Belok Kiri Jalan Terus vol. 1 [1]

  • Author / Uploaded
  • BKJT

Citation preview

ADIL SEJAK DALAM PIKIRAN

SALAM PENGANTAR

Jumlah cetakan yang tersedia tiap bulannya mungkin akan berbeda-beda tergantung dari kondisi keuangan kami atau tergantung dari donasi yang teman-teman berikan kepada kami. Namun saat ini kami juga sedang mengembangkan platform digital berupa website sehingga versi pdf dapat diunduh melalui belokkirijalanterus.net . Mengutip dari Pramoedya, akhirnya edisi pertama ini bertajuk “Adil Sejak Dalam Pikiran”, kami percaya bahwa keadilan bisa diciptakan sejak dari mulanya, begitu pula ketidakadilan. Pada edisi yang pertama ini kami berkesempatan berjumpa dan bercakap dengan seorang peneliti dan antropolog dari Melbourne University yang akhir-akhir ini sedang meneliti perkembangan gerakan digital nomad di Asia Tenggara dan Ubud salah satunya; demikian pula hubungannya dengan elemen lain seperti “orang lokal” dan atau pendatang lintas generasi. Dia membicarakan tentang hirarki ekonomi dan hirarki rasial yang seringkali (mungkin hampir selalu) menjadi hal yang paling kelihatan dalam hubungan-hubungan antar manusia khususnya di Ubud. Juga ada resensi buku Gadis Pantai, yang berbicara soal relasi kuasa yang terjadi antara masyarakat kelas bawah dan kaum priyayi yang dihormati dan dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi. Relasi yang terjadi dalam cerita Gadis Pantai lebih kompleks lagi meski tetap berakar pada permasalahan yang sama seperti yang dibahas dalam wawancara Paul Green. Kami juga terbuka terhadap kritik, saran, dan kontribusi teman-teman dalam bentuk apapun, termasuk konten. Kontak kami, dan mari bicara. [email protected] belokkirijalanterus.net @belokkirijalanterusss

Ilustrasi & desain visual: Putu Sridiniari | Isi: Merio Falindra, Putu Sridiniari

belok kiri jalan terus

Belok Kiri Jalan Terus adalah sebuah zine yang diniatkan terbit setiap dua bulan sekali dengan mengusung tema yang berbeda-beda, dekat, namun semoga bermanfaat.

INTERVIEW BERSAMA PAUL GREEN

UBUD DAN RELASI KUASA

Paul Green adalah seorang pengajar Antropologi di fakultas Ilmu Politik. Ketertarikan penelitiannya ada pada bidang-bidang bentuk kekerabatan, migrasi, mobilitas dan nasionalisme serta isu-isu urban. Penelitian doktoralnya yang berfokus pada kehidupan orang Brazil yang tinggal di Jepang menggabungkan teori-teori kepribadian, kekerabatan, dan ideologi nasional dalam konteks migrasi.

ADIL SEJAK DALAM PIKIRAN

Ketertarikan Paul pada kekerabatan dan migrasi menuntunnya untuk melanjutkan penelitiannya di Asia Tenggara, sebuah penelitian etnografis yang berfokus kepada pengalaman pensiunan dari luar negeri yang tinggal dan menetap di Indonesia dan Malaysia. Penelitian ini mengemukakan bagaimana dan dalam konteks apa seseorang mengalami kehidupan sehari-harinya ketika dikontekskan dengan bentuk relokasi / perpindahan, gejolak kekerabatan lintas nasional, layanan kesehatan, serta pembingkaian konsep migrasi dan penuaan oleh negara. Paul juga memfokuskan penelitiannya pada pengalaman hidup dan praktek-praktek mobilitas dari digital nomads, atau pekerja profesional yang tidak terikat pada tempat, dalam konteks teoritis tentang mobilitas, perancangan pribadi dan ruang, serta masa depan bepergian sembari bekerja. Penelitian ini melibatkan banyak lokasi (multi sited) penelitian yang secara lanskap digital beririsan dan juga penelitian berbasis lokasi (place-based) di Asia Tenggara dan sudah menjadi subjek wawancara dengan SBS World News tentang peningkatan pekerja profesional dari Australia ke Asia. Kami berkesempatan untuk bertemu dan berbicara langsung dengan Paul Green dan membicarakan banyak hal tentang penelitiannya di Ubud tentang para pensiunan dari luar negeri yang akhirnya tinggal di Ubud serta fenomena digital nomad yang dalam 5 tahun terakhir jumlahnya meningkat dengan cepat. Paper penelitian Paul Green sebelumnya tentang Racial Hierarchy di Ubud bisa diakses dengan cara mengirimkan email ke: [email protected] dengan subjek email: Paul Green paper, lalu kami akan mengirimkannya ke email dalam bentuk pdf.

