Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer [1 ed.]
 9799101395, 9789799101396

Table of contents :
cover depan
Daftar Isi
Bagian Pertama: Blora
Bagian Kedua: Semarang
Bagian Ketiga: Jakarta
Bagian Keempat: Moskwa
Bagian Kelima: Tahun 1965
Bagian Keenam: Tahun-tahun yangPanjang
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang PastiBerlalu
Bagian Kedelapan: Catatan Pribadi Soesilo Toer
back cover

Citation preview

Bersama Mas Pram

Bersama Mas Pram

KPG: 94S23509 ISBN 13: 978-979-91-0139-6

www.facebook.com/indonesiapustaka

Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer

Koesalah Soebagyo Toer | Dilengkapi Oleh Soesilo Toer

www.facebook.com/indonesiapustaka

BERSAMA MAS PRAM

www.facebook.com/indonesiapustaka

M E M O A R D U A A D I K P R A M O E DYA A N A N TA TO E R

www.facebook.com/indonesiapustaka

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

BERSAMA MAS PRAM M E M O A R D U A A D I K P R A M O E DYA A N A N TA TO E R

www.facebook.com/indonesiapustaka

KOESALAH SOEBAGYO TOER | DILENGKAPI OLEH SOESILO TOER

J akarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer © Koesalah Soebagyo Toer & Soesilo Toer KPG: 920-04-09-0235 Cetakan Pertama, April 2009 Penyunting Candra Gautama Perancang Sampul Wendie Artswenda Penataletak Bernadetta Esti W.U. Wendie Artswenda

www.facebook.com/indonesiapustaka

TOER, Koesalah Soebagyo Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009 viii + 504 hlm. ; 13,5 cm x 20 cm ISBN: 978-979-91-0139-6

Keterangan Gambar Sampul: • Rumah keluarga Toer di Jl. Sumbawa 40, Blora, koleksi foto Koesalah Soebagyo Toer. • Foto Pramoedya Ananta Toer oleh Rully Susanto.

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta. Isi di luar tanggungjawab percetakan.

Daftar Isi

Pengantar

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

vii

1

Bagian Kedua: Semarang

61

Bagian Ketiga: Jakarta

71

Bagian Keempat: Moskwa

229

Bagian Kelima: Tahun 1965

245

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

299

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

363

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

435

Lampiran

475

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Pengantar

BANYAK KOMENTAR pem baca buku Pram oedy a Ananta Toer dari Dekat Sekali yang m enyatakan bahwa isi buku tersebut tidak cukup dekat, atau tanggung. Bahkan ada yang m enyatakan, “Ibarat m akan bubur, baru sesendok sudah habis.” Mereka m enghendaki supaya catatan tentang Mas Pram dilengkapi, antara lain dengan uraian tentang m asalah yang belum pernah disinggung oleh pem erhati Mas Pram , m isalnya tentang hal-hal yang kiranya tidak dapat dianggap tabu untuk dikem ukakan, seperti m asalah seks. Dengan dem ikian catatan itu bisa menjadi biograi. Menanggapi kom entar tersebut, saya ingin m enam bahkan uraian tentang apa yang saya ketahui tentang Mas Pram sejak saya kecil sam pai sekarang berusia 74 tahun, yang saya yakin belum diketahui um um . Harapan saya adalah agar uraian ini dapat m elengkapi pengetahuan um um m engenai Mas Pram sebagai tokoh yang m enonjol. Nam un, terus-terang, saya sam asekali tidak berpretensi untuk menyusun biograi atau bahkan menjadi ahli tentang Mas Pram . Untuk itu sudah banyak pengam at yang bahkan sudah

www.facebook.com/indonesiapustaka

bekerja lebih dari setengah abad. Tentang Mas Pram sebagai pejuang tentunya dapat disim ak dan dipelajari lewat bukubukunya, dari pernyataannya yang tidak sedikit kepada pers nasional m aupun internasional, juga dari sepak-terjangnya yang juga dapat diakses secara luas oleh um um . Khusus m engenai buku ini, saya tidak berm aksud bercerita tentang orang lain biarpun saya sebut dalam buku ini, khususnya diri saya sendiri, selain Mas Pram . Tapi karena bercerita tentang Mas Pram m ustahil tidak bicara tentang lingkungan dan latarbelakangnya, m aka saya harus bercerita tentang lingkungan dan latarbelakang tersebut. Berapa panjang pun uraian tentang lingkungan dan latarbelakang itu, sasarannya tetaplah Mas Pram . Dengan dem ikian, lingkungan dan latarbelakang itu, khususnya cerita tentang diri saya sendiri, tidak lain daripada m edium uraian tentang Mas Pram . Perlu saya ulangi di sini bahwa saya (dan kam i adik-adik Mas Pram : Prawito Toer, kem udian m enjadi Walujadi Toer, Mas Wiek; Koenm arjatoen Toer, Mbak Koen, yang kem udian m enjadi Ny. Djajoesm an; Om iesafaatoen, Mbak Oem , kem udian Ny. Mashudi; Koesaisah Toer, Mbak Is, kem udian Ny. Herm anu; Soesilo Toer, Coes; dan Soestyo Toer, Coek) sem ula m em anggil Mas Pram dengan Mas Moek, dan baru belakangan terbawa oleh arus nasional dan internasional dengan m em anggilnya Mas Pram . J adi sebutan Mas Pram dalam buku ini sebenarnya seharusnya diucapkan Mas Moek. Kam i baru m antap m enyebutnya Mas Pram sesudah ia pulang dari Pulau Buru tahun 1979. Koesalah Soebagy o Toer Jakarta, April 20 0 9

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Punya Mas Pram

DARI KECIL di zam an Belanda (saya lahir pada 27 J anuari 1935), saya sudah tahu bahwa bapak saya guru. Ia disapa rekan, kenalan, dan m uridnya dengan Meneer Toer, sedangkan ibu saya disapa oleh para tetangga dengan Ndara Toer. Rum ah kam i terletak di Desa J etis, di sudut barat-daya kota Blora yang waktu itu m erupakan kota kecil pedalam an yang sepi. Kenapa Bapak m em ilih tem pat itu, tidak pernah kam i dengar ceritanya. Kam i pernah m endengar celaan kerabat kam i dari pihak Ibu yang berkerum un tinggal di Kaum an: “Rum ah kok di tengah sawah!” Mungkin karena ditinjau dari Kaum an tem pat itu cukup ndesa. Mem ang, penilaian m ereka tidak terlalu keliru. Rum ah kam i itu hanya seratus m eter dari Kali Lusi. Sisi kanan rum ah dikenal sebagai dalan kebo (jalan kerbau). Mem ang, itu jalan m enggiring kerbau untuk dim andikan di Kali Lusi, dan jalan untuk pergi ke daerah persawahan di selatan kota yang bernam a Kaliwangan. Nam un yang m ereka cela barangkali bukan tem patnya saja, m elainkan terutam a sikap Bapak yang seolah “tak m au

www.facebook.com/indonesiapustaka

4

Bersama Mas Pram

kum pul” dengan saudara-saudara yang lain di Kaum an. Tetangga kam i sem ua orang bersahaja. Di sebelah kiri, Pak Suto, tukang kayu, Pak Atm o dan Pak Sim en, petani. Di belakang, Pak Godek, blantik, dan Pak Sadir, tukang tem pe. Di kanan, Pak Sukiban, jagal, Pak Wiro, tukang gali pasir, dan Pak Sopir. Di depan, m em bentang tegalan luas, tapi agak ke kanan tinggal Pak Sum o, petani, dan Pak Wiek, tukang tim ba air. Saya bisa m enyebutkan yang lain-lain lagi, yang sem uanya kaum pekerja. Karena itu, dari kecil tem an berm ain saya ya anak-anak pekerja itu. Meski dem ikian jangan dikira anak-anak itu bodoh dibandingkan anak guru, walau banyak dari m ereka tak bersekolah. Saya tidak m alu m engakui bahwa guru saya di waktu kecil sesudah ibu saya adalah Rigno, anak Pak Sum o, m eski usianya terpaut sedikit saja dari saya. Ia banyak tahu. Ia tahu nam a desa-desa di sekitar J etis. Ia tahu nam a Betawi, dan Betawi itu katanya berasal dari “m am bet tai” (bau tahi), karena dalam perang m elawan Belanda di Betawi tentara Sultan Agung m enggunakan peluru kotoran m anusia terhadap tentara Belanda. Ia tahu m akhluk halus seperti tuyul, sundel bolong, banaspati, dll. Ia bisa m em buat layangan, bisa m em buat kekean (gangsing dari kayu), bisa m em buat jerat betet, dll. Saya senang berkawan dengan Rigno dan belajar dari dia apa-apa yang m enjadi kebanggaannya. Nam un ada kebanggaan saya yang tak bisa disam ai oleh Rigno, yaitu kakak saya. Mem ang Rigno juga punya kakak, em pat orang, tapi sem ua perem puan, dan sem ua tidak ke m ana-m ana. Saya punya Mas Pram yang waktu itu ada di Surabaya, yang “sekolahnya tinggi”, sekolah radio. Waktu itu

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak banyak anak Blora pergi ke Surabaya yang begitu jauh. Lebih jarang lagi ke Betawi. Kalau nanti Mas Pram pulang dari Surabaya, tentu ia pintar sekali, dan oleh-olehnya tentu banyak. Itulah kebanggaan saya.

5

www.facebook.com/indonesiapustaka

Ibu Meninggal

TIDAK LAMA sesudah J epang m asuk, adik terkecil saya, Soesanti, m eninggal. Menurut catatan laporan kepala desa yang m asih tersim pan, peristiwa itu terjadi tanggal 4 J uni 1942. (Tapi m enurut ingatan Mas Pram , Mbak Oem , dan Mbak Is, Soesanti m eninggal pada hari yang sam a dengan ibu kam i, Oem i Saidah, tanggal 8 J uni 1942.) Ia hanya m encapai usia tujuh bulan, disusul Ibu yang hanya m encapai usia 34 tahun (lahir tahun 190 8). Entah berapa lam a sesudah itu, Bapak m endatangkan ibunya, Nenek Sabariah, dari Kediri, untuk m engurus kam i. Zam an J epang adalah zam an yang sungguh tidak enak. Gaji Bapak tidak teratur diberikan. Karena Bapak jarang m em berikan uang, Mbah Sabariah tidak berdaya m em beri m akan cucu-cucunya. Terpaksa ia ram ban (m eram u) di kebun kam i. Apa saja daun yang dapat dim akan—daun singkong, daun ubi, daun bluntas, daun babing (katuk)—dipetik, dikulub, dibum bui. Kalau tak ada bum bu, dikasih garam . Tak ada garam , disuruh m akan tanpa apapun. Ketika daun-daunan habis, Mbah Sabariah m enyuruh

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

m em otong pisang yang sebetulnya belum cukup um ur. Pisang kepok direbus sebagai ganti nasi. Tak ada lauk, jantung pisang dijadikan lauk. Dan kalau nasi pisang tak cukup, kulit pisang kepok direbus, digaram i, sebagai ganti nasi. Lam a-kelam aan buah pisang habis. Mbah Sabariah m em erintahkan m enggali dangkel (bonggol) anak pisang biji, dan dangkel anak pisang kini m enjadi ganti nasi. Sem entara itu daun pisang—terutam a pisang biji—dijual kepada tukang nasi dan tukang lontong. Ketika pohon pisang tum pas, Mbah Sabariah kebingungan. Mbah Sabariah tidak kerasan jadi pem im pin rum ahtangga yang tak pegang uang. Sehari-hari ia cekcok dengan cucu-cucu yang “nakal, berani terhadap orang tua”, sehingga pada suatu hari, sesudah beberapa bulan di Blora, ia pulang ke rum ahnya di Ngadiluwih, Kediri. Saya tak tahu apakah ada kesepakatan dengan Bapak. Sem entara itu Mas Pram dan Mas Wiek, pada 1942 itu, sudah berangkat ke J akarta untuk sekolah. Kabarnya m ereka ikut Pam an, adik Bapak terkecil, Moedigdo. Pem im pin rum ahtangga jatuh ke tangan Mbak Oem yang terpaksa m eninggalkan sekolah. Waktu itu ia baru duduk di kelas lim a sekolah dasar, um ur 12 tahun. Terpaksa! Bapak waktu itu lebih banyak di luar rum ah, dan Mbak Koen terus sekolah. Karena Bapak jarang m em beri uang, m aka cara m endapatkan uang cepat adalah dengan m enjuali barang berharga yang m asih tersisa, seperti lem ari, m esin jahit, dsb. Dan ketika barang yang berharga habis, barang yang kurang berharga pun terpaksa digadaikan atau dijuali oleh Mbak Oem sebagai penanggung jawab rum ahtangga untuk m akan sehari-hari. Perhiasan satu-satunya yang m asih ada—anting atau kalung—,

7

www.facebook.com/indonesiapustaka

8

Bersama Mas Pram

juga kadang kain batik, digadaikan pula. Sebelum jatuh tem po, kalau dapat uang dari Bapak, barang ditebus. Kalau tidak dapat, barang terpaksa dibiarkan hilang. Kalau uang m encukupi, dibelikan beras, dim asak cam pur kacang m erah, ubi, atau singkong. Sehari cukup sekali. Kalau tak cukup, cari sendiri kekurangannya. Kam i m enggali um bium bian yang ada di sepanjang pagar pekarangan. Um bium bian itu kam i gasak sam pai tandas. Sem entara itu, tiap hari, pulang dari sekolah saya dan Coes ke Kali Lusi untuk gogoh, m encari udang atau kijing (kerang sungai). Waktu itu di kali m asih banyak ikan. Kadang-kadang kam i m encari gangsir atau m enebah belalang di jalanan. Kalau uang tak banyak, dibelikan jagung. Sem ua ikut m engubah jagung kering m enjadi nasi jagung. Saya m enam pi, m edangi (m enuangi air panas), m enum buk, ngay ak (m enapis) sam pai m enjadi tepung, bahkan m em bikin bubur slam per (kulit butir jagung). Itu pun tidak m enolong. Makan m enjadi sangat tidak teratur dan sangat kurang, pakaian tinggal sepotong yang m elekat di badan, dan berbagai penyakit m ulai m erajalela. Karena itu, pada waktu pergi tidur perut kam i m asih lapar. Kam i tidur ram ai-ram ai dalam satu ranjang peninggalan Ibu. Mbak Oem m engajari kam i m engaji Al Fatihah, Al Ikhlas (yang biasa disebut “Kulhu”), An Naas, Al Falaq. Sering kam i disuruh ram ai-ram ai baca Kulhu em pat puluh kali. Kadang enam puluh kali. Sam pai tertidur. Sam bil baca kam i ingat Ibu. Alangkah senangnya kalau kam i punya ibu. Kenapa Ibu m eninggalkan kam i selagi m asih kecil-kecil? Ibu m eninggal karena ia orang baik. Kalau orang jahat, oleh Tuhan tentu ia dipanjangkan um urnya agar dapat m eneruskan perbuatan jahatnya, dan akhirnya terperosok ke dalam neraka jahanam ,

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

itu kata Mbak Oem . Kam i berharap, m udah-m udahan tidak benar Ibu m eninggal, dan pada suatu kali ia akan datang m enem ui kam i. Mbak Oem m enjadi ibu kam i. Ia m engajari kam i m engaci, m encuci, m enyeterika, bahkan m em intal law e (benang pintal) setiap hari agar sesudah sebulan ia bisa m enjualnya ke pasar dan kam i bisa m akan enak sehari itu. Kadang-kadang kam i teringat juga Mas Pram dan Mas Wiek, dan berharap m ereka tiba-tiba datang dan bawa oleh-oleh. Pernah datang wesel dari J akarta, dan kebetulan Bapak tidak pulang. Oleh Mbak Oem tandatangan Bapak dipalsu, dan kam i dapat m enikm ati hasilnya. Untung saja tidak terjadi apaapa. Pegawai kantor pos pun tidak curiga. Kam i berterim akasih kepada Mbak Oem atas keberaniannya. J uga kepada Mas Pram dan Mas Wiek atas kirim annya.

9

www.facebook.com/indonesiapustaka

Ada Telegram

PROKLAMASI USIA saya 10 tahun, kelas tiga Sekolah Rakyat (SR). Indonesia m engalam i perubahan. Bangsa Indonesia tidak lagi dijajah, sudah m endhireng pribadi (berdikari). Buktinya, m obil-m obil berkeliling dengan coretan “Milik Republik Indonesia”. Sesekali sirene kota m endengung, dan para pem uda bersiap dengan bam bu runcing, keris, dan bendo (golok) untuk m enangkap J epang yang berusaha m eloloskan diri. Bendera Merah-Putih berkibar di m ana-m ana, bahkan lencana MerahPutih disem atkan di dada. Pem uda-pem uda berjalan gagah, sebagian m engenakan pakaian seragam , m enyisipkan pistol, topinya m iring, pakai sepatu lars, pakai ram but dan jenggot panjang. Pertem puran dengan J epang, Inggris, Belanda: di Sem arang, di Surabaya, di Salatiga, dan Magelang. Pada suatu hari datang telegram dari Mas Pram : “bapak saya datang tanggal sekian”. Tulisannya dengan huruf kecil sem ua, tanpa tanda baca. Saya tahu yang nam anya kantor telegrap, di sebelah kiri kantor pos, karena ham pir tiap hari saya m elewatinya pulangpergi ke sekolah. Kantor itu ham pir selalu tam pak sepi, lain

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

dengan kantor pos. Tapi, m eski gedungnya lebih buruk dan tua dibandingkan kantor pos, kantor ini lebih hebat kerjanya, karena ia bisa m enyam paikan berita dalam sehari, tidak seperti kantor pos. Waktu itu, seingat saya, Bapak tidak ada di rum ah. Telegram dibuka oleh Mbak Oem , dibacakan kepada kam i—Mbak Is, saya, Coes, dan Coek. “He, Mas Pram akan datang. Papag (jem put), Dik Liek. Sam a Coes.” Saya heran m endengar itu. Untuk apa dipapag? Kan sudah besar, bisa jalan sendiri? Dan lagi stasiun kan jauh? Kan capek dari sekolah? Tapi keesokan harinya, sepulang sekolah, saya pergi juga dengan Coes. Seperti biasa, kam i jalan ke tim ur, dari jem batan Kaliwangan belok ke utara, sam pai alun-alun ke tim ur lagi. Kam i tak lihat jam . Kam i percaya tidak terlam bat, karena kereta dari Cepu sore hari datangnya. Kam i jalan pelan-pelan, sam bil ny aruk-ny aruk debu, m em unguti cap rokok kalau ada. Itu kegem aran kam i waktu itu: m engum pulkan cap rokok. Sam pai di depan klenteng di Tem pelan, dari jauh kam i lihat dua orang lelaki berjalan m enuju kam i. “Eh, Coes, apa itu bukan Mas Pram ?” “Yang m ana?” jawab Coes. Dua orang itu terus berjalan sam bil om ong-om ong. Yang seorang m irip Mas Pram , pakai sepatu tinggi dan sem acam jas hujan. J alannya tegap, berjingkat-jingkat, seperti ada per di tum itnya. Yang lain, di sebelah kirinya, pakai kem eja lengan panjang. Gagah juga, tapi agak m em bungkuk. “Mas Pram !” tiba-tiba panggil Coes, ketika kedua orang itu sem akin m endekat.

11

12

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

“Eee, Liliek, ya? Sam a Coes? Dari m ana ini tadi?” kata Mas Pram sesudah m eninggalkan percakapan, m endekat, dan m engam at-am ati kam i. “Mapag Mas Pram !” jawab Coes. Mas Pram m erangkul dan m encium pipiku kiri-kanan, juga Coes. Perbuatan itu saya anggap aneh, apalagi di tengah jalan. Tidak ada orang Blora yang bercium an, kecuali m encium anak bayi. Sesudah itu kam i disuruh bersalam an dengan orang yang lain itu. “Adikku, Dir. Ini Liliek, dan itu Coes,” kata Mas Pram . Orang yang dipanggil Dir itu m engulurkan tangannya bergantian kepada kam i—kam i bersalam an. Perbuatan itu juga saya anggap aneh, sebab yang biasa bersalam an hanya orangorang dewasa. Kam i kan anak-anak? Selanjutnya kam i pulang sam a-sam a. Mula-m ula m ereka tanya ini-itu seperti biasa kepada orang dewasa, tapi sesudah itu m ereka m engobrol lagi dengan asyik. Kam i tak tahu apa yang diobrolkan. Dalam hati saya berpikir: “Gagah sekali Mas Pram . Sepatu dan jas hujannya bikin lebih gagah lagi. Kirim telegram lagi. Saya bangga punya abang Mas Pram ! Tapi kok dia ndak bawa apa-apa ya?” Catatan: Tem an Mas Pram itu di kem udian hari kam i ketahui bernam a Abdulkadir.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Jadi Tawanan

MBAK OEMLAH yang paling banyak berhubungan dengan Bapak. Dia yang m atur (m enyam paikan, m elapor) kalau ada apa-apa. Dia pula yang m encuci dan m enyeterika pakaian Bapak, term asuk lancingan-nya (celana dalam ). Sem inggu sekali Bapak m engganti jas dan kainnya. Dari kantong-kantong jas yang lam a dikeluarkan isinya: dari kantong dada depan kiri dikeluarkan arloji berantai dan berkuku m acan peninggalan zam an Belanda, dari kantong perut kiri dikeluarkan saputangan, dari kantong perut kanan dikeluarkan slepi (sem acam dom pet) tem bakau dan klobot (kelopak jagung) serta korek api, dan dari kantong dada dalam dikeluarkan uang, kalau ada. Sem ua itu kem udian dim asukkan ke dalam kantongkantong jas baru (jas Bapak hanya dua) yang sudah dicuci dan disetrika licin, m asing-m asing pada tem patnya. Tidak boleh ada yang tertukar tem patnya. Dalam keadaan terisi, jas bersam a kain dan sabuk ditata Mbak Oem di atas tem pat tidur Bapak untuk dikenakan. Dengan begitu ada hubungan yang ajek, pas, dan m apan antara Bapak dan Mbak Oem .

www.facebook.com/indonesiapustaka

14

Bersama Mas Pram

Saban pagi Mbak Oem juga yang harus m enyediakan sarapan Bapak dalam piring khusus: piring besar warna biru, kelilingnya bergerigi, bergam bar kelenteng di tengah panoram a Tiongkok di lingkaran tengah, berhias-hiasan dalam petak-petak di sekitarnya. Isi sarapan itu sering terlalu sedikit untuk piring sebesar itu. Bahkan seringkali itulah satu-satunya sarapan di rum ah: anak-anak hanya boleh m encium arom anya. Kalau ternyata sam pai siang Bapak tidak datang, sarapan itu m enjadi bagian anak-anak. (Pernah karena kelaparan Coes m enyerobot sarapan Bapak, dan Bapak ternyata hanya m anggut-m anggut prihatin.) J adi Mbak Oem juga m enjadi saluran kabar-kabar yang diterim a oleh Bapak. Lewat Mbak Oem Bapak m enyam paikan kabar bahwa kakak angkat kam i, Mas Soejono, yang biasa kam i panggil Mas J ono, dulu ternyata m enjadi Heiho dan kem udian gugur dalam pertem puran di Birm a. Kabar itu diterim a begitu saja tanpa tam bahan, sehingga kam i pun tak tahu di m ana dan bagaim ana kakak kam i itu dikuburkan. Lewat Mbak Oem juga kam i tahu bahwa Mas Pram telah m enjadi tentara, lalu tertangkap Belanda dan m enjadi tawanan. Di m asa ini pula kam i m endengar bahwa Mas Pram m enjadi pengarang. Kebetulan Mbak Oem m em ang suka m em baca. Dialah yang m em baca buku-buku Bapak dan m enceritakan isinya kepada kam i. Dia bisa bercerita thirik-thirik (runtut) dan m enarik, hingga kadang-kadang saya heran sendiri kok bisa-bisanya Mbak Oem bercerita seperti itu. Dengan cara itu ia m enceritakan kisah-kisah Panji dan lakon-lakon Baginda Am byah berm alam -m alam . Mbak Oem juga yang m enyam paikan kepada kam i dan m em bacakan isi karangan pendek Mas Pram berjudul “Malam

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

Lebaran”, dan m engatakan bahwa Mas Pram telah m em buat juga karangan panjang berjudul “Kem udian Runtuhlah Mojopahit”. Saya ingat, beberapa kali kam i m enerim a surat dari Mas Pram dari penjara berupa kartupos yang ditulis bolak-balik dengan tulisan kecil-kecil, sangat rapi, sehingga dalam ruangan sesem pit itu term uat banyak hal. Isi surat itu m enanyakan kabar kam i, terutam a m engenai sekolah dan pelajaran kam i, dan akhirnya perm intaan agar kam i m enulis surat kepadanya. Surat terakhir (kalau tak keliru sudah 1949) m em uat bagianbagian khusus untuk Mbak Oem , Mbak Is, dan saya. Surat itu, seperti biasa, dibaca keras-keras oleh Mbak Oem . Khusus kepada saya ia m enulis kira-kira begini: “Liliek. Apa kabar, Liliek? Tulislah untuk Mas Pram , ya? Ceritakan, bagaim ana sekolahm u, pelajaran apa yang m enarik Liliek. Bahasa apa, riwayat apa? Mas Pram suka rindu pada Liliek. Mas Pram suka terkenang dengan m ata Liliek yang pem im pi. Tulislah untuk Mas Pram , ya?” Saya tak pernah m em balas surat itu. Mem ang belum pernah saya m enulis surat. Saya tak tahu apakah Bapak atau Mbak Oem pernah m em balas suratnya. Saya cum a yakin bahwa pada suatu kali Mas Pram akan pulang ke Blora lagi.

15

www.facebook.com/indonesiapustaka

Belanda Menyerbu Blora

BERTAHUN-TAHUN BELANDA tak m am pu m enem bus pertahanan Republik di Tanggulangin di luar Kudus. Tapi tiba-tiba pesawat capungnya m elayang-layang di angkasa Blora, disusul deru pesawat pem buru dan pesawat pem bom yang besarnya belum pernah saya saksikan sam pai waktu itu (19 Desem ber 1948). Dentum an-dentum an m eriam m em bahana tak hentihenti, entah di m ana pelurunya berjatuhan. Orang bilang Belanda sudah sam pai Medang, delapan kilom eter di utara Blora. Para pem uda lari bertem perasan tak tentu arah. Sebagian m asuk rum ah kam i. Mereka sibuk berceloteh tentang m asuknya Belanda, tapi alur pem bicaraan itu sam asekali tak saya m engerti. Tidak lam a Bapak datang, tapi anehnya ia tidak peduli dengan kam i. Tem an-tem annya rupanya lebih penting. Dan tak lam a kem udian datang Dik Dig, sepupu kam i yang lebih tua dari kam i, yang dengan terengah-engah m enyatakan bahwa di kabupaten sudah terdengar tem bakan pistol. Hujan tiba-tiba m engguyur. Tidak boleh tidak perm ukaan air Kali Lusi pasti naik. Tanpa m engatakan sesuatu dan tanpa

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

pesan, orang-orang yang tadi sibuk berceloteh kini m enghilang satu dem i satu, term asuk Bapak dan Dik Dig. Dalam angan saya terbayang bagaim ana m ereka m enerobos pekarangan kam i dan pekarangan Pak Sadir di tengah hujan, dan m enyeberangi banjir berpegangan batang pisang. Belakangan kam i m endengar bahwa seorang tentara kintir (terbawa hanyut) oleh arus Kali Lusi. Saya sam pai m enyesali: “Tentara kok kintir!” Belum lagi Belanda tam pak, rum ah sudah sepi, tinggal kam i anak-anak berlim a. Tak lam a kem udian terdengar derum kendaraan berm otor, m akin lam a m akin seru dan jelas. Kam i m engintip dari celah pojokan dapur. Tam pak dengan jelas iring-iringan kendaraan Belanda: diawali dua serdadu Belanda bersepeda m otor kirikanan, m elaju perlahan. Disusul beberapa jip (waktu itu saya belum tahu nam anya), beberapa brenkarir (juga belum saya ketahui nam anya), beberapa tank besar dengan laras m eriam yang m enyeram kan, beberapa pantserw agen (yang baru saya ketahui nam anya kem udian), dan berturut-turut truk penuh serdadu dan truk-truk penyeret m eriam . Ditutup dengan beberapa brenkarir lagi. Kam i gem etar. “Aduh, bagaim ana ini? Negeri kita dijajah Belanda lagi!” pekik Mbak Oem tertahan. Tidak ada jawaban. Bagaim ana m ungkin ada jawaban? Bapak ke luar kota, Mas Pram jadi tawanan Belanda, Mas Wiek dirawat di rum ah sakit J epara karena ham pir putus tangannya kena pedang, dan Mbak Koen ikut Mas Djajoes bertugas m iliter di Tayu. Berbulan-bulan tak ada berita dari Bapak. Saya pun heran, bagaim ana kam i berlim a bisa terus hidup waktu itu.

17

www.facebook.com/indonesiapustaka

18

Bersama Mas Pram

Pada suatu hari kam i diajak Mbak Oem ke Kam olan, tiga kilom eter di selatan Blora. Ternyata itulah kini pasar terbuka Republik. Kam i m enunggu di ujung pasar, di dekat suatu rum pun bam bu. Tak lam a kem udian m uncul seseorang entah dari m ana: bercelana pendek berbaju lengan pendek, m engenakan caping dan tongkat kayu, dan tanpa alas kaki. Di pinggangnya terikat bungkusan saputangan. Orang itu m em egang kepala saya, sam pai saya kaget. Siapa orang itu? Ia m engeluarkan sesuatu dari kantong baju, diberikannya kepada Mbak Oem , dan tanpa m engatakan apapun kepada kam i, tibatiba ia sudah m enghilang kem bali. “Siapa itu tadi, Mbak Oem ?” tanya saya keheranan. “Lho, Dik Liek ini bagaim ana? Itu kan Bapak?” Alangkah heran saya bahwa saya tak m engenali bapak sendiri. Berbulan-bulan lagi tanpa berita. Tahu-tahu kam i dengar Bapak ditangkap Belanda di Ngawen di barat Blora. Tapi herannya, tidak lam a kem udian Bapak dilepaskan, dan sejak itu m engajar di SMP yang m enum pang gedung di sekolah Muham m adiyah, karena gedung SMP Blora III tem pat Bapak m engajar dulu dipakai asram a serdadu Belanda. Mbak Oem m engatakan, Bapak dilepas dengan syarat m au m engajar kem bali. Berlainan dengan sebelum nya, kini Bapak banyak tinggal di rum ah. Tapi sekarang ia banyak batuk, lebih-lebih di m alam hari. Sebelum m atahari terbit Bapak sudah dibangunkan batuknya, dan batuk itu tak m au berhenti sebelum Bapak dengan sengaja terpaksa m enghentikannya. Pada suatu hari Bapak m enyatakan keheranannya kepada Mbak Oem , bahwa dari batuknya ternyata keluar darah.

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

Rupanya darah itu sudah lam a juga keluar. Buktinya, di tem bok bawah jendela kulon (barat) banyak noda darah m erah. Batuk itulah yang akhirnya m em akukan Bapak ke rum ah, bahkan ke tem pat tidur, dan selanjutnya m em bawanya ke rum ah sakit Penditan.

19

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram Dilepaskan

TAHUN 1949 terjadi perundingan Indonesia dengan Belanda. Kenapa Belanda m au berunding, saya juga heran. Tapi m enurut dugaan saya, karena tentara Republik m elawan dengan hebat. Saya dengar, di Medang ada pantserw agen Belanda yang ditrekbom sam pai terjungkal ke kali. Di luar Ngawen, di dekat pusat penum pukan kayu jati, kereta api digulingkan. Sem entara itu di Kunduran, di kuburan, terjadi pertem puran hebat antara tentara Belanda dan tentara Republik, dan beberapa serdadu Belanda m ati. Sem ua itu saya dengar dari selentingan percakapan Mas Wiek—yang sem entara itu sudah kem bali ke Blora dalam keadaan cacat—dengan kawan-kawannya. Kem udian saya dengar apa yang disebut Mas Wiek sebagai Roem -Roijen Statem ents. Saya tak m engerti artinya, walaupun waktu itu saya sudah m ulai belajar bahasa Inggris di SMP dengan guru Pak Ngoesm an. Tapi pokoknya terjadi rujuk Indonesia-Belanda. Dari percakapan m ereka saya dengar J enderal Belanda yang bernam a Spoor m ati. Wah, ram ai dan girang sekali berita itu ditanggapi oleh Mas Wiek dan kawan-kawannya.

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

“Rasakna kow e. Sukur!” kom entar saya sendiri spontan pelan-pelan waktu itu. Tanggal 16 Agustus 1949 sore kam i diajak Mbak Oem ke Kam olan, dan dari Kam olan m asih jalan lagi ke tim ur lalu belok ke selatan m enyusur jalan kam pung yang jauhnya kata orang sem bilan kilom eter dari Blora. Saya ham pir lupa nam a tem pat itu, tapi kalau tak salah Ndoplang. Sesudah berjam -jam jalan, akhirnya lepas m atahari terbenam kam i sam pai di lapangan yang terang-benderang oleh nyala ratusan obor. Pasar m alam ! Di sana tentara gerilya m engadakan pasar m alam . Di sana digelar m acam -m acam perm ainan dan pertunjukan, dan dijual m acam -m acam m akanan dan m inum an. Di sana berkibaran bendera Merah-Putih, besar-kecil, dengan m egah, bercam pur dengan janur kuning, buah-buahan dan um bi-um bian. Di sana banyak berkeliaran tentara dengan berbagai pakaian dan gayanya, sebagian bersenjata, sebagian nglanthung (bertangan kosong) saja, tapi sem uanya gem bira, gagah, dan optim is. Di sana pula kam i bertem u Mas Djajoes, yang m em ang dasarnya gagah, bersam a Mbak Koen. Kam i m engelilingi lapangan, m engagum i segala yang baru kali itu kam i lihat. Sayangnya kam i tak punya uang, sehingga kam i cum a sem pat m inum air kendi dan m akan gem blong tela (getuk singkong). Alkisah, pulangnya, kam i m esti jalan lagi sem bilan kilom eter sam bil tidur, sam pai tiap kali m esti diingatkan oleh Mbak Oem supaya m elek. Dan… belum sam pai jenak tidur sudah dibangunkan Mas Wiek. “Bangun! Bangun! Mandi! Pakaian! Upacara!” Hari sudah pukul enam pagi tanggal 17 Agustus 1949. Mata m asih lengket dan badan sakit-sakit. Tapi kam i diperintahkan

21

www.facebook.com/indonesiapustaka

22

Bersama Mas Pram

berbaris untuk upacara, di dalam rum ah! Pem im pin upacaranya Mas Wiek. Bendera Merah-Putih, yang waktu Belanda m enyerbu saya m asukkan lepak (sejenis dom pet kaleng) dan saya selipkan di bawah bufet, diperintahkan diam bil oleh Mas Wiek, dan sebagai ganti pengerekan, bendera itu dipam pangkan di sandaran kursi sem entara kam i m enyanyikan lagu Indonesia Raya dengan pintu tertutup. Kam i m enyanyi lirih, takut kedengaran Belanda yang sesekali berpatroli dengan jip m elewati dalan kebo. Nam un, walau lirih, kam i m erasakan sem angat kem erdekaan hidup lagi seperti waktu sesudah proklam asi. Dan ketika kam i m engheningkan cipta, terbayang oleh kam i para pahlawan dari Blora yang ikut gugur di front Sem arang dan Surabaya, seperti anak Pak Karso Sate, Mas Darsim an, orang-orang Sam in, dan banyak lagi yang lain. Mas Wiek berpidato, m em inta kam i supaya tetap cinta kem erdekaan, cinta Republik Indonesia, cinta tentara Indonesia sebagai pagar negara. Negara Indonesia, katanya, adalah “negara kalian-kalian di m asa datang”. “Kalian m em ang m asih anak-anak sekarang, katanya, tapi akhirnya kalian toh akan jadi orang dewasa yang m em im pin Indonesia nanti, di bidang m asing-m asing.” Kam i m em ercayai Mas Wiek yang pernah jadi tentara, walau kini tangannya cacat. Sam a halnya kam i percaya kepada Mas Pram yang juga pernah jadi tentara, walaupun sekarang jadi tawanan Belanda. Kam i juga percaya kepada Mas Djajoes, walaupun pangkatnya cum a kopral dan kem udian naik jadi sersan. Kem udian datang berita tentang KMB. KMB! Konferensi Meja Bundar! Penyerahan Kedaulatan! Nam un yang lebih pen-

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

ting daripada segalanya: Mas Pram dilepaskan oleh Belanda. Kam i percaya, walau belum bertem u m uka dengannya. Lebih percaya lagi karena suatu hari datang kirim an dari dia dua lem bar foto pengantinnya berbingkai kertas tebal, sehingga tinggal m enggantungkan saja di dinding. Satu foto Mas Pram dengan istrinya, Mbak Arvah, duduk berdam pingan di depan ranjang pengantin: Mas Pram m engenakan setelan jas berdasi, bersunting karangan bunga di dada kiri, dan istrinya berkebaya dengan riasan sederhana, berkalung karangan bunga juga. Foto yang lain berem pat dengan m ertua Mas Pram : Pak Iljas yang tenang berpeci dan Bu Iljas yang gem uk kekar. “Tak seorang pun tersenyum !” itulah kesan saya sewaktu m elihat foto itu. Di bawah kedua foto itu tertulis rapi: ”J akarta, 15 J anuari 1950 ”.

23

www.facebook.com/indonesiapustaka

Datang

MEI 1950 . Saya tak m engikuti liku-liku peristiwa sebelum nya, tapi pada suatu sore terdengar bel dokar “thing-klong, thing-klong”, dan tak lam a kem udian dokar itu berhenti di depan buk kam i. Boom dokar m endongak ke atas karena pancatan (injakan) belakang diinjak orang dewasa. Boom turun lagi, dan sejenak m endongak kem bali, kali ini lebih tinggi, tentunya karena diinjak orang yang lebih berat bobotnya. Mas Pram ! Istrinya! Mereka bergegas, seperti orang m engejar bis di koplakan (term inal dokar). Kam i pun bergegas m enyongsong, seperti biasa kalau datang kendaraan lewat depan rum ah. Sebelum kam i sem pat m engam ati m ereka, kam i sudah dipeluk dan dicium kiri-kanan. Kem bali terasa aneh dan ham bar. Cium an itu untuk m em buktikan bahwa kam i dan Mas Pram bersaudara dan saling m enyayangi. Betulkah? Saya tidak ingat apakah istri Mas Pram juga m encium kam i. Mungkin karena perhatian kam i terpusat pada Mas Pram .

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram langsung m asuk pendapa dan duduk di sana, disusul oleh istri. (Baru esok harinya ia m asuk em per, m engam ati busut di ujung barat, yang waktu itu sedang m enggunung, kem bali m engam ati rum ah depan, m enjenguk sudutsudut dan jendela dan pintunya, kem udian ganti m asuk rum ah belakang dan m elongoki kam ar-kam ar. Ia lam a berhenti di jendela kulon dan m enebarkan pandangan ke kebun, entah apa yang dim atkannya. Dan dari situ m asuk dapur, sam pai ayam -ayam bertem perasan lari, takut ditangkap. Sesudah itu baru m asuk kebun.) Lalu kem bali ke rum ah depan dan duduk di kursi yang bersandaran jeriji. Barang-barang bawaan m asih m engonggok. “Itu barang-barang dim asukkan,” perintah Mas Pram . Kam i celingukan. “Masukkan ke kam ar Bapak, Dik Koes,” kata Mbak Oem kepada Mbak Is, yang oleh Mbak Oem selalu dipanggil Dik Koes. Tanpa diperintah, saya ikut m engangkat ransel hijau berpetak-petak cat kuning, dan m enaruhnya di dekat m eja di kam ar kulon Bapak. “Itu ganti sandal dulu,” kata Mas Pram kepada istrinya, yang waktu itu sudah duduk di kursi (tapi belum dapat kam i hafal nam anya, karena aneh di telinga kam i). Istri Mas Pram kiy et-kiy et (berdecit-decit) dengan sepatu jinjit (sepatu berhak tinggi) yang sangat tebal solnya. “Kok tinggi am at, apa ndak berat, ya?” pikir saya. (Belakangan baru saya tahu sepatu itu nam anya kelom geulis, dan ketika saya angkat… lho… kok enteng am at!) Mbak Oem duduk di depan Mas Pram . Mbak Is dan saya

25

www.facebook.com/indonesiapustaka

26

Bersama Mas Pram

berdiri di belakang kursi, juga Coes dan Coek, sam bil berpegangan sandaran kursi. “Duduk, Nduk,” kata Mas Pram kepada Mbak Is, seolah Mbak Is itu anaknya, bukan adiknya. “Duduk, Liek,” sam bungnya kepada saya. Mbak Is seperti m acan luw e (m acan lapar) m enggeser pantatnya ke kursi, sedangkan saya tetap berpegang pada sandaran kursi. Mas Pram m enanyakan keadaan sekolah kam i. Kam i berem pat yang kecil-kecil m asih tetap sekolah, Mbak Oem tetap di rum ah. Mbak Koen ikut Mas Djajoes yang bertugas di Rem bang. Mas Wiek tinggal di asram a CPM di Cepu. Bapak dirawat di Penditan. Banyak yang ditanyakan Mas Pram . Sem ua dijawab Mbak Oem dengan lancar, cepat, dan jelas. Mbak Oem m em ang pandai bicara. Cum a ketika Mas Pram bertanya soal m esin jahit, kelihatan Mbak Oem kesulitan m enjawab. Mesin itu, saya ingat betul, m ereknya “Singer”, karena sering saya baca. Waktu Ibu m asih ada, ia yang selalu m em akainya m enjahit. Saya ingat, saya pernah dibuatkan kathok kodhok (celana gantung) oleh Ibu, dan waktu saya m ulai sekolah, dibuatkan kantong sekolah dari kain blacu lengkap dengan cangklongannya. Mas Pram tam pak sedih. Lebih kacau lagi Mbak Oem m enjawab, sewaktu Mas Pram m enanyakan lem ari besar dengan kaca benggala yang dulu selalu berdiri di tengah pendapa. Lem ari itu kebanggaan keluarga, terbagi atas tiga bagian, kiri-kanan bersap-sap, penuh buku dan kertas. Di situ disim pan buku-buku Bapak yang biasa dibaca Mbak Oem . Bagian tengah, entah kenapa, tak ada sapnya. Di dasarnya ada tum pukan kertas, jadi cukup

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

lega untuk bersem bunyi kalau kam i m ain dhor-dhoran (petak um pet). Pada m usim layangan, saya suka cari kertas layangan di situ. Suatu hari, ketika saya sedang m encari-cari kertas tipis, datang Bapak dengan wajah kereng. Saya begitu ketakutan dan langsung m enutup pintu lem ari itu kem bali. Anehnya, Bapak hanya m engatakan: “Aja nganti kleru beslit, lhooo!—J angan sam pai keliru beslit, ya!” Seingat Mbak Oem , lem ari itu diangkut orang sewaktu Bapak kalah m ain judi. Bapak m em ang pejudi tangguh, walau ia guru dan kepala sekolah. Ada yang bilang Bapak tahan tiga hari berturut-turut duduk. Tentu saja Mbak Oem m ogokm ogok, susah m enguraikan hal itu. Pokoknya, suasana waktu itu jadi tak enak, Mas Pram lebih sedih lagi. Akhirnya Mas Pram bertanya: “Pukul berapa jam bezoek Bapak?” “Bagaim ana, Mas?” tanya Mbak Oem tak m engerti. “J am berapa m enengok Bapak?” “O, itu, jam lim a biasanya.” Sam pai di situ sem ua bubar karena harus siap-siap pergi ke rum ah sakit.

27

www.facebook.com/indonesiapustaka

Di Rumah Sakit

SORE ITU juga Mas Pram m enyuruh Mbak Is m em beli m inyak kayu putih dan doklonyo, dan m enyuruh saya m encari dokar. Mbak Is m em inta saya m enem ani, karena tak tahu di m ana barang-barang itu bisa dibeli. Belum pernah! Yang dinam akan doklonyo itu pun baru kali itu kam i m endengarnya. Kam i urut toko dan warung dari jem batan Kali Lusi di selatan sam pai koplakan di utara, dan baru didapat di toko Cina persis depan pasar. Saya tak tahu harganya. Yang saya tahu, botol doklonyo lebih besar-panjang daripada botol m inyak kayu putih. Dengan gem bira kam i lekas-lekas pulang m enyam paikan perolehan kam i. Karena saya dim inta m encari dokar, dari koplakan itu pula kam i m engam bil dokar untuk Mas Pram dan istrinya ke rum ah sakit m enjenguk Bapak. Mas Pram dan istrinya naik dokar. Dia m engajak saya dan Coes ikut naik, tapi kam i enggan, karena m erasa tidak akrab dengan Mas Pram dan istrinya. Kam i katakan bahwa kam i sudah biasa jalan kaki ke Penditan yang letaknya lebih jauh sedikit daripada sekolah kam i. Mbak Oem juga jalan kaki. Mbak Is tinggal di rum ah bersam a Coek.

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bapak dirawat di kam ar nom or 6 dalam deretan kam ar yang m em bujur dari depan ke belakang, m enghadap ke tim ur. Letaknya agak di depan, tak jauh dari ruang penerim aan pasien dan ruang pem eriksaan dokter. Bapak sendirian di kam ar itu, m enggeletak m em bujur ke barat. Waktu kam i bertiga m em asuki kam ar, Bapak sedang sendiri, tertutup selim ut lerek-lerek sebatas leher, m atanya terpejam , ram butnya yang ny am bel w ijen (cam puran hitam dengan putih) tam pak kacau. Mendengar pintu dibuka dan langkah-langkah kaki, Bapak m em buka m ata dan m encoba m engarahkan pandangannya pada kam i. Bapak m encoba tersenyum kepada Mbak Oem di depan, lalu kepada saya dan Coes. Tapi saya rasa senyum annya sangat susah diwujudkan. Saya belum pernah m elihat Bapak tersenyum . Yang saya tahu dan hafal, Bapak selalu tam pak serius, tidak cem berut m em ang, tapi lebih tepat dinam akan kereng. Sepertinya ia m enyim pan sesuatu. Karena itu pula barangkali para m urid dan siapa saja takut kepada Bapak. Tapi waktu itu saya m erasa bahwa usaha Bapak itu sungguh sucim urni, dan saya m erasa bahwa barangkali dalam jiwa Bapak sedang terjadi sesuatu perubahan yang waktu itu saya pun tak bisa m enebak apa. “Dos pundi, Bapak?—Bagaim ana kabar, Bapak?” ujar Mbak Oem lirih. Bapak tidak ingin m enjawab, dan wajahnya yang tadi m encoba m enciptakan senyum tiba-tiba kem bali pada sikap kereng, seolah ingin m engucapkan hal yang tak m enyenangkan. Bapak m enggelengkan kepala lem ah, lalu m erem . Bapak kelelahan karena m em buka m ata. Dadanya naik-turun dengan cepat, dan tiba-tiba Bapak batuk. Tidak keras, tapi tidak tuntas.

29

www.facebook.com/indonesiapustaka

30

Bersama Mas Pram

Tiap kali hendak selesai, disusul batuk berikutnya, dan begitu seterusnya. Sem entara itu tenggorokan tersum pal dahak, dan itu yang m enggerakkan Mbak Oem segera m engaut kaleng dari bawah m eja dan m enadahkannya ke depan m ulut Bapak. Bapak m em elengoskan m ukanya ke kaleng, dan dengan susahpayah m engeluarkan dahak yang sebagian tum pah ke lungsung bantal. Napas Bapak jadi tersengal-sengal. Matanya sekali terbuka lebar, sehingga tam pak urat-uratnya yang bersilang-siur, sekali m erem . Beberapa kali lagi Bapak m engulangi pengalam an yang m enyiksa itu bersam a Mbak Oem , sam pai akhirnya Bapak kehabisan tenaga. Bapak m erem lagi. Mbak Oem m em betulkan letak selim utnya yang agak tergeser. “Ngunjuk, Bapak?—Minum , Bapak?” bisik Mbak Oem ke dekat telinga Bapak sam bil m engam bil gelas dari m eja. Bapak tidak m enjawab. Tidak. J ustru waktu itulah Mas Pram dan Mbak Arvah (akhirnya saya bisa m engucapkan nam a itu) m asuk. Saya juga heran, apa yang terjadi kok yang jalan kaki lebih dulu sam pai daripada yang naik dokar? Tapi pertanyaan itu segera saja terlupakan. Mbak Oem berbisik dengan ditahan ke telinga Bapak: “Bapaaak, Mas Pram datang! Bapaaak, Mas Pram datangngng!!!” Tiba-tiba m ata Bapak m em buka lebar, dan langsung m encari-cari. Mas Pram m endekat, m encoba m enjabat tangan Bapak, tapi karena seluruh tangan dilindungi selim ut, Mas Pram m em bungkuk, m eraba-raba tangan Bapak di bawah selim ut dan m em egangnya erat-erat. Terdengar suara tenggorokan Bapak m enggerendeng.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

“Bapaaak!” ujar Mas Pram , tidak disam bung dengan kata lain apapun, seolah satu kata itu saja sudah cukup. “Mam -Pram ?!” tanya Bapak dengan m ata lalang. “Ya, Bapak!” jawab Mas Pram tegas-m antap, suara yang keluar dari badan yang sehat. “Ka-pan da-tangng?” “Tadi, Bapak! Dan ini perkenalkan, m enantu Bapak!” Mas Pram bahagia sam bil m enunjuk istrinya. Mbak Arvah m elangkah ke depan. Ia m enyem bah Bapak, tindakan yang tam pak aneh sekali oleh saya. “Mungkin itu adat di J akarta,” pikir saya. Bapak m encoba tersenyum seperti tadi, tapi gagal. Rupanya karena sem ua itu badan Bapak m enjadi panas. Bapak m enyorotkan pandang ke Mbak Oem . “Iring-na!—Miringkan!” katanya. Mbak Oem segera m enyingkap selim ut. Di situlah saya baru tahu bahwa Bapak hanya m engenakan kim ono putih m enghadap ke punggung. Bersam a Mbak Oem dan Mas Pram , saya ikut m enarik badan Bapak pelan-pelan, yang ternyata berat bukan m ain, kaku seperti papan, dihadapkan ke guling yang diganjalkan ke bagian dada dan perut. Dan begitu kim ono tersingkap, apa yang saya lihat? Alas tidur Bapak hanya perlak seperti perlak bayi, dan punggung Bapak yang rata lurus seperti perm ukaan papan, terkelupas selebar-lebar telapak tangan. Mbak Oem kem bali m enyelim uti Bapak. Bapak tak m engeluarkan suara apapun, dan tak m enggerakkan anggota badan apapun. Sunyi tanpa gerak. Sesudah beberapa lam a dalam keadaan m iring, tiba waktu bagi kam i untuk m engem balikan badan Bapak ke keadaan telentang. Waktu itulah, saya ingat, Bapak m engeluarkan arloji entah dari m ana, dan m enatapnya lam a-lam a.

31

32

Bersama Mas Pram

“Mas Pram , kalau Bapak m elihat arloji, artinya kita sudah

www.facebook.com/indonesiapustaka

waktunya pulang,” kata Mbak Oem tiba-tiba kepada Mas Pram . Saya m erasa bahwa ucapan Mbak Oem itu aneh sekali, tapi herannya, saya pikir, benar juga. Dan Mbak Oem , Mas Pram , m aupun Mbak Arvah m em ang tak ingin berlam a-lam a m engganggu istirahat Bapak: m ereka saling pandang, saling m engerti, dan sam pailah waktunya untuk m eninggalkan ruangan dan berpam it kepada jururawat. Bapak tinggal sendiri lagi.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Pulang

TANPA TERASA sudah lewat beberapa hari sesudah itu. Sebaliknya, m ulai terasa ada sesuatu yang janggal dalam kehidupan kam i sehari-hari di rum ah. Biasanya, sepulang dari sekolah, m akan, saya copot pakaian dan langsung m ain di kali. Kalau lagi waktunya, kam i naw u siw akan (m engeringkan petak kali untuk diam bil ikannya), atau gogoh (m enangkap ikan, terutam a udang, dengan tangan kosong), m andi iseng di belik (sum ur buatan di dasar sungai), atau sekadar dudukduduk di bawah rum pun bam bu sam bil m engobrol dengan tem an sam pai hari m ulai gelap, atau terpaksa pulang kalau dipanggil Mbak Oem disuruh ini-itu. Sejak Mas Pram dan Mbak Arvah datang, sepertinya rum ah m enjadi penuh orang. J alan ke sana ketem u Mas Pram , jalan ke sini ketem u Mbak Arvah, dan tiap pertem uan tim bul rasa tak nyam an di hati. Saya tak sem pat lagi m ain. Tiap hari saya disuruh m engulang pelajaran yang paginya diajarkan di sekolah. “Harus itu m engulang,” kata Mas Pram . Saya tidak lagi dianggap sebagai anak-anak, m elainkan sudah sebagai orang yang punya tanggungjawab. Bahasa Indonesia dan

www.facebook.com/indonesiapustaka

34

Bersama Mas Pram

bahasa Inggris saya m asih suka. Tapi Aljabar dan Ilm u Ukur, saya benci bukan m ain. Begitu m engulangi kedua pelajaran itu, terbayang tam pang Pak Suripan yang m engejek saya tiap kali saya m elakukan kesalahan: “Kusalah, ya saaalaaah!” Saya benci sekali pada guru itu, walau saya sendiri tak bisa m em astikan benarkah sikap saya itu. Kepada kam i dibagikan pekerjaan yang tiap hari harus kam i lakukan. Mbak Is dapat bagian m em bantu Mbak Oem m elakukan kerja di dapur, dan saya dapat tugas m engelap m eja-kursi dan m enyapu rum ah. Seluruhnya, m ulai em per, rum ah depan, sam pai rum ah belakang, term asuk kam arkam arnya! Saya paling benci pekerjaan m engelap, terutam a m engelap kursi berjeriji yang m esti digosok sela-sela jerijinya satu-satu sam pai bersih. Rasanya pekerjaan itu tidak ada hasilnya, dan m em ang tak kelihatan hasilnya. Lebih benci lagi m enyapu kam ar-kam ar, karena kam ar-kam ar itu gelap, juga tak kelihatan dan tak ada hasilnya. Sore hari saya m esti m andi. Kalau tak ada air, m esti m enim ba. Bak kam ar m andi besar, ham pir dua m eter kubik isinya, m aka jarang penuh isinya, kecuali di m usim hujan. Pada m usim kem arau waktu itu, sum ur sangat dalam , m enim ba dua puluh tim ba sudah pedhot (putus) napas ini. Dan m andinya terpaksa m enciduk dalam ; tiap kali m esti m em anjat dinding bak. Em ber besar tidak punya. Kalau saya tak kelihatan sebentar saja karena dipanggil tem an atau ny olong m ain sedikit, sudah ditanyakan: “Di m ana Liliek?” Dan disuruhlah Mbak Is atau Coes m em anggil saya. Bukan hanya itu. Kam i disuruh m engepel lantai yang bertahun-tahun tidak pernah dipel sam pai tanahnya tebal beberapa senti, sam pai terpaksa dikeruk dengan w angkil

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

(pacul kecil). Dan airnya m enggunakan karbol. Baru kali itu kam i tahu yang nam anya karbol dan disuruh m em belinya. Rum ah jadi bau rum ah sakit. Mem ang rum ah jadi bersih, tapi keringnya lam a, dan baunya pun lam a hilang. Sejak itu m akan kam i teratur. Kadang-kadang kam i bahkan m inum susu. Mas Pram banyak uang. Tentang itu saya percaya. Bagaim anapun tak enaknya ada Mas Pram , dalam hati saya percaya kepadanya. Dan segalanya pasti beres. Pada suatu hari, tanpa saya duga, datang m obil am bulans hijau yang pakai tanda palang m erah. Saya tahu m obil itu nam anya am bulans, karena tertulis pada dindingnya. Bagus, ram ping, dan baru. Mulai dipakai sejak Belanda m enduduki Blora, dan kini dipakai terus oleh Penditan. Dari dalam dikeluarkan Bapak. Bapak! Digotong oleh pegawai rum ah sakit. Apa Bapak sudah sem buh? Kalau belum sem buh, kenapa sudah pulang? Para tetangga berkerum un dengan wajah bertanya, dan sebagian m em ang bertanya kepada saya! Mana saya tahu, lha wong saya sendiri juga heran. Tapi dalam hati saya pun m erasa bahwa Bapak belum sem buh. Bahkan m asih sangat sakit. Buktinya m asih digotong begitu! Bapak dibaringkan di kam ar kulon belakang.

35

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bapak Sakit di Rumah

SEJ AK ITU rum ah berubah jadi rum ah sakit. Kam i harus serba bersih, tak boleh buang sam pah sem barangan, tak boleh ributribut tak m enentu. Adanya Bapak yang sakit m em buat rum ah terasa sem akin sesak, hingga, aneh, waktu itulah saya m erasa nyam an dan kerasan berada di sekolah. Begitu sam pai di rum ah m ulai berlaku disiplin rum ah sakit. Kam i bertiga—Mbak Is, saya, dan Coes—m endapat tugas dua jam sekali m enunggui Bapak. Kam i harus duduk tenang di kursi di ujung kaki tem pat tidur Bapak. Kalau Bapak m em butuhkan sesuatu, kam i harus m elayani. Dan kalau tidak sanggup m elayani sendiri, harus m elapor kepada Mbak Oem . Pada um um nya, seingat saya, saya tidak banyak pekerjaan, karena kegiatan Bapak paling-paling batuk dan m engeluarkan dahak. Untuk itu saya harus m enadahkan kaleng ke dekat m ulutnya, m em benahi tum pukan bantal dan letak selim ut. Soal m akan dan m inum , itu urusan Mbak Oem . Tapi m anadahkan kaleng itu ada sulitnya juga. Kadang-kadang lam a Bapak tak bisa m eludahkan dahak, sehingga saya harus m enunggu lam a,

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

sam pai-sam pai tanpa sadar saya ikut m em encong-m encongkan m ulut. Sesudah di m ulut pun hanya dengan tenaga ekstra dahak dapat disem burkan ke kaleng. Sering dahak berupa benda panjang yang m enjela dari tenggorokan ke m ulut, ke luar m ulut, dan bersam bung ke dalam kaleng, sehingga perlu dipotong dengan bibir yang gem etar pucat. Warna dahak m ulai kuning keruh, kecokelatan, sam pai cokelat, tidak lagi putih jernih. Waktu itu saya m erasa kasihan juga pada Bapak. Napasnya pendek-pendek, begitu pendek hingga sepertinya tak ada lagi udara yang m asuk. Dalam keadaan itu boleh dikata Bapak tak pernah berbicara apapun. Anehnya, ketika saya sedang bertugas, Mas Pram duduk di sam pingnya dan m engajaknya bicara. Tentu sukar berbicara dengan Bapak waktu itu, tapi justru waktu itulah saya m endengar Mas Pram m engucapkan kepada Bapak kata-kata m endesak ini: “Bapak, rum ah ini akan saya bangun!” Dan karena rupanya Bapak tidak m endengar, atau Mas Pram ingin m engulanginya, ia katakan lagi: “Rum ah ini akan saya bangun!” Bapak, saya ingat, tidak m engatakan apapun. Malah hanya m em ejam kan m ata. Mas Pram m engucapkan kata-kata itu tentu untuk m enghibur hati Bapak. Maklum lah, selam a lebih dua puluh lim a tahun rum ah itu tak pernah diperbaiki atau dikapur. Tiang-tiangnya m engsol, dindingnya clorengan, lantainya boncel-boncel karena gerak tanah dan m enjalarnya akar pohon. Bahkan dapurnya pernah am bruk saking tuanya (dapur itu m erupakan rum ah tersendiri), sam pai tetangga yang tidak suka Bapak m enyukurkannya.

37

38

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tapi bagaim ana Bapak bisa m erasa senang dalam keadaan seperti itu? Saya m erasa waktu itu keadaan tak tertolong lagi. Tapi tentu saja Mas Pram m engucapkan niatnya tidak sem barangan, m alah tentu dengan m aksud baik, karena dilakukan dengan tegas, keras, jelas, bahkan m endekati janji atau sum pah. Karena itulah saya m endengarnya dengan jelas pula. Dan saya percaya Mas Pram akan bisa m elaksanakannya. Seingat saya, sedem ikian jauh tidak ada tetangga yang datang m enjenguk selain beberapa orang.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bapak Meninggal

TANGGAL 25 Mei 1950 , ketika saya sedang bertugas, Bapak m em anggil saya: “Liek!” Saya pun bergegas m endekatinya, berucap: “Dalem , Bapak?—Saya, Bapak?” “Ma Mam uk undangen m rene!—Mas Pram panggil ke sini!” “Inggih, Bapak!—Ya, Bapak!” Saya langsung berlari m encari Mas Pram . Saya bahkan m erasa khawatir m eninggalkan Bapak sendirian, takut dipersalahkan kalau terjadi apa-apa. Kebetulan Mas Pram sedang duduk-duduk di pendapa, sehingga panggilan Bapak itu bisa terus saya sam paikan, dan Mas Pram pun segera datang. Mas Pram lalu duduk di kursi di pinggir tem pat tidur. “Ya, Bapak?” kata Mas Pram . Bapak m em buka m atanya sekejap, napasnya tersengalsengal, kem udian m atanya m erem -m elek berulang kali. Waktu itulah, di tengah proses yang panjang, saya m elihat Bapak m enunjuk dinding tim ur dengan telunjuk kanan, dan m endengar antara lain percakapan ini: “Tahu engkau apa itu?” kata Bapak.

40

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

“Dinding, Bapak,” jawab Mas Pram . “Bukan, bukan dinding. Itu tim ur.” “Ya, Bapak, tim ur.” “Di sini, anakku—di sini ada sem bilan puluh sem bilan jagung yang disayem barakan. Mengerti?” “Tidak m engerti, Bapak,” jawab Mas Pram . Saya terbengong-bengong. Bapak bicara tentang apa? Kemudian, beberapa waktu sesudah itu, Bapak mengulangi: “Di sini ada sem bilan puluh sem bilan jagung yang disayem barakan. Mengerti?” “Mengerti, Bapak,” kata Mas Pram kali itu. “J agung itu ditem bak dari sana—dari jurusan tim ur. Tapi tak sebutir pun di antara jagung yang sem bilan puluh sem bilan itu kena. Mengerti?” “Mengerti, Bapak.” “Baiklah. Tak ada yang kena, Anakku. Itu adalah berkah kekuasaan-Nya. Mengerti?” “Mengerti, Bapak.”1 Saya m asih m erasa heran dan tidak m engerti apa yang dibicarakan Bapak. Karena itu saya heran kok Mas Pram m engatakan m engerti. Ah, barangkali Mas Pram m em ang m engerti, pikir saya, m ungkin akhirnya nanti saya toh akan m engerti juga. Saya berusaha betul m em aham i m aksud Bapak itu, tapi tak berhasil. Hal itu m alah bikin saya bingung. Kam i sem ua ikut m enyaksikan percakapan yang aneh itu. Akhirnya oleh Bapak kam i sem ua disuruh pergi. Kam i sem ua lega, sebab m erasa sudah terjadi percakapan antara Mas Pram dan Bapak, dan kam i bisa beristirahat.

1

Dialog dipetik dari Bukan Pasar Malam, Lentera Dipantara, 2004, hlm. 86-87.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

Tidak berapa lam a kem udian datang Mbak Is tergopohgopoh m engabarkan kepada Mas Pram bahwa ketika ia m enengok Bapak, ternyata Bapak sudah m eninggal. Kam i serentak m enyerbu ke kam ar, dengan m em beri kesem patan kepada Mas Pram untuk m endekati Bapak dahulu. Mula-m ula Mas Pram m em anggil-m anggil Bapak di dekat telinganya, kem udian barangkali m erasa yakin bahwa Bapak telah m eninggal, kelopak m atanya ditangkupkan, m ulutnya dikatupkan dan diikat entah dengan apa, saya sudah lupa, dan kedua tangannya ditum pangkan ke dada. Sesudah itu, yang m engherankan saya karena tak saya duga-duga, Mas Pram m engangkat telapak tangan kiri-kanan ke dekat telinga dan m engum andangkan pekik ini: “Allaaahu Akbarrr…!” “Allaaahu Akbarrr…!” “Allaaahu Akbarrr…!” Disusul dengan jerit tangis para m baky u dan saudara yang lain. Saya m ula-m ula tidak m erasakan apapun yang istim ewa dari m eninggalnya Bapak, tapi karena barangkali terpengaruh oleh tangis para saudara yang begitu riuh, akhirnya dengan sendirinya saya pun m enggabungkan diri, sehingga seluruh rum ah dipenuhi orkes tangis. Khusus saya ditugaskan oleh Mas Pram untuk m enelepon Mas Wiek yang waktu itu berdinas di Cepu. Saya tahu asram a CPM di sebelah kelenteng, dan saya jalan sendiri ke sana. Sam pai di sana saya m enem ui seorang m as-m as yang sedang berjaga sendirian di kantor depan. “Ada perlu apa, Dik?” sapanya. Saya sam paikan keperluan saya berhubung dengan m eninggalnya Bapak.

41

www.facebook.com/indonesiapustaka

42

Bersama Mas Pram

“O, Adik adiknya Mas Prawito, ya? Itu teleponnya. Telepon saja,” katanya sam bil m enunjuk pesawat telepon. Saya tersenyum kecut karena belum pernah m enelepon. “O, belum bisa, ya? Mari Mas tolong!” Dia lalu m endekati pesawat telepon, m em utar angka, dan sebentar saja sudah bicara dengan Mas Wiek. Dia tidak banyak bicara, lalu: “Ini, adiknya m au bicara! Ini, Dik!” kepada saya. Gagang telepon diserahkan kepada saya, dan saya dekatkan ke telinga, m eniru dia. “Hallo!” kata suara di seberang sana. Saya m erasa bingung m endengar suara yang aneh itu, dan tak sanggup m engucapkan perkataan yang juga aneh di telinga saya itu. “Hallo!” ulang suara itu. “Hallo!!” Keringat m ulai m erebak di perm ukaan tubuh saya, tapi tetap saja m ulut saya tak m engucapkan sesuatu. “Sam paikan saja beritanya, Dik!” tegur m as yang baik itu. “Bicara!” Keringat m ulai m engguyur badan saya. “Lho, bagaim ana? Sam paikan saja! Sini!” kata m as itu sam bil m endatangi saya, lalu m engam bil-alih gagang telepon. “Bagaim ana tadi? Bapak m eninggal, ya?” sam bungnya. “Ya…,” jawab saya dengan suara tikus. Lalu oleh m as itu disam paikan berita tentang m eninggalnya Bapak. “Terim akasih, Mas…,” cicit saya lagi. Saya sungguh m encela sikap saya sendiri, dan saya sangat m alu, tapi sungguh, itu adalah pengalam an yang tak terlupakan bagi saya, hingga sam pai sekarang pun keringat saya selalu m erebak dengan m elim pah kalau saya m enelepon.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Pawai

SEJ AK ITU berduyun-duyun orang datang m elayat: tetangga, kenalan, saudara. Datanglah Pak Barsah, adik Bapak, dan Bu Barsah, juga Mbah Bayan, anak pungut Bapak. Dan juga saudara-saudara yang lain, kebanyakan lelaki. Meja-kursi pendapa dikeluarkan, walau waktu itu m alam sudah m enyelim uti, dan sebagai gantinya digelar tikar yang dipinjam entah dari m ana saja. Lalu dipasang lam pu gaspom — barangkali Mbah Bayan yang m endatangkan—sehingga pendapa yang biasanya tem aram karena disinari lam pu m inyak itu m enjadi terang-benderang. J enazah Bapak dibaringkan di atas balai-balai di pendapa, diselim uti kain batik. Kam i anak-anak m enikm ati benderangnya pendapa, dan duduk-duduk di atas tikar; kalau lelah duduk, m em baringkan diri, dan kalau lelah berbaring, duduk lagi, sam pai akhirnya di tem pat itu pula kam i tertidur dengan keyakinan bahwa sebagian orang akan m elek sepanjang m alam . Gaspom ternyata tidak dinyalakan sepanjang m alam . Buktinya, ketika kam i terbangun esok harinya, kem bali

www.facebook.com/indonesiapustaka

44

Bersama Mas Pram

pendapa hanya diterangi lam pu m inyak. Sejak itu perem puanperem puan tetangga berdatangan, m ulai sibuk dengan urusan m asing-m asing, di dapur, di rum ah belakang, di halam an. Seolah sem ua sudah m engerti tugas m asing-m asing tanpa petunjuk apapun. Kursi-kursi ditebarkan di halam an, karena m akin banyak orang yang m em butuhkan duduk. Kursi tetangga pun didatangkan, dari Pak Sum o, Pak Sukiban, Pak Sopir. Baru kali itu saya saksikan cam puran beraneka kursi yang begitu banyak di satu tem pat. J um lah kursi tetap tak m encukupi, karena pelayat m em bludak sam pai ke jalan raya, hingga kebanyakan orang berdiri saja sam bil m engobrol di dekat onggokan pasir Pak Wira. Mas Djajoes waktu itu bertindak sebagai juru potret. Dengan tustel Kodak yang disewanya dari foto studio Kwan ia m engabadikan beberapa adegan yang m enurutnya perlu dipotret. Tidak banyak m em ang, paling-paling, kalau tak salah, hanya dua puluhan. Bapak dim andikan di halam an, di ruangan buatan yang dibentuk dengan kain sprei dan kain batik. Saya sem pat m enjenguk, bahkan justru ketika kain penutup sedang disingkap, sehingga terlihat oleh saya sebagian tubuh Bapak yang telanjang. Waktu itu terpikir oleh saya: “Kalau begitu, m alu juga ya kalau orang m eninggal!” Saya tidak m enyaksikan ketika Bapak akhirnya dipocong dan dibaringkan kem bali di pendapa, di atas bandosa, entah dari m ana. Tapi saya m elihat sewaktu jenazah diangkat dan diletakkan kem bali agak ke barat, dan bapak-bapak pelayat m enyem bahyangkannya. Seingat saya, sem bahyang waktu itu tidak ribut.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

Waktu jenazah sudah dipikul untuk diberangkatkan ke m akam , kam i anak-anak dim inta untuk ikut acara brobosan, yaitu berjalan di bawah bandosa dari kiri ke kanan, kalau tak salah tiga kali, dan jenazah pun diberangkatkan. Katanya, itu supaya kam i tidak teringat saja kepada Bapak. Ternyata pelayat yang m engiringkan jauh lebih banyak daripada yang tadi duduk-duduk dan berdiri bergerom bol. Para pelayat itu tam pak tidak terburu-buru, m elainkan berjalan santai dengan jarak santai pula, sehingga iring-iringan begitu panjang, sepanjang jarak dari rum ah kam i di J etis sam pai m akam “Sasana Lalis” di Kunden. Kem udian hari, rekan Bapak, Pak Suripan, m elukiskan kejadian itu dem ikian: “Dalam pandangan politik, Pak Toer adalah seorang yang taat dan kokoh. Dia tidak gam pang ikut sini ikut sana. J ustru karena itu pandangan orang kepadanya tidak pernah berubah. Tidak m engherankan kalau waktu Pak Toer m eninggal begitu banyak orang m elayat. Pawainya begitu panjang, belum pernah hal itu terjadi sebelum nya. Ya, betul-betul itu pawai! Di Blora ini cum a ada tiga orang yang dilayat begitu banyak orang, yaitu Pak Toer, Pak Ratm odjo bekas guru Zending, dan Nyah Atak.”2 Suasana di m akam “Sasana Lalis” m enyerupai suasana ketika seorang pem uda Blora untuk pertam a kali gugur di front Sem arang tahun 1945, yaitu anak Pak Karso Sate. Pidato-pidato diucapkan, tapi saking penuhnya orang, saya tidak m endengarkan apa-apa, dan juga tidak m elihat siapa-siapa saja. Saya m enunggu sam pai akhirnya para pelayat kem bali ke rum ah m asing-m asing.

2 Koesalah Soebagyo Toer, “Mastoer Bapak Pramoedya Ananta Toer”, naskah tidak diterbitkan, 1995.

45

46

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Waktu itulah Mas Pram m em anggil kam i adik-adiknya. Mas Pram berjongkok di sam ping m akam yang m asih basah tertim bun bunga, dan kam i ikut berjongkok di sam pingsam pingnya. Mas Pram berdoa, kam i pun berdoa. Cukup lam a, sam pai akhirnya Mas Pram berdiri, dan kam i pun ikut berdiri, lalu pulang tanpa m enengok-nengok lagi, sesuai pesan orang.

www.facebook.com/indonesiapustaka

La Ilah Illlllallah!

SEJ AK ITU orang boleh dikata tak m eninggalkan rum ah kam i. Mbok Godek dan anaknya Nyam i, Mbok Slam et, Mbok Asih, dan entah m bok-m bok siapa lagi yang lain—ada kalau sepuluh orang—sibuk dengan beras, sayuran, dedaunan, lelaukan, air, keranjang, pecah-belah, dan entah apa lagi. Orang keluar-m asuk pekarangan tak henti-henti m em bawa ini-itu, m enerobos pagar di belakang rum ah atau lewat pintu depan. Meja-kursi tidak juga dim asukkan, m alahan m eja-m eja yang tertinggal ikut dikeluarkan juga, digantikan dengan tikar lebih banyak lagi. Mbah Bayan m endatangkan lam pu gaspom satu lagi, yang sejak sebelum m agrib sudah dinyalakan. Beberapa kali lam pu-lam pu itu m eredup, dan oleh Mbah Bayan dikutik-kutik hingga benderang kem bali. Satari, anak Mbah Krom o yang terkenal bodoh dan jarang datang, kali itu m endapat tugas sebagai pengundang para tetangga. Untuk itu ia khusus m engenakan sarung-kem eja pinjam an, rapi sekali, tidak seperti biasanya, lengkap dengan peci hitam . Malam nya, sekitar pukul setengah delapan, bapak-bapak tetangga berdatangan, kebanyakan m em akai sarung, sebagian

www.facebook.com/indonesiapustaka

48

Bersama Mas Pram

pakai peci, duduk m elingkar di bawah penerangan lam pu yang bikin pendapa seperti siang. Mereka sibuk bercakap-cakap. Sebagian m em bicarakan Bapak alm arhum , sebagian lagi m em bicarakan kam i anak-anaknya. Tentang Bapak m ereka bicarakan kebaikannya, terutam a peranannya sebagai guru dan kepala Instituut Boedi Oetom o, juga pengalam annya ditangkap dan dilarikan ke Mantingan, Rem bang, J uwana, sam pai Pati, dan akhirnya dibebaskan oleh tentara Siliwangi. Tentang kam i m ereka bicarakan kasihannya. Disayangkan: anak banyak— m ereka hitung sem bilan sam pai sepuluh, term asuk yang pertam a dan terakhir yang m eninggal waktu bayi—sudah m enjadi yatim -piatu, ditinggalkan m ula-m ula oleh Bu Toer waktu anak tertua baru berusia 17 tahun, dan sekarang oleh Pak Toer ketika dari sem ua anak itu baru Gus Pram oe yang m entas (berdiri sendiri). Untunglah ada Gus Pram oe yang tinggal di J akarta dan sekarang—untungnya—sem pat datang di Blora. Ketika para tetangga sudah kum pul m em enuhi pendapa, dan suaranya sibuk seperti lebah m em enuhi angkasa, satu suara m engatasi sem ua suara yang lain dan tiba-tiba suara lebah sirep. Saya tak m enangkap apa yang dikatakannya, tapi waktu itulah Mas Pram m engatakan dalam bahasa Indonesia: “Silakan!” Saya sudah lupa, siapa yang m engim am i pengajian waktu itu, tapi kalau tidak salah bukan Pak Sadir yang pintar m engaji itu, m elainkan Pak Modin yang tinggal di dalan cilik lor. Saya m em ang pernah m engaji pada Pak Irin yang punya langgar di Wetan sana, tapi tidak pernah katam m em baca AlQuran, hanya sem pat m enghafal sekitar 17 surah pendek dari J uz Am m a. J adi saya tidak tahu apa saja yang dibaca oleh

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

bapak-bapak itu. Surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, An-Naas, dan Al-Falaq jelas saya tahu. Tapi ibu-ibu di dapur m em bisikkan bahwa yang dibacakan antara lain adalah surah Yasin. Sem ua bapak itu m engaji dengan sungguh-sungguh dan dengan suara penuh, suara bariton, bahkan ada yang bas, hingga kedengarannya m engerikan sekali, dan saya yakin suara bersam a di kota yang sunyi itu bisa didengar dari jarak beberapa kilom eter, apalagi kalau angin bertiup, seperti suara jedor yang sering kam i dengar di tengah m alam . Tapi yang paling m engesankan saya adalah ketika jam aah m engulangulang kata “La ilah illlllallah!” disertai gerak kepala ke kiri ke kanan puluhan kali—“la” jatuh kepala ke kiri, dan “illlll” jatuh kepala ke kanan—hingga terasa seolah suara itu m elam bunglam bungkan jiwa Bapak ke surga. Kesungguhan bapak-bapak itu saya anggap sebagai penghorm atan yang tulus kepada Bapak. Tentang itu saya yakin betul, karena sewaktu bubaran m enenteng berkat dalam bungkusan daun jati bersalut keranjang buah, tidak seorang pun yang tidak bersalam an dengan Mas Pram sam bil m engatakan: “Kepareng, Gus!” (Perm isi!) atau “Sugeng dalu, Gus!” (Selam at m alam !), m alah ada yang m engatakan: “Assalam ualaikum !”, yang sem uanya dijawab oleh Mas Pram dengan bahasa Indonesia: “Selam at m alam !” Sem entara itu suara “La ilah illlllallah!” terus terngiang di telinga saya. Sam pai sekarang pun!

49

www.facebook.com/indonesiapustaka

Rapat

ESOKNYA KAMI sem ua disuruh berkum pul oleh Mas Pram di pendapa. Kam i belum m asuk sekolah. Kam i duduk m elingkar di atas tikar yang digelar di sisi barat. Sem ua saudara hadir, term asuk Mas Wiek, Mbak Koen, dan Mas Djajoes. J uga Satari, Pak Barsah, dan Bu Barsah. J uga Mbak Arvah. Itulah untuk pertam a kali kam i dikum pulkan seperti itu. Mas Pram m em im pin rapat. Ia m enyatakan bersyukur bahwa sem ua pekerjaan terlaksana baik sehubungan m eninggalnya Bapak. Sesudah rapat nanti kam i harus m engepel lagi seluruh rum ah, m em bersihkan perabot rum ah, dan m erapikannya di tem pat m asing-m asing. Mengem balikan barang-barang pinjam an dari tetangga. Dan untuk selanjutnya kebersihan harus dijaga tiap hari, m asing-m asing m enurut bagiannya. Sekarang m enghadang pekerjaan yang berat, yaitu m engatur kehidupan. “Saya akan bawa tiga orang ke J akarta—Koes, Liliek, Coes— untuk saya sekolahkan. Mau kan, Nduk, Liek, Coes?”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

Mbak Is dan saya bergum am m engatakan m au. Coes yang sebetulnya tak m au bergum am m au juga. “Sekarang bulan Mei, tahun pelajaran m asih jalan. Kalian berangkat untuk tahun ajaran baru, jadi sekitar Agustus. Masih ada waktu buat siap-siap.” Sam pai di situ Mas Pram berhenti. Sem ua m enunggununggu apa lagi yang akan dikatakannya. Kem udian: “Di J akarta banyak orang pinter, dokter-dokter, insinyurinsinyur, m eester-m eester. Kalian juga m esti seperti m ereka. Tetangga saya banyak yang punya radio. Di rum ah juga ada radio. Kalian bisa m endengarkan radio, belajar dari situ.…” Diam lagi. Kem udian: “Waktu lulus sekolah Boedi Oetom o, saya m au m eneruskan sekolah yang lebih tinggi, tapi nggak dikasih Bapak. (Menggerendeng seperti m inta m aaf kepada Bapak.) Saya sekolah cum a sam pai kelas dua SMP. Mau terus, nggak ada biaya. Biaya m esti cari sendiri. Tapi kalian saya sekolahkan. Saya akan tanggung. (Menengok pada Mbak Arvah. Mbak Arvah tenang saja.) Diam lagi. “Belajar itu perlu. Kalian tahu Muham m ad Yam in?” Saya belum pernah m endengar nam a itu, m aka saya diam saja. Lingak-linguk ke kanan-kiri. Tak seorang pun tahu! “Muham m ad Yam in bisa dicontoh. Di rum ah tak ada lam pu, dia belajar di pinggir jalan, dengan penerangan lam pu jalanan. Saban m alam . Sam pai lulus dan m endapat gelar Meester in de Rechten. Ada banyak contoh lain.” “Mereka belum tahu apa itu Meester in de Rechten!” celetuk Mas Wiek sam bil senyum . “Ahli hukum !” kata Mas Pram .

51

52

Bersama Mas Pram

“Nah, ada yang m au bicara?” sam bung Mas Pram . Tak seorang pun berm aksud bicara. “Oom Sah, kalau m au bicara silakan.” “He-he-he-he,” ketawa Oom Barsah seperti biasa. “J adi untuk Oom Sah khusus, saya m inta tolong dalam hal rum ah ini. Nanti akan saya kabari lebih lanjut. Dik Djajoes nanti yang saya m inta m engantar tiga anak ini ke J akarta, karena Dik Djajoes yang paling m udah m endapat cuti. Bisa, Dik Djajoes?” “Bisa saja!” “Tante? Silakan!!” “W is cukup! Mung, barang-barang kuw i piy e?—Sudah cukup! Cum a, barang-barang itu bagaim ana?” “Ooo, iya!” Yang dim aksud oleh Bu Barsah adalah agem an (pakaian) Bapak—jas, kain batik, dan blangkon—yang ternyata sudah ditum puk di atas m eja. “Kalau ada yang m enghendaki, silakan m ilih sendiri. Kalau saya, kalau nggak ada yang keberatan, saya ingin m enyim pan keris ini.” Mas Pram m em perlihatkan keris bersarung yang selam a itu

www.facebook.com/indonesiapustaka

tersim pan di lem ari pakaian Bapak. Saya m enyangka Mas Pram akan m encabut keris itu untuk m elihat bilahnya, tapi ternyata tidak. Dan tidak ada yang m em perdengarkan suaranya. Sebetulnya ada beberapa keris dan tom bak sim panan Bapak, tapi hanya satu yang dikeluarkan Mas Pram . J as, blangkon, dan kain batik dibagi-bagi, cum a saya lupa di antara siapa saja.

Bagian Pertama: Blora

Dengan terbaginya barang warisan Bapak itu selesailah rapat. J adi yang akan pindah ke J akarta cum a kam i bertiga. Coek tetap tinggal di Blora bersam a Mbak Oem dan Mas Wiek,

www.facebook.com/indonesiapustaka

sebagai penunggu rum ah.

53

www.facebook.com/indonesiapustaka

Sepatu

SESUDAH BEBERAPA m inggu tinggal di Blora, dan m engeluarkan banyak uang sehubungan dengan sakit dan m eninggalnya Bapak, saya m enyangka tentulah Mas Pram kehabisan uang. Ternyata tidak. Buktinya, beberapa hari m enjelang pulangnya ke J akarta, kam i bertiga—Mbak Is, saya, dan Coes— m asih diajak beli sepatu. Mem ang sam pai waktu itu—usia Mbak Is 17, saya 15, dan Coes 13 tahun—belum pernah kam i m em akai sepatu. Saya tak lagi ingat berapa harga sepatu itu, tapi kam i m em belinya di Toko Tik, satu dari beberapa toko kelontong terkenal di Blora. Kam i m em beli sepatu sandal yang bagian depannya berupa jalinan kulit warna cokelat, sam a untuk kam i bertiga. Kam i beli juga sekalian sem ir sepatu m erek Kiwi warna cokelat yang ada gam barnya binatang aneh tak berbuntut, hingga terasa oleh saya itu adalah binatang jadi-jadian. “Sepatunya m esti sekali-sekali disem ir supaya awet,” kata Mas Pram . Saya juga baru m engerti waktu itu bahwa sepatu perlu disem ir. Menyem irnya dengan secarik gom bal bersih, bukan

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora

yang kotor: kulit diolesi m erata dengan sem ir, dibiarkan kering, kem udian digosok dengan gom bal tersebut sam pai tam pak m engkilat. Saya ingat, m enyem ir sepatu sandal waktu itu repot sekali, karena perm ukaan kulit m erupakan jalur-jalur sem pit. Pendek kata, sejak waktu itu kam i bertiga pergi sekolah bersepatu. Mem ang sem pat kaki kam i lecet-lecet sedikit, tapi tidak terlalu m engganggu, karena sepatu itu agak longgar, dan sebagian terbuka. Di antara tem an-tem an tidak m enim bulkan tanda tanya, karena sebagian tem an sudah bersepatu, dan lagi sepatu itu tak begitu m encolok. Akhirnya Mas Pram dan Mbak Arvah pulang kem bali ke J akarta. Suasana m enjadi terasa lega kem bali karena tak ada kungkungan disiplin. Walaupun begitu saya m asih tetap m engelap dan m enyapu agar tidak terlalu m encolok m eninggalkan sam asekali disiplin yang ditetapkan oleh Mas Pram . Sejalan dengan itu jiwa kam i sudah m ulai m erasa berada di J akarta. Tapi kam i belum bisa m em bayangkan seperti apa J akarta itu. Waktu itu tidak ada koran, tidak ada foto, tidak ada radio dan televisi, tidak ada apa-apa. Cum a ada bayangan kosong atau rem ang-rem ang dari m ajalah kanak-kanak Kunang-Kunang yang pernah dilanggan oleh Bapak untuk kam i. Salah satu tulisan dengan pelengkap foto-foto yang kam i baca dalam m ajalah itu adalah tentang perpeloncoan. Di situ kam i lihat foto para studen perem puan dan lelaki yang m engenakan topi badut, m em bawa ikrak (pengki), dan m em ikul sepeda. Kam i selalu diingatkan oleh Mbak Oem supaya m enyiapkan diri. Maksudnya, apa saja yang akan dibawa ke J akarta—buku, buku tulis, kertas, potlot, setip, pena, gagang pena, botol tinta

55

56

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

dll.—supaya dikum pulkan di satu tem pat agar nanti tidak dicari-cari. Kam i bertiga tidak biasa m ewadahi sem ua itu, karena m em ang kam i tak punya wadah, tas atau yang lain, apalagi koper. Karena itu, Mbak Oem m em beli dua besek besar dari bam bu yang bisa m enam pung segalanya bercam pur-baur, term asuk pakaian, m akanan, dan air m inum dalam botol. Waktu itu Mbak Is duduk di kelas 3 SMP, saya di kelas 2 SMP, Coes di kelas 6 SR. J adi m enjelang pergi ke J akarta saya naik ke kelas 3 SMP, Coes lulus ujian SR akan m asuk SMP kelas 1, sedang Mbak Is tidak lulus ujian SMP, jadi akan m engulangi belajar di kelas 3 SMP. Saya agak sedih juga Mbak Is tidak lulus ujian. Tapi seingat saya m em ang dalam pelajaran ia agak kurang m aju. Tapi apa boleh buat. Di J akarta nanti ia akan terpaksa duduk sekelas dengan saya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Ke Semarang

SAAT UNTUK berangkat m akin dekat, dan sejalan dengan itu bayangan tentang J akarta pun sem akin tebal. Yang terutam a m em anggil-m anggil adalah penerangan listrik, radio, jalan beraspal yang lebar-lebar lengkap dengan m obilnya yang bagus-bagus—m enurut cerita Mas Wiek yang pernah tinggal di J akarta. Menurut Mas Wiek juga, di J akarta ada kereta yang dijalankan dengan tenaga listrik, nam anya trem atau trem listrik, yang m elaju di jalan raya. Di J akarta pun banyak becak yang bagus-bagus. Buah di J akarta m acam -m acam , tidak cum a pisang, pepaya, kedondong dan m angga kalau lagi m usim , seperti di Blora. Dan buah-buahan itu oleh tukang buah selalu dilap agar bersih dan tam pak m engkilap m enggiurkan. Dari J akarta sudah datang poswesel dari Mas Pram untuk biaya perjalanan. Dan sudah datang pula surat dari Mbak Arvah yang m enyatakan kegem biraannya bahwa kam i akan datang. Ia terutam a m enyatakan gem bira bahwa saya dan Coes akan datang sebagai adik-adik lelaki, karena ia hanya punya seorang adik perem puan.

www.facebook.com/indonesiapustaka

58

Bersama Mas Pram

Mas Djajoes pun sudah m engam bil perlop dari kesatuannya untuk m engantarkan kam i. Khusus untuk saya ia m enghadiahkan sepatu bot tentara, seperti yang biasa dipakai tentara Belanda, dari jatah pem bagiannya. Masih baru dan m engkilap. “Nanti di J akarta dikecilkan,” kata Mas Djajoes m enerangkan. Sepatu bot itu ikut m enyesaki besek perjalanan kam i. Baju kam i cum a satu, di luar yang kam i pakai, jadi tidak m enyita tem pat. Maka pada suatu pagi di awal bulan Agustus 1950 kam i pun berangkat dari Stasiun Blora m enuju Rem bang. Perjalanan Blora-Rem bang (jarak 36 km ) sudah beberapa kali kam i alam i, karena Ibu berasal dari Rem bang, dan saya pernah diajak Ibu m enengok Nenek di Rem bang, dan sesudah itu dengan Coes pernah berdua ke sana, dan dengan Rigno dan dua orang tem an lagi pernah naik sepeda sam pai Bangli, beberapa kilom eter tim ur Rem bang. Rum ah Nenek di pinggir Alun-alun Rem bang, di selatan m asjid kota. Yang paling kam i kenal adalah perjalanan Blora-Mantingan (jarak 17 km ) karena sering kam i lalui. Di Mantingan ada kolam renang bagus yang sering kam i datangi berom bongan anak sekolah. Dan tak jauh dari sana terletak Desa Bulu, tem pat m akam RA Kartini yang juga pernah kam i datangi. Kiri-kanan jalan ada hutan jati yang sangat rim bun, m asih penuh binatang liar. Kadang-kadang puluhan m onyet berom bongan pindah dari satu tem pat ke tem pat lain, m enyeberangi jalan. Saking banyaknya sam pai-sam pai suaranya seperti hujan deras. Di Rem bang kam i ganti kereta api Rem bang-Sem arang. Melewati ladang pem buatan garam , di m ana kadang-kadang Laut J awa tam pak m em biru m uda dan m akin ke tengah m ak

Bagian Pertama: Blora

www.facebook.com/indonesiapustaka

m em biru tua. Dari ilm u Bum i kam i tahu bahwa dari Rem bang kam i akan m elewati J uwana, Pati, Kudus, dan Dem ak. Di J uwana dengan girang kam i m elewati Kali J uwana yang di kiri-kanannya dipenuhi jaring angkat. Di Pati kam i senang m elewati alun-alunnya yang luas, di Kudus kam i girang m elihat rum ah-rum ah joglo dengan genting yang ada perhiasannya, juga kebun tebu yang luas-luas, ada yang belum dipotong dan ada pula yang baru dicangkul gulutannya dengan rapi seperti penggaris, dan di Dem ak kam i suka sekali m elihat saluran air yang banyak dan bening airnya, di m ana orang m andi dan m encuci pakaian dan alat-alat lainnya dengan dam ai. Begitulah sem uanya m enjadi perhatian kam i dan kam i catat dalam kenangan dan hati kam i sebagai pengetahuan baru. Sore hari kam i sudah sam pai di Stasiun Tawang yang besar indah, dan dari sana kam i naik dua becak m enuju penginapan di pinggir barat Alun-alun Sem arang yang sudah lupa saya apa nam anya.

59

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedua: Semarang

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Jalan-jalan

MAS DJ AJ OES tentara bagian adm inistrasi, karena itu ia banyak tahu urusan. Itu rupanya yang m em buat dia tak pernah kelihatan canggung m enghadapi sesuatu: di stasiun, di hotel, di pasar, m enghadapi siapa saja. Sosoknya seperti orang kantoran, tapi ia pun suka m enyandang senapan. Pernah, selagi piket, ia pulang m enyandang sten gun (nam a ini dia beritahukan pada kam i langsung). Gagah dan pantas sekali. Sam pai di penginapan ini pun ia tak canggung sam asekali. Sebentar saja kam i sudah m apan di sebuah kam ar. Tem pat tidurnya pakai seprei putih bersih, dan kasurnya em puk, tidak seperti kasur kam i yang sejak zam an Belanda tak pernah diganti, dan itu pun sudah sering kena om pol. Dan tak lam a kem udian untuk kam i sudah dibawakan m asing-m asing sebuah baki om preng yang berpetak-petak, dan di tiap petak itu ada nasi, sayur, lauk, sam bal, dan sebagainya. Saya heran sekali m elihat baki m acam itu, tapi yang penting isinya enak-enak, hingga dalam waktu singkat sudah dadal sesam bal-sam balnya, m asuk ke dalam perut kam i. Belum pernah saya m akan seenak itu.

www.facebook.com/indonesiapustaka

64

Bersama Mas Pram

“Mum pung m asih ada waktu, kita jalan-jalan. Ndak usah tidur. Nanti m alam saja tidur,” kata Mas Djajoes tenang. Kam i disuruh m andi, sudah itu m engenakan pakaian sebelum nya. Dengan sendirinya saya tak tahu arah perjalanan kam i. Pokoknya kam i ikut saja dengan Mas Djajoes. Tapi yang m engherankan kam i, jalan m obil lain dengan jalan kendaraan lain: dokar, becak, atau sepeda. J alan m obil lebar di tengah, dan di kiri-kanannya ada jalan yang lebih sem pit untuk kendaraan lainnya. Keduanya jalan aspal. Lalu di pinggir jalan itu banyak gedung-gedung besar. Dan ada yang di dalam nya berm obil. “Mobil ini dijual lho. J adi Dik Liek kalau m au beli, bisa,” kata Mas Djajoes. “Ha? Mobil? Dijual? Mobil kok dijual?” kata saya. Kam i bertiga terbengong-bengong. Kam i jalan terus, m enyusuri tepi alun-alun. Di situ banyak sekali orang yang pada m enata barang dagangannya. Kelihatannya akan ada pasar m alam . Lapangan itu dipagari dengan pagar gedek, tapi dari pintunya tam pak bahwa di tengah lapangan itu ada m acam -m acam panggung, bangunan dari bam bu dengan dinding dari gedek. Ada juga dreim olen seperti yang pernah kam i lihat di Blora. “Nanti terakhir kita lihat pasar m alam ,” kata Mas Djajoes m enjanjikan. Kam i jalan terus. Kata Mas Djajoes, ke Pasar Djohar. Kam i m asuk pasar. Dan alangkah heran kam i bahwa pasar itu bertingkat! Gedung sebaik itu, tapi orang jual buah-buahan dan m akanan di tingkat atas. Sayang sekali, pikir saya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedua: Semarang

Waktu itu pasar sudah agak sepi, karena sudah sore. Kam i jalan saja berkeliling, sam pai kem put, lalu kam i keluar. Senja cepat sekali turunnya, dan tahu-tahu hari sudah gelap dan lam pu-lam pu m enyala di seluruh Alun-alun. Lalu Mas Djajoes beli karcis, dan kam i m asuk pasar m alam . Seperti dalam pasar m alam di Blora yang pernah saya lihat, di sana banyak orang jualan barang, m akanan dan m inum an. Tontonan dilakukan di dalam bangunan tertutup, m isalnya untuk hantu, setan, gulat, dsb. dengan bayaran tam bahan. Tapi ada tontonan yang terbuka tanpa tam bahan bayaran, yaitu orang Dayak m akan daging m entah. Orang Dayak yang agak gendut itu tentunya orang J awa juga, tapi seluruh kulitnya dicat hitam . Ia cum a m engenakan cawat, duduk di atas sepotong pokok pohon, dan di depannya m enggeletak seekor ayam utuh yang sudah dibubuti bulunya. Saya m enunggu sam pai tiba saatnya orang Dayak itu m akan ayam m entah. Lam a juga. Tapi akhirnya orang Dayak itu m em otes sayap ayam dan m ulai m enggigit daging m entah dan m em am ahnya pelan-pelan dengan sikap m asa bodoh seolah-olah tak ada yang m enonton, tapi saya rasa tetap saja orang Dayak itu m erasa jijik. Saya bahkan m em bayangkan, sebentar lagi orang Dayak itu akan m untah, tapi ternyata tidak juga, sam pai saya bosan m enunggu. Kam i berputar-putar m engelilingi pasar, tapi perhatian sudah m erosot karena kaki sudah pegal-pegal kebanyakan jalan. Akhirnya kam i berhenti m elihat orang m ain lem par gelang. Orang, istilahnya, m em beli gelang rotan beberapa biji—berapa harganya saya sudah lupa—lalu satu per satu gelang itu dari jarak tertentu dilem parkan ke ujung-ujung tongkat dari rotan juga. Di bawah ujung tongkat itu teronggok barang m acam -

65

www.facebook.com/indonesiapustaka

66

Bersama Mas Pram

m acam , ada sabun dengan tandpasta, tandpasta dengan sikat gigi, sikat dengan kain, sisir dengan serit dsb. Kalau kita bisa m em asukkan gelang itu ke ujung tongkat, kita m endapat hadiah barang-barang yang teronggok di bawahnya. “Ah, itu kan ndak jauh, m asak ndak bisa m asukkan?” pikir saya. “Senang juga kalau dapat barang-barang itu!” pikir saya lagi. “Mau nyoba?” tanya Mas Djajoes yang tahu bahwa saya tertarik. “Mau!” Lalu saya dan Coes dikasih uang pem beli gelang-gelang itu, dan kam i pun m em beli, m asing-m asing dapat em pat biji. Barang yang kelihatannya gam pang itu—aduh!—ternyata sukar. Padahal jaraknya cum a sekitar dua m eter saja. Sebal saya bukan m ain. Tapi saya lihat Coes pun tidak berhasil m em asukkan satu pun. Saya sangat kecewa. “Mau nyoba lagi? Tapi terakhir, ya?” kata Mas Djajoes. Mas Djajoes m em ang m as yang baik. Kam i diberi uang lagi. Dan… gagal lagi! Hati saya tam bah panas. Berbagai perasaan bercam pur m enjadi satu: m alu, sesal, jengkel, dan entah apa lagi. Tapi sesal apapun tak berguna, dan dengan sem ua perasaan itu, ditam bah dengan lelah dan m engantuk, kam i pun pulang ke penginapan. Sam pai di sana, lepas pakaian dan sepatu, dan—sudah—bleg, tak ingat apa-apa lagi.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Ke Jakarta

BANGUN-BANGUN KEESOKAN harinya, Mas Djajoes sudah m andi dan sedang m elap sepatunya dengan seprei putih itu. Sikapnya tenang saja, seperti biasa, sam pai terpikir oleh saya: “Begitulah barangkali tentara, seenaknya, dan tak ada yang m em arahi.” Barangkali Mas Djajoes pun m elihat tanda tanya pada wajah saya, karena dia langsung m engatakan: “Ndak apa-apa, toh akan kita tinggalkan, dan lagi pasti akan digantikan dengan yang baru. Sana, m andi. Yang lain sudah m andi.” Pagi itu sekali lagi kam i m akan dari baki om preng seperti kem arin. Enak sekali, dan habis juga. Selanjutnya kam i ke stasiun dan naik kereta api yang m em bawa kam i langsung ke J akarta. Barangkali karena m asih lelah, m engantuk, dan kenyang, saya tidak ingat apa saja yang kam i lihat sepanjang jalan itu. Tahu-tahu kam i sudah sam pai di J awa Barat dan m elewati persawahan yang luas-luas. Belum pernah saya m elihat persawahan seluas-luas itu. Tentunya waktu itu kereta api

www.facebook.com/indonesiapustaka

68

Bersama Mas Pram

sedang m elintasi daerah sekitar Cikam pek sam pai Krawang yang m enurut pelajaran sejarah ditanam i padi atas perintah Sultan Agung dalam rangka serangan tentara Mataram atas Batavia. Persawahan itu m erupakan lautannya, sedangkan desa-desa m erupakan pulau-pulau kecil di tengah sam udra. Pulau yang satu dengan pulau yang lain dipisahkan oleh selatselat yang lebar, hingga apabila sebuah perahu m endatang ke sesuatu pulau, dari jauh sudah tam pak belaka. Sem entara itu, waktu kereta berhenti di Cikam pek, ke dalam kereta m enyerbu para pedagang m akanan dan m inum an. Pedagang m akanan m enjual terutam a kacang tanah dan pisang godok, dan pedagang m inum an m enjual air teh. Begitu banyak anak-anak, pem uda dan ibu-ibu m enenteng cerek dan sebuah gelas sam bil m enawarkan dagangannya dengan m eneriakkan teriakan yang oleh saya terdengar seperti “rete, rete, rete!”, hingga m ula-m ula saya tak m engerti apa yang sesungguhnya m ereka tawarkan. Dan ketika kam i m enjajal m inum an itu, ternyata cum a air teh! Waktu itu terpikir oleh saya, alangkah sengsaranya hidup m ereka itu: jualan saja cum a air teh, dan tidak m anis pula! Sejak itu m ata kam i sudah terbuka lebar. Kereta terus m enderu ke barat, m elintasi kam pung-kam pung, kebunkebun penduduk, dan rum pun-rum pun bam bu. Sayang hari sudah m ulai gelap, sehingga sem ua hanya m erupakan onggokonggok benda yang tak jelas seluk-beluknya. Sam pai di J atinegara kereta berhenti untuk m enurunkan penum pang. Saya ingat benar nam a J atinegara itu dari pelajaran Ilm u Bum i karena m engandung nam a J ati, tum buhan yang sangat saya kagum i dan banyak tum buh di Mantingan dan Randublatung. Tapi ternyata di J atinegara sam asekali tidak tum buh jati.

