak akan menjadi pintu keselamatan eskatologis bagi pelakunya. Jadi, kedudukan Nabi Muhammad dan risalah (syariat) yang dibawanya begitu sentral dalam 246 247

Al-Qur’an, 5: 48. Ibid., 49: 13.

Jalan Cinta Menuju Surga | 99

bangun teologi ini, sehingga tidak dapat dilepaskan (sebagai satu konsekuensi logis) dari ketauhidan kepada Allah. Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian (ukuran kebenaran) terhadap kitab-kitab yang lain itu.248 Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.249 Perdebatan mengenai beberapa konsep doktrinal sebagaimana terurai di muka telah mengantarkan pada suatu simpulan bahwa sebenarnya akar perbedaan antara kedua klaim di atas terletak pada anggitan dasar epistemologis pemikirannya.250 Mereka yang menolak eksistensi keselamatan eskatologis di luar Islam mengoperasionalkan argumentasinya dalam suatu kerangka epistem yang mengintegrasikan antara yang esoteris dan eksoteris dan antara yang absolut dan relatif. Keduanya terhubung sebagai kontinum yang khas dan tak dapat dipisahkan secara mutlak. Keberagamaan yang benar tidak cukup 248

Ibid. 5: 48. Ibid., 45: 18. 250 Epistemologi Islam secara ringkas disimpulkan Al-Edrus sebagai berikut: Hubungan antara epistemologi umum dan Qur’ani terletak pada persoalan hubungan antara akal dan wahyu. Pendapat tradisional yang memandang bahwa wahyu, bukannya akal, sebagai sumber dari pengetahuan tampak (...) menjadi suatu penyederhanaan atas isu yang sebenarnya sangat kompleks. Al-Qur’an tidaklah menelantarkan akal tetapi hanya menjernihkannya dari ghafala dan hawa. Akal yang terjernihkan tersebut menjadi sumber yang memadai untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian kita menemukan dua tipe penalaran dalam kitab suci al-Qur’an: penalaran melalui ghafala dan hawa yang mengantar kepada kesalahan, dan penalaran melalui dhikr dan huda yang mengantar kepada kebenaran. Jadi, epistemologi Qur’ani tidak bertentangan sikap filsafat terkait akal, tetapi menjernihkannya di bawah terang petunjuk ketuhanan [Islamic Epistemology, 116]. 249

100 | Nyong ETIS

disandarkan pada Tuhan yang abstrak konseptual dan menganggap sepi cara yang dipakai untuk merealisasikan peribadatannya. Justru karena kenisbian manusia, dalam kerangka mereka, manusia seharusnya memberi ruang yang cukup bagi wahyu dan nabi untuk menunjukkan jalan keselamatan tersebut melalui konsepsi teologis dan juga tata peribadatan yang benar. Bukan sebaliknya, cukup hanya dengan sekadar meyakini adanya Tuhan, lantas membiarkan amal peribadatan bergerak bebas dalam belantara relativitas. Sedangkan mereka yang menerima eksistensi keselamatan eskatologis di luar Islam justru memisahkan antara yang esoteris dan eksoteris sebagai antara yang absolut dan relatif dalam kerangka pikirnya. Esoteris dalam konteks ini adalah yang absolut dan karenanya menjadi yang prinsip dan fundamental. Ia menjadi titik temu segala agama-agama yang berbeda, yang dipandang sebagai manifestasi eksoteris yang relatif. Merujuk pada kriteria inilah Tuhan dalam Dzat-Nya yang absolut yang dipandang sebagai prinsip, bukan Tuhan persepsi manusia yang relatif. Sebagaimana Islam sebagai agama primordial diyakini sebagai yang prinsip dan bukannya Islam yang telah melembaga menjadi satu agama tertentu di antara banyak agama. Implikasi logis akhirnya, ketulusan adalah yang prinsip, bukan kepatuhan pada syariat tertentu yang relatif, sekalipun bukan berarti mengabaikannya. Beranjak dari sini, mereka yang menolak eksistensi keselamatan eskatologis di luar Islam sepatutnya tidak mengabaikan fakta-fakta terkait relasi kurang harmonisnya sebagian anggota komunitas muslim dengan komunitas beragama lainnya. Sekalipun akar konflik dapat ditarik dari faktor-faktor non-teologis,251 tetapi dalam prakteknya 251

Augustine Perumalil dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa tidak ada kekerasan yang murni bersifat keagamaan, ”there is no purely religious violance” [“Does Religion Promote Violence?” dalam Polylog: Forum for Intercultural Philosophy, 5. 2004]. Moeslim Abdurrahman menganalisis fenomena konflik yang sempat terjadi di tanah air akarnya justru pada struktur basis sosial ekonomi. Menurutnya, aneka pendekatan penyelesaian konflik yang didasarkan pada isi-isi super-structure semacam teologi kerukunan, paham humanisme sekuler, konsep politik federalisme

Jalan Cinta Menuju Surga | 101

simbol-simbol dan sentimen keagamaan kerap dijadikan dalih untuk menjustifikasinya. Kecenderungan ini pula tampaknya yang mendorong kritik-kritik para penyokong pluralisme agama terhadap pola-pola keberagamaan yang dianggapnya eksklusif. Umat beragama dalam masyarakat pluralistik memang kerap menghadapi dilema, dimana dimensi keberagamaan yang bersifat esoteris, inklusif, otentik, universal, transendental, dan menekankan moralitas-preskriptif, dalam kesehariannya sering terabaikan atau termarjinalkan oleh orientasi keberagamaan yang lebih mengedepankan dimensi legal formal yang eksoteris, partikular, rigid dan kaku.252 Penjelasan lebih tajam atas konstruk pemikiran eksklusivis kiranya dapat diibaca melalui kritik Khaled Abou El Fadl, yang dapat disarikan sebagai berikut: (1) Mereka terjebak pada pola pikir keagamaan yang mengagungkan supremasi tafsir keagamaan yang diyakininya. Hal ini berimplikasi pada orientasi yang agresif dan dominatif terhadap agama atau tafsir (faham) yang berbeda dengan keyakinannya, baik secara kultural maupun politik. (2) Mereka melihat Tuhan bermanifestasi melalui seperangkat aturan hukum yang menegaskan apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan. Implementasi hukum Tuhan inilah yang merupakan tujuan utama hidup manusia, sehingga moralitas menjadi sangat terikat oleh mekanisme dan teknis-teknis hukum Islam. Maka merekapun menganggap siapapun yang hidup berada di luar aturan hukum ini, tentunya yang sesuai dengan faham mereka, sebagai telah menentang Tuhan dan karenanya harus dilawan dan diperangi secara aktif. (3) Mereka melihat keselamatan eskatologis bersifat eksklusif hanya bagi kaum mu'min yang sejati (the "true" believer), yang meyakini prinsip-prinsip teologi Islam dan mengamalkan ritual Islam secara baik. Kepasrahan hati semata kepada Tuhan tidaklah cukup untuk memperoleh keselamatan. Dalil-dalil yang dipakai mereka ditafsiri secara literal dan abai terhadap aspek kesejarahan. (4) Sikap-sikap di atas pada yang kesemuanya bersifat permukaan akan sia-sia saja jika struktur basisnya tidak lebih dulu ditata [Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), 64]. 252 M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 16.