BK: Penelitianmu di sini adalah bagian dari riset tentang gaya hidup manusia di Asia Tenggara, kenapa Ubud? P: Sebagian dari ceritanya sih sangat personal. Saya datang ke Ubud pertama kali pada tahun 1990. Saya tertarik terhadap Ubud secara ruang. Lalu kenapa ini penting di Bali? Saya selalu tertarik kepada sejarah tentang terbentuknya suatu tempat atau ruang. Ubud adalah ruang yang sangat mempengaruhi saya secara personal, dan itu terbukti dari waktu ke waktu, sampai sekarang ini, sudah lebih dari 20 tahun. Saya sangat tertarik dengan bagaimana Ubud secara ruang bisa menarik berbagai jenis manusia untuk datang. Dalam hal ini saya berbicara soal orang asing, pensiunan, komunitas new age, lalu sekarang ada digital nomad, dan orangtua-orangtua yang anaknya bersekolah di Greenschool. Kita punya banyak sekali kategori manusia yang mungkin tidak saling terkoneksi, dan biasanya begitu. Dan seringkali mereka berbicara sinis terhadap kelompok lain, misalnya kategori pensiunan akan berbicara tentang keanehan orang-orang di kelompok new age. Dan tentu saja orang yang sama-sama berbahasa Inggris bisa dengan cepat terkoneksi, namun ada orang Jepang, pensiunan dari Korea, atau orang-orang lain yang hanya tertarik tinggal di sini, dan biasanya orang-orang seperti ini sedikit terpisah dari kelompok lain. Ubud kemudian menjadi menarik untuk saya karena Ubud bagai magnet yang menarik banyak sekali orang yang berbeda, meskipun ada destinasi lain di Asia Tenggara. Dan yang sedang terjadi sekarang ini adalah karena Ubud, dan Bali secara umum, menjadi semakin mahal. Sehingga orang-orang mulai mencari tempat yang lebih murah untuk pensiun dan tinggal. Jadi beberapa orang mulai pindah ke negara Asia Tenggara yang lain karena infrastruktur turisme, kemacetan lalu lintas, dan hal-hal lain menjadi sangat berlebihan sehingga tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk beristirahat. BK: Kemudian, bagaimana seharusnya kita mendefinisikan Ubud? P: Tunggu dulu, kita mulai dari perspektif yang mana. Karena Ubud sendiri juga terbentuk dari bayangan orang-orang asing tersebut. Ide tentang Ubud sendiri datang mungkin tidak dari masyarakat Ubud, tapi dari orang-orang asing itu. 3 tahun yang lalu saya mempresentasikan penelitian ini di Universitas Udayana, dan salah satu pertanyaan pertama yang muncul adalah “Apa yang kamu maksud dengan Ubud?”, karena tentu saja setelah itu dia berbicara soal birokrasi, kebudayaan, latar belakang dan sejarah desa, dan hal-hal lainnya. Jadi sekarang kita mau pakai perspektif yang mana? BK: Bagaimana kalau kita mulai dari temuanmu tentang Ubud? Dari kacamata seorang peneliti. P: Temuan primer saya berkaitan dengan isu Ubud sebagai destinasi gaya hidup, jadi tentang apa makna semua ini bagi orang-orang yang datang, dan apa maknanya bagi gaya hidup mereka. Tetapi penelitian saya melebar ke banyak arah yang

belok kiri jalan terus

Berikut transkrip wawancara kami dengan Paul Green.