Bagian Kedua: Semarang

www.facebook.com/indonesiapustaka

Lepas Stasiun J atinegara, kereta m elewati viaduk J atinegara. Di situ saya m engagum i deretan m obil yang m enyinarkan lam punya m asing-m asing, sehingga tam pak seperti pesta cahaya. Dan ketika kereta m elewati Stasiun Manggarai, saya kagum akan luas dan panjangnya stasiun itu. Sam pai di Stasiun Gam bir kereta berhenti. Orang berduyunduyun turun. Saya di tengah duyun-duyunan itu, tapi m asih sem pat m enikm ati kabel listrik yang bersilang-siur di udara Gam bir. Dalam bayangan saya, seolah angkasa Gam bir waktu itu dirajut dengan kabel-kabel itu, indah sekali kelihatannya. Sam pailah kam i di J akarta, kota besar, ibu kota, di m ana kam i akan tinggal, dibesarkan, disekolahkan, untuk m enjadi dokter-dokter-m eester-m eester, dan entah apa lagi, dan sesudah itu entah apa lagi pula. Yang jelas, di kota ini kam i akan tinggal bertahun-tahun, m ungkin berpuluh tahun, m ungkin selam a hidup, m enim ba ilm u, m enghim pun berbagai pengalam an, sehingga hidup kam i m enjadi lebih baik dan lebih berarti daripada yang sudah-sudah. Dan yang penting juga, bagaim ana untuk selanjutnya kam i dan Mas Pram saling berhubungan.

69

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Kebon Jahe Kober

MAS PRAM ternyata m enunggu kam i di peron bersam a seorang pem uda berkacam ata, agak pendek sosoknya. Sebentar saja kam i sudah jum pa, dan m ereka m em bantu m em bawa bawaan kam i, besek-besek itu. Mungkin karena beratnya bawaan itu, m asih di peron, Mas Pram sudah berteriak keras: “Caaak!!!” Saya m ula-m ula tak m engerti apa m aksud teriakan itu, tapi m akin dekat ke pintu luar m akin jelas artinya, karena waktu itu Mas Pram berteriak lagi: “Becaaak!” kepada gerom bolan tukang becak yang sudah pada m engacungkan jarinya sam bil m em ekik juga: “Becak! Becak! Becak!” m enawarkan becaknya. Tukang becak berebut m enyorongkan becaknya. Mas Pram m engam bil dua becak saja, jadi bisa dim engerti penuhnya becak-becak itu, tapi m asih m uat, karena kam i waktu itu m asih kecil-kecil dan bertubuh kurus pula. Dan sebentar kem udian becak-becak itu sudah m eluncur (betul-betul m eluncur!) di jalan aspal khusus untuk kendaraan di luar m obil, di sisi kiri jalan yang lebar dan rata sekali, diapit deretan pohon m ahoni. Kam i m elihat m obil, trem , tam an, gedung pertem uan um um , tam an lagi, dan sebuah istana yang njenggereng (m erum uk) besar berm andi cahaya lam pu listrik.

www.facebook.com/indonesiapustaka

74

Bersama Mas Pram

“Istana Gam bir!” jelas pem uda berkacam ata di sisi saya, yang kem udian saya ketahui bernam a Mat Cikrik. Saya hanya m enggerendeng, dan becak m eluncur terus. Tak lam a kem udian becak m em belok ke kiri, dan selang lim a puluh m eter m em belok lagi ke kanan. Sam pailah kam i di J alan Tanah Abang I, seperti bisa dibaca dari plang nam a jalan itu. Tak sam pai tiga detik dari situ becak berhenti di depan gang yang nam anya Kebon J ahe Kober Gang VIII. Dari situ kam i berduyun-duyun dengan barang kam i m enyusuri gang yang panjang tak henti-henti, di sisi kiri dibatasi dengan tem bok tinggi yang dijajari warung-warung kecil atau kandang ayam atau burung, dan di kanan berdem pet rum ah-rum ah yang satu pun tak ada yang besar, dengan penerangan listrik tanggung atau rem ang-rem ang. Di sisi itu berturut-turut kam i jum pai Kebon J ahe Kober Gang I, Kebon J ahe Kober Gang II, dan Kebon J ahe Kober Gang III. Sam pai Kebon J ahe Kober Gang III (dan Kebon J ahe Kober Gang VIII m asih juga terus) kam i belok kanan, bertem u dengan Kebon J ahe Kober Gang VII di kiri, di m ana berdiri m asjid, dan kam i belok kanan lagi sedikit, kem udian belok ke kiri, m asuk lanjutan Kebon J ahe Kober Gang III. Nah, selang satu rum ah, di situlah rum ah yang kam i tuju, di kiri. Kam i m endaki pintu sem pit, sam pai di em peran kecil yang di sisi kirinya ada warung yang penuh sesak dengan barang dagangan kebutuhan sehari-hari, antara lain kayu bakar dan arang yang sudah diwadahi keranjang-keranjang. “E-e-e! Datang, ya?” sam but Mbak Arvah dengan wajah berseri dan segera m enyalam i kam i. Ia m engenakan kain kebaya. “Capek, ya? Dik Koes, Liliek, Coes! Nah, salam an dulu, dan kenalan sam a Bapak dan Ibu.... Be! Pok Mile!” serunya. “Ini, anak-anak dari Blora udeh dateng!”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tak lam a kem udian Pak Iljas m uncul di pintu. “E-e-e!” seru Pak Iljas bercam pur ketawa, dan pada bibirnya tersungging senyum , m enyalam i kam i satu per satu. Genggam annya tidak erat, sepertinya tangan itu cum a disodorkan, dan sudah. Agak lam a kem udian baru Bu Iljas yang tam bun keluar. Rupanya ia terham bat pem beli di warungnya. “Ini Koes, ye? Dan ini Liliek am e Coes? Ya udeh, langsung aje ke kam ar. Pan capek? Biar lekas istirahat!” Mat Cikrik m enggotong satu besek kam i, dan satu lagi diangkat oleh Mas Djajoes m asuk kam ar yang ditunjuk oleh Mbak Arvah. “Ya udah, Be, Cikrik pulang dulu!” saya dengar Mat Cikrik berpam itan. “O, iye, Mat. Mekasih, ye?” jawab Pak Iljas. Kam i m enggerom bol di dalam kam ar, sedangkan Mas Djajoes keluar lagi. Saya tak ingat lagi, apa yang terjadi sesudah itu, sebelum akhirnya kam i m enggeletak dan berangkat tidur. Tapi yang terasa aneh oleh saya: Bahasa Indonesia m ereka (Pak Iljas, Bu Iljas, Mbak Arvah, Mat Cikrik) m enceng bunyinya. Dan Mbak Arvah m em anggil bapaknya dengan Be, dan ibunya dengan Pok, Pok Mile (Milah). Aneh juga.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Kamar dan...

SAYA BARU tahu keesokan harinya bahwa kam i tidur berem pat dengan Mas Djajoes di atas ranjang besi tanpa kelam bu, sebagian kaki kam i m enggelantung. Ranjang itu berdiri di pojok dalam , ham pir m em enuhi kam ar. Di dekat pintu yang tak berdaun dan hanya bersekat gorden lusuh berdiri grobok (sem acam lem ari) kecil. Di luar kedua barang itu m erupakan ruang sem pit kam i untuk berlalu-lalang. Dapatlah saya sim pulkan bahwa kam ar itu tidak boleh disebut cukup besar. Lantai rum ah, term asuk kam ar kam i, dari batu bata. Dindingnya, sekitar sem eter dari lantai, dari tem bok, disam bung kepang (anyam an bam bu) yang ditem pel kertas yang dikapur warna kuning m uda. Saya tahu itu, karena sebagian kertas itu sudah sobek atau m enggelem bung, dan dari sobekan itu kelihatan kepang m encongak. (Belakangan saya ketahui dinding itu dua lapis, luar-dalam m enem pel pada kerangka dinding yang terbuat dari bam bu utuh.) Langit-langit (yang belakangan saya ketahui disebut sotoh) sam a juga, dari kepang bertam bal kertas. Di situ m enem pel bola lam pu (yang kem udian saya ketahui berkekuatan 25 watt.)

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Di depan ranjang, agak tinggi, terdapat jendela kecil, tak sam pai setengah m eter persegi. Waktu saya berdiri di ranjang dan m elongok ke jendela itu, ternyata di bawah situ terdapat saluran air berpagar bam bu, dan di luar itu sudah pekarangan kecil tetangga. Seperti biasa, pagi hari saya berlari ke belakang. Tapi alangkah herannya saya, karena ternyata rum ah itu tak punya kakus. Lho, bagaim ana? “Mau ke belakang, Liek? O, m esti keluar. Itu, ya, ke kiri, dekat aja, ada gang itu ke kiri. Di situ, tidak jauh, di kanan, ada kakus um um . Ke sana deh. Ada yang jaga.” Itulah hari pertam a saya m enghirup udara pagi di J akarta. Di depan warung Pak Iljas tum buh pohon jam bu darsana yang sedang berbunga, sebagian putik dan benangsarinya m em enuhi pelataran yang sekitar satu m eter lebarnya. Saya teringat pekarangan kam i di Blora. Rupanya di J akarta rum ah serba kecil, dan pekarangan pun sem pit-sem pit. Saya m encari tem pat yang ditunjukkan Mbak Arvah. Tidak sukar. Dari jauh saya lihat bangunan seperti benteng Belanda, dan itulah yang saya pastikan sebagai kakus um um itu. Walau dem ikian, belum pernah saya m em enuhi hajat di kakus um um . Saya lingak-linguk sam bil m endekati benteng. Tiba-tiba keluar dari baliknya seorang tua gundul bercelana pendek. Melihat saya, ia tam pak heran—barangkali bertanya dalam hati, siapa anak kerem peng ini?—bertanya: “Mau apaaa, ha?” “Mau buang air, Pak,” jawab saya m enghindari kata lain yang m enurut saya kasar. Tapi alangkah kaget saya, dia m enjawab:

77

78

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

“Buang air apa buang taik?” Saya jadi ingah-ingih tak bisa m enjawab. Kata-kata itu m em buat saya sakit hati dan teringat selam anya kepada dia. Tapi bagaim ana lagi, keperluan saya cum a satu, m aka saya pun m engam bil em ber, lalu m encari lubang yang kosong. Sungguh saya tak habis pikir, bagaim ana m ungkin satu rum ahtangga tidak punya kakus. Di J akarta! Tidak jauh dari istana! Dan bagaim ana kalau orang sudah kebelet? Dan bagaim ana kalau orang banyak datang sekaligus? Dan bagaim ana kalau sakit m encret? Ya entahlah. Orang m em ilih itu, artinya itulah yang bisa dilakukannya. Itulah yang disetujuinya. Itulah yang dim ufakatinya. Kem udian saya ketahui, sem ua orang itu m em ang tak punya kakus sendiri, dan m engandalkan kakus um um . J adi, itulah yang dipilih orang banyak itu. Dan rupanya itu cukup nyam an untuk m ereka. Ya sudah. Kem udian saya ketahui bahwa penghuni Kebon J ahe Kober Gang V, sepanjang gang panjang itu, buang air di got yang berbatasan dengan Pem akam an Belanda. Bakda isya m ulailah sebagian dari m ereka dengan nyam an m em untahkan kandungan yang tak dikehendakinya, diteruskan ram ai-ram ai sekitar subuh, hingga bila sekitar waktu itu kita lewat gang itu, tidak boleh tidak, lubang hidung kita pam pat oleh baunya yang khas. Untung Mas Pram cukup segera m erasakan keadaan itu sebagai hal yang tak nyam an. Tidak lam a kem udian dia m em buat kakus, kam ar m andi, dan dapur di pekarangan yang tersisa di belakang rum ah. Ayem lah saya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Rumah dan Penghuni

RUMAH KAMI itu sam a juga dengan yang lain-lain, kecil: pekarangannya kecil, bangunannya kecil, kam ar-kam arnya kecil. Tapi walau kecil tetap ada rinciannya. Secara um um terbagi tiga, m em bujur ke belakang, m asing-m asing selebar sekitar dua setengah m eter. Bujur pertam a, dari depan ke belakang: warung, kam ar tidur Pak Iljas dan Bu Iljas, dan kam ar kam i. Bujur kedua: em peran dengan m eja kursi tam u, ruangan cadangan dagangan dengan m eja radio, dan ruang m akan tanpa sekat. Bujur ketiga: ruang kerja tem pat Mas Pram bekerja, kam ar Mas Pram dan Mbak Arvah, dan dapur dan kam ar m andi. Di depan rum ah ada pekarangan selebar sem eter, di sam ping kanan pekarangan selebar tiga m eter, dan di belakang bujur ketiga pekarangan sekitar tiga m eter. J adi, dilihat dari tem patnya, kam ar kam i m asuk bujur Pak Iljas, dan kam ar itu m enjadi kam ar keluarga, kam ar belajar, dan sekaligus kam ar tidur kam i. Kam i keluar rum ah dari kam ar itu, dan m asuk rum ah m enuju kam ar itu. Kam i m enikm ati percakapan antarsaudara, m em bicarakan “Tanah-

www.facebook.com/indonesiapustaka

80

Bersama Mas Pram

air” dan “sanak-saudara” yang baru kam i tinggalkan di situ, kam i belajar di kam ar itu, bahkan beristirahat di ranjang itu, dan kam i tidur siang m aupun m alam bertiga di situ juga: saya di tengah, dan di kiri-kanan saya Mbak Is dan Coes. Pada suatu m alam terjadi kecelakaan, saya dikagetkan Mbak Is yang sam bil m enunjuk saya m engatakan: “Masukkan itu!” Pak Iljas dan Bu Iljas m uslim dan m uslim ah yang saleh. Mereka bangun sesudah subuh, m engam bil air wudhu dan bersem bahyang, dan sudah itu m em buka warung di sela-sela ngupi (m inum kopi sam bil m akan kue kecil), dan nyetel radio. Sepagi itu sudah ada saja orang berbelanja. Maka di tengah ngupi, Pak Iljas m elayani pem beli, sam pai sem ua terlayani, lalu kem bali ngupi, dan begitu seterusnya sepanjang hari, sam pai pukul delapan atau sem bilan m alam , diselingi m akan siang dan m akan m alam . Seraya m elakukan sem ua hal itu, Pak Iljas m endengarkan siaran radio, terutam a warta berita pukul enam dan pukul tujuh pagi. Bu Iljas m em bantu Pak Iljas m elayani pem beli, dan m enata acara ngupi, m akan siang dan m akan m alam . Kecuali kalau Pak Iljas pergi kulakan di Pasar Tanah Abang sekali atau dua kali sem inggu, Bu Iljas m enjadi penjaga dan pelayan utam a warung. Pekerjaan tam bahan Bu Iljas adalah kondangan, kalau ada orang ngaw inin, ny unatin, atau ada orang m eninggal, tapi itu jarang sekali. Di luar itu Pak Iljas dan Bu Iljas tak pernah pergi ke m ana-m ana. Perkecualian adalah di tahun 1951 atau 1952, ketika Pak Iljas m engikuti kursus bahasa Inggris. Mas Pram pagi berangkat ke kantor pukul 0 6.30 naik sepeda ke Balai Pustaka. Maka sepeda itu sudah harus saya lap sebelum kam i berangkat sekolah pukul 0 6.0 0 . Waktu itu

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

disiplin pegawai baik. Ia pulang pukul 14.0 0 atau pukul 14.30 . Sesudah m akan siang dan tidur siang, ia kerja di ruang kerja sam pai pukul 21.0 0 . Ia lakukan hal itu tiap hari, kecuali kalau lagi ada tam u—yang jarang terjadi—atau kalau ia pergi nonton ilm bersama Mbak Arvah—yang juga jarang. Di kantor itu terdapat m eja tulis dan satu lem ari buku. Waktu itu bukunya belum banyak. Mbak Arvah m em im pin pekerjaan rum ahtangga, terutam a dalam m enyiapkan m akan dan pakaian. Pekerjaan m asak, m encuci pakaian dan neliska (m enyeterika) dilakukan oleh pem bantu—Pok Mile (Milah) nam anya—seorang gadis tetangga yang tidak buruk m uka, kuning langsat kulitnya, nam un tidak juga kawin, dan tiap hari datang untuk m elakukan pekerjaannya. Dan siapa yang berbelanja? O, tiap pagi tukang sayur yang m em ikul barang dagangannya ajek datang dan dengan pekik “Ui!” m em beritahukan kedatangannya, lengkap selengkaplengkapnya. Di situ para tetangga ram ai-ram ai berbelanja sam bil berceloteh ram ai tentang tetek-bengek dan tetek tidak bengek. Kadang sam pai berlarut-larut. Mbak Arvah term asuk penceloteh yang tangguh. Lalu, sebentar kem udian datang tukang sapu got yang m em bersihkan seluruh sam pah got, term asuk seluruh sam pah yang tadinya m engotori tubuh para penghuni Kebon J ahe Kober Gang V.

81

www.facebook.com/indonesiapustaka

Jalan-jalan Lagi

SEMENTARA MAS Djajoes belum pulang ke Blora, kam i dianjurkan nonton Pasar Gam bir, sem acam pasar m alam yang konon diadakan tiap tahun sejak zam an Belanda di Lapangan Gam bir sisi selatan. Di sana waktu itu m asih tum buh banyak pohon trem besi besar-besar m eneduhi angkasa pasar m alam tersebut. Waktu itu m asih bulan Agustus, dan seingat saya Pasar Gam bir itu sudah dihubungkan dengan ulang tahun proklam asi kem erdekaan Indonesia. Saya tidak begitu terkesan oleh pasar m alam itu, m ungkin karena sudah pernah m elihat pasar m alam di Blora dan Sem arang. Tapi yang saya ingat adalah banyaknya orang jualan plem bungan (balon tiup) yang dihubungkan dengan sem acam peluit dari bam bu sederhana. Tiap penjual m em encet-m encet plem bungan itu, m em perdengarkan suaranya yang buruk tanpa iram a sam asekali, ributnya bukan m ain, hingga m engganggu pendengaran. Saya pikir waktu itu, sungguh orang-orang itu tak punya jiwa seni, dan tak punya rasa tenggang-m enenggang terhadap tetangga.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Tapi yang saya kagum i dan saya nikm ati benar adalah kacang goreng yang terbungkus dalam kantong kertas ketat dengan gam bar kacang dan capnya Lip Lip Hiong. Saya bukan tak tahu kacang, lebih-lebih kacang goreng kesenangan saya. Tapi yang bikin saya heran adalah, kok ada kum pulan kacang yang begitu sem purna, seperti sudah dipilihi satu per satu. Dan rasanya itu, sungguh khas dan gurih. Itulah untuk pertam a kalinya saya m enem ui kacang seperti itu. Acara jalan-jalan berikutnya adalah dengan Mas Pram sendiri, kali itu naik trem listrik pada suatu sore. Naik dari dekat J alan Tanah Abang I, ke utara m enuju Harm oni, sebuah sim pang enam . Di Harm oni turun, lalu naik trem lain yang datang dari jurusan Kota. Trem jalan ke tim ur m enyusuri J alan Segara, terus ke tim ur m enyilangi jalan kereta api, m elewati benteng Citadel, m enyusuri J alan Kantor Pos, dan sam pai di depan gedung Schouwburg m em belok ke kanan. Dari situ trem jalan lurus ke selatan, m elewati apa saja saya sudah lupa, sam pai akhirnya tiba di Pasar Senen. Nah, di persim pangan Medan Senen dengan J alan Kwitang itu ada halte di tengah jalan, m em anjang, dan di situlah kam i turun. Mas Pram tidak bercerita tentang apa saja yang kam i lewati. Cum a kadang-kadang kalau ada yang dia rasa penting, baru dia m enyeletuk m enyebutkan nam anya. Satu hal yang dia sebutkan adalah jalan m enuju J alan Garuda di Kem ayoran, tem pat sekolah kam i di Tam an Siswa. Waktu itu jalan-jalan cukup sepi, walaupun m enurut Mas Pram di J akarta sudah ada 5.0 0 0 m obil. Buktinya, waktu itu Mas Pram sem pat bingung, m au terus ke m ana seturun kam i dari trem di tengah persim pangan itu. Akhirnya kam i diajak

83

www.facebook.com/indonesiapustaka

84

Bersama Mas Pram

jalan ke selatan m enyusuri J alan Kram at. Di situ ada beberapa restoran besar yang seingat saya cukup sepi. Sam pai-sam pai saya m engira akan diajak m akan di restoran. Dan kebetulan saya sudah lelah dan lapar. Tapi, ya begitulah, dari depan restoran itu kam i balik kanan jalan, naik trem yang berhenti di halte di tengah persim pangan dari J atinegara, dan pulang lagi. Yang agak santai adalah kalau yang m engajak jalan-jalan Mat Cikrik atas perm intaan Mbak Arvah atau Mas Pram . Mat Cikrik adalah anak tetangga, pem uda yang lebih tua sedikit dari saya, sim patik, dan berusaha m enggunakan bahasa Indonesia, walau pada pokoknya bicara J akarte. Kacam atanya tebal, tapi itu sam asekali tak m engurangi harga dirinya. Ia boleh dikata pem andu yang baik, yang selalu m em berikan inform asi tentang apa yang kam i lihat. Dan, yang penting juga, ia rupanya sudah disangoni oleh Mbak Arvah, sehingga ia tak pernah ragu-ragu m em beli karcis, beli m akanan atau m inum an yang kam i butuhkan. Dialah yang m em perkenalkan kam i dengan kue pancong, cincau, ketoprak, ketupat sayur, dengan buah duku, gohok, berm acam buah ram butan, yang nglotok, yang tak nglotok, dan dia juga yang m engajari kam i m enelan biji ram butan supaya perut kam i terasa kenyang. Mula-m ula kam i diajak m asuk Gedung Gajah yang tak jauh letaknya dari Kebon J ahe Kober. Kam i jalan kaki ke belakang, m enyusuri Gang VI sam pai di warung Cina m acam warung Pak Iljas, dan dari situ m enyusuri gang sem pit sekali dan sam pai di J alan Tanah Abang II. Nah, dari situ m enyeberang ke J alan Museum , dan tinggal belok kanan sedikit sudah sam pai. Saya ya heran ya kagum m elihat barang apa saja di m useum itu. Begitu banyak dan beraneka, sam pai kaki ini

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

tak kuat lagi m elangkah. Dan... tak ada kesem patan m akan kue atau m inum . Gantinya adalah kelenengan J awa kom plit dengan pesinden yang katanya waktu itu sedang m oncer, yaitu Nyi Tjondrolukito. Saya tak kenal karawitan J awa, tapi untuk m elupakan rasa lapar dan haus rupanya boleh juga. Yang sangat m enarik adalah jalan-jalan ke Pasar Ikan. Beberapa kali kam i ke sana bersam a Mat Cikrik, yang sebagian besar ditem puh dengan naik trem m enyusuri J alan Gajah Mada, Kalibesar, dan lebih jauh lagi. Dan tetap tidak bosan m elihat ikan beraneka warna, baik yang hidup m aupun yang m ati, kerang dan karang, dan deretan pengem is yang m em adati gang yang m enuju m asjid Luar Batang, diselang-seling orang Koja yang m enawarkan serta m engoleskan m inyak wangi. Dari Mat Cikriklah kam i m ulai tahu sedikit-sedikit tentang J akarta: pelosoknya, m akanan dan m inum annya, bahasanya, adat kebiasaannya. Kam i sangat berterim akasih kepada dia, juga kepada Mbak Arvah dan Mas Pram yang m em berikan kesem patan berkenalan dan bersahabat dengannya.

85

www.facebook.com/indonesiapustaka

Ketemu Pak Said

RUPANYA MAS Pram m erasa cukup satu kali m enunjukkan kepada kam i jalan ke sekolah kam i, lalu m enyuruh kam i jalan sendiri ke sana m enem ui Pak Said, kepala sekolah. “Bilang sam a Pak Said, kalian m au sekolah di Tam an Siswa, dan aku yang nyuruh,” kata Mas Pram . “Dan sam paikan salam kepada Pak Said.” Dengan sendiri tim bul berm acam -m acam pertanyaan di hati kam i, tapi dalam hati kam i bertekad berhasil. “Kam i toh bertiga?” pikir kam i. Maka pada suatu sore berangkatlah kam i bertiga naik trem m enyusuri jalan yang pernah kam i susuri bersam a Mas Pram , turun di depan gedung Schouwburg (yang kem udian diubah nam anya m enjadi Gedung Kom edi, lalu Gedung Kesenian). Dari situ kam i jalan kaki m enyusuri J alan Dr Sutom o, m em otong J alan Gunung Sahari m em asuki J alan (kalau tak salah) Gunung Sahari I, m em otong J alan Bungur dan m em asuki J alan Garuda. Dari situ kam i urut nom ornya. J arak sekitar seratus m eter kam i tem ukan Stasiun Kem ayoran

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

dengan sejum lah jajaran relnya, dan persis sesudah itu gedung sekolah Tam an Siswa, J alan Garuda nom or 25, m enghadap ke selatan. Hal itu jelas dari nam anya yang terpam pang dengan huruf-huruf besar: “Tam an Siswa”. Gedung itu kuno, tertutup rapat, dan sepi. Di depan terletak sebuah patung dada dari batu yang cukup besar dan pejal. Kam i belum tahu patung siapa itu, tapi kem udian kam i ketahui patung Chairil Anwar, penyair pelopor Angkatan 45. Kam i berjalan ke sam ping, dan di pintu sem pit di situ bertem u dengan seorang tua yang langsung saja kam i tegur: “Num pang tanya, Pak, di m ana rum ah Pak Said?” “O, Pak Said? Ini jalan ini ke kiri, lantas ke belakang,” sam bil m enuding. “Terim akasih, Pak.” Kam i ikuti petunjuk bapak itu, m enyisip di antara gedung tadi dan gedung lebih besar yang m em anjang ke belakang, dan di situ kam i tem ui rum ah kecil ny em pil di antara gedung besar dengan pagar. Sesudah beberapa kali asalam u alaikum (m enurut ajaran Mat Cikrik) m uncul seorang setengah um ur, dem pak, bersarung, bersandal. “Siapa, yaaa?” tegurnya m esra sam bil senyum m anis. Kam i senang sekali bahwa ternyata itulah Pak Said sendiri. Kam i m em perkenalkan diri dengan m engatakan bahwa kam i adik Mas Pram oedya, dan ingin m asuk Tam an Siswa. “O, kalian adike Mas Pram oedyo, yo. Sem ua? Nam a kalian siapa?” Kam i m enyebut satu-satu. “Apa kabar Mas Pram oe? Kok ndak pernah ke sini-sini? Ha?”

87

88

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Kam i tidak bisa m enjawab. “Kalau m au m asuk, nanti Tam an Dewasa tanggal sekian. Kalian m asih di SMP to? Koesaisah kelas...? Koesalah kelas...? Soesilo kelas...? Ya, sudah, begitu saja ya. Datang saja tanggal sekian. Pukul tujuh pagi. Cari kelas m asing-m asing. Sekarang Pak Said ada perlu, yo.... Salaaam .” “Perm isiii!” Begitulah, kam i ketem u Pak Said tanpa dipersilakan duduk, begitu saja berdiri di depan rum ah. Tapi yang penting tujuan pokok sudah terlaksana. Dan itulah untuk pertam a kali kam i m endengar kata “salam ”. Sam pai di rum ah, kam i laporkan kepada Mas Pram dan Mbak Arvah pertem uan kam i dengan Pak Said. “Bagus. Disam paikan tidak, salam saya?” “O, ya, lupaaa! Tapi kelihatannya kenal sekali sam a Mas Pram . Dan tanya, kok ndak pernah datang?” “J adi, m ulai tanggal sekian kalian sekolah di sana. Dan ingat, cum a ada uang sekolah dan uang iuran kelas. Tidak ada uang transpor dan uang jajan. Kalian jalan kaki ke sekolah. Alat sekolah cari sendiri. Nanti diajari.” Kam i tak berkom entar apa-apa.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Disiplin Rumah

SEIRING MASUKNYA kam i ke sekolah, m ulailah disiplin diterapkan di rum ah. Kam i harus bangun bersam aan dengan bunyi beduk subuh. Kebetulan, seperti sudah saya sebut, m asjid tidak jauh dari rum ah kam i, jadi tidak ada alasan untuk tidak m endengar beduk tersebut setiap kali ia ditabuh. Mulailah acara m em bersihkan dan m enata rum ah: m elap, m enyapu rum ah, m engepel, m enyapu halam an, m encuci piring kalau m asih ada, m em bersihkan got, dan m elap dua sepeda—sepeda Mas Pram dan sepeda Mbak Arvah. Sem ua itu kam i lakukan bergantian bertiga. Baru sesudah itu m em bersihkan badan, m enata alat-alat sekolah, dan m akan pagi. Tidak ada perintah atau suruhan untuk bersem bahyang, dan itu agaknya m eringankan kam i dalam m elaksanakan disiplin rum ah. Tapi ada perintah untuk m engaji dua kali sem inggu pada sebuah m adrasah yang dipim pin dan diajar oleh seorang haji yang saya sudah lupa nam anya di Gang VI. Inilah yang m em beratkan, terutam a karena usia saya waktu itu sudah 15 tahun, duduk di kelas tiga SMP, sedangkan tem an-tem an sekelas m asih um ur-um ur 7-8 tahun, m asih duduk di kelas 1-2 SD. Yang

90

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

m em beratkan juga adalah saya disuruh m engikuti dari awal lagi pelajaran tentang m engam bil air wudhu dan bersem bahyang, dan untuk pelajaran m engaji diwajibkan m em baca surah-surah pendek dari Juz Am m a. Sem ua itu sudah pernah saya pelajari dari Pak Irin di Blora. Malunya bukan m ain, karena seringkali tem an belajar saya yang kecil-kecil itu lebih lancar daripada saya dalam segala hal. Saya sem pat m engikuti Maulid Nabi di m adrasah itu, dan sem pat diolesi m inyak wangi oleh Pak Haji. Untunglah sesudah itu Pak Haji m enyatakan saya lulus m adrasah dan m em bebaskan saya dari pelajaran. Sekitar pukul 0 6.0 0 kam i sudah berangkat ke sekolah. Pelajaran berlangsung dari pukul 0 7.15 sam pai pukul 13.0 0 . Kam i sam pai di rum ah kem bali sekitar pukul 14.0 0 , dan m enunggu kedatangan Mas Pram dari kantor. Seperti sudah saya katakan, waktu itu disiplin pegawai negeri m asih baik, yaitu tutup kantor pukul 14.0 0 . J adi Mas Pram tiba di rum ah paling cepat sekitar pukul 14.30 , dan barulah kam i m akan siang bersam a dengan m enggelar tikar di lantai dapur dan ruang m akan Pak Iljas. Cara ini kadang-kadang m em buat kam i m engeluh, karena kam i sudah lapar, lelah, dan m engantuk sepulang dari sekolah. Pada suatu hari, saking laparnya, tanpa m em ikirkan m ilik siapa itu, kam i (saya dan Coes) m enjolok buah jam bu darsana yang tum buh di pekarangan Pok None dekat pagar kam i. J am bu itu sebetulnya dari jenis yang setahu saya kurang enak, warnanya m erah m uda, dan kadang-kadang dim akan dengan garam dan ulekan cabai. Tapi karena perut lagi kosong dan m ulut sudah pahit, jam bu yang kurang enak itu terasa m enyegarkan di lidah kam i; badan jadi terasa sehat, dan m ata jadi nyalang.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Lagi sibuk m enyantap jam bu tak sah tersebut, entah bagaim ana, terasa ada orang yang m em perhatikan. Kam i m enoleh ke belakang, dan... ya Allah... Pak Iljas! Alangkah m alu kam i. Dan lebih m alu lagi karena Pak Iljas tidak m engatakan apa-apa, hanya m em perhatikan kam i sam bil geleng-geleng, tangannya di punggung. Kam i pun lekas-lekas m em beresi galah dan hengkang dari tem pat itu. J enis m akanan kam i sangat sederhana, paling sering nasi putih dengan sayur asam dan lauk ikan asin. Kalau tidak, sayur bening bayam dengan lauk tem pe goreng atau tahu goreng. J enis lain adalah sayur sop dengan lauk kerupuk atau rem peyek. Sem ua itu biasanya dilengkapi dengan lalapan dan sam bal. Di antara lalapan, yang sering tam pil adalah m entim un, kol, dan cai-sim . Dari jenis-jenis lalapan ini cai-sim yang tidak saya kenal, karena di Blora tidak ada. Nah, pada suatu hari saya ingin tahu rasanya cai-sim itu. Saya ulurkan tangan untuk m engam bilnya, tapi alangkah kaget saya, karena m endadak Mas Pram m enegur: “Eh, itu buat Mbak!” Dengan sendirinya saya segera m enarik tangan saya. Sayangnya, sam pai sekarang saya belum pernah m enanyakan alasannya kepada Mas Pram m aupun Mbak Arvah. Yang sangat baru buat kam i adalah gado-gado dan karedok. Saya segera saja cocok dengan kedua jenis m akanan itu. Bagaim ana m ungkin tak cocok dalam keadaan kekurangan itu, lebih-lebih di Blora di m asa pendudukan J epang dan revolusi? Variasi m akanan di sini boleh dikata tidak m engalam i pasang surut. Artinya, tidak pernah kam i alam i m akan m ewah atau bahkan sangat m ewah. Sebaliknya ada m asanya, ketika

91

www.facebook.com/indonesiapustaka

92

Bersama Mas Pram

m akan kam i dijatah hanya yang ada di piring, tanpa tam bahan. Itu barangkali ketika ekonom i Mas Pram m erosot. Saya ingat, waktu itu perut saya belum m erasa kenyang. Seperti biasa, selesai m akan kam i bergiliran m encuci piring. Sekitar pukul 15.0 0 kam i harus tidur siang, dan pukul 17.0 0 harus belajar sam pai pukul 20 .0 0 , saat untuk m akan m alam bersam a lagi. Dalam m asa belajar itu kadang-kadang ada kesem patan untuk m endengarkan radio. Sesudah itu ada saja yang perlu dilakukan, tetek-bengek rum ahtangga, dan pukul 21.0 0 kam i harus m apan tidur. Tidak dibenarkan sesudah pukul itu kam i dalam keadaan m elek. Dengan sendirinya acara hari Minggu agak longgar. Di hari Minggu kam i bisa m endengarkan radio pagi hari. Atau m endengarkan sandiwara radio atau pertunjukan wayang hari Sabtu m alam . Tapi ada pekerjaan lain yang harus dilakukan, yaitu m encuci pakaian dan m enyeterika. Sebetulnya pekerjaan ini bukan hal baru bagi kam i, karena sejak di Blora sudah dibiasakan oleh Mbak Oem . Dan lagi pakaian kam i tidak banyak. Yang berat adalah m encuci kem eja pem berian Mas Pram , kem eja dril tentara tebal bersaku tiga, yang biasanya saya pakai tidur m enggantikan selim ut. Kem eja itu kelihatannya peninggalan Mas Pram dari penjara. Hari Minggu juga kesem patan untuk jalan-jalan m engenal J akarta bersam a Mat Cikrik atau Mas Pram sendiri. Pada suatu m alam , Mat Cikrik m engajak saya dan Coes nonton ilm layar tancep (saya sudah lupa apa namanya waktu itu). Kam i m au, dan diizinkan Mbak Arvah. Dengan sendirinya kam i tak berani lam a-lam a: sebelum pukul sem bilan sudah pulang. Toh itu ditanyakan Mas Pram kepada Mbak Arvah: “Ke

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

m ana anak-anak?” Dan kam i pun ditanya langsung oleh Mas Pram , sepulang kam i. Dengan sendirinya kam i katakan sudah m endapat izin dari Mbak Arvah. Terus-terang, penerapan disiplin seperti itu, yang sam asekali tak kam i kenal di Blora, sangat m enekan kam i. Kadang terpikir oleh saya, barangkali selam a di penjara Mas Pram didisiplinkan seperti itu. Saya, dengan sendirinya, kadangkadang m elanggar disiplin itu, m isalnya dengan tidak tidur siang atau m elek sesudah pukul sem bilan m alam , bahkan sam pai pukul 23.0 0 , terutam a kalau ada pekerjaan rum ah yang harus digarap. Sem entara itu kam i m erindukan kebebasan kam i di Blora, ketika kam i bisa m ain bola atau m ain di kali sepulang dari sekolah, atau m ain petak um pet atau gobak sodor di kala bulan purnam a. Nyanyi-nyanyi lagu dolanan. Atau sekadar m engobrol ngalor-ngidul dengan tem an-tem an. Di Kebon J ahe Kober kam i tak punya tem an kecuali Mat Cikrik, itu pun tidak selalu bisa kam i hubungi. Maka hiburan kam i adalah m enulis surat. Alangkah nikm at dan gem bira hati kam i kalau sepulang kam i dari sekolah m endapati surat di ranjang kam i, dari Rigno, Kirm an, atau Bari. Tapi alangkah jarang surat itu datang, karena alangkah jarang juga kam i berkesem patan m enulis surat.

93

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bersekolah

SUDAH SAYA sebutkan, kam i berangkat ke sekolah sekitar pukul enam pagi. J alan kaki, walau seandainya ada biaya kam i bisa naik trem , lalu disam bung jalan kaki sekitar tak sam pai satu kilom eter lagi. Kam i m enyusuri J alan Mojopahit di m ana terletak apotik Rathkam p tem pat kam i (saya, Mbak Is, atau Coes) suka beli obat atau alat-alat kedokteran. Biasanya beli obat. Tapi pada suatu hari, ketika anak Mas Pram yang pertam a, Poedjarosm i, sudah lahir, saya pernah disuruh beli pom pa tetek oleh Mbak Arvah. Pom pa saya tahu, tapi tetek saya tak tahu. “Pom pa tetek itu apa, Mbak?” tanya saya. Mbak Arvah kontan tersenyum lebar, tapi dia tak m enjelaskan selain akhirnya m engatakan: “Pokoknya bilang aja, beli pom pa tetek gitu. Sana pasti ngerti,” katanya. Begitulah, saya turuti pesan Mbak Arvah, dan berhasil m em bawa barang itu pulang, tapi tetap saja saya tidak m engerti barang apa itu.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Lain kali oleh Pak Iljas saya disuruh beli cangcut. Seperti dalam hal pom pa tetek, saya tak tahu apa itu cangcut. “Cangcut itu apa, Pak?” tanya saya kepada Pak Iljas. “He-e-e!” gerendeng Pak Iljas, seperti biasa, cam pur ketawa. “Sudah! Bilang aja, cangcut!” Begitulah, kam i jalan sam pai persim pangan Harm oni. Di situ m enyeberang ke kanan, m elewati patung lelaki telanjang (kalau tak salah bersayap) di pinggir Kali Ciliwung yang diapit J alan Nusantara dan J alan Segara, lalu m asuk J alan Nusantara. Gedung ketiga di J alan Nusantara itulah toko Tabaksplant tem pat saya biasa m em beli tem bakau “Shag” atau papier untuk Mas Pram . Sekitar seratus m eter dari situ ada jalan penyeberangan ke J alan Segara. Nah, persis di tentang jalan penyeberangan itu ada toko Tionghoa “Oen”, toko kue enak-enak (kelihatannya) yang tak pernah kam i cicipi, karena m em ang tak pernah beli. Selang sedikit dari situ ada toko besar Van Dorp yang m enjual alat-alat tulis dan alat gam bar dan juga buku-buku yang suka kam i am at-am ati. Menyusul J alan Pecenongan. Lalu ada toko besar juga, bertingkat, nam anya Belanda, tapi sudah lupa saya, apa, tapi kem udian berubah m enjadi toko Djam batan. Di etalasenya dipam erkan berm acam buku, terutam a atlas, yang selalu kam i am at-am ati. Sesudah itu ada toko sepatu bagus-bagus, toko Hana nam anya, disusul kem udian toko Com em o yang m enjual pakaian bagus-bagus, pakaian Eropa. Nah, sesudah itu m elintang rel kereta api dari Stasiun Gam bir di selatan ke Stasiun Kota, lewat Stasiun Sawah Besar. Begitu m enyeberang, di kanan ada benteng Citadel yang sudah saya sebut, dan di kiri ada bioskop Capitol yang terletak di pinggir pintu air (sluis nam anya waktu itu). Dari

95

www.facebook.com/indonesiapustaka

96

Bersama Mas Pram

situ kam i m enyusuri J alan Pos yang sejajar dengan sudetan Kali Ciliwung, sam pai Schouwburg di kanan dan Pasar Baru di kiri. Selanjutnya sudah saya ceritakan. Kam i tiba di sekolah sebelum pukul tujuh, jadi tak sam pai satu pukul di jalan, dan kaki kam i pun belum terasa lelah. Sepanjang jalan itu ada saja yang kam i perhatikan, yang m enarik perhatian. Misalnya kam i, terutam a saya dan Coes, m enghafal plat-plat m obil atau m enghitung jum lah m obil m erek tertentu. Kadang-kadang m ain tebakan dari jauh apa m erek m obil tertentu. Coes selalu unggul dalam tebakan itu. Tapi ada m obil yang m ereknya susah kam i ingat, seperti Studebaker. Sedangkan m erek Ford, Chevrolet, Willys kam i sangat hafal. Di J alan Dr Sutom o kam i ham pir selalu beriringan dengan seorang gadis dewasa, kelihatannya sudah pegawai, yang jalan pelan-pelan dan, di depan sekolah SMP atau Kantor Statistik bertem u dengan seorang pem uda dewasa yang datang dari arah berlawanan, kelihatannya sudah pegawai juga. Mereka selalu tersenyum di saat jum pa. Lalu m ereka berdua berbalik ke arah datangnya gadis dewasa. Kam i m em bayangkan, alangkah saling cinta m ereka itu, dan alangkah bahagia. Tapi selanjutnya kam i tak tahu, ke m ana arah m ereka. Kadang-kadang (jarang sekali!), berhenti m obil sedan di sam ping kam i, dan kam i dipersilakan naik. Itulah m obil orangtua tem an sekelas saya dan Mbak Is, nam anya kalau tak salah ingat Ism iati, putri J enderal Suhardjo, kepala rum ahtangga Presiden Soekarno. Ia tinggal di Istana, karena ayahnya, kepala rum ahtangga Presiden. Kam i sering m em bayangkan, alangkah senang kehidupan tem an kam i Ism iati itu, yang tinggalnya saja di istana, dan ke sekolah

Bagian Ketiga: Jakarta

diantarkan m obil, jadi tentunya segalanya baik-baik saja dan beres tak kurang suatu apa. Saya ingat, waktu pertam a dan kedua kali dibonceng m obil itu, m em buka pintunya pun saya tak bisa, dan alangkah m alu perasaan saya waktu itu. Tapi yang kam i rasakan sangat m engecewakan adalah kalau m obil itu jalan terus m elewati kam i, padahal kam i tahu, pasti m ereka m elihat kam i bertiga berjalan kaki sebagaim ana biasa.

www.facebook.com/indonesiapustaka

* SEKOLAH KAMI adalah gedung kedua yang m em anjang ke belakang di sam ping rum ah Pak Said. Sebetulnya bukan gedung, karena tak berdinding, yah, sem acam speelloods (ruangan berm ain) di sekolah kam i di Blora dulu. Di hari belajar, ruangan itu disekat-sekat dengan sekesel gedek setinggi dua setengah m eter m enjadi kelas-kelas. Seperti biasa terjadi di tengah anak-anak, sekesel itu banyak bolongannya, tem pat anak-anak m engintip kelas lain. Kadang-kadang bolongan itu cukup besar, sehingga suasana kelas lain begitu saja tam pak gam blang. Bukan hanya itu, suara guru dan m urid dari dua jurusan kedengaran belaka, bahkan dari em pat kelas sekaligus. Tem an sekelas kam i di kelas tiga Tam an Dewasa (TD) cam puran dari daerah-daerah di Indonesia, yang saya ingat di luar Ism iati tadi, antara lain adalah Husin dan Syahm ardan (yang kem udian m engubah bentuk nam anya m enjadi S.M. Ardan) dari J akarta, Suprapti dan Sandjoto Pam ungkas dari J awa, Elly Djuwaeli dari Pasundan, Yuliar dan pacarnya Adjim ah, Buyung, dan Ariza Rivai dari Sum atra Barat, Nurbaiti dari Lam pung, dan Sobron Aidit dari Belitung.

97

www.facebook.com/indonesiapustaka

98

Bersama Mas Pram

Bagaim ana bisa saya ingat nam a tem an-tem an itu? O, ada sebabnya. Husin karena perkasa isiknya. Dia suka m engangkat-angkat dan m engayun-ayunkan saya. Karena entengnya barangkali? Syahm ardan karena sangat tenangnya. Suprapti karena cantik dan jam bulnya yang besar dan karena rum ahnya bagus di J alan Menteng, Sandjoto Pam ungkas karena nam anya bagus dan orangnya gagah dan karena dia, kalau tak salah, pacar Suprapti, Elly Djuwaeli karena cantiknya setengah m ati dan bibirnya selalu basah, Yuliar karena selalu runtang-runtung dengan pacarnya yang juga cantik dan berjam bul besar, Buyung karena nakalnya, Ariza Rivai karena tipis bibirnya dan selalu berceloteh, Nurbaiti karena cantik sekali, pinggangnya selalu diikat erat-erat supaya ram ping, tiap istirahat m esti m asuk WC untuk m engeratkan ikatan pinggangnya, dan suka m enyontek, dan Sobron Aidit karena periangnya. Suasana pergaulan sangat baik, tidak ada sikap m em bedabedakan dari m ana pun asal siswa. Saya dan Mbak Is selalu datang berdua, dan tem an-tem an selalu m elihat kam i berdua, walau bangku kam i berlainan. Seingat saya, tidak pernah saya tak m asuk sekolah karena sakit. Sebaliknya, kadang-kadang Mbak Is tidak m asuk sekolah karena berbagai alasan. Maka tem an-tem an pun bertanya: “Mana em pok lu?” Mula-m ula saya bengong m endapat pertanyaan itu, tapi lam a-lam a terbiasa juga. Guru (atau di sini disebut pam ong) kam i juga datang dari berbagai daerah, dan juga baik-baik. Tidak ada di sini guru jahat. Yang ada di sini guru serius dan guru santai. Yang serius biasanya guru ilm u eksakta seperti aljabar, ilm u pasti, dan

Bagian Ketiga: Jakarta

ilm u kim ia. Dan yang santai itu guru ilm u sosial. Ada guru (atau guru-guru) yang kerjanya m engobrol (bukan m engajar) ngalor-ngidul dari awal sam pai akhir teng bel berbunyi tanda pelajaran selesai. Para siswa sih senang-senang saja, tapi kadang-kadang terpikir juga oleh saya: “Guru kok begitu?” Tem an kam i ada yang rum ahnya sejauh rum ah kam i, di Tanah Abang, biasanya m ereka naik sepeda. Ada juga yang sedang jauhnya seperti di Cikini atau Menteng dan Sawah Besar. Tapi kebanyakan m ereka tinggal di sekitar tem pat itu, di Senen, Kepu, atau Kem ayoran itu sendiri. Di tiap perjum paan atau perpisahan para siswa dan pam ong m engucapkan kata “salam ” sebagai ikatan korps.

www.facebook.com/indonesiapustaka

* KAMI PULANG jalan kaki juga, m enem puh jalan yang sam a sam pai m enyeberang rel di Citadel, sudah itu m em belok ke kiri m enyusur jalan, saya sudah lupa nam anya, di pinggir Kali Ciliwung. Sepanjang jalan itu ada rum ah bertingkat dua sam bung-m enyam bung m enjadi satu. Yang suka kam i herankan, rum ah gedung kok berdem pet-dem pet. Di ujung jalan itu, di kanan, ada bangunan m iliter bertingkat banyak, warna hijau, yang di depan selalu dijaga m iliter Belanda totok berseragam dan bersenjata lengkap (waktu itu m asih ada Misi Militer Belanda). Nah, di situ kam i m enyeberang ke kanan, ke Tam an Chairil Anwar. Di situ kam i bertem u dengan trem listrik yang datang dari Stasiun Gam bir m enuju ujung J alan Majapahit, m elewati depan Istana Presiden, dan seterusnya ke Harm oni.

99

www.facebook.com/indonesiapustaka

100

Bersama Mas Pram

Dengan sendirinya, sam pai di situ biasanya kam i sudah lelah, lapar, dan m engantuk, karena hari sedang sepanaspanasnya. Maka kadang-kadang kam i nekat naik trem dari Tam an Chairil Anwar. Dasar sial, tukang karcis selalu m enagih bayaran, dan kam i, karena m em ang tak punya uang, m enjawab nekat juga: “Saya turun di depan situ!” sam bil m enunjuk halte berikut. Dan sam pai di Deca Park kam i pun benar-benar turun, untuk kem udian jalan kaki lagi. Lum ayan, ada jarak sekitar 150 m eter yang terlam paui tanpa jalan kaki. Nam un kenekatan dem ikian jarang kam i tem puh. Kam i ham pir selalu berjalan kaki, dengan kesadaran bahwa m em ang dem ikianlah harusnya. Itu tugas, dan tugas harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Peristiwa yang langka adalah kalau ada tem an yang m em boncengkan kam i dengan sepedanya. Saya katakan langka, padahal sebetulnya am at sangat langka atau langka bukan m ain. Maklum lah, kam i kan bertiga, sedangkan tem an-tem an itu rum ahnya kan berpencar. Tapi sungguh m ati, pernah kam i diboncengkan tem an. Bukan bertiga, tapi berdua, karena Coes, entah kenapa tidak bersam a kam i. Waktu itu kam i (saya dan Mbak Is) dibonceng oleh dua tem an yang rum ahnya di Tanah Abang. Sayangnya, m ereka m em boncengkan kam i hanya sam pai di persim pangan Kebon Sirih dengan Tanah Abang Raya, di m ana ada pegadaian. J adi kam i harus m eneruskan pulang dengan jalan kaki juga. Tapi bagaim anapun kam i berterim akasih kepada tem an-tem an itu, yang nam anya saya sudah lupa.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Lagi-lagi Sepatu

BERBULAN-BULAN J ALAN kaki pulang-pergi ke sekolah tiap hari, sekali jalan sekitar lim a kilom eter, jelaslah bahwa akhirnya sepatu sandal kam i bejat. Kam i m asih sem pat m em perbaikinya pada tukang sol sepatu, waktu sepatu itu baru rusak. Tapi sesudah bejat, tak ada jalan lain kecuali m enggantinya. Apa akal? Dengan sendirinya teringat oleh saya sepatu tentara pem berian Mas Djajoes. Sekaranglah tiba waktunya untuk m engecilkan sepatu itu. Nah, tiap hari kan ada saja tukang tol sepatu m engedari gang-gang kam pung J akarta, yang khas dengan pekiknya: “Soll patukkk!” Pada seorang soll patukkk itulah sepatu pem berian Mas Djajoes saya tenteng baik-baik, dan saya tanyakan apakah bisa dikecilkan. J awabannya bikin saya kaget dan kecewa: “Ah, itu m ah kagak bisa!” walau ia am at-am ati juga sepatu itu, seperti m engam ati-am ati ikan m as. “Kenapa kagak bisa?” “Ya kagak bisa atuh!” “Ya kenapa kagak bisa atuh?”

www.facebook.com/indonesiapustaka

102

Bersama Mas Pram

“Ya lain atuh citakannya!” Saya tidak lagi kecewa sekarang, tapi jengkel. Saya pikir Soll Patukkk itu jual m ahal, karena tak ada saingan. Maka sepatu lalu saya bawa ke depan Istana. Di depan istana itu dulu berjajar tukang sol sepatu m enjajakan jasanya di bawah pohon-pohon asam . Ada kalau dua puluh orang. Satu per satu saya datangi m ereka, dan satu per satu m enggelengkan kepala dengan wajah cem berut. Sebagian bahkan tak m au m enyentuh sepatu itu sam asekali. Yakinlah saya bahwa m em ang sepatu itu tak bisa dikecilkan. Heran saya, kenapa Mas Djajoes tak tahu soal itu? Lalu untuk apa sepatu itu dibawa jauh-jauh, berat-berat, dan m em enuhi ruangan dalam besek waktu itu? Heran saya juga, atau bodoh saya, kenapa tak terpikir oleh saya untuk m enjual sepatu itu, dan dengan hasil penjualannya m em beli sepatu yang lebih m urah. Dasar tak punya jiwa dagang atau usaha! Dan ketika saya sam paikan hal itu pada Mbak Arvah, dia pun hanya heran kenapa tak bisa. Tapi.... “Kalau begitu, pilih itu sepatu Mbak yang cocok!” katanya. Kepada saya ditunjukkan sim panan (bukan koleksi) sepatu Mbak Arvah yang sem ua sudah tua, tapi m asih baik. Mbak Arvah, saya yakin, bukan pengagum m ode. Sepatunya serupa sem ua, yaitu sepatu tutup dari kulit hitam atau cokelat, berlidah di depan sebagai riasan, berhak tinggi. “Potong aja lidahnya, sam a haknya dipendekin!” sarannya. Saya kurang berkenan dengan sarannya itu, sebab bagaim anapun itu sepatu perem puan: lancip di depan, dan hak sepatu perem puan itu walau tidak tinggi kan selalu m enjorok ke dalam , tidak seperti sol sepatu lelaki yang lurus ke bawah.

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tapi, yah, sekali lagi, yah, jalan keluar lain tak ada. Begitulah, saya sem pat beberapa bulan m engenakan sepatu perem puan, bekas, yang dipotong lidahnya dan dipendekkan haknya, lancip di depan, dengan sol m enjorok ke dalam . Alkisah, sesudah beberapa bulan dipakai—dasar sepatu bekas!—sepatu itu pada lepas pakunya sehingga m enganga di depan seperti buaya m akan bangkai. Dan untuk m elengkapi tragedi ini— dasar sial!—tem an-tem an sekelas m engajak berpotret di depan gedung Tam an Siswa. Sungguh, saya kasihan kepada diri saya sendiri waktu itu, sebab di tengah kesibukan m em perebutkan tem pat yang paling strategis waktu berpotret itu, saya “hanya” m em ilih tem pat terdepan, yang jongkok, karena dengan berjongkok saya bisa m engatupkan m oncong buaya yang sedang m akan bangkai, dan m enutupinya dengan dengkul saya, walau saya yakin m oncong itu akan tetap kelihatan. Setelah itu habislah m asa dinas sepatu itu, digantikan oleh sepatu yang lain. Tapi itu lain lagi ceritanya. Saya kadang-kadang m asih bertanya dalam hati apakah m asih ada tem an sekelas dulu yang m enyim pan foto itu, sebab bagaim ana saya bisa m em esan foto itu kalau untuk beli sepatu (bekas) saja tak ada uang?

103

www.facebook.com/indonesiapustaka

Lewat Mana?

MALAM LEBARAN tahun 1950 sungguh m alam bahagia buat saya dan Coes. Malam itu kam i dapat hadiah Lebaran, dan boleh jalan-jalan. Tanpa buang kutika, kam i berdua m eninggalkan lingkungan kam pung dan m ulai m engukur jalan. Kam i tidak naik kendaraan apapun, pergi m aupun pulangnya. Kam i ingin tahu, apa saja yang dilakukan orang di J akarta pada m alam takbiran tersebut. Kam i sudah terbiasa jalan kaki pulang-pergi ke sekolah, m aka tidak ada soal jalan kaki sam bil m enonton apa saja kegiatan orang m alam itu. Dari J alan Tanah Abang Raya kam i m asuk dalam Mojopahit sam bil berhenti tiap kali ada yang m enarik. J alan Mojopahit jalan toko-toko m ahal, tapi ada saja di depan-depan toko itu orang jualan ini-itu: m akanan seperti kue pancong dan doger, atau m inum an, terutam a kopi. Ada juga orang jualan klithikan (barang keperluan sehari-hari seperti benang-jarum , peniti, kancing, sikat gigi, tandpasta dan sabun, dan banyak lagi lainnya, term asuk geretan, pipa dan alat m erokok yang lain). Kam i tertarik barang-barang itu, karena barang-barang itulah yang biasa kam i tonton di Blora di pasar, pada pedagang

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

kelontong, dan di pasar m alam , kalau lagi ada pasar m alam . Satu-dua ada juga yang m enjual pakaian, dengan penerangan lam pu jalan dan satu-dua lam pu toko yang sinarnya m enyerobot ke luar. Sam pai di Harm oni kam i jalan terus ke utara m enyusur J alan Gajah Mada. Itu jalan yang tak baik dan berbahaya untuk jalan kaki sebetulnya, karena di situ ada rel trem yang m enuju ke Kota, dan cukup tinggi frekuensinya. Kam i sudah tahu itu, karena sudah pernah pergi ke Pasar Ikan bersam a Mat Cikrik, tapi kam i ingin m engam atinya dari dekat, walau pada m alam hari. Dengan sendirinya tidak banyak orang jualan di situ. Paling-paling tukang tokok di sudut-sudut. Tidak jauh dari Harm oni ada J alan Alaydrus ke kiri, dan di awal jalan itu ada kios m akanan dan m inum an, lengkap dengan es Petojonya. Dan ke kanan ada J alan Batutulis. Kam i tidak belok ke kiri atau ke kanan, karena kam i tahu di kedua tem pat itu tidak ada apa-apa selain perm ukim an penduduk. Kam i jalan terus ke utara dengan waspada, sam bil tiap kali m enghindari trem yang lewat. Barulah di persim pangan berikut kam i m em belok ke kanan. Itulah J alan Sawah Besar. Persis sebelum jalan itu ada hotel besar, Hotel J acatra. Dan sepanjang J alan Sawah Besar itu disusuri jalan trem yang m enuju Pasar Baru dan selanjutnya ke Gunung Sahari. Berjalan beberapa waktu di situ sam pailah kam i di Pasar Sawah Besar. Nah, itulah yang asyik. Banyak orang jual pakaian, yang baru m aupun yang loak. J uga alat-alat, alat-alat apa saja: tukang kayu, tukang sepatu, tukang leding, m ontir sepeda, m ontir m obil, m ontir radio—lengkap. Makanan juga banyak. Mainan anak-anak juga banyak. Yang kam i heran, di sini pun orang jual m inyak wangi seperti di Pasar

105

www.facebook.com/indonesiapustaka

106

Bersama Mas Pram

Gam bir. Penjual m inyak wangi m engejar-ngejar pem beli, dan kalau sudah terkejar bukan sekadar ditawari, tapi juga diolesi tangannya dengan m inyak. Kam i berdua yang jelas m asih anakanak ikut dikejar juga. Sem ula saya sam pai m enyangka bahwa m endapat olesan m inyak wangi itu harus m em bayar. Kalau tidak, kenapa begitu getol m ereka m engoleskan m inyaknya? Kan terbuang sia-sia saya. Indera pencium an saya rupanya cukup tajam , karena saya cukup dapat m encium baunya, walau hanya sepintas lalu. Yang saya sangat tertarik adalah saputangan. Lipatannya bagus-bagus, dan m odelnya pun indah, dengan garis-garis yang berwarna-warni. Saya pikir, harganya tentu bisa dibayar dengan uang yang kam i kantongi. Tapi sesudah banyak m enim bang dan ragu-ragu, akhirnya saya tidak jadi m em belinya. Kam i jelajahi pasar itu sam pai di ujungnya benar, baru sesudah itu balik kanan jalan. Di situlah baru kam i sadari bahwa kaki kam i cukup lelah juga. Maka kam i putuskanlah untuk pulang. Kam i m enem puh jalan yang sam a, tapi sam pai di ujung J alan Sawah Besar kam i langsung m asuk J alan Hayam Wuruk, sam pai Harm oni kem bali. Sam pai di situ kam i tidak m enyusuri J alan Mojopahit di sisi kiri, di m ana terdapat gedung Societeit De Harm onie, tapi seperti biasa, di sisi pertokoan. Sam pai di kam pung Kebon J ahe Kober kam i lihat suasana sudah sangat sepi. Tidak ada lagi orang lewat, bahkan orang m engobrol di rum ah-rum ah pun tak ada lagi. Kam i tak tahu, sudah pukul berapa waktu itu. Sam pai di rum ah suasana pun sudah sepi. Seluruh rum ah pasti sudah tidur, karena sam asekali tak ada suara barang m aupun orang. Apa yang harus kam i lakukan? Mengetuk pintu? Kam i takut m engganggu. Mas Pram dan Mbak Arvah tentu

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

sudah tidur sejak pukul sem bilan tadi. Pak Iljas dan Bu Iljas lebih-lebih lagi, sebab m ereka tentu lelah sesudah bekerja sepanjang hari. Mau m engetuk Mbak Is, m asak dia dengar? Kam arnya di ujung belakang. Entah bagaim ana, Coes ada saja tingkahnya. Ia m engutikutik grendel jendela sam ping bikinan Pak Tasim an, bapaknya Mat Cikrik, yang m em ang tukang, tapi barangkali kelas sekian. Tidak pernah Pak Tasim an bikin sesuatu persis ukuran. J adi antara daun jendela dan am bang jendela m asih ada luang kosong. Dan begitulah, jendela sam ping itu bisa dibuka, dan Coes m elangkah m asuk. Saya, tanpa berpikir lagi, ikut m asuk. Dasar sudah lelah dan m engantuk. Ingat saya, m alam itu pun kam i tak pakai m akan segala. Langsung saja tidur seperti bayi yang tanpa dosa. Esoknya, benar saja, kam i ditanya oleh Mbak Arvah, siapa yang m em bukakan pintu sem alam . Tentu saja kam i m enjawab tidak ada. Lalu bagaim ana bisa m asuk rum ah? Nah, di situlah kam i plegak-pleguk m enjawabnya. Tapi seplegak-pleguk apapun, akhirnya toh kam i harus m engakui bahwa kam i m asuk rum ah lewat jendela. Pokoknya Mbak Arvah sam pai m engatakan: “Nggak baik!” dan itu sudah cukup bagi kam i untuk m em bayangkan diri kam i sendiri sebagai m aling lom pat jendela. Dan itu jelas tidak cukup. Siangnya kam i dilanjrat (diadili) oleh Mas Pram . Kam i bertiga duduk berjajar kiri-kanan: Mbak Is, saya, Coes. Mbak Is yang tak ikut berbuat kena lanjrat juga. Mas Pram duduk m enghadap kam i, diantarai m eja. Dan Mbak Arvah m ondar-m andir sam bil senyum . Mas Pram m em berikan peringatan keras kepada kam i agar tidak m elakukan hal seperti itu, dan jangan sam pai m engulanginya. Kata-katanya kira-kira begini:

107

108

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

“Apa yang kalian lakukan itu? Macam m aling! Kan ada pintu? Kan bisa ngetuk? Kalian ini m aunya apa? Kalian aku bawa ke sini ini untuk belajar. Aku sekolahkan. Aku biayai. Kalian tahu, waktu aku lulus Budi Utom o, lulus SR, aku m inta disekolahkan sam a Bapak, nggak dikasih! Malah disuruh ngulangi lagi kelas tujuh! Kalian nggak usah m inta, aku sekolahkan. Mau jadi apa kalian.... Huk-huk-huk!” Mas Pram m enangis. Airm atanya bercucuran. Itulah untuk pertam a kali saya m elihat dengan am at jelas Mas Pram m enangis. Saya sungguh m enyesal dengan langkah saya itu. Tapi apalah yang bisa saya katakan? Sem ua sudah begitu jelas. Rupanya itu pula yang terpikir oleh Mbak Is m aupun Coes. Maka siang itu kam i bertiga cum a bisa bungkam seribu basa. Kam i jelas tak m engulangi perbuatan itu. Dan kam i pun sebetulnya tak punya jiwa ke situ.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Pelajaran Sekolah

SAYA TIDAK pernah m enonjol dalam pelajaran. Itu barangkali bukan kekhususan saya, tapi ciri um um kam i dalam keluarga. Sebabnya? Untuk sem entara saya sim pulkan, karena ekonom i keluarga tidak m endukung. Saya ingat, angka rapor saya di SR di Blora didom inasi angka enam , disusul satu-dua angka tujuh dan satu-dua angka lim a. Tidak ada angka delapan. J uga tidak ada angka em pat. Di kelas 5 SR ada tem an sekelas saya, Santoso nam anya, cerdas dan tangkas bukan m ain. Pertanyaan apa saja dalam m ata pelajaran apa saja yang diajukan guru, dapat dijawabnya. Dan cepat. Bahkan kadang-kadang sebelum ditanyakan guru, dia sudah m enebak jawabannya. “Kok ada anak yang begitu pinter?” pikir saya. Tapi saya tidak iri padanya. Saya m erasa, saya lain dengan Santoso, dan tidak bisa m enjadi Santoso. Saya pun lain dengan tem an lain yang barangkali kurang baik angka rapornya daripada saya; yang sam pai tidak naik kelas m isalnya. Saya pun tidak m ungkin m enjadi tem an-tem an lain itu. Saya m erasa bahwa saya adalah saya seperti adanya, dan orang lain adalah juga orang lain seperti adanya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

110

Bersama Mas Pram

Saya kadang-kadang m erasa m alu, Bapak seorang guru, tapi kepandaian saya sam asekali tidak ada istim ewanya. Pernah, kebetulan Bapak m engajar di kelas saya. Bapak m engajukan pertanyaan tentang pelajaran yang diberikannya m inggu yang lalu. Ditunjuk satu anak untuk m enjawabnya. Tidak bisa. Oleh Bapak saya disuruh berdiri di sam ping bangku. Anak kedua ditanya, juga tidak bisa, juga disuruh berdiri. Begitu terus berturut-turut sam pai ham pir setengah kelas berdiri. Datang giliran saya, aduh, belum -belum pun saya sudah tak bisa m enjawab. Sungguh saya m erasa m alu. Dan lebih m alu lagi ketika giliran m endapat sabetan penggaris di telapak tangan, saya m endapat bagian paling keras dari Bapak! Maka ketika saya m elanjutkan pelajaran di Tam an Dewasa, Tam an Siswa, Kem ayoran, tidak ada m asalah dengan angka pelajaran saya. Angka enam m elulu. Yang penting bagi saya adalah disiplin dalam m engikuti pelajaran. Mengikuti disiplin pelajaran berarti tidak ada m asalah dengan guru, dan yang penting, kita m endapat kesem patan m enghayati pelajaran apapun yang diberikan oleh guru. Maka tidak pernah ada perasaan waswas m enghadapi pertanyaan guru, m enghadapi ulangan, m aupun ujian. Bahwa saya datang dari daerah, Blora, tidak pernah juga m erisaukan saya. Saya yakin tingkat pelajaran sam a antara Blora dan J akarta, karena bapak-bapak dan ibu-ibu guru yang m engatur m asalah ini tentu sudah m em ikirkannya. Yang tidak saya duga adalah bahwa Mas Pram berkepentingan m engetahui m asalah ini. Pada suatu hari dia bertanya: “Bagaim ana pelajaranm u?” “Yaaa, biasa,” jawab saya kaget. “Biasa bagaim ana? Nom or satu nggak?” “Ya, enggak.” “Harus nom or satu! Caram u belajar bagaim ana?”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Saya gelagapan tidak bisa m enjawab. Bagaim ana-bagaim ana? Pertanyaan bagaim ana itu kan sukar dijawab. Apa m aksudnya dengan bagaim ana? Selagi saya m ikir-m ikir bagaim ana cara m enjawabnya, sudah didahului Mas Pram : “Itu gunanya m engulang. Mengulang bukan cum a m engulang! J uga m endului. Mesti m endului pelajaran di kelas. J adi ada di depan. Guru bicara, kita sudah tahu lebih dulu. Liliek begitu nggak?” Bagaim ana m au begitu? Ini saja baru dengar sekarang. J adi, saya lalu m erasa sangat bodoh, karena ternyata ada cara-cara untuk belajar, yang sam pai waktu itu sam asekali tak pernah terpikir oleh saya. Tapi barangkali benar juga yang dikatakan Mas Pram itu. Diam -diam saya bukan hanya m engulang, m elainkan juga m endahului. Tapi m endahului itu kan kalau ada buku pegangannya. Kalau tidak ada, apanya yang didahului? Dan buku pegangan waktu itu sangat langka. Dan untuk m ata-m ata pelajaran ilm u eksakta, yang nam anya m endahului itu sukar sekali, karena berarti m em ecahkan persoalan sendiri sebelum guru m enguraikannya dan sebelum seluruh kelas pernah m endengarnya. Tapi untuk pelajaran yang ada buku pegangannya, m endahului itu m em ang berm anfaat. Buktinya pada waktu ulangan sekarang, Nurbaiti yang duduk di sam ping saya ham pir selalu m enyontek garapan saya. Mungkin karena ia m erasa garapan saya pasti benar atau lebih dekat benarnya. Dan m ungkin angka delapan untuk Aljabar dari Pak Proyo adalah buah dari praktik m endahului itu. Dan angka sem bilan untuk J awa Kuno dikelas satu Tam an Madya dari Pak Atja juga m ungkin buah dari praktik itu. Tidak tahulah.

111

www.facebook.com/indonesiapustaka

Ke rumah Teman Mas Pram

SEPERTI WAKTU kam i diajak bertiga jalan-jalan naik trem ke Kram at, oleh Mas Pram kam i pun diajak berkunjung ke rum ah tem an-tem annya. Maksudnya tentu agar kam i m engenal dan dikenal tem an-tem annya, di sam ping supaya kam i m engenal seluk-beluk J akarta. Begitulah pada suatu sore Mbak Is dan saya diajak berkunjung ke rum ah H.B. J assin di Gang Siwalan No. 3, Tanah Tinggi. Kam i naik dua sepeda: saya dibonceng Mas Pram , dan Mbak Is naik sepeda perem puan Mbak Arvah. Coes tidak ikut. Apa sebabnya, saya tak lagi ingat. Saya m erasa bahwa rum ah yang kam i tuju itu cukup jauh. Tiap kali saya m enyangka bahwa kam i sudah sam pai di tujuan, nam un m eleset. Dan saya tak m em bayangkan sesuatu pun yang m enyenangkan; sekadar m engikuti kehendak Mas Pram . Itu sebabnya barangkali wajah saya waktu itu m enyebalkan. Akhirnya toh kam i sam pai juga di Gang Siwalan. Masuk gang yang ingat saya sem pit, sam pai di rum ah yang kecil, dan ketika tuan rum ah keluar, orangnya m ungil berkacam ata, berkulit keputihan. J assin m enyam but kam i dengan senyum

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

lebar, m enandakan adanya hubungan akrab dan serasi antara Mas Pram dan J assin. Rasanya tak ada urusan khusus Mas Pram dengan J assin waktu itu. Buktinya percakapan hanya sekitar hal-hal um um . Kam i, m ula-m ula Mbak Is, kem udian saya, diperkenalkan kepada J assin. Dan seperti lazim nya, J assin m enanyakan nam a, sekolah, dan kelas kam i. Waktu kam i m enyebutkan nam a kam i, J assin m engatakan: “Nam anya ham pir sam a, ya?” Kam i diam saja. Dan waktu kam i m enyebutkan sekolah kam i, J assin m engatakan: “Muridnya Pak Said, ya?” Kam i pun diam saja, hanya senyum sam bil m enunduk. Saya ingat, kam i sem pat disuguhi teh m anis, yang terpaksa kam i reguk habis waktu kam i bertiga m inta diri tak lam a kem udian. Sam pai di rum ah, saya dan Mbak Is dipanggil Mas Pram . Seperti waktu kam i bertiga dilanjrat gara-gara saya dan Coes lom pat jendela, kali ini kam i berdua harus duduk di hadapan Mas Pram . Belum -belum wajah Mas Pram sudah m enunjukkan ekspresi tak senang yang terpendam . Lho, apa sebabnya? pikir saya sam bil m enunduk. “Kalau berhadapan dengan orang itu jangan nunduk m acam pesakitan!” tudingnya. “J elek sekali kesannya dengan J assin itu! Pandang m atanya! Ngerti?” Tidak ada jalan bagi kam i selain m enjawab: “Ngerti.” Sebetulnya kam i, terutam a saya, tidak m engerti. Dari kecil, dari pewayangan, saya sudah tahu bahwa ksatria ada dua

113

114

Bersama Mas Pram

m acam : yang m ukanya m enunduk (istilahnya kem udian saya ketahui: ruruh), dan yang m ukanya m endongak (istilahnya lany ap). Yang baik adalah yang ruruh, yaitu rendah hati, tidak m enonjolkan diri, seperti Bam bang Prabakusum a dan Bam bang Priyam bada. Yang kurang baik itulah yang lanyap, yaitu tinggi hati, som bong, seperti Bam bang Wisanggeni dan Bam bang Caranggana. Itu sebabnya ada lagu kroncong berjudul “Satria Sejati” yang liriknya: Satria sejati, seorang y ang berjasa, Denganlah rela hati, m enolong sesam any a, Budi dan pekerti serba ram ah dan tam ah, Mem bela dengan brani, jika tidak bersalah. Dan ulangannya:

www.facebook.com/indonesiapustaka

Itulah tabiat seorang satria sejati, Tak pernah som bong, selalu m erendahkan diri. Saya heran sekali dengan pendapat Mas Pram , bahwa kam i harus m enatap m ata orang, yang berarti lanyap. J anggal sekali rasanya bahwa saya harus m enatap m ata H.B. J assin, orang dewasa yang punya nam a, dan terhorm at. Tapi karena saya selalu percaya kepada Mas Pram , m aka pendapat itu sem entara saya sim pan dalam hati. Selanjutnya saya pernah diajak Mas Pram berkunjung ke rum ah Wiratm o Sukito di J alan Cideng Tim ur, ke rum ah Ram adhan K.H. di sam ping J alan Cidurian, ke rum ah Taslim Ali di J alan Kebon Sirih, dan ke rum ah Anas Ma’ruf di J alan Kediri. Nah, ketika bertam u di rum ah Anas Ma’ruf itulah terjadi

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

hal yang lucu. Ketika sedang sibuk m enem ui kam i, lewat orang lelaki dari selatan ke utara (rum ah Anas Ma’ruf m enghadap ke barat, ke bioskop Menteng) m enawarkan dagangannya: “Trei!” “Eh, panggil itu!” seru Anas Ma’ruf spontan kepada pem bantunya. Pem bantunya perem puan tergopoh-gopoh berlari ke luar, m em anggil: “Bang! Sini!” Si Abang segera m em utar sepedanya. “Trei!” serunya gem bira. Anas Ma’ruf diam saja. “Trei, Tuan!” ulang tukang lotre dengan tekanan, sam bil m engibar-ngibarkan lotrenya. “Ha? Lotre? Siapa yang m au beli lotre?” “Tadi? Pem bantu Tuan?” “Ah, jadi ini tadi lotre? Saya kira patri!” Seketika itu keluar kom entar Mas Pram sam bil senyum ironis: “Nah, ngarang deh. Maka itu dengar dulu bunyi patrinya!” Saya pernah juga diajak ke Penerbit Gapura di gedung De Unie, J alan Hayam Wuruk, Penerbit Pem bangunan di J alan Gunung Sahari Raya, dan tentu saja Penerbit Balai Pustaka di J alan Dr Wahidin. Selain itu ke gedung Yayasan Sticusa (Stichting voor de culturele sam enwerking) di J alan Gajah Mada. Sesudah itu sering saya disuruh m engantarkan surat ke ketiga penerbit tersebut, sedangkan ke Yayasan Sticusa hanya untuk m engikuti acara-acara yang diselenggarakannya, seperti pemutaran ilm, pagelaran musik, atau ceramah.

115

www.facebook.com/indonesiapustaka

Belajar Mengetik

SAYA TERMASUK anak yang tak m engenal m esin. Mesin yang pertam a kali saya ketahui kerjanya adalah m esin tik, karena diharuskan belajar m enggunakannya oleh Mas Pram . “Bisa m engetik itu harus!” katanya m em erintahkan. “Dan m esti sepuluh jari, nantinya bisa tutup m ata!” tam bahnya. “Begitu m esin nganggur, pakek belajar!” tutupnya. Untuk itu Mas Pram m enggam bar untuk kam i denah letak toesten m esin tulis. Dan itulah juga untuk pertam a kali saya tahu, bahwa m engetik itu ada aturannya. Saya kira ngawur saja. Toesten dibagi m enjadi dua bagian: untuk tangan kiri dan tangan kanan. Telunjuk tangan kiri m enuding huruf f, selanjutnya tiga jari di sebelah kirinya m enuding ketiga toetsen di kirinya. Telunjuk tangan kanan m enuding huruf j, dan selanjutnya tiga jari di sebelah kanannya m enuding ketiga toetsen di kanannya. J em pol kiri-kanan m enuding ke toets spasi, dan dapat bergantian m enekan toets panjang tersebut. Toetsen di atas dan di bawah toets f m enjadi tanggungjawab telunjuk kiri, dan begitu berturut-turut toetsen di sebelah

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

kirinya m enjadi tanggungjawab jari-jari di sebelah kirinya. Toetsen di atas dan dibawah toets j m enjadi tanggungjawab telunjuk kanan, dan begitu berturut-turut toetsen di sebelah kanannya m enjadi tanggungjawab jari-jari di sebelah kanannya. Sem entara itu barisan toets huruf g ke atas dan ke bawah m enjadi tanggungjawab telunjuk kiri, sedangkan toets huruf h ke atas dan ke bawah m enjadi tanggungjawab telunjuk kanan. Dengan dem ikian seluruh jari, seluruhnya sepuluh, punya fungsi. Yang teringan tanggungjawabnya adalah jem pol kiri-kanan, padahal jem pol adalah jari yang paling kuat, sedangkan yang terberat tanggungjawabnya adalah kelingking kiri, padahal kelingking adalah jari yang terlem ah. Sam bil berlatih m engetik, keletak-keletik, saya suka m ikirm ikir sendiri, apa sebab pem bagian tugas jari-jari itu dem ikian rupa. Seharusnya jari yang kuat diberi tugas terberat, dan jari yang lem ah diberi tugas teringan. Kenyataannya kelingking kiri ham pir selalu bekerja, sebab ham pir tidak ada kata yang tak m engandung huruf a. Cobalah am bil kalim at terakhir ini: dari enam belas kata di dalam nya, cum a tiga kata yang tidak m engandung huruf a, lain-lain kata m engandung huruf a belaka, bahkan kadang-kadang lebih dari satu. Pada waktu pertam a kali belajar m engetik itu, terasa sekali beban jari kelingking kiri itu, pegal, m alahan kadang-kadang sakit. Baru belakangan terpikir oleh saya bahwa itu m ungkin karena pem buat m esinnya bukan orang Indonesia. Seingat saya, m erek m esin tulis Mas Pram waktu itu adalah “Olim pia” kecil. Saya tak tahu buatan negeri m ana “Olim pia” itu, yang penting adalah siapa pem buatnya. Yang jelas, tentunya m esin tulis sudah ratusan tahun um urnya, sem entara bahasa Indonesia belum lagi dikenal. Seandainya penem u m esin tulis

117

www.facebook.com/indonesiapustaka

118

Bersama Mas Pram

itu orang Indonesia, tentunya akan diperhatikan keluhan orang Indonesia ini. Mas Pram , seingat saya, tidak pernah m engontrol sam pai seberapa jauh pelajaran m engetik kam i. Ia rupanya tahu beres: pokoknya harus bisa, dan pada waktunya dapat dim anfaatkan hasilnya. Atau m ungkin ia m engontrol lewat bunyinya, dan itu bisa dilakukan dari jauh. Yang pernah ia berikan petunjuk adalah bahwa setiap kali tangan beristirahat m engetik, letak tangan harus kem bali pada posisi sem ula: jari telunjuk kiri lekas m enunjuk huruf f, dan jari telunjuk kanan m enunjuk huruf j. Dan yang lebih penting dari itu, katanya, duduknya harus tegak, dan harus ada jarak cukup antara m esin tulis dengan badan. “Kalau nggak, bisa bongkok kalian!” katanya m engingatkan. Mas Pram m engetik cepat sekali. Kam i tentunya harus m encapai kecepatan itu pula, dan kam i m em ang berusaha ke arah itu. Pada suatu hari dium um kan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) bahwa RRI m em butuhkan beberapa orang juru ketik, dan yang berm inat supaya datang m elam ar ke gedung RRI di J alan Merdeka Barat No. 4 dan 5. Kam i, Mbak Is dan saya, diperintahkan m elam ar. Sayangnya kam i belum cukup berlatih, sehingga m erasa sendiri bahwa belum waktunya m elam ar jadi juru ketik. Tapi keadaan itu justru baik buat kam i, sebab kalau m engetik kam i baik, dan lulus diterim a sebagai juru ketik, apa kam i harus m eninggalkan sekolah kam i yang baru tingkat SMP? Barangkali juga Mas Pram hanya ingin supaya kam i m encoba kem am puan kam i, sam bil m encari pengalam an. Maka ketika kam i m enerim a

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

pem beritahuan per surat pos bahwa ujian kam i tidak lulus, Mas Pram dan Mbak Arvah hanya tersenyum tanpa m engatakan apapun. Ujian itu sendiri bisa saya ceritakan dem ikian: Untuk m em perebutkan beberapa lowongan sebagai juru ketik itu ternyata yang datang lebih dari tiga puluh orang. Walaupun saya tak ingin jadi juru ketik, banyaknya pelam ar itu m engecilkan hati saya juga. Dan yang m engecilkan hati juga adalah bahwa saya m erasa belum m ahir. Tapi yang paling m engecilkan hati, bahkan boleh dikata m em bikin gentar, adalah bahwa kepada para pelam ar diberikan m esin tulis standar besar yang sudah tua pula, berarti lain sekali dengan m esin latihan kam i. Maka, begitu saya m ulai, saya langsung m em buat kesalahan, dan ketika hendak m em betulkan kesalahan, terjadi lagi kesalahan lain, dan begitu berturutturut. Sejak itu saya yakin tidak m ungkin lulus. Tapi, ya itulah, tetap saja ada bagusnya, yaitu sekarang saya bisa ceritakan, berkat perintah Mas Pram .

119

www.facebook.com/indonesiapustaka

Belajar Mengarang (1)

“BELAJ AR NGARANG, Liek!” kata Mas Pram pada suatu hari. “Nanti dim asukkan Kunang-Kunang.” Kunang-Kunang adalah m ajalah kanak-kanak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Mas Pram jadi redakturnya. Saya tahu itu, karena saya lihat sendiri dia yang m erancang tata letak m ajalah itu, yang kadang-kadang dia bawa pulang. Tata letak itu rancangan letak huruf, foto, karikatur, vignet, dsb. untuk m ajalah, dalam suatu kom binasi yang enak dipandang sehingga pem baca m ajalah m erasa senang m em bacanya. Huruf ada berm acam -m acam : ada yang besar, sedang, kecil, ada yang tegak dan m iring, ada yang kurus dan gem uk, ada yang pakai hiasan dan tanpa, pokoknya banyak m acam nya, dan m asing-m asing ada nam anya. Saya tahu itu, karena saya lihat Mas Pram punya buku khusus dalam bahasa Belanda bertitel Typograie yang m enguraikan m asalah itu. Foto juga begitu, berm acam -m acam . Kadang-kadang foto yang bentuknya persegi atau persegi panjang itu dengan sengaja diguntinggunting, dibentuk sekehendak redaktur. Karikatur dan vignet dipadu dengan tulisan dan foto, sekehendak redaktur juga.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

J adi sebelum m ajalah terbit dalam bentuknya yang biasa itu, sudah ada dalam bentuk rancangan yang dibuat oleh redaktur. Maka bisa dim engerti, kekuasaan redaktur sangat besar dan m enentukan. “Ngarang apa, Mas?” jawab saya. “Apa saja,” kata Mas Pram santai, tapi seperti biasa, dengan penuh m uatan, bahwa kata-katanya pasti dilaksanakan. “Iya, ya, kan di SR dulu kam i pernah disuruh guru m engarang ‘Cita-citaku’. Dan di SMP pernah disuruh m engarang ‘Kejadian yang tak kulupakan’,” pikir saya. Mem ang, untuk dua karangan itu saya hanya m endapat angka enam . Mungkin karena, seingat saya, kedua karangan itu tak m enarik. Saya sendiri pun tak tertarik dan tak suka. Tapi ada dongeng yang diceritakan Bapak di kelas, yang barangkali m enarik untuk diceritakan kem bali. Dongeng itu kira-kira dem ikian: Konon, zam an dahulu, seluruh m akhluk di perm ukaan Bum i ini oleh Tuhan diberi um ur sam a rata, tiga puluh tahun. Sesudah berjalan beberapa waktu lam anya, m anusia datang m enghadap kepada Tuhan. “Ada apa kam u, m anusia?” sabda Tuhan. “Ya, Tuhan, m ohon am pun, saya ada keluhan. Sekarang Tuhan berikan kepada saya um ur tiga puluh tahun. Itu tidak cukup, karena pada um ur dua puluh tahun saya baru bisa m enanam pohon kelapa, dan pohon kelapa itu baru berbuah setelah um ur sepuluh tahun. J adi waktu kelapa tanam an saya m ulai berbuah, saya sudah m ati. Tidak bisa saya m enikm ati hasil tanam an saya sendiri.” “Lalu, apa m aum u, m anusia?” “Tolonglah, Tuhan, um ur saya ditam bah.” Baru saja selesai Manusia bicara, datang kuda.