102 | Nyong ETIS

akhirnya menyebabkan mereka menjadi lemah penghargaan dan kurang peduli terhadap agama dan faham lain berikut para pengikutnya. 253 Ajakan Hans Kung ketika ia berkata, "What is new today is the need for these religious river systems to flow in harmony with each other in order to irrigate our earth with peace", yaitu apa yang dibutuhkan hari ini adalah sistem-sistem ‘sungai keagamaan’ yang mengalir secara harmonis antara satu dengan lainnya guna mengairi bumi kita ini dengan kedamaian,254 dengan demikian patut disambut dengan tangan terbuka oleh setiap kaum beriman dari agama apapun juga, termasuk Islam. Hanya saja yang patut dicatat, bahwa toleransi dan kerjasama hendaknya dijalin dengan tanpa mengorbankan karakter dan kekhasan masing-masing agama. Kata Nasr, ”Satu-satunya dialog keagamaan yang berharga di mata Tuhan ialah dialog yang tidak mengorbankan atas nama kebijakan pada tingkat kemanusiaan, meskipun itu kedamaian duniawi, yang dinyatakan-Nya dalam setiap agama.”255 Mereka yang menerima eksistensi kebenaran dan keselamatan eskatologis di luar agamanya sendiri dan menolak klaim-klaim yang menerima pernyataan bahwa suatu agama itu memuat semua kebenaran secara final, dengan begitu juga dapat mempertimbangkan kembali alasan-alasannya. Jika mereka menganggap bahwa klaim rivalnya tidaklah toleran, arogan, atau etnosentris, maka patut pula 253

Khaled Abou El Fadl, The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Press, 2002), 3-23. Bandingkan dengan definisi Islam Radikal yang dibuat oleh Youssef M. Choueiri, Radikalisme Islam adalah gerakan politis-kultural yang mempostulasikan pertentangan kualitatif antara peradaban Barat dengan agama Islam. Penekanannya pada Islam sebagai suatu pandangan dunia yang transenden dan menyeluruh mengeluarkan keabsahan sistem dan nilai-nilai lainnya, serta menandaskan batasan yang jelas dari seperangkat kepercayaan normatif yang tak tersentuh oleh perubahan historis [Islamic Fundamentalism (London: Continuum, 2002), 123]. 254 Hans Kung dalam pengantar buku David Noel Freedman and Michael J. McClymond, The Rivers of Paradise: Moses, Budha, Confucius, Jesus, and Muhammad as Religious Founders (Michigan and Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company, 2001), vii. 255 Nasr, "Dialog Kristen-Islam…", 47.

Jalan Cinta Menuju Surga | 103

disadari bahwa terdapat distingsi antara komitmen dan kesombongan serta antara konsistensi dan diskriminasi. Ajaran agama manapun pasti menuntut adanya komitmen dan konsistensi pemeluknya, sebagaimana di lain sisi ia juga menuntut mereka untuk tidak berbuat sombong dan diskriminatif. Evans mengatakan, "True tolerance and respect require a recognition of genuine differences. Genuine dialog likewise begins with a cordial admission of differences and a willingness to respect sincere disagreement."256 Toleransi dan penghargaan yang sejati menuntut adanya suatu pengakuan yang tulus atas perbedaan. Dialog yang tulus itu tampaknya baru mulai ketika ada pengakuan yang ramah atas perbedaan dan kehendak untuk menghormati ketidaksepakatan. Berkenaan dengan hal ini, apabila kemudian ada seseorang mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar dan satu-satunya jalan keselamatan eskatologis, maka secara teologis-transendental hal tersebut tidaklah serta merta dapat ditafsirkan sebagai kesombongan dan arogansi sejauh bahwa hal itu memang secara jujur merupakan pemahaman yang dipahaminya sebagai kebenaran ajaran agama yang diyakininya. Kesombongan dan arogansi sesungguhnya terma yang lebih merujuk pada dimensi sosiologis-interaksional, semisal sikap memaksakan pemahaman keagamaannya agar diterima orang lain, dan termasuk pula sikap tidak menghargai seseorang untuk memahami dan memaknai keberagamaannya secara otentik. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.257 Kerinduan pada keharmonisan sosial antara pemeluk agama tentulah patut dihargai dan diperjuangkan, tetapi penghormatan pada perbedaan dan kekhasan juga tidak seharusnya dikesampingkan.258 256

Evans, Philosophy of Religion, 184. Al-Qur’an, 2: 256. 258 Mukti Ali menyebutkan ada lima cara yang mungkin untuk meraih keharmonisan agama: (1) Sinkretisme (syncretism), yakni melihat semua agama sebagai sama. (2) Rekonsepsi (reconception), yakni dua agama saling mempertemukan konsepsi 257