berbeda, karena saya tidak datang dengan pertanyaan riset. Saya mau mendengar, mengobservasi, dan penelitian ini adalah penelitian panjang, tidak hanya di sini 5 menit lalu mencoba menebak-nebak. Tetapi bukan berarti bahwa perspektif saya sempurna, tapi paling tidak ketika penelitian ini dilakukan dalam jangka panjang, kita akan bisa melihat secara lebih utuh. Dari sana, Ubud adalah destinasi gaya hidup yang sangat menarik dan membawa saya kepada hubungan kekerabatan global, obat-obatan, bagaimana orang mengatur jaminan kesehatan, dan tentu saja hirarki rasial dari penelitian saya sebelumnya. BK: Istilah digital nomad sangat menarik bagi kami, kalau tidak salah ingat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berkembang cepat sekali. P: Ya, itu adalah penelitian besar saya berikutnya. Saya sudah melakukan penelitian di beberapa negara Asia Tenggara dengan topik tersebut, dan saya terganggu dengan datangnya komunitas digital nomad, yang kemudian membuat gaya hidup menjadi dirayakan dalam dasar ide bahwa mereka bekerja dan vakansi. Mereka tidak harus berinvestasi di tempat, dan mereka tidak harus berkata,”ketika saya tinggal di sini untuk sementara waktu, saya harus belajar bahasa di sini.” Mereka tidak berkebutuhan melakukan itu. Namun ternyata temuan saya lebih kaya. Ketika kita mau bervakansi, salah satu alasan vakansi adalah untuk terhubung dengan sesuatu yang lokal, apapun bentuknya, jadi ketika saya melakukan penelitian di Chiang Mai, tidak ada keinginan untuk itu dari mereka. Namun jika dibandingkan dengan apa yang saya temukan di pensiunan-pensiunan di Ubud, beberapa dari mereka mau dan berniat untuk terkoneksi dengan orang di sini. Saya kenal beberapa orang yang menyewa tanah dan properti di sini, mereka berkata ketika nanti mereka mati, tanah dan properti ini akan dimiliki kembali oleh si empunya tanah.

ADIL SEJAK DALAM PIKIRAN

Ada orang yang benar-benar peduli akan hal itu, meskipun tentu saja mereka tetap memiliki keistimewaan untuk bisa bervakansi. Tetapi dengan digital nomad, saya merasa bahwa ini adalah kelompok orang yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan sesuatu yang ada di sini atau lokal, jadi rasanya ini lebih buruk lagi. Namun keuntungan dari penelitian jangka panjang adalah bahwa saya akhirnya menemukan cerita yang berbeda-beda. Ada orang yang tiba-tiba menyadari dan berkata “Oh, mungkin menarik juga ya kalau saya terkoneksi dengan ekosistem lokal”. Tapi ya mungkin ini sebagian berkaitan dengan generasi dan sebagian berkaitan dengan budaya, dan budaya dalam hal ini adalah budaya yang relasinya dengan kelompok digital nomad. Jika dibandingkan dengan konsep ruang kerja bersama atau co-working spaces, seringkali pemilik atau pekerja di co-working space memiliki peran untuk menjadi jangkar bagi nilai-nilai serta semangat yang diusung. Saya melihat hal tersebut di

Siem Reap di Kamboja. Ada satu co-working space yang berkomitmen terhadap ekosistem lokal, dan ini adalah contoh yang sangat menarik ketika tempat tersebut menarik banyak orang dengan nilai yang sama untuk datang, namun sekali lagi, yang terjadi akan berbeda-beda.

Tapi kemudian saya juga berbicara dari perspektif ilmu sosial dan teori tentang power/ kekuasaan yang ada dalam relasi tersebut dan seringkali ada perasaan bersalah dari mereka. Para pensiunan membayar dengan jumlah uang yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan apa yang mereka tau dan dapatkan dari negara mereka. Jadi dari konteks yang sama, ada sebuah penelitian yang menginspirasi saya tentang keluarga kulit putih dan pembantu kulit hitam, kita dapat melihat bahwa bentuk power/kekuasaan sangat halus dan menjadi tidak tampak. Saya berbicara tentang kehidupan pensiunan di Ubud yang sangat peduli dengan dunia di sekitar mereka, tapi tetap memiliki kekuasaan, sehingga tantangannya adalah untuk meneliti hubungan kuasa tersebut, dan kemudian yang kita temukan adalah sesuatu yang sangat halus, hampir tidak tampak, seperti penggunaan katakata tertentu misalnya penggunaan kata “staf”. Ini juga saya temukan di ruang-ruang yang lebih publik misalnya restoran dan pemiliknya yang berasal dari luar negeri, yang juga bicara soal kata “staf”. Tapi mungkin untuk mereka hal tersebut lebih sah dan baik, karena mereka adalah “staf”, “staf restoran”, tapi mungkin itu topik yang berbeda ya. Begitu kira-kira beberapa hal yang bisa saya bagikan saat ini. Nanti saya akan memutakhirkan kalian dengan hasil penelitian lanjutan tentang topik ini. Saya akan sering kembali ke Ubud untuk penelitian ini. BK: Terima kasih Paul