121

www.facebook.com/indonesiapustaka

122

Bersama Mas Pram

“Ada apa kam u, kuda?” sabda Tuhan. “Ya, Tuhan, saya punya keluhan kepada Tuhan.” “Apa itu?” “Um ur yang Tuhan lim pahkan kepada ham ba itu terlalu banyak, Tuhan.” “Sebabnya?” “Sehari-hari ham ba disiksa oleh m anusia. Disuruh narik gerobak, m em bawa barang yang berat-berat, term asuk m anusia bersam a anak istrinya, kadang-kadang cucu-cucunya. Dan kalau ham ba jalan pelan karena lelah, dicem etinya ham ba, dan kalau ham ba tetap jalan lam bat karena habis kekuatan ham ba, m alah dihajarnya perut ham ba kuat-kuat.” “J adi kam u m inta um urm u dikurangi?” “Ham ba, Tuhan.” Sesudah itu m enyerobot saja datang anjing. “Aduh, aduh, ndak kuat aku kalau begini terus, Tuhaaan!” tangis anjing. “Lho, kam u kenapa, anjing?” “Itu lho, anak-anak Manusia itu jahatnya bukan m ain. Dikiranya kena lem par kayu itu ndak sakit. Eee, m ereka nglem par m alah pake batu. Iya kalau cum a kena kaki, kalau kena m oncongku? Kan nyonyor m oncongku? Kalau kena m ata ini? Kan picek m ataku? Ndak berperikebinatangan anak-anak m anusia itu. J adi, yah, bagaim analah, gitu, Tuhan, baiknya.” “Maum u bagaim ana? Kuda m au pengurangan um ur. Kalau kam u?” “Ya, ya, ya! Aku juga m au itu! Asyik!” Dan tanpa aba-aba apapun juga, m elom pat saja m onyet ke tengah m ereka.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

“Beta juga ada persoalan penting, ya Tuhan! Persoalan beta ini lain dari yang lain. Dan Tuhan pasti sudah tahu. Tapi persoalannya tetap sekitar ulah m anusia dan anak m anusia juga. Masak, ya Tuhan, sudah beta dirantai pinggang beta ini, m asih dijolok-jolok, dicocok-cocok, sam a anaknya si m anusia itu juga. Dan, bayangkan, ya Tuhan, yang dicocok-cocok itu ininya lho! Kan bahaya, bisa-bisa beta....” “Ya sudah, tidak usah m acam -m acam . Kam u m au dikurangi apa ditam bah um ur?” “Ya kurangi atuh. Eeeh!” Singkat kata, karena Tuhan adil, keputusannya pun adil: kuda, anjing, dan m onyet m asing-m asing dikurangi 10 tahun um urnya, m enjadi m asing-m asing berum ur 20 tahun, dan kelebihan tiga puluh tahun itu ditam bahkan kepada m anusia, sehingga um ur m anusia m encapai 60 tahun. Dongeng itulah yang saya pakai sebagai latihan m engetik, dan hasilnya saya sam paikan kepada Mas Pram . Alangkah kaget, dan alangkah gem bira, bahwa ternyata dongeng “saya” itu dim uat dalam Kunang-Kunang. Sungguh m engagum kan bahwa “saya” bisa m endongengkan kem bali, dan dongeng itu bisa dim uat dalam sebuah m ajalah yang dibaca anak-anak di J akarta dan di m ana-m ana. Saya sangat bahagia. Sam pai berulang-ulang dongeng itu saya baca, tidak bosan-bosannya. Dan... pada suatu hari oleh Mas Pram saya dim inta datang ke Balai Pustaka untuk m engam bil honorarium , kata baru yang baru waktu itu saya kenal. Di sana m ula-m ula saya m enem ui Mas Pram , yang lalu m em perkenalkan saya dengan rekan-rekan sekantornya, a.l. kalau saya tak salah ingat,

123

www.facebook.com/indonesiapustaka

124

Bersama Mas Pram

penyair Taslim Ali yang berkam ar sendiri, pengarang Akhdiat Kartam ihardja, pengarang Saleh Sastrawinata, dan sekretaris redaksi Kunang-Kunang Mas Waloejo. Sesudah itu saya diantarkan ke pejabat keuangan, seorang tua beram but jarang beruban yang kam arnya seperti kerangkeng, lengkap dengan kawat pagarnya. Diantar Mas Waloejo, saya m enerangkan akan m engam bil honorarium untuk dongeng yang dim uat dalam Kunang-Kunang. “Siapa nam anya?” tanya bapak beram but jarang beruban. “Koesalah. Koesalah Soebagyo Toer.” Di tengah kawat itu ada lubang persegi, dan lewat lubang itu disodorkan selem bar daftar kepada saya. Bapak itu m enunjuk nam a saya dalam daftar supaya saya m enandatanganinya. Tandatangan saya waktu itu m asih belum ajek, panjang m acam orang bertolak pinggang. Saya senang tandatangan saya diperlukan untuk m enerim a uang untuk hasil kerja saya sendiri. Lim a belas rupiah! Itu tidak sedikit untuk seorang siswa SMP! Dengan uang itu saya bisa naik trem , bisa beli m akanan kalau kepengin, atau m inum an kalau lagi haus. Selanjutnya saya tulis dongeng-dongeng yang lain, saya uraikan cara m em buat m ainan yang pernah saya lakukan sendiri, bahkan dengan gam bar-gam bar yang saya buat sendiri dengan kertas gam bar, tinta dan pena yang saya beli dengan uang saya sendiri. Kadang-kadang saya tulis lelucon dan cerita saya sendiri (tentang piknik m isalnya). Sem uanya untuk Kunang-Kunang, hingga ham pir tiap terbit m ajalah itu m em uat karya saya. Sam pai tiba saatnya Mas Pram keluar dari Balai Pustaka, dan tem patnya digantikan oleh Mas Waloejo, dan tulisan saya m enjadi jarang dim uat.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Belajar Mengarang (2)

BUKAN HANYA kepada saya Mas Pram m enganjurkan belajar m engarang, tapi juga kepada Mbak Is dan Coes. J adi kam i bertiga sudah pernah m enulis, dan sudah pernah tulisan kam i dim uat dalam m ajalah. Ia pun m enganjurkan kam i untuk bertanya kepadanya kalau ada kata-kata atau soal yang tak dim engerti. “Tanya, kalau ada yang sulit!” dem ikian perintahnya. Saya pernah m em baca cerita bergam bar terbitan Balai Pustaka tentang “Perang Aceh” pem berian Mas Pram . Di situ banyak disinggung peranan Marsose yang berperang di pihak Belanda. “Apa itu Marsose?” tanya saya. “Marsose itu pasukan gerak cepat yang dilatih perang antigerilya. Dibentuk oleh J enderal Van Heutsz untuk m enundukkan Aceh,” jawab Mas Pram . ”Itu orang Indonesia?” ”Yang pokok orang Indonesia.” ”Kok orang Indonesia?” ”Ya begitulah. Adu dom ba,” kata Mas Pram santai.

www.facebook.com/indonesiapustaka

126

Bersama Mas Pram

Lain kali, dari buku pelajaran bahasa Prancis pem berian Mas Pram saya m enem ukan kata le hublot, yang diartikan tingkap dalam bahasa Indonesia. (Buku itu rupanya buku pegangan Mas Pram m em pelajari bahasa Prancis di Penjara Bukitduri, dibawa pulang, dan diberikan kepada saya. Saya di SMP sebetulnya belum belajar bahasa itu, tapi karena rasa ingin tahu, saya pelajari juga.) ”Apa itu tingkap?” tanya saya. ”Tingkap itu jendela di kapal atau kapal terbang. Dari m ana kau tem ukan kata itu?” tanyanya. ”Dari buku bahasa Prancis Mas Pram itu.” ”Kau udah belajar Prancis?” ”Belum . Ingin tahu saja.” ”Bagus itu. Kata Prancisnya le hublot, dibaca ublo.” ”Begitu, ya?” Lalu, di J alan Tanah Abang Raya saya lihat ada satusatunya (barangkali) hotel di J akarta yang m em akai nam a ”Hotel Pension”. ”Apa arti Hotel Pension itu?” ”O, itu hotel bulanan.” ”Tinggalnya bulanan?” ”Iya.” ”Bayarnya juga bulanan?” ”Bulanan.” Kadang-kadang Mas Pram m em baca karangan saya, terutam a sesudah saya m ulai m enulis cerita pendek. Pada suatu hari ia m enerangkan perbedaan arti antara “di tengah jalan” dan “di tengah perjalanan” dari tulisan Mbak Is. “Di tengah jalan itu di tengah jalan tem pat orang berlalulintas. J angan jalan di tengah jalan, nanti ketubruk m obil. Di

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

tengah perjalanan itu di tengah perjalanan dari satu tem pat satu ke tem pat lain, m isalnya di tengah perjalanan dari Blora ke Rem bang.” Itu sih soal Mbak Is. Saya sendiri sudah m engerti bedanya. Yang agak serius, pada suatu kali saya m enulis cerita pendek tentang seorang pem uda yang jatuh cinta kepada seorang gadis. Bahannya dari kenyataan diri saya sendiri, tapi akhir cerita saya tutup dengan pem uda itu kena serangan jantung karena bertepuk sebelah tangan. “Ini kok pesim is am attt!” tuduhnya. “Tulis lagi!” Saya kaget m endengar kom entarnya itu. Pertam a, karena tidak m enyangka Mas Pram akan m em baca cerita saya itu. Kedua, saya anggap biasa saja ada orang m engalam i kecelakaan karena cinta. Kan di dunia ini banyak peristiwa: ada yang m enyenangkan, ada yang m enyedihkan. Senang dan susah itu kan biasa dalam hidup. Tidak ada orang hidup senaaang saja, atau sediiih saja. J adi apa salahnya nulis cerita seperti itu? “Mengarang itu penting!” kata Mas Pram m ulai. Diam sebentar. Kem udian: “Kau tahu, apa tujuan m engarang?” Dengan sendirinya saya celingukan m enghadapi pertanyaan itu. Apa sih tujuan m engarang? Ya tidak tahu. Saya kan pertam a kali m engarang karena dorongan Mas Pram sendiri. Dan belum pernah saya m em ikirkan hal itu, kecuali karena senang tulisan dim uat di m ajalah, dan dapat duit! Untuk apa m engarang? “Mengarang itu untuk kem anusiaan!” jelas Mas Pram . Saya, terus-terang, tidak ngerti apa yang dim aksud dengan kem anusiaan. Saya m ikir-m ikir, m em bayangkan apa yang

127

128

Bersama Mas Pram

dim aksud Mas Pram dengan kem anusiaan itu, tapi tidak

www.facebook.com/indonesiapustaka

juga m engerti. Ada sesuatu yang rem ang-rem ang, yang ada hubungannya dengan m anusia, tapi apa itu, tidak bisa saya m enangkapnya. Saya pun tidak m engerti bahwa tujuan m engarang adalah untuk kem anusiaan. Bagaim ana m ungkin untuk kem anusiaan kalau yang saya dapat adalah kesenangan tulisan dim uat, dan kesenangan dapat duit? Apa yang dibicarakan Mas Pram ? Tapi seperti biasanya, apa yang pernah saya dengar dari Mas Pram itu saya sim pan dalam hati, m ungkin pada akhirnya saya akan m engerti, walau selang bertahun-tahun, atau bahkan berpuluh tahun kem udian.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Belajar Membaca (1)

SAYA TIDAK pernah m erasakan m em baca sebagai kewajiban pribadi. Kalaupun saya m em baca, itu karena tugas dari sekolah. Tapi di Kebon J ahe Kober ini saya m ulai m em baca sebagai kewajiban pribadi atas dorongan Mas Pram untuk m enam bah ilm u di luar sekolah. “Orang yang nggak baca, sem pit penglihatannya,” kata Mas Pram . “Baca saja buku-buku yang ada ini,” katanya. Yang dim aksudnya adalah buku-bukunya sendiri yang terjejer rapi dalam satu lem ari buku berpintu kaca dua, dapat digeser ke kiri ke kanan. Buku-buku m ilik Mas Pram ya hanya satu lem ari itulah. Kebanyakan terbitan Balai Pustaka, Pem bangoenan, dan Poestaka Rakyat. Terbitan Balai Pustaka um um nya buku sastra, asli dalam bahasa Indonesia m aupun terjem ahan: prosa, puisi, sandiwara. Ada juga buku sejarah dan buku pengetahuan um um . Sebagian lagi dalam bahasa asing: Inggris dan Belanda. Term asuk buku ensiklopedi tiga buah tebal-tebal, titelnya W inkler Prins, yang sering dibuka dan dibaca.

www.facebook.com/indonesiapustaka

130

Bersama Mas Pram

Kebetulan saya m endapat tugas m enyapu dan m em bersihkan ruang kerja Mas Pram , sehingga tiap kali saya bisa m em buka-buka buku-buku itu dan m engam at-am ati m ana buku yang m enarik. Saya tidak akan m erinci nam a buku-buku itu, karena terlalu banyak. Mula-m ula saya baca buku cerita anak-anak. Ternyata buku-buku itu m enarik dibaca. Terbayang oleh saya, isi buku itu adalah satu dunia tersendiri, yang dengan m udah dapat saya m asuki dengan m em bacanya. Dengan m em baca buku itu saya m erasa m em iliki satu harta besar yang tidak diketahui oleh tem an-tem an sekolah saya, sehingga saya m erasa lebih kaya dari m ereka. Selesai satu buku, saya ingin m em baca buku lainnya, dan begitulah terus-m enerus, sehingga m akin banyak buku yang saya baca, sem akin saya lebih kaya daripada tem antem an saya. Saya ingat, di antara buku anak-anak yang saya baca adalah cerita bergam bar berisi sejarah Perang Aceh yang sudah saya sebut di depan. J uga Kancil y ang Cerdik. J uga Si Dul Anak Betaw i karangan Am an Datuk Madjoindo. Di antara cerita terjem ahan adalah Cerita Pinokio karangan Colodi, penulis Italia, Cerita Iw an Pandir karangan penulis Rusia Leo Tolstoi, dan satu buku tebal yang bikin saya bangga karena berhasil m em bacanya sam pai selesai, yaitu karangan pengarang Prancis Hector Malot bertitel Sebatang Kara. Di tengah kesibukan m em baca itu, pernah Mas Pram m engingatkan: “J angan cum a dibaca. Kalau habis baca, m esti bisa juga ceritakan kem bali!” Wah, ini yang sulit. Cerita sam a siapa? Dan lagi, itu kan m enghabiskan waktu. Biar saja orang yang ingin baca, baca

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

sendiri. Kalau tidak, enak saja orang yang tidak baca itu, tinggal dengar dari orang lain. Bagusnya, Mas Pram tidak pernah m inta saya m enceritakan kem bali isi buku yang habis saya baca. Mungkin karena dia tak punya waktu, atau sibuk dengan pekerjaannya. Tapi m ungkin juga justru karena itu saya tidak biasa bercerita lisan pada siapa saja. Tapi ada satu buku yang m engesankan sekali bagi saya, yaitu cerita yang lebih tebal lagi daripada Sebatang Kara, yaitu Dari Kutub ke Kutub karangan Sven Hedin, m enceritakan petualangan penulisnya yang m elakukan perjalanan dari Swedia sam pai Tiongkok dan J epang yang jaraknya ribuan kilom eter, penuh dengan ancam an alam dan bahaya m aut, bertem u dengan gejala alam yang tidak um um dan binatang liar yang aneh-aneh, dengan kendaraan apa saja yang bisa ditem ui: kapal, gerobak, kuda, troika, dsb. Pengalam an saya sendiri sungguh hanya setitik kecil dibandingkan dengan pengalam an Sven Hedin. Apalah artinya perjalanan terjauh yang pernah saya tem puh, dari Blora ke J akarta, itu pun bertiga, diantarkan pula oleh Mas Djajoes, naik kereta api diseling m akan dan tidur di hotel serta nonton pasar m alam . Saya jadi m alu kepada diri sendiri. Pulau J awa yang panjangnya seribu kilom eter saja belum saya kenal. Saya belum pernah ke m ana-m ana. Tak tahu kota Solo, J ogja, Surabaya. Belum tahu Karang Bolong di pantai Sam udra Hindia, Terowongan Ijo, terowongan paling panjang di J awa, dan Pulau Nusakam bangan di m ana konon tum buh bunga Wijayakusum a. J uga belum tahu pantai Pacitan yang konon bergoa-goa. Saya belum pernah lihat debur om bak Sam udra

131

132

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Hindia yang katanya puluhan m eter tingginya. Saya hanya pernah berm ain di pantai Rem bang yang sangat teduh, bahkan boleh dikata hanya beriak. Aduh, saya ingin sekali tahu sem ua itu. Saya ingin m enengok ujung barat di Ujung Kulon sam pai Sem enanjung Blam bangan di ujung tim ur. Alangkah senangnya kalau saya bisa m em andang pulau garam , Pulau Madura, walau hanya dari jauh, dari pantai J awa Tim ur. Biarlah keinginan saya hanya segitu, dibandingkan dengan keadaan saya sekarang yang hanya nongkrong di Kebon J ahe Kober yang sem pit dan pengap. Tapi keinginan ini saya pendam sendiri. Diam -diam saya ingin nanti, entah kapan, keliling Pulau J awa, naik sepeda, sendiri, dengan cara Sven Hedin, dengan biaya yang bisa saya peroleh sepanjang jalan, entah bagaim ana caranya, sam pai kem put keliling J awa. Berapa bulan ya dibutuhkan waktu untuk itu? Saya tak pernah m enyam paikan keinginan ini kepada siapa-siapa, apalagi kepada Mas Pram . Satu-satunya yang saya ajak bicara adalah Mas Wiek. Dan apa kom entar Mas Wiek? “Kesehatanm u itu nggak m em ungkinkan!” Dan, herannya, saya setuju dengan pendapatnya itu. Yang betul adalah, nyali saya yang tak m em ungkinkan. Hanya bagusnya, kegem aran saya m em baca tidak terhenti karenanya, bahkan sem akin m eningkat.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Belajar Membaca (2)

SESUDAH BANYAK m em baca buku anak-anak, dengan sendirinya saya m em baca juga karya sastra. Dan Mas Pram tidak pernah m elarang m em bacanya, bahkan m em baca apapun. Ia m alah m engatakan, saya perlu baca sajak-sajak Chairil Anwar, yang m enurutnya bagus, terutam a sajak “Aku”, di m ana terdapat kata-kata “Aku ini binatang jalang/ dari kum pulannya terbuang”. J adi saya bacai sajak-sajak Chairil Anwar yang terhim pun dalam – kalau tak salah– Yang Terem pas dan Terkandas. Tidak seluruhnya saya paham i, tapi saya rasakan dalam sajak-sajak itu adanya sem angat hidup yang m enyentak-nyentak dan indah. Tiga Menguak Takdir juga saya baca, him punan sajak tiga orang penyair: Rivai Apin, Takdir Alisjahbana dan Asrul Sani. Mas Pram tidak pernah m enguraikan sajak-sajak itu kepada saya. Rupanya terserah pada saya, kesan apa yang ditim bulkan oleh tiap tulisan. Di antara sandiwara yang saya baca adalah karangan Utuy Tatang Sontani, Bunga rum ah m akan dll., juga kum pulan sandiwara karangan Abu Hanifah Taufan di Atas Asia dan Usm ar Ism ail Sedih dan Gem bira.

www.facebook.com/indonesiapustaka

134

Bersama Mas Pram

Di antara tulisan prosa yang saya baca adalah ceritacerita karangan I Nyom an Pandji Tisna, a.l. I Sw asta Setahun di Bedahulu, Sukreni Gadis Bali, dan Ni Raw it Ceti Penjual Orang, cerita-cerita karangan Ham ka, a.l. Di Baw ah Lindungan Ka’bah, Tenggelam ny a Kapal Van der W ijck, dan kum pulan cerita pendek yang sem uanya sedih, rom an-rom an Nur Sutan Iskandar yang saya rasa sem uanya m em bosankan, tapi saya baca terus karena ingin tahu isinya, dan rom an-rom an Abdul Muis, di antaranya yang sangat m engesankan saya adalah Salah Asuhan. Cerita-cerita terjem ahan juga saya baca, a.l. yang m em ikat adalah Im an dan Pengasihan yang terdiri atas beberapa jilid, karangan pengarang Polandia Henryk Sienkiewicz, kum pulan cerpen karangan Rabindranath Tagore dari India, Tam u dan Cerita-cerita Lain dan Mow gli Anak Didikan Rim ba. Buku karangan orang India juga yang saya baca adalah Dari Panggung Sejarah Dunia karangan J awaharlal Nehru yang kem udian m enjadi Perdana Menteri India, berisi surat-surat Nehru selam a ia ditahan oleh pem erintah kolonial Inggris kepada putrinya, yang kem udian juga m enjadi Perdana Menteri India. Itulah sebagian dari buku-buku yang ada dalam lem ari Mas Pram . Dengan sendirinya akhirnya saya m enggerayang bukubuku lain yang bukan sastra. Saya m ulai baca buku tentang sejarah, pertambangan, psikologi, ilsafat, keluarga berencana, bahkan buku besar tebal tentang kesehatan, sebuah disertasi yang titelnya Ilm u Kesehatan dalam Hukum Sy arak Islam karangan Dr Ram ali. Saya m erasa sendiri bahwa buku-buku itu belum waktunya saya baca. Buktinya, saya tidak m em aham i isinya. Tapi buku ilsafat seperti Alam Pikiran Yunani jilid I

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

dan II karangan Moham m ad Hatta oleh Mas Pram dianjurkan saya m em bacanya. Maka selanjutnya saya pun m em baca buku Pem bim bing ke Filsafat karangan Sutan Takdir Alisjahbana, yang tidak saya mengerti samasekali isinya, juga buku ilsafat karangan orang Belanda Dr Beerling. Saya bahkan m encoba m em baca buku Man en Vrouw yang saya yakin ditulis dalam bahasa Belanda, tapi dengan sendirinya saya tak m engerti isinya. Mungkin Mas Pram m erasa juga bahwa perbendaharaan perpustakaannya terbatas. Maka pada suatu hari ia bicara tentang Perpustakaan USIS yang waktu itu terbuka untuk um um di J alan Segara, yang letaknya kira-kira di depan toko buku Djam batan yang pernah saya sebut terletak di J alan Nusantara. Pada suatu hari saya bersam a Coes singgah di perpustakaan itu. Di sana saya lihat begitu banyak buku tebal-tebal, juga m ajalah, koran, dan brosur. Ada m ajalah berbahasa Indonesia nam un nam anya—kalau tak salah—Inggris, yaitu Miscellany . Ada juga brosur-brosur berbahasa Indonesia yang dapat diam bil oleh pem baca secara cum a-cum a, m isalnya tentang George Washington atau tokoh-tokoh besar Am erika yang lain. Saya senang sekali bisa m engam bil brosur itu, karena dengan dem ikian saya m ulai m em iliki buku sendiri yang bukan buku pelajaran. Pada suatu hari saya m em injam m ajalah anak-anak berbahasa Inggris, dan berusaha m em bacanya. Di situ ada sebuah tulisan tentang beruang beserta potret beruang itu. Tulisan itu saya baca berulang-ulang untuk m em aham i artinya, lalu saya coba m enerjem ahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Hasilnya saya serahkan kepada Mas Pram , yang oleh Mas

135

www.facebook.com/indonesiapustaka

136

Bersama Mas Pram

Pram kem udian dim uat dalam Kunang-Kunang juga beserta fotonya sekalian. Waktu itu Mas Pram m alah bertanya: “Ini beruang bener apa m ainan?” Mem ang beruang itu m irip beruang m ainan. “Kan ceritanya beruang bener?” kata saya. Dan begitulah, Mas Pram m ulai m engerti bahwa saya dapat m em aham i teks Inggris. Mungkin karena itu dia berikan pada saya suatu hari buku berbahasa Inggris, titelnya The History of Our Lord. Pengarangnya siapa, saya sudah lupa. “Ini, baca!” katanya tentang buku kecil berwajah cerah itu. Saya baca, dan alangkah kagum saya, kok saya m engerti? Mem ang tidak sem ua kata saya paham i, tapi saya bisa m enangkap isi ceritanya. Yang hebat sayakah, atau penulisnya yang bisa bercerita begitu baik dengan bahasa yang begitu sederhana sehingga saya yang baru kelas 3 SMP bisa m em aham inya? Yang bikin saya kagum bukan hanya itu, tapi juga berm acam -m acam m ukjizat Yesus Kristus seperti diceritakan dalam buku itu, yaitu waktu ia berjalan di perm ukaan laut, m em bagikan roti kepada ribuan orang dari “seketul” roti saja, m enyem buhkan orang sakit hanya dengan m engatakan “bangkitlah”, dan orang sakit itu pun bangkit. Terbukalah pikiran saya bahwa ada m anusia yang hebat seperti itu, dan ada dunia yang lain daripada yang teraba oleh pancaindera kita ini. Itulah untuk pertam a kali saya tahu bahwa kata Lord di sam ping tuan berarti juga Tuhan, dan Yesus Kristus adalah anak Tuhan. Cerita ini m em buat saya selalu bertanya-tanya: “Apa iya sih?”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Belajar Mengoreksi

TANPA SAYA duga sam asekali, saya diserahi tugas yang sam asekali asing bagi saya, yaitu m engoreksi yang nam anya proefdruk (cetak-coba) buku-buku Mas Pram yang akan diterbitkan oleh Balai Pustaka, a.l. Keluarga Gerily a, dan Gapura, a.l. Pertjikan Revolusi. Ini tentunya pekerjaan korektor di kantor penerbitan. Mas Pram m engam bilnya m ungkin agar ia dapat m engoreksi sendiri secara lebih teliti. Pada gilirannya ia m enyerahkan kepada adik-adiknya untuk m elatih adikadiknya m enguasai keteram pilan baru. Mem ang pekerjaan itu bukan hanya kepada saya diberikan, m elainkan juga kepada Mbak Is. Dengan sendirinya Mas Pram m em berikan contoh dahulu beberapa halam an cara m engoreksi naskah tersebut. Di sam ping itu dia berikan satu lem bar daftar kode cara m engoreksi, diam bil dari buku Typograie yang sudah saya sebut. Seperti diketahui, salah tulis dengan pensil di atas kertas dapat langsung dihapus dengan setip, sesudah itu ditulis kem bali kata yang benar. Dalam hal ini setip harus bersih,

www.facebook.com/indonesiapustaka

138

Bersama Mas Pram

agar kertas tulis juga tetap bersih apabila kata yang salah ditulis kem bali. Kalau setip kotor, biasa dibersihkan dengan m enggosokkannya di perm ukaan kain yang bersih; biasanya celana atau baju sendiri. Kalau salah tulis dilakukan dengan tinta atau potlot tinta, lebih sulit m enghapusnya dengan setip, tapi kadang-kadang toh dilakukan. Kadang-kadang tinta sem pat m erasuk ke dalam kertas, sehingga kata yang salah harus digosok kuat-kuat, dan akibatnya kertas m engalam i aus, bahkan luka dan rusak. Nah, m engoreksi proefdruk ala Typograie tidak perlu serepot itu, karena lebih sederhana, asalkan kita hafal tandatandanya. Tanda-tanda itu tidak banyak; paling-paling dua puluh buah. Tapi dari dua puluh itu ada beberapa tanda yang sering sekali terpakai, m isalnya tanda garis m iring untuk m encoret huruf yang salah dicetak dan m enggantikannya dengan huruf lain. Cara m enggantikannya bukan langsung di dekat tem pat huruf yang salah dicetak, m elainkan di garis pinggir sebelah kanan. Saya ingin m enjelaskan apa yang saya m aksud ini sejelasjelasnya, nam un tanpa m em perlihatkan tanda-tanda yang lazim dalam pengoreksian itu m ustahil kiranya, dan lagi barangkali tidak ada gunanya. Tetapi persoalan m engoreksi bukan hanya m engganti huruf atau kata yang satu dengan huruf atau kata yang lain. Ada m isalnya dua huruf atau kata yang terbalik letaknya, sehingga agar benar letaknya harus dipertukarkan tem patnya. Ada huruf atau kata yang satu m enem pel pada huruf atau kata yang lain, sehingga perlu dipisahkan. Atau sebaliknya huruf atau kata yang satu perlu dipersatukan dengan huruf atau kata yang lain.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Garis baru biasanya dibuat agak m enjorok ke badan teks. Nah, kadang-kadang garis baru itu tidak atau kurang m enjorok ke badan teks. Ada caranya untuk m em buatnya m enjorok. Huruf itu ada ukurannya, yang disebut punt. Huruf yang kecil, kecil juga angka puntnya, begitulah sebaliknya. Kadangkadang di tengah teks dengan huruf 8 punt nyelonong huruf 10 punt; itu harus disam akan. Atau kadang-kadang salah satu kata dalam badan teks perlu dicetak m iring, nah, untuk itu ada huruf-huruf m iring yang istilahnya cursief. Ada juga kasus m unculnya tiba-tiba huruf bodoni nam anya, yaitu huruf yang gem uk, seperti juga m anusia ada yang gem uk, di sam ping yang kurus. Uh, banyak sekali m asalah yang dihadapi oleh seorang kerektor. Itu juga rupanya perlu ditulis buku tebal sekitar 30 0 halam an untuk petunjuk. Dan pekerjaan korektor itu pekerjaan yang penuh tanggungjawab. Kalau sam pai dalam buku terdapat banyak salah cetak, dialah yang m enjadi tum pahan kem arahan pem baca. Maka m engoreksi proefdruk tidak cukup sekali. Sesudah dikoreksi satu kali, proefdruk diserahkan kem bali kepada tukang cetak untuk dibetulkan, dan kadang-kadang pem betulan itu m asih m engandung kesalahan juga dan harus dibetulkan sekali lagi. Begitulah selanjutnya. Makin teliti seorang korektor, tentunya m akin baik. Dari pengalam an m engoreksi proefdruk buku-buku Mas Pram bisa saya sim pulkan bahwa pekerjaan ini sangat tidak m enarik. Keuntungannya adalah bahwa sam bil m engoreksi kita bisa m engikuti ceritanya. Tetapi karena titik perhatian pada koreksian, m aka konsentrasi pikiran terbelah. Tentu saja kadang-kadang ada m asalah yang sulit sekali dipecahkan, karena tidak ada tanda untuknya dalam daftar. Dalam keadaan

139

140

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

itu terpaksa saya bertanya kepada Mas Pram . Ini pekerjaan yang tak saya sukai, karena Mas Pram pun tak suka pekerjaannya diganggu, walau ia selalu m enganjurkan untuk bertanya kalau ada kesulitan. Paling sebal adalah kalau dalam proefdruk terdapat banyak salah cetak, sehingga tanda-tanda koreksian bertum pangtindih, yang kem ungkinan m em bingungkan tukang cetak. Nam un belakangan saya tahu, korektor tidak selam anya berpegang pada apa yang ada dalam buku Typograie, yaitu dengan m engoreksi langsung di tem patnya. Orang-orang seperti itu jelas tidak akan lulus dalam ujian tipograi, walau orang-orang tertentu bisa saja m enenggangnya. Saya kira sebaiknya saya hentikan saja di sini uraian saya tentang m engoreksi ini agar tidak m em buat pem baca bosan lebih lanjut.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram dan Kerja (1)

WAKTU KAMI baru datang di J akarta, Mas Pram bekerja di Penerbit Balai Pustaka. Mem enuhi disiplin kerja kantor pem erintah waktu itu, ia berangkat sekitar pukul 0 6.30 , jadi sekitar setengah jam sesudah kam i bertiga berangkat ke sekolah, dan pulang sekitar pukul 14.30 . Sesudah m akan siang dan istirahat tidur siang selam a dua jam , sekitar pukul 17.0 0 , ia m ulai kerja. “Setan, nggak bisa kerja aku!” dem ikian m akinya sehabis m elepas tam u kalau tam u tersebut sam pai m enyita banyak waktunya sehingga ia tak bisa m engetik. Saya m ula-m ula m erasa aneh bahwa m engetik itu ia nam akan kerja. Dalam bayangan saya waktu itu, orang kerja adalah kerja isik, menggerakkan badan demikian rupa hingga keringat bercucuran. Hasilnya tidak begitu penting untuk saya. Tapi lam a-lam a saya terbiasa dengan istilahnya itu. Lam a-lam a kata ‘kerja’, sesuai dengan pengertian Mas Pram , saya paham i sebagai m elakukan kerja kreatif, dan hasilnya berupa kreasi. Mas Pram dem ikian tinggi m enilai kerjanya, juga waktu yang ia curahkan untuk kerja itu, sehingga lam a-lam a terasa wajar oleh saya kalau ia m em aki: “Setan, nggak bisa kerja aku!”

www.facebook.com/indonesiapustaka

142

Bersama Mas Pram

Yang saya rasa aneh juga m ula-m ula adalah bahwa Mas Pram kew etu (sam pai hati m engeluarkan) m akian dem ikian kepada tam u, walau tam u sudah pergi, sudah tak kelihatan, dan sudah tak m ungkin m endengar m akian tersebut. Saya (dan kam i sem ua anak J awa) dari kecil diajari m enerim a tam u dengan baik. Menerim a tam u dengan baik artinya m enerim anya dengan sopan-santun, m em persilakannya duduk, m enyam butnya dengan percakapan sam pai terlaksana sang tam u m enyam paikan m aksud kedatangannya atau keperluannya, dan kita sebagai tuan rum ah m enanggapi m asalahnya sam pai m asalah tersebut terpecahkan. Kadang-kadang alur percakapan terhenti karena sebab tertentu. Nah, di situ dianggap wajib bahwa tuan rum ah m enem ukan pokok pem bicaraan sehingga alur pem bicaraan bisa berjalan lancar lagi, tidak tersendat sam asekali. Sebagai bagian dari m enerim a tam u dengan baik adalah m enyuguhkan m inum an, dan kalau ada dengan m akanan. Minum an yang paling dihargai untuk tam u dewasa adalah kopi m anis, sudah itu juga teh m anis, dan baru m inum an yang lain. J uga rokok. Ada kalanya tuan rum ah tidak punya persediaan kopi, teh, atau gula, bahkan uang untuk m em beli sem ua bahan itu tak ada. Di situ tuan rum ah dituntut untuk m engusahakannya bagaim anapun caranya, kalau perlu dengan m engutang pada tetangga. Dan ketika tam u akhirnya m inta diri, dianggap baik bila tuan rum ah nguntapake (m elepas atau m engantarkannya) sam pai pintu gerbang. Dan sebelum sam pai pintu gerbang, tuan rum ah harus tetap m enyuguhi sang tam u dengan pokok pem bicaraan, sam pai akhirnya sang tam u benar-benar sudah tidak lagi m enjadi tam u kita. Sem ua itu ternyata oleh Mas Pram diabaikan saja, bahkan dipersetankan. J elaslah bahwa kam i, terutam a saya, m erasa

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

kurang enak m endengar m akian itu, nam un dengan sendirinya juga lam a-lam a terbiasa. Untungnya, m enurut penilaian saya, Mas Pram term asuk orang yang tak banyak didatangi tam u. Tetangga apalagi, sangat jarang m endatanginya, m ungkin karena m ereka m elihat Mas Pram selalu sibuk dengan m esin ketiknya waktu ia ada di rum ah. J adi m akian tadi, walau tidak boleh dikatakan hanya sekali-dua diucapkan, tergolong tidak sering diucapkan. Di antara tam u yang saya ingat pernah datang adalah Ahm ad Djan, penulis cerita anak-anak dari Palem bang, pelukis Zaini, m usikus Am ir Pasaribu, penyair Rivai Apin, penyair Sitor Situm orang. Ajip Rosidi dan S.M. Ardan, penyair dan penulis cerpen yang waktu itu m asih pelajar di Tam an Siswa Kem ayoran, saya yang m em perkenalkan m ereka dengan Mas Pram . Saya ingat, waktu itu pagi sekitar pukul 10 .0 0 , dan m ereka m enunggu sam pai lam a sebelum akhirnya ditem ui oleh Mas Pram yang waktu itu sibuk m engetik. Pada waktu jatuh saat sem bahyang m agrib dan isya, Mas Pram biasanya berhenti m engetik beberapa waktu, untuk kem udian dilanjutkan lagi sam pai sekitar pukul 21.0 0 . Sesudah pukul itu ia m em baca buku, biasanya sam bil tiduran. Dalam hal jadwal waktu Mas Pram , selalu saya katakan “sekitar”, sebab tentu saja jadwal itu bukan jadwal m ati. Hari istim ewa adalah hari Minggu dan hari raya lain. Seingat saya, Mas Pram tidak lam a bekerja di Balai Pustaka, tidak sam pai setahun. Menurut Mbak Arvah, ia tidak kerasan kerja di situ, bahkan sering bentrok dengan rekan kerja, “berantem ” istilah khas Betawi yang baru untuk pertam a kali saya ketahui dari Mbak Arvah. Mbak Arvah bahkan pernah m engatakan bahwa Mas Pram ke kantor m em bawa pisau lipat

143

144

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

dalam rangka berantem . Dalam ingatan saya, m asih terbayang pisau lipat yang m em ang pernah saya lihat itu. Ketika akhirnya Mas Pram m eninggalkan Balai Pustaka, kebanyakan waktunya dia habiskan di rum ah. Siang hari boleh di kata sepanjang hari ia kerja di ruang kerjanya, di luar jam tidur siang. Kadang-kadang, seperti pernah saya singgung, mereka nonton ilm, di gedung bioskop Capitol atau Astoria dekat Pintu Air.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram dan Kerja (2)

SEPERTI SAYA katakan, Mas Pram tidak lam a bekerja pada Balai Pustaka. Dengan dem ikian, sesudah itu sehari-hari dia lebih banyak berada di rum ah. Waktu itulah sering datang tem annya yang bernam a Ahm ad Djan, pengarang buku anakanak dari Palem bang. Saya tahu itu, karena saya m em baca kedua buku yang ditulisnya dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, satu di antaranya bertitel Perang Sum pitan. Menurut saya, kedua bukunya itu kurang m enarik, dan setahu saya tidak pernah dibicarakan orang. Saya tak tahu di m ana Mas Pram berkenalan dengan Ahm ad Djan, m engapa berkenalan, dan untuk apa ia bersahabat dengan orang itu. Orangnya berperawakan gem uk dem pak, tam pak jarang m andi, berpakaian lusuh, berwajah m esum , berm ata m erah seperti orang suka bergadang. Dan yang lebih penting lagi, ia m engesankan sebagai penganggur dan suka m enganggur. Kalau datang, selalu ia banyak om ong dan tidak henti-henti. Kadang-kadang sam pai disuguhi m akan. Bahkan ia sam pai pernah m enginap. Terpaksalah ia disuruh tidur di pelbed, satu dari dua oleh-oleh Mas Pram dari Penjara

www.facebook.com/indonesiapustaka

146

Bersama Mas Pram

Bukitduri. Saya kadang-kadang berpikiran buruk m engenai orang itu, jangan-jangan ia berpenyakit kotor. Tapi anehnya, ternyata Ahm ad Djan adalah kom panyon usaha Mas Pram dalam m endirikan perusahaan iklan. Saya tak punya gam baran apapun m engenai perusahaan m acam ini. Yang jelas, saban hari dari pagi sam pai sore bapak itu— m ula-m ula bersam a seorang tem annya—bekerja di rum ah. Apa kerjanya? Yaitu m em buat tulisan terbalik di atas kaca berukuran sekitar 60 x 40 cm dengan berm acam kata, satu di antaranya yang sangat saya ingat adalah “Dodol Garut”. Dengan sendirinya kaca bertulisan itu m akin lam a m akin banyak. Selanjutnya diapakan kaca-kaca itu, entahlah, karena belum pernah saya m elihat kelanjutannya. Tapi bapak itu saya lihat bekerja dengan sungguh-sungguh, dengan diam , sekali dua kali m akan bersam a Mas Pram dan Mbak Arvah, dan sore hari pulang entah ke m ana, untuk esoknya datang kem bali m eneruskan pekerjaannya. Bagaim ana kelanjutan “perusahaan” itu saya tak pernah tahu. Yang saya tahu, akhirnya bapak itu tak datang-datang lagi, dan kaca-kaca itu pun m enum puk m enjadi sam pah yang m engotori rum ah yang sem pit itu. Nah, selam a ia bekerja itu, dan sesudah kepergiannya, Mas Pram bekerja juga sendiri: m engetik. Tidak ada hari tanpa m engetik. Saya kadang-kadang berpikir, kok ada saja yang diketiknya. Dan kok tahan am at duduk. Mem ang kadangkadang ia bangkit lalu m enyanyi-nyanyi. Saya tahu dua lagu yang disukainya, yaitu “Ave Maria” karya kom ponis Prancis Charles Gounod, dan “Waktu Hujan Sore-sore”, lagu rakyat Maluku. Lagu “Ave Maria” hanya didendangkannya, rupanya karena lagu itu sangat sulit untuk orang biasa yang bukan

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

penyanyi, dan lagi dalam bahasa Prancis. Sebagai selingan ia dendangkan lagu-lagu wals, terutam a karya kom ponis Austria J ohann Strauss. Lagu “Waktu Hujan Sore-sore” dinyanyikannya penuh. Kedua lagu ini term asuk dalam him punan berbagai m acam lagu yang ditulis tangan Mas Pram dalam buku tulis yang diberikannya kepada saya, peninggalan dari Penjara Bukitduri. Rupanya selam a m eringkuk di Bukitduri ia pelajari juga lagu-lagu itu. Kadang-kadang ia bangkit untuk kem udian berjalan m ondar-m andir dalam ruang kerja yang sem pit itu sam bil berpikir. Sudah pada waktu itu saya m erasa bahwa itu bukan kebiasaan orang Indonesia. Belum pernah saya m elihat orang Indonesia m elakukan hal itu. Entah diperolehnya dari m ana kebiasaan itu. Kadang-kadang, hasil ketikan Mas Pram dicabut di tengah jalan, direm as-rem as, dan dicem plungkan ke keranjang sam pah. Mem ang kadang-kadang saya lihat lam a ia berpikir, walau sudah siap duduk di depan m esin tulis, dan baru ia m ulai m engetik. Terkesan oleh saya, waktu itu belum siap ia m engetik

147

148

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

atau m engarang, atau bahkan m em aksakan diri m engarang. Kegiatan itu sering ia selingi dengan m em buka kam us, ensiklopedi, atau buku-buku lain, sehingga sem ua itu bertebaran di atas m eja, kursi, dan balai tem pat tidur dalam ruang kerja itu. Melihat jam kerjanya yang begitu padat, jarang saya m endapat kesem patan untuk m em bersihkan ruang kerja itu: m enyapu dan m elap m eja-kursinya. Tidak jarang barangbarang yang bertebaran itu untuk beresnya saya pindahkan, dan sesudah itu saya ditanya: “Mana kertas yang di sini tadi?” Atau katanya: “J angan suka pindah-pindah buku!”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram dan Kerja (3)

TENTU SAJ A Mas Pram bukan hanya suka kerja otak; ia pun suka kerja isik. Kalau ada barang-barang rusak, ia suka m em betulkannya sendiri, terutam a barang-barang dari kayu. Untuk itu ia punya alat-alat tukang yang terus dilengkapinya. Untuk m em beli alat-alat itu, saya yang biasa disuruh. Sam pai sekarang saya m asih ingat sebuah toko di Pasar Baru, tem pat saya biasa m em beri alat pertukangan itu, seperti palu yang baik (yang pakai kait), pahat lebar dan pahat lengkung, juga serut dari besi. Alat-alat disim pan dalam kotak khusus. Kadang-kadang saya pun m enggunakannya, entah dengan m aksud sendiri, entah karena disuruh. Dan sesudah selesai m enggunakannya, alat harus saya kem balikan ke tem patnya. “Habis pakai harus dikem balikan ke tem patnya!” begitu tekan Mas Pram . Dan ada satu kalim at lagi sehubungan dengan kerja ini: “Kerja itu harus selesai!” Kadang-kadang saya berpikir, betul juga, kerja harus selesai, jangan berhenti di tengah jalan.

www.facebook.com/indonesiapustaka

150

Bersama Mas Pram

Suatu hari Pak Iljas m em utuskan untuk m engganti kertas dinding yang sudah banyak rusak. Seperti sudah saya singgung, dinding bagian atas rum ah ini terbuat dari gedek yang ditem pelkan dari dua arah dengan paku pada kerangka bam bu. Lalu untuk kerapian dan keindahan, gedek itu ditem peli kertas putih yang ukurannya tidak standar, entah di m ana Pak Iljas m em belinya. Kalau kurang, kertas ditam bah dengan kertas tik. Menem pelnya dengan aci encer yang m ula-m ula dioleskan m erata ke gedek, lalu kertas diolesi m erata juga dengan aci hingga kertas itu rapat sekali duduknya pada gedek. Dem ikianlah kertas itu ditem pelkan ke dinding lem bar dem i lem bar, sam pai seluruh gedek tertutup dengan kertas putih. Pada waktu m asih basah, kertas itu tidak sedap dipandang m ata, karena seperti kertas belepotan, tapi sekitar sejam kem udian, ketika sudah kering, kertas itu tam pak rapi dan enak dipandang m ata. Dan kalau sudah kering sekali, baru kertas itu dikapur dengan kapur berwarna, biasanya krem atau cokelat m uda. Kertas dinding seperti itu tahan terpakai sam pai tahunan. Sesudah beberapa tahun biasanya rusak karena kertas itu terkelupas dari gedek, dan itu biasanya karena gedeknya lem bab. Atau karena kertas itu dilubangi tikus yang sering bersarang di dalam nya. Mem ang cara m em buat dinding gedek seperti itu m em berikan kesem patan bagus pada tikus untuk am an bersarang. Nah, dalam kesem patan m enem pel dinding seperti itu, Mas Pram biasanya juga am bil bagian, paling tidak m em berikan contoh kepada saya. Terus-terang, saya bukan tidak senang dengan pekerjaan ini. Dengan m engerjakan hal itu kelihatan sekali bedanya dinding sebelum dan sesudah ditem peli kertas

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

dan dikapur: dinding m enjadi bersih, dan ruangan jadi tam pak cerah bercahaya. Kalau m engerjakannya pada hari Minggu, saya bisa bekerja sepanjang hari, dari pagi sam pai m alam . Pernah saya bekerja sam pai pukul sepuluh m alam , karena tanggung akan m enghentikannya, sam pai Mas Pram berkom entar: “Kuat am at kau kerja, Liek!” Dia tidak m enghentikan saya, walau sudah lewat pukul sem bilan m alam . Mungkin juga kata-kata itu dia m aksud supaya saya berhenti kerja. Yang bikin tanggung itu adalah aci, bukan bidang dinding yang belum ditem peli. Aci harus dihabiskan, sebab kalau tidak, ia akan basi keesokan harinya. Mas Pram tidak pernah saya lihat m ain badm inton, pingpong, apalagi tenis. Menurut penglihatan saya, Mas Pram kerja isik tidak teratur. Dan saya tidak pernah melihatnya langsung melakukan senam atau latihan isik. Tapi saya lihat ia m enyim pan treksando di kam ar tidurnya, jadi m ungkin ia m elatih diri di kam ar tanpa kelihatan orang lain. Karena itu tam pak badannya kekar, walau sepanjang hari duduk m engetik. Dan tidak tertutup kem ungkinan ia m elakukan senam juga di kam ar. Pada waktu Poedjarosm i sudah lahir (18 Oktober 1950 ) sering ia m enjahit pakaian untuk anaknya itu. Yang saya m aksud bukan m enjahit popok atau sebangsanya yang m udahm udah itu, m elainkan kem eja, celana, atau celana panjang. Ia m em bikin pakaian itu dengan m ahir, rupanya sudah terlatih sejak di Blora. Dan dia tam pak m enikm ati kegiatan jahitm enjahit itu.

151

www.facebook.com/indonesiapustaka

Belajar Naik Motor

SEKITAR AKHIR tahun 1951 Mas Pram m em beli sem acam sepeda berm otor, yang waktu itu biasa disebut bromiets atau sepeda kum bang atau m obilette, buatan Belanda m erek “Kapitein”. Kalau tidak salah, pem belian dilakukan dengan m engangsur. Mobilette itu isiknya sepeda, hanya diberi perangkat mesin yang digerakkan dengan bahan bakar bensin. Kekuatannya 50 cc, kecepatan m aksim um 35 km / jam . Kalau kehabisan bensin, kalau m esin m ogok, bisa disetel sebagai sepeda, dan dapat dikayuh dengan kaki. Karena sosoknya sepeda, m aka pengayuhan tidak seberapa berat, walau tetap berat. Tapi karena berm esin, m engendarai m obilette harus dengan izin m engem udi. Beberapa waktu sebelum ada sem acam SIM, Mas Pram m enem pelkan kata “Percobaan” pada pelat nom ornya di depan dan belakang. Sejak waktu itu saya diharuskan ikut m encoba m engendarainya. Cara m engendarai: disetel dulu m esinnya, lalu digenjot kuat-kuat sam pai m esin hidup dan digas. Sangat sederhana. Tapi karena saya m em ang buta m esin, yang sesederhana itu pun susah saya m enguasainya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Pada suatu hari saya ditugaskan m em bonceng Mbak Arvah, entah ke m ana, saya sudah lupa. Tapi seingat saya kam i m enyusuri J alan Tanah Abang Raya, m em belok ke kiri m asuk J alan Museum , di ujung J alan Museum m em belok ke kanan m asuk Medan Merdeka Barat. Nah, sam pai di perem patan teringat ada sesuatu yang ketinggalan, dan harus diam bil dahulu. Maka kam i m em belok ke kanan m asuk J alan Budi Kem ulyaan. Lewat rum ah sakit Budi Kem ulyaan kam i harus m em belok kem bali ke kanan. Di situ ada dua jalan: sebelum sungai, dan sesudah sungai. Karena sebelum sungai saya anggap lebih sepi, saya m asuk jalan itu. Kalau tak salah, jalan itu nam anya J alan Tanah Abang Tim ur. Di ujung jalan itu ada kios es. Karena belum biasa, saya tak lagi m elihat tanda verboden di awal jalan itu. Nah, padahal di kios itu sedang duduk beristirahat beberapa orang polisi lalu-lintas. J elaslah kam i diceg-gem eg (ditangkap dengan m udah) oleh polisi-polisi itu. Suratnya dim inta, lalu seorang di antaranya ny engklak m otornya, dan kam i diperintahkan m engam bil surat itu di hop-biro. Saking bingungnya, saya tak sem pat ngom ong apapun dengan pak polisi itu. Pokoknya m obilette saya genjot balik ke hop-biro yang terletak di Medan Merdeka Barat sam bil m em boncengkan Mbak Arvah. Saya m asih bisa m em bayangkan betapa sengsara saya waktu itu: badan sekurus itu, m em boncengkan Mbak Arvah yang cukup gem uk, dan naik m obilette pula, yang lebih berat daripada sepeda biasa. Syukurlah kam i bisa sam pai di hop-biro, dan Mbak Arvah turun dari boncengan. Dan di sinilah saya akui kehebatan Mbak Arvah, karena m asih di pekarangan depan hop-biro dia sudah

153

www.facebook.com/indonesiapustaka

154

Bersama Mas Pram

sem pat m engobrol dengan seorang polisi lalu-lintas (entah yang tadi m enangkap kam i atau bukan), pendek kata surat m otor itu sudah langsung ada di tangan dia, dan kam i langsung bisa hengkang m eninggalkan para polisi yang “cari m akan” itu. Sam pai sekarang saya tak pernah tanya, bagaim ana m ungkin surat m obilette itu bisa kem bali ke tangan Mbak Arvah. Mas Pram tidak pernah m em perm asalahkan peristiwa itu. Dengan m obilette itu selanjutnya kadang-kadang ia pergi sendiri. Tidak pernah m em bonceng saya, kecuali pada waktu m engajari saya, dan tidak pernah juga m em boncengkan Mbak Arvah. Mungkin karena sepeda kum bang itu kurang begitu nyam an untuk santai berdua. Tidak lam a kem udian m obilette itu diserahkan kepada Pak Iljas. Di tangan Pak Iljas m alahan banyak m anfaatnya, karena Pak Iljas bisa m enggunakannya untuk kulakan ke Pasar Tanah Abang, dan di bongengan m obilette itu bisa dipasang tas besarbesar kiri-kanan untuk barang dagangan. Sebagai gantinya, Mas Pram dapat sepeda m otor sungguhan m erek “Spartak” 150 cc. Itu, yakin percaya, sudah tahun 1954. Dari m ana dia dapat sepeda m otor itu saya tidak tahu. Pokoknya saya diharuskan bisa m engendarainya. Nah, dengan m obilette yang begitu sederhana saja saya m engalam i kesulitan, apalagi dengan m otor dan katanya pakai tali kopling, pakai persneling, dan pakai gas. Bagi saya sungguh tidak m asuk akal hubungan antara kopling dan persneling itu. Maka sam pai lam a saya tidak juga bisa m enggunakannya. Dalam situasi seperti itulah pada suatu hari Mas Pram m engatakan: “Antarkan Mbak ke Kebayoran, Liek! Berani, kan?” “Berani!” jawab saya setengah m antap.

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagaim ana tidak setengah m antap? Saya belum punya rijbew ijs (SIM). Dan yang lebih penting lagi: saya belum tahu bekerjanya m esin! Dan Kebayoran Baru itu dari Kebon J ahe Kober kan tidak dekat? Tapi karena sudah bilang “berani”, ya harus saja jalani. Dan di sini sekali lagi saya puji kehebatan Mbak Arvah, yaitu kok berani diboncengkan oleh saya yang dem ikian keadaannya itu. Tahu tidak, jarak Kebon J ahe Kober-Kebayoran Baru pulangpergi itu saya tem puh dengan.... hanya persneling satu! Minta am pun. Dan sepanjang jalan tidak ketem u dengan polisi “cari m akan”!

155

www.facebook.com/indonesiapustaka

Penyakit TBC

IBU SAYA m eninggal karena TBC, bapak saya m eninggal karena TBC, dan m bakyu saya Koem arjatoen sedang dim akan TBC, dan kini sedang m enularkan TBC-nya pada suam inya, Mas Djajoesm an. TBC m enjadi m om ok besar bagi Mas Pram . Maka tidak heran kalau begitu kam i tiba di J akarta, salah satu perintahnya adalah: “Kalian m esti periksa dokter setengah tahun sekali!” Dan apa hakikat perintah itu? Kam i harus m enyam paikan surat izin sakit ke sekolah, dan esoknya pukul enam kam i harus sudah berangkat ke CBZ (Centraal Burgerlijke Ziekenhuis, kem udian nam anya Rum ah Sakit Um um Pusat, disingkat RSUP) di J alan Diponegoro. Untuk itu kam i naik trem ke Harm oni, ganti trem ke J atinegara lewat Pasar Baru dan Pasar Senen, turun di ujung J alan Diponegoro, dari situ jalan kaki sedikit. Kam i belum tahu tata kerja rum ah sakit itu, jadi sebelum pukul tujuh pagi kam i biasanya sudah sam pai di RSUP, sebelum petugas penerim a pasien datang. Sebentar kem udian m ereka datang, dan kam i pun m endaftarkan diri. Kadang-kadang saja para petugas itu sudah datang, dan kam i bisa langsung m endaftar.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Seingat saya, waktu itu pasien tidak banyak, nam un karena bangku tunggu lebih sedikit lagi, m aka kadang-kadang kam i terpaksa duduk di lantai, m enunggu kedatangan dokter. Dokter kadang datang pagi, kadang siang, pokoknya tak m enentu. Biasanya paling cepat pukul sepuluh, jadi selam a paling sedikit tiga jam , dari pukul tujuh sam pai pukul sepuluh itu, kam i hanya duduk terbengong-bengong sam pai kenyang bosan. Anehnya tidak ada pikiran sedikit pun untuk m engisi waktu. Pikiran disibukkan oleh kem ungkinan penyakit dan kedatangan dokter. Dan ketika akhirnya dokter datang, dan nam a dipanggil, adegannya biasanya dem ikian: “Ada apa?” tanya dokter. “Sakit dada, Pak.” “Buka baju.” Saya m em buka baju. “Di bagian m ana?” “Di sini, Pak,” sam bil m enunjuk bagian dada yang m ana saja. Dokter m em asang stetoskop ke telinga, lalu m enekannekankan lubang stetoskop itu ke dada sam bil sekali-sekali bilang: “Tarik napaaas...” dan kadang-kadang m enekan-nekankannya ke punggung. Sesudah itu ia m engam bil alat sem acam palu, dan dengan alat itu ia m em alu urat di bawah tulang lutut. Karena paluan itu, kaki m endadak m enendang sendiri. Dokter diam saja. “Pakek bajunya.” Dokter lalu duduk m enulis resep. “Am bil obat, ya. Vitam in sekian m acam , dim akan sekian kali sehari, sebelum atau sesudah m akan dsb., dsb.” Nah, obat atau vitam in itu m esti diam bil di apotik rum ah sakit yang cum a ada satu untuk seluruh rum ah sakit. Antrenya

157

www.facebook.com/indonesiapustaka

158

Bersama Mas Pram

m inta am pun—tanpa aturan, tanpa sopan santun, tanpa segansegan. Walhasil sesudah berjam -jam disiksa penantian, kini berjam -jam dianiaya kekurangajaran. Sering pukul dua siang kam i baru dapat vitam in, sesudah tenaga di badan habis, dan lapar dan haus m endera. Sam pai di rum ah ditanya Mas Pram : “Bagaim ana? Dapat obat apa?” “Dapat vitam in!” Sudah. Mas Pram tidak tanya-tanya lagi. Begitulah bertahun-tahun, tiap setengah tahun. Pada suatu kali, salah seorang pam ong Tam an Siswa, Pak Un nam anya, lulus sebagai dokter. Nah untuk beram al kepada m asyarakat ia buka praktik di sebuah ruang kerja yang di J alan Garuda 25 itu, terbuka gratis bagi para siswa. Kesem patan baik bagi saya. Maka pada suatu sore saya pun m encoba m em eriksakan diri. Kebetulan pasien tidak banyak, m aka tanpa lam a m enunggu saya sudah dipanggil. “Salam !” seru saya. “Salam . Ada keluhan apa?” tegur Pak Un. “Sakit dada, Pak!” “Sekarang m asih sakit tidak?” “Sekarang tidak, Pak.” “Ya kalau tidak lagi sakit, tidak usah diperiksa!” Dan Pak Dokter Un itu bergem ing, dengan wajah tidak bersedia berkom prom i sedikit pun. Kurangajar juga dia. Mentang-m entang pam ong, dan m entang-m entang sudah jadi dokter. Keprihatinan Mas Pram ternyata tidak hanya sam pai sekian. Pada suatu kali ia datangkan Mbak Koen dari Blora untuk diobatkan pada dokter spesialis penyakit TBC di J akarta.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Kebetulan waktu itu Mas Pram sudah berhasil m enam bah bangun satu petak rum ah dengan kam ar m andi dan WC-nya, sehingga ada tem pat tidur untuk Mbak Koen. Pada waktu-waktu tertentu Mbak Koen harus diantarkan ke dokter spesialis di J alan Batu Tulis, seorang Tionghoa, dan yang bertugas m engantar adalah saya atau Coes. Perintah Mas Pram : “Nanti di sana hidungnya ditutup saputangan!” J adi begitu datang, selam a m enunggu, dan m eninggalkan tem pat praktik dokter itu kam i selalu m engikat rapat-rapat hidung kam i. Dengan sendirinya kam i selalu m enjadi tontonan orang, tapi karena itu perintah Mas Pram , kam i pikir m em ang begitulah harusnya. Bukan hanya itu. Di rum ah Mas Pram m enegakkan peraturan khusus bagi Mbak Koen, yakni tiap pagi harus berjem ur sebelum pukul sem bilan pagi, harus dim asakkan m asakan khusus, dan alat-alat m akan harus dicuci dan dirawat sendiri. Peraturan itu sungguh-sungguh m enam bah repot kehidupan keluarga. Mungkin peraturan itu baik ditinjau dari sudut kesehatan, tapi dari sudut perasaan, terutam a perasaan Mbak Koen, barangkali tidak dapat diterim a. Karena itu saya lihat dari hari ke hari Mbak Koen kelihatan sem akin sengsara, sehingga bertam bah parah sakitnya, akhirnya ia tinggalkan rum ah kam i dan kem bali ke Blora. Penyebabnya tidak saya ketahui.

159

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Her

SAYA DAN Mbak Is lulus ujian SMP negeri tahun 1951. Saya m eneruskan pelajaran ke Tam an Madya yang setingkat SMA, sedang Mbak Is oleh Mas Pram dim asukkan m enjadi pegawai Balai Bahasa di bawah Kem enterian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, yang waktu itu berkantor di gedung Balai Pustaka, jadi segedung dengan Mas Pram . Alasan untuk m em asukkannya ke sana tentunya dapat diraba, tapi apakah Mas Pram sudah lupa akan cita-citanya m enyekolahkan kam i bertiga, saya tidak m em persoalkannya. Penyakit yang biasa m enjangkiti gadis 18 tahun adalah jatuh cinta atau kejatuhan cinta. Lebih-lebih lagi Mbak Is itu barangkali berwajah cantik m enurut penilaian orang banyak. Buktinya, sejak kecil, di Blora, ia dipanggil para tetangga dengan Ning Ayu. J adi sejak di Tam an Dewasa itu ada saja yang m eliriknya, dan sebagian juga datang ke rum ah. Nah, ketika ia m enjadi pegawai Balai Bahasa itu, sebentar saja sudah terjadi satu dari kedua kem ungkinan jatuh cinta tadi. Siapakah pem uda itu?

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Nam anya Mas Her, yang waktu itu di sam ping m enjadi pegawai Balai Bahasa berstatus sebagai m ahasiswa hukum Universitas Indonesia, putra m antan m antri polisi. Tinggal indekos di J alan J am bu, Menteng, tapi kem udian pindah tinggal di rum ah uaknya di Bogor. J abatan m antri polisi waktu itu cukup terhorm at. Karena itu pula ia bisa m engindekoskan putranya di daerah Menteng, daerah elit di J akarta. Kedudukan Mas Her sendiri sebagai pegawai Balai Bahasa cukup terhorm at, term asuk statusnya sebagai m ahasiswa hukum . Tetapi di m ata Mas Pram barangkali sem ua itu tidak m encukupi. Barangkali ia ingat kata-katanya sendiri: dokter-dokter, m eester-m eester! Karena tinggalnya di Bogor, Mas Her nglaju kereta api Bogor-Gam bir untuk bekerja, dan pada hari Minggu ngapeli Mbak Is. Hari-hari biasa, pukul enam pagi ia sudah berangkat dari Stasiun Bogor, dan hari Minggu pukul sem bilan atau pukul sepuluh ia sudah sam pai di Kebon J ahe Kober, dan paling lam bat pukul enam sore sudah naik kereta untuk pulang ke Bogor. Mas Her bersosok sedang, sim etris, tam pan, bersisir dan berpakaian necis, berpendidikan. Sikapnya galant, correct, walau pendiam . Di antara ciri-cirinya itu, pendiam nya yang paling m encolok bagi saya. J arang saya m endengar suaranya. Dan tahannya duduk itu... m inta am pun. Bayangkan, datang pukul sem bilan pagi, duduk, terusss duduk sam pai pukul lim a sore, dan pada pukul lim a sore teng dia kem bali ke Gam bir. Orang jatuh cinta m em ang berdasar banyak faktor, juga m enanggapi cinta. Dan berdasarkan faktor-faktor itulah cinta itu juga diuji dan diwujudkan.

161

www.facebook.com/indonesiapustaka

162

Bersama Mas Pram

Tadi saya katakan bahwa bagi Mas Pram Mas Her barangkali tidak m encukupi. Dia terlalu orang biasa. Saya pernah m endengar selentingan, entah dari siapa, “banyak dokter dan m eester” itu tadi. Maka seingat saya, tidak pernah Mas Pram njagongi (m enerim a tam u, m engawani tam u) kalau Mas Her sedang apel delapan jam sehari di hari Minggu itu. J ustru proses apel yang dem ikian panjang itu yang barangkali m em buat Mas Pram sebal. Sem entara itu Mas Pram terus sibuk dengan kerjanya. Pada suatu kali saya dengar selentingan lagi, juga entah dari siapa, ancam an Mas Pram kepada Mbak Is: “Putuskan hubungan dengan dia. Kalau tidak, pergi dari rum ah ini!” Mem ang m engherankan yang nam anya cinta itu (hal ini baru saya ketahui kem udian). Cinta kiranya berkaitan erat dengan naluri m em pertahankan diri, m engem bangkan diri, dan m eningkatkan bobot pribadi. Karena itu dia tak bisa dilarang. Nah, penolakan terhadap larangan itu sangat berm acam m acam bentuknya, tapi hakikatnya hanya satu, yaitu m enolak larangan. Bagaim anakah reaksi Mbak Is terhadap ancam an itu? Hal ini rupanya m enjadi rahasia pribadi Mbak Is. Buktinya sam pai sekarang saya tidak m engetahuinya. Yang jelas m ereka tetap bertem u tiap hari Minggu, bahkan kadang-kadang (walau jarang) pergi ke sesuatu tem pat, berdua, atau kadang-kadang m engajak kam i—saya dan Coes. Barangkali prinsip m ereka adalah it’s now or never. Di sini kiranya Mas Pram m em aham i bahwa kenyataan ada di atas segalanya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mimbar Penyiaran DUTA (1)

LULUS DARI Tam an Dewasa tahun 1951 saya m eneruskan pendidikan di Tam an Madya (setingkat SMA) di sekolah yang sam a, yang pelajaran-pelajarannya dilangsungkan sore hari. Karena Mas Pram tidak lagi kerja di Balai Pustaka, saya bisa m enggunakan sepedanya untuk pulang-pergi ke sekolah, jadi tidak perlu lagi jalan kaki. Entah kebetulan atau tidak, beberapa bulan sesudah saya m asuk Tam an Madya, pada J anuari 1952, Mas Pram m endirikan dan m engelola sebuah keagenan seni, budaya dan sastra yang ia beri nam a Mim bar Penyiaran DUTA atau dalam bahasa Inggris Literary & Features Agency DUTA (disingkat L & F Acy DUTA). Keagenan dirancang untuk m enerim a artikel seni, budaya, dan sastra dari para senim an, budayawan dan sastrawan, serta m enyebarkannya kepada m edia cetak (m ajalah dan suratkabar) di Indonesia (J akarta dan daerah) dan luar negeri (Singapura dan Malaya). Keagenan ini saya kira didirikan Mas Pram atas gagasan sendiri, tapi dikom unikasikan dengan beberapa tem an yang waktu itu datang bertam u. Sayang saya sudah lupa siapa saja

www.facebook.com/indonesiapustaka

164

Bersama Mas Pram

tam u itu, tapi perusahaan ini perusahaan pribadi. Apakah tercatat sebagai badan hukum , saya tidak tahu. Kalaupun tercatat, saya tidak pernah m enem ui catatannya. Yang jelas, kop surat dan am plop langsung dicetak dalam tum pukan banyak, dengan cap yang dirancang sendiri dalam bentuk yang agak aneh, yang m enurut citarasa saya waktu itu kurang m enarik: di bawah terdapat tertulis ”DUTA” dengan huruf kapital, di atasnya pintu gerbang m odel Yunani berpilar tiga, dengan latarbelakang gunung m enjulang, lalu di atas gerbang m elengkung tulisan ”Mim bar Penjiaran” dipayungi tengah lingkaran yang serupa ram but m engom bak. Saya tidak diikutkan dalam m enggagas dan m endirikan keagenan ini, dan juga tidak diajak m em ikirkan cara m erealisasikan gagasan tersebut. Tapi saya ditetapkan m enjadi sekretaris dan pelaksana kegiatan praktis keagenan ini. Ini berarti banyak sekali. Pertam a, saya harus m enerim a tulisan/ karangan dari m ana saja (dari Mas Pram sendiri m aupun dari orang lain), lalu m engetiknya di atas sheet. Merupakan hal baru bagi saya bagaim ana m engetik di atas sheet, dan bagaim ana cara m engoreksinya kalau terjadi salah ketik. Nam a-nam a alat pun baru. Dan karangan biasanya m akan beberapa sheet: tiga sam pai lim a lem bar. Kedua, m em asangkan sheet ke m esin stensil yang juga baru buat saya. Mesin diisi tinta khusus, dan diputar hingga m enghasilkan lem bar stensilan, halam an dem i halam an. Untuk itu digunakan kertas khusus stensil yang bisa dibeli per rim . Satu rim biasanya terdiri atas 40 0 lem bar kertas kuarto atau folio (yang seharusnya berisi 50 0 lem bar). Seingat saya, tiap karangan dibuat stensilannya sam pai 50 eksem plar. J adi

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

tiap terbit dibutuhkan kertas sekitar satu rim . Kadang-kadang terbitan m em uat dua karangan sekaligus. Ketiga, lem bar-lem bar karangan disatukan urut halam annya m enjadi satu buletin, dilipat dua kali dan dijepret dengan nices, ditem peli alam at lengkap m ajalah atau suratkabar, dan ditem peli perangko untuk m ajalah atau suratkabar luar kota atau luar negeri. Untuk itu kam i ada daftar nam a m ajalah dan suratkabar. Keem pat, buletin untuk luar kota atau luar negeri dibawa ke kantor pos besar Pasar Baru untuk dicapkan, sedangkan untuk J akarta saya antarkan sendiri per tangan. Untuk itu saya m engarungi J akarta dengan sepeda Mas Pram . Saya tidak ingat lagi seluruh alam at yang saya edari, tapi yang m asih saya ingat antaranya adalah alam at m ajalah Pentja di Nusantara II, m ajalah Siasat di Pintu Air, m ajalah Aneka di Gunung Sahari, m ajalah Garuda di Gunung Sahari III (kalau tak salah), m ajalah Mim bar Indonesia dan kem udian Zenith di Cikini Raya, m ajalah Pem uda di Cikini Raya, m ajalah Pew arta PPK di J alan Cilacap No. 4, m ajalah Duta Suasana di Tanah Abang V. Selain itu buletin didrop juga di kantor Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), di Perpustakaan Museum (dua eksem plar tiap terbit), dan kalau tak salah ingat di Stichting voor de culturele sam enwerking (Sticusa) di J alan Gajah Mada. Di antara m ajalah luar kota yang m asih saya ingat adalah m ajalah Braw idjaja di Surabaya dan m ajalah Pelopor di Yogyakarta. Dan yang di luar negeri saya ingat koran Utusan Melay u dengan huruf Arab gundul yang secara teratur m engirim publikasinya ke DUTA. Kelim a, apabila m ajalah atau suratkabar m em uat tulisan DUTA dan m engirim uang honorarium per wesel pos, saya juga

165

166

Bersama Mas Pram

yang m engam bilnya. Untuk itu saya m em erlukan controlekaart

www.facebook.com/indonesiapustaka

yang m enyatakan saya bisa m engam bil poswesel kirim an untuk DUTA. Kalau m ajalah atau surat karena beberapa sebab tidak m engirim honorarium , padahal m ajalah atau suratkabar itu saya ketahui sudah m em uat tulisan DUTA, m aka saya juga yang m enagih honorarium tersebut ke bagian adm inistrasinya. Keenam , sem ua kegiatan itu m elibatkan uang, dan untuk itu saya harus m enyelenggarakan buku keuangan agar uang yang m asuk dan keluar dapat dipertanggungjawabkan. Beruntung, sem asa di Tam an Dewasa kam i m endapat pelajaran Tata Buku dari bapak pam ong yang sudah lupa saya nam anya, tapi ia m em berikan pelajaran dengan baik sekali. Ketujuh, kadang-kadang datang surat dari m ajalah atau suratkabar atau dari pem baca. Maka saya harus m enyusun surat m asuk dan m em bubuhkan tanggal penerim aan surat tersebut. Kalau surat harus dijawab, saya juga yang harus m enuliskan jawabannya. Di situlah saya harus belajar m em buat berm acam surat, tergantung keperluannya. J adi secara um um saya harus punya m ap khusus untuk surat m asuk dan surat keluar, atau m enyelenggarakan adm inistrasi sendiri. Kegiatan yang berm acam -m acam itu m em ang m enghabiskan waktu saya sebelum setiap hari berangkat ke sekolah, tapi di pihak lain m em berikan pengalam an yang berharga untuk m enangani pekerjaan lain yang lebih luas ruang lingkupnya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mimbar Penyiaran DUTA (2)

SEPERTI SAYA tulis dalam pengantar Menggelinding 1 (Lentera Dipantara, 20 0 4), buletin dengan nam a Mim bar Penjiaran DUTA itu berbentuk stensilan yang keluar aperiodik, bergantung pada m asuknya artikel, dengan dukungan sebuah m esin roneo kecil. Buletin bernom or urut, m em uat satu atau lebih artikel, dan tiap nom or m em uat perm intaan kepada m edia agar apabila m em uat artikel tersebut sudi m engirim kan sejum lah honorarium kepada DUTA. Dengan dem ikian ada kem ungkinan pengarang artikel m endapat honorarium lebih besar. Dalam kenyataan, buletin lebih banyak diisi dengan tulisan Mas Pram sendiri, walau tidak sedikit m asuk tulisan dari penulis lain seperti Haksan Wirasutiksna, Zaini, Am ir Pasaribu, Rivai Apin, dll. Haksan m enulis tentang soal-soal ringan, Zaini pernah m enulis artikel berjudul “Tari Yanko”, Am ir Pasaribu m enulis tentang m usik, dan Rivai Apin tentang soal-soal budaya. Mas Pram sangat produktif waktu itu, dan aktif m engisi buletin, term asuk ketika ia berada di Negeri Belanda antara Mei-Desem ber 1953, ditandai paling dini oleh

www.facebook.com/indonesiapustaka

168

Bersama Mas Pram

“Kapal Gersang” bertanggal Am sterdam , VI-1953, dan paling lat oleh “Tentang Em ansipasi Buaya” bertanggal Am sterdam , XII-1953. Ia m enulis tentang apa saja yang ia rasa perlu ditulis: reportase, wawancara, opini, juga cerpen. Sam butan terhadap DUTA bisa dikatakan m eriah, terbukti dari dim uatnya artikel-artikelnya dalam m ajalah dan suratkabar di J akarta m aupun daerah. Mim bar Penyiaran DUTA hidup dua tahun lebih sam pai awal 1954. Hiruk-pikuk politik peristiwa tahun 1965 dan rendahnya kesadaran orang Indonesia tentang perlunya dokum entasi telah m enghancurkan, bahkan m elenyapkan sebagian besar artikel yang pernah dim uat dalam DUTA. Terbukti, Perpustakaan Nasional yang m ewarisi Perpustakaan Museum Pusat tidak m enyim pan sepotong pun buletin DUTA. Bahkan m ajalahm ajalah yang pernah m em uat artikelnya pun banyak tidak ditem ukan kem bali. Di antara tulisan Mas Pram yang m asih dapat ditem ukan di situ hanyalah: 1). “Sepku”, dim uat oleh m ingguan politik Pelopor, 27 J anuari 1952; 2). “Kam pungku”, oleh Mim bar Indonesia, di m ana term uat kalim at: “Aku sudah tinggal dua tahun di kam pung ini,” berarti tahun 1952; 3). “Galerie Le Canard”, oleh Pem uda No. 10 Th. III, Oktober 1953; 4). “Pak Kasur”, oleh Pem uda No. 12 Th. III, Desem ber 1953; 5). “Bicara tentang basa Indonesia”, oleh Pem uda No. 2 Th. IV, Februari 1954; 6). “Angkatan dan dunianya”, oleh Pem uda No. 1 Th. III, J anuari 1953; 7). “Tentang Angkatan”, oleh Duta Suasana No. 2, 20 -11-1952; 8). “Daya khayal, ketekunan, keperwiraan dan ilm u”, oleh Pem uda No. 1 Th. IV, J anuari 1954; 9). “Kesusasteraan dan perjuangan”, 1952; 10 ). “Mencari sebab-

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

sebab kem unduran kesusasteraan Indonesia m odern dewasa ini”, oleh Duta Suasana No. 25, 10 J uli 1953; 11). “Offensif kesusasteraan–1953”, 1953; 12). “Deinisi dan keindahan dalam kesusasteraan”; 13). “Fam ili Tanus yang buta”, 1953; 14). “Perusahaan-perusahaan m ahasiswa Belanda”; 15). “Ada hum anism e di Oranje Nassaulaan-5” dan “Kom unism e telah m ati bersam a Lenin”; 16). “Sum ber cipta dalam kesenian”; 17). “Sekitar realism e kesusasteraan dan keadaannya di Indonesia”; 18). “Kesusasteraan sebagai alat”; 19). “Rom an dan rom ance”; 20 ). “Prof. Dr Wertheim tentang kesusasteraan Indonesia m odern; kegagalan kesusasteraan Indonesia m odern: kegagalan revolusi”, oleh Pem uda No. 11 Th. III, Novem ber 1953. Tulisan penulis-penulis lain belum ada yang ditem ukan kem bali. Padahal kalau diperkirakan tiap dua m inggu terbit satu nom or buletin DUTA, dalam dua tahun diperkirakan dipublikasi m inim al 50 tulisan. Artinya, yang dapat ditem ukan kem bali hanya kurang dari 40 persen. Sem entara itu tulisantulisan yang dim uat dalam m ajalah atau suratkabar daerah belum dapat ditem ukan sam asekali. Apabila benar ingatan saya bahwa buletin DUTA dikirim juga pada Sticusa, m aka publikasi DUTA tentunya m asih dapat ditelusuri di Negeri Belanda. Sem entara itu kalau dokum entasi Utusan Melay u baik, tentunya m asih bisa ditelusuri lebih lanjut di Kuala Lum pur.

169

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mimbar Penyiaran DUTA (3)

KEGIATAN UNTUK DUTA, walau tidak selalu, banyak m enghabiskan waktu dan energi saya, terutam a apabila sekali waktu saya harus juga m om ong Ros, atau saya harus juga berbelanja ke Pasar Petojo Enclek (yang sem ula saya sangka nam anya Petojunclek, karena cara m enuliskan nam a itu terlalu berdekatan). Saya tak ingat lagi kenapa pada akhirnya Mbak Arvah tidak berbelanja pada tukang sayur yang tiap pagi m engedari kam pung. Kalau tidak salah, jarak m engandung ketiga anak Mas Pram (Ros, Etty, dan Neni) cukup dekat, sehingga Mbak Arvah ham pir selalu kelihatan m engandung, dan juga selalu kelihatan lelah. Bangunnya tidak lagi dini, sehingga pada waktu tukang sayur m engedar ia m asih tidur. Begitu bangun, waktu m atahari sudah benderang, ia lalu duduk di kursi, m em anggil saya untuk m enyuruh belanja. Dan sesudah saya datang, sering ia bertanya seperti kepada diri sendiri: ”Beli apa ya, Liek?” atau ”Masak apa ya, Liek?” Saya tidak pernah m engusulkan ini atau itu, m enunggu saja sam pai akhirnya terpikir olehnya sendiri, akan beli apa atau

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

belanja apa. Kalau belanjaan banyak, saya catat nam a-nam a barang di secarik kertas. Kalau tidak banyak, saya hafalkan saja. Paling kesal adalah kalau sudah selesai belanja, dan tibatiba Mbak Arvah m engatakan: ”O iya, Liek, lupa, belum beli ini atau itu. Gi deh lagi!” Dan saya pun berangkat lagi. Waktu itu belanjaan m asih dibungkus daun pisang, daun teratai, atau kertas koran, dan diikat tali yang dibuat dari gedebok pisang. Cara m engikatnya antik, karena m elibatkan gigi si abang yang diperingiskan. Yang biasa berjualan waktu itu orang lelaki, dan jarang orang perem puan. Di sini saya tak bisa m elukiskan cara m engikat belanjaan itu karena rum itnya. Pasar Petojo Enclek tidak seberapa jauh dari Kebon J ahe Kober, naik sepeda paling delapan m enit. Yang m akan waktu adalah belanjanya, karena saya harus m em arkir dulu sepeda di tem pat yang am an, karena sibuknya penjual m elayani pem beli, dan karena saya harus m elam piaskan kegem aran saya dulu: m akan cendol es yang dikepruk dulu di atas kain gom bal yang kum al. Yang lebih m enghabiskan waktu dan energi adalah m engedari pelanggan DUTA. Ya, bayangkan kalau saya dari Tanah Abang I harus ke Gunung Sahari, kem udian ke J atinegara, kem bali ke Tanah Abang lewat Cikini Raya. Belum m am pirm am pirnya. Sam pai kadang-kadang saya m elam un: ”Alangkah senang kalau saya bisa punya sepeda balap, tentu pekerjaan ini bisa saya selesaikan dengan lebih cepat!” Lebih-lebih kalau saya harus m engantarkan surat yang sifatnya ”m inta honorarium ”, dengan pesan dari Mas Pram : ”Harus ketem u orangnya!” Kalau ada pesan seperti itu, tidak berani saya pulang sebelum ketem u dengan orang yang dim aksud. Saya pernah berjam -jam m enunggu di toko buku Pem bangunan di Gunung

171

172

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Sahari untuk bertem u dengan (kalau tak salah) Sudjatm oko. Mula-m ula waktu saya pakai untuk m elihat-lihat buku-buku yang dipajang di rak-raknya. Waktu itu Pem bangunanlah m em elopori penerbitan pocket-book, buku ukuran kantong dengan bundelan lak, tidak seperti biasanya dibundel jahit. Tapi sesudah sem ua buku dilihat, apa tidak setengah m ati m enunggu orang yang belum tentu akan datang? Tapi untunglah, waktu itu hidung Sudjatm oko nongol, dan saya bisa m em bawa pulang honorarium yang sangat diidam kan Mas Pram itu. Saya pun pernah m enunggu sam pai em pat jam kedatangan Anjar Asm ara di kantornya di De Unie. Berkali-kali saya bertanya pada sekretaris apakah bapak itu sudah datang; m aksud saya, barangkali beliau m asuk dari jalan lain. Tidak juga. Sam pai beberapa kali saya bertekad pulang saja, tapi tiap kali saya batalkan. Tapi syukur juga bahwa akhirnya Anjar Asm ara m uncul, dan dengan sedikit rewel akhirnya dapat m engabulkan perm intaan Mas Pram . Tentu saja pernah juga terjadi saya kehabisan waktu sam asekali, sehingga tak ada kesem patan untuk m enangani DUTA atau yang lain apapun, yaitu ketika tiba saat untuk m enghadapi ulangan. Dalam keadaan seperti itu saya nekat ”kabur” dengan m engatakan akan m engurus DUTA, tetapi dalam kenyataan saya ngendon di bawah pohon di Tam an Chairil Anwar, m engulangi pelajaran yang akan diulangkan sore hari itu. Ke tam an itu juga saya m engungsi untuk m ain bola sendirian atau dengan Coes, kalau lagi rindu berm ain dengan tem an bal-balan di Blora.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Rangkaian Sahabat Sastera

PADA HARI ulang tahun DUTA yang pertam a, J anuari 1953, dibuka cabang penerbitan, yang dim aksudkan m enerbitkan Rangkaian Sahabat Sastera yang ”m enghidangkan kisah-kisah dalam negeri yang baik dan juga kisah-kisah dari kesusasteraan dunia”. Dalam kerangka itu diterbitkan buku pertam a berukuran saku Gulat di Djakarta, karangan Mas Pram sendiri. Buku kecil yang terdiri atas 86 halam an ini dicetak dengan kertas kasar m odel kertas stensil, dengan kulit yang dirancang oleh Ahm ad Djan, m elukiskan dua orang pem uda yang sedang bergulat. Seperti tertera di halam an 4, buku itu dicetak 5.0 0 0 eksem plar. Tapi sam butan pem baca dan dunia sastra waktu itu, saya ingat, agak dingin. Ada pem beritaannya, tapi di m ana saja, perlu dilakukan penelitian tersendiri. Karena itu, pem asarannya pun sangat seret. Saya diperintahkan m em asarkan buku itu kepada penum pang kereta api jurusan Surabaya yang berangkat dari Stasiun Gam bir sekitar pukul 0 5.15. Menurut Mas Pram , para penum pang itu butuh bacaan, dan m em ang biasanya m ereka m em beli suratkabar, m ajalah, atau buku untuk dibaca dalam perjalanan.

www.facebook.com/indonesiapustaka

174

Bersama Mas Pram

J adi, pukul 0 4.30 saya sudah berangkat m engayuh sepeda ke Stasiun Gam bir, m enitipkan sepeda itu, lalu m enjajakan buku kepada para penum pang. Tidak satu pun terjual selam a berhari-hari saya m enjajakan itu, sehingga saya (dan m ungkin Mas Pram juga) putusasa dan kam i (atau terutam a saya) m enghentikan usaha tersebut. Mungkin tidak lakunya, karena saya kurang provokatif dalam m em ikat pem baca, yaitu hanya m engatakan ”Gulat di J akarta! Gulat di J akarta!” sam bil m em perlihatkan kulit buku yang m enurut saya kurang m enarik itu. Mungkin juga karena tam pang saya kurang m eyakinkan sebagai penjaja buku. Saya m enjajakan buku itu bukan hanya di kereta api, m elainkan juga ke toko-toko buku, di antaranya yang saya ingat sekali adalah toko buku di J alan Majapahit (kalau tak salah ingat, nam anya Pustaka Antara), di J alan Pecenongan, dan di ujung J alan Pasar Baru. J uga tak seorang pun berm inat ikut m em asarkannya. Dan, sekali lagi, m ungkin saya penjaja yang buruk, atau bahkan sangat buruk. Yang m engesankan (dan di sinilah kebodohan saya, atau barangkali kengototan saya!), ketika saya m enawarkannya kepada penjual buku yang m enggelar dagangan di em peran J alan Majapahit. Ketika saya tanya pedagang buku itu apakah ia bersedia m em asarkan Gulat di Djakarta, ia m enjawab m au. Apa kalau saya drop sepuluh eksem plar ia tak keberatan, ia tidak keberatan. Dan ia bersedia m enandatangani tanda terim anya. Dari hasil penjualan buku itu ia bersedia m endapat persentase sekian persen. Sem inggu kem udian saya datang untuk m engecek. Pedagang itu bukan hanya tidak m em bayar hasil jualannya, m elainkan bahkan kabur sam asekali entah ke m ana. Ketika

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

saya laporkan kepada Mas Pram pengalam an pahit saya itu, ia hanya diam sam bil m endongakkan rahangnya. Saya tidak tahu hasil pem asaran yang lain, khususnya yang dilakukan oleh Ahm ad Djan dan Mas Pram sendiri. Tapi, bagaim anapun, sebagian buku itu tetap jatuh ke tangan pem baca. Buktinya, sebagian dari yang saya tulis ini bersum ber pada buku Gulat di Djakarta yang saya peroleh dari tangan pem baca. Sebagai nom or dua dari Rangkaian Sahabat Sastera direncanakan terbit karangan pengarang Rusia Ivan Turgenyev, Cinta Pertam a, dan nom or tiga karangan pengarang Rusia juga, Aleksander Pushkin, Ibrahim dan Peter Akbar. Rencana ini, seingat saya, tidak terlaksana. Sebabnya, logisnya adalah karena gagalnya penerbitan buku pertam a. Tapi m ungkin juga karena beberapa bulan kem udian (Mei 1953) Mas Pram berangkat ke Belanda dalam rangka kerjasam a dengan Sticusa.

175

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram ke Negeri Belanda

BULAN MEI tahun 1953 Mas Pram sekeluarga—dengan Mbak Arvah dan dua anak perem puannya Poedjarosm i yang waktu itu berum ur dua tahun dan adiknya Etty Indriarti—berangkat ke Negeri Belanda dengan kapal J ohan van Oldenbarnevelt dari Pelabuhan Tanjungpriok. Beberapa waktu sebelum nya saya diajak ke kantor Sticusa di J alan Gajah Mada. Saya diperkenalkan dengan seorang tuan Belanda yang ditem uinya, yang tidak saya ingat nam anya. Selanjutnya Mas Pram berbicara agak lam a dengan tuan itu dalam bahasa Belanda. Saya hanya m enunggu di sam ping m ereka sam pai akhirnya kam i pulang. J adi saya tidak ada urusan apapun dengan kepergian Mas Pram ke Belanda. Dengan m engajak saja ke Sticusa, barangkali dia hendak m enunjukkan bahwa ada rencananya untuk pergi dan tinggal di Belanda, dan kini rencana itu dalam tahap realisasi. Sesudah itu, di rum ah, ia berpesan supaya selam a ia sekeluarga absen satu tahun lam anya, DUTA tetap saya jalankan seperti biasa. Dan m em ang, walaupun karangan dari pihak lain berhenti m asuk, karangan Mas Pram sendiri bertubi-tubi datang,

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

kadang-kadang dua kali sem inggu. Karangan ia kirim lewat sarana satu-satunya waktu itu, pos. Karangan berupa ketikan di atas kertas doorslag kuarto, dengan pita biru. Kadang-kadang disertai surat tentang apa-apa yang perlu saya lakukan. J adi kepergian Mas Pram ke Belanda tidak m engurangi kesibukan saya dengan DUTA. Seringnya datang surat dari luar negeri ini m enyebabkan saya m ulai m enjadi pengum pul perangko, jadi m engulangi kesukaan saya waktu kecil: m engum pulkan cap rokok. Sesuai pesan Mas Pram , perangko tidak boleh cacat, berarti cara m elepaskannya dari am plop tidak boleh sem barangan, m elainkan dengan m erendam nya di air, m encopotnya, lalu m engeringkannya. Mas Pram m engatakan, perangko luar negeri m ahal harganya. Ia bahkan pernah m enyebut harga yang m enggiurkan. Kata-katanya itulah yang pernah m endorong saya untuk m em bawa sejum lah perangko luar negeri dan m enawarkannya pada pedagang perangko di Pasar Baru yang waktu itu bertindak seperti pedagang asongan, seperti juga pedagang uang asing. Tapi alangkah kecewa saya, karena pedagang itu sam asekali tidak m enghargai koleksi perangko saya, dan sejak itu tidak pernah lagi saya m enawarkan perangko saya kepada siapapun. Di Belanda Mas Pram tinggal di Am sterdam . Walaupun kelihatannya produktif (lihat pengantar Menggelinding I), kelihatannya ia tidak kerasan. Waktu itu saya sudah m erasa bahwa Mas Pram tidak kerasan karena alasan yang sam a dengan waktu ia keluar dari Tentara Siliwangi dan dari Penerbit Balai Pustaka, yaitu ia m esti m enduduki jabatan yang m em buatnya harus tunduk pada sesuatu yang dianggapnya tidak adil, atau m enjadi produsen hal sem acam itu. Situasi dem ikian ini terus

177

178

Bersama Mas Pram

berulang padanya, dan ada istilahnya yang barangkali pas,

www.facebook.com/indonesiapustaka

yaitu ”m asuk ke dalam hirarki, yang harus m enindas ke bawah dan m enjilat ke atas”. Tidak m engherankan kalau sebelum enam bulan (Desem ber 1953) Mbak Arvah, Ros, dan Etty sudah pulang duluan. Waktu itu kam i bertiga ikut sibuk, karena kam i harus m enjem putnya ke kade entah berapa di Tanjungpriok, di tengah ”pesisir” yang m enyem ut banyaknya, dan m em bawanya dengan m obil sewa sam pai J alan Tanah Abang I. ”Pesisir” adalah istilah yang diberikan oleh Pak Iljas. Saya m ula-m ula terbengongbengong m endengar istilah itu. Saya bertanya dalam hati: Apa hubungannya ”pesisir” dengan pesisir? Sesam pai di rum ah, para tetangga datang m engerubung Mbak Arvah, Ros, dan Etty yang baru pulang dari ”Negeri” dan m em bawa oleh-oleh yang waktu itu belum ada di Indonesia: apel! Sem entara itu Ros glelang-gleleng (jual tam pang) sam bil m akan buah ”ajaib” tersebut. Adapun kepulangan Mas Pram , sungguh m ati, saya tidak ingat sam asekali. Kalau tidak salah, dia naik kapal terbang.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Belajar Menerjemahkan

SUDAH SAYA singgung di depan bahwa saya m encoba m enerjem ahkan pertam a kali dari sebuah m ajalah anak-anak yang saya pinjam dari perpustakaan USIS. Mas Pram rupanya m elihat bahwa kem am puan saya di bidang itu perlu didorong. Selain itu kepada saya perlu ditunjukkan buku yang baik untuk dibaca dan diterjem ahkan untuk kepentingan pem baca sastra Indonesia. Buktinya, pada suatu hari ia sodorkan kepada saya buku The Tales of Sebastopol karangan Leo Tolstoi, katanya: ”Ini buku bagus. Terjem ahkan!” Sebagaim ana sudah saya tulis dalam pengantar saya untuk terjem ahan novel Kebangkitan karangan Leo Tolstoi: ”Itu tahun 1952. Dalam bahasa Inggris! Padahal pengajaran bahasa Inggris di sekolah m enengah waktu itu (khususnya di sekolah partikelir!) sungguh m engenaskan. Saya baca. Aduh, tidak m engerti! ”Tapi saya tak putusasa. Dengan uang saku yang langka, saya beli kam us Inggris-Indonesia yang waktu itu sam a juga m engenaskan, terbitan Medan. Buku Tolstoi itu saya baca kata dem i kata. Dan tiap kata yang tak saya m engerti, saya cek di

www.facebook.com/indonesiapustaka

180

Bersama Mas Pram

kam us saya. Pikir saya, kalau saban hari saya buka kam us, lam a-lam a sem ua kata Inggris akan saya lihat artinya, dan saya jadi tahu bahasa Inggris. Tapi aduh! Kam us itu sungguh m iskin. Banyak kata tidak tercantum di dalam nya. Nam un dengan kam us m iskin, tetap saya rangkaikan kata dem i kata, saya coba tangkap artinya, dan saya tuliskan di buku tulis. Di situlah saya m em pelajari arti kata dan gram atika bahasa Inggris. Tidak ada hari tanpa saya m em baca kalim at Tolstoi dan m em buka kam us m iskin itu. ”Sehari saya tam atkan satu kalim at, dua kalim at, tiga kalim at, tergantung dari waktu yang tersedia. Tapi bisa juga terjadi tidak satu kalim at pun tertam atkan. ”Itulah untuk pertam a kali saya m erasa bahwa kalim at Tolstoi sulit, berbelit, berlarut. Tapi itulah juga untuk pertam a kali saya m enyadari adanya keindahan dalam kalim at dan cerita Tolstoi. ”The Tales of Sebastopol” adalah pertelaannya m engenai Perang Krim (1853-1856) di m ana ia ikut am bil bagian aktif. Di dalam perang yang m erupakan wujud persaingan antarnegara-negara besar di Tim ur Tengah dan di m ana Rusia dikeroyok oleh Turki Ottom an, Inggris dan Prancis, dan belakangan juga Austria itu, ratusan ribu m anusia m enjadi korban di m asing-m asing pihak, hingga Tolstoi bukannya berbicara tentang perang khususnya, m elainkan tentang m anusia di dalam perang. ”Tidak terasa, tiga tahun lam anya saya m engaduk-aduk bahasa Tolstoi dalam buku yang hanya sekitar seratus halam an itu tanpa ada hari perei satu kali pun (seingat saya!). ”Itu tahun 1955. Naskah terjem ahannya kem udian saya serahkan kepada redaksi m ajalah bulanan Pem uda terbitan J awatan Pendidikan Masyarakat. Saya yakin terjem ahannya

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

banyak kekurangan, tapi saya m erasa, hasil kerja saya patut juga diuji. Dan naskah itu ternyata dim uat setahun kem udian, berturut-turut, dalam 12 angsuran (Februari 1956-J uni 1957). ”Tahun 1955 itu juga saya tem ukan cerita pendek Tolstoi dalam kum pulan cerita-cerita pendek dunia yang disederhanakan bahasanya (simpliied) terbitan Am erika, dalam Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Saya sudah lupa judulnya dalam bahasa Inggris, tapi itu adalah cerita Bashkir, yang kem udian saya ketahui m erupakan salah satu Republik otonom di Rusia. Sesudah saya terjem ahkan, cerita itu dim uat dalam m ajalah Kisah (di bawah redaktur H.B. J assin) dengan judul ’Manusia tidak begitu banyak m em butuhkan tanah’.” (hlm . xix-xx) Pengalam an saya m enerjem ahkan The Tales of Sebastopol sungguh m enguras tenaga, m elelahkan. Karena itu, untuk m enghibur hati, saya cari cerita dalam bahasa Inggris yang sependek-pendeknya. Dan alangkah senang bahwa ada cerita sependek-pendeknya yang saya m aksud itu. Seperti sudah saya ceritakan dalam buku saya Kam pus Kabelnay a: “Tahun 1957 secara kebetulan saya m em baca cerita pendek Rusia berjudul ‘Vanka’ karangan Anton P. Chekhov dalam terjem ahan Inggris. Cerita itu pendek saja, tapi sangat m engesankan. Apa yang m em buat saya terkesan? Pertam a, kepolosan anak Rusia dalam cerita itu, Vanka, yang sangat m encintai kakeknya. Kedua, lingkungan hidup dan negeri yang dam ai tem pat Vanka dan kakeknya hidup. Dan akhirnya, pengarang cerita itu sendiri, yang telah m am pu m enulis cerita yang begitu indah. Saya pun bertanya kepada diri sendiri: ‘Masyarakat m acam apakah dan negeri m acam apakah Rusia itu? Dan pengarang m acam apakah Chekhov itu?’

181

182

Bersama Mas Pram

”Cerita itu pun saya terjem ahkan ke dalam bahasa

www.facebook.com/indonesiapustaka

Indonesia, saya kirim kan ke m ajalah Sastra di J akarta, dan dim uat. Pem uatan itu m endorong saya untuk m em baca cerita-cerita Chekhov yang lain, yang kem udian juga saya terjem ahkan dan saya m uatkan dalam m ajalah tadi. Sejak itulah saya m encintai Chekhov, kesusastraan Rusia, dan negeri Rusia, di sam ping negeri saya sendiri.” (hlm . 3) Selanjutnya tidak pernah lagi saya berhenti m enerjem ahkan. Saya beranggapan, m enerjem ahkan karya tulis apapun, di bidang apapun, adalah penting kalau suatu bangsa ingin m aju dan tidak ketinggalan dari bangsa-bangsa lain. Dan secara um um , lebih praktis m enerjem ahkan karya-karya tersebut daripada m engajarkan bahasa asing kepada seluruh angkatan pelajar dengan m aksud agar m ereka dapat m em baca dan m em aham inya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Konflik Keluarga

DIAM-DIAM, TERNYATA rum ahtangga Mas Pram m engalam i gonjang-ganjing. Padahal secuil pun tidak pernah saya m endengar pertengkaran m ereka, m elihat sedikit pun wajah m ereka yang m enunjukkan bahwa di antara m ereka telah terjadi keretakan hubungan. Retaknya hubungan itu secara nyata terungkap pada saya lewat peristiwa pada suatu sore. Waktu itu Mas Pram sedang duduk sendiri di depan m enghadap gang sam bil m erokok. Saya berm aksud m enyapu ruangan. Mas Pram m enunjukkan gelagat hendak bicara dengan saya, m enoleh kiri-kanan, seolah hendak m engetahui apakah Mbak Arvah ada di dekat-dekat situ. Sesudah itu ia m enunjuk dengkulnya dengan tangannya yang m em egang rokok, sekaligus dengan anggukan kepalanya, m engatakan dengan nada ditekan: ”Ini nam anya punya bini!” Dengkul kanannya waktu itu tam pak m enjela telanjang, karena celana piam a yang dipakainya sobek m em anjang dari tengah paha sam pai tengah tulang kering. Kalim at itu tentunya m erupakan ekspresi kekecewaan yang sudah lam a m enum puk, dan tiba saat itu kesem patan yang

www.facebook.com/indonesiapustaka

184

Bersama Mas Pram

tepat untuk m elam piaskannya. Tapi kalau diperhatikan lebih seksam a, Mbak Arvah tentunya juga m em iliki kekecewaankekecewaannya sendiri. Sejak pengantin baru di Blora, ia langsung m enyaksikan betapa banyak adik Mas Pram , yang keadaan ekonom inya begitu m orat-Marit. Mbak Arvah m enjadi saksi juga waktu Mas Pram berjanji kepada Bapak, saat beliau sedang sakit keras: ”Rum ah ini akan saya bangun!” Dan Mbak Arvah m enjadi saksi juga waktu di dalam rapat keluarga Mas Pram m em utuskan untuk m em bawa kam i bertiga ke J akarta dan m em biayai pendidikan kam i. Mbak Arvah bukan hanya m enjadi saksi, m elainkan juga m enghayati pelaksanaan sem ua niat Mas Pram itu tadi. Dan sudah saya ceritakan di atas, Mbak Koen pun pernah didatangkan ke J akarta untuk diobatkan pada dokter spesialis penyakit paru-paru. Sem ua itu di tengah ekonom i seorang pengarang yang baru m ulai m enapaki jenjang kepengarangan, dan di m asa itu, ketika apresiasi pem baca sastra nasional belum seberapa, dan pem baca internasional apa lagi, tentunya m erupakan beban berat bagi Mbak Arvah. Maka tidak m engherankan kalau akhirnya ia pernah m engucapkan kalim at ekstra keras kepada Mas Pram , yang seolah m erupakan palu godam bagi putusnya ikatan perkawinan m ereka (saya m endengar kalim at ini dari m ulut Mas Pram sendiri, nam un tidak akan kalim at itu saya tuliskan di sini). Saya kaget m endengar kalim at sekitar celana piam a yang sobek tadi, tapi bungkam seribu bahasa, karena m em ang tidak pernah saya ikut cam pur dalam urusan Mas Pram , lebih-lebih dalam urusan rum ahtangga yang m asih jauh dari urusan saya. Tapi dinilai sepintas lalu, kalim at tadi tentu m engungkapkan proses yang sudah cukup jauh.

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

Dan itu terbukti, karena tidak lam a kem udian kam i bertiga m endapat perm intaan/ perintah untuk m eninggalkan rum ah yang sem pat em pat tahun kam i huni. Bukan hanya saya saja yang tidak ikut cam pur dalam urusan Mas Pram , juga Mbak Is dan Coes. Kam i ditam pung dengan baik selam a em pat tahun dengan rasa terim akasih yang tak terhingga. Kalau sekarang kam i harus pergi, kam i akan pergi, karena itu dem i kebaikan suasana rum ahtangga Mas Pram . Hubungan kam i dengan Mas Pram dan Mbak Arvah tidak pernah terpengaruh oleh hubungan kekeluargaan m ereka, juga hubungan kam i dengan Pak Iljas dan Bu Iljas. Maka pada suatu hari, dengan becak, kam i ram ai-ram ai pindah ke sebuah rum ah petak kontrakan m ilik Haji Daud. Dan dalam hal ini pahlawannya tidak lain tidak bukan adalah... Mas Her! Keteguhannya dalam m encintai Mbak Is terbukti m enjadi blessing in disguise bagi kam i di saat yang m enentukan itu.