104 | Nyong ETIS

Benar kata Kuntowijoyo, bahwa semua peradaban dan agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain sepanjang sejarah.259 Sebagaimana benar pula kata Smith, "No person, admittedly, is religious in a vacuum. He becomes religious by participating in one or other of the historical religious traditions. Yet each man's participation is his own." 260 Patut diakui bahwa tidak seorangpun yang menjadi religius dalam ruang hampa. Seseorang menjadi religius dengan berpartisipasi atau terlibat dalam suatu tradisi keagamaan yang historis. Dan setiap orang memiliki keterlibatannya sendiri. Atau, "To be Christian or Muslim or Buddhist, to be religious, is a creative act, of participation in a community in motion." 261 Menjadi Kristen atau Muslim atau Budhis, menjadi religius, adalah suatu tindakan kreatif, yakni terlibat dalam suatu komunitas yang bergerak. Sekalipun demikian, tetap saja tak dapat diingkari, bahwa kebenaran suatu agama sebagai jalan keselamatan eskatologis tidak dapat disandarkan semata karena alasan diversitas eksistensi agama secara sosiologis-kultural. Klaim kebenaran dan keselamatan eskatologis dalam otentisitas religiusnya memang lebih disebabkan alasan teologis yang mengacu pada sumber-sumber

keagamaannya. (3) Sintesis (synthesis), yakni mengambil unsur-unsur dari beragam agama untuk dikemas menjadi agama yang baru. (4) Konfiksi (conviction), yakni meyakinkan orang lain untuk mengubah agamanya. Keempat cara ini tidak disepakati oleh ‘Aly karena alasan antara lain tidak alami dan menjadikan agama tidak suci sebab campur tangan manusia. Ia lebih menawarkan alternatif (5), yaitu sepakat dalam ketidaksepakatan (agreement in disagreement). Cara inilah yang menurutnya akan mengantar pada dialog dan penghormatan agama secara semestinya [Ismatu Ropi, Fragile Relation: Muslim and Christians in Modern Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), 97-98]. Bandingkan tawaran Ali tersebut dengan apa yang diistilahkan oleh Mohammed Arkoun sebagai "mutually exclusive cultural and legal systems" ["Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers" dalam Application of Muslim Thought, ed. Robert D. Lee (t.t.: t.p., t.t.), 59-74]. 259 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1998), 290. 260 Wilfred Cantwell Smith, Questions of Religious Truth (New York: Charles Scribner's Sons, 1967), 79. 261 Smith, Religious Diversity, 123.

Jalan Cinta Menuju Surga | 105

otoritatif ajaran agamanya.262 Klaim perlunya bersikap toleran dengan demikian adalah benar sebagai keniscayaan etika-sosial, tetapi hal ini bukanlah sebuah realitas yang mengharuskan adanya formulasi doktrin teologis yang membenarkan semua agama sebagai jalan-jalan berbeda yang samasama valid untuk mencapai keselamatan eskatologis atau mengajak teologi agama-agama menuju suatu tahapan evolusi teologis yang sintesis, untuk menopangnya. Hal itupun kemudian juga tidak menjadikan suatu klaim doktrinal atau kebenaran proposisional,263 yang katakanlah eksklusif, menjadi salah dan tidak bermakna. Sebab, bukanlah suatu kemustahilan, jika seseorang yang mengklaim kebenaran agamanya secara eksklusif, dengan keyakinan bahwa itulah ajaran agamanya yang lurus; sekaligus juga adalah seseorang yang berkomitmen pada sikap toleran dan penghargaan yang tinggi pada kemerdekaan orang lain untuk beriman dan beribadah menurut agama yang dianut --yang baginya adalah kesesatan teologis--, juga dengan keyakinan bahwa itupun ajaran agamanya yang lurus. Seperti halnya seseorang yang tidak mendapati adanya kontradiksi ketika mengimani kebenaran proposisi, semisal ”Isa bin Maryam hanyalah seorang manusia yang diutus Allah sebagai rasul untuk menyeru kaumnya berbuat kasih kepada sesamanya” di satu sisi; sedangkan di sisi lain iapun mempercayai kebenaran proposisi ”Seorang 262

Inilah mengapa Evans mengkritik Smith telah terjatuh pada kebingungan (confusing) ketika mendasarkan klaim keabsahan semua agama di atas realitas bahwa agama-agama tersebut sama-sama dapat memberikan suatu kehidupan bermakna (true lives) bagi pemeluknya. Menurut Evans, tidak ada hubungan yang mengikat yang mengharuskan antara kebenaran proposisi (ajaran) dengan kebenaran amalan (praktek hidup) pemeluknya (meski galibnya, seorang beriman yang saleh akan memaknai hidupnya selaras dengan kebenaran ajaran agamanya) [Evans, Philosophy of Religion, 180-182]. Kritik serupa dapat ditemukan dalam tulisan Keith E. Johnson, "Do All Paths Lead to the Same Destination?" dalam http://www.leaderu.com, 1997. 263 Lihat: William J. Wainwright, "Doctrinal Schemes, Metaphysics and Propositional Truth" dalam Thomas Dean (ed.), Religious Pluralism and Truth (New York: State University of New York Press, 1995), 73-85.

106 | Nyong ETIS

muslim yang benar ketauhidannya berkewajiban menghormati dan berbuat baik kepada pemeluk agama Kristen yang mengimani bahwa Yesus memiliki semua kualifikasi ketuhanan, termasuk mahatahu, mahahadir, mahakuasa, dan tak berubah.”264 Mengintegrasikan (al-jam’) dua proposisi tersebut sebagai suatu kesatuan keimanan yang utuh tentu bukanlah sesuatu yang kontradiktif.265 Kontradiksi baru akan timbul tatkala seorang muslim yang menyatakan diri mempercayai dua proposisi tersebut sebagai bagian dari keimanannya, ternyata dalam hidup kesehariannya ia bersikap tidak toleran atau berperilaku tidak menghargai tetangganya yang beragama Kristen. Sekalipun perlu dicatat bahwa kontradiksi dalam contoh ini lebih bersifat aksiologis daripada epistemologis. Akhirnya dapat dinyatakan di sini bahwa sesungguhnya Islam mengakui keragaman dan kemajemukan teologis di kalangan umat manusia. Islam menganjurkan bahkan memerintahkan pemeluknya untuk menghargai eksistensi dan kebebasan pemeluk agama atau faham lainnya untuk menghayati dan mengamalkan keyakinannya. Pada ranah sosial, ajakan dan seruan Islam untuk berlomba-lomba dalam kebajikan menjadi relevan sebagai bukti dan ujud kesalehan seseorang yang mengaku beragama atau bertuhan untuk mengisi kehidupan ini dengan kedamaian dan kesejahteraan. Sisi lain, Islam juga memberi penegasan atas identitas teologisnya yang khas, baik berkenaan dengan aqidah maupun syariat; yang secara eksistensial, keyakinan transendental tersebut tidak lantas berarti mengeliminasi hak eksistensial kepercayaankepercayaan lainnya berikut para pemeluknya. Jadi, dalam konteks ini, dikotomi partikularisme atau eksklusivisme dan universalisme atau inklusivisme tidak harus dimaknai secara sempit berkenaan dengan Islam. Pandangan pluralisme Islam kiranya lebih meyakinkan dipahami 264