belok kiri jalan terus

Dan juga bentuk relasi antara digital nomad dan orang-orang pensiunan sangat berbeda. Pensiunan akan tinggal di sini dalam waktu yang cukup lama, dan mereka akan sangat membutuhkan pekerja-pekerja lokal, misalnya supir atau pembantu. Hubungan antara pensiunan ekspatriat dan pembantu menjadi cukup kompleks, contohnya seorang pensiunan pernah berkata, “jika aku sakit dan harus pergi ke rumah sakit, saya tahu bahwa pembantu saya akan ada di sana untuk saya”. Jadi dia sungguh tau bahwa ada satu orang yang bisa dia percaya. Ini adalah hal besar untuk mereka, yang tinggal sendiri di Ubud di usia yang sudah lebih dari 60 tahun.

RESENSI

ADIL SEJAK DALAM PIKIRAN

“Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini.. Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka tanpa perasaan.”

Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 – 30 April 2006) lahir di Blora, Jawa Tengah. Hampir separuh hidupnya dihabiskan di penjara. Gadis Pantai adalah salah satu karya awal Pram, yang ditulis dari 1963 hingga 1965, sesaat sebelum Pram dipenjara di Pulau Buru. Gadis Pantai adalah roman yang tidak selesai. Sejatinya, roman ini merupakan sekuel pertama dari sebuah trilogi. Namun, dua buku lanjutannya tak dapat diselamatkan. Tidak seperti halnya Bumi Manusia, Gadis Pantai merupakan novel yang pendekatannya personal. Kanvasnya lebih sempit dan terfokus pada gadis dari kampung nelayan yang pada umur 14 tahun harus berpisah dengan orang tua dan lautan yang telah menemaninya tumbuh sepanjang hidup. Kenyataan yang menghenyakkan ketika pembaca menyadari hak Gadis Pantai terampas, dia hanyalah gundik, yang setelah melahirkan akan dibuang dan ditinggalkan untuk wanita lain. Gadis Pantai yang berdasar pada kehidupan nenek Pramoedya merupakan karya yang sentimental, dalam prolog dituliskannya: “Inilah tebusan janjiku. Pada dia yang tak pernah ceritakan sejarah diri. Dia yang tak pernah kuketahui namanya. Maka cerita ini kubangun dari berita orang lain, dari yang dapat kusaksikan, kukhayalkan, kutuangkan.” Protagonis yang dalam narasi tak pernah disebut namanya adalah seorang pribadi yang gigih dan teguh pendiriannya. Gadis Pantai lahir dan tumbuh di sebuah kampung nelayan di Rembang, Jawa Tengah. Cukup manis untuk memikat hati seorang pembesar santri setempat, Bendoro; seorang yang bekerja pada administrasi Belanda. Dia diambil sebagai gundik dan menjadi Mas Nganten:

belok kiri jalan terus

NARASI FEODALISME DALAM GADIS PANTAI

ADIL SEJAK DALAM PIKIRAN

perempuan yang melayani kebutuhan seks pembesar sampai kemudian pembesar tersebut menemukan perempuan aristokrat yang tepat untuk menjadi istrinya. Cerita dimulai dengan Gadis Pantai dipisahkan dari keluarga dan menetap di rumah mewah Bendoro. Rumahnya luas, dengan lorong-lorong dan banyak ruangan misterius, serta pelayan dimana-mana. Namun, tak ada orang yang dapat diajak mengobrol, kecuali si mBok, asisten pribadinya. Bendoro memperlakukan dia seperti mainan; saudaranya memperlakukan dengan dengki; pelayan menaruh belas kasihan karena mereka tau nasib sudah terpatri. Walau demikian, Gadis Pantai tetap mampu beradaptasi dalam rumah Bendoro, mampu mengatur rumah tangga dan disaat yang bersamaan tetap memegang teguh nilai-nilai yang tertanam dari kampungnya. Disatu kesempatan, Gadis Pantai kembali ke kampung nelayan untuk berkunjung. Perkawinan tersebut ternyata telah memberi prestise baginya di kampung halaman--ia menjadi legenda setempat sampai-sampai ada lagu tentangnya. Di titik itu pula, Gadis Pantai menyadari keadaan telah berubah, orang tuanya tidak memperlakukannya seperti anak sendiri; tidak ada bedanya dari pelayan-pelayan suaminya. Sesaat setelah itu, terjadilah pengkhianatan yang dilakukan seorang pelayan yang ternyata adalah kaki tangan seorang aristokrat yang ingin menjadi istri utama Bendoro. Para penduduk desa lalu melawan bajak laut bayaran yang ditugaskan untuk membunuh Gadis Pantai, lalu memaksa pelayan pengkhianat menikah dengan seorang penduduk desa, atau dia akan dibunuh. Pada akhirnya, situasipun memang sudah berubah. Sesaat setelah melahirkan, Bendoro mengusir Gadis Pantai dan menahan bayinya, mencegah Gadis Pantai untuk menemui bayinya ataupun menghubungi dia sampai kapanpun. Berbagai perlawanan yang dilakukan tak berbuah, malah menyisakan getah pahit--ia teraniaya secara fisik dan diusir pulang. Dengan bapaknya, Gadis Pantai jalan pulang ke kampung halaman, hatinya gundah, pahit dan getir menatap hidup. Pada akhirnya, Gadis Pantai memutuskan tak pulang ke kampung halaman. Ia mencari jalan sendiri tanpa ekspektasi terhadap masa depan, mengingat satu-satunya jalan yang sudah ia lalui dan serahkan sepenuh asa, seluruh hidupnya, ternyata buntu. Pram mengemas cerita ini dengan narasi yang sederhana dan lugas. Ia menceritakan kebrutalan sejarah Indonesia pada jaman penjajahan Belanda, awal abad ke-20 –pembangunan jalan di

pulau Jawa, dimana kebanyakan bayi-bayi para buruh meninggal; Bendoro yang munafik, berdoa beberapa kali sepanjang hari, mengaji, namun memperlakukan pelayan dan gundik seperti binatang yang derajatnya lebih rendah.

Gadis Pantai adalah awal yang baik untuk mengenal karya-karya Pramoedya, seorang sastrawan yang tak pernah berkompromi dan teguh memegang nilai serta menjadi simbol perlawanan terhadap tirani.

Judul: Gadis Pantai Pengarang: Pramoedya Ananta Toer Penerbit: Lentera Dipantara Tahun, cetakan: 2015, Cetakan 11 Deskripsi fisik: 280 halaman ISBN: 978-979-97312-0-3

belok kiri jalan terus

Sebagai penulis yang membawa tema-tema berdasar pada bentuk realisme sosialis, Pram dengan baik membongkar dan memperlihatkan kontradiksi praktek feodalisme Jawa dan realita sosial di Jawa. Gadis Pantai menunjukan cerita yang universal, seorang individu yang menjadi korban dari orang-orang yang berkuasa dan perjuangannya untuk bertahan.

HAL-HAL YANG KAMI SUKAI BELAKANGAN INI...

FILM TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH

Sutradara Chaerul Umam | Pemeran El Manik, Dewi Irawan, Rachmat Hidayat | Tahun 1982 | Durasi 94 menit | Fiksi

ADIL SEJAK DALAM PIKIRAN

Seorang guru bernama Ibrahim ditugaskan di sebuah desa bernama Tanjung Beringin, tempat di mana penduduknya —mengutip seorang pengembara yang misterius— hidup bagaikan layang-layang putus. Di sana, Ibrahim mengajarkan nilai-nilai hidup yang sepatutnya. Nyatanya, Tanjung Beringin hidup dalam ketakutan dan kepalsuan, bahkan membuat guru agama di sana diam seribu bahasa. Seolah itu semua belum cukup, Ibrahim pun dipaksa menghadapi sendiri ketakutannya, dan membuktikan sejauh mana dia mengimani nilai-nilai yang dia ajarkan sendiri. Film ini merupakan remake dari film berjudul sama, karya Asrul Sani sendiri tahun 1959, yang materinya sudah sulit ditemukan. Versi yang baru ini disutradarai oleh Chaerul Umam dan memenangkan penghargaan Piala Citra 1983 untuk Penulisan Skenario Terbaik oleh Asrul Sani. Tulisan disadur dari: https://www.kineforum.org/single-post/ Titian-Serambut-Dibelah-Tujuh