185

www.facebook.com/indonesiapustaka

Rumah Kontrakan Haji Daud

RUMAH KONTRAKAN Haji Daud itu terdiri atas enam petak, berdiri kira-kira di belakang rum ah Haji Mam ak (Achm ad) di J alan Rawam angun No. 39, m enghadap ladang kangkung yang di m asa hujan tergenang air dan di m alam hari banyak orang m encari kodok hijau dan m em ancing belut. Kam i tinggal di petak terkanan yang m em iliki halam an depan, belakang, dan sam ping kanan. Kam ar m andi berpetak dua di belakang, di dekat sum ur gali, dan kakus di atas kali kecil yang m engalirkan airnya ke ladang kangkung. Suasana di sekitar m asih kam pung. Rum ah itu terdiri atas em pat ruang: beranda, kam ar depan, kam ar tengah, dapur. Keem pat ruang dihubungkan dengan pintu tem busan um um . Penghuni kam ar tetap, dengan di sana-sini terjadi perubahan kecil: Di beranda kosong, di kam ar depan Mas Sugeng, adik Mas Her, Mas Her, dan saya di lantai, di kam ar belakang Mbak Is dan Coes, dan di dapur pem bantu Sum . Para tetangga yang sekontrakan sem uanya orang Sunda, dan kebanyakan m asih fam ili Haji Daud. Mereka tetangga

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

yang baik-baik. Haji Daud sendiri pun orang baik. Rum ahnya tidak jauh dari rum ah kontrakan. Kadang-kadang ia datang m enjenguk untuk m engetahui keadaan kam i, dan m engajak m engobrol. Waktu itu kantor Mas Her di Pusat Bahasa sudah pindah ke bekas Sekolah HBS di depan CBZ, yang juga m enjadi pusat perkuliahan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sedangkan kantor Mbak Is pindah ke J alan Kim ia No. 12, tidak jauh dari sana. Karena itu m ereka pulang-pergi ke kantor bersam asam a. Mas Sugeng pagi hari kuliah sejarah, dan sore hari m engajar sejarah di SMA Budi Utom o. Coes naik ke kelas 2 Tam an Madya, belajar pagi, dan saya kuliah di J urusan Inggris Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Saya m asuk di jurusan itu karena m erasa tidak m enguasai bahasa Inggris sesudah enam tahun belajar bahasa itu di tingkat SMP dan SMA, jadi bukan karena suka. Beberapa bulan sesudah kuliah, perpustakaan Fakultas Sastra m enawarkan pekerjaan kepada beberapa m ahasiswa lelaki-perem puan yang m au m enjadi student assistant, sem acam relawan di perpustakaan di luar jam kuliah, dengan im balan 125 rupiah per bulan. Uang im balan itu tidak banyak, tapi untuk kantong m ahasiswa, ya lum ayan. Perpustakaan waktu itu dikepalai oleh Ibu Ediati Surasno yang juga m asih berstatus m ahasiswa di situ. Saya m endaftarkan diri, dan diterim a. Ternyata paling tidak ada lim a m ahasiswa lain yang juga diterim a, a.l. Agah Harganda, Machfudi Mangkudilaga, Achadiati Ikram (kalau tak salah), dan Siti Sarwendah. Untuk kam i berenam dibuatkan jadwal tugas, disesuaikan dengan jam -jam kuliah kam i. Tugas kam i pada pokoknya adalah m engam bil dan m engem balikan buku dari dan ke rak buku sesuai urutannya. Kelihatannya

187

www.facebook.com/indonesiapustaka

188

Bersama Mas Pram

sangat sederhana pekerjaan ini. Beratnya adalah kalau buku terletak di tingkat atas, sehingga kam i harus naik-turun tangga. Apalagi kalau buku itu berdebu, atau lagi kalau buku tidak ada di tem pat karena salah m em asukkan. Kalau itu yang terjadi, bisa kam i basah kuyup karena keringatan. Pekerjaan lain adalah m em asukkan buku baru dalam daftar buku besar, m em berikan nom or pada buku, atau—yang paling tidak saya sukai—m em bersihkan rak. Walau dem ikian saya senang bekerja di perpustakaan itu karena suasananya baik sekali. Ibu Ediati seorang kepala yang sangat bijaksana dan m anusiawi. Tidak pernah ia m arah. Kalau m enyuruh, selalu ia dahului dengan kata ”tolong”. Dan sekalisekali ia m borong gado-gado di dekat fakultas untuk m akan bersam a. Saya senang juga, karena di situ saya bisa m em baca buku-buku sastra yang waktu itu sangat langka di toko buku dan perpustakaan, hingga kadang-kadang saya m erasa terlalu banyak m em buang waktu untuk sastra Indonesia daripada untuk bahasa Inggris. Tapi dari m em baca buku-buku sastra itu saya m enulis resensi yang kem udian saya kirim ke m ajalahm ajalah, dan itu m enjadi sum ber lain penghasilan saya. Kadang-kadang saya tem ukan cerita yang saya senangi, dan saya terjem ahkan ke bahasa Indonesia. Kesenangan lain adalah saya bisa m em baca berm acam koran secara gratis, bahkan kadang-kadang m em bawanya pulang. Dem ikianlah, walau lepas dari m engurusi DUTA, m om ong dan belanja, kesibukan saya tidak berkurang. Dan selam a berbulan-bulan tidak ada kontak kam i dengan Mas Pram . Tapi alangkah kaget kam i ketika suatu sore tiba-tiba Mas Pram m uncul di kontrakan kam i. Hari m endung, dan gerim is sudah m ulai.

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

”Aku ikut tinggal di sini!” katanya singkat. Waktu itu ia hanya m em bawa buku-buku dan pakaiannya. Tentu saja tidak ada kata lain daripada ”Selam at datang!” Tanpa diuraikan, kam i pun tahu bahwa rum ahtangga Mas Pram sudah am bruk.

189

www.facebook.com/indonesiapustaka

Menjadi Guru Gadungan

KARENA TULISAN atau terjem ahan saya suka dim uat di m ajalah, dan para pam ong dan siswa Tam an Siswa adalah pem baca m ajalah tersebut, saya dikenal sebagai siswa yang suka m enulis. Itu sebabnya pada suatu hari Pak Said m em inta saya bergabung dalam redaksi m ajalah siswa yang dicetak stensilan, bulanan, Suluh Sisw a. Di situ ternyata sudah ada tem an sekelas saya, Syahm ardan, dan seorang lagi tem an sekelas juga yang nam anya saya sudah lupa. Kadang-kadang tulisan saya m enyerem pet kehidupan sekolah Tam an Siswa dan para pam ongnya. Pada suatu kali, tulisan saya yang m em uat sentilan tajam pada seorang pam ong yang tak saya sebut nam anya dim uat dalam m ajalah Garuda, dan ternyata m ajalah itu dibaca oleh pam ong term aksud. Dan apa akibatnya? Masyaallah! Pam ong tersebut m erasa saya kuliti hidup-hidup, dan ia perlukan waktu tiga perem pat jam belajar itu untuk ganti m enguliti saya (tanpa m enyebut nam a) di depan kelas dari teng m asuk sam pai teng keluar.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Dengan sendirinya saya takut sekali waktu itu kalau-kalau ada akibat yang lebih jauh daripada sekadar kulit-m enguliti. Maka tiga perem pat jam penuh saya m eringkuk seperti tikus kena perangkap. Selam a itu diam -diam saya berharap (walau sia-sia tentunya) tem an-tem an sekelas tidak m engerti apa yang sedang dibicarakan oleh pak pam ong tadi. Tapi anehnya, dan sungguh saya tak paham bagaim ana jalan pikiran pak pam ong, begitu istirahat dan saya keluar kelas, pak pam ong m enem ui saya dan... m inta m aaf telah m em bicarakan saya di depan kelas! Sungguh besar hati dan lapang dada pak pam ong itu, sam pai m ulut saya terkunci tak bisa m engatakan apa-apa selain: ”Sam a-sam a, Pak!” Tapi yang juga tidak saya m engerti dan tidak tahu adalah bahwa sebuah tulisan bisa dem ikian m em buat heboh, walau ruang lingkupnya kecil saja waktu itu. Kejadian ini, dan beberapa kejadian lain, m em berikan pelajaran kepada saya untuk lebih berhati-hati dalam m enulis. Sem entara itu Pak Said rupanya cukup m em berikan perhatian pada kebiasaan saya m enulis. Ketika saya lulus dari Tam an Madya ia langsung m engatakan kepada saya: ”Sekarang ganti Kosala m engabdi pada Tam an Siswa!” Maksudnya saya disuruh ganti m engajar. Aduh! Saya m engajar? Mengajar apa, dan m engajar siapa? Saya ini apa, kok m engajar? Mengajar itu kan ada ilm unya, ada didaktiknya? Apa saya nanti takkan dituduh sebagai guru gadungan? Pendek kata, banyaklah pertanyaan tim bul dalam hati saya. Tapi ya itu, inilah yang dinam akan jalan hidup. Singkat kata, setahun sesudah keluar Tam an Madya saya harus

191

www.facebook.com/indonesiapustaka

192

Bersama Mas Pram

m engajar Tam an Madya kelas 1 dan 2 untuk m ata pelajaran Kesusastraan Indonesia, sem inggu sekali. Rupanya begitulah tradisi di Tam an Siswa: Siapa dianggap bisa m enerapkan sistem am ong, dia dim inta tenaganya untuk ikut m em bantu. Untung waktu itu ada buku pegangan Kesusasteraan Indonesia tulisan Basariah Sim orangkir-Sim andjuntak jilid I dan II, dan karangan Zuber Usm an, di sam ping karangan A. Teeuw, Pokok dan Tokoh, yang sem uanya pernah saya baca dan pelajari selam a belajar di Tam an Madya. Dengan sendirinya yang saya pakai pokok pegangan adalah karangan Basariah yang m enjadi pokok pegangan kam i juga: jilid I untuk kelas 1, jilid II untuk kelas 2. Waktu itu saya m asih m em akai celana pendek, dan badan saya kecil-kurus, sedangkan sebagian siswa sudah m enjadi pegawai pem erintah atau swasta di pagi hari. Tapi tentu saja saya harus tabah. Dan dalam m engajar saya lebih banyak m engandalkan naluri. Tiap kali m engajar saya m em injam celana panjang Mas Pram yang katanya ia beli di Hongkong waktu singgah di sana. Celana gabardin itu terlalu panjang dan longgar, sehingga harus saya sabuki baik-baik supaya tidak m erosot. Akhirnya, karena selalu saya pinjam , celana itu saya ”nasionalisir”, dan selanjutnya m enjadi m ilik saya. Mem ang ada saja yang m au m enguji pengetahuan dan kem am puan saya dalam m engajar, tapi setahu saya, tidak ada yang m engecewakan saya. Pada suatu hari Mas Pram bertanya: ”Bagaim ana ngajarnya?” ”Biasa saja.” ”Sudah terjadi perdebatan belum ?” ”Ya sudah.”

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

”Menang nggak? Kalau berdebat harus m enang.” Saya m enjawab sudah karena waktu itu teringat oleh saya siswa bernam a Ud. Saya m enerangkan apa yang nam anya susastra. Susastra adalah tulisan yang indah, jadi susastra adalah sejenis kesenian, suatu karya yang m engandung keindahan. Selanjutnya saya berikan contoh-contoh lain bentuk kesenian. Waktu saya beri kesem patan kepada siswa untuk bertanya, Ud m engajukan pertanyaan: Bunga itu kesenian atau bukan? Saya jawab, kalau Tuhan kita anggap sebagai m anusia, m aka bunga itu term asuk kesenian, sebab yang kita bicarakan adalah karya m anusia. Kalau ditim bang baik-baik, tentu saja kasus ini belum boleh dinam akan perdebatan, paling-paling unsur kecil perdebatan, begitulah. Tapi yang penting barangkali prinsip yang dikem ukakan Mas Pram itu. Mungkin, itulah prinsip dia.

193

www.facebook.com/indonesiapustaka

Makna Perkawinan

AGAR BISA nyam an, Mas Pram m engerahkan tukang kayu untuk m enutup dinding depan beranda, dengan jendela di tengah, dan di kiri-kanan jendela dibuat rak buku m asingm asing terdiri atas lim a saf. Untuk tidur ia beli seperangkat ranjang besi, dan untuk ”kerja” sudah ada m eja kodian beserta kursinya. Di beranda yang sem pit itulah kini tiap hari ia ”kerja”. Sem ua penghuni punya kesibukan m asing-m asing m enurut waktu m asing-m asing, tapi ada hari istim ewa ketika seluruh keluarga kum pul di kam ar belakang untuk m enikm ati m akan siang dan m alam . Dalam acara seperti itu sem ua duduk di dua bale kiri-kanan, yang pada m alam hari m enjadi tem pat tidur Mbak Is dan Coes. Dalam kesem patan seperti itu ada saja kom entar Mas Pram tentang m asakan hari itu. Saya ingat, yang paling dikom entarinya adalah sayur asam dipadu dengan sam bal terasi pedas dan goreng tem pe ham pir kering. ”Masaknya berhasil!” katanya. Pada suatu hari, ketika kam i baru saya m ulai m akan, m asuk seekor kucing yang rupanya m erasa m enjadi penghuni rum ah petak, karena itu m inta juga bagiannya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

”Ngeong! Ngeong!” kata sang kucing, yang lalu m enggelibeti kaki para pem akan. Mas Pram term asuk yang digelibeti. Maka, jangan tanya dosa, kucing seketika itu juga dicengkam tengkuknya oleh Mas Pram dengan tangan kiri, dan dilontarkan ke luar jendela (kam ar belakang itu berjendela). Kucing m elayang di udara, dan jatuh di peceren yang sedang hitam airnya. ”Blakkk!” bunyinya, dan seketika si kuning-putih itu pun m enjadi hitam oleh peceren. Tapi dasar kucing, ia rupanya tak m engerti dibenci Mas Pram . Ia m asuk kem bali ke rum ah lewat pintu depan yang kebetulan dibiarkan terbuka, dan: ”Ngeong! Ngeong!” lagi. Kali itu saya terpaksa beraksi dengan sapu lidi. Pintu saya tutup sehingga kucing cum a bisa berngeong-ngeong di bawah jendela. Nah, di rum ah itu pula Mas Pram sesekali m endapat tam u pacar yang rupanya sem entara itu sudah dia dapat, wanita cantik Indonesia tapi berkulit putih. Keistim ewaannya adalah suka m em bawa rantang panjang berisi m asakannya sendiri yang m em ang istim ewa. Dengan sendirinya Mas Pram tam pak bahagia m endapat kunjungan pacar. Saking bahagianya, kadang-kadang tak tertelan m asakannya. Maka kam ilah yang ganti bahagia dapat m enyantap m asakan istim ewa itu. Rupanya Mas Pram pun sudah sem pat beberapa kali m engadakan kunjungan balasan kepada pacarnya itu. Buktinya, ia sem pat m em uji di depan kam i kebersihan dan kerapian rum ah pacarnya itu. ”Kalau cari istri, perhatikan rum ahnya, bersih dan rapi enggak!” dem ikian katanya yakin dengan m aksud nuturi. ”Dan, jangan kawin sam a orang Sunda!” tam bahnya.

195

www.facebook.com/indonesiapustaka

196

Bersama Mas Pram

”Apa itu bukan diskrim inasi?” jawab saya, dalam hati cum a. Pada suatu hari pacar Mas Pram datang lagi, lengkap dengan rantangnya. Entah apa yang ada di benak Mas Pram kali itu, sehingga beberapa waktu kem udian dia bilang kepada saya: ”Ikut nonton yuk, Liek!” Maksud Mas Pram m enonton di bioskop Metropole yang waktu itu memutar ilm Amerika Million Dollars Merm aid yang dibintangi Esther William s yang terkenal cantik dan m enggiurkan. ”Saya nggak suka pertunjukan kem ewahan,” kata saya. ”Ya, tapi itu kenyataan hidup. Harus dilihat,” jawab Mas Pram . Pendek kata, saya kem udian ikut berangkat naik becak pulang-pergi untuk pertunjukan sekitar pukul 16.0 0 . Dengan sendirinya saya duduk di tengah, ny em pil di antara m ereka berdua. Habis pertunjukan sudah sekitar pukul 18.30 , hari m ulai gelap. Ndilalah di rum ah hanya ada pem bantu. Saya buru-buru m em bawa lam pu teplok ke depan agar m ereka tak kegelapan. Begitu saya nyalakan lam pu, alangkah kaget saya: Mas Pram sedang nguy el-uy el pacarnya di ranjang. Dengan sendirinya saya langsung m undur teratur. Peristiwa itu m enunjukkan bahwa perpacaran m engalam i kem ajuan pesat. Saling kunjung sem akin sering. Kadangkadang saya atau Coes disuruh m engantarkan surat atau yang lain ke rum ah sang pacar, sehingga kam i pun m enjadi kenal dengan keluarganya. Akhirnya hubungan diresm ikan dalam bentuk pernikahan tanggal 19 Februari 1955. Saya ingat,

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

pernikahan dilakukan sore hari. Tidak banyak tam u yang hadir. Tapi di antara tem an Mas Pram saya ingat betul hadir Ram adhan K.H., Nugroho Notosusanto, Rd. Lingga Wishnu M.S., Sobron Aidit, S.M. Ardan, dan Sukanto S.A. Kam i sekeluarga datang ke acara itu. Usai pernikahan turun hujan deras, konon suatu pertanda baik. Kendati dem ikian, beberapa waktu sebelum nya Mas Pram sem pat berkata: ”Kawin sam a saja dengan berak!” Saya kaget m endengar itu. Taruhlah, m em ang benar ucapan itu, tapi bagaim anapun kurang enak hal itu diucapkan. Tapi seperti biasa, saya hanya diam , tapi m encatatnya dalam ingatan. Saya bahkan pernah m endengar ia m engatakan: ”Kalau ini juga nggak beres, aku buang juga!”

197

www.facebook.com/indonesiapustaka

Rumah Kontrakan Pak Ja

SESUDAH KAWIN untuk yang kedua kalinya, ada beberapa waktu lam anya Mas Pram tinggal di rum ah m ertua. Sem entara itu Pak J a yang rum ah kontrakannya tak jauh dari rum ah kontrakan kam i m em buat satu petak tam bahan yang dicadangkan untuk Mas Pram . Rum ah itu terletak di belakang toko Haji Dulok (Haji Dullah) di pinggir J alan Rawam angun. Karena tanah untuk m em bangun petakan itu tidak m encukupi (dan itu pun sudah dengan m em bongkar sebuah rum pun bam bu), m aka petakan itu berbentuk segi tiga, m engerucut ke belakang, terdiri atas tiga ruangan: ruang tam u dengan kawat pagar di depan, kam ar tidur, dan dapur. Lantai dari tanah, yang belakangan dipelur. Kam ar m andi dan WC bersam a seperti yang lain. Di situlah kem udian pengantin baru itu tinggal. Tahun 1955. Tahun ingar-bingar kam panye pem ilihan um um pertam a. Waktu itu, seperti telah saya singgung, kadangkadang saya m em bawa pulang koran dari perpustakaan, m ana saja di antara koran yang sedang tersedia: Indonesia Ray a, Duta Masy arakat, atau Harian Raky at. Karena Mas Her berlangganan Pedom an, saya tidak m em bawanya pulang.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

Di rum ah koran itu saya baca, dan dibaca juga oleh anggota keluarga yang lain, term asuk Mas Her. Esoknya saya bawa kem bali ke perpustakaan. Saya m endapat kesan bahwa Mas Her tidak m enyukai Harian Raky at. ”Koran apa ini!” dem ikian kom entarnya negatif. Saya tidak peduli waktu itu dengan aliran koran-koran itu, tapi lam a-lam a, karena sering m em bacanya, tahulah saya kenapa Mas Her tidak m enyukai Harian Raky at, yaitu karena harian ini organ PKI, sedangkan Mas Her adalah sim patisan PSI, dan kedua partai itu berm usuhan. Dari m ana saya tahu bahwa Mas Her sim patisan PSI? Dari tanda gam bar partai itu yang sering dibawanya pulang, dan dari cerita-ceritanya, m isalnya tentang Ketua PSI waktu itu, Sutan Sjahrir, yang sangat disanjungnya. Selam a m asa kam panye itu Mas Her sering sekali rapat, dan pulang m alam . Dan pulang rapat suka langsung m enem pelkan tanda gam bar PSI di m ana-m ana, term asuk di dinding kam ar m andi kam i. Perlu saya ceritakan bahwa m asing-m asing kam i di rum ah itu punya sepeda, kecuali Mas Sugeng. J adi seluruhnya ada em pat sepeda di rum ah itu, yang tiap m alam harus ikut m em enuhi rum ah itu. Pada m alam yang naas, ndilalah seorang tem an saya m enitipkan sepedanya kepada saya, karena dia sudah lelah dan berm aksud pulang naik becak saja. J adi sepeda tem an itu ikut m enam bah penuhnya rum ah kam i. Tengah m alam , ketika kam i sudah tidur, Mas Her pulang dari rapat, dan langsung m enanyakan sepeda siapa yang m enghalangi jalan itu. Saya yang segera terbangun m enjawab bahwa itu sepeda tem an saya.

199

www.facebook.com/indonesiapustaka

200

Bersama Mas Pram

”Kenapa di sini?” tanyanya sengit. ”Dia titip, karena sudah lelah,” jawab saya. ”Apa nggak tahu rum ah sudah sem pit? Kenapa dipenuhi lagi?!” ”Dia titip cum a m alam ini, Mas.” ”Aaaah! Ndak bisa! Keluarkan!” ”Keluarkan ke m ana? Ini kan m alam ?” ”Keluarkan!” Saya tidak berm aksud m enjelek-jelekan ipar saya yang sudah alm arhum itu. Saya hanya m au m enggam barkan situasi yang m elatarbelakangi uraian tentang Mas Pram . Malam itu, entah benar ia kecewa karena terhalang oleh sepeda itu, entah karena apa yang terjadi dalam rapat, entah pula karena jengkel kadang-kadang m elihat Harian Raky at yang suka saya bawa pulang, ataukah karena sebab yang lain lagi, tiba-tiba ia m em bentak saya: ”Pergi dari sini!” Dengan sendirinya saya kaget. Barulah saya m enyadari lem ahnya kedudukan saya di rum ah itu. Walau dem ikian saya toh harus m em bela diri dengan kata-kata sendiri. Tapi itu rupanya justru m enyangatkan kem arahan Mas Her. ”Pergi, pergi, pergi!” usirnya sam bil m enghalau saya dari dalam rum ah hingga saya terdesak ke belakang. Saya dengar para tetangga pada bangun m endengar keributan itu. Sebagian bertanya apa yang terjadi. Saat itu juga Mas Pram yang rupanya ikut terbangun bertanya dari jauh: ”Ada apa, Liek?!” Saya sudah lupa apa jawaban saya waktu itu kepadanya, tapi m alam itu saya diselam atkan Mas Pram , disuruh tidur di rum ahnya, dan karena di rum ahnya hanya ada satu tem pat

Bagian Ketiga: Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka

tidur, saya tidur seranjang dengan m ereka. Riwayat berulang, apa boleh buat. Lam a saya berusaha sekuat tenaga untuk bisa tidur, tapi dengan sendirinya sukar sekali. Mereka pun ikut tak bisa tidur. Beberapa jam kem udian m ereka m asih m em bicarakan saya apakah saya sudah tidur. Mas Pram dengan tepat m engatakan: ”Pura-pura tidur!”

201

www.facebook.com/indonesiapustaka

Rumah Kontrakan Haji Mamak

SEJ AK ITU beberapa waktu lam anya saya m enjadi anggota keluarga Mas Pram , tapi sam asekali tidak berarti lebih baik, karena rum ah itu lebih kecil dan sem pit. Kalau hujan turun, dari pojokan terbelakang rum ah itu m enyem bur air tanah yang turun dari tanah yang lebih tinggi letaknya di belakang rum ah itu. Maka seluruh rum ah pun m enjadi seperti gua di zam an purbakala. Tapi tentu saja tetap ada kenikm atannya. Misalnya, di depan rum ah itu terdapat sum ur um um dan di dekatnya kam ar m andi um um . Di sekitar sum ur itu tiap hari, ham pir sepanjang waktu, ibu-ibu rum ahtangga, para gadis, anak-anak, dan juga bapak-bapak sibuk m encuci pakaian, sayuran, dan m akanan. Atau sekadar m encuci tangan atau kaki. Di situ m ereka berceloteh tentang segala m acam tetek-bengek kehidupan, suka-duka hidup sebagai rakyat kecil yang harus hidup paspasan. Karena sum ur adalah lokasi luar dan sekaligus dalam , m aka adegan-adegan di situ pun cam puran luar dan dalam . Saya kadang-kadang m elihat Mas Pram m em perhatikan tingkah-laku orang-orang itu sam bil m erenung di depan m esin

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

tulisnya. Seringkali di tengah rentetan m esinnya yang biasa itu, tiba-tiba m enyusul suasana hening. Kalau pada waktu itu kita tengok, terlihatlah bagaim ana Mas Pram m erenung dengan m ata ke arah sum ur itu. Saya yakin, sebagian dari percakapan, cerita, atau adegan di sekitar sum ur itu pasti m erepet di dalam m esin tiknya. Term asuk adegan bagaim ana orang bergegas ke kakus dengan pakaian apa adanya. Dan tidak salah, apa yang kem udian terkum pul dalam Tjerita dari Djakarta itu sebagian adalah dari kejadian di sekitar sum ur itu. Kenikm atan lain Mas Pram tentunya adalah kelakuan Pak J a pem ilik rum ah kontrakannya, yang berdiam tepat di petak kirinya, sehingga segala percakapan keluarga itu bisa didengarnya. Pak J a adalah penjaga m alam di sebuah kantor di Tanjung Priok. Ia bekerja beberapa hari berturut-turut, sesudah itu libur beberapa hari pula. Dan entah bagaim ana, kadang-kadang ia m em bawa pulang botol-botol “Bols”, m inum an keras yang konon jagonya m inum an orang-orang Belanda. Maka botol-botol itu pun dipeluk-peluknya seperti ia m em eluk anaknya waktu m asih kecil dan ia sendiri m asih m uda perkasa. Teguk dem i teguk cairan itu m elewati tenggorokannya, sendiri saja, dan m ulailah cerita panjang tentang kejayaan dan kem eranaan Pak J a terbuka lebar bagi telinga siapapun yang m au m endengarnya, karena sebagai jawara Pak J a tak bisa diganggu, juga dalam bercerita, juga dalam m abuknya. Dan di situ tidak ada m asalah enggan, m alu, atau tak sopan. Sam pai cairan dalam botol itu ludes, atau sam pai hari berikutnya. Ke rum ah petak ini juga datang tem an-tem an baru Mas Pram . Yang saya ingat di antaranya A.S Dharta, penyair dan organisator Lekra, Rivai Apin, juga penyair, dan Trisno Yuwono, penerjung payung dan juga penulis cerpen yang,

203

204

Bersama Mas Pram

untuk waktu itu, dapat dikatakan berani m elukiskan adegan

www.facebook.com/indonesiapustaka

syur. Di m asa itulah Mas Pram m engerjakan terjem ahan bukubuku Soviet, a.l. Kisah Manusia Sejati karangan Boris Polevoi, Kisah Seorang Prajurit Soviet karangan Mikhail Sholokhov, dan Ibunda karangan Maksim Gorkii. Mas Pram m engontrak rum ah petak Pak J a, saya yakin, tidak sam pai satu tahun. Penyebabnya bisa jadi karena waktu itu terbuka kem ungkinan untuk m engontrak rum ah yang lebih perm anen, yaitu rum ah kontrakan Haji Mam ak yang beradu punggung dengan rum ah Pak Haji sendiri, yang terletak di J alan Rawam angun No. 37, beberapa puluh m eter dari rum ah Pak J a. Rum ah itu lebih besar, m em anjang ke belakang, dengan sum ur bersam a keluarga Haji Mam ak, dengan kam ar m andi dan WC sendiri, dengan beberapa jendela kaca untuk kam ar tam u dan jendela kayu untuk tiga kam ar tidurnya. Lantai rum ah dari tegel bersih, dan sehat, karena letaknya tinggi. Saya pun diajak pindah ke rum ah baru itu. Dengan dem ikian saya ikut m eninggali rum ah yang agak norm al. Itu penting, karena waktu itu saya sudah punya koleksi buku saya sendiri, terutam a buku-buku sastra, bahasa, dan budaya. Dan... saya pun punya m otor Ducati buatan Italia, walau tw eedehands, alias bekas.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Rumah Setan

ORANG HIDUP m em ang ternyata tidak pernah sepi dari persoalan. Kalau dipikir, apa kurangnya hidup saya waktu itu: ada kam ar sendiri walau m enum pang, ada pekerjaan, ada alat transportasi, dan ada buku-buku kegem aran saya. Tapi apa persoalan kali ini? Karena saya m asih m enum pang! J adi, m enum pang itu, percayalah, m erupakan persoalan tersendiri. Waktu itu saya tergabung dalam Ansam bel Nyanyi dan Tari “Gem bira” pim pinan (waktu itu) Titi Bronto K. Atm odjo. Seperti ditunjukkan oleh nam anya, kegiatan organisasi ini di bidang nyanyi dan tari: Dengan penyanyi tunggal, duet, trio, kuartet, koor kecil atau koor besar perkum pulan ini m enyanyikan lagu-lagu nasional, daerah, dan internasional di panggung nasional, daerah, m aupun internasional. Saya hanya am bil bagian dalam koor besar, tapi di situlah saya m erasa m enghayati apa arti “suka” dan apa arti “bekerja untuk orang banyak”. Dengan suka dan bekerja untuk orang banyak itu saya m enjadi hidup, dan bersedia untuk hidup lagi, dan itu ternyata tidak bisa dipadukan dengan yang nam anya hidup m enum pang. Kalau lagi ada pertunjukan, m ulai pukul tiga

www.facebook.com/indonesiapustaka

206

Bersama Mas Pram

siang saya sudah harus ikut m obil jem putan tem an-tem an, dan pukul dua belas m alam baru selesai ikut m engantarkan m ereka ke rum ah m asing-m asing. Dan baru sekitar pukul satu m alam sam pai di rum ah. Pada suatu m alam saya tiba di rum ah pada pukul itu. Mengetuk pintu, dan tidak ada tanggapan. Karena m enduga ketukan kurang keras, saya keraskan, tapi tetap tak ada tanggapan. Mungkin kurang panjang? Saya perpanjang. Tetap sam a. Mungkin perlu diulang? Saya ulang-ulang. Tetap saja. Mungkin tidak dengar? Baik, saya pergi ke sam ping dan m engetuk jendela kam arnya. Karena tetap tak ada reaksi, m aka kesim pulan saya adalah: m ungkin tak m au bereaksi. Waktu itu saya sudah langsung m em ikirkan untuk m encari penginapan di tem pat lain, ketika saya dengar istri Haji Mam ak m em ekik dari belakang rum ahnya: “Sudah dibuka!” Ketika saya am ati, ternyata yang dibuka adalah pintu belakang. Saya tak bertem u dengan siapapun di rum ah itu. Maka sejak itu hubungan baik dalam keluarga m enjadi am bruk. Di sini saya tidak m encari siapa yang salah dan siapa yang benar. Persoalan saya adalah m enum pang atau tidak m enum pang. Saya harus tidak m enum pang kalau saya tetap m au suka dan bekerja untuk orang banyak tadi. Saya pun m encari rum ah kontrakan, dan lewat anggota “Gem bira” bernam a Mas Darm o, saya berkenalan dengan tem annya yang bernam a Mas Sagi. Mas Sagi inilah yang m enunjukkan rum ah kontrakan yang m enunggu pengontrak, m ilik seorang engkong dan enyak Betawi. Sebuah rum ah gubuk ukuran 3 x 2 m eter, lantai tanah, tanpa langit-langit, dinding dari gedek tanpa lapisan, terdiri atas dua bagian: kam ar tidur dan kam ar tam u, dengan uang kontrak sebulan Rp50 . Kam ar

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

m andi terbuka berdinding kaleng-kaleng bekas, langsung di pingir sum ur gali, dan air m andi m asuk kem bali ke sum ur. Kakus agak jauh di atas em pang yang ditanam i ikan m ujair. Rum ah itu terletak di belakang rum ah di J alan Hutankayu (sekarang J l. Utankayu) No. 66. Saya bertekad tinggal di rum ah itu. Titik! Maka pada suatu hari saya lapor kepada Mas Pram : “Mas, saya berm aksud pindah dari sini.” “Ke m ana?” tanya Mas Pram kaget. “Ada. Di Hutankayu,” jawab saya tenang. “Kesehatanm u itu nggak baik!” “Saya m au belajar berdiri sendiri,” kata saya. Saya yakin Mas Pram sebetulnya tidak m encari jawaban. Kalau seorang pem uda sudah bertekad untuk tinggal sendiri, ia tidak akan kem bali. Maka saya angkutilah banda saya—pakaian dan buku— m ondar-m andir dengan ransel pem berian Mas Pram sejak di Kebon J ahe Kober tahun 1950 , naik Ducati. Beberapa kali saja sudah tuntas. Lalu dari sebuah pangkalan di dekat situ saya beli enam papan kayu duren, dua kotak sabun, dan belasan batu bata. Tiga papan saya tum pangkan berjajar di atas dua kotak sabun dengan jarak tertentu, dan dengan papan yang lain beserta batu bata saya bikin rak buku. Di situlah bukubuku saya berjajar. Ternyata si enyak tahu alam at tukang rantang yang bisa m enyediakan m akanan sederhana dua kali sehari dengan bayaran cum a Rp35. Saya carilah rum ah yang ditunjukkan si enyak itu, dengan gam pang ketem u, dan sore hari itu juga saya sudah bisa m enikm ati m asakannya. J adi m alam itu pula saya bisa m enggeletakkan diri dengan perut terisi. Untuk kasur

207

208

Bersama Mas Pram

saya sobek sarung palekat saya, saya gelar di atas papan, dan

www.facebook.com/indonesiapustaka

untuk bantal saya gunakan ransel. Kurang apa? Ini m erdeka, pikir saya, dan tidur sam pai pagi. Di rum ah yang kem udian saya nam akan Rum ah Setan itu (sebetulnya saya bisa bercerita banyak tentang rum ah ini, tapi itu tidak relevan untuk m em oar tentang Mas Pram ini) saya m eneruskan hidup saya, pelajaran saya, dan... pekerjaan saya. Banyak sukanya, tapi juga banyak dukanya. Nam un pada suatu hari saya m ulai m enyadari bahwa ada yang tak beres dengan tubuh saya. Sepertinya tenaga saya susut drastis hingga daya isik merosot, dan daya pikir jadi loyo. Menyadari itu, saya pergi ke dokter praktik seorang Tionghoa di depan bioskop Rivoli, Kram at. Dokter tanpa am pun m enjatuhkan palu godam pada saya: harus suntik penstrep delapan kali karena saya terkena bronkhitis. Godam nya bukan penstrepnya, delapan kalinya, atau bronkhitisnya, m elainkan biaya suntik dan dokternya. Tapi tentu saja tak ada yang perlu disesali. Saya sudah sem pat m eninggali rum ah itu dengan berani selam a delapan bulan, dan selam a itu Mas Pram tak pernah m enengok. Itu pun tak perlu disesali. Yang penting, dem i kesehatan, saya harus m eninggalkan rum ah itu, dan pindah ke rum ah yang lebih sehat. Pilihan saya adalah indekos.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Simpat Sembilan

TAHUN 1957. Oleh seorang tem an saya ditawari m enjadi penerjem ah di Kedutaan Cekoslowakia. Pekerjaannya m enerjem ahkan tajuk rencana koran-koran Indonesia ke bahasa Inggris, dan tulisan-tulisan tentang Cekoslowakia ke bahasa Indonesia untuk kem udian dim uat dalam m ajalah Tjekoslow akia Sekarang yang diterbitkan oleh Kedutaan Besar Cekoslowakia sebulan sekali. Saya m au asal diperbolehkan kerja hanya dari pukul 7 sam pai 11, dengan gaji separo saja, yaitu Rp60 0 , karena m asih harus ikut kuliah. Syarat saya itu diterim a. Begitulah, tiap hari pukul 6 pagi saya sudah m eninggalkan Rum ah Setan untuk bekerja dan belajar. Karena perjalanan itu pulang-balik m elewati rum ah Mas Pram , seringlah saya m am pir ke rum ahnya, ada keperluan m aupun tidak. Ketika saya m em utuskan untuk indekos dan m encari tem pat indekos, saya m enem ukannya di J alan Cem paka Putih Raya No. 3, rum ah tem bok, gedongan, dengan bayaran m ahal, tapi terbayar karena saya sudah punya gaji cukup, cum a saya sudah lupa, berapa. Selain saya, ada beberapa pem uda lain yang

www.facebook.com/indonesiapustaka

210

Bersama Mas Pram

juga indekos di situ. Saya yakin waktu itu sudah m enginjak tahun 1958, sebab salah seorang pem uda itu tiap pagi m endengarkan dengan teliti berita radio m engenai peristiwa besar di Sum atra, yaitu pem berontakan PRRI (Pem erintah Revolusioner Republik Indonesia yang dibentuk 10 Februari 1958 dan dium um kan oleh Perdana Menterinya Mr Sjafruddin Prawiranegara pada 22 Februari 1958). Pem uda asal Sum atra itu m em ang berkepentingan m endengarkan selalu siaran radio, karena dengan terjadinya pem berontakan itu hubungan Sum atra-J awa terputus, dan aliran uang m ahasiswa Sum atra dari orangtua jadi terputus. Waktu itu juga rupanya Mas Pram m ulai m enaruh perhatian pada politik. Ia m engusulkan dibentuknya kelom pok diskusi untuk m em bicarakan m asalah-m asalah hangat dalam perpolitikan Indonesia. Kelom pok itu, saya ingat betul, dinam akan Sim pat Sem bilan. Sim pat singkatan dari Sim pang Em pat, dan Sem bilan karena anggotanya sem bilan orang: Mas Pram sendiri, Mas Wiek (Walujadi Toer), saya, guru sekolah SMA di Rawasari Hidayat Wikantasasm ita, tiga orang wartawan APB yang berkantor di Gang Tengah, seorang di antaranya bernam a J am hur Yusuf, m ahasiswa UI Piet Santoso, dan seorang lagi yang sekarang saya sudah lupa nam anya. Nam a itu diusulkan oleh Mas Pram , dan diterim a sesudah m em pertim bangkan beberapa nam a usulan lain. Saya ingat, suara Mas Pram dalam kelom pok itu m em ang dom inan. Kenapa dipilih orang-orang itu, dan bukan orang-orang yang sudah m atang berkecim pung dalam politik, hal itu tak pernah dibicarakan. Pertim bangan Mas Pram m ungkin praktis saja, karena orang-orang itulah yang sering m uncul di rum ahnya (kini rum ah sendiri yang dibangun tak jauh dari

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

rum ah Haji Mam ak), sehingga gam pang untuk berkum pul sem inggu sekali: Mas Wiek dan saya selalu singgah, Hidayat m em ang sering m am pir (untuk ini ada cerita tersendiri), J am hur dan seorang tem annya wartawan APB tinggal di depan rum ah Mas Pram , dan Piet Santoso sering m em bantu Mas Pram m engurus buku-bukunya. Kelom pok ini, m enurut perasaan saya, tidak dim aksudkan sebagai think tank atau sem acam itu, hanya sekadar sarana m engecek dan m enguji suatu pendapat atau pendirian. Tentu saja, sebagaim ana lazim nya, walau um um nya kesem bilan orang datang berkum pul, bisa saja terjadi satu-dua orang berhalangan datang. Saya ingat betul, salah satu persoalan yang dibicarakan adalah apa yang dinam akan Konsepsi Presiden. Konsepsi Presiden adalah konsepsi yang dikem ukakan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya pada 21 Februari 1957 di depan para pem im pin partai dan m asyarakat, berisi gagasan tentang pem bentukan kabinet gotong-royong (Kabinet Berkaki Em pat), yaitu m asuknya wakil-wakil partai terbesar—PNI, NU, Masyum i, PKI—dan partai-partai lain, ditam bah golongan fungsional. J uga pem bentukan Dewan Nasional yang terdiri atas wakil-wakil sem ua partai dan golongan dalam m asyarakat, yang berfungsi m em berikan nasihat kepada kabinet, dim inta m aupun tidak. Dasar Konsepsi ini: Dem okrasi liberal dengan sistem m ultipartai ternyata telah m enim bulkan perpecahan yang terus-m enerus. Karena itu harus digantikan dengan dem okrasi yang lain, di m ana kita sem ua dapat bekerja untuk m encapai suatu konsensus dan tidak saling berkonfrontasi. Representasi politik juga ditam bah dengan m asuknya golongan fungsional.

211

www.facebook.com/indonesiapustaka

212

Bersama Mas Pram

Dalam konsep ini Presiden Soekarno m enyam paikan gagasan perlunya suatu kabinet gotong-royong, term asuk PKI di dalam kabinet itu. Presiden Soekarno m engum um kan Konsepsi Presiden sebagai konsepsi politik dem i persatuan bangsa, yang isinya m engajak sem ua golongan untuk bersatu dan duduk bersam a di satu m eja (alle leden van de fam ilie aan tafel), jangan sam pai ada satu partai pun yang tertinggal dari pem erintahan. J adi Konsepsi Presiden itu terdiri atas dua pokok: Pertam a, bentuk kabinet koalisi yang terdiri atas wakil-wakil sem ua golongan politik penting, term asuk kelom pok kom unis. Kedua, bentuk Dewan Nasional yang tersusun m enurut garis fungsional dengan wakil-wakil buruh, tani, cendekiawan, pengusaha, agam a, wanita, pem uda, angkatan bersenjata, polisi, dsb. Kam i dalam kelom pok, seingat saya, tidak ada keberatan dengan m asalah itu. Pertam a, tentang prinsip persatuan. Bung Karno m em ang selalu m engum andangkan persatuan. Tanpa persatuan m ustahil cita-cita bangsa dapat terlaksana. Ini hal yang logis dan juga benar. Sem ua pihak bisa m em benarkan, walau dalam praktik, dem i kepentingan tertentu, tidak dapat m endukungnya. Prinsip ini berlaku m utlak di segala zam an, di sem ua tem pat, dan dalam m asalah apapun. J adi juga berlaku untuk Indonesia. Kedua, prinsip keterwakilan. Kalau Indonesia m au m enerapkan prinsip dem okrasi, apapun nam anya, seyogyanya m engutam akan keterwakilan yang adil. Tanpa keadilan m ustahil dem okrasi bisa berjalan. Mungkin bisa berjalan secara terpaksa beberapa waktu, tapi akhirnya akan terasa pincang jalannya dan harus dikoreksi. Atau kalau dipaksakan terus dengan tangan besi, m udaratnya akan kelihatan kem udian dalam kehidupan bangsa, dan

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

waktu itu akan sudah terlam bat untuk bisa dikoreksi, bahkan kem udaratan itu bisa dem ikian besar hingga m em bahayakan kehidupan bangsa. Kesim pulannya adalah dukungan kelom pok terhadap konsepsi tersebut, dan itu dirum uskan dalam sebuah keputusan, ditandantangani oleh sem ua anggota kelom pok, dan disam paikan secara resm i kepada sebuah panitia yang nam anya (kalau tidak salah) Kom ite Pendukung Konsepsi Presiden. Saya yang m enyusun dan m engetik keputusan tersebut, dan juga m enyam paikannya kepada Kom ite. Kam i tahu, Konsepsi tersebut tidak pernah dapat dilaksanakan, tapi itu sudah m asalah lain. Soal lain yang dibicarakan oleh kelom pok dan diputuskan untuk didukung juga adalah m asalah kem bali ke UUD 1945. Masalah ini kem udian direalisasi dalam bentuk Dekrit Presiden, yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 5 J uli 1959 untuk m em berlakukan kem bali Undang-Undang Dasar 1945 karena gagalnya Konstituante m enyusun konstitusi yang baru. Tindakan kem bali ke Undang-undang Dasar 1945 itu diusulkan oleh TNI AD. Keputusan TNI AD itu diam bil dalam pertem uan antara KSAD dan para panglim a territorium pada Mei 1958. Rincian Dekrit Presiden: 1. Bubarkan Dewan Konstituante; 2. Menyatakan UUD 45 berlaku kem bali bagi seluruh bangsa dalam seluruh negara; 3. Menyatakan UUD 1950 tidak berlaku lagi; 4. Mem bentuk dengan segera suatu Majelis Perm usyawaratan Rakyat Sem entara (MPRS), terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditam bah dengan wakil dari daerah dan

213

214

Bersama Mas Pram

dari Golongan Karya; 5. Segera m em bentuk suatu Dewan

www.facebook.com/indonesiapustaka

Pertim bangan Agung. Sim pat Sem bilan m em bicarakan dan kem udian m enyim pulkan perlunya langkah kem bali ke UUD itu secara berdikari. Dari dua kenyataan itu saja, yaitu m asalah Konsepsi Presiden dan Dekrit Presiden, bisa diketahui bahwa Sim pat Sem bilan berum ur paling tidak dua tahun (1957-1959), bahkan m ungkin lebih.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Ke Banten

PADA 9 April 1957 oleh Presiden Soekarno dilantik Kabinet Djuanda (Kabinet Republik Indonesia ke-16) di Istana Merdeka. Kabinet itu, yang kem udian dinam akan Kabinet Karya atau Zaken Kabinet, m encakup dua departem en baru, yaitu Departem en Urusan Veteran dan Departem en Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat untuk Pem bangunan; yang kedua dipimpin oleh A.M. Hanai. Saya sebutkan secara khusus Departem en Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat untuk Pem bangunan (kem udian disingkat Departem en Petera), karena bersam a Mas Pram saya sem pat m eninjau salah satu proyek departem en baru tersebut, yaitu pem bangunan (kem bali) jalan utara-selatan Saketi-Malim ping di Banten yang waktu itu m asih disatroni gerom bolan DI. Kapankah hal itu berlangsung? Saya ingat, proyek itu dilaksanakan masih di bawah Menteri A.M. Hanai. Karena kabinet ini baru bubar pada 5 J uli 1959 sejalan dengan Dekrit Presiden tentang kem bali ke UUD 1945, dan sebelum bubar pada 25 Juni 1958 Menteri A.M. Hanai dibebaskan dari jabatannya dan diangkat sebagai Menteri Negara, m aka peristiwa itu tentu

216

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

terjadi beberapa bulan sesudah terbentuknya kabinet, tapi sebelum Menteri Hanai mengundurkan diri. Saya sebutkan ”beberapa bulan sesudah terbentuknya kabinet” karena sebagai kem enterian baru ia tentu harus m enyusun dan m enyiapkan segalanya dari awal, baik gedung, peralatan, struktur organisasi, m aupun personelnya. Betapa sibuk m ereka saat itu, karena banyak kenalan dan tem an ikut terlibat di dalam nya, a.l. tem an sekelas, bahkan salah seorang m urid saya, di Tam an Siswa.3 Saya m engikuti rom bongan wartawan yang disusun oleh Departem en Petera, terdiri atas wartawan Antara, wartawan APB, wartawan INPS (Indonesian National Press and Publicity Service), wartawan Petera sendiri, dan Mas Pram . Tidak ada wartawan Aneta. Tenaga yang dikerahkan secara sukarela waktu itu anggota organisasi-organisasi “progresif-revolusioner”, a.l. CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan (IPPI Ikatan Pem uda Pelajar Indonesia). Saya sudah lupa nam anam a organisasi lain. Saya hanya ingat CGMI karena di sana saya bertem u Hardojo—yang kem udian m enjadi ketua CGMI (1963-1965)—dan ingat IPPI karena saya bertem u dengan Tatang Hartm an, salah seorang pengurus IPPI Bandung. Tujuan rom bongan adalah m eninjau kegiatan pem bangunan jalan tersebut. Para sukarelawan tinggal di kiri-kanan jalan yang dibangun (kem bali), dan berangsur-angsur pindah m engikuti proses pem bangunannya. Di situ juga m ereka m em bersihkan badan, m em asak, m akan, dan beristirahat. Kerja sukarelawan

3 Dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Lentera Dipantara, 2004) Pramoedya Ananta Toer membuka pengantarnya dengan kata-kata: “Cerita ini adalah hasil kunjunganku beberapa waktu lamanya pada akhir 1957 di Banten Selatan.” (Pen.)

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

terutam a m engangkuti batu untuk m engeraskan jalan yang waktu itu dilakukan dengan m esin stoom w als. Waktu kam i tinjau m ereka sudah berhasil m engeraskan beberapa kilom eter, dan m alam harinya ada m obil dicegat dan dibakar DI. Kam i naik jip Petera. Saya turun di Saketi dan m enginap di kem ah bersam a para pem bangun, dan jip m eneruskan perjalanan ke Malim ping. Beberapa hari kem udian saya m enyusul m ereka ke Malim ping. Dan di sana saya ketahui m ereka sudah m elakukan kunjungan ke Bayah dan Cikotok, bekas tam bang em as. Mas Pram sem pat m em bawa pulang beberapa m onster batu m engandung em as. Di sana juga kam i bertem u dengan beberapa m ahasiswa Bandung yang dengan antusias bercerita tentang petualangan m ereka di hutan Malim ping m engum pulkan jenis-jenis anggrek yang sangat langka, yang dalam kesem patan itu pula m ereka perlihatkan dan hadiahkan kepada kam i. Kam i pulang dengan kereta api dari Rangkasbitung. Kereta sangat padat waktu itu, sam pai ada orang-orang yang nangkring di jendela, bahkan di atas gerbong. Hasil kunjungan kam i: Mas Pram m enulis novel Sekali Peristiw a di Banten Selatan, dan saya m enulis reportase yang kem udian dim uat dalam m ajalah terbitan Petera dengan nam a (kalau tak salah) sam a.4 Wartawan Antara dan APB m enulis dalam buletin m asing-m asing. Wartawan Petera, seingat saya, tidak m enulis laporan.

4 Belakangan, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II Pramoedya Ananta Toer menulis: “Melakukan peninjauan ke Banten (Saketi, Malimping, Bayah, Cikotok) untuk menyelidiki benar-tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka.” (Pen.)

217

www.facebook.com/indonesiapustaka

Harley Davidson

SUDAH SAYA katakan bahwa saya buta m esin, khususnya m esin sepeda m otor. Waktu kam i pindah ke rum ah kontrakan di J alan Rawam angun, saya m asih belum bisa m engendarainya. Dan karena sesudah itu tak ada kesem patan untuk m em egang sepeda m otor (sepeda m otor m ilik siapa pula?), m aka pergaulan saya ya hanya dengan sepeda onthel alias kereta angin. Mem ang ketika Mas Pram ikut pindah ke J alan Rawam angun, sepeda m otornya dibawa, tapi selam a itu tak pernah ada kesem patan saya untuk m enjajal naik sepeda m otor lagi. Barulah sesudah saya sering singgah ke rum ah Mas Pram sehubungan kegiatan Sim pat Sem bilan saya ditanya: ”Kau m asih bisa naik m otor, Liek?” ”Nggak lagi,” jawab saya tulus. ”Kenapa? Ayo belajar lagi! Pem uda sekarang (kok) nggak bisa naik m otor!” ”Sekarang?” ”Sekarang! Keluarin m otornya itu di belakang!” Saya tak bisa lagi m enolak. Dengan hati ketir-ketir saya tuntun m otor itu ke depan. Saya sudah lupa sem ua teori yang

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

pernah disam paikannya kepada saya. Apa yang nam anya kopling, tali kopling, apa yang nam anya persneling, gas dan rem di kepala saya cam pur-aduk. Tangan kanan-kiri dan kaki kanan-kiri pun cam pur-aduk. Untungnya Mas Pram m au m engulangi keterangannya dalam beberapa patah kata. ”J angan lupa, kopling dilepas sedikit-sedikit, pelan-pelan. Ngerti?” ”Ngerti!” Dari rum ah, Mas Pram di depan, saya di belakang. Sam pai m ulut gang m em belok ke kiri, terus sam pai Pasar Genjing, dan m em balik m enuju Stasiun Kram at. Sebelum stasiun m em balik lagi, dan sebelum Pasar Genjing balik lagi pula. ”Nah, kau di depan!” Kam i tukar tem pat. ”Awas, buka kopling pelan-pelan!” diingatkannya. Saya buka kopling pelan-pelan sam pai pol sam bil digas, tarik tali kopling, kecilkan gas, m asuk persneling dua, gas, lepas kopling pelan-pelan lagi sam pai pol, m asuk persneling tiga, gas lagi, tarik tali kopling, gas dikecilkan, persneling dua, persneling nol, rem , brenti di depan m asjid. ”Nah, gam pang, kan? Ulangi!” kata Mas Pram . Tahu-tahu saja sepeda m otor itu m elom pat tidak kira-kira: roda depan naik ada kalau satu m eter. Untung pantat saya tetap di sadel, dan kedua tangan saya tetap m em egang setang. Dan di depan tak ada orang atau kendaraan lain. Kalau ada, entah apa yang terjadi. ”Maaf, Mas, lupa,” kata saya gem etar. Mas Pram diam saja. Bukan diam saja! Dia tak ada di boncengan!

219

www.facebook.com/indonesiapustaka

220

Bersama Mas Pram

Motor saya rem dan saya hentikan. Saya m enanti. Dan sam bil tersenyum Mas Pram jalan m endekati saya. ”Ada-ada saja!” kom entarnya. ”Ayo lagi!” sam bungnya. Begitulah terus diulang-ulang. Mem ang tidak hari itu juga. Saya senang bahwa sebagai orang yang buta m esin akhirnya saya bisa m enjinakkan m esin. Ketika Mas Pram m engajak saya ke Sukabum i,5 dan di jalan pulang ditim pa hujan lebat, ya dengan m otor Spartak itulah. Waktu itu ia terus berada di depan. Nah, pada suatu hari Mas Pram punya berita besar: ”Motorku udah ganti, Liek!” katanya bangga. ”Ganti apa, Mas?” ”Harley Davidson!” ”Baru?” ”Mana ada Harley Davidson baru? Pasti bekas!” ”Kenapa?” Mas Pram m enjelaskan, tapi saya sudah lupa, bagaim ana penjelasannya. Yang m asih saya ingat, orang baru bisa tahu nikm atnya bersepeda m otor kalau sudah naik Harley Davidson. ”50 0 cc! Dan kekuatannya sam a dengan jip!” ucapnya bangga. Tapi sam asekali bukan itu yang penting! Yang penting, saya sendiri harus m erasakan nikm atnya naik Harley Davidson. Badan begini kerem peng! Mendorongnya saja tidak kuat. Tapi nanti dulu!

5 Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer (Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 231.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

”Coba, Liek!” kata Mas Pram m em persilakan, seperti Pak Lurah m em persilakan Pak Cam at. Saya starter. J lung! Deng-deng-deng-deng! Tok-cer! Dan bunyinya itu: halus, teduh, penuh hikm at. Dan putaran gasnya: lincir, rengngng! Dan tarikannya: seperti bukan m enarik, tapi m endorong. Dan tak perlu ngebel: cukup m em ainkan gas: reng-rengrengng. Begitulah saya m ondar-m andir m engendarai kendaraan ajaib itu antara Pasar Genjing dan Stasiun Kram at, bahkan m enyeberang rel, belok kiri m elewati belakang rum ah pacar saya di dekat bengkel Departem en Pekerjaan Um um . Lha, persis di belakang rum ah pacar saya kendaraan ajaib itu berhenti ajaib. Mogok!! Aneh! Apa akal saya? Ya tidak ada kecuali m em inggirkan m otor yang m enghabiskan tenaga itu, dan m encoba m enstarternya lagi. Berulang kali. Lagi dan lagi sam pai saya m andi keringat, dan habis tenaga di badan. Dengan ngos-ngosan saya pegang gas, tak habis pikir, kenapa tiba-tiba m otor ajaib itu ngadat. Untuk m engistirahatkan badan, saya layangkan m ata ke sana kem ari dengan harapan Mas Pram datang m enolong. E, betul. Dari jauh Mas Pram tam pak m engangguk-angguk sam bil tersenyum . ”Kenapaaa?” katanya sesudah dekat. Dikutik-kutiknya saluran bensin, distarter, jlung, dan... deng-deng-deng-deng! ”Mau lagi?” kata Mas Pram . ”Aduh, sudah capek!” Kam i pun pulang.

221

www.facebook.com/indonesiapustaka

Pameran Buku Terjemahan

TAHUN 1959, dengan beberapa orang tem an dari HBIM (Him punan Budaya Indonesia Muda), a.l. Herm an Maktal, Bam bang Supriyo Anggodo, Agah Harganda, ditam bah beberapa tem an lain, a.l. Syaiful Anwar seorang guru SMA, dan seorang Tionghoa penerjem ah dari INPS yang saya sudah lupa nam anya, kam i m endirikan organisasi penerjem ah dengan nam a Organisasi Penerjem ah Indonesia (OPI). Setelah dua tahun bekerja sebagai penerjem ah, saya m erasa bahwa perlu ada kontak antarpenerjem ah untuk tukar inform asi, tukar pengalam an, dan m ungkin juga tukar order. Sem ua itu berdasar keyakinan bahwa penerjem ahan karya ilm u pengetahuan, ilsafat, dan sastra dari bahasa asing ke bahasa Indonesia adalah perlu sekali kalau bangsa Indonesia tidak m au ketinggalan dari bangsa-bangsa lain. Hasil terjem ahan saya sendiri, di sam ping The Tales of Sebastopol karangan Leo Tolstoi, dan cerpen-cerpen Anton Chekhov, adalah sebuah brosur tentang negara Hongaria dan October Day s (Hari-hari Oktober) karangan N. Krupskaya. Bersam a Herm an Maktal dan Agah Harganda saya m ener-

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

jem ahkan Love Stories karangan pengarang Tiongkok Lin Yutang yang saya m uatkan dalam berbagai m ajalah. Selain itu, selam a dua tahun bekerja di Kedutaan Cekoslowakia, sudah berhasil saya terjem ahkan sekitar 2 x 12 x 32 halam an m ajalah atau 718 halam an m ajalah, belum terjem ahan tajuk rencana ke bahasa Inggris. Dan saya m asih terus bekerja sebagai penerjem ah, dan juga m enerjem ahkan bahan-bahan yang saya senangi. Tidak salah kiranya kalau waktu itu saya m ulai m engaku sebagai penerjem ah. Saya catatkan OPI sebagai anggota Organisasi Pengarang Indonesia (OPI) yang sekretarisnya waktu itu Pak Saleh Sastrawinata, Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) yang sekretarisnya waktu itu Pak Anas Ma’ruf, dan J awatan Kebudayaan J akarta yang waktu itu dikepalai oleh Pak Achdiat K. Mihardja. Tahun itu pula OPI m enyelenggarakan Pam eran Buku Terjem ahan untuk m enggugah m inat m asyarakat pada m asalah terjem ahan di gedung Balai Budaya, J akarta. Pam eran terdiri atas pam eran buku dan pam eran naskah terjem ahan dari segala bidang. Buku kam i peroleh dengan m endatangi para penerbit yang berm inat. Dan ternyata sam butan sangat baik, sehingga untuk acara pam eran itu terkum pul buku untuk satu gedung itu. Pidato pem bukaan tentang m asalah terjem ahan dan pam eran terjem ahan itu saya bacakan sendiri sebagai Ketua OPI. Untuk m enjaga pam eran beberapa hari, saya m inta bantuan para anggota IPPI yang waktu itu selesai berkongres di J akarta, lelaki-perem puan, dari J akarta m aupun dari daerah. Hadirin yang datang saya anggap cukup banyak waktu itu. Saya m erasa bahwa pam eran itu cukup sukses dan m enjadi

223

224

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

kebanggaan tersendiri bagi saya. Pada hari terakhir datang tam u berom bongan, yaitu J oebaar Ajoeb, Oey Hay Djoen (kalau tak salah ingat), Njoto, dan... Mas Pram . Mereka sangat tekun m em perhatikan sem ua eksponat. Khusus Njoto, ia sangat teliti m em buka-buka naskah terjem ahan yang kebanyakan dari saya. Saya tidak kenal Njoto dan juga belum tahu ketokohannya. Maka saya agak heran ketika beberapa waktu kem udian dia m endekati saya, dan dengan suara lirih m engatakan: “Yang itu tidak usah [sebetulnya].” Saya kaget. “Yang m ana, Pak?” tanya saya. Kam i bersam a-sam a m endekati naskah yang dim aksud, dan ia m enunjuk Cerita-cerita Cinta Lin Yu-tang! “Kenapa, Pak?” tanya saya pelan. “Kuo Min-tang,” jawab Njoto m asih tetap lirih. Untunglah hari itu hari terakhir pam eran, dan jam terakhir pula, sehingga tidak ada buntut m asalah. Beberapa waktu kem udian pam eran dan gedung ditutup dengan upacara singkat. Rom bongan itu pulang naik m obil, kecuali Mas Pram yang terpisah naik m otor. “Kau naik apa, Liek?” tanya Mas Pram . “Belum tahu; naik becak barangkali.” “Aku bawa m otor; sam a-sam a kita. Kau di depan.” Walhasil m alam itu (sekitar pukul 22.0 0 ) saya m engendarai Harley Davidson 50 0 cc itu. Untunglah J akarta waktu itu belum seram ai sekarang, dan lagi sudah m alam , jadi jalanan agak sepi. Walau dem ikian saya tetap harus hati-hati, karena penguasaan saya atas m otor itu belum m antap benar. Sam asekali tidak salah kom entar Mas Pram di belakang saya waktu itu: “Kok m otor ini m inggir m elulu!”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Berpisah

TAHUN 1960 adalah tahun yang krusial bagi saya m aupun Mas Pram . Banyak peristiwa seolah tum plek jadi satu dan dipadatkan dalam satu jangka waktu yang sem pit. Waktu itu Mas Pram sedang m engadakan perjalanan keliling negara-negara sosialis. Untuk keperluan apa, dan siapa yang m em biayai, saya sudah lupa. Tapi entah dari siapa— m ungkin dari dia langsung—saya m endengar bahwa di Cekoslowakia ia m endapat pengalam an yang tak m engenakkan. Dalam sebuah ceram ah di hadapan m ahasiswa di Praha ia telah m engucapkan sesuatu yang negatif tentang m iliter Indonesia, dan itu oleh salah seorang m ahasiswa—yang kem udian ternyata inform an atau intel m iliter—dianggap m enyinggung m iliter dan perlu dilaporkan ke J akarta. Sejak itu—di dalam perjalanan—Mas Pram dibayangi penangkapan. Dalam sepucuk telegram ia m em beritakan akan pulang tanggal sekian dan m inta dijem put di lapangan terbang Kem ayoran. Saya jem put, dan ia tidak datang. Belakangan datang lagi telegram , saya jem put lagi, dan tidak datang lagi. Begitulah dua-tiga kali terjadi sam pai akhirnya saya tak sem pat

www.facebook.com/indonesiapustaka

226

Bersama Mas Pram

lagi m enjem put karena saya sudah harus berangkat ke Moskwa untuk belajar lim a tahun lam anya. Kem udian terpikir oleh saya apakah telegram -telegram itu disengaja buat m engecoh petugas yang akan m enangkapnya? Waktu itu sudah bulan Septem ber. Sem entara itu, tanggal 6 Septem ber 1960 , saya m enerim a surat dari USSR Friendship University, bunyinya dem ikian: “Mr. Kusalah Subagio Tur “The Adm ission Com m ittee of Friendship University hereby inform you that you have been adm itted to take the entrance exam ination to be held at the end of Septem ber in Moscow. “You have to obtain a Soviet visa on producing your passport and this letter of notiication at any Soviet Embassy, Legation or Consulate. “Please let us know the date of your departure to enable us to book you a ticket for lying to Mosnow from Djakarta. “Adm ission Com m ittee.” Itu berarti bahwa dalam waktu tiga m inggu saya harus m engurus surat izin dari orangtua atau wali, surat izin belajar ke luar negeri dari Departem en Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, surat kesehatan dari World Health Organization (WHO), surat iskal dari Inspeksi Keuangan Djakarta, paspor dari Kantor Im igrasi Djakarta, dan visa dari Kedutaan Besar URSS di Djakarta. Betapa sibuknya saya waktu itu, tak bisa saya m em bayangkan sekarang. Dan itu belum ditam bah kesibukan lain dalam hubungan pernikahan yang harus saya lakukan sebelum berangkat: m engurus surat m enum pang kawin, m engurus undangan dan iklan pernikahan, pakaian pengantin, terpal teratak dan barang-barang pecah-belah, dan... biaya pernikahan. Karena tak ada tabungan, gaji terakhir sebagai wartawan

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta

INPS dan hasil sepeda kum bang yang saya jual langsung di tepi J alan Pecenongan saya serahkan sem ua. Itu belum m asalah tetek-bengek lainnya. Dan yang pokok: acara akad nikah dan pesta pernikahan. Ketika orkes keroncong m asih berbunyi m alam itu, saya sudah dem ikian kehabisan tenaga dan m engantuk sam pai tanpa m alu-m alu saya m inta izin kepada sem uanya untuk tidur. Tapi dengan sendirinya saya tak bisa tidur—sam pai tiga hari—karena bertekad belajar dulu sam pai tuntas. Di situlah lalu saya teringat Mas Pram . Saya bukan tidak ingat pesannya. Saya ingat. Tapi saya m erasa bahwa pesan Mas Pram tidak benar. Dan saya m au m em buktikan bahwa itu m em ang tidak benar. Kalau diam ati seluruh catatan ini, tidak pernah saya m em bantah pendapat Mas Pram . Kali ini saya m em bantahnya dengan perbuatan. Di hati saya terasa ada sesuatu yang aneh. Ya, sesuatu yang tidak lazim . Tapi apalah arti tidak lazim . Toh dunia ini terdiri atas yang lazim dan tidak lazim , dan dua-duanya harus dapat dan bisa berserikat m enjadi apa yang kita nam akan kehidupan. J adi, jadilah apa yang akan terjadi. Seandainya saya sem pat bertem u dengan Mas Pram waktu itu, barangkali sem pat juga ia m elarang saya. Dan barangkali saya akan m endengarkan kata-katanya. Bukan, bukan karena kepergian saya untuk belajar. Bukan juga karena pernikahan saya. J adi karena apa? Tentu pem baca m asih ingat ucapan Mas Pram tentang perkawinan. Tapi diam -diam tentu saja saya m inta restu kepada Mas Pram sebagai kakak tertua agar langkah-langkah saya benarbenar bukan langkah kiri. Dan begitu saja saya berpisah dengan Mas Pram tahun 1960 , sekadar dalam hati. Menurut rencana, tiga hari sesudah pernikahan saya harus sudah berangkat ke Moskwa. Tapi ndilalah, pesawat Air India

227

228

Bersama Mas Pram

yang m enjalani rute J akarta-Bom bay-New Dehli-Tashkent-

www.facebook.com/indonesiapustaka

Moskwa sem inggu sekali itu tiga kali m enunda perjalanan, sehingga baru paruh kedua bulan Oktober saya berangkat, m eninggalkan istri yang m enurut rencana akan m enyusul saya setahun kem udian. Waktu itu tetap Mas Pram belum tiba di J akarta.6

6 Mengenai perjalanan saya ke Moskwa sudah saya tulis agak rinci dalam Kampus Kabelnaya: Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet (Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), hlm. 12-17.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keempat: Moskwa

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tidak Terputus

WALAU DIPISAHKAN oleh jarak tak kurang dari lim a ribu kilom eter, hubungan saya dengan Mas Pram sam asekali tidak terputus. Kebetulan waktu saya m eninggalkan J akarta, terjem ahan saya, novel Cekoslowakia Nikola Suhaj Penyam un (judul asli Nikola Suhaj Lupezhnik), dim uat berturut-turut di harian Bintang Tim ur. Bersam aan dengan itu bagian-bagian tulisan Mas Pram , ”Hoa Kiau di Indonesia”, dim uat pula. Itu sebabnya, walau biaya posnya m ahal, paling tidak sem inggu sekali saya m endapat kirim an Bintang Tim ur Minggu. Untuk m em anfaatkannya secara m aksim al, di Kam pus Kabelnaya kam i terbitkan koran dinding berbahasa IndonesiaInggris-Rusia dengan nam a ”Indonesia”. Dalam bahasa Indonesia kam i isi tulisan apa saja yang m asuk tentang Indonesia, bisa cerpen dan sajak tulisan tem an-tem an, dan tentu saja koran Bintang Tim ur yang begitu saja kam i bentangtem pelkan. Waktu itu koran-koran di Indonesia terbit hanya em pat halam an, jadi sekali terbit ”Indonesia” m em bentangkan halam an 1 dan 4 pada tanggal dua m inggu sesudah Bintang Tim ur terbit, dan halam an 2 dan 3 sem inggu kem udian. Dalam

www.facebook.com/indonesiapustaka

232

Bersama Mas Pram

bahasa Inggris kam i isi kutipan-kutipan tentang Indonesia dari buku-buku yang ada, dem ikian juga dalam bahasa Rusia Saya katakan ”kam i”, karena resm inya koran ini diterbitkan oleh organisasi m ahasiswa Indonesia PPI (Persatuan Pelajar Indonesia, Zem lyachestvo indonyeziiskikh studentov), tapi dalam kenyataan kam i berlim a, yaitu saya bersam a em pat orang lain: Zakirm an, Rahardjo Sudim an, Im an Satoto, dan Kang Genong (yang nam a sebenarnya Karsono), yang m engerjakan. Saya pem im pin redaksi yang serabutan, artinya kalau perlu m engerjakan yang lain-lain, term asuk m engetik teks bahasa Rusia. Yang lain-lain pem bantu serabutan juga. Yang agak khusus adalah Im an Satoto dan Kang Genong yang m engurusi layout dan ilustrasi. ”Indonesia” terbit tiap Senin pagi pukul 0 8.0 0 , sejam sebelum pelajaran dim ulai. Kam i m enyiapkan m alam Senin, biasanya sam pai tengah m alam . Karena Im an Satoto dan Kang Genong tinggal di asram a lain, di Storozhevaya, m aka m ereka m enginap di kam ar kam i, dan paginya langsung m engikuti kuliah, karena perkuliahan diselenggarakan di kam pus kam i. Begitulah, tiap Senin pagi orang Indonesia (terutam a) berkerum un di depan koran dinding itu, yang kam i biarkan sam pai satu m inggu m enjelang terbit nom or berikutnya. Kadang-kadang, karena sudah tak ada lagi pem baca, hari Kam is sore koran dinding sudah kam i gulung. Tahun 1962 Mas Pram m ulai m em im pin lem baran m ingguan ”Lentera” di Bintang Tim ur. Ini m em perkokoh kontak kam i dengan Bintang Tim ur. Dengan dem ikian kam i di Moskwa bisa m engikuti pem beritaan m engenai peristiwaperistiwa besar. Kalau sebelum nya kam i bisa m engikuti berita-berita seperti kedatangan kosm onot Uni Soviet Germ an

Bagian Keempat: Moskwa

www.facebook.com/indonesiapustaka

Titov di Indonesia, Peristiwa Cenderawasih, yaitu percobaan pem bunuhan atas Presiden Soekarno di J alan Cenderawasih, Makassar, Pertem puran Laut Aru, di m ana MTB ”Macan Tutul” bersam a Kom odor J os Sudarso ditenggelam kan oleh Angkatan Laut Belanda, m aka kini kam i bisa m engikuti berita tentang Peristiwa Idul Adha, yaitu percobaan pem bunuhan atas Presiden Soekarno di lapangan rum put di depan Istana Merdeka, tertangkapnya pem im pin DI S.M. Kartosuwirjo di Majalaya, penyelenggaraan Asian Gam es ke-IV di J akarta, pem berontakan Partai Rakyat Brunai di bawah A.M. Azahari, dan lain-lain. Di bidang khusus, saya ingat, kam i m engikuti berita tentang polem ik sekitar karya plagiat HAMKA, berita tentang Manifesto Kebudayaan (yang disingkat Manikebu) dan polem ik di sekitarnya, serta polem ik ram ai sekitar Badan Pendukung Soekarnoism e (BPS). Sem ua itu m em buat kam i yang belajar di Moskwa m erasa tetap dekat dengan m asalah-m asalah di Indonesia dan tidak m erasa ketinggalan dari m ereka yang tinggal di Indonesia sendiri.

233

www.facebook.com/indonesiapustaka

Hubungan Jakarta-Moskwa

HUBUNGAN J AKARTA-MOSKWA tahun 1960 praktis dilakukan hanya lewat pos yang biasanya berjalan dua m inggu. Sebagai orang yang banyak m endapat pengalam an baru, dengan sendirinya saya banyak m enulis surat kepada istri, saudara, dan handai-taulan, di antaranya kepada Mas Pram . Mas Pram sendiri tidak selalu m elayani surat saya. Itu dapat dim engerti, karena isi surat saya toh tidak selalu penting, dan Mas Pram tentunya lebih m engutam akan karangannya. Lagi pula, setahu saya, Mas Pram bukan orang yang suka berkorespondensi. Tapi di antara surat yang ditulisnya kepada saya berisi perm intaan tolong agar saya m engusahakan honorarium bukubukunya yang telah diterjem ahkan ke dalam bahasa Rusia. Untuk itu saya harus bertem u dengan Ketua Serikat Pengarang Uni Soviet (Soyuz sovyetskikh pisatelei), Boris Polevoi. Boris Polevoi pengarang Soviet terkenal. Karyanya yang m onum ental adalah Povest o nastoy ashchom chelovy eke, tentang contoh kegigihan dan keberanian m anusia Soviet (yang kem udian diterjem ahkan oleh Mas Pram dengan judul Kisah Manusia Sejati). Cerita lain yang diterjem ahkan Mas

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keempat: Moskwa

Pram adalah Kisah Seorang Prajurit Soviet (judul Rusianya saya lupa) karangan Mikhail Sholokhov, pengarang novel dan cerita pendek yang kuat, yang sebagian kem udian diterbitkan dalam bentuk kum pulan tulisan. Waktu itu ada tiga karya Mas Pram yang sudah diterjem ahkan ke dalam bahasa Rusia, yaitu Keluarga Gerily a (m enjadi Sem y a partizanov), Di Tepi Kali Bekasi (m enjadi Na beregu reki Bekasi), dan ”Yang Sudah Hilang” (m enjadi ”O tom , chto proshlo”). Yang ketiga adalah salah satu judul cerita yang term uat dalam kum pulan Cerita dari Blora. Uni Soviet waktu itu tidak m enjadi anggota sesuatu konvensi internasional hak cipta. Sebetulnya ada paling tidak dua konvensi internasional m acam ini, yang penting di antaranya adalah Konvensi Bern (resm inya bernam a International Convention for the Protection of Literary and Artistic Works), yang untuk pertam a kali ditandatangani di sebuah konferensi internasional di Bern, Swiss, tahun 1886. Indonesia (kalau saya tidak salah ingat) waktu itu sudah m encabut keanggotaan yang sem ula dim ilikinya berdasarkan warisan dari Hindia Belanda. J adi tidak ada kewajiban bagi pihak Uni Soviet untuk m em bayar kepada pengarang yang bukunya diterbitkan dalam bentuk terjem ahan di Uni Soviet. Untuk m em inta izin pun tidak ada kewajiban. Sebaliknya, pihak di luar Uni Soviet bebas m enerjem ahkan dan m enerbitkan buku-buku yang terbit di Uni Soviet dalam bentuk terjem ahan dalam sesuatu bahasa di luar Uni Soviet. Walau dem ikian, hubungan antarm anusia sangat penting. Lebih-lebih hubungan persahabatan antarnegara Republik Indonesia dan Uni Soviet waktu itu sedang sebaik-baiknya. Salah satu buktinya adalah bahwa kam i m enjadi m ahasiswa

235

236

Bersama Mas Pram

di Moskwa dalam jum lah ratusan. Maka pada suatu pagi saya

www.facebook.com/indonesiapustaka

pun m enem ui Boris Polevoi di kantor Serikat Pengarang Uni Soviet, setelah lebih dulu m em buat janji. Polevoi m enerim a saya dengan senang dan bergairah, seperti kebiasaan orang Rusia m enerim a tam u. Ia didam pingi sekretaris Serikat itu, Mariam Salganik. Nam a Mas Pram waktu itu sudah besar di Uni Soviet. Ia pernah m engikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent (ibukota salah satu Republik Uni Soviet) tahun 1957. Dan karya-karyanya term asuk yang pertam a diterjem ahkan dan diterbitkan di Uni Soviet di antara buku-buku sastra Indonesia, di sam ping Abdul Muis dan Arm ijn Pane. Tapi dengan sendirinya pertem uan itu m erupakan pertem uan penjajakan sem ata. Walaupun dem ikian Polevoi berjanji akan m engurus perm intaan Mas Pram itu. Dan sebagai tanda persahabatan, oleh Polevoi dititipkan sebuah notes kecil dan sebatang pensil yang waktu itu m erupakan barang-barang antik yang sangat dihargai. Selanjutnya saya tak tahu (atau lupa) bagaim ana perkem bangan m asalah ini. Tapi seingat saya Mas Pram tak pernah m erasa puas dalam hubungannya dengan penerbit di Uni Soviet.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Milik Rakyat Indonesia

SELAMA DI Moskwa, saya curahkan waktu saya betul-betul untuk belajar. Saya bertekad m enyelesaikan pelajaran ini dengan baik. Sebelum nya, enam tahun waktu yang saya buang untuk kuliah di Indonesia, tanpa hasil, karena direpoti oleh banyak m asalah, yang pokok di antaranya biaya. Sekarang biaya disediakan, jadi tak ada alasan untuk tidak berhasil. Untuk itu kesulitan apapun, kecil atau besar, harus saya retas. Saya pun ingin m enyenangkan hati Mas Pram yang pernah kecewa ketika tahu saya tidak lagi kuliah. Saya pun ingin m em enuhi—secara tak langsung—kehendak Ibu yang m enurut Mas Pram , pada zam annya, m enghendaki agar ia nantinya belajar di Eropa. Saya juga sependapat dengan pendirian pem im pin bangsa Indonesia Bung Karno, bahwa revolusi yang dicetuskan bangsa Indonesia tahun 1945 belum selesai, dan karena itu harus diselesaikan. Revolusi Indonesia bukan gagal. Buktinya, bangsa Indonesia sudah berhasil secara politik m em bangun negara Republik Indonesia dengan wilayah dari Sabang sam pai Merauke (dengan catatan Irian Barat m asih dalam sengketa

www.facebook.com/indonesiapustaka

238

Bersama Mas Pram

dengan Belanda). Revolusi Indonesia juga bukan sudah selesai, justru karena Irian Barat m asih dalam sengketa, dan justru karena m asyarakat adil dan m akm ur belum tercipta di bum i Indonesia. Saya, sebagai salah seorang pem uda Indonesia yang sadar akan hal itu, harus ikut aktif m enyelesaikan revolusi Indonesia. Karena status saya adalah m ahasiswa, m aka dengan sendirinya belajar baik m enjadi tugas pokok. Dan karena saya adalah m ahasiswa tugas belajar, m aka nanti kalau sudah tam at belajar harus bekerja baik m endukung pem erintah dalam m elaksanakan program -program nya. Revolusi Indonesia adalah revolusi kiri yang prorakyat, yang antipenghisapan dan penindasan dari kaum penghisap dan penindas dalam bentuk feodalism e, kolonialism e, kapitalism e, dan im perialism e. Karena revolusi Indonesia adalah revolusi kiri, m aka untuk m em enangkannya harus bersekutu dengan kekuatan kiri, baik di dalam negeri m aupun di luar negeri. Di dalam negeri bersekutu dengan kaum kiri lain, dan di luar negeri bersekutu dengan negeri-negeri sosialis dan negeri-negeri yang baru berjuang m em bebaskan diri dari kolonialism e. J adi revolusi belum selesai. Perjuangan harus jalan terus. Itulah suasana hati dan pikiran saya waktu itu. Itulah suasana hati dan pikiran rakyat Indonesia yang sadar waktu itu. Dan itu pula kiranya suasana hati dan pikiran Mas Pram . Maka tidak m engherankan, ketika saya m engalam i kem elut rum ahtangga,1 jawaban Mas Pram atas perm intaan saya justru sesuai dengan suasana hati dan pikiran tersebut.

1

Tentang kemelut ini sudah saya ceritakan dalam buku Kampus Kabelnaya: Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet, (Jakarta: KPG, 2003).

Bagian Keempat: Moskwa

Tanggal 1 Desem ber 1962 saya layangkan surat tiga halam an folio ketik rapat kepada Mas Pram , di m ana antara lain saya tulis: “Kalau m as Muk bersedia, bantulah saja m entjairkan tuntutan istri saja ini. Tapi saja kira jang pokok bukanlah disitu. J ang pokok ialah m enghantjurkan pandangan keluarganja yang kolod, jang saja kira dipim pin oleh pendapat [...]-nja. Keluarga ini sam asekali djauh dari kehidupan revolusioner, karena itu dem ikianlah djalan pikirannja.” Sebagai jawabannya, awal tahun 1963, saya m enerim a telegram Mas Pram . Isinya:

www.facebook.com/indonesiapustaka

“KOESALAHSOEBAGYOTOER 3J A KABELNAYA DOM-1 MOSKWA 3-24 USSR LIEK BERIKAN J G DIPINTA ISTRIMU TITIK KAU MILIK RAKJ AT INDONESIA TITIK ISTRI DAN ANAKMU TAK PUNJ A HAK ISTIMEWA ATAS DIRIMU PRAMOEDYA” Sem ula saya m engira Mas Pram m enulis telegram itu tanpa lebih dulu m enghubungi keluarga istriku, nam un kem udian saya ketahui, Mas Pram m em ang m endatangi m ertua saya (dan istri saya sudah tak tinggal di situ). Menerim a telegram itu saya pun m em benarkan Mas Pram , walau dengan getir. “Kau benar, Mas Pram ,” begitu kata saya dalam hati.

239

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tokoh Misterius

SELAMA DI Moskwa saya sem pat berkenalan akrab dengan seorang wanita Rusia yang sebelum kedatangan saya sudah akrab dengan orang Indonesia. Untuk orang Rusia, ia dapat dikatakan m ungil, tapi m ontok. Cerdas otaknya, luas pengetahuannya, jinak-jinak m erpati pergaulannya. Bisa bicara Indonesia, Inggris, Spanyol, dan waktu itu sedang m em pelajari bahasa J awa. Pengetahuannya tentang bahasa Rusia bagus sekali, karena itu bisa diajak berkonsultasi. Nam anya Rita. Saya m engenal dia atas inisiatifnya sendiri, yang langsung m engundang saya ke rum ahnya. Ia m erasa dekat dengan saya karena dia m engenal Mas Pram , bukan hanya karena bukubukunya, m elainkan karena pernah bertem u langsung dengan Mas Pram , waktu Mas Pram berkunjung ke Moskwa. Menurut Rita, waktu itu Mas Pram dititipi salam oleh seorang pem uda Indonesia yang konon adalah pacarnya. Kirim salam hal yang biasa saja dalam pergaulan antarm anusia. Yang istim ewa adalah Mas Pram waktu itu bertanya kepada Rita: “Boleh saya sam paikan langsung?”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keempat: Moskwa

Dan Rita yang langsung m enangkap m aksud pertanyaan itu langsung m enjawab: “O, boleh.” Dan salam pun disam paikan. Kalau tidak ada yang istim ewa, m asakan Rita m enyam paikan cerita itu kepada saya? Sem entara itu, m akin lam a bergaul dengannya, m akin saya ketahui dua hal tentang dia: pertam a, bahwa dia ini sem acam “piala bergilir” orang Indonesia, dari kecil sam pai besar, walau seberapa jauh, itu m ustahil saya ketahui. Dan kedua, ada yang m encurigakan padanya. Misalnya, pada suatu hari saya tem ui kedua tangannya penuh rajah. “Lho, kenapa tangan itu?” tanya saya kaget. “Latihan!” jawabnya enteng. “Latihan apa?” tanya saya lebih kaget. “Latihan diiris.” “Pakai apa?” “Silet!” “Silet?” “Ya silet!” Mula-m ula saya anggap dia m ain-m ain, tapi m elihat sepakterjangnya yang lain, lam a-lam a saya pikir: “Mau jadi apa kek, itu urusanm u.” Urusan saya adalah m endapat konsultasi bahasa Rusia dan bahasa Spanyol, dan m elangsungkan hubunganku dengan Mas Pram . Lho, kok bisa? Iya, karena dalam perjalanan waktu, ternyata Rita sem pat m enjadi pacar seorang tokoh Lekra yang sangat m enghargai buku dan barang seni, mencintai ilmu pengetahuan dan ilsafat. Buku-buku yang dianggap si tokoh baik, terutam a dari orang Lekra juga, ia beli belaka, dan ia hadiahkan kepada si cantik idam an hati itu.

241

www.facebook.com/indonesiapustaka

242

Bersama Mas Pram

Tiap buku hadiah ia sertai kalimat mesra, falsai, monumental tulisan tangan, dan dengan sendirinya tandatangan tokoh tersebut. Dan tiap bukunya itu “dipam erkan” Rita kepada saya. Dengan cara itu, buku Mas Pram yang baru tidak pernah lolos dari catatan saya. Maka di tengah hubungan pos yang langka waktu itu, saya sem pat m em injam dan m em baca dari Rita buku Boris Polevoi terjem ahan Mas Pram Kisah Manusia Sejati dan Kisah Seorang Prajurit Soviet. Saya juga sem pat m em baca Panggil Aku Kartini Saja jilid I dan II. Salah satunya bahkan sem pat hilang (barangkali diserobot oleh tem an), hingga saya sem pat kirim surat kepada Mas Pram m inta dikirim i buku itu untuk m engganti buku Rita yang hilang. J adi saya tahu perihal perpacaran Rita dengan tokoh Lekra tersebut dari buku-buku itu. Dan lebih m eyakinkan lagi, tokoh Lekra yang waktu itu sudah m enjadi pejabat negara, pada suatu kali singgah di Moskwa. Kam i m ahasiswa Indonesia selalu girang m enyam but kedatangan orang Indonesia di Moskwa. Seboleh-bolehnya tam u-tam u seperti itu, besar kek, kecil kek, kam i tanggap, karena kam i selalu m erasa haus inform asi tentang Tanah-air dengan segala m asalahnya. Dalam m engejar inform asi ini, waktu, tenaga, dan uang transpor tidak kam i persoalkan. Begitulah, kam i yang tinggal di kam pus Kabelnaya sudah m endapat pem beritahuan bahwa tokoh negara itu akan m enyediakan waktu untuk berbicara di hadapan m ahasiswa Indonesia di kam pus Donskoi, pusat Universitas Persahabatan waktu itu. J arak antara kedua kam pus itu satu jam perjalanan trem , dan waktunya pas kuliah. Maka dengan m engorbankan kuliah, pada waktu yang telah ditentukan kam i sudah berkum pul di tem pat. Tapi alangkah kecewanya, karena sam pai waktu

Bagian Keempat: Moskwa

www.facebook.com/indonesiapustaka

habis tokoh tersebut tidak m enam pakkan batang hidungnya, dan tanpa pem beritahuan soal penyebabnya. Ternyata, pada saat ia dinanti-nantikan para m ahasiswa, si tokoh ngendon di rum ah Rita. Saya heran. Lekra kan waktu itu organisasi yang tergolong paling kenal disiplin? Kok bisa pem im pinnya bikin telodor m acam itu? Tapi dari m ana saya tahu itu? Ya dari siapa lagi kalau bukan dari Rita?

243

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Perkenalkan, Adik Saya!

TAHUN 1965 tahun bahagia buat saya, karena tahun itu saya berhasil m enyelesaikan kuliah di Moskwa. Pertengahan bulan J uni saya m em pertahankan skripsi, dan pertengahan bulan J uli bersam a sekitar tiga puluh lulusan lain pulang ke Indonesia. Sebetulnya saya m asih berhak tinggal di Uni Soviet sam pai bulan Oktober, tapi sem angat pengabdian pada Tanahair m endorong saya untuk segera pulang. Kam i pulang kem bali dengan pesawat “Air India” dengan bagasi norm al (20 kg), sedangkan barang-barang lainnya (terutam a buku) diangkut dengan kapal. Di lapangan terbang Kem ayoran, sekitar pukul 16.0 0 , saya dijem put oleh Mas Wiek yang untuk keperluan itu m em injam m obil dari kantor. Dengan m obil itu saya dibawa langsung ke J alan Purwodadi No. 22, tem pat tinggal m antan m ertua saya, di m ana tinggal juga anak saya, Ruski. Waktu saya datang Ruski sedang berm ain dengan tem an-tem annya di rum ah tetangga. Um urnya em pat tahun waktu itu. Mertua saya m em anggilnya: “Kiii, ini Bapak dataaang!” berulang kali. Anak itu tidak segera datang, tapi akhirnya toh datang. Dan ketika datang, ia langsung m endem pel pada em bahnya, tak m au m endekat.

www.facebook.com/indonesiapustaka

248

Bersama Mas Pram

Percakapan dengan m antan m ertua tak perlu saya ceritakan di sini. J uga segi psikologis pertem uan saya dengan anak saya. Yang penting, saya sudah bertem u dengan m ereka dan m enyam paikan apa-apa yang perlu, karena m obil pinjam an bersam a sopir harus selekasnya kem bali ke kantor. Kam i m eneruskan perjalanan ke rum ah kontrakan Mas Wiek di J alan Rawam angun, m enaruh barang dan m elepas sopir dengan m obilnya, lalu saya diantarkan Mbak Marie, istri Mas Wiek, ke rum ah Mas Pram . Mas Pram ternyata tidak ada di rum ah. Ia sedang m elatih koor di rum ah Pak Lem an, kata Mbak Maem unah. Saya pun diantarkan ke rum ah Pak Lem an di sebuah gang dekat Pasar Genjing. Di situ saya lihat Mas Pram sedang m elatih koor anak-anak m enyanyikan lagu-lagu ciptaan Mas Pram sendiri. Waktu itu sudah sekitar pukul 19.0 0 . Begitu saya m uncul, Mas Pram m enghentikan latihannya: “Kau, Liek?” katanya. Saya m engulurkan tangan, tapi dia m em eluk saya erat dan m encium i m uka saya. “Kenalkan ini, adik saya yang baru datang dari Moskwa!” katanya kepada orang banyak. “Sarjana bahasa Rusia, cum laude,” tam bahnya bangga. Pak Lem an m enyalam i saya, juga kedua anak lelakinya yang sudah pem uda, dan pem udapem uda lain. Sem ua saya salam i, term asuk anak-anak yang tadi sedang dilatih. Latihan koor dilanjutkan, antara lain dengan lagu “Pam an Martil”. J udul lagu ini kalau tak salah sudah pernah saya baca di “Lentera”. Karena itu saya tidak begitu heran m endengarnya. Isinya kisah tentang seorang pejuang kem erdekaan, terdiri atas beberapa bait, tanpa ulangan. Kelihatannya baru hari itu

Bagian Kelima: Tahun 1965

www.facebook.com/indonesiapustaka

lagu tersebut diajarkan, karena itu anak-anak belum lancar m enyanyikan. Apalagi lagu itu disertai dengan gerak-gerik badan, sem acam tari, yang dipandu juga oleh Mas Pram . Sem entara itu saya duduk m enyaksikan dan m endengarkan, sam bil sesekali bercakap-cakap dengan para pem uda. Menurut keterangan m ereka, tem pat itu m em ang rum ah Pak Lem an yang dipakai sebagai tem pat berkum pul anak-anak Pem uda Rakyat, juga anak-anak TK yang dikelola oleh Gerwani. Di sam ping lagu-lagu, dilatihkan pula tari-tarian, antara lain kalau tak salah tari “Genjer-genjer” dan tari “Tani”. Menurut keterangan para pem uda itu, pada bulan Agustus nanti di RT itu akan didirikan cabang Lekra. Acara peresm iannya akan m encakup pula m alam kesenian. Latihanlatihan itu dim aksud untuk m alam kesenian tersebut. Diharapkan saya bisa ikut aktif dalam acara itu. “Mudah-m udahan!” jawab saya. Tak lam a sesudah itu, karena sudah lelah, saya m inta perm isi dulu, dan pulang ke rum ah Mas Wiek, di m ana untuk sem entara saya akan tinggal. Latihan berjalan terus.

249

www.facebook.com/indonesiapustaka

Membalas Budi

SEPERTI SUDAH saya tulis, untuk belajar di Moskwa saya di antaranya harus m inta izin kepada Kem enterian PPK (Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan). Itu berarti saya m ahasiswa ikatan dinas, dan dengan dem ikian saya harus m enandatangani perjanjian dengan pem erintah dengan syarat-syarat tertentu, antara lain selulus pendidikan saya harus bekerja pada pem erintah dalam jangka waktu yang ditentukan: dua kali m asa belajar (5 tahun) ditam bah 1 (satu) tahun, ditam bah wajib kerja sarjana 3 (tiga) tahun, total 14 tahun. Selam a saya berada di Moskwa, Kem enterian PPK sem pat dipecah m enjadi dua, yaitu Departem en Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK), dan Departem en Perguruan Tinggi dan Ilm u Pengetahuan (PTIP). J adi setiba kem bali di Indonesia saya harus m elapor kepada PTIP. Dan laporan waktu itu diterim a dengan cepat. Saya sam pai heran. Sem ua sarjana ikatan dinas langsung diterim a sebagai pegawai tinggi dengan golongan F II lengkap dengan gaji, ditam bah pem bagian beras 30 kg, walau tanpa m eja. J adi, sam bil m enunggu penem patan

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

oleh PTIP di lem baga yang m em erlukan, sarjana ikatan dinas “wajib” datang pada akhir bulan untuk m engam bil gaji. Sem ua ini sangat m enggem birakan. Hanya sayangnya, angka inlasi waktu itu amat tinggi hingga gaji yang saya terima tidak sebanding dengan keperluan yang harus saya im bali dengan gaji bulanan. Sering gaji itu langsung habis sesudah saya m asuk toko koperasi untuk m em beli m acam -m acam kebutuhan rum ahtangga seperti m inyak goreng, ikan asin, biskuit, sabun m andi dan cuci, dll. Saya sam pai lenger-lenger: kok gaji pegawai tinggi begini kecil? Soal ini pernah saya sam paikan kepada tem an yang selam a ini tinggal di Indonesia. Dan apa jawabannya? Mem ang di Indonesia ini kita tak boleh m engandalkan satu gaji! Nah, dalam situasi dem ikian itulah pada suatu kali saya m enerim a katebelece dari Oleg N. Kondrashkin, salah seorang penyusun Kam us Indonesia-Rusia yang terbit tahun 1961 dan bekas guru kam i yang m engajar Sejarah Perkem bangan Masyarakat. Kondrashkin kini bekerja di Bagian Perdagangan Kedutaan Besar Uni Soviet, yang kantornya ada di J alan Madura No. 49, J akarta. Isi katebelece kira-kira: Tolonglah tem an-tem an saya Saudara ajar bahasa Indonesia. Perm intaan ini saya terim a bukan sem ata-m ata sebagai sum ber pendapatan. Pertam a, Kondrashkin guru yang baik, sikapnya sangat baik terhadap m ahasiswa Indonesia dan rakyat Indonesia um um nya. Bahkan tanpa itu pun, karena ia bekas guru, sudah sepantasnya saya m em balas budi kepadanya. Kedua, lim a tahun penuh saya m endapat kesem patan belajar di Moskwa dengan dicukupi segala kebutuhan saya, sehingga pelajaran dapat saya selesaikan dengan lancar dan dengan angka yang baik. Itu berarti pengorbanan rakyat Soviet,

251

www.facebook.com/indonesiapustaka

252

Bersama Mas Pram

karena di negeri sosialis berlaku perekonom ian rakyat. Bukankah itu jasa yang tak terkira besarnya untuk saya, yang telah terpaksa m enghentikan kuliah di Indonesia karena tak m am pu m enanggung biayanya? Dan yang terakhir, tentu saja, pekerjaan itu m em berikan sum ber penghasilan yang dapat m enutup ketim pangan gaji saya sebagai pegawai negeri. Maka dalam pertem uan di J alan Madura itu, pekerjaan langsung saya terim a. Saya m engajar dua kelom pok, m asing-m asing terdiri atas enam orang cam puran lelaki-perem puan, dua kali sem inggu, setiap kali satu setengah jam . Walaupun waktu itu belum ada buku panduan untuk m engajar bahasa Indonesia untuk orang Rusia, saya yakin bisa m elaksanakan tugas itu dengan baik. J angankan buku panduan untuk orang Rusia, buku panduan untuk orang asing pun waktu itu belum ada. Soal m etode m engajar, saya toh punya pengalam an m engajar bahasa Indonesia di SMP (Sekolah Menengah Pertam a) dan kesusastraan Indonesia di SMA (Sekolah Menengah Atas). Dan di Moskwa pun saya punya pengalam an m em berikan kursus bahasa Rusia kepada m ahasiswa-m ahasiswa Indonesia yang baru datang. Dan dalam praktik m engajar bahasa Rusia, saya m endapat tugas m engajar m ahasiswa dari Sailan. Untuk pengajaran itu saya akan m endapat penghasilan cukup, dan akan dijem put dan diantarkan pulang dengan m obil. Waktu itu m asih banyak m obil m erek Gaz, Volga, dan Moskvich di Indonesia. Bagian Perdagangan punya banyak Gaz, lengkap dengan sopirnya. Hanya saya katakan, saya baru bisa m engajar m ulai Agutus bulan depan, karena saya harus m enengok dulu kota kelahiran, Blora.

Bagian Kelima: Tahun 1965

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tentu saja, dalam kesem patan pertem uan dengan Mas Pram berita itu saya sam paikan kepadanya. Dan apa kom entarnya? “Pekerjaan begitu kok kau terim a!” Kom entar itu dengan sendirinya m engecewakan diri saya. Tapi saya berpendirian, walau secara um um kebutuhan m anusia satu dengan m anusia lain sam a, secara khusus pasti tidak sam a atau bahkan berbeda. Dengan dem ikian saya tetap bertekad m enjalankan pekerjaan itu.

253

www.facebook.com/indonesiapustaka

Pilih Mana?