Lihat: Lee Strobel, Pembuktian atas Kebenaran Kristus (Batam: Gospel Press, 2002), 339. 265 Salah satu kriteria dari pola utuh refleksi adalah koherensi (coherence), karena sesungguhnya otentisitas manusia terdapat dalam kehidupan yang integral [Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and the Democratic Resolution (New York: State University of New York Press, 1995), 238].

Jalan Cinta Menuju Surga | 107

dalam pengertian demikian itu. Yakni adanya pluralitas dimensional ajaran yang tunggal, yang membutuhkan kearifan dan kejernihan nalar untuk meletakkannya secara proporsional sesuai dengan level dan konteksnya. Menjelajahi belantara pemikiran Islam sebagaimana terurai di atas, pada akhirnya akan dapat mengantarkan pembacanya pada suatu keyakinan yang mendalam bahwa ternyata, Allah tetaplah Tuhan yang tak berkurang kesempurnaan-Nya sekalipun seluruh makhluk mengingkari-Nya. Dan Allah tetaplah Tuhan Yang Maha Esa sekalipun seluruh makhluk menyekutukan-Nya. Dan Allah tetaplah Tuhan Yang Maha Kasih sekalipun seluruh makhluk mengkufuri nikmat-Nya. Benarlah jika al-Qur’an memaklumatkan: Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.266

266

Al-Qur’an, 39: 67.

9 PENUTUP Berbagai kritikan tajam yang selama ini ditujukan kepada agama tampaknya lebih mengarah pada fenomena penyimpangan keberagamaan dari perilaku kemanusiaan yang layak daripada karena muatan spiritual personalnya.267 Catatan panjang konflik sosial yang tak jarang dibungkus dengan dalih-dalih motivasi keagamaan, memang sangat potensial membentuk imajinasi publik bahwa agama adalah sebab dan bukannya solusi bagi ragam problematika kehidupan manusia. Untuk itu, seperti dikemukakan Mark Juergensmeyer, adalah penting membawa imajinasi keagamaan yang positif ke ruang publik.268 Asumsi ini menarik dan relevan dengan kondisi faktual agama dan keberagamaan kontemporer. Hanya saja, imajinasi keagamaan positif apa atau milik siapa yang dimaksudkan? Sementara Khaled Abou El-Fadl pernah mengemukakan bahwa makna suatu teks (agama) akan bernilai moral sesuai moralitas pembacanya. Jika pembacanya adalah seseorang yang tidak toleran, penuh kebencian, atau suka memaksa, maka penafsiran teks yang dihasilkan juga akan momot sifat demikian. Artinya, teks agama berpeluang sama untuk bisa ditafsirkan menjadi pemahaman yang toleran atau intoleran.269

267

Paul Davies, Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas: Dalam Debat Sains Modern, ter. Hamzah (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), 6. 268 Mark Juergensmeyer, Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama, ter. M. Sadat Ismail (Jakarta: Nizam Press, 2002), xvii. 269 Imam A. Rashied Omar, Overcoming Religiously Motivated Violence. Cross Currents, Spring 2005, Vol. 55, No 1. Setiap obyek bacaan manusia, baik berupa fenomena empirik maupun gejala metafisik sebenarnya dapat diistilahkan dengan teks. Sehingga teks tersebut dapat “mencakup segala apa yang terjangkau” oleh akal manusia (Lihat: M. Quraisy Syihab, “Membumikan“ al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung : Mizan, 1999), 168.)

Jalan Cinta Menuju Surga | 109

Realitas epistemologis tersebut kiranya patut ditimbang dengan realitas sosiologis dewasa ini dimana sikap toleran terhadap eksistensi agama lain dan juga pemeluknya tampak telah menjadi keniscayaan etika-sosial di masyarakat yang plural dan global. Pada konteks ini yang sangat dibutuhkan sebenarnya adalah sikap keterbukaan yang empatik. Dengannya akan tumbuh kerendahan hati untuk siap belajar dan berbagi pengetahuan atau kearifan dengan pihak lain. Di samping sikap ini juga dapat menstimulasi kesadaran dan kesanggupan diri untuk menerima kekhasan (otentisitas) partikularnya yang secara eksistensial tak terpisahkan dari universalitas kemanusiaan. Sikap ini sesungguhnya cerminan kerendahan hati (tawaddhu’) seorang manusia yang sadar atas keterbatasan (finitas) dirinya sebagai makhluk. Bahwa infinitas dan finalitas (kesempurnaan) absolut tiada lain adalah Allah. Manusia hanya akan ada (being) dalam proses menjadi (becoming) dari tahap ke tahap perkembangan kedewasaannya (maturation). Jika direnungkan secara mendalam, al-Qur’an sebenarnya telah mengintrodusir pluralitas dengan sangat radikal. Allah berseru: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman (sepertimu).270 Allah juga menegaskan: Tidak ada paksaan dalam hal agama.271 Dari sini, tidak berlebihan jika Abdul Munir Mulkhan kemudian mengatakan bahwa “tidak pernah akan ada tafsir tunggal atas Islam, alQur’an atau Sunnah”. Persoalannya apakah setiap pihak bersedia berdialog, dan bukannya dengan klaim-klaim sepihak.272 Hal ini jika ditanggapi dengan hati dan kesadaran terbuka, dapat menciptakan 270

Al-Qur’an, 10:99. Ibid., 2:256. 272 Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri: Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl`afin (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), 261. 271