Film dapat diakses di https://bit.ly/2OOdgFM

belok kiri jalan terus

MUSIK KANTATA TAKWA Label: Airo Records Productions | 1990 | Durasi: 57:16 Kantata adalah sebuah album musik yang dirilis pada tahun 1990. Album ini merupakan proyek kolaborasi antara musisi, seniman, teater, dan penyair. Album yang eksperimental dan terdiri dari 10 bentuk kolaborasi musik ini dibuat sebagai bentuk protes atas kebebasan berekspresi yang ditekan serta kasus-kasus hak asasi manusia lainnya yang tidak pernah diusut yang terjadi pada masa Soeharto berkuasa. Judul album ini juga menjadi judul film yang dibuat oleh Gotot Prakosa yang dirilis untuk publik pada tahun 2008. Film ini merupakan perpaduan dokumentasi konser musik Kantaata Takwa tahun 1990 dan aksi teaterikal. *beberapa lagu dalam album ini dapat diakses di mesin pencari youtube. Berikut susunan lagu dalam album Kantata Takwa: Kantata Takwa | Kesaksian | Orang Orang Kalah | Paman Doblang | Balada Pengangguran | Nocturno | Gelisah | Rajawali | Air Mata | Sang Petualang

HAL-HAL YANG KAMI SUKAI BELAKANGAN INI...

YOUTUBE

I’m cyborg but that’s ok

ADIL SEJAK DALAM PIKIRAN

https://bit.ly/2GjSux2

i’m cyborg but that’s ok adalah salah satu channel youtube favorit kami yang mengedit film menjadi potongan yang lebih pendek dan menjodohkan visual tersebut dengan lagu yang menciptakan dimensi baru pada film maupun lagunya. Pada titik ini, penonton dimampukan untuk mengalami sesuatu yang samasekali baru dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Obat untuk hati yang kelam.

belok kiri jalan terus

SAJAK

ORANG JAWA MUDIK LEBARAN

TOTAL KORBAN TEWAS DALAM 13 HARI 596 ORANG Judul sajak ini adalah judul berita utama pada sebuah koran Ibukota

Bukankah kami bahagia?

LEON AGUSTA Jakarta, 27 September 2009

REFERENSI SITUS

ADIL SEJAK DALAM PIKIRAN

Sci - Hub (sci-hub.tw) Dengan mengusung slogan “to remove all barrier in the way of science” atau “untuk menghilangkan semua penghalang di jalan ilmu pengetahuan”, Sci-Hub menjadi pintu untuk mengakses jurnal-jurnal ilmiah dan penelitian yang cukup susah didapatkan. Tinggal masukkan DOI atau Digital Object Identifier, angka yang biasanya tersemat di penerbitan jurnal ilmiah, hampir semua jurnal ilmiah dapat diakses. Monoskop (monoskop.org) Monoskop adalah sebuah halaman wiki yang berfokus pada studi kolaboratif dalam seni, media, dan kemanusiaan. Mulai dari kesenian, arsitektur, musik, gambar bergerak, dan kategori-kategori lainnya dapat ditemukan di situs ini, seperti arsip tentang Trisha Brown yang menjadi salah satu pelopor pergerakan tari post-modern.

aaaaarg (aaaaarg.fail) AAAAARG (awalnya AAARG, akronim dari Artists, Architects, dan Activists Reading Group) adalah tempat penyimpanan teks online. Situs ini diciptakan oleh artis Sean Dockray dan berfungsi sebagai perpustakaan untuk The Public School, sebuah kerangka kerja yang mendukung kegiatan otodidak. Aaaaarg telah tumbuh menjadi komunitas peneliti dan penggemar seni kontemporer, teori kritis, filsafat, dan bidang yang terkait; yang terus memelihara, membuat katalog, membuat catatan dan menjalankan diskusi yang relevan dengan minat penelitian mereka.

Ilustrasi dari gabungan screenshot film Trisha Brown, Watermotor, 1978, oleh Babette Mangolte. monoskop.org/Trisha_Brown

KERTANGKES Potong-tempel gambar-gambar berikut, kreasikan seasikmu. Kombinasikan dengan media lain seperti arang, pensil, pulpen atau tambahkan gambar lain yang kamu temukan dengan tetap menggunakan elemen utama gambar dalam halaman ini. Unggah karyamu di Instagram dengan tagar #PRbelokkirivolumesatu sehingga semakin banyak teman-teman yang bisa menikmati karyamu.

belok kiri jalan terus

Atau kirim melalui surel di [email protected] Setiap karya yang masuk akan kami tampilkan dalam website belokkirijalanterus.net dan akun instagram @belokkirijalanterusss

ADIL SEJAK DALAM PIKIRAN

belok kiri jalan terus

Karya Gentur Suria, 2017.