DI ATAS sudah saya ceritakan bagaim ana Mas Pram m engirim kan telegram kepada saya di Moskwa. Peristiwa itu rupanya m enjadi m im pi buruk baginya. Kalau m au dikatakan dirasakan sebagai ganjalan, barangkali dem ikian. Karena itu beberapa kali dia m engatakan: “Sudah kukatakan, jangan kawin sam a orang Sunda. Banyak gadis lain. Kapan m au ikut aku?” Perlu saya singgung di sini bahwa lim a tahun tinggal di Eropa itu ada pengaruhnya juga terhadap pengelihatan. Pulang di Indonesia, terkesan oleh saya (m aaf) gadis Indonesia kecilkecil, hitam -hitam , dan jelek-jelek. Mungkin karena keadaan ekonom i Indonesia waktu itu sangat buruk. Kem iskinan boleh dikata m erata diderita oleh orang Indonesia. Karena itu, kebanyakan orang Indonesia kurus, kisut kulitnya, wajah tidak cerah. Sebaliknya rakyat Soviet waktu itu sedang bertekad m em bangun dasar bagi m asyarakat kom unis yang m encitacitakan “dari m asing-m asing orang m enurut kem am puannya, untuk setiap orang m enurut kebutuhannya”. Tidak heran, di mana-mana yang terlihat adalah isik yang gagah, tampan, tegap, cantik, dan itu term anifestasikan selalu dalam prestasi

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

Uni Soviet dalam Olim piade dan acara-acara pertandingan olahraga yang lain. Karena kesan itu tadi, saya agak berlam bat-lam bat untuk urusan m em ilih istri. Di sam ping m asalah perasaan, ada faktor ekonom i belum m antap benar. Anehnya, ada saja yang ngglibet. Seorang di antaranya suka datang ke rum ah, dan... ada saja alasannya untuk m inta diantarkan ke situ ke sana. Mas Pram juga m elihat hal itu. Maka ia m engingatkan saya: “J angan m au sam a dia. Uang sakunya pun nggak bisa kau nyediain!” Dan itu m em ang benar. Pada suatu hari saya “terpaksa” m engantarkan dia ke suatu tem pat di J akarta dengan m obilnya (waktu itu belum biasa orang berm obil-m obil). Pulang dari m engantarkan, dia m engajak m am pir m akan di restoran Cina di J alan Mangunsarkoro dekat rel. Itu di daerah Menteng, elitnya J akarta. Sungguh m ati, saya tidak m erasakan enaknya m akanan, karena terbayang berapa saya harus bayar karena toh saya harus bersikap galant? Dan berapa ternyata? Saya tak ingat berapa, yang jelas uang di kantong saya ludes, tinggal uang receh. Nyaris saya m enderita m alu. Dan saya sangat m enyesal telah bertindak sebodoh itu. Maka sejak itu saya putuskan untuk tidak m elayani ajakannya untuk “antarkan”. Dan pada suatu sore saya diajak Mas Pram m em bonceng skuternya, sesudah seharian ia m engetik. Ia m em bawa bahan untuk didrop di Bintang Tim ur: untuk lem baran kebudayaan Lentera. Baru sesudah itu kam i m am pir di rum ah iparnya di J alan Batutulis, tak jauh dari sana. Ipar itu adalah kakak perem puan Mbak Pram . Saya tahu ipar itu punya anak perem puan, di sam ping anak lelaki. Tapi yang saya herankan, di rum ah itu kam i jum pai banyak gadis.

255

256

Bersama Mas Pram

Ada kalau sepuluh orang, m asing-m asing dengan potongan,

www.facebook.com/indonesiapustaka

gaya, dan wajahnya. “Apa m ereka sengaja dikum pulkan untuk saya?’ begitu pikir saya gede rum angsa. Dan sem uanya diperkenalkan kepada saya oleh Mas Pram . J adinya saya seperti berada di tengah pasar sayuran. Sem ua bagus dan jelek sekaligus. Terus-terang, saya m asih terpengaruh oleh kesan tadi. Toh di jalan pulang, m asih di boncengan skuter, Mas Pram bertanya: “Bagaim ana, udah pilih?” “Pilih apa?” saya pura-pura bego. “Cewek-cewek tadi!” “Ya m esti lihat-lihat dulu!” saya ngawur saja. Pertanyaan Mas Pram itu saya anggap aneh dan keterlaluan. Dianggap seperti m em ilih ubi atau singkong saja.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Jor-joran

SEPERTI SUDAH saya katakan, saya pulang ke Indonesia pertengahan J uli 1965. Waktu itu sedang berlangsung “jorjoran” antarpartai untuk pam er kekuatan dalam bentuk m em peringati hari ulangtahunnya. Selagi m asih di Moskwa, saya sudah m endengar bagaim ana Partai Kom unis Indonesia (PKI) m em peringati hari ulangtahun (ultah)-nya yang ke-45 (23 Mei 1965) secara besar-besaran. Partai ini m engadakan rapat raksasa di Stadion Utam a Gelanggang Bung Karno, dihadiri konon oleh lebih daripada 150 ribu pengikutnya. Dikum andangkan berm acam tuntutan, antara lain: Ganyang 7 setan desa, Ganyang 3 setan kota, Ganyang kabir, Bentuk Kabinet Gotong-Royong berporoskan Nasakom , Bentuk Angkatan Ke-5, Adakan pem ilu ke-II, Laksanakan Manipol dan Dekon secara konsekuen, Intensifkan konfrontasi dengan Malaysia, Bantu Vietnam Utara, dan Ganyang kebudayaan Barat. Dalam kesem patan itu Presiden berkata: “PKI m erupakan unsur yang hebat dalam penyelesaian revolusi, sedangkan sebab yang m engakibatkan PKI m akin besar dan kuat ialah karena PKI selalu bersikap konsekuen progresif revolusioner.”

258

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Dalam kesem patan itu juga Presiden m enggandeng tangan Ketua PKI, D.N. Aidit, m enuju sekelom pok juru foto untuk dipotret berdua sam bil bergandengan. Presiden berkata: “Telah saya katakan dalam Kongres PKI yang ke-6 bahwa terhadap PKI saya bersikap: “Ya sanakku y a kadangku; y en m ati aku sing kelangan” (juga sanak juga keluargaku; kalau m ati aku yang kehilangan). Dalam perayaan itu gam bar Soekarno dan Aidit, diapit gam bar pem im pin-pem im pin kom unis dunia seperti Engels, Marx, Lenin, dan Stalin, m enghiasai Markas Besar PKI yang belum ram pung. Bulan J uli itu pula Partai Nasional Indonesia (PNI) m em peringati HUT-nya di tem pat yang sam a, dan juga dihadiri oleh Bung Karno. Gelora Bung Karno pun padat pum pat, tak ada tem pat kosong. Um um m engetahui, stadion itu dibangun oleh para ahli dari Uni Soviet, lebih besar dan lebih indah ketim bang Stadion Lenin di Moskwa. Kalau Stadion Lenin hanya m uat 90 .0 0 0 orang, Gelora Bung Karno m uat 10 0 .0 0 0 orang, dan kalau Stadion Lenin tidak beratap, Gelora Bung Karno beratap m elingkar indah. Sem ua itu atas perm intaan khusus Bung Karno. Sebelum dan seusai acara, m assa PNI tidak henti-henti m enyanyikan lagu ciptaan Bung Karno: Mari kita bergem bira, Suka ria bersam a, Hilangkan sedih dan duka, Mari ny any i bersam a, Leny apkan duka lara, Bergem bira sem ua,

Bagian Kelima: Tahun 1965

Tralala-la-la-la-la, Pokoke m arhen m enang! Kalim at terakhir itu seharusnya berbunyi “Mari bersuka ria”, tapi dalam rangka “jor-joran” itu tadi m ereka m elancarkan sem boyan “Pokoke m arhen m enang!” dan itulah yang dipakai m enutup lagu tersebut. Riuh-rendah bukan buatan. Disusul dengan pantun Bung Karno juga, bunyinya:

www.facebook.com/indonesiapustaka

Siapa bilang Bapak dari Blitar, Bapak ini dari Pram banan, Siapa bilang Indonesia lapar, Indonesia bany ak m akanan. Esoknya saya ikut naik kereta api J akarta-Surabaya yang dicarter oleh PNI untuk pulang kam pung ke Blora yang telah bertahun-tahun saya tinggalkan. Sebelum kereta berangkat, sam pai kereta singgah sebentar di Cepu, sepanjang hari, tidak sedetik pun orang berhenti m enyanyikan lagu yang sam a. Saya sam pai heran, betapa kuat tenggorokan orang-orang itu. Sesudah itu Nahdlatul Ulam a (NU) m erencanakan m em peringati juga hari lahir (harlah)-nya. Saya tak ingat lagi, apakah NU jadi m elaksanakan perayaan tersebut. Setahu saya NU didirikan tanggal 6 Februari 1926, jadi tentunya perayaan baru akan terjadi setengah tahun kem udian. Tapi saya ingat, spanduk-spanduk NU waktu itu sudah m em enuhi J akarta. Dan kata “harlah”—yang bukan “ultah” dan bukan pula “HUT” itu—sudah m ulai m enjadi trade m ark pem beda. Saya lalu teringat kem bali m asa tahun-tahun 1955-1957. Inilah intensiikasi dari apa yang saya namakan “pasang kudakuda” itu.

259

www.facebook.com/indonesiapustaka

Jadi Tawanan PNI

SEJ AK DI MOSKWA, diam -diam saya sudah m enjadi rebutan antara Mas Pram dan Mas Di, ipar saya yang tokoh PNI di Blora. Terutam a Mas Di-lah yang aktif ”m em perebutkan” saya. Masih teringat oleh saya salah satu suratnya: ”Dik Liek putra seorang tokoh PNI, m aka Dik Liek harus m enetapkan pilihan untuk m elanjutkan cita-cita Bapak kita.” Riwayat bapak saya m em ang boleh dikata revolusioner. Ia seorang pendukung cita-cita Dokter Soetom o dengan Boedi Oetom o-nya. Karena itulah ia m em utuskan m eninggalkan kedudukan sebagai guru HIS Rem bang yang m apan, dan sebagai gantinya m engam bil alih sekolah Boedi Oetom o Blora yang baru berum ur lim a tahun (didirikan tahun 1917), hanya terdiri atas dua kelas, dan terlantar karena ditinggalkan oleh Dokter Soetom o yang sebagai dokter pem erintah dipindahkan ke Surabaya. Ketika sekolah itu bangkrut karena pendukung utam anya, Bupati Blora R.M. Said Tirtonegoro, m eninggal tahun 1926, bapak saya m em bangun sekolah itu m enjadi sekolah dasar tujuh kelas dengan m erogoh kantong sendiri, tetap dengan nam a Instituut Boedi Oetom o (IBO).

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

Boedi Oetom o itu kan perkum pulan kooperator. Maka ketika Bung Karno tahun 1927 m endirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), dan pada 1928 diubah nam anya m enjadi Partai Nasional Indonesia (tetap PNI), Bapak m enjadi tokoh PNI Blora. Ketika PNI dibubarkan pada 25 April 1931 oleh Sartono untuk m enyelam atkan para anggota, dan akibatnya PNI pecah m enjadi dua: 1) Partai Indonesia (Partindo) yang dibentuk 29-30 April 1931, dan 2) Golongan Merdeka atau PNI Merdeka yang kem udian (akhir Desem ber 1931) di bawah Sutan Sjahrir m em bentuk Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Pendidikan, atau Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PPNI), bapak saya tetap konsekuen m enjadi anggota Partindo. Karena itu, dalam m engam panyekan Partindo, Bung Karno dkk. pernah singgah di Blora (di J alan Slibeg, rum ah di sebelah selatan rel, m enghadap ke barat), dan dalam kesem patan itu tentu saja bapak saya hadir. Kepartindoan bapak saya tentunya m enyeret serta adiknya, yaitu pam an saya, Im am Barsah, yang sejak usia delapan tahun ikut Bapak tinggal di Blora (beda um urnya dengan Bapak 18 tahun). Dan karena sesudah proklam asi yang hidup kem bali adalah PNI, bukan Partindo, m aka Bapak m aupun Im am Barsah pun m enjadi anggota PNI. Bulan J uli 1965, ketika saya berkunjung ke Blora itu, Im am Barsah m enjadi Ketua I sedangkan Mas Di m enjadi Ketua IV PNI. Mas Di pernah m enyatakan kepada saya ia m em peristri m bakyu saya, Oem i, karena sejak sem ula kagum kepada bapak saya, Mastoer, ingin m enjadi m enantunya, dan juga m elanjutkan cita-citanya. Untuk itu ia berjuang m ati-m atian, dan berhasil.

261

www.facebook.com/indonesiapustaka

262

Bersama Mas Pram

PNI sangat kuat di Blora karena tradisi bapak saya beserta Instituut Boedi Oetom o-nya. Maka tidak m engherankan kalau beberapa hari kem udian saya diplekotho (diperkosa) oleh Mas Di. Di gedung bioskop di sisi utara alun-alun diadakan acara tem u m uka dengan saya ”sebagai anak Blora yang telah sukses m enyelesaikan pendidikan di Moskwa”. Waktu itu gejala dem ikian sangat langka. Untuk itu seluruh sekolah SMP dan SMA (yang kalau tak salah ingat) baru ada satu, diliburkan. Saya diboncengkan Mas Di dengan sepeda m otor (yang waktu itu m asih langka juga) ke gedung. Gedung tum pah-ruah dengan m urid dan guru. Sebagian hadirin tak m endapat tem pat duduk, dan terpaksa berkeliaran di luar gedung. Acara dibuka oleh Sukirm an, tem an m ain saya sem asa kecil, yang waktu itu sudah m enjadi tokoh PNI. Ia bercerita tentang m asa kecil kam i, m ain joretan (petakum pet), bioskop-bioskopan, m ain di kali dsb., dsb. Selanjutnya saya dipaksa bicara tentang pengalam an m enuntut ilm u di Moskwa. Banyak pertanyaan diajukan kepada saya, yang m enurut saya um um -um um saja sifatnya. Sem uanya m enghabiskan waktu tak kurang dari em pat jam , dari pukul delapan sam pai pukul dua belas lebih. Yang khusus justru dari Mas Di, yang m alam itu m em perlihatkan tanda-tanda ingin m enam bah tekanannya supaya saya m asuk PNI. Dia ceritakan, Mas Pram m akin lam a m akin m enunjukkan tanda-tanda dekat dengan PKI. Tahun sebelum nya, 1964, waktu Mas Pram m erencanakan perjalanan keliling J awa Tengah untuk m em opulerkan Lekra bersam a J oebaar Ajoeb, ia m em beritahu Mas Di rencananya singgah di Blora dan m engucapkan pidato.

Bagian Kelima: Tahun 1965

www.facebook.com/indonesiapustaka

”Saya larang Mas Pram m engucapkan pidato di Blora!” kata Mas Di kepada saya, m enunjukkan kekuasaannya. ”Tapi Mas Pram m benthung (bersiteguh). Dia tetap datang bersam a J oebaar Ajoeb. Dan m engucapkan pidato di depan orang-orang PKI. Ya tidak ada jalan lain. Saya suruh m atikan aliran listrik. Kacau jadinya.” ”Batal acara itu?” tanya saya. ”Ya ndak tahu. Itu saya yang m em erintahkan! Seluruh kota!”

263

www.facebook.com/indonesiapustaka

Ndhelik

DI TENGAH suasana ”jor-joran” yang m elahirkan istilah dan praktik ”ofensif revolusioner” itu, Mas Wiek dan kawankawannya bertekad m em bentuk Lekra (Lem baga Kebudayaan Rakyat) Cabang Rawam angun yang akan diresm ikan tepat pada 17 Agustus, dipadu dengan acara kesenian. Perlu saya singgung bahwa istri Mas Wiek adalah wanita m uda yang pintar sekali bergaul. Orangnya berani, fasih bicara, dan berwatak ngem ong. Maka dalam lim a tahun (sejak 1960 ) tinggal di lingkungan itu, banyak yang telah ia capai. Mulai anak-anak kecil sam pai orang dewasa berkerum un seperti laron di sekitarnya. Ke m ana ia pergi, ke sana juga laron itu bergerak. Itu pula yang m em ungkinkan dibentuknya Lekra Cabang Rawam angun, di sam ping PR (Pem uda Rakyat) dan kelom pok-kelom pok kesenian yang sudah ada. Sebagai bagian dari ”ofensif revolusioner’ di tingkat nasional, di tingkat Rawam angun pun terjadi persaingan ketat dengan unsur-unsur Nasakom yang lain, khususnya dengan gerakan Pem uda Ansor dan gerakan wanita Fatayat NU. Anehnya, rasa persaingan itu m ereka ungkapkan pula dalam

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

kesenian. Pem uda Dem okrat dan gerakan wanita dari PNI juga tak m au ketinggalan, sehingga panitia kewalahan m enam pung sum bangan kesenian. Tak kurang dari 30 nom or kesenian disum bangkan dalam acara itu: paduan suara, nyanyian tunggal, tarian, dram a, deklam asi, dagelan, dll., term asuk lagu Mas Pram ”Pam an Martil” lengkap dengan pantom im iknya. Sam pai sore hari m enjelang acara, orang m asih m endaftar. Sebuah spanduk dibentangkan di lapangan sebelah pabrik Apotik Abdi berisi pem beritahuan tentang akan dibentuknya Lekra Cabang Rawam angun disertai pesta kesenian, dan ajakan untuk m enyum bangkan nom or. ”Kau nanti jadi pem bawa acara, Liek!” kata Mas Wiek. Saya langsung m erasa bahwa Mas Wiek m em anfaatkan kedudukannya sebagai kakak dan kepala keluarga, dan itu tidak benar. Maka saya keberatan. ”Kan ada dari panitia? Saya kan bukan panitia?” kata saya. ”Ada dari panitia. Kebetulan Liliek datang, sekalian m em perkenalkan. Kan hebat, sarjana lulusan Moskwa tam pil di sini, di pinggiran J akarta?” ”Lalu bagaim ana kedudukan tem an yang sudah ditugaskan?” ”Itu urusanku. Lebih cocok Liliek. Sudahlah, Liliek saja.” ”Saya jadinya enggan.” ”Menunaikan tugas, enggan? Kam u, enggan? Coba, saya m au dengar, apa alasan enggan?!” Saya tak ingin berdebat tentang m asalah yang peka pem ecahannya itu, apalagi sudah kelihatan tanda-tanda Mas Wiek akan m enggugat ”kerevolusioneran” saya. Sebagai ketua panitia tentu ia punya wewenang organisasional dan m oral untuk m engam bil langkah dem ikian.

265

266

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Karena itu akhirnya saya usulkan pem ecahan aneh ini: ”Baiklah, saya m au asal tidak tam pil di depan um um !” ”Maksudnya bagaim ana?” ”Ya saya bicara dari dalam panggung!” Barangkali—sekali lagi barangkali—itulah satu-satunya kasus di Indonesia, di m ana pem bawa acara ndhelik (m engum pet) di belakang panggung. Dan anehnya, usul aneh itu diterim a oleh ketua panitia pem bentukan Lekra Cabang Rawam angun, yang kem udian m enduduki jabatan ketua. Begitulah, m alam itu saya m enunaikan tugas sam bil ndhelik. Saya baru sebulan berada kem bali di Indonesia, dan tak m au dikesankan orang banyak sebagai anggota Lekra. Dilihat jum lah hadirinnya, tak sangsi lagi acara m alam itu sukses. Tapi karena banyaknya penyum bang, saya didesak oleh banyak pihak untuk m endahulukan nom ornya, term asuk dari rom bongan anak-anak TK yang sudah pukul sepuluh m alam belum juga berkesem patan tam pil. Terus-terang, saya juga bingung waktu itu, karena berunding dengan panitia sudah tak m ungkin lagi. Terlebih sem ua penyum bang itu kan unsurunsur Nasakom yang ”progresif-revolusioner” belaka? Maka, sekiranya gejala alam tidak m enunjukkan keperkasaannya m alam itu, acara bisa berakhir sam pai pukul dua dini hari (satu hal yang tidak um um waktu itu). Untung sekitar pukul sebelas tiba-tiba turun hujan dengan derasnya, hingga acara di lapangan yang tanpa peneduh sam asekali itu langsung terhenti. Esoknya Mas Wiek m elanjutkan wewenangnya: ”Kau juga yang nulis laporannya buat Harian Rakjat, Liek!”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Kalau Berhasil, Jago!

DAN BENAR: Apabila dalam satu keluarga bersim aharajalela purbasangka dan bukan saling pengertian, bencanalah yang m enanti. Terjadilah peristiwa politik m ahabesar di Indonesia (di tengah keluarga bangsa Indonesia), yaitu pergantian kekuasaan dengan cara kekerasan dan rekayasa. Polarisasi yang terjadi di dalam tubuh bangsa Indonesia waktu itu m ewujud dalam bentuk yang agak lain, nam un kakikatnya sam a. Peristiwa itu sungguh dahsyat, belum pernah terjadi di Indonesia, bahkan di dunia. Enam orang jenderal m ati sekaligus, dan m ayatnya dicem plungkan ke sum ur m ati. Pastilah ada yang tidak beres dalam peristiwa yang nam anya “Gerakan 30 Septem ber” itu. Mulai tahun 1962, bertepatan dengan diselenggarakannya Asian Gam es ke-IV, di Indonesia m ulai ada televisi, tapi baik Mas Wiek m aupun Mas Pram belum punya televisi. Untuk kom unikasi inform asi, ilm u pengetahuan, dan hiburan m ereka m asih m engandalkan Radio Republik Indonesia (RRI). Maka m ereka m endengar tentang terjadinya Gerakan Tiga Puluh Septem ber pada 1 Oktober 1965 pun dari RRI. Saya

268

Bersama Mas Pram

m endengarnya dari radio Mas Wiek pengum um an di bawah ini, karena waktu itu saya m enum pang tinggal di sana:

www.facebook.com/indonesiapustaka

PENGUMUMAN GERAKAN 30 SEPTEMBER (Diucapkan lewat RRI J akarta pukul 0 7.10 tanggal 1 Oktober 1965) Pada hari Kam is tanggal 30 Septem ber 1965 di ibukota Republik Indonesia J akarta telah terjadi gerakan m iliter dalam Angkatan Darat dengan dibantu oleh pasukan-pasukan dari angkatan-angkatan lainnya. Gerakan 30 Septem ber yang dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung, Kom andan Batalyon I Resim en Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno ini ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota apa yang m enam akan dirinya Dewan J enderal. Sejum lah jenderal telah ditangkap dan alat kom unikasi yang penting-penting serta obyek-obyek vital lainnya sudah berada dalam kekuasaan Gerakan 30 Septem ber. Dewan J enderal adalah gerakan subversif yang disponsori oleh CIA dan waktu belakangan ini sangat aktif terutam a dim ulai ketika Presiden Soekarno m enderita sakit yang serius pada m inggu pertam a bulan Agustus yang lalu. Harapan m ereka bahwa Presiden Soekarno akan m eninggal dunia sebagai akibat dari penyakitnya tidak terkabul. Oleh karena itu untuk m encapai tujuannya Dewan J enderal m erencanakan pam eran kekuatan (m achtsvertoon) pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober yang akan datang, dengan m endatangkan pasukan-pasukan dari J awa Tim ur, J awa Tengah, dan J awa Barat. Dengan terkonsentrasinya kekuatan m iliter besar ini di J akarta, Dewan J enderal bahkan telah

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

m erencanakan untuk m engadakan coup kontra revolusioner. Letnan Kolonel Untung m engadakan gerakan yang ternyata telah berhasil dengan baik. Menurut keterangan yang didapat dari Letnan Kolonel Untung Kom andan Gerakan 30 Septem ber, gerakan ini sem ata-m ata gerakan dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada Dewan J enderal yang telah berbuat m encem arkan nam a Angkatan Darat, berm aksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Soekarno. Letnan Kolonel Untung pribadi m enganggap gerakan ini adalah suatu keharusan baginya sebagai warga Cakrabirawa yang berkewajiban m elindungi keselam atan Presiden dan Republik Indonesia. Kom andan Gerakan 30 Septem ber itu selanjutnya m enerangkan bahwa tindakan yang telah dilakukan di J akarta terhadap Dewan J enderal akan diikuti oleh tindakantindakan di seluruh Indonesia yang ditujukan kepada kaki tangan dan sim patisan-sim patisan Dewan J enderal yang ada di daerah-daerah. Menurut keterangan Kom andan Gerakan 30 Septem ber, sebagai follow up tindakannya akan dibentuk Dewan Revolusi di Pusat, sedangkan di daerah-daerah akan dibentuk Dewan Revolusi Propinsi, Dewan Revolusi Kabupaten, Dewan Revolusi Kecam atan dan Dewan Revolusi Desa. Anggota Dewan Revolusi itu akan terdiri atas orangorang sipil dan m iliter yang m endukung Gerakan 30 Septem ber tanpa reserve. Partai-partai, orm as-orm as, suratkabar, dan m ajalahm ajalah dapat m eneruskan kegiatan, asal dalam jangka waktu yang akan ditetapkan kem udian m enyatakan kesetiaannya kepada Dewan Revolusi Indonesia.

269

www.facebook.com/indonesiapustaka

270

Bersama Mas Pram

Dewan Revolusi Indonesia yang akan dibentuk oleh Gerakan 30 Septem ber akan dengan konsekuen m elaksanakan “Panca Azim at Revolusi”, m elaksanakan ketetapan MPRS, putusan-putusan DPR-GR dan putusan DPA. Dan Revolusi Indonesia tidak akan m engubah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dan anti-nekolim dem i perdam aian di Asia Tenggara dan dunia. J uga politik m engenai Konferensi AA II dan Conefo serta konfrontasi terhadap “Malaysia” tidak akan berubah dan KIAPMA2 serta kegiatan-kegiatan internasional yang sudah ditetapkan akan dilangsungkan di Indonesia tetap akan diselenggarakan. Letnan Kolonel Untung sebagai Kom andan Gerakan 30 Septem ber m enyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia supaya terus m em pertinggi kewaspadaan dan m em bantu Gerakan 30 Septem ber dengan sepenuh hati untuk m enyelam atkan Republik Indonesia dari perbuatan-perbuatan jahat Dewan J enderal dan kaki tangannya, agar dapat m elaksanakan Am anat Penderitaan Rakyat dalam arti kata yang sesungguhnya. Kepada para perwira, bintara, dan tam tam a Angkatan Darat di seluruh Tanah-air, Kom andan Letnan Kolonel Untung m enyerukan supaya bertekad dan berbuat untuk m engikis habis pengaruh-pengaruh Dewan J enderal dan kaki tangannya dalam Angkatan Darat, jenderal-jenderal dan perwiraperwira yang gila kuasa, yang m enelantarkan nasib anak buah, yang di atas tum pukan penderitaan anak buah hidup berm ewah-m ewah dan berfoya-foya m enghina kaum wanita dan m engham bur-ham burkan uang negara, harus ditendang keluar dari Angkatan Darat dan diberi hukum an setim pal.

2 KIAPMA: Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

Angkatan Darat bukan untuk jenderal-jenderal, tetapi m ilik sem ua prajurit Angkatan Darat yang setia kepada cita-cita revolusi Agustus 1945. Kepada pasukan-pasukan Angkatan Bersenjata di luar Angkatan Darat, Kom andan Letnan Kolonel Untung m enyatakan terim akasihnya atas bantuan m ereka dalam tindakan pem bersihan dalam Angkatan Darat dan m engharapkan supaya dalam angkatan m asing-m asing juga diadakan tindakan pem bersihan terhadap kaki tangan dan sim patisan-sim patisan Dewan J enderal. Dalam waktu singkat Kom andan Letnan Kolonel Untung akan m engum um kan Dekrit I tentang Dewan Revolusi Indonesia yang kem udian akan disusul oleh dekrit-dekrit lain.”3 Karena berita itu saya anggap sangat penting untuk Mas Pram , saya segera m enem ui dia di rum ahnya. Ternyata Mas Pram belum m endengarnya, karena belum m enghidupkan radio. Apa-apa yang m asih teringat oleh saya saya sam paikan kepadanya, kem udian Mas Pram m enghidupkan radionya, dan ternyata siaran itu diulangi pada pukul 0 8.10 . “Siapa Untung ini? Kau tahu, Liek?” tanya Mas Pram sesudah itu. “Mana saya tahu? Saya kan nggak pernah kenal orang m iliter?” jawab saya. “Kalau berhasil, jago orang itu!” kom entar Mas Pram . Tapi lebih daripada itu tak ada kom entarnya. Saya lebih buruk, karena dalam hal ini belum punya pendapat. Mem ang isu tentang adanya Dewan J enderal yang m em usuhi revolusi dan pem im pin revolusi sudah sering saya dengar.

3 Teks ini saya kutip dari buku Sulastomo, Hari-hari yang Panjang 1963-1966 (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989), hlm. 31-34.

271

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tamu yang Ditunggu

GERAKAN TIGA Puluh Septem ber ternyata hanya berum ur sehari. Dari pihak yang konon m enjadi penyelam at revolusi dan pem im pin revolusi ia berubah m enjadi pihak yang konon m usuh revolusi dan pem im pin revolusi. Dalam beberapa hari saja gerakan itu telah berubah m enjadi tertuduh pelaku kup, pem bunuh tak berperikem anusiaan, kejam , bejat m oral, dsb. Dalam beberapa hari itu juga tuduhan m enyasar ke PKI serta seluruh organisasi yang bernaung di bawahnya, juga organisasiorganisasi yang m enjalin kerjasam a erat dengannya, karena di balik gerakan itu konon adalah PKI. Kem arahan rakyat m elangit, dan dari hari ke hari terus dipacu oleh m iliter, sehingga penghancuran atas harta benda dan penyerangan terhadap pribadi-pribadi yang dianggap pendukung gerakan itu m enjadi sah. Dalam rangka inilah, kalau tidak salah tanggal 5 Oktober, kantor CC PKI di J alan Kram at Raya diserang dem onstran dan dibakar. Tindakan ini seperti pekik kom ando untuk berbuat sam a terhadap kantor-kantor sebangsanya. Selanjutnya penyerangan dan pem bakaran m enjalar ke kantor-kantor dan rum ah-rum ah para pem im pin

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

PKI. Rum ah D.N. Aidit di Tanah Tinggi bukan hanya diserang dan dibakar, m alahan dikabarkan di sana ditem ukan uang berkarung-karung. Saya bertanya dalam hati: “Apa iya sih?” Waktu itulah Mas Wiek m enyatakan kekhawatirannya, bahwa penyerangan dan pem bakaran bisa m enjalar terus, bahkan bisa sam pai ke rum ah Mas Pram . “Bisa sam pai ke sini itu!” katanya. “Ah, saya kira nggak,” kata saya bodoh, “itu kan rum ah tokoh-tokoh politik!” “Eee, kalau nggak ada yang m enghentikan?” Sejak itu saya hanya bisa khawatir, jangan-jangan dugaan Mas Wiek m enjadi kenyataan. Mas Pram sendiri diam -diam juga terus m enum puk kekhawatiran. “Apa yang terjadi ini sih, Liek?” katanya putusasa. Siapa yang tahu? “Coba cari keterangan sam a Hay Djoen sana ge!” Saya pun berangkat, naik m otor Ducati yang sem pat saya beli tweede hands. Kebetulan kam i lulusan Moskwa m endapat pem beritahuan bahwa barang kam i sudah tiba di Tanjung Priok dan supaya diurus dan dibayar biaya adm inistrasinya. Saya pikir, sekalian pinjam uang kepada Hay Djoen, m estinya dikasih. Masak sih tidak dikasih? Ini kan penting? Saya belum pernah tahu rum ah Hay Djoen, tapi alam atnya ada, di J alan Paus, Rawam angun. Waktu itu Rawam angun m erupakan daerah baru: rum ah m asih jarang. J alan pun m asih darurat. Sebentar saja saya sudah m enem ukan rum ahnya, yang seingat saya besar dan bagus, berpekarangan depan dan sam ping, berpintu gerbang. Di depannya, di seberang jalan, berderet warung-warung reyot.

273

www.facebook.com/indonesiapustaka

274

Bersama Mas Pram

Karena pintu gerbang tertutup, m otor saya parkir di pinggir jalan, saya buka pintu, dan m asuk. Seingat saya belum ada bel listrik, dan sem ua pintu dan jendela tertutup, karena itu saya m engetuk pintunya. Lam a saya m enanti tanpa ada suara atau tanda-tanda adanya m anusia. Saya ulang-ulang m engetuk, siasia. Tidak putusasa, saya jalan ke sam ping kiri. Sam pai belakang. Sem ua pintu dan jendela tertutup pula. Saya m engintip lewat celah-celah gorden pintu dan jendela, kalau-kalau ada tandatanda kehidupan. Tidak ada! Tiba-tiba sebuah celah kecil m em perlihatkan adanya m anusia yang m enggeletak di lantai. Cepat-cepat saya ketuk di dekatnya. Tubuh itu m enggeliat. Saya yakin, sebentar lagi tentu ia m em bukakan pintu. Tidak juga! Terpaksa saya ketuk lagi. Dan ketika orang itu tidak berbuat apapun, barulah saya tersadar bahwa rum ah itu pantas dicurigai. Saya pun kem bali ke depan, keluar dari pintu gerbang, dan m enyiapkan m otor. Tapi astagaaa! Dari dalam warung reyot m enyerobot dua tentara bersenapan panjang m enodong saya. Di situlah saya m erasa aneh m engangkat tangan, hal yang selam a hidup tak pernah saya lakukan. Seorang di antaranya m engam bil tas anyam an plastik yang waktu itu sedang m ode, diam bil isinya, kertas-kertas. “J alan!” perintah yang seorang. “Ke m ana?” tanya saya bodoh. Tentara itu tak m enjawab, sekadar m enggerakkan senapannya dengan wajah diseram kan. Tentara satunya kem bali m asuk gubuk reyot. “Motor saya?” tanya saya. “Bawak!”

Bagian Kelima: Tahun 1965

www.facebook.com/indonesiapustaka

Begitulah, jadinya saya tak m em peroleh inform asi, sebaliknya jadi tawanan buruk yang harus digiring sejauh ada kalau 30 0 m eter. Bagaim ana wajah saya waktu itu, tak tahulah. Orang-orang yang m enyaksikan adegan itu pun tidak kelihatan oleh saya. Untungnya m otor boleh saya tuntun, jadi saya tidak perlu lagi angkat tangan. J ustru karena itu tidak ada yang saya rasakan aneh.

275

www.facebook.com/indonesiapustaka

Apanya Pramoedya?

SAYA DIHADAPKAN pada seorang kom andan yang pangkatnya saya tak tahu, karena saya m em ang tak tahu tandatanda pangkat tentara. Tapi nam a instansi itu sem pat saya baca papan nam anya: Artileri Pertahanan Udara (Arhanud). Sesudah m enyerahkan saya dan kertas-kertas saya, tentara penggiring saya tadi m enghilang. Sang kom andan m enatap saya tajam dengan wajah curiga. Saya sungguh m erasa aneh dan jengkel, kok belum apa-apa sudah curiga? Saya ini siapa? Dan apa saya ini punya tam pang penjahat? Begitu pikir saya. “Siapa nam a?” tanya kom andan sam bil m em eriksa kertaskertas saya. “Koesalah.” “Apa?” “Koesalah.” “Mau apa datang ke rum ah itu?” “Mau pinjam uang.” “Uang apa?” “Buat m enebus barang yang datang di Tanjung Priok. Itu surat panggilannya.”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

“Kenal yang punya rum ah itu?” “Kenal!” “Di m ana kenal?” “Dia penerbit buku-buku terjem ahan saya.” Begitulah tanya-jawab itu berkisar terus sekitar hubungan saya dengan Hay Djoen. Sebetulnya tidak banyak yang saya ketahui tentang Hay Djoen selain itu. Dan saya orang yang jujur, karena itu dengan m udah saya m enjawab pertanyaanpertanyaannya. Tapi tidak berarti orang jujur tidak perlu m enyem bunyikan sesuatu. J adi kalau perlu saya pun m enyem bunyikan. Pertanyaan itu tidak henti-henti, dan dengan sendirinya saya tak henti-henti m enjawab, kadangkadang dengan lam a berpikir dulu. Dem ikian, sam pai dia m erasa cukup m engetahui hubungan saya dengan Hay Djoen. Selanjutnya dia tanya hubungan saya dengan nam a-nam a yang tertera dalam daftar penerim a barang di Tanjung Priok. Dan karena barang itu datang dari Moskwa, dengan sendirinya dia tanya latarbelakangnya. Dengan sendirinya juga pertanyaan lalu ngom bro-om bro (m elebar dan m eluas, m enyangkut banyak hal). Tapi bagusnya dia tidak m encatat sesuatu. Dan saya tidak diharuskan m enuliskan sesuatu. Dan selam a itu tidak ada orang lain yang m enyaksikan. Hanya sesekali seorang dua orang prajurit lewat, dan cepat m enghilang lagi. Sam paisam pai terpikir oleh saya, apakah dia cum a m elaksanakan tugas, dan apakah dia term asuk tentara yang baik? Tapi m atanya yang curiga itu yang bikin saya tidak tahan. Akhirnya dia bertanya: “Nam anya ini: Koesalah Soebagyo Toer?” sam bil m elihat kertas. “Betul, Pak.”

277

www.facebook.com/indonesiapustaka

278

Bersama Mas Pram

“Itu apanya Pram oedya Ananta Toer?” m atanya m enyorot. Saya m ak-deg. (J antung saya berdentam .) J adi dia sudah tahu nam a Mas Pram . Saya langsung m enyim pulkan dalam hati bahwa itu bukan kabar baik, m elainkan sebaliknya. “Saya adiknya.” “Adik betul?” “Betul, Pak, adik kandung.” “Rum ahnya di Rawam angun Utara?” “Betul, Pak.” “Di m ana dia sekarang?” “Di rum ah, Pak.” “Kapan di rum ah?” “Ini tadi saya baru dari rum ahnya, Pak.” Begitulah pertanyaan terus bergulir, hingga tak terasa untuk itu telah habis waktu sekitar dua jam . Anehnya, tanya-jawab itu berakhir begitu saja. Saya dilepas, bahkan kertas-kertas pun dikem balikan. Dengan gem bira saya pun nguncluk (ngeloyor) m enuju m otor, dan sekejap kem udian m otor sudah terbang kem bali ke rum ah Mas Pram . Sepanjang jalan itu tak ada suatu pun yang tam pak oleh saya. Saya tak bisa m em bayangkan, apa yang terjadi sekiranya saya tak dibolehkan pergi, dan apa pula akan terjadi dengan Hay Djoen, Mas Pram , m aupun diri saya sendiri. Yang penting, saya lolos dari cengkeram an orangorang bersenjata api, yang dengan senjata itu bisa berbuat apapun terhadap diri saya. Sam pai di rum ah, Mas Pram sudah tam pak tak sabar. “Kok lam a am at, Liek?” tanyanya langsung, begitu saya m em arkir m otor. “Ora ngrasakna!—Tidak m erasakan!” om el saya dalam hati. “Saya ditangkap tentara!”

Bagian Kelima: Tahun 1965

www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ditaaangkap?!” tanyanya tidak habis pikir. Dan di situlah saya bercerita kepadanya dari awal sam pai akhir. Cerita itu lebih m enggelisahkan Mas Pram . “Kalau begitu, tanya sam a J oebaar, Liek! Tahu kan rum ahnya?” “Belum .” “Di J alan Cisadane nom or sekian. Depan Pasar Cikini.” “Ya harus cari....” Saya pun berangkat ke rum ah J oebaar Ajoeb di J alan Cisadane. Saya belum pernah juga ke rum ah J oebaar Ajoeb, tapi tentu saja rum ah itu bisa saya tem ukan, karena alam atnya jelas benar. Cum a sayang rum ah itu dalam keadaan kosong, dan anehnya, sem ua orang di sekitar rum ah itu yang saya tanya apakah itu rum ah J oebaar Ajoeb, m enjawab: “Nggak tahu!” Lho, m asak tak tahu tetangga sendiri? Sudah ketularan kebudayaan kota? Apa takut dituduh kenal orang yang nam anya J oebaar Ajoeb? J oebaar Ajoeb sudah m enjadi hantu juga? Kalau begitu saya harus segera hengkang dari rum ah ini. Siapa tahu tiba-tiba m uncul lagi tentara bersenjata. Bisa-bisa saya tidak bisa lolos lagi.

279

www.facebook.com/indonesiapustaka

Malam yang Sungguh Kelam

DUNIA TERUS berputar, dem ikian kata orang dahulu. Dari hari ke hari keadaan m akin m encekam : di sam ping berlakunya jam m alam , tiap hari disiarkan berita-berita yang sem akin m engkhawatirkan. Tanggal 13 Oktober. Hari itu Mbak Pram pulang ke rum ah orangtuanya di Sawah Besar bersam a anak-anak. Mas Pram sendirian di rum ah, dan saya dim inta m enem aninya. Sebelum nya saya sudah m endengar bahwa Mbak m em ang suka m enginap bersam a sem ua anaknya di rum ah orangtuanya, dan itu adalah tanda bahwa di rum ah tak ada uang. Ngam beklah ceritanya. Cerita itu segera m endapat pem benaran dari sam butan Mas Pram , begitu saya tiba di rum ah Mas Pram sore itu: “Beliin aku rokok, Liek!” Saya pun segera pergi ke m ulut gang, m em beli dua pak rokok kretek; m ereknya apa, saya sudah lupa. Tapi sore itu saya ingat sekali, karena selain m esti m em beli rokok, saya m em om pa air dan m erebus sop daging m anila. Saya m em om pa air untuk m em enuhi bak kam ar m andi. Saya ingat m em om pa

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

dengan m esin pom pa m erek “Dragon”, dan saya m enikm atinya sebagai sarana sport. Karena itu bak yang cukup besar tersebut saya isi sam pai penuh benar. Adapun sop daging m anila m em ang dim asak oleh Mbak Pram , untuk tidak m eninggalkan Mas Pram sam asekali tanpa lauk. Sop itu saya rebus dengan api kom por m inyak tanah sam pai airnya ham pir habis karena dagingnya m asih liat, dan ketika saya jajal, ternyata daging tetap keras, sehingga saya tam bah air dan saya rebus ulang, nam un... daging m em bandel, karena m anilanya... sudah tua! Walhasil daging tak bisa dim akan, dan kam i m akan hanya dengan kuahnya. Sebagaim ana biasa Mas Pram m engetik di ruang kerjanya. Waktu itu antara lain ia m engerjakan “Ensiklopedi Sejarah Indonesia” yang judul-judul entry -nya sudah lengkap. Saya tahu benar hal itu, karena beberapa waktu sebelum nya saya dim inta m enawarkan naskah itu kepada sebuah penerbit; jadi saya pernah m em egang langsung daftar itu dan m em bukabukanya. Saya sendiri waktu itu sedang m enerjem ahkan buku tentang sepakbola di Uni Soviet, yang waktu itu tergolong m aju, atas perm intaan sebuah penerbit swasta. J am m alam . Pintu gerbang kam i tutup. Habis isya kam i duduk di kursi m enghadap gang, di seram bi depan, dengan lam pu tak dinyalakan. Kam i sam asam a m em akai sarung: saya m engenakan singlet, Mas Pram m engenakan piam a. Mas Pram m enikm ati rokoknya sam bil kakinya diangkat, ditum pangkan ke parapet depan. Kam i m enikm ati keberduaan kam i dengan bercerita tentang m asa lalu, tentang orangtua kam i, tentang keluarga, tentang luar negeri, dan... tentang apa lagi kalau dua orang lelaki sedang bertem u: tentang perem puan dan seks. Di situ dengan cerita-

281

www.facebook.com/indonesiapustaka

282

Bersama Mas Pram

ceritanya Mas Pram m em buktikan kata-katanya sendiri bahwa tak ada lelaki yang suci. Sunyi senyap di sekitar. Tiba-tiba m uncul seorang lelaki dari sebelah kiri. Orang itu berjalan m elewati depan rum ah kam i. Kam i bungkam sam bil m em perhatikan orang tersebut, yang agak gem uk bongkok dan bundar kepalanya. Ia sam asekali tak m enengok ke arah kam i, walau seharusnya atau logisnya dem ikian. Menurut Mas Pram , orang itu tetangga depan rum ah agak di tim ur, seorang tentara, berpangkat kopral atau sersan. Dia berjalan ke barat, dan lam a tak m uncul lagi. Kam i m engobrol lagi, tapi kelihatannya Mas Pram sudah terpengaruh oleh lewatnya orang itu. Pem bicaraannya tertegun-tegun dan jadi tak bergairah. “Apa yang akan terjadi, Liek?” tanyanya lakonis. Terus-terang, saya tidak m erasakan apapun, walau m erasa aneh bahwa di tengah jam m alam seorang tentara yang berpakaian prem an keluar rum ah, dan kelihatan jalan santai. “Wah, apa yang akan terjadi, ya?” ulangnya. Rupanya daya cium nya sebagai bekas tentara m ulai bekerja. Ia berjalan ke belakang. Agak lam a tak kem bali, sehingga saya term angu-m angu kosong sendiri. Dan ketika kem bali, katanya: “Mencret aku, Liek!” Saya diam saja. Mas Pram duduk lagi, dan kam i m engobrol lagi sam pai sekitar pukul setengah sepuluh m alam , ketika tetangga itu pulang, lewat depan rum ah lagi, dan tak juga m enengok lagi! Mas Pram ke belakang lagi, dan: “Aku m encret lagi, Liek!” Sesudah pem beritahuan yang kedua itu, obrolan kelihatan sem akin kendor, dan saya m ulai m engantuk. Waktu itu

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

sekitar pukul sebelas. Saya m inta diri untuk tidur duluan, m eninggalkan Mas Pram yang tetap duduk, m elam un. Begitu m em baringkan badan, tetap dengan sarung dan singlet, saya langsung lelap seperti bayi. Rasanya belum lam a saya tidur, sekitar satu setengah jam , ketika terbangun oleh suara-suara yang belum pernah saya dengar sebelum nya selam a hidup. Karena bunyi itu saya langsung m elom pat dari ranjang dan keluar kam ar. Di ruang tengah saya bisa m enangkap bahwa itu adalah bunyi bebatuan besar yang dilem parkan ke rum ah kam i. Kebanyakan m engenai dinding, tapi sebagian m enjatuhi jendela, bahkan ada yang m elayang ke atap. Kebetulan tetangga di kanan rum ah sedang m enyiapkan pem bangunan rum ahnya; pondasi sudah digali, dan batu kali m enum puk di situ. Dapat saya dengar, orang-orang itu berjum lah banyak, m engitari rum ah: kanan, depan, kiri. Sam bil m enghujankan bebatuan m ereka m engum andangkan pekik: “Ganyang PKI! Hancurkan PKI! Gantung PKI! Bakar PKI!” dan m asih ada yang lain lagi. Di tengah jam m alam , dalam jum lah besar, m elem pari rum ah orang dengan batu, dan berteriak-teriak dengan kata-kata yang m enganjurkan kekerasan—tidak bisa ada tafsiran lain kecuali m aksud jahat. Dengan sendirinya saya tak sem pat berlam a-lam a m endengarkan pekik itu, lalu lari ke belakang. Saya berm aksud m eloloskan diri ke pekarangan tetangga di belakang. Tapi pekarangan terbuka itu terang oleh cahaya lam pu; saya takut ketahuan. Di sisi kiri saya lihat ada pintu sem pit tak resm i yang bisa dilewati m enuju belakang rum ah tetangga. Saya m enerobos ke sana, tapi saya dengar di depan rum ah yang tak besar itu penuh orang. Maka saya m enerobos pekarangan tetangga kedua di

283

www.facebook.com/indonesiapustaka

284

Bersama Mas Pram

sebelah kirinya. Keadaan gelap. Sepertinya ada pintu m enuju pekarangan depan, dan suasana agak sunyi, tapi sebentar kem udian ternyata di situ ada orang juga. Kalaupun saya bisa m em buka pintu itu dan m eloloskan diri dari situ, sudah pasti saya ditangkap oleh orang-orang yang ngepos di situ. Walau dem ikian saya tetap m eraba-raba m encari palang atau grendel pintu. Waktu itulah saya m endapat bentakan dahsyat dari tetangga belakang yang, ketika saya m enengok, saya lihat bertolak pinggang, m em akai kolor dan singlet, dan bersenjata: “He!!! Siapa!!!” Begitu kaget saya hingga saya langsung m enggigil. Begitu takut saya waktu itu hingga m alu kepada diri sendiri. Saya m erasa seperti tikus got yang diburu ram ai-ram ai dan sedang dipojokkan. Untungnya orang itu terhalang pagar tem bok. Kalau tidak, barangkali dia sudah m eringkus atau m enikam saya. Dan bodohnya, orang itu tidak berteriak m engerahkan orang, sehingga dengan bingung saya bisa berlari kem bali ke pekarangan sendiri. J ustru waktu itulah saya dengar Mas Pram m em anggil: “Liiiek!” Saya kem bali m asuk rum ah, dan saya lihat Mas Pram sudah disertai beberapa orang. Sayangnya saya tak ingat m ereka berseragam atau tidak. Tapi saya lihat Mas Pram m em egangi tangannya yang berdarah. “Carikan obat m erah, Liek, itu di lem ari obat!” kata Mas Pram . Dengan sigap saya cari obat itu, beberapa botol saya am ati, dan ketem u. Dalam kesem patan itulah saya m elayangkan pandangan ke depan rum ah. Tam pak di sana orang-orang beringas yang terus berteriak-teriak. Satu orang m em egang pentung yang bertanda m elingkar di ujung atasnya. Tiap kali teriakan m em bahana, pentung diangkat, dan teriakan sirna.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

Nanti teriakan kem bali m engguntur, pentung diangkat lagi, teriakan sirna lagi, dan begitu seterusnya.... “Mau diapakan rum ah saya? Mau diapakan buku-buku saya? Lihat! Rum ah ini kan penuh buku? Mau apa? Bicara, kan bisa? Bukan begini caranya...!” begitu protes Mas Pram kepada orang-orang itu sam bil m ondar-m andir. Orang-orang itu diam saja beberapa waktu, hingga Mas Pram sem pat m engulangi protesnya: “Ha? Mau diapakan buku-buku saya, rum ah saya?” “Bakar!” pekik satu suara dari luar. “He, jangan dibakar! Nanti rum ah saya ikut terbakar!” sahut suara lain. Dan barulah salah seorang dari orang-orang itu m enjawab dengan gaya sabar: “Begini, Pak. Bapak lihat sendiri dem onstran itu....” “Itu bukan dem onstran. Itu....” tukas Mas Pram . (Di sini saya tak ingat apa yang diucapkan Mas Pram .) “Begini saja, Pak. Bapak kam i am ankan...,” dan seterusnya, yang saya sudah lupa apa kata-katanya. Pokoknya, Mas Pram tak langsung m enjawab, walau akhirnya m engatakan: “Tapi saya m inta escort!” Orang-orang itu langsung m enangkap apa yang dim aksud Mas Pram . “Iya, akan kam i berikan!” Mas Pram ragu-ragu sebentar. Menoleh pada saya. “Kau tunggu rum ah ya, Liek?” kata Mas Pram . “Iya.” “Berani?” “Berani.” “Rum ahnya betulin, ya?”

285

www.facebook.com/indonesiapustaka

286

Bersama Mas Pram

“Iya.” Tapi sesudah berpikir sebentar, Mas Pram m engatakan: “Ah, enggak, kau ikut aku saja, Liek! Adik saya ikut saya,” tam bahnya kepada orang-orang itu. “Tapi kam i harus siapsiap dulu.” “Boleh,” jawab orang-orang. Kam i pun bersiap: berpakaian lengkap, m em bawa m esin tulis, beberapa buku, naskah-naskah yang sedang digarap, kertas, dan karbon. Barang-barang itu kam i bawa begitu saja karena terburu-buru. Kam i keluar dari pintu depan: Mas Pram di depan, m enyusul saya, didam pingi orang-orang itu. Begitu kam i keluar, langsung m assa m engepung kam i. Mereka m erapati saya dengan senjata tajam terhunus: belati, golok, keris.... Kalau waktu itu ada seorang gila saja di antara m ereka, sudah pasti saya tak bisa lagi m enceritakan kejadian ini. “Kok begini saja tam pang pem bunuh jenderal-jenderal!” ucap seorang gem as. “Ya, pem bunuh jenderal!” sam but lain-lainnya. Aduh, jadi saya ini dituduh m em bunuh? Dan jendral pula? Sungguh m alang nasib saya. Di tangan orang-orang m acam begini tidak m ungkin saya lolos dari m aut! Maka terserahlah pada yang m em buat hidup. Saya hanya m enjalani. Sejak itu sudah hilang pikiran tentang diam ankan itu. Mereka m engam ang-am angkan senjatanya ke seputar tubuh saya. “J angan, yaaa...,” saya dengar seorang bersuara, yang agaknya suara pem im pin. Saya tidak lagi m erasa hidup waktu itu. Dan tak m elihat siapa yang m em bawa, apalagi m engawal kam i. Yang saya tahu,

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

saya terbawa arus yang tak m em ungkinkan saya m enyeleweng ke kiri atau ke kanan, begitu rapatnya. Kam i dibawa m enyusur gang ke kanan. Ketem u gang pertam a belok ke kanan, dan ketem u gang lagi, ke kanan lagi. Akhirnya kam i sam pai di sebuah lapangan kecil, di m ana sudah berkum pul sejum lah orang. Keadaan setengah gelap. Di situ saya lihat ada beberapa buah m obil. “Am bil tali!” teriak seorang. “Sudah, gantung di sini saja!” sam but lainnya. Otom atis terjadi gerak sibuk orang-orang ke sana kem ari. Barang-barang langsung diam bil dari tangan saya, lalu beberapa orang tergopoh-gopoh datang m em bawa dadung (tali besar). Tangan saya dilipat ke belakang, diikat dengan dadung. Itulah untuk pertam a kali dalam hidup ini (usia saya waktu itu tiga puluh tahun) saya berpikir tentang m ati. Selam a itu, saking banyaknya orang, saya tak m elihat Mas Pram sam asekali. Baru ketika kam i dinaikkan jip, saya lihat dia dibanda (diikat tangannya ke belakang) juga. “Berangkat!” perintah seorang. Paling tidak ada tiga m obil yang waktu itu berangkat: jip kam i di tengah. Dan baru saat itulah saya m elihat bahwa diri saya diapit m iliter di sisi kiri, dan di depan saya, Mas Pram yang diapit juga kiri-kanan. Sem ua tentara bersenjata laras panjang, nam anya apa saya tak tahu. Mobil jalan m enyusuri J alan Apotik Abdi ke utara. Menjelang akhir jalan itu, jalan m enyem pit, dan di situ berjaga sejum lah m iliter. Iring-iringan m obil berhenti sebentar, terjadi tukar kata yang tak dapat saya tangkap, dan iring-iringan jalan terus. Di ujung jalan iring-iringan m em belok ke kiri m enyusur J alan Percetakan Negara. Menyeberangi rel kereta api Kramat-Senen.

287

www.facebook.com/indonesiapustaka

288

Bersama Mas Pram

Nah, di dekat Pasar Mencos itulah tiba-tiba tentara di sisi luar bertanya kepada Mas Pram : “Di m ana keluarga Pak Pram ?!” “Di rum ah m ertua!” jawab Mas Pram tenang. “Oo, jadi sudah tahu ya, PKI berontak, m aka keluarga disingkirkan?” tuduh tentara. “Itu baru tuduhan PKI berontak, m esti dibuktikan dulu!” tangkis Mas Pram . “Baru tuduhan! Purra-purra nggak tahu!” Sam bil m enekankan kata “purra-purra” itu ia m enghantam kan popor senapannya ke wajah Mas Pram yang duduk di sam pingnya. Seketika itu tubuh Mas Pram am bruk ke kanan seperti kehilangan nyawa: pingsan. Darah m uncrat dari pelipisnya. “Gara-gara PKI saya beberapa m alam nggak tidur!!!” om el tentara itu. Sejenak kem udian Mas Pram sadar kem bali. Menoleh ke kiri ke kanan seperti orang bangun tidur. Akhirnya m em andang ke depan, ke arah saya. “Nggak apa-apa, Liek!” katanya. “Kalau nggak, kau yang jadi korban!” sam bungnya. Selanjutnya tentara yang gem uk badannya itu terus m engom el, tapi tak tertangkap oleh saya apa m aksudnya. Iringiringan jalan terus, m asuk Gang Tengah, sam pai di Salem ba belok ke kanan, terus, sam pai Senen. Di m ana-m ana keadaan sunyi-senyap, hanya di sana-sini tam pak tentara cam pur sipil berjaga. Sam pai di J alan Kwini belok ke kiri, dan di tikungan Asram a Angkatan Laut belok kanan. Nah, di situlah ada sebuah kantor yang, kalau tak salah, berpapan nam a Direktorat Kehakim an

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

Angkatan Darat. Iring-iringan m asuk pekarangan kantor itu, dan berhenti. Melihat nam a kantor itu saya m erasa ayem sedikit. Dan waktu itu juga tentara penjaga kam i turun dan m em buka bak m obil supaya kam i bisa turun. Anehnya, begitu turun ikatan tangan kam i dilepas, hingga waktu itu saya sem pat gede rum angsa, dan m engatakan sam bil m enunjuk ke jip: “Mesin tulis saya m asih di atas!” “Diam , kam u! Cerewet!” bentak tentara penjaga. Saya pun m engkerut. Di pekarangan itu ada beberapa orang berpakaian seragam , kelihatannya perwira penting, sedang asyik bercakap-cakap sehabis rapat m alam . Melihat rom bongan m obil kam i, m ereka tam pak m asa bodoh saja. Barulah ketika seorang m elaporkan sesuatu, seorang di antaranya bertanya heran: “Kenapa dibawa ke sini?!” disusul perintah supaya kam i dibawa ke sesuatu tem pat, tak jelas bagi kam i. Kam i diperintahkan naik m obil lagi, tapi sudah tanpa ikatan tangan, dan m obil berangkat lagi. Saya tak bisa m enduga ke m ana. Dari Direktorat Kehakim an Angkatan Darat kam i dibawa ke sebuah bangunan di J alan Lapangan Banteng Barat. Bangunan apa itu, saya pun tak tahu, karena keadaan gelap, dan kam i langsung dibawa ke pintu sam ping, ke belakang bangunan itu. Karena terheran-heran dengan suasana sekeliling, kam i tak ingat lagi dengan barang bawaan kam i, dan sejak itu kam i tak berjum pa lagi dengannya. Tak seorang pun m engulungkannya kepada kam i, dan tak seorang pun m engingatkan kam i. Dari belakang bangunan itu kam i harus naik trap m enuju ruangan berpenerangan, di m ana m enggeletak beberapa orang lelaki dan perem puan di lantai, dan kelihatan tak bisa tidur.

289

www.facebook.com/indonesiapustaka

290

Bersama Mas Pram

Mereka terus bergerak-gerak. Di sisi utara ada seorang lelaki bertopi haji yang sedang bersem bahyang, dan sesudah selesai ia duduk bersila, berdoa sam bil m erunut tasbihnya dengan tertib. Kepalanya m enggeleng-geleng asyik ke kiri ke kanan. Di dekatnya ada beberapa orang lain yang tidur di atas tikar, berbantal lipatan baju. Kam i disuruh duduk di bangku panjang m enghadap m eja. Hanya itu. Selanjutnya apa, kam i pun tak tahu, sehingga kam i hanya plonga-plongo tak tahu juntrungan. Tidak m engantuk, karena dihadapkan pada teka-teki besar apa yang bakal terjadi. Badan terasa lesu. “Nanti kalau ditanya, bilang baru datang dari luar negeri ya, Liek, jadi nggak tahu apa-apa,” kata Mas Pram pelan kepada saya. “Ya Mas Pram yang m engatakan!” jawab saya. Waktu itu saya belum tahu bahwa dalam pem eriksaan tidak bisa dilakukan hal seperti itu. “Ya Liliek katakan sendiri nanti.” “O, iya.” Tak seberapa lam a kem udian datang tentara berseragam , m uda, kekar badannya. Dia duduk di depan Mas Pram , bertanya tajam : “Pak Pram kenapa di sini?!” “Nggak tahu. Katanya diam ankan,” jawab Mas Pram tulus, disertai senyum geli. “Mem ang diam ankan! Karena PKI berontak, dan Pak Pram terlibat! Ke m ana saja Pak Pram selam a ini?” tuduhnya. “Lho, saya nggak ke m ana-m ana!” bantah Mas Pram . “J adi, di m ana?” “Ya di rum ah!”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

“O, jadi di rum ah saja ya, tinggal kasih instruksi pada anak buah?” “Instruksi apa?” “Pak Pram yang tahu! Kalau m enurut Pak Pram , PKI bisa bangkit lagi tidak?” cecar tentara itu. “Ya PKI selam anya bangkit lagi.” “Berapa tahun lagi akan bangkit?” “Dalam tiga tahun. Paling lam a lim a tahun.” “Apa dasarnya?” “E, m aaf, ya, itu pangkat apa?” tanya Mas Pram sam bil m enuding tanda pangkat tentara itu. Plakkk! Tiba-tiba tentara itu m enam par m uka Mas Pram . Begitu bertenaga, hingga m uka Mas Pram m encong ke kanan, dan m atanya m enyorot m arah pada tentara itu. Tapi tentu saja ia tak m engatakan apapun. “Tanya pangkat kam u ya! Pura-pura bodoh lagi! Nah, jawab pertanyaan saya: Apa dasar PKI bangkit lagi. Dan apa instruksi yang kam u berikan pada anak buah! Saya kasih waktu lim a m enit. Kalau salah m enjawab, tanggung sendiri!...” Habis m engatakan itu, tentara itu pergi ke belakang: Prokprok! Mas Pram m em perlihatkan wajah yang tak bisa saya tafsirkan apa isinya. Sebentar kem udian ia m enoleh kepada saya, katanya: “Wah, berat juga nih, Liek!” Saya hanya bisa diam . Adegan yang baru saya saksikan itu m enggam barkan pada saya kedudukan kam i yang tak berdaya di hadapan kekuatan jahat yang sedang m encak-m encak berkiprah. Dan itu m erangsang seluruh saraf dalam tubuh saya m enjadi rasa khawatir yang belum berwujud. Detik dem i detik

291

www.facebook.com/indonesiapustaka

292

Bersama Mas Pram

m erayap. Gam baran dem i gam baran m enari-nari di depan m ata. Detik m enjadi m enit, m enjadi dua m enit, m enjadi tiga m enit.... Dan tentara itu tidak kem bali lagi. Untuk selam anya! Sedikit dem i sedikit suasana m enjadi terang. Di sana-sini m ulai terdengar kegiatan m anusia. Dan tidak lam a kem udian terdengar truk m enderam -deram m undur, dan suara orang berteriak-teriak. Saya m endengar sem ua itu, dan m enyaksikan sem ua itu, tapi hati rasanya tak ingin m erinci kejadiannya, karena m em ang adegan itu sangat m em uakkan, yaitu: Truk itu ternyata berisi orang-orang yang diam ankan seperti kam i. J um lahnya puluhan, m asih m uda-m uda, barangkali m ereka anggota Pem uda Rakyat. Mereka diperintahkan turun satu dem i satu, dan begitu sam pai di tanah, langsung dihajar oleh dua tentara yang sudah siap untuk itu, disertai sum pahserapah yang m enjatuhkan m artabatnya. Ada yang diserang perut atau kepalanya dengan tinju, ada yang ditendang pinggang atau punggungnya dengan sepatu bot. Sebagian cum a terhuyung-huyung, tapi sebagian lagi am bruk ke tanah. Satu orang bahkan otom atis m enangis seperti anak kecil ketika kena gebuk baru sekali. Sang tentara, sebaliknya, dengan giat dan senang m elakukan sem ua itu, seolah tanpa itu dapat dipastikan m ereka tidak akan naik pangkat. Habis dihajar m ereka disuruh berjongkok dengan tangan di kuduk, di halam an. Sam pai kapan, entahlah. Suatu pem andangan yang tak m enarik untuk dilihat. Hari sem entara itu sem akin terang. Dan terjadilah adegan lain yang tak m asuk dalam nalar saya. Datang seorang tentara jangkung berwajah ram ah, yang begitu m asuk segera m engenali Mas Pram .

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

“Lho, Pak Pram , kok ada di sini?” sam bil m engam at-am ati “Nggak tahu ini, katanya diam ankan!” jawab Mas Pram geli. Mereka bersalam an. “Iyalah, keadaan begini,” kata tentara itu, seolah m em beritahukan kepada Mas Pram bahwa dia m em ang term asuk orang yang direncanakan untuk ditangkap dan ditahan, karena itu harap m aklum . “Pak Pram sudah m inum ?” tanya perwira itu akrab. “Ya belum !” “Bisa suruhan orang, itu. He, anu!” perwira itu m em anggil orang. Dan ternyata yang m uncul seorang pem uda tanggung yang rupanya jadi kacung di tengah khalayak yang aneh itu, “Ini Pak Pram beliin kopi, ini uangnya. Sam a pisang goreng kek situ!” Dan perwira itu pun m erogoh kantong bajunya dan m enyerahkan uang kepada si kacung. “Tugas di sini?” tanya Mas Pram spontan. “Yah, ada perlu,” jawab si tentara. “Ini adik saya, baru datang dari luar negeri,” kata Mas Pram m em perkenalkan saya, “ikut saya, karena katanya m au diam ankan,” tam bahnya. Saya disalam i oleh tentara itu, dan saya m enyam butnya. Selanjutnya tentara itu duduk m enjauh, dan m em anggil Mas Pram m endekat. Mereka bicara cukup lam a, yang suaranya tidak saya tangkap sam asekali. Ketika Mas Pram kem bali ke tem pat sem ula, saya dipanggil tentara itu. Dan saya pun m enghadap. Di situlah pewira itu m engatakan: “Saudara adik Pak Pram , ya?” “Ya, Pak.” “Saudara nanti akan saya bebaskan, tapi dengan prosedur yang biasa. Kalau kakak saudara, nggak berani saya m elepas,

293

294

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

nanti orang m arah sam a saya. J adi biar saja sem entara dia di sini.” “Ya, Pak. Terim akasih.” Apakah tentara itu m em ang tak tahu dan heran m elihat Mas Pram , ataukah justru sengaja datang untuk m enjenguk apakah Mas Pram sudah diam ankan, siapa yang tahu? Yang jelas, tak lam a kem udian ia pergi lagi, dan selang beberapa waktu datang lagi. Kam i kem bali duduk bengong m enunggu kopi yang tak datang-datang. Dalam kesem patan itu Mas Pram m engatakan kepada saya bahwa tentara itu orang yang pernah m engawalnya waktu ia ditahan di RTM (Rum ah Tahanan Militer) tahun 1961. Pangkatnya kapten. Sejak itu saya m enunggu-nunggu kapan akan dibebaskan. Tapi karena perwira tadi m engatakan dengan prosedur yang biasa, dalam hati saya pun bertanya-tanya, dengan prosedur yang biasa itu bagaim ana. Tak lam a kem udian baru saya ketahui bahwa di dekat para tahanan yang berjongkok tadi ternyata ada sem acam kandang tahanan yang isinya sangat m engagetkan saya karena berjubelnya, lelaki-perem puan. Tapi lebih kaget lagi, ketika oleh seorang CPM (kelihatan dari baretnya) yang baru datang, Nurse nam anya, saya diperintahkan untuk m asuk kandang itu. Dengan sendirinya tak ada jalan lain pada saya selain m em asuki kandang tersebut. Di situ beberapa orang yang m erasa kenal dengan tam pang saya m enyalam i saya dengan gem bira. Sebaliknya, saya tak m engenal seorang pun dari m ereka. Mereka gem bira karena m erasa bertem u dengan kawan, walau di dalam kandang tahanan sekalipun. Absurd sekali.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Akhirnya

SAYA SEMPAT beberapa hari tinggal di kandang itu tanpa m andi dan berak, dan dengan sendirinya tanpa ganti pakaian. Saya sendiri heran, kok bisa. Mungkin itulah yang dinam akan darurat. Dalam keadaan tidak darurat tentunya m ana boleh terjadi? Hari kedua, siang, datang lagi truk m em bawa sekitar tiga puluh orang berpakaian rapi. Mereka turun satu-satu, tapi tidak seperti kem arin, m ereka tidak dijotos atau ditendang dulu. Tapi m asyaallah, di antara m ereka ada yang saya kenal betul, karena ia tak lain adalah pam an saya Moedigdo yang tinggal di Gang Sawo, Kem ayoran, dan bekerja di Kantor Berita “Antara”. Kalau begitu ini rom bongan wartawan “Antara” yang diam ankan langsung dari tem pat kerja. Di antara m ereka ada yang senyum -senyum kecil. Saya lihat ada wajah Wargono, tem an kuliah saya di Fakultas Sastra UI tahun 1954, dan wajah Santoso dari fakultas lain yang dulu suka datang ke Fakultas Sastra m enem ui Wargono. Keduanya wartawan “Antara”. Mereka diperintahkan langsung m asuk kandang, hingga kandang m enjadi penuh sesak. Kandang itu berupa em pat kam ar

www.facebook.com/indonesiapustaka

296

Bersama Mas Pram

berjajar ke belakang dengan em peran berupa los m em anjang. Kam ar pertam a kam ar m andi, di depan kam ar keem pat ada satu kakus terpisah. Kam ar kedua sam pai keem pat dipenuhi tahanan, term asuk em perannya. Kam ar ketiga khusus untuk perem puan. Ketiga kam ar itu tanpa pintu. Pintu berkawat pagar hanya satu, ke depan, untuk keluar-m asuk kandang. Pikiran saya dengan sendirinya m enghitung: tak kurang dari 150 tahanan. Dengan hanya satu kakus! Entah hari keberapa nam a saya dipanggil oleh Letnan Nurse. Saya diperiksa. Sebagaim ana biasa, ia tanya keanggotaan partai dan organisasi. Dia m encatat di sana-sini jawaban saya, yang kelihatannya hanya form alitas belaka. Tapi ada pertanyaan yang walau enteng dijawab akibatnya cukup serius: “Saudara kenal si Anu?” “Tidak, Pak,” jawab saya spontan. “Yang bener!” tantangnya kereng, kebetulan sosoknya m em ang m enyeram kan. “Betul, Pak!” “He, panggil si Anu!” perintahnya pada pem bantunya. Dari kandang keluar seorang pem uda jangkung yang loyo jalannya. “Saya Anu, Pak!” lapornya sam bil tetap berdiri di sam ping saya. “Anu, ya?” bentak Nurse. “Ya, Pak!” “Kam u kenal sam a orang ini?” “Kenal, Pak!” “Siapa nam anya?” “Koesalah, Pak!”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965

“Kam u bohong, ya?! Ahhh!” dan seketika itu bogem m entahnya yang perkasa m endarat di dada saya. “Ya sudah, kem bali sana!” perintahnya sebal. Kam i kem bali m asuk kandang, dan kem bali duduk di lantai. Dengan sendirinya saya tanya pem uda loyo itu: “Bung, kok Bung bilang kenal saya itu bagaim ana?” “Kan m em ang kenal?” “Di m ana?” “Di rum ah Pak Lem an!” Gila, ya m ana saya ingat? Ketem u sekali, di tengah orang banyak, dan itu kan tiga bulan yang lalu? Hari itu pula nam a saya dipanggil kem bali, di sam ping nam a beberapa orang lain, term asuk Pak Haji yang pernah saya singgung. Kam i dikum pulkan di tengah ruangan, disuruh duduk di lantai tanpa alas, sedang Nurse berdiri bertolak pinggang. Saya duduk di tikar yang ditinggalkan Pak Haji. “Sini-sini-sini!” perintah Nurse sam bil m enggam it kam i agar duduk m endekat. Dalam hati saya m erasa tersinggung, dan ngotot tetap duduk di tikar. Anehnya Letnan Nurse m em biarkan saja saya. Mem ang isi dunia ini kadang-kadang m engherankan. Pokoknya, di tengah suasana itulah Nurse berpidato kepada kam i dengan penuh kem egahan dan wibawa. Isinya: Ia m au m em bebaskan kam i, karena tidak terdapat bukti bahwa kam i terlibat dalam pem berontakan PKI. Dia m inta agar kam i m enjauhkan diri dari unsur-unsur PKI, bahkan ikut m em berantas PKI sam pai ke akar-akarnya. Untuk m em buktikan ketaatan dan kesetiaan kam i kepada pem erintah, kam i harus datang m elapor dua hari sekali. Pidato selesai.

297

298

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ada pertanyaan?” Saya m engacungkan tangan. “Apa kam i tidak diberi surat pem bebasan, Pak?” tanya saya. “Tidak ada surat pem bebasan!” “Nanti kalau kam i ditangkap lagi, bagaim ana, Pak?” “Ya bilang saja sudah pernah ditangkap di sini!” Habislah tanya-jawab itu di situ. Turun dari ruangan, Mas Pram dan Pak Moedigdo m elongok dari balik pintu kandang: m inta dikirim sikat gigi, tapal gigi, sabun m andi dan cuci, handuk, pakaian ganti, dan m akanan. “J angan lupa beliin aku rokok, Liek,” pesan Mas Pram . “Rum ahnya betulin, ya!” “Iya!” “He, sudah, pergi sana!” usir tentara yang jaga. Kam i pun ngeloyor pulang. Karena tanpa bekal apapun, terpaksa saya jalan kaki dari Lapangan Banteng sam pai J alan Rawam angun, sekitar lim a kilom eter, dengan perasaan khawatir sewaktu-waktu diam ankan lagi oleh tentara yang lain. Sam pai di rum ah baru saya ketahui bahwa kam i telah kehilangan segalanya: Rum ah kontrakan Mas Wiek tem pat saya m enum pang, dan rum ah Mas Pram , sudah diduduki tentara, dan segala isinya sudah ludes. Sesudah itu berlangsung penantian panjang, 14 tahun, sebelum akhirnya saya dan Mas Pram dapat m eneruskan obrolan kam i dalam suasana bebas tapi terpenjara, di tengah negara Indonesia Raya yang sudah m enjadi Penjara Raya Orde Baru.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Diajak Masuk Mulut Buaya

BAIKLAH SAYA ceritakan apa-apa yang harus saya ceritakan sesudah jalan sekitar lim a kilom eter itu. J arak itu boleh dikata dekat kalau orang berniat jalan-jalan di pagi hari Minggu yang sejuk dem i kesehatan badan. Paling ditem puh dalam sejam . Tapi karena ditem puh di tengah hari kota J akarta yang berdebu, dalam keadaan lapar, lelah isik dan jiwa, tanpa uang sepeser dan tanpa identitas pula, hati ini kosong juga jadinya. Sepanjang jalan terbayang keadaan rum ah Mas Pram yang dhedhel-dhuw el (bongkar-bangkir) tertim pa batu. Tentu dibutuhkan banyak biaya untuk m em betulkan. Dari m ana uangnya? Tidak tahu. Pokoknya sanggup, itu yang penting. Saya sendiri belum pernah punya rum ah. J angankan punya, m erencanakan atau m em bayangkan saja belum . Yang terpikir oleh saya adalah bagaim ana m ewujudkan cita-cita sosialism e. Kalau sosialism e tegak di Indonesia, dengan sendirinya perum ahan tidak m enjadi m asalah. Maka, kalaupun saya pernah m enggam bar rum ah m asa depan, itu sekadar khayalan estetis yang lebih m engarah pada lam unan.

www.facebook.com/indonesiapustaka

302

Bersama Mas Pram

Dengan sengaja saya m asuk gang 3 itu dari arah Stasiun Kram at, karena dari situ dari jauh saya sudah dapat m elayangkan pandangan ke arah rum ah itu. Dan itu pula yang saya perbuat. Tapi alangkah kecewa saya! Dari jauh sudah saya lihat baju hijau. Maka seketika itu pula padam segala bayangan saya tentang rum ah, berganti dengan rasa gentar. Walau dem ikian untuk balik kanan jalan terasa janggal. Maka saya jalan terus seperti tak ada apa-apa. Pikir saya, kalau ada yang m engenali saya, m atilah saya. Sam bil lalu, dari ujung m ata saya terlihat beberapa tentara keluar-m asuk pintu depan rum ah, dan di sam ping kiri rum ah m erem ang abu kehitam an sisa bakaran. Saya jalan sam pai pertigaan, lalu m em belok ke kanan ke jalan raya. Dari situ saya ke rum ah kontrakan Mas Wiek tak jauh dari sana. Saya bayangkan Mas Wiek segera m enyam but saya. Tapi sekali lagi saya kecewa. Ternyata rum ah itu tergem bok dari luar. Saya pegang gem bok itu, gem bok yang tak saya kenal. Bu Sudia keluar dari rum ah petak di kanan rum ah petak kam i. ”Sudah pulang, Dik Koesalah?” tegurnya. ”Sudah, Bu,” jawabku ham bar. Bu Sudia adalah istri Pak Sudia, pegawai kantor pensiun yang kam i dengar orang PNI. Mereka tinggal bersam a adik Bu Sudia yang sudah gadis, yang sangat kedul (m alas), hingga ham pir tiap pagi Bu Sudia terpaksa berteriak: ”Eneeengng! Tos beurang atuh, Neeeng!—Neng, sudah siang ini, Neng!” Mereka tetangga yang baik. Tak pernah ada m asalah dengan kam i. Mendapat jawaban saya itu, Bu Sudia m asuk kem bali ke dalam rum ah.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

Selagi saya pegang gem bok, saya lihat dari ram kawat isi rum ah sudah kosong. Terdengar bisik dari dalam rum ah petak sebelah kiri: ”Dik Koesalah! Sini deh!” Saya m enoleh, dan ternyata Pak siapa, saya sudah lupa nam anya, pegawai im igrasi, yang entah kenapa tidak ngantor. Kabarnya ia orang NU. Dia tinggal dengan istri, juga dengan adik sang istri, yang sudah gadis. Tiap kali sang istri pergi, ke pasar m isalnya, gadis itu ditangkringi bapak itu. Mereka juga tetangga yang baik. ”Sudah pulang, ya?” dem ikian juga tanyanya. ”Ya inilah,” jawab saya asal saja. ”Mas Wiek ke m ana, Pak?” sam bung saya. ”Nggak tahu! Dibawa tentara m alam itu juga. Sam a dengan Dik Koesalah. Tapi sini, deh!” Saya m asuk rum ah. Bapak itu m em balikkan badan, m em buka lem ari, lalu dengan tangan gem etar m engulungkan beberapa barang, sam bil ucapnya: “Iniii... sengaja saya selam atkan. Barangkali diperlukan oleh Dik Koesalah!” Saya terim a barang itu: paspor saya, pisau kom ando, dan rantai em as. Yang pertam a m em ang saya perlukan. Yang kedua dan ketiga cum a m ainan, yang akan saya berikan kepada anak saya. “Terim akasih banyak, Pak! Wah Bapak sangat berjasa ini.” “Ya cum a itu yang bisa saya lakukan m ah. Pikir saya teh, barangkali diperlukan ku Dik Koesalah.” “Sekali lagi terim akasih, Pak. Tapi siapa yang pegang kunci gem bok itu, Pak?”

303

www.facebook.com/indonesiapustaka

304

Bersama Mas Pram

“Ya tentara. Tapi kalau Dik Koesalah m au, bisa diantar ku Yayat.” Yang dim aksud dengan Yayat adalah cucu pem ilik rum ah, anggota Gerakan Pem uda Ansor. “Cum a ingin tahu saja kok. Lebih baik saya m enem ui Pak RT, Pak.” “J uga baik. Silakan.” “Kalau begitu, saya m inta perm isi dulu, Pak! Terim akasih.” “Mangga....” Saya lalu m enuju rum ah Pak RT, di salah satu petak kontrakan Pak J aya. Saya sudah lupa nam anya. Kabarnya ia orang PNI kanan yang sem pat m engerahkan anggotanya untuk ngisin-isin (m em perm alukan) istri Mas Wiek sebagai anggota Gerwani yang m elarikan diri, waktu yang terakhir ini berangkat ke stasiun untuk pulang ke J awa Tengah. Saya disam but dengan wajah sinis oleh Pak RT, dan sinisnya itu berpengaruh pada selera saya. “Sudah pulang?” tanyanya kaku. “Ya, sudah. Ya itu, Pak, m aaf, m engganggu, saya datang buat m engurus kartu penduduk.” “Saudara kan bukan penduduk sini?!” “Saya bekas penduduk sini, Pak, cum a lim a tahun terakhir saya belajar di luar negeri. Sekarang m au m endaftar kem bali sebagai penduduk. Ini paspor saya.” “Kenapa tidak lekas m elapor?” Pak RT tentunya sudah m endengar kedatangan saya dari luar negeri itu, dan tentunya juga sudah m elihat sosok saya, karena rum ahnya m enghadap ke gang m enuju rum ah kontrakan Mas Wiek.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

“Karena belum bisa m enentukan, Pak, m au tinggal di m ana. Ya itu keteledoran saya. m aaf.” “Keteledoran itu kurang baik akibatnya. Tapi saya sebagai Ketua RT harus m em bantu Saudara. Kita perlu lapor kepala kom andan.” “Di m ana, Pak?” “Di situ,” ia m enunjuk asal saja, “tidak jauh.” “Itu kom andan apa, Pak.” “Ya kom andan tentara yang m enguasai rum ah-rum ah PKI ini.” “Kapan, Pak?” “Ya sekarang.” Di situ naluri saya segera berbicara. “Wah, sekarang saya sedang buru-buru, Pak. Bagaim ana kalau besok?” “Terserah Saudara.” “Kalau begitu besok saja, Pak. J am berapa, Pak?” “Terserah!” Beginilah kalau punya Ketua RT penganggur, pikir saya. “Begini hari, besok, Bapak ada di rum ah?” “Ada.” “Ya sudah, besok saja, jam seperti ini ya, Pak. Perm isi.” Besoknya saya tak datang. Lalu saya ngibrit ke rum ah m bakyu saya di Hutankayu, jarak sekitar satu kilom eter dari sana. Di sana saya tidur bersam a kem enakan saya di kam ar depan. Dalam hati saya m erasa beruntung telah ndhelik dalam acara pem bentukan Lekra Cabang Rawam angun. Kalau tidak, tentu saya m enjadi salah satu sasaran penting penangkapan m iliter.

305

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mel

SAYA DIHARUSKAN m el (lapor diri) dua hari sekali ke instansi yang kem udian saya ketahui bernam a Lidikus (penyelidikan khusus) itu. Mel yang pertam a hari Kam is. Waktu itu saya sudah m ulai m engajar, tiap Senin dan Kam is. Hari Rabu, sesudah dibebaskan, dengan sengaja saya datang ke Bagian Perdagangan untuk m em beritahukan bahwa saya sudah pindah ke Gang Wahab dan supaya dijem put di m ulut Gang Wahab. Gang Wahab waktu itu—sebagaim ana gang-gang lain di J akarta— m erupakan gang sem pit yang becek setengah m ati kalau turun hujan. Mobil jelas tak bisa m asuk. Maka saya harus m enanti jem putan di m ulut gang. Pulang m engajar saya m inta diantarkan ke Lidikus untuk m el. Dan karena honorarium untuk pelajaran dibayarkan tiap habis pelajaran, hari Kam is itu saya sudah punya uang lagi. Saya m erasa beruntung m enerim a pekerjaan m engajar, yang ternyata m enjadi juru selam at saya. Di jalan saya beli handuk, sabun m andi dan cuci, pasta dan sikat gigi, dan... tidak lupa rokok kretek (saya sudah lupa apa m ereknya) dan roti kadet untuk Mas Pram dan Oom Moedig.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

Saya diantarkan sam pai depan Lidikus, tapi sopir saya m inta m em arkir m obilnya agak jauh. Sopir itu pem uda jangkung dari Betawi. Rum ahnya di daerah J alan Kawi. Orangnya baik sekali, sayang saya sudah lupa nam anya. Pertam a kali datang, saya bingung juga apa bentuk m el itu: lapor lisan ataukah tertulis. Sesudah m elewati pintu gerbang darurat berupa pagar seng yang bisa dirapatkandirenggangkan, saya terbengong-bengong. Seorang tentara tanya: “Mau apa?” “Ini, Pak, katanya disuruh m el,” jawab saya. “Ya itu, tulis nam anya,” katanya sam bil m enunjuk ke m eja. Ternyata di atas m eja di depan pintu belakang kantor ada buku tulis yang waktu itu dalam keadaan terbuka, lengkap dengan vulpennya. Buku tulis itu berisi kolom -kolom untuk tanggal, nom or urut, nam a, alam at, jam datang, dan tandatangan. J am m el sebelum pukul 0 8.0 0 , tapi waktu itu saya tidak ditegur walau sudah pukul 10 .0 0 lewat. J adi saya diam saja. Dalam hati saya sudah siap jawaban apabila ditanya. “Sudah, Pak!” kata saya kepada tentara, sesudah m engisi kolom -kolom . “Ya sudah.” “Tapi ini, ada titipan buat kakak dan pam an saya, Pak.” “Siapa nam anya?” “Pram oedya dan Moedigdo.” “Pram oedya! Moedigdo!” pekik tentara itu ke arah pintu kandang. Tapi ketika saya m enoleh ke pintu kandang, sudah tam pak di balik pintu itu Mas Pram yang tersenyum , dan di sekitarnya berlongokan wajah-wajah sendu dan senyum . “Koes!” desis suara dari dalam , m ungkin itu Wargono.

307

308

Bersama Mas Pram

“Bagaim ana rum ahnya, Liek?” tanya Mas Pram .

www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ya sudah! Sana!” bentak tentara, sesudah kirim an itu disam paikan. Dengan sendirinya saya tak m enyebut bahwa rum ah sudah diduduki tentara, karena rum ah itu cukup besar untuk m enjadi asram a, bahwa Mas Wiek pun diam bil tentara, tapi rum ahnya dibiarkan kosong karena terlalu kecil untuk ditinggali tentara. Kam i bahkan belum tahu di m ana Mas Wiek berada. Sebetulnya, kalau keadaan baik, dengan kata “beres” sudah cukup buat Mas Pram untuk m em aham i soalnya. Dengan diam saya, ia m engerti kebalikannya. Ya sudah. Keluar dari Lidikus saya m inta diantarkan sopir ke Batutulis, lalu sopir saya suruh kem bali ke kantor. Di rum ah kakak Mbak Pram itu saya ceritakan pengalam an m alam tanggal 13 Oktober itu, keadaan rum ah, rum ah kontrakan Mas Wiek dan Mas Wiek sendiri, dan yang terpenting, bahwa Mas Pram sekarang ada di Lidikus, di J alan Lapangan Banteng Barat. Saya m inta supaya Mbak Pram segera m enjenguknya agar dia tidak keburu dipindahkan ke tem pat lain, dan agar lekas dapat berhubungan.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Melacak Buku

PAGI PERTAMA (kalau saya tak salah ingat) kam i berada di Lidikus, sudah ada koran (saya lupa nam anya) yang m em uat berita tentang penyerbuan di rum ah Mas Pram . Koran itu dibawa oleh salah seorang tentara, dan Mas Pram disuruh m em baca. Waktu itu koran hanya em pat halam an tebalnya, dengan huruf-huruf cetak buruk, tapi dengan headlines besarbesar. Saya heran juga, penyerbuan terjadi sekitar pukul setengah dua belas m alam , kok pagi pukul enam sudah keluar beritanya di koran. Tapi yang penting, yang ditonjolkan dalam berita itu adalah bahwa Mas Pram m encuri buku-buku dari perpustakaan Museum Pusat, dan bahwa buku-buku tentang Marxism eLeninism e telah dibakar oleh m assa. Berita itu tentu saja m erupakan kabar buruk buat Mas Pram , bukan tuduhan bahwa ia m encuri buku, m elainkan pem bakaran bukunya. Dalam am uk tentara dan polisi m alam itu, m ana m ungkin ada seleksi? Tentu sem barang buku saja m enjadi korban. Saya sem pat bertanya kepada Mas Pram (sebelum kejadian itu) berapa jum lah bukunya, dan dia jawab 20 .0 0 0 .

www.facebook.com/indonesiapustaka

310

Bersama Mas Pram

Dan saya catat di sini, di antara buku yang m enjadi korban itu pastilah buku saya. Sebelum pergi ke Moskwa, saya telah m engoleksi 2.0 0 0 buku, m ajalah, dan brosur dalam bahasa Indonesia, J awa, dan Inggris, dan itu saya titipkan di perpustakaan Mas Pram . Menurut perkiraan saya, tentulah tidak sem ua buku itu dibakar; sebagian tentu diam bil oleh para penjarah untuk kepentingan sendiri, dan sebagian lagi dikilokan. Dengan perkiraan dem ikian, tentu toko-toko buku di sekitar Rawam angun m enjadi penadahnya. Rawam angun waktu itu m erupakan daerah pinggiran. J alan Pram uka sedang dibangun, dan J alan Bypass (sekarang J alan A. Yani) sedang dirintis. Dua pasar kecil ada di dekat sana, Pasar Mencos dan Pasar Genjing. Ada juga Pasar J ohar Baru, tapi waktu itu m asih terlalu kecil untuk m em iliki toko buku. Saya m ula-m ula m enuju Pasar Mencos yang terletak di pertem uan Gang Tengah dan J alan Percetakan Negara, di seberang m asjid. Di sana ada satu toko buku. Saya lihati punggung buku-buku yang berjajar tegak di rak-raknya, barangkali ada yang saya kenali. Satu-dua buku saya tarik dan saya buka. Buku Mas Pram m udah dikenali, karena di halam an judul terdapat cap nam anya. Cap itu, berupa cap tim ah, dipesan dari Percetakan De Unie yang waktu itu m asih m enggunakan m esin cetak Linotype. Tapi di toko buku itu tak satu pun saya tem ukan buku Mas Pram atau saya. Buku-buku saya lebih gam pang lagi dikenali, karena di sam ping terdapat nam a saya di halam an judul (dengan m odel cap yang sam a, karena m em ang m eniru Mas Pram ), juga di halam an 10 , 110 , 210 , dst., kalau ada, dan terakhir di halam an terakhir. Sistem ini saya tiru dari perpustakaan Fakultas Sastra

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

Universitas Indonesia, waktu saya bekerja di sana sebagai student-assistant. Bundel m ajalah saya, terutam a m ajalah Medan Bahasa dan Bahasa dan Buday a, dengan m udah dapat saya kenali, karena pem bundelan saya lakukan di bengkel pem bundelan Fakultas Sastra, jadi seragam . Maka dengan segera dapat saya tem ukan bundel-bundel m ajalah tersebut di dua toko buku yang ada di Pasar Genjing. Saya heran juga, kok begitu lekas penjarah itu m elego barangnya, dan si pem ilik toko kok berani m enjual barang yang jelas jarahan. Tapi dengan sendirinya saya tak m em persoalkan m asalah itu dengan si pem ilik toko. Satu-dua bundel yang saya anggap penting saya beli kem bali, setelah saya belai-belai dengan rasa sayang.

www.facebook.com/indonesiapustaka

J adi saya tak m enem ukan kem bali satu pun buku Mas Pram . Dan saya tidak m elacaknya di toko-toko buku yang lebih jauh. Kem ungkinan sebagian besar buku itu m enjadi korban pem bakaran, satu hal yang justru ingin dicegah oleh Mas Pram .

311

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mencari Mas Wiek

BERHARI-HARI SAYA m engalam i kebingungan bagaim ana harus m encari tahu di m ana Mas Wiek berada. Terus-terang, saya takut berhubungan dengan m iliter. Melihat baju hijau pun suatu pengalam an yang buruk buat saya. Tapi tanpa didugaduga datang sepucuk kartupos dari Mas Wiek, yang ditujukan kepada Mbak Is. Kartupos itu sudah lusuh, tapi yang penting isinya: Dia berada di Kodim J atinegara, keadaannya sangat buruk, berjejal-jejal di ruangan yang sem pit, dengan m akan tak keruan. Ia m inta dibawakan pakaian. Saya tak sangsi bahwa dia berada dalam tahanan. Yang m engagum kan saya, bagaim ana dia bisa m em peroleh kartupos lengkap dengan perangkonya, m enulisinya dengan tinta, m em poskannya, dan surat itu dalam keadaan terbuka untuk dibaca siapapun. Dan, sam pai pada si alam at! Di tengah kem elut saat itu! Kepada Mbak Is saya katakan bahwa saya tidak dalam kondisi untuk berhadapan dengan m iliter. Saya m inta Mbak Is bersedia m aju. Sebagai wanita tentunya hal itu lebih pantas. Mbak Is tidak m enolak, tapi ia perlu bertanya dulu kepada

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

suam inya, Mas Her. Mas Her—seperti sudah saya sebut—orang PSI dan benci sekali pada PKI. Tapi karena Mas Wiek adalah iparnya, kakak istrinya, ia m erelakan istrinya itu m encari kakaknya: “Terserah!” Maka pada hari m engajar, Senin atau Kam is, saya khusus m inta pada sopir untuk m engantarkan saya ke Kodim J atinegara. Kam i tidak bawa apa-apa dulu; yang penting m em astikan orangnya ada. Mbak Is waktu itu sedang m engandung Hariswati delapan bulan. Dari nam a bayi yang beberapa waktu kem udian lahir itu pun bisa diketahui jalan pikiran dan aliran politik Mas Her. Perut Mbak Is waktu itu sudah besar seperti genderang, langkahnya pendek, tapi m asih cukup lincah. Saya m inta dia duduk di sam ping sopir, dan saya di belakang. Saya m asih ingat betul, dia m engenalan blus yang dijahitnya sendiri dari kain yang saya bawa sebagai oleh-oleh untuknya dari Moskwa, putih berm otif kem bang-kem bang kuning-cokelat. Kasihan juga saya m elihatnya. Maklum , m obil Gaz saya suruh parkir agak jauh di depan Stasiun J atinegara, dan dari sana ia harus jalan ke gerbang Kodim , dan selanjutnya ke gedung Kodim yang berhalam an luas itu, kem udian balik lagi ke m obil. Sekali lagi saya m erasa beruntung punya pekerjaan m engajar itu, karena dengan dem ikian saya bisa pakai m obil tanpa m esti lapor kepada bos, dan sopir pun dengan senang hati m au m enuruti perm intaan saya. Kalau tidak, bagaim ana kam i akan m elakukan hal itu di saat yang serba kacau waktu itu? Saya sudah kehilangan kontak dengan tem an-tem an yang um um nya sudah buyar m encari selam at m asing-m asing atau m asuk tahanan. Ketika akhirnya Mbak Is berjalan m enuju m obil, saya perhatikan betul, “genderangnya” naik-turun perlahan tak henti-henti, sam pai akhirnya ia tiba di sam ping m obil. Ia terengah-

313

www.facebook.com/indonesiapustaka

314

Bersama Mas Pram

engah beberapa waktu lam anya di depan pintu m obil yang saya bukakan, sebelum akhirnya naik. Sopir m enghidupkan m esin. “Nanti dulu,” kata saya kepada sopir. “J adi, bagaim ana? Ada Mas Wiek?” tanya saya kepada Mbak Is. “Mem ang ada tahanan di situ, tapi nggak ada yang nam anya Waluyadi. Mungkin term asuk yang sudah dipindah.” “Dipindah ke m ana?” “O, iya, saya nggak tanya, dipindah ke m ana. Aduh!” jawabnya m enyesal. “Kalau begitu tanya dulu. Ini m obilnya undurkan sedikit, Bang, supaya nggak terlalu jauh jalannya,” kata saya kepada sopir. Mobil m undur sam pai sedekat m ungkin dengan gerbang Kodim , Mbak Is m em buka pintu, turun, lalu jalan lagi ke kantor Kodim . Mobil m aju kem bali ke tem pat sem ula. Lam a juga saya m enunggunya, seperti berabad-abad. Dan ketika dari jauh kelihatan dia m uncul kem bali dari pintu gerbang, saya m inta m obil diundurkan kem bali. “Nah, bagaim ana?” tanya saya tak sabar. “Katanya, barangkali, ke penjara Gang Tengah!” jawabnya. “Kurangajar!” m aki saya dalam hati. “Barangkali! Kalau barangkali di Gang Tengah, barangkali juga di tem pat-tem pat lain lagi. Konyol!” “Yah, paling tidak sudah ada tem pat untuk dituju,” kata saya akhirnya. Saya tidak bisa m enggunakan m obil terlalu lam a, bisa-bisa sopir dim arahi oleh bos. Karena itu, sesudah m engantarkan kam i pulang ke Hutankayu, sopir saya suruh lekas kem bali ke kantor.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Keterlibatan Polisi

BEBERAPA WAKTU kem udian saya perlukan datang ke Batutulis untuk m enengok Mbak Pram dan m endengar kabar tentang Mas Pram . Waktu itu anak-anak (seluruhnya lim a orang) belum pada sekolah lagi. Yang terbesar, Titiek, baru berusia sekitar sem bilan tahun. Adiknya, Lina, sekitar tujuh tahun, dan adiknya lagi, Rita, sekitar lim a tahun. Terutam a Rita, aduh, nakalnya dan jahilnya bukan m ain. Dia selalu m engganggu m bakyu-m bakyunya dengan tangan dan kakinya, di sam ping dengan celotehnya yang kacau dan jeritan-jeritannya yang m elengking tak enak didengar telinga. Begitu berhasil disuruh diam , saat itu pula ia m ulai m alang-m elintang lagi. Suara ibunya tidak m am pu m enghentikan kenakalannya. Entahlah, apakah itu salah satu pernyataan protes terhadap situasinya: tidak sekolah, tidak ada bapak, dan tidak di rum ah sendiri pula. Menurut Mbak Pram , ia sudah sem pat m enengok Mas Pram beberapa kali di Lidikus, m engirim m akanan, pakaian, dan barang-barang lain yang diperlukan. Dari Lidikus Mas Pram dipindahkan ke Guntur, asram a polisi m iliter. Di sana,

www.facebook.com/indonesiapustaka

316

Bersama Mas Pram

katanya, Mas Pram dan kawan-kawan dipaksa m erangkak di jalan berbatu-batu. Itu bukan cerita Mas Pram sendiri, tapi cerita seorang kawannya yang m enyam paikannya kepada keluarganya, dan selanjutnya keluarganya m enyebarkannya kepada ibu-ibu yang lain. Dari sana ia dipindahkan ke penjara Gang Tengah, jadi seperti Mas Wiek juga. Yang m enarik dari cerita Mbak Pram adalah keberhasilannya m engetahui bahwa barang-barang berharga dari rum ahnya telah diangkut ke kantor polisi seksi V di J alan Kram at Raya. Dan... ia sudah m endatangi kantor polisi itu dan m em inta barang-barang itu kem bali. Polisi bersedia m engem balikannya, karena m enurut keterangan kom andan, polisi hanya m enyelam atkan barang-barang itu. Di antara barang-barang itu terdapat radio dan kulkas, dan... m otor Ducati saya! Motor Ducati tersebut, yang m alam tanggal 13 saya tinggal di rum ah itu, term asuk yang “diselam atkan” oleh polisi. Tidak term asuk skuter Mas Pram , karena skuter itu sem pat dititipkan di rum ah Mbak Is di Hutankayu dalam keadaan terkunci. Tapi tidak ada satu pun buku! Sekali lagi berita buruk buat Mas Pram . Kepada Mbak Pram diberikan surat untuk m engam bil barang-barang itu pada tanggal yang ditentukan. Lewat Mbak Pram , kepada saya pun diberikan surat pengam bilan Ducati. Saya sudah lupa isi surat itu, tapi itu bukan surat resm i, m elainkan sekadar secarik kertas dengan tulisan tangan dan cap polisi. Saya m asih traum a terhadap baju hijau, term asuk polisi. Maka waktu itu saya m inta tolong kepada tem an saya, Sarip, untuk m em inta tolong abang tirinya, Parjo, anggota Polisi Pangkalan Udara Halim Perdanakusum a, untuk m engam bil Ducati itu. Parjo juga saya kenal, di sam ping Sarip. Cerita Parjo

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

sebagai polisi banyak, tentang keberanian dan ketegasannya, terutam a yang m enyangkut pelanggaran susila. Orangnya tam pan, suka bercerita dan m em baca cerita. Di antara yang sedang asyik dibaca dan dilanggannya waktu itu adalah cerita kom ik Nagasasra Sabuk Inten karangan S.H. Mintardja. Menanggapi perm intaan saya lewat Sarip, dia m enyatakan bersedia. Saya pun ayem , karena polisi angkatan bersenjata bagaim anapun lebih punya wibawa daripada polisi biasa. Pada hari yang ditentukan, sengaja saya datang ke rum ahnya di depan Gang Wahab sesudah gelap, dengan perhitungan ia sudah sem pat sehari itu m elaksanakan perm intaan saya. Tapi ternyata ia belum m engam bil Ducati itu. Alasannya, hari itu ia ada tugas. “Besoklah!” katanya. Besoknya saya datang pada waktu yang sam a. Ternyata belum juga! Terpaksa saya m engeluh kepada Sarip, karena saya khawatir keterlam batan m engam bil m otor itu bisa dijadikan m acam -m acam alasan oleh polisi untuk berbuat lain dengar m otor itu. “Mas Parjo kelihatannya takut, Mas Liek!” kata Sarip. “Wah, payah juga. Kalau begitu, tolong am bil surat itu kem bali, biar saya sendiri yang ngam bil.” Maka dengan surat itu saya pun nekat datang ke Seksi V. Barang-barang Mbak Pram sudah diam bil pada waktunya, entah bagaim ana caranya, sedangkan Ducati saya waktu itu saya lihat tersandar di tiang di belakang kantor polisi, lengkap dengan kuncinya. Saya tak m engalam i kesulitan apapun, walau datang terlam bat dua hari. J adi ternyata traum a saya itu tidak beralasan.