110 | Nyong ETIS

peluang dialogis bagi pengembangan keberagamaan yang plural, empatik, dan toleran. KH. Ahmad Dahlan pernah menegaskan bahwa keterbukaan diri untuk mau belajar dari orang lain sangat penting untuk memperluas wawasan guna memberi dukungan lebih besar bagi implementasi agama. Menurutnya, kebenaran dan kebaikan itu adalah hasil suatu pencarian dan bukannya sesuatu yang secara buta diterima begitu saja (taqlid). Lagi pula, seseorang yang mempelajari ide-ide yang berbeda dari yang dimilikinya tidak lantas berarti bahwa ia secara otomotis akan menerimanya.273 Kebenaran dengan demikian akan terpahami sebagai produk yang tak enggan terhadap kritik dan juga tak risih terhadap perbedaan, karena ia dihasilkan dari sikap positif tentang realitas kenisbian diri manusia. Sehingga ia mendorong seseorang untuk aktif meningkatkan kualitas keberagamaannya dan sekaligus terbuka pada kebenaran yang mungkin hadir dari orang, golongan maupun umat beragama lain. Adapun kebenaran yang dipelihara dengan sikap menutup diri terhadap kritik dan perubahan sesungguhnya tak lebih dari sebuah kedustaan yang disuburkan oleh kultus (ta’dim), fanatisme (asabiyah), dan arogansi (kibr) yang menipu. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.274 Wallahu a’lam bi al-shawab.

273

Lihat: Achmad Jainuri, The Formation of the Muhammadiyah's Ideology 19121942 (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 1999), 105. 274 Al-Qur’an, 96 : 6-7.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Quddus, Syed. The Challenge of Islamic Renaissance. Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1990. Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Abdurrahman, Moeslim. Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga, 2003. Abshar-Abdalla, Ulil. "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" dalam Dzulmanni (ed.), Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003. Al-Alwani, Taha Jabir Fayyad. Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam. Riyadh: al-Dar al-'Alamiyah al-Kitab al-Islamy, 1995. Al-Asyqar, Umar Sulaiman. Al-Qiyamah al-Sughra wa 'Alamat alQiyamah al-Kubra. Kuwait: Maktabah al-Falah, 1986. Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. "Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama", ter. Harris Susmana, Islamia, 3 (September-November, 2004). Al-Buraikan, Ibrahim bin Muhammad. Al-Madkhal Li Dirasat al-'Aqidah al-Islamiyah 'ala Madhhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Al-Dimasi, Abdul Fattah al-Sayyid Muhammad. Al-Hubb al-Ilahy: Shi'r Muhy al-Din ibn Arabi. Al-Fajalah: Dar al-Thaqafah, 1983. Al-Edrus, Syed Muhammad Dawilah. Islamic Epistemology: An Introduction to the Theory of Knowledge in al-Qur’an. Cambridge: The Islamic Academy, 1992. Al-Faruqi, Ismail Raji. Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life. Riyadh: International Islamic Publishing House, 1995. Al-Jauziyah, Syamsuddin Abu Abdillah bin Qayyim. Al-Ruh: Fi al-Kalam 'Ala Arwah al-Amwat wa al-Ahya' bi al-Dala'il min al-Kitab wa alSunnah wa al-Athar wa Aqwal al-'Ulama'. Beirut: Dar al-Kutub al-

112 | Nyong ETIS

'Ilmiyah, 1982. _____. Hady al-Arwah ila Bilad al-Afrah. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1983. Al-Khatib, Ali. Ittijahat al-Adab al-Sufy: Bayn al-Hallaj wa Ibn Arabi. Kairo: Dar al-Ma'arif, 1983. Al-Khinni, Mustafa Said. Athar al-Ikhtilaf fi al-Qawa'id al-Usuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha'. Beirut: Mua'assasah al-Risalah, 1994. Al-Kulaib, Abdul Malik Ali. Ahwal al-Qiyamah. Riyadh: Ri'asat Idarat alBuhuth al-'Ilmiyah wa al-Ifta' wa al-Da'wah wa al-Irshad, 1987. Al-Mahmud, Abdullah ibn Zaid. Tathqif al-Azhan bi 'Aqidat al-Islam wa al-Iman. Qatar: Riyasah al-Muhakim al-Shar'iyah wa al-Shu'un alDiniyah, 1982. Al-Maududi, Abu al-A'la. A Short History of the Revivalist Movement in Islam, ter. Al-Asy'ari. Lahore: Islamic Publications Limited, 1981. _____. Al-Iman bi Allah wa Mala'ikatih wa Kutubih wa Rusulih wa alYawm al-Akhir. T.t.: Dar al-Khilafah, t.t. _____. What Islam Stands for. Plainfield: The Muslim Students' Association of the U.S. & Canada, 1981. Al-Qahtan, Manna'. Al-Tashri' wa al-Fiqh fi al-Islam: Tarikhan wa Manhajan. Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1985. Al-Qahtani, Said bin Ali bin Wahf. Al-Hikmah fi al-Da'wah ila Allah Ta'ala. Riyadh: Matba'ah Safir, 1992. Al-Qardawi, Yusuf. Al-Sahwah al-Islamiyah Bayn al-Ikhtilaf al-Mashru' wa al-Tafarruq al-Madhmum: Dirasah fi Fiqh al-Ikhtilaf fi Dhaw' alNusus wa al-Maqasid al-Shar'iyah. Kairo: Dar al-Sahwah, 1992. _____. Jarimah al-Riddah wa 'Uqubah al-Murtad fi Dhaw' al-Qur’an wa al-Sunnah. Abidin: Maktabah Wahbah, 1996. _____. Madkhal li Dirasah al-Shari'ah al-Islamiyah. Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1993. _____. Zahirah al-Ghuluw fi al-Takfir. Abidin: Maktabah Wahbah, 1990.