317

www.facebook.com/indonesiapustaka

Piet

MBAK PRAM bercerita tentang datangnya Piet m enem uinya. Piet adalah m ahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang tinggal di asram a m ahasiswa Rawam angun, asisten Mas Pram yang m engatur perpustakaan dan dokum entasi. Tergantung dari waktunya, ia sering datang ke rum ah Mas Pram untuk bekerja, seringkali sam pai seharian. Sosoknya kurus jangkung, keperem puan-perem puanan, kadang-kadang m enunjukkan kekenesan, tapi bicaranya jelas, teratur, satusatu. Itu m enjadi salah satu kekuatannya. Dengan ditahannya Mas Pram , Piet kehilangan pekerjaan. Ia terpaksa juga m eninggalkan kuliahnya. Tapi dengan kekuatan yang dim ilikinya, ia berhasil berkenalan dengan yang nam anya Pak J aka, bekas pejuang dari Laskar Bam bu Runcing di daerah Bogor, yang waktu itu tinggal di daerah Prum pung, J atinegara. Pak J aka bersim pati pada Partai Murba, tapi secara pribadi bersim pati pada Mas Pram . Usia Pak J aka sekitar 45 tahun, tidak bekerja, karena kesehatannya tak m em ungkinkan: penderita asm a akut dan jantung. Ia hidup dari status resm inya sebagai direktur pabrik

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

penggilingan beras, bersam a istrinya yang m asih m uda, yang konon dikawini sesudah m enodong bapaknya. Dalam waktu senggangnya yang tidak sedikit, Pak J aka m elam piaskan bakat alam nya dengan m enulis sajak-sajak perjuangan. Rupanya bakatnya itu yang m endekatkannya pada Mas Pram , seperti diungkapkan oleh Piet. Nah, sebagai ungkapan sim pati kepada Mas Pram , Pak J aka m enyatakan akan m enyum bang Mbak Pram tiap bulan setengah kuintal beras. Piet m enyatakan, dialah yang akan m enyam paikan beras itu kepada Mbak Pram . Tapi sam pai waktu itu, belum pernah Piet m ewujudkan om ongannya. Sem entara itu Piet datang m enem ui saya, m enyatakan bahwa ia sem pat bercerita kepada Pak J aka tentang saya sebagai ahli bahasa Rusia. Kebetulan, m enurut Piet, Pak J aka pernah m endengar ahli biologi Rusia bernam a Tim iryazev (yang selalu diucapkannya Tim izarev). Dia telah m enulis buku yang fenom enal dan m onum ental berjudul Tum buhan (yang dalam bahasa Rusia, saya tahu, bernam a Rasteniye). Isinya uraian m engenai proses dialektis tum buhan m ulai dari biji sam pai pohon, dan ke biji lagi. Pak J aka sangat antusias m endengar adanya buku ini, dan m enganggapnya sebagai penjabaran Marxism e dialektis dan historis di bidang biologi. Dia ingin buku itu saya terjem ahkan ke dalam bahasa Indonesia. Piet m anyam paikan sem ua itu kepada saya dengan gaya ingin m em bantu saya. Dan m enghadapi bekas asisten Mas Pram itu, saya pun ingin m enyatakan sim pati saya terhadap rasa sim patinya. Saya katakan kepadanya bahwa buku Rasteniye tidak saya punyai, tapi itu bisa saya pinjam dari tem an-tem an insinyur pertanian yang tentu m em ilikinya. Yang m enjadi soal adalah, “saya tak punya m esin tulis”, padahal

319

www.facebook.com/indonesiapustaka

320

Bersama Mas Pram

terjem ahan itu tentunya harus diketik dengan m esin tulis. Terus-terang, sebetulnya saya punya m esin tulis, tetapi alasan itu saya kem ukakan untuk m engetahui apakah kuat keinginan itu atau tidak. “Pak J aka punya m esin tulis nganggur, Mas. Nanti saya sam paikan,” kata Piet. Betul, pada suatu kali, saya diajak Piet berkenalan dengan Pak J aka di Prum pung, dan di situ langsung dibicarakan tentang proyek terjem ahan itu. Dengan m enggebu-gebu Pak J aka bicara tentang pentingnya m enerjem ahkan buku itu untuk rakyat Indonesia. Untuk itu ia bersedia m enyediakan dananya, dan m em injam kan m esin tulis. Dalam hati saya m engom el: Dalam situasi politik yang kacau saat ini, kok ada orang yang m au m em biayai penerjem ahan buku yang dem ikian jauh jaraknya dengan kepentingan rakyat Indonesia. Tapi, bagaim anapun, hubungan antarm anusia waktu itu m endorong saya untuk m enerim a pekerjaan itu. Mesin tulis standar saat itu pula bisa saya bawa pulang, walau buku Rasteniye belum tentu saya peroleh, dan untuk m em perolehnya pun m akan waktu banyak. Itu adalah bukti tekad Pak J aka. Saya lalu m enghubungi tem an saya Ir Bagio, dan beruntung dia punya buku itu, dan bersedia m em injam kannya kepada saya. Dengan sendirinya m esin itu ndongkrok di rum ah. Sem entara itu Piet datang m enem ui saya, ingin m em injam m esin tersebut untuk, katanya, m engerjakan tulisan yang sedang disiapkannya. Dia waktu itu sudah keluar dari asram a, m engawini anak tukang nasi yang m enjadi langganannya, dan tinggal di dekat asram a itu juga, di sebuah rum ah kum uh.

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

www.facebook.com/indonesiapustaka

Karena m em ang m enganggur, saya lepaslah m esin itu untuk dia pinjam . Celakanya, m esin itu tak pernah kem bali. Sam pai sekarang. Dan beras bulanan sum bangan Pak J aka pun tak pernah diterim a oleh Mbak Pram .

321

www.facebook.com/indonesiapustaka

Komandan yang “Baik”

AKHIRNYA TIBA saatnya saya m engecek sendiri apakah Mas Wiek benar ada di penjara Gang Tengah. Ternyata benar, bahkan Oom Moedig dan Mas Pram pun ada di sana. Waktu itu ada anggapan di kalangan um um , sudah dengan sendirinya para tahanan m endapat m akan sedikit, bahkan tak m encukupi kebutuhan kesehatan. J uga bahwa para tahanan tak m endapat fasilitas apapun. Maka sudah dengan sendirinya juga keluarga tahanan harus m engirim nya m akanan, obatobatan, dan kebutuhan lainnya. Kalau tidak, dapat dipastikan tahanan itu akan m ati. Penjara sendiri m em buka kesem patan kepada keluarga untuk m engirim kerabatnya, tiga kali sem inggu: Selasa, Kam is, Sabtu. Untuk itu Kodam (Kom ando Daerah Militer) m engeluarkan surat izin khusus. Untuk m engirim tiga kali sem inggu tentu saja terlalu sering dan m ewah buat keluarga tahanan yang rata-rata buruk ekonom inya. Sem inggu sekali pun sudah tergolong baik. Banyak keluarga yang hanya m engirim sebulan sekali. Bahkan ada yang setahun sekali, di waktu Lebaran.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

Untuk m elayani penerim aan kirim an itu dikerahkan tenaga tahanan. Maka saya bisa m engetahui adanya Oom Moedig di situ, karena tem an saya Wargono, wartawan “Antara”, term asuk orang yang dikerahkan tenaganya. Begitulah, tiap hari Kam is, sesudah m engajar pukul 0 7.0 0 -0 8.30 , saya lekas pulang, m enyerahkan uang belanja kepada Mbak Is yang lalu langsung berbelanja di warung Pok Ya’am tak jauh dari rum ahnya, m em asak, dan sebelum pukul 11.30 saya sudah harus sam pai di penjara, m em bawa dua bingkisan: buat Mas Wiek dan Oom Moedig. Isinya sam a, biasanya yaitu: nasi, sayur lodeh atau asem , lauk tem pe atau tahu goreng, teri-kacang, dan sebotol kecil kecap. Kadang-kadang buah, biasanya pisang. Bingkisan itu diwadahi apa saja, m ulai tas plastik sam pai keranjang rotan. Dan biasanya terdapat m angkuk, piring, botol, kantong atau tabung plastik. Sesudah diterim a oleh si alam at, tas dan sebagainya itu beserta tetek-bengeknya dikem balikan kepada si pengirim . Tergantung pada petugas pengirim an dan si alam at, proses pengirim an dan penerim aan kem bali tas itu m akan waktu dari satu sam pai dua jam . Para pengirim biasanya perem puan: gadis atau ibu-ibu. Sebagaim ana biasa, m ereka selalu berceloteh tentang apa saja, m ulai dari m akanan, keluarga, keadaan dalam tahanan, sam pai obyek-obyekan. Di antara ibu-ibu itu pun berlangsung jual-beli: bulgur, sagu kering, bekatul, dll. Pertanyaan yang m endasar antara lain adalah: berapa jum lah tahanan. Ada yang m endapat jawaban dua ribu, dua ribu lim a ratus, bahkan sam pai m endekati tiga ribu. Dilihat dari jum lah keluarga pengirim , dapat dipastikan bahwa tahanan yang dikirim i m akanan tidak sam pai sepuluh persen. Karena itu m ereka tidak heran m endengar ada tahanan

323

www.facebook.com/indonesiapustaka

324

Bersama Mas Pram

m eninggal, dan bahwa yang m eninggal dinyanyikan lagu “Internasionale”. Kalau ada keluarganya, si m ati diserahkan kepada keluarga untuk dikuburkan. Kalau tak ada keluarga, si m ati dikuburkan oleh RTC di sebuah pem akam an khusus tak jauh dari RTC. Masih tahun 1965, kam i m endengar m eninggalnya bekas Menteri Bahan Makanan, Pak Sojas, kem udian disusul bekas perwira PETA yang m enjadi kom andan asram a Rengasdengklok sewaktu Bung Karno dan Bung Hatta diculik oleh para pem uda revolusioner pada 16 gustus 1945, yaitu Um ar Bachsan. Mas Pram m endapat kirim an dari Mbak Pram , sedangkan Oom Moedig terpaksa saya kirim , karena Bu Moedig dan kesem bilan anaknya sem ua dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya saya lalu sering bertem u dengan Mbak Pram di halam an penjara itu. Maka kesem patan m engirim kerabat itu m enjadi ajang pertem uan antarkeluarga, antarkenalan, dan antartem an. Itu m enjadi hiburan tersendiri bagi keluarga tahanan. Dari m ulut ke m ulut saya m endengar bahwa Kom andan RTC waktu itu, Suratno, kom andan yang “baik”. Buktinya, ia m engizinkan para tahanan bercocok tanam di lingkungan bloknya m aupun di luar tem bok. Dengan dem ikian para tahanan m em peroleh kegiatan yang bisa m enjadi hiburan baginya, dan m em peroleh sayur-m ayur penam bah ganjal perut. Dalam kesem patan m engirim m akanan itu, kepada keluarga dijual juga kangkung, bayam , atau sawi dalam ikatan yang segar. Dan biasanya cepat habis, karena harganya agak m iring. Diam -diam keluarga berkeyakinan, hasil penjualan sayur-m ayur itu pastilah diam bil oleh petugas Kesem patan bertanam di luar tem bok dim anfaatkan oleh para tahanan untuk m encuci m ata dan m enghirup udara. Bulan-

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

bulan pertam a itu belum dikenal pertem uan keluarga. Perlu saya sebutkan bahwa bidang tanah di luar tem bok penjara itu dibatasi pagar kawat berduri. J adi, kalau m au m elihat tahanan bercocok tanam , ya dari luar pagar kawat berduri itulah. Pada suatu hari Kam is saya sudah m endengar bahwa Mas Pram akan keluar untuk bercocok-tanam . Rom bongan cukup besar, ada kalau dua puluh orang, tapi di antara orang sebanyak itu hanya beberapa orang yang tam pak bekerja. Yang lain berdiri-diri, m elongok-longok ke luar pagar kawat berduri m encari keluarganya. Saya lam a m engam ati m ereka satu per satu, tapi tidak saya tem ukan Mas Pram . Baru sesudah ham pir sam pai pada orang terakhir, saya lihat orang yang wajahnya ditutup saputangan dan m em egang tongkat. Walau tertutup saputangan, tam pak Mas Pram waktu itu ketawa-ketawa, m engangkat tongkatnya. “Lagi ngapain?!” teriak saya dari jauh. Dia tak m enjawab, atau saya yang tak m endengar jawabannya. “Masih saja nalurinya sebagai tentara!” pikir saya. Waktu itu saya m engajak tem an saya Rasuan. Saya m asih m au berseru lagi kepada Mas Pram , tapi dilarang oleh Rasuan: “Ah, sudahlah, Koes. Ayo kita pulang sekarang,” sam bil ditariknya tangan saya. Ya, saya tak m enyalahkan Rasuan. Mau datang ke halam an penjara itu saja, m enem ani saya, sudah bagus. Maklum lah, kakaknya anggota RPKAD.

325

www.facebook.com/indonesiapustaka

Yang Aneh-aneh

DENGAN SENDIRINYA ada saja kejadian yang aneh di tengah kegiatan kirim -m engirim itu. Perlu saya singgung bahwa di depan pintu gerbang penjara itu ada pos penjagaan polisi m iliter. Tentang sikap serem para polisi itu jangan ditanya lagi. Sedangkan polisi biasa sudah garang, apalagi polisi m iliter. Sialnya, sebelum m enyam paikan kirim an, pengirim harus lapor dulu ke pos penjagaan. Di situ nam a pengirim dicatat, juga nam a terkirim . Nah, pada suatu hari, karena sudah m endekati pukul 11.30 , dan lagi karena m erasa sudah sering m elapor—artinya sudah dikenal—, saya ngeloyor saja ke loket penyam paikan kirim an. “He, m au ke m ana itu?!” bentak salah seorang polisi m iliter. “Mau kirim !” seru saya sam bil berhenti. “Sini!” sam bil m elam baikan tangan. Saya m endekat. “Mau besuk?” tanyanya. “Saya m au kirim !” “Mau besuk?” ulangnya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

“Mau kirim ini,” sahut saya sam bil m enyorongkan m uatan tangan saya kiri-kanan. “Ya itu nam anya besuk!” bentaknya m elotot. “Sok tahu lu!” m aki saya dalam hati, “orang m au ngirim dibilang besuk!” Lain waktu, ketika hujan gerim is, saya m engenakan jaket dan baret. Dasar sial! Warna baret hadiah itu biru m uda, m irip warna baret polisi m iliter. Saya didekati oleh Mbak Pram . “Dik Liek, itu dipanggil!” katanya. Di kalangan para pengirim saya sudah dikenal sebagai ipar Mbak Pram . Maka Mbak Pram yang disuruh polisi m iliter itu m em anggil saya. “Sam a siapa?” tanya saya. “Itu, CPM!” Saya pun m engham piri polisi m iliter itu. “Celaka!” pikir saya. “Saya, Pak!” kata saya m elapor. “Copot itu!” katanya m endelik. Dengan sendirinya tak ada jalan lain bagi saya selain m em enuhi perintahnya. Sesudah m em asukkan kirim an ke loket, saya biasa m asuk warung Bu Sitorus di seberang jalan. Di situ saya m engistirahatkan pikiran sam bil m akan pisang, singkong atau ubi goreng, dan m inum kopi. Kadang-kadang ada juga ibu-ibu beristirahat di situ. Salah seorang dari m ereka adalah ibu seorang pem uda yang kelihatannya sangat dia sayangi, nam anya Sri Rahardjo. Kam i sering m engobrol panjangpendek tentang apa saja, hingga kadang saya rasakan dia itu sebagai ibu saya sendiri. Tidak jarang kam i m engobrol tentang hal-hal yang waktu itu tidak seyogianya dibicarakan. Maklum , selam a itu saya m erasa bahwa para tahanan itu adalah tem an-

327

www.facebook.com/indonesiapustaka

328

Bersama Mas Pram

tem an saya sendiri. Nasib m ereka sam a dengan nasib saya sendiri. Pada suatu hari saya m engobrol dengan seorang pem uda yang ternyata baru dibebaskan dari penjara itu. “Wah m enarik sekali! J adi Saudara baru bebas dari situ?” tanya saya. “Ya, baru kem arin.” “Kok ke sini lagi?” “Ya ini saya m engurus surat pem bebasannya!” “Eh, om ong-om ong, berapa sih jum lah tahanan di situ?” “Uh, kabarnya dua ribu. Kapasitas norm al enam ratus. Ya jadinya em pet-em petan. Satu sel tiga orang. Ada yang em pat orang.” “Terus, m akannya bagaim ana?” “Sekarang lum ayan, sudah nasi. Sebelum ini bulgur, atau jagung butiran. Kalau dihitung paling em pat puluh butir.” “Tapi badan Saudara bagus begitu?” tanya saya. “Saya sih, dikirim . Kalau enggak, bisa hongerudim kayak yang lain-lain.” “Heh, banyak om ong, ya, kam u?” tiba-tiba saya dengar suara m enghardik dari belakang saya. Saking asyiknya, tidak saya sadari ada wajah m enyeringai di situ lengkap dengan kum is baplangnya. “Mau kam u, saya jebloskan lagi ke situ?!” sam bungnya m enghardik. Pem uda itu kontan m enunduk seperti cucurut, dan saya yang hanya jadi penanggap ikut juga jadi pendosa yang harus m engunci m ulut. “Maaf, Pak...,” cicit pem uda itu. Adegan pun bubar.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

Di warung itu pula saya sem pat bergaul dekat dengan anggota Resim en Mahajaya yang ditugaskan di penjara, antara lain Liem , Siregar, dan Perm ana, seorang Sunda yang tam pan wajahnya, dan seorang lagi yang sekarang saya sudah lupa nam anya. Pada suatu hari, dari penjara itu saya m esti pergi ke Salem ba. Dan kebetulan yang nam anya Liem itu perlu pergi ke Salem ba juga. “Kalau begitu m bonceng saya!” katanya. “Boleh!” kata saya. Dan begitulah, saya m em boncengkan Mahajaya itu. Sam pai di Pasar Mencos, J alan Percetakan Negara itu bercabang dua: Gang Tengah dan J alan Paseban. Kendaraan verboden m asuk Gang Tengah dan harus m asuk J alan Paseban. Tapi karena m alas m asuk J alan Paseban, saya terabas saja larangan itu. Sam pai rum ah nom or 31, dari arah Salem ba datang perwira polisi lengkap dengan tanda-tanda kebesaran, m engendarai Harley Davidson yang um um waktu itu. “Stop!” tudingnya sam bil m em inggirkan m otor. Saya m enghentikan Ducati, dan Liem turun dari boncengan. “Kenapa m elanggar peraturan?” “Peraturan apa, Pak?” tanya saya pura-pura bego. “Pura-pura bodoh lagi. Saudara tak lihat tanda larangan di sana tadi? Lihat, sem ua orang jalan ke sana?” “Yang m ana, Pak?” tanya saya tetap m em begokan diri. “Betul-betul bodoh! Ayo lihat!” Dengan kata-kata itu ia m em erintahkan saya m em arkir m otor, lalu diajaknya kam i jalan kaki sam pai pertigaan Pasar Mencos. Di seberang m asjid tam pak tanda verboden.

329

www.facebook.com/indonesiapustaka

330

Bersama Mas Pram

“Itu apa?!” kata perwira polisi girang sam bil m enunjuk. “O iya, baru lihat saya, Pak. Minta m aaf!” “Ya, sekali ini saya m aafkan. Kalau Saudara ulangi, tahu sendiri!” Maka kam i bertiga pun ram ai-ram ai patah cingke, kem bali ke tem pat m otor. Dia m em bodoh-bodohkan saya, padahal dia sendiri yang bodoh. Apa karena di belakang saya ada Mahajaya Liem yang seperti kerbau bodoh hanya senyum -senyum bodoh? Ada-ada saja. Tapi sekali m em ang pernah saya betul-betul bodoh. Waktu itu saya sudah dalam perjalanan pulang dari penjara, lewat J alan Pram uka. Tiba-tiba dari belakang m elintas truk berm uatan tahanan. Salah satu wajahnya saya kenal. Saya pun senang, dan saya kejarlah m ereka sekencang-kencangnya, sam pai jarak tak sam pai dua m eter. Lalu: “Mau ke m ana?!!” teriak saya. Tak seorang pun m enjawab, hanya saling pandang di antara m ereka sendiri. “Mau ke m ana, ha?!!” teriak saya lagi. Tetap sunyi-senyap. Barulah terpikir oleh saya, m ungkin karena di dekat m ereka ada baju-baju hijau bersenjata. Harus dem ikiankah sikap seorang tahanan? Ya, m ungkin, m ungkin. Dan barulah saya m elam batkan m otor saya, dan truk pun m enghilang ke J alan Bypass. Cerita ini saya tutup dengan datangnya Bu Iljas dari Kebon J ahe Kober. Bu Iljas sebagai penekun warung ham pir tak pernah m eninggalkan rum ah. Maka kedatangannya ke Hutankayu itu m enim bulkan tanda tanya besar bagi saya. Dan m em ang soalnya besar, soal perut besar. Ceritanya, telah terjadi “kecelakaan kerja” terhadap cucunya, dan karena saya

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

www.facebook.com/indonesiapustaka

adalah oom nya, sedangkan Mas Pram sudah dipindah ke penjara Tangerang, m aka sayalah yang dim inta m enjadi wali. Dengan itikad baik, saya berikan janji kesanggupan saya untuk m enjadi wali, dan dengan itu Bu Iljas yang dikawani tetangganya pun pulang ke Kebon J ahe Kober. Belum tiba saatnya untuk akad nikah, ternyata Mas Pram telah dipindahkan kem bali ke penjara Gang Tengah. Ya, walaupun pernah saya katakan bahwa Tangerang cukup jauh dari J akarta, sesungguhnya ia cukup dekat untuk m em batalkan keabsahan seorang bapak untuk m enjadi wali nikah. Dan begitulah, pada suatu hari Mas Pram pun m enikahkan anaknya di penjara Gang Tengah. Itulah yang sebaik-baiknya.

331

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bertemu Mas Pram di Penjara

ATURAN PERTEMUAN tahanan dengan keluarganya tak m enentu. Yang jelas, bulan pertam a di penjara itu seorang tahanan harus disel, tidak boleh terim a kirim an apapun dari keluarga. Dia harus m akan jatah, artinya m akan m akanan yang disediakan oleh RTC, yang jum lahnya sangat sedikit. Rupanya kebijakan itu sengaja diterapkan agar tahanan loyo isiknya, dan dengan sendirinya loyo juga mentalnya. Dengan sendirinya juga selam a itu tahanan tidak m ungkin bertem u keluarga. Ada m asanya pertem uan hanya setahun sekali, pada hari raya Lebaran. Sesudah itu ada kesem patan bertem u sekali sebulan, dengan izin Kodam . Walau dem ikian, kesem patan ini dapat dicabut, kapan saja keadaan dianggap gawat, m isalnya ditinjau dari sudut politik, atau ada alasan teknis, m isalnya ada tahanan yang lari. Saya beruntung dapat bertem u dengan Mas Wiek beberapa kali. Dengan Oom Moedig tidak sekali pun, karena saya tidak terhitung keluarganya. Dengan Mas Pram sekali saja dalam tiga tahun, itu pun m em bonceng pertem uannya Mbak Pram .

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

Pertem uan itu berlangsung di sebuah ruangan khusus di suatu ruangan. Dua orang petugas Hansip (pertahanan sipil) duduk di ujung-ujung ruangan dengan pandangan bodoh. Perlunya m endengarkan isi pem bicaraan, dan m engawasi apakah tahanan atau sebaliknya keluarga m enyerahkan sesuatu. Uang terlarang diserahkan langsung, harus lewat petugas Uragam (urusan agam a) di loket pengirim an, terbatas hanya Rp10 0 , dan harus dipotong 10 % untuk kas RTC. Keluarga m enanti panggilan untuk m asuk ke ruang pertem uan. Waktu itu Mbak Pram m em bawa anak-anaknya. Ketika ia dipanggil untuk m asuk ruangan, saya kebetulan ada di dekat situ, dan Mbak Pram bertanya: ”Dik Liek, m au ikut?” Tanpa m enjawab, dan tanpa m enengok kiri-kanan, saya pun nyelonong m enyatukan diri dengan m ereka tanpa pula m em perhatikan para petugas. Keluarga-keluarga lain dipanggil juga untuk m asuk ruangan, barulah para tahanan didatangkan. Mas Pram m uncul di pintu, tersenyum , m erangkul dan m encium i istri dan anak-anaknya satu per satu. Baru dia m enengok pada saya. ”Liek!” katanya, lalu dicium nya saya kiri-kanan seperti ketika m asih bocah dulu. Mas Pram dalam keadaan gagah, berisi, dan kekar tubuhnya. Saya m engagum i keadaan itu, tapi diam saja untuk m em berikan kesem patan kepada anak-anak yang disapanya dahulu. Saya sudah lupa, apakah pada waktu itu Mas Pram m enyam paikan saputangan hasil sulam annya sendiri.

333

www.facebook.com/indonesiapustaka

334

Bersama Mas Pram

Pokoknya, di dalam penjara itu dia sudah sem pat m enyulam saputangan untuk anak sulungnya, Titiek, dengan kalim at: ”J adilah insinyur kim ia”. Dalam pertem uan itu tem a itu m uncul lagi. ”Papi m au Tieknong nanti jadi insinyur kim ia,” katanya. ”Kim ia apaan, Papi?” tanya Titiek bengong. ”Kim ia itu ilm u unsur atau zat. Air itu zat, udara itu zat, api itu zat, lain-lain itu zat. Zat-zat itu bisa disatukan, bisa dipisahkan. Itu nam anya ilm u kim ia. Nanti tanya lebih lanjut sam a gurum u apa itu kim ia. Ya?” ”Em ang kenapa m esti jadi insinyur kim ia, Papi?” ”Karena kim ia itu penting, dan di Indonesia belum ada insinyur kim ia. Tieknong nanti m enjadi insinyur kim ia yang pertam a di Indonesia.” ”Kalau Lina jadi apa, Papi?” tanya Titiek tentang adiknya. Saya lupa apa jawaban Mas Pram waktu itu, tapi waktu itu Rita, anak ketiga, yang paling bandel, m enyerobot m engatakan: ”Kalau Rita, kalau Rita....” Belum lagi dilanjutkan, Rina m enyerobot m engatakan: ”Rita m aunya jadi insinyur robek! Sukanya ngerobek buku!” ”Siapa yang m erobek buku?” sam bar Mas Pram . ”Ini!” tuding Lina pada Rita. ”Tidak boleh, ya!” sam bung Mas Pram . ”Merobek buku itu biadab!” ”Apa, Papi?” Titiek. ”Biadab!” ulang Mas Pram . ”Biadab itu tak beradab, tak punya kebudayaan!”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

”Dia juga suka nyoret-nyoret buku!” tuduh Lina. ”Mencoret-coret buku juga biadab!” tekan Mas Pram . Disusul dorong-m endorong dan tarik-m enarik antara Lina dan Rita. Percakapan berlanjut dengan anak-anak yang lain, disusul dengan Mbak Pram , dan terakhir dengan saya: ”Apa kabar, Liek?” tanyanya. ”Biasa. Kok sehat betul?” kata saya sam bil m em perhatikan sosoknya. ”Berkat nyonya,” katanya m em uji istrinya. ”E, berhenti m erokok!” sam bungnya segera. ”Bagus itu! Sudah tidak lagi kuning jarinya?” ”Tauk. Nggak m em perhatikan. Kau ingat saja?” ”Kan saya yang bertugas beli tem bakau?” kata saya m engingatkan. ”O iya.... Tapi juga olahraga,” katanya m enyam bung tem a yang sem pat terputus. ”Olahraga apa?” sam but saya. ”Angkat besi,” jawabnya bangga. ”Ada alatnya?” ”Ya bikin!” lebih bangga. ”Sam a dam bel!” Tidak sebagaim ana layaknya, Mas Pram tidak m em pertontonkan kesehatan badannya, seolah dengan sem ua kata itu sudah cukup. Dan di situ pertem uan tersebut berakhir, ditutup dengan acara rangkul-m erangkul dan cium -m encium lagi. Ternyata waktu setengah pukul itu selintas saja, apalagi dipotong proses pem anggilan keluarga, pem anggilan tahanan, dan acara di awal dan akhir pertem uan.

335

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bertemu Resink

NAMA J AN Resink sudah kam i kenal tahun 1950 sejak kam i pindah dari Blora ke J akarta, sebagai orang Belanda berkewarganegaraan Indonesia, tem an baik Mas Pram . Ketika itu kami masih di SMP, dan revolusi isik belum lama berlalu. Waktu Mas Pram bercerita tentang dia, saya heran, kok ada orang Belanda yang m enjadi warganegara Indonesia. Terpengaruh oleh suasana revolusi, saya m erasa bahwa sem ua orang Belanda jahat. Dari pelajaran sejarah saya tahu m ereka datang ke Indonesia, katanya, m au berdagang, tapi nyatanya m alah m em erangi rakyat Indonesia, kem udian berangsur-angsur m enjajah Indonesia. Sam pai-sam pai ada pem eo ”Seperti Belanda m inta tanah, dikasih sehasta m inta sedepa”. Som bongnya bukan m ain. Tapi ketika diserbu J epang, m ereka ngacir tidak m elawan. Saya m elihat sendiri, betapa takutnya tam pang serdadu m ereka di Blora m enjelang penyerbuan itu. Tapi ketika Bung Karno dan Bung Hatta atas nam a bangsa Indonesia m enyatakan kem erdekaan Indonesia, Belanda datang lagi, dan berusaha m enaklukkan kem bali dan m enjajah rakyat Indonesia. Seperti saya ceritakan di m uka,

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

saya m enyaksikan sendiri sewaktu m ereka m enduduki kem bali Blora dengan perlengkapan m iliter yang m ustahil dilawan tentara Indonesia. Tapi kam i—Mbak Is, saya, dan Cus—oleh Mas Pram tahun itu juga disuruh datang m em perkenalkan diri kepada Pak Resink di rum ahnya di J alan Gresik, daerah Menteng. Saya sudah lupa naik apakah kam i waktu itu dari Kebon J ahe Kober ke J alan Gresik, yang waktu itu terasa sangat jauh. Kam i tidak m em buat janji dahulu untuk bertem u, dan hubungan telepon tidak ada. Sam pai di sana kebetulan ia ada di rum ah. Kam i pun m em perkenalkan diri sebagai adik Mas Pram . Begitu m endengar nam a Mas Pram , ia langsung m engerti, dan m em persilakan kam i duduk di depan. Kelihatannya dia sedang m elakukan sesuatu—m em baca atau m enulis m isalnya— sebelum kam i m engetuk pintunya. Pak Resink bersosok sedang untuk orang Belanda, tidak seperti serdadu-serdadu Belanda yang sering saya jum pai sesudah m ereka m enduduki Blora. Waktu itu pun ia sudah agak botak. Orangnya ram ah, tapi tidak banyak senyum . Tapi tentu saja ia layani kam i dengan berbagai pertanyaan elem enter tentang diri kam i. Sebaliknya, kam i tidak m engajukan pertanyaan apapun kepadanya. Sebagai anak-anak yang baru datang dari kam pung, kam i cukup clingus (kam pungan dalam sikap dan tindak-tanduk) dan tidak m ungkin berbicara bebas dengan ”seorang Belanda” yang baru kali itu kam i kenal. Maka walaupun ia m encoba bicara banyak tentang m acam -m acam hal di Indonesia, waktu itu kam i m em aksa diri untuk segera m inta diri, dan rupanya disam but dengan gem bira olehnya, karena dengan dem ikian ia bisa m elanjutkan kegiataan yang terganggu oleh kedatangan kam i.

337

www.facebook.com/indonesiapustaka

338

Bersama Mas Pram

Dan sekarang saya m engusulkan kepada Mbak Pram untuk berkunjung ke rum ah Pak Resink. Saya rasa hal yang wajar sekali kalau tem an baik m endengar kabar tentang keadaan kita. Dan kebetulan waktu itu saya baru m em beli m otor bekas m erek Puch 250 cc, yang saya anggap sebagai kebanggaan, karena m otor Ducati saya hanya 125 cc. Mbak Pram setuju. Maka pada suatu hari, dari penjara Gang Tengah, Mbak Pram saya bonceng ke J alan Gresik. Tentu saja Pak Resink sudah kenal dengan Mbak Pram . Kam i dipersilakan duduk di ruangan depan. Saya berusaha bersikap hanya sebagai pengantar, dan tidak m encam puri pem bicaraan m ereka, yang m ereka lakukan dengan gaya lirih. Tam pak Pak Resink m em perlihatkan wajah prihatin (m ungkin wajahnya m em ang dem ikian), sedangkan Mbak Pram —sebagaim ana biasa—m enunjukkan sikap biasa saja. Tahun-tahun hidup bersam a Mas Pram telah m enggem blengnya m enjadi wanita tabah yang siap m enghadapi segalanya. (Mungkin pula wajah dan sikapnya pun selalu dem ikian.) Kedatangannya ini pun bukan untuk m engadu atau m engeluh, sekadar m em beritakan keadaan Mas Pram . Kam i tidak lam a berada di ruangan itu, sekitar setengah jam . Sebelum kam i pulang, Pak Resink m em berikan am plop kecil kepada Mbak Pram . Menurut Mbak Pram kem udian, isinya tidak banyak, tapi sebagai tanda persahabatan tentu saja harus dihargai. Ada satu orang lagi yang kam i datangi sebelum itu, tapi sayang sekarang saya sudah lupa, siapa. Kam i m inta diri tepat pada waktunya, karena baru beberapa m enit kam i m enyusuri J alan Gresik, tiba-tiba turun hujan deras, sehingga kam i terpaksa berteduh agak lam a di depan sebuah toko di dekat Kantor Polisi Seksi VI.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Membangun Dua Rumah

MAS HER adalah pem ain badm inton yang andal, dengan lawan-lawan m ain yang andal juga, antara lain Pak Harjono, Pak Wongkar, dan Pak Sapri, pem ilik bengkel m obil selang satu rum ah dari rum ah Mas Her. Di bengkel itu pula Pak Sapri m em buat lapangan badm inton yang bagus, dan sekali dua kali sem inggu, m alam hari, para pem ain andal itu m em am erkan kehebatannya. Sering m ereka baru bubar pukul 11 m alam . Mereka sangat m enikm ati perm ainan itu, diselang-seling m engobrol politik, dan pulang ke rum ah m asing-m asing dengan langkah gagah, m enunjukkan bahwa perm ainan itu sangat berm anfaat bagi m ereka. Sejauh kem udian saya ketahui bahwa m ereka bukan sekadar pem ain badm inton dan pengobrol. Buktinya, jalan baru di depan rum ah itu—J alan Multikarya—m erekalah, atau tepatnya Pak Saprilah, yang m em berikan. Nam a Multikarya jelas m enunjuk pada berbagai kegiatan di bengkel tersebut. Mengikuti pola itu, gang yang sejajar dengan jalan itu, yang sem ula nam anya Gang Bulus, kem udian dinam akan J alan Multikarya II, tem pat tinggal keluarga Mas Pram sekarang.

www.facebook.com/indonesiapustaka

340

Bersama Mas Pram

Dan, belakangan m ereka berhasil m em bentuk Paguyuban RW lengkap dengan akte notarisnya, yang tiap bulan berkum pul, m akan-m akan, m engobrol, m enyetor uang sim panan, m em injam m odal dengan bunga 3% sebulan, berpiknik, dll. Paguyuban itu rapi betul jalannya, dan asetnya jutaan rupiah, yang waktu itu terhitung angka yang besar. Dan setiap tahun m em bagi-bagi bunga pinjam an. Nah, pada suatu hari Mas Her bilang kepada saya: ”Dik Liek kalau m au bikin rum ah, sim pan saja dulu uang pada Pak Sapri. Dia bisa dipercaya.” Saya waktu itu m em ang terpikir m em buat rum ah di pekarangan Mas Her yang luas seluruhnya 40 0 m 2 , dan ia m aupun Mbak Is sudah m enyatakan tidak keberatan. Dan uang hasil saya m engajar m em ang lebih dari yang saya butuhkan setiap bulan. Waktu itu penghasilan saya m inim al 30 ribu rupiah sebulan. Kalau disim pan pada Pak Sapri, kan uang itu tak terboroskan, dan lagi bisa dim anfaatkan juga oleh Pak Sapri untuk bisnisnya entah apa saja. J adi, dasarnya saling m enguntungkan dan saling percaya. Usul Mas Her pun saya terim a. Setelah berjalan beberapa bulan, saya sam paikan hal itu kepada Mbak Pram , dan ia pun tertarik untuk ikut m enyim pan uangnya pada Pak Sapri. Waktu itu Mas dan Mbak Pram m em ang punya tanah kosong seluas 60 0 m 2 yang terletak di Gang Bulus tadi. Begitulah, Mbak Pram pun m ulai m enyim pan uangnya di sana. Sesudah sekitar setahun, terpikirlah oleh saya untuk m ulai m em bangun rum ah itu. Dengan banyak pertim bangan, saya putuskan m em bangun bukan rum ah terpisah, m elainkan sebagai dasar letter L terhadap rum ah Mas Her, dengan ukuran

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

5 x 12 m . Untuk tukang saya kerahkan pem uda-pem uda PR (Pem uda Rakyat) yang waktu itu banyak m enganggur dan sudah sem pat belajar m enjadi tukang kayu, tukang batu, dll., dan untuk konsultan saya gunakan tukang ahli dengan pengalam an puluhan tahun, warga se-RT dengan Mas Her yang nam anya saya sudah lupa. Di m ana perlu, m alam hari saya datang berkonsultasi dengannya. Sesudah rum ah itu berdiri, Mbak Pram m enginginkan dibangun juga rum ah untuknya di atas tanah kosongnya. Untuk rum ah seluas 6 x 9 m itu, saya gunakan juga tukang Maksum . Dengan sendirinya, m enghadapi Mbak Pram bagi saya tidak beda dengan m enghadapi Mas Pram . Mereka satu dalam angan saya. Mbak Pram m enyerahkan uang yang sudah ditarik dari Pak Sapri serta urusan pem bangunan kepada waya. Dem ikianlah, di luar jam -jam m engajar, m engirim Mas Wiek m akanan, dan konsultasi dengan tukang ahli, saya m engawasi pem bangunan rum ah Mbak Pram . Karena pengalam an m em bangun dua rum ah itu saya sem pat punya langganan pedagang m aterial di Gang Kram at Asem dan di J alan Pram uka. Saya datang sendiri ke pangkalan m aterial, m em eriksa sendiri barangbarangnya, m engecek harganya dan m encatat segala pengeluaran dan pem asukan, serta kem ajuan pem bangunan. Saya pun m endatangi pangkalan m aterial yang lain untuk m em bandingkan harga-harga barangnya. Menurut saya, harga-harga pada langganan saya undha-undhi (tak banyak berbeda) dengan harga-harga di tem pat lain. Pun pelayanannya tidak m engecewakan. Kasus yang m engecewakan justru terjadi dengan langganan di J alan Pram uka, yaitu ketika genting yang saya pesan tidak bisa didatangkan pada waktunya, padahal

341

www.facebook.com/indonesiapustaka

342

Bersama Mas Pram

waktu itu hujan sudah m engancam . Terpaksalah langganan itu saya tinggalkan. Nah, pada suatu hari langganan di Kram at Asem itu m engatakan begini kepada saya, ketika sudah m enghadapi faktur: ”Sebetulnya, kalau m au, Mas bisa enak dari sini.” ”Maksudnya?” ”Ini biasa. Ya sebagian buat Mas-lah. Mau kan?” Terus-terang saja, ini hal baru yang tak pernah terpikir oleh saya. Dan bangunan rum ah Mbak Pram waktu itu sudah sem pat tertutup, dengan kam ar tam u, kam ar keluarga, dan tiga kam ar tidur berderet ke belakang. Artinya, sedem ikian jauh saya tidak terpikir untuk m engam bil keuntungan apapun dari pekerjaan saya m enolong Mbak Pram , yang berarti juga m enolong Mas Pram . Keterlaluanlah kalau saya m engam bil keuntungan dari situ. Waktu faktur itu saya terim a, ternyata harga dinaikkan, walau kata pem ilik m aterial, harganya tetap. Selisihnya, yang dikatakan enak itu, buat saya. Tapi di sinilah saya harus m engakui kelem ahan saya yang tidak biasa m em protes dan bersitegang dengan orang lain. Faktur itu saya terim a seperti robot m enerim a bola dari pem bikinnya, dengan perasaan tak keruan. Saya m engerti, perbuatan itu akan ada akibatnya buat saya, dan sebetulnya bertentangan sam asekali dengan prinsip saya. Maka ketika saya m enyerahkan faktur-faktur yang sudah terkum pul kepada Mbak Pram , ada terasa tidak enak di perasaan. Dan betul. Selang beberapa hari kem udian Mbak Pram datang m enem ui saya di rum ah. Dia m em protes saya dengan kenaikan harga-harga barang itu.

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

www.facebook.com/indonesiapustaka

Nasi sekaligus beras jadi bubur, tak bisa lagi dikem balikan jadi nasi. Tapi entah bagaim ana, saya waktu itu enggan bercerita tentang proses pem buatan faktur oleh pem ilik pangkalan. Saya begitu tersinggung oleh kelem ahan diri saya sendiri, dan lebih-lebih oleh kenyataan bahwa saya tak akan sanggup m em perbaiki hubungan baik dengan Mbak Pram yang selam a itu saya anggap sebagai hal yang wajar. Saya hanya m engatakan: ”Terserah pada Mbak Pram , m asih percaya pada saya atau tidak.” Mbak Pram tidak m em balas sekecap pun. Arang sudah patah. Hubungan tak bisa diperbaiki lagi. Dan m elengkapi kesialan itu, beberapa hari kem udian saya ditangkap Tim Operasi Kalong.

343

www.facebook.com/indonesiapustaka

Saya Ditangkap Lagi

NAMA TIM Operasi Kalong dari Kodam V J aya bukan nam a rahasia, buktinya tim ini sering dim uat di koran. Tim inilah yang m enangkap Brigjen Supardjo, salah seorang pem im pin G30 S. Tim ini pula yang m enangkap Sudism an, Sekjen PKI. Tim dipim pin oleh Mayor Suroso, dan aktivitasnya m em ang m elakukan penangkapan orang-orang yang dianggap terlibat G30 S atau—anehnya—terlibat dalam PKI. Kenapa nam anya dem ikian, kiranya jelas: kalong hidup di m alam hari, dan warnanya hitam . Begitulah, kalau tak salah, tanggal 3 Desem ber 1968, tengah m alam , saya dikagetkan oleh bunyi gedoran di pintu kaca depan. Begitu keras dan kasar, sam pai saya sem pat m engum pat: “Kurangajar, ngetok pintu nggak kira-kira!” Ketika pintu saya buka, ternyata Pak RT Daulay yang m aju, diiringi beberapa orang berpakaian hitam -hitam : “Saudara Koesalah, ini dari Kodam , ada perlu dengan Saudara.”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

Pak Daulay guru sekolah teknik di J atinegara. Ia orang yang baik dan sim patik, karena itu selalu diusulkan jadi Ketua RT, dan dia tak pernah bisa m enolak. Malam itu pun dia bicara dengan saya lebih dengan nada prihatin. Adapun ia m engetuk pintu begitu rupa (kalau m em ang betul dia yang m engetuk), m ungkin lebih karena terhanyut oleh perasaannya. “O, silakan!” kata saya. Saya tak ingat rincian prosesnya. Pokoknya saya sudah duduk di hadapan dua “kalong”, seorang di antaranya m enyodorkan surat penangkapan. Saya baca surat itu. “Tapi surat ini sudah kadaluwarsa!” protes saya. Mem ang dalam surat itu tertulis, m asa berlaku surat itu akhir Oktober 1968, jadi sudah lewat sebulan lebih. “Ya, tapi ada surat yang lebih um um !” kata kalong. “Ini!” Ia m enyodorkan surat lain yang m enyatakan bahwa m ereka adalah pelaksana Operasi Septem ber. Mem baca itu, m engertilah saya, bahwa saya tak bisa m engelak lagi. “Kalau begitu, saya m inta izin bersiap-siap!” kata saya. “Silakan!” Waktu itu seluruh rum ah sudah terbangun: Mas Her, Mbak Is, ibu Mas Her, em pat anak, tidak term asuk dua anak terkecil. Sem ua hanya tercengang berdiri berkeliling. Ketika saya m asuk kam ar untuk ganti pakaian, kalong m engikuti dengan kedua tangan di kantong. Kalong lain m engam bil dua m esin tulis, dua tustel, dan satu tas berisi dokum en-dokum en penting. Melihat rak-rak buku saya, kalong itu bertanya: “Ini belum pernah dioperasi?” “Tidak,” jawab saya singkat.

345

www.facebook.com/indonesiapustaka

346

Bersama Mas Pram

Ketika saya ke kam ar m andi untuk am bil handuk, kalong m engikuti. Dari suara di sekitar, dapat saya m engerti bahwa rum ah sudah dikepung. Saya berpakaian lengkap, m em bawa tas perjalanan berisi pakaian ganti dan alat bebersih. “Kam ar ini disegel. Dilarang buka!” kata kalong. Saya m inta diri kepada Mas Her dan Mbak Is, ibu Mas Her, dan anak-anak. “Adik saya m au dibawa ke m ana, Pak?” pohon Mbak Is. “Pokoknya ke Kodam . Nggak usah dicari-cari!” kalong. “Oom Liek, tinggali saya uang!” pinta Mbak Is. Barulah teringat oleh saya, Mbak Is tidak pegang uang sam asekali. Waktu itu saya tak ingat orang lain, apakah Mbak Is, Mbak Pram , atau Mas Pram sekalipun. Saya hanya ingat diri saya sendiri. Singkat kata, saya dibawa ke m arkas kalong itu di J alan Gunung Sahari V. Di sana saya dilucuti dari “barang-barang yang terlarang” seperti sabuk, tali sepatu dan sepatunya sekalian, geretan, pulpen, dan... uang. Saya ditaruh tanpa keterangan apapun di sebuah ruangan, di m ana beberapa orang lain m enggeletak sejadi-jadinya di ubin. Saya dapat satu kursi berjok rotan. J ok itulah yang saya copot buat alas pantat, dan kepala saya rebahkan ke atas tas. Saya m encoba tidur. Tapi ya am pun. Di kam ar sebelah orang dihajar seperti dalam sandiwara radio, lengkap dengan ketawa ngakak si pem enang. Terus-terang, saya belum pernah m em bayangkan adegan di sandiwara radio itu m em ang pernah ada di dunia. Ternyata inilah buktinya. Di satu pihak pekikerang, di lain pihak pekik-girang, dan itu sepanjang m alam . Sam pai hari terang!

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

www.facebook.com/indonesiapustaka

Seorang tua yang peot m endekati saya: “Lekra, ya?” tanyanya sam bil m enjeling. “Bukan!” jawab saya singkat. “Som bong! Di sini jangan som bong-som bong. Di sini ada sem ua alat pem aksa. Maka jangan som bo-o-o-ong!” repetnya. “Itu, tem anm u. Hancurrr!” sam bil m enunjuk tem an saya yang sudah jadi kucing dim andipaksa. Tapi saya tidak berm aksud bercerita tentang itu, saya m au bercerita tentang pem eriksaan saya sendiri. Pagi itu juga saya didekati seorang kalong. Dia katakan bahwa yang m em eriksa kucing itu adalah Mem et dari CDB (Com ite Daerah Besar) J am bi, Ketua Tim Pem eriksa (jadi yang ketawa ngakak sem alam ) Kam al dari Departem en Luar Negeri CC (Central Com ite), dan yang m endekati saya tadi Kusnun dari Sekretariat CC. “Dadi kabeh kancane dhew e, kok—J adi sem ua tem an sendiri, kok,” katanya akrab. “Mulakna m engko terus-terang w ae. Tinim bang aw ak rusak—Maka nanti terus-terang saja. Daripada badan rusak,” sam bungnya. Siang itu juga saya diperiksa oleh seorang m ahasiswa sukarela, nam anya Indra. Itu barangkali sebabnya saya tidak diperlakukan sebagai kucing. Tapi sesudah istirahat, dan diperiksa lagi, datang yang nam anya Kam al, m engancam : “Ha ini, Koesalah, tukang bohong. Putar dulu!” Pada pokoknya, dari pem eriksaan itu ingin diketahui, apakah saya anggota PKI, apakah saya terlibat G30 S, apakah saya ikut gerpol (gerilya politik) m asa itu. Siapakah dan apakah pelindung saya m enghadapi sem ua itu? Nol. Yang lain-lain pun tanpa pelindung. Maka diri sendirilah yang harus m elindungi. Pegangan saya hanyalah

347

348

Bersama Mas Pram

jawaban yang dapat diterim a pem eriksa atas pertanyaan yang

www.facebook.com/indonesiapustaka

diajukannya. Selain itu, siap disiksa. Entah bagaim ana, saat itu juga dalam hati saya sim pulkan: paling sedikit disiksa, paling banyak m ati! Ini peristiwa besar, tum bangnya pohon besar. Tum bangnya pohon besar selalu m enim pa belebas di bawahnya. Dan faktor luar yang penting juga adalah keberuntungan. Walaupun saya ditanya tentang siapa saja saudara-saudara saya, anehnya saya tak ditanya sedikit pun tentang Mas Pram . Begitupun ketika pem eriksaan dilanjutkan oleh Mem et, dan di penjara Gang Tengah oleh seorang Kolonel dengan badega seorang Sersan-Mayor. Ketika PV (proses verbal) harus saya tandatangani, saya dilarang m em baca halam an pertam a, yang tentunya berisi tuduhan, dengan alasan “ini hak prerogatif kam i”. Saya tidak m em protes, karena protes tidak ada dalam kam us tahanan waktu itu. J ustru kem udian itu m enjadi senjata saya waktu diperiksa oleh sang Kolonel.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Ramai-ramai Jadi Musuh Negara

DARI MARKAS Operasi Kalong, sekitar Maret 1969, tanpa bertem u keluarga, tapi berkali-kali m endapat kirim an m akanan darinya, saya dibawa ke Lidikus, antara lain bersam a Pak J aka. Nah, pada suatu hari Pak J aka dengan antusias m engabari saya: “Eh, Koes, saya tadi lihat Piet. Piet itu, Piet yang kita kenal...!” “Di m ana?” tanya saya kosong. “Ya di sini! Dia sudah jadi alat Kodam . J adi kita m asuk ini karena dia!” Seperti biasa, Pak J aka bicara penuh em osi, dengan getar m ulut dan suara. Tapi saya tak tertarik. Nyatanya saya sudah m asuk, m au apa? Di sini saya bertem u lagi dengan gedung yang pernah saya kenal, tapi sudah dengan penghuni lain, yang tetap padat, sam pai saya tak kebagian tem pat dan terpaksa tidur di pelataran. Dan sebulan kem udian dibawa (istilah serem nya dijebloskan) ke penjara Gang Tengah, yang pada 1965 sudah diubah nam anya m enjadi LP (lem baga pem asyarakatan), tapi waktu itu diubah nam anya m enjadi RTC (rum ah tahanan

www.facebook.com/indonesiapustaka

350

Bersama Mas Pram

chusus), dan kem udian diubah lagi m enjadi lebih m entereng, Inrehab (instalasi rehabilitasi). Saya m ula-m ula disekap di Blok C, sesudah loyo, dua bulan kem udian, dipindah ke Blok G. Di Blok G inilah keadaan dem ikian rupa, sehingga saya ikut m enjadi m angsa kutu kepala, kutu pakaian, dan kutu busuk. Kalau di zam an J epang saya tak sam pai ikut m engalam i, kini di zam an Soeharto saya tertangkap basah-kuyup. Tapi sebetulnya saya tak hendak bicara tentang ini. Waktu itu, dari m ulut ke m ulut, saya ketahui Mas Pram ada di Blok R, dan Mas Wiek di Blok P. Seperti sudah saya ceritakan dalam Pram oedy a Ananta Toer dari Dekat Sekali, saya sem pat berpandangan dari jauh dengan Mas Pram , sewaktu para tahanan diberi kesem patan bersem bahyang J um at di lapangan tengah RTC. Yang belum saya ceritakan adalah bahwa waktu itu pula saya sem pat bertem u dan bersalam an dengan Mas Wiek. Saya lihat, tak ada kekecewaan apapun pada wajah Mas Wiek. Sungguh saya hargai sikapnya itu. Padahal sekitar Novem ber 1968 saya sem pat bertem u dengannya dalam pertem uan keluarga di penjara itu, di m ana ia m engatakan dirinya term asuk golongan C yang harus dibebaskan. Karena itu ia m inta dikirim kem eja dan celana yang pantas, serta sepatu. Saya tak sem pat m engirim inya, karena keburu ditangkap kalong. Bersem bahyang J um at tentunya tiap m inggu, tapi sesudah itu tak ada kesem patan lagi buat bertem u dengan m ereka, karena tak lam a kem udian m ereka diberangkatkan ke Nusakam bangan dan selanjutnya ke Pulau Buru. Saat pem berangkatan itu sem ua tahanan lain wajib dikunci di sel m asing-m asing, dan dari jendela sel yang sem pit itulah m ereka hanya bisa m elirik ke tengah lapangan, m elihat barangkali ada

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

di antaranya yang m ereka kenal. Maka terdengarlah seruanseruan: “He, Pak Bono, he, Pak Pujo, he, Pak Sofyan....” Saya yang waktu itu ada di Blok G, karena itu terlalu jauh dari lapangan, tidak m elihat apa-apa. Manusia hidup bukan dengan niat sendiri, tapi selanjutnya harus m enghidupi diri sendiri, dan untuk itu ia harus berjuang dengan kem ungkinan berhasil atau gagal. Dalam perjuangan itu ia m em peroleh atau sebaliknya kehilangan, keduanya dalam jum lah kecil atau besar, kalau perlu kehilangan kem erdekaan, seperti yang kam i alam i sekarang, bahkan pada akhirnya wajib kehilangan segalanya, yaitu m ati. Kalau sekarang saya m engikhlaskan diri kehilangan kem erdekaan, bagaim ana pula saya takkan m engikhlaskan kedua abang saya itu. Saat itulah dengan sendirinya terjalin lagu dalam angan saya:

www.facebook.com/indonesiapustaka

Burung bangau terbang lalu, Terbang satu-satu, Tiada sangsi, tiada ragu, Nuju pulau y ang baru. Ref.: Tanah baru, pulau baru, terbanglah burungku, Tanah baru, pulau baru, terbanglah burungku. Didikan ibu saya yang sem pat saya kenal sam pai usia tujuh tahun hanya dua: jadi anak pandai dan jadi orang baik. Tentang jadi anak pandai, sudah saya singgung di m uka, saya cum a anak m agel (tanggung). Tapi m enurut saya, itu terutam a bukan kesalahan saya sendiri, karena banyak lagi faktornya. Adapun yang dim aksud jadi orang baik, tentunya

351

352

Bersama Mas Pram

dalam pengertian kem asyarakatan, hubungan antarm anusia,

www.facebook.com/indonesiapustaka

tapi dalam pengertian politik, tentunya tunduk pada undangundang negara. Kam i bertiga orang-orang yang taat undang-undang negara, berarti taat pada negara, bahkan pada zam an kam i m asing-m asing dan sesuai um ur kam i m asing-m asing sem pat am bil bagian dalam m em bela negara. Sekarang kam i bertiga m enjadi m usuh negara. Apa yang terjadi? Saya m enoleh kiri-kanan. Ternyata rakyat pun sudah ram ai-ram ai m enjadi m usuh negara. Ataukah negara yang sudah m enjadi m usuh rakyat?

www.facebook.com/indonesiapustaka

Coes Terpaksa Pulang

SEPERTI SAYA, Coes pun m endapat kesem patan belajar di Universitas Persahabatan Bangsa-bangsa di Moskwa. Dia dua tahun lebih m uda dari saya, diterim a tahun 1962, dan belajar di fakultas ekonom i. Sewaktu harus berangkat ke Moskwa, ia berstatus pegawai BPK (Badan Pem eriksa Keuangan) di Bogor, dan sekaligus sukarelawan Pem bebasan Irian Barat yang dilatih kem iliteran. Otaknya, setahu saya, cukup encer, jadi kalau tidak terjadi suatu force m ajeure, tahun 1967 dia pasti akan sudah pulang. Tapi ya itu. Karena terjadi G30 S, dia term asuk yang dicabut paspornya oleh KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Moskwa, tetapi karena statusnya m asih m ahasiswa beasiswa, ia dapat m eneruskan pendidikan sam pai m endapat diplom a— istilah sekarang S1—, dan karena angka-angkanya cukup baik, ia bisa m eneruskan pendidikan ke tingkat pascasarjana sam pai m endapat gelar Doktor Ilm u Ekonom i. Sem entara itu terjadi polarisasi di antara para m ahasiswa beasiswa. Mem ang m ereka cerm in belaka dari m asyarakat Indonesia di Indonesia: pendukung Soekarno atau Soeharto.

www.facebook.com/indonesiapustaka

354

Bersama Mas Pram

Sebagaim ana pendukung Soekarno di Indonesia ditindas habis-habisan, dem ikian pula pendukung Soekarno di luar negeri, in casu di Moskwa. Kalau di Indonesia ada skrining dan interogasi, di Moskwa pun ada. Tinggal m au atau tidak untuk diskrining atau diinterogasi. Yang tidak m au, otom atis dianggap m usuh negara, dan m enjadi m usuh negara. Coes tentu saja m erasa sekelom pok dengan kam i bertiga yang sudah m asuk bubu, nam un karena ia m erasa tak terikat oleh organisasi apapun, ia bersikap seperti orang bebas. Sikap seperti itu ternyata tidak disenangi oleh kelom pok-kelom pok yang saling berkontradiksi. Kadang-kadang, jarang, datang surat Coes lewat alam at Kantor Mas Her. Cara itu dengan sendirinya kam i m engerti: untuk m enghindari kecurigaan. Tapi tentu saja kam i m engerti juga bahwa cara itu pun tidak sepenuhnya am an. Dalam suratsurat seperti itu, walaupun disam paikan senetral m ungkin, terasa juga bahwa lingkungan hidupnya di Moskwa sem akin tak tertahankan. Hal itu saya dengar dari Mbak Is, kalau kam i m endapat giliran pertem uan keluarga. Dan sebagai petirnya, pada suatu pertem uan tahun 1973, Mbak Is m engabarkan bahwa Coes sudah pulang, lewat J erm an, dan di Lapangan Terbang Kem ayoran langsung dijem put “petugas” yang m em bawanya ke sebuah rum ah di daerah Menteng, dan dari sana ke tem pat yang dinam akan Satgas (Satuan Tugas) Pusat di Gang Buntu, Kebayoran Lam a. Tem pat itu kam i, para tahanan, kenal betul sebagai tem pat yang ganas, tak kurang dari m arkas Tim Operasi Kalong, karena kadang-kadang dari Salem ba ada yang “dibon” atau dari sana “dibon” juga atau dikem balikan ke Salem ba. Mbak Is sudah sem pat bertem u dengannya; m enurut dia keadaannya

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

www.facebook.com/indonesiapustaka

“baik-baik saja”. Yang m engagetkan adalah bahwa “petugas” yang m enjem put dia di Kem ayoran adalah orang bernam a Giyon, bekas tem an kuliah kam i di Moskwa, yang waktu itu sudah pulang duluan ke Indonesia. Berita ini m enjadi ajang ram ai di Salem ba, karena tak lam a kem udian orang bernam a Suwarto dikem balikan ke Salem ba setelah “dibon” Satgas Pusat. Dengan sendirinya m erepet tentang m asuknya Doktor Ekonom i dari Moskwa tersebut. Tentu saja saya lalu kejatuhan abu hangat. “Kenapa pulaaang?” protes m ereka kepada saya, seolaholah sayalah yang pulang. “Lho, kok baliii? Piy e?—Lho, kok pulang? Bagaim ana?” ujar seorang dari J ogja. Tapi yang tak saya lupakan adalah ucapan Harjono yang singkat padat: “Durak!” Durak adalah kata Rusia untuk tolol atau goblok. Harjono m em ang bekas pelajar di Moskwa, insinyur perm inyakan. Kata itu seolah m enghunjam ke dalam jantung saya sendiri. Dalam sekejap saya pun m enjadi pum punan ikan, yang hanya dengan getir saja bisa saya layani. Tapi yang m enjadi pertanyaan saya adalah bagaim ana kiranya reaksi Mas Pram m endengar berita ini: adiknya yang ketiga m asuk tahanan. Berapalah jauhnya Buru dari Salem ba untuk telinga tahanan?

355

www.facebook.com/indonesiapustaka

Coek Melarikan Diri

COEK ADIK bungsu, beda em pat tahun dengan saya, dari kecil sakit-sakitan. Di zam an J epang sem pat borokan yang m em bikin tungkainya sam a besar dengan betisnya. Satusatunya obat cum a prusi yang tak m enyem buhkan, bahkan sebaliknya m enyerikan, sehingga adik saya itu seharian hanya bisa tiduran dan m enangis berkepanjangan. Kalau nyerinya sedang reda, ia pun m enem bang berkepanjangan dengan suara m endayu-dayu, m enyanyikan apa saja, terutam a lagu yang m engungkapkan penderitaan: derita anak, derita hidup, dan akhirnya derita cinta. Nam un kegem arannya m enem bang dan m enyanyi itu ternyata m em buka pintu pergaulan baginya, karena ia bisa m enjadi anggota koor Tim Kesenian Kostrad (Kom ando Strategis Angkatan Darat). Kalau sudah m enggila, berjam -jam ia ngglenggeng (m enem bang berkepanjangan) sam pai lupa m akan lupa berak. Keanggotaan dalam koor juga m em bawanya m enjadi peserta latihan yudo hingga sem pat m elewati beberapa sabuk.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

Ketika G30 S pecah, dan Mas Pram dan Mas Wiek ditangkap m iliter, keluar dalam salah satu harian angkatan bersenjata berita bahwa Tim Kesenian Kostrad telah diselundupi kom unis, dengan m asuknya adik Pram oedya Ananta Toer bernam a... Coek. Mem ang di m ana-m ana ada saja tukang jualan. Dan tukang jualan itu berm acam barang jualannya, yang berbentuk m aupun tidak, antara lain nyawa orang lain. Coek sadar betul bahwa nyawanya sedang hendak dijual kepada m iliter yang waktu itu m enjadi penebas nyawa terbesar. Begitulah, tanpa pikir panjang lagi, pekerjaan di Marga Bakti yang m enjadi sum ber hidupnya dia tinggalkan, dan kabur ke Sem arang. Di Sem arang, di rum ah seorang ipar di daerah Bulu, entah bagaim ana, ada tetangga yang m engenalinya. Mula-m ula tetangga itu hanya m em perhatikannya kalau ia sedang keluar rum ah. Lam a-lam a tetangga itu berani m enyebut PKI. Coek terkesiap m endengar itu, tapi karena ia m endengar kurang jelas, ia sangsi, benarkah yang didengarnya? J angan-jangan ia hanya dengar-dengaran. Lain waktu ia sengaja m em buka telinga lebar-lebar. Dan tetangga itu m em ang sudah m enghadangnya. Kini dengan jelas ia m endengar kata itu, PKI. J elaslah, di sini pun nyawanya hendak dijual orang. Ia berpura-pura tidak m endengar itu. Tapi hatinya sudah tak jenak lagi. Awalnya ia berm aksud pergi ke Tlogo Bayem , ke rum ah seorang kerabat. Karena sudah gelisah, ia pun balik kanan jalan, pulang. Tetangga itu sengaja bersandar pada pintu gerbang rum ahnya, dan dari tem patnya berdiri dilontarkannya pandangan m engejek, berbisik ditekan:

357

358

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

“He, PKI.... He, PKI lari...!” “Kam u sendiri PKI!” serobot Coek, dan dengan kecepatan lesus (angin berputar), dilipatnya lengan orang itu, dan dibantingnya keras sam pai kepalanya ny ungsep ke got. Dengan itu ia m enyalahi ajaran yang m endasari bela diri yudo, tapi waktu itu ia m erasa jiwanya terancam , dan ia harus m em bela jiwanya. Untungnya, ya, untungnya tidak ada saksi adegan cerita “ilm” tersebut. Dan untungnya, orang itu ternyata begitu pengecut, sehingga m eneriakkan kata PKI saja tidak berani. Maka dalam sekejap Coek pun sudah m eninggalkan Sem arang, tanpa sesuatu tujuan. Ia tak tahu bahwa bukan hanya di J awa m iliter m enjadi penebas nyawa, m elainkan di seluruh Indonesia. Maka, m enurut perhitungannya, ia harus m enyelam atkan diri ke tem pat yang paling jauh dari J awa. Begitulah, pada suatu hari ia sudah berada di Irian Barat. Di Irian Barat pun ia tidak berani tinggal di kota, m elainkan di sebuah pulau, Gag nam anya. Dan di sana ia tidak berani m enam pilkan diri sebagai orang yang m elek huruf. Ia m enjadi kuli angkut di sebuah perusahaan m inyak. Ia pun tak berani m enggunakan nam anya sendiri, yang pada orang lain m enjadi kebanggaan, dan m enggantinya dengan Renggoyuwono yang sam asekali tak ada bau-baunya Toer. Kata orang, hanya Tuhan yang tahu, padahal di sini terbukti m anusia pun tahu. Buktinya, pada suatu kali seorang tem an kuli bertanya kepadanya: “Kam u adiknya Pram oedya Ananta Toer, ya?” Saya tahu, itu bukan akhir pelarian Coek. Tapi sejak itu saya tak tahu lagi di m ana ia m em bawakan diri. Yang jelas, kini kam i genap lim a bersaudara m enjadi m usuh negara.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Salemba-Buru

SELAMA ITU saya tak beranjak dari Inrehab Salem ba. Seorang CPM berpangkat Kapten (sayang, nam anya saya sudah lupa) pada suatu kali “m em eriksa” saya. Dengan gaya berahasia ia m enunjukkan PV saya yang seolah dibubuhi huruf A dalam lingkaran spidol. Huruf itu sudah dicoret dan didam pingi huruf B. Dan ia m engajukan beberapa pertanyaan tentang “saudara”nya dari Garut yang, katanya, belajar juga di Moskwa. Mem ang saya kenal dengan orang yang ditanyakannya itu. Lalu berdasarkan tanya-jawab tentang “saudara”-nya itu ia ingin m encoret huruf B dan m enggantinya dengan huruf C, tapi untuk itu, katanya, ia butuh “insentif”. “Berapa?!” tem bak saya langsung. Dengan m alu-m alu ia m enyebut angka seratus. Saya tidak m enjawab. Dia m enunjuk nam a di dadanya sam bil m enerangkan bahwa ia bisa ditem ui setiap waktu di kantornya di J alan Guntur. Dan “pem eriksaan” pun selesai. Dengan sendirinya hal itu saya sam paikan kepada Mbak Is dalam suatu pertem uan. Mbak Is, karena m em prihatinkan diri saya, m endatangi Kapten itu. Terjadi tawar-m enawar. Intinya,

www.facebook.com/indonesiapustaka

360

Bersama Mas Pram

Mbak Is hanya bisa m engangsur em pat kali, dan saat itu ia hanya bawa uang lim a belas ribu. Uang lim a belas itu dilahap juga oleh Kapten gom bal itu. Selanjutnya Mbak Is saya larang m enam bahnya. Di Salem ba itu pula saya m enjadi saksi kebenaran ucapan “tem bok bisa bicara”. Buktinya, saya bisa m endengar apa saja berita tentang Mas Pram di Buru. Saya m endengar, seperti ibu-ibu yang lain Mbak Pram dibujuk oleh m iliter untuk m au m enyusul Mas Pram ke Buru. Dan Mas Pram m enolak tegas dengan m engatakan: “J angan!” Ia berkeyakinan, begitu ia m engatakan “Ya”, tidak ada seorang pun tahanan akan dapat pulang dari Buru. Saya m endengar reaksi Mas Pram tentang penangkapan Coes. Ia m erasa bersalah telah pernah m enyam paikan anjuran ibu kam i kepadanya untuk belajar di Eropa. Ia m erasa, dengan m enyam paikan anjuran itu, seolah ia sendiri m enganjurkan kam i belajar ke Eropa, dan itu kam i laksanakan, tapi sekarang akibatnya kam i berdua m asuk tahanan. Saya m endengar bahwa dari unit biasa Mas Pram dipindah ke unit pokok yang nam anya Mako (m arkas kom ando) agar lebih m udah diawasi. Saya m endengar bahwa di Buru seorang perwira m enam par m ukanya tanpa ada kesalahan apapun. Saya m em bayangkan, betapa ia m erasa direndahkan dengan kejadian itu, lebih-lebih karena ia dalam keadaan tak bisa berbuat apapun. Saya m endengar dia ditem ui orang yang resm inya paling berkuasa di Indonesia waktu itu, yang nam a jabatannya sangat sulit diucapkan oleh penutur bahasa Indonesia, hingga kalau kata itu bukan m iliter yang m enciptakannya, pasti tidak laku ia di tengah m asyarakat, yaitu Pangkopkam tib (Panglim a

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang

Kom ando Operasi Pem ulihan Keam anan dan Ketertiban) J enderal Sum itro. Sum itro tentu berlagak sebagai pem egang kebenaran tertinggi, dan bersikap tahu segalanya, dan itu sudah inal. Saya m endengar datangnya wartawan yang bencinya kepada PKI, Bung Karno, dan orang J awa setengah m ati, dan beberapa orang tokoh Manikebu yang pernah m enjadi m usuh polem ik Mas Pram . Saya m em bayangkan, betapa m ereka akan m em perlihatkan sikap persahabatan, kederm awanan, dan kehalusan budi yang palsu. Saya m endengar betapa Mas Pram m endapat kunjungan para pendeta dan pastor yang lebih m anusiawi daripada para perwira Pusroh (pusat rohani) yang justru m enim bunkan siksa ke atas kepala para tahanan yang tidak berdaya itu. Saya m endengar Mas Pram m endapat hadiah m esin tulis dari Negeri Belanda, tapi yang sam pai kepadanya hanyalah abab (uap m ulut)-nya. Saya m endengar Mas Pram m endapat surat dari Presiden Soeharto, dan Mas Pram pun m enjawab surat itu. Saya m em bayangkan seekor kucing yang sedang berm ain-m ain dengan tikus yang sudah klenger dan sebentar lagi akan dikerkahnya. Tapi saya yakin Mas Pram bisa m em balas surat (alias perm ainan kucing yang kejam itu) dengan pantas, ya, dengan sungguh pantas. Saya m endengar desakan Presiden Am erika Carter kepada Soeharto untuk m elepaskan para tahanan G30 S, dan ketidakberdayaan Soeharto untuk m enolak “cam pur tangan” tersebut, karena sesungguhnya ia hanyalah salah satu sekrup kecil Am erika.

361

362

Bersama Mas Pram

Dan yang paling penting, saya m endengar tekad Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

untuk m enjadi lebih kuat lagi daripada kapan pun sebelum nya, satu hal yang saya ragu apakah ada di antara m anusia di dunia ini yang pernah m endengarnya, selain saya. Begitulah, akhirnya, bagi kam i jarak Salem ba-Buru sesungguhnya am at dekat, seperti jarak antara tahu dan tak tahu, cinta dan benci, loyal dan khianat, hidup dan m ati.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Satu-satu Pulang

DESEMBER 1977 m ulai rom bongan-rom bongan tahanan G30 S dilepaskan, sesudah 12 tahun. Oom Dig dipulangkan dari Nusa Kam bangan dalam keadaan sakit TBC dan ginjal. Sebelum dipulangkan ia diinapkan dulu di Inrehab Salem ba, dan saya sem pat m enem uinya. Seperti waktu diberangkatkan ia m enolak gula-kopi dari saya, kali ini pun ia m enolak bantuan apapun dari saya. Mem ang begitulah orangnya. Tapi kesan saya, kendati m entalnya hebat, tubuhnya sudah ringsek. Mas Wiek sem entara itu pulang dari Buru. Sekarang m enum pang di rum ah Mbak Is. Dia cerita, di Buru dia bertem u Yesus Kristus, yang m em erintahkan dia untuk selanjutnya m engobati orang banyak dengan yang disebut “Holy Stream Healing Larence”, dilengkapi dengan ilm u tentang tanam an tradisional yang sem pat ia pelajari di sana. Dengan “Holy Stream Healing Larence” (entah apa pula artinya itu) ia berjam jam m enggeletarkan sajak-sajak yang ia ciptakan sendiri tanpa m em pedulikan saat dan lingkungan apapun. Ia bayangkan, sejak itu uang berjuta-juta akan m asuk kantongnya, bukan dalam rupiah, tapi dollar, yang akan m enggantikan hidup

www.facebook.com/indonesiapustaka

366

Bersama Mas Pram

kelaparan selam a ini dengan hidup penuh kem ewahan. Dengan tekad itu ia persetankan kem am puannya sebagai pengarang, penerjem ah, dan guru bahasa Inggris. Dia sudah ringsek. Waktu itu terjadilah praktik yang oleh Harjono dinam akan “jalan anjing”. Siapa di antara tahanan yang ingin pulang dulu bisa, dengan m em berikan “insentif” itu. Berbondongbondonglah m ereka yang m am pu dipanggil oleh kom andan atau perwira observasi. Kalau tercapai kesepakatan tentang jum lah “insentif”, pulanglah tahanan duluan. Ternyata Harjono m enem puh juga “jalan anjing” itu, dan ketika dilepas oleh perwira observasi ia ditanya: “Siapa lagi di antara sarjana itu, Pak?” Dia sebutlah antara lain nam a saya dan nam a Handojo. Asal saja! Walaupun konsinyes sudah longgar, bagaim anapun penguasa tetap penguasa. Dalam kerangka itulah saya berhadapan m uka dengan kom andan Inrehab, J odi, dan di situ saya bertanya: “Pak, kenapa saya bertahun-tahun ditahan di sini?” Dan apa jawaban J odi? “Pak Koesalah ini kan ada hubungan dengan abangnya, Pram oedya Ananta Toer itu?” Saya baru m endapat giliran dilepaskan dari Salem ba, sesudah 10 tahun, tanggal 26 J uli 1978. Dari Salem ba kam i dibawa ke Pom dam J alan Guntur. Di aula Pom dam para calon bebas dilatih m engikuti upacara m iliter dalam rangka “pem bebasan”. Isinya: pem bacaan keputusan Kopkam tib tentang pengem balian tahanan ke m asyarakat, pem bacaan sum pah oleh para calon bebas, dan pidato sam butan dari Kepala Teperda (Tim Pem eriksa Daerah).

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Karena ini upacara khusus yang baru kali itu dialam i peserta, diadakan latihan berat yang m em bosankan dan m enjengkelkan, terutam a latihan m em baca sum pah. Berkalikali sum pah itu harus diulang dengan suara lantang-kerastegas (untuk yang beragam a Kristen dan Katolik dengan m engacungkan jari telunjuk dan tengah), sam pai suara ham pir habis dan badan ham pir am bruk (m aklum , tak biasa berdiri berjam -jam ). Sum pah itu berbunyi: Tak akan m enyebarkan m arxism e-leninism e, tak akan m engadakan kegiatan politik, tak akan berkhianat pada pem erintah/ Negara R.I., tak akan m enuntut pem erintah/ Kopkam tib atas tindakan yang dilakukannya terhadap calon bebas, tak akan m au diperalat oleh G30 S, akan berbakti kepada nusa dan bangsa… dan entah apa lagi, seluruhnya ada tujuh butir. Latihan dan persiapan yang kira-kira lebih dari dua jam itu akhirnya ditutup dengan upacara sesungguhnya yang hanya m akan waktu beberapa m enit. Untunglah perwakilan dari Kodim sudah m enunggu di situ, sehingga begitu upacara selesai rom bongan dapat langsung berangkat ke Kodim , di m ana akan diadakan upacara sekali lagi. “Bapak-bapak supaya duduk tenang-tenang saja m enanti jam acara. Waktunya m asih banyak,” kata Kasi V (Kepala Asisten V?) yang m enjem put kam i di Pom dam tadi. Ternyata acara diadakan pukul 12.0 0 , padahal waktu itu baru pukul 10 .0 0 . J adi selam a dua jam itu para bebasan seperti burung dilepas, tapi sayapnya sudah rusak. Masing-m asing lalu cari kesibukan sendiri: ada yang kencing, m erokok, m akan perm en, m engintip keluarga dan penjem put, m elepas sepatu yang m ulai bikin lecet kaki, atau… sekadar m enjelepah kecapekan di kursi kaleng yang keras.

367

368

Bersama Mas Pram

Satu-satu para tam u berdatangan. Ternyata untuk acara

www.facebook.com/indonesiapustaka

itu akan hadir Kom andan Kodim , Walikota, Kepala Kejaksaan, Kepala Polisi dan Kepala Lapangan Terbang Halim . Kecuali itu seluruh aparat pem erintahan J aktim —cam at-cam at, lurahlurah, dan kabarnya juga RW dan RT. Singkatnya, pesta besar! Ditunggu juga kedatangan para calon bebas dari Nirbaya. Acara di Kodim jadi sem acam sidang um um PBB: sederet m eja pim pinan, di kiri-kanannya para pejabat besar-kecil, dan di depan (diapit oleh para pejabat juga) para bebasan. Rasanya jadi seperti barang yang dikeluarkan dari gudang untuk dilelang, dan pem beli barang lelang tak usah m engajukan penawaran, karena harganya telah m ati, bahkan telah lam a m ati, dan ia harus m enerim a harga m ati itu dengan senang, karena kalau tidak, ia pun tak dapat berbuat yang lain lagi. Untuk saya sendiri acara itu selesai pukul dua siang. Berarti sudah 11 jam lam anya saya m engikuti acara resm i hari itu. Nyatalah, udara luar m em ang m ahal harganya. Saya dijem put dan “ditanggung” oleh Mbak Is. Kalau terjadi apa-apa dengan saya, Mbak Is-lah yang harus ditangkap tentara sebagai ganti saya. Mbak Pram ikut m enjem put.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Sesak dan Pengap

KESEMPATAN PERTAMA yang terbuka saya gunakan untuk m enengok Coes di Gang Buntu, Kebayoran Lam a. Sebelum nya sudah saya dengar dari tahanan lain bahwa di situ Coes suka m enyanyi dan m em om pa air. Ini berarti sehat luar-dalam , saya senang. Dan m em ang saya lihat wajahnya norm al. Tentang gam paran, ya biasalah, sam a dengan yang lain. Yang m erupakan surprise buat saya, seorang yang nam anya Harjito ikut m enem ui. Harjito saya kenal baik sebagai orang yang sangat baik. Dia redaktur m ajalah Pem oeda yang diterbitkan J awatan Pendidikan Masyarakat. Dialah yang selalu m elayani saya kalau saya m em asukkan karangan atau terjem ahan, dan m engam bil honorarium nya, sebelum tahun 1960 . Kalau tak sem pat m enem uinya di kantor di J alan Cikini Raya, saya datang ke rum ahnya di J alan Hutankayu, dan di situ saya selalu disuguh teh m anis, dan dengan om ongan seorang bapak kepada anaknya. Orang begitu baik, dan sekarang m enjadi interogator yang dibenci sem ua tahanan. Ya sudahlah.

www.facebook.com/indonesiapustaka

370

Bersama Mas Pram

Tapi tak lam a kem udian Coes dipindahkan ke RTM (Rum ah Tahanan Militer) di J alan Budi Utom o, jadi tak perlu lagi saya bertem u dengan Harjito yang m enim bulkan sedih m endalam dalam hati saya itu. Coes dilepaskan dari RTM itu akhir tahun 1978, jadi sem pat m eringkuk selam a lim a tahun. Sem entara itu Mas Wiek ditangkap m iliter lagi dan disekap di salah satu rum ah di kom pleks m iliter Lapangan Banteng Barat. Kem bali saya m engirim dia sem inggu dua kali. Tentara yang m elayani kirim an baik sekali sikapnya. Uang pun bisa disam paikannya. Apa urusan Mas Wiek kali ini? Dia cerita sesudah dilepaskan beberapa bulan kem udian ia ditangkap lagi karena m engobati orang. Di situ ia disuruh m enyebutkan siapa saja yang m enghubungkannya dengan pasien-pasien yang sudah diobatinya. Artinya, m engobati orang itu terlarang bagi bekas tahanan. Dan yang dia sam paikan juga: tidak pernah ia terim a uang selam a ditahan itu. Coek sudah kem bali dari pelariannya, dan kini m enum pang di rum ah Mbak Is juga bersam a istri dan adik istrinya. Begitulah, rum ah bentuk huruf L itu kini dihuni tak kurang dari 15 orang: Mbak Is sekeluarga 9 orang, Coek sekeluarga 3 orang, dan kam i bertiga bekas tahanan 3 orang. Sesak dan sum pek, tak beda dengan berada kem bali dalam tahanan. Datang berita bahwa rom bongan besar tahanan Buru akan m endarat di Tanjung Priok. Itu, kalau saya tak salah, sudah Desem ber 1979. Dengan sendirinya saya perlukan untuk ikut m enjem put. Saya naik m otor yang saya angsur untuk dua tahun, belum lunas, sam pai m asuk pelabuhan, tapi tidak sam pai derm aga.

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

www.facebook.com/indonesiapustaka

Seperti pada waktu pelepasan saya, m ereka sudah dijem put oleh Kodim m asing-m asing, jadi dari derm aga langsung naik truk Kodim . Setiap tahanan saya am ati baik-baik, kalau-kalau saya sudah pangling Mas Pram selam a sepuluh tahun itu: wajahnya atau sosoknya. Satu-dua tem an saya kenali, tapi sam pai orang terakhir tidak ada yang nam anya Mas Pram , sam pai tentara yang terakhir sudah pada m eninggalkan derm aga. Seorang di antaranya Kapten J odi, bekas kom andan Inrehab Salem ba. Saya cegat. Dengan keyakinan dia pasti ingat abang saya itu, saya pun bertanya langsung: “Pak J odi, di m ana abang saya Pram oedya?” “Wah, itu bukan urusan saya,” jawabnya. Menjengkelkan m em ang, tapi benar. Walaupun dem ikian, itu jawaban kurangajar, m engingat bahwa ia pernah m akan uang saya, atau lebih tepatnya uang kam i. Tapi ya sudahlah. Untuk m enghibur diri, saya kuntit truk yang m engangkut tahanan ke Kodim Plum pang. Di sana saya am ati sekali lagi satu-satu tahanan yang turun dari truk. Mas Pram tidak ada, dan sekali lagi tidak ada.

371

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram Pulang

SUDAH ITU gelap-gulita, tak ada berita tentang keberadaan Mas Pram . Bersam a dia ada juga tem an-tem an lain yang juga m enjadi tanda tanya. Saya m ulai bertem u dengan m ereka yang telah pulang duluan dari Buru dan lain-lain penjara. Dan tiap pertem uan tentu disertai pertanyaan tentang raibnya orangorang itu. Sam pai akhirnya—dari siapakah itu, saya sudah lupa—ada kabar bahwa Mas Pram dan tem an-tem an sudah ada kem bali ke Penjara Salem ba. Itu m asih bulan Desem ber 1979. Saya segera m em acu m otor saya ke sana. Dan seperti kebiasaan tahanan, m ereka sedang m enunggu keputusan, keputusan, dan keputusan. Tapi sem entara itu suasana sudah seperti dagelan. Mereka bergerom bol dan keluar-m asuk pintu gerbang, seolah penjara itu tak ada lagi penjaganya. Mereka ketawa-ketawa dan senyum -senyum tanpa juntrungan. Saya ham pir tak m engenali Hasjim Rachm an yang berubah sam asekali wajahnya; m enjadi panjang karena tanpa gigi sam asekali. Tapi saya kenali Sjarifuddin yang selalu berwajah kantoran. Saya kenali Mr Suprapto yang berwajah njawani. Saya kenali sebagian yang lain.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Mereka inilah yang selam a itu disebut orang-orang keras kepala alias diehards. Kenapa pakai bahasa Inggris, itulah kekenesan orang Indonesia yang suka sok cas-cis-cus bahasa asing walau sesungguhnya tak m enguasainya. J um lahnya sekitar 40 orang yang katanya kom unis-kom unis diehards, walau barangkali tak seorang pun di antara m ereka itu kom unis, apalagi diehards. Saya tidak berkepentingan untuk m enyelidiki lebih lanjut kebenaran tuduhan itu. Tuduhan selam anya lebih hebat dari kenyataan. Kepentingan saya sekarang m enem ui Mas Pram . Dan m em ang ia ada di tengah gerom bolan itu. Melihat saya, tegurnya: “Eh, Liek! Bawa barang ini duluan, gi. Bisa?” “Barang apa?” tanya saya heran. Tanpa m enjawab ia m enghilang di balik pintu tebal itu, dan m uncul lagi m em bawa tas antik dari karung goni, golok panjang dengan sarungnya, dan caping dari bam bu. Dia ulurkan barang-barang itu seperti—kata orang Melayu—m enating m inyak penuh, dan dengan wajah bangga. Belakangan baru saya ketahui bahwa tas itu jahitannya sendiri, dan golok—kalau tak salah ingat saya—berselar VOC. “Hati-hati bawanya!” pesannya. Dengan itu berarti saya harus segera m em beritahukan kepada Mbak Pram tentang kedatangan rom bongan orang hilang itu. “Mas Pram sudah di Salem ba! Ini titipannya!” seru saya bangga, begitu sam pai di Multikarya II No. 26. “Eh, di m ana?” tanya Mbak Pram spontan, yang waktu itu ada di beranda. “Di Salem ba!”

373

www.facebook.com/indonesiapustaka

374

Bersama Mas Pram

“Kok begitu?” kata Mbak Pram lagi, entah apa m aksudnya. Yang jelas, ia lalu bersiap berangkat ke penjara. Saya sudah lupa, selang beberapa jam ataukah selang beberapa hari kem udian, Mas Pram tiba di rum ah. Tapi kalau m engingat ram ainya orang waktu itu, tentunya selang beberapa hari, karena untuk itu dibutuhkan persiapan. Bukan hanya para sanak-saudara dan tetangga datang m engelu-elukan, m elainkan juga handai-taulan dan m ereka yang bukan apaapa pun. Anak terkecil yang waktu ditinggal um ur beberapa bulan, kini sudah pem uda tanggung yang jangkung. Sedangkan anak sulung yang waktu itu baru sem bilan tahun, kini sudah punya calon suam i yang siap nikah. Untuk m em antaskan diri m enjadi m enantu seorang pengarang, ia bahkan sem pat m enulis artikel tentang kedatangan calon m ertuanya, yang dim uat dalam salah satu koran ibukota. Anak-anak m uda tem an-tem an keenam anak itu, laki-perem puan, tak terhitung jum lahnya. Mereka ikut bergem bira atas pulangnya bapak tem annya, yang bertahun-tahun dipenjara dan dibuang oleh pem erintah, tapi ini bisa pulang kem bali dalam keadaan sehatwalaiat. Perhelatan mendadak itu melintasi siang, menembus m alam , hingga kam ar depan yang beretiket “Selam at datang, Papi tercinta” belum juga sem pat dim asuki. Dari lontaran pertanyaan dan jawaban yang tanpa sistem atau aturan dapatlah dirunut perjalanan keem pat puluh orang itu, yang oleh pem erintah tak hendak dilepaskan, sebaliknya hendak disem bunyikan dari pandangan um um dan terutam a pandangan pers internasional. Mereka diturunkan di tengah laut di utara Surabaya, didaratkan di Surabaya, diangkut ke Sem arang, dilanjutkan ke Magelang untuk disim pan di benteng Willem III, lalu dibawa kem bali ke Banyum anik, Sem arang,

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

www.facebook.com/indonesiapustaka

dipindahkan ke Wism a Pandanaran, juga di Sem arang, untuk akhirnya diupacarakan, dan baru sesudah itu dibawa ke J akarta. Konon sedianya m ereka akan disem bunyikan di Nusa Kam bangan. Bagaim ana pem erintah bisa punya keinginan untuk m enyem bunyikan orang sebanyak itu, itulah yang m engherankan. Maka kini pem erintah terpaksa m elepaskan m ereka, tapi karena belum rela, digondeli buntutnya dalam bentuk tahanan kota yang berlaku tak terbatas.

375

www.facebook.com/indonesiapustaka

Kasus Tanah STN 1

1 KASUS YANG boleh dikatakan terlalu dini m enyibukkan kam i sesaudara dan m enguras tenaga kam i karena ruwetnya adalah apa yang secara populer kam i nam akan Tanah ST (Sekolah Tehnik—sic!), atau dalam dokum en tertulis disebut Kasus Tanah STN (Sekolah Tehnik Negeri) 1. Untuk itu, lebih dulu saya harus bercerita tentang akar persoalannya: Nam a dr Sutom o tentulah tidak asing bagi pem baca. Data yang terserap oleh saya m enunjukkan, ia lulus dari Stovia (School tot opleiding van Inlandsche Artsen) atau lebih populer disebut Sekolah Dokter J awa di Batavia tahun 1911, dan sam pai tahun 1918 bekerja berpindah-pindah sebagai Dokter J awa, a.l. di Sem arang, Tuban, Kepanjen, Blora, dan Baturaja. Di Blora ia tentunya cukup lam a, karena di sana ia sem pat m endapatkan jodohnya, seorang suster Belanda, dan m endirikan sekolah Instituut Boedi Oetom o (IBO) pada 1917 (data lain m enyebutkan 1918). Perkum pulan Boedi Oetom o sem entara itu sudah berdiri di Blora sejak 1914 atau 1915.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Tahun 1918 ia dipindah ke Surabaya; setahun kem udian, kita ketahui, ia bertolak ke Eropa untuk m engam bil spesialisasi di Am sterdam , Ham burg, dan Wina sebagai Indisch Arts. Sekolah IBO hanya terdiri atas dua kelas, dengan bangunan yang berdiri di atas tanah desa, tapi agaknya cukup populer di sam ping sekolah putri “Darm o Rini” yang didirikan oleh Bupati Blora R.M. Said Tirtonegoro, dan sekolah zending yang didirikan oleh Misi. Tapi ditinggalkan oleh tokohnya, agaknya sekolah itu m engalam i kem erosotan m endekati kebangkrutan. Dan pada 1922 Bupati Blora m enghim bau kepada siapa saja yang sanggup untuk m em benahi sekolah tersebut. Nah, bapak saya, Toer, yang waktu itu guru HIS (HollandschInlandsche School), sekolah dasar pribum i berbahasa Belanda, di Rem bang, bersedia m enangani sekolah tersebut. Bapak saya jelas anggota Boedi Oetom o. Kalau tidak, m ana m ungkin ia m eninggalkan status m apan sebagai guru HIS untuk susahsusah m engurusi sekolah partikelir yang cum a dua kelas dan ham pir am bruk pula. Kebetulan sem asa pendidikan guru di Kweekschool di Yogya (1911-17), salah seorang gurunya adalah Raden Ngabehi Dwidjosewojo, salah seorang anggota pengurus besar pertam a Boedi Oetom o yang besar pengaruhnya, dan tentunya berpengaruh terhadap ideologi bapak saya. Tapi yang m enentukan kiranya adalah “kontrak” antara Toer dan Said Tirtonegoro (anggota Boedi Oetom o Blora sejak awal). Menurut Mas Pram , Tirtonegoro m enjam in isi kontrak dengan dana dari kantong sendiri dalam jum lah besar, dengan kenaikan gaji tiap sekian tahun (tidak jelas, berapa). Begitulah, Toer tahun itu juga (1922) m em boyong ibu Oem i Saidah yang baru dinikahinya. Untuk sem entara ia tinggal di rum ah sewa di Kam pung Mlangsen. Cukup lam a juga ia tinggal di Mlangsen,

377

www.facebook.com/indonesiapustaka

378

Bersama Mas Pram

sam pai lahir Mas Pram tahun 1925. Sesudah itu (tahun 1925 itu pula) baru ia m em bangun rum ah sendiri di J alan Pasar Pari (sekarang J alan Sum bawa) No. 40 . Sekolah IBO sem entara itu berjalan norm al. Tidak diduga tidak dinyana, Said Tirtonegoro m eninggal 12 Oktober 1926. “Kontrak” dengan sendirinya batal. Sem entara itu gedung IBO harus dipindah dari tem patnya, karena tanah desa itu akan digunakan untuk m em bangun balai desa. Tidak diketahui kapan dibeli, tapi Toer m em iliki tanah seluas sekitar 2.20 0 m 2 di J alan Galingsong (sekarang J alan Halm ahera) No. 29. (Kem udian diketahui—berdasarkan keterangan aparat desa m aupun Kantor Ipeda—bahwa tanah itu sudah m enjadi m ilik Toer sebelum tahun 1930 .) Ke tanah itulah gedung IBO dua kelas itu dipindahkan. (Sam pai tim bulnya Kasus Tanah STN 1 ini, gedung tersebut m asih berdiri.) Selanjutnya di atas tanah itu pula Toer m em bangun gedung sekolah lim a kelas (terpisah dari gedung IBO). Tanah inilah yang di dalam Kasus Tanah STN 1 disebut tanah A. Selain tanah ini, Toer kem udian m em iliki tanah B seluas sekitar 1.20 0 m 2 , dan disusul tanah C yang m enghubungkan A dengan B. Sekolah IBO diteruskan oleh Toer, tetap dengan nam a IBO, tapi lebih m enyesuaikan diri dengan program Tam an Siswa. J abatan kepala sekolah tetap dipegang oleh Toer. Tim bul pertanyaan, dari m ana Toer m em iliki uang untuk m em beli segala tanah itu? Sebagai guru, tidak ada jalan lain selain dari hasil m enabung selam a m enjadi guru HIS, selam a m enjadi kepala IBO dan m asih dibiayai oleh Said Tirtonegoro, dari usaha tani, dan dari utang kepada seorang Cina, yang kem udian diangsur pengem baliannya. Bulan-bulan pertam a sesudah pendudukan J epang, Toer m asih m engangsur.

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1938, dalam rangka (m enurut kesim pulan Mas Pram ) gerakan antifasis (yang tentu saja bersifat rahasia), Toer m ulai m engajar kem bali ke HIS, kali ini HIS Blora. Kebetulan ada guru HIS yang jatuh sakit, nam anya M. Hardjowinoto. Pagi` hari Toer m engajar di HIS, sore hari di IBO. Tahun 1942 J epang m enduduki Indonesia, dan sem ua sekolah dinegerikan, term asuk IBO. Tidak diketahui apa latarbelakangnya, tahun 1944 terjadi “penyerahan” jabatan kepala sekolah IBO (yang sudah dinegerikan) dari Toer ke Muham m ad Am ir, wakil kepada sekolah. Tahun 1945, sesudah proklam asi kem erdekaan Indonesia, bekas sekolah IBO dijadikan Sekolah Pertukangan, yang kem udian berubah m enjadi Sekolah Tehnik (ST), dan akhirnya Sekolah Tehnik Negeri (STN) 1. Nam un perlu dicatat bahwa pada 1961 Mbak Oem (Oem i Safaatoen Toer, istri Mashoedi) telah m em beli tanah B dan C dari bin Toer sesaudara. Sedang selam a itu (sejak tanah A itu dim iliki oleh Toer sam pai tim bulnya Kasus Tanah STN 1) tidak pernah ada pengalihan hak m ilik atas tanah A, berarti tetap m ilik Toer. 2 MASALAH DIMULAI ketika Mbak Oem m erasa bahwa Ipeda yang harus dibayarnya terlalu tinggi dan m em beratkan. Itu terjadi tahun 1981. Mem ang benar, karena Ipeda itu berlaku tidak hanya untuk tanah B dan C, tapi juga untuk A. Berarti di kantor agraria, tanah A, B, dan C m asih tercatat sebagai satu kesatuan, dan sesudah dibelinya tanah B dan C, belum pernah ada usaha untuk m em isahkan gabungan tanah B dan C dari tanah A.

379

www.facebook.com/indonesiapustaka

380

Bersama Mas Pram

Mashoedi (suam i Mbak Oem ) tentunya lalu m encari keterangan m engenai status tanah STN 1 yang selam a itu tidak pernah diurusnya. Ternyata m em ang A, B, dan C m enjadi kesatuan, dengan nam a Mashoedi sebagai pem bayar Ipeda, yang berarti juga dianggap sebagai pem ilik tanah tersebut. Mashoedi lalu m engajukan perm ohonan (10 J uni 1981) “Pemecahan Sertiikat Tanah”, jelasnya pemisahan tanah A dari gabungan tanah B dan C. Terjadi penelitian oleh Kantor Agraria, dan dalam rangka itu diadakan pertem uan sam pai em pat kali (terakhir berlangsung pada 19 Februari 1982) dengan pihak-pihak yang berkepentingan (Mashoedi dan STN 1). Dalam kaitan itulah datang seorang utusan (Carik Desa J enis, Blora) bernam a Soeprapto m enem ui Mas Pram pada 31 Mei 1982. Ia m em bawa Surat Tugas No. 222/ I.0 3.58TI.0 47/ c.82. Secara resm i ia m enanyakan kepada Mas Pram status tanah A atau yang disebut STN 1, tapi di dalam m enyam paikannya ada nada m enggugat Mashoedi yang seolah-olah “m engakuakukan” tanah STN 1 sebagai tanahnya. Mas Pram , karena tahu betul bahwa tanah dan gedungnuya (5 kelas) itu m ilik Toer, dengan tegas m engatakan: “Tidak ada yang berhak—term asuk Mashoedi—atas tanah itu selain saya.” Ucapan ini rupanya m enjadi senjata am puh Soeprapto dan instansinya. Entah apa yang terjadi di Blora, yang jelas sesudah itu Mashoedi datang ke J akarta pada 5 J uni 1982. Ia m em protes ucapan Mas Pram kepada petugas, yang dianggapnya, pada hakikatnya, m em ojokkan dia. Saya sudah lupa di m ana Mas Di m engajak saya bicara waktu itu. Mungkin di rum ah Mbak Is di J alan Multikarya I No. 16. Dalam hati saya langsung

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

m enyalahkan ucapan Mas Pram . Maka saya bertekad untuk m enekan Mas Pram agar m au m em berikan surat kuasa kepada Mas Di dalam m engurus status tanah tersebut. Menurut hem at saya, status Mas Pram sebagai ET (eks tahanan) tidak akan m em ungkinkannya m engurus tanah itu. Sedangkan rum ahnya sendiri yang hanya beberapa ratus m eter dari rum ahnya sekarang (dan notabene lengkap surat-suratnya), tidak m am pu ia m em perolehnya kem bali dan tetap diduduki m iliter. Apalagi tanah STN 1 di Blora yang 650 km jauhnya dari J akarta. Mem ang STN 1 tidak dikuasai oleh m iliter, tapi itu kan dikuasai pem erintah, ya apa bedanya dalam sebuah pem erintah m iliter? Lagi pula Mas Di kan orang daerah. Dia ada di tengah m asalah itu, dan ia sudah biasa bergaul dan bergum ul dengan para penjabat daerah. Kebetulan dia m antri pertanian dan bekas pejuang dari Divisi Ronggolawe. Dia tahu bagaim ana dan ke arah m ana m elangkah. Saya antarkan Mas Di ke rum ah Mas Pram . Sayang Mas Pram tak ada di rum ah. Terpaksalah saya tinggali surat. Isinya seperti terpikir oleh saya tadi: supaya Mas Pram sebagai wakil para saudara m em berikan kuasa kepada Mas Di untuk m engurus tanah STN 1, karena dia tentunya tahu caracaranya. Dan apa yang terjadi? Mas Pram m eradang luarbiasa. Waktu itu saya tinggal di rum ah kontrakan di Gang Duren I No. 57, Utankayu, yang m asih sewilayah dengan Mas Pram dan Mbak Is. Habis m agrib ia datang seperti orang m aju perang, diiringi Mbak Pram . Kebetulan Mas Di m asih berada di rum ah saya, juga Coes, jadi kum pul. Mas Pram m inta supaya Mbak Is yang rum ahnya sekitar 10 0 m dari situ diundang juga.

381

www.facebook.com/indonesiapustaka

382

Bersama Mas Pram

“Saya nggak ngerti, apa yang dikehendaki adik-adik saya! Kalau begitu uruslah sendiri tanah itu.” Baru kali itulah selam a hidup saya bersikap m enantang secara terbuka kepada Mas Pram . Saya katakan bahwa m enurut pendapat saya (dan saya yakin akan hal itu), Mas Di dapat m enyelesaikan soal tanah STN 1, sebab dia sudah terbiasa bergaul dengan para pejabat di daerah. Dan kedua, Mas Pram sebagai wakil keluarga Toer, sebagai saudara tertua, sebaiknya m em berikan surat kuasa kepada Mas Di agar dia punya pegangan sebagai tem pat berpijak. “Ya, kan Mas Pram yang m em erintahkan kepada kam i m enggunakan nam a Toer sebagai nam a keluarga?” sela Coes bersem angat. “Dan Mas Pram juga yang m enganjurkan kam i belajar di Eropa sam pai jadinya begini.” Coes ingin m enyam paikan keluhannya, bahwa gara-gara m enyangga nam a Toer kam i sem ua kejeblos dalam penjara, dan terus m enderita akibatnya. Tentu saja kalaupun m engandung kebenaran, kebenaran itu sedikit saja dalam ucapan Coes. Sem entara itu Mas Pram lebih m eradang lagi. “Coes, terim akasih banyak atas ucapanm u yang sopan itu!” kata Mas Pram yang seketika itu bangkit berdiri hendak hengkang. Untunglah Mbak Is segera m enangkap bahunya, m engelus-elusnya, dan m engarih-arih-nya, m enyabarkannya. “Sabaaar, Mas Pram …, sabaar…. Dan m aafkan adik saya Coes….” “Betul, Mas Pram , saya juga m inta m aaf sudah m enyusahkan Mas Pram . Atas nam a adik-adik ini saya m intakan m aaf yang sebesar-besarnya….” dst., dst. “Yang saya perlukan cum a surat kuasa. Itu saja, agar saya bisa tatag berhadapan dengan siapa saja...” dst. dst. tim brung Mas Di.

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

www.facebook.com/indonesiapustaka

Selam a itu, Mbak Pram hanya bungkam . Ekspresi wajahnya m engatakan: “Kok begini, sih!” “Ya sudah. Apa m aunya sekarang, aku tandatangani. Liek, kau yang nyusun!” kata Mas Pram , lalu m em buka tem bakau dan papiernya, seperti biasa. Saya langsung m enangkap m esin tulis dan m erancang konsep surat kuasa. Isi pokok: “untuk m eneruskan usahanya m enyelesaikan perkara pem ecahan tanah keluarga tersebut dalam Persil No. 9 klas II/ D seluas 0 ,328 ha di desa J etis Kecam atan kota Blora No. Kohir: Bla/ Kt. Bl./ 7/ 134”. Ketika saya tunjukkan kepada Mas Pram , ia tam bahkan catatan: Surat kuasa itu berlaku “sam pai dicabut kem bali oleh pem beri kuasa”. Lalu diparafnya untuk diketik bersih. Dan dengan tam bahan lisan: “Dan selalu dilaporkan perkem bangannya!” Bubarlah rapat kilat dan m endadak itu. Coes sendiri tidak m em inta m aaf. Tentunya karena ia m erasa sam asekali tidak bersalah. Esoknya, 6 J uni 1982, Mas Pram m enulis surat kepada STN 1, berisi penjelasan rinci m engenai status tanah A, B, dan C, seperti a.l. telah saya uraikan. Surat dibawa oleh Mas Di. 3 SEPERTI SAYA duga, Mas Di tahu bagaim ana m elangkah. Sem inggu saja sesudah tiba kem bali di Blora (14 J uni 1982) ia sudah m enghubungi kantor Agraria Kabupaten Dati II Blora, dan di situ ia m engulangi perm ohonan setahun sebelum nya (10 Juni 1981): Pemecahan Sertiikat Tanah. Kepala Kantor Agraria m enyatakan bahwa “kasus ini sulit/ tidak bisa diselesaikan dengan jalan m usyawarah di tingkat kabupaten”.

383

www.facebook.com/indonesiapustaka

384

Bersama Mas Pram

Maka pada 17 J uni 1982 Mas Di pun m engirim surat kepada Gubernur J awa Tengah, Kepala Kantor Departem en P dan K J awa Tengah, dan Kepala Kantor Direktorat Agraria J awa Tengah. Isinya: agar ketiga pejabat tersebut sudi kiranya m engusahakan penyelesaian tanah tersebut. Dalam surat itu dinyatakan juga bahwa “kiranya tidak sulit m enyelesaikan m asalah tersebut dengan jalan m usyawarah/ m ufakat, sehingga kasus tersebut tidak m em aksa kam i untuk m enyelesaikan lewat Pengadilan Negeri”. Sem entara itu (14 J uli 1982) Mas Di m engirim surat kepada Kepala Sekolah Tehnik Negeri Blora. Isinya tiga hal: 1. Mem beritahukan bahwa dirinya (Mas Di) pada 17 J uni 1982 sudah m engirim surat kepada Gubernur J awa Tengah, Kepala Direktorat Agraria J awa Tengah, dan Kepala Kantor Departem en P dan K J awa Tengah, m enyatakan bahwa “tanah kam i beserta dua buah bangunan lam a, telah kam i m inta kem bali”. 2. Dalam hubungan ini Mas Di m inta agar STN tidak m engadakan perubahan dalam bentuk apapun “tanpa idzin kam i sebagai pem ilik”. 3. Kalau usaha ini tidak berhasil, Mas Di akan “ajukan perm ohonan kepada Bapak Menteri Dalam Negeri” dan “Bapak Dirjen Agraria”. Di luar dugaan, Kepala Kantor Agraria Kabupaten Blora mengeluarkan Sertiikat (Tanda Bukti Hak) Hak Milik No. 7813514 tanggal 29 J uli 1982 beserta Gam bar Situasi No. 2996 tanggal 2 Agustus 1982 atas nam a Mashoedi, J ln. Maluku No. 36, Blora, yang diterim a oleh Mas Di tanggal 5 Agustus 1982. Tidak diketahui apakah ini akibat surat tanggal 14 J uli 1982 tersebut, tapi Mas Di sendiri m enyatakan dalam salah satu

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

suratnya, “dengan berliku-liku dan saya terobos ke Sem arang, akhirnya berhasil”. Dengan sendirinya kabar gem bira tersebut segera disam paikannya ke J akarta, yaitu hari itu juga tanggal 5 Agustus 1982. Tapi anehnya kabar itu disam paikannya kepada Mas Herm anu (suam i Mbak Is) dengan lam piran surat kepada saya. Dalam surat itu disinggungnya juga bahwa Mas Di sudah sem pat bicara dengan STN, dan STN m enyatakan ingin m engusulkan kepada atasan untuk m em belinya. Seyogianya kan Mas Di m enyam paikan kabar itu langsung kepada Mas Pram sebagai pem beri kuasa? Dan, walau secara lisan, Mas Pram sendiri kan sudah berpesan agar Mas Di selalu m elaporkan perkem bangan usahanya? Maka dalam surat tanggal 25 Agustus 1982 saya tulislah m engenai perlunya Mas Di m enulis kepada Mas Pram . Surat kepada Mas Her tidak salah, tetapi kurang taktis, karena ada m asalah psikologis. Mas Her hanya akan m enyam paikan berita itu kepada Mbak Is, lalu Mbak Is akan m enyam paikan kepada saya, dan selanjutnya saya harus m enyam paikannya kepada Mas Pram . Ini kan bisa m enim bulkan berbagai prasangka yang tidak perlu. Lim a hari kem udian Mas Di sudah m enulis surat kepada Mas Pram (30 Agustus 1982). Isinya, di sam ping m enyam paikan berita yang m enggem birakan itu, m enyinggung nasihat seorang ahli hukum di Blora agar sebaiknya pemecahan sertiikat tanah tidak dilakukan dulu. Selain akan m enim bulkan kesulitan, karena biaya balik nam a cukup banyak. Itu m em ang benar. Sedangkan untuk biaya yang selam a itu dikeluarkan oleh Mas Di (Rp329.0 0 0 ) kam i tak sanggup m engiurnya, apalagi harus m em bayar biaya balik nam a. Tapi yang lebih rum it lagi adalah kalau sertiikat itu dipecah, dan tanah A diatasnam akan Mas

385

www.facebook.com/indonesiapustaka

386

Bersama Mas Pram

Pram , Mas Pram akan m engalam i kesulitan karena jarak J akarta-Blora, dan… (m enurut Mas Di) karena “kedudukan Mas Pram sekarang ini m asih belum m em ungkinkan untuk m engurus hal-hal sem acam itu”. J adi tepat seperti pernah m enjadi pertim bangan saya. Dan lagi, kalau dengan nam a Mas Pram , tidak akan lagi berarti Mas Pram cs., artinya dengan sem ua adiknya, m elainkan Mas Pram seorang. Akhirnya Mas Di m engusulkan penyelesaian tahap kedua, yaitu apakah: 1. Tanah itu kita m inta kem bali; 2. Tanah itu kita sewakan; atau 3. Tanah itu boleh dibeli pem erintah m anakala dibutuhkan. Eee, lhadalah! J awaban Mas Pram (7 Septem ber 1982) terhadap berita yang baik itu dim ulai dem ikian: “Sudah sejak sem ula saya tidak tahu-m enahu tentang sem ua m asalah di Blora, karena m em ang tidak pernah diajak bicara sebagaim ana m estinya. Karena itu sem ua saya kem balikan pada sem ua adik saya dan Dik Hudi sendiri. Saya m erasa keliru telah ikut m encam puri persoalan ini dengan pengetahuan saya yang m inim tentang kehendak adik-adik saya, karena itu saya m inta m aaf pada sem ua pihak.” Diteruskan dengan: “Saya tidak m em punyai am bisi untuk m em iliki m ilik siapapun term asuk m ilik orangtua saya sendiri. Lagi pula sam pai sekarang ini pun saya belum pernah sem pat untuk m em ikirkan diri saya sendiri. J uga tidak ada gunanya bagi siapapun untuk m em bicarakan soal kesakitan diri sendiri.” Surat itu difotokopi oleh Mas Di dan dikirim kannya kepada saya. Anehnya, Mas Di tidak m arah m endapat balasan dem ikian itu. Malah m enganjurkan kepada saya supaya kalau bicara dengan Mas Pram “jangan sekali-kali m em aksa Mas

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Pram ”. Kalau m enyam paikan m asalah ini “sebaiknya bersifat iseng-iseng saja, sehingga Mas Pram tidak m erasa dipojokkan.” “Kasihan pada m as Pram yang sekarang ini usianya sudah tua dan m ustinya ia pantas dihorm ati sebagai wakil ayah kita,” dll., dll. Karena sudah terlalu terpengaruh oleh keberhasilannya? Mungkin. Sem entara itu saya datang ke rum ah Mas Pram m enyam paikan isi surat Mas Di tanggal 5 Agustus 1982, jadi sudah sangat ketinggalan zam an. Tapi anehnya, sekali lagi anehnya, Mas Pram m enerim a itu dengan baik sekali. Ia bahkan m inta disam paikan terim akasihnya kepada Mas Di atas keberhasilan usahanya. Ia m inta usaha itu diteruskan dengan pemecahan sertiikat. Tapi sebelum bicara tentang ganti rugi, kita perlu bicara dulu tentang harga sewa tanah beserta bangunannya. Dalam hubungan ini Mas Pram m inta saya ikut m em ikirkan berapa sebaiknya harga sewa tersebut. Saya m enjawab tidak punya gam baran sedikit pun, karena tak punya pengalam an dan tak pernah m em ikirkannya. Akhirnya Mas Pram m em berikan ancar-ancar harga sewa itu—berlaku m ulai tahun 1950 , yaitu tahun penyerahan kedaulatan—antara Rp15.0 0 0 -Rp30 .0 0 0 . Mas Di m aju terus dengan m ove-nya yang baru (17 Septem ber 1982), yaitu m endesak Gubernur J awa Tengah, Kepala Kantor Departem en P dan K J awa Tengah, dan Kepala Kantor Direktorat Agraria J awa Tengah untuk m elaksanakan penyelesaian tahap kedua dalam Kasus STN 1 ini dengan “Penyerahan Kem bali tanah beserta dua buah bangunan di atasnya segera”. Di sini Mas Di m engam bil langkah yang m enyim pang dari wewenangnya. Ia m enyatakan dalam suratnya itu:

387

www.facebook.com/indonesiapustaka

388

Bersama Mas Pram

”Apabila Pem erintah m engidzinkan, setelah tanah dan dua buah bangunan kam i terim a kem bali, akan kam i dirikan Sekolah Swasta sebagai partisipasi dari keluarga kam i dalam m enunjang Pem bangunan bidang Pendidikan yang sekarang ini sedang digalakkan oleh Pem erintah.” Dasar desakan itu m em ang ada, yaitu telah dikeluarkannya sertiikat (Tanda Bukti Hak) Hak Milik serta Gambar Situasi. Tapi seorang pejabat yang biasa bertengger di kursi jabatan dan tak m engenal m edan rupanya telah m engam bil keputusan yang cukup kontroversial ini. Begitulah, dengan ditandatangani oleh Sekretaris Wilayah/ Daerah, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I J awa Tengah telah m engirim surat dinas kepada Kepala Kantor Wilayah Departem en P dan K Propinsi J awa Tengah di Sem arang tanggal 24 Oktober 1982, yang tem busannya dikirim kan juga kepada Mashoedi J l. Maluku 36 Blora. Saya katakan kontroversial, karena: Di satu pihak ia m enyatakan: “Mem perhatikan surat Saudara Mashoedi J l. Maluku 36 tanggal 17 Septem ber 1982 perihal tersebut di atas yang antara lain Saudara juga m enerim anya (foto copy terlam pir), dengan ini kam i m engharap laporan Saudara m engenai penyerahan tanah dan gedung ST Negeri Blora kepada pem iliknya.” Di lain pihak ia nyatakan: “Dalam hubungan ini perlu kam i sam paikan agar proses penyerahan tanah dan gedung dim aksud tidak m engganggu jalannya pendidikan.” Bagaim ana m ungkin kedua hal tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan diktum nya? Ataukah dengan penuh kesadaran keputusan tersebut diam bil, sedangkan realisasinya di lapangan m asalah lain lagi? Sepintas lalu berita tersebut m erupakan kem enangan bagi Mas Di, tapi dalam realitas m erupakan

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

www.facebook.com/indonesiapustaka

pukulan m em atikan baginya. Buktinya, sesudah itu tidak ada surat-m enyurat lagi antara Mas Di sebagai pihak yang diberi kuasa dengan Mas Pram yang m em beri kuasa. Sayup-sayup kedengaran: Mas Di ditahan. Kenapa? “Karena ia berusaha m enyelam atkan m ilik PKI!” Hubungan antara yang diberi kuasa dan yang m em beri kuasa dengan dem ikian m enjadi rusak, dan itu m enyeret saudara-saudara yang lain juga.

389

www.facebook.com/indonesiapustaka

Dana Keluarga

HAL YANG segera kelihatan akhir Desem ber 1983 pada keluarga Toer adalah runyam nya ekonom inya. Maklum lah, dari lim a orang lelaki, em pat orang baru pulang dari tahanan, seorang baru pulang dari pelarian, kelim anya cenderung bergerak di bidang tulis-m enulis, sedangkan dari pihak penguasa m enghadang peraturan-peraturan yang sifatnya m endiskrim inasikan bekas tahanan, sehingga rinciannya adalah dem ikian: Mas Pram , walau ia sudah pengarang yang m apan, bulanbulan pertam a sesudah pulang itu tentunya praktis belum m enghasilkan, hingga di sini perlu saya sebutkan (tapi bukan untuk m em banggakan diri) bahwa pernah ia berutang kepada saya (jum lahnya saya sudah lupa), disertai kata-kata “tapi jangan bilang-bilang sam a Nyonya”. Mas Wiek, karena terbentur larangan m engobati orang, terpaksa saya kontrakkan warung dengan isinya di sebuah pasar di Kam pung Am bon disertai uang bulanan selam a setengah tahun, tapi karena gagal m engelola warung, terpaksa keluarga m engam bil keputusan agar ia pindah ke Blora, m enghuni rum ah dan tanah warisan bersam a Mbak Koen.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Saya sendiri yang bertekad tetap m enekuni bidang yang selam a itu saya geluti, terutam a terjem ahan, m esti kerja ekstra keras untuk dapat hidup. Beruntung, lewat jasa baik Ajip Rosidi, salah seorang kawan m asa m uda, saya bisa ikut dalam proyek “Bank Naskah” yang dikelola oleh Dewan Kesenian J akarta dan m enam pung terjem ahan karya sastra. Dalam Bank Naskah itu tidak ada honorarium ataupun royalti. Yang ada hanya “uang perangsang” yang jum lahnya waktu itu Rp50 0 per halam an, jum lah yang sangat kecil. Tapi bagusnya, kita dapat m em ilih sendiri buku-buku yang ingin kita terjem ahkan. Saya terjem ahkanlah karya-karya Leo Tolstoi dari bahasa Rusia, a.l. Anna Karenina dan Kebangkitan (Voskreseny iy e). Saya jatah, hidup-m ati, tiap hari saya harus m enerjem ahkan m inim al 7 halam an, agar dalam sebulan (nonstop) saya dapat m enghasilkan m inim al 210 halam an atau Rp10 0 .0 0 0 , satu jum lah yang cukup (sederhana) untuk hidup bersam a istri. Dengan penghasilan seperti itu saya m engangsur m esin tulis baby yang paling m urah. Saya waktu itu bahkan belum punya m eja tulis, sehingga saya terpaksa m engetik di m eja tam u dengan duduk di atas dingklik. Saya lihat ada perasaan tak suka pada para pegawai adm inistrasi di Dewan Kesenian J akarta yang m enangani “angsuran” saya setiap bulan itu, tapi dengan sendirinya terpaksa saya abaikan. Coes m enjadi pengajar ekonom i di Universitas 17 Agustus (Untag) lewat jalur “diam ”, di sam ping m enjadi penyalur buku tulis seorang pengusaha Tionghoa yang pernah bersam a dalam tahanan. Saya ikut m engedarkannya dari toko ke toko m ulai dari Hutankayu sam pai Ciputat. Posisi lewat jalur “diam ” itu kem udian “diusili” orang, sehingga terpaksa Coes m eninggalkannya sebelum ia sem pat dipecat. Coek sem entara itu bekerja sebagai tenaga kasar di perusahaan Tionghoa pengekspor ikan hias, di Ciputat. Tiap hari,

391

www.facebook.com/indonesiapustaka

392

Bersama Mas Pram

tanpa hari libur, ia m esti m enyiapkan ikan sendiri, m engurus surat-suratnya, dan m em bawanya ke Cengkareng. Karena penghasilannya m inim , terpaksa ia ny am bi berdagang m adu dan bekatul. Kelihatannya sem uanya bekerja, tetapi penghasilannya pas-pasan alias tidak cukup, atau ram ai-ram ai m iskin. Inilah asal-usul saran Mbak Is untuk saling bantu dengan m engadakan pertem uan rutin disertai m enabung. Kebetulan Mbak Is-lah yang paling berpengalam an m engenai beratnya cara m engikatkan pinggang, terutam a dalam em pat belas tahun terakhir m engurus saya. Saran diterim a dengan bulat, dan dem ikianlah pada 1983 diputuskan m em bentuk Dana Keluarga dengan keanggotaan Toer sesaudara dan anak-anaknya yang sudah dewasa. Pertem uan tiga bulan sekali di tem pat berpindah-pindah m enurut giliran, dan iuran sebesar Rp2.50 0 sebulan, dengan rincian Rp1.0 0 0 tabungan wajib, Rp50 0 tabungan sukarela, dan Rp1.0 0 0 tabungan kesejahteraan. Seperti dijelaskan oleh nam anya, tabungan wajib bersifat wajib, yang apabila anggota keluar akan dikem balikan kepada pem iliknya. Tabungan sukarela sejum lah itu, tapi bisa ditam bah m ana suka, disatukan dengan tabungan wajib. Tabungan kesejahteraan dicadangkan untuk disum bangkan cum a-cum a kepada anggota yang m em butuhkan, m isalnya punya gaw e atau kesripahan (berkabung). Anggota pun bisa pinjam uang dari Dana Keluarga, terutam a untuk m em bayar uang sekolah, uang kuliah, kontrak rum ah, dsb. Bulan Septem ber 1986 tabungan sukarela dinaikkan Rp50 0 , m enjadi Rp1.0 0 0 , karena selalu tekor karena pem injam an. Mas Pram ikut m enyetujui pem bentukan Dana Keluarga ini, dan walau tak tetap, ia sering datang m enghadirinya dan ikut m em bicarakan m asalah-m asalahnya. Misalnya, pernah

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

dengan kehadirannya dibicarakan m asalah pem bayaran Ipeda (iuran pem bangunan daerah), langgaran listrik, dan air leding untuk rum ah Blora. Waktu itu, pertem uan di rum ah Mbak Is, saya usulkan untuk ditanggung bersam a berlim a yang di J akarta (term asuk Mbak Is), tapi Mas Pram bertekad m em bayarnya sendiri. Waktu itu Ipeda rum ah Blora sebesar Rp150 .0 0 0 . Pernah diputuskan untuk m em belikan Mas Wiek m esin tulis agar ia m au m engarang atau m enerjem ahkan lagi, yang ditanggung oleh Coek. Diputuskan juga untuk m em belikan Mas Wiek alat-alat pertukangan agar ia dapat melatih isiknya di m ana perlu. Dan dalam pertem uan di rum ah Coes di Kranji, dengan hadirnya Mas Pram , diputuskan untuk m em belikan Mas Wiek televisi bekas seharga Rp70 .0 0 0 -Rp10 0 .0 0 0 . Sem ua keputusan itu dilaksanakan dengan baik. Saya bersam a Mas Pram akhirnya m em beli televisi baru langsung di Blora. Dari perjalanan waktu terbukti, keadaan ekonom i keluarga ini lebih buruk daripada yang dapat ditolong dengan sebuah dana seperti ini. Sebagian keluarga betul-betul hidup di bawah garis kem iskinan, yang sesudah m em injam uang tanpa bunga, tidak sanggup m engem balikannya, m em injam lagi dan tidak sanggup m engem balikannya lagi, hingga m enggerogoti dan m engancam keberadaan dana tabungan wajib. Beberapa kali Mas Pram sem pat ngedrop dana dalam jum lah lum ayan, tetapi tetap tidak m enolong. Puncaknya adalah krisis ekonom i tahun 1998, ketika sebagian anggota untuk transpor pertem uan (sekeluarga) pun tidak sanggup m em bayar, dan begitu berulang kali, sehingga pertem uan tidak bisa diselenggarakan, dan Dana Keluarga pun am bruk.

393

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mbak Koen Meninggal

SEJ AK KAMI berem pat pulang dari tahanan, terpikir oleh saya alangkah baiknya kalau kam i sesaudara berkum pul di rum ah Blora peninggalan orangtua untuk m enyatakan rasa syukur bisa berkum pul kem bali dalam keadaan lengkap delapan orang: Mas Pram , Mas Wiek, Mbak Koen, Mbak Oem , Mbak Is, saya, Coes, dan Coek, dengan keluarga m asing-m asing. Misalnya dengan m enyewa satu bis pulang-pergi, sekalian m am pir ke tem pat-tem pat yang kam i inginkan bersam a. Beberapa kali gagasan ini saya sam paikan kepada saudara-saudara secara terpisah, dan m ereka um um nya m enyam but baik gagasan ini, term asuk Mas Pram . Tapi ada saja alasan untuk tidak terlaksananya atau tertundanya gagasan ini. Soal waktulah, soal biayalah terutam a, dan yang penting juga: Kalau sem ua pergi, lalu yang tinggal di rum ah m asing-m asing siapa? Akhirnya saya sim pulkan, m em ang barangkali gagasan itu susah dilaksanakan. Bahkan kem udian terpikir oleh saya, m ungkin m em ang lebih baik tidak terlaksana, m engingat banyaknya kecelakaan lalu-lintas jalan raya sekarang ini. Waktu Coes pulang ke Blora bersam a Mbak Oem , bisnya

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

berserem petan dengan bis lain hingga sem pat pahanya terbakar. Angka di suratkabar m enunjukkan: korban tewas setahun 11.0 0 0 jiwa. Kalau kebetulan kecelakaan itu m enim pa bis sewaan kam i, tum paslah sekaligus keluarga Toer. J adi begitulah keadaan berlarut-larut, sam pai akhirnya pada 13 Septem ber 1985 kam i di J akarta m endapat berita tentang m eninggalnya Mbak Koen di Blora. Mbak Koen sudah lam a sakit TBC. Gejalanya sudah tam pak pada 1948 ketika ia bersam a suam inya, Mas Djajoes, jalan kaki dari Tayu ke Blora, di m asa berlangsungnya Agresi II Belanda. Tapi tentu penyakit itu sudah diidap lebih dini, karena ibu kam i m eninggal tahun 1942 karena TBC juga. Berulang kali sejak itu Mbak Koen keluar-m asuk sanatorium , bahkan pernah di J akarta ditangani dokter spesialis atas perm intaan Mas Pram . Sia-sia. Penyakit itu sem pat m enggugurkan 2-3 kali kandungannya, bahkan pada 27 Oktober 1953 sem pat m em bunuh Mas Djajoes dalam usia am at m uda: 29 tahun. Karena sakitnya, Mbak Koen terpaku di rum ah, hidup dari pensiun seorang sersan dan dari menjadi penjahit amatiran. Meski isiknya luarbiasa kuat, dengan sendirinya berangsur-angsur hancur. Dari seorang gadis yang ayu m enik-m enik jatuh ringsek m enjadi neneknenek yang tak keruan bentuknya. Hanya karena ketabahan, keuletan, kehem atan, ia m am pu hidup m andiri dan sendiri di rum ah orangtua (sebelum akhirnya disusul oleh Mas Wiek yang pindah dari J akarta). Dan seperti sudah m engerti bahwa dirinya akan m ati, ia m engungsi jalan kaki ke rum ah Mbak Oem , sekitar 10 0 m eter, dan di sana beberapa waktu kem udian ia m engem buskan napas terakhir. Dialah yang akhirnya m engum pulkan kam i sem ua di Blora, term asuk Mas Pram yang biasanya sulit dengan waktunya.

395

396

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Kam i berhim pun di Blora baru 15 Septem ber, ketika Mbak Koen alm arhum ah sudah dim akam kan di Sasana Lalis, di deretan m akam bapak dan ibu kam i, dan kam i sudah m enyekar untuk pertam a kali. Pada hari itulah kam i berapat atas usul Mas Pram , dengan m engundang juga sesepuh kam i, Ibu dan Bapak Im am Barsah, kakak langsung Oom Moedigdo, jadi pam an kam i juga. Di situlah a.l. dibicarakan warisan alm arhum ah berupa pakaian, m ebel, m esin jahit, dan sepeda, yang kam i putuskan ditugaskan pengurusannya kepada Mas Wiek. Dan di luar dugaan kam i, ia m eninggalkan kalung em as, giwang m arkis dan cincin, serta uang sebesar Rp30 .750 dalam bentuk piutang, dan Rp47.60 0 dalam bentuk kontan, yang sem uanya diserahkan kepada Dana Keluarga. Rapat m em utuskan juga m em berikan sum bangan uang bulanan untuk pem bayaran/ cicilan leding air, listrik, Ipeda dan PRT (pajak rum ahtangga) rum ah Blora sebesar Rp15.0 0 0 , m em berikan sum bangan uang bulanan kepada Mas Wiek sebesar Rp15.0 0 0 yang ditanggung rata oleh enam orang (Mas Pram , Mbak Oem , Mbak Is, saya, Coes, dan Coek), dan m em berikan sum bangan beras bulanan kepada Mas Wiek, yang ditanggung oleh Mbak Oem . Keputusan yang penting juga adalah: surat-surat keluarga yang m em punyai nilai sejarah keluarga diserahkan pengurusannya kepada saya, dan surat-surat pribadi Mas Pram kepada alm arhum ah diserahkan kem bali kepada Mas Pram . Rapat selesai, dan esoknya kam i kem bali ke J akarta dengan bis untuk m eneruskan hidup m asing-m asing.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Wiek Ngambek

MAS WIEK m ulai tinggal lagi di Blora tahun 1982, sesudah di J akarta gagal m engem bangkan keinginannya bergerak di bidang pengobatan, dan gagal juga hidup dari m em buka warung. Ia m enunggu rum ah warisan, berdua dengan Mbak Koen, sam a-sam a tanpa tem an hidup, karena Mbak Koen ditinggal Mas Djajoes yang m eninggal tahun 1953, dan Mas Wiek ditinggal pergi istrinya selagi ia m eringkuk di Buru. Hidup berdua tanpa pasangan, di um ur tua, dalam keadaan sakit, tidaklah m udah. Segalanya harus dikerjakan sendiri. Mbak Koen sudah 55 tahun, dan Mas Wiek 57 tahun, dan um ur terus m elaju dengan kecepatan kuda terbang. Tapi Mas Wiek sem pat m em barui tekadnya untuk m engobati orang. Dan sejenak ia bahkan sem pat dianggap sebagai “dukun tiban”. Orang berduyun-duyun datang dari seluruh Blora, bahkan dari kota-kota di sekitarnya. Mem ang m engherankan, pasien dukun selalu datang dari jauh. Duyunan orang itu jelas m enjadi kebanggaannya, lebihlebih karena—walau bersifat sukarela—ia m endatangkan juga sum ber ekonom i. Mas Wiek sem pat berkeinginan untuk

www.facebook.com/indonesiapustaka

398

Bersama Mas Pram

m enikah lagi. Sayangnya m iliter tidak rela dan tidak tidur, ada ET “m acam -m acam ”. Cakar m em ang untuk m encengkeram . Kalau tidak, untuk apa punya cakar? Mas Wiek pun dikenai penggada: dipanggil, diperiksa, dan... dilarang keras m engobati orang. Sejak itu duyunan m ati, dan Mas Wiek pun ngam bek: m anusia apapun, sak cindhil abange, dalam keadaan sekarat pun, ogah dia ngobati. Bukan hanya itu, apapun alasannya, yang nam anya m encari penghidupan, ogah dia m elakukan. Bukubuku yang kam i kirim dari J akarta—pelajaran bahasa, kam us, kliping—dibiarkannya m em busuk. Alat-alat pertukangan yang kam i belikan dibiarkan jadi tanah. Mesin tulis yang diberikan oleh Coek hanya dipakai m engetik tanda terim a. Televisi yang kam i belikan dipersetankannya saja kalau rusak, dan akhirnya jadi rongsokan sam asekali. Bergaul dia tak m au, dengan tetangga kek, dengan saudara kek. Pernah saya m enganjurkan kepada seorang tem an untuk m enjenguknya, dan tem an itu disem protnya hingga terpaksa langsung hengkang. Dan ketika suatu kali saya datang dari J akarta, didam pratnya saya sekalian dan dikejar-kejar untuk “dibunuh”, sam pai orang sekitar berm unculan untuk m enonton dan bertanya. Ya, hidup m em ang berat, tapi m asalahnya bukan hidup itu sendiri, m elainkan tatanan m asyarakatnya. Kalau dipikir, kurang apa Mas Wiek m em bela negara Republik Indonesia sam pai dia cacat, dipensiun, dan ketika terjadi G30 S dicabut sekalian pensiunnya, dan sepulang dari Buru tak diberi kesem patan pula untuk hidup. Hiburan satu-satunya adalah kalau bekas istrinya dengan besar hati m enjenguk bersam a kedua anak atau m enantunya, nam un pertem uan yang langka itu pun sudah teracuni pula oleh kesenjangan budaya sehingga tak ditem ukan suasana dam ai yang sebetulnya didam bakan.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Sepeninggal Mbak Koen tahun 1985, keadaan tentunya tak tertanggungkan lagi buat Mas Wiek, dan waktu itulah tim bul gagasannya untuk m eninggalkan sam asekali rum ah dan tanah itu dengan m enjualnya. Peristiwa inilah yang saya singgung dalam buku saya Pram oedy a Ananta Toer dari Dekat Sekali (hlm . 44-46), ketika m enyam paikan keinginan Mas Wiek itu kepada Mas Pram , padahal saya tahu Mas Pram ingin m enjadikan rum ah itu sebagai m useum dem i Bapak, dan di hari tuanya ia ingin tinggal di Blora. Dengan ketus waktu itu Mas Pram m engatakan: “Ya kalau m em ang m au jual, jual sana! Aku nggak m au ikut cam pur! Aku nggak ada urusan dengan itu!” Walau dem ikian ia tetap bersedia am bil bagian dalam rapat yang saya usulkan, dan... di rum ah dia. Kam i waktu itu sesaudara lim a orang di J akarta—Mas Pram , Mbak Is, saya, Coes, dan Coek—dan di Blora dua orang—Mas Wiek dan Mbak Oem . Itulah rapat resm i pertam a kam i sesaudara, dan topiknya adalah: setujukah rapat untuk m enjual tanah warisan di Blora? Kalau setuju oke, tidak setuju pun oke. Saya yang m em im pin rapat, m enyusun kesepakatan, m em inta tandatangan sem ua hadirin, selanjutnya m engirim kannya ke Blora untuk ditandatangani oleh Mas Wiek dan Mbak Oem . Rapat itu ternyata berjalan lancar. Dan m em ang, saya kira, dem ikianlah selalu rapat orang Indonesia. Nanti di luar rapat baru tim bul persoalan. Sem ua hadirin m engem ukakan pendapatnya, setuju m enjual rum ah tersebut dengan tanahnya, term asuk Mas Pram dengan sendirinya, dengan pertim bangan a.l. Mas Wiek “yang selam a ini secara de facto m enjadi penunggu bidang tanah dan rum ah tem pat tinggal tersebut telah m enyatakan tekadnya untuk tidak lagi m enjadi penunggu bidang tanah dan rum ah tem pat tinggal tersebut”.

399

400

Bersama Mas Pram

Yang unik di antara keputusan rapat adalah bahwa yang

www.facebook.com/indonesiapustaka

dijual hanya tanahnya (sekitar 2.30 0 m 2 ), sedangkan rum ah di J alan Sum bawa 40 , Blora, itu dibagi secara adil “di antara ahli waris yang berm inat”. Gagasan ini datang dari Mas Pram , karena m enurutnya sayang sekali kalau rum ah yang terbuat dari jati tua (dan um urnya sekitar 40 tahun) itu dijual. Lagi pula dia yang m em biayai pem bangunannya sebagai pem enuhan janji yang diucapkannya di hadapan Bapak yang sudah sekarat, dengan arsitek Pak Barsah. Singkat kata, Kesepakatan ditandatangani oleh kelim a saudara yang ada di J akarta, lalu saya kirim ke Mbak Oem di Blora untuk ditandatangani berdua bersam a Mas Wiek. Dan bagaim ana kom entar Mas Wiek waktu dim inta ikut m enandatangi Kesepakatan itu? “Rum ah warisan kok dijual?” Dengan dem ikian m asalah m enjadi m entah. Itu terjadi sudah tahun 1993.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Sekali Lagi Kasus Tanah STN 1

TANGGAL 22 J uli 1993 di koran Suara Kary a m uncul berita berjudul “Siswa SMP 5 Blora Belajar di Lantai”. Isinya m engenai kunjungan kerja Kakanwil Depdikbud J awa Tengah disertai Kabagren Kanwil Depdikbud J awa Tengah untuk m em antau pelaksanaan penataran P4 di Kabupaten Grobogan, Blora, dan Rem bang sehari sebelum nya. Dalam kunjungan ke SMP 5, yang m erupakan penjelm aan STN 1 Blora, m ereka m endapati anak-anak (160 orang) belajar di lantai, dalam gedung yang “keadaannya sudah sangat m em prihatinkan”. Keadaan itu disebabkan karena tanah di atas gedung tersebut sedang m enjadi sengketa. Kepala Sekolah SMP 5 Blora m enyatakan bahwa tanah dan gedung itu sebenarnya m ilik Yayasan Budi Utom o, nam un tiba-tiba pada 1982 muncul sebuah sertiikat atas nama H. Mhd. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata ada unsur kerjasam a antara pihak agraria dengan Mhd. J uga “dalam sertiikat itu ternyata ada kalimat yang bekas ditipp-ex”. Luas tanah dalam sertiikat itu disebutkan lebih-kurang satu hektar ha, yang diperkirakan lebih luas dari tanah aslinya. Di sam ping

www.facebook.com/indonesiapustaka

402

Bersama Mas Pram

itu jangka waktu permohonan dan turunnya sertiikat hanya terpaut satu hari. Kakanwil Depdikbud J awa Tengah m enyatakan, tanah dalam sengketa itu harus segera diselesaikan. “Kalau m em ang itu m ilik H. Mhd. hendaknya dapat diselesaikan di pengadilan. Nam un, anehnya pihak yang m em iliki itu kok tidak m au diajak ke Pengadilan, apa sebabnya,” kata Kakanwil. Sem inggu kem udian, 31 J uli 1993, m uncul berita yang sam a di Suara Pem baruan. Ada tam bahannya, yaitu, katanya, di depan sekolah itu oleh yang m erasa m em ilikinya, yaitu Keluarga Parm oedya Ananta Toer, dipasang papan yang m enyebutkan bahwa tanah tersebut adalah m ilik Mashoedi dengan HM No. 395. Kakanwil Depdikbud dengan tegas m enyatakan bahwa berdasarkan ile di Kandepdikbud Kabupaten Blora, tanah dim aksud ada dalam penguasaan Depdikbud. Anehnya, ia juga m engatakan: “Kam i berharap apabila keluarga Pram oedya Ananta Toer tidak berkeberatan, akan lebih berm anfaat apabila tanah tersebut dipakai untuk penyelenggaraan pendidikan seperti sekarang ini. Nam un apabila tidak rela, dipersilakan m enyelesaikan secara hukum di pengadilan.” Ditam bah dengan kalim at: “Depdikbud juga m em iliki data atas pem ilik itu.” Bertahun-tahun Mas Pram m elakukan klipping untuk m enyusun “Ensiklopedi Kawasan Indonesia”. Berita dem ikian tentu tidak akan lolos dari pandangannya. Kam i berem pat— Mbak Is, saya, Coes, dan Coek—langsung diundang di rum ahnya untuk m em bahas berita tersebut. Rapat diadakan em pat hari sesudah pem uatan berita oleh Suara Pem baruan, yaitu pada 4 Agustus 1993, pukul 0 7.15 sam pai pukul 0 8.45.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Seperti dapat diduga, suara Mas Pram sangat dom inan dalam rapat ini, karena dialah yang m erasa paling terpojok oleh berita itu, sehingga rapat m enghasilkan putusan-putusan sbb.: 1. Menyetujui konsep surat kepada Redaksi Suratkabar Suara Kary a, J l. Bangka Raya No. 2, J akarta 12720 (terlam pir). 2. Menyetujui m engirim kan surat tersebut beserta kliping beritanya kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI disertai surat pengantar yang isi pokoknya: “Apabila pada pihak Pem erintah RI ada keinginan untuk berdialog guna m endapatkan inform asi lebih lanjut m engenai isi surat tsb. kam i bersedia untuk m enerim anya.” 3. Menyetujui m engirim kan surat tersebut beserta kliping beritanya kepada pers nasional dan m ereka yang berkepentingan dalam jum lah 10 0 lem bar, yang harus sudah siap tanggal 5 Agustus 1993. 4. Khusus m engenai sikap terhadap tanah dan bangunan. 1). Kam i rela m enyerahkan tanah itu kepada Pem erintah RI, selam a tanah itu dipakai untuk kepentingan pendidikan. Bila tidak, tanah harus diserahkan kem bali kepada kam i. Untuk kepentingan tersebut Pem erintah m enyerahkan sertiikat kepada kami. 2). Apabila tanah itu dim anfaatkan oleh Pem erintah RI, m aka nam a M. Toer harus dicantum kan dalam penam aan lem baga yang m engelolanya. Adapun caranya, dapat dirundingkan lebih lanjut. 3). Bahan bangunan M. Toer (5 kelas) supaya ditim bun di rum ah alm . M. Toer di J l. Sum bawa 40 , Blora, karena ba-

403

www.facebook.com/indonesiapustaka

404

Bersama Mas Pram

ngunan itu didirikan oleh ayah kam i. Adapun bangunan Dr Soetom o (2 kelas), terserah kepada Pem erintah RI cara penggunaannya. 4). Bahwa ada orang yang m engaku punya hak atas tanah tersebut, itu m enjadi tanggungjawab yang bersangkutan. 5). Apabila pihak Pem erintah RI m enghubungi Keluarga Toer, m aka Rapat Keluarga Toer m enyerahkan kebijaksanaan dialog dalam m asalah ini kepada Pram oedya Ananta Toer dan Koesalah Soebagyo Toer. 5. Laporan tentang Keputusan Rapat Keluarga Toer ini disam paikan secara tertulis kepada sem ua peserta, dan juga kepada Prawito Toer (Walujadi Toer) dan Oem i Safaatoen Toer (Ny. Mashoedi). Surat ini saya tandatangani, sedangkan surat kepada Redaksi Suara Kary a ditandatangani oleh Mas Pram dan saya. Isinya penjelasan tentang asal-usul sekolah Instituut Boedi Oetom o (IBO), seperti saya tulis dalam “Kasus Tanah STN 1” bagian 1. Itu sungguh pekerjaan yang m endesak dan kilat. Kepada saya hanya diberikan waktu sehari, m aka hari itu juga saya harus m ulai bekerja, sehingga esoknya sem ua pekerjaan dapat ram pung. Saya ingat, saya antarkan sendiri surat itu ke Suara Kary a dan Suara Pem baruan. J uga surat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Lain-lain saya sam paikan langsung atau per pos. Dan bagaim ana reaksi pers dan pejabat, terutam a Suara Kary a, Suara Pem baruan, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan? Sunyi-senyap!

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

www.facebook.com/indonesiapustaka

Sebaliknya sayup-sayup kam i dengar kem udian, tanah STN 1 atau SMP 5 “dihibahkan” kepada Pem erintah dalam sebuah upacara oleh Mas Di tanpa pem beritahuan secuil pun kepada pem beri kuasa atau kepada siapapun di antara kam i. Term asuk kepada Mas Wiek yang tinggal di Blora, kecuali barangkali kepada Mbak Oem ! Dan sebagai im balan pelipur lara, di depan sekolah itu didirikan m onum en kecil (sekitar 2 m ) berisi potret bapak kam i, Toer, dengan kata-kata: “Monum en Pendidikan Mastoer Im am Badjoeri Pendiri Sekolah Boedi Oetom o Tahun 1922 Blora”, yang kem udian diprotes oleh Mas Pram dalam surat kepada J aap Erkelens tanggal 20 J uli 1994. (Lihat Lam piran 4)

405

www.facebook.com/indonesiapustaka

Memperingati 100 Tahun Bapak Toer

BAPAK KAMI, Toer, lahir tahun 1896, dan m eninggal tahun 1950 . Saya sem pat m enangi 15 tahun, tapi karena Bapak jarang saba rum ah, kam i jarang bertem u, dan oleh karena itu jarang bergaul. Mem ang antara Bapak dan kam i terbentang jarak ratusan kilom eter, itulah sebabnya kam i praktis tak m engenalnya. Ketika saya dalam tahanan, baru tertanya dalam hati saya, apa yang saya ketahui tentang bapak saya. Saya m alu m engakui bahwa tidak banyak yang saya ketahui. Untunglah, waktu saya berada di Blok Q, Oom Dig berada di Blok R yang berbatasan, jadi tiap pagi sehabis sem bahyang subuh, saya bisa “m em erhor”, m em eriksa, Oom Dig di atas tem bok pem batas yang tingginya 2,5 m itu. Dari Oom Dig untuk pertam a kali saya m endengar riwayat bapak saya. Tapi satu sum ber saja tentunya tidak cukup. Maka saya pun m encari-cari, barangkali di antara tahanan ada yang pernah m engenal bapak saya. Yang nam anya Pak Kasah, bekas m antri polisi tahun 30 -an, ternyata pernah bertem u m uka dan berbicara dengan bapak saya dalam suatu pertem uan guru.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Begitu pulang dari tahanan, segera saya hubungi saudara, pam an-bibi, saudara sepupu, rekan-rekan Bapak, baik guru m aupun rekan separtai dan seperjuangan, lisan m aupun tertulis. Hasilnya saya catat, saya banding-bandingkan, saya susun, saya saling lengkapkan. Beruntung Pak Barsah, adik Bapak di atas bungsu, m asih ada, sehingga saya dapat m elayangkan surat pertam a (31 Agustus 1978, sebulan sesudah saya pulang) dengan tak kurang dari 21 pertanyaan, dan dijawab. Surat berikutnya (4 Oktober 1978) dengan tak kurang dari 23 pertanyaan, dan berjawab juga. Diseling dengan kedatangan saya secara langsung ke rum ahnya di J alan Halm ahera 28, Blora, dan bicara tentang asal-usul Bapak, yang kalau dirunut terus akhirnya sam pai pada raja Majapahit Brawijaya terakhir (yang tidak saya percaya). Saya m asih sem pat bertem u dengan Haji Askandar Anwar, Pensiunan Naib Kandat, Kediri, yang waktu itu sudah bongkok udang, sudah tuli, dan m engaku sudah usia seratus kurang tiga tahun, tapi tahun Hijrah. Ia m engaku dua tahun lebih tua daripada Bapak, tapi tem an sekolah di sekolah desa partikelir di Plosoklaten, Kediri, dan ketika di Kandat dibuka Sekolah Angka Loro, m ereka pindah ke Kandat dan belajar bersam a sam pai tam at, dan Bapak m eneruskan belajar di sekolah guru di Yogya. Saya m asih sem pat m enem ui Bu Hadisasm ito, adik perem puan Bapak, yang tinggal di Ngadiluwih, Kediri, yang dapat bercerita tentang kebiasaan Bapak m em endam ubi dalam abu panas dan kem udian m enghadiahkannya kepada pem bantu. J uga kesukaannya m em borong m ercon waktu liburan sekolah guru di Yogya, dan m em asangnya dalam lubang galian tanah. Saya sem pat m enem ui Bu Salam ah, adik tiri ibu saya,

407

www.facebook.com/indonesiapustaka

408

Bersama Mas Pram

yang dapat bercerita tentang “kisah cinta” bapak dan ibu saya, tentang betapa Bapak rajin sem bahyang sebelum dapat Ibu, tapi m elalaikannya sam asekali sesudah itu. Saya sem pat beberapa kali bertem u dengan Haji Sodik di Desa Kam olan, Blora, rekan guru Bapak, yang bercerita bahwa Bapak adalah Islam Syech Siti J enar, tapi pernah m engislam kan orang Kristen, yang sesudah itu m enjadi ketua pertam a PNI Cabang Blora dan kem udian digantikan oleh Bapak. Haji Sodik juga yang m enyatakan bahwa ketika pem erintah Hindia Belanda m engeluarkan Wilde Scholen Ordonnantie, sekolah IBO (Instituut Boedi Oetom o) m em bentuk panitia untuk m enentangnya dengan ketua Bapak, m engadakan rapat protes dengan pem bicara Bapak dan Haji Sodik, walau m enghadapi ancam an penjara dua tahun. Saya sem pat bertem u dengan Pak Suripan, rekan guru Bapak di SMP, yang m enyatakan bahwa waktu Belanda m enduduki Blora, Bapak diangkat m enjadi guru SMP Blora, sekaligus diterim a oleh luar. “J adi Pak Toer waktu itu sekaligus m enjadi orang dalam dan orang luar. Dialah satu-satunya orang yang dapat m em enuhi syarat itu: diterim a di dalam dan di luar,” kata Pak Suripan. Um um m engetahui, karena sudah sering disinggung oleh Mas Pram sendiri dan diabadikan dalam koran, m ajalah, atau buku, bahwa Mas Pram dendam kepada Bapak karena perlakuannya yang dinilai Mas Pram tidak adil terhadapnya. Terutam a waktu ia disuruh m engulang belajar di kelas tujuh, padahal ia sudah dinyatakan tam at, dengan kata-kata: “Anak goblok. Sana kem bali!” Dan ketika sepulang dari Surabaya, di Blora ia bercerita kepada Bapak tentang apa-apa yang dia ketahui di Surabaya, Bapak m engatakan: “Ah, kam u tahu apa!”

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Walaupun dem ikian Mas Pram tetap m em banggakan Bapak. Ia berjanji kepada diri sendiri akan berlaku baik terhadap anak-anaknya nanti. Selanjutnya dikatakannya, sekiranya tinggal di kota besar, Bapak pasti m enjadi tokoh. Menurutnya, Bapak telah banyak berbuat dan berjasa bagi m asyarakat Blora khususnya. Ia bertanya, siapakah yang lebih berjasa daripada Bapak? Tidak adil bahwa jasa itu kini dilupakan oleh m asyarakat, dan orang tak m engenal nam anya. Tentang kegiatan saya m engum pulkan bahan tentang Bapak itu saya sam paikan kepada Mas Pram , di sam ping kepada saudara-saudara yang lain. Karena itu, dalam rapat tanggal 15 Septem ber 1985 di Blora sesudah m eninggalnya Mbak Koen, Mas Pram m engusulkan dan diterim a oleh rapat, agar surat-surat keluarga yang m em punyai nilai sejarah keluarga diserahkan pengurusannya kepada saya. Tanggal 27 April 1986 saya m enulis him buan kepada sanak-saudara, handai- taulan dan tem an seperjuangan Bapak Mastoer untuk m enyum bangkan bagiannya dalam “m enggali kem bali m utiara karya yang pernah ditaburkan oleh Bapak Mastoer di tengah keluarga, sekolah dan m asyarakat Blora”. Tidak heran, ketika saya usulkan kepada Mas Pram untuk m em peringati 10 0 tahun Bapak pada 5 J anuari 1996, ia segera m enerim anya. Surat undangan dia dan saya yang m enandatangani. Dalam surat undangan yang saya rancang itu saya tulis bahwa tujuan peringatan adalah untuk “m engirim doa kepada beliau”, “m engenang riwayat hidup dan jasa-jasa beliau kepada keluarga, Tanah-air, dan bangsa”, “m engungkapkan rasa terim akasih dan syukur kepada beliau atas segala am al baik yang telah beliau perbuat bagi kita sem uanya”, dan “m em perbarui tekad, agar kita sem ua tetap bersatu, m em bantu

409

410

Bersama Mas Pram

dan m em perteguh satu sam a lain dalam m enem puh kehidupan

www.facebook.com/indonesiapustaka

yang sem akin m em prihatinkan dewasa ini”. Hadir dalam acara itu putra-putri Bapak, para m enantu, putra-putri Oom Dig, dan para cucu. Acara penting adalah pem bacaan doa oleh cucu Bapak, Loekito Moham ad, di m ana kelihatan Mas Pram ikut m enadahkan tangan. Diteruskan dengan pem bacaan riwayat hidup singkat Bapak yang telah berhasil saya susun dari lahir sam pai m eninggal, lalu dibacakan berbagai m acam ciptaan Bapak: sajak, tem bang, lagu, konsep pidato, dll. Walau Mas Pram diketahui antikebudayaan J awa, ia sam asekali tidak m enentang pem bacaan dan pelaguan karyakarya Bapak tersebut. Saya am bil bagian dalam m enyanyikan ciptaan Bapak “Wahai ibu dan bapa” (dalam bahasa Indonesia), “Bung-bung pait” (dalam bahasa J awa) dan “Kasusastran” (tem bang m acapat dalam bahasa J awa). Hasil kom unikasi saya dengan sem uanya itu kem udian saya susun dalam bentuk dua naskah: “Mastoer: Bahan Riwayat Hidup” (1996) dan “Mastoer Bapak Kita” (1996). Naskah kedua itu kem udian m enjadi salah satu bahan Prof. Dr Teeuw untuk m enyusun buku Pram oedy a Ananta Toer: De verbeelding van Indonesië, yang kem udian oleh Pustaka J aya diterjem ahkan m enjadi Citra Manusia Indonesia dalam Kary a Sastra Pram oedy a Ananta Toer.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Memperingati 95 Tahun Ibu Oemi Saidah

DELAPAN TAHUN berlalu, tahun 20 0 3, sebelum akhirnya terpikir oleh saya untuk juga m engadakan acara m engenang ibu kam i Oem i Saidah. Kenapa sam pai sedem ikian lam a? Mungkin karena tidak ada secuil pun catatan tertulis tentang Ibu. Ini sangat m engherankan, dan juga m engecewakan. Dari Ibu Salam ah (yang biasa kam i panggil Bu Liek, adik tiri Ibu) saya m endapat keterangan bahwa Ibu belajar di HIS Rem bang. Itu saja sudah m enunjukkan bahwa harus ada dokum en tertulis tentang dia. Bahkan dokum en tentang kelahirannya pun tentunya ada. Apalagi ia putri penghulu. Bapak, yang waktu itu m enjadi guru HIS Kediri pindah m engajar ke HIS Rem bang, m endengar dari rekan guru di Kediri yang m engajar di HIS Rem bang tentang putri penghulu Rem bang, Haji Ibrahim , yang waktu itu belum tam at HIS. Bapak terpesona m endengar cerita itu, dan bertekad m enjadi m enantu Haji Ibrahim . Ia pun m inta dipindahkan ke Rem bang dan m enyewa paviliun Haji Ibrahim . Setam at HIS, Ibu sebetulnya m asih ingin m elanjutkan belajar di Van Deventerschool di Sem arang. Bapak setuju m em biayai pendidikannya, tapi direktris sekolah m enolak, karena Bapak bersedia m em biayai hanya

www.facebook.com/indonesiapustaka

412

Bersama Mas Pram

sam pai kelas dua. Kebetulan istri keem pat Haji Ibrahim (ibu saya anak dari istri ketiga Haji Ibrahim ), jadi nenek tiri saya, nam anya Azizah, ingin segera lepas dari anak tiri. Maka ibu saya “dipaksa” kawin dengan bapak saya tahun itu juga. Kalau dihitung bahwa anak m ulai m asuk HIS usia 7 tahun, m aka ibu waktu itu baru berusia 14 tahun. Masih terlalu m uda m em ang. Tapi ini praktik yang um um waktu itu. Kejadian itu, m enurut Bu Liek, berlangsung tahun 1922, jadi dapat disim pulkan ibu lahir “kira-kira” tahun 190 8. Ini pun tentunya ada dokum ennya. Ketika Ibu m eninggal tahun 1942, Mbah Azizah datang dari Rem bang (Mbah Kakung Haji Ibrahim sudah m eninggal tahun 1928). Saya ingat (usia saya 7 tahun waktu itu), Mbah Azizah m arah-m arah sepanjang hari, terutam a terhadap Mas Pram . Segalanya tak beres diurus! Belakangan Mas Pram m em benarkan hal itu dalam percakapan dengan saya. Dan baru sekarang terpikir oleh saya, m ungkinkah waktu itu Mbah Azizah m engam bil dan m enyim pan segala dokum en tentang Ibu, entah dengan alasan apapun? Kalau itu tidak sejalan dengan faktanya, m ungkinkah salah seorang saudara saya yang m enyim pannya, Mbak Oem m isalnya, entah dengan alasan apapun juga, karena Mbak Oem lah yang paling m em egang peranan dalam m engelola rum ah itu sesudah Ibu m eninggal? Dan kalau itu pun tidak sesuai dengan faktanya, m ungkinkan pernah terjadi force m ajeure yang m enjadi penyebab lenyapnya segala dokum en itu? Kalau ya, apakah bentuknya? Sungguh tak terbayangkan oleh saya, apa itu. Ketika gagasan ini saya sam paikan kepada Mas Pram di rum ahnya yang baru di Bojong Gede, Bogor, ia langsung m enyetujuinya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

“Adakan saja. Aku yang nanggung biayanya,” katanya. Dan seperti biasa, ia lalu m engulang cerita tentang Ibu. “Ibu kita itu sangat m enderita. Perkawinan dengan Bapak itu kan kawin paksa. Sem uda itu. Dan sem ua ditanganinya sendiri. Dari seorang yang pegang sapu pun tidak boleh, sam pai m em buat kecap, m em erah susu, dan m encangkul! Sam pai buka warung! Bapak tidak pernah m au tahu. Asal ada orang m enitipkan anaknya untuk dididik, diterim a! Dan tidak ada yang bayar, karena m em ang anak orang m iskin. Nanti yang m enanggung Ibu: m akannya, pakaiannya, dan segalanya...,” m ulainya. Dan karena m ulai bercerita tentang Ibu, orang yang paling dicintai dan dihorm atinya itu, tak dapat lagi ia m em bendung em osinya. Ia m enangis, m engibas-ngibaskan wajahnya agar tak kelihatan tangisnya. “Hebatnya, dalam keadaan m elarat seperti itu, dia anjurkan aku belajar di Eropa!” sam bungnya. Pendek kata, saya juga yang m enjadi panitia penyelenggara acara itu. Keluarga Toer sudah m enjadi sekitar 80 orang. Sem ua saya hubungi. J uga keluarga sem ua putra-putri Oom Dig, Pak Barsah, Bulik Am ilah (adik kontan Bapak) dan... tem an m ain saya di m asa kecil, yang sekarang ternyata tinggal di Depok, Rigno, walau tidak sem ua bisa m eluangkan waktu. Dari Blora cum a Mas Wiek yang tak bisa datang, dari Surabaya datang Dik Wirjatoen (Bu Opiet) sesaudara, dari Belitung putra Bulik Am ilah yang bernam a Abdoel Kahar berjanji akan datang, tapi tiba pada waktunya ternyata berhalangan. Dan tem an saya Rigno ternyata juga berhalangan datang. Untuk acara itu Mas Pram m enam bah kursi duduk beberapa set dan m em bangun kem ah beberapa biji di halam an,

413

414

Bersama Mas Pram

dan m enyediakan alat m usik (organ) yang ditangani oleh

www.facebook.com/indonesiapustaka

m enantunya, Gunawan (suam i Rita). Saya m em buka acara dengan m enguraikan riwayat hidup Ibu Oem i Saidah. Mas Pram m enyusul berbicara tentang Ibu, m engulangi apa-apa sudah sering ia tuliskan dan bicarakan, nam un tetap aktual. Kem udian dalam rangkaian acara itu dibacakan juga cuplikan tulisan Mas Pram tentang Ibu dari buku Ny any i Suny i Seorang Bisu oleh cucu saya, Piranti Dyari Asha (biasa dipanggil Asa). Sam butan berturut-turut oleh wakil keluarga yang hadir, dan ditutup dengan pem bacaan doa yang dipim pin oleh Loekito Moham ad. J adi sem purnalah acara m em peringati 95 tahun Ibu Oem i Saidah yang m encurahkan perhatian pada peranan ibu dan perem puan um um nya bagi perkem bangan peradaban dan kebudayaan m anusia, di m ana seorang ibu harus berilm u, teram pil, bijak, kuat, tabah, dan banyak kualitas lain lagi.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Coes Pindah ke Blora

COES BEBERAPA waktu lam anya tinggal di J akarta. Sepulang dari tahanan (1978) ia kawin dengan seorang anak tem an setahanan, tapi gagal. Mem ang di kalangan bekas tahanan G30 S terlalu banyak m asalah kalau dibandingkan dengan di kalangan rum ahtangga yang biasa. Sudah saya ceritakan, betapa berat ia m encari penghidupan. Karena m erasa bangkrut dalam usahanya, ia m engundurkan diri ke Blora, beternak ayam . Tak lam a kem udian ia kem bali ke J akarta. Berkat keuletannya, ia berhasil m em iliki sepetak tanah dengan rum ahnya di Kranji, J akarta Tim ur. Ia m enikah lagi serta dikaruniai seorang anak lelaki ketika usianya sudah di atas 50 tahun. Sesudah terpaksa m engundurkan diri dari Untag, ia hidup dari m em buka warung kecil-kecilan, walau pendidikannya telah m em berikan kepadanya gelar doktor ilm u ekonom i. Tapi dinam ika kehidupan J akarta m em buat tanahnya digusur. Dengan cara ulet juga ia berhasil m em peroleh ganti rugi yang pantas, sehingga akhirnya terbuka kem ungkinan baginya untuk m engam bil pilihan: tetap tinggal di J akarta atau m undur ke Blora. Sebagai ekonom ia terbiasa m enghitung

www.facebook.com/indonesiapustaka

416

Bersama Mas Pram

untung-rugi dan arus uang. Dan begitulah, akhirnya ia m em ilih bersam a keluarga tinggal di Blora, di rum ah warisan. Itu terjadi tahun 20 0 4. Keputusan ini m enjadi blessing in disguise buat kam i, sebab walaupun kam i kehilangan dia di J akarta, kehadirannya di Blora m enjadi penawar hubungan kam i dengan Mas Wiek dan juga penawar hubungan pem beri kuasa dan yang diberi kuasa. Dan yang penting juga, dengan hadirnya Coes di Blora, perasaan Mas Pram terhadap Blora m enjadi pulih kem bali. Mas Pram pergi ke Blora untuk bernostalgia, sekalipun biasanya ham bar, karena tidak ada lagi orang yang dikenalnya, walau di dunia kepengarangan ia dikenal baik. Mas Pram berjalan-jalan di kota Blora seperti anak hilang di tengah pasar m alam yang tak dipedulikan oleh siapapun. Nam un ada yang penting dalam kunjungan itu, yaitu m enyekar Ibu, Bapak, dan Mbah Satim ah, prototipe Gadis Pantai itu, yang m erupakan kekhidm atan tersendiri baginya. Lain-lain, walau ditaburinya bunga, kiranya hanya sebagai pelengkap. Untuk m enyekar sejauh 650 km itu ia kadang harus m enginap di hotel sekeluarga, karena di rum ah warisan tidak ada sarana. Dan m akanan di m asa kecil pun tak lagi begitu diinginkannya. Untuk sarapan, ia tidak bisa lagi m enikm ati kue serabi, m elainkan roti berlapis m entega dan gula pasir sebagaim ana ia sudah terbiasa berpuluh tahun di J akarta. Dan ketika kebetulan pabrik roti tak beroperasi karena listrik m ati, ia pilih tidak m akan sarapan daripada m anyantap m akanan lainnya. Untuk m akan siang, ia tak m enginginkan tahu-lontong atau sate kam bing yang m erupakan m akanan khas Blora, m elainkan cukup superm i ditam bah sayuran yang diram u sendiri. Untuk m akan m alam ia tak m enginginkan soto atau rawon, m elainkan cukup m engulangi superm i siang tadi.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Walau dem ikian, tarikan ke Blora itu rupanya m akin lam a m akin kuat juga, sam pai akhirnya terbentuk keputusannya untuk m em bangun paviliun, sebagian di antaranya dengan bahan dari sisa-sisa kayu jati yang tadinya m em bentuk dapur. Itulah dapur dan gudang, bagian dari rum ah yang dibangun Bapak tahun 1925. Cukup besar, bahkan boleh dianggap sebagai rum ah tersendiri. Di m asa revolusi, dapur dan gudang itu pernah am bruk karena tak terawat, tapi kayu jatinya m asih tetap utuh. Gagasan pokok tentu saja dari dia, tapi perancang dan pelaksana Coes. Coes yang biasa otak-atik akhirnya berhasil m em bangun paviliun dengan kam ar tidur, kam ar tam u, beranda, dan kam ar belakang. Di situlah akhirnya Mas Pram suka m enginap dengan keluarga, m enerim a tam u, para pem uda pengagum nya yang sem entara itu m ulai terbentuk di Blora. Ia tidak m em perm asalahkan tanah STN 1 lagi. Ia bahkan pernah m endatangi sekolah itu (yang sudah m enjadi SMP 5) dan m enghadiahinya dengan buku-bukunya. Ia rupanya sudah berdam ai dengan m asa lalunya, m asa lalu yang keras terhadap dirinya, nam un kekerasan yang tiap kali berm etam orfose sebagai karya sastra yang m enghilham i siapapun pem bacanya. Perdam aian itulah yang tiap kali m engantarkannya berkunjung kem bali ke Blora. Guncangan m obil yang paling halus pernya pada m obil Ford yang sengaja dibelinya m em buat pantatnya yang sudah tepos lecet-lecet, dan itu tetap ditem puhnya dengan m em enuhi saran seorang tem an, yaitu m engganjal jok m obilnya dengan ban m otor Vespa. Dan dem ikianlah, kadang-kadang dua kali sebulan ia ke Blora, kota yang sangat dicintainya dan pertam a kali m engilham inya untuk m enulis.

417

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram Gelisah

MAS PRAM tam pak gelisah tiap kali saya jum pai. Dan bukan hanya tam pak, ia pun m engungkapkannya dengan kata-kata: “Aku gelisah saja belakangan ini!” Waktu saya m enjenguknya bersam a Harsutejo pada 20 J uni 20 0 6, ia pun m engulangi katakata itu. Itulah, saya hitung, sudah kelim a kali ia m engucapkan kalim at itu. Dan selam anya kata-kata itu tak saya tanggapi, seolah-olah saya tak m endengar apa-apa. Apalah yang bisa saya katakan tentang itu? Terpikir oleh saya apakah ini sudah bulan-bulan, m inggum inggu, atau bahkan hari-hari terakhirnya? Tertanya juga pada saya, apakah yang m em buatnya gelisah. Apa karena di m asa revolusi ia pernah m endatangi dukun yang m em buatnya kebal, seperti saya singgung dalam Pram oedy a Ananta Toer dari Dekat Sekali. Ada kepercayaan pada orang J awa bahwa orang yang m em iliki “ilm u kebal” akan susah m eninggal dalam sekaratnya. Untuk m enghentikan penderitaannya ia harus disabet dengan daun kelor. Itu cum a bayangan saya, seperti sering saya dengar dari orang yang tahu. Tapi kalau bayangan saya ini benar, tentunya ada keengganan pada

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

Mas Pram untuk m em bicarakan m asalah yang dapat disebut gugon tuhon (takhayul) itu. Dan lagi dalam satu kesem patan ia pernah m engatakan tertusuk paku, dan ternyata m erasakan nyeri juga. Tapi yang m engharu-biru pikiran saya justru bukan itu, m elainkan bagaim anakah saya m esti m enem patkan diri, dan bagaim ana kelakuan saya sebagai adik lelakinya, sekiranya Mas Pram nanti akhirnya m engem buskan napas terakhir. Sam pai-sam pai keluar ucapan saya kepada istri: “Aku ora isa m bay angke, piy e polahku upam a Mas Pram seda!—Saya tak bisa m em bayangkan, bagaim ana tingkah-polah saya sekiranya Mas Pram m eninggal!” Mendengar kata-kata saya itu, istri saya tak berkom entar sam asekali. Tidak seperti biasanya. Tentu karena ia pun m em bayangkan peliknya m asalah itu. Eee, sem inggu kem udian, Kam is, sesudah saya m enengoknya di Bojong Gede, datang berita telepon dari Titiek bahwa Mas Pram dirawat di Rum ah Sakit St. Carolus. Karena berita itu sudah m alam , saya putuskanlah untuk m enengok esok harinya, J um at tanggal 28 J uni 20 0 6. Saya sudah pernah m enjenguk Mas Pram yang dirawat di rum ah sakit ini juga beberapa tahun sebelum nya, tapi kali ini ia dirawat di unit gawat darurat di bagian belakang rum ah sakit. Ketika saya sam pai unit di tingkat dua itu, sudah banyak orang berkerum un. Sem ula saya tak bisa m em bedakan wajah siapa saja itu, tapi sesudah saya am at-m ati, ternyata terutam a anak-anak, m enantu-m enantu, dan cucu-cucu. Banyak juga orang lain, term asuk wartawan, tersebar di ruangan yang cukup lapang. Saya jum pai adik Mbak Pram , Mbak Nonong, yang saat itu pun ada di tengah penjenguk. Tidak lam a kem udian keluar Yudi, anak bungsu Mas Pram , dari ruangan, dan m engajak saya m asuk ruangan.

419

420

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Masuk ruangan harus lepas sepatu dan m engenakan khalat putih. Di ujung terjauh ruangan, Mas Pram m em bujur di bawah selim ut dengan napas tersengal-sengal. Mbak Pram duduk di kursi dekat kakinya, di kiri-kanan kepala duduk juga di kursi: Rita dan suam inya, Gunawan. Rita m em bacakan SurahYasin dengan suara lirih, sedangkan Gunawan m em bisikkan kalim at Sahadat ke telinganya sayup-sayup sam pai. Sem entara itu Titiek dan suster datang dan pergi, sesekali m enengok layar m onitor di atas. Suasana dengan dem ikian sudah suasana m ati. Selam a setengah jam saya berdiri tegak di situ, tidak satu gerak pun diperlihatkan Mas Pram selain dada yang naik-turun sedikit seiram a dengan sem buran napas yang sesak dan sedotan napas yang juga sesak. Rupanya ada dahak yang m enghalangi pernapasan itu. Terbayang oleh saya saat-saat terakhir Bapak tahun 1950 yang juga terhalangi dahak yang akhirnya m engunci sam asekali aliran udara. Terngiang di telinga saya ucapan Mas Pram sendiri: Sejak lahir m anusia sudah dijatuhi hukum an m ati. Tiap m anusia wajib lahir dulu, sudah itu wajib m ati. Dan kalau sudah saatnya m ati, sem angat baja setebal tujuh sentim eter pun tidak m am pu m enolong, apalagi orang-orang awam seperti saya, yang hanya bisa m em perhatikan dan m encoba m eresapi m akna sem ua itu. Maka di ujung waktu yang setengah jam itu saya pun keluar ruangan, dengan harapan ham pa agar Mas Pram disem buhkan kem bali. Dan m em ang dalam hati saya m erasa bahwa Mas Pram bisa m encapai um ur lebih panjang lagi. Saya pun m enjum pai sanak-saudara dan tem an-tem an yang bersim pati kepada Mas Pram .

www.facebook.com/indonesiapustaka

Meninggalnya Mas Pram (1)

J AKARTA, 16 J uli 20 0 6 Sehari sebelum Mas Pram m eninggal terjadi kekisruhan, karena Radio Utankayu m em beritakan telah m eninggalnya Mas Pram hari itu, dan orang pun berduyun-duyun m engucapkan belasungkawa lewat internet. Menyusul em ail Hersri Setiawan: “Berita Pak Pram m eninggal tidak benar, saya, Hersri Setiawan, siang tadi m enjenguk Pak Pram m asih bisa dengan segera m engenali saya, dan m eneriakkan nam a saya. Baru saja saya m enelepon ke keluarga Pak Pram , berita wafatnya Pak Pram tidak benar, m em ang benar Pak Pram tidak di RS lagi, sekitar pukul 19.0 0 tadi dibawa pulang ke rum ah (lam a) di J alan Multikarya Utankayu J akarta.” Bung Waluyo dari Paris pun m engirim em ail kepada saya: “Ini berita berseliweran begini… harap ada penjelasan.” Mas Pram m eninggal tanggal 30 April 20 0 6 hari Sabtu pagi, pukul 08.55. Kami sekeluarga mendapat konirmasi tentang dia pagi itu juga lewat telepon, dan segera bersiap untuk berangkat ke Utankayu. Pukul 0 9.0 0 kam i berangkat. Agar cepat, kam i bertiga (bersam a istri dan Uliek) am bil taksi dari

www.facebook.com/indonesiapustaka

422

Bersama Mas Pram

J alan Kedondong, Depok. Ternyata terjadi kem acetan parah di Tanjung Barat, sehingga baru sam pai di tem pat sekitar pukul 11.0 0 . Sudah banyak orang m elayat—keluarga, tetangga, handaitaulan. J enazah sudah dibujurkan di ruang tengah, dikelilingi istri, anak, dan cucu. Sesudah m engheningkan cipta sejenak dan m encium pipinya sebagai tanda perpisahan, dan m engucapkan belasungkawa kepada Mbak dan seluruh kerabat dekat, saya m engajukan pertanyaan kepada Mbak, akan dim akam kan secara apa, dan kapan. Dijawab: Akan dim akam kan secara Islam , m enurut keputusan keluarga, sesudah ashar. Saya ingat, Mas Pram pernah berpesan agar sesudah m eninggal dibakar, dan abunya dibawa pulang. Kepada saya pun ia berpesan dem ikian, dan itu saya catat dalam buku saya Pram oedy a Ananta Toer dari Dekat Sekali. Tetapi karena “keluarga” sudah m enetapkan dem ikian, saya tidak m em persoalkan. Di tengah kesibukan orang m engucapkan belasungkawa, datang penyair Toga Tam bunan bertanya kepada saya di hadapan istri (karena ia sudah m engenal kam i), apakah sudah diatur acara pem akam an. Pem akanan untuk Mas Pram seyogianya diatur dengan baik. “Itu tugas kita,” kata Toga. Saya m em benarkan hal itu. Karena Titiek ada di depan kam i, dan Mbak pun ada di sam ping saya, pertanyaan kam i langsungkan kepada Titiek. Titiek m enjawab, sudah diserahkan kepada Daniel Mahendra, pengagum Mas Pram dari Bandung. Saya m erasa lega. Sem entara itu Toga m enyatakan harus pergi untuk suatu keperluan dan tidak dapat m engikuti acara selanjutnya.

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

www.facebook.com/indonesiapustaka

Para pelayat terus datang berbondong-bondong, keluarm asuk. Sebagian berjubel di seluruh ruang rum ah dari depan ke belakang. Sebagian lagi duduk di lantai, di kursi yang berjajar di halam an, dan di kursi yang juga berjajar di J alan Multikarya II.

423

www.facebook.com/indonesiapustaka

Meninggalnya Mas Pram (2)

J ULI, 17 J uli 20 0 6 Di tengah kesibukan itu m enyerobot serom bongan orang yang kelihatan penting, dengan pengawal m inta segera diantar kepada keluarga. Karena kebetulan saya yang didekati oleh sang pengawal, langsung saja saya antarkan kepada Mbak. Ternyata orang penting itu adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata J ero Wacik. Ia m engucapkan belasungkawa kepada Mbak dll., dan sesudah itu rom bongan m engam bil tem pat duduk di halaman dan mengobrol akrab dengan bintang ilm Nurul Ariin. Sebagai salah seorang kerabat Mas Pram , saya m erasa perlu m enem ani, dan m em perkenalkan diri sebagai adik Mas Pram . Menteri tidak m engajukan pertanyaan apapun selain m enyatakan: “Ooo….” Tentu saja saat itu saya anggap sebagai kesem patan penting untuk m encari inform asi. Saya m em berondongkan pertanyaan kepadanya hingga akhirnya Nurul Ariin sempat undur ke belakang. Isi jawaban atas berondongan saya:

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu

J ero Wacik datang m elayat atas perintah Wakil Presiden J usuf Kalla, berarti resm i m ewakili pem erintah. Sebetulnya ia baru saja pulang dari Kuwait, Tim ur Tengah, untuk acara prom osi pariwisata Indonesia, tapi karena perintah itu, ia langsung berangkat m elayat. Pem erintah tidak alergi terhadap Mas Pram , juga tidak alergi terhadap buku-bukunya. Sekarang ini bukan lagi Orde Baru, tapi Orde Reform asi, jadi tidak m asalah. Mem ang belum ada pencabutan larangan atas buku-buku Mas Pram , tapi buku Mas Pram sekarang bebas diterbitkan, diedarkan, dan dibaca. Tentang kem ungkinan pencabutan larangan, itu m ungkin saja. Percakapan kam i sem pat disela wawancara wartawan. Isi wawancara kurang-lebih sam a. Tam bahannya, ada pertanyaan wartawan: Apakah ada kem ungkinan pem erintah m em berikan penghargaan kepada Mas Pram ? Dijawab: Mungkin saja. Wawancara itu berlangsung sesudah jenazah dim andikan, disantuni, dan kem udian disem bahyangkan. Bicara tentang dirinya, J ero Wacik m engatakan, sejak sekolah m enengah ia sudah m em baca buku-buku Mas Pram . J adi baginya sekarang sebagai pejabat pem erintah, m asalah ini bukan hal baru. Menjawab pertanyaan saya tentang bagaim ana sejarahnya bahwa dari seorang yang tak punya nam a tiba-tiba bisa m enjadi m enteri, Wacik m enjawab, ia lulusan ITB, tapi kem udian bergerak di bidang perhotelan. Dalam kedudukan itu ia berhubungan atau m enjadi anggota Yayasan Toya Bungkah di kawasan Sanur, Bali, yang didirikan oleh alm arhum Sutan Takdir Alisjahbana, dan begitulah sekarang ia m enjadi “Menteri Pariwisata”.

425

426

Bersama Mas Pram

Saya sem pat m engajukan pertanyaan, apa arti nam a Wacik.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Dijawab: Kata wacik berasal dari kata Sanskerta w acika, yang artinya (kalau saya tak salah ingat) m em baca dengan baik. Masih banyak lagi pertanyaan saya padanya, dan sem ua dijawab dengan sim patik. Antara lain tentang alasan m engubah Kem enterian PPK m enjadi Departem en Kebudayaan dan… Pariwisata (!), yang m enim bulkan kesan m enyem pitkan m akna kebudayaan. Sayang, tiba-tiba, sekitar pukul 12.30 !, keranda dipikul ke luar dari am bang pintu depan.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Meninggalnya Mas Pram (3)

J AKARTA, 18 J uli 20 0 6 Saya kaget, otom atis berdiri dan ikut m engiringkan keranda. Beberapa langkah dari pintu depan berkum andang lagu “Internasionale” yang keluar dari tenggorokan sejum lah orang. Sebagai bekas penyanyi koor, saya bisa m erasakan bahwa cara m enyanyinya buruk sekali: tidak serem pak, sebagian fals, dan tidak sam a kata-katanya. Saya ingin tahu, siapa m ereka itu. Saya am ati wajahnya satu per satu. Tak ada yang kenal! J ustru wajah terakhir saya kenal, wajah Chaerul Sjam si. Karena Chaerul Sjam si tem an yang sangat saya akrabi, saya angkat tangan kepadanya sam bil tersenyum , dan ia m em balas tangan saya dengan senyum juga sam bil terus m enyanyi. Saya lihat ia lebih bersem angat m enyanyi. Waktu lagu kedua (yang tidak saya kenal) berkum andang, saya sudah ham pir keluar dari pintu gerbang. Karena pelayat sangat padat, hanya dari jauh saya dapat m elihat keranda dim asukkan ke dalam am bulans dan tak lam a kem udian berangkat.

428

Bersama Mas Pram

Saya hanya ikut arus, dengan tekad ikut m engantarkan

www.facebook.com/indonesiapustaka

jenazah Mas Pram sam pai ke m akam . Pikir saya, nanti kan ada taksi. Massa pelayat bercam pur dengan m obil layatan. Di kirikanan jalan berdirian karangan bunga di atas jagangnya m asing-m asing. Satu-dua orang m enegur saya, sebagian bertanya. Saya jalan terus. Ketika sudah ham pir seratus m eter berjalan, barulah teringat oleh saya istri dan Uliek. Dan baru teringat Menteri J ero Wacik yang tadi saya tinggalkan begitu saja dan kini entah di m ana pula beliau itu. Saya pun berbalik m elawan arus. Di jalan balik itulah saya diseru oleh istri dan Uliek dan dim inta bersam a m ereka ikut m obil Iyang, anak perem puan terakhir Mas Pram . Saya m erasa entah bagaim ana waktu itu; sepertinya jiwa saya tidak ada pada tem patnya. Keluar dari kom pleks Perum ahan Kehakim an dan m asuk J alan Pram uka, am bulans sudah tak tam pak. Mobil-m obil berpacu seperti dikejar setan. Dalam pada itu tidak ada tandatanda yang lazim bahwa itu adalah iring-iringan jenazah; terutam a tidak ada rom bongan pengawal, bahkan tidak ada bendera kuning.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Meninggalnya Mas Pram (4)

J AKARTA, 19 J uli 20 0 6. Sopir cukup teram pil dan tahu lokasi; sem entara itu ia terus m elakukan kontak dengan HP-nya. Karena itu kam i tiba di Perm akam an Karet Bivak lebih dulu daripada yang lain. Baru beberapa saat kem udian m obil am bulans tiba, disusul m obil yang dikendarai oleh Mbak dan anak-anak. Dari jauh saya sem pat m elihat, ketika pintu m obil Mbak terbuka, dari dalam m obil Mbak langsung m elangkah ke dalam got beton. Pinggulnya terbentur beton, tapi saya kagum , ia dapat segera bangkit kem bali dan berjalan bersam a yang lain seperti tak terjadi apa-apa. Acara pem akam an berjalan seperti biasa. Massa tidak banyak, sebagian besar orang m uda. Insan pers sibuk m elakukan peranannya, dan ketika jenazah dim asukkan ke liang lahat, serentak m ereka m enyerbu ke bibir liang, sehingga saya tak m elihat apapun. Waktu itulah sekali lagi berkum andang lagu “Internasionale” dan disusul lagu yang kedua tadi. Saya tak sem pat lagi m em perhatikan apakah penyanyinya sam a dengan penyanyi yang tadi.

430

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Di antara hadirin, saya m elihat Loekito Moham ad di kejauhan. Saya pikir, kalau nanti dim inta sam butan dari keluarga, dia akan saya usulkan. Tapi m alang, ketika hal itu terjadi, yaitu pem im pin acara m em persilakan wakil keluarga m em berikan sam butannya, Loekito tidak saya lihat lagi ada di tem pat. Karena saya tidak m endapat kuasa dari “keluarga” untuk berbicara, saya pun diam saya sam bil lingak-linguk apakah ada seseorang yang tam pil, m isalnya Yudi. Beberapa detik berlalu. Orang-orang ikut lingak-linguk. Tiba-tiba Iyang di depan saya m enoleh dan m engatakan: “Oom Liek saja! Iya, Oom !” Tidak ada kesem patan untuk m enolak atau berkelit. Kalau saya m elakukan itu berarti m em perm alukan keluarga. Maka saya pun tam pil. Saya bicara singkat. Pada pokoknya saya m engucapkan terim akasih kepada para hadirin yang telah sudi ikut m engantarkan Mas Pram dalam perjalanan yang terakhir. Apabila ada kesalahan, baik sengaja m aupun tidak dari alm arhum , supaya dim aafkan. Saya pun m inta kepada m ereka, apabila ada m asalah, apalah bentuknya, supaya berhubungan dengan keluarga. Saya ucapkan juga terim akasih kepada penyelenggara acara, dan di situ saya akhiri sam butan saya. Selanjutnya berlangsung beberapa wawancara dengan pers. Di sela-sela itu saya bertem u dengan Roger Tol dari KITLV, Monique Soesm an penerjem ah salah satu buku Mas Pram , dan Sulistyodewi tem an kuliah di Moskwa dari Negeri Belanda, sam pai hujan m engguyur m akam .

www.facebook.com/indonesiapustaka

Meninggalnya Mas Pram (5)

J AKARTA, 20 J uli 20 0 6 Salah seorang pewawancara m engajukan pertanyaan tentang rencana penyusunan ”Ensiklopedi Kawasan Nusantara” yang diinginkan oleh Mas Pram . (Sebelum nya Mas Pram menyebutnya ”Ensiklopedi Geograi Indonesia”). Saya sempat bertanya dari m anakah wartawan itu, dan dijawab dari televisi, tapi sesudah m encari-cari dikantongnya, ternyata ia kehabisan kartu nam a. Saya sudah lupa dari televisi apa dia. Pertanyaannya saya jawab: Mem ang dalam banyak kesem patan Mas Pram telah m enyatakan bahwa ia m enyusun bahan ”Ensiklopedi Kawasan Nusantara”, dan bahan itu terakhir kali disebutnya sudah setebal lim a m eter. Saya pernah dim inta untuk m enggarap ensiklopedi tersebut dan dim inta m enyusun rancangan cara penggarapannya. Rancangan saya susun dengan tim terdiri atas lim a orang, lengkap dengan pem biayaannya. Tapi sam pai sekarang belum ada realisasi atas rancangan tersebut karena biaya belum ada. Dokum en rancangan itu pasti m asih tersim pan.

432

Bersama Mas Pram

Nam un saya katakan bahwa walau saya pernah di-

www.facebook.com/indonesiapustaka

m inta untuk m enggarapnya dan m enyusun rancangan cara penggarapannya, tidak berarti harus saya yang akan m erealisasikan rancangan tersebut. Hal ini terserah pada ahli waris Mas Pram , yaitu sem ua anaknya. Kam i m enunggu hujan usai, lalu dengan taksi bersam a beberapa wartawan m uda kem bali ke Utankayu untuk ikut m enem ani para tam u yang terlam bat m elayat. Di sana saya diwawancarai seorang wartawati (Ucu?) yang pada 29 April 20 0 6 m alam di Rum ah Sakit St. Carolus juga m ewawancarai saya sesudah Oey Hay Djoen. Wawancara berkisar sekitar keluarga dan kedekatan hubungan saya dengan Mas Pram . Kam i baru pulang dengan taksi ke Depok sesudah pukul sepuluh m alam .

www.facebook.com/indonesiapustaka

Meninggalnya Mas Pram (6)

J AKARTA, 21 J uli 20 0 6 Peliputan pers m engenai m eninggalnya Mas Pram cukup intensif. Koran, radio, TV, dan internet m enyiarkannya. Sebagian hanya m enyatakan ikut berdukacita, sebagian m enulis artikel. Harian Kom pas sam pai tiga kali m enulis. Pernyataan belasungkawa dan tulisan lain lewat internet (terutam a Wahana) m encapai tak kurang dari seratus sum ber dalam beberapa hari. Ada juga m asalah m enonjol yang diajukan, antara lain: Kenapa jenazah diberangkatkan sekitar pukul setengah satu, padahal m enurut inform asi awal sesudah ashar, berarti sekitar pukul 15.15? Kenapa diperdengarkan lagu “Internasionale” (lagu kom unis) dan lagu “Darah J uang” (yang baru saya ketahui dari pem beritaan pers). (Belakangan saya baru tahu bahwa lagu ini adalah lagu Reform asi (1998) dan diciptakan oleh seorang aktivis m uda yang nam a panggilannya Yayak.) Kenapa acara pem akam an tokoh sebesar Pram cum a seperti itu, jelasnya: tidak pantas. Kenapa yang nam anya Daniel Mahendra tidak m uncul? Ada juga kom entar bahwa sam butan wakil keluarga di pinggir m akam begitu lirih sehingga tidak terdengar.

www.facebook.com/indonesiapustaka

434

Bersama Mas Pram

Di internet terjadi debat sengit m engenai relevan tidaknya lagu “Internasionale” dinyanyikan. Masing-m asing pihak m em pertahankan pendiriannya, dan tentu saja tanpa kesim pulan. Ada juga yang m em persoalkan apakah tidak telah terjadi sabotase atas pem berangkatan jenazah ke m akam . Artinya, sabotase itu bisa kasar, dan bisa halus. Yang halus m isalnya dengan m em bisikkan supaya lekas saja diberangkatkan supaya m assa yang lebih besar tidak sem pat berkerum un. Toh jenazah sudah rapi dan sudah disem bahyangkan. Dan lagi, janganjangan turun hujan, karena cuaca tam pak m endung. Apapun bisikan bisa terjadi, dan keluarga bisa m em benarkan, dan itulah pangkal segalanya. Saya berusaha m endengarkan sem ua reaksi itu dengan tenang. Alasan saya: Saya m em ang adik Mas Pram , tapi ada pihak yang lebih berhak untuk m engam bil keputusan, yaitu Mbak dan anak-anak Mas Pram . Dan m ereka m em ang sudah m engam bil keputusan tanpa keikutsertaan saya, antara lain: (1) Waktu dokter St. Carolus bertanya apakah akan dipasang alat untuk m engeluarkan dahak yang m engganggu di tenggorokan, m ereka m em utuskan untuk tidak m em asangnya. (Menurut keterangan Rina, itu adalah keputusan pertem uan yang dihadiri oleh 11 orang. Dapat diduga m ereka adalah Mbak, anak-anak, m enantu, dan entah siapa lagi.) (2) Ketika Mas Pram sudah m eninggal, m ereka m em utuskan untuk m em akam kannya secara Islam , karena segan kepada keluarga (besar) dan kirikanan. (3) Mereka m em utuskan untuk m em akam kannya sesudah ashar. Saya m enganggap sem ua itu sudah betul. Karena itu saya bersikap m enahan diri dan tidak bercam pur tangan agar tidak m engeruhkan suasana.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Pribadi Soesilo Toer

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

Dongeng Lain tentang Mas Moek

TIAP KALI m am pir ke rum ah Mbak Oem aku selalu berusaha m encari cerita m asa lalu keluarga Toer. Alasanku jelas, pengetahuanku tentang keluarga ini sangat m inim . Yang m asih kuingat, m enurut Mbak Oem , Mas Moek yang selam a ini dikenal sebagai anak pertam a pasangan Toer dan Oem i Saidah sebenarnya tidaklah benar dem ikian. Setidaknya, Mas Moek adalah anak pertam a yang hidup, tapi bukan anak pertam a yang lahir dari pasangan tersebut. Bahkan m enurut pendapat Mbak Oem , bisa jadi Mas Moek adalah anak ketiga. Hal itu didasarkan pada tahun pasangan itu m enikah. Biasanya, hanya dalam beberapa bulan istri sudah berisi. Itu pertam a. Kedua, m enurut pengalam an Mbak Oem pribadi, ia pun sudah “tok-cer” hanya dalam waktu satu setengah bulan. Isi lagi, dan keguguran lagi dalam waktu enam bulan. Baru kem udian lahir bayi pertam a yang hidup. Di sam ping itu, Mbak Oem pun m em antau perkem bangan keluarga Mbak Koen, yang m enurutnya lebih parah lagi. Setahun bisa keguguran tiga kali. Ia m enam bahkan, orangorang yang sakit justru doyan dan rawan kepuasan. Ia pun

www.facebook.com/indonesiapustaka

438

Bersama Mas Pram

m engaku m engam ati perkem bangan keluarga Mbak Is. Ia yakin m enem ukan gejala yang sam a: terjadi keguguran sebelum anak pertam a lahir hidup. Dan kesim pulan utam a atas gejala itu, m enurutnya, karena perubahan status dari nona ke nyonya, kurangnya pengalam an dalam kehidupan berum ahtangga, term asuk kurang m am punya m asing-m asing pihak m engendalikan em osi karena m inim nya sarana dan prasarana m enyam but hari H-nya. Kesim pulan penting lainnya, Mas Moek adalah anak pertam a yang lahir hidup. Itu pun dalam kondisi kurang norm al, artinya terlalu m uda atau terlalu tua. Kedua sebab itu m engakibatkan si bayi lem ah. Dan karena lem ah, ia lebih banyak berlindung dalam rangkum an Ibu. Di m ana Ibu berada, di sanalah dia berada: di dapur, di dekat m esin jahit, di m eja baca, di kebun, di pasar, barangkali juga di kam ar m andi dan kakus. Dari situ ia m ulai hidup sebagai hom o sosial. Ia tirukan apa saja yang pernah dilakukan ibunya. Sem entara waktu berlalu, oleh kesadarannya sendiri, ia berlatih olahraga. Kalau diperhatikan, hal ini m ungkin ada benarnya. Seingatku, di sebelah rum ah dulu, di bawah pohon m angga besar yang rindang dan dijalari pohon kara w edhus, ada jagang ringen dan m eja beton tem pat para pem ain m em ulai start. Seingatku, di sam ping anak-anak angkat Bapak, Mas Moek berlatih ringen. Bukan itu saja. Dalam sejenis surat wasiat yang ditulis Bapak tentang Mas Moek, disebutkan bahwa Mas Moek seorang anak yang kurang kuat isiknya, namun ia bisa dan m am pu m em pelajari dan m engendalikan tubuh dan kesehatannya sehingga m enghasilkan tubuh yang seim bang. Menurut dongeng yang kudengar dari Mas Moek sendiri, ia punya ilm u kebatinan berupa pati raga, yang katanya dia

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

peroleh dari Ibu. Mbak Moek bilang, bukan dari Ibu, m elainkan dari Bapak. Bapak, m enurutnya, punya ilm u yang lebih kom plit. Masa m udanya yang m iskin m enyebabkan dia m enjadi pengem bara m alam , pejalan kaki yang tangguh. J alannya seperti angin, suaranya seperti halilintar, yang m enurut Mbak Oem , m erupakan ilm u getak: siapa yang dibengoki langsung rontok. Dan tatapan m atanya tak ada seorang yang m am pu m engatasinya. Sem ua tunduk. Ia m am pu m enolak tenung dan santet. Mas Moek sendiri pernah m enulis tentang usaha “kup” atas Instituut Boedi Oetom o oleh seorang anak buah Bapak. Anak buah itu m enenung Bapak dengan ilm unya, nam un tenung justru kem bali dan m engenai istri sang pengirim hingga m endadak m eninggal. Data lain yang dikem ukakan Mbak Oem adalah tentang isik Mas Wiek yang jauh berbeda. Ia sangat kuat, mandiri, dan sangat cerdas. Menurut Mbak Oem , Mas Wiek selalu jadi juara, baik di IBO m aupun ketika belajar di J akarta. Bapak sangat bangga kepada anaknya yang satu ini. Apa yang ia butuhkan dipenuhi, bahkan sebelum ia m em intanya. Mungkin ini benar, m engingat satu cerita Mas Moek sendiri. Perbedaan ini m em bawa cara hidup yang berbeda pula. Kalau Mas Wiek pulang bawa berkat, jagung, ikan kali, atau yang lain, Mas Moek tidak pernah, walau ia bisa bikin blondho, bisa m enanak nasi, m enjahit celana dalam . Mas Liek pernah m enceritakan bagaim ana ia diajari m em buat bakiak oleh Mas Moek. Pendeknya, pekerjaan yang berbau perem puan. Mungkin karena segala kegiatan keibuan itulah ia m erasa m endapat kepercayaan diri, yang hilang dari Bapak. Dan itu berlanjut sam pai m enjadi kegandrungan kepada tokoh-tokoh perem puan dalam banyak karyanya.