Jalan Cinta Menuju Surga | 113

Al-Suhaimi, Salih bin Sa'd. Mudhakarah fi al-'Aqidah li al-Dawrat alTadribiyah li Mu'allim al-Lughah al-Arabiyah wa al-Thaqafah alIslamiyah. Madinah: al-Jami'ah al-Islamiyah bi al-Madinah alMunawwarah, t.t. Al-Sulami, Abu Abdurrahman. Tabaqat al-Sufiyah. Kairo: Maktabah alKhanijy, 1986. Al-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr. Al-Budur al-Safirah fi Ahwal al-Akhirah. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1996. Amuli, Sayyid Haidar. Inner Secrets of the Path. Great Britain: Element Books, 1989. Arkoun, Mohammed. "Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers" dalam Robert D. Lee (ed.), Application of Muslim Thought. Armas, Adnin. "Gagasan Frthjof Schuon tentang Titik-Temu AgamaAgama", Islamia, 3 (September-November, 2004). Askari, Hasan. Lintas Iman Dialog Spiritual, ter. Sunarwoto. Yogyakarta: LKiS, 2003. Ayer, A.J. Language, Truth and Logic. Harmonsworth: Penguin Book, 1971. Ayoub, Mahmoud Mustafa. Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam, ter. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001. Badron, Sani. "Ibn al-Arabi tentang Pluralisme Agama", Islamia, 3 (September-November, 2004). Balathiyus, Asin. Ibn Arabi: Hayatuh wa Madhhabuh. Beirut: Dar alQalam, 1979. Bali, Wahid Abdussalam. Wasf al-Jannah wa al-Nar min Sahih al-Akhbar. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1987. Barnes, Annette. On Interpretation: A Critical Analysis. Oxford: Basil Blackwell, 1988.

114 | Nyong ETIS

Bashari, Agus Hasan. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur’an: Menanggapi Ulil Absar Abdala. Surabaya: Pustaka As-Sunnah, 2003. Behechti, dan Bahonar. Philosophy of Islam. Karachi: Ansariyan Publications, 1990. Bellah, Robert N. Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World. New York: Harper & Row, 1970. Bilimoria, Purusottama. "A Problem for Radical Pluralism" dalam Gary E. Kessler (ed.), Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective. Kalifornia: Wadsworth Publishing Company, 1999. Campo, Juan Eduardo. The Other Sides of Paradise: Explorations into the Religious Meanings of Domestic Space in Islam. Columbia: University of South Carolina Press, 1991. Cannon, Dale. Six Ways of Being Religious: A Framework for Comparative Studies of Religion. Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1996. Chittick, William C. "Rumy and the Mawlawiyyah", dalam Seyyed Hossein Nasr (ed.), Islamic Spirituality Manifestations. New York: The Crossroad Publishing Company, 1997. _____. The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press, 1989. _____. The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi. Albany: State University of New York Press, 1983. Choueiri, Youssef M. Islamic Fundamentalism. London: Continuum, 2002. Comstock, W. Richard. "Doctrine" dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 3. New York: Macmillan Publishing Company, 1987. Corbin, Henry. Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi. New York: Princeton University Press, 1969. Cornell, Vincent J. "Fruit of the Tree of Knowledge: The Relationship

Jalan Cinta Menuju Surga | 115

Between Faith and Practice in Islam" dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford History of Islam. New York: Oxford University Press, 1999. Coward, Harold. Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama, ter. Penerbit. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Craig,

William Lane. "Politically Incorrect http://www.leaderu.com (1995-2004).

Salvation"

dalam

Davies, Paul. Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas: Dalam Debat Sains Modern, ter. Hamzah. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002. Dewan Penterjemah. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tiba’at al-Mushaf al-Sharif. 1420 H. El Fadl, Khaled Abou. The Place of Tolerance in Islam. Boston: Beacon Press, 2002. Eliade, Mircea. The Sacred and the Profane. T.t.: Harper Torchbook, 1961. Elias, Jamal J. Islam. London: Routledge, 1999. Erickson, Millard J. Christian Theology. Grand Rapids: Baker Books, 1998. Esack, Farid. Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, ter. Watung A. Budiman. Bandung: Mizan, 2000. Esposito, John L. Islam: The Straight Path. New York: Oxford University Press, 1991. Evans, C. Stephen. Philosophy of Religion: Thinking about Faith. Illinois and Leicester: InterVarsity Press, 1982. Freedman, David Noel and Michael J. McClymond. The Rivers of Paradise: Moses, Budha, Confucius, Jesus, and Muhammad as Religious Founders. Michigan and Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company, 2001. Galib, Muhammad. Ahl Al-Kitab: Makna dan Cakupannya. Jakarta: Paramadina, 1998. Gamwell, Franklin I. The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and the Democratic Resolution. New York: State University of New

116 | Nyong ETIS

York Press, 1995. Glossop, Ronald J. Philosophy: An Introduction to Its Problems and Vocabulary. New York: Delta, 1974. Goddard, Hugh. Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian Muslim-Kristen, ter. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam, 2000. Gulpaigani, Ali Rabbani. Menggugat Pluralisme Agama: Catatan Kritis atas Pemikiran John Hick dan Abdul Karim Sourush, ter. Muhammad Musa. Jakarta: Al-Huda, 2004. Hakami, Hafiz bin Ahmad. Ma'arij al-Qabul bi Sharh Sullam al-Wusul ila 'Ilm al-Usul fi al-Tawhid, vol. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, t.t. _____. Ma'arij al-Qabul bi Sharh Sullam al-Wusul ila 'Ilm al-Usul fi alTawhid, vol. 2. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, t.t. Hall, Edward T. Beyond Culture. New York: Anchor Book/Doubleday, 1977. Harb, Ali. Relativitas Kebenaran Agama: Kritik dan Dialog, ter. Umar Bukhory dan Ghozi Mubarak. Yogyakarta: IRCiSoD, 2001. Hick, John. An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent. New Haven dan London: Yale University Press, 1989. _____. Evil and the God of Love. London-Melbourne-Toronto: Macmillan, 1966. Husaini, Adian dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Ibn Abdul Wahhab, Muhammad. Three Essays on Tawhid, ter. Ismail Raji al-Faruqi. Riyadh: The World Assembly of Muslim Youth, 1979. Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman. Al-Thabat 'ind alMamat. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1986. Imarah, Muhammad. Risalat al-Tawhid li al-Imam Muhammad 'Abduh. Beirut: Dar al-Shuruq, 1994.