439

440

Bersama Mas Pram

Satu lagi yang ingin kusam paikan adalah ram alan Bapak

www.facebook.com/indonesiapustaka

yang m engatakan bahwa Mas Moek dan Mas Wiek punya rasi bintang yang sam a, yaitu Aquarius. Menurut Bapak, m ereka itu gem ar berbagai bentuk kesenian, dan kalau m ereka serius bekerja, bukan tidak m ungkin bisa m enjadi orang yang m um puni. Benar-tidaknya, sejarahlah yang m em buktikan.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Dagang

SEINGATKU, SESUDAH Ibu m eninggal dan sekitar kedatangan balatentara J epang, Mas Moek ada di Blora. Ia buka kios di Pasar Blora, di salah satu los yang paling pinggir dan tinggi. Kios itu m enghadap ke tim ur dan dekat dengan undakan sem en. Luasnya sekitar dua m eteran persegi. Di pojokan kios itu terdapat kotak besar tem pat m enyim pan barang dagangannya. Kotak itu digem bok bila kios tutup. Yang kuingat, dagangannya adalah barang-barang bekas. Ada sendok, garpu, piring, lam pu, gem bok, cetakan kue, cetakan m ainan dari tim ah, pisau, bahkan angkus dan kerekan tim ba. Dari m ana sem ua itu, aku kurang tahu. Yang jelas, kios itu tidak ram ai dan tidak juga sepi. Yang paling kuingat adalah bagaim ana aku suka disuruh Mbak Oem m engantarkan sarapan buat Mas Moek berupa nasi goreng. Dan aku biasa ke pasar m enerobos pintu belakang, m elom pati kakus um um yang selam anya penuh kotoran m anusia dan sam pah pasar. Mungkin karena lewat kakus itu Mas Moek biasa m enolak sarapan, yang kem udian disuruh m akan oleh siapa saja yang m em bawanya. Bagiku itu berarti jatah dobel.

www.facebook.com/indonesiapustaka

442

Bersama Mas Pram

Aku tak ingat bagaim ana kem udian kios itu tutup. Yang jelas, selam a Ibu m asih hidup pun, di rum ah, kam ar paling depan dibuat warung kecil. Dan ternyata banyak dari anakanak Toer, entah bakat dari Ibu entah bakat dari Bapak, juga gem ar nyam bi dagang. Yang kurang senang itu Mas Wiek. Selepas dari Buru pernah kam i m inta dia m em buka kios, tapi ternyata ia lebih suka bergulat dengan ilham dan m esin tulis. Yang paling stabil berdagang sam pai tua adalah Mbak Oem . Ia bahkan m erasa berhasil m enjadi ibu dan pendidik anak-anaknya yang cukup banyak justru karena ditopang hobinya berdagang. Sem asa rem aja, Mbak Oem bahkan pernah berdagang lawe, bahkan sam pai pernah pergi ke Kudus berhari-hari lam anya. Tentang kegiatan dagang Ibu, Mas Moek sedikit-banyak sudah m enyinggungnya, tetapi tentang Bapak belum pernah ia m engungkapkan. Setahuku, sesudah Ibu m eninggal, ada suatu m asa ketika teras rum ah sebelah kiri penuh dengan keranjang bam bu dan karung goni berisi garam , terasi, teri halus, teri kasar, gereh petek, peda, dan ikan asin lainnya. Aku tak pernah tahu bagaim ana tiba-tiba Bapak bisa m enjadi pedagang ikan asin. Kadang ia tim bang sendiri ikan itu kalau ada orang datang, kadang orang yang datang itu yang m enim bang. Tak jelas siapa m ereka itu. J uga tak jelas dari m ana sem ua barang itu berasal, dan m ilik siapa. Yang paling kuingat justru lainnya. Untuk m engatasi lapar, aku suka m enyerobot ikan pedanya, m em bawanya ke kebun atau ke pinggir kali, dan di sana kunikm ati m entah-m entah. Biasanya cukup seekor. Kalau kupaksakan dua ekor, kepalaku biasa pusing dan aku m untah-m untah. Tak jelas sam pai sekarang apakah Bapak tahu pencurian itu.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

Pada bulan-bulan pertam a kam i tinggal di J akarta, saya lihat Mbak Arvah pun pernah berdagang. Entah dari m ana, suatu hari datang setum puk dagangan berupa barang-barang m engkilat, gem erlap, dengan warna-warna kontras. Kem udian aku tahu, barang-barang itu adalah pakaian Bali. Entah dari m ana. Yang jelas, kem udian aku sering diajak Mbak Arvah m enawarkan barang-barang itu ke berbagai kenalannya. Pada waktu yang lain aku juga disuruh m enagih utang. Akhir dari kegiatan itu, seperti biasa: hangat-hangat tahi ayam . Kalau m ertua Mas Moek, yang biasa dipanggil Cang Iljas oleh para tetangga, m em ang pewarung tulen. Ketika kam i baru tiba di J akarta, dibandingkan dengan warung lain, warung m ertua Mas Moek itu term asuk paling besar dan paling laris di Kebon J ahe Kober. Orangnya ram ah, sum eh, dan sangat sabar, bahkan kunilai sangat derm awan. Setahuku, kekurangan uang belanja Mas Moek dicukupi dengan ngebon di warung m ertuanya ini. Coba saja bayangkan, berapa sih gaji pegawai negeri dengan ijazah SD? Aku sedikit-banyak tahu sistem gaji di zam an Orla. Dim ulai dengan yang tak bisa baca-tulis m asuk golongan A, tam at SD—B, tam at SMP—C, tam at SMA—D, dan seterusnya. Yang kuingat, Mas Moek m enerim a gaji kurang dari Rp20 0 , walau dengan kedudukan m entereng: Redaktur Balai Pustaka. Kabar yang kuterim a, entah dari m ana aku sudah lupa, atau m ungkin dari Mas Moek sendiri, kedudukan m entereng itu dia peroleh berkat budi baik Menteri PDK Abu Hanifah. Prosesnya sendiri aku tak tahu. Mungkin saja diperkenalkan oleh bujangan bule gaek ahli bahasa J awa dan hukum adat, Hans Resink. Kan dia juga yang m enyelundupkan naskah Mas Moek Perburuan dari Penjara Bukitduri dan m engikutsertakannya dalam

443

www.facebook.com/indonesiapustaka

444

Bersama Mas Pram

lom ba Balai Pustaka yang notabene sudah tutup. Segalanya serba m isterius dan serba kebetulan. Kalau sekarang, itu dikenal sebagai berbau KKN. Seperti diketahui, naskah itu m em enangkan lom ba dengan hadiah seribu gulden. Dengan dem ikian Mas Moek keluar dari penjara sebagai jutawan kagetan. Bukan hanya karena uang hadiah, m elainkan juga di penjara Belanda itu ia pun kadang dipekerjakan, antara lain, sebagai penyedia kayu bakar, penebang pohon, pem asok air, dan entah apa lagi. Untuk urusan itu para tahanan dapat insentif resm i. Yang jelas, gaji golongan B-nya itu harus dipakai untuk m em biayai rum ahtangga dengan anak, plus kam i bertiga kakakberadik, plus Mbak Koen yang pernah berobat di J akarta, plus pem bantu Yu Nyam i, prototipe Inem dalam “Cerita dari Blora”. Bagaim ana hem at pun dikelola, penghasilan itu tak bakal m encukupi. Dan utang di warung m ertua itulah jalan terbaik, terselubung, dan term udah. Kalau sekarang ini kukenang kem bali m asa itu, Mas Moek bagiku adalah pahlawan keluarga sejati, pahlawan tanpa nam a. Ketika di kem udian hari Mas Moek hidup m apan, gaya hem atnya, terutam a terhadap adik-adiknya, tetap. Orang banyak m enilai, karena ia kaya tentu kam i adik-adiknya pun ikut jadi kaya. Tidak, tidak dem ikian. Ia selalu m engajari adikadiknya untuk m andiri dan tidak jadi pem inta-m inta. Aku sendiri seum ur-um ur tidak pernah m inta kepadanya. Ketika aku pulang kam pung karena bangkrut, salah satu sebabnya adalah justru anak pertam a Mas Moek. Waktu itu aku pun tidak m inta kepadanya, dan langsung hengkang ke Blora tanpa pam it kepadanya. Baru pada kepulanganku yang kedua, yang m ungkin sam pai akhir hayatku, aku pam it kepadanya.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

”Kau m au ke Blora… sungguhan?” ”Yak!” jawabku m antap. ”Lalu pekerjaanm u, ngajarm u, rum ahm u, tanahm u, warungm u?” ”Gam pang, bisa diatur,” jawabku gagah m eniru Adam Malik bahwa sem ua bisa diatur, kecuali barangkali urusan duit. ”Kalau m em ang benar, aku justru berterim akasih sekali padam u. Kau m engurangi banyak beban pikiranku, terutam a Wawiet (m aksudnya Mas Wiek). Kalau tidak, siapa yang ngurus? Dia itu pejuang yang kalah. Kedua, m asalah rum ah. Kalau tidak diurus… warisan terakhir itu akan….” Ia tidak m elanjutkan kalim atnya, justru m em buang m uka sam bil m enyedot ingus. Kebiasaan itu aku hafal banget: Mas Moek sedang terharu. Aku langsung ingat pem ikirannya dalam Bukan Pasar Malam tetang urusan rum ah: Kalau rum ah itu rusak… penghuninya juga rusak. Sesudah beberapa saat dan m am pu m engendalikan em osinya, ia m ulai lagi: ”Tapi sekarang ini aku lagi paceklik, Coes, sori, gak bisa ny angoni. Coba lihat sendiri, sem ua hengkang dari rum ah, entah ke m ana. Paling gentayangan di m al. Yang bukan saja…. Mal itu budaya kem iskinan..... Masuk m al m enciptakan seseorang jadi kaya…. Segala dibeli, entah dari m ana duit diperoleh..... Dulu, zam an ibu kam u, datang bulan itu sejenis aib. Wanita berusaha m enyem bunyikannya. Sekarang… jadi pam eran, jor-joran. Tahu tidak… aku pernah baca, di Am erika sana… kertas toilet itu lebih banyak dibikin ketim bang buat tulis-m enulis. Mal itu juga cerm in pem borosan. Gilanya, orang bangga m asuk m al.”

445

446

Bersama Mas Pram

Dia tutup pem bicaraan sam bil m engibaskan tangannya, pertanda m uak. Dan kepalanya digeleng-gelengkan sam bil m atanya terpejam . Dalam m ata tertutup itu ia m eneruskan: ”J aga dirim u, nam a keluarga. Hidup hem at, rasional. Tabung duitm u di bank. Tengok pesarean, sekar itu orangtuam u yang m enderita.” Sam bil duduk aku ditarik ke dalam pelukannya tanpa bicara. Modal bongkaran warung yang kubawa pulang kam pung tam bah berat rasanya oleh tam bahan beberapa tetes air -

www.facebook.com/indonesiapustaka

m atanya yang m em basahi pipiku.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Oleh-oleh

AKU MASIH ingat banget ketika itu: Ibu sedang sakit keras. Kadang ditunggui Bapak di kam ar barat rum ah kam i yang lam a, m aksudku rum ah yang dibangun Bapak sekitar tahun 1925. Dan peristiwa itu terjadi sekitar pendaratan tentara J epang di Indonesia. Tidak ingat aku harinya. Dan lagi, m ana m ungkin aku sekecil itu m em ikirkan hari dan tanggal? Yang kuingat, Mas Moek datang. Mungkin m asa liburan atau m asa genting, zam an perang. Dan ia datang m em bawa oleh-oleh langka: gram ofon. Seingatku, yang punya alat hiburan seperti itu cum a Meneer Bos, pem ilik toko dan penyewaan alat-alat perkawinan, dan Mbah Bayan alias Sum ardi, anak angkat Bapak. Dialah satu-satunya orang di Blora yang pernah sekolah reparasi jam di Sem arang. Bapak juga yang m em biayai. Dia pun tukang potong ram but satu-satunya di kota kam i yang m em asang papan dengan tulisan “Barber”. Dan gram ofon itu salah satu alat daya tarik usahanya. Menurut penglihatanku di m asa kanak-kanak itu, usahanya berhasil, bahkan bisa dikatakan laris. Aku suka datang untuk bercukur, bahkan ketika ram but m asih tergolong pendek. Maksud hati agar dibelikan sesuatu juga olehnya, karena

www.facebook.com/indonesiapustaka

448

Bersama Mas Pram

m enurut perasaanku orangnya m em ang baik hati dan m em perhatikan kam i. Dan belakangan, tanpa disengaja, hal itu dibenarkan oleh Mbak Oem . Katanya, ketika ia m enjadi perawan tua, pernah ia djodoh-jodohkan dengan Mbah Bayan itu. ”Hiii, gila aku… tua… tongos, sudah kawin m ati, dan turun ranjang tiga kali….” ”Tapi dia kan derm awan?” jawabku. ”Ya itu, karena ada m aksud….” Pendeknya, oleh-oleh Mas Moek itu jadi hiburan besar. Mas Moek bahkan m bany ol bahwa di dalam kotak bercorong itu ada orang-orang kerdil yang kalau dikilik-kilik lantas bernyanyi sem ua. Banyolan itu ia buktikan dengan m engajari kam i bagaim ana m enjalankan gram ofon itu. Sederhana dan gam pang ditiru siapa saja. J adi, aku pun segera bisa m encobanya. Yang kadang agak repot itu kalau m em utar alat onthelnya kurang kuat, sehingga di tengah nikm atnya lagu, tiba-tiba suaranya m blondhoti, sum bang, m eliuk-liuk seperti orang kecepirit. Kalau onthelannya ditam bah, ia pun segera m eraung kem bali. J ustru pengalam an ini yang bikin kam i tak bosanbosan m em ainkannya. Beberapa kali Bapak m em peringatkan kam i, tapi kam i tak peduli, bahkan nekat. Beberapa hari sesudah itu Mas Moek m enghilang entah ke m ana. Itu tidak apa-apa. Yang penting gram ofonnya ada. Aku sendiri bahkan m erasa lebih bebas. Sem ua piringan hitam itu kam i—aku, Mas Liek, dan Coek— coba. Dari sem ua piringan hitam itu, ada satu yang sederhana dan gam pang diingat syair lagunya. Aku suka lagu itu dan sering m em utarnya. Syairnya, antara lain, berbunyi dem ikian:

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

“Kucing kurus m enggaruklah papan, papan digaruk di kayuan jati….” Mungkin karena sering diputar, Ibu yang sedang gerah (sakit) m erasa terganggu, dan beberapa kali Ibu m elarang m em utarnya. Tapi dasar anak-anak: larangan itu kam i abaikan saja. Mungkin karena kesal, suatu kali Bapak keluar dari kam ar, m engham piri kam i bertiga yang sedang m eriung gram ofon. Gram ofon dim atikan, dan piringan hitam dengan “Kucing Kurus” itu direnggut dan dibanting ke lantai. Kam i pun bubar ketakutan. Nam un beberapa saat kem udian kam i putar lagi lagu-lagu yang lain. Kalau sekarang kuingat-ingat, bukan m ain kejam nya kam i waktu itu. Apalagi belakangan ini aku m endengar bahwa waktu itu Ibu m erasa prihatin dan sedih karena m enurut perasaannya lagu itu m enyindir dirinya yang sudah kurus kering. Aku tak ingat lagi bagaim ana akhir peristiwa itu, ke m ana gram ofon itu, dan berapa lam a kem udian Ibu m eninggal m eninggalkan kam i untuk selam anya. Yang kurasakan sekarang cum a sesal, yang selalu m enjadi ironi hidup ini: m enyesal sesudah terlam bat. Seingatku, ketika Ibu m eninggal, aku dan Coek disingkirkan dari rum ah oleh Nyi Kin pem bantu kam i yang setia. Sepanjang hari itu aku dan Coek dijejali m akan enak, cakar ayam , sayap, dan brutu. Itulah hari pertam a aku disebut anak piatu. Orangorang yang bersua Nyi Kin m eraba kepalaku dan kepala Coek disertai ucapan lirih: ”Sakake, cah, sem ene-m ene w is ditinggal ibune—Kasihan sekali, kecil-kecil sudah ditinggal ibunya.” Sedang yang dikasihani santai saja terus m brakoti cakar ayam dan sayap, yang hari itu sungguh terasa nikm at.

449

www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Moek Minta Maaf

WAKTU Mas Moek pulang ke Blora tahun 1950 , ia m em buat peraturan yang kuanggap m erenggut kebebasanku: pulang sekolah harus m akan, lalu tidur siang. Bangun tidur harus m andi, lalu m ulai duduk belajar. Peraturan ini tak bisa aku turuti. Pulang sekolah aku biasa tak langsung pulang. Nglay ap dulu cari ganjal perut, biasanya buah seri. Aku m enganggap, pulang buru-buru juga tak ada gunanya: di rum ah belum tentu ada yang bisa dim akan. Maka peraturan baru itu kuanggap tidak ada m anfaatnya, dan kulanggar. Waktu itu Mas Moek m asih pengantin baru. Ke m anam ana ia m enggandeng istrinya, term asuk ketika m asuk kakus. Sem ua itu m em buatku berpikir, alangkah senangnya m enjadi orang dewasa; aku ingin lekas jadi dewasa. Selain itu terpikir olehku, karena kesibukannya sebagai orang dewasa, tentu ia kurang m em erhatikan peraturan yang baru diadakannya. Ternyata sam asekali tidak! Ketika aku pulang terlam bat dari m encari buah seri, ia m em anggilku:

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

www.facebook.com/indonesiapustaka

”Coes!” Aku pun datang. ”Dari m ana?” ”Dari sekolah,” jawabku bohong. ”Pukul berapa sekarang? Melawan, ya? Apa kataku kem arin?” Dan plakkk! Aku ditem pelengnya. ”Sana pergi!” Karena m erasa bersalah, aku pun ngeloyor, m encari m akanan sam bil m enangis, sesudah itu m andi. Di luar dugaan, habis m andi aku diseret ke koplakan, diajak m akan soto dan m inum lim un! Bukan m ain. J adi, itulah rupanya cara Mas Moek m inta m aaf.

451

www.facebook.com/indonesiapustaka

Siapa di Jalan Tarakan?

SEJ AK AGUSTUS 1950 kam i bertiga—Mbak Is, Mas Liek dan aku—ikut Mas Moek di J akarta, tinggal di Gang Kebon J ahe Kober III No. 8, Tanah Abang. Suatu hari, sekitar tahun 1951, ketika aku sedang m elam un bagaim ana m endapat uang jajan, Mas Moek berkata: ”Coes, ayo ikut!” ”Begini saja?” ”Begitu saja.” Aku heran, karena waktu itu ia baru saja pulang dari ngantor di Balai Pustaka. Biasanya, setiba ia di rum ah, kam i m akan bersam a sekeluarga, lalu ia baca koran dan tidur siang sebentar, kem udian tek-teretek-tek-tek-kring-jeglek, ”ngeluselus” m esin tulis di kam ar kerjanya. Kalau kehabisan inspirasi, ia berhenti, m elinting dan nglepus di depan pintu sam bil m em andang langit di sana. Kuingat, jari-jem arinya sam pai kekuningan karena nikotin. Setahuku, tak pernah ia berusaha m em bersihkan kerak itu, dan bahkan terkesan bangga dengan sim bol itu, yang dibawa ke m ana pun ia pergi.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

Sepeda J an Co dikayuhnya cepat m elipir kuburan Kober Tanah Abang Satu, m elewati pabrik es Petojo, m enyisir jalan di pinggir lapangan, m elewati pasar Petojo Enclek, tanpa bicara. J alan Kaji di kanan dilewati, juga perem patan yang m enuju Gang Houber. Sam pailah kam i di J alan Tarakan yang lebar licin. J alan itu m enyem pit ke jem batan Kali Cideng. Beberapa m eter setelah jem batan jalan agak m enurun, di situ sepeda ia hentikan, dan kakinya bertengger di atas trotoar. ”Kau tunggu di sini,” pesannya, ”kalau ada sesuatu, cepat beritahu aku, ngerti?!” Aku m engangguk. ”Awas!” katanya sam bil ngeloyor m em asuki deretan rum ah sederhana yang seingatku dipoles dindingnya dengan ter. Sesuai pesannya, aku celingukan m encari sesuatu, tapi tak sesuatu pun kulihat. Berarti sem ua berjalan lancar, dan aku bisa m erasa bangga karena berhasil m enyelesaikan tugas m ata-m ata dengan baik. Beberapa saat kem udian, tak dapat aku m em astikan, ia m uncul kem bali. Tak ada yang aneh dalam penam pilannya, kecuali agak kusut dan sedikit loyo jalannya. Sepeda disam barnya tanpa m engatakan apa-apa. Aku sendiri pun langsung ny lengkrang ke boncengan. Ia m engayuh sam pai ujung J alan Tarakan, m em belok ke kiri, berhenti di depan sebuah rum ah di J alan Musi tanpa turun dari sepeda, m engam ati rum ah, dan m enoleh padaku, katanya: ”Itu rum ah kontrakan J oebaar. Nanti kalau Mbak tanya, bilang dari sini. Ingat nam a itu! Tahu, siapa dia? Yang dia m aksud dengan Mbak adalah istrinya, Mbak Arvah. Aku tak tahu. Nam a itu begitu asing, dan aneh kedengarannya. Seperti kata sim bar, perm ainan anak perem puan dengan klungsu (biji buah asam ).

453

454

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

”Pesanku,” kata Mas Moek, ”jangan bilang siapapun tentang yang barusan. Dengan sendiri aku pun m em eras otak, m encoba m enerkanerka, nam un tak berhasil. Siapakah orang yang tinggal di J alan Tarakan itu? Kebetulan beberapa m alam sebelum nya aku m endengar cekcok Mas Moek dengan istrinya. Puluhan tahun rahasia itu kupendam rapat. Kini kuanggap tak ada gunanya lagi ditutupi. Aku cedera janji kepadanya. Ya, siapakah orang tinggal di J alan Tarakan itu? Yang jelas, untuk tugasku itu aku m endapat persen sepuluh rupiah!

www.facebook.com/indonesiapustaka

Hari Pembebasan

TAK TERASA sudah lam a juga aku tak bertem u dengan Mas Moek. Itulah sebabnya kepulangannya dari pem buangan di Pulau Buru m enjadi sesuatu yang istim ewa dan langka buatku. Mem bayangkan pertem uan kem bali yang akan terjadi dengannya m em buatku m brebes m ili, m eneteskan airm ata. Perpisahanku terakhir dengannya delapan belas tahun yang lalu! Terjadi di rum ahnya di J alan Rawam angun 33 A, J akarta, m enjelang aku berangkat ke Moskwa untuk belajar. Waktu itu ia peluk aku erat sam bil berpesan: ”J aga nam a keluarga.” Terus-terang, waktu itu aku tidak sepenuhnya m engerti apa m aksud ucapannya itu. Sesaat sebelum nya, sam bil m akan siang bersam a Alim in, tetangganya yang katanya seorang tokoh, ia bertanya apakah aku tahu siapa Lenin, dan aku m enggeleng bertanya-tanya siapa itu gerangan. Ia juga bertanya tentang kapal Aurora, yang kujawab dengan gelengan juga. Ia tidak kelihatan kecewa, dan juga tidak m em berikan penjelasan. Aku dibiarkan term angu-m angu, bahkan kem udian ditinggal pergi. Belakangan baru ia m enyusulku ke beranda depan, dan m engonggokkan jas bekas ke pangkuanku.

www.facebook.com/indonesiapustaka

456

Bersama Mas Pram

”Pake itu, pengganti pakaian tidur.” Selam a belasan tahun itu berpuluh kali aku m enulis surat kepadanya, dan satu pun tak pernah dibalasnya. Buatnya barangkali aku ini tak penting. Aku m em ang m erasa bahwa ia m asih selalu m em perlakukanku seperti m asih anak-anak. Aku ingat, waktu kecil aku ditim ang-tim angnya, dilem parkan ke udara sam bil tertawa-tawa, dikitik-kitik dengan janggutnya yang berjenggot pendek. Dan ia baru m erasa puas kalau aku sudah m enggeliat-geliat geli dan m eronta-ronta. Dan m alam m enjelang tidur, aku disuruhnya m enginjak-injak tubuhnya dari tum it sam pai kuduk. Seingatku, ia selalu njangkar nam aku. Bagiku itu bukti nyata bahwa aku adiknya. Dan adik tetap adik, walau kem udian kam i sudah ubanan dan m enjadi m anula. J adi, seperti pada saudara-saudara yang lain, ia tetap m em anggilku dengan Coes. Dan aku m enerim anya, seperti di m asa kecil. Kam i toh dibedakan dua belas tahun: ia anak sulung, aku anak ketujuh. Ia sudah bisa cari uang, ketika aku buang ingus pun belum bisa. J adi aku ini taklukannya, seperti adik-adiknya yang lain. Kalau perintahnya tak dituruti, ia m enuntut supaya perintah itu ditaati. Aku ingat, waktu ia pulang tahun 1950 , dia m inta dibuatkan kentang goreng sebagai ganti nasi. Padahal kentang adalah m akanan istim ewa untuk Blora waktu itu. Suatu pagi, m enjelang aku berangkat ke sekolah, ia m enghardik: ”Coes, tadi m alam kau ngom pol, ya? Sebelum sekolah, pel dulu kam ar m akan!” Padahal, cicak dungu pun tidak akan ngom pol di kam ar m akan. Atau, belakangan pernah ia bilang, kalau kawin nanti cari wanita Spanyol. Kenapa wanita Spanyol, aku pun tak m engerti.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

Kini, sesudah ia dibebaskan, kam i yang tinggal di Blora harus m enem uinya. Ya, aku m em ang tinggal di Blora sesudah di J akarta bangkrut kehabisan m odal. Di sini aku beternak ayam buras. Hasilnya lum ayan. Kam i harus m enem uinya, karena ini toh hari bahagia buat dirinya, diri kam i sendiri, dan keluarga. Kam i toh cukup lam a tak ketem u dengannya. Kam i berangkat bertiga: aku, Mbak Oem , dan Han anak Mbak Oem . Ongkos kendaraan m asih m urah waktu itu. BloraKudus cukup dengan m enjual delapan sam pai sepuluh telur, sedangkan Kudus-J akarta em pat puluh telur. Penghasilanku waktu itu sehari sekitar dua puluh telur. Biaya dapur bersam a Mbak Koen lim a telur. Beras dipasok Mbak Oem . Beres. Bus m alam Garuda Mas bukan bis m ewah, m elainkan kelas ekonom i. Sopir ngom preng di m ana saja, bahkan koridor bis dijejali lem pengan kayu untuk penum pang om prengan. Penuh sesak. Banyak orang m engorok, batuk, bersin, m endengkur, term asuk diam -diam atau terang-terangan kentut, m enam bah sem arak suasana. Pagi harinya kam i bertiga sudah sam pai di rum ah Mas Moek. Sudah banyak tam u di dalam . Sekilas tam pak Mahbub Djunaedi yang sekitar dua puluh lim a tahun sebelum nya m enjadi redaktur m ajalah IPPI, Pem uda Masy arakat. Kam i sering bertem u waktu itu di Kebon Kacang. Ia pun m engenaliku, dan m elam baikan tangannya, m enyebut nam aku. Tam pak juga Eddy Abdulrachm an Martalogawa dan Karim D.P. Lalu, kurang jelas bagiku, Sitor Situm orang atau Goenawan Moham ad. Barisan tam u yang ingin m engucapkan selam at kepada Mas Moek m endorong kam i dari ujung paling belakang m enjadi ujung paling depan, dan sudah tam pak oleh kam i m uka Mas

457

www.facebook.com/indonesiapustaka

458

Bersama Mas Pram

Moek yang ceria, banyak senyum , m em perlihatkan giginya yang setahuku dulu selalu berwarna kekuningan. Dugaanku ternyata m eleset. Kukira ia sudah tua renta dan bongkok. Ternyata gem uk tegap berotot. Berarti ia sehat dan penuh harapan. Aku sendiri kem udian m erasa m alu: orangorang yang besuk ke penjara berbadan kurus, letih, penuh ratap, sedang yang di dalam penjara gem uk seperti sapi kebiri. Makin dekat dengan Mas Moek aku m akin galau. Pikiranku m elayang ke saat aku m enjenguk Bapak yang sedang dirawat di rum ah sakit Blora tahun 1950 . Waktu itu kepalaku dielus Bapak yang kem udian bertanya lirih: ”Kapan ujian?’ Aku tak sanggup m enjawab m elihat di sudut m ata Bapak m engem bang air. Oh, jadi orangtua yang angker itu ternyata dapat m enitikkan airm ata juga. Dan aku pun lari ke luar kam ar sam bil m enangis sejadi-jadinya. Kini orang yang keras seperti Bapak itu berdiri di depanku, dan aku m enubruknya terisakisak. Setan, seperti ketika berhadapan dengan Bapak dulu, sekarang pun aku tak kuasa m em bendung airm ata ini. Tapi ketika aku rasakan pelukannya tak sehangat yang kubayangkan, aku pun ngeloyor pergi. Aku m asih dengar suaranya yang khas bercam pur canda: ”Lho, kok m ew ek? Tua-tua cengeng! Siapa siiih?” Waktu itu juga Mbak Mim in yang tak sem pat kusalam i m enyahut dengan suara sedikit kecentit: ”Lho, Piiih, itu kan Dik Coes?! Sudah pikun kali.” Mas Moek m endekatkan telinganya ke m ulut istrinya, seperti hendak m engerti apa yang diucapkan istrinya. Dan ketika ia m engerti, ia pun m em buruku, m em elukku sekuat tenaga. Terasa pipiku basah oleh airm atanya. Tapi aku sudah kecewa.

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

www.facebook.com/indonesiapustaka

Sajian m ewah di m eja m akan terasa pahit di m ulutku. Aku sadar bahwa aku tidak penting di m atanya. Bahkan suratku pun tak pernah dibalasnya. Kenyataan m enunjukkan, ia tidak ingat aku lagi, padahal dalam m im pi aku adalah adik kebanggaannya. Itu pun kuketahui sesudah aku baca bukunya Ny any i Suny i Seorang Bisu beberapa tahun kem udian. Mas Moek m em ang pem im pi. Apakah aku m enggugatnya karena dia tak m engenaliku? Menggugat seorang pem im pi adalah sam a edannya dengan si pem im pi. Esoknya kam i langsung pulang ke Blora. Seingatku, waktu itu Hari Natal. Bis Garuda Mas yang kam i tum pangi di Alas Roban ny eruduk m obil tangki gandengan dan m enabrak tanggul di kanan jalan. Tak ada korban jiwa m em ang. Tapi kaki kananku yang tertum pang di atas m esin m blony ok terpanggang.

459

www.facebook.com/indonesiapustaka

Napak Tilas

SUDAH SEJ AK kecil aku dengar, ketika rem aja Mas Moek punya pacar di Mlangsen, di gang yang letaknya di depan kantor pegadaian lam a. Ketika Agresi II Belanda tahun 1948, entah kenapa pegadaian yang tak ada sangkut-pautnya dengan perang itu ditrekbom hingga rata dengan tanah. Barang-barang gadaian di dalam nya habis, tapi aku tak tahu dijarah atau digondol peram pok. Logikanya, barang-barang itu diungsikan dulu sebelum bangunan dihancurkan. Ada dua kabar beredar tentang pacar Mas Moek: dia yang dipoak (ditam pik) dan pacarnya yang diklew er (ditelantarkan). Nam anya Sri Panular. Meski tak sekalipun aku pernah m elihatnya, nam anya itu begitu m em pesona, m em bikin aku kepincut. Soal lain yang bikin aku penasaran, kayak apa sih selera Mas Moek terhadap lawan jenisnya? Di antara adik Mas Moek, hanya Mbak Oem yang seum ur hidup tak pernah hijrah dari Blora. Maka kepada dia aku berusaha m enggali inform asi tentang kekasih Mas Moek tersebut. Mbak Oem justru bengong m endengar pertanyaanku:

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

“Ah, m asak ada...? Setahuku Mas Moek itu pem alu, penakut. Maunya ngam plok terus sam a Ibu. Kam u tahu itu dari m ana?” ”Cum a dengar.” ”Kalau Mas Wiek itu jagonya. Tukang berkelahi, dan suka nggantha (berganti pacar). Dik Anjar, sepupu sendiri, dipacari.” Kesim pulannya, usahaku untuk m encari info dari Mbak Oem tentang Sri Panular gagal. Maka aku pun berusaha sendiri. Kadang aku iseng m elewati gang itu, nguping, bahkan tanya sana-sini tentang Sri Panular. Tak disangsikan tentunya, ia sudah tua dan gem brot, peyot, atau m alah sudah alm arhum ah. Nam un aku yakin, pasti ada ciri khusus yang m asih tertinggal yang pernah m enjadi kebanggaan, atau ciri yang m em bikin lelaki kepincut kepadanya, apakah ram butnya, suaranya, alisnya, langsingnya.... Entah sudah berapa puluh kali aku m am pir, nongkrong di lokasi pengobatan alternatif yang terletak di gang depan pegadaian itu. Nam un tidak pernah ada tanda-tanda kehidupan tokoh yang kucari itu. Sam pai pada suatu kesem patan, Mas Moek pulang lagi ke rum ah di ujung J alan Sum bawa itu. Waktu itulah kuberanikan diri langsung bertanya kepadanya tentang kisah lam a itu. Ia pandangi aku, seperti biasa, tanpa ekspresi. Mungkin ia ogah, m ungkin juga tak m engerti pertanyaanku. Dari raut m ukanya terpancar dam pratan. Tak disangka, kem udian aku m enjadi langganan pengobatan tradisional itu karena penyakit yang biasa m enjangkiti orang tua: prostat, tum or, dan hernia sekaligus. Dan tanpa kuduga, tem pat pengobatan alternatif itulah justru rum ah Sri Panular,

461

462

Bersama Mas Pram

salah seorang korban yang hilang dalam tragedi 1965.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Menurut buku Tanah Merdeka Berlum ur Darah yang disusun kelom pok pem uda yang prorekonsiliasi, di Blora dan sekitarnya terdapat kurang-lebih sepuluh ribu orang yang m enjadi korban. Pernah juga kudengar di sekitar Blora ini terdapat tujuh belas kuburan m assal. Di salah satu dari kuburan itulah kiranya bersem ayam jasad Sri Panular, m antan pujaan Mas Pram .

www.facebook.com/indonesiapustaka

Prasasti

DALAM LAIN kesem patan kam i berhenti di depan sebuah bangunan beton setinggi kurang-lebih dua m eter yang m em uat foto Bapak Toer seukuran sekitar 25 x 40 cm , lengkap dengan nam a Kakek Im am Badjoeri di bawah foto tersebut. Itu adalah bangunan m onum en dan prasasti bagi pendiri Instituut Boedi Oetom o (IBO) tahun 1922. Tak jelas siapa yang m erancang, dan tahun berapa dibangun, karena tidak tertera di dalam nya. Tentunya itu sesudah tahun 1985, ketika kam i berlim a waktu itu berm ukim di J akarta m engadakan rapat di rum ah Mas Moek di J alan Multikarya II No. 26, Utankayu, J akarta Tim ur. Mbak Oem m enyebutkan bahwa prasasti itu ciptaan Wiwiet, anak terkecilnya, seorang sarjana lulusan Malang. Mas Moek tidak berkom entar tentang bangunan. Ia justru m em andang m otto pendidikan yang tertera di bawahnya: Ora et labora dan Tut w uri handay ani. ”Ah, itu sih m otto kaum Kristiani,” katanya sam bil tangannya m engibas sebagai tanda tak setuju, juga m enolak, ”juga yang lain itu: Tam an Siswa... klenik!

464

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku tak paham ucapannya itu, walau aku sendiri anak didik, bahkan anak em as, Tam an Siswa Kem ayoran, J akarta. Kukatakan anak em as karena beberapa tahun aku oleh kepala sekolah, Pak Said, dibebaskan dari pem bayaran uang sekolah. Maka untuk m encoba m em aham inya aku bertanya ke kanan-kiri, term asuk kepada Pak Rahm an yang gelar doktornya diperoleh dengan disertasi tentang Tam an Siswa. Penolakan prinsip pendidikan pada prasasti oleh Mas Moek itu lain waktu kusam paikan kepada Mbak Oem . Dan berapa waktu kem udian, prinsip pendidikan itu diubah. Kini tercantum prinsip pendidikan yang baru: Belajar, bekerja dan berdoa. Perubahan itu pada waktunya kusam paikan kepada Mas Moek. Tanpa ekspresi sedikit pun, ia m enggelengkan kepala, katanya: ”Berdoa... ngem is itu!” Dan aku sem akin tidak m engerti. Dan begitulah, m otto itu tetap tertera dalam prasasti tersebut sam pai Mas Pram m eninggal. Ketika kom entar terakhir Mas Moek itu kusam paikan juga pada Mbak Oem , Mbak Oem pun tak kuasa berbuat apa-apa lagi. Sem entara itu, kecuali aku, tak seorang di antara adik-adik Mas Moek yang pernah m enyinggung m asalah ini. Aku yang ham pir tiap hari m elewati prasasti itu sudah gatal saja rasanya ingin m engganti kata berdoa itu dengan berkarya. Tapi aku tak punya hak untuk itu.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Nostalgia

SUDAH PERNAH kukatakan bahwa tahun-tahun belakangan sebelum m eninggal di rum ahnya di J akarta, Mas Moek sering pulang kam pung. Aku m erasa, ini bukan alup-alup (seolah m enginginkan m aut dengan m elakukan sesuatu yang m elam bangkan m aut, seperti berkunjung ke m akam ), m enurut istilah orang Blora, m elainkan sudah ny idam terbelo (m enginginkan peti m ati). Cum a aku tak berani m enyam paikannya kepada siapapun. Suatu kali Mas Moek datang dari J akarta dengan tiga m obil. Dua m obil keluarga dan satu m obil tam unya, seorang wartawan m ajalah luar negeri, seorang penerbit Am erika dengan sahabatnya, anak seorang pelarian dari ibukota Latvia, Riga, yang m enetap di Australia. Kedatangan m ereka untuk m em buat gam baran yang lebih detail tentang situasi, lokasi, dan tem pat-tem pat bersejarah untuk m elengkapi data beberapa buku Mas Moek yang segera diterbitkan ulang. Anak pelarian itu pelukis. Aku ditunjuk sebagai pem andu am atir. Barang tentu yang pertam a dituju Mas Moek adalah tem pat kelahirannya. Data yang diduga otentik m engatakan, sesudah

www.facebook.com/indonesiapustaka

466

Bersama Mas Pram

Bapak Toer hijrah dari Rem bang ke Blora, yaitu sesudah ia m enerim a tawaran Bupati Blora Said Tirtonegoro untuk m elanjutkan m em im pin sekolah Boedi Oetom o di Blora yang ditinggalkan oleh pendirinya Dr Soetom o, ia m enyewa sebuah rum ah di J alan Kaliwangan yang sekarang bernam a J alan Mr Iskandar. Rum ah sewaan itu terletak di utara Toko Ijo, sebuah toko em as. Sekarang toko itu m enjadi show room penjualan sepeda m otor Yam aha Mataram Sakti. Rum ah sewaan itu sendiri sekarang m enjadi toko pakaian. Seingat Mas Moek, rum ah itu m irip sekali dengan rum ah di sebelahnya lagi, sebuah bangunan khas priayi Blora, terbuat dari jati. Rum ah terakhir inilah yang oleh Mas Moek hendak dipinjam sem entara untuk diabadikan sebagai tem pat kelahirannya. Pem ilik rum ah yang hanya dihuni oleh seorang penjaga itu sekarang tinggal di Kelapa Dua, Depok, J awa Barat. Dengan jasa baik penjaga itu aku berhasil berhubungan lewat telepon dengan pem ilik rum ah tersebut, yang ternyata adalah bekas tem an sekelas Mas Liek di SD dan SMP Blora. Kenyataan ini m em buat kom unikasiku dengan dia lebih lancar dan akrab, lebih-lebih ketika kuceritakan kepadanya bahwa di waktu kecil aku suka dibawa Ibu m am pir ke tem pat ibunya berdagang kain cita di pasar Blora. Seingatku, ibu itu disebut Bu Salekan oleh ibuku. Sesudah m endapat izin dari pem ilik rum ah, beraksilah Mas Moek dalam berbagai pose untuk diabadikan. Ia pun m em inta izin m asuk sebuah kam ar dengan jendela berjeriji kayu yang ia pilih sebagai tem pat untuk dipotret dari luar. Waktu itu sam pai terpikir olehku, Mas Moek barangkali tak bisa hidup tanpa jeruji penjara. Ada banyak tem pat lain, tapi yang dipilihnya justru yang m irip sel penjara.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

Mungkin di um urnya yang sudah uzur sekarang, karena sesuatu perkara, ia m em bayangkan bisa m asuk penjara lagi, dan akan tercapailah cita-citanya m encapai um ur seratus tahun. Waktu itu kukira ia m asih m am pu berkarya seperti ketika berada di Pulau Buru. Di dunia bebas kukira ia m enanggung beban lebih banyak dibandingkan di dalam penjara. Ini yang kuduga m enyebabkan dia kecewa dan putusasa. Kebebasan baginya justru m em enjarakan kreativitas. Bebas baginya penjara baru dalam bentuk yang lebih kom pleks. Mungkin benar seorang pem im pin yang pernah m engatakan: Lebih baik duduk dalam penjara daripada duduk dekat pintu gerbang penjara. Sesudah puas di tem pat kelahiran di Desa Mlangsen, Mas Moek m enilai tem pat lain yang paling m engesankan dalam m enem ukan pencerahan pertam a adalah kuburan yang sudah hilang di Desa J etis karena digantikan dengan rum ah-rum ah sem i perm anen. Dulu jalan ini bernam a Galingsong, sekarang J alan Halm ahera. Di tem pat yang ditunjuk Mas Moek, di selatan sebuah jem batan kecil yang m engangkangi saluran pem buangan air kota Blora, ia berbicara dengan nada sum bang karena m enahan haru dan tangis. Di situlah m enurutnya dia m erasa direndahkan m artabatnya sebagai m anusia. Ia m enjerit, m elolong putusasa, m arah dan bingung, karena walau sudah dinyatakan lulus sekolah, oleh Bapak dia disuruh m engulang duduk di kelas lagi karena dianggap m asih goblok. Ini m erupakan kejadian yang pernah kualam i juga. Waktu itu aku duduk di kelas em pat. Karena hidup yang jorok dan liar, aku terjangkit penyakit kulit, patek, hingga tiga bulan tidak m asuk sekolah. Hari pertam a m asuk lagi, entah disengaja entah tidak, ada ulangan berhitung. Aku selesai lebih dulu dan

467

www.facebook.com/indonesiapustaka

468

Bersama Mas Pram

dapat nilai sem purna. Tapi di akhir tahun aku dinyatakan tidak naik kelas. Aku m arah dan m alu besar: anak seorang guru, penilik sekolah pula, tidak naik? Aku dendam kepada Bu Tien, guruku, yang kuanggap sebagai biang keladinya. Ketika ia m eninggal karena TBC, bukan m ain gem biraku. Aku m erasa, dengan dem ikian ketidakadilan terlunasi. Baru beberapa tahun kem udian kuketahui bahwa aku tidak dinaikkan atas perintah bapakku sendiri. Kam i kem udian m enuju gedung SMP 5 yang dulunya gedung sekolah IBO yang dipim pin dan dim iliki oleh Bapak Toer. Di situ Mas Moek m enam atkan pendidikan SD, dan di situ pula ia diharuskan m engulang sekolah sesudah lulus. Kalau kejadian itu tidak diceritakan oleh Mas Moek, aku pun tak m engetahuinya. Kam i disam but seorang penjaga sekolah yang tam pak kesal m elihat kedatangan kam i. Tam pak ia ingin m engesankan bahwa dialah yang berkuasa dan berwenang di situ. Mungkin juga karena aku hanya bersandal jepit, sedangkan ia sendiri bersepatu m engkilat, lengkap dengan pakaian seragam yang rapi. Ia m enudingku angkuh dan m enyapaku kasar sam bil sedikit berkacak pinggang: ”Ada keperluan apa?!” Baru ketika aku katakan bahwa aku dan Mas Moek adalah anak-anak dari orang yang fotonya tertera dalam m onum en di depan halam an sekolah itu, sikapnya berubah drastis, yaitu m em bungkuk dalam sebagai usaha m em inta m aaf. Bahkan tanpa ditanya ia pun m engaku pernah bersekolah di IBO, m engenal Bapak Toer pribadi, dan turut m elayat ketika Bapak Toer m eninggal tahun 1950 .

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

Mas Moek m enolak ketika ditawari bertem u dengan kepala sekolah, nam un ia berjanji akan khusus datang lain kali. Alasannya: belum siap m ental. Ia dan rom bongan hanya keliling seputar halam an sekolah dan bangunannya, tanpa bicara. Sepertinya ia berusaha m engingat-ingat m asa lalu, ketika ia m enuntut ilm u selam a sepuluh tahun pertam a. Ketika ia m eninggalkan halam an sekolah itu, selintas kulihat m atanya sebak oleh airm ata. Cengeng! sebutku dalam hati. Nam un aku cukup m engerti perasaannya yang galau waktu itu. Rom bongan kem udian kugiring ke Pesarean Sasana Lalis. Pesarean ini konon adalah perm akam an anggota perkum pulan priayi Blora. Sepengetahuanku, priayi adalah orang yang berstatus sebagai pegawai guberm en. Mengapa Bapak Toer yang orang swasta dim akam kan di Sasana Lalis, aku pun bertanya-tanya. Mbak Oem pernah m engatakan, itu karena Bapak pernah jadi guru HIS, dan karena secara sosial-ekonom i pernah sangat terpandang dan m enonjol. Itu sebabnya m ungkin ia kem udian diangkat m enjadi anggota luarbiasa. Kam i sam pai di Sasana Lalis sudah siang. Di m akam itu tam pak beberapa orang sedang m enyabit rum put. Di sanasini tam pak kepulan asap pem bakaran dedaunan kam boja dan bam bu yang tum buh di sekitar m akam . Tahu ada rom bongan datang, salah seorang m enyusul ke rum ah penjaga m akam , lelaki tua yang pincang dan tak bisa bicara Indonesia itu. Aku sudah puluhan kali bertem u dengannya. Ia bahkan m engenaliku sebagai salah seorang anak Bapak Toer yang paling sering m enengok kuburan itu. Yang kucatat dari dia adalah doanya yang belepotan, cam puran bahasa J awa dan Arab. Walau dem ikian aku tetap percaya dan m engagum inya.

469

www.facebook.com/indonesiapustaka

470

Bersama Mas Pram

Sesudah kam i bersalam an dan m enyam paikan niat, ia pun berjongkok dan m ulai berkom at-kam it. Langkah itu otom atis diikuti yang lain, term asuk para tam u asing, tak terkecuali para bule. Mereka m em ejam kan m ata dan berkom at-kam it juga. Penjaga m akam m ulai m enyebut nam a-nam a penerim a doa, bukan dengan urutan dari yang tertua ke yang term uda, m elainkan dari urutan m akam tim ur ke barat: Mbak Koen, Bam bang Boesono anak Mbak Oem yang m eninggal selagi bayi, Soesanti adikku terkecil yang m eninggal beberapa jam setelah Ibu Oem i Saidah, kem udian Ibu Oem i Saidah, Bapak Toer, Pak Im am Barsah adik Bapak Toer, selanjutnya Mbah Krom o Wedok yang disebut gadis pantai dalam novel Mas Moek, dan terakhir Mbak Krom o Lanang suam i sam bungan Mbah Krom o Wedok. Mas Djajoesm an yang dulu dim akam kan di sisi barat Ibu Oem i Saidah kem udian dipindahkan ke Tam an Makam Pahlawan yang terletak di sebelah tim ur Pesarean Sasana Lalis. Mas Moek diam seribu basa. Akulah yang m em berikan keterangan tentang nisan-nisan yang buta tuli dan kenyang dihujani jepretan kam era itu. Aku tak ingat berapa kali selam a tahun-tahun terakhir ini Mas Moek bersam a anak-istri dan kadang juga cucu m enyekar ke m akam kedua orangtua kam i dan lain-lain ini. Tak pernah terdengar doa dari bibirnya. Yang sering justru ia m enyedot ingus dari hidungnya dan ditelan m entah-m entah. Itu tanda khas baginya bahwa ia sedang galau dan terharu. Aku yakin ia tetap pem eluk agam a. Walau ia sendiri m engaku pem eluk agam a statistik, aku m enilai, dia berpegangan pada keyakinan. Aku ingat betul, ketika Bapak Toer m eninggal, dia juga yang dengan inisiatif

www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

sendiri m engum andangkan kebesaran Sang Pencipta. Karena suaranya yang panjang, m engalun, dan m enggigil itu, tidak lam a setelah suaranya ditelan m alam , para pelayat berduyun datang m em banjiri rum ah kam i yang reot, kotor, dan gelap. Dan kurang dari sejam kem udian rum ah itu telah terangbenderang oleh lam pu gaspom yang dipasang oleh entah siapa saja. Yang jelas, rasa turut belasungkawa m erebak ke seluruh pojokan rum ah, pekarangan, bahkan desa itu. Seingatku, Bapak m eninggal m alam J um at. Malam itu juga dapur tua yang seluas lapangan badm inton itu penuh orang yang sibuk bertandang. Tahu-tahu, entah dari m ana saja, dapur itu sudah penuh beras, gula, kopi, teh. Ayam ayam yang sudah dipotong bergelim pangan m em antapkan kesibukan dapur. Keesokan harinya, sejak subuh, pelayat m akin m em bludak. Seluruh sekolah di Blora diliburkan. Karangan bunga m enggunung. Ini kukira karena Bapak Toer punya andil besar dalam sejarah Blora. Sekiranya ia m eninggal sepuluh atau lim a belas tahun kem udian, situasinya akan lain. Sam pai kadang-kadang terpikir olehku bahwa m ati pun perlu saat yang tepat. Beberapa kali kudengar Mas Moek berkeinginan m em perbaiki m akam itu dengan keram ik sebagai rasa terim akasih dan horm at kepada m ereka yang sudah tak bisa m enuntut apa-apa, jadi yang tinggal hiduplah yang bisa m elakukannya. Aku m endengarnya sendiri ketika Mas Moek bicara dengan anaknya Astoeti. Mata Astoeti berbinar m endengar usul itu, nam un ia berbisik kepada bapaknya yang pasti tidak m enangkapnya. Waktu itu Astoeti m enyatakan, royalti bapaknya sedang kedodoran. Ziarah itu pun dengan m enjual perhiasan.

471

www.facebook.com/indonesiapustaka

472

Bersama Mas Pram

Kudengar pula pem bicaraan dengan istrinya tentang bagaim ana m em perbaiki m akam . Seperti selam a ini kukenal, tak pernah sang istri lantas berubah ekspresi raut m ukanya. Biasa-biasa saja, tak ketahuan setuju atau tidak, keberatan atau tidak. Kukira ia m em ang dianugerahi wajah lem but, kalau tak hendak dikatakan dingin. Segala peristiwa ia lakoni dan jalani tanpa em osi. Alhasil pem bicaraan pun dingin dan m ati di situ. Ada satu lokasi lagi di m ana Mas Moek ingin bernostalgia dengan para tam unya, yaitu kuburan Cut Meurah, pahlawan Aceh. Walau nam anya tidak sekondang Cut Nyak Dien, ia juga telah berjuang dan jadi orang buangan sam pai akhir hayatnya. Yang pernah kudengar, ia dibuang ke J awa bersam a Cut Nyak Dien. Sesudah dioper ke sana keMari akhirnya kesangsang di Blora. Mas Moek pernah cerita, Cut Meurah hidup berkecukupan. Ia bahkan punya sepeda m erek Raleigh yang waktu itu m erupakan barang m ewah. Ini sangat kontras dengan yang pernah dialam i oleh em pat dari lim a anak lelaki Bapak Toer. Kuburan itu terletak di jalan m enuju Desa Nglangitan, sekitar dua kilom eter dari Sasana Lalis. Ketika rom bongan datang lengkap dengan bule-bulenya, para penyam but tuam uda lelaki-perem puan berham buran. Sem ua laiknya m em beri pelayanan terbaik. Terharu juga aku m elihat antusiasm e itu, apalagi aku sendiri baru pertam a kali datang ke situ. Ram ai-ram ai m ereka m engantarkan kam i ke tem pat yang kam i perlukan. J epretan kam era berkelebat, bisik-bisik kom entar berkem bang. Makam itu term asuk yang paling terpelihara. Mungkin juga paling banyak dikunjungi orang. Pernah, katanya, rom bongan orang Aceh yang m engaku keluarga pahlawan itu berm aksud m endanai pem bangunan

Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer

www.facebook.com/indonesiapustaka

m onum en yang representatif, tapi kem udian tak ada kelanjutannya. Sore sekitar pukul setengah em pat rom bongan sudah siap berkum pul. Merka akan berpisah. Bule-bule akan m eneruskan perjalanan ke Sem arang dan Salatiga lewat jalur pantura, sedangkan Mas Moek dan anak-istri m elanjutnya perjalanan lewat jalur selatan: Blora, Wirosari, Purwodadi, Toroh, Sum berlawang. Kudengar, kalau ada waktu m ereka juga akan m am pir ke Kedung Om bo, waduk yang pernah jadi berita nasional. Untuk m em bangun waduk raksasa itu beberapa desa ditenggelam kan. Masyarakat banyak yang keberatan, m enolak ditransm igrasikan dan direlokasi. Tarik urat dan dem o tim bul berkepanjangan. Akhirnya Presiden turun tangan dengan penggadanya yang m em atikan: siapa m enolak, berarti PKI. Sebelum rom bongan berpisah, Mas Moek dan rom bongan singgah sekejap di m akam keluarga yang sudah kupercantik dengan vas dan bunga-bungaan. Mereka cukup puas. Mas Moek m inta supaya m akam dijaga dan dirawat, dan aku berjanji. Nam un janji tak terpenuhi, karena hanya dalam hitungan jam sem ua telah dijarah tangan jahil. Dalam kesem patan m enyekar berikutnya, ia tak m engucapkan sepatah kata pun. Hanya sorot m atanya m enuntut pertanggunganjawabku. Untuk itu aku tekor beberapa ratus ribu rupiah.

473

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

LAMPIRAN

www.facebook.com/indonesiapustaka

Lam p iran 1 Pram oedya Ananta Toer, J l. Multikarya II/ 26, Utankayu, J akarta Tim ur.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Kepada Yth. Departem en Pendidikan dan Kebudayaan Sekolah Tehnik, Negeri STN 1 J l. Halm ahera no. 29, Blora Dengan Horm at, Pada 31 Mei 1982 telah datang pada saya Sdr. Soeprapto dengan m em bawa Surat Tugas No. 222/ I.0 3.58TI.0 47/ c.82. Secara lisan telah saya terangkan sedikit tentang sejarah tanah kam i yang dipergunakan oleh STN 1 serta selem bar surat pernyataan tentang selokan sebagai batas tanah tsb. sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya pada saya. Pada 5 J uni 1982 telah datang pada saya Sdr. Mashudi yang m enjelaskan keterlibatannya dalam soal tanah tsb. Dari keterangan dua pihak yang saya terim a saya tarik kesim pulan, bahwa sesungguhnya tidak ada terjadi sesuatu pelanggaran hak. Sdr. Mashudi hanya berusaha m elindungi hak-haknya sebagai seorang warganegara. Hanya tafsirantafsiran yang tidak berdasar yang telah m em bikin kekeruhan.

www.facebook.com/indonesiapustaka

478

Bersama Mas Pram

Sedang sem ua itu hanya bersum ber pada ketidaktelitian pencatatan. Untuk jelasnya akan saya uraikan sbb.: I. Kom plex Tanah Dalam Kekuasaan Hak Milik M. Toer Alm arhum . Kom plex ini terdiri dari 3 bidang tanah yang akan saya sebutkan m enurut tuanya dalam kekuasaan hak m ilik ayah saya alm arhum . A bidang yang sekarang dipergunakan STN 1, B bidang yang sekarang berdiri rum ah yang ditinggali Sdr. Mashudi, jelasnya: suam i adik saya Oem isafaatoen Toer, dan C bidang tanah kosong di tim ur A. Antara A dan C dibatasi oleh Selokan. Kom plex tsb. digabungkan jadi satu dengan aanslag pajak tanah (sekarang: ipeda) satu. Dengan dem ikian ipeda untuk seluruh kom plex tsb. tetap dibayar oleh keluarga saya di Blora sam pai tahun 1982. Benar bahwa pada keluarga Mashudi telah m endapat ijin dari kam i sesaudara untuk m em iliki bidang B dan C sam pai batas selokan, tetapi karena keteledoran berbagai pihak pem ecahan antara C+B dan A belum terlaksana sam pai sekarang. Maka kericuhan m ulai tim bul. Ada pun selokan sebagai batas dibuat tidak lam a setelah C dalam kekuasaan hak m ilik ayah saya alm arhum , dikerjakan sekitar tahun 1932, untuk m em buang air genangan dari daerah Slibeg. Saya nilai pem berian ijin m enggali saluran di atas tanah kam i itu sungguh suatu kesalahan taktis, karena air genangan Slibeg dapat dibuang m elalui saluran yang lebih dekat dan lebih efisien. Pertimbangan ayah almarhum adalah untuk juga bisa m em buang air genangan di bagian selatan gedung sekolahan yang m enjadi rendah karena untuk m enim bun lantai gedung sekolahan. Nam un saya juga m engerti sebabnya, karena ordonansi waktu itu tidak m em benarkan halam an sekolah

www.facebook.com/indonesiapustaka

Lampiran

kotor, apalagi tanah rendah ditim bun sam pah. Dem ikian saya jelaskan duduk perkara selokan itu sebagai batas. Saya tidak m enyerahkan A kepada siapa pun, karena A bagi keluarga kam i m em punyai nilai spiritual, dia adalah m onum en perjuangan ayah saya, terutam a ibu saya, sem asa penjajahan Belanda. Saya sendiri sudah lam a m em punyai rencana sendiri untuk A. Baik A m au pun gedung di atasnya tidak m ungkin bisa dipertahankan tanpa jasa ibu saya alm arhum , yang m enyebabkan ia m eninggal m uda dalam usia 34 tahun, sehingga adik-adik saya yang term uda tidak pernah m endapatkan kasih-sayangnya. II. Tentang Tanah A. Saya telah pelajari sepintas lalu fotokopi surat-surat term asuk pernyataan ayah alm arhum dan bapak Am ir alm arhum . Surat-surat tsb. bukan saja tidak authentik, juga tidak m em punyai kekuatan hukum . Hal itu dapat saya jelaskan sbb.: 1. A tidak pernah jadi m ilik pem erintah Hindia Belanda, pem erintah pendudukan Balatentara Dai Nippon atau pun pem erintah RI. A tetap m ilik keluarga kam i bukan saja karena authentisitas ipeda, juga hal-hal yang m engenai sejarah keluarga. 2. Kekuasaan ayah alm arhum atas A didapatkan setelah m enikah dengan ibu saya. Pelepasan hak atasnya harus m elalui persetujuan antara ayah dan ibu alm arhum . Dan itu tidak m ungkin terjadi karena ibu m eninggal dalam bulan J uni 1942, sedang penyerahan pada kekuasaan J epang (yang notabene tidak authentik) terjadi pada 1944. Paling tidak ayah alm arhum harus m erundingkan dengan saya sebagai anaknya yang tertua yang pada 1944 sudah berum ur 19 tahun.

479

www.facebook.com/indonesiapustaka

480

Bersama Mas Pram

3. Pada bulan-bulan pertam a kekuasaan J epang ayah kam i m asih m em bayar angsuran hutang untuk A. 4. Pada 1943-awal 1945 pem erintah pendudukan Balatentara Dai Nippon telah m em buat “drive” yang bukan tanpa intim idasi terhadap penduduk lapisan atas dan m enengah untuk m em enangkan “Perang Asia Tim ur Raya” dengan jalan m enyerahkan harta-bendanya term asuk tanah, gedung dan perhiasan. Paralel dengan itu adalah “drive” lain untuk m endapatkan gadis-gadis buat hiburan balatentara J epang dengan alasan untuk disekolahkan ke Tokyo. (Sewaktu di Buru kam i ketahui m asih tersisa beberapa orang nenek dari sejum lah 228 gadis lulusan SD yang dahulu diangkut dari J awa). 5. Ayah kam i jelas tidak akan terbebas dari intim idasi “drive” yang pertam a ini, karena ia adalah seorang terkem uka dan tokoh sosial setem pat, disam ping itu pun juara-2 bahasa J epang untuk seluruh Pati-Syuu (= keresidenan Pati). Sebagai seorang nasionalis konsekwen yang non-koperatif terhadap Hindia Belanda sejak 1923 tidak m ungkin ia m enyerahkan sesuatu yang berharga pada fasis J epang, bagaim ana pun dedikatifnya pada dunia pendidikan. 6. Sam pai ayah kam i m eninggal pada pertengahan 1950 tidak pernah disam paikan pada saya, sebagai wakil sem ua anaknya dan juga kepentingan alm arhum ibu saya, tentang penyerahan A kepada siapa pun, pada hal saya m enungguinya sam pai m eninggalnya. Reportase literer tentang ini pernah saya tulis dan dium um kan dalam buku “Bukan Pasar Malam ”, 1951; dicetakulang di Malaysia, 1976; dibelandakan dengan judul “Geen Groot Gezellig Feest”, Den Haag 1978; diinggriskan di Cornell University oleh C.W. Watson dengan judul “It’s not

www.facebook.com/indonesiapustaka

Lampiran

an all Night Carnival”, Am erika, 1973; diinggriskan University of Queensland oleh Harry Aveling dengan judul “No Night Market”, Australia, 1975; diingriskan oleh Sean Forster dengan judul “Going Hom e”, 1967. Hanya untuk sekedar penegasan. 7. J elasnya A m asih tetap m ilik keluarga kam i. Sem ua pernyataan penyerahan penggunaan pada pihak ketiga atau kedua tidak m em punyai kekuatan hukum . 8. Sam pai sekarang bukan saja tidak pernah ada penghargaan resm i terhadap perjuangan nyata ayah alm arhum . J uga sam pai sekarang tidak pernah ada pernyataan resm i penyerahan hak penggunaan A dan gedung-gedung di atasnya, juga tidak pernah ada pernyataan terim akasih resm i penggunaannya selam a 32 tahun ini– sesuatu yang sungguh m engherankan. 9. Kepada Sdr. Soeprapto telah saya sam paikan sekedar riwayat bagaim ana A dan gedung-gedung di atasnya berada dalam kekuasaan hak m ilik ayah kam i yang garis besarnya adalah: a. pendirian Instituut Boedi Oetom o pada 1918 oleh dr. Soetom o, dan kepindahannya pada tahun itu juga ke Surabaya, b. vakum pim pinan dan delegasi Boedi Oetom o pada ayah kam i pada (sekitar) 1923, c. perjanjian antara Boedi Oetom o dengan ayah kam i, d. Boedi Oetom o tidak m enepati janjinya, e. Wilde Scholen Ordonantie 1933, f. hapusnya Boedi Oetom o setelah berfusi dengan Partai Bangsa Indonesia, yang setahun kem udian berubah nam a jadi Partai Indonesia Raya alias Parindra, 1935-36,

481

www.facebook.com/indonesiapustaka

482

Bersama Mas Pram

g. pendirian gedung baru di atas A yang sepenuhnya atas pem biayaan ayah kam i sendiri dengan sem ua konsekwensinya, h. audiensi protes terhadap wilde scholen ordonantie pada Gubernur J endral B.C. de J onge (m enurut cerita ibu alm arhum , yang saya tidak m am pu m engukuhkan kebenarannya), i. peraturan pem erintah daerah kolonial setelah wilde scholen ordonantie yang m enyebabkan keluarnya m uridm urid yang m em bayar dari sekolah A, sehingga tinggal para m urid yang tidak atau buruk m em bayar, j. tim bulnya panitia yang bertujuan hendak m engusir ayah alm arhum dari A dan pengusiran balik yang dilakukan ayah terhadap bawahannya yang terlibat dalam panitia tsb., k. gerakan front/ liga anti-fasis yang m enganjurkan kerjasam a antara pihak penjajah dengan gerakan antipenjajahan dalam m elawan fasism e internasional dan perm intaan pem erintah kolonial pada ayah untuk kem bali m engajar di HIS, l. pagi hari ayah m engajar di HIS dan sore hari di A, yang m enyebabkan m engapa Pak Am ir bisa m uncul dalam fotokopi surat-surat yang saya terim a, m . m asuknya kekuasaan fasis J epang dan m unculnya “wilde scholen ordonantie” gaya baru yang bersifat m utlak, n. akhirnya sem ua peram pasan J epang m enjadi cabar dan batal dengan lenyapnya kekuasaan fasis J epang m ulai 17 Agustus 1945. Dengan dem ikian telah saya jelaskan, atas kem auan saya sendiri dan atas tanggung jawab saya sendiri, tentang status A, dan bahwa A m asih tetap dalam kekuasaan hak m ilik kam i, sehingga pengubahan atas keadaan gedung-gedung di atasnya

www.facebook.com/indonesiapustaka

Lampiran

m au pun penggeseran batas-batas tanah bisa dilakukan hanya dengan persetujuan saya, sebagai wakil keluarga. Tentu saja saya pun ikut m em ikirkan keadaan STN 1 sebagai lem baga pendidikan kota kelahiran saya, kota yang telah m em besarkan saya. Saya akan m engajukan saran yang barangkali saja bisa diterim a sebagaim ana akan saya jelaskan di bawah ini. Di sudut baratdaya J etis ada kom plex tanah atas nam a saya yang terdiri dari dua bagian, yaitu A-1 yang di atasnya ada bangunan yang saya bangun pada 1950 dan yang sekarang ditinggali oleh adik perem puan saya, Koenm aryatoen Toer, dan A-2 yang kosong. A-2 dalam kekuasaan hak m ilik saya pribadi sejak sekitar tahun 1936. Sebelah selatan dan barat A-2 adalah kebun kosong. Bila 3 kebun kosong itu dipergunakan oleh STN 1 tentu STN 1 dapat m em bangun gedung sekolah sendiri, dan dengan dem ikian dapat m enyerahkan kem bali A pada saya dengan A-2 sebagai pengganti tanah di baratdaya dan utara A yang sekarang m enjepit A. Saran ini juga didasarkan pada keharusan perluasan kota dan sudah adanya kom plex sekolahan di depan A-1, di atas tanah yang sem ula juga dalam kekuasaan hak m ilik keluarga kam i dan yang saya tidak tahu bagaim ana sejarahnya sam pai bisa lepas, padahal dahulu direncanakan oleh keluarga kam i untuk pendirian sekolah tehnik. Surat ini saya susun dalam keadaan terburu-buru karena Saudara Mashudi, yang akan m em bawanya, akan kem bali dari J akarta ke Blora pada 6 J uni 1982. Walau dem ikian saya anggap sudah m ewakili saya, juga m em enuhi janji saya pada Sdr. Soeprapto untuk m enulis surat sekedarnya. Sengaja saya agak m em perinci soal-soal m engingat bahwa angkatan tua

483

484

Bersama Mas Pram

Blora yang m engetahui tentang ayah, keluarga kam i, Boedi Oetom o dan seluk-beluknya sem akin lam a sem akin berkurang dan yang m asih tinggal m ungkin sudah tidak banyak ingat lagi. Di sam ping itu saya sendiri pun sudah m enginjak tua, dan tentang um ur orang tak dapat m em astikan, jadi sebagai anak tertua dari keluarga Toer, yang sedikit atau banyak lebih m engetahui persoalan ini daripada adik-adiknya, surat ini barang tentu m enjadi dokum en yang m em punyai arti. Terim akasih atas perhatian yang diberikan.

Salam

www.facebook.com/indonesiapustaka

(tanda tangan) Pram oedya Ananta Toer J akarta, 6 J uni 1982.

Lam p iran 2

www.facebook.com/indonesiapustaka

Yang Tersisa dari Kebangkitan Nasional

20 MEI, Kebangkitan Nasional, tak pernah dapat dipisahkan dari nam a dr. Soetom o. Setelah lulus STOVIA Soetom o kontan diangkat oleh pem erintah kolonial jadi dokter di rum ahsakit Zending di Blora, J awa Tengah, dan di rum ahsakit ini ia bertem u dengan janda, perawat di rum ahsakit itu, wanita Indo, yang kem udian jadi istrinya. Waktu itu Bupati Blora adalah R.M. Said Tirtonegoro, seorang terpelajar yang m aju, pendiri sekolah gadis “Darm o Rini”, 1914, sebuah debatingsclub, dan beberapa perkum pulan setem pat seperti “Parukunan” dan “Sjafat-oel-Ichwan”, kem udian pun ia diangkat jadi anggota Volksraad dan m asih tetap m enjabat bupati. Dengan dorongannya Soetom o m ulai aktif kem bali dalam organisasi dan m endirikan Boedi Oetom o cabang Blora. Pada 1918 Soetom o m endirikan sekolah “Instituut Boedi Oetom o” baru, terdiri dari 2 klas, dibangun di atas tanah desa di kam pung

www.facebook.com/indonesiapustaka

486

Bersama Mas Pram

Slibeg. Tanah tsb., walau terletak di dalam kota kabupaten (sem asa kolonial: onderdistrict Blora-Kota, Distrik Karangjati, Kab. Blora, Afdeling Blora, Keresidenan J apara-Rem bang, Gewest J awa Tengah), untuk waktu lam a tidak dim anfaatkan karena m erupakan tem pat genangan di m usim hujan. Dalam segala hal sekolah dari 2 klas tsb. tertinggal jauh dari sekolah gadis “Darm o Rini” yang 5 klas, dan yang juga m enjadi m edan debatingsclub. Tidak kurang dari 3 m acam perhim punan sosial didirikan Soetom o di Blora, di antaranya perhim punan untuk studi m asyarakat Sam in. Dengan kepindahan Soetom o ke Surabaya sem ua perhim punan yang didirikannya habis pula riwayatnya, term asuk Boedi Oetom o cabang Blora, yang m em ang sudah tersorong ke sam ping oleh arus nasionalism e yang sem akin radikal. “Instituut Boedi Oetom o” di atas tanah com beran itu jadi sem akin m em ilukan. Melalui seruan lisan m au pun tulisan Bupati m em anggil tenaga yang sanggup m em benahi dan m engurus sekolahan itu yang akan dijam in dari kantongnya sendiri. Seorang nasionalis m uda, guru HIS Ram bang, M. Toer, m enyediakan diri dengan m engurbankan pekerjaannya sebagai guru negeri, dan pindah ke Blora. Nyatanya tak banyak yang dapat diharapkan dari janji Bupati, yang tanpa diduga m eninggal pada 12 Oktober 1926. Tanpa ada orang kuat di belakang, bukan saja jam inan sebagai guru m eruap ke langit biru, bahkan desa pun m em inta kem bali tanahnya. Dengan uang pinjam an dari beberapa sum ber, ditam bah dengan sedikit dari sisa tabungannya, ia beli tanah seluas 2.30 0 m 2 dan m endirikan bangunan sekolahan dari 5 klas dari kayu jati berdinding gedeg. Bangunan 2 klas dr. Soetom o

www.facebook.com/indonesiapustaka

Lampiran

dipindahkan dari tanah genangan m ilik desa ke tanah yang baru, yang berada barang 30 0 m di barat tem pat lam a. Pada 1931 sem ua dinding gedeg diganti dengan kayu jati, dilukisi peta bum i Indonesia dan benua yang lim a dengan cat kayu. Sekolahan ini tetap m enggunakan nam a “Instituut Boedi Oetm o”. Adapun bangunan dr. Soetom o didirikan terpisah dari bangunan M. Toer, dan dim anfaatkan untuk klas 1 dan 2 sebagai sem ula, kem udian pun untuk klas schakel (klas khusus untuk lulusan sekolah desa 3 tahun, yang dipersiapkan dengan bahasa Belanda untuk dapat m eneruskan ke klas 4). Dengan gencar-gencarnya gerakan kaum nasionalis radikal setelah berdirinya Partindo pada tahun-tahun pertam a dasawarsa ketiga kom plex sekolahan ini m enjadi pusat kegiatan pendidikan nasional setem pat, juga m enjadi tem pat berbagai rapat, sedang khusus bangunan Soetom o m enjadi tem pat pem berantasan butahuruf wanita di sore hari. Dengan ditangkapinya para pem im pin nasional radikal di J awa dan pulau-pulau lain, diikuti dengan VV (Vergader Verbod—larangan berhim pun dan bersidang) dan WSO (Wilde Scholen Ordonantie—Ketetapan tentang Sekolah Liar, yaitu sekolah yang tidak m enggunakan kurikulum kolonial) “Instituut Boedi Oetom o” m endapat pukulan, yang m enyebabkannya tidak bisa pulih lagi sebagai sem ula. Karena intim idasi kolonial, setelah WSO dicabut, terjadi eksodus m urid, sehingga yang tertinggal adalah para m urid yang kurang m am pu m em bayar uang sekolah atau yang m em ang tidak dikenakan bayaran sekolah. Dem ikian berlangsung dari 1934 sam pai jatuhnya Hindia Belanda pada 1942. Pada 1932 pihak desa m inta pada M. Toer untuk m enerjang tanah yang dipergunakan sekolah tsb. untuk saluran, 1 x 150 m ,

487

488

Bersama Mas Pram

dan diberinya ijin. Dengan dem ikian tanah desa bekas tem pat bangunan dr. Soetom o dan sekitarnya m enjadi tanah darat. Desa kem udian m em anfaatkannya jadi Balai Desa. Mulai kem erdekaan nasional 1945 sewaktu M. Toer sudah tidak m engajar lagi, tanah, bangunan dan peralatannya dipinjam oleh pem erintah setem pat dan dipergunakan jadi sekolah teknik negeri sam pai tahun 1985 ini. Masalah yang tersisa dari perayaan besar Kebangkitan Nasional tahun ini adalah: Apakah tidak sebaiknya bangunan 2 klas dr. Soetom o yang sam pai sekarang m asih berdiri di atas tanah yang dipinjam oleh Sekolah Teknik Negeri itu dipindahkan kem bali ke tem pat asal di kam pung Slibeg, di m ana pernah dibangun Balai Desa, dipugar sebagai sem ula dan dijadikan m usium setem pat? Sem oga sisa m asalah ini m endapat perhatian bagi yang m asih punya perhatian.

www.facebook.com/indonesiapustaka

J akarta, 30 Mei 1985 Pram oedya Ananta Toer

Lam p iran 3

J akarta, 4 Agustus 1993. Kepada Yth. Redaksi Surat Kabar “Suara Karya” J l. Bangka Raya No. 2 J akarta 12720

www.facebook.com/indonesiapustaka

Dengan horm at, Menanggapi berita berjudul “Siswa SMP 5 Blora belajar di Lantai” yang Saudara m uat dalam “Suara Karya” tgl. 22 J uli 1993 halam an III kolom 1, kam i dari Keluarga Toer sebagai pihak yang berkepentingan ingin m em berikan penjelasan sbb.: 1. Sekolah Boedi Oetom o (nam a asli: Instituut Boedi Oetom o, disingkat IBO) di Blora, J awa Tengah, didirikan oleh Dr. Soetom o, tokoh pendiri organisasi Boedi Oetom o (BO), tahun 1917, sewaktu beliau m enjadi dokter Zending di kota tsb.. Sekolah itu terdiri atas dua kelas, terletak di J alan Pirukunan No. 20 , desa J etis. 2. Tahun 1922 organisasi BO dan IBO dalam keadaan terlantar, hingga Bupati Blora waktu itu, R.M. Said Tirtonegoro,

www.facebook.com/indonesiapustaka

490

Bersama Mas Pram

anggota Volksraad, juga anggota BO, m elalui seruan lisan m aupun tulisan m em anggil tenaga yang sanggup m em benahi dan m engurus organisasi dan sekolah itu dengan dana dari kantong Bupati itu sendiri, dengan janji gaji tertentu dan kenaikan gaji sekian tahun sekali khusus untuk pem benahan dan pengelolaan IBO. 3. Seorang anggota BO, guru HIS Rem bang, M. Toer, m enyediakan diri dengan m engorbankan pekerjaannya sebagai guru negeri dan pindah ke Blora m em im pin BO dan IBO tahun itu juga. 4. Tahun 1926 R.M. Said Tirtonegoro m eninggal, hingga IBO terlantar kem bali. Bahkan desa m em inta kem bali tanahnya. M. Toer ikut terlantar. 5 Dengan pinjam an dari beberapa sum ber (a.l. dari seorang Cina di Rem bang, kem udian seorang Cina lain dari Blora bernam a Lie Tik Bo) dan tabungan sendiri, M. Toer m em beli tanah seluas 2.80 0 m 2 tidak jauh dari tanah sem ula, yaitu di J alan Galingsong No. 29 (sekarang J alan Halm ahera No. 29). Tanah itu dibeli atas nam a ayah M. Toer, Im am Badjoeri, naib Plosoklaten, Kediri. Kem udian di atas tanah itu M. Toer m endirikan bangunan sekolah terdiri atas 5 kelas. Bangunan Dr. Soetom o (2 kelas) dipindahkan ke atas tanah itu juga secara terpisah. Kedua bangunan itu hingga sekarang m asih tetap berdiri. Surat-surat resm i m engenai tanah dan bangunan disim pan di sekolah IBO. 6. Walaupun m em akai nam a Boedi Oetom o sam pai datangnya J epang di Indonesia, sikap dan kurikulum IBO selanjutnya m engikuti garis pendidikan Tam an Siswa yang berpusat di Yogyakarta, karena itu ketika Tam an Siswa bersam a kalangan pendidikan, kem asyarakatan, dan politik Indonesia

www.facebook.com/indonesiapustaka

Lampiran

berjuang m elawan Wilde Scholen Ordonantie (Undang-Undang Sekolah Liar) tahun 1932, IBO pun ikut m enggabungkan diri dan m engadakan rapat um um m enentang pelaksanaan UU tsb.. Seperti Tam an Siswa, IBO tidak bersubsidi, dan m enolak tawaran subsidi dari pem erintah kolonial. J ustru karena perlawanan tsb. M. Toer sem pat digerebek oleh Mantri Polisi dan ditahan. 7. Tahun 1935 Boedi Oetom o bersam a partai-partai kecil lain berfusi dengan Persatuan Bangsa Indonesia m enjadi Partai Indonesia Raya (Parindra), dipim pin oleh Dr. Soetom o. Kejadian ini dipergunakan oleh beberapa orang di Blora, a.l. guru-guru IBO sendiri, untuk m enguasai pengelolaan dan aset IBO, dan untuk m endem isionerkan kepala sekolah IBO, M. Toer. Mereka datang ke rum ah M. Toer pada suatu m alam untuk m elaksanakan niatnya, dan M. Toer pun m em berikan penjelasan tentang status tanah dan bangunan. Ia pun m enyatakan, bahwa janji m engenai gaji dan kenaikan gaji periodik tidak pernah dipenuhi oleh BO sejak tahun 1926. J adi tanpa bicara tentang pengelolaan dan aset BO, IBO sesungguhnya m enanggung hutang terhadap pribadi M. Toer. “Saya nyatakan di sini, bahwa tuntutan Tuan-Tuan ini keliru dan salah alam at. Dan saya tegaskan di sini, guru-guru yang ikut dalam aksi ini harus m eninggalkan IBO sekarang juga,” dem ikian dinyatakan oleh M. Toer. Seluruh pem bicaraan yang berlangsung dalam bahasa Belanda, J awa, dan Melayu itu didengar langsung oleh Pram oedya Ananta Toer, putra sulung M. Toer, dari balik dinding. Keesokan harinya, sem ua guru yang dim aksud dipecat dan tak dibenarkan m em asuki wilayah IBO. Tindakan itu m em buktikan, bahwa kekuatan hukum berada di pihak M. Toer.

491

www.facebook.com/indonesiapustaka

492

Bersama Mas Pram

8. Kegiatan belajar-m engajar di IBO berjalan terus sam pai J epang datang, ketika sem ua sekolah swasta dibubarkan oleh J epang dan dinegerikan, term asuk IBO. Waktu itulah suratsurat m engenai tanah dan bangunan IBO jatuh ke tangan kekuasaan J epang. 9. Sesudah proklam asi, IBO tetap dipergunakan sebagai tem pat kegiatan belajar-m engajar oleh Pem erintah Indonesia, dan belum dikem balikan kepada pem iliknya, Keluarga Toer sebagai ahli waris M. Toer yang m eninggal tahun 1950 . 10 . Penjelasan ini secara um um pernah diberikan kepada Carik utusan Kelurahan J etis, Blora, yang datang kepada Pram oedya Ananta Toer, di J akarta, tahun 1982, khusus untuk m enanyakan riwayat kepem ilikan tanah dan bangunan IBO itu. Kepada Carik, Pram oedya Ananta Toer pun berpesan agar tidak dilakukan perubahan apa-apa terhadap bangunan sekolah, bahkan m engusulkan agar m enjadikan bangunan Dr. Soetom o itu sebagai Museum Kebangkitan Nasional Kota Blora, dengan m em indahkannya ke atas tanah aslinya di J alan Pirukunan No. 20 . 11. Tahun 1988, kepada Tim J aksa yang diutus oleh J aksa Agung Republik Indonesia, Pram oedya Ananta Toer sem pat m inta agar Tim J aksa m em bantu m engusahakan pengem balian IBO kepada Keluarga Toer, tapi hingga kini perm intaan tsb. belum ada hasilnya. 12. Keterangan ini kam i tulis untuk m em berikan inform asi sem ata, m engingat penderitaan yang pernah dialam i keluarga kam i bertahun-tahun lam anya karena m em bela kelangsungan hidup IBO, terutam a sesudah kasus Wilde Scholen Ordonantie.

Lampiran

13. Kam i dalam hal ini tidak m engesam pingkan kem ungkinan adanya inform asi yang lebih kaya dari pihak m anapun dan dalam versi bagaim anapun. Kam i ucapkan terim a kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan Saudara untuk m em uat tanggapan kam i ini dalam surat kabar Saudara. Horm at kam i,

(tanda tangan)

Pram oedya Ananta Toer (putra tertua)

www.facebook.com/indonesiapustaka

Alam at: J l. Multikarya II/ 26 Kel. Hutan Kayu J akarta Tim ur 13120

Koesalah Soebagyo Toer (putra keenam ) Alam at: J l.P. Tendean Gg. Sum bangsih 14 Kel. Kuningan Barat J akarta Selatan 127 10

493

494

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Catatan: 1. Surat ini dikirim kan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2. Tem busan dikirim kan kepada Pers Nasional dan m ereka yang berkepentingan. 3. Berita yang senada berjudul “Depdikbud Mengalam i Kesulitan Bangun di Lokasi SMPN 5 Blora” dim uat dalam surat kabar “Suara Pem baruan” tgl. 31 J uli 1993 halam an VI kolom 7-9.

Lam p iran 4

Penjelasan untuk Bung Jaap

TERIMAKASIH MENERIMA gam bar-gam bar potret dari Blora. Pada kaki tugu terdapat teks

www.facebook.com/indonesiapustaka

MONUMEN PENDIDIKAN MASTOER IMAM BADJ OERI PENDIRI SEKOLAH BOEDI OETOMO TH. 1922 BLORA Kalau yang dim aksudkan dengan Mastoer Im am Badjoeri adalah ayah saya m aka perlu ada penjelasan. Nam a asli ayah saya m em ang Mastoer, tapi setelah m em asuki gerakan nasionalis kiri telah m enghapus suku depan Mas, m ungkin baginya terasa berbau feodal. Sejak saya ketahui pada tahun 30 nam a yang dipergunakan adalah Toer, juga dalam surat-m enyurat resm i, juga dalam pem beritaan koran-koran Surabaya dan Sem arang. J uga dalam karya-karya-tulisnya sendiri.

www.facebook.com/indonesiapustaka

496

Bersama Mas Pram

Ayah saya juga sem pat m engetahui bahwa nam anya, Toer, telah jadi nam a keluarga. Pertam a karena beliau m asih sem pat m em baca nam a saya sebagai pem enang pertam a untuk Perburuan dari Balai Pustaka dan beliau sem pat baca cerpen Blora dalam m ajalah Orientatie dalam terjem ahan Belanda dan dalam bahasa aslinya. Kedua beberapa waktu sebelum m eninggal m alah sem pat bertanya pada saya apa sekarang yang saya tulis? Ketiga beliau tidak pernah m enyatakan penolakan nam anya telah m enjadi nam a keluarga anak-anaknya. J adi pencantum an nam a Mastoer, apalagi ditam bah dengan Im am Badjoeri— nam a yang tak pernah dipergunakannya baik dalam keperluan resm i atau pun pribadi jelas m elanggar hak azasi alm arhum dan m erupakan kesewenang-wenangan, m enodai kehorm atan yang bersangkutan, juga terhadap anakanaknya. Tentang Boedi Oetom o. Kalau yang dim aksudkan pada kaki tugu adalah nam a sekolah, jelas itu tidak tepat. Yang benar adalah Instituut Boedi Oetom o (IBO) sam pai dibubarkan J epang, 1942. Boedi Oetom o sendiri adalah nam a organisasi yang kem udian berfusi dengan Partai Bangsa Indonesia yang kem udiannya lagi jadi Parindra (1935). Instituut Boedi Oetom o tidak didirikan pada 1922 tetapi pada 1918. Pendirinya bukan ayah saya tapi dr. Soetom o. Tentang m otto pada kaki tugu. Sejauh saya ketahui ayah saya tidak pernah m enggunakan m otto tsb. Ayah, walau m endapat pendidikan m asjid dan surau, perilakunya lebih banyak seorang javanis, abangan, daripada seorang m uslim sejati. Praktis dia tidak pernah terpengaruh oleh gereja. Karena itu m engherankan adanya ungkapan bekerja dan berdoa yang berasal dari gereja.

Lampiran

Aneh sekali bahwa pendirian tugu tsb. tidak pernah diberitakan, apalagi dikonsultasikan dengan ahliwarisnya yang syah. Saya tidak m engerti m engapa Pem da Blora m elecehkan kam i sebagai ahliwaris syah, yang tak pernah m enghibahkan keabsahannya kepada siapapun juga. Pada kesem patan pertam a Koesalah Soebagyo Toer akan m enyerahkan pada Bung J aap dokum entasi m usyawarah kelurga m engenai latarbelakang tindakan Mashudi-Pem da ini. Terim akasih atas perhatiannya.

Pram oedya Ananta Toer

www.facebook.com/indonesiapustaka

(tanda tangan) ja. 20 J uli 1994

497

498

Bersama Mas Pram

Foto-foto

Bapak Mas Toer (kemudian bernama Toer).

www.facebook.com/indonesiapustaka

Nenek Azizah (istri keempat) bersama Kakek Mas Moestamiruddin (kemudian bernama Haji Ibrahim), penghulu Rembang, yang meninggal tahun 1928.

Rumah di Jalan Sumbawa 40, Blora, didirikan oleh Toer tahun 1925, kemudian dirombak oleh Pramoedya Ananta Toer tahun 1950, dan sekarang didiami oleh Prawito Toer (kemudian bernama Walujadi Toer) dan Soesilo Toer sekeluarga.

Tahun 1949. Pramoedya Ananta Toer di pelaminan bersama istri pertama, Arvah Iljas. Di belakang: Mertua pria, Iljas (dipanggil Alijas), dan mertua wanita, Milah (dipanggil Mile).

Lampiran

Tahun 1950. Adik-adik Pramoedya Ananta Toer. Dari kiri ke kanan, belakang: Prawito Toer (kemudian bernama Walujadi Toer), Djajoesman (suami Koenmarjatoen Toer); tengah: Oemi Safaatoen Toer (kemudian Ny. Mashoedi) menggendong kemenakan (putra Imam Barsah), Koenmarjatoen Toer (kemudian Ny. Djajoesman), Koesaisah Toer (kemudian Ny. Hermanoe Maulana), Koesalah Soebagyo Toer. Depan (jongkok): Soesetyo Toer (kemudian bernama Setyo Renggoyuwono), dan Soesilo Toer.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1960. Berdiri dari kiri ke kanan: Soesetyo Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Soesilo Toer. Duduk: Prawito Toer dan istri, Marie.

Tahun 1979. Di rumah Jalan Multikarya II No. 26, Utankayu, Jakarta Timur sepulang Pramoedya Ananta Toer dari Buru. Dari kiri ke kanan: Pramoedya Ananta Toer, Oemi Safaatoen Toer, Srie Handono (putra Oemi Safaatoen Toer), Soesilo Toer, Koesalah Soebagyo Toer.

499

500

Bersama Mas Pram

Tahun 1979. Pramoedya Ananta Toer ikut bersimpuh di depan makam ayah-bunda dalam rangka menyekar.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1979. Pramoedya Ananta Toer menaburkan bunga di atas pusara Mbah Putri Satimah (prototipe “Gadis Pantai” dalam novelnya) dan Mbah Kakung Sodikromo.

Tahun 1979. Pramoedya Ananta Toer dan istri Maemoenah Thamrin menemui tamu di rumah keluarga di Jalan Sumbawa 40, Blora.

Lampiran

Tahun 1979. Pramoedya Ananta Toer dan keluarga berfoto bersama di beranda rumah di Jalan Sumbawa 40, Blora.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1980. Berkunjung ke rumah Bu Hartini. Kiri: Direktur Penerbit Hasta Mitra Hasjim Rachman; kanan: Pramoedya Ananta Toer.

Tahun 1986. Pramoedya Ananta Toer dan istri sedang berbicara di rumah Oemi Safaatoen Toer. Di sebelah kirinya: Istri Koesalah Soebagyo Toer, Utati, seorang ipar, putri Pramoedya, Rina, dan seorang kemenakan.

501

502

Bersama Mas Pram

Tahun 1986. Pramoedya Ananta Toer dan istri sedang berbicara di rumah Jalan Sumbawa 40, Blora, dengan ipar, didampingi adik bungsu, Soesetyo Toer.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1986. Pramoedya Ananta Toer duduk-duduk di rumah Jalan Sumbawa 40, Blora, didampingi anakanak Koesalah Soebagyo Toer—Uliek Mandiri dan Uku Permati—dan menantu Daniel Setiawan.

Tahun 1986. Pramoedya Ananta Toer dan istri sedang berbicara di rumah Oemi Safaatoen Toer. Di sebelah kanannya: Koesalah Soebagyo Toer dan Mashoedi.

Lampiran

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 2000. Pramoedya Ananta Toer berbincang-bincang dengan Editor Penerbit Hasta Mitra Joesoef Isak dan Koesalah Soebagyo Toer dalam acara penganugerahan “Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres” (Pemenang Bintang Seni dan Sastra) dari Republik Prancis di Jakarta.

Tahun 2002. Pramoedya Ananta Toer dan istri bersama keluarga besar (anak-anak, menantu, cucu, dan cicit) di kebun rumah Jalan Warung Ulan No. 9, Bojong Gede, Bogor. Berdiri paling kiri: Koesalah Soebagyo Toer.

503

504

Bersama Mas Pram

www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 2005. Pramoedya Ananta Toer mengucapkan selamat kepada orangtua pengantin pria ketika Koesalah Soebagyo Toer mengawinkan putrinya, Uliek Mandiri, di Jakarta.

Monumen Toer di depan STN 1 (kemudian SMP 5), Jalan Halmahera No. 29, Blora.

www.facebook.com/indonesiapustaka

Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer

Bersama Mas Pram mengungkap sisi-sisi kehidupan Pramoedya Ananta Toer, novelis terbesar Indonesia, yang jarang diketahui umum. Misalnya, tentang kehidupan seksualnya, kegigihan kerjanya, pandangannya tentang wanita dan perkawinan, aktivitasnya menjelang 1965, sikapnya tentang Tuhan dan doa, cara dia mendidik adikadiknya, sampai percakapan-percakapan ketika dia ditangkap tahun 1965. Memoar ini adalah buku kedua Koesalah Soebagyo Toer yang memaparkan kehidupan Pramoedya setelah Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali. Ditambah catatan Soesilo Toer, buku ini menyuguhkan inside story kehidupan Sang Novelis yang lebih lengkap sejak masa kecil di Blora hingga

www.facebook.com/indonesiapustaka

meninggal tahun 2006 di Jakarta.

KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3 Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270 Telp. 021-53677834, 53650110 ext. 3362-3364, Fax. 53698044 HP. 0815 9080 660, E-mail: [email protected] Situs web: http://www.penerbit-kpg.com Untuk pemesanan langsung: Telp. 53677834 ext. 3901, 3902 E-mail: [email protected], [email protected]

KPG: 92004090235 KPG: 94S23509 ISBN 13: 978-979-91-0139-6

9 789799 101396

Mas Pram

Bersama Mas Pram