Jalan Cinta Menuju Surga | 117

Iqbal, Afzal. The Life and Work of Jalal al-Din Rumy. London: The Octagon Press, 1983. Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Institute of Islamic Culture, 1986. Izutsu, Toshihiko. God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur'anic Weltanschauung. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002. Jainuri, Achmad. “Terorisme dalam Wacana Kontemporer Islam: Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Aliran Modern dalam Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006. _____. The Formation of the Muhammadiyah's Ideology 1912-1942. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 1999. Jaiz, Hartono Ahmad. Menangkal Bahaya JIL dan FLA. Jakarta: Pustaka alKautsar, 2004. Jeffery, Arthur. Islam: Muhammad and His Religion. Indianapolis and New York: The Bobbs-Merrill Company Inc., 1977. Jenkins, Richard. Social Identity. London: Routledge, 1996. Johnson, Keith E. "Do All Paths Lead to the Same Destination?" dalam http://www.leaderu.com, 1997. Juergensmeyer, Mark. Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama, ter. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam Press, 2002. Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1998. Lings, Martin. "The Reality of Sufism" dalam Jaroslav Pelikan (ed.), The World Treasury of Modern Religious Thought. Boston: Little, Brown & Company, 1990. Maarif, Ahmad Syafii. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995. Machiavelli, Niccolo. Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan kepada

118 | Nyong ETIS

Pemimpin Republik, ter. C. Woekirsari. Jakarta: Gramedia, 1987. Madjid, Nurcholish. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer. Jakarta: Paramadina, 1998. _____. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2000. _____. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 2000. _____. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1998.

_____. Masyarakat Relijius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Paramadina, 2004. Madjid, Nurcholish et.al. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, ed. Mun'im A. Sirry. Jakarta: Paramadina dan The Asia Foundation, 2004. Mahmud, Abdul Qadir. Al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam: Masadiruha wa Nazariyatuha wa Makanuha. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1966. Mahmud, Mustafa. Al-Ruh wa al-Jasad. Kairo: Dar al-Ma'arif, t.t. Makino, Shinya. Creation and Termination: A Semantic Study of the Structure of the Qur'anic World View. Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1970. Malaka, Tan. Madilog. Jakarta: Pusat Data Indikator, 1999. Massignon, Louis. The Passion of al-Hallaj: Mystic and Martyr of Islam, vol. 3. Princeton: Princeton University Press, 1982. Matthews, Warren. World Religions. Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1999. Morris, Brian. Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, ter. Imam Khoiri. Yogyakarta: AK Group, 2003. Morris, James W. "Classical Muslim Approaches to the Understanding of Islam and Other Religions (and their Implications for Interreligious Understanding)", Analytica Islamica, 1 (Mei, 2002).

Jalan Cinta Menuju Surga | 119

Mulkhan, Abdul Munir. Teologi Kiri: Landasan Gerakan Membela Kaum Mustadl`afin. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002. Munawar-Rachman, Budhy. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001. Murata, Sachiko dan William C. Chittick. The Vision of Islam. Minnesota: Paragon House, 1994. Mustofa, Agus. Ternyata Akhirat Tidak Kekal. Sidoarjo: Padma Press, 2004. Nasr, Seyyed Hossein. "Dialog Kristen-Islam: Suatu Tanggapan terhadap Hans Kung", ter. Nanang Tahqiq, Paramadina, 1 (Juli – Desember, 1998). _____. Ideals and Realities of Islam. Cambridge: The Islamic Texts Society, 2001. _____. Islam: Religion, History, and Civilization. New York: Harper San Francisco, 2003. _____. Islamic Life and Thought. Albany: State University of new York Press, 1981. _____. Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press, 1989. _____. Sufi Essays. Albany: State University of New York Press, 1972. _____. Three Muslim Sages. New York: Caravan Books, 1969. Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2004. _____. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2002. Nicholson, Reynold A. The Mystic of Islam. Bloomington: World Wisdom, 2002. Noer, Kautsar Ashari. "Tuhan yang Diciptakan dan Tuhan yang Sebenarnya", Paramadina, 1 (Juli – Desember, 1998).

120 | Nyong ETIS

Omar, Imam A. Rashied. Overcoming Religiously Motivated Violence. Cross Currents, Spring 2005, Vol. 55, No 1. Panikkar, Raimundo. "Four Attitudes" dalam Gary E. Kessler (ed.), Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective. Kalifornia: Wadsworth Publishing Company, 1999. Perumalil, Augustine. “Does Religion Promote Violence?” dalam Polylog: Forum for Intercultural Philosophy, 5. 2004. Radhakrishnan, S. Eastern Religions and Western Thought. Oxford: Oxford University Press, 1975. Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1989. Ropi, Ismatu. Fragile Relation: Muslim and Christians in Modern Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000. Sardar, Ziauddin. Islam, Postmodernism and Other Futures. London: Pheto Press, 2003. Schuon, Frithjof. "The Transcendent Unity of Religions" dalam Gary E. Kessler (ed.), Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective. Kalifornia: Wadsworth Publishing Company, 1999. _____. Christianity/Islam: Essays on Esoteric Ecumenicism. Bloomington: World Wisdom Books, 1985. _____. The Transcendent Unity of Religions. Illinois: The Theosophical Publishing House, 1993. _____. Understanding Islam. Baltimore: Penguin Books, 1972. Smart, Ninian. The Religious Experience of Mankind. New York: Charles Scribner's Sons, 1984. Smith, Wilfred Cantwell. Questions of Religious Truth. New York: Charles Scribner's Sons, 1967. _____. Religious Diversity. New York: Crossroad, 1982. Solomon, Robert C. dan Kathleen M. Higgins. Sejarah Filsafat, ter. Saut Pasaribu. Yogyakarta: Yayasan Bendang Budaya, 2002.

Jalan Cinta Menuju Surga | 121

Soroush, Abdolkarim. Reason, Freedom, and Democracy in Islam, ter. Mahmoud Sadri dan Ahmad Sadri. New York: Oxford University Press, 2000. Sou'yb, Joesoef. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983. Streng, Frederick J. Understanding Religious Life. Kalifornia: Wadsworth Publishing Company, 1985. Strobel, Lee. Pembuktian atas Kebenaran Kristus. Batam: Gospel Press, 2002. Syihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan dan ANTeve, 1998. Syihab, M. Quraisy. “Membumikan“ al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan, 1999. Toha, Anis Malik. "Seyyed Hossein Nasr Mengusung "Tradisionalisme" Membangun Pluralisme Agama", Islamia, 3 (SeptemberNovember, 2004). Usman, Fathimah. Wahdat al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta: LKiS, 2002. Wainwright, William J. "Doctrinal Schemes, Metaphysics and Propositional Truth" dalam Thomas Dean (ed.). Religious Pluralism and Truth. New York: State University of New York Press, 1995. _____. Philosophy of Religion. Kalifornia: Wadsworth Publishing Company, 1999. Werblowsky, R.J. Zwi. "Eschatology" dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 3. New York: Macmillan Publishing Company, 1987. Yandell, Keith E. Philosophy of Religion. London: Routledge, 1999.

PENULIS Nyong Eka Teguh Iman Santosa. Lahir di Sidoarjo, 22 Desember 1976. Alumni program S2 Pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2005. Dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA). Suami dari Lailul Maghfuroh dan bapak dari dua anak: Rahma Izzah Mazidah Putri Santosa (Alm.) dan Azka Musyahadah Lihubbillah Putra Santosa.

INDEKS ‘abd, 25 ‘udwan, 65 ’adhab, 39 absolutely absolute, 81 Abu Talib, 48 'adl, 83 Ahlus-sunnah, 12 Ahmad Dahlan, 115 'ajal, 33, 35 Al Masih, 61, 99 Al-Attas, 61, 62, 96 Al-Hallaj, 12, 69, 70, 71, 72, 73, 78, 117, 123 al-hanifiyah al-samhah, 86 al-iqan, 57 all paths lead to the same summit, 83 al-makhshar, 40 al-manzilah bayn almanzilatayn, 12 al-tariqah al-mustaqimah, 64 al-tasdiq, 57 al-tawhid wahid, 84 archetype, 82, 89 ardhy, 88 Atma, 79 ba’th, 33 Bani Israil, 61, 98, 99 barzakh, 33, 34 bi al-dharurah, 43 Budha, 17, 54, 87, 98, 107, 120 burning bush, 70

cinta, 26, 75, 76, 77, 78 dain, 57 dar al-jaza’, 33 das sein, 21 das sollen, 21 din, 57, 84 divine subjectivity, 81 doctrine, 7, 28 double standards, 95 eksklusivisme, 51, 52, 75, 111 eksoterisme, 51 empathic view, 52 esoterisme, 51 finitas, 114 Fiqh Lintas Agama, 87, 88 Fir’aun, 35 fitrah, 19, 84, 89 Form, 79 Frithjof Schuon, 51, 70, 71, 79, 81 general eschatology, 6 Ghazali, 38 hanif, 84 hikmah, 16, 83 Hindu, 17, 54, 87, 102 hisab, 40, 41, 43, 44 Hujwiri, 57 hulul, 72 Ibn 'Arabi, 38, 39, 49, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 117, 118 Ibn Sina, 38 Ibrahim, 64, 84, 85, 86, 116

124 | Nyong ETIS

idolatry, 74 ihsan, 29, 56 individual eschatology, 6 Injil, 62 inklusivisme, 52, 111 interpenetration, 52 iradah, 83 Izutsu, 30, 31, 122 jawhar, 73 Jibril, 29, 30, 35, 56 Ka’bah, 76 kalalib, 45 khalifah fi al-ardh, 25 Khawarij, 9, 12 khawd, 40 kiamat kubra, 33 kiamat sughra, 33 Konghucu, 17, 54, 87 Kristen, 18, 54, 59, 60, 76, 96, 107, 109, 110, 118, 121, 124 lamps of colored glass, 81 logical proofs, 97 ma’ad, 33 Machiavellian, 94 macrocosmos, 6 mahal, 39 majally, 73 Majusi, 19, 87 Makino, 36, 37, 40, 41, 45, 123 man lam yukaffir al-kafir fa huwa kafir, 65 Marxisme, 88 Maryam, 61, 99, 110 Maududi, 30, 31, 117 Maya, 79

mazahir, 73 microcosmos, 6 mi'raj, 43 monoteisme, 24, 71 moral evil, 45 Muhammad, 6, 10, 11, 13, 19, 22, 39, 43, 44, 46, 48, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 66, 67, 68, 72, 76, 84, 85, 86, 87, 89, 92, 93, 95, 97, 98, 103, 107, 116, 120, 121, 122 Mukti Ali, 108 Murji'ah, 12 Musa, 59, 70, 71, 74, 85, 121 musyahadah, 41 Mu'tazilah, 12, 13, 43 nahr al-hayah, 46 naskh, 66 Nasrani, 17, 19, 61, 68, 76, 86, 87, 98, 101 natural evil, 45 naza', 33 nebulous, 102 nilai generis, 88 nubuwwah, 73 Nur Muhammad, 72 Nurcholish Madjid, 50, 86, 87 orthodoxy, 7 partikularisme, 51, 111 radical pluralism, 52 raison d'etre, 51 Reality, 57, 77, 122 reductionist view, 52 relatively absolute, 81 religio perennis, 80

Jalan Cinta Menuju Surga | 125

religion, 64, 71, 90 religious knowledge, 64 Rumi, 31, 78, 119 sa'ah, 29, 35, 56 Sabiin, 60, 101 sa'l, 41 samawy, 88 sayyid, 40 set of beliefs, 93 Seyyed Hossein Nasr, 6, 49, 70, 76, 78, 82, 83, 84, 85, 96, 119, 126 shafa’ah, 44 sirat, 40, 45, 46 Sunnah, 34, 48, 60, 65, 88, 114, 116, 117, 119 Sunni, 12, 59 Syari'ah, 64 Syiah, 59

tahdhir, 41 tahrif wa tabdil, 63 taqlid, 115 Taurat, 62, 76 the eternal Sophia, 84 theophanic individuality, 81 transcendent unity of religions, 69, 80 Trinitas, 98, 100 Ulil Abshar-Abdalla, 86, 88 ultimate goal, 102 unexpressed mistery, 79 universalisme, 51, 111 wahdat al-adyan, 69, 73 Yahudi, 19, 54, 60, 68, 86, 87, 101 Yesus, 98, 111 Yoga, 102 zulm, 65